2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Pengertian Pulau dan Pulau-Pulau Kecil Pulau dapat didefinisikan dan dikategorikan dalam berbagai cara, dan
masing-masing memiliki tujuan yang sangat bermanfaat, namun tidak tersedia satu definisi tunggal atau kategori tunggal yang mengakomodir seluruh kebutuhan pendefinisian pulau.
Definisi yang paling banyak tersedia tentang pulau
cenderung kepada masalah ukuran pulau (Granger 1993). Ada beberapa kriteria tambahan yang menjadi pembatas dalam penentuan definisi pulau seperti remoteness, morfologi, ukuran populasi/jumlah penduduk dan pendapatan domestik bruto. Pulau-pulau juga dapat dikategorikan berdasarkan aspek fisik seperti posisinya terhadap katulistiwa (lintang) (seperti pulau tropis, temperate atau artik), berdasarkan proses geologi atau struktur pulau (pulau kontinental dan oseanik), berdasarkan hidrologi (daerah run-off), berdasarkan ketinggian dari permukaan laut (pulau dataran rendah atau pulau berbukit). Pengertian pulau berdasarkan UNCLOS (United Nations Convention of the Law of the Sea) 1982 adalah massa daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi oleh air dan selalu muncul/berada di atas permukaan laut pada saat pasang tertinggi, memiliki kemampuan menghidupi penduduknya atau kehidupan ekonominya dan memiliki dimensi ekonomi yang lebih kecil dari ekonomi kontinental. Pengertian pulau sebagaimana yang diutarakan dalam UNCLOSS 1982 di atas memiliki beberapa kata kunci, yaitu (1) lahan daratan, (2) terbentuk secara alamiah, (3) dikelilingi oleh air/lautan, (4) selalu di atas permukaan pada saat pasang, dan (5) memiliki kemampuan ekonomi untuk menghidupi penduduknya.
Ukuran pulau tersebut bervariasi mulai dari pulau yang hanya
beberapa meter persegi sampai jutaan kilometer persegi. Berdasarkan ukurannya, pulau dapat dibedakan menjadi pulau besar, pulau kecil dan pulau sangat kecil (Bengen dan Retaubun 2006). Adapun batasan tentang pulau-pulau kecil terus mengalami perkembangan dan berubah-rubah.
Kombinasi antara luas dan jumlah penduduk dari suatu
pulau merupakan salah satu parameter yang banyak diusulkan dalam menentukan kategori pulau, misalnya luas pulau antara 13 000 – 20 000 km2 dengan penduduk
16
antara 1.0 - 1.20 juta orang. Pulau kecil pada awalnya dibatasi sebagai pulau yang luasnya kurang dari 10 000 km2 dengan jumlah penduduk 500 000 orang, batasan yang sama juga digunakan Hess (1990) dengan jumlah penduduk sama atau kurang dari 200 000 orang. Alternatif batasan pulau kecil juga dikemukakan pada pertemuan CSC (1984) yang menetapkan luas pulau kecil maksimum 5 000 km2 (Bengen dan Retraubun 2006). Lillis (1993) menggunakan kriteria tambahan seperti area permukaan pulau, GNP (gross nasional product) dan ukuran populasi untuk menentukan sistem pulau di kawasan Pasifik menjadi pulau kecil, pulau sangat kecil dan pulau mikro. Batasan pulau-pulau kecil yang dianut Indonesia selama ini belum ada yang baku.
Batasan pulau kecil yang baku baru ditetapkan dengan diterbitkannya
Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Batasan pulau kecil yang dianut adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2 000 km2 beserta kesatuan ekosistemnya. Implikasi dari penentuan batasan pulau kecil ini bagi pengelolaan pulau-pulau berkelanjutan adalah dibatasinya peruntukan lahan dan perairan pulau-pulau kecil pada beberapa kegiatan
pemanfaatan
saja.
Pemanfaatan
pulau-pulau
kecil
Indonesia
diprioritaskan untuk tujuan konservasi, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, budidaya laut, pariwisata, usaha perikanan dan kelautan dan industri perikanan secara lestari, pertanian organik, dan/atau peternakan. 2.2
Tipe Pulau-pulau Kecil Pulau-pulau kecil yang ada di dunia dapat dikelompokkan berdasarkan
beberapa kategori, misalnya berdasarkan tipe dan asal pembentukan pulau atau berdasarkan ketinggian pulau di atas permukaan laut (Bengen dan Retraubun 2006). Berdasarkan ketinggian pulau di atas permukaan laut, pulau kecil dibagi menjadi pulau datar dan pulau berbukit, sebagai berikut: 2.2.1 Pulau Datar Pulau datar adalah pulau dimana ketinggian daratannya dari muka laut rendah. Pulau ini berasal dari pulau vulkanik maupun non-vulkanik. Pulau-pulau dari tipe ini merupakan pulau yang paling rawan terhadap bencana alam, seperti taufan dan tsunami. Oleh karena pulau tersebut relatif datar dan rendah, maka
17
massa air dari bencana alam yang datang ke pulau tersebut akan masuk jauh ke tengah pulau. Jenis-jenis pulau datar adalah sebagai berikut: 1. Pulau Atol: Pulau atol adalah pulau karang yang berbentuk cincin. Umumnya pulau ini adalah pulau vulkanik yang ditumbuhi oleh terumbu karang membentuk fringing reef, kemudian berubah menjadi barrier reef dan terakhir berubah menjadi pulau atol. Proses pembentukan tersebut disebabkan oleh adanya gerakan ke bawah (subsidence) dari pulau vulkanik dan adanya pertumbuhan vertikal dari terumbu karang. Contoh pulau atol yang cukup terkenal di Indonesia adalah pulau-pulau yang terdapat di gugus pulau di Takabone Rate. 2. Pulau Karang: Pulau karang adalah pulau yang terbentuk oleh sedimen klastik berumur kuarter. Banyak pulau-pulau di Indonesia yang memiliki ekosistem terumbu karang. Pulau koral/karang atau pulau teras terangkat umumnya sangat subur dan hijau, karena mempunyai daya kapilaritas yang tinggi, sehingga memiliki sumber air tawar yang banyak bagi kehidupan habitat dan manusia. Contoh-contoh pulau karang terdapat di wilayah Maluku. 3. Pulau Aluvium: Pulau aluvium terbentuk karena proses pengendapan yang biasanya terjadi di sekitar muara sungai besar, dimana laju pengendapan lebih tinggi dibandingkan intensitas erosi oleh arus dan gelombang laut. Pulau-pulau di pantai timur Sumatera dan pulau-pulau di delta-delta di Kalimantan merupakan tipe pulau endapan atau pulau aluvium. 2.2.2. Pulau Berbukit Pulau berbukit adalah pulau dataran tinggi yang memiliki ketinggian di atas muka laut yang relatif tinggi. Umumnya pulau ini memiliki ketinggian lebih dari 10 m di atas pemukaan laut. Pulau-pulau yang tergolong pulau berbukit adalah pulau tektonik, pulau vulkanik, pulau teras terangkat, pulau petabah dan pulau genesis campuran. 1. Pulau Tektonik: Pulau yang pembentukannya berkaitan dengan proses tektonik, terutama pada zona tumbukan antar lempeng, misalnya Pulau Nias, Pulau Siberut dan Pulau Enggano.
Sumberdaya air di pulau tektonik lebih
banyak dijumpai sebagai aliran sungai, dan sangat sedikit air tanah.
18
2. Pulau Vulkanik: Pulau vulkanik adalah pulau yang sepenuhnya terbentuk dari kegiatan gunung berapi, yang timbul secara perlahan-lahan dari dasar laut ke permukaan. Pulau jenis ini bukan merupakan bagian dari daratan benua, dan terbentuk di sepanjang pertemuan lempeng-lempeng tektonik, dimana lempeng-lempeng tersebut saling menjauh. Tipe batuan dari pulau ini adalah basalt, silica (kadar rendah).
