BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Biologi Artemia Artemia merupakan zooplankton dari anggota krustacea. Galebert (1991) dalam Umbas (2002) menyatakan bahwa Artemia digunakan sebagai pakan alami lebih dari 85% species hewan budidaya, Artemia mempunyai nilai gizi tinggi, dapat menetas dengan cepat, ukurannya relatif kecil dan pergerakan lambat serta dapat hidup pada kepadatan tinggi (Tyas 2004). Secara umum, Artemia mempunyai dua tipe reproduksi yaitu ovipar dan ovovivipar (Criel dalam Browne et al. 1991 dalam Umbas 2002). Artemia dewasa hanya akan memproduksi kista ketika keadaan lingkungan memburuk, misalkan kadar garam lebih dari 150 ppt dan kandungan oksigen rendah dan kista akan menetas menjadi larva jika lingkungan membaik atau kembali seperti semula (Mudjiman 1989). Dalam siklus hidupnya Artemia melalui beberapa fase, mulai dari perkembangan larva yang biasa disebut instar sampai pada fase dewasa. Menurut Criel dalam Browne et al. (1991) dalam Umbas (2002), setelah fase embriogenesis terdapat 17 fase perubahan pada larva Artemia.
Gambar 1.Artemia sp. (Sumber : www.naturamediterraneo.com)
7
8
2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi Artemia Kingdom
: Animalia
Phylum
: Arthropoda
Subphylum
: Crustacea
Class
: Branchiopoda
Order
: Anostraca
Family
: Artemiidae
Genus
: Artemia
Species
: Artemia sp. (Linnaeus, 1758)
Telur Artemia atau kista berbentuk bulat berlekuk dalam keadaan kering dan bulat penuh dalam keadaan basah. Warnanya coklat yang diselubungi oleh cangkang yang tebal dan kuat (Cholik dan daulay 1985). Cangkang Artemia berguna untuk melindungi embrio terhadap pengaruh kekeringan, benturan keras, sinar ultraviolet dan mempermudah pengapungan (Mudjiman 1989). Cangkang kista Artemia dibagi dalam dua bagian yaitu korion (bagian luar) dan kutikula embrionik (bagian dalam). Diantara kedua lapisan tersebut terdapat lapisan ketiga yang dinamakan selaput kutikuler luar. Korion dibagi lagi dalam dua bagian yaitu lapisan yang paling luar yang disebut lapisan peripheral (terdiri dari selaput luar dan selaput kortikal) dan lapisan alveolar yang berada di bawahnya. Kutikula embrionik dibagi menjadi dua bagian yaitu lapisan fibriosa dibagian atas dan selaput kutikuler dalam di bawahnya. Selaput ini merupakan selaput penetasan yang membungkus embrio. Diameter telur Artemia berkisar 200 – 300 μg, bobot kering berkisar 3.65 μg, yang terdiri dari 2.9 μg embrio dan 0.75 μg cangkang (Mudjiman 1983). Kista Artemia yang ditetaskan pada salinitas 15-35 ppt akan menetas dalam waktu 24 - 36 jam, larva Artemia yang baru menetas disebut nauplii. Nauplii dalam pertumbuhannya mengalami 15 kali perubahan bentuk, masingmasing perubahan merupakan satu tingkatan yang disebut instar (Pitoyo 2004). Fase larva pertama (Instar I) berukuran 400-500 mikron dan berwarna coklat-
9
oranye yang menandakan bahwa pada fase ini nauplii masih menggunakan yolk salk sebagai cadangan makanannya (BBAP 1996). Setelah 8 jam instar I akan berganti kulit dan menjadi Instar II, pada fase ini nauplii sudah membutuhkan asupan nutrisi dari luar karena sistem pencernaannya sudah bekerja dengan baik. Partikel makanan yang diambil berukuran kecil antara 1-40 μ disaring oleh antena ke-2 dan kemudian dimasukkan kedalam saluran pencernaannya (ingestion). Larva akan terus berkembang dan berubah bentuk melalui 15 kali ganti kulit (moulting) sampai ke fase Artemia dewasa (BBAP 1996). 2.1.2 Ekologi Artemia Artemia secara umum tumbuh dengan baik pada kisaran suhu antara 2530oC, berbeda dengan kista Artemia kering yang dapat tahan pada suhu -273 hingga 100oC (Mudjiman 1989). Artemia dapat ditemui di danau dengan kadar garam tinggi yang biasa disebut dengan brain shrimp. Kultur biomassa Artemia yang baik pada kadar garam antara 30-50 ppt. Untuk Artemia yang mampu menghasilkan kista membutuhkan kadar garam diatas 100 ppt (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995). Kadar oksigen terlarut yang dibutuhkan agar Artemia dapat tumbuh dengan baik ialah sekitar 3 ppm. Media untuk penetasan kista, diperlukan air yang pH-nya lebih dari 8, jika pH kurang dari 8 maka efisiensi penetasan akan menurun atau waktu penetasan menjadi lebih panjang (Mudjiman 1989). 2.1.3 Reproduksi Artemia Chumaidi et al., (1990) dalam Tyas (2004) menyatakan bahwa perkembangbiakan Artemia ada dua cara, yakni partenogenesis dan biseksual. Pada Artemia yang termasuk jenis parthenogenesis populasinya terdiri dari betina semua yang dapat membentuk telur dan embrio berkembang dari telur yang tidak dibuahi, sedangkan pada Artemia jenis biseksual, populasinya terdiri dari jantan dan betina yang berkembang melalui perkawinan dan embrio berkembang dari telur yang dibuahi.
