KEBIJAKAN LUAR NEGERI CINA DALAM THE UNITED NATIONS FRAMEWORK CONVENTION ON CLIMATE CHANGE (UNFCCC) PADA KONFERENSI PERUBAHAN IKLIM DI COPENHAGEN TAHUN 2009
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial (S.Sos)
Oleh:
Nova Febriyani NIM: 107083003348
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011
ii
LEMBAR PERNYATAAN Skripsi yang berjudul: KEBIJAKAN LUAR NEGERI CINA DALAM THE UNITED NATIONS FRAMEWORK CONVENTION ON CLIMATE CHANGE (UNFCCC) PADA KONFERENSI PERUBAHAN IKLIM DI COPENHAGEN TAHUN 2009
1.
Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.
2.
Semua sumber yang digunakan dalam penulisan ini saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.
3.
Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.
iii
ABSTRAK
Cina mempunyai kebijakan luar negeri yang merupakan cerminan dari prinsip dan tujuan negaranya dan diaplikasikan dalam pelaksanaan konferensi Copenhagen. Skripsi ini menjawab pertanyaan: Bagaimana Kebijakan Luar Negeri Cina dalam The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada Konferensi Perubahan Iklim di Copenhagen pada Tahun 2009. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis menggunakan teori kebijakan luar negeri dan diplomasi lingkungan. Skripsi ini menggunakan metode kualitatif dan data-datanya terbagi menjadi dua yaitu primer dan sekunder. Data primer terdiri dari dokumen-dokumen dan wawancara. Sedangkan data sekunder yang dikumpulkan berasal dari buku, jurnal, surat kabar dan berbagai artikel yang relevan. Data-data yang telah dikumpulkan akan dianalisis dalam bentuk analisa deskriftif. Untuk menjawab pertanyaan penelitian tersebut di atas, dijabarkan terlebih dahulu mengenai UNFCCC serta faktor internal dan eksternal yang melatarbelakangi kebijakan luar negeri Cina dalam konferensi perubahan iklim kelima belas (COP-15) di Copenhagen. Pada konferensi Copenhagen, Cina menggunakan prinsip diplomasi lingkungan yaitu prinsip kedaulatan, independensi, hak untuk membangun, dan tanggung jawab negara-negara maju untuk mengalokasikan bantuan finansial dan teknologi bagi negara-negara berkembang. Keempat prinsip diplomasi lingkungan tersebut dijabarkan dalam tujuan kebijakan luar negeri Cina dan diimplementasikan dalam kebijakan luar pada konferensi perubahan iklim ke-lima belas (COP-15) di Copenhagen tahun 2009. Kebijakan luar negeri Cina pada konferensi tersebut, Cina berusaha untuk melakukan diplomasi agar penurunan tingkat emisi gas rumah kaca (GRK) dapat disesuaikan dengan pertumbuhan ekonomi negaranya. Selain itu, Cina berkomitmen untuk memotong tingkat emisi gas rumah kaca (GRK) hingga 40-45 persen pada tahun 2020. Cina meminta negara indusri maju untuk bertanggung jawab sebagai aktor utama penyebab terjadinya perubahan iklim.
iv
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Robill ‘Aalamiin, segala puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT serta junjungan kita nabi Muhammad SAW yang telah memberikan rahmat, hidayah serta kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kebijakan Luar Negeri Cina dalam The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada Konferensi Perubahan Iklim di Copenhagen Tahun 2009”. Selanjutnya, ucapan terima kasih yang tidak terhingga kepada kedua orang tua (Bapak Baskoro dan Ibu Mulyati) yang senantiasa memberikan motivasi dengan penuh rasa cinta dan kasih sayang yang tulus kepada penulis, dan memberikan dukungan materi serta mengiringi penulis melalui doa dan restu. Terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak yang telah mendorong dan membimbing penulis, baik tenaga, ide dan pemikiran. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada: 1. Prof. Dr. Bachtiar Effendy selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. 2. Dina Afrianty, Ph.D. selaku Ketua Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. 3. Agus Nilmada Azmi, M.Si. selaku Sekertaris Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.
v
4. Friane Aurora, M.Si selaku dosen pembimbing skrispsi yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberikan bimbingan, masukan serta motivasi yang sangat berharga hingga selesainya penulisan skripsi ini. Waktu pembuatan skripsi memang singkat sehingga bagi penulis sangat berkesan sekali bisa bersilaturahmi dengan Bu Rara. “Bu terima kasih atas waktu bimbingan yang selalu diberikan setiap saat dan kadang menjadi “editor” yang begitu pengertian walaupun penulis mengetahui bahwa pada saat-saat tertentu, ibu sudah lelah mengajar”. Bagi penulis Bu Rara merupakan salah satu dosen terbaik di HI UIN. Love U Bu… 5. Kiky Rizky, M.Si. selaku dosen pembimbing akademik yang selalu memberikan waktu luang kepada penulis untuk bertukar pikiran dan membuka wawasan dalam penulisan skripsi ini. 6. Seluruh Bapak/Ibu Dosen Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, yang telah mengajarkan berbagai ilmu dan telah membantu penulis dalam menyelesaikan tugas sebagai mahasiswi. Kenangan belajar bersama Bapak/Ibu Dosen akan selalu terpatri dalam hati penulis selamanya. 7. Drs. Armein Daulay, M.Si. yang selalu memberikan motivasi dan info seminar yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Selanjutnya, terima kasih kepada Rahmi Fitriyani, M.Si. yang bersedia memberikan second opinion dan selalu memberi semangat kepada penulis. 8. Rendra Kurnia, S.H, Unit Mitigasi dan Pelestarian Fungsi Atmosfer, Kementerian Lingkungan Hidup selaku narasumber yang bersedia untuk diwawancarai serta memberikan informasi dan data-data sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. vi
9. Dr. drh. Yanuarso Eddy, M.Sc., Ag dan drh. Erma Najmiyati yang telah menjadi dosen pembimbing penulis selama magang di Balai Teknologi Lingkungan (BTL) Puspiptek. Terima kasih atas semua bimbingan dan ilmu yang diberikan mengenai lingkungan hidup secara lebih mendalam yang selama ini belum diketahui oleh penulis. 10. Dr. Fadilah Hasim dan Yasunobu Kobuki selaku Presiden Indonesian Education Promoting Foundation (IEPF). Terima kasih atas pengertian yang diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan skrispi ini sehingga antara kuliah dan pekerjaan bisa berjalan beriringan. 11. Keluarga besar penulis yang selalu memberikan semangat dikala penulis jenuh saat penulisan skripsi ini. Untuk kedua adik-adik penulis yang tersayang Novi Tasari dan Shita Shahifa Iqlima. Tak lupa juga untuk nenek dan kakek penulis yang selalu mendo’akan dengan setulus hati. 12. Pungo ku tersayang, Muhammad Zubir yang selalu memberikan bantuan dan dukungan yang luar biasa di dalam kehidupan penulis baik dalam keadaan suka maupun duka. Terima kasih karena telah menjadi “ojek cinta” selama 3,5 tahun dan bersedia mengantarkan penulis untuk mencari bahan-bahan dalam penulisan skrispsi ini. 13. Sahabat-sahabat terbaik penulis, Alwiyah Binti Aly, Azzahratul Azizah, Diana Raesha, dan Faiza Hasan yang selalu memberi motivasi penulis dalam penulisan skripsi ini. Terima kasih atas persahabatan yang indah selama empat tahun ini. 14. Teman-teman Mahasiswa/i Jurusan Hubungan Internasional angkatan 2007 khususnya kelas A. Tanpa mengurangi rasa sayang penulis, maaf tidak bisa menulis nama kalian semua. Terima kasih telah telah memberikan rasa vii
kebersamaan, keakraban, kepedulian dan silaturahmi yang telah terjalin selama ini. Penulis akan selalu mengingat dan merindukan kalian semua. 15. Teman-teman Mahasiswa/i Hubungan Internasional mulai angkatan 2006 hingga 2010. Senang bisa kenal dan bersilaturahmi dengan kalian semua. 16. Fera Bayu Wati selaku rekan kerja di Indonesian Education Promoting Foundation (IEPF) yang selalu memberikan pengertian dan kelonggaran waktu kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini. 17. Semua pihak yang telah turut membantu dalam penyelesaian skripsi ini namun tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih. Terima kasih atas segala bantuan yang tidak ternilai harganya. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikanperbaikan kedepan.
Jakarta, Agustus 2011
Nova Febriyani
viii
DAFTAR ISI ABSTRAK …………………………………………………………….. KATA PENGANTAR …………..……………………………………. DAFTAR ISI …………………………………………………………… DAFTAR BAGAN ……………..……………………………………... DAFTAR TABEL …………………………………………………….. DAFTAR LAMPIRAN ...……………………....……………………... DAFTAR SINGKATAN ..…………………………………………….
iv v ix xi xii xiii xiv
BAB I A. B. C. D. E.
PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah …………………………………….. Pertanyaan Penelitian ……………………………………….. Kerangka Teori …...………………………………………..... Metode Penelitian …………………………………………... Sistematika Penulisan …………………………………….....
1 6 6 9 10
BAB II
THE UNITED NATIONS FRAMEWORK CONVENTION ON CLIMATE CHANGE (UNFCCC) Sejarah UNFCCC ………………………………………....... 13 Prinsip UNFCCC ………………………………………..….. 15 Tujuan UNFCCC ………………………………………..….. 17 Strukur UNFCCC …………………………………………... 18 Komitmen UNFCCC .……………………………………..... 22 Peserta dalam Konferensi Perubahan Iklim UNFCCC.…….. 22 Conference of the Parties (COP-15) di Copenhagen Tahun 2009 …………...……………………...……..………. 25
A. B. C. D. E. F. G.
BAB III
A. 1. 2.
3.
4.
