5
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lintah Laut (Discodoris sp.) Lintah laut (Discodoris sp.) merupakan anggota dari kelompok ordo nudibranchia. Kata nudibranch berasal dari Bahasa Latin ”nudus” yang berarti telanjang dan bahasa Yunani ”brankhia” yang berarti insang. Kelompok hewan ini memiliki corak dan warna yang beraneka ragam, namun beberapa jenis dari hewan ini mempunyai kemampuan kamuflase yang handal sehingga cukup sulit untuk ditemukan (Sorowako 2008). Menurut Wojnar (2008) lintah laut diklasifikasikan sebagai berikut: kingdom : Animal filum
: Molusca
kelas
: Gastropoda
sub kelas : Opistobranchia ordo
: Nudibranchia
sub ordo
: Doridina
famili
: Dorididae
genus
: Discodoris sp.
Gambar 1 Lintah laut (Discodoris sp.) Lintah laut (Discodoris sp.) memiliki tubuh yang berwarna coklat kehitam-hitaman dengan bintik putih dan garis pada bagian atas badannya. Permukaan tubuhnya licin dan tidak dilindungi oleh lapisan pelindung. Insanginsangnya berjumbaian di punggung, selain itu hewan ini memiliki kepala bertentakel yang sangat sensitif terhadap sentuhan, rasa dan bau. Matanya yang
6
kecil hanya bisa melihat sedikit selain membedakan terang dan gelap (Sorowako 2008). Daerah penyebaran genus Discodoris secara umum terdapat di daerah tropis dan subtropis, Samudera Hindia dan Pasifik khususnya di zona intertidal atau daerah pasang surut (Rudman 1999). Organisme ini hidup dan menempel rapat pada batu-batuan yang berlumpur ataupun berpasir serta menghasilkan lendir (mukus) untuk mencegah dari kekeringan pada tubuhnya. Pada bagian bawah tubuhnya dapat bergerak dan menempel pada subtrat sehingga gerakannya lambat. Discodoris sp. adalah spesies yang banyak ditemukan di Kepulauan Philipina, Papua New Geunia, Indonesia, Okinawa, Afrika Selatan, dan Australia. Biasanya terdapat di perairan dangkal berpasir serta terumbu karang hingga di dasar laut dalam lebih dari satu kilometer dalamnya, nudibranch berkembang biak baik di perairan hangat maupun dingin dan bahkan di sekeliling cerobongcerobong vulkanis yang menyembur di laut dalam (Holland 2009). Lintah laut termasuk jenis hewan hermaprodit, artinya hewan yang mempunyai alat kelamin ganda yaitu jantan dan betina terdapat dalam satu individu. Ketika organisme ini siap untuk kawin akan bermigrasi ke daerah pantai yang berbatu dan ditumbuhi subur oleh tanaman alga dan rumput laut dan menyemprotkan telur dan sperma sekaligus di sekitar bebatuan tersebut. Telurtelur tesebut akan dibiarkan melayang di sekitar bebatuan dengan maksud agar terhindar dari predator dan telur dibiarkan menetas sendiri (Rudman 1999 diacu dalam Witjaksono 2005). Discodoris sp. merupakan hewan herbivora, makanan utamanya adalah plankton, alga (alga merah, alga coklat dan alga hijau), rumput laut, sponge. Juvenil akan tumbuh menjadi populasi yang pesat bila mendapatkan makanan yang melimpah disekitar daerah bebatuan yang subur dengan tumbuhan alga dan rumput laut. Nudibranch atau dikenal sebagai lintah laut, merupakan golongan invertebrata laut bertubuh lunak. Nudibranch termasuk dalam golongan moluska tidak memiliki cangkang dan sedikit memiliki mekanisme pertahanan fisik, berpotensi sebagai mangsa bagi hewan predator karnivora. Untuk mengatasi
7
lemahnya pertahanan fisik tersebut, nudibranch melakukan adaptasi terhadap lingkungan melalui perubahan anatomi dan fisiologi. Beberapa opistobranch aktif pada malam hari, mengerutkan tubuhnya ketika diserang, dan mampu berkamuflase secara efektif dengan berbagai warna yang menyerupai habitatnya (Grcovik et al. 2005).