10
. Gambar 2. siklus hidup Artemia (Sumber : www.perikanan-1992.blogspot.com) 2.1.4 Cara Makan dan Makanan Artemia Artemia adalah binatang yang sederhana cara makannya, yaitu dengan menyaring makannya atau disebut non-selective filter feeder, maka Artemia akan terus menerus memakan apa saja yang ukurannya lebih kecil dari 50 µm (Mudjiman 1989). Mudjiman (1989), menyatakan bahwa makanan Artemia di alam adalah detritus bahan organik dan ganggang renik (ganggang hijau, ganggang biru, cendawan atau ragi laut). Beberapa jenis ganggang hijau yang sering dijadikan makanan oleh Artemia antara lain Euglena, Dunaliella salina dan Cladophora sp. Seluruh partikel suspensi yang mungkin dapat dimakan oleh artemia secara terus menerus akan diambil dari media kultur dengan gerakan terakopoda yang mempunyai fungsi ganda sebagai respirasi dan pengumpul makanan sehingga tidak ada alternative lain bagi artemia untuk terus menerus menyaring makanan (Widyarti 1986). 2.1.5 Penetasan Kista Artemia Sutaman (1993) menyatakan bahwa penetasan kista Artemia dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu penetasan langsung (non dekapsulasi) dan penetasan dengan cara dekapsulasi. Dekapsulasi merupakan suatu proses untuk menghilangkan lapisan terluar dari kista Artemia yang keras (korion). Cara
11
dekapsulasi dilakukan dengan mengupas bagian luar kista menggunakan larutan hipoklorit tanpa mempengaruhi kelangsungan hidup embrio. Cara dekapsulasi merupakan cara yang tidak umum digunakan pada benih ikan maupun udang, namun untuk meningkatkan daya tetas dan menghilangkan penyakit yang dibawa oleh kista Artemia cara dekapsulasi lebih baik digunakan (Pramudjo dan Sofiati 2004). Subaidah dan Mulyadi (2004) menyatakan bahwa langkah-langkah penetasan dengan cara dekapsulasi adalah sebagai berikut: 1.
Kista Artemia dihidrasi dengan menggunakan air tawar selama 1-2 jam
2.
Kista disaring menggunakan plankton net 120 µm dan dicuci bersih
3.
Kista dicampur dengan larutan kaporit atau klorin dengan konsentrasi 1,5 ml per 1 gram kista, kemudian diaduk hingga warna menjadi merah bata
4.
Kista segera disaring menggunakan plankton net 120 mikron dan dibilas menggunakan air tawar sampai bau klorin hilang, kista siap untuk ditetaskan
5.