Ada pula pulau vulkanik yang membentuk
untaian pulau-pulau dan titik gunung api dan terdapat di bagian tengah lempeng benua (continental plate). 3. Pulau Karang Timbul: Pulau karang timbul adalah pulau yang terbentuk oleh terumbu karang yang terangkat ke atas permukaan laut, karena adanya gerakan ke atas (uplift) dan gerakan ke bawah (subsidence) dari dasar laut karena proses geologi. Pada saat dasar laut berada dekat permukaan, terumbu karang mempunyai kesempatan untuk tumbuh dan berkembang di dasar laut yang naik. Setelah berada di atas permukaan air laut, terumbu karang akan mati dan menyisakan terumbu dan terbentuk pulau karang timbul. Jika proses ini berlangsung terus, maka akan terbentuk pulau karang timbul. Pada umumnya karang yang timbul ke permukaan laut berbentuk teras-teras seperti sawah di pegunungan. Proses ini dapat terjadi pada pulau-pulau vulkanik maupun nonvulkanik. Pulau karang timbul ini banyak dijumpai di perairan timur Indonesia, seperti di Laut Seram, Sulu, Banda. 4. Pulau Petabah: Pulau petabah adalah pulau yang terbentuk di daerah yang stabil secara tektonik. Pulau seperti ini antara lain dijumpai di Paparan Sunda. Litologi pembentukan pulau petabah sering terdiri atas batuan ubahan, intrusi, dan sedimen yang terlipat dan berumur tua, seperti Pulau Batam, Pulau Bintan dan Pulau Belitung. 5. Pulau Genesis campuran:
Pulau genesis campuran adalah pulau yang
terbentuk dari gabungan dua atau lebih genesis pulau-pulau tersebut di atas. Potensi air di pulau genesis campuran tergantung pada genesis pulau yang bergabung, dan dapat berupa sumber air yang mengalir sepanjang tahun maupun aliran air permukaan dengan jumlah yang biasanya terbatas. Pulaupulau seperti Pulau Haruku, Pulau Nusa Laut, Pulau Kisar dan Pulau Rote adalah contoh pulau genesis campuran.
19
Salah satu kawasan di dunia yang memiliki banyak hamparan pulau-pulau kecil adalah kawasan Pasifik. Campbell (2006) mengelompokkan pulau-pulau kecil di kawasan pasifik menjadi 4 tipe pulau, yaitu pulau kontinental, pulau vulkanik, pulau atol dan pulau karang terangkat. Keempat tipe pulau tersebut memiliki implikasi yang berbeda terhadap gangguan alam, seperti gangguan dari bencana alam, ketersingkapan dan sebagainya.
Hubungan antara tipe pulau
dengan implikasi terhadap bahaya gangguan alam di kawasan Pasifik disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Tipe pulau dan implikasi terhadap bahaya gangguan alam No. 1.
2.
3.
Tipe Pulau Pulau Kontinental • Sangat luas • Memiliki elevasi tinggi • Keanekaragaman tinggi • Ketersediaan tanah yang cukup untuk kegiatan pertanian • Sistem aliran sungai dataran Pulau Vulkanik • Memiliki slope yang curam • Ada penghalang karang • Daratan lebih kecil dibandingkan pulau kontinental • Memiliki sistem aliran sungai dataran yang lebih kecil dibandingkan kontinental Pulau Atol • Lahan daratan sangat terbatas • Elevasi sangat rendah • Tidak tersedia air permukaan
Pulau Karang Terangkat • Slope outer curam • Pesisir dataran sempit • Tidak ada air permukaan • Tidak ada atau sangat minim tanah pertanian Sumber: Campbell (2006). 4.
Implikasi Terhadap Bahaya Gangguan Alam • Berada pada daerah subduksi dan mudah mendapatkan pengaruh dari gempa bumi dan aktivitas vulkanik • Masalah banjir merupakan masalah yang utama di pulau ini
• Sungai-sungai kecil dapat menyebabkan banjir • Karena ukurannya besar pulau ini tidak terekspose terhadap badai trofis
• Terekspose terhadap badai, pasang dan gelombang • Sangat terbatas sumberdaya alam • Air permukaan merupakan masalah utama • Sangat tergantung pada ketinggian, ekspose terhadap badai • Air permukaan terbatas
Kajian karakteristik pulau-pulau kecil di Indonesia dilakukan Asriningrum (2009). Kajian yang dilakukan adalah melihat keterkaitan atau hubungan antara
20
karakteristik pulau kecil dengan pertumbuhan atau perkembangan ekosistem pesisir.
Kajian dilakukan pada tiga tipe pulau, yaitu pulau tektonik, pulau
vulkanik dan pulau karang dengan kemungkinan keberadaan atau pertumbuhan ekosistem mangrove, terumbu karang dan lamun pada ketiga pulau tersebut. Hasil kajiannya pada beberapa pulau kecil di Indonesia memperlihatkan perbedaan antara pulau tektonik, vulkanik dan pulau karang sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Hubungan tipe pulau dengan ekosistem pesisir Ekosistem Laut
Tektonik tumbuh lebih baik Mangrove pada pantai landai dan datar yang lebih terlindung Terumbu karang tumbuh lebih baik pada pantai terjal berbatu yang menghadap laut lepas tumbuh lebih baik Lamun pada daerah yang lebih terlindung Sumber : Asriningrum (2009)
2.3.
Tipe pulau kecil Vulkanik tumbuh pada sisi pulau yang datar dan terlindung
Karang sulit tumbuh
aktivitas vulkanik semakin rendah terumbu karang semakin baik
tumbuh lebih baik pada posisi perairan laut yang lebih terbuka
tumbuh pada sisi pulau yang terlindung
sulit tumbuh
Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil dalam Konteks Pengelolaan Pesisir Terpadu Pengelolaan pulau-pulau kecil tidak terlepas dari pengelolaan pesisir
secara terpadu. Pengelolaan pesisir terpadu adalah suatu proses yang dinamis dan kontinyu untuk mencapai pemanfaatan sumberdaya dan pembangunan secara berkelanjutan, perlindungan sumberdaya dan wilayah pesisir dan laut (Cicin-Sain dan Knecht 1998). Pengelolaan pesisir terpadu ini adalah sebuah proses yang memperhatikan karakteristik dari wilayah pesisir.
Aspek keterpaduan dari
pengelolaan pesisir terpadu adalah keterpaduan antar sektor, keterpaduan antar pemerintah (lokal-nasional), keterpaduan wilayah/spasial, keterpaduan antara ilmu pengetahuan dan manajemen, dan keterpaduan internasional.
Sementara itu,
Dahuri et al. (2001) mendefinisikan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu
21
sebagai suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan lebih dari satu ekosistem, sumberdaya, dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan. Jika merujuk kepada definisi wilayah pesisir yang dianut oleh Indonesia dimana wilayah pesisir dibatasi dengan wilayah kecamatan pesisir ke arah darat dan sejauh 12 mil ke arah laut, maka hampir seluruh wilayah pulau-pulau kecil merupakan wilayah pesisir (UU No. 27/2007).
Namun jika pengertian wilayah
pesisir dirujuk kepada batasan yang menyebutkan bahwa wilayah pesisir adalah wilayah peralihan yang ke arah daratnya dibatasi oleh wilayah yang masih dipengaruhi oleh proses-proses di laut (intrusi air laut) dan ke arah laut sejauh wilayah yang masih dipengaruhi oleh proses di darat (sedimentasi), maka batas wilayah pesisir di pulau-pulau kecil sangat ditentukan oleh geomorfologi pulau kecil. Pendekatan ICM pada pulau-pulau kecil lebih jauh dibahas Calado et al. (2007).
