6
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekobiologi Discodoris sp Lintah laut (Discodoris sp) merupakan biota laut yang hidup di zona intertidal atau pasang surut. Hidup menempel pada batu-batuan berlumpur atau berpasir dan menghasilkan lendir untuk mencegah kekeringan, gerakannya lambat. Lintah laut (Discodoris sp) adalah biota laut yang termasuk filum Moluska, kelas Gastropoda, subkelas Opistobranchia, ordo Nudibranchia, subordo Doridina, famili Dorididae, genus Discodoris sp (Rudman 1999). Perlu digarisbawahi di sini bahwa lintah laut (sea slug) bukanlah kelompok Annelida (lintah yang habitatnya di air tawar), lintah laut yang dimaksud adalah kelompok Moluska dari klas Gastropoda (kaki di perut). Contoh Discodoris sp yang diambil dari perairan pantai pulau Buton dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Discodoris sp (dari Pulau Buton). Lintah laut ini mempunyai daya pikat tersendiri dengan warna warni yang menarik dan tanpa cangkang. Karena hewan ini tidak mempunyai cangkang, fungsi cangkang digantikan oleh pertahanan kimia dan pertahanan biologi yang lebih dinamis. Karuso (1987) menyatakan bahwa jenis Velutina ditolak oleh ikan
7
sebagai pakan, demikian juga dengan berbagai jenis Nudibranch lainnya. Berdasarkan kenyataan ini diduga kelompok Opisthobbranchia mempunyai pertahanan kimia. Hewan ini mempunyai beberapa mekanisme dalam mempertahankan diri dari serangan predator, secara umum bersembunyi di balik batu dan melakukan kamuflase (Karuso 1987). Mekanismenya adalah sebagai berikut: (1) Homochromy, menyesuaikan dengan warna lingkungan, sumber warna berasal dari pakannya yang terakumulasi, (2) Countershanding, meminimumkan ukuran dan bentuk tubuh, (3) Disruptive coloration, pembentukan warna untuk kamuflase. Beberapa jenis tidak melakukan persembunyian, tetapi aposomatic misalnya Phyllidia spp dengan warna yang sangat cerah dan sangat toksik bagi ikan dan krustase, selain dengan pewarnaan ada juga yang berenang jika disentuh predator, sehingga dikenal dengan jenis Spanish dancer. Jenis Peltodoris atromaculata melepaskan sebagian mantelnya jika diserang predator. Beberapa Nudibranch tidak
melakukan
mekanisme
tersebut
dalam
pertahanan
hidup,
tetapi
menggunakan pertahanan kimia. Berdasarkan morfologinya, hewan ini mempunyai daya pikat yang sangat menarik dari berbagai aspek diantaranya adalah bagi para penyelam lintah laut merupakan hewan yang indah untuk dipandang saat menyelam. Bagi ahli biologi hewan ini sangat menarik untuk dipelajari, terutama mengenai pertahanannya terhadap lingkungan yang tanpa cangkang (baju), bagi kaum konservatif hewan ini merupakan pelengkap keseimbangan lingkungan. Bagi kalangan kesehatan dan biokimia hewan ini dengan perjuangan hidup yang sangat ketat di alamnya tentulah dilengkapi dengan alat pertahanan khusus untuk tetap dapat hidup. Alat tersebut saat ini lebih populer dengan istilah komponen bioaktif. Lintah laut tersebar secara umum di daerah tropis dan subtropis, Samudra Hindia dan Pasifik khususnya di zona intertidal atau daerah pasang surut, yaitu daerah pantai berpasir, berlumpur dan pantai berbatu atau daerah karang. Hewan ini hidup dan menempel rapat pada batu-batuan yang berlumpur atau berpasir dan menghasilkan lendir (mucus) untuk mencegah kekeringan. Bagian bawahnya
8
dapat bergerak dan menempel pada substrat sehingga gerakannya lambat (Rudman 1999). Jika lintah air tawar bersifat parasit (menghisap darah inang), maka lintah laut ini khususnya jenis Discodoris sp yang banyak terdapat di perairan Pulau Buton adalah pemakan tumbuhan/tanaman (herbivor). Jenis makanannya adalah berbagai alga baik yang berukuran kecil (fitoplankton/mikroalga) maupun yang berukuran besar (makroalga/rumput laut) yang terdiri dari rumput laut coklat (Paeophyceae), merah (Rodophyceae), hijau (Chlorophyceae), dan spong. Juvenil/larva akan tumbuh menjadi populasi yang pesat pada saat ketersediaan makanannya sesuai (Proksch et al. 2002). Discodoris boholensis tersebar di beberapa wilayah di antaranya adalah Filipina, Papua Nugini, Indonesia, Okinawa, Afrika Selatan, dan Australia. Morfologinya dengan warna tubuh coklat kehitaman serta bintik-bintik putih yang membentuk garis pada bagian atas badannya. Dapat hidup sampai pada kedalaman 12 m dengan panjang tubuh rata-rata 40 mm dan bermigrasi ke zona intertidal untuk memijah (Rudman 1999). Kelompok Gastropoda umumnya bersifat hermaphrodit (monoceus) yaitu satu ekor hewan mempunyai kelamin ganda, jantan dan betina terdapat dalam satu tubuh. Bukan berarti hewan ini tidak memerlukan pasangan, sebab tingkat kematangan gonadnya belum tentu terjadi secara bersamaan (sinkroni), terjadinya kematangan gonad secara bergantian, protandri maupun protogini. Pembuahan terjadi secara eksternal yaitu dengan cara menyemprotkan telur dan sperma pada media yang terdiri dari tanaman (alga/rumput laut). Telur biasanya melayang-layang di sekitar batu-batuan untuk melindungi diri dari predator dan selanjutnya menetas (Rudman 1999). 2.2 Komponen Bioaktif dari Perairan Komponen bioaktif merupakan senyawa bioorganik makhluk hidup (hewan, tanaman, atau mikroba) yang tidak berperan dalam proses metabolisme primer dan disebut juga dengan metabolit sekunder yang secara umum dikenal sebagai natural product. Penelitian dalam bidang ini dipusatkan pada rumus bangun senyawa hayati bersangkutan (Moeljohardjo 1997). Saat ini yang banyak dilakukan di Indonesia adalah uji aktivitasnya. Uji aktivitas yang telah dilakukan terhadap bahan alam yang berasal dari berbagai komoditi terutama dari tanaman
