KARAKTERISASI LINTAH LAUT (Discodoris sp) SEBAGAI ANTIOKSIDAN DAN ANTIKOLESTEROL
NURJANAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul Karakterisasi Lintah Laut (Discodoris Sp) sebagai Antioksidan dan Antikolesterol merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Bogor, Agustus 2010
Nurjanah C526014021
ABSTRACT NURJANAH. Characterization of Sea Slug (Discodoris sp) as Antioxidant and Anticholesterol. Supervised by LINAWATI HARDJITO, DANIEL R MONINTJA, MARIA BINTANG and DEWI RATIH AGUNGPRIYONO. Sea slug (Discodoris sp) is a member of nudibranch marine invertebrate usually called as non shell gastropod. Sea slug has been used by Bajo People in Buton Island as aphrodisiac and food supplement. The general objectives of this research were to isolate and characterize the antioxidant and anticholesterol activity of sea slug and to study the possibility for functional food development. The specific objectives of this research were (1) to determine the yield and the antioxidant activity with various solvents and its chemical group, (2) to examine dry powder sea slug as an antioxidant related to cholesterol formation of rabbit blood, (3) and to investigate atheroma/plaque formation of rabbit blood vessels, (4) to investigate toxicopathological effects of dry sea slug powder against liver and kidney. The research was conducted in four stages; (1) sampling of sea slug and dry sample preparation, (2) extraction of dry powder by applying various solvent (non polar, semi polar and polar), (3) antioxidant activity test by diphenylpicryl hydrazyl (DPPH), Nitrobluetetrazolium (NBT) method and crude extract-selected chemical test, (4) in vivo test against sixteen 5 months old male New Zealand White rabbits. The treatments included (1) negative control feed by RB-12 (K-), (2) positive control feed by RB-12 and cholesterol 0.2% (K+), (3) simvastatin feed by RB-12, cholesterol 0.2% and Simvastatin 0.625 mg/indivividual daily (S), (4) Discodoris sp feed by sea slug powder at dosage of 4 g/individual daily (average of weight 2.5 kg), RB-12 and cholesterol 0.2%. Total cholesterol, triglyceride, HDL, and LDL of blood serum were determined at 0, 4, 8 and 12 weeks. At the end of experiment, SGOT and SGPT were tested and histopathological alteration of heart blood vessel liver and kidney was observed. Dry sea slug powder contained protein of 49.60%; fat of 4.58%; ash of 11.74%; acid-insoluble ash of 1.9%; moisture of 15.25%; crude fiber of 0.45%, and carbohydrate of 18.73%. Mercury (Hg), lead (Pb), Cadmium (Cd) were not detected when analyzed by AAS. Methanol extract provided the highest yield i.e 5.12% and IC50 of 781.23 ppm for whole sample and 1657.07 ppm for mantle while with NBT method resulted IC50 89.44%. Methanol extract contained alkaloid, steroid, saponin, free amino acids, carbohydrat and phenol. Feeding 4 g/individual/day dry sea slug powder onto rabbit for 12 weeks decreased total cholesterol from 572.40mg/dl to 69.75 mg/dl, LDL (low density lipoprotein) from 435.20 mg/dl to 17.50 mg/dl, triglyceride from 210.35 mg/dl to 40.87 mg/dl. In addition, HDL (high density lipoprotein) increased from 18.95 to 103.23 mg/dl (α = 0.05). Dry sea slug powder also suppressed fat and hydropic degeneration of the liver and prevented formation of plaque/atheroma of heart blood vessel. However it protein sedimentation occurred on kidney glomerulus. The research concluded that dry sea slug powder with it chemical contents showed potential antioxidant and anticholesterolemia agents and could prevent the formation of fat on the liver and plaque on the heart blood vessel. Keywords: antioxidant, anticholesterol, Discodoris sp, toxicopathological effect
RINGKASAN NURJANAH. Karakterisasi Lintah Laut (Discodoris sp) sebagai Antioksidan dan Antikolesterol. Dibimbing oleh LINAWATI HARDJITO sebagai ketua komisi pembimbing, DANIEL R MONINTJA, MARIA BINTANG dan DEWI RATIH AGUNGPRIYONO sebagai anggota. Lintah laut (Discodoris sp) adalah salah satu jenis invertebrata laut yang termasuk nudibranch dan sering juga disebut dengan istilah siput/keong tanpa cangkang. Lintah laut ini telah dimanfatkan oleh masyarakat Bajo di Kepulauan Buton sebagai aprodisiaka dan peningkat stamina tubuh. Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengisolasi dan karakterisasi antioksidan serta antikolesterol yang dihasilkan oleh lintah laut serta mengkaji kemungkinan pengembangannya sebagai pangan fungsional. Tujuan khusus penelitian ini untuk (1) menentukan rendemen dan aktivitas antioksidan dengan berbagai pelarut serta kelompok senyawa kimia ekstrak lintah laut kering, (2) mengetahui khasiat antioksidan lintah laut yang mengandung bahan lain dikaitkan dengan pembentukan kolesterol pada darah kelinci, (3) mengetahui aktivitas antioksidan dan bahan lain yang terdapat pada lintah laut yang berkaitan dengan pembentukan ateroma/plak pada pembuluh darah kelinci, (4) mengetahui efek toksikopatologis antioksidan dan bahan lain yang terdapat pada lintah laut terhadap organ hati dan ginjal. Penelitian dilakukan dalam 4 tahap yaitu: (1) Pengambilan contoh lintah laut dan persiapan contoh kering (2) Ekstraksi dengan metode Quinn menggunakan pelarut bertingkat (nonpolar, semi polar, polar), (3) Uji aktivitas antioksidan menggunakan metode diphenylpicryl hydrazyl DPPH dan Nitrobluetetrazolium (NBT) serta uji kimia ekstrak kasar terpilih, (4) Uji in-vivo menggunakan 16 ekor kelinci ras New Zealand White jenis kelamin jantan yang berumur 5 bulan dan dibagi menjadi 4 perlakuan. Perlakuan kontrol negatif diberi ransum pakan RB-12 (K-), Perlakuan kontrol positif diberi ransum RB-12 dan kolesterol 0,2% (K+), Perlakuan Simvastatin diberi ransum RB-12, kolesterol 0,2% dan Simvastatin 0,625 mg per ekor/hari (S), Perlakuan Discodoris sp dengan penambahan bubuk lintah laut 4 g per ekor/hari (berat badan rata-rata 2,5 kg), ransum RB-12 dan kolesterol 0,2%. Pengamatan kolesterol total, trigliserida, HDL, dan LDL serum darah kelinci dilakukan pada minggu ke-0, 4, 8, dan 12. Pada akhir percobaan dilakukan uji SGOT dan SGPT serta pengamatan perubahan histopatologis organ hati, pembuluh darah jantung dan ginjal. Bubuk lintah laut kering mengandung protein 49,60%; lemak 4,58%; abu 11,74%; abu tidak larut asam 1,9%; air 15,25%, serat kasar 0,45%, dan karbohidrat 18,73%. Analisis logam berat merkuri (Hg), timbal (Pb) dan kadmium (Cd) menggunakan AAS tidak terdeteksi. Rendemen ekstrak kasar tertinggi diperoleh dari pelarut metanol yaitu 5,12% dengan IC50 781,23 ppm untuk contoh utuh dan 1657,07 ppm untuk contoh tanpa jeroan sedangkan dengan metode NBT 89,44 %. Ekstrak metanol mengandung alkaloid, steroid, saponin, asam amino bebas, karbohidrat dan fenol. Pemberian bubuk lintah laut kering pada kelinci sebanyak 4 gram per ekor/hari selama 12 minggu dapat menurunkan kolesterol total dari 572,40 mg/dl menjadi 69,75 mg/dl, LDL (low density lipoprotein) dari 435,20 mg/dl menjadi
17,50 mg/dl, trigliserida dari 210,35 mg/dl menjadi 40,87 mg/dl dan mampu meningkatkan kadar HDL (high density lipoprotein) dari 18,95 mg/dl menjadi 103,23 mg/dl (signifikan α=0,05). Bubuk lintah laut kering juga mampu menekan terjadinya degenerasi lemak dan degenerasi hidropis pada hati, demikian juga terhadap pembuluh darah jantung yang dapat mencegah pembentukan ateroma, namun pada ginjal ditemukan adanya sedimentasi protein pada glomerulus. Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa bubuk lintah laut kering dengan kandungan kimianya potensial sebagai antioksidan dan antikolesterolemia serta mampu mencegah perlemakan hati dan pembentukan plak. Kata kunci: antioksidan, antikolesterol, Discodoris sp, efek toksikopatologis
© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
KARAKTERISASI LINTAH LAUT (Discodoris sp) SEBAGAI ANTIOKSIDAN DAN ANTIKOLESTEROL
NURJANAH
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Ujian Tertutup Penguji luar Komisi
Ujian Terbuka Penguji Luar Komisi
: 1. Prof. Dr. Ir. Fransiska Rungkat Zakaria Guru Besar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian IPB 2. Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto, MSc. Guru Besar Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB : 1. Prof. Dr. Ir. Winiati Pujirahayu, MS Guru Besar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian IPB 2. Dr. Ir. Nazori Djazuli MSc Direktur Standardisasi dan Akreditasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Kementerian Kelautan dan Perikanan RI
Judul Disertasi : Karakterisasi Lintah Laut (Discodoris sp) sebagai Antioksidan dan Antikolesterol Nama : Nurjanah NRP : C526014021 Program Studi : Teknologi Kelautan
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Linawati Hardjito M.Sc. Ketua
Prof. Dr. Ir. Daniel R Monintja Anggota
Prof. Dr.drh. Maria Bintang, MS. Anggota
drh. Dewi R. Agungpriyono, Ph.D. AP Vet Anggota
Diketahui, Ketua Program Studi Teknologi Kelautan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc.
Prof. Dr. Ir. Khairil A.Notodiputro, MS.
Tanggal Ujian: 12-08-2010
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas ijinNya penelitian dan penulisan disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi ini ditulis dalam rangka memenuhi persyaratan bagi penulis dalam memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Kelautan Sekolah Pascasarjana IPB Bogor dengan judul “Karakterisasi Lintah Laut (Discodoris sp) sebagai Antioksidan dan Antikolesterol” Penelitian ini merupakan salah satu usaha untuk mengoptimalkan pemanfaatan lintah laut sebagai sumber pangan fungsional atau sediaan suplemen melalui kajian aktivitas antioksidan dan penentuan komponen bioaktif serta antikolesterol dan efek toksikopatologis pada hewan percobaan sehingga dapat bermanfaat bagi kesehatan. Penulis menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Ibu Dr Ir. Linawati Hardjito MSc, selaku Ketua Komisi Pembimbing, Bapak Prof. Dr.Ir. Daniel R Monintja, Ibu Prof.Dr.drh. Maria Bintang MS, Ibu drh Dewi Ratih Agungpriyono PhD, AP Vet sebagai anggota komisi pembimbing atas segala arahan, petunjuk dan bimbingannya. 2. Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto, MSc dan Prof. Dr. Fransisca Rungkat Zakaria, Prof. Dr. Ir. John Haluan dan Dr Ir. Ruddy Suwandi MS, M. Phil sebagai penguji luar komisi pada sidang tertutup serta Prof. Dr. Ir. Winiati Pujirahayu, MS dan Dr. Ir. Nazori Djazuli, MSc, atas saran dan masukannya dalam penyempurnaan dan perbaikan disertasi ini. 3. Bapak drh Endi Ridwan yang telah bersedia meminjamkan kandang kelinci dan menginformasikan tentang pakan dan kelinci 4. Bapak Sholeh, Bapak Kasnadi, Lili dan Zulfikar yang telah banyak membantu saat pelaksanaan penelitian in-vivo di Bagian Pataologi FKH 5. Terimakasih secara khusus juga disampaikan pada Dr. Ir. Linawati Hardjito, M.Sc, atas bantuan bahan-bahan kimia, laboratorium dan semua teknisi di laboratorium Bioteknologi THP FPIK IPB dan drh. Dewi Ratih Agungpriyono, PhD. AP Vet. yang telah banyak membantu dengan sabar dan mengijinkan penggunaan Laboratorium di Bagian Patologi FKH untuk penelitian in-vivo. 6. Bapak Agus Buono, Faisal, Zainal, Deden, Dede S, Vanadia, Aan, Ane, Sasa, Roni, Yulia, UU, Au, Fau, Efga, Anjar, Uti, Reza, Wati atas bantuannya dalam penyelesaian pengolahan data dan penulisan disertasi ini 7. Bapak Prof Dr. Ir. Enang Harris (mantan dekan FPIK) dan Ibu Ir Wini Trilaksani MSc (mantan Kajur THP) atas dukungan dan rekomendasinya untuk kuliah S3 di TKL. 8. Suami dan ananda tercinta, saudara-saudaraku dan seluruh keluarga atas segala doa, pengertian, bantuan dan kasih sayangnya. Atas jasa mereka semua saya dapat melakukan penelitian dan penulisan disertasi ini, semoga segala bantuan yang diberikan baik langsung maupun tidak langsung dibalas oleh Allah SWT kebaikan dan ketulusan hati mereka baik di dunia maupun di akhirat kelak, amin. Bogor, Maret 2010 Nurjanah
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Lintau Buo Sumatra Barat pada tanggal 13 Oktober 1959 dari Ayah Rivai (Alm) dan Ibu Rosnibar (Almh). Penulis merupakan anak ke empat dari sepuluh bersaudara. Tahun 1979, penulis lulus SMA N IV Jakarta dan diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Proyek Perintis II. Pada tahun 1983 penulis lulus dari Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan IPB. Pada tahun 1988 penulis melanjutkan studi S2 di Program Studi Ilmu Pangan, Pascasarjana IPB dan pada tahun 1993 meraih gelar Magister Sains. Pada tahun 1984 sampai 1988 penulis bekerja sebagai staf peneliti dan survei serta tahun 1993 sampai sekarang sebagai staf ahli di Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia. Sejak tahun 1986 sampai sekarang menjadi staf pengajar di Departemen Teknologi Hasil Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Pada tahun 1985 penulis menikah dengan Ir Harianto Arifin M.Sc dan dikaruniai putri Bunga Oktora pada tahun 1986, pada tahun 1991 dikaruniai putra Ryan Hidayat dan pada tahun 1994 dikaruniai putra Firmansyah. Karya ilmiah dengan judul: Lintah Laut (Discodoris sp) sebagai antikolesterolemia pada Kelinci New Zealand White telah dipresentasikan pada seminar nasional Peran IPTEK dalam Pengembangan Kelautan dan Perikanan dalam Rangka Purnabakti Prof.Dr.Ir.Bonar P Pasaribu, M.Sc dan dipublikasikan pada Jurnal Kelautan Nasional Vol 2 edisi khusus hal 31-42 tahun 2009, Patologi Hati Kelinci Hiperkolesterolemia dengan Penambahan Lintah Laut (Discodoris sp) telah dipresentasikan pada Seminar Nasional Perikanan di UGM Yogyakarta 25 Juli 2009 dan Aktivitas Antioksidan Lintah Laut (Discodoris sp) dari Perairan Pulau Buton Sulawesi Tenggara telah dipresentasikan pada Seminar Nasional Pascapanen dan Bioteknologi Perikanan di Jakarta 13 Agustus 2009 dan dipublikasikan dalam Proseding Seminar Nasional Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan hal 49-58. Karya ilmiah ini merupakan bagian dari disertasi program S3 penulis.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ................................................................................................ viii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. ix DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... x 1
PENDAHULUAN .......................................................................................... 1 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6
2
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 6 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6
3
Latar Belakang ............................................................................................ 1 Rumusan Masalah ....................................................................................... 2 Tujuan Penelitian......................................................................................... 2 Hipotesis Penelitian ..................................................................................... 3 Manfaat Penelitian....................................................................................... 3 Kerangka Pemikiran .................................................................................... 3 Ekobiologi Discodoris sp ............................................................................ 6 Komponen Bioaktif dari Perairan ............................................................... 8 Antioksidan dan Radikal Bebas ................................................................ 11 Bahan Alam dari Sumberdaya Hayati Laut .............................................. 18 Kolesterol dan Antikolesterol ................................................................... 19 Histopatologi ............................................................................................. 26
METODE PENELITIAN .............................................................................. 28 3.1 Tempat dan Waktu .................................................................................... 28 3.2 Bahan dan Alat .......................................................................................... 28 3.3 Metode Penelitian...................................................................................... 29 3.3.1 Tahap persiapan contoh ...................................................................... 29 3.3.2 Analisis proksimat.............................................................................. 29 3.3.3 Analisis logam berat. ........................................................................... 30 3.3.4 Ekstraksi bahan aktif antioksidan dan antikolesterol dari lintah laut . 30 3.3.5 Identifikasi golongan senyawa bioaktif lintah laut ............................. 31 3.3.6 Uji aktivitas antioksidan ekstrak kasar lintah laut kering (DPPH) (Blois 1959 diacu dalam Molyneux 2004) ......................................... 33 3.3.7 Uji aktivitas antioksidan ekstrak kasar lintah laut kering metode NBT ....................................................................................... 34 3.3.8 Uji khasiat dan efek toksikopatologis bubuk lintah laut kering pada hewan percobaan ............................................................................... 35 3.3.9 Analisis statistik .................................................................................. 41
4
HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... 42 4.1 Komposisi Lintah Laut dan Residu Logam Berat ..................................... 42 4.2 Rendemen Ekstrak Kasar Lintah Laut Kering .......................................... 42 4.3 Kelompok Komponen Kimia Lintah Laut ................................................ 43 4.4 Aktivitas Antioksidan Metode DPPH ....................................................... 49 4.5 Aktivitas Antioksidan Metode NBT ......................................................... 53 4.6 Hasil Uji In-vivo pada Kelinci ................................................................... 56 4.6.1 Hubungan tingkat konsumsi ransum dan pertambahan berat............. 56
4.6.2 4.6.3 4.6.4 4.6.5 5
Hasil pengamatan kimia darah ........................................................... 57 Pengaruh lintah laut terhadap sel hati ................................................ 68 Pengaruh lintah laut terhadap aorta .................................................... 71 Pengaruh lintah laut terhadap ginjal ................................................... 73
KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 77 5.1 Kesimpulan................................................................................................ 77 5.2 Saran .......................................................................................................... 77
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 78
DAFTAR TABEL Halaman 1 Komposisi kimia beberapa jenis gastropoda dan bivalvia (%) ........................ 9 2 Faktor-faktor penghasil oksigen radikal......................................................... 13 3 Metabolisme senyawa-senyawa radikal bebas ............................................... 14 4 Perlakuan pada uji aktivitas antioksidan ........................................................ 35 5 Komposisi ransum standar Rb-12 dalam 100 kg ........................................... 36 6 Rendemen ekstrak kasar lintah laut kering (%) ............................................ 42 7 Hasil identifikasi golongan senyawa ekstrak Discodoris sp .......................... 43 8 Nilai absorbansi, inhibisi BHT dan ekstrak metanol ..................................... 52 9 Rendemen ekstrak kasar dan aktivitas antioksidan lintah laut kering (%)..... 53 10 Rata-rata kadar kolestrol total, trigliserida, HDL dan LDL selama pengamatan (mg/dl) ....................................................................................... 58 11 Asam amino yang terdapat pada lintah laut .................................................... 65 12 Kadar SGOT-SGPT kelinci setelah mendapat perlakuan selama 12 minggu. 67 13 Persentase kondisi sel hati kelinci (%) ............................................................ 68 14 Skor pembentukan plak pada aorta kelinci ..................................................... 72 15 Persentase endapan protein pada glomerulus ginjal kelinci percobaan ......... 76
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka penelitian ......................................................................................... 5 2 Discodoris sp (dari Pulau Buton). .................................................................... 6 3 Proses aterogenesis (Barliner et al. 1995) ...................................................... 17 4 Metode ekstraksi Quinn yang disitir Darusman et al (1995) ......................... 32 5 Proses pengujian pada hewan percobaan ....................................................... 38 6 Diagram alir penelitian utama ........................................................................ 39 7 Struktur beberapa alkaloid umum (Facchini 2001)........................................ 45 8 Struktur sitosterol (Foye 1995) ...................................................................... 46 9 Struktur umum saponin (Hoffman 1991) ....................................................... 47 10 Struktur umum fenol hidrokuinon (Kkgm 2007) ........................................... 49 11 Struktur kimia radikal bebas (1) dan bentuk non radikal (2) DPPH .............. 50 12 Mekanisme reaksi BHT dengan radikal bebas ............................................... 52 13 Gambaran pertumbuhan berat badan kelinci.................................................. 56 14 Kadar kolesterol total rata-rata serum kelinci ............................................... 59 15 Kadar rata-rata trigliserida serum kelinci ....................................................... 61 16 Rata-rata kadar HDL selama pengamatan...................................................... 63 17 Rata-rata LDL per bulan selama pengamatan ................................................ 64 18 Kerusakan sel hati kelinci .............................................................................. 71 19 Gambaran pembentukan lesi aterosklerosis pada aorta kelinci...................... 72 20 Patologi ginjal kelinci. ................................................................................... 76
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Prosedur penentuan lipid serum ....................................................................... 88 2 Rata-rata berat badan kelinci (gram) selama periode penelitian ........................ 90 3 SGOT dan SGPT darah kelinci setelah 12 minggu perlakuan…………………90 4 Kandungan plasma darah kelinci selama pengamatan…………………………91 5 Persentase kondisi sel hati yang mengalami kerusakan………………………..92 6 Persentase endapan protein pada glomerulus ginjal kelinci percobaan …..…...92
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan dengan iklim tropis memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, demikian juga dengan masyarakatnya yang kaya akan pengetahuan tradisional tentang pemanfaatan sumberdaya hayati sebagai obat dan makanan yang menyehatkan.
Salah satu contohnya adalah
masyarakat Bajo di Pesisir Pulau Buton yang banyak memiliki pengetahuan tentang obat-obatan dan makanan sehat dari laut. Penelitian tentang sumberdaya hayati laut sebagai bahan obat dan pangan fungsional masih sangat terbatas dibandingkan dengan sumberdaya hayati daratan, walaupun sumberdaya hayati laut telah terbukti merupakan sumber berbagai bahan aktif yang sangat potensial (Faulkner 2002). Lintah laut (Discodoris sp) dipilih sebagai bahan penelitian, karena invertebrata ini sudah digunakan sebagai peningkat stamina tubuh dan aprodisiaka oleh masyarakat Bajo secara turun temurun, sehingga memberikan keuntungan yang dapat mengurangi masalah yang berkaitan dengan toksisitas bahan aktif, karena telah terbukti tidak beracun secara empiris. Sumberdaya hayati laut dapat dikembangkan sebagai pangan fungsional (nutraceuticals), jika struktur kimia bahan aktif tersebut diketahui, dan bahan tersebut harus memiliki kestabilan dan keamanan yang tinggi serta dikonsumsi secara oral. Penelitian ini penting untuk dilaksanakan karena kekayaan sumberdaya hayati laut dan pengetahuan tradisional yang melimpah, tetapi eksplorasi dan eksploitasinya sangat terbatas. Kedua peneliti sebelumnya (Ibrahim dan Witjaksono) terfokus pada bahan aktif yang bersifat larut lemak (non polar). Penelitian pendahuluan yang dilakukan peneliti menunjukkan bahwa ekstrak metanol (polar) mempunyai aktivitas antioksidan yang relatif tinggi (86%) yang belum pernah dilakukan oleh peneliti terdahulu baik di dalam maupun di luar negeri (Nurjanah 2003). Berdasarkan studi literatur belum ditemukan laporan tentang antioksidan dari lintah laut baik mengenai struktur, kadar maupun aktivitasnya, sehingga penelitian ini memiliki tingkat originalitas yang dapat dipertanggungjawabkan.
2
Syarat pemanfaatatan lintah laut sebagai pangan fungsional adalah diketahuinya
informasi
mengenai
struktur
kimia/gugus
fungsional,
konsentrasi/kadar, aktivitas dan mekanisme, efek toksikopatologis, stabilitas, dan khasiat antikolesterolemia dari bahan aktif yang belum diketahui dan dilaporkan oleh peneliti sebelumnya. Maka penelitian ini sangat penting dilakukan. 1.2 Rumusan Masalah Kebutuhan terhadap antioksidan dan antikolesterol makin meningkat seiring meningkatnya polusi udara dan penyakit jantung koroner. Polusi menyumbang berbagai radikal bebas ke udara. Radikal bebas mempunyai efek sitotoksik yang berbahaya bagi sel mamalia dan mempercepat patogenesis dari banyak penyakit kronis. Apabila tidak diinaktivasi, radikal bebas dapat merusak makromolekul termasuk low density lipoprotein (LDL) sehingga menjadi LDL termodifikasi oksidatif. LDL termodifikasi toksik bagi sel pembuluh darah dan menjadi awal pembentukan aterosklerosis yang pada tahap selanjutnya menyebabkan penyakit jantung koroner. Penghambatan pembentukan LDL termodifikasi dapat dilakukan oleh antioksidan. Lintah laut telah dimanfaatkan sebagai peningkat stamina tubuh, secara empiris sudah dirasakan khasiatnya. Hasil penelitian yang dilakukan Ibrahim (2001) diketahui bahwa lintah laut mengandung steroid yang diduga terdiri dari hormon testosteron pada fraksi kloroform dan Witjaksono (2005) yang mendapatkan komposisi kimia lintah laut terdiri atas lemak 5,84%; protein 59,80%; air 19,36%; abu 10,69% dan karbohidrat 4,32%. Fraksi larut lemak (kloroform) dengan KLT mendapatkan kelompok fenolik, sterol, asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh majemuk sedangkan untuk fraksi metanol (polar) belum diketahui. Terkait dengan hal tersebut, maka perlu dibuktikan melalui ujiuji baik secara in-vitro maupun in-vivo, terutama fraksi yang larut metanol. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengisolasi dan karakterisasi antioksidan serta antikolesterol yang dihasilkan oleh lintah laut serta mengkaji kemungkinan pengembangannya sebagai pangan fungsional (nutraceuticals).
3
Tujuan khusus yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah: (1)
Menentukan komposisi kimia, kelompok senyawa
dan aktivitas
antioksidan ekstrak kasar lintah laut kering (2)
Menguji khasiat antioksidan
bubuk lintah laut kering yang dikaitkan
dengan kadar kolesterol pada darah, (3)
Menguji aktivitas antioksidan bubuk lintah laut kering yang berkaitan dengan pembentukan ateroma/plak pada pembuluh darah kelinci,
(4)
Mengetahui
efek toksikopatologis pemberian bubuk lintah laut kering
terhadap jaringan organ hati dan ginjal kelinci. 1.4 Hipotesis Penelitian Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: (1)
Ekstrak polar memiliki aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan ekstrak nonpolar.
(2)
Komponen bioaktif yang terdapat pada bubuk lintah laut kering dapat berfungsi sebagai antioksidan dan antikolesterol.
(3)
Bubuk lintah laut yang digunakan pada hewan percobaan aman untuk organ dalam (pembuluh darah jantung, sel hati dan glomerulus ginjal).
1.5 Manfaat Penelitian Dari penelitian ini diperoleh informasi sebagai berikut: (1)
Metode ekstraksi, aktivitas antioksidan dan kelompok senyawa antioksidan dari lintah laut.
(2)
Mekanisme antioksidasi dalam menurunkan kadar kolesterol.
(3)
Mekanisme antioksidasi yang berkaitan dengan pencegahan pembentukan ateroma/plak pada pembuluh darah.
(4)
Efek toksikopatologis bahan-bahan yang terdapat pada lintah laut terhadap hati dan ginjal kelinci.
1.6 Kerangka Pemikiran Lintah laut (Discodoris sp) adalah biota laut yang hidup di zona intertidal (Rudman 1999). Lintah laut termasuk gastropoda tanpa cangkang yang memakan makroalga (rumput laut) jenis Enteromorpha sp. Lintah laut ini secara empiris
4
telah dimanfaatkan oleh masyarakat Bajo di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara sebagai peningkat stamina tubuh. Penelitian yang dilakukan oleh Ibrahim (2001) dan Witjaksono (2005) mengambil fraksi larut lemak (kloroform). Untuk dapat dimanfaatkan secara optimal semua fraksi perlu diketahui komponen bioaktifnya, maka pada penelitian ini lebih difokuskan pada fraksi metanol (polar) yang belum dilakukan oleh peneliti terdahulu baik dalam maupun luar negeri. Untuk dapat dimanfaatkan sebagai pangan fungsional, suatu bahan harus mengandung bahan aktif dan bahan tersebut harus memiliki kestabilan dan keamanan yang tinggi serta dikonsumsi secara oral.
