TINJAUAN PUSTAKA Persepsi Persepsi adalah proses menerima informasi atau stimuli dari lingkungan dan mengubahnya ke dalam kesadaran psikologis (Van den Ban dan Hawkins, 1999). Menurut Desiderato (1976) dalam Rakhmat (2000) persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Thoha (1999) menyatakan bahwa persepsi pada hakekatnya adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap orang di dalam memahami informasi tentang lingkungannya, baik lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan dan penciuman. Kunci untuk memahami persepsi adalah terletak pada pengenalan bahwa persepsi itu merupakan suatu penafsiran yang unik terhadap situasi, dan bukannya suatu pencatatan yang benar tentang situasi. Menurut Van den Ban dan Hawkins (1999) prinsip umum persepsi adalah; (1) Relativitas, yaitu persepsi kita bersifat relatif, walaupun suatu obyek tidak dapat kita perkirakan yang tepat tetapi setidaknya kita dapat mengatakan yang satu melebihi yang lainnya. Persepsi orang terhadap bagian-bagian dari suatu pesan sangat ditentukan oleh bagian yang mendahului pesan itu; (2) Selektivitas, persepsi kita sangat selektif, panca indra menerima stimuli dari sekelilingnya dengan melihat obyek, mendengar suara, mencium bau dan sebagainya. Karena kapasitas memproses informasi terbatas, tidak semua stimuli dapat ditangkap, tergantung pada faktor fisik
dan psikologis seseorang. Pengalaman masa lampau juga mempengaruhi pilihan terhadap persepsi; (3) Organisasi, persepsi kita terorganisir, kita cenderung menyusun pengalaman kita dalam bentuk yang memberi arti, dengan mengubah yang berserakan dan menyajikannya dalam bentuk yang bermakna, antara lain berupa gambar dan latar (belakang). Dalam sekejab panca indra akan melakukan seleksi dan sosok yang menarik mungkin akan menciptakan suatu pesan. Penafsiran mengenai gambar sering ditentukan oleh latar (belakang); (4) Arah, melalui pengamatan seseorang dapat memilih dan mengatur serta menafsirkan pesan. Penataan adalah sangat penting bagi pembuat pesan untuk mengurangi tafsiran yang diberikan oleh stimulus; dan (5) Perbedaan kognitif, persepsi seseorang bisa berlainan satu sama lain dalam situasi yang sama karena adanya perbedaan kognitif. Setiap proses mental, individu bekerja menurut caranya sendiri tergantung pada faktor-faktor kepribadian, seperti toleransi terhadap ambiguitas (kemenduaan), tingkat keterbukaan atau ketertutupan fikiran, sikap otoriter dan sebagainya. Menurut Van den Ban dan Hawkins (1999) sejurnlah studi telah menganalisis hubungan antar ciri-ciri suatu inovasi dan tingkat adopsinya. Sebagian besar studi tersebut menggunakan pertimbangan obyektif, atau menganggap bahwa petani mempunyai persepsi yang sama. Hal ini menyebabkan hasil studi tidak mencapai kesimpulan yang sama, tetapi semuanya menunjukkan adanya beberapa ciri penting, sebagai berikut:(l) Keuntungan relatif, apakah inovasi memungkinkan petani mencapai tujuannya dengan lebih baik, atau dengan biaya yang lebih rendah daripada yang telah dilakukan sebelumnya. Keuntungan relatif ini dipengaruhi oleh pemberian insentif kepada petani, misalnya menyediakan benih dengan harga subsidi. Insentif
demikian bisa memotifasi petani untuk mencoba suatu inovasi, tetapi sulit bagi petani untuk melihat manfaat yang disebabkan oleh berbagai kemungkinan; (2) Kompatibilitaskeselarasan, kompatibilitas berkaitan dengan nilai sosial budaya dan
kepercayaan, dengan gagasan yang diperkenalkan sebelurnnya, atau dengan keperluan yang dirasakan oleh petani; (3) Kompleksitas, inovasi sering gaga1 karena tidak diterapkan secara benar. Beberapa diantaranya memerlukan pengetahuan atau keterampilan khusus, adakalanya lebih penting memperkenalkan sekumpulan paket inovasi yang relatif sederhana tetapi saling berkaitan, walaupun kaitan-kaitan tersebut sulit dipahami; (4) Dapat dicoba, petani cenderung untuk mengadopsi inovasi jika telah dicoba dalam skala kecil di lahannya sendiri dan terbukti lebih baik daripada mengadopsi inovasi dengan cepat dalam skala besar. Inova si tersebut menyangkut banyak resiko. Kemudahan untuk dicoba ada hubungannya