2
2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Pulau Kecil Menurut Beller et al. (1990) pulau kecil dapat didefinisikan sebagai pulau
dengan luas 10.000 km2 atau kurang dan mempunyai penduduk 500.000 atau kurang. Fakland (1991) menyatakan pulau kecil adalah suatu wilayah dimana wilayah tersebut memiliki luas tidak lebih dari 2.000 km2 dan lebarnya tidak lebih dari 10 km, sedangkan definisi untuk pulau sangat kecil yaitu wilayah yang memiliki luas tidak lebih besar dari 100 km2 dan lebar tidak lebih dari 3 km (UNESCO 1991). Dalam konteks pengelolaan pulau-pulau kecil di Indonesia, Kepmen Kelautan dan Perikanan No. 41/2000 tentang Pedoman Umum Pengelolaan PulauPulau Kecil yang Berkelanjutan dan Berbasis Pada Masyarakat menyebutkan bahwa definisi pulau kecil adalah pulau yang ukuran luasnya kurang dari 10.000km2 dengan jumlah penduduk kurang dari 200.000 jiwa. Kepmen KP No. 41 Tahun 2000 juga menyebut bahwa untuk pulau dengan ukuran kurang dari 2.000 km2 terdapat pedoman khusus yang menyangkut kegiatan ekonomi yang sesuai dengan ukuran pulau tersebut. Kegiatan tersebut mencakup kegiatan konservasi sumberdaya alam, budidaya kelautan, pariwisata bahari, usaha penangkapan ikan yang berkelanjutan, industri teknologi tinggi non-ekstraktif, pendidikan dan penelitian, dan lain sebagainya. Ukuran pulau kecil ini kemudian ditegaskan sebagai pulau dengan ukuran kurang dari 2.000 km2 pada peraturan perundangan terbaru yaitu UU No 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tidak ada definisi yang baku tentang pulau-pulau kecil selain bahwa luas lahan dan populasi menjadi indikator utama bagi definisi tersebut (Adrianto 2006). Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus merupakan gugus pulau di Kabupaten Minahasa Tenggara. Pulau-pulau ini berukuran kecil dan tidak berpenduduk, tetapi merupakan kawasan yang menunjang kehidupan masyarakat di daratan utama, khususnya masyarakat Desa Basaan karena jarak pulau-pulau tersebut cukup dekat atau tidak lebih dari 2 mil. Masyarakat Desa Basaan yang berprofesi
9
10 sebagai nelayan, umumnya menjadikan ekosistem terumbu karang Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus sebagai lokasi penangkapan ikan karang. Sehubungan dengan keberadaan Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus sebagai pulau kecil, ada beragam definisi tentang pulau yang sudah digunakan, namun dalam penelitian ini pulau didefinisikan sebagaimana yang telah dituangkan dalam UNCLOS (1982, Bab VIII Pasal 121 Ayat 1) yaitu: “Pulau adalah massa daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi oleh air dan selalu berada/muncul di atas air pasang”. Banyaknya pulau-pulau yang berukuran lebih kecil dari 100 km2 dengan lebar kurang dari 3 km, menjadikan golongan pulau ini sebagai pulau sangat kecil (Bengen 2002 a). Secara ringkas definisi pulau kecil dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 1 Definisi pulau dan pulau-pulau kecil No Definisi Acuan 2 1. Pulau dengan luas area maksimum 5.000 km CSC, 1984 in Bengen dan Retraubun (2006) 2 2. Pulau dengan luas 10.000 km atau kurang dan Beller et al. (1990) mempunyai penduduk 500.000 atau kurang 3. Suatu wilayah dimana wilayah tersebut Fakland (1991) memiliki luas tidak lebih dari 2.000 km2 dan lebarnya tidak lebih dari 10 km 4. Pulau-pulau kecil adalah pulau dengan luas UNESCO, 1991 kurang dari 2.000 km2 atau pulau yang memiliki lebar kurang dari 10 km 5. Pulau merupakan daratan yang dikelilingi oleh Nunn (1994) in Adrianto laut. Pemahaman tersebut menyimpulkan bahwa (2006) seluruh daratan (termasuk kontinen/benua) di dunia ini adalah pulau karena struktur alam bumi memang hanya terdiri dari darat dan laut. Untuk pulau kecil sendiri memiliki luas >1.000 km2 6. Pulau yang mempunyai luas area kurang dari SK Menteri Kelautan dan atau sama dengan 10.000 km2, dengan jumlah Perikanan No 41 Tahun penduduk kurang dari atau sama dengan 2000 200.000 orang 7. Pulau adalah massa daratan yang terbentuk Bengen dan Retraubun secara alami, dikelilingi oleh air dan selalu (2006) berada/muncul di atas permukaan air pasang 8. Pulau dengan ukuran kurang dari 1.000 km2 Diaz dan Huertas (1986) atau lebarnya kurang dari 10 km in Bengen dan Retraubun (2006) 9. Pulau berukuran lebih kecil atau sama dengan UU No 27 Tahun 2007 2.000 km2 beserta kesatuan ekosistemnya
11 Secara umum pulau kecil memiliki karakteristik biogeofisik yang menonjol sebagai berikut (Bengen 2002b) :
Terpisah dari habitat pulau induk (mainland island), sehingga bersifat insular
Memiliki sumberdaya air tawar yang terbatas baik air permukaan maupun air tanah, dengan daerah tangkapan airnya relatif kecil sehingga sebagian besar aliran air permukaan dan sedimen, masuk ke laut
Peka dan rentan terhadap pengaruh eksternal baik alami maupun akibat kegiatan manusia, misalnya badai dan gelombang besar, serta pencemaran
Memiliki sejumlah jenis endemik yang bernilai ekologis tinggi
Area perairannya lebih luas dari area daratannya dan relatif terisolasi dari daratan utama (pulau besar atau benua)
Tidak mempunyai daratan (hintarland) yang jauh dari pantai Pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil harus memenuhi
kriteria pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Dahuri et al. (2001) mengemukakan bahwa kriteria-kriteria pembangunan wilayah pesisir berkelanjutan dapat dikelompokkan ke dalam 4 aspek yaitu ekologis, sosialekonomi, sosial-politik dan hukum-kelembagaan. Untuk pemanfaatan pulau-pulau kecil dengan luas kurang atau sama dengan 2000 km2 pemerintah hanya mengijinkan bagi peruntukkan konservasi, budidaya laut, kepariwisataan, usaha penangkapan dan industri perikanan secara lestari, pertanian organik dan peternakan skala rumah tangga, industri teknologi tinggi non-ekstraktif, pendidikan dan penelitian, industri manufaktur dan pengelolaan sepanjang tidak merusak ekosistem dan daya dukung lingkungan. Beberapa karakteristik pulau-pulau kecil yang dapat menjadi kendala dalam pembangunan adalah :
Ukuran yang kecil dan terisolasi, sehingga penyediaan sarana dan prasarana menjadi mahal, sumberdaya manusia yang handal menjadi langka. Apabila terjadi pertambahan penduduk secara drastis, maka diperlukan barang dan jasa serta pasar yang jauh dari pulau tersebut.
Kesukaran mencapai skala ekonomi yang optimal dan menguntungkan dalam hal administrasi, usaha produksi dan transportasi turut menghambat pembangunan hampir semua pulau-pulau kecil (Hein 1990).
12
Ketersediaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan seperti sumber air tawar, vegetasi tanah, ekosistem pesisir, dan satwa liar pada akhirnya akan menentukan daya dukung suatu sistem pulau kecil dalam menopang kehidupan manusia penghuni dan semua kegiatan pembangunannya.
Produktivitas sumberdaya alam dan jasa lingkungan (seperti pengendalian erosi) yang terdapat di setiap lokasi di dalam pulau maupun yang ada di sekitar pulau saling terkait secara erat satu dengan yang lainnya (Bengen 2003a). Misalnya penebangan hutan dan lahan darat secara tidak terkendali akan meningkatkan laju erosi tanah dan sedimentasi di perairan pesisir, kemudian mematikan/merusak ekosistem terumbu karang, yang akhirnya menghancurkan industri perikanan pantai dan pariwisata bahari. Oleh karena itu keberhasilan usaha pertanian, perkebunan atau kehutanan di lahan darat suatu pulau tidak lepas dari pengelolaan menurut prinsip-prinsip ekologis.