2.2 Komponen Bioaktif Senyawa bioaktif dapat diperoleh dengan cara isolasi, identifikasi, struktur ilusidasi dan mempelajari karakteristik produk kimia yang dihasilkan dari organisme hidup. Sejak jaman Mesopotamia kuno, ketika sejarah menunjukkan kultivasi dari poppy (Papaver somniferum) untuk diekstraksi sebagai opium, senyawa alam mulai menunjukkan perannya yang penting bagi kehidupan manusia khususnya dalam bidang kedokteran (Wojnar 2008). Senyawa metabolit sekunder dikembangkan dalam dunia kedokteran mulai dari sebagai ilmu racun, meliputi antitumor, sitotoksin, antiinflamantori sampai proses metabolismenya di dalam sel (Martin et al. 2000). Metabolit sekunder diproduksi oleh organisme hidup yang didefinisikan sebagai senyawa produk alami yang tidak termasuk dalam pertumbuhan, perkembangan, dan reproduksi yang normal pada organisme dan tidak begitu penting dalam hidup. Senyawa yang dihasilkan dari metabolit sekunder tergolong dalam bikokimia yang tidak mengalami perubahan sampai fungsinya diperlukan. Senyawa metabolit sekunder digunakan sebagai alat interaksi antar organisme, dan sering juga digunakan sebagai pertahanan, sistem imun, antifungi, antibakteri dan sitotoksik alami (Wojnar 2008). Beberapa senyawa metabolit khususnya struktur dan aktivitas biologisnya telah berhasil diisolasi dari hewan-hewan laut. Senyawa metabolit tersebut mempunyai potensi sebagai obat. Senyawa bioaktif yang menarik diteliti umumnya diisolasi dari spons laut, ubur-ubur, bintang laut, timun laut, terumbu karang, moluska, echinodermata, dan krustasean. Senyawa bioaktif yang telah diisolasi dari hewan laut yaitu steroid, terpenoid, isoprenoid, nonisoprenoid, quinon, dan nitrogen heterosiklik (Bhakuni dan Rawat 2005).
8
Nudibranch merupakan golongan moluska tidak bercangkang yang selalu berwarna cerah dan indah sebagai pertahanan terhadap serangan predator. Nudibranch merupakan binatang yang indah yang umumnya mengandung sejumlah besar senyawa produk alam untuk membantu pertahanan terhadap serangan predator. Gambar 2 merupakan senyawa yang telah berhasil diisolasi, yaitu tetrapyrole dari Nembrotha kubaryana, nakafuran-8 dan nakafuran-9 dari Hypselodoris infucata, spongiane-16-one dari Chromodoris petechialis. Senyawa ini sebelumnya ditemukan dalam organisme laut lainnya yang mendukung hubungan antara makanan dan senyawa metabolit yang dihasilkan dalam nudibranch (Karuso dan Schewer 2002).
(1) tertrapyrole
(3) nakafuran-8
(2) spongiane-16-one
(4) nakafuran-9
Gambar 2 Beberapa senyawa yang diisolasi dari nudibranch: (1) Nembrotha kubaryana, (2) Chromodoris petechialis, (3 dan 4) Hypselodoris infucata Golongan invertebrata laut diketahui sebagai sumber dari senyawa bioaktif yang memiliki potensi bagi dunia kedokteran, meskipun tidak sebagian besar obat dikembangkan dari laut. Beberapa senyawa yang telah diujicobakan secara klinis, yaitu obat antikanker. Penelitian tentang produk alam dari laut dalam 3 dekade terakhir telah menghasilkan banyak senyawa kimia dan biologis yang sangat
9
menarik. Salah satunya adalah asam kainat, asam okadiat, tetradotoksin, manoalida, palitoksin dan sebagainya (Higa et al. 2001). Senyawa metabolit yang ada pada spons juga ditemukan dalam beberapa nudibranch, meskipun hubungannya dengan spons tidak selalu ditemukan dalam daerah geografis yang sama dengan nudibranch. Di dalam saluran pencernaan Anisodoris nobilis terdapat metabolit kardiaktif 1-metilisoguan. Beberapa senyawa yang juga terdapat dalam nudibranch yaitu pigmen yang diperoleh dari spons yang digunakan sebagai mekanisme pertahanan kimia secara pasif dan sebagai upaya kamuflase (Faulkner dan Ghiselin 1983). Beberapa senyawa bioaktif telah ditemukan pada nudibranch Jorunna funebris, yaitu isokuinolin alkaloid (N-formil-1,2-dihidroreneirol asetat, asetil renierol, mimosamisin). Glossodoris atromarginata mengandung senyawa bioaktif deoksoskalarin, sesterterpen heteronemi dan skalaran. Hypselodoris kanga mempunyai kandungan senyawa bioaktif furanoseskuiterpenoid dan furodisinin.
