ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI NILAI TUKAR PETANI (NTP}
TESIS
Diaj ukan unt uk memenuhi sebagian persyaratan dalam menye!esa!ka n studi pada Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik Universitas Indonesia
Oleh:
AKH MAD HELM! NPM 66052200 39
MAGISTER PERENCANAAN DAN KEBIJAKAN PUBLIK PROG ~M PASCASARJANA UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK, 2006
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI NILAI TUKAR PETANI (NTP)
TESIS
Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam menyelesaikan studi pada Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik Universitas Indonesia
Oleh:
AKHMAD HELMI NPM 6605220039
MAGISTER PERENCANAAN DAN KEBIJAKAN PUBLIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK, 2006
LEMBAR PENGESAHAN
Nama
: Akhmad Helmi
Tempatjtanggal lahir
: Pemalang, 29 April 1973
NPM
: 6605220039
Judul Tesis
: Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nilai Tukar Petani (NTP)
Depok,
Oktober 2006
Menyetujui Pembimbing
(Dr. Widyono Soetjipto)
Mengetahui : Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Ketua,
STATEMENT OF AUTHORSHIP
"Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa tesis terfampir adalah mumi hasil pekerjaan saya sendiri. pekerjaan
orang
lain
yang
saya
gunakan
tanpa
Tidak ada menyebutkan
sumbemya. Materi ini tidak/belum pemah disajikan/digunakan sebagai bahan tesis pada mata ajaran lain kecuali saya menyatakan dengan jelas bahwa saya menyatakan menggunakannya. Saya
memahami
bahwa tesis
ini dapat diperbanyak dan
atau
dikomunikasikan untuk tujuan mendeteksi adanya plagiarisme" Nama
: Akhmad Helmi
NPM
: 6605220039
Judul Tesis
: Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nilai Tukar Petani (NTP).
Dosen Pembimbing
: Dr. Widyono Soetjipto
Depok,
Oktober 2006
.::.---(Akhmad Helmi)
ABSTRAK AKHMAD HELMI. 2006. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruihi Nilai Tukar Petani (NTP). Pembimbing : WIDYONO SOETJIPTO. Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh kebijakan fiskal dan kebijakan moneter pemerintah serta kebijakan lainnya di sektor pertanian terhadap perkembangan Nilai Tukar Petani (NTP). Analisis dilakukan terhadap NTP agregat maupun terhadap NTP kelompok komoditas tanaman bahan makanan (TBM) dan komoditas tanaman perkebunan rakyat (TPR). Data yang digunakan adalah data runtun waktu tahunan sejak 1976 sampai dengan 2004, kemudian dianalisa dengan menggunakan tahun dasar 1987 = 100. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa : 1) Selama periode, 29 tahun pengamatan tersebut terlihat bahwa NTP lebih sering berada dibawah level 100, yaitu sebanyak 16 observasi, yang menandakan bahwa kesejahteraan petani lebih sering menurun dan stagnan dibandingkan mengalami peningkatan. 2) Rata-rata NTP tanaman bahan makanan lebih baik dari pada rata-rata NTP tanaman perkebunan rakyat, yaitu masing-masing 108,9 dan 84,9. NTP komoditas padi, sebagai komoditas makanan pokok yang sangat penting, memiliki rata-rata hanya sedikit di atas 100, yaitu 101,8. 3) Jika dibandingkan antara sebelum terjadi krisis ekonomi dengan setelah krisis ekonomi, terlihat bahwa dimasa krisis kesejahteraan petani relatif lebih baik. 4). Nilai tukar petani baik secara agregat maupun per kelompok komoditas (NTP TNM< NTP TPR, NTP Padi) nyata dipengaruhi oleh nilai tukar barter sektor pertanian, harga eceran tertinggi pupuk urea, laju inflasi, dan anggaran pemerintah untuk pembangunan jaringan irigasi. Variabel nilai tukar rupiah hanya memberikan pengaruh yang nyata pada nilai tukar petani tanaman perkebunan dan padi. Hal ini mengindikasikan bahwa sektor pertanian memang membutuhkan peran pemerintah, yaitu berupa subsidi input dan kebijakan harga out put untuk memberikan insentif bagi petani untuk terus berproduksi dan berdiversifikasi. Hal ini dijelaskan dengan meyakinkan oleh respon nilai tukar petani terhadap setiap kebijakan yang ditetapkan pemerintah. Hasil estimasi regresi untuk anggaran pembangunan jaringan irigasi berperan signifikan dalam meningkatkan Nilai Tukar Petani, oleh karenanya kebijakan anggaran untuk pembangunan, pemeliharaan dan perbaikannya harus disediakan secara berkesinambungan. Pelimpahan wewenang kebijakan tersebut kepada pemerintah daerah diharapkan alokasi anggaran pembangunan untuk jaringan irigasi masih tetap berjalan. Disamping itu regresi juga menunjukkan bahwa kebijakan harga juga berpengaruh penting, sehingga kebijakan harga harus memberikan insentif bagi petani untuk terus berproduksi. Variabel lain yang berpengaruh nyata terhadap pergerakan NTP adalah inflasi dan nilai tukar tapi keduanya di luar kontrol pemerintah sehingga yang bisa dilakukan adalah dengan menciptakan fundamental ekonomi yang kuat.
1
KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Alloh SWT, atas segala limpahan rahmat, taufik dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis pada waktunya sebagai syarat kelulusan memperoleh gelar Magister Ekonomi pada Program Studi Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik (MPKP) Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Kemudian kami mengucapkan terima kasih yang setulusnya kepada : 1.
Bapak Dr. Widyono Soetjipto selaku pembimbing tesis kami, yang juga adalah Wakil Ketua LPEM FE-UI, yang telah menyediakan
waktu
sibuknya
untuk
memeberikan
bimbingan bagi perbaikan penulisan tesis kami. 2.
Ibu Hera Susanti, SE, MSc., yang juga adalah Sekretaris Program MPKP FE-UI, selaku Ketua Tim Penguji Sidang Tesis dan Komprehensif kami.
3.
Bapak Ir. Riyanto, Msi, selaku anggota Tim Pengujl Sidang Tesis dan Komprehensif kami.
4.
Para Dosen di Program Studi MPKP FE-UI yang telah membantu penulis dalam memperluas wawasan ilmu yang akan bergua bagi kami di kemudian hari.
5.
Bapak Dr. Ir. Dedy 5. Priatna MSc., selaku Kepala Pusat Pembinaan Pendidikan dan Pelatihan Perencana BAPPENAS yang telah memberikan kesempatan penulis memperoleh Beasiswa Pendidikan 52.
6.
Bupati
Pemalang,
Bapak
Machroes,
SH.,
yang
telah
meberikan ijin belajar kami dan bantuan biaya demi lancarnya studi kami. 7.
Rekan-rekan mahasiswa MPKP FE-U I angkatan XIV yang kompak dan saling memberikan pacu semangat, fastabiqul
khoirot menyelesaikan studi tepat waktu.
ii
8.
Semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu, yang
telah
membantu
kelancaran
penulis
selama
berlangsungnya masa studi. Semoga kebaikan mereka semua mendapatkan balasan yang lebih baik Tak lupa pula kami mengucapkan beribu terima kasih untuk orang tua kami Drs. Ma'un Mas'ud, SH; lbu Masamah dan lbu Masruroh serta mertua kami Bapak Budiono dan lbu Suyudlningrum serta saudara-saudara semua atas semua dukungan dan doa restunya. Jazaakumullohu khoiron katsir.
Jakarta, Oktober 2006
lll
DAFTARISI Halaman JUDUL LEMBAR PENGESAHAN PERSEMBAHAN ABSTRAK KATA PENGANTAR DAFTAR lSI
iv
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
I.
II.
ii
vii
PENDAHULUAN .......................................................................................... 1 1.1
Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2
Rumusan Masalah ............................................................................. 6
1. 3
Tujuan Penelitian ............................................................................... 7
1.4
Ruang Lingkup Penelitian ................................................................ 7
1.5
Manfaat Penelitian ............................................................................ 8
1.6
Kerangka Pemikiran ......................................................................... 9
1. 7
Sistematika Penulisan ...................................................................... 10
TINJAUAN LITERATUR ............................................................................ 11 2.1.
Sektor Pertanian dalam Pemangunan Ekonomi Indonesia .... 11
2.2.
Indikator Kesejahteraan Petani ................................ ........ 17
2.2.1.
Nilai Tukar Barter Sektor Pertanian ................................ 18
2.2.2.
Nilai Tukar Petani (NTP) ................................ ............... 19
2.3.
Perilaku Nilai Tukar Barter Pertanian dan Nilai Tukar Petani ... 24
2.3.1.
Elastisitas Produk Pertanian yang inelastis ...................... 24
2.3.2.
Perbedaan Perubahan Teknologi Pertanian dan Industri .... 27
2.3.3.
Perbedaan Struktur Pasar Produk Pertanian dan Industri .. 28
2.4.
Kebijakan Pemerintah dalam Pembangunan Pertanian ........ 29
2.4.1.
Kebijakan Makroekonomi ... ... . . . . . . . .. ..... .... . . . . .. . ... . . . . . . . ... . 32
2.4.2.
Kebijakan Harga Produk Pertanian ................................ 34
2.5.
Keterkaitan sektor Pertanian dengan Sektor Industri .......... 36
IV
2.6.
Ill.
METODOLOGI ................ ................ ................ ................ ...... 43 Identifikasi Variabel Kebijakan Yang Mempengaruhi NTP ..... 43 3.1 3.2 3.3 3.4 3.5
IV.
Beberapa Temuan Empiris tentang Nilai Tukar Barter Pertanian dan Nilai Tukar Petani ................ ................ ...... 38
Model-model Penduga dan Hipotesis .....•..•.....•. .....•.......... 48 Data dan Sumber Data •............... ................ ................ . 52 Prosedur Analisis •............... ..........•..... ................ .......... 52 Pengujian Hipotesis I Model •...•.•.••...... •.....••........ ........... 56
ANALISIS .................................................................................................... 57
Analisis Deskriptif Pergerakan NTP .................................... 57 4.2. Pergerakan NTP dan Pengaruh Kejadian Krisis Ekonomi .................................................................................... 62 4.1.
4.3. Variebel yang Berpengaruh terhadap NTP Agregat ....... 64 4.4. Variabel yang Berpengaruh terhadap NTP Tanaman Bahan Makanan ...................................................................... 67 4.5. Variabel yang Berpengaruh terhadap NTP Tanaman Perkebunan Rakyat ................................................................ 70 4.6. Varia bel yang Berpengaruh terhadap NTP Padi .............. 72 V.
KESIMPUL AN DAN IMPLIKAS I KEBDAKAN ................ ........... 76 [)~flr~Ft F-lJ!ilr~~
.........•.•••.. ...•..•..•...... ...•.•.•........ ....•............ ..
:7~
LAM PI RAN ••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••• 82
v
DAFTAR TABEL
Nomor
Teks
Halaman
4
1
Perkembangan Nilai Tukar Petanl di 8 Propinsi 1987 - 2004 . . . . . .
2
Struktur Ekonomi Indonesia 1969- 2003 atas dasar Harga Konstan Tahun 1987 (%) ..................................................... 15
3
Bobot Propinsi dalam Nilai Tukar Petani Indonesia . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . 20
4
Pergerakan NTP, NTP-TBM, NTP-TPR dan NTP-Padi ................... 58
5
Rasio (Perbandingan) Pendapatan Dispodabel per Kapita pada Golongan Rumah Tangga Pertanian 1975- 2004 ..................... 59
6
Perbandingan Produktivitas Padi dan NTP Padi Tahun 1998 - 2004 . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 60
Vl
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Teks
Halaman
1
Perkembangan Harga Dasar Gabah Kering Giling . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 14
2
Diagram Pembentukan Nilai Tukar Petani oleh Badan Pusat Statistik . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
3
Pembentukan dan Pergerakan Nilai Tukar Pertanian atas dasar keseimbangan Tertutup dua sektor . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 25
4
Pengaruh Elastisitas Kurva Permintaan .. . .. . .. . .. . .. . . . . .. . . . . . .. .. . .. . 26
5
Kebijakan Harga Dasar dan Harga Tertinggi . . . . . . . .. . .. .. .. . . . . . .. . .. 35
6
Pergerakan NTP 1976- 2004 .............................................. 59
7
Pergerakan NTP TBM, TPR dan Padi . . . .. . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . .. .. . 61
22
Vll
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Sektor
Pertanian
memiliki
peran
yang
penting
dalam
pembangunan ekonomi, terletak dalam hal-hal sebagai berikut : penopang
pertumbuhan
ekonomi
dan
penyedia
lapangan
kerja
nasional ; penyedia kebutuhan pangan masyarakat ; penghasil devisa ;
pendorong
pertumbuhan
sektor
industri
;
dan
pengentasan
kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan (Syafa'at, 2003) Kontribusi sektor pertanian dalam PDB secara nasional dari tahun ke tahun mengalami penurunan, sebesar 53,9°/o pada tahun
1960 menjadi hanya 15,9°/o pada tahun 2003. Perannya dalam PDB banyak tergantikan oleh sektor industri pengolahan yang pada tahun
2003 proporsinya 28,8°/o. Secara
total sektor non pertanian
pada
tahun 2003 menjadi 84,1 °/o. Hal ini menurut Mubyarto (1989), menandakan perubahan struktur perekonomian nasional yang menuju keseimbangan antara sektor industri (non pertanian) dan sektor pertanian, sesuai dengan teori ekonomi pembangunan. Ada beberapa alasan mengapa hal ini bisa terjadi, yaitu terjadinya pergeseran permintaan terhadap barang dan jasa ; peningkatan spesialisasi produksi
dan
perubahan
dalam
keuntungan
komparatif
untuk
pertanian
dalam
memproduksi barang dan jasa. Pada
umumnya
penurunan
sektor
perekonomian diterima sebagai fenomena yang normal (Simatupang dan Isdijoso, 1992). Penjelasan tersebut secara teoritis maupun empiris umumnya disebabkan oleh penuruan nilai tukar barter sektor pertanian terhadap sektor non pertanian, yang disebabkan oleh tiga faktor, yaitu efek hukum Engel, efek kemajuan teknologi sektor pertanian yang menguntungkan sektor non pertanian ( efek bias
perubahan teknologi) dan pertumbuhan kapital yang menguntungkan sektor non pertanian (Sipayung, 2000). Perubahan kontribusi sektor pertanian dalam PDB tersebut seharusnya diikuti oleh perubahan yang seimbang dalam penyerapan tenaga kerja. Tetapi temyata hal tersebut sulit terwujud dalam kasus Indonesia. Dalam periode yang sama, penyerapan tenaga kerja sektor pertanian hanya turun dari 67% menjadi 44°/o. Sementara sektor non pertanian yang kontribusinya tumbuh lebih cepat, perannya dalam menyerap tenaga kerja hanya naik dari sekitar 33°/o menjadi 55°/o. Hal ini menggambarkan bahwa perubahan struktur ekonomi Indonesia selama periode tersebut berjalan secara tidak seimbang. Berarti pula bahwa rata-rata pendaptan tenaga kerja sektor pertanian lebih rendah dibandingkan dengan tenaga kerja di sektor non pertanian. Hal ini berarti sektor pertanian menanggung beban yang berlebihan dalam menyerap tenaga kerja. Akibatnya pengangguran tersembunyi cukup besar di sektor pertanian. Penurunan peran dalam PDB serta penurunan tenaga kerja sektor pertanian yang tidak seimbang
mengakibatkan
produktivitas
tenaga
kerja
di
sektor
pertanian rendah (Simatupang dan Mardianto, 1996). Tingginya angka pengangguran menyebabkan
tersembunyi
produktivitasnya
dan
penduduk miskin
di
yang
sektor pertanian
rendah
meningkat.
Dengan kata lain kesejahteraan petani tidak mengalami peningkatan. Tingginya angka kemiskinan (baik angka absolut maupun persentase) di pedesaan dibandingkan dengan di perkotaan menjadi satu tanda bahwa memang masih banyak penduduk yang menggantungkan hidupnya di sektor pertanian. Masih banyaknya penduduk pedesaan yang menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian juga berarti bahwa sektor pertanian menyediakan
pasar
yang
sangat
besar
untuk
produk
industri
manufaktur. Dan jumlah itu masih terus akan bertumbuh. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang paling efektif untuk mengentaskan kemiskinan di wilayah pedesaan melalui peningkatan kesejahteraan (pendapatan) mereka yang bekerja di sektor pertanian.
2
Hal ini penting mengingat besamya rumah tangga pertanian di Indonesia, yang berdasarkan sensus pertanian 2003 adalah 47°/o dari seluruh rumah tangga dan di dalamnya termasuk petani gurem yang menguasai lahan rata-rata di bawah 1 hektar. Peningkatan pendapatan petani pedesaan sebagai akibat surplus hasil
pertanian
akan
memperbaiki
kesejahteraan
masyarakat
pedesaan. Dengan itu para petani mulai dapat meningkatkan konsumsi bahan makanan yang bergizi tinggi dalam bentuk biji-bijian, telur, susu, dan buah-buahan. Maka dengan semakin meningkatnya surplus hasil pertanian berdampak pada peningkatan standar kehidupan masyarakat petani {pedesaan) {Rangrajan, 1982 dalam Syafa'at,
2003). Untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani tersebut BPS membuat laporan bulanan Nilai Tukar Petani {NTP), sebagai salah satu pendekatan pengukuran tingkat kesejahteraan petani. NTP merupakan salah satu pengukur kemampuan nilai tukar barang-barang produk pertanian yang dihasilkan petani dengan barang atau jasa yang dikonsumsi oleh rumah tangga petani dan biaya yang dipergunakan untuk membeli sarana produksi pertanian. Data NTP hanya mengukur tingkat
kesejahteraan
dari
waktu
ke
waktu,
tapi
tidak
dapat
dibandingkan antar propinsi atau daerah. Sektor yang dicakup dalam perhitungan NTP meliputi sektor Tanaman Bahan Makanan {padi, jagung, kacang-kacangan dan umbi-umbian) dan Sektor Tanaman Perkebunan Rakyat {tebu rakyat, kopi, lada, tembakau, karet, kelapa, teh, cengkeh, panili, sayuran, buah-buahan dan bunga-bungaan) Data
BPS menunjukkan bahwa selama periode 1987 - 2004,
NTP di empat belas propinsi di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup berfluktuasi, terutama periode 1997 - 2004.
secara
umum, angka NTP di 14 Propinsi sampai pada tahun 1993 berkisar pada angka 100, yang berarti tingkat kesejahteraan relatif atau daya beli
petani selama periode tersebut tidak mengalami peningkatan
berarti. Sementara itu di 3 propinsi pulau jawa sejak 1994 cenderung mengalami penurunan dan naik kembali pada 2002 hingga 2004.
3
Pergeseran paradigma agrikultur (budaya bertani) kepada paradlgma agribisnis (bisnis pertanian) sejak tahun 2001, yaitu sejak Departemen Pertanian membuat kerangka konsep pembangunan pertanian yang baru, belum dapat meningkatkan kesejahteraan petani secara luas. Bahkan pada beberapa kasus penerapan konsep agribisnis telah merugikan petani maupun sektor pertanian secara umum. Kasus Tabel J. Perkembllnpn Nllal Tululr Pet:llnl dl 8 Proplnsl J987- 2004 ....--Tllhun
1987 1989
Jateng
107,5 106,3 '
Jatlm
Sumbar
103,7
111,3
100,0
103,9
104,6
1995
104,7
105,5
106,4
1997 1999 2001
104,2
104,1
91,5
112,1
101,9
Lam-
Jabar
109,0
106,1 ~
Kalsel
Sulsel
NTB
100
100
100,0
102,1
110,0
103,5
99,3
108,1
112,7
106,5
115,9
124,0
133,9
134,7
102,6
112,1
109,0
89,3
112,0
117,1
85,7
73,6
104,5
117,8
87,2
78,9
102,8
118,7
85,8
pung
...
100 100,9
115,3
89,1
112,8
121,6
75,9
97,6
95,3
81,4
114,5
86,4
2002
113,3
125,3
110,7
88,6
2003
124,1
132,6
121,2
91,1
2004
154,3
149,4
151,0
95,4
79,9 76,2
...
'
I
' t
..-I T"
I
Sumber: BPS. "'Statistik 60 Tahun Indonesia Merdeka".
tata niaga cengkeh oleh BPPC di zaman orde baru dan tidak kelarnya masalah perberasan hingga saat ini bisa menjadi contoh. Padahal perubahan konsep agrikultur menjadi agribisnis berarti segala usaha produksi pertanian ditujukan untuk mencari keuntungan, bukan sekedar memenuhi kebutuhan sendiri termasuk petani gurem atau subsisten sekalipun (Mubyarto, 2003). Sementara itu perubahan orientasi dari peningkatan produksi ke orientasi peningkatan pendapatan petani belum cukup jika tanpa dilandasi
pada
orientasi
kesejahteraan
petani.
Peningkatan
pendapatan tanpa diikuti dengan kebijakan struktural pemerintah di dalam pembuatan aturan hukum, persaingan, distribusi, produksi, subsidi dan konsumsi yang melindungi petani tidak akan mampu mengangkat kesejahteraan petani ke tingkat yang lebih baik.
Kisah
suram yang massal tentang nasib petani lebih banyak terjadi dari pada
4
sebuah cerita kesuksesan.
Ketika Bulog gagal menstabilisasi harga
beras di musim panen raya adalah contoh yang hampir selalu berulang, tanpa penyelesaian. Jika kebijakan pemerintah berorientasi terhadap kemandirian pangan dalam negeri, apa halangan untuk mensubsidi petani beras dalam bentuk pembelian produksi mereka? Dalam melihat kesejahteraan
petani dengan ukuran
NTP,
penting juga untuk melihat nilai tukar barter sektor pertanian terhadap non pertanian, karena nilai tukar barter sektor pertanian juga merupakan proksi pengukur tingkat kesejahteraan petani (Sajogyo, 2003). Nilai tukar barter sektor pertanian dengan sektor industri didefinisikan sebagai rasio antara harga produk pertanian dengan produk industri (Reksasudharma, 1989). Tidak sebagaimana NTP, data BPS menunjukkan bahwa nilai tukar barter sektor pertanian cenderung menunjukkan garis menurun. Arah perubahan nilai tukar barter sektor pertanian
sangat
ditentukan
oleh
perbedaan
laju
pertumbuhan
teknologi, elastisitas permintaan terhadap pendapatan untuk kedua sektor serta laju pertumbuhan penduduk (Simatupang, 1992). Sehubungan dengan itu perkembangan nilai tukar barter sektor pertanian tersebut mendapatkan perhatian yang khusus dari para pengambil kebijakan maupun para peneliti. Bagaimana kebijakan publik melihat masalah ini dan membuat formula kebijakan yang dapat mengangkat kesejahteraan petani, kelompok masyarakat yang masih mayoritas di negeri ini. Harus dihindari suatu anggapan bahwa pertanian hanya berperan sebatas penyedia tenaga kerja dan bahan pangan
yang
murah
bagi
sector
industri
sebagaimana
teori
pembangunan dua sector Lewis (Booth, 1990). Jika pendekatan itu yang selalu digunakan dalam membuat kebijakan pertanian maka kesejahteraan petani yang diidamkan sebagai salah satu wujud keberhasilan pembangunan pertanian akan sulit terwujud. Informasi empiris tentang NTP maupun nilal tukar barter sektor pertanian sangat diperlukan untuk memahami peran sektor pertanian dalam perekonomian maupun dalam membuat kebijakan pertanian yang berorientasi kesejahteraan petani.
5
1.2. Rumusan Masalah Setiap kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah haruslah dapat dilihat dampaknya bagi masyarakat, sesuai dengan asas akuntabilitas. Sehingga
suatu
kebijakan
haruslah
selalu
dievaluasi
untuk
mendapatkan rumusan yang lebih tepat sasaran bagi kebijakan berikutnya. Pertumbuhan ekonomi secara umum belum dapat menjelaskan tentang peran setiap sektor dalam pertumbuhan serta manfaat pertumbuhan
tersebut
bagi
tiap
lapisan
masyarakat.
Apakah
pertumbuhan ekonomi secara umum maupun pertumbuhan sektor pertanian sendiri telah dapat dirasakan manfaatnya oleh para petani, berupa peningkatan pendapatan mereka serta kemudahan berusaha di sektor
pertanian.
Sementara
itu
disamping
perannya
dalam
pertumbuhan ekonomi yang selalu menurun, produktivitas sektor pertanian
juga
rendah.
