10
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil. Beller et al. (1990) mendefinisikan Pulau Kecil sebagai pulau dengan luas < 10.000 km2 dan mempunyai penduduk < 500.000 jiwa. Fakland (1991) menyatakan pulau kecil adalah suatu wilayah yang memiliki luas tidak lebih dari 2000 km2 dan lebarnya tidak lebih dari 10 km, sedangkan definisi untuk pulau sangat kecil yaitu wilayah yang memiliki luas tidak lebih dari 100 km2 dan lebar tidak lebih dari 3 km ( UNESCO 1991). Kepmen Kelautan dan Perikanan No. 41/2000 tentang Pedum Pengelolaan PPK, bahwa pulau kecil adalah pulau yang ukuran luasnya < 10.000 km2 dengan jumlah penduduk
<
200.000 jiwa. Sedangkan untuk pulau dengan ukuran
2
<2.000 km terdapat pedoman khusus menyangkut kegiatan ekonomi sesuai dengan ukuran pulau, mencakup kegiatan konservasi sumberdaya alam, budidaya laut, pariwisata bahari, usaha penangkapan ikan berkelanjutan, industri teknologi tinggi non-ekstraktif, pendidikan dan penelitian, dan lain sebagainya. Ukuran pulau kecil ini kemudian ditegaskan sebagai pulau dengan ukuran <2000 km2 pada peraturan perundangan terbaru yaitu Perpres No 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan PPK Terluar. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tidak ada definisi yang baku tentang PPK selain luas lahan dan populasi menjadi indikator utama definisi tersebut (Adrianto 2006). Arahan
pengelolaan
PPK
diperuntukan
bagi
kegiatan
berbasis
konservasi, artinya pemanfaatan untuk berbagai kegiatan yang bersifat eksploratif-destruktif tidak diperkenankan,
karena PPK memiliki sejumlah
kendala dan karakteristik yang sangat berbeda dengan pulau besar (mainland). Atas dasar karakteristiknya, maka arahan peruntukan dan pemanfaatannya berupa kegiatan yang memanfaatkan potensi sumberdaya PPK, seperti perikanan tangkap, budidaya laut, dan pariwisata (Bengen 2002 dalam Maanema 2003). Kebijakan pengelolaan PPK harus berbasis kondisi dan karakteristik biogeofisik serta sosial ekonomi, mengingat peran dan fungsi kawasan sangat penting baik bagi kehidupan ekosistem laut maupun ekosistem daratan (mainland) Fauzi dan Anna (2002). Salah satu cara yang diterapkan adalah menetapkan Daerah Perlindungan Laut (DPL), dengan maksud melindungi sumberdaya perikanan, pelestarian genetik dan plasma nutfah serta mencegah rusaknya bentang alam (Salm et al. 2000 dalam Maanema 2003).
11
Tabel 2. Kriteria umum untuk penentuan pemanfaatan pulau-pulau kecil No 1.
Kriteria Sosial
Uraian a.
Diterimanya secara sosial, berarti : didukung oleh masyarakat lokal, adanya nilai-nilai lokal untuk melakukan konservasi SDA, adanya kebijakan pemerintah setempat untuk menetapkan Daerah Perlindungan Laut (DPL). b. Kesehatan masyarakat, berarti : mengurangi pencemaran dan berbagai penyakit, mencegah terjadinya area kontaminasi. c. Rekreasi, berarti : dapat digunakan untuk kegiatan rekreasi, masyarakat lokal dapat memanfaatkan manfaat dengan berkembangnya kegiatan rekreasi. d. Budaya, berarti : adanya nilai-nilai agama, sejarah dan budaya lainnya yang mendukung adanya DPL. e. Estetika, berarti : adanya bentang laut dan bentang alam yang indah, keindahan ekosistem dan keanekaragaman jenis memberikan nilai tambah untuk rekreasi. f. Konflik kepentingan, berarti :pengembangan DPL akan membawa efek positif pada masyarakat lokal. g. Keamanan, berarti : dapat melindungi masyarakat dari berbagai kemungkinan bahaya badai, ombak, arus, dan bencana lainnya. h. Aksesibilitas, berarti : memiliki akses dari daratan dan lautan. i. Penelitian dan pendidikan, berarti : memiliki berbagai ekosistem yang dapat dijadikan objek penelitain dan pendidikan. j. Kepedulian masyarakat, berarti : masyarakat ikut berperan aktif dalam melakukan kegiatan konservasi. 2. Ekonomi a. Memiliki spesies penting, berarti : area yang dilindungi memiliki spesies yang bernilai ekonomi, misalnya terumbu karang, mangrove, dan estuaria. b. Memiliki nilai penting untuk kegiatan perikanan, berarti : area perlindungan dapat dijadikan untuk menggantungkan hidup para nelayan, area perlindungan merupakan daerah tangkapan. c. Ancaman terhadap alam, berarti : adanya ancaman dari aktifitas manusia, adanya ancaman dari kegiatan merusak seperti pengeboman, penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan, daerah yang perlu dikelola untuk menjaga kelestariannya. d. Keuntungan ekonomi, berarti : adanya dampak positif bagi ekonomi setempat. e. Pariwisata, berarti : merupakan area yang potensial dikembangkan untuk pariwisata. 3. Ekologi a. Keanekaragaman hayati, berarti : memiliki kekayaan keanekaragaman ekosistem spesies. b. Kealamiahan, berarti : tidak mengalami kerusakan, masih dalam keadaan alami. c. Ketergantungan, berarti : berbagai spesies sangat tergantung pada area ini, proses-proses ekologi sangat bergantung pada daerah ini. d. Keterwakilan, berarti : area yang akan ditentukan mewakili berbagai tipe habitat, ekosistem, geologikal, dan berbagai karakteristik alam lainnya. e. Keunukan, berarti : memiliki spesies yang unik, memiliki spesies yang endemik, memiliki spesies yang hampir punah. f. Produktifitas, berarti : produktifitas area akan memberikan kontribusi untuk berbagai spesies dan manusia. g. Vulnerabilitas, berarti : area ini memiliki fungsi perlindungan dari berbagai ancaman bencana. 4. Regional a. Tingkat kepentingan regional, berarti : mewakili karakteristik regional setempat baik itu alamnya, proses ekologi, maupun budayanya, merupakan daerah migrasi beberapa spesies, memberikan kontribusi untuk pemeliharaan berbagai spesies. b. Tingkat kepentingan sub-regional, berarti : memiliki dampak positif terhadap subregional, dapat dijadikan perbandingan dengan subregional yang tidak dijadikan DPL. Sumber : Bengen (2002) ; Salm et al (2000) in Maanema (2003)
12
Beberapa persoalan ekologi yang terjadi di kawasan pesisir pulau-pulau kecil merupakan akibat terlampauinya daya dukung karena eksploitasi sumberdaya, seperti
penebangan mangrove akan menyebabkan hilangnya
fungsi ekologis, walaupun memberikan kontribusi secara ekonomi tetapi hanya dalam waktu tertentu. Alrasjid 1988 dalam Dahuri et al 1998, bahwa ekosistem mangrove mampu menghasilkan sekitar 9m3 kayu/ha/tahun. Adanya
keterbatasan
PPK,
maka
pengelolaannya
berdasarkan
penzonasian dan berbasis daya dukung. Penzonasian dilakukan berdasarkan kriteria yang terkait satu sama lain sehingga pengelolaannya dilakukan secara terpadu. Kriteria zonasi pulau kecil (Bengen 2002) yaitu : 1)
Ekologi meliputi : keanekaragaman hayati,
didasarkan pada keragaman
atau kekayaan ekosistem, habitat, komunitas dan jenis biota; kealamian, didasarkan pada tingkat degradasi; ketergantungan, didasarkan pada tingkat ketergantungan spesies pada lokasi atau tingkat dimana ekosistem bergantung
pada proses-proses
ekologi
yang
berlangsung
dilokasi;
keunikan, didasarkan pada keberadaan suatu spesies endemik atau yang hampir punah; integritas, didasarkan pada tingkat dimana lokasi merupakan suatu unit fungsional dari entitas ekologis; produktivitas, didasarkan pada tingkat dimana proses-proses produktif dilokasi memberikan manfaat bagi biota atau manusia; kerentanan, didasarkan pada kepekaan lokasi terhadap degradasi oleh pengaruh alam maupun aktivitas manusia. 2)
Ekonomi meliputi : spesies penting, didasarkan pada tingkat dimana spesies penting
komersial
tergantung
pada
lokasi;
kepentingan
perikanan,
didasarkan pada jumlah nelayan yang tergantung pada lokasi dan ukuran hasil perikanan; bentuk ancaman, didasarkan pada luasnya perubahan pola pemanfaatan yang mengancam keseluruhan nilai lokasi bagi manusia; manfaat ekonomi, didasarkan pada tingkat perlindungan lokasi berpengaruh pada ekonomi lokal dalam jangka panjang; pariwisata, didasarkan pada nilai keberadaan atau potensi lokasi untuk pengembangan pariwisata. 3)
Sosial-budaya meliputi : penerimaan sosial, didasarkan pada tingkat dukungan
masyarakat;
kesehatan
masyarakat,
didasarkan
pada
keberadaan kawasan dapat membantu mengurangi pencemaran atau penyakit
yang
berpengaruh
pada
kesehatan
masyarakat;
budaya,
didasarkan pada nilai sejarah, agama, seni atau nilai budaya lain di lokasi;
13
estetika, didasarkan pada nilai keindahan lokasi; konflik kepentingan, didasarkan dimana kawasan dapat berpengaruh pada aktivitas masyarakat lokal; keamanan, didasarkan pada tingkat bahaya dari lokasi bagi manusia karena adanya arus kuat, ombak besar dan hambatan lainnya; aksesibilitas, didasarkan pada tingkat kemudahan mencapai lokasi; apresiasi masyarakat, didasarkan pada tingkat dimana monitoring, penelitian, pendidikan, atau pelatihan dapat berkontribusi pada pengetahuan nilai-nilai lingkungan dan tujuan konservasi.