Chromodoris mandapamensis mempunyai kandungan senyawa
bioaktif spongiadiol (Fontana et al. 2001). Produk bahan alam yang diisolasi dari nudibranch Dendrodoris denisoni, yaitu cinnamolide, olepopuane, metoksi asetat, dan poligodial (Grkovic et al. 2005). Senyawa bioaktif pada nudibranch umumnya diperoleh dari makanannya, berbagai macam senyawa yang berhasil diisolasi dari lintah laut hampir sama dengan senyawa metabolit yang ada pada spons dan spesies lainnya yang merupakan makanan dari nudibranch. Senyawa yang telah diisolasi yaitu terpen (isocyanopupukeanane) dari nudibranch Phyllidia varicosa dan juga ditemukan pada spons Hymeniacidon sp. Makrolid telah berhasil diisolasi dari nudibranch Hexabranchus sanguineus dan juga pada spons Halichondria, Mycale dan Jaspis. Senyawa peptida berhasil diisolasi dari opistobranch Dolabella auricularia dan pada sianobakteri Symploca. Senyawa peptida tersebut yaitu dolastatin 10 yang terbukti mempunyai aktivitas antitumor pada manusia (Wojnar 2008).
2.3 Ekstraksi Senyawa Aktif Ekstraksi merupakan salah satu cara pemisahan satu atau lebih komponen dari suatu bahan yang merupakan sumber komponen tersebut. Komponen yang
10
dipisahkan dengan ekstraksi dapat berupa padatan atau cairan. Metode ekstraksi yang digunakan tergantung pada beberapa faktor, yaitu tujuan yang ingin dicapai dari ekstraksi, skala ekstraksi, sifat-sifat komponen yang akan diekstrak dan sifat-sifat pelarut yang digunakan. Ada beberapa metode umum ekstraksi yang dapat dilakukan, yaitu ekstraksi dengan pelarut, distilasi, supercritical fluid extraction (SFE), pengepresan mekanik dan sublimasi. Diantara metode-metode yang telah diaplikasikan, metode yang banyak digunakan adalah distilasi dan ekstraksi menggunakan pelarut (Houghton dan Raman 1998). Pemilihan metode ekstraksi bergantung pada sumber bahan alam dan senyawa yang ingin diisolasi.
Beberapa tujuan dari ekstraksi adalah untuk
mengetahui senyawa bioaktif, mengetahui keberadaan senyawa dalam organisme, hubungan struktur senyawa dalam organisme, identifikasi seluruh senyawa bioaktif yang ada pada organisme (Sarker et al. 2006). Tujuan dari isolasi dan purifikasi bahan alam yaitu untuk memisahkan senyawa aktif dari biomassa, untuk mengisolasi senyawa metabolit atau karakterisasi beberapa senyawa dengan uji fitokimia (Seidel 2006). Metode ekstraksi dengan teknik maserasi digunakan karena relatif sederhana dan mudah tetapi menghasilkan produk yang baik meskipun memiliki kekurangan, yaitu pengerjaan lama dan pengekstrakan kurang sempurna (Meloan 1999). Seidel (2006) mengemukakan bahwa beberapa metode ekstraksi menggunakan pelarut organik atau air telah dikembangkan dalam ekstraksi bahan alam. Maserasi merupakan metode yang mudah dan umum dilakukan. Metode maserasi memiliki kekurangan, yaitu prosesnya memerlukan waktu yang lama, memerlukan volume pelarut yang banyak, beberapa senyawa tidak dapat diekstrak secara efisien dan sedikit larut dalam suhu ruang. Senyawa yang terbawa pada proses ekstraksi adalah senyawa yang mempunyai polaritas sesuai dengan pelarutnya. Perbandingan bahan dan pelarut dapat mempengaruhi hasil ekstraksi. Ketaren (1986) berpandapat bahwa jenis dan mutu pelarut yang digunakan sangat menentukan keberhasilan proses ekstraksi, pelarut yang digunakan harus dapat melarutkan zat yang diinginkannya, mempunyai titik didih yang rendah, murah, tidak toksik, dan mudah terbakar.
