STRATEGI PERTARUNGAN SIMBOLIK DALAM RUBRIK INDONESIA SATU HARIAN KOMPAS Fatimah Mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa Indonesia
Abstrak: Dalam penelitian ini dikaji strategi pertarungan simbolik di media massa. Aspek kekerasan simbolik yang dikaji meliputi (a) bentuk pertarungan simbolik, dan (b) strategi pertarungan simbolik. Dalam penelitian ini digunakan rancangan analisis wacana kritis yang dikembangkan oleh Fairclough. Data penelitian ini berupa teks dalam rubrik Indonesia Satu Harian Kompas. Teks berita dianalisis dengan analisis wacana kritis. Berdasarkan hasil analisis data ditemukan maujud (entity) kekerasan simbolik dalam teks berita yang berupa (a) makna kabur yang meliputi (i) makna bias (politik, sosial, dan stereotipe), (ii) makna terlalu umum dan terlalu khusus dan (iii) makna implisit (makna kiasan dan hiperbolis). (b) logika bias yang meliputi (i)bukti yang lemah dan (ii) premis yang lemah atau salah, dan (c) nilai bias. Makna kabur, logika bias, dan nilaii bias merupakan wujud informasi bias yang disampaikan oleh ketua umum partai peserta pemilu melalui media massa kepada pembaca. Strategi kekerasan simbolik yang ditemukan penelitian ini meliputi (a) penghalusan informasi yang meliputi (i) eksklusi (pengklasifikasian seseorang/ suatu kelompok dari pembicaraan publik), (ii) marjinalisasi (penghalusan dan stereotip), dan (iii) delegitimasi (pemositifan informasi) yang meliputi peluhuran informasi, pemformalan informasi, dan pemartabatan informasi. Katakunci: pertarungan simbolik, bentuk pertarungan simbolik, strategi pertarungan simbolik PENDAHULUAN Media massa dianggap sebagai kekuatan keempat dalam sebuah negara demokrasi. Media massa selalu menggunakan bahasa sebagai sarana menyampaikan infor-masi baik secara verbal maupun nonverbal. Namun, penggunaan bahasa oleh media terkadang tidak dengan mudah dipahami oleh masyarakat sebagai konsumen. Karena itulah, diperlukan analisis wacana untuk mengetahui secara mendalam terhadap pemakaian bahasa dalam media.
Sebagai hasil konstruksi, realitas yang diangkat, disajikan, dan disebarluaskan oleh media massa sebagai sebuah informasi telah mengalami proses simulasi. Ini membuat fakta yang disajikan oleh media massa tidak lagi telanjang, telah bias oleh berbagai ideologi dan pandangan yang melatari pengonstruksian realitas tersebut (Eriyanto, 2012: 34). Sementara itu di sisi lain, masyarakat cenderung menerima informasi dimedia massa sebagai sebuah fakta, sebuah kebenaran karena disajikan dalam bentuk teks berita. Masyarakat pun cenderung
NOSI Volume 2, Nomor 8, Februari 2015___________________________________Halaman | 41
menerima dan mempercayai-nya. Pada keadaan inilah media massa telah melakukan praktik kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik adalah kekerasan yang didasarkan pada rasa percaya, loyalitas personal, kesediaan menerima, pemberian hutang budi, pengakuan, kesalehan yang semua itu diterima sebagai penghormatan etis (Thomson 2007: 96). Sejalan dengan pendapat tersebut, pemanfaatan bahasa yang saat ini mendomi-nasi media adalah penggunaan bahasa dalam wacana politik. Wacana politik banyak dihasil¬kan oleh media seiring dengan situasi politik Indonesia yang sangat dinamis. Salah satu pemberitaan politik yang saat ini menjadi sorot¬an dan publi¬kasi media adalah persiapan partai politik menghadapi pemilu legislatif bulan April 2014. Pertarungan simbolik adalah persaingan antarwacana untuk mempertahan-kan kekuasaan atas pelaku sosial yang lain, atas eksistensinya, pandangannya, persepsi-nya, dan apresiasinya (Roekhan, 2009: 43). Dasar pertarungan simbolik adalah perbedaan sudut pandang tentang dunia dan perbedaan nilai sehingga melahirkan pertarungan untuk mendapatkan kekuasaan, memroduksi dan menunjukkan pandangan dunia yang diang-gap paling sah, paling benar, paling diakui, dan dilegitimasi. Kekuasaan untuk memro-duksi pandangan yang paling legitimis pada hakikatnya merupakan bentuk kekuasaan simbolik. Kekuasaan simbolik adalah kekuasaan yang dimaksudkan untuk
