TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Hewan Uji Berdasarkan klasifikasi (Hooper 2000) spons laut Petrosia nigricans adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Subkingdom : Metazoa Filum : Porifera Kelas : Demospongiae Ordo : Haplosclerida Famili : Petrosidae Genus : Petrosia Spesies : Petrosia nigricans
Gambar 3 P. nigricans dari Perairan Pulau Pari Petrosidae memiliki karakteristik berbentuk kompak, seperti kawah gunung atau vas bunga, mengerak, membulat atau bercabang. Teksturnya keras dan rapuh, mencerminkan sebagian besar spesies ini memiliki spikula yang tersusun atas silikat dibandingkan spongin. Rangka luar seperti jala terdiri dari spikul tunggal atau bidang spikul yang membentuk kulit yang mengeras dan membuat penampilan luarnya terlihat halus. Rangka bagian tengah kurang lebih seperti jala yang merupakan jalur-jalur spikul. Perkembangbiakan secara ovivar. Famili Petrosidae saat ini diketahui memiliki tiga genus yaitu Petrosia, Strongylophora dan Xestospongia (Hooper 2000).
10
Genus Petrosia banyak ditemukan di perairan terumbu karang Indonesia. Voogd dan Soest (2002) menemukan 7 spesies spons Petrosia di Sulawesi Selatan yaitu Petrosia alfiani, Petrosia corticata, Petrosia hoeksemai, Petrosia strongylata, Petrosia lignosa, Petrosia plana dan Petrosia nigricans. Karakteristik Petrosia dengan tubuh yang keras dan kokoh, warna bagian luar tubuh coklat atau kombinasi warna coklat dan warna lain (coklat kemerahan, coklat kehitaman,
coklat
keemasan
dan
coklat
kekuningan)
dengan
bentuk
pertumbuhan menyerupai tabung, vas, mangkuk, lembaran dan membulat. P. nigricans bentuknya menyerupai lembaran, mangkok dan tabung. Ukuran spons ini bisa mencapai 150 cm tingginya dan diameternya mencapai 200 cm. P. nigricans berwarna coklat kegelapan dan coklat kehitaman. Spiculnya berbentuk oxea dan strongylota dengan 3 kategori ukuran: 240-305 X 8-16 mµ , 120-188 x 9-10 mµ , dan 57-85 x 5 mµ. Habitatnya mulai kedalaman 3 sampai 45 meter. Distribusi penyebarannya di wilayah Indo-Australia (Voogd dan Soest 2002). Morfologi Spons Spons adalah hewan yang termasuk Filum Porifera. Filum Porifera terdiri dari tiga kelas, yaitu: Calcarea, Demospongiae, dan Hexactinellida (Haywood dan Wells 1989; Sara 1992; Amir dan Budiyanto 1996; Rachmat 1996; Romimohtarto dan Juwana 1999), sedangkan menurut (Warren 1982); Ruppert dan Barnes 1991) Filum Porifera terdiri dari empat kelas, yaitu Calcarea, Demospongiae, Hexactinellida, dan Sclerospongia. Kelas Calcarea adalah kelas spons yang semuanya hidup di laut. Spons ini mempunyai struktur sederhana dibandingkan yang lainnya. Spikulanya terdiri dari kalsium karbonat dalam bentuk calcite. Kelas Demospongiae adalah kelompok spons yang terdominan di antara Porifera masa kini. Mereka tersebar luas di alam, serta jumlah jenis maupun organismenya sangat banyak. Mereka sering berbentuk masif dan berwarna cerah dengan sistem saluran yang rumit, dihubungkan dengan kamar-kamar bercambuk kecil yang bundar. Spikulanya ada yang terdiri dari silikat dan ada beberapa (Dictyoceratida, Dendroceratida dan Verongida) spikulanya hanya terdiri dari serat spongin, serat kolagen atau spikulanya tidak ada. Kelas Hexactinellida merupakan spons gelas. Mereka kebanyakan hidup di laut dalam dan tersebar luas. Spikulanya terdiri dari silikat dan tidak mengandung spongin (Warren 1982; Ruppert dan Barnes 1991; Brusca
11
dan Brusca 1990; Amir dan Budiyanto 1996; Romihmohtarto dan Juwana 1999). Kelas Sclerospongia merupakan spons yang kebanyakan hidup pada perairan dalam di terumbu karang atau pada gua-gua, celah-celah batuan bawah laut atau terowongan di terumbu karang. Semua jenis ini adalah bertipe leuconoid kompleks yang mempunyai spikula silikat dan serat spongin. Elemen-elemen ini dikelilingi oleh jaringan hidup yang terdapat pada rangka basal kalsium karbonat yang kokoh atau pada rongga yang ditutupi oleh kalsium karbonat (Warren 1982; Ruppert dan Barnes 1991). Spons terbagi menjadi tiga kelompok utama sesuai dengan cara bagaimana tubuhnya tersusun. Spons sederhana adalah asconoid, mempunyai bentuk seperti tabung sederhana yang dipenuhi oleh lubang-lubang porus (ostia). Bagian internal yang terbuka pada tabung disebut spongocoel yang terdiri dari sel-sel leher (collars), selain itu terdapat pula satu bagian yang terbuka keluar yang disebut oskulum. Kelompok yang lebih kompleks adalah syconoid yang berukuran relatif lebih besar dibanding asconoid, mempunyai bentuk tubuh tubular dengan oskulum tunggal tetapi dengan dinding tubuh yang lebih kurus dan ukuran porus yang lebih panjang berpenetrasi ke dalam membentuk sebuah sistem kanal sederhana.
Kanal-kanal tersebut dipenuhi oleh sel-sel leher
(collars), flagella yang menggerakkan air ke dalam spongocoel dan keluar melalui oskulum.
Kategori ketiga adalah organisasi tubuh yang disebut
leuconoid, merupakan spons terbesar dan paling kompleks. Spons ini terdiri dari sejumlah kamar kecil yang digarisi oleh sel-sel berflagel. Pergerakan air melewati kanal ke dalam kamar-kamar tersebut dan ke luar melalui kanal pusat dan oskulum (Myers 2001). Morfologi luar spons laut sangat dipengaruhi oleh faktor fisik, kimiawi, dan biologis lingkungannya. Spesimen yang berada di lingkungan terbuka dan berombak besar cenderung pendek pertumbuhannya atau juga merambat. Sebaliknya spesimen dari jenis yang sama pada lingkungan yang terlindung atau pada perairan yang lebih dalam dan berarus tenang, pertumbuhannya cenderung tegak dan tinggi. Pada perairan yang lebih dalam spons cenderung memiliki tubuh yang lebih simetris dan lebih besar sebagai akibat dari kondisi lingkungan yang lebih stabil jika dibandingkan dengan jenis yang sama yang hidup pada perairan yang dangkal (Bergquist 1978; Amir dan Budiyanto 1996). Spons merupakan hewan multiseluler sederhana dan memiliki bentuk yang bervariasi.
