TlNJAUAN PUSTAKA
1. Limbah Temak dan Pencemaran
Menurut Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (2001) limbah adalah sisa suatu usaha atau kegiatan. Sedangkan menurut Rusdi dan Kumani (1994) limbah adalah hasil buangan pada suatu kegiatan yang tidak diperlukan lagi dan pada umumnya dapat menimbulkan dampak yang tidak diinginkan.
limbah
tersebut dapat berupa limbah padat, limbah cair, dan lirnbah gas. Ketiga macam Iimbah dapat dihasilkan sekaligus dari suatu kegiatan atau dapat pula secara kombinasi atau secara sendiri-sendiri. Limbah petemakan dapat didefinisikan sebagai sernua bahan yang diekskresikan oleh ternak atau sisa proses produksi peternakan yang tidak mempunyai nilai guna dan merupakan semua buangan dari usaha peternakan yang bersifat padat, cair maupun gas. timbah padat adalah semua limbah yang behentuk padat atau berada dalam fase padat yaitu berupa kotoran ternak
(feses) dan sisa pakan. Limbah cair adalah semua limbah yang berbentuk cairan atau berada dalam fase cair yaitu air seni (urine) dan air untuk kebersihan ternak dan kandang. Adapun limbah gas adalah semua lirnbah yang berbentuk gas
atau berada dalam fase gas yang biasanya bemubungan dengan lirnbah padat dan limbah cair. Hal ini disebabkan limbah gas sebagai fase dekomposisi dan'
zat kirnia pada limbah padat dan cair (Merkel, 1981; Soehadji, 1992).
Secara spesifik fimbah ternak dapat dikatakan sebagai kotoran atau tinja dan urine temak atau yang biasa disebut manum, sedangkan dalam dunia pertanian limbah peternakan adatah sisa produksi petemakan setelah diambil hasil utamanya.
Limbah ternak dapat pula dikatakan sebagai bahan yang
diekskresikan temak dan rnerniliki nilai ekonomi yang lebih rendah. Limbah
temak termasuk buangan organik yang mudah dibusukkan atau dipecah oleh bakteri dengan adanya oksigen atau sebagai bahan buangan yang mernerlukan oksigen. Tanpa adanya pengelolaan yang memadai, pembuangan limbah temak
ke badan-badan air dapat menurunkan kadar oksigen terlarut, sehingga badan air akan mengalami defisit oksigen yang sangat diperlukan oleh biota perairan. Kondisi ini dapat menyebabkan kualitas air menurun.
Limbah ternak juga
merupakan sumber nitrogen dan fosfor yang mengakibatkan tejadinya
eutrofikasi pada pada badan air yang ditandai blooming pertumbuhan algae Keadaan ini dapat mengakibatkan gangguan keseirnbangan ekologis dan bahkan dapat menyebabkan kematian biota perairan seda merusak estetika perairan. Nitrogen biasanya akan dikonversi menjadi nitrat yang mudah tercuci dan mengalami presipitasi ke dalam tanah, sehingga akan mencemari air tanah.
Kadar nitrat yang tinggi akan tereduksi dalam lambung menjadi nitrit yang dapat mengakibatkan methemoglobinemia pada bayi atau dikenal dengan penyakit bayi biru (Miner etal.,200; Saeni 1989) Pembuangan limbah ternak ke dalam lingkungan akan menimbulkan masalah pencemaran berupa pencemaran air, tanah, udara oleh bau dari gas tertentu serta dampak yang tidak langsung seperti timbulnya bahaya lafat,
nyarnuk dan tikus ( Juheini, 1999).
Menurut
Webb dan Adas (1999)
pencemaran sumber air oleh adanya limbah temak terjadi melalui perembesan secara Iangsung atau bertahap melalui tanah.
Di lnggris 31% kejadian
pencemaran air disebabkan oleh limbah temak yang tidak dikelola secara memadai.