9
adalah: antibakteri, antivirus, antifungi, antioksidan, antikanker, antikolesterol, antiaging, antidiare, antiinflamasi dan lain-lain. Komposisi kimia beberapa jenis moluska (gastropoda dan bivalvia) dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Komposisi kimia beberapa jenis gastropoda dan bivalvia (%) Komponen Protein
Kerang hijau (M. viridis)a 42,17
Lemak
5,06
Air
Kerang darah (A. granosa) 76,00b 79,92a 9,75b
35,68
Karbohidrat Abu
-
8,46 17,09
Sumber:
a
8,74 b
6,78a
4,55
5,84
4,58
a
5,69
19,36
15,25
a
11,72
4,42
15,47
11,25
10,69
11,74
6,32
-
Bekicot D. boholensis a Discodoris spc (A. fulita)a 72,49 59,79 52,96
1,34 b
5,64
a c
Witjaksono (2005), Nurjanah et al (2005), Nurjanah et al (2006)
Pertahanan kimia yang terdapat pada kelompok Nudibranch sudah terindikasi dari tahun 1892 oleh Herdman dan Chubb, yang menemukan bahwa Nudibranch tidak dimakan oleh ikan di akuarium. Tahun 1960 Thompson memberikan 24 Nudibranch sebagai pakan ikan, tetapi ditolak semuanya oleh ikan sebagai pakan. Ternyata ditemukan bahwa beberapa dorids menghasilkan asam yang menyebabkan pH mencapai 1-2 dan asamnya bervariasi dari sulfur. Kelenjar tidak asam (pH lebih tinggi) yang dihasilkan mempunyai rasa pahit yang luar biasa. Bahan alam pertama kali yang berhasil diisolasi dari Opisthobranch pada tahun 1960 adalah brominated terpenoid dari sea hare (Aplysia kurodai), metabolit ini berasal dari pakannya yaitu alga merah (Laurencia sp). Ada hubungan jenis dan warna pakan dengan warna sebagai kamuflase dan metabolit sekundernya. Contoh lainnya adalah Oxynoe panamensis yang mengakumulasikan caulerpicin dari makanannya yaitu alga (Caulerpa spp). Famili Dorididae memiliki 3 jenis asam farnesat gliserida dari Archidoris odhneri. Ketiga jenis asam tersebut adalah farnesat gliserida dan 2 jenis monoasetat. Metabolit minornya adalah asam monosiklofarnesat gliserida dan asam trisiklogeranilgeranat gliserida serta asam drimane gliserida. Hanya asam drimane gliserida yang bersifat antifeedant. Selain itu juga ditemukan bahan aktif sebagai antitumor yaitu jorumicin, adimeric isoquinoline alkaloid yang diisolasi dari jenis Jurunna funebris di daerah Pasifik (Fontana et al. 2000), sedangkan
10
Jurunna funebris yang diambil dari Srilanka mengandung kelompok quinon dan dihidroquinon (Karuso 1987). Peltodoris atromaculata mempunyai zat aktif poliasetilen halogen yang juga ditemukan pada Daulula sandiegenensis. Komponen yang sama juga terdeteksi
pada
jenis
sponge.
Isoguanosine
ditemukan
pada
Daulula
sandigenensis, 1-metilisoguanosine ditemukan pada Asinodoris nobilis yang berpotensi pada aktivitas kardiovaskuler (Cimino dan Chiselin 1999). Asam empedu juga ditemukan pada Nudibranch yang berfungsi sebagai antifeedant dengan mengakumulasikan komponen minor secara teratur sebagai pertahanan kimia untuk aktivitas biologi (Karuso 1987). Penelitian Witjaksono (2005) terhadap komposisi kimia terutama fraksi nonpolar menghasilkan asam palmitat, palmitoleat, stearat, brasikasterol, dihidrobrasikasterol, kolesterol, asam miristat dan oleat. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa lintah laut yang dipanen dari perairan pulau Buton sangat potensial sebagai pangan fungsional, namun masih diperlukan penelitian dan kajian ilmiah mengenai khasiat dan efek toksikopatologisnya. Mengkonsumsi lintah laut merupakan salah satu bentuk trend gaya hidup sehat masa kini dengan slogan back to nature. Hasil penelitian Ibrahim (2001) menunjukkan bahwa lintah laut kering mengandung ekstrak steroid kasar sebesar 18,21 mg/g. Dari 10 mikroliter ekstrak pada kadar 0,0479 g/ml dihasilkan rata-rata 52,942 mg/dl testosteron dan setelah dikonversi diperoleh 1g ekstrak steroid mengandung 0,563 mg testosteron. Uji biologis terhadap anak ayam jantan dengan pemberian ekstrak steroid kasar 0,5 ml dalam 1 g/ml minyak jagung setiap hari selama 16 hari menunjukkan penambahan bobot badan, pertambahan panjang, lebar, dan tinggi jengger yang lebih besar dibandingkan dengan kontrol negatif. Bobot testis dan kadar testosteron dalam serum darah lebih rendah pada perlakuan yang diberi ekstrak dibanding kontrol (Ibrahim 2001). Hal ini diduga karena pemberian ekstrak steroid yang terlalu tinggi (overdosis). Penelitian pendahuluan dari lintah laut yang diekstrak dengan metode Quinn menghasilkan rendemen terbesar dengan pelarut metanol yaitu 5,02%, sedangkan pelarut kloroform dan etil asetat menghasilkan rendemen yang kurang dari 1%.
