1
SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai Gelar Sarjana Strata Satu Ilmu Konunikasi
Disusun oleh NAMA NIM
: STEFANUS ALPHA YK : 4410412–004
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MERCU BUANA JAKARTA 2009
1
2
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MERCU BUANA JAKARTA
LEMBAR PERSETUJUAN SIDANG SKRIPSI
Nama
: Stefanus Alpha YK.
NIM
: 4410412-004
Fakultas
: Ilmu Komunikasi
Bidang Studi : Jurnalistik Judul Skripsi : EFEK TAYANGAN FILM KARTUN ’NARUTO’ TERHADAP PERILAKU REMAJA
Jakarta, 26 Agustus 2009
Disetujui dan diterima oleh : Dosen Pembimbing Skripsi
(Dra. Agustina Zubair, M.Si)
i
3
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MERCU BUANA JAKARTA
LEMBAR LULUS SIDANG SKRIPSI
Nama
: Stefanus Alpha YK.
NIM
: 4410412-004
Fakultas
: Ilmu Komunikasi
Bidang Studi : Jurnalistik Judul Skripsi : EFEK TAYANGAN FILM KARTUN ’NARUTO’ TERHADAP PERILAKU REMAJA
Jakarta, 26 Agustus 2009
Mengetahui,
1. Ketua Sidang Ponco Budi Sulistyo, S. Sos, M.Comn
(.............................)
2. Penguji Ahli Afdal Makkuraga Putra S.Sos, MM
(.............................)
3. Pembimbing Skripsi Dra. Agustina Zubair, M.Si
(.............................)
ii
4
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MERCU BUANA JAKARTA
LEMBAR PENGESAHAN PERBAIKAN SKRIPSI
Nama
: Stefanus Alpha YK.
NIM
: 4410412-004
Fakultas
: Ilmu Komunikasi
Bidang Studi : Jurnalistik Judul Skripsi : EFEK TAYANGAN FILM KARTUN ’NARUTO’ TERHADAP PERILAKU REMAJA Jakarta, 28 Agustus 2009 Disetujui dan diterima oleh : Dosen Pembimbing Skripsi
(Dra. Agustina Zubair, M.Si)
Mengetahui,
Dekan Fikom
Ketua Jurusan Jurnalistik
(Dra. Diah Wardhani, M.Si)
(Drs. Riswandi, M.Si)
iii
5 Universitas Mercu Buana Fakultas Ilmu Komunikasi Jurusan Jurnalistik 2009 Stefanus Alpha Y K EFEK TAYANGAN FILM KARTUN ‘NARUTO’ TERHADAP PERILAKU REMAJA Bibliografi : 25 Judul acuan buku
Abstraksi Aktifitas menonton berawal dari sebuah kebutuhan akan informasi yang kemudian berpola dan menjadi semacam ritual keseharian. Kini, menonton televisi telah menjadi salah satu aktivitas keseharian yang paling digemari di kalangan anak-anak maupun remaja. Sebanyak 84% tayangan anak berupa film kartun, satu diantaranya adalah ”Naruto” yang ditayangkan oleh Indosiar, kisah tentang kehidupan ninja. Kartun tema remaja ini cukup banyak penggemarnya. Penulis mencoba untuk melakukan penelitan tentang sejauh mana efek tayangan film kartun Naruto terhadap perilaku remaja yang menyukai tayangan tersebut. Teori yang dipakai untuk melakukan penelitian ini adalah Teori Belajar Sosial dari Albert Bandura (social learning theory) bahwa tingkah laku manusia sebagian besar adalah hasil pemerolehan, dan prinsip-prinsip belajar adalah untuk menjelaskan bagaimana tingkah laku berkembang dan menetap, dengan mengamati tingkah laku orang lain, individu-individu belajar mengimitasi atau meniru tingkah laku tersebut atau dalam hal tertentu menjadikan orang lain model bagi dirinya. Teori kedua, dari M.Mc.Luhan mengemukakan bahwa peranan komunikasi untuk menciptakan publik, menentukan issue, memberikan kesamaan kerangka berpikir, dan menyusun perhatian publik. Metode penelitian yang dilakukan adalah survei dengan teknik pengumpulan data melalui penyebaran kuesioner (angket). Adapun populasi yang diteliti adalah pelajar SMP dan SMA Mahanaim di Bekasi yang berjumlah 605 orang, dengan rata-rata usia : 13 – 17 tahun, diperoleh sampel sebanyak 93 orang dengan teknik Simple Random Sampling. Berdasarkan hasil penelitian, penulis memperoleh suatu temuan yang menarik. Responden yang mengaku sebagai penggemar film kartun Naruto, pada kenyataannya, mereka tidak terpengaruh atau tersugesti dengan film kegemaran mereka, efek konatifnya terdeteksi sangat rendah. Menurut pengamatan penulis hal tersebut kemungkinan karena mereka sudah mulai jenuh dengan film kartun Naruto tersebut, sehingga minat atau ketertarikan mereka mulai menurun, atau adanya kegiatan lain yang dilakukan oleh responden pada hari Minggu, apakah itu kegiatan bersama dengan keluarga atau bisa jadi kegiatan pribadi lainnya seperti olah raga misalnya. Kemungkinan juga karena mereka terkena ’wabah’ Facebook atau Friendster yang belakangan ini cukup marak, hampir setiap anak remaja di kota Jakarta dan kota-kota besar lainnya aktif terlibat menjadi penggunanya . Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa tayangan film kartun Naruto tidak menimbulkan efek konatif yang cukup berarti terhadap remaja sebagai penonton. iv
6
KATA PENGANTAR
Oleh karena kemurahan dan anugerah Tuhan semata-mata, akhirnya penulisan skripsi yang berjudul ”Efek Tayangan Film Kartun Naruto terhadap Perilaku Remaja” ini dapat diselesaikan, oleh sebab itu penulis ingin mempersembahkan segala puji syukur ke hadirat Tuhan Yesus Kristus. Dalam segala keterbatasan, penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini sangat jauh dari sempurna, masih ada banyak hal yang bisa ditambahkan untuk melengkapi tulisan ini. Pada kesempatan ini, perkenankan penulis menyampaikan ungkapan terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan yang sangat berarti sehingga terwujudnya skripsi ini, 1. Ibu Dra. Agustina Zubair, M.Si, dosen pembimbingku yang sangat ’care’ dengan segala kesabaran dan pengertian yang sangat dalam, terutama pada waktu aku hampir angkat tangan untuk tidak melanjutkan tulisan ini, engkau yang memberi semangat dan kata-kata yang menguatkanku kembali. 2. Astuti, Mikhael & Gabriel, isteriku yang tercinta dan kedua anak kami, bagimanapun juga kalian adalah orang-orang yang selalu mendoakanku dan selalu memberiku banyak inspirasi dan semangat. 3. Ibu Iin Tjipto, pemimpinku yang luar biasa, setiap kesempatan yang berharga yang selalu diberikan dalam hidupku, dan juga kepercayaan yang kuterima dari beliau banyak mengubah hidupku.
v
7
4. Bapak Drs. Riswandi, M.Si, Ketua Jurusan Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Mercu Buana. 5. Bapak Ponco Budi Sulistyo, M.Comn, Kepala Program Studi, Jurusan Broadcasting, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Mercu Buana. 6. Staf Tata Usaha Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Mercu Buana. 7. Semua teman-temanku seangkatan dan seperjuangan di kelas PKSM angkatan VI, Broadcasting, Universitas Mercu Buana, terutama buat Sri Kusrini (Rini), yang selalu memberikan dukungan hingga penulisan skripsi ini selesai.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak lepas dari kekurangan karena segala kekurangan tersebut adalah menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya karena keterbatasan penulis. Oleh karena itu penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun guna perbaikan di kemudian hari. Akhir kata, penulis mohon maaf bila dalam penulisan skripsi ini terdapat kata-kata yang salah dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.
Dalam AnugerahNya, Jakarta, 2 Agustus 2009
Penulis
vi
8
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN SIDANG SKRPSI ............................................. i LEMBAR LULUS SIDANG SKRIPSI .......................................................... ii LEMBAR PENGESAHAN PERBAIKAN SKRIPSI ..................................... iii ABSTRAKSI .................................................................................................. iv KATA PENGANTAR .................................................................................... v DAFTAR ISI ................................................................................................... vii DAFTAR TABEL ........................................................................................... x DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xii BAB I
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ..................................................................... 1 1.2. Perumusan Masalah ............................................................ 11 1.3. Tujuan Penelitian ................................................................. 11 1.4. Signifikasi Penelitian ........................................................... 12 1.4.1. Signifikasi Akademis ............................................... 12 1.4.2. Signifikasi Praktis .................................................... 12
BAB II
KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Komunikasi Massa ............................................................... 13 2.2. Teori-teori ............................................................................ 15 2.2.1. Teori dasar komunikasi massa ................................. 15 2.2.2. Teori Belajar Bandura ............................................. 21 2.3. Televisi sebagai Media Massa ............................................. 25 2.4. Program Televisi ................................................................. 26
vii
9
2.5. Film dan Film Kartun .......................................................... 29 2.6. Efek Komunikasi Massa ..................................................... 32 2.6.1 Efek Kognitif ........................................................... 33 2.6.2. Efek Afektif ............................................................. 35 2.6.3. Efek Konatif ............................................................ 37 2.7. Khalayak ............................................................................. 40 BAB III METODOLOGI 3.1. Sifat Penelitian .................................................................... 47 3.2. Metode Penelitian ............................................................... 48 3.3. Teknik Pengumpulan Data .................................................. 49 3.3.1. Data Primer ............................................................. 48 3.3.2. Data Sekunder ........................................................ 49 3.4. Populasi Sampel ................................................................. 50 3.4.1. Sampel Penelitian .................................................... 50 3.4.2. Populasi Penelitian .................................................. 50 3.5. Definisi Konsep ................................................................... 51 3.6. Operasionalisasi Konsep ..................................................... 54 3.7. Pengolahan dan Analisa Data ............................................. 61 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Film Kartun ”Naruto” ............................ 63 4.2. Gambaran Umum Waktu, Lokasi dan Obyek Penelitian .... 64 4.3. Hasil Penelitian ................................................................... 65 4.3.1. Karakteristik Responden ......................................... 65
viii
10
4.3.2. Pola Menonton ........................................................ 66 4.3.3. Terpaan Media ........................................................ 69 4.3.4. Efek Konatif ............................................................ 72 4.4. Pembahasan ......................................................................... 81 BAB V
PENUTUP 5.1. Kesimpulan ......................................................................... 86 5.2. Saran .................................................................................... 86 Rekomendasi ................................................................................ 87
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 88 LAMPIRAN ................................................................................................... 91
ix
11
DAFTAR TABEL
Tabel 4.3.1.1.
Karakteristik Responden : Jenis Kelamin ........................... 65
Tabel 4.3.1.2.
Karakteristik Responden : usia ........................................... 66
Tabel 4.3.2.1.
Pola menonton : Tempat biasanya menonton televisi ........ 66
Tabel 4.3.2.2.
Pola menonton : Yang menemani menonton televisi ......... 67
Tabel 4.3.2.3.
Pola Menonton : Jumlah waktu menonton dalam seminggu ............................................................................. 67
Tabel 4.3.2.4.
Pola Menonton : Durasi menonton dalam sehari
Tabel 4.3.2.5.
Pola Menononton : Kegemaran pada film kartun /
.............. 68
animasi ................................................................................ 68 Tabel 4.3.2.6.
Pola Menonton : Jenis cerita yang paling disukai ............. 69
Tabel 4.3.3.1.
Terpaan Media : seberapa sering nonton Naruto ................ 69
Tabel 4.3.3.2.
Terpaan Media : Sudah sejak kapan nonton NARUTO ....... 70
Tabel 4.3.3.3.
Terpaan Media : durasi nonton NARUTO ........................... 70
Tabel 4.3.3.4.
Terpaan Median : Perlunya penambahan durasi .................. 71
Tabel 4.3.3.5.
Terpaan Media : Perlunya penambahan hari tayang ........... 71
Tabel 4.3.3.6.
Terpaan Mediaa : Hal yang disukai dari film NARUTO .... 72
Tabel 4.3.4.1.
Efek Konatif : pernah membayangkan jadi tokoh NARUTO ............................................................................. 72
Tabel 4.3.4.2.
Efek Konatif : menjadikan topik perbincangan .................. 73
Tabel 4.3.4.3.
Efek Konatif : marah jika ada yang menjelekkan NARUTO ............................................................................. 73
x
12
Tabel 4.3.4.4.
Efek Konatif : NARUTO menjadi inspirasi ....................... 74
Tabel 4.3.4.5.
Efek Konatif : mengajak orang lain nonton NARUTO ...... 74
Tabel 4.3.4.6.
Efek Konatif : menirukan ucapan-ucapan khas NARUTO .. 75
Tabel 4.3.4.7.
Efek Konaif : berpenampilan atau bergaya ala NARUTO... 75
Tabel 4.3.4.8.
Efek Konatif : menyanyikan lagu soundtrack NARUTO .... 76
Tabel 4.3.4.9.
Efek Konatif : meniru gerakan/ jurus untuk berkelahi ....... 76
Tabel 4.3.4.10. Efek Konatif : NARUTO adalah tokoh favorit .................... 77 Tabel 4.3.4.11. Efek Konatif :NARUTO layak menjadi tokoh panutan ...... 77 Tabel 4.3.4.12. Efek Konatif : memakai atribut-atribut NARUTO ............. 78 Tabel 4.3.4.13. Efek Konatif : menyisihkan uang saku untuk membeli atribut .................................................................................. 78 Tabel 4.3.4.14. Efek Konatif : memiliki atribut-atribut NARUTO ............... 79 Tabel 4.3.4.15. Efek Konatif : jenis atribut yang dimiliki ............................ 79
xi
13
DAFTAR LAMPIRAN
1. Lembar Kuesioner Penelitian 2. Tabel – Coding Sheet 3. Riwayat Hidup 4. Surat Keterangan dari Sekolah Mahanaim
xii
1
BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang : Media televisi telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat sehari-hari. Televisi adalah medium teknokapitalis paling populer yang membawa urbanisasi nilai-nilai secara besar-besaran termasuk gaya hidup, bahasa, pola konsumsi, hingga penyebaran cara bertindak, bereaksi dan berpikir terhadap dunia sekitarnya. Riset Polling Center pasca 1998 di 27 provinsi menunjukkan lebih dari 60 % (enam puluh persen) masyarakat Indonesia mengartikan demokrasi dari kata demonstrasi karena melihat arak-arakan demonstrasi di jalanan lewat televisi.1 Televisi dikenal sebagai media penyampai pesan berbasis audio visual, adanya satelit komunikasi, penyampaian pesan melalui televisi tidak hanya dapat diterima oleh masyarakat yang ada di kota besar saja, tetapi juga dapat diterima oleh masyarakat di sebuah kabupaten atau kecamatan di seluruh wilayah negara dan bahkan oleh seluruh dunia. Dengan kata lain komunikasi massa pada era sekarang ini tidak mengenal batas geografis. De Fleur dan Dennis McQuail mengatakan bahwa komunikasi massa adalah suatu proses yang komunikatorkomunikatornya menggunakan media massa untuk menyebarkan informasi secara luas dan secara terus-menerus menciptakan makna-makna yang diharapkan dapat
1
Garin Nugroho, Awas, Krisis Masyarakat Komunikatif, Kompas 25 Maret 2006
1
2
mempengaruhi khalayak besar dan berbeda-beda dengan berbagai cara dan mencakup aspek kehidupan manusia.2 Sebagai medium urbanisasi, televisi selalu memiliki dua sisi. Selain sebagai sarana hiburan yang sangat dibutuhkan, tetapi juga menjadi salah satu medium yang melahirkan berbagai macam keterasingan sosial yang disertai dengan kegoncangan adaptif terhadap dunia sekitar. Masyarakat dijejali dengan segala macam kekerasan, vulgar, instan, serba masal dan konsumerisme. Dimana hal tersebut akan berdampak pada merosotnya moral, kebebalan, hilangnya sikap respek, keegoisan, mudah terprovokasi dan pada puncaknya masyarakat akan memiliki kepribadian yang rapuh dan rentan terhadap integrasi sosial berbangsa. Dwyer menyimpulkan, sebagai media audio visual, televisi
mampu
merebut 94 % saluran masuknya pesan-pesan atau informasi ke dalam jiwa manusia yaitu lewat mata dan telinga. Televisi mampu untuk membuat orang pada umumnya mengingat 50 % dari apa yang mereka lihat dan dengar di layar televisi walaupun hanya sekali ditayangkan. Atau secara umum orang akan ingat 85 % dari apa yang mereka lihat di televisi setelah tiga jam kemudian dan 65 % setelah tiga hari kemudian.3 Fenomena perkembangan film yang begitu cepat dan tak terprediksikan membuat film kini disadari sebagai fenomena budaya yang progresif. Film juga sudah dianggap bisa mewakili citra/identitas komunitas tertentu. Bahkan bisa membentuk komunitas sendiri, karena sifatnya yang universal.
2
DeFleur, Melvin dan Dennis, Everette, “Understanding Mass Communication”. Boston :Houghton Company, 1985 3 Dwyer, Barry, and Walshe, Bob” Learning to Read the Media: A Teacher's Guide to Media Education”. Rozelle, Australia: Primary English Teaching Association, 1988.
3
Banyak keluarga tidak menyadari bahwa perubahan program tayangan televisi semakin hari semakin membahayakan kehidupan keluarga. Bukan hanya persoalan banyaknya waktu di depan layar kaca, tetapi muatan yang memberikan dampak negatif bagi perilaku dan nilai-nilai baru pada setiap anggota keluarga sungguh sangat berbahaya. Kini kita menyaksikan akumulasi berbagai dampak negatif tersebut, baik mengalami langsung, menyaksikan, maupun berdasarkan informasi dari berita ataupun yang lainnya. Mengapa saat ini banyak muncul berbagai tindak kekerasan, pencabulan pemerkosaan, dan berbagai tindak menyimpang lainnya pada keluarga? Inipun kalau pola makan, jenis makanan, cara berkomunikasi, cara berfikir dan etika yang sesungguhnya tidak wajar menurut tata aturan budaya lokal dan agama ditoleransi. Kalaupun itu menjadi satu persoalan, betapa kompleksnya persoalan keluarga hari ini yang diakibatkan oleh tayangan televisi yang awalnya berfungsi sebagai media penghibur. Betapa berbahayanya keberadaan tayangan televisi hari ini, hingga mampu memporakporandakan tatanan kehidupan keluarga.4 Yayasan Peduli Media Anak pada tahun 2002, melakukan penelitian terhadap
anak-anak yang menonton televisi. Rata-rata mereka menghabiskan
waktu selama 30-35 jam dalam seminggu, maka dalam penelitian tahun 2006, angka itu meningkat menjadi 35-40 jam seminggu dengan pilihan acara yang dinilai tidak aman dan tidak sehat. Oleh karena itu, anak-anak dan remaja adalah salah satu kategori audiens dengan jumlah yang cukup besar. Anak-anak dan
4
Mulyana, Dedi, ”Bercinta dengan Televisi”, Rosdakarya.1997.
