Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put.62904/PP/M.IIIB/99/2015 Jenis Pajak
: Gugatan
Tahun Pajak
: 2011
Pokok Sengketa
: bahwa yang menjadi sengketa dalam gugatan ini adalah Penerbitan Surat Tergugat Nomor S-5480/WPJ.07/2014 tanggal 16 September 2014 perihal Pemberitahuan Surat Keberatan Yang Tidak Memenuhi Persyaratan.
Menurut Tergugat
: bahwa berdasarkan hasil penelitian atas surat keberatan Penggugat tersebut, diketahui bahwa surat keberatan tersebut tidak ditandatangani melainkan dicap tanda tangan oleh Sdr. Iman Gandi Mihardja selaku General Manager;
Menurut Penggugat :
bahwa dari peraturan di atas dapat disimpulkan bahwa Surat Keberatan ditandatangani oleh Penggugat, dalam hal ini Sdr. Iman Gandi Mihardja selaku General Manager sebagai Pengurus, yang mempunyai wewenang dalam menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam kegiatan usaha. Hal ini dapat dibuktikan dengan kewenangannya untuk menandatangani kontrak dengan pihak ketiga dan untuk menandatangani cek. Oleh karena itu, Sdr Iman Gandi Mihardja tidak memerlukan surat kuasa untuk menandatangani surat perpajakan;
Menurut Majelis
: bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis atas berkas gugatan dan penjelasan para pihak dalam persidangan, diketahui bahwa gugatan Penggugat adalah terkait dengan surat keberatan yang tidak ditandatangani melainkan dicap tandatangan oleh Sdr. Iman Gandi Mihardja selaku General Manager; bahwa dokumen tersebut harus ditandatangani basah bukan dicap tandatangan. Hal ini mengandung arti bahwa yang bersangkutan telah membaca surat/dokumen tersebut dan setuju atas isi dalam surat/dokumen tersebut. Sedangkan apabila surat/dokumen tersebut hanya dicap tandatangan, akan menimbulkan adanya penyalahgunaan kepentingan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab; bahwa selanjutnya fungsi tandatangan dalam suatu surat adalah untuk memastikan identifikasi atau menentukan kebenaran ciri-ciri penandatangan. Sekaligus penandatangan menjamin keberadaan isi yang tercantum dalam tulisan tersebut; bahwa menurut Tergugat, sesuai dengan Pasal 26A ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang menyebutkan bahwa “tata cara pengajuan dan penyelesaian keberatan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan”; bahwa Pasal 4 ayat (1) PMK Nomor 9/PMK.03/2013 meyebutkan bahwa ”Pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) untuk Tahun Pajak 2008 dan sesudahnya, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: f. Surat Keberatan ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan dalam hal Surat Keberatan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, Surat Keberatan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan”; bahwa menurut Tergugat syarat penandatanganan juga ditegaskan dalam Pasal 1 Ordonansi Tahun 1867 Nomor 29 yang menegaskan “ketentuan tentang kekuatan pembuktian dari tulisan-tulisan di bawah tangan dari orang-orang Indonesia atau yang disamakan dengan mereka”; bahwa di samping itu syarat penandatanganan juga ditegaskan dalam Pasal 1869 sampai dengan Pasal 1874 KUH Perdata; bahwa menurut Tergugat dalam Pasal 1874 ayat 2 KUH Perdata mempersamakan tanda tangan dengan cap jempol tetapi dalam penggunaan cap jempol harus memenuhi persyaratan seperti dilegalisir oleh pejabat yang berwenang dan pembubuhan cap jempol dilakukan di hadapan pejabat tersebut; bahwa berdasarkan ketentuan a quo Tergugat berpendapat bahwa penggunaan cap jempol sebagai pengganti tanda tangan saja masih ada persyaratan-persyaratan yang
harus dipenuhi agar dapat dipersamakan dengan tanda tangan, sehingga Tergugat berpendapat bahwa penggunaan cap tanda tangan tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak dapat menggantikan tanda tangan basah; bahwa Yahya Harahap (2005: 560) juga menguraikan pentingnya tanda tangan adalah sebagai syarat yang mutlak, agar tulisan yang hendak dijadikan surat itu ditandatangani pihak yang terlibat dalam pembuatannya. Lebih tegas Yahya Harahap menguraikan “bahwa suatu surat atau tulisan yang memuat pernyataan atau kesepakatan yang jelas dan terang, tetapi tidak ditandatangani ditinjau dari segi hukum pembuktian, tidak sempurna sebagai surat atau akta sehingga tidak sah dipergunakan sebagai alat bukti tulisan.” bahwa berdasarkan praktik dalam kebiasaan untuk melahirkan perjanjian dikemukakan oleh Pitlo (Yahya