11
Sifat penting yang harus diperhatikan dalam pemilihan pelarut adalah kepolaran senyawa yang dilihat dari gugus polarnya (gugus OH, COH, dan lain-lain). Derajat polaritas tergantung pada tahapan dielektrik, makin besar tahapan dielektrik semakin polar pelarut tersebut (Nur dan Adijuwana 1989). Beberapa pelarut organik dan sifat fisiknya dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Sifat fisika kimia beberapa pelarut yang digunakan dalam ekstraksi bahan alam
n-Heksan
Indek kepolaran 0,0
Titik didih (0C) 69
Viskositas (cPoise) 0,33
Kelarutan dalam air (% w/w) 0,001
Diklorometan
3,1
41
0,44
1,6
n-Butanol
3,9
118
2,98
7,81
iso-Propanol
3,9
82
2,30
100
n-Propanol
4,0
92
2,27
100
Kloroform
4,1
61
0,57
0,815
Etil asetat
4,4
77
0,45
8,7
Aseton
5,1
56
0,32
100
Metanol
5,1
65
0,60
100
Etanol
5,2
78
1,20
100
Air
9,0
100
1,00
100
Pelarut
Sumber : Seidel diacu dalam Sarker et al. (2006)
Pelarut yang bersifat polar, mampu mengekstrak senyawa alkaloid kuartener, komponen fenolik, karotenoid, tanin, gula, asam amino, dan glikosida (Harborne 1987). Hasil ekstrak yang diperoleh akan tergantung pada beberapa faktor, yaitu kondisi alamiah senyawa tersebut, metode ekstraksi yang digunakan, ukuran partikel sampel, kondisi dan waktu penyimpanan, lama waktu ekstraksi, dan perbandingan jumlah pelarut terhadap jumlah sampel (Darusman et al. 1995). Pemilihan pelarut tersebut berdasarkan sifat kepolarannya dan kandungan kimia bahan yang akan diekstrak. Dengan mengetahui sifat metabolit yang akan diekstrak dapat dipilih pelarut yang sesuai berdasarkan kepolaran zatnya. Ekstraksi ini dilakukan berdasarkan prinsip like dissolve like, yaitu pelarut polar akan melarutkan senyawa polar dan pelarut nonpolar akan melarutkan senyawa nonpolar (Khopkar 1990).
12
2.4 Antioksidan Antioksidan merupakan senyawa yang dapat menghambat spesies oksigen reaktif/spesies nitrogen reaktif (ROS/RNS) dan juga radikal bebas sehingga antioksidan dapat mencegah penyakit-penyakit yang dihubungkan dengan radikal bebas seperti karsinogenesis, kardiovaskuler dan penuaan (Rohman dan Riyanto 2005). Antioksidan digunakan untuk melindungi komponen-komponen makanan yang bersifat tidak jenuh (mempunyai ikatan rangkap), terutama lemak dan minyak. Meskipun demikian, antioksidan dapat pula digunakan untuk melindungi komponen-komponen lain, yaitu vitamin dan pigmen yang juga banyak mengandung ikatan rangkap di dalam strukturnya (Siagian 2002). Sumber-sumber antioksidan dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu antioksidan sintetik (antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesis reaksi kimia) dan antioksidan alami (antioksidan hasil ekstraksi bahan alami). Beberapa contoh antioksidan sintetik yang diijinkan penggunaanya untuk makanan dan telah sering digunakan, yaitu butil hidroksi anisol (BHA), butil hidroksi toluen (BHT), propil galat, tert-butil hidoksi quinon (TBHQ) dan tokoferol. Antioksidanantioksidan tersebut merupakan antioksidan alami yang telah diproduksi secara sintesis untuk tujuan komersial (Rohman dan Riyanto 2005). Antioksidan yang baik akan bereaksi dengan radikal asam lemak segera setelah senyawa tersebut terbentuk. Mekanisme antioksidan dalam menghambat oksidasi atau menghentikan reaksi berantai pada radikal bebas dari lemak yang teroksidasi, dapat disebabkan oleh 4 macam mekanisme reaksi (Ketaren 1986), yaitu: pelepasan hidrogen dari antioksidan, pelepasan elektron dari antioksidan, addisi lemak ke dalam cincin aromatik pada antioksidan, dan pembentukan senyawa kompleks antara lemak dan cincin aromatik dari antioksidan. Diantara berbagai jenis antioksidan yang ada, mekanisme kerja serta kemampuannya sebagai antioksidan sangat bervariasi. Seringkali, kombinasi beberapa jenis antioksidan memberikan perlindungan yang lebih baik (sinergisme) terhadap oksidasi dibandingkan dengan satu jenis antioksidan saja (Siagian 2002). Berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan dapat digolongkan menjadi tiga macam, yaitu antioksidan primer, sekunder dan tersier. Antioksidan primer
13