mendapat pengakuan, tetapi tidak dapat dikenal bentuk aslinya, kekerasanya, atau kesewenang-wenanganya. Kekuasaan simbolik bekerja melalui mekanisme kepatuhan (dalam arti pengetahuan dan kesadaran, bukan fisik) publik. Mekanisme kekuasaan yang bekerja melalui mekanisme kepatuhan seperti inilah yang oleh Bourdieu disebut sebagai mekanisme obyektif atau kekerasann simbolik. Kekerasan simbolik berupa makna, logika, dan nilai yang mengandung bias. Makna, logika dan nilai yang mengandung bias tersebut dipaksakan kepada publik secara halus dan samar sehingga publik tidak merasakannya sebagai paksaan karena disandarkan pada harapan kolektif atas kepercayaan-kepercayaan yang sudah tertanam lama secara sosial. Pertarungan simbolik hampir sama dengan kekerasan simbolik yaitu pemaksaan makna, logika dan keyakinan yang mengan-dung bias tetapi secara halus dan samar kepada pihak lain. Kekerasan simbolik didasarkan pada rasa percaya, loyalitas, kesediaan untuk menerima, hutang budi, dan lainlain (Thomson,2007:96). Harapannya kekerasan simbolik itu diterima oleh pihak yang menjadi sasaran kekerasan sebagai hal yang wajar dan etis. Kompas sebagai media cetak nasional secara khusus memberikan ruang bagi partai politik yang ada di negara ini untuk memperkenalkan visi dan misi partai dalam rubrik Indonesia Satu. Rubrik yang dimuat mulai Januari 2014 tersebut, diawali dengan tulisan tentang visi, misi, dan argumen ketua umum 12 partai nasional peserta pemilu
NOSI Volume 2, Nomor 8, Februari 2015___________________________________Halaman | 42
tahun ini. Selain itu juga menampilkan 3 partai lokal Provinsi Nangrou Aceh Darusalam. Sebagai bentuk wacana transaksional yang tidak memerlukan hubungan timbal balik dengan pembaca, tentunya rubrik tersebut merupakan strategi komunikasi politik untuk membangun image. Para komunikator (ketua umum partai) tak jarang mengunakan bahasa atau kalimat untuk menggambarkan tentang dirinya dan partainya yang selalu positif. Namun, baik secara eksplisit maupun implisit memilih kata-kata untuk menggambarkan lawan politiknya sebagai sesuatu yang buruk. Berdasarkan paparan latar belakang masalah, banyak hal yang dapat ditelaah dalam setiap wacana. Namun, karena keterbatasan, peneliti hanya akan meneliti dua masalah pokok yaitu (1) bentuk pertarungan simbolik dalam rubrik Indonesia Satu surat kabar Kompas dan (2) strategi pertarungan simbolik dalam rubrik Indonesia Satu surat kabar Kompas. METODE Suatu penelitian yang baik harus memiliki sebuah rancangan agar peneliti mempunyai program kerja yang terarah dalam menganali-sis berbagai gejala dalam penelitian. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian analisis teks. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan metode analisis wacana kritis. Pemi-lihan dan penggunaan metode kualitatif didasari pertimbangan berikut. Pertama, data penelitian ini bersifat alamiah, yakni
teks berita. Teks berita merupakan sebuah wacana atau praktik berbahasa di media massa. Kedua, sebagai wujud berwacana, teks berita dipandang sebagai teks pemaknaan. Praktik pemaknaan ini merupakan kekerasan simbolik yang akan dianalisis, ditafsirkan, dan dimaknai berdasarkan konteks sosiobudaya media massa. Data adalah hasil pencatatan peneliti, baik yang berupa fakta ataupun angka (arikunto,2006:118). Data dalam penelitian ini berupa unit-unit tuturan yang dikutip dari teks yang mencerminkan pertarungan simbolik, serta unit-unit teks yang mencerminkan strategi pertarungan simbolik yang diperoleh dari Rubrik Indonesia Satu surat kabar Kompas. Data