BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. 1.
Kesejahteraan Psikologis
Pengertian Kesejahteraan Psikologis Kesejahteraan psikologis merupakan sebuah konsep yang membahas tentang psikologi positif (Ryff, 1989). Menurut Ryff & Keyes (1995), kesejahteraan psikologis merupakan suatu keadaan ketika individu mampu berupaya
maksimal
untuk
mencapai
kesempurnaan
yang
mampu
merepresentasikan potensi dirinya. Konsep kesejahteraan psikologis tidak hanya menekankan pada kebahagiaan hedonik, namun juga kebahagiaan eudamonik. Pendekatan hedonik lebih fokus pada kebahagiaan (happiness) dan mendefinisikan kesejahteraan sebagai pencapaian kesenangan dan menghindari rasa sakit, sedangkan pendekatan eudamonik, fokus pada makna dan realisasi diri yang mendefinisikan kesejahteraan sebagai keberfungsian hidup individu secara utuh (Ryan & Deci, 2001). Pandangan Ryff terkait karakteristik individu yang memiliki kesejahteraan psikologis merujuk pada beberapa pandangan tokoh psikologi yang sesuai dengan teorinya. Konsep Maslow tentang aktualisasi diri (selfactualization), pandangan Rogers tentang orang yang berfungsi penuh (fully-functioning), pandangan Jung tentang individuasi (individuation), konsep Allport tentang kematangan (maturity), dan terakhir sesuai dengan konsep
Erikson
dalam
menggambarkan
17
individu
yang
mencapai
18
integrasi (Keyes, Smothkin & Ryff, 2002). Kesejahteraan psikologis dapat ditandai dengan diperolehnya kebahagiaan, kepuasan hidup, dan tidak adanya gejala-gejala depresi (Ryff & Keyes, 1995). Menurut Aristoteles (Ryan & Deci, 2001), kesejahteraan psikologis merupakan sebuah konsep kesejahteraan ketika manusia tersebut menjalani hidup sesuai dengan keadaan dirinya. Bradburn (Ryff & Keyes, 1995) mendefinisikan kesejahteraan psikologis sebagai sebuah kebahagiaan yang merupakan hasil kesejahteraan psikologis dan merupakan tujuan tertinggi yang ingin dicapai manusia. Berdasarkan beberapa definisi yang diungkapkan oleh para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan psikologis adalah suatu kondisi ketika individu tidak hanya merasakan kebahagiaan, kepuasan hidup, dan tidak ada gejala-gejala depresi saja, namun individu tersebut juga dapat menerima diri sendiri maupun kehidupan masa lalunya, mampu membentuk hubungan hangat dengan orang lain, memiliki kemandirian terhadap tekanan sosial, memiliki keyakinan bahwa hidupnya bermakna dan memiliki tujuan, mampu mengontrol lingkungan eksternal secara efektif, dan mampu mengembangan diri secara berkelanjutan sebagai wujud dari keberhasilan individu dalam pencapaian aktualisasi diri. Definisi yang digunakan dalam penelitian ini adalah definisi dari Ryff dan Keyes (1995) yaitu kesejahteraan psikologis sebagai keadaan individu yang dapat menyadari dirinya serta memfungsikan seluruh fungsi dirinya, yang ditandai dengan mampu menerima dirinya sendiri, mampu
19
membangun hubungan positif dengan orang lain, mandiri, mampu menguasai lingkungan, memiliki tujuan dan arti hidup, serta selalu mengembangkan potensi-potensi dirinya dari waktu ke waktu. 2.
Aspek-aspek Kesejahteraan Psikologis Ryff (Ryff & Keyes, 1995) menjabarkan bahwa konsep kesejahteraan psikologis memiliki 6 aspek, yaitu: a.