Budaya
lokal
kepulauan
kadangkala
bertentangan
dengan
kegiatan
pembangunan. Misalnya pariwisata yang dianggap sebagai penolong dalam pembangunan pulau-pulau kecil, tetapi dibeberapa pulau kecil akan menolak budaya yang dibawa oleh wisatawan (asing) karena dianggap tidak sesuai dengan adat atau norma setempat (Bengen 2003b). 2.2
Sistem Pesisir (Coastal System) Dalam keberlanjutan pembangunan di wilayah pesisir terdapat tiga aspek
penting yaitu ekologi, ekonomi dan sosial, dimana ketiga aspek tersebut saling berkaitan satu sama lainnya, dan membentuk suatu sistem. Aspek ekologi, ekonomi dan sosial menjadi tiang utama yang menentukan keberhasilan pembangunan di wilayah pesisir, dan dalam proses pembangunan tidak dapat berjalan sendiri-sendiri dan sangat diperlukan suatu keseimbangan (Adrianto 2004). Menurut Bengen (2000) terdapat beberapa ekosistem di wilayah pesisir, diantaranya adalah ekosistem terumbu karang, ekosistem mangrove dan ekosistem lamun. Ketiga ekosistem ini masing-masing memiliki sistem ekologi, tetapi dalam konteks wilayah pesisir ketiganya merupakan kesatuan dalam sistem ekologi pesisir. Dimana dalam sistem pesisir, jika salah satu dari ekosistem tersebut mengalami gangguan, secara otomatis akan turut mempengaruhi kondisi ekologis
13 ekosistem yang lain. Keterkaitan antar ekosistem dapat terjadi dalam bentuk keterkaitan fungsi ekologis antar ekosistem terumbu karang, mangrove dan lamun.
Gambar 3
Keterkaitan fungsi ekologis ekosistem terumbu karang, mangrove dan lamun (Bengen 2000).
Ekosistem terumbu karang, mangrove dan lamun dalam fungsi biologinya merupakan habitat bagi berbagai jenis flora dan fauna, baik sebagai tempat pemijahan (spawning ground), tempat pembesaran (nursery ground), tempat mencari makan (feeding ground) dan tempat persinggahan atau transit beberapa jenis biota. Dan untuk berbagai aktivitas kehidupan manusia, ekosistem terumbu karang, mangrove dan lamun juga sebagai tempat untuk menikmati kenyamanan lingkungan dan keindahan alam. Fungsi lain dari ketiga ekosistem ini adalah secara fisik sebagai pelindung pantai, pencegah erosi, dan perangkap sedimen, dan secara kimiawi dalam bentuk transfer dan aliran bahan organik terlarut maupun partikel (Nagelkerken et al. 2000; Morinière et al. 2002; Dorenbosch et al. 2004; Dorenbosch et al. 2006; Nakamura et al. 2007; Nakamura & Tsuchiya 2008). Gambar 4 menunjukkan bahwa adanya interaksi yang terjadi di kawasan pesisir karena kawasan pesisir menyediakan barang-barang berupa barang terbarukan (seperti ikan dan organisme lainnya) atau tidak terbarukan (seperti mineral, gas dan lain-lain). Daerah pesisir juga menyediakan berbagai layanan, sebagai akibat dari proses yang terjadi dalam sistem pesisir yang beragam.
14 Contohnya termasuk perlindungan garis pantai, pemeliharaan keanekaragaman hayati laut dan kualitas air, serta peluang untuk transportasi, rekreasi dan pariwisata. Ekosistem pesisir seperti terumbu karang, lahan basah mangrove, dan bentuk lain dari vegetasi pantai, tidak hanya yang sangat produktif, mereka juga menyediakan pertahanan alami penting dari angin kencang, gelombang pasang surut dan arus laut. Ekosistem pesisir secara efektif melindungi kehidupan orang yang hidup di sepanjang daerah pesisir.
Gambar 4 Wilayah pesisir dan sistem sumber daya pesisir (Thia-Eng 2006). Daerah pesisir menjadi target kegiatan urbanisasi. Urbanisasi di wilayah pesisir saat ini terjadi lebih cepat karena peningkatan aktivitas ekonomi di wilayah ini. Kepadatan penduduk di kota-kota pesisir termasuk yang tertinggi di dunia. Selain itu terjadi proses pembangunan seperti pembuatan infrastruktur pelabuhan, perikanan, minyak dan mineral yang sangat besar peluangnya untuk dieksploitasi. 2.3
Ekosistem Terumbu Karang
2.3.1 Komunitas Karang Sebagai salah satu ekosistem yang khas di wilayah pesisir daerah tropis, terumbu karang banyak menyediakan sumberdaya hayati bagi kehidupan manusia, disamping fungsi-fungsi ekologisnya. Pada dasarnya terumbu terbentuk dari endapan-endapan masif kalsium karbonat (CaCO3), yang dihasilkan oleh organisme karang pembentuk terumbu (karang hermatipik) dari filum Cnidaria,
15 ordo Scleractinia yang hidup bersimbiosis dengan zooxantellae, dan sedikit tambahan dari algae berkapur serta organisme lain yang menyekresi kalsium karbonat (Bengen 2000). Beberapa penelitian tentang distribusi biota yang hidup di daerah terumbu karang Sulawesi Utara telah dilakukan seperti di Kawasan Taman Nasional Bunaken diantaranya oleh Lalamentik (1985) yang mengidentifikasi karang batu sebagai komponen utama terumbu karang di rataan terumbu bagian Timur Pulau Bunaken beserta kepadatan, pola penyebaran dan keanekaragamannya, Tioho (1987) yang meneliti jenis-jenis karang batu yang terdapat di Pulau Bunaken serta Lalamentik (1996) melaporkan kondisi terumbu karang yang ditemukan di Pulau Bunaken, Manado Tua dan Siladen. Beberapa faktor pembatas keberadaan karang dalam ekosistem terumbu karang adalah : (1) Cahaya/kecerahan. Diperlukan bagi proses fotosintesis algae simbiotik zooxanthellae. (2) Suhu. Yang optimal untuk pertumbuhan karang adalah 25o-28 oC. (3) Salinitas. Karang mempunyai toleransi terhadap salinitas 27‰-40‰ dengan salinitas optimal 32‰-35‰. (4) Sedimentasi. Sedimentasi yang tinggi akan menutup polip-polip karang dan menyebabkan kematian karang. (5) Arus. Pergerakan arus sangat diperlukan untuk tersedianya aliran makanan dan oksigen, serta terhindarnya karang dari timbunan sedimen. Karang batu hidup berkoloni, dan tiap individu karang yang disebut polip menempati mangkuk kecil yang disebut koralit. Tiap mangkuk koralit mempunyai beberapa septa yang tajam dan berbentuk lempengan yang tumbuh keluar dari dasar koralit, dimana septa ini merupakan dasar penentuan spesies karang batu. Tiap polip adalah hewan berkulit ganda, dimana kulit luar yang dinamakan epidermis dipisahkan oleh lapisan jaringan (mesoglea) dari kulit dalamnya yang disebut endodermis. Dalam endodermis terdapat tumbuhan renik bersel tunggal yang dinamakan zooxantellae yang hidup bersimbiosis dengan karang. Zooxantellae dapat menghasilkan bahan organik melalui proses fotosintesis, yang
16 kemudian disekresikan sebagian ke dalam jaringan karang sebagai makanan (Bengen 2000). Lebih lanjut Bengen (2000) menyatakan bahwa karang batu berbiak secara seksual maupun aseksual. Pembiakan secara seksual terjadi melalui penyatuan gamet jantan dan betina untuk membentuk larva bersilia yang disebut planula. Planula akan menyebar kemudian menempel pada substrat yang keras dan tumbuh menjadi polip. Kemudian polip tersebut akan melakukan pembiakan aseksual. Pembiakan aseksual dilakukan dengan cara pembentukan tunas/pertunasan, sehingga terbentuk polip-polip yang baru yang saling menempel sampai terbentuk koloni yang besar, dengan bentuk yang beragam sesuai jenisnya. Menurut Knowlton (2001) dan Hughes et al. (2003), karang merupakan fauna yang dominan dalam ekosistem terumbu karang yang mengalami ancaman kerusakan sebagai akibat interaksi global dan lokal dari berbagai pihak yang berkontribusi
terhadap
degradasi
karang.