Kista akan menetas setelah 18-24 jam. Pemanenan dilakukan dengan cara mematikan aerasi untuk memisahkan kista yang tidak menetas dengan nauplii Artemia. Menurut Pramudjo dan Sofiati, (2004) kista hasil dekapsulasi dapat segera
digunakan (ditetaskan) atau disimpan dalam suhu 0oC - 4oC dan digunakan sesuai kebutuhan. Dalam kaitannya dengan proses penetasan Chumaidi et al (1990) dalam Tyas (2004) menyatakan bahwa kista setelah dimasukan ke dalam air laut (5-70 ppt) akan mengalami hidrasi berbentuk bulat dan di dalamnya terjadi metabolisme embrio yang aktif, sekitar 24 jam kemudian cangkang kista pecah dan muncul embrio yang masih dibungkus dengan selaput. Wadah penetasan Artemia dapat dilakukan dengan wadah kaca, polyetilen (ember plastik) atau fiber glass. Ukuran wadah dapat disesuaikan dengan kebutuhan, mulai dari volume 1 liter sampai dengan volume 1 ton bahkan 40 ton (Sorgeloos 1996 dalam Hasyim 2002). 2.2 Enrichment (Pengkayaan) Pakan alami sering digunakan dalam meningkatkan hasil produksi dari suatu kegiatan budidaya, namun umumnya kandungan nutrient dari pakan alami
12
masih kurang memenuhi kebutuhan nutrisi dari spesies yang dibudidayakan, sehingga perlu ada upaya untuk penambahan nutrient dari pakan alami yang digunakan yaitu dengan pengkayaan. Hal ini bertujuan agar komposisi nutrient dari pakan alami tersebut menjadi sama atau mendekati kebutuhan nutrisi dari spesies budidaya (Tahya 2006). Teknik pengkayaan diklasifikasikan menjadi 4 golongan, yaitu : teknik British, menggunakan alga uniseluler, teknik Jepang, menggunakan ω-ragi atau emulsi dengan ditambahkan ragi roti (cara langsung dan tidak langsung), teknik Perancis
menggunakan
kompos
dan
teknik
Belgia
menggunakan
microparticulated (Leger et al. 1987 dalam Umbas 2002). Perkembangan teknik pengkayaan ini didukung oleh beberapa faktor seperti kondisi penetasan, waktu pengkayaan (waktu antara penetasan dan penambahan bahan pengkaya), lama pengkayaan serta suhu. Sorgeloos et al. (2001) dalam Hasyim (2002) menyatakan bahwa sekarang ini emulsi yang digunakan untuk pengkayaan Artemia banyak macamnya dan umumnya mengandung asam lemak. Lemak adalah komponen berenergi tinggi pada penyediaan makanan ikan. Stikney (1979) dalam Umbas (2002) menyatakan bahwa protein diperlukan untuk pertumbuhan, tetapi energi untuk kelangsungan metabolisme berasal dari lemak dan karbohidrat. Protein ialah suatu senyawa organik yang berbobot molekul tinggi berkisar antara beberapa ribu sampai jutaan. Tersusun dari atom C, H, O, dan N serta unsur lainnya seperti P dan S yang membentuk unit-unit asam amino. Vitamin selalu dihubungkan dengan faktor yang essensial untuk hidup, walaupun dibutuhkan dalam jumlah yang sedikit namun kekurangannya menyebabkan penyakit defisiensi. 2.3 Susu Bubuk Afkir Susu bubuk afkir merupakan sisa susu bubuk yang menempel pada alat produksi atau juga bisa susu bubuk yang sudah kadaluarsa sehingga kadar nutrientya tidak jauh berbeda dengan susu yang tidak diafkir (Irianto 2011). Kelebihan memilih susu bubuk afkir sebagai bahan pengkaya nauplii Artemia yaitu memiliki kandungan gizi yang sangat komplit dan kompleks, mudah
13