Hubungan yang Positif dengan Orang Lain (Positive Relationship With Others) Aspek ini menggambarkan tinggi rendahnya kemampuan individu dalam membina hubungan yang hangat dengan orang lain. Individu yang meraih skor tinggi pada aspek hubungan yang positif dengan orang lain cenderung memiliki hubungan yang hangat dan saling percaya, peduli terhadap kesejahteraan orang lain, memiliki empati, afeksi, memiliki keintiman yang kuat, dan memahami makna pemberian dan penerimaan dalam suatu hubungan. Di sisi lain, individu yang meraih skor rendah pada aspek ini akan merasa terisolasi, kurang terbuka, sulit percaya dengan orang lain, kurang hangat, kurang memperhatikan kesejahteraan orang lain serta tidak mudah diajak berkompromi (Ryff, 1995).
b.
Penerimaan Diri (Self Acceptance) Aspek ini menjelaskan tentang sikap positif individu terhadap dirinya sendiri dan memiliki pandangan positif terhadap kehidupan masa lalunya. Individu dengan skor penerimaan diri tinggi memiliki
20
sikap positif pada dirinya sendiri, bersedia menerima segala sesuatu yang ada pada diri mereka baik positif ataupun negatif, serta mampu bersikap positif terhadap pengalaman masa lalunya. Di sisi lain, individu dengan skor rendah akan cenderung merasa tidak puas baik pada dirinya sendiri dan masa lalunya, serta merasa terganggu dengan kualitas pribadi yang dimilikinya dan berharap untuk menjadi seperti orang lain (Ryff & Keyes, 1995). c.
Kemandirian (Autonomy) Aspek
ini
menggambarkan
kemampuan
individu
untuk
mengarahkan diri sendiri, mandiri dan mampu mengambil keputusan sendiri, dan berperilaku sesuai dengan standar nilai individu itu sendiri. Individu yang mendapatkan skor tinggi pada aspek ini cenderung mandiri dan memiliki kekuatan sendiri, mampu melawan tekanan sosial dalam berpikir dan berperilaku dengan cara tertentu, mengatur tingkah laku sesuai keinginan sendiri, dan mampu mengevaluasi diri sendiri dengan standar nilai pribadi, sedangkan individu dengan skor rendah sangat mementingkan ekspektasi dan evaluasi dari orang lain, bergantung pada penilaian orang lain dalam pengambilan keputusan penting, dan mengikuti tuntutan sosial dalam berpikir dan bertingkah laku (Ryff, 1995). d.
Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery) Aspek ini menggambarkan tentang kemampuan individu dalam memilih atau mengubah lingkungan sehingga sesuai dengan
21
kebutuhan dan nilai individu tersebut. Individu dengan skor tinggi pada aspek memiliki penguasaan lingkungan adalah orang yang memiliki kemampuan untuk mengatur dan menguasai lingkungannya, memiliki minat yang kuat terhadap hal-hal di luar diri dan berpartisipasi dalam berbagai aktivitas, serta mampu membentuk sikap yang sesuai dengan konteks yang ada. Individu ini mampu mengendalikan kegiatan-kegiatan eksternal yang kompleks sekalipun. Di sisi lain, individu dengan skor rendah memiliki kesulitan untuk mengatur urusan sehari-hari, merasa tidak mampu memperbaiki lingkungan sekitarnya, tidak menyadari adanya kesempatan di sekitarnya, dan kurang memiliki kemampuan untuk mengontrol dunia luar (Ryff, 1995). e.
Tujuan Hidup (Purpose in Life) Aspek ini menekankan pada pentingnya pemahaman dari individu untuk memiliki tujuan dan makna hidup. Individu dengan skor tinggi merasa bahwa kehidupannya sekarang dan masa lalunya memiliki makna tersendiri, percaya pada suatu keyakinan yang memberikan arti hidup, serta memiliki cita-cita dan target dalam hidupnya. Di sisi lain, individu dengan skor rendah memiliki rasa kurang bermakna dalam hidup, kurang terarah dalam menjalani hidupnya, dan tidak melihat tujuan dari masa lalunya (Ryff, 1995).
22
f.