Tercermin
dari
perannya
dalam
PDB
dibandingkan dengan jumlah tenaga kerja yang terlibat di dalamnya. Dalam periode tahun 1982 - 2002 sektor pertanian hanya tumbuh rata-rata 2,85 per tahun. Sementara sektor non pertanian tumbuh rata-rata 5,7°/o pertahun. Hal ini berarti sektor non pertanian tumbuh dua kali lebih cepat dari pada pertumbuhan sektor pertanian. Namun pertumbuhan yang lebih cepat itu tidak diikuti dengan kemampuan penyerapan tenaga kerja yang seimbang. Sementara
itu
di
tengah
pertumbuhan
ekonomi
dan
pertumbuhan sektor pertanian yang terus berlangsung, kesejahteraan petani sebagai produsen produk pertanian mengalami fluktuasi. Hal tersebut dicerminkan dari fluktuasi Nilai Tukar Petani {NTP} sebagai indikator kesejahteraan petani. Fluktuasi tersebut diduga disebabkan oleh faktor perubahan kondisi makroekonomi, fluktuasi harga akibat siklus panen raya
dan paceklik maupun akibat fluktuasi harga
komoditi pertanian dunia. Oleh karena itu menjadi penting untuk mengkaji pengaruh berbagai kondisi tersebut terhadap kesejahteraan petani. Dengan menggunakan
Nilai Tukar Petani (NTP} sebagai
6
indikator kesejahteraan petani, analisis terhadap berbagai kondisi tersebut dilakukan. Mengingat intervensi pemerintah di sektor pertanian sangat diperlukan, maka berbagai kebijakan ekonomi pemerlntah perlu dikaji pengaruhnya
bagi
produktivitas
pertanian.
Kajian
tidak
hanya
dilakukan pada skala makro, berupa laju pertumbuhan dan perannya dalam pembentukan Produk Domestik Bruto, tetapi lebih jauh lagi hingga pada tingkat pengaruhnya terhadap peningkatan pendapatan petani dan kesejahteraan keluarganya. Berbagai kebijakan pemerintah baik moneter maupun fiskal penting untuk diperhatikan pengaruhnya bagi perkembangan pendapatan dan kesejahteraan petani. Mengingat NTP disusun dari indek harga komoditas tanaman pangan dan tanaman perkebunan, maka analisis juga perlu dilakukan terhadap berbagai kebijakan yang mempengaruhi masing-masing kelompok komoditas tersebut. Analisis terhadap komoditas-komoditas penting dari tiap kelompok komoditas dapat dilakukan jika tersedia data yang mendukung untuk analisis yang lebih rinci.
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh kebijakan fiskal dan kebijakan moneter pemerintah serta kebijakan lainnya di sektor pertanian terhadap perkembangan Nilai Tukar Petani (NTP). Analisis akan dllakukan terhadap NTP agregat maupun terhadap NTP kelompok komoditas tanaman bahan makanan (TBM) dan komoditas tanaman perkebunan rakyat (TPR).
1.4. Hipotesis Hipotesis
penelitian
ini
adalah
bahwa
kebijakan
ekonomi
pemerintah yang berpengaruh terhadap perkembangan Nilai Tukar Petani (NTP) adalah nilai tukar rupiah, laju inflasi, kebijakan harga input
dan
output
sektor
pertanian
dan
kebijakan
anggaran
7
pembangunan sektor pertanian serta rasio pertumbuhan ekonomi sektor pertanian terhadap sektor non pertanian (nilai tukar sektor pertanian terhadap sektor non pertanian). 1.5. Ruang Lingkup Penelltian Ruang lingkup penelitian ini adalah mengkaji Nilai Tukar Petani (NTP) sebagai salah satu indikator kesejahteraan petani di Indonesia. Periode observasi dilakukan terhadap data tahun 1976- 2004. Pembahasan akan dipusatkan pada pengaruh kebijakan fiskal dan moneter pemerintah serta kebijakan lain di sektor pertanian terhadap pergerakan nilai tukar petani baik secara agregat maupun kelompok komoditas. Dengan pembahasan itu diharapkan dapat dilihat pengaruh kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh Pemerintah terhadap peningkatan kesejahteraan petani. 1.6. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini, walaupun mungkin belum dapat secara langsung digeneralisir diharapkan dapat bermanfaat bagi para peneliti lainnya dalam menganalisis Nilai Tukar Petani (NTP) sebagai indikator kesejahteraan petani. Harapan yang lebih tinggi adalah hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan dalam pengambilan kebijakan pertanian. Bahwa kebijakan ekonomi secara umum akan berpengaruh terhadap sektor pertanian, sehingga setiap kebijakan makroekonomi, baik fiskal maupun moneter tidak bias (menganaktirikan) sektor pertanian.
8
1.7. Kerangka Pemikiran
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KESEJAHTERAAN PETANI INDONESIA DENGAN INDIKATOR NILAI TUKAR PETANI (NTP)
FAKTA
Latar Belakang
HARAPAN
Pertumbuhan sektor pertanian lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi Peran Sektor pertanian dalam perekonomian menurun Penurunan peran sektor pertanian kurang diimbangi perpindahan Tenaga kerja ke sektor lainnya. Ada kebijakan di masa lalau yang tidak ramah terbadap sektor pertanian Kesejahteraan petani yang diukur dengan indek Nilai Tukar Petani (NTP) secara umum cenderung
Penurunan Peran sektor pertanian dalam perekonomian nasional tidak menimbulkan kerugian bagi sektor pertanian dan para petani Oleh karena itu perlu kebijakan ekonomi pemerintah secara umum (fiskal dan moneter) maupun kebijakan sektor pertanian secara khusus agar produktivitas tetap tinggi dan terjamin kesejahteraan bagi petani
berfluktuasi.
Menganalisis berbagai kebijakan ekonomi pemerintah yang mempengaruhi perkembangan sektor pertanian dan kesejahteraan petani
Tujuan
AnaUsis
Menganalisis pengaruh kebijakan fiskal dan moneter pemerintah dan faktor lainnya terhadap perkembangan Nilai Tokar Petani (NTP).
Regresi sederhana
Data Sekunder
l Hasil Penelitian dan Pembahasan
_ _ __,., 1111,
Kesims::' dan
9
1.8. Sistematika Penulisan L.aporan penelitian ini disusun dalam 5 bab, yaitu : BAB I Pendahuluan, terdiri dari latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, hipotesis,
ruang lingkup
dan sistematika penulisan. BAB
II.
Kajian
pembangunan
Literatur,
ekonomi,
Berisi
kajian
perkembangan
literatur
tentang
sektor pertanian
dan
kesejahteraan petani serta peran pemerintah dalam pembangunan pertanian. BAB III Metodologi Penelitian, Menguraikan metodologi yang digunakan pada penelitian ini yang terdiri dari identifikasi variabel yang mempengaruhi NTP, desain penelitian, data dan sumber data, serta analisa data. BAB IV Analisis, Menguraikan hasil penelitian dan pembahasannya. BAB V Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan.
10
II. nNJAUAN UTERATUR 2.1.
Sektor
Pertanian
dalam
Pembangunan
Ekonomi
Indonesia. Sektor Pertanian di Indonesia didefinisikan dengan arti yang luas,
sebagaimana
yang
didefinisikan
oleh
Mubyarto
(1987).
Menurutnya pertanian dalam arti luas adalah mencakup : Pertanian rakyat atau disebut pertanian dalam arti sempit ; Perkebunan (perkebunan rakyat dan perkebunan besar) ; Kehutanan ; Petemakan, dan ; Perikanan (perikanan darat maupun perikanan laut). Dalam pendataan statistik, terutama untuk penghitungan Produk Domestik Bruto, Badan Pusat Statistik menggabungkan semua itu dalam satu item yang menyatu. Dalam pelaksanaan kebijakan pembangunan, saat ini ada tiga departemen yang menangani sektor-sektor di atas, yaitu Departemen Pertanian untuk menangani kebijakan
pembangunan sub sektor
pertanian dan sub sektor perkebunan. Departemen Kehutanan untuk menangani kebijakan pembangunan sub sektor perkebunan dan Departemen Kelautan dan Perikanan untuk menangani kebijakan pembangunan sub sektor perikanan. Tulisan ini akan lebih menekankan pembahasan mengenai pertanian dalam arti sempit dan perkebunan. Kedua sub sektor tersebut memiliki suatu ukuran kesejahteraan tersendiri, yaitu Nilai Tukar Sektor Pertanian dan Nilai Tukar Petani (NTP), yang diukur secara bulanan oleh BPS, yang akan menjadi subyek utama tulisan ini. Sebagaimana telah disebutkan di atas, pertanian dalam arti sempit (pertanian rakyat) diartikan sebagai usaha pertanian keluarga untuk memproduksi bahan makanan utama seperti beras, palawija (jagung, kacang-kacangan dan umbi-umbian) serta tanaman-tanaman hortikultura seperti buah-buahan dan sayuran.
Dalam pertanian
rakyat, hampir tidak ada usaha tani yang memproduksi hanya satu macam hasil saja. Dalam satu tahun petani dapat memutuskan untuk
menanam tanaman (perdagangan).
bahan
makanan
atau tanaman
perkebunan
Keputusan petani untuk menanam bahan makanan
terutama didasarkan pada kebutuhan makan untuk seluruh keluarga petani,
sedangkan
keputusannya
untuk
menanam
tanaman
perdagangan didasarkan pada iklim, ketersediaan modal, tujuan penggunaan hasil penjualan tanaman dan harapan akan harga (Mubyarto, 1987). Namun demikian, perkembangan jaman telah sedikit merubah cara produksi subsisten oleh petani seperti dijelaskan di atas menjadi berorientasi pendapatan untuk mencukupi berbagai kebutuhan rumah tangga.
Karena balk tanaman bahan makanan
maupun tanaman perdagangan ditanam oleh petani tidak saja untuk kebutuhan keluarga tetapi juga untuk tujuan mendapatkan hasil lebih untuk mencukupi kebutuhan selain makanan. Tanaman-tanaman perdagangan rakyat dikenal dengan nama hasil-hasil perkebunan rakyat, yang meliputi tembakau, teh, tebu rakyat, kopi, lada, karet, kelapa, cengkeh, buah-buahan, sayuran serta bunga-bungaan. Dengan sejarahnya yang panjang, tanaman-tanaman perkebunan itu memiliki posisi lebih penting di luar Pulau Jawa. Sebagaimana
pembangunan
ekonomi
di
banyak
negara,
Pembangunan ekonomi Indonesia dimulai dengan membangun sektor pertanian.
Sektor pertanian
sebagai
prioritas utama
di
awal
pembangunan ekonomi di Indonesia secara formal disebutkan dalam Garis-garis
Besar
Haluan
Negara
(GBHN)
setiap
Rencana
Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Repelita I sampai dengan III (1969
-
1984)
pemerintah
menetapkan
pembangunan
sektor
pertanian sebagai titik berat pembangunan ekonomi nasional yang didukung oleh pembangunan sektor industri.
Setelah tercapai
swasembada beras tahun 1984, strategi pembangunan ekonomi yang dijalankan pemerintah adalah merubah titik berat dari sektor pertanian ke sektor industri, yaitu pembangunan sektor industri yang didukung oleh sektor pertanian. Hal ini tercermin secara formal dalam GBHN Pelita IV dan V (1985 - 1995). Propenas 1999-2004 dan RPJM 2002 2007, sebagai pengganti GBHN juga menempatkan industri sebagai
12
penggerak utama perekonomian, dengan tujuan terjadi transformasi struktur ekonomi menjadi negara industri. Khusus kebijakan di bidang pangan sejak zaman kemerdekaan, terlihat
kebijakan
pemerintah
sudah
mulai
berat
ke
arah
penyeragaman makan pokok masyarakat Indonesia, yaitu beras. Hal ini ditandai dengan dibentuknya Yayasan Badan Pembelian Padi (YBPP) dengan tugas membeli padi, baik lokal maupun impor (Amrullah, 2005). Sementara itu tidak dibentuk lembaga sejenis untuk komoditi pangan lain yang menjadi makanan pokok sebagian masyarakat Indonesia lainnya, seperti jagung, sagu dan umbi-umbian. Kemudian sejak 1964 dibentuk Badan Pelaksana Urusan Pangan (BPUP) yang diberi
tugas
lebih
luas,
yaitu
pengadaa/pembelian,
penjualan,
pengangkutan, pergudangan/ penyimpanan, dan penyaluran beras. Sejak Orde Baru pun kebijakan penyeragaman pangan beras semakin menguat, dimana peran stabilisasi dan pembentukan stok pangan oleh BULOG (yang dibentuk sejak 1967), lebih kepada komoditas beras. Berlanjut pada era Reformasi kebijakan pangan pokok beras telah mengkristal,
sehingga
kebijakan
untuk
pangan
bersubsidi
pun
diterapkan pada beras untuk semua wilayah Indonesia, tanpa melihat bahan pangan lokal khas daerah. Dalam menerapkan harga pangan pokok beras, Indonesia lebih menerapkan harga pangan murah (Arifin, 2004), mengingat sebagian besar
masyarakat
Indonesia
masih
mengalokasikan
bagian
pendapatannya untuk kebutuhan pangan cukup besar {Amrullah, 2005). Kebijakan ini memang lebih condong kepada masyarakat konsumen,
akan
tetapi
bagi
petani
sebagai
produsen
tidak
menguntungkan. Indrawati dalam Amrullah (2005) melaporkan bahwa pentingnya beras sebagai · komoditas pangan pokok bagi penduduk Indonesia dengan populasi nomor 4 dunia membuatnya sangat berpengaruh baik secara
mikro
(produsen
-
konsumen)
maupun
secara
makro
(penyebab inflasi). Oleh karenanya sejak 1 November 1970, untuk menstabilisasi harga beras ditetapkan kebijakan Harga Dasar Gabah
13
(HOG). Perkembangan HOG disajikan dalam Gambar 1. Terlihat bahwa dalam harga berlaku terjadi kenaikan terus menerus penetapan HOG, bahkan melonjak tajam sejak tahun 1999. namun dalam harga konstan kenaikannya tidak berarti, bahkan terjadi penurunan kembali setelah meningkat pada tahun 2000. Gamber 1. Perkembangan Harga DeAr Gabah Kering GRing
Tahun
Selama tiga Repelita Pertama, serangkaian pengembangan teknologi dan kelembagaan dilakukan untuk pengembangan sektor pertanian dengan sasaran pokok peningkatan produksi, khsusunya beras untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. Sementara itu, pengembangan industri pada kurun waktu tersebut diprioritaskan pada pengembangan industri-industri yang menghasilkan barangbarang kebutuhan domestik yang maslh diimpor (substitusi impor). Pada
gilirannya
pengembangan
sektor
industri
tersebut
berangsur menggantikan peran sektor pertanian dalam perekonomian Indonesia.
Walaupun
penurunan
sektor pertanian
juga
dlikuti
oleh penurunan kesejahteraan petani pedesaan, namun hal inl
14
dianggap sebagai sebuah gejala normal pembangunan ekonomi yang beroirentasi pada pertumbuhan pendapatan (GOP) (Mubyarto, 2003). Apa yang disebut perubahan struktur ekonomi ini akan mempengaruhi alokasi sumber daya dalam pelaksanaan pembangunan selanjutnya. Indikator makroekonomi untuk menggambarkan perubahan struktur ekonomi dapat dlgunakan mulai dari indikator sederhana sampai pada indikator yang kompleks, tergantung pada tujuan analisis.
Secara
makroekonomi
indikator
sederhana
menggambarkan perubahan struktur ekonomi
yang
Indonesia adalah
pangsa sektor-sektor ekonomi dalam pembentukan PDB, penyerapan tenaga kerja dan ekspor - impor. Yang sering dilihat adalah sektor pertanian dan sektor non pertanian. Tebel 2 berikut memperlihatkan perkembangan pangsa sektor pertanian yang menurun dalam struktur ekonomi Indonesia sejak 1976
- 2003. Tabel 2. Struktur Ekonomi Indonesia 1976- 2003 atas dasar Harga Konstan Tahun 1993 {o/o) Selctor
1976
1984
1993
2003
31,11
22,72
18,45
15,92
9,49
14,59
22,33
28,84
Lainnya
59,40
62,69
59,22
55,24
lumlah
100
100
100
100
Pertanian Industri Pengolahan
Sumber : Statistik 60 Tahun Indonesia Merdeka, BPS 2005.
Pangsa sektor pertanian telah mengalami penurunan yang sangat cepat dalam periode tersebut, dari 31,11°/o pada tahun 1976 menjadi hanya 15,92°/o pada tahun 2003. Sementara sektor Industri pengolahan mengalami peningkatan dari 9,49°/o pada tahun 1976 menjadi 28,84°/o pada tahun 2003. Ketertinggalan tersebut karena kecepatan pertumbuhan sektor pertanian lebih lambat dari pada pertumbuhan sektor Industri dan Jasa.
Selama periode tersebut sektor pertanian hanya mampu
15
bertumbuh rata-rata 2,9% pertahun,
sementara sektor industri
pengolahan dapat tumbuh rata-rata di atas 9% per tahun. Berbeda
dengan
pola
perubahan
pangsa
sektor
dalam
pembentukan PDB, dalam penyerapan tenaga kerja sektor pertanian tetap dominan selama periode 1969 -2003, meskipun mengalami penurunan.
Penyerapan tenaga kerja sektor pertanian hanya turun
dari sekitar 67°/o pada tahun 1969 menjadi sekitar 44°/o pada tahun
2003. Sementara, walaupun sektor industri dan jasa tumbuh dua kali lebih cepat dari pertumbuhan sektor pertanian, tetapi penyerapan tenaga kerjanya hanya naik sedikit, kurang dari dua kali lipat. Bila dibandingkan pola penyerapan tenaga kerja dengan pola perubahan pangsa sektor dalam PDB, maka terjadi ketimpangan perubahan struktural. Sektor pertanian yang perannya dalam PDB turun sangat cepat menjadi sekitar 15°/o pada tahun 2003 masih menyerap 44°/o tenaga kerja. Sementara sektor non pertanian yang perannya mencapai 85°/o hanya menyerap 56°/o tenaga kerja. Dengan ini terlihat para pekerja di sektor pertanian hanya menikmati sedikit dari produksi nasional (PDB). Kondisi ini menyarankan perlunya percepatan perubahan struktur penyerapan tenaga kerja mengikuti perubahan struktur PDB melalui peningkatan penerapan teknologi di sektor pertanian (Syafa'at, 2003). Rendahnya alokasi investasi pemerintah, pada sektor pertanian mencerminkan bahwa perhatian pada pembangunan sektor pertanian selama kurun waktu tersebut kecil.
Hal ini diikuti pula dengan
rendahnya investasi swasta, sehingga dugaan bahwa sektor pertanian mengalami under investment (Tambunan, 1992) dibenarkan oleh realitas tersebut.
Ini menunjukkan investasi di sektor pertanian
mengandalkan investasi dari para petani sendiri atau pembiayaan dari lembaga keuangan non formal (Sipayung, 2000) dan tidak tergantung pada
pemerintah
maupun
sumber pembiayaan
lembaga
formal
lainnya. Perkembangan terakhir dengan berkembangnya organisasiorganisasi perdagangan dunia telah menekan sektor pertanian dan
16
otomatis para petani di negara berkembang seperti Indonesia. Perjanjian perdagangan intemasional yang leblh banyak dikuasai negara kaya yang memproteksi petani mereka, telah mengakibatkan rendahnya tarif masuk komoditi pertanian (Mubyarto, 2003). Berbagai bentuk proteksi terhadap produk pertanian oleh negara menjadi sesuatu yang dilarang melalui serangkaian program yang dirancang oleh negara donor. Akibatnya produk pertanian impor membanjiri pasar domestik yang memaksa petani menjual hasil pertaniannya dengan harga murah. Kesejahteraan petani pun terancam tetap rendah jika kondisi ini terus berlangsung.
2.2.
Indikator Kesejahteraan Petani Muara dari semua kegiatan pembangunan adalah kesejahteraan
masyarakat, baik sebagai konsumen maupun produsen.
Dalam hal
pembangunan sektor pertanian, maka yang perlu diperhatikan adalah bagaimana peningkatan produktivitas pertanian serta tercapainya surplus produksi dapat memberikan kesejahteraan bagi petani, baik sebagai produsen maupun sebagai konsumen. Mengingat surplus produksi adalah sesuatu yang sangat mendasar di mana petani memproduksi lebih dari yang dibutuhkan untuk dikonsumsi sendiri, sehingga kelebihannya dapat digunakan untuk mendapatkan barangbarang konsumsi non makanan (Lipsey, 1989). Berbagai kebijakan di sektor pertanian dikatakan efektif jika "kesejahteraan" petani semakin meningkat, yang dapat ditandai dengan semakin menurunnya angka kemisklnan di pedesaan, sebagai daerah dengan basis ekonomi pertanian. Oleh karena itu perlu ada indikator untuk mengukurnya yang dapat dilihat dari waktu ke waktu. Paling tidak ada dua indikator yang sangat erat kaitanya dengan sektor pertanian, yang dapat diterapkan, yaitu Nilai Tukar Barter Sektor Pertanian dan Nilai Tukar Petani.
Yang pertama membandingkan
antara nilai produksi pertanian dibandingkan dengan nilai produksi sektor non pertanian. Sedangkan yang kedua adalah suatu indeks
17
yang memperhitungkan petani sebagai produsen pertanian maupun petani sebagai konsumen produk pertanian dan non pertanian. 2.2.1.
Nilai Tukar Barter Sektor Pertanian Konsep nilai tukar barter mengacu pada harga relatif suatu
komoditas pertanian tertentu terhadap barang/produk non pertanian. Nilai tukar barter (NTB) didefinisikan sebagai rasio antara harga produk pertanian terhadap harga produk non pertanian (Rachmat, 2000). Jadi NTB merupakan analisa sistem keseimbangan pasar di sektor pertanian maupun non pertanian (Simatupang, 1992). Secara matematik NTB dirumuskan sebagai berikut : NTB=Px/Py; Dimana:
NTB = Nilai tukar barter pertanian Px
= Harga komoditas pertanian
Py
= Harga komoditas non pertanian
Peningkatan NTB berarti semakin kuat daya tukar komoditas pertanian terhadap barang yang dipertukarkan. Kelemahan indikator ini
adalah
ketidakmampuannya
untuk
menjelaskan
pengaruh
perubahan produktivitas (teknologi) yang terjadi, baik pada komoditas pertanian maupun non pertanian. Hasil penelitian Simatupang (1992), menyimpulkan bahwa perbaikan nilai tukar barter pertanian terjadi bila laju pertumbuhan penduduk semakin besar, perbaikan teknologi sektor non pertanian semakin tinggi dan lebih tinggi dari perbaikan teknologi sektor pertanian. Sedangkan nilai tukar barter pertanian akan menurun jika terjadi peningkatan produksi akibat perbaikan teknologi, penigkatan produksi per kapita dan laju pertumbuhan penduduk yang menurun. Sipayung (2000) merumuskan NTB adalah rasio indeks harga deflator Produk Domestik Bruto (PDB) sektor pertanian terhadap indeks harga deflator PDB sektor non pertanian. Dimana nilainya
18
dipengaruhi oleh elastisitas permintaan produk pertanian terhadap pendapatan, rasio kemajuan teknologi sektor pertanian terhadap sektor non pertanian dan perkembangan nilai tukar rupiah di pasar intemasional. Nilai Tukar Petani (NTP}
2.2.2.
Nilai tukar petani (NTP) merupakan salah satu indlkator relatif tingkat kesejahteraan petani yang dihitung dari perbandingan indeks harga yang diterima
petani terhadap indeks harga yang dibayar
petani. BPS membatasi "petani" untuk mengukur NTP, hanya petani untuk komoditas tanaman bahan makanan (padi, palawija, sayuran dan buah-buahan) dan tanaman perkebunan rakyat. Dengan konsumen
NTP,
sekaligus.
petani
diposisikan ia
Karenanya
sebagai
produsen
dan
tukar
dari
mengukur daya
komoditas pertanian yang dihasilkan petani terhadap produk yang petani
dibeli
untuk
keperluan
sarana
produksi
usaha
taninya
maupun untuk konsumsi rumah tangga. Petani didefinisikan sebagai individu yang berusaha di bidang usaha tani ladang, mencakup usaha tani komoditas tanaman bahan makanan dan tanaman perkebunan BPS mengambil "petani' tersebut dalam unit propinsi,
rakyat.
sehingga menggambarkan petani suatu propinsi. Nilai Tukar Petani (NTP) mulai dibuat oleh BPS dengan tahun dasar 1983 untuk 4 propinsi di Pulau Jawa, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan DI Yogyakarta untuk pengukuran NTP sejak tahun 1976.