4
remaja sebagai audiens televisi selalu dipandang sebagai kasus khusus, karena mereka diasumsikan mudah tersugesti dan rentan terkena pengaruh. Di Indonesia, dunia pertelevisian berkembang pesat, terbukti dengan kemunculan berbagai stasiun televisi swasta maupun lokal sekaligus deregulasi pertelevisan Indonesia yang lebih baik dari sebelumnya. Akan tetapi, keberadaan 11(sebelas) stasiun televisi swasta yang tayang secara nasional saat ini dirasakan belum mampu menghadirkan tayangan program anak-anak yang berkualitas dan bermuatan pendidikan, informasi serta hiburan secara proporsional. Kalaupun ada, program anak-anak tersebut masih sangat terbatas jumlahnya. Berdasarkan pemantauan Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) terhadap 1.106 tayangan anak yang diputar di 10 stasiun televisi pada tahun 2006 lalu, misalnya, hanya 27 % yang aman dari kekerasan dan seks sedangkan 73 % lainnya dinilai berbahaya bagi anak-anak. Sementara itu, sumber tayangan anak yang ditampilkan di televisi juga kebanyakan adalah produk impor sebanyak 84 % dan sisanya 16 % baru produk lokal. Sebanyak 84% tayangan anak berupa film kartun, lainnya sinetron, kuis, feature,dan lain-lain.- Data ini belum termasuk tayangan dewasa yang ditonton anak. (Catatan: tidak aman karena mengandung unsur kekerasan dan seks).5 Diantara sekian banyak program yang ditayangkan, penulis mengamati program tayangan film kartun atau animasi yang cukup banyak menyedot animo pemirsanya, dan meliputi semua kalangan, tidak hanya anak-anak tetapi juga orang dewasa. Bila kita sekedar melihat tampilannya, maka kita akan berasumsi
5
Komunitas TV Sehat/YPMA/YKAI, 2007.
5
bahwa film kartun atau animasi adalah film anak-anak. Padahal tidak demikian, pada kenyataannya banyak film kartun yang mengandung pesan moral yang ditujukan untuk orang dewasa, yang kurang tepat bila ditonton oleh anak-anak. Sejarah film animasi atau yang lebih populer dengan sebutan film kartun pada awalnya memang dibuat sebagai sarana hiburan untuk anak-anak. Namun, perkembangan teknologi animasi dan industri film turut memperluas ruang gerak film kartun, baik dari segi tema cerita maupun gambarnya, sehingga segmen penontonnya pun meluas. Tidak saja bagi anak-anak saja, tetapi remaja dan orang dewasapun ikut menikmati tayangan-tayangan film kartun ini. Film kartun produksi Jepang, yang biasa disebut anime, hampir menguasai pertelevisian kita. Anime sebenarnya telah berkembang sejak lama. Yang paling mudah diingat barangkali Doraemon yang ditayangkan RCTI. Contoh lain yang belakangan ini sangat diminati para remaja
adalah
Naruto yang saat ini ditayangkan di stasiun televisi Indosiar. Awalnya Global TV yang menayangkan Naruto season 1, 2 dan 3 mulai sejak diluncurkan Agustus 2007. Tapi sejak 20 Januari 2008, tayangan Naruto season 4 dilanjutkan di stasiun Indosiar. Mulai 31 Agustus 2008, serial Naruto ini telah masuk season 5. Tapi film yang berdurasi 30 menit ini oleh Indosiar hanya ditayangkan satu kali seminggu, yaitu setiap hari Minggu jam 10.30 WIB. Padahal ketika ditayangkan oleh Global TV durasinya 2 x 30 menit setiap hari Senin hingga Jumat. Animo penonton terhadap film animasi Naruto ini sangat tinggi. Indikasinya terlihat dari rating: dalam kurun satu bulan mencapai 2,6 dengan share 16,7% secara keseluruhan untuk semua jenis program yang ditayangkan
6
pada waktu yang sama: Minggu, pukul 10.30 WIB. Gufroni Sakaril, Manajer Humas PT Indosiar Visual Mandiri, Tbk., menjelaskan tingginya rating yang diraih Naruto. Film anak-anak ini berhasil mengalahkan Dragon Ball (kini ratingnya 1,7).6 Film kartun yang satu ini ceritanya dikemas sangat menarik. Khususnya bagi para remaja yang dalam masa transisi dari anak-anak menjelang dewasa, dan sedang dalam pencarian identias pribadi. Penuh, semangat, ambisi, gejolak dan emosi. Film ini menceritakan Uzumaki Naruto, seorang bocah Ninja dari desa Konoha. Dikisahkan suatu ketika seekor monster rubah ekor sembilan bernama Kyuubi menyerang Konoha, sebuah desa shinobi (desa Ninja) yang terletak di negara Api. Kekacauan terjadi di desa Konoha dan korban banyak berjatuhan sampai akhirnya ada seseorang bernama Yondaime Hokage, Hokage ke 4 atau Namikaze Minato berhasil mengalahkan monster terebut dan dia memenjarakan atau menyegel monster Kyuubi itu ke tubuh putranya sendiri yang bernama Uzumaki Naruto. Tiga belas tahun kemudian, tersebutlah seorang remaja yang sering membuat keonaran di desa Konoha, dialah Naruto, dia melakukan hal itu karena menginginkan perhatian dari penduduk desa yang menjauhinya karena rubah di tubuhnya. Naruto kemudian ditipu oleh seorang pengkhianat untuk mencuri gulungan rahasia dari Hokage ke 3, Naruto yang polos melakukan hal tersebut dan berhasil mencuri serta mempelajari jurus seribu bayangan. Setelah tahu bahwa dia
6
Eva Martha Rahayu, S. Ruslina, ”Mendulang Untung dari Naruto”, Majalah SWA, Maret 2008
7
dimanfaatkan Naruto menolak memberikan gulungan tersebut. Naruto kemudian ditolong oleh guru Iruka yang merupakan guru favorit Naruto. Dialah orang yang pertama kali megakui keberadaan Naruto. Naruto bercita-cita ingin menjadi seorang Hokage (Pemimpin, di desa Konoha). Dengan bantuan Kakashi, Naruto sangat ambisius dalam meraih cita-citanya untuk menjadi Hokage, ninja terkuat di Konoha. Nilai-nilai dalam cerita Naruto ditampilkan secara eksplisit melalui dialog ataupun tingkah laku tokoh-tokohnya, hal ini membuat Naruto menjadi cerita yang menarik dan mudah dipahami. Nilai yang paling sering muncul dalam cerita Naruto adalah persahabatan, perasaan saling memahami dan saling melindungi, kesetiaan,tetapi juga kesepian. Naruto, pada awal cerita, merupakan seseorang yang terkucil dan tidak memiliki teman. Ia rela berbuat apapun termasuk menjadi badut di kelasnya agar dia bisa mendapatkan teman. Begitu juga dengan sahabat Naruto bernama Kakashi, yang kehilangan semua temannya; Sasuke, yang seluruh anggota keluarganya dibunuh; Gaara, yang dibenci oleh semua orang di desanya bahkan oleh keluarganya sendiri; Iruka, yang orang tuanya terbunuh Kyuubi; Hinata, yang kekurangan kasih sayang dari keluarganya, dan masih banyak yang lain. Kisah-kisah tentang pengorbanan dan persaingan (rival) juga sering muncul. "Pengorbanan demi sesuatu yang berharga begitu menonjol pada episode menyelamatkan Kirigakure dan ujian Chuunin. Sementara itu, nilai persaingan diisi dengan persaingan antara Naruto dengan Sasuke, Kakashi dengan guru Guy, Sakura dengan Ino, Jiraiya dan Tsunade dengan Orochimaru dan lain-lain.
8
Alasan penulis untuk melakukan penelitan terhadap film kartun Naruto tersebut adalah banyaknya tanggapan dari banyak orangtua yang pro dan kontra terhadap tayangan tersebut, berikut tulisan dari beberapa mass media menanggapi film kartun tersebut : "Film kartun Naruto itu manga yang dulu ditayangkan di Global TV dan sekarang di Indosiar. Manga ini sarat adegan kekerasan, dan bahkan pernah dilaporkan sejumlah media telah memakan korban," ujar Anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Mutammimmul Ula di Jakarta, Kamis (17/01/2008). Menurut Mutammimul Ula, kartun Naruto saat ini tidak hanya digilai anak-anak, tetapi juga remaja bahkan tidak sedikit orang dewasa yang ikut menonton. "Di negara kita, masih banyak pihak yang tidak mengerti esensi dari manga atau komik. Komik selalu diasosiakan sebagai bacaan atau materi untuk anak-anak. Padahal pameo tersebut sangat menyesatkan. Karena, tidak semua komik yang difilm kartunkan layak dikonsumsi anak-anak," ujarnya.Anehnya lagi, menurut Mutammimul Ula, KPI seperti tutup mata saja. Atau anggota KPI sekarang sangat lemah, sehingga tidak punya keberanian untuk menegur pengelola televisi.7 Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA), disebutkan daftar acara yang masuk dalam kategori Aman, Hati-hati, dan Bahaya untuk anak. Ingin tahu? Berikut ini adalah daftar acara yang masuk dalam kategori Bahaya: Tom & Jerry, Crayon Sinchan (RCTI), Si Entong, Tom & Jerry, Si Entong 2 (TPI), Popeye Original, Oggy & The Cockroaches (AN TV), Detective Conan,
7
Kompas.com, ”Anggota PKS minta KPI Awasi Film Naruto”, 17 Januari 2008
9
Dragon Ball, Naruto 4 (INDOSIAR), Tom & Jerry (TRANS7), One Piece, Naruto (TVG).8 ”Kisah ninja 'Naruto' yang ditayangkan Indosiar dan Global TV dinilai telah menampilkan hal-hal mistis dan kekerasan," kata anggota KPI Yazirwan Uyun di kantornya, Jl Gadjah Mada, Jakarta Pusat, Selasa (19/8/2008). Tayangan ini dinilai telah melanggar UU No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran itu merupakan hasil pemantauan periode ke 3. Yaitu pada kurun waktu 14-29 Juni 2008. Yazirwan menjelaskan, stasiun televisi yang menayangkan acara itu diminta agar melakukan perbaikan. "Kami hanya memberikan teguran, sejauh ini industri televisi sudah merespon dan banyak melakukan perbaikan. Kita juga meminta kepada orang tua agar tetap mengawasi dan dapat mengkategorikan tayangan ini untuk anak dan remaja," urainya.9 Naruto, memang agak berbahaya, kalau emang IQ dan otak seorang anak itu pintar, tidak bakalan ikut-ikutan, khayalan ya khayalan....... Duh, kasihan Yah Masashi Kishimoto..... saya tetap tidak setuju, buat KPI !
Masa sih Naruto
bahaya? tapi ah saya tidak tahu...10 Pada tanggal 30 September 2008, secara sekilas saya menyaksikan film Naruto di Global TV pada sore hari, dalam salah satu cuplikan akhir ditayangkan sosok sedang bunuh diri yaitu dengan menusukkan pisau ke perut disertai ucapan "kita akan mati bersama". Sungguh suatu cuplikan yang tidak pantas ditonton,
8
Kompas.com, ”Tayangan anak-anak Berbahaya” 18 Juli 2008 Didi Syafirdi, DetikNews, 19 Agustus 2008 10 Miyuki Atarashi, Yahoo ! Answers, 30Agustus 2008 9
10
apalagi oleh anak-anak. Semoga Global TV bisa menyaring tayangan yang pantas.11 Kekerasan memang sulit dipisahkan dari industri hiburan. Sama sulitnya jika harus mencari siapa yang harus disalahkan terhadap masuknya tayangan kekerasan dalam industri hiburan. Kita akan terjebak dalam lingkaran setan antara produser, pengelola TV, sutradara, pengiklan, maupun penonton sendiri. Kapan dan berapa lama anak boleh menonton televisi ? semua itu tergantung pada cara sebuah keluarga menghabiskan waktu mereka bersama. Bisa saja di waktu santai sehabis makan malam bersama, atau justru sore hari. Anak yang bersekolah harus dibatasi, misalnya hanya boleh menonton setelah mengerjakan semua PR. Berapa jam? Dua jam sudah cukup. Agar sasaran tercapai, disiplin dan pengawasan orang tua mutlak diperlukan. Sayangnya, unsur pengawasan ini yang sering jadi titik lemah orang tua yang sibuk dengan pekerjaan sehari-hari di kantor. "Untuk itu, orang tua memang dituntut untuk cerewet. Tidak apa-apa agak cerewet, demi kebaikan anak-anak," demikian dipaparkan Prof. Dr. Fawzia Aswin Hadis, pengajar di Fakultas Psikologi UI.12 Komisi Penyiaran Indonesia diminta mengawasi lebih ketat lagi penayangan film kartun yang diangkat dari komik yang sarat dengan kekerasan. Apalagi, saat ini disejumlah televisi swasta menayangkan film kartun yang diperuntukkan bagi anak, namun sarat dengan kekerasan.
11 12
Helmi, Media Konsumen, 1 Oktober 2008 Balitaku, ”Bahaya Tontonan Kekerasan pada Anak”, rubrik Pendidikan Anak, 9 Mei 2007
11
Penelitian ini akan dilakukan kepada
para siswa di SMP dan SMA
Mahanaim di Bekasi, dengan alasan sekolah ini mempunyai keunggulan sebagai sekolah nasional plus yang sudah terakreditasi A. Padahal di sekolah ini 76% dari jumlah siswa adalah dari keluarga kurang mampu yang diberikan beasiswa karena kecerdasan mereka di atas rata-rata. Di sekolah ini, siswa SMP berjumlah 316 orang siswa, 88 orang siswa mendapat beasiswa penuh, 133 orang siswa mendapat beasiswa sebagian, sisanya 95 orang siswa membayar penuh. Jumlah siswa SMA 289 orang siswa, 127 orang siswa mendapat beasiswa penuh, 111 orang siswa mendapat beasiswa sebagian, sisanya 51 orang siswa membayar penuh.13
1.2. Perumusan Masalah : Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : “Sejauh mana efek tayangan film kartun ‘Naruto’ terhadap perilaku murid-murid di SMP dan SMA Mahanaim Bekasi ?”.
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efek tayangan film kartun ’Naruto’ terhadap perilaku remaja yang menyukai tayangan film kartun tersebut.
13
Sumber : Kepala Sekolah SMP dan SMA Mahanaim, Bekasi, data per 31 Januari 2009.
12
1.4. Signifikasi Penelitian 1.4.1. Signifikasi Akademis Penelitian ini diharapkan sebagai sumbangan bagi perkembangan bidang penyiaran televisi tentang tayangan film kartun khususnya yang diperuntukkan bagi remaja, juga sebagai masukan untuk bidang
broadcasting dan ilmu
komunikasi pada umumnya.
1.4.2. Signifikasi Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan yang berguna kepada stasiun televisi Indosiar sebagai : a. Bahan kajian dalam memilih dan menentukan progam film kartun anak/ remaja, khususnya anime yang diimpor dari Jepang. Agar memilih tematema yang lebih cocok bagi remaja, yang sifatnya membangun karakter dan membentuk kepribadian yang bertanggung jawab. b. Meninjau ulang penayangan film kartun Naruto, apakah sudah sesuai dan sejalan dengan asas moralitas budaya negara kita.
13
BAB II KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Komunikasi Massa Komunikasi massa (mass communication) adalah komunikasi yang menggunakan media massa, baik cetak (surat kabar, majalah dan tabloid) atau elektronik (radio dan televisi), yang dikelola oleh suatu lembaga atau orang yang dilembagakan, yang ditujukan kepada sejumlah besar orang yang tersebar di banyak tempat, anonym dan heterogen. Pesan-pesannya bersifat umum, disampaikan secara cepat, serentak dan selintas (khususnya media elektronik). Komunikasi antar pribadi, komunikasi kelompok dan komunikasi organisasi berlangsung juga dalam proses untuk mempersiapkan pesan yang disampaikan media massa ini1 . Bentuk komunikasi yang menggunakan sarana-sarana teknik yang mampu menyampaikan pesan kepada suatu khalayak yang besar dalam waktu relative singkat atau bahkan secara langsung. Ciri utamanya, penyampaian pesan atau gagasan itu dilakukan orang yang bekerja pada media massa.2 Komunikasi melalui media massa modern, yang meliputi surat kabar yang mempunyai sirkulasi yang luas, siaran radio dan televisi yang ditujukan kepada umum, dan film layar lebar yang dipertunjukan di gedung bioskop. Komunikasi massa menyiarkan informasi, gagasan, dan sikap kepada komunikan yang
1 2
Dedy Mulyana, “Ilmu Komunikasi, suatu pengantar” Remaja Rosdakarya, 2005 Dedy Mulyana ”Ilmu Komunikasi”.Cetakan pertama, PT. Remaja Rosdakarya, 2004
13
14
beragam dalam jumlah yang banyak dengan menggunakan media. Komunikasi massa bersifat umum, karena pesan komunikasi yang disampaikan melalui media massa adalah terbuka untuk semua orang. Benda-benda tercetak, film, radio dan televisi apabila dipergunakan untuk keperluan pribadi dalam lingkungan organisasi yang tertutup, tidak dapat dikatakan komunikasi massa. Massa dalam komunikasi massa terjadi dari orang-orang yang heterogen yang meliputi penduduk yang bertempat tinggal dalam kondisi yang sangat berbeda, dengan kebudayaan yang beragam, berasal dari berbagai lapisan masyarakat, mempunyai pekerjaan yang berjenis-jenis ; maka oleh karena itu mereka berbeda pula dalam kepentingan, standar hidup dan derajat kehormatan, kekuasaan
dan
pengaruh.
Dalam
komunikasi
massa,
hubungan
antara
komunikator dan komunikan bersifat non-pribadi, karena komunikan yang anonym dicapai oleh orang-orang yang dikenal hanya dalam peranannya yang bersifat umum sebagai komunikator. 3 Ada 5 (lima) komponen
proses komunikasi, yaitu : Source (sumber)
dimana proses komunikasi dimulai, Message (media pesan) adalah pernyataan yang didukung oleh lambang, Channel (saluran) adalah media bagi sumber untuk menyampaikan pesan-pesannya yang ditujukan kepada Receiver (penerima pesan atau komunikan) dan Effect adalah akibat, sebagai pengaruh dari pesan bagi receiver dalam suatu proses komunikasi. Dalam hal ini, Source (S) : adalah televisi, Message (M) : adalah cerita dari tayangan film kartun, Channel (C) :
3
Effendy, Onong Uchjana, ”Ilmu, Teori dan Filsafat komunikasi”, PT. Citra Aditya Bakti. 2000
15
tayangan film kartun Naruto, Receiver (R) : remaja, dan Effect (E) : adalah perilaku remaja. 4
2.2. Teori-teori 2.2.1. Teori Dasar Komunikasi Massa Marshall McLuhan Marshall McLuhan mengatakan bahwa kita sebenarnya hidup dalam suatu ‘desa global’. Pernyataan McLuhan ini mengacu pada perkembangan media komunikasi modern yang telah memungkinkan jutaan orang di seluruh dunia untuk dapat berhubungan dengan hampir setiap sudut dunia. Kehadiran media secara serempak di berbagai tempat telah menghadirkan tantangan baru bagi para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu. Pentingnya komunikasi massa dalam kehidupan manusia modern dewasa ini, terutama kemampuannya untuk menciptakan publik, menentukan issue, memberikan kesamaan kerangka berpikir, dan menyusun perhatian publik, pada gilirannya telah mengundang berbagai sumbangan teoritis terhadap kajian tentang komunikasi massa5. Konsep komunikasi massa itu sendiri pada satu sisi mengandung pengertian suatu proses dimana organisasi media memproduksi dan menyebarkan pesan kepada publik secara luas dan pada sisi lain merupakan proses dimana pesan tersebut dicari, digunakan, dan dikonsumsi oleh audiens. Pusat dari studi mengenai komunikasi massa adalah media. Media merupakan organisasi yang menebarkan 4 5
informasi
yang
berupa
produk
budaya
atau
pesan
Dennis McQuails, “Teori Komunikasi massa”, Erlangga 1987 McLuhan, Marshall, Quentin Fiore “War and Peace in the Global Village”,Bantam, 1968
yang
16
mempengaruhinya dan mencerminkan budaya dalam masyarakat.
