4
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ikan Teri Nasi (Stolephorus sp.) 2.1.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan teri terutama berukuran kecil dengan panjang sekitar 6-9 cm, namun ada pula yang mempunyai ukuran relatif panjang hingga mencapai 17,5 cm. Ikan teri mempunyai ciri ciri antara lain bentuk tubuhnya panjang (fusiform) atau termampat samping (compressed), disamping tubuhnya terdapat selempeng putih keperakan memanjang dari kepala sampai ekor. Gigi giginya terdapat pada rahang, langit langit dari pelatin dan mempunyai lidah (Hoetomo et al. 1987 dalam Wahyuni 1999) Penyebaran ikan pelagis di Indonesia merata seluruh perairan, namun ada beberapa yang dijadikan sentra daerah penyebaran seperti ikan teri di Samudera Hindia. Ikan teri juga ditemukan di beberapa wilayah perairan seperti di Sulawesi Tenggara, Sumatra Barat, Selat Madura dan Perairan Lainnya. Teri nasi merupakan jenis ikan yang hidup bergerombol hingga mencapai ribuan ekor. Ciri morfologisnya adalah sebagai berikut: umumnya tidak berwarna atau agak kemerahan, bentuk tubuh bulat menanjang, sepanjang tubuhnya terdapat garis putih keperakan, memanjang dari kepala hingga ekor, sisik kecil dan tipis serta mudah lepas, mulut agak tersayat kedalam, mencapai higga belakang mata, rahang bawah lebih pendek dari rahang atas. Adapun sistematika dan klasifikasi ikan teri nasi menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut: Phylum
: Chordata
Subphylum
: Vertebrata
Kelas
: Pisces
Subkelas
: Teleostei
Ordo
: Malacopterygii
Famili
: Clupeidae
Genus
: Stolephorus
Spesies
: Stolephorus sp.
5
Sebagaimana ikan teri, ikan teri nasi pun termasuk jenis ikan musiman. Musim tangkapnya antara bulan Februari sampai Agustus. Jumlah tangkapan tertinggi biasanya terjadi pada bulan Juli dan Agustus. Berikut ini adalah gambar ikan teri nasi segar.
Gambar 1 Ikan teri nasi segar 2.1.2 Komposisi Kimia dan Kandungan Gizi Ikan Teri Nasi Ikan teri nasi mengandung protein, mineral, vitamin, dan zat gizi lainnya yang sangat bermanfaat untuk kesehatan dan kecerdasan. Protein teri nasi mengandung beberapa macam asam amino esensial. Adanya variasi dalam komposisi kimia maupun komposisi penyusunnya disebabkan karena faktor biologis dan alami. Faktor biologis antara lain jenis ikan, umur dan jenis kelamin. Faktor alami yaitu faktor luar yang tidak berasal dari ikan, yang dapat mempengaruhi komposisi daging ikan. Golongan faktor ini terdiri atas daerah kehidupannya, musim dan jenis makanan yang tersedia (Muchtadi dan Sugiyono, 1989). Komposisi kimia dari ikan teri nasi secara lengkap disajikan pada Tabel 1 berikut: Tabel 1 Komposisi kimia ikan teri nasi Komposisi Protein Lemak Abu Air Sumber: BSN (1994)
Satuan % % % %
Nilai 16,00 1,00 1 30-60
6
Bahan baku ikan teri harus bersih, bebas dari setiap bau yang menandakan pembusukan, bebas dari tanda dekomposisi dan pemalsuan, bebas dari sifat sifat alamiah lain yang dapat menurunkan mutu serta tidak membahayakan kesehatan. ikan teri yang akan diolah harus dari mutu yang baik dan cocok bagi konsumen, sekurang kurangnya sebagai berikut (SNI 01-3466-1994) Rupa dan warna
: Utuh putih, kebiruan dan cemerlang
Bau
: Segar dan agak harum
Daging
: Kenyal, berserat halus
Rasa
: Netral agak manis
untuk mempertahankan mutu ikan teri nasi, bahan baku harus cepat diolah. Apabila terpaksa menunggu maka ikan teri nasi harus disimpan dengan es atau air dingin (0-5 oC), saniter dan higienis. Syarat mutu yang harus dipenuhi dapat dilihat pada Tabel 2 (SNI 01-3461-1994). Tabel 2 Syarat mutu ikan teri nasi (Stolephorus sp.) setengah kering Jenis Uji
