UNIVERSITAS MERCU BUANA FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI
skripsi
KAJIAN PERKEMBANGAN BAHASA RUPA DAN MAKNANYA PADA BUSANA ADAT BUNDO KANDUANG DAERAH KOTO GADANG KOTA SUMATERA BARAT (STUDI KASUS : BUSANA ADAT BK DAERAH KOTO GADANG TAHUN 2000)
Diajukan oleh : MOHAMAD ISMAIL NIM: 44405010021 UNTUK MEMENUHI SALAH SATU SYARAT GUNA MENCAPAI GELAR SARJANA KOMUNIKASI
JAKARTA 2009 1
2
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MERCU BUANA KOMUNIKASI VISUAL LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI Judul Busana
: Kajian Perkembangan Bahasa Rupa dan Maknanya Pada Adat Bundokanduang Daerah Koto Gadang Kota Sumatera
Barat (Studi kasus : Busana Adat BK Daerah Koto Gadang Tahun 2000) Nama
: Mohamad Ismail
NIM
: 44405010021
Fakultas
: Ilmu Komunikasi
Jurusan
: Visual Communication
Jakarta, Agustus 2009 Mengetahui, Pembimbing I
( Ranti Mardianti ,S.Sn,M.Ds )
Pembimbing II
( Yuka.D.Narendra.S.Sn,M.Hum )
3
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MERCU BUANA KOMUNIKASI VISUAL LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI Judul Busana
: Kajian Perkembangan Bahasa Rupa dan Maknanya Pada Adat Bundokanduang Daerah Koto Gadang Kota Sumatera
Barat (Studi kasus : Busana Adat BK Daerah Koto Gadang Tahun 2000) Nama
: Mohamad Ismail
NIM
: 44405010021
Fakultas
: Ilmu Komunikasi
Jurusan
: Visual Communication
Jakarta, Agustus 2009
Mengetahui, Pembimbing I
( Ranti Mardianti ,S.Sn,M.Ds )
Pembimbing II
( Yuka.D.Narendra.S.Sn,M.Hum )
4
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MERCU BUANA KOMUNIKASI VISUAL LEMBAR PENGESAHANAN SKRIPSI Judul
: Kajian Perkembangan Bahasa Rupa dan Maknanya Pada Busana Adat Bundokanduang Daerah Koto Gadang Kota Sumatera Barat (Studi kasus : Busana Adat BK Daerah Koto Gadang Tahun 2000)
Nama
: Mohamad Ismail
NIM
: 44405010021
Fakultas
: Ilmu Komunikasi
Jurusan
: Visual Communication Jakarta, Agustus 2009 Disetujui dan Diterima Oleh : Pembimbing I
( Ranti Mardianti ,S.Sn,M.Ds )
Pembimbing II
( Yuka.D.Narendra,S.Sn,M.Hum ) Mengetahui,
Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi
( Dra.Diah Wardhani.M.Si )
Ketua Bidang Studi Visual Communication
( Nurprapti W.Widyastuti,S.Sos,M.Si )
5
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MERCU BUANA KOMUNIKASI VISUAL
TANDA LULUS SIDANG SKRIPSI Nama Nim Fakultas Jurusan Judul
: Mohamad Ismail : 44405010021 : Fakultas Ilmu Komunikasi : Komunikasi Visual : Kajian perkembangan Bahasa Rupa dan Maknanya pada Busana Adat Bundokanduang daerah Koto Gadang Kota Sumatera barat (studi kasus : Busana Adat BK daerah Koto Gadang tahun 2000)
Jakarta, Agustus 2009
1. Ketua Sidang Nurprapti W.Widyastuti, S.Sos,M.Si
(………………………. )
2. Penguji Ahli Morrison, SH, MA
(………………………. )
3. Pembimbing I Ranti Mardianti, M.Sn, M.Ds
(………………………. )
4. Pembimbing II Yuka.D.Narendra,S.Sn,M.Hum
(………………………. )
6
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MERCU BUANA KOMUNIKASI VISUAL ABTRAKSI Universitas Fakultas Jurusan Nama Judul
: Universitas Mercu Buana : Ilmu Komunikasi : Komunikasi Visual : Mohamad Ismail : Kajian perkembangan Bahasa Rupa dan Maknanya pada Busana Adat Bundokanduang daerah Koto Gadang Kota Sumatera barat (studi kasus : Busana Adat BK daerah Koto Gadang tahun 2000)
Sumatera Barat merupakan daerah yang di dominasi oleh bentang lahan perbukitan dan pergunungan dengan pengaruh berbagai budaya mulai dari Hindu, Islam dan Cina, berlatar budaya nelayan dan petani. Lewat kontak (diaspora) budaya dan politik dengan berbagai bangsa, masyarakat Indonesia memiliki seni tradisi yang kaya salah satunya adalah busana adat Bundokanduang. Ragam hias Bundokanduang termasuk busana adat Sumatera barat dan banyak memiliki perlambangan dan juga memiliki filosofi yang sangat tinggi. Samudera hindia sebagai daerah terdekat ikut menyumbangkan dalam pembentukan budaya kota Sumatera barat, lewat hubungan dagang dan politik. Budaya Minang itu sendiri terbentuk lewat akulturasi budaya lokal, Hindu, Islam dan Cina dengan latar seni istana serta memiliki komunitas masyarakat Hibriditas budaya. Pengaruh budaya busana adat tahun 2000 yang datang langsung ke masyarakat global lewat perdagangan maupun lewat jalur media tampak terlihat dari warna. Cina yang datang langsung ke Sumatera barat lewat perdagangan maupun lewat jalur Samudra Hindia dapat dilihat dari penggunaan motif-motif simbolis Cina seperti funiks, kilin, banji, meander, dimana dalam prosesnya motif Cina tidak ditiru begitu saja tapi diolah ke dalam nilai-nilai lokal konvensi masyarakat Sumatera barat sehingga menghasilkan berbagai perubahan bentuk. Kedatangan barang-barang keramik dan kain sutera dimana terdapat kesamaan ragam hias dan warna dengan motif busana adat bundokanduang kota Sumatera barat.
7
KATA PENGANTAR
Skripsi
ini
sebagai
pengembangan
proses
mempelajari
semiotika.
Pembelajaran ini tak hadir dalam kesendirian, kekosongan, ketertenggelaman dalam rutinitas atau keterbenaman dalam tekstualitas semata; mempelajari ini tak lepas dari kehadiran sosok-sosok luar biasa yang dipertemukan oleh semesta dengan diri saya. Sosok-sosok ini begitu berperan dalam perjalanan belajar saya; mereka adalah orangorang yang telah ikut berproses dan berkontribusi bagi pertumbuhan saya. Pada kesempatan ini, saya ingin mengucapkan terima kasih pada sosok-sosok luar biasa itu. Oleh karena itu dengan kerendahan hati, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Kedua orang tua penulis tercinta, Bapak Moch. Sidik dan Ibunda Yus Nawizar, serta abang dan adik-adikku yang selalu sabar dan penuh kasih sayang dalam memberikan dorongan serta do’anya untuk keberhasilan penulis baik dalam penulisan skripsi ini. 2. Ibu Ranti Mardianti, M.Sn, M.Ds, selaku pembimbing I yang dimasa saya mengerjakan skripsi membekali cara melihat logika permasalahan, berteori, dan cara menuangkan dalam penulisan; semua banyak memberi kontribusi bagi pengembangan keilmuan dan kemampuan menulis saya. 3. Bapak Yuka.D.Narendra,S.Sn,M.Hum, selaku pembimbing II yang dimasa saya mengerjakan skripsi membekali cara melihat logika permasalahan,
8
berteori, dan cara menuangkan dalam penulisan; semua banyak memberi kontribusi bagi pengembangan keilmuan dan kemampuan menulis saya. 4. Ibu Nurprapti W.Widyastuti, S.Sos,M.Si selaku kepala program studi Komunikasi Visual Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana atas dorongan, masukan serta nasehatnya kepada penulis. 5. Bapak Farid Hamid S.Sos, M.Si selaku pembimbing ke III dan Morrisan, SH, MA selaku penguji Ahli terima kasih atas Ilmu dan bimbingannya selama ini. 6. Untuk Lusi yang banyak memberikan dukungan untuk membantu penulisan dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini dan rekan-rekan yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. 7. Kawan-kawan yang baik hati seperti Taufik, Novi, Fadillah yang telah banyak membantu baik moril maupun materil kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. 8. Keluarga besar UKPM ORIENTASI Universitas Mercu Buana atas setiap untaian do’a pada kalian Anie, Uchi, Tika, Ferdinan, dan adik-adikku Ulfa, Ferni, Aris, Wahyu, Rizal dkk 9. Keluarga besar Paguyuban Mahasiswa Minang (PMM) jakarta, saudaraku Aldo yang telah banyak memberi kontribusi dalam membangun semangat persatuan untuk menyelesaikan proyek skripsi ini. 10. Keluarga besar UKM Theater AMOEBA Universitas Mercu Buana atas setiap dukungan pada kalian Aries.S.Romaini,Abid dan Adik-adikku dkk. 11. Kawan-kawan Forum Pers Mahasiswa se-Jabotabek (FPMJ) yang membekali cara berorganisasi di setiap wilayah.
9
12. Komunitas Taman Hati membekali cara melihat logika permasalahan, berdiskusi, berteori, dan cara menuangkan dalam penulisan; semua banyak memberi kontribusi bagi pengembangan keilmuan dan kemampuan menulis saya. 13. Seluruh sahabat penulis di Fakultas Ilmu Komunikasi jurusan Komunikasi Visual angkatan 2005 dan teman-teman di Unversitas Mercu Buana. Dengan kehadiran berbagi pihak tersebut, maka perjalanan saya hingga terbit buku ini adalah sebuah penanda yang merujuk pada makna bahwa pertemuanpertemuan dan kejadian dalam hidup bukanlah kebetulan semata, buku ini adalah patronus yang muncul dari akumulasi pertemuan-pertemuan dengan sosok-sosok luar biasa dalam hidup saya. Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan proyek tugas akhir ini. Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun dari semua pihak akan penulis terima sebagai bahan untuk meningkatkan keterampilan dan menambah pemahaman dalam bidang akuntansi. Semoga laporan proyak tugas akhir ini memberi manfaat khususnya bagi penulis. Jakarta, 12 Maret 2009
( MOHAMAD ISMAIL )
10
RENCANA DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN ....................................................................................... i LEMBAR TANDA LULUS ..................................................................................... ii KATA PENGANTAR .............................................................................................. iii DAFTAR ISI ............................................................................................................. iv ABSTRAKSI ............................................................................................................ v
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
1.2
Perumusan Masalah ........................................................................ 6
1.3
Tujuan dan Kegunaan Penelitian .................................................... 7
BAB II 2.1
2.2
TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Singkat Bundo Kandung 2.1.1
Penyebaran dan penaburan kebudayaan Diaspora …………..…. 12
2.1.2
Pengertian Busana Adat................................................................ 15
2.1.3
Fungsi dan posisi busana adat dalam kebudayaan secara umum. 20
Bundo kanduang sebagai artefak kebudayaan minang 2.2.1
Budaya masyarakat koto gadang.................................................. 26
2.2.2
Bahasa rupa busana adat Bundo kanduang ................................. 33
2.2.3
Modernisasi dan Akulturasi ......................................................... 36
11
2.3
BAB III
Makna dan Bahasa Rupa 2.3.1
Makna dan Unsur-unsurnya ......................................................... 40
2.3.2
Mengkaji makna dan bahasa rupa dengan semiotika .................. 40
2.3.3
Semiotika ..................................................................................... 42
2.3.4
Semiotika Ferdinand Saussure ..................................................... 47
METODOLOGI PENELITIAN
3.1
Tipe Penelitiaan ........................................................................... 49
3.2
Metode Penelitian ........................................................................ 50
3.3
Unit Analisis ................................................................................ 51
3.4
Teknik Pengumpulan Data .......................................................... 52
3.5
Teknis analis data ......................................................................... 54
BAB IV 4.1
HASIL PENELITIAN Upacara adat ……………………………………….......................... 58 4.1.1
Tata cara busana Bundo kanduang .............................................. 59
4.2
Budaya adat manusia millennium ……………………………..…… 62
4.3
Analisa Semiotika .............................................................................. 65 4.3.1
Bahasa rupa pada suntiang bundokanduang tahun 2000 ............. 74
4.3.2
Bahasa rupa pada baju kurung tahun 2000 .................................. 77
4.3.3
Bahasa Rupa pada Selendang ...................................................... 83
12
4.4
BAB V
4.3.4
Bahasa rupa pada kain sarung (kodek) ........................................ 86
4.3.5
Bahasa rupa pada kalung perhiasan ............................................. 90
4.3.6
Bahasa rupa pada perhiasan pada galang.(gelang) ...................... 94
4.3.7
Bahasa rupa pada cincin ……………….………….…………… 97
Analisa Klasifikasi Tanda Pakaian Busana Adat Bundokanduang .. 103
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1
Kesimpulan ...................................................................................... 111
5.2
Saran ................................................................................................ 113
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 114 TENTANG PENULIS ............................................................................................. 115
13
DAFTAR TABEL GAMBAR
1. Gambar 2.1 Busana Adat Bundokanduang …………..…………………….. 34 2. Gambar 4.1 Budaya Adat Global Pada Tahun 2000 …..…………………… 62 3. Gambar 4.2 Budaya Adat Global Pada Tahun 2000 ……..………………… 63 4. Gambar 4.3 Busana Adat Tahun 2000 ……..………………………………. 65 5. Gambar 4.4 Suntiang Bundokanduang 2000 ………..……………………... 74 6. Gambar 4.5 (a) Pernik Rumah Gadang ……………..……………………… 75 7. Gambar 4.6 (b) Pernik Suntiang Gadang ………………..…………………. 76 8. Gambar 4.7 (c) Pernik Suntiang Gadang …………..………………………. 77 9. Gambar 4.8 Baju Kurung Tahun 2000 …………..……………………...…. 77 10. Gambar 4.9 Motif Pada Bagian Bawah Baju Kurung Adat Minang ..……. 79 11. Gambar 4.10 Motif Busana Adat Baju Kurung Siriah Gadang ………......... 81 12. Gambar 4.11 Motif Pada Bagian Tengah Busana Adat Baju Kurung ..……. 83 13. Gambar 4.12 Motif Pada Bagian Lengan Busana Adat Baju Kurung ….….. 84 14. Gambar 4.13 Selendang Bundokanduang …..………………………..……. 85 15. Gambar 4.14 Motif Selendang Pada Bagian Ujung Busana Adat….………. 85 16. Gambar 4.15 Motif Selendang Pada Bagian Tengah ………….…………... 87 17. Gambar 4.16 Kain Sarung (Kodek) ………….……………….……………. 89 18. Gambar 4.17 Kain Sarung Motif Taji Siarek …….……………………….. 90 19. Gambar 4.18 Kain Sarung Motif Bada Mudiak ………………………..…... 91 20. Gambar 4.19 Motif Pada Bagian Tengah Kain Sarung ………………….... 92 21. Gambar 4.20 Perhiasan Kalung Bundo Kanduang ………………………... 93 22. Gambar 4.21 Bentuk Perhiasan Kalung …………………………………... 94 23. Gambar 4.22 Motif Hias Bunga Teratai pada Perhiasan Kalung ……….… 95 24. Gambar 4.23 Perhiasan Kalung Rumah Gadang ……………………….…. 96 25. Gambar 4.24 Motif Perhiasan Kalung Pada Bagian Tengah ……………..... 97 26. Gambar 4.25 Motif Bahasa Rupa Pada Bagian Tepi Kalung …………..….. 98 27. Gambar 4.26 Perhiasan Galang Gadang …………………………...………. 99
14
28. Gambar 4.27 Motif Pada Tepi Galang Gadang …………………….…… 100 29. Gambar 4.28 Motif Pada Tengah Galang Gadang ……………………… 101 30. Gambar 4.29 Bahasa Rupa Pada Cincin ………………………………… 102
Analisa Klasifikasi Tanda :
31. Gambar 4.30 Pakaian Busana Adat Bundokanduang ……………….…… 103 32. Gambar 4.31 Bahasa Rupa pada Suntiang Bundokanduang 2000 ….……. 104 33. Gambar 4.32 Bahasa Rupa pada Baju Kurung Tahun 2000 …………….. 105 34. Gambar 4.33 Bahasa rupa pada Selendang……………………………… 106 35. Gambar 4.34 Bahasa Rupa Pada Kain Sarung …………………………... 107 36. Gambar 4.35 Bahasa Rupa Pada Kalung Perhiasan ………………………108 37. Gambar 4.36 Perhiasan Kalung Minang ………………………………… 109 38. Gambar 4.37 Bahasa Rupa Pada Perhiasan Gelang ……………………... 110
15
DAFTAR TABEL
1. Table 4.1 Pakaian Busana Adat Bundokanduang ………..……………… 103 2. Table 4.2 Suntiang Bundokanduang 2000 …………..…………………... 104 3. Table 4.3 Baju Kurung Tahun 2000 ……………..…………………........ 105 4. Table 4.4 Selendang Bundokanduang .………………..………………… 106 5. Table 4.5 Kain Sarung (Kodek) ...………………..……………………… 107 6. Table 4.6 Perhiasan Kalung Bundo Kanduang .…………..…………….. 108 7. Table 4.7 Perhiasan Kalung Minang Bundo Kanduang ……..…………. 109 8. Tabel 4.8 Perhiasan Galang Gadang ………………………..…………... 110 9. Tabel 4.9 Perkembangan Bahasa Rupa Antara pra-Modern, Modern, dan Posmodern ……………………………………………..…………………. 110
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Dilihat dari segi kebudayaan, perkembangan busana adat tidak lain adalah
usaha sadar untuk menciptakan kondisi hidup manusia yang lebih baik. Menciptakan lingkungan hidup yang lebih serasi. Menciptakan kemudahan atau fasilitas agar kehidupan itu lebih nikmat. Perkembangan busana adat adalah suatu intervensi manusia terhadap alam lingkungannya, baik lingkungan alam fisik, maupun lingkungan sosial budaya. Perkembangan busana adat membawa perubahan dalam diri manusia, masyarakat dan lingkungan hidupnya. Serentak dengan laju perkembangan busana adat pada tahun 2000, terjadi pula dinamika masyarakat agar terlihat beda dengan sebelumnya. Terjadi perubahan sikap terhadap nilai-nilai budaya yang sudah ada. Hingga, terjadilah pergeseran sistim nilai budaya yang membawa perubahan pula dalam hubungan interaksi manusia dalam masyarakatnya. Diakui secara umum bahwa kebudayaan busana adat merupakan unsur penting dalam proses perkembangan suatu daerah. Lebih-lebih jika masyarakat itu sedang membentuk watak dan kepribadiannya yang serasi dengan tantangan zamannya. Hal itu berarti menumbuhkan sikap hidup yang seimbang dan kepribadian utuh dalam meningkatkan harkat dan martabat manusia. Sistem berpakaian pada busana adat minang dan penggunaan keragaman 1
2
bentuk perhiasan yang digunakan dalam berpakaian di setiap, suku, sampai kepada kelompok masyarakat terkecil memiliki perbedaan dasar pemikiran yang terungkap melalui gerak laku, karya, sebagai cerminan dalam sebuah kebudayaan. Koentjaraningrat
1
menjelaskan bahwa, Kebudayaan itu mempunyai paling sedikit
tiga wujud, yaitu (1) wujud kebudayaan sebagai suatu komplek dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, peraturan dan sebagainya.(2) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas berpola dari manusia dalam masyarakat. (3) wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud benda sebagai karya berhubungan dengan berbagai kebutuhan manusia. Salah satu wujud benda yang merupakan kebutuhan utama bagi manusia adalah pakaian, karena selain untuk melindungi tubuh dari berbagai kemungkinan, maka ia juga merupakan cerminan dari nilai-nilai budaya serta perilaku masyarakat pemakainya. Disamping itu benda-benda tersebut memiliki muatan perlambanganperlambangan yang berhubungan erat dengan sistem kepercayaan. Cassirer
4
mengatakan bahwa: Setiap karya manusia lahir dalam kondisi historis dan kondisi sosial tertentu. Tetapi kita takkan pernah mengerti kondisi-kondisi spesial tanpa menangkap prinsip-prinsip struktur umum yang ada dibalik karya-karya itu. Dalam telah kita tentang bahasa, kesenian dan mitos, masalah makna lebih penting dari pada masalah perkembangan sejarahnya. Pada masyarakat Minang kabau, pakaian merupakan suatu benda yang memiliki makna-makna dengan filosofi tertentu sesuai dengan status sosial dari indiv1 2
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa Balai Pustaka, Jakarta, 1993, hlm. 5 Ernst Cassirer.. Manusia dan Kebudayaan Sebuah Essai Tentang Manusia. Jakarta: PT. Gramedia, 1987, hlm. 104
3
idu yang memakainya, seperti pakaian yang dipakai oleh para pemangku adat. Dari beberapa pakaian pemangku adat di Minang kabau salah satunya adalah Pakaian Bundo Kanduang . Bundo Kanduang merupakan sebutan khusus yang ditujukan tehadap kaum perempuan dalam tatanan adat Minang kabau. Berdasarkan uraian diatas maka dapat dikatakan bahwa makna busana adat Bundo Kanduang memiliki keterkaitan erat dengan tatanan budaya masyarakat adat Minangkabau. Seperti yang dijelaskan Yasraf 5 bahwa, satu totalitas yang kompleks dapat dilihat sebagai satu perangkat unsur-unsur yang saling berkaitan satu sama lain. Sebuah unsur hanya bermakna ketika ia dikaitkan dengan perangkat unsur-unsur secara total. Oleh sebab itu, apa yang ingin disingkap, bukanlah hakikat suatu unsur, melainkan relasi yang menghubungkan masing-masing unsur. Maka dengan itu, terlepas dari makna khusus dan keistimewaan bahasa rupa yang dimiliki, busana Bundo Kanduang menarik dan layak untuk dipelajari dari sudut pandang ilmu tentang semiotika. Di dalamnya mengandung nasehat-nasehat, kebijaksanaan, dan pesan tentang kehidupan manusia. Terutama bagi yang mengenakan baju kebesaran akan mengikat dalam membangun keluarga. Busana adat mengandung filosofi, karakter, dan pola pikir masyarakat Minang dalam memaknai sebuah peristiwa daur hidup. Pernikahan merupakan ritual penting bagi masyarakat Minang, karena memiliki posisi sebagai awal kelahiran (bayi) dan pemakaian pembesar adat.