Oleh
karenanya, sebagaimana dengan politik atau ekonomi, media merupakan suatu sistem tersendiri yang merupakan bagian dari sistem kemasyarakatan yang lebih luas. Analisis media mengenai adanya dua dimensi komunikasi massa, yaitu: 1. Dimensi makro, yaitu dimensi yang memandang dari sisi media kepada masyarakat luas beserta institusi-institusinya. Pandangan ini menggambarkan keterkaitan antara media dengan berbagai institusi lain seperti politik, ekonomi, pendidikan, agama, dan sebagainya. Teori-teori yang menjelaskan keterkaitan tersebut, mengkaji posisi atau kedudukan media dalam masyarakat dan terjadinya saling mempengaruhi antara berbagai struktur kemasyarakatan dengan media. 2. Dimensi mikro, yaitu melihat kepada hubungan antara media dengan audience, baik secara kelompok maupun individual. Teori-teri mengenai hubungan antara media audience, terutama menekankan pada efek-efek individu dan kelompok sebagai hasil interaksi dengan media. Teori-teori awal mengenai komunikasi massa lahir melalui berbagai penelitian yang didorong oleh perhatian terhadap pengaruh politik terhadap media suratkabar. Penelitian sejenis yang banyak dilakukan pada awal abad ini, dan kemudian juga penelitian mengenai dampak sosial dan moral dari radio dan film, terus berkembang hingga akhir PD II. Penelitian tersebut umumnya berangkat dari tujuan untuk menguji efisiensi dan efektivitas dalam bidang propaganda, telekomunikasi, advertensi, public relations, dan human relations. Diawali dengan
17
aspek-aspek praktis, penelitian komunikasi massa selanjutnya didukung oleh pendekatan sosiologis dan psikologis yang sedang berkembang pada saat itu, di samping kemajuan-kemajuan yang sedang terjadi dalam bidang metodologi. Khususnya dalam hal penggunaan metode eskperimen, survey dan statistik. Pembahasan berikut akan menguraikan sejumlah teori dasar yang cukup berpengaruh dan telah memberi inspirasi bagi perkembangan teori dan penelitian komunikasi massa berikutnya. Antara lain adalah: Formula Lasswel.
Formula Lasswell Seorang
ahli
ilmu
politik
Amerika
Serikat
pada
tahun
1948
mengemukakan suatu ungkapan yang sangat terkenal dalam teori dan penelitian komunikasi massa. Ungkapan yang merupakan cara sederhana untuk memahami proses komunikasi massa adalah dengan menjawab pertanyaan sebagai berikut: -
Siapa
(Who)
-
Berkata apa
(Says what)
-
Melalui saluran apa
(in which Channel)
-
Kepada siapa
(to Whom)
-
Dengan efek apa
(with what effect )
Ungkapan dalam bentuk pertanyaan yang dikenal sebagai Formula Lasswell ini, meskipun sangat sederhana atau terlalu menyederhanakan suatu fenomena
komunikasi
massa,
telah
membantu
mengorganisasikan
dan
memberikan struktur pada kajian terhadap komunikasi massa. Selain dapat
18
menggambarkan komponen-komponen dalam proses komunikasi massa, Lasswell sendiri menggunakan formula ini untuk membedakan berbagai jenis penelitian komunikasi 6. Hal ini dapat disimak pada visualisasi berikut :
SIAPA
BERKATA APA
MELALUI SALURAN APA
KEPADA SIAPA
KOMUNIKATOR
PESAN
MEDIA
PENERIMA
ANALISIS PESAN
ANALISIS MEDIA
ANALISIS AUDIENS
CONTROL STUDIES
DENGAN EFEK APA EFEK
ANALISIS EFEK
Pendekatan Transmisional Teori-teori yang termasuk dalam pendekatan transmisional pada dasarnya menjelaskan suatu proses komunikasi dengan melihat komponen-komponen yang terkandung didalamnya dan rangkaian aktivitas yang terjadi antara satu komponen dengan komponen lainnya (terutama mengalirnya pesan/informasi). Teori tentang transmisi pesan ini pertama kali dikemukakan oleh seorang ahli matematika, Claude Shannon pada akhir tahun 1940-an. Shannon yang bekerja pada biro penelitian perusahaan telepon Bell, menerapkan pemikirannya terutama untuk penelitian kepentingan telekomunikasi. Dia berangkat dari sejumlah pertanyaan yang menyangkut jenis saluran komunikasi apa yang dapat mengangkut muatan sinyal secara maksimum? Berapa banyak muatan sinyal yang ditransmsikan akan
6
Effendy, Onong Uchjana, “Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi”, Citra Aditya Bakti,2003
19
rusak oleh gangguan yang mungkin muncul dalam perjalanannya menuju penerima sinyal? Pertanyaan ini pada dasarnya menyangkut bidang teori informasi. Meskipun demikian, teori yang dikembangan Shannon bersama rekan kerjanya Warren Weaver, dalam suatu bentuk model, telah digunakan sebagai analogi oleh berbagai ilmuwan sosial. Walau prinsip teknologis pasti berbeda dari proses komunikasi manusia, namun teori Shannon-Weaver telah menjadi ide dasar bagi banyak teori komunikasi (massa) di kemudian hari. Komunikasi oleh mereka digambarkan sebagai suatu proses yang linier dan searah. Yaitu proses di mana pesan diibaratkan mengalir dari sumber dengan melalui beberapa komponen menuju kepada tujuan (komunikan). Terdapat 5 fungsi yang beroperasi dalam proses komunikasi di samping satu faktor disfungsional yaitu noise atau ganguan.7 Pada dasarnya prinsip proses ini adalah seperti bekerjanya proses penyiaran radio. Pada bagian pertama dari proses adalah sumber informasi yang menciptakan pesan atau rangkaian pesan untuk dikomunikasikan. Pada tahap berikutnya adalah pesan diubah ke dalam bentuk sinyal oleh transmiter sehingga dapat diteruskan melalui saluran pada penerima. Penerima lalu menyusun kembali sinyal menjadi pesan sehingga dapat mencapai tujuan. Sementara itu sinyal dalam perjalanannya memiliki potensi untuk terganggu oleh berbagai sumber gangguan yang muncul. Misalnya, ketika terdapat terlalu banyak sinyal dalam saluran yang sama dan pada saat yang bersamaan pula. Hal ini akan
7
A. Mulyana, drs, ”Teori Komunikasi” – modul 12, 2008
20
mengakibatkan adanya perbedaan antara sinyal yang ditransmisikan dan sinyal yang diterima. Dengan demikian dapat diartikan bahwa pesan yang dibuat oleh sumber dan kemudian disusun kembali oleh penerima hingga mencapai tujuan, tidak selalu memiliki makna yang sama. Ketidakmampuan komunikator untuk menyadari bahwa suatu pesan yang dikirimkan tidak selalu diterima dengan pengertian yang sama, adalah merupakan penyebab bagi kegagalan komunikasi. Dari model yang dikemukakan Shannon & Weaver ini, Melvin DeFleur (1966) dalam bukunya Theories of Mass Communication, mengembangkan dan mengaplikasikannya ke dalam teori komunikasi massa. Dalam kaitannya dengan makna dari pesan yang diciptakan dan diterima, dia mengemukakan bahwa dalam proses komunikasi ‘makna’ diubah menjadi pesan yang lalu diubah lagi oleh transmiter menjadi informasi, dan kemudian disampaikan melalui suatu saluran (misalnya media massa). Informasi diterima sebagai pesan, lalu diubah menjadi ‘makna’
tersebut,
maka
hasilnya
adalah
komunikasi.
Namun,
seperti
dikemukakan sendiri DeFleur, jarang sekali korespondensi yang sempurna. Artinya, dengan toleransi tertentu, komunikasi masih dapat terjadi meskipun terdapat juga ’sejumlah’ perbedaan makna. DeFleur menambahkan beberapa komponen untuk menggambarkan bagaimana sumber/komunikator mendapatkan umpan balik atau feedback, yang memberikan kemungkinan kepada komunikator untuk dapat lebih efektif mengadaptasikan komunikasinya.
Dengan demikian, kemungkinan untuk
mencapai korespondensi/kesamaan makna akan meningkat.
21
Banyak ragam difinisi yang diberikan oleh para pakar ilmu komunikasi, masing-masing pakar memberikan penekanan arti, cakupan dan konteks yang berbeda-beda. Walaupun demikian tindakan komunikasi dapat dilakukan melalui beberapa cara antara lain, komunikasi verbal dan non verbal, komunikasi langsung dan tidak langsung.
2.2.2. Teori Belajar Bandura Albert Bandura, seorang sarjana di bidang psikologi klinis di Universitas Iowa dan menjadi Profesor David Starr dalam bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan pernah menjabat Ketua American Psychological Association. Ia melakukan penelitian yang mencakup banyak masalah yang bersifat sentral untuk teori belajar sosial, dan lewat penelitian-penelitian itu teorinya dipertajam dan diperluas. Bandura, pada tahun 1969, menerbitkan Principles of behavior modification, dimana ia menguraikan penerapan teknik-teknik behavioral berdasarkan prinsip-prinsip belajar dalam memodifikasi tingkah laku. Sama seperti halnya kebanyakan pendekatan teori belajar terhadap kepribadian, teori belajar sosial berpangkal pada dalil bahwa tingkah laku manusia sebagian besar adalah hasil pemerolehan, dan bahwa prinsip-prinsip belajar adalah cukup untuk menjelaskan bagaimana tingkah laku berkembang dan menetap. Akan tetapi, teori-teori sebelumnya selain kurang memberi perhatian pada konteks sosial dimana tingkah laku ini muncul, juga kurang menyadari fakta bahwa banyak peristiwa belajar yang penting terjadi dengan perantaraan orang lain.
22
Artinya, sambil mengamati tingkah laku orang lain, individu-individu belajar mengimitasi atau meniru tingkah laku tersebut atau dalam hal tertentu menjadikan orang lain model bagi dirinya. Bagi Bandura, walaupun prinsip belajar sosial cukup menjelaskan dan meramalkan perubahan tingkah laku, prinsip itu harus memperhatikan dua fenomena penting yang diabaikan atau ditolak oleh paradigma behaviorisme. Pertama, Bandura berpendapat manusia dapat berfikir dan mengatur tingkah lakunya sendiri; sehingga mereka bukan semata-mata bidak yang menjadi obyek pengaruh lingkungan. Sifat kausal bukan dimiliki sendirian oleh lingkungan, karena orang dan lingkungan saling mempengaruhi. Kedua, Bandura menyatakan, banyak aspek fungsi kepribadian melibatkan interaksi satu orang dengan orang lain. Dampaknya, teori kepribadian yang memadai harus memperhitungkan konteks sosial di mana tingkah laku itu diperoleh dan dipelihara. 8 Bandura menjelaskan, Teori Belajar Sosial berusaha menjelaskan tingkahlaku manusia dari segi interaksi timbal-balik yang berkesinambungan antara faktor kognitif, tingkahlaku, dan faktor lingkungan. Dalam proses determinisme timbal-balik itulah terletak kesempatan bagi manusia untuk mempengaruhi nasibnya maupun batas-batas kemampuannya untuk memimpin diri sendiri (self-direction). Konsepsi tentang cara manusia berfungsi semacam ini tidak menempatkan orang semata-mata sebagai obyek tak berdaya yang dikontrol oleh pengaruh-pengaruh lingkungan ataupun sebagai pelaku-pelaku bebas yang
8
Hall, Calvis S. & Gardner Lindzey. Teori-teori Sifat dan Behavioristik., Penerbit Kanisius, 1993
23
dapat menjadi apa yang dipilihnya. Manusia dan lingkungannya merupakan faktor-faktor yang saling menentukan secara timbal balik. Teori Belajar Sosial dari Bandura yang paling luas diteliti adalah Efikasi Diri dan Penelitian Observasi (Penelitian Modeling). a. Efikasi diri Efikasi adalah penilaian diri, apakah dapat melakukan tindakan yang baik atau buruk, tepat atau salah, bias atau tidak bias, mengerjakan sesuai dengan yang dipersyaratkan. Efikasi berbeda dengan aspirasi (cita-cita), karena cita-cita menggambarkan sesuatu yang ideal yang seharusnya (dapat dicapai), sedang efikasi menggambarkan penilaian kemampuan diri. b. Belajar melalui observasi Menurut Bandura, kebanyakan belajar terjadi tanpa renforsemen yang nyata. Dalam penelitiannya, ternyata orang dapat mempelajari respon baru dengan melihat respon orang lain, bahkan belajar tetap terjadi tanpa ikut melakukan hal yang dipelajari itu, dan model yang diamatinya juga tidak mendapat renforsemen dari tingkah lakunya. Belajar melalui observasi jauh lebih efisien dibanding belajar melalui pengalaman langsung. Melalui observasi orang dapat memperoleh respon yang tidak terhingga banyaknya, yang mungkin diikuti dengan hubungan dan penguatan. 1. Peniruan (modelling), inti dari belajar melalui observasi adalah modelling. Peniruan atau meniru sesungguhnya tidak tepat untuk mengganti kata modeling, karena modeling bukan sekedar menirukan atau mengulangi apa yang dilakukan model (orang lain), tetapi modeling melibatkan
24
penambahan dan atau pengurangan tingkah laku yang teramati, mengeneralisasi berbagai pengamatan sekaligus, melibatkan proses kognitif. 2. Modeling tingkah laku baru : Melalui modeling orang dapat memperoleh tingkah laku baru. Ini dimungkinkan karena adanya kemampuan kognitif. Stimuli berbentuk tingkah laku model ditransformasikan menjadi gambaran mental, dan yang lebih penting lagi ditransformasikan menjadi simbol verbal yang dapat diingat kembali suatu saat nanti. 3. Modeling Mengubah Tingkah laku lama : Dua dampak modeling terhadap tingkah laku lama : pertama, tingkah laku model yang diterima secara sosial dapat memperkuat respon yang sudah dimiliki pengamat. Kedua, tingkah laku model yang tidak diterima secara sosial dapat memperkuat atau memperlemah pengamat untuk melakukan tingkah laku yang tidak diterima secara sosial, tergantung apakah tingkah laku model itu diganjar atau dihukum. 4. Modeling Simbolik: Saat ini sebagian besar tingkahlaku berbentuk simbolik. Film dan televisi menyajikan contoh tingkah laku yang tidak terhitung, yang mungkin mempengaruhi pengamatnya. Sajian itu berpotensi sebagai sumber model tingkah laku. 5. Modeling Kondisioning: Modeling dapat digabung dengan kondisioning klasik
menjadi
kondisioning
klasik
vikarius
(vicarious
classical
conditioning). Modelilng semacam ini banyak dipakai untuk mempelajari respon emosional.
25
2.3. Televisi sebagai Media Massa Televisi dalam bahasa Inggris disebut dengan : Televison. Istilah “Television” berasal dari perkataan Yunani : Tele artinya : far, off, jauh. Vision yang berasal dari bahasa Latin : vision, yang artinya to see, melihat. Jadi artinya secara harfiah, melihat jauh. Ini sesuai dengan eksistensi dari pada siaran TV dari Jakarta, kita bisa lihat di rumah kita di Bandung.9 Pengertian secara fisik pesawat televisi adalah : Layar yang menampilkan gambar yang terjadi akibat cahaya yang bersinar dengan berbagai warna cahaya yang terang dan bergerak dengan gerakan maju mundur dan ke atas ke bawah dengan cepat sehingga dapat mengelabui mata kita untuk melihat pergerakan gambar secara penuh. Cahaya tersebut diproduksi oleh muatan elektrik yang ditembakkan melalui electron penembak pada bagian belakang gambar. Ketika electron tersebut menumbuk permukaan dalam dari pembuluh / pipa tersebut, maka terjadi pelapisan pada pipa sehingga menjadikannya bersinar. Semakin banyak electron yang tertumbuk, semakin terang cahayanya. Televisi juga menggunakan optik yang sama yang dapat mengeksploitasi ilusi dengan gerakan gambar. Sebagai salah satu bentuk komunikasi massa, televisi memang baru muncul belakangan, televisi lahir setelah beberapa penemuan teknologi seperti : telepon, radio, telegraf , perekam suara, kamera foto. Berbeda dengan jenis teknologi terdahulu televisi dirancang terutama untuk kepentingan transmisi dan
9
Drs. M.O.Palapah., Drs. Atang Syamsudin.,” Studi ilmu Komunikasi”. Fakultas Ilnu komunikasi Universitas Padjajaran, 1983
26
penerimaan yang merupakan proses abstrak, yang batasan isinya sangat terbatas atau bahkan sama sekali tidak ada. Dalam perkembangan selanjutnya televisi mengalami kemajuan yang sangat pesat, televisi dapat diterima oleh audiensnya sebagai teman yang setia setiap saat, hampir tidak ada orang yang melewati hari-harinya tanpa televisi. Kelebihan televisi dibanding dengan media lainnya : a. Kesan realistik : audio visual b. Masyarakat lebih tanggap bisa ditonton dalam suasana santai, rekreatif c. Adanya repetisi/ pengulangan d. Adanya pemilahan area siaran (zoning) dan jaringan kerja (networking) yang mengefektifkan penjangkauan masyarakat e. Terkait erat dengan media lain. Kelemahannya: a. Jangkauan pemirsa massal, sehingga pemilahan sering sulit dilakukan b. Iklan relatif singkat, tidak mampu menyampaikan data lengkap dan rinci (bila diperlukan konsumen) c. ”Zipping” oleh penonton d. Relatif mahal.
2.4. Program Televisi Psikolog Seto Mulyadi memprihatinkan maraknya tayangan kriminalitas di televisi-televisi swasta. Melalui tayangan tersebut, anak-anak diterpa rekonstruksi adegan-adegan kekerasan sehingga dikhawatirkan menjadi terbiasa
27
dengan aksi kekerasan. Anak-anak akhirnya belajar kekerasan, dan menyimpulkan realitas televisi sama dengan realitas kehidupan sehari-hari. Peristiwa penembakan siswa-siswi di Columbine High School, Littleton, Colorado, Amerika Serikat, sepuluh tahun silam? Pada 20 April 1999, dua pemuda siswa sekolah itu, Dylan Klebold (18 tahun) dan Eric Harris (17 tahun), melakukan penembakan secara brutal dengan senapan mesin pada jam sekolah. Tidak Cuma di kantin, penembakan juga dilakukan di ruang kelas, lorong koridor, dan teras depan sekolah. Tidak kurang 12 siswa dan seorang guru tewas terbunuh. Lebih dari 20 orang luka-luka. Kedua pelakunya tak bisa dimintai keterangan karena bunuh diri -menembak diri- usai huru-hara itu terjadi. Para pelaku penembakan ternyata menggemari acara-acara kekerasan di televisi. Mereka adalah pencandu berat game-game action dan fighting. George Gerbner, pencetus teori Kultivasi, melihat pengaruh kekerasan yang ditayangkan televisi bagi khalayaknya. Hasil penelitiannya menunjukkan efek kultivasi, atau penanaman realitas, pada penonton heavy viewers (yaitu pencandu berat televisi, yang menonton televisi sedikitnya 4 jam setiap hari.) Penonton yang tergolong pecandu berat televisi ini menganggap bahwa realitas televisi tak berbeda dengan realitas di dunia nyata. Televisi tidak sekadar memberikan pengetahuan, atau melaporkan realitas peristiwa. Lebih dari itu, televisi berhasil menanamkan realitas bentukannya ke otak penonton10 Stuart Hall, kulturalis media, menyusun kategori khalayak media dalam tiga klasifikasi: dominant reader, oppositional reader, dan negotiated reader.
