TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Pesisir LIPI (2007), menyatakan daerah pesisir adalah jalur tanah darat atau
kering yang berdampingan dengan laut, di mana lingkungan dan tata guna lahan mempengaruhi secara langsung lingkungan ruang bagian laut, dan sebaliknya. Daerah pesisir adalah jalur yang membatasi daratan dengan laut atau danau dengan lebar yang bervariasi. Secara fungsi, merupakan peralihan yang luas antara tanah dan air dimana produksi, konsumsi, dan proses pertukaran terjadi pada tingkat intensitas yang tinggi. Secara geografis, batas darat wilayah pesisir sulit dipastikan. Umumnya air wilayah pantai diidentifikasikan sampai dengan ujung paparan benua (continental shelf) atau kedalaman kira-kira 200 m. Adapun untuk Indonesia, pada tahun 1990, definisi wilayah pesisir yang disepakati pada pembakuan teknis wilayah pesisir yaitu jalur saling pengaruh antara darat dan laut, mempunyai ciri geosfer secara khusus, ke arah darat dibatasi oleh pengaruh sifat fisik laut, dan sosial ekonomi bahari, sedangkan ke arah laut dibatasi oleh proses serta akibat kegiatan manusia terhadap lingkungan darat. Menurut UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil diantaranya adalah sebagai berikut : 1.
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antar sektor, antara pemerintah dan pemerintah daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
10
2.
Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.
3.
Perairan pesisir adalah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi perairan sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa payau dan laguna. UU No.27 Tahun 2007 menyatakan, ruang lingkup pengaturan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil meliputi daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut, ke arah darat mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 mil diukur dari garis pantai. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, salah satunya dilaksanakan dengan tujuan untuk meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat melalui peran serta masyarakat dalam pemanfaatan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Sedangkan berdasarkan ketentuan pasal 3 UU No.6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, wilayah perairan Indonesia mencakup : 1.
Laut teritorial Indonesia adalah jalur laut selebar 12 mil laut diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia.
2.
Perairan kepulauan, adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman jarak dari pantai.
3.
Perairan pedalaman adalah semua perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah dari pantai-pantai Indonesia, termasuk didalamnya semua bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat pada suatu garis penutup.
11
Dengan batasan di atas, maka luas wilayah pesisir ini, bisa sangat bervariasi antara satu tempat dengan tempat lainnya, mulai beberapa ratus meter hingga puluhan kilometer. Pada beberapa daerah pesisir dataran rendah (coastal low land), air laut bisa masuk ke daratan pada waktu air pasang naik sehingga baik tata air tanah dan jenis tanahnya akan memperlihatkan ciri-ciri pengaruh air laut. 2.2
Tambak Tambak merupakan salah satu jenis habitat yang dipergunakan sebagai
tempat untuk kegiatan budidaya payau yang berlokasi di daerah pesisir. Menurut Martosudamo dan Ranoemihardjo (1992) tambak merupakan kolam yang dibangun di daerah pasang surut dan digunakan untuk memelihara bandeng, udang, dan hewan lainnya yang biasa hidup di air payau. Air yang masuk ke dalam tambak sebagian besar berasal dari laut saat terjadi pasang, sehingga pengelolaan air dalam tambak dilakukan dengan memanfaatkan pasang surut air laut. Menurut Martosudamo dan Ranoemihardjo dalam Agustina (2006), berdasarkan letak tambak dan kesempatan mendapatkan air laut, tambak dapat dibagi menjadi 3 kelompok yaitu : 1) Tambak lanyah adalah tambak yang terletak di tepi pantai, sehingga berisi air laut yang memiliki salinitas lebih dari 300/00 dibandingkan dengan daerah tambak yang lain, air pada tambak lanyah cenderung lebih tinggi salinitasnya. Penguapan yang berlangsung terus menerus di dalam petakan tambak menyebabkan semakin meningkatnya salinitas. Pada saat-saat tertentu
12