Satuan
a. Organoleptik -Organoleptik, Min -Kapang b. Mikrobiologi -ALT, maks Koloni/gram -Escherichia coli APM/gram -Salmonella* per 25 gram -Staphylococcus aureus koagulasi positif, maks Koloni/gram -Vibrio cholerae* per 25 gram c. Kimia -Air % bobot/bobot -Abu tak larut dalam asam, maks % bobot/bobot -Garam, maks % bobot/bobot -Timah, maks mg/kg -Timbal, maks mg/kg -Arsen, maks mg/kg -Raksa, maks mg/kg -Seng, maks mg/kg -Tembaga, maks mg/kg d. Fisika Bobot bersih *) Bila diperlukan
Persyaratan Mutu 7 Tidak Nampak 2 x 105 <3 Negatif 100 Negatif 30-60 1 15 40 0,5 1,0 0,5 100,0 20,0 Sesuai label
7
2.1.3 Proses Penangan dan Pengolahan Ikan Teri Nasi (Stolephorus sp.) Setengah Kering (SNI 01-3471-1994) Penanganan dan pengolahan ikan teri nasi setengah kering adalah semua kegiatan yang menghasilkan produk akhir yang berupa ikan teri nasi setengah kering. Tahap produksi ini meliputi proses sortasi awal, pencucian, perendaman, perebusan, pengeringan, sortasi akhir, pengemasan dan pelabelan. a. Sortasi awal Ikan teri nasi dari nelayan dimasukkan kedalam wadah berinsulasi atau tong plastik, secepat mungkin dilakukan sortasi jenis dan mutunya. Kemudian ditimbang dan dicuci dengan air dingin atau air laut untuk mengilangkan kotoran. b. Pencucian Pencucian ulang atau pembilasan dilakukan dengan menggunakan air dingin dan bersih untuk menghilangkan air laut atau menurunkan kadar garam. c. Perendaman Sebelum dilakukan perebusan ikan teri nasi setengah kering direndam dalam air es selama kurang lebih 10 menit. d. Perebusan Tahapan selanjutnya adalah tahap perebusan. Dalam proses perebusan air yang digunakan untuk perebusan ditambah garam sebanyak 3-4% dari volume air yang direbus. Setelah air perebusan mendidih, dimasukkan ikan teri ke dalam perebusan selama 3-5 menit sambil dilakukan pengadukan untuk meratakan panas dan menghilangkan busa pada keranjang perebusan. Setelah diangkat, ikan teri nasi ditiriskan (diangin-anginkan ) sampai tiris. e. Pengeringan Pengeringan dapat dilakukan dengan cara penjemuran diatas para para, sejenis alat yang terbuat dari bambu atau dengan cara lain yang sesuai sampai setengah kering dan dilanjutkan dengan pengangin-anginan.
8
f.
Sortasi akhir Tahap sortasi ini dilakukan dengan tujuan menghilangan kotoran yang masih menempel, kemudian sortasi jenis mutu dan ukuran teri yang diinginkan.
g. Pengemasan Bahan pengemas untuk ikan teri nasi setengah kering harus cukup kuat, tahan perlakuan fisik, mempunyai permeabilitas yang rendah terhadap air uap air, gas bau, tidak mudah ditembus minyak dan lemak, tidak boleh melekat pada produk dan tidak boleh menulari produk. Pembungkus harus terbuat dari bahan yang baik dan memenuhi persyaratan bagi produk, metode pengolahan dan pemasarannya. Teknis pengemasan produk harus dikemas dengan cepat, cermat, secara saniter dan higienis. Pengemasan harus dilakukan dalam kondisi yang dapat mencegah terjadinya penularan dan kontaminasi dari luar terhadap produk akhir. h. Pelabelan Setiap produk perikanan yang diolah untuk diperdagangkan harus diberi label dengan benar dan mudah dibaca, yang memberi keterangan untuk:
Jenis produk olahan
Berat bersih produk
Bila ada beberapa bahan tambahan lain harus diberi keterangan bahan tersebut
Nama dan alamat unit pengolahan, serta negara dimana produk tersebut dibuat
Tanggal, bulan, tahun saat produk tersebut dihasilkan (kode produksi)
Khusus untuk produk yang dikonsumsi didalam negeri harus mencantumkan nomor pendaftaran pada Departemen Kesehatan RI.