10
Gerbner, G., “New Television Rating System is Extremely Flawed” , The Progressive, 1998
28
Dominant reader adalah kategori khalayak yang mengikuti arus dominan pemberitaan media apa pun yang dikatakan media diterima sepenuhnya. Oppositional reader, sebaliknya, kategori khalayak yang selalu bertentangan sikap dengan arus dominan media. Media jadi sejenis public enemy yang banyak menghasut masyarakat untuk mengganti nilai-nilai luhur dengan nilai-nilai "modern" dan "kosmopolitan". Kategori negotiated reader merujuk khalayak media yang moderat. Bila yang ditampilkan media sesuai dengan keyakinannya, mereka akan memanfaatkan media. Namun, ketika bertentangan, media akan ditinggalkan. Jenis khalayak terakhir bersikap kritis dalam menyikapi media. Pada kenyataannya, sebagian penonton televisi kita tergolong kategori dominant reader. Mereka mengikuti, saja arus media, menerima apa pun yang ditampilkan media massa, dan mengonsumsi segala konflik-peristiwa yang disampaikan media: mulai dari sensasionalitas perselingkuhan dan perceraian para artis sampai pada kepercayaan pada hal-hal yang berbau klenik dan mistik. Efek kultivasi semakin lengkap ketika media berhadapan dengan khalayak penonton yang pasif. Khalayak dominant reader ini percaya saja dengan apa pun yang ditampilkan media. Mereka tidak menyikapinya dengan kritis. Mereka tidak membandingkannya dengan sumber-sumber informasi kredibel lain11. Ada banyak teori tentang efek media, sedikit sekali yang mengabsahkan tayangan bertema kekerasan di media. Bagaimana dengan pengaruh "kekerasan" dalam program televisi terhadap anak-anak di Indonesia? Media massa beberapa
11
Hall, Stuart., “Encoding and Decoding in the Television Discourse”, 1973
29
kali memunculkan pemberitaan seputar kriminalitas yang dilakukan oleh anakanak di bawah umur. Misalnya pencabulan terhadap anak-anak yang pelakunya masih di bawah umur (entah teman mainnya, tetangganya, atau teman main kakaknya). Mereka mengaku perbuatannya diinspirasi oleh VCD porno. Tak kurang dari 8 program televisi bertema kriminalitas dengan berbagai nama program ditayangkan setiap hari oleh stasiun-stasiun televisi di Indonesia, dengan durasi sedikitnya 30 menit hingga 1 jam. Ini belum termasuk berita-berita kriminalitas dalam program liputan umum. Dilihat dari jam tayangnya, sebagian besar program kriminalitas menempati jam-jam prime time, yaitu rentang waktu di mana jumlah penonton televisi mencapai puncaknya.
2.5. Film dan Film Kartun Penemuan pertama film dimulai dengan gambar yang digerakkan dengan cepat. Penemu pertama dari motion picture adalah Thomas Alfa Edison dengan proyektor. Hingga tahun 1927, semua film masih hitam putih dan tidak bersuara. Agar film mudah untuk dimengerti, kekuatan film berada hanya pada para aktornya dengan gestures dan mimik mereka. Pada tahun 1927, film mulai bersuara. Sedangkan televisi mulai berwarna pada tahun 1960. Film lalu harus berkompetisi dengan industri televisi. Namun apapun yang terjadi antara televisi dan film adalah 2 hal yang berbeda. Film akan selalu memiliki teknologi yang lebih maju daripada fim yang ada di televisi. Setelah ada persaingan dengan industri televisi, maka ditemukanlah VCR, alat yang dapat merekam acara-acara favorit televisi, sehingga dapat ditonton ulang setiap saat atau pada saat dibutuhkan.
30
Penemuan yang hebat dalam industry perfilman adalah DV, dimana teknologi memunginkan kita unutk menyimpan data yang lebih besar dibandingkan dengan CD dan juga dengan kualitas gambar dan suara yang lebih bagus dan jernih dari CD. Sedangkan teknologi special effects dimulai pada tahun 1933 pada film King Kong, dimana dibuat seakan-akan ada KingKong dalam kota besar. Dalam perkembangannya, special effects sekarang ini selalu dipakai. Kebanyakan film Hollywood sekarang ini menggunakan komputerisasi. Contohnya film Titanic. Sedangkan film yang hampir 100% menggunakan komputerisasi antara lain Star Wars, The Matrix dan Sky Captain and the World of Tomorrow. Sedanngkan film animasi sekarang selalu menggunakan komputerisasi, seperti Beowoulf dan Pollar Express yang tampilannya mirip sekali dengan actor aslinya. Pada intinya, pada indutri perfilman, teknologi sekrang banyak menggunakan komputer dalam pembuatannya sehingga akan menampilkan efek khusus yang hebat. Animasi berawal dari kontribusi hasil karya seorang yang bernama Walt Disney yang lahir dengan nama Walter alias Disney, Walt lahir di Chicago, Illinois dengan orang tua bernama Elias Disney dan Flora Call. Pada 1906, mereka semua pindah ke sebuah peternakan dekat Marceline, Missouri, Amerika Serikat. Walt sejak kecil sudah memiliki hobi menggambar, khususnya gambar kartun, mulai dari sketsa hingga kartun yang berwarna. Walt yang menciptakan seekor tikus menjadi tokoh utama dalam kartun animasinya, lahirlah Mickey Mouse yang merupakan cikal bakal dari kartun animasi pertama yang pernah
31
dibuat. Awal mula bentuk Mickey masih sederhana. Pada awalnya kartun yang di buat animasinya ini tanpa suara, hanya mengandalkan gerakan objeknya saja. Film perdana Mickey Mouse diputar perdana di Steamboat Willie di Colony Theatre, New York pada 18 November 1928 tanpa suara. Kemudian Walt Disney menciptakan animasi berwarna pertama yakni, Flower and Trees yang diproduksi Silly Symphonies di tahun 1932.Ketika teknologi semakin berkembang dan pada akhir era 60 an akhirnya film kartun dapat diisi dengan suara. Animasi merupakan suatu seni untuk membuat dan mengerakkan sebuah obyek, baik berbentuk 2 dimensi maupun 3 dimensi dan dibuat menggunakan berbagai cara, misalnya menggunakan kertas, komputer dan lain sebagainya. Animasi telah menjadi salah satu elemen multimedia yang memang sangat menarik. Padahal animasi adalah rangkaian sejumlah gambar yang ditampilkan secara bergantian. “animasi` berasal dari kata “animation”, dari kata dasar “to animate” yang dalam kamus umum Inggris-Indonesia berarti “menghidupkan”. Secara umum, animasi merupakan suatu kegiatan
menghidupkan atau
menggerakkan benda mati. Maksudnya, sebuah benda mati diberikan dorongan kekuatan, semangat, dan emosi untuk menjadi hidup dan bergerak atau hanya berkesan hidup. Animasi saat ini telah menjadi industri besar yang memberikan dampak ekonomi dan sosial yang begitu besar bahkan cukup signifikasi terhadap pendapat sebuah negara. Sebab Film animasi saat ini boleh dibilang menjadi salah satu tambang emas di dunia hiburan. Film jenis ini selalu mampu meraih jumlah penonton yang besar sekaligus menyedot keuntungan yang tak sedikit. Bahkan,
32
kini film animasi tidak lagi diproduksi hanya untuk anak-anak. Sudah ada animasi untuk remaja, bahkan dewasa. Film animasi “The Simpson” bisa dijadikan sebagai bukti. Meskipun tokoh utamanya juga ada anak-anak, “The Simpson” bukan untuk tontonan anak-anak. Pada
awalnya
film-film animasi
adalah
buatan
Amerika.
Pada
perkembangannya Jepang menyusul, dan telah mengembangkan film animasi sejak tahun 1913, pada waktu itu dilakukan First Experiments in Animation oleh Shimokawa Bokoten, Koichi Junichi, dan Kitayama Seitaro pada tahun 1913. Dalam perkembangan selanjutnya, Amerika dan Jepang banyak bersaing dalam pembuatan film animasi. Amerika dikenal dengan animasinya yang menggunakan teknologi canggih dan kadang simpel. Sedangkan animasi Jepang mempunyai jalan cerita yang menarik dan gaya yang khas. Istilah yang populer untuk film animasi Jepang adalah anime. Animasi tidak hanya berguna untuk film saja. Dalam dunia situs web, animasi digunakan untuk memberikan sentuhan berbeda pada situs. Bahkan bagi dunia pendidikan, animasi juga dapat digunakan sebagai alat bantu untuk menjelaskan sesuatu agar orang yang diajar bisa lebih memahami maksud suatu konsep.
2.6. Efek Komunikasi Massa Ada tiga dimensi efek komunikasi massa, yaitu: kognitif, afektif, dan konatif. Efek kognitif meliputi peningkatan kesadaran, belajar, dan tambahan pengetahuan. Efek afektif berhubungan dengan emosi, perasaan, dan attitude
33
(sikap). Sedangkan efek konatif berhubungan dengan perilaku dan niat untuk melakukan sesuatu menurut cara tertentu.12
2.6.1. Efek Kognitif Efek kognitif adalah akibat yang timbul pada diri komunikan yang sifatnya informatif bagi dirinya. Dalam efek kognitif ini akan dibahas tentang bagaimana media massa dapat membantu khalayak dalam mempelajari informasi yang bermanfaat dan mengembangkan keterampilan kognitif. Melalui media massa, kita memperoleh informasi tentang benda, orang atau tempat yang belum pernah kita kunjungi secara langsung.13 Seseorang mendapatkan informasi dari televisi, bahwa “Fery Idham Heriansyah alias Ryan” adalah lelaki homoseks yang membunuh 11 orang korbannya dengan cara mutilasi. Penonton televisi, yang asalnya tidak tahu menjadi tahu tentang peristiwa tersebut. Di sini pesan yang disampaikan oleh komunikator ditujukan kepada pikiran komunikan. Dengan kata lain, tujuan komunikator hanya berkisar pada upaya untuk memberitahu saja. Menurut Mc. Luhan, media massa adalah perpanjangan alat indera kita (sense extention theory; teori perpanjangan alat indera)14. Dengan media massa kita memperoleh informasi tentang benda, orang atau tempat yang belum pernah kita lihat atau belum pernah kita kunjungi secara langsung. Realitas yang ditampilkan oleh media massa adalah relaitas yang sudah diseleksi. Kita
12
Amri Jahi, “Komunikasi Masa dan Pembangunan Pedesaan di Negara Dunia Ketiga”, Gramedia, 1988 13 Siti Karlinah, ”Komunikasi Massa”, Penerbitan UT, 1999 14 Jalaluddin Rakhmat, Op.Cit., h. 226
34
cenderung memperoleh informasi tersebut semata-mata berdasarkan pada apa yang dilaporkan media massa. Televisi sering menyajikan adegan kekerasan, penonton televisi cenderung memandang dunia ini lebih keras, lebih tidak aman dan lebih mengerikan. Karena media massa melaporkan dunia nyata secara selektif, maka sudah tentu media massa akan mempengaruhi pembentukan citra tentang lingkungan sosial yang bias dan timpang. Oleh karena itu, muncullah apa yang disebut stereotip, yaitu gambaran umum tentang individu, kelompok, profesi atau masyarakat yang tidak berubah-ubah, bersifat klise dan seringkali timpang dan tidak benar. Sebagai contoh, dalam film India, wanita sering ditampilkan sebagai makhluk yang cengeng, senang kemewahan dan seringkali cerewet. Penampilan seperti itu, bila dilakukan terus menerus, akan menciptakan stereotipe pada diri khalayak Komunikasi Massa tentang orang, objek atau lembaga. Di sini sudah mulai terasa bahayanya media massa. Pengaruh media massa lebih kuat lagi, karena pada masyarakat modern orang memperoleh banyak informasi tentang dunia dari media massa. Sementara itu, citra terhadap seseorang, misalnya, akan terbentuk (pula) oleh peran agenda setting (penentuan/pengaturan agenda). Teori ini dimulai dengan suatu asumsi bahwa media massa menyaring berita, artikel, atau tulisan yang akan disiarkannya.15 Biasanya, surat kabar mengatur berita mana yang lebih diprioritaskan. Ini adalah rencana mereka yang dipengaruhi suasana yang sedang hangat berlangsung. Sebagai contoh, bila satu setengah halaman di surat kabar
15
Ibid, h. 229
35
memberitakan pelaksanaan Rapat Pimpinan Nasional Partai Golkar, berarti wartawan dan pihak redaksi harian itu sedang mengatur kita untuk mencitrakan sebuah informasi penting. Sebaliknya bila di halaman selanjutnya di harian yang sama, terdapat berita kunjungan SBY ke beberapa daerah, diletakkan di pojok kiri paling bawah, dan itu pun beritanya hanya terdiri dari tiga paragraf. Berarti, ini adalah agenda setting dari media tersebut bahwa berita ini seakan tidak penting. Mau tidak mau, pencitraan dan sumber informasi kita dipengaruhi agenda setting. Media massa tidak memberikan efek kognitif semata, namun ia memberikan manfaat yang dikehendaki masyarakat. Inilah efek prososial. Bila televisi menyebabkan kita lebih mengerti bahasa Indonesia yang baik dan benar, televisi telah menimbulkan efek prososial kognitif. Bila media menyajikan penderitaan korban jebolnya tanggul Situgintung, dan hati kita tergerak untuk menolong mereka, media massa telah menghasilkan efek prososial afektif. Bila surat kabar membuka dompet bantuan korban bencana, menghimbau kita untuk menyumbang, lalu kita men-transferkan sejumlah uang via rekening bank kepada surat kabar tersebut, maka terjadilah efek prososial konatif.16
2.6.2. Efek Afektif Efek ini kadarnya lebih tinggi daripada Efek Kognitif. Tujuan dari komunikasi massa bukan hanya sekedar memberitahu kepada khalayak agar menjadi tahu tentang sesuatu, tetapi lebih dari itu, setelah mengetahui informasi yang diterimanya, khalayak diharapkan dapat merasakannya.17 Sebagai contoh,
16 17
Ibid, h.230 Siti Karlinah, Op.Cit., h8.9
36
setelah kita mendengar atau membaca informasi artis kawakan Roy Marten dipenjara karena kasus penyalah-gunaan narkoba, maka dalam diri kita akan muncul perasaan jengkel, iba, kasihan, atau bisa jadi, senang. Perasaan sebel, jengkel atau marah dapat diartikan sebagai perasaan kesal terhadap perbuatan Roy Marten. Sedangkan perasaan senang adalah perasaan lega dari para pembenci artis dan kehidupan hura-hura yang senang atas tertangkapnya para publik figur yang cenderung hidup hura-hura. Adapun rasa iba atau kasihan dapat juga diartikan sebagai keheranan khalayak mengapa dia melakukan perbuatan tersebut. Berikut ini faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya efek afektif dari komunikasi massa. a. Suasana emosional : Dari contoh-contoh di atas dapat disimpulkan bahwa respons kita terhadap sebuah film, iklan, ataupun sebuah informasi, akan dipengaruhi oleh suasana emosional kita. Film sedih akan sangat mengharukan apabila kita menontonnya dalam keadaan sedang mengalami kekecewaan. Adeganadegan lucu akan menyebabkan kita tertawa terbahak-bahak bila kita menontonnya setelah mendapat keuntungan yang tidak disangka-sangka. b. Skema kognitif Skema kognitif merupakan naskah yang ada dalam pikiran kita yang menjelaskan tentang alur peristiwa. Kita tahu bahwa dalam sebuah film action, yang mempunyai lakon atau aktor/aktris yang sering muncul, pada akahirnya akan menang. Oleh karena itu kita tidak terlalu cemas ketika sang pahlawan jatuh dari jurang. Kita menduga, pasti akan tertolong juga.
37
c. Situasi terpaan (setting of exposure) Kita akan sangat ketakutan menonton film Suster Ngesot, misalnya, atau film horror lainnya, bila kita menontontonnya sendirian di rumah tua, ketika hujan lebat, dan tiang-tiang rumah berderik. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak-anak lebih ketakutan menonton televisi dalam keadaan sendirian atau di tempat gelap. Begitu pula reaksi orang lain pada saat menonton akan mempengaruhi emosi kita pada waktu memberikan respons. d. Faktor predisposisi individual Faktor ini menunjukkan sejauh mana orang merasa terlibat dengan tokoh yang ditampilkan dalam media massa. Dengan identifikasi penonton, pembaca, atau pendengar, menempatkan dirinya dalam posisi tokoh. Ia merasakan apa yang dirasakan toko. Karena itu, ketika tokoh identifikasi (disebut identifikan) itu kalah, ia juga kecewa; ketika ientifikan berhasil, ia gembira.
2.6.3. Efek Konatif Efek konatif merupakan akibat yang timbul pada diri khalayak dalam bentuk perilaku, tindakan atau kegiatan. Adegan kekerasan dalam televisi atau film akan menyebabkan orang menjadi beringas. Program acara Wisata Kuliner bersama Bondan Winarno, misalnya, menyebabkan orang untuk mencoba makanan yang pernah ditontonnya dalam tayangan tersebut. Pada realita yang lain, kita pernah mendengar kabar seorang anak sekolah dasar yang mencontoh
38
adegan gulat dari acara SmackDown yang mengakibatkan satu orang anak tewas akibat adegan gulat tersebut. Namun, dari semua informasi dari berbagai media tersebut tidak mempunyai efek yang sama. Radio, televisi atau film di berbagai negara telah digunakan sebagai media pendidikan. Sebagian laporan telah menunjukkan manfaat nyata dari siaran radio, televisi dan pemutaran film.18 Sebagian lagi melaporkan kegagalan. Misalnya, ketika terdapat tayangan kriminal pada program “Buser” di SCTV menayangkan informasi: anak SD yang melakukan bunuh diri karena tidak diberi jajan oleh orang tuanya. Sikap yang diharapkan dari berita kriminal itu ialah, agar orang tua tidak semena-mena terhadap anaknya, tetapi apa yang didapat, keesokan atau lusanya, dilaporkan terdapat berbagai tindakan sama yang dilakukan anak-anak SD.19 Inilah yang dimaksud perbedaan efek konatif. Tidak semua berita, misalnya, akan mengalami keberhasilan yang merubah khalayak menjadi lebih baik, namun pula bisa mengakibatkan kegagalan yang berakhir pada tindakan lebih buruk. Mengapa terjadi efek yang berbeda? Belajar dari media massa memang tidak bergantung hanya ada unsur stimuli dalam media massa saja. Kita memerlukan teori psikologi yang menjelaskan peristiwa belajar semacam ini. Teori psikolog yang dapat menjelaskan efek prososial adalah teori Belajar Sosial dari Bandura.20 Menurut Bandura, kita belajar bukan saja dari pengalaman langsung, tetapi dari peniruan atau peneladanan (modelling). Perilaku merupakan hasil faktor-
18
Jalaluddin, Op.Cit., h.240 www.liputan6.com, edisi online 11 April 2005 20 A.Bandura, “Self-efficacy: Toward a unified theory of behavioural change.” Psychological Review,1977., 19
39
faktor kognitif dan lingkungan. Artinya, kita mampu memiliki keterampilan tertentu, bila terdapat jalinan positif antara stimuli yang kita amati dan karakteristik diri kita. Wajar bila Mc Luhan menitik beratkan pada medianya, karena kajiankajiannya tentang komunikasi terfokus pada media interaktif yang berbasiskan mikroelektronika. Latar belakang pemikirannya ialah ada dampak radikal bentukbentuk komunikasi yang berdimensi pada ruang, waktu, dan persepsi manusia. Karya-karyanya secara luas mengartikulasikan sejumlah perubahan paling mendasar yang disebabkan teknologi media, maka wajar bila Mc Luhan berpendapat, isi pesan tidak mempengaruhi pesan, karena kajiannya bertumpu pada media pembawa pesan. Dampak Tayangan Televisi Kebutuhan untuk mendapatkan hiburan, pengetahuan dan informasi dapat dengan mudah diperoleh melalui televisi. Televisi menyuguhkan banyak pilihan, sehingga betapapun semua orang sudah tahu dampak negatif yang ditimbulkannya dengan keberadaan televisi. Tayangan beragam televisi dikonsumsi seluruh lapisan masyarakat, tak terkecuali oleh anak-anak. Televisi sedikit banyak juga turut membentuk mental dan karakter kepribadian anak. Hal ini sulit dibantah sebab dalam masa perkembangan kepribadian, seorang anak cenderung mengadopsi bentuk-bentuk perilaku yang sempat terekam dalam memorinya. Sehingga imajinasinya menjadi liar. Ke depan mentalitasnya akan terwarnai oleh tayangan televisi yang telah diolah dalam pemahaman dan penafsirannya yang masih sangat minim dan serba terbatas.