12
Bentuknya dipengaruhi oleh lingkungan kimia dan lingkungan fisik seperti kedalaman, arus, ombak dan sedimentasi (Rachmat et al. 2001). Gambar 4 menunjukkan contoh sederhana penampang melintang dari suatu spons berdasarkan kategori saluran serta susunan tubuh yaitu asconoid, syconoid, dan leuconoid.
Asconoid
Syconoid
Leuconoid
Gambar 4 Penampang melintang tubuh spons berdasarkan susunan tubuhnya (Myers 2001) Spons dapat berbentuk sederhana seperti tabung dengan dinding tipis, atau masif bentuknya dan agak tidak teratur. Banyak spons juga terdiri dari segumpal jaringan yang tak tentu bentuknya, menempel dan membuat kerak pada batu, cangkang, tonggak, atau tumbuh-tumbuhan. Kelompok spons lain mempunyai bentuk lebih teratur dan melekat pada dasar perairan melalui sekumpulan spikula. Bentuk-bentuk yang dimiliki spons dapat beragam. Beberapa jenis bercabang seperti pohon, lainnya berbentuk seperti sarung tinju, seperti cawan atau seperti kubah. Ukuran spons juga beragam, mulai dari jenis berukuran sebesar kepala jarum pentul, sampai ke jenis yang ukuran garis tengahnya 0.9 m dan tebalnya 30.5 cm. Jenis-jenis spons tertentu nampak berbulu
getar
karena
spikulanya
menyembul
keluar
dari
badannya
(Romimohtarto dan Juwana 1999). Banyak spons berwarna putih atau abu-abu, tetapi lainnya berwarna kuning, oranye, merah, atau hijau. Spons yang berwarna hijau biasanya
13
disebabkan oleh adanya alga simbiotik yang disebut zoochlorellae yang terdapat didalamnya (Romimohtarto dan Juwana 1999). Warna spons tersebut sebagian dipengaruhi oleh fotosintesis mikrosimbionnya. Mikrosimbion spons umumnya adalah cyanophyta (cyanobacteria dan eukariot alga seperti dinoflagellata atau zooxanthella). Beberapa spons memiliki warna yang berbeda walaupun dalam satu jenisnya. Beberapa spons juga memiliki warna dalam tubuh yang berbeda dengan pigmentasi luar tubuhnya. Spons yang hidup di lingkungan yang gelap akan berbeda warnanya dengan spons sejenis yang hidup pada lingkungan yang cerah (Wilkinson 1980). Spons dapat berbentuk sederhana
seperti tabung dengan dinding tipis
seperti yang dijumpai pada marga leucosolenia, atau masif bentuknya dan agak tidak teratur. Spons juga banyak terdiri dari segumpal jaringan yang tidak tentu bentuknya, mengkerak pada batu, cangkang, tonggak, atau tumbuh-tumbuhan dan pada benda-benda inilah mereka menempel (Rigby et al. 1993). Dinding sel spons terlihat dalam Gambar 5.
Gambar 5 Dinding sel spons (Rigby et al. 1993) Keterangan gambar : 1. Spikula
: Berfungsi menopang tubuh spons dan membentuk kerangka, terbuat dari kapur karbonat atau silikon. Spikula bermacammacam bentuknya.
14
2. Archaeocyte
: Sel yang memproduksi spikula dan serat spongin, penting juga dalam mengidentifikasi jenis, memelihara bentuk spons, dan kemungkinan mencegah serangan predator
3. Sclerocyte
: Sel-sel aktif spons yang mempunyai banyak mitokondria, mikrofilamen sitoplasmik, dan vakuola kecil, dan bertanggung jawab untuk memproduksi spikula kalkareus dan silikon pada spons.
4. Mesenchyme : Disebut juga mesohil yang merupakan suatu matrik protein yang terletak antara pinacoderm dan choanoderm, dimana bahan rangka ditemukan dengan semua tipe sel lainnya. 5. Pinacocyte
: Lapisan pinacoderm yang terletak di permukaan bagian luar spons yang terdiri dari satu lapisan sel.
6. Choanocyte
: Berperan utama pada fagositosis dan pinakosis, karena dia mempunyai vakuola makanan, berfungsi untuk
membuat
arus dan mengarahkan air oleh flagella yang dikelilingi oleh sel-sel leher (collars). 7. Porocyte
: Sel-sel yang terdapat pada pinacoderm dan kontraktil yang dapat membuka dan menutup lubang, mengatur diameter ostia.
8. Pore/Ostium
: Bukaan bagian luar pada saluran porocytes atau disebut juga lubang pemasukan (incurrent pore).
9. Canal
: Saluran tempat pertukaran air dan oksigen dan tempat masuknya makanan dan nutrien.
10. Flagellum
: Berfungsi menciptakan arus masuk melalui sistem saluran pada spons dengan cara memukul-mukulnya secara terusmenerus.
11. Collar
: Berfungsi menangkap partikel makanan dan dibawa ke sel tubuh dengan cara membuat gerak mengombak pada selnya dan juga berfungsi membuang sisa makanan yang tidak tercerna.
Makanan dan Cara Makan Spons adalah pemakan menyaring (filter feeder) yang menetap. Spons memperoleh makanan dalam bentuk partikel organik renik, hidup atau tidak, seperti bakteri, mikroalga dan detritus, yang masuk melalui pori-pori arus masuk
15
(ostia) yang terbuka dalam air, dan di bawa ke dalam rongga lambung atau ruang-ruang berflagella. Arus air yang masuk melalui sistem saluran dari spons diciptakan oleh flagella choanocytes yang memukul-mukul secara terus menerus. Choanocytes juga mencerna partikel makanan, baik disebelah maupun di dalam sel leher (collars). Sebuah vakuola makanan terbentuk dan di vakuola ini pencernaan
terjadi. Sisa makanan yang tidak tercerna dibuang ke luar dari
dalam sel leher (collars). Makanan itu dipindahkan dari satu sel ke sel lain dan barangkali diedarkan
dalam batas tertentu oleh sel-sel amebocytes yang
terdapat di lapisan tengah. Penting bagi spons untuk hidup dalam air bersirkulasi, karenanya kita temukan hewan ini dalam air yang jernih, bukannya air yang keruh. Karena arus air yang lewat melalui spons membawa serta zat buangan dari tubuh spons, maka penting agar air yang keluar melalui oskulum dibuang jauh dari badannya, karena air ini tidak berisi makanan lagi, tetapi mengandung asam karbon dan sampah nitrogen yang beracun bagi hewan tersebut (Romimohtarto dan Juwana 1999). Spons dapat menyaring partikel yang sangat kecil yang tidak tersaring oleh hewan-hewan laut lainnya (Bergquist 1978). Partikel yang berukuran antara 2-5 μm (protozoa, ultraplankton, detritus organik) ditangkap oleh archaeocytes, yang bergerak ke batas saluran pemasukan (incurrent canal), sementara partikel yang berukuran antara 0.1-1.5 μm (bakteri, molekul organik) ditangkap oleh flagella sel-sel leher (collars). Gerak mengombak pada gerakan sel leher (collars) menangkap partikel makanan dan dibawa ke sel tubuh choanocytes, dimana mereka dicerna secara fagositosis atau pinositosis. Spons juga dapat mengambil dalam jumlah yang signifikan bahan organik terlarut (dissolved organic matter, DOM) secara pinositosis dari dalam air pada sistem saluran (Brusca dan Brusca 1990). Menurut penelitian (Reiswig 1976, diacu dalam Brusca dan Brusca 1990) 80 % bahan organik terlarut diambil oleh jenis spons Jamaika, dan 20 % adalah bakteri dan dinoflagellata. Menurut Bell et al. (1999) jenis ultraplankton yang dimakan oleh spons pada umumnya adalah jenis bakteri heterotropik, Prochlorococcus sp, Synechococcus sp, cyanobakteri, dan picoeukaryotes autotropik. Choanocytes pada tubuh spons jumlahnya relatif besar. Menurut (Schmidt 1970, diacu dalam Brusca dan Brusca 1990) jenis Epydatia fluvialis mempunyai jumlah choanocytes sekitar 7600 per millimeter kubik tubuh spons. Setiap rongga choanocytes dapat memompa air sekitar 1200 kali dari volume
16
tubuhnya per hari. Spons yang lebih kompleks, tipe leuconoid mempunyai jumlah choanocytes yang lebih besar, yaitu 18.000 per millimeter kubik.