ini diperoleh dengan cara memberikan tanda (kode) dan menranskrip unsur-unsur yang yang diteliti dalam Rubrik Indonesia Satu surat kabar Kompas edisi 13 Januari sampai dengan 29 Januari 2014. Sumber data dalam penelitian ini adalah wacana Rubrik Indonesia Satu Surat Kabar Kompas edisi 13 Januari sampai dengan 29 Januari 2014. Peneliti mengumpulkan data berupa kosa kata, kalimat, dan paragraf dengan cara sebagai berikut. (1) Peneliti membaca secara kritis, teliti, dan cermat Rubrik Indonesia Satu surat kabar Kompas. Pembacaan ini dilakukan secara berulang-ulang dengan melibatkan pengetahuan yang dimiliki peneliti. Kegiatan ini bertujuan untuk memahami dan mendapatkan makna terhadap sumber data yaitu Rubrik Indonesia Satu surat kabar Kompas. (2) Peneliti memberikan tanda (kode) pada bagian-bagian wacana sumber data
NOSI Volume 2, Nomor 8, Februari 2015___________________________________Halaman | 43
untuk dijadikan (korpus) data. Penandaan/ pengko-dean disesuaikan dengan sumber data. Korpus data inilah yang akan dianalisis lebih lanjut. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini ada dua, yaitu panduan analisis bentuk pertarungan simbolik dan panduan analisis strategi pertarungan simbolik. Panduan analisis data berisi deskripsi tentang indikator dan deskriptor setiap masalah penelitian. Dalam proses analisis data, teks Rubrik Indonesia Satu surat kabar Kompas akan dibahas satu persatu. Berdasarkan metode analisis wacana kritis Norman Fairclough, proses analisis data yang dilakukan tahap demi tahap. HASIL DAN PEMBAHASAN Bentuk-bentuk pertarungan simbolik yang ditemukan dalam penelitian ini meliputi (1) makna kabur, (2) logika bias, dan (3) nilai bias yang terdapat dalam Rubrik Indonesia Satu Harian Kompas. Pada kesalahan pertama, penggunaan bahasa berhenti pada tingkat abstraksi, sehingga pembaca harus menafsirkan sendiri maksud dari sebuah wacana. Sebagai contoh dalam data (1). Paragraf tersebut mengandung makna bias politik. Surya Paloh menyatakan bahwa Nasdem (Nasional Demokrat) adalah partai baru yang dibentuk untuk mengembalikan kepercayaan rakyat Indonesia terhadap parpol karena sebuah negara demokrasi tidak akan berjalan jika tidak ada partai politik. SP menyatakan bahwa nasdem adalah partai bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme sehingga masyarakat
yang kecewa dengan parpol lama akan berpindah ke nasdem. (1) Menurut Surya, Nasdem didirikan untuk mengisi ruang kosong dalam sistem demokrasi yang muncul karena hilangnya kepercayaan masyarakat kepada parpol. ”Kita gunakan demokrasi. Apa jadinya jika masyarakat tidak percaya kepada parpol?” katanya. (13. P8 – A1 a) (2) ”Mulai ada kesadaran masyarakat, tetapi memang evolutif. Perlu upaya membangun kekuatan baru mengajak masyarakat menertawakan pikiran dan aliran sesat pencitraan yang didasari kepura-puraan. Buka topeng-topeng pencitraan kosong,” ujar Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh saat wawancara khusus di Kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Nasdem di Gondangdia, Jakarta, Sabtu (11/1). (13. P2 – A1 b). (3) Mengenai korupsi, ia mengingatkan hal itu sebagai yang dilawan reformasi 1998. ”Setelah 15 tahun, korupsi, kolusi, dan nepotisme yang harusnya hilang atau dikikis malah tumbuh subur. Korupsi kita menggila, juga kolusi. Nepotisme apalagi, bahkan menjadi dinasti,” ujarnya dengan suara bergetar. (13. P5 – A1 b) Dalam data (1) Surya Paloh menggunakan stereotipe untuk mengubah pemikiran masyarakat terhadap pemerintahan yang sedang berkuasa. Pejabat pemerintah digambarkan sebagai manusia yang pura-pura baik namun sebenarnya tidak. Paparan pada data (2) dianggap sebagai
NOSI Volume 2, Nomor 8, Februari 2015___________________________________Halaman | 44