Sedangkan
degradasi
karang
didefinisikan sebagai kematian jaringan karang hidup dan menurunnya keragaman hayati karang seiring meningkatnya persentase penutupan dari alga atau karang mati. Kegiatan-kegiatan yang berkontribusi terhadap degradasi terumbu karang meliputi: kegiatan penangkapan dan perubahan struktur tropik (Jackson et al. 2001; Pandolfi et al. 2003), polusi nutrien (Pastorok & Bilyard 1985), sedimentasi (Rogers 1990; Fabricius 2005), toksin (Glynn et al. 1989), dan perubahan suhu permukaan laut (Glynn & D‟Croz 1990; Glynn 1993, 1996; Hoegh-Guldberg 1999). Tekanan dapat menyebabkan karang terdegradasi secara langsung melalui peningkatan tingkat kematian, dan secara tidak langsung melalui peningkatan penyakit dan menurunnya proses rekruitmen karang. Pada skala waktu yang lama (dekade) kekuatan tekanan terhadap degradasi ekosistem tertumbu karang terjadi melalui penurunan kemampuan pemulihan setelah terjadinya gangguan, seperti bencana alam (Hughes 1994) dan kejadian pemutihan karang (Hughes et al. 2007). Pada beberapa lokasi di dunia telah dilaporkan tentang pengaruh peningkatan faktor tekanan terhadap sistem terumbu karang yang menimbulkan kehilangan yang besar bagi keberadaan karang seperti di Karibia oleh Hughes (1994) dan Gardner et al. (2003), pulau Virginia oleh Watlington (2006), Afrika
17 oleh Garrison et al. (2003), dan Tropical Western Atlantic oleh Levitus et al. (2000). Dari hasil-hasil penelitian tersebut, membuktikan bahwa tekanan simultan dari berbagai sumber merupakan penyebab degradasi karang dan lebih mematikan. Isu utama saat ini sebagai salah satu penyebab degradasi terumbu karang adalah pemutihan karang, seperti kejadian pemutihan karang di Timur Karibia disebabkan oleh kenaikan suhu yang berhubungan dengan kegiatan antropogenik (Donner et al. 2007), serta kejadian pemutihan karang, penyakit dan kematian karang di US Virgin Islands (Manzello et al. 2007; Miller et al. 2006). Kejadian kematian karang dengan berbagai kombinasi penyebab akan menurunkan kesehatan karang sehingga diperlukan upaya untuk penciptaan kondisi ekologis terumbu karang yang baik (Birkeland 2004). Secara global dan regional, pertumbuhan dan pengembangan populasi penduduk secara lokal meningkatkan tekanan terhadap terumbu karang. Menurut Brooks et al. (2007) dan Nemeth dan Nowlis (2001), akibat pertumbuhan penduduk tersebut, menyebabkan perubahan yang cepat melalui pengembangan secara eksponensial terhadap peningkatan laju sedimentasi sebagai akibat erosi (run-off)
membawa
sedimen
daratan
masuk
ekosistem
laut,
sehingga
mengakibatkan peningkatan laju deposisi sedimen terhadap karang. Selain itu, aktivitas industri seperti perawatan alat transportasi, tumpahan minyak dan pencemaran berkontribusi terhadap input senyawa beracun ke lingkungan pesisir yang dapat menurunkan laju fotosintesis, serta kegiatan penangkapan telah mengalami peningkatan seiring dengan terjadinya mordernisasi alat tangkap ikan secara signifikan telah menurunkan biomas ekologis ikan karang ekonomis penting (Beets 1997; Beets & Rogers 2000; Rogers & Beets 2001). Pengembangan daerah dengan cara larang tangkap untuk melindungi ikan target (ekonomis penting) seperti kakap dan kerapu pada zona-zona terjadinya agregasi pemijahan telah mendorong peningkatan jumlah populasi ikan tersebut (Nemeth 2005; Nemeth et al. 2006; Kadison et al. 2006). Pengembangan zona larang tangkap di berbagai kawasan lindung telah menunjukkan pengaruh yang positif dalam melindungi, memelihara dan meningkatkan kembali populasi ikan dan spesies invertebrata pada zona inti. Pada banyak kawasan lindung hanya
18 sekitar 10–20% dari daerah paparan (kedalaman <50 m) secara penuh atau sebagian yang dilindungi dengan cara zona larang tangkap dan kebanyakan daerah ini dikembangkan dengan mengunakan pertimbangan karakter ekologi yang baik tetapi dengan penegakan hukum yang rendah. Mengantisipasi peningkatan tekanan yang terjadi secara global dan lokal, perlindungan terumbu karang membutuhkan kepedulian antar pengguna (stakeholders), publik dan pengambil keputusan untuk melindungi melalui penyediaan informasi yang baik sebagai petunjuk pengelolaan. Tindakan pengelolaan akan menjadi responsif ketika karakteritik diagnostik karang sebagai akibat faktor antropogenik dan alamiah serta besaran tekanan yang mempengaruhi kesehatan terumbu karang diketahui dengan baik. Kerangka lintasan (trajectory) degradasi terumbu karang dapat dilakukan dengan cara penilaian terhadap semua komponen penyebab tekanan yang selanjutnya dapat diformulasikan dalam bentuk model keberlanjutan pengelolaan. 2.3.1.1 Karang Sebagai Ruang Densitas ikan karang dibatasi oleh ketersediaan ruang hidup (space) yang cocok, tertama jika ruang dijadikan sebagai pertahanan diri atau tempat aktivitas mutualisme. Keberadaan ruang biasanya berkaitan dengan individu ikan yang bersifat teritorial, dimana densitas yang tinggi dan diversitas dari ikan-ikan di pengaruhi oleh ruang terumbu karang. Fluktuasi dalam populasi ikan karang, salah satunya disebabkan berkurangnya ruang di karang. Menurut Jones (1991), pentingnya ruang bagi ikan karang adalah karena : - Ikan karang yang bersifat teritorial sangat terbatas pada ruang untuk mengembangkan
populasinya,
sehingga
perubahan
ruang
cenderung
menurunkan jumlah populasi. - Perbedaan kelas umur cenderung mengunakan tipe ruang yang berbeda. - Kompetisi ruang dapat terjadi jika terdapat banyak ruang yang kualitasnya bervariasi. 2.3.1.2 Karang Sebagai Tempat Perlindungan Keberadaan lubang atau celah merupakan tempat perlindungan (shelter) ikan karang, terutama selama adanya serangan badai atau predator. Korelasi
19 umum antara topografi karang dengan kelimpahan ikan karang serta observasi dalam pertahanan ikan di lokasi perlindungan bersifat nyata sebagai sumberdaya pembatas. De Boer (1978) menunjukkan bahwa kelimpahan ikan Chromis cyanea berkorelasi positif dengan jumlah tempat perlindungan. Selain itu, beberapa studi komprehensif yang dilakukan dengan hipotesis tentang pentingnya tempat perlindungan,
menggambarkan
bahwa
tempat
perlindungan
memberikan
perbedaan yang nyata dalam kelimpahan ikan karang, sehingga menjadikan karang sebagai tempat persembunyian (Jones 1991). 2.3.1.3 Karang Sebagai Sumber Pakan Salah satu sumber pakan bagi ikan yang banyak dijumpai di terumbu karang adalah lendir yang dihasilkan oleh karang, yang sebenarnya digunakan karang untuk menangkap mangsanya. Lendir tersebut berfungsi sebagai pembersih dan pelindung luka yang dikeluarkan oleh kantong mucus yang ada di ectodermis. Lendir ini merupakan sumber pakan penting bagi jenis ikan tertentu dan hewan karang lainnya (Barnes 1980). Selain itu, keberadaan karang merupakan pakan dari beberapa jenis ikan pemakan karang famili Chaetodontidae, Apogonidae, Balistidae, Labridae dan sekolompok kecil Scaridae. Sekelompok ikan famili Chaetodontidae, Labridae dan Scaridae secara langsung memakan polip karang serta bersimbiosis dengannya. Sedangkan kelompok Acanturids dan kebanyakan spesies dari famili Labridae lainnya memakan alga yang tumbuh pada batuan keras berkapur (calcareous). Pemakan karang sangat bergantung kepada jaringan hidup karang sebagai pakannya dan hal ini hanya terdapat pada struktur karang yang masih hidup. Keberadaan karang hidup juga memberikan perlindungan terhadap invertebrata dan organisme bentik lainnya yang juga merupakan pakan beberapa jenis ikan (Nakamura et al. 2007). 2.3.2 Komunitas Ikan Karang Komunitas ikan karang dibandingkan dengan komunitas lain di terumbu karang, merupakan jumlah yang paling berlimpah, dengan keaneragaman spesies sebanding dengan keanekaragaman spesies karang batu. Tingginya keragaman ini, disebabkan terdapatnya variasi habitat yang ada di terumbu karang, dimana semua
20 tipe habitat yang ada diisi oleh spesies ikan karang (Emor 1993). Sekitar 50-70% ikan yang ada di terumbu karang merupakan kelompok ikan karnivor, 15-20% kelompok herbivor dan sisanya omnivor. Ikan-ikan dari kelompok tersebut sangat bergantung kepada kesehatan karang untuk mengembangkan populasinya. Sebagian besar ikan karang memiliki diversitas yang tinggi, jumlah spesies yang banyak dan range morfologi yang luas. Kelimpahan absolut atau biomassa ikan karang sangat besar dibandingkan dengan biomassa ikan di luar lingkungan karang. Diversitas morfologi juga terjadi dalam banyak bentuk, mulai dari struktur yang berhubungan dengan jenis makanan sampai variabilitas dalam ukuran ikan, sebagai contoh famili Labridae memiliki diversitas luas dan tertinggi pada kawasan terumbu karang Indo-Pasifik (Choat & Bellwood 1991). Menurut Dartnall dan Jones (1986), ikan karang dapat juga dikelompokkan dalam 3 kelompok berdasarkan tujuan pengelolaan, yaitu : (1) Kelompok ikan target (ekonomis/konsumsi) (2) Kelompok ikan indikator (3) Kelompok ikan mayor (berperan dalam rantai makanan) Dalam hal ini, yang dimaksud dengan ikan target adalah ikan yang merupakan target untuk penangkapan atau lebih dikenal juga dengan ikan ekonomis penting atau ikan kosumsi seperti; Seranidae, Lutjanidae, Kyphosidae, Lethrinidae, Acanthuridae, Mulidae, Siganidae, Labridae dan Haemulidae. 2.3.2.1 Aspek Reproduksi Ikan Karang Pada umumnya proses reproduksi pada ikan dapat dibagi dalam tiga tahap, yakni tahap sebelum memijah (pra-spawning), memijah (spawning), dan sesudah memijah (post-spawning). Pada ikan, perkembangan awal daur hidup juga terbagi lagi menjadi lima periode perkembangan utama, yaitu periode telur, larva, juvenile, dewasa dan periode tua. Tingkat kematangan gonad (TKG) merupakan salah satu pengetahuan dasar dari biologi reproduksi pada suatu stok ikan. Tingkat kematangan gonad juga merupakan tahap tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan itu berpijah. Perkembangan gonad yang semakin matang merupakan bagian dari reproduksi ikan sebelum terjadi pemijahan. Selama itu sebagian besar hasil metabolisme tertuju pada perkembangan gonad (Effendie 1997).