Oleh sebab itu perlu
dilakukan penelitian ini. Tujuan penelitian ini adalah menentukan karakteristik antioksidan dan antikolesterol yang dihasilkan oleh lintah laut (Discodoris sp), uji khasiat dan efek toksikopatologis. Discodoris sp dipilih sebagai bahan penelitian, karena memberikan beberapa keuntungan diantaranya adalah: mengurangi masalah yang berkaitan dengan toksisitas bahan aktif, karena telah terbukti tidak beracun secara empiris. Selain itu telah terbukti bahwa sumberdaya hayati yang dimanfaatkan sebagai obat tradisional mengandung bahan aktif yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit, sehingga meningkatkan peluang untuk mendapatkan ”lead compound” sebagai komponen pangan fungsional. Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap. Pada tahap pertama dilakukan pengambilan contoh di Pulau Buton, ekstraksi, fraksinasi, isolasi, dan penentuan kelompok senyawa aktif dari lintah laut sebagai antioksidan serta uji aktivitas dan mekanisme kerjanya secara in-vitro. Pada tahap kedua dilakukan uji khasiat antioksidan untuk menurunkan kadar kolesterol
darah
dan
antiaterogenik
pada
pembuluh
darah
serta
efek
toksikopatologis dari lintah laut terhadap hati dan ginjal hewan percobaan (in-vivo). Kerangka penelitian disajikan pada Gambar 1.
5
Kebutuhan terhadap antioksidan dan antikolesterol Potensi Lintah Laut (Discodoris sp)
Komponen steroid yang bersifat anabolik dan androgenik
Uji Aktivitas antioksidan
Secara empiris dimanfaatkan
Uji komponen kimia, proksimat dan residu logam berat
Produk yang aman dan berkhasiat Gambar 1 Kerangka penelitian
Mengandung bahan aktif yang dapat menyehatkan
Uji khasiat dan efek toksikopatologi
6
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekobiologi Discodoris sp Lintah laut (Discodoris sp) merupakan biota laut yang hidup di zona intertidal atau pasang surut. Hidup menempel pada batu-batuan berlumpur atau berpasir dan menghasilkan lendir untuk mencegah kekeringan, gerakannya lambat. Lintah laut (Discodoris sp) adalah biota laut yang termasuk filum Moluska, kelas Gastropoda, subkelas Opistobranchia, ordo Nudibranchia, subordo Doridina, famili Dorididae, genus Discodoris sp (Rudman 1999). Perlu digarisbawahi di sini bahwa lintah laut (sea slug) bukanlah kelompok Annelida (lintah yang habitatnya di air tawar), lintah laut yang dimaksud adalah kelompok Moluska dari klas Gastropoda (kaki di perut). Contoh Discodoris sp yang diambil dari perairan pantai pulau Buton dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Discodoris sp (dari Pulau Buton). Lintah laut ini mempunyai daya pikat tersendiri dengan warna warni yang menarik dan tanpa cangkang. Karena hewan ini tidak mempunyai cangkang, fungsi cangkang digantikan oleh pertahanan kimia dan pertahanan biologi yang lebih dinamis. Karuso (1987) menyatakan bahwa jenis Velutina ditolak oleh ikan
7
sebagai pakan, demikian juga dengan berbagai jenis Nudibranch lainnya. Berdasarkan kenyataan ini diduga kelompok Opisthobbranchia mempunyai pertahanan kimia. Hewan ini mempunyai beberapa mekanisme dalam mempertahankan diri dari serangan predator, secara umum bersembunyi di balik batu dan melakukan kamuflase (Karuso 1987). Mekanismenya adalah sebagai berikut: (1) Homochromy, menyesuaikan dengan warna lingkungan, sumber warna berasal dari pakannya yang terakumulasi, (2) Countershanding, meminimumkan ukuran dan bentuk tubuh, (3) Disruptive coloration, pembentukan warna untuk kamuflase. Beberapa jenis tidak melakukan persembunyian, tetapi aposomatic misalnya Phyllidia spp dengan warna yang sangat cerah dan sangat toksik bagi ikan dan krustase, selain dengan pewarnaan ada juga yang berenang jika disentuh predator, sehingga dikenal dengan jenis Spanish dancer. Jenis Peltodoris atromaculata melepaskan sebagian mantelnya jika diserang predator. Beberapa Nudibranch tidak
melakukan
mekanisme
tersebut
dalam
pertahanan
hidup,
tetapi
menggunakan pertahanan kimia. Berdasarkan morfologinya, hewan ini mempunyai daya pikat yang sangat menarik dari berbagai aspek diantaranya adalah bagi para penyelam lintah laut merupakan hewan yang indah untuk dipandang saat menyelam. Bagi ahli biologi hewan ini sangat menarik untuk dipelajari, terutama mengenai pertahanannya terhadap lingkungan yang tanpa cangkang (baju), bagi kaum konservatif hewan ini merupakan pelengkap keseimbangan lingkungan. Bagi kalangan kesehatan dan biokimia hewan ini dengan perjuangan hidup yang sangat ketat di alamnya tentulah dilengkapi dengan alat pertahanan khusus untuk tetap dapat hidup. Alat tersebut saat ini lebih populer dengan istilah komponen bioaktif. Lintah laut tersebar secara umum di daerah tropis dan subtropis, Samudra Hindia dan Pasifik khususnya di zona intertidal atau daerah pasang surut, yaitu daerah pantai berpasir, berlumpur dan pantai berbatu atau daerah karang. Hewan ini hidup dan menempel rapat pada batu-batuan yang berlumpur atau berpasir dan menghasilkan lendir (mucus) untuk mencegah kekeringan. Bagian bawahnya
8
dapat bergerak dan menempel pada substrat sehingga gerakannya lambat (Rudman 1999). Jika lintah air tawar bersifat parasit (menghisap darah inang), maka lintah laut ini khususnya jenis Discodoris sp yang banyak terdapat di perairan Pulau Buton adalah pemakan tumbuhan/tanaman (herbivor). Jenis makanannya adalah berbagai alga baik yang berukuran kecil (fitoplankton/mikroalga) maupun yang berukuran besar (makroalga/rumput laut) yang terdiri dari rumput laut coklat (Paeophyceae), merah (Rodophyceae), hijau (Chlorophyceae), dan spong. Juvenil/larva akan tumbuh menjadi populasi yang pesat pada saat ketersediaan makanannya sesuai (Proksch et al. 2002). Discodoris boholensis tersebar di beberapa wilayah di antaranya adalah Filipina, Papua Nugini, Indonesia, Okinawa, Afrika Selatan, dan Australia. Morfologinya dengan warna tubuh coklat kehitaman serta bintik-bintik putih yang membentuk garis pada bagian atas badannya. Dapat hidup sampai pada kedalaman 12 m dengan panjang tubuh rata-rata 40 mm dan bermigrasi ke zona intertidal untuk memijah (Rudman 1999). Kelompok Gastropoda umumnya bersifat hermaphrodit (monoceus) yaitu satu ekor hewan mempunyai kelamin ganda, jantan dan betina terdapat dalam satu tubuh. Bukan berarti hewan ini tidak memerlukan pasangan, sebab tingkat kematangan gonadnya belum tentu terjadi secara bersamaan (sinkroni), terjadinya kematangan gonad secara bergantian, protandri maupun protogini. Pembuahan terjadi secara eksternal yaitu dengan cara menyemprotkan telur dan sperma pada media yang terdiri dari tanaman (alga/rumput laut). Telur biasanya melayang-layang di sekitar batu-batuan untuk melindungi diri dari predator dan selanjutnya menetas (Rudman 1999). 2.2 Komponen Bioaktif dari Perairan Komponen bioaktif merupakan senyawa bioorganik makhluk hidup (hewan, tanaman, atau mikroba) yang tidak berperan dalam proses metabolisme primer dan disebut juga dengan metabolit sekunder yang secara umum dikenal sebagai natural product. Penelitian dalam bidang ini dipusatkan pada rumus bangun senyawa hayati bersangkutan (Moeljohardjo 1997). Saat ini yang banyak dilakukan di Indonesia adalah uji aktivitasnya. Uji aktivitas yang telah dilakukan terhadap bahan alam yang berasal dari berbagai komoditi terutama dari tanaman
9
adalah: antibakteri, antivirus, antifungi, antioksidan, antikanker, antikolesterol, antiaging, antidiare, antiinflamasi dan lain-lain. Komposisi kimia beberapa jenis moluska (gastropoda dan bivalvia) dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Komposisi kimia beberapa jenis gastropoda dan bivalvia (%) Komponen Protein
Kerang hijau (M. viridis)a 42,17
Lemak
5,06
Air
Kerang darah (A. granosa) 76,00b 79,92a 9,75b
35,68
Karbohidrat Abu
-
8,46 17,09
Sumber:
a
8,74 b
6,78a
4,55
5,84
4,58
a
5,69
19,36
15,25
a
11,72
4,42
15,47
11,25
10,69
11,74
6,32
-
Bekicot D. boholensis a Discodoris spc (A. fulita)a 72,49 59,79 52,96
1,34 b
5,64
a c
Witjaksono (2005), Nurjanah et al (2005), Nurjanah et al (2006)
Pertahanan kimia yang terdapat pada kelompok Nudibranch sudah terindikasi dari tahun 1892 oleh Herdman dan Chubb, yang menemukan bahwa Nudibranch tidak dimakan oleh ikan di akuarium. Tahun 1960 Thompson memberikan 24 Nudibranch sebagai pakan ikan, tetapi ditolak semuanya oleh ikan sebagai pakan. Ternyata ditemukan bahwa beberapa dorids menghasilkan asam yang menyebabkan pH mencapai 1-2 dan asamnya bervariasi dari sulfur. Kelenjar tidak asam (pH lebih tinggi) yang dihasilkan mempunyai rasa pahit yang luar biasa. Bahan alam pertama kali yang berhasil diisolasi dari Opisthobranch pada tahun 1960 adalah brominated terpenoid dari sea hare (Aplysia kurodai), metabolit ini berasal dari pakannya yaitu alga merah (Laurencia sp). Ada hubungan jenis dan warna pakan dengan warna sebagai kamuflase dan metabolit sekundernya. Contoh lainnya adalah Oxynoe panamensis yang mengakumulasikan caulerpicin dari makanannya yaitu alga (Caulerpa spp). Famili Dorididae memiliki 3 jenis asam farnesat gliserida dari Archidoris odhneri. Ketiga jenis asam tersebut adalah farnesat gliserida dan 2 jenis monoasetat. Metabolit minornya adalah asam monosiklofarnesat gliserida dan asam trisiklogeranilgeranat gliserida serta asam drimane gliserida. Hanya asam drimane gliserida yang bersifat antifeedant. Selain itu juga ditemukan bahan aktif sebagai antitumor yaitu jorumicin, adimeric isoquinoline alkaloid yang diisolasi dari jenis Jurunna funebris di daerah Pasifik (Fontana et al. 2000), sedangkan
10
Jurunna funebris yang diambil dari Srilanka mengandung kelompok quinon dan dihidroquinon (Karuso 1987). Peltodoris atromaculata mempunyai zat aktif poliasetilen halogen yang juga ditemukan pada Daulula sandiegenensis. Komponen yang sama juga terdeteksi
pada
jenis
sponge.
Isoguanosine
ditemukan
pada
Daulula
sandigenensis, 1-metilisoguanosine ditemukan pada Asinodoris nobilis yang berpotensi pada aktivitas kardiovaskuler (Cimino dan Chiselin 1999). Asam empedu juga ditemukan pada Nudibranch yang berfungsi sebagai antifeedant dengan mengakumulasikan komponen minor secara teratur sebagai pertahanan kimia untuk aktivitas biologi (Karuso 1987). Penelitian Witjaksono (2005) terhadap komposisi kimia terutama fraksi nonpolar menghasilkan asam palmitat, palmitoleat, stearat, brasikasterol, dihidrobrasikasterol, kolesterol, asam miristat dan oleat. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa lintah laut yang dipanen dari perairan pulau Buton sangat potensial sebagai pangan fungsional, namun masih diperlukan penelitian dan kajian ilmiah mengenai khasiat dan efek toksikopatologisnya. Mengkonsumsi lintah laut merupakan salah satu bentuk trend gaya hidup sehat masa kini dengan slogan back to nature. Hasil penelitian Ibrahim (2001) menunjukkan bahwa lintah laut kering mengandung ekstrak steroid kasar sebesar 18,21 mg/g. Dari 10 mikroliter ekstrak pada kadar 0,0479 g/ml dihasilkan rata-rata 52,942 mg/dl testosteron dan setelah dikonversi diperoleh 1g ekstrak steroid mengandung 0,563 mg testosteron. Uji biologis terhadap anak ayam jantan dengan pemberian ekstrak steroid kasar 0,5 ml dalam 1 g/ml minyak jagung setiap hari selama 16 hari menunjukkan penambahan bobot badan, pertambahan panjang, lebar, dan tinggi jengger yang lebih besar dibandingkan dengan kontrol negatif. Bobot testis dan kadar testosteron dalam serum darah lebih rendah pada perlakuan yang diberi ekstrak dibanding kontrol (Ibrahim 2001). Hal ini diduga karena pemberian ekstrak steroid yang terlalu tinggi (overdosis). Penelitian pendahuluan dari lintah laut yang diekstrak dengan metode Quinn menghasilkan rendemen terbesar dengan pelarut metanol yaitu 5,02%, sedangkan pelarut kloroform dan etil asetat menghasilkan rendemen yang kurang dari 1%.
11
Aktivitas antioksidan yang dihasilkan untuk ekstrak metanol adalah 86,84%, sedangkan ekstrak kloroform dan etil asetat kurang dari 20% (Nurjanah 2003). Komponen bioaktif taurin juga terdapat pada
kerang pisau (Solen sp)
sebesar 0,103 g/100 g atau 103 mg/100 g (Nurjanah et al. 2008). Kandungan taurin kerang pisau masih lebih rendah dari beberapa jenis ikan dan kerangkerangan yang lain yaitu pada cumi-cumi 364 mg/100 g, Short necked clam 421 mg/100 g, Oyster 1178 mg/100 g dan Scallop 669 mg/100 g, namun lebih tinggi dari Northern shrimp atau udang 63 mg/100 g (Okuzumi dan Fujii 2000) Taurin mempunyai beberapa manfaat yaitu mencegah diabetes, mencegah kerusakan liver akibat alkohol dan penyembuhan pada masalah penglihatan. Taurin juga dapat menurunkan kadar kolesterol darah, menormalkan tekanan darah dan melawan penyakit hati (Okuzumi dan Fujii 2000). Taurin ini juga berfungsi sebagai peredam reaktif oksigen spesies (ROS) dan reaktif nitrogen spesies (Fang et al. 2002). 2.3 Antioksidan dan Radikal Bebas Antioksidan adalah zat alami yang diproduksi dalam tubuh atau dapat juga diperoleh melalui makanan berupa vitamin A, C, dan E, mineral Zn serta selenium (Se). Antioksidan merupakan penghancur radikal bebas yang membantu melindungi tubuh dari kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas yang tidak terkontrol. Radikal bebas dibentuk sebagai hasil dari oksigen yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup atau melalui metabolisme senyawa organik. Beberapa radikal bebas digunakan oleh sistem kekebalan tubuh untuk membunuh sel-sel kanker dan virus, tetapi banyak radikal bebas tidak terdeteksi yang sangat berbahaya dan dapat menyebabkan kerusakan bahkan menghancurkan sel-sel yang sehat. Kerusakan ini dapat menyebabkan timbulnya penyakit atau kematian dari sel-sel dan meningkatkan risiko penyakit jantung serta dapat mengurangi lamanya hidup dan menurunkan kualitas hidup (Setright 1993). Komponen antioksidan di alam mempunyai struktur kimia yang berbedabeda, umumnya sebagai asam amino, asam askorbat, karotenoid, asam sinamat, flavonoid, melanoidin, asam organik tertentu, zat pereduksi, peptida, fosfatida, polifenol, tanin dan tokoferol. Senyawa antioksidan alami digolongkan sebagai
12
komponen fenolik, protein, komponen nitrogen, karotenoid dan komponen lain, seperti vitamin C, keton dan glikosida (Winarno 1997). Superoksida dismutase disebut juga metaloprotein, merupakan enzim antioksidan yang mengkatalisis dismutase anion superoksida (O2-) yang sangat reaktif menjadi oksigen (O2) dan senyawa yang tidak terlalu reaktif, seperti hidrogen peroksida (H2O2), yang pada akhirnya oleh enzim katalase dan glutation peroksida diubah menjadi H2O dan O2 (Fang et al. 2002). Enzim ini dapat ditemukan pada hampir semua makhluk hidup. Antioksidan merupakan komponen berbobot molekul rendah yang bereaksi dengan oksidan sehingga dapat menghambat reaksi oksidasi. Efek yang membahayakan dari oksidan adalah spesies oksigen reaktif (SOR) yaitu radikal bebas yang dapat berasal dari asap rokok, polusi udara, radiasi, cahaya ultra violet maupun yang diproduksi secara kontinyu oleh tubuh manusia sebagai konsekuensi dari proses metabolisme normal. Jika radikal bebas tidak diinaktivasi maka reaksi kimianya dapat merusak makromolekul termasuk lipoprotein densitas rendah (LDL) (Langseth 2000). Radikal bebas dapat didefinisikan sebagai suatu molekul, atom atau beberapa grup atom yang mempunyai satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbital terluarnya. Akibatnya radikal bebas ini akan mencari pasangannya dengan cara merebut elektron dari molekul lain. Radikal bebas bersifat tidak stabil dan sangat reaktif. Beberapa contoh senyawa Reactive Oxygen Species (ROS) yang ditemukan pada organisme hidup adalah superoksida (O2*), hidroksil (OH*), peroksil (RO2*), alkoksil (RO*) dan radikal hidroperoksil (HO2*). Nitrit oksida dan nitrogen dioksida (*NO2) adalah dua radikal bebas nitrogen. Tanda bintang (*) merupakan simbul radikal bebas. Reactive Oxygen Species (ROS) dan Reactive Nitrogen Species (RNS) diproduksi dalam tubuh hewan dan manusia secara fisiologis dan patologis (Fang et al. 2002). Sumber radikal bebas ada dua, yaitu endogen dan eksogen (Niwa 1997) Sumber pertama yaitu yang terbentuk di dalam tubuh (endogen) merupakan hasil reaksi yang tidak sempurna dari reduksi oksigen pada rantai transfer elektron dalam mitokondria sehingga terbentuk senyawa radikal superoksida, peroksida dan hidroksil. Sumber kedua yaitu yang berasal dari luar tubuh (eksogen), berasal
13
dari udara lingkungan yang terpolusi, terkena sinar radiasi atau asupan zat kimia (obat-obatan, insektisida, makanan tertentu, dan lain-lain) (Niwa 1997). Faktorfaktor penghasil oksigen radikal disajikan pada Tabel 2. Senyawa oksigen reaktif dibentuk dari hasil reduksi senyawa oksigen yang merupakan suatu senyawa yang diperlukan oleh semua organisme aerobik untuk menghasilkan ATP. Reduksi O2 menjadi H2O terjadi pada proses tersebut yang dinyatakan dengan reaksi berikut: O2 + 4H+ + 4e-→ H2O Tabel 2 Faktor-faktor penghasil oksigen radikal No. Faktor penghasil oksigenradikal 1 Darah putih 2
3 4
5
Cara menghasilkan
Memakan bakteri dan jamur dan memproduksi oksigen-radikal untuk mengeluarkannya Sinar ultraviolet Perusakan lapisan ozon oleh gas CFC (chloroflorocarbon) telah meningkatkan jumlah radiasi ultraviolet ke bumi dan menghasilkan oksigen-radikal yang berlimpah Radiasi sinar X Sinar-X yang berulang-ulang akan menghasilkan oksigen-radikal pada inti sel DNA dan merusak intinya Zat kimia a) Mekanismenya sama dengan radiasi (produksi oksigen-radikal dalam inti sel) contoh: zat kimia yang digunakan dalam pertanian (Paraquat), insektisida, obatobatan kimia (pembunuh bakteri, obat antikanker) b) Zat-zat kimia penghasil oksigen radikal di seluruh sel, contoh: klorida, trihalometan (dioksin), PCB (polychloronated biphenil), Methyl Merkuri, senyawa-senyawa Mn3+ dan senyawa Cd2+, fenilhidrazid (obat anti TBC), antibiotik antidiare (kloramfenikol), oksida nitrogen (Nox) dari asap dan gas buangan Kerusakan sirkulasi aliran Pembakaran minyak berat atau petroleum darah di dalam pembuluh ↓ darah Xantin dehidrogenase → Xantin oksidase →oksigen-radikal
Keterangan : (1) dihasilkan di dalam tubuh (2), (3) dan (4) faktor-faktor polusi lingkungan (5) disebabkan oleh stres (dalam masyarakat modern) Sumber : Niwa (1997)
14
Berdasarkan reaksi tersebut dapat dilihat bahwa reaksi reduksi oksigen memerlukan pengalihan empat elektron secara bertahap. Setiap tahap hanya melibatkan satu elektron. Proses pengalihan elektron yang berjalan kurang sempurna menghasilkan senyawa-senyawa oksigen reaktif atau radikal yang dapat merusak sel. Proses fagositosis yang berperan dalam reaksi inflamatori terkontrol pada jaringan yang luka juga menghasilkan sejumlah besar superoksida (O2*) yang bertujuan untuk membunuh mikroorganisme asing (Niwa 1997). Metabolisme senyawa radikal bebas disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Metabolisme senyawa-senyawa radikal bebas -
-
Reaksi
O2 + e → O2 2O2- + 2H+ → O2 + H2O2 2O2 + 2Fe+ → 2FeO + O2 H2O2 + Fe2+ → Fe3+ + O2 + OH˙ OH˙ + RH atau LH → H2O + R˙ atau L˙ R˙ + LH → RH + L˙ L˙ atau R˙ + O2 → LO2˙ atau RO2˙ LO2˙ + LH → LHO2
Produk Superoksida Hidrogen peroksida Besi teroksidasi Radikal hidroksil Asam lemak atau molekul organik teroksidasi Asam lemak teroksidasi Radikal peroksidasi Lipid peroksidasi
Sumber : Miller et al. (1993)
Radikal bebas mempunyai fungsi penting dalam kehidupan alami dan evolusi biologis, mengimplikasikan efek menguntungkan bagi organisme. Radikal oksigen menghasilkan aksi kritis, seperti transduksi jaringan, transkripsi gen, dan mengatur aktivitas enzim guanilat siklase dalam sel. Nitrit oksida adalah salah satu molekul jaringan yang terluas dan berpartisipasi dalam aktivitas setiap sel dan fungsi organ dalam tubuh. Nitrit oksida yang diproduksi oleh sel endotelial pada level fisiologis, penting untuk mengatur relaksasi dan proliferasi sel otot halus vaskular, adhesi leukosit, pengumpulan jumlah enzim yang berperan dalam pembekuan darah, trombosis dan hemodinamik. Nitrit oksida yang diproduksi oleh sistem syaraf berperan sebagai neurotransmiter dan yang secara umum diaktivasi makrofag adalah mediator penting pada respon imun. Akan tetapi, sebagai oksidan dan inhibitor enzim, radikal bebas dan spesies reaktif lain menyebabkan oksidasi biomolekul (seperti protein, asam amino, lipid dan DNA), yang menyebabkan kerusakan sel dan kematian. Sebagai contoh, radiasi penyebab
15
ROS memacu sifat fisika, kimia dan kandungan imunologis SOD, yang membuat kerusakan oksidatif dalam sel semakin buruk (Fang et al. 2002). Efek sitotoksik dari radikal bebas berbahaya bagi sel mamalia dan mempercepat patogenesis penyakit kronis, tetapi bertanggung jawab untuk membunuh patogen dengan mengaktivasi makrofag dan fagosit lain dalam sistem imun. Ada dua sisi radikal bebas dalam sistem biologi yang bertindak sebagai jaringan dan mengatur molekul pada level fisiologis tetapi juga sebagai gangguan besar dan oksidan sitotoksik pada level penyakit (Fang et al. 2002). Makhluk hidup tidak hanya mempunyai sistem perlindungan terhadap radikal bebas, tetapi juga sistem perbaikan yang melindungi akumulasi molekul yang rusak secara oksidatif. Sistem perlindungan terhadap radikal bebas di dalam tubuh disebut antioksidan biologis (vitamin E, C, dan karotenoid), enzim (superoksida dismutase, katalase, glutation peroksida), ubiquinon, bilirubin, asam urat, dan pengikatan ion logam transisi yang aman (Austin et al. 1997). Aktivitas molekul radikal bebas dan SOR dapat menyebabkan kerusakan seluler dan genetik pada kondisi stres oksidatif. Jika radikal bebas tidak diinaktivasi maka reaksi kimianya dapat merusak makromolekul termasuk LDL sehingga menjadi LDL termodifikasi oksidatif. LDL termodifikasi oksidatif tidak dikenal oleh reseptor LDL, sehingga tidak diambil oleh reseptor LDL, tapi dikenal oleh makrofag, maka LDL termodifikasi oksidatif diambil oleh reseptor scavenger pada sel makrofag. Selanjutnya akan dihasilkan akumulasi kolesterol dan membentuk sel busa yang akhirnya akan mengakibatkan aterosklerosis. Hal ini terjadi karena reseptor scavenger tidak diatur oleh kadar kolesterol intraseluler (Brown dan Goldstein 1983). Kadar LDL termodifikasi oksidatif yang rendah (sekitar 1% dari LDL total) sudah merupakan awal dari pembentukan aterosklerosis. Selanjutnya diikuti oleh migrasi transendotelial monosit ke ruangan subendotelial, mengalami diferensiasi menjadi makrofag. Makrofag mengambil kolesterol pada LDL termodifikasi oksidatif melalui reseptor khusus dan berubah menjadi sel busa (lipid laden macrophage). Akumulasi sel busa di dalam subendotelial merupakan awal dari lesi aterosklerosis (Merat et al. 2002).
16
LDL normal tidak bersifat toksik terhadap sel pembuluh darah, bahkan pada konsentrasi yang setara pada penderita hiperkolesterolemia. Sebaliknya LDL termodifikasi oksidatif bersifat toksik. Perlakuan pada sel endotelial manusia dengan konsentrasi 20 µg/ml LDL teroksidasi menyebabkan luka akut dan kematian dalam waktu 24 jam (Sevanian dan Bolger 1996). Penghambatan pembentukan LDL termodifikasi oksidatif dapat dilakukan menggunakan antioksidan. Jika LDL teroksidasi dapat dihindari, aterosklerosis dapat dicegah dengan menghambat pembentukan sel busa, serta mencegah kerusakan dan kematian sel pada pembuluh darah (Jacob dan Burri 1996). Terjadinya oksidasi LDL berperan penting dalam pembentukan aterogenik. LDL yang teroksidasi oleh radikal bebas atau dimodifikasi secara minimum (MMLDL) terjadi di daerah subendotelial. MM-LDL akan merangsang endotel untuk mengeluarkan intracellular cell adhesion molecule (ICAM), vascular cell adhesion
molecule
(VCAM),
monocyte-chemotacticprotein
(MPC-1),
macrophage colony stimulating factor (M-CSF), Tissue factor (TF), dan plasminogen activator inhibitor (PAI-1). Pelepasan senyawa-senyawa ini menstimulasi terjadinya adhesi monosit pada endotel dan migrasi monosit ke dalam subendotelial, sehingga M-CSF akan memacu diferensiasi monosit menjadi makrofag. Selanjutnya makrofag melalui reseptor “scavenger” akan menangkap LDL teroksidasi (ox-LDL) yang terbentuk dari oksidasi lanjut MM-LDL sehingga terjadi akumulasi kolesterol dalam makrofag yang selanjutnya berubah menjadi sel-sel
busa. Sel busa akan merangsang faktor-faktor pertumbuhan yang
mengakibatkan terjadinya proliferasi sel-sel otot polos dan lama kelamaan akan berkembang menjadi plak yang kompleks (Barliner et al. 1995). Plak aterosklerosis terletak dalam intima, dan terdiri dari sel-sel otot polos yang sudah berproliferasi, sel limfosit T, dan jaringan penghubung seperti kolagen, elastin dan proteoglikan serta sel-sel busa yang sudah mati, maupun deposit kolesterol dan kalsium. Pembentukan plak aterosklerosis lanjut tergantung pada peranan beberapa faktor pertumbuhan yang dilepaskan oleh makrofag dan sel busa. Faktor pertumbuhan ini dapat merangsang atau menghambat proliferasi sel otot polos, yang merupakan faktor kunci untuk progresi plak atau tetap dalam
17
keadaan tidak berubah. Proses aterogenesis (Barliner et al. 1995) dapat dilihat pada Gambar 3. Beberapa reaksi redoks penghasil radikal bebas membutuhkan katalisator, biasanya logam transisi atau suatu enzim (metaloenzim atau flavoprotein). Berbagai proses metabolisme normal dalam tubuh dapat menghasilkan radikal bebas dalam jumlah kecil sebagai hasil antara. Radikal bebas dalam sel hidup, terbentuk pada membran plasma dan organel-organel sel yaitu mitokondria, peroksisom, retikulum endoplasmik dan sitosol melalui reaksi enzimatis fisiologik yang berlangsung dalam proses metabolisme. Proses fagositosis oleh sel-sel fagosit termasuk neutrofil, monosit, makrofag dan eosinofil, juga menghasilkan radikal bebas, superoksida (O2.) (Gitawati 1995).