Pengembangan Pribadi (Personal Growth) Aspek ini menggambarkan tentang kemampuan individu untuk terus tumbuh dan berkembang sebagai individu dari waktu ke waktu. Individu dengan pertumbuhan pribadi yang tinggi selalu merasa bahwa dirinya terus tumbuh dan berkembang, mampu terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru, memiliki keinginan untuk merealisasikan potensi yang dimilikinya, serta selalu melakukan perbaikan diri dalam berperilaku, sedangkan individu dengan skor rendah memiliki perasaan bahwa dirinya tidak dapat melakukan sesuatu untuk mengembangkan dirinya, merasa bosan dan tidak tertarik dengan kehidupan (Ryff, 1995). Berdasarkan pemaparan di atas, aspek-aspek kesejahteraan psikologis
tersebut akan digunakan penulis sebagai landasan untuk mengkonstruk alat ukur pada penelitian ini dikarenakan aspek-aspek kesejahteraan psikologis yang dikemukakan Ryff (1995) telah mewakili makna kesejahteraan psikologis secara menyeluruh dan sesuai dengan penelitian yang akan dilakukan. 3.
Faktor –faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis Kesejahteraan psikologis dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Beberapa faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis, antara lain: a.
Usia Ryff dan Keyes (1995) menjelaskan bahwa perbedaan usia dapat mempengaruhi dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis. Penelitian
23
tersebut menunjukkan bahwa dimensi kemandirian dan dimensi penguasaan lingkungan mengalami peningkatan seiring bertambahnya usia. Pada dimensi hubungan yang positif dengan orang lain juga terjadi peningkatan pada usia dewasa muda hingga dewasa akhir. Demikian juga pada dimensi tujuan hidup dan pengembangan pribadi, terlihat adanya penurunan seiring bertambahnya usia. Pada dimensi penerimaan diri tidak ada perbedaan yang signifikan selama usia dewasa muda sampai akhir. b.
Jenis Kelamin Penelitian yang dilakukan Ryff (1995), ditemukan bahwa wanita pada semua rentang usia mendapat skor yang lebih tinggi pada dimensi hubungan yang positif dengan orang lain dan pengembangan pribadi daripada laki-laki. Aktivitas sosial yang dilakukan oleh wanita lebih baik dari pada laki-laki, wanita lebih mampu mengekspresikan emosi dengan bercerita kepada orang lain, dan wanita juga lebih senang menjalin relasi sosial dibanding laki-laki. Oleh karena itu, wanita memiliki skor yang lebih tinggi pada aspek hubungan positif dengan orang lain dan pertumbuhan pribadi daripada pria.
c.
Status Sosial Ekonomi Ryff dan Singer (2008) mengatakan bahwa perbedaan kelas sosial ekonomi dapat mempengaruhi tingkat kesejahteraan psikologis individu. Status sosial ekonomi individu dapat berupa tingkat pendidikan dan pekerjaan individu. Pada umumnya, orang dengan
24
tingkat pendidikan dan status pekerjaan yang tinggi memiliki kesejahteraan psikologis yang tinggi pula. Individu dengan status sosial ekonomi rendah akan membandingkan dirinya dengan individu lain yang memiliki status sosial ekonomi lebih tinggi. Hal itulah yang membuat individu merasa kurang beruntung dari pada orang lain dan tidak mampu mendapatkan sumber daya yang dapat menyesuaikan kesenjangan yang dirasakan, sehingga kesejahteraan psikologis individu tersebut menjadi rendah. Ryan dan Deci (2001) menyatakan bahwa status sosial ekonomi berhubungan dengan aspek penerimaan diri, tujuan hidup, pengusaan lingkungan, dan pertumbuhan pribadi. d.
Kepribadian Schmutte dan Ryff (Ryan & Deci, 2001) menemukan bahwa lima tipe kepribadian dapat mempengaruhi dimensi kesejahteraan psikologis.
Individu
yang memiliki
kepribadian
extraversion,
conscientiousness, dan low neuroticism mendapat skor tinggi pada dimensi pengembangan pribadi. Individu yang memiliki kepribadian agreeabless dan extraversion mendapatkan skor tinggi pada dimensi hubungan yang positif dengan orang lain. Individu yang memiliki kepribadian low neuroticism mendapat skor tinggi pada dimensi kemandirian. e.