didapatkan, harga relatif terjangkau, tidak bersaing dengan kebutuhan manusia dan komposisi gizinya memadai. Komponen-komponen susu afkir adalah zat nutrisi makro dan zat nutrisi mikro. Zat nutrisi makro meliputi protein, lemak dan laktosa. Kandungan zat nutrisi makro rata-rata susu afkir per 100 gram adalah protein 25,8 %, lemak 0,9 %, laktosa 4,6 %. Kadar zat nutrisi mikro pada susu bubuk afkir sangat komplit, seperti vitamin, mineral dan asam amino. Vitamin yang terdapat di dalam lemak susu yaitu vitamin A, D, E, K, sedangkan vitamin yang larut di dalam susu yaitu vitamin B kompleks, vitamin C, vitamin A dan vitamin D (Widodo 2002). Vitamin yang larut di dalam susu yang terpenting ialah vitamin B1, B2, asam nikotinat, dan asam pantotenat (vitamin B5). Mineral yang terkandung dalam susu bubuk adalah kalsium, magnesium, fosfor (Poedjiadi 2006). 2.4 Vitamin Vitamin adalah zat organik yang diperlukan tubuh biota budidaya dalam jumlah sedikit, tetapi sangat penting untuk mempertahankan pertumbuhan pemeliharaan kondisi tubuh. Pada umumnya vitamin tidak dapat disintesis dalam biota sehingga harus tersedia dalam pakan. Ditinjau dari sifat-sifat fisiknya, vitamin dibagi menjadi dua golongan, yaitu vitamin yang larut dalam air dan vitamin yang larut dalam lemak. Vitamin yang larut dalam air antara lain tiamin (B1), riboflafin (B2), asam pantotenat (B6), biotin dan kobalamin (B12), vitamin C dan lain-lain, sedangkan vitamin yang larut dalam lemak antara lain retinola (vitamin A), kolekalsiferol atau elgoklasiferol (vitamin D), alfa tokoferol (vitamin E) dan menadion (vitamin K). Tabel 1. Gejala kekurangan vitamin pada ikan mas. Vitamin
Gejala Selera makan rendah, pertumbuhan rendah,
Tiamin (B1)
terhentinya pertumbuhan otot dan hilangnya keseimbangan.
Riboflafin (B2)
Pendarahan pada mata, tidak terkoordinasi, penyempitan dinding perut, warna menjadi
14
gelap, selera makan rendah, pertumbuhan terhambat Tarikan napas cepat dan megap-megap, Piridoksin
kelenturan dari opercula, edema dari selaput perut Insang “clubbed”, lemah, teknik nekrosis,
Asam Pantotenat (B6)
terhemtinya pertumbuhan sel, insang ‘eksudat’, lamban
Inositol Biotin Asam folik
Perut gembung, kulit luka,waktu pengosongan lambung meningkat Luka dalam usus besar, kejang, eritrosit terpecah-pecah, pertumbuhan terhambat Kelesuan, kerapuhan sirip kaudal, warna menjai gelap Hilangnya nafsu makan, kelemahan, otot
Asam nikotinat
kejang ketika istirahat, pertumbuhan terhambat Pertumbuhan terhambat (rendah),
Kolin
penguhbahan makanan terhambat, pendarahan ginjal dan usus Nafsu makan rendah, haemoglobin rendah,
Vitamin B12
eritrosit terpecah-pecah, makrositik anemia.
Asam askorbat Asam p-benzoat
Skoliosis, perubahan tuang rawan, pendarahan kulit, hati ginjal dan usus Ketidaknormalan dalam pertumbuhan, nafsu makan, kematian.
Sumber : Halver, 1980
Fungsi vitamin secara umum adalah (a) mengatur berbagai proses metabolisme; (b) mempertahankan fungsi berbagai jaringan tubuh; (c) mempengaruhi pertumbuhan dan pembentukan sel-sel baru; (d) membantu pembuatan zat-zat tertentu dalam tubuh. Sedangkan fungsi spesifik dari beberapa vitamin antara lain adalah vitamin, B1, B6, B12, untuk menunjang pertumbuhan
15
dan pertukaran zat-zat makanan (karbohidrat, lemak, protein) dari sel dalam tubuh serta untuk proses reproduksi. Vitamin A berfungsi untuk menunjang kesehatanmata, sedangkan vitamin D dibutuhkan untuk proses metabolisme dari mineral (kalium dan fosfor). Vitamin E berpengaruh terhadap pergerakan biota maupun proses reproduksi, sedangkan vitamin K berpengaruh dalam proses pembekuan darah, viamin C berpengaruh terhadap kemampuan tubuh dalam mengatasi stress dan pertumbuhan ikan. Kekurangan vitamin tidak langsung menyebabkan kematian pada ikan, tetapi bersifat kronis. Reaksi-reaksi enzim spesifik biasanya memerlukan koenzim vitamin yang spesifik pula, dan kekurangan vitamin secara umum akan menyebabkan penurunan aktifitas enzim. Bila kekurangan vitamin tersebut begitu serius maka aktifitas enzim akan menurun sampai pada titik dimana fungsi sel terganggu dan ikan kehilangan nafsu makan yang pada akhirnya terjadi kerusakan sel dan kematian (Brin 1964). 