PENGARUH MATERIAL LAMUN BUATAN TERHADAP KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN CRUSTACEA DI PERAIRAN PULAU PARI, KEPULAUAN SERIBU SKRIPSI
Disusun oleh :
Aji Septiyadi 105095003113
PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang Maha Kuasa, atas segala Rahmat dan Hidayah-Nya yang dianugerahkan kepada penulis dalam menyelesaikan SKRIPSI yang berjudul “Pengaruh Material Lamun Buatan Terhadap Keanekaragaman dan Kelimpahan jenis Crustacea Di Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu”. Shalawat serta salam senantiasa penulis sampaikan kepada Rasulullah SAW. Selanjutnya dalam penulisan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan bantuan dan motivasi dari berbagai pihak baik langsung maupun tidak langsung untuk itu perkenankanlah penulis menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada: 1. DR. Syopiansyah Jaya Putra, M.Sis selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi. 2. DR. Lily Surayya Eka Putri, M.Env.Stud, selaku ketua Program Studi Biologi dan Pembimbing II. Terima kasih telah memberikan bimbingan dan masukannya dalam penulisan skripsi. 3. Dra. Rianta Pratiwi, M.Sc, selaku pembimbing I, terima kasih atas bimbingan dan semua masukannya selama penelitian berlangsung, dengan bimbingan dari Ibu penulis mendapatkan banyak ilmu dan pengalaman yang tak pernah didapatkan dari Kampus. 4. Drs. Indra Aswandy, selaku Peneliti Utama yang telah membantu dan memberi masukan dalam mengidentifikasi sampel penelitian dan referensi skripsi.
5. Bpk. Suhendra Unyang, selaku Pengawas Laboratorium Crustacea, LIPI yang telah membantu dalam meminjamkan Alat – alat dalam penelitian dan proses identifikasi sampel. 6. Para Dosen Biologi, yang telah memberikan dukungan baik moral maupun spiritual dan membantu dalam teknis Akademis penyelesaian skripsi penulis. 7. Ayah dan Ibu Penulis, yang tidak henti – hentinya membantu baik doa, motivasi maupun secara materi dalam proses mulai kuliah sampai selesai tugas akhir penelitian dan memberikan masukan secara moral ketika dalam penelitian berlangsung. 8. Adik – adik Penulis, yang telah membantu berupa dukungan baik moral maupun spiritual. 9. Bpk. Mumuh, selaku Pengawas dan Teknisi Lapangan yang ada di Pulau Pari, ketika memulai dan berlangsungnya penelitian. 10. Bpk. Hasan, selaku warga yang ada di Pulau Pari, yang telah memberikan fasilitas baik pangan maupun papan (tempat tinggal) ketika saat penelitian di lapangan. 11. Pengawas Perpustakaan LON-LIPI, yang telah memberikan bantuan berupa referensi atau sumber literatur dalam proses penulisan skripsi penelitian. 12. Sdr. Achmad Syaifurrachman, S.Si, selaku teman yang selalu membantu dalam penelitian berlangsung saat di lapangan (Pulau Pari) baik tenaga maupun fasilitas alat dan bahan penelitian. 13. Sdr. Mr. Lukman Budianto, S.Si, selaku teman yang telah menyumbangkan bantuan baik tenaga maupun teknis saat penelitian di lapangan.
14. Sdr. Apep Fry Hidayat, S.Si, selaku teman penulis yang telah memberikan bantuan baik moral maupun materi berupa fasilitas alat – alat penelitian. 15. Sdri. Siti Mulya Agnah, S.Pd, selaku kekasih penulis, yang telah memberikan dukungan baik moral ataupun spiritual. 16. Keluarga Besar Biologi 2005 (BIOMA), kita semua telah mengarungi lautan dan menjelajah lembah yang curam serta mendaki gunung – gunung tertinggi selama hampir 4 tahun lebih bersama. Mudah – mudahan kita semua selalu diikatkan dan jangan pernah terpisah. Semoga Allah SWT selalu memberkati ‘jalan’ yang kita tempuh baik sekarang maupun kedepannya. 17. Teman-teman BIOLOGI angkatan 2006,2007 dan 2008 kita semua satu rumpun, satu ordo, satu famili dan satu marga hingga kita menjadi satu saudara penuh. 18. Kepada semua pihak yang tidak dapat dituliskan semua karena keterbatasan halaman dan tempat. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan Rahmat dan Karunia-Nya kepada semua pihak yang telah memberikan segala bantuan tersebut di atas. Skripsi ini tentu saja masih jauh dari kesempurnaan, sehingga penulis dengan senang hati menerima saran dan kritik yang bersifat membangun dan mengembangkan. Akhirnya semoga Skripsi ini dapat digunakan sebaik-baiknya serta memiliki banyak manfaat bagi semua pihak.
Jakarta, Maret 2011
Aji Septiyadi
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Keberadaan biota laut seperti crustacea berperan penting dalam berbagai proses yang terjadi di daerah padang lamun. Peranan mereka tidak hanya sebagai pengurai tapi juga sebagai komponen jaring makanan. Kelangsungan hidup crustacea tidak dapat lepas dari keberadaan lamun sebagai tempat hidup, sumber makanan, reproduksi dan lain – lain. Hewan yang datang sebagai pengunjung biasanya untuk memijah dan tempat makanan seperti ikan dan beberapa jenis crustacea di antaranya kepiting, udang, amphipoda dan isopoda (Putra, 2008). Menurut Kasim (2005), bentuk crustacea infaunal maupun epifunal berhubungan erat dengan produsen primer dan berada pada tingkatan trofik yang lebih tinggi, karena selama masa juvenil dan dewasa mereka merupakan sumber makanan utama bagi berbagai ikan dan invertebrata yang berasosiasi dengan lamun. Adapun lamun memiliki produktifitas primer di perairan dangkal di seluruh dunia dan merupakan sumber makanan penting bagi banyak organisme (Fahruddin, 2002). Oleh sebab itu, padang lamun merupakan ekosistem yang mempunyai produktivitas tinggi dan kaya akan keanekaragaman jenis biota laut khususnya crustasea. Padang lamun biasanya terdapat di perairan tropis seperti yang terdapat di Pulau Pari kawasan Kepulauan Seribu. Kawasan tersebut banyak terdapat pemukiman penduduk yang dilengkapi fasilitas memadai dan dijadikan sebagai objek wisata bahari. Di sisi lain, masih
2
kurang upaya yang diberikan untuk menyelamatkan ekosistem lamun, meskipun data mengenai kerusakan ekosistem lamun tidak tersedia, tapi faktanya sudah banyak mengalami degradasi akibat aktivitas di darat (Rani, 2008). Sektor wisata, budidaya, dermaga dan kegiatan manusia lainnya (reklamasi, pertambakan, industri dan pengembangan kota) yang berada di Pulau Pari tersebut tidak diimbangi dengan kesadaran untuk melestarikan lingkungannya (Diatin et al, 2007). Hal ini banyak menimbulkan dampak negatif bagi pihak setempat salah satunya mengalami pencemaran polusi dan sampah. Menurut Rani (2008), degradasi padang lamun memberi dampak yang nyata yaitu mengarah pada penurunan keragaman biota laut sebagai akibat hilang atau menurunnya fungsi ekologi dari ekosistem lamun. Akibatnya dari berbagai kegiatan manusia tersebut jelas ekosistem lamun akan mengalami kerusakan dan kehilangan fungsinya serta membawa dampak terhadap penurunan produksi biota. Khususnya bagi kehidupan biota crustacea ekonomis yang bergantung pada habitat lamun akan mengalami penurunan dan berangsur – angsur akan hilang. Sebagai tindak lanjut dalam menanggulangi penurunan produksi biota lamun (crustacea) perlu dilakukan upaya antara lain pengembangan lamun buatan. Lamun buatan dibentuk dari berbagai material seperti tali tambang, rumpon plastik, batang bambu atau kayu, sabut kelapa dan lain – lain. Tujuannya untuk memberikan habitat baru bagi berbagai biota laut dan dapat menciptakan suatu proses ekologi terutama proses makan memakan (food chain & food web) (Rani, 2008). Terbatasnya penelitian mengenai lamun buatan yang berperan penting bagi biota lamun dapat dijadikan solusi pemanfaatan lebih lanjut dari berbagai pihak
3
dan mengingat perairan Pulau Pari sebagai penunjang, tempat perawatan hidup (nursery ground) bagi biota crustacea, memiliki padang lamun dan telah banyak mengalami kerusakan, maka untuk mengembalikan fungsi lamun alami di perairan setempat perlu dikembangkan lamun buatan (artifisial).
1.2. Rumusan Masalah 1. Apakah di lamun buatan terdapat jenis–jenis crustacea? 2. Apakah
terdapat pengaruh baik
pada lamun buatan
terhadap
keanekaragaman dan kelimpahan crustacea padang lamun yang bernilai ekonomis dan non ekonomis? 1.3. Hipotesis 1. Di lamun buatan terdapat jenis–jenis crustacea antara lain dari kelompok Decapoda (udang dan kepiting), Isopoda dan Amphipoda. 2. Terdapat pengaruh baik pada lamun buatan terhadap keanekaragaman dan kelimpahan crustacea padang lamun yang bernilai ekonomis dan non ekonomis. 1.4. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui pengaruh dan peranan dari beberapa material lamun buatan pada lokasi yang berbeda terhadap keanekaragaman dan kelimpahan crustacea. 2. Mengetahui jenis–jenis crustacea yang hadir pada lamun buatan, di perairan padang lamun, Pulau Pari.
4
1.5. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu: 1. Memberikan informasi mengenai kelimpahan dan keanekaragaman crustacea pada lamun buatan, di ekosistem lamun, Pulau Pari. 2. Memberikan informasi tentang kualitas perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu. 3. Menjadi bahan informasi tambahan kepada pihak-pihak terkait khususnya Lembaga Oseanografi, P2O-LIPI dan Balai Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (BTNLKpS) dalam mengembangkan wilayah di sekitar Pulau Pari, Kepulauan Seribu.
5
1.6.
Kerangka Berpikir
Padang lamun Pulau Pari sebagai habitat bagi biota crustacea
Berubahnya parameter fisik dan kimia perairan Pulau Pari, perputaran air akibat pergerakan aktivitas perahu nelayan di perairan lamun dan metode penangkapannya.
Tercemar polusi dan rusaknya pada ekosistem lamun serta turunnya regenerasi biota crustacea
Dilakukan pengelolaan dan penelitian mengenai pengaruh material lamun buatan terhadap kelimpahan dan keanekaragaman crustacea di perairan padang lamun, Pulau Pari
Pengambilan sampel crustacea dengan model artifisial (tali tambang hijau)
Pengambilan sampel crustacea dengan model artifisial (sabut kelapa)
Identifikasi crustacea yang diperoleh
Memberi informasi jenis crustacea khususnya bernilai ekonomis dan non ekonomis yang terdapat di lamun buatan
Memberikan informasi tentang kegunaan dan manfaat dari artifisial lamun sebagai tempat kehidupan biota crustacea dan kehidupan masyarakat pesisir Gambar 1: Kerangka berpikir penelitian.
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Keadaan Umum Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu 2.1.1. Letak Geografis Kawasan Kepulauan Pari terletak antara 05° 50′ hingga 05° 52′ Lintang Selatan dan 106° 34′ sampai 106° 38’ Bujur Timur. Daerah ini terletak di Laut Jawa, tepatnya di sebelah Utara DKI Jakarta dan Tangerang. Secara administrasi Kepulauan Pari termasuk Kelurahan Pulau Tidung, Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, Kabupaten Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta. Jumlah penduduk tercatat 567 jiwa pada tahun 1994 (Asriningrum, 2004) (Gambar 2).
Gambar 2. Peta Lokasi Pulau Pari, Kepulauan Seribu. (http:// kepulauan seribu. multiply.com/GIF-image/item/Kepulauan_Seribu, 20 05).
7
Gugusan Pulau Pari terdiri atas 6 pulau kecil yaitu Pulau Pari, Burung, Kongsi Timur, Kongsi Tengah, Kongsi Barat, dan Tikus. Gugusan pulau ini menjadi satu kesatuan oleh adanya pertumbuhan terumbu karang. Dalam kesatuan kepulauan ini, terumbu karang membentuk lagun di tengahnya sehingga kepulauan ini dapat dikatakan sebagai Pulau Atol dalam bentuk mini (Asriningrum, 2004).
2.1.2. Topografi dan Luas Lahan Menurut Asriningrum (2004) Gugusan Pari diketahui ada empat kelas bentuk lahan dimana, dataran aluvial pantai merupakan bentuk lahan terluas. Bentuk lahan terumbu cincin terbentuk oleh pertumbuhan terumbu karang atau karena naiknya air laut pada terumbu samudera. Bentuknya seperti cincin dan disebut juga atol. Luas bentuk lahan Gugus Pulau Pari dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Luas Bentuk Lahan Gugus Pulau Pari.
No. 1 2 3 4
Bentuklahan Terumbu cincin (atol) Lagun Terumbu penghalang Permukaan planasi ∑
Luas (m2)
Luas (km2)
% Luas
8025497.731
8.025
70.65
2133587.95
2.134
18.78
740896.1737
0.741
6.52
459497.6
0.459
4.05
11.359
100
Sumber : (Asriningrum, 2004). Bentuk atol tersebut berasosiasi dengan terbentuknya lagun, sedangkan bentuk lahan lagun merupakan genangan air laut yang berada di tengah terumbu karang karena terbentuk oleh pertumbuhan terumbu karang atau naiknya air laut. Bentuk lahan terumbu penghalang berupa terumbu karang yang muncul ke
8
permukaan laut oleh pertumbuhannya atau penurunan air laut. Bentuk lahan ini muncul ke permukaan sebagai pulau-pulau karang timbul, sedangkan bentuk lahan permukaan yang lebih dari satu bidang datar (planasi) terbentuk oleh proses pengikisan lapisan atas permukaan (denudasi) sehingga membentuk suatu relief hampir datar. Bentuk lahan ini terdapat di Pulau Pari yang material penyusunnya merupakan sedimentasi pasir (Asriningrum, 2004). Pulau Pari berbentuk memanjang arah diagonal Barat Daya – Timur Laut mengikuti pola patahan secara regional. Sementara ke-lima pulau kecil lainnya menunjukkan pola bentuk perkembangan terumbu karang yang telah lanjut dan oleh adanya pertumbuhan karang dan atau penurunan air laut, terumbu karang ini muncul ke permukaan (Asriningrum, 2004). Karang Timbul lainnya juga muncul di tepi Gugusan Pulau Pari bagian Barat dan Utara dengan ukuran lebih kecil. Menurut Kiswara (1992) bagian Selatan Pulau Pari merupakan rataan terumbu dengan panjang terpendek 180 m dan terpanjang 900 m. Pantai utaranya terdiri atas Goba (Goba Besar I dan II) di sebelah Barat dan rataan terumbu di Timur. Panjang dari bagian tersempit rataan terumbu di pantai Utara Pulau Pari sekitar 300 m dan yang terlebar 600 m. Rataan terumbu adalah bagian pulau karang yang berada di daerah pasang surut. Pada waktu pasang rataan terumbu tergenang air dan waktu surut terdapat tempat – tempat kering dan dasarnya terdiri atas lumpur, pasir dan puing karang mati.
2.1.3. Sejarah dan Dasar Hukum Menurut Lestari (2008) Kelurahan Pulau Pari yang berkedudukan di Pulau Pari merupakan salah satu kawasan Kepulauan Seribu yang meliputi 10 pulau.
9
Adapun luas daratan Kepulauan Seribu kurang lebih 864,59 hektar dan luas lautannya kurang lebih 6.997,50 km2 . Usaha pengaturan wilayah perairan laut di Kepulauan Seribu sudah lama dilakukan, selain melalui peraturan daerah juga melalui peraturan pusat (Diatin et al, 2007). Pada tanggal 21 Juli 1982 dengan melihat potensi dan pemanfaatan sumber daya alam khususnya daerah laut di Kepulauan Seribu yang cukup tinggi, melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor 527/Kpts/Um/1982, ditetapkan wilayah seluas 108.000 hektar di Kepulauan Seribu sebagai Cagar alam dan dengan diberi nama Cagar Alam Laut Seribu (Diatin et al, 2007). Selanjutnya pada tahun yang sama dibulan Oktober, Menteri Pertanian memberikan pernyataan pada Kongres Taman Nasional sedunia yang diadakan di Bali, dengan Nomor 736/Mentan/X/1982, mengubah nama Cagar Alam Laut Pulau Seribu menjadi Taman Nasional Kepulauan Seribu. Perubahan luas Taman Nasional Kepulauan Seribu menjadi 108.475,45 hektar ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 220/Kpts- II/2000. Namun, selanjutnya luas dari Taman Nasional Kepulauan Seribu tersebut dirubah kembali menjadi 107.489 hektar dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor. 6310/Kpts-II/2002 pada tanggal 13 Juni 2002. Menurut Diatin et al (2007) adapun pengelolaan Kawasan Pelestarian Alam Perairan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu diserahkan kepada Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Luas Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNLKpS) tersebut hanya 15% luas Kabupaten Kepulauan Seribu, akan tetapi sangat berperan dalam pembangunan Kepulauan Seribu. Potensi yang ada di daerah TNLKpS sangat besar, 66 % keseluruhan
10
potensi budidaya kelautan dan 73 % dari keseluruhan potensi wisata bahari yang ada di Kepulauan Seribu.
