2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pulau Kecil 2.1.1 Definisi pulau kecil Pulau kecil adalah pulau dengan luas 10.000 km2 atau kurang dan mempunyai penduduk 500.000 orang atau kurang (Beller et al., 1990). Definisi pulau secara umum menurut UNCLOS 1982 adalah: An island is a naturally formed area of land surrounded by water, which is above water at high tide, artinya pulau adalah suatu wilayah daratan yang terbentuk secara alamiah, dikelilingi air dan selalu ada di atas air pada saat air pasang. Para ahli yang memiliki kepentingan hidrologi, sosial ekonomi, dan demografis mendefinisikan pulau kecil adalah pulau dengan luas kurang dari 2000 km2 atau pulau dengan lebar kurang dari 10 km (IHP UNESCO, 1993) dan jumlah penduduk <200.000 jiwa. Pulau kecil merupakan habitat yang terisolasi dengan habitat lain, keterisolasian suatu pulau akan menambah keanekaragaman organisme yang hidup di suatu pulau. Keterisolasian juga akan membentuk kehidupan yang unik di pulau tersebut. Selain itu, pulau kecil juga memiliki lingkungan yang khusus dengan proporsi spesifik endemik yang tinggi bila dibandingkan dengan pulau kontinen. Secara ekologis, insularitas juga mempunyai konsekuensi keharusan untuk membuat evaluasi terhadap spesies endemik dan turunnya daya tahan flora, fauna, dan manusia akibat pendatang dari luar. Di samping adanya kerentanan ekologis, lingkungan pulau kecil juga banyak mengandung keuntungan (Hein, 1990). Pulau kecil yang bersifat insular mempunyai banyak kendala dalam pengelolaan, khususnya dari aspek ekonomi. Kecilnya ukuran sebenarnya bukan merupakan kelemahan jika produsen dan konsumen bersifat lokal (Brookfield, 1990). Namun, jarang terdapat kondisi yang demikian di era globalisasi ini sehingga kecilnya ukuran pulau sering menjadi kendala pembangunan ekonomis (Hess, 1990). Pulau kecil biasanya harus menanggung beban kontribusi yang lebih besar untuk membangun infrastruktur, pendidikan, penelitian, pemasaran, dan lain-lain agar aktivitas perdagangan berjalan lancar. Jika hal ini tidak dapat dilakukan maka pembangunan ekonomi di pulau kecil akan lambat. Hal ini juga berarti bahwa pulau kecil sangat tergantung pada bantuan dari luar pulau. Walaupun
banyak kendala, terdapat beberapa pulau kecil yang berhasil membangun dan menjadi suatu pulau yang maju (Vernicos, 1990; Webster, 1990; Bheenick, 1990; Hamnett, 1990). Ekosistem dan lingkungan suatu pulau kecil mempunyai karakteristik antara lain sebagai berikut (DKP, 2001): (1)
Berukuran kecil
(2)
Sumberdaya alam yang terbatas dan rentan, sehingga diperlukan ketentuan yang ketat dalam pemanfaatan dan pengelolaannya.
(3)
Rentan terhadap bencana alam seperti badai dan siklon.
(4)
Bahan organik alami keanekaragaman hayati yang terbatas.
(5)
Perubahan keanekaragaman hayati yang tinggi per km2 daratan.
(6)
Tempat hidup spesies endemik karena letaknya terpisah dari daratan besar dan kompetitornya terbatas.
(7)
Keseimbangan ekologis akan terganggu jika sifat keterisolasiannya dilanggar.
(8)
Kondisi iklim tidak banyak berfluktuasi, tetapi perubahan iklim yang besar memberikan dampak negatif yang kuat terhadap pulau kecil.
(9)
Keanekaragaman hayati laut berlimpah.
(10) Perubahan di daratan berdampak hampir langsung terhadap lingkungan pantai dan perairan lautnya. Berdasarkan fakta di atas, maka dalam mendefinisikan pulau-pulau kecil tidak hanya berdasarkan pada dua kriteria yang telah disebutkan di atas yaitu jumlah penduduk dan luas daratan, akan tetapi secara ilmiah dapat membuat suatu batasan yang dapat mengakomodir berbagai aspek yang dimiliki pulau kecil, seperti aspek fisik, ekologis, dan sosial ekonomi, yang lebih jauh dapat digunakan sebagai informasi dengan tujuan pengelolaan (DKP, 2001). Definisi pulau kecil merupakan pengertian yang terintegrasi satu dengan yang lain baik secara fisik, ekologis, dan sosial budaya ekonomi yang meliputi (DKP, 2001 dan 2002) : (1)
Secara Fisik 1) Terpisah dari pulau besar 2) Dapat membentuk satu gugus pulau atau berdiri sendiri 3) Lebih banyak dipengaruhi oleh faktor hidro-klimat laut 4) Luas pulau kurang dari 10.000 km2, dan sangat rentan terhadap perubahan alam atau manusia seperti: bencana angin badai, gelombang
13
tsunami, letusan gunung berapi, fenomena kenaikan permukaan air laut (sea level rise) dan penambangan 5) Substrat yang ada di pesisir biasanya bergantung pada jenis biota yang ada di sekitar pulau, dan biasanya didominasi oleh terumbu karang atau jenis batuan yang ada di pulau-pulau tersebut 6) Kedalaman laut rata-rata antar pulau-pulau kecil sangat ditentukan oleh kondisi geografis dan letak pulau-pulau kecil. Pada daerah paparan benua, kedalaman rata-rata antar pulau adalah di atas atau kurang dari 100 m, contohnya pada Paparan Sunda di wilayah Indonesia bagian Barat (Sumatra, Jawa, dan Kalimantan) dan Paparan Arafura di bagian Utara Australia/bagian Selatan Papua; sedangkan ke arah Timur Indonesia, pulau-pulau kecil yang terletak di daerah laut terbuka (Sulawesi, Maluku, dan Papua bagian Utara), memiliki kedalaman laut yang sangat bervariasi. (2)
Secara Ekologis 1) Habitat/ekosistem pulau-pulau kecil cenderung memiliki spesies endemik yang tinggi dibanding proporsi ukuran pulaunya. 2) Memiliki risiko perubahan lingkungan yang tinggi, misalnya akibat pencemaran dan kerusakan akibat aktivitas transpotasi laut dan aktivitas penangkapan ikan, akibat bencana alam seperti gempa, gelombang tsunami, penambangan. 3) Memiliki keterbatasan daya dukung pulau (ketersediaan air tawar dan tanaman pangan) 4) Melimpahnya biodiversitas laut.
(3)
Secara Sosial, Budaya, Ekonomi 1) Ada pulau yang berpenghuni dan tidak, 2) Penduduk asli mempunyai budaya dan kondisi sosial ekonomi yang khas, 3) Kepadatan penduduk sangat terbatas/rendah (hal ini berdasarkan daya dukung pulau dan air tanah), 4) Ketergantungan ekonomi lokal pada perkembangan ekonomi luar pulau induk atau kontinen, 5) Keterbatasan kualitas sumberdaya manusia, 6) Aksesibilitas (ketersediaan sarana prasarana) rendah dengan transpotasi maksimal 1 kali sehari, di samping faktor jarak dan waktu yang terbatas. Jika aksesibilitasnya tinggi maka keunikan pulau lebih mudah terganggu.
14
Dalam menentukan suatu pulau sebagai pulau kecil, penggunaan ketiga kriteria di atas harus dipenuhi secara keseluruhan. Daratan yang pada saat pasang tertinggi permukaannya ditutupi air, tidak termasuk kategori pulau kecil. Definisi gugus pulau adalah sekumpulan pulau-pulau yang secara geografis saling berdekatan, di mana ada keterkaitan erat dan memiliki ketergantungan/interaksi antar ekosistem, kondisi ekonomi, sosial dan budaya baik secara individual maupun secara kelompok. Batasan dan karakteristik ini merupakan pengertian bahwa gugus pulau adalah sekumpulan pulau dengan ciri-ciri fisik meliputi (DKP, 2002): (1) Secara Fisik 1) Secara geografis merupakan sekumpulan pulau yang saling berdekatan dengan batas fisik yang jelas antar pulau, 2) Dalam satu gugus pulau, pulau kecil dapat terpisah jauh sehingga bersifat insular, 3) Lebih banyak dipengaruhi oleh faktor hidro-klimat laut, 4) Pengertian satu gugus pulau tidak terbatas pada luas pulau, jumlah pulau, dan kepadatan penduduk, 5) Biasanya pada pulau kecil dalam gugus pulau terdapat sejumlah jenis biota endemik dengan keanekaragaman biota yang tipikal dan bernilai ekonomis tinggi, 6) Pada wilayah tertentu, gugus pulau dapat merupakan sekumpulan pulau besar dan kecil atau sekumpulan pulau kecil dengan daratan terdekat (propinsi/kabupaten/kecamatan) di mana terdapat saling ketergantungan pada bidang ekonomi, sosial, dan budaya, 7) Gugus pulau dapat terdiri atas sekumpulan pulau, atol atau gosong (gosong adalah dataran terumbu karang yang hanya muncul di permukaan air pada saat air surut) dan daratan wilayah terdekat (dapat terdiri atas propinsi/kabupaten/kecamatan), 8) Kondisi pulau-pulau kecil sangat rentan terhadap perubahan yang bersifat alamiah (bencana angin, badai, gelombang tsunami, letusan gunung berapi) atau karena pengaruh manusia (fenomena kenaikan permukaan air laut, pencemaran/polusi, sedimentasi, erosi dan penambangan). (2) Secara Ekologis 1) Habitat/ekosistem gugus pulau cenderung memiliki spesies endemik,
15
2) Semakin besar jumlah pulau yang terdapat dalam satu gugus pulau maka akan lebih besar kecenderungan jumlah biota endemik, 3) Memiliki jenis ekosistem yang sama pada setiap pulau, 4) Melimpahnya biodiversitas/keanekaragaman jenis biota laut. (3) Secara Sosial, Budaya, Ekonomi 1) Penduduk asli mempunyai adat budaya dan kebiasaan yang hampir sama dan kondisi sosial ekonomi yang khas, 2) Ketergantungan ekonomi lokal pada perkembangan ekonomi luar pulau besar/induk atau kontinen, 3) Aksesibilitas (ketersediaan sarana/prasarana) rendah dengan transpotasi ke arah pulau induk maksimal 1 kali sehari, di samping faktor jarak dan waktu yang terbatas. Selain kriteria di atas, masih banyak kriteria yang dapat dipertimbangkan dalam merumuskan batasan pulau kecil dan gugus pulau dimana dapat pula mempertimbangkan ukuran minimal pulau, geologi pulau, kondisi penutupan vegetasi, dan masih banyak lagi yang dapat dijadikan pertimbangan dalam menentukan batasan ini.
2.1.2 Tipe pulau Indonesia kaya akan pulau kecil dengan berbagai tipe, karena terletak pada zona tektonik dan magmatik aktif. Secara sederhana Dahuri (1998) membagi tipe pulau menjadi pulau oseanik (pulau vulkanik dan pulau koral) serta pulau kontinen. Dalam Ensiklopedi Nasional 1990, tipe pulau dibagi menjadi empat yaitu pulau kontinental, pulau vulkanik, pulau koral, dan pulau barier. Beller et al., (1990), membagi tipe pulau menjadi dua yaitu pulau tinggi dengan ketinggian lebih dari 15 kaki dan pulau rendah dengan ketinggian kurang dari 15 kaki. Pulau tinggi terbentuk dari proses gunungapi, agregasi batuan kontinental, atau pengangkatan batuan terumbu, sedangkan pulau rendah terbentuk di tengah samudra, di kepulauan, dan berdekatan dengan pulau utama. Namun sebaliknya, Ongkosongo (1998) mencoba merinci tipe pulau ke dalam 24 dasar klasifikasi. Dasar klasifikasinya adalah ukuran, elevasi, keterjalan, proses pembentukan, genesis, perubahan muka laut, kestabilan elevasi, kondisi, litologi, tutupan
biota,
pengaruh
manusia,
bentuk,
geomorfologi,
aksesibilitas,
keberadaan penduduk, kepadatan penduduk, keaslian, pemanfaatan, keadaan politik, kesuburan, kepemilikan, kondisi khusus, dan lain-lain.
