2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Lintah Laut (Discodoris sp.) dan Komponen Bioaktifnya Lintah laut (Discodoris sp.) merupakan spesies yang termasuk dalam
ordo nudibranchia yang dikenal memiliki corak dan warna yang beraneka ragam. Nudibranch dicirikan dengan tubuhnya yang tidak memiliki cangkang, dan termasuk dalam golongan karnivora yang memangsa sponge dan invertebrata bertubuh lunak. Selain metabolit-metabolit yang diperoleh dari mangsanya, nudibranch juga menghasilkan sendiri komponen-komponen tersebut (Grkovic et al. 2005).
Racun dalam tubuh mangsanya tidak
membahayakan hewan ini, melainkan dapat digunakan sebagai suatu alat pertahanan terhadap musuh.
Sedikit dari hewan ini menghasilkan sendiri
racunnya, namun lebih banyak berasal dari makanan yang dimakannya. Spesis yang memakan racun sponge, akan mengubah dan menyimpan komponen racun tersebut dalam tubuhnya dan mengeluarkannya melalui sel-sel kulit dan kelenjar saat mereka diserang (Holland 2009). Klasifikasi lintah laut secara sistematik menurut Rudman (1999) diacu dalam Witjaksono (2005), adalah sebagai berikut : Kingdom
: Animal
Phylum
: Moluska
Kelas
: Gastropoda
Sub kelas
: Opistobranchia
Ordo
: Nudibranchia
Sub ordo
: Doridina
Famili
: Dorodidae
Genus
: Discodoris sp. Lintah laut (Discodoris sp.) memiliki ukuran tubuh yang kecil hingga
medium berbentuk bulat panjang.
Mulutnya dilengkapi dengan tentakel-
tentakel kecil berbentuk jari (Sachidhanandam et al. 2000). Tubuh Discodoris sp. berwarna coklat kehitam-hitaman dengan bintik putih dan garis pada bagian atas badannya dan tanpa dilindungi oleh lapisan pelindung. Biasanya terdapat di perairan dangkal berpasir serta terumbu karang hingga di dasar laut kelam 6
7
lebih dari satu kilometer dalamnya. Hewan ini berkembang baik di perairan hangat maupun dingin dan bahkan di sekeliling cerobong-cerobong vulkanis yang menyembur di laut dalam (Holland 2009).
Hewan ini hidup dan
menempel rapat pada batu-batuan yang berlumpur atau berpasir dan menghasilkan lendir (mucus) untuk mencegah kekeringan. Bagian bawahnya dapat bergerak dan menempel pada substrat sehingga gerakannya lambat (Rudman 1999 diacu dalam Witjaksono 2005). Lintah laut (Discodoris sp.) dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 2 Lintah laut (Discodoris sp.). Beberapa komponen bioaktif yang telah diteliti dari lintah laut dari ordo Nudibranch diantaranya adalah diterpenoid yang berperan sebagai pertahanan pada saat metabolisme stress (Cavagnin 2003). Jenis Dysidea menghasilkan seskuiterpenoid yang mempunyai aktivitas antibakteri dan antifungi (Ciavatta et al. 2007).
Uji fitokimia pada ekstrak metanol dari jenis Discodoris
mendapatkan kelompok alkaloid, steroid, asam amino, saponin, dan fenol yang diduga berperan sebagai antioksidan (Nurjanah et al. 2010).
Alkaloid adalah
senyawa alami amina baik pada tanaman, hewan ataupun jamur dan merupakan produk yang dihasilkan dari proses metabolisme sekunder.
Senyawa ini
berperan dalam sistem saraf pusat dan merupakan komponen pertahanan dalam tubuh, selain itu juga dapat bersifat sebagai antimalaria (Sirait 2007). Flavonoid dan beberapa golongan fenol dapat digunakan untuk mengurangi
8
risiko beberapa penyakit kronis dengan kemampuannya sebagai antioksidan, antiinflamasi, detoksifikasi karsinogen, antikolesterol, dan antiproliferasi (Chen dan Blumberg 2008). Flavonoid juga dapat menghambat secara efektif kerja beberapa enzim, yaitu xanthin oksidase, siklooksigenase dan lipooksigenasi (Hoorn et al. 2002) sehingga dapat mengurangi pembentukan radikal superoksida yang dapat menyebabkan peradangan (Bodamyali et al. 2002) Spesies lain dari kelompok nudibranch, Elysia chlorotica telah diuji untuk mendapatkan komponen antikanker yang juga berfungsi sebagai pertahanan terhadap predator.