Tingginya kandungan bahan organik dalam limbah ternak dapat
merawni biota air karena kurangnya oksigen akibat tingginya kebutuhan oksigen oieh mikroba untuk menguraikan bahan organik. BOD lirnbah temak mencapai
10.000 - 20.000 ppm. Namun demikian sifat fisik dan kimia lrnbah tergantung
dari tipe ternak dan manajemen pemeliharaannya.
Selanjutnya Baliarti ef ai. (1494)menyatakan bahwa masalah Iingkungan yang timbul sebagai dampak negatif usaha petemakan adalah bau yang ditimbulkan, mengganggu pemandangan atau estetika dan rnenjadi bahan pencemar terhadap air permukaan dan air tanah.
Timbulnya gangguan
temadap lingkungan hidup manusia sekitar kandang ternak sekarang ini mulai muncul.
Keluhan masyarakat yang biasanya dirasakan pertama kali adalah
timbulnya bau tidak sedap dari kotoran temak. Berbeda dengan limbah organik non-ekslaeta, kotoran temak langsung mengeluarkan gas yang menimbulkan bau tanpa menunggu proses dekomposisi. Akibat proses pencemaan dalam tubuh temak terbentuklah gas seperti CHp, NH3, dan
H2S dengan
kadar yang
berbeda-beda tergantung jenis temak dan macam bahan pakan yang diben'kan. Pain (1999) menyatakan bahwa limbah temak mempunyai bau tidak sedap karena rnerupakan sisa proses metabolisme dan pemecahan bahan o w n i k oleh mikroorganisme dalarn suasana anaerob yang menghasilkan senyawa antara lain indol, asam lemak dan arnonia. Surnber bau limbah temak berasal dari kandang temak, tempat penumpukan dan pembuangan limbah. Laju emisi bau dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu : jenis temak, pengeloiaan limbah dan kondisi Iingkungan.
Untuk mengurangi bau dapat dilakukan dengan digesti
anaerobik atau dengan gas bio. Di lnggris bau yang paling banyak ditimbulkan berasal dari peternakan babi, unggas dan sapi.
Pada kenyataannya usaha petemakan sapi perah dapat menimbulkan masalah lingkungan yang krasal dari respirasi, feses serta urine yang memberikan kontribusi penyebab timbulnya gas rumah kaca seperti C02, CHI, pencemaran udara karena NH3,pencemaran air permukaan dan air tanah karena
NO; dan fosfor. Kesemuanya mernbutuhkan penanganan dan perhatian serta biaya yang tinggi (Tamminga, 1992; Berg, 1999).
Menurut Seidl (1999) gas rumah kaca yang dihasillran oleh temak sapi
perah yaitu C02, dan CH4. Gas metana (CH,) dibentuk oleh rnikroorganisme anaerob yaitu bakteri metanogenik pada proses fermentasi dalam lambung temak ruminansia, sehingga produksi CH4 sangat tergantung dari kuantitas dan kualitas pakan.
Selain melalui proses fermentasi dalam Iambung temak
ruminansia, CH4 juga dihasilkan dari proses dekomposisi limbah ternak dalam suasana anaerob. Pmduksi CH4 dari subsektor peternakan rnencapai sekitar
20,38% ( fermentasi 1553% dan dekomposisi limbah temak 4,85%) dari total
CH4yang dihasilkan. Hasil penelitian di Jerrnan yang dilakukan Berg (7 999) menunjukkan
bahwa produksi CHI dari sektor pertanian sebesar 30% yang sebagian besar berasal dari petemakan.
Hal ini didukung oleh Tamminga (1992) yang
rnenyatakan bahwa CH4 yang berasal dari hewan ruminansia sekitar 15 - 25% yang sebagian berasal dari temak sapi (74%) sisanya (28%) berasal dari temak domba, kerbau dan ruminansia liar.