Kualitas Air Suhu Perubahan suhu air secara nyata akan mempengaruhi hampir seluruh proses-proses biokimia, proses fisilogis dan ekologis dari spons laut. Pertumbuhan spons berhubungan dengan suhu air laut untuk beberapa spesies daerah empat musim.
Pertumbuhan spons Latrunculia wellingtonensis lebih
besar pada musim dingin dan Polymastia croceus pada musim semi (Duckworth dan Battershill 2001). Suhu air pada penelitian transplantasi spons jenis Auletta sp di Teluk Labuange Kabupaten Barru Sulawesi berkisar 29.9-31.5oC (Masak 2003). Penelitian tranplantasi spons jenis A. aaptos di terumbu karang Pulau Barrang Lompo, Makasar, suhu perairan yang terukur berkisar
26.3-29.7oC
(Rani dan Haris 2005). Salinitas Salinitas merupakan salah satu variabel yang menentukan kehidupan organisme akuatik terutama berkaitan dengan keseimbangan osmotik antara protoplasma medium air lingkungannya. Penelitian Masak (2003) salinitas air laut pada transplantasi spons jenis Auletta sp di Teluk Labuange Kabupaten Barru di Sulawesi berkisar tranplantasi spons
30.50-33.10‰. Penelitian Rani dan Haris (2005)
jenis Aaptos aaptos di terumbu karang
Pulau Barrang
Lompo, Makasar, salinitas perairan yang terukur berkisar 29.0-32.3‰. Penelitian Voogd (2005) tentang distribusi bioaktif spons di Kepulauan Spermonde bahwa kelimpahan spons dengan kelompok bioaktif kuat berbeda nyata dan berasosiasi negatif dengan fluktuasi tingkat salinitas. Salinitas di daerah penelitian berkisar antara 28-34 ‰. Bahan Organik Richter et al. (2001) menyatakan total bahan oganik di perairan terdiri 2 jenis yaitu partikel bahan organik dan bahan organik terlarut. Dalam perairan oligotropik di daerah tropis, partikel bahan organik terdiri dari fitoplankton dan
17
bakteriplankton. Menurut Benner menyatakan (2000) partikel bahan organik kandungannya hanya kurang dari 3% dari total bahan organik. Hampir 97% bahan organik terdiri dari bahan organik terlarut sebagai stok karbon di perairan laut. Menurut Ribes et al. (2003) bahan organik di perairan terumbu karang dibagi 3 jenis. Pertama dalam bentuk bahan organik terlarut (dissolved organic matter) diantaranya terdiri dari simbiotik bakteri. Banyak spons didalam tubuhnya mengandung simbiotik bakteria (Ribes et al. 2003; Yahel et al. 2003). Kedua adalah jenis partikel bahan organik hidup (live particulated organic matter) diantaranya dari sel-sel plankton (Ribes et al. 2003; Reiswig, 1971). Tipe ketiga adalah partikel bahan organik tak hidup (non living particulate organic matter) diantaranya detritus. Detritus sangat penting sebagai sumber makanan spons (Ribes et al. 2003; Wilson et al. 2003). Bahan organik terlarut berkisar antara 12.21-23.31mg/l yang cukup tinggi berasosiasi dengan tingginya pertumbuhan transplantasi spons jenis A. aaptos (Rani dan Haris 2005). Total bahan organik dari hasil penelitian (Suharyanto 2001) pada penelitian beberapa aspek biologi spons di Perairan Pulau Barrang Lompo berkisar antara 0.6-4.1 mg/l. Menurut Brusca dan Brusca (1990), spons dapat mengkonsumsi bahan organik terlarut dalam jumlah yang signifikan pada sistem saluran airnya. Ketersediaan makanan yang banyak dalam bentuk bahan organik terlarut akan memicu pertumbuhan spons yang lebih tinggi. Penelitian budidaya tiga spons di Teluk Awarange, Kabupaten Barru di Sulawesi Selatan, yaitu Callyspongia sp, Callyspongis basilana, dan Haliclona sp dengan perbedaan ukuran transplantasi, pertumbuhan spons tinggi dengan nilai TOM 11.21- 16.00 mg/l.