Beberapa spesies yang memakan hewan ini
mensintesis dan mengakumulasi racun metabolit sekunder yang dihasilkannya di dalam mucus kemudian mengeluarkannya dalam jumlah yang besar sebagai pertahanan diri pada saat diserang.
Komponen antikanker yang terdeteksi
merupakan depsipeptida siklik yang dinamakan kahalalide F.
Metabolit-
metabolit yang bersifat antikanker yang dihasilkan oleh lintah laut kemungkinan besar memiliki mekanisme pertahanan terhadap predator atau sebagai anti predator (Rumpho et al. 2000). Kelompok nudibranch lainnya, Discodoris indecora menunjukkan kemampuannya berkamuflase yang sempurna terhadap mangsanya, spons Ircinia variabilis. Bentuk dan warna hewan ini sangat mirip dengan spons yang tersebar luas diperairan dangkal di Laut Mediterania.
Discodoris indecora
menunjukkan sifat mempertahankan diri saat mendapatkan gangguan dengan mengeluarkan lendir putih yang banyak yang terdiri atas sejumlah besar palinurin dan variabilin.
Kebanyakan hewan dapat memindahkan metabolit-
metabolit spons dari dalam kelenjar pencernaan ke kelenjar mantelnya (Marin et al. 1997). Beberapa produk kimia alami telah diteliti dari spesies-spesies Dendrodoris denisoni, Ceratosoma amoena, Tambja verconis dan T. morose. D. denisoni dapat mensintesis cinnamolida dan olepupuane (de novo). Genus Tambja dikenal karena kemampuannya memisahkan alkaloid Tambjamin dari tubuh mangsanya, bryozoan Bugula dentate. Namun dalam penelitian lebih lanjut, ditemukan bahwa tidak semua komponen Tambjamin ada pada bryozoan. Dengan demikian maka kedua spesies dari genus Tambja di atas
9
tidak hanya dapat memisahkan metabolit sekunder dari mangsanya saja, namun secara struktural juga dapat memodifikasi komponen-komponen tersebut dan mengeluarkannya untuk mempertahankan diri dari predator (Grkovic et al. 2005). Nurjanah (2010) dalam penelitiannya dapat membuktikan bahwa uji khasiat serbuk kering Discodoris sp. yang telah dilakukan pada kelinci New Zealand White selama 12 minggu sebanyak 4% dari pakan dapat menurunkan kadar kolesterol total, trigliserida, LDL, dan meningkatkan HDL, sehingga lintah laut ini juga berpotensi selain sebagai antioksidan juga sebagai antikolesterolemia. 2.2
Antioksidan Antioksidan adalah semua zat atau senyawa yang dapat mencegah
terjadinya otooksidasi yang biasanya terjadi pada bahan yang mengandung lemak. Otooksidasi lipida diawali oleh adanya radikal bebas; hidroperoksida dihasilkan dari otooksidasi yang terurai menghasilkan radikal bebas yang merupakan awal dari reaksi-reaksi oksidasi selanjutnya.
Pada awalnya
konsentrasi radikal bebas sangat kecil dan oksidasi berjalan lambat. Secara bertahap, konsentrasi hidroperoksida dan produk-produk oksidasi lainnya meningkat, konsentrasi radikal bebas terbentuk selama peningkatan proses penguraian sehingga kecepatan oksidasi meningkat secara eksponensial (Rahman 2007). Lebih jelas lagi disebutkan bahwa antioksidan adalah senyawa yang dapat menghambat reaksi oksidasi dengan radikal bebas. Antioksidan juga dapat menghambat dekomposisi hidroperoksida lemak. Penggunaan senyawa antioksidan berkembang dengan pesat baik untuk makanan maupun pengobatan. Antioksidan merupakan komponen yang dapat mencegah dan menghambat oksidasi lipida
atau molekul lain melalui
penghambatan awal atau penggandaan reaksi rantai oksidatif (Javanmardi et al. 2003). Sedikitnya ada empat sumber antioksidan yang umum yaitu (1) enzim, yang terdiri atas superoksida dismutase, glutatione peroksidase, dan katalase; (2) molekul-molekul besar, yaitu albumin, ceruloplasmin, ferritin; (3) molekulmolekul kecil, yaitu asam askorbat, glutatione, asam urat, tokoferol, karotenoid, (poli)fenol; dan (4) beberapa hormon, yaitu estrogen, angiotensin, melatonin,
10
dan sebagainya (Prior et al., 2005).