40
Kenyataan ini dikuatkan dengan laporan rating program televisi yang memperlihatkan bahwa tayangan bertema kriminalitas menempati rankingranking teratas program yang paling banyak ditonton khalayak. Jelas bahwa kondisi industri pertelevisian di Indonesia sendiri telah menyuburkan situasi yang memungkinkan masyarakat diterpa informasi kriminalitas tanpa henti. Sehingga memperbesar kemungkinan berlakunya efek media pada masyarakat. Televisi sudah merasa cukup menjalankan produksi pemberitaan dan informasi (bertema kriminalitas) sesuai dengan kaidah teknis objektivitas berita, tanpa memikirkan dampak etis pemberitaannya. Pihak media merasa sudah cukup bertindak etis dengan memasang logo PG/BO (Parental Guide, atau dengan Bimbingan Orangtua) bertuliskan pembatasan usia penonton pada acara-acara "keras".
2.7. Khalayak Dr. Jay Martin dari Universitas Southern California menemukan bahwa dalam studi beberapa tahun atas 732 anak, konflik dengan orang tua, perkelahian sesama anak, dan kejahatan remaja, ternyata ada korelasinya dengan jumlah jam menonton televisi. Mengganggu untuk dicatat, khususnya untuk pengasuh anak dan orang tua yang membiarkan anak-anak mereka menonton "program-program yang baik" dalam jumlah moderat ke yang paling besar, bahwa "korelasi dasarnya bukan antara perilaku agresif dengan nonton kekerasan di televisi. Kenaikan berkorelasi dengan nonton televisi, bukan dengan nonton gambar-gambar kekerasan itu sendiri." Proses menonton, jumlah jam yang dihabiskan untuk
41
nonton, merupakan faktor utama yang mempunyai korelasi dengan perilaku negatif. Di Amerika Serikat, sepertiga dari masyarakatnya rata-rata menonton televisi selama 4 jam lebih. Menurut para pengamat masalah komunikasi, penonton dengan masa tontonan rata-rata empat jam sehari sudah termasuk ke dalam pemirsa ekstrim dan profesional. Dengan alasan inilah, sewaktu media elektronik ini menayangkan adegan-adegan kekerasan dan kejahatan dalam acaraacaranya, masyarakat hanyut dibawa oleh pengaruhnya yang dahsyat. Penayangan adegan-adegan seks dan kekerasan dalam televisi akan memberi pengaruh negatif kepada anak-anak dan remaja. Mereka umumnya menghabiskan waktu dengan menonton televisi sekaligus menjadikan media televisi ini sebagai cermin dan teladan mereka. Berdasarkan penelitian sebuah lembaga psikologi di AS, anak-anak di negeri ini sebelum menamatkan pendidikan SD rata-rata telah menyaksikan 8 ribu kali adegan pembunuhan dan 100 ribu kali adegan kekerasan dalam acara televisi. Angka-angka tersebut akan meningkat dua kali lipat ketika mereka menginjak usia 18 tahun.21 Leonard Irwin, seorang dosen psikologi di Universitas Illinois, Amerika Serikat, beserta timnya pernah mengadakan kajian yang cukup panjang mengenai masalah ini. Ia menemukan bahwa anak-anak yang pada usia 8 tahun telah menyaksikan tayangan tindak kekerasan melalui televisi, ketika mencapai usia dewasa, mereka cenderung tidak segan-segan dalam melakukan perbuatan jahat dan kejam, tidak memiliki rasa belas kasihan terhadap anak-anak kecil bahkan terhadap istrinya sendiri. 21
Suara Karya Online, “Dampak Tayangan Kekerasan di Televisi”, 29 November 2006
42
Menyaksikan adegan-adegan porno yang membangkitkan nafsu birahi juga dapat menyebabkan percepatan usia baligh pada anak-anak. Seorang ilmuwan dan pakar media informasi AS terkenal bernama Neil Postman menyampaikan masalah ini. Menurut Postman, acara-acara tabu di televisi dapat menyebabkan anak-anak Amerika kehilangan indahnya masa kanak-kanak karena mereka secara dini telah memahami berbagai masalah yang berhubungan dengan orang dewasa. Berdasarkan jajak pendapat pada tahun 1995 terhadap anak-anak dan remaja antara usia 10 hingga 16 tahun yang banyak menyaksikan tayangan-tayangan televisi, ditemukan fakta bahwa mereka lebih cepat melakukan hubungan seksual, tidak berlaku hormat terhadap orangtua, suka berbohong, serta berperilaku kasar. Penayangan tindakan kekerasan dan seksual di media-media massa AS, khususnya televisi, telah menyebabkan masyarakat negeri ini dilanda gelombang kejahatan dan ketidakamanan. Majalah mingguan Inggris Sunday Times menulis, “Meskipun AS memiliki 440 ribu polisi fendral, setiap jam terjadi dua kali pembunuhan, 194 kali pencurian bersenjata, 10 kali pemerkosaan terhadap wanita dan anak-anak, dan 600 kali pencurian di rumah-rumah.” Dalam kondisi masyarakat seperti ini, Holywood bisa dianggap sebagai cikal bakal timbulnya kebudayaan seks dan kekerasan di AS. Bahkan Arnold Schwazzeneger yang merupakan simbol kekerasan dalam film-film AS, malah berhasil terpilih sebagai Gubernur California, salah satu negara bagian terpenting di Amerika. Kondisi yang memprihatinkan ini tidak saja membahaya-kan bangsa AS sendiri, namun juga membahayakan masyarakat dunia mengingat besarnya penyebaran film-film produksi AS di seluruh dunia.22 22
Islamic Republic of Iran Broadcasting, ”Perspektif ”, 31 Desember 2007
43
Di Indonesia sendiri belum ada penelitian mengenai pengaruh tayangan kekerasan terhadap perilaku anak. Ini tentu membuat semakin sulit untuk mengatakan bahwa tayangan televisi berpengaruh terhadap perilaku anak. Sementara, meski masih simpang siur, peneliti di luar sudah menyimpulkan ada korelasi - untuk tidak menyebut penyebab - antara tayangan kekerasan dengan perilaku anak. Tapi, benarkah agresivitas anak-anak terjadi hanya karena tayangan kekerasan di layar kaca? "Pada dasarnya setiap manusia itu mempunyai sifat agresif sejak lahir. Sifat ini berguna dalam bertahan hidup. Tanpa agresivitas, anak tidak akan bereaksi jika mendapat rangsangan yang mengancamnya. Tetapi, tanpa pengarahan yang baik, sifat itu bisa merusak.," ungkap Prof. Dr. Fawzia Aswin Hadis, pengajar di Fakultas Psikologi UI.23 Ada yang melihat, proses dari sekadar tontonan sampai menjadi perilaku perlu waktu yang cukup panjang. Namun, akan menjadi masalah besar bila tontonan kekerasan jadi tontonan sehari-hari, sehingga menjadi hal yang biasa, apalagi jika didukung oleh lingkungan sekitar. Memberikan batasan apa, kapan, dan seberapa banyak menonton acara televisi juga akan mengajarkan pada anak bahwa mereka harus memilih (acara yang paling digemari), menghargai waktu dan pilihan, serta menjaga keseimbangan kebutuhan mereka. Tindakan yang bisa dilakukan adalah meminimalkan pengaruh tersebut, khususnya terhadap anak-anak. Kuncinya, mulai dari lingkungan keluarga. “Remaja menerima pengaruh dari informasi mengenasi seks melalui televisi dan program seperti itu secara khusus tidak peduli dengan resiko dan
23
Kompas, KCM, “Tayangan Televisi Makin Tidak Mendidik”, 27 Juni 2006
44
tanggungjawab seks,” ujar Anita Chandra, pemimpin penelitian perilaku dari RAND, peneliti dari organisasi nirlaba. “Penemuan kami menyarankan televsi mungkin lebih memainkan aturan yang signifikan untuk tayangan kepada remaja di Amerika,” ujarnya. Peneliti mengatakan bahwa dalam penelitian program yang mendemonstrasikan masalah seksual di dalamnya akan membentuk persepsi resiko yang kecil apabila melakukan hubungan seks tanpa kontrasepsi. Dalam wawancara ketiga, 744 dari 2000 remaja dalam survei mengatakan mereka telah melakukan hubungan seks dan 718 remaja mengaku pernah hamil. Dalam grup ada 91 remaja – 58 gadis dan 33 pemuda-- yang pernah terlibat dalam kehamilan . Angka rata-rata remaja hamil meningkat untuk pertama kalinya dalam 15 tahun, atau 41,9 kelahiran per 1000 orang Amerika yang berusia 15-19 tahun pada tahun 2006. Hasil data ini menurut Pusat Pencegahan dan kontrol penyakit (CDC). “Tayangan seksual dalam televisi meningkat dua kali lipat dalam beberapa tahun terakhir dan sedikit yang mewakili hubungan seks yang aman,” ujar Chandra. “Penemuan ini jelas berimplikasi untuk stasiun penyiaran, orangtua dan pemerhati kesehatan,” tambahnya. Amerika merupakan salah satu dari negara industri yang angka rata-rata kehamilan pada remajanya tinggi. Angka ini mendekati satu juta wanitanya hamil setiap tahun, dengan kebanyakan kehamilan tidak diiinginkan, atau di laur nikah, menurut RAND.24 Lebih dari 70% tayangan televisi untuk anak dan remaja beresiko berdampak negatif pada penontonnya. Hanya 10% yang berkategori bermanfaat, 24
Nur Hary, AFP, Tempo Interaktif,“Perilaku Sex Remaja Jelas Pengaruh dari Televisi”,04 November 2008 |
45
dan 20% sisanya tak memiliki dampak negatif atau positif apapun. Demikian diungkapkan Kepala Divisi Informasi Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) B Guntarto kepada Media di sela acara workshop ”Meningkatkan Kualitas Program TV untuk Anak dan Remaja”. Guntarto menjelaskan, berdasarkan riset yang dilakukan pihaknya, disimpulkan televisi di Indonesia sangat tidak bersahabat dengan anak-anak dan remaja. Pasalnya, tayangan berbau mistis, seks dan kekerasan tidak hanya ditayangkan pada program untuk dewasa. Namun juga, sangat mudah ditemui pada tayangan yang ditujukan pada anak dan dewasa. "Secara general, 95% tayangan kita sangat berbahaya. Ini sangat memprihatinkan. Televisi kita jauh lebih parah dibandingkan negara tetangga kita, bahkan lebih rusak dari Amerika Serikat (AS). Setidaknya mereka masih punya aturan, sementara kita tidak punya aturan, bebas sebebas-bebasnya," kata Guntarto. Guntarto menuturkan, hingga saat ini belum ada aturan disertai sanksi jelas pada stasiun televisi yang menayangkan program berpotensi berpengaruh negatif pada penontonnya. Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 dan SPS) yang ditetapkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) belum dilengkapi sanksi rinci. Akibatnya, lanjut Guntarto, hingga kini belum ada satu pun stasiun televisi yang dapat dijerat hukum karena menayangkan program yang merusak mental penontonnya. Kondisi itu membuat pihak stasiun televisi dapat dengan bebas menayangkan program apapun tanpa perlu khawatir terkena dampak hukum apapun.25
25
GBKP (Gereja Batak Karo Prostestan), “70% Tayangan TV Berdampak negative”,22 November 2005
46
Sulit dibuktikan bahwa adegan kekerasan di layar televisi itu menular kepada pemirsa. Tapi Ketua Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, Gunarto, bertahan pada penelitian Dr. Leonard Eron dan Dr. Rowell Huesmann dari University of Michigan. Penelitian itu menunjukkan: anak yang menghabiskan banyak waktu di depan televisi cenderung lebih agresif, bisa terdorong melakukan hal yang sama seperti yang dilihat di televisi. Padahal, di Indonesia, kata Gunarto, anak-anak menonton televisi 35 jam per minggu. Berarti setiap hari anak-anak menonton televisi selama lima jam.26
26
Majalah Tempo, Tayangan di Wilayah Abu-abu, 14 Maret 2005.
47
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Sifat Penelitian Penelitian yang dilakukan oleh penulis bersifat deskriptif, adalah penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia. Fenomena itu bisa berupa bentuk, aktivitas, karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan, dan perbedaan antara fenomena yang satu dengan fenomena lainnya. Penelitian deskriptif
merupakan
penelitian
yang
berusaha
mendeskripsikan
dan
menginterpretasikan sesuatu, misalnya kondisi atau hubungan yang ada, pendapat yang berkembang, proses yang sedang berlangsung, akibat atau efek yang terjadi, atau tentang kecenderungan yang tengah berlangsung.27 Penelitian deskriptif mempunyai karakteristik-karakteristik bahwa : 1. Penelitian tersebut cenderung menggambarkan suatu fenomena apa adanya dengan cara menelaah secara teratur-ketat, mengutamakan obyektivitas, dan dilakukan secara cermat. 2. Tidak adanya perlakuan yang diberikan atau dikendalikan 3. Tidak adanya uji hipotesis.28 Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif. Data Kuantitatif, dapat diukur, merupakan alat guna memperoleh gambaran dan
27
28
Sukmadinata, ”Metode Penelitian Pendidikan”, Rosdakarya, 2006. Furchan, A., ”Pengantar Penelitian dalam Pendidikan”. Pustaka Pelajar, 2004
47
48
memahami tindakan dengan melalui kuesioner yang kemudian dideskripsikan dalam angka-angka statistika.29
3.2. Metode Penelitian : Dalam penelitian tentang efek konatif tayangan film kartun “Naruto” terhadap perilaku remaja, penulis melakukan penelitian dengan metode survei. Karena ciri khas dari penelitian ini mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok. Penelitian Survei, adalah penelitian yang mengambil sampel dari suatu kelompok populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data yang utama/ pokok. Salah satu kegunaan penelitian survei adalah untuk maksud deskriptif, yaitu untuk pengukuran yang cermat terhadap fenomena sosial tertentu atau yang diteliti.30 Dalam
survei,
informasi
dikumpulkan
dari
responden
dengan
menggunakan kuesioner. Umumnya pengertian survei dibatasi pada penelitian yang datanya dikumpulkan dari sampel atas populasi untuk mewakili seluruh populasi. 3.3. Teknik Pengumpulan Data : 3.3.1. Data Primer : Adalah data yang langsung diperoleh daru sumber data pertama di lokasi penelitian atau obyek penelitian31, atau dengan kata lain data yang diperoleh dari sumber pertama dimana sebuah data dihasilkan, dalam hal ini dari siswa kelas 8, 9 dan 10 di sekolah Mahanaim di Bekasi. 29
Mohammad Ali, “Penelitian Kependidikan Prosedur dan Strategi”, Penerbit Angkasa.1985. Masri Singarimbun, Sofian Effendi, ”Metode Penelitian Survai”[edisi Revisi], LP3ES, 1995 31 Burhan Bungin, Methodologi Penenlitian Kuantitatif, Kencana Prenada Media Grup, 2005 30
49
Cara memperoleh informasi dalam rangka pengumpulan data, metode pengumpulan data yang akan digunakan sangat penting, karena akan menentukan berhasil atau tidaknya penelitian ini. Metode
yang dapat digunakan dalam
penelitian kuantitatif, yaitu : kuesioner (angket), wawancara, observasi dan dokumentasi. Penulis memilih metode kuesioner (angket). Metode kuesioner atau disebut juga sebagai metode angket, merupakan serangkaian daftar pertanyaan tertulis yang disusun secara sistematis , kemudian dibagikan untuk diisi oleh responden secara tertulis. Setelah diisi dikembalikan kepada peneliti. Dari bentuk isi angket atau kuesioner dibedakan menjadi beberapa bentuk, yaitu: angket langsung tertutup, angket langsung terbuka, angket tak langsung tertutup, angket tak langsung terbuka. Mengingat responden yang diajukan angket ini adalah para remaja, agar dapat memudahkan mereka untuk memberikan jawabannya, maka yang dipilih adalah angket tak langsung tertutup. Dalam lembar kuesioner (angket) ini ada pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya sudah disediakan, responden tinggal memilih salah satu dari jawaban tersebut.
3.3.2. Data Sekunder : Adalah data yang diperoleh dari sumber kedua atau sumber sekunder dari data yang diperlukan. Data sekunder sebagai pelengkap dari data primer. Dalam penelitian ini data sekunder mengacu pada studi pustaka sebagai referensi, yang mendukung dicermati.
efek media, yang relevan dengan fenomena sosial yang tengah
50
Peneliti juga akan melakukan wawancara awal
secara acak kepada
beberapa orang siswa di sekolah Mahanaim di Bekasi sebelum membagikan kuesioner untuk memperoleh gambaran sekilas tentang kesukaan mereka pada film kartun Naruto.
3.4. Poulasi dan Sampel 3.4.1. Populasi Penelitian Populasi adalah keseluruhan unit obyek untuk diteliti32. Karena sifat penelitian ini adalah kuantitatif sedangkan unit analisa yang digunakan adalah individu, sesuai dengan tujuan penelitian ini. Populasi yang diteliti dalam penelitian ini adalah pelajar SMP dan SMA Mahanaim di Bekasi, rata-rata berusia 13 – 17 tahun. Jumlah populasi : 605 orang pelajar/ siswa.
3.4.2. Sampel Penelitian Sampel adalah bagian yang diambil dari keseluruhan obyek yang diteliti yang dianggap mewakili seluruh polulasi dan diambil dengan menggunakan teknik tertentu.33 Sampel yang diambil : 93 (sembilan puluh tiga) orang adalah pelajar yang duduk di bangku kelas 8, 9 dan 10 (atau SMP kelas 2 dan 3 serta SMA kelas 1), ditujukan kepada mereka yang menonton film kartun Naruto, akan dijadikan sebagai responden, dengan asumsi pada usia tersebut adalah masa usia peralihan, dari masa remaja menuju ke masa dewasa.
32 33
Irawan Soehartono, Methode Penelitian Sosial, PT Remaja Rosdakarya, 1998 Ibid, , “Penelitian Kependidikan Prosedur dan Strategi”, Penerbit Angkasa 1985.
51
Pada masa usia peralihan ini, anak-anak sedang mengalami masa puber atau masa usia remaja, yang akan beralih menuju ke masa usia dewasa, pada usia ini secara emosi mereka belum stabil dan dalam masa pencarian identitas diri. Sehingga mereka sangat mudah terpengaruh oleh hal-hal yang ada di sekitarnya, lingkungannya, pengalaman dari apa yang mereka rasakan, dengar dan mereka lihat termasuk menonton tayangan televisi.
3.5. Definisi Konsep : Untuk melaksanakan penelitian ini, berbagai konsep dan istilah perlu dijelaskan definisi konsepnya, antara lain, yaitu : a. Tayangan Televisi : adalah program acara yang disiarkan oleh sebuah stasiun televisi sebagai media penyampai pesan
berbasis audio visual yang dipancarluaskan
secara masal sehingga dapat menjangkau pemirsa dalam jumlah besar pada saat bersamaan melintasi geografis secara luas. b. Film Kartun (animasi) : adalah film yang dibuat dari gambar-gambar komik, merupakan suatu seni membuat dan mengerakkan sebuah obyek, baik berbentuk 2 dimensi maupun 3 dimensi dan dibuat menggunakan berbagai cara, misalnya menggunakan kertas, komputer dan lain sebagainya, gambar dibuat dan dirangkaikan sedemikian rupa sehingga ketika diputar ada kesan geraknya. Film animasi asal Jepang biasa dikenal dengan sebutan : ‘anime’.