5
Piliang, Yasraf Amir. Hiper-Realitas Kebudayaan. Yogyakarta: LkiS, l999, hlm. 116
4
Busana adat atau pakaian adalah kulit luar yang mampu menunjukkan identitas individu atau kelompok. Busana dapat menutupi kekurangan seseorang dalam berbagai hal sehingga tampak setara dengan kelas tertentu dan menjadi transportasi efektif bagi pihak-pihak yang menginginkan status diakui sebagai orang terhormat serta alat untuk menggolongkan masyarakat sebagai golongan elit atau golongan sulit (secara ekonomi). Selain cermin identitas, status, dan hierarki juga menunjukkan gender, memiliki nilai simbolik, ekspresi gaya hidup tertentu, mencerminkan sejarah, hubungan kekuasaan, serta perbedaan dalam pandangan sosial, politik dan religius Sebagai seorang pemakai busana kebesaran pemimpin adat, Bundo Kanduang memiliki pakaian khusus yang di sebut dengan Pakaian Bundo Kanduang. Yang paling menunjang terhadap keunikan pakaian ini adalah kelengkapan perhiasan atau aksesoris yang digunakan oleh Bundo Kanduang. Hingga, perkembangan budaya Minang kabau tidak terlepas dari sejarah masuknya pengaruh-pengaruh budaya luar yang telah ikut mempengaruhi adat dan seni kreasi para seniman pekria Minang kabau. Penyebaran, kedatangan dan kolonialisme bangsa lain memperlihatkan masing-masing pengaruhnya melalui wujud ornamentik seperti jenis tumbuhan, hewan, manusia dan geometris. Masuknya pengaruh islam di alam ini adalah sangat dominan dan banyak sekali dijumpai pada motif hias tekstil; dengan bentuk motif yang bersifat geometris atau dominasi bentuk tanaman. Manusia dan binatang sebagai sumber obyek bahasa rupa diolah menjadi sandi-sandi yang abstrak. Namun, kewajiban paling utama bagi Bundo Kanduang di Minang kabau adalah memelihara anak dan kemenakan, yakni anak-anak dari saudara perempuan
5
suaminya. Memelihara anak dan kemenakan mempunyai ruang lingkup yang luas, yang pada pokoknya menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat yang mungkar atau jahat. Sebagai ibu mempunyai tugas merawat, membimbing, mendidik anakanaknya sedangkan terhadap kemenakannya berkewajiban membimbing; memberi bantuan serta memperhatikan pendidikannya. Pemahaman
permasalahan
tersebut
menyadarkan
adanya tanda dari
kebudayaan yang tidak hanya sebagai akibat dari kegiatan interaksi masyarakat dengan masyarakat lain atau masyarakat dalam institusi sosial. Tetapi kebudayaan dapat diartikan sebagai sebuah sistem yang akan membentuk cara berfikir dan bertingkah laku, yang pada tataran realitas material akan nampak berbagai bentuk variasi, tetapi pada kenyataan struktur bathiniah akan menunjukkan suatu kesamaan pandangan serta kepribadian yang disimboliskan. Seperti yang nampak pada bahasa rupa busana adat Bundo Kanduang klasik pada busana adat Minang secara material kelihatan bervariasi bentuknya, tetapi secara struktural bathiniah dibentuk oleh adanya simbolisme dari kepribadian masyarakat Minang dan khususnya adat istiadat Sumatera Barat. Hingga, di dalam gagasan kebudayaan dan bahasa rupa unit analisa atau obyek dari kajiannya dapat dikategorikan, yaitu bahasa rupa yang terdiri atas tandatanda visual sebagai representasi makna bahasa atau perilaku pada umumnya Baik artefak, bahasa rupa, maupun periaku manusia memperlihatkan tata susunan atau pola keteraturan tertentu yang dijadikan dasar untuk memperlakukan hal-hal itu sebagai data yang bermakna, karena merupakan hasil kegiatan manusia sebagai mahluk yang
6
terikat pada kelompok atau kolektiva, dan karena keterikatan itu mewujudkan kebermaknaan. Hingga dari beberapa uraian penjelasan di atas, Sistem Matriarkal ini memegang peranan penting dalam adat dan budaya Minang kabau, mengingat matriarkal merupakan roh dalam kehidupan masyarakat Minang dan matriarkal merupakan pilar utama identitas Minang kabau hingga akhir zaman. Matriarkal adalah bagian dari adat dalam berbagai penghormatan yang bibentuk oleh nenek moyang kita yang harus dipegang dan dipertahankan walaupun zaman berubah dalam perkembangannya. Namun, kelestarian kebudayaan ini harus kita jadikan acuan hidup. Oleh sebab itu peneliti tertarik untuk mengetengahkan judul “KAJIAN PERKEMBANGAN BAHASA RUPA DAN MAKNANYA PADA BUSANA ADAT BUNDO KANDUANG DAERAH KOTO GADANG KOTA SUMATRA BARAT”(studi kasus : Busana adat BK daerah koto gadang tahun 2000), karena termotivasi
oleh
keinginan
untuk
lebih
mengetahui,
mendalami
dan
mensosialisasikan kebudayaan sumatra barat. 1.2
Perumusan Masalah Bertitik tolak dari pembatasan masalah yang telah dikemukan tersebut diatas,
sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan perumusan masalah yaitu: Bagaimana kajian perkembangan Bahasa rupa dan Maknanya pada busana adat Bundo Kanduang daerah Koto gadang Sumatera barat ?
7
1.3
Tujuan dan Kegunaan Penelitian Jenis penelitian ini adalah deskriptif yang mendeskripsikan (menggambarkan)
kenyataan yang ada dengan tujuan untuk mengetahui seberapa jauh perkembangan hubungan antara bahasa rupa dan makna busana adat Bundo kanduang daerah koto gadang kota Sumatera Barat. Permasalahan dibatasi pada perbedaan dan kesamaan poin penamaan, struktur motif menurut penempatan dan perulangan posisi dan pola motif. Untuk melihat perkembangan dan pembuktian, diperlukan bandingan antara pakaian busana Bundo kanduang lama dan baru di setiap resesi pernikahan adat Minangkabau dan daerah penelitian. a.
Tujuan penelitian 1. Untuk mengetahui gambaran perkembangan yang terjadi pada bahas rupa dan makna busana adat minang kabau, Nagari koto gadang, berkaitan dengan perubahan desain suntiang, kodek dan kain-kainnya. 2. Untuk
mengungkapkan,
mendeskripsikan,
menganalisa,
mensosialisasikan dan mendokumentasikan gambaran umum pada perkembangan bahasa rupa dan makna rupa busana adat bundo kanduang. 3. Untuk mengetahui nilai fungsi, ciri estetik dan simbolik pada makna dan bahasa rupa pada busana adat. b.
Manfaat Penelitian 1. Manfaat Akademik Sebagai masukan yang diharapkan dapat digunakan sebagai bahan penelitian serta diharapkan akan bermanfaat untuk memberikan
8
sumbangan pemikiran bagi pihak akademik yang merasa tertarikdalam permasalahan yang dibuat oleh penulis. 2. Manfaat Praktis Diharapkan dapat digunakan sebagai referensi oleh pihak lain yang berkepentingan baik untuk membuat penelitian yang sejenis maupun sebagai pengambilan keputusan di bidang ini.
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Sejarah Singkat Bundokandung Sumatera Barat secara kultural dikenal dengan sebutan Minangkabau. Seni
dan budaya pada tiap daerah di Sumatera Barat mempunyai keunikan dan ciri khas tersendiri. Keunikan dan ciri khas tiap daerah memperkaya khasanah kebudayaan seni dan budaya Minang kabau serta merupakan potensi yang luar biasa dalam perkembangan kebudayaan seni dan budaya Minangkabau secara keseluruhan. Sumatera Barat di Daerah Koto Gadang termasuk kawasan yang subur di Indonesia, dikelilingi oleh dua gunung, yakni gunung Merapi dan gunung Singgalang. Kawasan ini disebut dengan darek (darat) yaitu dataran tinggi dibagian perdalaman, merupakan tempat asal orang Minangkabau. Minangkabau merupakan salah satu daerah budaya di Indonesia yang didiami oleh masyarakat yang dikenal dengan suku bangsa (etnis). Minangkabau, terkenal dengan ciri sosial masyarakat, yaitu taat kepada agama Islam, berpegang kuat kepada sistem kekeluargaan garis ibu (matrinial), dan berkecenderungan untuk merantau Historiografi dan etnografi adat Minangkabau selalu menekankan bahwa nagari adalah kesatuan sosial utama yang dominan yang menjadi ciri khas masyarakat Minangkabau. Dahulu nagari merupakan kesatuan masyarakat adat yang otonom merupakan republik mini territorial yang mempunyai pemerintahan sendiri, serta mempunyai adat sendiri yang mengatur tata kehidupan masyarakat. Tiap-tiap
10
wilayah nagari mempunyai perbedaan meliputi pengalaman dan penfsiran adat dari kawasan yang satu dengan kawasan yang lain, mencakupi pakaian adat, bentuk rumah gadang, upacara-upacara, bahasa yang digunakan (segi infleksi atau nada suara, logat, dan kadang-kadang istilah), serta organisasi sosial dalam nagari.6 Dalam adat istiadat Minangkabau, Bundo Kanduang adalah nama seorang tokoh wanita yang menurunkan raja-raja Minangkabau, berkedudukan di Istana Pagaruyung. Dalam perkembangan selanjutnya, Bundo Kanduang atau Bunda Kandung menjadi istilah yang berarti ibu sejati yang memiliki sifat-sifat keibuan dan kepemimpinan. Menurut adat Minangkabau ibu adalah tempat menarik tali turunan yang disebut matrilineal. Hal ini mengandung makna agar manusia yang dilahirkan oleh kaum ibu terutama laki-laki, menghormati dan memuliakan ibu tanpa pandang bulu. Kedudukan wanita mendapat tempat yang sangat mulia dan terhormat, dilihat dari ciri khas adat Minangkabau yang diperlakukan kepada wanita antar lain: jika seorang ibu bersuku Koto, maka anak yang dilahirkan baik laki-laki maupun perempuan harus besuku Koto sesuai dengan suku ibunya. Demikian pula jika seorang ibu bersuku Tanjung atau Caniago dan lain-lain, anak-anaknya harus bersuku sama dengan suku ibunya. Dari batasan tersebut diatas, Minangkabau menempatkan perempuan sebagai titik sentral dalam sistem kekerabatan (Matrilinial). Menurut para ahli antropologi, matrinial adalah sistem tertua dalam patokan garis keturunan, mendahului sistem patrinial dan parental. Selain Minangkabau, pola kekerabatan 6
Koto, Ysuyoshi. Manyigi and Miigrations. Terjemahan azzizah kasim. Nasap ibu dan Merantau. Kuala Lumpur: Dewan
Pustaka dan Bahasa, 1983, hlm. 43.
11
yang diurut dari garis ibu ini masih terdapat pada sejumlah suku di India. Sebagaimana yang ada dalam nilai-nilai adat Minang kabau yang mengandung ajaran budi perkerti dalam fatwa pepatah sebagai berikut : Bundo kanduang, Limpapeh rumah nan gadang Amban puruak pegangan kunci Hiasan di dalam kampuang Sumarak dalam banagari Nan gadang basa batuah Kok hiduik tampek banaza Kalau mati tampek baniaik Ka unduang-unduang ka Madinah Ka payuang panji ka sarugo. (Ibu kandung, tulang punggung keluarga besar Wanita pemegang kunci Hiasan didalam kampung Semarak dalam bernagari Yang besar tempat bertuah Selagi hidup tempat bernazar Sesudah mati tempat berniat Sebagai pelindung ke Madinah Pengganti payung menuju surga) 7
Misi penting dari sistem Matrinial, dengan demikian selain memelihara ranji atau silsilah keluarga. Sekaligus menjaga tertib hukum waris secara Materi (pusako), dan non-materi (sako) atau suksesi kepemimpinan. Ibu berarti pemegang kekuasaan tertinggi dalam suku secara adat, disebut dengan Bundokandung.Sekalipun dalam fatwa pepatah telah disebutkan betapa seorang ibu memiliki posisi yang kuat, namun tampaknya hanya sebatas sebutan saja sebab kenyataanya yang berkuasa adalah saudara laki-laki atau mamak dalam keluarga persukuan. Soal lain yang juga harus dikemukakan, bahwa sejarah sangat besar mempengaruhi pembangunan identitas budaya. Melihat sejarah merupakan jalan terbaik dimana identitas budaya telah dikontruksikan menurut pengertian pada masa 7
K. Idrus Dt. Rajo Penghulu. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau. Bandung: Remaja Karya CV.
Bandung, 1984, hlm. 84
12
lalu. Karena itu sangatlah mendapat tempat bilamana banyak para pakar menulis sejarah dalam berbagai dimensi, apalagi kalau objek sejarah itu berada diluar arus utama (mainstream) sejarah. Dengan mengungkapkan, berbicara, atau menulis adalah cara selangkah lebih maju untuk mengkontruksikan identitas personal dan budaya. Sejarah yang belum ditulis pun akan menolong kita bagaimana memahami perilaku sesuatu budaya ketika berintegrasi pada masa lampau yang masih relevan untuk masa sekarang. Masyarakat Minangkabau mengenal berbagai jenis busana tradisional, yang penggunaannya hampir selalu dikaitkan dengan fungsi sosial tertentu. Apalagi kalau orang itu memegang peranan penting dalam masyarakatnya, seperti penghulu dan bundo kanduang, seperangkat kain yang membungkus tubuhnya bukan saja berfungsi melindungi tubuh tetapi mengandung makna-makna simbolis yang harus dipegang teguh.
2.1.1
Penyebaran dan penaburan kebudayaan Diaspora Istilah diaspora (bahasa Yunani kuno
, "penyebaran atau
penaburan benih") digunakan untuk merujuk kepada bangsa atau penduduk etnis manapun yang terpaksa atau terdorong untuk meninggalkan tanah air tradisional mereka; penyebaran mereka di berbagai bagian lain dunia, dan perkembangan yang dihasilkan karena penyebaran dan kebudayaan mereka. Mulanya, istilah Diaspora (dengan huruf besar) digunakan oleh orang-orang Yunani untuk merujuk kepada warga suatu kota kerajaan yang bermigrasi ke wilayah
13
jajahan dengan maksud kolonisasi untuk mengasimilasikan wilayah itu ke dalam kerajaan. Bidang akademik dari studi diaspora terbentuk pada akhir abad ke-20, khususnya telah terjadi krisis pengungsi etinis besar-besaran, karena pertentang antara paham lama dan baru merupakan suatu proses yang telah lama berlangsung dalam masyarakat minang kabau. Perang padri di Minang kabau pada permulaan abad ke-19 pada mulanya berupa pertentangan kaum lama dan baru, yang kemudian menjelma menjadi persoalan politik. Perkenalan dengan hal-hal yang terbawa oleh kebudayaan barat dan pendidikan belanda lebih memperhebat tantangan terhadap sistem Minang kabau tadi, salah satu sifat yang penting dari pendidikan yang dibawa oleh belanda adalah pendidikan yang berpusat di kota, karena orang Minang kabau yang pergi kekota untuk sekolah, lepas dari kehidupan tradisional. Persoalan perantau (modern) bukan lagi persoalan baru pada masyarakat Minang, dan kemajuan pendidikan sebagai salah satu aspek dari modern ini, adalah salah satu hal yang sudah sejak lama berlangsung pada masyarakat Minangkabau, namun sebagai juga dengan kebanyakan tempat di Indonesia, kemajuan pendidikan telah menyebabkan urbanisasi, yang di Minangkabau mengambil bentuk “perantau” banyak putra Minangkabau pergi ke Jawa, dan terutama ke Jakarta untuk menetap. Ini adalah suatu persoalan yang hebat dalam rangka pembangunan daerah Minangkabau.
14
a. Hibriditas kebudayaan Minang Bundokanduang mengalami perkembangan pesat sejak dekade 30-an, baik dari segi kuantitas pemakai maupun ragam hias busana yang tercipta, bahkan penyelenggaraan pergelaran ragam hias Bundokanduang juga telah sering dilakukan pada periode ini. Busana adat kemudian menjadi bagian dari dunia fashion Indonesia yang juga mengikuti kecenderungan sebagaimana yang terdapat dalam gaya busana umum, yaitu berada di antara pengaruh dari budaya global (khususnya gaya Barat) dan budaya lokal (tradisional). Dialektika yang terjadi antara budaya global, budaya lokal dan prinsip-prinsip penggunaan busana adat menghasilkan fenomena hibriditas dalam gaya ragam hias Bundokanduang. Hibriditas merupakan perpaduan berbagai sistem atau budaya dalam satu ungkapan tertentu. Dalam konteks ragam hias busana adat, hibriditas busana adat merupakan penggabungan elemen-elemen budaya yang berasal dari dua sistem budaya atau lebih (baik sistem atau budaya yang berada dalam kategori oposisi biner maupun tidak) dalam satu karya busana adat, sebagai akibat proses interpretasi ulang pada suatu batasan tertentu yang ada sebelumnya, di mana elemen-elemen bahasa rupa tersebut digabung dan dimodifikasi sedemikian rupa sehingga menghasilkan bentukan busana adat yang baru, yang tidak didapati pada masing-masing referensi asalnya.
15
2.1.2
Pengertian Busana Adat Pengertian busana adat adalah kegiatan seremonial dari rangkaian upacara
pelaminan, menjemput pengantin (majampui marapulai), perkawinan, dan pakaian penghulu. Busana kebesaran yang dikenakan dalam semua kegiatan ini disebut busana adat, yang khusus dikenakan para pemuka adat maupun bangsawan. Jenis busana adat ini dibedakan atas busana bundo kanduang, baju penghulu, dan busana marapulai. Rangkaian busana bundo kanduang terdiri dari tengkuluk tanduk bentuknya menyerupai tanduk kerbau dengan hiasan berumbai dari emas, suntiang gadang, baju kurung, kalung yang berbagai macam, gelang, kain sarung atau kodek dan selendang. Busana ini lazim dikenakan dalam upacara perkawinan. Dalam masyarakat Minangkabau nilai keindahan pakaian terangkum dalam petatah-petitih yaitu beberapa ungkapan yang memberi gambaran tentang gejala keindahan menurut pandangan hidup masyarakat Minangkabau. Seperti yang dijelaskan oleh Ibenzani Usman bahwa, ada empat unsur pokok sebagai dasar dari pembentukan konsep estetika busana adat Minangkabau, yaitu 8 1.)
Pandangan hidup yang berorientasi kepada alam, dalam pengertian ‘alam takambang jadikan guru’ (alam terkembang jadikan guru), yang mencerminkan unsur nilai dan unsur wujud;
2.) Trilogi penalaran yang terhimpun dalam ‘tungku nan tigo sajarangan’ (tungku yang tiga sejerangan) yakni; alua jo patuik (alur dengan patut), raso jo pareso (rasa dengan periksa), dan ukua jo jangko (ukur dengan
8
Ibenzani Usman , Ibid, 1991, hlm. 23,
16
jangka) yang merupakan norma-norma dan kriteria dalam pembentukan dan penilaian karya seni. 3.) Prinsip adat dalam bentuk ‘adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah’ (adat bersendikan syari’ at, syari’ at bersendikan kitabullah), dan 4.) Perihal bahan, alat, dan cara menggunakannya yang dapat ditarik dari ungkapan petatah-petitih. Keempat unsur tersebut menggambarkan proses kreasi, sekaligus menjelaskan eratnya keterkaitan hubungan bentuk dan isi, sehingga semua unsur-unsur yang saling menunjang menjadi dasar konsep estetika Minangkabau. Sesuai dengan tugas ibu sebagai pengantara keturunan dan mendidik anak-anak yang dilahirkannya, menurut adat Minangkabau seorang ibu harus memiliki sifat kepemimpinan dan ibu sejati. Hal ini penting karena ibu tempat bertanya, ditiru dan menjadi teladan lingkungan keluarganya. Sifat yang harus dimiliki oleh Bundo Kanduang tidak jauh berbeda dengan sifat pemimpin adat Minangkabau atau penghulu, antara lain : 1.
Dalam pergaulan sehari-hari Bundo Kanduang harus mencerminkan sifatsifat baik dalam berkata-kata bertingkah laku serta benar dalam perbuatan. Dia harus menjauhi sifat pendusta, sebaliknya selalu berpihak dan menegakkan kebenaran.
2. Mendidik lingkungannya dengan memberi contoh, perbuatan yang jujur, baik dalam berkata-kata, berbicara maupun bertindak. 3.
Dapat mengetahui dan membedakan hal yang benar dan yang salah, mengetahui untung rugi pada waktu akan melakukan pekerjaan dan
17
mengambil suatu keputusan. Oleh karenanya seorang ibu harus mempunyai pengetahuan, sekurang-kurangnya pengetahuan tentang agama, pendidikan maupun bidang kewanitaan yang sangat berguna dalam berumahtangga. Untuk mengikuti pergaulan di lingkungan kampung dan nagarinya perlu juga mempunyai pengetahuan tentang adat dan situasi nagarinya. 4.
Menurut adat Minangkabau seorang wanita harus pandai berbicara dalam arif fasih mengucapkan kata-kata dan enak didengar. Kepandaian berbicara atau berkata-kata ini sangat perlu bagi pendidikan di dalam rumah tangga, keluarga maupun di lingkungan kaumnya karena merupakan sarana untuk memberikan bimbingan kepada masyarakat, terutama bagi sesama kaum wanita dan anak-anak.
5.
Mempunyai sifat rasa malu dalam dirinya sehingga akan mencegah perbuatan yang melanggar adat dan menyimpang dari hukum yang berlaku. Rasa malu merupakan benteng bagi wanita karena dapat menjauhkan sifat dan perbuatan tercela. Menurut adat Minangkabau sifat malu merupakan peran utama dalam kehidupan kaum wanita. Sebaliknya jika kehilangan rasa malu akan membahayakan kehidupan rumah tangga, bahkan membahayakan masyarakat. Nilai operasional menjadi kerangka acuan dalam menentukan arah dan
corak kehidupan masyarakat Minangkabau. Sementara prinsip kebenaran, keadilan dan kebajikan menjadi semangat dan jiwa dalam segala tindakan, sikap dan watak orang Minangkabau. Watak dan sikap tersebut diungkapkan dalam ”hiduik baraka, mati bariman”. Hidup berakal bermakna tidak ada kehidupan yang dilalui tanpa
18
pertimbangan akal. Ikatan antara ’ raso’ -rasa- yang timbul dari ’pareso’ - hati nuranimelahirkan ketajaman pikiran, keseimbangan hakiki yang ingin dicapai oleh insan Minangkabau dalam mengembalikan harkat dan martabat melalui akal dan budi. a. Hakekat Budaya Kedudukan manusia dalam kebudayaan adalah sentral, bukan manusia sebagai orang, melainkan sebagai pribadi. Kepada segala kegiatan diarahkan sebagai tujuan. Dari kegiatan budaya berasal sebagai pencipta. Untuk menghindari segala salah faham, kebudayaan harus dibedakan dengan agama. Sebenarnya agama sejauh melingkupi usaha manusia termasuk syarat-syarat kebudayaan, tetapi kebudayaan itu adalah sesuatu yang spesifik insani, realisasi dari bawah, bukan rahmat dari atas. Sejauh manakah permenungan hakekat kabudayaan dari pater jan bakker ini berbeda dengan hakekat kebudayaan yang dijauhkan oleh ahli antropologi? Sebagai bahan perbandingan saya akan menguraikan dengan singkat pendapat beals dan Hoijer tentang hakekat kebudayan yang terdapat dalam buku mereka (1959). Di situ dikatakan bahwa sewaktu lahirnya manusia masih berupa makhluk yang tidak berdaya sama sekali . Dia harus dirawat, dipelihara dengan baik dan diajari berbagai cara bertindak, seperti makan, berjalan, berbicara, membaca, berdoa dan sebagainya, agar nantinya dia mampu bertahan hidup serta bergaul dengan warga masyarakat lainnya. Pada masa kanak-kanak inilah dia harus belajar tarus-menerus, bahkan sampai saat dia menginjak usia dewasa dan tua dia tidak pernah berhenti belajar. Dalam peroses ini manusia menggunakan berbagai macam simbol, dan inilah yang membedakan proses belajar manusia dengan binatang. Manusia menciptakan serta memanfaatkan simbol-simbol.
19
b. Busana Adat sebagai wujud fisik kebudayaan Pakaian adat tradisional masyarakat Sumatera Barat terdiri dari seperangkat pakaian yang memiliki unsur unsur yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Kelengkapan berbusana tersebut merupakan ciri khusus pemberi identitas bagi pemakainya yang meliputi fungsi dan peranannya. Oleh karena itu, cara berpakaian biasanya sudah dibakukan secara adat, kapan dikenakan, di mana dikenakan, dan siapa yang mengenakannya. Sejalan dengan perkembangan zaman, pakaian resmi semacam itu lama kelamaan tidak lagi dikenakan secara lengkap. Misalnya pada masa penjajahan Jepang (1942 - 1945), yang mana pada waktu itu ekonomi negara kita dalam keadaan kacau, kemudian disusul dengan masa kemerdekaan, pakaian atau busana menurut kepangkatan tidak begitu diperhatikan lagi, dan yang pada gilirannya jarang dijumpai lagi. Namun demikian, pakaian adat tradisional Minang yang sempat dikenal di kalangan masyarakat luas banyak dikenakan oleh golongan masyarakat biasa. Pakaian tersebut dikenal sebagai pakaian adat tradisional yang resmi dan khas Sumatera barat.dalam perkembangan selanjutnya, pakaian ini diterima di kalangan masyarakat Minang yang tinggal di Daerah Sumatera barat, sebagai miliknya sendiri dan pemberi identitas. Demikian pula pakaian dari suatu daerah dapat di bedakan atas pakaian sehari-hari atau kerja dan pakaian upacara maupun pesta adat. Dari pembagian tersebut dapat digolongkan lagi jenis-jenis pakaian berdasarkan jenis kelamin, usia, dan status sosial pemakainya.