11
Aktivitas antioksidan yang dihasilkan untuk ekstrak metanol adalah 86,84%, sedangkan ekstrak kloroform dan etil asetat kurang dari 20% (Nurjanah 2003). Komponen bioaktif taurin juga terdapat pada
kerang pisau (Solen sp)
sebesar 0,103 g/100 g atau 103 mg/100 g (Nurjanah et al. 2008). Kandungan taurin kerang pisau masih lebih rendah dari beberapa jenis ikan dan kerangkerangan yang lain yaitu pada cumi-cumi 364 mg/100 g, Short necked clam 421 mg/100 g, Oyster 1178 mg/100 g dan Scallop 669 mg/100 g, namun lebih tinggi dari Northern shrimp atau udang 63 mg/100 g (Okuzumi dan Fujii 2000) Taurin mempunyai beberapa manfaat yaitu mencegah diabetes, mencegah kerusakan liver akibat alkohol dan penyembuhan pada masalah penglihatan. Taurin juga dapat menurunkan kadar kolesterol darah, menormalkan tekanan darah dan melawan penyakit hati (Okuzumi dan Fujii 2000). Taurin ini juga berfungsi sebagai peredam reaktif oksigen spesies (ROS) dan reaktif nitrogen spesies (Fang et al. 2002). 2.3 Antioksidan dan Radikal Bebas Antioksidan adalah zat alami yang diproduksi dalam tubuh atau dapat juga diperoleh melalui makanan berupa vitamin A, C, dan E, mineral Zn serta selenium (Se). Antioksidan merupakan penghancur radikal bebas yang membantu melindungi tubuh dari kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas yang tidak terkontrol. Radikal bebas dibentuk sebagai hasil dari oksigen yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup atau melalui metabolisme senyawa organik. Beberapa radikal bebas digunakan oleh sistem kekebalan tubuh untuk membunuh sel-sel kanker dan virus, tetapi banyak radikal bebas tidak terdeteksi yang sangat berbahaya dan dapat menyebabkan kerusakan bahkan menghancurkan sel-sel yang sehat. Kerusakan ini dapat menyebabkan timbulnya penyakit atau kematian dari sel-sel dan meningkatkan risiko penyakit jantung serta dapat mengurangi lamanya hidup dan menurunkan kualitas hidup (Setright 1993). Komponen antioksidan di alam mempunyai struktur kimia yang berbedabeda, umumnya sebagai asam amino, asam askorbat, karotenoid, asam sinamat, flavonoid, melanoidin, asam organik tertentu, zat pereduksi, peptida, fosfatida, polifenol, tanin dan tokoferol. Senyawa antioksidan alami digolongkan sebagai
12
komponen fenolik, protein, komponen nitrogen, karotenoid dan komponen lain, seperti vitamin C, keton dan glikosida (Winarno 1997). Superoksida dismutase disebut juga metaloprotein, merupakan enzim antioksidan yang mengkatalisis dismutase anion superoksida (O2-) yang sangat reaktif menjadi oksigen (O2) dan senyawa yang tidak terlalu reaktif, seperti hidrogen peroksida (H2O2), yang pada akhirnya oleh enzim katalase dan glutation peroksida diubah menjadi H2O dan O2 (Fang et al. 2002). Enzim ini dapat ditemukan pada hampir semua makhluk hidup. Antioksidan merupakan komponen berbobot molekul rendah yang bereaksi dengan oksidan sehingga dapat menghambat reaksi oksidasi. Efek yang membahayakan dari oksidan adalah spesies oksigen reaktif (SOR) yaitu radikal bebas yang dapat berasal dari asap rokok, polusi udara, radiasi, cahaya ultra violet maupun yang diproduksi secara kontinyu oleh tubuh manusia sebagai konsekuensi dari proses metabolisme normal. Jika radikal bebas tidak diinaktivasi maka reaksi kimianya dapat merusak makromolekul termasuk lipoprotein densitas rendah (LDL) (Langseth 2000). Radikal bebas dapat didefinisikan sebagai suatu molekul, atom atau beberapa grup atom yang mempunyai satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbital terluarnya. Akibatnya radikal bebas ini akan mencari pasangannya dengan cara merebut elektron dari molekul lain. Radikal bebas bersifat tidak stabil dan sangat reaktif. Beberapa contoh senyawa Reactive Oxygen Species (ROS) yang ditemukan pada organisme hidup adalah superoksida (O2*), hidroksil (OH*), peroksil (RO2*), alkoksil (RO*) dan radikal hidroperoksil (HO2*). Nitrit oksida dan nitrogen dioksida (*NO2) adalah dua radikal bebas nitrogen. Tanda bintang (*) merupakan simbul radikal bebas. Reactive Oxygen Species (ROS) dan Reactive Nitrogen Species (RNS) diproduksi dalam tubuh hewan dan manusia secara fisiologis dan patologis (Fang et al. 2002). Sumber radikal bebas ada dua, yaitu endogen dan eksogen (Niwa 1997) Sumber pertama yaitu yang terbentuk di dalam tubuh (endogen) merupakan hasil reaksi yang tidak sempurna dari reduksi oksigen pada rantai transfer elektron dalam mitokondria sehingga terbentuk senyawa radikal superoksida, peroksida dan hidroksil. Sumber kedua yaitu yang berasal dari luar tubuh (eksogen), berasal
13
dari udara lingkungan yang terpolusi, terkena sinar radiasi atau asupan zat kimia (obat-obatan, insektisida, makanan tertentu, dan lain-lain) (Niwa 1997). Faktorfaktor penghasil oksigen radikal disajikan pada Tabel 2. Senyawa oksigen reaktif dibentuk dari hasil reduksi senyawa oksigen yang merupakan suatu senyawa yang diperlukan oleh semua organisme aerobik untuk menghasilkan ATP. Reduksi O2 menjadi H2O terjadi pada proses tersebut yang dinyatakan dengan reaksi berikut: O2 + 4H+ + 4e-→ H2O Tabel 2 Faktor-faktor penghasil oksigen radikal No. Faktor penghasil oksigenradikal 1 Darah putih 2
3 4
5
Cara menghasilkan
Memakan bakteri dan jamur dan memproduksi oksigen-radikal untuk mengeluarkannya Sinar ultraviolet Perusakan lapisan ozon oleh gas CFC (chloroflorocarbon) telah meningkatkan jumlah radiasi ultraviolet ke bumi dan menghasilkan oksigen-radikal yang berlimpah Radiasi sinar X Sinar-X yang berulang-ulang akan menghasilkan oksigen-radikal pada inti sel DNA dan merusak intinya Zat kimia a) Mekanismenya sama dengan radiasi (produksi oksigen-radikal dalam inti sel) contoh: zat kimia yang digunakan dalam pertanian (Paraquat), insektisida, obatobatan kimia (pembunuh bakteri, obat antikanker) b) Zat-zat kimia penghasil oksigen radikal di seluruh sel, contoh: klorida, trihalometan (dioksin), PCB (polychloronated biphenil), Methyl Merkuri, senyawa-senyawa Mn3+ dan senyawa Cd2+, fenilhidrazid (obat anti TBC), antibiotik antidiare (kloramfenikol), oksida nitrogen (Nox) dari asap dan gas buangan Kerusakan sirkulasi aliran Pembakaran minyak berat atau petroleum darah di dalam pembuluh ↓ darah Xantin dehidrogenase → Xantin oksidase →oksigen-radikal
Keterangan : (1) dihasilkan di dalam tubuh (2), (3) dan (4) faktor-faktor polusi lingkungan (5) disebabkan oleh stres (dalam masyarakat modern) Sumber : Niwa (1997)
14
Berdasarkan reaksi tersebut dapat dilihat bahwa reaksi reduksi oksigen memerlukan pengalihan empat elektron secara bertahap. Setiap tahap hanya melibatkan satu elektron. Proses pengalihan elektron yang berjalan kurang sempurna menghasilkan senyawa-senyawa oksigen reaktif atau radikal yang dapat merusak sel. Proses fagositosis yang berperan dalam reaksi inflamatori terkontrol pada jaringan yang luka juga menghasilkan sejumlah besar superoksida (O2*) yang bertujuan untuk membunuh mikroorganisme asing (Niwa 1997). Metabolisme senyawa radikal bebas disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Metabolisme senyawa-senyawa radikal bebas -