2.2. Kawasan Konservasi Kawasan yang dilindungi (protected area) adalah suatu areal yang secara khusus diperuntukan bagi perlindungan dan pemeliharaan keanekaragaman hayati dan budaya, dikelola melalui upaya yang legal atau upaya efektif lainnya IUCN (1994). Definisi Kawasan Konservasi di Indonesia tertuang dalam UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, mengadopsi dari World Conservation Strategy (IUCN 1980), yakni konservasi didefinisikan sebagai manajemen biosphere secara berkelanjutan untuk memperoleh manfaat bagi generasi sekarang dan yang akan datang. Dalam penentuan suatu ekosistem menjadi daerah perlindungan dan pelestarian ditentukan oleh kebutuhan untuk melindungi ekosistem. Berdasarkan pendekatan ekologis, apabila ekologis tidak terpenuhi maka akan menyebabkan kerusakan kawasan yang dijadikan sebagai daerah perlindungan. Ada dua konsep dasar dalam menentukan batasan ekologis dalam upaya perlindungan kawasan terumbu karang, yaitu (1) Habitat yang harus dimasukkan kedalam kawasan perlindungan dan (2) Luas daerah yang harus dilindungi (Salm and Clark 1982). Menurut Westmacott et al 2000, bahwa konservasi memegang peranan penting bagi pelestarian dan pengelolaan terumbu karang, dengan cara : (a) melindungi daerah terumbu karang yang tidak rusak dan sebagai sumber larva serta alat untuk membantu pemulihan, (b) melindungi daerah bebas dari dampak manusia dan sesuai sebagai substrat karang dan pertumbuhan kembali, (c) memastikan bahwa terumbu karang tetap menopang keberlangsungan kebutuhan masyarakat sekitar termasuk untuk kegiatan perikanan dan wisata. Alcala (1988) dan Roberts (1995), bahwa pengembangan kawasan konservasi laut dalam luasan kecil pada suatu wilayah menunjukkan peningkatan
14
yang cukup berarti pada produktivitas perikanan disekitarnya, seperti pada tiga pulau di Philipina, diperoleh produksi perikanan antara 10.94 – 24 metrik ton (mt)/km2/tahun sebelum dibangun KKL. White (1989) di Pulau Sumilon hasil produksi perikanan sebesar 14-24 mt/km2/tahun sebelum ada KKL, setelah dibangun KKL hasil tangkapan meningkat menjadi 36 mt/km2/tahun. Produksi KKL kembali menurun 20 mt/km2/tahun ketika pengelolaan KKL mengalami masalah. White (1989), bahwa KKL merupakan area recruitment bagi ikan karang yang bergerak pada kawasan terumbu karang di dalam dan diluar KKL. Hutomo dan Suharti (1998) melaporkan bahwa terumbu karang dapat memberikan manfaat langsung berupa hasil laut sebanyak 25 ton/ha/tahun. Keanekaragaman
species
digunakan
sebagai
indikator
stabilitas
lingkungan. Selain itu, species itu sendiri penting karena fungsinya bertindak dalam menimbulkan jasa ekologis yang bernilai ekonomis.
Keanekaragaman
secara fungsional menentukan ketahanan (resilience) ekosistem atau sensitivitas ekosistem (Holling et al 1996). Jumlah species dan komposisi species ikan merupakan indikator integritas biotik ekosistem perairan (Karr 2002). Menurut Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990 dalam DKP (2002) terdapat 4 (empat) kategori kawasan lindung yaitu : (1) Kawasan yang memberikan Perlindungan bagi kawasan bawahannya meliputi: Kawasan hutan lindung yaitu kawasan hutan yang terletak di pesisir dan telah ditetapkan sebagai Hutan Lindung (Perda RTRW); Kawasan bergambut yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut yang berfungsi mengendalikan faktor hidrologi wilayah dan melindungi ekosistem yang khas; dan Kawasan resapan air atau sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) (2) Kawasan perlindungan setempat meliputi: Kawasan sempadan pantai yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi pantai, minimal 100 meter dari pasang tertinggi ke arah darat; Kawasan sekitar mata air atau DAS. Pada daerah pesisir, kawasan mata air yang perlu dilindungi terutama yang terdapat di pulau-pulau kecil; (3) Kawasan suaka alam dan cagar budaya, Kawasan Perlindungan terhadap kawasan suaka alam dilakukan untuk melindungi keanekaragaman biota, ekosistem tertentu, gejala dan keunikan alam bagi kepentingan plasma nutfah, ilmu pengetahuan dan pembangunan pada umumnya. Kawasan
15
Suaka Alam dan Cagar Budaya adalah Kawasan Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Kawasan Taman Nasional dan Kawasan Taman Wisata Alam yang dapat ditemukan di wilayah daratan dan perairan pesisir. (4) Kawasan rawan bencana alam, perlindungan terhadap kawasan rawan bencana alam dilakukan untuk melindungi manusia dan kegiatannya dari bencana yang disebabkan oleh faktor alam dan faktor manusia. Kawasan konservasi didasarkan atas kategori IUCN (1980): Strict Nature Reserve/Wilderness Area (kawasan cadangan alam/hutan belantara); National Park (Taman Nasional);
Natural Monument Area (Kawasan
Monumen Alam); Kawasan yang dilindungi untuk komponen alami tertentu yang khas dan unik karena kelangkaan wilayah dan jenis biotanya, kualitas estetikanya atau kepentingan budaya; Habitat/Species Management Area (kawasan pengelolaan habitat/ species tertentu); Kawasan lindung yang dikelola untuk kegiatan konservasi. Pada kawasan ini terdapat unsur intervensi
manusia;
Landscape/Seascape
Protected
Area
(kawasan
perlindungan bentang alam/ bentang laut), kawasan yang dilindungi dengan tujuan konservasi bentang alam dan bentang laut; Protected Area (kawasan
Managed Resources
perlindungan bagi pengelolaan sumberdaya);
dan Kawasan lindung yang dikelola untuk keberlanjutan pemanfaatan ekosistem dan sumberdaya pesisir. Kawasan konservasi di wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil memiliki fungsi (Agardy 1997; Barr et al. 1997 dalam Bengen 2002): (1) Melindungi keanekaragaman hayati serta struktur, fungsi dan integritas ekosistem; dapat berkonstribusi untuk mempertahankan keanekaragaman hayati pada semua tingkatan trophik dari ekosistem, melindungi hubungan jaringan makanan, dan proses-proses ekologis dalam suatu ekosistem. (2) Meningkatkan
hasil
perikanan;
dapat
melindungi
daerah
pemijahan,
pembesaran dan mencari makanan; meningkatkan kapasitas reproduksi dan stok sumberdaya ikan. (3) Menyediakan tempat rekreasi dan pariwisata; dapat menyediakan tempat untuk kegiatan rekreasi yang bernilai ekologis dan estetika. (4) Memperluas pengetahuan dan pemahaman tentang ekosistem; dapat meningkatkan pemahaman dan kepedulian masyarakat terhadap ekosistem pesisir, laut dan pulau-pulau kecil.
16
(5) Memberikan manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat pesisir; dapat membantu masyarakat dalam mempertahankan basis ekonominya melalui pemanfaatan sumberdaya dan jasa-jasa lingkungan secara berkelanjutan.
2.3. Penzonasian Kawasan Konservasi Kawasan Konservasi Prairan didefinisikan sebagai kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Pengertian KKP menurut UU 31/2004 tentang perikanan serta perubahannya (UU 45/2009) dan PP no 60/2007 tentang konservasi sumberdaya ikan, paling tidak memuat dua hal penting yang menjadi paradigma baru dalam pengelolaan konservasi. Pertama, Pengelolaan KKP diatur dengan sistem zonasi. Empat pembagian zona yang dapat dikembangkan didalam KKP yakni zona inti, zona perikanan berkelanjutan,
zona
pemanfaatan
dan
zona
lainnya.
