2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Lili Laut (Comaster sp.) Lili laut atau Crinoidea adalah salah satu anggota filum Echinodermata. Bentuk tubuh dan penampilannya menyerupai tanaman lili atau pakis. Bagi orang awam lili laut mungkin dianggap sebagai flora laut, apalagi bagian tangannya (arms) mempunyai corak warna yang beraneka ragam, hijau, kuning, merah atau kombinasi dari dua atau lebih warna (Aziz et al. 1990). Klasifikasi lili laut (Comaster sp.) menurut Carpenter (1888) adalah sebagai berikut: Kingdom
: Animalia
Filum
: Echinodermata
Subfilum
: Crinozoa
Kelas
: Crinoidae
Ordo
: Comatulidae
Famili
: Comasteridae
Subfamili
: Comasterinae
Genus
: Comaster sp.
Gambar 1 Lili laut (Comaster multibrachiatus) Sumber : Collin & Arneson (1995)
Lili laut pada umumnya mempunyai cara dan kebiasaan makan yang sama dengan teripang, bulu babi, bintang laut, dan bintang mengular yaitu termasuk kedalam kelompok biota penyaring (filter feeders). Makanannya berupa plankton dan partikel melayang (Aziz et al. 1990).
Hewan ini mirip tumbuhan, karena bentuknya menyerupai bunga lili. Kulitnya tersusun dari zat kitin. Biasanya melekat pada dasar perairan. Jika lingkungan tidak memungkinkan, misalnya makanan habis atau keselamatannya terancam, ia akan pindah ke tempat lain yang sesuai dan aman. Kelompok hewan ini juga sering disebut bintang bulu. Juga dikenal sebagai lili laut yaitu hewan yang mempunyai lengan bercabang serta anus dan mulut berada di permukaan oral, kaki tabungnya tidak mempunyai saluran penghisap, dan alur ambulakranya terbuka (Clark 1976). Bentuk dan morfologi dari lili laut dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini.
Gambar 2 Morfologi Stalk Crinoidea Sumber: Ausich (1999)
Lili laut sebagaimana anggota filum Echinodermata lainnya mempunyai susunan tubuh bersimetri lima (pentraradial simetri), tubuh berbentuk cakram (disk) di dalamnya terdapat sistem pencernaan, sistem respirasi dan sistem saraf. Tubuh dilindungi oleh lempeng kapur berbentuk perisai (osscles). Mulut dan anus terletak di sisi yang sama yaitu di sisi oral. Anggota suku Comasteridae yang mulutnya terletak di pertengahan dari disk disebut sebagai kondisi endocyclic, sedangkan yang mulutnya terletak pada posisi tepi dari disk disebut kondisi exocyclic. Dari disk tumbuh lima tangan (arms) atau lebih. Percabangan tangan bisa berupa percabangan ganda atau semi ganda, atau berupa percabangan tak beraturan, sehingga pada kenyataannya lili laut mempunyai lebih dari 10 tangan, biasanya berkisar 10 sampai 200 tangan (Clark 1976). 2.2 Radikal Bebas Radikal bebas merupakan hasil samping dari proses oksidasi atau proses metabolisme organisme aerobik. Pada sistem pertahanan tubuh, radikal bebas berperan untuk melawan virus dan bakteri yang masuk ke dalam tubuh. Radikal bebas yang dihasilkan berlebihan, dapat mengakibatkan kerusakan karena sifat molekul ini sangat reaktif. Molekul radikal bebas sangat mudah bereaksi dengan molekul lain dengan cara mengoksidasi sehingga dapat menimbulkan pengaruh negatif terhadap tubuh antara lain mengakibatkan kerusakan lipida, protein, DNA dan membran sel. Kerusakan-kerusakan tersebut dapat memicu timbulnya penyakit degeneratif yaitu kanker, aterosklerosis, diabetes, dan tekanan darah tinggi (Santoso et al. 2010). Berbagai kemungkinan dapat terjadi sebagai akibat kerja radikal bebas, misalnya gangguan fungsi sel, kerusakan struktur sel, molekul termodifikasi yang tidak dapat dikenali oleh sistem imun, dan