Karakteristik
pulau
(termasuk
pulau
kecil)
yang
dikelilingi
perairan/lautan, luasannya (wilayah daratannya) yang kecil, jarak dari daratan besar yang sangat jauh menyebabkan pulau kecil sebagai sebuah sistem tertutup (Calado et al. 2007), hal ini memiliki implikasi yang sangat besar terkait dengan proses perencanaan dan pengelolaan spasial pulau-pulau kecil. Karena sifatnya yang remotness, terisolasi, sangat kecil dan merupakan sistem tertutup, membuat perencanaan dan pengelolaan pulau-pulau kecil memiliki tantangan yang lebih besar baik ditinjau dari aspek ilmu pengetahuan maupun kebutuhan teknologi. Calado et al. (2007) menjelaskan bahwa dalam kaitannya dengan strategi pengelolaan pesisir terpadu untuk pulau-pulau kecil, penyusunan strategi pengelolaan pesisir terpadu merupakan sebuah pemikiran positif untuk memulai proses inisiasi dialog, peningkatan partisipasi publik dalam pengambilan keputusan, peningkatan kesadaran terhadap permasalahan pesisir. Towle (1985) menekankan bahwa karena karakteristik pulau-pulau kecil yang unik, maka dalam mengimplementasikan pengelolaan terpadu harus menghindari bias kontinental pada saat merancang program pengelolaan pulau-pulau kecil. Pengelolaan pulau-pulau kecil pada prinsipnya bagaimana menata aktivitas manusia dalam memanfaatkan ekosistem daratan (terrestrial ecosystem) dan ekosistem perairan (marine environment) sehingga tidak mempengaruhi
22
keberlanjutan sistem pulau-pulau kecil. Dalam konteks pengelolaan pulau-pulau kecil, kajian kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil merupakan persinggungan antara aktivitas manusia dengan lingkungan daratan (terrestrial ecosystem) dan lingkungan perairan (marine environment). Hubungan lebih lanjut antara kerentanan dan keberlanjutan dari suatu sistem pulau-pulau kecil digambarkan Mimura (1999). Adanya faktor eksternal akan mempengaruhi proses-proses yang terjadi dalam sistem internal pulau-pulau kecil yang digambarkan sebagai interaksi sistem pulau-pulau kecil. Interaksi yang terjadi dalam sistem pulau-pulau kecil selanjutnya akan mempengaruhi kerentanan dan resiliensi dari pulau-pulau kecil tersebut. Seberapa besar faktor luar mempengaruhi kedua komponen tersebut akan menentukan tingkat resiliensi dan kerentanan pulau-pulau kecil, yang selanjutnya akan mempengaruhi dan menentukan keberlanjutan dari sistem pulau-pulau kecil (Gambar 4). Tekanan Luar (External Stresses)
Manusia Sumberdaya alam
Infrastruktur Tekanan Internal (Internall Stresses) Sosial budaya
Kelembagaan Ekonomi
Komponen Sistem Resiliensi
Komponen Sistem Kerentanan
Kemampuan Keberlanjutan Sistem pulau‐pulau
Gambar 4. Kerangka analisis kerentanan dalam kaitannya dengan pengelolaan pulau-pulau kecil berkelanjutan (Mimura 1999)
23
Bagi negara-negara kepulauan, pendekatan sistem pengelolaan pulau sebagai suatu pendekatan multidisiplin, mekanisme keterpaduan dan menawarkan suatu strategi pengelolaan adaptif untuk mengatasi isu-isu konflik pemanfaatan sumberdaya dan menyediakan sebuah kebijakan yang diperlukan untuk mengatasi permasalahan, yang berorientasi untuk mengontrol dampak akibat intervensi manusia terhadap lingkungan pulau-pulau kecil. Efektifitas pendekatan ini sangat tergantung
pada
kerangka
kelembagaan
dan
kerangka
hukum
yang
mengkoordinasikan seluruh sektor baik publik maupun swasta dalam mencapai tujuan yang diinginkan. 2.4.
Kerentanan Pulau-Pulau Kecil Resiko merupakan suatu hal yang memiliki keterkaitan dengan kerentanan
pulau.
Resiko menjadi perhatian apabila resiko tersebut cukup signifikan.
Signifikansi suatu resiko menurut Tompkins et al. (2005) apabila suatu resiko berasosiasi dengan sejumlah biaya. Sebagai contoh, jika ada gunung meletus di sebuah pulau yang tidak berpenduduk, seringkali hal ini tidak mendapat perhatian sebagai suatu bencana. Namun apabila hal yang sama terjadi pada pulau yang berpenduduk, apalagi jika pulau tersebut berpenduduk padat, maka kejadian tersebut sangat signifikan karena memiliki berbagai konsekwensi terkait dengan penduduk di pulau tersebut. Lewis (2003) mengemukakan beberapa alasan, mengapa pulau-pulau kecil menjadi rentan. Alasan yang dikemukakan adalah pulau-pulau kecil memiliki ukuran yang kecil, rendahnya sumberdaya berbasis daratan, relatif memiliki aksesibilitas yang rendah. Pelling dan Uitto (2001) juga mengemukakan beberapa karakteristik yang menjadi alasan mengapa suatu pulau-pulau kecil rentan, yaitu (1) ukuran kecil yang berimplikasi pada keterbatasan sumberdaya berbasis daratan, (2) insularitas dan remoteness yang berimplikasi pada biaya transportasi yang mahal dan memerlukan waktu yang lebih lama, (3) masalah faktor lingkungan seperti ketersingkapan terhadap gangguan, (4) kapasitas mitigasi terhadap bencana yang terbatas, (5) faktor penduduk yang memiliki kualitas sumberdaya manusia (SDM) yang rendah, tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi, dan (6) faktor ekonomi seperti ketergantungan pada pembiayaan eksternal, pasar internal yang terbatas.
24
Tompkins et al. (2005) juga menyatakan hal yang sama bahwa pulaupulau kecil secara ekonomi, sosial dan fisik rentan secara alamiah. Katidakmampuan menghasilkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan domestik, menyebabkan ketergantungan yang tinggi terhadap impor dari luar. Keterbatasan lahan daratan sebagai karakteristik utama pulau-pulau kecil membuat terbatasnya tempat untuk manusia, lahan untuk pembangunan infrastruktur, lahan untuk pembuangan limbah dan lahan untuk pertanian. Banyak pulau-pulau kecil yang memiliki tingkat resiko yang tinggi terhadap bencana alam seperti banjir, badai tropis dan gelombang laut. Dalam kaitannya dengan pembangunan pulau-pulau kecil, ada dua faktor yang menjadi penghambat, yaitu terkait dengan skala dan lokasi pulau-pulau kecil. Ukuran pulau yang kecil dan pragmentasi dari gugus pulau merupakan contoh keterbatasan dalam hal skala pulau.
Pulau-pulau kecil memiliki
keterbatasan dalam hal sumberdaya (darat) dan keterbatasan ruang.
Hal ini
menjadi hambatan fisik untuk pembangunan infrastruktur di pulau-pulau kecil. Namun demikian, baik skala maupun lokasi sangat tergantung pada posisi pulaupulau kecil tersebut terhadap alur transportasi laut dan udara. Negara-negara maju tidak mengalami hambatan terkait dengan faktor skala dan lokasi seperti Hawai dan Singapore (Brookfield 1990). Banyak kajian yang sudah dilakukan untuk mengkaji kerentanan ekologi dan ekonomi dari suatu sistem pulau pada berbagai skala ruang/lokasi yang berbeda.
Hasil kajian tersebut kadang-kadang menunjukkan sesuatu yang
berbeda. Banyak peneliliti yang menyatakan bahwa isu utama pulau-pulau kecil bukan karena keterisolasian dan smallness semata, tetapi juga masalah pembangunan yang dilakukan di pulau-pulau kecil.
Menurut Farrel (1991)
permasalahan esensi yang dihadapi oleh suatu negara kepulauan kecil (small island development stated) adalah keterbatasan atau hanya sedikit hal yang dapat diperbuat karena karakteristiknya yang smallness dari pulau kecil tersebut. 2.4.1. Konsep Kerentanan Kerentanan memiliki banyak pengertian, baik ditinjau dari aspek maupun dari sisi cakupan. Menurut Ford (2002), pengertian kerentanan mengandung dua aspek, yaitu yang terkait dengan sifatnya (relative nature) dan terkait dengan
25
cakupan atau skala. Terkait dengan sifatnya, kerentanan adalah suatu entitas dari suatu sistem yang menggambarkan kondisinya, sedangkan dilihat dari skalanya, kerentanan digunakan dalam berbagai skala yang berbeda, seperti rumah tangga, komunitas, ataupun negara.
Pada Tabel 4 disajikan beberapa pengertian
kerentanan. Tabel 4. Beberapa pengertian kerentanan Nama Timmerman
Tahun 1981
Susman et al.
1983
Kates et al.
1985
UN Department of Humanitarian Affairs Cutter
1992
1993
Watts dan Bohle
1993
Blaikie et al.
1994
Bohle et al.
