TLNJAUAN PUSTAKA Penyuluhan Pertanian dan Pembangunan Pertanian Konsep Penyuluhan Pertanian Kontekstual Penggunaan terminologi bermakna "penyuluhan" bervariasi antar negara. Dengan demikian "penyuluhan" merupakan aktivitas kontekstual, baik penyelenggara, proses, materi maupun tujuan. van den Ban dan Hawkins (1999) mengatakan terminolog "university extension" dipergunakan di Inggns. Universitas pengambil inisiatif gerakan penyuluhan. Bliss (1952) mengatakan 100 tahun sebelurn National Grant College Act disetujui pada tahun 1862, petani Amerika menghendaki tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Amerika mengaitkan kegiatan penyuluhan dengan pertanian dimana kegiatan penyuluhan pertanian ditempatkan dalam konteks pendidikan yang dilaksanakan oleh universitas. Terminologi voorlichting yang berarti penyuluhan dipergunakan pada masa kolonial bagi negara-negara bekas jajahan Belanda. Indonesia menggunakan terminolog penyuluhan. Malaysia menggunakan terminologi perkembangan. Jerman menggunakan terminologi beratung dan auJkarung. Masing-masing berarti memberikan nasehat tidak mengikat dan pencerahan. Austria menggunakan istilah forderung yang berarti mendorong seseorang ke arah yang diinginkan. Prancis menggunakan terminologi vulgarisation yang berarti menyederhanakan pesan bagi orang awam. Spanyol menggunakan terminologi capacitacion yang &pat diartikan pelatihan (van den Ban dan Hawkins, 1999).
Dengan demikian pengembangan konsepsi penyuluhan sangat terkait dengan tingkat perkembangan kondisi sosial, ekonomi dan budaya setempat. Departemen Pertanian, Republik Indonesia mendefinisikan "penyuluhan pertanian" sebagai pendidikan luar sekolah di bidang pertanian untuk petani dan keluarganya serta anggota masyarakat pertanian, agar dinamika dan kemampuannya dalam memperbaiki kehidupan dan penghidupannya dengan
kekuatan sendiri dapat berkembang, sehingga dapat meningkatkan peranan dan peran sertanya dalam pembangunan pertanian (Pusat Penyuluhan Pertanian, 1996). Wiraatmadja (1973) membatasi penyuluhan pertanian sebagai sistem pendidikan di luar sekolah untuk keluarga petani dipedesaan, di mana mereka belajar sambil berbuat untuk menjadl mau, tahu, clan bisa menyelesaikan sendiri masalah-masalah yang dihadapi secara baik, menguntungkan dan memuaskan. Padmanagara (Slamet, 1987) mengemukakan penyuluhan pertanian sebagai sistem pendidikan di luar sekolah baik informal maupun nonformal untuk petani dan keluarganya dengan tujuan agar mereka mampu, sanggup, dan berswadaya memperbaiki maupun meningkatkan kesejahteraannya sendiri dan masyarakatnya. Slamet (1992) mengaplikasikan konsep "penyuluhan" dalam konteks yang lebih luas yaitu konteks pembangunan dengan mengembangkan Ilmu Penyuluhan Pembangunan yang didefinislkan sebagai suatu disiplin ilmu yang mempelajari bagaimana pola perilaku manusia pembangunan terbentuk, bagaimana perilaku manusia dapat berubah atau diubah sehingga mau meninggalkan kebiasaan lama dan menggantikan dengan perilaku baru yang berakibat kualitas kehidupan orang yang bersangkutan menjadi lebih baik. van den Ban dan Hawkins (1999) mempersepsikan penyuluhan pertanian mempakan kegiatan mempengaruhi perilaku petani atau untuk meningkatkan kemampuan petani untuk mengambil keputusan sendiri mengenai cara-cara mencapai tujuan mereka. Roling (1988) mendefinislkan penyuluhan s e b a p : "A professional communication intervention deployed by an institution to induce change involuntary behaviours with a presumed public or collective utility."
Rivera (1988) mengatakan definisi penyuluhan pertanian terdiri atas tiga komponen yaitu: (1) kineja pertanian, (2) pembangunan masyarakat pedesaan; dan (3) pendidikan nonformal secara komprehensif untuk masyarakat pedesaan.
Dengan definisi "penyuluhan''
tersebut & atas seolah-olah Penyuluh
Pertanian bebas melayani kebutuhan para petani dengan menggunakan cara-cara yang dianggap paling efektif. Pada kenyataannya, seorang Penyuluh Pertanian hampir selalu merupakan anggota dari suatu organisasi dan diharapkan ikut serta bemsaha mencapai tujuan organisasi tersebut. Dalam kondisi tersebut tidak jarang penyuluhan pertanian dimanfaatkan untuk mencapai tujuan-tujuan kebijakan pemerintah yang belum tentu mewakili
kepentingan kebanyakan petani. Hal ini dapat mengakibatkan hilangnya kepercayaan petani kepada Penyuluh Pertanian dan sering menjadikan kegiatan penyuluhan tidak efektif untuk memecahkan persoalan yang menyatukan tujuantujuan pemerintah dengan tujuan-tujuan petani (Roling, 1980; van den Ban dan Hawkins, 1999).
Falsafah dan Prinsip Penyuluhan Pertanian. Secara etimology falsafah atau filsafat punya makna sama, yang berasal dari bahasa Yunani '>hilosophia." Kata tersebut terdiri atas kata philos berarti cinta, senang, suka, dan kata sophia berarti pengetahuan, hikhmah, dan kebijaksanaan (Jalaluddin dan Abdull&&, 1997). Dengan demikian falsafah secara etimology berarti cinta kebenaran (Shadily, 1984). Kebenaran menurut filsafat adalah kebenaran yang diperoleh melalui pemikiran yang kritis (FranzMagnis-Suseno, 1987). Kebenaran yang dimaksud dalam konteks filsafat adalah kebenaran yang sepenuhnya tergantung pa& kemampuan daya nalar manusia. Slamet (Mardikanto, 1991) menekankan perlunya falsafah penyuluhan yang hams berakar pada falsafah negara Pancasila. Sistem nilai sebagai suatu sistem tata kelakuan yang abstrak, pa& kenyataan suatu sistem nilai terperinci lagi ke
dalarn norma-norma dan norma-norma inilah yang merupakan tata kelakuan dan pedoman yang sesungguhnya untuk sebagian besar dari tindakan-tindakan
manusia dalm masyarakat (Sajogyo dan Pudjiwati, 1995; Koentjaraningrat 1974). Menurut Methews (Dahama dan Bhatnagar, 1980) prinsip-prinsip penyuluhan juga merupakan suatu ha1 penting selain falsafah. Prinsip adalah "a statement ofpolicy to guide decision and action in a consistent manner." Prinsip merupakan
pemyataan yang dipedomani dalam menentukan keputusan dan tindakan yang diyakini mengandung makna kebenaran. Dahama dan Bhatnagar (1980) mengatakan prinsip adalah "a fundamental truth and a settled rule of action." Leagans (Mardikanto, 1991) menilai setiap penyulub dalam melaksanakan kegiatannya harus berpegang teguh pada prinsip-prinsip penyuluhan. Bertolak dan pemahaman penyuluhan sebagai sistem pendidikan, maka prinsipprinsip penyuluhan pertanian adalah: (1) prinsip mengerjakan; (2) prinsip akibat; (3) prinsip asosiasi
Tujuan Penyuluhan Pertanian Tujuan adalah sesuatu kondisi tertentu yang ingin dicapai. Tujuan penyuluhan pertanian dapat dilihat dan dua sisi yaitu dari sisi pemerintah dan sisi sasaran. Kenyataannya kedua sisi tujuan tersebut tidak mudah diketemukan. Swanson et al. (1990) mengatakan tujuan utama penyuluhan pertanian adalah membantu
memperbaiki tingkat kehidupan keluarga tani di pedesaan, melalui proses transfer teknologi dan peningkatan kemampuan keluarga tani di pedesaan. Untuk mencapai tujuan tersebut maka kegiatan-kegiatan penyuluhan harus: (1) dinamis, (2) dibutuhkan masyarakat, (3) meliputi mayoritas masyarakat sasaran penyuluhan, (4) bersifat perbaikan, dan (5) &pat dinilaiidiukur dan fakta-faktanya dapat dikumpulkan (Slamet dan Asngari, 1969). Penyusunan tujuan program atau kegiatan penyuluhan unsur-unsur yang perlu dipertimbangkan antara lain: (1) orang yang menjadi sasaran penyuluhm, (2) perubahan perilaku yang diinginkm,
dan (3) masalah yang ingin dipecahkan dengan perubahan perilaku tersebut (Slamet, 1978). Pencapaian tujuan penyuluhan pertanian dapat menggunakan berbagai cara antara lain: (1) memberi nasehat', (2) menambahkan kisaran alternatif; (3) memberi informasi mengenai konsekuensi yang dapat diharapkan dm masingmasing altematit (4) membantunya dalam memutuskan tujuan mana yang paling penting; (5) membantunya dalam mengambil keputusan secara sistematis; (6) membantunya belajar dari pengalaman dan dari pengujicobam, dan (7) mendorongnya untuk tukar menukar informasi dengan rekan petani (van den Ban
dan Hawkins, 1999).
Tugas dan Fungsi Penyuluh Pertanian Tugas dan fungsi penyuluh pertanian dipengaruhi oleh persoalan-persoalan yang dihadapi dalam pembangunan pertanian. Menurut Padmanagara (Slamet, 1978) secara konsepsional tugas ideal seorang penyuluh pertanian antara lain: (1) menyebarkan informasi yang bermanfaat, (2) mengajarkan pengetahketerampilan dan kecakapan sesuai bidangnya, (3) memberikan rekomendasi yang lebih menguntungkan, (4) mengusahakan berbagai fasilitas usaha tani, (5) menimbulkan keswadayaan dan keswakarsaan. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendayaan Aparatur Negara No: 19iKEP/MKWASPAN/5/1999, tugas pokok Penyuluh Pertanian adalah: menyiapkan, melaksanakan, mengembangkan, mengevaluasi dan melaporkan kegiatan penyuluhan pertanian. Pandangan mengenai tanggungiawab atau tugas penyuluh pertanian sangat beragam di berbagai negara. Di Amerika Serikat penyuluh peltanian mempunyai tugas mendidik. Di banyak negara Eropa lebih merupakan seseorang yang menolong petani untuk memecahkan masalah mereka. Tugas penyuluh pertanian di negara-negara sedang berkembang adalah menganjurkan penggunaan teknolog
modem, seperti pemakiuan pupuk. Dipercayai bahwa cara terbaik untuk meningkatkan efisiensi usaha tani dan meningkatkan produksi pertanian adalah dengan mendidik petani (van den Ban dan Hawkins, 1999). Mosher (1986) mengatakan bahwa untuk melaksanakan tugas-tugasnya, Penyuluh Pertanian hams dapat berperan sebagai guru, penganalisa, penasehat dan organisator. Disarnping itu penyuluh pertanian juga berkewajiban mendukung dan menciptakan proses "belajar mandiri" atau self-d~recredlearning dikalangan
para petani sehingga mereka dapat mengikuti perkembangan teknologi.