Gambar 3 Proses aterogenesis (Barliner et al. 1995) Jenis bahan yang telah diteliti sebagai sumber antioksidan adalah asam kafeat terdapat pada biji kopi (Moon dan Terao 1998); ekstrak jahe (Septiana 2001); senyawa kurkumin pada kunyit (Mashuda et al. 1998); minyak bekatul padi (Damayanti 2002); fenol, flavonoid, tanin, triterpenoid dan saponin dari ekstrak kulit kayu manis (Azima 2004); vitamin A, C, karotenoid, gingerol (jahe), katekin (anggur merah), klorofil (sayuran), likopen (tomat), epigallokatekin (teh), isoflavon kedelai dan lain-lain; sterol lembaga gandum (Marliyati 2005); daun suji (Prangdimurti 2007). Penelitian tentang aktivitas antioksidan dari biota laut juga telah dilakukan pada bintang laut Astropecten sp (Setianingsih 2003), kulit batang sentigi Pemphis acidula (Khusniya 2004), daun kangkung laut Ipomea pes-caprae
18
(Agustiningrum 2004), spons Callyspongia sp (Hanani et al. 2005), dan beberapa jenis rumput laut yang terdapat di Indonesia (Santoso et al. 2004). Jenis biota ini menunjukkan adanya aktivitas antioksidan, namun penelitian masih perlu dilanjutkan untuk mengetahui senyawa yang berfungsi sebagai antioksidan serta prospek pemanfaatannya. 2.4 Bahan Alam dari Sumberdaya Hayati Laut Laut merupakan sumber bahan alami dengan struktur yang unik dan pada umumnya dihasilkan oleh berbagai jenis invertebrata yang terdiri dari sponge, tunikata, briozoa, dan moluska. Beberapa jenis komponen bioaktif terutama yang dihasilkan tunikata ET-743 mempunyai aktivitas farmakologi sebagai obat baru pada kanker, demikian juga dengan antiinflamasi dari ziconotide yang dihasilkan moluska Conus magus (Proksch et al. 2002). Laut tropika mempunyai keanekaragaman biota yang sangat tinggi, sehingga terjadi kompetisi ketat antar spesies untuk dapat bertahan hidup. Kondisi ini membuat biota laut mensintesis metabolit sekunder berupa senyawasenyawa toksik sebagai strategi pertahanan diri. Struktur kimia dan aktivitas biologi senyawa yang dihasilkan biota laut sangat jarang ditemukan pada biota darat (terestrial), oleh karena itu berbagai jenis biota laut terutama karang (sponge) menjadi target penelitian yang sangat menarik (Sumaryono 2004). Dari tahun 1969-1999 sekitar 300 komponen bioaktif dari laut menjadi topik pembicaraan yang dimulai dari isolasi sederhana sampai saat ini menjadi topik yang betul-betul menunjukkan peningkatan yang bermakna yaitu lebih dari 10.000 jenis komponen yang ditemukan setiap tahunnya dalam jumlah ratusan komponen bioaktif (Faulkner 2002). Invertebrata laut juga menghasilkan bahan dengan aktivitas antivirus, contohnya adalah spongothymidine dan spongouridine dari sponge Cryptotethia crypta. Kedua komponen bioaktif ini dapat menghambat replikasi virus (HIV-1) dan memproteksi limposit T dari infeksi virus (Sarma et al. 1995). Digunakan sebagai model untuk sintesis nukleosida antivirus 3–azido-2,3-dideoxythymidine, dengan nama dagang AZT yang banyak digunakan untuk mengobati penyakit AIDS baik secara tunggal maupun kombinasi dengan pengobatan lain (Faulkner 2002).
19
Selain memiliki aktivitas sebagai obat, sejumlah senyawa yang dihasilkan biota laut juga dapat digunakan sebagai reagen diagnostika riset biokimia yang sangat penting, contohnya adalah senyawa tetrodotoxin yang diekstrak dari ikan buntal memiliki sifat neurotoksin, sehingga dapat digunakan sebagai senyawa kimia untuk studi fisiologi sel-sel syaraf. Senyawa lainnya adalah akadoic acid yang ditemukan pada tahun 1980 dari sponge, merupakan reagen yang bernilai tinggi untuk studi biologi sel (Sumaryono 2004). Melalui telusuran pustaka baik studi literatur maupun internet penelitian tentang antioksidan dari lintah laut (Discodoris sp), belum dilakukan bahkan antioksidan dan antikolesterol yang berasal dari hewan laut masih sangat sedikit. 2.5 Kolesterol dan Antikolesterol Kolesterol merupakan salah satu contoh dari substansi alam yang penting bagi kehidupan. Kolesterol penting untuk metabolisme, karena aktivitas biologi membran tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya tanpa kolesterol. Kolesterol dalam tubuh berfungsi untuk membentuk struktur membran sel yang berguna dalam mengatur penyerapan zat yang larut dalam air dan penguapan air dari kulit. Selain itu kolesterol merupakan bagian esensial dari otak dan alat tubuh lain serta pemicu pembentukan hormon steroid yang dihasilkan oleh kortek adrenal (hormon adrenokortikal), testis (testosteron) dan ovarium (progesteron dan estrogen ) (Guyton dan Hall 1994). Kolesterol dalam darah berbentuk lipoprotein. Lipoprotein ini terbagi menjadi lima golongan yaitu: kilomikron yang berasal dari absorbsi triasilgliserol dalam usus, very low density lipoprotein (VLDL), low density lipoprotein (LDL), high density lipoprotein (HDL) dan asam lemak bebas. Profil lipid dalam darah yang mempengaruhi terjadinya aterosklerosis adalah LDL, HDL, trigliserida dan total kolesterol. LDL mempunyai berat jenis 1,019-1,063 yang berfungsi sebagai pengangkut kolesterol dari hati ke jaringan perifer. HDL berfungsi sebagai transportasi kolesterol dari jaringan ekstrahepatik kembali ke hati. VLDL dan LDL adalah lipoprotein pengangkut kolesterol (Montgomery et al. 1993). Kolesterol yang berasal dari makanan dan yang disintesis di usus, akan diserap bersama-sama dengan lipid lainnya untuk dibawa ke hati. Dari hati dibawa ke plasma dalam bentuk kolesterol VLDL, kemudian kolesterol ini diubah
20
menjadi LDL yang akan dibawa ke jaringan tubuh. Dari jaringan tubuh kolesterol akan dibawa kembali dalam bentuk HDL. Dalam hubungannya dengan penyakit jantung koroner dan aterosklerosis, kadar total kolesterol, LDL, HDL, dan trigliserida merupakan faktor yang dapat berpengaruh terhadap timbulnya penyakit tersebut (Marinetti 1990). Kolesterol HDL disintesis dan disekresi dari hati dan usus, serta sebagian diduga berasal dari VLDL dan kilomikron. Lipid HDL terutama dalam bentuk kolesterol, fosfolipida dan sedikit trigliserida. HDL bersaing dengan LDL dalam mengikat reseptor pada sel-sel jaringan perifer, sehingga mengurangi masuknya LDL yang membawa banyak kolesterol ke dalam sel. HDL mempunyai hubungan yang negatif dengan penyakit jantung koroner, semakin tinggi kandungan HDL dalam
plasma,
maka
semakin
kecil
peluang
terjadinya
aterosklerosis
(Gordon dan Casteli 1977). Meningkatnya kadar LDL merupakan salah satu faktor risiko aterosklerosis. Pengambilan kolesterol dengan jalan reseptor klasik tidak menyebabkan akumulasi kolesterol, karena reseptor LDL mengatur secara ketat kadar kolesterol intraseluler. LDL termodifikasi, seperti asetil atau LDL teroksidasi tidak diambil oleh reseptor LDL, namun diambil oleh reseptor scavenger pada sel makrofag yang menghasilkan akumulasi kolesterol dengan membentuk sel busa. Hal ini terjadi karena reseptor scavenger tidak diatur oleh kadar kolesterol intraseluler (Brown dan Goldstein 1983). Hiperkolesterolemia merupakan suatu kondisi kolesterol dalam darah meningkat melebihi batas ambang normal yang ditandai dengan meningkatnya LDL dan kolesterol total. Hiperkolesterolemia disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor primer dan faktor sekunder. Faktor primer merupakan kelainan genetik, dan penyakitnya disebut hiperkolesterolemia familiar. Hiperkolesterolemia familiar ditandai dengan meningkatnya kadar kolesterol dalam plasma darah, endapan kolesterol dalam berbagai jaringan, terutama dalam tendon (xantoma) dan arteri (ateroma). Penyakit arteri pradini merupakan gambaran biasa dan penyebab umum kematian. Hiperkolesterolemia familial disebabkan oleh suatu kerusakan reseptor permukaan sel yang pada individu normal mengikat lipoprotein densitas rendah (LDL) (Harris 1994).
21
Faktor sekunder dari hiperkolesterolemia adalah obesitas, diet kaya kolesterol, diet asam lemak jenuh dan kekurangan estrogen pada wanita. Atau dapat pula disebabkan oleh susunan menu sehari-hari yang tidak seimbang dan yang disebabkan oleh penyakit diantaranya adalah diabetes, hipotiroidisme, insufisiensi ginjal menahun, dan penyakit hati tertentu (Montgomery et al. 1993). Hiperkolesterolemia yang tidak disebabkan oleh kelainan genetik dapat dicegah dengan cara mengurangi konsumsi makanan kaya kolesterol dan asam lemak jenuh, mencegah terjadinya obesitas dan mengkonsumsi suplemen. Berbagai macam senyawa telah diketahui dapat menurunkan kadar kolesterol darah. Pengobatan bagi penderita hiperkolesterolemia dapat dilakukan dengan mengkonsumsi obat atau makanan kesehatan yang disertai diet (Dahlianti 2001). Jenis-jenis makanan atau bahan yang telah diteliti dapat menurunkan kolesterol diantaranya adalah daun jati belanda (Guazuma ulmifolia) dan jamur kuping (Auricularia polytricha) (Rahmadani 2001), kulit batang kayu gabus (Alstonia scholaris) (Usman 2000), ekstrak Cassia vera (Azima 2004) dan sterol lembaga gandum (Marliyati 2005). Obat-obat komersial untuk menurunkan kolesterol yang ada saat ini diantaranya adalah: kolestiramin dan kolestipol, asam nikotinat, klofibrat, gemfibrat, probucol, dan mevinolin. Mekanisme kerja dari obat penurun kolesterol tersebut adalah dengan cara menghambat biosintesis kolesterol endogen (mevinolin, pravachol dan golongan statin lainnya) dan melalui pengeluaran kolesterol pada feses (kolestiramin, kolestipol, dan makanan berserat lainnya) serta yang belum diketahui atau tidak melalui kedua mekanisme tersebut yang selalu diikuti dengan penurunan kadar LDL dan peningkatan kadar HDL kolesterol serumnya (Usman 2002). Kolestiramin dan kolestipol adalah resin yang tak dapat diabsorpsi, mengikat asam-asam empedu di intestin sehingga menyebabkan terekskresi di feses dan menginterupsi sirkulasi enterohepatik. Keduanya menyebabkan penurunan pembalikan asam-asam empedu ke hati, meningkatkan pengubahan kolesterol ke asam-asam dan meningkatkan konsentrasi reseptor-reseptor LDL plasma dan menurunkan kadar kolesterol (Moundras et al. 1995).
22
Asam nikotinat digunakan untuk menurunkan kadar kolesterol dengan cara mengurangi VLDL dan LDL. Asam nikotinat menginhibisi sekresi VLDL hati dan menekan metabolisme asam lemak dari jaringan adiposa. Penggunaan obat ini dapat berupa sediaan tunggal maupun campuran. Dosis asam nikotinat yang direkomendasikan untuk pasien kolesterol dan trigliserida tinggi adalah 1-6 gram perhari dengan daya reduksi sekitar 9%-20%. Kombinasi campuran antara lain asam nikotinat dan kolestiramin atau nikotinat dan lovastatin (Vacek et al. 1995). Klofibrat dan gemfibrozil (lopid) merupakan turunan dari asam isobutirat. Klofibrat bersifat merintangi sintesis kolesterol pada saat kolesterol melakukan perintangan umpan balik terhadap sintesisnya sendiri, khususnya pada saat pembentukan mevalonat. Zat ini juga merintangi asetil–KoA karboksilase (enzim yang menghasilkan malonil KoA), tetapi klofibrat bukanlah obat idaman karena efek sampingnya banyak (Norgrady 1992). Dosis gemfibrozil (lopid) yang direkomendasikan untuk pasien penderita kolesterol dan trigliserida tinggi adalah 0,6-3 gram per hari dengan daya reduksi kolesterol dan trigliserida sekitar 2-9% (Marinetti 1990). Preparat Antikolesterol Hanya dengan diet yang tepat dan olah raga yang optimal, sebagian besar kadar lipid darah penderita hiperlipidemia sudah dapat terkontrol, namun bila diet dan olahraga tidak bisa menekan kadar lemak darah yang tinggi, sebagai tindakan terakhir digunakan obat penurun lemak darah (Dalimartha 2002). Obat penurun lemak darah umumnya efektif, tetapi sebelum digunakan perlu memperhatikan hal-hal khusus terlebih dahulu seperti kemampuan meningkatkan kolesterol HDL, menurunkan kadar trigliserida dan kolesterol LDL. Perlu pula memperhatikan efek samping obat, kesesuaian khasiat dengan harga obat dan pertimbangan klinis. Jika kadar lemak darah tetap tinggi setelah obat diberikan, tentunya memerlukan obat yang lebih kuat atau bahkan diperlukan kombinasi obat. Selama pengobatan dengan obat antihiperlipidemia atau hipolipidemik, diet dan olahraga harus tetap dijalankan. Obat antihiperlipidemia sampai saat ini terdiri dari beberapa golongan yaitu:
23
(1) Golongan Resin Pengikat Asam Empedu (Sequestrans) Golongan obat ini bekerja dengan cara mengikat asam empedu sehingga asam tersebut tetap berada di dalam usus dan proses resirkulasi ke hati (siklus enterohepatik) tidak terjadi. Akibatnya akan terjadi peningkatan penggunaan kolesterol di hati sebagai bahan baku getah empedu sehingga cadangan kolesterol di hati menurun. Keadaan ini akan menyebabkan cadangan kolesterol yang berada di dalam darah dipergunakan, sehingga kadar kolesterol di dalam darah akan menurun. Golongan obat ini berkhasiat untuk menurunkan kadar kolesterol total dan kolesterol LDL serta meningkatkan kadar kolesterol HDL, namun pada pasien yang kadar trigliseridanya lebih dari 250 mg/dl, obat ini malah menaikkan kadar trigliserida dan menurunkan kadar kolesterol HDL (Dalimartha 2002). Obat ini tergolong kuat dengan efek samping ringan berupa gangguan pencernaan seperti nyeri ulu hati, kembung, mual, muntah, diare, bersendawa, konstipasi dan memperburuk penyakit wasir (hemoroid). Contoh obat golongan ini adalah kolestiramin dan kolestipol. (2) Golongan Asam Nikotinat (Niasin) Asam nikotinat atau niasin merupakan bagian dari vitamin B kompleks yang banyak terdapat pada biji-bijian dan kacang-kacangan. Niasin berkhasiat untuk semua kelainan fraksi lemak. Golongan ini mempengaruhi aktivitas enzim lipoprotein lipase sehingga terjadi penurunan produksi VLDL di hati. Akibatnya, kadar kolesterol total, kolesterol LDL dan trigliserida menurun. Niasin juga dapat meningkatkan kolesterol HDL (Mayes 2003). Efek samping golongan obat ini jarang menyebabkan gangguan pencernaan, tetapi bisa menimbulkan vasodilatasi pembuluh darah kulit (kulit menjadi merah, gatal dan terasa panas), sakit kepala, gangguan fungsi hati, meningkatnya kadar asam urat darah, timbul resistensi insulin dan naiknya kadar gula darah. Adanya efek samping tersebut menyebakan obat ini tidak bisa diberikan pada penderita diabetes mellitus, hepatitis, ulkus lambung, aritmia dan penderita reumatik gout. Contoh obat golongan ini adalah asam nikotinat dan acipimox (Dalimartha 2002). (3) Golongan Asam Fibrat Efek golongan asam fibrat meningkatkan aktivitas lipoprotein lipase sehingga menghambat produksi VLDL di hati dan meningkatkan aktivitas
24
reseptor LDL. Obat golongan ini terutama menurunkan trigliserida yang tinggi di dalam darah, meningkatkan kolesterol HDL serta mempunyai efek yang baik terhadap penurunan kolesterol total dan kolesterol LDL. Efek samping yang paling sering muncul adalah gangguan saluran pencernaan berupa mual, diare, kembung, nyeri perut, meningkatnya enzim-enzim transaminase (serum glutamicoxaloacetic transaminase (SGOT), serum glutamic-pyruvic transaminase (SGPT)), nyeri otot, kegatalan dan ruam pada kulit. Efek samping yang jarang antara lain turunnya libido, impoten, alopesia, depresi, gangguan penglihatan, ikterus kolestatik, meningkatnya pembentukan batu empedu, neuritis perifer dan paresthesia. Kontra indikasi obat ini adalah pada penderita gangguan fungsi hati dan ginjal berat serta penderita penyakit kantung empedu, karena asam fibrat dapat memperberat penyakit tersebut. Contoh obat yang termasuk golongan ini adalah bezafibrat, fenofibrat, gemfibrozil, simfibrat, siprofibrat dan klofibrat (Dalimartha 2002). (4) Golongan Statin Statin atau inhibitor HMG-KoA reduktase adalah kelompok obat penurun lipid yang digunakan untuk menurunkan level kolesterol dengan menghambat kerja enzim HMG-KoA reduktase. Gangguan pada aktivitas enzim ini akan menyebabkan penurunan jumlah asam mevalonat yang merupakan prekursor kolesterol (Dalimartha 2002). Hambatan enzim HMG-KoA di hati akan menstimulasi LDL reseptor sehingga meningkatkan pembersihan LDL dari aliran darah dan menurunkan level kolesterol darah. Penurunan level kolesterol darah ini terlihat setelah seminggu pemakaian dan efek maksimal terlihat setelah empat sampai enam minggu penggunaan. Walaupun demikian, obat-obat golongan statin sintetik harganya mahal (Lam dan Suliandro 2004). Menurut Fusegawa et al. (1993), obat penghambat HMG-KoA reduktase ini merupakan obat penurun lipid yang paling baru, luas penggunaannya dan efektif terhadap non-familial dan familial
hiperkolesterolemia.
Statin
adalah
obat
pilihan
untuk
pasien
hiperkolesterolemia atau hiperlipidemia karena merupakan bentuk paling kuat dari monoterapi dan hemat biaya bagi pasien dengan penyakit arteri koroner atau berbagai faktor-faktor risiko dan pencegahan bagi pasien dengan risiko tinggi primer.
25
Dibandingkan obat penurun kolesterol lainnya, statin memiliki efek penurun LDL kolesterol terbesar sehingga statin dijadikan obat utama untuk mengatasi hiperkolesterolemia (Daniel 2006). Efisiensi penyerapan statin dalam tubuh adalah 30% dan efisiensi ini akan meningkat jika diberikan bersama makanan. Sesudah penyerapan, statin akan ditransport ke hati melalui sirkulasi portal. Hati adalah bagian prinsip dari aksi statin. Statin dimetabolisme di dalam hati dalam kaitannya dengan asam beta hidroksi yang merupakan inhibitor HMG-KoA reduktase. Efek samping yang ditimbulkan obat golongan statin berupa nyeri otot, nyeri dada, sakit kepala, nausea, vomitus, diare dan rasa lelah. Pasien dengan penyakit hati, wanita hamil dan menyusui dilarang menggunakan obat ini. Kombinasi obat golongan ini dengan derivat asam fibrat dan asam nikotinat perlu pemantauan yang ketat (Dalimartha 2002). Simvastatin Simvastatin merupakan nama generik obat, sedangkan nama dagangnya adalah Zocor. Simvastatin adalah obat penurun kolesterol yang bekerja dengan menghambat produksi kolesterol di hati, usus, menurunkan kolesterol darah secara keseluruhan dan menurunkan kadar LDL-kolesterol darah. Indikasi penggunaan simvastatin adalah untuk penderita hiperkolesterolemia primer, pasien yang tidak cukup memberikan respon terhadap diet, mengurangi kejadian klinis, memperlambat progresif atherosklerosis koroner pada pasien penyakit jantung koroner dan penderita kadar kolesterol 5,5 mmol/l atau lebih. Kontra indikasi sediaan ini adalah untuk wanita hamil, menyusui, pasien dengan penyakit hati aktif atau peningkatan serum transaminase yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Dosis tunggal awal adalah 10 mg/hari. Dalam interval kurang dari empat minggu dosis dapat menyesuaikan dalam kisaran lazim 10-40 mg/hari. Penderita penyakit jantung koroner awal 20 mg/hari. Efek samping simvastatin adalah pusing, sakit kepala, konstipasi, diare, dispepsia, mual, ruam kulit, nyeri abdomen, nyeri dada, gangguan penglihatan, hepatitis dan anemia (Hapsari 2007). (5) Golongan lain Obat probukol bekerja menurunkan kolesterol total dan kolesterol LDL dengan cara meningkatkan ekskresi kolesterol ke dalam empedu. Obat antilipidemik ini bekerja lewat proses antioksidan untuk mencegah oksidasi LDL-
26
kolesterol sehingga kadar LDL-kolesterol menurun di dalam darah. Walaupun demikian, obat ini juga menurunkan HDL-kolesterol sehingga obat ini hanya dijadikan sebagai obat pilihan kedua. Efek samping yang paling sering timbul adalah gangguan pencernaan, diare, flatus, mual, vomitus, kolik dan kebengkakan angioneurotik. Wanita hamil dan penderita infark jantung dianjurkan tidak menggunakan obat ini (Dalimartha 2002). Preparat lain adalah sitosterol yang dapat menurunkan kolesterol darah yaitu beberapa senyawa sterol yang secara kimia mirip kolesterol dan berasal dari sayuran dan buah-buahan. Sitosterol diabsorbsi buruk di dalam usus sehingga akan memperkecil absorbsi kolesterol dan esterifikasinya dalam sel epitel saluran cerna (Muschler 1991). 2.6 Histopatologi Analisis histopatologi digunakan untuk melihat kerusakan jaringan. Teknik ini dapat digunakan untuk melihat kondisi suatu jaringan yang telah rusak akibat penyakit–penyakit seperti perlemakan hati, kanker, hepatitis, ateroma dan sebagainya. Untuk memperoleh observasi yang bagus perlu dipelajari persamaan dan perbedaan kondisi jaringan yang normal dan yang diperkirakan mengalami kelainan, pemisahan yang khas dan yang tidak. Susunan, warna, ukuran dan bentuk dari bagian jaringan dan hubungannya dengan yang lain akan sangat membantu untuk mengkarakterisasikan struktur jaringan yang menjadi subyek pengamatan (Thomas 1984). Teknik analisis histopatologi meliputi beberapa tahap yaitu fiksasi, dehidrasi, bloking, pemotongan, pewarnaan, dan analisis dengan mikroskop. Fiksasi adalah tahap awal setelah pengambilan jaringan yang akan dianalisis. Jaringan yang akan diteliti secara histopatologi harus difiksasi untuk mencegah kerusakan atau membusuknya jaringan akibat pengaruh bakteri dan autolisis, mengkoagulasi sel, menjaga jaringan agar tidak hancur dan mengalami penyusutan selama proses dehidrasi, blocking dan pemotongan. Bahan yang umum digunakan untuk fiksasi adalah bufer formalin 10%, dan bahan lain diantaranya adalah zenker, bouin, formalin dan lain-lain. Fiksasi dalam bufer formalin 10% ini dilakukan selama 24 jam sejak pengambilan jaringan. Proses dehidrasi dilakukan untuk menghilangkan molekul- molekul air yang terdapat dalam jaringan menggunakan alkohol 70% sampai alkohol absolut dan
27
juga digunakan pelarut organik berupa silena. Proses ini dilakukan selama 24 jam, dalam kondisi divakum untuk mengeluarkan air dari sel. Selanjutnya dilakukan proses infiltrasi dan blocking dengan parafin dan proses pemotongan menjadi lembaran-lembaran halus menggunakan pisau mikrotom yang memiliki ukuran 3-5 mikron. Lembaran hasil pemotongan diletakkan pada obyek gelas kemudian diinkubasi dan diberi pewarnaan. Zat warna yang umum digunakan untuk melihat kondisi kerusakan pada jaringan adalah hematosiklin-eosin. Penggunaan zat warna didasarkan pada sifat dari kombinasinya. Hematosiklin bersifat basa, sedangkan eosin bersifat asam. Inti sel cenderung bersifat asam karena banyak mengandung asam-asam nukleat, akan menarik basa sehingga akan berwarna biru, sebaliknya bagian sitoplasma akan menarik eosin yang bersifat asam sehingga akan berwarna merah. Perbedaan warna antara keduanya secara nyata akan dapat membedakan kondisi jaringan yang rusak/patologis dengan yang sehat (Usman 2000).
28
3 METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di beberapa lokasi, contoh diambil dari perairan Pulau Buton. Analisis in vitro dilakukan di Laboratorium Bioteknologi dan Bahan Baku Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Laboratorium Biofarmaka. Analisis in vivo dilakukan di Laboratorium Histopatologi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan, Laboratorium Terpadu Departemen Ilmu dan Nutrisi Ternak Institut Pertanian Bogor, Laboratorium Klinik Farfa Bogor. Penelitian dilaksanakan dari bulan Juli 2005 sampai Juni 2007. 3.2 Bahan dan Alat Bahan baku lintah laut (Discodoris sp) yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari perairan Pantai Pulau Buton dengan ukuran panjang berkisar 3-5 cm dalam keadaan segar. Jenis ini telah diidentifikasi oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Kelinci (Oryctolagus cinuculus) dari ras New Zealand White jenis kelamin jantan yang berusia 4-5 bulan diperoleh dari Balai Penelitian Ternak Ciawi Bogor dalam keadaan sehat. Ransum kelinci jenis Rb 12 sebagai ransum standar diperoleh dari Balai Penelitian Ternak Ciawi Bogor. Peralatan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat gelas untuk ekstraksi, saringan, stirrer, evaporator, aerator, spektrofotometer UV 160 Shimadzu, Atomic Absorption Spectrophotometre (AAS) Hitachi Z5000, Spektrofotometer Humalyzer 2000, mikrotom (Mode 820 Reg 17664 Made in USA), Alat dehidrasi (Tissue processor ETP-180 BV, Sakura Finetechnical Co Ltd. Japan), alat embedding (Tissue-Tek, Sakura Japan), mikroskop dilengkapi kamera, projector microscope, digitizer plate, computer assited digitizer, grinder, timbangan, shaker, penangas air, lemari pendingin, vortex, pipet mikro, seperangkat peralatan untuk pengambilan darah dan nekroskopi kelinci, kandang kelinci.