Gas ammonia (NH3)di udara sebagian berasal dari temak dan mempunyai pengaruh kurang baik terhadap lingkungan yaitu berupa bau yang tidak sedap. Konsentrasi NH3 di udara juga akan mernpenganrhi kualitas tanah, sehingga
akan berdampak pula terhadap tumbuhan (Berg, 1999; Seidl, 1999). Nitrogen dapat menimbulkan pencemaran pada lingkungan melalui dua cara yaitu dalam bentuk ammonia di udara dan bentuk nitrat yang terdapat dalam tanah dan air
tanah. Sumber utama penghasil nitrogen pada petemakan sapi perah berasal dari pupuk dan manure . Di Belanda usaha sapi perah setiap tahunnya terdapat
I01 kg nitrogen hilang berupa NH3 vdatil, 285 kg berupa nitrat dan 30 kg nitrogen terakumulasi di dalam tanah.
Sebagian nitrat menyebabkan
pencemaran air tanah, sehingga air menjadi tidak layak untuk diminurn, karena )radar nitrat mencapai lebih 11,3 ppm (Tamminga, 1992).
Selanjutnya Saeni
(1989) menjelaskan bahwa pencemaran nitrat dari
beberapa air permukaan dan air tanah telah menjadi masalah utama di beberapa
daerah perbnian. Walaupun pupuk telah dinyatakan sebagai
sumber
pencemaran, kenyataan lain rnenunjukkan bahwa kandang temak juga rnerupakan sumber pencemar nitrat. Pada beberapa petemakan sapi ternyata sapi jantan dapat menghasilkan feses lebih dad 18 kali kotoran manusia, sehingga menyebabkan pencemaran air dengan tingkat yang tinggi di suatu
daerah yang populasi penduduknya sedikit.
Sumur-sumur di daerah pertanian
umumnya mengandung nitrat dan sangat beibahaya yang disebabkan pencemaran nitrogen dari kandang-kandang temak
.
Di dalam pemt hewan
memamah biak misalnya sapi dan domba mengandung
pereduksi yang
mengandung bakteri-bakteri yang mampu rnewduksi ion nitrat menjadi ion nittit yang toksik.
Orang dewasa mempunyai toleransi yang tinggi terhadap nitrit,
tetapi dalam perut bayi nitrat direduksi menjadi nitnt.
Nitrit menonaktifkan
hemoglobin yang rnenyebabkan keadaan dikenal dengan bayi biru yang dapat menyebabkan kernatian
2. Pengelolaan Limbah Temak Pengelolaan limbah sapi perah rnerupakan upaya yang ditakukan dalam menangani limbah berupa limbah padat yaitu feses dan limbah cair yang berasal dari urine dan air untuk sanitasi. Tujuan pengelolaan Iimbah ternak adalah untuk menghindari pencemaran lingkungan (udara, air, dan tanah) sekaligus dapat memkrikan nilai tambah pada usaha petemakan yang dijalankan. Pemilihan sistern pengeloaan limbah temak didasarkan pada banyak faktor antara lain biaya, potensi pencemaran air dan udara, kebutuhan teflaga keja, pertirnbangan lokasi, pertimbangan wilayah pembuangan, selera operator, Reksibilifas sistem
dan dapat dipertanggungjawabkan (Rusdi dan Kurnani, 1994).