16
Bentuk lain klasifikasi pulau adalah berdasarkan kriteria fisik yang mengelompokkan
pulau
menjadi
pulau
berbukit
dan
pulau
datar
(Hehanusa,1998; Kantor Mentri Negara LH, 1996; dan Sugandhy, 1998). Pembagian ini berdasarkan pada morfologi dengan pembagian selengkapnya adalah: (1) Pulau Berbukit: 1) Pulau Vulkanik. Pulau ini terbentuk oleh bahan piroklastik, lava maupun ignimbrit hasil kegiatan gunungapi, misalnya Pulau-pulau Krakatau, Banda, Gunungapi, dan Adonara. 2) Pulau Tektonik. Pulau yang pembentukannya berkaitan dengan proses tektonik, terutama pada zona tumbukan antar lempeng, misalnya Pulaupulau Nias, Siberut, dan Enggano. 3) Pulau Teras Terangkat. Pulau yang pembentukannya sama dengan pulau tektonik, namun pada saat pengangkatan disertai dengan pembentukan teras (koral), maka dihasilkan pulau yang terdiri atas undakan atau teras. Pulau ini banyak terdapat di Indonesia bagian Timur, misalnya Pulau Ambon dan Pulau Biak 4) Pulau Petabah (monadnock). Pulau ini terbentuk di daerah yang stabil secara tektonik, antara lain dijumpai di Paparan Sunda. Litologi pembentukan pulau ini sering terdiri atas batuan-batuan ubahan (metamorf), terobosan/intrusi, dan sedimen yang terlipat dan berumur tua, misalnya Pulau-pulau Batam, Bintan, dan Belitung. 5) Pulau Gabungan. Pulau yang terbentuk dari gabungan dua atau lebih tipe pulau di atas misalnya Pulau-pulau Haruku, Nusa Laut, Kisar, dan Rote. (2) Pulau Datar: Pulau datar adalah pulau yang secara topografi tidak memperlihatkan tonjolan morfologi yang berarti. Pulau jenis ini pada umumnya memiliki batuan yang secara geologis berumur muda, yang terdiri atas endapan klastik jenis fluviatil dengan dasar yang terdiri atas pelapisan endapan masif dangkal atau pecahan koral. 1) Pulau Aluvial. Pulau ini biasanya terbentuk di depan muara-muara sungai besar, dimana laju pengendapan lebih tinggi dibandingkan intensitas erosi oleh arus dan gelombang laut, misalnya pulau-pulau di pantai Timur Sumatra dan Delta Mahakam di Kalimantan.
17
2) Pulau Koral. Pulau yang terbentuk oleh sedimen klastik berumur kuarter. Di Indonesia banyak pulau yang memiliki ekosistem terumbu karang, misalnya pulau-pulau di Kepulauan Seribu, Jakarta. 3) Pulau Atol. Pulau ini memiliki luas daratan lebih kecil daripada 50 km2, misalnya pulau-pulau di Kepulauan Takabonerate. Banyak yang lebarnya kurang dari 150 m dengan panjang antara 1.000 m hingga 2.000 m. Sementara itu DKP (2004) membagi tipe pulau menjadi lima yaitu pulau benua/kontinen, pulau vulkanik, pulau koral timbul, pulau daratan rendah, dan pulau atol. Pulau Benua (Continental Islands), Pulau ini terbentuk sebagai bagian dari benua dan setelah itu terpisah dari daratan utama. Jenis batuan dari pulau benua adalah batuan yang kaya dengan silika. Biota yang terdapat di pulau-pulau tipe ini sama dengan yang terdapat di daratan utama. Contoh dari pulau tipe ini adalah Madagaskar (dari Afrika), Caledonia Baru (dari Australia), Selandia Baru (dari Antartika), Seychelles (dari Afrika). Ada pula pulau benua bersatu dengan benua pada zaman Plistosen, kemudian berpisah pada zaman Holosen ketika muka laut meninggi. Contoh dari pulau tipe ini adalah Kepulauan Inggris, Srilangka, Fauklands, Jepang, Tanah Hijau, Filipina, Taiwan, dan Tasmania. Di Indonesia, pulau tipe ini adalah Kepulauan Sunda Besar (Sumatra, Jawa, dan Kalimantan) dan Pulau Papua. Pulau Vulkanik (Volcanic Islands), Pulau ini sepenuhnya terbentuk dari kegiatan gunungapi yang timbul secara perlahan-lahan dari dasar laut ke permukaan. Pulau tipe ini tidak pernah merupakan bagian dari daratan benua, dan terbentuk di sepanjang pertemuan lempeng-lempeng tektonik, dimana lempenglempeng tersebut saling menjauh atau bertumburan. Jenis batuan dari pulau tipe ini adalah basalt dan silika (kadar rendah). Contoh pulau vulkanik yang terdapat di daerah pertemuan lempeng benua adalah Kepulauan Sunda Kecil (Bali, Lombok, Sumba, Sumbawa, Flores, Wetar, dan Timor). Ada pula pulau vulkanik yang membentuk untaian pulau-pulau dan titik gunungapi (hot spots) yang terdapat di bagian tengah lempeng benua (continental plate). Contoh dari pulau tipe ini adalah Kepulauan Austral-Cook, Galapagos, Hawai, Marquesas, Aleutian, Antiles Kecil, Solomon, dan Tonga. Pulau Koral Timbul (Raised Coral Islands), Pulau ini terbentuk oleh terumbu karang yang terangkat ke atas permukaan laut karena adanya gerakan ke atas (uplift) dan gerakan ke bawah (subsidence) dari dasar laut karena proses geologi.
18
Pada saat dasar laut berada di dekat permukaan laut (kurang dari 40 m), terumbu karang mempunyai kesempatan untuk tumbuh dan berkembang di dasar laut yang naik tersebut. Setelah berada di atas permukaan laut, terumbu karang akan mati dan menyisakan rumahnya dan membentuk pulau koral. Jika proses ini berlangsung terus, maka akan terbentuk pulau koral timbul. Pada umumnya, koral yang timbul ke permukaan laut berbentuk teras-teras seperti sawah di pegunungan. Proses ini dapat terjadi pada pulau-pulau vulkanik maupun non-vulkanik. Pulau koral timbul ini banyak ditemui di perairan timur Indonesia, seperti di Laut Seram, Sulu, Banda, Kepulauan Sangihe, Solor, Alor, Lembata, atau Adonara. Pulau Daratan Rendah (Low Islands), Pulau dimana ketinggian daratannya dari muka laut tidak besar. Pulau tipe ini dapat berasal dari pulau-pulau vulkanik maupun non-vulkanik. Pulau-pulau dari tipe ini paling rawan terhadap bencana alam, seperti topan atau tsunami. Oleh karena pulau tipe ini relatif datar dan rendah, maka massa air dari bencana alam yang datang ke pulau akan masuk jauh ke tengah pulau. Contoh pulau daratan rendah adalah Kepulauan Seribu di utara Teluk Jakarta. Pulau Atol (Atolls), Pulau Atol adalah pulau (pulau koral) yang berbentuk cincin. Pada umumnya pulau atol ini adalah pulau vulkanik yang ditumbuhi oleh terumbu karang membentuk terumbu tepi (fringing reef) kemudian berubah menjadi terumbu penghalang (barrier reef) dan akhirnya berubah menjadi pulau atol. Proses pembentukannya disebabkan oleh adanya gerakan ke bawah (subsidence) dari pulau vulkanik semula dan oleh pertumbuhan vertikal dari terumbu karang. Contoh pulau atol di Indonesia adalah Pulau-pulau Tukang Besi.
2.2 Ekosistem Laut Ekosistem adalah suatu komunitas tumbuh-tumbuhan, hewan, dan organisme lainnya serta proses yang menghubungkan mereka, membentuk suatu sistem fungsi dan interaksi yang terdiri atas organisme hidup dan lingkungannya, seperti ekosistem mangrove, ekosistem estuari, ekosistem terumbu karang, dan ekosistem padang lamun. Ekosistem laut adalah ekosistem yang terbentuk dari proses marin atau proses lain, tetapi masih mendapat pengaruh proses marin. Pada klasifikasi bentuklahan, ekosistem ini mencakup bentuklahan asal marin dan organik (Lampiran 1). Pakar pesisir membagi ekosistem ini berdasar sifat alamiah ataupun buatan. Ekosistem alami yang biasa dijumpai antara lain adalah terumbu karang, hutan mangrove, padang lamun,
19
pantai berbatu, pantai berpasir, pantai berlumpur, formasi pes-caprea, formasi baringtonia, estuari, lagun, dan delta. Sedangkan ekosistem buatan antara lain berupa kawasan pariwisata, kawasan budidaya (mariculture), dan kawasan permukiman. Ekosistem utama adalah terumbu karang, mangrove, dan padang lamun (Dahuri, 1998). Keterkaitan antara ketiga ekosistem utama adalah bahwa ekosistem mangrove merupakan penghasil detritus, sumber nutrien, dan bahan organik yang akan dibawa ke ekosistem padang lamun oleh arus laut, sedangkan ekosistem lamun berfungsi sebagai penghasil bahan organik dan nutrien yang akan dibawa ke ekosistem terumbu karang. Selain itu, ekosistem lamun juga berfungsi sebagai penjebak sedimen (sedimen trap) sehingga sedimen tersebut tidak mengganggu kehidupan terumbu karang. Ekosistem terumbu karang dapat berfungsi sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak (gelombang) dan arus laut. Selain itu ekosistem terumbu karang juga berperan sebagai tempat tinggal (habitat), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), dan tempat pemijahan (spawning ground) bagi organisme yang hidup di padang lamun ataupun hutan mangrove (Kaswadji, 2001). Struktur komunitas dan sifat fisik ketiga ekosistem ini saling mendukung dan interaksinya sangat erat, sehingga bila salah satu ekosistem terganggu maka ekosistem yang lain akan terpengaruh. Selain itu, Dahuri (2000) mengatakan bahwa keterkaitan antar ekosistem utama ini berupa dampak manusia, migrasi biota, bahan organik partikular, nutrien bahan organik terlarut, dan fisik. Keterkaitan antara tiga ekosistem utama dengan ekosistem laut lain adalah pada syarat tumbuhnya. Terumbu karang menghendaki laut cerah dan gelombang besar, sehingga pantai berlumpur tidak sesuai. Namun sebaliknya, pantai berlumpur sesuai untuk ekosistem mangrove, sedangkan ekosistem lamun sesuai pada ketiga ekosistem pantai meskipun bagus pada pantai lumpur berpasir (Bengen, 2000).