Tingginya kandungan TOM digunakan spons
sebagai sumber makanan dengan filter feeder (Rosmiati et al. 2002). Umumnya spons, lamella branchia dan ascidians tumbuh optimal pada kondisi bahan organik 15.00 – 20 mg/l air laut (Jorgensen 2008). Tingginya
biomassa
spons
di
Karibia
menggambarkan
tingginya
konsentrasi bahan organik. Biomassa populasi spons di Belize Karibia lima kali lebih tinggi dibandingkan di Great Barrier Reef. Perbedaan ini disebabkan spons di Karibia mengkonsumsi sepuluh kali lebih bahan organik dibandingkan spons di Great Barrier Reef (Wilkinson dan Anthony 1990). Tingginya biomassa heterotropik spons pada kedalaman 15-20m berhubungan langsung dengan ketersediaan bahan organik di perairan terumbu
18
karang. Tingginya biomassa spons menunjukkan indikator adanya bahan organik yang tinggi pada perairan. Tingginya biomassa spons heterotropik menunjukkan indikator awal adanya polusi bahan organik di perairan (Wilkinson dan Anthony 1990). Kecepatan Arus Tingkat
arus
laut
mempunyai
pengaruh
yang
pertumbuhan dan biomassa spons yang ditransplantasikan. ditransplantasikan, spons jenis Latrunculia wellingtonensis
besar
terhadap
Setelah 9 bulan di pesisir selatan
Wellington, New Zealand, pada lokasi yang terbuka dengan kecepatan arus 0.19-0.46 m/detik dan pada lokasi yang terlindung dengan kecepatan arus 0.13 m/detik. Jenis spons yang ditransplantasikan pada perairan terbuka mempunyai biomassa dan pertumbuhan mendekati tiga kali lebih besar dari pada lokasi terlindung (Duckworth dan Battershill 2003). Tingginya pergerakan air umumnya mempengaruhi pertumbuhan spons dan berpengaruh terhadap ketersediaan makanan (Duckworth et al. 2004). Penelitian tranplantasi spons jenis A. aaptos di terumbu karang Pulau Barrang Lompo, Makasar, kecepatan arus yang terukur berkisar 0.040-5.39 cm/det. Pengaruh arus yang kuat (1.90-5.39 cm/det) terhadap rendahnya pertumbuhan spons yang ditransplantasikan diduga karena arus yang kuat dapat mengangkat sedimen dan meningkatkan kekeruhan pada daerah berpasir yang akhirnya dapat menutupi permukaan tubuh spons (Rani dan Haris 2005). Fosfat dan Nitrat Kandungan fosfat dalam air laut dari hasil penelitian (Suharyanto 2001) pada penelitian beberapa aspek biologi spons di Perairan Pulau Barrang Lompo berkisar antara 0.866-0.1814 mg/l, sedangkan kandungan nitrat 0.0132-0.0478 mg/l. Pada penelitian (Rani dan Haris 2005) tingginya pertumbuhan spons A. aaptos pada konsentrasi nitrat (0.908-1.967mg/l) dan fosfat (1.824-2.189mg/l) yang tinggi diduga berhubungan dengan mikrosimbionnya.
Nitrat dan fosfat
secara bersama-sama dibutuhkan oleh mikrosimbion spons untuk pertumbuhan dan multiaplikasinya. Mikro simbiotik pada spons terdiri dari bakteri heterotropik, cyanobakteri dan alga uniselular.
19
Kedalaman Perairan Penelitian tentang makanan dan pertumbuhan spons Callyspongia vaginalis, Angelas conifera dan Aplysina fistularis dari Florida dan Bahama terdapat perbedaan yang nyata dan lebih besar hasil transplantasi spons terhadap
biomassa,
pertumbuhan
dan
makanan
dengan
bertambahnya
kedalaman. Penelitian dilakukan di kedalaman 7 m, 15 m, 23 m dan 30 m. Spons mengkonsumsi 65-93% partikel bahan organik dari makanannya
dari semua
stasiun penelitian. Spons bertambah ukuran dan pertumbuhannya dengan bertambahnya
kedalaman,
hal
ini
dikarenakan
adanya
bertambahnya
ketersediaan makanan dan berbeda nyata proses- proses di dasar perairan yang pada akhirnya akan mempengaruhi pertumbuhan spons (Lesser 2005). Penelitian spons di Daviest Reef (Great Barrier Reef) bahwa
total
biomassa spons mencapai maksimum pada kedalaman 20 m. Semua lokasi penelitian yang diteliti di Great Barrier Reef populasi spons menurun pada perairan yang dangkal (<10m) dibandingkan pada perairan yang lebih dalam. Cahaya dalam bentuk radiasi UV
adalah faktor pembatas perairan dangkal
kurang dari 10 m ( Wilkinson dan Trott 1985). Spons di perairan Karibia menunjukkan peningkatan biomassa dan keragaman sampai kedalaman 50m. Beberapa lokasi di perairan Karibia, spons bertambah
ukuran,
bertambahnya
pertumbuhan
kedalaman.
dan
Kedalaman
ketersediaan makanan dan laju makan.
ketersediaan yang
makanan
berbeda
mempengaruhi
Beberapa penelitian menunjukkan
bertambahnya biomassa, pertumbuhan dan keragaman spons bertambahnya
kedalaman.
Perbedaan
dengan
persaingan,
dengan
hidrodinamik,
pemangsaan spons dengan perbedaan kedalaman ditemukan.
dan
Bintang laut,
ikan, dan penyu sebagai predator spons, memangsa spons pada perairan yang dangkal (Lesser 2005). Kondisi hidrodinamik diantaranya dipengaruhi arus yang semakin membesar pada spons di perairan dangkal (Palumbi 1986). Penelitian (Voogd 2005) tentang kekayaan dan kelimpahan kelompok bioaktif spons
dengan kategori lemah, sedang dan kuat di Kepulauan
Spermonde, Sulawesi Selatan. Bioaktif ekstrak kasar spons diuji dengan brine shrimp lethality assay. Dari penelitian ini didapatkan 67 spesies bioaktif lemah, 52 sedang dan 32 tergolong kuat; rata-rata kelimpahan per kelompok spons bioaktif lemah 94±27/m2, sedang 75 ±19/m2 dan kelompok bioaktif kuat 174 ±66/m2. Kekayaan jenis spons meningkat dengan penambahan kedalaman
20
untuk semua kelompok bioaktif spons (lemah, sedang dan kuat) dan mencapai optimum pada kedalaman 10-15 m (Gambar 6 dan Gambar 7). Kelompok bioaktif
Kelimpahan (ind/m2)
berbeda nyata dan berasosiasi positif dengan kedalaman.
Kedalaman (m)
Kelimpahan (ind/m2)
Gambar 6 Hubungan antara kekayaan spesies spons dan kedalaman pada tiga tipe senyawa bioaktif (Voogd 2005)
Kedalaman (m)
Gambar 7 Hubungan antara kelimpahan spons dan kedalaman pada tiga tipe senyawa bioaktif (Voogd 2005) Spons bertambah ukuran dan bertambah pertumbuhannya pada kedalaman lebih
besar dari 10m (Lesser 2005). Komposisi alga dan karang
menurun dengan bertambahnya kedalaman (Gardner et al. 2003). Pertumbuhan dan kelangsungan hidup spons transplantasi Psammocinia hawere di New Zealand lebih tinggi pada kedalaman 17m daripada 10m (Duckworth et al. 1997). Intensitas sinar matahari yang tinggi di perairan dangkal pada spons hasil transplantasi meningkatkan penempelan alga. Alga dapat menyebabkan spons mati (Kaandrorp dan Kluijver 1992); alga dapat mengurangi penyembuhan luka
21
spons (Hoppe 1998); penempelan alga memberi kontribusi pada tingginya kematian P. hawere pada kedalaman 5 m (Duckworth et al. 1997). Kedalaman lokasi budidaya spons mempengaruhi pertumbuhan spons Latrunculia wellingtonensis dan Polymastia croceus, dan terdapat interaksi antara musim dan aliran air (Duckworth et al. 2004). Penelitian pengaruh kedalaman
pada
pertumbuhan
dan
kelangsungan
spons
transplantasi
memperlihatkan adanya pengaruh intensitas cahaya dan pergerakan air. Arus yang lambat menjadi faktor pembatas spons transplantasi (Wilkinson dan Vacelet 1979). Tingginya kematian spons dan pertumbuhan yang negatif spons transplantasi P. hawere pada kedalaman 5m diakibatkan oleh tingginya instensitas sinar matahari (Duckworth et al. 1997). Pengaruh sinar ultraviolet di perairan dangkal menyebabkan kerusakan jaringan spons Mycale cecilia dan menimbulkan kematian (Jokiel 1980). Beberapa faktor seperti turbulensi, kompetisi, radiasi ultraviolet dan pemangsaan adalah hal yang sering terjadi pada kondisi spons perairan dangkal (Wilkinson dan Evans 1989). Kompetisi ruang dengan organisme bentik seperti karang dan alga di perairan dangkal, menyebabkan spons kalah dalam kompetisi ini. Pengaruh pemangsaan mengurangi kelimpahan spons diperairan dangkal, sebagai contoh penyu dan beberapa spesies ikan diketahui memakan spons di perairan berkarang di Karibia (Wilkinson dan Anthony 1990). Transplantasi Spons Metode transplantasi spons telah dilakukan oleh Duckworth et al. (1999) terhadap spons laut Latrunculia brevis dan Polymastia croceus. Spons ini dipotong secara in situ dan disisakan sekitar 30% dari volume awal, untuk memberikan kesempatan beregenerasi. Semua spons dikumpulkan dan dipotong pada air laut mengalir di laboratorium. Fragmen dipotong berbentuk kubus dengan ukuran sekitar 27 cm3 dan berat sekitar 16 gram.
