P U T U S A N No. 24 P/HUM/2007 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH
AGUNG
memeriksa dan memutus permohonan keberatan Hak Uji Materiil pada tingkat pertama dan terakhir terhadap : Pasal 15 Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 14 Tahun 2007 Tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo
telah
mengambil putusan sebagai berikut dalam permohonan keberatan yang diajukan oleh : 1. ABDUL
MALIK,
Rt.02/Rw.01,
bertempat
Renokenongo,
tinggal
di
Kecamatan
Renokenongo Porong
61274,
Sidoarjo, Jawa Timur, 2. YUDO
WINTOKO,
Rt.04/Rw.01,
bertempat
Renokenongo,
tinggal
di
Kecamatan
Renokenongo
Porong
61274,
Sidoarjo, Jawa Timur, 3. PITANTO,
bertempat
tinggal
di
Sengon,
Rt.10/Rw.03,
Renokenongo, Kecamatan Porong Sidoarjo, Jawa Timur, 4. SUNARTO, bertempat tinggal di Renokenongo Rt.01/Rw.01, Renokenongo, Kecamatan Porong 61274, Sidoarjo, Jawa Timur, 5. PURNOTO, bertempat tinggal di Renokenongo Rt.04/Rw.01, Renokenongo, Kecamatan Porong 61274, Sidoarjo, Jawa Timur, 6. SUDARTO, bertempat tinggal di Renokenongo Rt.04/Rw.01, Renokenongo, Kecamatan Porong 61274, Sidoarjo, Jawa Timur, 7. LILIK
KAMINAH,
Rt.08/Rw.02,
bertempat
Renokenongo,
tinggal Kecamatan
di
Renokenongo Porong
61274,
Sidoarjo, Jawa Timur, 8. KASTO,
bertempat
tinggal
di
Sengon
Rt.10/Rw.03,
Renokenongo, Kecamatan Porong 61274, Sidoarjo, Jawa Timur, 9. SUDARMANI, bertempat tinggal di Renokenongo Rt.02/Rw.01, Renokenongo, Kecamatan Porong 61274, Sidoarjo, Jawa Timur,
Hal. 1 dari 59 hal. Put. No.24 P/HUM/2007
10. NISWATUN CHASANAH, bertempat tinggal di Renokenongo Rt.08/Rw.02,
Renokenongo,
Kecamatan
Porong
61274,
Sidoarjo, Jawa Timur, 11. JAIDIL,
bertempat
tinggal
di
Renokenongo
Rt.03/Rw.01,
Renokenongo, Kecamatan Porong 61274, Sidoarjo, Jawa Timur, 12. AUNUR
ROFIQ,
Rt.05/Rw.02,
bertempat
Renokenongo,
tinggal Kecamatan
di
Renokenongo Porong
61274,
Sidoarjo, Jawa Timur, 13. KHOLIK
WIDODO,
Rt.07/Rw.02,
bertempat
Renokenongo,
tinggal
Kecamatan
di
Renokenongo
Porong
61274,
Sidoarjo, Jawa Timur, 14. GUNARYO, bertempat tinggal di Renokenongo Rt.07/Rw.02, Renokenongo, Kecamatan Porong 61274, Sidoarjo, Jawa Timur, 15. ASFIROTUN, bertempat tinggal di Renokenongo Rt.04/Rw.01, Renokenongo, Kecamatan Porong 61274, Sidoarjo, Jawa Timur, 16. MAS
ARIL
Rt.03/Rw.01,
KHILMI,
bertempat
Renokenongo,
tinggal
Kecamatan
di
Renokenongo
Porong
61274,
Sidoarjo, Jawa Timur, 17. MOCH. AMIN, bertempat tinggal di Renokenongo, Porong Rt.07/Rw.02, Sidoarjo, Jawa Timur, 18. KHOIRIL, bertempat tinggal di Renokenongo Rt.07/Rw.02, Sidoarjo, Jawa Timur, 19. PRAYETNO, bertempat tinggal di Renokenongo Rt.02/Rw.01, Renokenongo, Kecamatan Porong 61274, Sidoarjo, Jawa Timur, 20. TETI HANDAYANI, bertempat tinggal di Renokenongo Rt.03/ Rw.01, Renokenongo, Kecamatan Porong 61274, Sidoarjo, Jawa Timur, 21. SULASTRI,
bertempat
tinggal
di
Sengon
Rt.12/Rw.03,
Renokenongo, Kecamatan Porong 61274, Sidoarjo, Jawa Timur, 22. KUDORI, bertempat tinggal di Renokenongo Rt.02/Rw.01, Renokenongo, Kecamatan Porong 61274, Sidoarjo, Jawa Timur,
Hal. 2 dari 59 hal. Put. No.24 P/HUM/2007
23. RA’I,
bertempat
tinggal
di
Renokenongo
Rt.10/Rw.03,
Renokenongo, Kecamatan Porong 61274, Sidoarjo, Jawa Timur, 24. BUAYAT, bertempat tinggal di Renokenongo Rt.07/Rw.02, Renokenongo, Kecamatan Porong 61274, Sidoarjo, Jawa Timur, 25. FATKHUR ROHMAN, bertempat tinggal di Renokenongo Rt.04/Rw.01,
Renokenongo,
Kecamatan
Porong
61274,
Sidoarjo, Jawa Timur, 26. MUHAMMAD Rt.15/Rw.03,
BASHORI,
bertempat
Renokenongo,
tinggal
Kecamatan
di
Porong
Sengon 61274,
Sidoarjo, Jawa Timur, 27. PURMIASIH,
bertempat
tinggal
di
Sengon
Rt.05/Rw.03,
Renokenongo, Kecamatan Porong 61274, Sidoarjo, Jawa Timur, 28. ARIFIN,
bertempat
tinggal
di
Renokenongo
Rt.08/Rw.02,
Renokenongo, Kecamatan Porong 61274, Sidoarjo, Jawa Timur, 29. ZAINAL
ABIDIN,
Rt.01/Rw.01,
bertempat
Renokenongo,
tinggal Kecamatan
di
Renokenongo Porong
61274,
Sidoarjo, Jawa Timur, 30. SULIAMAH,
bertempat
tinggal
di
Sengon
Rt.12/Rw.03,
Renokenongo, Kecamatan Porong 61274, Sidoarjo, Jawa Timur, 31. SUWITO, bertempat tinggal di Renokenongo Rt.02/Rw.01, Renokenongo, Kecamatan Porong 61274, Sidoarjo, Jawa Timur, 32. LUPUT,
bertempat
tinggal
di
Renokenongo
Rt.07/Rw.02,
Renokenongo, Kecamatan Porong 61274, Sidoarjo, Jawa Timur, 33. PURWANTO, bertempat tinggal di Renokenongo Rt.02/Rw.01, Renokenongo, Kecamatan Porong 61274, Sidoarjo, Jawa Timur, 34. SUDARTO, bertempat tinggal di Desa Renokenongo Rt.04/ Rw.01, Kecamatan Porong 61274, Sidoarjo, Jawa Timur,
Hal. 3 dari 59 hal. Put. No.24 P/HUM/2007
35. SUBANDI, bertempat tinggal di Kelurahan Jatirejo Rt.13/ Rw.03, Jatirejo, Kecamatan Porong 61274, Sidoarjo, Jawa Timur, 36. IRAWATI,
bertempat
tinggal
di
Desa
Renokenongo
Rt.12/Rw.03, Kecamatan Porong 61274, Sidoarjo, Jawa Timur, 37. MUCH. IRSYAD, bertempat tinggal di Besuki Rt.04/Rw.05, Besuki, Sidoarjo, Jawa Timur, 38. MUNDIR DWI ILMIAWAN, bertempat tinggal di Permisan Rt.06/Rw.02, Permisan, Kecamatan Jabon 61276, Sidoarjo, Jawa Timur, dalam hal ini memberi kuasa kepada A. PATRA M. ZEN, SH., LLM, dkk., Advokat dan Pembela Umum dari Yayasan
Lembaga
Bantuan
Hukum
Indonesia,
Lembaga
Bantuan Hukum Surabaya dan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, memilih domisili hukum di Jalan Diponegoro No. 74 Jakarta Pusat, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 6 September 2007, sebagai para Pemohon Keberatan ; melawan: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
berkedudukan di Jalan
Medan Merdeka Utara Jakarta, Termohon Keberatan ; Tentang Permohonannya : Menimbang
bahwa,
para
Pemohon
permohonannya tanggal 24 September
Keberatan
dengan
surat
2007 yang diterima dan didaftar di
Kepaniteraan Mahkamah Agung RepubIik Indonesia tanggal 28 September 2007 dengan register No. 24 P/HUM/TH.2007 telah mengajukan permohonan keberatan dengan dalil-dalil pada pokoknya sebagai berikut : A. Kedudukan Hukum Para Pemohon Keberatan 1. Bahwa para Pemohon adalah para warga yang tinggal di Sidoarjo yang menjadi korban luapan Lumpur panas akibat perbuatan Lapindo di Sidoarjo. Para korban ini berhak atas pemulihan keadaan dan juga seharusnya menerima ganti rugi atas kerugian yang dideritanya. Ganti rugi tersebut adalah hak para Pemohon dikarenakan tenggelamnya tempat tinggalnya yang mengakibatkan tidak hanya hilangnya tanah dan rumah melainkan juga harta benda, surat berharga, kehidupan dan pranata sosial, pekerjaan, pendidikan dan sebagainya ; 2. Bahwa sebagian besar dari para Pemohon, merupakan korban luapan lumpur panas yang tinggal dan berasal dari desa yang sudah tenggelam lumpur dan termasuk ke dalam peta area terdampak sebagaimana
Hal. 4 dari 59 hal. Put. No.24 P/HUM/2007
dimaksud PERPRES RI No. 14 Tahun 2007 seperti Desa Renokenongo. Sementara sebagian Pemohon lainnya, seperti dari Desa Besuki dan Desa Permisan adalah korban luapan lumpur di luas peta area terdampak sebagaimana dimaksud PERPRES RI No. 14 Tahun 2007, namun berada di sekitar tanggul-tanggul yang menjadi batas peta area terdampak. Para Pemohon di luar peta terdampak ini adalah korban yang juga mengalami kerugian yang luar biasa karena kehidupannya terisolir akibat adanya tanggul-tanggul yang menutupi desa dan jalan menuju desa, tempat tinggal sudah tidak layak digunakan, tidak memiliki air bersih, anak tidak dapat sekolah, pekerjaan hilang, penghasilan hilang, sawah dan ladang meskipun di luar peta area terdampak namun tidak dapat lagi digunakan. Artinya, baik para Pemohon di dalam peta area terdampak menurut PERPRES RI No. 14 Tahun 2007 yang ditandai dengan batas tanggul dan para Pemohon di luar peta area terdampak menurut PERPRES a quo adalah sama-sama korban yang juga mengalami kerugian luar biasa ; 3. Bahwa para Pemohon juga merupakan warga negara yang dijamin hakhaknya oleh Undang-Undang Dasar 1945 yaitu Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 C ayat (2), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 G ayat (1) dan Pasal 28 H ayat (4) ; 4. Bahwa para Pemohon adalah orang-orang yang dijamin haknya oleh Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, termasuk hak untuk melakukan upaya-upaya hukum mengenai jaminan pemenuhan hak asasi manusia setiap warga negara Indonesia, sebagai berikut : a. Pasal 3 ayat (2), yang berbunyi : “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakukan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakukan yang sama didepan hukum” ; b. Pasal 3 ayat (3), yang berbunyi : “Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi” ; c. Pasal 5 ayat (1), yang berbunyi : “Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menurut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya didepan umum” ; d. Pasal 5 ayat (2), yang berbunyi : “Setiap orang berhak mendapat bantuan dan perlindungan yang adil dari pengadilan yang obyektif dan tidak berpihak” ;
Hal. 5 dari 59 hal. Put. No.24 P/HUM/2007
e. Pasal 5 ayat (3), yang berbunyi : “Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakukan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya” ; f.
Pasal 7 ayat (1), yang berbunyi : “Setiap orang berhak untuk menggunakan semua upaya hukum nasional dan forum internasional atas semua pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin oleh hukum Indonesia dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima Negara Republik Indonesia” ;
g. Pasal 17, yang berbunyi : “Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan dan gugatan baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh Hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar” ; h. Pasal 100 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang berbunyi : “Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan dan pemajuan hak asasi manusia” ; 5. Bahwa para Pemohon merupakan pemohon uji keberatan sebagaimana yang dimaksud Pasal 1 butir (4) PERMA No. 1 Tahun 2004 “Pemohon adalah
kelompok
masyarakat
atau
perorangan
yang
mengajukan
permohonan keberatan kepada Mahkamah Agung atas berlakunya suatu peraturan perundang-undangan tingkat yang lebih rendah dari undangundang” ; 6. Bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, jelaslah bahwa para Pemohon mempunyai hak hukum untuk mengajukan Permohonan Keberatan Uji Materiil ; B. Kepentingan Hukum Para Pemohon Keberatan 7. Bahwa oleh karena para Pemohon adalah korban dari luapan lumpur panas Lapindo di Sidoarjo maka para Pemohon berhak mendapatkan pemulihan termasuk ganti rugi dari segala kerusakan, kehilangan dan kerugian yang timbul akibat luapan Lumpur panas Lapindo ;
Hal. 6 dari 59 hal. Put. No.24 P/HUM/2007
8. Bahwa peraturan yang dikeluarkan Presiden yakni Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 Tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo mengatur kepentingan hukum para Pemohon dan ternyata PERPRES tersebut melanggar hak-hak para Pemohon ; 9. Dengan demikian para Pemohon memiliki kepentingan hukum untuk mengajukan Permohonan Uji Keberatan ; DASAR HUKUM PERMOHONAN 10. Bahwa Peraturan Presiden RI No. 14 Tahun 2007 Tentang Badan Penanggulangan
Lumpur
Sidoarjo
yang
dijadikan
obyek
Permohon
Keberatan a quo merupakan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang sebagaimana dimaksud Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ; 11. Bahwa Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menyebutkan jenis dan hierarkhi Peraturan Perundang-undangan sebagai berikut : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ; b. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ; c. Peraturan Pemerintah ; d. Peraturan Presiden ; e. Peraturan Daerah ; 12. Bahwa berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung PERMA No. 1 Tahun 2004 Tentang Hak Uji Materiil, Mahkamah Agung memiliki kewenangan untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang ; 13. Bahwa Pasal 24 A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan : “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undangundang dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan undang-undang”; 14. Bahwa selanjutnya Pasal 11 ayat (2) huruf b dan ayat (3) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 31 ayat (1), ayat (2) dan Pasal 31 A ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung jo. Pasal 1 butir (1) PERMA No. 1 Tahun 2004 Tentang Hak Uji Materiil, memberi Mahkamah Agung kewenangan Hak Uji Materiil (HUM)
atau
Judicial
Review
Power
terhadap
peraturan
perundang-
Hal. 7 dari 59 hal. Put. No.24 P/HUM/2007
undangan di bawah undang-undang, sesuai dengan asas lex superior derogat legi inferior, yang dibarengi dengan kewenangan Mahkamah Agung untuk menyatakan invalidated (tidak sah) dan memerintahkan pencabutan peraturan perundang-undangan ; Pasal 11 ayat (2) huruf b Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa : “Mahkamah Agung mempunyai kewenangan menguji peraturan perundangundangan dibawah undang-undang” ; Pasal 11 ayat (3) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa : “Pernyataan tidak berlaku peraturan perundang-undangan sebagai hasil pengujian sebagaiman dimaksud ayat (2)huruf b, dapat diambil baik dalam pemeriksaan tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung kepada Mahkamah Agung” ; Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung : “Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji materiil hanya terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undangundang” ; Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung : “Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang
perundang-undangan
atas
yang
alasan
lebih
bertentangan
tinggi
atau
dengan
peraturan
pembentukannya
tidak
memenuhi ketentuan yang berlaku” ; Pasal 31 A ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung : “Permohonan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undangundang terhadap undang-undang diajukan langsung oleh Pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah Agung dan dibuat secara tertulis dalam Bahasa Indonesia” ; 15. Bahwa berdasarkan Pasal 1 angka (1), angka (2) dan angka (3) PERMA No. 1 Tahun 2004 : Pasal 1 angka 1 PERMA No. 1 Tahun 2004 menyatakan : “Hak Uji Materiil adalah Hak Mahkamah Agung untuk menilai materi muatann peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi” ;
Hal. 8 dari 59 hal. Put. No.24 P/HUM/2007
Pasal 1 angka (2) PERMA No. 1 Tahun 2004 menyatakan : “Peraturan
Perundang-undangan
adalah
kaidah
hukum
tertulis
yang
mengikat umum dibawah undang-undang” ; Pasal 1 angka (3) PERMA No. 1 Tahun 2004 menyatakan : “Permohonan Keberatan adalah suatu permohonan yang berisi keberatan terhadap berlakunya suatu peraturan perundang-undangan yang diduga bertentangan dengan suatu peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi yang diajukan ke Mahkamah Agung untuk mendapatkan putusan” ; 16. Bahwa permohonan ini diajukan masih dalam tenggang waktu pengajuan yang ditentukan Pasal 2 ayat (4) PERMA No. 1 Tahun 2004. Pasal 2 ayat (4) PERMA No. 1 Tahun 2004 menyatakan bahwa : “Permohonan Keberatan diajukan dalam tenggang waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sejak ditetapkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan” ; Sementara itu obyek permohonan yakni Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 14 Tahun 2007 Tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, ditetapan pada tanggal 8 April 2007, sehingga secara formil, pengajuan permohonan keberatan masih memenuhi batas tenggang waktu yang ditentukan ; 17. Dengan demikian Permohon Keberatan ini memiliki dasar hukum yang sah dan telah sesuai dengan ketentuan PERMA No. 1 Tahun 2004. Oleh karena itu, Mahkamah Agung berwenang menguji Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 14 Tahun 2007 Tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo ; PASAL YANG DIAJUKAN KEBERATAN 18. Bahwa para Pemohon mengajukan Permohonan Keberatan Uji Materiil terhadap Pasal 15 Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007 yang berbunyi sebagai berikut : (1) Dalam
rangka
penanganan
masalah
social
kemasyarakatan.