21 Pencatatan perubahan kematangan gonad diperlukan untuk mengetahui perbandingan ikan-ikan yang akan melakukan reproduksi atau tidak. Dari pengamatan perkembangan tingkat kematangan gonad ini juga didapatkan informasi kapan ikan tersebut akan memijah, baru akan memijah, atau sudah selesai memijah. Tiap-tiap spesies ikan pada waktu pertama kali gonadnya menjadi masak tidak sama ukurannya. Demikian pula ikan yang sama spesiesnya. Untuk ikan di daerah tropis, faktor suhu secara relatif perubahannya tidak besar dan umumnya gonad dapat masak lebih cepat. Pengamatan kematangan gonad dilakukan dengan dua cara, yakni secara histologis dan morfologis. Pengamatan secara histologis dilakukan di laboratorium untuk mengetahui anatomi perkembangan gonad tadi lebih jelas dan mendetail. Sedangkan pengamatan secara morfologis dapat dilakukan langsung di lapang dengan melihat ciri-ciri gonad (Effendie 1997). Beberapa jenis ikan memiliki sifat reproduksi khusus. Ikan kerapu (Epinephelus sp.) merupakan jenis ikan bertipe hermaprodit protogini, dimana proses diferensiasi gonadnya berjalan dari fase betima ke fase jantan atau ikan kerapu ini memulai siklus hidupnya sebagai ikan betina kemudian berubah menjadi ikan jantan. Fenomena perubahan jenis kelamin pada ikan kerapu sangat erat hubungannya dengan aktivitas pemijahan, umur, indeks kelamin dan ukuran. Pada ikan beronang (Siganus sp.) pematangan gonad dan pemijahan secara alami dapat terjadi di lingkungan air laut dengan salinitas 28-30 ppm dan suhu antara 23-32 oC, dimana pematangan gonad tersebut terjadi sepanjang tahun. ikan ekor kuning (Caesio cuning) merupakan jenis hewan ovipar, yakni jenis yang menghasilkan telur dan membuahinya diluar tubuh, dengan jumlah telur yang banyak, berukuran kecil, dan mengapung (Gratwicke et al. 2006). 2.3.2.2 Cara Makan Ikan Karang Banyak jenis ikan yang memakan langsung di daerah terumbu karang menunjukkan tingkah laku teritorial dan jarang berkeliaran jauh dari sumber makanan dan tempat berlindungnya. Batas teritorialnya dapat didasarkan atas persediaan makanan, pola berbiak, banyaknya pemangsa, kebutuhan ruang atau lainnya. Semua itu menambah kerumitan hubungan ikan terumbu yang satu dengan yang lain (Choat & Bellwood 1991; Romimohtarto & Juwana, 2001).
22 Menurut Gratwicke et al. (2006) berdasarkan cara makan maka terdapat 3 kelompok ikan karang yaitu : a. Herbivora Ikan herbivor di terumbu karang sebagian besar bertahan karena adanya alga serta diatom yang ada di permukaan karang. Sejauh ini Scaridae dan Acanthuridae adalah herbivor yang paling penting di daerah terumbu karang. Meskipun demikian Siganidae, beberapa spesies Pomacentridae dan Blennidae termasuk pula dalam golongan penting pada ikan kategori ini. b. Planktonovora Ikan ini terbagi atas kelompok primer dan sekunder. Kelompok primer terdiri atas beberapa spesies dari jenis ikan pelagis karang seperti Caesio cuning, yang beradaptasi dengan lingkungan karang. Adaptasinya berupa ukuran tubuh yang kecil dan bergerombol. Pada siang hari bersama dengan gerombolannya bersembunyi di daerah tubir, laguna atau dalam goa. Pada malam hari mereka berpencar dan mencari makan, yaitu zooplankton karang nokturnal di kolom air. c. Karnivora Tipe pemangsaan yang paling banyak terdapat di terumbu adalah karnivora, mungkin sekitar 50-70% dari spesies ikan. Banyak dari ikan karnivora ini tidak mengkhususkan makanannya pada suatu sumber makanan tertentu, tetapi sebaliknya merupakan oportunistik, mengambil apa saja yang berguna. Salah satu family ikan kelompok ini adalah Serranidae. 2.3.3 Interaksi Ikan Karang dan Terumbu karang Keberadaan karang merupakan habitat penting bagi ikan karang, karena sebagian besar populasi ikan karang mengadakan rekruit secara langsung dalam terumbu karang. Stadia planktonik ikan karang selalu berada pada substrat karang, seperti ikan-ikan scarids, acanthurids, siganids, chaetodontids, pomacantids dan banyak jenis dari ikan labrids dan pomacentrids. Walaupun banyak yang tidak berasosiasi langsung dengan karang, tetapi pergerakannya kebanyakan berasosiasi dengan struktur khusus dan keadaan biotik dari karang. Perbedaan pendapat muncul mengenai hubungan keragaman spesies ikan dan keragaman habitat terumbu karang. Beberapa penelitian terus dilakukan dan akhirnya memunculkan dua teori tentang ikan karang di terumbu karang, seperti
23 yang dirangkum oleh Nybakken (1988); Pertama, hidup berdampingan merupakan hasil dari tingkat spesialisasi yang tinggi, sehingga setiap spesies mempunyai tempat beradaptasi khusus yang didapat dari persaingan pada suatu keadaan di karang. Jadi dapat dikatakan bahwa, ikan-ikan ini mempunyai relung ekologi yang lebih sempit dan berarti daerah itu dapat menampung lebih banyak spesies; Kedua, ikan karang tidak mempunyai sifat khusus, banyak spesies serupa yang mempunyai kebutuhan sama, dan terdapat persaingan aktif di antara spesies. Dari kedua teori ini ternyata belum bisa ditentukan pandangan mana yang benar. Walaupun ikan-ikan menunjukkan preferensi yang jelas pada biotop yang spesifik, kebanyakan ikan menggunakan banyak tipe biotop sebagai daerah pengasuhan secara bersamaan.