-
Reaksi
O2 + e → O2 2O2- + 2H+ → O2 + H2O2 2O2 + 2Fe+ → 2FeO + O2 H2O2 + Fe2+ → Fe3+ + O2 + OH˙ OH˙ + RH atau LH → H2O + R˙ atau L˙ R˙ + LH → RH + L˙ L˙ atau R˙ + O2 → LO2˙ atau RO2˙ LO2˙ + LH → LHO2
Produk Superoksida Hidrogen peroksida Besi teroksidasi Radikal hidroksil Asam lemak atau molekul organik teroksidasi Asam lemak teroksidasi Radikal peroksidasi Lipid peroksidasi
Sumber : Miller et al. (1993)
Radikal bebas mempunyai fungsi penting dalam kehidupan alami dan evolusi biologis, mengimplikasikan efek menguntungkan bagi organisme. Radikal oksigen menghasilkan aksi kritis, seperti transduksi jaringan, transkripsi gen, dan mengatur aktivitas enzim guanilat siklase dalam sel. Nitrit oksida adalah salah satu molekul jaringan yang terluas dan berpartisipasi dalam aktivitas setiap sel dan fungsi organ dalam tubuh. Nitrit oksida yang diproduksi oleh sel endotelial pada level fisiologis, penting untuk mengatur relaksasi dan proliferasi sel otot halus vaskular, adhesi leukosit, pengumpulan jumlah enzim yang berperan dalam pembekuan darah, trombosis dan hemodinamik. Nitrit oksida yang diproduksi oleh sistem syaraf berperan sebagai neurotransmiter dan yang secara umum diaktivasi makrofag adalah mediator penting pada respon imun. Akan tetapi, sebagai oksidan dan inhibitor enzim, radikal bebas dan spesies reaktif lain menyebabkan oksidasi biomolekul (seperti protein, asam amino, lipid dan DNA), yang menyebabkan kerusakan sel dan kematian. Sebagai contoh, radiasi penyebab
15
ROS memacu sifat fisika, kimia dan kandungan imunologis SOD, yang membuat kerusakan oksidatif dalam sel semakin buruk (Fang et al. 2002). Efek sitotoksik dari radikal bebas berbahaya bagi sel mamalia dan mempercepat patogenesis penyakit kronis, tetapi bertanggung jawab untuk membunuh patogen dengan mengaktivasi makrofag dan fagosit lain dalam sistem imun. Ada dua sisi radikal bebas dalam sistem biologi yang bertindak sebagai jaringan dan mengatur molekul pada level fisiologis tetapi juga sebagai gangguan besar dan oksidan sitotoksik pada level penyakit (Fang et al. 2002). Makhluk hidup tidak hanya mempunyai sistem perlindungan terhadap radikal bebas, tetapi juga sistem perbaikan yang melindungi akumulasi molekul yang rusak secara oksidatif. Sistem perlindungan terhadap radikal bebas di dalam tubuh disebut antioksidan biologis (vitamin E, C, dan karotenoid), enzim (superoksida dismutase, katalase, glutation peroksida), ubiquinon, bilirubin, asam urat, dan pengikatan ion logam transisi yang aman (Austin et al. 1997). Aktivitas molekul radikal bebas dan SOR dapat menyebabkan kerusakan seluler dan genetik pada kondisi stres oksidatif. Jika radikal bebas tidak diinaktivasi maka reaksi kimianya dapat merusak makromolekul termasuk LDL sehingga menjadi LDL termodifikasi oksidatif. LDL termodifikasi oksidatif tidak dikenal oleh reseptor LDL, sehingga tidak diambil oleh reseptor LDL, tapi dikenal oleh makrofag, maka LDL termodifikasi oksidatif diambil oleh reseptor scavenger pada sel makrofag. Selanjutnya akan dihasilkan akumulasi kolesterol dan membentuk sel busa yang akhirnya akan mengakibatkan aterosklerosis. Hal ini terjadi karena reseptor scavenger tidak diatur oleh kadar kolesterol intraseluler (Brown dan Goldstein 1983). Kadar LDL termodifikasi oksidatif yang rendah (sekitar 1% dari LDL total) sudah merupakan awal dari pembentukan aterosklerosis. Selanjutnya diikuti oleh migrasi transendotelial monosit ke ruangan subendotelial, mengalami diferensiasi menjadi makrofag. Makrofag mengambil kolesterol pada LDL termodifikasi oksidatif melalui reseptor khusus dan berubah menjadi sel busa (lipid laden macrophage). Akumulasi sel busa di dalam subendotelial merupakan awal dari lesi aterosklerosis (Merat et al. 2002).
16
LDL normal tidak bersifat toksik terhadap sel pembuluh darah, bahkan pada konsentrasi yang setara pada penderita hiperkolesterolemia. Sebaliknya LDL termodifikasi oksidatif bersifat toksik. Perlakuan pada sel endotelial manusia dengan konsentrasi 20 µg/ml LDL teroksidasi menyebabkan luka akut dan kematian dalam waktu 24 jam (Sevanian dan Bolger 1996). Penghambatan pembentukan LDL termodifikasi oksidatif dapat dilakukan menggunakan antioksidan. Jika LDL teroksidasi dapat dihindari, aterosklerosis dapat dicegah dengan menghambat pembentukan sel busa, serta mencegah kerusakan dan kematian sel pada pembuluh darah (Jacob dan Burri 1996). Terjadinya oksidasi LDL berperan penting dalam pembentukan aterogenik. LDL yang teroksidasi oleh radikal bebas atau dimodifikasi secara minimum (MMLDL) terjadi di daerah subendotelial. MM-LDL akan merangsang endotel untuk mengeluarkan intracellular cell adhesion molecule (ICAM), vascular cell adhesion
molecule
(VCAM),
monocyte-chemotacticprotein
(MPC-1),
macrophage colony stimulating factor (M-CSF), Tissue factor (TF), dan plasminogen activator inhibitor (PAI-1). Pelepasan senyawa-senyawa ini menstimulasi terjadinya adhesi monosit pada endotel dan migrasi monosit ke dalam subendotelial, sehingga M-CSF akan memacu diferensiasi monosit menjadi makrofag. Selanjutnya makrofag melalui reseptor “scavenger” akan menangkap LDL teroksidasi (ox-LDL) yang terbentuk dari oksidasi lanjut MM-LDL sehingga terjadi akumulasi kolesterol dalam makrofag yang selanjutnya berubah menjadi sel-sel
busa. Sel busa akan merangsang faktor-faktor pertumbuhan yang
mengakibatkan terjadinya proliferasi sel-sel otot polos dan lama kelamaan akan berkembang menjadi plak yang kompleks (Barliner et al. 1995). Plak aterosklerosis terletak dalam intima, dan terdiri dari sel-sel otot polos yang sudah berproliferasi, sel limfosit T, dan jaringan penghubung seperti kolagen, elastin dan proteoglikan serta sel-sel busa yang sudah mati, maupun deposit kolesterol dan kalsium. Pembentukan plak aterosklerosis lanjut tergantung pada peranan beberapa faktor pertumbuhan yang dilepaskan oleh makrofag dan sel busa. Faktor pertumbuhan ini dapat merangsang atau menghambat proliferasi sel otot polos, yang merupakan faktor kunci untuk progresi plak atau tetap dalam
17
keadaan tidak berubah. Proses aterogenesis (Barliner et al. 1995) dapat dilihat pada Gambar 3. Beberapa reaksi redoks penghasil radikal bebas membutuhkan katalisator, biasanya logam transisi atau suatu enzim (metaloenzim atau flavoprotein). Berbagai proses metabolisme normal dalam tubuh dapat menghasilkan radikal bebas dalam jumlah kecil sebagai hasil antara. Radikal bebas dalam sel hidup, terbentuk pada membran plasma dan organel-organel sel yaitu mitokondria, peroksisom, retikulum endoplasmik dan sitosol melalui reaksi enzimatis fisiologik yang berlangsung dalam proses metabolisme. Proses fagositosis oleh sel-sel fagosit termasuk neutrofil, monosit, makrofag dan eosinofil, juga menghasilkan radikal bebas, superoksida (O2.) (Gitawati 1995).