20
Adapun yang dimaksud dengan pengertian pakaian sehari-hari di sini adalah seperangkat pakaian yang dikenakan di rumah, saat bekerja, dan saat bepergian. Pemakainya dapat digolongkan berdasarkan jenis kelamin, usia, dan status sosial. Sejak tumbuh dan berkembangnya busana adat telah mengenal beberapa peraturan adat yang membedakan dirinya dengan status individu lainnya, diantaranya melalui bentuk pakaian yang harus dikenakan. Busana yang dirancang untuk pemuka adat terdiri dari pakaian penghulu untuk anak laki-laki, dan busana adat bundo kanduang untuk perempuan. 2.1.3
Fungsi dan posisi busana adat dalam kebudayaan secara umum Berbusana sesungguhnya bukan sekedar memenuhi kebutuhan biologis
untuk melindungi tubuh dari cuaca, akan tetapi sangat berkaitan erat dengan adat istiadat maupun pandangan hidup masyarakat yang bersangkutan. Bagi masyarakat di daerah, ketika mereka berbusana pada umumnya sangat memperhatikan ragam busananya dan mengaitkan dengan peristiwa-peristiwa tertentu, selain tentu saja dengan kedudukan sosial si pemakai. Secara implisit (terkandung didalamnya), fungsi busana bagi manusia semakin berkembang dan kompleks sejalan dengan makin meningkatnya peradaban manusia. Fungsi dan posisi busana adat bagi seseorang tidak hanya sekedar sebagai pelindung tubuh dari cuaca dingin dan teriknya sinar matahari, tetapi juga mempunyai fungsi lain dalam struktur sosial suatu masyarakat. Dari busana yang dikenakan oleh seseorang dapat diketahui status sosial orang yang bersangkutan dalam masyarakatnya. Pada masyarakat Minangkabau misalnya, busana adat yang dikenakan oleh para pemangku adat (datuk dan sutan) berbeda dengan orang
21
kebanyakan, sehingga orang mengetahui secara persis status sosial si pemakainya.. Demikian juga busana yang dikenakan oleh bundo kanduang berbeda dengan perempuan kebanyakan. Busana yang dikenakan oleh bundo kanduang juga tidak hanya sekedar busana, tetapi di baliknya ada makna simbolik yang sarat dengan nilainilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan. Pakaian sering digunakan untuk menunjukkan status sosial. Orang melakukan penilaian terhadap nilai dan status orang lain, berdasarkan pakaiannya yang dikenakan. Status merupakan hasil perkembangan berbagai sumber, misalnya dari jabatan, keluarga, jenis kelamin, gender, dan usia. Nilai sosial dapat berubah, yang tetap adalah nilai sosial yang diwariskan. Nilai sosial yang berubah disebut pencapaian atau tingkatan. Status karena jabatan contohnya adalah kolektor, pejabat pemerintah, dan dosen. Status keluarga didapat dari tingkat senioritas berdasarkan usia. Status jenis kelamin, gender, usia, bahkan perkawinan mudah diubah karena pencapaian, terutama di negara Barat. Pakaian digunakan untuk mendefinisikan peran sosial yang dimiliki seseorang. Pakaian diambil sebagai tanda bagi seseorang untuk menjalankan peran tertentu, sehingga berperilaku sesuai tuntutan pakaian tersebut. Pakaian yang berbeda menunjang kelancaran interaksi sosial atau memberi tekanan. Pakaian yang digunakan oleh dokter, perawat, pasien, dan pengunjung, menunjukkan peran orang yang memakainya. Bertitik tolak dari konsep kebudayaan Koentjaraningrat membicarakan kedudukan adat dalam konsepsi kebudayaan. Menurut tafsirannya adat merupakan perwujudan ideal dari kebudayaan. Ia menyebut adat selengkapnya sebagai adat tata
22
kelakuan. Adat dibaginya atas empat tingkat, yaitu tingkat nilai budaya, tingkat norma-norma, tingkat hukum dan tingkat aturan khusus. Adat yang berada pada tingkat nilai budaya bersifat sangat abstrak, ia merupakan ide-ide yang mengkonsesikan hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan suatu masyarakat. Seperti nilai gotong royong dalam masyarakat Indonesia. Adat pada tingkat normanorma merupakan nilai-nilai budaya yang telah terkait kepada peran-peran tertentu (roles), peran sebagai pemimpin, peran sebagai mamak, peran sebagai guru membawakan sejumlah norma yang menjadi pedoman bagi kelakuannya dalam hal memainkan peranannya dalam berbagai kedudukan tersebut. Minangkabau merupakan salah satu suku bangsa Indonesia yang mempunyai keunikan dalam sistem kemasyarakatan dan kekerabatan matrenial. Hal ini memberikan kekhasan terhadap Minangkabau yang membedakannya dari berbagai etnis Indonesia lainnya. Kesatuan keluarga dari garis keturunan suku ibu, sementara bapak atau suami berada diluar kesatuan keluarga isteri dan anak-anaknya. Dalam hal ini bapak atau suami tidak termasuk dalam keluarga rumah gadang, akan tetapi sebagai sumando dan urang sumando (orang luar atau pendatang), karena ia didatangkan dari persukuan lain. Dalam menyelenggarakan struktur adat minangkabau terdapat tiga unsur yang dominan disebut dengan tali tiga sapilin (tiga unsur yang mempersatukan) atau sering disebut juga tungku tiga sajarangan, yakni unsur-unsur adat terdiri dari para penghulu (Datuk), unsur agama dari ulama dan Cerdikcendekia dari kalangan intelektual atau orang yang dapat diakui pemikiran dan gagasannya.
23
a.
Makna bahasa rupa pada busana adat Bahasa Rupa seperti halnya bahasa kata yang memiliki kata dan tata
bahasa, juga memiliki padanannya dalam bentuk imaji (image) dalam tata ungkapan. Imaji mencakup makna yang luas, baik itu citra (imaji dalam khayalan) maupun wimba (imaji kasat mata). Selain bahasa rupa busana adat yang menganut sistem alam, juga terdapat bahasa rupa tradisi yang dipengauhi sistem ruang dan waktu, yang bukan hanya mampu memvisualkan apa yang terlihat, tetapi juga mampu memberikan cerita tentangnya, seperti apa yang dilakukan bahasa kata, pakaian dan struktur busana adat yang kesemuanya memiliki macam-macam makna. Bahasa rupa pada busana adat minang, baik pada suntiang, kodek, dan baju .kurung. Pada umumnya pakaian adat mempunyai aneka fungsi sebagai berikut : Pertama, Baju yang dipakai oleh Bundo Kanduang dalam upacara adat disebut baju kurung yang melambangkan bahwa ibu tersebut terkurung oleh undangundang yang sesuai dengan agama dan adat di Minangkabau. Baju kurung ini diberi hiasan sulaman benang emas dengan motif bunga kecil yang disebut tabua atau tabur Kedua, Kain sarung yang dipakai oleh Bundo Kanduang dibuat dari kain balapak atau songket tenunan Pandai Sikek, Padang Panjang. Kain sarung ini berhiaskan benang emas atau perak dengan motif bunga, daun atau garis-garis geometris yang ekspresif dan bentuk yang dinamis Ketiga, Setelah memakai baju kurung, di atas bahu kanan dipakai selendang atau selempang dari kain songket yang disebut kain balapak buatan Pandai Sikek. Cara memakainya di selempangkan dari bahu kanan ke bawah tangan kiri,
24
melambangkan tanggung jawab yang dibebankan di pundak Bundo Kanduang, yang harus dilaksanakan dengan baik. Mempelajari makna pada busana adat dalam pengertian teori Levi-Strouss merupakan sebuah kajian yang secara cermat diareakan pada keberadaan struktur yang ditransformasikan. Struktur akan memberikan penjelasan tentang kedudukan, fungsi, bentuk dan relasi-relasinya dengan sesuatu yang bersifat setara dan atau berlawanan. Tetapi dalam tataran struktur bathiniah akan menjadi acuan pokok. Sudah barang tentu jika orientasi mendasarkan dari komunitas tertentu tidak mengalami perubahan. Maka pertimbangan dalam memilih obyek kajian untuk pendekatan Semiotika ini lebih ditekankan pada budaya masyarakat yang relatif stabil, yaitu komunitas masyarakat Minang di Sumatera Barat 9 Pemahaman permasalahan tersebut menyadarkan adanya tanda dari kebudayaan yang tidak hanya sebagai akibat dari kegiatan interaksi masyarakat dengan masyarakat lain atau masyarakat dalam institusi sosial. Tetapi kebudayaan dapat diartikan sebagai sebuah sistem yang akan membentuk cara berfikir dan bertingkah laku, yang pada tataran realitas material akan nampak berbagai bentuk variasi, tetapi pada kenyataan struktur bathiniah akan menunjukkan suatu kesamaan pandangan serta kepribadian yang disimboliskan. Seperti yang nampak pada motif batik klasik pada busana adat Jawa secara material kelihatan bervariasi bentuknya, tetapi secara struktural bathiniah dibentuk oleh adanya simbolisme dari kepribadian masyarakat Jawa dan khususnya adat istiadat karaton Surakarta. 9
Ahimsa-Putra, H.S., , Tanda Simbol Budaya dan Ilmu Budaya, Makalah, Yogyakarta: Unit Pengkajian dan Pengembangan
Budaya, 2002, hlm. 77
25
2.2
Bundo kanduang sebagai artefak kebudayaan minang koto Gadang Bundo kanduang sebagai suatu artefak kebudayaan, Minang kabau koto
gadang, merupakan lembaga resmi yang dipimpin oleh Bundo kanduang dan para kerabatnya yang disebut datuk atau ninik mamak. Mereka terdiri dari golongangolongan sesuai dengan fungsi dan jabatannya, yang secara visual ditandai pula oleh cara dan bentuk pakaian. Lebih-lebih pada saat penyelenggaraan upacara adat pakaian tersebut dikenakan secara lengkap, di samping pakaian sehari-hari yang secara rutin dikenakan. Sejalan dengan perkembangan zaman, pakaian resmi semacam itu lama kelamaan tidak lagi dikenakan secara lengkap.Misalnya pada masa penjajahan Jepang (1942 - 1945), yang mana pada waktu itu ekonomi negara kita dalam keadaan kacau, kemudian disusul dengan masa kemerdekaan, pakaian atau busana menurut kepangkatan tidak begitu diperhatikan lagi, dan yang pada gilirannya jarang dijumpai lagi. Namun demikian, pakaian adat tradisional bundo kanduang kebudayaan Minang kabau yang sempat dikenal di kalangan masyarakat luas banyak dikenakan oleh golongan masyarakat biasa. Pakaian tersebut dikenal sebagai pakaian adat tradisional yang resmi dan khas Sumatra barat. Dalam perkembangan selanjutnya, pakaian ini diterima di kalangan masyarakat Minang yang tinggal di Daerah Koto gadang kota Sumatera Barat, sebagai miliknya sendiri dan pemberi identitas. Pakaian adat tradisional Bundo Kanduang yang sudah jarang dijumpai lagi akhir-akhir ini, pada saat-saat tertentu akan muncul kembali dalam suatu upacara adat yang meriah dan menarik perhatian masyarakat umum. Pakaian khusus itu akan muncul secara menarik dan berwibawa. Demikianlah secara keseluruhan pakaian adat
26
itu tidak pernah musnah dilanda kemajuan zaman, tetapi tetap terpelihara dengan baik dan selalu dimunculkan pada saat-saat penting. 2.2.2
Budaya Masyarakat Koto Gadang Interaksi antara manusia dengan masyarakat melahirkan kebudayaan.
Kebudayaan membentuk kepribadian individu dan masyarakat berdasarkan pengaruh lingkungan alam dan lingkungan social masyarakat. Kebudayaan bergerak akibat gerak individu dan masyarakat, sehingga setiap kebudayaan itu mempunyai dinamika. Kebudayaan mewujudkan dan menyalurkan prikelakuan manusia. Kebudayaan adalah semua hasil karya , rasa, dan cipta masyarakat, demikian Selo Soemarjan dan Soelaeman Soemardi. Hasil karya menghasilkan teknologi kebendaan yang seumumnya digunakan untuk menguasai alam sekitarnya. Hasil rasa mewujudkan segala kaedah dan norma yang diperlukan untuk mengatur masalah kemasyarakatan dalam arti luas, dan dalam hal ini merupakan unsur kebudayaan yang bersifat universal. Unsur kebudayaan itu antara lain; •
Peralatan dan perlengkapan hidup manusia
•
System ekonomi,
•
System kemasyarakatan,
•
Bahasa,
•
Kesenian,
•
Agama, dan
•
Ilmu pengetahuan.
27
Dimana posisi kebudayaan, menurut Mukti Ali
10
adalah budi daya, tingkah
laku manusia. Tingkah laku manusia digerakan oleh akal dan perasaanya. Yang mendasari semua itu adalah ucapan hatinya. Dan ucapan batin itu merupakan keyakinan dan penghayatannya terhadap sesuatu yang dianggap benar. Apa yang dianggap benar itu besar atau kecil adalah agama. Dan agama, sepanjang tidak di wahyukan adalah ia hasil dari filsafat. Apabila diperbandingkan definisi kebudayaan dan definisi falsafah, keduanya bertemu dalam hal berpikir. Kebudayaan adalah cara berpikir. Sedangkan filsafat berpikir secara radikal, sistematik dan universal. Berpikir demikian berujung pada setiap jiwa atau ucapan batin. Manisfestasinya adalah sikap hidup dan pandangan hidup. Dengan demikian jelaslah, bertapa falsafah itu mengendalikan cara berpikir kebudayaan. Dibelakang kebudayaan selalu kita selalu menemukan falsafah hidup. Perbedaan kebudayaan dapat dikembalikan kepada perbedaan filsafat. Kebudayaan juga dipandang sebagai tata nilai dalam Gazalba,
11
. Seorang
individu dalam masyarakat atau masyarkat itu berbuat sesuatu, karena sesuatu itu bernilai dalam masyarakat atau masyarkat itu berbuat sesuatu, karena sesuatu itu bernilai atau berguna bagi kehidupannya. Barang sebagai hasil perbuatan itu dihastrati karena ia diperlukan. Dengan demikian barang itu mengandung nilai. Jadi tingkah laku dan hasil perbuatan dalam kebudayaan menuju kepada realitas nilai Kalau melihat segi sosio-kultural, Alam Minangkabau mendorong setiap orang merantau, maka ia menolak sifat alam itu sendiri. Jika ada orang Minang yang 10 11
Mukti Ali , Ilmu Budaya Dasar, Usaha Nasional, Surabaya, 1982, hlm. 4 Gazalba, Drs. Sidi, Sistematika Filsafat I-IV, Bulan Bintang, Jakarta, 1979, hlm. 77
28
tidak merantau, secara berseloroh perantau minang akan mengatakan, “Minangnya tidak lengkap, barangkali yang tinggal kabaunya.” Pergi merantau bagi pandangan masyarakat Minangkabau seharusnya tidak memutuskanya dengan ranah kelahiran Pendidikan secara alamiah bagi orang-orang Minangkabau dalam taraf yang paling awal adalah alam itu sendiri yang melahirkan dan membesarkan anak negeri. Rantau dimana mereka belajar berjuang dalam hidup dan mandiri (survival) adalah alam, yang mengasa kecerdasan dan mengaktualisasikan kecerdasan berpikir. Mereka bertemu dengan kehidupan yang lebih maya: ideologi dan cita-cita atau tujuan hidup. Dinamika semacam ini tidak lahir dari sebuah negeri yang memelihara strata sosial (feodalisme atau aristokrasi), tetapi pada masyarakat egaliter, memiliki pandangan kesamaan dalam hak dan kewajiban itu hanya dalam sebuah masyarakat negeri yang menganut demokrasi. Dalam sejarahnya masyarakat Minangkabau telah mempraktekan sikap hidup egaliter dan tatanan demokrasi itu sejak berabad-abad yang lampau. Merantau bagi pemuda Minangkabau adalah bagian falsafah hidup. Setiap gagasan dan kemauan untuk maju diuji dalam suasana dan iklim yang berbeda menjadi bentuk baru yang lebih dinamis. Masyarakat Minangkabau menyebut kehidupan merantau sebagai dinamika sosial, dari tesa ke antitesa menuju sintesa. Sintesa dalam kurun waktu tertentu berproses ke awal menjadi tesa, antitesa lalu menjadi sintesa,dan seterusnya. Kebudayaan Minangkabau sesungguhnya mengandung nilai-nilai yang mendorong orang berpikir realistis, dialektis, dinamis, dan logis, Hal itu antara lain terlihat dalam konsep rantau yang di pahami oleh masyarakat minangkabau yang bukan saja berarti merangsang orang meninggalkan
29
kampung halaman, dan kemudian kembali lagi, tetapi juga mendorong orang membuka diri dan pikiran terhadap dunia luar.12 Kebiasaan berguru pada alam menumbuhkan kemampuan mengambil hikmah dari berbagai keadaan yang tak selamanya menguntungkan. Cancang tadaek jadi ukie, artinya sebuah situasi yang tak menguntungkan sekalipun, akan bisa melahirkan gagasan dan tindakan positif dalam pikiran seperti inilah orang muda minang dibesarrkan setidak-tidaknya pada zaman dahulu. Namun secara commonsense, dengan membawakan pengertian-pengertian falsafah hidup kepada kebudayaan , kita dapat mewujudkan tujuan masyarakat Minang yakni membantu memperluas wawasan berpikir masyarakat umumnya, karena falsafah hidup senantiasa mendorong seseorang untuk : •
Berusaha mengetahui apa yang telah diketahui dan apa yang belum di ketahui
•
Berendah hati bahwa tidak semuanya akan pernah diketahuinya dalam kesemestaan yang seakan tidak terbatas ini.
•
Mengoreksi diri, berani melihat sejauh mana kebenaran yang dicari telah dijangkaunya
•
Tidak apatis terhadap lingkungan dan terhadap nilai yang hidup dalam masyarakat; dan
•
Senantiasa memberi makna bagi setiap amal perbuatannya. Pergi merantau bagi pandangan masyarakat Minangkabau seharusnya tidak
memutuskan dengan ranah kelahiran. Maka dengan itu, banyak Tokoh dan Intelektual 12
Gunawan, Restu, Mohamad Yamin dan Cita-cita persatuan. Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2005, hlm. 213
30
Minangkabau, namun tidak seorangpun mengabdi di kampung. Bak bunyi pepatah: mamaga karambie condong ke parak urang, (payah-payah memagar kelapa, buahnya jatuh ketempat orang). a.
Budaya Suku Masyarakat Minangkabau Kata suku dari bahasa Sanskerta, artinya "kaki", satu kaki berarti seperempat
dari satu kesatuan. Pada mulanya negeri mempunyai empat suku, Nagari nan ampek suku. Nama-nama suku yang pertama ialah Bodi, Caniago, Koto, Piliang. Kata-kata ini semua berasal dari sanskerta : •
Bodi dari bhodi (pohon yang dimuliakan orang Budha)
•
Caniago dari caniaga (niaga : dagang)
•
Koto dari kata (benteng)
•
Piliang dari pili hiyang (para dewa) Bodi Caniago adalah kelompok kaum Budha dan saudagar-saudagar (orang-orang niaga) yang memandang manusia sama derajatnya. Koto Piliang adalah kelompok orang-orang yang menganut agama Hindu
dengan cara hidup menurut hirarki yang bertingkat-tingkat. Dalam tambo, kata-kata Bodi Caniago dan Koto Piliang ditafsirkan dengan : •
Budi Caniago : Budi dan tango, budi nan baharago, budi nan curigo Merupakan lambang ketinggian Datuak Perpatih nan Sabatang dalam menghadapi pemerintahan aristokrasi Datuak Katumanggungan.
•
Koto Piliang
: kata yang pilihan (selektif) dalam menjalankan pemerintahan
Datuak Katumanggungan.
31
b.
Pertambahan Suku budaya Minang
Suku yang empat itu lama-lama mengalami perubahan jumlah karena : Pemecahan sendiri, karena warga sudah sangat berkembang. Umpama : suku koto memecah sendiri dengan cara pembelahan menjadi dua atau tiga suku. Hilang sendiri karena kepunahan warganya, ada suku yang lenyap dalam satu nagari. Perpindahan, munculnya suku baru yang warganya pindah dari negeri lain. Tuntutan kesulitan sosial, hal ini timbul karena masalah perkawinan, yang melarang kawin sesuku (eksogami). Suatu suku yang berkembang membelah sukunya menjadi dua atau tiga. Biasanya suku-suku yang baru tidak pula mencari nama baru. Nama yang lama ditambah saja dengan nama julukan. Jika suku bari itu terdiri dari beberapa ninik, jumlah ninik itu dipakai sebagai atribut suku yang baru itu. Koto Piliang memakai angka genap dan Bodi Caniago memakai angka ganjil. Umpama : Suku Melayu membelah menjadi : melayu ampek Niniak, Melayu Anam Niniak, Caniago Tigo Niniak, Caniago Limo Niniak (Bodi Chaniago). c.
Pembentukan suku budaya Minang Suku dipemukiman baru perpindahan dari beberapa negeri ke tempat
pemukiman baru di luar wilayah negari masing-masing, ditempat yang baru itu dapatdibuat suku dengan memilih beberapa alternatif : Setiap anggota bergabung dengan suku yang sejenis yang terlebih dulu tiba di tempat itu. Beberapa ninik atau kaum dari suku yang sama berasal dari nagari yang sama bergabung membentuk suku baru. Nama sukunya pakai nan seperti: Caniago nan Tigo Niniak atau Caniago nan Tigo. Apabila tidak ada tempat bergabung dengan
32
suku yang sama lalu mereka berkelompok membentuk suku baru. Mereka memakai nama suku asli dari negerinya tanpa atribut, seperti asal Kitianyir ditempat baru tetap Kutianyir. Membentuk suku sendiri di nagari baru tanpa bergabung dengan suku yang ada ditempat lain. Biasanya memakai atribut korong seperti Koto nan Duo Korong. Orang-orang dari bermacam-macam suku bergabung mendirikan suku yang baru. Nama suku diambil dari nama negeri asal : seperti Suku Gudam (negeri Lima Kaum), Pinawan (Solok Selatan), suku Padang Laweh, suku Salo dsb. Selain dari itu , cara-cara lain yaitu mengambil nama-nama seperti : Tumbuh-tumbuhan : Jambak, Kutianyir, Sipisang, Dalimo dll. Benda
: Sinapa, Guci, Tanjung, Salayan dll.
Nagari
: Padang Datar, Lubuk Batang, Padang Laweh, Salo dll.
Orang
: Dani, Domo, Magek dll.
Suku yang demikian lebih banyak daripada suku-suku yang semula. Apabila dijumlahkan nama-nama suku itu seluruhnya sudah mendekati seratus buah di seluruh Alam Minangkabau 2.2.3
Bahasa Rupa Busana Adat Bundo Kanduang Bahasa rupa busana adat bundo kanduang senantiasa berhubungan dengan
penampilan rupa yang dapat dicerap orang banyak dengan pikiran maupun perasaannya; rupa yang mengandung pengertian atau makna, karakter serta suasana, yang mampu dipahami (diraba dan dirasakan) oleh khalayak umum atau terbatas. Bahasa rupa busana adat Bundo kanduang yang bertugas membawa pesan dari satu pihak kepada pihak lain. Sebagai bahasa rupa, efektivitas penyampaian pesan menjadi
33
pemikiran utama sehingga makna yang terkandung busana adat Bundo Kanduang masyarakat minang harus tahu betul seluk beluk pesan yang ingin disampaikan. Bahasa rupa akan sangat berkesan bila pesan yang disampaikan bersifat unik dan mudah dibedakan dari pesan di sekitarnya Bahasa rupa busana adat Bundo kanduang, di kalangan orang Minangkabau, disebut sebagai “peti ambon puruk”, yaitu orang yang diserahi tanggung jawab untuk memegang harta pusaka kaumnya. Jadi, seorang perempuan yang menjadi Bundo kanduang akan memegang peranan penting dalam kaumnya, sehingga tidak semua perempuan dapat menjadi bundo kanduang. Oleh karena itu, yang diangkat menjadi Bundo kanduang adalah orang yang arif dan bijaksana, sehingga mampu menjadi pengayom bagi kaumnya. Dan, sebagai seorang pemimpin, tentu saja memiliki busana kebesaran yang berbeda dari perempuan biasa, karena busana dan perhiasan yang dikenakannya merupakan simbol dari tanggung jawabnya terhadap anak-kemenakan di dalam sebuah rumah gadang. Makna Simbolik yang Terkandung dalam Busana Bundo Kanduang :
Gambar 2.1 busana adat Bundokanduang
34
a.
Busana Bagian Atas Bentuk hiasan kepala pengantin Wanita Minang yang dipakai secara umum
sekarang, namanya suntiang gadang, berasal dari daerah Padang/Pariaman. Kata gadang berarti besar. Ini untuk membedakan, karena ada juga suntiang ketek (kecil) yang biasa dipakai oleh pendamping-pendamping pengantin yang disebut pasundan. Penyusunan kembang-kembang sunting ini diatas kepala pengantin wanita mengikuti deret ganjil. Paling tinggi sebelas tingkat, dan paling rendah tujuh tingkat. Sedangkan sunting untuk para pasundan, dimulai dari deret lima sampai tiga. Tengkuluk tanduk atau tengkuluk ikek adalah penutup kepala yang terbuat dari kain balapak. Perlengkapan ini bentuknya seperti tanduk (runcing) yang berumai emas atau loyang sepuhan. Makna simbolik dari perlengkapan ini adalah kepemilikan rumah gadang. Artinya, orang yang mengenakannya adalah bundo kanduang (pemilik suatu rumah gadang). b.
Busana Bagian Tengah Baju kurung dengan warna hitam, merah, biru, atau lembayung yang dihiasi
dengan benang emas dan tepinya diberi minsai bermakna simbolik, terutama minsainya, bahwa seorang bundo kanduang dan kaumnya harus mematuhi batas-batas adat dan tidak boleh melanggarnya. Sementara, balapak yang diselempangkan dari bahu kanan ke rusuk kiri bermakna simbolik bahwa seorang bundo kanduang bertanggung jawab melanjutkan keturunan. c.