2.1.4 Bahan Tambahan Makanan dan Peralatan (SNI 01-3471-1994) Bahan tambahan makanan yang digunakan adalah garam. Garam yang digunakan harus garam yang bermutu baik yang ditandai dengan warna garam putih dan bersih (tidak tercampur dengan kotorankotoran/benda asing). Peralatan yang digunakan dalam pengolahan ikan teri nasi setengah kering secara umum terdiri atas peralatan perebusan dan
9
pengeringan. Semua peralatan dan perlengkapan yang digunakan harus dibuat sedemikian rupa sehingga permukaannya halus dan rata, tidak mengelupas, tidak berkarat, tidak merupakan sumber jasad renik, bebas dari retak-retak dan mudah dibersihkan. Proses pengolahan ikan teri nasi setengah kering dapat dilihat pada Gambar 2. Ikan Teri Nasi
Sortasi awal
Pencucian Perendaman dalam air es (10 menit)
Perebusan (penambahan 3-4% garam)
Penirisan
Sortasi akhir
Pengemasan
Penyimpanan
Ikan Teri Nasi Setengah Kering
Gambar 2 Diagram alir proses pembuatan ikan teri nasi (Stolephorus sp.) setengah kering (SNI 01-3471-1994)
10
2.2 Pengeringan Pengeringan
adalah
suatu
metode
untuk
mengeluarkan
atau
menghilangkan sebagian air dari suatu bahan padat dengan cara menguapkan sebagian besar air dengan menggunakan energi panas, sehingga tingkat kadar air setimbang dengan kondisi udara (atmosfer) normal atau tingkat kadar air yang setara dengan nilai aktivitas air yang aman dari kerusakan mikrobiologis enzimatis atau kimiawi (Muchtadi 2008). Aktivitas air adalah jumlah air bahan yang dapat dipergunakan oleh mikroba untuk pertumbuhannya. Pengeringan bertujuan untuk mempertahankan daya awet dengan cara mengurangi aktivitas air, mengurangi berat dan volume sehingga menghemat ruang pengangkutan, pengepakan, serta mempermudah transportasi. Pengeringan bertujuan untuk meningkatkan nilai sensori pada suatu produk pangan, seperti aroma yang berbeda, kerenyahan, kekenyalan, dan parameter sensori lainnya (Berk 2009). Menurut Toledo (1980), proses pengeringan terbagi menjadi 3 tahap. Pada tahap awal terjadi kenaikan laju pengeringan, karena tekanan uap air di atas permukaan bahan semakin meningkat sejalan dengan kenaikan suhu permukaan. Proses pengeringan pada tahap ini hanya terjadi di sekitar permukaan bahan. Pada tahap kedua laju pengeringan akan konstan karena terjadi kenaikan suhu pada seluruh bagian bahan yang menyebabkan terjadinya pergerakan air secara difusi dari bagian dalam bahan ke permukaan bahan dan seterusnya diuapkan. Pada tahap ketiga, pengeringan (penguapan air) tidak hanya berlangsung melalui permukaan bahan, tetapi mulai terjadi ke dalam bahan sampai mencapai kadar air kesetimbangan 2.3 Pendugaan Umur Simpan dengan Metode Akselerasi
Peraturan mengenai penentuan umur simpan bahan pangan telah dikeluarkan oleh Codex Allimentarius Commission (CAC) pada tahun 1985 tentang Food Labelling Regulation. Di Indonesia, peraturan mengenai penentuan umur simpan bahan pangan terdapat dalam UU Pangan No. 7 tahun 1996 dan PP No.69 tahun 1999.