Gambar 3 Proses aterogenesis (Barliner et al. 1995) Jenis bahan yang telah diteliti sebagai sumber antioksidan adalah asam kafeat terdapat pada biji kopi (Moon dan Terao 1998); ekstrak jahe (Septiana 2001); senyawa kurkumin pada kunyit (Mashuda et al. 1998); minyak bekatul padi (Damayanti 2002); fenol, flavonoid, tanin, triterpenoid dan saponin dari ekstrak kulit kayu manis (Azima 2004); vitamin A, C, karotenoid, gingerol (jahe), katekin (anggur merah), klorofil (sayuran), likopen (tomat), epigallokatekin (teh), isoflavon kedelai dan lain-lain; sterol lembaga gandum (Marliyati 2005); daun suji (Prangdimurti 2007). Penelitian tentang aktivitas antioksidan dari biota laut juga telah dilakukan pada bintang laut Astropecten sp (Setianingsih 2003), kulit batang sentigi Pemphis acidula (Khusniya 2004), daun kangkung laut Ipomea pes-caprae
18
(Agustiningrum 2004), spons Callyspongia sp (Hanani et al. 2005), dan beberapa jenis rumput laut yang terdapat di Indonesia (Santoso et al. 2004). Jenis biota ini menunjukkan adanya aktivitas antioksidan, namun penelitian masih perlu dilanjutkan untuk mengetahui senyawa yang berfungsi sebagai antioksidan serta prospek pemanfaatannya. 2.4 Bahan Alam dari Sumberdaya Hayati Laut Laut merupakan sumber bahan alami dengan struktur yang unik dan pada umumnya dihasilkan oleh berbagai jenis invertebrata yang terdiri dari sponge, tunikata, briozoa, dan moluska. Beberapa jenis komponen bioaktif terutama yang dihasilkan tunikata ET-743 mempunyai aktivitas farmakologi sebagai obat baru pada kanker, demikian juga dengan antiinflamasi dari ziconotide yang dihasilkan moluska Conus magus (Proksch et al. 2002). Laut tropika mempunyai keanekaragaman biota yang sangat tinggi, sehingga terjadi kompetisi ketat antar spesies untuk dapat bertahan hidup. Kondisi ini membuat biota laut mensintesis metabolit sekunder berupa senyawasenyawa toksik sebagai strategi pertahanan diri. Struktur kimia dan aktivitas biologi senyawa yang dihasilkan biota laut sangat jarang ditemukan pada biota darat (terestrial), oleh karena itu berbagai jenis biota laut terutama karang (sponge) menjadi target penelitian yang sangat menarik (Sumaryono 2004). Dari tahun 1969-1999 sekitar 300 komponen bioaktif dari laut menjadi topik pembicaraan yang dimulai dari isolasi sederhana sampai saat ini menjadi topik yang betul-betul menunjukkan peningkatan yang bermakna yaitu lebih dari 10.000 jenis komponen yang ditemukan setiap tahunnya dalam jumlah ratusan komponen bioaktif (Faulkner 2002). Invertebrata laut juga menghasilkan bahan dengan aktivitas antivirus, contohnya adalah spongothymidine dan spongouridine dari sponge Cryptotethia crypta. Kedua komponen bioaktif ini dapat menghambat replikasi virus (HIV-1) dan memproteksi limposit T dari infeksi virus (Sarma et al. 1995). Digunakan sebagai model untuk sintesis nukleosida antivirus 3–azido-2,3-dideoxythymidine, dengan nama dagang AZT yang banyak digunakan untuk mengobati penyakit AIDS baik secara tunggal maupun kombinasi dengan pengobatan lain (Faulkner 2002).