Penyuluhan dan Pembangunan Pertanian Pembangunan pada hakekatnya adalah upaya mencapai taraf hidup rakyat yang lebih berkualitas sesuai dengan nilai-nilai sosial yang berlaku (Slamet, 1992). Pudjiwati (1985) mengatakan pembangunan sebagai suatu proses menggambarkan adanya pengembangan, baik meliputi proses pertumbuhan ataupun perubahan dalam kehidupan bersama. Makna konsep pembangunan tersebut adalah perubahan sosial (Lamer, 1993; Harper, 1989; Vago, 1989). Ndraha (1990) mengatakan berbagai konsep yang berkaitan dengan konsep pembangunan
yaitu:
konsep
pertumbuhan,
rekonsbuksi,
modemisasi,
westernisasi, perubahan sosial, pembebasan, dan konsep pembaharuan. Dengan demikian konsep pembangunan dapat diartikan sebagai: (1) proses yang diupayakan secara sadar dan terencana; (2) proses perubahan yang mencangkup banyak aspek kehldupan manusia, baik sebagai individu maupun sebagai warga masyarakat; (3) proses pertumbuhan ekonomi; (4) proses atau upaya yang dilaksanakan untuk memperbaiki mutu hidup atau kesejahteraan setiap indvidu dan seluruh warga masyarakat; dan (5) pemanfaatan teknologi baru atau inovasi yang terpilih (Mardikanto, 1993). Todaro (1978) mengemukakan bahwa adanya tiga inti nilai-nilai yang terkandung dalam pengertian pembangunan yaitu: (1)
tercapainya swasembada; (2) peningkatan harga din; dan (3) diperolehnya kebebasan. Di negara-negara sedang berkembang menyajikan pembangunan sebagai proses "modemisasi." Modemisasi masyarakat ialah suatu proses transformasi, suatu perubahan masyarakat dalam segala aspeknya (Pudjiwati, 1985). Weiner (Pudjiwati, 1985) menunjukkan tidak mudah membuat suatu rumusan mengenai arti modemisasi yang sifatnya universal, karena talc satupun yang cukup bersifat umum
untuk
merangkum
suatu sistem
pemerintahan,
ekonomi
dan
kemasyarakatan yang "modern." Cyril Black mengatakan masyarakat modem dltandai oleh bertumbuhnya ilmu pengetahuan dan teknologi b m . Mc Clelland menggaris bawahi keberdikarian disamping orientasi pada prestasi sebagai sifatsifat dasar manusia modem. Tjondronegoro (Pudjiwati, 1985) menekankan pengertian "instrumentality'' dalam pembangunan leblh menonjol. Sedangkan dalam konsepsi-konsepsi modernisasi masih tersirat arti merubab tradisional dan condong kepada perubahan materiil, perubahan susunan dan pola masyarakat jarang dikaitkan dengan modernisasi. Dari berbagai variasi yang ada, Tjondronegoro mengelompokkan tiga pengertian yaitu: (I) modemisasi diartlkan sebagai westemisasi; (2) pembangunan disarnakan dengan modernisasi; dan (3) pembangunan adalah perubahan susunan dan pola masyarakat. Pengalaman berbagai negara yang menggunakan pendekatan pertama menunjukkan bahwa modemisasi membawa implikasi sosial dan mental. Pertama ditunjukkan oleh berbagai efek atau dampak negatif pertumbuhan ekonomi terhadap kehdupan sosial. Kedua oleh kegagalan pembangunan fisik jika pembangunan fisik yang bersangkutan tidak didukung oleh persiapan dan perubahan s~kapmental masyarakat dalam menerima, menggunakan, memelihara,
dan mengembangkannya (Ndraha, 1990). Berdasarkan pengalaman melaksanakan
pembangunan, pada dekade tujuh puluhan timbul perubahan pendekatan terhadap pembagunan. Corlie Bryant dan Louise White (Ndraha, 1990) mengatakan pembangunan adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan manusia untuk mempengaruhi
masa
menimbulkan lima
depannya. impllkasi
Pendefinisian
pembangunan
tersebut
utama yaitu: (1) pembangunan berarti
membangkitkan kemampuan optimal manusia, baik individu maupun kelompok (capacity); (2) pembangunan berarti mendorong tumbuhnya kebersamaan dan kemerataan nilai dan kesejahteraan (equity); (3) pembangunan berarti menaruh kepercayaan kepada masyarakat untuk membangun dirinya sendiri sesuai dengan kemampuan yang ada padanya (empowerment); (4) pembangunan berarti membanglutkan kemampuan untuk membangun secara mandiri (sustainability); dan (5) pembangunan berarti mengurangi ketergantungan negara yang satu
dengan negara yang lain dan menciptakan hubungan saling menguntungkan dan saling menghormati (mterdependency). Paradigma pembangunan pertanian memasuki abad 2 1 berorientasi pada manusia, yang meletakkan petani sebagai subyek pembangunan. Pengembangan kapasitas masyarakat dalam upaya memberdayakan ekonomi petani dan nelayan. Visi pembangunan pertanian adalah pertanian modem, tangguh dan efisien dengan misi memberdayakaa petani (Departemen Pertanian, 1998). Mosher (1971) mengatakan perubahan perilaku merupakan komponen utama dalam pembangunan pertanian baik pada tingkat petani maupun pada tingkat pendukung kegiatan usaha tani. Tiga faktor yang mempengaruhi pembangunan pertanian maju yaitu: (1) usaha tani sendiri, pa& tingkat ini perilaku petani memegang peranan penting; (2) adanya aktivitas-aktivitas pendukung produksi pertanian; dm (3) kebijakan yang kondusif. Menurut Mosher a& enam konsep yang relevan dengan pembangunan pertanian yaitu: (1) konsep perluasan pertanian; (2) konsep produktivitas, (3) konsep pertumbuhan pertanian;
(4) konsep nilai tambah produk pertanian; (5) konsep peningkatan pendapatan;
clan (6) konsep transfonnasi pertanian. Percepatan proses pembangunan pertanian dicapai melalui perubahan perilaku yang otonom untuk menanggapi perubahan lingkungan baik alam maupun manusia. Hal ini hanya dapat ditempuh melalui proses pendidikan. Leagans (1971) mengungkapkan faktor-faktor produksi modem adalah teknoloa, sarana produksi, lingkungan yang kondusif, pendidikan. Kalau dikombinasikan dengan faktor produksi tradisional seperti, tanah, tenaga dan modal, maka semuanya hsebut sebagai "paket modemisasi pertanian." Dalam paket tersebut kedudukan pendidikan (penyuluhan) setara dengan faktor-faktor yang lain. Modemisasi memerlukan intewensi ke dalam sistem kepercayaan yang mapan dan mengatm kembali sistem tersebut agar tercipta pola kepercayaan yang kondusif terhadap perubahan perilaku. Penyuluhan pertanian merupakan elemen utama dalam proses pembangunan pertanian yang dlmanifestaslkan dalam peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Pembangunan pertanian yang berkelanjutan muncul sebagai isu pembangunan pada akhir abad 20. Konsep berkelanjutan tidak hanya menyangkut teknologi saja, tetapi &lam konsep tersebut terdapat isu-isu sosial, ekonomi, dan institusi. Dalam pembangunan pertanian berkelanjutan, penyuluh pertanian hams mempunyai pemahaman yang mendalam tentang sistem usaha tani, clan interaksi antara pertanian dengan lingkungan fisik, sosial clan ekonomi. Hal ini membawa implikasi pa& pelatihan untuk para penyuluh pertanian (Garforth dan Nicola, 1997). Pendekatan peranan penyuluhan pertanian dalam pembangunan pertanian berbeda dari satu negara dengan negara lain. Walaupun demikian penyuluhan pertanian dapat dipandang secara luas sebagai multiguna, pendidikan, pelayanan teknis dirancang untuk pembangunan pertanian dan pedesaan (Swanson, 1990).
Penyuluhan pertanian berperan dalam pembangunan pertanian melalui transfer teknologi dan pengembangan sumberdaya manusia, terutama bagi petani dan wanita tani kecil di negara-negara sedang berkembang. Penyuluhan pertanian berperan optimal dalam pembangunan pertanian kalau didukung oleh kondisi yang kondusif, seperti lingkungan ekonomi makro, sosial dan kebijakan pertanian (Dutia, 1990). Inayatullah (1976) mengatakan bahwa pembangunan melalui modernisasi akan tenvujud kalau terjadi perubahan perilaku secara individual. Dengan demikian peranan penyuluhan pertanian dalam pembangunan pertanian adalah membentuk perilaku pembangunan bagi para pelaksana pembangunan sehingga sesuai dengan kebutuhan pembangunan melalui kegiatan pendidikan.
Pengembangan Sumberdaya Manusia dalsm Penyuluhan Pertanian Konsep Pengembangan Sumberdaya Manusia Selain sumberdaya dam, dan teknologi, sumberdaya manusia merupakan unsur utama dalam proses pembangunan. Berdamkan pengalaman negara-negara industri, pertumbuhan ekonomi negara tersebut, bersumber dari pertumbuhan masyarakat yang didukung oleh sumberdaya manusia yang berkualitas (Hasibuan 1981 dalam Effendi, 1993). Menurut Bank Dunia (1980) pengertian pengembangan sumberdaya manusia mirip dengan pengembangan manusia (human development). Pendimkan dan pelatihan merupakan unsur terpenting
dalam pengembangannya. UNDP mendefinisikan pengembangan sumberdaya manusia sebagai proses
meningkatkan kemampuan manusia untuk melahkan pilihan-pilihan. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengembangan sumberdaya manusia tidak hanya sekedar meningkatkan kemampuan saja, tetapi juga menyangkut pemanfaatan kemampuan manusia. Dalam hal ini dapat dikatakan
pengembangan
sumberdaya
manusia
mengandung
pengertian
upaya
meningkatkan keterlibatan manusia dalam proses pembangunan. Louis Emmerij dlkutip dari Effendi (1993) merumuskan pengembangan sumberdaya manusia merupakan tindakan: (1) kreasi sumberdaya manusia; (2) pengembangannya; dan (3) menyusun struktur insentif sesuai dengan peluang kerja yang ada. Pengertian ini mengandung upaya untuk memproduksi sumberdaya manusia yang berkualitas melalui pendidikan formal dan latihan serta pemanfaatan sumberdaya tersebut. CIDA (Canadian International Development Agency) dalam Effen& (1993) mengemukakan pengembangan sumberdaya manusia menekankan manusia baik sebagai alat maupun tujuan akhlr pembangunan. Dalam konteks organisasi, sumberdaya manusia adalah orang-orang yang dipekerjakan dalam organisasi. Nadler (Gilley dan Eggand, 1989) mengatakan konsep sumberdaya manusia mengacu pada pandangan yang holistik tentang proses sumberdaya manusia. Konsep sumberdaya manusia memisahkan sumberdaya manusia menjadi tiga kategori yaitu: (1) pemanfaatan sumberdaya manusia; (2) perencanaan sumberdaya manusia; dan (3) peramalan dan pengembangan sumberdaya manusia. Simanjuntak (1985) mengatakan sumberdaya manusia (humn resources) mengandung dua pengertian: pertama, sumberdaya manusia mengandung pengertian usaha kerja atau jasa yang dapat diberikan dalam proses produksi; kedua, sumberdaya manusia menyangkut manusia yang mampu bekerja untuk memberikan jasa atau usaha kerja tersebut. Misi pengembangan sumberdaya manusia adalah: (1) menyediakan pengembangan individu; (2) pengembangan karier; dan (3) pengembangan organisasi (Gilley dan Eggland, 1989). Effendi (1993) mengemukakan dua pendekatan pengembangan sumberdaya manusia yaitu: (1) pendekatan terpadu dan (2) pendekatan pemecahan masalah.
Pendekatan pengembangan sumberdaya manusia terpadu mencangkup proses interaktif antara demografi dan sistem sosio-ekonomik, artinya sesuai dengan program, kebijakan, pengembangan strateg peluang kerja. Fokus utama pendekatan ini adalah berusaha menjamin bahwa dalam proses pembangunan tidak ada sumberdaya manusia yang tidak dan h a n g dimanfaatkan. Pendekatan pemecahan masalah, para pelaku pembangunan dituntut untuk menguasai pennasalahan pembangunan dan mampu memecahkan masalah-masalah pembangunan secara tepat dan menjadikan pelaku ini sebagai sumber pembangunan yang efektif.
Arab Pengembangan Sumberdaya Manusia
Setiap organisasi beroperasi dengan mengkombinasikan sumberdayanya dengan cara tertentu sehingga dapat menghasilkan barang atau jasa yang diperlukan oleh pelanggannya. Simamora (1995) mengatakan sumberdaya yang duniliki oleh suatu organisasi &pat dlkategorikan empat jenis yaitu: (1) sumberdaya finansial; (2) sumberdaya fisik; (3) sumberdaya manusia; dan (4) sumberdaya teknologi dm
sistem. Sumberdaya yang paling penting dalam organisasi adalah sumberdaya manusia dan merupakan elemen yang selalu ada dalam setiap organisasi. Memasulu abad ke 21, lingkungan strategs pembangunan lebih kompleks, tingkat kompetisi tinggi, faktor ketidak pastian relatif tinggi. Kondisi ini menuntut kualitas sumberdaya manusia tertentu untuk dapat menghadapi tantangan tersebut. Karakteristik manusia Indonesia yang tangguh dalam era globalisasi meliputi, ethos keja tinggi, prestatif, peka dan tanggap terhadap perubahan, inovatif, religus, fleksibel, mempunyai jati &ri dan kemampuan mengendalikan dlri (Sukardl, 1993). Disamping itu, juga diperlukan manusia Indonesia yang produktif (Hendrojuwono, 1996).
Manusia produktif adalah individu yang m m p u menghasilkan kuantitas dan kualitas tampilan kej a optimal dengan menggunakan sumberdaya secara efisien. Artinya indwidu terdorong untuk berprestasi secara optimal untuk menghasilkan suatu barang atau jasa dengan memperhitungkan biaya yang dipergunakan. Rasa puas yang diperoleh dari prestasinya itu lebih berupa kepuasan terhadap hasil karya nya, dan pada imbalan yang diperolehnya. Faktor yang mempengaruhl yaitu kultur belajar dan penggunaan tim-tim yang kooperatif secara luas dalam organisasi. Menurut Erich dan Gilmore yang dlkutip Sedarmayanti (Umar Husein, 1998) ciri-ciri individu produktif adalah: (1) konstruktif; (2) percaya diri; (3) rasa tanggung jawab; (4) rasa cinta terhadap pekerjaan; (5) berpandangan ke depan, (6) mampu menyelesaikan persoalan; (7) &pat menyesuaikan din dengan lingkungan yang berubah; (8) mempunyai kontribusi positif terhadap lingkungan; dan (9) mempunyai kekuatan untuk mewujudkan potensinya. Pekerti (1996) mengungkapkan tujuan pokok yang hams dicapai d a l m pengembangan sumberdaya manusia di Indonesia adalah: (1) meningkatkan taraf pendidikan rata-rata orang Indonesia; (2) memperbesar persentase yang berpendidikan SLTA, Perguruan Tinggi, dan yang berpenhdikan sains dan teknik; (3) mengembangkan kesempatan pendidikan bermutu; dan (4) mengembangkan
kesempatan latihan yang dapat mencocokkan kebutuhan dan pasokan tenaga kerja. Keempat tujuan tersebut di atas lebih mudah terwujud kalau banyak orang Indonesia dlberi kesem- patan dan dipicu menjadi pembelajar mandiri.