bahkan mutasi. Semua bentuk gangguan tersebut dapat memicu munculnya berbagai penyakit (Winarsi 2007). Radikal bebas memiliki reaktivitas yang sangat tinggi. Reaktivitas radikal bebas merupakan upaya untuk mencari pasangan elektron. Dampak dari kerja radikal bebas akan terbentuk radikal bebas baru yang berasal dari atom atau molekul yang elektronnya diambil untuk berpasangan dengan radikal sebelumnya. Bila dua senyawa radikal bertemu, elektron-elektron yang tidak berpasangan dari kedua senyawa tersebut akan bergabung dan membentuk ikatan kovalen yang
stabil. Sebaliknya, bila senyawa radikal bebas bertemu dengan senyawa yang bukan radikal bebas akan terjadi tiga kemungkinan, yaitu (1) radikal bebas akan memberikan elektron yang tidak berpasangan (reduktor) kepada senyawa bukan radikal bebas, (2) radikal bebas menerima elektron (oksidator) dari senyawa bukan radikal bebas, (3) radikal bebas bergabung dengan senyawa bukan radikal bebas (Winarsi 2007). Mekanisme reaksi radikal bebas digambarkan sebagai suatu deret reaksireaksi bertahap. Mekanisme reaksi tersebut dibagi menjadi tiga tahapan yaitu pembentukan awal radikal bebas (inisiasi), perambatan atau terbentuknya radikal baru (propagasi) dan tahap terakhir (terminasi), yaitu pemusnahan atau pengubahan
menjadi
radikal bebas
stabil
dan tak
reaktif
(Fessenden
dan Fessenden 1986). Radikal bebas yang terdapat dalam endotel akan bereaksi dengan nitrit oksida
menjadi
peroksinitrit,
yang
merupakan
prooksidan
reaktif
dan
menyebabkan kerusakan sel endotel. Kerusakan sel endotel pembuluh darah di seluruh tubuh akan menimbulkan berbagai komplikasi (Winarsi 2007), yaitu: a. Penurunan daya penglihatan yang berakhir dengan kebutaan, jika kerusakan itu terjadi pada retina mata. b. Gangguan fungsi ginjal yang berakhir dengan gagal ginjal tahap akhir yang memerlukan hemodialisis, jika terjadi pada ginjal. c. Penuruna daya tahan tubuh terhadap infeksi. d. Meningkatnya resiko penyakit jantung koroner dan stroke. 2.3 Antioksidan Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron (electron donor) atau reduktan. Senyawa ini memiliki berat molekul kecil, tetapi mampu menginteraksi berkembangnya reaksi oksidasi, dengan cara mencegah terbentuknya radikal. Antioksidan juga merupakan senyawa yang dapat menghambat reaksi oksidasi, dengan mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif. Akibatnya, kerusakan sel akan dihambat (Winarsi 2007). Antioksidan sangat bermanfaat baik untuk mempertahankan mutu produk pangan maupun untuk kesehatan tubuh. Antioksidan dalam tubuh akan menggangu mekanisme kerja pembentukan radikal bebas dan juga akan
menghambat oksidasi atau reaksi rantai radikal bebas, sehingga berbagai penyakit degeneratif, misalnya katarak, kanker dan proses penuaan dapat dihambat dengan antioksidan, baik yang diperoleh dari luar maupun dari melalui metabolisme tubuh (Niwa 1997). Berdasarkan sumbernya, antioksidan digolongkan menjadi antioksidan alami dan antioksidan buatan (sintetik). Antioksidan yang sering digunakan pada bahan pangan umumnya berasal dari alam (natural antioxidant), misalnya asam sitrat, askorbat, dan tartarat, karoten, lesitin, asam maleat, dan gum guaiak. Pemakaian antioksidan buatan dalam bahan pangan harus lebih hati-hati karena banyak diantaranya yang menyebabkan keracunan pada dosis tertentu. Contoh antioksidan sintetik yang dijinkan untuk makanan adalah Butil Hidroksi Anisol (BHA), Butil Hidroksi Toluen (BHT), propil galat, Tert-Butil Hidroksi Quinon (TBHQ), dan