Selanjutnya dikembangkan untuk 10 propinsi lainnya
yaitu Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, Sulawewsi Utara dan Sulawesi Selatan dengan menggunakan tahun dasar 1987. Sejak
Tahun
1999,
dengan
menggunakan
tahun
dasar
1993
dikembangkan lagi untuk 9 propinsi lainnya, yaitu Riau, Jambi, Bengkulu,
Nusa Tenggara Timur,
Kalimantan
Barat,
Kalimantan
Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara.
19
Pengukuran tidak dilakukan di Maluku, DKI Jakarta dan Irian Jaya. Gam bar 1. di atas menjelaskan diagram proses pembentukan NTP. Indeks NTP nasional adalah merupakan indeks komposit dari 14 propinsi yang telah diukur NTP -nya, dengan dilakukan pembobotan tiap propinsi sesuai dengan jumlah rumah tangga taninya. Adapun bobot tiap propinsi adalah sebagai tercantum dalam Tabel 3. Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur memiliki bobot yang paling besar dalam pembuatan NTP nasional mengingat kepadatan populasi dan jumlah rumah tangga tani yang dimiliki paling besar. Sementara Propinsi DI Yogyakarta memiliki bobot terkecil. Tabel 3. Bobot Proplnsl dalam Nllal Tukar Petanl Indonesia NO
1 2 3 4 5 6
7 8 9
10 11 12 13 14
PROPINSI
PENIIIBANG
2.94 6.24 3.12 5.14 5.50 21.35 19.10 0.96 21.69 1.74 2.98 2.03 1.90 5.32 100
NAD SUMUT SUM BAR SUMSEL LAMPUNG JABAR JATENG JOGYA JAllM BAU NTB KALSEL SULUT SULSEL
Jumlah Sumber: BPS, 2006
2.2.2.1.
Indeks Harga yang diterima Petani (IT)
Indeks harga yang diterima petani (IT), yang menunjukkan fluktuasi
harga
komoditas
pertanian
yang
dihasilkan
petani,
merupakan harga tertimbang dari setiap komoditas pertanian yang diproduksi. Penimbang yang digunakan adalah nilai produksi yang dijual petani rata-rata dari setiap komoditas. Harga yang diterima petani dirumuskan oleh Rachmat (2000) sebagal berikut : HT -- "" ~ a.I
PT . I
I
20
Dimana: HT = harga yang diterima petani PTi
=
harga kelompok komoditas ke - i (i sayuran
dan
buah-buahan
=
serta
palawija, padi,
hasil
tanaman
perkebunan rakyat)
a, = Pembobot dari kelompok komoditas ke -
i
Karena NTP dinyatakan dalam angka indeks, maka demikian juga dengan harga yang diterima petani, sehingga:
~
~
pin
Pi(n -1)
Q
p t(n-1)
;o
IT,=
X 1000/o
Dimana: ITn
= Indeks harga yang diterima petanl bulan ke-n
P,n
= Harga komoditas i pada bulan ke n
Ptcn-1> = Harga komoditas i pada bulan ke (n-1) P10
= Harga komoditas i pada tahun dasar
Q10
= Kuantitas komoditas i pada tahun dasar
m
= banyaknya komoditas.
21
G~r:lbar
1.
Ojagr~:-n
?cr:t~cn":uk
hA..~~,; V,A.~G ~ .7E~ : ~·/"t.o. ?=:7A~I
l'.:ui --t-~ J;;a ~';lai
.,~dm
. . ... ;!U
.- -1 I
·-··· -·- --
l)m.U
p;L~nwH;~
Nilai : ·.Jka::- Potani Oioh Badan Pusat Statis1ik
(~'T)
l-:..C..RGA YANG 013AYAR PETANi {HE!)
~
:~ I
:\bk:lnan
T:ma:umt
Kunsumsl
!3~l:t:Ul
jJ......,:~_;.,~~ '" .~11----
I
l'rumut.ua
.l"aug:m
\1.~ .
--
i.'it.a.ar:; :.1 ft :l;,l1:·~ .. ~.dl ~
>
Bm1J1·•m
}..c.
~~liT ~ ~Tn' ~ L
-> .,.q·.J;;ct.uu
·u~:.!!...!._
!O:) :r..c.:..J.·,
I
ri I
N ... ,
:..:dotll(IC•:t :' v;r.o~ ;t;u
-----
-
- --·-=-1
J~.~~~r~~:·~:~~
Sumber: Rachmat (2000)
N'H•
N'J.'
l
J Au~kaDrs
_L rl ~'•••..· .
. I r---:
b:cauLA:t
•
S:U"atlU ,
l'ruduks•
i=
---
~...-~P.B~~{~·
1
rer.olkliAsn .......dn ,
Pr
' 1"-·-.
l'AkaWl
-
Harga yang diterlma petani selain merupakan pendapatan juga ditujukan untuk menurunkan tingkat kemiskinan swecara menyeluruh di pedesaan. Bagi mereka penerimaan yang rendah mempersulit untuk keluar dari lingkaran kemisklnan. Penerimaan yang rendah juga dislnsentif
bagi petani untuk selalu berusaha menlngkatkan
produksi,
dengan
balk
teknologl
baru
maupun
peningkatan
keterampilan.
2.2.2.2.
Indeks Harga yang Dibayar Petani (IB)
Harga yang dibayar petani merupakan harga tertimbang dari harga/biaya konsumsi makanan, konsumsi non makanan dan biaya produksi
dan
penambahan
barang
modal
dari
barang
yang
dikonsumsi petani. Komoditas yang dihasilkan sendirl tidak termasuk dalam perhitungan harga yang dibayar petani. Harga yang digunakan adalah harga eceran barang/jasa di pasar pedesaan. Harga yang dibayar petani dlrumuskan oleh Rachmat (2000) sebagai berikut : - ~ HB -£..J
b.PB.. I
It
Dimana: HB
= harga yang dibayar petani
PBi
=
=
harga kelompok komodltas ke - i (i
makanan,
pakaian, aneka barang, faktor produksl, non faktor produksi dan penambahan barang modal)
b,
= Pembobot dari kelompok komodltas ke -
i
Sedangkan indeks harga yang diterima petanl menjadi :
~
IB, =
£.;
pin p Q Pi (n _ l) i(n-t) ;o X 1000/o
23
Dimana: IBn
= Indeks harga yang dlbayar petanl bulan ke - n
Indeks yang dlterlma dan yang dlbayar petani di atas adalah indeks L.aspayers yang dlmodlfikasi oleh BPS. Dlllhat darl rumus di atas, lndeks tersebut merupakan nllai tertlmbang terhadap kualltas pada tahun dasar. Pergerakan lndeks akan dltentukan oleh penentuan tahun dasar, karena perbedaan penggunaan tahun dasar akan dapat menghasllkan
keragaan
perkembangan
lndeks
yang
berbeda
(Rachmat, 2000). Maka Nllai Tukar petanl adalah raslo antara IT dan IB sebagal berlkut: NTP
2.3.
= (IT/ IB) x 100%
Perilaku Nilai Tukar Barter Pertanian dan Nilai Tukar Petani. Tanpa adanya intervensl kebljakan yang melindungl sektor
pertanian, nllai tukar barter pertanlan dan nllai tukar petani akan cenderung mengalami penurunan.
Sebagaiman penurunan peran
sektor pertanian dalam pembentukan produksi nasional, penurunan nllai tukar pertanlan juga memlllkl argumentasi teorltis sebagal berikut : 1) elastisitas pendapatan produk pertanlan berslfat lnelastls (Hukum Engel), 2) perubahan teknologl dengan laju yang berbeda yang menguntungkan produk manufaktur, dan 3) perbedaan dalam struktur pasar dimana
struktur pasar produk pertanlan
yang
cenderung kompetltlf, sementara struktur pasar produk manufaktur cenderung kurang kompetltlf dan
bahkan mengarah ke pasar
monopolistik (Mubyarto, 1995; Rachmat, 2000).
2.3.1.
Elastisitas Produk Pertanian yang inelastis Dengan sifat permintaan produk pertanian yang lnelastls
(persentase pertambahan jumlah yang dlminta leblh kecll darl pada
24
persentase pertambahan pendapatan) terhadap pendapatan berartl pada kondisi pendapatan per kapita yang meningkat, maka laju permintaan akan produk pertanian akan menurun. Karena ltu produk pertanian secara umum termasuk barang inferior. Secara grafls fenomena pembentukan dan pergerakan nilai tukar pertanian dapat dljelaskan dengan model keseimbangan dua sektor, seperti digambarkan oleh Anderson (1987) dalam Gambar 2 (Rachmat, 2000). Gambar 3. Pembentukan dan Pergerakan Nilai Tukar Pertanian atas dasar keseimbangan Tertutup dua sektor
Pcrton•l :_--
II
I
i
---- ---
A
..
II
10
Pl
I'U
Non Portani.on
Diasumsikan suatu model perekonomian dua sektor (pertanian dan lndustri) yang tertutup. Kurva AA adalah kurva Kemungkinan produksi (KKP), dan kurva 10 adalah Kurva Indifferen (KI) pada kondisi awal.
Keselmbangan terjadl pada titlk
Eo
dlmana kurva KKP
bersinggungan dengan KI. Nilai Tukar Barter (NTB) yang merupakan rasio harga antara sektor pertanian dan sektor lndustri dicerminkan oleh garis singgung kurva KKP dengan KI yang melalui titik Eo yaitu garis P0 Po. Misalkan perekonomian mengalami pertumbuhan (misalkan akibat perubahan teknologl), sehingga KKP bergeser proporsional ke
25
CC.
Pertumbuhan ini menyebabkan peningkatan kesejahteraan
masyarakat yang tercermln dari pergeseran Kl dari lolo ke 1111 dan titik keseimbangan berpindah pada E1 . Karena permintaan untuk produk
pertanlan
berslfat
tidak
elastis
terhadap
pendapatan,
sementara permlntaan produk non pertanlan lebih elastis, sesuai dengan hukum Engel, maka titlk keseimbangan baru E1 akan berada dl sebelah kanan bawah dari titik Eo. Pada pertumbuhan netral tersebut, maka garis harga baru adalah P1P1 akan lebih tegak dari garis harga P0 P0 • Pada kondisi ini maka Nilai Tukar Pertanian {NTB} = Po/P1 mengalami penurunan. Di sisl lain, elastlsitas permintaan produk pertanian terhadap harga juga lnelastis, dimana jumlah yang dlmlnta konsumen hanya berubah dengan persentase perubahan yang lebih kecil darl pada perubahan harga (Gambar 4). Sehingga ketlka terjadl penurunan harga yang tajam, peningkatan penjualan produk pertanian tidak setajam kenaikan harganya. Pada saat seperti ini pendapatan petani mengalaml penurunan.
\ pO
so
EO
-------------.
-......
Sl pO
-------------t-1
pl
so EO
Sl I
--- -----.------1
pl El
El
\"
\
\
0
D
D
0 qO ql
Kuantitas
(i)
qO
ql
Kuantitas
(il)
Gambar 4. Pengaruh Elastisitas Kurva Permintaan.
26
Kedua gambar dl atas menunjukkan adanya pergeseran yang sama dalam kurva penawaran SO ke 51. Keselmbangan awal terjadi pada harga pO dan kuantitas qO dan keseimbangan baru terjadi pada p1 dan ql. Pada {I) pengaruh pergeseran kurva penawaran darl SO ke 51 adalah penurunan harga yang tajam dan kenaikan kuantltas yang relatif kecil.
Pada {il) pengaruh pergeseran yang sama kurva
penawaran dari SO ke 51 adalah penurunan harga yang sedikit dan kuantitas yang besar. Untuk Produk pertanlan yang secara umum bersifat inelastis dijelaskan dengan Gambar 3 {i).
2.3.2.
Pen~bahan
Perbedaan Industri
Teknologi
Pertanian
dan
Perubahan teknologi yang dimaksud merupakan inovasi yang akan
meningkatkan
efisiensi
produksi
melalul
peningkatan
produktivitas dan atau penurunan biaya produksi. Dengan demikian perubahan teknologi secara langsung akan merubah fungsi produksl dan
secara
tidak
langsung
mempengaruhi
penggunaan
faktor
produksi dan harga, yang berarti pula akan mempengaruhi nilal tukar pertanian maupun nilai tukar petani. Teknologi, yang senantlasa berubah adalah syarat mutlak adanya
pembangunan
pertanlan
{Mubyarto,
1995).
Sehingga
kesejahteraan petanl pun secara tidak langsung terpengaruh oleh kemajuan teknologi yang dapat meningkatkan produktlvitas tanah, modal maupun tenaga kerja. Namun demikian pada tingkat tertentu dimana penignkatan produksi akibat kemajuan teknologi justru tidak memberikan peningkatan kesejahteraan petani, jika tidak dibarengi dengan kebijakan yang tepat. Dari sisi individu petani, meingkatkan nllai tukar petani.
peningkatan
produktivitas akan
Namun secara agregat peningkatan
produktivitas yang dibarengi dengan peningkatan produksi akan
27
cenderung menurunkan harga, yang hal inl berarti akan menurunkan nllai tukar. Penggunaan teknologi pertanlan juga dapat berartl ketergantungan sektor pertanian terhadap sektor non pertanian (lndustri) yang juga dapat dipastikan akan menurunkan nllai tukar pertanlan.
Perbedaan Struktur Pasar Procluk Pertanian dan Industri
2.3.3.
Penyebab lain yang membedakan pergerakan nllai tukar pertanian
adalah
struktur pasar.
Pasar komoditas pertanlan
umumnya bersalng sempurna (Hayami and Ruttan, 1985), dimana harga ditentukan oleh pasar , yaltu penawaran dan permintaan. Bahkan seringkall pasar produk pertanian bersifat monopsonistik. Hal itu terjadi karena produsen produk pertanian banyak jumlahnya dan pada umumnya brskala kecil. Adalah sifat yang khas darl hasll-hasil pertanian bahwa variasl dan goncangan harga selalu terjadi pada saat panen raya dan paceklik (Mubyarto, 1995). Ketlka panen raya seharusnya petani mendapatkan kesempatan untuk memperoleh pengembalian yang tinggi,
namun
nyatanya tidak
demlmian
karena
akan
terjadl
penurunan harga. Fluktuasi harga pertanian ini adalah kejadian umum yang tldak saja terjadi dl Indonesia, tetapl juga di negara lain, sepertl Amerika yang pada tahun 1980-an memasok dua per tiga kebutuhan beras dan kedelal dalam perdagangan dunia, sehlngga menlmbulkan ketidakpastlan pada penghasllan usaha tani. Dan juga ada kecenderungan jangka panjang bahwa penghasllan dari usaha tani terus merosot dibawah penghasllan di kota, walaupun terjadi peningkatan produktivitas dan pergeseran tenaga kerja (Upsey, 1989).
28
Sementara untuk pasar produk industri cenderung bukan persaingan sempuma, dimana sampai batas tertentu produsen memiliki kekuatan untuk menentukan harga dan produksl. Seringkali pasar produk
industri
bersifat monopolistik,
dengan
produsen
berskala besar dan sedikit jumlahnya. Produk industrl juga tldak tergantung musim dan perubahan harga tidak terjadi secara drastis sebagaimana produk pertanian. Kegoncangan harga bisa terjadl hanya karena, 1) peran sektor pertanian yang masih pentlng dan, 2) berhubungan erat dengan kenyataan tersebut, pemerintah dan sektor di luar pertanlan belum mampu menyumbang stabilisasl harga hasil pertanian. Dengan kondisl seperti di atas, menyebabkan harga relatif produk pertanian cenderung
menurun,
maka jelas nilai tukar
pertanian dan petani akan cenderung menurun pula.
Hal itu
ditambah lagi dengan sifat produksi pertanian yang musiman dan cepat rusak (perishable) tanpa ada treatmen atasnya. Karena struktur pasar pertanian yang demikian, produsen sangat tidak memiliki kekuatan menentukan harga, maka peran kebijakan pemerintah dalam penentuan harga sangat diperlukan. Yang biasa dilakukan adalah penentuan harga dasar. Walaupun terjadi distorsi karena harga menjadi diatas harga keseimbangan, hal lni dilakukan untuk kepentingan keuntugan bagi petani sebagai produsen (Lipsey, 1989).
2.4.
Kebijakan Pemerintah dalam Pembangunan Pertanian Sebagaimana diketahul di setiap perekonomian di dunia tldak
terlepas dari campur tangan
pemerlntah dalam
rangka
untuk
tercapainya efisiensi sumber daya ekonomi di berbagai sektor. Dalam sektor pertanian kebijakan pemerlntah adalah dalam rangka untuk memajukan
pertanian,
penlngkatan
produktivitas,
produksi
dan
29
efisiensi produksi sehingga akibatnya kesejahteraan petani menlngkat lebih tlnggi dan kesejahteraannya leblh sempuma (Mubyarto, 1995). Untuk kasus Indonesia, campur tangan pemerintah sangat kuat dalam pemasaran produk pertanian (Simatupang,
1992).
Sebagaimana dinyatakan oleh T.W.Schult dalam Bale and Lutz (1981) bahwa " .......... agricultureal production depends not so much on technical consideration, but in large measure - on what governments do to agriculture". (produksi pertanian tidak sangat tergantung pada
kemajuan teknik budidaya, tapi lebih kepada apa yang dilakukan pemerintah atas sektor pertanian) Setiap kebijakan pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi,
balk
sektoral
maupun
akan
keseluruhan
secara
mempengaruhi pergerakan nilai tukar pertanian dan nilal tukar petani. Dalam Propenas 1999 menempatkan
industri
perekonomian
dan
non
2004, arah kebljakan nasional
migas
menjadikan
sebagai
penggerak
perekonomian
utama
bertransformasi
menjadi ekonomi berbasis industri, sementara sektor pertanian sebagai basis pengembangnya.
Dengan arah kebijakan ini tentu
peran sektor pertanian akan terus menurun, karena sektor industri dan jasa diharapkan terus meningkat. Kebijakan pembangunan lebih diarahkan untuk mendukung strategi
pengembangan
industri
yang
berspektrum
luas
dan
berteknologi tinggi namun kurang terkait dengan sektor pertanian dan sumber daya domestik (Saragih, 1995). Dijelaskan, terdapat dua lndikator berkaltan dengan hal tersebut, yaitu : 1) kebijakan makroekonomi yang kurang mendukung, dan 2) pengelolaan pembangunan agribisnis yang tersekat-sekat dilakukan oleh banyak departemen tanpa terkoordinasi. Kebijakan
makroekonomi
yang
kurang
mendukung
pengembangan pertanian dapat dlevaluasl dari penetapan kebijakan antara lain : a) dalam rangka menlngkatkan impor bahan baku,
30
bahan penolong dan tenaga ahli industri, nilai tukar rupiah ditetapkan lebih tinggi dari seharusnya (over valued). Kebijakan ini telah menghambat ekspor komoditas pertanian, yang pada gilirannya menurunkan nilai tukar pertanian, yang ditunjukkan oleh semakin menurunnya nilai rasio antara harga produk pertanian terhadap harga produk industrl ; b) harga komoditas pertanian khususnya pangan ditetapkan relatif murah dengan sasaran meningkatkan daya saing produk manufaktur. Kenyataan tersebut telah menurunkan nilai tukar pertanian dan nilai tukar petani, dan c) untuk menutupi defisit anggaran dan neraca pembayaran agar berimbang ditetapkan suku bunga tinggi untuk meraih arus modal masuk. Kebijakan-kebijakan tersebut tidak memberikan insentif bagi petani dalam melakukan produksi dan tidak mendorong pengembangan agroindustri dengan orientasi ekspor. Chenery dalam Yudhoyono
(2004)
menyimpulkan
bahwa
strategi pembangunan ekonomi yang dilandaskan pada prioritas pertanian dan ketenagakerjaan paling tidak memerlukan tiga unsur pelengkap dasar, yaitu :
1. Percepatan
pertumbuhan
output
melalui
serangkaian
penyesuaian teknologi, institusi, dan insentif harga, yang khusus dirancang untuk meningkatkan produktivitas para petani kecil , 2. Peningkatan permintaan domestik terhadap output pertanian yang didasarkan pada strategi pembangunan perkotaan yang berorientasi pada upaya pembinaan tenaga ketenagakerjaan, dan 3. Diversifikasi kegitan pembangunan pedesaan yang bersifat padat karya pada sektor non pertanian, yang secara langsung dan tidak langsung akan menunjang dan ditunjang oleh masyarakat pertanian.
31
Untuk
penlngkatan
itulah
kesejahteraan
sebagai
petani
produsen pertanian sangat penting artinya. Setiap perkembangan industri manufaktur membutuhkan pasar domestik untuk penyerapan produknya, dimana sebagian besar pasar tersebut adalah sebagai tenaga kerja di sektor pertanian. Karena itu penguatan daya beli petani, melalui peningkatan daya beli produksi pertaniannya terhadap produk industri sangat penting untuk dilakukan. Peran pemerintah dalam hal ini sangat penting melalui berbagai kebijakan. Sipayung (2000) menemukan bahwa alokasi investasi pemerintah pada sektor pertanian dan non pertanian sangat menentukan pertumbuhan sektor pertanian ke depan dalam rangka penguatan daya beli petani.
Kebijakan Makroekonomi
2.4.1.
Edward Schuh (1974) melihat pengaruh kebijakan nilai tukar (kurs) terhadap sektor pertanian Amerika Serikat, setelah mengamati bahwa selama kurun sebelumnya kebijakan ekonomi pertanian Amerika
Serikat
terkesan
lebih
menutup
dirl
dari
pengaruh
perdagangan dunia. Kemudian Schuh (1976) melihat kebijakan makroekonomi yang lebih luas pengaruhnya pada sektor pertanian. Menurutnya
interaksi antara kebljakan
makroekonomi terhadap
sektor pertanian adalah melalui pengaruhnya pada inflasi, nilai tukar rill, suku bunga rlil dan insentif ekspor-impor pertanian. McFall Lamn (1980) membangun persamaan ekonometrika simultan untuk melihat pengaruh kebijakan makroekonomi terhadap sektor pertanian. (inflasi)
Hasil penelitian mengungkapkan bahwa harga
merupakan
media
dimana
kebijkan
makroekonomi
berpengaruh terhadap sektor pertanian. Sementara Cavallo and Mundlak (1982) juga membangun model ekonometrika dengan persamaan
simultan
keterkaitan
perekonomian makro di Argentina.
antara
pertanlan
dengan
Hasil simulasi menunjukkan
32
bahwa jika kebijakan makroekonomi diarahkan untuk memanfaatkan keunggulan komparatlf pada ekspor produk pertanian, Argentina akan dapat menikmati pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Kebijkaan liberalisasi perdagangan jika disertai dengan pengelolaan kurs yang tepat dapat meningkatkan pertumbuhan sektor pertanian dan non pertanian. Rausser
et.al
(1986)
dengan
menggunakan
model
ekonometrika persamaan simultan untuk menganalisa keterkaitan kebijakan makroekonomi dengan sektor pertanian di Amerika Serikat. Diketahui bahwa variabel ekspor merupakan media dimana kebijakan makroekonomi berpengaruh terhadap sektor pertanian. Beberapa
temuan
keterkaitan
kebljakan
ekonoml
makro
dengan sektor pertanian di Indonesia antara lain adalah Timer (1984) yang menganallsis keterkaitan kebijakan makroekonomi terhadap sektor pangan di Indonesia. Didapatkan bahwa nilai tukar mata uang rupiah merupakan variabel yang sangat penting sebagai media berpengaruhnya kebijakan makroekonomi terhadap sektor pangan. Dengan membangun model ekonomi makro dan keterkaitannya dengan sektor pertanian Indonesia, Isdijoso (1992) dalam Tesisnya menemukan
bahwa
variabel
kebijakan
makroekonomi
yang
berpengaruh terhadap sektor pertanian adalah kredit, konsumsl pemerintah, ekspor, impor dan inflasi. Simatupang dan Mardianto (1996) menganalisis pengaruh kebijakan
moneter
dan
kurs
terhadap
transformasi
struktur
perekonomian Indonesia. Dengan menggunakan persamaan tunggal model ekonometrika disimpulkan bahwa kredit dan nilai tukar barter pertanian merupakan media transmisi pengaruh kebijakan moneter terhadap sektor pertanian. Juga disimpulkan bahwa peningkatan jumlah
uang
beredar
dan
devaluasi
mata
uang
rupiah
menguntungkan sektor pertanian.