Penyuluhan Pertanian dan Pemberdayaan Penyuluh Pertanian "Pemberdayaan" menpakan terjemahan empowerment adalah sebuah konsep yang lahir sebagai bagan dari perkembangan alam pikiran masyarakat dan kebudayaan Barat, utamanya Eropa. Penggunaan konsep pemberdayan merupakan
upaya menjadikan suasana kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi semakin efektif secara struktural, baik dalam kehidupan keluarga, masyarakat, negara, regional, intemasional, maupun dalam bidang politik, ekonomi, dan bidang yang lain (Pranarka dan Vidhyandika, 1996). Ide menempatkan manusia lebih sebagai subyek dari dunianya sendri mendasari dibakukannya konsep pemberdayaan. Proses pemberdayaan manusia mengandung dua kecenderungan. Pertama, proses pemberdayaan yang menekankan kepada proses memberikan atau mengalihkan sebagan kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya. Kedua, pemberdayaan menekankan pada proses menstimulasi, mendorong, atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan untuk menentukan pilihan hidupnya melalui proses dialog. Di dalam kosa pembangunan, konsep pemberdayaan memiliki perspektif yang lebih luas. Pearse dan Stiefel (Pranarka dan Vidhyandika, 1996) mengatakan pemberdayaan menghormati kebinekaan, kekhasan lokal, dekonsentrasi kekuatan, dan peningkatan kemandirian mempakan bentuk-bentuk
pemberdayaan
partisipatif. Paul (1987) mengatakan pemberdayaan berarti pembagian kekuasaan yang adil sehingga meningkatkan kesadaran politis dan kekuasaan kelompok yang lemah serta memperbesar pengaruh mereka terhadap "proses clan hasil-hasil pembangunan." Dari perspektif lingkungan, pemberdayaan mengacu pada pengamanan akses terhadap sumberdaya alam dan pengelolaannya secara berkelanjutan. Disamping pemahaman tersebut melek huruf (Irteracy) dapat diinterpretasikan juga sebagai sumber pemberdayaan rakyat. Sen dan Grown (Pranarka dan Vidhyandika, 1996) menganggap pemberdayaan sebagai alat untuk mencapai tujuan (a means to an end). Ife (1995) mengatakan pemberdayaan sebagai upaya memberikan dan meningkatkan kekuasaan bagi yang kurang beruntung. Dalam
perspehf manajemen, pemberdayaan adalah upaya memberikan otonomi, wewenang, dan kepercayaan kepada setiap individu dalam suatu organisasi, serta mendorong mereka untuk kreatif agar dapat merarnpungkan tugasnya sebaik mungkin. Stamatis (Tjiptono, 1997) pemberdayaan &pat ditinjau dari dua perspektif. Pertama "empowennent" dengan "e kecil" yaitu memberdayakan para karyawantpegawai. Kedua "empowerment" dengan huruf "E besaf' yaitu memberdayakan para anggota tim. Mewujudkan pemberdayaan tipe ini, dibutuhkan pelatihan yang tepat dan intensif. Kualitas pelatihan atau belajar mengajar merupakan faktor kunci pemberdayaan sumberdaya manusia dalarn suatu organisasi. Kualitas proses belajar mengajar dapat diketahui dari efisiensi pencapaian tujuan belajar baik jangka pendek maupun jangka panjang. Klusmeier dan Goodwin (1966) mengatakan faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi pencapaian tujuan belajar adalah: (1) karakteristik pengajar; (2) perilaku pelajar dan pengajar; (3) karakteristik fisik; (4) karakteristik pelajar psikomotor; (5)
materi pelajaran; (6) karateristik kelompok belajar; dan (7) dorongan luar. Purwanto (1998) mengatakan faktor-faktor yang mempengaruhi proses dan hasil belajar adalah: (1) faktor-faktor luar meliputi: keadaan dam; sosial; bahan pelajaran; pengajar; sarana dan fasilitas; manajemen; dan (2) faktor-faktor &lam meliputi: kondisi fisik; kondisi panca indera; bakat; minat; kecerdasan; motivasi; kemampuan kognitif Berdasarkan uraian tersebut di atas, batasan pemberdayaan cakupannya relatif luas. Batasan pemberdayaan dalam arti sempit berkaitan dengan pendidikan antara lain dikemukakan oleh Mertens dan Yarnger (Babari dan Prijono, 1996) yang berpendapat bahwa pemberdayaan merupakan jalan menuju profesionalisme dengan standar profesional. Goodman (Babari dan Prijono, 1996)
mengatakan pemberdayaan adalah " a more active and critical approach towards teaching. "
Proses pemberdayaan &lam konteks aktualisasi atau pengembangan diri yang berkaitan dengan upaya meningkatkan kemampuan individu, dikemukakan oleh Glickman (Babari dan Prijono, 1996) sebagai
"
internal control and
individually divergent pratice, solving problems independently. "F'roses ini tidak
hanya meliputi pemberdayaan individu, melainkan juga mencangkup upaya pemberdayaan orang lain, seperti yang dikemukdcan oleh Weissglass (1990) "a proces of support ing people to construct new meanings and exercise their freedom to choose." Irwin (1995) mengemukakan "empowering other people means giving them a chance to make their special contribution. Your cotribution may be a particular insight, a particular talent, a particular energy, a particular loving way to be with people. " Robinson (1994) mengemukakan "empowerment is a personal and social process, a liberating sense of one's own strengts, competence, creativiy, and freedom of action; to be empowered is to feel power surging into one from other people andfrom inside, speczfically the power to act and grow, to become, more firlly human " Ja& pemberdayaan pada hakikatnya
memberikan kesempatan dan kemampuan kepada individu sehingga individu tersebut mampu mengaktuali- sasikan dirinya. Nadler (Atmosoeprapto, 1999) mengatakan bahwa pemberdayaan sumberdaya manusia dapat dilaksanakan melalui kegiatan: pelatihan, pendidikan, dan pengembangan kemarnpuan serta motivasi. Babari dm Prijono (1996) mengemukakan proses pemberdayaan di bidang pendidikan merupakan pendekatan holistlk yang meliputi pemberdayaan sumber daya manusia, sistem belajar mengajar, institusi atau lembaga pendidikan dengan segala sarana dan prasarana pendukungnya.
Pendidikan dan latihan sebagai sarana pemberdayaan sumberdaya manusia, dapat juga didekati dari teori human capital. Dalam pengembangan organisasi investasi juga dapat dilakukan dalam sumberdaya manusia. Prinsip investasi di bidang usaha adalah mengorbankan konsumsi pada saat investasi dilakukan untuk mendapatkan tingkat konsumsi yang lebih tinggi beberapa waktu kemuchan (Simanjuntak, 1985). Penerapan teori tersebut &pat dilakukan &lam ha1 (1) pendidikan d m latihan; (2) migrasi; dan (3) perbaikan gizi serta kesehatan. Pendidikan dan latihan merupakan salah satu faktor yang penting &lam pengembangan sumberdaya manusia. Pendidlkan dan latihan tidak saja menambah pengetahuan, juga
meningkatkan keterampilan bekerja, sehingga dapat
meningkatkan produktivitas kerja (Simanjuntak, 1985). Hubungan antara pendidikan dengan produktivitas kerja tercermin &lam tingkat penghasilan. Disamping itu pemberdayaan juga merupakan kunci utama motivasi dan produktivitas (Tjiptono dan Anastasia, 1996). Pendidikan dsebut bermutu jika mempunyai salah satu atau lebih dan ciriciri berikut (1) peserta didik menunjukkan tingkat penguasaan yang tinggi terhadap tugas-tugas yang hams dikuasainya, (2) hasil pendidikan sesuai dengan kebutuhan peserta didik dalam kehidupannya, dan (3) hasil pendidikan relevan dengan tuntutan lingkungan khususnya dengan dunia kerja (Babari dan F'rijono, 1996). Dalam pandangan kontemporer, ukuran efisiensi pendidikan dan latihan bukan hanya biaya, melainkan juga keefektifan atau kualitas hasil pendidikan dan latihan.
Profesionalisme Arah Pengembangan Penyuluh Pertanian
Pertanyaan pertama yang perlu dijawab, sebelum mendefinisikan profesional, profesi dan profesionalisme adalah, apakah penyuluhan pertanian merupakan suatu profesi? Terminologi tersebut menjadl semacam istilah kunci bagi
kehidupan modem. Profesional adalah pedoman moral yang menuntun dan mengontrol manusia agar selalu bertanggung jawab, jujur, proporsional, loyal, tegas, konsisten, keikatan, berani, kreatif, inovatif, waspada, efektif, etis, estetis, efisien, kredibilitas, bonafiditas, integritas (Imran dan Ganang, 1999). Wahjosumidjo (1993) mengatakan profesi adalah suatu jenis pekerjaan karena sifatnya menuntut adanya standar keahlian serta dukungan perilaku tertentu. Orang profesional adalah orang yang melakukan suatu pekejaan puma waktu dan hidup dan pekejaan itu dengan mengandalkan keahlian dan keterampilan yang tinggi serta punya komitmen pribad yang mendalam atas pekerjaan tersebut. Komitmen pribadi melahirkan tanggung jawab yang besar dan mendalam atas pekerjaannya itu. Profesionalisme mengandung pengertian kecakapan, keahlian, dan disiplin (Anoraga, 1998). Kamus Webster Amerika menegaskan profesionalisme adalah suatu tingkah laku, suatu tujuan atau rangkaian kualitas yang menandai atau melukiskan coraknya suatu "profesi" (The conduct, aims or qualities, that characterize a profession). Profesionalisme juga mengandung pengertian menjalankan
suatu profesi untuk keuntungan atau sumber penghdupan. Wilcox dan Ebbs (Henry, 1994) kata profesional mempunyai hubungan historis dengan masyarakat religius yang taat pada perilaku baik. Menurut Keraf (1998) paling kurang ada tiga ha1 yang membedakan pekejaan seorang profesional, sebagai sebuah profesi dan pekejaan sebagai sebuah hobi. Pertama, pekejaan sebagai hobi dijalankan terutama demi kepuasan
dan kepentingan pribadi. Kedua, pekejaan sebagai hobi tidak punya dampak dan kaitan langsung yang serius dengan kehidupan dan kepentingan orang lain. Ketiga, pekejaan sebagai hobi bukan merupakan sumber utama nafkah hidupnya.
Profesi, menuntut ketekunan, keuletan, disiplin, komitmen dan irama kerja yang pasti, karena pekejaan itu melibatkan secara langsung pihak-pihak lain.
Untuk bisa melibatkan selwuh drinya beserta keahlian dan keterampilannya demi keberhasilan pekerjaannya, maka orang profesional hams mempunyai disiplin keja yang tinggi. Perilaku profesional selalu dalam kerangka moral dan pertanggung jawaban, integntas moral, kredibilitas dan hormat pa& orang lain, merupakan konsep sentral perilaku profesional (Hemy, 1990). Nitibaskara (1999) mengatakan bahwa profesionalisme dicirikan oleh adanya expertise, responsibility dan corporateness, yang terwujud dalam perilaku kemauan kuat untuk selalu menampilkan perilaku ideal, dorongan yang kuat untuk meningkatkan citra profesi, kecenderungan untuk memanfatkan setiap kesempatan guna mengembangkan profesionalisme, rasa bangga terhadap profesinya dan motivasi yang kuat untuk mewujudkan tujuan. Keberadaan suatu profesi dan profesionalisme didasarkan atas kebutuhan, keinginan, kesukaan, nilai dan keingnan umat manusia. Diferensiasi tenaga kej a juga menghendalu adanya profesi dan profesionalisme. Peranan profesi dan profesionalisme dalam masyarakat adalah untuk memuaskan anggota masyarakat dan mempromosikan hal-ha1 yang dianggap menguntungkan masyarakat (Heta dan Matti, 1994). Profesionalisme menuntut pengakuan masyarakat yang dlayani. Tindakan-tindakan profesional dapat diukur dengan cara membandingkan antara tingkat kepuasan dengan kerugian yang dirasakan oleh anggota masyarakat yang dilayani sebagai alubat dari tindakan tersebut. Perwujudan perilaku profesional dalam suatu organisasi atau masyarakat, sangat dipengaruhi oleh sikap dan nilainilai profesional yang dianut. Benveniste (1987) mengatakan sikap dan nilai-nilai profesional adalah. (1) yakin profesinya sebagai kelompok acuan yang penting dalarn ha1 ide dan kebQaksanaan; (2) yakin pelayanan terhadap masyarakat akan menguntungkan masyarakat sendiri; (3) keinginan otonomi dalam lingkungan keja; (4) lebih
senang mengatur din sendiri; dan (5) pengabdian serta komitmen pada pekerjaan walaupun penghargaan kurang memadai. Orang profesional adalah orang yang diandalkan dan dpercaya oleh masyarakat. Karena, disatu pihak masyarakat tidak bisa melayani drinya sendiri, di pihak lain karena orang profesional mempunyai keahlian dan ketrampilan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Ini berarti masyarakat percaya bahwa kaum profesional membenkan pelayanan bermutu. Lebih dari itu, orang profesional juga diandalkan dan dpercaya masyarakat karena mempunyai komitmen moral, serta tanggung jawab mendalam atas pekerjaannya. Dengan demikian profesi memang sebuah pekejaan, tetapi sekaligus tidak sama dengan pekerjaan pada umumnya. Profesi mempunyai tuntutan sangat tinggi, bukan hanya dari luar melainkan juga dari &lam &ri orang itu sendiri. Tuntutan ini menyangkut tidak hanya keahlian, melainkan juga komitmen moral, tanggung jawab, keseriusan, disiplin, dan integritas pribadi. Menurut Keraf (1998), Benveniste (1987), Andrew dan Brandies, Louis (Wahjosumidjo, 1993) ada beberapa ciri umum sebuah profesi yaitu: (1) adanya keahlian dan keterampilan khusus, (2) adanya komitmen moral yang tinggi; (3) biasanya orang profesional adalah orang yang hldup dari profesinya; (4) adanya pengabdian kepada masyarakat; (5) pada profesi luhur biasanya ada izin khusus untuk menjalankan profesi tersebut; 6) kaum profesional biasanya menjadi anggota dari suatu organisasi profesi; (7) adanya pengakuan oleh masyarakat; clan (8) adanya standar kualifikasi profesi. Anoraga (1998) mengatakan beberapa ciri profesionalisme yaitu: (1) menghendaki sifat mengejar kesempurnaan hasil; (2) memerlukan kesungguhan dan ketelitian kej a yang hanya dapat diperoleh melalui pengalaman dan kebiasaan; (3) menuntut ketekunan dan ketabahan; (4) memerlukan integritas tinggi yang tidak
tergoyahkan oleh "keadaan terpaksa" atau godaan iman seperti harta dan kenikmatan hidup; dan (5) memerlukan adanya kebulatan pikiran dan perbuatan. Lieberman (Ryan dan Cooper, 1984) profesi diartikan sebagai lebih dari sekelompok individu yang bergabung dalam pekerjaan yang sama dengan ciri-ciri sebagai berikut: (1) profesi memiliki ciri unik dan penting dalam pelayanan sosial; (2) profesi ada berdasarkan keterampilan intelektual dalam menampilkan pelayanan; (3) profesi membutuhkan pelatihan keterampilan yang memerlukan
waktu cukup panjang; (4) baik anggota dari profesi dan kelompok profesional memiliki derajat otonomi dan otoritas untuk mengambil keputusan', (5) anggota dari suatu profesi hams memiliki tanggung jawab profesi untuk tindakan-tindakan dan keputusan-keputusannya; (6) profesi menekankan pelayanan dari pada balas
jasa finansialnya; (7) profesi mengatur dirinya sendiri dan bertanggung jawab untuk menentukan tingkatannya sendiri; dan (8) profesi memiliki kode etik yang mengatur perilaku yang dapat diterima oleh anggota-anggotanya. Berdasarkan uraian tentang konsepkonsep profesi tersebut di atas maka disimpulkan bahwa pekerjaan penyuluhan pertanian merupakan profesi, walaupun dalam operasionalnya di Indonesia belum sepadan dengan konsep profesi. Keraf (1998) mengatakan empat prinsip etika suatu profesi yaitu: (I) prinsip tanggunglawab; (2) prinsip keadilan; (3) prinsip otonomi; dan (4) prinsip integritas moral. Prinsip otonomi dibatasi oleh prinsip tanggung jawab, komitmen profesional dan tidak merugikan kepentingan umum. Berdasarkan ciri-ciri profesi, maka hanya Penyuluh Pertanian profesional yang mampu menghadapi tantangan pembangunan pertanian pada era globalisasi yang penuh persaingan.