Selanjutnya Lanyon (1994) menjelaskan bahwa pengelolaan limbah temak untuk melindungi kualitas air tergantung dari manajemen setiap usaha
petemakan yang meliputi sumberdaya alam, struktur dan fasilitas yang tersedia dan tujuan dari usaha petemakan. Pencemaran air tejadi pada air permukaan dan air tanah. Upaya untuk mengatasinya adalah melaksanakan perbaikan pemeliharaan ternak mulai dari perkandangan, pemberian pakan sampai pemanfaatan limbah ternak. Upaya untuk mengurangi pencemaran lingkungan juga dapat ditakukan dengan pengurangan produksi limbah melalui peningkatan efisiensi dalam
proses produksi, sehingga akan rnenunrnkan produksi limbah berupa cair, padat dan limbah gas yang dibuang secara langsung ke lingkungan. Namun dernikian didalam pengelolaan limbah sangat tergantung dari tingkat kesadaran dan partisipasi masarakat (Alikdra, 1999) Van Horn et at. (1994) menyatakan bahwa pada saat ini upaya yang hams dilakukan adaiah melindungi kualitas air dari pencemaran limbah ternak terutama nitrogen. Pemberian pupuk dari limbah ternak dalarn jumlah yang memadai dapat menghindari larutnya nitrogen melalui air permukaan dan air tanah sem mempunyai njlai ekonomis. Satu ekor sapi perah dewasa setiap harinya dapat menghasilkan feses sebanyak 30
-
40 kg dan urine 20 - 25 kg dengan
kandungan bahan organik 6.3 kglhari, total nitrogen 0,273 k ~ h a r idan amonia 0,050 kg. Oleh karena itu, supaya pengeiolaan limbah ternak dapat
optimal
perlu mengetahui beberapa faktor yaitu : 1) produksi dan karakteristik serta komponen limbah 2) komponen lingkungan yang antara lain ketersediaan dan kualitas air, bau yang ditimbulkan, emisi NH3 dan CH4; serta 3) metode prosesing dan pemanfatan sumberdaya yang meliputi pengelolaan limbah untuk padang penggembalaan dan tanaman pertanian, pengomposan dan gas bio.
Hasil penefitian Juhaeni (1999) rnenunjukkan bahwa proses pengelolaan secara fisik dan biologis (lumpur aktii dapat menurunkan tingkat pencemaran limbah cair petemakan sap1 perah mencapai sekitar 51,65 - 86,25%. Adapun Tamminga (1992) menyarankan agar pencemaran limbah temak berupa gas
rnetana dan unsur nitrogen dapat dikurangi dengan meningkatkan penyerapan nitrogen dalam tubuh temak dan memanipulasi fermentasi dalam rumen melalui pakan. Muller (1980) menyatakan bahwa proses yang dapat dilakukan dalam menangani limbah temak adalah dengan cara dehidrasi atau mengurangi kadar air
feses,
rnenggunakan feses
sebagai campuran
pembuatan silase,
penambahan bahan kimia seperti para-formaldehid, lumpur aktif, pengomposan, dan diproses sebagai pakan temak.
Penggunaan lirnbah sapi perah dalam
bentuk kering sebagai pakan tema k terbukti dapat meningkatkan pertumbuhan kalkun dan meningkatkan pmduksi telur. Penggunaan dalam ransurn temak
unggas memberikan pengaruh yang baik apabila diberikan sekitar 5 - 10% dari total ransum.
Lefcourt dan Melsinger (2001) telah krhasil mengurangi bau
karena adanya amonia volafil dengan menggunakan tawas dan reolit. Penambahan tawas 2,5% dapat menurunkan amonia volatil sebanyak 60 %, sedangkan zeolt dengan penambahan 6,25% menghasilkan penurunan amonia volatil sampai 50%. Haga (1999) mengkiasifikasikan lirnbah ternak menjadi tiga macarn yaitu :
padat, semi padat dan cair. Limbah padat dimanfaatkan sebagai kompos yang mempunyai kualitas tinggi. Limbah temak sapi perah yang limbahnya semi padat dan cair dibuang langsung ke lahan pertanian, namun jumlahnya sangat terbatas, sehingga pedu dilakukan pengelolaan limbah berupa pengomposan
yang mengandung N = 2,1%,
P2O5= 2.2% dan
KzO = 2,3%.