33
Hasil-hasil temuan studi di atas menunjukkan bahwa kebijakan makroekonomi sangat mempengaruhi sektor pertanian. Upaya-upaya apapun yang dilakukan pada sektor pertanian termasuk subsidi, bila kebijakan makroekonomi yang ditempuh merugikan sektor pertanian, maka tidak akan banyak gunanya {Sipayung, 2000 ; Arifin, 2004)).
2.4. 2.
Kebijakan Harga Produk Pertanian Kebljakan harga atas produk pertanian, dilakukan pemerintah
melalui berbagai jalan. Antara lain adalah pajak ekspor sebagai sumber pendapatan negara dan alat untuk menjaga harga yang rendah di dalam negeri ; dukungan harga yang stabil di negara maju untuk menjamin pendapatan petani dan menjual surplus produksi ke negara sedang berkembang; serta untuk faktor produksi diberikan subsidl
atau
pajak
{Bale
and
Lutz,
1981).
Mubyarto
{1995)
menyatakan bahwa kebijakan harga di banyak negara biasanya digabung dengan kebijakan pendapatan (price and income policy). Hal ini berarti pemerintah melakukan stabilisasi harga dan menjaga agar pendapatan petani tidak terlalu berfluktuasi dari muslm ke musim. Selanjutnya dijelaskan bahwa kebijakan harga pertanian bertujuan untuk : 1) stablllsasi harga, terutama pada tlngkat petanl; 2) menlngkatkan pendapatan petani melalui perbalkan nilai tukar {term of trade) balk sektor maupun pendapatan pertanlan ; 3) memberikan arah dan petunjuk pada jumlah produksi. Kebijakan lainnya dalam ·pengaturan harga produk pertanian oleh pemerintah adalah harga dasar (floor price) dan harga tertinggi
(ceiling price).
Harga dasar diperlukan untuk menjaga agar harga
pasar pada saat panen raya tidak turun, sedangkan harga tertinggi ditetapkan agar di masa paceklik {kurangnya stok) harga tidak naik terlalu tinggi.
Harga dasar ditetapkan berdasarkan perhitungan
besarnya input produksl. Begitu
juga harga tertlnggi merupakan
34
kisaran harga berdasarkan besamya masukan yang diberikan petani dalam proses produksi komoditas tersebut {Daniel, 2004). Kebijakan ini harus dibarengi dengan kebijakan penyediaan stok maupun pembelian kelebihan produksi dari petanl, sehingga harga dasar maupun harga tertinggi dapat efektif berlaku. Gambar. 5. Kebijakan Harga Daur dan Harga Tertinggi Harga
1. .
...:
c;
Harga
I
HargaDasar
Pl I I
PO
-------~---:
PO
-----------., I
I I
Hargaatap
Pl
'
I
I
I
1 ... . I I
nl I
:
ql
qO
q2
q2
n
I
qO ql
Kuantitas
Kuantltas
(I)
(II)
Gambar 5. di atas mengllustraslkan mekanlsme kebljakan harga untuk produk pertanlan dengan kurva penawaran yang inelastis. Pada gambar {i) harga dasar {Pl) lebih tinggi darl harga keselmbangan {PO), sehingga jumlah yang dltawarkan akan meleblhi jumlah yang diminta sebesar qlq2. Kelebihan penawaran tersebut yang harus dikelola pemerintah sehingga kebijakan harga dasar akan efektif berlaku untuk menjamin pendapatan produsen. Sedangkan pada gambar '{il) harga tertinggl {atap) ditetapkan leblh rendah dari pada harga keseimbangan {PO) untuk melindungi konsumen dari harga yang terlalu tinggi, sehlngga karena harga yang rendah jumlah permintaan melebihi jumlah yang ditawarkan sebesar q2ql. Dalam realita, sering terjadi bahwa campur tangan pemerintah dalam pasar produk pertanian cenderung merugikan petanl sebagal produsen. Untuk melaksanakan kebljkan pangan murah maka harga
35
di tingkat petani ditekan agar harga di tingkat konsumen rendah (Bale and
Lutz,
1981
;
1992).
Simatupang,
Hal
lni dapat
mengakibatkan rendahnya insentif bagi petani untuk berproduksi . Upaya untuk merubah harga produk pertanlan ini dllakukan untuk berbagai tujuan, misalnya untuk mengendalikan inflasi, menekan upah tenaga kerja dan mendorong perkembangan industri. Stabilisasi harga juga dimaksudkan untuk mencegah turunnya daya bell konsumen kota untuk kepentingan stabilitas sosial politik (Amang, 1999). Campur tangan pemerintah yang bias kepada konsumen ini cenderung memperburuk nilai tukar sektor pertanian.
2.5.
Keterkaitan Sektor Pertanian dengan sektor industri (non Pertanian) Keterkaitan
sektor
pertanian
dengan
sektor
industri
manufaktur, dimana produk pertanian menjadi input sektor industri, dan sektor industri yang memanfaatkan
produk pertanian diduga
mempunyai pengaruh yang kuat terhadap perubahan nilai tukar pertanian dan nilai tukar petani. Kebijakan yang tidak mensinergikan sektor pertanian dan industri manufaktur, berdampak pada tldak berkembangnya sektor pertanian dan semakin tingginya ketergantungan bahan baku impor untuk industri yang sebenarnya dapat dipenuhi dari produk lokal. Masih banyak hasil pertanlan yang hanya diekspor dalam bentuk raw material, seperti sawit (CPO), rotan, rempah-rempah, dan lain-lain. Hal ini ditambah lagi dengan kebijakan pangan yang kurang ramah terhadap produk pertanian lokal. Sebagai
contoh adalah kebijakan
yang terkait dengan bahan pangan gandum, telah dlkembangkan industri terlgu yang 100°/o tergantung pada impor gandum (Basri,
2006). Adanya pilihan lain terhadap sumber pangan tentu akan berpengaruh pada konsumsi produk pangan lokal, karena hal ini
36
terkait dengna elastisltas permintaan sllang (Upsey, 1995). Pada gilirannya nilai tukar pertanian di dalam negerl akan menurun. Kebijakan pembangunan ekonomi yang bias terhadap sektor non pertanian dan mengorbankan sektor pertanian berkaitan dengan pandangan umum pembangunan ekonomi khususnya pada awal pembangunan
dengan
cara
memeras
sektor
pertanian
untuk
memblayai pembangunan sektor non pertanian, melalui investible surplusnya (Tambunan, 2006), yang dikenal dengan pembangunan yang memeras ganda sektor pertanlan (double development squeeze) sebagaimana dikemukakan Lewis dan Nurkse (Sipayung, 2000). Bentuk-bentuk kebijakan yang tidak menguntungkan sektor pertanian ltu dimaksudkan untuk mempermurah upah tenaga kerja dan bahan baku di sektor industri, sehingga dapat mempercepat pengembangan sektor industri. Setiap sektor dalam perekonomian adalah suatu sistem yang terintegrasl dalam suatu kebijakan, Karena adanya keterkaitan diantara
sektor-sektor
tersebut
dalam
mempengaruhi
kinerja
ekonomi nasional. Begitu juga antara sektor pertanian dengna sektor industri. Rangrajan (1982) menjelaskan ada 5 mekanisme keterkaitan ekonomi antara sektor pertanlan dan non pertanian. Pertama, sektor pertanian menghasilkan bahan baku bagi sektor non pertanian. Produksi sektor pertanian berupa bahan pangan dan non pangan merupakan input utama dari sektor non pertanian sepertl industri pengolahan hasil pertanlan, perdagangan dan restoran. Kedua, sektor non pertanian menghasilkan input yang diperlukan oleh sektor pertanian seperti pupuk, pestisida, mesln pertanian, dan berbagai jenis jasa. Ketiga, sektor pertanian (rumah tangga pertanlan) merupakan pasar bagl output akhir sektor non pertanian. Bahan pangan olahan, sandang dan papan serta berbagai jenls jasa yang dihasilkan sektor non pertanian dlmanfaatkan oleh rumah tangga pertanian. Keempat, keterkaitan melalui tabungan pemerintah dan
37
investasi publik. Peningkatan output sektor pertanian akan secara langsung meningkatkan penerlmaan pajak tak langsung pemerintah yang selanjutnya digunakan untuk membiayai investasi publik. Peningkatan investasi publik ini akan meningkatkan permintaan barang-barang modal yang dihasilkan sektor non pertanian. Kelima, keterkaitan melalui perilaku investasi swasta.
Harga komoditas
pertanian yang relatif rendah dan stabil, akan merangsang invesatl swasta pada sektor non pertanian. Sipayung (2000) menyebutkan studl yang dilakukan Bank Dunia tentang keterkaitan pertumbuhan sektor pertanian dengan non pertanian (pertumbuhan ekonomi) menunjukkan bahwa dari 23 negara dimana pangsa sektor pertaniannya dalam PDB lebih dari 20% dan laju pertumbuhan PDB lebih dari 5°/o, 17 negara diataranya mengalami pertumbuhan sektor pertanian leblh dari 3 °/o per tahun. Sedangkan 11 negara yang mengalami pertumbuhan PDB di bawah
3°/o, tingkat pertumbuhan sektor pertanian hanya 15 atau kurang. Indonesia
termasuk
negara
dimana
keterkaitan
sektor
pertanian dan non pertanian lemah. Dengan menggunakan Tabel 10 tahun 1980, Sumartono (1985) mengungkapkan bahwa koefisien keterkaitan langsung ke depan sektor pertanian hanya 0.34°/o. ini
menunjukkan
bahwa
sektor
non
pertanian
belum
Hal
banyak
menggunakan output sektor pertanian dalam proses produksinya. Sebaliknya sektor pertanian juga belum banyak menggunakan output sektor non pertanian.
2.6.
Beberapa Temuan Empiris tentang Nilai Tukar Barter Pertanian dan Nilai Tukar Petani Pertama-tama Simatupang (1992) melakukan kajian teoritis
tentang nilai tukar barter (TOT) sektor pertanlan. Dengan membagi sektor perekonomian menjadi dua sektor, yaitu sektor pertanlan dan
38
non pertanian, nilai tukar barter sektor pertanian didefinisikan sebagai rasio antara harga produk pertanian dengan harga produk industri dan dirumuskan : TOT = harga oroduk sektor pertanian Harga produk sektor industri Nilai tukar barter sektor pertanian akan mengalami penurunan menurut waktu jika laju perubahan nilai tukar barter tersebut lebih kecil dari nol. Dalam analisisnya disimpulkan bahwa dengan skenario perekonomian yang terus tumbuh dan produksi per kapita sektor pertanian lebih lambat dari sektor non pertanlan, nilai tukar barter sektor pertanian akan cenderung menurun dan sulit untuk dicegah di masa datang. Hal tersebut karena berbagai faktor, antara lain : 1.
Pertumbuhan
penduduk
cenderung
menurun
yang
dapat
memperlambat laju peningkatan permintaan pangan. 2.
Seiring
dengan
upaya
yang
pembangunan
mendorong
pertumbuhan pendapatan per kapita, maka elastisitas pendapatan terhadap pangan akan semakin
kecil,
sedangkan elastisitas
pendapatan terhadap produk non pertanlan akan semakin besar. 3.
Upaya
pembangunan
yang
sangat
gencar
untuk
memacu
peningkatan produksi pertanian meningkat. Kesimpulan-kesimpulan tersebut di atas bisa saja menyimpang dari kenyataan empiris yang ada karena sebab campur tangan pemerintah dan kondlsi pasar yang asimetris. Dalam penelitian berikutnya Simatupang dan Isdijoso (1992) melihat pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap Nilai Tukar Sektor pertanian secara empiris, dengan data tahun 1965 - 1990. Dengan menggunakan regresi linier sederhana, nilai tukar barter sektor pertanian sebagai independent variable, laju pertumbuhan sektor pertanian dan sektor non pertanian sebagai dependent variable. Analisis menghasilkan bahwa nilai tukar barter
sektor pertanian
39
berhubungan positif dengan laju pertumbuhan produksi sektor non pertantan dan berhubungan negatif dengan laju pertumbuhan sektor pertanian sendiri. Model yang didapatkan adalah : TOTP = 1.3352 - 0.0376(GSP) + 0.0007(GSNP) - 0.0078dT Selanjutnya
dijelaskan
bahwa
dengan
koefisien
laju
pertumbuhan yang kecil (GSNP) dan tidak nyata secara statistik merupakan indikasi bahwa kaitan antara sektor pertanian dengan sektor lndustri (non pertanian) sangat rendah. Dengan kata lain sektor agro-industri belum berkembang dengan baik. Jika agroindustri
berkembang,
akan
meningkatkan
permintaan
produk
pertanian, karena terjadi perbaikan mutu dan diversifikasi produk. Sipayung
(2000)
menganalisls
pengaruh
kebijakan
makroekonomi terhadap sektor pertanian. Variabel-variabel yang ditelitl meliputi kebljkaan fiskal dan pembelanjaan pemerlntah, kebljakan nilai tukar dan perdagangan intemasional, kebijakan suku bunga, perilaku inflasi, neraca transaksi berjalan, nilai tukar barter pertanian, perilaku investasi swasta, perilaku pangsa alokasi investasi antar sektor, produksl sektor pertanlan dan non pertanian dan penyerapan tenaga kerja. Beberapa hasil penelitiannya kami sebut disini. Peda penelitian tentang perilaku inflasl, yang dicerminkan dari keragaman indeks harga konsumen dijelaskan
dihasilkan bahwa inflasi dapat
dengan balk oleh keragaman variabel kurs
rupiah,
pengeluaran investasi pemerintah dan upah balk secara lndlvidu maupun secara keseluruhan model.
Depresiasi (apreslasl) kurs
rupiah akan meningkatkan (menurunkan) indeks harga konsumen di Indonesia.
Hal
ini
berkaitan
memperngaruhi ekspor-impor.
dengan
peranan
kurs
dalam
Impor Indonesia terdiri dart barang-
barang konsumsi, bahan baku dan barang-barang modal.
Oleh
karena itu blla rupiah terdepresiasi berarti akan meningkatkan harga
40
barang impor, sehingga secara langsung (barang konsumsi) dan tidak langsung (barang modal, bahan baku) akan meningkatkan indeks harga konsumen. Selain
itu pengaruh kurs rupiah terhadap indeks harga
konsumen juga bersumber dari barang ekspor.
Depreslasi rupiah
akan mendorong ekspor sehingga harga barang-barang ekspor Indonesia di dalam negeri mengalami kenaikan.
Karena barng-
barang ekspor sebagian juga merupakan barang konsumsl dalam negeri, kenaikan harga tersebut juga mendorong kenaikan lndeks harga konsumen (inflasi) Selanjutnya untuk perilaku nilai tukar barter sektor pertanian, dltemukan bahwa ia dipengaruhi oleh pangsa pengeluaran untuk konsumsi, kemajuan teknologi pertanian relatif terhadap kemajuan teknologi sektor non pertanian dan distorsi nilai tukar rupiah. Setiap penlngkatan pangsa pengeluaran untuk konsumsi akan meningkatkan nilai tukar barter sektor pertanian sebesar 0.0044. Sementara setiap peningkatan teknologi sektor pertanian justru akan menurunkan nilal tukar barter sektor pertanian sebesar 0.074. Rachmat (2000) dalam analisisnya tentang Nllai Tukar Petanl (NTP), salah satu analisisnya adalah melihat faktor waktu dalam perubahan-perubahan NTP di setiap propinsi, dengan model :
Yt = Yo + a1 T + a2 D + a3 OK + U dengan menjadikan tahun antara sebelum dan sesudah krisis sebagai variabel dummy (D dan OK). Penelitian ini melihat pengaruh krisis pada pergerakan NTP dan dltemukan bahwa krisis memperburuk NTP di Propinsi NAD, Sumatra Utara, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Utara. Sementara krisls justru memperbaiki NTP di Sumatra Selatan, DIY, Bali, NTB, Kallmatan Selatan dan Sulawesi Selatan. Penelltian juga mellhat arah pergerakan Indeks harga yang diterlma petani (IT) dan Indeks harga yang dlbayar petanl (IB)
41
dengan data tahun 1987 - 1998. dengan model regresi sederhana ditemukan bahwa rata-rata pergerakan IT per observasi adalah
18.30, sementara rata-rata pergerakan IB per observasi 16.04. Analisa terhadap IT setiap komoditas adalah bahwa perubahan setiap kenaikan harga Rp 1000 /kw padi akan meningkatkan NTP sebesar 0.364, palawija 0.07, sayuran 0.046, buah-buahan 0.044 sementara untuk tanaman perkebunan rakyat 0.064. NTP dengan penyusun IB berhubungan secara negatif, karena produk konsumsi pangan berbobot paling besar dalam penyusun IB dibandingkan dengan produk non makanan, maka perannya dalam pembentukan NTP lebih besar. Untuk rataan elastisitas IB didapatkan nilai -0.2256°/o, yang berarti bahwa setiap peningkatan 1 o/o IB akan menurunkan NTP sebesar 0.2256%. Ditemukan juga dampak simultan harga-harga pembentuk NTP. Bahwa secara rataan setiap peningkatan harga pembentuk NTP akan menurunkan NTP sebesar 0.079°/o. Sementara untuk kejadian inflasi
(perubahan
harga-harga
umum)
menurunkan NTP sebesar 0.074%.
sebesar
10%
Faktor peningkatan harga padi
lebih berpengaruh daripada pencabutan subsidi pupuk. dari
penelitian
tersebut
akan
disimpulkan
bahwa
Kemudian
NTP
dapat
menggambarkan kekuatan daya tukar ( daya bell/purchasing power) dari komoditas pertanian terhadap komoditas industri. Penelitian sejenis yang lebih lama tentang NTP kebanyakan masih terpusat pada pola pergerakannya sejalan dengan waktu. Sementara yang mengamati pengaruh kebijakan makroekonomi maupun kebijakan perdagangan sektor pertanian belum penulis temukan. Oleh karena itu penulis mencoba mencari hubungan antara kebijakan pemerintah
tersebut dengan perllaku nllai tukar petani
sejalan dengan perkembangan waktu.
42
BAB Ill. METODOLOGI Analisis terhadap NTP akan dilakukan balk secara deskriptif, maupun dengan bantuan pemodelan ekonometrika. Analisis deskriptif dilakukan untuk melihat fluktuasi (pergerakan) NTP Agregat dari waktu ke waktu dihubungkan dengan berbagai faktor dan kebijakan ekonomi pemerintah secara umum maupun sektor pertanian. Kemudian analisis dengan pemodelan ekonometrika dilakukan untuk memperhatikan, pertama pola pergerakan (trend) NTP Agregat dari tahun ke tahun, Kedua, pengaruh krisis ekonomi terhadap NTP agregat, ketiga
berbagai faktor dan kebijakan yang mempengaruhi
NTP agregat, NTP Tanaman Bahan Makanan (TBM), NTP Tanaman Perkebunan Rakyat (TPR) dan NTP PAdi. Analisis ini didasarkan pada Diagram pembentukan NTP seperti disebutkan di Bab II (Gambar 1).
3.1.Identifikasi Variabel Yang Mempengaruhi NTP. Sesuai dengan tujuan studi ini yang akan melihat berbagai kebijakan makroekonomi yang telah ditempuh pemerintah terhadap perkembangan variabel
kesejahteraan
diidentifikasi
petani
mempengaruhi
Indonesia,
maka
kesejahteraan
beberapa
petani,
yang
dinyatakan dalam indikator Nilai Tukar Petani (NTP). Karena analisis akan lebih terbatas pada variabel kebijakan ekonomi pemerintah, maka pengambilan varia bel terbatas pada indikator makroekonomi. Mengingat NTP adalah rasio indeks harga yang diterima petani (IT) dengan indeks harga yang dibayar petani (IB), maka identifikasi variabel yang mempengaruhi NTP adalah juga identifikasi terhadap variabel-variabel
yang
mempengaruhi
pergerakan
IT
maupun
pergerakan lB. Analisis juga akan dilakukan lebih rinci terhadap pergerakan NTP komoditas tanaman bahan pangan {TBM) maupun tanaman perkebunan Rakyat {TPR).
Khusus untuk TBM akan dilanjutkan
kepada analisis NTP Padi, yaitu komoditas yang memiliki bobot
terbesar dalam pembentukan NTP (rata-rata 40°/o) dan merupakan komoditas pangan yang utama di Indonesia. Adapun variabel-variabel yang diduga berpengaruh terhadap pergerakan NTP, sebagaimana disebutkan dalam Hipotesis awal di Bab I adalah sebagai berikut : 3.1.1. Nilai Tukar Barter Sektor Pertanian (TOT)
Konsep nilai tukar barter mengacu pada harga relatif suatu komoditas pertanian tertentu terhadap barang/produk non pertanian. Nilai tukar barter (NTB) didefinisikan sebagai rasio antara harga produk pertanian terhadap harga produk non pertanian (Rachmat,
2000). Peningkatan NTB berarti semakin kuat daya tukar komoditas pertanian terhadap barang yang dipertukarkan.
Sipayung (2000)
merumuskan NTB adalah rasio indeks harga deflator Produk Domestik Bruto (PDB) sektor pertanian terhadap indeks harga deflator PDB sektor non pertanian. Indeks harga deflator PDB adalah rasio antara PDB harga nominal dengan PDB pada harga konstan. Dengan demikian TOT menggambarkan nllai tukar ( daya beli) sektor pertanlan secara makro. Sedangkan NTP menggambarkan daya beli petani secara mikro. Perbaikan
nilai
tukar
barter
pertanian
terjadi
bila
laju
pertumbuhan penduduk semakin besar, perbaikan teknologi sektor non pertanian semakin tinggi dan lebih tinggi dari perbaikan teknologi sektor pertanian.
Sedangkan
nilai tukar barter pertanian
akan
menurun jika terjadi peningkatan produksi akibat perbaikan teknologi, penigkatan produksi per kapita dan laju pertumbuhan penduduk yang menurun. Merujuk pada hasil penelitian terdahulu oleh Simatupang (1992) bahwa laju Pertumbuhan Sektor Pertanian dan Sektor non Pertanian berpengaruh terhadap Nilai Tukar Barter Sektor Pertanian (Term of Trade= TOT). Laju Pertumbuhan sektor pertanian berpengaruh negatif dan laju pertumbuhan sektor non pertanian berpengaruh positif. Secara teoritis telah dibuktikan bahwa nilai tukar barter sektor
44
pertanian akan menurun apabila sektor produksi pertanian dan non pertanian meningkat dengan laju yang sama. 3.1.2. Kebijakan Pemerintah yang mempengaruhi input dan harga produksi pertanian. 3.1.2.1.
Anggaran Pembangunan Untuk Sektor Pertanian
Kebijakan Anggaran untuk sektor pertanian adalah total anggaran untuk sektor pertanian, baik yang berupa proyek, subsidi maupun untuk pembangunan jaringan irigasi (pengairan). Dalam penelitian ini variabel
anggaran yang akan dipakai adalah anggaran
untuk pembangunan jaringan irigasi dan subsidi pupuk.
Kedua
anggaran tersebut disajikan secara total, mengingat untuk subsidi pupuk tidak dianggarkan lagi sejak APBN Tahun Anggaran 1998/1999. Dengan memperhatikan Diagram pembentukan NTP, maka anggaran tersebut di atas akan memberikan pengaruh positif pada IT maupun IB. Anggaran untuk pembangunan jaringan irigasi akan mempermudah petani dalam memperoleh sarana pengairan, sehingga memberikan pengaruh terhadap peningkatan produksi pertanian. Oleh karenanya berpengaruh langsung terhadap IT. Sementara anggaran subsidi pupuk akan memberikan pengaruh terhadap pengurangan harga input produksi yang harus dibeli oleh petani. Oleh karenanya akan berpengaruh langsung pada IT maupun pada IB. Dengan demikian anggaran pertanian memberikan pengaruh positif terhadap input produksi berupa perbaikan teknologi, dan
pengurangan biaya input. Dengan kerangka pemikiran tersebut, diharapkan bahwa jumlah anggaran pembangunan untuk sektor pertanian berpengaruh positif terhadap NTP sebagai indikator kesejahteraan petani. 3.1.2.2.
Kebijakan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Urea
Pupuk adalah salah satu input penting dalam usaha pertanian yang harus dipenuhi kebutuhannya untuk menjamin produksi yang baik. Harga yang dibayar petani untuk mendapatkan pupuk bersama
45
dengan harga input lainnya mempengaruhi pendapatan yang akan diperoleh petani dari penjualan produksi usaha taninya. Kenaikan 1 penurunan harga pupuk akan berpengaruh baik pada Indek harga yang diterima petani (IT) maupun pada harga yang dibayar petani (IB). Oalam analisis ini, harga pupuk yang akan digunakan sebagai variabel untuk pendekatan adalah harga pupuk urea. 3.1.2.3.