Semua
fragmen paling sedikit mempunyai satu sisi yang tidak terpotong, dengan seluruh pinacoderm dan oskula. Tiga metode yang digunakan oleh (Duckworth et al. 1999) pada setiap jenis spons, yaitu: (1) fragmen ditempatkan pada jaring; (2) fragmen ditempelkan secara langsung pada tali; dan (3) fragmen dengan tali benang kecil melaluinya. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa, dari ketiga metode tersebut, laju pertumbuhan antar metode transplantasi tidak berbeda nyata pada kedua jenis spons tersebut, sedangkan
22
sintasannya berbeda nyata, dimana sintasan tertinggi didapatkan pada metode pertama, yaitu fragmen ditempatkan pada jaring. Laju pertumbuhan pada kedua jenis spons, yang didapatkan pada metode pertama relatif bagus dengan pertumbuhan berat rata-rata 1.2 gram selama 95 hari penelitian, dan sintasan mencapai 100 % pada L. brevis dan 97.5 % pada P. croceus (40 fragmen). Hasil penelitian Haris (2004) merupakan modifikasi metode Duckworth et al.(1999) dengan transplantasi spons A. aaptos dilewatkan pada seutas tali poliethilen diameter 4 mm ditengahnya. Regenerasi fragmen spons dimulai setelah satu hari ditransplantasi dan terpigmentasi dan sempurna sistem saluran airnya setelah satu bulan ditransplantasi.
Pertumbuhan bulanan
fragmen spons di Pulau Barrang Lompo dan di Pulau Samalona pada bulan pertama umumnya rendah, tetapi pada bulan-bulan berikutnya sampai akhir penelitian, pertumbuhan bulanan semakin meningkat antara bulan yang satu dengan bulan yang lainnya. Pertumbuhan rata-rata fragmen spons di Pulau Barrang Lompo dan Pulau Samalona
pada habitat
berkarang lebih tinggi
daripada di habitat berpasir. Sintasan fragmen spons di Pulau Barrang Lompo lebih tinggi daripada di Pulau Samalona. Sintasan fragmen spons di Pulau Barrang Lompo pada habitat rubble lebih tinggi daripada di habitat berpasir dan berkarang, sedangkan sintasan di Pulau Samalona pada habitat berpasir lebih tinggi daripada di habitat rubble dan habitat berkarang. Penelitian transplantasi spons oleh Masak (2003) di Balai Penelitian Perikanan Pantai, Maros Selawesi Selatan.
Penelitian spons dengan
perlakuan substrat sebagai tumbuh spons: batu sungai dengan berat 0.7± 0.01 kg dibungkus jaring poliethylen (BP), Jaring poliethylen dibentangkan pada kerangka besi segiempat berukuran 60 x 90 cm (pxl) dengan posisi vertikal dalam air (PV), Jaring poliethylen dibentangkan pada rangka besi segiempat berukuran 60 x 90 cm dengan posisi horizontal dalam air (PH). Hasil pengamatan Masak (2003) menunjukkan bahwa pertumbuhan panjang spons Auletta sp, pada substrat BP lebih baik dibandingkan dengan substrat PV dan PH. Laju pertumbuhan spons pada awal pemeliharaan pada 2 kali interval waktu 30 hari, relatif sama pada ketiga perlakuan. Selanjutnya pada pemeliharaan 2 kali 30 hari terakhir terlihat bahwa perlakuan substrat BP, Auletta sp, memiliki laju pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan substrat PV dan PH yang relatif sama. Tingkat kelangsungan hidup spons
23
setelah 120 hari pemeliharaan tidak berbeda pada substrat BP, PV dan PH masing-masing dengan nilai 70.83, 75.00 dan 76.67 %. Metode
transplantasi
spons
oleh
Voogd
(2005)
di
Kepulauan
Spermonde, Sulawesi Selatan dengan metode menembusnya dengan tali poliethylen pada jaringan spons dan dibentangkan rangka besi segi empat berukuran 70 x 100 cm2. Dari Sembilan jenis spons yang ditransplantasikan: Aaptos suberitoides, Acanthostrongylophora sp, Amphimedon paraviridis, Callyspongia (Euplacella) biru, Hyrtios reticulatus, Ircinia ramosa, Petrosia hoeksemai, Petrosia nigricans dan Pseudoceratina purpurea. Dari sembilan spesies, tujuh spesies yang diseleksi untuk dibudidayakan. Angka kelulusan hidupnya, tinggi untuk semua spesies. Angka kelulusan hidup 80% untuk A. paraviridis dan 92% untuk I. ramosa. Kematian tinggi terjadi pada transplan P. purpurea. Penelitian Hibah Pasca IPB (Soedharma et al. 2007)
spons P.
nigricans melimpah di perairan Pulau Pari dan Pramuka. Penelitian transplantasi spons Petrosia sp dihasilkan
spons
dengan
selama 1 bulan di perairan Pulau Pari
kelangsungan
hidup
berkisar
95.12-100%.