PT.
Lapindo Brantas membeli tanah dan bangunan masyarakat yang terkena luapan Lumpur Sidoarjo dengan pembayaran secara bertahap, sesuai dengan peta area terdampak tanggal 22 Maret 2007 dengan Akta Jual Beli Bukti Kepemilikan Tanah yang mencantumkan luas tanah dan lokasi yang disahkan oleh Pemerintah ; (2) Pembayaran bertahap yang dimaksud, seperti yang telah disetujui dan dilaksanakan pada daerah yang termasuk dalam peta area tedampak 4
Hal. 9 dari 59 hal. Put. No.24 P/HUM/2007
Desember 2006. 20 % dibayarkan dimuka dan sisanya dibayarkan paling lambat sebulan sebelum masa kontrak rumah 2 (dua) tahun terakhir ; (3) Biaya masalah social kemasyarakatan di luar peta area terdampak tanggal 22 Maret 2007, setelah ditandatangani PERPRES ini dibebankan pada APBN ; (4) Peta area terdampak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (3) adalah sebagaimana tercantum dalam lampiran PERPRES ini ; LATAR BELAKANG PERMASALAHAN HUKUM PERATURAN PRESIDEN NO. 14 TAHUN 2007 TENTANG BADAN PENANGGULANGAN LUMPUR SIDOARJO. A. Pemerintah Memiliki Kewajiban Hukum Untuk Memulihkan Kembali dan Memenuhi Hak-Hak Korban. 19. Bahwa
sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, para Pemohon
merupakan korban dari semburan lumpur panas Lapindo di Sidoarjo yang telah kehilangan hak-haknya, tidak hanya harta benda materiil berupa rumah, tanah, perabotan dan surat-surat berharga, melainkan juga berbagai bentuk kehidupan lainnya seperti pekerjaan, penghasilan, pendidikan, pranata sosial dan berbagai hak lainnya ; 20. Bahwa akibat dari penanganan yang lambat dan berlarut-larut nasib para korban menjadi sangat menderita dan penuh ketidakpastian. Sehingga lebih dari satu tahun semenjak semburan lumpur terjadi masih belum ada satupun korban yang dipulihkan hak-haknya kembali seperti sediakala ; 21. Sementara itu, Pemerintah memiliki kewajiban hukum untuk memulihkan hak-hak para korban dan para korban mendapatkan keadilan dan kepastian hukum serta terpenuhi hak-hak asasi manusia-nya ; 22. Kewajiban hukum Pemerintah ini terutama diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi, Undang-Undang
No.
11
Tahun
2005
Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial
Tentang
Ratifikasi
Kovenan
dan Budaya dan peraturan
perundang-undangan lainnya ; Pasal 28 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa : “Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama Pemerintah” ; Pasal 8 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia : “Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah” ;
Hal. 10 dari 59 hal. Put. No.24 P/HUM/2007
Pasal 69 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia : “Setiap hak asasi manusia seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara timbal balik serta
menjadi
tugas
Pemerintah
untuk
menghormati,
melindungi,
menegakkan dan memajukannya” ; Pasal 71 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia : “Pemerintah wajib
dan bertanggung jawab menghormati, melindungi,
menegakkan dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam undangundang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh Negara Republik Indonesia” ; Pasal 72 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia : “Kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah sebagai dimaksud dalam Pasal 71, meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain” ; Pasal 2 ayat (2) Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang telah diratifikasi oleh Undang-Undang No. 11 Tahun 2005 menyatakan : “Negara pihak pada kovenan ini berjanji untuk menjamin bahwa hak-hak yang diatur dalam kovenan ini akan dilaksanakan tanpa diskriminasi apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lainnya, asal-usul kebangsaan atau social, kekayaan, kelahiran atau status lainnya” ; 23. Dengan meratifikasi kovenan internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2005, maka ketentuan dalam
kovenan (perjanjian internasional) tersebut diadopsi
menjadi hukum Indonesia dan Pemerintah wajib secara hukum tunduk dengan ketentuan dan prinsip-prinsip yang diaturnya ; 24. Bahwa kovenan internasional Tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya memiliki dokumen yang memberikan penjelasan lanjutan dari kovenan tersebut berupa pedoman, yakni Maastricht Guidelines on Violations of Economic,
Social
and
Cultural
Rights
(Pedoman
Maastricht
atas
Pelanggaran Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) ; 25. Dalam Pedoman Maastricht atas Pelanggaran Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, point 25 disebutkan bahwa : All victims of violations of economic, social dan cultural rights are entitled to adequate reparation, which may take the form of restitution, compensation, rehabilitation and satisfaction or guarantees of non-repetiton.
Hal. 11 dari 59 hal. Put. No.24 P/HUM/2007
(Setiap korban pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial dan budaya berhak atas pemulihan yang layak, yang dapat berbentuk restitusi, kompensasi, rehabilitasi dan pemuasan atau jaminan ketidakberulangan) ; 26. Dalam point 24 Pedoman Maastricht atas Pelanggaran Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya disebutkan : Any person or group who is a victim of a violation of an economic, social and cultural right should have acces to effective judicial or other appropriate remedies at both national and international levels. (Setiap orang atau kelompok yang menjadi korban dari pelanggaran HakHak Ekonomi, Sosial dan Budaya harus mendapatkan akses atas pemulihan yudisial atau pemulihan yang layak lainnya baik tingkat nasional maupun internasional) ; 27. Disamping itu, juga terdapat penjelasan lanjutan dari kovenan internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya berupa penjelasan umum atau General
Comment yang dirumuskan dan disetujui oleh Badan Dunia
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ; 28. Dalam General Comment No. 9 on Domestic Application of the Covenant (Penjelasan Umum No. 9 Tentang Pelaksanaan Kovenan) disebutkan bahwa terdapat kewajiban bagi Negara peserta Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya untuk memberikan efek dari kovenan tersebut ke dalam kewajiban hukum domestic (Bagian A Penjelasan Umum No. 9 tentang Pelaksanaan Kovenan “The duty to give effect to the Covenant in the domestic legal order). Selanjutnya mengenai hak korban atas pemulihan, Penjelasan Umum No. 9 ini menjelaskan sebagai berikut : The right to an effective remedy need not be interpreted as always requiring a judicial remedy. Administrative remedies will, in many cases, be adequate and those living within the jurisdiction of a State Party have a legitimate expectation, based on the principle of good faith, that all administrative authorities will take account of the requirements of the Covenant in their decision-making. Any such adminstratives remedies should be accessible, affordable, timely and effective. An ultimate right of judicial appeal from administrative procedures of this type would also aften be appropriate. By the same token, there are some obligations, such as (but by no means limited to) those conserning non-discrimination, in relation to which the provision of some form of judicial remedy would seem indispensable in order to satisfy the requirements of the Covenant. In other words, whenever a
Hal. 12 dari 59 hal. Put. No.24 P/HUM/2007
Covenant right cannot be made fully effective without some role for the judiciary, judicial remedies are necessary. Hal ini berarti Pemerintah wajib mengeluarkan kebijakan untuk pemulihan hak-hak para korban yang harus dapat diakses dan dapat membantu korban serta dilakukan segera dan efektif. Pelaksanaan kebijakan inipun tidak boleh diskriminatif ; B. Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 Bertentangan dengan PrinsipPrinsip Hukum dan Hak-Hak Korban 29. Namun faktanya, Pemerintah lalai melaksanakan kewajibannya. Pemerintah tidak mampu memberikan kepastian dan keadilan bagi para korban. Langkah-langkah yang diambil Pemerintah amat lambat sehingga para keadaan semakin buruk dan merugikan para korban. Bahkan setelah semakin berlarut-larut, kebijakan Pemerintah melalui Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007 Tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo pun malah justru memperburuk keadaan korban ; 30. Buruknya keadaan korban ini tidak terlepas dari lamban dan berlarutlarutnya penanganan Pemerintah. Sejak semburan Lumpur terjadi pada tanggal 29 Mei 2006, barulah pada tanggal 8 September 2006 setelah semburan tersebut meluas selama 102 (seratus dua) hari atau 3 (tiga) bulan 12 hari, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan kebijakan berskala nasional berupa Keputusan Presiden No. 13 Tahun 2006 Tentang Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo, yang masa kerjanya sudah berakhir pada tanggal 8 Maret 2007. Artinya selama lebih dari tiga bulan tersebut tidak ada kepastian penanganan nasib korban yang diurus oleh Pemerintahan Nasional ; 31. Setelah dibentuknya Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidaorjo, ternyata Tim Nasional ini tidak maksimal melakukan apa yang menjadi mandat Tim Nasional ini. Hal ini terbukti dengan masih adanya semburan
Lumpur
panas
Lapindo,
malahan
semakin
banyak
dan
mengakibatkan lahan yang digenangi oleh Lumpur panas Lapindo ini semalin meluas, sementara nasib korban masih terus menggantung penuh ketidakpastian ; 32. Hingga berakhirnya masa kerja Tim Nasional Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo pada tanggal 8 Maret 2007 ini semburan Lumpur panas Lapindo hingga sekarang ini
masih mengeluarkan Lumpur panas. Kemudian
Presiden Republik Indonesia pada tanggal 8 April 2007 mengeluarkan Peraturan Presiden yang baru, yaitu Peraturan Presiden Republik Indonesia
Hal. 13 dari 59 hal. Put. No.24 P/HUM/2007
No. 14 Tahun 2007 Tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (PERPRES No. 14 Tahun 2007) ; 33. Bahwa PERPRES No. 14 Tahun 2007 tersebut secara umum mengatur pembentukan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo beserta tugas dan kewenangannya. Namun ironisnya, terdapat Pasal 15 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) dalam Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007 Tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo yang justru merugikan dan menghilangkan atas hak-hak para Pemohon yang dilindungi hukum, Undang-Undang dan Undang-Undang Dasar 1945 ; 34. Bahwa dalam Pasal 15 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) PERPRES No. 14 Tahun 2007 menyebutkan sebagai berikut : (1) Dalam
rangka
penanganan
masalah
social
kemasyarakatan,
PT.
Lapindo Brantas membeli tanah dan bangunan masyarakat yang terkena luapan lumpur Sidoarjo dengan pembayaran secara bertahap, sesuai dengan peta area terdampak tanggal 22 Maret 2007 dengan akte jual beli bukti kepemilikan tanah yang mencantumkan luas tanah dan lokasi yang disahkan oleh Pemerintah ; (2) Pembayaran bertahap yang dimaksud, seperti yang telah disetujui dan dilaksanakan pada daerah yang termasuk dalam peta area terdampak 4 Desember 2006. 20 % dibayarkan dimuka dan sisanya dibayarkan paling lambat sebulan sebelum masa kontrak rumah 2 (dua) tahun berakhir ; (3) Biaya masalah social kemasyarakatan di luar peta area terdampak tanggal 22 Maret 2007, setelah ditandatangani PERPRES ini dibebankan pada APBN ; (4) Peta area terdampak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (3) adalah sebagaimana tercantum dalam lampiran PERPRES ini ; 35. Bahwa Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) PERPRES No. 14 Tahun 2007 a quo telah mengubah hak-hak para Pemohon untuk mendapatkan ganti rugi dengan memaksakan adanya hubungan jual beli kepemilikan rumah dan tanah milik para Pemohon. Lebih jauh, Pasal 15 ayat (1) dan (2) PERPRES a quo telah menentukan secara sepihak pembayaran atas jual beli tersebut yang merugikan para korban yakni 20 % dimuka dan sisanya baru dibayarkan kemudian. Sementara itu, Pasal 15 ayat (4) dan (5) PERPRES a quo menempatkan penanganan para korban di luar area terdampak menjadi beban
APBN
yang
tidak
jelas
dan
berakibat
timbulnya
keresahan
masyarakat karena tidak ada kepastian dan para pihak yang seharusnya menangangi saling melempar tanggung jawab ;
Hal. 14 dari 59 hal. Put. No.24 P/HUM/2007
36. Bahwa Pasal 15 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) PERPRES No. 14 Tahun 2007 a quo juga telah secara sepihak membatasi wilayah yang akan mendapatkan penanganan masalah sosial kemasyarakatan, yakni peta area terdampak tanggal 27 Maret 2007, padahal luapan lumpur Lapindo juga telah menyebabkan berbagai kerugian yang diderita oleh warga diluar wilayah peta dimaksud dan semburan lumpur panas Lapindo ini hingga sekarang masih terus terjadi ; 37. Bahwa Pasal 15 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) PERPRES No. 14 Tahun 2007 a quo telah bertentangan dengan mengancam berbagai hak yang dimiliki oleh para Pemohon, yakni : Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, yang berbunyi : “Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam semangat persaudaraan” ; Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, yang berbunyi : “Setiap
orang
berhak
perlakukan hukum
atas
pengakuan,
jaminan,
perlindungan
dan
yang adil serta mendapat kepastian hukum dan
perlakukan yang sama didepan hukum” ; Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, yang berbunyi : “Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh
perlakukan
dan
perlindungan
lebih
berkenaan
dengan
kekhususannya” ; Pasal 11 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, yang berbunyi : “Setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya dan meningkatkan kwalitas
hidupnya
agar
menjadi
manusia
yang
beriman,
bertaqwa,
bertanggung jawab, berakhlak mulia, bahagia dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia” ; Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, yang berbunyi : “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan hak miliknya” ;
Hal. 15 dari 59 hal. Put. No.24 P/HUM/2007
Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, yang berbunyi : “Tempat kediaman siapapun tidak boleh diganggu” ; Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, yang berbunyi : “Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, keluarga, bangsa dan masyarakat, dengan cara yang tidak melanggar hukum” ; Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, yang berbunyi : “Tidak seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dengan secara melawan hukum” ; 38. Bahwa dalam Pasal 15 ayat (1) PERPRES No. 14 Tahun 2007 secara jelas disebutkan bahwa PT. Lapindo Brantas membeli tanah dan bangunan masyarakat
yang
terkena
luapan
lumpur
Sidoarjo,
hal
ini
sangat
bertentangan dengan asas kebebasan melakukan perikatan ; 39. Bahwa PERPRES No. 14 Tahun 2007 a quo sama sekali tidak menjamin hak-hak para Pemohon sebagai korban untuk mendapatkan ganti rugi yang layak dan segera, atas kerugian material dan non material yang mereka terima akibat luapan lumpur panas Lapindo ; 40. Bahwa PERPRES No. 14 Tahun 2007 a quo justru memaksakan model penyelesaian prakteknya,
secara korban
sepihak luapan
melalui lumpur
mekanisme Lapindo
jual
yang
beli.