Ethos Kerja Penentu Penyuluh Pertanian Profesional Sejak terbitnya buku karangan Max Weber yang berjudul The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism (1958) dikutip dari Mubyarto et al. (1993),
masalah ethos keja suatu etnik atau suku bangsa, dan pengaruhnya terhadap perkembangan etnik atau bangsa itu, menarik perhatian para ahli ilmu sosial. Weber mengatakan bahwa ada kaitan antara perkembangan suatu masyarakat dengan sikap dari masyarakat itu terhadap makna keja. Weber (Sinamo, 1999) mengatakan intisari ethos kerja Jerman adalah: rasional, disiplin tinggi, kerja keras, berorientasi pada kesuksesan material, hemat dan bersahaja, tidak mengumbar kesenangan, menabung dan berinvestasi. Sedangkan ethos kej a orang Jepang menghayati bushido sebagai ethos kej a . Tujuh prinsip dalam bushido yaitu: (1) keputusan benar diambil dari sikap yang benar dan kebenaran; (2) berani; (3) murah hati, mencintai dan bersikap baik terhadap sesama; (4) bersikap santun, bertindak benar; (5) tulus dan sungguh tanpa pamerih; (6) menjaga kehormatan, martabat, kemuliaan; dan (7) mengabdi, serta loyal (Sinamo, 1999). Paradigma tersebut mengajarkan bahwa semakin tinggi ethos kej a yang dimanifestasikan dalam kemauan bekerja keras dan hidup hemat serta sederhana, maka semakin besar kemungkinan berhasil &lam usaha-usaha pembangunan. Nilai-nilai seseorang terhadap kerja menentukan sikapnya terhadap keja dan sikap tersebut menentukan arah perilaku keja yang bersangkutan (Steers el al., 1996). Ethos keja sebagai suatu pendorong keberhasilan usaha pembangunan pada kenyataan empiriknya tidak sesederhana seperti yang dikonseptualisasikan oleh Weber. Seperti diuraikan oleh Alatas, ethos keja bukan suatu fenomena kebudayaan, melainkan suatu fenomena sosiologis yang eksistensinya timbul sebagai &bat dari struktur sosial ekonomi tertentu dalam suatu sistem sosial. Soewarso et al. (1996) menunjukkan bahwa tinggi rendahnya ethos kerja suatu masyarakat &pengaruhi oleh struktur ekonomi, sosial dan politik yang mampu
memberikan insentif bagi anggota masyarakat untuk bekerja keras dan menikmati hasil kerja keras mereka dengan penuh. Secara etymologi ethos kerja sama dengan etika kerja. Istilah "etika" berasal dari bahasa Yunani kuno. Kata ethos dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti: tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah adat kebiasaan (Bertens, 1999; Franz Magnis-Suseno, 1987; Keraf, 1998). Bagus Lorens (1996) mendetinisikan etika sama dengan kebiasaan, praktek. Haniman (1995) mendefinisikan ethos sebagai pandangan atau semangat karakteristik suatu masyarakat, sistem nilai yang menjadi latar belakang (adat istiadat, tata cara suatu kelompok). Kata yang paling dekat dengan "etika" adalah "moral". Kata "moral" berasal dari bahasa Latin mos (lamak mores) berarti: kebiasaan, adat. Jadi e t i m o l o ~kata "etika" sama dengan etimologi kata "moral", karena keduanya berasal dari kata yang berarti adat kebiasaan. Dalam pengertian etika yang berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik. Ini berarti etika berkaitan dengan nilai-nilai, tata cara hidup yang baik, aturan hidup yang baik, dan segala kebiasaan yang dianut dan diwariskan dari satu orang ke orang yang lain atau dari satu generasi ke generasi yang lain. Kebiasaan ini lalu terungkap dalam perilaku berpola yang terus berulang sebagai sebuah kebiasaan. Etika dalam pengertian yang lain jauh lebih luas dari dari moralitas dan etika dalam pengertian tad. Etika dalam pengertian ini dimengerti sebagai filsafat moral, atau Ilmu yang membahas dan mengkaji nilai dan norma yang diberikan oleh moralitas dan etika dalam pengertian pertama (Franz Magnis-Suseno, 1987). Dalam etika melekat nilai-nilai keutamaan (v~rtue).Keutamaan merupakan disposisi watak yang melekat pada dlri seseorang, yang memungkinkannya bertingkah laku moralis (Bertens, 1997).
Perilaku profesional dan etis merupakan roh keludupan modem dan demokrasi merupakan roh profesionalisme (Atmaja, 1999). Prinsipprinsip etika dalam lingkungan kerja mempenganh suasana keja suatu organisasi. Pfeiffer dan Ralph (1993) mengatakan beberapa prinsip &lam lingkungan kerja antara lain: prinsip kejujuran, prinsip tidak merugikan orang lain, prinsip loyalitas, prinsip otonomi, prinsip kerahasiaan, prinsip ketaatan pada aturan. Konsep ethos kerja mengandung dua kata yaitu: ethos dan kerja. Pengertian ethos sudah diuraikan di atas. Pengertian keja dikaitkan dengan konsep ethos kerja. Kerja merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia (Anoraga, 1998). Franz Magnis-Suseno mengartikan pekerjaan sebagai kegiatan yang direncanakan.
Pekejaan itu memerlukan pemikiran yang khusus dan tidak dapat dijalankan oleh binatang. Hegel (1770-1831) yang dikutip dari Anoraga (1998), mengatakan inti pekerjaan adalah kesadaran manusia. Smith (Anoraga, 1998) mendefinisikan kerja sebagai kegiatan-kegatan yang bermotifkan kebutuhan ekonomi. Brown berpendapat, keja itu sesungguhnya merupakan bagian penting dari kehidupan manusia, kerja memberikan status kepada masyarakat. Keja itu sesungguhnya adalah suatu kegiatan sosial. Dengan demikian tidak semua orang bekerja karena membutuhkan uang. Laurence (Goestiandi, 1999) menegaskan bahwa dimensi terdalam pekerjaan bukanlah jabatan atau karier profesional semata, tetapi panggilan. Sebagai panggilan, pekerjaan lebih dari sekedar lahan untuk mendapatkan penghasilan dan gengsi. Aktivitas tersebut adalah wahana pemanfaatan talenta untuk memberi arti bagi lingkungannya, sekaligus mendatangkan kesenangan b a g din senkri. Anoraga (1998) mengatakan bekerja merupakan sarana untuk menuju ke arah terpenuhinya kepuasan pribadi dengan jalan memperoleh kekuasaan dan menggunakan kekuasaan itu pada orang lain.
Apa yang dimaksudkan dengan ethos kerja? Franz Magnis-Suseno et al. (1996) mendefinisikan ethos kerja sebagai sikap dasar seseorang atau sekelompok orang dalam melakukan pekerjaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997) ethos kerja didefinisikan sebagai, cara pandang atau semangat kerja yang menjadi ciri khas individu atau kelompok orang. Taufik Abdullah (Soewarso et a l , 1996) mengemukakan ethos kerja adalah alat dalam pemilihan. Anoraga (1998) mendefinisikan ethos kerja sebagai suatu pandangan dan sikap suatu bangsa atau umat terhadap keja. Orang-orang yang mempunyai ethos kerja tinggi, cenderung menyukai pekerjaan dan memperoleh kepuasan darinya. Mereka biasanya memiliki keikatan yang lebih kuat terhadap organisasi dan tujuan organisasinya dibandingkan dengan para pegawai lainnya (Davis dan John, 1985). Surnber ethos kerja dm nilai-nilai agama dan sekuler. Etika kerja menandas kan bahwa watak dan nilai dan individu-individu dinyatakan dalam pekerjaan yang mereka lakukan (Ravianto, 1990). Gunnar Myrdal (Soewarso et al., 1996) mengemukakan secara umum indikator perilaku yang mencerminkan ethos kerja tinggi meliputi: efisien, rajin, trampil, sikap tekun, tepat waktu, kesederhanaan, kejujuran, sikap mengakui rasio dalam mengambil keputusan dan tindakan, kesediaan untuk berubah, kegesitan dalam menggunakan kesempatan-kesempatan yang muncul, sikap bekerja secara energis, sikap bersandar pada kekuatan sendiri, percaya diri, sikap mau bekeja sama, dan kesediaan mau memandang jauh ke masa depan. Berdasarkan uraian konsep ethos kerja di atas, disimpulkan bahwa ethos kerja merupakan penentu konsep profesional, dan ethos kerja individu atau kelompok, tidak dominan ditentukan oleh faktor budaya yang dianut oleh individu bersangkutan tetapi juga ditentukan oleh s t r u b ekonomi, sosial dan politik yang berlaku dalam masyarakat. Dengan demikian ethos keja yang tinggi dapat
dibentuk melalui proses proses tertentu, dengan memperhatikan faktor-faktor yang berpengaruh.
Kompetensi
Kompetensi merupakan kemampuan untuk melaksanakan tugas-tugas secara efektif dan kompetensi merupakan refleksi dari kinerja (Willis dan Samuel, 1990). Klemp (Boyatzis 1982) mengatakan "A job competency is an underlying character istic of a person wich results in efective and or superior pe$ormance in a job. A job competency is an underlying characteristc of a person in that it may be a motive, trait, skill, aspect of one S self image or social role, or a body of know ledge which he or she uses. " Dengan demikian kompetensi kerja adalah
segala sesdtu pada individu yang menyebabkan kinerja yang prima. Gilley dan Eggland (1989), mengatakan kompetensi sebagai kemampuan yang dlmiliki seseorang, sehingga yang bersangkutan dapat menyelesaikan perannya. Pengetahuan-pengetahuan khusus yang mencerminkan berbagai kompetensi belum &pat dikatakan sebagai kompetensi kerja. Secara harafiah, pengetahuan mengacu kepada kumpulan informasi. Kemampuan menggunakan pengetahuanpengetahuan khusus secara efektif merupakan hasil menggunakan pengetahuan yang lain (Boyatzis, 1982). Pengetahuan khusus dapat dipertimbangkan sebagai kompetensi dengan dua alasan yaitu: pertama, dalam pengetahuan khusus tersebut terdapat perbedaan tingkat pengetahuan dan kedua, ada konsep serta fakta khusus yang dapat dipergunakan untuk menunjukkan kompetensi yang lain. Perbedaan tingkat pengetahuan ada pada tingkat: (1) motif dan sifat; (2) citra diri, peran; dan
(3) keterampilan. Dalam menelaah performansi Penyuluh Pertanian ada dua konsep yang relevan &bahas selain konsep kompetensi yaitu: konsep kemampuan (ability) dan keterampilan (skill). Konsep kemampuan menggambarkan suatu sifat (bawaan
atau dipelajari) yang memunglunkan seseorang untuk melakukan sesuatu yang bersifat mental atau fisik (MM-UGM). Keterampilan adalah kompetensi yang berkaitan dengan tugas (MM-UGM). Boyatzis (1982) mengatakan keterampilan adalah kemarnpuan untuk melaksanakan suatu sistem clan perilaku sistematis yang relevan untuk mencapai tujuan. Tindakan atau perilaku spesifik merupakan penvujudan kompetensi kerja dalam ha1 diperlukan dalam jenis-jenis pekerjaan tertentu atau spesifik dan dalam lingkungan organisasi tertentu. Dengan demikian pendefinisian kompetensi kerja ber dimensi waktu, tempat atau organisasi dan jenis pekerjaan. Boyatzis (1982) mengatakan "to deJine a competency, we must determine what the actions were and their place in a system and sequence of behavior and what the results or effects were and what the intent or meaning of the actions and results were.
1,
Batasan konsep kompetensi kerja merupakan representasi kemampuan. Kumpulan kompetensi seseorang merefleksikan kemampuannya. Hal tersebut menggambarkan mereka &pat mengerjakan apa. Dengan demikian kompetensi kerja adalah karakteristik yang menyebabkan kineja k q a yang prima. Hal ini menunjukkan adanya hubungan kausalistis antara kinerja dengan kompetensi. Untuk mengidentifikasi, suatu karakteristik merupakan suatu kompetensi, dapat menggunakan konsep ambang batas kompetensi. Boyatzis (1982) mendefinisikan ambang batas kompetensi adalah "a persons S generic knowledge, motive, trait, self image, social role or skill which is essential to performing a job, but is not caurally related to superior job performance."
Persepsi seseorang terhadap perannya, juga ikut menentukan prestasi yang bersangkutan serta mempunyai hubungan erat dengan ethos kerja dan ciri-ciri kepribadm (Ravianto, 1990). Jadi knteria utama untuk menentukan kompetensi adalah kinerja kerja yang prima.