2.1.4. Zonasi Kawasan Berdasarkan administrasi Gugusan Pulau Pari termasuk Kelurahan Pulau Tidung, Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, Kabupaten Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta. Jumlah penduduk tercatat 567 jiwa (1994). Wilayah Kepulauan Seribu seluas 108.000 Ha, sebagian telah ditetapkan sebagai Taman Nasional melalui SK. Menteri Pertanian No. 736 /MENTAN/ X /1 982 (Asriningrum, 2004). Zonasi Taman Nasional ini, ditetapkan sebagai berikut: Zona I, II, dan III merupakan daerah yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan dalam bentuk apapun oleh aktivitas manusia, kecuali yang berhubungan dengan Ilmu Pengetahuan, Pendidikan, dan Penelitian. 1. Zona inti I, merupakan perlindungan habitat Penyu Sisik yang berlokasi di Pulau Gosong Rengat dan perairannya. Pulau Karang Rengat dan perairannya, seluas 1.356,8 Ha. 2. Zona Inti II, merupakan perlindungan Hutan Bakau yang berlokasi di Perairan Gosong Penjaliran dan perairannya, seluas 2.440,9 Ha. 3. Zona Inti III, merupakan ekosistem Terumbu Karang yang berlokasi di Perairan Pulau Kayu Angin, Pulau Bira, dan perairan Pulau Belanda, seluas 507,7 Ha.
11
Di samping Zona Inti tersebut, ada pula Zona Perlindungan yang merupakan daerah perlindungan bagi zona inti dan dipergunakan sebagai kajian konservasi serta pengembangan kegiatan cinta alam. Zona ini berlokasi di perairan Pulau-pulau Jagung, Karang Buton, Karang Mayang, Rengit, Nyamplung, Sebaru Besar dan Kecil, Lipan, Kapas, Bundar, Hantu Barat dan Hantu Timur, Yu Barat dan Yu Timur, Satu, Kelor Barat, dan Kelor Timur. Zona Perlindungan mempunyai luas total 12.271,94 Ha.
2.2. Karakteristik Crustacea 2.2.1. Klasifikasi Menurut Romimohtarto dan Juwana (2007) crustacea merupakan Arthropoda yang sebagian besar hidup di laut dan bernafas dengan insang. Tubuhnya terbagi dalam kepala (chepalin), dada (thorax) dan abdomen. Kepala dan dada bergabung membentuk kepala-dada (cephalotorax; Y: cephale = kepala; thorax = bagian tengah tubuh atau dada). Kepalanya biasanya terdiri atas lima ruas yang tergabung menjadi satu. Mereka mempunyai dua pasang antena, sepasang mandibel (mandible) atau rahang dan dua pasang maksila (maxilla). Dada mempunyai embelan dada yang bentuknya berbeda – beda. Beberapa di antaranya digunakan untuk berjalan. Ruas abdomen biasanya sempit dan lebih mudah bergerak daripada kepala dan dada. Ruas – ruas tersebut mempunyai embelan yang ukurannya sering mengecil. Salah satu kelompok crustacea adalah Ordo Decapoda, yang masuk ke dalam kelompok Infra Ordo Caridea. Ordo ini sangat penting, baik dari segi ekonomi maupun biologi (Ahyong et al, 2009). Kelompok tersebut memiliki
12
karapas kecil yang tidak menutupi kepala dan dada (torax). Mereka memiliki rangka luar (eksoskeleton), hanya satu atau dua sepasang kaki yang berfungsi sebagai capit (chela) dan otot abdomen untuk berenang. Decapoda dari Klass Crustacea biasa dibagi atas tiga kelompok menurut bentuk abdomennya, yakni Macrura, Anomura dan Brachyura (Romimohtarto dan Juwana, 2007).
Gambar 3. Morfologi kelompok Macrura secara umum (Mackie, 1998).
Pengelompokkan Crustacea mengikuti Latreille yang pada tahun 1806 membagi Crustacea menjadi dua anak kelompok, yakni Entomostraca dan Malacostraca. Berdasarkan ukuran tubuhnya Crustacea dikelompokkan menjadi sebagai berikut (Putra, 2008): 1). Entomostraca (berukuran mikrokopis) Hewan ini dikelompokkan menjadi empat ordo,yaitu: a). Branchiopoda b). Ostracoda
13
c). Copepoda d). Cirripedia 2). Malacostraca (berukuran makroskopis) Hewan ini dikelompokkan dalam tiga ordo, yaitu: a). Isopoda b). Stomatopoda c). Decapoda d) Amphipoda Malacostraca banyak hidup di laut dan air tawar. Tubuhnya terdiri dari cephalotorax yaitu kepala dan dada bersatu dengan perut (abdomen). Malacostraca dibagi tiga ordo, yaitu Isopoda, Amphipoda, Stomatopoda dan Decapoda. Decapoda (kaki sepuluh) terdiri dari udang dan kepiting. Decapoda memiliki ciri – ciri kepala sampai dada menjadi satu (cephalotorax) yang ditutupi oleh karapas, tubuh mempunyai lima pasang kaki atau sepuluh kaki (Jones (1984) dalam Putra, 2008). Adapun Amphipoda yang terdiri atas Super Famili Gammaridean mendominasi kelompok Crustacea (Pera Carida) di zona Intertidal laut dunia, yang sebagian di wilayah tropis (Thomas, 1993). Gammaridean dari Ordo Amphipoda yang terkecil berukuran 1-8 mm dan kehidupannya bebas seperti udang-udangan dan menghabiskan waktunya di dalam sedimen pasir. Amphipoda (Pera Carida) memiliki rahang mulut yang berkembang baik, tubuh lateral kompresi (subcylindrical) dan kutikula halus (Lowry & Springthorpe,1899).
14
Menurut Brusca & Wilson (1991), seperti halnya dari (Pera Carida) Crustacea, Isopoda memiliki 10 Sub Ordo, 4 memiliki perwakilan di dalam laut. Namun, salah satu dari 4 Sub Ordo, kelompok Asellota jauh dari dominasi Isopoda laut dalam klasifikasi takson, sedangkan kelompok yang paling umum dijumpai di daerah zona pantai laut (intertidal) ada 3 Famili yaitu Idoteidae (Valvifera), Sphaeromatidae (Flabellifera) dan Cirolanidae (Flabellifera). Isopoda memiliki tubuh yang terbagi menjadi 3 daerah berbeda, yaitu kepala (cephalon), dada dan perut (pleon). Segmen pertama bagian dada (toraks) menyatu ke kepala dan bagian yang tersisa dari segmen (pereonites) dari toraks terdiri dari pereon, masing – masing segmen terdapat sepasang kaki (pereiopods) (Brusca & Wilson,1991). Dalam Isopoda, perut berbentuk primitif terdiri dari 5 segmen (pleonites) ditambah 6 yang merupakan bagian segmen pleonite + telson (pleotelson) dan memiliki mata majemuk, dua pasang antena, dan empat set rahang. Rahang (anterior ke posterior) terdiri dari mandibula, maxillae 1, maxillae 2 dan maxillipeds (Brusca & Wilson, 1991).
2.2.2. Ekologi Crustacea lamun Menurut Azkab (2000) padang lamun merupakan satu tipe biotip yang sangat luas di lingkungan estuaria dan pesisir pantai. Di samping produktivitas biologis yang tinggi dari lamun dan adanya asosiasi flora, kekayaan fauna terkonsentrasi di padang lamun. Crustacea termasuk salah satu fauna konsumen di padang lamun. Beberapa Amphipoda, Isopoda dan Tanaidacea memakan detritus dan rimpang lamun. Di
15
samping itu, beberapa decapoda memakan daun lamun dan beberapa kepiting dengan ukuran besar memakan moluska, polikhaeta dan algae yang menempel pada serasah lamun (Aswandy, 2008). Menurut Schmitt (1973) dalam Pratiwi (2003) Amphipoda umumnya hidup mendiami substrat dasar yang ditumbuhi oleh lamun (akar dan tangkai akar lamun), tetapi apabila Amphipoda menempati substrat pasir mereka akan merubah corak tubuhnya seperti warna pasir dan jenis ini juga membuat lubang pada habitatnya dengan warna yang sesuai dengan akar lamun. Adapun pada Decapoda ditemukan mendiami berbagai macam habitat dan substrat, terutama pada kepiting (Sub ordo Brachyura) yang sebagian besar mendiami substrat keras seperti batubatuan (coral) yang terdapat di antara tumbuhan lamun (Aswandy, 2008). Menurut Moosa dan Aswandy (1995) kepiting dan udang (Suku Palaeomonidae) dari kelompok Decapoda beradaptasi dengan baik dan hidup diantara daun lamun. Crustacea ini memangsa binatang–binatang kecil lainnya yang hidup menempel (epizoa) pada daun atau bagian dari lamun. Kelompok ini yang diwakili oleh berbagai jenis udang (Macrura), kepiting (Brachyura) dan Kumang (Anomura) pada umumnya adalah pemakan segala (omnivore) dengan kecenderungan ke arah pemakan daging (karnivore). Decapoda sudah mengadaptasikan diri hidup pada tumbuhan seperti beberapa jenis algae dan lamun, contohnya (Sub Ordo Brachyura) jenis Suku Xantidae yang sebagian besar ditemukan pada substrat keras dan Suku Majidae ditemukan merayap diantara tumbuhan, sedangkan Suku Portunidae dan Calappidae bergerak di substrat dasar berpasir (Aswandy dan Moosa (1995) dalam Aswandy, 2008).
16
Menurut Widyastuti (2002) Sub Ordo Brachyura berperan sebagai parasit dan diperkirakan ada 130 jenis yang terbagi dalam 4 marga Argulus, ke empat marga tersebut merupakan parasit di laut. Morfologi dari kelompok ini mempunyai sepasang alat penghisap (sucker), sepasang mata faset yang besar dan kepala tertutup oleh karapas yang transparan pada bagian dorsalnya. Investasi dari parasit dapat menyebabkan kerusakan pada bagian tubuh mangsa (hospes), termasuk Ordo Isopoda yang bersifat parasit bagi ikan dan jenis crustacea lain seperti kepiting dan lainnya, sehingga biasanya ditemukan melekat pada bilik insang dari hospes (Widyastuti, 2002). Adaptasi morfologi dari Isopoda terutama untuk memakan dan melekat pada mangsanya, sehingga pada bagian mulut dengan mandibula dan maksila pertama mampu menusuk dan masuk jaringan hospes. Adapun Stomatopoda merupakan pemangsa (predator) yang bergerak aktif mencari mangsa tapi merupakan jenis karnivora yang menunggu mangsanya untuk diterkam (Barnard (1971) dalam Aswandy, 2008). Ordo hoplocarida (Stomatopoda) hidup di substrat dasar dengan meliang, seperti Lysiosquilla maculate dan ada pula yang membenamkan diri di substrat dasar atau hidup di antara batu – batuan yang terdapat dalam ekosistem lamun. Binatang ini merupakan pemangsa yang memangsa berbagai jenis moluska atau binatang lain seperti ikan kecil atau crustacea, sedangkan stomatopoda sendiri merupakan mangsa dari hewan lainnya seperti ikan, cumi dan gurita (Aswandy, 1995).
17
2.3. Asosiasi dan Interaksi Lamun 2.3.1. Pengertian Menurut
Azkab
(2000)
lamun
merupakan
tumbuhan
berbunga
(Angiospermae) yang mempunyai adaptasi untuk hidup pada lingkungan laut dan memerlukan kemampuan berkolonisasi untuk hidup pada media air asin yang mampu berfungsi normal dalam keadaan terbenam, mempunyai sistem perakaran yang berkembang dengan baik, mempunyai kemampuan untuk berkembang biak secara generatif dalam keadaan terbenam dan dapat berkompetisi dengan organisme lain dalam kondisi stabil. Untuk melihat karakter dan jenis lamun dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Jenis–jenis Lamun di Perairan Indonesia. (http:// w ww.indo.seagrass.org.id.). Menurut Azkab (2006) lamun juga sebagian besar memiliki struktur berumah dua yang artinya dalam satu tumbuhan hanya ada bunga jantan saja atau bunga betina saja. Salah satu hal yang paling penting dalam adaptasi reproduksi
18
lamun adalah bersifat hidrophilus yaitu kemampuannya untuk melakukan polinasi di bawah air. Menurut Den Hartog (1970) dalam Azkab (2006) ekosistem padang lamun memiliki kondisi ekologis yang sangat khusus dan berbeda dengan ekosistem mangrove dan terumbu karang. Ciri-ciri ekologis padang lamun antara lain:
1. Terdapat di perairan pantai yang landai, di dataran lumpur/pasir 2. Pada batas terendah daerah pasang surut dekat hutan bakau atau di dataran terumbu karang 3. Mampu hidup sampai kedalaman 30 meter, di perairan tenang dan terlindung 4. Sangat tergantung pada cahaya matahari yang masuk ke perairan 5. Mampu melakukan proses metabolisme secara optimal jika keseluruhan tubuhnya terbenam air termasuk daur generatif 6. Mampu hidup di media air asin 7. Mempunyai sistem perakaran yang berkembang baik. 2.3.2. Klasifikasi Menurut ITK-IPB (2007) di Indonesia hanya terdapat 7 genus dan sekitar 15 jenis yang termasuk ke dalam 2 famili yaitu : Hydrocharitacea ( 9 marga, 35 jenis ) dan Potamogetonaceae (3 marga, 15 jenis). Jenis Thalassia hemprichii tersebar luas di seluruh Indonesia dan tumbuh merambat secara vertikal dari zona intertidal bawah ke zona subtidal, sedangkan Halophila ovalis juga tersebar dan tumbuh secara vertikal dari zona intertidal dengan kedalaman 20 meter dan tumbuh dengan baik dalam sedimen dasar (Kuriandewa et al (2003) dalam Green & Frederick, 2003).
19
Secara rinci klasifikasi lamun menurut Den Hartog (1970) dan Menez, Phillips, dan Calumpong (1983) adalah sebagai berikut : Divisi
: Anthophyta
Kelas
: Angiospermae
Famili
: Potamogetonacea
Subfamili
: Zosteroideae
Genus
: Zostera Phyllospadix Heterozostera
Subfamili
: Posidonioideae
Genus
: Posidonia
Subfamili
: Cymodoceoideae
Genus
: Halodule Cymodoceae Syringodium Amphibolis Thalassodendron
Famili
: Hydrocharitaceae
Subfamili
: Hydrocharitaceae
Menurut Den Hartog (1970) dalam Azkab (2006) berbagai bentuk pertumbuhan tersebut mempunyai kaitan dengan perbedaan ekologik lamun, misalnya bentuk ‘Parvozosterid’ dan ‘Halophilid’ dapat dijumpai pada hampir semua habitat, mulai dari pasir yang kasar sampai lumpur yang lunak, mulai dari daerah dangkal sampai dalam dan mulai dari laut terbuka sampai estuaria.
20
2.3.3. Asosiasi Crustacea Lamun Asosiasi lamun yang paling beragam ditemukan pada habitat terumbu karang di zona sublitoral atas, ditemukan pada daerah yang memiliki kestabilan tinggi dan paling sedikit mengalami penurunan atau pasir yang hampir horisontal (landai). Pecahan karang yang menutupi terumbu karang termasuk banyak habitatnya, sehingga tiap spesies fauna dapat sangat melimpah dan mendominasi komunitas (Azkab, 2006). Komunitas lamun dihuni oleh banyak jenis fauna bentik, organisme ‘demersal’ serta ‘pelagis’ yang menetap maupun yang tinggal sementara disana. Adapun spesies yang sementara hidup di lamun biasanya adalah juvenil dari sejumlah organisme yang mencari makanan serta perlindungan selama masa kritis dalam siklus hidup mereka, atau mereka mungkin hanya pengunjung yang datang ke padang lamun setiap hari untuk mencari makan (Kasim, 2005). Menurut Ngangi (2003) ekosistem padang lamun berperan sebagai penyuplai energi, baik pada zona bentik maupun pelagis, salah satunya detritus daun lamun yang tua didekomposisi oleh sekumpulan jasad bentik crustacea (seperti udang, kepiting, termasuk bakteri), sehingga dihasilkan bahan organik, baik yang tersuspensi maupun yang terlarut dalam bentuk nutrien. Nutrien tersebut tidak hanya bermanfaat bagi tumbuhan lamun, tetapi juga bermanfaat untuk pertumbuhan fitoplankton dan selanjutnya zooplankton, juvenil ikan dan lainnya (Dahuri (2003) dalam Ngangi, 2003). Fauna crustacea yang berasosiasi dengan lamun merupakan komponen penting dari jaring makanan di lamun, meskipun bentuk crustacea infaunal maupun epifunal berhubungan erat dengan produsen primer. Crustacea berperan
21
sebagai konsumen di lamun karena sebagian besar membutuhkan pakan nutrisi atau epifit pada lamun dan lamun sebagai habitat yang ideal bagi crustacea untuk berkembang biak. Kelompok crustacea di lamun berada pada tingkatan trofik yang lebih tinggi, karena selama masa juvenil dan dewasa mereka merupakan sumber makanan utama bagi berbagai ikan, udang dan invertebrata yang berasosiasi dengan lamun (Kasim, 2005).