tokoferol. Biasanya penggunaan antioksidan buatan untuk tujuan pangan diatur oleh pemerintah (Ketaren 1986). Antioksidan bereaksi melalui pemberian senyawa oksigen reaktif atau penurunan konsentrasinya secara lokal, pembersihan ion logam katalitik, pembersihan radikal bebas yang berfungsi sebagai insiator, misal hidroksil, peroksil, alkoksil, pemutus rantai reaksi yang diinisiasi oleh radikal bebas dan peredam reaksi serta pembersih singlet oksigen (Pratt 1992). Mekanisme penghambatan oksidasi lemak oleh antioksidan yaitu dengan mengurangi peroksida yang dapat merangsang terjadinya proses ketengikan yang terbentuk pada permulaan autooksidasi. Kemungkinan lain, antioksidan akan dioksidasi secara langsung atau saling mempengauhi dengan peroksida, sehinga dengan demikian mencegah oksidasi langsung atau tidak langsung dengan memutuskan rantai reaksi pembentukan gugus peroksida (Gordon 1990 dalam Trilaksani 2003). Kemungkinan selanjutnya, molekul aktif dari lemak bereaksi dengan oksigen menghasilkan peroksida aktif. Kemudian peroksida aktif memberikan energinya lagi kepada molekul lemak yang lain sehingga terbentuk reaksi berantai. Dengan adanya zat penghambat oksidasi (antioksidan), sejumlah peroksida yang aktif dipisahkan dari rantai reaksi dengan memindahkan energinya kepada antioksidan. Molekul aktif dari antioksidan akan teroksidasi dan menjadi lemak (Goutora et al. 1980).
2.4 Mekanisme Antioksidan Antioksidan yang baik akan bereaksi dengan radikal bebas segera setelah senyawa tersebut terbentuk. Mekanisme antioksidan dalam menghambat oksidasi atau menghentikan reaksi berantai pada radikal bebas dari lemak yang teroksidasi, dapat disebabkan oleh empat macam mekanisme reaksi, yaitu pelepasan hidrogen dari antioksidan, pelepasan elektron dari antioksidan, adisi lemak ke dalam cincin aromatik pada antioksidan, dan pembentukan senyawa kompleks antara lemak dan cincin aromatik dari antioksidan (Ketaren 1986). Antioksidan dikelompokkan menjadi tiga berdasarkan fungsi dan mekanismenya, yaitu antioksidan primer, antioksidan sekunder, dan antioksidan tersier. 2.4.1 Antioksidan primer Antioksidan primer disebut juga antioksidan enzimatis. Suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan primer, apabila dapat memberikan atom hidrogen secara cepat kepada senyawa radikal, kemudian radikal antioksidan yang terbentuk segera berubah menjadi senyawa yang lebih stabil (Winarsi 2005 dalam Algameta 2009). Antioksidan primer bekerja dengan cara mencegah pembentukan senyawa radikal bebas yang telah terbentuk menjadi molekul yang kurang reaktif (Belleville-Nabet 1996 dalam Algameta 2009). Antioksidan ini berfungsi untuk mencegah terbentuknya radikal bebas baru karena dapat mengubah radikal bebas menjadi molekul yang berkurang dampak negatifnya sebelum sempat bereaksi (Winarsi 2005 dalam Algameta 2009). Tubuh dapat menghasilkan antioksidan berupa enzim yang aktif bila didukung oleh nutrisi pendukung atau mineral yang disebut juga kofaktor. Antioksidan primer yang berperan sebagai kofaktor yaitu: a. Superoksida dismutase (SOD) Antioksidan ini merupakan enzim yang bekerja bila ada mineral-mineral misalnya tembaga, mangan yang bersumber pada kacang-kacangan, dan padipadian. b. Glutathione peroksidase Enzim tersebut mendukung aktivitas enzim SOD bersama-sama dengan enzim katalase dan menjaga konsentrasi oksigen akhir agar stabil dan tidak
berubah menjadi pro-oksidan. Glutathione sangat penting sekali melindungi selaput-selaput sel. c.