Motivasi Berprestasi Konsep motivasi prestasi pertama kali dikemukakan oleh Murray pada tahun 1938 dengan istilah "need for achievment" Istilah ini kemudian dipopulerkan oleh Mc Clelland dengan sebutan "n-Ach." Motivasi prestasi adalah dorongan dalam &ri orang-orang untuk mengatasi segala tantangan dan hambatan dalam upaya mencapai tujuan. Need for achievment yang didefinisikan "to accomplish something drflicult, to muter manipulate or organizedphysical object, human beings, or ideas, to do this as rapidly and as indipendently as possible, to overcome obstacles and attaind high standard, to excel one selj to rival and surothers, to increase selfregard by the succesfull exercise oftalent (McClellanQ
1987). Disamping itu Mc Clelland et al. (1976) mendefinisikan motivasi prestasi adalah "the goal some individual to be succesfull in terms of competition with some standard of exellence. The individual may fail to achieve this goal, but the concerns over competition with a standard of exellence still enables one to identify the goal soughts as achievment goal." Sedangkan Gage dan Berliner
(1988) mendefinisikan motivasi prestasi sebagai motivasi untuk sukses baik dalam suatu ha]. Cara seseorang untuk berusaha dengan baik untuk berprestasi dipengaruhi oleh kebudayaan dan pekerjaan. Motivasi berprestasi dapat timbul pada siapa saja dalam tiap kebudayaan atau kelompok kerja. Heckhausen (Praktiknya et al., 1993) mengatakan motif berprestasi sebagai motif yang mendorong individu untuk sukses mencapai tujuan untuk berhasil dalam kompetisi dengan beberapa ukuran keunggulan yang dapat berwujud prestasi diri sen&ri, tetapi bisa juga dibandingkan dengan prestasi orang lain. Mc Clelland (1987) mengatakan individu yang mempunyai motif berprestasi tinggi memiliki sifat-sifat sebagai berikut: (1) men*
pekerjaan
yang menuntut kemampuan dan usaha dari diri sendiri; (2) memiliki antisipasi yang bak terhadap aktivitas yang akan dilakukan, selalu memperhitungkan
terlebih dahulu setiap aktivitas apakah ia mampu atau tidak; (3) selalu ingin mengetahui hasil dari usaha yang dilakukannya. Pratiknya
et al. (1993)
mengatakan indlkasi orang-orang yang mem- punyai motif berprestasi tinggi yaitu: (1) keinginan tinggi untuk berprestasi; (2) percaya pada diri sendiri, tidak senang pada bantuan orang lain; (3) pemikiran atau antisipasi ke depan; (4) keingman untuk mengetahui hasil pekerjaan yang dilakukan; (5) aspirasi (tingkatan sedang yang sesuai dengan kapasitas diri); (6) orientasi pada masa datang; (7) tidak suka membuang waktu; (8) kepercayaan pada diri sendiri, (9) ketangguhan dan keuletan bekerja; dan (10) tanggung jawab yang tinggi.
Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja merupakan seperangkat perasaan seseorang tentang menyenangkan atau tidaknya pekerjaannya (Davis clan John, 1985). Robbins dan Stephen (1998) mengatakan konsep kepuasan kerja mengacu pada sikap umum seseorang terhadap pekerjaannya. Dengan demikian kepuasan kerja bersifat individual. Lawler (Wexley dan Yukl, 1982) rnengatakan ada empat teori yang dapat dipergunakan untuk menjelaskan kepuasan dan ketidakpuasan kerja yaitu: (1) teori ketimpangan (discrepancy theory) menwut teori ini kepuasan dan
ketidak puasan disebab kan karena ada jarak antara apa yang diharapkan dengan apa yang diperoleh; (2) teori kesamaan (equity theory) dikatakan adanya ketidak adilan dalam memberikan imbalan yang menyebabkan ketidak puasan; (3) teori pengaruh sosial (social influence theory) menurut teori ini faktor sosial mempengaruhi kepuasan kerja; dan (4) teori dua faktor (two factor theory). rnenurut teori ini faktor yang menyebabkan kepuasan keja antara lain: pekejaan itu sendiri, prestasi, kemungkinan untuk berkembang, tanggung jawab, kemajuan dalam jabatan dan pengakuan, sedangkan yang lain disebut hiegen faktor yang tidak mempengaruhi kepuasan.
Wexley dan Yukl (1984) mengatakan persepsi individu tentang pekejaan yang seharusnya dan persepsi tentang pekejaan saat ini menentukan kepuasan keja. Persepsi individu tentang pekejaannya dipengaruhi oleh karakteristik individu yang terdiri atas kebutuhan, nilai-nilai, kepribadlan dan lingkungan kej a yang terdiri dari imbalan, pembinaan, pekejaan itu sendiri, kolega, keamanan keja, kesempatan untuk berkembang. Faktor-faktor yang menentukan kepuasan keja adalah: (1) pekejaan yang menantang, (2) penghmgaan yang adil; (3) lingkungan keja yang mendukung; (4) dukungan kawan sekeja, dan (5) kesesuian antara kepribadlan dengan pekejaan. Praktinya et al. (1993) mengatakan bahwa kepemimpinan dan hubungan sosial dalam keja juga menentukan kepuasan keja. Disamping faktor-faktor tersebut di atas, teori karakteristik tugas menjelaskan bahwa karakteristik pekejaan juga menentukan motivasi, kepuasan dan kineja keja seseorang (Robbins, 1998). Lawrence (Robbins, 1998) mengatakan kompleksitas pekerjaan dan pekejaan yang manantang mempengaruhi kepuasan keja. Kema jemukan pekejaan terdiri atas enam karakteristik yaitu: (1) variasi: seberapa jauh yang bersangkutan dapat mengatur aktivitas sesuai dengan tuntutan tugas; (2) otonomi: seberapa banyak usaha yang dituntut untuk melaksanakan pekejaan; (3) tanggung jawab seberapa jauh sikap yang dituntut untuk menyelesaikan tugas; (4) pengetahuan dan keterampilan: seberapa besar keterlibatan mental atau motor slull yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas; (5) interaksi sosial yang dituntut: sejauh mana tugas yang satu dapat berhubungan secara bebas dengan tugas yang lain termasuk individu-individu yang melaksanakan tugas tersebut; dan (6) interaksi sosial pilihan: sejauh mana kebebasan individu melakukan interaksi dalam pekejaan, walaupun interaksi tersebut bukan dalam rangka penyelesaian pekejaan. Makin tinggi nilai karakteristik pekejaan tersebut, makin majemuk pekejaan tersebut.
Hackman dan Oldham (Robbins, 1998) mendefinisikan karakteristik pekerjaan sebagai sifat-sifat khusus yang selalu ada dalam suatu pekerjaan. Model karakteristik pekerjaan yang dapat menjelaskan hubungan antara motivasi, kepuasan dan kinerja seseorang adalah: ( 1 ) variasi ketrampilan: sejauh mana pekerjaan tersebut memerlukan variasi keterampilan; ( 2 ) identitas tugas: sejauh mana pekerjaan tersebut menuntut penyelesaian yang menyeluruh dan mengenal bagian-bagiannya dengan hasil yang dapat diidentifikasi; (3) signifikansi tugas: sejauh mana tugas mempengaruh kehdupan dan pekerjaan orang lain; (4) otonomi: sejauh mana pekerjaan menyediakan kebebasan yang substansial dan kebebasan menilai bagi individu dalam menentukan jadwal, prosedur kerja untuk melaksanakan pekerjaan tersebut; dan (5) umpan balik: sejauh mana individu menerima informasi tentang hasil pekerjaannya dan keefeuifan kinerjanya. Kondlsi psikologis kritis yang perlu disadari, agar terbentuk motivasi intrinsik adalah: ( 1 ) pengalaman akan keberhasilan (meaningfuNness)suatu pekerjaan yang dihasilkan melalui gabungan dari karakteristik variasi keterampilan, identitas tugas, dan simfikansi tugas; ( 2 ) pengalaman akm rasa tanggung jawab terhadap hasil suatu pekerjaan yang diperoleh dari karakteristlk otonomi; dan (3) pengetahuan akan hasil suatu pekerjaan yang diperoleh dari karakteristik umpan balik. Wexley dan Yukl (1984) mengatakan karakteristik pekerjaan sebagai penentu utama tingkat kepuasan terhadap pekejaan. Dalam perkembangan selanjutnya Hackman dan Oldham mengacu kepada kebutuhan pada pertumbuhan (growth needs), pengetahuan dan ketrampilan serta konteks dari kepuasan sebagai
variabel moderator untuk melihat kepuasan kerja. Teori tersebut memprediksi bahwa orang-orang yang memiliki growth needs yang kuat, merespons secara positif terhadap pekerjaan yang sudah dirancang dengan lima dimensi tersebut.
Kepuasan kerja yang tinggi menimbulkan prestasi yang tinggi (Organ, 1996). Davis dan John (1985) mengungkapkan proses hubungan tersebut sebagai berikut: prestasi atau kinerja yang lebih baik secara khas menimbulkan imbalan ekonomi, sosial, dan psikologis yang lebih tinggi. Tingkat kepuasan seseorang dapat menimbulkan komitmen lebih besar atau lebih kecil yang kemudian mempengaruhi upaya-upaya untuk mencapai prestasi. Komitmen terhadap organisasi dan upaya-upaya merupakan mediator hubungan antara kepuasan kerja dengan kinerja atau prestasi.
Harga Diri Pengertian pokok teori pengendalian kesan, menunjukkan pada usaha sadar atau tidak sadar dari sipelaku, untuk mengendalikan "citra" orang tentang dirinya, yang diproyeksikan dalam interaksi sosial, baik yang nyata maupun yang terbayangkan (Schlenker 1980 dalam Suhardono, 1994). Konsep &ri dan harga &ri dua konsep yang sangat penting dalam teori pengendalian kesan. Konsep dlri menunjukkan pada suatu cara, seseorang mengkonsepkan hrinya berdasarkan kriteria yang diperolehnya selama sosialisasi. Konsep diri berhtan dengan kapasitas seseorang untuk memfungsikan seluruh daya yang a& pada dirinya. Potensi dan kemampuannya diupayakan mencapai keluaran yang paling optimal untuk merealisasikan hidupnya. Disamping itu konsep din juga
merupakan
"kerangka kerja"
untuk
mengorganisasikan serta menafsirkan pengalaman-pengalaman dan konsep dlri berfungsi untuk memelihara "rasa penghargaan kepada din sendiri" (selfesteem), dengan cara pengelolaan kesan-kesan, yang timbul pada diri orang lain atas dirinya. Identitas diri berkenaan dengan konsep kedirian menurut apa kata orang luar. Dalam interaksi sosial, identitas &ri menciptakan atau memproyeksikan suatu citra tentang diri, berdasarkan informasi ekstemal tentang diri ini.
Frey dan Carlock (1984) mengatakan ada empat kon&si yang harus dipenuhi dalam pembentukan harga diri yaitu: (1) keterkaitan (connectiveness) yang diperoleh bila individu memperoleh kepuasan dari berhubungan dengan orang-orang signifikan dan penting tidaknya hubungan ini bagi orang-orang signifikan tersebut; (2) keunikan (uniqueness), terjadi apabila individu dikenali dan dihargai kualitasnya yang membuatnya merasa khusus dan berbeda serta bila indlvidu menerima penghargaan dan penerimaan dari orang lain karena kualitas yang &miliki tersebut; (3) kekuatan (power), ha1 ini dirasakan apabila seseorang memiliki kesempatan dan kemampuan untuk m e m p e n b keadaan hidupnya dengan cara-cara yang positif; dan ( 4 ) contoh (model), dengan melihat seorang tokoh &pat membantu membentuk nilai-nilai, sasaran-sasaran, cita-cita yang berarti serta membentuk standar pribadi, memiliki nilai dan keyalunan yang berfungsi membimbing tingkah laku serta memiliki pengalaman yang luas. Dengan menggunakan teori tersebut di atas, harga diri seorang Penyuluh Pertanian ditentukan oleh harga din pribadinya, harga diri dalam berhubungan interpersonal, serta harga diri yang berkaitan dengan profesinya sebagai penyuluh. Harga din sebagai pribadi merupakan penilaian terhadap din sendiri pada keadaannya. Seseorang yang memilih harga din tinggi, merasa bangga dengan dirinya sendiri, mampu bertindak mandiri, mampu menerima tanggung jawab dan juga mampu mentolelir kegagalan. Harga diri berkaitan dengan hubungan interpersonal, seseorang dengan harga &ri tinggi biasanya memiliki hubungan interpersonal yang baik. Harga diri sebagai Penyuluh Pertanian perasaan kompeten sebagai penyuluh, penerimaan diri sebagai Penyuluh Pertanian, pandangan atas prestasinya dan penghargaan masyarakat sebagai Penyuluh Pertanian. Jadi makin tinggi harga din seorang Penyuluh Pertanian, maka makin bangga seorang Penyuluh terhadap profesinya.
Motivasi Perilaku pada dasarnya berorientasi tujuan. Perilaku pada umumnya dimotivasi oleh keinginan untuk memperoleh tujuan tertentu. Tujuan spesifik tidak selamanya disadari oleh yang bersangkutan (Hersey dan Blanchard, 1982). Perilaku merupakan suatu rangkaian aktivitas. Motivasi dapat drterangkan sebagai daya pendorong (driving force) yang menyebabkan orang berbuat sesuatu (Ravianto, 1990). Definisi ini menyamakan antara motivasi dengan motif. Anoraga (1998),mendefinisikan motivasi sebagai "theprocess by which behavior is energized and directed." Batasan tersebut menjelaskan bahwa motivasi
merupakan suatu proses dan proses tersebut mengarahkan. Motivasi merupakan suatu konsep yang kompleks. Szilagyi dan Wallace (1990) mengatakan ada tiga sudut pandang untuk menganalisis motivasi yaitu: (1) analisis motivasi seharusnya ditujukan pada faktor-faktor yang dapat membangkitkan aktivitas;
(2) motivasi merupakan
proses terarah, tertuju pada pilihan, dan tujuan; dan (3) analisis motivasi juga memperhatikan perilaku dmulai, dipertahankan atau berhenti dan bagaimana reaksi subyektif muncul, pada saat kejadian sedang berlangsung. Jadi model dasar motivasi merupakan kesatuan konsep kebutuhan (needs),dorongan (drive),tujuan (goals) dan insentif (rewards).