Zona
perikanan
berkelanjutan tidak pernah dikenal dan diatur dalam regulasi pengelolaan kawasan konservasi menurut Undang-Undang No 5 tahun 1990 dan PP 58/1998. Kedua, dalam hal kewenangan, pengelolaan kawasan konservasi yang selama ini menjadi kewenangan pemerintah pusat, Berdasarkan Undang-Undang 27/2007 dan PP 60/2007 serta Permen Men KP No 02/2009, pemerintah daerah diberi kewenangan dalam mengelola kawasan konservasi diwilayahnya. Hal ini sejalan dengan mandat UU 32/2004 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU no 12/2008 tentang pemerintahan daerah terkait pengaturan pengelolaan wilayah laut dan konservasi. Penetapan KKP merupakan salah satu upaya konservasi ekosistem yang dapat dilakukan terhadap semua ekosistem, yaitu terhadap satu atau beberapa tipe ekosistem penting untuk dikonservasi berdasarkan kriteria ekologis, ekonomi dan sosial budaya. Konservasi saat ini telah menjadi tuntutan dan kebutuhan yang harus dipenuhi sebagai harmonisasi atas kebutuhan ekonomi masyarakat dan keinginan untuk terus melestarikan sumberdaya yang ada bagi masa depan. Data direktorat konservasi kawasan dan jenis ikan (KKJI) menyebutkan bahwa sampai akhir tahun 2010 tercatat 13,9 juta hektar kawasan konsrrvasi perairan laut di Indonesia. Salm dan Clark (1982), pemilihan Marine Protected Area bergantung pada tujuan pembentukannya yaitu: (1) tujuan sosial,
pengembangannya untuk
17
rekreasi, pendidikan dan penelitian serta peninggalan sejarah dan situs budaya, kriterianya ditekankan pada faktor keselamatan; (2) tujuan ekonomi, perhatian utama pada perlindungan wilayah pesisir, pemeliharaan perikanan atau pengembangan wisata dan industri yang sesuai, kriteria ditekankan pada intensitas
eksploitasi
sumberdaya,
memiliki
potensi
nilai
ekonomi
dari
sumberdaya serta tingkat ancaman terhadap sumberdaya yang ada; dan (3) tujuan ekologi, seperti pemeliharaan keragaman genetik, proses ekologis, pemulihan kembali species, kriteria ditekankan pada keunikan, keragaman dan sifat alamiah lokasi. Zonasi merupakan salah satu metode pengelolaan wilayah pesisir (Clark 1974). Zonasi mempunyai dua tujuan yaitu pencegahan kerusakan dan kemudahan pengaturan. Zonasi diharapkan dapat mengurangi konflik antar pengguna sumberdaya dan lingkungan sehinga keberlanjutan pembangunan dapat tercpai. Secara umum sangat sedikit alasan ekologis yang dijadikan dasar untuk menentukan batas dan zonasi kawasan konservasi, karena selama ini batas kawasan konservasi didasarkan pada karakteristik geologis kawasan, batas administratif atau faktor biaya. Tidak ada aturan baku yang menetapkan ukuran optimal dan rancangan dari suatu kawasan konservasi, yakni : kategori disagregasi (sekelompok kawasan konservasi yang berukuran kecil), dan kategori agregasi (suatu kawasan konservasi yang berukuran besar). Setiap kategori ukuran memiliki keunggulan sendiri. Kawasan konservasi yang berukuran kecil dapat mendukung kehidupan lebih banyak jenis biota dengan relung yang berbeda-beda, serta tidak merusak semua kawasan konservasi secara bersamaan bila terdapat bencana. Kawasan konservasi yang berukuran besar menuntut adanya zonasi kawasan untuk dapat mendukung pengelolaan yang efektif bagi berbagai pemanfaatan secara berkelanjutan. Dengan adanya zonasi maka pemanfaatan sumberdaya alam dapat dikontrol secara efektif guna mencapai sasaran dan tujuan kawasan konservasi. Pengelolaan zona dalam kawasan konservasi didasarkan pada luasnya berbagai pemanfaatan sumberdaya kawasan. Aktivitas di dalam setiap zona ditentukan oleh tujuan kawasan konservasi, sebagaimana ditetapkan dalam rencana pengelolaan. Secara umum zona-zona di suatu kawasan konservasi dapat dikelompokkan atas 3 (tiga) zona (Budiharsono 2006) :
18
(1) Zona inti Habitat di dalam zona ini memiliki nilai konservasi yang tinggi, sangat rentan terhadap gangguan atau perubahan, hanya dapat mentolerir sangat sedikit aktivitas manusia. Zona inti harus dikelola dengan tingkat perlindungan yang tinggi serta tidak dapat diijinkan adanya aktivitas eksploitasi. (2) Zona penyangga Merupakan zona transisi antara zona inti (zona konservasi) dengan zona pemanfaatan. Penyangga di sekeliling zona inti ditujukan untuk menjaga zona inti dari berbagai aktivitas pemanfaatan yang dapat mengganggu dan melindungi zona inti dari pengaruh eksternal, bersifat lebih terbuka, tapi tetap dikontrol dan beberapa pemanfaatan masih dapat diijinkan. (3) Zona pemanfaatan Zona pemanfaatan masih memiliki nilai konservasi tertentu, tetapi dapat mentolerir berbagai tipe pemanfaatan oleh manusia dan layak bagi beragam kegiatan eksploitasi yang diijinkan dalam suatu kawasan konservasi. Penzonasian tersebut ditujukan untuk membatasi tipe-tipe habitat penting untuk perlindungan keanekaragaman hayati dan konservasi sumberdaya ekonomi sebagaimana sasaran kawasan konservasi di wilayah pesisir. Menurut Salm (2000), bahwa daerah perlindungan laut dapat membantu mewujudkan tiga tujuan utama dari konservasi sumberdaya alam (IUCN 1980) yaitu : (1) mempertahankan proses ekologi yang penting dan sistem pendukung kehidupan; (2) mempertahankan keanekaragaman genetik dan; (3) Menjamin pemanfaatan spesies dan ekosistem yang berkelanjutan. Kawasan konservasi perairan dapat berperan dalam mempertahankan biodiversity, genetic diversity, ekosistem
dan
proses
ekologi,
menjamin
pemanfaatan
sumberdaya
berkelanjutan; melindungi spesies ekonomis; mengembalikan stok yang hilang; pendidikan dan penelitian; memberikan perlindungan dari bencana alam; menjadi tujuan rekreasi dan pariwisata; dan memberikan keuntungan sosial dan ekonomi. Pengelolaan kawasan konservasi berdasarkan pada sistem zonasi yang ada di dalamnya meliputi zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan dan zona lainnya. Pada zona inti, umumnya diberlakukan no-take zone atau penutupan area dari berbagai macam kegiatan eksploitasi. Pembuktian ilmiah sudah cukup kuat menyatakan bahwa KKP dengan suatu kawasan no-take zone yang cukup substansial di dalamnya menyebabkan
19
peningkatan biomas ikan, ukuran ikan yang lebih besar, dan komposisi spesies yang lebih alami. Misalnya KKP di St. Lucia yang terdiri dari 5 KKP yang berukuran kecil, diketahui telah meningkatkan hasil tangkapan nelayan tradisional antara 40-90%, sementara kawasan perlindungan laut di Merrit Island National Wildlife Refuge (Florida) telah meningkatkan persediaan jumlah dan ukuran ikan bagi pemancing rekreasional di perairan sekitarnya sejak tahun 1970 an (Robert and Hawkins 2000 dalam Wiadnya et al. 2005). Mekanisme peningkatan biomas dan ukuran individu ikan ekonomis penting di dalam zona inti dapat memberikan manfaat bagi perikanan komersial di sekitarnya melalui: (1) penyebaran ikan muda dan dewasa dari dalam kawasan larang-ambil ke wilayah perikanan di sekitarnya, “spill-over”, (2) ekspor telur dan larva yang bersifat planktonik dari wilayah larang-ambil ke wilayah perikanan di sekitarnya, dan (3) mencegah hancurnya perikanan tangkap secara keseluruhan jika pengelolaan perikanan di luar zona inti mengalami kegagalan. Selain dapat mempertahankan kondisi ekosistem, zona inti juga dimaksudkan agar induk ikan karang mempunyai daerah agregasi sehingga fertilisasi lebih banyak terjadi. Dengan demikian maka terjadi peningkatan rekruitmen dan penyebaran juvenile ikan ke luar zona inti. Oleh sebab itu, manfaat kawasan konservasi perairan lebih terlihat pada organism sedentary. Keuntungan lain dari KKP
dibanding
alat
pengelolaan
perikanan
seperti
pengaturan
usaha,
pengaturan kuota dan alat tangkap adalah bahwa pengaruh penutupan wilayah di dalam kawasan bisa menjadi penjelasan yang cukup tajam kepada para pihak, khususnya jika penutupan wilayah tersebut mencakup wilayah pemijahan atau pendederan (Wiadnya et al. 2005). Pengelolaan kawasan konservasi
secara terintegrasi bertujuan untuk
mencapai pembangunan yang berkelanjutan serta perlindungan atas habitat dan sumberdaya alam. Dalam arti, skema pengelolaan membutuhkan penyatuan dalam hal dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, politik dan kelembagaan. Dimensi ekologi mensyaratkan: a) aktivitas harus didasari perimbangan ekologi dan perencanaan spatial serta perencanaan penggunaan lahan merupakan puncak aktivitas yang sangat penting; b) kegiatan yang ada saat ini dan di masa mendatang harus terencana dan dikelola agar limbah yang dihasilkan di bawah kapasitas asimilasi; c) sumberdaya alam yang dapat diperbaharui tidak dieksploitasi di atas kapasitas regenerasi. Dimensi sosial-ekonomi dan budaya, pembangunan harus menyediakan kebutuhan dasar manusia dan pelayanannya
20
dalam kerangka kapasitas regenerasi ekosistem asli. Dimensi sosial politik, aktivitas masa depan harus menjamin pengikutsertaan masyararakat dan bentuk partisipasi aktif pada setiap pengambilan keputusan. Dimensi kelembagaan, instansi pemerintah bertanggung jawab dalam integrasi dan koordinasi pembangunan dengan undang-undang maupun peraturan yang menjamin pelaksanaan yang bijaksana setiap aktivitas pembangunan yang dijalankannya (Cincin-Sain et al. 2002).