Gambar 5. Jenis Udang yang menjadikan Lamun sebagai habitat utama nya (Kasim, 2005). Banyak spesies epibentik udang baik yang tinggal menetap maupun tinggal sementara di lamun dan bernilai ekonomis, seperti dari suku Penaeid komersial penting, contohnya Penaeus esculentus dan P. semisulcatus (Bell & Pollard 1989; Coles et al. 1993; Mellors & Marsh 1993; Watson et al. 1993) dan lobster berduri (Panulirus ornatus) (Bell & Pollard 1989; Poiner et al. 1989), yang tergantung pada lamun sebagai tempat mencari makan serta berlindung selama masa post larva dan juvenil dari siklus hidup mereka (Aswandy, 2008). Menurut Moosa dan Aswandy (1995) padang lamun juga ditemukan kelompok Stomatopoda yang merupakan kelompok predator dengan jenis beragam dan terdistribusi luas, tetapi nampaknya hanya spesies Pseudosquilla
22
ciliata yang benar-benar berasosiasi dengan lamun. Stomatopoda umumnya hidup berbatasan dengan rataan terumbu intertidal. Diantara stomatopoda ada yang berasosiasi dengan karang dan paling beragam warnanya adalah Odontodactylus scyllaus (Squillidae), merupakan predator aktif memakan moluska. Crustacea predator yang berasosiasi dengan padang lamun umumnya berada pada kondisi alami (tidak dieksploitasi oleh penduduk lokal). Kepiting dan beberapa crustacea lain menghabiskan sebagian besar waktu hidupnya dengan mengubur diri di bawah permukaan substrat. Diantara yang paling umum adalah jenis kepiting kotak dari Famili Calappidae. Kepiting kotak biasanya meliang dibawah permukaan pasir, dan aktif memakan gastropoda. Capit kanan mereka digunakan khusus untuk menghancurkan cangkang gastropoda (Kasim, 2005).
2.3.4. Parameter Ekologi Lamun a. Suhu Menurut Azkab (1999) kisaran suhu bagi spesies lamun dapat tumbuh di bawah atau di atas tingkat temperatur normal yaitu antara 28 – 30oC . Hal tersebut menyebabkan fotosintesis meningkat seiring dengan meningkatnya suhu. Jenis Thalassia sp yang hidup pada temperatur tinggi (di atas 30oC) dapat berbunga tetapi tidak dapat berbuah dan dapat mengakibatkan banyak daun yang gugur.
b. Salinitas Menurut Dahuri (2003) dalam Ngangi (2003) kisaran salinitas bagi spesies lamun 10-40 per mil (o/oo) optimal 35 per mil (o/oo). Ditambah pula bahwa Thalassia ditemukan hidup dari salinitas 35-60 per mil (o/oo), namun dengan waktu toleransi singkat.
23
c. Kecerahan Kecerahan perairan menunjukkan kemampuan cahaya untuk menembus lapisan air pada kedalaman tertentu. Pada perairan alami, kecerahan sangat penting karena erat kaitannya dengan proses fotosintesis. Kebutuhan cahaya yang tinggi bagi lamun untuk kepentingan fotosintesis terlihat dari sebarannya yang terbatas pada daerah yang masih menerima cahaya matahari (ITK-IPB, 2007). Nilai kecerahan perairan sangat dipengaruhi oleh kandungan lumpur, kandungan plankton, dan zat-zat terlarut lainnya.
d. Kedalaman Menurut Gonzagawawa (2009) tumbuhan lamun ini hidup di habitat perairan pantai yang dangkal hingga kedalaman 3 meter di lautan tropis hingga sub tropis. Lamun tumbuh subur terutama di daerah terbuka pasang surut dan perairan pantai yang dasarnya bisa berupa lumpur, pasir, kerikil, dan patahan karang mati, dengan kedalaman hingga empat meter. Adapun di perairan yang sangat jernih, beberapa jenis lamun ditemukan tumbuh di kedalaman 8 hingga 15 meter (Husein, 2005).
e. Nutrien Menurut Husein (2005) detritus daun lamun yang tua diuraikan (dekomposisi) oleh sekumpulan hewan dan jasad renik yang hidup di dasar perairan, seperti teripang, kerang, kepiting, dan bakteri. Hasil penguraian ini berupa nutrien yang tercampur atau terlarut di dalam air. Nutrien ini tidak hanya bermanfaat bagi tumbuhan lamun, melainkan juga bermanfaat untuk pertumbuhan fitoplankton, dan selanjutnya zooplankton pada crustacea.
24
f. Substrat Menurut ITK-IPB (2007) kesesuaian substrat yang paling utama bagi perkembangan lamun ditandai dengan kandungan sedimen yang cukup. Semakin tipis substrat (sedimen) perairan akan menyebabkan kehidupan lamun yang tidak stabil,sebaliknya semakin tebal substrat, lamun akan tumbuh subur yaitu berdaun panjang dan rimbun serta pengikatan dan penangkapan sedimen semakin tinggi. Sementara itu, di kepulauan Spermonde Makassar, Erftemeijer (1993) melaporkan bahwa menemukan lamun tumbuh pada rataan terumbu dan paparan terumbu yang didominasi oleh sedimen karbonat (pecahan karang dan pasir koral halus), teluk dangkal yang didominasi oleh pasir hitam (terrigenous) dan pantai intertidal datar yang didominasi oleh lumpur halus.
25
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2009 bertempat di Perairan Pesisir Pulau Pari, Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNLKpS), Teluk Jakarta – DKI Jakarta. Lokasi penelitian (Gambar 4), meliputi daerah Utara (stasiun 1), Barat Daya (stasiun 2) dan Selatan (Stasiun 3) dari Pulau Pari untuk mengambil data yang mewakili daerah tersebut.
Keterangan : = Lokasi Penelitian. = Stasiun Penelitian
Gambar 6. Lokasi dan Stasiun penelitian P. Pari, Kepulauan Seribu (PusLit Geoteknologi-LIPI, 2002).
3.2. Alat dan Bahan Alat–alat
yang
digunakan
adalah
termometer,
kertas
pH
universal/pHmeter, rollmeter, refraktosalinometer, kompas, water quality checker, ember, GPS, mikroskop binokuler, snorkel, alat ukur kedalaman (Depth gauge),
26
alat ukur kecerahan (Secchi disk), sabut kelapa, tali plastik (tambang), plastik, patok bambu ukuran 1,5 m, botol sampel, sedotan plastik 10 cm, jaring net, pinset, tatakan dan alat tulis. Sedangkan bahan–bahan yang digunakan adalah alkohol 70% untuk mengawetkan sampel biota crustacea dan mengidentifikasinya.
3.3. Cara Kerja 3.3.1. Penentuan Titik Sampling Untuk mengetahui penentuan titik sampling atau stasiun penelitian, maka dilakukan pra survey terhadap kondisi lingkungan sebagai berikut:
a. Titik sampling ditentukan dari kondisi lingkungan atau parameter yang mendukung baik (substrat, kondisi lamun dan geografis). b. Penentuan stasiun tersebut berdasarkan pada zona padang lamun sangat lebat (Selatan), sedang (Barat Daya) dan jarang (Utara). c. Metode pengukuran yang digunakan untuk mengetahui kondisi lamun adalah metode transek garis dan petak contoh (Line Transect).. d. Tiap stasiun pengamatan, ditetapkan transek garis dari arah tepi pantai ke arah laut hingga jarak 100 m (tegak lurus garis pantai sepanjang zonasi padang lamun yang terjadi) di daerah intertidal. e. Pada transek garis, letakkan petak contoh berbentuk segi empat dengan ukuran 50x50 cm (interval 10 m). f. Peletakkan tiap petak contoh perlu dilakukan, agar area tersebut menjadi homogen.
27
Gambar 7. Petakan plot di tiap stasiun.
3.3.2. Metode Pengambilan sampel crustacea Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data sampel menggunakan metode eksperimen rumpon buatan (Juwana, 2001), melalui beberapa tahap sebagai berikut:
1.
Tahap persiapan, yaitu menyiapkan seluruh keperluan alat atau bahan yang digunakan untuk pembuatan artifisial lamun.
2.
Tahap pembuatan konstruksi lamun buatan. Lamun buatan terdiri dari 2 model yaitu material tali plastik dan sabut kelapa yang sebelumnya dalam bentuk produk pabrikan. Kemudian kedua material tersebut masing– masing direntangkan dan dipotong dengan panjang 60 cm. Setelah itu, material tersebut disisir dan dibuat bentuk rumbai atau rumpon. Sediakan benang pancing dengan ketebalan ukuran 50–100 lbs dan dipotong dengan ukuran 1-1,5 m. Setelah masing–masing material diukur, kemudian diikatkan dengan ikatan simpul pada benang pancing. Jarak antar ikatan
28
satu rumpon (lamun buatan) dengan rumpon lain dalam satu buah artifisial adalah 10 cm. 3.
Tahap peletakkan lamun buatan. Tiap stasiun dibuat petak ukuran 10x10 m untuk penempatan artifisial dengan 2 model secara sejajar dan diagonal. Tiap–tiap artifisial sudah ditentukan dengan ukuran 1m x 0,2m x 0,3m (P x L x T). Untuk perolehan luasan plot, maka ukuran artifisial tersebut diasumsikan menjadi 1x1m dengan 3 ulangan (plot), agar mewakili area tersebut. Lalu artifisial tersebut ditempatkan dimasing–masing zona lamun dengan ketentuan tingkat kerapatan rendah (6,25-12,5%), sedang (12,550%) dan tinggi (50-100%) (Keputusan Meneg LH, 2004) pada tiap stasiun. Jarak penempatan lamun buatan dengan alami disesuaikan dengan kondisi lamun sekitar. Pengambilan data sampel dilakukan setelah artifisial berumur 1, 2, 3 dan 4 minggu berada di perairan padang lamun.
4.
Tahap pengambilan data. Pengambilan sampel crustacea yang berada di artifisial menggunakan metode pengambilan secara langsung, yang terlebih dahulu meletakkan jaring tepat di bawah lamun buatan secara menyeluruh agar biota crustacea yang masuk perangkap artifisial tidak mudah lolos, kemudian diangkat dan dimasukkan ke dalam ember dan dibawa ke laboratorium. Pengambilan sampel tersebut dilakukan mulai jam 13.30 – 17.00 WIB waktu setempat.
5.
Identifikasi data. Identifikasi sampel dilakukan di laboratorium. Sampel dalam botol atau kantong plastik telah diberi pengawet alkohol 70%. Lalu disortir antara jenis sampel crustacea dan non crustacea. Kemudian diidentifikasi dengan referensi pedoman identifikasi crustacea antara lain
29
dari
buku
“Identification
Manual
for
the
Marine
Amphipoda:
(Gammaridea)” (Thomas, 1993) dan buku “Guide To The Marine Isopods Of Southern Africa” (kensley, 1978) serta buku lainnya, sehingga dapat dikelompokkan secara sistematik.
Gambar 8. Gambaran dan Letak Plot Lamun Buatan. Keterangan gambar; (A) = Peta Pulau Pari yang terdiri dari beberapa lokasi : a. Utara (tingkat kerapatan lamun jarang). b. Selatan (sedang). c. Barat Daya (padat). (B) = Posisi Plot transek lamun buatan dalam petakan. (C) = Model lamun buatan.
30
3.3.3. Pengukuran Parameter Kualitas Perairan Pada Tiap Stasiun Penelitian Dilakukan Sebanyak Tiga Kali Ulangan. a. Temperatur Suhu perairan diukur dengan menggunakan termometer alkohol, dengan cara dicelupkan ke dalam perairan, kemudian suhu dilihat di dalam air. Untuk menghindari berubahnya suhu dalam pengamatannya dengan cara pengambilan sampel air. Posisi termometer harus sejajar dengan arah penglihatan agar tidak terjadi kesalahan membaca suhu.
b. Kedalaman Kedalaman perairan diukur dengan menggunakan batang bambu berskala, dengan dimasukkan tongkat tersebut ke dalam perairan sampai menyentuh dasar. Kemudian catat nilai yang diperoleh.
c. Kecerahan Kecerahan perairan diukur dengan menggunakan Secchi disk, lalu dimasukkan ke dasar permukaan air dan dilihat apakah masih terlihat atau tidak terlihat warna yang terdapat di Secchi disk tersebut. Jika tak terlihat, maka panjang tali dicatat dan pada saat Secchi disk diangkat lalu terlihat warna lempengannya, maka panjang tali tersebut dicatat kembali. Sehingga hasilnya dapat dihitung dengan diambil rata–rata dari tiap panjang tali yang dicatat.
31
d. Salinitas Salinitas perairan diukur dengan menggunakan refraktosalinometer, dengan cara pengambilan sampel air pada setiap stasiun. Kemudian dibawa ke laboratorium untuk dicatat nilai yang diperoleh.
e. pH pH perairan diukur dengan menggunakan pH universal atau pHmeter, dengan cara pengambilan sampel air pada tiap stasiun. Kemudian dibawa ke laboratorium dan dicatat nilainya.
3.4. Analisis Data 3.4.1. Kelimpahan Crustacea Analisis kelimpahan crustacea yang berada di lamun buatan, dihitung dengan
menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Odum (1971), sebagai
berikut:
Keterangan : X
: Kelimpahan crustacea.
Xi
: Jumlah individu (crustacea) pada stasiun pengamatan ke-i.
n
: Luas lamun buatan yang diamati (m2).
32
3.4.3. Indeks Keanekaragaman (H’) Untuk pengolahan data keanekaragaman digunakan rumus Shanon– Wiener (Krebs (1989), yaitu; S
H’ = ∑ (pi) (log2 pi) i=1
dimana : H’
: Nilai Indeks Keanekaragaman.
pi
: Proporsi jumlah individu spesies ke –i (ni) terhadap total individu (N) : (ni/N).
N
: Jumlah total individu semua spesies.
S
: Jumlah jenis.
Nilai indeks keanekaragaman (Shanon-Wiener) mempunyai beberapa kategori menurut (Hardjosuwarno (1990) dalam Darojah, 2005), dibagi menjadi empat kriteria berdasarkan kondisi diversitas fauna bentik dengan kisaran: H’ > 3,0
: Keanekaragaman sangat tinggi.
H’ 1,6–3,0
: Keanekaragaman tinggi.
H’ 1,0–1,5
: Keanekaragaman sedang.
H’ < 1
: Keanekaragaman rendah.
33
3.4.4. Indeks Dominansi (D) Metode indeks dominansi ‘Simpson’ digunakan untuk mengetahui adanya spesies jenis tertentu yang mendominansi habitat tertentu (Krebs (1989) dalam Werdiningsih, 2005), dengan rumus:
Keterangan: D
: Indeks dominansi Simpson.
Pi
: Proporsi spesies ke-i dalam komunitas
ni
: Jumlah individu spesies ke-i.
N
: Jumlah total individu.
Indeks Dominansi antara 0–1 D = 0, berarti tidak terdapat spesies yang mendominansi spesies lainnya atau struktur komunitas dalam keadaan stabil. D = 1, berarti terdapat spesies yang mendominansi spesies lainnya atau struktur komunitas labil, karena terjadi tekanan ekologis. 3.4.5. Indeks Keseragaman (E) Indeks keseragaman dapat diketahui dengan cara membandingkan keanekaragaman dengan nilai maksimum (Krebs (1989) dalam Werdiningsih, 2005), yang dinyatakan sebagai berikut:
Keterangan : H’ max : Nilai maksimum H’ = Log2 S = 3,3219 log S. E
: Indeks keseragaman.
34
H’
: Indeks keanekaragaman.
S
: Jumlah jenis.
Nilai indeks berkisar antara 0–1 E ≈ 0: keseragaman antara spesies rendah, artinya kekayaan individu yang dimiliki masing-masing spesies sangat jauh berbeda. E = 1: keseragaman antarspesies relatif merata atau jumlah individu masing-masing spesies relatif sama.
35
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Deskripsi Habitat 4.1.1. Kondisi Habitat Lamun Alami, Pulau Pari Berdasarkan hasil pengamatan dalam pengambilan sampel crustacea, didapat bahwa lokasi penelitian berada di Perairan Pulau Pari. Pengambilan sampel crustacea dilakukan pada tiga titik stasiun antara lain stasiun Barat Daya, Utara dan Selatan. Pada perairan Barat Daya, Pulau Pari memiliki struktur permukaan dengan rataan terumbu dan terdapat goba serta substrat yang berlumpur pasir. Lokasi stasiun tersebut merupakan titik penelitian yang baik, karena didukung oleh hamparan padang lamun dan berhubungan langsung dengan laut lepas. Diduga stasiun Barat Daya memiliki beranekaragam jenis bentik (demersal atau pelagis) yang hidup pada ekosistem padang lamun. Adapun di stasiun Barat Daya terdapat sebagian kecil mangrove yang tumbuh disekitar pesisir padang lamun. Tumbuhan mangrove dan padang lamun yang terdapat di stasiun Barat Daya memiliki hubungan yang erat dilihat dari segi ekologi. Kedua tumbuhan tersebut mampu memberikan habitat yang baik bagi bentik crustacea atau biota lainnya. Padang lamun merupakan salah satu ekosistem perairan pantai yang menjadi habitat dari berbagai jenis binatang invertebrata termasuk beraneka jenis crustacea (Moosa dan Aswandy, 1995). Lamun yang terdapat di perairan Barat Daya antara lain dari jenis Enhalus acroides, yang memiliki struktur daunnya memanjang (lanset) lebih dari 30 cm.