Antioksidan buatan, yaitu butylhydroxy
anisole (BHA), butylhydroxy toluene (BHT) dan butylhydroquinone (BHQ) telah digunakan secara luas untuk memperlambat oksidasi lipida namun dewasa ini antioksidan-antioksidan tersebut ditengarai memberikan dampak buruk bagi kesehatan. Berbagai sistem antioksidan telah berkembang untuk melindungi radikal bebas dan mencegah kerusakan struktur biologi yang penting, seperti membran lipida, protein, dan DNA. Kapasitas antioksidan adalah sebuah konsep yang digunakan untuk menggambarkan kemampuan keseluruhan jaringan untuk menghambat proses yang dimediasi oleh radikal bebas dan mengurangi kerentanan jaringan terhadap kerusakan oksidatif. Setiap orbit yang elektron.
mengelilingi inti atom ditempati oleh sepasang
Jika satu molekul kehilangan satu buah elektron, maka molekul
menjadi sebuah radikal bebas yang bersifat tidak stabil dan oleh karenanya menjadi sangat reaktif. Radikal bebas kemudian bereaksi dengan molekul apa saja yang ada di sekelilingnya, dan mengubah molekul tersebut menjadi sebuah radikal bebas yang kemudian dapat mengawali terjadinya reaksi yang lain. Secara teori, sebuah radikal bebas dapat menyebabkan sejumlah reaksi yang tak berkesudahan. Reaksi ini dapat dihentikan melalui reaksi radikal bebas dengan radikal bebas lain yang membentuk ikatan kovalen molekul atau melalui reaksi antara radikal bebas dengan antioksidan, enzim antioksidan, atau gabungan keduanya. Pertahanan antioksidan yang tidak cukup efisien akan meningkatkan pembentukan radikal bebas dalam tubuh sehingga kemungkinan besar juga meningkatkan kerusakan yang biasa disebut dengan oxidative stress/ kerusakan oksidatif. Jika terjadi kerusakan oksidatif yang ringan, maka jaringan tubuh meresponnya dengan meningkatkan pertahanan antioksidan, namun jika kerusakan oksidatifnya berat maka dapat menyebabkan kerusakan sel dan kematian sel. Fakta yang berkembang menunjukkan bahwa kerusakan oksidatif terlibat dalam perkembangan berbagai macam penyakit, yaitu jantung koroner, kanker, Parkinson dan kelainan neurodegenerative lainnya, radang perut, dan penyakit paru-paru (Mason 2007).
11
2.3
Tren Pangan Fungsional di Indonesia Pengembangan pangan fungsional di Indonesia berawal dari pangan
tradisional yang dianggap dan diyakini bermanfaat bagi peningkatan kesehatan dan terapi penyakit. Pangan tradisional adalah makanan dan minuman yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat tertentu dengan citarasa khas yang diterima oleh masyarakat tersebut. Bagi masyarakat Indonesia umumnya amat diyakini khasiat aneka pangan tradisional, seperti tempe, bawang putih, madu, kunyit, jahe, kencur, temulawak, asam jawa, sambiloto, daun herbal, daun teh, daun beluntas, cincau dan aneka herbal lainnya. Jamu sebagai racikan aneka herbal berkhasiat sangat popular di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa (Ardiansyah 2005). Saat ini pasar pangan fungsional di Indonesia lebih banyak ditujukan kepada anak-anak, pria dan wanita usia muda. Asam lemak esensial, seperti omega 3 dan omega 6 serta kalsium menjadi komponen pangan fungsional utama yang dipromosikan pada produk-produk pangan fungsional yang ditujukan kepada anak-anak sebagai target konsumen.