2.2.1 Mangrove Mangrove dapat hidup pada jenis pantai berlumpur dan pantai berpasir dengan berbagai substrat di antaranya adalah pasir, lava gunungapi, atau sedimen yang bersifat karbonat. Hutan mangrove sanggup beradaptasi terhadap kadar oksigen yang rendah, terhadap kadar garam yang tinggi, serta terhadap
20
tanah yang kurang stabil dan pengaruh pasang surut. Mangrove merupakan suatu ekosistem peralihan antara darat dan laut, yang mempunyai gradien sifat lingkungan yang berat. Susunan spasial formasi penggunaan lahan daerah kepesisiran di Jawa, dari laut ke arah darat adalah perikanan, mangrove, tambak, permukiman di pematang gisik, dan sawah, sedangkan untuk daerah kepesisiran di Sumatra adalah mangrove/nipah, hutan pantai, hutan pasang surut, dan ladang (Malingreau dan Christiani, 1981). Penyebaran hutan mangrove dibatasi oleh letak lintang karena mangrove sangat sensitif terhadap suhu dingin yang dikenal sebagai komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis. Tanah tempat tumbuhnya berlumpur, berlempung, dan atau berpasir. Penyebarannya juga terbatas akibat ketergantungannya terhadap aliran air tawar. Oleh karena itu, mangrove tumbuh pada daerah intertidal dan supratidal. Hutan mangrove tumbuh di sepanjang pantai-pantai yang terlindung dari aktivitas gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat, seperti muara sungai, delta, pantai yang terlindung, dan teluk yang dangkal. Gelombang yang besar dan arus pasang surut yang kuat tidak memungkinkan terjadinya pengendapan sedimen yang diperlukan sebagai substrat bagi tumbuhnya mangrove ini. Ekosistem mangrove di Indonesia mempunyai keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (Nontji, 1987). Hutan mangrove merupakan komunitas tumbuhan yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut sesuai dengan toleransinya terhadap salinitas, lama penggenangan, substrat, dan morfologi pantai. Suksesi dan kematian mangrove dipengaruhi oleh terganggunya keseimbangan berupa kondisi, kecepatan pengendapan yang tetap, gerakan air yang minimal, keadaan pasang surut, dan salinitas air dan tanah tertentu. Sementara itu, ada tiga parameter lingkungan utama yang menentukan kelangsungan hidup dan pertumbuhan mangrove yaitu (Nybakken, 1982): (1) Suplai air tawar dan salinitas Ketersediaan
air
tawar
dan
konsentrasi
kadar
garam
(salinitas)
mengendalikan efisiensi metabolik (metabolic efficiency) dari ekosistem mangrove. Ketersediaan air tawar tergantung pada: 1) Frekuensi dan volume air dari sistem sungai dan irigasi dari darat, 2) Frekuensi dan volume air pertukaran pasang surut, dan 3) Tingkat evaporasi ke atmosfer. Walaupun spesies hutan mangrove memiliki mekanisme adaptasi terhadap salinitas yang tinggi (ekstrem), namun tidak adanya suplai air tawar yang
21
mengatur kadar garam tanah dan isi air bergantung pada tipe tanah dan sistem
pembuatan
irigasi.
Perubahan
penggunaan
lahan
darat
mengakibatkan terjadi modifikasi masukan air tawar yang dapat mengubah kadar garam serta aliran nutrien dan sedimen. (2) Pasokan nutrien Pasokan nutrien bagi ekosistem mangrove ditentukan oleh berbagai proses yang saling terkait, meliputi input dari ion-ion mineral anorganik dan bahan organik serta pendaurulangan nutrien secara internal melalui jaring-jaring makanan berbasis detritus (detrital food web). Konsentrasi relatif dan nisbah (rasio) optimal dari nutrien yang diperlukan untuk pemeliharaan produktivitas ekosistem mangrove ditentukan oleh: 1) frekuensi, jumlah, dan lama penggenangan oleh air asin dan air tawar dan 2) dinamika sirkulasi internal dari kompleks detritus (Odum, 1992). (3) Stabilitas substrat Kestabilan substrat, rasio antara erosi dan perubahan letak sedimen diatur oleh velositas air tawar, muatan sedimen, semburan air pasang surut dan gerak angin. Arti penting dari perubahan sedimentasi terhadap spesies hutan mangrove tergambar dari kemampuan hutan mangrove untuk menahan akibat yang menimpa ekosistemnya. Pokok-pokok perubahan sedimentasi dalam ambang batas kritik meliputi: (a) penggumpalan sedimen yang diikuti dengan kolonisasi oleh hutan mangrove, (b) nutrien, bahan pencemar dan endapan lumpur yang dapat menyimpan nutrien dan menyaring bahan beracun (waste toxic). Hutan mangrove sering disebut sebagai hutan bakau, hutan payau atau hutan pasang surut. Vegetasi hutan mangrove umumnya terdiri atas jenis-jenis yang selalu hijau (evergreen plant) dari beberapa famili. Hutan mangrove dapat meliputi beberapa jenis tanaman yaitu Avicennia, Rhizophora, Ceriops, Bruguiera,
Xylocarpus,
Sonneratia,
Lumnitzera,
Laguncularia,
Aegiceras,
Aegitalis, Snaeda, Conocarpus (Bengen, 1999). Perakaran mangrove yang kokoh memiliki kemampuan untuk meredam pengaruh gelombang, menahan lumpur, dan melindungi pantai dari erosi, gelombang pasang, dan angin topan. Ekosistem mangrove memiliki fungsi ekologis sebagai tempat pemijahan, pengasuhan, dan pencari makan bagi berbagai macam hewan perairan seperti udang, ikan, dan kerang-kerangan, penahan abrasi, amukan bagi topan, dan tsunami, penyerap limbah, dan pencegah intrusi air laut. Sebagai fungsi
22
ekonomis seperti penyedia kayu, daun-daunan sebagai obat-obatan. Selain juga sebagai pemasok larva ikan dan udang. Fungsi ekonomis ekosistem mangrove yang dikembangkan di Indonesia adalah sebagai kawasan wisata alam. Hutan
mangrove
merupakan
ekosistem
pesisir
yang
mempunyai
produktivitas tinggi. Menurut Lugo dan Snedaker (1974, yang diacu dalam Supriharyono, 2000), produktivitas primer hutan mangrove cukup tinggi dan dapat mencapai 5.000 gC/m2/tahun. Ekosistem hutan mangrove di Indonesia mempunyai keanekaragaman hayati tertinggi di dunia dengan jumlah total spesies sebanyak 89, terdiri atas 35 spesies tanaman, 9 spesies perdu, 9 spesies liana, 29 spesies epifit, dan 2 spesies parasitik (Nontji, 1987). Di Pasifik, Avicenia tumbuh pada keadaan yang teduh dan berlumpur tebal yang biasanya terdapat di dalam hutan dan di belakangnya tumbuh Rhizophora. Zona Ceriops dapat tumbuh bergabung dengan zona Bruguiera, sedangkan Sonneratia tumbuh menghadap ke arah laut pada daerah yang senantiasa basah. Kelompok hewan lautan yang dominan dalam hutan mangrove adalah moluska, udang-udang tertentu, dan beberapa ikan yang khas.
2.2.2 Terumbu karang Terumbu karang merupakan masyarakat organisme yang hidup di dasar laut daerah tropis dan dibangun oleh biota laut penghasil kapur khususnya jenisjenis karang batu dan alga penghasil kapur (CaCO3) dan merupakan ekosistem yang cukup kuat menahan gaya gelombang laut. Karang di dunia dibagi dalam dua kelompok yaitu karang hermatipik dan karang ahermatipik. Perbedaannya terletak pada kemampuan karang hermatipik dalam menghasilkan terumbu. Kemampuan ini disebabkan adanya sel-sel tumbuhan yang bersimbiosis dalam jaringan karang hermatipik. Sel tumbuhan ini dinamakan zooxanthellae. Karang hermatipik hanya ditemukan di daerah tropis, sedangkan karang ahermatipik tersebar di seluruh dunia (Nybakken, 1982). Terumbu karang memiliki kadar CaCO3 (Kalsium Karbonat) tinggi dan komunitasnya didominasi berbagai jenis hewan karang keras. Kalsium Karbonat ini berupa endapan masif yang dihasilkan oleh organisme karang (filum Cnidaria, klas Anthozoa, ordo Madreporaria=Scleractinia),
alga
berkapur,
dan
organisme
lain
yang
mengeluarkan CaCO3 (Guilcher, 1988).
23
Karang dapat hidup berkoloni atau sendiri, tetapi hampir semua karang hermatipik merupakan koloni. Individu karang disebut polip, terdiri atas bagian lunak dan bagian keras yang berbentuk kerangka kapur. Jaringan tubuh karang terdiri atas ektoderm, mesoglea, dan endoderm. Ektoderm merupakan jaringan terluar yang mempunyai cilia, kantung lendir (mucus), dan sejumlah nematokis. Mesoglea adalah jaringan yang terletak antara ektoderm dan endoderm dan berbentuk seperti agar-agar. Endoderm merupakan jaringan yang paling dalam dan sebagian besar berisi zooxanthellae. Karang hidup menempel pada substrat seperti batu atau dasar yang keras dan berkelompok membentuk koloni yang terakumulasi menjadi terumbu (Nybakken, 1982). Fungsi ekologis terumbu karang adalah sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat asuhan, tempat pencari makan, tempat pemeliharaan, tempat pemijahan, dan tempat pelindung fisik bagi berbagai biota (Nybakken, 1982). Terumbu karang selalu hidup bersama-sama dengan hewan lain dan rangkanya menjadi tempat berlindung berbagai spesies hewan seperti golongan moluska, crustasea, cacing polichaeta, tiram raksasa (kimah), gastropoda, echinodermata (terutama bulu babi, teripang, bintang laut, dan lili laut), bakteri, dan kepiting. Hewan dalam kelompok besar dan ikut dalam membentuk sistem terumbu adalah ikan baik ikan konsumsi maupun ikan hias yang mempunyai arti ekonomi penting (Hutabarat dan Evans, 1985; Nybakken, 1982). Dari sisi sosial ekonomi, terumbu karang adalah sumber devisa negara yang berasal dari perikanan dan pariwisata. Perikanan yang produktif dapat meningkatkan pendapatan nelayan dan penduduk pesisir. Terumbu karang menghasilkan berbagai produk seperti berbagai jenis ikan karang, udang karang, alga, teripang, dan kerang mutiara. Keindahan yang dimiliki oleh terumbu karang merupakan salah satu potensi wisata bahari yang belum dimanfaatkan secara optimal. Terumbu karang sangat bermanfaat bagi manusia dan sedikitnya ada empat fungsi yaitu fungsi pariwisata, perikanan, pelindung pantai, dan keanekaragaman hayati. Fungsi pariwisata adalah keindahan karang, kekayaan biologi, dan kejernihan air yang membuat kawasan terumbu karang terkenal sebagai tempat rekreasi, skin diving atau snorkeling, SCUBA dan fotografi. Fungsi perikanan; sebagai tempat ikan-ikan karang yang harganya mahal sehingga nelayan menangkap ikan di kawasan ini. Jumlah panenan ikan, kerang, dan kepiting dari ekosistem terumbu karang secara lestari di seluruh dunia dapat
24
mencapai 9 juta ton atau sedikitnya 12 % dari jumlah tangkapan perikanan dunia (White dan Cruz-Trinidad, 1998). Perkiraan produksi perikanan tergantung pada kondisi terumbu karang. Terumbu karang dalam kondisi yang sangat baik mampu menghasilkan sekitar 18 ton/km2/tahun, terumbu karang dalam kondisi baik mampu menghasilkan 13 ton/km2/tahun, dan terumbu karang dalam kondisi yang cukup baik mampu menghasilkan 8 ton/km2/tahun (McAllister, 1998). Fungsi pelindung pantai; terumbu pinggiran dan terumbu penghalang adalah pemecah gelombang alami yang melindungi pantai dari erosi, banjir pantai, dan peristiwa perusakan lain yang diakibatkan oleh fenomena air laut. Terumbu karang juga memberikan kontribusi untuk akresi (penumpukan) pantai dengan memberikan pasir untuk pantai dan memberikan perlindungan terhadap desadesa dan infrastruktur seperti jalan dan bangunan-bangunan lain yang berada di sepanjang pantai. Apabila dirusak, maka diperlukan milyaran rupiah untuk membuat penghalang buatan yang setara dengan bentuklahan terumbu ini. Fungsi
keanekaragaman
hayati
(biodiversity);
ekosistem
ini
mempunyai
produktivitas dan keanekaragaman jenis biota yang tinggi. Keanekaragaman hidup di ekosistem terumbu karang per unit area sebanding atau lebih besar dibandingkan dengan hal yang sama di hutan tropis. Terumbu karang ini dikenal sebagai laboratorium untuk ilmu ekologi. Potensinya untuk bahan obat-obatan, anti virus, anti kanker, dan penggunaan lain sangat tinggi. Terumbu karang merupakan ekosistem laut yang paling produktif dan paling tinggi keanekaragaman hayatinya. Produksi primer kotor di daerah terumbu karang rata-rata bervariasi dari 300-5.000 gram karbon per meter bujur sangkar per tahun (gC/m2/tahun), sebagai pembanding, produktivitas laut lepas hanya berkisar 50-100 gC/m2/tahun. Potensi lestari sumberdaya perikanan karang di perairan Indonesia sebesar 75.875 ton/tahun (Djamali dan Mubarak, 1998), sedangkan potensi perikanan laut (tuna/cakalang, udang, demersal, pelagis kecil dan lainnya) sekitar 4,948,824 ton/tahun (Dahuri, 2001). Berdasarkan data yang dikumpulkan selama Ekspedisi Snelius II (1984), di perairan Indonesia terdapat sekitar 350 spesies karang keras yang termasuk ke dalam 75 genera (Supriharyono, 2000). Organisme yang dapat kita temukan di terumbu karang antara lain; Pisces (berbagai jenis ikan), Crustacea (udang, kepiting), Moluska (kerang, keong, cumicumi, gurita), Echinodermata (bulu babi, bintang laut, timun laut, lili laut, bintang ular), Polychaeta (cacing laut), Sponge, Makroalga (Sargasum, Padina,
25
Halimeda), dan terutama hewan karang (Anthozoa). Begitu banyak jenis organisme yang hidup di sana sehingga terumbu karang adalah salah satu ekosistem di permukaan bumi ini yang memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi. Kunzmann (2001) menyebutkan bahwa Asia Tenggara merupakan pusat keanekaragaman hayati dunia karena banyaknya spesies per satuan luas. Disebutkan bahwa di dunia ini terdapat sekitar 800 jenis karang dan sekitar 4.000 jenis ikan. Total spesies yang ada di terumbu karang adalah sekitar 9 juta spesies, tidak termasuk mikroba. Dari jumlah ini, 400 jenis karang, 3.000 jenis ikan karang, dan sekitar 1.700 jenis moluska berada di Asia Tenggara. Dari genus Acropora saja, Wallace et. al., (2001) mengidentifikasi dan membuat daftar
91
jenis
(spesies)
terdapat
di
Indonesia.