2.4. Konservasi dan Pariwisata Bahari Konservasi dan pariwisata bahari merupakan kegiatan yang saling menunjang sehingga dari segi ruang dan waktu dapat dipadukan. Pariwisata bahari memerlukan keaslian dan keindahan flora dan fauna yang sebagian berasal dari kawasan konservasi, sebaliknya kawasan konservasi terlindungi apabila masuk dalam kawasan pariwisata. Halim (1998), pengelolaan kawasan konservasi laut memerlukan zona tertentu untuk menunjang mata pencaharian masyarakat
pesisir
maupun
kegiatan
lainnya
sesuai
azas
kelestarian.
Pengelolaan disadari tiga aspek konservasi : perlindungan ekosistem penyangga kehidupan; pengawetan plasma nutfah, dan pelestarian pemanfaatan. Kawasan Konservasi Laut (KKL) telah menunjukkan manfaat yang berarti berupa peningkatan biomas. Hasil studi Halpern (2003), menunjukkan bahwa secara
rata-rata,
kawasan
konservasi
telah
meningkatkan
kelimpahan
(abundance) sebesar dua kali lipat, sementara biomas ikan dan keaneka ragaman hayati meningkat tiga kali lipat. Peningkatan kelimpahan dan biomass ini mengakibatkan pula peningkatan terhadap produksi perikanan (jumlah tangkap dan rasio tangkap per unit upaya atau CPUE). Beberapa studi menunjukan bahwa kawasan konservasi telah meningkatkan rasio CPUE dalam kisaran 30- 60% dari kondisi sebelum kawasan konservasi. Sementara itu dari sisi riil effort (jumlah trip), studi di Apo Island. Philippine dan George Bank di Amerika Serikat, telah menunjukan penurunan yang berarti. Hasil studi yang dipublikasikan pada jurnal ilmiah tanggal 5 Juli 2002, menyatakan bahwa perancangan kawasan laut “larang ambil” menjadi penting untuk menjamin hasil perikanan dalam jangka panjang karena penutupan tersebut mampu melestarikan variasi genetis, dilihat dari parameter ukuran ikan dan tingkat pertumbuhan, disebabkan karena pada situasi dieksploitasi, nelayan
21
secara selektif memilih ikan yang berukuran besar dan tidak memilih yang berukuran kecil dan tidak produktif (MPA News 2002). Dampak konservasi bagi pengelola yaitu: (1) Kawasan Konservasi Laut menyediakan alasan ekonomi bagi perlindungan secara tegas terhadap tempat yang diketahui dan potensial sebagai tempat-tempat pemijahan, (2) Taman Nasional Komodo (TNK), tempat pemijahan tersebut secara nyata mempunyai nilai ekonomi setara dengan nilai rekreasi dari fungsi taman nasional secara keseluruhan, dan (3) usaha-usaha perlindungan menyeluruh yang konsisten dengan melindungi daerah penangkapan di mana sebagian besar rumah tangga tergantung pada wilayah di luar lokasi TNK (Ruitenbeek 2001). Keuntungan yang nyata telah dibuktikan di beberapa tempat dimana terumbu karang sudah dilindungi dengan baik, termasuk pada beberapa lokasi sebagai berikut: Netherlands Antilles (Taman Nasional Laut Bonaire), dimana pariwisata selam meningkat; the Seychelles (Taman Nasional Laut Ste. Anne), dimana taman nasional digunakan baik oleh turis maupun penduduk setempat untuk berenang, berlayar, snorkeling, selam, dan perjalanan perahu beralas kaca; Fiji (Tai Island), dimana hasil tangkapan nelayan kecil meningkat, kegiatan pariwisata berkembang pesat, dan pemegang hak penangkapan tradisional (eksklusif) dilibatkan dalam pengelolaan resort dan penyewaan perahu; Cozumel Island (Mexican Caribbean) dimana terjadi peningkatan jumlah wisatawan lokal dan manca negara yang datang untuk menyaksikan melimpahnya ikan-ikan karang; dan Kenya (Taman Nasional dan Cagar Alam Malindi/Watamu), dimana pariwisata menghasilkan pendapatan melalui tiket masuk, biaya pemandu dan biaya camping, penyewaan perahu dan peralatannya, serta hotel. Keuntungan tidak langsung dengan adanya permintaan terhadap lapangan pekerjaan di hotelhotel, sebagai pemandu dan pengemudi perahu (McNeely et al. 1994). Penurunan hasil tangkap secara global dilaporkan oleh FAO (2002), 47% stok mengalami eksploitasi penuh, 15-18% stok mengalami over-eksploitasi, dan 9% stok telah terdeplesi. Gomez (1999) menyatakan bahwa di Asia tenggara, seluruh perairan pesisir sampai 15 km dari darat mengalami overfishing. Di Indonesia, Fauzi dan Anna (2002) menunjukkan sumberdaya ikan di perairan Pantai Utara Jawa telah terdepresiasi sebesar 20 milyar rupiah per tahun. Untuk terumbu karang, di kawasan Indonesia menunjukkan bahwa proporsi yang terdegradasi meningkat dari 10-50% (Hopley dan Suharsono 2000). Walaupun terumbu karang di wilayah Indonesia Timur masih dalam kondisi lebih baik daripada di Indonesia Barat, namun kondisinya menurun dalam laju yang cukup
22
tinggi. Berdasarkan studi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), hanya 10% terumbu karang di wilayah timur Indonesia dalam kondisi sangat baik (excellent) tutupan lebih dari 50% terumbu karang hidup, sisanya 31,8% diklasifikasikan dalam kondisi buruk (25% tutupan terumbu karang hidup), (Hopley dan Suharsono 2000). Prinsip dari konservasi adalah spill over effect atau dampak limpahan dimana pada kawasan yang dilindungi, stok ikan akan tumbuh dengan baik dan limpahan dari pertumbuhan ini akan mengalir ke wilayah di luar kawasan yang kemudian dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan tanpa mengurangi sumber pertumbuhan di daerah yang dilindungi. Konservasi memiliki banyak manfaat yang signifikan yang akan membantu pengelolaan sumberdaya kelautan dalam jangka panjang. Li (2000) merinci manfaat KKL sebagai berikut: manfaat biogeografi, keaneka ragaman hayati, perlindungan terhadap spesies endemic dan spesies langka, perlindungan terhadap spesies yang rentan dalam masa pertumbuhan, pengurangan mortalitas akibat penangkapan,peningkatan produksi pada wilayah yang berdekatan, perlindungan pemijahan, manfaat penelitian, ekoturisme, pembatasan hasil samping ikan juvenil (juvenile by catch) dan peningkatan produktifitas perairan (productivity enchancement).
2.5. Penataan Ruang (Zonasi) Zonasi adalah sistem pembentukan wilayah daratan atau perairan untuk dialokasikan pada penggunaan yang spesifik; pembagian wilayah khusus ke dalam beberapa zona dimana tiap zona direncanakan untuk penggunaan atau kumpulan penggunaan khusus (Clark 1977). Zonasi merupakan proses pengaturan membagi wilayah secara geografis ke dalam sub wilayah, dimana tiap sub wilayah dirancang untuk penggunaan khusus. Kay dan Alder 2005, zonasi didasarkan pada konsep pemisahan dan pengontrolan pemanfaatan yang tidak sesuai secara spasial, yang diterapkan dalam berbagai situasi dan dapat dimodifikasi untuk disesuaikan dengan berbagai lingkungan ekologi, sosial ekonomi dan politik.