36
Hampir sebagian besar di stasiun Barat Daya didominasi oleh jenis lamun tersebut, walaupun ada sebagian kecil terdapat jenis Thalassia sp. Diduga jenis Enhalus sp lebih cocok dengan substrat dasar lumpur berpasir, sehingga dapat tumbuh subur dilingkungan tersebut. Substrat berlumpur juga terdapat di stasiun Utara yang berbatasan langsung dengan pulau kudus. Stasiun tersebut memiliki struktur dasar permukaan yang curam dan tidak rata, ditambah juga kondisi dataran yang lunak, sehingga cukup sulit apabila melintasinya. Perairan di stasiun Utara kondisinya cukup tenang dan gelombang arus yang kecil, karena letaknya tidak berhubungan langsung dengan perairan laut lepas. Perairan tersebut cukup ideal untuk dijadikan tempat budidaya keramba khususnya jenis udang-udangan bagi masyarakat sekitar. Hal ini diduga kondisi lingkungan perairan yang mendukung salah satunya suhu mencapai (29-34oC) (tabel 8). Padang lamun di stasiun Utara cenderung memiliki tingkat kerapatan yang lebih rendah (12,1%) bila dibandingkan dengan stasiun lainnya (Barat Daya dan Selatan) (lihat lampiran 9). Jenis lamun yang terdapat di stasiun Utara antara lain Enhalus acroides dan Thalassia sp. Diduga kedua jenis lamun tersebut tidak mendominasi satu sama lain dan kondisi lamunnya yang tidak lebat (jarang), sehingga kemungkinan bentik penghuni lamun khususnya crustacea jarang ditemukan. Tidak hanya ekosistem lamun yang terdapat di stasiun Utara, tetapi ada juga ekosistem mangrove walaupun hanya sebagian kecil wilayahnya. Selain lokasi di Utara ada juga lokasi Selatan yang memiliki kondisi padang lamun yang cukup baik, karena stasiun tersebut ditumbuhi oleh lamun jenis Cymodoceae rotundata, Thalassia sp dan Enhalus sp. Jenis Cymodoceae dan
37
Thalassia mendominasi padang lamun di stasiun tersebut. Substrat dasar lamunnya berpasir kasar dan halus serta permukaan dataran dengan rataan terumbu.
Disamping
itu
perairan
bagian
Selatan
berdekatan
dengan
perkampungan nelayan dan dermaga, sehingga bagi masyarakat tersebut dijadikan tempat mencari ikan dan udang-udangan. Lamun alami yang terdapat di 3 lokasi perairan dapat memberi keuntungan tersendiri bagi crustacea dan terdapat suatu rantai makanan antar organisme tersebut. Bentik crustacea sebagai konsumen bagi lamun, karena dapat memanfaatkan daun lamun sebagai pakan nutrisi, sedangkan lamun sebagai produsen dengan memanfaatkan detritus sisa pakan crustacea untuk dijadikan nutrien bagi lamun.
4.1.2. Lamun Buatan Beberapa material lamun buatan yang dijadikan sebagai bahan alternatif lamun alami, antara lain material tali plastik dan sabut kelapa. Kedua material tersebut tidak memiliki ukuran yang luas dan cukup untuk mewakili dari tiap stasiun, karena hanya untuk mengetahui keberadaan crustacea baik dari segi diversitas (keanekaragaman) maupun kelimpahan jenis yang terdapat di area padang lamun. Salah satunya material tali plastik yang memiliki kondisi fisik yang kuat dan tahan lama walaupun lebih cenderung kurang ramah lingkungan. Di duga material tali plastik mampu memberikan keuntungan bagi crustacea bentik di lamun. Pada dasarnya material tali plastik memiliki kandungan bahan kimia anorganik. Hal ini disebabkan tali plastik memiliki kandungan polimer (protein,
38
karet alam dan sejenisnya), mengandung zat pewarna yang berfungsi meningkatkan penampilan fisik (Mujiarto, 2005). Selain material tali plastik, sabut kelapa juga merupakan salah satu material yang digunakan untuk pengambilan sampel dan mengetahui keberadaan crustacea. Bahan tersebut diketahui dapat mempengaruhi keberadaan biota crustacea antara lain dari jenis Amphipoda, Isopoda, Mysidacea dan sebagian dari Decapoda, sehingga kemungkinan bahan tersebut mampu dijadikan sebagai alternatif dan pengganti lamun alami. Sabut kelapa memiliki tekstur fisik yang kasar pada tiap untaian helaiannya, karena dengan kondisi tekstur tersebut diduga dapat menangkap zat–zat organik berupa kandungan mineral dan unsur hara lain (fitoplankton) di perairan laut. Crustacea yang menempel pada material sabut kelapa memiliki keuntungan antara lain sebagai tempat persembunyian dan berlindung sementara agar terhindar dari predator di wilayah padang lamun. Selain itu, dapat juga sebagai tempat mencari makan, karena diduga pada setiap helai sabut kelapa terdapat zat organik (pakan) yang melekat, sehingga crustacea dapat dengan mudah mencari makan. Adapun bahan sabut kelapa memiliki daya tahan yang cukup terbatas sebagai material lamun buatan. Diduga karena kondisi fisik yang cukup rentan terhadap arus perairan laut dan teksturnya renggang, sehingga tiap beberapa waktu perlu penggantian yang baru. Material Sabut kelapa cenderung ramah terhadap lingkungan ataupun baik untuk dijadikan penunjang habitat sementara bagi bentik crustacea. Hal ini juga karena bahan tersebut merupakan bahan organik alternatif berasal dari buah kelapa tua yang memiliki serat kuat. Bagian serat sabut yang terkandung oleh tempurung kelapa dapat didayagunakan sebagai
39
absorben terutama polutan logam berat yang berbahaya dan mempunyai kemampuan untuk menyerap logam berat Pb, Fe dan Cu (Putra, 2008). Pada material tali plastik memiliki kondisi rimbunan lebih lebat bila dibandingkan dengan sabut kelapa yang agak renggang. Material tersebut dapat dijadikan sebagai habitat alternatif yang bersifat sementara bagi crustacea yang melekat. Diduga dengan kondisi rimbunan yang lebat dapat dijadikan tempat berkembang biak dan berteduh ataupun asuhan “nursery ground”. Kedua material tersebut memiliki fungsi yang hampir sama dilihat dari segi fisik bahan (kerimbunan, kandungan zat, struktur dan bentuk) ataupun perolehan jumlah komposisi bentik crustacea tersebut. Perolehan komposisi jenis crustacea pada material tali plastik lebih banyak daripada sabut kelapa. Lain halnya dengan material, lamun alami cenderung merupakan habitat yang secara alami dapat menunjang bentik crustacea tersebut dapat hidup berkembang biak ataupun reproduksi secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama.
4.2. Kelimpahan jenis Crustacea 4.2.1. Lokasi Barat Daya Pengambilan sampel crustacea di 3 stasiun penelitian yang dilakukan di perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu diperoleh bahwa stasiun Barat Daya terdapat jenis yang memiliki kelimpahan tertinggi yaitu Paracerceis sp (Ordo Isopoda) dan Cymadusa filosa (Ordo Amphipoda). Paracerceis sp memiliki kelimpahan sebesar 115 individu/m2, sedangkan Cymadusa filosa 67 individu/m2 (model artifisial sabut kelapa/M1). Pada jenis yang memiliki kelimpahan terendah atau tidak memiliki kelimpahan pada model tersebut adalah Famili Gammaroidea,
40
Ceradocus Sheardi (Ordo Amphipoda), Megaluropus sp (Famili Megaluropidae); Liljeborgia brevicornis, Liljeborgia sp (Ordo Amphipoda; Famili Liljeborgidae); Orchestia sp, Podocerus kleidus, Anamixis sp, Chevalia aviculae, Leucothoe sp, (Ordo Amphipoda), Dynamenella sp, Cymodoce velutina, Cymodoce sp, Ianiropsis sp (Ordo Isopoda); Cyclaspis sp (Ordo Cumacea); Famili Euphausid, Alpheus sp (Famili Alpheidae); Palaemonetes sp, Palaemon sp (Ordo Decapoda; Famili Palaemonidae), Spirontocaris sp (Caridean). Jenis–jenis tersebut masing – masing memiliki kelimpahan antara 0–2 individu/m2. Model artifisial sabut kelapa (M1) mendukung kehidupan biota crustacea, sehingga tercatat pada jenis Paracerceis sp (Ordo Isopoda) dan Cymadusa filosa (Ordo Amphipoda) memiliki kelimpahan jenis tertinggi. Hal ini diduga bahan sabut kelapa memiliki struktur rimbunan agak renggang, kasar dan didukung oleh faktor lingkungan (nutrien), dimana senyawa organik di perairan Barat Daya menempel pada substrat sabut, sehingga memudahkan jenis–jenis tersebut dapat mencari makan dengan mudah dan hadir di substrat sabut kelapa. Model tali plastik (M2) memiliki kelimpahan jenis tertinggi adalah Paracerceis sp (Ordo Isopoda) dan Cymadusa filosa (Ordo Amphipoda) yang masing – masing sebesar 126 dan 72 individu/m2. Kelimpahan jenis terendah pada model tali plastik (M2) adalah Ceradocus sheardi (Famili Gammaroidea), Listriella barnardi (Famili Liljeborgidea), Eusiroidea sp, Anamixis sp, Chevalia aviculae, Leucothoe sp, Cymodoce sp (Ordo Isopoda), Palaemon sp (Macrura; Ordo Decapoda), Spirontocaris sp (Caridean) dan Lacnopodus subacutus (Brachyura). Jenis–jenis tersebut tidak memiliki jumlah individu yang sama yaitu 0 individu/m2.
41
Jenis yang memiliki kelimpahan tertinggi pada model tali plastik (M2) hampir sama seperti model sabut kelapa (M1). Hal ini disebabkan tali plastik memiliki kandungan polimer (protein, karet alam dan sejenisnya), mengandung zat pewarna yang berfungsi meningkatkan penampilan fisik (Mujiarto, 2005). Oleh sebab itu, tali plastik dapat memberikan habitat baru (sementara) untuk berlindung bagi kehidupan crustacea. Selain itu juga didukung oleh kondisi alaminya, pada jenis Paracerceis sp yang termasuk Famili Sphaeromatidae (isopoda) penyebarannya bersifat kosmopolit dan menguasai zona intertidal (pesisir). Beberapa spesiesnya terdapat menempel pada substrat tonggak kayu atau serabut dan sekitar karang (Kensley, 1978). Kondisi substrat berupa lumpur pasiran yang didiami oleh kedua jenis ini mendominasi di stasiun Barat Daya. Kelompok organisme yang mampu beradaptasi pada kondisi substrat pasir adalah organisme infauna makro (berukuran 1-10 cm) yang mampu menggali liang di dalam pasir dan organisme meiofauna mikro (berukuran 0,1–1 mm) yang hidup di antara butiran pasir dalam ruang interaksi (Ardi (2002) dalam Schmieg, 2007). Hal lain adanya komponen berupa lamun buatan dan alami pada stasiun Barat Daya yang saling memberi asupan baik berupa kehidupan hunian maupun bereproduksi bagi Paracerceis sp (isopoda) dan Cymadusa filosa (Amphipoda). Kelimpahan jenis crustacea dapat dilihat pada Tabel 2.
42
Tabel 2. Kelimpahan Crustacea (individu/m2) Pada Stasiun Penelitian Barat Daya.
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Nama Crustacea Famili Gammaroidae Ceradocus sheardi Anamaera hixoni Megaluropus sp Cymadusa filose Orchestia sp Liljeborgia brevicornis Liljeborgia sp Listriella barnardi Podocerus kleidus Famili Colomastigidae Eusiroidea sp Anamixis sp Chevalia aviculae Leucothoe sp Dynamenella sp Cymodoce setulosa Paracerceis sp Cymodoce velutina Cymodoce sp (A) Cymodoce sp (B) Cymodoce sp (C) Cymodoce natalensis Ianiropsis sp Ordo Mysidacea Cyclaspis sp Palaemonetes sp Palaemonella sp Palaemon sp Famili Euphausidae Alpheus sp Spirontocaris sp Lacnopodus subacutus
Keterangan: M1 = Sabut Kelapa M2 = Tali Plastik (tambang)
Modul Artifisial
M1 2 1 4 0 67 1 0 0 3 1 5 10 1 1 1 0 4 115 0 0 4 6 15 0 31 0 0 1 1 0 0 1 1
M2 39 0 2 3 72 1 1 1 0 8 4 0 0 0 0 4 5 126 3 1 0 0 4 2 30 2 1 1 0 1 1 0 0
43
Sedikit atau tidak adanya kelimpahan jenis di stasiun Barat Daya bisa disebabkan karena kurang cocoknya lamun buatan dalam memerankan fungsi ekologinya bila dibanding dengan yang alami dan kondisi rimbunan lamun buatan khususnya sabut kelapa yang kurang lebat, sedangkan pada lamun alaminya dapat memproduksi detritus daun lamun untuk keperluan pakan crustacea. Kekurangan lainnya bisa dipengaruhi oleh faktor lingkungan yaitu parameter (kecerahan). Diduga apabila kecerahan yang cukup rendah kehadiran dari biota khususnya crustacea akan relatif banyak dan begitu juga sebaliknya.
4.2.2. Lokasi Utara Pantauan dari hasil pengamatan yang didapat bahwa terdapat kelimpahan jenis tertinggi yang berada di lokasi Utara antara lain pada Ordo Mysidacea dan Paracerceis sp (Ordo Isopoda) yang masing–masing sebesar 24 dan 17 individu/m2. Jenis yang memiliki kelimpahan terendah antara lain Anamaera hixoni (Ordo Amphipoda), Cymadusa filosa, Dynamenella sp (Ordo Isopoda), Cymodoce setulosa, Cymodoce velutina, Famili Euphausidea, Alpheus sp (Ordo Decapoda), Thalamita prymna (Brachyura), Thalamita sp dan Thalamita crenata. Masing – masing jenis tersebut memiliki kelimpahan yang hampir sama dengan rata – rata antara 0-3 individu/m2. Jenis–jenis tersebut berlaku pada kedua model artifisial yaitu sabut kelapa (M1) dan tali plastik (tambang) (M2). Jenis Paracerceis sp (Ordo Isopoda) merupakan paling dominan menempati posisinya pada lokasi penelitian Utara dengan jumlah yang signifikan yaitu 17 individu/m2. Hampir seluruh koloni crustacea yang didapat merupakan salah satu jenis dari Ordo Isopoda. Umumnya kepadatan (density) dan diversitas
44
pada Ordo Isopoda diperoleh dari koleksi yang berada di sepanjang pantai (pesisir) dan zona karang yang dangkal (Glynn, 1971). Kelimpahan jenis crustacea pada lokasi Utara dapat dilihat di tabel 3. Tabel 3. Kelimpahan Crustacea (individu/m2) Yang Terdapat Pada Stasiun Utara. No
Nama Crustacea
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Anamaera hixoni Cymadusa filose Dynamenella sp Cymodoce setulosa Paracerceis sp Cymodoce velutina Ordo Mysidacea Famili Euphausidae Alpheus sp Thalamita prymna Thalamita sp Thalamita crenata
Model Artifisial M1 2 0 1 0 1 0 24 0 1 0 0 1
M2 0 2 0 3 17 3 5 2 0 1 1 0
Keterangan: M1 M2
= sabut kelapa = tali plastik (tambang)
Walaupun demikian jenis tersebut mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitar baik yang berada di substrat alami maupun buatan dengan serabut atau tonggak kayu untuk dijadikan habitat. Ordo Mysidacea memiliki kelimpahan lebih tinggi daripada Ordo Isopoda yang berada di lokasi Utara yaitu dengan kelimpahan 24 individu/m2. Hal ini dikarenakan Ordo Mysidacea memiliki sifatnya yang hidup bebas (epibentik) di perairan dan hidup berkoloni serta sifatnya yang memiliki nilai ekonomis bagi masyarakat.