Busana Bagian Bawah Kain
sarung
(kodek)
balapak
bersulam
emas
bermakna
simbolik
kebijaksanaan. Artinya, seorang bundo kanduang harus dapat menempatkan sesuatu
35
pada tempatnya, sebagaimana yang diibaratkan oleh pepatah “memakan habis-habis, menyuruk (bersembunyi) hilang-hilang”. d.
Perhiasan Selain pakaian ada pula beberapa perhiasan atau aksesoris yang digunakan
oleh bundo kanduang. Perhiasan tersebut terdiri dari seperangkat kaluang (kalung) yang terdiri dari sembilan macam bentuk, seperangkat gelang dan cincin yang juga terdiri dari bermacam bentuk. Perhiasan-perhiasan tersebut pada umumnya terbuat dari bahan emas dan batu alam. Perhiasan seperti seperangkat kaluang dan galang serta cincin memiliki perbedaan yang khusus jika dibandingkan dengan perhiasan wanita pada umumnya, sebab merupakan simbol-simbol yang mengandung normanorma dan nilai-nilai yang dapat digunakan sebagai acuan dalam kehidupan bermasyarakat. Jadi, dapat dikatakan bahwa perhiasan yang dikenakan oleh bundo kanduang tidak hanya berfungsi untuk memperindah penampilan, melainkan juga memiliki makna tertentu yang terkait dengan adat istiadat Minangkabau. Kalung dan gelang tersebut hanya dipakai pada saat dilaksanakan upacara adat dimana bundo kanduang hadir dengan segala kebesarannya sebagai seorang pemimpin adat. 2.2.4
Modernisasi dan Akulturasi Pertentangan antara paham lama dan baru merupakan suatu proses yang telah
lama berlangsung dalam masyarakat Minang kabau. Perang Padri di Minangkabau pada permulaan abad ke-19 pada mulanya berupa pertentangan kaum lama dan kaum baru, yang kemudian menjelma menjadi persoalan politik. Ketika itu kaum baru telah melihat bahwa agama islam yang dijalankan di Minangkabau telah menjadi satu dengan adat, sehingga telah kehilangan hal-hal yang utama dari islam. Mereka
36
berusaha memurnikan agama islam dengan Reformasi, dan ini menimbulkan reaksi dari golongan lama. Pertentangan lama dan baru ini juga berlangsung dalam abad ke-20 dengan makin terdesaknya golongan lama. Golongan-golongan baru yang agresif berhasil memodernisasi sisitem sekolah agama yang ada, sehingga murid-murid juga diajar pengetahuan umum dan bukan hanya persoalan agama saja. Agama bagi mereka bukan persoalan yang harus diterima begitu saja, tapi hal yang juga boleh diperdebatkan.proses perubahan ini berpengaruh terhadap keseluruhan sistem kemasyarakatan Minangkabau. Justru perjuangan mereka itulah yang merupakan suatu aspek dari proses modernisasi akibat banyak pengaruh lain, menyebabkan seorang anak dapat mewariskan kekayaan pencarian ayahnya. Hak ini juga berpengaruh terhadap makin hilangnya gejala endogami lokal dalam masyarakat Minang kabau. Perkenalan yang lebih mendalam dengan agama islam, telah menimbulkan suatu kesadaran pada orang Minangkabau untuk lebih mementingkan keislamannya dari keminang kabaunya, dan telah menimbulkan suatu kesadaran tentang keganjilan adat Minangkabau. Kalau kedudukan ayah dalam sistem Minangkabau boleh dikatakan tidak tentu, maka islam dengan jelas memberi kekuasaan kepada ayah untuk mengawasi keluarga itu. Di samping itu, dalam islam tidak ada halangan untuk mengawinkan siapa saja asal beragama islam dan asal jangan orang-orang tertentu, seperti ibu, ayah, saudara kandung, saudara seibu atau saudara seayah dan sebagainya. Dalam sistim Minangkabau pilihan itu terbatas. Orang belum tentu dapat kawin dengan seseorang yang diizinkan menurut agama, hanya karena orang itu
37
termasuk ke dalam satu kelompok adat yang sama, atau karena orang itu lebih tinggi kelas sosialnya. Keadaan ini menyebabkan mereka mengadakan tentangan terhadap sistem adat mereka, sebagaimana dapat terlihat pada berbagai roman yang berlatar belakang masyarakat Minang kabau. Perkenalan dengan hal-hal yang terbawa oleh kebudayaan barat dan pendidikan belanda lebih memperhebat tantangan terhadap sistem Minangkabau tadi. Salah satu sifat yang penting dari pendidikan yang dibawa oleh belanda adalah pendidikan yang berpusat di kota, karena orang Minangkabau yang pergi kekota untuk sekolah, lepas dari kehidupan tradisional. Harus diingat, bahwa setiap desa di Minangkabau merupakan kesatuan yang berdiri sendiri. Orang yang berasal dari luar desa itu akan dianggap sebagai orang asing. Karena itu, seorang Minangkabau yang telah meninggalkan desanya, berarti telah meninggalkan adatnya dan terlepas dari tradisinya. Makin lama ia berada di kota, apalagi diluar daerah Sumatera Barat, maka kekangan tradisi makin sedikit terhadap dirinya. Demikian, ia tak segan-segan untuk kemudian mengadakan kritik terhadap adat yang dianggapnya tak baik dalam masyarakat. Hal inilah yang dapat dibaca dalam roman-roman dari zaman sekitar tahun 1920 sampai 1930, yang berdasarkan tema konflik angkatan dalam masyarakat Minang kabau. Persoalan modernisasi bukan lagi persoalan baru pada masyarakat Minang kabau, dan kemajuan pendidikan sebagai salah satu aspek dari modernisasi ini, adalah salah satu hal yang sudah sejak lama berlangsung pada masyarakat Minangkabau. Namun sebagai juga dengan kebanyakan tempat di Indonesia, kemajuan pendidikan telah
menyebabkan
urbanisasi,
yang
di
Minangkabau
mengambil
bentuk
38
“perantauan”. Banyak putra Minangkabau pergi ke Jawa, dan terutama ke Jakarta untuk menetap. Ini adalah suatu persoalan yang gawat dalam rangka pembangunan daerah Minangkabau. 2.3
Makna dalam Bahasa Rupa Bahasa Rupa seperti halnya bahasa kata yang memiliki kata dan tata
bahasa,
juga
memiliki
padanannya
dalam
bentuk
imaji
(image)
dalam
tata ungkapan. Imaji mencakup makna yang luas, baik itu citra (imaji dalam khayalan) maupun dengan cara apa objek itu tergambar (imaji kasat mata). Karena bahasa rupa yang tampil dalam makna kali ini, adalah bagian dari dinamika budaya yang bukan cakrawala baru baik intelelektualitas maupun kualitas perupa ketika menambahkan nilai-nilai estetika pada rupa-rupa karyanya. Perupa tidak lagi diikat dengan suasana tradisional yang komunal, tapi nuansa konterporer yang individual. Namun dalam perjalanan kesenirupaan para perupa masih banyak memakai bahasa ibu, sebagi intuisi ketika mereka bercipta seni rupa. Bahasa rupa kini dianggap tidak sekadar alat untuk menyampaikan sebuah ide, gagasan pesan, dan gaya penampilan, akan tetapi ia ikut membentuk jalan pikiran itu sendiri. Artinya, cara penampilan seseorang akan sangat ditentukan oleh bahasa rupa yang digunakannya. Maka dengan itu, tata cara duduk, berjalan, berpakaian, berdandan, semuanya dilihat dalam kerangka relasi komersial. Inilah yang dikatakan keramahan komersial, yaitu keramahan yang motifnya semata adalah untuk mencari celah keuntungan ekonomis, bukan motif sosial atau moral.
39
2.3.2
Makna dan Unsur-unsurnya Kita semua seringkali menggunakan makna tetapi sering kali pula kita
tidak memikirkan makna itu. Ketika kita masuk ke dalam sebuah ruangan yang penuh dengan Upacara pernikahan, di sana muncul sebuah makna. Sepasang malapulai (pengantin) sedang duduk di sebuah kursi dengan pakaian busana lengkap dan kita mengartikan bahwa ia sedang duduk seperti “seorang kerajaan” yang menunggu para undangan atau dalam kondisi terlayani segala hal. Seseorang tertawa dengan kehadiran kita dan kita mencari makna; apakah ia mentertawai kita atau mengajak kita tertawa? Seorang kawan menyeberang jalan dan melambaikan tangannya ke arah kita, hal itu berarti ia menyapa kita. Makna dalam satu bentuk atau bentuk lainnya, menyampaikan pengalaman sebagian besar umat manusia di semua masyarakat. Semua makna budaya diciptakan dengan menggunakan simbol-simbol. Simbol mengacu pendapat Spradley adalah objek atau peristiwa apapun yang menunjuk pada sesuatu. Semua simbol melibatkan tiga unsur: pertama, simbol itu sendiri. Kedua, satu rujukan atau lebih. Ketiga, hubungan antar simbol dengan rujukan. Semuanya itu merupakan dasar bagi keseluruhan makna simbolik. Sementara itu, simbol sendiri meliputi apapun yang dapat kita rasakan atau alami.
2.3.3
Mengkaji makna dan Bahasa Rupa dengan Semiotika Perkembangan bahasa rupa telah dimulai sejak zaman pra-sejarah, yang
belum memiliki tulisan. Oleh sebab itu, gambar pada gua cadas pra-sejarah atau primitif perlu memiliki kemampuan bercerita yang kuat sehingga para “leluhur” suku dapat mentransfer ajaran-ajaran primitif yang sangat ketat dan sedikit berubah
40
(sebagai buku pintar zaman primitif). Namun setelah ditemukannya tulisan, perlahanlahan peranan
gambar untuk bercerita mengalami penurunan,
Maka tak
mengherankan jika dunia seni rupa kemudian lebih banyak membicarakan aspek estetis dan simbolis dan sangat sedikit membicarakan aspek bercerita dari satu karya seni rupa. Mengkaji makna dan bahasa rupa dengan semiotika sangat akrab dalam kehidupan manusia. Itu karena ia representasi sosial budaya masyarakat dan salah satu manifestasi kebudayaan yang berwujud produk dari nilai-nilai yang berlaku pada waktu tertentu. Ia merupakan kebudayaan yang benar-benar dihayati, bukan kebudayaan dalam arti sekumpulan sisa bentuk, warna, dan gerak masa lalu yang kini dikagumi sebagai benda asing terlepas dari diri manusia yang mengamatinya. Tanda-tanda tersebut kemudian dimaknai sebagai wujud dalam memahami kehidupan. Manusia melalui kemampuan akalnya berupaya berinteraksi dengan menggunakan tanda sebagai alat untuk berbagai tujuan, salah satu tujuan tersebut adalah untuk berkomunikasi dengan orang lain sebagai bentuk adaptasi dengan lingkungan. Maka dengan itu, maksud dibuatnya sebuah hiasan tidak saja sekedar memperindah penampilan benda yang dihias. Namun, hiasanpun mampu dijadikan sebagai media komunikasi; yang menyampaikan pesan-pesan tertentu kepada pengamat atau masyarakat di sekitarnya. Melalui makna yang ada pada Bundo Kanduang dan bahasa rupanya dapat diketahui status keluarga pemilik dan pemakai kedua jenis barang tersebut; bahwa pada dasarnya Busana Bundo Kanduang dan perhiasannya hanya dimiliki oleh pihak-pihak tertentu saja dan bukan untuk
41
sembarangan pakai. Jadi, fungsi dari kedua jenis produk ini bersifat sakral. Namun, akhir-akhir ini peranan benda yang disebutkan di atas telah bergeser kepada fungsi yang bersifat profan (tidak bersifat sakral), yang bisa dimiliki oleh segala lapisan masyarakat dimana ia mampu untuk memperolehnya. Perkembangan fungsi ini dapat dilihat dari munculnya berbagai bentuk pemakaian dan busana Bundo Kanduang di Minang kabau selain dari pada struktur busana pada pakaian manusia dan struktur bahan pada sebuah karya tersebut. Telah diungkapkan di atas bahwa dalam pengkajian bahasa rupa dan semiotika Saussure adalah ahli linguistik, maka bila melihat konsep semiotika Saussure, berarti tidak melepaskan dari pandangannya tentang bahasa. Menurutnya, bahasa itu sendiri merupakan sistem tanda yang mengungkapkan ide-ide, bahasa ini juga dapat dipersamakan dengan sistem bahasa tulisan, alpabet tuli-bisu, symbol ritus-ritus, simbol kesopanan-santuan atau adat, tanda-tanda dari kemiliteran, dan lain-lain. Hal ini mengisyaratkan bahwa sistem bahasa bukan saja mengacu pada bahasa oral, namun juga mencakup pada sistem kebahasaan lainnya yang bersangkutan dengan sosio budaya dari kehidupan manusia.
2.3.3
Semiotika Pengertian semiotika sampai sekarang telah membedakan dua jenis
semiotika, yaitu semiotika komunikasi dan semiotika signifikasi. Yang pertama menekankan pada teori tentang produksi tanda yang salah satu di antaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam komukasi, yaitu pengiriman, penerimaan
42
kode (sistem tanda), pesan, saluran komunikasi, dan acuan (hal yang dibicarakan) (Jacorson, 13 dalam Hoed 14). Yang kedua memberikan tekanan pada teori tanda dan pemahamannya dalam suatu konteks tertentu. Semiotika berasal dari kata Yunani: semeion, yang berarti tanda. Dalam pandangan Piliang, penjelajahan semiotika sebagai metode kajian ke dalam berbagai cabang keilmuan ini dimungkinkan karena ada kecenderungan untuk memandang berbagai wacana sosial sebagai fenomena bahasa. Dengan kata lain, bahasa dijadikan model dalam berbagai wacana sosial. Berdasarkan pandangan semiotika, bila seluruh praktik sosial dapat dianggap sebagai fenomena bahasa, semuanya dapat juga dipandang sebagai tanda. Hal ini dimungkinkan karena luasnya pengertian tanda itu sendiri Piliang 15 . Semiotika menurut Berger
16
memiliki dua tokoh, yakni Ferdinand de
Saussure (1857-1913) dan Charles Sander Peirce (1839-1914). Kedua tokoh tersebut mengembangkan ilmu semiotika secara terpisah dan di antara keduanya tidak saling mengenal satu sama lain. Saussure di Eropa dan Peirce di Amerika Serikat. Latar belakang keilmuan Saussure adalah linguistik, sedangkan Peirce filsafat. Saussure menyebut ilmu yang dikembangkannya semiologi (semiology).
13 14 15
Jacorson, 1963, dalam Hoed 2001, hlm. 140. Hoedoro Hoed, Benny. ‘’Dampak Komunikasi Periklanan, Sebuah Ancangan dari Segi Semiotik’ ’ . Jurnal Seni BP ISI Yogyakarta IV/2., 1994, hlm. 111-133 Piliang, Yasraf Amir. Sebuah Dunia yang Dilipat, Realitas Kebudayaan menjelang Milenium Ketiga dan Matinya
Posmodernisme. Bandung: Penerbit Mizan.1998, hlm 17 16 Berger, Arthur Asa.. Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer. Penerjemah M. Dwi Marianto dan Sunarto. Yogyakarta: Penerbit PT Tiara Wacana, 2000, hlm. 10
43
a. Tanda dan makna Tanda dalam kehidupan manusia bisa tanda gerak atau isyarat. Lambaian tangan yang bisa diartikan memanggil atau anggukan kepala dapat diterjemahkan setuju. Tanda bunyi, seperti tiupan peluit, terompet, genderang, suara manusia, dering telpon. Tanda tulisan, di antaranya huruf dan angka. Bisa juga tanda gambar berbentuk rambu lalulintas, dan masih banyak ragamnya Noth,17. ‘Tanda’ dan ‘hubungan’ kemudian menjadi kata-kata kunci dalam analisis semiotika. Bahasa dilucuti strukturnya dan dianalisis dengan cara mempertalikan penggunaannya beserta latar belakang penggunaaan bahasa itu. Usaha-usaha menggali makna bahasa rupa harus dihubungkan dengan aspek-aspek lain di luar bahasa itu sendiri atau sering juga disebut sebagai konteks. Tanda dan konteks menjadi dua kata yang tak terpisahkan, keduanya bersatu dan membentuk makna. Konteks menjadi penting dalam interpretasi, yang keberadaannnya dapat dipilah menjadi dua, yakni intratekstualitas dan intertekstulaitas. Intratekstualitas menunjuk pada tanda-tanda lain dalam rupa, sehingga produki makna bergantung pada bagaimana hubungan antar tanda dalam sebuah rupa. Sementara intertekstualitas menunjuk pada hubungan antar rupa alias rupa yang satu dengan teks yang lain. Makna seringkali tidak dapat dipahami kecuali dengan menghubungkan rupa yang satu dengan bahasa rupa yang lain. Artinya makna dan tanda selalu memunculkan makna atau penanda yang baru. Hubungan ini baru dapat direntangkan dengan menurut prinsip metonimia dan 17
Piliang, Ibid 1998, hlm. 14
44
metafora (pemakaian kata yang bukan bermakna melainkan sebagai kiasan atau persamaan), walaupun juga tidak sepenuhnya makna dan tanda mencapai akhir. Inilah kiranya yang membedakannya dengan teori tanda Saussure b. Makna Hasrat-hasrat yang dimiliki subjek akhirnya menjadi basis bahasa atau penanda, karena hasrat juga membentuk psike manusia dan disitulah dapat berlakunya subjektivitas. Dari hasrat ini dapat memunculkan signifikasi atau maknamakna bersamaan dengan upaya subjek secara berkesinambungan mengendalikan hasratnya di tengah sumber makna dan aturan-aturan sosial yang mengendalikan hasrat si subjek Tanda-tanda tersebut kemudian dimaknai sebagai wujud dalam memahami kehidupan. Manusia melalui kemampuan akalnya berupaya berinteraksi dengan menggunakan tanda sebagai alat untuk berbagai tujuan, salah satu tujuan tersebut adalah untuk berkomunikasi dengan orang lain sebagai bentuk adaptasi dengan lingkungan. Setiap tanda bahasa mempunyai dua sisi yang tak terpisahkan, karena masingmasing saling membutuhkan. Dengan demikian, gagasan strukturalisme Saussure lebih menekankan pada aspek linguistik yang berupa bahasa, sistem tanda, simbol, maupun kode dalam bahasa itu sendiri. Sehingga tak heran, kalau Saussure dikenal sebagai bapak linguistik yang sangat kompeten dalam menganalisis makna dibalik teks bahasa maupun simbol-simbol yang melatarbelakanginya Spradley juga menjabarkan makna denotatif meliputi hal-hal yang ditunjuk oleh kata-kata (makna referensial). Mengartikan makna denotatif adalah hubungan
45
eksplisit antara tanda dengan referensi atau realitas dalam pertandaan tahap denotatif, Misalnya, ada gambar manusia, binatang, pohon, rumah. Warnanya juga dicatat, seperti merah, kuning, biru, putih, dan sebagainya. Pada tahapan ini hanya informasi data yang disampaikan. 18 Sedangkan pandangan Spradley 19 menyebut makna konotatif meliputi semua signifikansi sugestif dari simbol yang lebih daripada arti referensialnya. Menurut Piliang 20 makna konotatif meliputi aspek makna yang berkaitan dengan perasaan dan emosi serta nilai-nilai kebudayaan dan ideologi. Contohnya, gambar wajah orang tersenyum, dapat diartikan sebagai suatu keramahan, kebahagiaan. Tetapi sebaliknya, bisa saja tersenyum diartikan sebagai ekspresi penghinaan terhadap seseorang. Untuk memahami makna konotatif, maka unsur-unsur yang lain harus dipahami pula. c. Kode Kode, merujuk terminologi sosiolinguistik ialah variasi tutur yang memiliki bentuk yang khas, serta makna yang khas pula. Sementara itu, kode menurut Piliang, adalah cara pengkombinasian tanda yang disepakati secara sosial, untuk memungkinkan satu pesan disampaikan dari seseorang ke orang lainnya. Di dalam bahasa, sebuah pesan yang dikirim kepada penerima pesan diatur melalui seperangkat konvensi atau kode. Umberto Eco menyebut kode sebagai aturan yang menjadikan tanda sebagai tampilan yang konkret dalam sistem komunikasi. 21
18 19 20 21
Piliang (1998:14) Ibid Spradley (l997:123) Ibid Piliang 22 (1998:17), Ibid Eco, Umberto. A Theory of Semiotics. Bloomington: Indiana University Press Eco, 1979, hlm. 59.
46
Fungsi ciri khas kebudayaan yang menunjukkan pada sesuatu (mengacu pada sesuatu) dilaksanakan berkat sejumlah kaidah, janji, dan kaidah-kaidah alami yang merupakan dasar dan alasan mengapa tanda-tanda itu menunjukkan pada isinya. Tanda-tanda ini menurut Jakobson merupakan sebuah sistem yang dinamakan kode,22 Roland Barthes dalam bukunya S/Z mengelompokkan kode-kode tersebut menjadi lima kisi-kisi kode, yakni kode hermeneutik, kode semantik, kode simbolik, kode narasi, dan kode kultural atau kode kebudayaan 23 . 2.3.4
Semiotika Ferdinand de Saussure Semiologi menurut Saussure seperti dikutip Hidayat, didasarkan pada
anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah laku manusia membawa makna atau selama berfungsi sebagai tanda, harus ada di belakangnya sistem pembedaan dan konvensi yang memungkinkan makna itu. Di mana ada tanda di sana ada sistem. 24 Menurut Saussure, seperti dalam pengertian Pradopo25 tanda sebagai kesatuan dari dua bidang yang tidak dapat dipisahkan, seperti halnya selembar kertas. Di mana ada tanda di sana ada sistem. Artinya, sebuah tanda (berwujud kata atau gambar) mempunyai dua aspek yang ditangkap oleh indra kita yang disebut dengan signifier, bidang penanda atau bentuk dan aspek lainnya yang disebut signified, bidang petanda atau konsep atau makna. Aspek kedua terkandung di dalam aspek pertama. Jadi petanda merupakan konsep atau apa yang dipresentasikan oleh aspek pertama. Sedikitnya, ada lima pandangan dari Saussure yang dikemudian hari menjadi peletak 22 23 24 25
Sastra. Penerjemah l992: Dick Hartoko. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 1982, hlm. :92 Barthes, Roland.. S/Z. Penerjemah Richard Miller. New York: Hill and Wang, 1974, hlm. 106 Hidayat., 1998:26 Yogyakarta: Gadjahmada University Press, buku asli diterbitkan tahun 1973 Djoko Pradopo. Yogyakarta: Penerbit Gadjah Mada University Press, buku asli diterbitkan tahun 1985, hlm. 102
47
dasar dari Strukturalisme Levi-Strauss, yaitu pandangan tentang: a. Signifier (penanda) dan Signinified (petanda) Saussure berpendapat bahwa elemen dasar bahasa adalah tanda-tanda linguistik atau tanda-tanda kebahasaan, yang biasa disebut juga ‘kata-kata’ . Tanda menurut Saussure merupakan kesatuan dari penanda dan petanda. Walaupun penanda dan petanda tampak sebagai entitas yang terpisah namun keduanya hanya ada sebagai komponen dari tanda. Tandalah yang merupakan fakta dasar dari bahasa. Artinya kedua hal dari tanda itu tidak dapat dipisahkan. jika pemisahan berlaku maka hanya akan menghancurkan ‘kata’ tersebut. b. Form (bentuk) dan content (isi, materi) Istilah form dan content ini oleh Gleason, diistilahkan dengan expression dan content, satu berwujud bunyi dan yang lain berwujud idea. Saussure membandingkan form dan content atau subtance itu dengan permainan catur. Dalam pemainan catur, papan dan biji catur itu tidak terlalu penting.26 Yang penting adalah fungsinya yang dibatasi, aturan-aturan permainannya. Jadi, bahasa berisi sitim nilai, bukan koleksi unsur yang ditentukan oleh materi, tetapi sistim itu ditentukan oleh perbedaannya. c. Langue (bahasa) dan parole (tuturan dan ujaran) Langue merupakan bahasa sebagai objek sosial yang murni, sebagai seperangkat
konvensi-konvensi
sistematik
yang
berperan
penting
didalam
komunikasi. Langue merupakan institusi sosial yang otonom, yang tidak tergantung pada materi tanda-tanda pembentuknya. Sebagai institusi sosial, langue bukan sama 26
Ahimsa-Putra, H.S., 2002:74, Tanda Simbol Budaya dan Ilmu Budaya, Makalah, Yogyakarta: Unit Pengkajian dan
Pengembangan Budaya.