(pemecah rantai), yaitu antioksidan yang dapat bereaksi dengan radikal lipida lalu mengubahnya ke bentuk yang lebih stabil. Suatu molekul antioksidan dapat disebut sebagai antioksidan primer (AH), jika dapat mendonorkan atom hidrogennya secara cepat ke radikal lipida (RO˙) dan radikal turunan antioksidan tersebut (A˙) lebih stabil dibanding radikal lipida, atau mengubahnya ke bentuk yang lebih stabil. Beberapa contoh antioksidan primer adalah superoksida dismutase (SOD), Butylated Hidroxyanisol (BHA), Butylated Hidroxytoluene (BHT) dan tokoferol (Oktay et al. 2003). Antioksidan yang sering digunakan umumnya tergolong dalam senyawa fenolik. Senyawa-senyawa tersebut bertindak sebagai antioksidan melalui kemampuannya untuk bereaksi dengan radikal bebas (terutama radikal peroksi, ROO•). Dalam hal ini, senyawa fenolik bertindak sebagai donor hidrogen atau sebagai akseptor radikal peroksi. Metode yang umum digunakan untuk menguji aktivitas antioksidan suatu bahan adalah dengan menggunakan radikal bebas diphenylpicrylhydrazyl (DPPH). DPPH adalah radikal bebas yang bersifat stabil dan beraktivitas dengan cara mendelokalisasi elektron bebas pada suatu molekul, sehingga molekul tersebut tidak reaktif sebagaimana radikal bebas yang lain. Proses delokalisasi ini ditunjukkan dengan adanya warna ungu (violet) pekat yang dapat dikarakterisasi pada pita absorbansi dalam pelarut etanol pada panjang gelombang 520 nm (Molyneux 2004). Struktur DPPH dan DPPH tereduksi hasil reaksi dengan antioksidan dapat dilihat pada Gambar 3.
Diphenylpicrylhydrazyl (radikal bebas)
Diphenylpicrylhydrazine (non radikal)
Gambar 3 Struktur DPPH dan DPPH tereduksi hasil reaksi dengan antioksidan Pengukuran kapasitas antioksidan dengan metode DPPH menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 517 nm. Larutan DPPH berwarna ungu gelap, ketika ditambahkan senyawa antioksidan maka warna larutan akan
14
berubah menjadi kuning cerah. Penurunan absorbansi akan menunjukkan adanya aktivitas scavenging dengan berkurangnya warna ungu (Molyneux 2004). Parameter untuk menginterpretasikan hasil pengujian dengan metode DPPH adalah IC50 (inhibition concentration). IC50 merupakan konsentrasi larutan substrat atau sampel yang akan menyebabkan reduksi terhadap aktivitas DPPH sebesar 50% (Molyneux 2004).
2.5 Kandungan Fitokimia Analisis fitokimia adalah analisis yang mencakup pada aneka ragam senyawa organik yang dibentuk dan ditimbun oleh makhluk hidup, yaitu mengenai
struktur
kimia,
biosintesis,
perubahan
serta
metabolismenya,
penyebaran secara alamiah dan fungsi biologinya (Harborne 1987). 2.5.1 Alkaloid Alkaloid adalah senyawa organik siklik yang mengandung atom N, umumnya merupakan bagian dari cincin heterosiklik (gugus amina dan amida) dan bersifat basa. Senyawa tersebut dapat diperoleh dari ekstraksi kulit kayu, akar, daun, batang dan buah pada tumbuhan (Solmons 2004). Sifat kebasaan alkaloid dipengaruhi oleh struktur molekul, keberadaan, dan letak gugus fungsi lain. Alkaloid umumnya berbentuk padatan kristal dan berasa pahit (Sarker dan Nahar 2007). Biosentesis alkaloid diketahui berasal dari sejumlah kecil asam amino yaitu ornitin dan lisin yang menurunkan alkaloid alisiklik, fenilalanin dan tirosin yang menurunkan alkaloid jenis isokuinolin, dan triftofan yang menurunkan alkaloid indol. Keberadaan alkaloid yang sangat beraneka ragam menyebabkan senyawa ini lebih sering didapatkan langsung dari tumbuhan dibandingkan dari produk sentesis (Kaufman et al. 1999). Beberapa contoh senyawa alkaloid yang telah umum dikenal dalam bidang farmakologi, yaitu nikotin (stimulan pada syaraf otonom), morfin (analgesik), kodein (analgesik dan obat batuk), atropin (obat tetes mata), skopolamin (sedatif menjelang operasi), kokain (analgesik), piperin (antifeedant), quinin (obat malaria), vinkristin (obat kanker), ergotamin (analgesik untuk migran), reserpin
15