Maliskusworo
(1991)
menyebutkan bahwa perairan karang di Indonesia adalah terluas di Asia Tenggara. Hasil inventarisasi COREMAP-LIPI Tahun 2000, ekosistem terumbu karang di Indonesia tercatat seluas 20.731 km2. Data luas ini kemungkinan lebih kecil dari luas terumbu karang yang sebenarnya karena data ini diperoleh dari citra Landsat sehingga dimungkinkan masih terdapat kawasan terumbu karang pada kedalaman di luar jangkauan sensor satelit yang tidak tampak seperti yang terdapat pada tebing sangat curam. Salah satu parameter kualitas ekosistem terumbu karang adalah tingkat (persen) penutupan karang batu hidup di daerah terumbu karang. Jika persentase penutupan karang batu hidup 0 – 24,9% maka termasuk kategori rusak atau buruk, 25 – 49,9% kategori sedang, 50 – 74,9% termasuk baik, dan 75 – 100% termasuk kategori sangat baik (Gomez dan Yap, 1978). Di Indonesia pada tahun 1996 kondisi terumbu karang adalah 41,78% rusak, 28,30% sedang, 23,72% baik, dan 6,20% sangat baik (Dahuri, 2000). Hasil penelitian dan pengamatan COREMAP-LIPI tahun 2000 kondisinya adalah 70% rusak, 24% baik, dan 6% sangat baik. Data tersebut memperlihatkan bahwa secara umum kondisinya makin menurun dari tahun ke tahun. Kehidupan karang dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat dibedakan menjadi tiga meliputi endogenik, eksogenik, dan antropogenik. Faktor endogenik berupa gempa bumi, letusan gunungapi, dan aktivitas tektonik. Faktor eksogenik meliputi kejernihan air, suhu, salinitas, cahaya matahari, arus dan gelombang, sedimentasi, dan erosi. Faktor antropogenik antara lain meliputi pengerukan
26
pasir di pelabuhan, penggundulan hutan, reklamasi pantai, pengambilan batu koral, penangkapan ikan dengan menggunakan sianida dan bahan peledak, aktivitas pelayaran, wisata bahari, pencemaran, dan polusi.
2.2.3 Lamun Lamun hidup di daerah pesisir atau perairan laut dangkal (2 – 12m) dan membentuk padang yang luas dan lebat di dasar laut. Lamun tumbuh di dasar laut berpasir dan jernih di mana sinar matahari masih dapat menembus untuk memungkinkan ilalang ini berfotosintesis. Umumnya semua tipe dasar laut dapat ditumbuhi lamun, namun padang lamun yang luas hanya dijumpai pada dasar laut lumpur berpasir lunak dan tebal. Wilayah ini terdapat antara batas terendah daerah pasang surut sampai kedalaman tertentu di mana matahari masih dapat mencapai dasar laut. Lamun adalah sejenis ilalang laut yang tumbuh tegak, berdaun tipis yang bentuknya mirip pita dan berakar jalar. Tunas-tunas tumbuh dari rhizoma, yaitu bagian rumput yang tumbuh menjalar di bawah permukaan dasar laut. Berlawanan dengan tumbuhan lain yang hidup terendam di dalam laut seperti ganggang/alga laut, lamun berbuah dan menghasilkan biji. Habitat lamun merupakan
kelompok
tumbuhan
berbiji
tunggal
(monokotil)
dari
kelas
angiospermae (Supriharyono, 2000). Pertumbuhan lamun memerlukan sirkulasi air yang baik yang menghantarkan zat-zat nutrien dan oksigen serta mengangkut hasil metabolisme lamun, seperti karbon dioksida (CO2) ke luar daerah padang lamun (Dahuri, 2004). Di wilayah perairan Indonesia paling sedikit terdapat 7 marga dan 13 spesies lamun. Penyebarannya meliputi perairan Jawa, Sumatra, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan Irian Jaya. Di Indonesia, padang lamun sering dijumpai berdekatan dengan ekosistem mangrove dan terumbu karang (Tomascik et al., 1997, Wibowo et al., 1996 yang diacu dalam Supriharyono, 2000) Faktor penting pada distribusi dan stabilitas ekosistem padang lamun: (1) Kecerahan. Kebutuhan padang lamun akan intensitas cahaya yang tinggi untuk membantu proses fotosintesis diperlihatkan dengan observasi di mana distribusinya terbatas pada perairan dengan kedalaman tidak lebih dari 10 meter. Beberapa aktivitas yang meningkatkan muatan sedimentasi pada badan air akan berakibat pada tingginya turbiditas residu sehingga
27
berpotensi untuk mengurangi penetrasi cahaya. Hal ini dapat mengganggu produktivitas primer dari ekositem padang lamun. (2) Temperatur. Walaupun spesies padang lamun menyebar luas secara geografis, hal ini mengindikasikan adanya kisaran yang luas terhadap toleransi temperatur, tetapi spesies lamun daerah tropik mempunyai toleransi yang rendah terhadap perubahan temperatur. Kisaran temperatur optimal bagi spesies padang lamun adalah 28ºC - 30ºC dan kemampuan proses fotosintesis akan menurun dengan tajam apabila temperatur perairan berada di luar kisaran optimal tersebut. (3) Salinitas. Walaupun spesies padang lamun memiliki toleransi terhadap salinitas yang berbeda-beda, tetapi sebagian besar memiliki kisaran yang lebar terhadap salinitas yaitu antara 10‰ - 40‰. Nilai optimum toleransi terhadap salinitas di air laut adalah 35‰. Penurunan salinitas akan menurunkan kemampuan fotosintesis spesies ekosistem padang lamun. Kerusakan padang lamun disebabkan oleh berkurangnya air tawar dekat garis pantai yang hilang. Interaksi antara salinitas dan temperatur padang lamun tropik dimana spesies yang mempunyai toleransi lebih rendah dari salinitas normal dan pada temperatur yang rendah, tidak mampu mempertahankan hidupnya pada salinitas yang sama dan dalam kondisi temperatur yang lebih tinggi. (4) Substrat. Padang lamun hidup pada berbagai macam tipe sedimen, mulai dari lumpur sampai sedimen dasar yang terdiri atas 40% endapan lumpur dan finemud. Kebutuhan substrat yang paling utama bagi pengembangan padang lamun adalah kedalaman sedimen yang cukup. Peranan kedalaman substrat dalam stabilitas sedimen adalah sebagai pelindung tanaman dari arus air laut serta sebagai tempat pengolahan dan pemasok nutrien. (5) Kecepatan arus perairan. Produktivitas padang lamun tampak dari pengaruh keadaan kecepatan arus perairan. Turtle grass mempunyai kemampuan maksimal menghasilkan standing crop pada saat kecepatan arus sekitar 0,5m/detik. Dari beberapa contoh padang lamun menunjukkan produksi standing crop 262 gram berat kering/m2 dimana produksi totalnya adalah 4.570 gram berat kering/m2. Padang lamun (seagrass beds) merupakan ekosistem yang memiliki arti penting secara ekologis dan ekonomis yang pengelolaannya dipengaruhi oleh
28
gangguan yang bersifat antropogenik. Fungsi padang lamun antara lain (Koesoebiono, 1995; Supriharyono, 2000): (1) Sebagai perangkap sedimen yang kemudian diendapkan dan distabilkan serta menjernihkan air, (2) Lamun segar merupakan makanan bagi ikan duyung (hewan menyusui), penyu laut, bulu babi, dan beberapa jenis ikan. Padang lamun merupakan daerah pengembalaan (grazing ground) yang penting artinya bagi hewanhewan laut tersebut. Ikan laut lain dan udang tidak makan daun segar tapi serasah (detritus) dari lamun. Detritus ini dapat tersebar luas oleh arus ke perairan di sekitar padang lamun, (3) Merupakan habitat bagi bermacam-macam ikan (umumnya ikan berukuran kecil) dan udang, (4) Pada permukaan daun lamun hidup melimpah ganggang-ganggang renik (biasanya ganggang bersel tunggal), hewan-hewan renik, dan mikroba yang merupakan makanan bagi bermacam jenis ikan yang hidup di padang lamun, (5) Banyak jenis ikan dan udang yang hidup di perairan sekitar padang lamun menghasilkan larva yang bermigrasi ke padang lamun untuk tumbuh besar. Bagi larva-larva ini padang lamun memang menjanjikan kondisi lingkungan yang optimal bagi pertumbuhannya. Dengan demikian perusakan padang lamun berarti merusak daerah asuhan (nursery ground) larva-larva tersebut, (6) Daun lamun berperan sebagai tudung pelindung yang menutupi penghuni padang lamun dari sengatan sinar matahari, dan (7) Tumbuhan lamun dapat digunakan sebagai bahan makanan dan pupuk misal: samo-samo (enhalus acoroides) oleh penduduk Kepulauan Seribu telah dimanfaatkan bijinya sebagai bahan makanan. Produktivitas primer komunitas lamun mencapai 1 kgC/m2/th. Namun, menurut Kirman dan Reid (1979, yang diacu dalam Supriharyono, 2000) dari jumlah tersebut hanya 3% yang dimanfaatkan oleh herbivora, 37% tenggelam ke perairan dan dimanfaatkan oleh benthos, dan 12% mengapung di permukaan dan hilang dari ekosistem. Padang lamun mendukung kehidupan biota yang cukup beragam dan berhubungan satu sama lain. Jaringan makanan yang terbentuk antara padang lamun dan biota lain sangat kompleks. Sejumlah organisme yang dijumpai hidup di sini antara lain adalah invertebrata: moluska
29
(Pinna, Lambis, dan Strombus); Echinodermata (teripang - Holoturia, bulu babi – Diadema sp.), dan bintang laut (Archaster, Linckia); serta Crustasea (udang dan kepiting).