Sedangkan kelangsungan hidup spons A. aaptos selama transplantasi 1 bulan berkisar 36.54-88.46%. Pertumbuhan Transplantasi Spons Penelitian budidaya spons sebagai spons bahan antikanker, antibakteri dan antitumor di Selandia Baru dengan jenis Latrunculia wellingtonensis dan Polymastia croceus pada perairan yang terbuka dan terlindung dengan volume awal rata-rata 25.0 cm3 dan 23.4 cm3. Hasil penelitian menyatakan pertumbuhan (biomassa) berbeda nyata dipengaruhi oleh lokasi dan metode transplantasi. Pertumbuhan rata-rata spons L. wellingtonensis metode tali pada perairan yang terbuka selama 9 bulan sebesar 241 cm3 atau terjadi peningkatan volume awal 960%. Sedangkan spons P. croceus pada metode tali pada perairan terbuka setelah 9 bulan penelitian mencapai pertumbuhan volume sebesar 170 cm3 terjadi peningkatan volume 730% (Duckworth dan Battershill 2003). Penelitian Hibah Pasca IPB (Soedharma et al. 2007) menyatakan bahwa penelitian transplantasi spons Petrosia sp selama 1 bulan di perairan Pulau Pari dihasilkan spons dengan pertumbuhan berkisar 1.39-4.98 cm 3.
24
Pertumbuhan spons Aaptos aaptos selama transplantasi 1 bulan berkisar 0.33-1.94 cm3. Perbandingan laju pertumbuhan spons (% per tahun) pada beberapa metode transplantasi dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Perbandingan laju pertumbuhan spons (% per tahun) pada beberapa metode transplantasi Spesies dan Referensi
Dilekatkan beton Ditusuk kawat Dilekatkan beton Ditusuk kawat Ditusuk kawat Kantong jaring Jaring
Laju Pertumbuhan (% per tahun) 100 100 150 38-90 150 35 380
Tali
700
Jaring
270
Tali
360
Jaring
130
Metode
Hippiospongia dan Spongia spp (Moore 1908) Hippiospongia dan Spongia spp (Moore 1908) Hippiospongia lachne (Crawshay 1939) Spongia agaricina (Verdenal dan Vacelet 1990) Spongia agaricina (Verdenal dan Vacelet 1990) Raspailia agminata (Duckworth 1997) Geodia cydonium (Muller et al. 1999) Latrunculia wellingtonensis (Duckworth dan Battershill 2003) Latrunculia wellingtonensis (Duckworth dan Battershill 2003) Polymastia croceus (Duckworth dan Battershill 2003) Polymastia croceus (Duckworth dan Battershill 2003) Sumber: Duckworth dan Battershill (2003)
Komponen Bioaktif dari Spons Penelitian di bidang bahan alami laut telah berkembang pada sekitar tiga puluh tahun terakhir ini. Dari sekedar isolasi dan karakterisasi metabolit sekunder sampai kepada isolasi senyawa-senyawa yang mempunyai aktivitas atau farmakologi seringkali diikuti oleh uji toksisitas untuk menentukan keamanan penggunaan senyawa-senyawa tersebut untuk obat. Laporan Faulkner (1998) menyatakan bahwa sampai tahun 1996, kimia produk alam laut telah sangat berkembang dan telah sampai kepada sintesis senyawa-senyawa aktif yang secara mendalam telah diteliti sifat biologinya, termasuk aktivitas atau efek farmakologinya, dan sifat ekologinya.
Laporan itu telah menyatakan tentang
produk alam laut baru yang mempunyai sifat biologi dan farmasetika yang menarik.
Sampai tahun 1996, penelitian terhadap spons masih tetap
mendominasi laporan produk alam laut. Metabolit spons yang diteliti umumnya karena sifat biomediknya, tetapi juga fungsi ekologinya.
Mengingat bahwa
banyak senyawa antibiotika dihasilkan dari mikroba daratan, maka tidak mustahil mikroorganisme laut juga merupakan sumber senyawa antibiotika disamping
25
aktivitas biologi lain.
Hal ini memerlukan penelitian interdisiplin lebih lanjut
dengan peran utama peneliti para ahli mikrobiologi. Di bidang farmakologi, penelitian produk alami laut pada 30 tahun telah berkembang ke arah penemuan senyawa-senyawa sitotoksik, antitumor, antikanker, antibiotika, antivirus, antiparasitosis dan penyakit-penyakit akibat gangguan fisik dan gangguan fungsi organ. Dari hasil-hasil pemanfaatan pada satu tahun terakhir (1986 -1987) dari kurun waktu 10 tahun (1977-1987) dapat dikemukan bahwa penelitian terhadap spons cenderung naik. Penelitian organisme laut di bidang biomedik sampai sekarang masih tetap didominasi oleh spons (Faulkner 1998). Jumlah metabolit baru dari organisme laut yang telah ditemukan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Metabolit baru dari organisme laut yang ditemukan dalam waktu 1986-1987 (Faulkner 1998) Organisme
Jumlah Metabolit Baru Ditemukan
Algae Spons Coelenterata Echinodermata Tunica Bryozoan Mikroba Jumlah
289 186 177 105 19 14 11 801
36% 23% 22% 13% 2% 2% 2% 100%
Spons secara alami mengeluarkan metabolit sekunder sebagai respon terhadap lingkungan. Harper et al. (2001) dalam dekade terakhir, dilaporkan bahwa sebanyak 50% senyawa bioaktif yang ditemukan dalam invertebrata berasal dari filum porifera. Produksi metabolit sekunder dari spons merupakan kompensasi akibat interaksi dengan lingkungan biotik, abiotik dan sebagai senjata kimia terhadap predator. Salah satu pemicu produksi senyawa terpen, poliketida dan alkoloid oleh spons adalah kompetisi dengan koral dan untuk mencegah infeksi bakteri. Senyawa 7-deacetoxyolepupuane dari spons Dysidea sp menyebabkan kematian spons Cacospongia sp dan senjata kimia terhadap predator ikan Promacanthus imperator. Rachmat (2005) menyatakan Pusat Penelitian Oseanografi LIPI tahun 2004 sampai 2008 telah melakukan penelitian keanekaragaman, informasi bioprospekting spons dan makroalga
di Indonesia secara terperinci meliputi
26
perairan Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi, Papua, dan Maluku. Pada tahun 2004 telah dikumpulkan 65 jenis spons dari perairan Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, dengan kandungan metabolit sekunder 38 spesies mengandung terpenoid, 20 spesies mengandung steroid dan 33 spesies mengandung alkoloid. Empat jenis spons:Callyspongia azurea, Ircinia sp, Acanthostrongylaophora ingens dan Callyspongia samurensis diteruskan ke tahap isolasi dan identifikasi. Penelitian tahun 2005 di perairan Sulawesi ditemukan 103 spesies spons yang mengandung 60% alkaloid, 50% steroid dan 20% mengandung steroid. Jenis spons yang potensial untuk diteruskan analisa dan identifikasi bioprospektingnya adalah Xestopongia sp, Petrosia sp, Crella calypta, Anomoianthella rubra, Callyspongia azurea dan Angelas ceylonica. Senyawa antibakteri telah diisolasi dari spons laut jenis: Discodermia kiiensis, Cliona celata, Lanthella basta, Lanthella ardis, Psammaplysila purpurea, Agelas sceptrum, Phakelia .flabellata. Senyawa antijamur telah diisolasi dari spons laut jenis: Jaspis sp, Jaspis johnstoni, dan Geodia sp. Senyawa anti tumor dan anti kanker telah diisolasi dari spons laut jenis: Aplysina fistularis, A. aerophoba. Senyawa antivirus telah diisolasi dari spons laut jenis: Cryptotethya crypta, dan Ircinia variabilis. Senyawa sitotoksik diisolasi dari spons laut jenis: Axinella cannabina, Epipolasis kuslumotoensis, Spongia officinalis, Igernella notabilis, Tedania ignis, Axinella verrucosa, dan Ircinia sp. Senyawa antienzim tertentu telah diisolasi dari spons laut jenis: Psammaplysilla purea (Ireland et al.1989; Munro et al. 1989). Kimura et al.(1998) mengisolasi senyawa 1-Methyherbipoline dari Halisulfate-1 dan Suvanin sebagai inhibitor protease serin dari sponge jenis Coscinoderma mathewsi.