Harahap, 2005:561) terdapat berbagai bentuk tandatangan yang dibenarkan oleh hukum antara lain: a. Menuliskan nama penandatangan dengan atau tanpa menambah nama kecil. b. Tandatangan dengan cara menuliskan nama kecil saja dianggap cukup. c. Ditulis tangan oleh penandatangan, tidak dibenarkan dengan stempel huruf cetak. bahwa dengan demikian menurut Tergugat, cap tanda tangan tidak dapat menggantikan tanda tangan sesuai dengan KUH Perdata; bahwa menurut Penggugat, Surat Keberatan ditandatangani oleh Penggugat, dalam hal ini Sdr. Iman Gandi Mihardja selaku General Manager sebagai Pengurus, yang mempunyai wewenang dalam menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam kegiatan usaha. Hal ini dapat dibuktikan dengan kewenangannya untuk menandatangani kontrak dengan pihak ketiga dan untuk menandatangani cek. Oleh karena itu, Sdr Iman Gandi Mihardja tidak memerlukan surat kuasa untuk menandatangani surat perpajakan; bahwa menurut Penggugat penggunaan tanda tangan stempel Iman Gandi Mihardja selaku General Manager adalah tidak bertentangan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan karena tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai penggunaan tandatangan basah; bahwa menurut Penggugat, sebagai referensi dapat dilihat pada Pasal 3 ayat (1b) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang menyatakan bahwa “Penandatanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara biasa, dengan tandatangan stempel, atau tandatangan elektronik atau digital, yang semuanya mempunyai kekuatan hukum yang sama”; bahwa Pasal 25 ayat (1), ayat (3), dan ayat (3a) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan tidak mensyaratkan bahwa Surat Keberatan harus ditandatangani oleh siapapun, baik wajib pajak, wakil maupun kuasanya; bahwa Pasal 25 ayat (1), ayat (3), dan ayat (3a) tidak mengharuskan adanya Peraturan Pelaksana, baik berupa Peraturan Menteri Keuangan maupun Peraturan Direktur Jenderal Pajak; bahwa menurut Penggugat penyampaian SPT adalah cerminan pemenuhan kewajiban perpajakan, sedangkan penyampaian Permohonan Surat Keberatan adalah tuntutan hak dari Wajib Pajak. Kedua kegiatan tersebut sama-sama dalam rangka menjalankan hak dan kewajiban perpajakan. Penandatangan SPT dapat dilakukan secara biasa, dengan tanda tangan stempel, atau tanda tangan elektronik atau digital, yang semuanya mempunyai kekuatan hukum yang sama, sedangkan penandatangan Surat Permohonan Keberatan tidak ada aturan yang mengharuskan dilakukan secara biasa dan tidak ada pula yang melarang penandatanganannya dilakukan secara stempel, tanda tangan elektronik atau digital; bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis atas bukti-bukti yang telah diserahkan dan penjelasan para pihak dalam persidangan, diketahui bahwa Sdr. Iman Gandi Mihardja adalah General Manager Penggugat, oleh karena itu berhak untuk menandatangani surat keberatan; bahwa berdasarkan penjelasan Sdr. Iman Gandi Mihardja dalam persidangan diketahui bahwa penandatangan dengan cap a quo adalah atas perintah yang bersangkutan,
karena pada waktu itu Sdr. Iman Gandi Mihardja berada di luar kota dan jangka waktu untuk mengajukan keberatan telah mendekati jatuh tempo, sehingga Penggugat (Sdr. Iman Gandi Mihardja) memberikan otoritas kepada pegawai untuk menggunakan tanda tangan cap (melalui telepon dan email); bahwa untuk memastikan identitas atau menentukan kebenaran ciri-ciri penandatangan, Majelis telah memerintahkan yang bersangkutan untuk membuat contoh tanda tangan di hadapan Majelis; bahwa sesuai dengan contoh tanda tangan yang dibubuhkan oleh Sdr. Iman Gandi Mihardja dihadapan Majelis, Majelis meyakini bahwa tanda tangan cap yang dibubuhkan pada surat keberatan adalah sama dengan tanda tangan yang dibubuhkan di hadapan Majelis; bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas Majelis berpendapat bahwa tanda tangan cap dalam surat keberatan adalah memang diketahui dan dikehendaki oleh pengurus (Sdr. Iman Gandi Mihardja), dengan demikian mengandung arti bahwa yang bersangkutan telah menyetujui isi dalam surat/dokumen tersebut, sehingga tidak akan menimbulkan adanya penyalahgunaan kepentingan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab; bahwa terkait dengan dalil Tergugat yang menyatakan bahwa surat keberatan Penggugat tidak ditandatangani, melainkan dicap tandatangan oleh Sdr. Iman Gandi