B. 1. 2. 3.
FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL MEMPENGARUHI KEBIJAKAN LUAR NEGERI DALAM UNFCCC Faktor Internal Kondisi Geografis dan Demografis China ………..………... Struktur Pemerintah dan Filosofi Pemerintah …..………….. a. Dasar-dasar Negara ………………..……………...….... b. Pembagian Kekuasaan Pemerintah ………..…………... Kondisi Ekonomi ……………………………..……..……... a. Konsep Sistem Ekonomi China pada masa Mao Hingga Saat Ini (Tahun 1954-2009) …..……………... Kebijakan Pemerintah China dalam Bidang Energi dan Lingkungan …………………………………………...…..... a. Kebijakan Energy Security ………...…………..…….... b. Naskah Putih …………………………………..……… Faktor Eksternal China dalam Sistem Ekonomi Internasional …….……….. Masalah Isu Lingkungan Hidup Global ……….…………. Hukum Internasional dalam Lingkungan Hidup Global ………………………………………...………….... ix
YANG CHINA
33 35 36 37 40 40 46 48 52
55 56 58
4.
BAB IV
1. 2. 3. 4.
BAB V A.
Respon Negara Maju (diwakili oleh Amerika Serikat) dan Negara Berkembang (diwakili oleh Cina) dalam Isu Lingkungan Global …………,.…….………….…………….
59
KEBIJAKAN LUAR NEGERI CHINA DALAM UNFCCC PADA KONFERENSI PERUBAHAN IKLIM DI COPENHAGEN TAHUN 2009 Prinsip Kebijakan Luar Negeri China dalam UNFCCC …… 65 Aktor dalam Pembuatan Kebijakan Luar Negeri China dalam UNFCCC pada saat Konferensi Copenhagen Tahun 2009…. 67 Tujuan Kebijakan Luar Negeri China dalam UNFCCC pada saat Konferensi Copenhagen Tahun 2009 …..……...…. 68 Kebijakan Luar Negeri China dalam UNFCCC pada Konferensi Copenhagen Tahun 2009 .….………………….... 70 PENUTUP Kesimpulan ………………………..……………………….
75
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………….....
xv
LAMPIRAN
x
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1
Struktur UNFCCC
18
Bagan 3.2
Proses Penyusunan Kebijakan Energi China Tahun 2008
49
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1
Daftar Negara-negara yang Tergabung dalam Annex 1
23
Tabel 3.1
GDP China Tahun 2008, 2009, dan 2010
43
Tabel 3.2
Produksi, Konsumsi, dan Impor Minyak China
51
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I
: Copenhagen Accord
Lampiran II
: Policy Speech PM Wen Jiabao di Jakarta 30 April 2011
Lampiran III : Hasil Wawancara dengan Rendra Kurnia, Unit Mitigasi dan Pelestarian Fungsi Atmosfer, Kementerian Lingkungan Hidup Lampiran IV : Konstitusi China, 4 Desember 1982
xiii
DAFTAR SINGKATAN
UNFCCC SEPA COP UNEP UNCED CBD UNCCD GEF IPCC AWG-KP AWG-LCA SBSTA SBI CMP EIT OECD NDRC NEA NEC CNOOC Sinopec CNPC MFA CDM GRK SDA
: The United Nations Framework Convention on Climate Change : State Environmental Protecting Agency : Conference of the Parties : United Nations Environment Program : United Nations Conference on Environment and Development : The Convention on Biological Diversity : The United Nations Convention to Combat Desertification : The Global Environment Facility : The Intergovernmental Panel on Climate Change : The Ad Hoc Working Group on Futher Commitment for Annex I Parties under the Kyoto Protocol : The Ad Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action under the Convention : Body for Scientific and Technological Advice : Subsidiary Body for Implementation : The Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to the Kyoto Protocol : Economic in Transition : Organization for Economic Cooperation and Development : The National Development and Reform Commission : National Energy Administration : National Energy Commission : China National Offshore Oil Corporation : China Petroleum and Chemical Company : China National Petroleum Company : Ministry of Foreign Affairs : Clean Development Movement : Gas Rumah Kaca : Sumber Daya Alam
xiv
1
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Sebagian negara berkembang di Asia seperti Cina dan India merupakan
negara dengan pertumbuhan ekonomi pesat di kawasannya. Globalisasi ekonomi1 yang terjadi telah merubah sistem perekonomian suatu negara dari yang mulanya lebih fokus pada perekonomian dalam negeri menjadi terlibat dalam pasar global. Dampak globalisasi ini terhadap perekonomian Cina adalah penggunaan sistem ekonomi pasar sosialis yang menggantikan sistem ekonomi terencana pusat (Irham 2009, 2). Dampak dari keterlibatan dalam pasar dunia ini, Cina memproduksi berbagai macam barang dengan produksi masal tanpa memperhatikan dampak lingkungan. Pada masa pemerintahan Deng Xiaoping, Cina mempunyai slogan gaige kaifang yang berarti reformasi dan membuka diri (Wibowo 2007, 2). Wibowo menjelaskan negara yang menganut sistem ekonomi terpusat selama 30 tahun ini secara konsisten mulai mengurangi peran negara serta memberi kebebasan berusaha kepada pengusaha swasta. Negara tidak lagi membuat perencanaan ekonomi yang terpusat, tidak menentukan harga barang dan jasa, dan tidak memegang monopoli dalam produksi barang. Kebijakan ekonomi Cina pada masa ini menarik perusahaan swasta dan perusahaan asing untuk masuk dan berinvestasi di Cina agar perkembangan industrinya semakin pesat (Wibowo 2010, 31).
1
Menurut Jackson & Sorenson (2005, 267), globalisasi ekonomi adalah pergeseran kualitatif menuju perekonomian dunia yang tidak lagi berdasarkan pada perekonomian nasional yang otonom, melainkan berdasarkan pada pasar global yang kuat bagi produksi, distribusi dan konsumsi.
Menurut Wibowo faktor pendukungnya adalah jumlah penduduk yang besar (Cina merupakan negara berpenduduk terbesar di dunia) dan tidak adanya serikat buruh sehingga mereka dapat digaji murah. Wibowo (2007, 163) menjelaskan bahwa dampak pengembangan industri di Cina terhadap lingkungan, antara lain; polusi udara yang meningkat, tercemarnya air sungai oleh limbah, serta pembukaan lahan hutan yang merupakan salah satu contoh bagaimana pembangunan ekonomi mengakibatkan kerusakan lingkungan. Fakta ini diperkuat oleh pernyataan Xhou Shengxian (Kepala Badan Lingkungan negara Cina), mengatakan bahwa kondisi lingkungan di Cina mengancam kesehatan masyarakat serta kestabilan sosial (Sommerville 2006). Pada tahun 2009 Cina merupakan negara penghasil emisi gas rumah kaca (GRK) ke udara terbesar di dunia yang diakibatkan oleh berkembangnya industri mereka (Saragih 2010). Karena Cina menjadi penghasil emisi terbesar di dunia, maka Cina pun menjadi sorotan masyarakat internasional dan dituntut untuk mengurangi pelepasan emisi CO2 ke udara. Selain itu, kerusakan lingkungan akibat pembangunan ekonomi berbasis industri tidak hanya terjadi di Cina sehingga menyebabkan terjadinya perubahan iklim global yng membuat negara-negara di dunia merasa khawatir akan berbagai bencana yang terjadi. Pemanasan global mengakibatkatkan mencairnya tudung es di kutub, meningkatnya suhu lautan, kekeringan yang berkepanjangan, penyebaran wabah penyakit berbahaya, banjir besar, coral bleaching, dan gelombang badai besar (Greenpeace, n.d.). Untuk menghadapi masalah ini, negara-negara di dunia mengadakan konferensi internasional untuk mencari jalan keluar guna mengatasi masalah perubahan iklim. Konferensi lingkungan hidup internasional pertama yang 2
diprakarsai oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dilaksanakan di Stockholm, Swedia pada tahun 1972 (Erwin 2009, 171). Konferensi ini merupakan penentu langkah awal upaya penyelamatan lingkungan hidup secara global yang melahirkan kerjasama antarbangsa dalam penyelamatan lingkungan hidup. Kerjasama tersebut diwujudkan dengan membentuk lembaga United Nations Environment Program (UNEP) yang berkedudukan di Nairobi, Kenya. Kelanjutan dari konferensi Stockholm adalah pelaksanaan berbagai konferensi lanjutan untuk membahas masalah perubahan iklim. Pada tanggal 21 Maret 1992 dilaksanakan konferensi lingkungan hidup di Rio de Jainero yang mengangkat topik permasalahan polusi, perubahan iklim, penipisan lapisan ozon dan meluasnya penggundulan hutan (Erwin 2009, 173). Menurut Erwin (2009, 173) Penurunan kualitas lingkungan hidup yang terjadi diberbagai belahan bumi ini dapat berimbas pada kepentingan politik, ekonomi, dan sosial secara meluas di seluruh dunia. Oleh karena itu, diharapkan hasil akhir dari setiap konferensi dapat menciptakan perubahan yang lebih baik untuk pelestarian lingkungan dan dapat dilaksanakan oleh seluruh negara yang menandatangani hasil konferensi tersebut. Konferensi Rio berhasil membuat suatu kesepakatan yang pada akhirnya diterima secara universal sebagai komitmen politik internasional tentang perubahan iklim, yaitu The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) (Deptan 2010). Selanjutnya, Deptan (2010) menjelaskan bahwa UNFCCC bertujuan untuk menstabilkan konsentrasi GRK di atmosfir pada taraf yang tidak membahayakan kehidupan organisme dan memungkinkan terjadinya adaptasi ekosistem guna menjamin ketersediaan pangan dan pembangunan berkelanjutan.