Dalam
berada
dalam
keterdesakan ekonomi, terpaksa menerima adanya jual beli berikut segala mekanisme yang diatur sebagaimana Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 a quo ; 41. Bahwa pemaksaan mekanisme jual beli yang terdapat dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) PERPRES No. 14 Tahun 2007 ini seharusnya tidak dapat diterapkan bagi para Pemohon karena dibuat secara sepihak. Selain adanya mekanisme jual beli, wajib harus ada soal ganti rugi terhadap para Pemohon ; 42. Bahwa PERPRES No. 14 Tahun 2007 a quo juga telah semena-mena menetapkan peta area terdampak. Akibatnya, korban diluar wilayah area terdampak terancam tidak mendapat hak-haknya. Pada akhirnya mereka terpaksa berada dalam ketidakpastian ; 43. Bahwa dalam Pasal 15 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) PERPRES No. 14 Tahun 2007 terlihat jelas Presiden Republik Indonesia lebih
Hal. 16 dari 59 hal. Put. No.24 P/HUM/2007
melindungi kepentingan Lapindo Brantas Inc. dan tidak melindungi atau mengutamakan
kepentingan
masyarakat.
Padahal
Presiden
Republik
Indonesia sebagai Kepala Pemerintahan, menurut Undang-Undang Dasar 1945, memiliki kewajiban hukum untuk menjamin perlindungan rakyatnya. Para
Pemohon
mempunyai
termasuk
juga
para
korban
hak-hak yang seharusnya
luapan
dihormati
dan
lumpur
Lapindo
dilindungi
oleh
Pemerintah. Namun yang terjadi justru sebaliknya, Pemerintah cenderung melindungi kepentingan Lapindo ; 44. Bahwa dalam doktrin hak asasi manusia, Negara berperan sebagai pengemban kewajiban (duty holder), sementara masyarakat berposisi sebagai
pemegang
hak
(right
holder).
Kedudukan
Negara
sebagai
pegemban kewajiban ini diakui secara tegas dalam Pasal 71 UndangUndang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, yang berbunyi “Pemerintah wajib
dan bertanggung jawab menghormati, melindungi,
menegakkan dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam undangundang ini, peraturan perundang-undangan lain dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh Negara Republik Indonesia”, dan Pasal 72 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 yang berbunyi “Kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah sebagaimana diatur Pasal 71, meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, social budaya, pertahanan, keamanan negara dan bidang lain”. Sementara, kedudukan setiap orang sebagai pemegang hak diakui secara tegas dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, yang berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapatkan kepastian hukum dap perlakuan yang sama di depan hukum” ; 45. Bahwa PERPRES No. 14 Tahun 2007 telah mengubah hak atas ganti kerugian dengan ganti rugi menjadi bentuk jual beli. Padahal jelas-jelas ganti
rugi
atapun
kompensasi
berbeda
dengan
jual
beli.
Jual
beli
mensyaratkan kedudukan yang setara antara penjual dan pembeli. Proses jual beli harus dihasilkan dari kesepakatan para pihak dengan kehendak bebas dari para pihak khususnya mengenai harga dan cara pembayaran. Tetapi yang terjadi adalah para korban sebagai penjual dipaksa menjual tanah dan bangunannya tanpa memiliki posisi tawar (bargaining power) dengan Lapindo Brantas Inc. Para korban tidak memiliki pilihan lain selain dari pada menerima tawaran tersebut. Karena jika tidak maka tidak ada jaminan bagi mereka mendapatkan sesuatu untuk memperbaiki kehidupan
Hal. 17 dari 59 hal. Put. No.24 P/HUM/2007
mereka.
Oleh
karena
itu
menurut
ilmu
hukum,
jual
beli
tersebut
mengandung unsur penyalahgunaan keadaan atau undue influence ; 46. Bahwa berdasarkan teori hukum yang ada, cirri-ciri penyalahgunaan keadaan antara lain pada saat keadaan perjanjian jual beli ditandatangani salah satu pihak dalam keadaan terjepit karena : 1. Adanya keadaan ekonomis yang menekan, kesulitan keuangan yang mendesak, atau 2. Adanya hubungan atasan-bawahan, keunggulan ekomonis pada salah satu
pihak,
hubungan
majikan-buruh,
orang
tua/wali-anak
belum
dewasa, atau 3. Adanya keadaan lain yang tidak menguntungkan seperti pasien yang membutuhkan pertolongan dokter ahli, 4. Perjanjian
tersebut
mengandung
hubungan
yang
timpang
dalam
kewajiban timbal balik antara para pihak (prestasi yang tidak seimbang) ; 47. Bahwa ganti rugi merupakan hak korban atas pemulihan keadaannya (right to reparation) akibat tercerabutnya hak-hak mereka. Pemulihan tidak hanya terbatas pada tanah dan bangunan semata seperti yang selama ini terjadi. Pemulihan mencakup hak atas kepemilikan (tanah, bangunan, harta benda, ternak dan lain-lain), hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan, hak atas tempat tinggal dan kehidupan yang layak, hak anak-anak, hak atas kesehatan, hak atas lingkungan hidup dan lain-lain ; 48. Bahwa PERPRES No. 14 Tahun 2007 menempatkan korban yang lemah keadaannya harus berhadap-hadapan secara langsung dengan pihak Lapindo Brantas. Pemerintah tidak mau menempatkan dirinya sebagai pembela korban dan berada pada posisi korban. Sehingga korban merasa ditinggalkan oleh Pemerintah. Hal ini semakin diperkuat dengan hasil kunjungan kerja Presiden yang masih saja menempatkan Pemerintah sebagai pihak ketiga yang tidak mau menjalankan kewajibannya melindungi warga negaranya ; 49. Sehingga dengan demikian tampak jelas dan nyata ketidakadilan dan pelanggaran prinsip-prinsip hukum dalam Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 a quo, Pertentangan-pertentangan dengan aturan undang-undang diatasnya akan diuraikan selanjutnya ; ALASAN TENTANG DASAR HUKUM YANG BERTENTANGAN A. Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 a quo Bertentangan dengan Pasal
6
ayat
(1)
Undang-Undang
No.
10
Tahun
2004
Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Hal. 18 dari 59 hal. Put. No.24 P/HUM/2007
50. Bahwa Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa materi muatann peraturan perundang-undangan mengandung asas : a. Pengayoman, b. Kemanusian, c. Kebangsaan, d. Kekeluargaan, e. Kenusantaraan, f.
Bhinneka Tunggal Ika,
g. Keadilan, h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, i.
Ketertiban dan kepastian hukum, dan/atau,
j.
Keseimbangan, keserasian dan keselarasan.
51. Bahwa berdasarkan Penjelasan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 a quo, disebutkan bahwa yang dimaksud sebagai asas pengayoman adalah “bahwa setiap materi muatann peraturan perundangundangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional” ; 52. Bahwa berdasarkan Penjelasan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 a quo, disebutkan bahwa yang dimaksud sebagai asas kemanusian adalah “bahwa setiap materi muatann peraturan perundangundangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional” ; 53. Bahwa berdasarkan Penjelasan atas Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 a quo, disebutkan bahwa yang dimaksud sebagai asas kekeluargaan adalah “bahwa setiap materi muatann peraturan perundangundangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan” ; 54. Bahwa berdasarkan Penjelasan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 a quo, disebutkan bahwa yang dimaksud sebagai asas ketertiban dan kepastian hukum adalah “bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum” ; 55. Bahwa ternyata, Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 a quo sama sekali tidak mencerminkan dilaksanakannya asas-asas tersebut. Yang terjadi
Hal. 19 dari 59 hal. Put. No.24 P/HUM/2007
justru sebaliknya Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 a quo sama sekali tidak memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat, tidak memberikan perlindangan dan penghormatan dan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara, tidak mencerminkan keadilan karena memaksa para korban luapan lumpur untuk menerima model penyelesaian yang tidak berpihak kepada korban, serta tidak menimbulkan ketertiban dan kepastian hukum karena pihak Lapindo atau yang mewakili dalam jual beli bukanlah badan hukum yang mempunyai hak untuk memiliki hak atas tanah sebagaimana Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963 Tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum yang Dapat Mempunyai Hak Milik atas Tanah. Sehingga, keadaan justru terjadi sebaliknya, dimana korban lumpur Lapindo, termasuk para Pemohon keberatan merasa dan terganggu ketentraman hidupnya, diperlakukan tidak adil dan dipaksa, serta terombang-ambing dalam ketidakpastian ; 56. Dengan demikian, ketentuan Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 a quo bertentangan dengan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 karena
tidak
memberikan
pengayoman,
tidak
menunjukkan
asas
kemanusiaan, tidak mencerminkan asas kekekuargaan, tidak memberi keadilan dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Sehingga Pasal tersebut harus dinyatakan tidak sah, cacat hukum, melanggar asas Lex Superior Derogat Lex Inferior, dan karenanya harus dinyatakan batal demi hukum ; B. Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 a quo Bertentangan Dengan Pasal 11 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan 57. Bahwa Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 a quo juga bertentangan dengan Pasal 11 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004, yang berbunyi : “Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh undang-undang atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah” ; 58. Bahwa dasar hukum pemberlakukan PERPRES No. 14 Tahun 2007 a quo adalah Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang,
Undang-Undang
No.
23
Tahun
1997
Tentang
Pengelolaan
Lingkungan Hidup, Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi, dan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2005 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 3 Tahun 2005 Tentang Perubahan Atas Undang-
Hal. 20 dari 59 hal. Put. No.24 P/HUM/2007
Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-Undang ; 59. Bahwa tidak ada satupun dasar hukum yang digunakan sebagaimana dimaksud,
sejalan
Penanggulangan
dengan
Lumpur
subtansi
Lapindo,
PERPRES
termasuk
Tentang
proses
Badan
penyelesaian
penanganan masalah social sebagaimana diatur dalam Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 a quo ; 60. Bahwa secara substansial, terutama dalam penanganan masalah sosial, PERPRES No. 14 Tahun 2007 a quo bukanlah aturan pelaksanaan dari aturan hukum di atasnya. Sementara itu, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang mengatur tentang jaminan terhadap pemenuhan hak-hak warga negara justru tidak menjadi dasar hukum Peraturan Presiden tersebut ; 61. Padahal, untuk mengatur pemulihan para korban yang telah terlanggar hakhaknya, seharusnya Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dijadikan landasan hukum. Oleh karena itulah, substansi PERPRES No. 14 Tahun 2007 tidak memperhatikan hak-hak asasi manusia para korban yang pada akhirnya berakibat melanggar hak-hak mereka ; 62. Bahwa faktanya, substansi Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 justru bertentangan atau tidak sesuai dengan dasar hukum yang dijadikan pertimbangannya sebagaimana diuraikan di bawah ini ; 63. Bahwa kalaupun menggunakan Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang sebagai dasar hukum, seharusnya substansi Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 memberi perlindungan terhadap hak-hak masyarakat, seperti yang dijamin dalam Pasal 4 ayat (1) UndangUndang No. 24 Tahun 1992 yang berbunyi : “Setiap orang berhak menikmati manfaat ruang termasuk pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang” ; Bahwa jika menggunakan Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 tersebut, maka seharusnya penduduk penggantian yang layak atas kondisi yang dialaminya sebagai akibat pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang. Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 sama sekali tidak mengatur dan mewajibkan adanya jual beli sebagai akibat kegiatan pembangunan, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) huruf (c) yang berbunyi : “Setiap orang berhak : ……..
Hal. 21 dari 59 hal. Put. No.24 P/HUM/2007
c. memperoleh penggantian yang layak atas kondisi yang dialaminya sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang” ; Ketentuan dalam Pasal 4 ayat (2) huruf (c) Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 mensyaratkan suatu penggantian yang layak atas kondisi yang dialami para korban. Tidak adanya kelayakan dan pemaksaan jual beli dengan sistem pembayaran bertahap yang tidak dapat membantu korban memulai kehidupan baru menunjukkan pertentangan antara substansi Pasal dengan dasar hukum yang dijadikan rujukannya ; 64. Bahwa
Undang-Undang
No.
23
Tahun
1997
Tentang
Pengelolaan
Lingkungan Hidup, Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi dan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2005 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 3 Tahun 2005 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
Tentang
dijadikan
dasar
Pemerintahan hukum
Daerah
PERPRES
a
menjadi quo,
Undang-Undang
tidak
ada
satupun
yang yang
memaksakan adanya jual beli apabila terjadi akibat dari suatu kegiatan. Sehingga munculnya Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 tidak sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang dijadikan dasar hukumnya yang
menunjukkan
ketiadaan
sinkronisasi
antara
substansi
dengan
landasan hukumnya. Akibatnya Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 menimbulkan ketidakpastian hukum ; 65. Dengan demikian Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 a quo telah bertentangan dengan Pasal 11 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan karenanya harus dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum ; C. Pasal 15 ayat (1) PERPRES No. 14 Tahun 2007 a quo Bertentangan Dengan Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960
Tentang
Pokok-Pokok
Agraria
Juncto
Pasal
1
Peraturan
Pemerintah No. 38 Tahun 1963 Tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah 66. Sebagaimana disebutkan di atas bahwa Pasal 15 ayat (1) PERPRES No. 14 Tahun 2007 a quo berbunyi : “Dalam rangka penanganan masalah sosial kemasyarakatan, PT. Lapindo Brantas membeli tanah dan bangunan masyarakat yang terkena luapan lumpur Sidoarjo dengan pembayaran secara bertahap, sesuai dengan peta
Hal. 22 dari 59 hal. Put. No.24 P/HUM/2007
area terdampak tanggal 22 Maret 2007 dengan akta jual beli bukti kepemilikan tanah yang mencantumkan luas tanah dan lokasi yang disahkan oleh Pemerintah” ; 67. Bahwa Pasal tersebut telah mengatur adanya kewajiban Lapindo Brantas untuk membeli tanah dan bangunan masyarakat yang terkena lumpur. Dengan jual beli tersebut berarti pula terjadi adanya perpindahan hak milik para korban lumpur menjadi milik Lapindo Brantas Inc. setelah jual beli dilakukan ; 68. Bahwa hal tersebut jelas-jelas sangat bertentangan dengan hukum agraria. Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria menyebutkan : Pasal 21 ayat (1) : “Hanya Warga Negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik” ; Pasal 21 ayat (2) : “Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya” ; 69. Bahwa
berdasarkan
ketentuan
tersebut,
maka
hanya
warga
negara
Indonesia dan badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah yang dapat mempunyai hak milik atas tanah ; 70. Bahwa ketentuan lebih lanjut tentang hal tersebut diatur dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963 Tentang Penunjukan BadanBadan Hukum yang Dapat Mempunyai Hak Milik atas Tanah, yang berbunyi : “Badan-Badan Hukum yang disebut dibawah ini dapat mempunyai hak milik atas tanah masing-masing dengan pembatasan yang disebutkan pada Pasal-Pasal 2, 3 dan 4 peraturan ini : a. Bank-bank yang didirikan oleh Negara (selanjutnya disebut Bank Negara) ; b. Perkumpulan-perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan berdasar atas Undang-Undang No. 79 Tahun 1958 (Lembaran Negara Tahun 1958 No. 139) ; c. Badan-badan keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Agama ; d. Badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial” ; 71. Bahwa Lapindo Brantas Inc. bukanlah badan hukum yang bergerak dibidang sosial dan keagamaan dan tidak termasuk dalam semua kategori badan
Hal. 23 dari 59 hal. Put. No.24 P/HUM/2007
hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963 tersebut di atas. Karenanya jelaslah bahwa Lapindo Brantas Inc. maupun PT. Minarak Lapindo Jaya yang bertindak mewakili Lapindo Brantas Inc. tidak mempunyai hak hukum apapun untuk melakukan jual beli yang pada akhirnya memiliki hak atas tanah dan bangunan akibat jual beli yang dilakukan ; 72. Bahwa jelas, perjanjian berupa jual beli tanah yang diatur dalam PERPRES No. 14 Tahun 2007 secara nyata bertentangan dengan konsep hak milik atas tanah yang diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Dalam UUPA dikatakan bahwa yang dapat memperoleh hak milik atas tanah adalah Warga Negara Indonesia (WNI) dan
badan-badan
hukum
yang
ditunjuk
oleh
Peraturan
Pemerintah.
Sementara menurut Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963 yang mengatur tentang badan-badan hukum mana saja yang dapat memperoleh hak milik, tidak memberikan kemungkinan untuk Lapindo Brantas Inc. sebagai pemegang hak milik atas tanah. Dengan adanya pertentangan dengan hukum agraria yang berlaku, jual beli atas tanah ini melanggar asas kebebasan berkontrak karena menyalahgunakan adanya prinsip ini, prinsip kebebasan berkontrak harus dijalankan dengan tidak boleh mengabaikan norma hukum yang berlaku. Undang-Undang merupakan tolak ukur yang pertama dan terutama, karena hukum mempunyai supremasi dan selalu dianggap bahwa ketentuan-ketentuan hukum merupakan bagian yang integral
dalam
setiap
perjanjian.