Mihardja selaku General Manager, Majelis berpendapat sebagai berikut: bahwa berdasarkan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007, Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya disebut UU KUP), Pasal 3 ayat 1(b) : “penandatanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara biasa, dengan tanda tangan stempel, atau tanda tangan elektronik atau digital, yang semuanya mempunyai kekuatan hukum yang sama, yang tata cara pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan”; bahwa berdasarkan ketentuan a quo Majelis berpendapat bahwa Undang-undang KUP sendiri telah mengakui/memperbolehkan adanya penandatanganan yang dilakukan dengan tanda tangan stempel; bahwa terkait dengan dalil Tergugat yang menyatakan bahwa syarat penandatanganan diatur dalam Pasal 4 ayat (1) PMK Nomor 9/PMK.03/2013, Pasal 1 Ordonansi Tahun 1867 Nomor 29 dan Pasal 1869 sampai dengan Pasal 1874 KUH Perdata, Majelis berpendapat sebagai berikut: bahwa berdasarkan UU KUP: Pasal 25 (2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang terutang, jumlah pajak yang dipotong atau dipungut, atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan yang menjadi dasar penghitungan. (3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya. (3a) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak, Wajib Pajak wajib melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, sebelum surat keberatan disampaikan. (4) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (3a) bukan merupakan surat keberatan sehingga tidak dipertimbangkan bahwa sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.03/2013, Tentang Tata Cara Pengajuan Dan Penyelesaian keberatan: Pasal 4 ayat (1) : Pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) untuk Tahun Pajak 2008 dan sesudahnya, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut
: …………………….. f. Surat Keberatan ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan dalam hal Surat Keberatan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, Surat Keberatan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) UndangUndang KUP; ….. dst. bahwa Pasal 1 Ordonansi Tahun 1867 Nomor 29 menegaskan “ketentuan tentang kekuatan pembuktian dari tulisan-tulisan di bawah tangan dari orang-orang Indonesia atau yang disamakan dengan mereka.” bahwa menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata) : Pasal 1869. Suatu akta yang tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, baik karena tidak berwenang atau tidak cakapnya pejabat umum yang bersangkutan maupun karena cacat dalam bentuknya, mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan bila ditandatangani oleh para pihak. Pasal 1870. Bagi para pihak yang berkepentingan beserta para ahli warisnya ataupun bagi orang-orang yang mendapatkan hak dari mereka, suatu akta otentik memberikan suatu bukti yang sempurna tentang apa yang termuat di dalamnya. Pasal 1871. Akan tetapi suatu akta otentik tidak memberikan bukti yang sempurna tentang apa yang termuat di dalamnya sebagai penuturan belaka, kecuali bila yang dituturkan itu mempunyai hubungan langsung dengan pokok isi akta. Jika apa yang termuat dalam akta itu hanya merupakan suatu penuturan belaka yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan pokok isi akta, maka hal itu hanya dapat digunakan sebagai permulaan pembuktian dengan tulisan. Pasal 1872. Jika suatu akta otentik, dalam bentuk apa pun, diduga palsu, maka pelaksanaannya dapat ditangguhkan menurut ketentuan-ketentuan Reglemen Acara Perdata. Pasal 1873. Persetujuan lebih lanjut dalam suatu akta tersendiri, yang bertentangan dengan akta asli hanya memberikan bukti di antara pihak yang turut serta dan para ahli warisnya atau orang-orang yang mendapatkan hak dari mereka, dan tidak dapat berlaku terhadap pihak ketiga. Pasal 1874. Yang dianggap sebagai tulisan di bawah tangan adalah akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisantulisan yang lain yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum. Dengan penandatanganan sebuah tulisan di bawah tangan disamakan pembubuhan suatu cap jempol dengan suatu pernyataan yang bertanggal dari seorang Notaris atau seorang pejabat lain yang ditunjuk undang-undang yang menyatakan bahwa pembubuh cap jempol itu dikenal olehnya atau telah diperkenalkan kepadanya, bahwa si akta telah dijelaskan kepada orang itu, dan bahwa setelah itu cap jempol tersebut dibubuhkan pada tulisan tersebut di hadapan pejabat yang bersangkutan. Pegawai ini harus membuktikan tulisan tersebut. Dengan undang-undang dapat diadakan aturan-aturan lebih lanjut tentang pernyataan dan pembukuan termaksud. 