Motivasi seseorang bergantung pada kuat lemahnya motif. Motif sering chartikan sebagai kebutuhan, keinginan, dorongan, gerak hati dalam din seseorang (Hersey dan Blanchard, 1982; Anoraga, 1998). Motif adalah yang melatar belakangi individu untuk berbuat mencapai tujuan tertentu. Pada esensinya motif me rupakan dorongan utama aktivitas. Kebutuhan yang paling kuat pada saat tertentu, yang menggerakkan aktivitas. Menurut Maslow (Hersey dan Blanchard, 1982), apabila suatu kebutuhan terpenuhl, maka kebutuhan itu tidak lagi motivator
perilaku. Dorongan kebutuhan yang t i n g ~terpenuhi diacu sebagai terpuasi, sehngga kebutuhan lain sekarang lebih potensial. Aktivitas-aktivitas yang timbul karena kebutuhan paling kuat, &pat diklasifikasikan menja& aktivitas yang diarahkan pada tujuan dan aktivitas tujuan. Aktivitas yang diarahkan pada tujuan adalah perilaku termotivasi yang diarahkan untuk mencapai tujuan. Aktivitas tujuan adalah aktivitas dalam pelaksanaan tujuan itu sendiri (Hersey dan Blanchard, 1982). Kekuatan kebutuhan cenderung meningkat pada saat seseorang terlibat dalam aktivitas yang diarahkan pada tujuan. Hubungan antara motif, tujuan, dan aktivitas, menunjukkan suatu situasi motivasi, dimana motif seseorang diarahkan pada pencapaian tujuan. Kekuatan kebutuhan yang mempengaruhi perilaku dpenganh oleh harapan dan ketersediaannya. Harapan cenderung mempengaruhi motif atau kebutuhan dan ketersedlaan cenderung mempengaruhi persepsi tujuan. Harapan adalah
persepsi atas kemungkinan pemenuhan kebutuhan tertentu dari seseorang berdasarkan atas pengalaman masa lampau. Persepsi mengacu pada jumlah pengalaman waktu lalu. Ketersediaan mencerminkan persepsi batasan lingkungan. Hal ini ditentukan oleh persepsi seseorang tentang kemunglunan pencapaian tujuan dapat memenuhi kebutuhan tertentu. Ketersediaan merupakan variabel lingkungan. Teori-teori motivasi dengan pendekatan psikologi, sebagai disposisi penlaku, diklasifkasikan menjadi dua teori yaitu: teori motivasi konten (content motivations theories) dan teori motivasi proses (process motivation theories).
Perhatian utama teori motivasi konten adalah pada pertanyaan apa yang menggerakkan, membangkitkan perilaku seseorang. Berdasarkan teori ini, motif atau kebutuhan yang menggerakkan perilaku seseorang dengan cara tertentu. Motif atau kebutuhan dlanggap sebagai sesuatu yang ada &lam diri seseorang.
Sebagai postulat teori motivasi Maslow bahwa seseorang ditempat kerja termotivasi untuk melakukan sesuatu oleh keinginan untuk memuaskan kebutuhannya. Asumsi-asumsi teori Maslow adalah: (1) kebutuhan-kebutuhan seseorang mempengaruhi perilakunya, hanya kebutuhan yang belurn terpenuhi, yang dapat mempengaruhi perilaku; (2) kebutuhan seseorang diurut berdasarkan kepentingan; dan (3) seseorang memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi setelah kebutuhan yang lebih rendah terpenuhi. Teori ini cukup banyak mendapat kritikan karena bukti empiris sangat sedikit menunjukkan adanya kebutuhan yang bertingkat, secara empiris beberapa kebutuhan dapat muncul bersamaan. Herzberg mengajukan teori dua faktor untuk menjelaskan perilaku. Menurut teori ini tidak semua kebutuhan dapat memuaskan seseorang, dan ada kebutuhan yang tidak memuaskan. Herzberg membagi kebutuhan menjadi dua faktor yaitu: faktor satisfiers (motivator) dan faktor dissatisfiers (hygiene). Hygiene faktor identik dengan kebutuhan yang lebih rendah menurut Maslow. Tidak terpenuhinya kebutuhan ini, hanya menyebabkan ketidakpuasan. Sedangkan terpenuhinya kebutuhan tersebut, hanya mengurangi ketidakpuasan sampai no1 (zero dissatis faction). Menurut teori ini hanya faktor motivator yang berada
dalam pekerjaan itu sendlri yang menyebabkan kepuasan (Szilagyi dan Wallace, 1990). Dalam keterbatasan memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang lebih rendah, maka teori motivasi dua faktor akurasinya lebih tinggi untuk menjelaskan dlsposisi perilaku seseorang dalam suatu organisasi. Teori motivasi proses untuk menjelaskan perilaku, perhatiannya bukan hanya pada faktor-faktor yang dapat menimbulkan perilaku, tetapi juga proses, arah atau pilihan pola perilaku. Dalam penelitian ini, teori yang &an dlpergunakan untuk memahami pola perilaku penyuluh pertanian dalam meningkatkan profesionalismenya adalah teori motivasi harapan Vroom. Teori ini menjelaskan bubungan antara upaya, prestasi dengan penghargaan. Beberapa
konsep yang diperlukan untuk memahami teori motivasi harapan Vroom adalah: (1) harapan adalah tingkat keyahnan bahwa upaya-upaya yang dilaksanakan
mencapai prestasi tertentu; (2) instrument- ality mengacu pada seberapa jauh hubungan antara tingkat prestasi yang dicapai dengan kemungkinan mendapatkan penghargaan; (3) valensi adalah tingkat kesukaan seseorang terhadap penghargaan yang ada; dan (4) kekuatan melaksanakan adalah hasil perkalian antara ketiga nilai tersebut, yang mencerminkan seberapa jauh kerja keras yang akan ditunjukkan oleh orang bersangkutan. Menurut teori ini prestasi mempakan perkalian antara kekuatan melaksanakan atau motivasi dengan kemampuan. Orang-orang yang termotivasi bekerja dapat hlihat dari: (1) kemampuan kerjanya; (2) semangat atau moral kerja, (3) rasa kebersamaan dalam kehidupan kelompok; (4) prestasi dan produktivitas kerja. Lyman dan Raymond (Wahjosurnidjo, 1993) mengatakan ada tiga faktor utama yang berpengaruh pada motivasi yaitu: (1) ciri-ciri pribadi seseorang; (2) tingkat dan jenis pekerjaan; dan (3) lingkungan kerja. Sumber lain mengatakan, bahwa di dalam motivasi terdapat suatu rangkaian interaksi antar berbagai faktor (Wahjosumidjo, 1993). Faktor-faktor tersebut antara lain: (1) individu dengan segala unsurnya; (2) situasi dimana individu bekerja, (3) proses penyesuaian yang hams
dilakukan
oleh
masing-masing individu,
terhadap pelaksanaan
pekerjaannya; (4) pengaruh yang datang dari berbagai pihak; (5) reaksi yang timbul terhadap pengamh individu; (6) perilaku atas perbuatan yang ditampilkan oleh individu; dan (7) timbulnya persepsi dan banglutnya kebutuhan baru, citacita dan tujuan.
Kepribadian Allport (Suryabrata, 1993 dan Supratiknya, 1993) mengatakan struktur kepribadian dinyatakan dalam sifat-sifat dan tingkah laku didorong oleh sifat-sifat tersebut. Kepribadian adalah organisasi dlnamis &lam individu sebagai suatu sistem psikofisis yang menentukan caranya yang khas dalam menyesuaikan din terhadap lingkungannya (Suryabrata, 1993; Supratiknya, 1993; Irwanto et al., 1997). Dengan demikian kepribadian tidak statis tetapi secara terus menerus terjadi gerakan yang berfungsi sebagai motivasi dan mengatur tingkah laku sehingga tingkah laku tidak statis tetapi dinamis. Jadi tingkah laku seseorang sebagai penampilan kepribadiannya, menunjukkan keteraturan, saling berkait sesuai dengan prinsipprinsip organisasi. Kepribadan merupakan modus untuk mempertahankan kehidupan seseorang. Konsep kepribadian dan watak sering dipergunakan secara bettukar-tukar. Allport menunjukkan biasanya kata watak menunjukkan arti normatif atau kepribadian yang dievaluasi. Sedangkan temperamen adalah dlsposisi yang sangat erat hubungannya dengan faktor-faktor biologis atau fisiologis, karenanya sedikrt sekali mengalami modifikasi. Faktor-faktor yang membentuk kepribadian adalah pengalaman umum dan pengalaman khusus (Irwanto et al., 1997). Teori kepribadian yang mendasarkan pada belajar sosial menekankan besamya pengaruh lingkungan atau keadaan-keadaan situasional terhadap perilaku. Rotter, Dollard, Miller dan Bandura berpandangan perilaku merupakan hasil interaksi yang terus menerus antara variabel-variabel pribadi dan lingkungan. Lingkungan membentuk pola-pola berperilaku melaui proses belajar. Variabelvariabel pribadi mempengaruhl pola-pola dalam lingkungan. Para teoritisi belajar sosial beranggapan bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh: (1) ciri-ciri khusus dari situasi yang dihadapinya; (2) penafsiran indlvidu terhadap situasi tersebut;
dan (3) penguatan yang pemah dialami pada tingkah lakunya dalam situasi
serupa. Pengalaman di sini termasuk kegiatan belajar. Santoso (1991) mengatakan sifat-sifat wiraswasta dapat dibentuk melalui proses pendidikan (intewensi terencana). Dalam menjelaskan teori kepribadiannya Allport mengemukakan sifat adalah "a generalized and facalized neuropsychic system (peculiar to the individual) with the capacity to render many stimuli jknctionally, equivalent and to inisiate and guide consistent (equivalent) forms of adaptive and expressive behavior."
Dalam penunusan tersebut sifat adalah kecenderungan yang
mengarahkan tingkah laku seseorang dalam berhubungan dengan seseorang. Disamping itu sifat sebagai dasar respon mampu menanggapi banyaknya stimulus dari lingkungan. Hal ini berarti kemampuan sifat sebagai disposisi berbagai tingkah laku yang tampil pada berbagai situasi. Angleitner (Santoso, 1991) mengatakan pengertian sifat secara jelas menekankan kesamaan respons indlvidu terhadap stimulus yang sama dalam berbagai situasi. Sifat sebagai pengarah tingkah laku berperan sebagai berikut: (1) sifat merupakan salah satu aspek kepribadian baik bio-sosial maupun bio-phisikal yang menjadi penggerak pengarah tingkah laku individu; (2) sifat sebagai penggerak, pengarah tingkah laku akan secara konsisten t e m j u d dalam tingkah laku sebagai respon terhadap satu kelompok stimulus pada berbagai situasi; (3) sifat sebagai disposisi untuk merespon sekaligus merupakan sesuatu yang unik dan khas bagi indlvidu yang bersangkutan', (4) sifat merupakan bagian dari kepribadian indlvidu yang melekat pada yang bersangkutan berbeda dengan karakter, tipe, sebagai atribut yang diberikan oleh lingkungan kepada individu tersebut. Allport 1954 (Suryabrata, 1993) mengatakan sifat sebagai disposisi tingkah laku pemunculannya tidak dapat dilepaskan dari pengalaman dan cara pengorganisasian pengalaman individu. Sifat sebagai disposisi tingkah laku orang dewasa sebenamya juga merupakan proses belajar dari pengalamannya. Individu
dewasa hanya dapat menampilkan tingkah laku apabila tingkah laku tersebut kompatibel dengan sifat yang telah ada. Sarrason (1969) mengatakan sifat baru sebagai aspek kepribadian dapat saja terbentuk bila pembentukannya itu berkaitan langsung dengan tuntutan lingkungan dan kebutuhan inhvidu yang bersangkutan.