Sebagian ahli
berpendapat bahwa zonasi adalah pembagian kawasan (lindung dan budidaya) berdasarkan potensi dan karakteristik sumberdaya alam untuk kepentingan perlindungan dan pelestarian serta pemanfaatan guna memenuhi kebutuhan manusia secara berkelanjutan. Penataan ruang merupakan kegiatan yang cukup kompleks karena bersifat multi sektor, multi proses dan multi disiplin. Aspek yang
23
harus dikaji dalam pennataan ruang pesisir dan PPK, yaitu aspek ekologi (biofisik), sosial ekonomi, budaya dan kebijakan. Dalam kaitan dengan sistem pengelolaannya, penataan sistem zonasi Taman Nasional yaitu pembagian ruang berdasarkan peruntukan dan kepentingan pengelolaan, seperti zona inti, zona pemanfaatan dan zona lainnya sesuai peruntukannya. Pada prinsipnya, sistem zonasi adalah pengaturan ruang untuk mengatur jenis kegiatan manusia di dalam kawasan, sehingga dapat saling mendukung dan diharapkan dapat mengakomodasi semua kegiatan masyarakat di sekitar kawasan. UU No. 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil, pemerintah telah mengatur bahwa pemanfaatan PPK dan perairan di sekitarnya dilakukan berdasarkan kesatuan ekologis dan ekonomi secara menyeluruh dan terpadu dengan pulau besar di dekatnya serta diprioritaskan untuk salah satu atau lebih kepentingan: konservasi; pendidikan dan pelatihan; penelitian dan pengembangan; budidaya laut; pariwisata; usaha perikanan dan kelautan dan industri perikanan secara lestari; pertanian organik, dan/atau; peternakan. Kebijakan KKL merupakan bagian dari kebijakan pembangunan wilayah pesisir, laut dan PPK, karena itu arah kebijakan mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan, sehingga diperlukan arahan kebijakan pengelolaan secara terpadu sesuai pendapat Stephen B. Olsen (2002) bahwa pengelolaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan dilakukan secara menyeluruh dalam merencanakan serta memanfaatkannya secara optimal dan berkelanjutan. Pengelolaan
tersebut
dilakukan
secara
kontinyu
dan
dinamis
dengan
mempertimbangkan aspek sosial-ekonomi-budaya dan aspirasi pengguna, daya dukung lingkungan pesisir, serta konflik kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya.
2.6. Daya Dukung Lingkungan Daya
dukung
(carrying
capacity)
didefinisikan
sebagai
intensitas
penggunaan maksimum terhadap sumberdaya alam yang berlangsung secara terus menerus tanpa merusak alam ( Pearce dan Kirk 1986). Kapasitas lingkungan adalah satu konsep kunci pada ide dari pembangunan berkelanjutan (GESAMP 2001),karena itu harus untuk
meningkatkan
tertuju pada beberapa inisiatif mendisain
pengembangan
berkelanjutan.
Pengertian
kapasitas
lingkungan (kapasitas asimilasi) adalah “satu hak milik dari lingkungan dan
24
kemampuan untuk mengakomodasi satu aktivitas tertentu tanpa mengakibatkan dampak yang tidak dapat diterima”. Kapasitas atau daya dukung lingkungan dapat menaksir dampak kumulatif atau dampak kombinasi dan tingkatan yang layak (acceptable level) dari perubahan lingkungan yang sesuai dengan tujuan manajemen lingkungan. Dengan mengestimasi
kapasitas total, maka pemanfaatan lingkungan yang
berbeda-beda (akuakultur, pemanfaatan lain dan komponen ekosistem alami) dapat dialokasikan. Menurut Bengen (2002), konsep daya dukung didasarkan pada pemikiran bahwa lingkungan memiliki kapasitas maksimum untuk mendukung pertumbuhan suatu organisme. Konsep ini dikembangkan untuk mencegah kerusakan atau degradasi sumberdaya alam dan lingkungan. Daya dukung dapat dinaikkan kemampuannya oleh manusia dengan memasukkan dan menambahkan ilmu dan teknologi kedalam suatu lingkungan. Namun peningkatan daya dukung lingkungan memiliki batas-batas dimana pada keadaan tertentu cenderung sulit atau tidak ekonomis lagi bahkan tidak mampu lagi dinaikkan kemampuannya karena akan terjadi kerusakan pada sumberdaya. Penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak bijaksana justru akan menghancurkan daya dukung lingkungan. Di alam dikenal the law of limiting factors, yang menyatakan adanya batas minimum dan maksimum dalam alam (Gambar 2). Diluar batas toleransi ini, akan terjadi kerusakan sumberdaya alam dan ekosistem, bahkan berpeluang untuk terjadinya kehancuran sumberdaya dan ekosistem. Disamping itu, daya dukung tidak hanya dilakukan dalam penilaian aspek fisik dan ekologis saja tetapi juga digunakan dalam memperkirakan nilai daya dukung sosial, misalnya penilaian terhadap terjadinya perubahan perilaku sosial sumberdaya alam dan lingkungan adalah penting untuk menentukan bentuk pengelolaan terhadap sumberdaya terutama dalam
Kenaikan Daya Dukung
tujuan menjaga, mengendalikan, dan melestarikan lingkungan. Minimum Limits
Maksimum Limits
Daya Dukung Rusak
Daya Dukung Rusak Faktor-Faktor Lingkungan
Gambar 2.The Law of Limiting Factors dari daya dukung (Suratmo 1992 dalam Rauf, 2007)
25
Daya dukung lingkungan sangat erat kaitannya dengan kapasitas asimilasi dari lingkungan yang menggambarkan jumlah limbah yang dapat dibuang kedalam lingkungan tanpa menyebabkan polusi. Bengen (2002) Daya Dukung dapat dibedakan atas : 1.
Daya
Dukung
Ekologis,
dinyatakan
sebagai
tingkat
maksimum
penggunaan suatu kawasan atau ekosistem, baik berupa jumlah maupun kegiatan yang diakomodasikan di dalamnya, sebelum terjadi suatu penurunan kualitas ekologis kawasan atau ekosistem. Kawasan yang menjadi perhatian utama dalam penilaian daya dukung ekologis adalah jenis kawasan atau ekosistem yang tidak dapat pulih, seperti berbagai ekosistem lahan basah (wetland) antara lain rawa. Pendekatan ekologis, digunakan untuk menentukan indikator kerusakan ekosistem atau lingkungan akibat kegiatan manusia pada suatu kawasan yang antara lain dapat digambarkan oleh adanya berbagai kerusakan seperti pada vegetasi, habitat satwa, degradasi tanah, kerusakan visual objek wisata alam dan berbagai bentuk vandalisme lainnya. Walaupun demikian, penerapan teknologi pencegah dampak negatif terhadap lingkungan dapat meningkatkan daya dukung ekologis atau dapat mencegah penurunan kualitas ekosistem atau lingkungan suatu tempat. 2.
Daya Dukung Fisik, merupakan jumlah maksimum penggunaan atau kegiatan yang dapat diakomodasikan dalam kawasan tanpa menyebabkan kerusakan atau penurunan kualitas kawasan tersebut secara fisik. Kawasan yang telah melampaui kondisi daya dukungnya secara fisik, antara lain dapat dilihat dari tingginya tingkat erosi, pencemaran lingkungan terutama udara dan air sungai/ permukaan, banyaknya sampah kota, suhu kota yang meningkat, konflik sosial yang terjadi pada masyarakat karena terbatasnya fasilitas umum, atau pemadatan tanah yang terjadi pada tempat-tempat rekreasi. Terlampauinya daya dukung fisik suatu kawasan akan berdampak (negatif) tidak saja terhadap aspek fisiknya tetapi juga terhadap aspek-aspek lainnya yaitu aspek-aspek sosial, ekonomi, dan juga ekologis.
3.
Daya Dukung Ekonomi, merupakan tingkat produksi (skala usaha) yang memberikan keuntungan maksimum dan ditentukan oleh tujuan usaha secara ekonomi. Dalam hal ini digunakan parameter kelayakan usaha secara ekonomi.
26
4.
Daya Dukung Sosial, merupakan gambaran dari persepsi seseorang dalam menggunakan ruang pada waktu yang bersamaan, atau persepsi pemakai kawasan
terhadap
kehadiran
orang
lain
secara
bersama
dalam
memanfaatkan suatu area tertentu. Konsep ini berkenaan dengan tingkat confortability atau kenyamanan dan apresiasi pemakai kawasan karena terjadinya atau pengaruh over-crowding pada suatu kawasan. Daya dukung sosial suatu kawasan dinyatakan sebagai batas tingkat maksimum, dalam jumlah dan tingkat penggunaan dalam suatu kawasan dimana dalam kondisi yang telah melampaui batas daya dukung ini akan menimbulkan penurunan dalam tingkat dan kualitas pengalaman atau kepuasan pengguna (pemakai) pada kawasan tersebut. Terganggunya pola, tatanan atau sistem kehidupan dan sosial budaya (indvidu, kelompok) pemakai ruang tersebut, yang dapat dinyatakan sebagai ruang sosialnya, juga merupakan gambaran telah terlampauinya batas daya dukung sosial ruang tersebut. Disamping dampak yang mengganggu kenyamanan atau kepuasan pemakai kawasan, dampak negatif lanjutan dapat terjadi misalnya menurunnya spesies biota di suatu kawasan. Dengan demikian, tahapan untuk menetapkan atau menentukan daya dukung pulau kecil adalah : menetapkan batas-batas, vertikal, horisontal terhadap garis pantai pulau kecil sebagai suatu unit pengelolaan, menghitung luasan wilayah pulau kecil yang dikelola, mengalokasikan zona wilayah menjadi tiga yaitu, zona preservasi, zona konservasi dan zona pemanfaatan, dan menyusun tata ruang pembangunan pada zona konservasi dan zona pemanfaatan. Kemudian melakukan penghitungan potensi dan distribusi sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang tersedia, misalnya stock assesment sumberdaya perikanan, potensi hutan mangrove, pengkajian ketersediaan air tawar, pengkajian tentang kapasitas asimilasi dan pengkajian tentang permintaan internal terhadap sumberdaya alam dan jasa lingkungan.