1874 a. Jika pihak yang berkepentingan menghendaki, di luar hal termaksud dalam alinea kedua pasal yang lalu, pada tulisan-tulisan di bawah tangan yang ditandatangani, dapat juga diberi suatu pernyataan dari seorang Notaris atau seorang pejabat lain yang ditunjuk undang-undang, yang menyatakan bahwa si penanda tangan tersebut dikenalnya atau telah diperkenalkan kepadanya, bahwa isi akta telah dijelaskan kepada si penandatangan, dan bahwa setelah itu penandatanganan dilakukan di hadapan pejabat tersebut. bahwa menurut Majelis, berdasarkan ketentuan-ketentuan a quo surat keberatan yang tidak memenuhi persyaratan adalah apabila tidak memenuhi ketentuan Pasal 25 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (3a) UU KUP dan Pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.03/2013; bahwa sedangkan untuk “tanda tangan”, ketentuan-ketentuan a quo baik UU KUP, ordonansi, KUH Perdata dan PMK, juga tidak mengatur/menegaskan mengenai
bentuk/wujud tanda tangan itu sendiri, dengan demikian Majelis berpendapat bahwa penandatanganan dengan stempel yang dilakukan oleh Penggugat dalam Surat Permohonan Keberatan adalah sah dan tidak melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku; bahwa menurut Pasal 69 ayat (1e) Undang-undang Nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak : “bahwa alat bukti dapat berupa “pengetahuan hakim”, yang di Pasal 75 disebutkan “adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya”; bahwa berdasarkan Pasal 78 Undang-undang Nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang menyatakan bahwa: "Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim"; bahwa menurut memori penjelasan pasal 78 Undang-undang Nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak : "Keyakinan Hakim di dasarkan pada penilaian pembuktian dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan”; bahwa berdasarkan bukti-bukti, dan penjelasan para pihak dalam persidangan serta ketentuan-ketentuan sebagaimana tersebut di atas, Majelis berpendapat mengabulkan seluruhnya gugatan Penggugat, sesuai petitumnya, yaitu membatalkan Surat Tergugat Nomor S-5481/WPJ.07/2014 tanggal 16 September 2014 dan memerintahkan Tergugat untuk tetap memproses keberatan Penggugat sampai diterbitkan Keputusan Keberatan; Menimbang
: bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan dalam persidangan, Majelis berkesimpulan mengabulkan seluruhnya permohonan gugatan Penggugat dengan membatalkan Surat Tergugat Nomor S-5480/WPJ.07/2014 tanggal 16 September 2014, dan memerintahkan Tergugat untuk tetap memproses keberatan Penggugat sampai diterbitkan Keputusan Keberatan;
Mengingat
: Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, dan ketentuan perundang-undangan lainnya serta peraturan hukum yang berlaku dan yang berkaitan dengan perkara ini;
Memutuskan
: Menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan gugatan Penggugat dengan
membatalkan Keputusan Tergugat Nomor S-5480/WPJ.07/2014 tanggal 16 September 2014, tentang Pemberitahuan Surat Keberatan Yang Tidak Memenuhi Persyaratan, dan memerintahkan Tergugat untuk tetap memproses keberatan Penggugat sampai diterbitkan Keputusan Keberatan. Demikian diputus di Jakarta berdasarkan musyawarah setelah pemeriksaan dalam persidangan dicukupkan pada hari Kamis tanggal 09 April 2015 oleh Hakim Majelis IIIB Pengadilan Pajak dengan susunan Hakim Majelis IIIB dan Panitera Pengganti sebagai berikut: M. Z. Arifin, S.H., M.Kn. Dr. Sartono, S.H., M.H., M.Si. Gunawan Aniek Andriani
sebagai Hakim Ketua, sebagai Hakim Anggota, sebagai Hakim Anggota, sebagai Panitera Pengganti
Putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Hakim Ketua Majelis IIIB pada hari Kamis tanggal 30 Juli 2015 dengan susunan Majelis dan Panitera Pengganti sebagai berikut: M.Z. Arifin, S.H., M.Kn. Dr. Sartono, S.H., M.H., M.Si. Ruwaidah Afiyati, S.E., S.H., M.M., M.H., C.Fr.A. Aniek Andriani
sebagai Hakim Ketua, sebagai Hakim Anggota, sebagai Hakim Anggota, sebagai Panitera Pengganti
dengan dihadiri oleh para Hakim Anggota, Panitera Pengganti, namun tidak dihadiri baik oleh Tergugat maupun oleh Penggugat.