45
Kelompok Mysidacea pada tingkatan taksa genusnya secara spesifik tidak diketahui, karena keterbatasan data literatur yang diperoleh tentang kelompok tersebut. Diketahui bahwa morfologi dan adaptasi dari Ordo Mysidacea sebagian besar menyerupai kelompok larva udang (Macrura). Mysidacea memiliki karapas yang hampir menutup seluruh dadanya, mata bertangkai dan embelan dada semua bercabang dua (Romimohtarto dan Juwana, 2007). Adapun ciri khas yang diperoleh dari kelompok Mysidacea salah satunya terdapat sepasang bulatan (statocyst proximal) pada bagian endopod (uropods) (Meland & Willassen, 2007). Jenis tersebut merupakan spesies laut yang beradaptasi dan hidup sebagai hewan bentik dan pelagis, terdistribusi dari zona litoral pantai sampai laut terbuka hingga kedalaman tinggi dan tersebar diseluruh lautan benua. Sebagian dari kelompok tersebut terdapat pada habitat laut dalam dan di tubir gua (Meland & Willassen, 2007). Ordo Mysidacea merupakan kelompok crustacea tingkat rendah, diduga dalam melakukan interaksi dengan lingkungannya saling memiliki sifat ketergantungan dengan organisme lain atau sifat parasit. Substrat lamun buatan yang dipakai dalam penggunaannya berpengaruh terhadap keberadaan Mysidacea, karena terlihat dari data yang ada pada lokasi penelitian ini memiliki jumlah individu lebih besar dari jenis yang lain. Hal ini disebabkan pengaruh dari lamun buatan (substrat sabut kelapa) cukup terpenuhi sebagai tempat berkembang biak atau aktivitas lainnya dan dapat dijadikan perantara sumber zat organik esensial bagi kelompok tersebut. Pengaruh lain karena lokasi Utara berdekatan langsung dengan ekosistem mangrove, sehingga nutrisi atau zat organik dari detritus daun
46
mangrove juga berperan dalam proses penyuplai energi yang dibutuhkan oleh kelompok Mysidacea. Tingginya kelimpahan jenis dari kedua jenis tersebut di stasiun penelitian Utara disebabkan oleh sifatnya yang hidup bebas di perairan dan kondisi lingkungan yang terpenuhi dalam mencari makan, karena terdapat zat organik berupa lamun alami yang merupakan habitat asli dalam memenuhi kebutuhannya atau mikroalga serta substrat berlumpur. Adapun pantai berlumpur cenderung untuk mengakumulasi bahan organik, sehingga cukup banyak makanan yang potensial bagi bentos pantai tersebut (Ardi (2002) dalam Schmieg, 2007). Kondisi lamun buatan dari kedua model dengan bahan sabut kelapa (M1) dan tali plastik (M2) menentukan keberadaan dari kedua jenis tersebut, sehingga diduga stasiun ini merupakan habitat yang cukup cocok. Sumber makanan (zat organik) yang menempel di lamun buatan khususnya pada bahan sabut kelapa akan dikonsumsi oleh crustacea, sehingga dapat dijadikan tempat mencari makan sementara dengan kondisi lingkungan parameter yang sesuai. Lokasi tersebut juga berdekatan dengan ekosistem mangrove, sehingga dapat berinteraksi dengan baik. Jenis yang memiliki kelimpahan sedikit bisa disebabkan karena kurang cocoknya lamun buatan dalam memerankan fungsi ekologinya bila dibanding dengan yang alami. Aktivitas masyarakat nelayan di perairan dan kondisi parameter (suhu) yang mengalami perubahan signifikan dari minggu 3 ke 4 (Tabel 6). Oleh sebab itu, hasil yang didapat dari rimbunan kedua artifisial sabut kelapa (M1) dan tali plastik (M2) relatif sedikit dengan jumlah kelimpahan antara 0–3 individu/m2 dari Ordo Decapoda dan Amphipoda. Dampak tersebut dapat juga disebabkan oleh pengaruh kondisi lingkungan dimusim kemarau yang suhunya
47
mencapai 30-33oC dan salinitas 30-33o/oo tinggi, sehingga memungkinkan perkembangan bakteri patogen (Aeromonas) (Juwana, 2001). 4.2.3. Lokasi Selatan Pada stasiun Selatan terdapat kelimpahan jenis tertinggi yaitu jenis Cymadusa filosa (Ordo Amphipoda) dan Paracerceis sp (Ordo Isopoda) yang masing – masing berjumlah 51 dan 17 individu/m2, sedangkan jenis yang memiliki kelimpahan terendah yaitu Gammaropsis sp (Ordo Amphipoda), Dynamenella sp (Ordo Isopoda), Cymodoce velutina, Thalamita sp (Brachyura), Ordo Mysidacea yang masing–masing kelimpahannya antara 0–1 individu/m2. Kelimpahan tertinggi dan terendah tersebut berlaku pada kedua model (sabut kelapa (M1) dan tali plastik (M2). Ordo Mysidacea memiliki kelimpahan terendah pada model tali plastik (M2). Jenis Cymadusa filosa (Ordo Amphipoda) dan Paracerceis sp (Ordo Isopoda), seperti halnya sama dengan lokasi sebelah Barat Daya yang mendominasi sebagian dari seluruh crustacea yang didapat dari lamun buatan tersebut. Jenis Paracerceis sp (Ordo Isopoda) yang mendominasi seluruh stasiun dan berperan penting sebagai rantai makanan bagi organisme lain. Kedua jenis tersebut yang memiliki kelimpahan tertinggi merupakan predator bagi organisme lain, salah satunya ikan dan juga crustacea lain seperti kepiting dan udang. Hal ini karena hidupnya yang bebas dan menguasai daerah territorial serta tidak memiliki nilai ekonomis penting bagi masyarakat sekitar. Secara ekologi, jenis dari Amphipoda berperan sebagai kutu dan hidupnya parasit pada organisme lain. Jenis Isopoda juga berperan sebagai parasit yang terbagi atas 2 kelompok
48
didasarkan pada hospesnya, yaitu Isopoda pada ikan dan crustacea lain (Widyastuti, 2002). Pengaruh dari lamun buatan terhadap kedua jenis antara lain Amphipoda dan Isopoda cukup ideal, karena materialnya berperan sebagai untuk dijadikan tempat perlindungan, asuhan dan bahkan untuk mencari makan. Kelimpahan jenis crustacea pada stasiun selatan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Kelimpahan Jenis Crustacea (individu/m2) Pada Stasiun Selatan.
No
1 2 3 4
5 6 7 8 9 10 11
Nama Crustacea Famili Gammaroidae Gammaropsis sp Cymadusa filose Cymadusa sp Cymadusa compta Podocerus kleidus Dynamenella sp Paracerceis sp Cymodoce velutina ordo Mysidacea Thalamita sp
Model Artifisial M1
M2
2 1 51 2
2 0 6 3
2
1
3 1 10
1 0 17
1 4 0
0 0 1
Keterangan: M1 = sabut kelapa M2 = tali plastik (tambang)
Jenis dari Decapoda yang diperoleh dari stasiun Selatan jumlah kelimpahannya antara 0–2 individu/m2. Sementara itu, jumlah yang dominannya berasal dari jenis Ordo Isopoda dan Ordo Amphipoda bila dibandingkan kelompok Decapoda yang lebih sedikit. Hal ini diduga posisi peletakkan habitat
49
lamun buatan yang kurang efektif dan pada saat peletakkannya tidak diperoleh larva crustacea dari jenis ekonomis, seperti suku Portunidae dan Penaeidae. Hanya sebagian kecil crustacea ekonomis yang didapat dari lamun buatan, salah satunya dari Ordo Brachyura (Thalamita sp) dan sebagian Ordo Mysidacea, walaupun kedua jenis yaitu Ordo Mysidacea dan Brachyura menghuni ketiga lokasi stasiun. Jenis– jenis crustacea yang ekonomis maupun non ekonomis dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel 5. Data tabel Crustacea yang bernilai ekonomis dan non ekonomis.
Crustacea
No Ekonomis
Non ekonomis
1
Thalamita sp (Portunidae)
Amphipoda
2
Thalamita prymna
Isopoda
3
Thalamita crenata
Cumacea
4
Mysidacea
Palaemonidae
5
-
6
-
Hyppolytidae
7
-
Xanthidae
Alpheidae
Ordo Brachyura (Thalamita sp) memiliki tingkat kelimpahan yang sedikit dari lamun buatan yaitu 4,68% (lokasi Utara) dan 0,9% (lokasi Selatan). Jenis crustacea ini memiliki ukuran yang relatif kecil atau juvenil yang didapat dari lamun buatan dan bukan indukan. Hal ini diduga ada pengaruh dari faktor lingkungan yaitu temperatur suhu yang rendah (stasiun Selatan), karena sebagian jenis crustacea (Brachyura) memiliki sifat yang sensitif terhadap perubahan lingkungan tersebut, sehingga hasil yang didapat lamun buatan relatif sedikit. Adapun pengaruhnya dari kelompok crustacea sendiri baik dari jenis Amphipoda
50
ataupun Isopoda sebagai rantai makanan (saling makan memakan). Jenis Isopoda berperan sebagai parasit yang terbagi atas 2 kelompok didasarkan pada hospesnya, yaitu Isopoda pada ikan dan crustacea lain. Kondisi peranan dari lamun buatan tersebut cukup baik, dilihat dari segi ekologi walaupun jumlah seluruh individu crustacea yang diperoleh lamun buatan relatif sedikit khususnya jenis crustacea ekonomis. Adapun lamun buatan yang dihuni crustacea dipengaruhi oleh kondisi substrat dasar. Pada stasiun Selatan memiliki kandungan substrat dasar berpasir. Substrat berpasir umumnya miskin akan organisme, kebanyakan bentos pada pantai berpasir mengubur diri dalam substrat dan pantai berpasir tidak menyediakan substrat yang tetap untuk melekat bagi organisme, karena aksi gelombang laut secara terus menerus menggerakkan partikel substrat (Ardi (2002) dalam Schmieg, 2007). Dilihat dari tiap stasiun, ternyata stasiun Barat Daya memiliki kelimpahan individu tertinggi yang masing–masing berkisar antara 41 sampai 241 individu/m2 (berlaku pada kedua model lamun buatan). Kelimpahan individu di setiap stasiun berbeda. Tetapi dilihat dari rata–rata perolehan individu yang didapat dari tiap stasiun, bahwasanya yang lebih dominan berada di stasiun Barat Daya, yang seluruh individu berjumlah 518 individu/m2 (Lampiran 5). Bila dibandingkan dengan stasiun lainnya baik Utara maupun Selatan yang hanya berjumlah seluruh individu 64 dan 108 individu/m2 (Lampiran 6 dan 7). Jenis yang paling dominan menguasai ketiga stasiun tersebut antara lain dari Ordo Amphipoda, Isopoda dan Mysidacea. Melimpahnya dari ketiga ordo tersebut disebabkan karena sifatnya yang kosmpolit dan adanya interaksi dari lamun buatan maupun alami walaupun secara ekologis fungsinya tidak hampir sama.
51
Jenis dari Ordo Isopoda, Paracerceis sp merupakan jenis yang paling dominan menguasai ketiga stasiun penelitian yaitu berkisar antara 18 sampai 241 individu/m2 (berlaku pada kedua model lamun buatan). Kondisi dari kedua lamun buatan yang berada ditiap stasiun dapat dijadikan tempat untuk perlindungan dan asuhan. Pada model sabut kelapa (M1) secara ekologi berpengaruh kuat pada crustacea salah satunya dari Ordo Isopoda sebagai tempat asuhan hidup (nursery ground) dan berkembang biak untuk memenuhi kebutuhan siklus hidupnya. Hal ini juga karena bahan tersebut merupakan bahan organik alternatif berasal dari buah kelapa tua yang memiliki serat kuat dan mampu menyerap polutan logam berat yang mencemari lingkungan. Model tali plastik (M2) fungsinya hampir sama dengan model sabut kelapa dilihat dari segi ekologi dan manfaat bagi crustacea. Material tali plastik memiliki kandungan polimer dan tidak dapat terurai oleh organisme laut khususnya fauna bentik, sehingga kurang ramah terhadap lingkungan. Perbedaan jumlah kelimpahan individu crustacea yang terdapat dari kedua model (M1) dan (M2) di seluruh stasiun tidak terlampau jauh yaitu sebesar 393 dan 378 individu/m2, karena masing – masing model memiliki sifat yang menonjol dalam interaksi dengan biota crustacea. Sabut kelapa (M1) merupakan bahan artifisial yang paling baik daripada bahan tali plastik (M2), karena cenderung ramah lingkungan dan kisaran perbandingan jumlah kelimpahan individu yang diperoleh tidak terpaut jauh dan . Hal ini diduga pada bahan sabut kelapa memiliki karakter yang cukup baik sebagai habitat baru (sementara) bagi pengunjung biota crustacea, karena struktur
52
sabut kelapa yang susunannya renggang, merupakan bahan organik dan permukaannya agak kasar. Senyawa organik atau nutrien yang berada di perairan menempel pada lamun buatan tersebut dan memungkinkan bentik tersebut dapat hadir untuk mencari makan atau berteduh. Pada bahan tali plastik juga hampir sama peranannya dengan sabut kelapa, tapi susunan dan strukturnya halus, berbau kimia, sehingga memungkinkan crustacea yang hadir lebih sedikit.
4.3. Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (D) Jenis Crustacea. 4.3.1. Keanekaragaman Jenis. Indeks keanekaragaman (H’) umumnya tergolong sedang. Indeks keanekaragaman (H’) tertinggi terdapat pada stasiun Utara sebesar 1,63. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 6, dimana pada stasiun Utara jumlah jenis tertinggi dan jumlah individu yang besar dimiliki oleh beberapa jenis (berlaku pada kedua model artifisial). Pada stasiun Utara dan Selatan memiliki jumlah jenis yang hampir sama, namun pada stasiun Selatan memiliki H’ yang lebih kecil (1,45) dari stasiun Utara yaitu sebesar 1,63. Hal ini dikarenakan pada stasiun Utara ada dua jenis yaitu dari Ordo Mysidacea dan Paracerceis sp (Ordo Isopoda) yang jumlah individunya lebih besar dibandingkan dengan jenis lainnya pada stasiun tersebut. Banyaknya jumlah dari kedua jenis tersebut, salah satunya jenis Isopoda disebabkan karena sebagian besar jenis tersebut penyebarannya luas (kosmopolit) (Aswandy, 1985). Adapun jenis Mysidacea berada di perairan pelagis, kadang – kadang sebagai epibentik atau bentik dan hidupnya bebas serta terdistribusi diseluruh dunia (Wikispesies, 2009). Data grafik keanekaragaman jenis crustacea tiap minggu pada ketiga lokasi penelitian dapat dilihat pada (lampiran 4).
53
Indeks keanekaragaman (H’) terendah terdapat pada stasiun Selatan sebesar 1,45. Dengan tingkat keanekaragaman jenis terendah pada Stasiun tersebut, maka menunjukan bahwa keanekaragaman populasi pada stasiun ini rendah dan stasiun tersebut memiliki jumlah jenis terendah yaitu 11 jenis, bila dibandingkan dengan stasiun lain. Model artifisial berupa sabut kelapa (M1) dan tali plastik (M2) merupakan indikator yang baik di setiap stasiun dalam mengetahui keberadaan Ordo Mysidacea. Dilihat dari rata–rata jumlah individu yang didapat hampir seluruh stasiun memilikinya, walaupun bukan yang termasuk dominan. Substrat pasir lumpuran dan lumpur pasiran mendominasi hampir disemua stasiun pada perairan ini sehingga mendukung kehidupan Paracerceis sp (Ordo Isopoda) dan Ordo Mysidacea. Indeks keanekaragaman jenis (H’) tersebut umumnya tergolong sedang dan tinggi. Tingkat keanekaragaman jenis (H’) pada setiap stasiun tidak terpaut jauh dengan tingkat keanekaragaman jenis (H’) rata–rata dari tiap stasiun adalah 1,55 yang tergolong sedang. Data hasil analisis indeks keanekaragaman (H’), keseragaman (E) dan dominansi (D) jenis crustacea di Perairan Padang Lamun, Pulau Pari, Kepulauan Seribu dapat dilihat seperti pada Tabel 6.