Pengaruh Paktor Organisasi pada Efektivitas Perilaku Tugas Dinamika organisasi diartikan sebagai kekuatan-kekuatan yang ada di dalam organisasi yang membentuk perilaku organisasi yang diwujudkan oleh perilaku anggota organisasi dalam upayanya mencapai tujuan organisasinya (Ruwiyanto, 1994) dan (Thoha, 1999). Perilaku organisasi yang diwujudkan dalam bentuk perilaku individu dalam organisasi dipengaruhi oleh karakteristik individu dan karakteristik organisasi (Thoha, 1999). Cushway dan Lodge (1995) mengatakan faktor-faktor yang mempengadu dinamika organisasi adalah struktur, gaya manajemen, pengaruh luar, norma-norma kelompok, budaya organisasi, iklim organisasi, motivasi, dan proses. Slamet (1978) memandang organisasi sebagai suatu sistem mengatakan organisasi setidak-tidaknya terdiri atas empat subsistem yaitu: taksonomi organisasi, struktur organisasi, proses organisasi, dan individu-individu dalam organisasi. Apabila organisasi tertentu telah bersifat formal, maka subsistem kepemimpinan mempunyai peranan yang penting. Kelima subsistem tersebut saling mempengaruhi dalam gerakannya untuk mencapai tujuannya. Gibson et al. (1997) mengatakan penerapan teori sistem untuk memahami efektivitas organisasi menyebutkan pentingnya lingkungan eksternal. Efektivitas dalam konteks perilaku organisasi merupakan hubungan optimal antara produksi, kualitas, efisiensi, fleksibilitas, kepuasan, sifat keunggulan, dan pengembangan. Perilaku organisasi dapat dianalisis pa& tiga aras yaitu: tingkat individual, kelompok dan organisasi (Gibson et al., 1997). Efektivitas individual,
menekankan pada kinerja tugas dan karyawan tertentu atau anggota organisasi. Efektivitas kelompok secara sederhana adalah jumlah kontribusi seluruh anggota. Efektivitas organisasi juga terdiri atas efektivitas individu dan kelompok. Faktor penyebab efektivitas individu antara lain: (1) kemampuan; (2) keterampilan; (3) pengetahuan; (4) sikap; (5) motivasi; (6) stress. Faktor penyebab efektivitas kelompok antara lain: (I) keterpaduan; (2) kepemimpinan; (3) struktur; (4) status, (5) peran; (6) nonna-nonna. Sedangkan faktor penyebab efektivitas organisasi antara lain: (1) lingkungan; (2) teknologi; (3) pilihan strategis; (4) struktur; (5) proses; dan (6) budaya. Gibson el al. (1997) mengatakan untuk mengevaluasi efektivitas dapat diper gunakan tiga pendekatan yaitu: pendekatan tujuan, pendekatan model multiple constituency, clan pendekatan model dlmensi waktu. Pendekatan tujuan untuk
mengevaluasi efektivitas, yang dikatakan efektif adalah pencapaian sasaran dan upaya bersama. Derajat pencapaian menunjukkan derajat efektivitas. Pendekatan multiple constituency menekankan pentingnya hubungan relatif di antara
kepentingan kelompok dan individual dalam suatu organisasi. Dimensi waktu masuk kedalam model jika suatu organisasi dianggap sebagai suatu elemen dari sistem yang lebih besar melalui keterlibatan waktu, proses, dan pengembalian sumberdaya ke lingkungan. Kriteria utama efektivitas organisasi adalah apakah ha1 ini mendukung organisasi dalam lingkungan. Dengan demikian kriteria efektivitas jangka pendek antara lain: produksi, mutu, efisiensi, fleksibilitas, kepuasan. Jangka menengah antara lain; persaingan dan pengembangan. Jangka panjang adalah kelangsungan hidup organisasi. Penelitian ini menggunakan pendekatan dimensi waktu dan dimensi tujuan dalam perspelctif individu penyuluh pertanian di lapangan untuk mempelajari efektivitas kegiatan penyuluhan pertanian. Pada hakekatnya tujuan kegratan penyuluhan pertanian addah memberikan pelayanan yang memuaskan kepada
para petani. Oleh karena itu efektivitas kegiatan penyuluhan pertanian diukur berdasarkan tingkat kepuasan para petani. Makin tinggi tingkat kepuasan petani terhadap pelayanan penyuluhan, makin tinggi efektivitas kegiatan penyuluhan pertanian.
Iklim Organisasi
Iklim organisasi ada1ah lingkungan manusia dimana para pegawai organisasi melakukan pekejaan mereka. Konsep ini menggambarkan dampak struktur, kebijaksanaan dan prosedur (Boyatzis dan Richard, 1982). Lingkungan organisasi terdiri atas pekerjaan, pimpinan, teman sejawat, manajemen, dan kebijaksanaan. Iklim organisasi merupakan persepsi individu terhadap falsafah manajemen dalam suatu organisasi. Persepsi diartikan sebagai interpretasi para karyawan memahami bagaimana cara kerja organisai, kebijaksanaan organisasi kemudian ditejemahkan dalam cara keja, pola komunikasi, tingkat partisipasi, sistem penghargaan, pengembangan profesi. Kalau iklim organisasi dipahami positif, maka mereka semangat untuk meningkatkan profesionalismenya (Dubin, 1990). Perasaan atau persepsi terhadap lingkungan kerja berpengruh sangat besar terhadap kesebatan psikologis para pegawai. Menurut Miller (Dubin, 1990) lingkungan organisasi dapat mendorong profesionalisme pegawai untuk mencapai tujuan utama organisasi. Iklim organisasi dipen-
oleh hampir semua ha1 yang
terjadi dalam suatu organisasi. Iklim organisasi merupakan konsep sistem yang dinamis (Davis dan John, 1985). Masing-masing organisasi memiliki budaya, tradisi dan metode tindakannya sendiri yang secara keseluruhan menciptakan iklim organisasi. Iklim organisasi &pat mempengaruhi motivasi, prestasi, dan kepuasan kerja. Iklim organisasi membentuk harapan pegawai tentang konsekuensi yang
timbul dari berbagai tindakan. Para pegawai mengharapkan imbalan, kepuasan, dan prestasi atas dasar persepsi mereka terhadap iklim organisasi. Para pegawai merasa bahwa iklim tersebut menyenangkan apabila mereka melakukan sesuatu yang bermanfaat dan menimbulkan perasaan berharga. Mereka sering kali menginginkan pekerjaan yang menantang, yang memuaskan secara intrinsik. Kebanyakan pegawai juga menginginkan tanggung jawab dan kesempatan untuk berhasil. Mereka ingn didengarkan dan diperlukan sebagai orang yang bemilai. Para pegawai ingin merasa bahwa organisasi benar-benar memperhatikan kebutuhan dan masalah mereka. Likert dikutip dari Davis dan John (1985) mengungkapkan unsur-unsur khas yang membentuk iklim menyenangkan dalam suatu organisasi adalah: (I) kualitas kepemimpinan; (2) kadar kepercayaan; (3) komunikasi ke atas dan ke bawah; (4) perasaan melakukan pekerjaan yang bermanfaat', (5) tanggung jawab; (6) imbalan yang adil; (7) tekanan pekerjaan yang nalar; (8) kesempatan; (9) pengendalian, struktur, dan birokrasi yang nalar; dan (10) keterlibatan pegawai. Iklim setiap organisasi dikembangkan dan dikomunikasikan melalui sistem perilaku organisasi. Sistem perilaku dalam suatu organisasi terdiri atas premis fakta dan premis nilai. Premis fakta mewakili pandangan bagaimana dunia berperilaku, sedangkan premis nilai mewakili pandangan tentang dingnkannya tujuan tertentu (Davis dan John, 1985). Semua organisasi mempengaruhi anggotanya melalui sistem pengendalian yang mencerminkan kombinasi dari organisasi formal, organisasi informal dan lingkungan sosial. Sistem pengendalian dalam suatu organisasi berinteraksi dengan sikap pegawai dan dengan faktor situasi untuk menghasilkan motivasi spesifik bagi setiap pegawai pada saat tertentu. Hasil dari sistem perilaku yang efektif adalah motivasi produktif.
Mutu Kehidupan Kerja Disamping kepuasan keja, mutu kehidupan keja, juga mempengaruhi produktivitas individu maupun produktivitas organisasi (Kossen, 1993). Mutu kehldupan kerja (qualrty of work i$e) mengacu kepada bagaimana efektifnya lingkungan pekerjaan memenuhi keperluan-keperluan pribadi dan nilai-nilai para karyawan. Richard (Kossen, 1993) mengemukakan delapan kategori utama yang bersama-sama merupakan mutu kehidupan kerja yaitu: (1) kompensasi yang memadai dan wajar; (2) kondisi-kondisi keja yang aman dan sehat; (3) kesempatan untuk mengembangkan dan menggunakan kapasitas manusia; (4) kesempatan untuk pertumbuhan dan jaminan berkesinambungan; (5) perasaan termasuk dalam suatu kelompok; (6) hak-hak karyawan; (7) keja dan ruang kerja keseluruhan; dan (8) relevansi sosial kehidupan keja.
Kerangka Berpikir Dasar Pemikiran Kerangka berpikir merupakan cara pandang yang dipergunakan untuk melihat dan memahami fenomena kegiatan penyuluhan pertanian dengan dllatar belakangi oleh Ilmu Penyuluhan sebagai Ilmu berkesimpulan, yang menuntut pendekatan holistik, ketaatan pa& azas penggabungan beberapa filsafat ilmu pengetahuan dalam merancang metodologi penelitian, dan keingnan untuk memahami fenomena perilaku tugas Penyuluh Pertanian dan petani dari berbagai perspektif agar mendapatkan pemahaman tentang kualitas dan efektivitas kegiatan penyuluhan pertanian yang relatif lebih realistis. Pemikiran paradigma baru &lam ilmu pengetahuan, bahwa dinamika bagian-bagian clan sistem kompleks dapat dimengerti hanya melalui dinamika keseluruhannya. Dalam paradigma lama ilmu pengetahuan diyalani bahwa setiap sistem yang kompleks, dinamika dari keseluruhannya dapat dipahami melalui
sifat bagian-bagiannya (Capra, 1999; 2001). Dengan menggunakan paradgma ini, maka untuk memahami fenomena kegatan penyuluhan pertanian, maka fenomena perilaku tugas Penyuluh Pertanian, dipahami bukan hanya dari perspektif penyuluh pertanian saja tetapi juga dan perspektif dinamika para petani. Menurut teori interaksionisme, perilaku individu merupakan interaksi antara faktor-faktor individu dm faktor lingkungan (Erikson; Bandura; Brofenbrenner (Sarwono, 1997). Berdasarkan teori interaksionisme, maka perilaku tugas Penyuluh Pertanian dipengaruhi oleh faktor individu, faktor organisasi dan faktor lingkungan kejanya. Teori evolusi menjelaskan setiap organisme termasuk manusia dan lingkungannya semi dalam suatu hubungan dialektik. Teori struktural menjelaskan perilaku individu dipengaruhi oleh peran dan status yang dimiliki. Teori interaksi simbolik menjelaskan perilaku individu ditentukan oleh makna yang dlkandung oleh komponen-komponen lingkungan, makna merupakan produk interaksi sosial dan makna yang minterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu sejalan dengan perubahan yang ditemukan &lam interaksi sosial (Mulyana, 2001). Teori-teori tersebut di atas dipergunakan untuk mensintesakan teori-teori yang direduksi menjadi variabel-variabel pengamatan dan pengukuran, guna memahami fenomena-fenomena kegiatan penyuluhan pertanian. Berdasarkan teori evolusi dan interaksionisme simbolik maka harus ada interaksi yang dinamis antara penyuluhan pertanian dengan para petani. Keserasian interaksi antara penyuluhan pertanian dengan para petani dltentukan oleh makna kegiatan penyuluhan pertanian yang dirasakan oleh para petani. Berdasarkan teori struktural, perilaku tugas Penyuluh Pertanian ditentukan oleh tugas-tugas yang diberikan oleh organisasinya. Kebijaksanaan organisasinya menjadi penentu perilaku tugas Penyuluh Pertanian. Wertheim (1976)
mengatakan perilaku seseorang tidak hanya ditentukan oleh struktur sosial yang ada tetapi juga kehendak atau kesadaran yang bersangkutan. Dengan demikian Penyuluh Pertanian yang bertugas dl lapangan sebagai manusia biasa juga mempunyai kehendak, kesadaran dan hati nurani yang akan mempengaruhi perilaku tugasnya sebagai seorang Penyuluh Pertanian. Kualitas, Efektivitas dan Kepuasan Petani terhadap Kegiatan Penyuluhan Pertanian Kualitas, efektivitas, dan kepuasan petani terhadap kegiatan penyuluhan pertanian, adalah tiga konsep yang dipergunakan untuk memahami tingkat dinamika penyuluhan pertanian dan sebagai landasan merekonstruksi sistem penyuluhan pertanian. Ketiga konsep tersebut berhulu dari filsafat penyuluhan pertanian. Filsafat yang berarti kebijaksanaan, cinta kebenaran yang diperoleh melalui pemikiran yang kritis (Jalaluddin dan Abdullahidi, 1997; Shadily, 1984; Franz Magnis-Suseno, 1987). Ketiga konsep tersebut di atas mengandung makna kebenaran bahwa konsepsi penyuluhan ke depan adalah melayani kebutuhan para petani. Birokrasi dalam posisi netral adalah sebagai pelayan publik, efektivitas perilaku tugas birokrasi ditentukan oleh tingkat kepuasan publik terhadap pelayanan birokrasi. (Hariandja, 1999). Dalam dimensi waktu dan ruang, tujuan penyuluhan pertanian bervariasi (Swanson et al., 1990; van den Ban dan Hawkins, 1999). Walaupun demihan secara konsepsional tujuan utama kegatan penyuluhan pertanian adalah memuaskan kebutuhan para petani. Motivasi sebagai Disposisi Perilaku Penyuluh Pertanian Perilaku pada umurnnya dimotivasi oleh keingnan untuk memperoleh tujuan tertentu, dan perilaku merupakan suatu rangkaian aktivitas. Motivasi seseorang bergantung pada kuat lemahnya motif. Motif sering diartikan sebagai kebutuhan, keinginan, dorongan, gerak hati dalam din seseorang (Hersey dan