2.3 Geomorfologi Geomorfologi adalah studi yang mendeskripsi bentuklahan dan prosesproses yang menghasilkan bentuklahan serta menyelidiki hubungan timbal-balik antara bentuklahan dan proses-proses tersebut dalam susunan keruangan (Zuidam, 1985). Bentuklahan (landform) adalah suatu bagian dari bentuk permukaan bumi yang mempunyai karakteristik tertentu dan dihasilkan dari satu atau gabungan beberapa proses geomorfik dalam kurun waktu tertentu, sedangkan proses geomorfik (geomorphic processes) adalah suatu proses alami, baik fisik atau kimiawi, yang mampu merubah bentuk permukaan bumi (Thornbury, 1954). Berdasarkan batasan tersebut, lingkup studi geomorfologi mencakup tiga aspek yaitu morfologi, morfogenesis, dan morfokronologi (Thornbury, 1954), dan sebagian ahli menambahkan aspek morfo-arrangement (Zuidam, 1985). Aspek morfologi mencakup dua aspek, yaitu morfografi dan morfometri. Morfografi mendeskripsi bentuk permukaan bumi, baik yang berukuran besar seperti pegunungan, gunungapi, dataran, maupun yang berukuran kecil seperti bukit, lembah, dan kipas aluvial. Morfometri membahas tentang ukuran-ukuran bentuklahan, seperti kemiringan lereng, ketinggian, arah, dan sebagainya. Aspek morfogenesis
mencakup
kajian
terhadap
proses
geomorfik
atau
proses
geomorfologis yang bekerja pada masa lampau dan masa sekarang yang membentuk bentuklahan aktual. Aspek morfokronologi menyangkut kronologi atau waktu pembentukan berbagai bentuklahan dan prosesnya, sedangkan aspek morfo-arrangement,
menyangkut
analisis
hubungan
keruangan/spasial
dari
berbagai bentuklahan dan prosesnya. Geomorfologi
kepesisiran
(coastal
geomorphology)
adalah
studi
geomorfologi yang mengkhususkan perhatiannya pada bentuklahan pesisir, evolusinya dan proses-proses yang membentuk dan merubahnya (Bird 1969, yang diacu dalam Sutikno, 1995). Di Indonesia upaya-upaya kontrol kualitas pemetaan tematik dasar secara nasional sedang berlangsung dan pembuatan standardisasi klasifikasi bentuklahan untuk skala 1:250.000 dan 1:50.000 sedang dilakukan (Fakultas Geografi UGM Bakosurtanal, 2000). Dalam upaya standardisasi tersebut, informasi sifat dan
30
perwatakan bentuklahan akan memberikan informasi-informasi tentang konfigurasi permukaan, proses geomorfologis, serta struktur geologis dan jenis batuan/mineral. Klasifikasi bentuklahan asal proses marin ditunjukkan pada Tabel 1, dan selengkapnya di Lampiran 11.
Tabel 1 Klasifikasi bentuklahan asal marin No.
1.
Skala 1 : 250.000 Kode Nama Bentuklahan M.01 Delta
2.
M.02
Rataan pasut (tidal flat)
3.
M.03
Kompleks beting gisik
4.
M.04.
Dataran Pantai
5.
M.05.
Cliff
Kode
Skala 1 : 50.000 Nama Bentuklahan
M.01.a M.01.b M.01.c M.01.d M.01.e M.02.a M.02.b
Rataan lumpur (Mud flat) Rawa payau (Salt Marsh) Tanggul fluvio deltaik Rawa belakang deltaik Dataran delta Rataan lumpur (Mud flat) Rawa payau (Salt marsh)
M.03.a M.03.b M.03.c M.03.d M.03.e M.03.f M.03.g M.04.a M.04.b M.04.c M.04.d M.04.e M.05.a M.05.b M.05.c
Gisik (Beach) Beting gisik (Beach ridge) Swale (Swale) Bura (Spit) Tombolo (tombolo) Cuspate foreland Lagun (lagoon) Dataran lempung marin Pelataran laut (Marine Platfom) Teras marin Kompleks kuesta Outlier Cliff Runtuhan batu cliff Pilar laut
Sumber: Zuidam, 1985 dan Fakultas Geografi UGM - Bakosurtanal, 2000.
Untuk studi terapan, geomorfologi dapat menunjang keperluan berbagai disiplin ilmu-ilmu lainnya, seperti ilmu-ilmu sosial, kebumian, kajian gangguan lingkungan, pengembangan daerah pedesaan dan perencanaan wilayah, bidang perkotaan, dan bidang keteknikan (Verstappen, 1983). Geomorfologi terapan di Indonesia sangat penting dikembangkan, karena hasilnya akan lebih banyak memberikan manfaat kepada pembangunan masyarakat di Indonesia, di samping perlunya pengembangan di bidang-bidang lain seperti geomorfologi pantai, geomorfologi gunungapi, dan geomorfologi fluvial (Sutikno, 1995). Analisis tipe dan karakteristik pulau kecil dan ekosistem laut adalah studi terapan geomorfologi untuk 31
tujuan tata ruang. Proses marin yang terjadi pada pesisir pulau kecil seperti halnya pada pesisir pulau besar. Namun, oleh karena luas daratan pulau kecil relatif sempit sehingga proses marin relatif lebih dominan. Pantai berbatu adalah pantai yang mempunyai tebing pantai (cliff), biasanya dicirikan dengan dinding pantai terjal yang langsung berhubungan dengan laut. Jenis pantai tebing dapat ditemukan dalam dua macam adalah tebing pantai dengan material lepas yang gampang hancur atau runtuh, dan tebing koral yang umumnya keras dan tidak mudah hancur. Sementara itu, pantai berpasir adalah pantai yang material penyusunnya terdiri atas pasir bercampur batu, yang umumnya berasal dari daratan dibawa oleh aliran sungai ataupun yang berasal dari hulu daratan. Material yang menyusun pantai ini dapat juga berasal dari berbagai jenis biota laut seperti terumbu karang yang ada di daerah pantai itu sendiri. Pantai berlumpur banyak ditemukan di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuari, delta, dan pantai yang terlindung (Nybakken, 1982). Pantai di Indonesia dibagi menjadi tiga tipe utama meliputi pantai dataran rendah (mangrove, berpasir, delta), pantai berbatu, dan terumbu karang dan pulau. Evolusi yang berlangsung dipengaruhi oleh faktor eksogenik dan endogenik yang terkait dengan lingkungan tropis basah/lembab, situasi geografis, dan struktur geofisik. Pantai berpasir jarang dijumpai karena pasir dari material yang dibawa oleh sungai-sungai hingga mencapai laut biasanya sangat kecil sebagai hasil pelapukan kimia yang hebat dan terkait dengan lingkungan tropik basah secara umum. Pantai berbatu ditentukan oleh tiga faktor penting meliputi struktur, neotektonik, dan litologi (Verstappen, 2000).
2.3.1 Geomorfologi pulau kecil Sumbangan atau peran penting geomorfologi untuk pulau kecil adalah untuk mengetahui karakteristik biogeofisiknya. Karakteristik di sini diberikan melalui analisis proses terbentuknya pulau kecil, sehingga tercermin sifat dasarnya yang menggambarkan potensi sumberdaya alamnya dan potensi risikonya. Penyajian informasinya secara deskriptif dan spasial dalam bentuk peta. Analisis geomorfologi berupa tipe pulau dapat memperjelas dan mempermudah pemahaman karateristik suatu pulau. Aspek-aspek geomorfologi digunakan untuk identifikasi karakteristik biogeofisik pulau kecil melalui interpretasi data penginderaan jauh satelit, peta, ataupun pengamatan lapangan. Geomorfologi adalah studi berdasarkan
32
kenampakan di permukaan bumi, sedangkan data penginderaan jauh menyajikan kenampakan permukaan bumi pula. Aplikasi data penginderaan jauh untuk geomorfologi
mulanya
menggunakan
foto
udara.
Contoh
aplikasi
data
penginderaan jauh satelit antara lain, analisis geomorfologi untuk mendapatkan pandangan umum daerah Bandung menggunakan citra SPOT oleh Nossin et al. (1996); dan analisis geomorfologi daerah Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi untuk mendapatkan
kelas-kelas
bentuklahan
mengunakan
citra
Landsat
oleh
Asriningrum (1997). Adapun penerapannya untuk pulau kecil didasarkan pada pendekatan yang sama. Pemanfaatan data penginderaan jauh satelit untuk identifikasi bentuklahan dapat dilakukan menggunakan aspek morfologi dan morfogenesis. Aspek morfokronologi hanya dapat mengenali tahap (stage) proses pembentukan namun tidak dapat mengenali umurnya (Asriningrum, 2002). Pada penelitian ini, pembedaan tipe pulau didasarkan pada aspek-aspek morfologi dan morfogenesis untuk
mendapatkan
informasi
proses
terbentuknya
pulau
kecil.
Aspek
morfoarrangement juga berperan mengingat data utamanya adalah citra penginderaan jauh satelit. Proses geomorfologis dibedakan menjadi endogenik dan eksogenik (Selby, 1985; Bloom, 1979; Strahler and Strahler, 1978; Thornbury, 1954), dan dari dua proses utama ini diturunkan ke dalam bentuk yang lebih detail dan rinci untuk mendapatkan klasifikasi tipe pulau. Aspek morfologi pulau kecil dapat dibedakan menjadi berbukit dan datar. Morfologi dapat dikenali dari citra penginderaan jauh satelit karena citra yang mempunyai gambaran dua dimensi ini dapat memunculkan kesan tiga dimensi dari konfigurasi warna yang ditampilkan. Ada tiga pendekatan dalam analisis geomorfologi yaitu genetik, bentanglahan (landscape), dan parametrik (Zuidam, 1985). Pendekatan genetik perhatiannya ke aspek proses geologis dan geomorfologis dan sedikit perhatian ke bentuklahan. Pendekatan bentang lahan lebih baik khususnya jika berbasis proses geomorfologis yang mempertimbangkan bentuklahan, litologi, dan genesis (proses yang lalu dan sekarang). Bentuklahan mencirikan bentang lahan cukup baik. Pendekatan parametrik terlalu detail dan akademis sehingga cenderung tidak berperan dengan jelas untuk mengetahui interaksi sistem ekologis. Adapun untuk penelitian ini digunakan pendekatan bentanglahan.