dengan kemudahan memilah. Program pengembangan pertanian sehamsnya meningkatkan sistem inovasi yang dapat dicoba ; (5) Dapat diamati, Pengamatan petani seringkali menjadi sebab untuk memulai suatu diskusi. Agen penyuluhan yang ingin memperoleh kepercayaan . dari petani hams mulai mempromosikan inovasi yang telah berhasil. Untuk i t -hams dicari inovasi yang dapat diserap dengan cepat. Dalam jangka waktu tertentu inovasi yang berdampak pada pendapatan petani akan memperoleh perhatian bahkan tanpa bantuan agen penyuluhan sekalipun. Selain itu Jahi (1988) menyatakan bahwa laju adopsi yang berbeda dapat diterangkan oleh lima karakteristik inovasi berikut h i ; (I) keuntungan relatif(relatrf advarztage), pengadopsi hams menganggap inovasi tersebut lebih baik daripada apa yang telah ada, meskipun keuntungan relatifini mungkin saja memiliki landasan yang
obyektif atau tidak; (2) kesesuaian inovasi dengan tata nilai maupun pengalaman yang ada (compatability), inovasi hams sesuai dengan kepercayaan, tata nilai, dan norma-norma sosial yang ada; (3) kerumitan untuk mempelajari dan menggunakan inovasi tersebut (complexity), inovasi hendaknya juga tidak memiliki ciri complexity, yang menunjukkan tingkat kerumitan untuk memahami dan menggunakan inovasi itu; (4) kesempatan untuk mencoba inovasi itu secara terbatas (triability), suatu inovasi akan lebih mudah didifusikan bila dapat dicoba dalam suatu skala terbatas, sebelum sepenuhnya diadopsi; dan (5) cepatnya hasil inovasi itu dapat diamati (observability), jika hasil inovasi itu dapat cepat terlihat, maka calon-calon pengadopsi lainnya tidak perlu lagi menjalani tahap percobaan, melainkan dapat terus ke tahap adopsi. Sikap
Rachmat (2000) menyimpulkan beberapa ha1 mengenai definisi sikap, yaitu; (1) sikap adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi, berfikir, dan merasa dalam
menghadapi obyek, ide, situasi atau nilai. Sikap bukan perilaku, tetapi merupakan kecenderungan untuk berperilaku dengan cara-cara tertentu terhadap obyek sikap. Obyek sikap boleh berupa benda, orang, tempat, gagasan atau situasi, atau kelompok.; (2)
sikap mempunyai daya pendorong atau motivasi. Sikap bukan
sekedar rekaman masa lalu, tetapi juga menentukan apakah orang hams pro atau kontra terhadap sesuatu;menentukan apa yang disukai, diharapkan, dan diinginkan; menyampingkan apa yang tidak diinginkan, apa yang hams dihindari (Sherif dan Sherif, 1956) dalam Rachmat (2000); (3) sikap relatif lebih menetap; (4) sikap
mengandung aspek evaluatif: artinya mengandung nilai menyenangkan atau tidak menyenangkan; dan (5) sikap timbul dari pengalaman; tidak dibawa sejak lahir, tetapi merupakan hasil belajar. Gibson dan Ivancevich (1997) menyatakan bahwa sikap (attitude) adalah kesiap-siagaan mental yang diorganisasi lewat pengalaman, yang mempunyai pengaruh tert entu kepada tanggapan seseorang terhadap orang, obyek dan situasi yang berhubungan dengannya. Winkel ( 1991) menyatakan sikap (attitude) merupakan kecenderungan seseorang untuk menerima atau menolak suatu obyek berdasarkan penilaian terhadap obyek itu, berguna atau berharga baginya atau tidak. Bila obyek dinilai baik untuk saya, dia mempunyai sikap positif, bila dinilai obyek jelek untuk saya, dia mempunyai sikap negatif Menurut Van den Ban dan Hawkins (1999), sikap dapat didefinisikan sebagai perasaan, fikiran, dan kecenderungan seseorang yang kurang lebih bersifat permanen mengenai aspek-aspek tertentu dalam lingkungannya. Komponen-komponen sikap . adalah pengetahuan, perasan-perasaan, dan kecenderungan untuk bertindak. Lebih mudahnya sikap adalah kecondongan evaluatifterhadap suatu objek atau subjek yang memiliki konsekuensi yakni bagaimana seseorang berhadap-hadapan dengan objek sikap. Keyakinan bahwa perilaku membawa akibat tertentu beserta penilaian terhadap akibat tersebut merupakan faktor yang menentukan seseorang untuk bersikap. Menurut
Syah (1999) dalam arti sempit sikap adalah pandangan atau
kecenderungan mental. Dengan demikian, pada prinsipnya sikap itu dapat kita anggap suatu kecenderungan siswa untuk bertindak dengan cara tertentu.