Pengeloaan limbah ternak yang paling umum dilakukan adalah dengan
cara pengomposan. Pengomposan adalah dekomposisi biotogis bahan organik
yang terkendali, sehingga menjadi bahan yang stabil (Merkel, 1981). Tujuan utama pengomposan adalah untuk mengubah feses ternak menjadi produk yang
mudah ditangani dan aman untuk kesehatan rnanusia. Feses yang masih basah
tidak cocok untuk pemupukan oleh baunya yang menjijikkan karena adanya senyawa sulfur seperti hidrogen suifida. Pada proses pengomposan suhu akan naik lebih dad 60°C, sehingga akan dapat membunuh bakteri patogen, parasit dan rumput liar. Tujuan lain dari pengomposan adalah merubah feses menjadi pupuk organik yang aman untuk tanah dan tanaman (Harada et at., 1993). Menunrt Haga (1998) kompos merupakan produk utama dari limbah petemakan di Jepang, karena kompos dapat menstabilkan bahan organik, mengurangi bau yang menyengat, membunuh k n i h rumput liar, menghilangkan mikroorganisme patogen, dan cocok untuk lahan pertanian. Oleh karena itu dalam pembuatan kompos
perlu rnempehatikan kondisi
untuk
pengomposan, fasilitas
pupuk
altematif
pengomposan, dam kualitas kompos. Di
Hongkong
kompos
merupakan
yang
meningkatkan kesuburan tanah dan produktivitas tanaman jagung.
dapat
Kompos
banyak mengandung unsur hara makro seperti N, P, K, Ca, dan Mg serta
beberapa unsur hara rnikro yaitu Cu, Zn, dan Mn (Wong et al., 1999). Nisizhaki
et at. (1997) telah menggunakan teknolcgi maju dalam pembuatan kompos di Jepang yaitu dengan menggunakan windro farming car dan compost turner dengan traktor yang dapat menekan biaya prosesing, mengurangi tenaga kerja dan mencegah terjadinya pencemaran lingkungan. Hasil penelitian Hail (1991) menunjukkan bahwa pengomposan yang baik akan dapat mengurangi tingkat pencemaran lingkungan sebesar I1%.
Padang nrmput yang iuas dapat mengurangi pencemaran nitrogen apabila pembuangan limbah dalam jumlah optimum. Kekurangan nitrogen menyebabkan rumput mernpunyai produktivitas yang rendah, sedangkan apabila berlebihan
dapat rnencemari air dan meningkatkan kadar nitrat hijauan pakan. Tingginya kadar nitrat dalam hijauan pakan dapat merawni temak ruminansia karena dalam lambung nitrat diubah menjadi nitrit.
Padang rumput pada umumnya
dapat menyerap nitrogen limbah sampai 23% (Kimura dan Kurashima, 1991). Limbah ternak mengandung bahan organik tinggi yaitu 80% dari bahan kering.
Pemanfaatan ltmbah temak sebagai energi pada umumnya sebagai
bahan b a h t dan gas bio.
Sebagai bahan bakar limbah ternak kering
mengandung energi sekitar 3.000 kkakg, dapat menghemat bahan bakar sampai 70% dan abunya dapat digunakan sebagai pupuk organik yang kaya unsur kalsium dan fosfor.
Gas bio dapat dihasilkan dengan memanfaatkan
fermentasi mikroorganisme dalam kondisi anaerob, dengan suhu 35 'C, dan pH
netrai (6-8). Produksi gas bio terdiri dad 60% metana dan 40% C 0 2 dan bahan bakar 5.500 kkallm3,sehingga dapat digunakan untuk bahan bakar dan sumber tenaga (Haga, 1998). Pengelolaan limbah temak rnelalui gas bio telah dilakukan
di Maya Farm, Metro Manila PhRipina dan digunakan untuk sumber energi menjalankan mesin giling pernbuatan pakan temak, pengering, dan pompa air. Keuntungan lain dari pembuatan gas bio adalah menghilangkan bau busuk dan mikroorganisme patogen dari firnbah ternak serta menghasilkan pupuk organik yang berkualitas tinggi (Obias,1985). Hasil penelitian Romaniuk
(1992)
mernperlihatttkan bahwa gas bio dapat menurunkan tingkat pencemaran lingkungan sebesar 80%. Penelitian Pain (1999) menunjukkan bahwa gas bio dapat rnenurunkan tingkat kebauan sampai 84%. Menurut Hemandes et al.