Karenanya
para
pihak
tidak
boleh
memasukkan syarat-syarat yang bertentangan dengan hukum. Oleh karena itu, perjanjian jual beli ini tidak sah menurut hukum ; 73. Bahwa dengan demikian ketentuan Pasal 15 ayat (1) PERPRES No. 14 Tahun 2007 a quo telah bertentangan dan tidak sesuai dengan UndangUndang No. 5 Tahun 1960 jo. Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963 tersebut di atas. Oleh karenanya Pasal 15 ayat (1) PERPRES No. 14 Tahun 2007 a quo harus dinyatakan batal demi hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum ; 74. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, Pasal 15 ayat (1) PERPRES No. 14 Tahun 2007 a quo berbunyi sebagai berikut : “Dalam rangka penanganan masalah sosial kemasyarakatan, PT. Lapindo Brantas membeli tanah dan bangunan masyarakat yang terkena luapan lumpur Sidoarjo dengan pembayaran secara bertahap, sesuai dengan peta area terdampak tanggal 22 Maret 2007 dengan akta jual beli bukti
Hal. 24 dari 59 hal. Put. No.24 P/HUM/2007
kepemilikan tanah yang mencantumkan luas tanah dan lokasi yang disahkan oleh Pemerintah” ; 75. Kemudian Pasal 15 ayat (2) PERPRES No. 14 Tahun 2007 berbunyi sebagai berikut : “Pembayaran bertahap yang dimaksud, seperti yang telah disetujui dan dilaksanakan pada daerah yang termasuk dalam peta area terdampak 4 Desember 2006, 20 % (dua puluh perseratus) dibayarkan dimuka dan sisanya dibayarkan paling lambat sebulan sebelum masa kontrak rumah 2 (dua) tahun habis” ; 76. Bahwa ketentuan tersebut di atas telah memaksakan adanya jual beli tanah dan bangunan masyarakat yang terkena lumpur Lapindo oleh Lapindo Brantas Inc. Padahal hak milik diakui dan dilindungi secara hukum dalam berbagai peraturan perundang-undangan antara lain : Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang berbunyi : “Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6” ; Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, yang berbunyi : “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan hak miliknya” ; Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, yang berbunyi : “Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, keluarga, bangsa dan masyarakat, dengan cara yang tidak melanggar hukum” ; Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, yang berbunyi : “Tidak seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dengan secara melawan hukum” ; 77. Bahwa jelaslah bahwa hak milik merupakan hak yang harus dihormati dan dilindungi menurut hukum. Tidak ada pihak manapun yang diperbolehkan untuk memaksa adanya peralihan hak, termasuk jual beli, atas suatu hak milik ; 78. Bahwa Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) PERPRES No. 14 Tahun 2007 a quo nyata-nyata dijadikan dasar bagi Lapindo Brantas Inc. untuk membeli tanah milik korban lumpur Lapindo, sementara para korban berada dalam
Hal. 25 dari 59 hal. Put. No.24 P/HUM/2007
keterpaksaan untuk menerima jual beli tersebut karena keterdesakan korban. Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) PERPRES No. 14 Tahun 2007 a quo memberikan keadaan ketiadaan pilihan bagi para korban, yakni para korban harus menjual tanahnya jika tidak maka tidak akan mendapatkan apapun ; 79. Dengan demikian, ketentuan Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) PERPRES No. 14 Tahun 2007 yang telah memaksa peralihan hak milik merupakan bentuk kesewenang-wenangan dan melanggar Hak Asasi Manusia, karenanya bertentangan dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang PokokPokok Agraria jo. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Oleh sebab itu, Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) PERPRES No. 14 Tahun 2007 harus dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum ; E. Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) PERPRES No. 14 Tahun 2007 a quo Bertentangan Dengan Pasal 570 KUHPerdata 80. Sebagaimana disebutkan, Pasal 15 ayat (1) PERPRES No. 14 Tahun 2007 a quo berbunyi : “Dalam rangka penanganan masalah sosial kemasyarakatan, PT. Lapindo Brantas membeli tanah dan bangunan masyarakat yang terkena luapan lumpur Sidoarjo dengan pembayaran secara bertahap, sesuai dengan peta area terdampak tanggal 22 Maret 2007 dengan akta jual beli bukti kepemilikan tanah yang mencantumkan luas tanah dan lokasi yang disahkan oleh Pemerintah” ; 81. Kemudian Pasal 15 ayat (2) PERPRES No. 14 Tahun 2007 a quo berbunyi : “Pembayaran bertahap yang dimaksud, seperti yang telah disetujui dan dilaksanakan pada daerah yang termasuk dalam peta area terdampak 4 Desember 2006, 20 % (dua puluh perseratus) dibayarkan dimuka dan sisanya dibayarkan paling lambat sebulan sebelum masa kontrak rumah 2 (dua) tahun habis” ; 82. Bahwa jual beli sebagaimana Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) PERPRES No. 14 Tahun 2007 tersebut melanggar berbagai ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yakni Pasal 570 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi : “Hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya,…….” ; 83. Ketentuan tersebut di atas memiliki arti bahwa seseorang yang mempunyai hak milik atas suatu benda berhak berbuat bebas dengan kedaulatan sepenuhnya. Artinya, pemilik tanah dan bangunan berhak menentukan
Hal. 26 dari 59 hal. Put. No.24 P/HUM/2007
apakah tanah dan bangunannya mau dijual, berapa harga jualnya dan bagaimana cara pembayarannya. Sementara itu, Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 telah memaksa pemilik tanah dan bangunan menerima konsep dalam jual beli dan pembayaran dalam PERPRES tersebut jika tidak maka tidak akan mendapatkan apa-apa. Akhirnya, pemilik tanah dan bangunan tidak lagi memiliki kedaulatan atas hak miliknya ; 84. Bahwa tanah dan bangunan masyarakat yang terkena luapan lumpur Sidoarjo merupakan hak milik yang dapat dinikmati pemiliknya dengan leluasa dan untuk berbuat bebas dengan kedaulatan sepenuhnya. Hal ini berarti bahwa hak milik berupa tanah dan bangunan yang dimiliki oleh warga tersebut merupakan hak yang terkuat yang tidak bisa dikurangi tanpa persetujuan dari pemilik hak tersebut ; 85. Bahwa PERPRES No. 14 Tahun 2007 secara sepihak mengatur tentang hak milik berupa tanah dan bangunan masyarakat yang berimplikasi pada berubahnya status kepemilikan tersebut.Artinya, warga sebagai pemilik tidak bisa lagi menikmati kegunaan kebendaan dengan leluasa, berbuat bebas terhadap kebendaan tersebut dan tidak lagi berdaulat sepenuhnya atas benda (bangunan dan tanah) tersebut. Oleh karenanya Pasal 15 ayat (1) PERPRES No. 14 Tahun 2007 harus dinyatakan batal demi hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum ; F. Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) PERPRES No. 14 Tahun 2007 a quo Bertentangan Dengan Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUHPerdata juncto Pasal 6 ayat (1) huruf (g) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan 86. Pasal 15 ayat (1) PERPRES No. 14 Tahun 2007 a quo berbunyi : “Dalam rangka penanganan masalah sosial kemasyarakatan, PT. Lapindo Brantas membeli tanah dan bangunan masyarakat yang terkena luapan lumpur Sidoarjo dengan pembayaran secara bertahap, sesuai dengan peta area terdampak tanggal 22 Maret 2007 dengan akta jual beli bukti kepemilikan tanah yang mencantumkan luas tanah dan lokasi yang disahkan oleh Pemerintah” ; 87. Pasal 15 ayat (2) PERPRES No. 14 Tahun 2007 a quo berbunyi : “Pembayaran bertahap yang dimaksud, seperti yang telah disetujui dan dilaksanakan pada daerah yang termasuk dalam peta area terdampak 4 Desember 2006, 20 % (dua puluh perseratus) dibayarkan dimuka dan sisanya dibayarkan paling lambat sebulan sebelum masa kontrak rumah 2 (dua) tahun habis” ;
Hal. 27 dari 59 hal. Put. No.24 P/HUM/2007
88. Bahwa jual beli sebagaimana Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) PERPRES No. 14 Tahun 2007 tersebut melanggar Pasal 1320 KUHPerdata ; 89. Bahwa Pasal 1320 KItab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menyebutkan : “Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat : 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya ; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan ; 3. Suatu hal tertentu ; 4. Suatu sebab yang halal ; 90. Bahwa jual beli merupakan perbuatan hukum berupa perikatan, yang karenanya harus mengikuti asas-asas yang berlaku. Asas-asas yang terdapat dalam hukum perikatan antara lain : 1. Asas kebebasan berkontrak (contractvrijheid) ; 2. Asas pacta sun servanda (asas kekuatan mengikat) ; 3. Asas konsensualisme ; 4. Asas sukarela ; 5. Asas itikad baik ; 6. Asas kepercayaan ; 7. Asas kesetaraan ; 8. Asas unconsionability ; 9. Asas subsideritas ; 10. Asas kebersamaan ; 11. Asas keuntungan timbal balik ; 12. Asas sukarela ; 13. Asas desentralisasi ; 91. Bahwa sifat Hukum Perikatan adalah menganut sistem terbuka yakni Hukum Perikatan memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak
melanggar
ketertiban
umum
dan
kesusilaan.
Tidak
melanggar
ketertiban umum juga dapat ditafsirkan sebagai tidak melanggar norma hukum lain atau peraturan perundang-undangan diatasnya. Pasal-Pasal dari hukum perikatan merupakan hukum pelengkap (optional law), yang berarti bahwa Pasal-Pasal itu boleh disingkirkan manakala dikehendaki oleh pihakpihak yang membuat suatu perjanjian. Mereka diperbolehkan membuat ketentuan-ketentuan
sendiri
yang
mereka
kehendaki
dengan
tetap
memperhatikan ketertiban umum dan kesusilaan. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak yang bebas sebagai pancaran dari hak asasi
Hal. 28 dari 59 hal. Put. No.24 P/HUM/2007
manusia. Asas kebebasan berkontrak berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan “apa” dan dengan “siapa” perjanjian diadakan. Artinya isi dari perjanjian seharusnya diserahkan sepenuhnya kepada para pihak yang terlibat. Menurut Prof.R.Subekti, SH. dan R. Tjitrosudibio, suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum. Sedangkan menurut Engelbrecht System, suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum ; Bahwa Asas Kebebasan Berkontrak mempunyai unsur-unsur sebagai berikut : a. Kebebasan untuk membuat (menutup) perjanjian atau tidak membuat (menutup) perjanjian ; b. Kebebasan untuk memilih dengan siapa orang akan mengadakan perjanjian ; c. Kebebasan untuk menentukan bentuk perjanjian ; d. Kebebasan untuk menentukan isi dan persyaratan perjanjian ; e. Kebebasan untuk menentukan cara/prosedur pembuatan perjanjian ; Bahwa dengan melihat isi dari Pasal 15 ayat (1) PERPRES No. 14 Tahun 2007,
frasa
“PT.
Lapindo
Brantas
membeli
tanah
dan
bangunan
masyarakat” telah jelas bahwa system penggantian dan pembayaran terhadap bangunan dan tanah berupa Perjanjian Jual Beli antara Lapindo Brantas dengan korban lumpur. Dengan demikian maka perjanjian jual beli yang akan dilakukan harus mengacu pada ketentuan perundang-undangan dalam hal ketentuan mengenai perikatan sebagaimana dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan memenuhi asas kebebasan berkontrak ; Bahwa PERPRES No. 14 Tahun 2007 dalam Pasal 15 ayat (1) merupakan kebijakan Pemerintah yang mengatur tentang jual beli antara pihak PT. Lapindo dan korban lumpur Lapindo. Bahwa dalam kenyataannya, kebijakan berupa perpres tersebut tidak dilakukan dengan melibatkan persetujuan korban lumpur Lapindo secara keseluruhan. Padahal perjanjian tersebut akan mengikat individu dari masing-masing korban. Seharusnya perjanjian dibuat antara korban perseorangan dan bukan dalam bentuk kebijakan umum ; Bahwa Perpres tersebut telah menentukan bahwa semua korban harus sepakat dengan perjanjian jual beli, sepakat memilih bentuk perjanjian, menentukan bentuk perjanjian, menentukan isi dan persyaratan perjanjian,
Hal. 29 dari 59 hal. Put. No.24 P/HUM/2007
dan menentukan cara/prosedur pembuatan perjanjian. Padahal tidak semua korban sepakat dengan perpres tersebut. Hal ini bertentangan dengan unsur-unsur dari asas kebebasan berkontrak ; Bahwa korban lumpur Lapindo sangat jelas terlihat dalam posisinya yang lemah dalam perjanjian jual beli tersebut. Dapat kita lihat bahwa bargaining position para korban berada jauh dibawah ketimbang pihak Lapindo. Hal ini ditandai dengan pembayaran yang bertahap, yaitu 20 % dimuka. Pihak korban tidak leluasa lagi, artinya tidak lagi memiliki kehendak dan kemauan bebas, sebagai seorang pihak dalam
perjanjian, dalam menentukan
keinginannya. Seorang korban lumpur, tidak dapat meminta penggantian 100 % secara langsung, kendati ia adalah pihak dalam suatu perjanjian, karena pembayaran tersebut sudah sangat terbatas (restriktif) diatur dalam perpres ini. Hal ini sangat bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak. Pertama para pihak tidak memiliki kemauan yang bebas dalam menentukan sikap dan keinginannya dalam perjanjian tersebut. Kedua kesepakatan yang terbentuk dapat saja terjadi akibat adanya paksaan. Artinya paksaan secara psikis karena korban tidak punya pilihan lain selain menerima uang penggantian secara 20 % dimuka, baru sisanya dibayar kemudian. Padahal suatu perjanjian tidak boleh terbentuk ada suatu kesepakatan yang terpaksa ; 92. Bahwa dalam perjanjian terkandung suatu asas kekuatan mengikat. Terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan akan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral. Asas kekuatan mengikat atau asas pacta sun servanda ini dapat diketahui di dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Bahwa maksud dari asas pacta sun servanda untuk mendapatkan kepastian
hukum
bagi
para
pihak, maka
sejak
dipenuhinya syarat sahya perjanjian sejak saat itu perjanjian mengikat para pihak seperti undang-undang ; 93. Bahwa asas konsensualisme mengandung arti setiap perikatan harus dimulai dengan kesepakatan oleh para pihak. Menurut A. Qirom Syamsudin M, asas konsensualisme mengandung arti bahwa dalam suatu perjanjian cukup ada kata sekapat dari mereka yang membuat perjanjian itu, tanpa diikuti dengan perbuatan hukum lain kecuali perjanjian yang bersifat formal.