Nagelkerken et al. (2000) menunjukan
ketidakhadiran juvenil ikan pada zona terumbu karang yang dalam (15–20 m) menunjukkan bahwa jevenil ikan sangat bergantung pada biotop perairan dangkal. Kebanyakan spesies ikan secara spasial berdasarkan aspek ontogenik terlihat pada tingkat hidup spesifik menggunakan biotop perairan dangkal ke perairan yang dalam (terumbu karang). Dorenbosch et al. (2006) mendapatkan juvenil Cheilinus undulatus sangat dominan di daerah lamun sedangkan fase dewasa hanya terbatas di daerah terumbu karang. Peneliti ini menunjukan kehadiaran lamun menyebabkan tingginya densitas ikan karang pada daerah terumbu karang yang terletaknya di depan daerah lamun. Hal ini menunjukkan bahwa kehadiran ekosistem lamun sangat penting sebagai habitat bagi ikan juvenil. Juvenil Scarus guacamaia secara eksklusif ditemukan di daerah mangrove sedangkan fase dewasa hanya ditemukan di terumbu karang. Fase dewasa S. guacamaia ditemukan pada semua karang dimana pelindung pantainya berupa mangrove, tetapi belum ditemukan korelasi antara jarak mangrove yang diamati dengan densitas S. guacamaia di daerah terumbu karang. Nakamura et al. (2007) di Pulau Iriomote Japan menguji hipotesis tentang apakah rekruitmen ikan karang pada lamun diakibatkan oleh preferensi dari peletakkan larva (larval settlement). Tiga perlakuan yang dilakukan adalah patahan karang (branching coral patch), patahan lamun (seagrass patch), dan tanpa patahan sebagai kontrol (control without patches). Hasil penelitian
24 menunjukan bahwa 4 spesies Pomacentridae, Amblyglyphidodon curacao, Dischistodus prosopotaenia, Cheiloprion labiatus dan Dascyllus aruanus mengalami rekruitmen secara ekslusif di patahan karang, mengindikasikan bahwa larva yang terdistribusi lebih menyukai karang daripada lamun sebagai tempat peletakkan (settlement habitat). Pengaruh perbedaan bentuk fisik substrat sebagai tempat peletakkan yaitu bentuk kisi-kisi (grid) dari patahan karang dengan struktur vertikal daun lamun serta kekakuan antara karang dan lamun sebagai substrat pada pola rekruitmen diuji dengan menggunakan karang buatan dan unit lamun (seagrass units). Hasil penelitian menunjukan bahwa densitas yang tinggi dari rekruitmen ikan A. curacao dan D. prosopotaenia terjadi pada substrat yang kaku (karang) daripada yang fleksibel (seagrass), sedangkan perbedaan jumlah antar dua jenis tersebut belum jelas apakah sebagai akibat pengaruh bentuk unit yang berbeda. Meskipun larva ikan Pomacentridae terdistribusi pada lamun, larva ini tidak menetap di lamun tetapi lebih memilih substrat yang kaku sebagai preferensinya. Selanjutnya, keberadaan dari C. labiatus dan D. aruanus pada unit habitat buatan mengisyaratkan bahwa karang hidup sebagai persyaratan tempat larva sesudah peletakkan (post settlement) daripada bentuk fisik/kekakuan unit substrat. Tingginya keragaman ikan karang, seperti yang dikatakan oleh Hutomo et al. (1988) disebabkan karena beberapa tingkah laku yang menarik dari kehidupan ikan karang, yaitu adanya spesies diurnal dan nokturnal, serta hubungan simbiosis inter-intra spesifik, misalnya antara spesies Amphiprion dengan sea anemon, kemudian kegiatan spesies Lambroides yang mendirikan stasiun pembersih di terumbu untuk membersihkan kotoran dan parasit pada ikan-ikan yang lebih besar, kemudian kegiatan grazing beberapa spesies ikan terhadap algae, dimana kegiatan ini sekaligus mengontrol persaingan algae dengan terumbu karang dalam memperebutkan ruang untuk pertumbuhan. Hutomo (1987) in Hutomo et al. (1988) dalam penelitiannya di Pulau Bali dan Batam, mendapatkan bahwa kondisi karang yang baik, ditandai dengan persentase tutupan yang tinggi yang berhubungan linier dengan kelimpahan dan keragaman spesies ikan karang. Hal ini ditunjang oleh pendapat Sutton (1983) in Emor (1993), dimana terdapat hubungan positif antara keragaman ikan karang
25 dengan heterogenitas habitat karang. Tetapi Purwanto (1987) dan Aktani (1990) in Emor (1993) menemukan hal yang lain di Kepulauan Seribu, bahwa kelimpahan dan keragaman spesies ikan karang tidak selalu tergantung dari baiknya kondisi terumbu, melainkan juga tergantung dari ketersediaan sumber makanan dikaitkan dengan sifat makan dari ikan karang. Mereka membuktikan bahwa penurunan kondisi karang akan diganti oleh komunitas algae sebagai niche dari ikan-ikan herbivor. Menurut Hutomo et al. (1988), Chaetodontidae (kepe-kepe) bersama dengan suku Gobiidae (glodok), Pomacentridae (betok), dan Serranidae (kerapu) merupakan contoh yang baik penghuni terumbu karang primer yang tipikal, karena hidupnya selalu berasosiasi dengan terumbu karang, baik sebagai habitat maupun sebagai tempat mencari makanan dan mungkin sebagian besar sejarah hidupnya berlangsung disini. Selanjutnya Nybakken (1988) menyatakan bahwa, ketertarikan Chaetodontidae terhadap terumbu karang kuat sekali. Chaetodontidae pada umumnya bersifat omnivora, makanan kegemarannya adalah polip-polip karang. Kecuali itu juga yang memakan bagian-bagian dari polychaeta, anemon dan invertebrata kecil lainnya yang hidup di dasar serta krustasea kecil, sponge, polip karang lunak, plankton, telur ikan, dan cairan lendir (mucus) yang dikeluarkan karang. Jenis-jenis ikan hias yang tergolong dalam family Chaetodontidae merupakan komponen yang paling tampak di antara ichthiofauna karang. Jenisjenisnya mudah diidentifikasi dan taxonominya telah ditentukan. Mereka sering dijumpai berpasangan dan memiliki teritorial, sehingga mudah dihitung secara individual. Selain itu, ikan tersebut dapat dipakai sebagai ukuran terbaik untuk biodiversity dari pada karang, karena mereka cenderung untuk mengintegrasikan berbagai kondisi lingkungan. Boleh jadi hal inilah diantaranya yang menjadikan family Chaetodontidae sebagai spesies indikator. 2.4
Daya Dukung Terumbu Karang Kapasitas daya dukung (carrying capacity) didasarkan pada pemikiran
bahwa lingkungan memiliki kapasitas maksimum untuk mendukung suatu pertumbuhan yang sebanding dengan pemanfaatannya. Kenchington dan Hudson (1984) mendefinisikan daya dukung sebagai kuantitas maksimum ikan yang dapat
26 didukung oleh suatu badan air selama jangka waktu panjang. Sedangkan Turner (1988) menyebutkan bahwa daya dukung merupakan populasi organisme akuatik yang akan ditunjang oleh suatu kawasan/areal atau volume perairan yang ditentukan tanpa mengalami penurunan mutu (deteriorasi). Definisi lain menyebutkan bahwa daya dukung adalah batasan untuk banyaknya organisme hidup dalam jumlah atau massa yang dapat didukung oleh suatu habitat. Jadi daya dukung adalah pembatas akhir (ultimate constraint) yang diperhadapkan pada biota oleh adanya keterbatasan lingkungan seperti ketersediaan makanan, ruang atau tempat berpijah, penyakit, siklus predator, temperatur, cahaya matahari, dan salinitas. Selanjutnya dijelaskan oleh Dahuri (2002), daya dukung kawasan pada akhirnya akan menentukan kelangkaan sumberdaya alam vital dan jasa lingkungan yang dibutuhkan oleh manusia dan organisme hidup yang mendiami kawasan tersebut. Jadi sistem daya dukung lingkungan dapat berkurang akibat kerusakan yang ditimbulkan oleh manusia yang mengurangi ketersediaan suplai energi atau penggunaan energi (Clark 1974). Daya dukung lingkungan sangat erat kaitannya dengan kapasitas