52
c. “Naruto” : Merupakan judul dari film anime yang juga sekaligus merupakan nama tokoh yang dalam cerita tersebut yang menjadi pemeran utamanya, yakni seorang bocah remaja bernama lengkap Uzumaki Naruto. Naruto seorang ninja yang hiperaktif dan ambisius untuk menjadi seorang Hokage, atau pemimpin desa shinobi (nama lain dari ninja). Naruto punya masa lalu yang suram, sewaktu dia masih anak-anak, tubuhnya pernah dipinjam untuk menyegel atau memenjarakan siluman rubah ekor sembilan bernama Kyuubi, yang pada waktu itu menyerang desa Konoha. Kyuubi berhasil dikalahkan oleh Minato Namikase. Oleh Minato, kemudian Kyuubi ditawan dalam tubuh anak kandungnya sendiri yang bernama Naruto. Sejak itu Naruto sering membuat keonaran di desanya. Akibatnya Naruto dikucilkan oleh penduduk desa. Naruto punya beberapa sahabat, mereka adalah anak-anak yang punya latar belakang suram, menderita dan tertolak. Ada dua sahabat setianya yaitu : Sasuke dan Sakura, mereka semua adalah ninja berbakat yang tidak takut menghadapi musuh dan pantang menyerah. Nilai yang ingin dibangun dari cerita Naruto adalah persahabatan, saling memahami, pengorbanan, kesetiaan dan saling melindungi. d. Efek tayangan televisi : Paradigma dalam perkembangan teknologi informasi dalam kebijakan tayangan televisi harus dicermati secara seksama oleh para pengambil kebijakan bidang penyiaran Indonesia. Hasil riset menunjukkan bahwa
53
dampak atau efek tayangan televisi banyak menampilkan kekerasan, mistisisme, hura-hura ala sinetron dapat menyebabkan anak-anak muda usia sekolah mengalami depresi dan sakit jiwa. Bahkan dalam bahasa seorang sutradara Peter Weir, sebagai toxic culture, sebuah tayangan yang terlalu menampilkan kekerasan sangat tidak mendidik dan dapat menyebabkan kriminalitas di usia muda meningkat, egoisme tambah menjadi-jadi, bahkan juga dapat merusak lingkungan dan budaya sekolah yang tidak sehat.34 Efek lain dari berkembangnya tayangan televisi terhadap perilaku siswa adalah berubahnya imajinasi siswa dari tradisi bercerita dan bertutur kepada mimpi buruk interaksi anak dengan dunia elektronik yang meracuni pikiran dan harapan anak. Biasanya anak-anak dan remaja yang semakin terbiasa dan terperangkap efek tayangan televisi akan memiliki kecenderungan ingin lebih populer dan berlagak pantas menjadi 'bintang', sehingga jika tidak dihargai mereka cenderung cepat frustrasi dan kecewa. e. Remaja : Remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi yang mencakup kematangan mental, emosional sosial dan fisik. Remaja sebenarnya tidak mempunyai tempat yang jelas karena tidak termasuk golongan anak tetapi tidak juga golongan dewasa atau tua. Seperti yang dikemukakan oleh Calon (dalam Monks, dkk 1994) bahwa 34
Jennifer Gidley, “Cultural Renewal: Revitalizing Youth Futures”,New Renaissance, Vol 9, No 4, Summer, 2000
54
masa remaja menunjukkan dengan jelas sifat transisi atau peralihan karena remaja belum memperoleh status dewasa dan tidak lagi memiliki status anak. Borring E.G. (dalam Hurlock) mengatakan bahwa masa remaja merupakan suatu periode atau masa tumbuhnya seseorang dalam masa transisi dari anak-anak ke masa dewasa, yang meliputi semua perkembangan yang dialami sebagai persiapan memasuki masa dewasa. Sedangkan Monks, dkk (dalam Hurlock) menyatakan bahwa masa remaja suatu masa disaat individu berkembang dari pertama kali menunjukkan tanda-tanda seksual, mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari anak menjadi dewasa, serta terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh pada keadaan yang mandiri.35
3.6 Operasionalisasi Konsep : Sebelum melakukan penelitian ini operasionalisasi konsepnya harus diperjelas, yaitu untuk mengetahui sejauh mana efek konatif tayangan film kartun Naruto dengan perilaku remaja, maka dilakukan pengukuran melalui : Terpaan Media Terpaan Media (media exposure) adalah penggunaan media oleh khalayak yang meliputi jumlah waktu yang digunakan dalam berbagai media, jenis isi media, media yang dikonsumsi dan berbagai hubungan antara khalayak dengan isi media yang dikonsumsi atau dengan media secara keseluruhan.36
35
Elizabeth B. Hurlock, “Adolescent development”,. New York : McGraw-Hill, 1967 Rosengren, K. E, “The uses of mass communications: Current perspectives on gratifications research” Beverly Hills, 1974 36
55
Terpaan media berusaha mencari data khalayak tentang penggunaan media, baik jenis media, frekuensi penggunaan maupun durasi penggunaan atau longevity. Frekuensi penggunaan media mengumpulkan data khalayak tentang berapa kali sehari seorang menggunakan media dalam satu minggu (untuk meneliti program harian), berapa kali dalam sebulan seorang menggunakan media dalam satu tahun (untuk program bulanan). Dari data yang ada, maka aspek pengukuran dilakukan melalui: Frekuensi Yang dimaksud adalah seberapa sering responden nonton Naruto dalam kurun waktu selama sebulan, 1. Frekuensi menonton Naruto dalam 1 bulan, tidak pernah. 2. Frekuensi menonton Naruto dalam 1 bulan, 1 kali dalam 1 bulan. 3. Frekuensi menonton Naruto dalam 1 bulan, 2 kali dalam 1 bulan. 4. Frekuensi menonton Naruto dalam 1 bulan, 3 kali dalam 1 bulan. 5. Frekuensi menonton Naruto dalam 1 bulan, 4 kali dalam 1 bulan. Jangka waktu Yang dimaksud dengan jangka waktu adalah sudah sejak kapan responden mulai nonton Naruto, 1. Mulai nonton Naruto, kurang dari 2 bulan yang lalu 2. Mulai nonton Naruto, kurang dari 1 tahun yang lalu 3. Mulai nonton Naruto, sejak 1 tahun yang lalu 4. Mulai nonton Naruto, sejak ditayangkan oleh Indosiar, > dari 1,5 tahun 5. Mulai nonton Naruto, sejak ditayangkan oleh Global TV, > dari 2 tahun
56
Intensitas Yang dimaksud adalah seberapa sering menonton film kartun Naruto, berapa lama waktu yang digunakan oleh responden menonton tayangan tersebut : 1. Durasi menonton dikatakan tidak pernah, jika responden tidak pernah nonton film kartun Naruto sama sekali 2. Durasi menonton dikatakan sesekali, jika responden menonton film kartun Naruto kurang dari 10 menit. 3. Durasi menonton dikatakan kadang-kadang, jika responden menonton film kartun Naruto kurang dari 15 menit. 4. Durasi menonton dikatakan sering, jika responden menonton film kartun Naruto kurang dari 30 menit. 5. Durasi menonton dikatakan sangat sering, jika responden menonton film kartun Naruto 30 menit.
Tambahan durasi Yang dimaksud dengan tambahan durasi adalah seberapa dibutuhkan durasi yang ada saat ini (30 menit) diberikan tambahan durasi lebih dari waktu itu. 1. Kebutuhan akan tambahan durasi, dipandang tidak diperlukan. 2. Kebutuhan akan tambahan durasi, dipandang mungkin diperlukan. 3. Kebutuhan akan tambahan durasi, dipandang cukup diperlukan. 4. Kebutuhan akan tambahan durasi, dipandang perlu ditambah. 5. Kebutuhan akan tambahan durasi, dipandang sangat perlu untuk ditambah.
57
Tambahan hari tayang Yang dimaksud dengan tambahan hari tayang adalah, penambahan dari 1 (satu) hari menjadi lebih dari 1 (satu) hari dalam seminggu. 1. Kebutuhan akan tambahan hari tayang, dipandang tidak diperlukan. 2. Kebutuhan akan tambahan hari tayang, dipandang mungkin diperlukan. 3. Kebutuhan akan tambahan hari tayang, dipandang cukup diperlukan. 4. Kebutuhan akan tambahan hari tayang, dipandang perlu ditambah. 5. Kebutuhan akan tambahan hari tayang, dipandang sangat perlu ditambah.
Minat Yang dimaksud dengan minat adalah apakah yang menjadi daya tarik tayangan film Naruto bagi responden. 1. Daya tarik film Naruto terdapat pada : jalan ceritanya 2. Daya tarik film Naruto terdapat pada : soundtracknya 3. Daya tarik film Naruto terdapat pada : tokoh-tokoh pemerannya 4. Daya tarik film Naruto terdapat pada : pesan yang disampaikannya 5. Daya tarik film Naruto terdapat pada : adegan perkelahiannya
Efek Konatif Yang dimaksud dengan efek konatif adalah seberapa jauh efek tayangan dapat mempengaruhi keadaan jiwa penonton, terutama pada anak-anak dan remaja, mengacu pada pandangan bahwa anak-anak lebih mudah meniru serta melakukan segala hal yang mereka lihat daripada segala hal yang mereka dengar.
58
Efek konatif, yaitu suatu proses tertanamnya nilai-nilai sosial budaya dalam tayangan sebuah acara televisi yang diterapkan atau dilakukan/ dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. 1. Efek konatif dikatakan nihil, jika responden tidak pernah mempraktekkan adegan pada tayangan film kartun Naruto. 2. Efek konatif dikatakan rendah, jika responden pernah mempraktekkan 12 kali adegan pada tayangan film kartun Naruto. 3. Efek konatif dikatakan sedang, jika responden pernah mempraktekkan 3 – 4 kali adegan pada tayangan film kartun Naruto. 4. Efek konatif dikatakan tinggi, jika responden pernah mempraktekkan 5 kali atau lebih adegan pada tayangan film kartun Naruto. 5. Efek konatif dikatakan sangat tinggi, jika responden
hampir selalu
mempraktekkan adegan pada tayangan film kartun Naruto.
Operasionalisasi Konsep Konsep
Dimensi
Indikator
1. Frekuensi menonton
a. seberapa sering menonton Naruto dalam 1 bulan.
(5) sangat sering 4 kali dalam 1 bulan (4) sering 3 kali dalam 1 bulan (3) kadang-kadang 2 kali dalam 1 bulan (2) sesekali 1 kali dalam 1 bulan (1) tidak pernah
2. Jangka waktu yang dipakai untuk nonton
b. sejak mulai kapan nonton Naruto
(5) sejak dari awal Global ( > dari 2 tahun ) (4) sejak dari Indosiar ( > dari 1,5 tahun ) (3) lebih dari 1 tahun (2) kurang dari 1 tahun (1) kurang dari 2 bulan
T E R P A A
Skala
59
N
EFEK TAYANGAN
3. Intensitas
c. intensitas waktu menonton (durasi)
(5) sangat sering Selama 30 menit penuh (4) sering Kurang dari 30 menit (3) kadang-kadang Kurang dari 15 menit (2) sesekali Kurang dari 10 menit (1) tidak pernah
4. Tambahan durasi
d. kebutuhan penambahan durasi
(5) (4) (3) (2) (1)
sangat perlu perlu cukup mungkin perlu tidak perlu
5. Tambahan hari tayang
e. perlu penambahan hari tayang ?
(5) (4) (3) (2) (1)
sangat perlu perlu cukup mungkin perlu tidak perlu
6. Minat
f. yang disukai dari film Naruto
(5) adegan perkelahiannya (4) pesan yang disampaikan (3) tokoh-tokohnya (2) sound track nya (1) jalan ceritanya
EFEK KONATIF (Mempratekkan)
g. Membayangkan jadi tokoh dalam cerita Naruto
(5) (4) (3) (2) (1)
sangat sering sering kadang-kadang pernah mencoba tidak pernah
h. Menjadikan Sebagai bahan perbincangan
(5) (4) (3) (2) (1)
sangat sering sering kadang-kadang pernah mencoba tidak pernah
i. Marah jika ada yang menjelekkan Naruto
(5) (4) (3) (2) (1)
sangat marah marah kadang-kadang marah pernah marah tidak marah
j. Terinspirasi dalam kegiatan sehari- hari
(5) (4) (3) (2) (1)
sangat terinspirasi sering terinspirasi kadang-2 terinspirasi pernah terinspirasi tidak pernah
60
k. Menganjurkan teman untuk nonton Naruto
(5) (4) (3) (2) (1)
sangat sering sering kadang-kadang pernah mencoba tidak pernah
l. Meniru ucapan khas Naruto
(5) (4) (3) (2) (1)
sangat sering sering kadang-kadang pernah mencoba tidak pernah
m. Berpenampilan ala Naruto
(5) (4) (3) (2) (1)
sangat sering sering kadang-kadang pernah mencoba tidak pernah
n. Menyanyikan soundtrack Naruto
(5) (4) (3) (2) (1)
sangat sering sering kadang-kadang pernah mencoba tidak pernah
o. Meniru jurusjurus yang dipakai saat berkelahi
(5) (4) (3) (2) (1)
sangat sering sering kadang-kadang pernah mencoba tidak pernah
p. Menjadikan Naruto sebagai tokoh favorit
(5) (4) (3) (2) (1)
tokoh sangat favorit tokoh favorit salah satu favorit pernah favorit tidak pernah
q. Menjadikan Naruto layak jadi tokoh panutan
(5) (4) (3) (2) (1)
sangat layak layak cukup layak mungkin layak tidak layak
r. Mengenakan atribut Naruto
(5) (4) (3) (2) (1)
sangat sering sering mengenakan kadang-kadang pernah mengenakan tidak pernah
s. Menyisihkan uang sakunya untuk beli atribut Naruto
(5) (4) (3) (2) (1)
sangat sering sering kadang-kadang pernah menyisihkan tidak pernah
61
3.7 Pengolahan dan Analisa Data Tujuan pokok penelitian ini diadakan adalah untuk menjawab pertanyaanpertanyaan penelitian dan mengungkap fenomena sosial tentang adanya efek konatif tayangan film kartun Naruto terhadap perilaku remaja. Setelah hasil kuesioner dikumpulkan dan diperoleh, maka data yang masuk tersebut kemudian akan diolah dengan cara manual, yaitu menghitung jumlah jawaban untuk setiap kategori dari setiap pertanyaan yang diajukan kepada responden. Analisa data dilakukan melalui pendekatan kuantitatif dengan format deskriptif. Dengan tujuan menjelaskan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai variabel yang timbul yang menjadi obyek penelitian berdasarkan apa yang terjadi. Untuk melakukan analisa data penulis menggunakan metode: tabel frekuensi. Tabel Frekuensi disusun untuk semua variabel penelitian dan disusun secara tersendiri. Meskipun banyak tabel tidak dimuat dalam laporan penelitian. Tabel ini merupakan bahan dasar untuk analisa selanjutnya. Tabel frekuensi mempunyai beberapa fungsi untuk : a. Apakah jawaban responden atas satu pertanyaan adalah konsisten dengan jawaban pertanyaan lainnya. b. Mendapatkan deskripsi ciri atau karakteristik responden atas dasar analisa satu variabel tertentu. c. Mempelajari distribusi variabel-variabel penelitian d. Menentukan klasifikasi yang paling baik untuk tabulasi silang
62
Kemudian dilakukan perhitungan dengan Skala interval. Skala interval adalah skala yang yang memiliki jarak yang sama antar datanya akan tetapi tidak memiliki nol mutlak. Nol mutlak artinya tidak dianggap ada. Data interval memiliki sifat kesamaan jarak (equality of interval) antara nilai yang satu dengan nilai yang lain. Salah satu ciri matematis yang dimiliki skala interval adalah penjumlahan. Dengan demikian, dapat dibuat operasi penambahan atau pengurangan. Rumus perhitungan interval : Interval : ( NT/5 X P ) – ( NR/1 X P ) n NT NR P n
: : : :
Nilai Tertinggi Nilai Terendah Jumlah atribut Jumlah skala penilaian
63
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Film Kartun ’Naruto’ : Beragam jenis tayangan film kartun di televisi punya daya tarik tersendiri bagi
pemirsanya. Kisah ”Naruto” yang ditayangkan di Indosiar setiap hari
Minggu siang, mengisahkan kehidupan seorang ninja cilik di sebuah shinobi (desa ninja), bagaimana dia berjuang menghadapi kerasnya kehidupan, dengan segala macam tantangan, perjalanan hidupnya diceritakan sampai dia menjadi dewasa. Di kalangan remaja film kartun ”Naruto” ini punya posisi tersendiri, khususnya bagi remaja di Indonesia, dengan daya tarik tertentu sesuai dengan jiwa remaja yang sedang bergejolak, emosional, dinamis, tantangan, pembuktian jati diri dalam mencari identitas pribadi. Hingga saat ini masih banyak pro dan kontra tentang film kartun ini, di satu pihak menilai bahwa film ini identik dengan kekerasan, sadistis, tidak mendidik, dan lain sebagainya, di pihak lain dipuji karena menanamkan nilai-nilai persahabatan, pengorbanan, kesetian dan membangkitkan kepercayaan diri. Dari sisi pandang remaja, sebagian mereka menggandrungi film ini, karena diannggap mewakili kehidupan mereka, diantara langkanya film kartun yang bertema remaja. Tak sedikit orang dewasa yang menggemari film kartun remaja ini. Film kartun ini pernah meraih rating yang tinggi.
63
64
4.2. Gambaran Umum Waktu, Lokasi dan Obyek Penelitian : Penulis mulai melakukan penelitian mulai pada bulan Januari 2009, hingga bulan Mei 2009. Adapun lokasi penelitian ini di Sekolah Mahanaim di Bekasi, khususnya terhadap siswa SMP dan SMA, kelas 8, 9 dan 10. Pemilihan obyek penelitian ini berdasarkan beberapa pertimbangan : 1. Sekolah Mahanaim, adalah salah satu sekolah swasta terbaik di Bekasi, dengan menyandang sekolah Nasional Plus yang telah terakreditasi A dari Departemen Pendidikan Nasional, selain itu sekolah ini punya kelas-kelas English Program, yang materi pelajarannya disampaikan dalam bahasa pengantar bahasa Inggris. 2. Jumlah siswa di sekolah Mahanaim cukup mewakili untuk diadakannya enetian ini, siswa SMP berjumlah 316 orang dan siswa SMA 289 orang.37 Sampel yang diambil adalah 93 orang siswa, atau sebesar 15% jumlah siswa yang menonton tayangan film kartun ”Naruto”. 3. Keistimewaan lain adalah, pelajar yang bersekolah di Sekolah Mahanaim mempunyai Strata Ekonomi Sosial yang dapat mewakili beberapa golongan dari yang rendah hingga yang tinggi. Hal ini bisa dilihat dari jumlah siswa yang diberikan beasiswa, sebanyak 76%, baik beasiswa penuh maupun subsidi karena mereka berasal dari keluarga yang kurang mampu. Sisanya 24% dari keluarga menengah ke atas yang membayar penuh.
37
Kepala Sekolah SMP dan SMA Mahanaim, Bekasi, data per 31 Januari 2009.
65
4.3. Hasil Penelitian : 4.3.1. Karakteristik Responden 4.3.1.1. Jenis Kelamin Tabel 4.3.1.1. Karakteristik Responden : Jenis Kelamin No. 1 2
Keterangan Laki-laki Perempuan
Frek 85 8
% 91 9
JUMLAH
93
100
Respoden dalam penelitian ini sengaja dipilih pelajar yang menonton tayangan film kartun Naruto, respoden berjenis kelamin laki-laki dan perempuan, jumlah responden laki-laki 85 orang (91%) dan perempuan 8 orang (9%). Total responden lak-laki jauh lebih banyak dibandingakan dengan responden perempuan, karena pada umumnya responden laki-laki lebih menyukai film Naruto ini dibandingkan responden perempuan.
4.3.1.2. Usia Usia responden dikategorikan menjadi 4 kelompok, yaitu < dari 13 tahun berjumlah 1 orang (1%), 13-14 tahun sebanyak 43 orang (46%), 15-16 tahun sebanyak 46 orang (49%) dan yang usianya > dari 16 tahun ada 3 orang (3%).
66
Tabel 4.3.1.2. Karakteristik Responden : usia No. 1 2 3 4
Keterangan < 13 13 -1 4 15 - 16 > 16
Frek 1 43 46 3
% 1 46 49 3
JUMLAH
93
100
Ternyata usia responden kategori 15-16 tahun adalah yang terbanyak, mereka dianggap mewakili usia remaja.