Hal. 30 dari 59 hal. Put. No.24 P/HUM/2007
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perjanjian itu sudah mengikat sejak tercapainya kata sepakat mengenai pokok perjanjian ; Bahwa dalam Pasal 1320 KUHPerdata ditentukan bahwa perjanjian atau kontrak tidaklah sah apabila dibuat tanpa adanya consensus atau sepakat dari para pihak yang membuatnya. Dengan mengacu pada asas sukarela, kesepakatan dalam jual beli antara Lapindo Brantas dengan korban lumpur panas harus didasari kesepakatan yang sukarela. Bukan dari keterpaksaan apalagi sebagai akibat hukum berlakunya suatu produk hukum seperti perpres ; Bahwa mengacu pada Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang syarat sah perjanjian, asas konsesualisme menempati urutan pertama, disusul dengan syarat kecakapan, hal tertentu dan sebab yang halal. Kesepakatan (consensus) merupakan syarat sah perjanjian yang subyektif, dimana saat asas ini tidak terpenuhi maka perikatan tersebut dapat dibatalkan ; Bahwa dalam Pasal 1321 KUHPerdata menyatakan bahwa “tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”, sedangkan paksaan yang dimaksud adalah apabila perbuatan itu sedemikian rupa sehingga dapat menakutkan orang yang berpikiran sehat, dan apabila perbuatan dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan sesuatu kerugian yang terang dan nyata (Pasal 1324 ayat (1) KUHPerdata). Dalam hal ini, jual beli antara PT. Lapindo Brantas dengan korban lumpur panas Lapindo bukan berasal dari kehendak yang bebas kedua belah pihak melainkan dari keterpaksaan yang diakibatkan oleh berlakunya PERPRES No. 14 Tahun 2007. Korban ditempatkan pada posisi take it or leave it dimana bila korban tidak menjual tanahnya yang terendam lumpur kepada Lapindo Brantas, korban akan merasa ketakutan akan kerugian
yang
nyata
dan
terang,
yaitu
tidak
mendapat
ganti
rugi
sebagaimana seharusnya didapatkan setiap korban. Korban ditempatkan pada posisi akan kehilangan tanah dan rumahnya tanpa mendapatkan penggantian apa-apa. Keterpaksaan dipihak korban ini bukanlah merupakan kesepakatan yang dimaksud oleh asas konsesualisme yang terkandung dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Dengan kata lain perikatan jual beli sebagaimana yang diatur dalam Pasal 15 ayat (1) PERPRES No. 14 Tahun 2007 melanggar Asas Konsensualisme, sehingga perikatan jual beli tersebut tidak sah menurut hukum ;
Hal. 31 dari 59 hal. Put. No.24 P/HUM/2007
94. Bahwa asas itikad baik ini diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1338 ayat (3) yakni bertindak sebagai pribadi yang baik. Itikad baik dalam pengertian yang subyektif dapat diartikan sebagai kejujuran seseorang, yaitu apa yang terletak pada seseorang pada waktu diadakan perbuatan hukum. Sedangkan itikad baik dalam pengertian obyektif yaitu bahwa pelaksanaan suatu perjanjian itu harus didasarkan pada norma kepatutan atau apa-apa yang dirasakan sesuai dengan yang patut dalam masyarakat ; Bahwa rumusan dari Pasal 1338 ayat (3) tersebut mengidentifikasikan bahwa sebenarnya itikad baik bukan merupakan syarat sahnya suatu kontrak sebagaimana syarat yang terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Unsur itikad baik hanya diisyaratkan dalam hal “pelaksanaan” dari suatu kontrak, bukan pada “pembuatan” suatu kontrak. Sebab unsur “itikad baik” dalam hal pembuatan suatu kontrak sudah dapat dicakup oleh unsur “kausa yang legal” dari Pasal 1320 KUHPerdata tersebut ; Bahwa itikad baik dari kedua belah pihak harus ada mulai sejak pembuatan kontrak/perjanjian sampai dengan selesainya pelaksanaan jual beli tersebut. Yang harus dinotifikasi adalah adanya klausul bahwa pembayaran jual beli dapat dilangsungkan dengan bertahap. Dalam konsep jual beli tanah menurut hukum agraria nasional yang mengadopsi dari konsep hukum adat atas tanah, jual beli tanah harus dilaksanakan dengan lunas (tunai), bila ada kekurangan pembayaran harus dianggap sebagai hutang piutang. Sehingga itikad baik ini harus ada mulai sejak pembuatan perjanjian jual beli hingga pelunasan pembayaran ; 95. Bahwa asas itikad baik sangat erat kaitannya dengan asas kepercayaan (vertrouwensbeginsel). 96. Bahwa tujuan asas unconscionability adalah untuk mencegah penindasan dan kejutan yang tidak adil. Menurut Sutan Remy Sjahdeini unconscionable artinya
bertentangan
dengan
hati
nurani.
Perjanjian-perjanjian
unconscionable seringkali digambarkan sebagai perjanjian-perjanjian yang sedemikian tidak adil (unfair) sehingga dapat mengguncangkan hati nurani Pengadilan (Hakim) atau shock the conscience of the court. Sebenarnya terhadap asas ini tidak mungkin diberikan arti yang tepat, yang diketahui hanyalah tujuannya yaitu untuk mencegah penindasan dan kejutan yang tidak adil ; Bahwa menurut Mariam Darus Badrulzaman, unconscionability atau doktrin ketidakadilan adalah suatu doktrin dalam ilmu hukum kontrak yang
Hal. 32 dari 59 hal. Put. No.24 P/HUM/2007
mengajarkan bahwa suatu kontrak batal atau dapat dibatalkan oleh pihak yang dirugikan manakala dalam kontrak tersebut terdapat klausula yang tidak adil dan sangat memberatkan salah satu pihak, meskipun kedua belah pihak telah menandatangani kontrak yang bersangkutan. Biasanya doktrin ketidakadilan (unconscionability) ini mengacu pada posisi tawar menawar dalam kontrak tersebut yang sangat berat sebelah karena tidak terdapat pilihan dari pihak yang dirugikan disertai dengan klausula dalam kontrak yang sangat tidak adil sehingga memberikan keuntungan yang tidak wajar bagi pihak lain ; Bahwa dalam Pasal 15 ayat (2) PERPRES No. 14 Tahun 2007 menyatakan pembayaran bertahap yang dimaksud, seperti yang telah disetujui dan dilaksanakan pada daerah yang termasuk dalam peta area terdampak 4 Desember 2006, 20 % (dua puluh perseratus) dibayarkan di muka dan sisanya dibayarkan paling lambat sebulan sebelum masa kontrak rumah 2 (dua) tahun habis. Ketentuan ini telah jelas memberatkan salah satu pihak yaitu warga yang tanah dan bangunannya tenggelam akibat luapan lumpur. Warga ini hanya mendapatkan 20 % pada tahap dari total nilai jual beli yang terjadi. Sementara warga telah menyerahkan sertifikat tanahnya ; Bahwa setelah pembayaran ganti rugi selesai dilakukan, Lapindo akan menjadi pemilik area (tanah dan bangunan). Konsekuensinya adalah secara hukum hak atas tanah dan bangunan tersebut akan menjadi milik Lapindo Brantas. Lapindo tidak akan rugi jika membeli tanah rakyat, sebab tanah itu menjadi asset, aktiva tetap. Lapindo bisa menjual kepada pihak manapun yang membutuhkan dimasa depan karena sudah dimiliki oleh Lapindo, meskipun tidak jelas waktu berhentinya semburan lumpur yang akan berimplikasi dengan nilai produktif tanahnya. Dengan demikian Lapindo tidak akan terbebas dalam membayaran ganti kerugian riil yang diderita masyarakat
korban
karena
skema
perjanjian
dengan
menggunakan
prespektif ganti kerugian namun dengan maksud untuk melepaskan hak atas tanahnya ; Bahwa hingga kini tidak diketahui nilai kandungan mineral di dalam tanah yang telah terendam lumpur. Jika saja semburan lumpur berhenti, maka Lapindo Brantas yang telah melakukan jual beli tanah dan bangunan dengan masyarakat akan dapat mengambil keuntungan luar biasa dari kandungan mineral di areal yang begitu luasnya ; Bahwa dengan demikian, telah terjadi ketidakadilan dalam proses jual beli tersebut. Sementara itu Pasal 6 ayat (1) huruf (g) Undang-Undang No. 10
Hal. 33 dari 59 hal. Put. No.24 P/HUM/2007
Tahun
2004
Tentang
Pembentukan
Peraturan
Perundang-undangan
mensyaratkan asas keadilan dalam aturan perundang-undangan ; 97. Bahwa asas kesetaraan menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan, jabatan dan lain-lain. Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan. Asas ini dimaksudkan agar perikatan dapat memberikan keuntungan yang adil bagi semua pihak. Kesetaraan ini diperlukan demi terciptanya bargaining power yang seimbang antara penjual dan pembeli, bahwa diantara mereka terdapat dependencia relations (hubungan saling ketergantungan) antara keduanya sehingga tidak ada pihak yang ditindas ataupun diekspoitasi. Mengingat selalu ada perbedaan struktural dalam kemasyarakatan, untuk mencapai asas kesetaraan ini, diperlukan perlindungan bagi pihak yang secara struktural lebih lemah, agar tercipta kesetaraan yang mencapai keadilan ; Perikatan jual beli tanah ini secara nyata bertentangan dengan Asas Kesetaraan dan menciderai hati nurani. Para pihak dalam jual beli ini tidaklah berada di posisi yang setara. Pihak korban yang menjadi penjual menduduki posisi lebih rendah daripada pihak pembeli yaitu Lapindo Brantas.Para pihak tidak memiliki dependencia relations, tapi hanya berupa ketergantungan
disalah
satu
pihak
yaitu
pihak
korban.
Bentuk
ketergantungan ini adalah berupa penggantian yang seharusnya berupa ganti kerugian, bukan bentuk pembelian atas hak milik atas tanahnya yang terendam
lumpur.
Hubungan
ketergantungan
(yang
bukan
saling
ketergantungan) antara satu pihak dengan pihak lainnya ini mengakibatkan pihak yang tergantung tidak memiliki posisi tawar dalam jual beli tersebut ; Dengan tidak seimbangnya kedudukan antara kedua belh pihak jual beli yang mengakibatkan posisi tawar yang timpang, tentunya mengakibatkan ketidakadilan sebagaimana diuraikan dalam asas unconscionable. Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa jual beli melanggar Asas Kesetaraan dan Doktrin Ketidakadilan yang bertentangan dengan hati nurani, sehingga jual beli tidak sah menurut hukum ; Bahwa dalam kenyataannya korban lumpur Lapindo saat ini dalam posisi yang lemah jika dibandingkan dengan pihak lain dalam hal ini PT. Lapindo Brantas. PERPRES No. 14 Tahun 2007 malah justru memperlemah posisi korban dengan adanya pemaksaan atas sistem jual beli atas tanah dan
Hal. 34 dari 59 hal. Put. No.24 P/HUM/2007
bangunan korban lumpur Lapindo. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi pelanggaran atas asas kesetaraan dalam mekanisme di PERPRES No. 14 Tahun 2007 ; Bahwa asas kesetaraan dimaksudkan agar perikatan dapat memberikan keuntungan yang adil bagi semua pihak. Kesetaraan ini diperlukan demi terciptanya bargaining power yang seimbang antara penjual dan pembeli, bahwa diantara mereka terdapat dependencia relations (hubungan saling ketergantungan) antara keduanya sehingga tidak ada pihak yang ditindas ataupun dieksploitasi. Dapat kita lihat bahwa bargaining position para korban berada jauh dibawah ketimbang pihak Lapindo. Hal ini ditandai dengan pembayaran yang bertahap, yaitu 20 % dimuka. Pihak korban tidak leluasa lagi, artinya tidak lagi memiliki kehendak dan kemauan yang bebas, sebagai seorang pihak dalam perjanjian, dalam menentukan keinginannya. Seorang korban lumpur, tidak dapat meminta penggantian 100 % secara langsung,
kendati
ia
adalah
pihak
dalam
suatu
perjanjian,
karena
pembayaran tersebut sudah sangat terbatas (restriktif) diatur didalam PERPRES ini. Selain pelanggaran atas asas kesetaraan, juga bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak karena para pihak tidak memiliki kemauan yang bebas dalam menentukan sikap dan keinginannya dalam perjanjian tersebut. Kesepakatan yang terbentuk dapat saja terjadi akibat adanya paksaan. Artinya paksaan secara psikis karena korban tidak punya pilihan lain selain menerima uang penggantian secara 20 % dimuka, baru sisanya dibayar kemudian. Padahal suatu perjanjian tidak boleh terbentuk ada suatu kesepakatan yang terpaksa ; 98. Bahwa dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) PERPRES No. 14 Tahun 2007 tidak menyiratkan asas kebebasan berkontrak, karena peraturan itu dibuat oleh Presiden tanpa melibatkan atau berdiskusi terlebih dahulu dengan para korban umumnya atau dengan Para Pemohon khususnya ; 99. Bahwa perikatan tidak akan terjadi, apabila tidak ada perjanjian. Didalam perjanjian terkandung asas kekuatan mengikat. Asas kekuatan mengikat atau asas facta sun servanda ini dapat diketahui dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan : “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya” ; Bahwa Pasal 1320 KUHPerdata menentukan bahwa perjanjian atas kontrak tidaklah sah, apabila dibuat tanpa adanya konsensus atau sepakat dari para pihak yang membuatnya. Dalam Pasal 15 ayat (1) dan
Hal. 35 dari 59 hal. Put. No.24 P/HUM/2007
ayat (2) PERPRES No. 14 Tahun 2007 tidak ada konsensus dari para pihak, dalam hal ini PT. Lapindo Brantas dan para korban pada umumnya, dan dengan para Pemohon pada khususnya ; 100.
Bahwa dengan demikian, jelaslah bahwa pemaksaan adanya jual beli terhadap bangunan dan tanah sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) PERPRES No. 14 Tahun 2007 a quo melanggar syarat sah perjanjian, asas kebebasan berkontrak dan asas keadilan sebagaimana dimaksud Pasal 1320 jo. Pasal 1338 KUHPerdata jo. Pasal 6 ayat (1) huruf (g) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004, karenanya harus dinyatakan batal demi hukum ;
G. Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) PERPRES No. 14 Tahun 2007 a quo Bertentangan Dengan Pasal 71, Pasal 67 dan Pasal 69 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Terkait dengan Tanggung Jawab Negara Terutama Pemerintah Dalam Perlindungan, Pemajuan, Penegakan dan Pemenuhan Hak Asasi Manusia 101.
Bahwa Konstitusi Indonesia juga secara tegas memberikan pernyataan tentang jaminan hak asasi manusia. Dalam tingkat Undang-Undang juga mengatur tentang jaminan hak asasi manusia khususnya UndangUndang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Indonesia juga telah
meratifikasi
sejumlah
konvensi
internasional
diantaranya
Convention on Elimination All Forms Discrimination Against Women (CEDAW), Konvensi Anti Penyiksaan (CAT), Konvensi Anti Diskriminasi Rasial dan lain sebagainya. Pada tahun 2005 Indonesia meratifikasi dua konvenan utama yakni International Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan International Convenant on Economic, Social dan Cultural Rights (ICESCR) ; 102.
Bahwa Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 281 menegaskan tentang tanggungjawab
untuk
perlidungan,
pemajuan,
penegakan
dan
pemenuhan hak asasi manusia merupakan tanggung jawab negara terutama Pemerintah ; 103.
Bahwa kewajiban ini diperkuat dengan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang dalam Pasal 71 menyatakan bahwa
Pemerintah
wajib
dan
bertanggung
jawab
menghormati,
melindungi, menegakkan dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam hukum Undang-Undang Hak Asasi Manusia dan undang-undang lainnya, dan hukum internasional tentang Hak Asasi Manusia yang diterima oleh Negara Republik Indonesia ;
Hal. 36 dari 59 hal. Put. No.24 P/HUM/2007
104.
Bahwa Pasal 72 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
menyatakan
kewajiban
dan
tanggung
jawab
Pemerintah
tersebut meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain. Selain menempatkan Negara berkewajiban untuk melindungi, menegakkan dan memajukan hak asasi manusia, Pasal 67 dan
Pasal
69
menentukan
bahwa
setiap
warga
negara
juga
berkewajiban untuk patuh pada peraturan perundang-undangan, hukum tak tertulis dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh Negara Republik Indonesia dan wajib menghormati hak asasi manusia orang lain, moral, etika dan tata tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara ; 105.
Bahwa berdasarkan atas sejumlah regulasi tentang hak asasi manusia di Indonesia,
tanggung
penghormatan khususnya
hak
jawab
asasi
Pemerintah.
pemenuhan,
perlindungan
dan
manusia
merupakan
kewajiban
negara
Pemerintah
dalam
penghormatan
dan
perlidungan kepada hak asasi manusia tidak terbatas pada regulasi yang telah
diatur
secara
nasional
tetapi
juga
ketentuan
dan
norma
internasional yang telah diterima oleh Indonesia. Dengan demikian, selain harus mengacu pada hukum nasional, Pemerintah juga harus mengacu pada sejumlah instrument internasional tentang hak asasi manusia ; 106.
Bahwa penghormatan, penegakan dan perlindungan hak asasi manusia juga menjadi kewajiban bagi setiap warga negara. Artinya, bahwa selain Pemerintah
setiap
warga
negara
berkewajiban
untuk
melakukan
tindakan-tindakan untuk penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia. Setiap warga negara dapat diartikan juga mencakup entitas diluar
Pemerintah,
misalnya
perusahaan.
Dengan
demikian,
sebagaimana dalam norma internasional, suatu perusahaan (korporasi) juga
mempunyai
kewajiban
untuk
melakukan
perlindungan
dan
penegakan hak asasi manusia ; 107.