Kebijakan Harga Dasar Gabah (HDG)
Oalam rangka stabilisasi harga gabah (beras) pemerintah sejak tahun
1970 mengeluarkan
kebijakan
harga dasar gabah
untuk
pembelian di tingkat petani. Menurut Amang (1999), kebijakan harga dasar yang telah dilakukan pemerintah, disamping untuk stabilisasi harga, harga dasar juga ditujukan untuk stabillsasi harga pangan terkait dengan tingkat upah yang harus diberikan oleh industri kepada para buruh. Penetapan harga yang tidak terlalu tinggi untuk komoditi beras, memberikan insentif bagi perusahaan untuk efisiensi karena upah tenaga kerja menjadi murah. Alasan lainnya adalah menjaga daya beli konsumen kota terhadap pangan untuk kestabilan sosial politik. Alasan-alasan tersebut lebih berpihak kepada konsumen dan sektor non pertanian dari pada kepada sektor pertanian dan petani. Oleh
karena
meningkatkan
itu
bagi
setiap
petani
pendapatannya.
Variabel
peningkatan HOG
ini
HOG
akan
khusus
akan
dimasukkan dalam model NTP Padi. 3.1.3. Nilai Tukar Rupiah Nilai tukar mata uang Rupiah terhadap mata uang asing merupakan salah satu indikator daya saing perekonomian Indonesia relatif terhadap negara lain. Oepresiasi Rupiah, yaitu penurunan nllai Rupiah terhadap mata uang asing (menjadi lebih murah), mencerminkan penurunan blaya produksi barang Indonesia relatif terhadap negara lain. Sehingga daya saing barang-barang produksi Indonesia di pasar intemasional meningkat. Sebaliknya jika Rupiah terapresiasi. Apresiasi, peningkatan nilai Rupiah terhadap mata uang
46
asing, mencerminkan kenaikan biaya produksi (inflasi) di dalam negeri sehingga
daya
menurunkan
saing
produk
Indonesia
di
pasar
intemasional. Perubahan nilai tukar sangat besar pengaruhnya bagi perekonomian Indonesia, mengingat tingginya komponen impor bahan baku untuk industri Indonesia serta tingkat keterbukaan ekonominya yang tinggi. Nilai tukar mata uang asing yang digunakan adalah dollar Amerika (US $). Schuh (1976) melihat kebijakan makroekonomi yang lebih luas pengaruhnya pada sektor pertanian. Menurutnya interaksi antara kebijakan makroekonomi terhadap sektor pertanian adalah melalui pengaruhnya pada inflasi, nilai tukar riil, suku bunga riil dan insentif ekspor-impor pertanian. Timer (1984),
dengan
menganalisis
keterkaitan
kebijakan
makroekonomi terhadap sektor pangan di Indonesia, mendapatkan bahwa nilai tukar mata uang rupiah merupakan variabel yang sangat penting sebagai media berpengaruhnya kebijakan makroekonomi terhadap sektor pangan. Juga Simatupang dan Mardianto (1996) menemukan bahwa devaluasi mata uang rupiah menguntungkan sektor pertanian di Indonesia. Nilai tukar akan berpengaruh pada indeks harga yang diterima petani {IT), yaitu harga-harga dari produksi usaha taninya,
maupun
indeks harga yang dibayar petani (IB), yaitu harga-harga kebutuhan hidup maupun biaya produksinya (Gambar 1.). Sehingga nilai tukar secara otomatis mempengaruhi NTP. Bersamaan dengan pergerakan nilai tukar rupiah, ekspor dan impor produk pertanian akan memberikan pengaruh pada pergerakan NTP. Sebagaimana tinjauan literatur terdahulu, bahwa jika nilai tukar rupiah terdepresiasi akan memberikan keuntungan bagi ekspor produk pertanian dari Indonesia (positif bagi IT, negatif bagi IB), dan sebaliknya jika nilai tukar rupiah terapresiasi (negatif bagi IT, positif bagi IB). Melalui mekenisme tersebut, nilai tukar rupiah dan eksporimpor akan memberikan pengaruh kepada NTP. Namun demikian pengaruh ekspor impor terhadap pergerakan NTP tidak mesti sama dengan pengaruhnya terhadap sektor pertanian
47
secara keseluruhan. Karena peningkatan ekspor akibat meningkatnya daya saing produk pertanian karena depresiasi rupiah (Arifin, 2004), keuntungannya tidak selalu dinikmati oleh para petani, sehingga yang terjadi justru petani harus membeli produk pertanian maupun non pertanian dengan harga tinggi karena meningkatnya harga komoditi eskpor.
Dengan
demikian
pengaruh
peningkatan
ekspor
impor
terhadap NTP adalah netral, dapat bersifat negatif maupun positif. 3.1.4. Inflasi Isdijoso (1992) dalam Tesisnya menemukan bahwa variabel kebijakan makroekonomi yang berpengaruh terhadap sektor pertanian adalah kredit, konsumsi pemerintah, ekspor, impor dan inflasi. Inflasi akan mempengaruhi Nilai Tukar petani melalui dua jalan, yaitu pada IT maupun pada lB. Pada IT maupun IB pengaruh inflasi adalah positif, yang berarti bahwa inflasi akan meningkatkan IT maupun IB, karena inflasi akan meningkatkan penerimaan petani akibat peningkatan harga produksi dan juga akan meningkatkan harga kebutuhan yang harus dibeli petani. Sementara pengaruh inflasi pada NTP adalah netral. Akan
positif, yaitu meningkatkan NTP jika
pengaruh inflasi pada IT lebih besar dari pada pengaruh inflasi pada lB. Akan negatif, jika pengaruh inflasi pada IT lebih kecil dari pada pengaruhinflasi pada lB. Untuk kepentingan analisis, pengukuran inflasi digunakan lndek Harga Konsumen (IHK) dengan tahun dasar sesuai dengan tahun dasar yang digunakan untuk IT dan IB (1987 = 100). 3.2. Model-Model Penduga dan Hipotesis 3.2.1.Model Perkembangan (Trend) NTP NTP adalah bentuk indek dengan menggunakan tahun dasar 1987 (1987 = 100). Dengan asumsi bahwa pertumbuhan nilai tukar petani
berhubungan
perkembangan
erat
dengan
NTP dapat dilakukan
pendugaan
waktu,
maka
dengan
pendekatan
trend.
48
Dengan menggunakan persamaan linier yang dikembangkan oleh persamaan
(2000),
Rachmat
model
dugaan
perkembangan
NTP
sepanjang waktu analasls, diformulasikan sebagai berikut Yt
= Yo +
a1D
+ a2T + a3DT + lit
dalam analisis kali ini, persamaan ditulis menjadi : NTPt
= ao + a1D + a2TAHUN +
a3DTAHUN
+lit
dimana: NTPt
= NTP pada tahun ke t
ao
= intersep
a1
= koefisien dugaan regresi ; i = 1,2,3
D
= Variabel dummy untuk dampak krisis
; t = 1,2,3, ....... n
DTAHUN= Interaksi antara Variabel dummy dengan Variabel tahun untuk perbedaan slope sebelum dan sesudah krisis. D = 1, untuk waktu sebelum tahun 1998 (1976- 1997) D
= 0 , untuk waktu sejak tahun 1998 - 2004
TAHUN= angka tahun Ut
= galat
Hipotesis Statistik untuk model Ho : a1
=a2 =a3
= 0
H1 : minimal ada satu a 1
*0
; i = 1 , 2 , 3.
Diharapkan H1 dapat diambil, yang berarti bahwa minimal satu dari varia bel bebas di atas berpengaruh nyata terhadap trend NTP. Hipotesa untuk tanda setiap koefisien variabel sebagai berikut : 1. Hipotesis tanda koefisien D (a 1 ) Ho : a1 = 0 ;
H1 : a1
*0
2. Hipotesis tanda koefisien TAHUN (a 2 Ho : a2 = 0 ;
)
H1 : a2 =1: 0
3. Hipotesis tanda koefisien DTAHUN (a 3 ) Ho : a3 = 0 ;
H 1 : a3 =1: 0
Notasi hipotesis di atas dapat dibaca bahwa diharapkan Variabel dummy (D) antara tahun sebelum dan sesudah krisis dan Tahun (T)
49
berpengaruh positif terhadap pergerakan NTP, sedangkan variabel lnteraksi antara variabel D dan T {DT) berpengaruh negatif. Hasil pendugaan model di atas akan dibedakan menjadi dua persamaan, yaitu persamaan sebelum dan sesudah terjadinya krisis ekonomi. Persamaan sebelum terjadi krisis ekonomi adalah : NTPt = {ao + a1)
+ (a2 + 83) TAHUN
Persamaan setelah krisis ekonomi adalah : NTPt = ao +
82 TAHUN
3.2.2. Model Variabel-variabel yang Mempengaruhi NTP Dengan asumsi bahwa variabel-variabel yang telah diidentifikasi di atas berpengaruh terhadap harga hasil produksi pertanian dan juga harga kebutuhan yang dibeli petani, baik untuk konsumsi maupun untuk sarana produksi, maka dapat dibangun model perilaku NTP sebagai berikut :
NTP.
=
a. + a,TOT. + a HPU. + a,APAIR. + a.Nf. + aJNFi. + D, + u. 2
dimana:
NT!>,_ = nilai tukar petani pada tahun t, To!; = nilai tukar barter sektor pertanian pada tahun t, H~
= harga eceran tertinggi pupuk urea pada tahun t,
INF(
= Inflasi pada tahun t,
"
= Kurs rupiah terhadap dollar amerika rata-rata tahun t, " APA/Rn = Realisasi APBN untuk irigasi pada tahun t,
NTn D
= Variabel dummy untuk membedakan pengaruh antara sebelum dan setelah krisis ekonomi. D = 1 untuk sebelum 1998 D
i
= 0 untuk 1998- 2004
= pada NTP agregat, NTP TBM dan NTP TPR.
Khusus untuk nilai tukar petani padi {NTP Padi), dengan tambahan variabel harga dasar gabah, digunakan model sebagai berikut :
50
NTPP.
=a.+ a,TOT, + a HPU, + a,HDG, + a.APAIR, + a}vf. + aJNFi, + D, +, u, 2
Oimana:
Nfpp = Nilai tukar petani padi pada tahun t, I
A
HDG, = Harga dasar gabah kering giling KUD pada tahun t. Hipotesis Statistik (untuk kedua model di atas) Ho : a1
=az =a3 ....... a. = 0
H1 : minimal ada satu a. :1= 0
; i = 1 , 2 , 3, ....... 6.
Diharapkan H1 dapat diambil, yang berarti bahwa diharapkan minimal ada satu variabel bebas dalam model di atas berpengaruh terhadap variabel terikat (NTP}. Hipotesa untuk tanda setiap koefisien variabel sebagai berikut :
1. Hipotesis tanda koefisien TOT (a 1) Ho : a1 = 0 ;
H1 : a1 < 0
2. Hipotesis tanda koefisien HPU (az) Ho : az = 0 ;
H1 : az < 0
3. Hipotesis tanda koefisien APAIR (a 3) Ho : a3 = 0 ;
H1 : a3 > 0
4. Hipotesis tanda koefisien NT (a4) Ho:a4=0;
H1:a4>0
5. Hipotesis tanda koefisien INFL (as) Ho : as = 0 ;
H1 : as > 0
6. Hipotesis tanda koefisien HOG (a6) Ho:a6=0;
H1:a6>0
Notasi hipotesis di atas dapat dibaca bahwa diharapkan Variabel Nilai Tukar Barter Sektor Pertanian (TOT) dan variabel Harga pupuk (HPU)
berpengaruh
negatlf terhadap
NTP.
Sedangkan
Variabel
Anggaran untuk pembangunan jaringan irigasi (APAIR), Nilai tukar rupiah (NT}, lnflasi (INFL} dan Harga dasar gabah (HOG) berpengaruh positif terhadap NTP.
51
3.3
Data dan Sumber Data Analisis akan menggunakan data deret waktu (Time series) NTP
nasional 1976 -2004, serta data pendukung lain yang disajikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS),
dan lembaga lain yang berkompeten
dalam mengeluarkan data. Data dinyatakan dalam harga konstan 1987 (1987 = 100). sesual dengan salah satu harga konstan yang dipakai untuk penentuan NTP oleh BPS. 3.4
Prosedur Analisis Sesuai dengan cakupan dan tujuan penelitian, maka analisis
pengaruh kebijakan pemerintah terhadap Nilai Tukar Petani dilakukan dengan model analisis regresi linier berganda dengan persamaan tunggal. Metode penaksir yang digunakan adalah metode kuadrat terkecil biasa (OLS , ordinary least squares). Hubungan NTP dengan variabe-variabel kebijakan bersifat deterministik, dengan demikian analisis dampak perubahan variabel terhadap NTP menjadi bersifat deterministik. Analisis regresi merupakan suatu metode yang digunakan untuk menganalisis hubungan antar variabel.
Hubungan tersebut dapat
diekspresikan dalam bentuk persamaan yang menghubungkan variabel terikat Y dengan satu atau lebih varabel bebas X1, X2, .. .. Xi (Nachrowi dan Usman, 2005). Analisis dimaksudkan untuk menaksir dan atau meramalkan nilai rata-rata hitung atau rata-rata (populasi) variabel tak bebas, dipandang dari segi nilai yang diketahui dari variabel bebas (Gujarati, 2005). Model yang digunakan untuk analisis penelitian ini adalah model regresi linier berganda, karena variabel tak bebas yang akan ditaksir lebih dari satu. Dalam menggunakan model regresi linier berganda ini ada beberapa asumsi yang harus dipenuhi sehingga kesimpulan yang diambil
tidak
menyesatkan
atau
BLUE
(Best
linear
Unbiased
Estimator) (Gujarati, 2004), yaitu : 1.
u, adalah variabel random ;
52
2. Nilai rata-rata bersyarat dari dari gangguan populasi u1, tergantung pada nilai tertentu variabel bebas (X) adalah nol ; 3. Varians u1 adalah konstan atau homoskedastis ; 4. Tidak ada autokorelasi dalam u, ; 5. Tidak ada korelasi antara u, dengan variabel penjelas. 6. Variabel penjelas diukur tanpa kesalahan. Artinya besaran u, semata-mata hanya menampung pengaruh dari variabel yang tidak dimasukkan dalam model. 7. Tidak ada gejala multikolinearitas diantara variabel-variabel bebas (X); 8. Hubungan
dispesifikasikan
dengan
benar,
yaitu
semua
variabel penting telah dimasukkan dalam model dengan bentuk matematika yang tepat. Dalam
proses analisis data, ditekankan untuk memeriksa
adanya permasalahan yang dapat mengganggu model regresi, yaitu multikolinieritas,
heteroskedastisitas dan autokorelasi.
Ketiga hal
tersebut dapat menyesatkan kesimpulan yang diambil dari persamaan yang dibentuk.
3.4.1
Multikolinieritas Multikolinieritas adalah masalah adanya korelasi antara variabel-
variabel bebas dalam persamaan regresi linier berganda, sehingga interpretasi terhadap hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat menjadi tidak benar (Nachrowi, 2005). Koefisien regresi tidak dapat ditaksir jlka terjadl multikolinieritas sempurna, namun dapat dicari jika yang terjadi adalah multikolinieritas tidak sempurna, tapi menimbulkan akibat-akibat : a. Taksiran OLS memiliki varians yang besar. b. Interval
kepercayaan
Iebar,
karena
varians
yang
besar
menimbulkan standar error besar. c. Uji-t (t-rasio) tidak signifikan. d. Koefisien determinasi (R2 ) tinggi, tapi tidak banyak variabel yang signifikan dari uji-t.
53
e. Tanda koefisien bisa tidak sesuai dengan substansi sehingga bisa menyesatkan interpretasi. Masalah multikolinieritas tidak dapat diatasi dengan suatu cara yang spesifik, namun beberapa dapat dilakukan : 1. Melihat informasi sejenis yang ada, baik dari teori ekonomi
maupun
penelitian
empiris
sebelumnya
dimana
masalah
multikolinieritas temyata kurang serius. 2. Tidak mengikutsertakan salah satu variabel yang kolinier, namun bisa terjadi bias spesifikasi. 3. Transformasi variabel, yaitu dengan menjadikan pemedaan yang berurutan dari variabel sepanjang waktu. Perlakuan ini menimbulkan
beberapa
kelemahan,
yaitu
kehilangan
satu
obeservasi dan kemungkinan terjadinya serial korelasi. 4. Mencari data tambahan. Dengan data tambahan kolinieritas dapat berkurang. 5. Cara-cara
lain,
misalnya
transformasi
eksponensial
dan
sebagainya. Dalam
analisis
ini
untuk
mendeteksi
adanya
masalah
multikolinieritas dilakukan dengan melihat korelasi parsial antara variabel.
Penghitungan
nilai
korelasi
dilakukan
dengan
bantuan
software Eviews 3 dan hasilnya disajikan dalam bentuk matriks. Jika banyak variabel yang berkorelasi dengan nilai lebih dari 0,8 , diduga model ada masalah multikolinieritas.
3.4.2
Heteroskedastisitas Salah satu asumsi agar taksiran parameter model bersifat BLUE
adalah semua gangguan (ui) yang muncul mempunyai varians yang sama (homoskedastisitas), var (ui) = cross
sectional
terjadi
a2.
Ada kecenderungan data
heteroskedastisitas,
karena
pengamatan
dilakukan pada individu yang berbeda pada saat yang sama. Adanya Heteroskedastisitas terlihat dari Koefisien variabel bebas tak bias dan linier tetapi tidak lagi mempunyai variansi minimum.
54
Terhadap OLS heteroskedastisitas berakibat varians lebih besar dari taksiran; uji hipotesis ( t dan F) menjadi kurang akurat, karena sangat mungkin signifikansi statistik dari parameter terlalu dibesarbesarkan;
standard error taksiran lebih besar sehingga interval
kepercayaan menjadi sangat besar; dampak akhimya kesimpulan yang diambil dari persamaan dapat menyesatkan. Dalam
analisis
ini
untuk
mendeteksi
adanya
masalah
heteroskedastisitas dilakukan dengan Heteroskedastisitas LM Test cross term, menu yang disediakan sofware Eviews 3. Adanya masalah ini dapat diatasi, salah satunya dengan transformasi data dalam bentuk
logaritma.
Prinsipnya
bahwa
transformasi
dalam
bentuk
logaritma akan membuat perbedaan nilai akan lebih kecil, sehingga diharapkan data yang heteroskedastis dapat menjadi homoskedastis.
Autokorelasi
3.4.3
Asumsi berikutnya agar penaksiran model regresi tinier BLUE adalah
tidak
adanya
korelasi
variabel-variabel
bebas,
pada
pengamatan berbeda waktu atau individu. Tidak ada korelasi antara u, dan u1 {E (u,,u1) = 0, i:#:j}. Umumnya kasus autokorelasi terjadi pada data deret waktu. Dampak adanya autokorelasi, taksiran OLS tidak lagi BLUE, namun tetap tidak bias dan tetap konsisten. Karena itu interval kepercayaan menjadi Iebar dan uji signifikan kurang kuat. Uji
untuk
Durbin-Watson
mendeteksi
adanya
autokorelasi
merupakan cara yang paling populer. N
A
A
d = ~ ( u' - u ,_.) N
LU t:o::l
p =
2
A
i
=
2 (1 - p)
I
Lu - u u 2
2
1-1
'
P = koefisien autokorelasi. -1
s
p
s
1, sehingga : 0
s
p
s
4
- pada saat p = 0, d = 2, artinya tidak ada korelasi - pada saat p - pada saat p
= 1, d = 0, artinya ada korelasi positif = -1, d = 4, artinya ada korelasi negatif 55
Dengan pengamatan kasar dapat dilihat bahwa jika d dekat dengan nilai 2, maka p akan dekat dengan nol, jadi tldak ada autokorelasi. Analisis regresi dilakukan dengan bantuan software komputer Eviews-3. Untuk kemudian hasilnya dilakukan interpretasi, pengujian hipotesis dan penguijan model yang didapatkan. Pengujian Hipotesis 1 Model
3.5
Untuk menguji model yang didapatkan dilakukan uji model secara parsial (uji t), uji model secara keseluruhan (uji F), melihat kebaikan model (goodness of fit) R2 dan menguji kesesesuaiannya dengan asumsi-asumsi penting OLS. Untuk menguji masing-masing variabel secara parsial dilakukan uji t, yaitu membandingkan t-statistik dengan t-tabel pada taraf keyakinan 95°/o. Jika t-statistik
s
t-tabel maka Ho diterima, tapi jika
sebaliknya, maka tolak Ho dan terima H1 • Uji Fisher (F) dilakukan untuk melihat tingkat keyakinan model yang diuji secara keseluruhan. Jika F-statistik terima
Ho,
yaitu
model
secara
s
keseluruhan
dari F-tabel maka tidak
signifikan
menjelaskan masalah yang diteliti. Jika sebaliknya, maka terima H1 yang berarti model secara signifikan menjelaskan masalah yang diteliti. Untuk mengetahui seberapa baik (goodness of fit) model dapat menjelaskan perilaku variabel terikat digunakan koefisien determinasi (R2 ). Koefisien determinasi merupakan ukuran persentase total variasi dalam Y yang dijelaskan oleh model regresi/variabel bebas secara bersama. Tidak kalah pentingnya dalam pengujian model adalah melihat kesesuaian tanda setiap koefisien (positif atau negatif). Apakah tanda yang diperoleh dari hasil regresi telah sesual dengan harapan sebagaimana teori yang menjadi landasan. Oleh karena itu setiap persamaan yang diuji akan dilihat tanda dari setiap koefisien
yang
dihasilkan melalui metode regresi.
56
BAB IV. ANAUSIS Sesuai dengan metodologi yang digunakan, dalam analisis ini secara deskriptif akan disajikan perkembangan nilai tukar petani maupun komponen penyusunnya. Kemudian diikuti dengan analisa terhadap semua persamaan yang telah dibangun, berdasarkan hasil regresi yang telah dilakukan. Untuk hasil analisis regresi telah dilakukan uji terhadap asumsiasumsi estimator yang
BLUE, terutama
atas asumsi
ketiadaan
multikolinearitas, autokorelasi dan heteroskedastisitas. Dengan tetap memperhatikan keterbatasan model akan adanya kemungkinan tidak terpenuhinya asumsi-asumsi tersebut, model persamaan NTP TPR terbentuk dengan satu perbedaan variabel bebas. Terutama jika ditemukan kemungkinan adanya multikolinearitas, beberapa variabel yang berkolinear dikeluarkan dari model sebagaimana disarankan Gujarati (2004) dan Nachrowi (2005). Hasil analisis regresi disajikan dalam bentuk persamaan disertai dengan nilai t-statistik dalam tanda "(}" disertai tingkat keyakinan, nilai F-statistik dan nilai R-squared (R2 ).