3
Pada Desember 1997 dilaksanakan Conference of the Parties (COP) ketiga di Kyoto, Jepang, yang menghasilkan Protokol2 Kyoto (Eionet 2011). Protokol Kyoto merupakan persetujuan di mana negara-negara industri akan mengurangi enam macam gas emisi GRK mereka secara kolektif minimal sebesar 5 persen dan terbagi dalam dua kategori (Eionet 2011). Kategori pertama adalah pengurangan tiga gas yang paling penting yaitu karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan oksida nitrat (N20) yang akan diukur berdasarkan tahun 1990. Kategori kedua adalah pengurangan tiga gas industri berumur panjang yaitu hidrofluorokarbon (HFC), perfluorokarbon (PFC), dan heksafluorida sulfur (SF6) yang akan diukur berdasarkan pengukuran karbon tahun 1990 atau awal 1995. Setiap negara yang menyetujuinya harus mencapai target tersebut pada periode tahun 2008 - 2012. UNFCCC hingga saat ini mempunyai 194 negara anggota dan satu anggota dari organisasi integrasi ekonomi regional (UNFCCC n.d. 3). Selain itu, pertemuan Conference of the Parties (COP) masih rutin dilaksanakan secara bergantian di negara-negara anggotanya. Pada periode 2007 hingga 2009 dilaksanakan pertemuan COP-13 (Bali, Indonesia) pada tahun 2007, pertemuan COP-14 (Poznan, Polandia) pada tahun 2008, dan COP-15 (Copenhagen, Denmark) pada tahun 2009. Cina merupakan salah satu negara anggota UNFCCC. Cina merupakan negara berkembang sehingga termasuk dalam kelompok Non-Annex (UNFCCC n.d. 1). Pada setiap pelaksanaan konferensi perubahan iklim Cina mempunyai sikap, peranan, serta diplomasi yang direalisasikan pada kebijakan luar negerinya dalam pembuatan kesepakatan bersama dari suatu konferensi perubahan iklim.
2
Protokol yaitu komitmen negara-negara industri maju untuk melaksanakan penurunan tingkat emisi GRK
4
Menurut Heggelund (2007, 155) Cina tidak akan membuat suatu komitmen di waktu dekat karena energi merupakan kunci dari pembangunan ekonomi sehingga hal tersebut merupakan alasan keengganan negara ini membuat komitmen untuk mengurangi emisi. Namun, pada tahun 2007 Presiden Hu Jintao (dalam Naisbitt 2010, 80) menyatakan bahwa model yang menjadikan Cina bintang pertumbuhan ekonomi global telah usang karena Cina sedang menata model baru yaitu model pertumbuhan pembangunan yang ilmiah. Sejak saat itu, pembangunan ilmiah diterapkan dalam pembangunan ekonomi di Cina dengan memasukkan standar kelestarian lingkungan, energi, dan penggunaan sumber daya alam (SDA). Selain itu, pada tahun 2007 Cina juga mengeluarkan kebijakan Naskah Putih yang mempunyai tujuan low input, low consumption, and high efficiency untuk mendorong konservasi energi negaranya (Mursitama & Yudono 2010, 56). Meskipun pada tahun 2007 Cina mengeluarkan kebijakan Naskah Putih namun pada tahun 2009 negara ini tetap menjadi negara penghasil emisi terbesar di dunia (Saragih 2010). Oleh karena itu, Cina ikut serta dalam pembuatan komitmen pengurangan emisi GRK pada saat konferensi perubahan iklim di Copenhagen tahun 2009 yang tentunya karena mendapat tekanan dari dunia internasional. Kebijakan luar negeri Cina dalam konferensi perubahan iklim di Copenhagen pada tahun 2009 menjadi fokus pembahasan dalam skripsi ini.
5
B.
Pertanyaan Penelitian Berdasarkan pemaparan di atas, maka pertanyaan penelitian (research
question) yang diajukan oleh peneliti adalah: 1.
Bagaimana Kebijakan Luar Negeri Cina dalam The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada Konferensi Perubahan Iklim di Copenhagen pada Tahun 2009?
C.
Kerangka Teori Pasca berakhirnya Perang Dingin, isu lingkungan hidup menjadi salah satu
isu yang berkembang dalam politik internasional. Hal ini terjadi khususnya sejak penyelenggaraan United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) atau Earth Summit di Rio de Janeiro pada tahun 1992 (Isnaeni & Wardoyo 2008, 225). Banyak kesepakatan atau perjanjian internasional yang telah dihasilkan melalui proses panjang dari sebuah negosiasi dan kerjasama internasional di bidang lingkungan hidup yang pada hakekatnya merupakan refleksi atas pilihan yang dibuat oleh suatu negara dalam kebijakan luar negerinya untuk menyikapi dinamika isu lingkungan di tingkat global. Skripsi ini menggunakan teori kebijakan luar negeri untuk menjelaskan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Cina dalam konferensi perubahan iklim di Copenhagen tahun 2009. Selain itu, juga digunakan konsep diplomasi untuk melihat bagaimana diplomasi dan negosiasi yang dilakukan oleh Cina untuk menghasilkan suatu kesepakatan pada saat konferensi berlangsung. Kebijakan luar negeri tentunya mempunyai tujuan yang harus diaplikasikan dalam setiap pelaksanaannya. Menurut William Wallace (dalam Clarke & White (ed.) 1995, 5), kebijakan luar negeri merupakan arena politik yang merupakan jembatan penting terhadap semua masalah (hambatan) yang ada di antara negara 6
bangsa dan lingkungan internasional. Selain itu, menurut Roy Jones (dalam Clarke & White (ed.) 1995, 3), kebijakan luar negeri seperti menembus semua asas untuk melanjutkan kehidupan manusia dan untuk mensejahterakan manusia di masa depan. Dari kedua pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kebijakan luar negeri merupakan suatu jembatan penting untuk menghadapi setiap masalah negara bangsa dan eksistensi hubungan antara negara-negara di lingkungan internasional guna melanjutkan kehidupan dan menyejahterakan masyarakatnya pada masa depan. Menurut Holsti (1992, 272), terdapat dua faktor yang mempengaruhi kebijakan luar negeri, yaitu; internal (domestik) dan eksternal. Dalam penulisan skripsi ini penulis mengambil beberapa faktor internal dan faktor eksternal yang paling dominan untuk menjelaskan latar belakang kebijakan luar negeri Cina pada saat konferensi perubahan iklim di Copenhagen tahun 2009. Holsti (1992, 272) menjelaskan bahwa faktor internal terdiri dari kondisi sosio-ekonomi, karakteristik geografis dan demografi, struktur pemerintahan, dan atribut nasional serta opini masyarakat Cina tentang masalah ekonomi dan lingkungan. Kondisi sosio ekonomi menggambarkan perubahan sistem ekonomi Cina yang awalnya agraris namun berubah menjadi industrialis. Karakteristik geografis dan demografis menggambarkan bahwa Cina merupakan negara besar serta jumlah penduduknya merupakan yang terbesar di dunia. Struktur pemerintahan menggambarkan bahwa struktur pembagian kekuasaan pemerintah Cina terbagi menjadi tiga bagian yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif serta kebijakan pemerintah Cina mengenai isu lingkungan hidup dengan membuat kebijakan energy security dan Naskah Putih pada tahun 2007.
7
Sementara, faktor eksternal menurut Holsti (1992, 272) terdiri dari struktur sistem, tujuan dan tindakan aktor-aktor lain, masalah regional dan global, serta hukum internasional dan opini dunia (Holsti 1992, 272). Struktur sistem menggambarkan posisi dan peranan Cina dalam sistem ekonomi internasional. Tujuan dan tindakan aktor-aktor lain menggambarkan respon dari negara berkembang dan negara industri maju terhadap isu lingkungan hidup global. Masalah regional dan global menggambarkan tentang masalah isu lingkungan hidup global serta bagaimana dampaknya bagi kehidupan masyarakat global. Hukum internasional dan opini publik dunia menggambarkan bahwa globalisasi ekonomi mengakibatkan kerusakan lingkungan dan perubahan iklim serta dampaknya bagi kehidupan global. Gambaran faktor internal dan eksternal tersebut dapat melatarbelakangi kebijakan luar negeri Cina dalam konferensi perubahan iklim di Copenhagen tahun 2009. Setiap negara yang ikut serta dalam setiap konferensi perubahan iklim tentunya mempunyai kebijakan yang merupakan wujud dari kepentingan negaranya. Menurut Hill (2003, 23), kebijakan luar negeri dapat ditafsirkan sebagai sebuah instrumen ataupun sarana untuk menghubungkan tarik-menarik kepentingan yang terus berjalan simultan antara tuntutan internasional dan eksternal terhadap pemerintah. Oleh karenanya, menentukan pilihan atas cara yang lebih demokratis atau lebih efisien menjadi sesuatu yang tidak mudah dalam proses pengambilan kebijakan luar negeri. Menurut Watson (2005, 1-2), diplomasi adalah response to the recognition by several decision-making beings that the performance of each one is matter of permanent consequence to some or all the others. Oleh karena itu, diplomasi merupakan salah satu cara yang dilakukan negara untuk mencapai tujuan dan 8
kepentingan negaranya dalam politik internasional, termasuk pada saat pelaksanaan konferensi lingkungan global. Menurut Susskind (1994, 44), terdapat tiga keuntungan bagi suatu negara yang berperan aktif dan terlibat dalam negosiasi pembuatan suatu kesepakatan pada konferensi lingkungan global. Pertama, suatu negara dapat membentuk kebijakan internasionalnya yang merupakan hasil dari respon dan kepentingan domestiknya. Kedua, suatu negara dalam negosiasi dapat memilih antara membuat pencitraan positif bagi negaranya dengan menjadi negara yang patuh terhadap kesepakatan atau memilih untuk menolak dan berusaha mencari opsi lain sesuai dengan kepentingan nasional negaranya dengan cara mengajak negara lain yang mempunyai tujuan sama untuk membentuk suatu aliansi. Ketiga, negara berkembang dalam negosiasi lingkungan global dapat meminta agar negara maju menjadi penanggung jawab penyebab utama masalah lingkungan global dengan memberikan kompensasi. D.
Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode
kualitatif yang bersifat deskriptif analitis. Menurut Irham (2009, 22) metode ini bertujuan untuk menggambarkan suatu fenomena tertentu atau untuk menentukan ada tidaknya keterkaitan antara suatu gejala dengan gejala lainnya yang relevan dengan masalah penelitian. Masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah fenomena perubahan iklim pada tingkat global dan bagaimana mempengaruhi kebijakan luar negeri Cina. Penelitian ini juga untuk melihat seberapa besar sumbangan emisi Cina terhadap peningkatan pemanasan global. Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber data yang terbagi menjadi dua. Menurut Moleong (1999, 112-114) sumber data terbagi antara primer 9
dan sekunder. Moleong menjelaskan lebih lanjut bahwa data primer berasal dari wawancara dan dokumen-dokumen. Sedangkan data sekunder berasal dari sumbersumber kepustakaan, seperti; buku, jurnal, hasil penelitian, dan data dari situs-situs internet (website) yang dianggap otoritatif dan relevan dengan permasalahan dalam penelitian ini. Kedua sumber tersebut digunakan dalam penelitian ini. E.
Sistematika Penulisan
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
B.
Pertanyaan Penelitian
C.
Kerangka Teori
D.
Metode Penelitian
E.
Sistematika Penulisan
BAB II
THE UNITED NATIONS FRAMEWORK CONVENTION ON CLIMATE CHANGE (UNFCCC)
A.
Sejarah UNFCCC
B.
Prinsip UNFCCC
C.
Tujuan UNFCCC
D.
Struktur UNFCCC
E.
Komitmen UNFCCC
F.
Peserta dalam Konferensi Perubahan Iklim UNFCCC
G.
Conference of the Parties (COP-15) di Copenhagen Tahun 2009
BAB III
FAKTOR INTERNAL DAN MEMPENGARUHI KEBIJAKAN DALAM UNFCCC
A.
Faktor Internal
1.
Kondisi Geografis dan Demografis Cina
2.
Struktur Pemerintah dan Filosofi Pemerintah a.
Dasar-dasar Negara
b.
Pembagian Kekuasaan Pemerintah
10
EKSTERNAL YANG LUAR NEGERI CINA
3.
Kondisi Ekonomi a. Konsep Sistem Ekonomi Cina pada masa Mao Hingga Saat Ini (Tahun 1954-2009)
4.
Kebijakan Pemerintah Cina dalam Bidang Energi dan Lingkungan a.
Kebijakan Energy Security
b.
Naskah Putih
B.
Faktor Eksternal
1.
Cina dalam Sistem Ekonomi Internasional
2.
Masalah Isu Lingkungan Hidup Global
3.
Hukum Internasional dalam Lingkungan Hidup Global
4.
Respon Negara Maju (diwakili oleh Amerika Serikat) dan Negara Berkembang (diwakili oleh Cina) dalam Isu Lingkungan Global
BAB IV
KEBIJAKAN LUAR NEGERI CINA DALAM UNFCCC PADA KONFERENSI PERUBAHAN IKLIM DI COPENHAGEN TAHUN 2009
A.
Prinsip Kebijakan Luar Negeri Cina dalam UNFCCC
B.
Aktor dalam Pembuatan Kebijakan Luar Negeri Cina dalam UNFCCC pada saat Konferensi Copenhagen tahun 2009
C.
Tujuan Kebijakan Luar Negeri Cina dalam UNFCCC pada saat Konferensi Copenhagen tahun 2009
D.
Kebijakan Luar Negeri Cina dalam UNFCCC pada Konferensi Copenhagen tahun 2009
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
11
12
BAB II THE UNITED NATIONS FRAMEWORK CONVENTION ON CLIMATE CHANGE (UNFCCC)
A.
Sejarah UNFCCC Pembentukan UNFCCC merupakan salah satu agenda Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) dalam konferensi Rio di Brazil pada tahun 1992 (UNFCCC n.d. 2). Konferensi ini menghasilkan tiga perjanjian internasional yang berada dalam konvensi Rio, yaitu: The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), the Convention on Biological Diversity (CBD) dan the United Nations Convention to Combat Desertification (UNCCD). Dari ketiga perjanjian internasional tersebut, masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda-beda. UNFCCC menitikberatkan pada pengurangan tingkat pemanasan global dan suhu bumi yang disebabkan oleh pelepasan emisi gas rumah kaca (GRK) ke udara akibat industri di negara-negara maju yang mengakibatkan perubahan iklim (UNFCCC n.d.2). Sedangkan CBD menitikberatkan pada pelaksanaan perjanjian keanekaragaman hayati dengan memfokuskan kepada pelestarian spesies mahluk hidup dan transfer teknologi. Selanjutnya, UNCCD memberikan perhatian utama pada masalah penggurunan dan berupaya mengatasi degradasi lahan dengan cara pengelolaan lahan yang tidak subur. Penelitian ini akan difokuskan pada kajian mengenai konvensi UNFCCC. Pasca penandatanganan kesepakatan Rio, PBB memberi tenggang waktu antara tanggal 20 Juni 1992 hingga 19 Juni 1993 kepada seluruh negara di dunia untuk menyetujui dan bergabung di dalam UNFCCC (UNFCCC n.d. 3). Selanjutnya,
12
sesuai Pasal 233 PBB, maka konvensi ini mulai berlaku pada tanggal 21 Maret 1994. Konvensi UNFCCC menetapkan suatu kerangka menyeluruh bagi negaranegara anggotanya untuk mengatasi perubahan iklim (UNFCCC n.d. 4). Di bawah konvensi ini, negara-negara anggota mengumpulkan dan membagi informasi tentang perubahan iklim yang diakibatkan oleh emisi gas rumah kaca (GRK). Setiap negara anggota dapat membuat kebijakan dan strategi nasional untuk dapat mengatasi emisi GRK di negaranya sehingga dapat menyesuaikan diri terhadap dampak dari perubahan iklim. Negara-negara anggota UNFCCC bekerjasama untuk beradaptasi terhadap dampak dari perubahan iklim dengan cara menyediakan dukungan keuangan bagi perbaikan lingkungan yang rusak dan transfer teknologi dari negara industri maju ke negara berkembang. Sekertariat UNFCCC berada di Bonn, Jerman sejak Agustus 1996 (UNFCCC n.d. 5). Sekretariat secara institusional berhubungan langsung dengan PBB dan melaporkan secara rutin setiap hasil yang dicapai dalam konferensi namun PBB memberikan kewenangan kepada UNFCCC untuk menyelenggarakan suatu konferensi tanpa terintegrasi dengan program apapun. Sekretariat mempunyai sekitar 400 karyawan dari seluruh dunia. Kepala dan Sekretaris Eksekutif UNFCCC diangkat oleh Sekretaris Jenderal PBB. Sekretaris Eksekutif UNFCCC yang bertugas pada tahun 2006 – 2010 adalah Yvo de Boer. Sekretariat UNFCCC terdiri dari tujuh fungsi utama, yaitu; fungsi pertama adalah membuat peraturan mengenai pelaksanaan pada setiap sesi dalam konferensi (UNFCCC n.d. 5). Fungsi kedua adalah memantau pelaksanaan
33
Pasal 23 PBB berisi setelah hari kesembilan puluh setelah tanggal penyimpanan instrumen ratifikasi, penerimaan, dan persetujuan maka mulai berlaku suatu konvensi.
13
komitmen di bawah konvensi4 dan protokol5 melalui pengumpulan, analisis, dan peninjauan atas informasi dan data yang diberikan oleh negara-negara anggota UNFCCC. Fungsi ketiga adalah membantu negara-negara anggota UNFCCC dalam melaksanakan komitmen mereka. Fungsi keempat adalah mendukung negosiasi dalam kerangka kerja UNFCCC untuk menghasilkan suatu kesepakatan. Fungsi kelima adalah mempertahankan agar negara-negara yang sudah meratifikasi isi protokol untuk berkomitmen dan benar-benar melaksanakan hasil kesepakatan protokol tersebut dalam mengurangi kredit emisi6. Fungsi keenam adalah memberikan dukungan kepada negara-negara anggota UNFCCC untuk mematuhi Protokol Kyoto. Kemudian, Fungsi terakhir adalah berkoordinasi dengan sekertariat badan internasional lain yang relevan, khususnya the Global Environment Facility (GEF) serta lembaga pelaksana (UNDP, UNEP, dan Bank Dunia), the Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), maupun konvensi lain yang terkait. B.
Prinsip UNFCCC Konvensi
UNFCCC
menekankan
kesetaraan
dan
keprihatinan
(precautionary principle) sebagai dasar semua kebijakan (Deptan 2010). Pada konvensi ini juga terdapat prinsip common but differentiated responsibilities, yaitu di mana setiap negara bersama-sama menekan laju peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) di negaranya namun memiliki tanggung jawab yang berbeda-beda.
4
Konvensi merupakan materi negara-negara industri untuk menstabilkan emisi gas rumah kaca (GRK) Protokol yaitu komitmen negara-negara maju untuk melaksanakan penurunan tingkat emisi GRK 6 Perdagangan emisi di kenal juga sebagai pasar karbon merupakan salah satu dari mekanisme Protokol Kyoto 5
14
Selain itu, UNFCCC mempunyai lima prinsip untuk mencapai tujuan konvensi dan untuk melaksanakan ketentuan konvensi (UNFCCC n.d. 6). Kelima prinsip ini merupakan pedoman bagi negara-negara anggota UNFCCC. Pertama: Negara anggota UNFCCC harus melindungi sistem iklim7 bagi kepentingan generasi umat manusia pada masa sekarang dan pada masa depan. Perlindungan ini atas dasar kesetaraan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan bersama di mana masing-masing negara mempunyai tanggung jawab berbeda. Hal ini berarti bahwa negara industri maju harus menjadi pemimpin dalam mengurangi perubahan iklim dan efek dari perubahan iklim tersebut. Kedua: Adanya kebutuhan dan keadaan khusus bagi negara berkembang (khususnya bagi negara-negara kepulauan kecil dan negara yang mengandalkan sumber pemasukan negaranya pada minyak) karena mereka rentan terhadap dampak perubahan iklim. Negara berkembang akan menanggung beban berat terhadap dampak yang diakibatkan oleh perubahan iklim sehingga mereka harus diberi pertimbangan penuh di bawah konvensi UNFCCC. Ketiga: Negara anggota UNFCCC harus mengambil tindakan pencegahan untuk mengatisipasi, mencegah, atau meminimalisasi penyebab perubahan iklim dan mengurangi dampak negatifnya. Keempat:
Negara
anggota
UNFCCC
memiliki
hak
untuk
dan
harus
mempromosikan pembangunan berkelanjutan di negaranya. Pembangunan berkelanjutan merupakan implementasi dari pembangunan nasional namun dalam pelaksanaannya tetap harus diintegrasikan (digabungkan) dengan kebijakan untuk
7
Sistem iklim merupakan keseluruhan dari hidrosfer, biosfer, atsmosfer dan geosfer dan mereka saling berinteraksi
15
melindungi sistem iklim. Dalam hal ini, pembangunan ekonomi seharusnya berintegrasi dengan langkah-langkah dalam mengatasi perubahan iklim. Kelima: Negara anggota UNFCCC harus bekerja sama untuk meningkatkan sistem ekonomi internasional yang terbuka sehingga mampu menyokong pertumbuhan dan pembangunan ekonomi di semua negara anggota UNFCCC, terutama negara berkembang. Dengan adanya sistem ekonomi internasional yang terbuka ini, maka negara berkembang akan mampu mengatasi masalah perubahan iklim di negaranya. C.