11
Menurut Rahayu et al. (2003), terdapat tujuh jenis produk pangan yang tidak wajib mencantumkan tanggal, bulan, dan tahun kadaluarsa, yaitu: a. Buah dan sayuran segar termasuk kentang yang belum dikupas b. Minuman yang mengandung alkohol lebih besar atau sama dengan 10% (volume/volume) c. Makanan yang diproduksi untuk dikonsumsi saat itu juga atau tidak lebih dari 24 jam setelah diproduksi d. Cuka e. Garam meja f. Gula pasir g. Permen dan sejenisnya yang bahan bakunya hanya berupa gula ditambah flavor atau gula yang diberi pewarna. Berdasarkan peraturan, semua produk pangan wajib mencantumkan tanggal kadaluarsa, kecuali tujuh jenis produk pangan tersebut. Penetapan umur simpan dan parameter sensori sangat penting pada tahap penelitian dan pengembangan produk pangan baru. Pada skala industri besar atau komersial, umur simpan ditentukan berdasarkan hasil analisis di laboratorium yang didukung hasil evaluasi distribusi di lapangan. Berkaitan dengan berkembangnya industri
pangan
skala
usaha
kecil-menengah,
dipandang
perlu
untuk
mengembangkan penentuan umur simpan produk sebagai bentuk jaminan keamanan pangan. Penentuan umur simpan di tingkat industri pangan skala usaha kecil menengah sering kali terkendala oleh faktor biaya, waktu, proses, fasilitas, dan kurangnya pengetahuan produsen pangan (Rahayu et al. 2003) 2.4 Penurunan Mutu Kerusakan produk pangan dapat disebabkan karena adanya serangan mikroorganisme. Mikroorganisme penyebab kerusakan ini sangat dipengaruhi oleh kandungan aktivitas air (aw) dalam produk tersebut. Kerusakan lain yang dapat terjadi pada produk pangan adalah reaksi oksidasi. Laju reaksi oksidasi sangat dipengaruhi oleh aktivitas air (aw). Enzim lipoksidase mulai mengkatalis reaksi oksidasi pada lemak tak jenuh saat nilai aw bahan pangan sebesar 0,3, dan laju reaksi oksidasi meningkat secara cepat seiring dengan peningkatan nilai aw pada bahan pangan (Steel 2004). Pada produk pangan kering dengan nilai aw
12
kurang dari 0,1 oksidasi dapat terjadi dengan cepat, saat nilai aw meningkat sekitar 0,3 dapat memperlambat laju reaksi oksidasi. Saat nilai aw mengalami kenaikan menjadi 0,55-0,85 reaksi oksidasi mengalami peningkatan kembali (Nawar 1977). Proses oksidasi terjadi karena kontak antara oksigen dengan lemak yang menghasilkan asam lemak, kemudian peroksida dioksidasi membentuk aldehid dalam bentuk malonaldehid (Nawar 1977). Reaksi oksidasi akan meningkat secara langsung jika daerah permukaan bahan pangan yang mengandung lemak terpapar oleh udara. Pada umumnya, laju reaksi oksidasi meningkat saat suhu mengalami peningkatan. Suhu juga mempengaruhi tingkat dan tekanan oksigen parsial. Saat suhu meningkat, perubahan tekanan oksigen parsial memiliki pengaruh yang lebih kecil terhadap laju reaksi karena oksigen menjadi berkurang kelarutannya dalam lemak dan air. Jumlah, posisi, dan geometri ikatan rangkap pada asam lemak dapat mempengaruhi laju oksidasi. Asam cis lebih mudah teroksidasi daripada isomer trans, dan ikatan rangkap konjugasi lebih reaktif daripada ikatan rangkap non-konjugasi. Asam lemak jenuh mengalami tingkat autooksidasi sangat rendah pada suhu ruang, namun pada suhu yang tinggi asam lemak tersebut dapat mengalami tingkat autooksidasi yang cukup signifikan (Nawar 1977). 2.5 Kriteria Kadaluarsa Menurut Institute of Food Science and Technology (1974), umur simpan produk pangan adalah selang waktu antara saat produksi hingga konsumsi dimana produk berada dalam kondisi yang memuaskan berdasarkan karakteristik penampakan, rasa, aroma, tekstur, dan nilai gizi. Sementara itu, Floros dan Gnanasekharan (1993) menyatakan bahwa umur simpan adalah waktu yang diperlukan oleh produk pangan dalam kondisi penyimpanan tertentu untuk dapat mencapai tingkatan degradasi mutu tertentu. Pada saat baru diproduksi, mutu produk dianggap dalam keadaan 100%, dan akan menurun sejalan dengan lamanya penyimpanan atau distribusi. Selama penyimpanan dan distribusi, produk pangan akan mengalami kehilangan bobot, nilai pangan, mutu, nilai uang, daya tumbuh, dan kepercayaan (Rahayu et al. 2003). Penggunaan indikator mutu dalam menentukan umur simpan produk siap masak atau siap saji bergantung pada kondisi saat percobaan penentuan umur simpan tersebut dilakukan (Kusnandar 2004). Hasil percobaan penentuan umur simpan hendaknya dapat memberikan
