BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Ikan Jangilus (Istiophorus sp.) Ikan Jangilus termasuk ke dalam golongan ikan-ikan besar perenang cepat
yang mengarungi samudera-samudera besar dunia. Daerah penyebarannya sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti. Banyak ahli ikhtiologi menganggap hanya ada satu spesies yang hidup di perairan hangat dan selebihnya tersebar di Atlantik, Pasifik dan perairan India (Tinker 1991 dalam Haryati 2001). Daerah penyebaran ikan Jangilus di Indonesia meliputi : Selat Bali, Pelabuhan Ratu, Laut Florea, Selat Makasar, Laut Sulawesi, Laut Maluku, Laut Sawu, dan perairan barat Sumatera (Dirjen Perikanan 1990). Menurut Saanin (1984) klasifikasi ikan Jangilus adalah sebagai berikut : Filum Class Ordo Famili Genus Spesies
: Chordata : Pisces : Percomorphi : Istiophoridae : Istiophorus : Istiophorus platypterus
Gambar 1. Ikan Jangilus (Istiophorus sp.) Sumber : anekailmu48.blogspot.com
Ikan jangilus mempunyai tubuh yang lebih ramping dari ikan marlin. Sirip duburnya terbagi menjadi dua bagian, sirip pertama lebih besar dari sirip kedua yang mana sirip kedua ini sama besar dengan sirip punggung kedua dan letaknya 5
6
tepat dibawahnya. Sirip punggung tinggi dan terlipat ke dalam suatu celah punggungnya. Sirip dada melengkung dan panjang, sirip perut tereduksi menjadi dua bagian panjang, memiliki dua atau tiga jari-jari lunak yang terletak pada bagian bawah perut. Pada bagian ekor terdapat sepasang sirip kecil dan pangkal ekor terdapat sirip yang besar lancip dan bercagak. Rata-rata berat tubuhnya berkisar antara 15-25 kg (Anhar 1996). Ikan Jangilus memiliki kandungan gizi yang cukup lengkap. Secara keseluruhan komposisi ikan Jangilus disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Kimia Ikan Jangilus (Istiophorus sp.) per 100 gram Daging Ikan. Komposisi Kandungan Gizi Energi makanan Kadar air Protein Lemak Abu Kalsium Fosfor Fe Niasin Asam askorbat
84 kal 47,1 % 15,2 g 2,1 g 0,6 g 6 mg 124 mg 0.5 mg 2,9 mg 1 mg
Sumber : Leung et al. (1972) dalam Haryati (2001)
Daging Jangilus memiliki kandungan gizi yang cukup lengkap dan harganya relatif murah sehingga dimanfaatkan oleh para pengusaha produksi pengolahan perikanan sebagai bahan baku utama pada produk baso dan abon terutama di daerah Pelabuhan Ratu, Sukabumi. Industri pengolahan ikan Jangilus pada baso dan abon hanya menggunakan daging, tetapi tulang dari ikan Jangilus tersebut tidak dimanfaatkan dan menjadi limbah yang dapat memberikan dampak kurang baik bagi lingkungan sekitar. Limbah-limbah hasil perikanan berupa tulang dapat diolah terlebih dahulu sebelum dibuang sehingga limbah tulang tersebut dapat dimanfaatkan dan menjadi produk yang memiliki nilai lebih tinggi (Andriani 2012).