1994
Dow dan Downing
1995
Smith
1996
Vogel
1998
Adger dan Kelly
1999
Pengertian Derajat atau tingkatan pada suatu sistem bertindak terhadap suatu kejadian yang tidak baik. Derajat atau tingkat pada suatu kelas sosial yang berbeda dalam hal resiko baik suatu kejadian fisik maupun efek dari sistem sosial Kapasitas yang dapat diadaptasi dari suatu gangguan atau reaksi terhadap kondisi yang kurang baik Tingkat kehilangan (0-100%) yang dihasilkan dari suatu potensi dampak fenomena alam Kecenderungan yang dialami oleh individu atau kelompok yang akan terekspose terhadap suatu bahaya Kerentanan didefinisikan sebagai fungsi dari keterbukaan, kapasitas dan potensial, dimana respon terhadap kerentanan untuk mereduksi keterbukaan dan meningkatkan kemampuan mengatasi, dan atau menguatkan potensi pemulihan Karakteristik dari seseorang atau sekumpulan orang terkait dengan kemampuannya untuk mengantisipasi mengatasi, resisten dan memulihkan diri dari dampak bencana alam Suatu ukuran secara agregate kesejahteraan manusia yang terintegrasi antara lingkungan, sosial, ekonomi dan politik dalam mengatasi gangguan Perbedaan kepekaan dari keadaan yang berpengaruh terhadap kondisi rentan, seperti faktor biofisik, demografi, ekonomi, sosial, dan teknologi Konsep kerentanan diisyaratkan ukuran resiko kombinasi dari kemampuan ekonomi dan sosial untuk mengatasi dampak kejadian Karakteristik dari seseorang atau sekelompok orang terkait dengan kapasitasnya dalam mengantisipasi, mengatasi, bertahan, dan memulihkan diri dari dampak perubahan iklim Kondisi individu atau kelompok masyarakat dalam kaitannya dengan kemampuannya mengatasi dan beradaptasi terhadap berbagai tekanan eksternal yang mengganggu kehidupan mereka.
26 Nama
Tahun 2001
Pengertian Tingkatan pada suatu sistem yang dipengaruhi oleh Karsperson et keterbukaan atau gangguan/tekanan dan kemampuan al. untuk mengatasi atau memulihkan diri terhadap gangguan 2002 Dinamika kerentanan adalah proses-proses ekonomi Liechenko and nasional dan internasional yang mempengaruhi kapasitas O’Brien individu dalam mengatasi, merespon dan beradaptasi terhadap gangguan (shocks) alam dan sosial ekonomi Sumber : Disadur dari Ford (2002)
Istilah kerentanan merujuk pada kemudahan mengalami dampak dari faktor eksternal.
Kerentanan adalah kecenderungan suatu entitas mengalami
kerusakan (SOPAC 2005). Entitas dapat berupa fisik (manusia, ekosistem, garis pantai) atau konsep yang abstrak (seperti komunitas, ekonomi, negara dan sebagainya) yang dapat dirusak. Kerentanan dapat bersifat tunggal dan komplek yang disebut overall vulnerability, yaitu suatu hasil dari banyak kerentanan yang bekerja bersama-sama. Bahaya atau resiko (hazard) adalah sesuatu atau proses yang dapat menyebabkan kerusakan, tetapi hanya dapat didefinisikan dalam istilah dari suatu entitas yang dirusak, seperti badai siklon adalah suatu bahaya bagi sebuah pulau kecil. Kerentanan memiliki makna yang beragam (Campbell 2009), sebagaimana disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Sinonim dan antonim kata kerentanan Synonym Indonesia Inggris lemah weak sangat lemah powerless tidak terjamin insecure pasif passive terbuka expose tidak terlindung unprotected tidak stabil unstable beresiko risk terbatas constrained/limited rapuh fragile sempit small tidak memusat peripheral terpinggirkan marginal tidak bebas dependent Sumber: Campbell (2009)
Antonym Inggris strong powerfull secure active covered protected stable safety free/unlimited robust large central impotant independent
Indonesia kuat sangat kuat terjamin aktif tertutup terlindung stabil aman tidak terbatas tegap luas terpusat penting bebas
27
Perkembangan kajian kerentanan terhadap perubahan iklim telah melalui 4 (empat) tahapan, yaitu dimulai dengan kajian dampak (impact assessment), kemudian kajian kerentanan generasi pertama (vulnerability assessment firstgeneration), kajian kerentanan generasi kedua (vulnerability assessment scondgeneration), dan kajian adaptasi kebijakan (vulnerability policy assessment) (Fussel dan Klein 2006).
Kajian kerentanan generasi pertama dicirikan oleh
adanya evaluasi dampak iklim dalam bentuk relevansinya dengan masyarakat yang baru mempertimbangkan potensi adaptasi masyarakat di suatu wilayah. Adapun novelty atau kebaharuan dari kajian kerentanan generasi kedua adalah penilaian terhadap kapasitas individu/orang yang sudah bergeser dari sekedar penilaian potensi kapasitas adaptif pada generasi pertama menjadi sebuah kelayakan adaptasi dari masyarakat terhadap perubahan iklim (Fussel dan Klein 2006). Dengan kata lain, kelayakan adaptasi sudah mampu memperhitungkan kapasitas adaptasi masyarakat terhadap kerentanan. Perbedaan dan karakteristik setiap tahapan perkembangan kajian kerentanan disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Karakteristik 4 tahapan perkembangan kajian kerentanan terhadap perubahan iklim
Fokus utama kebijakan Pendekatan analisis Hasil utama
Kebijakan mitigasi Positif Dampak potensi
Waktu
Jangka panjang Nasional ke global Kecil
Kajian Kerentanan Generasi Generasi kedua Pertama Kebijakan Alokasi mitigasi sumberdaya Positif Positif Adaptasi awal Adaptasi akhir (pre-adaptation) (postadaptation) Jangka panjang Sedang-jangka panjang Nasional ke Lokal ke global global Parsial Penuh
Rendah
Rendah ke sedang
Rendah
Rendah
Kajian dampak
Skala ruang Pertimbangan iklim, non-iklim dan adaptasi Integrasi antara ilmu sosial dan alam Keterlibatan stakeholder
Sedang ke tinggi Sedang
Kajian Kebijakan Adaptasi Kebijakan adaptasi Normatif Rekomendasi strategi adaptasi Pendek – jangka panjang Lokal ke nasional Penuh
Tinggi Tinggi
Sumber : Fussel dan Klein (2006) Kerentanan adalah tingkatan dari suatu sistem terhadap kemudahan sistem tersebut terkena dampak atau ketidak mampuan mengatasi dampak dari perubahan
28
iklim termasuk iklim yang berubah-ubah dan ekstrim.
Kerentanan merupakan
fungsi dari karakter, magnitude, laju dari variasi iklim karena terekspose, sensitivitas dan kapasitas adaptasinya (McCarthy et al. 2001). Adapun Karperson et al. (2003) dan Turner et al. (2003) menyebutkan bahwa kerentanan adalah tingkat dimana manusia dan sistem alam akan mengalami kerugian karena gangguan atau tekanan dari luar. Sebagai contoh, kerentanan wilayah pesisir terhadap perubahan iklim dan kenaikan muka laut adalah tingkat ketidakmampuan wilayah pesisir untuk mengatasi dampak dari perubahan iklim dan kenaikan muka laut (IPCC-CZMS 1992). Faktor geografi juga merupakan salah satu penyebab kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil. Secara geografi pulau-pulau kecil dapat memiliki kerentanan yang tinggi terhadap gangguan alam, atau karena letaknya yang tidak strategis, sehingga pulau-pulau kecil memiliki kerentanan lokasi. Karena posisi pulau-pulau kecil juga dapat meningkatkan kerentanan karena berada pada zona seperti topan dan daerah tercemar.
Kerentanan pulau-pulau kecil karena
posisi/letak disebut sebagai kerentanan ruang (vulnerability of space) (Turvey 2007). Kajian kerentanan ruang dimaksudkan untuk mengetahui mengapa suatu lokasi pulau-pulau kecil lebih rentan dari lokasi lainnya.
Istilah ruang ini
memiliki makna geografi seperti lokasi, ukuran dari pulau-pulau kecil, lingkungan fisik dimana manusia hidup, biofisik, interaksi sistem ekonomi dan politik. Dolan dan Walker (2003) mengemukan terdapat 3 karakteristik dari kerentanan.
Pertama; kerentanan dicirikan oleh ketersingkapan suatu sistem
terhadap bencana alam (misalnya banjir di wilayah pesisir) dan bagaimana bencana tersebut mempengaruhi kehidupan manusia dan infrastruktur yang ada di wilayah tersebut. Kedua; dari sudut pandang hubungannya terhadap manusia, kerentanan bukan hanya dilihat sebagai hubungan fisik semata. Dalam hal ini, kerentanan ditentukan oleh ketidakwajaran dari distribusi dampak/efek negatif dan resiko di antara kelompok masyarakat yang ada di suatu wilayah, dan kerentanan adalah hasil dari proses sosial dan struktur yang memiliki hambatan terhadap akses sumberdaya.