48
sekali bukan tindakan dan tidak bisa pula dirancang, diciptakan, atau diubah secara pribadi, karena ia pada hakekatnya merupakan kontrak kolektif yang sungguhsungguh harus dipatuhi bila kita ingin dipatuhi. Parole merupakan bagian dari bahasa yang sepenuhnya individual, sebuah tindakan individual. Parole dapat dipandang sebagai kombinasi yang memungkinkan subjek (penutur) sanggup menggunakan kode bahasa untuk mengungkapkan pikiran pribadinya d. Synchronic (sinkronik) dan diachronik (diakronik) Sinkronik adalah sesuatu yang berhubungan dengan sisi statis dari suatu ilmu adalah singkronik. Linguistik sinkronik memerhatikan relasi-relasi logis dan psikologis yang memadukan terma-terma secara berbarengan dan membentuk suatu sistim didalam pikiran kolektif. Penjelasan sinkronik mengenai kebudayaan dan keterkaitan dengan struktur semesta. Kebudayaan adalah entitas yang menjadi bagian dari rahasia semesta. Penjelasan ini kerap justru luput dari penjatian, sehingga kebudayaan cenderung dianggap sebagai cerita isapan jempol belaka dalam berkenaan dengan kejadian yang berlangsung pada masa lalu yang terbatas dengan mengabaikan perkembangannya. Linguistik diakronik dapat dibedakan menjadi dua sudut pandang, yakni prospektif dan restorstif. Sudut pandang prospektif mengikuti majunya arus waktu, sedangkan resrospektif berjalan mundur. Linguistik diakronis mengkaji relasi-relasi yang secara suksesif mengikat terma-terma secara bersamaan, yang masing-masing dapat saling bersubstitusi tanpa membentuk suatu sistim, namun tetap tidak disadari oleh pikiran kolektif. Penjelasan mengenai eksistensi diakronik busana adat
49
kebudayaan dalam konteks historisitas. Penjelasan ini dirasa perlu karena eksistensi kebudayaan memiliki sejarah panjang yang akan menghantar pada kondisi munculnya berbagai dongeng dan artefak budaya yang sedikit banyak banyak mengubah nilai itu. e. Syntagmatik (sintagmatik) dan associative (paradigmatik) Hubungan sintagmatis adalah hubungan di antara mata rantai dalam suatu rangkaian ujaran. Hubungan sintagmatis disebut juga hubungan in praesentia karena butir-butir yang dihubungkan itu ada bersama wicara. Dalam wacana, kata-kata bersatu demi kesinambungan, hubungan yang didasari oleh sifat langue yang linear, yang meniadakan kemungkinan untuk melafalkan dua unsur sekaligus. Setiap mata rantai dalam rangkaian wicara mengingatkan orang pada satuan bahasa lain. Dan, karena satuan itu berbeda dari yang lain dalam bentuk dan makna, inilah yang disebut hubungan asosiatif atau paradigmatis. Hubungan asosiatif juga disebut in absentia, karena butir-butir yang dihubungkan itu ada yang muncul, ada yang tidak dalam ujaran. Asosiataif bersifat psikis: bisa berbicara dengan diri sendiri tanpa mengamati bibir dan geraknya ketika seseorang berbicara. Contoh hubungan asosiatif dalam kehidupan sehari-hari adalah terdapat dalam kata burung. Kata “burung” ini bisa diasosiasikan sebagai alat kelamin laki-laki. Jadi, asosiasi mengandung makna konotasi.
50
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1
Tipe Penelitian Jenis
penelitian
ini
adalah
penelitian
deskriptif
kualitatif
yang
mendeskripsikan (menggambarkan) kenyataan yang ada dengan tujuan untuk mengetahui perkembangan bahasa rupa dan maknanya antara motif busana adat bundo kanduang dan motif hiasnya Sumatera Barat. Permasalahan dibatasi pada perbedaan dan kesamaan poin penamaan, struktur motif menurut penempatan dan perulangan posisi dan pola motif. Untuk melihat perkembangan dan pembuktian hipotesa, diperlukan bandingan antara motif hias produk lama dan baru di setiap jororng dan daerah penelitian. 33 Tipe penelitian ini menggunakan metode penelitian Deskriptif dan. Penelitian Deskriptif hanyalah memaparkan kejadian atau peristiwa, penelitian ini tidak mencari atau menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi.34 Penelitian deskriptif juga berkaitan dengan pengumpulan data untuk memberikan gambaran atau penegasan suatu konsep atau gejala, yang menjawab pertanyaan sehubungan dengan penelitian pada saat ini. 35
33 34 35
Jalaludin Rahmat, Metode Penelitian Komunikasi, Bandung: Penerbit PT Remaja Rosdakarya, 2000,hlm. 24 Jalaludin Rahmat, Ibid Sumtoma, Metode penelitian sosial dan pendidikan, 2000, hlm. 30
52
51
Untuk melihat perkembangan dan pembuktian hipotesa, diperlukan bandingan antara motif hias produk lama dan baru di setiap jororng dan daerah penelitian.Perkembangan budaya Minangkabau tidak terlepas dari sejarah masuknya pengaruh-pengaruh budaya luar yang telah ikut mempengaruhi adat dan seni kreasi para seniman pekria Minangkabau. Dengan begitu penelitian ini secara terperinci akan menyimpulkan informasi Faktual
yang
menggambarkan
gejala
yang
ada,
mengindentifikasikasi
isi
permasalahan-permasalahan yang ada. 3.2
Metode Penelitian Penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati, penelitian kualitatif sebagai tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya. Penelitian kualitatif yang mengkaji kualitas hubungan, kegiatan, situasi, atau material disebut penelitian kualitatif, dengan penekanan kuat pada deskripsi menyeluruh dalam menggambarkan rincian segala sesuatu yang terjadi pada suatu kegiatan atau situasi tertentu. Metode semiotika, pada dasarnya beroperasi pada dua jenjang analisis. Pertama, analisis tanda secara individual. Mencakup: jenis, struktur, kode, dan makna tanda. Kedua, analisis tanda sebagai sebuah kelompok atau kombinasi. Yakni perkembangan bahasa rupa yang membentuk makna didalamnya.
52
Kelebihan
analitik
saussure
dalam
manfaat
mempelajari
Semiotik
sesungguhnya tidak saja sebagai pisau bedah dalam kritik bahasa rupa, namun juga membantu masyarakat agar lebih peka dalam memahami konteks sosial budaya dalam setiap proses perancangan.. Namun, menurut para pengguna Semiotik keunggulan ilmu tanda ini justeru karena mampu menafsir atau membongkar selubung ideologi dan “virus akal-budi” yang disembunyikan dalam pesan-pesan visual secara tersamar tanpa dapat dilacak oleh ilmu-ilmu sains yang eksak dan kuantitatif. Misalnya saja, bagaimana membongkar adanya “virus” diskriminasi jender dalam pesan yang disampaikan melalui iklan-iklan, bahasa rupa, dan media massa. 3.3
Unit Analisis Pada penelitian ini yang akan dijadikan unit analisis atau narasumber ada
lah gambar dan visual bahasa rupa busana Bundo Kaduang yang diperoleh dari Museum dan resepsi pernikahan Minangkabau sebagai objek penelitian. Dalam keseluruhan perkembangan busana bundo Kandung dari zaman ke zaman busana adat minang tersebut. Dengan mengambil gambaran busana adat sebagai berikut : a.
Tahun 2000 busana adat yang disederhanakan dengan kualitas kemewahan. Perubahan ragam hias dari warna Merah, Hitam dan Emas dan berkembangng menjadi warna silver (perak) pada desain kain-kain busana tradisi di Koto besar menunjukkan perkembangan: struktur busana asli cendrung disederhanakan teknik hias milik seni pribadi untuk persyaratan adat tetap dipertahankan, perkembangan pada bahan dan
53
warna cendrung mengikuti zaman; motif asli pada songket cendrung beralih kemotif Pandai sikek; 3.4 Teknik pengumpulan data Pengumpulan data akan dilakukan melalui Depth Observation (pengamatan mendalam) yakni teknik pengumpulan data dimana peneliti mengadakan pengamatan secara mendalam mengenai semiotika dan gambaran pada busana adat tentang desain busana Bundo Kanduang, memilihnya dengan kategori tertentu yang mendekati konsep penelitian. Data tersebut adalah yang mengadakan resesi pernikahan Busana adat Bundo Kanduang 3.4.1
Data Primer Data primer diperoleh dari observasi langsung pada perkembangan bahasa
rupa dan makna busana adat Koto gadang yang dimiliki masyarakat, museum, dan pengamatan proses upacara. Data primer yang akan digunakan oleh penulis dalam penelitian ini di antaranya dengan mengumpulkan gambar dan rupa busana Bundo Kanduang, yang diperoleh peneliti dengan pengamatan proses upacara dan perkembangan busana yang dimiliki masyarakat. 3.4.2
Data Sekunder Dalam pengumpulan data sekunder, penulis mengumpulkan data-data secara
lengkap dalam penyusunan dan penulisan skripsi melalui metode sebagai berikut : 1.
Studi Kepustakaan Yaitu suatu metode pengumpulan data-data yang berasal dari literaturliteratur dan sumber tertulis lainnya yang berhubungan dengan kajian desain busana adat, agar dapat dijadikan dasar pemikiran dalam
54
penyusunan dan penulisan skripsi. 2.
Wawancara Yaitu suatu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara tanya jawab atau tatap muka secara langsung dengan responden yang terkait untuk memperoleh data subjek yang di cari. Dan kemudian berkaitan erat dengan permasalahan yang akan dibahas dalam hal ini penulis melakukan tanya jawab dengan pihak yang berkaitan dengan objek yang akan penulis teliti. a. Pengamatan Yaitu pengumpulan data yang dilakukan dengan pengamatan langsung pada objek permasalahan untuk memperoleh data primer dari observasi langsung pada kain-kain busana adat koto gadang yang dimiliki masyarakat, ke museum dan memperhatikan pengamatan proses upacara.
3.5
Teknik Analisis Data Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan pendekatan analisis Saussure dalam wacana linguistik, maka bila melihat konsep semiotika Saussure, berarti tidak melepaskan dari pandangannya tentang bahasa. Menurutnya, bahasa itu sendiri merupakan sistem tanda yang mengungkapkan ide-ide, atau bahasa ini juga dapat dipersamakan dengan sistem bahasa tulisan, bahasa rupa, symbol ritus-ritus, simbol kesopanan-santuan atau adat, tanda-tanda dari busana adat dll. Hal ini mengisyaratkan bahwa sistem bahasa bukan
55
saja mengacu pada bahasa oral (berkenaan dengan bahasa), namun juga mencakup pada sistem kebahasaan lainnya yang bersangkutan dengan sosio budaya dari kehidupan manusia. Analisis Semiotika Saussure berupaya mempertautkan hubungan antara busana adat dan keberadaan struktur sosial. Analisis Saussure menguji kandungankandungan pesan busana adat, bagaimana bahasa dikaji, dan bagaimana makna yang dapat dimunculkan dari busana adat Minang. Bagian berikut akan sedikit mengetengahkan gagasan-gagasan semiotis yang dikemukakan oleh seorang penganut Saussure dari Perancis.
56
BAB IV HASIL PENELITIAN
Bab ini akan memaparkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap busana adat yang dipilih yakni busana adat Bundo kanduang. Dari apa yang dijelaskan pada bab Metodelogi penelitian, Analisis ini dilakukan terhadap melihat Perkembangan bahasa rupa dan Maknanya pada busana adat Bundo kanduang di Sumatera barat. 4.1
Upacara Adat Dalam tiap masyarakat dengan susunan kekerabatan bagaimanapun,
perkawinan memerlukan penyesuaian dalam banyak hal. Perkawinan menimbulkan hubungan baru tidak saja antara pribadi yang bersangkutan, antara marapulai dan anak daro tetapi juga antara kedua keluarga. Latar belakang antara kedua keluarga bisa sangat berbeda baik asal-usul, kebiasaan hidup, pendidikan, tingkat sosial, tata krama, bahasa dan lain sebagainya. Setelah itu syarat utama yang harus dipenuhi dalam Upacara adat bundo kanduang, lebih kepada kesediaan dan kemampuan untuk menyesuaikan diri dari masing-masing pihak. Pengenalan dan pendekatan untuk dapat mengenal watak masing-masing pribadi dan keluarganya penting sekali untuk memperoleh keserasian atau keharmonisan dalam pergaulan antara keluarga kelak kemudian. Upacara adat bundo kanduang juga menuntut suatu tanggung jawab, antaranya menyangkut nafkah lahir dan batin, jaminan hidup dan tanggung jawab hingga, pendidikan anak-anak yang akan dilahirkan.
57
Bahwa pakaian yang dipakai bundokanduang budaya Minang sekarang tergantung kepada tata cara upacara adat, maka pemakai upacara adat bundokanduang tersebut seperti : 4.1.1
Tata cara busana Bundo kanduang Cara dan gaya berpakaian perempuan busana adat sangat tergantung kepada
selera pemakainya. Dari cara dan gaya tersebut kapan dan dimana saja mereka gunakan?. Penempatan pakaian adat bagi perempuan Minangkabau bukan sembarang dipakai saja (bukan sesuka hati memakainya), tetapi diatur sesuai dengan waktu dan tempat pemakaiannya seperti, pakaian dirumah tidak cocok untuk dibawa ke pesta, atau kepasar, begitu juga dengan pakaian adat, sangatlah janggal bila dipakai pada waktu tidak ada upacara adat, begitu juga dengan dengan pakaian pesta tidak cocok untuk dipakai pergi ta’ ziah. Dalam melaksanakan tata cara busana bundo kanduang ini bundokanduang didandani dengan busana khusus yang disebut baju tokah dan bersunting rendah. Tokah adalah semacam selendang yang dibalutkan menyilang di dada sehingga bagian-bagian bahu dan lengan nampak terbuka. Untuk serasi dengan suasana, maka orang-orang yang hadir biasanya juga mengenakan baju-baju khusus. Teluk belanga bagi pria dan baju kurung ringan bagi wanita, begitu juga ayah bunda dari calon anak daro. Disamping itu biasanya juga disiapkan beberapa orang teman-teman sebaya anak daro yang sengaja diberi berpakaian adat Minang untuk lebih menyemarakkan suasana. Dilihat dari waktu pemakaiannya, tata cara pakaian adat ini dapat klasifikasikan kepada beberapa macam antara lain :
58
a. Tata cara penyambutan Dua orang yang jadi juru bicara untuk sambah manyambah (persembahan) boleh berpakaian yang sama dengan keluarga. Yaitu pakai sarung dan berkemeja dilapisi jas diluarnya. Yang penting kepalanya harus tertutup dengan kopiah hitam. Boleh juga dikanakan busana model engku damang atau yang sekarang juga sering disebut sebagai jas dubes. Atau kalau dia hanya memakai kemeja dan pantalon biasa, maka dilehernya harus dikalungkan kain palekat yang kedua ujungnya terjuntai ke dada. Sedangkan kepala harus memakai kopiah. Untuk pemuda-pemuda penari gelombang, busananya adalah baju silat biasa dengan celana galembong tapak itiak berkain samping dipinggang dan destar dikepala. Sedangkan untuk dara-dara limpapeh rumah nan gadang yang membawa sirih, mengenakan baju kurung dalam berbagai variasi menurut daerah masing-masing. Hiasan kepala dapat berupa suntiang gadang atau hiasan kepala yang ringan seperti sunting rendah atau sunting ringan lainnya yang beraneka ragam terdapat diberbagai daerah di Sumatera Barat. Mengingat gadis-gadis ini dalam acara penyerahan sirih juga akan menari, maka seyogyanya pakaian yang dikenakan jangan terlalu berat sehingga menyusahkan untuk dibawa melenggang atau membuat sipenari tampak garebeh-tebeh. b. Pertukaran tanda (Batimbang Tando) Bundo kanduang Batimbang tando adalah upacara pertunangan. Saat itu dilakukan pertukaran tanda bahwa mereka telah berjanji menjodohkan anak kamanakan mereka. Setelah pertunangan barulah dimulai perundingan pernikahan. Budaya batimbang tando ini sebenarnya adalah sebagi ungkapan simbolis bahwa seseorang yang telah bertukar tanda, biasanya dalam bentuk cincin tidak
59
diperbolehkan lagi bergaul secara bebas dengan wanita atau laki-laki lain. Budaya ini berfungsi dalam menepis kebiasaan buruk masyarakat jahiliyah yang bertukar-tukar pasangan, gemar mengganggu wanita lain dan sebagainya. Biasanya seseorang yang telah bertukar tanda akan merasakan ikatan moral untuk lebih setia kepada pasangannya. Internalisasi
fungsi
bertukar
tanda ini
akan
berakibat
pada lebih
terkungkungnya potensi pergaulan bebas yag terjadi dalam masyarakat muda pada khususnya. c. Urutan Acara Pembicaraan dalam acara maminang dan batuka tando ini berlangsung antara mamak atau wakil dari pihak keluarga si gadis dengan mamak atau wakil dari pihak keluarga pemuda. Bertolak dari penjajakan-penjajakan yang telah dilakukan sebelumnya ada empat hal secara simultan yang dapat dibicarakan, dimufakati dan diputuskan oleh kedua belah pihak saat ini. Namun menurut yang lazim dikampung, jika acara maminang itu bukan sesuatu yang sudah direkayasa oleh kedua keluarga sebelumnya, maka acara ini akan berlangsung berkali-kali sebelum urutan ketentuan diatas dapat dilaksanakan. Karena pihak keluarga pemuda pasti tidak dapat memberikan jawaban langsung pada pertemuan pertama itu. Orang tuanya atau ninik mamaknya akan meminta waktu terlebih dahulu untuk memperembukkan lamaran itu dengan keluarga-keluarganya yang patut-patut lainnya. Paling-paling pada pertemuan tersebut, pihak keluarga pemuda menentukan waktu kapan mereka memberikan jawaban atas lamaran itu.
60
Acara maminang yang berlangsung dikota-kota umumnya sudah dibuat dengan skenario yang praktis berdasarkan persetujuan kedua keluarga, sehingga urutan-urutan seperti yang dicantumkan diatas dapat dilaksanakan secara simultan dan diselesaikan dalam satu kali pertemuan. 4.2
Budaya Adat Manusia Pada Tahun 2000
Gambar 4.1 Budaya Adat Global Pada Tahun 2000
Transformasi budaya adat manusia milenium dari kota konvensional, kearah kota kapitalistik dan kini ke arah kota digital, telah merubah pula bersamanya manusia yang hidup didalamnya. Wajah manusia abad Milenium merupakan cermin dari wajah kotanya, dan sebaliknya. Manusia membangun dan merubah budaya, dan bersama perubahan itu berubah pula wajah manusianya. Wajah abad Milenium itu kini
cenderung
mengglobal.
Artinya,
ada
kecenderungan
homogenitas
(homogenization) wajah kota dunia, yang kini tampak semakin seragam, sama, identik, dan ikonis. Homogenisasi wajah budaya itu, tidak saja telah menggiring pada homogenisasi budayanya yang kini dijajah oleh budaya berwarna silver dan ingin lebih menonjolkan modernisme akan tetapi, yang lebih penting lagi telah mendorong
61
wajah budaya abad Milenium yang cenderung sama di kota manapun ia hidup dalam skala global. Budaya adat manusia milenium itu secara umum adalah 36 : Pertama, manusia ekonomi. Hubungan antar manusia di dalam system ekonomi adalah hubungan fungsional bukan sosial, hubungan professional bukan kekerabatan. Segala sesuatu diukur berdasarkan prinsip kalkulasi ekonomi, bukan sosial. Didalamnya waktu adalah uang, ruang adalah uang, jabatan adalah uang. Relasi manusia di redusir menjadi relasi ekonomi. Nilai manusia menjadi nilai ekonomi atau nilai tukar. Di dalamnya, prinsip tolong-menolong mengalami deviasi menjadi bersifat komersial. Keramahan kini menjadi keramahan komersial.
Gambar 4.2 Budaya Adat Global Pada Tahun 2000
Kedua, manusia individualis. Manusia ekonomi menjadi manuasia yang melihat kepentingan ekonomi diatas kepentingan sosial. Ia menjadi manusia yang mengutamakan ego ketimbang kolektivitas, yang mencintai diri sendiri ketimbang masyarakat. Semangat kolektivisme digantikan oleh semangat individualisme. Kehidupan sehari-hari dikota-kota besar di Indonesia masa abad kini memperlihatkan kecenderungan semacam ini. 36
Yasraf Amir Piliang, 2006: hlm 477 “Dunia yang dilipat Tamasya Melampaui batas-batas Kebudayaan” Yogyakarta & Bandung : Jalasutra.
62
Ketiga,
Manusia kebendaan.
Didalam
sebuah
kota
yang dibangun
berlandaskan prinsip ekonomi, manusia dikuasai oleh materi. Di dalamnya, ada kemenangan objek atas subjek. Ada pembiakandan pertumbuhan supremasi objek atas subjek, yang dalam pembiakannya diluar kendali, subjek takluk pada objek. Eksistensi manusia kini tidak bisa dilepaskan dari peran objek sebagai perumus eksistensi. Manusia memperlihatkan eksistensinya lewat kepemilikan objek-objek (status, prestise, kelas). Manusia terkurung dalam budaya permukaan, penampakan, gaya hidup, citra yang membangun budaya benda (material culture) Keempat, manusia tanda. Disebabkan eksistensi manusia sangat ditentukan oleh fungsi benda atau objek dalam membangun indentitasnya, maka dunia objek menjadi penentu relasi sosial, semacam mistifikasi, yang didalamnya kepemilikan objek sebagai tanda mendefinisikan status sosial seseorang. Objek kemudian menjadi tanda-tanda sosial, yang memberikan makna sosial bagi orang yang memilikinya. Tawaran citra gaya busana elit yang marak dikota-kota besar di Indonesia memperlihatkan kecenderungan homo-semioticus semacam ini. Kelima, manusia citraan. Meskipun citra tidak hanya dipentingkan di abad milenium, akan tetapi pertumbuhan dan pembiakan citra dikota melebihi ditempat lainya (misalnya desa). Eksistensi kota sangat bergantung pada eksistensi citraan yang membangunnya. Dalam dominasi citra atas realitas kehidupan sosial, eksitensi manusia di kota diredusir menjadi ontologi citraan. Manusia berlomba-lomba menjadi citraan (masuk televisi, menggunakan produk bercitra gaya hidup) dalam rangka menemukan eksitensinya.