29
Bahan kimia yang digunakan antara lain pelarut organik p.a (metanol, etilasetat, kloroform, heksana, petroleum benzena), difenilpikril hidrazil (DPPH), bahan-bahan kimia dan reagen untuk identifikasi golongan senyawa bahan aktif dan berbagai pelarut organik untuk pemisahan dengan KLT, kolesterol (Sigma Chemical Co.), kit penentuan kadar kolesterol total, trigliserida, HDL dan LDL, formalin, parafin, pewarna HE dan air destilata, simvastatin penurun kolesterol, sulfamix (antikoksidia), albendazol obat cacing, ivermectin obat tungau/skabies. 3.3 Metode Penelitian Penelitian ini terdiri atas beberapa tahap yang meliputi: (1) Persiapan dan pengambilan contoh lintah laut ke Pulau Buton. (2) Ekstraksi bahan aktif antioksidan dengan metode Quinn. (3) Identifikasi golongan senyawa ekstrak terpilih dengan pereaksi standar. (4) Uji aktivitas antioksidan ekstrak kasar dengan metode NBT dan DPPH (Molyneux 2004) (5) Uji khasiat bubuk lintah laut kering pada hewan percobaan (in vivo) meliputi antikolesterol dan antiaterogenik. (6) Uji efek toksikopatologis terhadap jaringan organ pembuluh darah jantung, ginjal dan hati kelinci percobaan 3.3.1 Tahap persiapan contoh Contoh yang
digunakan dalam penelitian ini adalah lintah laut yang
dipersiapkan dalam bentuk tepung kering sehingga mudah dalam penyimpanan dan pencampuran dengan pakan standar sesuai konsentrasi yang diperlukan. Contoh diambil dalam keadaan hidup dari perairan pantai Pulau Buton. Contoh lintah laut hidup dimatikan dengan cara disiram air panas dan dicuci bersih dengan air tawar kemudian dijemur beberapa hari sampai kering dengan kadar air kurang dari 15%. Contoh kering dikemas dengan kemasan plastik dan dibawa ke laboratorium (Bogor) disimpan pada suhu rendah (kurang dari 10 °C). 3.3.2 Analisis proksimat Lintah laut laut kering diuji komposisi kimianya yang terdiri atas kadar air, protein, lemak, abu, abu tak larut asam dan karbohidrat dengan cara by difference sesuai metode AOAC (1995).
30
3.3.3 Analisis logam berat Logam berat yang dianalisis adalah merkuri (Hg), timbal (Pb) dan kadmium (Cd). Metode analisis dilakukan berdasarkan SNI 06-6992.2-2004 untuk merkuri dan SNI 06-6989.46-2004 untuk timbal dan kadmium. Tahap destruksi dilakukan menurut Cantle (1982). Contoh lintah laut kering sebanyak 1 g dimasukkan ke dalam erlenmeyer 100 ml ditambahkan 5 ml HNO3 pekat didiamkan selama 1 jam pada suhu ruang di ruang asam. Contoh dipanaskan di atas hot plate selama 4-6 jam, kemudian dibiarkan 24 jam dengan kondisi tertutup. Setelah itu ditambahkan 0,4 H2SO4 dan dipanaskan selama 1 jam di atas hot plate sampai larutan pekat. Ditambahkan 2-3 tetes HCLO4:HNO3 (2:1) sampai terjadi perubahan warna dari coklat menjadi kuning tua dan muda bening. Setelah terjadi perubahan warna pemanasan masih dilanjutkan selama 10-15 menit. Contoh dipindahkan dan didinginkan dan ditambahkan 2 ml akuades dan 0,6 ml HCl pekat. Kemudian dipanaskan kembali selama 15 menit dan dimasukkan kedalam labu takar 100 ml. Jika ada endapan larutan contoh disaring dengan kertas saring. Contoh
siap
untuk
dianalisis
logam
beratnya
menggunakan
SSA
(Spektrofotometer Serapan Atom). 3.3.4 Ekstraksi bahan aktif antioksidan dan antikolesterol dari lintah laut Penghitungan rendemen antioksidan dari ekstrak kasar lintah laut kering. Ekstraksi bahan aktif yang digunakan adalah ekstraksi bertingkat berdasarkan metode Quinn dan Gadek (1981) yang disitir Darusman et al. (1995) dan dimodifikasi. Modifikasi dilakukan terhadap waktu maserasi yaitu 3x24 jam, sedangkan Quinn 1x24 jam. Pelarut yang digunakan adalah klorofom (non polar), etil asetat (semi polar) dan metanol (polar). Lintah laut kering sebanyak 50 gram dihaluskan dan ditambahkan pelarut kloroform 100 ml sampai terendam, dimaserasi pada suhu ruang selama 3x24 jam, kemudian disaring dan diperoleh filtrat 1. Residunya ditambah dengan etil asetat sampai terendam dan dimaserasi selama 3x24 jam pada suhu ruang, kemudian disaring, dari hasil ini diperoleh filtrat 2. Residu yang tersisa ditambah dengan metanol sampai terendam dan dimaserasi selama 3x24 jam pada suhu ruang, kemudian disaring dan diperoleh filtrat 3. Filtrat 1,2 dan 3 yang dihasilkan
31
dievaporasi hingga diperoleh ekstrak kasar dalam bentuk pasta atau kering. Metode ekstraksi dan evaporasi lintah laut kering disajikan pada Gambar 4. 3.3.5 Identifikasi golongan senyawa bioaktif lintah laut (1) Uji Alkaloid Sebanyak 1 gram ekstrak kasar ditambah 10 ml heksana dan 2-5 tetes amoniak. Kemudian diuji dengan tiga pereaksi alkaloid yaitu pereaksi Dragendorff, Meyer dan Wagner. Hasil uji dinyatakan positif bila dengan pereaksi Meyer terbentuk endapan putih kekuningan, endapan coklat dengan pereaksi Wagner dan endapan merah sampai jingga dengan pereaksi Dragendorff. Pereaksi Wagner dibuat dengan cara memipet 10 ml akuades ditambah 2,5 gram iodin dan 2 gram kalium iodida. Lalu dilarutkan dan diencerkan dengan akuades menjadi 200 ml dalam labu takar. Pereaksi ini berwarna coklat. Pereaksi Meyer dibuat dengan cara menambahkan 1,36 HgCl2 dengan 0,5 gram kalium iodida. Lalu dilarutkan dan diencerkan dengan akuades menjadi 100 ml dengan labu takar. Pereaksi ini tidak berwarna. Pereaksi Dragendorff dibuat dengan cara menambahkan 0,8 gram bismut subnitrat dengan 10 ml asam asetat dan 40 ml air. Larutan ini dicampur dengan larutan yang dibuat dari 8 gram kalium iodida dalam 20 ml air. Sebelum digunakan 1 volume campuran ini diencerkan dengan 2,3 volume campuran 20 ml asam asetat glasial dan 100 ml air. Pereaksi berwarna jingga. (2) Uji Steroid (Liebermann-Burchard) Sebanyak 1 gram ekstrak kasar ditambahkan 25 ml etanol 30% lalu dipanaskan dan disaring. Filtratnya diuapkan kemudian ditambah eter. Lapisan eter dipipet dan diujikan pada papan uji dengan menambahkan pereaksi Liebermen Buchard (3 tetes asam asetat anhidrida dan 1 tetes H2SO4 pekat). Warna merah atau ungu menunjukkan adanya triterpenoid dan warna hijau menunjukkan adanya steroid. Terbentuknya larutan berwarna merah untuk pertama kali, kemudian berubah menjadi biru dan hijau menunjukkan reaksi positif.
32
Lintah laut kering
Penghancuran
Maserasi 24 jam dengan kloroform
Filtrasi Filtrat 1
Residu
Evaporasi
Maserasi 24 jam dengan etil asetat
Ekstrak 1 Filtrasi Filtrat 2 Residu Penimbangan Evaporasi Maserasi 24 jam dengan metanol Penimbangan
Ekstrak 2 Filtrasi
Uji Aktivitas Antioksidan Filtrat 3
Ekstrak terpilih
Uji komponen kimia
Residu
Evaporasi
Ekstrak 3
Penimbangan
Gambar 4 Metode ekstraksi Quinn yang disitir Darusman et al (1995)
33
(3) Uji Saponin (uji busa) Saponin dapat dideteksi dengan uji busa dalam air panas. Sebanyak 1 gram ekstrak kasar ditambah air secukupnya dan dipanaskan pada air mendidih selama 5 menit. Larutan tersebut didinginkan kemudian dikocok. Timbulnya busa yang bertahan lebih dari 10 menit dan tidak hilang pada penambahan 1 tetes HCl 2N menunjukkan adanya saponin. (4) Uji Molisch Sebanyak 1 ml larutan sampel diberi 2 tetes pereaksi molisch dan 1 ml asam sulfat pekat melalui dinding tabung. Uji positif yang menunjukkan adanya karbohidrat ditandai oleh terbentuknya kompleks berwarna ungu diantara 2 lapisan cairan. (5) Uji Benedict Larutan sampel sebanyak 8 tetes dimasukkan kedalam 5 ml pereaksi benedict. Campuran dikocok dan dididihkan selama 5 menit. Terbentuknya warna hijau, kuning atau endapan merah bata menunjukkan adanya gula pereduksi. (6) Uji Biuret Sebanyak 1 ml larutan sampel ditambah 4 ml pereaksi biuret. Campuran dikocok dengan seksama. Terbentuknya larutan berwarna ungu menunjukkan hasil uji positif adanya senyawa peptida. (7) Uji Ninhidrin Sebanyak 2 ml larutan sampel ditambah beberapa tetes larutan ninhidrin 0,1%. Campuran dipanaskan dalam penangas air selama 10 menit. Terjadinya larutan berwarna biru menunjukkan reaksi yang positif terhadap adanya asam amino bebas. 3.3.6
Uji aktivitas antioksidan ekstrak kasar lintah laut kering (DPPH) (Molyneux 2004) Ekstrak kasar lintah laut yang diperoleh dari proses maserasi dengan
metanol, dilarutkan dalam metanol dengan konsentrasi 100, 200, 500, 1000, 2000 dan 4000 ppm. Antioksidan sintetik BHT digunakan sebagai pembanding dengan konsentrasi 5, 10, 25, 50, dan 100 ppm. Larutan pereaksi DPPH yang digunakan dibuat dengan melarutkan DPPH dalam metanol p.a dengan konsentrasi 1 mM, yang dibuat segar dan dijaga pada suhu rendah serta terlindung dari cahaya.
34
Sebanyak 4 ml larutan uji atau pembanding direaksikan dengan 1 ml larutan DPPH dalam tabung reaksi. Campuran tersebut diinkubasi pada suhu 37 oC selama 30 menit, kemudian diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometri UV-VIS Hitachi U-2800 pada panjang gelombang 517 nm. Suatu senyawa dapat dikatakan memiliki aktivitas antioksidan apabila senyawa tersebut mampu mendonorkan atom hidrogennya yang ditandai oleh perubahan warna ungu menjadi kuning pucat (Molyneux 2004). Tingkat diskolorisasi warna ungu DPPH merupakan indikasi aktivitas penghambatan radikal bebas oleh contoh antioksidan (Abdille et al. 2004). Larutan standar dibuat dengan mencampur 4 ml metanol p.a dengan 1 ml DPPH. Aktivitas antioksidan masing-masing sampel dan BHT dinyatakan dengan persentase penghambatan radikal bebas yang dihitung dengan rumus:
% inhibisi =
absorbansi blanko - absorbansi sampel × 100 absorbansi blanko
Nilai konsentrasi dan hambatan ekstrak diplot masing-masing pada sumbu x dan y. Persamaan garis yang diperoleh dalam bentuk y = bLn(x) + a digunakan untuk mencari nilai IC (inhibitor concentration), dengan menyatakan nilai y sebesar 50 dan nilai x sebagai IC50. Nilai IC50 menyatakan konsentrasi larutan sampel yang dibutuhkan untuk mereduksi DPPH sebesar 50%. 3.3.7 Uji aktivitas antioksidan ekstrak kasar lintah laut kering metode NBT Uji aktivitas antioksidan ekstrak kasar yang diperoleh menggunakan metode nitroblue tetrazolium (NBT) dengan kit pereaksi superoksida dismutase (SOD) seperti yang dilakukan Purwadiwarsa et al. (2000). Bahan yang diperlukan dalam uji aktivitas antioksidan adalah buffer fosfat 0,1 M pH 7,5; xantin 0,40 mmol/l; nitroblue tetrazolium (NBT) 0,24 mmol/l (Bahan 1). Enzim xantin oksidase 0,049 unit/ml (Bahan 2). Buffer fosfat 0,1 M pH 7,5 (Bahan 3 dan 4 sebagai pengencer dan blanko). Bahan 5 Sodium dodesil sulfat (SDS) 69 mmol/l dan dimetil sulfoksida (DMSO) sebagai pelarut sampel. Uji aktivitas antioksidan dilakukan dengan cara melarutkan contoh (ekstrak kasar) sebanyak 20 mg dalam 1 ml DMSO dan diambil 12,5 µl. Mikrotube disiapkan dan diberi perlakuan seperti terlihat pada Tabel 4.
35
Tabel 4 Perlakuan pada uji aktivitas antioksidan Reagen Sampel (S) Blanko (B) Sampel-Blanko Blanko-Blanko Enzim 250,0 µl 250,0 µl NBT-Xa 250,0 µl 250,0 µl 250 ,0 µl 250,0 µl Sampel 12,5 µl 12,5 µl DMSO 12,5 µl 12,5 µl Blanko 250,0 µl 250,0 µl Keterangan:
NBT-Xa = Nitroblue tetrazolium-xantin DMSO = Dimetil sulfoksida Blanko = Buffer fosfat
Tabung sampel (S), blanko (B), sampel-blanko (BS), blanko-blanko (B) dibuat dua kali ulangan. Tabung- tabung tersebut diinkubasi pada suhu 37 oC selama 20 menit. Kemudian ke dalam tiap tabung ditambah sodium dodesil sulfat (SDS) sebanyak 500 µl. Setelah itu diukur absorbansinya pada panjang gelombang 560 nm dengan larutan standard BB dan diperoleh data ES sebagai absorbansi sampel (S) dan EB sebagai absorbansi blanko, ESB sebagai absorbansi sampel-blanko, dan EBB sebagai absorbansi blanko-blanko. Selanjutnya dihitung aktivitas
SOD
atau
persentase
penghambatan
terhadap
radikal
bebas
menggunakan rumus sebagai berikut: Ativitas SOD (%) =
(EB − EBB ) − (ES − ESB ) × 100 0 0 (EB − EBB )
3.3.8 Uji khasiat dan efek toksikopatologis bubuk lintah laut kering pada hewan percobaan Hewan percobaan diberikan kolesterol dosis tinggi sehingga diharapkan terjadi hiperkolesterolemia. Bersamaan dengan itu hewan percobaan juga diberikan bubuk lintah laut kering untuk melihat peran atau potensinya dalam menekan atau menurunkan kolesterol. Selanjutnya juga dilihat kemampuannya dalam mencegah atau menekan terbentuknya lesi aterosklerosis dengan mengamati pembuluh darah jantung, sel hati dan ginjal kelinci yang mengalami perubahan. Pada tahap penelitian ini digunakan kelinci 16 ekor masing-masing ditempatkan dalam satu kandang. Kelinci yang digunakan adalah jenis New Zealand White jantan berumur 4-5 bulan yang diperoleh dari Balai Penelitian Ternak Ciawi Bogor.
36
Uji pada hewan percobaan Pada tahap ini semua kelinci diberi ransum standar dan minum ad libitum selama 2 minggu. Sebelumnya berat kelinci ditimbang untuk mendapatkan gambaran awal berat badan kelinci.
Selama periode adaptasi setiap kelinci
diamati satu persatu kebiasaan makan, kondisi kesehatan, dan faktor lainnya yang dapat mempengaruhi keadaan kelinci sehingga dapat dikendalikan pada pengujian selanjutnya. Ransum kelinci yang diberikan adalah ransum standar jenis Rb 12 yang diproduksi oleh Balai Penelitian Ternak Ciawi Bogor. Komposisi ransum standar disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Komposisi ransum standar Rb-12 dalam 100kg No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Bahan Tepung ikan Bungkil kedelai Bungkil kelapa Jagung Dedak Pollard (dedak gandum) Rumput gajah kering/daun tebu Minyak sayur Molase Top mix (vitamin dan mineral) Garam dapur Kapur (kalsium karbonat) Tepung tulang (dikalsium fosfat) Susu skim Natrium dikalsium fosfat
Jumlah (kg) 2 18 7 20,5 12,7 10,5 22 3 2 0,3 0,3 0,5 0,5 0,5 0,2
Untuk mencegah terjadinya stres pada kelinci karena transportasi, maka kelinci yang baru datang dipuasakan selama sehari, hanya diberi air gula 5%. Kemudian diberi pakan standar 2 kali sehari sebanyak 50 gram dan sisanya ditimbang. Setelah diperoleh jumlah pakan optimal selama seminggu, untuk seterusnya pemberian pakan dilakukan satu kali sehari sebanyak 100 gram demikian juga dengan pembersihan kandang. Awal masa adaptasi semua kelinci diberi obat antikoksidia (sulfamix) dengan cara pemberian sesuai label yaitu 3-2-3 (3 hari berturut-turut diberi sesuai label, 2 hari istirahat dan 3 hari berikutnya diberi lagi). Pada dua hari istirahat antikoksi diberi obat cacing (Albendazol) dengan dosis sesuai label pada kemasan.
37
Kandang kelinci dan peralatan lainnya, kandang yang ditempati masingmasing kelinci berukuran 50x50x45 cm3 yang dilengkapi dengan tempat air minum dan ransum serta penampungan feses dan urin. Alat bantu lainnya seperti tempat kelinci pada waktu pengambilan darah dan penimbangan, timbangan kelinci, perlengkapan pengambilan darah serta wadah penyimpanannya. Pada akhir masa adaptasi masing-masing kelinci ditimbang untuk mengetahui beratnya dan diambil darahnya dari telinga. Sebelum pengambilan darah, kelinci dipuasakan selama 12 jam. Kelinci dijadikan 4 kelompok yang masing-masing terdiri dari 4 ekor. Proses percobaan menggunakan hewan (kelinci) dapat dilihat pada Gambar 5. Pemberian dosis tepung lintah laut berpedoman pada hasil uji aktivitas antioksidan yang telah dilakukan secara in vitro. Hasil diperoleh melalui konversi sehingga diperoleh dosis yang sesuai. Pada akhir pengujian, kelinci dimatikan dengan cara disembelih, menggunakan pisau tajam. Setelah darah dikeluarkan, kelinci dibedah dan dipisahkan hati, jantung dan ginjal, lalu difiksasi dalam formalin 10% selama 24 jam. Setelah difiksasi hati, pembuluh darah jantung dan ginjal diiris kurang lebih 3 mm dan dilakukan proses dehidrasi menggunakan alkohol dengan konsentrasi bertingkat (70, 80, 90, dan 95%) selama 8 jam, dilanjutkan dengan alkohol absolut I, II, III masing-masing selama 2 jam. Selanjutnya potongan organ dijernihkan menggunakan xylol I dan II masing-masing 2 jam. Tahap selanjutnya potongan organ diinfiltrasi dengan parafin. Proses ini dilakuakan secara otomatis dengan mesin tissue processor dan tissue embedding console. Setelah jaringan mengeras, blok jaringan dipotong menggunakan mikrotom dengan ketebalan 4-5 mikron dan dilekatkan pada gelas objek. Pewarnaan Hematosiklin Eosin (HE) dilakukan untuk melihat morfologi jaringan pembuluh darah aorta, hati, dan ginjal. Pewarnaan diawali dengan deparafinasi dan dehidrasi. Pewarnaan dengan HE selama 30 menit dan Eosin selama 2 menit. Setelah diwarnai sediaan dikeringkan terlebih dahulu sebelum ditetesi perekat Permount® dan kemudian ditutup dengan gelas penutup. Preparat siap untuk diamati menggunakan mikroskop cahaya.
38
Kontrol negatif Ransum
Kelinci Uji 3 Ekor
Kontrol positif Ransum Kolestrol 0,2%
Kelinci Uji 3 Ekor
Obat Simvastatin 0,625 mg Ransum Kolestrol 0,2%
Lintah laut Dosis 4% Ransum Kolestrol 0,2%
Kelinci Uji 3 Ekor
Kelinci Uji 3 ekor
Minggu ke-2
Adaptasi
0
4
8
Periode Pengujian
Pengamatan peubah pada • Berat badan • Konsumsi Ransum • Total Kolestrol • Trigliserida • Kolestrol HDL • Kolestrol LDL
12
Euthanasi dan pengambilan sampel organ
Pengamatan: • Histopatologi hati, ginjal • Lesi Aterosklerosis • SGOT dan SGPT darah
Gambar 5 Proses pengujian pada hewan percobaan
39
Lintah laut kering Ekstraksi bertingkat Pengujian aktivitas antioksidan dan rendemen
Uji in vivo pada kelinci Kontrol negatif = ransum Rb 12 Kontrol positif
= ransum Rb 12+kolesterol 0,2%
Obat
= Rb 12+kolesterol 0,2%+ simvastatin 0,625 mg/ekor/hari
Discodoris
= Rb 12 +kolesterol 0,2%+Discodoris 4% Periode Pengujian -2
0
4
8 dan 12 minggu
Pengamatan Berat badan, sisa pakan, profil lipid darah: kolesterol total, trigliserida, HDL, LDL, SGOT dan SGPT Gambar 6 Diagram alir penelitian utama Pengamatan histopatologi dititikberatkan pada perubahan struktur dinding pembuluh darah yang ditandai dengan adanya endapan sel lemak sampai terbentuknya plak aterosklerosis. Ketebalan dan luas plak/lesi yang terbentuk diamati dan diberikan skor/nilai 3 untuk yang tebal sekali, 2 agak tebal, 1 tipis dan 0 normal. Pemberian diet aterogenik yang berisi kolesterol sebesar 0,2% dari berat ransum total yang dikonsumsi (0,2 g kolesterol/100 g ransum) dimaksudkan supaya kelompok kontrol positif mengalami aterosklerosis yang ditandai oleh tingginya kadar kolesterol total dan LDL serum serta terbentuknya lesi/plak pada aorta kelinci. Penetapan pemberian dosis 0,2% berdasarkan penelitian Azima (2004), pada dosis 0,1% telah mampu meningkatkan kadar kolesterol selama 12 minggu. Adapun masing-masing kelompok kelinci diperlakukan sebagai berikut: (1)
Kontrol negatif hanya diberikan ransum standar
40
(2)
Kontrol positif diberikan ransum standar dan kolesterol 0,2%
(3)
Perlakuan obat (Simvastatin) 0,625 mg, ransum standar, kolesterol 0,2%
(4)
Perlakuan tepung lintah laut 4% , ransum standar, kolesterol 0,2% Pemberian ransum kelinci sesuai dengan perlakuan selama 12 minggu.
Penimbangan sisa pakan dilakukan setiap hari dan berat badan kelinci setiap 7 hari. Pembuatan pakan dilakukan sekali dalam sebulan dan dikeringkan dioven. Teknik pemberian pakan untuk semua kelinci diperlakukan sama yaitu ditimbang 100 gram perekor perhari, kecuali untuk perlakuan lintah laut ditambah 4%. Sisanya setiap hari ditimbang. Sebelum diberikan pakan untuk penambahan kolesterol dan obat diberikan terlebih dahulu dengan cara dicekok menggunakan syringe. Pemberian air minum dilakukan secara ad libitum. Selama pengujian dilakukan pengamatan terhadap peubah berat badan, konsumsi ransum, total kolesterol, trigliserida, HDL dan LDL pada minggu ke 0, 4, 8, dan 12. Pada minggu ke 12 juga dilihat kadar SGOT dan SGPT. Pengambilan contoh darah dilakukan setiap 4 minggu. Darah diambil pada pembuluh darah vena telinga kelinci sebanyak 3 ml. Darah didiamkan selama 30 menit pada suhu ruang, kemudian disentrifus untuk memisahkan serumnya pada kecepatan 2.700 rpm selama 10 menit dan profil lipidnya ditentukan. Profil lipid serum ditentukan dengan metode enzim cholesterol oxsidase-paminophenozone (CHOD-PAP) untuk kolesterol total, metode pengendapan untuk HDL dan LDL, dan metode glycerol phosphate oxidase-p-phenozone (GPO-PAP) untuk trigliserida. SGOT dan SGPT hanya dianalisis pada minggu ke 12 percobaan dengan metode kit AMP Medizintechnik Hamdles GmbH, hal ini dilakukan untuk melihat pengaruh pemberian obat simvastatin dan Discodoris sp terhadap enzim-enzim tersebut dan kerja hati. Kelainan pada organ hati dihitung dari jumlah sel yang mengalami kerusakan pada 5 lapangan pandang kemudian dipersentasekan (normal, degenerasi hidropis, degenerasi lemak dan sel yang mati). Pembentukan plak pada pembuluh darah jantung diamati ketebalannya dan dibandingkan dengan kontrol negatif. Endapan protein yang terdapat pada glomerulus ginjal dihitung dan diuji secara statistik.
41
3.3.9 Analisis statistik Semua data pengamatan ditabulasikan dan diolah secara statistik. Setiap kali pengamatan data dianalisis berdasarkan model RAL untuk semua parameter tersebut. Untuk masing-masing parameter diadakan analisis varian (ANOVA). Dipilihnya model RAL karena obyek dari penelitian adalah hewan (kelinci) yang diasumsikan seragam (homogen). Persyaratan untuk menggunakan RAL adalah: (1) Pengendalian lokal untuk memperkecil kesalahan/galat percobaan, kecuali perlakuannya, semua (hewan, cara pemberian ransum, jumlah ransum standar, waktu dan cara pengambilan data) seragam (homogen) (2) Ada ulangan (dalam hal ini ada 4 ulangan) (3) Cara memberikan perlakuan harus diacak (randomisasi), penempatan perlakuan ke dalam satuan-satuan percobaan dilakukan secara acak lengkap menggunakan Tabel bilangan acak. (4) Selain perlakuan, tidak ada faktor lain yang dapat mempengaruhi respon (data) pengamatan. Selain perlakuan tidak ada faktor yang dapat dianggap berpengaruh terhadap hasil pengamatan, sehingga dapat diusulkan model analisis sebagai berikut: Yij
= µ +τi +€ij
i = 1,2,3,4 (perlakuan) j = 1,2,3,4 (ulangan)
Yij
= nilai pengamatan pada perlakuan ke i dan ulangan ke j
µ
= nilai tengah umum
τi
= pengaruh perlakuan ke i
€ij
= galat percobaan pada perlakuan ke i dan ulangan ke j. Sehingga nilai pengamatan untuk perlakuan 1 ulangan ke 2, Y12 ditentukan
oleh nilai tengah umum (µ), pengaruh perlakuan ke 1 (τ1) dan ditambah dengan kesalahan percobaan untuk perlakuan 1 dan ulangan 2 (€12). Demikian seterusnya untuk pengamatan-pengamatan lainnya. Untuk menduga parameter µ dan τ, maka digunakan metode Tukey. Variabel yang diuji dengan model ini adalah kimia darah kelinci (kolesterol total, trigliserida, LDL, HDL serta SGOT dan SGPT) dan efek patologis pada organ pembuluh darah jantung, glomerulus ginjal dan sel hati.
42
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1
Komposisi Lintah Laut dan Residu Logam Berat Hasil analisis proksimat bubuk kering dari lintah laut utuh adalah sebagai
berikut: protein 49,60%, lemak 4,58%, abu 11,74%, abu tidak larut asam 1,90%, air 15,25%, karbohidrat 18,83% dan serat kasar 0,45%. Pengukuran residu cemaran logam berat Hg (raksa), timbal (Pb) dan kadmium (Cd) tidak terdeteksi, dengan demikian lintah laut yang diambil dari perairan pantai Pulau Buton dapat dinyatakan aman dari cemaran logam berat tersebut. Lintah laut kering dengan kadar protein, lemak dan abu yang cukup tinggi ini akan memberikan sumbangan dalam peningkatan protein dan mineral pada pakan kelinci dengan perlakuan Discodoris sp sebanyak 4% dari pakan yang diberikan. Lintah laut yang digunakan berasal dari perairan Pulau Buton dengan ukuran panjang dalam keadaan segar berkisar 3-5 cm dan panjang usus berkisar 14-20 cm. Lemak yang terdapat pada lintah laut juga cukup tinggi yaitu 4,58%. Berdasarkan hasil penelitian Witjaksono (2005), fraksi nonpolar (lemak) terdiri dari fenol, sterol, asam lemak jenuh, dan asam lemak tak jenuh majemuk. Komponen ini juga akan berpengaruh terhadap komposisi pakan kelinci yang mendapat perlakuan Discodoris sp.