Tujuan UNFCCC UNFCCC mempunyai beberapa tujuan (UNFCCC n.d. 7), yaitu:
1.
Meminimalisasi efek dari perubahan iklim yang terjadi pada lingkungan karena adanya kerusakan pada ketahanan, komposisi, atau produktifitas ekosistem alam yang semuanya disebabkan pelaksanaan sistem sosial ekonomi yang bertujuan untuk kesejahteraan manusia.
2.
Mendorong
negara-negara
anggota
UNFCCC
untuk
berkomitmen
mengurangi pelepasan emisi GRK ke dalam atmosfer dalam jangka waktu yang telah disepakati dalam konvensi. 3.
Mengikutsertakan organisasi integrasi ekonomi regional (Uni Eropa) untuk mengimplementasikan konvensi atau protokol yang telah disepakati oleh negara-negara UNFCCC agar berjalan lebih efektif.
16
D.
Struktur UNFCCC Bagan 2.1. Struktur UNFCCC Executive Direction and Management Execut BRM Support BRM Support
Office of the Deputy Executive Secretary COP/MOP Support
Conference Affairs Services
Information Services
Administrative Services
Financial and Technical Support SBI Support
Adaptations, Technology, and Science
Reporting, Data and Analysis
Legal Affairs
Sustainable Development Mechanisms
SBSTA Support
Note: BRM, Bali Road Map, which includes support to the Ad Hoc Working Group on Further Commitment for Annex I Parties under the Kyoto Protocol (AWG-KP) and the Ad Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action under the Convention (AWG-LCA); COP, Conference of the Parties, CMP, Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to the Kyoto Protocol; SBSTA, Subsidiary Body for Scientific And Technological Advice; SBI, Subsidiary Body for Implementation (Sumber: UNFCCC n.d. 8)
Bagan 2.1 di atas menggambarkan bahwa dalam struktur, Bali Road Map Support (BRM) yang di dalamnya didukung oleh Ad Hoc Working Group on Further Commitment for Annex I Parties under the Kyoto Protocol (AWG-KP), Ad Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action under the Convention (AWG-LCA), Conference of the Parties (COP), Conference of the Parties serving as the meeting of the parties to the Kyoto Protocol (CMP), Subsidiary Body for Scientific And Technological Advise (SBSTA), dan Subsidiary Body for Implementation (SBI) . AWG-KP merupakan kelompok kerja yang dibentuk oleh Conference of the Parties (COP) pada tahun 2005 (UNFCCC n.d. 9). AWG-KP ini
17
merupakan kelompok kerja Ad Hoc yang berkomitmen lebih lanjut bagi negaranegara Annex I yang berada di bawah Protokol Kyoto untuk mendiskusikan komitmen pada masa depan bagi negara-negara industri yang berada di bawah Protokol Kyoto. Sementara, AWG-LCA dibentuk dalam COP-13 tahun 2007 di Bali, Indonesia (UNFCCC n.d. 10). COP-13 di Bali ini menghasilkan Bali Action Plan. Bali Action Plan merumuskan proses yang komprehensif agar memungkinkan pengimplementasian secara penuh dan efektif di bawah konvensi melalui aksi kerjasama jangka panjang (mulai tahun 2007 hingga tahun 2012) sesuai dengan keputusan yang diambil pada sesi kelima belas dari COP-13. Pada sesi kelima belas, diputuskan bahwa proses tersebut harus dilakukan dengan suatu badan pendukung yaitu, AWG-LCA. AWG-LCA akan menyelesaikan pekerjaannya pada tahun 2009 dan mempresentasikan hasil kerjanya pada COP untuk diadopsi pada pertemuan COP-15 di Copenhagen, Denmark. Pada bagan di atas terdapat Conference of the Parties (COP) yang merupakan otoritas utama dan sebagai badan tertinggi konvensi UNFCCC (UNFCCC n.d. 11). COP bertugas meninjau secara teratur pelaksanaan konvensi setiap negara anggota UNFCCC. Dalam melakukan tugas ini, COP dapat mengadopsi dan membuat mandat atau suatu keputusan yang diperlukan untuk mempromosikan pelaksanaan yang efektif dari konvensi. COP bertanggung jawab untuk mengkaji ulang implementasi konvensi dan instrumen legal lain terkait dengan konvensi. COP juga berkewajiban membuat keputusan yang diperlukan untuk meningkatkan implementasi konvensi. Sesi pertemuan COP umumnya berjalan selama dua minggu dan dilakukan paralel dengan sesi Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice 18
(SBSTA) dan Subsidiary Body for Implementation (SBI) (Deptan 2010). COP terdiri dari semua negara anggota UNFCCC dan biasanya bertemu setiap tahun selama jangka waktu dua minggu. Pertemuan ini diikuti oleh delegasi pemerintah negara anggota UNFCCC, pengamat organisasi, dan wartawan. COP mengevaluasi status perubahan iklim dan efektivitas perjanjian. COP mengkaji apa yang sudah dilakukan oleh setiap negara anggota dalam mengimplementasikan konvensi yang telah diambil. Dalam melaksanakan tugasnya, COP meninjau komunikasi nasional8 dan persediaan emisi serta memanfaatkan pengalaman untuk melanjutkan mengatasi perubahan iklim. Dalam menjalankan tugasnya, COP dibantu oleh beberapa badan resmi, yaitu (UNFCCC n.d. 11): a.
Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA) sebagai
penasehat COP mengenai masalah-masalah iklim, lingkungan, teknologi, dan metode. SBSTA dan COP bertemu dua kali dalam setahun. b.
Subsidiary Body for Implementation (SBI) yang membantu meninjau
bagaimana
konvensi
diimplementasikan,
misalnya
dengan
menganalisis
komunikasi nasional yang disampaikan oleh negara anggota. Selain itu, SBI juga berkaitan dengan masalah keuangan dan administrasi. SBI dan COP bertemu dua kali dalam setahun. c.
Kelompok ahli berdasarkan konvensi UNFCCC, ada tiga kelompok.
Kelompok pertama adalah Consultative Group of Experts (CGE). CGE membangun komunikasi nasional dari negara non-Annex yang merupakan negara-
8
Komunikasi nasional yaitu setiap anggota UNFCCC harus menyampaikan laporan nasional atas pelaksanaan konvensi yang biasanya berisi tentang keadaan nasional, sumber daya keuangan dan transfer teknologi, pendidikan dan kesadaran masyarakat kepada COP.
19
negara berkembang untuk menyiapkan laporan nasional mengenai isu perubahan iklim. Kelompok kedua adalah Least Developed Country Expert Group (LEG). LEG memberikan saran pada negara-negara berkembang dalam mengintegrasikan program-program nasionalnya dengan menjaga sistem iklim sehingga dapat beradaptasi dengan perubahan iklim. Kelompok ketiga adalah Expert Group on Technology Transfer (EGTT). EGTT bertugas untuk memacu transfer teknologi dari negara industri maju ke negara berkembang. d.
Global Environment Facility (GEF) merupakan mitra instansi COP yang
bertugas mendanai proyek-proyek di negara-negara berkembang yang memiliki manfaat bagi lingkungan global. Pada dasarnya, COP merupakan badan tertinggi konvensi UNFCCC dan juga terdapat the Conference of the Parties serving as the meeting of the Parties to the Kyoto Protocol (CMP) yang merupakan badan tertinggi dalam Protokol Kyoto yang sama-sama tergabung di dalam bagan struktur UNFCCC (UNFCCC n.d. 12). Fungsi CMP yang berkaitan dengan Protokol Kyoto sama dengan yang dilakukan COP untuk konvensi. COP dan CMP sama-sama bertemu setiap tahun dalam periode yang sama. Sama seperti COP, badan tetap yang membantu CMP berdasarkan konvensi adalah Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA) dan the Subsidiary Body for Implementation (SBI). CMP bertugas mempersiapkan sidang para negara-negara anggota yang telah meratifikasi Protokol Kyoto9. Peserta pada konvensi yang bukan merupakan negara dalam Protokol Kyoto, dapat berpartisipasi dalam CMP tetapi tidak mempunyai hak
9
Pada pertemuan COP-13 di Bali tahun 2007, Australia meratifikasi Protokol Kyoto dan hingga saat ini dari seluruh negara anggota UNFCCC yang belum meratifikasi Protokol Kyoto hanya Amerika Serikat.
20
dalam pengambilan keputusan. Pertemuan pertama CMP dengan negara-negara yang telah meratifikasi Protokol Kyoto diadakan di Montreal, Kanada, pada Desember 2005 bersamaan dengan dilaksanakannya COP-11. E.
Komitmen UNFCCC Terdapat lima komitmen yang harus dilaksanakan oleh UNFCCC
(UNFCCC n.d. 13), yaitu: 1.