19
Selain memiliki aktivitas sebagai obat, sejumlah senyawa yang dihasilkan biota laut juga dapat digunakan sebagai reagen diagnostika riset biokimia yang sangat penting, contohnya adalah senyawa tetrodotoxin yang diekstrak dari ikan buntal memiliki sifat neurotoksin, sehingga dapat digunakan sebagai senyawa kimia untuk studi fisiologi sel-sel syaraf. Senyawa lainnya adalah akadoic acid yang ditemukan pada tahun 1980 dari sponge, merupakan reagen yang bernilai tinggi untuk studi biologi sel (Sumaryono 2004). Melalui telusuran pustaka baik studi literatur maupun internet penelitian tentang antioksidan dari lintah laut (Discodoris sp), belum dilakukan bahkan antioksidan dan antikolesterol yang berasal dari hewan laut masih sangat sedikit. 2.5 Kolesterol dan Antikolesterol Kolesterol merupakan salah satu contoh dari substansi alam yang penting bagi kehidupan. Kolesterol penting untuk metabolisme, karena aktivitas biologi membran tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya tanpa kolesterol. Kolesterol dalam tubuh berfungsi untuk membentuk struktur membran sel yang berguna dalam mengatur penyerapan zat yang larut dalam air dan penguapan air dari kulit. Selain itu kolesterol merupakan bagian esensial dari otak dan alat tubuh lain serta pemicu pembentukan hormon steroid yang dihasilkan oleh kortek adrenal (hormon adrenokortikal), testis (testosteron) dan ovarium (progesteron dan estrogen ) (Guyton dan Hall 1994). Kolesterol dalam darah berbentuk lipoprotein. Lipoprotein ini terbagi menjadi lima golongan yaitu: kilomikron yang berasal dari absorbsi triasilgliserol dalam usus, very low density lipoprotein (VLDL), low density lipoprotein (LDL), high density lipoprotein (HDL) dan asam lemak bebas. Profil lipid dalam darah yang mempengaruhi terjadinya aterosklerosis adalah LDL, HDL, trigliserida dan total kolesterol. LDL mempunyai berat jenis 1,019-1,063 yang berfungsi sebagai pengangkut kolesterol dari hati ke jaringan perifer. HDL berfungsi sebagai transportasi kolesterol dari jaringan ekstrahepatik kembali ke hati. VLDL dan LDL adalah lipoprotein pengangkut kolesterol (Montgomery et al. 1993). Kolesterol yang berasal dari makanan dan yang disintesis di usus, akan diserap bersama-sama dengan lipid lainnya untuk dibawa ke hati. Dari hati dibawa ke plasma dalam bentuk kolesterol VLDL, kemudian kolesterol ini diubah
20
menjadi LDL yang akan dibawa ke jaringan tubuh. Dari jaringan tubuh kolesterol akan dibawa kembali dalam bentuk HDL. Dalam hubungannya dengan penyakit jantung koroner dan aterosklerosis, kadar total kolesterol, LDL, HDL, dan trigliserida merupakan faktor yang dapat berpengaruh terhadap timbulnya penyakit tersebut (Marinetti 1990). Kolesterol HDL disintesis dan disekresi dari hati dan usus, serta sebagian diduga berasal dari VLDL dan kilomikron. Lipid HDL terutama dalam bentuk kolesterol, fosfolipida dan sedikit trigliserida. HDL bersaing dengan LDL dalam mengikat reseptor pada sel-sel jaringan perifer, sehingga mengurangi masuknya LDL yang membawa banyak kolesterol ke dalam sel. HDL mempunyai hubungan yang negatif dengan penyakit jantung koroner, semakin tinggi kandungan HDL dalam
plasma,
maka
semakin
kecil
peluang
terjadinya
aterosklerosis
(Gordon dan Casteli 1977). Meningkatnya kadar LDL merupakan salah satu faktor risiko aterosklerosis. Pengambilan kolesterol dengan jalan reseptor klasik tidak menyebabkan akumulasi kolesterol, karena reseptor LDL mengatur secara ketat kadar kolesterol intraseluler. LDL termodifikasi, seperti asetil atau LDL teroksidasi tidak diambil oleh reseptor LDL, namun diambil oleh reseptor scavenger pada sel makrofag yang menghasilkan akumulasi kolesterol dengan membentuk sel busa. Hal ini terjadi karena reseptor scavenger tidak diatur oleh kadar kolesterol intraseluler (Brown dan Goldstein 1983). Hiperkolesterolemia merupakan suatu kondisi kolesterol dalam darah meningkat melebihi batas ambang normal yang ditandai dengan meningkatnya LDL dan kolesterol total. Hiperkolesterolemia disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor primer dan faktor sekunder. Faktor primer merupakan kelainan genetik, dan penyakitnya disebut hiperkolesterolemia familiar. Hiperkolesterolemia familiar ditandai dengan meningkatnya kadar kolesterol dalam plasma darah, endapan kolesterol dalam berbagai jaringan, terutama dalam tendon (xantoma) dan arteri (ateroma). Penyakit arteri pradini merupakan gambaran biasa dan penyebab umum kematian. Hiperkolesterolemia familial disebabkan oleh suatu kerusakan reseptor permukaan sel yang pada individu normal mengikat lipoprotein densitas rendah (LDL) (Harris 1994).
21
Faktor sekunder dari hiperkolesterolemia adalah obesitas, diet kaya kolesterol, diet asam lemak jenuh dan kekurangan estrogen pada wanita. Atau dapat pula disebabkan oleh susunan menu sehari-hari yang tidak seimbang dan yang disebabkan oleh penyakit diantaranya adalah diabetes, hipotiroidisme, insufisiensi ginjal menahun, dan penyakit hati tertentu (Montgomery et al. 1993). Hiperkolesterolemia yang tidak disebabkan oleh kelainan genetik dapat dicegah dengan cara mengurangi konsumsi makanan kaya kolesterol dan asam lemak jenuh, mencegah terjadinya obesitas dan mengkonsumsi suplemen. Berbagai macam senyawa telah diketahui dapat menurunkan kadar kolesterol darah. Pengobatan bagi penderita hiperkolesterolemia dapat dilakukan dengan mengkonsumsi obat atau makanan kesehatan yang disertai diet (Dahlianti 2001). Jenis-jenis makanan atau bahan yang telah diteliti dapat menurunkan kolesterol diantaranya adalah daun jati belanda (Guazuma ulmifolia) dan jamur kuping (Auricularia polytricha) (Rahmadani 2001), kulit batang kayu gabus (Alstonia scholaris) (Usman 2000), ekstrak Cassia vera (Azima 2004) dan sterol lembaga gandum (Marliyati 2005). Obat-obat komersial untuk menurunkan kolesterol yang ada saat ini diantaranya adalah: kolestiramin dan kolestipol, asam nikotinat, klofibrat, gemfibrat, probucol, dan mevinolin. Mekanisme kerja dari obat penurun kolesterol tersebut adalah dengan cara menghambat biosintesis kolesterol endogen (mevinolin, pravachol dan golongan statin lainnya) dan melalui pengeluaran kolesterol pada feses (kolestiramin, kolestipol, dan makanan berserat lainnya) serta yang belum diketahui atau tidak melalui kedua mekanisme tersebut yang selalu diikuti dengan penurunan kadar LDL dan peningkatan kadar HDL kolesterol serumnya (Usman 2002). Kolestiramin dan kolestipol adalah resin yang tak dapat diabsorpsi, mengikat asam-asam empedu di intestin sehingga menyebabkan terekskresi di feses dan menginterupsi sirkulasi enterohepatik. Keduanya menyebabkan penurunan pembalikan asam-asam empedu ke hati, meningkatkan pengubahan kolesterol ke asam-asam dan meningkatkan konsentrasi reseptor-reseptor LDL plasma dan menurunkan kadar kolesterol (Moundras et al. 1995).