54
Tabel 6. Nilai Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (D) Pada Stasiun Penelitian. Stasiun Barat Daya Utara Selatan
S 33 12 11
N 518 64 108
H' 1,59 1,63 1,45
D 0,20 0,28 0,34
E 0,45 0,65 0,60
Keterangan: S = Jumlah Jenis N = Jumlah Individu E
= Indeks Keseragaman Jenis
H’ = Indeks Keanekaragaman Jenis D = Indeks Dominansi Jenis
NIlai Indeks
Grafik Indeks Diversitas 1.8 1.6 1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0
D E H'
1
2
3
Stasiun
Gambar 9. Grafik Nilai Analisis Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi Jenis (D). 4.3.2. Keseragaman Jenis. Hasil analisis indeks keseragaman jenis (E) berkisar antara 0,45 (Barat Daya) sampai 0,65 (Utara). Nilai indeks keseragaman jenis (E) pada setiap stasiun umumnya tergolong rendah, kecuali pada stasiun barat daya yang nilainya tergolong kecil. Indeks keanekaragaman jenis (H’) berkisar antara 1,45 (Selatan) sampai 1,63 (Utara). Indeks keseragaman (E) terendah sebesar 0,45 yang terdapat pada stasiun Barat Daya. Menurut Odum (1971) dalam Puspawardani (2005) menunjukkan
55
bahwa semakin kecil nilai E, maka keseragaman populasi semakin kecil, penyebaran individu tiap spesies tidak sama atau kecenderungan satu spesies mendominasi. Meskipun stasiun ini memiliki banyak jenis tetapi salah satu dari jumlah jenis Paracerceis sp (Ordo Isopoda) memiliki jumlah yang relatif lebih besar yaitu 241 individu bila dibandingkan dengan salah satu jenis dengan jumlah terkecil yaitu Palaemonella sp (Ordo Decapoda), Alpheus sp, Spirontocaris sp (Caridean) dan Leucothoe sp (Ordo Amphipoda) yang hanya memiliki 0–1 individu (Tabel 2). Indeks keseragaman (E) umumnya tergolong rendah. Indeks keseragaman (E) tertinggi sebesar 0,65 terdapat pada stasiun Utara. Menurut Odum (1971) dalam Puspawardani (2005) semakin besar nilai E, maka keseragaman populasi semakin besar, penyebaran individu tiap spesies merata atau tidak ada spesies yang mendominasi. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3, dimana pada stasiun Utara memiliki 12 jenis dan 64 individu. Masing–masing jenis di stasiun ini memiliki keseragaman yang tidak relatif jauh bila dibandingkan dengan stasiun lainnya yang terpaut jauh. Walaupun di Stasiun Utara masih sedikit jenis yang mendominasi. 4.3.3. Dominansi Jenis. Indeks dominansi (D) berkisar antara 0,20 (Barat Daya) sampai 0,34 (Selatan). Tingkat dominansi (D) pada setiap stasiun umumnya stabil dan merata, sedangkan pada stasiun Barat Daya yang memiliki tingkat dominansi stabil, hanya 0,20 dan hampir tidak ada individu yang mendominasi. Walaupun pada stasiun lainnya tidak terpaut jauh tingkatan dominansinya.
56
Indeks dominansi (D) stabil terdapat pada stasiun Barat Daya sebesar 0,20, walau tidak ada spesies yang mendominansi. Menurut Krebs (1989) dalam Werdiningsih (2005) Jika indeks dominansi mendekati 0 berarti hampir tidak ada individu yang mendominasi, karena nilai indek dominansi berkisar antara 0 hingga 1. Bila pada stasiun Barat Daya memiliki tingkat dominansi 0,20 berarti menunjukkan tingkat dominansi yang stabil. Hal ini dapat dilihat pada (Tabel. 2), dimana pada stasiun Barat Daya memiliki jumlah jenis terbesar yaitu 33 jenis dan tidak ada jenis yang mendominansi. Data indeks diversitas bagi lamun alami dan buatan dapat dilihat pada tabel 7. Tabel 7. Indeks Diversitas Lamun Alami dan Buatan, di Perairan Pulau Pari.
No
Habitat
1
Lamun alami (kontrol)
2
Sabut kelapa (M1)
3
Tali plastik (M2 )
Indeks Diversitas Keanekaragaman Jenis (H')
3,05
Keseragaman Jenis (E)
Dominansi Jenis (D)
0,8
0,33
0,67
0,46
0,27
1,03
0,62
0,23
Berdasarkan data di atas dapat diketahui bahwa material sabut kelapa memiliki nilai H’= 0,67. Nilai H’ tersebut lebih rendah daripada yang lainnya dengan kisaran yang tidak relatif jauh. Hal ini diduga bahwa material sabut kelapa memiliki keterbatasan daya tahan fisik dan kondisi substrat habitat, sehingga tiap beberapa waktu perlu pergantian yang baru dari material tersebut. Pada tali plastik memiliki nilai D yang hampir mendekati 0 yaitu 0,23. Hal ini karena tidak terdapatnya jenis crustacea yang mendominasi jenis crustacea lainnya atau pada kondisi yang stabil. Diduga material tali plastik dapat dihuni oleh jenis bentik crustacea apapun.
57
Tekstur dari material tali plastik cukup lebat bila dibanding dengan sabut kelapa. Hal ini menjadi penyebab perbedaan kondisi habitat buatan yang hampir sama fungsinya sebagai tempat tinggal sementara bagi bentik crustacea. Lain halnya dengan material buatan, lamun alami lebih cenderung memiliki tingkat keanekaragaman yang tinggi bila dibanding dengan yang lain. Kisaran nilai H’ pada lamun alami mencapai 3,05 sedangkan material buatan lebih rendah. Hal ini disebabkan lamun alami yang berada ditiga stasiun lebih potensial bagi kehidupan bentik crustacea sebagai habitat alami dan tempat reproduksi yang baik bagi perkembangan larva crustacea. Stasiun Barat Daya, Utara dan Selatan umumnya memiliki nilai indeks keanekaragaman (H’) dan dominansi (D) yang stabil, namun pada ketiga stasiun tersebut memiliki tingkat keseragaman (E) yang rendah. Hal ini dilihat dari kondisi lamun buatan (sabut kelapa dan tali plastik) yang hanya menciptakan habitat baru yang bersifat sementara, sehingga biota crustacea yang hadir hanya digunakan untuk berlindung dari predator lain dan digunakan juga sebagai perantara nutrisi organik, khususnya pada sabut kelapa (M2). Di samping itu, dipengaruhi juga oleh parameter suhu yang kurang stabil dan mengalami penurunan yang drastis pada stasiun Utara dan Selatan (minggu ke-4) antara 27oC – 29oC (tabel 6). Menurut Ngangi (2003) keadaan seperti ini menunjukkan bahwa terjadi pengaruh dari proses parameter alami (arus, gelombang, temperatur dan sebagainya) pada lingkungan sekitarnya. Kondisi ini juga dapat disebabkan karena dampak pencemaran yang berasal dari daratan Pulau Pari yang secara tidak langsung mengenai daerah pesisirnya khususnya ekosistem lamun. Menurut Rani (2008) banyak kegiatan
58
pembangunan di wilayah pesisir yang telah mengorbankan ekosistem padang lamun, seperti kegiatan reklamasi. Namun dampak yang nyata dari degradasi padang lamun mengarah pada penurunan keragaman (biodiversity) biota laut sebagai akibat hilang atau menurunnya fungsi ekologi dari ekosistem tersebut. Dengan demikian diketahui bahwa perairan pada stasiun Barat Daya, Utara dan Selatan umumnya masih bersih dan aman bagi kehidupan biota laut, termasuk crustacea. Pada stasiun Utara dan Selatan tersebut memiliki nilai indeks keseragaman (E) yang hampir sama dengan tingkatan yang rendah, namun pada stasiun Barat Daya indeks keseragamannya lebih kecil dari kedua stasiun tersebut. Menurut Hakim (2010) wilayah perairan merupakan media yang rentan terhadap pencemaran dan berbagai jenis pencemar baik yang berasal dari sumber perumahan, gejala alam dan lainnya yang memasuki badan air. Pencemar akan terakumulasi dan secara langsung ataupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap kualitas perairan tersebut. Hal ini diduga karena stasiun Barat Daya kemungkinan besar tidak langsung menerima dampak pencemaran dari daratan Pulau Pari bila dibandingkan dengan stasiun lainnya, karena jauh dari hunian penduduk. Dengan adanya pengaruh tersebut menyebabkan stasiun Barat Daya menjadi habitat yang cukup baik bagi kehidupan crustacea, dilihat dari tingkat kelimpahan individu, walaupun tingkat keseragaman dan dominansi relatif rendah dan stabil. Makrozoobentos diantaranya Crustacea, Isopoda, Decapoda, Oligochaeta, Molusca, Nematoda dan Annelida dapat bersifat toleran maupun bersifat sensitif terhadap perubahan lingkungan perairan yang tercemar (Hakim, 2010). Oleh
59
sebab itu, dikatakan biota crustacea tidak mampu menyesuaikan kondisi apabila terjadi pencemaran lingkungan perairan dengan tingkat pencemaran rendah maupun tinggi. Hal ini juga didukung bahwa kondisi perairan Pulau Pari mengalami pencemaran secara tidak langsung maupun langsung yang disebabkan oleh aktivitas masyarakat sekitar antara lain membuang sampah, MCK dan bernelayan, sehingga diduga berpengaruh pada model lamun buatan khususnya bahan tali plastik (tambang) yang digunakan sebagai penunjang keberadaan crustacea (memiliki jumlah yang sedikit). Menurut Pearson, T. H and Rossemberg (1976) dalam Aswandy, 1998) adapun jenis-jenis kondisi perairan laut yang mempengaruhi kehidupan bentik crustacea antara lain: 1. Kondisi normal, bisa ditemukan jenis Polichaeta, Crustacea, Molusca dan Echinodermata dalam kondisi seimbang. 2.
Terganggu, ditemukan Polichaeta dan Molusca.
3. Tercemar 1, ditemukan hanya Polichaeta, ex: Capitelli sp. 4. Tercemar 2,
tidak ada kehidupan Makrobentos, ditemukan hanya bakteri,
sedimen dan H2S tinggi. 4.4. Parameter Lingkungan Perairan Padang Lamun Pulau Pari. Hasil pengukuran parameter lingkungan, yaitu parameter fisik di perairan padang lamun Pulau Pari, Kepulauan Seribu secara umum masih cukup sesuai untuk mendukung kehidupan biota laut, termasuk crustacea. Temperatur suhu pada setiap stasiun bervariasi antara 27oC pada stasiun Selatan (minggu ke-4) sampai 33oC stasiun Selatan (minggu ke-1) dan Utara (minggu ke-3). Salinitas pada setiap stasiun bervariasi antara 30 o/oo pada stasiun Utara (minggu ke-2) dan Selatan (minggu ke-3) sampai 34 o/oo stasiun Barat Daya (minggu ke-2), Utara (minggu ke-3) dan Selatan (minggu ke-4). pH pada setiap stasiun bervariasi pada
60
stasiun Utara (minggu ke-3) dan Barat Daya (minggu ke-4) memiliki pH 7, sedangkan pH 8 pada stasiun Barat Daya (minggu ke-1), Selatan (minggu ke-3) dan Utara (minggu ke-4). Kecerahan pada stasiun Barat Daya berkisar (80), stasiun Utara (90) dan Selatan (100), sehingga terlihat jernih pada stasiun Selatan bila dibandingkan dengan stasiun lainnya, sedangkan substrat tidak mendominasi hampir di semua stasiun pada perairan ini antara lain pasir berlumpur dan lumpur berpasir yang diperoleh dari ketiga stasiun. Data parameter lingkungan di Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Data Parameter Lingkungan di Perairan Pulau Pari. No
1
2
3
4
Waktu Penelitian
Minggu I
Minggu II
Minggu III
Minggu IV
±
Lokasi
PARAMETER Kedalaman pH (m) Kecerahan
Suhu (oc)
Salinitas (o/oo)
Utara
32
32
7,5
1
90
Selatan Barat Daya
33
31
7,9
0,5
100
32
33
8
0,8
80
Utara
32
30
7,8
0,8
90
Selatan Barat Daya
31
33
7,5
0,5
100
32
34
7,9
1,5
80
Utara
33
34
7
0,65
90
Selatan Barat Daya
31
30
8
0,2
100
31,5
32
7,5
0,5
80
Utara
29
31
8
1
90
Selatan Barat Daya
27
34
7,9
0,25
100
30 31,12 5
32
7
1,25
80
32,16
7,6
0,75
90
Substrat pasir lumpuran pasir kasar + halus lumpur berpasir pasir lumpuran pasir kasar + halus lumpur berpasir pasir lumpuran pasir kasar + halus lumpur berpasir pasir lumpuran pasir kasar + halus lumpur berpasir
61
Berdasarkan data Tabel 8, temperatur suhu pada setiap stasiun bervariasi antara 27oC pada stasiun selatan (minggu ke-4) sampai 33oC pada stasiun Selatan (minggu ke-1) dan Utara (minggu ke-3). Nilai terendah diperoleh pada stasiun Selatan (minggu ke-4) yang terletak didekat dermaga dan tempat rehabilitasi mangrove. Hal ini disebabkan oleh massa air atau angin yang datang dari timur, karena saat itu kondisi cuaca kurang baik dan kecepatan angin tidak relatif stabil (naik turun) mengarah dari barat ke timur, sehingga mempengaruhi dan menyebabkan massa air tersebut bersuhu lebih rendah. Sebaliknya, nilai temperatur suhu maksimum terjadi di stasiun Utara (minggu ke-3) dan Selatan (minggu ke-1) Di stasiun Utara (Minggu ke-3) yang letaknya tidak jauh antara Pulau Pari dan Pulau Kudus serta dekat dengan pemukiman penduduk, disebabkan oleh pertemuan arus yang terjadi diantara Pulau Pari dan Pulau Kudus, sehingga mengakibatkan gesekan antara dua arus tersebut yang menimbulkan temperatur perairannya tinggi dan juga dipengaruhi cuaca yang panas. Stasiun Selatan (minggu ke-1) yang letaknya dekat dengan dermaga, disebabkan oleh pengaruh daratan yang biasanya dijadikan tempat aktifitas para nelayan. Pola distribusi salinitas bervariasi antara 30 o/oo pada stasiun Utara (minggu ke-2) dan Selatan (minggu ke-3) sampai 34 o/oo pada stasiun Barat Daya (minggu ke-2), Utara (minggu ke-3) dan Selatan (minggu ke-4). Nilai terendah diperoleh pada stasiun Utara (minggu ke-2) dan Selatan (minggu ke-3). Pada stasiun Utara (minggu ke-2) yang terletak dekat pemukiman penduduk, disebabkan oleh pengaruh aktifitas para nelayan, begitu juga pada stasiun Selatan (minggu ke-3).
62
Sebaliknya salinitas tertinggi diperoleh di stasiun Barat Daya (minggu ke2), Utara (minggu ke-3) dan Selatan (minggu ke-4), yang masing–masing karena dipengaruhi oleh kondisi kecepatan angin yang kurang relatif stabil, sehingga terjadi gelombang air laut dari setiap sisi. Pola salinitas secara keseluruhan terlihat bahwa di bagian Perairan Pesisir Pulau Pari umumnya bersalinitas kurang dari 33 o
/oo, mulai dari lokasi sebelah Barat Daya sampai Utara dan Selatan. Kondisi
lingkungan Gugus Pulau Pari dimusim kemarau dengan salinitas (30-33o/oo) tinggi (Juwana, 2001). Hal lainnya bisa disebabkan oleh pengaruh dari pantai Utara Jakarta sampai ke Kepulauan Seribu. Stasiun Utara (minggu ke-3) dan Barat Daya (minggu ke-4) memiliki pH 7, sedangkan pH 8 pada stasiun Barat Daya (minggu ke-1), Selatan (minggu ke-3) dan Utara (minggu ke-4) yang cenderung pada pH basa. Nilai terendah diperoleh pada stasiun Utara (minggu ke-3) dan Barat Daya (minggu ke-4) yang lokasinya terletak antara UPT Loka P2O-LIPI dengan pemukiman penduduk, sedangkan pH tertinggi diperoleh di stasiun Barat Daya (minggu ke-1), Selatan (minggu ke-3) dan Utara (minggu ke-4). Variasi nilai pH di perairan tersebut dapat dipengaruhi oleh buangan sampah anorganik atau limbah yang berasal dari penduduk di sepanjang pantai. Menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51/2004 mengenai Daftar Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut bahwa pH yang baik untuk perkembangan biota berkisar antara 7-8,5. Dengan demikian, secara keseluruhan pH di Perairan Pulau Pari ini masih dalam kisaran baik bagi kehidupan crustacea. Kedalaman pada tiap stasiun bervariasi pada stasiun Selatan (minggu ke3) memiliki kedalaman 0,2 m, sedangkan kedalaman 1,5 m pada stasiun Barat
63
Daya (minggu ke-2). Kedalaman tertinggi yaitu pada stasiun Barat Daya (minggu ke-2). Hal ini karena terjadi pasang air laut dan arus yang deras dari sebelah ujung barat Pulau Pari, sedangkan kedalaman terendah pada stasiun Selatan (minggu ke3) yang terletak dekat dermaga dipengaruhi surutnya air laut. Substrat tidak mendominasi hampir di semua stasiun pada perairan tersebut. Substrat lumpur berpasir diperoleh di stasiun Barat Daya, sedangkan pasir berlumpur diperoleh di stasiun Utara dan pada di stasiun Selatan diperoleh substrat pasir kasar dan halus. Menurut Nontji (2002) dalam Puspawardani (2005), substrat di perairan laut Jawa terutama terdiri dari lumpur dan lumpur pasiran.
64
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan 1. Jenis-jenis crustacea yang ditemukan dari lamun buatan ada 5 jenis ordo antara lain Ordo Amphipoda (Cymadusa sp, Cymadusa filosa (dominan), Gammaropsis sp, Leucothoe sp, Podocerus kleidus, Leucothoe sp, Megaluporus sp, Ceradocus sp dan Liljeborgia sp), Ordo Isopoda (Cymodoce sp, Paracerceis sp (dominan), Dynamenella sp dan Ianiropsis sp), Ordo Cumacea, Ordo Mysidacea dan Ordo Decapoda (Caridean, Macrura dan Brachyura). 2. Material lamun buatan (bahan tali plastik dan sabut kelapa) memiliki pengaruh dan berperan cukup baik sebagai alternatif pengganti (habitat sementara) terhadap keanekaragaman dan kelimpahan jenis crustacea padang lamun yang bernilai ekonomis maupun non ekonomis. 5.2. Saran 1.