63
Keenam, manusia informasi. Keberadaan kota tidak bisa dipisahkan dari informasi yang membangunnya. Akan tetapi di dalam kota modern (post modern) informasi menjadi bersift mutlak. Artinya, eksitensi kota sangat menggantungkan diripada keberadaan informasi (radio, televisi, internet).desa tanpa informasi masih bisa hidup, tetapi kota modern tanpa informasi menjadi kota mati. 4.3
Analisa Semiotika Busana Adat Minang
Gambar 4.3 Busana Adat Tahun 2000
Perubahan ideologi busana adat berakibat kepada perubahan struktur sosial yang signifikan. Segala sesuatu yang semula dita’ ati dan menjadi kebanggaan lokal mulai tergilas oleh konsep baru yang mengacu kepada pikiran abad budaya Milenium. Pakaian Minangkabau yaitu baju kurung yang bernuansa religius mulai tergeser lalu beranjak mengikuti arus perkembangan sehingga muncul berbagai model pakaian tahun 2000-an, mulai terjadi peralihan gaya rias dan mode pakaian di Sumatera Barat, pada waktu itu Busana adat bundo kanduang mulai dipakai dengan warna silver sekelompok kecil perempuan, pada saat yang sama berkembang pula
64
gaya pakaian kebaya yang terlihat pada gambar (a) lebih ketat dan meperlihatkan lekukan tubuh oleh busana adat Bundokanduang tersebut. Makna busana adat tahun 2000, dalam pengertian modern adalah bahasa rupa yang dihasilkan dari rasionalitas. Dilandasi pengetahuan, bersifat rasional, dan pragmatis. Jagat makna busana adat tahun 2000, senantiasa dinamis, penuh corak, dan juga perubahan. Hal itu karena peradaban dan ilmu pengetahuan modern memungkinkan lahirnya industrialisasi. Sebagai produk bahasa kebudayaan yang terkait dengan sistem sosial dan ekonomi, busana adat kini berhadapan pada konsekuensi sebagai produk massal dan konsumsi massa. Hingga, sebagai makhluk yang hidup di dalam masyarakat dan selalu melakukan interaksi dengan masyarakat lainnya tentu membutuhkan suatu alat komunikasi agar bisa saling memahami tentang suatu hal. Apa yang perlu dipahami? Banyak hal salah satunya adalah tanda busana adat tahun 2000. Supaya tanda itu bisa dipahami secara benar dan sama membutuhkan konsep yang sama supaya tidak terjadi misunderstanding atau salah pengertian. Analisa tanda lahiriah busana adat bundo kanduang pada tahun 2000 merupakan suatu hasil pengamatan secara teknik dapat ditransformasikan kedalam bentuk catatan dari beberapa jenis bahasa rupa, busana adat dan penerapannya. Namun dalam struktur bathiniah ragam hias tersebut merupakan suatu penemuan dari kemampuan pengkajian dalam menentukan adanya suatu konstruksi berpikir sebuah masyarakat Minang yang berani memperlihatkan lengkukan tubuh dan sebagaian masih mengikuti perkembangan tataran busana adat. Jika tanda dan bahasa rupa yang
65
digambarkan tersebut, maka struktur itulah yang menuntun seluruh pola, tingkah laku termasuk pola kreatifitas seniman pada menggeliatnya masa Milenium ketika itu. Berdasarkan tanda gambar dan tanda visual, kita bisa menangkap pesan pakaian adat bundo kanduang tersebut dengan produk jaman ketika itu. Namun, pakaian adat tahun 2000 adalah pakaian bahasa rupa yang diserderhanakan, bercirikan kemewahan dan warnanya lebih berani dengan menunjukan warna silver (perak) dengan terbawa arus pada masa Milenium. Melihat gambar tersebut, analisis semiotika sebagai pendekatan meninjau karya adalah dengan melakukan otokritik terhadap karya-karya yang dibuat. Unsur kritik dalam meninjau karya adalah mengkomunikasikan (deskripsi), yaitu menyebutkan, mencatat dan melaporkan hal yang tersaji secara langsung yang tampak melalui penglihatan mengenai wujud busana adat pada masa perubahan zaman dari abad 19 ke abad 20-an. Seperti terlihat pada ragam hias busana pada gambar visual diatas itu yang juga dikenal sebagai perkembangan busana adat pada masa milenium, busana kontemporer ini merupakan sebuah bentuk pengembangan busana adat Minang yang dibikin lebih simpel namun berkesan mewah. Hingga, karya dari warisan leluhur ini pun mampu tampil dalam kemewahan masa kini lewat sentuhan kontemporer. Seperti busana adat pada tahun 2000 yang didesain sedemikian rupa tanpa meninggalkan ikatan dan tetap memiliki benang merah dengan aslinya, mampu menjadi daya tarik tersendiri. Kaidah-kaidah, dari yang bentuknya rata menjadi lebih panjang, dengan di bagian bawah ditambah untaian manik-manik yang berkesan glamor. Sedangkan selendang dua warna diganti
66
dengan perak. Untuk tapih atau sarung, biar lebih simpel diganti dengan rok lurus di tutup dengan tambahan rok luar namun tetap menggunakan motif seperti aslinya. Pada busana adat minang tahun 2000 pun tak luput mendapat perhatiannya para pemakai, dari sudut pandang seperti : a. Perbedaan Bahasa Rupa Busana Adat Tahun 2000 Salah satu menganalisis cara untuk melihat bagaimana identitas bahasa rupa busana adat dikonstruksi adalah dengan cara melihat keterkaitannya dengan identitas bahasa rupa yang lain, dengan “busana sebelumnya” atau dalam kacamata ‘yanglain’ : yaitu, dalam hubungannya dengan apa yang bukan aslinya. Bentuk yang paling umum ditemukan dengan model seperti ini adalah oposisi biner (prinsip pertentangan diantara dua istilah berseberangan dalam strukturalisme). Teori bahasa dari Ferdinand de Saussure mempertahankan model oposisi biner pola semacam ini bentuk paling ekstrem dari menandai perbedaan karena dianggap bersifat esensial dalam hal produksi makna. Bagian busana adat tahun 2000, sekarang ini melihat pandangan dalam membahas tentang perbedaan, khususnya produksinya lewat oposisi biner yang melihat pada masa tersebut. Hingga istilah atau gagasan ‘perbedaan’ pakaian busana adat ini sudah merupakan bagian tidak untuk memahami konstruksi identitas secara kultural dan sudah diadopsi oleh banyak ‘gerakan sosial baru’ yang sudah memasuki Era milenium. Karena perbedaan bisa dilihat secara negatif seperti eksklusi (pengecualian) atau marjinalisasi (peminggiran) mereka yang didefinisikan sebagai ‘yangsebelumnya’ atau ‘orang asing’ . Di sisi lain, perbedaan juga bisa menjadi sumber keanekaragaman, heterogenitas, dan hibriditas (perkawinan silang), di mana
67
pengakuan akan perubahan dan perbedaan dilihat sebagai hal yang memperkaya; seperti contohnya dalam kasus gerakan sosial yang mau memperjuangkan identitas zaman yang berbeda dan merayakan perbedaan lepas dari kekangan-kekangan norma yang berlaku (contohnya: dengan gembira mengaku bahwa dirinya seorang modernisme). Gambaran yang umum, dijumpai di kebanyakan sistem pemikiran adalah kesetiaannya pada model dualisme di mana perbedaan, yang menjadi pokok dalam hal makna, diekspresikan dalam istilah-istilah yang saling bertentangan— alam/budaya, tubuh/pikiran, hasrat/nalar. Mereka yang mengkritik pola oposisi biner ini akan berargumen bahwa kedua istilah yang saling berlawanan ini ditimbang secara berbeda (berat sebelah) sehingga unsur yang satu dalam dikotomi ini dinilai secara lebih atau dianggap lebih berkuasa daripada unsur yang satunya. Karena itulah maka filsuf Perancis terkemuka, Jacques Derrida berpendapat bahwa kekuasaan bekerja di antara dua peristilahan yang terlibat dalam sembarang oposisi biner dengan sedemikian rupa sehingga ada ketidakseimbangan kekuasaan di antara kedua peristilahan itu yang sifatnya niscaya. Satu dikotomi yang paling dominan dan tersebar luas adalah antara alam (nature) dan budaya (culture).
b. Analisa Budaya Khazanah budaya daerah memberi sumbangan besar terhadap apresiasi seni masyarakat. Termasuk juga busana adat Minang yang memiliki banyak simbol dan perlambang luhur. Keagungan nilai-nilai warisan budaya leluhur ini pun turut serta meramu ragam hias, bahasa rupa Tanah Air dan menjadikan mode semakin
68
bervariasi. Banyak pula cara yang dilakukan berbagai kalangan untuk lebih meningkatkan pengetahuan dan kecintaan terhadap hasil karya budaya daerah. Salah satunya dengan mengembangkan busana adat yang diberi sentuhan modern. Di antara busana adat Minang adalah busana Bundo kanduang dan busana penghulu. Dua nama busana adat tersebut acap kali ditampilkan dalam perhelatan atau perayaan dan penyambutan tamu. Keduanya pun memiliki keunikan tersendiri tak hanya dari gerak dan musik, tapi juga tampak dalam balutan ragam hias busana dan filosofis bahasa rupanya. Produk seni tradisional merupakan warisan masyarakat budaya mitis, memiliki estetikanya sendiri yang berbeda dengan estetika seni budaya modern yang ontologis. Produk seni tradisional, termasuk desain atau kriya dalam bentuk pakaian adat dan perlengkapan, senantiasa memiliki kaitan makna dengan kosmos atau alam yang lebih luas. Dengan begitu, pakaian adat dan perlengkapan dibuat selain dengan bentuk yang memenuhi aspek semangat juga dengan bentuk yang memiliki makna kosmologis. Untuk melihat perkembangan dan pembuktian hasil penelitian, diperlukan bandingan antara ragam hias produk lama dan baru di setiap jorong (daerah) dan daerah penelitian. Perkembangan budaya Minang kabau tidak terlepas dari sejarah masuknya pengaruh-pengaruh budaya luar yang telah ikut mempengaruhi adat dan seni kreasi para seniman pekria bahasa rupa Minang kabau. Setiap budaya mempunyai cara menggolongkan dunianya sendiri-sendiri. Lewat sarana sistem-sistem penggolongan, budaya memberikan kepada kita alat atau sarana untuk membuat dunia sosial menjadi dipahami dan untuk mengkonstruksi
69
sejumlah makna. Namun harus tercapai kesepakatan lebih dulu antar anggota masyarakat tentang bagaimana menggolongkan hal ini supaya tatanan sosial tetap terjaga. ‘Sistem-sistem makna yang dihayati oleh sekelompok orang’ inilah yang kita sebut sebagai analisa ‘budaya’ c. Identitas dan subjektivitas Istilah identitas dan subjektivitas cukup sering digunakan dalam cara-cara yang membuat orang berpikir bahwa kedua istilah ini bisa saling dipertukarkan. Padahal, kenyataannya ada sejumlah pengertian yang tumpang-tindih di antara keduanya. indentitas meliputi ‘ciri khusus seseorang; jati diri’ . Subjektivitas mencakup pikiran dan emosi dari alam sadar maupun alam bawah sadar yang menjadi penyusun dari ‘kedirian’ kita dan perasaan-perasaan yang dibawa ke dalam aneka macam posisi dalam budaya. Subjektivitas juga melibatkan perasaan-perasaan dan buah-buah pikiran kita yang paling dalam. Namun kita mengalami subjektivitas kita dalam sebuah konteks sosial di mana bahasa dan budaya memberikan makna pada pengalaman kita akan diri kita dan di mana kita lalu mengadopsi sebuah identitas. Wacana (discourses), apapun perangkat makna yang mereka buat, hanya bisa menjadi efektif jika mereka merekrut subjek-subjek. Gugus subjek ini dengan demikian dikebawahkan (harus tunduk pada) wacana dan menganggap diri mereka memang mengambil posisi sedemikian rupa. Posisi yang kita ambil dan kita peluk (identifikasi) menyusun apa yang kita sebut identitas. Subjektivitas meliputi dimensidimensi bawah sadar dari diri dan menyiratkan adanya kontradiksi dan perubahan. Subjektivitas bisa bersifat irasional namun bisa juga rasional. Kita bisa menjadi
70
manusia yang berpikiran jernih, rasional, namun adakalanya kita harus tunduk pada kekuatan-kekuatan yagn berada di luar kontrol kita. Konsep subjektivitas memungkinkan kita untuk menjelajahi dunia perasaan dan keterlibatan pribadi yang dibuat dalam kaitannya dengan posisi identitas dan alasan-alasan mengapa kita cenderung terikat pada sejumlah identitas tertentu. d. Mitos Umumnya masyarakat tradisional menyalurkan perasaan hati melalui sebuah perantara, sebab masyarakat tradisional belum mengenal apa yang disebut basa tulis. Agar pendidikan terus berlangsung, masyarakat tempo dulu menciptakan apa yang dinamakan dengan mitos yang mana akademisi sekarang menyebutnya dengan folklore. Mitos sebagai sarana pendidikan terus disalurkan dari mulut ke mulut sehingga mitos tersebut diwarisi turun temurun bahkan sampai sekarang Cerita rakyat seperti ini sangatlah unik, baik dari filosofi maupun dari makna yang diusungnya. Para sejarahwan mengatakan bahwa mitos adalah cerita rekaan belaka. Artinya, fakta sejarah yang mendukung kahadirannnya sama skali kurang atau tidak ada. Namun, sebagai sarana pengusung pesan di dalam mitos terdapat proses pembelajaran, meskipun berkembang dari mulut ke-mulut, tetapi akhir-akhir ini fungsi tersebut tidak begitu menonjol bahkan lebih diarahkan untuk hiburan belaka. Sebab, lambat laun masyarakat kita tidak lagi memandang mitos sebagai aset yang berharga bagi pembentukan kepribadian sesorang. Hal ini, mungkin disebabkan semakin majunya pendidikan di tengah-tengah masyarakat. Masyarakat sekarang juga butuh fakta yang berangka tahun, sehingga cerita seperti mitos sering ini tidak dipercayai.
71
Ideologi yang tersembunyi di balik mitos. Ungkapan ini ada benarnya, suatu mitos menyajikan serangkaian kepercayaan mendasar yang terpendam dalam ketidaksadaran representator (dapat mewali). Ketidaksadaran adalah sebentuk kerja ideologis yang memainkan peran dalam tiap representasi. Mungkin ini bernada paradoks, karena suatu tekstualisasi tentu dilakukan secara sadar, yang dibarengi dengan ketidaksadaran tentang adanya sebuah dunia lain yang sifatnya lebih imaginer. Sebagaimana halnya mitos, ideologi pun tidak selalu berwajah tunggal. Ada banyak mitos, ada banyak ideologi; kehadirannya tidak selalu kontintu di dalam teks. Mekanisme kerja mitos dalam suatu ideologi adalah apa yang disebut Barthes sebagai naturalisasi sejarah. Suatu mitos akan menampilkan gambaran dunia yang seolah terberi begitu saja alias alamiah. Nilai ideologis dari mitos muncul ketika mitos tersebut menyediakan fungsinya untuk mengungkap dan membenarkan nilainilai dominan yang ada dalam masyarakat. Dalam analisa semiotika, semua bentuk dan isi bahasa rupa busana adat pada dasarnya adalah tanda. Suntiang gadang adalah tanda, baju kurung adalah tanda, kain sarung atau kodek adalah tanda, bahkan ragam hias itu sendiri juga merupakan tanda. Banyak sekali bentuk perhiasan yang bisa mengungkapkan jatidiri si pemakai, misalnya mahkota kerajaan atau Ratu Elizabete dari masyarakat Inggris yang biasa dikenakan oleh keluarga kerajaan, kalung Kalabubu dari Pulau Nias, yang menunjukkan bahwa pemakainya adalah orang pemberani, dan masih banyak lagi. Namun, bentuk ragam hias busana adat Minang bundo kanduang dalam pemakaian materialnya dan ragam hias kedalam bentuk busana tahun 2000 dengan perkembangannya, seperti :
72
4.3.1
Bahasa Rupa pada Suntiang Bundokanduang 2000
Gambar 4.4 Suntiang Bundokanduang 2000 Berdasarkan analisa bentuk pemakaian suntiang gadang ini melambangkan bahwa perempuan sebagai pemilik tanggung jawab keluarga yang diberikan tanda dengan beban di kepala. Tanda yang ditimbulkan oleh suntiang gadang adalah tandatanda yang digunakan sebagai alat komunikasi yang di hasilkan pesan, lalu di ikuti dengan lambang, misalnya suntiang untuk para bundokanduang, di mulai dari deret lima dilambangkan dengan makna rukun islam. Ragam pencapai pribadi melaui bentuk, memunculkan adanya rupa-rupa yang digandrungi perupanya sendiri pada suntiang tahun 2000. Perjalanan perupa yang berbasis pada kepekaan intuisi, indera dan intelektual pada masa itu, menangkap objek yang imajiner, mesti ditebar melalui sentuhan ekspresi lewat ragam warna silver maupun medium yang disenanginya. Itu semua untuk tercapainya kualitas identitas, yang bisa memberi pemahaman posisi antara rupa karya dan perupanya merupakan kemanunggalan dalam virus berwarna perak. Dari pemahaman tanda gambar di atas dapat dijelaskan bahwa warna yang biasa berwarna berlapis emas kini ada perubahan warna menjadi perak, selain hanya
73
dapat dilihat dengan warna perak ternyata mampu mempengaruhi seseorang, mempengaruhi penilaian estetis dan turut menentukan suka tidaknya seseorang pada sesuatu benda saat itu. Warna perak, sebagai warna yang cerah dengan sendirinya menjadikan lambang untuk sifat pembaharuan dan juga kemewahan. a.
Pernik Rumah Gadang
Gambar 4.5 (a) Pernik Rumah Gadang Pernik suntiang rumah gadang terletak diatas kepala suntiang Bundokanduang Bentuknya seperti tanduk kerbau dengan kedua ujung runcing berumbai dari emas atau loyang sepuhan. Pemakaian tengkuluk ini melambangkan bahwa perempuan sebagai pemilik rumah gadang. Suntiang anak daro dan suntiang tersebut melambangkan tanggungjawab yang harus dipikul oleh bundo kanduang untuk melanjutkan keturunan dan adatnya ini berfungsi religius bagi pemakainya, sebagi simbol meletakkan sesuatu beban di kepala dalam pengertian seperti tanggung jawab keluarga dan terhadap keturunannya bagi kaum dan adat Minang kabau.
74
b.
Pernik Suntiang Gadang
Gambar 4.6 (b) Pernik Suntiang Gadang Penyusunan kembang-kembang pernik suntiang gadang ini diatas kepala pengantin wanita mengikuti deret ganjil. Paling tinggi sebelas tingkat, dan paling rendah tujuh tingkat. Sedangkan sunting untuk para pasundan, dimulai dari deret lima sampai tiga. Penyerderhanaan suntiang dari minimal tujuh menjadi enam semakin tampak pada suntiang anak daro dan suntiang tersebut melambangkan tanggungjawab yang harus dipikul oleh bundo kanduang untuk melanjutkan keturunan ini berfungsi religius bagi pemakainya, sebagi simbol meletakkan sesuatu beban di kepala dalam pengertian seperti tanggung jawab keluarga dan terhadap keturunannya. c.
Pernik suntiang gadang
Gambar 4.7 (c) Pernik Suntiang Gadang
75
Pernik suntiang gadang, memiliki karakter pernik dari cina yang sama. Dalam hal bentuk, pernik suntiang gadang lebih sebagai suatu bentuk dari penjelasan atas kumpulan manik-manik. Dalam kepercayaan budaya minang, pernik suntiang gadang itu adalah tanggung jawab yang di emban seorang bundokanduang itu sendiri. 4.3.2
Bahasa Rupa pada Baju Kurung Tahun 2000
Gambar 4.8 Baju Kurung Tahun 2000
Baju yang dipakai oleh Bundo Kanduang dalam upacara adat di tahun 2000, ada sebuah penyederhanaan pada kain yang terbuat dari sutra membuat pengaruh cina; teknik sulaman terawang benang makau diganti dengan renda minsie dan jumlah hiasan dikurangi dari tiga menjadi dua, kain kambang cino difungsikan untuk salempang baju gadang disebut baju kurung yang melambangkan bahwa ibu tersebut terkurung oleh undang-undang yang sesuai dengan agama dan adat di Minangkabau. Baju kurung ini diberi hiasan sulaman benang perak dengan motif bunga kecil yang disebut tabua atau tabur. Warna baju kurung yang setiap daerah, seperti hitam, merah
76
tua, ungu atau biru tua. Dan temuan peneliti ada warna baru yang ditimbulkan pada periode tahun 2000 dengan motif warna keperakan (silver). Hiasan bahasa rupa pada busana adat baju kurung bunga-bunganya yang terbuat dari lempengan-lempengan loyang kecil berwarna perak (yang bukan lagi berwarna emas) dijahitkan bertabur di sekitar baju. Motif lempengan itu bermacammacam. Ada yang berbentuk bunga, kupu-kupu atau wajik-wajik dan lain-lain sebagainya dalam ukuran kecil Berdasarkan analisa yang dilakukan peneliti pada penanda dan petanda pakaian busana adat. Saussure menampilkan tiga istilah dalam analisa ini, yaitu tanda bahasa (sign), penanda (signifier), dan petanda (signified). Menurutnya, setiap tanda bahasa mempunyai dua sisi yang tak terpisahkan, karena masing-masing saling membutuhkan. Maka dengan demikian, gagasan strukturalisme Saussure lebih menekankan pada aspek linguistik yang berupa bahasa, sistem tanda, simbol, maupun kode didalam bahasa itu sendiri. a.
Warna Baju Kurung Warna perak merupakan sebuah domain budaya pada tahun 2000, dimana kita
dapat dengan mudah menemukan banyak contoh kongkret tentang bagaimana kekuasaan budaya tahun 2000 di jalankan. Dimensi dan potensi dari warna silver pada tahun 2000, tahun ini jauh dari sekedar suatu ruang budaya yang luas, khas, dan modern. Gaya khas busana adat, bahasa dan hubungan budaya merupakan bagian dari ciri-ciri budaya yang berkaitan dengan era Milenium. Periode tersebut sebagai asal mula berkembangnya warna perak dan pada saat itu gaya tersebut sebuah budaya pop.
77
Fenomena sosial-budaya mengenai bentuk warna seperti yang terjadi di tahun 2000 menunjukan
bahwa di satu pihak, bentuk warna atau lambang tersebut
merupakan cermin kebudayaan. b.
Motif Pada Bagian Bawah Busana Baju Kurung Adat Minang
Gambar 4.9 Motif Pada Bagian Bawah Baju Kurung Adat Minang Carano kanso namonyo ukia Siriah gadang lingka-balingka Balingka jo arai pinang Batukuik dulamak kaco Santo timbakau pakaian adat Latak di dalam carano kanso Suatu talatak di tampeknyo Ukia dikarang tampuak tangkai Pakaian balai nan saruang Pariangan jo Padang Panjang Ukia tuo ukia usali Warih dek anak Indo Jati Warih nan indak putuih Tutua nan samo kito danga 37 (Carano kanso namanya ukiran, Sirih besar lingkar melingkar, Melingkar juga pohon arai pinang, Di pukul pangeran kaca, Santo tembakau pakaian adat, Letakan di dalam Carana kanso, Suatu terletak di tempatnya, Ukiran di karangan tempat tangkai, Pakaian sehelai kain sarung, Paraingan ke Padang Panjang Ukiran tua ukiran Asli, Warisan tempat anak Induk jati, Warisan yang tidak pernah putus, Tutunan yang sama yang di dengarkan) Jika kita perhatikan, tampaknya kata-kata pepatah-petitih yang dilantunkan lewat upacara adat tersebut tidak lagi sekedar menyatakan menjaga dalam normanorma adat, tetapi juga mempertahankan kebesaran budaya.”… Pakaian balai nan
78
saruang Pariangan jo Padang Panjang Ukia tuo ukia usali Warih dek anak Indo Jati Warih nan indak putuih Tutua nan samo kito dang“ (pakaian sehelai yang sarung Pariangan juga Padang Panjang ukiran tua ukiran usali wariasan dekat induk jati warisan yang tidak putus tumpuan yang bersama kita dengar), perenungan pepatahpetitih ini sekurangnya telah mengangkat dalam mempertahankan adat simbolisme motif serta fungsinya di dalam masyarakat. Tanda verbal berupa pepatah bergaya pantun mengandung makna konotasi. Struktur sintaksis berupa sintaksis kalimat bernada ajakan atau himbauan. Artinya, dengan mengacu pada bersatunya dalam lingkaran kebersamaan menjadi keluarga dan mampu mengikat atau sebagai tumpuan kebesamaan yang ada di lingkungan kita, maka diharapkan kita sebagai sebuah bangsa selalu berupaya bersatupadu agar budaya ini senantiasa kuat. 37
Sumber: Makalah ini disampaikan dalam Seminar Internasional Kebudayaan: ” Minangkabau dan Potensi Etnik dalam
Paradigma Multikultural.”
Motif Pada Bagian Tepi Busana Adat Baju Kurung
Gambar 4.10 Motif Busana Adat Baju Kurung Siriah Gadang Siriah gadang siriah balingka Kuniang sacoreng diatehnyo Baaleh batadah tampan Hulu adat kapalo baso Pangka kato hulu bicaro Panyingkok peti bunian
Nan tampak sirah balingka Isinyo adat jo pusako Baukia diateh sarawah Baukia ditimbago Bacacak ateh batu Manjadi pado zaman
79
Pambukak biliak nan dalam Susunan dari Priangan Buatan Parpatiah Nan Sabatang Tidan nan turun dari ateh Balingka jo mufakat Balingka jo limbago Jadi pusako alam nangko Anak kunci dalam hetongan Tando adat badiri nyato
Tando biti adat bapakai Tinggi nan amban jantan Dalam juo takasiak bulan Pandai ukia di timbago Pandai pahek pado kayu Disitu hati mako sanang Dilahia manahan bandiang Di bathin manahan tiliak Nan nyato nampak di mato Nan bathin dibawo raso Distulah latak makna siriah Siriah sahalai nan bagagang Gagang barangkai jo bungonyo Bungo nan elok katiruan Disinan tiruan adat Di situ limbago tumbuah
(Sirir besar sirih melingkar, kuning tercoreng di atasnya, Beralaskan bertanda tampan, Kepala adat kepala bersama, Tempat kata kepala bicara, penyingkat peti bunian, Pembuka kamar yang dalam, Susunan dari Lapisan masyarakat, Buatan pepatah yang sebatang, Tidak datang turun dari atas, Melingkar ke Mufakat, Melingkar ke bersamaan, Jadi pusaka alam nyata, Anak kunci dalam hitungan, Tanda adat berdiri nyata, Yang tempat sirih melingkar, Isinya adat yang pusaka, Berukiran di pakaian, Berukikan bertembaga, Mencacak batu, Menjadi pada jaman, Tanda sedikit adat di pakai, Tinggi yang emban jantan, Disitu hati maka senang, Dilahirkan menahan banding, Di batin menahan sesak, Yang nyata tampak di mata, Yang batin di bawa rasa, Disitulah makna sirih, Sirih sehelai yang bergagang, Gagang berangkai juga bunganya, Bunga yang baik di tirunya, Disitulah tiruan adat, Di situ kesadaran tumbuh). 38 Makna pepatah Jika kita perhatikan, tampaknya kata-kata pepatah-petitih yang dilantunkan lewat upacara adat tersebut tidak lagi sekedar menyatakan menjaga dalam norma-norma adat, tetapi juga mempertahankan kebesaran budaya.” …Siriah gadang siriah balingka Kuniang sacoreng diatehnyo Baaleh batadah tampan Pandai ukia di timbago Pandai ukia pado pakaian Disitu hati mako sanang Dilahia manahan bandiang Di bathin manahan tiliak Nan nyato nampak di mato“ (Sirih besar sirih melingkar kuning tergambar diatasnya beralaskan menampung cantik Falsafah Adat Minangkabau Kepentingan Religius Dengan Budaya
80
padai ukiran di adata pandai ukiran pada pakaian disitu hati maka senang di lahirkan menahan beban di bathin menahan gagangguan yang nyata tampak di depan mata),
perenungan
pepatah-petitih
ini
sekurangnya
telah
menjaga
dalam
mempertahankan adat simbolisme motif serta fungsinya di dalam masyarakat. Prinsip-prinsip pepatah diatas tersebut merupakan prinsip operasional yang melembaga di dalam struktur sosial masyarakat Minangkabau. Jiwa baju kurung menjadi pendorong bagi tindakan sebagai pemegang pusaka adat yang mempunyai tanggungjawab sebagai khalifah. Setiap kebijakan, keputusan dan tindakan berorientasi pada kebajikan dan kemashlahatan ummat; pengayom bagi yang kecil dan menjadi suluh bagi orang banyak. Jiwa kemanusiaan merupakan sebuah aksi kemanusiaan dalam melakukan transformasi sosial. Dalam kerangka inilah masyarakat Minangkabau ditempatkan dan berproses dengan amal saleh untuk kemashalahatan umat. d.