salinitas air tambak dapat mencapai 600/00, terutama pada saat musim kemarau dan saat pergantian air sulit dilakukan. 2) Tambak biasa adalah tambak yang airnya merupakan campuran air tawar dari air sungai dan air asin dari air laut sehingga menjadi air payau, yang biasanya terdapat pada daerah yang lebih dalam dari tepi laut. Tambak biasa akan sulit mendapatkan air laut pada saat terjadi pasang rendah. 3) Tambak darat adalah daerah pertambakan yang terletak paling jauh dari pantai, air pada tambak ini tergantung pada curahan air hujan dan air sungai. Apabila curah hujan berkurang maka sebagian tambak itu akan kering sama sekali. 2.3
Sistem Budidaya Tambak Menurut Mujiman dan Suyanto (2004) terdapat 3 sistem budidaya, yaitu :
1)
Sistem Budidaya Tradisional atau Ekstensif Petakan tambak pada sistem budidaya tradisional memiliki bentuk dan
ukuran yang tidak teratur, luas lahannya antara 3 - 10 hektar per petak. Setiap petakan mempunyai saluran keliling (caren) yang lebarnya 5 - 10 m di sepanjang keliling petakan sebelah dalam, di bagian tengah juga dibuat caren dari sudut ke sudut (diagonal) dengan kedalaman 30 - 50 cm. Pada tambak tradisional ini tidak diberi pupuk sehingga produktifitas semata-mata tergantung dari makanan alami yang tersebar diseluruh tambak yang kelebatannya tergantung dari kesuburan alamiah, pemberantasan hama juga tidak dilakukan, akibatnya produktivitas semakin rendah. Padat penebarannya rata-rata antara 3.000 benih/hektar (berkisar antara 1.000-10.000 nener/hektar)
13
2)
Sistem Budidaya Semi-intensif Petakan tambak pada sistem budidaya semi-intensif memiliki bentuk yang
lebih teratur dengan maksud agar lebih mudah pengelolaan airnya. Bentuk petakan umumnya empat persegi panjang dengan luas 1 - 3 hektar per petakan. Tiap petakan mempunyai pintu pemasukan (inlet) dan pintu pengeluaran air (outlet) yang terpusat untuk pergantian air, penyiapan kolam sebelum ditebari benih, dan pemanenan. Pakan bandeng masih dari pakan alami yang didorong pertumbuhannya dengan pemupukan. Tetapi selanjutnya perlu diberi pakan tambahan berupa ikan-ikan dari laut, rebon, siput-siput tambak, dicampur dengan bekatul (dedak halus). Padat penebaran 20.000-50.000 nener/hektar, dengan produksi per tahunnya dapat mencapai 600 kg - 1.000 kg/ha/tahun. Pada tambak semi-intensif pengelolaan air cukup baik, ketika air pasang naik, sebagian air tambak diganti dengan air baru sehingga kualitas air cukup terjaga dan kehidupan bandeng sehat. Bahkan menggunakan pompa untuk dapat mengganti air pasang surut bila diperkirakan perlu. Pemberantasan hama dilakukan pada waktu mempersiapkan tambak sebelum penebaran nener, serangan hama juga dicegah dengan memasang sistem saringan pada pintu-pintu air. 3)
Sistem Budidaya Intensif Sistem budidaya intensif dilakukan dengan teknik canggih dan
memerlukan masukan (input) biaya yang besar. Petakan umumnya kecil-kecil 0,2 ha sampai 0,5 ha per petakan, dengan tujuan agar lebih mudah dalam pengelolaan air dan pengawasannya. Ciri khas dari budidaya intensif adalah pada penebaran nener sangat tinggi, yaitu 50.000 sampai 600.000 ekor/ha. Makanan sepenuhnya tergantung dari makanan yang diberikan dengan komposisi yang ideal bagi
14
pertumbuhan. Diberi aerasi (dengan kincir, atau alat lainnya) untuk menambah kadar oksigen di dalam air. Pergantian air dilakukan sangat sering dan biasanya menggunakan pompa, agar air tetap bersih dan tidak kotor oleh sisa-sisa makanan dan kotoran (ekskresi). Produksi per satuan luas petak dapat mencapai 1.000 sampai 20.000 kg/ha/tahun. 2.4
Budidaya Ikan Bandeng Penyebaran ikan bandeng sangat luas dari daerah Samudra Hindia sampai
ke Pantai Barat Amerika. Di Indonesia penyebarannya meliputi daerah Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Pulau Bali. Bandeng merupakan jenis ikan yang relatif tidak rentan dengan kondisi alam, artinya bandeng dapat hidup di air tawar, air asin maupun air payau. Selain itu bandeng relatif tahan terhadap berbagai penyakit yang biasanya menyerang hewan air. Sampai saat ini sebagian besar budidaya bandeng masih dikelola dengan teknologi yang relatif sederhana dengan tingkat produktivitas yang relatif rendah. Menurut (Saanin, 1968) ikan bandeng memiliki klasifikasi sebagai berikut Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata Kelas : Pisces Subkelas : Teleostei Ordo : Malacopterygii Family : Chanidae Genus : Chanos Spesies : Chanos chanos (Forsk)
15