(1992) pengelolaan limbah secara anaerob seperti gas bio dapat menurunkan bahan organik sekitar 38 - 53%.
3. Petemahan Rakyat yang Berkelanjutan Menurut Surat Keputusan Menteri Pertanian nomor 404 tahun 2002 bahwa petemak rakyat adalah usaha petemakan yang diselenggarakan sebagai usaha sampingan yang tidak memerlukan din usaha dari instansi dan pejabat yang berwenang. Untuk sapi perah, batasan petemakan rakyat adalah pernelharaan sapi perah di bawah 20 ekor. Devendra (1994) rnenyatakan bahwa populasi temak dari peternakan rakyat tinggi, sehingga merupakan tulang punggung sektor pertanian di Asia termasuk Indonesia. Ciri-ciri petemakan mkyat antara lain adalah : skala usahanya kecil, kurangnya efisiensi ekonomi, adanya diversifikasi usaha, luas lahan usaha yang terbatas, sebagian besar k r a d a di pedesaan dan pinggiran kota, serta tingkat eekonominya yang rendah atau rniskin. Peternak yang berada di desa dan di pinggiran kota mempunyai karakteristik yang berbeda.
Peternak di pinggir kota walaupun hidup dalam
lingkungan agraris, namun memiliki karakter dan perilaku yang berbeda dengan
peternak yang tinggal di desa (Hadiyanto, 2001). Karakteristik petemak adalah
chi-ari individu petemak yang relatif tidak berubah dalam waMu singkat. Data karakteristik peternak meliputi umur, tingkat pendidikan, pengetahuan dan pengalaman berusaha, tujuan berusaha, kebutuhan terhadap limbah temak Ban tingkat pendapatan.
Perilaku adalah kegiatan atau tindakan nyata yang
dilakukan oleh petemak, sedangkan sikap merupakan keyakinan, perasaan atau penilaian yang bersifat positif atau negatif terhadap pengelolaan limbah ternak ( Zahid, 1997).
Perilaku peternak yang buruk didalam pengelolaan limbah mencapai
76,5%, perilaku buruk lebih disebabkan oleh kurangnya kesadaran petemak sapi
perah serta keterbatasan biaya dan lahan yang dimiliki. Sikap pefemak terhadap perlunya pengelolaan limbah lebih disebabkan oleh kebutuhan terhadap iimbah
temak untuk usaha pertaniannya dan adanya tekanan sosial dari masyarakat
(Zahid, 1997). Pengelolaan lingkungan sosial dilakukan melalui pengembangan peranserta masyarakat, peningkatan dan pengembangan peran wanita, serta pengembangan etika lingkungan. Selain itu pengelolaan lingkungan diarahkan untuk mengaktifkan kembali kelernbagaan sosial yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup (Alikcdra, 1999). Tidak tercemamya lingkungan oleh Iimbah temak menrpakan salah satu ha1 yang harus diperhatikan untuk rnewujudkan petemakan yang berkelanjutan.
Adapun ha1 lain yang perlu diperhatikan adalah : mempunyai produksi temak
yang berkualitas tinggi; dapat mensejahterakan peternak dan menjaga kesehatan temak; menghasilkan prcduk yang di butuhkan oleh masyarakat; serta
hams
menjamin sumberdaya alam yang berkelanjutan (Spedding, 1995). Pandangan
para ekologis, pembangunan berkelanjutan adalah integrasi antara peraturanperaturan atau kebijakan pembangunan dengan aspek ekologi. Oleh karena itu, instansi pembuat keputusan perlu rnengadakan analisis dari segi ekologi sebelum membuat peraturan atau kebijakan. Selain itu periu adanya jaminan bahwa peraturan atau kebijakan akan dilaksanakan oleh pelaksana proyek, serta perlunya peninjauan lapangan (Levin, 1994). Penggunaan istilah berkelanjutan telah didefinisikan dalam berbagai sudut pandang.