Dukungan Sosial Dukungan sosial diartikan sebagai rasa nyaman, perhatian, penghargaan, atau pertolongan yang dipersepsikan individu yang
25
didapatkan dari orang lain atau kelompok. Dukungan sosial dari lingkungan terutama keluarga sangat berpengaruh pada kesejahteraan psikologis individu. Individu yang pada masa kecilnya memiliki hubungan yang baik dengan orangtua dan mendapatkan dukungan dan kepercayaan dari orangtua memiliki kesejahteraan psikologis yang baik pada masa dewasa. An dan Cooney (2006) menyatakan bahwa bimbingan dan arahan dari orang lain memiliki peran penting pada kesejahteraan psikologis. Individu yang mendapatkan dukungan sosial yang tinggi, akan memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang tinggi pula (Kartikasari, 2013). f.
Pola Asuh Cripps dan Zyromski (2009) mengemukakan bahwa keterlibatan orangtua
baik
positif
maupun
negatif
dapat
mempengaruhi
kesejahteraan psikologis remaja, terutama pada self-esteem, selfevaluation, hubungan dengan teman sebaya, dan frekuensi kejadian hidup yang negatif. Cripps dan Zyromski (2009) juga mengemukakan bahwa pola asuh authoritative memiliki pengaruh yang besar terhadap kesejahteraan psikologis yang baik pada remaja. g.
Religiusitas dan Spiritualitas Menurut Pargament & Zimbauer dkk (Snyder & Lopez, 2002) agama dan spiritualitas memiliki kapasitas secara individu maupun sosial untuk mendorong atau menghambat kesejahteraan psikologis. Individu yang lebih dekat dengan agama menunjukkan tingkatan yang
26
lebih tinggi dalam hal kepuasan hidup, harga diri, dan optimisme. Individu yang memiliki spiritualitas maupun religiusitas yang baik cenderung memiliki kesejahteraan psikologis yang tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh Koenig, Smiley, dan Gonzales (Santrock, 2002) menunjukkan bahwa lanjut usia yang lebih dekat dengan agama memiliki kepuasan hidup, harga diri, dan optimisme yang lebih tinggi. Spiritualitas dapat membantu individu mempertahankan kesejahteraan psikologis terutama ketika kondisi yang tidak diinginkan oleh individu. Wink dan Dillon (2003) menyatakan bahwa spiritualitas memiliki hubungan dengan kesejahteraan psikologis pada aspek pertumbuhan pribadi, dan religiusitas memiliki hubungan pada aspek hubungan positif dengan orang lain. Ellison (2008) juga membuktikan bahwa agama mampu meningkatkan kesejahteraan psikologis dalam diri seseorang. Individu yang memiliki kepercayaan terhadap agama yang kuat cenderung memiliki kepuasan hidup yang lebih tinggi, kebahagiaan personal yang lebih tinggi, serta mengalami dampak negatif peristiwa traumatis yang lebih rendah. Karakteristik tersebut merupakan karakter individu yang sejahtera secara psikologis. Berdasarkan pemaparan dari beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor religiusitas tersebut mempengaruhi tercapainya kesejahteraan psikologis. Oleh karena itu, kesabaran sebagai salah satu unsur religiusitas
27
dalam ajaran agama Islam juga dapat diasumsikan memiliki kapasitas untuk mendorong atau menghambat kesejahteraan psikologis.