4.3.2. Pola Menonton Tabel 4.3.2.1. Pola Menonton : Tempat biasanya menonton televisi No. 1 2
Keterangan Di ruang keluarga Di kamar tidur JUMLAH
Frek 79 14
% 85 15
93
100
Tempat yang biasa dipakai oleh responden saat menonton televisi, ada 2 lokasi, yaitu ruang keluarga, jumlah yang tertinggi, yaitu 79 orang (85%) dan selebihnya di kamar tidur sebanyak 14 orang (15%).
67
Tabel 4.3.2.2. Pola Menonton : Yang biasa menemani menonton televisi No. 1 2 3 4
Keterangan Sendiri Dengan saudara, kakak, adik Dengan ayah atau ibu Dengan anggota keluarga lain
Frek 27 59 4 3
% 29 63 4 3
JUMLAH
93
100
Responden biasa menonton televisi dengan anggota keluarga yang lain, 59 orang (63%) mereka menonton dengan kakak atau adiknya, yang nonton sendiri tanpa orang lain ada 27 orang (29%). Artinya mereka jhampir tidak pernah didampingi oleh orangtuanya saat nonton televisi.
Tabel 4.3.2.3. Pola Menonton : Jumlah waktu menonton dalam seminggu No. 1 2 3 4 5
Keterangan Tidak pernah Jarang ( kurang dari 2 kali seminggu ) Cukup (2 - 3 kali seminggu) Sering (4 - 5 kali seminggu) Sangat sering (setiap hari)
Frek 0 3 18 22 50
% 0 3 19 24 54
JUMLAH
93
100
Dalam waktu seminggu semua responden nonton televisi, 50 orang (54%) responden menonton televisi setiap hari, ini menunjukkan bahwa kebutuhan akan media televisi sangat tinggi.
68
Tabel 4.3.2.4. Pola Menonton : Durasi menonton dalam sehari No. 1 2 3 4 5
Keterangan tidak pernah jarang (1 - 2 jam) cukup (2 - 4 jam) sering (4 - 6 jam) sangat sering (lebih dari 6 jam) JUMLAH
Frek 0 25 37 20 11
% 0 27 40 22 12
93
100
Semua responden setiap hari nonton televisi, tertinggi 37 orang (40%) nonton selama 2-4 jam/ hari. Waktu yang masih dapat ditoleransi untuk anak-anak atau usia remaja, dalam batas-batas kewajaran. Sehingga tidak mengganggu waktu untuk belajar.
Tabel 4.3.2.5. Pola Menononton : Kegemaran pada film kartun / animasi / anime No. 1 2 3 4 5
Keterangan Tidak suka Tidak punya pilihan Biasa-biasa saja Menyukai, kalau ceritanya menarik Sangat menyukai JUMLAH
Frek 0 0 21 61 11
% 0 0 23 66 12
93
100
Semua responden menggemari film kartun/ animasi, sebanyak 61 orang (66%) menyukainya, kalo cerita yang menarik.
69
Tabel 4.3.2.6. Pola Menonton : Jenis cerita yang paling disukai dari film kartun No. 1 2 3 4 5
Keterangan Humor / lucu Pendidikan Keluarga Detektif Petualangan dan laga JUMLAH
Frek 31 0 1 14 47
% 33 0 1 15 51
93
100
Dari 4 kategori tema film kartun yang disukai oleh responden ternyata kategori tertinggi adalah yang bertema petualangan dan laga, mencapai 47 orang (51%).
4.3.3. Terpaan Media Tabel 4.3.3.1 Terpaan Media : seberapa sering nonton Naruto dalam 1 bulan No. 1 2 3 4 5
Keterangan Tidak pernah Sesekali (1 kali dalam 1 bulan) Kadang-kadang (2 kali dalam 1 bulan) Sering (3 kali dalam 1 bulan) Sangat sering (4 kali dalam 1 bulan)
Frek 0 52 24 7 10
% 0 56 26 8 11
JUMLAH
93
100
Responden semua pernah nonton film kartun Naruto, walaupun mereka tidak selalu nonton pada saat film tersebut ditayangkan. 52 orang (56%) hanya nonton 1 kali dalam sebulan, ternyata remaja penggermar Naruto tersebut tidak selalu nonton.
70
Tabel 4.3.3.2. Terpaan Media : Sudah sejak kapan nonton film kartun NARUTO No. 1 2 3 4 5
Keterangan Sejak baru-baru ini Kurang dari 1 tahun yang lalu Lebih dari 1 tahun yang lalu Dari sejak ditayangkan di Indosiar Dari awal sejak ditayangkan di Global TV
Frek 18 20 12 7 36
% 19 22 13 8 39
JUMLAH
93
100
Film kartun Naruto awalnya ditayangkan oleh Global TV, kemudian hak tayang diambil alih oleh Indosiar, 36 orang (39%) responden nonton sejak Naruto awal ditayangkan di Global TV.
Tabel 4.3.3.3. Terpaan Media : durasi nonton NARUTO No. 1 2 3 4 5
Keterangan Tidak pernah Sesekali (kurang dari 10 menit) Kadang-kadang (kurang dari 15 menit) Sering (kurang dari 30 menit) Sangat sering (selama 30 menit penuh). JUMLAH
Frek 5 22 23 18 25
% 5 24 25 19 27
93
100
Dari jumlah responden 93 orang yang mengaku penggemar Naruto, ternyata hanya ada 25 orang (27%) saja yang menonton tayangan Naruto selama 30 menit penuh, selebihnya bervariasi.
71
Tabel 4.3.3.4. Terpaan Median : Perlunya penambahan durasi NARUTO lebih dari 30 menit. No. 1 2 3 4 5
Keterangan Tidak perlu Mungkin perlu Cukup Perlu Sangat perlu JUMLAH
Frek 44 11 18 10 10
% 47 12 19 11 11
93
100
Durasi tiap penayangan film kartun Naruto sekarang hanya 30 menit. Sebagian besar responden menjawab bahwa mereka tidak memerlukan penambahan durasi tayang, yaitu sebanyak
44 orang (47%), mereka bisa
menerima durasi tayang yang sekarang.
Tabel 4.3.3.5. Terpaan Media : Perlunya penambahan hari tayang NARUTO No. 1 2 3 4 5
Keterangan Tidak perlu Mungkin perlu Cukup Perlu Sangat perlu JUMLAH
Frek 57 6 14 8 8
% 61 6 15 9 9
93
100
Film kartun Naruto saat ini hanya diputar 1 kali seminggu saja, yaitu hari Minggu siang, Separuh lebih responden, 57 orang (61%) berpendapat tidak memerlukan tambahan hari tayang untuk film tersebut.
72
Tabel 4.3.3.6. Terpaan Mediaa : Hal yang disukai dari film NARUTO No. 1 2 3 4 5
Keterangan Jalan ceritanya Sound tracknya Tokoh-tokohnya Pesan yang disampaikan Adegan perkelahiannya JUMLAH
Frek 32 16 16 8 21
% 34 17 17 9 23
93
100
Sebanyak 32 orang (34%) responden menyampaikan bahwa yang menjadikan film kartun Naruto mempunyai daya tarik bagi remaja adalah karena jalan cerita kisah Naruto tersebut menarik.
4.3.4. Efek Konatif Tabel 4.3.4.1. Efek Konatif : pernah membayangkan jadi salah satu dari tokoh-tokoh NARUTO No. 1 2 3 4 5
Keterangan Tidak pernah Pernah mencoba untuk membayangkan Kadang-kadang membayangkan Sering membayangkan Sangat sering membayangkan JUMLAH
Frek 56 26 7 2 2
% 60 28 8 2 2
93
100
Ternyata sebanyak 56 orang (60%) responden menyatakan tidak pernah membayangkan menjadi salah satu tokoh dalam film Naruto, sekalipun mereka sangat menggemari film Naruto.
73
Tabel 4.3.4.2. Efek Konatif : menjadikan kisah NARUTO sebagai topik perbincangan No. 1 2 3 4 5
Keterangan Tidak pernah Pernah mencoba memperbincangkan Kadang-kadang memperbincangkan Sering memperbincangkan Sangat sering memperbincangkan JUMLAH
Frek 22 37 27 7 0
% 24 40 29 8 0
93
100
Di kalangan remaja penggemar Naruto, menjadikan tokoh mereka menjadi topik perbincangan adalah hal yang menarik. Namun demikian jumlah responden pernah mencoba menjadikan kisah Naruto sebagai topik perbincangan sehari-hari hanya 37 orang (40%) saja.
Tabel 4.3.4.3. Efek Konatif : marah jika ada orang menjelekkan tokoh NARUTO No. 1 2 3 4 5
Keterangan Tidak Pernah marah Kadang-kadang marah Marah Sangat marah JUMLAH
Frek 80 6 6 1 0
% 86 6 6 1 0
93
100
Responden tidak akan marah jika ada orang menjelekkan atau menilai negatif Naruto, 80 orang (86%) mengatakan demikian.
74
Tabel 4.3.4.4. Efek Konatif : NARUTO menjadi inspirasi dalam kegiatan sehari-hari No. 1 2 3 4 5
Keterangan Tidak Pernah terinspirasi Kadang-kadang terinspirasi Sering terinspirasi Sangat terinspirasi JUMLAH
Frek 75 13 4 1 0
% 81 14 4 1 0
93
100
Walaupun responden menggemari Naruto, tapi dalam keseharian mereka, sama sekali tidak pernah terinspirasi pada Naruto, jawaban ini diberikan oleh sebagian besar 75 orang (81%) dari responden.
Tabel 4.3.4.5. Efek Konatif : mengajak atau menganjurkan orang lain untuk nonton NARUTO No. 1 2 3 4 5
Keterangan Tidak pernah Pernah mencoba untuk menganjurkan Kadang-kadang menganjurkan Sering mengajak dan menganjurkan Sangat sering menganjurkan JUMLAH
Reponden
terbanyak
mengatakan
Frek 58 25 7 3 0
% 62 27 8 3 0
93
100
tidak pernah
mengajak atau
mempengaruhi teman-temannya atau orang lain untuk nonton Naruto, hal dikemukakan oleh 58 orang (62% ).
75
Tabel 4.3.4.6. Efek Konatif : menirukan ucapan-ucapan khas NARUTO No. 1 2 3 4 5
Keterangan Tidak pernah Pernah mencoba untuk mengucapkan Kadang-kadang mengucapkan Sering mengucapkan Sangat sering mengucapkan JUMLAH
Frek 51 30 9 2 1
% 55 32 10 2 1
93
100
Ada kata-kata tertentu yang selalu diucapkan oleh Naruto pada waktu dia hendak mengeluarkan jurusnya saat hendak berkelahi. Ada responden yang menirukan, tapi lebih dari separuh responden, 51 orang (55%) menyatakan bahwa mereka tidak pernah mengikuti ucapan-ucapan khas tersebut.
Tabel 4.3.4.7. Efek Konaif : berpenampilan atau bergaya ala NARUTO ? No. 1 2 3 4 5
Keterangan Tidak pernah Pernah berpenampilan atau bergaya Kadang-kadang berpenampilan Sering berpenampilan atau bergaya Sangat sering berpenampilan atau bergaya
Frek 78 8 3 3 1
% 84 9 3 3 1
JUMLAH
93
100
Penampilan ninja Naruto, sangat khas, mudah dibedakan dengan ninja yang lain. Sebanyak 78 orang (84%) dari responden tidak pernah mengikuti gaya penampilan Naruto terebut.
76
Tabel 4.3.4.8. Efek Konatif : menyanyikan lagu soundtrack NARUTO ? No. 1 2 3 4 5
Keterangan Tidak pernah Pernah menyanyikan Kadang-kadang menyanyikan Sering menyanyikan Sangat sering menyanyikan JUMLAH
Frek 34 35 15 6 3
% 37 38 16 6 3
93
100
Lagu ilustrasi atau soundtrack pada pembukaan cerita Naruto sangat menarik dan digemari oleh remaja, sebagian responden suka dengan soundtrack tersebut dan mereka ikut menyanyikannya, ada sebanyak 35 orang (38%).
Tabel 4.3.4.9. Efek Konatif : meniru gerakan atau jurus-jurus NARUTO untuk berkelahi No. 1 2 3 4 5
Keterangan Tidak pernah Pernah meniru atau mengikuti Kadang-kadang meniru atau mengikuti Sering meniru dan mengikuti Sangat sering meniru dan mengikuti
Frek 56 25 8 4 0
% 60 27 9 4 0
JUMLAH
93
100
Tokoh Naruto terkenal suka berkelahi, dia punya jurus-jurus selalu digunakan pada waktu berkelahi, 56 orang (60%) responden mengaku walaupun mereka menyukai, tetapi mereka tidak pernah menirukan jurus-jurus Naruto tersebut untuk berkelahi.
77
Tabel 4.3.4.10. Efek Konatif : NARUTO adalah tokoh favorit No. 1 2 3 4 5
Keterangan Tidak Pernah jadi tokoh favorit Salah satu tokoh favorit Tokoh favorit Tokoh sangat favorit JUMLAH
Frek 63 15 10 3 2
% 68 16 11 3 2
93
100
Ada sejumlah responden yang menjadikan Naruto sebagai tokoh favorit mereka, tetapi responden yang tidak menjadikan Naruto sebagai tokoh favorit ada sebanyak 63 orang (68%).
Tabel 4.3.4.11. Efek Konatif :NARUTO layak menjadi tokoh panutan bagi remaja No. 1 2 3 4 5
Keterangan Tidak layak Mungkin layak Cukup layak Layak Sangat layak JUMLAH
Frek 67 20 4 2 0
% 72 22 4 2 0
93
100
Naruto tidak layak menjadi tokoh panutan bagi remaja, demkian disampaikan oleh 67 orang (72%) responden penggemar Naruto.
78
Tabel 4.3.4.12. Efek Konatif : memakai / mengenakan atribut-atribut NARUTO No. 1 2 3 4 5
Keterangan Tidak pernah Pernah memakai/ mengenakan Kadang-kadang memakai/ mengenakan Sering memakai/ mengenakan Sangat sering memakai/ mengenakan
Frek 78 12 2 1 0
% 84 13 2 1 0
JUMLAH
93
100
Ada lebih dari 20 jenis produk atribut yang beredar di pasar, semuanya berkaitan dengan Naruto, tetapi tidak semua responden yang mengaku penggemar Naruto menggunakan, memakai atau mengenakan atribut tersebut, ada 78 orang (84%) responden mengaku tidak pernah memakai / mengenakan atribut tersebut..
Tabel 4.3.4.13. Efek Konatif : menyisihkan uang saku untuk membeli atribut-atribut NARUTO No. 1 2 3 4 5
Keterangan Tidak pernah Pernah menyisihkan Kadang-kadang menyisihkan Sering menyisihkan Sangat sering menyisihkan JUMLAH
Frek 76 12 4 1 0
% 82 13 4 1 0
93
100
Untuk membeli produk atribut Naruto, ada responden yang rela untuk menyisihkan uang sakunya demi mendapatkan atribut yang mereka sukai. Tetapi sejumlah besar responden mengatakan bahwa mereka, 76 orang (82%) tidak secara khusus menyisihkan uang sakunya untuk mendapatkan atau membeli atribut – atribut tersebut.
79
Tabel 4.3.4.14. Efek Konatif : memiliki atribut-atribut NARUTO No. 1 2
Keterangan Tidak memiliki Memiliki JUMLAH
Frek 25 68 93
% 27 73 100
Ternyata dari total semua semua responden 93 orang ada sebanyak 68 orang (73%) yang memiliki atribut-atribut Naruto yang jenis dan macamnya sangat banyak , minimal ada lebih dari 25 jenis yang mereka miliki.
Tabel 4.3.4.15. Efek Konatif : jenis atribut yang dimiliki No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Keterangan Komik Game Gantungan kunci Pin / bros Lagu / soundtrack Sticker Gantungan HP VCD / DVD Poster Sarung tangan Gelang Pajangan Cincin Bandana Senjata Dompet Boneka Kaos/ t-shirt
Frek 44 33 24 24 22 19 16 16 12 7 6 6 5 5 5 4 4 4
% 16 12 9 9 8 7 6 6 5 3 2 2 2 2 2 2 2 2
80
19 20 21
Casing HP Kalung/ liontin Topi
3 3 2
1 1 0.7
22
Jam Dinding
1
0.4
23
Jaket
1
0.4
24
Desktop
1
0.4
25
Mug / cangkir
1
0.4
26
Slayer/ hansduk
1
0.4
JUMLAH
100
Ada banyak jenis dan macam produk-produk atribut Naruto yang beredar dan dijual bebas di pasaran, paling tidak dari data yang dimiliki oleh responden minimal ada sebanyak 26 jenis yang dimiliki oleh 68 orang responden. Diantaranya 5 atribut yang paling banyak dimiliki oleh responden adalah : Komik dimiliki oleh 44 orang (16%), Game, 33 orang (12%), Gantungan Kunci, 24 orang (9%), Pin/ bros, 24 orang (9%) dan lagu atau soundtrack dimiliki oleh 22 orang (8%). (Catatan : Responden yang sama bisa memiliki lebih dari 1 atribut).
Akumulasi data efek konatif : Perhitungan menggunakan Skala Interval : Interval = ( NT/5 X P ) – ( NR/1 X P ) n
=
( 5 X 13 ) - ( 1 X 13 ) 5
=
65 – 13 5
=
10.4
= 52 5
81
Rekapitulasi Efek Konatif
SKALA 5 4 3 2 1
KATEGORI Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah
INTERVAL 53 - 65 43 – 52 33 – 42 23 – 32 13 – 22
JUMLAH
R 0 1 3 20 69
% 0 1 3 22 74
93
100
Berdasarkan rekapitulasi tersebut tampak bahwa Efek Konatifnya sangat rendah, yaitu : 74%.
4.4. Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian maka, penulis memperoleh suatu temuan yang menarik. Sampel penelitian sebanyak 93 orang responden remaja yang mengaku sebagai penggemar film kartun Naruto, pada kenyataannya, sebagian besar diantara mereka tidak terpengaruh dengan film tersebut. Jawaban mereka cukup mengejutkan, berikut jawaban yang diambil responden yang menjawab terbanyak : 1. Mereka tidak pernah membayangkan menjadi tokoh Naruto. 2. Tidak akan marah jika ada orang menilai negatif terhadap Naruto. 3. Tidak pernah terinspirasi tentang Naruto. 4. Tidak pernah mengajak atau mempengaruhi teman-temannya atau orang lain untuk nonton Naruto. 5. Tidak pernah mengikuti ucapan-ucapan khas Naruto. 6. Tidak pernah mengikuti gaya penampilan Naruto.
82
7. Tidak pernah menirukan jurus-jurus Naruto untuk berkelahi. 8. Tidak menjadikan Naruto sebagai tokoh favorit mereka. 9. Bahkan mereka berkata bahwa Naruto tidak layak menjadi tokoh panutan bagi remaja. 10. Tidak pernah memakai / mengenakan atribut yang berkaitan dengan Naruto. 11. Mereka juga tidak pernah menyisihkan uang sakunya untuk mendapatkan atau membeli atribut – atribut tersebut. Teori Marshall McLuhan mengemukakan bahwa peranan komunikasi untuk menciptakan publik, menentukan issue, memberikan kesamaan kerangka berpikir, dan menyusun perhatian publik, dalam hal ini memang sedikit banyak berhasil menciptakan publik penggermar Naruto, menentukan issue serta menyusun perhatian publik. Indosiar sebagai organisasi media yang memproduksi dan menyebarkan pesan kepada publik secara luas dan pada sisi lain merupakan proses dimana pesan tersebut dicari, digunakan, dan dikonsumsi oleh remaja. Indosiar merupakan organisasi yang menebarkan informasi yang berupa produk film kartun Naruto atau pesan yang mempengaruhinya dan mencerminkan budaya dalam masyarakat, khususnya remaja. Dalam analisis media, tayangan Naruto di Indosiar merupakan dimensi mikro, yaitu melihat kepada hubungan antara media dengan audience, baik secara kelompok maupun individual, menekankan pada efek-efek individu dan kelompok sebagai hasil interaksi dengan media.