bukti bahwa pejabat pemerintah yang sedang berkuasa bukan memberantas KKN, tetapi malah melaku-kannya. Bahkan lebih parah. Dengan stereotip itu masyarakat diajak untuk memilih Nasdem, partai baru yang bersih dari KKN dan tidak menggunakan pencitraan yang berlebihan. (1) Karena tumpukan kekecewaan terhadap parpol ini, menurut Surya, masyarakat kehilangan kepercayaan kepada parpol. Wujud kekecewaan itu adalah sikap skeptis, sinis, dan apatis. Padahal, sistem demokrasi yang dipilih Indonesia menempatkan parpol sebagai pilar penyangga utama. Kesadaran ini melahirkan Nasdem yang diharapkan berbeda dari parpol lainnya.”Indonesia tidak boleh berhenti karena distorsi public trust (kepercayaan publik). Presiden boleh berganti, pemerintahan bisa jatuh bangun, parpol bisa menjadi besar kemudian tenggelam, tetapi Indonesia sebagai bangsa dengan cita-cita harus terus jalan,” katanya. (13. P7 – A2 a) (2) Terkait masalah terorisme yang tak ada habisnya terjadi di Indonesia, Aburizal berpandangan, hal itu akibat penegakan hukum yang lemah. Penegak hukum tak dilindungi dalam menunaikan tugasnya. Akibatnya, penegakan hukum terkesan setengah-setengah. ”Pokoknya, kalau ada yang bertindak mengganggu masyarakat, harus ditindak. Kalau dibiarkan seseorang berbuat anarki, orang lain juga akan melakukan hal yang sama. Mahasiswa membakar
kampus, merusak mobil, tindak, tidak bisa tidak,” ujarnya tegas.”Keniscayaan demokrasi adalah menyampaikan pendapat. Namun, ketika memecahkan kaca mobil, tangkap,” lanjutnya. (20. P14 – A2 a) Data (1) dan (2) tersebut dapat menjadi contoh penggunaan generalisasi berlebihan di dalam wacana politik. Pada data (1) kalimat “Karena tumpukan kekecewaan terhadap parpol ini, menurut Surya, masyarakat kehilangan kepercayaan kepada parpol.” Tidak jelas parpol apa yang dimaksudkan. Apakah semua parpol atau sebagian parpol yang ada di Indonesia. Sedangkan pada data (2) kalimat “Penegak hukum tak dilindungi dalam menunaikan tugasnya.” mempunyai makna yang luas. Siapakah yang dimaksud penegak hukum, polisi, jaksa, atau hakim? Juga kata “masyarakat” dan “mahasiswa” masih memiliki makna yang terlalu luas. (1) Sebagai alternatif, Nasdem menawarkan politik gagasan yang diklaim berbeda dengan parpol lain. Di tengah cemooh, dipandang sebelah mata, ditertawakan, dan dianggap menggantang asap dengan ilusi kosong, Nasdem menyerukan gerakan perubahan, restorasi yang menurut Surya dibutuhkan Indonesia.”Indonesia hari ini adalah yang tertinggal dari bangsa-bangsa lain, tetapi kita tidak mau mengakui itu. Kita terninabobokan. Kita mudah sombong dan menepuk dada atas sedikit pujian dari luar negeri untuk hal-hal yang sejatinya kosong. Pijakan obyektif tidak boleh
NOSI Volume 2, Nomor 8, Februari 2015___________________________________Halaman | 45
dirancukan dengan pikiran kepentingan pencitraan,” ujar Surya. (13. P9 – A3 d) Dalam data (1) di atas Surya Paloh menggunakan bahasa kias, “Di tengah cemooh, dipandang sebelah mata, ditertawakan, dan dianggap menggantang asap dengan ilusi kosong, Nasdem menyerukan gerakan perubahan,...” ungkapan dipandang sebelah mata dan dianggap menggantang asap memiliki makna yang berbeda dengan kata sebenarnya. Dipandang sebelah mata dapat bermakna tidak diakui, diremehkan, atau tidak dianggap. Sedangkan menggantang asap dapat bermakna melakukan hal yang sia-sia. Anggapan demikian mernurut Surya Paloh disampaikan partai lain yang sudah ada/ terbentuk lama. Berbeda dengan makna kias, makna hiperbolis adalah makna yang dilebih-lebihkan. Makna berlebihlebihan tersebut dimaksudkan agar informasi itu mendapat pembenaran dan dukungan dari pembaca. (1) Militer juga berhasil menggerakkan emosi masyarakat dengan menciptakan kepercayaan diri dan optimisme bangsa. Selain itu, militer juga menguasai pemerintahan karena diberlakukan Dwifungsi ABRI. ”Itulah kenapa dia (militer) mampu mengeksekusi (merealisasikan) semua rencana pembangunan yang dicanangkan sebelumnya,” ujarnya. (16. P6 – A3 e) Kalimat ”Itulah kenapa dia (militer) mampu mengeksekusi (merealisasikan) semua rencana pembangunan yang dicanangkan