13
informasi tentang umur simpan pada kondisi ideal, umur simpan pada kondisi tidak ideal, dan umur simpan pada kondisi distribusi dan penyimpanan normal dan penggunaan oleh konsumen. Suhu normal untuk penyimpanan yaitu suhu yang tidak menyebabkan kerusakan atau penurunan mutu produk. Suhu ekstrim atau tidak normal akan mempercepat terjadinya penurunan mutu produk dan sering diidentifikasi sebagai suhu pengujian umur simpan produk (Hariyadi 2004). Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan pada produk pangan menjadi dasar dalam menentukan titik kritis umur simpan. Titik kritis ditentukan berdasarkan faktor utama yang sangat sensitif serta dapat menimbulkan terjadinya perubahan mutu produk selama distribusi, penyimpanan hingga siap dikonsumsi. Faktor yang sangat berpengaruh terhadap penurunan mutu produk pangan adalah perubahan kadar air dalam produk. Aktivitas air (aw) berkaitan erat dengan kadar air, yang umumnya digambarkan sebagai kurva isotermis, serta pertumbuhan bakteri, jamur dan mikroba lainnya. Makin tinggi aw pada umumnya makin banyak bakteri yang dapat tumbuh, sementara jamur tidak menyukai aw yang tinggi (Christian 1980). Mikroorganisme menghendaki aw minimum agar dapat tumbuh dengan baik, yaitu untuk bakteri 0,90, kamir 0,80−0,90, dan kapang 0,60−0,70 (Winarno 1992). Prabhakar dan Amia (1978) menyatakan pada aw yang tinggi, oksidasi lemak berlangsung lebih cepat dibanding pada aw rendah. Kandungan air dalam bahan pangan, selain mempengaruhi terjadinya perubahan kimia juga ikut menentukan kandungan mikroba pada pangan. Selain kadar air, kerusakan produk pangan juga disebabkan oleh ketengikan akibat terjadinya oksidasi atau hidrolisis komponen bahan pangan. Tingkat kerusakan tersebut dapat diketahui melalui analisis free fatty acid (FFA) dan tio barbituric acid (TBA). Kerusakan lemak selain menaikkan nilai peroksida juga meningkatkan kandungan malonaldehida, suatu bentuk aldehida yang berasal dari degradasi lemak (Deng 1978). Malonaldehida yang terkandung pada suatu bahan pangan diukur sebagai angka TBA. Kandungan mikroba, selain mempengaruhi mutu produk pangan juga menentukan keamanan produk tersebut dikonsumsi. Pertumbuhan mikroba pada produk pangan dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik mencakup keasaman (pH), aktivitas air (aw), equilibrium humidity (Eh), kandungan nutrisi, struktur biologis, dan
14
kandungan
antimikroba.
Faktor
ekstrinsik
meliputi
suhu
penyimpanan,
kelembapan relatif, serta jenis dan jumlah gas pada lingkungan (Arpah 2001). 2.6 Prinsip Pendugaan Umur Simpan Salah satu kendala yang sering dihadapi industri pangan dalam penentuan masa kadaluarsa produk adalah waktu. Pada prakteknya, ada lima pendekatan yang dapat digunakan untuk menduga masa kadaluarsa, yaitu: 1) nilai pustaka (literature value), 2) distribution turn over, 3) distribution abuse test, 4) consumer complaints, dan 5) accelerated shelf-life testing (ASLT) (Hariyadi 2004). Nilai pustaka sering digunakan dalam penentuan awal atau sebagai pembanding dalam penentuan produk pangan karena keterbatasan fasilitas yang dimiliki produsen pangan. Distribution turn over merupakan cara menentukan umur simpan produk pangan berdasarkan informasi produk sejenis yang terdapat di pasaran. Pendekatan ini dapat digunakan pada produk pangan yang proses pengolahannya, komposisi bahan yang digunakan, dan aspek lain sama dengan produk sejenis di pasaran dan telah ditentukan umur simpannya. Distribution abuse test merupakan cara penentuan umur simpan produk berdasarkan hasil analisis produk selama penyimpanan dan distribusi di lapangan, atau mempercepat proses penurunan mutu dengan penyimpanan pada kondisi ekstrim (abuse test). Untuk mempersingkat waktu, penentuan umur simpan dapat dilakukan dengan ASLT di laboratorium. Penentuan umur simpan produk pangan berhubungan erat dengan tahapan proses produksi seperti disajikan pada Gambar 3.