Motif Pada Bagian Tengah Busana Adat Baju Kurung
Gambar 4.11 Motif Pada Bagian Tengah Busana Adat Baju Kurung Panco ringek di tapi jalan Mati-mati mako babuah Ingek-ingek anak bajalan Lauik sati rantau batuah
81
Bungo matohari kapunco ukia Rantak malam lingka ba lingka Gayo mantohari nan jadi rasiah Corak bulan mancari aka 39 (Pancaran teringat di tepi jalan, Mati-mati mekar berbuah, Ingat-ingat anak berjalan, Laut sakti rantau bertuah, Bunga matahari kepuncak ukiran, Retak malam lingkar melingkar, Gaya Matahari yang jadi rasia, Corak bulan yang jadi akar). Peran motif busana adat dalam dunia industry pada tahun 2000 telah mengalami peningkatan, meskipun dalam teknik dan bobot bervariasi, mulai dari upaya memperbaiki bentuk dan pengayaan bahasa rupa sampai mempercantik sebuah produk busana adat. Makna motif hias bunga matahari yang terlingkar oleh daun yang dibuatnya sebuah hiasan tidak saja sekedar memperindah penampilan benda yang dihias. Namun, hiasanpun mampu dijadikan sebagai media komunikasi; yang menyampaikan pesan-pesan tertentu kepada pengamat dari dalam masyarakat di sekitarnya. Melalui motif hias baju kurung yang ada pada busana adat dapat diketahui status keluarga pemilik dan pemakai kedua jenis barang tersebut; gaya matahari dalam jadikan hiasan yang melambangkan pengetahuan untuk mencari akal dan pengetahuan. Tanda bunga matahari akan selalu mengacu pada sesuatu hal yang lain yang disebut referent. Matahari mempunyai sifat yang mencerahkan, hingga wajah cerah mengacu pada kebahagiaan. Daun melingkar mengacu pada kesatuan. Apabila hubungan antara tanda dan yang diacu terjadi, maka dalam benak orang yang melihat atau mendengar akan timbul pengertian. 39
Sumber: Makalah ini disampaikan dalam Seminar Internasional Kebudayaan: ” Minangkabau dan Potensi Etnik dalam
Paradigma Multikultural, Ibid.”
82
e.
Motif Pada Bagian Lengan Busana Adat Bundokanduang
Gambar 4.12 Motif Pada Bagian Lengan Busana Adat Baju Kurung Rumah gadang sandaran adat Adat di alam Minangkabau Indah nian tampak dimato Raso dibawo turun Dilahia bada nan disabuik Di bathin adat jo limbago Kieh ibarat caro Minang Adat nan samo kito pakai Tempe manempe ukia gadang Salo manyalo dan nan banyak Baitu latak ragam ukia Alua patuik, barih balabehnyo 40 (Rumah gadang sandaran adat, Adat dialam minangkabau, indah sekali tampak dimata, rasa di bawa turun, di lahir tubuh yang diucapkan, di batin adat juga dan kemuliaan, kiasan ibarat cara minang, adat yang sama kitapakai, erat saling mengeratkan ukiran besar, saling bersambut dan yang banyak, seperti itulah letak ragam ukir, alur kata, barisan yang terbalaska) 4.3.3
40
Bahasa rupa pada Selendang
Gambar 4.13 Selendang Bundokanduang Ibid
83
Bahasa rupa pada selendang Bundokanduang yang biasa dengan warna hitam, merah, biru, atau lembayung yang dihiasi dengan benang emas dan tepinya diberi minsai bermakna simbolik, terutama minsai-nya, bahwa seorang bundo kanduang dan kaumnya harus mematuhi batas-batas adat dan tidak boleh melanggarnya. Sementara, balapak yang diselempangkan dari bahu kanan ke rusuk kiri bermakna simbolik bahwa seorang bundo kanduang bertanggung jawab melanjutkan keturunan. a. Motif Selendang pada bagian ujung Busana Adat
Gambar 4.14 Motif Selendang Pada Bagian Ujung Busana Adat Paruah anggang kaluak bakaluak Mangkuto di ateh ranggah Suntiangan buruang di rimbo Runciang saragam pisau lariak Pambuek ukia panca ragam Pakakeh tukang ukia maukia Tumbuak manumbuak rasuk jo paran Disinan baukia pamalanggang Di ujuang papan tumbukkan kayu Pereng mamereng kayu gadang Ujuang maujuang kayu taba Sanan talatak paruah anggang Baitu suriah barih adat 41 (Paruh anggang kedaerah berdaerah, Mangkuto di atas rongga, Mahkota burung di rimba, Runcing seragam pisau motif, Pembuat ukiran menyinari ragam hias, Perkakas tukang ukir menggukir, Tumbuk-menumbuk rusuk ke tempat, Disitu berukir pamalanggang, Di ujung mengujung adat tebal disitu terletak paruh anggang begitulah suriah barisan adat) 41
Sumber: Makalah ini disampaikan dalam Seminar Internasional Kebudayaan: ” Minangkabau dan Potensi Etnik dalam
Paradigma Multikultural, Ibid.”
84
Makna pepatah Jika kita perhatikan, tampaknya kata-kata pepatah-petitih yang dilantunkan lewat upacara adat tersebut tidak lagi sekedar menyatakan menjaga dalam norma-norma adat, tetapi juga mempertahankan kebesaran budaya.”Paruah anggang kaluak bakaluak Mangkuto di ateh ranggah Suntiangan buruang di rimbo Runciang saragam pisau lariak Pambuek ukia panca ragam hias tukang ukia maukia Tumbuak manumbuak rasuk jo paran Disinan baukia pamalanggang Di ujuang selendang tumbukkan kayu Pereng mamereng kayu gadang Ujuang maujuang adat taba Sanan talatak paruah anggang Baitu suriah barih adat“ (paruh anggang kedaerah berdaerah Mangkuto di atas rongga mahkota burung di rimba runcing seragam pisau motif pembuat ukiran menyinari ragam hias tukang ukir menggukir tumbuk-menumbuk rusuk ke tempat, Disitu berukir pamalanggang di ujung mengujung adat tebal disitu terletak paruh anggang begitulah suriah barisan adat), perenungan pepatah-petitih ini sekurangnya telah menjaga dalam mempertahankan adat simbolisme motif serta fungsinya di dalam masyarakat. Tanda pepatah yang sering di pakai dalam tradisi orang Minangkabau yang mengajarkan bentuk alam semesta dengan segala isinya menjadi guru yang membimbing mereka memahami dirinya dan mencari sumber kekuatan dalam hidup. Ini merupakan sumbangan adat Minangkabau dalam falsafah “Alam Takambang Jadi Guru” cermin hubungan manusia dengan alam.
85
b. Motif Selendang Pada Bagian Tengah
Gambar 4.15 Motif Selendang Pada Bagian Tengah Puluik-puluik tumbuah di parak Babuah lai, mamakan tidak Pauitan kambiang, tambang taranak Tangah padang puputan angin Kok gadang kagalang tabuah Tabuah pusako di Pariangan Kok pupuih di surek, di batu tingga juo Kok habih tumbuah puluik-puluik Dalam ukia tingga juo Ukia banamo puluik-puluik Latak di ujuang bakeh sudah Ujuang rasuak ujuang paran Baitu latak tatahnyo Asa di Batipuah Pariangan Di Sumpu Batu Taba Baitu warih cupak adat 42 (Puncuk-puncuk tumbuh di taman, Berbuah juga, memakan tidak kaitan kambing, Gembala kambing tembang ternak, Tengah padang ditiup angin, Jika besar ke gelang tumbuh, Bertumbuh pusaka puncuk di pariangan, Jika putus disurat, Di batu tinggal juga ko habis tumbuh puncuk-puncuk dalam ukiran tumbuh juga Ukiran bernama puncuk-puncuk letak di ujung bekas sudah ujung rusuk ujung paran begitu letak tatahnya pikiran di tempat pariangan di Tutup batu tebal begitu juga tempat adat),
42
Ibid.”
86
Makna pepatah Jika kita perhatikan, tampaknya kata-kata pepatah-petitih yang dilantunkan lewat upacara adat tersebut tidak lagi sekedar menyatakan menjaga dalam norma-norma adat, tetapi juga mempertahankan kebesaran budaya.”... Puluikpuluik tumbuah di parak Babuah lai, mamakan tidak Pauitan kambiang, tambang taranak Tangah padang puputan angin Kok gadang
kagalang tabuah Tabuah
pusako di Pariangan Kok pupuih di surek, di batu tingga juo Kok habih tumbuah puluik-puluik Dalam ukia tingga juo Ukia banamo puluik-puluik Latak di ujuang bakeh sudah Ujuang rasuak ujuang paran Baitu latak tatahnyo Asa di Batipuah Pariangan Di Sumpu Batu Taba Baitu warih cupak adat “ (puncuk-puncuk tumbuh di taman berbuah juga, memakan tidak kaitan kambing, tembang ternak tengah padang ditiup angin jika besar ke gelang tumbuh bertumbuh pusaka puncuk di pariangan ko putus disurat, di batu tinggal juga ko habis tumbuh puncuk-puncuk dalam ukiran tumbuh juga Ukiran bernama puncuk-puncuk letak di ujung bekas sudah ujung rusuk ujung paran begitu letak tatahnya pikiran di tempat pariangan di Tutup batu tebal begitu juga tempat adat), perenungan pepatah-petitih ini sekurangnya telah menjaga dalam mempertahankan adat simbolisme motif serta fungsinya di dalam masyarakat. 4.3.4
Bahasa Rupa Pada Kain Sarung (Kodek)
Gambar 4.16 Kain Sarung (Kodek)
87
Keindahan kain sarung di tahun 2000 mengartikan manusia memiliki sensibilitas estetika, karena budaya manusia tak dapat dilepaskan dari keindahan dalam menampilkan bentuk yang baru. Kain sarung yang dipakai oleh Bundo Kanduang dibuat dari kain balapak atau songket tenunan Pandai Sikek, Padang Panjang. Kain sarung ini berhiaskan benang emas atau perak dengan motif bunga, daun atau garis-garis geometris. Sedangkan tepinya dihiasi motif pucuk rebung (puncuk tunas bambu). Kain sarung pada gambar (a) dipakai sebatas mata kaki melambangkan bahwa Bundo Kanduang harus mempunyai rasa malu, kesopanan, ketaatan beragama tetapi mudah melangkah dan kain sarung pada gambar (b) lebih ketat mengikuti kain dari jawa (kebaya) yang agak sulit untuk berjalan. Hiasan tabur pada kain sarung melambangkan pengetahuan Bundo Kanduang sebanyak bintang di langit, motif pucuk rebung melambangkan inisiatif dan gerak dinamis masyarakat Minangkabau. Motif kain sarung busana adat Minang ditentukan secara kultural. Jadi penempatan moyif busana adat antara lain : a)
Warna Kain Sarung Warna perak merupakan sebuah domain budaya pada tahun 2000, dimana kita
dapat dengan mudah menemukan banyak contoh kongkret tentang bagaimana kekuasaan budaya tahun 2000 di jalankan. Dimensi dan potensi dari warna silver tahun 2000, pada tahun ini jauh dari sekedar suatu ruang budaya yang luas, khas, dan modern.
88
Gaya khas busana adat, bahasa dan hubungan budaya merupakan bagian dari ciri-ciri budaya yang berkaitan dengan era Milenium. Periode tersebut sebagai asal mula berkembangnya warna perak dan pada saat itu gaya tersebut sebuah budaya pop. Fenomena sosial-budaya mengenai bentuk warna seperti yang terjadi di tahun 2000 menunjkan
bahwa di satu pihak, bentuk warna atau lambang tersebut
merupakan cermin kebudayaan.
b)
Motif Kain Sarung pada bagian bawah Taji Siarek
Gambar 4.17 Kain Sarung Motif Taji Siarek Saruang gadang baujuan ukia Ukia bataji jo siarek Talatak di bawah pereng Buliah di lumbuang nan bapereng Baik di rumah nan baanjuang 43 (Sarung besar berujung ukir, Ukiran bertujuan ke sarat, Teletak dibawah pereng, boleh di lumbung yang bertingkah laku baik, Baik di rumah yang beranjungan). Makna pepatah Jika kita perhatikan, tampaknya kata-kata pepatah-petitih yang dilantunkan lewat upacara adat tersebut tidak lagi sekedar menyatakan menjaga dalam norma-norma adat, tetapi juga mempertahankan kebesaran budaya.” …Saruang gadang baujuan ukia Ukia bataji jo siarek Talatak di bawah pereng Buliah di lumbuang nan bapereng Baik di rumah nan baanjuang“ (sarung Kebesaran 43
Sumber: Makalah ini disampaikan dalam Seminar Internasional Kebudayaan: ” Minangkabau dan Potensi Etnik dalam
Paradigma Multikultural, Ibid.”
89
ke ujung ukir beri tanda juga sarat teletak dibawah atap boleh di lumbung yang bertingkah laku baik di rumah yang berujung), perenungan pepatah-petitih ini sekurangnya telah menjaga dalam mempertahankan adat simbolisme motif serta fungsinya di dalam masyarakat. Tanda dalam kerangka pepatah inilah manusia Minangkabau ditempatkan, bergerak dan berproses dalam kaedah nilai alam dan kemanusiaan yang berorientasi pada tanggungjawab dan kemashalahatan umat yang akhinya tercapai keindahan dalam hidup ini. c)
Motif Pada Tepi Kain Sarung Bada Mudiak
Gambar 4.18 Kain Sarung Motif Bada Mudiak Elok susun bada mudiak Manyonsong aia samo sakato Arak baririang samo saraso Indak saiku nan mayalo 44 (baik susun pada mudik, Menyongsong air sama sekata, Mengarak beriring sama serasa, Tidak saling menyalakan), Makna pepatah pepatah diatas, tampaknya kata-kata pepatah-petitih yang dilantunkan lewat upacara adat tersebut tidak lagi sekedar menyatakan menjaga dalam norma-norma adat, tetapi juga mempertahankan kebesaran budaya.” Elok susun bada mudiak Manyonsong aia samo sakato Arak baririang samo saraso“ (baik 44
Ibid
90
susun pada mudik mentongsong air sama sekata mengarak beriring sama serasa), perenungan pepatah-petitih ini sekurangnya telah menjaga dalam mempertahankan adat simbolisme motif serta fungsinya di dalam masyarakat. d)
Motif Pada Bagian Tengah Kain Sarung
Gambar 4.19 Motif Pada Bagian Tengah Kain Sarung Tatandu samo manyasok Bungo satangkai kambang nyarak Dibuek ukia langkok-langkok Susun barangkai tatandu bararak 45 (Ketanduk sama menyaasak bunga setangkai kambang syarat, Dibuat ukir langkah-langkah, Susun bertangkai ketanduk berbaris). Makna pepatah pepatah diatas, tampaknya kata-kata pepatah-petitih yang dilantunkan lewat upacara adat tersebut tidak lagi sekedar menyatakan menjaga dalam norma-norma adat, tetapi juga mempertahankan kebesaran budaya.”… Tatandu samo manyasok Bungo satangkai kambang nyarak Dibuek ukia langkok-langkok Susun barangkai tatandu bararak“ (ketanduk sama memasok bunga setangkai kambang syarat dibuat ukir langkah-langkah susun bertangkai ketanduk berbaris), perenungan pepatah-petitih ini sekurangnya telah menjaga dalam mempertahankan adat simbolisme motif serta fungsinya di dalam masyarakat. 45
Sumber: Makalah ini disampaikan dalam Seminar Internasional Kebudayaan: ” Minangkabau dan Potensi Etnik dalam
Paradigma Multikultural, Ibid.”
91
4.3.5
Bahasa rupa pada Kalung perhiasan 1. Perhiasan Kalung Bundo Kanduang
Gambar 4.20 Perhiasan Kalung Bundo Kanduang Kendati perkembangan perhiasan kalung dan estetika memperlihatkan berbagai pergolakan dan pertentangan tentang bentu perhiasan kalung tersebut. Bagaimanapun bentuk perhiasan kalung mengalami perubahan, hingga terjadi pada perkembangannya pada bahasa rupa pada tahun 2000, penjelajahan bentuk baru dan persoalan rupa perhiasan kalung masih menjadi penanda utama dalam memegang adat. Perhiasan pada gambar diatas sering disebut dengan tanda tungku tiga sajarangan, yakni unsur-unsur adat terdiri dari para penghulu (datuk), unsur agama dari ulama dan kaum cendekiawan dari kalangan inteletual atau orang yang dapat diakui pemikiran dan gagasannya. Kalung perhiasan yang dikenakan di leher sebagai lambang kebenaran yang akan tetap berdiri teguh dan sebagai pernyataan tetap menegakkan kebenaran dilambangkan dengan memberi hiasan kalung. Kalung juga melambangkan bahwa
92
semua rahasia dikumpulkan oleh Bundo Kanduang dan sebagai pengatur ekonomi maka perlu menyimpan harta dalam bentuk emas yang sukar dihabiskan. a) Bentuk Perhiasan Kalung
Gambar 4.21 Bentuk Perhiasan Kalung Bentuk perhiasan kalung Dukuah uang dukat adalah kalung yang terbuat dari silver. Kalung ini mengandung makna simbolik bahwa bundo kandung adalah cermin seorang perempuan Minangkabau yang dapat menjadi pengayom bagi kaumnya dalam menjalani kehidupan.
b) Motif Bahasa Rupa Pada Tepi Perhiasan Kalung
Gambar 4.22 Motif Hias Bunga Teratai pada Perhiasan Kalung Taratai, bungo taratai Talipuak di dalam tabek Usah picayo daun takampai Di dalam lunau urek takabek Ukia di aliah ateh sarawah Ujuang ukia talipuak layua
93
Badannyo buliah jo nan lain Lataknyo di ateh alua patuit Condoang mato kan nan rancak Condoang salero ka nan lamak Nan tampak sarawah baukia Bathinnyo adat jo pusako Babedo lahie jo bathin Talampau bathin kalihatan Baitu suriah barih adat 46 (Teratai, bunga teratai, Terletak didalam kolam, Usah percaya daun takampai, Didalam tanah ikat mengikat, Ukiran beralas atas pakaian, Ujung ukiran tampak layu, Badannya boleh yang lain, Letaknya di atas alurnya di patutkan, Tatapan mata akan yang cantik, Tatapan selera bukan yang enak, Yang tampak pakaian berukir, Batinnya adat ke pusaka, Berbeda lahir juga batin, Terlempar batin kelihatan, Begitu suriah batin adat). Kata teratai bagi umumnya bangsa Indonesia hanya akan mengungkapkan makna konotatif yang berhubungan dengan keindahan belaka. Akan tetapi, dalam kebudayaan India bunga itu akan memiliki makna konotatif lain,karena baik dalam agama Hindu maupun agama Buddha, bunga teratai memiliki arti perlambangan (simbolis) yang dalam, yang berhubungan dengan kedua agama tersebut. Tumbuhnya keyakinan bahwa dengan menerima modernitas sebagai pandangan hidup dipicu pula oleh tumbuhnya harga diri sebagai sebuah perhiasan adat antara lain : •
Dukuah palam adalah kalung yang terbuat dari palam (manik-manik) yang berasal dari dasar laut. Makna simbolik yang terkandung dalam kalung ini adalah bahwa hidup itu perjuangan. Artinya, tidak hanya pasrah tetapi berpikir dan berbuat sesuatu tentang segala ciptaan Tuhan untuk kesejahteraan manusia.
46
Sumber: Makalah ini disampaikan dalam Seminar Internasional Kebudayaan: ” Minangkabau dan Potensi Etnik dalam
Paradigma Multikultural, Ibid.
94
2. Perhiasan Kalung Minang
Gambar 4.23 Perhiasan Kalung Rumah Gadang
a. Motif Bahasa Rupa Pada Bagian Tengah Perhiasan Kalung
Gambar 4.24 Motif Perhiasan Kalung Pada Bagian Tengah Dilahia manahan bandiang Di bathin manahan tiliak Nan nyato nampak di mato Nan bathin dibawo raso Disitulah latak makna siriah Siriah sahalai nan bagagang Gagang barangkai jo bungonyo Bungo nan elok katiruan Disinan tiruan adat
Di situ limbago tumbuah Laweh dikambang ka alam nangko
Kucuik saleba daun siriah Kok rimbun tampak di junjuangan Urek malakek di rumpunyo Aka mancakam masuak tanah
95
( Dilahirkan menahan banding, di bathin menahan teliti, yang nyata tampak dimata, yang batin di bawa rasa, disitulah letak makna sirih, sirih sehelai yang bergagang, gagang bertangkai juga bunganya, bunga yang baik ditirukan, disitulah kemuliaan tumbuh, luas di kembangkan ke alam nangko, kain selembar daun sirih, jika rimbun tampak di pikul urat melingkar dirumputnya, akar mencekram masuk tanah ) 47 b. Motif Bahasa Rupa Pada Bagian Tepi
Gambar 4.25 Motif Bahasa Rupa Pada Bagian Tepi Kalung
Lakek di dukuah nan balariak Ukiran di rumah gadang Lukisan adat jo limbago Jadi pakaian di istano Manjadi suri tuladan kain Umpamo ragi nan tadendeng Dalam bathin budi marangkak Lahianyo ukia nan balariak Bathinnyo limbago cupak adat Adat limbago tempat diam di alam Minangkabau Alam takambang jadi guru 48
(lekat di kalung yang tenang, ukiran rumah gadang, lukisan adat yang mulia, jadi pakaian di istana, menjadi suri teladan kain, umpama ragi yang terbawa, dalam batin budi merangka, lahirnya ukir yang mulia, batinya mulia tempat adat, adat yang mulia tempat berdiam, di alam minangkabau, alam terkembang menjadi guru)
47
Sumber: Makalah ini disampaikan dalam Seminar Internasional Kebudayaan: ” Minangkabau dan Potensi Etnik dalam
Paradigma Multikultural, Ibid.” 48 Sumber: Makalah ini disampaikan dalam Seminar Internasional Kebudayaan: ” Minangkabau dan Potensi Etnik dalam Paradigma Multikultural, Ibid.”