Ketiga; dari perspektif keterpaduan antara
kejadian/peristiwa secara fisik dan fenomena sosial yang menyebabkan
29
ketersingkapan terhadap resiko dan keterbatasan kapasitas masyarakat dalam merespon bencana alam yang muncul. 2.4.2. Kerentanan Lingkungan Pulau-pulau kecil memiliki tingkat kerentanan lingkungan yang tinggi Briguglio (2003). Ada beberapa alasan kerentanan lingkungan bagi pulau-pulau kecil, yaitu (1) keterbatasan asimilasi dan daya dukung, akan berimplikasi pada permasalahan pengelolaan limbah, persediaan air dan yang menyangkut ukuran teritori pulau-pulau kecil; (2) memiliki wilayah pesisir yang cukup luas (dibandingkan dengan luas daratan) membuat pulau kecil mudah tergerus erosi; (3) ekosistem yang rapuh, karena daya tahan terhadap pengaruh luar temasuk kekayaan hayati di dalamnya; (4) mudahnya terkena dampak bencana alam, termasuk gempa, gunung meletus, angin badai, banjir, gelombang pasang dan bentuk lain, tergantung pada kondisi pulau; (5) luasnya proporsi tanah yang akan terkena dampak akibat pengaruh pemanasan global, termasuk naiknya muka air laut sehingga akan banyak proporsi wilayah daratan yang akan hilang; dan (6) dampak yang signifikan akibat perkembangan ekonomi, termasuk penurunan produksi pertanian dan sumberdaya alam. Kerentanan
pulau-pulau
kecil
meliputi
kerentanan
lingkungan
(environmental vulnerability), kerentanan sosial (social vulnerability), dan kerentanan ekonomi (economic vulnerability). Kerentanan lingkungan berbeda dengan kerentanan ekonomi maupun sosial disebabkan oleh tiga hal, yaitu (1) lingkungan termasuk di dalamnya sistem yang kompleks dengan perbedaan di setiap level kelompok spesies dan karakteristik fisik habitat, (2) berbeda dengan indikator umum untuk manusia (sosial) yang dapat digunakan dengan secara luas dengan menggunakan asumsi bahwa kebutuhan dan ambang batas untuk resiko pada umumnya sama, sedangkan indikator untuk lingkungan sangat dibatasi oleh kondisi geografi, dan (3) indikator ekonomi dapat diekspresikan dalam unit uang yang dapat digunakan secara luas di seluruh dunia dengan menggunakan unit pembanding (SOPAC 2005). Kerentanan pulau-pulau kecil dapat disebabkan oleh 3 faktor atau proses, yaitu proses-proses yang sifatnya global, proses yang terjadi di kawasan regional dan proses yang terjadi pada skala lokal (Pelling dan Uitto 2001). Proses global
30
adalah perubahan iklim yang berimplikasi terhadap kenaikan muka laut dapat mengancam keberadaan pulau-pulau kecil.
Proses regional adalah pengaruh
pencemaran yang berasal dari kota-kota yang berkembang pesat yang letaknya tidak jauh dari pulau-pulau kecil. Proses lokal adalah kerusakan lingkungan dan sumberdaya yang terjadi di pulau-pulau kecil sebagai dampak dari pertumbuhan penduduk. Selain itu, kerentanan pulau-pulau kecil juga dapat disebabkan karena karakteristik pulau-pulau kecil itu sendiri, seperti sifat insularitas pulau dan sifat remoteness pulau. Kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil juga disebabkan oleh keterbukaan pulau terhadap alam, degradasi lingkungan yang dialami pulau-pulau kecil, dan kemampuan resiliensi pulau-pulau kecil. Kerentanan lingkungan akan mempengaruhi sistem lingkungan yang selanjutnya akan mempengaruhi keberlanjutan pembangunan di pulau-pulau kecil. Dalam konteks pengelolaan pulau-pulau kecil, ekosistem mangrove, terumbu karang, dan lamun merupakan ekosistem yang memiliki peran dalam menopang sistem keberlanjutan pulau-pulau kecil. Moberg dan Folk (1999) mengidentifikasi peran ekosistem terumbu karang sebagai penyedia barang dan jasa (Tabel 7). Tabel 7. Peran ekosistem terumbu karang sebagai penyedia barang dan jasa dalam pengelolaan pulau-pulau kecil Barang Sumberdaya pulih Makanan laut
Bahan mentah untuk obat Ikan hias dan ikan konsumsi
Peran ekologi
Batu karang
Jasa fisik
Batu karang, pasir untuk bahan bangunan Bahan mentah untuk semen
Pelindung pantai/erosi
Minyak dan gas
Mendukung pertumbuhan mangrove dan lamun Memelihara resiliensi
Membentuk daratan
Sumber : Moberg dan Folk (1999)
Jasa Biologi Dalam Antar ekosistem ekosistem Memelihara Mendukung habitat bioekologi melalui interkoneksi Memelihara Ekspor biodiversity produksi dan genetik organik dan plankton Mendukung proses dan fungsi ekosistem
Jasa biogeokimia Fiksasi nitrogen
Control CO2/Ca
31
2.4.3. Dinamika Kerentanan Kerentanan memiliki sifat yang dinamis, yang berarti kerentanan dapat berubah seiring dengan perubahan faktor-faktor yang mempengaruhinya (Preston dan Stafford-Smith 2009).
Perubahan kerentanan terjadi karena perubahan
faktor-faktor yang mempengaruhi seperti faktor-faktor sosial dan biofisik. Pada Gambar 5 disajikan dinamika kerentanan sebagai akibat dari perubahan faktorfaktor yang mempengaruhinya.
Gambar 5. Dinamika kerentanan pulau-pulau kecil (Preston dan Stafford-Smith 2009) 2.4.4. Kuantifikasi Kerentanan Turner et al. (2003) menggambarkan kerentanan sebagai sebuah fungsi overlay dari ketersingkapan (exposure), sensitivitas (sensitivity), dan kapasitas atau kemampuan adaptif (adaptive capacity). Selanjutnya Metzger et al. (2006) mengekspresikan konsep tersebut dalam bentuk matematika sebagai fungsi dari ketersingkapan, sensitivitas dan kapasitas adaptif sebagai berikut: V = f (E, S, AC)
(1)
atau dapat juga dituliskan sebagai fungsi dari potensi dampak (potensial impact = = PI) dan kapasitas adaptif yang dituliskan menjadi: V = f (PI, AC)
(2)
32
Brenkert dan Malone (2005) juga menggambarkan kerentanan suatu negara atau wilayah terhadap perubahan iklim termasuk kenaikan muka laut sebagai fungsi dari ketersingkapan, sensitivitas dan kapasitas adaptif (Gambar 6). Dimana parameter-paremeter dari ketersingkapan/keterbukaan, sensitivitas dan kapasitas adaptif akan mempengeruhi tingkat kerentanan suatu negara atau wilayah.
Perubahan Iklim Ketersingkapan (-) • • • • •
Makanan Air Perumahan Kesehatan Ekosistem
Kapasitas Adaptif (+)
Sensitivitas
• Sumberdaya manusia • Kemampuan Ekonomi • Kapasitas lingkungan
Kerentanan dan Resiliensi
Gambar 6. Prototip indikator kerentanan-resiliensi
(1)
Ketersingkapan Keterkaitan antara kerentanan dengan ketersingkapan juga dikemukakan
Adger (2006) dan Kasperson et al. (2005), dimana ketersingkapan merupakan salah satu konsep dari kerentanan, yang memiliki pengertian umum dalam hal tingkatan dan jangka waktu dari suatu sistem berinteraksi dengan gangguan. Ketersingkapan ini pada sebagian besar formulasi merupakan salah satu elemen pembangun kerentanan.
Ketersingkapan merupakan sebuah atribut
dari
hubungan antara sistem dan gangguan (system and perturbation). Ketersingkapan berhubungan dengan pengaruh atau stimulus dampak pada suatu sistem. Dalam kaitannya dengan perubahan iklim (kenaikan muka laut), tidak hanya menyangkut masalah kejadian dan pola iklim yang mempengaruhi sistem, tetapi juga dalam skala yang lebih luas seperti perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem itu sendiri yang diakibatkan oleh efek dari perubahan iklim.