Dari uraian Gibson dan Ivancevich (1997) berdasarkan teori Rosenberg dan Wibowo (2000) berdasarkan teori Triandis, menyatakan bahwa sikap memiliki tiga komponen, yaitu; (1) Komponen kognitif dari suatu sikap berisi ide, anggapan-anggapan, pengetahuan, keyakinan dari orang yang bersangkutan mengenai obyek sikap. Unsur penting dari kognisi adalah kepercayaan evaluatif dari seseorang. Kepercayaan evaluatif diwujudkan dalam bentuk kesan baik atau tidak baik yang dirniliki oleh orang terhadap obyek atau orang. (2) Komponen afektif dari suatu sikap meliputi seluruh emosi atau perasaan orang
yang bersangkutan terhadap obyek sikap. Dengan adanya komponen ini obyek sikap dirasakan sebagai menyenangkan atau tidak menyenangkan, disukai atau tidak disukai. (3) Komponen perilaku berhubungan dengan kecenderungan seseorang untuk
bertindak menghadapi sesuatu dengan cara tertentu. Apabila orang memiliki kognisi yang positif dan perasaan yang juga positifterhadap obyek tertentu, maka ia akan cenderung mendekati (membantu, mendukung dan semacamnya) obyek tersebut. Sebaliknya, bila ia memiliki kognisi yang negatif dan perasaan yang negatif pula maka ia akan cenderung untuk menjauhi, merusak, atau menentang obyek sikapnya. Dari uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sikap merupakan bagaimana seseorang memutuskan untuk menolak atau menerima sesuatu dari hasil penilaiannya terhadap obyek atau peristiwa tersebut.
Menuut Van den Ban dan Hawkins (1999) untuk pengambilan keputusan yang tepat, perlu diketahui apakah situasi yang diinginkan telah tercapai. Janis ( 1977) dalam Van den Ban dan Hawkins (1999) tentang proses pengambilan keputusan ada
beberapa ha1 yang menjadi pertimbangan petani dalam pengambilan keputusan (Decisioit-making) yaitu (1) keuntungan yang didapat dan kerugian untuk diri sendiri; (2) keuntungan yang dapat dirasakan dan kerugian untuk orang lain; (3) kesetujuan
diri atau ketidaksetujuan diri; dan (4) kesetujuan sosial atau ketidaksetujuan sosial. Partisipasi. Menurut Van den Ban dan Hawkins (1999), partisipasi memiliki konotasi yang berbeda-beda untuk berbagai orang, di antaranya adalah sebagaimana terumus dalam pokok-pokok berikut: (1) Sikap kerja sama petani dalam pelaksanaan program penyuluhan dengan cara menghadiri rapat-rapat, mendemontrasikan metode baru untuk usaha tani mereka, mengajukan pertanyaan pada petugas penyuluhan, dsb. (2) Pengorganisasian kegiatan-kegiatan penyuluh oleh kelompok-kelompok petani,
seperti pertemuan-pertemuan tempat petugas penyuluh memberikan ceramah, mengelola kursus-kursus demontrasi, menerbitkan surat kabar tani yang ditulis oleh petugas penyuluh dan peneliti untuk petani, dsb. (3) Petani atau wakilnya berpartisipasi dalam organisasi jasa penyuluhan dalam pengambilan keputusan mengenai tujuan, kelompok sasaran, pesan-pesan dan metode, dan dalam evaluasi kegiatan.
Partisipasi melalui pengikutsertaan petani dapat menjadi cara yang lebih efisien untuk mencapai tujuan program penyuluhan yang telah dirumuskan. Memberikan kesempatan yang lebih kepada petani untuk mempengaruhi masa depan mereka sendiri dapat pula menjadi tujuan, sebagaimana memberi kekuasaan lebih kepada masyarakat. Wardojo dalam Vitayala dkk ( 1995) mengatakan bahwa pengertian partisipasi masyarakat dalam pembangunan, secara sederhana adalah keikutsertaan masyarakat baik dalam bentuk pernyataan maupun kegiatan. Keikutsertaan tersebut terbentuk sebagai akibat terjadinya interaksi sosial antara individu atau kelompok masyarakat lain di dalam pembangunan. Sebagai bentuk kegiatan, partisipasi masyarakat dalam pembangunan mencakup partisipasi dalam pembuatan keputusan, perencanaan kegiatan, pelaksanaan kegiatan, pemantauan dan evaluasi kegiatan, serta pemanfaatan hasil pembangunan. Jika dilihat dari aspek-aspek yang terlibat dalam partisipasi serta apabila dihubungkan dengan kolompok (masyarakat), maka partisipasi dapat diartikan sebagai keterlibatan mentavpikiran dan emosi seseorang di dalam situasi kelompok, yang mendorongnya untuk memberi sumbangan kepada kelompok, dalam upaya mencapai tujuan serta turut bertanggung jawab terhadap upaya yang bersangkutan sehingga membantu berhasilnya program (Ginting, 2000) Kemampuan berpartisipasi dalam anggapan dasarnya tersimpul implikasi bahwa ia merupakan hasil dari suatu proses khas yang menyangkut dorongan atau mot% sikap, kecerdasan, pengetahuan, keterampilan serta penggunaan metode, sarana dan alat yang menjadi kelengkapan dalam berbuat (Ginting, 2000)
,
Menurut Ginting (2000) Besarnya dorongan atau motif berpartisipasi banyak bergantung pada kemampuan yang bersangkutan melihat kesempatan untuk berpartisipasi serta keuntungan yang mungkin diperoleh. Untuk itu biasanya perlu diupayakan ketersediaan sumber-sumber penunjang yang memungkinkan seseorang berpartisipasi. Kesempatan berpartisipasi dalam proses pembangunan tidak akan datang begitu saja, apabila masyarakat terasing jauh dari aset, modal dan keuntungan pembangunan. Yadav ( 1980) dalam Mardikanto ( 1994) mengidentifikasikan partisipasi sebagai; (1) partisipasi dalam pengambilan keputusan; (2) partisipasi dalam pelaksanaan program dan proyek-proyek pembangunan; (3) partisipasi dalam pemantauan dan evaluasi program dan proyek-proyek pembangunan; serta (4) partisipasi dalam berbagai manfaat pembangunan. Untuk tumbuhnya partisipasi sebagai suatu tindakan yang nyata, diperlukan tiga persyaratan yang menyangkut hal-ha1 sebagai berikut; ( I ) adanya kemauan untuk berpartisipasi, secara psikologis, kemampuan berpartisipasi dapat muncul oleh adanya motif intrinsik (dari dalam diri sendiri) maupun ekstrinsik (karena rangsangan, dorongan atau tekanan dari luar); (2) kemampuan untuk berpartisipasi, adanya kemauan untuk berpartisapasi belum tentu akan menjamin partisipasi yang diharapkan jika yang bersangkutan tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan yang bersangkutan; dan (3) kesempatan untuk berpartisipa si, adanya kemauan dan kemampuan untuk berpartisipa si yang dimiliki oleh warga masyarakat untuk berpartisipasi saja, sebenarnya belum
menjamin tumbuhnya partisipasi, jika kepada mereka tidak diberikan dan ditunjukkan adanya kesempatan untuk berpartisipasi ( Mardikanto, 1994). Dan uraian-uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa partisipasi atau keikutsertaan seseorang dalam suatu program dipengaruhi oleh beberapa aspek, yaitu adanya kesempatan, adanya kemauan dan adanya kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Dalam konteks pembangunan, jika sejumlah faktor penunjang telah ada dan tersedia atau dapat disediakan oleh yang bersangkutan, maka partisipasi lebih mudah digerakkan. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan dapat diartikan sebagai keikutsertaan masyarakat dalam pembangunan, ikut dalam kegiatan-kegiatan pembangunan, ikut serta memanfaatkan dan menikmati hasil-had pembangunan (Gintmg, 2000) Karakteristik Internal Lionberger (1960) dalam Mardikanto (1993) mengemukakan beberapa faktor . yang mempengaruhi kecepatan seseorang untuk mengadopsi movasi meliputi: (1) Luas usaha tani, semakin luas biasanya semakin cepat mengadopsi, karma memiliki kemampuan ekonomi yang lebih baik. Ukuran usahatani selalu berhubungan positif dengan adopsi inovasi. Menurut Soekartawi (1988) banyak teknologi maju baru yang memerlukan skala operasi yang besar dan sumber dan sumberdaya ekonomi yang tinggi untuk keperluan adopsi inovasi tersebut. (2) Tmgkat pendapatan, seperti halnya tingkat luas usahatani, petani dengan tingkat pendapatan semakin tmggi biasanya akan semakin cepat mengadopsi inovasi.
Menurut Soekartawi (1988) pendapatan usahatani yang tmggi seringkali ada hubungannya dengan tingkat &si
inovasi pertanian. Kemauan untuk
melakukan percobaan atau perubahan dalam &si
inovasi pertanian yang cepat
sesuai dengan kondisi pertanian yang dimiliki oleh pet&
maka umumnya ha1
ini menyebabkan pendapatan petani yang lebih tmggi. Dengan demikian petani akan kembali mvestasi kapital untuk adopsi movasi selanjutnya. Sebaliknya banyak kenyataan yang menunjukkan bahwa para petani yang berpenghasilan lebih rendah lambat dalam melakukan &si movasi. (3) Umur, semakin tua (di atas 50 tahun), biasanya semakin lamban mengadopsi inovasi, dan cenderung hanya melaksanakan kegiatan-kegiatan yang sudah biasa diterapkan oleh warga masyarakat setempat. Menurut Soekartawi (1988) petanipetani yang lebih tua tampaknya kurang cenderung melakukan &si
inovasi
pertanian daripada mereka yang relatif umur muda. Beberapa studi menunjukkan difbsi movasi yang paling tinggi adalah mereka yang pada usia setengah tua. (4) Aktivitas mencari informasi dan ide-ide baru. Golongan masyarakat yang aktif
mencari informasi dan ide-ide baru, biasanya selalu lebih inovatif dibanding orang-orang yang pasif apalagi yang selalu skeptis (tidak percaya) terhadap sesuatu yang baru. (5) Pendidikan. Menurut Rogers (1983)
pendidikan tampaknya menjadi suatu
faktor yang menentukan dalam mendapatkan pengetahuan. Penggunaan media yang tinggi juga melengkapi mereka dengan tmgkat pengetahuan yang lebih tmggi dalam beberapa topik. Mereka yang berpendidikan tinggi adalah relatif lebih cepat dalam melaksanakan adopsi movasi. Begitu pula sebaliknya mereka
yang berpendidikan lebih rendah, mereka agak sulit untuk melaksanakan adopsi movasi dengan cepat (Soekartawi, 1988). Menurut Mardikanto (1994) proses adopsi teknologi baru akan sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan petani
clan masyarakat pedesaan pada umumnya. Hal ini disebabkan adopsi teknologi baru hanya akan dapat berkembang dengan cepatnya apabila masyarakat (petani) yang menerimanya cukup mempunyai dasar pendidikdpengetahuan dan keterampilan untuk menerapkannya sesuai dengan persyaratan yang hams ditaatinya. Karakteristik Eksternal ( 1) Kondisi lingkungan
Menurut Rakhmat (2000) kaum determinisme lingkungan sering menyatakan bahwa keadaan alam mempengaruhi gaya hidup dan perilaku. Banyak orang menghubungkan kemalasan bangsa Indonesia pada matapencarian bertani dan matahari yang selalu bersinar setiap hari. Sebagian pandangan mereka telah diuji . dalam berbagai penelitian, seperti efek temperatur pada tmdakan kekerasan, perilaku interpersonal, dan suasana emosional. (2) Penyuluhan. Menurut
Mardikanto (1993) beberapa aspek penyuluhan yang
berpengaruh adalah:
-
Saluran komunikasi yang digunakan, jika movasi dengan mudah dan jelas dapat disampaikan lewat media masa, atau sebaliknya jika kelompok sasaran dengan
mudah menerima movasi yang disampaikan melalui media masa, maka proses adopsi akan berlangsung relatif lebih cepat dibanding dengan movasi yang harus
disampaikan lewat media antar pribadi. Sebaliknya, jika inovasi tersebut sulit disampaikan lewat media masa atau sasarannya belum mampu
memanfaatkan
media masa, inovasi yang disampaikan lewat media antar pribadi akan lebih cepat diadopsi oleh masyarakat sasarannya. Menurut Soekartawi (1988) inovasi yang disampaikan secara individual akan berjalan secara lebih cepat bila dibandingkan dengan inovasi tersebut dilakukan secara massal.
-
Penyuluh, kecepatan adopsi juga dipengaruhi oleh aktivitas yang dilakukan oleh penyuluh,
khususnya
tentang
upaya
yang
dilakukan
penyuluh
untuk
mempromosikan inovasinya. Semakin rajin penyuluh menawarkan inovasi, proses adopsi akan semakin cepat pula. Demikian juga, jika penyuluh mampu berkomunikasi secara efektif dan trampil menggunakan saluran komunikasi yang paling efektq proses adopsi pasti akan berlangsung lebih cepat dibanding dengan yang lainnya. Menurut Soekartawi (1988) semakin giat penyuluh pertanian melakukan promosi tentang adopsi inovasi maka semakin cepat pula adopsi inovasi yang dilakukan oleh petani. Menurut Mosher ( 199 1) peranan penyuluh yang paling . sering diabaikan ialah peranannya sebagai teman yang memberikan dorongan kepada petani yang ingin mencoba salah satu atau beberapa metoda baru, akan tetapi yang merasa dikelilingi oleh petani-petani tetangga yang mendesaknya untuk mengikuti cara-cara yang biasa saja atau yang menunggu kesempatan untuk mengejeknya jika metoda baru itu gagal. Peranan peyuluh sebagai pendorong semangat mereka yang lebih berani itu terutama penting dalam tahap-tahap pertama pembangunan.
-
Ragam sumber informasi. Menurut Mardikanto (1993) kecepatan adopsi inovasi yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok sasaran penyuluhan pada tiap tahapan
adopsi juga
sangat
drpengaruhi
oleh
ragam
informasi
yang
menyampaikannya seperti terdapat pada Tabel 1. Tabel. 1 Ragam sumber informasi yang mempengaruhi kecepatan adopsi wtan jenjang 1. 2. 3. 4.
Kesadaran mediamasa temanltetangga penyuluh pedagang
Sumber informasi yang efektif untuk tahap adopsi Tumbuh minat Menilai Mencoba m d a masa temadtetangga penyuluh pedagang
temadtetangga penyuluh
temadtetangga penyuluh
Adopsi
Pe@Wg
pedagang
temadtetangga penyuluh media rnasa
media masa
media masa
pedagang
Menurut Soekartawi (1988) sumber informasi juga sangat berpengaruh terhadap proses adopsi inovasi. Sumber informasi dapat berasal dari media massa, tetangga, teman, petugas penyuluh pertanian, pedagang, pejabat desa atau dari informan lain. (3) Sarana produksi. Menurut Mosher (1991) penyediaan bahan-bahan dan alat-alat
produksi yang
dapat dibeli, diambil dengan mudah oleh para petani d m .
tersedianya alat-alat angkutan yang baik dan ekonomis yang dapat memperlancar usahatani mempakan syarat mutlak yang hams ada bagi pelaksanaan pembahaman pertanian. Tiap bahan atau alat hams memiliki lima sifat supaya petani mau membelinya dan tems membeli lagi dari tahun ke tahun ; (1) efektivitas dari segi teknis; ( 2) mutunya dapat drpercaya; (3) harganya tidak rnahal; (4) hams tersedia setempat dan setiap waktu petani memerlukannya; dan (5) hams dijual dalam ukuran atau takaran yang cocok.
Hubungan antara karakteristik internal dan eksternal, persepsi, sikap dan partisipasi
Thoha (1999) menyatakan bahwa persepsi timbul karena adanya dua faktor baik internal maupun eksternal. Faktor internal antaranya tergantung pada proses kepercayaan dan tanggapannya terhadap hasil yang dicapai. Faktor eksternal berupa lingkungan. Sikap-sikap barn yang didasarkan pada pengalaman responden atau pemikiran sistematis ternyata lebih memungkinkan membawa perubahan perilaku daripada sikap-sikap yang dangkal. Sikap petani lebih besar kemungkinannya
berkaitan
dengan perilaku mereka jika mereka telah mencoba sendiri sebuah inovasi atau mengumpulkan informasi mengenainya dari sumber-sumber terpercaya daripada sekedar mendengarkan pembahasan menarik dari radio. Perilaku
tidak hanya
drpengaruhi oleh harapan pribadi, tetapi juga oleh harapan sosial. Menurut Soekartawi (1988) kebanyakan petani kecil agak lamban dalam mengubah sikapnya terhadap perubahan ini. Hal ini disebabkan oleh sumberdaya yang mereka miljki, khumsuya sumberdaya lahan, terbatas sekali. Sehingga mereka sulit untuk mengubah sikapnya untuk adopsi inovasi karena mereka khawatir kalau adopsi inovasi tersebut ternyata gagal. Sebab sekali adopsi inovasi itu gagal, mereka akan sulit untuk mendapatkan atau mencukupi makan anggota keluarganya. Keikutsertaan masyarakat dalam pembangunan, mengharuskan mereka mampu memahami arti dan d a a t pembangunan bagi dirinya. Karena itu masyarakat perh memiliki persepsi yang jelas tentang hubungan antara pelaksanaan pembangunan dengan kemungkinan memperoleh manfaatnya, serta dalam bentuk
perbaikan taraf hidup, baik perorangan maupun kelompok. Persepsi seperti ini dapat dibentuk melalui penyuluhan yang diberikan secara sistimatis (Gintmg, 2000). Menurut Anwar dan Reksowardoyo (1984) perilaku manusia dapat dipengaruhi oleh tiga unsur yaitu pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Jadi untuk menimbulkan perubahan perilaku dapat dilakukan melalui perubahan salah satu dari ketiga unsur, atau dengan melalui perubahan dua dari ketiga unsur itu, atau melalui perubahan ketiga unsur tersebut. Dengan demikian dapat diketahui bahwa ketiga unsur tersebut memiliki kaitan yang erat. Perubahan satu unsur akan mengarah pada perubahan pada unsur yang lam. Misalnya, seorang atau kelompok masyarakat menolak pengembangan satu inovasi di wilayahnya. Sikap penolakan bisa timbul dari ketidaktahuan tentang tujuan dan manfaat inovasi atau karena tidak ikut dalam pelaksanaan inovasi itu. Apabila mereka diberi pengertian tentang manfaat inovasi tersebut biasanya akan terbentuk sikap positif dan bila diikutsertakan kemungkinan mereka akan turut serta menerapkan.
Sistem Pertanian Terpadu (SIT) Tanpa Limbah Terbuang Program Pemberdayaan Masyarakat Riau (PPMR)
Konsep pembangunan ekonomi kerakyatan yang dilaksanakan oleh PPMR adalah program pemberdayaan masyarakat yang menitikberatkan pada pembangunan pertanian terpadu yang disebut dengan "Integrated Farming System (iTFS) Zero
Waste" atau "Sistem Pertanian Terpadu (SPT) tanpa ada limbah yang terbuang" berupa pengembangan agribisnis berbasiskan komoditi unggulan dalam satu lahan pertanian, dalam ha1 ini komoditi unggulan tersebut yaitu peternakan.
Penyusunan program model ini dilakukan karena jenis tanah di Riau yang pada umumnya Red Yellow Podzolik (Podzolik Merah Kuning) dan jenis tanah gambut yang kualitasnya kurang layak untuk dijadikan lahan pertanian tanaman pangan clan hortikultura. Jenis tanah podzolik merah kuning adalah tanah yang miskin unsur hara dan struktur sifat fisik yang kompak sehingga tanah menjadi keras, sulit menyerap air, dan proses difbsi udara kecil yang berakibat pada sulitnya akar menyerap unsur-unsur pertumbuhan dari tanah. Sedangkan tanah gambut adalah tanah yang memiliki keasaman tinggi (pH rendah) dan struktur rapuh yang juga tidak layak untuk dijadikan lahan pertanian. Untuk itu dibutuhkan substansi lain yang mampu memperkaya kandungan unsur hara dan memperbaiki struktur tanah sehingga layak untuk dijadikan lahan pertanian tersebut di atas. Kelemahan yang umumnya ditemukan masyarakat adalah sempitnya lahan pertanian dan sistem pertanian yang masih tradisional pada petani miskin yang memiliki keterbatasan dana, bahkan dapat dikatakan tidak ada untuk menggarap
lahannya dengan jenis tanah podzolik atau gambut. Solusi yang dibawa oleh PPMR . mengatasi berbagai kelemahan tersebut adalah konsep agribisnis dengan pola
integrated farming system with zero waste. Konsep ini merubah pola pertanian dari monokultur yang selama ini dilaksanakan masyarakat ke arah polikultur (multzple
cropping) melalui usaha pertanian yang terintegrasi dengan usaha peternakan dan perikanan.