2.5 Mineral Mineral merupakan bahan anorganik yang dibutuhkan oleh ikan untuk pembentukan jaringan tubuh, proses metabolisme serta mempertahankan keseimbangan osmotik dan untuk proses pertumbuhan normal ikan maupun udang. Ikan dan udang sebagai organisme air yang memiliki kemampuan dalam menyerap beberapa unsur anorganik, tidak hanya dari makanan tetapi juga dari lingkungan. Jumlah mineral yang dibutuhkan oleh ikan sangat sedikit tetapi mempunyai fungsi yang sangat penting. Dalam penyusunan pakan buatan mineral mix biasanya ditambahkan berkisar antara 2–5% dari total jumlah baha baku dan bervariasi bergantung pada jenis ikan yang akan mengkonsumsinya (Gusrina 2008). Menurut fungsinya mineral dibagi menjadi 3 kelompok besar, yaitu fungsi structural, pernapasan, dan metabolisme umum. Fungsi struktural adalah fungsi mineral untuk pembentukan struktur tubuh seperti tulang, gigi dan sisik ikan. Mineral yang banyak berperan dalam fungsi ini adalah kalsium (Ca), fosfor (P), fluor (F) dan magnesium (Mg). Yang membantu pernapasan adalah Fe, Cu dan
16
Co, sedangkan mineral yang membantu proses metabolisme adalah semua mineral essensial, baik makro maupun mikro. Umumnya kekurangan mineral akan berepngaruh pada pertumbuhan ikan, sedangkan penambahan mineral yang berlebih akan berakibat negatif bagi pertumbuhan ikan budidaya karena akan berakibat terhambatnya pertumbuhan. 2.6 Klasifikasi dan Morfologi Ikan Nilem (Osteochilus hasselti) Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Subphylum
: Craniata
Class
: Pisces
Order
: Ostariophysi
Family
: Cyprinidae
Genus
: Osteochilis
Species
: Osteochilus hasselti (Saanin, 1968)
Menurut Hardjamulia (1979) ciri-ciri ikan Nilem adalah badan memanjang pipih ke samping, panjang 2,5 sampai 3 kali tinggi badan. Mulut dapat disembulkan dengan bibir berkerut-kerut dan memiliki dua pasang sungut. Ikan Nilem merupakan ikan budidaya yang berasal dari sungai dan hidup baik didaerah dengan ketinggian 150-800 meter diatas permukaan laut (Sumantadinata 1981). Diperairan umum ikan Nilem memijah pada akhir musim hujan. Kematangan kelamin umumnya dicapai pada umur lebih dari satu tahun dengan bobot 100-150 gram. Ikan betina mencapai kematangan gonad lebih lambat daripada ikan jantan. Ukuran betina biasanya lebih besar daripada tubuh ikan jantan (Hardjamulia 1979). Menurut Harris (1974), perkembangan embrio ikan Nilem secara keseluruhan hampir sama dengan ikan Mas. Perbedaan terletak pada ukuran dan kecepatan prosesnya. Proses perkembangan embrio ikan Nilem lebih cepat daripada perkembangan embrio ikan Mas. Telur ikan Nilem menetas 31-33 jam setelah pembuahan pada suhu 24,7 oC dan kuning telur diserap habis setelah 96 jam. Masa kritis embrio ikan Nilem terjadi 6-9 dan 12 jam setelah pembuahan
17
(pada fase gastrulasi dan proses pembentukan mata dan otak) serta pada larva berumur 60-96 jam (fase penerapan seluruh kuning telur). Padat tebar larva ikan Nilem yang menghasilkan pertumbuhan yang baik, yaitu sebanyak 10 ekor/L untuk kolam indoor (BRBAT 2008). Larva memiliki panjang 0,5-0,6 mm dan bobot antara 0,18-20 mg, biasanya larva senang menempel pada substrat dan bergerak vertikal. Setelah habis kuning telur, larva membutuhkan makanan dari luar untuk kehidupannya seperti zooplankton, rotifer, nauplii, moina, dan daphnia. Benih ikan Nilem memakan fitoplankton dan zooplankton. Kelompok plankton