22
Asam nikotinat digunakan untuk menurunkan kadar kolesterol dengan cara mengurangi VLDL dan LDL. Asam nikotinat menginhibisi sekresi VLDL hati dan menekan metabolisme asam lemak dari jaringan adiposa. Penggunaan obat ini dapat berupa sediaan tunggal maupun campuran. Dosis asam nikotinat yang direkomendasikan untuk pasien kolesterol dan trigliserida tinggi adalah 1-6 gram perhari dengan daya reduksi sekitar 9%-20%. Kombinasi campuran antara lain asam nikotinat dan kolestiramin atau nikotinat dan lovastatin (Vacek et al. 1995). Klofibrat dan gemfibrozil (lopid) merupakan turunan dari asam isobutirat. Klofibrat bersifat merintangi sintesis kolesterol pada saat kolesterol melakukan perintangan umpan balik terhadap sintesisnya sendiri, khususnya pada saat pembentukan mevalonat. Zat ini juga merintangi asetil–KoA karboksilase (enzim yang menghasilkan malonil KoA), tetapi klofibrat bukanlah obat idaman karena efek sampingnya banyak (Norgrady 1992). Dosis gemfibrozil (lopid) yang direkomendasikan untuk pasien penderita kolesterol dan trigliserida tinggi adalah 0,6-3 gram per hari dengan daya reduksi kolesterol dan trigliserida sekitar 2-9% (Marinetti 1990). Preparat Antikolesterol Hanya dengan diet yang tepat dan olah raga yang optimal, sebagian besar kadar lipid darah penderita hiperlipidemia sudah dapat terkontrol, namun bila diet dan olahraga tidak bisa menekan kadar lemak darah yang tinggi, sebagai tindakan terakhir digunakan obat penurun lemak darah (Dalimartha 2002). Obat penurun lemak darah umumnya efektif, tetapi sebelum digunakan perlu memperhatikan hal-hal khusus terlebih dahulu seperti kemampuan meningkatkan kolesterol HDL, menurunkan kadar trigliserida dan kolesterol LDL. Perlu pula memperhatikan efek samping obat, kesesuaian khasiat dengan harga obat dan pertimbangan klinis. Jika kadar lemak darah tetap tinggi setelah obat diberikan, tentunya memerlukan obat yang lebih kuat atau bahkan diperlukan kombinasi obat. Selama pengobatan dengan obat antihiperlipidemia atau hipolipidemik, diet dan olahraga harus tetap dijalankan. Obat antihiperlipidemia sampai saat ini terdiri dari beberapa golongan yaitu:
23
(1) Golongan Resin Pengikat Asam Empedu (Sequestrans) Golongan obat ini bekerja dengan cara mengikat asam empedu sehingga asam tersebut tetap berada di dalam usus dan proses resirkulasi ke hati (siklus enterohepatik) tidak terjadi. Akibatnya akan terjadi peningkatan penggunaan kolesterol di hati sebagai bahan baku getah empedu sehingga cadangan kolesterol di hati menurun. Keadaan ini akan menyebabkan cadangan kolesterol yang berada di dalam darah dipergunakan, sehingga kadar kolesterol di dalam darah akan menurun. Golongan obat ini berkhasiat untuk menurunkan kadar kolesterol total dan kolesterol LDL serta meningkatkan kadar kolesterol HDL, namun pada pasien yang kadar trigliseridanya lebih dari 250 mg/dl, obat ini malah menaikkan kadar trigliserida dan menurunkan kadar kolesterol HDL (Dalimartha 2002). Obat ini tergolong kuat dengan efek samping ringan berupa gangguan pencernaan seperti nyeri ulu hati, kembung, mual, muntah, diare, bersendawa, konstipasi dan memperburuk penyakit wasir (hemoroid). Contoh obat golongan ini adalah kolestiramin dan kolestipol. (2) Golongan Asam Nikotinat (Niasin) Asam nikotinat atau niasin merupakan bagian dari vitamin B kompleks yang banyak terdapat pada biji-bijian dan kacang-kacangan. Niasin berkhasiat untuk semua kelainan fraksi lemak. Golongan ini mempengaruhi aktivitas enzim lipoprotein lipase sehingga terjadi penurunan produksi VLDL di hati. Akibatnya, kadar kolesterol total, kolesterol LDL dan trigliserida menurun. Niasin juga dapat meningkatkan kolesterol HDL (Mayes 2003). Efek samping golongan obat ini jarang menyebabkan gangguan pencernaan, tetapi bisa menimbulkan vasodilatasi pembuluh darah kulit (kulit menjadi merah, gatal dan terasa panas), sakit kepala, gangguan fungsi hati, meningkatnya kadar asam urat darah, timbul resistensi insulin dan naiknya kadar gula darah. Adanya efek samping tersebut menyebakan obat ini tidak bisa diberikan pada penderita diabetes mellitus, hepatitis, ulkus lambung, aritmia dan penderita reumatik gout. Contoh obat golongan ini adalah asam nikotinat dan acipimox (Dalimartha 2002). (3) Golongan Asam Fibrat Efek golongan asam fibrat meningkatkan aktivitas lipoprotein lipase sehingga menghambat produksi VLDL di hati dan meningkatkan aktivitas
24
reseptor LDL. Obat golongan ini terutama menurunkan trigliserida yang tinggi di dalam darah, meningkatkan kolesterol HDL serta mempunyai efek yang baik terhadap penurunan kolesterol total dan kolesterol LDL. Efek samping yang paling sering muncul adalah gangguan saluran pencernaan berupa mual, diare, kembung, nyeri perut, meningkatnya enzim-enzim transaminase (serum glutamicoxaloacetic transaminase (SGOT), serum glutamic-pyruvic transaminase (SGPT)), nyeri otot, kegatalan dan ruam pada kulit. Efek samping yang jarang antara lain turunnya libido, impoten, alopesia, depresi, gangguan penglihatan, ikterus kolestatik, meningkatnya pembentukan batu empedu, neuritis perifer dan paresthesia. Kontra indikasi obat ini adalah pada penderita gangguan fungsi hati dan ginjal berat serta penderita penyakit kantung empedu, karena asam fibrat dapat memperberat penyakit tersebut. Contoh obat yang termasuk golongan ini adalah bezafibrat, fenofibrat, gemfibrozil, simfibrat, siprofibrat dan klofibrat (Dalimartha 2002). (4) Golongan Statin Statin atau inhibitor HMG-KoA reduktase adalah kelompok obat penurun lipid yang digunakan untuk menurunkan level kolesterol dengan menghambat kerja enzim HMG-KoA reduktase. Gangguan pada aktivitas enzim ini akan menyebabkan penurunan jumlah asam mevalonat yang merupakan prekursor kolesterol (Dalimartha 2002). Hambatan enzim HMG-KoA di hati akan menstimulasi LDL reseptor sehingga meningkatkan pembersihan LDL dari aliran darah dan menurunkan level kolesterol darah. Penurunan level kolesterol darah ini terlihat setelah seminggu pemakaian dan efek maksimal terlihat setelah empat sampai enam minggu penggunaan. Walaupun demikian, obat-obat golongan statin sintetik harganya mahal (Lam dan Suliandro 2004). Menurut Fusegawa et al. (1993), obat penghambat HMG-KoA reduktase ini merupakan obat penurun lipid yang paling baru, luas penggunaannya dan efektif terhadap non-familial dan familial
hiperkolesterolemia.