7
2.2
Limbah Hasil Perikanan Limbah pada dasarnya adalah suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari
suatu sumber aktivitas manusia, maupun proses alam dan belum mempunyai nilai ekonomis, bahkan dapat mempunyai nilai ekonomi negatif karena penanganan untuk membuang atau membersihkan memerlukan biaya yang cukup besar disamping dapat mencemari lingkungan. Penanganan limbah yang kurang baik merupakan masalah didalam usaha suatu industri termasuk industri perikanan yang menghasilkan limbah pada proses penangkapan, penanganan, pengangkutan, distribusi, dan pemasaran ikan. Limbah perikanan dapat berupa ikan yang terbuang, tercecer, dan sisa olahan yang menghasilkan cairan dari pemotongan, pencucian, dan pengolahan produk (Jenie dan Rahayu 1993). Tulang ikan yang memiliki proporsi 10% dari total susunan tubuh ikan merupakan salah satu limbah pengolahan ikan yang memiliki kadar kalsium dalam jumlah tinggi. Tulang ikan banyak mengandung kalsium dalam bentuk kalsium fosfat sebanyak 14% dari total susunan tulang (Subasinghe 1996). Tulang Jangilus merupakan limbah dari industri pengolahan perikanan yang belum banyak dimanfaatkan. Gambar tulang Jangilus disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Limbah Tulang Ikan Jangilus 2.3
Tepung Tulang Ikan Tulang dimanfaatkan dalam bentuk tepung tulang, untuk keperluan
industri, tulang ikan dibuat jadi lem, perhiasan dan dekorasi serta penyamakan kulit (Susilowati 2005). Tulang ikan merupakan hasil samping limbah perikanan
8
yang dibuang dan tidak dimanfaatkan lagi (Moeljanto 1992). Tulang ikan dapat dijadikan sumber kalsium sebagai salah satu upaya fortifikasi zat gizi dalam makanan. Unsur utama dari tulang ikan adalah kalsium, fosfor dan karbonat, sedangkan yang terdapat dalam jumlah kecil yaitu magnesium, sodium, klorida, hidrosida dan sulfat (Morrison 1958 dalam Baskoro 2008). Tepung tulang ikan dapat digunakan sebagai sumber kalsium dan fosfor karena mengandung kalsium 24% - 30% dan fosfor 12% - 15%. Tepung tulang kaya akan kalsium dan fosfor ini tentunya tepung tulang yang sudah diolah, terutama harus bebas dari hama yang berarti sudah disterilisasikan (Rasyaf 1990 dalam Kaya 2008). Menurut Anggorodi (1985), tepung tulang merupakan sumber kalsium dan fosfor yang baik. Tepung tulang dapat diperoleh melalui tiga proses, yaitu : Pengukusan: tulang dikukus kemudian dikeringkan dan digiling untuk menghasilkan tepung tulang. Pemasakan dengan uap di bawah tekanan: tulang dimasak dengan tekanan kemudian diarangkan dalam bejana tertutup sehingga didapat tulang dalam bentuk remah dan dapat digiling menjadi tepung. Abu tulang yang diperoleh dari pembakaran tulang. Tepung tulang yang diperoleh dengan cara pemasakan dengan tekanan dan pengeringan atau disebut steam bone meal rata-rata mengandung 30,14% kalsium dan 14,53% fosfor. Tepung tulang yang diperoleh dengan pengukusan akan kehilangan protein, selain itu kandungan fosfor serta kalsiumnya rendah. Komposisi tepung tulang ikan tuna terdiri dari 26% protein, 5% lemak, 22,96% kalsium, dan 10,25% fosfor (Morrison 1958 dalam Maulida 2005). Berdasarkan uji pendahuluan tepung tulang Jangilus memiliki kandungan kalsium sebanyak 18,56%, kadar air 9,31% dan kadar abu 61,56%, dengan nilai tersebut tepung tulang Jangilus dapat dijadikan sebagai sumber kalsium untuk keperluan pengayaan sebagai salah satu upaya fortifikasi zat gizi dalam makanan atau produk olahan lainnya seperti pada biskuit. Hasil uji proksimat tepung tulang Jangilus disajikan pada lampiran 2.
9
2.4
Kalsium Kebutuhan kalsium dalam tubuh manusia berbeda menurut usia dan jenis
kelamin. Kebutuhan kalsium tubuh manusia Indonesia per hari yang ditetapkan oleh Widyakarya pangan dan Gizi (2004) adalah sebagai berikut : Tabel 2. Kebutuhan Kalsium dalam Tubuh Manusia Kelompok umur (mg)/hari Kebutuhan Ca (mg/hari) Bayi (bulan) 0-6 200 7-11 400 Anak (tahun) 1-3 4-6 7-9
500 500 600
Pria (tahun) 10-12 13-15 16-18 19-29 30-49 50-64 65+
1000 1000 1000 800 800 800 800
Wanita (tahun) 10-12 13-15 16-18 19-29 30-49 50-64 65+
1000 1000 1000 800 800 800 800
Hamil Trimester 1 Trimester 2 Trimester 3
1000 +150 +150 +150
Menyusui 6 bulan pertama 6 bulan kedua
1000 +150 +150
Sumber : Widyakarya Pangan dan Gizi (2004)
10