33
2.3.2 Geomorfologi terumbu Terumbu (reefs) adalah bentuklahan (landforms) submarin perairan laut dangkal yang banyak dijumpai pada pantai-pantai daerah tropik. Bentuklahan ini dibangun oleh organisme karang (coral) dan alga penghasil kapur (calcareous algae), meskipun kerang-kerangan, bunga karang, dan organisme marin jenis lain juga ikut membangun pada situasi tertentu. Terumbu-terumbu karang ini dapat tumbuh dan berkembang pada perairan laut dengan syarat-syarat tertentu, yaitu mempunyai kedalaman air kurang dari 100 m, kondisi air cukup jernih dimana cahaya dapat menembus untuk proses fotosintesis, terdapat batuan dasar sebagai fondasi pertumbuhan, suhu air tidak kurang dari 18ºC pada musim dingin, dan salinitas mendekati normal (32 - 35‰) (Selby, 1985; Bloom, 1979). Ketinggian permukaan terumbu umumnya sama dengan ketinggian rata-rata air pasang surut, sehingga pada saat air pasang terumbu ini tergenang. Salinitas yang sesuai dengan pertumbuhan hewan karang adalah sekitar 30- 36 ppt, oleh sebab itu jarang ditemukan terumbu di sekitar muara sungai yang besar. Sedimentasi merupakan salah satu pembatas pertumbuhan karang. Daerah yang memiliki sedimentasi yang tinggi akan sulit untuk menjadi tempat yang baik bagi pertumbuhan karang. Tingginya sedimentasi menyebabkan penetrasi cahaya di air laut akan berkurang dan hewan karang (polip) akan bekerja keras untuk membersihkan partikel yang menutupi tubuhnya. Faktor fisik lain yang turut mempengaruhi penyebaran terumbu karang adalah gelombang, arus dan tingginya kisaran antara pasang dan surut. Gelombang dan arus erat kaitannya dengan penempelan planula serta morfologi karang. Perbedaan pasang dengan surut, mempengaruhi lamanya karang terpapar sinar matahari saat laut surut. Pertumbuhan maksimum terumbu dapat dicapai dengan persyaratan gerakan gelombang yang besar, sirkulasi air yang lancar, dan terhindar dari proses sedimentasi. Persebaran terumbu-terumbu karang terbatas hanya pada zona intertropikal saja dan menurut Zuidam (1985) antara 30º Lintang Utara – 30º Lintang Selatan. Kebanyakan terumbu tumbuh pada kedalaman 25 m atau kurang. Hal ini menerangkan mengapa struktur ini terbatas hingga pinggiran benua-benua atau pulau-pulau. Terumbu karang lebih berkembang pada daerahdaerah yang mengalami gelombang besar (Nybakken, 1982). Bentuklahan terumbu secara umum dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu terumbu pinggiran (fringing reef) yang berkembang dari daratan ke arah laut, terumbu penghalang (barrier reef) yang terpisah dari pantai oleh lagun, dan
34
terumbu cincin (atoll) yang terbentuk melingkar dan memiliki lagun di tengahnya (Selby, 1985; Bloom, 1979). Terbentuknya terumbu cincin umumnya mempunyai hubungan yang erat dengan proses degradasi gunungapi submarin. Maxwell (1968, yang diacu dalam Zuidam, 1985), membagi terumbuterumbu menjadi dua kelompok yaitu terumbu paparan (shelf reefs) dan terumbu samudra (oceanic reefs) (Gambar 4). Selanjutnya, oleh Faku-G UGM & Bakosurtanal Tahun 2000 pembagian ini digunakan pada klasifikasi bentuklahan asal organik untuk tujuan pemetaan yang didasarkan pada asal mula pembentukan
(genesis)
bentuklahan
dengan
menggunakan
parameter-
parameter relief/topografi, struktur geologi/batuan, proses geomorfologi, dan tingkatan/intensitas proses geomorfologi yang bekerja pada bentuklahan (Tabel 2).
OCEANIC REEFS
SHELF REEFS
Reef
1 Embryonic colony
1 Embryonic colony
Island
Symmetrical elongation
180 m
Radial growth
Elongation 5 Wall reef
2 Platform reef
Prong formation 2. Fringing reef Submergence Vertical growth Expansion 3. Barrier reef
Island
Lagoon 180 m
Radial growth Central 3 Lagoonal platform f
Elongatio n Elongated platform f
Lagoon
Cuspatio n 6 Cuspate reef
Cuspate inversion
7 Prong reef Back-reef sedimentation Back-reef growth
8 Composite apron reef
Meshing
Triangular elongation Total submergence of island Lagoonal reef growth 4. Atoll
180 m
Resorbtio n 14 Resorbed reef
Lagoon
9 Open ring reef Rim reef flat
10 Open mesh
13 Plug reef
180 m 180 m
Lagoon
Resorbtion
11 Closed ring reef
12 Closed mesh reef
Gambar 4 Klasifikasi terumbu menurut Maxwell (Sumber: Zuidam, 1985).
Keseimbangan arah perkembangan terumbu organik dikontrol oleh tiga faktor yaitu hidrologi, batimetri, dan biologi. Jika ketiga faktor itu seimbang, terumbu berkembang secara radial dan akan terbentuk terumbu paparan dan apabila pertumbuhan ini berlanjut akan terbentuk terumbu pelataran bergoba atau berlagun. Namun, jika perkembangan radial dibatasi oleh kondisi batimetri maka akan terbentuk terumbu paparan lonjong. Terumbu yang terakhir ini tidak
35
membentuk lagun yang benar dan depresi menyudut merupakan penyebaran pasir. Lagun adalah genangan air laut yang berada di tengah-tengah terumbu. Sedangkan terumbu paparan dinding terbentuk pada kondisi batimetris dan hidrologis tidak simetris, di mana perkembangan terumbu terbatas pada satu atau dua arah. Kondisi ini akan menghasilkan perkembangan terumbu secara linier, dan membentuk terumbu dinding berupa terumbu dinding tanduk dan terumbu dinding garpu. Terbentuknya terumbu dinding garpu ini menunjukkan adanya arus pasang surut yang kuat (Zuidam, 1985).
Tabel 2 Klasifikasi bentuklahan terumbu menurut skala No 1
2 3 4
Skala 1:250.000 Terumbu paparan pelataran (platform reef)
Terumbu paparan dinding (wall reef) Terumbu paparan sumbat (plug reef) Terumbu samudra (oceanic reef)
Nama Bentuklahan Skala 1:50.000 Terumbu pelataran bergoba (lagoonal platform reef) Terumbu pelataran lonjong (elongate platform reef) Terumbu pelataran tapulang (resorbed reef) Terumbu dinding tanduk (cuspate reef) Terumbu dinding garpu (prong reef) Terumbu sumbat (plug reef)
Terumbu pinggiran (fringing reef) Terumbu penghalang (barier reef) Terumbu cincin (atoll) Sumber: Fakultas Geografi UGM - Bakosurtanal, 2000.
Terumbu dengan pulau memiliki lima tingkat perkembangan. Pertama, menunjukkan karakter gosong pada tingkat awal perkembangan yaitu berupa gundukan pasir dengan struktur sederhana. Kondisi gosong pada tingkat ini masih labil. Tingkat kedua adalah gosong di mana gundukan pasirnya telah berkembang lebih lanjut, relatif stabil dan sudah ditumbuhi vegetasi. Tingkat ketiga adalah gosong dengan gundukan berbatu bervegetasi atau berbatu tanpa vegetasi. Tingkat keempat adalah gosong di mana gundukan pasir yang bertingkat membentuk penghalang/budus/rampart. Sedangkan tingkat kelima adalah pulau yang telah berkembang dengan tingkat lanjut membentuk pulau terumbu dengan paparan batu gamping koral yang muncul dan berumur lebih tua. Secara singkat kelima tingkat gosong pasir tersebut diuraikan pada Tabel 3.
36
Tabel 3 Tingkat perkembangan pulau terumbu No 1 2 3 4 5
Tingkatan pulau Gosong pasir sederhana tak stabil bervegetasi (Simple sand cay, unstable, unvegetated) Gosong pasir bervegetasi stabil (Sand cay, vegetated stabilized) Gosong berbatu dengan atau tanpa vegetasi (Shingle cay, with or without vegetation) Gosong pasir dengan penghalang (Sand cay with shingle rampart) Pulau terumbu dengan paparan batu gamping koral muncul lebih tua (Coral island with older emerged coral limestone platform) Sumber: Zuidam, 1985.
Weyl (1970) membagi terumbu atas zona fore reef, reef flat, dan back reef. Reef flat atau dataran terumbu dijumpai ke arah darat yang terbentuk akibat menurunnya gerakan air sehingga karang yang rapuh bisa bertahan hidup. Berikutnya akan dijumpai terumbu belakang (back reef) di mana dasar laut tertutup oleh sedimen karbonat yang berasal dari skeletal berukuran pasir yang dicirikan dengan keadaan air yang relatif tenang. Kadang-kadang, kelompok karang yang terisolasi membentuk miniatur terumbu takat (patch reefs) yang muncul hampir ke permukaan laut. Patch reefs berbentuk lingkaran, tidak terlalu besar yang muncul di goba atau di belakang terumbu penghalang. Sedikitnya ada lima cara klasifikasi habitat terumbu karang dengan pemetaan penginderaan jauh (Mumby et al., 1998; 2000) yaitu: (1) Klasifikasi untuk pendefinisian habitat secara ad hoc, cara ini lebih sesuai untuk area yang familier, (2) Klasifikasi habitat untuk aplikasi studi yang spesifik, contoh: untuk satu spesies, (3) Klasifikasi habitat secara geomorfologi, cara ini lebih umum untuk penginderaan jauh dan sifatnya relatif langsung karena ada standarnya, (4) Klasifikasi habitat secara ekologi, contoh: dominan alge, dominan lamun, (5) Klasifikasi ekologis dan geomorfologis yang digabung secara hierarkhies, contoh: lagun dangkal dengan lamun. Berhubung penelitian ini berbasis geomorfologi maka dipilih cara klasifikasi geomorfologi. Namun, untuk mengkaji hubungan antara analisis visual dan analisis digital terumbu karang maka dilakukan juga cara gabungan klasifikasi ekologis dan geomorfologis.
37
2.4 Data Penginderaan Jauh Satelit Data penginderaan jauh merupakan suatu data hasil dari kegiatan mengindera sebuah obyek tanpa kontak langsung dengan obyek tersebut. Data ini biasanya dalam bentuk suatu gambar atau image yang menggambarkan suatu obyek. Sebagai contoh adalah data foto yang diperoleh dari kamera merupakan suatu contoh data yang diperoleh dengan teknik penginderaan jauh. Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni dalam mendapatkan informasi mengenai suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisa data yang didapat menggunakan alat yang tidak melakukan kontak langsung dengan obyek, daerah, atau fenomena yang diamati (Lillesand dan Kiefer, 1994). Di sisi lain, citra penginderaan jauh menyajikan gambaran muka bumi secara lengkap, sehingga memungkinkan penggunaannya untuk pelbagai bidang. Hal ini menguntungkan bagi pendekatan terpadu karena citra dapat digunakan untuk pelbagai bidang keahlian untuk satu tujuan (Sutanto, 1986). Analisis data penginderaan jauh satelit dibedakan menjadi dua, yaitu analisis digital dan visual. Analisis digital adalah klasifikasi piksel berdasarkan nilai spektralnya, yang dilakukan secara statistik dengan pengenalan obyek secara teracu (supervised) atau tak teracu (unsupervised). Sedangkan analisis visual adalah penyadapan data citra berupa pengenalan obyek dan elemen serta penyajiannya ke tabel, grafik, atau peta tematik (Sutanto, 1986). Analisis menggunakan Pengenalan
visual
data
unsur-unsur obyek
pada
penginderaan interpretasi citra
jauh
sebagai
umumnya
dilakukan
dengan
pengenalan
obyek.
satelit kunci
didasarkan
atas
penyidikan
karakteristiknya atau atributnya pada citra. Unsur interpretasi meliputi rona/warna, bentuk, ukuran, bayangan, tekstur, dan pola; ditambah dengan tiga unsur tambahan yaitu lokasi, asosiasi, dan resolusi. Unsur-unsur ini dapat digunakan satu-persatu atau secara gabungan. Selain unsur-unsur tersebut, diperlukan pula suatu teknik interpretasi citra, yaitu suatu cara ilmiah sebagai cara/alat khusus dalam metode penginderaan jauh. Cara tersebut antara lain menggunakan data acuan, kunci interpretasi citra, penanganan data, pengamatan stereoskopik, metode pengkajian, dan penerapan konsep multi, seperti multispektral, multispasial, dan multitemporal. Dalam melakukan interpretasi citra, harus dilakukan rangkaian prosedur secara metodik atau per topik dan dimulai dari obyek umum ke obyek
38
khusus dengan mendahulukan obyek-obyek yang telah diketahui. Saat interpretasi, hal yang tidak boleh terlupakan adalah bahwa karakteristik citra dan kualitas citra pra pengolahan harus sudah diketahui oleh penafsir (Zee, 1990). Pemilihan jenis kanal menjadi pertimbangan dalam penggunaan data penginderaan jauh satelit yang memiliki sistem sensor multispektral. Pada masingmasing kanal mempunyai informasi spektral berbeda dan perbedaan ini dapat dimanfaatkan untuk membedakan antara obyek satu terhadap obyek yang lain. Untuk mengetahui hubungan antar kanal dalam merepresentasikan obyek yang sama sering digunakan parameter koefisien korelasi. Nilai koefisien korelasi kedua kanal dapat dihitung, dan apabila didapatkan nilai yang rendah berarti bahwa kedua kanal ini mempunyai kecenderungan berbeda dalam merepresentasikan obyek yang sama. Dalam hal pembentukan citra komposit Red Green Blue (RGB), Chaves (1982, dalam Jensen, 1986) mengembangkan parameter Optimum Index Factor (OIF) yang secara statistik menghitung pembagian antara jumlah standard deviasi nilai-nilai spektral pada tiga kanal dengan jumlah nilai absolut koefisien korelasi antara tiap dua dari tiga kanal. Nilai OIF yang tinggi merupakan bentuk komposit yang memiliki keragaman informasi spektral terbanyak. Dalam kegiatan ini dipergunakan data penginderaan jauh hasil dari perekaman satelit, khususnya data Landsat, SPOT, dan QuickBird yang akan dibahas lebih lanjut.