2.7. Daya Dukung sebagai Dasar Penentuan Peruntukan Lahan Soerianegara (1978), menyatakan bahwa untuk mengetahui daya dukung lahan atau lingkungan, harus diperhitungkan semua potensi yang ada di wilayah yang bersangkutan dan faktor kendala yang mempengaruhi potensi tersebut dalam jangka panjang. Tanda-tanda dilampauinya daya dukung lingkungan
27
adalah adanya kerusakan lingkungan. Selanjutnya dikatakan bahwa untuk populasi manusia batasan daya dukung adalah jumlah individu yang dapat didukung oleh luas sumberdaya dan lingkungan. Dalam upaya pengembangan dan pemanfaatan sumberdaya alam, faktor daya dukung lahan/lingkungan merupakan faktor yang harus dipertimbangkan. Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa sumberdaya alam dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan apabila dikelola dengan tetap memperhatikan daya dukung lahan dan lingkungannya. Untuk menerapkan konsep daya dukung lahan dalam pengembangan kawasan pesisir dan PPK diperlukan dua faktor pendukung, yaitu: konsumsi perkapita terhadap sumberdaya dan dukungan yang diperlukan manusia, serta kemampuan manusia mengendalikan dan mengelola sumberdaya alam yang sedang dimanfaatkan. Salah satu ukuran utama untuk mempertahankan kelestarian, keberadaan atau optimisasi manfaat dari suatu sumberdaya alam dan lingkungan adalah dengan melakukan penilaian terhadap daya dukungnya. Konsep daya dukung ini, awalnya dikembangkan dan digunakan untuk mempelajari pertumbuhan populasi dalam suatu unit ekosistem. Contoh dari penilaian yang umum dilakukan terhadap perhitungan daya dukung ini adalah perhitungan terhadap ecological capacity (jumlah individu yang dapat didukung oleh suatu habitat). Tujuan utama dari penilaian ini adalah untuk mempertahankan atau melestarikan potensi sumberdaya alam dari areal tersebut pada batas-batas penggunaan yang diperkenankan atau yang dimungkinkan. Nilai yang dihasilkan dari perhitungan atau pendekatan daya dukung dari sumberdaya alam dan lingkungan adalah penting untuk menentukan bentukbentuk pengelolaan terhadap sumberdaya tersebut terutama untuk menjaga, mengendalikan, dan melestarikan lingkungan. Penilaian yang sistematik terhadap sumberdaya alam dan lingkungan yang menjadi dasar dari kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya dilakukan terutama untuk mengetahui potensinya. Dengan pendekatan ini maka akan dapat diketahui kapasitas dari suatu kawasan atau ekosistem yang dinilai, yang selanjutnya akan dapat merupakan ukuran dan/atau nilai pendugaan terhadap kualitas sumberdaya alam dan lingkungan. Mengingat rentannya ekosistem PPK, pemerintah melakukan pembatasan kegiatan yang sudah terbukti menimbulkan dampak negatif yang
28
luas,baik secara ekologis maupun sosial. Pemerintah hanya mengizinkan pengelolaan PPK untuk konservasi dan mariculture yang lestari.
2.8. Keberlanjutan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Keberlanjutan (sustainability) dijadikan salah satu tujuan pengelolaan ekosistem pesisir karena hal ini telah diamanatkan dalam Deklarasi yang dihasilkan oleh United Nations Conference on Enviornment and Development yang diselenggarakan di Rio de Janeiro, Brasil, pada tahun 1992. Pembangunan berkelanjutan mensyaratkan keserasian antara laju kegiatan pembangunan dengan daya dukung (carrying capacity) lingkungan alam – untuk menjamin tersedianya aset sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) yang minimal sama untuk generasi mendatang (Bengen 2004). Suatu kegiatan
pembangunan
dinyatakan
pembangunan
secara
ekonomis,
berkelanjutan.
Berkelanjutan
berkelanjutan,
ekologis
secara
dan
ekonomis
apabila
sosial berarti
politik bahwa
kegiatan bersifat kegiatan
pembangunan harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital (capital maintenance), dan penggunaan semberdaya serta investasi secara efisien. Berkelanjutan secara ekologis mengandung arti, bahwa kegiatan dimaksud harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung
lingkungan,
dan
konservasi
sumberdaya
alam
termasuk
keanekaragaman hayati (biodiversity), sehingga diharapkan pemanfaatan sumberdaya dapat berkelanjutan (Cicin-Sain dan Knecht 1998). Keanekaragaman
spesies
digunakan
sebagai
indikator
stabilitas
lingkungan (De Santo, 2000). Selain itu, spesies penting karena fungsinya bertindak dalam menimbulkan atau memunculkan jasa ekologis yang memang bernilai ekonomis bagi manusia (Perrings et al 2003). Keanekaragaman spesies secara fungsional menentukan ketahanan (resilience) ekosistem atau sensitivitas ekosistem (Holling et al 2002). Jumlah spesies dan komposisi spesies ikan merupakan dua dari beberapa indikator integritas biotik ekosistem perairan (Karr 2002). Integritas biotik adalah suatu ekosistem yang berubah baik secara struktur maupun secara fungsional akibat aktivitas manusia (Hocutt 2001). Oakerson (1992), mengajukan tiga alasan pentingnya melakukan kajian hubungan antara atribut-atribut tersebut dengan keberlanjutan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut adalah sebagai berikut:
29
1. Sumberdaya perikanan termasuk terumbu karang memiliki kapasitas relatif dalam mendukung usaha nelayan secara simultan tanpa adanya benturan di antara mereka atau adanya dampak yang merugikan bagi nelayan tertentu yang timbul karena nelayan lain menangkap ikan dalam jumlah yang lebih banyak. 2. Analisis sifat ekologi harus diarahkan untuk menentukan secara akurat faktor-faktor pembatas sumberdaya utama adalah potensi dan jenis serta mobilitasnya di dalam kawasan yang dikelola. 3. Derajat
aksesibilitas
terhadap
sumberdaya.
Keterbatasan
potensi
sumberdaya berarti bahwa akses terhadap sumberdaya sulit dan mahal. Oleh karena itu tindakan seseorang untuk berhenti memanfaatkan sumberdaya merupakan sesuatu yang jarang terjadi. Begitu seseorang sudah
memiliki
akses
dan
berada
dalam
proses
pemanfaatan
sumberdaya, akan sulit baginya untuk berhenti melakukannya. Oleh karena itu, sumberdaya terumbu karang dimanfaatkan secara bersamasama dalam suatu bentuk kompetisi di antara pengguna. Dengan demikian, ada saling ketergantungan di antara pengguna. Aksi seseorang akan memberi dampak kepada yang lain dan selanjutnya membuat orang lain melakukan aksi serupa. Jadi interaksi di antara pengguna cenderung menjurus kepada pertentangan atau konflik di antara mereka. Christie et al, (2003), bahwa dukungan seluruh pemangku kepentingan wilayah pesisir merupakan faktor penting terhadap keberlanjutan program. Konflik kepentingan, atau bahkan hanya konflik persepsi, di antara konsituen akan memelihara ketidakpuasan di antara mereka apabila tidak diambil langkahlangkah proaktif. Ketidak puasan di antara satu konstituen atau lebih, apabila tidak diselesaikan dengan cara yang bijak, bisa mengakibatkan terancamnya keberlanjutan kegiatan pengelolaan sumberdaya pesisir karena mereka akan melanggar kesepakatan atau peraturan yang ada dan disepakati. Proses perencanaan dan pengambilan keputusan yang inklusif, transparan, dan didukung oleh pengetahuan ilmiah dirancang untuk mencapai beberapa keluaran penting yang berpengaruh terhadap keberlanjutan pengelolaan sumberdaya
pesisir.