4.1. Analisis Deskriptlf Pergerakan NTP Dalam melakukan analisis deskriptif, NTP pada suatu tahun tertentu (NTPt) dibandingkan dengan NTP pada tahun dasar {NTP0 ). Jika NTPt
> NTP0
maka berarti kesejahteraan petani mengalami
peningkatan dibandingkan dengan tahun dasar. Jika NTPt
< NTP0
maka berarti terjadi penurunan kesejahteraan petani dibandingkan dengan keadaan pada tahun dasar. Selama periode 1976 -2004, dengan tahun dasar 1987 rata-rata NTP nasional adalah 100,6 dan secara umum mengalami peningkatan dari 92,88 menjadi 125,15 (Tabel 4). Terlihat bahwa peningkatan NTP tersebut lebih banyak peran dari peningkatan NTP tanaman bahan makanan dari 99,88 menjadi 137,45. Karena setelah mengalami peningkatan pada tahun 1983 sampai 1986, NTP Tanaman perkebunan
bahkan mengalami penurunan menjadi 75,20 pada tahun 2004. Peningkatan NTP tanaman pangan temyata tidak mendapat dukungan dari NTP padi, karena NTP padi sering mengalami penurunan Selama 29 tahun pengamatan terlihat bahwa NTP lebih sering berada dibawah level 100, yaitu sebanyak 16 observasi (tahun); sedikit berada diatas/hampir sama di level 100 sebanyak 4 observasi dan sisanya 9 observasi di atas level 100. Hal ini menandakan bahwa kesejahteraan petani, yang diukur dengan NTP, lebih sering menu run dan stagnan dibandingkan mengalami peningkatan (Gambar 2). Tabel4. Pergerakan NTP, NTP-TBM, NTP-TPR dan NTP-Padl TAHUN
NTP-TBM
NTP
NTP-TPR
99.88 99.88 92.8801 108.05 100.66 94.7437 110.98 100.87 98.6606 104.51 105.40 101.4135 97.71 105.84 101.12 91.53 101.97 99.99 87.81 108.69 106.96 101.40 124.86 112.72 108.47 101.26 96.85 112.43 101.17 96.32 115.41 104.05 98.79 106.29 107.28 100.00 94.34 111.24 102.86 85.04 106.35 99.81 80.67 107.28 100.59 71.94 107.74 99.79 66.37 102.99 95.58 58.63 97.90 90.72 57.89 101.64 95.94 60.67 110.98 100.10 56.33 110.34 98.57 52.13 112.57 100.43 41.79 106.95 97.36 76.94 106.29 99.75 85.20 104.01 96.54 90.92 111.33 100.79 92.36 125.96 104.44 70.79 136.41 108.71 75.20 137.45 125.15 84.9 108.9 100.61 Rata-rata Indonesia. d1 Petam Sumber : BPS. Statistik N1la1 Tukar 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
0
0
0
0
0
NTP-PADI
99.88 97.88 96.77 101.83 100.69 95.49 94.84 91.92 97.72 92.22 98.08 101.95 112.61 108.66 110.06 109.43 106.03 91.59 103.07 109.33 103.03 111.11 106.47 114.91 106.37 99.56 102.33 93.27 95.79 101.82
0
58
Gambar 3. Pergerakan NTP 1976-2004 130 _,-----12sr:-----------------------------------~
120 I
115r,--------------------------------~~
110 - - r - - - - - - - - - F \ - - - - - - - - - - - -----~-------f-105r1------~~--------------------~~ 100~--~~~--~-=~~~---.~~~~----
95 90
asr---------------------------------- 80
<0
~ ~ ~ ~ m m ~ m ~ ~
51
Tahun
Data pergerakan NTP ( agregat) di atas ada kesesuaian dengan perkembangan data Rasio Pendapatan Disposabel per kapita menurut golongan rumah tangga petani pada semua kelompok penguasaan lahan, baik petani gurem maupun pengusaha pertanian {Tabel 5). Kesesuaian terutama pada golongan rumah tangga petani dengan penguasaan lahan sampai dengan 1 ha. Hampir selalu, ketika rasio pendapatan disposabel tersebut mengalami peningkatan (penurunan), maka begitu juga NTP mengalami peningkatan (penurunan). Tabel 5. Rasio (Perbandingan) Pendapatan Disposabel per Kapita pada Golongan Rumah Tangga Pertanian, 1975 - 2004
Golongan Rumah tangga Rumah tangga petani gurem (kuasai lahan <0.5 ha) Rumah tangga pengusaha pertanian (kuasai Ia han 0.5- 1 ha) Rumah tangga pengusaha pertanian dengan penguasaan lahan > 1 ha
Pendapatan Disposabel per Kaplta per tahun
1975
1980
1985
1990
1995
1998
2004
1.08
1.31
1.00
1.31
1.58
1.65
1.76
1.44
1.51
1.49
1.60
2.02
2.12
2.34
2.11
1.95
2.42
2.49
2.97
3.15
3.21
Sumber: BPS, Sistem Neraca Sosial Ekonomi Indonesia.
59
Sementara itu jika melihat NTP kelompok komoditas, terlihat bahwa rata-rata NTP tanaman bahan makanan lebih baik dari pada rata-rata NTP tanaman perkebunan rakyat, yaitu masing-masing 108,9 84,9.
dan
Petani
tanaman
mengalami
perkebunan
peningkatan
kesejahteraan hanya dalam 6 tahun observasi selebihnya selalu berada jauh di bawah level 100. NTP komoditas padi, sebagai komoditas makanan pokok yang sangat penting, memiliki rata-rata hanya sedikit di atas 100, yaitu 101,8 (Gambar 3). Petani tanaman bahan makanan relatif dapat menikmati harga yang lebih baik dengan kebijakan harga dasar dan harga tertinggi, sehingga
pendapatannya
terjamin.
relatif
dilihat
Oapat
ketika
pemerintah menetapkan harga dasar pembelian padi dari petani (HOG) dari Rp 1.000,- di tahun 1998 menjadi Rp 1.400,- di tahun 1999. Pada saat itu NTP padi naik dari 106,47 di tahun 1998 menjadi 114,91 di tahun
1999. Namun kenaikan NTP itu terhenti dan mengalami
penurunan, ketika peningkatan HOG oleh pemerintah tidak dapat mengimbangi peningkatan harga barang konsumsi maupun sarana produksi. Penurunan juga dibarengi pola subsidi pupuk yang diberikan kepada industri gas untuk memberikan subsidi input produsen pupuk. Seringnya terjadi kelangkaan pupuk juga dapat menjadi penyebabnya. Penurunan
NTP
pada
periode
2000
ini
tidak
sejalan
dengan
produktivitas padi per ha yang terus mengalami peningkatan {Tabel 6). Tabel 6. Perbandingan Produktivitas Padi dan NTP Padi Tahun 1998 - 2004 Tahun
Luas Panen (ha)
Produksi (000 ton)
Produktivitas (ton/ha)
NTP Padi
1998
11.731
49.237
4,19
106,47
1999
11.963
50.866
4,25
114,91
2000
11.794
51.899
4,40
106,37
2001
11.500
50.461
4,39
99,56
2002
11.521
51.490
4,47
102,33
2003
11.489
52.137
4,54
93,27
2004
11.923
54.088
4,54
95,79
Sumber : BPS. (diolah)
60
Kebijakan harga dasar gabah yang mulai ditetapkan pada tahun 1970 memang merugikan petani terlihat dari NTP-nya yang selalu rendah sejak 1976 sampai dengan 1987. Hal itu terjadi karena kebijakan harga dasar gabah didasari untuk kepentingan di sektor non pertanian. Harga dasar gabah dimaksudkan untuk tiga hal (Amang, 1999), yaitu : 1) menstabllkan harga beras, 2) stabilisasi harga pangan akan mendukung sektor industri, berupa tingkat upah yang murah, sehingga produksi yang dilakukan perusahaan lebih eflsien, 3) jika harga pangan tinggi konsumen kota akan menurun daya belinya, yang hal ini dapat berdampak pada stabilitas sosial politik. Dilihat dari elastisitas permintaan terhadap harganya, bahan makanan juga lebih inelastis daripada tanaman perkebunan yang bukan merupakan bahan pangan pokok. Sehingga perubahan harga hanya sedikit berpengaruh pada perubahan permintaan. Sebagai penghasll
produk
pertanian
komoditas
ekspor,
petani tanaman
perkebunan umumnya menjual hasilnya dalam keadaan mentah (raw material)
ditambah
dengan
fasilitas
infrastruktur
yang
buruk
(khususnya di luar Pulau Jawa), yang membuatnya menerima harga rendah. Akibatnya petani cenderung
m~mperoleh
pendapatan yang
rendah pula, sehingga kesejahteraannya tidak meningkat. GMDir 7. Pergerakan NTP TBM, TPR dan Padl
150.00 135.00 120.00 105.00 ~ 90.00 z 75.00 60.00 45.00 30.00
--
I
--------------··-------------- -- ·-----------·----···------------------------------- --- j
-
1976
1980
1984
1988
1992
1996
2000
NTPTPR
2004
Tahun
61
nngkat kesejahteraan petani perkebunan rakyat terus membaik beberapa tahun sejak digalakkannya kebijakan ekspor non migas, bersamaan dengan panurunan tajam ekspor migas. Tapi Kemudian mulai menurun sejak tahun 1986 dengan diberlakukannya tata niaga beberapa komoditi hasil perkebunan seperti cengkeh dan jeruk (Ikhsan, 2001). Kesejahteraan petani perkebunan rakyat terus menurun yang digambarkan oleh penurunan NTP sejak 1986 sampai puncaknya pada tahun 1998 (Gambar 4). Kejadian krisis ekonomi terlihat memberikan manfaat peningkatan kesejahteraan bagi petani perkebunan rakyat. Depresiasi kurs rupiah memberikan keuntungan bagi komoditas ekspor pertanian yang berdampak pada peningkatan pendapatan petani. Karenanya terlihat NTP TPR terus mengalami peningkatan sejak 1999.
4.2. Pergerakan Ekonomi
NTP
dan
Pengaruh
Kejadian
Krisis
Kejadian krisis ekonomi sejak pertengahan 1997, yang ditandai dengan merosotnya nilai tukar rupiah, telah membawa dampak peningkatan harga-harga barang secara tajam, baik harga hasil pertanian maupun hasil industri manufaktur. Hal tersebut tentu mempengaruhi nilai tukar petani. Jika dibandingkan antara sebelum terjadi krisis ekonomi dengan setelah krisis ekonomi, terlihat ada pola pergerakan NTP yang berbeda. Fluktuasi masih terjadi, tetapi memiliki pola yang berbeda, dimana sejak 1998 sampai 2004 terjadi pergerakan naik NTP yang cukup berarti. Lonjakan NTP yang cukup tajam ini adalah dominan peran dari sektor tanaman bahan makanan yang setelah krisis ekonomi ada kecenderungan terus meningkat. Sementara peran NTP-TPR kecil, bahkan stagnan karena setelah terjadi krisis ekonomi pergerakannya belum lagi menyentuh level 100 walapun ada kecenderungan terjadi peningkatan sejak tahun mengalami
penurunan
1999. NTP padi demikian juga justru
setelah
terjadi
krisis
ekonomi.
Hal
ini
menunjukkan bahwa peningkatan harga padi di masa krisis tidak dapat mengimbangi peningkatan harga-harga secara umum baik umtuk
62
produk
konsumsi
maupun
untuk
sarana
produksi
walaupun
produktivitas per hekatamya mengalami peningkatan {Tabel 6). Oleh
karena
itu
hasil
pendugaan
regresi
pengaruh
krisis
ekonomi terhadap pola pergerakan NTP juga menghasilkan kesimpulan yang sama. Dengan menggunakan variabel boneka (dummy) untuk membedakan
pergerakan
sebelum
dan
setelah
krisis
ekonomi,
didapatkan hasil persamaan :
NTP = -7699.06 + 7937.16*D + 3.89*TAHUN- 3.97*DTAHUN (-4.1367)**
(4.1996)**
F-statistik= 8,0245** *
(4,1929)**
(-4,2021)**
R2 = 0,49
= Signifikan pada tingkat kepercayaan 95%
** = Signifikan pada tingkat kepercayaan 99%
Secara
parsial
setiap
varabel
dapat
menerangkan
pola
pergerakan NTP pada selang keyakinan 99°/o, baik untuk konstanta dan TAHUN, dummy (D) krisis ekonomi maupun perbedaan slope antara sebelum dan sesudah krisis (OK). Demikian
juga semua
variabel bebas secara bersama dapat menjelaskan pergerakan NTP pada selang keyakinan 99°/o. Koetisien determinasi (R2
)
menunjukkan
bahwa model dapat menerangkan pergerakan NTP antara sebelum dan sesudah krisis ekonomi sebesar 49°/o. Dari hasil dugaan regresi di atas didapatkan dua persamaan dengan slope yang berbeda, antara sebelum dan setelah kejadian krisis ekonomi, yaitu : 1. Persamaan sebelum krisis ekonomi :
NTPt = 238.10- 0.08 TAHUN 2. Persamaan setelah krisis ekonomi :
NTPt = -7699.06 + 3.89*TAHUN Regresi ini menunjukkan bahwa pergerakan NTP dalam periode sebelum terjadi krisis ekonomi cenderung mengalami penurunan. Dari koetisien TAHUN dapat dibaca bahwa pada satu tahun berikutnya NTP akan menurun sebesar 0.08. Sedangkan setelah kejadian krisis NTP
63
cenderung mengalami peningkatan. Dari koefisen TAHUN dapat dibaca bahwa pada satu tahun berikutnya NTP dapat meningkat sebesar 3.89. Hal ini menandakan rata-rata petani Indonesia di masa 8 tahun setelah krisis memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih baik. Harga yang
diterima
petani
dari
hasil
produksinya
relatif lebih
baik.
Argumentasi ini juga dapat dibuktikan dari rata-rata NTP sebelum krisis lebih rendah dari pada rata-rata NTP setelah krisis, yang masingmasing 99,31 dan 104,67. Kejadian krisis sangat berpengaruh sekali meningkatkan harga tanaman perkebunan maupun tanaman bahan makanan, sehingga pendapatan petani dapat mengimbangi kanaikan barang-barang non pertanian. Khusus untuk tanaman perkebunan kejadian krisis yang antara lain terjadinya depresiasi nilai rupiah memberikan keuntungna tersendiri. Karena umunya tanaman perkebunan andalah komoditas ekspor (seperti kakao, kopi, cenkeh, rotan, dll), sehingga kurs yang rendah justru meningkatkan daya saing ekspor. Dengan demikian pendapatan petani mengalami peningkatan. Karena itu pada Gambar 4 terlihat NTP tanaman perkebunan rakyat (TPR) terus mengalami kenaikan sejak tahun 1999.
4.3. Variebel yang Berpengaruh terhadap NTP Agregat Hasil regresi untuk menduga varibel-variabel yang berpengaruh terhadap Nilai Tukar Petani secara umum (agregat) adalah sebagai berikut :
NTPt = 124.4516 - 23.0399 TOTt- 0.0675 HPU t + (9,8350)***
( -2,5545)**
2.312 APAIRt (3,4217)***
+ 5.1446 NTt- 0.2148 INFLt + 0.1583 D
F-Statistik = 5,3067** *
( -1,8889)*
(1,0818)
(-2,2948)**
(0.0287)
R2 = 0.59
= signifikan pada tingkat kepercayaan 90%
**= Signiflkan pada tingkat kepercayaan 95% ***= Slgnlflkan pada tlngkat kepercayaan 99%
64
Model
di
atas
menunjukkan
variabel
bahwa
bebas
HPU
berpengaruh terhadap pergerakan NTP dengan tingkat kepercayaan 90°/o, varibel TOT dan INFL berpengaruh dengan tingkat kepercayaan
APAIR
variabel
Sedangkan
95°/o.
tingkat
pada
berpengaruh
keprcayaan 99°/o. Sementara variabel NT dan Dummy pembeda tahun sebelum dan sesudah krisis ekonomi tidak memberikan pengaruh nyata.
secara
Model
keseluruhan
secara
dapat
menjelaskan
pergerakan NTP sebesar 59°/o, pada tingkat kepercayaan 99°/o. Tanda koefisien
setiap
variabel
yang
dihasilkan
dengan
sesuai
yang
diharapkan (hipotesis), yaitu negatif untuk TOT, negatif untuk HPU, positif untuk APAIR, positif untuk NT dan positif atau negatif untuk I NFL. Variabel
TOT
(term
of
trade),
yaitu
variabel
yang
menggambarkan nilai tukar barter sektor pertanian, yang dihitung dari deflator PDB sektor pertanian terhadap deflator PDB sektor non pertanian. Nilai koefisien menandakan bahwa setiap peningkatan TOT sebesar 0,1 akan menurunkan NTP sebesar 2.3 poin. Peningkatan angka TOT menunjukkan penurunan nilai tukar sektor pertanian terhadap sektor non pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa nilai tukar sektor pertanian menurun maka demikian juga dengan kesejahteraan petani. Hasil tersebut juga, bahwa indek harga yang diterima dari hasil produksi pertanian akan melemah jika produksi terus meningkat. Pada kasus
sektor
pertanian,
produktivitas akan
jika
meningkat,
teknologi
budidaya
diaplikasikan
namun sejalan dengan
itu akan
menurunkan harga dan daya belinya terhadap produk non pertanian. Hal ini juga berkaitan dengan pengaruh elastisitas pendapatan dengan konsumsi produk pertanian, dimana semakin tinggi peningkatan pendapatan akan menurunkan pangsa pendapatan yang digunakan untuk konsumsi. Oleh karena itu setiap peningkatan pertumbuhan sektor pertanian akan menurunkan indek harga yang diterima petani dan sebaliknya semakin meningkat pertumbuhan di sektor non
65
pertanian justru akan dapat meningkatkan indek harga yang diterima petani. Yang selanjutnya akan berpengaruh pada nilai tukar petani. HPU, harga pupuk urea untuk mewakili perkembangan harga pupuk yang mempengaruhi biaya input produksi pertanian, setiap kenaikannya sebesar Rp 1,- /kg akan menurunkan NTP sebesar 0,068. Jika dicermati, NTP (kesejahteraan) petani sangat sensitif terhadap perubahan harga pupuk. Kenaikan harga pupuk dapat mempengaruhi petani dalam penggunaan jumlah pupuk sesuai dengan rekomendasi. Hal ini dapat mengakibatkan penurunan produksi yang selanjutnya dapat menurunkan pendapatannya. Kemudian pembangunan
variabel Janngan
APAIR, irigasi
anggaran secara
pemerintah
signifikan
untuk
menjelaskan
pergerakan nilai tukar petani. Setiap penambahan anggaran untuk jaringan irigasi sebesar 1 trilyun rupiah dapat meningkatkan NTP sebesar 2,31. Hal ini dimengerti karena pembangunan jaringan irigasi merupakan salah satu bentuk subsidi input yang diberikan pemerintah kepada petani. Adanya subsidi input sudah tentu akan mengurangi biaya produksi sehingga akan berpengaruh pada margin yang diterima petani
dari
hasil
penjualan
produksinya,
dan
petani
dapat
meningkatkan pendapatannya. Sementara secara statistik nilai tukar rupiah terhadap dollar tidak signifikan mempengaruhi NTP. Hal ini dapat dijelaskan bahwa walaupun pergerakan nilai tukar rupiah
dapat berpengaruh terhadap
ekspor produk pertanian, terutama hasil perkebunan, tetapi bagi pertanian secara keseluruhan tidak memberikan pengaruh berarti. Dan lagi pelemahan nilai tukar rupiah yang menguntungkan bagi ekspor produk pertanian bukan merupakan suatu indikator penting bagi kemajuan pertanian dalam negeri (peningkatan daya saing). Hal tersebut semata-mata "rejeki durian runtuh" (wind fall),
akibat
melemahnya rupiah, yang karenanya akan kembali melemah jika nllai tukar kembali menguat. Tidak signifikannya variabel nilai tukar juga mengindikasikan bahwa barang-barang yang dikonsumsi oleh petani tidak sensitif terhadap perubahan nilai tukar. Hal ini mengingat pangsa
66
pengeluaran untuk konsumsi pangan oleh penduduk pedesaan (petani) dari pendapatannya masih besar, yaitu 66,56°/o (Susenas 2002). Kejadian inflasi berhubungan negatif dengan nilai tukar petani. Jika dicermati pengaruh inflasi pada harga yang dibayar petani untuk konsumsi, saranan produksi dan barang modal lebih besar dari pada pada harga yang diterima petani dari hasil produksinya, sehingga secara
kumulatif
pengaruh
insflasi
menjadi
negatif
terhadap
kesejahteraan petani. Setiap peningkatan inflasi sebesar 1°/o akan menurunkan nilai tukar petani sebesar 0,21. Inflasi, perubahan hargaharga yang terjadi di perkotaan memberikan pengaruh juga terhadap kejadian inflasi barang-barang produksi di tingkat pedesaan (IT) . Tetapi karena pengarunya terhadap harga yang dibayar petani (IB) lebih tinggi maka, pengaruh inflasi menjadi negatif. Indek harga yang dibayarkan petani untuk kebutuhan konsumsi, barang modal dan sarana produksi mencerminkan tingkat perubahan harga-harga di tingkat pedesaan. Maka jika inflasi yang terjadi sangat tinggi, daya beli petani akan sangat tertekan. Penguatan indeks harga yang diterima petani (IT) menjadi sangat penting dalam
rangka terus meningkatkan surplus produsen
pertanian yang berarti meningkatkan daya beli petani. Dalam proses transformasi struktur ekonomi dari dominan produk primer ke produk industri manufaktur, penguatan daya beli petani sangat penting sehingga
dapat
menyerap
produk
manufaktur dan
mendukung
pergeseran tenaga kerja sektor pertanlan ke sektor industri. Sementara itu perbedaan waktu antara sebelum dan sesudah krisis (variabel dummy), secara statistik tldak menunjukkan perbedaan rata-rata yang nyata pada NTP agregat. Hal ini diduga bisa terjadi karena pengamatan untuk waktu setelah krisis yang masih terbatas.
4.4. Variabel yang Berpengaruh terhadap NTP Tanaman Bahan Makanan (NTPM) Hasil regresi untuk menduga varibel yang berpengaruh terhadap Nilai tukar petani tanaman bahan makanan adalah sebagai berikut :
67
NTPMt = 106.0679 - 31.8766 TOTt - 0.0694 HPU t (-1,5927)* (5,8930)*** (-2,6686)**
+ 9.1266
NTt (1,0126)*
4.7628APAIRt - 0.2152 INFLt + 12.0163 D (-2,8711)**
(6,3367)***
(1,4933)
R2 = 0.80 F-Statistik = 12,5929*** * = Signifikan pada tingkat kepercayaan 85% **= Signiflkan pada tingkat kepercayaan 95% **= Signifikan pada tingkat kepercayaan 99%
Sejalan dengan model untuk NTP agregat, model di atas menunjukkan bahwa variabel-variabel bebas TOT, HPU, NT, INFL dan APAIR berpengaruh nyata terhadap pergerakan NTP tanaman bahan makanan (TBM). Sedangkan varibel D (dummy antara tahun sebelum krisis ekonomi dan setelahnya) tidak berpengaruh nyata. Model secara keseluruhan dapat menjelaskan pergerakan NTP TBM sebesar 80°/o, pada tingkat kepercayaan 99°/o. Seperti juga model NTP agregat, tanda setiap koefisien variabel yang dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan (hipotesis), yaitu negatif untuk TOT, negatif untuk HPU, positif untuk APAIR, positif untuk NT dan positif atau negatif untuk I NFL. Dibandingkan pengaruhnya terhadap NTP agregat, pengaruh variabel TOT terhadap NTP tanaman bahan makanan lebih besar, terlihat
dari
nilai
dibandingkan 23,04.
koefisiennya
yang
lebih
besar,
yaitu
31,87
Hal ini dapat diterangkan dari komposisi
tanaman bahan makan dalam penyusunan NTP agregat yang dominan, yaitu 88,5°/o (Lihat Lampiran 4). Sehingga penurunan nilai tukar sektor pertanian terhadap sektor non pertanian (TOT) berpengaruh lebih besar terhadap NTP tanaman bahan makanan. Elastisitas pendapatan terhadap
produk
makanan
sangat
sangat
sensitif
terhadap
peningkatan pendapatan, dlmana pangsa pendapatan untuk konsumsi pangan akan menurun sejalan dengan peningkatan pendapatan. Pengaruh variabel HPU dan INFL terhadap NTP tanaman bahan makanan dapat dikatakan sama pengaruhnya terhadap NTP agregat. Hal ini juga dapat diterangkan dari komposisi tanaman bahan makan
68
dalam penyusunan NTP agregat yang dominan. Sehingga pengaruh keduanya terhadap NTP agregat dan NTP tanaman bahan makanan hampir sama. Variabel APAIR lebih sensitif berpengaruh pada perubahan NTP tanamman bahan makanan dari pada NTP agregat, yang ditunjukkan dari nilai koefisiennya sebesar 4,76. Berarti setiap peningkatan 1 trilyun rupiah anggaran pembangunan untuk jaringan irigasi akan meningkatkan NTP tanaman bahan makanan sebesar 4,76 point. Respon
NTP tanaman
makanan
bahan
yang
tinggi
terhadap
perubahan anggaran jaringan irigasi berhubungan dengan karakteristik tanaman bahan makanan (padi, palawija, sayur dan buah-buahan) yang lebih banyak membutuhkan suplai air untuk dapat tumbuh dengan baik. Jika jaringan irigasi baru dibangun, atau pemeliharaan selalu dilakukan maka petani akan mudah mendapatkan air untuk menjamin
produktivitas
usahanya.