Mineral merupakan bagian dari unsur pembentuk tubuh yang memegang peranan penting dalam pemeliharaan fungsi tubuh, baik pada tingkat sel, jaringan, organ maupun fungsi tubuh secara keseluruhan. Mineral digolongkan kedalam dua bagian yaitu mineral makro dan mikro. Mineral makro adalah mineral yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah lebih dari 100 mg sehari, sedangkan mineral mikro dibutuhkan kurang dari 100 mg sehari (Almatsier 2005). Kalsium termasuk kedalam mineral makro karena dibutuhkan tubuh dalam jumlah lebih dari 100 mg/hari. Mineral makro merupakan salah satu unsur gizi yang dapat difortifikasi ke dalam bahan pangan. Tubuh manusia mengandung banyak kalsium daripada mineral lain. Diperkirakan 2% dari berat badan orang dewasa atau sekitar 1,0-1,4 kg terdiri dari kalsium (Winarno 1997). Dari jumlah ini 99% berada dalam jaringan keras yaitu tulang dan gigi terutama dalam bentuk hidroksiapatit. Kalsium tulang berada dalam keadaan seimbang dengan kalsium plasma pada konsentrasi kurang lebih 2,25-2,60 mmol/l atau setara dengan 9 10,4 mg/100 ml (Almatsier 2005). Sumber kalsium yang biasa digunakan dapat dikelompokan menjadi tiga kelompok (Kaup 1991 dalam Kaya 2008) yaitu : 1. Tepung tulang, mono-kalsium dan di-kalsium fosfat yang ketersediaannya paling tinggi di antara sumber kalsium lainnya. 2. Ground limestone (batuan kapur yang biasanya mengandung magnesium dan bersifat agak asam), deflourined fosfat (garam kalsium fosfat yang ketersediaannya sedang. 3. Hay yaitu kalsium yang berkaitan dengan mineral lain yang sukar larut. Sumber ini memiliki ketersediaan kalsium yang rendah. Kekurangan kalsium pada masa pertumbuhan dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan. Tulang kurang kuat, mudah bengkok dan rapuh. Semua orang dewasa, terutama sesudah usia 50 tahun, kehilangan kalsium dari tulangnya. Tulang menjadi rapuh dan mudah patah. Hal ini dinamakan osteoporosis yang dapat dipercepat oleh keadaan stres sehari-hari. Osteoporosis lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria dan lebih banyak pada orang kulit putih daripada kulit berwarna lainya. Disamping itu, osteoporosis lebih banyak terjadi pada perokok
11
dan peminum
alkohol.
Kekurangan
kalsium
dapat
pula
menyebabkan
osteomalasiapada orang dewasa dan biasanya terjadi karena kekurangan vitamin D dan ketidakseimbangan konsumsi kalsium terhadap fosfor konsumsi kalsium hendaknya tidak melebihi 2500 mg sehari. Kelebihan kalsium dapat menimbulkan batu ginjal atau gangguan ginjal, disamping itu dapat menyebabkan konstipasi susah buang air besar (Almatsier 2005). 2.5
Biskuit Kata biskuit bersinonim dengan cookies tapi pembentukannya meliputi
banyak arti baik di Amerika maupun Inggris. Pengelompokan yang telah dibuat berdasarkan cara pembuatanya yang berada tergantung dari tekstur dan kekerasannya, perubahan bentuk saat dipanggang, ekstensibilitasnya (adonan) dan cara pengadonan yang berbeda untuk tiap formulasi biskuit (Manley 1983 dalam Hiswaty 2002). Jenis-jenis biskuit dan perbedaan teksturnya disajikan pada gambar 3.
(1) Biskuit
(3) Cookies
(2) Crackers Gambar 3. Jenis-Jenis Camilan / Snack
12
Menurut Departemen Perindustrian (1990) , biskuit digolongkan ke dalam empat jenis, yaitu biskuit keras, crackers, kue kering, dan wafer. (1) Biskuit keras adalah jenis biskuit manis yang dibuat dari adonan padat dan elastis sehingga dapat dipipihkan sebelum dicetak. Biskuit jika dipatahkan akan tampak tekstur yang padat dan dapat mengandung lemak tinggi atau rendah misalnya pada biskuit marie. (2) Cracker, jenis biskuit yang dibuat dari adonan keras, berbentuk pipih, biasanya memiliki rasa asin, dan relatif renyah. (3) Kue kering dibuat dari adonan lunak, biasanya berkadar lemak tinggi sekitar 15% - 20% teksturnya tidak begitu padat dan sangat renyah. Kue kering biasanya dibuat oleh ibu-ibu rumah tangga atau kue kering ini biasa disebut cookies. (4) Wafer adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan cair, berpori-pori kasar, relatif renyah, dan bila dipatahkan penampang potongannya berongga-rongga. Syarat mutu biskuit disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Syarat Mutu Biskuit (SNI No. 01-2973-1992) Kriteria Persyaratan Air Maksimal 5% Protein Minimal 9% Lemak Maksimal 1,5% Karbohidrat Minimal 9,5% Abu Minimal 70% Logam berbahaya Negatif Serat kasar Maksimal 0,5% Kalori Minimal 400 Jenis tepung Terigu Bau dan rasa Normal dan tidak tengik Warna Normal Sumber : Dewan Standarisasi Nasional (1992)
Biskuit adalah produk makanan kering yang dibuat dengan memanggang adonan mengandung bahan dasar terigu, lemak dan bahan pengembang dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan lain yang diizinkan (Departemen Perindustrian 1990). Bahan pembentuk biskuit dapat dibagi menjadi dua, yaitu bahan pengikat dan bahan pelembut. Bahan pengikat adalah tepung, susu, air dan telur, sedangkan bahan pelembut adalah gula, mentega, bahan pengembang (baking powder) serta kuning telur (U. S. Wheat Associates 1981).