Menurut sudut pandang
pertanian terdapat dua penjabaran mengenai berkelanjutm yaitu fisik yang berhubungan dengan sumberdaya alam dan biologis yang berkaitan dengan organisme dan proses reproduksinya (Spedding, 1995). Menurut Pelaumbaun et al. (1994) istilah berkelanjutan telah banyak diferapkan ke dalam ilmu pengetahuan dan perkembangan politik. Secara umum berkelanjutan adalah pemenuhan kebutuhan generasi sekarang dengan pemanfaatan sumberdaya alam untuk generasi yang akan datang.
Bidang
petemakan, istilah behetanjutan diperlukan untuk menjamin produktivitas temak, karena
peternak
kurang menyadafl pentingnya melindungi lingkungan.
Devendra (1994) rnenyatakan bahwa peternakan yang berkelanjutan penting untuk dikembangkan melalui teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas ternak namun tidak merusak sumberdaya alam. Peternakan sapi perah yang berkelanjutan dengan perhatian ke arah pelestarian sumberdaya alam dan kesehatan rnasyarakat telah dikembangkan
sejak tahun 1997 di Swedia yang dikenal dengan petemakan sapi perah organik. Adapun ciri-ciri petemakan sapi perah organik adalah : 1) mengutamakan pemberian hijauan pakan yang tinggi; 2) tersedianya lahan hijauan pakan atau padang penggembalaan; 3) mengutamakan keamanan dan kualitas air susu 3) meningkatkan perilaku ternak secara alami (Cederberg and Mattsso, 2000). Di
negara tropis, petemakan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pertanian. Oleh karena itu agar pertanian yang berkelanjutan dapat tercapai
maka harus melibatkan memperhatikan
usaha peternakan yang cowk dan prcduktlf dengan
pemeliharaan,
perkembangbiakan,
dan
pemanfaatannya
(Poetschke, 1997) Naipospos (2004) menyatakan bahwa peternakan yang berkelanjutan di Indonesia ternyata banyak mengalami permasalahan yaitu : 1) belum adanya pengaturan tata ruang atau kawasan petemakan secara wilayah dan nasional, sehingga kawasan petemakan sering tergusur, ha1 ini menyebabkan ketidak pastian dalam usaha petemakan; 2) usaha petemakan yang h a n g intensif dan tradisionai masih tetap berkembang pada beberapa wilayah di Indonesia. Tingkat produksi temak dalam sistem ini ditentukan oleh ketersediaan sumberdaya lokal.
Peningkatan perminban akan hasil temak menyebabkan
penggunaan surnberdaya yang dapat meiampaui daya dukung wilayah tersebut.
rnenghilangkan komponen yang kurang berpengaruh atau penganrh interaksinya kecil.
Cara penyerdahanaan sistem di alam tersebut disebut sebagai model
(Suratmo, 2002). Ford (1999) memandang sistem sebagai kombinasi dari dua atau iebih
elemen-elemen yang terkait. Djoyomartono (1993) dan Muhammadi et al. (2001) mengartikan sistem sebagai gugus atau kumpulan elemen yang berinteraksi dan terorganisir dalam batas lingkungan tertentu yang bekej a untuk mencapai suatu tujuan. Sebagai contoh jam adalah gugus elemen yang terdiri dari gir, jarum penunjuk, per yang saling berinteraksi untuk tujuan penunjuk waktu.