Keluaran-keluaran
dari
proses
perencanaan
dan
pengambilan keputusan ini sejalan dengan yang dianggap sebagai 6 (enam) parameter keberlanjutan pengelolaan sumberdaya pesisir oleh Bengen (2003) sebagai berikut: (1) sesuai dengan kebijakan-kebijakan setempat, baik kebijakan
30
formal maupun informal; (2) sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat;
(3)
didukung
oleh
ketersediaan
sumberdaya
manusia
dan
kelembagaan; (4) keterlibatan aktif stakeholder; (5) memiliki rencana dan program yang jelas; (6) memiliki dampak terhadap lingkungan termasuk sosial budaya dan ekonomi masyarakat setempat. Keenam faktor ini tentu akan lebih lengkap dengan tambahan faktor ketujuh (7) dukungan informasi ilmiah. Batas-batas spasial sumberdaya terumbu karang menentukan skala minimum suatu tatanan pengelolaan sumberdaya itu sendiri. Berdasarkan batas geografis suatu sumberdaya dapat ditentukan batas-batas fisik lainnya, terutama yang berkaitan dengan teknologi pemanfaatan sumberdaya. Dimensi teknologi diperlukan secara khusus di daerah dimana pemanfaatan langsung terhadap terumbu karang merupakan bagian yang dominan. Di kawasan pesisir umumnya mata pencaharian penduduk yang dominan adalah pemanfaatan sumberdaya laut, seperti perikanan, karena itu dimensi teknologi sebaiknya dipertimbangkan secara khusus (Susilo, 2003). Dimensi teknologi mencerminkan seberapa jauh penggunaan teknologi dapat meminimumkan resiko kegagalan keberlanjutan pemanfaatan terumbu karang. Dimensi sosial ekonomi elemen utamanya meliputi aspek permintaan (demand) dan penawaran (supply) komoditas yang dihasilkan dari sumberdaya yang dikelola. Dimensi sosial ekonomi seperti harga dan struktur pasar merupakan
insentif
atau
disinsentif
bagi
terbentuknya
suatu
tatanan
kelembagaan pengelolaan terumbu karang serta derajat kepatuhan masyarakat terhadap tatanan tersebut. Hal ini karena disamping sebagai kegiatan yang berbasis sumberdaya alam (natural resourcebased activity), terumbu karang merupakan kegiatan ekonomi yang berbasis pasar (market-based activity).
2.9. Multidimensional Scaling Tujuan pendekatan multidimensional scaling yang digunakan disini adalah untuk melihat keragaan (performance) pengelolaan kawasan konservasi di tinjau dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial dan kelembagaan yang selanjutnya dapat digunakan sebagai pedoman untuk mengevaluasi akuntabilitas dan keberlanjutan pengelolaan kawasan konservasi. Analisis
multidimensional
scaling
(MDS)
digunakan
untuk
mempresentasikan similaritas/ disimilaritas antar pasangan individu dan karakter/variabel (Young et al 1987). Sickle (1997) menyatakan bahwa MDS
31
dapat mempresentasikan metode ordinasi secara efektif. MDS adalah metode ordinasi dengan basis jarak antar obyek/point dalam dua atau tiga dimensi. Dalam evaluasi kondisi sumberdaya pesisir, masing-masing kategori yang terdiri dari beberapa atribut di skor. Skor secara umum di rangking antara 0 sampai 2. Hasil skor dimasukan ke dalam tabel matrik dengan I baris yang mempresentasikan pengelolaan kawasan konservasi dan J kolom yang mempresentasikan skor atribut. Data didalam matrik tersebut adalah data interval yang menunjukan skoring baik dan buruk. Skor data tersebut kemudian dinormalkan untuk meminimalkan stress (Davison dan Skay 1991). Analisis MDS merupakan salah satu metode multivariate yang dapat menangani data yang non-metrik. Metode ini juga dikenal sebagai salah satu metode ordinasi dalam ruang (dimensi) yang diperkecil (ordination in reduced space). Ordinasi sendiri merupakan proses yang berupa plotting titik obyek (posisi) di sepanjang sumbu yang disusun menurut hubungan tertentu (ordered relationship) atau dalam sebuah sistem grafik yang terdiri dari dua atau lebih sumbu (Legendre dan Legendre 1983). Melalui metode ordinasi, keragaman (dispersion) multidimensi dapat diproyeksikan di dalam bidang yang lebih sederhana dan mudah dipahami. Metode ordinasi juga memungkinkan peneliti memperoleh banyak informasi kuantitatif dari nilai proyeksi yang dihasilkan. Pendekatan MDS telah banyak digunakan untuk analisis ekologis, seperti yang dilakukan oleh Alder et al (2001) untuk mengevaluasi kondisi perikanan tangkap dengan berbagai tipe variabel yang berbasis jarak. Pendekatan ini juga telah dikembangkan untuk analisis lingkungan dimana salah satu metode yang digunakan adalah metode MDS (Nikjkamp et al 1980 dalam Susilo (2003). 2.10. Nilai Ekonomi Sumberdaya Nilai ekonomi diterminologikan sebagai Total Economic Value (TEV) yang merupakan penjumlahan dari nilai ekonomi berbasis pemanfaatan /penggunaan (Use Value = UV) dan nilai ekonomi bukan berbasis pemanfaatan /penggunaan (Non Use Value = NUV) terdiri dari nilai-nilai penggunaan langsung (Direct Use Value = DUV), nilai ekonomi penggunaan tidak langsung (Indirect Use Value = IUV), nilai pilihan (Option Value = OP). Sedangkan nilai ekonomi berbasis bukan pada pemanfaatan (NUV) terdiri dari dua komponen yaitu nilai pewarisan (Bequest Value = BV) dan nilai keberadaan ( Existence Value = EV). Tipologi Nilai Ekonomi Total ( Pearce and Turner, 1980; Pearce and Moran, 1994; Barton, 1994; Barbier, 1994) seperti berikut :
32
Total Economic Value (TEV)
Use Value (UV)
Direct Use Value (DUV)
Indirect Use Value (IUV)
Non Use Value (NUV)
Option Value (OV)
Bequest Value (BV)
Existence Value (EV)
Dimana : TEV
=
Nilai ekonomi total adalah nilai-nilai yang terkandung dalam suatu sumberdaya alam, baik nilai guna maupun nilai fungsional yang harus diperhitungkan dalam menyusun kebijakan pengelolaannya sehingga alokasi dan alternatif penggunaannya dapat ditentukan secara benar dan mengenai sasaran.
UV
=
Nilai berbasis pemanfaatan atau nilai yang diperoleh atas pemanfaatan langsung sumberdaya alam dan lingkungan, termasuk pemanfaatan secara komersial atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam.
NUV
=
Nilai berbasis bukan pemanfaatan
DUV
=
Nilai ekonomi yang diperoleh dari pemanfaatan langsung dari sebuah sumberdaya/ ekosistem
IUV
=
Nilai ekonomi yang diperoleh dari pemanfaatan tidak langsung dari sebuah sumberdaya/ ekosistem.
OV
=
Nilai ekonomi yang diperoleh dari potensi pemanfaatan langsung maupun tidak langsung dari sebuah sumberdaya/ekosistem di masa datang dengan asumsi sumberdaya tersebut tidak mengalami kemusnahan atau kerusakan yang permanen.
BV
=
Nilai ekonomi yang diperoleh dari manfaat pelestarian (perlindungan dan pengawetan) sumberdaya/ekosistem untuk kepentingan generasi masa datang untuk mengambil manfaat dari sumberdaya/ekosistem tersebut.
EV
=
Nilai ekonomi yang diperoleh dari sebuah persepsi bahwa keberadaan (existence) dari sebuah sumberdaya/ekosistem itu ada, terlepas dari apakah sumberdaya/ekosistem tersebut dimanfaatkan atau tidak. Nilai ini berkaitan dengan nilai religius yang melihat adanya hak hidup pada setiap komponen sumberdaya alam.