Jika
produktivitas
terjaga
pendaptan petani pun terjamin, sehingga NTP (kesejahteraan ) akan meningkat. Pembangunan ataun pun pemeliharaan jaringan irigasi membutuhkan modal yang cukup besar dan dimanfaatkan oleh banyak orang,
sehingga
pemerintah
harus
turun
tangan
untuk
dapat
membangunnya, sebagaimana infrastruktur jalan raya. Anggaran pembangunan untuk jaringan irigasi sangat signifikan mempengaruhi indek harga yang diterima petani tanaman bahan makanan. Ketersediaan jaringan irigasi merupakan satu bentuk subsidi input yang sangat penting dalam mendukung produktivitas tanaman bahan
makanan,
seperti
padi
dan
palawija,
sehingga
setiap
peningkatan anggaran akan berpengaruh positif terhadap indek harga yang diterima petani tanaman pangan. Perbedaan waktu antara sebelum dan sesudah krisis (variabel Dummy), secara statistik tidak menunjukkan perbedaan rata-rata yang nyata pada NTP tanaman bahan makanan. Hal ini diduga bisa terjadi karena pengamatan untuk waktu setelah krisis yang masih terbatas.
69
4.5. Variabel yang Berpengaruh terhadap NTP Tanaman Perkebunan Rakyat {NTPK) Hasil regresi untuk menduga varibel yang berpengaruh terhadap IT tanaman perkebunan rakyat adalah sebagai berikut : NTPKt = 230.8977 - 76.8400 TOTt- 0.5884 HPU t (-3,9798)** (-2,7503)* (6,2048)**
+ 43.8705 NTt- 1.5680 INFLt - 34.8008 D (-4,7698)**
(3,0411)** F-Statistik
* = **=
= 5.9659**
R2
(-2,5504)*
= 0.60
Signifikan pada tingkat kepercayaan 950fo Signlfikan pada tlngkat kepercayaan 99%
Untuk menghindari multikolinearitas yang parah, salah satu variabel
yang
tidak
penting
secara
statistik,
yaitu
Anggaran
pemerintah untuk jaringan irigasi (APAIR) dikeluarkan dari model. Hal ini juga menunjukkan bahwa anggaran pertanian untuk jaringan irigasi tidak sensitif mempengaruhi indek harga yang diterima oleh petani perkebunan.
Tidak sebagaimana pertanian tanaman pangan yang
cenderung tergantung dengan jaringan irigasi untuk kelangsungan produksinya, untuk tanaman perkebunan tidak demikian. Sejalan dengan model untuk NTP agregat, model di atas menunjukkan bahwa variabel-variabel bebas TOT, HPU dan INFL berpengaruh nyata terhadap pergerakan NTP agregat. Sementara tidak sebagaimana pada model persamaan NTP agregat dan NTP TBM, variabel NT dan D memberikan pengaruh yang nyata pada tingkat kepercayaan masing-masing 99°/o dan 95°/o terhadap NTP tanaman perkebunan
rakyat
(TPR).
Model
menjelaskan pergerakan NTP TPR
secara
keseluruhan
dapat
sebesar 60°/o, pada tingkat
kepercayaan 99°/o. Seperti juga model NTP agregat, tanda setiap koefisien variabel yang dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan (hipotesis), yaitu negatif untuk TOT, negatif untuk HPU, positif untuk NT dan positif atau negatif untuk INFL. Dibandingkan pengaruhnya terhadap NTP agregat, pengaruh variabel TOT terhadap NTP TPR lebih besar, terlihat dari nilai
70
koefisiennya yang lebih besar, yaitu 76,84 dibandingkan 23,04. Hal ini dapat diterangkan dari komposisi tanaman perkebunan rakyat dalam penyusunan NTP agregat yang kecil, 11,5o/o (Lihat Lampiran 4). Sehingga penurunan nilai tukar sektor pertanian terhadap sektor non pertanian (TOT) berpengaruh lebih besar terhadap NTP TPR. Hasil tersebut
perkebunan
bahwa
menunjukkan
juga
sangat
rentan
daya
mengalami
beli
petani
penurunan
tanaman terjadi
jika
penurunan harga produksi akibat berbagai sebab. Produk perkebunan sebagaimana produk pertanian yang lainnya yang bersifat perishable (mudah rusak) juga menjadi masalah tersendiri bagi petani yang dapat menurunkan
harga
jual
akibat
keterlambatan
penjualan
atau
pengawetan. Pengaruh
variabel
HPU
dan
NT
sangat
besar
terhadap
perubahan NTP TPR. Setiap peningkatan harga pupuk sebesar Rp 1,akan menurunkan NTP TPR sebesar 0,58 point dan setiap penurunan nilai tukar rupiah akan meningkatkan NTP TPR sebesar 43,87 point. Sebagai tanaman produk ekspor, harga tanaman perkebunan sangat dipengaruhi oleh nilai tukar. Depresiasi akan menguntungkan karena daya saing harga di pasar dunia menguat dan apresiasi akan sebaliknya. Hal ini dengan asumsi bahwa kualitas tidak menjadi kendala. Penjelasan tersebut dikuatkan, jika melihat pola pergerakan NTP TPR pada Gambar 4 di atas, dimana ketika nilai tukar rupiah mengalami depresiasi NTP TPR mengalami kenaikan. Berarti pada saat seperti itu daya beli petani perkebunan rakyat membaik. Variabel INFL berpengaruh besar terhadap NTP TPR, dimana setiap peningkatan inflasi sebesar 1 °/o NTP TPR akan turun 1,57 poin. Sumbangan
produk
perkebunan
terhadap
inflasi
yang
kecil
dibandingkan produk tanaman pangan seperti beras, berpengaruh terhadap rentannya NTP TPR terhadap kenaikan harga secara umum (inflasi). Peningkatan harga-harga secara umum lebih berpengaruh terhadap indek harga yang dibayar petani perkebunan rakyat dari pada terhadap indek harga yang diterima. Dengan demikian daya beli
71
petani perkebunan rakyat terhadap barang-barang non pertanian sering lebih rendah. Perbedaan waktu antara sebelum dan sesudah krisis (variabel Dummy), secara statistik tidak menunjukkan perbedaan rata-rata yang nyata pada NTP tanaman perkebunan rakyat. Nilai koefisien yang negatif menunjukkan bahwa pergerakan setelah krisis ekonmi lebih tinggi dari pada sebelumnya. Hal ini dapat dijelaskan pada saat D = 0 (setelah krisis) maka intersep persamaan adalah 230.8977, sedangkan pada saat 0=1 (sebelum krisis) intersepnya adalah 230.89 - 34.80 =
196.09. Penjelasan hal ini sejalan dengan penjelasan pengaruh nilai tukar.
4.6. Variabel yang Berpengaruh terhadap NTP Padi Hasil regresi untuk menduga varibel yang berpengaruh terhadap NTP Padi, adalah sebagai berikut : NTPPt
=
97.3181 - 28.0231 TOTt- 0.2201 HPUt + 0.1960 HDG (14,3316)***
(-2,3021)*
(-2,4011)*
(2.1215)**
5.0872 APAIRt- 12.7436 NTt + 0.0287 INFLt {1,8521)* F-Statistik = 4.246513
*
(-1,9169)*
(1,1879)**
R2 = 0.61
= Signifikan pada tingkat kepercayaan 90%
** = Signifikan pada tingkat kepercayaan 95%
***=
Slgnlflkan pada tlngkat kepercayaan 99%
Model yang digunakan untuk menduga persamaan NTP Padi ditambah dengan variabel yang khas berpengaruh terhadap harga padi di tingkat petani, yaitu harga dasar gabah kering giling (HOG) yang ditetapkan pemerintah untuk menstabilkan harga beras. Harga yang tidak stabil akan berakibat pada tingkat inflasi, harga yang mahal untuk konsumen dan pada tingkat tertentu dapat juga merugikan konsumen. Model
yang diperoleh di atas menunjukkan bahwa variabel-
variabel bebas TOT, HPU, HOG, NT, INFL dan APAIR berpengaruh nyata terhadap pergerakan NTP Padi. Untuk variabel D (dummy
72
perbedaan
antara
tahun
sebelum
dan
setelah
krisis
ekonomi)
dikeluarkan dari model karena tidak memberikan pengaruh yang signifikan dan menimbulkan masalah dalam hasil regresi. Model secara keseluruhan dapat menjelaskan pergerakan NTP TBM sebesar 61 °/o, pada tingkat kepercayaan 99°/o. Seperti juga model NTP agregat, tanda setiap koefisien variabel yang dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan (hipotesis), yaitu negatif untuk TOT, negatif untuk HPU, positif untuk APAIR, negatif untuk NT, positif untuk HOG dan positif atau negatif untuk INFL. Dibandingkan pengaruhnya terhadap NTP agregat, pengaruh variabel TOT terhadap NTP Padi lebih besar, terlihat dari nilai koefisiennya yang lebih besar, yaitu 28,02 dibandingkan 22,98. berarti setiap penurunan nilai tukar barter sektor pertanian akan NTP
menurunkan menunjukkan
Padi
bahwa
sebesar
daya
beli
penurunan jika terjadi penurunan
28
poin.
petani
padi
Hasil
tersebut
rentan
juga
mengalami
harga produksi akibat berbagai
sebab, walaupun tidak sebesar penurunan pada NTP TPR. Variabel HPU, harga pupuk urea untuk mewakili perkembangan harga pupuk yang mempengaruhi biaya input produksi pertanian, setiap kenaikannya sebesar Rp 1,- /kg akan menurunkan NTP Padi sebesar 0,22. NTP (kesejahteraan) petani padi sangat dipengaruhi oleh perubahan harga pupuk, yang merupakan input produksi penting dalam usaha tani padi. Kenaikan harga pupuk dapat mempengaruhi petani dalam penggunaan jumlah pupuk sesuai dengan rekomendasi. Jika harga pupuk naik dan terjadi kelangkaan, petani terpaksa mengurangi pemakaian sesuai yang direkomendasikan. Hal ini dapat berakibatk
pada
penurunan
produksi
yang
selanjutnya
dapat
menurunkan pendapatannya. Akibat lanjutannya bisa lebih buruk, jika karena
penurunan
produksi
mengakibatkan stok beras nasional
kekurangan. Jika kemudian kebijakan impor beras yang ditempuh pemerintah, maka petani padi dapat mengalami kerugian, jika harga beras impor lebih murah dari harga beras dalam negeri dan bahkan tidak hanya sebagai stok BULOG tetapi juga masuk ke pasar bebas.
73
Nilai koefisien APAIR pada model persamaan NTP Padi 5,09, lebih besar dibandingkan koefisiennya pada persamaan NTP agregat maupun NTP TBM. Setiap peningkatan anggaran untuk jaringan irigasi sebesar 1 trilyun rupiah akan dapat meningkatkan NTP Padi sebesar 5,09 poin. Hasil ini menyarankan suatu sinyal yang kuat bahwa peran pemerintah dalam mengalokasikan anggaran untuk sektor padi sudah tepat, yaitu berupa pembangunan sarana pengairan yang sangat dibutuhkan dalam penanaman padi. Adanya jaringan irigasi adalah untuk menjamin ketersediaan air di waktu musim kemarau dan mencegah sawah tergenang banjir di musim penghujan. Oengan begitu akan memberikan sumbangan dalam peningkatan produktivitas. Sementara itu kebijakan stabilisasi harga yang secara langsung mempengaruhi harga jual di tingkat petani, yaitu Harga Oasar Gabah (Harga Pembelian Pemerintah
= HPP) juga
berpengaruh besar. Setiap
peningkatan HOG oleh pemerintah sebesar Rp 1,-/kg akan dapat meningkatkan NTP Padi sebesar 0,196, atau berarti setiap peningkatan HOG Rp 100,-/kg akan dapat meningkatkan NTP Padi sebesar 19,6. Hal ini harus menjadi dasar dalam penentuan kebijakan di sektor padi, dan pertanian secara umum mengingat harga produk pertanian sangat rentan terhadap fluktuasi harga akibat siklus panen raya dan paceklik. Pada saat panen raya padi, sebagaimana produk pertanian lainnya menerima harga yang terlalu rendah (unde!Value), karena banyak pasokan. Sementara di masa paceklik, sedikit pasokan maka harga akan merangkak naik (ove!Value). Untuk kedua kejadian ini kebijakan
pemerintah
sangat
dibutuhkan
untuk
menjamin
kesejahteraan petani balk sebagai produsen maupun konsumen. Oalam kasus penerapan kebijakan harga dasar gabah, setiap peningkatan kesejahteraan pemerintah
harga
dasar
petani mengenai
padi.
gabah Oengan
perberasan
akan
tingkat
meningkatkan
demikian harus
setiap
kebijakan
diarahkan
untuk
meningkatkan harga gabah (beras) sehingga daya petani padi menjadi kuat untuk membeli barang konsumsi, sarana produksl maupun barang modal. Ini adalah satu bentuk kebijakan pemerintah yang tidak
74
semata-mata berorientasi kepada harga pangan murah, tetapi lebih untuk menempatkan kepentingan petani sebagai produsen padi secara layak.
Hal
diharapkan
tersebut
akan
dapat
meningkatkan
kesejahteraan petani dan memberikan insentif lebih untuk berproduksi. Jika petani mendapat jaminan harga produksi yang baik, dorongan untuk
berinvestasi
berupa
penerapan
teknologl
anjuran
dan
peningkatan ketrampilan bertani. Di lain pihak kebijakan pangan murah berarti menyamaratakan daya beli semua konsumen beras. Karenanya bagi konsumen beras dengan daya beli rendah dapat digunakan kebijakan lain, semisal beras untuk orang miskin yang sekarang sedang berlaku. Untuk
kasus
komoditas
padi
(beras)
depresiasi
rupiah
berpotensi merugikan pendapatan petani padi. Koefisien variabel NT (nilai tukar rupiah) menunjukkan bahwa setiap terjadi depresiasi rupiah sebesar Rp 1.000,- per US$ akan dapat menurunkan NTP padi sebesar 12,74 poin. Arifin (2005) meramalkan bahwa produksi padi di masa-masa yang akan datang akan berpacu dengan pertumbuhan penduduk, sehingga mengancam kecukupan produksi dalam negeri dalam memenuhi permintaan beras yang meningkat. Kondisi ini akan memaksa pemerintah mengambil kebijakan impor. Pada kondisi inilah keadaan nilai tukar akan ikut berpengaruh pada harga beras impor. Jika harga beras impor murah akibat nilai tukar yang lemah, maka akan mengancam harga beras, yang berarti juga harga gabah di tingkat petani. Variabel INFL berpengaruh besar terhadap NTP Padi, dimana setiap peningkatan inflasi sebesar 1°/o, NTP Padi akan naik 0,028 poin. Pengaruh positif inflasi terhadap NTP Padi menunjukkan bahwa indek harga yang diterima petani padi {IT) akibat kejadlan inflasi lebih besar dari pada pengaruh inflasi pada indek harga yang dibayar petani (IB), sehingga kejadian inflasi justru meningkatkan NTPnya.
75
V. KESIMPULAN DAN IMPUKASI KEBDAKAN
5.1.
Keslmpulan Selama perlode observasi 1976 -2004 rata-rata NTP nasional
adalah 100,6. Selama 29 tahun pengamatan tersebut terlihat bahwa NTP lebih sering berada dibawah level 100, yaitu sebanyak 16 observasi.
Hal ini menandakan bahwa kesejahteraan petani, yang
diukur dengan NTP, lebih sering menu run dan stag nan dibandingkan mengalami peningkatan. Rata-rata NTP tanaman bahan makanan lebih balk dari pada rata-rata NTP tanaman perkebunan rakyat, yaitu masing-masing 108,9 dan
84,9.
Petani
tanaman
perkebunan
mengalami
peningkatan
kesejahteraan hanya dalam 6 tahun observasi (1977, 1978, 1983, 1984, 1985, dan 1986), selebihnya selalu berada jauh di bawah level 100. perbaikan NTP tersebut berkaitan dengan kebijakan pemerintah mendorong ekspor non migas, setelah berakhimya booming minyak. NTP komoditas padi, sebagai komoditas makanan pokok yang sangat penting, memiliki rata-rata hanya sedikit di atas 100, yaitu 101,8. Jika dibandingkan antara sebelum terjadl krisis ekonomi dengan setelah krisis ekonomi, terlihat ada pola pergerakan NTP yang berbeda. Dimana, walaupun sama-sama terjadi fluktuasi tetapi sejak 1998 sampai 2004 terjadi pergerakan naik NTP yang cukup berarti. Pergerakan NTP dalam periode setelah krisis ekonomi, lebih tinggi dibandingkan dengan pergerakan sebelum krisis. Di masa
krisls
perkembangan NTP pada tiap tahun berlkutnya akan dapat bertambah 0,08, sedangkan dalam periode setelah krisis, jika NTP tahun sebelumnya adalah 100, maka pada tahun berikutnya NTP akan bertambah 3,89 menjadi 103,89. Hal ini menandakan rata-rata petanl Indonesia
di
masa
8
tahun
setelah
krisis
memiliki
tingkat
kesejahteraan yang lebih baik. Harga yang diterima petani dari hasil produksinya relatif lebih balk. Argumentasi ini juga dapat dibuktikan
dari rata-rata NTP sebelum dan setelah krisis yang masing-masing 99,31 dan 104,67. Nilai tukar petani baik secara agregat maupun per kelompok komoditas nyata dipengaruhi oleh nilai tukar barter sektor pertanlan terhadap sektor non pertanian secara negatif, harga eceran tertinggi pupuk urea secara negatif, laju inflasi secara positif, dan anggaran pemerintah untuk pembangunan jaringan irigasi juga positif. Variabel nilai tukar rupiah hanya memberikan pengaruh yang nyata pada nilai tukar petani tanaman perkebunan dan padi. Hal ini mengindikasikan bahwa sektor pertanian memang membutuhkan peran pemerintah, yaitu berupa subsidi input dan kebijakan harga out put untuk memberikan
insentif bagi
petani
untuk terus
berproduksi
dan
berdiversifikasi. Hal ini dijelaskan dengan meyakinkan oleh respon nilai tukar petani terhadap setiap kebijakan yang ditetapkan pemerintah.
5.2.
lmplikasi Kebijakan Hasil estimasi regresi untuk anggaran pembangunan jaringan
irigasi berperan signifikan dalam meningkatkan Nilai Tukar Petani, oleh karenanya kebijakan anggaran untuk pembangunan, pemeliharaan dan
perbaikannya
harus
disediakan
secara
berkesinambungan.
Pelimpahan wewenang kebijakan tersebut kepada pemerintah daerah diharapkan alokasi anggaran pembangunan untuk jaringan irigasi masih tetap berjalan. Disamping itu regresi juga menunjukkan bahwa kebijakan harga juga
berpengaruh
penting,
sehingga
kebijakan
harga
harus
memberikan insentif bagi petani untuk terus berproduksi. Variabel lain yang berpengaruh nyata terhadap pergerakan NTP adalah inflasi dan nilai tukar tapi keduanya di luar kontrol pemerintah sehingga yang bisa dilakukan adalah dengan menciptakan fundamental ekonomi yang kuat.
77
5.3.
Saran Untuk Studl Lanjutan 1. Variabel-variabel dalam model yang dibangun kemungkinan
ada hubungan sebab akibat antara vaiabel, sehingga untuk lebih memperjelas hubungan model yang dibangun perlu dibuat model persamaan simultan. 2. Mengingat analisis penelitian ini difokuskan pada kebijakan ekonomi pemerintah yang mempengaruhi Nilai Tukar Petani (NTP),
maka
beberapa
analisis
dalam
keterbatasan
penelitian
dengan
belum
ini
masih
ada
dimasukkannya
beberapa variabel seperti produktivitas sektor pertanian. Dengan adanya dugaan bahwa peningkatan produktivitas dapat
menurunkan
NTP,
maka
menjadi
relevan
untuk
memasukkan variabel tersebut dalam model.
78
Daftar Pustaka Amang, Beddu dan Husein Sawit. 1999. Kebljakan Beras dan Pangan Nasional. IPB Press. Amrullah, Sabaruddin. 2005. Beras dalam Dinamika Ekonomi Politik. Jurnal Agroekonomi. Edisi 44/XIV/Januari 2005. Anderson, K and Y. Hayami. 1986. The Pollical Economy of Agricultural Protection East Asia in International Perspective. Allen and UnWin : Sydney. Arifin, Bustanul. 2004. Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia. Penerbit Buku Kompas. Jakarta. AI Sanna, Hassan. Pokok pokok Pemikiran Hassan AI Sanna tentang Reformasi Ekonomi. 2003. PT Syamil Cipta Media. Bandung. Badan Pusat Statistik. Statistik 60 Tahun Indonesia Merdeka, 2005. Badan Pusat Statistik. (Berbagai Tahun). Statistik Nilai Tukar Petani di Indonesia Badan Pusat Statistik. Nilai Tukar Petani. Leaflet. Bale, MD. And E. Lutz. 1981. Price Distortion in Agriculture and Their Effect : An International Comparition. American Journal of Agricultural Economics. 63 ( 1) : 8 - 22. Booth, Anne. "Pembangunan Pertanian Indonesia dalam Perspektif Perbandingan". Prisma. LP3ES. No.2 Tahun XIX,1990. Chambers, Robert G. and Richard E. Just. 1981. Effects of Exchange Rate Changes on U.S. Agriculture: A Dynamic Analysis. American Journal of Agricultural Economics. 63 (1) : 32 - 45. Daniel, Moehar. 2004. Pengantar Ekonomi Pertanian. Bumi Aksara. Jakarta. Departemen Pertanian. (berbagai Tahun). Statistik Pertanian. Dornbusch, Rudiger, Stanley Fischer and Richard Startz. 2004. Makroekonomi (Edisi Bahasa Indonesia). PT Media Global Edukasi. Jakarta.
79
Hadi, Prayogo Utomo. 1983. Studi Kebijakan Nilai Tukar Pertanian. Forum Penelitian Agroekonomi. Vol. 2 (1). Juli 1983. Pusat Penelitian Agroekonomi. Balitbang Departemen Pertanian. Bogor. Hayami, Y. and U. Ruttan. 1985. Agriculture Development, An International Perspective. John Hopkins University Press. Baltimore Hendranata, Anton. 2004. Analisis Regresi. Bahan Kuliah Ekonometrika Terapan MPKP FE - UI. Tidak dipublikasikan. Hutabarat, Budiman dan Herlina Tarigan. 1995. Dinamika Pangsa dan Nilai Tukar Sektor Pangan dan Keterkaitannya dengan Hasil Pengembangan Presiding Beras. Swasembada Penelitian. Kelembagaan dan Prospek Pengembangan Beberapa Komoditas Pertanian. PPSEP. Balitbang Pertanian Departemen Pertanian. Bogor. Isdijoso, B. 1992. Model Ekonomi Makro dan Keterkaitan Sektor Pertanian di Indonesia. Tesis Magister Sains. IPB Bogor. Mubyarto. "Reformasi Agraria : Menuju Pertanian Berkelanjutan". Jurnal Ekonomi Rakyat Th. I - No. 8 - Oktober 2002. Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3ES. Jakarta Mubyarto. 2003. Kata Sambutan dalam "Kelembagaan dan Ekonomi Rakyat" oleh Cornelius Rintuh dan Miar. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Jakarta Mubyarto dan Awan Santosa, "Pembangungan Pertanian Berkelanjutan (Kritik terhadap Paradigma Agribisnis)". Jurnal Ekonomi Rakyat Th. II - No.3 - Mei 2003. Nachrowi, Jalal N. dan Hardius Usman. 2005. Ekonometrika, Teori dan Aplikasi. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta Nasution, Anwar. 2000. Kondisi-kondisi dan Prospek Ekonomi Makro Indonesia. Dalam Menggugat Masa Lalu, Menggagas Masa Depan Ekonomi Indonesia. Kompas. Jakarta. Prabowo, Dibyo. 2000. Tantangan yang Masih Dihadapi. Dalam Menggugat Masa Lalu, Menggagas Masa Depan Ekonomi Indonesia. Kompas. Jakarta. Rachmat, Muchyidin. 2000. Analisis Nilai Tukar Petani. Disertasi. IPB Bogor.
80
Rachmat, Muchyidin, Supriyati, Deri Hidayat dan Jefferson Situmorang. 2000. Perumusan Kebijaksanaan NTP dan Komodltas Pertanian. PPSEP. Balitbang Departemen Pertanian. Bogor. Reksasudharma, C. 1989. "Sistem Pengukuran Nilai Tukar Pertanian Sub Sektor Tanaman Pangan". Jurnal Ekonomi Analisis Ilmiah FE - UKI. No. 2. Sajogyo.
"Kebijakan Publik dalam Pembangunan Pertanian dan Pedesaan". Jurnal Ekonomi Rakyat Th. II - No. 2 - April 2003.