Produk pangan
fungsional untuk kalangan dewasa lebih difokuskan sebagai produk pangan untuk meningkatkan stamina dengan penambahan komponen, seperti zat besi, kalsium dan komponen bioaktif lain dari ginseng, jahe, dan yohimbi (Hardinsyah 2004). Sejalan dengan perkembangan pangan fungsional di Indonesia maka pemerintah melalui Badan POM telah membuat suatu regulasi pangan fungsional. Definisi pangan fungsional adalah pangan yang secara alamiah maupun telah melalui proses mengandung satu atau lebih senyawa yang berdasarkan kajian-kajian ilmuan dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan serta dikonsumsi sebagaimana layaknya makanan atau minuman, mempunyai karakteristik sensori berupa penampakan, warna, tekstur, dan citarasa yang dapat diterima oleh konsumen, tidak memberikan kontraindikasi dan tidak memberi efek samping pada jumlah penggunaan yang dianjurkan terhadap metabolisme zat gizi lainnya. Meskipun mengandung senyawa yang bermanfaat bagi kesehatan, pangan fungsional tidak
12
berbentuk kapsul, tablet, atau bubuk yang berasal dari senyawa alami (BPOM 2005). Kecenderungan masyarakat untuk mengonsumsi makanan sebagai sumber zat gizi serta untuk menjaga kesehatan semakin meningkat baik di negara maju maupun di negara berkembang termasuk Indonesia. Pada tahun 1997, konsumen Amerika Serikat (AS) membelanjakan US$ 12,70 miliar untuk suplemen pangan dan angka tersebut meningkat 13%/tahun (Aarts 1998 diacu dalam Witwer 1999). Di Indonesia, kecenderungan tersebut telah dimanfaatkan oleh industri farmasi dan makanan untuk mempromosikan produk-produknya melalui pencantuman klaim kesehatan pada label produk maupun iklannya. Berdasarkan data Badan POM, produk suplemen makanan meningkat cukup pesat dalam dasawarsa terakhir, baik yang diproduksi di dalam negeri maupun yang diimpor, seperti terlihat pada Tabel 1. Tabel 1 Perkembangan jumlah produk suplemen makanan di Indonesia tahun 1990-2000 Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 Total
Produksi dalam negeri 8 15 23 75 114 55 86 152 102 90 117 837
Produk impor 28 84 129 190 397 155 410 579 246 72 109 2.399
Total (jenis) 36 99 152 265 511 210 496 731 348 162 226 3.236
Sumber: Badan POM diacu Sampoerno dan Fardiaz (2001)
Pangan fungsional dibedakan dari suplemen makanan atau obat berdasarkan penampakan dan pengaruhnya terhadap kesehatan. Bila fungsi obat terhadap penyakit bersifat kuratif, maka pangan fungsional lebih bersifat pencegahan terhadap penyakit. Berbagai jenis pangan fungsional telah beredar di pasaran, mulai dari produk susu probiotik tradisional (yoghurt, kefir dan
13
coumiss) sampai produk susu rendah lemak siap dikonsumsi yang mengandung serat larut. Demikian juga dengan produk yang mengandung ekstrak serat yang bersifat larut yang berfungsi menurunkan kolesterol dan mencegah obesitas. Jenis minuman, telah tersedia berbagai minuman yang berkhasiat menyehatkan tubuh yang mengandung komponen aktif rempah-rempah, seperti kunyit asam, minuman sari jahe, sari temu lawak, beras kencur, serbat, dan bandrek. Kelompok senyawa yang dianggap mempunyai fungsi fisiologis tertentu di dalam pangan fungsional adalah senyawa-senyawa alami di luar zat gizi dasar (karbohidrat, protein dan lemak) yang terkandung dalam pangan yang bersangkutan, yaitu : (1) serat pangan (dietary fiber), (2) oligosakarida, (3) gula alkohol (polyol), (4) asam lemak tidak jenuh jamak (Polyunsaturated fatty acid = PUFA), (5) peptida dan protein tertentu, (6) glikosida dan isoprenoid, (7) polifenol dan isoflavon, (8) Kolin dan lesitin, (9) bakteri asam laktat, (10) phytosterol, serta (11) vitamin dan mineral tertentu. 2.4