Mengingat pentingnya peranan lamun sebagai penunjang dan tempat asuhan hidup (nursery ground) bagi larva crustacea dan dengan cara alternatifnya melalui artifisial (sabut kelapa dan tali tambang), maka perlu diupayakan, dikelola dan dikembangkan lebih lanjut lagi, agar kiranya dapat memperoleh hasil yang maksimal khususnya untuk kelangsungan hidup crustacea yang memiliki nilai ekonomis.
65
2.
Penggunaan lamun buatan tidak hanya dengan bahan artifisial (sabut kelapa dan tali plastik), tapi dengan bahan alternatif lainnya yang ramah lingkungan, agar dapat dijadikan solusi yang baik sebagai pengganti lamun alami yang berperan penting bila kondisi lamun alaminya mengalami kerusakan baik secara ekologi maupun fungsinya.
3.
Sabut kelapa merupakan bahan artifisial lamun yang baik untuk pengganti alternatif lamun alami bila dibandingkan dengan tali plastik, mengingat bahan tersebut berbahan dasar buah kelapa dan cenderung lebih ramah lingkungan, sehingga tidak merusak ekosistem perairan laut.
66
DAFTAR PUSTAKA
Asriningrum, W. 2004. Studi Identifikasi Karakteristik Pulau Kecil Menggunakan Data Landsat Dengan Pendekatan Geomorfologi Dan Penutupan Lahan: studi kasus Kepulauan Pari dan Kepulauan Belakangsedih. Http:// www .google.com/kepulauan seribu/profilpulaupari/pdf_doc. 11 januari 2010 (13.00 WIB). Aswandy, I. 2008. Biota Laut: Krustasea Sebagai Konsumen Di Padang Lamun. Oceana XXXIII, nomor 1-9. Aswandy, I, dkk. 1998. Pengamatan Komunitas Krustasea Dan Ekhinodermata Bentik Di Teluk Jakarta. LON-LIPI. Jakarta. Aswandy, I. 1985. Beberapa Catatan Dalam Pengenalan Isopoda. Oceana X, Nomor 3: 106-112. Azkab, M. H. 2006. Ada Apa Dengan Lamun. Oceana XXXI. Nomor 3: Hal 46. Azkab, M. H. 2000. Biota Laut: Struktur Dan Komunitas Padang Lamun. Oceana XXV, Nomor 1. Azkab, M. H. 1999. Petunjuk Penanaman Lamun. Oceana XXIV. Nomor 3. Http://google.com/padanglamun/pdf_doc. 05 maret 2011 (13.00 WIB). Brill, E. J. L. 1972. CRUTACEANA (International Journal of Crustaceana Research): Studies On Peracarida (Isopoda, Tanaidacea, Amphipoda, Mysidacea, Cumacea). Tuta Sub Aegide Pallas. EJB. Bruscea & Wilson. 1991. Peracarida (SubOrdo Flabellifera). Http://www. Google .com /Isopoda/Flabellifera/Sphaeromatidae_Pdf. 13 Januari 2010 (14.00WIB). Cressey, R.F. 1983. Crustaceans as Parasites of Other Organism (In The Biology of Crustacea. Http://www.google.com/Crustacean/Parasites of Crustacea _Article/Html. 12 Januari 2010 (14.00WIB). Diatin, Nahib, I., Anna, Fauzi, A. dan Putri, P. 2007. Studi Valuasi Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan di Kawasan Lindung (Konservasi). Http://www.google.com/profilpulauseribu/untitled/pdf_html. Diakses pada tanggal 3 juni 2009 (14.00WIB). Darojah, Y. 2005. Keanekaragaman Jenis Makrozoobentos di Ekosistem Perairan Rawapening Kabupaten Semarang. Skripsi: Universitas Negeri Semarang. Semarang.
67
Fahruddin, 2002. Pemanfaatan, Ancaman dan Isu – isu Pengelolaan Ekosistem Padang Lamun. Http://google.co/untitled/MakalahFalsafahSains/html.doc. Diakses pada tanggal 15 agustus 2009 (12.00 WIB). Fachrul, F.M. 2006. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara. Jakarta. Hal. 151-152. Green E, P and Frederick T,. 2003. World Atlas of Seagrass. Univ. of California Press. London-England. Hal. 171-172. Gonzagawawa, G,. 2009. Padang Lamun di Kepulauan Seribu. http ://kepulauan seribu.multiply.com/journal/item/25/Padang_Lamun_di_Kepulauan_Serib u. 25 juli 2009 (14.00 WIB). Glynn, P. W. 1971. Redicovery Of Paracerceis Edithae Boone (Isopoda ,Sphae romatidae) With Supplementary Notes On Morphology And Habitat. SmithSonian Tropical Research Institute. Panama. Hal. 146. Hakim, L. M. 2010. Makrobentos Sebagai Indikator Pencemaran Lingkungan. Http://www.ilmukelautan.com/Bentik (Crustacea)/Pengaruh Fauna Bentik Terhadap Limbah_Html. 12 Januari 2009 (10.00 WIB). Husein, A,. 2005. Menguak Misteri Lamun. Http://Google. co/lamun /untitled /ekosistemlamun.html. 2 agustus 2009 (15.00 WIB). Holthuis, B. L. 1955. The Recent Genera Of The Carridean And Stanopodidean Shrimps ( Class Crustacea, Order Decapoda, SuperSection Natantia) With Keys For Their Determination). Rijksmuseum van Natuurlijke Historie, Leiden. Netherlands. Indonesian Seagrass Committee. 2002. Indonesian Seagrass. Http://www. Indo.seagrass.org.id/gambarlamun/seagrass_image.html. 12 Januari 2010 (16.00 WIB). Ilmu Teknik Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 2007. Informasi Ekologi Laut Tropis. Http: //www.Google.com/webmaster-ipb/Lab.Hidrologi-ipb/eko logilauttropis/article /html. 4 agustus 2009 (13.00 WIB). Juwana, S. 2001. Penggunaan Untaian Serabut Plastik Sebagai Rumpon Untuk Pemeliharaan Rajungan (Portunus pelagicus) Di Dalam Jaring Kurung Mendasar. Prosiding Seminar Laut Nasional III-ISOI (P2O-LIPI). Jakarta. Hal. 97. Kasim, M. 2005. Lingkungan Ekosistem Pesisir. Http://www.maruf. Word Press .com./Seagrass(EkosistemYangTerabaikan)/Artikel/html. 30 juli 2009 (13. 00 WIB).
68
Kensley, B. 1978. Guide To The Marine Isopods Of Southern Africa. South African Museum. Cape Town. Hal. 85. Kiswara, W. 1992. Vegetasi Lamun di Rataan Terumbu Pulau Pari, Pulau – Pulau Seribu, Jakarta. Http://www.google.com/oseanologipulaupari /lamun pulau pari/pdf_doc. 15 Januari 2010 (10.00 WIB). Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup. 2004. Status Padang Lamun. Http: //www.google.com/webmaster-ipb/Lab.Hidrologi-ipb_article. 10 Januari 2010 (12.00 WIB). Lestari, P. R. 2008. Gambaran Umum Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Http://www.google.com/kepulauanseribu/pulaupari_profil/pdf_doc. 13 jan uari 2010 (13.00 WIB). Lowry, J.K. & Springthorpe,R.T. 1899. Amphipod: Famili and SubFamili. Http://www.crustacea.net/Gammaridae/Amphitoidae_Amphipod/Amphipo d_Html. 16 januari 2010 (13.30 WIB). Mackie. 1998. Morfologi Crustacea. Http://www.google.com /malacostraca /crust acea/image_html. diakses pada tanggal 13 januari 2010 (13.30 WIB). Matsuura, K., Sumadiharga, O. K., and Tsukamoto, K. 2000. Field Guide to Lombok Island. Ocean Research Institute. University of Tokyo. Hal. 5455. Meland, K & Willassen, E. 2007. The Disunity of ‘Mysidacea’ (Crustacea). Http://www.sciencedirect.com/Mysidacea/Mysid-pdf.file. Diakses pada tanggal 5 februari 2010 (14.00 WIB). Menez, E.G., Phillips and Calumpong, H.P. 1983. Ekosistem Padang Lamun. Htt p://www.google.com/lamun/ekologilauttropis_html. Diakses pada tanggal 5 juni 2009 (15.30 WIB). Moosa, M.K. dan Aswandy, I. 1995. Krustacea Dari Padang Lamun Di Perairan Lombok Selatan. Http://google.com/lamun/crustacealamun/adobe_readerpdf. Diakses pada tanggal 29 mei 2009 (13.00 WIB). Mujiarto, I. 2005. Sifat Dan Karakteristik Material Plastik Dan Bahan Aditif. Http://www.google.com/ArtifisialPlastik/MaterialPlastik/KarakterMaterial Plastik_Pdf.doc. 13 januari 2010 (11.00 WIB). Ngangi, E. LA. 2003. Pemanfaatan, Ancaman dan Pengelolaan Ekosistem Padang Lamun (Makalah). Http://www.google.com/Ekosistem Lamun /Pengelolaan Padang lamun_Html. 29 Januari 2010 (13.00 WIB).
69
Odum, S. P. 1971. Fundamental of Ecology. W. B. Saunders Company. London. Pratiwi, R. 2003. Cahaya Dan Warna Pada Krustasea. Oceana XXVIII, Nomor 1: Hal. 4. Puspawardani, M. 2005. Struktur Komunitas Amphipoda (Gammaridae) di Perairan Utara Jawa Tengah. Skripsi. Fakultas MIPA-UNJ. Jakarta. Putra, A. N. 2008. Kajian Pengaruh Keberadaan Mangrove Terhadap Komunitas Kepiting (Brachyura) di Ekosistem Mangrove Pesisir Klatakan. Skripsi. Dept. Manajemen Sumber Daya Perairan (IPB). Bogor. Putra, S. E. 2008. Kelapa Sebagai Bioindustri Potensial Indonesia. www. Google.com/chemistry.org/html_doc. 8 maret 2011. Rani, C. E. 2008. Rehabilitasi Padang Lamun:Pentingkah?. Http://www .google. co.id/LamunBuatan/RehabilitasiPadangLamun_Html. 25 Januari 2010 (15.00 WIB). Romimohtarto, K dan Juwana, S. 2007. Biologi Laut. Djambatan. Jakarta. Hal. 14, 195-206. Romimohtarto, K dan Juwana, S. 1987. A Comparative Study of Some Larval Stages of Penaeus monodon and Penaeus merguiensis (Crustacea: Decapoda) from Indonesia. Center for Oceanological Research and Development, Indonesian Institute of Science. Jakarta. Sammy De Grave, N. Dean Pentcheff & Shane T. Ahyong. 2009. A classification of living and fossil genera of decapod crustaceans. Http://www. Wikimed ia.shrimp.com/decapoda/udang(shrimp)_html_wiki. 25 januari 2010 (13.0 0 WIB). Schmieg, S. 2007. Pengamatan Transek Garis 100 m @Pulau Pari Bagian Selatan. Http://www.google.com/wordpress.co/transekgaris_article.html. 24 Februari 2010 (11.00 WIB). Tomascik, T., Nontji, A., Mah, A. dan Moosa, MK. 1997. Interaksi Padang Lamun. Http://www.google.com/ekologilauttropis/lamun_html. Diakses pada tanggal 1 juni 2009 (11.00 WIB). Thomas, J.D. 1993. Identification Manual for the Marine Amphipoda: (Gammaridea). Department of Invertebrate Zoology National History Smithsonian Institution. Washington DC. Werdiningsih, R. 2005. Struktur Komunitas Kepiting dan Kondisi Mangrove Kawasan Mangrove Rehabilitasi Pantai Tanjung Pasir, Tangerang. Skripsi. Institute Pertanian Bogor. Bogor.
70
Widyastuti, E. 2002. Beberapa Catatan Mengenai Parasit Krustasea. Oceana XXVII. No. 2. hal. 29-34. Wikispesies. 2009. Mysidacea (Opposum Shrimp). Http://www .wikispesies.com/ Mysidacea(Spesies)/Morfologi dan Distribusi Mysidacea_Html. 10 januari 2010 (14.00 WIB).
71
72
ABSTRAK Penelitian ini dilakukan di Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu dan dilaksanakan pada bulan November 2009. Ada 3 lokasi stasiun penelitian yaitu sebelah Barat Daya, Utara dan Selatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk
73
menggambarkan dan mengetahui keanekaragaman dan kelimpahan crustacea (malacostraca) yang hadir di lamun buatan. Ada dua model lamun buatan dibuat dari material yang berbeda yaitu sabut kelapa dan tali plastik (tambang). Lamun buatan ini ditempatkan pada kerapatan lamun yang berbeda (padat, sedang dan jarang) pada masing – masing stasiun. Pengambilan data crustacea di lamun buatan dilakukan pada minggu ke-1,2,3 dan 4 dengan menggunakan metode pengambilan langsung. Komposisi crustacea (malacostraca) yang ditemukan ada 1 Ordo, 3 Famili, 23 Genus dan 14 Spesies. Jumlah crustacea yang ditemukan dari lamun buatan terbanyak pada lokasi Barat Daya. Keanekaragaman di stasiun Barat Daya tergolong rendah yaitu 1,59, sedangkan pada stasiun Utara dan Selatan adalah 1,63 dan 1,45. Kelimpahan crustacea di stasiun Barat Daya mencapai 518 ind/m2, sedangkan pada stasiun Utara dan Selatan mencapai 64 ind/m2 dan 108 ind/m2. Keanekaragaman dan kelimpahan crustacea pada seluruh stasiun baik Utara, Selatan dan Barat Daya di dominasi oleh jenis Paracerceis sp dan Cymadusa filosa serta sebagian dari Ordo Mysidacea (ekonomis). Maka dapat dikatakan material lamun buatan (sabut kelapa dan tali plastik) memberi pengaruh terhadap jenis crustacea yang bernilai ekonomis maupun non ekonomis.
74
75
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
76
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2009 bertempat di Perairan Pesisir Pulau Pari, Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNLKpS), Teluk Jakarta – DKI Jakarta. Lokasi penelitian (Gambar 4), meliputi daerah Utara (stasiun 1), Barat Daya (stasiun 2) dan Selatan (Stasiun 3) dari Pulau Pari untuk mengambil data yang mewakili daerah tersebut.
Keterangan : = Lokasi Penelitian. = Stasiun Penelitian
Gambar 6. Lokasi dan Stasiun penelitian P. Pari, Kepulauan Seribu (PusLit Geoteknologi-LIPI, 2002).
3.2. Alat dan Bahan Alat – alat yang digunakan adalah termometer, kertas pH universal atau pHmeter, rollmeter, refraktosalinometer, kompas, water quality checker, ember, GPS, mikroskop binokuler, snorkel, alat ukur kedalaman air (Depth gauge), alat ukur kecerahan (Secchi disk), sabut kelapa, tali plastik (tambang), kantong plastik,
77
LS = 05,864500 , BT
LAMPIRAN 1. Komposisi seluruh jenis yang terdapat pada lamun buatan di lokasi Barat Daya (Elevasi = 73 ft, = 106,608370).