Bahwa terkait dengan kewajiban negara dalam konteks terjadinya pelanggaran hak asasi manusia, negara harus melakukan langkah efektif untuk memastikan adanya pemulihan kepada para korban. Negara, dalam hal ini Pemerintah harus memastikan bahwa para korban mempunyai
akses
untuk
keadilan
termasuk
melakukan
langkah
Hal. 37 dari 59 hal. Put. No.24 P/HUM/2007
administratif, langkah-langkah yudisial atau melakukan kebijakan untuk memberikan pemulihan kepada korban ; 108.
Bahwa langkah-langkah administratif adalah melakukan serangkaian tindakan untuk memastikan bahwa Pemerintah melakukan tindakan untuk memastikan adanya saksi secara administratif kepada pelaku pelanggaran dan tindakan-tindakan lainnya. Tindakan administratif ini misalnya terdapat dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 27 UndangUndang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. yang memberikan berbagai bentuk sanksi administrarif atas terjadinya pelanggaran terhadap lingkungan hidup ;
109.
Bahwa
langkah-langkah
yudisial
dilakukan
dalam
hal
terjadinya
pelanggaran yang menimbulkan korban, maka mekanisme penuntutan kepada pelaku dan gugatan perdata harus dilakukan untuk menentukan pertanggungjawaban pelakunya. Sejumlah regulasi yang menyentuh aspek pertanggungjawaban untuk pemulihan kepada korban telah dilakukan misalnya terhadap para korban kejahatan dengan adanya Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlidungan Saksi dan Korban yang mewajibkan adanya kompensasi, restitusi, bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psiko social ; 110.
Bahwa
Pemerintah
dalam
kasus
semburan
lumpur
Lapindo
mengeluarkan kebijakan yang berimplikasi pada tanah dan bangunan masyarakat yang terkena luapan lumpur. Padahal masyarakat yang terkena luapan lumpur dari data dan analisa, telah kelihatan kerusakan dan karateristik kerugian ekonomi yang telah muncul, yang bukan semata-mata kerugian kehilangan tanah dan bangunan. Besarnya dampak
semburan
lumpur
tersebut
memunculkan
persoalan
pelanggaran hak asasi manusia dalam berbagai kategori diantaranya pelanggaran atas hak milik, hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan, hak kesehatan, hak-hak anak, hak atas lingkungan hidup dan lainnya. Pelanggaran
hak-hak
ini
akan
semakin
panjang
jika
tidak
ada
penanganan jangka panjang dengan konsep yang jelas dan terarah ; 111.
Bahwa berdasarkan identifikasi atas pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi, kerugian ekonomi yang timbul sebetulnya telah dapat dikalkulasi. Kerugian tiap korban dapat berbeda-beda bergantung pada pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi, latar belakang korban, dan juga kondisi sosial yang ada. Selain kerugian individu para korban yang dapat berbeda-beda tersebut, ada juga kerugian kolektif yang dialami
Hal. 38 dari 59 hal. Put. No.24 P/HUM/2007
oleh para korban seperti hilangnya ikatan sosial dan terusirnya korban dari komunitasnya ; 112.
Bahwa para korban semburan lumpur adalah korban langsung atau korban tidak langsung yang terkena dampak semburan lumpur. Selama ini yang dilihat sebagai korban langsung adalah pihak-pihak yang tanah dan bangunan rumah, dan sawah terendam lumpur. Padahal, jika dilihat dari kenyataan saat ini para korban adalah juga pihak-pihak yang kehilangan mata pencaharian sebagai akibat lanjutan dari dampak semburan. Pihak-pihak ini adalah misalnya tenaga kerja yang selama ini mendasarkan pada perusahaan yang telah terendam, dan pekerjaan yang dilakukan dilokasi yang terkana dampak, anak-anak yang tidak cukup mendapatkan gizi yang memadai karena tinggal di pengungsian, atau menjadi korban perdagangan manusia (human trafficking) karena ketiadaan pekerjaan dan kebutuhan untuk menunjang hidup ;
113.
Bahwa dari karakteristik korban tersebut, para korban bukan hanya individual tetapi kolektif. Bentuk pemulihan terhadap karakteristik korban yang demikian, bentuk pemulihan seharusnya mencakup ganti rugi material (material restitution), penggantian kerugian ekonomi (economic indemnification),
pemulihan
psikososial
(psychosicial
reparation),
rehabilitasi dan langkah-langkah untuk memulihkan martabat para korban (rehabilitation and dignifying measures for victims) dan pemulihan kultural (cultural reparation) ; 114.
Bahwa langkah-langkah untuk ganti rugi material (material restitution) bertujuan untuk menegakkan kembali (reestablish) situasi/kondisi korban sebelum pelanggaran terjadi atau untuk mengganti kerugian yang diakibatkan oleh pelanggaran. Fokus ganti kerugian material ini adalah restitusi
lahan/tanah
perumahan
(land
restitution),
(housing provision)
dan
penyediaan
dan
investasi/keuntungan
penataan produktif
(productive investment). Bentuk pemulihan ini diperlukan karena para korban menghadapi kerugian kesempatan produktif yang serius akibat dari pelanggaran yang terjadi ; 115.
Bahwa
terkait
dengan
economic
indemnification,
skema
untuk
mengupayakan kelangsungan hidup para korban perlu dilakukan secara terus menerus untuk memastikan bahwa selama para korban sebelum memperoleh pekerjaan maka perlu diberikan kompensasi. Skema jatah hidup perbulan harus terus dilakukan sampai pada batas dimana korban telah mampu menghidupi kembali dirinya dan atau kerluargannya. Perlu
Hal. 39 dari 59 hal. Put. No.24 P/HUM/2007
diklasifikasikan antara korban dalam usia produktif dengan korban yang tidak mampu lagi bekerja dan tidak bisa disamaratakan. Pembedaan ini penting karena masing-masing korban mempunyai tanggungan dan kebutuhan hidup yang berbeda ; 116.
Bahwa setidaknya berdasarkan data kerugian yang bisa diperhitungkan secara ekonomi, ganti kerugian ini harus mencakup kerugian : a. Harta benda, yakni kerugian harta benda milik korban mencakup tanah dan bangunan rumah serta benda lain yang tidak bisa diselamatkan ; b. Pekerja dan usaha, kerugian akibat kehilangan mata pencaharian dan kemampuan mencari nafkah. Kerugian ini termasuk kerugian atas keuntungan yang hilang atau kerugian yang diakibatkan pada kerusakan pada prospek profesi dan ekonomi ; c. Kesempatan yang hilang, termasuk pendidikan. Hal ini juga terkait dengan akses pendidikan dan perpindahan sekolah karena dalam pengungsian ; d. Biaya pengobatan, yakni kerugian akibat luka atau penyakit yang dialami akibat kesakitan, penderitaan dan tekanan batin ; e. Transportasi, kerugian yang dialami oleh korban selama proses pemindahan dan biaya transportasi lain yang harus ditanggung karena perpindahan warga dari lokasi semula ke pengungsian atau lokasi baru. Kerugian ini juga harus mencakup pembengkakan biaya transportasi lainnya karena korban terpaksa berpindah ke tempat baru dan berkonsekuensi kepada biaya transportasi ke tempat kerja dan transportasi anak-anak menuju lokasi sekolah ; f.
Berdasarkan atas tipologi kasus yang terjadi, para korban tidak mungkin lagi kembali ke tempat semula sehingga kebutuhan untuk adanya
relokasi
ke
tempat
lain
menjadi
hal
yang
perlu
dipertimbangkan. Relokasi ini bukan semata-mata rekolasi yang bersifat individual tetapi juga rekolasi yang bersifat kolektif ; 117.
Bahwa langkah-langkah lainnya yang harus dilakukan adalah perhatian khusus untuk adanya reparasi dan rehabilitasi psikososial (psycosicial reparation and rehabilitation) yang ditujukan untuk memberikan bantuan psikologis kepada para korban termasuk korban perempuan dan anakanak. Bahwa saat ini terdapat situasi yang akan memunculkan depresi massal jika Pemerintah berdiam diri dan tidak menyelesaikan masalah
Hal. 40 dari 59 hal. Put. No.24 P/HUM/2007
lumpur karena kondisi mental para korban semburan lumpur saat ini semakin parah ; 118.
Bahwa Pemerintah mengeluarkan kebijakan PERPRES No. 14 Tahun 2007 yang membatasi tanggung jawab untuk memulihkan para korban dengan
menyatakan
bahwa
penanganan
masalah
sosial
kemasyarakatan dilakukan mekanisme jual beli tanah dan bangunan. Padahal kerugian korban (masyarakat) yang terkena semburan lumpur bukan hanya tanah dan bangunan ; 119.
Bahwa telah jelas Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 bukan merupakan
kebijakan
yang
memberikan
perlindungan,
pemajuan,
penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia dan sebaliknya justru melanggar hak asasi manusia ; 120.
Dengan demikian, Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 bertentangan dengan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu, Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 harus dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum ; Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut diatas
para Pemohon mohon
Kepada Bapak Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk berkenan memeriksa, mengadili dan selanjutnya memutuskan permohonan ini dengan amar putusan yang pada pokonya sebagai berikut : 1. Mengabulkan permohonan keberatan para Pemohon untuk seluruhnya ; 2. Menyatakan Pasal 15 ayat (1), (2), (3) dan (4) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2007 Tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo bertentangan dengan undang-undang ; 3. Menyatakan Pasal 15 ayat (1), (2), (3) dan (4) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2007 Tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo tidak sah dan tidak memiliki keberlakukan hukum ; Menimbang, bahwa terhadap Permohonan Keberatan Hak Uji Materiil dari para Pemohon tersebut, Termohon Presiden Republik Indonesia melalui kuasanya Jaksa Pengacara Negara pada Kejaksaan Agung Republik Indonesia telah mengajukan jawaban tertanggal 5 November 2007 sebagai berikut : A. Mahkamah Agung Tidak Memiliki Kewenangan Untuk Memeriksa Permohonan A Quo 1. Bahwa di dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil dinyatakan : “Dalam Peraturan Mahkamah Agung ini, yang dimaksud dengan :
Hal. 41 dari 59 hal. Put. No.24 P/HUM/2007
(1) Hak Uji Materiil adalah Hak Mahkamah Agung untuk menilai materi muatann peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi ; (2) Peraturan perundang-undangan adalah kaidah hukum tertulis yang mengikat umum di bawah undang-undang” ; 2. Bahwa
Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007 Tentang Badan
Penanggulangan
Lumpur
Sidoarjo
bertujuan
untuk
menanggulangi
masalah sosial kemasyarakatan terhadap masyarakat yang terkena luapan lumpur Sidoarjo bertujuan untuk menanggulangi masalah sosial kemasyarakatan terhadap masyarakat yang terkena luapan lumpur Sidoarjo (Lusi). Dengan demikian, apabila dikaitkan dengan Pasal 1 angka 2 Perma No. 1 Tahun 2004, PERPRES No. 14 Tahun 2007 tidak memenuhi isi ketentuan Pasal 1 angka 2 Perma tersebut, karena PERPRES No. 14 Tahun 2007 bukan merupakan “Peraturan……..yang mengikat umum……”, karena PERPRES tersebut hanya mengikat masyarakat yang terkena luapan Lumpur Sidoarjo bukan mengikat masyarakat pada umumnya sebagaimana yang diisyaratkan di dalam Perma No. 1 Tahun 2004 tersebut ; 3. Bahwa Pasal 15 Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007 Tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo mengatur mengenai hubungan hukum antara PT. Lapindo Brantas dengan masyarakat yang terkena luapan lumpur Sidoarjo, bukan masyarakat secara umum ; 4. Uraian di atas menunjukkan bahwa PERPRES No. 14 Tahun 2007 secara hukum merupakan penetapan (beschikking), bukan merupakan peraturan
(regeling),
sehingga
isinya
tidak
dapat
diuji
dengan
menggunakan acara yang ditentukan di dalam Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2004 ; 5. Berdasarkan
dalil-dalil
tersebut
di
atas,
Mahkamah
Agung
tidak
berwenang untuk melakukan uji materiil atas Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007, sehingga Permohonan Hak Uji Materiil yang dilakukan oleh para Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima ; B. Mahkamah Agung Tidak Berwenang Untuk Memeriksa Permohonan Para
Pemohon
Karena
Permohonan
Tersebut
Mempersoalkan
Kebijakan (Policy) Pemerintah 1. Di halaman 8 angka 11 permohonan, Para Pemohon menyatakan : “Namun
ironisnya,
setelah
membiarkan
ketidakpastian
yang
berkepanjangan terhadap korban, pada tanggal 31 Maret 2007 Presiden
Hal. 42 dari 59 hal. Put. No.24 P/HUM/2007
Republik Indonesia malah mengeluarkan kebijakan berupa Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007 Tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (PERPRES No. 14 Tahun 2007) yang dalam Pasal 15-nya mengatur persoalan jual beli tanah dan bangunan bagi korban dengan proses pembayaran 20 % di muka yang memanipulasi hak-hak korban atas kompensasi atau ganti rugi …….” 2. Apa yang dikemukakan oleh para Pemohon sebagaimana dikutip di atas menunjukkan bahwa permohonan yang diajukan oleh para Pemohon mempersoalkan kebijakan (policy) Pemerintah ; 3. Di dalam acara hak uji materiil sebagai yang dimaksud dalam Peraturan Mahkamah
Agung
No.
1
Tahun
berwenang
untuk
memeriksa
2004,
dan
Mahkamah
mengadili
Agung
kebijakan
tidak
(policy)
Pemerintah. Di dalam acara ini yang seharusnya dipersoalkan adalah isi peraturan perundang-undangan yang dianggap bertentangan dengan peraturan lain yang lebih tinggi hirarkinya, bukan mempersoalkan kebijakan/policy/beleid Pemerintah ; 4. Uraian di atas menunjukkan bahwa permohonan yang diajukan oleh para Pemohon
mempersoalkan
hal
yang
tidak
relevan
bagi
acara
pelaksanaan hak uji materiil ex Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2004, terhadap mana Mahkamah Agung tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadilinya. Oleh karena itu, permohonan para Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima ; C. Permohonan Pemohon Kabur 1. Bahwa dalam permohonannya, para Pemohon mempersoalkan Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007, yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut : Pasal 15 (1) Dalam rangka penanganan social
kemasyarakatan, PT. Lapindo
Brantas membeli tanah dan bangunan masyarakat yang terkena luapan lumpur Sidoarjo dengan pembayaran secara bertahap, sesuai dengan peta area terdampak tanggal 22 Maret 2007 dengan akta jual beli bukti kepemilikan tanah yang mencantumkan luas tanah dan lokasi yang disahkan oleh Pemerintah ; (2) Pembayaran bertahap yang dimaksud, seperti yang telah disetujui dan dilaksanakan pada daerah yang termasuk dalam peta area terdampak
4
Desember
2006,
20
%
(dua
puluh
perseratus)
Hal. 43 dari 59 hal. Put. No.24 P/HUM/2007
dibayarkan dimuka dan sisanya dibayarkan paling lambat sebulan sebelum masa kontrak rumah 2 (dua) tahun habis ; (3) Biaya masalah sosial kemasyarakatan di luar peta area terdampak tanggal
22
Maret
2007,
setelah
ditandatanganinya
Peraturan
Presiden ini, dibebankan pada APBN ; (4) Peta area terdampak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Presiden ini ; (5) Biaya upaya penanggulangan semburan lumpur termasuk di dalamnya penanganan tanggul utama sampai ke kali Porong dibebankan kepada PT. Lapindo Brantas ; (6) Biaya untuk upaya penanganan masalah infrastruktur termasuk infrastruktur
untuk
penanganan
luapan
lumpur
di
Sidoarjo,
dibebankan kepada APBN dan sumber dana lainnya yang sah ; 2. Bahwa dalam permohonan halaman 20 sampai dengan halaman 26, para Pemohon meminta pengujian Pasal 15 Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007 yang terdiri dari 6 (enam) ayat terhadap : •
Pasal 6 ayat (1), Pasal 10 dan Pasal 11 UU Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ;
•
Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria jo Pasal 1 PP Nomor 38 Tahun 1963 Tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Atas Tanah ;
•
Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria ;
•
Pasal 71, Pasal 67 dan Pasal 69 UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia ;
•
Pasal 570 KUHPerdata ;
•
Pasal 1320 KUHPerdata dan Pasal 1338 KUHPerdata.