B. 1.
Kesabaran
Pengertian Kesabaran Secara terminologi bahasa, sabar adalah menahan dan mencegah diri (Al-Munajjid, 2006). Hakikat shabara memiliki tiga arti yaitu menahan, kekuatan, dan mengumpulkan. Shabara bermakna individu berlaku sabar (Al-Jauziyyah, 2006). Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al-Qur’an Surat Al-Kahfi Ayat 25: “Dan bersabarlah kamu bersama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang hari dengan mengharap keridhaanNya.” Ayat ini mengandung makna bahwa manusia diperintahkan untuk bertahan bersama orang-orang yang menyeru Tuhan dan bersabar dalam menahan diri, jangan sampai jiwa merasa panik, lisan mengeluh, dan anggota tubuh bergerak menampar pipi dan merobek kerah baju sendiri atau melakukan tindakan lainnya yang menyalahi citra kesabaran. Sabar menurut terminologi syari’at adalah bertahan dalam mengerjakan sesuatu yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala (sesuatu yang disukai Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan menahan diri dari mengerjakan sesuatu yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala (sesuatu yang dibenci Allah Subhanahu wa Ta’ala) (Al-Munajjid, 2006). Asal kata sabar adalah mencegah dan menghalangi. Sabar adalah menahan diri untuk tidak berkeluh kesah, mencegah lisan untuk merintih
28
dan menghalangi anggota tubuh untuk tidak menampar pipi dan merobek pakaian dan sejenisnya (Al-Jauziyyah, 2006). Sabar merupakan ciri khas manusia (insan). Sifat ini yang membedakan manusia dari binatang dalam menundukkan dan menahan hawa nafsu (Al-Ghazali, 2012). Amr ibn Utsman al-Makki menegaskan bahwa sabar ialah berteguh bersama Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menerima ujianNya dengan lapang dada dan sikap
tenang.
(Al-Jauziyyah,
2010).
Al-Qardhawi
(Mikam,
2007)
mengemukakan bahwa sabar adalah menahan diri dari hal-hal yang tidak disukai maupun hal-hal yang disukai serta gigih untuk senantiasa di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam menerima suka maupun duka, senantiasa bersyukur ketika ditimpa kenikmatan, serta senantiasa tawadhu’ ketika menerima kesulitan. Berdasarkan pemaparan dari beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa sabar adalah teguh bersama Allah serta menerima segala hal yang disukai maupun yang tidak disukai dengan lapang dada dan sikap tenang, yang ditandai dengan menahan diri untuk tidak tergesa-gesa, tidak mengeluh, tidak mencaci, menahan amarah dan menjadikan akhirat sebagai tujuan. 2.
Aspek Kesabaran Aspek-aspek kesabaran menurut Al-Jauziyyah (2006), yaitu: a.
Menahan diri untuk tidak tergesa-gesa dalam melakukan sesuatu Tergesa-gesa merupakan salah satu akhlak tercela bagi muslim. Keinginan untuk mendapatkan sesuatu sebelum tiba waktunya karena
29
besarnya keinginan terhadap sesuatu tersebut menjadikan kita tergesagesa. Sifat tergesa-gesa sesungguhnya berasal dari setan, seperti sabda Rasulullaah SAW, “Ketenangan itu datangnya dari Allah, sedangkan ketergesa-gesaan itu datangnya dari setan.” Sifat tergesa-gesa menjadikan individu gegabah, kurang berpikir, dan berhati-hati dalam bertindak. Bersabar dari dorongan ketergesa-gesaan akan menjadikan individu lebih tegar dan tenang (Al-Jauziyyah, 2006). b.
Tidak berkeluh kesah ketika ditimpa kesusahan Individu yang bersabar, ketika tertimpa musibah menyadari bahwa keluh-kesah tidak akan mengembalikan keadaan semula dan tidak dapat menolak musibah. Berkeluh-kesah tidak akan memberi manfaat. Individu yang tidak berkeluh-kesah maka mampu bersabar terhadap
sedikit
kesulitan
untuk
menuntut
ridho
Tuhannya
(Al-Jauziyyah, 2006). c.