Gambar 1. Ikan Bandeng Dari aspek konsumsi, ikan bandeng adalah sumber protein yang sehat sebab bandeng adalah sumber protein yang tidak mengandung kolesterol. Dewasa ini bandeng dibudidayakan secara tradisional dengan padat penebaran 3.000 5.000 ekor per hektar. Dengan hanya mengandalkan pupuk sebagai input untuk pertumbuhan kelekap atau alga sebagai pakan alami dengan rata-rata produksi yang dicapai hanya sekitar 300-1.000 kg per hektar. Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan produksi budidaya ikan bandeng, antara lain dari faktor teknis, biologis, sosial dan ekonomi. Lokasi merupakan salah satu penentu keberhasilan usaha budidaya bandeng. Secara teknis, lokasi sangat mempengaruhi konstruksi dan daya tahan serta biaya memelihara tambak. Secara biologis, lokasi sangat menentukan tingkat produktivitas usaha dan bahkan keberhasilan panen. Secara sosial dan ekonomi keuntungan maksimal dapat diperoleh bila lokasi yang dipilih mampu menurunkan biaya panen dan transportasi serta meningkatkan akses ke pemasaran Ahmad et al dalam Kaunang (2006). 2.5
Produktivitas Suatu kegiatan yang mengolah atau mengubah bentuk suatu barang
menjadi bentuk yang lainnya, dikatakan sebagai kegiatan produksi. Barang-barang yang digunakan untuk memproduksi bentuk barang yang lainnya, disebut sebagai
16
input produksi sementara barang-barang yang dihasilkan dari proses produksi disebut output produksi, sehingga dalam kata lain produksi merupakan kegiatan mengubah input produksi menjadi output produksi. Hubungan antara input dan output dalam proses produksi menurut Soekartawi (1994) disebut sebagai faktor relationship yang dapat dituliskan dalam notasi sederhana seperti dibawah ini: Y = f (X1,X2,X3,....Xn) Dimana Y dapat dikatakan sebagai output produksi yang nilainya dipengaruhi oleh X, sementara X merupakan input produksi yang nilainya mempengaruhi nilai output yang dihasilkan pada proses produksi. Kegiatan produksi bertujuan untuk meningkatkan atau mengubah nilai barang sebagai pemenuhan kebutuhan manusia. Produksi dapat digambarkan sebagai upaya untuk memaksimalkan keuntungan dengan kendala ketersediaan teknologi, sumberdaya yang dimiliki dan harga input variabel. 2.6
Analisis Produktivitas Perubahan lingkungan akan mengarah kepada perubahan produktivitas dan
biaya produksi, sehingga menyebabkan perubahan harga dan tingkat output yang dapat dilihat dan dinilai dari perubahan-perubahan tersebut. Kualitas lingkungan dilihat sebagai faktor produksi. Nilai surplus yang didapat dari penggunaan metode ini merupakan nilai manfaat langsung yang diturunkan dari pemanfaatan output yang didapat dari alam. Menurut Barton dalam Wijaya (2006) produktivitas tergantung pada pemanfaatan hasil langsung yang diperoleh dari lingkungan dengan asumsi ekonomi yang terpengaruh tidak mengkompensasi untuk merubah produktivitas dan kegiatan, dampak lingkungan serta perubahan output tidak mempengaruhi
17
harga pasar. Nilai manfaat langsung juga dapat diinterprestasikan sebagai perkiraan dari fungsi nilai pemanfaatan tidak langsung. Berikut beberapa metode yang terkait dengan perhitungan nilai yang beragam dalam tingkat estimasi suplai atau fungsi produksi dari sistem alami output : 1. Model Present Value per Hektar lahan Perhitungan terhadap nilai manfaat dari produksi biologi didapat dari perhitungan terhadap habitatnya. Proses ini diawali dengan memisahkan nilai produksi lahan per hektar dapat mendukung dalam menghitung manfaat biologi produksi per hektar dari habitatnya. Pendekatan ini mengabaikan biaya dari buruh dan sumberdaya manusia lainnya sebagai faktor produksi. Perhitungan produktivitas ekonomi tersebut menjadi dasar dalam menghitung manfaat ekosistem alami dari input populasinya. 2. Pendekatan Residual Rent Residual rent didefinisikan sebagai selisih antara biaya faktor produksi yang digunakan dalam suatu pemanfaatan sumberdaya dengan nilai total dari hasil panen usaha tersebut. Residual rent dapat juga dipandang sebagai kontribusi dari ekosistem alami atau faktor pendapatan, guna memperoleh nilai ekonomi dari suatu pemanfaatan sumberdaya. 3. Pendekatan Produktivitas Marjinal Pendekatan ini digunakan untuk menghitung perubahan kecil dalam produktivitas akibat perubahan yang terjadi pada habitatnya. Teknik ini dapat menghasilkan determinasi dari fungsi produksi bioekonomi yang didapat dari determinasi produktivitas marjinal. Data-data yang signifikan dibutuhkan dalam
menghitung
produktivitas
yang
bervariasi.
Dalam
perubahan
18
produktivitas lahan yang lebih sempit lagi pendekatan produktivitas marjinal tidak menghitung perubahan kesejahteraan. 2.7
Fungsi Produksi Hubungan fisik antara input dan output sering disebut fungsi produksi.