(pengobatan simptomatis disfungsi ereksi), mitraginin (analgesik dan antitusif), serta vinblastin (antineoplastik dan obat kanker) (Putra 2007). 2.5.2 Steroid/triterpenoid Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu skualen. Senyawa ini berstruktur siklik yang rumit, kebanyakan berupa alkohol, aldehida atau asam karboksilat. Mereka berupa senyawa tanpa warna, berbentuk kristal, seringkali bertitik leleh tinggi dan aktif optik (Harborne 1987). Hasil penelitian Setzer (2008) menunjukkan bahwa sejumlah produk triterpenoid alami memiliki aktivitas antitumor karena memiliki kemampuan menghambat kinerja enzim topoisomerase II, dengan cara berikatan dengan sisi aktif enzim yang nantinya akan mengikat DNA dan membelahnya. Hal ini menyebabkan enzim menjadi terkunci dan tidak dapat mengikat DNA. Triterpenoid dapat digolongkan menjadi sekurang-kurangnya empat golongan senyawa, yaitu triterpena, steroid, saponin dan glikosida jantung. Triterpena tertentu terkenal karena rasanya, terutama kepahitannya. Senyawa triterpenoid yang terdapat pada tumbuhan tingkat tinggi adalah fitosterol yang terdiri dari sitosterol, stigmaterol dan kaempesterol (Harborne 1987). Steroid merupakan golongan dari senyawa triterpenoid. Senyawa ini dapat diklasifikasikan menjadi steroid dengan atom karbon tidak lebih dari 21, seperti sterol, sapogenin, glikosida jantung dan vitamin D. Steroid alami berasal dari berbagai transformasi kimia dua triterpena yaitu lanosterol dan sikloartenol. Senyawa steroid dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan obat (Harborne 1987). Hasil penelitian Silva et al. (2002) menunjukkan bahwa komponen steroid yang diekstrak dari daun Agave attenuata memiliki aktivitas anti-inflamasi. 2.5.3 Flavonoid Flavonoid merupakan senyawa yang larut dalam air. Senyawa ini dapat diekstraksi dengan etanol 70% dan tetap ada dalam lapisan air setelah ekstrak ini dikocok dengan eter minyak bumi. Flavonoid berupa senyawa fenol, oleh karena itu warnanya berubah bila ditambah basa atau amonia (Harborne 1987). Flavonoid merupakan salah satu golongan fenol alam terbesar yang banyak terdapat dalam tumbuh-tumbuhan hijau. Flavonoid merupakan senyawa
16
antioksidan alami, mencegah bergabungnya oksigen dengan zat lain sehingga tidak menimbulkan kerusakan pada sel-sel tubuh (Liu dan Guo 2006). Flavonoid mengandung cincin aromatik yang terkonjugasi, oleh karena itu menunjukkan pita serapan kuat pada daerah spektrum UV dan spektrum tampak. Flavonoid terdapat dalam tumbuhan, terikat pada gula sebagai glikosida dan aglikon flavonoid. Diperkirakan 2% dari seluruh karbon yang difotosentesis oleh tumbuhan dirubah menjadi flavonoid atau senyawa yang berkaitan dengannya (Markam 1988). Penggolongan jenis flavonoid dalam jaringan tumbuhan mula-mula didasarkan pada telaah sifat kelarutan dan reaksi warna. Terdapat sekitar sepuluh kelas flavonoid, yaitu antosianin, proantosianidin, flavonol, flavon, glikoflavon, biflavon, khalkon, auron, flavanon, dan isoflavon (Harborne 1987). Flavonoid
sangat
efektif
untuk
digunakan
sebagai
antioksidan
(Astawan dan Kasih 2008), hasil penelitian Bernardi et al. (2007) menunjukkan bahwa seluruh komponen flavonoid yang diisolasi dari Hypericum ternum memiliki aktivitas antioksidan. 2.5.4 Saponin Saponin adalah glikosida triterpena dan sterol yang telah terdeteksi dalam lebih dari 90 suku tumbuhan. Glikosida adalah suatu kompleks antara gula pereduksi (glikon) dan bukan gula (aglikon). Glikon bersifat mudah larut dalam air dan glikosida-glikosida mempunyai tegangan permukaan yang kuat (Winarno 2008). Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun, serta dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa. Pencarian saponin dalam tumbuhan telah dirangsang oleh kebutuhan akan sumber sapogenin yang mudah diperoleh dan dapat diubah di laboratorium menjadi sterol hewan yang berkhasiat penting (misalnya kortison, estrogen kontraseptif dan lain-lain). Banyak saponin yang mempunyai satuan gula sampai lima dan komponen yang umum adalah asam glukuronat. Pembentukan busa yang mantap sewaktu mengekstraksi tumbuhan atau waktu memekatkan ekstrak tumbuhan merupakan bukti terpecaya akan adanya saponin. Saponin jauh lebih polar daripada sapogenin karena ikatan glikosidanya (Harborne 1987).