Blanchard, 1982; Anoraga, 1998). Kekuatan kebutuhan yang mempengaruhi perilaku dipengaruhi oleh harapan dan ketersediaannya. Harapan cenderung mempengaruhi motif dan ketersediaan cenderung mempengaruhi persepsi tujuan. Herzberg mengajukan teori dua faktor untuk menjelaskan perilaku. Menurut teori ini tidak semua kebutuhan dapat memuaskan seseorang, dan ada kebutuhan yang tidak memuaskan. Herzberg membagi kebutuhan menjadi dua faktor yaitu: faktor satisfiers (motivator) dan faktor dissatisfiers (hygiene). Hygene faktor identlk dengan kebutuhan yang lebih rendah menurut Maslow. Lyman dan Raymond (Wahjosumidjo, 1993) mengatakan ada tiga faktor utama yang berpengaruh pada motivasi yaitu: (I) ciri-ciri pribadi seseorang; (2) tingkat dan jenis pekejaan; dan (3) lingkungan kerja. Kepribadian sebagai Disposisi Perilaku Penyuluh Pertanian Kepribadian adalah organisasi h i s dalam individu sebagai suatu sistem psikofisis yang menentukan caranya yang khas dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Struktur kepribadian dmyatakan dalam sifat-sifat dan perilaku didorong oleh sifat-sifat tersebut. Perilaku seseorang sebagai penampilan kepribadiannya, menunjukkan keteraturan dalam berbagai stimulus (Allport 1951 dalam Suryabrata, 1993; Supratiknya, 1993; Irwanto er al., 1997). Hal tersebut menunjukkan kemampuan sifat sebagai disposisi berbagai tingkah laku yang tampil pada berbagai situasi (Santoso, 1991). Sifat sebagai &sposisi perilaku relatif lebih konsisten dari pada sikap (Sarwono, 1997). Suryabrata (1993) mengatakan sifat sebagai disposisi perilaku pemunculannya tidak dapat dilepaskan dari pengalaman dan cara pengorganisasian pengalaman individu. Sifat sebagai disposisi perilaku orang dewasa juga mempakan proses belajar dari pengalamannya. Sarrason (1969) mengatakan sifat baru sebagai aspek kepribadian
dapat terbentuk bila pembentukannya itu berkaitan langsung dengan tuntutan lingkungan kerjanya dan kebutuhan individu yang bersangkutan. Harga Diri sebagai Kerangka Kerja Penyuluh Pertanian Konsep diri dan harga d r i dua konsep yang sangat penting dalam teori pengendalian kesan. Konsep din berkaitan dengan kapasitas seseorang untuk memfungsikan seluruh daya yang ada pa& dirinya. Potensi dan kemampuannya diupayakan mencapai keluaran yang paling optimal untuk merealisasikan hidupnya. Disamping itu konsep diri juga merupakan "kerangka kerja" untuk mengorganisasikan serta menafsirkan pengalaman-pengalaman serta berfimgsi untuk memelihara harga diri (selfesteem). Frey dan Carlock (1984) mengatakan ada empat kondisi yang hams dipenuhi dalam pembentukan harga din yaitu: (1) keterkaitan; (2) keunikan; (3) kekuatan; dan (4) contoh. Dengan menggunakan teori tersebut, harga din seorang Penyuluh Pertanian ditentukan oleh harga diri pribadinya, harga diri dalam berhubungan interpersonal, serta harga diri yang berkaitan dengan profesinya sebagai penyuluh. Harga diri sebagai Penyuluh Pertanian perasaan kompeten sebagai penyuluh, penenmaan din sebagai Penyuluh Pertanian, pandangan atas prestasinya dan penghargaan masyarakat sebagai Penyuluh Pertanian. Harga dlri Penyuluh Pertanian ditentukan oleh karakteristik pekerjaannya dan tingkat kepuasan terhadap kerjanya. Kepuasan kerja individu mempengaruhl motivasi kerja dan kinerjanya (Organ, 1996). Dengan dermkian muara harga diri Penyuluh Pertanian adalah kegiatan penyuluhan pertanian yang bermutu. Kompetensi sebagai Komponen Penyuluh Pertanian Profesional Kompetensi merupakan kemampuan untuk melaksanakan tugas-tugas secara efektif dan kompetensi merupakan refleksi dari kinerja (Willis dan Samuel,
1990). Tindakm atau perilaku spesifik merupakan perwujudan kompetensi kerja dalam pekerjaan tertentu atau spesifik dan dalam lingkungan organisasi tertentu. Kompetensi kerja berdimensi waktu, tempat dan jenis pekerjaan (Boyatzis, 1982). Batasan konsep kompetensi kerja merupakan representasi kemampuan. Kumpulan kompetensi seseorang merefleksikan kernampuannya. Dengan demikian kompetensi kerja adalah karakteristik yang menyebabkan kinerja kerja yang prima. Hal ini menunjukkan adanya hubungan kausalistis antara kinerja dengan kompetensi. Profesional mengandung pengertian kecakapan, keahlian, dan disiplin (Anoraga, 1998). Keraf (1998), Benveniste (1987), Andrew dan Brandies, Louis (Wahjosumidjo, 1993) mengatakan salah satu ciri profesional adalah penguasaan keahlian dan keterampilan khusus. Kemampuan Operasional Penyuluh Pertanian Disarnping kepuasan kerja, mutu kehidupan kerja, juga mempengaruhi produktivitas individu maupun produktivitas organisasi (Kossen, 1993). Mutu kehidupan kerja mengacu kepada bagaimana efektifnya lingkungan pekerjaan memenuhi keperluan-keperluan para karyawan dalam melaksanakan tugastugasnya. Tugas utama Penyuluh Pertanian adalah melayani kebutuhan petam. Kualitas pelayanan Penyuluh Pertanian sangat ditentukan oleh intensitas interaksi antara Penyuluh Pertanian dengan para petani. Intensitas interaksi Penyuluh Pertanian ditentukan oleh kemampuan operasional Penyuluh Pertanian. Iklim Organisasi Penyuluhan Pertanian Penentu Harga Diri dan Motivasi Penyuluh Pertanian Iklim organisasi adalah lingkungan manusia l m a n a para pegawai organisasi melakukan pekerjaan mereka. Lingkungan organisasi terdiri atas pekerjaan, pimpinan, teman sejawat, manajemen, dan kebijaksanaan. Iklim organisasi merupakan persepsi individu terhadap falsafah manajemen dalam suatu
organisasi. Persepsi diartikan sebagai interpretasi para karyawan memahami bagaimana
cara
kerja
organisai,
kebijaksanaan
organisasi
kemudian
drterjemahkan dalam cara kerja, tingkat partisipasi, pengembangan profesi (Boyatzis dan Richard, 1982). Kalau iklim organisasi drpahami positif, maka mereka semangat untuk meningkatkan profesionalismenya (Dubin, 1990). Persepsi terhadap lingkungan kerja berpengaruh sangat besar terhadap kesehatan psikologs para pegawai. Miller (Dubin, 1990) lingkungan orgamsasi dapat mendorong profesionalisme pegawai untuk mencapai tujuan utama organisasi. Iklim organisasi dipengaruhi oleh hampir semua ha1 yang terjadi dalam suatu organisasi (Davis dan John, 1985). Iklim organisasi dapat mempengardu motivasi, prestasi, dan kepuasan kerja. Iklim organisasi membentuk harapan pegawai tentang konsekuensi yang timbul dan berbagai tindakan. Para pegawai mengharapkan imbalan, kepuasan, dan prestasi atas dasar persepsi mereka terhadap iklim organisasi. Dengan demikian iklim organisasi juga mempengaruhi tingkat harga din para karyawannya. Pemberdayaan Menuju Penyuluh Pertanian Profesional Ide menempatkan manusia lebih sebagai subyek dan dunianya sendiri mendasari dibakukannya konsep pemberdayaan. Proses pemberdayaan manusia mengandung dua kecenderungan. Pertama, proses pemberdayaan yang menekankan kepada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar indrvidu menjadi lebih berdaya. Kedua, pemberdayaan menekankan pada proses menstimulasi, mendorong, atau memotivasi individu agar mempunyai kemarnpuan untuk menentukan pilihan-pilihan melalui proses dialog (Pranarka dan Vidhyandrka, 1996). Robinson (1994) mengatakan pemberdayaan pa& hakekatnya memberikan
kesempatan dan kemampuan kepada individu sehingga inQvidu tersebut mampu mengaktualisasikan dirinya. Dalam perspektif manajemen pemberdayaan adalah upaya memberikan otonomi, wewenang, dan kepercayaan kepada setiap inQvidu dalam suatu organisasi, serta mendorong mereka untuk kreatif agar &pat merampungkan tugasnya sebaik munglnn. Nadler (Atmosoeprapto, 1999), Babari dan Prijono (1996) mengatakan pendidikan dan latihan merupakan salah satu faktor yang penting dalam pengembangan sumberdaya manusia. Pendidikan dan latihan tidak saja menambah pengetahuan, juga meningkatkan keterampilan keja, sehingga dapat meningkatkan produktivitas kej a (Simanjuntak, 1985). Pemberdayaan merupakan alat untuk mengembangkan sumberdaya manusia Penyuluh Pertanian profesional meliputi aspek kompetensi, moral, kepribadian dan ethos kerja. Profesional adalah pedoman moral yang menuntun dan mengontrol perilah manusia (Imran dan Ganang, 1999). Henry (1990) mengatakan perilaku profesi onal selalu dalam kerangka moral dan pertanggung jawaban, integritas moral, kredi- bilitas dan hormat pada orang lain, merupakan konsep sentral perilaku profesional. Peranan profesi dan profesionalisme dalam masyarakat adalah untuk memuaskan anggota masyarakat dan mempromosikan hal-ha1 yang langgap menguntungkan masyarakat. Orang profesional adalah orang yang diandalkan dan Qpercaya oleh masyarakat @eta dan Matti, 1994). Penvujudan perilaku profesional dalam suatu masyarakat, sangat dipengaruhi oleh sikap dan nilai-nilai profesional yang dianutnya. Benveniste (1987) mengatakan sikap dan nilai-nilai profesional adalah: (1) yakin profesinya sebagai kelompok acuan yang penting dalam ha1 ide dan kebijaksanaan; (2) yakin pelayanan terhadap masyarakat akan menguntungkan masyarakat sendiri; (3) keinginan otonomi dalam lingkungan keja; (4) lebih senang mengatur dri
sendiri; dan (5) pengabdian serta komitmen pada pekerjaan walaupun penghargaan kurang memadai Teknologi dan Informasi Pertanian Penentu Kompetensi Penyuluh Pertanian Teknologi dan informasi pertanian peranannya sangat penting untuk mentransformasikan input-input usaha tani menjadi output usaha tani (Said et al., 2001). Peranan Penyuluh Pertanian dalam membantu para petani sangat bewariasi tergantung pada tingkat perkembangan petani bersangkutan (van den Ban dan Hawkins, 1999; Mosher, 1978). Apapun peranan Penyuluh Pertanian dalam membantu para petani, ketersediaan clan kesesuaian teknologi dan informasi pertanian dengan kebutuhan para petani, sangat mempenganh kompetnsi Penyuluh Pertanian. Tingkat kompetensi tersebut akan mempengaruhl motivasi kerja dan harga diri Penyuluh Pertanian dihadapan para petani. Kebijaksanaan Organisasi Penyuluhan Pertanian Penentu Perilaku Tugas Penyuluh Pertanian Sejak dasa warsa pertama abad ke dua puluh penyuluhan pertanian di Indonesia berada di bawah kementrian pertanian. (van den Ban dan Hawkins, 1999; Roling, 1980) mengatakan &lam kondlsi tersebut tidak jarang penyuluhan pertanian dimanfaatkan untuk mencapai tujuan-tujuan kebijakan organisasinya. Hal ini mengndikasikan perilaku tugas, pengembangan kompetensi Penyuluh Pertanian dltentukan oleh kebijaksanaan organisasinya. Teori struktural menjelaskan bahwa prilaku seseorang dltentukan oleh peran dan posisi yang dlmilikinya (Mulyana, 2001). Peran dan posisi Penyuluh Pertanian ditentukan oleh kebijaksanaan organisasi. Teori emansipasi menjelaskan perilaku seseorang tidak hanya ditentukan oleh struktur sosialnya tetapi juga kesadaran yang bersangkutan (Wertheim, 1976).
Pandangan mengenai tanggungjawab atau tugas penyuluh pertanian sangat beragarn di berbagai negara. Di Arnerika Serikat penyuluh pertanian mempunyai tugas menldk. Di banyak negara Eropa lebih merupakan seseorang yang menolong petani untuk memecahkan masalah mereka. Di Indonesia, berdasarkan Surat
Keputusan
Menteri
Pendayaan
Aparatur
Negara
No:
19/KEP/MK.WASPANISI 99, tugas pokok Penyuluh Pertanian adalah: menyiapkan, melaksanakan, mengembangkan, mengevduasi clan melaporkan kegatan penyuluhan pertanian. Mosher (1986) mengatakan bahwa untuk melaksanakan tugas-tugasnya, Penyuluh Pertanian hams dapat berperan sebagai
guru, penganalisa, penasehat dan organisator. Disamping itu Penyuluh Pertanian juga berkewajiban mendukung dan menciptakan proses "belajar mandiri" dikalangan para petani sehingga mereka dapat mengikuti perkembangan teknologi. Di dalam setiap organisasi selalu ada status dan peran. Suhardono (1994) mengatakan peranan merupakan seperangkat patokan, yang membatasi perilaku yang mesti dilakukan oleh seseorang yang menduduki suatu posisi. Apabila orang lain memililu harapan yang berbeda tentang peranan seseorang, maka orang itu cenderung mengalami konflik peranan. Dismping itu, apabila semua peran tidak cukup dijelaskan atau tidak benar-benar diketahui, maka timbul kemenduaan peran. Konflik dan kemenduaan peran, biasanya dapat menimbulkan p e n m a n kepuasan kerja, keikatannya pada organisasi dan motivasi. Perilaku tugas Penyuluh Pertanian yang ltentukan oleh kebijaksanaan organisasinya, belum tentu mewaluli kepentingan kebanyakan petani Hal ini dapat mengalclbatkan hilangnya kepercayaaa petani kepada Penyuluh Pertanian dan sering menjadikan kegiatan penyuluhan tidak efektif untuk memecahkan persoalan-persoalan yang menyatukan tujuan-tujuan pemerintah dengan tujuantujuan petani. (van den Ban dan Hawluns, 1999).
Kompleksitas Wilayah Kerja Penyuluh Pertanian Kualitas interaksi antara Penyuluh Pertanian dengan para petani disamping ditentukan oleh kemampuan operasional Penyuluh Pertanian, juga Qpengaruhi oleh kompleksitas wilayah kerjanya. Kompleksitas wilayah kerja Penyuluh Pertanian meliputi aspek luas wilayah kerja, kualitas infiastruktur wilayah kerja, jumlah petani yang harus dilayani, penyebaran tempat tinggal para petani yang dilayani, dan variasi agroekosistem. Berdasarkan uraian tersebut di atas, kerangka berpikir yang dipergunakan untuk mempelajari dan memahami kualitas dan efektivitas kegiatan penyuluhan yang Qlaksanakan oleh Penyuluh Pertanian Lapangan Qsajikan dalam Gambar 2.1.