Komponen bioaktif alami yang merupakan peptida
makrosiklik berhasil diisolasi dari spons jenis Theonella swinhoei yang berasal dari perairan Jepang. Komponen ini dikenal dengan nama Cyclotheonamida A dan B yang menunjukkan aktivitas penghambatan terhadap serin protease seperti thrombin dan mempunyai dua bentuk utama yaitu cyclothonamida A (C36H45N9O81) serta cyclotheonamida B (C34H47N9O8) yang mengandung vinylogous tyrosine dan alpa-ketoarginin residu yang merupakan jenis asam amino yang belum diketahui secara pasti di alam. Spons laut menghasilkan ekstrak kasar dan fraksi yang bersifat antibakteri, antijamur, antibiofouling dan ichtyotoksik. Bioaktifitas antibakteri
27
ekstrak kasar spons laut terdapat pada beberapa jenis, seperti: Halichondria sp, Callyspongia pseudoreticulata, Callyspongia sp dan Auletta sp (Suryati et al. 1996). Beberapa spons yang belum diketahui jenisnya, yang aktif terhadap bakteri Staphylococcus aures, Bacillusubtilis, dan Vibrio cholerae Eltor (Rachmat 1996). Bioaktifitas antijamur ekstrak kasar spons laut terdapat pada beberapa jenis seperti: Auletta sp yang aktif terhadap jamur Aspergillus fumigatus, Clathria sp yang aktif terhadap Aspergillus sp, Aspergillus fumigatus dan Fusarium sp, Theonella cylindrica yang aktif terhadap Aspergillus sp, Aspergillus fumigatus dan Fusarium sp dan Fusarium solani (Muliani et. al. 1998). Senyawa bioaktif yang dihasilkan oleh beberapa spons laut dapat dilihat pada Tabel 3 dibawah ini. Tabel 3 Senyawa bioaktif yang dihasilkan spons laut (Soest dan Braekman 1999) Senyawa
Kelompok Spons
Peroxy-polyketides
Homosclerophorida (9)
Steroid amines
Plakina- Corticium (2)
Saponines
Astrophorida (8)
Triterpenes
Stelletta (4)
Penaresidins
Penares (2)
Sulfated sterol
Pachastrellidae (2)
Aaptamines
Subberetidae (3)
4,8,12- trimethyl tridecanoid acid
Spirastrellidae/ Clionidae (2)
Clionamides
Cliona (2)
Peroxy-sesterterpenoids
Latrunculiidae (4)
Pyrrologuinoline alkaloids
Latrunculiidae (5)
Pyrrole-2-carboxylic derivates
Axinellidae-AgelasidaeCeratoporellidae (26)
Isocyanoterpene
Axinellidae-Bubaridae-Halichondridae (32)
Sulfated sterol
Halichondriidae (9)
Cyclic diterpenes
Desmoxydae (3)
Linear diterpenes
Myrmekioderma (2)
Sesquiterpenes phenols
Didiscus (2)
Topsentins
Spongosorities (4)
Di-dan sesquiterpenes
Agelas (6)
3- alkylpiperidine derivates
Haplosclerida (12)
Polyhidroxylated acetylines
Petrosia (7)
28
Lanjutan Tabel 3 Senyawa bioaktif yang dihasilkan spons laut (Soest dan K Braekman 1999) e t Senyawa e Linear 3- alkylpiperidines r a Brominated acetylines n Linear 3- alkylpiperidines g a Cyclic 3 - alkypiperidin n Cyclopropenesterol : Tetrahydropyrans A Furano atau lactone terpenes n Furano atau lactone sesterpenes g k Furano atau lactone sesterpenes a Furano atau lactone diterpenes
Kelompok Spons Niphatidae + Callyspongidae (6) Xestospongia (3) Niphatidae + Callyspongidae (6) Chalinidae + Petrosidae (8) Petrosidae + Phloeodyctydae (8) Haliclona (2) Dictosidae + Dendroceratida (8) Spongiidae+Thorectidae+Irciinidae (56) Dysideidae (14) Darwinellidae + Dictyodendrillidae (13)
d derivates Bromotyrosine Verongidae (22) a Macrocylic bromotyrosines Ianthella (2) l a Guanidine- imidazoles Clathrinida (4) m Long- chained aminoalcohols Clathrinida (3) k Peroxy-sesterterpenoid Mycale (5) u Trikentrin indole Trikentrion (2) r u Polycyclic guanidine alkaloids Crambeidae (3) n Straight- chain Haplosclerida (17) g acetylenes pada kolom kedua adalah jumlah jenis/genus
Bioaktifitas antibiofouling ekstrak kasar spons laut terdapat pada beberapa jenis seperti: Asterospus sarasinorum, Callyspongia sp, Clathria sp. Clathria jaspis, yang keaktifannya tinggi terhadap teritip (Balanus amphirit); Echynodicum sp, Gelliodes sp, Pericarax sp, dan Xestopongia sp, yang keaktifannya rendah terhadap teritip (Balanus amphirit)(Suryati et al.1999). Bioaktivitas ichtyotoksik ekstrak kasar spons laut terdapat pada beberapa jenis seperti: Auletta sp, Callyspongia sp, Callyspongia pseudoreticulata, yang toksik terhadap nener bandeng (Chanos chanos) (Parenrengi et al. 1999). Senyawa Bioaktif yang Diisolasi dari Spons Indonesia Rachmat (2008) menyatakan temuan senyawa baru dari spons laut Indonesia telah dipublikasikan dalam jurnal dalam negeri dan jurnal internasional Tetrahedron Letters dan jurnal Natural Product. Beberapa diantara metabolit
29
sekunder yang berhasil diisolasi, diidentifikasi, dan diuji bioaktivitasnya secara ringkas diuraikan dibawah ini: Aaptamin dan Demethylaaptamin diisolasi dari spons A. aaptos yang dikumpulkan di perairan Barranglompo, Kepulauan Spermonde Sulawesi Selatan. Aaptamin dan Demethylaaptamin merupakan senyawa alkaloid dan menunjukkan aktivitas antibakteri terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Bacillus subtilis. Pengembangan senyawa bioaktif Aaaptamin dari A. aaptos cukup prospektif karena spons A. aaptos merupakan spesies spons yang ada di hampir seluruh perairan Indonesia dan telah berhasil dibudidayakan (Rachmat 2008). Beberapa senyawa bioaktif yang diisolasi dari spons Indonesia dapat dilihat pada Tabel 4 dibawah ini. Tabel 4 Senyawa bioaktif yang diisolasi dari spons Indonesia Lead Compound Aaptamine Barangamide Bitungolide A-F Brianthein A Demethyl aaptamin Isomisakinolide Jaspamide Lembehyne A Luteoresin Mcfarlandin Melophlin A dan B Methyl scalardycin B New mereosesquiterpenes New scalarane sesterpenes Sarasinoside A Scalardycin Swinholide A Theonella peptolide Xestoquinone