sebelumnya,” yang dinyatakan Anis Matta bermakna bahwa PKS mendukung pimpinan dari unsur militer/ ABRI. Hal ini karena PKS menganggap hanya pimpinan yang berbasis militer yang dapat melaksanakan programprogram yang telah dibuat. Hal ini berlebih-lebihan karena setiap manusia memiliki kekurangan. Logika bias adalah bentuk pertarungan simbolik yang ditemukan dalam rubrik Indonesia Satu. Logika bias memaksakan ideologi kepada pembaca dengan menggunakan katakata, kalimat, atau paragraf. Bentuk logika bias dapat berupa generalisasi berlebihan, bukti lemah, dan premis lemah. Dalam penelitian ini bentuk yang banyak ditemukan adalah bukti lemah dengan penyampaian pendapat yang digunakan bersifat subyektif. (1) Indonesia, negara yang tiga perempatnya laut, mengimpor ikan dan garam dalam jumlah besar. Bangsanya tidak produktif, negaranya tidak mampu bersaing. Bukannya menambah kekayaan negara, Indonesia malah terus menumpuk utang. Elite suka buah impor, sementara petani berdagang produk impor karena harga jual hasil ladang tidak menutup ongkos produksi. ”Ini berbahaya. Apa masa depan Indonesia mau kirim TKW (tenaga kerja wanita) saja?” kata Ketua Dewan Pembina Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Prabowo Subianto, pekan lalu, dalam wawancara khusus. (21. P1 – A5 a) Dalam data (1) menggunakan penyampaian bukti yang bersifat
NOSI Volume 2, Nomor 8, Februari 2015___________________________________Halaman | 46
subyektif sebagai bukti, sehingga sifatnya lemah. Prabowo menggunakan kalimat “Bangsanya tidak produktif, negaranya tidak mampu bersaing. Bukannya menambah kekayaan negara, Indonesia malah terus menumpuk utang.” Bukti ini menjadi lemah karena tidak dilengkapi dengan data yang akurat. Jika pemerintah yang berkuasa menyampaikan keberhasilannya, maka pendapat Prabowo ini menyangkal keberhasilan tersebut. (2) Menurut Kaban, untuk mengurai benang kusut dan mencari akar pemecahannya, harus ada program terobosan yang bisa menarik gerbong dan mempersatukan seluruh rakyat Indonesia. "Program itu adalah membuat kapal induk. Kita fokuskan seluruh kekuatan kita untuk membangun kapal induk. Inilah mimpi PBB,” kata Kaban. Mengapa kapal induk? Sebab, pembangunan kapal induk akan menstimulasi perkembangan semua industri, mulai dari industri tembaga hingga elektronik, dari industri berteknologi rendah hingga teknologi tinggi seperti teknologi informasi. "Kita panggil semua putra-putri terbaik yang selama ini bekerja di luar negeri untuk membangunl Kapal induk yang akan menjadi kebanggaan nasional,” paparnya. Selanjutnya, pertumbuhan industri di segala sektor akan menumbuhkan lapangan pekerjaan sehingga daya beli masyarakat meningkat. Dampaknya industri pangan juga berkembang sehingga swasembada pangan akan tercipta. (28. P3 – A5 a)
(3) Pendek kata, pembangunan kapal induk akan mengerek semua industri di dalam negeri. Ekonomi Indonesia pun tidak lagi tergantung asing. Seiring menguatnya ekonomi, Indonesia juga akan melakukan lompatan besar dalam bidang militer. Ia mengemukakan, "Jika punya kapal induk, semua negara akan menghormati kita. Tidak ada lagi negara-negara yang menekan kita. Pencurian ikan yang merugikan kita triliunan rupiah setiap tahunnya juga akan hilang.” Eksistensi kapal induk juga makin memperkuat karakteristik Indonesia sebagai negara kepulauan. (28. P4 – A5 a) Selanjutnya bentuk pertarungan simbolik yang ada dalam rubrikini adalah nilai bias. Nilai bias adalah penggunaan nilai luhur yang diterapkan pada konteks tidak atau kurang tepat. (1) Dibandingkan dengan negara lain, seperti negara-negara Islam seperti Mesir, pengalaman ini membanggakan. Semua itu tercapai karena akar budaya masyarakat yang kuat dan umat Islam yang solid dengan organisasi yang baik, termasuk Nahdlatul Ulama (NU). Militer tidak bernafsu berpolitik seperti di Mesir. Kita juga ditopang partai politik (parpol) yang mau belajar. ”Pengalaman itu sudah cukup. Kini kita harus mengakhiri transisi dan menuju kristalisasi demokrasi. Pemilu 2014 jadi momentum untuk menentukan Indonesia 20 tahun atau 40 tahun ke depan,” katanya. (15.P5 – A7 a)