33
Ketersingkapan digambarkan kondisi iklim yang berlawanan dengan operasional dari sistem dan perubahan dari kondisi tersebut (Allen 2005). Suatu masyarakat dan sistem alam yang berbeda juga akan mengalami ketersingkapan yang berbeda dalam hal besaran (magnitude) dan frekwensi dari suatu gangguan (Luers et al. 2003). (2)
Sensitivitas Sensitivitas adalah tingkatan dari suatu sistem yang dipengaruhi atau
berhubungan dengan stimulus karena perubahan iklim (Olmas 2001). Sementara itu, Allen (2005) mengemukakan bahwa sensitivitas merefleksikan respon dari suatu sistem terhadap pengaruh iklim (kenaikan muka laut) dan tingkat perubahan yang diakibatkan oleh perubahan tersebut.
Sistem dikatakan sensitif apabila
respon dari suatu sistem terhadap perubahan iklim tinggi, yang secara signifikan dipengaruhi oleh perubahan iklim skala kecil. Pemahaman sensitivitas dari suatu sistem juga memerlukan pemahaman terhadap ambang batas dimana perubahan itu direspon oleh pengaruh iklim termasuk kenaikan muka laut.
Dalam
pendefinisian kerentanan dari suatu sistem, hal yang pertama diperlukan adalah pemahaman terhadap sensitivitas dari sistem terhadap tekanan yang berbeda dan mengidentifikasi ambang batas dari sistem manusia yang akan terkena dampak (Luers et al. 2003). Adger (2006) mendefinisikan sensitivitas sebagai suatu tingkatan atau level dari sebuah sistem alam yang dapat mengabsorbsi atau menerima dampak tanpa mengalami gangguan atau penderitaan dalam jangka panjang atau mengalami perubahan signifikan dari kondisi lainya. Smit dan Wandel (2006) mengatakan bahwa sensitivitas tidak dapat dipisahkan dari ketersingkapan. Luers (2005) juga mengkombinasikan pengertian sensitivitas dan ketersingkapan, dimana mendefinisikan sensitivitas sebagai level dari sistem dalam merespon gangguan eksternal terhadap sistem.
Lebih lanjut Luers (2005) mengatakan
bahwa termasuk dalam konsep ini adalah kemampuan dari sistem untuk tahan terhadap perubahan dan kemampuan untuk pulih kembali ke kondisi semula setelah gangguan yang mengenai sistem berlalu.
34
(3)
Kapasitas adaptif Adaptasi adalah penyesuaian oleh sistem alam atau manusia dalam
merespon kondisi aktual dari iklim atau dampak dari perubahan iklim. Adaptasi merujuk kepada aksi manusia dalam merespon, atau mengantisipasi proyeksi atau perubahan nyata dari iklim, sedangkan mitigasi merujuk kepada aksi untuk mencegah, mereduksi memperlambat perubahan iklim (Hulme 2002). Kapasitas adaptif adalah kemampuan dari sistem untuk menyesuaikan terhadap perubahan iklim (termasuk iklim yang berubah-ubah dan ekstrim) yang membuat potensi dampak lebih moderat, mengambil manfaat atau untuk mengatasi konsekwensi dari perubahan tersebut (Fussel dan Klien 2006).
Menurut Luers (2005),
kapasitas adaptif merujuk pada potensi untuk beradaptasi dan mengurangi kerentanan suatu sistem. Kapasitas adaptif menggambarkan kemampun dari suatu sistem terhadap perubahan sebagai cara untuk membuat sistem tersebut lebih baik dalam beradaptasi terhadap pengaruh eksternal. Adaptasi dapat direncanakan atau terjadi secara otomatis.
Perencanaan adaptasi adalah suatu perubahan dalam
mengantisipasi suatu variasi dari perubahan iklim.
Perencanaan adaptasi ini
sudah merupakan suatu ciri dari suatu upaya untuk meningkatkan kapasitas suatu sistem untuk mengatasi konsekwensi perubahan iklim (Allen 2005). Kapasitas adaptif suatu sistem atau masyarakat menggambarkan kemampuan untuk memodifikasi karakteristik atau perilakunya sehingga mampu mengatasi dengan lebih baik dampak perubahan kondisi eksternal (Fussel dan Klein 2006). Kapasitas adaptif merupakan sifat yang sudah melekat dari suatu sistem yang
didefinisikan
sebagai
kapasitasnya
ketersingkapan (Smit dan Pilifosova 2003).
untuk
beradaptasi
terhadap
Dalam hal ini, kapasitas adaptif
direfleksikan dari resiliensi, misalnya sebuah sistem yang resilien memiliki kapasitas untuk mempersiapkan, menghindari, mentolerir dan memulihkan diri dari resiko atau dampak. Resiliensi adalah kemampuan dari suatu entitas untuk resisten atau pulih dari suatu kerusakan (SOPAC 2005).
Resiliensi alami
(intrinsic resilience) adalah kemampuan alami suatu entitas untuk tahan terhadap kerusakan.
Sebagai contoh, seseorang memiliki sistem kekebalan yang kuat
secara alami akan lebih tahan terhadap kondisi dingin dibandingkan dengan seseorang yang lemah.
Resiliensi adalah kemampaun dari suatu sistem,
35
komunitas atau sosial beradaptasi terhadap bahaya dengan cara meningkatkan resistensinya, atau melakukan perubahan untuk mencapai atau memelihara suatu batas yang dapat diterima atau ditolerir dari suatu fungsi atau struktur. Semisal sistem sosial, hal ini ditentukan oleh tingkat kapasitas suatu organisasi meningkatkan kemampuannya untuk belajar dari gangguan alam masa lalu untuk membuat proteksi yang lebih baik pada masa yang akan datang. Brooks (2003) mengklasifikasi faktor-faktor yang menentukan kapasitas adaptif menjadi faktor yang spesifik dan faktor general/umum dan juga berdasarkan faktor endogenous dan exogenous. Faktor penentu yang bersifat umum dalam sistem sosial adalah sumberdaya ekonomi, teknologi, informasi dan keahlian serta infrastruktur. Faktor endogenous merujuk pada karakteristik dari perilaku penduduk atau masyarakat. Menurut Downing et al. (2001) untuk mengkuantifikasi kerentanan akan sangat sulit dilakukan bila tidak memungkinkan mengidentifikasi secara sistematis sistem yang paling rentan. Dalam kasus tertentu, sangat tergantung pada jenis tekanan dan keluaran variabel yang menjadi perhatian.
Dampak
tekanan relatif pada suatu wilayah dapat digunakan sebagai objek untuk mengukur kerentanan (Luers et al. 2003). Pengukuran kerentanan hanya dapat dilakukan secara akurat jika berhubungan dengan spesifik variabel dibandingkan dengan menganalisis suatu tempat/lokasi. Hal ini disebabkan karena sistem yang paling sederhanapun cukup kompleks dan akan sulit untuk menghitung seluruh variabel, proses-proses dan gangguan yang dicirikan oleh kerentanan tersebut (Luers et al. 2003).
Suatu sistem dapat menurunkan atau mengurangi kerentanan dengan
memodifikasi hal-hal berikut (1) bergerak kepada fungsi yang lebih baik yang dapat mengurangi sensitivitasnya terhadap tekanan yang kritis, (2) merubah posisi relatif terhadap ambang batas dari suatu dampak, dan (3) memodifikasi ketersingkapan sistem terhadap tekanan. Dalam konteks adaptasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, UNFCCC (2007) membagi dua jenis adaptasi, yaitu adaptasi yang bersifat reaktif, seperti (a) perlindungan terhadap infrastruktur di wilayah pesisir, (b) penyadaran masyarakat untuk meningkatkan upaya perlindungan terhadap ekosistem pesisir dan laut, (c) pembangunan bangunan pelindung pantai (sea wall), perlindungan dan konservasi
36
terumbu karang, mangrove, padang lamun, dan vegetasi pantai lainnya. Adaptasi lainnya adalah adaptasi yang sifatnya antisipasi, seperti (a) implementasi konsep dan pendekatan pengelolaan wilayah pesisir terpadu, (b) penyusunan rencana zonasi pesisir dan pulau-pulau kecil, (c) penyusunan peraturan tentang perlindungan pesisir dan pulau-pulau kecil, (d) mengembangkan kegiatan penelitian dan pemantauan pantai dan ekosistem pesisir. 2.4.5. Indeks Kerentanan Indeks adalah tanda (signal) yang mengukur, menyederhanakan, dan mengkomunikasikan realita yang kompleks dari suatu kondisi (Farell dan Hart 1998). Indeks ini sangat berguna karena dapat membantu dalam menentukan target dan standar untuk memantau perubahan dan membandingkan entitas yang berbeda dalam hal tempat dan waktu (Easter 1999). Indeks dapat juga digunakan sebagai basis modal alokasi sumberdaya.