Katalase Enzim katalase selain mendukung aktivitas enzim SOD juga dapat
mengkatalisa perubahan berbagai macam peroksida dan radikal bebas menjadi oksigen dan air (Arulselvan dan Subramanian 2007 dalam Algameta 2009). 2.4.2 Antioksidan sekunder Antioksidan sekunder merupakan senyawa yang berfungsi menangkap radikal bebas dan mencegah terjadinya reaksi berantai sehingga tidak terjadi kerusakan yang lebih besar. Contoh antioksidan sekunder adalah vitamin E, vitamin C, dan betakaroten yang dapat diperoleh dari buah-buahan (Winarsi 2005 dalam Algameta 2009). Antioksidan sekunder disebut juga antioksidan eksogenus atau nonenzimatis. Antioksidan dalam kelompok ini juga disebut sistem pertahanan preventif. Antioksidan non-enzimatis dapat berupa komponen non-nutrisi dan komponen nutrisi dari sayuran dan buah-buahan. Kerja sistem antioksidan nonenzimatik yaitu dengan cara memotong reaksi oksidasi berantai dari radikal bebas atau dengan cara menangkapnya. Akibatnya, radikal bebas tidak akan bereaksi dengan komponen seluler (Lampe 1999 dalam Winarsi 2007). Antioksidan sekunder (antioksidan pencegah) didefinisikan sebagai suatu senyawa yang dapat memperlambat laju reaksi autooksidasi lipid. Antioksidan ini bekerja dengan berbagai mekanisme, antara lain mengikat ion metal, menangkap oksigen, memecah hidroperoksida ke bentuk-bentuk non radikal menyerap radiasi UV atau mendeaktifkan singlet oksigen. Contoh yang populer dari antioksidan sekunder ini adalah vitamin E, vitamin C, dan betakaroten (Kumalaningsih 2006). 2.4.3 Antioksidan tersier Antioksidan tersier merupakan senyawa yang memperbaiki sel-sel dan jaringan yang rusak karena serangan radikal bebas. Biasanya yang termasuk kelompok ini adalah enzim (Winarsi 2005). Biasanya yang termasuk golongan ini adalah enzim metionin sulfoksidan reduktase yang dapat memperbaiki DNA dalam inti sel. Enzim tersebut bermanfaat untuk perbaikan DNA pada penderita kanker (Kumalaningsih 2006).
2.5 Uji Aktivitas Antioksidan Metode yang umum digunakan untuk menguji aktivitas antioksidan suatu bahan adalah menggunakan radikal bebas diphenylpicrylhydrazyl (DPPH). DPPH adalah radikal bebas yang bersifat stabil dan beraktivitas dengan cara mendelokasi elektron bebas pada suatu molekul, sehingga molekul tersebut tidak reaktif sebagaimana radikal bebas yang lain. Proses delokasi ini ditunjukkan dengan adanya warna ungu (violet) pekat yang dapat dikarakterisasi pada pita absorbansi dalam pelarut etanol pada panjang gelombang 520 nm (Molyneux 2004). Pengukuran aktivitas antioksidan dengan metode DPPH menggunakan prinsip spektrofotometri. Senyawa DPPH (dalam metanol) berwarna ungu tua terdeteksi pada panjang gelombang sinar tampak sekitar 517 nm. Suatu senyawa dapat dikatakan memiliki aktivitas antioksidan apabila senyawa tersebut mampu mendonorkan atom hidrogennya untuk berikatan dengan DPPH membentuk DPPH tereduksi, ditandai dengan semakin hilangnya warna ungu (menjadi kuning pucat) (Molyneux 2004). Struktur DPPH dan DPPH tereduksi hasil reaksi dengan antioksidan dapat dilihat pada Gambar 3.
Diphenylpicrylhydrazyl (radikal bebas)
Diphenylpicrylhydrazine (non radikal)
Gambar 3 Struktur DPPH dan DPPH tereduksi hasil reaksi dengan antioksidan Parameter untuk menginterpretasikan hasil pengujian dengan metode DPPH adalah IC50 (inhibition concentration). IC50 merupakan konsentrasi larutan substrat atau sampel yang akan menyebabkan reduksi terhadap aktivitas DPPH sebesar 50% (Molyneux 2004). Semakin kecil nilai IC50 berarti semakin tinggi aktivitas antioksidan. Secara spesifik suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan sangat kuat jika nilai IC50 kurang dari 0,05 mg/ml, kuat untuk IC50 antara 0,05-0,10 mg/ml, sedang jika IC50 bernilai 0,10-0,15 mg/mldan lemah jika IC50 bernilai 0,15-0,20 mg/ml.