Minggu 1 No
Minggu 3
Minggu 4 ∑
M2 1
Minggu 2
Nama Crustacea M1
M2
M1
M2
M1
M2
%
Minggu 1 No
Minggu 3
Minggu 4
M1
M2
M1
M2
M1
M2
M1
M2
∑
%
19
3.24
M1
Ordo Amphipoda a. Famili Gammaroidae
39
Ceradocus sheardi
2 1
Anamaera hixoni b. Famili Megaluporidae Megaluropus sp
2
4
41
6.99
Cymodoce natalensis
1
0.17
b. Famili Jaeropsidae
6
1.02
Ianiropsis sp
3
0.51
Cymadusa filosa
139
23.72
3
2 2
61
10.4
43
25
24
42
2
0.34
1
0.17
2
0.34
1
0.17
1
1
0.17
1
1
0.17
1
0.17
1
0.17
Cyclaspis sp 4
1
1
2
0.34
5
Palaemonetes sp
1
0.17
Palaemonella sp
1
Liljeborgia sp
1
1
0.17
3
0.51
Palaemon sp b. Famili Euphausidae
Listriella barnardi
3
e. Famili Podoceridae 7
1 1
4
Alpheus sp d. Famili Hippolytidae
1
1
9
1.53
4
1
9
1.53
10
10
1.7
d. Famili Xanthidae Lacnopodus subacutus
1
1
0.17
Jenis Lain-lainnya
1
1
0.17
Spirontocaris sp
h. Famili Anamixidae i. Famili Corophiidae
6
j. Famili Leucothoidea Leucothoe sp
7
c. Famili Alpheidae
g. Famili Eusiridae
Chevalia aviculae
18
2
1
Anamixis hanseni
24
ordo Decapoda a. Famili Palaemonidae
1
Eusiroidea sp
10
0.34
ordo Cumacea
Liljeborgia brevicornis
Podocerus kleidus f. Famili Colomastigidae
15
a. Famili Bodotriidae 5
c. Famili Talitroidae Orchestia sp d. Famili Liljeborgiidae
4
ordo Mysidacea 3
b. Famili Ampithoidae
2
Minggu 2
Nama Crustacea
1
0.17
1
ordo Polychaeta Famili Nereidae
7 1
1
1
2
1
5
0.85
11
4
5
45
7.67
klass Gastropoda famili cerithidae
ordo Isopoda
Cerithium sp
a. Famili
famili Columbelidae
5
3
3
4
10
Sphaeromatidae Dynamenella sp
1
3
Cymodoce setulosa
2
3
4
113
80
Paracerceis sp
8
Cymodoce velutina Cymodoce sp (A)
3 1
23
27
0.68
9
1.53
8
klass Bivalvia
171
29.18
9
klass Stelleroidea
3
0.51
subklass Asteroidea
1
0.17
subklass Ophiuroidea
Cymodoce sp (B)
4
4
0.68
Cymodoce sp (C)
6
6
1.02
Ket : M1 = Sabut Kelapa M2 = Tali Plastik (tambang)
Pyrene sp
4
10
klass Pisces Total
1
1
2
1 7 1 1
2
2 15
4
14
15
227
173
82
121
5
0.85
7
1.19
1
0.17
3
0.51
2
0.34
585
100
73
LAMPIRAN 2. Komposisi seluruh jenis yang terdapat pada lamun buatan di lokasi Utara , (Elevasi = 57 ft , LS = 05,855990 , BT = 106,616350).
Minggu 1 No
Minggu 3
Minggu 4
%
∑ M2
1
Minggu 2
Nama Crustacea M1
M2
M1
M2
M1
M2
M1
Ordo Amphipoda a. Famili Gammaroidea
2
2
0.63
2
2
0.63
3 7 3
1 3 18 3 29
0.31 0.95 5.75 0.95 9.26
2
0.63
1
0.31
1 1 1
0.31 0.31 0.31
2
0.63
Anamaera hixoni b. Famili Ampithoidae Cymadusa filose
2
ordo Isopoda a. Famili Sphaeromatidae
1
Dynamenella sp Cymodoce setulosa
2
Paracerceis sp Cymodoce velutina
3 4
2
ordo Mysidacea
8
13
8
1
3
3
ordo Decapoda
2
b. Famili Euphausidae c. Famili Alpheidae
1
Alpheus sp e. Famili Portunidae
1 1
Thalamita prymna Thalamita sp
1
Thalamita crenata
Jenis Lain-lainnya
5
ordo Polychaeta
1
Famili Nereidae
6
2
klass Gastropoda famili cerithidae Cerithium sp
10
30
2
2
40
62
22
52
19
235
75.07
4
38
1 1 66
11 1 313
3.51 0.31 100
famili Columbelidae Pyrene sp
7
2
klass Bivalvia
Total
Keterangan: M1 = Sabut Kelapa. M2 = Tali Plastik (tambang).
12
0
39
50
81
27
74
LAMPIRAN 3. Komposisi seluruh jenis yang terdapat pada lamun buatan di lokasi Selatan, LS = 05,860640
(elevasi = 56 ft,
No
1
Nama Crustacea
BT = 106, 616860).
Minggu 1
Minggu 2
Minggu 3
M2
M2
M2
M1
M1
M1
Minggu 4 M2
%
∑
M1
Ordo Amphipoda
1
a. Famili Gammaroidae
1
1
1
4 1
3.41 0.85
1
9
57 5 3
48.71 4.27 2.56
4
3.41
1 26 1 4
0.85 22.21 0.85 3.41
1
0.85
1
0.85
1 5 1 2 117
0.85 4.27 0.85 1.7 100
1
Gammaropsis sp b. Famili Ampithoidae Cymadusa filose
24
5 3 1
3
2
Cymadusa sp Cymadusa compta
18 2 2
e. Famili Podoceridae Podocerus kleidus 2
ordo Isopoda a. Famili Sphaeromatidae Dynamenella sp
2
Paracerceis sp
1 1
7
Cymodoce velutina
3 4
ordo Mysidacea
7 1 4
7
2
ordo Decapoda
1
Thalamita sp
Lain-lainnya
5
ordo Polychaeta
1
Famili Nereidae
6
klass Gastropoda
1
famili cerithidae
1 1
Cerithium sp
7 8
klass Demospongia
2
1
4
2 20
klass Pisces
Total Keterangan: M1 = Sabut Kelapa. M2 = Tali Plastik (tambang).
0
2
31
1 1 37
11
12
75
LAMPIRAN 4. Keanekaragaman jenis crustacea tiap minggu pada ketiga lokasi penelitian.
a. Lokasi Barat Daya.
No
Waktu (perminggu)
Stasiun Penelitian Barat daya M1 M2
1
Minggu ke-1
0
1,16
2
Minggu ke-2
0,35
1,52
3
Minggu ke-3
1,46
1,46
4
Minggu ke-4
1,67
1,49
1.8 1.6 1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0
Sabut kelapa Tali plastik (tambang)
Minggu ke-1
Minggu ke-2
Minggu ke-3
Minggu ke-4
b. Lokasi Utara.
No
Waktu (perminggu)
Stasiun Penelitian Barat daya M1
M2
1
Minggu ke-1
0
0
2
Minggu ke-2
0,63
1,08
3
Minggu ke-3
0,59
1,49
4
Minggu ke-4
0,55
0,58
76
1.6 1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2
Sabut kelapa Tali plastik (tambang)
0
Minggu ke-1
Minggu ke-2
Minggu ke-3
Minggu ke-4
c. Lokasi Selatan.
No
Waktu (perminggu)
Stasiun Penelitian Barat daya M1
M2
1
Minggu ke-1
0
0
2
Minggu ke-2
0,7
1
3
Minggu ke-3
1,36
1,41
4
Minggu ke-4
0,7
0,93
1.6 1.4 1.2 1 Sabut kelapa
0.8
Tali plastik (tambang)
0.6 0.4 0.2 0 Minggu ke-1
Minggu ke-2
Minggu ke-3
Minggu ke-4
77
LAMPIRAN 5. Kelimpahan seluruh jenis crustacea pada lamun buatan di lokasi Barat Daya.
No
Nama Crustacea
Minggu 1 M2
1
M1
Minggu 2 M2
M1
Minggu 3 M2
Minggu 4
∑
%
41 1 6
7,91 0.19 1.15
3
0.57
139
26,83
1
2
0.38
3
1 1 3
0.19 0.19 0.57
M1
M2
M1
Ordo Amphipoda 39
a. Famili Gammaroidae
2 1
Ceradocus sheardi
2
Anamaera hixoni
4
b. Famili Megaluporidae Megaluropus sp
3
b. Famili Ampithoidae Cymadusa filosa
5
43
25
24
42
c. Famili Talitroidae Orchestia sp
1
d. Famili Liljeborgiidae Liljeborgia brevicornis
1
Liljeborgia sp
1
Listriella barnardi e. Famili Podoceridae 7
Podocerus kleidus
4
f. Famili Colomastigidae
1
1
4
1
9 9
1.73 1.73
10
10
1,93
1
1
0.19
1
1
0.19
1
1
0.19
0.77 1.73 33,01 0.57 0.19 0.77 1.15 3.66
g. Famili Eusiridae Eusiroidea sp h. Famili Anamixidae Anamixis sp i. Famili Corophiidae Chevalia aviculae j. Famili Leucothoidea Leucothoe sp 2
Ordo Isopoda a. Famili Sphaeromatidae Dynamenella sp
1
3
Cymodoce setulosa
2
3
4
103
80
8
Paracerceis sp
27
4
15
7
2 61
0.38 11,77
2
0.38
3
Cymodoce velutina Cymodoce sp (A)
23
4 9 171 3 1 4 6 19
1
Cymodoce sp (B)
4
Cymodoce sp (C)
6
Cymodoce natalensis b. Famili Jaeropsidae 2
Ianiropsis sp 3
Ordo Mysidacea
4
Ordo Cumacea
2
10
24
18
a. Famili Bodotriidae Cyclaspis sp
2
78
5
Ordo Decapoda
6
a. Famili Palaemonidae
1
1 2 1 1
0.17 0.38 0.17 0.17
1
1
0.17
1
1
0.17
154
1 518
0.17 100
Palaemonetes sp
1
Palaemonella sp
1
1 1
Palaemon sp b. Famili Euphausidae c. Famili Alpheidae Alpheus sp d. Famili Hippolytidae Spirontocaris sp d. Famili Xanthidae Lacnopodus subacutus ∑
1 10
0
9
9
219
76
121
Keterangan: M1 = Sabut Kelapa. M2 = Tali Plastik (tambang).
LAMPIRAN 6. Kelimpahan seluruh jenis crustacea pada lamun buatan di lokasi Utara.
79
No
Nama Crustacea
Minggu 1 M2
1
M1
Minggu 2 M2
M1
Minggu 3
Minggu 4
∑
%
2
3.125
2
2
3.13
3 7 3
1.56 1 3 4.68 18 28.13 4.68 3 29 45.31
M2
M1
M2
M1
Ordo Amphipoda a. Famili Gammaroidea
2
Anamaera hixoni b. Famili Ampithoidae Cymadusa filose
2
Ordo Isopoda a. Famili Sphaeromatidae
1
Dynamenella sp Cymodoce setulosa
2
Paracerceis sp Cymodoce velutina
3 4
2
Ordo Mysidacea
8
13
8
1
3
3
Ordo Decapoda
2
b. Famili Euphausidae
2
3.13
1
1.56
1 1 1 64
1.56 1.56 1.56 100
c. Famili Alpheidae
1
Alpheus sp e. Famili Portunidae
1 1
Thalamita prymna Thalamita sp Thalamita crenata ∑
0
0
6
10
17
1 16
11
4
Keterangan: M1 = Sabut Kelapa. M2 = Tali Plastik (tambang).
LAMPIRAN 7. Kelimpahan seluruh jenis crustacea pada lamun buatan di lokasi Selatan.
80
Minggu 1 No
M2 1
Minggu 2
Minggu 3
Minggu 4 ∑
%
1
4 1
3.7 0.925
9
57 5 3
52.77 4.62 2.77
4
3.7
1 27 1 4
0.925 25 0.925 3.7
1
0.925
108
100
Nama Crustacea M1
M2
M1
M2
1
1
M1
M2
M1
1
1
Ordo Amphipoda a. Famili Gammaroidae
1
Gammaropsis sp b. Famili Ampithoidae Cymadusa filose
24
5 3 1
3
1
Cymadusa sp Cymadusa compta
18 2 2
e. Famili Podoceridae Podocerus kleidus 2
Ordo Isopoda a. Famili Sphaeromatidae Dynamenella sp
2
Paracerceis sp
1 1
8
Cymodoce velutina
3 4
Ordo Mysidacea
7 1 4
7
2
Ordo Decapoda
1
Thalamita sp ∑
0
0
2
30
18
35
10
12
Keterangan: M1 = Sabut Kelapa. M2 = Tali Plastik (tambang).
LAMPIRAN 8. Jenis crustacea yang dominan diperoleh dari Lamun buatan.
81
a. Minggu 1. STASIUN PENELITIAN No
Barat daya
Keterangan
Utara
Selatan
M1
M2
M1
M2
M1
M2
1
jenis (dominan)
-
Cymadusa filosa
-
-
-
-
2
S (jumlah jenis)
0
4
0
0
0
0
3
N (jumlah individu)
0
10
0
0
0
0
4
H' (Keanekaragaman)
0
1,16
0
0
0
0
5
λ (Dominansi)
0
0,28
0
0
0
0
6
J' (Keseragaman)
0
0,58
0
0
0
0
b. Minggu 2. STASIUN PENELITIAN
No
Keterangan
Barat daya M1
Utara M2
M1
Selatan M2
M1
M2
1
jenis (dominan)
2
S (jumlah jenis)
2
7
3
3
5
1
3
N (jumlah individu)
9
9
10
6
30
2
4
H' (Keanekaragaman)
0,35
1,52
0,63
1,08
0,7
1
5
λ (Dominansi)
0,77
0,05
0,62
0,2
0,64
1
6
J' (Keseragaman)
0,35
0,54
0,39
0,68
0,3
0
Paracerceis sp
-
Ordo Mysidacea
-
Cymadusa filosa
-
c. Minggu 3. STASIUN PENELITIAN
No
Keterangan
Barat daya
Utara
Selatan
1
jenis (dominan)
M1 Paracerceis sp
2
S (jumlah jenis)
12
12
3
6
7
6
3
N (jumlah individu)
154
219
16
17
35
18
4
H' (Keanekaragaman)
1,46
1,46
0,59
1,49
1,36
1,41
5
λ (Dominansi)
0,32
0,29
0,65
0,2
0,3
0,26
6
J' (Keseragaman)
0,41
0,41
0,37
0,58
0,48
0,55
d. Minggu 4.
M2 Paracerceis sp
M1 Ordo Mysidacea
M2 Paracerceis sp
M1 Cymadusa filosa
M2 Paracerceis sp
82
STASIUN PENELITIAN
No
Keterangan
Barat daya
Utara
Selatan
1
jenis (dominan)
M1 Cymadusa filosa
M2 Cymadusa filosa
M1 Ordo Mysidacea
M2 Paracerceis sp
M1 Cymadusa filosa
M2 Paracerceis sp
2
S (jumlah jenis)
13
7
2
2
3
4
3
N (jumlah individu)
121
76
4
11
12
10
4
H' (Keanekaragaman)
1,67
1,49
0,55
0,58
0,7
0,93
5
λ (Dominansi)
0,19
0,24
0,5
0,56
0,56
0,46
6
J' (Keseragaman)
0,45
0,53
0,56
0,58
0,44
0,46
LAMPIRAN 9. Data pengamatan kerapatan padang lamun pada tiap stasiun penelitian.
83
a. Barat Daya No
∑ Tanaman
Persentase
1
11
11%
Pasir Halus
EA
2
16
16%
Lumpur Berpasir
EA
3
20
20%
Lumpur Berpasir
EA
4
20
20%
Lumpur Berpasir
EA
5
75
75%
Lumpur Berpasir
EA
6
18
20%
Lumpur Berpasir Kasar
EA + bintang laut
7
28
30%
Lumpur Berpasir Kasar
TH
8
50
50%
Lumpur Berpasir Kasar
TH + bintang laut + timun laut
9
19
20%
Pasir Kasar
TH
10
0
0
Pasir Kasar
Substrat
Keterangan
Persentase Density ∑ = 26,2 %
b. Utara No
∑ Tanaman
Persentase
1
6
6%
Pasir Lumpur, Pecahan Karang
2
0
0
Pasir Lumpur, Pecahan Karang
3
0
0
4
5
4%
Pasir Lumpur halus, Pecahan Karang Pasir Lumpur halus + Pecahan Karang
5
8
8%
Lumpur berpasir
6
3
40%
Lumpur berpasir + Pecahan karang
7
10
10%
Lumpur berpasir + Pecahan karang
8
46
50%
Pasir berlumpur
EA
9
2
1%
Pasir berlumpur
TH
10
4
2%
Pasir berlumpur kasar
EA
Persentase Density ∑ = 12,1 %
c. Selatan
Substrat
keterangan
TH
84
No
∑ Tanaman
Persentase
1
75
75%
Pasir halus
TH + CR
2
49
50%
Pasir kasar
TH + CR + bintang laut
3
57
60%
Pasir kasar
TH + CR
4
79
80%
Pasir Kasar
EA + CR + TH
5
48
50%
Pasir Kasar
TH + CR
6
80
80%
Pasir kasar
TH + CR
7
74
75%
Pasir kasar
TH + CR
8
37
40%
Pasir kasar
TH + CR
9
9
9%
Pasir Kasar + Pecahan karang
TH + CR
10
15
15%
Pasir Kasar + Pecahan karang
TH + CR
Substrat
Keterangan
Persentase Density ∑ = 53,4 % Keterangan: TH = Thalassia hempricii CR = Cymodoceae rotundata EA = Enhalus acroides
LAMPIRAN 10. Jenis – jenis crustacea yang ditemukan dari lamun buatan di Perairan Pulau Pari.
85
1. Ordo Isopoda.
Paracerceis sp
Cymodoce sp
2. Ordo Amphipoda.
Cymodoce setulosa
Dynamenella sp
86
Cymadusa filosa
Famili Gammaroidea
Orchestia sp
Podocerus kleidus
87
3. Ordo Cumacea.
Cyclaspis sp
4. Ordo Mysidacea.
Mysidacea
(Uropod dan Telson ; Mysidacea)
88 5. Ordo Decapoda.
Spirontocaris sp
Palaemonetes sp
Alpheus sp
Palaemonella sp
89
Lacnopodus subacutus
Thalamita sp (molting)
Thalamita prymna (molting)
90
ERROR: dictfull OFFENDING COMMAND: image STACK: