BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Remaja Remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa yang mencangkup perubahan fisik dan psikologis. Perubahan psikologis yang terjadi pada remaja meliputi intelektual, kehidupan emosi dan kehidupan sosial. Perubahan fisik mencangkup organ seksual yaitu alat reproduksi sudah mencapai kematangan dan mulai berfungsi dengan baik (Sarwono, 2006). WHO memberikan definisi masa remaja dimulai pada usi 10-24 tahun (Jafar, 2005). Pada usia ini, remaja menghadapi situasi dimana mereka bukan lagi anak namun belum termasuk dewasa. Menurut Jafar(2005), remaja secara biologis dapat menjadi ayah atau ibu tetapi belum siap untuk menyandang tanggung jawab sebagai orang tua. Mereka merasakan kebutuhan akan kebebasan tetapi masih bergantung pada orang tua dalam pemenuhan kebutuhan materialnya. Masa ini juga merupakan masa pencarian jati diri dengan mencoba halhal baru, termasuk perilaku berisiko. 2.2 Anak Jalanan 2.2.1 Definisi Anak Jalanan Menurut Direktorat Bina Sosial DKI, yang termasuk anak jalanan adalah anak yang berkeliaran di jalan raya sambil bekerja, mengemis, ataupun hanya menganggur saja (Ellisma Hutagalung, 2002). Dari segi ketenagakerjaan, istilah anak jalanan lebih digunakan untuk menggambarkan istilah anak pasar, baik anak yang berjualan, menjadi kuli angkut, maupun mengemis. Menurut Surbakti dkk dalam Simanullan, 2013, kategori anak jalanan dibagi dalam 3 kelompok yaitu :
5
6
Children on the street, yaitu anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi sebagai pekerja anak di jalan, namun masih mempunyai hubungan yang kuat dengan orangtua mereka. Ada dua kelompok anak dalam kategori ini, yaitu: 1) anak-anak yang tinggal bersama orang tuanya dan senantiasa pulang setiap hari, dan 2) anak-anak yang melakukan kegiatan ekonomi dan tinggal di jalanan namun masih mempertahankan hubungan dengan keluarga dengan cara pulang secara berkala atau pun dengan jadwal yang tidak rutin. Di Denpasar, anak jalanan dengan kategori ini banyak ditemui di pasar badung. Mayoritas anak-anak tersebut berasal dari Karangasem. Mereka merupakan Children on the street yang tergolong dalam kelompok anak yang tinggal di jalanan namun masih menjaga hubungan baik dengan keluarga. Children of the street, yakni anak-anak yang menghabiskan seluruh atau sebagian besar waktunya di jalanan yang tidak memiliki atau memutuskan hubungan dengan orang tua/ keluarganya. Biasanya mereka hidup dijalanan karena kekerasan, lari atau pergi dari rumah. Kategori ini biasanya rawan terhadap perlakuan salah, baik secara sosial, emosional, fisik, maupun seksual. Children from the families of the street, yakni anak-anak yang berasal dari keluarga yang hidup di jalanan. Walaupun anak-anak ini mempunyai hubungan kekeluargaan yang cukup kuat tetapi hidup mereka terombang-ambing dari suatu tempat ke tempat lain dengan segala resikonya. Kategori ini banyak ditemui di kolong jembatan, rumah-rumah liar di sepanjang rel kereta api. 2.2.2 Faktor Penyebab Menjadi Anak Jalanan Roux & Smith (dalam Rahmadani 2013) menyebutkan bahwa faktor-faktor dalam keluarga (seperti hubungan orang tua dan anak) merupakan alasan utama anak meniggalkan rumah pergi ke jalan. Survei yang dilakukan oleh Kementerian
7
Pemberdayaan Perempuan (dalam Muslim, 2014), menyebutkan alasan anak bekerja adalah karena membantu pekerjaan orangtua (71%), dipaksa membantu orangtua (6%), menambah biaya sekolah (15%), dan karena ingin hidup bebas, untuk uang jajan, mendapatkan teman, dan lainnya (33%). Dari beberapa laporan penelitian yang dikutip dari Shalahuddin (2001) terungkap bahwa ada berbagai faktor pendorong dan penarik yang menyebabkan anak turun ke jalan. Banyak pihak meyakini bahwa kemiskinan merupakan faktor utama yang mendorong anak pergi ke jalan. Faktor-faktor lainnya seringkali merupakan turunan akibat kondisi kemiskinan atau ada relasi kuat yang saling mempengaruhi antar faktor-faktor tersebut, yaitu : kekerasan dalam keluarga, dorongan keluarga, impian kebebasan, ingin memiliki uang sendiri, dan pengaruh teman. Kekerasan dalam keluarga banyak diungkapkan sebagai salah satu faktor yang mendorong anak lari dari rumah dan pergi ke jalanan. Tindak kekerasan yang dilakukan oleh anggota keluarga terhadap anak memang dapat terjadi di semua lapisan sosial masyarakat. Pada lapisan masyarakat bawah/miskin, kemungkinan terjadinya kekerasan lebih besar dengan tipe kekerasan yang lebih beragam. Tipe-tipe kekerasan bisa berupa kekerasan mental, kekerasan fisik dan kekerasan seksual. Seorang anak bisa mengalami lebih dari satu tipe kekerasan yang dilakukan oleh anggota keluarganya. Anak yang turun ke jalanan akibat menjadi korban kekerasan mental, sebagian besar dalam bentuk dimarahi, atau merasa tidak dipercaya dan selalu disalahkan oleh anggota keluarganya. Pergi ke jalanan dinilai sebagai upaya untuk melepaskan atau menghindari tekanan yang dihadapi di dalam keluarga. Pada tahapan awal mereka tidak melakukan kegiatan-kegiatan untuk mendapatkan uang. Pada perkembangannya mereka terpengaruh oleh lingkungan atau dipaksa oleh situasi untuk melakukan kegiatan yang
8
menghasilkan uang yang digunakan untuk membiayai hidup mereka sendiri. Jalan keluar yang ditempuh anak untuk menghindar dari kekerasan dengan pergi ke jalanan seringkali tidak memecahkan masalah, justru memunculkan tindakan kekerasan lainnya yang seringkali bersifat fisik dan berakhir dengan pengusiran terhadap anak. Dorongan dari keluarga biasanya dengan cara mengajak anak pergi ke jalanan untuk membantu pekerjaan orangtuanya atau menyuruh anak untuk melakukan kegiatan-kegiatan di jalanan yang menghasilkan uang. Motif ekonomi yang melandasi orangtua mendorong anaknya pergi ke jalanan cenderung bersifat eksploitasi. Pada beberapa kasus, anak tidak sekedar memberikan kontribusi bagi ekonomi keluarga namun menjadi sumber utama. Berbagai masalah yang dihadapi anak pada keluarga dapat menimbulkan pemberontakan di dalam dirinya dan berusaha mencari jalan keluar. Dunia jalanan dianggap anak dapat menjadi alternatif termudah untuk mendapatkan kebebasan. Ketika mereka tiba di jalanan, bukan berarti mereka lepas dari masalahnya, justru berbagai masalah yang lebih berat harus mereka hadapi. Alasan lain anak pergi ke jalanan karena ingin memiliki uang sendiri. Berbeda dengan faktor dorongan dari orangtua, uang yang didapatkan oleh anak biasanya digunakan untuk keperluan anak sendiri. Meski anak memberikan sebagian uangnya ke orangtua, ini lebih bersifat sukarela dan tidak memiliki dampak buruk bagi anak bila tidak memberikan sebagian uangnya kepada orang tua atau keluarga mereka. 2.3 Kesehatan Reproduksi Remaja 2.3.1 Definisi Kesehatan Rerproduksi Kesehatan reproduksi remaja didefinisikan sebagai keadaan sejahtera fisik dan psikis seorang remaja, termasuk keadaan terbebas dari kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi yang tidak aman, penyakit menular seksual (PMS) termasuk HIV/AIDS, serta semua bentuk kekerasan dan pemaksaan seksual (Wahyudi, 2000).
9
2.3.2 Masalah Kesehatan Reproduksi Remaja Masa remaja adalah masa yang khusus dan penting, karena merupakan pematangan organ reproduksi manusia yang sering disebut sebagai masa pubertas. Pada masa ini terjadi perubahan fisik (organobiologik) secara cepat, yang tidak seimbang dengan perubahan kejiwaan (mental-emosional) (Depkes, 2003). Perubahan yang cukup besar ini dapat membingungkan remaja yang mengalaminya, karena itu diperlukan pengertian, bimbingan dan dukungan lingkungan di sekitarnya, agar mereka dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa yang sehat jasmani, mental maupun psikososial (Depkes, 2003) Pada perkembangan intelegensi, remaja cenderung memiliki rasa ingin tahu yang dalam serta lebih ingin mencoba hal-hal baru termasuk tertarik dengan lawan jenis (Depkes, 2003). Perilaku ini bila didorong oleh rangsangan seksual dapat membawa remaja terjerumus dalam hubungan seks pranikah yang dapat berakibat pada kehamilan tidak diinginkan (KTD) dan aborsi pada remaja putri. Hal ini dibuktikan dengan proporsi remaja yang terlibat dalam perilaku seksual berisiko lebih tinggi dari pada kelompok usia lainnya (Folayan, 2014). Rasa ingin tahu remaja juga dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan di Nigeria (2014) yang menunjukan bahwa 56,4% remaja usia 15-19 tahun terlibat dalam hubungan seks pranikah, dan 39,6% diantaranya telah melakukan hubungan seks tanpa menggunakan kondom. Hasil analisis data SKRRI (2007), menunjukkan bahwa terjadi peningkatan prevalensi hubungan seksual pranikah pada remaja laki-laki sebesar 1,8% dan pada remaja perempuan seberar 0,2% (Lestari dan Sugiharti, 2011). Pada penelitian yang dilakukan oleh Rikawarastuti (2003), ditemukan sebanyak 83,1% remaja jalanan pernah melakukan hubungan seksual dengan 12,4% diantaranya pernah mengalami kehamilan tidak diinginkan. Dari beberapa hasil penelitian tersebut, terlihat bahwa remaja
10
memiliki rasa ingin tahu serta rasa ingin mencoba-coba yang sangat tinggi, terutama pada remaja jalanan yang hidup bebas jauh dari pengawasan orangtua. Selain kehamilan tidak diinginkan dan aborsi, dampak lain yang ditimbulkan oleh seks pranikah adalah adanya risiko penularan penyakit kelamin seperti infeksi saluran reproduksi (ISR). ISR merupakan masuk dan berkembang-biaknya kuman penyebab infeksi kedalam saluran reproduksi (Depkes, 2003). Penyakit menular seksual (PMS) merupakan salah satu ISR yang ditularkan melalui hubungan kelamin. Penyakit yang termasuk dalam kelompok PMS adalah gonore, sifilis, ulkus molle, kondiloma akuimata, herpes genital dan HIV/AIDS. Dari semua jenis PMS, HIV/AIDS merupakan jenis PMS yang paling penting, karena sangat berbahaya, belum ditemukan cara pengobatannya dan selalu berakhir dengan kematian bagi penderitanya (Depkes, 2003). HIV adalah virus yang menyerang, menurunkan sampai merusak system kekebalan tubuh manusia. Setelah beberapa tahun, jumlah virus semakin banyak sehingga sistem kekebalan tubuh tidak lagi mampu melawan penyakit yang masuk. Sedangkan AIDS adalah kumpulan dari berbagai gejala penyakit yang timbul sebagai akibat turunnya kekebalan tubuh. Sebagain besar infeksi HIV ditularkan melalui hubungan seksual. HIV/AIDS lima kali lebih mudah menular pada perempuan, karena bentuk permukaan kelamin perempuan lebih luas, sehingga lebih mudah terpapar oleh cairan mani yang tinggal lebih lama dalam tubuh. Berdasarkan data Depkes RI, hingga bulan September 2008 dari 15.136 penderita AIDS 54,3% diantaranya adalah remaja. Penelitian yang dilakukan di Kenya Barat menunjukan, bahwa 67% infeksi HIV/AIDS ditularkan melalui hubungan seks pranikah oleh remaja (Eijk, 2008). Penelitian yang dilakukan pada anak jalanan di Makasar menunjukan sebanyak 36,9% anak jalanan
11