2.6 Senyawa Fitokimia Fitokimia adalah senyawa bioaktif yang terdapat dalam tumbuhan dan dapat memberikan kesehatan pada tubuh manusia. Fitokimia mempunyai peran penting dalam penelitian obat yang dihasilkan dari tumbuh-tumbuhan. Pada tumbuhan terdapat senyawa kimia bermolekul kecil yang penyebarannya terbatas dan sering disebut sebagai metabolit sekunder (Sirait 2007). 2.6.1 Alkaloid Alkaloid adalah golongan terbesar dari senyawa hasil metabolisme sekunder
yang
terbentuk
berdasarkan
prinsip
pembentukan
campuran
(Sirait 2007). Senyawa alkaloid mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen sebagai bagian dari sistem siklik. Alkaloid yang mengandung cincin heterosiklik biasanya disebut alkaloid sejati, sedangkan yang tidak mengandung cincin heterosiklik disebut protoalkaloid. Keduanya merupakan turunan dari asam amino (Harborne 1987) Alkaloid umumnya tanwarna, bersifat optis aktif, dan sebagian besar berbentuk kristal hanya sedikit yang berupa cairan. Alkaloid banyak ditemukan pada bagian tumbuhan yaitu biji, daun, ranting, serat kayu. Alkaloid terakumulasi pada jaringan yang tumbuh aktif yakni epidermis, hipodermis, dan kelenjar lateks. Fungsi alkaloid pada tumbuhan belum dapat dinyatakan dengan pasti akan tetapi beberapa senyawa berperan sebagai pengatur pertumbuhan dan pemikat serangga (Suradikusumah 1989). 2.6.2 Triterpenoid/Steroid Triterpenoid merupakan senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu skualena. Senyawa ini berstruktur siklik yang umumnya berupa alkohol, aldehida, atau asam karboksilat. Senyawa tersebut tidak berwarna, kristalin, memiliki titik lebur yang tinggi, dan umumya sulit untuk dikarakterisasi karena secara kimia tidak reaktif (Harborne 1987). Triterpenoid terbagi menjadi empat golongan senyawa berupa triterpena sebenarnya, steroid, saponin, dan glikosida jantung. Kedua golongan terakhir disebut triterpenoid esensial atau steroid yang umumnya terdapat dalam tanaman sebagai glikosida (Sirait 2007).
Steroid merupakan triterpena yang kerangka dasarnya sistem cincin siklopentana perhidrofenantrena. Pada awalnya, steroid diduga merupakan senyawa yang hanya terdapat pada hewan (sebagai hormon seks, asam empedu, dan lain-lain). Tetapi akhir-akhir ini ditemukan senyawa semacam ini pada jaringan tumbuhan yang dikenal dengan fitosterol (Sirait 2007). 2.6.3 Flavonoid Flavonoid merupakan senyawa fenol terbanyak yang ditemukan di alam. Flavonoid banyak ditemukan pada tumbuhan tingkat tinggi tetapi tidak dalam mikroorganisme. Senyawa ini menjadi zat warna merah, ungu, biru, dan kuning dalam tumbuhan. Flavonoid memiliki kerangka dasar yang terdiri dari 15 atom karbon, dimana dua cincin benzene terikat pada suatu rantai propane membentuk susunan C6-C3-C6 (Suradikusumah 1989). Flavonoid umumnya terdapat pada tumbuhan sebagai glikosida dan terdapat pada seluruh bagian termasuk pada buah, tepung sari, dan akar. Flavonoid diklasifikasikan menjadi sebelas golongan yaitu flavon, flavonol, flavanon, flavanonol, calkon, dihidrokalkon, auron, antosianidin, katekin, dan flavan-3,4-diol (Sirait 2007). Flavonoid dapat larut dalam air, dan dapat terekstraksi dengan etanol 70% (Suradikusumah 1989). Flavonoid memiliki banyak kegunaan baik bagi tumbuhan maupun manusia. Flavonoid digunakan tumbuhan sebagai penarik serangga dan binatang lain untuk membantu proses penyerbukan dan penyebaran biji. Sedangkan bagi manusia, dalam dosis kecil flavon bekerja sebagai stimulan pada jantung, dan flavon yang terhidroksilasi bekerja sebagai diuretik dan sebagai antioksidan pada lemak (Sirait 2007). 