Menahan diri untuk tidak melemparkan hal-hal yang tidak disukai kepada orang lain Tidak melemparkan hal-hal yang tidak disukai orang lain berarti individu tersebut mampu bersabar untuk tidak membalas terhadap kejahatan padahal mampu membalas. Allah menuturkan dalam firmanNya: “Hanya orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran, yaitu orang-orang yang memenuhi janji kepada Allah dan mereka tidak merusak perjanjian dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang diperintahkan Allah supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhan mereka dan takut buruknya hisab, dan orang-orang yang bersabar untuk mencari ridho
30
Allah, mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan, serta membalas kejahatan dengan kebaikan. Mereka itu-lah yang mendapatkan negeri kesudahan.” (QS. Al-Ra’d: 19-22) Individu yang bersabar, mampu berbuat baik kepada orang yang menyakiti mereka (Al-Jauziyyah, 2006). d.
Menahan diri dari dorongan nafsu kemarahan Marah merupakan bara api yang dikobarkan oleh setan dalam hati individu untuk merusak agama dan diri mereka, karena dengan kemarahan seseorang bisa menjadi gelap mata sehingga bisa melakukan tindakan atau mengucapkan perkataan yang berakibat buruk bagi diri dan agamanya. Individu yang mampu bersabar, selalu berusaha melawan hawa nafsunya, maka mampu untuk selalu meredam amarah karena Allah SWT, mengorbankan harga dirinya untuk kepuasan dan kerelaan hawa nafsunya seraya bersabar terhadap pembicaraan orang (Al-Jauziyyah, 2006). Allah memuji mereka dengan sifat ini dalam firmanNya: “Orang-orang yang bertakwa adalah mereka yang menafkahkan (harta mereka) baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali Imran: 134)
e.
Menjaga diri dari berbagai kelebihan yang ada di dunia Menjaga diri dari berbagai kelebihan dunia dapat juga disebut dengan zuhud. Individu yang mengalami krisis kesabaran akan menjual nilai-nilai akhirat dengan kehidupan dunia. Individu ini lebih memprioritaskan urusan duniawi atas akhirat. Seperti
sabda
31
Rasulullah SAW, “Orang lemah ialah orang yang mengikutkan jiwanya kepada hawa nafsu dan dia mengajukan angan-angan kepada Allah”
(HR.
Al-Tirmidzi,
Ibnu
Majah,
dan
Ahmad)
(Al-Jauziyyah, 2006). Individu yang zuhud mampu berpikir tentang dunia yang sifatnya cepat menghilang dan fana, sehingga tidak rela berbekal dengan sedikit bekal duniawi untuk kehidupan akhiratnya. Berdasarkan pemaparan di atas, aspek-aspek kesabaran tersebut akan digunakan penulis sebagai landasan untuk mengkonstruk alat ukur pada penelitian
ini
dikarenakan
aspek-aspek
yang
dikemukakan
Al-Jauziyyah (2006) telah mewakili makna kesabaran secara menyeluruh dan sesuai dengan penelitian yang akan dilakukan.
C.
Hubungan Antara Kesabaran dengan Kesejahteraan Psikologis
Kesabaran sebagai salah satu unsur religiusitas merupakan salah satu ciri mendasar orang yang bertaqwa. Kesabaran dianggap dapat mempengaruhi kesejahteraan
psikologis
individu.
Seperti
yang
dikemukakan
oleh
Al-Ghazali (2012), kesabaran merupakan salah satu bagian dari akhlak utama yang dibutuhkan seorang muslim dalam kehidupan dunia dan akhirat. Kesabaran menjadikan manusia memiliki harapan kepada Allah tentang masa yang akan datang dapat menjadi lebih baik, sehingga memiliki keyakinan yang akan menghilangkan kegelisahan batin, rasa putus asa, dan memiliki rasa optimis sehingga menjadi penggerak yang kuat untuk maju (Al-Qardhawi, 2006).
32
Kesabaran menjadikan mahasiswa mampu menahan diri atau membatasi jiwa dari keinginannya demi mencapai sesuatu yang baik.