Statin
adalah
obat
pilihan
untuk
pasien
hiperkolesterolemia atau hiperlipidemia karena merupakan bentuk paling kuat dari monoterapi dan hemat biaya bagi pasien dengan penyakit arteri koroner atau berbagai faktor-faktor risiko dan pencegahan bagi pasien dengan risiko tinggi primer.
25
Dibandingkan obat penurun kolesterol lainnya, statin memiliki efek penurun LDL kolesterol terbesar sehingga statin dijadikan obat utama untuk mengatasi hiperkolesterolemia (Daniel 2006). Efisiensi penyerapan statin dalam tubuh adalah 30% dan efisiensi ini akan meningkat jika diberikan bersama makanan. Sesudah penyerapan, statin akan ditransport ke hati melalui sirkulasi portal. Hati adalah bagian prinsip dari aksi statin. Statin dimetabolisme di dalam hati dalam kaitannya dengan asam beta hidroksi yang merupakan inhibitor HMG-KoA reduktase. Efek samping yang ditimbulkan obat golongan statin berupa nyeri otot, nyeri dada, sakit kepala, nausea, vomitus, diare dan rasa lelah. Pasien dengan penyakit hati, wanita hamil dan menyusui dilarang menggunakan obat ini. Kombinasi obat golongan ini dengan derivat asam fibrat dan asam nikotinat perlu pemantauan yang ketat (Dalimartha 2002). Simvastatin Simvastatin merupakan nama generik obat, sedangkan nama dagangnya adalah Zocor. Simvastatin adalah obat penurun kolesterol yang bekerja dengan menghambat produksi kolesterol di hati, usus, menurunkan kolesterol darah secara keseluruhan dan menurunkan kadar LDL-kolesterol darah. Indikasi penggunaan simvastatin adalah untuk penderita hiperkolesterolemia primer, pasien yang tidak cukup memberikan respon terhadap diet, mengurangi kejadian klinis, memperlambat progresif atherosklerosis koroner pada pasien penyakit jantung koroner dan penderita kadar kolesterol 5,5 mmol/l atau lebih. Kontra indikasi sediaan ini adalah untuk wanita hamil, menyusui, pasien dengan penyakit hati aktif atau peningkatan serum transaminase yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Dosis tunggal awal adalah 10 mg/hari. Dalam interval kurang dari empat minggu dosis dapat menyesuaikan dalam kisaran lazim 10-40 mg/hari. Penderita penyakit jantung koroner awal 20 mg/hari. Efek samping simvastatin adalah pusing, sakit kepala, konstipasi, diare, dispepsia, mual, ruam kulit, nyeri abdomen, nyeri dada, gangguan penglihatan, hepatitis dan anemia (Hapsari 2007). (5) Golongan lain Obat probukol bekerja menurunkan kolesterol total dan kolesterol LDL dengan cara meningkatkan ekskresi kolesterol ke dalam empedu. Obat antilipidemik ini bekerja lewat proses antioksidan untuk mencegah oksidasi LDL-
26
kolesterol sehingga kadar LDL-kolesterol menurun di dalam darah. Walaupun demikian, obat ini juga menurunkan HDL-kolesterol sehingga obat ini hanya dijadikan sebagai obat pilihan kedua. Efek samping yang paling sering timbul adalah gangguan pencernaan, diare, flatus, mual, vomitus, kolik dan kebengkakan angioneurotik. Wanita hamil dan penderita infark jantung dianjurkan tidak menggunakan obat ini (Dalimartha 2002). Preparat lain adalah sitosterol yang dapat menurunkan kolesterol darah yaitu beberapa senyawa sterol yang secara kimia mirip kolesterol dan berasal dari sayuran dan buah-buahan. Sitosterol diabsorbsi buruk di dalam usus sehingga akan memperkecil absorbsi kolesterol dan esterifikasinya dalam sel epitel saluran cerna (Muschler 1991). 2.6 Histopatologi Analisis histopatologi digunakan untuk melihat kerusakan jaringan. Teknik ini dapat digunakan untuk melihat kondisi suatu jaringan yang telah rusak akibat penyakit–penyakit seperti perlemakan hati, kanker, hepatitis, ateroma dan sebagainya. Untuk memperoleh observasi yang bagus perlu dipelajari persamaan dan perbedaan kondisi jaringan yang normal dan yang diperkirakan mengalami kelainan, pemisahan yang khas dan yang tidak. Susunan, warna, ukuran dan bentuk dari bagian jaringan dan hubungannya dengan yang lain akan sangat membantu untuk mengkarakterisasikan struktur jaringan yang menjadi subyek pengamatan (Thomas 1984). Teknik analisis histopatologi meliputi beberapa tahap yaitu fiksasi, dehidrasi, bloking, pemotongan, pewarnaan, dan analisis dengan mikroskop. Fiksasi adalah tahap awal setelah pengambilan jaringan yang akan dianalisis. Jaringan yang akan diteliti secara histopatologi harus difiksasi untuk mencegah kerusakan atau membusuknya jaringan akibat pengaruh bakteri dan autolisis, mengkoagulasi sel, menjaga jaringan agar tidak hancur dan mengalami penyusutan selama proses dehidrasi, blocking dan pemotongan. Bahan yang umum digunakan untuk fiksasi adalah bufer formalin 10%, dan bahan lain diantaranya adalah zenker, bouin, formalin dan lain-lain. Fiksasi dalam bufer formalin 10% ini dilakukan selama 24 jam sejak pengambilan jaringan. Proses dehidrasi dilakukan untuk menghilangkan molekul- molekul air yang terdapat dalam jaringan menggunakan alkohol 70% sampai alkohol absolut dan
27
juga digunakan pelarut organik berupa silena. Proses ini dilakukan selama 24 jam, dalam kondisi divakum untuk mengeluarkan air dari sel. Selanjutnya dilakukan proses infiltrasi dan blocking dengan parafin dan proses pemotongan menjadi lembaran-lembaran halus menggunakan pisau mikrotom yang memiliki ukuran 3-5 mikron. Lembaran hasil pemotongan diletakkan pada obyek gelas kemudian diinkubasi dan diberi pewarnaan. Zat warna yang umum digunakan untuk melihat kondisi kerusakan pada jaringan adalah hematosiklin-eosin. Penggunaan zat warna didasarkan pada sifat dari kombinasinya. Hematosiklin bersifat basa, sedangkan eosin bersifat asam. Inti sel cenderung bersifat asam karena banyak mengandung asam-asam nukleat, akan menarik basa sehingga akan berwarna biru, sebaliknya bagian sitoplasma akan menarik eosin yang bersifat asam sehingga akan berwarna merah. Perbedaan warna antara keduanya secara nyata akan dapat membedakan kondisi jaringan yang rusak/patologis dengan yang sehat (Usman 2000).