Schuh, GE. 1976. The New Macroeconomic of Agriculture. American Journal of Agricultural Economics. 58 (5) : 802 - 811. Schwert, G. William. 2003. Eviews Tutorial. University of Rochester. Simatupang, P. 1992. Pertumbuhan Ekonomi dan Nilai Tukar Barter Sektor Pertanian . Jurnal Agroekonomi. Vol. 11 (1) : 37- SO. Simatupang, Pantjar dan Brahmantio Isdijoso. 1992. "Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Nilai Tukar Sektor Pertanian : Landasan Teoritis dan Bukti Empiris". Ekonomi dan Keuangan Indonesia Vol 40 NO 1. Pengaruh Kebijakan Makroekonomi Sipayung, Tungkot. 2000. terhadap Sektor Pertanian dalam Membangun Ekonomi Indonesia. Disertasi . IPB Bog or. Soetrisno, Noer. 2004. Melihat Hari Depan Pertanian Kita. Dalam Rekonstruksi dan Restrukturisasi Ekonomi Pertanian. Perhepi. Bogor. Susanti, Hera. Moh. Ikhsan, Widyanti. 1995. Indikator-indikator Makroekonomi. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat FE - UI. Jakarta. Syafa'at, Nizwar. Sudi Mardianto dan Pantjar Simatupang. 2003. Dinamika Indikator Ekonomi Makro Sektor Pertanian dan Kesejahteraan Petani. Analisis Kebijakan Pertanian Vol 1 No 1, Maret 2003: 62-73. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian - IPB. Bogor. Yudhoyono, SB. 2004. Pembangunan Pertanian dan Perdesaan sebagai Upaya Mengatasi Kemisklnan dan Pengangguran: Anal isis Ekonomi- Politik Kebijakan Fiskal. Disertasi. IPB Bogor. Todaro, Michael P. (1999), Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Edisi Keenam : 353-354. Penerbit Erlangga. Jakarta.
81
LAMPIRAN - LAMPIRAN
Lampiran 1. Model- Model Penduga Basil Regresi 1. Model Pola Pergerakan NTP sepanjang tahun (Trend) Dependent Variable: NTP Method: Least Squares Date: 09110/06 Time: 11 :38 Sample: 1976 2004 Included observations: 29 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
OM OK TAHUN
7937.164 -3.969787 3.899920 -7699.064
1889.954 0.944713 0.930122 1861.176
4.199660 -4.202108 4.192912 -4.136667
0.0003 0.0003 0.0003 0.0003
c
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.490552 0.429419 4.921744 605.5892 -85.21335 1.152227
Mean dependent var S.D.dependentvar Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
100.6059 6.515688 6.152645 6.341238 8.024254 0.000651
Probability Probabii!!X
0.584872 0.546720
Uji Masalah Heteroskedastisitas White Heteroskedastic~ Test: 0.659167 2.125753
F-statistic Obs*R-!9uared
Test Equation: Dependent Variable: RESIDA2 Method: Least Squares Date: 09/1 0/06 Time: 11 :48 Sample: 1976 2004 Included observations: 29 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
c
-13132.53 15589.02 -7.801630 6.575033
13814.55 14028.16 7.012122 6.903821
-0.950630 1.111266 -1.112592 0.952376
0.3509 0.2770 0.2765 0.3500
OM DM*DK TAHUN R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.073302 -0.037902 36.53159 33363.92 -143.3443 1.709569
Mean dependent var S.D.dependentvar Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
20.88238 35.85835 10.16167 10.35027 0.659167 0.584872
Correltion Matrix untuk melihat adanya masalah multikolinieritas
NTP OM OK TAHUN
NTP
OM
OK
TAHUN
1.000000 -0.358695 -0.359080 0.296484
-0.358695 1.000000 0.999979 -0.741620
-0.359080 0.999979 1.000000 -0.737311
0.296484 -0.741620 -0.737311 1.000000
82
2. Model variabel-variabel yang mempengaruhi NTP Agregat Dependent Variable: NTP Method: Least Squares Date: 09/30/06 Time: 12:48 Sample: 1976 2004 Included observations: 29 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
NT PAIRN HPU TOT2 INFL
c
5.144616 2.312869 -0.067538 -23.03998 -0.214839 0.158396 124.4516
4.755439 0.675931 0.035754 9.019254 0.093619 5.509553 12.65386
1.081838 3.421755 -1.888950 -2.554533 -2.294829 0.028749 9.835073
0.2910 0.0024 0.0722 0.0181 0.0317 0.9773 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.591386 0.479946 4.698774 485.7264 -82.01529 1.642327
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
OM
100.6059 6.515688 6.138985 6.469022 5.306759 0.001622
83
Uji Masalah Heteroskedastisitas White Heteroskedasticity Test F-statistic Obs*R;;!Suared
7.119658 28.69002
Probability
0.130383 0.325365
Probabil~
Test Equation: Dependent Variable: RESID"2 Method: Least Squares Date: 09/30/06 Time: 12:52 Sample: 1976 2004 Included observations: 29 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
c
-15082.98 7611.092 632.0370 245.2490 3.179845 -4527.125 -138.1674 -4071.515 2386.515 -101.6223 1.359339 -1072.318 -49.85110 -1131.823 -32.70017 0.035050 -2.656110 -0.096750 20.75134 121.8374 6359.230 293.5914 -8154.267 52.01358 1.599981 -126.7709 17240.51
10119.92 2498.081 253.1288 119.3998 1.814974 1192.195 40.90219 1968.402 1057.868 39.63258 0.962449 539.2050 22.24490 465.9080 15.13432 0.014161 4.034056 0.113567 11.36183 3440.083 1999.338 86.43410 5018.821 83.48104 0.496130 87.34367 10433.68
-1.490424 3.046775 2.496899 2.054016 1.752006 -3.797302 -3.377994 -2.068437 2.255966 -2.564110 1.412376 -1.988702 -2.241013 -2.429284 -2.160663 2.475214 -0.658422 -0.851920 1.826408 0.035417 3.180668 3.396708 -1.624738 0.623059 3.224926 -1.451404 1.652390
0.2746 0.0930 0.1299 0.1763 0.2219 0.0629 0.0776 0.1745 0.1527 0.1244 0.2934 0.1850 0.1543 0.1358 0.1633 0.1317 0.5779 0.4840 0.2093 0.9750 0.0863 0.0768 0.2457 0.5968 0.0842 0.2838 0.2403
NT NT"2 NT*PAIRN NT*HPU NT*TOT2 NT*INFL NT*DM PAIRN PAIRN"2 PAIRN*HPU PAIRN*TOT2 PAIRN*INFL PAIRN*DM HPU HPU"2 HPU*TOT2 HPU*INFL HPU*DM TOT2 TOT2"2 TOT2*1NFL TOT2*DM INFL INFL"2 INFL*DM OM R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.989311 0.850356 10.34960 214.2285 -70.14555 2.266105
Mean dependent var S.D.dependentvar Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob( F-statistic)
16.74919 26.75435 6.699693 7.972693 7.119658 0.130383
84
Correlation Matriks untuk melihat adanya masalah multikolinieritas
NTP NT
NTP
NT
PAIRN
HPU
/NFL
TOT2
DJI
1
~.0277
0.1064 0.4547 0.4723 1
~.1146
~.1220
~.3586
~.0277
0.5905 0.3319 1 0.4723 0.1335 0.2783
0.2905 0.1335
~.5679
~.2152
0.5108 0.2783 0.1495
~.2152
1
~.0699
~.2609
0.1495
~.0699
1
~.2052
~.8131
~.6767
~.2609
~.2052
1
PAIRN HPU /NFL
~.1146
TOT2
~.1220
1 0.3319 0.4547 0.2905 0.5108
Dll
~.3586
~.5679
0.5905 0.1064
~.8131 ~.6767
85
3. Model Variabel-variabel yang mempengaruhi NTP Tanaman Bahan Makanan Dependent Variable: NTPM Method: Least Squares Date: 09/30/06 Time: 13:30 Sample: 1976 2004 Included observations: 29 Variable
Coefficient
Std. Error
PAIRN NT
c
4.762899 9.126607 -0.069415 0.067567 -31 .87660 -0.215272 12.01632 106.0679
0.751626 6.336792 5.605539 1.628141 0.043581 -1.592755 0.059652 1.132673 11 .94501 -2.668611 0.102420 -2.101855 8.046798 1.493304 17.99891 5.893017
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.807606 0.743474 5.092093 544.5177 -83.67198 1.944123
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
HPU HOG TOT2 INFL OM
t-Statistic
Prob. 0.0000 0.1184 0.1262 0.2701 0.0144 0.0478 0.1502 0.0000 108.9426 10.05382 6.322206 6.699391 12.59299 0.000003
86
Uji Masalah Heteroskedastisitas \Nhite Heteroskedasticity Test F-statistic Obs*R-squared
1.407252 15.93469
0.261042 0.252675
Probability Probability
Test Equation: Dependent Variable: RESIOA2 Method: Least Squares Date: 09/30/06 Time: 13:31 Sample: 1976 2004 Included observations: 29 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
c
-1387.876 0.829448 0.190742 1470.771 -425.0751 -8.851224 0.025000 10.59154 -0.018607 -772.1840 149.0821 0.208099 -0.002166 165.2707
821.6957 33.81119 3.429276 525.3292 158.1907 6.381399 0.019954 6.479386 0.012908 1310.499 696.8838 6.010234 0.065830 123.7003
-1.689039 0.024532 0.055622 2.799713 -2.687105 -1.387035 1.252920 1.634651 -1.441529 -0.589229 0.213927 0.034624 -0.032908 1.336058
0.1119 0.9808 0.9564 0.0135 0.0169 0.1857 0.2294 0.1229 0.1700 0.5645 0.8335 0.9728 0.9742 0.2014
PAIRN PAIRN 112 NT NT112 HPU HPU112 HOG HDG112 TOT2 TOT2112 INFL INFL"2
OM R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.549472 0.159014 39.46275 23359.63 -138.1755 2.376344
Mean dependent var S.D.dependentvar Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
18.77647 43.03216 10.49486 11.15494 1.407252 0.261042
Correlation Matriks untuk melihat adanya masalah multikolinieritas
NTPM NT PAIRN HPU TOT2
/NFL OM
NTPM
NT
PAIRN
HPU
TOT2
INFL
OM
1 0.1077 0.8148 0.2901 0.0567 -0.0882 -0.5367
0.1077 1 0.3319 0.4547 0.5108 0.2905 -0.5679
0.8148 0.3319 1 0.4723 0.2783 0.1335 -0.8131
0.2901 0.4547 0.4723 1 0.1495 -0.2152 -0.6767
0.0567 0.5108 0.2783 0.1495 1 -0.0699 -0.2052
-0.0882 0.2905 0.1335 -0.2152 -0.0699 1 -0.2609
-0.5367 -0.5679 -0.8131 -0.6767 -0.2052 -0.2609 1
87
4. Model Variabel-variabel yang mempengaruhi NTP Tanaman Perkebunan Rakyat
Dependent Variable: NTPK Method: Least Squares Date: 09/30/06 Time: 12:59 Sample: 1976 2004 Included observations: 29 Coefficient Variable 43.87058 NT -0.588427 HPU -76.84006 TOT2 -1.568093 INFL -34.80079 OM 230.8977 c 0.598633 R-squared 0.498291 Adjusted R-squared 14.33283 regression S.E. of 4108.602 Sum squared resid -102.7080 Log likelihood 1. 144315 Durbin-Watson stat
Std. Error t-Statistic 14.42591 3.041097 0.147853 -3.979821 27.93780 -2.750397 0.328751 -4.769857 13.64514 -2.550417 37.21264 6.204821 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
Prob. 0.0064 0.0007 0.0123 0.0001 0.0191 0.0000 82.41347 20.23513 8.362157 8.652487 5.965932 0.001559
88
Uii Masalah Heteroskedastisitas White Heteroskedasticity Test 4.312338 24.22595
F-statistic Obs*R-squared
Probability Probability
0.039108 0.187627
Test Equation: Dependent Variable: RESIOA2 Method: Least Squares Date: 09/30/06 Time: 13:03 Sample: 1976 2004 Included observations: 29 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
c
-14273.30 -8840.288 1343.373 1.626021 1742.818 81.90636 2485.814 87.38649 -0.320102 50.56034 1.437806 -66.19468 19587.65 -13036.38 -280.2156 -590.3153 -161.9938 2.495251 98.76815 8335.626
12766.89 5468.102 1749.897 16.02275 5060.655 197.0111 2399.836 91.23967 0.264369 89.10177 0.971113 54.93630 12649.58 7609.808 205.2096 7236.895 226.1775 2.578323 92.66560 7696.968
-1.117993 -1.616701 0.767687 0.101482 0.344386 0.415745 1.035827 0.957769 -1.210816 0.567445 1.480575 -1.204935 1.548483 -1.713102 -1.365509 -0.081570 -0.716224 0.967780 1.065856 1.082975
0.3063 0.1571 0.4718 0.9225 0.7423 0.6921 0.3402 0.3752 0.2715 0.5910 0.1892 0.2736 0.1725 0.1375 0.2211 0.9376 0.5008 0.3705 0.3275 0.3204
NT NT"2 NT*HPU NT*TOT2 NT*INFL NT* OM HPU HPU"2 HPU*TOT2 HPU*INFL HPU*DM TOT2 TOT2"2 TOT2*1NFL TOT2*DM INFL INFL"2 INFL*DM OM R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.931767 0.715697 140.1806 117903.6 -146.3462 2.773267
Mean dependent var S.O.dependentvar Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
158.0232 262.9041 12.79586 13.76363 4.312338 0.039108
Correlation Matriks untuk melihat adanya masalah multikolinieritas
NTPK NT HPU TOT2
/NFL DM
/NFL
DM
-0.3025
0.2432
0.5108
0.2905
-0.5679
-0.2152
0.5108
1 0.1495
0.1495 1
-0.0699
-0.6767 -0.2052
0.2905 -0.5679
-0.2152 -0.6767
-0.0699 -0.2052
1
-0.2609
-0.2609
1
NTPK
NT
HPU
1
-0.1622
-0.1430
TOT2 -0.3916
-0.1622
1 0.4547
0.4547
-0.1430 -0.3916 -0.3025 0.2432
89
4. Model Variabel-variabel yaag mempeagarahi NTP Padi
Dependent Variable: NTPP Method: Least Squares Date: 09/10/06 Time: 00:21 Sample: 1979 2001 Included observations: 23 Variable
Coefficien t
Std. Error
t-Statistic
Prob.
PAIRN NT INFL HPU HOG TOT2
c
5.087207 -12.74361 0.028750 0.220146 -0.196054 28.02318 97.31814
2.746662 1.852142 6.647858 -1.916949 0.152958 0.187960 0.091687 2.401063 0.092413 -2.121502 11.70221 2.394691 17.55677 5.543055
0.0825 0.0733 0.8533 0.0289 0.0498 0.0292 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.614263 0.469612 5.054033 408.6921 -65.72646 2.026392
Mean dependent var S.D.dependentvar Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
102.9109 6.939710 6.324040 6.669626 4.246513 0.009557
90
Uji Masalah Heteroskedastisitas White Heteroskedasticity Test F-statistic 0.405361 Obs*R-squared 7.526719
Probability Probability
0.929499 0.820937
Test Equation: Dependent Variable: RESIQA2 Method: Least Squares Date: 09/30/06 Time: 13:44 Sample: 1979 2001 Included observations: 23 Variable Coefficient -1413.730 c -32.27021 PAIRN PAIRNI\2 8.523585 341.4212 NT NTA2 -122.7383 4.023049 INFL INFL1\2 -0.063794 -5.419685 HPU HPUA2 0.018074 8.806413 HOG HDGI\2 -0.018800 1099.947 TOT2 TOT2A2 -513.9931
Std. Error 844.2085 76.39102 18.18397 532.3392 162.6825 7.505660 0.111911 5.812126 0.019598 8.136928 0.018162 1239.599 665.4950
Prob.
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.327249 -0.480053 36.16458 13078.77 -105.5830 2.647621
t-Statistic -1.674622 -0.422435 0.468742 0.641360 -0.754466 0.536002 -0.570042 -0.932479 0.922219 1.082277 -1.035133 0.887341 -0.772347 Mean dependent var S.D.dependentvar Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
0.1249 0.6816 0.6493 0.5357 0.4680 0.6037 0.5812 0.3731 0.3781 0.3045 0.3250 0.3957 0.4578 17.76922 29.72657 10.31156 10.95336 0.405361 0.929499
Correlation Matriks untuk melihat adanya masalah multikolinieritas
NTPP PAIRN NT /NFL NTPP 1.0000 -0.0059 0.4168 0.081043 PAIRN -0.0059 1.0000 0.3319 0.133540 NT 0.4168 0.3319 1.0000 0.290546 INFL 0.0810 0.1335 0.2905 1.000000 HPU 0.2125 0.4723 0.4547 -0.215287 HDG 0.2626 0.6877 0.4786 -0.029517 TOT2 0.5852 0.2783 0.5108 -0.069976 DM -0.0730 -0.8131 -0.5679 -0.260952
HPU
HDG
TOT2
DM
0.212527 0.262653 0.585205 -0.073089 0.472314 0.687797 0.278336 -0.813199 0.454711 0.478634 0.510882 -0.567990 -0.215287 -0.029517 -0.069976 -0.260952 1.000000 0.775178 0.149519 -0.676798 0.775178 1.000000 0.384757 -0.851854 0.149519 0.384757 1.000000 -0.205261 -0.676798 -0.851854 -0.205261 1.000000
91
Lampiran 2. Komponen Penyusun Nilai Tukar Petani (NTP} oleh BPS.
Kelompok A. Harga yang diterima Petani 1. Padi 2. Palawija
3. Sayuran
4. Buah-buahan
5. Tanaman Perkebunan Rakyat
Sub Kelompok 1. Padi 1. Jagung 2. Ketela Pohon 3. Ketela Rambat 4. Kacang Tanah 5. Kacang Kedele 6. Kacang Hijau 1. Kentang 2. Ketimun 3. Lombok 4. Kubis dll 1. Pisang 2. Pepaya 3. Jeruk 4. mangga, dll 1. Kelapa 2. Kopi 3. Karet 4.Cengkeh,dll
B. Harga yang dibayar Petani 8.1. Konsumsl Rumah Tangga Tanl 1. Konsumsi Makanan
1. Padi-padian dan penggantlnya 2·. Daglng, lkan dan unggas 3. Susu, telur dan mlnyak 4. Sayuran 5. Buah-buahan 6. Kacang-kacangan 7. Makanan lain dan mlnuman 2. Perumahan 1. Biaya Tempat tinggal 2. Bahan Bakar, penerangan 3. Alat rumah tangga 4. lain-lain keperluan 3. Pakaian 1. Pakalan jadi dan alas kaki 2. Barang-barang pribadi 3. Bahan pakaian 4. Aneka Barang dan Jasa 1. Perawatan Kesehatan 2. Pendidlkan 3. Tembakau dan Rokok 4. Lain-lain 8.2. 81aya Produksl dan Penambahan 8arang Modal 1. Non Faktor Produksi 1. Blblt 2. Obat-obatan 3. sewa hewan 2. Faktor Produksi 1. Upah Buruh 2. PaJak dan lain-lain 3. Penambahan Barang Modal 1. Barang Modal
92
Lampiran 3. Konsep dan Definisi dalam Penyusunan NTP oleh BPS. 1. Nilai Tukar Petani, adalah angka perbandingan antara indeks
harga yang diterima petani dengan indeks harga yang dibayar petani yang dinyatakan dalam persentase. Indeks harga yang diterima petani adalah indeks harga yang menunjukkan perkembangan harga produsen atas hasil produksi petani. Indeks harga yang dibayar petani adalah indeks harga yang menunjukkan perkembangan harga biaya faktor produksi, non faktor produksi, barang-barang modal serta barang/jasa yang diperlukan untuk kebutuhan rumah tangga petani. 2. Petani yang dimaksud di sini adalah petani tanaman bahan makanan dan tanaman perkebunan rakyat, baik petani pemilik maupun petani penggarap (sewa/kontrak/bagi hasil) atas resiko sendiri dengan tujuan untuk dijual. Orang yang bekerja di sawah/ladang orang lain dengan mengharapkan upah
atauy
buruh tani bukan termasuk petani. 3. Harga yang diterima petani, adalah rata-rata harga produsen dari
hasil
produksi
petani
sebelum
dimasukkan
baiaya
transportasl /pengangkutan dan baiya pengepakan ke dalam harga
penjualannya
atau
disebut
Farm
Gate
(harga
di
sawah/ladang setelah pemetikan). Pengertian harga rata-rata adalah harga yang bila dikalikan dengan volume penjualan petani akan mencerminkan uang yang diterima petani tersebut. Harga tersebut dikumpulkan langsung dari petani produsen.
4. Harga yang dibayar petani, adalah rata-rata harga eceran barang/jasa yang dikonsumsi atau dibeli petani untuk memebuhi kebutuhan
rumah tangga
maupun
untuk keperluan
biaya
produksi, non faktor produksi dan penambahan barang modal.
93
Harga barang-barang konsumsi rumah tangga diperoleh dari pasar di daerah pedesaan. 5. Pasar, adalah tempat dimana terjadi transaksi antara penjual dengan pembeli atau tempat yang biasanya terdapat penawaran dan permintaan.
Pada kecamatan yang sudah terpilih sebagai
sampel, pasar yang dicatat haruslah pasar yang cukup mewakili dengan syarat antara lain : paling besar, banyak pembeli dan penjual, jenis barang yang diperjualbelikan cukup banyak dan terjamin kontinyuitasnya serta terletak di daerah rural. 6. Harga eceran pedesaan, adalah rata-rata harga eceran di pasar setempat untuk tiap jenis barang yang dibeli, tujuan pembelian barang tersebut adalah untuk dikonsumsi sendiri dan bukan untuk dijual kepada pihak lain.
Harga rata-rata yang
dipakai adalah modus (yang terbanyak muncul) dari beberapa pedagang/penjual yang memberikan datanya.
94
Lamplran 4 . Peran Komponen Penyusun IT dan 18 dalam penghltungan Nilai Tukar Petanl {NTP)
1. Peran Komoditas yang diproduksi/dijual petanl dalam penyusunan lndeks Harga yang diterima petanl {IT). Proe insi NAD Sumut Sumbar Sumsel Lam~ung
Jabar Jateng DIY
Jatim Bali NTB Kalsel Sulut Sulsel Rata-rata Naslonal
Padi 0.235 0.466 0.471 0.328 0.351 0.441 0.447 0.361 0.366 0.277 0.426 0.631 0.299 0.534 0.402
Palawija 0.252 0.093 0.069 0.153 0.361 0.170 0.221 0.463 0.329 0.144 0.231 0.232 0.261 0.206 0.227
Buah 0.077 0.087 0.039 0.172 0.035 0.180 0.132 0.084 0.126 0.368 0.062 0.044 0.205 0.108 0.123
sax ur 0.213 0.137 0.299 0.023 0.033 0.178 0.164 0.022 0.116 0.162 0.263 0.018 0.134 0.044 0.129
TPR 0.223 0.203 0.119 0.381 0.217 0.028 0.033 0.024 0.060 0.046 0.016 0.134 0.025 0.107 0.115
2. Peran Produk yang dibeli Petani dalam Penyusunan lndeks Harga yang dibayar petani {18). Propinsi
NAD Sumut Sum bar Sumsel Lameung labar Jateng DIY Jatim Bali NTB Kalsel Sulut Sulsel Rata-rata Nasional
Konsumsi Makanan Non Makanan 0.653 0.202 0.602 0.255 0.653 0.168 0.675 0.230 0.621 0.213 0.470 0.424 0.382 0.480 0.414 0.517 0.398 0.457 0.522 0.194 0.557 0.189 0.648 0.136 0.601 0.239 0.550 0.232 0.553 0.281
Bia~a
Pupuk 0.031 0.036 0.044 0.030 0.046 0.016 0.022 0.014 0.032 0.052 0.057 0.035 0.021 0.054 0.035
Produksi Modal Tenaga Ke!ja Lain 0.084 0.030 0.091 0.016 0.116 0.019 0.056 0.010 0.099 0.022 0.072 0.017 0.053 0.061 0.040 0.014 0.087 0.026 0.014 0.218 0.190 0.008 0.014 0.166 0.094 0.045 0.118 0.045 0.052 0.079
Sumber: BPS 2005. Statistik Nilai Tukar Petani Indonesia.
95