3. Uraian di atas menunjukkan bahwa permohonan yang diajukan oleh para Pemohon bersifat kabur (obscuur), karena Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 terdiri dari 6 (enam) ayat, tetapi permohonan para Pemohon tidak menjelaskan secara ayat demi ayat perihal ketentuan mana yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi ; 4. Disamping itu, dalam “Kesimpulan” (Permohonan, halaman 37, Bab V), para Pemohon menyatakan bahwa Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2)
Hal. 44 dari 59 hal. Put. No.24 P/HUM/2007
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, tetapi di dalam petitum (Permohonan, halaman 37 Bab VI), para Pemohon menyatakan bahwa Pasal 15 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) PERPRES No. 14 Tahun 2007 bertentangan dengan undang-undang. Hal ini jelas merupakan ketidaksesuaian antara positum dengan petitum, sehingga permohonan para Pemohon merupakan permohonan yang bersifat kabur (obscuur) ; 5. Permohonan
para
Pemohon
bersifat
kabur,
karena
seharusnya
permohonan hak uji materiil hanya menguraikan isi ketentuan di dalam satu peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan isi ketentuan perundang-undangan lain yang lebih tinggi tingkatannya. Akan tetapi, di dalam permohonannya, para Pemohon mempersoalkan juga tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah. Hal ini antara lain dapat dilihat pada : - Halaman
7
angka
8
permohonan
yang
menyatakan
bahwa
menyatakan
bahwa
“Pemerintah lalai menangani para korban” ; - Halaman
15
angka
43
permohonan
yang
Pemerintah telah “lamban” dalam menangani masalah semburan lumpur Sidoarjo ; - Halaman
19
Pemerintah
angka telah
61
permohonan
bertindak
sebagai
yang
menyatakan
“pihak
ketiga”
bahwa
di
dalam
penanggulangan masalah semburan Lumpur termaksud ; 6. Uraian
di
atas
menunjukkan
bahwa
permohonan
para
Pemohon
merupakan permohonan yang bersifat kabur, karena para Pemohon telah mengemukakan hal-hal yang tidak relevan bagi acara permohonan hak uji materiil atas isi peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya daripada undang-undang. Yang seharusnya dipersoalkan adalah
isi
peraturan
perundang-undangan,
bukan
tindakan
atau
perbuatan yang dilakukan oleh Pemerintah ; 7. Berdasarkan uaraian di atas, permohonan yang diajukan oleh para Pemohon seharusnya dinyatakan tidak dapat diterima ; D. Permohonan para Pemohon masih bersifat prematur 1. Permohonan para Pemohon pada prinsipnya menyatakan bahwa isi ketentuan Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, karena Pasal ini menerbitkan adanya hubungan hukum yang didasarkan pada perjanjian jual beli, padahal yang seharusnya ada adalah hubungan
Hal. 45 dari 59 hal. Put. No.24 P/HUM/2007
hukum yang didasarkan pada kewajiban untuk membayar ganti rugi. Hal ini secara jelas dikemukakan di dalam halaman 8 angka 11 permohonan yang menyatakan : “Namun
ironisnya,
setelah
membiarkan
ketidakpastian
yang
berkepanjangan terhadap korban, pada tanggal 31 Maret 2007 Presiden Republik Indonesia malah mengeluarkan kebijakan berupa
Peraturan
Presiden No. 14 Tahun 2007 Tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (PREPRES No. 14 Tahun 2007) yang dalam Pasal 15-nya mengatur persoalan jual beli tanah dan bangunan bagi korban dengan proses pembayaran 20 % dimuka yang memanipulasi hak-hak korban atas kompensasi atau ganti rugi….” ; 2. Pendapat para Pemohon sebagaimana dikutip di atas menunjukkan bahwa permohonan yang diajukan oleh para Pemohon masih bersifat prematur, karena : a. Pemohon menghendaki adanya hubungan hukum yang didasarkan pada kewajiban untuk membayar ganti rugi, bukan hubungan hukum yang didasarkan pada perjanjian jual beli tanah dan bangunan ; b. Di dalam hukum perdata, kewajiban untuk membayar ganti rugi akan terbit
jika
perbuatan
ada
perbuatan
melawan
ingkar
hukum
janji (vide
(wanprestasi) Pasal
1243
atau dan
ada 1365
KUHPerdata) ; c. Pada saat PERPRES No. 14 Tahun 2007 diterbitkan, bahkan sampai saat tanggal jawaban ini diajukan, belum ada putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakan adanya orang atau badan hukum yang melakukan perbuatan ingkar janji atau perbuatan
melawan
hukum
terhadap
para
Pemohon.
Dengan
demikian, sampai saat ini masih belum ada orang atau badan hukum yang secara yuridis memiliki kewajiban untuk membayar ganti rugi kepada para Pemohon ; 3. Uraian di atas menunjukkan bahwa permohonan yang diajukan oleh para Pemohon masih bersifat prematur. Oleh karena itu, permohonan tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima ; Selanjutnya,
mengenai
pokok
permasalahannya,
perkenankanlah
Termohon menyampaikan hal-hal sebagai berikut : A. Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 Tidak Bertentangan Dengan Ketentuan Dalam Peraturan Perundang-Undangan Yang Lebih Tinggi Tingkatannya
Hal. 46 dari 59 hal. Put. No.24 P/HUM/2007
1. Permohonan para Pemohon pada pokoknya menyatakan bahwa isi Pasal
15
PERPRES
No.
14
Tahun
2007
bertentangan
dengan
ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria jo. Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963 Tentang Penunjakan BadanBadan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Atas Tanah, UndangUndang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, UndangUndang No. 24 Tahun 1992 Tentang Tata Ruang, Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UndangUndang No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi dan KUHPerdata ; 2. Pendapat para Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 15 PREPRES No. 14 Tahun 2007 bertentangan dengan Pasal 6 ayat (1), Pasal 10 dan Pasal 11 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah tidak benar, karena : a. Bahwa Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 menyatakan bahwa materi muatann peraturan perundang-undangan mengandung asas : i.
Pengayoman,
ii. Kemanusiaan, iii. Kebangsaan, iv. Kekeluargaan, v. Kenusantaraan, vi. Bhineka Tunggal Ika, vii. Keadilan, viii. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintah, ix. Ketertiban dan kepastian hukum, dan/atau, x. Keseimbangan, keserasian dan kesalahan. b. Bahwa berdasarkan Penjelasan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 disebutkan bahwa yang dimaksud sebagai asas pengayoman
adalah
perundang-undangan
bahwa harus
setiap berfungsi
materi
muatann
memberikan
peraturan
perlindungan
dalam rangka menciptakan ketenteraman masyarakat ; Dalam hal ini Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 telah memenuhi asas pengayoman dimana materi Pasal 15 PERPRES tersebut melindungi masyarakat di daerah terdampak semburan
Hal. 47 dari 59 hal. Put. No.24 P/HUM/2007
lumpur Sidoarjo, karena Pasal 15 PREPRES No. 14 Tahun 2007 memberikan kesempatan bagi warga masyarakat termaksud untuk memperoleh sejumlah uang yang jelas sangat diperlukan di saat mereka menghadapi efek negatif dari semburan lumpur termaksud ; c. Bahwa berdasarkan Penjelasan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 disebutkan bahwa yang dimaksud sebagai asas kemanusian
adalah
bahwa
perundang-undangan
harus
setiap
materi
mencerminkan
muatann
peraturan
perlindungan
dan
penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional ; Dalam hal ini Pasal 15 PERPRES telah memberikan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat warga yang menjadi korban, karena harkat dan martabat para warga masyarakat sebagai pemilik atas tanah dan bangunan yang terendam lumpur Sidoarjo tetap dihargai oleh Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 ; d. Bahwa berdasarkan Penjelasan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan asas kekeluargaan
adalah
perundang-undangan
bahwa harus
setiap
materi
mencerminkan
muatan
peraturan
musyawarah
untuk
mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan ; Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 melaksanakan asas musyawarah untuk mencapai mufakat, karena dengan mewajibkan PT. Lapindo Brantas untuk membeli tanah dan bangunan yang terendam lumpur, PT. Lapindo Brantas mempunyai kewajiban untuk melakukan musyawarah dengan para pemilik tanah dan bangunan guna mencapai kesepakatan atas harga pembelian tanah dan bangunan termaksud ; e. Bahwa berdasarkan Penjelasan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan asas keadilan
adalah
setiap
materi
muatann
peraturan
perundang-
undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali ; Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 tidak bertentangan dengan asas keadilan, karena sebagaimana diuraikan di atas, dalam proses penentuan harga tanah atas dasar musyawarah dan mufakat
Hal. 48 dari 59 hal. Put. No.24 P/HUM/2007
terwujudlah harga yang dirasa adil baik oleh pihak penjual maupun oleh pihak pembeli ; f.
Bahwa berdasarkan Penjelasan Pasal 6 Undang-Undang No. 10 Tahun
2004
disebutkan
bahwa
yang
dimaksud
dengan
asas
ketertiban dan kepastian hukum adalah setiap materi muatann peraturan perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum ; Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 mewujudkan asas ini, karena dengan ketentuan ini terbitlah hubungan hukum yang jelas di antara para warga masyarakat yang terkena dampak semburan lumpur dengan PT. Lapindo Brantas ; g. Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 pun tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 10 dan Pasal 11 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004, yang mewajibkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya menjabarkan dan/atau melaksanakan perintah
dari
tingkatannya.
peraturan Uraian
di
perundang-undangan atas
menunjukkan
yang
lebih
bahwa
tinggi
Pasal
15
PERPRES No. 14 Tahun 2007 menjabarkan asas-asas yang tercantum dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004. Uraian pada bagian selanjutnya di bawah ini pun menunjukkan bahwa Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 menjabarkan dan/atau melaksanakan perintah dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya ; 3. Pendapat para Pemohon yang menyatakan Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 bertentangan dengan Pasal 4 ayat (2) huruf c UndangUndang No. 24 Tahun 1992 Tentang Tata Ruang adalah pendapat yang tidak benar, karena : a. Pasal 4 ayat (2) huruf c Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 menyatakan
bahwa
setiap
orang
berhak
untuk
“memperoleh
pergantian yang layak atas kondisi yang dialaminya sebagai akibat dari kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang” ; b. Isi ketentuan tersebut tidak relevan dengan ketentuan Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007, karena Pasal 15 tidak ditujukan terhadap “akibat dari kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang”, melainkan ditujukan pada akibat dari semburan
Hal. 49 dari 59 hal. Put. No.24 P/HUM/2007
lumpur yang bukan merupakan “akibat dari kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang” ; 4. Pendapat para Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 15 Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2007 bertentangan dengan ketentuan Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah pendapat yang tidak benar, karena : a. Bahwa berdasarkan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut sebagai Undang-Undang No. 23 Tahun 1997) ditentukan bahwa Pemerintah menetapkan kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan lingkungan hidup dan penataan ruang dengan tetap memperhatikan nilai-nilai agama, adat istiadat dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat ; b. Bahwa sebagaimana telah diketahui bersama, lingkungan dari daerah yang terkena musibah Lumpur Sidoarjo (Lusi) telah rusak dan tidak mungkin lagi dihuni oleh warga masyarakat. Oleh karena itu, Pemerintah
telah
menentukan
penanganan
dampak
sosial
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007, dimana tanah dan bangunan di area terdampak akan dibeli oleh PT. Lapindo Brantas, sementara untuk tanah dan bangunan diluar area terdampak akan ditangani dengan biaya dari Anggaran Pendapat dan Belanja Negara ; c. Keadaan yang nyata-nyata terjadi adalah adanya area yang tidak mungkin digunakan lagi secara layak sebagai akibat dari semburan Lusi, sehingga tanah dan bangunan di area tersebut tidak mungkin digunakan lagi. Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 memberikan kemungkinan kepada para pemilik tanah dan bangunan di area termaksud untuk memperoleh sejumlah uang yang dapat digunakan untuk memperoleh (membeli) tanah dan bangunan di area lain yang bebas dari efek negatif semburan Lusi ; 5. Pendapat para Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 bertentangan dengan Pasal 22 Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi adalah tidak benar, karena : a. Bahwa berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi (selanjutnya disebut Undang-Undang No. 22 Tahun 2001) ditentukan bahwa penyelenggaraan kegiatan
Hal. 50 dari 59 hal. Put. No.24 P/HUM/2007
usaha minyak dan gas bumi yang diatur dalam undang-undang ini berasaskan ekonomi kerakyatan, keterpaduan, manfaat, keadilan, keseimbangan,
pemerataan,
kemakmuran
bersama
dan
kesejahteraan rakyat banyak, keamanan, keselamatan dan kepastian hukum serta berwawasan lingkungan ; b. Bahwa area yang terkena musibah Lusi merupakan area yang kaya akan kandungan hasil tambang, dimana area tersebut dikenal dengan nama Blok Brantas. Titik dimana semburan lumpur pertama kali muncul berada di Blok ini ; c. Bahwa dalam areal Blok Brantas banyak sekali diselenggarakan kegiatan usaha pertambangan minyak dan gas bumi. Dengan demikian, ketika Termohon menyusun PERPRES No. 14 Tahun 2007 sudah selayaknya Termohon mencantumkan Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 sebagai salah satu dasar hukum PERPRES No. 14 Tahun 2007 ; d. Bahwa didalam Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 telah ditentukan mengenai penanganan dampak sosial berupa pembelian tanah oleh PT. Lapindo Brantas di area terdampak dan untuk area yang tidak terdampak maka akan penanganan dampak sosialnya menjadi tanggungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Dengan demikian, Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 justru berupaya
memenuhi
asas-asas
sebagaimana
dalam
Pasal
2
Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi, sehingga Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 memenuhi materi sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 ; 6. Pendapat para Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 bertentangan dengan Pasal 67, Pasal 69 dan Pasal 71 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia adalah tidak benar, karena : a. Pasal 67 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia pada prinsipnya menyatakan bahwa setiap orang wajib tunduk kepada hukum dan konvensi internasional mengenai Hak Asasi Manusia yang telah diratifikasi oleh Indonesia ; b. Dalam hubungan dengan ketentuan tersebut di atas, para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 bertentangan
dengan
“point
24
Pedoman
Mastricht”
yang
Hal. 51 dari 59 hal. Put. No.24 P/HUM/2007
menyatakan bahwa “korban pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial dan budaya berhak untuk mendapat akses atas pemulihan yudisial”. (Permohonan, halaman 14, angka 39) ; c. Dalil para Pemohon tersebut di atas tidak benar, karena ketentuan Pedoman Mastricht tersebut baru berlaku sesudah ada putusan Pengadilan
yang
mempunyai
kekuatan
hukum
tetap
yang
menyatakan adanya pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi, sosial dan budaya ; d. Dalam hubungannya dengan Pasal 67 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 para Pemohon mengemukakan bahwa Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 bertentangan dengan General Comment No. 9 on Domestic Applicatoin of the Covenant yang menyatakan bahwa pemulihan hak tidak harus dicantumkan hanya dalam bentuk putusan Pengadilan (Judicial Remedies), tetapi dapat juga dicantumkan dalam bentuk keputusan Pejabat Tata Usaha Negara (Administrative Remedies). Permohonan, halaman 15, angka 41 ; e. Dalil para Pemohon sebagaimana diuraikan di atas tidak benar. Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 justru merupakan “Administrative Remedies” yang ditetapkan mendahului (sebelum adanya) “Judicial Remedies” ; f.
Pasal 69 ayat (2) dan Pasal 71 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 pada prinsipnya berisi ketentuan yang sama, yang menyatakan bahwa Pemerintah wajib menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan Hak Asasi Manusia ;
g. Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 justru menjabarkan ketentuan Pasal 69 ayat (2) dan Pasal 71 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999, bukan bertentangan dengan kedua Pasal tersebut, karena Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 tetap menghormati hak-hak para korban Lusi atas tanah dan bangunan miliknya. Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 tidak mencabut secara sewenangwenang (arbitraily) hak milik para korban atas tanah dan bangunan yang terendam Lusi ; 7. Pendapat para Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 bertentangan dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963 Tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum Yang
Hal. 52 dari 59 hal. Put. No.24 P/HUM/2007
Dapat Mempunyai Hak Atas Tanah adalah pendapat yang tidak benar, karena : a. Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 menentukan kewajiban kepada PT. Lapindo Brantas untuk membeli tanah di area yang terkena dampak semburan Lusi ; b. Undang-Undang Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963 memang tidak memperkenankan PT. Lapindo Brantas untuk menjadi pemegang sertipikat hak milik atas tanah. Sekalipun demikian Undang-Undang Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 1963 tidak memuat ketentuan yang melarang sebuah PT. (termasuk PT. Lapindo Brantas) untuk membeli tanah yang sudah bersertifikat hak milik ; c. Hukum memperkenankan sebuah PT untuk membeli tanah dengan Sertipikat Hak Milik, asal kemudian PT. termaksud mengurus perolehan haknya secara sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, tepatnya, dengan mengajukan permohonan agar tanah yang semula bersertipikat hak milik dirubah menjadi tanah Hak Guna Bangunan atau tanah Hak Guna Usaha atas nama PT. termaksud ; d. Di areal tanah yang dimaksud dalam permohonan para Pemohon, hampir
semua
tanah
berstatus
sebagai
tanah
girik.