Memberikan dukungan kepada negara-negara anggota untuk mengambil tindakan pengurangan emisi sehingga dapat beradaptasi dengan perubahan iklim pada tingkat global, regional, dan nasional.
2.
Memberikan dukungan penuh bagi pemerintah negara-negara anggota UNFCCC dalam mengimplementasikan konvensi dan Protokol Kyoto.
3.
Membantu negara-negara anggota untuk menciptakan dan memelihara kondisi domestik yang kondusif sehingga dapat lebih efektif dan efisien pada saat mengimplementasi Protokol Kyoto.
4.
Menyediakan dan menyebarluaskan informasi dan data yang dapat dipahami oleh seluruh masyarakat di dunia tentang perubahan iklim serta upaya-upaya untuk mengatasinya.
5.
Mempromosikan dan meningkatkan keterlibatan aktif Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), bisnis dan industri, serta keterlibatan masyarakat internasional dalam penanggulangan perubahan iklim melalui komunikasi yang efektif.
F.
Peserta dalam Konferensi Perubahan Iklim UNFCCC UNFCCC hingga saat ini memiliki 194 negara anggota dan satu organisasi
integrasi ekonomi regional yang menjadi anggota konvensi UNFCCC (UNFCCC
21
n.d. 3). Negara-negara yang menjadi anggota UNFCCC ini terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu; kelompok negara Annex I, kelompok negara non-Annex, dan observer. Annex I merupakan negara-negara industri maju yang telah menjalankan industrinya sejak tahun 1950-an dan merupakan anggota dari Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD)10, ditambah dengan negaranegara dengan ekonomi dalam transisi (Economic in Transition/EIT), seperti; pecahan Uni Soviet dan beberapa negara dari Eropa Tengah dan Timur (UNFCCC n.d. 15). Kelompok negara Annex I ini harus menyediakan keuangan untuk negaranegara berkembang dalam melakukan kegiatan pengurangan emisi sesuai amanat konvensi serta membantu mereka untuk beradaptasi terhadap dampak dari perubahan iklim. Tabel 2.1. Daftar Negara-negara yang Tergabung dalam Kelompok Annex 1 No. Kelompok Annex I 1. Negara yang tergabung dalam OECD
2.
Negara yang tergabung dalam EIT
Negara Australia, Austria, Belgia, Bulgaria, Kanada, Denmark, Estonia, European Union, Finlandia, Perancis, Jerman, Yunani, Hungaria, Islandia, Irlandia, Italia, Jepang, Luxembourg, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Polandia, Portugal, Republik Slovakia, Slovenia, Spanyol, Swedia, Swiss, Turki, Inggris, dan Amerika Serikat. Latvia, Lithuania, Malta, Belarus, Romania, Kroasia, Lietchtenstein, Monako, Federasi Rusia, dan Ukraina.
(Sumber: UNFCCC n.d. 14)
Kelompok kedua adalah kelompok negara non-Annex. Kelompok ini terdiri dari negara-negara berkembang dan beberapa di antaranya diakui oleh konvensi sebagai negara yang rentan terhadap dampak negatif dari perubahan iklim karena 10
OECD merupakan forum di mana pemerintah negara-negara anggota dapat bekerja sama dan mendorong perubahan ekonomi (meningkatkan produktivitas, arus perdagangan global dan investasi), sosial, dan lingkungan.
22
merupakan negara kepulauan kecil yang mempunyai daratan rendah dan rentan terhadap penggurunan dan kekeringan (UNFCCC n.d. 15). Selanjutnya, dalam kelompok non-Annex terdapat 49 negara anggota UNFCCC yang diklasifikasikan sebagai Least Development Countries (LDCs) oleh PBB yang diberi pertimbangan khusus di bawah konvensi karena negara-negara tersebut mempunyai keterbatasan dalam merespon dan beradaptasi pada efek perubahan iklim. Dalam hal ini, Cina digolongkan ke dalam kelompok negara non-Annex (UNFCCC n.d. 1). Pada tahun 2009 Cina merupakan negara penghasil emisi GRK terbesar di dunia (Saragih 2010), sehingga Cina mempunyai pengaruh di dalam pembuatan kesepakatan dalam konferensi perubahan iklim. Jika melihat posisi Cina sebagai negara penghasil emisi terbesar di dunia, maka konferensi perubahan iklim tidak hanya dikuasai oleh negara-negara industri maju namun juga oleh segelintir kelompok negara berkembang yang mempunyai peranan penting terutama dalam konferensi perubahan iklim tahun 2009 di Copenhagen, Denmark. Konferensi perubahan iklim yang diselenggarakan oleh UNFCCC selain dihadiri oleh negara-negara anggota juga dihadiri oleh kelompok observer. Observer merupakan kelompok atau lembaga yang diizinkan untuk menghadiri dan bahkan berbicara di pertemuan internasional tetapi tidak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan (UNFCCC n.d. 15). Observer termasuk orang yang berasal dari organisasi non pemerintah atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). LSM sebagai observer dapat mewakili kepentingan bisnis dan industri, kelompok lingkungan hidup, pemerintah daerah, lembaga penelitian dan akademik, badanbadan keagamaan, organisasi buruh, dan kelompok penduduk seperti masyarakat adat.
23
Dalam konferensi perubahan iklim, observer yang diizinkan untuk menghadiri konvensi UNFCCC adalah lembaga antarpemerintah, seperti; the United Nations Development Programme (UNDP), the United Nations Environment Programme (UNEP), the World Meteorogical Organization (WMO), the Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), the International Energy Agency, dan the Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC) (UNFCCC n.d. 15). Hingga saat ini, lebih dari 50 lembaga antarpemerintah dan organisasi internasional menghadiri sesi dari COP. Selain itu, lebih dari 600 LSM yang terakreditasi dapat berpartisipasi dalam pertemuan yang berkaitan dengan konferensi perubahan iklim yang diselenggarakan oleh UNFCCC. G. Conference of the Parties (COP-15) di Copenhagen Tahun 2009 UNFCCC hingga tahun 2009, telah melaksanakan Conference of the Parties (COP) selama lima belas kali. COP-15 diadakan di Copenhagen, Denmark. Sebelum COP-15 berlangsung, terdapat beberapa konferensi sebelumnya yang dilaksanakan oleh UNFCCC. Salah satunya yang terpenting adalah COP-3 pada tahun 1997 yang dilaksanakan di Kyoto, Jepang. Konferensi tersebut menghasilkan Protokol Kyoto yang dipandang sebagai langkah penting pertama menuju rezim pengurangan emisi secara global yang akan menstabilkan emisi GRK dan menyediakan arsitektur penting dalam setiap perjanjian internasional tentang perubahan iklim di masa mendatang (UNFCCC n.d. 16). Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-limabelas (COP-15) diselenggarakan oleh pemerintah Denmark pada tanggal 7 – 19 Desember 2009 di Copenhagen (UNFCCC n.d. 17). Pada konferensi tersebut dianggap penting bagi iklim dunia,
24
pemerintah Denmark, dan negara-negara anggota UNFCCC.
Untuk itu, baik
pemerintah Denmark maupun negara-negara anggota UNFCCC berusaha keras agar konferensi Copenhagen berjalan sukses dengan menghasilkan Protokol Copenhagen untuk mencegah pemanasan global dan perubahan iklim (Erantis 2009). Hal tersebut dilaksanakan karena pada tahun 2012 Protokol Kyoto akan habis masa berlakunya. Konferensi perubahan iklim di Copenhagen tahun 2009 dihadiri oleh 120 kepala negara dan kepala pemerintahan, delegasi dari 190 negara sebanyak 10.500 orang, 13.500 pengamat, dan lebih dari 3.000 perwakilan media yang meliput konferensi ini (UNFCCC n.d. 17). Dengan banyaknya undangan yang hadir dan mengikuti konferensi ini mengindikasikan bahwa kepedulian masalah iklim global dalam dunia dan masyarakat internasional makin meningkat. Konferensi Copenhagen terdiri dari dua konferensi (UNFCCC n.d. 17). Pertama adalah konferensi sidang COP-15 (15th Conference of the Parties – COP15) yang terlibat dalam Konvensi PBB tentang agenda perubahan iklim, UNFCCC. Kedua adalah pertemuan kelima CMP yang berfungsi sebagai sidang yang terkait dengan Protokol Kyoto. Dalam konferensi Copenhagen terdapat negosiasi intensif antarnegara anggota UNFCCC yang menghasilkan lebih dari 1000 pertemuan, baik resmi maupun informal dan kelompok antarnegara. Selain itu, pembahasan perubahan iklim terjadi di lebih dari 400 pertemuan dan lebih dari 300 konferensi pers. Menurut Rendra Kurnia,11 “dalam pelaksanaan konferensi Copenhagen terjadi perdebatan yang cukup alot antara negara-
11
Unit Mitigasi dan Pelestarian Fungsi dan Pelestarian Fungsi Atmosfer, Kementerian Lingkungan Hidup dalam wawancara di Jakarta, 19 April 2011.