4.2
Rendemen Ekstrak Kasar Lintah Laut Kering Rendemen ekstrak kasar lintah laut kering yang terbesar adalah ekstrak
metanol yaitu 5,12% untuk contoh utuh dan 4,51% untuk contoh tanpa jeroan. Rendemen ekstrak kasar lintah laut kering bersifat polar. Untuk lebih jelasnya hasil rendemen ekstrak kasar lintah laut dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Rendemen ekstrak kasar lintah laut kering (%) Jenis bahan Contoh utuh Tanpa jeroan
Kloroform 2,27 0,74
Pelarut Etil asetat 1,01 0,38
Metanol 5,12 4,51
Ekstrak terbanyak diperoleh dari pelarut polar, yaitu metanol sebesar 5,12% untuk contoh utuh dan 4,51% untuk contoh tanpa jeroan sedang yang paling kecil
43
adalah ekstrak etil asetat sebesar 1,01% contoh utuh dan 0,38% untuk contoh tanpa jeroan. Tabel 6 membuktikan bahwa lintah laut kering mengandung berbagai senyawa dengan tingkat kepolaran yang berbeda-beda. Ekstrak metanol memiliki jumlah terbanyak karena pelarut metanol memiliki nilai konstanta dielektrik tinggi dibandingkan dengan pelarut lainnya kecuali air, sehingga dapat membuka dinding sel yang mengakibatkan hampir semua senyawa tertarik keluar dari dalam sel. Selain itu pelarut metanol mampu mengekstrak senyawa organik, sebagian lemak serta tanin (Heath dan Reineccius 1987).
4.3
Kelompok Komponen Kimia Lintah Laut Pengujian komponen kimia dilakukan terhadap tepung lintah laut kering
baik utuh maupun tanpa jeroan untuk menelusuri golongan senyawa metabolit sekunder yang dikandungnya. Pengujian ini hanya memperlihatkan hasil kualitatif berdasarkan warna dan endapan yang terbentuk. Hasil rekapitulasi uji komponen kimia identifikasi kelompok menunjukkan bahwa ekstrak kasar Discodoris sp kering pada fraksi polar (metanol) mengandung senyawa alkaloid, steroid, saponin, asam amino, dan fenol (Tabel 7). Tabel 7 Hasil identifikasi golongan senyawa ekstrak Discodoris sp Hasil Tanpa jeroan ++ ++
Pereaksi
Golongan
Wagner Meyer
Alkaloid Alkaloid
Utuh ++ ++
Dragendorf
Alkaloid
++
++
Lieberman-Burchard Steroid
++
+
Molish Saponin Ninhidrin
Karbohidrat Saponin Asam amino
+++ + +++
+++ + +++
FeCl3
fenol
+
+
Warna Endapan coklat Endapan putihkuning Endapan merah jingga Merah muda (pink) Cincin Ungu Ada busa Ungu-biru Hijau-oranye
Keterangan: +++ sangat kuat, ++ kuat, + lemah, - tidak terdeteksi
Peranan komponen bioaktif bagi hewan air khususnya invertebrata laut adalah sebagai pencari makanan, pengenalan dengan populasi, penentuan habitat dan pasangan simbiotik yang sesuai, pengaturan sinkronisasi siklus reproduksi,
44
pemberi sinyal jika ada predator yang membahayakan (Stachowicz 2001), antifeedant (Ehara et al. 2002 yang disitir Derby 2007), antibakteri dan antifungi (Ciavatta et al. 2007), pertahanan saat stres metabolisme (Gavagnin et al. 2003). Sebagian kecil invertebrata laut menghasilkan sendiri substansi kimia untuk pertahanan diri. Sebagian besar memanfaatkan zat kimia yang dihasilkan oleh organisme lain, atau mengembangkan hubungan simbiotik dengan organisme penghasil senyawa aktif (Murniasih 2005) Contoh zat kimia untuk pertahanan sendiri adalah pada nudibranch Dendrodoris limbata yang menghasilkan polygodial sebagai pertahanan diri terhadap predator. demikian
hewan
Senyawa ini tidak ditemukan dalam pakannya, dengan ini
mampu
mensintesis
metabolit
sekunder
seperti
sesquiterpenoid, diterpenoid, dan sesterpenoid untuk pertahanan diri (defensive compound) secara de novo (Cimino & Chiselin 1999). Menurut Riguera (1997) komponen polar dari invertebra laut didominasi oleh garam-garam alkaloid, asam amino, polihidrosteroid dan saponin. Sebagaimana diketahui bahwa hampir semua tanaman mengandung flavonoid, kecuali tanaman alga (Markham 1988). Lintah laut termasuk pemakan rumput laut (alga) dari berbagai jenis dan ukuran, yang tumbuh pesat pada saat ketersediaan makanan cukup (Proksch et al. 2002). Flavonoid pada penelitian ini tidak terdeteksi, hal ini diduga karena makanannya kelompok alga yang tidak mengandung flavonoid.
(1) Alkaloid Alkaloid pada ekstrak kasar fraksi metanol terdeteksi kuat pada bubuk lintah laut utuh dan tanpa jeroan baik dengan pereaksi Wagner, Meyer
maupun
Dragendorf. Alkaloid
pada
umumnya
mencakup
senyawa
bersifat
basa
yang
mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan, sebagai bagian dari sistem siklik. Alkaloid biasanya tanpa warna, seringkali bersifat optis aktif, kebanyakan berbentuk kristal tetapi hanya sedikit yang berupa cairan (misalnya nikotina) pada suhu kamar. Alkaloid merupakan turunan yang paling umum dari asam amino.
Secara kimia, alkaloid merupakan suatu golongan
heterogen. Secara klasik, alkaloid dipisahkan dari kandungan tumbuhan lainnya
45
sebagai garamnya dan sering diisolasi sebagai kristal hidroklorida atau pikrat (Harborne 1987). Alkaloid diklasifikasikan berdasarkan struktur N-heterosiklik. Beberapa alkaloid umum dan strukturnya (Gambar 7) antara lain adalah sebagai berikut (Facchini 2001):
Tropan
Isoquinolin
Piperidin
Piridin
Indol
Quinolin
Kafein
Gambar 7 Struktur beberapa alkaloid umum (Facchini 2001) (a) kokain adalah contoh tipe tropan dari alkaloid pirrolidin dengan
N-
heterosiklik diturunkan dari L-ornithin, turunan asam amino dari glutamat; (b) grup alkaloid piperidin diturunkan dari L-lysin; (c) grup alkaloid piridin diturunkan dari aspartat atau fenilalanin. Nikotin adalah contoh alkaloid jenis ini; (d) alkaloid quinolin seperti quinin yang dapat diturunkan dari L-triptofan; (e) alkaloid isoquinolin yang mempunyai N-heterosiklik isomerik dengan quinolin, dapat diturunkan dari tirosin. Morfin adalah alkaloid jenis ini; (f) alkaloid indol terdiri dari cincin indol yang diturunkan dari L-tryptofan. Jamur ergot adalah alkaloid jenis ini; (g) alkaloid purin, seperti kafein dan teobromin adalah turunan purin yang diturunkan dari aspartat, glisin dan glutamin. Kafein adalah stimulan pusat yang dapat digunakan sebagai stimulan kardiak dan pernapasan dan sebagai diuretik. Theobromin, alkaloid utama biji coklat berfungsi sebagai diuretik, relaksan otot halus, dan stimulan kardiak.
46
Kandungan ekstrak siput laut (Nerita albicilla) (Martin et al.1986) adalah suatu senyawa alkaloid isopteropodin yang bersifat antitumor. Ectinascidins-743 dari tunicate (Tetrahydroisoquinoline) termasuk golongan alkaloid yang dapat menghambat pertumbuhan sel kanker (Bernik dan Jimeno 2001).
(2) Steroid/Triterpenoid Steroid dengan pereaksi Liberman Burchard pada contoh utuh terdeteksi kuat, tetapi pada contoh tanpa jeroan lemah. Hal ini diduga karena bagian jeroan mengandung berbagai zat yang diperlukan untuk aktivitas metabolisme. Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu skualena. Senyawa ini berstruktur siklik yang rumit, kebanyakan berupa alkohol, aldehida atau asam karboksilat. Mereka berupa senyawa tanpa warna, berbentuk kristal, seringkali bertitik leleh tinggi dan aktif optik (Harborne 1987). Triterpenoid dapat dipilah menjadi sekurang-kurangnya empat golongan senyawa: triterpena, steroid, saponin dan glikosida jantung. Triterpena tertentu terkenal karena rasanya, terutama kepahitannya. Senyawa triterpenoid yang terdapat pada tumbuhan tingkat tinggi adalah fitosterol yang terdiri dari sitosterol, stigmasterol dan kaempesterol (Harborne 1987). Steroid merupakan golongan dari senyawa triterpenoid. Senyawa ini dapat diklasifikasikan menjadi steroid dengan atom karbon tidak lebih dari 21, yaitu sterol, sapogenin, glikosida jantung dan vitamin D. Steroid alami berasal dari berbagai transformasi kimia dua triterpena yaitu lanosterol dan sikloartenol. Senyawa steroid dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan obat (Harborne 1987). Struktur salah satu jenis triterpenoid (sitosterol) dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8 Struktur sitosterol (Foye 1995)
47
Beberapa steroid, seperti fukosterol, diisolasi dari sumber daya hayati laut bersifat non toksik dan mempunyai khasiat menurunkan kolesterol dalam darah dan mendorong aktivitas antidiabetes (Bhakuni 2005). Pada alkaloid steroid, gugus hidroksil pada atom C3 diganti dengan suatu senyawa N dari alkaloid (Robinson 1995).
(3) Saponin Saponin adalah glikosida triterpena dan sterol yang telah terdeteksi dalam lebih dari 90 suku tumbuhan. Glikosida adalah suatu kompleks antara gula pereduksi (glikon) dan bukan gula (aglikon). Glikon bersifat mudah larut dalam air dan glikosida-glikosida mempunyai tegangan permukaan yang kuat (Winarno 1997). Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat, seperti sabun, serta dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa. Pencarian saponin dalam tumbuhan telah dirangsang oleh kebutuhan akan sumber sapogenin yang mudah diperoleh dan dapat diubah di laboratorium menjadi sterol hewan yang berkhasiat penting (misalnya kortison, estrogen kontraseptif dan lainlain). Banyak saponin yang mempunyai satuan gula sampai lima dan komponen yang umum ialah asam glukuronat (Harborne 1987). Pembentukan busa yang mantap sewaktu mengekstraksi tumbuhan atau waktu memekatkan ekstrak tumbuhan merupakan bukti terpercaya akan adanya saponin. Saponin jauh lebih polar daripada sapogenin karena ikatan glikosidanya (Harborne 1987). Struktur saponin secara umum disajikan pada Gambar 9.
Gambar 9 Struktur umum saponin (Hoffman 1991) Saponin dari kedelai diketahui berperan sebagai anti agregasi platelet (Sastrohamijoyo 1996), hasil penelitian King (2002) membuktikan bahwa saponin kedelai
dan
Quillaja
mempunyai
kemampuan
dalam
mencegah
48
hiperkolesterolemik pada tikus yang diberi kolesterol dalam ransumnya. Hal ini terjadi karena beberapa mekanisme diantaranya mekanisme yang melibatkan asam empedu dan ekskresi sterol netral. Saponin pada ekstrak kasar fraksi metanol dalam penelitian ini terdeteksi lemah, sehingga lintah laut kering bukanlah sumber saponin yang baik
(4) Fenol hidrokuinon Kuinon adalah senyawa berwarna dan mempunyai kromofor dasar, seperti kromofor pada benzokuinon, yang terdiri atas dua gugus karbonil yang berkonjugasi dengan dua ikatan rangkap karbon-karbon. Kuinon dapat dipilah menjadi empat kelompok, yaitu benzokuinon, naftokuinon, antrakuinon dan kuinon isoprenoid. Tiga kelompok pertama biasanya terhidroksilasi dan bersifat ‘senyawa fenol’ serta mungkin terdapat in vivo dalam bentuk gabungan dengan gula sebagai glikosida atau dalam bentuk kuinol tanpa warna, kadang-kadang juga bentuk dimer. Diperlukan hidrolisis asam untuk melepaskan kuinon bebasnya (Harborne 1987). Senyawa kuinon yang terdapat sebagai glikosida mungkin larut sedikit dalam air, tetapi umumnya kuinon lebih mudah larut dalam lemak dan akan terekstraksi dari tumbuhan bersama-sama dengan karotenoid dan klorofil. Reaksi yang khas adalah reduksi bolak-balik yang mengubah kuinon menjadi senyawa tanpa warna, kemudian warna kembali lagi bila terjadi oksidasi oleh udara. Reduksi dapat dilakukan menggunakan natrium borohidrida dan oksidasi ulang dapat terjadi hanya dengan mengocok larutan tersebut di udara (Harborne 1987). Antioksidan yang termasuk dalam golongan ini biasanya mempunyai intensitas warna yang rendah atau kadang-kadang tidak berwarna dan banyak digunakan karena tidak beracun. Antioksidan golongan fenol meliputi sebagian besar antioksidan yang dihasilkan oleh alam dan sejumlah kecil antioksidan sintetis, serta banyak digunakan dalam lemak atau bahan pangan berlemak. Beberapa contoh yang termasuk golongan ini antara lain hidrokuinon gossipol, pirogallol, katekol resorsinol dan eugenol (Ketaren 1986). Pada penelitian ini fenol terdeteksi lemah. Struktur fenol hidrokuinon dapat dilihat pada Gambar 10.
49
Gambar 10 Struktur umum fenol hidrokuinon (Kkgm 2007)
4.4
Aktivitas Antioksidan Metode DPPH Pengujian aktivitas antioksidan dalam lintah laut dilakukan menggunakan
metode DPPH (1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl) yang memiliki rumus molekul C18H12N5O6 dan Mr=394,33 (Molyneux 2004; Vattem dan Shetty 2006) adalah suatu radikal bebas stabil yang dapat bereaksi dengan radikal lain membentuk senyawa yang lebih stabil. DPPH juga dapat bereaksi dengan atom hidrogen membentuk DPPH tereduksi (diphenylpicrylhydrazine) yang stabil. Suatu senyawa dapat dikatakan memiliki aktivitas antioksidan apabila senyawa tersebut mampu mendonorkan atom hidrogennya ditandai dengan perubahan warna ungu menjadi kuning pucat (Molyneux 2004). Radikal bebas DPPH merupakan radikal sintetik yang stabil pada suhu kamar dan larut dalam pelarut polar seperti metanol dan etanol (Molyneux 2004; Suratmo 2009). Stabil karena radikal bebas ini memiliki satu elektron yang didelokalisir dari molekul utuhnya, sehingga molekul tersebut tidak reaktif sebagaimana radikal bebas lain. Delokalisasi ini akan memberikan warna ungu gelap dengan absorbansi maksimum pada 517 nm dalam larutan etanol ataupun metanol (Molyneux 2004; Amrun dan Umiyah 2005; Vattem dan Shetty 2006). Absorbansi maksimum DPPH pada panjang gelombang 517 nm dengan spektra sinar tampak 360-720 nm (Amrun dan Umiyah 2005) Ketika sebuah antioksidan mampu mendonorkan hidrogen yang beraksi dengan radikal DPPH, reaksi ini akan memberikan peningkatan kompleks non radikal dan menurunkan radikal DPPH yang ditandai dengan terbentuknya warna kuning. Penurunan absorbsi dapat diukur secara spektrofotometrik dan dibandingkan dengan kontrol etanol atau metanol untuk mengkalkulasikan aktivitas scavenging radikal bebas DPPH (Vattem dan Shetty 2006). Ketika DPPH menerima elektron atau radikal hidrogen, maka akan terbentuk molekul
50
yang stabil. Interaksi antioksidan dengan DPPH baik secara transfer elektron atau radikal hidrogen, akan menetralkan karakter radikal bebas dari DPPH. Jika semua elektron pada radikal bebas DPPH menjadi berpasangan, maka warna larutan berubah dari ungu tua menjadi kuning terang dan absorbansi pada panjang gelombang 517 nm akan hilang. Perubahan ini dapat diukur secara stokiometri sesuai dengan jumlah elektron atau atom hidrogen yang ditangkap oleh molekul DPPH akibat adanya zat antioksidan (Suratmo 2009).
Struktur kimia DPPH
dalam bentuk radikal bebas (1) dan bentuk kompleks non radikal (2) disajikan pada Gambar 11.
Gambar 11 Struktur kimia radikal bebas (1) dan bentuk non radikal (2) DPPH (Sumber: Molyneux 2004)
Konsentrasi ekstrak kasar yang digunakan pada metode DPPH ini adalah 100, 200, 500, 1000, 2000 dan 4000 ppm. Konsentrasi tersebut diperoleh dari hasil pengenceran stok contoh ekstrak dengan konsentrasi 5000 ppm. BHT adalah antioksidan sintetik yang digunakan sebagai pembanding pada penelitian ini. Antioksidan sintetik ini biasa dicampurkan ke dalam bahan pangan karena efektif menghambat aktivitas radikal bebas dan bersifat sinergis dengan antioksidan lainnya. Namun penggunaan antioksidan sintetik dapat menyebabkan keracunan pada dosis tertentu. Kadar maksimum BHT dalam bahan pangan adalah 200 ppm (Ketaren 1986). BHT dalam penelitian ini dibuat dengan konsentrasi 5, 10, 25, 50 dan 100 ppm. Konsentrasi tersebut diperoleh dari hasil pengenceran stok BHT konsentrasi 500 ppm. Ada tiga tahap reaksi antara DPPH dengan zat antioksidan, yang dapat dicontohkan dengan reaksi antara DPPH dengan senyawa monofenolat (antioksidan). Tahap pertama meliputi delokalisasi satu elektron pada gugus yang tersubstitusi para dari senyawa tersebut, kemudian memberikan atom hidrogen
51
untuk mereduksi DPPH. Tahap berikutnya meliputi dimerisasi antara dua radikal fenoksil, yang akan mentransfer radikal hidrogen dan akan bereaksi kembali dengan radikal DPPH. Terakhir adalah pembentukan kompleks antara radikal aril dengan radikal DPPH. Pembentukan dimer maupun kompleks antara zat antioksidan dengan DPPH tergantung pada kestabilan dan potensial reaksi dari struktur molekulnya (Suratmo 2009). Salah satu parameter yang biasa digunakan untuk menginterpretasikan hasil dari pengujian DPPH adalah efficient concentration 50 value (EC50 value) atau biasa dikenal dengan inhibition concentration 50 value (IC50 value). Nilai ini dapat didefinisikan sebagai konsentrasi substrat yang dapat menyebabkan berkurangnya 50% aktivitas DPPH. Semakin kecil nilai IC50 berarti aktivitas antioksidannya semakin tinggi. Suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan sangat kuat apabila nilai IC50 kurang dari 0,05 mg/ml, kuat apabila nilai IC50 antara 0,05-0,10 mg/ml, sedang apabila nilai IC50 berkisar antara 0,100,15 mg/ml, dan lemah apabila nilai IC50 berkisar antara 0,15-0,20 mg/ml (Blois 1958 dalam Molyneux 2004). BHT banyak ditambahkan pada produk pangan sebagai antioksidan yang berfungsi untuk mencegah ketengikan. Bahan pangan yang biasa diberi tambahan BHT adalah lemak, minyak, atau bahan makanan yang mengandung asam lemak tak jenuh. Salah satu contohnya minyak kelapa sawit. Menurut Herawati dan Akhlus (2006), penambahan 200 ppm BHT mampu menahan kadar peroxide pada minyak kelapa sawit dibawah 2 meq/kg selama 210 menit, sedangkan tanpa menggunakan BHT diperoleh 2 meq/kg hanya dalam waktu 30 menit. Hasil penelitian Hanani et al. (2005) menunjukkan bahwa BHT memiliki IC50 pada konsentrasi 3,81 ppm, sehingga antioksidan sintetik BHT dapat dikategorikan sebagai antioksidan yang memiliki aktivitas yang kuat. Mekanisme reaksi BHT dengan radikal bebas dengan cara mendeaktivasi senyawa radikal tersebut dapat dilihat pada Gambar 12. Penambahan BHT dalam bahan makanan diduga dapat menyebabkan kanker dan mutasi gen pada manusia. Oleh karena itu, penggunaannya mulai dilarang di Jepang dan negara-negara Eropa antara lain Rumania, Swedia dan Australia (Rita et al. 2009).
52
Gambar 12 Mekanisme reaksi BHT dengan radikal bebas (Sumber: Herawati dan Akhlus 2006) Aktivitas antioksidan dengan metode DPPH menunjukkan bahwa ekstrak kasar lintah laut (Discodoris sp) kering mempunyai nilai tertinggi pada pelarut polar (metanol) yaitu dengan nilai IC50 781,23 ppm untuk contoh utuh dan 1657,07 ppm untuk contoh tanpa jeroan. Hasil lengkapnya disajikan pada Tabel 8. Angka IC50 lintah laut jika dibandingkan dengan standar BHT menunjukkan bahwa lintah laut memiliki aktivitas antioksidan yang lemah. Tabel 8 Nilai absorbansi, inhibisi BHT dan ekstrak metanol % inhibisi
Persamaan garis IC50 (ppm)
1,836 0,523 0,233 0,181
71,514 87,309 90,141
y = 24,8 ln(x)15,45
14,00
Metanol utuh
100 200 500 1000 2000 4000
1,466 1,403 1,179 1,014 0,632 0,170
20,153 23,584 35,784 44,771 65,577 90,741
y = 18,56 ln(x)73,60
781,23
Metanol tanpa jeroan
100 200 500 1000 2000 4000
1,762 1,701 1,527 1,344 0,934 0,309
4,239 7,554 17,011 26,957 49,239 83,315
y = 20,10 ln(x)98,99
1657,07
Sampel Blanko BHT
Konsentrasi (ppm) 0 25 50 100
Absorbansi
53
Tabel 8 menunjukkan bahwa pelarut polar (metanol) mempunyai nilai aktivitas antioksidan yang tertinggi. Selain jenis pelarut dalam mengekstrak komponen bioaktif dari lintah laut, baik rendemen maupun aktivitas antioksidan juga dipengaruhi oleh bagian yang diekstrak. Contoh yang diekstrak secara utuh (mantel dan jeroan) memiliki rendemen dan aktivitas antioksidan yang lebih tinggi. Tingginya aktivitas antioksidan pada contoh utuh diduga disebabkan pada jaringan yang mempunyai aktivitas metabolisme yang lebih tinggi, aktivitas enzim antioksidan juga tinggi seperti pada hati dan insang lebih tinggi dibanding jaringan otot ikan (Ansaldo et al. 2000), kelenjar pencernaan dibanding dinding tubuh pada polychaeta, atau insang dibanding mantel pada cephalopoda
(Zielenki dan Portner 2000 yang disitir dari
Heise et al. 2003).
4.5
Aktivitas Antioksidan Metode NBT Aktivitas antioksidan dengan metode NBT menunjukkan bahwa ekstrak
kasar lintah laut (Discodoris sp) kering mempunyai nilai tertinggi pada pelarut polar (metanol) yaitu dengan kisaran 69,73%-89,44%. Untuk pelarut semipolar (etilasetat) aktivitas antioksidannya berkisar 43,02%-54,23% dan yang terendah adalah pada pelarut nonpolar (kloroform) yaitu berkisar 15,24%-40,64%. Data analisis aktivitas antioksidan dari berbagai pelarut terhadap bubuk lintah laut kering dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Rendemen ekstrak kasar dan aktivitas antioksidan lintah laut kering (%) Kloroform Pelarut Jenis bahan rendemen aktivitas Contoh utuh 2,27 15,24 Tanpa 0,74 40,64 jeroan
Etil asetat rendemen aktivitas 1,01 54,23 0,38
43,02
Metanol rendemen aktivitas 5,12 89,44 4,51
69,73
Tabel 9 menunjukkan bahwa pelarut polar (metanol) mempunyai nilai rendemen dan aktivitas antioksidan yang tertinggi. Selain jenis pelarut dalam mengekstrak komponen bioaktif dari lintah laut, baik rendemen maupun aktivitas antioksidan juga dipengaruhi oleh bagian yang diekstrak.
Pada contoh yang
diekstrak secara utuh (mantel dan jeroan) memiliki rendemen dan aktivitas antioksidan yang lebih tinggi. Rendemen contoh utuh yang terbesar adalah 5,12%,
54
contoh tanpa jeroan 4,51%. Aktivitas antioksidan contoh utuh berkisar 85,92%92,96% dan contoh tanpa jeroan memilki aktivitas antioksidan yang lebih rendah berkisar 69,04%-70,43%. Tingginya aktivitas antioksidan pada contoh utuh diduga disebabkan, pada jaringan yang mempunyai aktivitas metabolisme yang lebih tinggi, aktivitas enzim antioksidan juga tinggi seperti pada hati dan insang lebih tinggi dibanding jaringan otot ikan (Ansaldo et al. 2000), kelenjar pencernaan dibanding dinding tubuh pada polychaeta, atau insang dibanding mantel pada cephalopoda (Zielenki dan Portner 2000 yang disitir dari Heise et al. 2003). Tingginya antioksidan pada fraksi larut air (polar) ini sesuai dengan kebutuhan hidup dari biota perairan untuk pertahanan dirinya terhadap radikal bebas. Semua organisme, termasuk invertebrata laut memiliki sistem pertahanan antioksidan untuk menghadapi reaktif oksigen spesies (ROS) baik secara enzimatik maupun non enzimatik. Contoh enzimatis adalah katalase (CAT) dan glutation peroksidase (GPx) yang mengkonversi H2O2 menjadi tidak reaktif, superoksida dismutase (SOD) merusak super anion (O2-), glutation S transferase (GST) mengkonjugasi lipid hidroperoksidase dengan glutation. Contoh non enzimatik terdapat pada selaput lendir telur cocoon Polychaeta, tetapi pada juvenil dan dewasa yang berfungsi adalah yang enzimatik (Rosa et al. 2005). Hasil penelitian Rosa et al. (2005) menunjukkan bahwa cacing yang terpapar H2O2 selama 10 hari mengalami peningkatan glutation S tranferase dan lipid peroksidase serta kerusakan DNA. Katalase dan SOD tinggi pada bagian posterior, bagian tengah sedang dan bagian anterior rendah. Sedangkan glutation peroksidase tinggi pada bagian tengah, glutation S transferase tinggi pada bagian anterior bagian tengah dan posterior rendah. Hasil penelitian Rosa et al. (2005) membuktikan bahwa selaput lendir cacing memiliki aktivitas katalase 12,71 u/mg protein, sedang badan hanya 2,44 u CAT/mg protein, laju perusakan H2O2 terhadap selaput lendir lebih tinggi dibanding kontrol dan polychaeta. Hal ini membuktikan bahwa bagian larut air yang banyak lendirnya pada penelitian ini juga diketahui mempunyai aktivitas antioksidan yang lebih tinggi. Pada selaput lendir contoh yang diuji oleh Rosa et al. (2005) ditemukan
55
mikroorganisme berbentuk batang dengan ukuran 2 um, lebar 0,5-1,0 um, mempunyai endospora dan termasuk tipe kelompok Bacillus. Rendemen dari ekstrak kasar yang tertinggi terdapat pada pelarut yang polar (metanol). Warna ekstrak kasar untuk semua pelarut berwarna hijau kehitaman dengan bentuk pasta lembab untuk fraksi metanol dan pasta kering untuk fraksi lainnya (hexan, kloroform, etilasetat). Beberapa jenis Polychaeta yang kontak dengan sedimen setiap hari terpapar kondisi stres yaitu tekanan oksigen, H2O2, dan sulfit, sebagai contoh Heteromastus filiformis mempunyai SOD yang tinggi pada bagian posterior yang memiliki adaptasi parapoda untuk perubahan tekanan oksigen yang tinggi sehingga bagian ini akan menderita stres oksidatif (Abele and Puntarulo 2004). Terukurnya antioksidan pada fraksi larut air (polar) ini sesuai dengan kebutuhan hidup dari biota perairan untuk pertahanan dirinya terhadap radikal bebas. Semua organisme, termasuk invertebrata laut memiliki sistem pertahanan antioksidan untuk menghadapi reaktif oksigen spesies (ROS) baik secara enzimatik maupun non enzimatik. Katalase dan SOD tinggi pada bagian posterior, bagian tengah sedang dan bagian anterior rendah. Sedangkan glutation peroksidase tinggi pada bagian tengah, glutation S transferase tinggi pada bagian anterior bagian tengah dan posterior rendah. Rendemen dari ekstrak kasar yang tertinggi terdapat pada pelarut yang polar (metanol). Warna ekstrak kasar untuk semua pelarut berwarna hijau kehitaman dengan bentuk pasta lembab untuk fraksi metanol dan pasta kering untuk fraksi lainnya (heksana, kloroform, etilasetat). Secara empiris masyarakat Bajo dan Madura mengkonsumsi lintah laut secara utuh baik dibakar (sate) maupun direbus. Demikian juga dengan masyarakat Madura di pantai Pamekasan yang sudah memanfaatkan lintah laut sebagai obat kuat dan air rebusan sebagai obat/jamu. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ekstrak kasar lintah laut kering mempunyai aktivitas antioksidan yang rendah jika dibandingkan dengan BHT dengan IC50 sebesar 781,23 ppm dengan rendemen 5,12%, sedangkan untuk BHT diperoleh IC50 sebesar 14,00 ppm.