Hukum
memperkenankan sebuah PT. (termasuk PT. Lapindo Brantas) untuk membeli tanah termaksud dan kemudian memprosesnya untuk menjadi tanah Hak Guna Bangunan atas nama PT. Lapindo Brantas ; 8. Pendapat para Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 bertentangan dengan Pasal 570, Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUHPerdata adalah pendapat yang tidak benar, karena : a. Dalam hubungannya dengan tanah, Pasal 570 KUHPerdata sudah tidak berlaku lagi, karena telah dicabut oleh Undang-Undang Pokok Agraria (Undang-Undang No. 5 Tahun 1960) ; b. Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 tidak menentukan bahwa pembelian tanah dan bangunan termaksud terjadi secara demi hukum
(van
rechtswege),
melainkan
terjadi
melalui
proses
pembuatan perjanjian jual beli diantara pemilik tanah dan bangunan (warga masyarakat) sebagai pihak penjual dengan PT. Lapindo Brantas sebagai pihak pembeli. Proses ini tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUHPerdata ;
Hal. 53 dari 59 hal. Put. No.24 P/HUM/2007
9. Uraian di atas menunjukkan bahwa Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi tingkatannya seperti yang didalilkan oleh para Pemohon. Oleh karena itu, permohonan para Pemohon harus ditolak untuk seluruhnya ; B. Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 Tidak Berisi Ketentuan Mengenai Penjualan Paksa 1. Para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 telah memaksa para pemilik tanah dan bangunan di area yang terkena dampak negatif semburan Lusi untuk menjual tanah dan bangunan miliknya kepada PT. Lapindo Brantas. Hal ini dikemukakan secara
jelas
dalam
angka
48,
halaman
16
permohonan,
yang
menyatakan : “Bahwa Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) PERPRES No. 14 Tahun 2007 telah mengubah hak-hak para Pemohon untuk mendapatkan ganti rugi dengan memaksakan adanya hubungan jual beli kepemilikan rumah dan tanah milik para Pemohon ……..” ; 2. Pendapat para Pemohon sebagaimana dikutip di atas tidak benar, karena Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 tidak bersifat memaksa. Para pemilik tanah dan bangunan yang terkena ketentuan Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 diberi kebebasan untuk menjual atau tidak menjual tanah dan bangunannya. Bahkan dalam hal para pemilik tanah dan bangunan memilih untuk menjualnya, Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 tidak menentukan bahwa harga penjualan ditentukan secara sepihak oleh si pembeli. Harga penjualan didasarkan pada kesepakatan diantara pihak penjual dengan pihak pembeli ; 3. Fakta menunjukkan bahwa sampai saat ini masih terdapat sejumlah warga masyarakat yang masih belum bersedia untuk menjual tanah dan bangunannya kepada PT. Lapindo Brantas. Tidak ada ketentuan hukum yang mengancam sanksi terhadap mereka yang tidak bersedia untuk menjual tanah dan bangunannya. Dengan demikian Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 sama sekali tidak bersifat memaksa ; 4. Pendapat para Pemohon yang menyatakan bahwa dalam proses jual beli berdasarkan ketentuan Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 kedudukan/posisi tawar para pihak tidak seimbang, dimana pihak penjual (warga masyarakat) berada dalam posisi lemah, sementara pihak
Hal. 54 dari 59 hal. Put. No.24 P/HUM/2007
pembeli (PT. Lapindo Brantas) berada dalam posisi kuat, adalah pendapat yang tidak benar, karena : a. Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 tidak mewajibkan warga masyarakat untuk menjual tanah dan bangunan miliknya kepada PT. Lapindo Brantas. Dengan demikian, jika mereka merasa posisi tawarnya tidak menguntungkan, mereka memiliki kebebasan untuk tidak menjual tanah dan bangunan miliknya kepada PT. Lapindo Brantas ; b. Kenyataan
di
lapangan
menunjukkan
bahwa
harga
jual
yang
disepakati ternyata lebih tinggi daripada harga tanah/bangunan menurut NJOP (Nilai Jual Obyek Pajak) ; 5. Uraian
di
atas
menunjukkan
bahwa
dalil
para
Pemohon
yang
menyatakan bahwa Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 bersifat memaksa, sehingga bertentangan dengan kebebasan individu atau hakhak asasi manusia adalah dalil yang tidak benar. Oleh karena itu, permohonan para Pemohon yang didasarkan pada dalil ini harus ditolak untuk seluruhnya ; C. Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 Justru Memberikan Keadaan Yang Lebih Baik Bagi Para Korban Lusi 1. Di halaman 15, angka 42 permohonan, para Pemohon mengemukakan : “Namun
faktanya
Pemerintah
lalai
melaksanakan
kewajibannya.
Pemerintah tidak mampu memberikan kepastian dan keadilan bagi para korban. Langkah-langkah yang diambil oleh Pemerintah amat lambat sehingga para korban keadaannya semakin buruk dan merugikan para korban. Bahkan setelah semakin berlarut-larut, kebijakan Pemerintah melalui Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007 Tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo pun malah justru memperburuk keadaan korban” ; 2. Pendapat para Pemohon sebagaimana dikutip di atas adalah pendapat yang tidak benar. Para Pemohon tidak memperhatikan fakta bahwa dalam keadaan terkena dampak negatif semburan Lusi, para korban sangat memerlukan uang, baik untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, maupun untuk mencari tanah dan bangunan baru, sebagai pengganti dari tanah dan bangunan yang terendam lumpur ; 3. Tanpa adanya ketentuan Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007, para korban tidak akan memiliki sumber untuk memperoleh uang. Pasal 15 PERPRES
ini
justru
memberikan
jalan
bagi
para
korban
untuk
Hal. 55 dari 59 hal. Put. No.24 P/HUM/2007
memperoleh
sejumlah
uang.
Sekalipun
demikian,
sebagaimana
diuraikan di atas, Pasal 15 PERPRES ini sama sekali tidak bersifat memaksa : para korban diperkenankan untuk menggunakan atau tidak menggunakan jalan tersebut sebagai sumber untuk memperoleh uang ; 4. Uraian di atas menunjukkan bahwa Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 justru membuka kesempatan bagi para korban untuk memperbaiki kondisi hidup yang dihadapinya. Dengan demikian, pendapat para Pemohon yang menyatakan bahwa PERPRES No. 14 Tahun 2007 memperburuk nasib mereka adalah pendapat yang tidak benar. Oleh karena itu, permohonan para Pemohon harus ditolak untuk seluruhnya ; Berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, mohon kiranya Majelis Hakim Agung pada Mahkamah Agung RI yang memeriksa permohonan Hak Uji Materiil ini berkenan memberikan putusan yang pada pokoknya menolak permohonan para Pemohon ;
Tentang Hukumnya Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan para Pemohon adalah seperti diuraikan dibagian awal putusan ini ; Menimbang, bahwa permohonan Para Pemohon keberatan Hak Uji Materiil pada pokoknya menyatakan bahwa isi Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 a quo bertentangan dengan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu : -
Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Undang-undang No. 5 Tahun 1960 Tentang PokokPokok Agraria jo PP. Nomor 38 Tahun 1963 Tentang Penunjukan BadanBadan Hukum yang dapat mempunyai hak atas tanah, Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang-undang No. 24 Tahun 1992 Tentang Tata Ruang, Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-undang No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi dan KUHPerdata ; Menimbang, bahwa sebelum mempertimbangkan mengenai substansi
dari permohonan keberatan Hak Uji Materiil tersebut, terlebih dulu akan dipertimbangkan aspek formal prosedural seperti dipertimbangkan berikut ini ; Menimbang, bahwa permohonan keberatan Hak Uji Materiil Para Pemohon diterima dan didaftar di Kepaniteraan Mahkamah Agung – RI. dengan register No. 24 P/HUM/Th.2007 pada tanggal 28 September 2007, sedangkan Peraturan Presiden RI. No. 14 Tahun 2007 yang Pasal 15 nya dimohonkan
Hal. 56 dari 59 hal. Put. No.24 P/HUM/2007
untuk diuji, ditetapkan dan mulai berlaku pada tanggal 8 April 2007. Dengan demikian permohonan keberatan Hak Uji Materiil a quo diajukan dalam tenggang waktu 180 hari sejak Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007 ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 angka (4) PERMA No. 1 Tahun 2004 Tentang Hak Uji Materiil ; Menimbang, bahwa Para Pemohon keberatan adalah ABDUL MALIK, dkk. yang keseluruhannya berjumlah 38 orang dan bertempat tinggal di wilayah Sidoarjo Jawa Timur ; oleh karena itu termasuk kelompok masyarakat yang dapat mengajukan permohonan keberatan Hak Uji Materiil sebagaimana dimaksud
Pasal 1
angka
(4) PERMA No. 1 Tahun 2004 Tentang Hak Uji
Materiil ; Dengan demikian Para Pemohon keberatan mempunyai kwalitas atau legal standing untuk mengajukan permohonan keberatan Hak Uji Materiil ; Menimbang, bahwa oleh karena permohonan keberatan Hak Uji Materiil diajukan dalam tenggang waktu yang ditentukan dan diajukan oleh Pemohon yang memiliki legal standing, maka permohonan keberatan Hak Uji Materiil tersebut secara formal prosedural dapat diterima ; Menimbang, bahwa Pasal 15 Peraturan Presiden RI. No. 14 Tahun 2007 yang dimohonkan uji materiil pada pokoknya merupakan kebijakan Presiden RI. dalam rangka penanganan masalah sosial kemasyarakatan yang menimpa masyarakat yang terkena luapan Lumpur Sidoarjo dengan cara mewajibkan PT. Lapindo Brantas membeli tanah dan bangunan masyarakat terdampak luapan Lumpur Sidoarjo dengan harga yang disetujui masyarakat terdampak dan cara pembayaran bertahap 20% dibayar di muka, sedangkan sisanya dibayarkan paling lambat sebulan sebelum masa kontrak rumah 2 (dua) tahun habis ; Bahwa oleh karena itu Pasal 15 Peraturan Presiden RI. No. 14 Tahun 2007 tersebut memberikan hak dan jaminan bagi pemilik tanah dan bangunan terdampak luapan Lumpur Sidoarjo untuk mendapatkan ganti rugi nilainya melalui jual beli dengan harga yang didasarkan atas persetujuan atau kesepakatan para korban pemilik tanah dan bangunan. Dengan demikian tidak ternyata ketentuan Pasal 15 Peraturan Presiden tersebut mengandung atau menampakkan ada penyalahgunaan wewenang ataupun adanya kesewenangwenangan dari Presiden RI., satu dan lain hal karena muatan kebijakannya sudah memperhatikan baik kepentingan PT. Lapindo Brantas disatu pihak maupun kepentingan masyarakat terdampak luapan Lumpur Sidoarjo dilain pihak secara wajar dan proporsional; lagi pula Pasal 15 PERPRES No. 14
Hal. 57 dari 59 hal. Put. No.24 P/HUM/2007
Tahun 2007 tidak mengandung hal-hal yang memaksa, karena pelaksanaannya sepenuhnya atas dasar kata sepakat antara anggota-anggota masyarakat yang bersangkutan dengan PT. LAPINDO BRANTAS ; Menimbang, bahwa lagi pula Pasal 15 Peraturan Presiden RI. No. 14 Tahun 2007 tersebut merupakan Kebijakan Presiden dan sebagai suatu kebijakan (beleid) Pemerintah tidak dapat dinilai atau diuji oleh Hakim, sepanjang tidak dapat dibuktikan adanya penyalahgunaan wewenang (abuse of power)
atau
kesewenang-wenangan
Pemerintah
(arbitrary)
di
dalam
menerbitkan kebijakan tersebut. Penilaian oleh Hakim atas suatu kebijakan hanya bersifat terbatas (marginal) atau marginale toetsing, demikian juga pendapat dalam Yurisprudensi Indonesia ; Menimbang, bahwa oleh karena Pasal 15 Peraturan Presiden RI. tersebut tidak ternyata ada penyalahgunaan wewenang atau kesewenangwenangan baik cara penerbitan maupun materi muatannya, maka Pasal 15 tersebut tidak dapat dinilai atau diuji oleh Hakim ; Menimbang, bahwa oleh karena Pasal 15 Peraturan Presiden RI. No. 14 Tahun 2007 tidak dapat diuji dan dinilai oleh
Hakim, lagi pula Pasal 15
tersebut diterbitkan dalam rangka penanganan masalah sosial terdampak luapan Lumpur Sidoarjo dengan cara memberikan ganti/membayar nilai harga tanah dan bangunan para korban luapan Lumpur secara wajar dan proporsional seperti telah dipertimbangkan sebelumnya, maka Pasal 15 tersebut tidak bertentangan dengan Pasal-Pasal dari Undang-Undang yang dijadikan dasar atau tolok ukur oleh Para Pemohon keberatan Hak Uji Materiil ; Menimbang, bahwa dengan demikian permohonan keberatan Hak Uji Materiil dari Para Pemohon tersebut tidak beralasan, sehingga permohonan Para Pemohon harus ditolak ; Menimbang,
bahwa
oleh
karena
permohonan
keberatan
Para
Pemohon ditolak, maka Para Pemohon keberatan dihukum untuk membayar biaya perkara ; Mengingat Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UndangUndang No. 5 Tahun 2004, PERMA No. 1 Tahun 2004 dan Peraturan perundang-undangan lainnya yang bersangkutan ; MENGADILI : Menolak permohonan Keberatan Hak Uji Materiil dari Para Pemohon : 1. ABDUL MALIK, 2. YUDO WINTOKO, 3. PITANTO, 4. SUNARTO, 5. PURNOTO, 6. SUDARTO, 7. LILIK KAMINAH, 8. KASTO, 9. SUDARMANI,
Hal. 58 dari 59 hal. Put. No.24 P/HUM/2007
10. NISWATUN CHASANAH, 11. JAIDIL, 12. AUNUR ROFIQ, 13. KHOLIK WIDODO, 14. GUNARYO, 15. ASFIROTUN, 16. MAS ARIL KHILMI, 17. MOCH. AMIN, 18. KHOIRIL, 19. PRAYETNO, 20. TETI HANDAYANI, 21. SULASTRI, 22. KUDORI, 23. RA’I, 24. BUAYAT, 25. FATKHUR ROHMAN, 26. MUHAMMAD BASHORI, 27. PURMIASIH, 28. ARIFIN, 29. ZAINAL ABIDIN, 30. SULIAMAH, 31. SUWITO, 32. LUPUT, 33. PURWANTO, 34. SUDARTO, 35. SUBANDI, 36. IRAWATI, 37. MUCH. IRSYAD dan 38. MUNDIR DWI ILMIAWAN, tersebut ; Menghukum para Pemohon Keberatan Hak Uji Materiil untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) ; Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Jum’at tanggal 14 Desember 2007 oleh Bagir Manan Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Prof. Dr. Ahmad Sukardja, SH. dan Prof. DR. Paulus E. Lotulung, SH. Hakim-Hakim Agung sebagai sebagai Hakim Anggota, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis dan dihadiri oleh Hakim-Hakim Anggota dibantu
oleh Matheus
Samiaji, SH.,MH.
tersebut
dan
Panitera Pengganti dengan tidak
dihadiri oleh para pihak.
Hakim – Hakim Anggota :
Ketua :
ttd./ Prof. Dr. Ahmad Sukardja, SH.
ttd./
ttd./ Prof. DR. Paulus E. Lotulung, SH.
Biaya–biaya : 1. Meterai ………………
Bagir Manan
Rp.
6.000,-
Panitera Pengganti : ttd./
2. Redaksi ……………… Rp.
1.000,-
Matheus Samiaji, SH.,MH.
3. Administrasi ………… Rp. 993.000,Jumlah ………………. Rp.1.000.000,========== Untuk Salinan MAHKAMAH AGUNG RI a.n. Panitera Panitera Muda Tata Usaha Negara,
ASHADI, SH. NIP. 220000754
Hal. 59 dari 59 hal. Put. No.24 P/HUM/2007