Secara
jelas J e e r (1978) menjetaskan bahwa sistem bukan merupakan teknik maternatik, tetapi strategi penelitian yang secara luas menggunakan beberapa konsep dan teknik maternatik secara sistematis dan ilrniah untuk memecahkan masalah yang komplek. Di dalam analisis sistem diperlukan suatu organisasi data dan inforrnasi dengan model-model yang teratur dan logis yang diikuti dengan pengujian model untuk mendapatkan validitas. Model dalam arti luas merupakan penggambaran sebagian dari kenyataan, yaitu antara model dan kenyataan perlu ada persarnaan agar model yang
bersangkutan dapat digunakan secara berartr (Winardi, 1999). Hal tersebut tidak berbeda dengan Ford (1999) yang rnengarbwn model sebagai pengganti sistem yang sebenamya untuk memudahkan kerja.
Dari terrninologi penelitian
operasional, model didefinisikan sebagai suatu perwakilan atau abstraksi dari sebuah obyek dalam situasi yang aMual.
Model memperlihatkan hubungan-
hubungan serta kaitan timbal balik dalam istijah sebab akibat. Model adalah suatu abstraksi dari realitas, maka pada wujudnya kurang komplek, daripada realitas itu sendiri.
Model dapat dikatakan lengkap apabiia dapat mewakili
berbagai aspek dari realitas yang sedang dikaji. Salah satu dasar utama untuk mengembangkan model adalah menemukan peubah-peubah apa yang penting
dan tepat.
Penemuan peubah tersebut sangat erat hubungannya dengan
pengkajian hubungan antar peubah. Menurut Suratmo (2002) model adalah gambaran dari sistern interaksi antar komponen di alam dengan meniadakan komponen yang pengaruhnya kecil,
sehingga
ketidaktepatan.
hasil analisis
model selalu
rnemiliN
kesalahan atau
Kesalahan dari model adalah kesalahan dalam memilih
komponen yang dihilangkan. Beberapa penelitian menggunakan kriteria sebagai befikut : tingkat kebenaran di atas 95% disebut sangat baik, 85 - 94% baik, 75
-
84% cukup baik, dan di bawah 75% disebut tidak baik. Muhammadi et a/. (2001) menjelaskan bahwa simulasi model bertujuan untuk memahami gejala atau proses yang terjadi, membuat perarnalan gejala atau proses tersebut di masa depan. Simulasi model dilakukan rnelalui tahap : penyusunan konsep, pembuatan model, simulasi, dan validasi hasil simulasi.
Tahaptahap simulasi model secara sederhana dapat dilihat pada Gambar 2. Untuk rnelakukan simulasi model dapat dilakukan dengan rnenggunakan
perangkat lunak yang dinamakan Powersim. Arne et al. (1996) menjelaskan bahwa Powersim adalah suatu perangkat lunak yang dibuat atas dasar model
sistem dinamik dengan kemampuan yang tinggi di dalam melakukan simulasi.
Powersim digunakan sebagai laboratorium mini untuk melakukan percobaan beberapa kebijakan sebelum dicobakan ke dunia nyata. Pada dasamya model dapat dikelompokkan menjadi model kuantitatif, kualitatif, dan model ikonik.
Model kuantitatif adalah model yang berbentuk
rumus-rumus matematik, statistik atau komputer. Model kualitatif adalah model yang berbentuk gambar, diagram atau matn'ks yang menyatakan hubungan antar unsur dengan tidak menggunakan rumus matematik dan statistik. Model ikonik adalah model yang mempunyai bentuk fisik sama dengan barang yang ditirukan meskipun skalanya dapat diperbesar atau diperkecil, sehingga dapat diadakan
percobaan untuk mengetahui perilaku gejala atau proses yang ditirukan Wnardi, 1999; Muhammadi ef el., 2001).
Gejala Pr~ses A
Validasi
Penyusunan Konsep _______*--*-----t-----------------_----*.---**--------------------
Simulasi
Pembuatan Model f
Model
Gambar 2. Tahap-tahap sirnulasi model.