yangmenjadi
makanannya
diantaranya
berasal
dari
kelompok
Bacillariophyceae, Cyanophyceae, Desmiadiaceae, Chlorophyceae, Flagellala, sertaRotifera. (Djiwakusumah 1980). 2.7 Kelangsungan Hidup Ikan Kelangsungan hidup adalah persentase ikan yang hidup dari jumlah seluruh ikan yang dipelihara dalam suatu wadah pada awal periode sampai akhir periode (Effendie 1978). Ada dua faktor yang dapat mempengaruhi kelangsungan hidup dari ikan yaitu faktor dari dalam diantaranya umur ikan, ukuran, dan kemampuan ikan beradaptasi dengan lingkungan, sedangkan faktor dari luar meliputi kondisi fisika-kimia dan biologi, ketersediaan makanan, kompetisi antar ikan dalam mendapatkan makanan apabila jumlah makanan dalam media pemeliharaan kurang mencukupi, serta proses penanganan ikan yang kurang baik (Royce 1972). Pakan yang digunakan bisa berupa pakan alami maupun pakan buatan, kandungan nutrisi dari pakan tersebut akan mempengaruhi kelangsungan hidup dan pertumbuhan dari ikan yang juga secara langsung akan mempengaruhi tingkat produksi dari ikan yang dibudidaya. Ikan akan mengalami kematian apabila dalam waktu singkat tidak berhasil mendapatkan makanan, karena akan kehabisan energi untuk
melakukan aktifitas kehidupannya
termasuk proses
metabolisme.
Kelangsungan hidup pada stadia larva sangat ditentukan oleh tersedianya makanan, bukaan mulut ikan yang kecil mengharuskan pakan yang diberikan
18
merupakan pakan buatan maupun alami yang berukuran kecil dan mengandung nutrisi sesuai kebutuhan dari larva ikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Herpher (1978), bahwa ikan-ikan pada stadia larva akan lebih rentan terhadap parasit, penyakit dan penanganan yang kurang hati-hati. Selain itu pergerakan larva untuk mendapatkan makanan dan ketersediaan pakan alami yang baik merupakan faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup. Tabel 2. Kebutuhan nutrisi ikan air tawar Vitamin* Vit A (retinol) Vit D3 (kolikalsiferol) Vit E (tokoferol) Vit K (K3 menadion) Vit B1 (tiamin) Vit B2 (riboflafin) Asam pantotenat Asam folat Vit B12 Vit C Kolin Klorida Inositol
mcg/g 120-600 2.5 90-110 10 1.2-1.5 4.5 9 1.5 0.6 0.45 133.5
Mineral** Kalsium Fosfor Magnesium Besi Seng Mangan Tembaga Yodium Selenium Natrium Kalium
mcg/g 5000 7000 500 50 – 100 30 – 100 20 – 50 1000 – 4000 1000 – 3000 1000 – 3000
***Protein ****Lemak ****Karbohidrat
Energi
43% - 47% 6% - 8% 20%
Keterangan : *Kordi (2010), **Chow dan Schell (1980), ***NCR (1977), ****Litbang Deptan (1989)
19
2.8 Kualitas air Standar kualitas air merupakan acuan kelayakan suatu perairan dalam menunjang kehidupan dan pertumbuhan organisme akuatik yang nilainya dinyatakan dalam kisaran tertentu (Boyd 1990). Standar kualitas air untuk setiap organisme atau setiap stadia organisme berbeda, standar kualitas air untuk penetasan dan pemeliharaan Artemia dan standar kualitas air untuk ikan Nilem (Tabel 3). Tabel 3. Standar kualitas air untuk penetasan dan pemeliharaan Artemia dan Ikan Nilem Standar Parameter
Alat
Artemia sp. (Penetasan
Ikan Nilem
&Pemeliharaan) DO
DO meter
Salinitas
Salinometer
Suhu Kandungan Amoniak pH
Termometer
NH3 Test Kit
pH meter
3 ppm
5-6 ppm
(Panggabean, 1984) (Willoughby, 1999) 30 ppt (Mudjiman, 2004)
-
25-30oC
18o-28oC
(Mudjiman, 1989)
(Susanto, 2001)
< 80 ppm (Kordi, 2010)
< 0,03 ppm (PBIAT Muntilan, 2007)
>8
6-7
(Mudjiman, 1989)
(Susanto, 2001)