Karakteristik Bahan-Bahan Campuran Formulasi minuman fungsional berbahan dasar lintah laut (Discodoris
sp.) dilakukan dengan menambah bahan-bahan lain, yang selain dapat meningkatkan citarasa juga dapat berfungsi sebagai penambah kesehatan. Bahan-bahan yang dicampur dalam formulasi minuman fungsional ini adalah jahe dan kelopak bunga rosella. 2.4.1
Jahe (Zingiber officinalle Roscoe) Jahe merupakan tanaman rumput-rumputan yang hidup merumpun,
berbatang semu, tegak atau condong dengan ketinggian antara 30-100 cm (Purseglove et al. 1981). Seluruh batangnya tertutup oleh kelopak daun yang melingkari batang, bunganya berbentuk mayang kuning kehijauan dengan bibir bunga berwarna ungu. Bagian jahe yang banyak digunakan manusia adalah rimpangnya. Rimpang jahe merupakan batang yang tumbuh dalam tanah dan dipanen setelah berumur 9-11 bulan.
Waktu pemanenan jahe tergantung pada tujuan
penggunaannya. Jahe yang digunakan sebagai bahan baku permen, manisan dan selai dipanen pada saat muda agar tidak terlalu keras, umumnya berumur
14
3-4 bulan (Farrel 1990). Rimpang yang akan digunakan sebagai bumbu atau untuk ekstraksi minyak atsiri dan oleoresin dipanen setelah tua karena kandungan minyak atsiri dan oleoresinnya lebih tinggi, biasanya berumur 8-10 bulan (Purseglove et al. 1981). Dua komponen utama yang terdapat pada jahe adalah minyak atsiri dan oleoresin yang berada di dalam sel-sel minyak pada jaringan korteks dekat permukaan kulit. Minyak atsiri jahe merupakan komponen pemberi aroma yang khas, bersifat mudah menguap pada suhu kamar tanpa mengalami dekomposisi dan diperoleh melalui penyulingan uap, pengepresan maupun ekstraksi menggunakan pelarut organik (Ketaren 1988). Konsistensi minyak atsiri jahe adalah cairan kental berwarna hijau sampai kuning, berbau harum tetapi tidak memiliki komponen-komponen pembentuk rasa pedas dan hangat khas jahe (Purseglove et al. 1981). Oleoresin merupakan campuran minyak atsiri pembawa aroma dan sejenis damar pembawa rasa (Rismunandar 1988). Oleoresin jahe lebih banyak mengandung komponen non volatil yang mempunyai titik didih lebih tinggi daripada komponen volatil minyak atsiri. Komponen non volatil itu merupakan zat pembentuk rasa pedas jahe dan memiliki sifat organoleptik seperti rempah-rempah aslinya. Oleh karena itu, oleoresin tetap memberikan rasa walaupun sebagian minyak atsirinya telah menguap (Cripps 1973). 2.4.2
Rosella (Hibiscus sabdariffa) Rosella merupakan tumbuhan perdu yang berasal dari India dengan
tinggi mencapai 3 m. Berbatang bulat, tegak, percabangan simpodial, memiliki kambium, dan berwarna merah. Daunnya tunggal berbentuk bulat, seperti telur dengan tipe daun menjari. Ujung daunnya tumpul dan pangkalnya berlekuk. Panjang daun rosella sekitar 6-15 cm dan lebar 5-8 cm. Panjang tangkai daun 4-7 cm dengan penampang bulat dan berwarna hijau (Maryani dan Kristiana 2005). Rosella memiliki bunga tunggal yang tumbuh di ketiak daun. Kelopak berbunga berwarna merah, berbulu, terdiri atas 8 hingga 11 daun kelopak dan pangkalnya berlekatan. Mahkota bunganya berwarna kuning berbentuk corong dan setiap bunga terdiri atas 5 daun mahkota yang panjangnya 3-5 cm.