Integrated farming system (7FS) with zero waste atau sistem pertanian terpadu tanpa ada limbah yang terbuang adalah sistem pertanian yang mengumpulkan kegiatan peternakan, pertanian, perikanan, industri dan jasa dalam satu lahan
pertanian. Semua subsistem ini akan saling mendukung dan memperkuat antara satu dengan lainnya sehingga tidak ada sisa produk dari satu subsistem yang terbuang karma akan bermanfaat untuk subsistem lainnya. Konsep IFS ini menjadikan peternakan sebagai basis untuk kelanjutan aktifitas kegiatan lainnya. Di sampmg menghasilkan anak dan daging juga diperoleh kotoran dari hewan ternak yang dapat dijadikan substrat utama untuk pembuatan pupuk kompos dengan campuran hijauan, dedak, larutan gula + mikroorganisme fermentasi alami (MFA). Pupuk kompos ini sangat bermanfaat untuk memperbaiki kesuburan tanah jenis podzolik merah kuning dan gambut. Pemdaatan kotoran ternak untuk pupuk kompos adalah rangkaian integrated dari peternakan ke pertanian. Sementara itu untuk kebutuhan makanan ternak, juga diperhdcan hijauan dari kegiatan pertanian termasuk rumput makanan ternak, juga diperlukan hijauan dari kegiatan pertanian termasuk rumput makanan ternak yang juga dipupuk dengan pupuk kompos. Disamping pemanfaatan untuk pertanian, kotoran ternak juga bermanfaat untuk pupuk dasar kolam menumbuhkan pakan alami phytoplankton dalam usaha perikanan sehingga kolam subur dan pertumbuhan ikan juga menjadi lebih baik. Hasil dari seluruh kegiatan usaha pertanian, peternakan dan perikanan yang dilaksanakan dalam sistem ini tidak terbatas pada usaha produksi saja, tetapi lebih ditiugkatkan dengan pengolahan, sortasi dan pengemasan (packaging) yang akan dikelola melalui sektor mdustri kecil. Produk IFS ini dapat dipasarkan langsung atau sebagai bahan baku mdustri bahan makanan seperti pisang yang dapat dikonsumsi langsung atau dijadikan bahan baku pembuatan keripik pisang, pisang salai dan lam sebagaiuya. Untuk itu perlu pula dibangun sarana dan prasarana Sastruktur berupa
.
jalan, pasar, dan industri kecil sebagai dukungan dari sistem produksi agribisnis. Diharapkan, hasil pengembangan mdustri kecil yang juga akan mengdcutsertakan bidang jasa ini dapat terus ditmgkatkan sehingga dapat memenuhi pasar lokal, nasional bahkan dalam skala besar dapat untuk ekspor. Agar program SPT ini dapat terlaksana dengan baik dan berkelanjutan (sustainable), maka diperlukan proses pendampingan masyarakat atau peserta
program oleh seorang Field OEcer (FO) dan penyuluh PPMR. Field Officer ini bertugas sebagai pembimbing petani dan mengakomodasi segala keperluan petani dalam pelaksanaan program SPT melalui koordinasi dengan Field Coordinator PPMR. Dalam pelaksanaan h g s i dan tugasnya di lapangan Field Officer dalam beberapa hari setiap minggu tmggaVmenginap di salah satu rumah penduduk dengan tujuan untuk mengenal dan memahami sosio kultural masyarakat desa tempatnya bertugas. Sedangkan penyuluh tmggal menetap di salah satu desa untuk memberikan penyuluhan tentang SPT kepada petani peserta (anggota SPT), dan memberikan informasi kepada field officer tentang apa saja yang dibutuhkan oleh anggota dan . pennasalahan apa yang dihadapi anggota. Hal ini penting di samping untuk menjalin hubungan silaturahmi yang erat juga sangat bermanfaat untuk mencari alternatif pengembangan program dan mengetahui kebutuhan-kebutuhan serta suara-suara masyarakat dalam pembangunan desa untuk PPMR bisa ikut andil di dalamnya. Tindak lanjut dari pelaksanaan program ini yang perlu dikembangkan adalah sistem perkreditan yang murah dan mudah terutama untuk petani miskin dalam jangka waktu panjang sehingga siklus integrated farming system dapat tercapai minimal dalam rentang waktu 5 (lima) tahun (RAPP,200 1) seperti terdapat pada Gambar 1.
Industri Kecil
P a
* Pongolahan
T "ranamanpang& Hortkdtura Kebun rumput
Kompos
,
t
:-.
A
*somi
* Pengepakan
s
a r
Gambarl. Sistem Pertanian Terpadu (SPT) tanpa limbah terbuang (Integrated Farming System with Zero Waste)