56
Komponen yang mungkin berperan sebagai antioksidan adalah alkaloid, saponin dan asam amino. Komponen steroid/terpenoid lebih berperan sebagai antikolesterol.
4.6
Hasil Uji In-vivo pada Kelinci
4.6.1 Hubungan tingkat konsumsi ransum dan pertambahan berat Pertambahan rata-rata berat kelinci selama penelitian berkisar 405-572 gram atau sekitar 23,78%-29,56%. Gambaran pertumbuhan kelinci selama periode penelitian disajikan pada Gambar 13. Data lengkap pertumbuhan disajikan pada Lampiran 2. Gambar 13 menunjukkan bahwa semua perlakuan mengalami pertambahan berat dari minggu ke 0 sampai minggu ke 12 dengan kecenderungan perlakuan positif dan simvastatin lebih besar pertambahan beratnya dibanding perlakuan kontrol negatif dan Discodoris sp. Pertambahan berat kelinci dalam penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan penelitian Bruck (1997) mencapai 30% dan lebih tinggi dibanding hasil penelitian Azima (2004) yaitu 18,98-28,20% yang menggunakan kelinci dari ras yang sama (New Zealand white) dan periode waktu
penelitian yang sama
(12 minggu).
Gambar 13 Gambaran pertumbuhan berat badan kelinci selama penelitian untuk perlakuan kontrol negatif (■), kontrol positif (●), simvastatin (▲), dan Discodoris ( )
57
4.6.2 Hasil pengamatan kimia darah (1) Kadar kolesterol, trigliserida, LDL dan HDL Dalam darah (plasma) terdapat lemak (lipid) yang terdiri dari kolesterol, trigliserida, fosfolipid, asam lemak. Kolesterol dalam tubuh berikatan dengan protein yang disebut lipoprotein yang berfungsi sebagai transportasi darah yaitu: kilomikron, VLDL (very low density lipoprotein), LDL (low density lipoprotein), HDL (high density lipoprotein), dan IDL (intermediate density lipoprotein). Lipoprotein ini tersusun dari bagian lemak dan protein. Kilomikron dan VLDL terutama terdiri dari trigliserida, LDL sebagian besar terdiri dari kolesterol sedangkan HDL sebagian besar terdiri dari protein. LDL sering disebut kolesterol jahat, karena membawa kolesterol dari hati ke darah, sehingga kalau LDL tinggi, banyak kolesterol yang dibawa ke darah, sedangkan HDL sebaliknya membawa kolesterol dari darah ke hati. Pengaruh perlakuan pada kadar kolesterol total, trigliserida, HDL dan LDL selama penelitian disajikan pada Tabel 10 dan Lampiran 4. Kadar rata-rata kolesterol total serum semua kelinci pada awal pengujian berkisar 39,85±2,05 mg/dl (kontrol negatif) sampai 90,80±7,49 mg/dl (perlakuan simvastatin). Kadar rata-rata kolesterol total perlakuan kontrol positif mengalami kenaikan setelah minggu ke 4 sampai minggu 12 yaitu dari 46,65 mg/dl menjadi 572,40±1,83 mg/dl. Perlakuan Discodoris pada minggu ke 4 mengalami peningkatan, tetapi minggu ke 8 dan 12 mengalami penurunan yaitu 69,75 mg/dl. Perkembangan kolesterol total serum darah kelinci yang tertinggi selama pengamatan adalah untuk kontrol positif yang berkisar dari 60,05±7,42 mg/dl pada awal pengamatan (minggu ke 0) dan meningkat menjadi 572,40±1,83 mg/dl pada minggu ke 12. Pemberian bubuk Discodoris sp dan simvastatin dapat menurunkan
kolesterol
total.
Perlakuan
pemberian
bubuk
lintah
laut
(Discodoris sp) mampu menekan peningkatan kolesterol pada akhir pengujian dan secara statistik terlihat pengaruh yang nyata dari pemberian lintah laut dalam menurunkan kolesterol serum kelinci (Gambar 14). Kelinci yang diberi perlakuan Discodoris sp selama pengamatan tidak ada yang mengalami hiperkolesterolemia. Kadar kolesterol total berkisar antara 46,60±3,39 mg/dl sampai 115,85±5,16 mg/dl pada minggu ke 4, tetapi pada
58
minggu ke 8 dan 12 mengalami penurunan menjadi 69,75±1,90 mg/dl. Penurunan kolesterol ini diduga disebabkan oleh beberapa hipotesis yang mungkin diajukan diantaranya adalah: perangsangan ekskresi kolesterol ke dalam usus dan perangsangan
oksidasi
kolesterol
menjadi
asam-asam
empedu
(Aikawa & Libby 2004). Tabel 40 Rata-rata kadar kolestrol total, trigliserida, HDL dan LDL selama pengamatan (mg/dl)
LDL (mg/dl)
HDL (mg/dl)
Triglisedrida (mg/dl)
Kolesterol Total (mg/dl)
Perlakuan
0
4 a
Waktu (Minggu) 8
41,50 ± 0,00
a
30,50 ± 1,69
12 a
31,60 ± 0,00a
K. Negatif
39,85 ± 2,05
K. Positif
60,05 ± 7,42a
268,30 ± 0,00c
324,40 ± 0,00c
572,40 ± 1,83c
Simvastatin
90,80 ± 7,49b
48,75 ± 3,46a
70,75 ± 10,39b
38,15 ± 9,26a
Discodoris
46,60 ± 3,39a
115,85 ± 5,16b
69,50 ± 8,62b
69,75 ± 1,90b
K. Negatif
41,85 ± 11,24a
44,25 ±2,76b
34,60±0,00a
33,90±2,26a
K. Positif
47,65 ±6,85a
102,87 ± 2,51c
158,60±2,97b
210,35±14,35c
Simvastatin
52,85 ± 1,48a
18,35±1,20a
32,70±2,68a
100,00±4,53b
Discodoris
37,77 ± 1,07a
46,20±0,00b
32,70±2,68a
40,87± 6,72a
K. Negatif
28,60 ± 2,96a
49,43 ± 9,09a
64,00 ± 5,93a
64,30 ± 12,05b
K. Positif
26,15 ± 3,32a
42,60 ± 2,82a
58,90 ± 2,82a
18,95 ± 11,24a
Simvastatin
27,80 ± 0,28a
59,85 ± 4,73a
53,90 ± 28,28a
62,50 ± 0,00b
Discodoris
20,10 ± 4,48a
59,45 ± 1,91a
101,87 ± 7,25a
103,23 ± 15,22c
K. Negatif
44,70 ± 4,67a
15,27 ± 5,10a
19,75 ± 0,63a
45,35 ± 7,00a
K. Positif
68,45 ± 19,72a
175,80 ± 22,76c
236,60 ± 39,45b
435,20 ± 98,99b
Simvastatin
70,67 ± 12,73a
77,15 ± 14,63b
37,10 ± 4,67a
82,40 ± 8,42a
Discodoris
79,70 ± 7,13a
31,15 ± 9,68ab
20,50 ± 0,28a
17,50 ± 3,53a
Angka yang diikuti huruf berbeda nyata menurut Tukey (α=0,05)
Penurunan kadar kolesterol pada perlakuan simvastatin disebabkan oleh terjadinya hambatan pada kerja enzim HMG-KoA reduktase, sehingga biosintesis kolesterol dalam hati terhambat (Keidar et al. 1994 dan Matsunaga et al. 1994, Libby & Aikawa 2003, Larosa & Brooklyn 2002). Hasil penelitian Usman (2000) menunjukkan bahwa ekstrak kayu gabus mempunyai potensi sebagai anti hiperkolesterolemia pada tikus jantan strain Wistar selama 28 hari.
59
Mekanisme penurunan kolesterol karena meningkatnya kolesterol yang keluar melalui feses, yang diduga karena adanya alkaloid dan karbohidrat yang larut air. Peningkatan ekskresi kolesterol dalam feses menyebabkan meningkatnya sintesis asam empedu hepatik mengakibatkan simpanan kolesterol di hati menurun. Aktivitas sintesis kolesterol yang tinggi
menghabiskan cadangan
kolesterol dalam hati, sehingga memerlukan sintesis kolesterol di hati yang lebih tinggi (Machfouz & Kummerow 2000), dengan demikian kolesterol dalam serum dapat direduksi. Uji kimia pada penelitian ini juga terdeteksi adanya alkaloid dan karbohidrat yang berpotensi sebagai penurun kolesterol
Gambar 14 Kadar kolesterol total rata-rata serum kelinci selama 12 minggu untuk perlakuan kontrol negatif ( ), kontrol positif ( ), simvastatin ( ) dan Discodoris ( ) Dilaporkan pula oleh Rachmadani (2001) bahwa ekstrak daun jati belanda berpotensi menurunkan kolesterol secara bermakna pada tikus hiperlipidemia. Senyawa yang terdapat pada daun jati belanda berupa tanin dan triterpenoid yang diduga banyak berperan sebagai antioksidan dan dalam sintesis hormon steroid. Hasil penelitian Azima (2004) menunjukkan bahwa ekstrak kayu manis berpotensi sebagai anti hiperkolesterolemia pada kelinci new zealand white selama 12 minggu. Mekanisme penurunan kolesterol diduga karena adanya senyawa komponen kimia yang terdiri dari tanin, flavonoid, terpenoid, alkaloid dan saponin yang berperan sebagai antioksidan. Hal ini berkaitan dengan kemampuannya sebagai penangkal radikal bebas dan radikal peroksi sehingga efektif dalam menghambat oksidasi, terutama pada senyawa lipida. Demikian juga dengan serbuk lintah laut yang mengandung komponen bioaktif. Komponen
60
bioaktif yang terdapat pada lintah laut adalah; alkaloid, steroid, saponin, asam amino bebas, karbohidrat dan fenol. Selain itu diketahui juga melalui hasil penelitian Witjaksono (2005) bahwa lintah laut pada fraksi nonpolar mengandung beberapa jenis asam lemak tidak jenuh majemuk yang diduga dapat menurunkan kolesterol total, trigliserida, LDL, dan meningkatkan HDL sebagaimana yang dilaporkan oleh Raghu dan Venkatesan (2008) yang menyatakan bahwa suplemen minyak ikan (omega 3) yang diberikan selama 2 minggu sebanyak 1g/hari dapat menurunkan kolesterol, trigliserida, LDL, VLDL dan meningkatkan HDL. Kandungan asam lemak dan omega 3 yang terdapat pada lintah laut kering terdiri dari asam palmitat 13,7%, asam palmitoleat 14,7%, asam stearat 16,2%, brasikasterol 26,5%, dihidrobrasikasterol 26,9%, kolesterol 26,1%, asam miristat 11,73%, asam oleat 15,96% (Witjaksono 2005). Kelompok sterol dari lintah laut ini lebih dari 50%. Sterol merupakan alkohol berbobot molekul tinggi yang terdapat pada fraksi tidak tersabunkan dari minyak dan lemak pada jaringan hewan dan tanaman. Hasil penelitian Marliyati (2005) menunjukkan bahwa sterol lembaga gandum terbukti dapat mencegah peningkatan kadar kolesterol darah kelinci. Menurut The National Heart, Lung, and Blood Institute Amerika Serikat kadar kolesterol manusia dibawah 200 mg/dl masih dianggap baik, cukup dicek setiap lima tahun. Tapi kalau kadarnya berkisar 200-239 mg/dl, maka harus berdiet dan memeriksa kadar kolesterol setiap tahun. Kalau sampai diatas 240 mg/dl orang tersebut berisiko penyakit jantung (Permanasari 2007). Kadar kolesterol normal darah kelinci berkisar antara 40-80 mg/dl kolesterol total, 10-40 mg/dl untuk LDL dan 60-110 mg/dl untuk trigliserida (Momuat 2001). Berdasarkan standar ini, maka perlakuan kontrol negatif, Simvastatin dan Discodoris selama pengamatan nilainya masih dalam kondisi normal. Sebaliknya kontrol positif dari minggu ke 4 sampai minggu ke 12 sudah mengalami hiperkolesterolemik. Penyakit kardiovaskular bukan semata masalah negara maju. Sekitar 80% dari kematian akibat kardiovaskular justru terjadi di negara berpendapatan menengah ke bawah. Pada tahun 2010 penyakit kardiovaskular diperkirakan akan
61
menjadi penyebab kematian pertama di negara-negara berkembang, menggantikan kematian akibat infeksi. Penyakit kardiovaskular tidak membedakan pria, wanita, batas geografis dan sosioekonomis, telah menjadi epidemi global (Anonimous 2005). Discodoris sp dapat mencegah penyakit jantung koroner diduga melalui proses
pencegahan
atau
penghambatan
faktor-faktor
predisposisi
dari
aterosklerosis. Tabel 10 menunjukkan bahwa kadar trigliserida serum kelinci pada awal penelitian
berkisar 37,77±1,07 mg/dl sampai 56,67±16,35 mg/dl dan secara
statistik tidak berbeda untuk masing-masing perlakuan. Kadar trigliserida kontrol positif mengalami peningkatan dari minggu keempat sampai minggu ke 12 yaitu 102,87±2,51 mg/dl sampai 223,63±25,15 mg/dl. Kontrol negatif, Simvastatin dan Discodoris dari awal pengamatan sampai minggu ke 12, relatif tidak mengalami perubahan seperti terlihat pada Tabel 11. Untuk lebih jelasnya perkembangan nilai rata-rata trigliserida serum kelinci dapat dilihat pada Gambar 15. c b c a
a a
a
b
b a a
b
a a
a
a
Gambar 15 Kadar rata-rata trigliserida serum kelinci selama 12 minggu untuk perlakuan kontrol negatif ( ), kontrol positif ( ), simvastatin ( ) dan Discodoris ( ) Perlakuan Simvastatin dan Discodoris sp dapat menekan peningkatan kadar trigliserida jika dibandingkan dengan kontrol positif. Simvastatin dan Discodoris dapat menurunkan absorpsi lemak di usus sehingga kadar trigliserida darah bisa setara secara signifikan dengan kontrol negatif. Kadar trigliserida dipengaruhi oleh jumlah lemak dan energi yang dikonsumsi. Jika terjadi kelebihan energi, sebagian
energi tersebut akan diubah menjadi trigliserida dan selanjutnya
disimpan menjadi lemak tubuh dalam jaringan adiposa. Kondisi hipertrigliserida
62
disebabkan oleh konsumsi lemak yang tinggi (Marinetti 1990). Dalam penelitian ini untuk kontrol positif yang ditambah kolesterol dan pakan standar, telah mengalami kadar trigliserida yang tinggi (210,35 mg/dl). Standar yang ideal pada manusia adalah 10-160 mg/dl (Nutracare 2008). Standar trigliserida normal untuk kelinci adalah 60-110 mg/dl. Kadar HDL awal serum kelinci berkisar 20,10±4,48 mg/dl sampai 28,60±2,96 mg/dl dan terjadi peningkatan pada akhir penelitian, terutama untuk perlakuan Discodoris. Perlakuan Discodoris dapat meningkatan kadar HDL, namun peningkatan yang signikan terjadi pada minggu ke 12. Pada minggu 0, 4, dan 8 kadar HDL rata-rata semua perlakuan tidak berbeda nyata pada α=0,05. Khusus untuk perlakuan kontrol positif pada minggu ke 12 kadar HDLnya yang terendah yaitu 18,95 mg/dl. Menurut Sormin (2006) risiko terjadinya penyakit jantung koroner 6 kali lebih tinggi pada pasien (manusia) dengan kadar HDL kurang dari 35 mg/dl. The National Cholesterol Education Programe (NCEP) Adult Treatment Panel III (ATP III) menetapkan kadar kolesterol HDL minimum 40 mg/dl untuk pria dan 50 mg/dl untuk wanita sebagai sasaran terapi dan perlu mendapatkan intervensi. Peranan HDL sebagai reverse cholesterol transport (RCT) yang dapat meningkatkan
efluks
kelebihan
kolesterol
dari
jaringan
periper
dan
mengembalikan ke hati untuk diekskresikan melalui empedu (Sormin 2006). Peran protektif kolesterol HDL dalam pencegahan terjadinya aterosklerosis, membuktikan bahwa peningkatan HDL akan menurunkan angka kematian karena PJK. HDL dengan bantuan beberapa enzim paraoxonase (PON-1), platelet activating
factoracethylhydrolase
(PAF-AH)
dan
lecitin
cholesterol
acyltransferase (LCAT), masing-masing atau bersama-sama mengubah partikel LDL menjadi pecahan yang tidak bersifat aterogenik. Reaksi ini terjadi karena adanya pengaruh HDL mencegah reaksi oksidasi LDL yang berperan sebagai reaksi transpor balik (reverse tranport) yang mengangkut partikel lipoprotein ke dalam hati kembali dan selanjutnya sebagian lemak diolah menjadi asam empedu dan dikeluarkan bersama feses (Abdurahman 2003). Perkembangan nilai HDL pada serum kelinci selama pengamatan dapat dilihat pada Gambar 16.
63
Gambar 16 Rata-rata kadar HDL selama 12 minggu untuk perlakuan kontrol negatif ( ), kontrol positif ( ), simvastatin ( ) dan Discodoris ( ) Kolesterol tidak larut dalam air, untuk dapat ditransportasikan dalam tubuh, ia harus berikatan dengan protein yang disebut lipoprotein yang terdiri atas kilomikron, LDL, VLDL, HDL, dan IDL. Fungsi utama dari LDL adalah untuk tranportasi kolesterol dari hati ke jaringan. Rata-rata LDL kelinci sebelum perlakuan berkisar 44,70±4,67 mg/dl sampai 79,70±7,13 mg/dl. Kadar LDL perlakuan Discodoris selanjutnya pada minggu keempat sampai minggu ke 12 mengalami penurunan. Secara statistik selama pengamatan hanya kontrol positif yang berbeda secara signifikan seperti terlihat pada Tabel 10 dan Gambar 17. Pada minggu ke 12 perlakuan kontrol positif mempunyai nilai rata-rata LDL tertinggi yaitu 435,20±98,99 mg/dl. Kadar LDL normal untuk kelinci adalah 1040 mg/dl (Momuat 2001). Kadar kolesterol yang tinggi perlu diwaspadai karena merupakan cikal bakal proses penyumbatan pembuluh darah, terlebih lagi bila yang meninggi adalah kadar kolesterol LDL, yang dikenal sebagai lemak "jahat". Jadi LDL memang berbahaya, tetapi VLDL lebih berbahaya dan LDL teroksidasi adalah yang sangat berbahaya karena dialah yang memacu berbagai mekanisme terbentuknya ateroma pembuluh darah. Proses oksidasi LDL secara normal dihambat oleh sistem yang ada dalam tubuh. Namun bila sistem antioksidan tubuh tidak memadai proses oksidasi LDL akan terus berjalan. Cukup tidaknya sistem antioksidan tubuh
64
seseorang untuk menangkal proses tersebut dapat dilihat dari pemeriksaan status antioksidan total dan/atau kadar SOD dan GPx (Harmanto 2005).
Gambar 17 Rata-rata LDL per bulan selama 12 minggu untuk perlakuan kontrol negatif ( ), kontrol positif ( ), simvastatin ( ) dan Discodoris ( ) Penurunan kadar kolesterol total dan LDL pada serum darah kelinci yang diberi perlakuan Discodoris sp dapat diakibatkan oleh adanya kandungan alkaloid, saponin, steroid, asam amino bebas, karbohidrat dan fenol pada tepung lintah laut. Hasil penelitian King (2002) menunjukkan bahwa saponin pada kedelai dapat menurunkan LDL plasma secara signifikan, demikian juga dengan saponin dari Quillaja yang mampu mencegah hiperkolesterolemia pada tikus yang diberi kolesterol. Jenis-jenis asam amino yang terdapat pada lintah laut disajikan pada Tabel 11, yang didominasi oleh asam glutamat yaitu 2,192% untuk daging dan 2,144% untuk jeroan. Selain asam glutamat yang nilainya lebih dari 1% adalah asam amino prolin, leusin dan lisin, sedangkan asam amino lain nilainya kurang dari 1% (Nurjanah et al. 2009). Kemungkinan asam amino yang terdapat pada lintah laut berperan sebagai antioksidan dan antikolesterol. Asam glutamat adalah asam amino non esensial yang dapat disintesis dari gugus amida pada molekul glutamin yang diubah menjadi karboksilat melalui proses hidrolis asam atau basa. Asam glutamat bermanfaat untuk menahan konsumsi alkohol berlebih, mempercepat penyembuhan luka pada usus, meningkatkan kesehatan mental dan meredam depresi (Linder 1992).
65
Tabel 51 Asam amino yang terdapat pada lintah laut No
Jenis asam amino
Hasil (%) daging
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Asam aspartat Asam glutamat Serin Glisin Histidin Arginin Treonin Alanin Prolin Tirosin Valin Metionin Sistein Isoleusin Leusin Fenilalanin Lisin Taurin
Jeroan
0,910 2,192 0,553 0,222 0,354 0,461 0,523 0,378 1,176 0,501 0,809 0,277 0,136 0,428 1,418 0,357 1,395 2,000
0,957 2,144 0,614 0,260 0,352 0,517 0,565 0,439 1,191 0,479 0,831 0,254 0,164 0,339 1,673 0,456 1,223 2,000
Sumber: Nurjanah et al (2009)
Asam amino leusin dan lisin termasuk asam amino esensial. Leusin dapat memacu fungsi otak, menambah tingkat energi otot, membantu menurunkan kadar gula darah yang berlebihan, membantu penyembuhan tulang, jaringan otot dan kulit terutama penyembuhan luka setelah operasi dan menjaga sistem imun (Edison 2009). Lisin berfungsi sebagai bahan dasar antibodi darah, memperkuat sistem sirkulasi, mempertahankan pertumbuhan sel-sel normal bersama prolin dan vitamin C akan membentuk jaringan kolagen, menurunkan kadar trigliserida darah yang berlebih (Harli 2008). Lisin juga berperan penting produksi karnitin yang sangat penting mengoksidasi asam lemak (Edison 2009). Taurin merupakan asam amino bebas terbanyak dalam jaringan otot jantung dan otak (Nurachman 2004). Taurin mengandung gugus amino, tapi tidak memiliki gugus karboksil yang diperlukan untuk membentuk ikatan peptida sehingga tidak berfungsi sebagai pembangun struktur protein. Dapat disintesis dari asam amino metionin atau sitein dan piridoksin (Vitamin B6), dibentuk dalam hati yang diikuti dengan reaksi oksidasi dari dekarboksilasi asam amino sistein
66
(Marsh dan May 2009). Taurin memiliki dua peran dalam metabolisme yaitu sebagai penghambat neurotransmiter dan sebagai bagian dari pengemulsi asam empedu. Secara medis taurin dipakai untuk menangani kasus gagal jantung, diabetes, epilepsi dan beberapa kondisi lain (Nurachman 2004). Taurin mempunyai beberapa manfaat yaitu mencegah diabetes, mencegah kerusakan hati akibat alkohol dan penyembuhan pada masalah penglihatan. Taurin juga dapat menurunkan kadar kolesterol darah, menormalkan tekanan darah dan melawan penyakit hati (Okuzumi dan Fujii 2000). Taurin ini juga berfungsi sebagai peredam reaktif oksigen spesies (ROS) dan reaktif nitrogen spesies (Fang et al. 2002). Selain komponen tersebut, lintah laut juga mengandung beberapa mineral penting yang juga dapat berfungsi sebagai antioksidan dan kofaktor enzim diantaranya adalah; magnesium 110,95 ppm (daging) dan 112,4 ppm (jeroan); mangan 6,93 ppm (daging) dan 7,25 ppm (jeroan); seng 7,52 ppm (daging) dan 4,35 ppm (jeroan) serta kalsium 179,98 ppm (daging) dan 187,98 ppm (jeroan), selenium 2,45 ppm (daging) dan 2,05 untuk jeroan (Nurjanah et al. 2009). Mineral seng (Zn), selenium (Se), mangan (Mn) inilah yang juga berfungsi sebagai antioksidan (Setright 1993).
(2) Pengaruh lintah laut terhadap SGOT dan SGPT Tes laboratorium digunakan untuk memastikan diagnosis serta untuk memantau penyakit dan pengobatan. Tes fungsi hati yang umum adalah AST (aspartate transaminase) yang disebut sebagai SGOT, dan ALT (alanine transaminase). Jika terjadi peradangan/kerusakan pada sel hati nilai kedua enzim ini akan meningkat. SGPT lebih spesifik terhadap kerusakan sel hati dibanding SGOT. Peningkatan nilai SGOT dan SGPT sampai dua kali angka normal merupakan hal yang biasa, namun harus diwaspadai (Spritia, 2001). Nilai SGPT dianggap normal adalah 0-35 U/l optimal 24 U/l untuk manusia. Peningkatan nilai SGPT 50 kali dari normal menandakan rendahnya aliran darah pada hati, hepatitits, atau kerusakan sel hati yang disebabkan oleh obat/senyawa kimia seperti CCl4 (karbontetraklorida). Peningkatan SGPT ringan sampai sedang dapat disebabkan oleh adanya hepatitis, sirosis, kanker pada hati dan alkohol. Terkadang pada sirosis peningkatan nilai SGPT 2-4 kali kadar normal. Hasil
67
pengukuran SGOT-SGPT pada kelinci setelah mendapat perlakuan selama 12 minggu dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 62 Kadar SGOT-SGPT kelinci setelah mendapat perlakuan selama 12 minggu. Perlakuan K. Negatif
Minggu ke-12 (U/l) SGOT SGPT a 43,50 ± 3,53 33,00 ± 1,41a
K. Positif
56,50 ± 7,77a
85,50 ± 10,60b
Simvastatin
92,67 ± 4,93b
93,33 ± 6,03b
Discodoris
44,00 ± 2,82a
45,00 ± 1,41a
A ngka yang diikuti huruf berbeda nyata menurut Tukey (α=0,05)
SGOT banyak dijumpai pada organ jantung, hati, otot rangka, pankreas, paru-paru, sel darah merah dan sel otak. Saat organ tersebut mengalami kerusakan, maka SGOT akan dilepaskan kedalam darah dan nilainya akan tinggi sesuai dengan tingkat keparahan kerusakan sel tersebut. Nilai normal SGOT pada manusia berkisar 3-45 U/l. Peningkatan nilai SGOT dapat terjadi karena adanya hepatitis C. Nilai SGOT dan SGPT hanya diukur pada akhir masa penelitian. Tujuan pengukuran parameter ini adalah untuk mengetahui dampak negatif dari perlakuan Discodoris sp dan obat Simvastatin. Tabel 12 menunjukkan bahwa nilai SGOT berbeda secara signifikan untuk perlakuan simvastatin. Dengan kata lain pemberian Discodoris tidak mempengaruhi kerja hati. Demikian juga dengan nilai SGPT. Tingginya nilai SGOT-SGPT pada perlakuan Simvastatin dan SGPT pada kontrol positif terjadi karena pengaruh radikal bebas dan efek toksik dari obat yang menyebabkan sel mengalami kematian (nekrosis) seperti terlihat pada Tabel 13. SGOT-SGPT hanya menggambarkan tingkat kerusakan sel hati, kedua enzim ini tidak dapat menggambarkan tingkat kemampuan sel hati untuk meregenerasi diri. Dalam kondisi normal sel-sel tubuh memiliki kemampuan regenerasi, jika mereka akan menggantikannya dengan sel-sel baru. Kemampuan regenerasi inilah yang akan mengimbangi kerusakan sel. Bisa saja nilai SGOT-
68
SGPT mengalami kenaikan hingga di atas normal, tapi sesungguhnya sel hati tidak dalam kondisi sakit, karena sel yang telah mati diganti oleh sel yang baru
4.6.3 Pengaruh lintah laut terhadap sel hati Hati merupakan organ yang berperan penting dalam detoksifikasi racun dan hidrogen peroksida. Hal ini menyebabkan hati berpotensi mengalami kerusakan. Sebagian besar toksin memasuki tubuh melalui sistem gastrointestinal dilanjutkan ke peredaran darah dan dibawa menuju sel-sel hati. Secara perlahan keterpaparan toksin dalam jangka waktu tertentu menyebabkan kerusakan pada sel hati. Beberapa jenis kerusakan hati yang terjadi antara lain degenerasi sel berupa degenerasi hidropis, degenerasi lemak, kematian sel secara apoptosis maupun nekrosis, perlemakan hati (steatosis), sirosis dan sebagainya. Walaupun demikian, hati memiliki daya regenerasi sel yang sangat besar. Pada hati normal diketahui bahwa lobektomi sebanyak 70% pada hati mengakibatkan proliferasi sel-sel hati yang sangat giat, sehingga dalam waktu 2-3 minggu bagian hati yang hilang dapat diganti kembali. Pada nekrosa lokal hati, banyak sel-sel hati yang hilang namun dalam waktu 2 minggu sel-sel yang hilang dapat diganti kembali bila kausa nekrosa disingkirkan (Ressang 1984). Kerusakan yang diamati dalam penelitian ini terdiri dari degenerasi hidropis, degenerasi lemak, dan nekrosa sel. Hasil penghitungan persentase sel yang mengalami kerusakan dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 73 Persentase kondisi sel hati kelinci yang mengalami kerusakan Perlakuan
Sel normal
K. negatif K.positif Simvastatin Discodoris
91,96±0,95b 41,18±3,12a 89,23±2,99b 86,93±4,09b
Degenerasi hidropis 2,81±2,56a 60,46±14,52b 25,57±6,10a 5,63±5,73a
Degenerasi lemak 0,10±0,004a 1,75±1,97ab 3,69±1.29b 0,00±0,00a
Sel nekrosa 5,47±1,55a 3,84±0,78a 8,99±1,22b 6,41±0,80ab
Angka yang diikuti huruf berbeda nyata berdasarkan Tukey (α=0.05)
Tabel 13 menunjukkan bahwa jumlah/persentase sel hati normal untuk perlakuan Discodoris sp, simvastatin dan kontrol negatif tidak berbeda nyata, tapi berbeda dengan kontrol positif. Kelinci yang mendapat perlakuan Discodoris sp mempunyai sel normal 86,93% dan yang mengalami degenerasi hidropis 5,63%, degenerasi lemak 0,00% serta sel yang mengalami nekrosa 6,41%.