15
Rosella tumbuh baik pada daerah tropik atau subtropik yang hangat dengan ketinggian 0-900 m di atas permukaan laut.
Curah hujan yang
diperlukan selama pertumbuhan adalah 182 cm/tahun. Pada 4-5 bulan setelah tanam, tanaman ini memerlukan banyak sinar matahari untuk mencegah munculnya bunga prematur yang dapat menyebabkan kualitasnya menjadi buruk. Rosella dapat langsung diolah setelah dipanen atau dikeringkan agar lebih awet dalam penyimpanannya. Rasio pengeringan rosella umumnya 10:1, artinya dari setiap 10 kg kelopak segar akan menghasilkan 1 kg kelopak kering (Maryani dan Kristiana 2005). Tee et al. (2002) dalam penelitiannya menyatakan bahwa jumlah senyawa aktif rosela berupa senyawa fenolik yang dapat berfungsi sebagai senyawa antioksidan mencapai 2,96 mg/g kelopak bunga kering.
Ekstrak
rosella menunjukkan sifat antioksidan yang lebih kuat dibandingkan dengan BHA atau pun α-tocoferol.
Ekstrak sebanyak 200 ppm dapat mengurangi
komponen diene terkonyugasi lebih dari 85%.
Rosella merupakan sumber
antioksidan alami yang dapat melindungi tubuh dari kerusakan radikal bebas dan peroksidasi lemak.
Efek proteksi ini disebabkan oleh asam askorbat,
β-caroten, dan komponen fenolik khususnya antosianin. Menurut Fasoyiro et al. (2005) rosella merupakan sumber penting untuk vitamin, mineral dan komponen bioaktif, seperti asam organik, fitosterol, dan polifenol dan beberapa diantaranya memiliki sifat antioksidan. Warna merah pada kelopak bunga rosella disebabkan oleh pigmen antosianin yang mengandung
delfinindin-3-sambubiosida,
sianidin-3-sambubiosida
dan
delfinidin-3-glukosa. Sementara kandungan terbesar dalam ekstrak air rosella ialah asam sitrat, asam askorbat dan asam malat (Blunden et al. 2005). 2.4.3 Asam sitrat Asam sitrat merupakan intermedier dari asam organik yang secara alami terdapat dalam berbagai jenis buah dan sayuran. Asam sitrat mudah larut dalam air, spritus, dan etanol, tidak berbau, berasa sangat asam, jika dipanaskan akan meleleh kemudian terurai yang selanjutnya terbakar sampai menjadi arang. Secara luas asam sitrat digunakan sebagai asidulan, pengatur pH, pemantap rasa, pengawet, dan bersinergis antioksidan dalam sistim pangan, seperti
16
minuman ringan, jelly, selai, permen, serta sayuran dan buah-buahan yang dikalengkan (Gu’rsoy 2002). Asam sitrat disebut juga dengan asam 2-hidroksi-1,2,3-propanatrikarboksilat, merupakan asam dengan molekul polifungsional, yaitu satu gugus hidroksil dan tiga gugus karboksilat (Rukmana 2003). Pada suhu kamar, asam sitrat berbentuk kristal dan berwarna putih. Serbuk putih kristal dapat berupa anhidrous (bebas air) atau bentuk monohidrat yang mengandung satu molekul air untuk setiap molekul asam sitrat. Bentuk anhidrous asam sitrat mengkristal dalam air panas, sedangkan bentuk monohidrat didapatkan dari kristalisasi asam sitrat dalam air dingin. Bentuk monohidrat tersebut dapat diubah menjadi bentuk anhidrous dengan pemanasan di atas 70 oC. Asam sitrat dapat diekstrak dari sumbernya dengan mengendapkan sitrat dari larutannya dengan penambahan Ca(OH)2 membentuk endapan kalsium sitrat. Sitrat dari endapan dipisahkan lagi dengan kolom yang berisi resin penukar kation (Rohim 1999). Filtrat kemudian dipekatkan dan kadar sitrat ditentukan dengan HPLC (Rohn dan Hess 1999).