NOSI Volume 2, Nomor 8, Februari 2015___________________________________Halaman | 47
Dalam data (1) dijelaskan bahwa Muhaimin Iskandar bangga dengan masyarakat Indonesia yang tidak bergolak meskipun terjadi perpecahan. Kalimat “Semua itu tercapai karena akar budaya masyarakat yang kuat dan umat Islam yang solid dengan organisasi yang baik, termasuk Nahdlatul Ulama (NU). Militer tidak bernafsu berpolitik seperti di Mesir. Kita juga ditopang partai politik (parpol) yang mau belajar.” Nilai tersebut dianggap tidak tepat karena pada faktanya umat Islam sedikit terpecah akibat perbedaan madhab. Dari temuan data, pengucilan yang ditemukan berupa informasi yang mengandung klasifikasi seseorang/ suatu kelompok dari pembicaraan publik. (1) ”Mulai ada kesadaran masyarakat, tetapi memang evolutif. Perlu upaya membangun kekuatan baru mengajak masyarakat menertawakan pikiran dan aliran sesat pencitraan yang didasari kepura-puraan. Buka topeng-topeng pencitraan kosong,” ujar Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh saat wawancara khusus di Kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Nasdem di Gondangdia, Jakarta, Sabtu (11/1). (13. P2 – B2 b) Dalam data (1) Surya Paloh menyatakan, “Perlu upaya membangun kekuatan baru mengajak masyarakat menertawakan pikiran dan aliran sesat pencitraan yang didasari kepura-puraan. Buka topeng-topeng pencitraan kosong,” Tentu saja pembaca akan langsung memberikan klasifikasi pada siapa yang dimaksud Surya Paloh dalam pernyataan tersebut. Dengan strategi ini, Surya Paloh menegaskan bahwa Partai
Nasdem dan dirinya tidak akan menggunakan politik pencitraan, untuk menarik simpati masyarakat. Hal ini didasari sudah munculnya kesadaran dan kedewasaan masyarakat. Penghalusan (eufimisme) adalah penggunaan kata-kata yang lebih sopan/ terhormat untuk menyampaikan informasi. (1) Soal peran negara, selain membuka akses pada sumber-sumber kemakmuran, Hatta juga tidak percaya pada sistem neoliberalisme dan pasar bebas. ”Dalam sistem neoliberal, negara tidak boleh ikut campur. Itu tidak sesuai dengan nurani saya karena yang bisa melindungi the poor adalah negara. Negara harus hadir untuk memprotect mereka,” ujar Hatta. (23. P6 – B3 a) Dalam data (1) Hatta Rajasa menilai negara belum maksimal berperan dalam melindungi dan menyejahterakan rakyatnya. Padahal dalam kondisi apapun negera harus hadir ditengah rakyatnya, meski di era pasar bebas dengan menganut sistem neoliberalisme. Kehadiran negara untuk melindungi rakyatnya sesuai dengan amanat UUD 1945. Kata “the poor” dirasa lebih halus daripada miskin. Pelabelan adalah pemberian nama/ julukan baik positif atau pun negatif. Pelabelan positif akan diberikan kepada orang atau kelompok yang sejalan, sedangkan pelabelan negatif akan diberikan kepada orang atau kelompok yang tidak sejalan. (1) Mengenai korupsi, ia mengingatkan hal itu sebagai yang dilawan reformasi 1998. ”Setelah 15 tahun,
NOSI Volume 2, Nomor 8, Februari 2015___________________________________Halaman | 48