GEF juga mengembangkan indeks
kerentanan untuk menentukan alokasi pembiayaan di beberapa negara berkembang. Indeks dapat digunakan sebagai alat ‘adaptive management’ menilai keberhasilan pemantauan dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (SOPAC 2005).
Indeks umumnya melibatkan
sejumlah indikator untuk
menghasilkan sebuah indeks tunggal (Bossel 1999). Untuk menghasilkan sebuah indeks tunggal, keragaan data dan indikator perlu distandarisasi dalam suatu unit yang sama. Hal ini banyak dilakukan dengan mereduksi seluruh komponen ke suatu nilai skoring pada beberapa skala. Kemampuan sebuah kerangka teori menghasilkan indikator kerentanan secara umum harus mencakup tiga komponen. Pertama, model kerentanan, yaitu mengidentifikasi komponen-komponen model ketergantungan/keterkaitannya dengan komponen lainnya yang berasosiasi dengan komponen kerentanan. Kedua, model sistem yaitu menentukan cara untuk mendekomposisi target sistem yang membuatnya lebih praktis sehingga kerentanan dapat diinterpretasi dengan model yang dapat dibandingkan. Ketiga, model matematik yaitu penggunaan informasi secara menyeluruh ke dalam sistem model untuk mengorganisasi hirarki dari indikator kerentanan.
Dalam kaitannya dengan perbedaan indikator
kerentanan dengan lingkungan yang berbeda, ketiga komponen ini haruslah kompatibel (Villa dan McLeod 2002).
Schroter et al. (2005) menyajikan 8
37
tahapan dalam melakukan kajian kerentanan, termasuk dalam menyusun indeks kerentanan pulau-pulau kecil, yaitu (1) mendefinisikan wilayah studi, baik secara spasial maupun temporal (2) mencari dan mengumpulkan informasi terkait dengan wilayah studi, melalui kajian literatur dan diskusi dengan peneliti sebelumnya;
(3)
mengembangkan
hipotesis
siapa/apa
yang
mengalami
kerentanan; (4) mengembangkan model kerentanan dengan menguraikan ketersingkapan, sensitivitas, dan kapasitas adaptif, mengidentifikasi faktor pendorong; (5) menentukan indikator untuk elemen kerentanan, seperti indikator ketersingkapan, indikator sensitivitas, dan indikator kapasitas adaptif; (6) mengoperasikan model kerentanan, melalui pembobotan dan penggabungan indikator, validasi hasil; (7) pengembangan lebih lanjut dengan memilih skenario dan aplikasi model; dan (8) mengkomunikasikan hasil kajian kerentanan kepada stakeholder. 2.5.
Kenaikan Muka Laut
2.5.1. Proses Kenaikan Muka Laut Selama proses pemanasan global (perubahan iklim), dua proses utama yang menyebabkan kenaikan rata-rata muka laut global adalah (1) pemanasan lautan yang menyebabkan pengembangan massa air sehingga terjadi peningkatan volume air (lautan), dan (2) pencairan es di daerah kutub yang juga menyebabkan peningkatan massa air. Selain itu, pada beberapa wilayah pesisir terjadi subsiden yang menambah kerentanan pesisir terhadap kenaikan muka laut (USCCSP 2009). Perubahan muka laut dalam skala lokal tergantung pada perubahan yang terjadi pada skala global dan regional serta faktor-faktor lokal (Nicholls 2002). Komponen-komponen perubahan muka laut tersebut adalah (Church et al. 2001): • Kenaikan rata-rata muka laut global, yaitu peningkatan volume global lautan karena pemanasan global dan mencairnya es di kutub. • Faktor meteo-oseanografi regional seperti variasi spasial dampak ekspansi panas, perubahan tekanan atmosfir dalam jangka panjang dan perubahan sirkulasi lautan. • Pergerakan vertikal daratan yang disebabkan oleh berbagai proses geologi dan tektonik.
38
Kajian terhadap kenaikan muka laut (sea level rise) dan dampaknya terhadap pesisir dan pulau-pulau kecil banyak mendapat perhatian dari banyak kalangan peneliti.
Secara global rata-rata kenaikan muka laut sekitar 2.5
mm/tahun, sedangkan secara lokal, di lokasi-lokasi tertentu bahkan dapat mencapai maksimum 30 mm/tahun. Nilai kenaikan yang signifikan tersebut terutama disebabkan oleh mengembangnya suhu air laut. Kajian kenaikan muka laut di Indonesia juga sudah banyak dilakukan. Proyeksi kenaikan muka laut dilakukan Hamzah et al. (in press) di sekitar perairan utara dan selatan Pulau Lombok. Pada tahun 2020 kenaikan muka laut di bagian utara P. Lombok akan terjadi kenaikan setinggi 10 cm dan di bagian selatan setinggi 12 cm. Pada tahun 2050 akan terjadi kenaikan setinggi 25 cm di bagian utara dan 32 cm di bagian selatan Pulau Lombok. DKP (2009) juga memprediksi laju kenaikan muka laut di perairan sekitar Kabupaten Pangkajene Kepulauan sekitar 2.60 mm/tahun. 2.5.2. Dampak Kenaikan Muka Laut Dari sudut pandang geografi pesisir, dampak dari kenaikan muka laut terhadap pulau-pulau kecil tergantung pada dua hal, yaitu (1) tingkat kekritisan dari kenaikan muka laut (laju kenaikan pertahun), dan (2) karakteristik daratan pulau, seperti penggunaan lahan, topografi, dan penghalang pantai (Nallathiga 2006). Proyeksi kenaikan muka laut yang diakibatkan oleh pemanasan global akan mengancam wilayah pesisir yang memiliki elevasi rendah (Yamano et al. 2007; Barnet dan Adger 2003). Wilayah yang paling beresiko adalah pulau-pulau karang atau pulau atol, karena umumnya pulau ini memiliki elevasi atau ketinggian dari muka laut yang rendah (Yamano et al. 2007). Pulau atol ini memiliki permasalahan lingkungan yang umum menyebabkan kerentanan karena perubahan iklim (Barnet dan Adger 2003)). Kenaikan muka laut ini diprediksi akan menyebabkan perendaman, penenggelaman dan erosi pantai dari pulau-pulau karang (Leathermen 1997).
Erosi pantai, perendaman dan intrusi air laut
merupakan dampak dari kenaikan muka laut yang menimpa pulau-pulau atol di Tavalu (Aung et al. 2009). Hal yang sama juga dikemukakan Mimura (1999), bahwa dampak prinsip yang ingin diantisipasi dari kajian kerentanan pulau-pulau kecil khususya pulau atol adalah erosi pantai, perendaman pulau dan intrusi air laut. Upaya yang dilakukan untuk beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim
39
ini harus didasarkan pada kapasitas sistem alam yang kemudian didukung dengan perencanaan adaptasi yang baik berupa proteksi kawasan pesisir dan perubahan struktur bangunan (Klein dan Nicholls 1999; Hay et al. 2003). Wilayah pesisir termasuk pulau-pulau kecil merupakan kawasan yang dinamis dan respon dari kawasan pesisir terhadap kenaikan muka laut lebih kompleks dari sekedar terjadinya perendaman. Erosi pantai adalah fenomena atau proses-proses alami yang terjadi karena adanya gelombang dan arus laut dan dapat menyebabkan hilangnya lahan darat (USCCSP 2009). Kenaikan muka laut dapat memperparah perubahan wilayah pesisir yang disebabkan oleh erosi pantai. Kerentanan pesisir terhadap kenaikan muka laut, umumnya faktor elevasi daratan menjadi faktor kritis dalam kajian potensi dampak.
Flora dan fauna yang
umumnya sangat kaya terdapat di wilayah pesisir juga akan mendapatkan tekanan akibat pengaruh kenaikan muka laut.