Aktivitas Sitotoksik Sitotoksik Sitotoksik Sitotoksik Antibakteri Sitotoksik Sitotoksik Sitotoksik MDR Sitotoksik Sitotoksik Sitotoksik Sitotoksik
Biota Asal Aaptos aaptos Theonella swinhoei Theonella swinhoei Brianthein exvacatum
Sitotoksik
Aplidium longithorax
Sitotoksik Sitotoksik Sitotoksik Sitotoksik Sitotoksik Sitotoksik
Phyllospongia sp Melophlus sarassinorum Carteriospongia foliascens Theonella swinhoei Theonella swinhoei Xestospongia sp
Aaptos aaptos Theonella swinhoei Jaspis splendens Haliclonia sp Chaelonaphysilla sp Chaelonaphysilla sp Melophlus sarassinorum Carteriospongia foliascens
Sumber: Rachmat (2008)
Dari spons Theonella swinhoei yang dikumpulkan dari perairan Barranglompo Sulawesi Selatan, telah diisolasi senyawa aktif yang diberi nama Barangamide A. Barangamide merupakan senyawa baru berupa undecapeptide siklik yang memiliki tiga unit N-methylated aminoacid, dan tiga ß-alanine yang
30
saling berikatan secara bergantian. Barangamide A telah diuji aktivitasnya terhadap sel leukemia limposit dan menunjukkan aktivitas sitotoksik yang ditunjukkan dengan IC
50
1.3 -2.4 µm/ml. Bitungolides A diisolasi dari spons
Theonella swinhoei yang dikumpulkan dari perairan Bitung. Bitungolide merupakan novel substance berupa polyketides. Bitungolides menunjukkan aktivitas sitotoksik IC50 10 µg/ml (Rachmat 2008). Senyawa lain yaitu Lembehyne A diisolasi dari spons Haliclona sp yang diambil dari perairan Pulau Lembeh Sulawesi Utara. Dari hasil identifikasi ditunjukkan Lembehyne A sebagai senyawa polyacetylene. Lembehyne A merupakan novel substance serta menunjukkan aktivitas neuritogenik terhadap sel kanker L1210 pada IC50 10 µm/ml. Melophlins A dan B diisolasi dari spons Melophlus sarassinorum yang diambil dari perairan Kepulauan Spermonde Sulawesi Selatan. Identifikasi dengan spektrofotometer FTIR dan NMR. Melophlins A dan B merupakan senyawa tetramic acid. Selain Melophlins A dan B dalam Melophlins A menunjukkan aktivitas sitotoksik terhadap sel kanker HL60 pada konsentrasi 0.2 dan 0.4 µm/ml dan efek efek reversing MDR pada IC50 5 µm/ml. Selain Barangamide dari spons Theonella swinhoei asal Baranglompo telah diisolasi dan diidentifikasi Swinholide A. Swinholide A merupakan senyawa peptida dan memiliki aktivitas citotoxic terhadap KB sel dengan IC50 0.05 µm/ml (Rachmat 2008). Sifat sitotoksik dari senyawa bioaktif “lead compound “ spons yang diuji bervariasi dari IC50 0.2 µm/ml -IC50 2.4 µm/ml untuk kriteria aktif sitotoksik. Ada juga dengan IC50 10 µm/ml yaitu Bitungolide dan Lembehyne. Pada umumnya kandungan bioaktif dalam hewan invertebrata yang diperoleh jumlahnya relatif sangat kecil yaitu hanya sekitar 10-6 %/bobot basah. Diperlukan biomassa dalam jumlah besar merupakan salah satu hambatan dalam pengembangan atau komersialisasi karena umumnya biomassa terdapat di alam senyawa aktif yang tidak dapat dilanjutkan karena kekurangan biomassa. Di Indonesia belum dilakukan budidaya spons secara komersial apalagi dalam kaitannya dengan penggunaan untuk menghasilkan substansi bioaktif (Rachmat 2008). Komponen Bioaktif Petrosia sp Penelitian Rachmat (2005) tentang bioaktif spons dari perairan Sulawesi diantaranya terdapat 2 jenis Petrosia sp yang potensial untuk diteruskan analisa dan identifikasi bioprospektingnya. Di perairan Sulawesi ditemukan 103 spesies
31
spons yang mengandung 60% alkaloid, 50% steroid dan 20% mengandung steroid. Dua senyawa yang disolasi dari spons Petrosia sp berasal dari Taman Nasional Laut Bunaken adalah senyawa alkoloid yang menunjukkan tingkat toksisitas cukup tinggi terhadap larva Artemia salina dengan LC50 masing-masing sebesar 7.23 (isolat 1) dan 5.69
µg/ml (isolat 2). Sitotoksisitas terhadap sel
myeloma menunjukkan nilai LC50 masing-masing sebesar 16.95 µg /ml (isolat 1) dan 18,8 µg
(isolat 2) (Astuti 2005). Hasil uji fraksi metanol spons P. nigricans
dari perairan gosong Pulau Pramuka Kepulauan Seribu sitotoksik terhadap sel tumor Hela dengan nilai LC
50
memiliki aktifitas
sebesar 11.9 µg/ml dan
hasil uji Brine Shrimp Lethality Test bahwa ekstrak kasar P. nigricans memiliki aktivitas tahap awal yang baik dengan LC50 23.4/ µg/ml (Nursid et al. 2006). Hasil analisis dereplikasi substansi bioaktif fraksi polar Petrosia sp dari perairan Kepulauan Seribu menunjukkan bahwa subfraksi aktif ini memiliki dua senyawa mayor yang memiliki gugus karbonil (C=O), gugus nitrogen ikatan rangkap dua (N=C), dan sistem siklik konjugasi ternitrogenasi merupakan trigonelin dan aminozooanemonin, yaitu senyawa bioaktif umum pada organisme laut yang memiliki peran primer sebagai regulator osmosis (Januar et al. 2007) Penelitian bioaktif senyawa spons P. nigricans dari perairan Pulau Barang Lompo Sulawesi Selatan ditemukan 17 senyawa dari ekstrak metanol yaitu 10 senyawa bahan alam yang sudah diketahui, 2 new cerebrosides, satu senyawa turunan bis- indole dan 4 senyawa turunan new 2-oxo-purine (Ashour 2005).