Mahasiswa yang bersabar mampu menahan diri untuk tidak tergesa-gesa dalam melakukan sesuatu. Tergesa-gesa merupakan suatu kondisi psikologis seseorang yang secara emosional ingin cepat-cepat melakukan sesuatu tanpa pertimbangan dan pemikiran. Pekerjaan yang dilakukan tanpa pemikiran dan pertimbangan matang, maka aktivitas yang dilakukannya juga tidak produktif, tidak menghasilkan pahala, tetapi hanya mendapatkan lelah. Bersabar dari dorongan ketergesa-gesaan akan menjadikan individu lebih tegar dan tenang (Al-Jauziyyah, 2006). Tidak tergesa-gesa dalam melakukan sesuatu dapat memberikan efek ketenangan dan ketentraman, tidak cemas, stres, atau depresi, sehingga mahasiswa mampu memutuskan segala sesuatu dengan ketenangan bathin dan pikiran positif. Hal ini membuat mahasiswa mampu menguasai lingkungannya, mengembangkan potensi dirinya, dan memiliki tujuan hidup. Al-Mishri (Al-Jauziyyah, 2006) mengemukakan bahwa sabar adalah menerima segala macam cobaan dengan tenang dan tabah. Segala kesulitan hidup dapat menjadikan individu lebih mampu menerima dirinya apa adanya, merasa puas dengan apa yang diberikan Allah padanya, karena yakin bahwa apa yang telah Allah berikan padanya pasti akan ada kebaikan di dalamnya, sehingga individu tetap berusaha mengembangkan potensi dirinya. Hal tersebut sesuai dengan aspek kesabaran untuk tidak berkeluh kesah ketika ditimpa kesusahan, sehingga mahasiswa tetap fokus pada tujuan yang ingin dicapai, tidak berrmalas-
33
malasan untuk mengembangkan diri ke arah yang lebih baik lagi, dan kesejahteraan psikologisnya lebih terjaga. Kesabaran juga mengajarkan individu agar mampu menahan diri untuk tidak melemparkan hal-hal yang tidak disukai kepada orang lain. Kemampuan menahan diri untuk tidak mengganggu orang lain dan menahan diri untuk tidak melemparkan hal-hal yang tidak disukai kepada orang lain dapat menjadikan individu mampu membina hubungan yang hangat dan saling percaya dengan orang lain, peduli terhadap kesejahteraan orang lain, dan mampu berempati pada orang lain. Individu yang bersabar, mampu berbuat baik kepada orang yang menyakiti mereka (Al-Jauziyyah, 2006). Dalam
interaksi
sosial,
mahasiswa
seringkali
mendapat
berbagai
permasalahan yang dapat menimbulkan rasa amarah. Individu yang mampu bersabar, selalu berusaha melawan hawa nafsunya, maka mampu untuk selalu meredam amarah karena Allah SWT, mengorbankan harga dirinya untuk kepuasan dan kerelaan hawa nafsunya seraya bersabar terhadap pembicaraan orang (Al-Jauziyyah, 2006). Mahasiswa yang mampu menahan diri dari nafsu amarah dapat menjalin hubungan yang baik dengan orang lain, mampu menerima dirinya dengan apa adanya, dan mampu menguasai lingkungannya. Kesabaran juga mengajarkan mahasiswa lebih mampu menjaga dirinya dari berbagai kelebihan yang ada di dunia. Kehidupan manusia di dunia ini bersifat sementara. Mahasiswa yang mengalami krisis kesabaran lebih memprioritaskan urusan duniawi atas akhirat (Al-Jauziyyah, 2006). Mahasiswa yang mampu bersabar dengan berbagai kelebihan dunia dapat menghadapi dan memandang
34
segala kelebihan dunia tersebut secara tidak berlebihan, sehingga menjadi lebih mampu menerima dirinya apa adanya serta mampu menerima pengalaman masa lalunya dengan penuh kesadaran sesuai dengan karakteristik individu yang memiliki kesejahteraan psikologis tinggi.
D.
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan paparan di atas, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada korelasi positif antara kesabaran dengan kesejahteraan psikologis pada mahasiswa. Semakin tinggi kesabaran, diharapkan akan semakin tinggi kesejahteraan psikologis mahasiswa, dan begitu pula sebaliknya.