69
Kerusakan sel hati dalam bentuk degenerasi hidropis yang banyak terjadi pada kontrol positif yaitu 60,46% dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya pada tingkat α 0,05%. Perlakuan kontrol negatif, simvastatin dan Discodoris sp tidak berbeda nyata pada tingkat α=0,05. Perlakuan Discodoris
sp dan
simvastatin dapat menurunkan kejadian degenerasi hidropis. Degenerasi hidropis merupakan indikasi intoksikasi hati yang agak ringan bersifat reversible (tidak menetap) yang disebabkan karena iritasi substansi kimia organik atau inorganik melalui vena porta dari usus ke hati. Secara makroskopis, hati yang mengalami degenerasi hidropis akan terlihat meluas, batasan hati terlihat tumpul, konsistensi lunak, warna hati abu-abu pucat kecoklatan dan jika diinsisi akan menonjol. Namun secara mikroskopis, sel hati akan terlihat mengalami perluasan, terjadi pembengkakan dan kepucatan sitoplasma; kadang terbentuk vakuolisasi beraspek keruh; plasma bergranul, serta inti sel kurang jelas. Degenerasi hidropis terjadi karena membran plasma sel mengalami kerusakan. Kerusakan ini menyebabkan impermeabilitas pompa sodium-potasium yang berguna dalam mengatur konsentrasi ion di dalam dan diluar sel. Dampak kerusakan tersebut menyebabkan peningkatan volume sodium (Na+), kalsium (Ca2+), plasma protein dan air serta menyebabkan berkurangnya potassium (K+) dan enzim di dalam sitoplasma sel tersebut. Pada kondisi ini cairan di sekitar sel akan mudah merembes masuk ke dalam sel dan menyebabkan kebengkakan sel. Cairan tersebut terutama terakumulasi di dalam matriks sitosolik atau retikulum endoplasma. Kelebihan cairan di dalam sitoplasma menekan daerah sinusoid, akibatnya sinusoid menyempit (Cheville 1999). Degenerasi lemak untuk semua perlakuan secara statistik berbeda nyata, kecuali perlakuan Discodoris dan kontrol negatif. Perlakuan Discodoris sp dapat mencegah degenerasi lemak. Degenerasi lemak sering disebut dengan lipidosis. Degenerasi lemak membutuhkan iritasi yang hebat untuk mengganggu metabolisme lemak sel. Beberapa jaringan akan membentuk lipid pada sitoplasma sel saat mengalami cedera, tetapi beberapa jaringan yang lain akan memproduksi lipid lebih sedikit (Cheville 1999).
D
70
Akumulasi lemak dalam sel hati biasanya terjadi bila terlalu banyak asupan asam lemak bebas ke dalam sel hati, misalnya peningkatan pembentukan lipid di dalam sel hati akibat toksin yang merusak jalur metabolisme lemak, hipoksia kronis yang
menghambat kerja enzim pada metabolisme lemak, dan kondisi-
kondisi tertentu yang menyebabkan peningkatan mobilisasi lemak dari jaringan adiposa seperti pada saat kelaparan dan diabetes melitus. Persentase sel hati yang mengalami nekrosa berkisar dari 3,84% (kontrol positif); 6,41% (Discodoris); 5,47% (kontrol negatif) dan 8,98% (Simvastatin). Secara statistik melalui uji Tukey menunjukkan hasil bahwa simvastatin berbeda secara signifikan dengan perlakuan lainnya dan mengalami kematian sel yang terbanyak. Penggunaan obat simvastatin selama 12 minggu secara terus menerus dapat menyebabkan kerusakan sel hati berupa kematian, hal ini juga didukung oleh data SGOT dan SGPT yang lebih tinggi (Tabel 13). Discodoris memperlihatkan hasil yang sama dengan kontrol negatif dan positif. Pemberian lintah laut tidak menyebabkan kematian sel hati. Gambar 18 dan Tabel 14 menunjukkan bahwa pemberian tepung lintah laut pada kelinci selama 12 minggu dapat mencegah kerusakan sel hati yang disebabkan oleh degenerasi lemak, degenerasi hidropis dan nekrosa. Nekrosa pada sel hati disebabkan karena sel kekurangan oksigen atau makanan (iskhemia) dan pengaruh substansi kimia organik dan anorganik (seperti mineral, asam, alkalis, dan fenol) serta sel yang tidak bisa beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Setelah kematian sel, sel tersebut membebaskan trombokinase yang menyebabkan koagulasi fibrinogen pada serum darah. Hasilnya, sitoplasma terlihat bergranul. Perubahan dari sitoplasma sendiri menyebabkan satu dari tiga perubahan yang jelas terjadi pada inti, diantaranya: (1) inti bisa kehilangan afinitas untuk dasar tegangan dan warnanya memucat hingga membentuk sebuah cincin dan akhirnya inti menghilang. Biasanya kebanyakan indikasi kematian inti yang seperti ini disebut karyolisis, (2) inti pecah menjadi bagian yang kecil. Perubahan ini sering disebut karyorrhexis, (3) inti menyusut, terjadi penambahan warna hematoxylin nucleus sel hati (inti berwarna biru) karena ada kondensasi kromatin yang disebut dengan pyknosis (Ressang 1984 dan Cheville 1994).
71
Gambar 18 Kerusakan sel hati kelinci dengan pewarnaan HE pembesaran (10x40) (kiri) kontrol positif (K+) kontrol negatif (K-), Simvastain (S), Discodoris sp (D), ▲= Normal; ∆ = Degenerasi hidropis; = Degenerasi lemak; = Kematian sel
4.6.4 Pengaruh lintah laut terhadap aorta Hasil pengamatan terbentuknya plak/lesi pada aorta kelinci percobaan dapat dilihat pada Gambar 19 serta persentase dan tingkat kejadian plak pada Tabel 14. Gambar 19 memperlihatkan bahwa kontrol negatif dan perlakuan Discodoris tidak terbentuk plak/lesi dibanding kontrol positif. Hal ini didukung oleh profil lipid serum darah kelinci selama pengamatan dan rasio total kolesterol/HDL dan perbandingan LDL dengan HDL. Dari hasil ini terlihat kemampuan tepung Discodoris sp dalam menekan terjadinya aterosklerosios. Plak atau lesi yang terbentuk pada perlakuan kontrol positif bersifat konsentrik (terdapat pada seluruh dinding aorta), sedang lesi yang terdapat pada perlakuan Simvastatin bersifat eksentrik (terdapat pada bagian tertentu saja dari dinding aorta).
72
Tabel 84 Skor pembentukan plak pada aorta kelinci Perlakuan Kontrol negatif Kontrol positif Simvastatin Discodoris
Skor pembentukan plak pada aorta 1,1±0,1 a 2,4 ±0,1b 1,8 ±0,2c 1,1 ±0,2a
Angka yang diikuti huruf berbeda nyata berdasarkan LSD (α=0.05).
Aterosklerosis berasal dari bahasa Yunani athere berarti lemak, oma berarti massa dan skleros berarti keras. Pada aterosklerosis terjadi pengerasan dinding arteri akibat penimbunan berbagai komponen termasuk lipid, kristal kolesterol dan garam-garam kalsium, yang mengakibatkan arteri menjadi kaku dan menyebabkan penyempitan lumen arteri (Fergenbaun 2002). Kontributor utama terhadap patogenesis terjadinya serangan jantung, infark serebri dan penyakit vaskuler perifer (Nicholas III 2001).
Gambar 19 Gambaran pembentukan lesi aterosklerosis pada aorta kelinci (Pewarnaan HE, pembesaran 40x10), kontrol positif (K+), kontrol negatif (K-), Simvastatin (S), Discodoris sp (D). Tanda panah menunjukkan lesi aterosklerosis yang terbentuk. Aterosklerosis merupakan hasil interaksi yang kompleks dari berbagai faktor, diantaranya adalah disfungsi endotel, prekrutan monosit, inflamasi, proliferasi sel otot polos, akumulasi dan oksidasi lipid, nekrosis, kalsifikasi, dan
73
trombosit. Aterosklerosis itu sendiri bukanlah suatu penyakit yang berbahaya, tetapi apabila plak aterosklerosis koyak dan terjadi ketidak seimbangan antara faktor trombogenik dan mekanisme proteksi, maka dapat menyebabkan terjadinya trombosis (Karniawati 2000). Perkembangan aterosklerosis mengikuti pola yang relatif tetap. Pada lesi tahap dini dijumpai penumpukan lipid yang berlebihan di tunika intima dari pembuluh darah arteri. Penumpukan ini disertai masuknya monosit dan sel T, yang menunjukkan keterlibatan sistem kekebalan dengan respon inflamasi. Monosit yang masuk akan dikonversi menjadi makrofag dan akan memakan selsel lipid, lalu berubah menjadi sel busa. Sejumlah sel otot polos akan mengalami transisi dari keadaan kontraktil menjadi keadaan sekretorik dengan memproduksi matrik protein yang terkumpul dalam plak aterosklerosis. Terbentuknya kumpulan lipid yang ditutupi oleh jaringan ikat, maka nekrosis terjadi dari sel-sel busa. Pada tahap ini komplikasi trombotik berperan penting dalam terjadinya gejala klinis. Pada plak tahap lanjut, dapat dijumpai nekrosis sentral dan perubahan-perubahan yang menyertainya seperti fibrosis, perdarahan, intraplak, ulserasi dan mineralisasi (Nicholas III 2001). Tabel 15 menunjukkan bahwa perlakuan kontrol positif mengalami pembentukan plak yang lebih tebal dibanding perlakuan lainnya. Perlakuan Discodoris sp tidak berbeda dengan kontrol negatif.
4.6.5 Pengaruh lintah laut terhadap ginjal Ginjal merupakan organ yang beratnya kurang dari 1% dari berat badan, meskipun demikian menerima sekitar 20% curah jantung. Aliran darah ginjal tersebut didistribusikan ke korteks ginjal melalui cabang-cabang arteri ke glomerulus yang melekat pada tubulus. Fungsi glomerulus sebagai penyaring dan tubulus tempat mengkoleksi bahan buangan dan kelebihan air. Oleh karena itu tubuli dan korteks ginjal lebih mudah terkena toksin yang bersirkulasi dibandingkan jaringan lainnya (Soeksmanto 2003). Adanya gangguan pada ginjal dapat diketahui dengan mengamati adanya proliferasi glomerulus yang berasal dari pembengkakan dan penambahan sel-sel endotel dan epitel, sehingga penghitungan jumlah sel-sel glomerulus dan diameter glomerulus ginjal serta gambaran seluler dari korteks dapat digunakan untuk menentukan adanya gangguan pada ginjal (Kincaid-Smith dan Withworth, 1987)
74
Ginjal adalah suatu organ yang sangat berguna untuk menyingkirkan toksikantoksikan dari tubuh. Senyawa-senyawa toksik diekskresikan ke dalam urin oleh mekanisme-mekanisme yang sama yang digunakan oleh ginjal untuk membuang hasil-hasil akhir metabolisme dari tubuh. Proses-proses ini adalah filtrasi glomerulus dan difusi tubulus yang pasif, serta sekresi tubulus yang aktif. Fungsi utama ginjal adalah mengekskresikan zat-zat sisa metabolisme yang mengandung nitrogen misalnya amonia. Amonia adalah hasil pemecahan protein dan bermacam-macam garam, melalui proses deaminasi atau proses pembusukan mikroba dalam usus. Selain itu, ginjal juga berfungsi mengeksresikan zat yang jumlahnya berlebihan, misalnya vitamin yang larut dalam air; mempertahankan cairan ekstraselular dengan jalan mengeluarkan air bila berlebihan; serta mempertahankan keseimbangan asam dan basa. Sekresi dari ginjal berupa urin. Ginjal menerima sekitar 25% output cardiac, dan 20% disaring oleh glomerulus. Kapiler glomerulus mempunyai pori-pori yang besar (40 Ao), dan karena itu satu senyawa akan disaring pada glomerulus kecuali berat molekulnya besar (lebih besar dari 60.000). Kebanyakan agen-agen toksik berukuran kecil untuk disaring pada glomerulus. Tingkat pengikatan satu bahan toksik ke protein plasma mempengaruhi kecepatan filtrasi, karena satu ikatan agen toksik terlalu besar untuk melewati pori-pori. Sekali toksikan sudah disaring pada glomerulus, maka akan tinggal dalam lumen tubulus dan diekskresikan atau bisa diserap kembali secra pasif menembus sel-sel tubulus dari nefron kedalam aliran darah. Asas-asas yang mengatur difusi kembali dari toksikan menembus tubulus sama dengan yang berhubungan dengan pengiriman melalui membran secara pasif. Karena itu, toksikan dengan satu koefisien partisi lipid/air yang tinggi akan diserap kembali secara pasif, dan senyawa-senyawa polar dan ion tidak akan dapat berdifusi, tetapi diekskresikan kedalam urin (Mansyur, 2002). Di dalam ginjal terjadi rangkaian proses filtrasi, reabsorbsi, dan augmentasi uraiannya adalah sebagai berikut: (1) Penyaringan(filtrasi) Filtrasi terjadi pada kapiler glomerulus pada kapsul Bowman. Pada glomerulus terdapat sel-sel endotelium kapiler yang berpori (podosit) sehingga mempermudah proses penyaringan. Beberapa faktor yang mempermudah proses
75
penyaringan adalah tekanan hidrolik dan permeabilitias yang tinggi pada glomerulus. Selain penyaringan, di glomelurus terjadi pula pengikatan kembali sel-sel darah, keping darah, dan sebagian besar protein plasma. Bahan-bahan kecil terlarut dalam plasma, seperti glukosa, asam amino, natrium, kalium, klorida, bikarbonat, garam lain, dan urea melewati saringan dan menjadi bagian dari endapan. Hasil penyaringan di glomerulus berupa filtrat glomerulus (urin primer) yang komposisinya serupa dengan darah tetapi tidak mengandung protein. Pada filtrat glomerulus masih dapat ditemukan asam amino, glukosa, natrium, kalium, dan garam-garam lainnya. (2) Penyerapan kembali (Reabsorbsi) Volume urin manusia hanya 1% dari filtrat glomerulus. Oleh karena itu, 99% filtrat glomerulus akan direabsorbsi secara aktif pada tubulus kontortus proksimal dan terjadi penambahan zat-zat sisa serta urea pada tubulus kontortus distal. Substansi yang masih berguna seperti glukosa dan asam amino dikembalikan ke darah. Sisa sampah kelebihan garam, dan bahan lain pada filtrat dikeluarkan dalam urin. Tiap hari tabung ginjal mereabsorbsi lebih dari 178 liter air, 1200 g garam, dan 150 g glukosa. (3) Augmentasi Augmentasi adalah proses penambahan zat sisa dan urea yang mulai terjadi di tubulus kontortus distal. Komposisi urin yang dikeluarkan lewat ureter adalah 96% air, 1,5% garam, 2,5% urea, dan sisa substansi lain, misalnya pigmen empedu yang berfungsi memberi warna dan bau pada urin. Tabel 15 dan Gambar 20 menunjukkan bahwa perlakuan kontrol negatif dan kontrol positif tidak berbeda nyata. Dengan kata lain pemberian kolesterol tidak berpengaruh terhadap endapan protein pada glomerulus ginjal, tetapi perlakuan Discodoris sp dan simvastatin menyebabkan terbentuknya endapan protein pada glomerulus ginjal. Hal ini diduga disebabkan oleh tingginya kadar abu tidak larut asam pada bagian lintah laut yang digunakan secara utuh dan akumulasi obat simvastatin selama 12 minggu secara terus menerus.
Hasil
analisis kadar abu tidak larut asam pada bubuk lintah laut yang digunakan secara utuh adalah 1,9%. Kadar abu maksimum untuk produk perikanan yang dikeringkan dengan cara penjemuran matahari dibatasi maksimum 0,3%. Angka
76
yang diperoleh pada lintah laut utuh kering sudah sangat tinggi, oleh sebab itu perlu dilakukan preparasi contoh yang tidak menggunakan jeroan dan kotorannya yang berupa feses, tanah, pasir dan batu yang terdapat bagian organ dalam. Tabel 95 Persentase endapan protein pada glomerulus ginjal kelinci percobaan Perlakuan Kontrol negatif Kontrol positif Simvastatin Discodoris
Endapan protein (%) 1,38±0,39a 2,70±0,81 a 6,37±2,02 b 10,28±1,11c
Angka yang diikuti huruf berbeda signifikan berdasarkan Tukey (α=0.05).
Gambar 20 Patologi ginjal kelinci dengan pewarnaan HE pembesaran 40x10. Tanda panah menunjukkan adanya endapan protein pada glomerulus ginjal. K- kontrol negatif, K+ kontrol positif, S Simvastatin, dan D Discodoris sp.
77
5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa lintah laut yang diambil dari perairan pulau Buton: (1) Potensial sebagai sumber protein, asam amino, asam lemak tidak jenuh dan mineral (2) Fraksi polar (metanol) mempunyai rendemen yang tertinggi dan aktivitas antioksidan yang lebih rendah jika dibanding dengan BHT pada metode DPPH, sedangkan dengan metode NBT mempunyai aktivitas antioksidan yang lebih tinggi (89,44%). (3) Komponen senyawa yang terdapat pada tepung lintah laut kering fraksi metanol adalah: alkaloid, steroid, saponin, asam amino bebas, karbohidrat dan fenol. (4) Pemberian tepung lintah laut kering pada kelinci percobaan dapat menurunkan kadar kolesterol, trigliserida, LDL dan meningkatkan HDL serta mencegah pembentukan plak/ateroma dan tidak mempengaruhi kerja hati. (5) Pemberian tepung lintah laut kering sebanyak 3-4 g/ekor/hari atau 1,6 gram/kg berat badan kelinci per hari selama 12 minggu berpengaruh negatif terhadap kesehatan ginjal dengan adanya endapan protein pada glomerulus (6) Lintah laut yang diambil dari perairan pantai pulau Buton potensial sebagai sumber antikolesterol
5.2 Saran Untuk melengkapi informasi ilmiah tentang khasiat lintah laut sebagai pangan fungsional perlu dilanjutkan penelitian mengenai: 1. Penentuan komponen bioaktif, isolasi dan identifikasi struktur senyawa yang terdapat pada lintah laut tersebut 2. Kajian peluang budi daya lintah laut 3. Teknik preparasi dan pengembangan produk suplemen 4. Pembuatan suplemen antikolesterol dan uji stabilitas produk
78
DAFTAR PUSTAKA Abdille HMD, Sing RP, Jayaprakasha GK, Jena BS. 2005. Antioxidant activity of the extracts from Dillenia indica fruits. J. Food Chem. 90:891-896. Abdurahman N. 2003. Peran lipoprotein pada aterosklerosis. Di dalam: Makmun LH, Alwi I, Mansyur A (eds). Prosiding Simposium Pendekatan Holistik Penyakit Kardiovaskular II Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.45-60 Abele D, Puntarulo S. 2004. Formation of reactive species and induction of antioxidant defence system in polar and temperate marine invertebrates and fish. Comparative Biochemistry and Physiology Part A 138:405-415. Agustiningrum D. 2004. Isolasi dan uji aktivitas antioksidan senyawa bioaktif dari daun Ipomea pes-caprae. [skripsi]. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. 96 Aikawa M, Libby P. 2004. The vulnerable atherosclerotic plaque pathogenesis and therapeutic approach. Cardivascular Pathology. 13:125-138. Amrun MH, Umiyah. 2005. Pengujian antiradikal bebas difenilpikril hidrazil (DPPH) ekstrak buah kenitu (Chrysophyllum cainito L.) dari daerah sekitar Jember. Jurnal Ilmu Dasar 6(2):110-114. Ansaldo M, Laquet CM, Evelson PA, Polo JM, Llesuy S. 2000. Antioxidant level from different Antarctic fish caught around South Georgia and Shag Rock. Polar Biol. 23:160-165. [AOAC] Association of Office Analytical Chemysts. 1995. Official Methodes of Analyst of the Association of Official Analytical Chemysts. Virginia:AOAC. 400. Austin SD, Cingell CF, Bray TM, Kalyanaraman B, Mason RP. 1997. Free radicals technology. Toxicology and Applied Pharmacology. 120:405-415. Azima F. 2004. Aktivitas antioksidan dan anti-agregasi platelet ekstrak cassia vera (Cinnamomum burmanni Nees ex Blume) serta potensinya dalam pencegahan aterosklerosis pada kelinci. [disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. 120 Barliner JA, Navab M, Fogelman AM, Frank JS, Demer LL, Edward PA, Watson AD. 1995. Atherosclerosis basic mechanism oxidation, inflammation and genetics. Circulation 91(9):2488-2496. Bernik BRG, Jimeno J. 2001. Depsipeptid (NSC 630176). J. Angiogenesis 26: 26-33. Bhakuni DS, Awat DS. 2005. Bioactive Marine Natural Product. New Delhi: Anamaya Publisher. 315 Brown MS, Goldstein JL. 1983. Lipoprotein metabolism in macrophage. Annu Rev Bichem. 32:223-261.
79
Bruck B. 1997. Gender specific differences in the effect of testosterone and estrogen on the development of atherosclerosis in rabbit. J. Arteroscler. Thromb. Vasc. Biol. 17(10):2192-2199. Cantle JE. 1982. Techinque and Instrumentation in Analytical Chemistry. Vol. 5 Atomic Absorption Spectrometry. Amsterdam: Elsivier Scientific Publishing Company. 270 Champe PC, Richard AH. 1997. Biochemistry. Philadelpia: JB Lippinoff Company. 315 Cheville NF. 1999. Introduction to Veterinary Pathology Second Edition. Lowa State University Press. USA. 417 Cheville NF. 1994. Ultrastructural Pathology an Introduction to Interpretation. Iowa State University Press. USA. 350 Ciavatta et al. 2007. Studies on puupehenone-metabolites of Dysidea sp structure and biologycal activity. Tetrahedron. 63(6):1380-1384. Cimino G, and Chiselin MT. 1999.Chemical defence and evolutionary trends in biosynthetic capacity among dorid nudibranchs. Chemoecology 9:187. Dahlianti V. 2001. Ekstrak jamur kuping (Auricularia polytrica) sebagai hipolipidemia pada tikus putih galur wistar. [skripsi]. Bogor: FMIFA IPB. 85 Dalimartha S. 2002. 36 Resep Tumbuhan Obat untuk Menurunkan Kolesterol. Penebar Swadaya.Jakarta. 115. Damayanti E. 2002. Karakteristik bekatul padi (Oryza sativa) awet serta aktivitas antioksidan dan penghambatan proliferasi sel kanker secara in-vitro dari minyak dan fraksinya. [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana IPB. 215. Daniel. 2006. Optimalisasi manfaat statin. http;//www.majalahfarmacia.com/rubrik/one-News.asp?ID News=183[8 maret 2008]. Darusman LK, Sajuti D, Komar dan Pamungkas. 1995. Ekstraksi komponen bioaktif sebagai obat dari kerang-kerangan, bunga karang dan ganggang laut di Perairan Pulau Pari Kepulauan Seribu. Bull. Kimia. 2:41-60 Depkes RI. 1995. Materia Medika Indonesia Ed, IV Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. Derby CD. 2007. Escape by inking and secreting: marine molluscs avoid predators through a rich array of chemicals and mechanisms. Biol. Bull. 213:274-289. Edison T. 2009. Amino acid: Essential http://livewellnaturally.com.[02Maret 2010]
for
our
bodies.
Facchini PJ. 2001. Alkaloid biosynthesis in plants: biochemistry, cell biology, molecular regulation, and metabolic engineering applications. [terhubung berkala]. http://www.uky.edu/~dhild/biochem/26/indole.gif [19 Juli 2007]. Fang Y, Yang S, Wu G. 2002. Free radicals, antioxidant, and nutrition. J. Nutrition 18:872-879.
80
Faulkner DJ. 2002. Marine natural products. Nat. Prod. Rep. Vol. 19:1-48. Fontana A, Cavaliere P, Wahidulla S, Naik CG, Climino G. 2000. A new antitumor isoquinoline alkaloid from the marine Nudibranch Jorunna funebris. Tedrahedron. 1(56):7305-7308. Foye WO. 1995. Principles of medicinal chemistry. [terhubung berkala]. http://www.neurosci.pharm.utoledo.edu/MBC3320/images [19 Juli 2007]. Fusegawa Y, Tada H, Oguma T, Shiina Y, Moriguchi, Tanabe T, Tamachi H,Tomoda H, Goto Y. 1993. Effect of pravastatin on lipid transfer protein and lecithin cholesterol acyltransferase in herozygous familial hypercholesterolemia. Tokai j Clin Med 18:81-86 Gavagnin M, Trivellone E, Castelluccio F, Cimino G, Vietti RC.1995. Glyceril ester of a new halimane diterpenoic acid from skin of the Antarctic nudibranch Austrodoris kerguelensis. Tetrahedron 36(40):7319-7322. Gavagnin M, Carbone M, Mollo E, Cimino G. 2003. Austrodoral and austrodoric acid: nor-sesquiterpenes with a new carbon skeleton from the Antarctic nudibranch Austrodoris kerguelensis. Tetrahedron.44(7):1495-1498. Gitawati. 1995. Radikal bebas; Sifat dan peran dalam menimbulkan kerusakan/kematian sel. Cermin Dunia Kedokteran. 102:33-46. Gordon T, Casteli Wl. 1977. High density lipoprotein as a protective factor against coronary heart disease. Am J med. 62:707-714. Guyton AC, Hall JE. 1994. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi ke 7 Bagian III Terjemahan Tengadi. EGC. Jakarta. Hanani E, Mun’im A, Sekarini R. 2005. Identifikasi senyawa antioksidan dalam spons Callyspongia sp dari Kepulauan Seribu. Majalah Ilmu Kefarmasian. 2(3):127-133. Hapsari V. 2007. Penggunaan statin pada terapi hiperlipidemia. http://yosefw.wordpress.com/2007/12/20/penggunaan-statin-pada-terapihiperlipidemia/[5 juli 2008]. Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia. Padmawinata K, Soediro I, penerjemah. Bandung: ITB. Terjemahan dari Phytochemical Methods. Harmanto N.2005. Sentuhan Mahkota Kolesterol.www.pdffactory.com. [22 Juli 2008].