13
2.6 Bahan Baku Biskuit 2.6.1 Tepung Terigu Tepung sebagai bahan dasar sangat berpengaruh terhadap fisik dan cita rasa. Fungsi tepung untuk membentuk adonan menjadi stabil, mempunyai struktur, dan mengikat bahan lain serta mendistribusikannya secara merata (Ikrawan 2006). Tepung terigu merupakan bahan dasar pembuatan biskuit. Tepung terigu diperoleh dari biji gandum (Triticum vulgare) yang digiling. Keistimewaan terigu diantara serealia lainnya adalah kemampuannya membentuk gluten pada saat terigu dibasahi dengan air. Biasanya mutu terigu yang dikehendaki adalah terigu yang memiliki kadar air 14%, kadar protein 8% - 12%, kadar abu 0,25% - 0,60%, dan gluten basah
24% - 36% (Astawan 2002). Menurut Sutomo (2005),
berdasarkan kandungan gluten (protein), tepung terigu yang beredar di pasaran dapat dibedakan 3 macam, yaitu sebagai berikut : a. Hard flour. Tepung ini berkualitas yang paling baik. Kandungan proteinnya 12% - 13%. Tepung ini biasanya digunakan untuk pembuatan roti. Contohnya : terigu Cakra Kembar. b. Medium hard flour. Terigu jenis ini mengandung protein 9,5% - 11%. Tepung ini banyak digunakan untuk macam-macam kue, serta biskuit. Contohnya : terigu Segitiga Biru. c. Soft flour. Terigu ini mengandung protein sebesar 7% - 8,5%. Penggunaannya cocok sebagai bahan pembuatan kue dan biskuit. Contohnya : terigu Kunci Biru. Tepung terigu yang digunakan untuk pembuatan biskuit yaitu tepung terigu dengan kandungan protein antara 8,5% - 10%, sehingga biskuit yang dihasilkan lebih tipis dan renyah (U. S. Wheat Associates 1981). Menurut Ikrawan (2006), untuk memberikan cita rasa yang khas pada produk bisa menggunakan tepung jagung, tepung beras, pati singkong dan tepung kedelai.
14
2.6.2 Air Air berperan dalam pembentukan gluten pada pembuatan biskuit, mengontrol kepadatan adonan, melarutkan garam, menahan dan menyebarkan bahan-bahan yang bukan tepung dan dapat mempertahankan rasa lezat biskuit lebih lama (Sugiyono 2002). 2.6.3 Gula Gula merupakan bahan yang digunakan dalam pembuatan biskuit. Jumlah gula yang ditambahkan biasanya berpengaruh terhadap tekstur dan penampakan biskuit. Fungsi gula dalam proses pembuatan biskuit selain sebagai pemberi rasa manis, juga berfungsi memperbaiki tekstur, memberikan warna pada permukaan, dan mempengaruhi pengembangan biskuit (Gautara dan Soesarsono 2005). Menurut Asni (2004), jenis gula yang biasa digunakan dalam pembuatan biskuit adalah sukrosa (pemanis nutritive), yaitu pemanis yang mengandung kalori atau memberikan sumbangan energi ke dalam bahan pangan. 2.6.4 Telur Telur memiliki suatu reaksi mengikat. Bila telur yang digunakan dalam jumlah besar maka biskuit akan lebih mengembang, penggunaan kuning telur saja akan menghasilkan biskuit yang lebih empuk dari pada memakai seluruh telur, Selain itu, kuning telur juga akan menambahkan warna pada hasil produksi (U. S. Wheat Associates 1981). 2.6.5 Lemak Lemak merupakan salah satu komponen penting dalam pembuatan biskuit. Lemak didalam adonan memberikan fungsi pelembut dan pemberi cita rasa. Lemak akan mengelilingi tepung terigu selama pengadukan adonan, sehingga jaringan gluten didalamnya akan diputus dan karakteristik biskuit setelah pemanggangan menjadi tidak keras dan lebih cepat meleleh dimulut. Lemak yang biasa digunakan dalam pembuatan biskuit adalah lemak yang berasal dari hewan atau sering disebut mentega (Buckle et al 1985).