asimilasi dari lingkungan yang menggambarkan jumlah limbah yang dapat dibuang ke dalam lingkungan tanpa menyebabkan polusi (UNEP 1993). Menurut Dahuri et. al. (2001), pembangunan berkelanjutan dapat tercapai apabila pemanfaatan sumberdaya alam tidak melebihi fungsi ekologis sumberdaya tersebut. Berdasarkan kemampuan daya dukung (carrying capacity) dan kemampuan alamiah untuk memperbaharui (assimilative capacity), serta kesesuaian penggunaannya, kawasan pantai dan terumbu karang menjadi sasaran atas kegiatan eksploitasi sumberdaya alam dan pencemaran lingkungan akibat tuntutan pembangunan yang masih cenderung lebih menitikberatkan bidang ekonomi. Semakin banyak manfaat/keuntungan ekonomis diperoleh, maka semakin berat pula beban kerusakan lingkungan/ekologis yang ditimbulkannya. Begitu pula sebaliknya, bila semakin sedikit manfaat/keuntungan ekonomis, semakin ringan pula kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya. Dalam pemanfaatan lingkungan perairan, ditemukan banyak sekali kesulitan dalam menentukan daya dukung lingkungan, terutama yang sangat berkaitan dengan kapasitas asimilasinya. Terkadang, daya dukung baru dapat diketahui
27 setelah terlihat adanya tanda-tanda kerusakan lingkungan. Padahal kegiatan perikanan sangat tergantung pada kualitas perairan di sekitarnya. Kegagalan kegiatan ini seringkali merupakan pertanda telah terlampauinya daya dukung kawasan perairan tersebut. Oleh karena itu, sangat perlu dikembangkan suatu cara untuk mengetahui daya dukung lingkungan secara periodik dan prediktif. Metode dan kebutuhan data harus terus dikembangkan untuk kebutuhan ini, sehingga kehancuran lingkungan dikemudian hari dapat dihindarkan. 2.5
Pendekatan Ekologi-Ekonomi Kebijakan pembangunan ekonomi selama ini terkesan lepas dari kebijakan
lingkungan dan sosial. Pada tataran pelaksanaan baru dilakukan pada tingkat pembicaraan ataupun koordinasi antar instansi yang terkait. Koordinasi yang dimaksud masih terbatas pada tahap pembicaraan rencana pelaksanaan dan belum terwujud. Alasannya belum ada perangkat aturan yang dapat memberikan rujukan tolak ukur untuk menjawab masalah tersebut. Misalnya perkembangan ekonomi yang meningkat sekian persen maka berapa seharusnya target untuk perbaikan lingkungan dan sosial yang mampu ditunjang oleh ekonomi secara proposional. Adrianto et al. (2005) mengemukakan pertumbuhan ekonomi memiliki keterbatasan hingga suatu titik dimana ekonomi menuju kondisi stabil (steady state economy). Seoptimis apapun teknologi yang mampu dihasilkan, sudut pandang bahwa ekonomi bukan tak terbatas merupakan pandangan yang penting dalam koridor keberlanjutan (sustainability condition). Dalam konteks dan pertimbangan seperti diuraikan diatas, Adrianto et al. (2005)
berargumen
perlunya
perubahan
paradigma
lingkungan
dalam
pembangunan ekonomi dimana keduanya (ekonomi dan lingkungan) harus dipandang sebagai sebuah integrasi dan interaksi aktif satu sama lain serta tidak terpisah seperti yang terjadi selama ini sehingga menjadi sangat diametris satu sama lain. Salah satu penghalang terkuat dari bersatunya ekonomi dan ekologi adalah cara pandang dan asumsi bahwa sistem ekologi dan sistem ekonomi adalah dua sistem yang terpisah dan tidak perlu dipahami secara bersamaan. Para ekonom berpikir bahwa sistem ekonomi terpisah dari sistem alam sehingga beberapa isu yang terkait dengan sistem di luar sistem ekonomi akan dianggap sebagai eksternalitas, sementara pemerhati lingkungan tidak jarang
28 memandang sistem alam dan lingkungan sebagai sebuah sistem yang terpisah dari dinamika ekonomi. Sehingga pemikiran alternatif yang mampu memberikan penjelasan bagaimana sistem ekonomi bekerja dalam sebuah delineasi ekosistem (biosphere) menjadi sangat diperlukan untuk diwujudkan. Alternatif ini ditawarkan oleh konteks utama ekologi ekonomi (mainstream ecological economic) yang memfokuskan diri pada hubungan yang kompleks, non-linier dengan kerangka waktu (time-frame) yang lebih panjang antara sistem ekologi dan ekonomi. Komitmen normatif dari mainstreem ini adalah berusaha mewujudkan terciptanya „masyarakat yang bukan tanpa batas‟ (frugal society), dalam arti bahwa kehidupan masyarakat berada dalam keterbatasan sistem alam baik sebagai penyedia sumberdaya maupun penyerap limbah (Fauzi 2010). Selanjutnya dengan mengubah paradigma dari cara pandang pembangunan ekonomi dan lingkungan sebagai sebuah kesatuan, maka konsep daya dukung merupakan salah satu alat (tools) yang dapat diimplementasikan sebagai salah satu nilai normatif dalam kebijakan pembangunan ekonomi secara keseluruhan yang tidak terlepas pada paradigma keberlanjutan ilmu pengetahuan (sustainability sciences). Terumbu karang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia diantaranya adalah merupakan objek pariwisata yang merupakan sumber pendapatan bagi daerah sehingga secara tidak langsung dapat membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Ikan-ikan karang pada umumnya memiliki nilai jual yang sangat tinggi, sehingga banyak nelayan menangkap ikan di kawasan ini. Jumlah panenan ikan, kerang dan kepiting dari terumbu karang lestari di seluruh dunia dapat mencapai 9 juta ton atau sekurangnya 12% dari jumlah tangkapan perikanan dunia (White & Trinidad 1998). Perkiraan perhitungan nilai produksi perikanan dari terumbu karang tergantung pada kondisi terumbu karang dan kualitas pemanfaatan dan pengelolaan oleh masyarakat di sekitarnya. Terumbu karang dalam kondisi yang sangat baik mampu menghasilkan sekitar 18 ton/km2/tahun, terumbu karang dalam kondisi yang baik menghasilkan 13 ton/km2/tahun, dan terumbu karang dalam kondisi yang cukup baik mampu menghasilkan 8 ton/km2/tahun produksi perikanan Cesar (1996).
29 Cesar (1996) juga memperkirakan bahwa daerah terumbu karang yang masih asli dengan daerah perlindungan lautnya (marine sanctuary) dapat menghasilkan US$24.000/km2/tahun apabila penangkapan ikan dilakukan secara berkelanjutan (sustainable). Terumbu karang dengan kondisi yang sangat baik tanpa
daerah
perlindungan
laut
di
atasnya
dapat
menghasilkan
US$12.000/km2/tahun jika penangkapan dilakukan secara berkelanjutan. Terumbu karang yang rusak akibat penangkapan dengan racun dan bahan peledak atau kegiatan pengambilan destruktif lainnya (seperti penambangan karang, perusakan dengan jangkar, dan lain-lain) menghasilkan jauh lebih sedikit keuntungan ekonomi. Kawasan terumbu karang yang sudah rusak/hancur 50% hanya akan menghasilkan $6.000/km2/tahun, dan daerah yang 75% rusak menghasilkan hanya sekitar $2.000/km2/tahun. Apabila terumbu karang sudah mengalami tangkap lebih (overfishing) oleh cukup banyak nelayan maka keuntungan ekonomi akan menurun sangat tajam. Terumbu karang juga mempunyai nilai lain selain nilai ekonomi termasuk keuntungan ekonomi dan kemungkinan pengembangan pariwisata, perlindungan garis pantai, dan keanekaragaman hayati. Di Filipina diperkirakan bahwa 1km 2 terumbu karang sehat dapat menghasilkan keuntungan tahunan antara US$15.00045.000 dari perikanan secara berkelanjutan, US$2.000-20.000 dari keuntungan pariwisata, dan keuntungan ekonomi sekitar US$5000-25.000 dari perlindungan pesisir (perlindungan abrasi) dengan total keuntungan/pendapatan potensial antara US$32.000-113.000/km2/tahun (White & Trinidad 1998). Hasil penelitian Husni (2001) tentang nilai ekonomi terumbu karang untuk perikanan di kawasan Gili Indah Kabupaten Lombok Barat-NTB adalah sekitar 611.34 kg/ha/tahun dengan nilai Rp48.731.275/ha/tahun, sedangkan nilai ekonomi untuk pariwisata bahari sekitar Rp69.117.180,36. Hasil penelitian yang serupa dilakukan oleh Wawo (2000) di Pulau Nusa Laut Maluku menghasilkan nilai ekonomi total terumbu karang adalah Rp4.265.174/ha/tahun serta penelitian Dahuri (1999) di kawasan Barelang dan Bintan Rp1.614.637.864/ha/tahun. Hiew dan Lim (1998) in Kusumastanto (2000), menyatakan bahwa nilai manfaat terumbu karang per hektar per tahun sebagai pencegah erosi adalah sebesar US$34.871,75 atau dengan asumsi US$1 setara dengan Rp9.500 maka