33
2.11. Pengembangan Sistem Dinamik Sistem adalah suatu gugus dari elemen penting yang berhubungan dan terorganisir untuk mencapai suatu tujuan (Manetsch dan Park 1979 dalam Eriyanto 2007). Pemikiran sistem selalu mencari keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh, diperlukan suatu krangka fikir baru sebagai pendekatan sistem. Dalam pendekatan sistem umumnya ditandai oleh dua hal, yaitu : 1) mencari semua faktor penting yang dalam mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah, dan 2) dibuat suatu model kuantitatif untuk membantu keputusan secara rasional. Untuk bekerja secara sempurna sistem mempunyai delapan unsur
meliputi : 1) metodologi untuk perencanaan dan
pengelolaan, 2) suatu tim yang multidisipliner, 3) pengorganisasian, 4) disiplin untuk bidang yang non kuantitatif, 5) teknik model matematik, 6) teknik simulasi, 7) teknik optimasi, dan 8) aplikasi komputer (Eriyatno 1998). Perilaku sistem diartikan sebagai status sistem dalam suatu periode waktu tertentu, dimana perubahan status sistem diamati melalui dinamika outputnya. Status sistem dapat berkeadaan transien yaitu adanya perubahan output di setiap satuan waktu atau keadaan berkeseimbangan (steady state) yaitu adanya keseimbangan aliran masuk dan keluar. Status sistem juga berkaitan dengan apakah tertutup dimana interaki dengan lingkungan sangat kecil sehingga diabaikan, dan atau terbuka dimana paling sedikit satu elemennya berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam kenyataan sistem tertutup tidak pernah ada, hanya ada dalam anggapan dan kajian analisis (Muhamadi, Aminullah, dan Soesilo 2001). Berdasarkan sifatnya sistem dibagi menjadi dua yaitu sistem dinamis dan sistem statis (Djoyomartono dan Pramudya 1983 dalam Kholil 2005). Sistem dinamik memiliki sifat yang berubah menurut waktu. Sistem dinamik
ditandai
dengan
adanya
”time
delay”
yang
menggambarkan
ketergantungan out put terhadap variabel input pada periode waktu tertentu. Sedangkan sistem statis adalah sistem yang nilai out putnya tidak tergantung pada nilai inputnya. Karakteristik pendekatan sistem adalah : 1) kompleks, dimana interaksi antar elemen cukup rumit, 2) dinamis, dalam arti faktor yang ada berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan, dan 3) probabilistik, yaitu diperlukannya fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi (Eriyatno 1999 dan Kholil 2005). Pendekatan sistem menekankan pada tiga filosofi dikenal dengan SHE, yaitu Sibernetik (goal oriented), Holistik dan Efektivitas. Sibernetik artinya dalam penyelesaian permasalahan tidak berorientasi pada problem oriented, tetapi lebih
34
ditekankan pada apa tujuan dari penyelesaian masalah. Efektivitas, sistem yang telah dikembangkan harus dapat dioperasikan. Oleh karena itu sistem harus merepresentasikan
kondisi
nyata
yang
sebenarnya
terjadi
dan
holistik
merepresentasikan penyelesaian permasalahan secara utuh, menyeluruh dan terpadu. Sistem dinamik merupakan sebuah pendekatan yang menyeluruh dan terpadu yang mampu menyederhanakan masalah yang rumit tanpa kehilangan esensi atau unsur utama dari obyek yang menjadi perhatian (Muhamadi 2001). Metodologi sistem dinamik dibangun atas dasar tiga latar belakang disiplin yaitu manajemen tradisionial, teori umpan baik atau cybernetic dan simulasi komputer. Validasi
model sistem
dinamik
adalah suatu proses membangun
kepercayaan pada kegunaan model sebagai alat bantu analisis dan perancangan kebijakan. Dalam proses validasi, sebuah model tidak akan dapat dinyatakan valid
secara
absolut,
jika
tidak
terdapat
bukti
bahwa
model
dapat
merepresetasikan suatu realita dengan benar-benar mirip secara absolut, sehingga dengan melakukan proses pengujian model sistem dinamik terhadap bukti-bukti empiris akan meningkatkan kepercayaan seseorang terhadap model. Pengujian terhadap model sistem dinamik dibagi menjadi tiga kategori : 1. Validasi struktur, yaitu pengujian relasi antar variabel yang ada di dalam model dan disesuaikan dengan keadaan pada sistem yang sebenarnya. 2. Validasi perilaku, yaitu pengujian terhadap kecukupan struktur model dengan melakukan penilaian terhadap perilaku yang dihasilkan model. 3. Validasi implikasi kebijakan, yaitu pengujian terhadap perilaku model terhadap berbagai rekomendasi kebijakan. Menurut Kholil (2005), pengembangan model dinamik terdiri dari 4 tahap, yaitu : 1) Tahap seleksi konsep dan variabel, dilakukan pemilihan konsep dan variabel yang memiliki relevansi cukup nyata terhadap model yang dikembangkan. Dengan kerangka system thinking dilakukan pemetaan cognitif map, bertujuan mengembangkan model abstrak dari keadaan yang sebenarnya. dilanjutkan dengan penelaahan teliti dan mendalam terhadap asumsi, serta konsistensinya terhadap variabel dan parameter berdasarkan hasil diskusi dengan pakar. Variabel yang tidak konsisten dan kurang relevan dibuang. 2) Konstruksi Model (tahap pengembangan model), model abstrak yang telah dikembangkan, direpresentasikan kedalam model dinamiknya dengan bantuan software Stella®Research 9.02 berbasis sistem operasi Windows.
35
3) Tahap
analisis
sensitivitas,
untuk
mengetahui
variabel
mana
yang
mempunyai pengaruh nyata terhadap model, sehingga perubahan variabel tersebut akan mempengaruhi model secara keseluruhan. Variabel-variabel yang kurang (tidak) berpengaruh dalam model dihilangkan dan sebaliknya perhatian dapat difokuskan pada variabel kunci. 4) Analisis Kebijakan, dilakukan dengan memberikan perlakuan
khusus
terhadap model melalui intervensi struktural atau fungsional, tujuannya untuk mendapatkan alternatif kebijakan terbaik berdasarkan simulasi model. Diagram
input-output
merepresentasikan
input
lingkungan,
input
terkendali dan tak terkendali, output dikehendaki dan tak dikehendaki, serta manajemen
pengendalian.
Sedangkan
parameter
rancangan
sistem
dipresentasikan sebagai kotak gelap (black box) pada tengah diagram, yang menunjukkan terjadinya proses transformasi input menjadi output. Diagram inputoutput desain dalam sistem pengelolaan kawasa konservasi.
Input tak Terkendali
Input Lingkungan
Output yang Diinginkan
Proses Input Terkontrol UMPAN BALIK
Output yang Tak Diinginkan
Gambar 3. Diagram Input-Output Sistem (Hartisari 2007) 2.12. Integrasi dengan Metode GIS Untuk mengintegrasikan (memadukan) antara sub model ekologi, sub model ekonomi dan sub model sosial dalam model pengelolaan kawasan konservasi dapat digunakan dengan metode Sistem Informasi Geografi (SIG). Konsep dasar SIG merupakan suatu sistem yang mengorganisir perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software), dan data, serta dapat mendayagunakan sistem penyimpanan, pengolahan maupun analisis data secara simultan, sehingga diperoleh informasi yang berkaitan dengan aspek keruangan. SIG juga merupakan manajemen data spasial dan non-spasial yang berbasis komputer, dengan tiga karakteristik dasar, yaitu (1) mempunyai fenomena aktual yang
36
berhubungan dengan topik permasalahanatau tujuannya, (2) merupakan suatu kejadian di suatu lokasi dan (3) mempunyai dimensi waktu (Purwadhi 1994). Ketiga karakteristik tersebut saling terkait satu sama lain. Fenomena aktual sebagai variable data non-lokasi erat hubungannya dengan lokasi terjadinya. Data lokasi dan non-lokasi saling berkaitan, dimana fenomena aktual dapat berupa SDA atau SDM, serta berhubungan dengan letak dan kapan terjadinya. Data lokasi mempunyai koordinat posisi lintang dan bujur, merupakan unsur yang terlihat seperti jalan, sungai, area, dan menunjukkan topologi (letak, bentuk, luas, batas) obyek. Non-lokasi mempunyai variable sesuai dengan tema (tanah, penduduk). Dimensi waktu menunjukkan kapan data diambil. Kurun waktu digunakan untuk analisis perubahan yang terjadi.
Berdasarkan hal
tersebut SIG mempunyai karakteristik sebagai perangkat pengelolaan basis data (Data Base Management System = DBMS), sebagai perangkat analisis keruangan (spatial analysis), sekaligus proses komunikasi dalam pengambilan keputusan. Keunikan SIG dibandingkan sistem pengelolaan basis data lainnya adalah kemampuannya untuk menyajikan informasi spasial dan non-spasial secara bersama-sama. SIG merupakan sistem informasi yang bersifat terpadu, karena data yang dikelola adalah data spasial. Dalam SIG data grafis diatas peta dapat disajikan dalam dua model data spasial yaitu model raster dan model vektor. Model data vektor menyajikan data grafis berupa titik, garis, dan poligon dalam struktur format vektor. Struktur data vektor adalah suatu cara membandingkan informasi garis dan areal kedalam bentuk satuan data yang mempunyai besaran, arah dan keterkaitan (Dahuri et al 1998). Model data raster menyajikan data berupa hexagos, irreguler triangles, grids. Format raster menyajikan obyek dalam bentuk rangkaian cell atau elemen gambar. Daya tarik utama SIG adalah bersifat terkomputerisasi yang dapat dimanfaatkan oleh berbagai instansi disebabkan : a) Kemudahan
memperbaharui
menghasilkan produk yang
dan
memperbaiki
data,
b)
Kemampuan
sesuai dengan keperluan, c). Kemampuan
mengintegrasikan berbagai data termasuk data digital dan data penginderaan jauh, d) Potensial untuk pemetaan perubahan melalui program pemantauan dan kemampuannya mengintegrasikan permodelan. Penyajian model data geografis dapat berupa data spasial dan deskriptif. Data spasial dengan formatnya, berupa titik, garis dan poligon untuk dua dimensi, dan permukaan untuk data tiga dimensi, sedangkan data deskriptif merupakan atribut dari data spasial. Data diskriptif dapat disajikan dalam format anotasi, tabel dan uraian hasil pengukuran yang memberi penjelasan pada data simbol dalam peta.