83
Formula Lasswel, yang terkenal dengan pertanyaan seperti berikut : siapa, berkata apa, melalui saluran apa, kepada siapa dan dengan efek apa dapat di divisualisasikan sebagai berikut Komunikator dalam hal ini Indosiar, membawa Pesan berupa cerita, pesan atau informasi melalui Media tayangan film kartun Naruto kepada audiensnya yaitu remaja yang jadi responden dan efek apa yang akan timbul setelah mereka menerima pesannya. Teori Belajar Bandura, menguraikan penerapan teknik-teknik behavioral berdasarkan prinsip-prinsip belajar dalam memodifikasi tingkah laku, berpangkal pada dalil bahwa tingkah laku manusia sebagian besar adalah hasil pemerolehan, dalam hal ini pemerolehan dari tingkah laku Naruto dan kawan-kawannya dan bahwa prinsip-prinsip belajar adalah cukup untuk menjelaskan bagaimana tingkah laku berkembang dan menetap. Banyak peristiwa belajar yang penting terjadi dengan perantaraan orang lain atau tokoh yang mereka kagumi (termasuk tokoh kartun yang satu ini). Artinya, sambil mengamati tingkah laku orang lain, individu-individu belajar mengimitasi atau meniru tingkah laku tersebut atau dalam hal tertentu menjadikan orang lain model bagi dirinya. Namun Bandura lebih jauh mengembangkan teorinya melalui observasi, melalui observasi ini orang dapat
memperoleh respon yang sangat banyak,
diantaranya : Peniruan atau lebih tepatnya modelling, yang membuat orang lain mau mengikuti tingkah laku yang diamati tetapi tetap melibatkan proses kognitif. Sehingga memungkinkan orang mempeoleh tingkah laku baru, para remaja punya gaya penampilan yang sebelumnya tidak pernah ia lakukan baik yang positif atau
84
bukan tidak mungkin yang negatif, misalnya jadi suka berkelahi ala Naruto. Inilah yang disebut dengan modelling tingkah laku baru. Observasi teori belajar sosial juga mengembangkan modelling simbolik, yang mana sebagian besar tingkahlaku berbentuk simbolik. Naruto menyajikan contoh tingkah laku yang tidak terhitung, yang bukan tidak mungkin mempengaruhi responden. Sajian itu berpotensi sebagai sumber model tingkah laku. Dalam hal ini responden sebagai penonton Naruto belajar dari apa yang mereka lihat tentang Naruto, serta menjadikan Naruto sebagai model bagi dirinya, walaupun skalanya bergradasi. Menarik sekali bahwa, pada kenyataannya hanya sedikit sekali atau sangat rendah persentasenya yang menunjukkan bahwa Naruto memberi pengaruh atau sugesti bagi mereka untuk mengimitasi dan meniru tingkah lakunya dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin ada hal-hal lain yang saat ini lebih menarik perhatian para responden, sehingga ada pergeseran terhadap pengaruh dari tayangan Naruto tersebut. Penulis mencoba mengamati kegiatan remaja akhir-akhir ini, antara lain : 1. Responden sudah mulai jenuh dengan film kartun Naruto, sehingga minat atau ketertarikan mereka mulai menurun. 2. Ada kegiatan yang dilakukan oleh responden pada hari Minggu tersebut seusai mereka nonton, apakah itu kegiatan bersama dengan keluarga atau bisa jadi kegiatan pribadi lainnya di luar rumah seperti olah raga, atau mengunjungi teman misalnya mengingat Minggu adalah hari libur.
85
3. Kemungkinan lain adalah, para remaja kita
sedang terkena ’wabah’
Facebook atau Friendster yang belakangan ini begitu digandrungi remaja dan melanda hampir di seluruh ibukota Jakarta dan kota-kota besar lainnya, hampir setiap remaja tersedot di situs jejaring sosial tersebut, mereka ikut meramaikannya, terlibat sebagai member dan aktif menggunakan situs ini, walau mungkin hanya sekedar chatting atau pamer foto. Mereka tidak mau dikatakan tertinggal informasi atau dianggap kurang ’gaul’ oleh teman-temannya jika mereka tidak menggunakan Facebook atau Friendster. Wabah ini cukup menyita perhatian anak dan remaja setahun belakangan ini.
86
BAB V PENUTUP
5.1. Kesimpulan : Efek tayangan film kartun Naruto terhadap perilaku remaja : sangat rendah.
5.2. Saran Walaupun demikian penulis hendak memberikan saran kepada : 1. Remaja, agar lebih cermat dalam memilih tayangan film di televisi, banyak pilihan tayangan yang ditawarkan, tetapi tidak semua dapat memberikan manfaat atau bersifat membangun akhlak. Karena apa yang kita lihat punya pengaruh besar dalam membentuk kepribadian dan mental. Terlepas dari apakah itu film remaja atau jalan cerita yang menarik, tayangan Naruto yang banyak adegan perkelahian, balas dendam dan sakit hati, padahal orangtua kita mengajar untuk mengasihi dan tidak menyimpan dendam dan membalas setiap kejahatan, tetapi memiliki sikap hati yang arif dan memaafkan orang lain. 2. Orangtua, lebih bijak dan memperhatikan apa yang ditonton oleh anak-anak, apakah tayangan yang disajikan itu bermanfaat untuk anak-anak dan remaja, yang
sedang dalam masa pencarian jatidirinya. Tayangan Naruto kurang
sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang ramah, santun dan saling memaafkan. Mari bersama membangun generasi muda yang kohoh dan tangguh menyongsong masa depan yang lebih cerah.
86
87
3. Televisi pada umumnya, secara khusus Indosiar, ada banyak program acara menarik yang diimpor dari manca negara, tetapi pilihlah acara yang bersifat mendidik dan membangun karakter, mental bangsa kita, khususnya generasi muda yang akan melanjutkan memimpin bangsa ini. Jika mereka selalu disuguhi atau dibekali dengan kekerasan, dendam kadang disertai tindakan brutal, seperti yang disajikan dalam tayangan film kartun remaja Naruto, tak pelak lagi bangsa Indonesia yang terkenal dengan keramahan dan murah senyumnya, lambat laun akan berubah menjadi bangsa yang kejam dan penuh dengan dendam dan kemarahan dalam menghadapi situasi yang sulit. Perhatikan belakangan ini begitu maraknya kekerasan, kejahatan, kebrutalan dan tindakan-tindakan negatif lainnya yang dilampiaskan ketika mereka merasa tidak puas, kondisi ini saat berbeda dengan beberapa tahun silam. Sedikit banyak televisi punya peran memberikan pengaruh yang demikian bagi bangsa tercinta ini. Kiranya stasiun televisi dapat membekali generasi ini dengan tayangan-tayangan yang membangun karakter dan akhlak mulia.
Rekomendasi Guna kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan di bidang broadcasting/ jurnalistik, penulis merekomendasikan penelitian ini kepada para peneliti lain yang berminat untuk menggali lebih dalam lagi dan mengembangkan lebih luas penelitian tentang hal tersebut di atas.
88
DAFTAR PUSTAKA
Amri Jahi, “Komunikasi Masa dan Pembangunan Pedesaan di Negara Dunia Ketiga”, Gramedia, Jakarta, 1988 A. Mulyana, Teori Komunikasi-modul 12,2008 Burhan Bungin, ”Methodologi Penenlitian Kuantitatif”, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2005 Dedy Mulyana, ”Bercinta dengan Televisi”, Rosdakarya, Bandung, 1997. Dedy Mulyana, “Ilmu Komunikasi, suatu pengantar” , Remaja Rosdakarya, Bandung, 2005. Dedy Mulyana ”Ilmu Komunikasi”. Cetakan pertama. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2004 DeFleur, Melvin dan Dennis, Everette, “Understanding Mass Communication”. Boston : Houghton Company, 1985 Dennis McQuails, “Teori Komunikasi massa”, Erlangga 1987 Dwyer, Barry, and Walshe, Bob” Learning to Read the Media: A Teacher's Guide to Media Education”. Rozelle, Australia: Primary English Teaching Association, 1988. Effendy, Onong Uchjana, ”Ilmu, Teori dan Filsafat komunikasi”, PT. Citra Aditya Bakti. Bandung ; 2000 Effendy, Onong Uchjana, “Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi”, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003 Elizabeth B. Hurlock, “Adolescent development”,.: McGraw-Hill, New York, 1967 Furchan, A., ”Pengantar Penelitian dalam Pendidikan”.: Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004 Gerbner, G., “New Television Rating System is Extremely Flawed” , The Progressive, 1998 Hall, Calvis S. & Gardner Lindzey. Teori-teori Sifat dan Behavioristik., Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993
89
Hall, Stuart., “Encoding and Decoding in the Television Discourse”, 1973 Irawan Soehartono, Methode Penelitian Sosial, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1998 Jennifer Gidley, “Cultural Renewal: Revitalizing Renaissance, Vol 9, No 4, Summer, 2000
Youth
Futures”,New
McLuhan, Marshall, Quentin Fiore “War and Peace in the Global Village”, New York, Bantam, 1968 Mohammad Ali, “Penelitian Kependidikan Prosedur dan Strategi”, Penerbit Angkasa Bandung, 1985. M.O.Palapah., Atang Syamsudin.,” Studi ilmu Komunikasi”. Bandung : Fakultas Ilmu komunikasi Universitas Padjajaran, 1983 Masri Singarimbun, Sofian Effendi, ”Metode Penelitian Survai”[edisi Revisi], LP3ES, Jakarta, 1995 Rosengren, K. E, “The uses of mass communications: Current perspectives on gratifications research”: Sage, Beverly Hills, CA, 1974 Siti Karlinah, ”Komunikasi Massa”, Penerbitan UT, Jakarta, 1999 Sukmadinata, ”Metode Penelitian Pendidikan”, Rosdakarya, Bandung, 2006
SUMBER LAIN : Kompas, Garin Nugroho, Awas, Krisis Masyarakat Komunikatif, 25 Maret 2006 Majalah SWA, Eva Martha Rahayu, S. Ruslina, ”Mendulang Untung dari Naruto”, Maret 2008 Majalah Tempo, ”Tayangan di Wilayah Abu-abu”, 14 Maret 2005 Kompas.com, ”Anggota PKS minta KPI Awasi Film Naruto”, 17 Januari 2008 Kompas.com, ”Tayangan anak-anak Berbahaya”, 18 Juli 2008 Kompas, KCM, “Tayangan Televisi Makin Tidak Mendidik”, 27 Juni 2006 DetikNews, Didi Syafirdi, 19 Agustus 2008 Yahoo ! Answers, Miyuki Atarashi, 30Agustus 2008
90
Media Konsumen, Helmi, 1 Oktober 2008 Komunitas TV Sehat/YPMA/YKAI, 2007 Pendidikan Anak, Balitaku, ”Bahaya Tontonan Kekerasan pada Anak”, 9 Mei 2007 Suara Karya Online, “Dampak Tayangan Kekerasan di Televisi”, 29 November 2006 Islamic Republic of Iran Broadcasting, ”Perspektif ”, 31 Desember 2007
Nur Hary, AFP, Tempo Interaktif,“Perilaku Sex Remaja Jelas Pengaruh dari Televisi”, 04 November 2008.
GBKP (Gereja Batak Karo Prostestan), “70% Tayangan TV Berdampak negative”, 22 November 2005
91
92
Kuesioner Penelitian Daya tarik remaja terhadap film kartun NARUTO yang ditayangan di televisi Nama
:
( L / P )
Umur
:
Kelas :
Petunjuk pengisian : 1 2 3
Berilah tanda
5 pada pilihan jawaban anda
yang tersedia pada kolom disamping pertanyaan
Jika jawaban anda lebih dari 1, pilih 1 saja yang paling sesuai/ tepat Semua pertanyaan wajib diberikan jawabannya.
POLA MENONTON TELEVISI A
B
C
D
Dimana biasanya anda menonton televisi ? 1.
di ruang keluarga
2.
di kamar tidur
Dengan siapa saja biasa menonton televisi ? 1.
sendiri
2.
dengan saudara, kakak, adik
3.
dengan ayah atau ibu
4.
dengan anggota keluarga yang lain (paman, bibi, nenek, kakek, sepupu, dll.)
Berapa hari dalam seminggu anda menonton televisi ? 1.
tidak pernah
2.
jarang ( kurang dari 2 kali seminggu )
3.
cukup (2 - 3 kali seminggu)
4.
sering (4 - 5 kali seminggu)
5.
sangat sering (setiap hari)
Berapa jam dalam sehari anda menonton televisi ? 1.
tidak pernah
2.
jarang (1 - 2 jam)
3.
cukup (2 - 4 jam)
4.
sering (4 - 6 jam)
5.
sangat sering (lebih dari 6 jam)
93
E
F
Apakah anda menyukai tontonan berupa film kartun / animasi / anime ? 1.
tidak suka
2.
tidak punya pilihan
3.
biasa-biasa saja
4.
menyukai, kalau ceritanya menarik
5.
sangat menyukai
Jenis cerita apa yang paling anda sukai dari film kartun/animasi/anime ? 1.
humor / lucu
2.
pendidikan
3.
keluarga
4.
detektif
5.
petualangan dan laga
TERPAAN MEDIA a
b
c
Jika anda tahu tentang film kartun NARUTO, seberapa sering anda nonton dalam 1 bulan ? 1.
tidak pernah
2.
sesekali (1 kali dalam 1 bulan)
3.
kadang-kadang (2 kali dalam 1 bulan)
4.
sering (3 kali dalam 1 bulan)
5.
sangat sering (4 kali dalam 1 bulan)
Sudah sejak kapan anda nonton film kartun NARUTO ? 1.
sejak baru-baru ini
2.
kurang dari 1 tahun yang lalu
3.
lebih dari 1 tahun yang lalu
4.
dari sejak ditayangkan di Indosiar
5.
dari awal sejak ditayangkan di Global TV
Dalam 1 kali tayangan film kartun NARUTO, berapa lama anda menonton ? 1.
tidak pernah
2.
sesekali (kurang dari 10 menit)
3.
kadang-kadang (kurang dari 15 menit)
4.
sering (kurang dari 30 menit)
5.
sangat sering (selama 30 menit penuh).
94
d
e
f
Apakah menurut anda waktu tayang (durasi) NARUTO 30 menit perlu ditambah ? 1.
tidak perlu
2.
mungkin perlu
3.
cukup
4.
perlu
5.
sangat perlu
Apakah menurut anda hari tayang NARUTO perlu ditambah (tidak Cuma hari minggu saja) ? 1.
tidak perlu
2.
mungkin perlu
3.
cukup
4.
perlu
5.
sangat perlu
Apa yang anda sukai dari film kartun NARUTO ? 1.
jalan ceritanya
2.
sound tracknya
3.
tokoh-tokohnya
4.
pesan yang disampaikan
5.
adegan perkelahiannya
EFEK KONATIF g
Apakah anda pernah membayangkan diri anda menjadi salah satu dari tokoh-tokoh dalam cerita film kartun NARUTO ?
h
1.
tidak pernah
2.
pernah mencoba untuk membayangkan
3.
kadang-kadang membayangkan
4.
sering membayangkan
5.
sangat sering membayangkan
Apakah anda menjadikan kisah NARUTO sebagai topik perbincangan dengan teman-2 anda? 1.
tidak pernah
2.
pernah mencoba untuk memperbincangkan
3.
kadang-kadang memperbincangkan
4.
sering memperbincangkan
5.
sangat sering memperbincangkan
95
i
j
k
l
m
Jika ada orang yang menjelekkan /menilai buruk tokoh NARUTO apakah anda akan marah ? 1.
tidak
2.
pernah marah
3.
kadang-kadang marah
4.
marah
5.
sangat marah
Apakah NARUTO membuat anda terinspirasi anda dalam kegiatan sehari-hari ? 1.
tidak
2.
pernah terinspirasi
3.
kadang-kadang terinspirasi
4.
sering terinspirasi
5.
sangat terinspirasi
Apakah anda juga mengajak atau menganjurkan teman-teman yang belum pernah nonton NARUTO ? 1.
tidak pernah
2.
pernah mencoba untuk mengajak atau menganjurkan
3.
kadang-kadang mengajak atau menganjurkan
4.
sering mengajak dan menganjurkan
5.
sangat sering mengajak dan menganjurkan
Apakah anda menirukan ucapan-ucapan khas NARUTO ketika hendak mengeluarkan jurusnya ? 1.
tidak pernah
2.
pernah mencoba untuk mengucapkan
3.
kadang-kadang mengucapkan
4.
sering mengucapkan
5.
sangat sering mengucapkan
Apakah anda pernah berpenampilan atau bergaya ala NARUTO ? 1.
tidak pernah
2.
pernah berpenampilan atau bergaya
3.
kadang-kadang berpenampilan atau bergaya
4.
sering berpenampilan atau bergaya
5.
sangat sering berpenampilan atau bergaya
96
n
o
Apakah anda pernah menyanyikan lagu-lagu yang menjadi soundtrack NARUTO ? 1.
tidak pernah
2.
pernah menyanyikan
3.
kadang-kadang menyanyikan
4.
sering menyanyikan
5.
sangat sering menyanyikan
Apakah anda suka meniru atau mengikuti gerakan atau jurus-jurus yang dipakai oleh tokoh-tokoh dalam film kartun NARUTO untuk berkelahi ?
p
q
r
1.
tidak pernah
2.
pernah meniru atau mengikuti
3.
kadang-kadang meniru atau mengikuti
4.
sering meniru dan mengikuti
5.
sangat sering meniru dan mengikuti
Apakah NARUTO adalah tokoh favorit anda ? 1.
tidak
2.
pernah jadi tokoh favorit
3.
salah satu tokoh favorit
4.
tokoh favorit
5.
tokoh sangat favorit
Apakah NARUTO layak menjadi tokoh panutan bagi para remaja ? 1.
tidak layak
2.
mungkin layak
3.
cukup layak
4.
layak
5.
sangat layak
Apakah anda juga memakai / mengenakan atribut-atribut NARUTO tersebut ? 1.
tidak pernah
2.
pernah memakai/ mengenakan
3.
kadang-kadang memakai/ mengenakan
4.
sering memakai/ mengenakan
5.
sangat sering memakai/ mengenakan
97
s
t
Apakah anda menyisihkan uang saku anda untuk membeli atribut-atribut NARUTO tersebut ? 1.
tidak pernah
2.
pernah menyisihkan
3.
kadang-kadang menyisihkan
4.
sering menyisihkan
5.
sangat sering menyisihkan
Apakah anda memiliki atribut-atribut NARUTO seperti tercantum di bawah ini ? ( boleh memberi tanda lebih dari 1 ) a.
Komik
p.
Kemeja
b.
Jaket
q.
Bandana
c.
Jam tangan
r.
Sarung tangan
d.
Senjata
s.
Topi
e.
Sepatu
t.
Kalung/ liontin
f.
Dompet
u.
Gelang
g.
Tas / ransel
v.
Cincin
h.
Mug / cangkir
w.
Jam Dinding
i.
Piring
x.
VCD / DVD
j.
Poster
y.
Game
k.
Boneka
z.
Lagu / soundtrack
l.
Gantungan kunci
aa.
Pajangan
m.
Casing HP
ab.
Sticker
n.
Gantungan HP
ac.
Pin / bros
o.
Kaos/ t-shirt
ad.
lain-lain : _________________
Terimakasih, anda telah turut membantu saya untuk menyelesaikan tugas akhir, penulisan skripsi di Fakultas Ilmu Komunikasi, Jurusan Broadcasting, Universitas Mercu Buana berjudul : "Efek Konatif Tayangan Film Kartun Naruto Terhadap Perilaku Remaja" - Steve Alva -