30 nilai fungsi tidak langsung terumbu karang sebagai pencegah erosi adalah sebesar Rp331.281.625/ha/tahun. Di samping itu nilai keindahan, kekayaan biologi sebagai bagian dari suksesi alam dalam menjaga kelangsungan kehidupan dalam perannya sebagai sumber plasma nutfah, membuat terumbu karang menjadi kawasan ekosistem pesisir yang sangat penting dari berbagai segi. Sementara itu Ruitenbeek (2001), menyatakan bahwa nilai fungsi tidak langsung terumbu karang sebagai penyedia biodiversity adalah sebesar US$15/ha/tahun atau sekitar Rp142.500/ha/tahun. Pemanfaatan terumbu karang dapat digolongkan kedalam dua bagian, yaitu a) pemanfaatan ekstratif meliputi kegunaan konsumtif, seperti penangkapan biota laut yang dijadikan konsumsi pangan maupun kegunaan ornamental, seperti penangkapan ikan hias, kerang dan sebagainya, dan b) pemanfaatan non ekstraktif meliputi pendayagunaan ekosistem terumbu untuk tujuan pariwisata, penelitian, pendidikan, dan sebagainya (Baker & Koeoniam 1986). Nilai ekonomi pemanfaatan ekstratif dan non ekstraktif pada terumbu karang di Selat Lembeh dilaporkan oleh Parwinia (2006), yaitu nilai ekonomi ekstratif di kawasan Selat Lembeh dengan indikator total revenue dari perikanan berkisar antara Rp27 juta per vessel per tahun (Kelurahan Aertembaga) sampai Rp238 juta per vessel per tahun (Kelurahan Makawidey). Selain itu kawasan Selat Lembeh memiliki nilai ekonomi non-ekstraktif merupakan nilai wisata dan ekosistem, meliputi kegiatan menyelam, transportasi dan taxi air, dimana dari kegiatan penyelaman telah memberikan manfaat ekonomi tertinggi sekitar Rp300 juta/tahun, taxi air Rp90 juta/tahun dan nilai ekonomi dari sewa kapal sebesar Rp25 juta/tahun. 2.6
Potensi Ekosistem Terumbu Karang Sebagai salah satu eksosistem, terumbu karang mempunyai peranan penting
dalam kehidupan biota perairan di sekitarnya, dimana umumnya hidup di perairan pantai/laut yang cukup dangkal dengan penetrasi cahaya matahari masih sampai ke dasar perairan tersebut. Untuk menjaga kelangsungan hidupnya, terumbu karang membutuhkan suhu air yang hangat berkisar antara 25-32 0C. Karena sifat hidup ini maka terumbu karang banyak dijumpai di perairan Indonesia, yang relatif banyak mendapat cahaya matahari, dengan menempati area seluas 7.500 km2 dari luas perairan Indonesia. Terumbu karang juga mempunyai
31 produktivitas primer yang tinggi, dimana menurut Yonge (1963) dan Stoddart (1969) in Supriharyono (2000) umumnya produktivitas primer perairan karang berkisar antara 1.500-3.500 gC/m2/th, namun hal ini bisa mencapai 100 kali lebih besar daripada perairan lautan tropis sekitarnya. Tingginya produktivitas primer di perairan terumbu karang memungkinkan perairan ini sering dijadikan tempat pemijahan, pengasuhan dan sebagai tempat makanan bagi kebanyakan ikan. Oleh karena itu secara otomatis produksi ikan (termasuk hewan lainnya) di daerah terumbu karang sangat tinggi. Menurut Supriharyono (2000) bahwa 16% dari total hasil ekspor ikan Indonesia berasal dari daerah perairan karang. Manfaat lain dari ekosistem ini seperti sumber bahan obat-obatan, bahan untuk budidaya, peredam gelombang/ombak, mencegah terjadinya erosi pesisir, juga sebagai bahan bangunan. Banyak orang menyadari bahwa terumbu karang bukan hanya memiliki nilai ekologis tetapi juga nilai ekonomi khususnya bagi industri wisata bahari. Berkembangnya industri wisata bahari, semakin menambah jumlah wisatawan yang tertarik pada olahraga air seperti selam dan snorkeling. Meski pada era tahun 70-an hanya terdapat sekitar beberapa ratus penyelam amatir, namun sekarang jumlahnya sudah berkembang dengan pesat. Terumbu karang juga merupakan sumber makanan bagi beberapa jenis ikan yang populer di masyarakat seperti ikan kerapu, ikan beronang, dan juga merupakan tempat hidup tiram mutiara, berbagai jenis kerang, serta invertebrata lainnya yang menjadi sumber makanan dan biasa diperdagangkan. Diperkirakan antara 9-12% produksi ikan dunia berasal dari ikan karang, sedangkan di Philipina sebanyak 8-20% berasal dari ikan karang bahkan pada suatu pulau kecil hasil ikan rata-rata bisa mencapai 30 ton/km2/tahun (Soedharma 1997). Kawasan pesisir dan lautan termasuk pulau-pulau kecil, merupakan kawasan yang kaya akan berbagai ekosistem sumberdaya alam dengan keanekaragaman hayatinya. Total nilai ekonomi kawasan pesisir di seluruh permukaan bumi yang disebut dengan word’s gross natural product, yang termasuk di dalamnya estuaria, terumbu karang, paparan, rawa payau/hutan mangrove dan padang lamun adalah sebesar US$14,227 trilyun (Constanza et al. 1997). Secara keseluruhan nilai ekonomi masing-masing ekosistem seperti pada Tabel 2.
32 Tabel 2 Nilai ekonomi ekosistem pesisir dan lautan. Ekosistem
Nilai (US $ triliun)
Laut terbuka
8,381
Padang lamun
3,801
Terumbu karang
0,375
Hutan mangrove
1,648
Paparan/self
4,293
Estuaria
4,10
Sumber : Constanza et al. (1997) Terjadinya hal-hal yang merusak lingkungan dikarenakan fungsi-fungsi lingkungan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari ekosistem tidak tertampung dalam mekanisme pasar, sehingga proses ekonomi tidak menanggapi masalah lingkungan atau masalah lingkungan ditanggapi tanpa disertai dengan pertimbangan ekonomi dan ditangani secara terisolasi (Bengen 2003b), seperti yang terjadi di wilayah pesisir Sulawesi Utara. Perairan laut Sulawesi Utara yang luasnya sekitar 504.981 km2 terdiri dari perairan teritorial seluas 314.981 km2, dan perairan Zona Ekonomi Esklusif seluas 190.000 km2. Sejak dahulu kala laut memberikan manfaat yang besar bagi pembangunan bangsa, negara dan masyarakat umumnya. Khususnya Sulawesi Utara, peran laut terlihat dalam berbagai sektor pembangunan, seperti: perikanan, perhubungan dan angkutan, rekreasi, serta pariwisata (Whitten et al. 2002). Lebih lanjut Whitten et al. (2002) mengatakan bahwa panjang garis pantai Sulawesi Utara kurang lebih 1985 km, dengan luas daratan sekitar 27.500 km2. Angka kompleksitas garis pantai didefinisikan sebagai rasio dari ujung garis pantai dan keliling dari lingkaran hipotesis luar ekivalen daratan adalah 3,38 (bandingkan Pulau Jawa 1,79, Pulau Sumatera 2,05). Lebar semenanjung Sulawesi Utara cukup sempit, sehingga kebanyakan jarak garis pantai utara selatan tidak melebihi 30 km, dan maksimum 80 km. Hal ini menunjukkan tingginya tingkat keragaman pantai dan besarnya pengaruh matra pantai pada kondisi alam dan perekonomian serta sosial budaya masyarakat. Karena itu tidak mengherankan kalau kegiatan penduduk cenderung berada di daerah pantai.