15
Produk
Jenis Pengolahan
Degradasi Umur simpan yang diinginkan Perhitungan awal
Pengaruh struktur
Kesesuaian
Bahan
Pasar
Protitipe
Biaya
Uji ASS
Uji distribusi
Optimum
Gambar 3 Hubungan antara penentuan umur simpan dengan tahapan produksi (Hariyadi 2004) Penentuan suhu pengujian umur simpan produk berbeda-beda tergantung jenis produksinya. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Penentuan suhu pengujian umur simpan produk Jenis Produk Suhu Pengujian (oC) Makanan dalam kaleng 25, 30, 35, 40
Suhu Kontrol (oC) 4
Pangan Kering
25, 30, 35, 40, 45
-18
Pangan Dingin
5, 10. 15, 20
0
Pangan Beku
-5, -10, -15
<-40
Sumber: Labuza dan Schmidl (1985) Menurut Arpah (2001) model Arrhenius dapat dilihat pada rumus berikut: k = k0 e-Ea/RT...................................................................................(1) Ln k = ln k0-(Ea/RT)...........................................................................(2) Ln k = ln k0-{(Ea/R).(1/T)}.................................................................(3)
16
Keterangan: k
: Konstanta (laju Reaksi)
Ea
: Energi aktivasi
T
: Suhu mutlak (K)
R
: Konstanta gas (1,986 kal/mol K)
1) Reaksi Ordo Nol Tipe Kerusakan yang mengikuti kinetika reaksi ordo nol meliputi perubahan kadar air, reaksi kerusakan enzimatis, oksidasi lemak, pencoklatan enzimatis, dan
non-enzimatis (Labuza 1982)
Persamaan ordo nol yaitu (Arpah 2001) ..................................................(4) Keterangan: dA
: Perubahan parameter mutu
dt
: Waktu penyimpanan
k
: Konstanta (Laju Reaksi)
Jika persamaan di atas diintegrasikan, maka:
At = A0-kt.......................................................(5) Sehingga waktu kadaluarsa akan sama dengan:
....................................................(6)
2) Reaksi Ordo Satu Penurunan mutu yang mengikuti reaksi ordo satu antara lain ketengikan pada minyak sayur, pertumbuhan mikroba, off flavor oleh mikroba pada daging
17
dan ikan, kerusakan vitamin, dan penurunan mutu protein (Labuza 1982). Persamaan ordo satu yaitu (Arpah 2001):
.........................................................(7) Keterangan [A] : Kosentrasi A Jika persamaan diatas di integrasikan maka: At = A0e-kt............................................................(8) Atau Ln (At) = Ln (Ao)-k.t............................................(9) Sehingga waktu kadaluarsa akan sama dengan ...............................................(10) 3) Reaksi Ordo lain Hanya sedikit penurunan mutu makanan yang mengikuti ordo ini, misalnya degradasi vitamin C yang mengikuti reaksi ordo dua (Haryadi et al. 2004). Contoh persamaan ordo lain yaitu (Arpah 2001): .....................................................(11) Jika persamaan di atas diintegrasikan maka: ....................................................(12) Sehingga waktu kadaluwarsa akan sama dengan : ...............................................(13) Keterangan: t
: Umur simpan
Ao
: Nilai mutu awal/kosentrasi mula-mula
At
: Nilai mutu awal/kosentrasi mula-mula
k
: Konstanta (laju reaksi)