2.4.1 Landsat-7 Landsat-7 diluncurkan pada tanggal 15 April 1999 dengan wahana peluncur roket Delta II. Pada bulan Juli 2003, sensor Scan Line Corrector (SLC) pada Landsat-7 tidak berfungsi yang mengakibatkan hasil rekamannya terdapat stripping di sisi kiri dan kanan setiap scene dan hanya 30% citra di bagian tengahnya dalam keadaan baik. Keunggulan citra Landsat-7 dibandingkan dengan seri sebelumnya adalah ditambahnya kanal pankromatik (kanal 8) dengan resolusi spasial 15 meter dan pada kanal 6 terdapat perekaman dengan sistem low gain dan high gain untuk analisis laut dan darat. Adanya keunggulan ini, maka Landsat-7 disebut juga Enhanced Thematic Mapper plus (ETM+). Adapun keterbatasan citra ini adalah adanya liputan awan (sebagai akibat sistem perekaman optik), dan resolusi spasial 15 meter masih termasuk kasar untuk tujuan pemetaan dengan skala besar. Karakteristik Landsat ETM+ disajikan pada Tabel 4 dan spesifikasinya pada Tabel 5.
39
Tabel 4 Karakteristik kanal Landsat ETM+ Ka nal 1
2
3 4
5
6
7
8
Panjang gelombang (μm) 0,45 – 0,515 (Biru)
Resolusi spasial (m) 30
Karakteristik
Penetrasi maksimum pada air berguna untuk pemetaan batimetri pada air dangkal. Berguna untuk pembedaan antara tanah dan vegetasi. 0,525–0,605 30 Sesuai untuk mengindera puncak pantulan (Hijau) vegetasi dan bermanfaat untuk perkiraan pertumbuhan tanaman. 0,63–0,69 30 Sesuai untuk membedakan absorbsi klorofil (Merah) yang penting untuk membedakan tipe vegetasi. 0,75 – 0,90 30 Berguna untuk menentukan kandungan (Inframerah biomas, tipe vegetasi, pemetaan garis pantai dekat) dan mem-bedakan antara tanaman-tanah dan lahan-air. 1,55 – 1,75 30 Menunjukkan kandungan kelembaban tanah (Inframerah dan vegetasi. Penetrasi awan tipis. Bagus tengah I) untuk kekontrasan antara tipe vegetasi. 10,4 – 12,5 60 Berguna untuk mendeteksi gejala alam yang (Infra merah berhubungan dengan panas. Citra malam hari termal) berguna untuk pemetaan termal dan untuk perkiraan kelembaban tanah. 2,09 – 2,35 30 Sama dengan absorbsi kanal yang disebabkan (Inframerah oleh ion hidroksil dalam mineral. Rasio antara tengah II) kanal 5 dan 7 berguna untuk pemetaan perubahan batuan secara hidrotermal yang berhubungan dengan endapan mineral dan sensitif terhadap kandungan kelembaban vegetasi. 0,52 – 0,90 15 Resolusi spasial yang tinggi bermanfaat untuk (Pankromatik) identifikasi obyek lebih detail. Sumber: disarikan dari EROS Data Centre (1995). Pemrosesan data Landsat ETM+ dari stasiun bumi hingga sampai ke
pengguna adalah berbentuk data yang langsung diterima dari satelit melalui X band dalam dua paket data yang masing-masing ditransmisikan dengan laju 75 Mbps melalui kanal I dan Q. Kanal I membawa data untuk kanal 1 sampai 5 dan kanal 6 untuk low gain, sedang kanal Q membawa data untuk kanal 7 dan kanal 8, serta kanal 6 untuk high gain (Suhermanto, 2001). Level 0R merupakan raw data, dilengkapi dengan beberapa informasi di antaranya kalibrasi, radiometris, dan ketinggian dengan format High Density File (HDF). Level 1R terkoreksi radiometris dengan format HDF. Level 1G telah dikoreksi radiometris dan diresampling untuk koreksi geometris dan teregistrasi pada proyeksi peta. Level 1G ini memiliki
40
karakteristik resolusi radiometris 8 bit, tersedia 7 sistem proyeksi peta, tiga pilihan model resampling, dan dilakukan koreksi sistematik. Tabel 5 Spesifikasi Landsat ETM+ Tipe Spesifikasi Karakteristik orbit: 705 km Ketinggian 98,2° Inklinasi Orbit Sinkron matahari hampir polar Melintas ekuator 9.30 waktu setempat Periode orbit 99 menit 16 hari Periode ulang Karakteristik teknik sensor: Tipe penyiam Opto–mechanical Resolusi spasial Pan: 15 m, MS: 30 m, Termal: 60 m Resolusi radiometrik 8 bit (256 level) Panjang gelombang 0,45 – 12,5 µm Jumlah kanal 8 Liputan 183 km x 170 km Lebar liputan 183 km Stereo tidak Dapat diprogram (Programmable) ya Sumber: disarikan dari EROS Data Center (1995).
2.4.2 SPOT SPOT (Satellite Pour l’Observation de la Terre) 5 merupakan seri ke-5 dari satelit SPOT yang memiliki beberapa peningkatan kemampuan dibandingkan seri sebelumnya. SPOT 5 diluncurkan pada Mei 2002 ke orbitnya dengan wahana peluncur Ariane 4. Spesifikasi SPOT-5 ditunjukkan pada Tabel 6. Tabel 6 Spesifikasi SPOT-5 Tipe Karakteristik orbit: Ketinggian Inklinasi Orbit Melintas ekuator Periode orbit Periode ulang Karakteristik teknik sensor: Resolusi spasial Resolusi radiometrik Panjang gelombang Jumlah kanal Liputan Lebar liputan Stereo
Spesifikasi 822 km 98,7 0 Sun-synchronous 10.30 waktu setempat 101,4 menit 26 hari 5/10/20 m 8 bit (256 level) 0,49 – 1,75 µm 6 60 km x 60 km 117 km Ya
41
Dapat diprogram (Programmable) Ya Sumber : disarikan dari http://spot5.cnes.fr/ Sistem satelit SPOT dirancang oleh Centre National d’Etudes Spatiales (CNES) sebagai kontraktor utama, bekerjasama dengan Astrium dan SPOT Image. Lama operasi SPOT 5 adalah 5 tahun dan CNES bertanggung jawab atas operasi pengendalian orbit satelit dan kinerja sistem pengendali ruas bumi. Karakteristik kanal dan resolusi spasial SPOT 5 ditunjukkan pada Tabel 7. Tabel 7 Karakteristik kanal dan resolusi spasial SPOT 5 Ka nal B0
Panjang gelombang (μm)
Resolusi spasial (m) HRG
Vege tasi
HRS
0.43 -0.47 (Biru)
-
1 km
-
0.49 -0.61 (Hijau)
10 m
-
-
0.61 -0.68 (Merah)
10 m
1 km
-
0.78 -0.89 (Inframerah dekat/NIR)
10 m
1 km
-
1.58 -1.75 (Inframerah tengah I/ SWIR)
20 m
1 km
-
2,5 m* atau 5m
-
10 m
B1
B2
B3
B4
PA N
0.49 -0.69 (Pankro matik) Lebar sapuan
2250 120 km km Sumber: disarikan dari http://spot5.cnes.fr/ 60 km
Karakteristik
Penetrasi maksimum pada air berguna untuk pemetaan batimetri pada air dangkal. Sesuai untuk mengindera puncak pantulan vegetasi dan bermanfaat untuk perkiraan pertumbuhan tanaman. Sesuai untuk membedakan absorbsi klorofil yang penting untuk membedakan tipe vegetasi. Berguna untuk menentukan kandungan biomas, tipe vegetasi, pemetaan garis pantai serta membedakan antara tanaman-tanah dan lahan-air. Menunjukkan kandungan kelembaban tanah dan vegetasi. Penetrasi awan tipis. Bagus untuk kekontrasan antara tipe vegetasi. Resolusi spasial yang tinggi bermanfaat untuk identifikasi obyek lebih detail. -
SPOT 5 dilengkapi dengan sensor HRG (High Resolution Geometric) yang mempunyai ketelitian geometri tinggi yaitu 50 meter. Sensor HRG dapat menghasilkan citra dengan resolusi spasial 2,5 meter, 5 meter, dan 10 meter berturut-turut untuk sensor pankromatik dan multi-spektral. Resolusi 2,5 meter merupakan keunggulan SPOT 5 dengan luas liputan 60 km x 60 km. SPOT 5
42
juga dilengkapi dengan dua instrumen lain yaitu pertama, instrumen HRS (High Resolution Stereoscopic) untuk menghasilkan pasangan citra stereo yang diperoleh sepanjang lintasan dengan luas liputan 120 km x 600 km. Sensor HRS pada SPOT 5 hanya bekerja pada panjang gelombang pankromatik. Pasangan citra stereo diperoleh dari sensor yang memiliki resolusi spasial 10 meter dengan sudut kemiringan sekitar 200. Citra stereo digunakan untuk menghasilkan Digital Elevation Models (DEM) dengan ketelitian ketinggian 10 meter atau bahkan lebih baik lagi. Kedua, instrumen VEGETATION untuk aplikasi vegetasi dan merupakan sensor yang sama seperti yang tersedia pada SPOT 4. Sensor ini mempunyai resolusi 1km x 1km, lebar cakupan 2.250 km, dan 4 kanal, yakni kanal yang sama seperti instrumen High Resolution Visible Infra Red (HRVIR) terdiri atas B2, B3, dan mid-IR dan interval pengulangan harian (Tabel 8). Tabel 8 Data teknis satelit SPOT SPOT 1- 4 SPOT 5 Instrument HRV/HRVIR HRG HRS Kanal spektrum PAN B1, B2, B3 SWIR VHR PAN B1, B2, B3 SWIR PAN Lebar sapuan (km) 60 60 60 60 60 60 60 120 Resolusi (m) 10 20 20 2.5 5 10 20 5*10 Akurasi lokasi mutlak 350 350 350 50 50 50 50 20 (tanpa GCP) (m) Akurasi geometrik (m) 5 5 5 <3 <3 <3 <3 <3 SNR (L2) 260 380 360 170 170 240 230 190 MTF (fn/2) 0.3 0.45 0.35 0.2 0.3 0.4 0.45 0.3 Sumber: disarikan dari http://spot5.cnes.fr/ Data SPOT yang didistribusikan ke pengguna, baik dalam bentuk data digital atau film-fotografi disediakan dalam beberapa tingkat olahan sebagai berikut: Level 1A: Produk level 1A merupakan row data. Untuk itu hanya dilakukan koreksi radiometrik terhadap signal yang diterima oleh detektor, yakni kalibrasi data dari detektor untuk masing-masing kanal spektral. Dalam hal ini belum dilakukan koreksi geometri. Level 1B: Pada level 1B selain dilakukan koreksi radiometrik, juga dilakukan koreksi geometrik terhadap penyimpangan geometri secara sistematik. Selain rotasi bumi dan bentuk kelengkungan bumi, juga dikoreksi pengaruh panorama yang terjadi akibat kemiringan cara pengambilan data dari instrumen High Resolution
Visible
(HRV).