Asam sitrat juga dapat
diperoleh melalui fermentasi glukosa dengan penambahan kapang Aspergillus niger (Ali et al. 2002). FDA USA mengklasifikasikan asam sitrat ke dalam GRAS (Generally Recognized as Safe) sebagai zat aditif yang aman digunakan. Pengujian in vivo pada tikus menunjukkan toksisitas akut yang rendah, yaitu dosis kematian sebesar 3000 mg/kg bb. Asam sitrat juga tidak bersifat karsinogenik, namun hanya memberikan pengaruh iritasi pada kulit dan mata, juga dalam pernafasan jika terhirup dalam jumlah yang banyak (FDA 1973). 2.5
Uji Stabilitas Minuman Fungsional Bagi semua produk, untuk memperoleh penerimaan dari konsumen
maka kandungan nutrisi serta kualitasnya harus tetap konsisten mulai dari waktu proses, penyimpanan dan distribusi sampai saatnya produk dikonsumsi. Selama ini industri farmasi dan makanan telah memiliki pedoman penentuan stabilitas produk jaminan label, namun tidak demikian bagi nutraceutical, pangan fungsional maupun food supplement atau makanan tambahan. Maka untuk menjaga atau mempertahankan penerimaan konsumen dan menghindari
17
tuntutan pemerintah dan undang-undang, maka baik nutraceutical, pangan fungsional maupun makanan tambahan ini juga harus dievaluasi stabilitasnya termasuk penentuan daya tahan produk serta jaminan keakuratan seperti yang tercantum pada label. Manfaat fisiologis yang dicapai adalah produk tersebut dikonsumsi dan komponen bioaktif tetap ada pada konsentrasi yang dibutuhkan. Jika kondisi ini tidak tercapai maka nutraceutical maupun pangan fungsional kehilangan khasiatnya (Shi 2007). Produk dapat kehilangan daya tahannya dengan berbagai cara. Pertumbuhan mikroba dalam produk dapat menurunkan sensori penerimaannya melalui kerusakan atau menimbulkan risiko kesehatan. Perubahan fisik seperti pengerasan pada buah kering dan melembutnya sereal merupakan mekanisme lain dari hilangnya daya tahan produk. Akhirnya reaksi kimia dapat terjadi selama pengolahan dan penyimpanan menghasilkan perubahan-perubahan, seperti tidak diterimanya perubahan warna, hilangnya nutrisi, dan perubahan rasa. Selama penyimpanan dan distribusi, produk pangan akan mengalami kehilangan bobot, nilai pangan, mutu, nilai uang, daya tumbuh, dan kepercayaan (Rahayu et al. 2003). Floros dan Gnanasekharan (1993) menyatakan bahwa umur simpan adalah waktu yang diperlukan oleh produk pangan dalam kondisi penyimpanan tertentu untuk dapat mencapai tingkatan degradasi mutu tertentu. Penggunaan indikator mutu dalam menentukan umur simpan produk siap masak atau siap saji bergantung pada kondisi saat percobaan penentuan umur simpan tersebut dilakukan (Kusnandar 2004).
Hasil percobaan penentuan umur simpan
hendaknya dapat memberikan informasi tentang umur simpan pada kondisi ideal, umur simpan pada kondisi tidak ideal, dan umur simpan pada kondisi distribusi dan penyimpanan normal dan penggunaan oleh konsumen. Suhu normal untuk penyimpanan, yaitu suhu yang tidak menyebabkan kerusakan atau penurunan mutu produk.
Suhu ekstrim atau tidak normal akan
mempercepat terjadinya penurunan mutu produk dan sering diidentifikasi sebagai suhu pengujian umur simpan produk (Hariyadi 2004). Data yang diperlukan untuk menentukan umur simpan produk yang dianalisis di laboratorium dapat diperoleh dari analisis atau evaluasi sensori,
18
analisis kimia dan fisik, serta pengamatan kandungan mikroba (Koswara 2004). Penentuan umur simpan dengan menggunakan faktor organoleptik dapat menggunakan parameter sensori (warna, flavor, aroma, rasa, dan tekstur) terhadap sampel dengan skala 0−10, yang mengindikasikan tingkat kesegaran suatu produk (Gelman et al. 1990).