25
negara anggota UNFCCC”. Rendra menambahkan bahwa pada saat itu terjadi deadlock (jalan buntu) ketika perundingan antara the Ad Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action under the Convention (AWG-LCA) dan the Ad Hoc Working Group on Futher Commitment for Annex I Parties under the Kyoto Protocol (AWG-KP). AWG-LCA membahas konvensi yang merupakan komitmen pertama dalam UNFCCC. Sedangkan AWG-KP membahas Protokol Kyoto yang merupakan komitmen kedua pada konvensi UNFCCC. Namun, tidak tercapai kesepakatan antara AWG-KP dengan AWG-LCA. Maka, pada saat itu Amerika Serikat mengadakan pertemuan dengan beberapa perwakilan negara anggota UNFCCC untuk membentuk Copenhagen Accord. Pertemuan tersebut dinamakan green room yang membahas kontribusi seluruh negara anggota UNFCCC dalam meningkatkan energi efisien sebesar 30 persen, bukannya mereduksi emisi. Green room terdiri dari dua puluh enam negara peserta yang terbagi dalam kelompok negara maju, negara berkembang, negara kepulauan kecil dan negara tertinggal (Ashadi 2010). Negara-negara tersebut di antaranya adalah Ethiopia, Sudan, Aljazair, Lesotho, Grenada, Bangladesh, Maldives, Kolombia, Cina, India, Brazil, Afrika Selatan, Saudi Arabia, Indonesia, Swedia, Inggris, Perancis, Jerman, Spanyol, Amerika Serikat, Rusia, Australia, Norwegia, Jepang, Korea Selatan, Mexico, Gabon, dan Papua Nugini. Dalam Copenhagen Accord tersebut disebutkan bahwa pada Januari 2010 setiap negara harus menetapkan target pengurangan emisi GRK pada tahun 2020 namun tidak akan mengikat secara hukum seperti Protokol Kyoto pada tahun 1997 (YD 2009). Dalam Copenhagen Accord, negara-negara anggota UNFCCC membuat komiten tentang pengurangan perubahan iklim dan harus disepakati oleh seluruh negara anggotanya (UNFCCC n.d. 18). Berikut ini adalah kedua belas poin Copenhagen Accord yang harus disepakati: Pertama: Kami menyadari bahwa perubahan iklim merupakan salah satu tantangan pada masa kini. Oleh karena itu, masalah perubahan iklim sangat
26
mendesak untuk segera diselesaikan dengan prinsip common but differentiated responsibilities, yaitu di mana setiap negara bersama-sama menekan laju peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) di negaranya namun memiliki tanggung jawab yang berbeda-beda. Prinsip ini merupakan tujuan utama dalam konvensi guna menstabilkan konsentrasi GRK di atmosfir hingga pada level yang tidak berbahaya bagi sistem iklim. Karena itu, temperatur global harus diturunkan sebesar dua derajat celsius dengan cara meningkatkan kerja sama jangka panjang untuk menanggulangi perubahan iklim antarnegara-negara anggota UNFCCC sehingga mereka akan mampu mengadapi dampak negatif dari perubahan iklim. Kedua: Kami setuju untuk mengurangi tingkat emisi global yang merupakan kewajiban semua negara-negara UNFCCC (terutama negara industri maju) sehingga akan mampu menurunkan tingkat suhu global sebesar dua derajat celcius. Kami akan bekerja sama untuk mencapai pengurangan tingkat emisi global dan emisi nasional karena semakin cepat semakin baik. Kami mengakui bahwa saat ini kerangka puncak pelepasan emisi terbesar akan berada di negara-negara berkembang karena mengingat bahwa pembangunan sosial, ekonomi, dan pemberantasan kemiskinan merupakan prioritas utama negara-negara berkembang. Oleh karena itu, penerapan pengembangan strategi emisi rendah12 di negara berkembang sangat penting untuk pembangunan berkelanjutan. Ketiga: Setiap negara harus beradaptasi untuk menghadapi efek negatif dari perubahan iklim dan mereka harus mampu merespon dengan meningkatkan kerjasama internasional yang merupakan kewajiban dalam pengimplementasian
12
Strategi pengembangan emisi rendah yaitu transfer teknologi dari negara maju ke negara berkembang agar negara berkembang dapat menggunakan teknologi yang lebih baik dalam pembangunan ekonominya sehingga menghasilkan emisi yang lebih rendah.
27
konvensi. Tujuan dari adaptasi ini adalah untuk mengurangi kerentanan terhadap dampak perubahan iklim, khususnya di negara kurang berkembang, negara kepulauan kecil berkembang, dan Afrika. Kami setuju bahwa negara-negara industri maju harus dapat menyediakan dan menyokong sumber keuangan, teknologi, dan peningkatan kapasitas untuk mendukung pelaksanaan tindakan adaptasi di negara-negara berkembang. Keempat: Negara-negara Annex I berkomitmen baik secara sendiri-sendiri ataupun bersama dengan negara lain untuk mengukur seberapa besar target emisi yang akan dihasilkan dari perekonomian pada tahun 2020. Hasil komitmen tersebut akan disampaikan dan dimasukkan oleh negara-negara Annex I dalam lampiran I (Appendix I) yang akan diserahkan kepada Sekertariat UNFCCC pada tanggal 31 Januari 2010. Negara-negara Annex I yang tergabung dalam Protokol Kyoto akan memperkuat penggurangan emisi yang telah diprakarsai oleh Protokol Kyoto. Pengurangan emisi dan bantuan pendanaan dari negara industri maju ke negara-negara berkembang akan diukur, dilaporkan, dan diverifikasi (buktikan) sesuai dengan garis pedoman selanjutnya yang telah diadopsi oleh Conference of the Parties (COP). Kelima: Negara-negara non-Annex berdasarkan konvensi akan mengimplementasi tindakan mitigasi termasuk menyampaikannya kepada Sekretariat UNFCCC untuk dimasukkan dalam lampiran II (Appendix II) pada tanggal 31 Januari 2010. Kemudian, berdasarkan Pasal 4.1 dan Pasal 4.7 dalam konteks peningkatan pembangunan bagi negara kurang berkembang dan negara kepulauan kecil berkembang akan dilakukan tindakan sukarela atas dasar dukungan bagi kebaikan bersama. Tindakan mitigasi selanjutnya akan diambil dan dipertimbangkan oleh
28
oleh negara-negara non-Annex, termasuk laporan inventaris nasional yang akan dikomunikasikan agar terjaga konsistensi komunikasi nasional. Keenam: Kami mengakui bahwa terdapat peran penting untuk mengurangi emisi dari penebangan dan degradasi hutan. Selanjutnya, untuk meningkatkan kembali penyerapan GRK oleh hutan maka harus segera membuat suatu mekanisme agar memungkinkan untuk memobilisasi sumber daya keuangan dari negara-negara industri maju. Ketujuh: Kami memutuskan untuk mengejar berbagai pendekatan termasuk kesempatan untuk menggunakan pasar guna meningkatkan efektivitas biaya dan untuk mempromosikan tindakan mitigasi kepada seluruh negara di dunia. Pendekatan ini khususnya ditujukan bagi negara-negara berkembang karena kondisi perekonomian mereka lemah maka harus diberikan insentif (dorongan) agar mereka terus melanjutkan pengembangan pada jalur emisi rendah. Kedelapan: Peningkatan dan penambahan pendanaan yang memadai serta peningkatan akses harus disediakan bagi negara-negara berkembang sesuai dengan ketentuan konvensi agar memungkinkan mereka dapat mendukung tindakan mitigasi. Penambahan keuangan ini untuk digunakan dalam masalah deforestasi dan degradasi hutan, adaptasi, serta peningkatan kapasitas pengembangan dan transfer teknologi untuk pengimplementasian konvensi. Selanjutnya, negara-negara industri maju akan menyediakan sumber daya baru dan tambahan, termasuk investasi kehutanan melalui lembaga-lembaga internasional mendekati 30 milliar USD antara tahun 2010-2012 untuk dialokasikan secara seimbang antara mitigasi dan adaptasi. Pendanaan untuk adaptasi dikhususkan bagi negara-negara berkembang yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Kemudian dalam tindakan mitigasi, negara-negara maju berkomitmen untuk tujuan bersama 29
dengan menyalurkan dana 100 milliar USD pada tahun 2020 untuk mengatasi kebutuhan di negara-negara berkembang. Dana ini berasal dari berbagai sumber baik publik maupun swasta di mana sebagian dana tersebut harus mengalir melalui Copenhagen Green Climate Fund. Kesembilan: Untuk tujuan ini, suatu High Level Panel akan dibentuk di bawah bimbingan COP dan akan bertanggung jawab pada COP. Tujuan pertemuan High Level Panel untuk mempelajari kontribusi dari sumber-sumber pendapatan yang potensial, termasuk sumber pembiayaan alternatif. Kesepuluh: Kami memutuskan bahwa Copenhagen Green Climate Fund akan dibentuk sebagai suatu eksistensi mekanisme keuangan dalam konvensi. Copenhagen Green Climate Fund yang berfungsi untuk mendukung proyekproyek, program, kebijakan, dan kebijakan-kebijakan lainnya di negara berkembang yang terkait dengan mitigasi, adaptasi, pengembangan, serta transfer teknologi. Kesebelas: Dalam
rangka meningkatkan
tindakan
dalam
transfer serta
pengembangan teknologi, maka kami memutuskan untuk mendirikan Technology Mechanism untuk mempercepat transfer dan pengembangan teknologi guna mendukung tindakan mitigasi dan adaptasi yang akan dipandu oleh pendekatan negara pemberi (negara industri maju) berdasarkan pada keadaan nasional dan prioritasnya. Kedua belas: Kami menyerukan bahwa penilaian pelaksanaan Copenhagen Accord ini akan selesai pada tahun 2015. Hal ini termasuk pertimbangan untuk memperkuat tujuan jangka panjang karena kenaikan tingkat suhu bumi mencapai 1,5 derajat celsius.
30
Pada skripsi ini, pembahasan difokuskan pada kebijakan luar negeri Cina pada saat konferensi Copenhagen berlangsung. Pada COP-15 di Copenhagen, Cina memiliki peranan penting. Bab selanjutnya akan membahas faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Cina dalam konferensi UNFCCC, khususnya pada COP-15. Berkaitan dengan konferensi UNFCCC, ada beberapa identitas Cina yang memiliki relevansi dengan isu lingkungan hidup. Pertama, Cina sedang bersiap menjadi mesin utama pertumbuhan ekonomi dunia dalam dua dekade kedepan dan tentunya negara tersebut sangat tergantung pada batubara sebagai sumber energi (Song & Woo (ed.) 2008, 171). Kedua, Cina merupakan negara dengan populasi penduduk terbesar di dunia (CIA 2011). Ketiga, secara geografis, Cina merupakan negara terbesar di Asia Timur dan negara ketiga terluas di dunia setelah Rusia dan Kanada (Naisbitt. 2010, 20). Keempat, pemerintahan Cina yang menganut sistem sosialis komunis namun menggunakan sistem ekonomi pasar sosialis dengan mengikuti pesatnya globalisasi dan pasar bebas (Irham. 2009, 2). Kelima, negara dengan kerentanan tinggi terhadap banyak masalah lingkungan hidup global, (seperti, perdagangan dan penggunaan limbah berbahaya, pencemaran udara, serta penggunaan sumber energi yang sangat besar untuk kebutuhan industri (CIA 2011). Kelima hal tersebut membuat Cina menjadi negara yang mempunyai peranan penting dalam proses negosiasi internasional pada setiap forum atau konferensi internasional terkait dengan isu lingkungan hidup khususnya di konferensi Copenhagen tahun 2009.