17
Komponen saponin berperan dalam mereduksi kolesterol dan melawan kanker kolon. Saponin juga memiliki aktivitas antimikroba, merangsang sistem imun, dan mengatur tekanan darah (Astawan dan Kasih 2008). Hasil penelitian Cui et al. (2004) menunjukkan bahwa ekstrak air dari tumbuhan herbal Dioscorea nipponica Mak. biasa digunakan sebagai obat penyakit kardiovaskular (penyakit jantung, hyperlipaemia, dan tonsilitis). 2.5.5 Fenol hidrokuinon Kuinon adalah senyawa berwarna dan mempunyai kromofor dasar, seperti kromofor pada benzokuinon, yang terdiri atas dua gugus karbonil yang berkonjugasi dengan dua ikatan rangkap karbon-karbon. Untuk tujuan identifikasi, kuinon dapat dipilah menjadi empat kelompok, yaitu benzokuinon, naftokuinon, antrakuinon
dan
kuinon
isoprenoid.
Tiga
kelompok
pertama
biasanya
terhidroksilasi dan bersifat senyawa fenol serta mungkin terdapat in vivo dalam bentuk gabungan dengan gula sebagai glikosida atau dalam bentuk kuinon tanpa warna, kadang-kadang juga bentuk dimer. Dengan demikian, diperlukan hidrolisis asam untuk melepaskan kuinon bebasnya (Harborne 1987). Senyawa kuinon yang terdapat sebagai glikosida mungkin larut sedikit dalam air, tetapi umumnya kuinon lebih mudah larut dalam lemak dan akan terekstraksi dalam tumbuhan bersama-sama dengan karotenoid dan klorofil. Reaksi yang khas adalah reduksi bolak-balik yang mengubah kuinon menjadi senyawa tanpa warna, kemudian warna kembali lagi bila terjadi oksidasi oleh udara. Reduksi dapat dilakukan menggunakan natrium borohidrida dan oksidasi ulang dapat terjadi hanya dengan mengocok larutan tersebut di udara (Harborne 1987). 2.5.6 Karbohidrat Karbohidrat berasal dari kata ”karbo” yang berarti unsur karbon dan ”hidrat” yang berarti air, yang berarti unsur C mengikat molekul H2O dengan rumus kimia CH2O.
Biomolekul karbohidrat adalah makromolekul senyawa
organik dengan BM beberapa ribu, sehingga rumus kimia karbohidrat menjadi (CH2O)n. (Hawab 2003). Karbohidrat merupakan komponen organik kompleks yang dibentuk melalui proses fotosintesis pada tanaman, dan merupakan sumber energi utama
18
dalam respirasi. Karbohidrat berperan dalam penyimpanan energi (pati), transportasi energi (sukrosa), serta pembangun dinding sel (selulosa). Karbohidrat berperan dalam interaksi hewan dan tumbuhan, perlindungan dari luka dan infeksi, serta detoksifikasi dari substansi asing (Harborne 1987). Karbohidrat mempunyai struktur, ukuran dan bentuk molekul yang berbeda-beda. Karbohidrat umumnya aman untuk dikonsumsi (tidak beracun). Rumus kimia karbohidrat umumnya Cx(H2O)y (Fennema 1996).
Berdasarkan
berat molekul, panjang pendeknya rantai hidrokarbon, serta komplikasi makromolekulnya, Hawab (2003) menggolongkan karbohidrat dibedakan menjadi beberapa kelompok, yaitu monosakarida yang disebut juga gula sederhana dengan jumlah atom C 3 sampai 7, disakarida yang mengandung 2 residu monosakarida, oligosakarida yang memiliki 3 sampai 7 residu monosakarida, dan polisakarida yang memiliki banyak unit monosakarida. 2.5.7 Gula pereduksi Gugus fusngional monosakarida yaitu gugus aldehid dan gugus keton yang berfungsi sebagai pereduktif. Reaksi antara monosakarida dan peroksida menghasilkan monosakarida. Beberapa pereaksi peroksida yang dapat digunakan untuk uji monosakarida ialah uji fehling, molisch, benedict, dan barfoed. Tidak semua monosakarida bersifat pereduksi, tergantung aktivitas gugus fungsionalnya. Monosakarida yang masih bersifat pereduksi disebut gula pereduksi (Hawab 2003). Sifat sebagai reduktor pada monosakarida dan beberapa disakarida disebabkan oleh adanya gugus aldehida atau keton bebas dalam molekul karbohidrat. Sifat ini dapat digunakan untuk keperluan identifikasi karbohidrat maupun analisis kuantitatif. Pereaksi benedict berupa larutan yang mengundang kuprisulfat, natrium karbonat dan natrium sitrat. Glukosa dapat mereduksi ion Cu2+ dari kuprisulfat menjadi ion Cu2+ yang kemudian mengendap sebagai Cu2O. Adanya natrium karbonat dan natrium sitrat membuat pereaksi benedict bersifat basa lemah. Endapan yang terbentuk dapat berwarna hijau, kuning atau merah bata. Warna endapan ini tergantung pada konsentrasi karbohidrat yang diperiksa (Poedjiadi 1994).