melakukan tindakan berisiko tertular HIV-AIDS, diantaranya berhubungan seksual sebelum menikah tanpa memakai kondom (baik vaginal, oral, maupun anal). Besarnya persentase anak jalanan dengan perilaku beresiko tertular HIV/AIDS ini diakibatkan oleh rendahnya pengetahuan remaja jalanan dalam upaya mencegah/menghindari perilaku beresiko tersebut. Selain itu, perilaku ingin mencoba-coba yang dimiliki remaja juga berakibat pada ketergantungan NAPZA (Narkotika, psikotropika dan zat adikif lainnya termasuk rokok dan alkohol). Pemakain jarum suntik bersama-sama secra bergantian, merupakan salah satu perilaku berisiko tinggi terhadap penularan PMS termasuk juga HIV/AIDS (Depkes, 2003). Tinjauan Pendekatan Penanganan Perilaku Seksual Anak Jalanan yang dilakukan Rikawarastuti (2003), menyatakan bahwa sebanyak 41,4% anak jalanan pernah menggunakan NAPZA dan 40% mengkonsumsi rokok. Data SKRRI (2007) menunjukkan sebanyak 52,7% remaja usia 15-24 tahun mengkonsumsi rokok, 24,7% mengkonsumsi minuman alkohol, dan 3.4% remaja menggunakan NAPZA. 2.3.3 Faktor yang Berpengaruh dalam Masalah Kesehatan Reproduksi Masalah kesehatan reproduksi mucul sebagai akibat dari beberapa faktor, beberapa diantaranya adalah kurangnya komunikasi dengan orang tua serta pengetahuan tentang kesehatan reproduksi yang masih sangat rendah. Penelitian yang dilakukan di Ethiopia Timur (2014) menunjukkan bahwa komunikasi antara anak dan orang tua yang membahas mengenai kesehatan reproduksi masih sangat rendah yaitu hanya sebesar 37%. Analisis survei yang dilakukan oleh Rikawarastuti (2003) pada anak jalanan, menunjukkan terdapat sebanyak 62,3% anak jalanaan memiliki hubungan komunikasi yang kurang baik dengan orang tua. Hal ini mengakibatkan
12
mayoritas anak jalanan dalam penelitian tersebut memiliki perilaku kesehatan reproduksi yang menyimpang seperti, 41,4% remaja jalanan pernah menggunakan NAPZA dan merupakan perokok aktif, 6,9% remaja jalanan berganti-ganti pasangan seksual serta 12,4% remaja jalanan melakukan hubungan sejenis. Hasil penelitian tersebut sesuai dengan pendapat Ayalew et al (2014) menyatakan bahwa komunikasi orang tua dan anak yang baik mengenai kesehatan reproduksi mampu mengurangi risiko seksual pada remaja. Menurut Wirawan Sarwono dalam Media Yulfira (2005), rendahnya komunikasi anak dan orang tua mengenai kesehatan reproduksi ini disebabkan karena sikap orang tua yang tabu untuk membicarakan seks dengan anaknya. Selain komunikasi orang tua, masalah kesehatan reproduksi erat kaitannya dengan pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi. Pengetahuan yang dimiliki seseorang akan berpengaruh terhadap bagaimana sikap seseorang tersebut. Teori Lawrence Green menyatakan bahwa pengetahuan dan sikap seseorang akan menentukan perilaku seseorang terhadap suatu masalah. Pengetahuan kesehatan reproduksi sangat penting bagi remaja sebagai dasar penentuan sikap dan perilaku kesehatan reproduksi yang positif. Pengetahuan yang tepat, benar dan terarah akan membantu remaja memiliki sikap dan perilaku positif. Menurut Mubarak (2007) pengetahuan seseorang dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, beberapa diantaranya adalah Umur dan Pendidikan. Semakin tinggi pendidikan seseorang semakin mudah pula mereka menerima informasi, dan pada akhirnya makin banyak pula pengetahuan yang dimilikinya. Dan dengan bertambahnya umur seseorang, maka akan terjadi perubahan pada aspek psikis dan psikologis (mental). Perubahan psikologis (mental) yang terjadi pada seseorang tersebut menjadikan taraf berfikir seseorang tersebut semakin matang dan dewasa.
13
Penelitian yang dilakukan Maolinda dkk (2011) menyatakan bahwa 55% remaja memiliki sikap yang positif terhadap kesehatan reproduksi, hal ini disebabkan karena sebagian besar (80,67%) remaja memiliki pengetahuan yang baik mengenai kesehatan repoduksi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Emi BR Barus tentang pengetahun dan sikap remaja jalanan tentang kesehatan reproduksi di Kota Medan tahun 2011 menyatakan bahwa hanya sebesar 33,3% responden yang memiliki pengetahuan baik mengenai kesehatan reproduksi dan masih terdapat sebesar 21,5% responden yang memiliki sikap negatif terhadap kesehatan reproduksi. Rendahnya persentase remaja jalanan di Kota Medan yang memiliki pengetahuan tinggi ini disebabkan oleh umur remaja jalanan salam penelitian ini cenderung masuka dalam kategori remaja awal dengan mayoritas hanya berpendidikan SD.