2.6.4 Saponin Saponin adalah glikosida triterpena dan sterol yang telah terdeteksi dalam lebih dari 90 suku tumbuhan. Saponin merupakan senyawa aktif permukaan, bersifat seperti sabun, serta dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan menghemolisis sel darah. Pencarian saponin dalam tumbuhan telah dirangsang oleh kebutuhan akan sumber sapogenin yang mudah diperoleh dan dapat diubah menjadi sterol hewan yang berkhasiat penting. Pola
glikosida saponin kadang rumit, banyak saponin yang mempunyai satuan gula sampai lima dan komponen yang umum ialah asam glukuronat (Harborne 1987). Sebagian besar saponin bereaksi netral (larut dalam air), beberapa ada yang bereaksi asam (sukar larut dalam air), dan sebagian kecil ada yang bereaksi basa. Saponin dapat membentuk senyawa kompleks dengan kolesterol. Saponin bersifat toksik terhadap ikan dan binatang berdarah dingin lainnya. Hal inilah yang menyebabkan saponin banyak dimanfaatkan sebagai racun ikan. Saponin yang beracun disebut sapotoksin (Sirait 2007). Saponin menyebabkan stimulasi pada jaringan tertentu misalnya, pada epitel hidung, bronkus, ginjal, dan sebagainya. Stimulasi pada ginjal dapat menimbulkan efek diuretika. Sifat menurunkan tegangan muka yang ditimbulkan oleh saponin dapat dihubungkan dengan daya ekspektoransia. Dengan sifat ini lendir akan dilunakkan atau dicairkan. Saponin dapat mempertinggi resorpsi berbagai zat oleh aktivitas permukaan serta dapat meregang partikel (Sirait 2007). 2.6.5 Fenol hidrokuinon Kuinon merupakan senyawa berwarna dan memiliki kromofor dasar. Kuinon dapat diidentifikasikan berdasarkan tujuannya menjadi empat kelompok yaitu, benzokuinon, naftokuinon, antrakuinon, dan kuinon isoprenoid. Tiga kelompok pertama umumnya terhidroksilasi dan sering terdapat dalam sel sebagai glikosida atau dalam bentuk kuinon tanpa warna, dan juga bentuk dimer. Iso prenoid kuinon terlihat dalam respirasi sel (ubikuinon) dan fotosintesis (plastokuinon)
yang
secara
umum
terdapat
dalam
tumbuhan
(Suradikusumah 1989). Senyawa kuinon yang terdapat sebagai glikosida sedikit larut dalam air, kuinon lebih mudah larut dalam lemak dan akan terekstraksi dalam tumbuhan bersama-sama dengan karotenoid dan klorofil. Reaksi yang khas adalah reduksi bolak-balik yang mengubah kuinon menjadi senyawa tanpa warna, kemudian warna kembali lagi bila terjadi oksidasi oleh udara. Reduksi dapat dilakukan dengan menggunakan natrium borohidrida (Harbone 1987). 2.6.6 Karbohidrat Karbohidrat atau gula merupakan konstituen yang paling banyak jumlahnya dibandingkan dengan kandungan kimia lainnya yang terdapat dalam
tanaman dan hewan. Karbohidrat terbentuk melalui proses fotosintesis pada tanaman. Zat tersebut dapat diubah menjadi senyawa kimia organik lain yang diperlukan tanaman (Sirait 2007). Karbohidrat dikelompokkan menjadi tiga golongan berdasarkan ukuran molekulnya, yaitu monosakarida sederhana misalnya glukosa, fruktosa, dan turunannya; oligosakarida yang terbentuk melalui penggabungan atau kondensasi dua atau lebih monosakarida; dan polisakarida yang terdiri atas satuan monosakarida berantai panjang, disambungkan dengan cara kepala ke ekor berbentuk rantai lurus atau bercabang (Harborne 1987). Karbohidrat berguna sebagai penyimpan energi yaitu pati, dan juga berguna sebagai pengangkut energi yakni sukrosa, dan sebagai penyusun dinding sel yakni selulosa (Sirait 2007). 