korupsi, kolusi, dan nepotisme yang harusnya hilang atau dikikis malah tumbuh subur. Korupsi kita menggila, juga kolusi. Nepotisme apalagi, bahkan menjadi dinasti,” ujarnya dengan suara bergetar. (13. P5 – B3 d) Sebagai pelaku sejarah saat reformasi 1998, Surya Paloh mengaku cukup kecewa atas kondisi Bangsa Indonesia setelah 15 tahun, korupsi, kolusi, dan nepotisme yang harusnya hilang atau dikikis malah tumbuh subur. Korupsi kita menggila, juga kolusi. Nepotisme apalagi, bahkan menjadi dinasti. Kalimat tersebut merupakan pelabelan pada partai yang sedang berkuasa saat itu. Stereotip adalah menyamakan suatu benda, seseorang atau kelompok orang dengan yang negatif. Biasanya penggunaan stereotip dilakukan untuk menjatuhkan seseorang atau kelompok tersebut dihadapan orang lain. (1) Kementerian jangan terlalu gemuk seperti sekarang sehingga biaya rutin dan operasional terlampau besar. Pemerintah perlu lebih ramping. Perencanaan strategis difokuskan pada prioritas-prioritas tertentu dengan sasaran yang tepat. ”APBN lebih dari Rp 1.800 triliun jangan habis untuk biaya rutin saja. Anggaran semaksimal mungkin untuk membangun infrastruktur, dorong pertumbuhan ekonomi, dan menyerap tenaga kerja. Angkatan kerja muda sebagai bonus demografi harus termanfaatkan,” katanya. (15. P9 – B3 e)
Untuk menjadikan Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang maju seperti negara-negara lain, harusnya APBN semaksimal mungkin untuk membangun infrastruktur, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan menyerap tenaga kerja, khusunya angkatan kerja muda sebagai bonus demografi harus termanfaatkan. Strategi stereotip digunakan Muhaimin Iskandar pada pemerintahan yang sedang berjalan. Ia menyatakan agar program tersebut dapat berjalan dengan maksimal, seharusnya jumlah kementerian tidak sebanyak saat ini, dan lebih ramping. Sehingga anggaran rutin sebesar 1.800 triliun dapat dikurangi dan dialihkan untuk membangunan infrastruktur. Selain itu, perencanaan strategis difokuskan pada prioritasprioritas tertentu dengan sasaran yang tepat (1) Karena tumpukan kekecewaan terhadap parpol ini, menurut Surya, masyarakat kehilangan kepercayaan kepada parpol. Wujud kekecewaan itu adalah sikap skeptis, sinis, dan apatis. Padahal, sistem demokrasi yang dipilih Indonesia menempatkan parpol sebagai pilar penyangga utama. Kesadaran ini melahirkan Nasdem yang diharapkan berbeda dari parpol lainnya.”Indonesia tidak boleh berhenti karena distorsi public trust (kepercayaan publik). Presiden boleh berganti, pemerintahan bisa jatuh bangun, parpol bisa menjadi besar kemudian tenggelam, tetapi Indonesia sebagai bangsa dengan cita-cita harus terus jalan,” katanya. (13. P7 – B4 a)
NOSI Volume 2, Nomor 8, Februari 2015___________________________________Halaman | 49
Surya Paloh menjelaskan semangat yang mendasari Partai Nasdem berdiri, ditengah-tengah tumpukan kekecewaan dan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap parpol, tak lain adalah untuk mengangkat kembali citra parpol sebagai pilar penyangga utama sistem demokrasi yang saat ini dijalankan Bangsa Indonesia. Surya Paloh pun menegaskan perjuanganya demi mengangkatkan citra parpol dengan menyebutkan Indonesia tidak boleh berhenti karena distorsi public trust (kepercayaan publik). Presiden boleh berganti, pemerintahan bisa jatuh bangun, parpol bisa menjadi besar kemudian tenggelam, tetapi Indonesia sebagai bangsa dengan citacita harus terus jalan, (1) Partai pun membiarkan para kadernya menjalani proses hukum. Namun, Partai Golkar tak setuju dengan penghakiman oleh pers atau publik ketika seseorang belum dibuktikan korupsi. (20. P11 – B5 a) Abu Rizal mengharapkan kepada media atau publik untuk tidak memutuskan secara sepihak sebuah kasus korupsi, sebelum adanya keputusan pengadilan. Karena setiap manusia, termasuk kader partai pun memiliki hak yang sama, dengan mengedepankan azaz praduga tak bersalah. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil temuan dan pembahasan, ada dua simpulan dalam penelitian ini. Dua simpulan itu dapat dijabarkan sebagai berikut.