15
2.6.6 Susu Penggunaan susu untuk produk biskuit berfungsi membentuk cita rasa, mengikat air, sebagai bahan pengisi, membentuk struktur yang kuat karena adanya protein berupa kasein, membentuk warna karena terjadi reaksi pencoklatan dan menambah keempukan karena adanya laktosa. Adanya laktosa dalam susu dapat membantu memperbaiki warna, aroma, sebagai bahan pengisi dan meningkatkan nilai gizi biskuit (Buckle et al 1985). 2.6.7 Bahan Pengembang Bahan pengembang adalah bahan tambahan pangan yang digunakan dalam pembuatan roti dan kue yang berfungsi untuk mengembangkan adonan supaya adonan menggelembung, bertambah volumenya, mengatur aroma (rasa), mengontrol penyebaran, demikian juga pada saat adonan dipanggang dapat lebih mengembang (Kaya 2008). Winarno (1997) menyatakan bahwa jika bahan pengembang
dicampurkan
kedalam
adonan
maka
akan
terbentuk
gas
karbondioksida, gas inilah yang kemudian terperangkap didalam gluten (komponen protein yang ada dalam tepung terigu) sehingga adonan menjadi mengembang karena gas yang dihasilkan semakin lama akan semakin banyak. Bahan pengembang yang di gunakan dalam pembuatan produk biskuit adalah baking powder yang merupakan campuran antara sodium karbonat (baking soda) dengan asam pengembang (leavening acid). 2.7
Fortifikasi Tepung Tulang Jangilus pada Biskuit Fortifikasi adalah penambahan zat gizi pada produk dengan tujuan
meningkatkan nilai gizi pada produk. Tujuan fortifikasi adalah menyediakan produk pangan yang dapat dijadikan sumber zat gizi yang diperlukan oleh masyarakat, sehingga dapat meningkatkan status atau mutu gizi (Hariyadi 2006). Zat gizi yang ditambahkan dapat berupa zat gizi yang sudah ada pada produk pangan tersebut maupun zat gizi yang baru seperti kalsium dan mineral. Menurut Sianturi (2002), penambahan suatu zat pada bahan pangan akan mempengaruhi karakteristik bahan pangan, yaitu karakteristik kimia, fisik dan organoleptik (warna, aroma, rasa, tekstur).
16
Menurut Soekarto (1985), kelezatan suatu makanan ditentukan oleh faktor aroma. Dalam banyak hal aroma menjadi daya tarik tersendiri dalam menentukan rasa dari produk makanan itu sendiri. Aroma atau bau makanan banyak menentukan kelezatan bahan makanan tersebut. Hasil uji sensori pada penelitian Maulida (2005) adalah panelis menyukai biskuit (crackers) dengan penambahan tepung tulang ikan madidihang 10%. Semakin tinggi tingkat konsentrasi maka semakin menurun tingkat kesukaan panelis atas aroma, karena bau amis khas ikan yang kuat. Rasa merupakan faktor penting dalam penentuan disukai tidaknya suatu produk makanan. Walaupun parameter yang lain (kenampakan, aroma, dan tekstur) suatu produk makanan itu baik tetapi jika rasanya tidak disukai oleh konsumen maka konsumen akan menolak produk makanan tersebut. Rasa lebih banyak melibatkan panca indera pencicip (Winarno 1997). Tekstur merupakan salah satu parameter kesukaan konsumen pada produk pangan. Penilaian tekstur bertujuan untuk mengetahui penerimaan panelis terhadap tingkat elastisitas atau kekenyalan suatu produk yang dapat dinilai menggunakan indera peraba yaitu lewat rangsangan sentuhan, menurut Winarno (1997), tekstur konsistensi suatu bahan akan mempengaruhi cita rasa dari bahan tersebut.