2.6.7 Gula pereduksi Sifat pereduksi dari suatu molekul gula ditentukan oleh ada atau tidaknya gugus hidroksil (OH) bebas yang reaktif. Gugus hidroksil yang reaktif pada glukosa (aldosa) biasanya terletak pada karbon nomor satu (anomerik), sedangkan pada fruktosa (ketosa) terletak pada karbon nomor dua. Sukrosa tidak mempunyai gugus OH bebas yang reaktif karena keduanya sudah saling terikat, sedangkan laktosa mempunyai OH bebas pada atom C nomor satu pada gugus glukosanya (Winarno 1997). Sifat sebagai reduktor pada monosakarida dan beberapa disakarida disebabkan oleh adanya gugus aldehida atau keton bebas dalam molekul karbohidrat. Sifat ini dapat digunakan untuk keperluan identifikasi karbohidrat maupun analisis kuantitatif. Pereaksi Benedict berupa larutan yang mengundang kuprisulfat, natrium karbonat dan natrium sitrat. Glukosa dapat mereduksi ion Cu2+ dari kuprisulfat menjadi ion Cu2+ yang kemudian mengendap sebagai Cu2O. Adanya natrium karbonat dan natrium sitrat membuat pereaksi Benedict bersifat basa lemah. Endapan yang terbentuk dapat berwarna hijau, kuning atau merah bata. Warna endapan ini tergantung pada konsentrasi karbohidrat yang diperiksa (Poedjiadi 1994). 2.6.8 Peptida Peptida merupakan hasil polikondensasi asam amino. Gugus karbonil dari satu asam amino berikatan dengan gugus asam amino lain membentuk ikatan
amida atau ikatan peptida. Pengertian peptida biasanya untuk menyatakan polimer yang memiliki berat molekul lebih rendah dari 5000. Peptida dapat dihidrolisis sebagian menjadi protein, juga senyawa yang mengandung asam amino nonprotein (Sastrohamidjojo 1996). Dipeptida diturunkan dari dua asam amino tripeptida dari tiga asam amino, dan seterusnya. Siklisasi dipeptida menghasilkan 2,5-dioksopi-perazin dan senyawa sejenisnya sering disintesis oleh mikroorganisme (Sastrohamidjojo 1996). Dipeptida masih mempunyai gugus amino dan karboksil bebas sehingga dapat bereaksi dengan dipeptida-dipeptida lain membentuk polipeptida dan akhirnya membentuk molekul protein (Winarno 1997). 2.6.9 Asam amino Asam amino merupakan komponen penyusun protein yang dihubungkan oleh ikatan peptida. Struktur asam amino secara umum adalah satu atom C yang mengikat empat gugus, yaitu gugus amina (NH2), gugus karboksil (COOH), atom hidrogen (H), dan satu gugus sisa (R dari Residu) atau disebut juga gugus rantai samping yang membedakan satu asam amino dengan asam amino lainnya (Winarno 2008). Asam amino memiliki atom C pusat yang mengikat empat gugus yang berbeda, maka asam amino memiliki dua konfigurasi yaitu konfigurasi D dan konfigurasi L. Molekul asam amino mempunyai konfigurasi L apabila gugus –NH2 terdapat di sebelah kiri atom karbon α dan bila posisi gugus NH2 di sebelah kanan, maka molekul asam amino disebut asam amino konfigurasi D (Lehninger 1990). Asam amino biasanya larut dalam air dan tidak larut dalam pelarut non polar
misalnya
eter,
aseton,
dan
kloroform.
Asam
amino
khususnya
diklasifikasikan berdasarkan sifat kimia rantai samping tersebut menjadi empat kelompok. Rantai samping dapat membuat asam amino bersifat basa lemah, asam lemah, hidrofilik jika polar dan hidrofobik jika nonpolar (Almatsier 2006).