1) Bentuk pertarungan simbolik dalam Rubrik Indonesia Satu harian Kompas adalah penggunaan makna kabur, logika bias, dan makna bias. Makna kabur terdiri atas tiga bagian, yaitu: (1) penggunaan kalimat dengan makna bias yang dijabarkan menjadi bias politik, sosial, dan stereotip, (2) penggunaan makna yang terlalu umum, dan (3) penggunaan kalimat dengan makna implisit yang meliputi makna kiasan dan makna hiperbolis. Pada logika bias ditemukan penggunaan generalisasi berlebihan. Sedangkan pada nilai bias ditemukan penggunaan nilai luhur yang diterpkan pada konteks yang tidak atau kurang tepat. 2) Strategi pertarungan simbolik yang ditemukan dalam Rubrik Indonesia Satu harian Kompas ada 3, yaitu eksklusi, marjinalisasi, dan delegitimasi. Dalam eksklusi terdapat strategi pengucilan dengan memberikan informasi yang mengandung klasifikasi seseorang/ suatu kelompok dari pembicaraan publik. Strategi marjinalisasi yang ditemukan penghalusan (eufimisme) pelabelan, dan stereotip. Sedangkan pada strategi delegitimasi ditemukan peluhuran informasi, pemformalam informasi dan pemartabatan informasi. Berdasarkan hasil penelitian tersebut disarankan hal-hal sebagai berikut. (1) Wartawan dan pengelola media massa menjaga agar informasi yang disampaikan kepada masyarakat tetap objektif, benar, dan berimbang. (2) Pembaca media koran perlu mengasah
NOSI Volume 2, Nomor 8, Februari 2015___________________________________Halaman | 50
daya kritis dan bersikap kritis dalam membaca teks berita. (c) Guru bahasa Indonesia perlu membelajarkan siswa pada wacana kritis sehingga siswa dapat memahami wacana secara benar. (4) Peneliti berikutnya dapat meneliti strategi pertarungan simbolik di media massa yang berbeda konteks dengan menggunakan ancangan yang sama atau berbeda.
DAFTAR RUJUKAN Busri, Hasan. 2009. Representasi Kebahasaan dalam Teks Berita Surat Kabar (Sebuah Analisis Wacana Kritis). Diksi, Jurnal Ilmiah Bahasa, Sastra dan Pengajarannya, 16(1): 19-31 Davis, Howard & Paul Walton (ed). 1984. Bahasa, Citra, Media. Terjemahan oleh Ikramullah Mahyudin. 2010. Yogyakarta: Jalasutra Eriyanto. 2001. Analisis Wacana, Pengantar Analisis Isi Media. Yogyakarta : LKIS Kompas. 2014, 13 Januari. Surya: Buka topeng pencitraan kosong, hlm. 1 Kompas. 2014, 15 Januari. Muhaimin: Jangan sampai rindukan orde baru, hlm. 1 Kompas. 2014, 16 Januari. Anis Matta: Menjadi Otak, Hati, Tulang Punggung, hlm. 1 Kompas. 2014, 17 Januari. Megawati: Sosok Itu Harus Taat Konstitusi, hlm. 1 Kompas. 2014, 20 Januari. Aburizal: Rakyat Masih Pikirkan Perut, hlm. 1 Kompas. 2014, 21 Januari. Prabowo: Indonesia Harus Menang, hlm. 1 Kompas. 2014, 22 Januari. Syarief: Perlu Kebersamaan Bangun Bangsa, hlm. 1
Kompas. 2014, 23 Januari. Hatta: Buka Akses Sumber Kemakmuran, hlm. 1 Kompas. 2014, 24 Januari. Suryadharma: Ru-mah Besar Islam yang Inklusif,hlm. 1 Kompas. 2014, 27 Januari. Wiranto: Perlu Pe-mimpin Tegas, tetapi Bernurani, hlm. 1 Kompas. 2014, 28 Januari. MS Kaban: Kita Punya Modal Jadi Negara Kuat, hlm. 1 Kompas. 2014, 29 Januari. Sutiyoso: Perangi Habis-habisan Korupsi, hlm. 1 Mulyana, Deddy. 2000. Ilmu Komunikasi, Suatu Pengantar. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Nawawi, Hadari. 1995. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi kedua. Jakarta: Balai Pustaka. Roekhan. 2009. Kekerasan Simbolik di Media Massa. Disertasi tidak diterbitkan. Malang: PPS Universitas Negeri Malang. Sobur, Alex. 2004. Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
NOSI Volume 2, Nomor 8, Februari 2015___________________________________Halaman | 51