96
Perhiasan dalam bentuk Rumah gadang (Dukuah nasura), yaitu kalung yang ukuran lingkarnya seleher. Oleh karena lingkarannya seleher, maka kalung ini sering disebut cakiak lihia (cakiak berarti “cekik”, sedangkan lihia berarti “leher”). Sesuai dengan namanya, maka ketika kalung itu dikenakan akan terlihat seakan-akan mencekik leher si pemakainya (bundo kanduang). Makna simbolik yang terkandung dalam perhiasan ini adalah bahwa orang hidup mesti disiplin (dapat menerapkan sikap mental hemat). Tanda dalam bentuk perhiasan kalung Minang yang mengandung nilai, norma, dan hukum. Didalam tanda perhiasan gambar rumah adat minang kabau artinya sebagai pegangan adat yang tidak luntur oleh panas atau adat yang dipertahankan. Seluruh dukuah-dukuah tersebut merupakan simbol kekayaan seorang bundo kanduang yang dalam pepatah adat dikatakan “Nak tuah batabua urai”. Secara tersirat seorang bundo kanduang selain memiliki banyak harta, juga arif dan bijaksana. Kearifan dan kebijaksanaan yang pada gilirannya dapat digunakan untuk memecahkan berbagai permasalahan kaum dan nagarinya. 4.3.6
Bahasa rupa pada Perhiasan Galang (gelang)
Gambar 4.26 Perhiasan Galang Gadang
97
Simbolisme galang gadang atau lambang-lambang adalah sangat penting dalam masyarakat dan kehidupan. Galang gadang atau disebut juga dengan galang adat besar mengandung makna simbolik sebagai pamagar (pagar). Artinya, semua tindakan atau tugas yang dilaksanakan oleh bundo kanduang harus sesuai dengan aturan adat dan disetujui oleh mamak atau panghulu. Jadi, galang gadang berfungsi sebagai pengingat bundo kanduang agar selalu mematuhi aturan-aturan adat yang telah ditetapkan. Perhiasan
galang gadang tersebut hanya dipakai pada saat dilaksanakan
upacara adat dimana bundo kanduang hadir dengan segala kebesarannya sebagai seorang pemimpin adat. Berikut ini adalah beberapa macam perhiasan (kalung, gelang dan cincin) yang biasa digunakan oleh bundo kanduang di dalam melaksanakan upacara adat. Selain kalung, hiasan lainnya adalah gelang, yaitu gelang gadang (besar), gelang rago-rago dan gelang kunci manik. Pemakaian gelang melambangkan semua yang dikerjakan Bundo Kanduang harus dalam batas-batas tertentu, menjangkau ada batasnya, melangkahkan kaki juga ada batasnya. a) Motif Pada Tepi Galang Gadang
Gambar 4.27 Motif Pada Tepi Galang Gadang
Rancak raginyo buah palo Dikarek disusun nyato Elok tampaknyo pandangan mato Ukia tuturan tumpuan kasau
98
Balampih jo itiak pulang patang Basalo jo tatandu manyasok bungo Raginyo dama tirih bintang gumarau Baitu tatah lataknyo ukia Dalam barih cupak adat 49 (Bagus sekali buah pala, Diikat disusun nyata, Indah tampaknya pandangan mata, Ukiran tuturan tumpuan kasau, Berlapiskan itik ke petang, Berbaris bertandu menyasak bunga, Tubuhnya obor sinar bintang kemilau, Begitu tata letaknya ukir, Dalam baris pegangan adat). Motif gelang dikaitkan dengan simbol-simbol galang gadang tersebut dalam menciptakan perasaan dan motivasi yang kuat, mudah menyebar dan tidak mudah hilang dalam diri seseorang. Motif galang gadang tentu mempunyai tujuan-tujuan tertentu dan orang yang memakainya tersebut membawa nilai tentang apa yang penting, apa yang baik dan buruk, apa yang benar dan salah bagi dirinya. b) Motif Pada Tengah Galang Gadang
Gambar 4.28 Motif Pada Tengah Galang Gadang Di latak diateh galang data Tampek nan tarang kalihatan Nak jaleh dek nan banyak Pamimpin indak buliah basalisiah paham Hambo rakyat bapantiangan Baitu barih nan tabantang Asa ukia di Luhak Agam Kambang di alam Minangkabau 50 49
Sumber: Makalah ini disampaikan dalam Seminar Internasional Kebudayaan: ” Minangkabau dan Potensi Etnik dalam
Paradigma Multikultural, Ibid.” 50 Ibid
99
(Diletakan diatas gelang datar, tempat yang terang kelihatan, Yang jelas tampak yang banyak, Pemimpin tidak boleh berselisih paham, Hamba rakyat yang dipentingkan, Begitu barisan yang terbentang, beri ukiran di daerah Agam, Kembang di alam Minangkabau). Makna pepatah pepatah diatas, tampaknya kata-kata pepatah-petitih yang dilantunkan lewat upacara adat tersebut tidak lagi sekedar menyatakan menjaga dalam norma-norma adat, tetapi juga mempertahankan kebesaran budaya.” Dilatak diateh papan data Tampek nan tarang kalihatan Nak jaleh dek nan banyak Pamimpin indak buliah basalisiah paham Hambo rakyat bapantiangan Baitu barih nan tabantang Asa ukia di Luhak Agam Kambang di alam Minangkabau“ (Diletakan diatas gelang datar tempat yang terang kelihatan yang jelas dan yang banyak pemimpin tidak boleh berselisih paham hamba rakyat berpentingan begitu baris yang terbentang asal ukir di daerah agam kembang di alam Minangkabau), perenungan pepatah-petitih ini sekurangnya telah menjaga dalam mempertahankan adat simbolisme motif serta fungsinya di dalam masyarakat. 4.3.7
Bahasa rupa pada cincin
Gambar 4.29 Bahasa Rupa Pada Cincin
100
Selain kalung dan gelang, cincin juga termasuk perhiasan dalam kelengkapan bundo kanduang. Namun, cincin yang digunakan tidak ditentukan bentuk dan modelnya (berdasarkan selera) karena cincin yang dikenakan dalam masyarakat adat dapat melambangkan sebuah ikatan batin.
101
4.4 Analisa Klasifikasi Tanda Pakaian Busana adat Bundokanduang
Gambar 4.30 Pakaian Busana Adat Bundokanduang. No.
Klasifikasi
Tanda
1.
Nilai-nilai bahasa rupa modern telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari program pembangunan dan industrialisasi di setiap daerah.
Tanda budaya modernisasi yang telah tumbuh di Indonesia pascamodern mengalami pematangan dan terapan luas dalam pelbagai wujud busana adat Sumatera Barat
2.
Tuntunan gaya hidup masyarakat yang meniru masyarakat budaya global pun berkembang pesat. Hal itu tercermin pada pengamatan busana adat Minang pada tahun 2000, menunjukan kecenderungan kuat bahwa sebagai masyarakat Sumatera Barat telah memiliki citra rasa yang tinggi dalam membangun.
Tanda masyarakat modern yang mengadopsi nilai-nilai budaya global telah membangun keragaman budaya yang semakin cepat, baik dalam bentuk keanekaan gaya ataupun tumbuhnya gaya hidup di masyarakat yang semakin beragam.
3.
Perkembangan tradisi lintas budaya semakin meninggi,
Kebutuhan masyarakat akan Informasi yang sejalan dengan gaya hidup dan peningkatan citra rasa.
Table 4.1 Pakaian Busana Adat Bundokanduang.
102
a. Bahasa Rupa pada Suntiang Bundokanduang 2000
Gambar 4.31 Bahasa Rupa pada Suntiang Bundokanduang 2000
No
Gambar
Jenis Tanda
Makna
Analisa
1
Penanda/ Makna Ideologis, tanda terdapat upaya untuk mengedepankan aspek-aspek kebudayaan Minangkabau.
Eksistensi citra yang dibangun melalui symbolsimbol artifak budaya Minangkabau.
keanekaragama n makna sebuah penanda pada budaya.
2
Penanda/Fungsi,
Tampilan citra bermakna membangun tanda-tanda peradaban.
mempertanyaka n oposisi antara subjek dan objek, yang menjadi dasar diskripsi yang objektif
Bentuk membangun aspek orisinalitas
Suatu makna diproduksi melalui bahasa.
Petanda dalam wacana seni dari berbagai zaman
3
Penanda/Fungsi, Penanda merepsentasikan sesuatu dalam realitas social
Table 4.2 Suntiang Bundokanduang 2000
103
b. Bahasa Rupa pada Baju Kurung Tahun 2000
N o
Gambar 4.32 Bahasa Rupa pada Baju Kurung Tahun 2000 Gambar Nama Jenis Tanda Makna Adat
Analisa
CARANO KANSO
Penanda/Fungsi, penanda utama yang dihasilkan sebagai puncak proses Transpormasi budaya.
Bentuk berhubungan dengan gambaran (imaji) berkaitan dengan dunia spiritual budaya
Pemahaman, komunikasi melibatkan tanda dan makna.
SIRIAH GADANG
Penanda/Makna ideologis, sebagai identitas bertanggung jawab.
Motif mencitrakan mental dan jiwa para pemilik dalam busana adat.
interaksi sosial melalui pesan budaya.
3
BUNGO PANCA MATOHA RI JO RANTAK MALAM
Penanda/Tanda, Tanda dalam motif menggali makna ideologis yang telah ada di alam
Motif mengundang imaji dalm membangun citra masyarakat.
Tanda budaya mentransmisi kan pesan
4
PESONG AIA BABUIAH
Penanda/Makna ideologis, sebagai tumbuhnya kegiatan di kalangan masyarakat
Motif mencitrakan menumbuhkan dalam membangun komunikasi dalam keluarga.
Tanda budaya seringkali menjadi rujukan utama
Table 4.3 Baju Kurung Tahun 2000
104
c. Bahasa rupa pada Selendang
Gambar 4.33 Bahasa rupa pada Selendang No
2
3
Gambar
Nama Adat
Jenis Tanda
DAUN PULUIKPULUIK
Penanda/Makn a Ideologis, memiliki makna dalam kenyataan hidup berbudaya.
Makna Motif menyangkut derajat dan martabat manusia sebagai pemakai busana adat.
PARUAH Penanda/Fungs Motif ANGGANG i, kebudayaan menyangkut adati ciri kedayaan dalam kebudayaan masyarakat Minangkabau. PERNIK
Penanda/Fungs i, terbangunya system nilai modern
Penyusunan kaidah yang ditetapkan struktur adat.
Table 4.4 Selendang Bundokanduang
Analisa Tanda komunika si sebagai produksi dan pertukaran makna
Peran penguasaa n makna kepada penerima pesan.
Jangkauan pemaknaa n akan sangat tergantung pada pengalama n budaya.
105
d. Bahasa Rupa Pada Kain Sarung (Kodek)
Gambar 4.34 Bahasa Rupa Pada Kain Sarung No .
Gambar
Nama Adat
Jenis Tanda
Makna
Analisa
TAJI SIAREK
Penanda/ makna ideologis,
Motif menyangkut ciri kebaikan dan kebenaran dalam menjaga adat Minang
Pengalaman budaya yang relatif.
BADA MUDIAK ITIAK PULANG PATANG TATAND U MANYAS OK BUNGO JO BUAH NIBUANG SALANGKO
Penanda/fung Penyusunan Makna menjadi si, Penanda kaidah motif sebuah mewakili dalam struktur pengertian yang elemen social cair, tergantung bentuk atau isi bermasyarakat. pada frame kebudayaan budaya pembacanya. Penanda/fung Petanda ini Budaya si, motif memiliki suatu seringkali kebudayaan komunikasi dipertukarkan yang yang amat tanpa berlandaskan dekat dengan membedakan “budaya rasa” budaya,(alam) artinya. adat sekitar. Penanda/Tand a, dalam keterbukaan kebudayaan.
Citra bermakna bagi kelangsunganp eradapan kebudayaan.
Table 4.5 Kain Sarung (Kodek)
Tanda budaya menggali apa yang tersembunyi di balik bahasa.
106
e. Bahasa rupa pada Kalung perhiasan
Gambar 4.35 Bahasa Rupa Pada Kalung Perhiasan No . 1
Gambar
Nama Adat
Jenis Tanda
Makna
Analisa
AKA TANGAH DUO GAGANG
Pengaturan makna atas sebuah tanda dimungkinkan oleh adanya konvensi sosial di kalangan pemuka adat Minang.
Gagasangagasannya memberi gambaran yang luas mengenai bentuk budaya.
Makna budaya untuk diterapka n pada fenomena lain di luar bahasa.
BUNGO TARATAI DALAM AIA
Penanda/Makna ideologis,
makna bentuk dihubungkan dengan aspekaspek lain di luar bahasa.
BADA MUDIA K ITIAK PULAN G PATANG
Penanda/fungsi, Penanda mewakili elemen bentuk atau isi kebudayaan
hubungan antara tanda dan keberadaan struktur sosial.
Tanda kebudaya an sebagai bagian dari kehidupa n sosial Penanda mewakili elemen bentuk atau isi.
Table 4.6 Perhiasan Kalung Bundo Kanduang
107
f. Perhiasan Kalung Minang
Gambar 4.36 Perhiasan Kalung Minang No. 1.
2.
Gambar
Nama SIKUMBAN G MANIH
Jenis Tanda Penanda/Ta nda, dalam memiliki kesataraan.
LUMUIK HANYUIK
Penanda/fun gsi,
Makna Hubungan antara tanda menjadi pondasi menghadapi kebudayaan terbuka pada milenium berikutnya. Citra bermakna merupakan bagian historis terbentunya masyarakat.
Table 4.7 Perhiasan Kalung Minang Bundo Kanduang
Analisa Petanda mewakili elemen konsep atau makna
Kesatuan antara penanda dan petanda itulah yang disebut sebagai tanda
108
g. Bahasa Rupa Pada Perhiasan Galang (gelang)
Gambar 4.37 Bahasa Rupa Pada Perhiasan Gelang No .
2
Gambar
Nama Adat
Jenis Tanda
Makna
Analisa
BUAH PALO PATAH
Penanda/makn a ideologis.
Penyusunan kaidah motif membentuk orientasi sosial
Tanda adanya konvensi sosial
AKA TANGAH DUO GAGANG
Penanda/fungsi , ditunjuknya adalah sebuah himpunan relasi-relasi yang ada
Penyusunan kaidah motif menunjukkan beberapa eksistensi
‘Tanda’ dan ‘hubungan’ menjadi kata-kata kunci dalam analisis semiotika.
Tabel 4.8 Perhiasan Galang Gadang
Tabel 4.9 Perkembangan Bahasa Rupa Antara pra-Modern, Modern, dan Posmodern Bahasa Rupa Bahasa Rupa Bahasa Rupa Pra-modern Modern Posmodern Budaya Lokal Budaya Regional Budaya Global Nilai Mistis Nilai Objektif Bebas Nilai Mistis Sistematis Permainan Keterampilan Tangan Industrial Digital Ornamen Anti Ornamen Keseluruhan (pluralistik) Etnik Nasionalis Keterbukaan
109
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Pola pikir kajian semiotika seperti ini terlihat jelas dalam proses perkembangan bahasa rupa dan maknanya busana adat bundo kanduang di tahun 2000. Pengaturan pola motif busana disesuaikan dengan struktur dan ukuran perkembangan jaman, sedangkan pengaturan pada songket adalah berdasarkan struktur benang, bahan dan ukuran bidang dasar. Dengan terlebih dahulu mengetahui ukuran ekonomis, estetis dan posisi susunan bahan; maka diaturlah pengulangan pola motifnya. Pengulangan pola terjadi karena pola pikir matematis yang terjadi akibat adanya ukuran bidang obyek. Struktur busana adat identik dengan struktur pakaian, tampak pula pada struktur motif hias. Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah diuraikan pada Bab V ini peneliti akan memaparkan tentang kesimpulan dan saran dari penelitian yang dilakukan dalam Bab IV mengenai pakaian busana adat bundo kanduang dari pengamatan busana adat di tahun 2000 dalam perkembangannya. Kesimpulan 1. Pesan yang terdapat pada kajian semiotika ini busana adat adalah pesan yang disampaikan kepada khalayak sasaran dalam bentuk tanda. Secara garis besar, tanda dapat dilihat dari dua aspek, yaitu tanda verbal dan tanda visual. Tanda verbal didekati dari ragam bahasa, gaya penulisan, tema dan pengertian yang didapatkan. Tanda visual dilihat dari cara menggambarkannya, apakah secara
110
strukturlisme, Makna, atau simbolis. 2. Penjelajahan semiotika sebagai metode kajian ke dalam berbagai cabang keilmuan dalam hal ini perkembangan bahasa rupa ini dimungkinkan, karena ada kecenderungan untuk memandang berbagai wacana sosial sebagai fenomena bahasa. Artinya, bahasa dijadikan model dalam berbagai wacana social. Bertolak dari pandangan semiotika tersebut, jika sebuah praktik social dapat dianggap sebagai fenomena bahasa, maka semuanya termasuk karya busana adat dan ragam hias dapat juga dilihat sebagai tanda-tanda. 3. Mengingat karya perkembangan busana adat mempunyai tanda berbentuk verbal (bahasa) dan visual, serta merujuk bahwa Makna dan Bahasa rupa serta penyajian visualnya juga mengandung struktur bahasa terutama berfungsi dalam sistem-sistem non kebahasaan untuk mendukung pesan kebahasaan, maka pendekatan semiotika sebagai sebuah analisis tanda guna mengupas pesan bahasa rupa dan maknanya layak diterapkan dan disikapi secara proaktif sesuai dengan konteksnya. 4. Kedudukan wanita mendapat tempat yang sangat mulia dan terhormat, dilihat dari ciri khas adat Minang kabau yang diperlakukan kepada wanita antar lain: jika seorang ibu bersuku Piliang, maka anak yang dilahirkan baik laki-laki maupun perempuan harus bersuku Piliang sesuai dengan suku ibunya. Demikian pula jika seorang ibu bersuku koto atau Caniago dan lain-lain, anak-anaknya harus bersuku sama dengan suku ibunya. 5. Maka dengan menggunakan status tersebut, Bundo Kanduang mempunyai batas-batas yang digariskan oleh adat dalam berbuat, bertindak dan bertingkah
111
laku. Gambaran Bundo Kanduang ini diwujudkan pula dalam pakaian adat yang dipakai dalam upacara tertentu, yang penuh dengan lambang dan makna. Saran 1. Struktur perkembangan bahasa rupa memiliki makna yang berhubungan dengan kepemimpinan seorang Bundo Kanduang di Minangkabau, merupakan dua pilar dari keberadaan adat Minangkabau yang juga merupakan identitas masyarakat Minangkabau. Pada tahapan saran ini, diperlukan kearifan masyarakat dalam mempertahankan eksistensi keminangkabauan, dengan jalan menyeimbangkan identitas masyarakat itu, dimana makna, lambang dan Adat harus tetap eksis dan digunakan sebagai pondasi pandangan hidup dalam hal bermasyarakat. 2. Sayang sekali jika warisan kebesaran budaya dalam hal ini tidak diketahui oleh generasi muda, khususnya pendukung kebudayaan yang bersangkutan karena berarti kesadarannya hilang tidak mengenal dan mencintai nilai budaya nenek moyang. 3. Struktur rupa yang terdapat pada perhisanan, motif dan pakaian adat memiliki implikasi terhadap prilaku kehidupan masyarakat Minangkabau yang harus dijaga dan dipertahankan. 4. Agar kebudayaan tetap terjaga, tradisi ibarat sejarah moral kepercayaan para leluhur kita. Karena tradisi itu memuat harta kebudayaan, gagasan, bagaimana manusia itu seharusnya hidup di zaman dahulu. Mengenal dongeng dan mitos berarti mengenal warisan masa lampau.
112
DAFTAR PUSTAKA
Ahimsa-Putra, H.S. Tanda Simbol Budaya dan Ilmu Budaya, Makalah, Yogya karta: Unit Pengkajian dan Pengembangan Budaya. 2002, Anton Bakker. kosmos Ekologi Filsafat Tentang Kosmos Sebagai Rumah Tangga Manusia. Yogyakarta: kanisius.1995 Barthes, Roland. S/Z. Penerjemah Richard Miller. New York: Hill and Wang, 1974 Berger, Arthur Asa. Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer. Penerjemah M. Dwi Marianto dan Sunarto. Yogyakarta: Penerbit PT Tiara Wacana, 2000. Dick Hartoko. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,1982. Djoko Pradopo.Yogyakarta: Tanda Simbol Budaya dan Ilmu Budaya Penerbit Gadjah Mada University Press, 1985. Dyah Kartikawening. Publik Space Dynamic in Minangkabau Rular Area. “University of Cincinnati. Cincinnati, OH. 2006, Eco, Umberto. A Theory of Semiotics. Bloomington: Indiana University Press. l979 Ernst Cassirer. Manusia dan Kebudayaan Sebuah Essai Tentang Manusia. Jakarta: PT. Gramedia. 1987. Gunawan, Restu. Mohamad Yamin dan Cita-cita persatuan. Yogyakarta: Penerbit Ombak. (2005), Hoedoro Hoed, Benny. ‘’Dampak Komunikasi Periklanan, Sebuah Ancangan dari Segi Semiotik’ ’ . Jurnal Seni BP ISI Yogyakarta IV/2. 111-133. 1994. Jalaludin Rahmat, Metode Penelitian Komunikasi, Bandung, hlm 24: Penerbit PT Remaja Rosdakarya. 2000, K. Idrus Dt. Rajo Penghulu. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau. Bandung: Remaja Karya CV. Bandung, 1984. Koentjaraningrat, Jakarta : Universitas IndonesiaPress Kebudayaan Jawa, Balai Pustaka, 1993.
113
Koto, Ysuyoshi. Manyigi and Miigrations. Terjemahan azzizah kasim. Nasap ibu dan Merantau. Kuala Lumpur: Dewan Pustaka dan Bahasa, 1983. Lexy.J. Moleong.. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya M.Nasroen. 1057.Dasar Falsafah Minangkabau. Jakarta: Bulan Bintang. 2000. Liliweri, Alo. Memahami Peran Komunikasi Massa dalam Masyarakat. Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti. 1991. Mukti Ali, Ilmu Budaya Dasar, Usaha Nasional, Surabaya, 1982. Nies Anggraeini. Bentuk-Bentuk Perhiasan Tubuh Masa Prasejarah di Indonesia. (Estetika dalam Arkeologi Indonesia). Jakarta: Ikatan Ahli Arkeolog Indonesia (IAAI).1987. Noth, Winfriend. Handbook of Semiotics. Blommington and Indianapolis: Indiana University Press.1995. Piliang, Yasraf Amir. Sebuah Dunia yang Dilipat, Realitas Kebudayaan menjelang Milenium Ketiga dan Matinya Posmodernisme. Bandung: Penerbit Mizan.1998. Piliang, Yasraf Amir. Hiper-Realitas Kebudayaan. Yogyakarta: LkiS.1999 Saussure, Ferdinand de. Pengantar Linguistik Umum. Penerjemah Rahayu S. Hidayat. Yogyakarta: Gadjahmada University Press, 1998. Spradly, James, P. Metode Etnografi.Penerjemah Misbah Zulfa Elizabeth. Yogyakarta: Penerbit PT Tiara Wacana. 1997. Sumtoma, Yogyakarta :Metode penelitian sosial dan pendidikan, Galang Press.2000 Sumber Lain : Sumber: Makalah ini disampaikan dalam Seminar Internasional Kebudayaan: ” Minangkabau dan Potensi Etnik dalam Paradigma Multikultural.”
114
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Data Pribadi Nama Lengkap
: Mohamad Ismail
Nama Panggilan
: Ismail
Tempat / tgl lahir
: Jakarta, 31 Oktober 198
Agama
: Islam
Kewarnageraan
: Indonesia
Alamat
: Jl. Semeru Raya Rt.010/010 No. 45 grogol petamburan Jakarta Barat 11450
Handphone
: 085691176045
e-mail
:
[email protected]
Pendidikan Formal : Pendidikan Terakhir : Universitas Mercu Buana S1 Program studi
: Komunikasi Visual
SMK 3 PSKD Pluit Jakarta Utara SLTP Negeri 274 Jelambar, Jakarta SDN 07 Pagi Grogol Petamburan, Jakarta
115
Pengalaman Organisasi : 1. Unit Kegiatan Pers Mahasiswa (UKPM) ORIENTASI UMB, Jakarta sebagai anggota aktif sejak 2005-2009. Hubungan Masyarakat (HUMAS) UKPM Orientasi UMB periode 2005-2008 LITBANG UKPM Orientasi Periode 2008-2009 2. Forum Pers Mahasiswa se-Jabotabek (FPMJ), sebagai anggota aktif sejak 2005-2009 Presidium FPMJ periode 2007-2009 Ketua Kongres Forum Pers Mahasiswa se-Jabotabek (FPMJ) Ketua Advokasi Forum Pers Mahasiswa se-Jabotabek (FPMJ) 3. Ketua Paguyuban Mahasiswa Minang (PMM) Jakarta 4. Pendiri Komunitas Taman Hati, dalam mencanangkan sebagai ajang kajian social, budaya, politik dan bedah buku. 5. Pengurus UKM Theater AMOEBA 2006-2007 6. Ketua Advokasi Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM) periode 20062008 Seminar dan Pelatihan : Seminar Jurnalistik Tingkat Lanjut (PJTL) 2006, tingkat Nasional Seminar Motivasi “Achievment Motivation (AMT)” (esok penuh harapan) 2008 Seminar Motivasi “TomorrowWill be better 09” di Jakarta Seminar Diskusi Interaktif “United States General Election 2008” Jakarta.