Dewa
dkk
Atasi
Harris H. 1994. Dasar-dasar Genetika Biokimia Manusia. Terjemahan. Gajahmada University Press. Yogyakarta. Heath HB, Reinesccius G. 1987. Flavour Chemistry and Technology. Von nostrand Reinhold Co. New York. Heise K, Puntarulo S, Portner HO, Abele D. 2003. Production of reactive oxygen species by isolated mitochondria of the Antarctic bivalve Laternula ellptica (King and Broderip) under heat stress. Comp. Biochem.Physiol. 134C, 79-90.
81
Herawati, Akhlus S. 2006. Kinerja BHT sebagai antioksidan minyak sawit pada perlindungan terhadap oksidasi oksigen singlet. Akta Kimindo 2(1):1-8. Hoffman D.1991.Therapeutic herbalism. [terhubung http://medplant.nmsu.edu/buffalo_cucr.jpg [19 Juli 2007].
berkala].
Hougthon PJ, Raman A. 1998. Laboratory Handbook for the Fractination of Natural Extracts. London: Chapman and Hill. Ibrahim M. 2001. Isolasi dan uji aktivitas biologi senyawa steroid dari lintah laut Discodoris sp. [tesis]. Bogor: Pascasarjana IPB. Jacob RA, Burri BJ. 1996. Oxidative damage and defense. Am J. Clin Nutr. 63:985-990 S. Harli M. Asam amino esensial. http://www.supamas.com [7 Juli 2008] Karniawati M. 2000. Lipoprotein (a). Informasi Laboratorium Prodia. 1:1-4. Karuso P. 1987. Chemical ecology of the nudibranch. Dalam Bioorganic Marine Chemistry. Schever PJ (ed). Springer-Verlag London. Vol 1. Keidar S, Aviram M, Maor I, Oiknine J, Brook JG. 1994. Pravastatin inhibits cellular cholesterol synthetis and increases low density lipoprotein receptor activity in macrophage: In vitro and in vivo studies. British Journal of Clinical Pharmacology. 38:513-519. Ketaren S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UI Press. Khusniya T. 2004. Penapisan awal senyawa antibakteri dan antioksidan dari kulit batang sentigi (Pemphis acidula). [skripsi]. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Kierman JA. 1990. Histological & Histochemical Methods: Theory and Practice. Pergamon Press. Kincaid-Smith P, Whitworth JA. 1987. The Kidney: A Clinico-Pathological Study. Blackwell scientific Publication. Oxford. King RA. 2002. New insight: what do we know about soy’s physiological and functional mechanism? Dalam Thaha et al (eds) Pangan dan Gizi di Era Desentralisasi: Masalah dan Strategi Pemecahannya. DPP Pergizi Pangan Indonesia kerjasama Pusat Pangan dan Gizi UNHAS. KKGM. 2007. Hidroquinone. [terhubung http://www.kkgm.gov.tr/images/2005_31_2.jpg [19 Juli 2007].
berkala].
Lam M dan Sulindoro M. 2004. Cholesterol, Hypertension, and Stress. htpp;//www.a3r.org/briefs/cholestero.cfm [22 Pebruari 2008]. Langseth L. 2000. Antioxidant and their effect on health. Dalam Schmidl MK and Labuza TP (eds). Essential of Functional Foods. Aspen Publishers. Inc. Maryland. Larosa JC, Brooklyn NY. Am Heart J 144:S21-6.
2003.
What
do
the
statins
tell
us?
82
Libby P, Aikawa M.2003. Mechanisms of plaque stabilization with statins. Am J Cardiol 91(suppl):4B–8B. Linder MC. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme dengan Pemakaian secara Kimia. Aminuddin P. Penerjemah. Jakarta: UI Press. Mahfouz MM, Kummerow FA. 2000. Cholesterol-rich diets have different effects on lipid peroxidation, cholesterol oxides, and antioxidant enzymes in rats and rabbit. J. Nutr. Biochem. 11:293-302. Malole MBM, Pramono CSU. 1989. Penggunaan Hewan-hewan Percobaan di Laboratorium . Bogor: Dep. Dik Bud-Dirjen Dikti, PAU Bioteknologi IPB. Marinetti GV. 1990. Disorder of Lipid Metabolism. New York: Plenum Press. Markham KR. 1988. Techniques of Flavonoid Identification. London. Academic Press Inc. Ltd. Marliyati SA. 2005. Pemanfaatan sterol lembaga gandum (Triticum) untuk pencegahan aterosklerosis. [ disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. Martin GE, Sanduja R, Alam M. 1986. Isolation of isopteropodine from the marine mollusk Nerita albicilla: establishment of the structure via two dimensional NMR techniques. J. Nat. Product. 49:406–411. Mashuda T, Matsumura H, Oyama Y, Takeda Y, Jitoe A, Kida A, Hidaka K. 1998. Synthesis of cassuminis A and B, new curcuminoid antioxidants having protective activity the living cell against oxidative damage. J. Nat. Prod. 61:609-613. Matsunaga A, Sasaki J, Hidaka K, Takada Y. 1994. Pravastatin induced change in receptor-mediated metabolism of low density lipoprotein in guinea pig. Artery. 21:94-113. Mayes PA. 2003. Sintetis, pengangkutan dan ekskresi kolesterol. Dalam Hartono A, penerjemah; Bani AP dan tiara MN, editor. Biokimia Hasper. Ed ke-25. EGC, Jakarta. Terjemahan dari: Hasperיּs biochemistry. Hlm 270-281. Merat S, Green S dan Qutrenberger O. 2002. Cholesterol metabolism and atherosclerosis. http://www.ucop.edu/stphone/trdp/aimas/session 2 e. Html. [13 Februari 2002]. 50 Miller JK, Slebodzinska B, Madson FC. 1993. Oxidative stress, antioxidant and animal function. J Dairy Sci 76:2812-2823. Moeljohardjo DS. 1997. Biokimia Umum. Bogor: IPB. Molyneux P. 2004. The use of the stable free radicals diphenylpicrylhydrazyl (DPPH) for estimating antioxidant activity. J. Sci. Technol. 26(2):211-219. Momuat LI. 2001. Minyak Sawit mempercepat regresi aterosklerosis aorta pada kelinci hiperkolesterolemia ringan, tetapi tidak pada hiperkolesterolemia berat [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Montgomery R, Dryer RL, Conway TW, Spector AA. 1993. Biokimia: Suatu Pendekatan Berorientasi Kasus. Jilid 2 Edisi ke-4 Terjemahan Ismadi M. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 170
83
Moon JH, Terao J. 1998. Antioxidant activity of caffeic acid and dihydrocaffeic acid in lard and human low-density lipoprotein. J.Agric. Food Chem. 45:5062-5065. Moundras C, Demigne C, Mazur A, Remesy C. 1995. The cholesterol lowering effect of steroid sequestrans is modulated by large intestine fermentations. J Nutr Biochem 5:158-162. Murniasih T. 2005. Substansi kimia untuk pertahanan diri dari hewan laut tak bertulang belakang. Oseana. XXX, 2:19-27. Muschler E. 1991. Dinamika Obat Farmakologi dan Toksikologi. Ed ke-5. Widianto Mb dan Ranti AS, penerjemah. ITB. Bandung. Terjemahan dari Arznemittelwirkungen, 5 vollig neubearbeiteteund und erweiterte auflage.150 Niwa Y. 1997. Free Radical Invite Death. Tokyo: Personal Care Co. Ltd.300 Norgrady T. 1992. Kimia Medisinal. Penerbit ITB. Bandung. 215 Nuranchman. 2004. Asam amino. www.republika.com. [7 Juli 2008] Nurjanah. 2003. Uji Aktivitas Antioksidan dari Ekstrak Kasar Lintah Laut (Discodoris sp) Laporan Tugas Khusus dalam Teknik Penelitian Biokimia. Bogor: Program Studi Teknologi Kelautan. Pascasarjana. IPB. Nurjanah, Imran Z, Kustiariyah. 2005. Kandungan mineral dan proksimat kerang darah (Anadara granosa) yang diambil dari Kabupaten Boalemo, Gorontalo. Buletin THP Vol VIII. No. 2:12-25. Nurjanah, Hardjito L, Monintja DR. Bintang M, Priyono DRA. 2006. Biology of sea slug Discodoris sp and its antioxidant activity. Abstracts of International Seminar and Workshop on Marine Biopharmaceutical. Nurjanah, Kustiariyah, Rusadi S. 2008. Karakteristik gizi dan potensi pengembangan kerang pisau (Solen spp) di perairan Kabupaten Pamekasan Madura. Jurnal Perikanan dan Kelautan (1):41-51. Nurjanah, Komari, Wientarsih I. 2009. Pembuatan Suplemen antikolesterol dari lintah laut (Discodoris sp). Laporan Akhir Penelitian Strategis Unggulan.Dirjen Dikti Depdiknas. Bogor: Departemen THP FPIK IPB. 80 Nutracare. 2008. Science of Nature for Human Health. Kelaianan Lipid Pengobatan Hiperlipid. http://www.medicastore.com/nutracare/ isi_choless.php. [21 Januari 2008]. Okuzumi M, Fujii T. 2000. Nutritional and Functional Properties of Squid and Cuttlefish. Japan: National Cooperative Association of Squid Processors. Permanasari Y. 2007. Penyakit jantung koroner si pembunuh utama manusia. Majalah Manajemen Risiko Stabilitas. 22:25-37 Prangdimurti E. 2007. Kapasitas antioksidan dan daya hipokolesterolemik ekstrak daun suji (Pleomele angustifolia NE Brown). [desertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. 150.
84
Proksch P, Edrada RA dan Ebel R. 2002. Drug from the sea: Current status and microbiological implications. App. Micr. Biotech. Vol. 59:125-134. Purwadiwarsa DJ, Subarnas A, Hadiansyah C dan Supriyatna. 2000. Aktivitas antimutagenik dan antioksidan dari daun puspa (Schima wallichii). Cermin Dunia Kedokteran. Vol 127: 95-120 Quinn CJ & Gadek PA. 1981. Biflavonoids of Dacrydium sensu lato. Phytochem. 20:677-681. Rachmadani. 2001. Ekstrak air daun jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk) berpotensi menurunkan kadar lipid darah pada tikus strain Wistar. [skripsi]. Bogor: FMIPA IPB. 80 Raghu B, Venkatesan P. 2008. Effect of acid supplemetation on blood glucose, lipid profile and cytokines in humans: a pilot study. Indian Journal of Clinical Biochemistry. 23(1):85-88. Ressang AA. 1984. Patologi Khusus Veteriner. Edisi ke-2. Percetakan Bali. P:4582. Denpasar. Riguera R. 1997. Isolating bioactive compounds from marine organisms. J Mar Biotechnol 5:187-193. Rita A, Tania SU, Heri H, Albana AM, Rini R. 2009. Produksi antioksidan dari daun simpur (Dillenia indica) menggunakan metode ekstraksi tekanan tinggi dengan sirkulasi pelarut. Di dalam: SNTKI 2009. Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia; Bandung, 19-20 Oktober 2009. Bandung: Perhimpunan Teknik Kimia Indonesia. hlm 1-8. Rosa CE, Iurman MG, Abreu PC, Geracitano LA, Monserrat JM. 2005. Antioxidant mechanisms of the Nereid Laeoneresis acuta (Annelida: polychaeta) to cope with environmental hydrogen peroxide. Phyiological and Chemical Zoology 78(4):641-649. Robinson T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Kosasih Padmawinata, penerjemah. Bandung: ITB. Terjemahan dari: The organic constiuteuns of higher plants, 6th edition. Rudman WB. 1999. Discodoris sp. :http/www.austunus.gov.au/seaslug.[30 November 2009].
Sea
slug.
Santoso J, Yoshie-Stark Y, Suzuki T. 2004. Antioxidant activity of methanol extracts from Indonesian seaweed in an oil emultion model. Fisheries science. 70:183-188. Sarma RH, Sarma MH, Rein R, Shibata M, Setlik RS, Omstein RL, Kazim Al, Cairo A, Tomasi TB. 1995. Secondary structure in solution of two anti HIV-1hammerhead ribozymes as investigated by two dimentional 1H 500 MHz spectroscopy in water. FEBS Lett 357:317-323. Sastrohamijoyo. 1996. University Press.
Sintesis Bahan Alami. Yogyakarta.
Gajah Mada
Septiana AT. 2001. Aktivitas ekstrak jahe (Zingiber officinalle Roscoe) dalam pencegahan oksidasi lipoprotein densitas rendah (LDL) dan akumulasi
85
kolesterol pada makrofag secara in vitro. [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 105 Setianingsih A. 2003. Studi pendahuluan bahan aktif dari bintang laut Astropecten sp sebagai antioksidan [skripsi]. Bogor. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 84. Setright R. 1993. Get Well for Women a Hand Book of Natural Medicine for Women and Children. Atrand Publishing. 50. Sevanian A, Bolger MB. 1996. Dietary approaches to lowering cholesterol. http;//www.usc.edu/hsc/pharmacy/ced/dietchol/dietchl2.htm. [14 Februari 2002]. 75 Soeksmanto A. 2003. Pengaruh fraksi aktif tumbuhan Aglacia angustifolia terhadap ginjal mencit (Mus muculus). Jurnal Natur Indonesia 6(1):49-52. Sormin IP. 2006. Regulasi kuantitas HDL pada reverse cholesterol transport. Forum Diagnosticum Prodia Diagnostic Services. No. 4. Spritia. 2001. Penjelasan tes fungsi hati. Yayasan Spritia. http://spritia.or.id/ [21 Juli 2008].50. Stachowicz JJ. 2001. Chemical ecology of mobile benthic invertebrates: predator and prey, allies and competitor. Dalam Marine Chemical Ecology James B, Mc Clintock Mc, Baker BJ (Eds). CRC Press USA: 157-194. Sumaryono W. 2004. Prospek tantangan dan strategi pengembangan bioteknologi kelautan di Indonesia. Forum Bioteknologi Kelautan DKP. Jakarta 25 Maret 2004.25. Suratmo. 2009. Potensi ekstrak daun sirih merah (Piper crocatum) sebagai antioksidan. http://fisika.brawijaya.ac.id/bss-ub/PDF%20FILES/BSS_ 205_1.pdf. [21 Desember 2009]. Thomas C. 1984. Histopathology. Edisi ke 7 Year Book Medical Publishers, Inc. Chicago. 315. Usman AP. 2000. Potensi anthihiperkolesterolemia kulit batang kayu gabus (Alstonia scholaris, R.Br). [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana IPB. 95. Vacek Jl, Dittermeier G, Chiarelli T. 1995. Comparation of lavastatin (20 mg) and nicotinic acid proteinemia. Am J Clin Nutr. 76:162-164. Vattem DA, Shetty K. 2006. Biochemical Markers for Antioksidan Functionality. Di dalam: Shetty K, Paliyath G, Pometto AL, Levin RE, editor. Functional Foods and Biotechnology. Boca Raton: CRC Press. hlm 229-251. Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia. 215. Witjaksono HT. 2005. Komposisi kimia ekstrak dan minyak lintah laut (Discodoris boholensis) [tesis]. Bogor: Pascasarjana IPB. 115.
86
Lampiran 1 Prosedur penentuan lipid serum
1) Prosedur analisis kolesterol total Kolesterol total ditentukan dengan metode enzim cholesterol oxidase-paminophenozone (CHOD-PAP). Prinsip uji Kolesterol dan kolesterol ester dilepaskan dari lipoprotein dengan enzim, selanjutnya dioksidasi secara enzimatik, reaksinadalah: Kolesterol esterase Kolesterol ester +H2O kolesterol + asam lemak Kolesterol oksidase Kolesterol + O2 kolesterol 3-on + H2O2 2H2O2 + phenol + 4-aminoantipyrine
peroksidase
Quinoneimine dye + 4 H2O
Reagen: Reagen enzim (R1) mengandung phenol, kolesterol oksidase, kolesterol esterase, peroksidase dan 4-aminoantipyrine. Reagen standar (R4) mengandung kolesterol, stabil disimpan pada suhu 2-8 oC. Prosedur: Panjang gelombang Suhu Kuvet kaca
: 500 nm, Hg 546 nm : 37 oC : 1 cm
Dipipet ke dalam kuvet
Reagen blanko
Standar
Contoh
Standar 10 µl Standar 10 µl Standar 1000 µl 1000 µl 1000 µl o Dicampur dengan baik, diukur sesudah diinkubasi pada suhu 37 C selama 5 menit. Absorbansi contoh dan standar dibaca terhadap RB dalam waktu 60 menit Pengukuran reagen blanko (RB) dilakukan satu kali untuk satu seri pemeriksaan. Perhitungan 1. Dengan standar Kolesterol = δA contoh/ δA standar x 200 mg/dl atau Kolesterol = δA contoh/ δA standar x 5,16 mmol 2. Dengan faktor Panjang gelombang
C (mg/dl)
C (mmol)
Hg 546
860 x δA
22,2 x δA
87
2) Prosedur analisis HDL Prinsip uji Contoh ditambahkan asam fosfotungsat dan magnesium klorida untuk mengendapkan kilomikron, VLDL, dan LDL dengan cara disentrifus, supernatan mengandung fraksi HDL, kadarnya ditentukan dengan metode enzimatik. Reagen: Reagen mengandung asam fosfotungsta 0,55 mmol/l dan magnesium klorida 25 mmol. Reagen stabil pada suhu 15-25 oC Prosedur: a. Presipitasi (Pengendapan) Dipipet ke dalam kuvet
Makro
Semi Mikro
Contoh Reagen presipitasi (tanpa pengenceran) Reagen presipitasi (diencerkan)
500 µl 1000 µl -
200 µl 500 µl
Dicampur dengan baik, diinkubasi selama 10 menit pada suhu ruang. Sentrifus selama 2 menit pada 10000 g atau 10 menit pada 4000 g/ Setelah disentrifugasi supernatan yang jernih dipisahkan dari endapan dalam waktu satu jam dan tentukan konsentrasi kolestrol dengan metode CHOD-PAP. b. Penentuan Kolestrol Dippet ke dalam kuvet
Reagen Blanko
Contoh
Akuabidestilata Supernatan HDL Reagen CHOD-PAP Kolestrol
100 µl 1000 µl
100 µl 1000 µl
Dicampur dengan baik, diinkubasi selama 10 menit pada suhu ruang. Sentrifus selama 2 menit pada 10000 g atau 10 menit pada 4000 g/ Setelah disentrifugasi supernatan yang jernih dipisahkan dari endapan dalam waktu satu jam dan tentukan konsentrasi kolestrol dengan metode CHOD-PAP. Perhitungan Panjang gelombang
Makro (mg/dl)
Semi Mikro (mg/dl)
Hg 546 nm
C = 280 x A contoh
C = 327 x A contoh
500 nm
C = 188 x A contoh
C = 220 x A contoh
88
Dengan perhitungan dapat ditentukan: LDL-kolesterol (mg/dl) = kolesterol total – trigliserida – HDL-kolestrol atau 5 LDL-kolesterol (mmol/l) = kolesterol total – trigliserida – HDL-kolestrol 2,2 3) Prosedur Analisis LDL Analisis LDL kolesterol serum ditentukan dengan kit Fluidtest LDLCHOL REF 413 LOT D283 dari Biocon Jerman menggunakan metode presipitasi (pengndapan). Prinsip Uji LDL diendapkan dengan heparin pada titik isoelektrik (pH5,12). Setelah disentrifugasi sisda LDL dan VLDL di dalam supernatan dan dapat ditentukan dengan metode enzimatik. Reagen: Reagen mengandung heparin 0,68 g/l, sodium sitrat 0,064 mol/l dan stabilizer 2 %. Reagen ini stabil apabila disimpan pada suhu (2-8) °C. Posedur: a. Presipitasi (Pengendapan) Dippet ke dalam tabung sentrifus Contoh 100 µl Reagen LDL 1000 µl Dicampur dengan baik, didiamkan selama sepuluh menit pada suhu +15 sampai +25 °C dan disentrifus selama 15 menit pada 4000 rpm. Setelah disentrifugasi supernatan yang jernih dipisahkan dari endapan dalam waktu satu jam ditentukan konsentrasi kolesterol dengan metode CHOD-PAP. b. Penentuan Kolesterol Dipipet ke dalam kuvet Reagen Blanko Contoh Akuabidestilata 100 µl Supernatan HDL 100 µl Reagen CHOD-PAP Kolestrol 1000 µl 1000 µl Dicampur dengan baik, diukur sesudah diinkubasi pada 37 °C selama 5 menit atau 10 menit pada suhu 20-25 °C. Dibaca absorbansi contoh terhadap terhadap reagen blanko dalam waktu 60 menit.
89
Perhitungan: Panjang gelombang Makro (mg/dl) Hg 546 nm C = 1028 x A contoh 500 nm C = 950 x A contoh LDL kolesterol = Total kolesterol – LDL koleserol supernatan
4) Prosedur Analisis Trigiliserida Serum Analisis trigiliserida serum ditentukan dengan kit Fluidtest TG REF 5748 LOT D716 dari Biocon Jerman menggunakan metode GPO-PAP merupakan uji kolorimetrik enzimatik. Prinsip uji Trigliserida dihidrolisis secara enzimatis menjadi gliserol menurut reaksi berikut. Trigeliserida Gliserol + ATP G-3-P + O2
LPL
Gliserol + asam lemak bebas GK
GPO
G-3-P + ADP DAP + H2O2
H2O2 + 4-aminoantipyrin + p-khlorofenol
POD
4H2O2 + Quinonimine
Reagen: Reagen R1 (reagen enzim) dan reagen R4 (standar) stabil bila disimpan pada suhu +2 sampai +8 °C dan terlindung dari cahaya. Prosedur: Panjang gelombang : 500-550 nm, Hg 546 nm Suhu : +37 °C Kuvet Kaca : 1 cm Pengukuran terhadap reagen blanko (RB) dilakukan satu kali untuk satu seri pemeriksaan. Dipipet ke dalam Reagen Blanko Standar Contoh kuvet Standar/R4 10 µl Sampel 10 µl Reagen kerja 1000 µl 1000 µl 1000 µl Campur dengan baik, diukur sesudah diinkubasi pada 37 °C selama 5 menit. Dibaca absorbansi contoh dan standar terhadap RB dalam waktu 60 menit. Perhitungan Konsentrasi trigliserida dapat dihitung dengan rumus:
90
Trigliserida (mg/dl)= 200xδA contoh/δA standar atau Trigliserida (mmol/l)= 2,28 x δA contoh/δA standar
91
Lampiran 2 Rata-rata berat badan kelinci (gram) selama periode penelitian Perlakuan Kontrol positif Simvastatin
Minggu
Kontrol
Discodoris sp
ke--
negative
0
1873± 156
1935± 310
1890 ± 309
1892 ± 118
1
1971± 135
2133± 279
2024 ± 315
2008 ± 141
2
2041± 109
2183± 250
2070 ± 284
2058 ± 150
3
2040± 135
2186± 253
2069 ± 236
2067 ± 162
4
2143± 67
2332± 190
2134 ± 261
2067 ± 117
5
2167± 51
2381± 182
2144 ± 240
2163 ± 201
6
2121± 95
2329± 229
2146 ± 264
2180 ± 221
7
2187± 57
2445± 212
2196 ± 256
2231 ± 255
8
2268± 44
2470± 219
2275 ± 305
2329 ± 258
9
2255± 33
2463± 231
2261 ± 270
2299 ± 287
10
2273± 49
2463± 231
2277 ± 255
2297 ± 317
11
2305± 19
2536± 248
2349 ± 327
2307 ± 428
12
2280± 34
2507± 249
2392 ± 374
2297 ± 401
92
Lampiran 3 SGOT dan SGPT darah kelinci setelah 12 minggu perlakuan Perlakuan Ulangan SGOT SGPT 46 60* 1 Kontrol negatif 2 41 34 3 28* 32 77* 93 1 Kontrol positif 2 51 48* 3 62 78 95 87 1 Simvastatin 2 87 94 3 96 99 42 46 1 Discodoris sp 2 75* 63* 3 46 44 * Data outlier yang menyebabkan ukuran keragaman >20%
93
Lampiran 4 Kandungan plasma darah kelinci selama pengamatan Kandungan plasma darah kelinci Perlakuan
Ulangan M0
M4
M8
M4
M8
M12
M0
M4
M8
M12
M0
M4
M8
M12
Kontrol negatif
1 2 3 1
79.8* 41.3 38.4 65.3
41.5 41.5 24.9* 268.3
56.1* 31.7 29.3 324.4
51.6* 31.6 31.6 573.7
74.0* 33.9 49.8 74.7*
42.3 28.1* 46.2 100.5
34.6 50.0* 34.6 156.5
35.5 32.3 51.6* 200.2
30.7 26.5 15.0* 28.5
41.4 47.6 59.3 44.6
59.8 38.2* 68.2 56.9
76.3 64.4 52.2 11.0
34.3* 48.0 41.4 21.9*
20.4 10.2 15.2 159.7
19.3 20.2 12.5* 208.7
50.3 30.4* 40.4 365.2
2 3 1 2 3
54.8 28.8* 50.9* 85.5 96.1
143.9* 268.3 51.2 46.3 97.6*
324.4 656.1* 63.4 78.1 129.3*
571.1 757.9* 128.9* 31.6 44.7
42.8 52.5 53.9 23.4* 51.8
105.5 102.6 42.3* 17.5 19.2
160.7 170.4* 34.6 19.2* 30.8
250.2* 220.5 46.1* 96.8 103.2
13.8* 23.8 27.6 63.3* 28.0
40.6 71.5* 99.3* 63.2 56.5
60.9 40.1* 146.2* 73.9 33.9
46.4* 26.9 52.2* 62.5 62.2
82.4 54.5 82.5 72.3 57.2
91.6* 191.9 66.8 87.5 37.3*
264.5 407.9* 40.4 64.1* 33.8
158.4* 505.2 91.4 74.7 81.1
1
28.8*
112.2
26.8*
68.4
38.0
35.1*
34.6
48.4
15.0
80.9*
106.0
96.2
76.2
38.0
20.3
15.0
2
49.0
119.5
75.6
52.6*
38.7
46.2
30.8
38.7
23.4
58.1
106.1
92.8
87.9
24.3
50.5*
20.0
3
44.2
75.6*
63.4
71.1
36.6
46.2
46.2*
35.5
21.9
60.8
93.5
120.7
75.0
52.2*
20.7
43.3*
Kontrol positif
Simvastatin
Discodoris sp
Kolesterol
Trigliserida M12
M0
* Data outlier yang menyebabkan ukuran keragaman > 20%
HDL
LDL
94
Lampiran 5 Persentasi kondisi sel hati yang mengalami kerusakan Degenerasi Degenerasi Nekrosa Perlakuan Ulangan Normal Hidropis lemak 1 90.92 5.01 0.10 3.97 Kontrol 2 92.77 0.00 0.00* 7.23 negatif 3 27.17* 66.41* 0.09 6.33 4 92.18 3.42 0.00* 4.40 1 43.88 53.02 0.00* 3.10 Kontrol 2 41.91 51.17 3.15 3.76 positif 3 17.77* 77.20 0.36 4.67 4 37.76 19.63* 37.09* 5.51* 1 87.26 2.60* 2.46 7.67 2 65.93* 21.26 3.59 9.22 Simvastatin 3 92.68 29.89 5.04 12.97* 4 87.76 1.50* 0.68* 10.07 1 86.16 0.98* 0.00 6.60 2 62.67* 32.10* 0.00 5.24 Discodoris sp 3 91.36 1.57 0.00 7.07 4 83.29 9.69 0.29* 6.74 * Data outlier yang menyebabkan ukuran keragaman > 20% Lampiran 6 Persentase endapan protein pada glomerulus ginjal kelinci percobaan Perlakuan Ulangan Endapan protein 3* 1 2 0* Kontrol negatif 3 1.1 4 1.66 2.58 1 2 0.9* Kontrol positif 3 3.56 4 1.96 7.8 1 2 4.94 Simvastatin 3 0* 4 0* 6.1* 1 2 9.02 Discodoris sp 3 10.76 4 11.08 * Data outlier yang menyebabkan ukuran keragaman >20%
95