19
2.5.8 Peptida Peptida merupakan pembentukan dua atau lebih residu asam amino yang berikatan satu sama lain dan membentuk ikatan peptide. Ikatan ini dibentuk dengan pelepasan gugus OH pada gugus karboksil asam amino dan gugus H dari asam amino yang lain, serta membentuk satu molekul H2O. Reaksi terbentuknya ikatan peptide dan menghasilkan molekul H2O disebut reaksi kondensasi. Dua molekul asam amino yang diikat oleh sebuah ikatan peptida disebut dipeptida, tiga molekul asam amino yang diikat oleh dua ikatan peptida disebut tripeptida, dan begitu seterusnya (Hawab 2003). Hidrolisis ikatan peptida dapat dilakukan dengan menggunakan asam kuat (HCl
6M), basa kuat (NaOH 2M) atau enzim tertentu. Metode hidrolisis yang
paling sering dilakukan adalah hidrolisis asam (Bailey 1992).
Pepetida
merupakan senyawa yang bersifat zwitterion, netral dan tidak memiliki muatan pada titik isoelektriknya. Berdasarkan konstanta keasamannya, peptida kurang bersifat zwitterionik dibandingkan dengan asam amino (Shallenberger 1993). Peptida berkontribusi pada pembentukan flavor baik yang diinginkan maupun yang off-flavor, mulai dari dipeptida hingga molekul yang mengandung banyak residu asam amino dengan berat molekul ribuan (Weir 1992). 2.5.9 Asam amino Menurut Lehninger (1988), semua asam amino yang ada pada protein memiliki ciri yang sama, yaitu memiliki gugus karboksil dan gugus amino yang diikat pada atom karbon yang sama. Masing-masing asam amino berbeda satu sama lainnya pada rantai samping (gugus R), yang bervariasi dalam struktur, ukuran, muatan listrik dan kelarutan dalam air. Kalisifikasi asam amino dapat dilakukan berdasarkan beberapa kategori. Menurut Belitz dan Grosch (2009), asam amino dikalisifikasikan berdasarkan kemampuan rantai samping dalam melakukan reaksi intra dan intermolekul. Kalisifikasi tersebut membagi asam amino menjadi tiga bagian, yaitu asam amino non polar dan tidak bermuatan (glisin, alanin, valin, leusin, isoleusin, prolin, fenilalanin, triptofan, dan methionin); asam amino polar dan tidak bermuatan (serin, sistein, tirosin, asparagin, dan glutamine); asam amino bermuatan (asam aspartat, asam glutamate, histidin, lisin, dan arginin).
20
Menurut Lehninger (1988), berdasarkan polaritasnya asam amino dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu asam amino hidrofilik (asam aspartat, asam glutamat, asparagin, glutamin, lisin, arginin, dan histidin), asam amino hidrofobik (fenilalanin, leusin, isoleusin, methionin, valin, dan triptofan), adan asam amino antara (prolin, treonin, serin, sistein, alanin, glisin, dan tirosin). Beberapa asam amino memiliki kontribusi dalam pembentukan cita rasa. Asam amino pembentuk rasa dikelompokkan dalam tiga grup, yaitu asam amino yang memiliki bentuk rasa L dan D-enantimorf yang tidak memiliki rasa atau tidak jelas rasanya, asam amino dengan sensasi rasa yang kompleks yang sulit untuk dikenali dalam bentuk murninya, dan asam amino dengan rasa berbeda. Ltriptofan mendekati rasa pahit, D-triptofan 35 kali lebih manis daripada sukrosa, sedangkan L- dan D-fenilalanin, serta L- dan D-tirosin hampir sama. Glisin memiliki rasa manis yang terendah diantara asam amino. Asam glutamat pada ekstrak sintesis tidak hanya memberikan rasa gurih, tetapi meningkatkan keseluruhan sensasi sebagai hasil kesinambungan yang menyampaikan, ketebalan, kelembutan, dan kompleksitas (Murata et al. 1969).