Bentuk fungsi produksi dipengaruhi oleh hukum ekonomi produksi “Hukum Kenaikan Hasil Yang Semakin Berkurang” (The law of Diminishing Return). Hukum ini menyatakan bahwa jika faktor produksi terus menerus ditambahkan pada faktor produksi tetap maka tambahan jumlah produksi per satuan akan semakin berkurang. Hukum ini menggambarkan adanya kenaikan hasil kurva produksi, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2. Y(output)
Titik Maksimum
Titik Singgung
Titik Balik
Daerah I Irrasional Ep>1
Produksi Total (PT)
Daerah II Rasional 0<Ep<1
Daerah III Irrasional Ep<0
Produksi Rata-Rata (PR) Produk Marginal (PM)
X(input)
Sumber: Nicholson (1995) Gambar 2. Hubungan antara produk total, produk rata-rata dan produk marginal Hubungan antara produk marginal, produk rata-rata dan produk total memperlihatkan bahwa total produksi memiliki batas optimum, hal yang mempengaruhi produk marginal dan produk rata-rata sehingga juga berpengaruh terhadap biaya yang digunakan dan penerimaan petani dengan kombinasi penggunaan input. Dalam menggambarkan fungsi teknis dapat dilihat pada tiga
19
daerah produksi yang ditulis sebagai daerah I, daerah II, dan daerah III berdasarkan elastisitas produksi faktor-faktor produksi. 1. Daerah produksi I Pada daerah ini elastisitas produksi lebih dari 1 (Ep > 1) terletak antara titik asal 0 dan x2 artinya penambahan faktor produksi sebesar satu persen akan menyebabkan penambahan output selalu lebih besar dari satu. Pada daerah ini belum dihasilkan produksi yang optimal yang akan memberikan keuntungan maksimum karena produksi masih dapat diperbesar dengan pemakaian input produksi lebih banyak sehingga daerah I disebut daerah irrasional apabila produksi dihentikan. 2. Daerah produksi II Pada daerah ini elastisitas produksi bernilai antara 0 dan 1 (0 < Ep < 1) terletak antara titik x1 dan x3. Artinya setiap penambahan faktor produksi sebesar satu persen akan menyebabkan penambahan produksi paling tinggi satu persen dan paling rendah nol persen. Daerah ini dicirikan oleh penambahan hasil produksi yang semakin meningkat berkurang (decreasing return). Pada tingkat tertentu dari penggunaan faktor-faktor produksi di daerah ini akan memberikan keuntungan maksimum sehingga daerah produksi II disebut daerah rasional. 3. Daerah produksi III Pada daerah ini nilai elastisitas produksi lebih kecil dari nol (Ep < 0) artinya setiap penambahan faktor produksi sebesar satu persen akan menyebabkan penurunan jumlah produksi yang dihasilkan. Daerah ini mencerminkan pemakaian faktor-faktor produksi yang sudah tidak efisien sehingga daerah III disebut juga daerah irrasional.
20
2.8
Penelitian Terdahulu Analisis fungsi produksi usahatani dilakukan oleh Lestari (2010),
penelitian tentang “Analisis Faktor-faktor Produksi dan Pendapatan Usahatani Kangkung Anggota dan Non Anggota Kelompok Tani di Desa Bantarsari, Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor”. Metode yang dilakukan dalah kuantitatif dan deskriptif. Data yang diperoleh melalui wawancara langsung dengan pengisisan kuesioner. Hasil pendugaan model fungsi Cobb-Douglas maka diperoleh faktor-faktor produksi yang berpengaruh terhadap produksi kangkung anggota kelompok tani adalah Tenaga Kerja Luar Keluarga (TKLK) dan luas lahan. Penelitian untuk memperkirakan nilai ekonomi perikanan telah dilakukan oleh Wijaya (2006). Dalam penelitian ini, memperkirakan nilai ekonomi pemanfaatan Waduk Cirata sebagai kawasan perikanan budidaya. Perikanan budidaya dengan menggunakan media Keramba Jaring Apung. Metode yang digunakan
untuk
memperkirakan
besar
nilai
ekonomi
adalah
dengan
menggunakan Residual Rent. Nilai Residual Rent yang didapatkan dari penelitian ini adalah sebesar Rp 193.744.882.532,77 dari total unit Keramba Jaring Apung sebanyak 13.300 unit. Rifqa (2010) melakukan “Analisis Dampak Ekonomi Keberadaan Kawasan Wisata Pantai Sawarna terhadap Pendapatan Masyarakat Lokal”. Hasil analisis menunjukan nilai Keynesian Income Multiplier yang di dapat adalah 0,39. Nilai Ratio Income multiplier Tipe I yang dihasilkan adalah 1,27 sedangkan Ratio Income multiplier Tipe II untuk penelitian ini adalah sebesar 1,52.