Kualitas dan kuantitas serta distribusi
spasial dari habitat di wilayah pesisir akan berubah sebagai hasil dari erosi pantai, perubahan salinitas dan hilangnya daerah lahan basah. Ekosistem pesisir juga merupakan salah satu ekosistem yang mengalami kerentanan karena adanya kenaikan muka laut. Sejak vegetasi lahan basah ‘akrab’ dengan kenaikan muka laut, maka ekosistem ini menjadi sensitif terhadap perubahan muka laut jangka panjang. Hasil pemodelan dari pesisir lahan basah (termasuk ekosistem lamun) menunjukkan bahwa sekitar 33 % dari lahan basah di dunia akan hilang dengan kenaikan muka laut sekitar 34 cm dalam kurun waktu 2000 sampai 2080, dan akan hilang sekitar 44 % pada kenaikan muka laut sekitar 72 cm (Church et al. 2007).
Pada tahun 2100 kenaikan muka laut akan
mengurangi 500 000 ha ekosistem mangrove di 16 negara di kawasan pasifik. Masyarakat yang mendiami pulau-pulau atol ini memiliki kerentanan yang tinggi terhadap kenaikan muka laut, sebagaimana yang baru-baru ini terjadi di Tavalu yang merupakan salah satu negara pulau atol (Yamano et al. 2007). Pulau-pulau atol umumnya memiliki kepadatan penduduk yang sangat tinggi dan berpeluang terekspose terhadap kejadian alam di pulau-pulau atol (UNTAD 1999). Dampak kenaikan muka laut ditentukan oleh perubahan relatif kenaikan muka laut, yang direfleksikan tidak hanya oleh kecenderungan perubahan muka laut global tetapi juga oleh variasi lokal perubahan kenaikan muka laut dan proses
40
geologi seperti subsiden. Umumnya pulau yang mengalami subsiden akan lebih terancam dibandingkan pulau yang tidak mengalami subsiden. Dampak kenaikan muka laut juga dikemukakan Nicholls (2002) seperti disajikan pada Tabel 8 berikut: Tabel 8. Dampak utama kenaikan muka laut Faktor Relevan Lainnya
Dampak Biofisik
Iklim Gelombang, perubahan morfologi, suplai sedimen, run-off
Perendaman, banjir, gelombang, dampak efek backwater
Kehilangan daerah lahan basah Erosi
Suplai sedimen Gelombang dan badai iklim, suplai sedimen Run-off, curah hujan
Intrusi air laut/air permukaan
2.6.
Non Iklim Suplai sedimen, penanganan banjir, perubahan morfologi, pengelolaan daerah tangkapan air dan pemanfaatan lahan Suplai sedimen Suplai sedimen Pengelolaan daerah tangkapan air
Tinjauan Kajian Kerentanan Pesisir dan PPK Kajian kerentanan pesisir dan pulau-pulau kecil terkait dengan pemanasan
global terus berkembang.
Wilayah pesisir merupakan wilayah yang banyak
dijadikan model dari kajian kerentanan karena melihat kenyataan pentingnya daerah pesisir sebagai penopang kegiatan perekonomian. Awalnya, Gornitzs (1992) mengembangkan indeks kerentanan pesisir dengan memasukkan parameter dampak pemanasan global seperti kenaikan muka laut serta perendaman yang digabungkan dengan parameter geomorfologi dan kajian oseanografi. Kajian ini banyak diadopsi oleh sistem penilaian lain yang berbasis pesisir sehingga memiliki sebuah angka (indeks) untuk pengelolaan wilayah pesisir. Beberapa model yang diperkenalkan Gornitz et al. (1992) untuk menghitung kerentanan pesisir (Coastal Vulnerability) adalah sebagai berikut: CVI1
1
2
3
4
…
n
(3)
41
1
CVI2
CVI3 CVI4
CVI5
2
3
1
2
1
4
3
2
1
4
3
4
2
3
… …
4
(4)
X6 X7
5
n
(5)
n
(6)
…
(7)
n
CVI6 = 4X1 + 4X2 + 2(X3+X4) + 4X5 + 2 (X6+X2)
(8)
Keterangan : CVI = Coastal Vulnerability Index n = jumlah variabel/parameter x2 = Subsiden x4 = Geomorfologi x6 = Tinggi gelombang maksimum
x1 = Rata-rata elevasi x3 = Geologi x5 = Erosi pantai x7 = Rata-rata tunggang pasang.
Hasil uji sensitivitas dari 6 formula di atas, menunjukkan bahwa model CVI5 merupakan formula yang lebih sesuai untuk mengukur kerentanan pesisir. Model CVI5 tersebut banyak digunakan untuk menilai kerentanan pesisir seperti yang dilakukan Doukakis (2005) untuk menilai kerentanan pesisir di bagian barat Peloponnesa bagian selatan Yunani, dengan melakukan modifikasi bobot dari setiap variabel dan tidak memasukkan parameter geologi sebagai berikut: CVI
3
3
3 6
3
3
(9)
Hal yang berbeda dilakukan Rao et al. (2008) dalam menilai kerentanan pesisir Andara Paradesh Coast, India. Dengan menggunakan 5 parameter yaitu geomorfologi (g), slope (s), perubahan garis pantai/erosi (c) kisaran pasang tertinggi (t), dan tinggi gelombang (w) mereka menguji parameter tersebut dengan metode penjumlahan dan perkalian. Dari hasil pengujian tersebut disimpulkan bahwa metode yang lebih sesuai adalah metode penjumlahan, yaitu: CVI = 4g + 4s + 2c + t + w
(10)
42
dengan memberikan bobot pada g, s dan c yang lebih besar dari lainnya. Pendekatan yang sama juga dilakukan Hedge dan Reju (2007) untuk menghitung indeks kerentanan pesisir di Pantai Mangalore, India. Pendekatan yang digunakan adalah penjumlahan skor (1-5) dari empat parameter lalu dibagi 4, yaitu: CVI = (kelerengan + Geomorfologi + Populasi + Erosi)/4.
(11)
Kajian kerentanan pulau-pulau kecil telah dikembangkan SOPAC (1999) untuk menentukan kerentanan negara-negara kepulauan yang berada di kawasan Pasifik Selatan.
Pendekatan yang digunakan adalah melakukan penjumlahan
terhadap nilai skor (1-7) dari 50 parameter/indikator yang mencerminkan kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil. Aplikasi konsep yang dikemukakan SOPAC (1999) ini dilakukan Gowrie (2003) untuk menghitung indeks kerentanan lingkungan pulau di Tobago.
Pilihan terhadap metode penjumlahan atau
perkalian untuk menghitung indeks kerentanan yang sesuai juga dikemukakan Villa dan McLeod (2002), dimana disebutkan bahwa penggunaan metode perkalian untuk subindikator yang komponennya saling berinteraksi adalah yang paling sesuai. Indonesia yang merupakan wilayah kepulauan tentu akan merasakan dampak langsung dari fenomena ini, terutama di wilayah-wilayah pesisir. Sementara itu, mayoritas penduduk di Indonesia tersebar di dekat atau di sekitar wilayah pesisir. Dengan demikian, perilaku kedudukan muka laut beserta variasi temporal dan spasial di wilayah regional atau lokal Indonesia merupakan salah satu data yang diperlukan untuk perencanaan dan pelaksanaan pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan.
Kajian kerentanan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil sudah mulai dikembangkan di Indonesia. Departemen Kelautan telah mengembangkan indeks kerentanan pulau-pulau kecil pada tahun 2008 yang dilakukan di sekitar Kepulauan Seribu. Indeks kerentanan yang dikembangkan diadopsi dari Gornitz et al, (1992) yang dimodifikasi sesuai dengan perkiraan kondisi lokasi studi yang dijadikan sebagai contoh kasus. Kajian kerentanan lainnya dilakukan Marfai et al. (2007) yang mengkaji dampak banjir pasang terhadap masyarakat pesisir di Kota Semarang. Pendekatan
43
yang digunakan adalah analisis spasial dengan memetakan lahan-lahan yang berpotensi mengalami penggenangan dengan adanya banjir tersebut. Hamzah et al. (in press) juga mengembangkan kajian kerentanan pesisir dan pulau-pulau kecil di Pulau Lombok.
Hasil penelitian ini adalah dipetakannya tingkat
kerentanan pesisir Pulau Lombok karena adanya kenaikan muka laut.