33 Seperti diketahui ekosistem laut terdiri dari beberapa habitat yakni terumbu karang, padang lamun laut, hutan bakau, pantai, dan laut lepas. Habitat yang paling mendapat perhatian besar oleh masyarakat (termasuk masyarakat Sulawesi Utara) adalah terumbu karang karena mempunyai multifungsi sebagai berikut (Bengen 2000): 1. Menjaga kelestarian lingkungan dan sumberdaya laut. Berbagai jenis ikan karang serta berbagai biota laut lainnya sangat tergantung pada ekosistem terumbu karang, baik untuk makanan, tempat berkembang biak, maupun untuk pembesaran. 2. Terumbu karang yang sehat yang dikelola dengan teknik-teknik pengelolaan yang cocok, merupakan sumber yang sangat berharga untuk berbagai macam industri, usaha biota untuk akuarium, produk-produk farmasi, maupun keperluan kedokteran. 3. Terumbu karang juga berfungsi sebagai penjaga pantai dari erosi gelombang dan badai. 4. Terumbu karang yang sehat dengan kekayaan biotanya, berpotensi dalam pengembangan wisata bahari, akan menarik para wisatawan untuk berkunjung dan menyelam. 5. Terumbu karang sangat berjasa bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya sebagai laboratorium hidup. Kelestarian terumbu karang, seperti halnya kelestarian hutan, sangat ditentukan oleh aktivitas manusia. Sejalan dengan peningkatan kebutuhan manusia, biasanya diiringi dengan peningkatan eksploitasi terhadap alam. Eksploitasi secara besar-besaran terhadap alam baik yang berada di darat maupun yang berada di laut mungkin dapat memberikan manfaat yang besar bagi kepentingan manusia akan tetapi dalam jangka panjang, sebenarnya hal tersebut sangat merugikan. Eksploitasi hutan yang tak terkendali misalnya, di samping merusak alam itu sendiri sebenarnya juga mematikan sumber pekerjaan bagi masyarakat yang selama bertahun-tahun hidup dan sangat tergantung kepada hutan. Kondisi yang sama juga dapat ditemukan di laut, eksploitasi secara besarbesaran apalagi tanpa dibarengi dengan teknologi yang memadai akan dapat merusak habitat laut. Berbagai kegiatan manusia di laut seperti penangkapan ikan
34 dengan menggunakan bahan peledak, racun sianida, alat tangkap bubu, muro ami (sejenis alat tangkap gillnet) serta aktivitas manusia lainnya seperti kegiatan pemanfaatan sumberdaya di kawasan darat, akan sangat mempengaruhi ekosistem terumbu karang (Bengen 2002a). Usaha-usaha untuk melestarikan terumbu karang sangat ditentukan oleh masyarakat yang secara langsung maupun tidak langsung selalu terlibat dengan kehidupan di laut. Masyarakat nelayan merupakan salah satu contoh kelompok sosial yang hidupnya secara langsung tergantung kepada hasil laut. Disamping itu ada juga beberapa kelompok yang secara tidak langsung memperoleh penghasilan dari sektor perikanan laut seperti pedagang, dan para penampung hasil tangkapan ikan (petibo). Kelompok lain yang perlu mendapat perhatian dalam hal rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang adalah para pengambil dan pembeli batu karang sebagai bahan pondasi bangunan, secara langsung maupun tidak langsung ikut menyumbangkan kerusakan terumbu karang yang sudah ada. Kelompok terakhir yang juga dapat memberikan andil dalam hal kerusakan terumbu karang adalah kelompok pengusaha yang berkecimpung dalam usaha budidaya rumput laut, souvenir dari jenis kerang-kerangan serta sumberdaya laut lainnya. Selain itu kerusakan terumbu karang dapat diakibatkan oleh faktor alam, seperti iklim, penyakit, bencana, dan sedimentasi (Charles 2001). 2.7
Pengelolaan Pesisir Terpadu (Integrated Coastal Management) Prinsip keterpaduan sangat penting dan memegang peran yang fundamental
sebagai salah satu kunci sukses pengelolaan dalam konteks pengelolaan wilayah pesisir, dimana hal tersebut berkaitan dengan sifat alamiah dari wilayah pesisir yang sering disebut sebagai “the most complex system and multi-use region”. Seperti yang di ungkapkan oleh Thia-Eng (2006), dapat dipastikan bahwa keterpaduan merupakan konsistensi internal antara kebijakan dan aksi pengelolaan, sehingga memunculkan 3 katagori keterpaduan atau integrasi yaitu sistem, fungsi dan kebijakan. Lebih lanjut Thia-Eng (2006) mengatakan bahwa penerapan integrasi sistem harus mempertimbangkan dimensi temporal dan spasial dari sistem sumberdaya pesisir di dalam perubahan fisik lingkungan, pola pemanfaatan sumberdaya dan sosioekonomi. Dengan demikian integrasi sistem dapat relevan dengan isu
35 pengelolaan yang berkaitan dengan lingkungan, ekonomi dan sosial. Untuk integrasi fungsi sangat berhubungan dengan program dan manajemen proyek dalam kaitannya dengan sasaran dan tujuan. Sebagai contoh integrasi fungsi yang efektif adalah skema zona pesisir yang mengalokasikan sumberdaya alam guna pemanfaatan spesifik, dan melalui skema ini ditemukan tipe dan level dari aktivitas yang diijinkan di tiap zona, sesuai dengan sasaran dan tujuan dari pengelolaan pesisir terpadu. Sedangkan integrasi kebijakan bertujuan untuk mencapai konsistensi antara kebijakan pemerintah lokal dan nasional dalam perencanaan pengembangan ekonomi di tingkat lokal dan nasional. Dengan melihat pada kenyataan yang ada bahwa fungsi wilayah pesisir yang dinamik, Cicin-Sain dan Knecht (1998) memberikan petunjuk bahwa ada 5 komponen keterpaduan dalam pengelolaan pesisir yaitu : (1) Keterpaduan sektoral, mensyaratkan adanya koordinasi antar sektor dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir. Integrasi antar sektor yang memanfaatkan sumberdaya pesisir ini dapat bersifat horisontal dan vertikal, misalnya sektor perikanan dan pariwisata bahari untuk horisontal, dan sektor yang memanfaatkan sumberdaya pesisir dan yang memanfaatkan sumberdaya daratan yang memberikan pengaruh terhadap dinamika ekosistem pesisir dan laut (sektor perikanan dengan pertanian pesisir) untuk vertikal. (2) Keterpaduan
pemerintahan,
memiliki
makna
integrasi
antar
level
penyelenggara pemerintahan dalam sebuah konteks pengelolaan wilayah pesisir tertentu. Seperti contoh pengelolaan sebuah teluk dapat melibatkan lebih dari satu pemerintah kabupaten/kota. Dengan demikian koordinasi dan integrasi antar level pemerintah seperti antara pemerintah kabupaten/ kota dengan pemerintah propinsi atau bahkan pemerintah pusat diperlukan dalam konteks keterpaduan pemerintah ini. (3) Keterpaduan spasial, memberikan arah pada integrasi ruang dalam sebuah pengelolaan kawasan pesisir, yaitu mencakup kawasan daratan dan kawasan laut. Seperti yang telah dikemukakan, terdapat keterkaitan yang sangat kuat antara ekosistem daratan dan ekosistem laut. Dengan demikian pengelolaan pesisir harus mempertimbangkan keterkaitan antar ekosistem tersebut sehingga integrasi pengelolaan secara spasial menjadi kebutuhan mutlak.
36 (4) Keterpaduan ilmu dan manajemen, menitikberatkan pada integrasi antar ilmu dan pengetahuan yang terkait dengan pengelolaan pesisir. Dalam konteks ini, integrasi pemahaman bersama antara ilmu (alam, ekonomi dan sosial) menjadi sangat penting sehingga tujuan pengelolaan pesisir berkelanjutan dapat diwujudkan. (5) Keterpaduan internasional, mensyaratkan adanya integrasi pengelolaan pesisir yang melibatkan dua atau lebih negara seperti dalam konteks transboundary species, high migratory biota maupun efek polusi antar ekosistem. Keterpaduan ini misalnya sangat diperlukan ketika pemerintah harus terlibat dalam pengelolaan perikanan regional (Regional Fisheries Management Organization) seperti yang diisyaratkan oleh Code of Conduct for Responsible Fisheries (FAO 1995), IOTC (Indian Ocean
of Tuna
Commision) dan lain sebagainya. Menurut Adrianto (2004) pendekatan keterpaduan dalam sistem wilayah pesisir di pulau-pulau kecil berbasis keberlanjutan menjadi sebuah syarat mutlak. Dengan kata lain, pengelolaan lingkungan wilayah pesisir di pulau-pulau kecil harus mempertimbangkan faktor keterpaduan antar komponen yang secara nyata tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Keterpaduan ini akan menjadi salah satu motor bagi tercapainya keberlanjutan pembangunan pengelolaan wilayah pesisir dan laut khususnya di pulau-pulau kecil. Skema interkorelasi antar sub-wilayah dalam wilayah pesisir dan laut pulau-pulau kecil yang memiliki tujuan akhir pengelolaan wilayah yang berkelanjutan dapat dilihat pada Gambar 5 berikut ini.
Gambar 5
Kerangka keterpaduan dan keberlanjutan pulau-pulau kecil (Debance 1999 in Adrianto 2004)