Selain
itu
dilakukan
juga
koreksi
terhadap
43
penyimpangan yang terjadi selama proses pengambilan data akibat perubahan posisi lintasan. Koreksi dilakukan dengan membuat suatu model lintasan satelit, namun tanpa menggunakan titik kontrol tanah (Spot Image 1988). Ketelitian planimetri hasil produk level 1B adalah sekitar + 500 meter. Level 2A: Prosedur koreksi data untuk level 2A menyerupai prosedur pada level 1B. Namun, dalam menggunakan model lintasan pada prosedur ini masih ditambahkan suatu sistem proyeksi kartografi (Proyeksi -Lambert, -UTM, -polar, stereograf dan -polykonik). Hal ini dilakukan masih tanpa menggunakan titik kontrol tanah. Ketelitian planimetri masih seperti level 1-B sekitar + 500 meter. Kemudian dilakukan lagi dua kali transformasi agar produk level 2A dapat memenuhi proyeksi dari peta topografi. Ketelitian planimetri setelah proses transformasi di atas sekitar ± 80 meter. Level 2B: Pengembangan dilakukan pada level ini selain koreksi sistematik (Level 1B) dan proyeksi kartografi (Level 2A) juga dilakukan koreksi geometrik yang lebih presisi dengan menggunakan bantuan titik kontrol tanah yang didapat dari peta topografi. Relief permukaan (ketinggian) dalam hal ini digunakan juga sebagai parameter koreksi geometrik. Ketelitian planimetri setelah koreksi presisi tersebut berkisar + 20 meter. Level S: Produk level S berdasarkan pada sistem koreksi pada level 2B, tetapi sebagai referensi tidak menggunakan peta topografi melainkan citra SPOT yang telah terkoreksi sebelumnya (Level 1B atau Level 2), dengan sudut kemiringan instrumen-HRV (+1.80) (Spot Image 1988). Ketelitian registrasi dari citra ke citra untuk 2 scene kanal pankromatik sekitar + 0.3 piksel.
2.4.3 QuickBird QuickBird adalah citra observasi bumi komersial yang mempunyai resolusi spasial tinggi. Citra ini dihasilkan oleh perusahaan DigitalGlobe. QuickBird diluncurkan pada tanggal 18 Oktober 2001 menggunakan wahana peluncur roket Delta II. Citra QuickBird disimpan dalam format GeoTIFF 1.0, NITF 2.1 atau NITF 2.0. Spesifikasi QuickBird disajikan pada Tabel 9. Data QuickBird terdiri atas 4 kanal multispektral yaitu biru, hijau, merah, dan infra merah dekat serta satu kanal pankromatik. Data QuickBird dipasarkan dalam bentuk raw data dan dalam bentuk data terolah yang dikenal dengan sebutan data pansharpen dengan resolusi spasial 0,61 m. Karakteristik kanal QuickBird ditunjukkan pada Tabel 10
44
Tabel 9 Spesifikasi QuickBird Tipe Karakteristik orbit: Ketinggian Inklinasi Orbit Melintas ekuator Periode Periode ulang Karakteristik teknik sensor: Resolusi spasial
Spesifikasi 450 km 97,2° Sun-synchronous 10.30 waktu setempat 93,5 menit 1 – 3,5 hari sesuai posisi lintang (30° off-nadir)
Pan 0,61 m (nadir) – 0,72 m (25° off-nadir) MS 2,44 m (nadir) – 2,88 m (25° off-nadir) Resolusi radiometrik 8 bit dan 11 bit Panjang gelombang 0,45 µm – 9,0 µm Jumlah kanal 5 Liputan (Normal swat width) 16,5 km x 16,5 km (pada nadir) Lebar liputan 544 km Stereo Tidak Dapat diprogram Ya Sumber: disarikan dari http://www.Digitalglobe.com
Tabel. 10 Karakteristik kanal QuickBird Ka nal 1
Panjang gelombang (μm) 0,450 – 0,520 (Biru) 0,520 – 0,600 (Hijau) 0,630 – 0,690 (Merah)
Resolusi spasial (m) 2,44
Karakteristik
Penetrasi maksimum pada air berguna untuk identifikasi obyek pada air dangkal. 2 2,44 Sesuai untuk mengindera obyek pada air dangkal dan pantulan vegetasi. 3 2,44 Sesuai untuk membedakan absorbsi klorofil yang penting untuk membedakan tipe vegetasi. 4 0,760 – 0,900 2,44 Berguna untuk menentukan kandungan (Inframerah biomas, tipe vegetasi, pemetaan garis pantai dekat) serta membedakan antara tanaman - tanah dan lahan - air. 5 0,450 – 0,900 0,61 Resolusi spasial yang tinggi bermanfaat untuk (Pankromatik) identifikasi obyek lebih detail. Sumber: disarikan dari http://www.Digitalglobe.com
2.5 Model dan Pengelompokan Pulau Kecil 2.5.1 Model
45
Model atau pola pengelompokan hendaknya memperhatikan karakteristik wilayah Indonesia yang mempunyai keanekaragaman yang berkaitan dengan bio-geo-sosio-kultural dan bersifat georeferensi (Sulasdi, 2000). Model dapat merupakan contoh untuk ditiru, bentuk, pola atau rancangan, serta dapat merupakan cerminan, gambaran, atau abstraksi (Amirin, 1986). Model menjadi alat bantu yang baik dalam perumusan dan penentuan solusi, perumusan tujuan dan pengembangan serta penentuan pilihan alternatif kebijaksanaan. Model adalah representasi kenyataan yang disederhanakan untuk menyajikan kenampakan atau hubungan yang jelas dalam suatu bentuk umum, misalnya perkiraan kenyataan yang selektif. Model dikategorikan menjadi tiga: 1) model deskriptif, yang menguraikan dunia nyata, seperti peta; 2) model prediktif mengenai perkiraan yang mungkin terjadi pada kondisi tertentu seperti model erosi tanah; 3) model keputusan, digunakan untuk menyarankan langkah kasus tertentu untuk diikuti dalam menanggapi lingkungan tertentu. Model keputusan dipertimbangkan sebagai rekomendasi terstruktur yang digunakan dalam kaitan dengan model-model prediktif dan deskriptif (Valenzuela, 1990). Permodelan dapat diartikan sebagai suatu gugus aktivitas pembuatan model. Model adalah gambaran dari keadaan nyata. Model dikategorikan atas jenis, dimensi, fungsi, tujuan pokok pengkajian, dan derajat keabstrakan. Tahapan dalam pendekatan sistem meliputi: 1) analisis kebutuhan antar pelaku, 2) formulasi permasalahan, 3) identifikasi sistem, 4) permodelan sistem, 5) verifikasi dan validasi model, dan 6) implementasi model (Eriyatno, 1998). Model keputusan dengan pendekatan sistem sesuai untuk tujuan pengelolaan pulaupulau kecil yang bertujuan untuk pemanfaatan berkelanjutan. Model yang canggih adalah yang memerlukan input sedikit tetapi mampu menjelaskan proses yang cukup banyak dengan tingkat ketelitian dan ketepatan yang relatif tinggi. Citra penginderaan jauh menggambarkan ujud dan letak obyek mirip dengan ujud dan letaknya di permukaan bumi, sehingga citra dapat disebut sebagai model medan. Ujud gambar di citra mirip ujud obyek sebenarnya sehingga citra merupakan model ikonik (Sutanto, 1986). Pada dasarnya model di dunia tidak pernah tertutup. Database dalam suatu SIG adalah model dunia nyata yang dapat digunakan untuk meniru aspek-aspek kenyataan tertentu. Suatu model mungkin disajikan dalam kata-kata, pernyataan-pernyataan matematis atau sebagai susunan hubungan-hubungan spasial yang disajikan sebagai suatu peta. Karakteristik terpenting SIG adalah kemampuan untuk fungsi
46
analisis spasial. Fungsi-fungsi ini menggunakan atribut-atribut spasial dan nonspasial dalam database untuk menjadi pernyataan-pernyataan tentang dunia nyata. 2.5.2 Pengelompokan pulau kecil berdasarkan tektonogenesis Atlas Pengelompokan Pulau Kecil Berdasarkan Tektonogenesis untuk Perencanaan Tata Ruang Darat, Laut, dan Dirgantara Nasional dibuat berdasarkan genesis dan kedudukan terhadap tataan tektonik regional pulau-pulau dan gugusan pulau di Indonesia saat ini (PSG, 2006). Pengelompokan ini membagi menjadi empat yaitu: (1) Kelompok pulau yang terbentuk di luar busur magmatik, disebut kelompok pulau busur muka, (2) Kelompok pulau yang terbentuk pada busur magmatk, disebut kelompok pulau busur magmatik, (3) Kelompok pulau yang terbentuk pada paparan benua dan busur belakang, disebut kelompok pulau paparan benua dan busur belakang, (4) Kelompok pulau yang terbentuk sebagai benua renik, disebut kelompok pulau benua renik (Gambar 6). Tektonogenesis digunakan sebagai dasar pengelompokan karena konsep tektonik lempeng terbukti memiliki kelebihan dan jauh lebih lengkap dibandingkan dengan teori–teori yang telah dikenal sebelumnya. Dasar pemikiran teori tektonik lempeng adalah bahwa bumi ini dianggap sebagai suatu benda yang dinamis yang sedang mengalami pendinginan secara konvektif dan di permukaan tampak gerakan-gerakan mendatar dengan kecepatan berkisar antara 1 hingga 13 cm per tahun. Tektonogenesis memberikan ciri khas bagi pulau kecil atau gugusan pulau yang memperlihatkan adanya keteraturan berdasarkan sifat-sifat geologinya. Tataan geologi wilayah Indonesia yang dikenal rumit, terjadi sebagai akibat interaksi 3 lempeng utama dunia, yaitu lempeng Samudera Pasifik yang bergerak ke arah barat-barat laut dengan kecepatan sekitar 10 cm per tahun, lempeng Samudera Hindia-Benua Australia (Indo-Australia) yang bergerak ke utara-timurlaut dengan kecepatan sekitar 7 cm per tahun, serta lempeng Benua Eurasia yang relatif diam, namun resultante sistem kinematiknya menunjukkan gerakan ke arah baratdaya dengan kecepatan mencapai 13 cm per tahun. Pengelompokan pulau kecil dan ekosistemnya berbasis geomorfologi adalah cara pengelompokan lebih rinci dan lebih detail dibandingkan cara yang berbasis tektonogenesis. Teknik pengolahan citra penginderaan jauh satelit dikaji sebagai
47
salah satu data untuk mengenali karakteristik pulau kecil dan ekosistemnya. Pengelompokan pulau kecil dan ekosistemnya ini dibangun untuk pengelolaan daerah penangkapan ikan dengan mengkaji kondisi perikanan pantai.
48
Gambar 5 Pengelompokan pulau kecil berdasarkan tektonogenesis. Sumber: Pusat Survei Geologi Bandung (2006).
49