31
32
BAB III FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL YANG MEMPENGARUHI KEBIJAKAN LUAR NEGERI CINA DALAM UNFCCC
Pada bab III penulis membahas tentang faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Cina dalam The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), khususnya pada konferensi perubahan iklim tahun 2009 di Copenhagen. Faktor internal dan eksternal yang digunakan didasarkan pada konsep kebijakan luar negeri menurut Holsti (1992, 272). Kedua faktor tersebut akan menggambarkan sikap dan posisi Cina dalam pengambilan kebijakan luar negerinya pada konferensi perubahan iklim di Copenhagen. Selanjutnya, kedua faktor tersebut akan dipaparkan lebih lengkap pada pembahasan di bawah ini. A.
Faktor Internal
1.
Kondisi Geografis dan Demografis Cina Kondisi geografis dan demografis di Cina merupakan salah satu faktor
penting bagi masalah lingkungan di negaranya. Secara demografis, Cina merupakan negara dengan penduduk terbesar di dunia dengan hampir 1,3 milliar penduduk dan mayoritasnya bersuku bangsa Han (CIA 2011). Jumlah penduduk Cina yang besar tidak diikuti persebaran penduduk yang rata. Hal ini dilatarbelakangi oleh urbanisasi masyarakat pedesaan ke kota. Pada tahun 2009, sekitar 200 juta masyarakat pedesaan pindah ke kota untuk mencari pekerjaan (CIA 2011). Dalam data CIA, kota yang dipilih sebagai tempat urbanisasi adalah kota besar yang merupakan kota industri. Urbanisasi ini,
32
pada tahun 2009 menyebabkan lima kota besar di Cina yang memiliki penduduk yang paling padat, di antaranya; Shanghai (16.575 juta penduduk), Beijing (12.214 juta penduduk), Chongqing (9.401 juta penduduk), Shenzen (9.005 juta penduduk), dan Guangzhou (8.884 juta penduduk). Secara geografis, Cina merupakan negara terbesar di Asia Timur dan negara ketiga terluas di dunia setelah Rusia dan Kanada (Naisbitt 2010, 20). Namun, hanya sepertiga wilayah daratan Cina yang dapat ditanami dan dua pertiganya adalah pegunungan serta gurun. Lieberthal (1995, 278) membagi topografi Cina menjadi tiga daerah. Pertama adalah daerah bagian barat laut yang merupakan daerah kering yang disebabkan oleh kencangnya hembusan angin (erosi angin). Kedua adalah daerah bagian barat daya yang merupakan daerah dingin karena terdiri dari dataran tinggi. Terakhir merupakan daerah bagian timur yang merupakan daerah aliran sungai. Kondisi geografis Cina yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya, menyebabkan terjadinya beberapa masalah yang muncul seperti masalah kekurangan air dibeberapa daerah dan penyebarannya tidak merata. Menurut Presiden Hu (dikutip dalam Naisbitt 2010, 108) menyatakan bahwa: “20 persen jumlah penduduk Cina merupakan populasi dunia, namun Cina hanya memiliki tujuh persen sumber daya air”. Salah satu contohnya adalah daerah Cina Utara. Cina Utara adalah daerah kering secara alami dan hanya memiliki kurang dari 20 persen air dari total jumlah air di Cina tetapi memiliki 40 persen penduduk negaranya. Selain karena perbedaan topografi daerah, menurut Lieberthal (1995, 284) masalah kekurangan air di Cina juga disebabkan oleh tingginya tingkat polusi yang diakibatkan oleh kegiatan industri di negaranya. Salah satu contohnya adalah 33
hanya satu dari tujuh desa dan hanya setengah dari masyarakat perkotaan di Cina yang dapat mengkonsumsi air bersih. Selanjutnya, Liberthal (1995, 287) menjelaskan berdasarkan survei dari 434 kota di Cina ditemukan bahwa 188 kota diantaranya kekurangan air dan 40 kota mengalami kekurangan air yang parah. Pesatnya kemajuan industri Cina tidak hanya menyebabkan kekurangan air bersih tetapi juga menyebabkan polusi udara. Menurut Saragih (Darmawan (ed.) 2006, 133) dari 20 kota di Asia yang mempunyai udara kotor, 11 kota diantaranya berada di Cina. Dari kesebelas kota tersebut adalah Beijing, Chengdu, Chongqing, Guangzhou, Harbin, Jinan, Shanghai, Shenyang, Tianjin, Wuhan, dan Xi’an. Faktor penyumbang terbesar polusi di Cina adalah gas buangan dari mesin-mesin dan penggunaan batubara oleh industri. Dari kerusakan-kerusakan lingkungan yang telah disebutkan di atas maka hal tersebut mempengaruhi pemerintah Cina untuk turut serta dalam pembuatan komitmen pada saat konferensi perubahan iklim terutama pada saat konferensi perubahan iklim tahun 2009 di Copenhagen. Selain itu, pemerintah Cina menyadari bahwa kerusakan lingkungan yang terjadi di negaranya jika terus menerus diabaikan maka akan semakin memburuk di masa depan sehingga tentunya sangat mengkhawatirkan bagi kehidupan masyarakatnya. 2.
Struktur Pemerintah dan Filosofi Pemerintah Pembahasan struktur pemerintah Cina akan digambarkan berdasarkan
dasar-dasar negara dan pembagian kekuasaan pemerintah negara tersebut. Pembahasan ini bersumber dari konstitusi negara Cina. Konstitusi Cina diadopsi dari sidang kelima pada saat Kongres Rakyat Nasional (KRN) Kelima untuk diimplementasikan pada saat Proklamasi Kongres Rakyat Nasional pada tanggal 4 Desember 1982 (Lieberthal 1995, 355). Kemudian, konstitusi tersebut diubah 34
sesuai dengan amandemen Konstitusi Republik Rakyat Cina yang diadopsi pada sesi pertama pada saat Kongres Rakyat Nasional (KRN) Ketujuh pada tanggal 12 April 1988, sesi pertama Kongres Rakyat Nasional Kedelapan pada tanggal 29 Maret 1993, sesi kedua Kongres Rakyat Nasional (KRN) Kesembilan pada tanggal 15 Maret 1999, dan pada sesi kedua Kongres Rakyat Nasional (KRN) Kesepuluh pada tanggal 14 Maret 2004 (Chinesse Government’s Official Web Portal 2006). Struktur pemerintahan tersebut akan dapat digambarkan mengenai pembuatan kebijakan luar negeri Cina dalam UNFCCC pada konferensi perubahan iklim di Copenhagen tahun 2009. a.
Dasar-dasar Negara Pasal 1 Konstitusi Cina (dalam Lieberthal 1995, 357) menjelaskan bahwa
Cina merupakan negara sosialis yang berdasarkan kelas (persekutuan pekerja dan petani) serta sistem sosialis merupakan sistem dasar negara ini. Selain itu, berdasarkan Pasal 5 Konstitusi Cina menyatakan bahwa semua badan pemerintahan, prajurit militer, semua anggota politik, organisasi publik, dan semua perusahaan dan institusi harus patuh pada konstitusi dan hukum negara (Lieberhtal 1995, 358). Hal ini berarti Cina menjunjung tinggi hukum agar terciptanya suatu keadilan dan perdamaian di negaranya. Menurut Elizabeth J. Perry (dikutip dalam Naisbitt 2010, 22): “Kita memiliki pemahaman terbatas mengenai apa yang menyatukan struktur negara Cina saat ini dan apa yang membuat sistem politiknya berjalan sedemikian efektif”. Cina menciptakan masyarakat baru dan sistem politiknya sendiri. Negara ini memulai langkahnya dengan menggunakan Marxisme - Leninisme, tetapi segera menyesuaikan doktrin-doktrin tersebut dengan gagasan dan kebutuhannya
35
sendiri. Sosialisme Cina tampak pada Pasal 10 Konstitusi Cina (Lieberthal 1995, 359) menjelaskan bahwa tanah merupakan milik negara sehingga tidak ada yang dapat memilikinya tetapi hanya dapat menggunakannya. b.
Pembagian Kekuasaan Pemerintah Pada sub bab ini dijelaskan mengenai pembagian fungsi dan wewenang
pemerintah Cina untuk menjelaskan hirarki pemerintahannya serta siapa aktor yang berperan dalam menjalin hubungan dan kerjasama dalam dunia internasional seperti pada saat pelaksanaan konferensi perubahan iklim di Copenhagen tahun 2009. Badan eksekutif Cina terdiri dari Presiden dan Perdana Menteri (PM). Pada tahun 2009 yang menjabat Presiden Cina adalah Hu Jintao (Periode 15 Maret 2008 - sekarang) (CIA 2011). Pada Pasal 62 Konstitusi Cina berisi bahwa presiden berwenang untuk memilih perdana menteri (PM) (Lieberthal 1995, 367). Pasal 89 Konstitusi Cina (Lieberthal 1995, 372-373) berisi bahwa PM mempunyai beberapa fungsi, yaitu; mengikuti dan memimpin hubungan luar negeri dan ikut serta dalam perjanjian dan persetujuan dengan negara lain. Dalam hal ini, PM Cina lebih berperan aktif dalam pembangunan hubungan internasional dengan negara lain, seperti mewakili negaranya yang tergabung dalam UNFCCC dengan mengikuti konferensi perubahan iklim. Dari penjelasan pembagian kekuasaan pemerintah Cina di atas, tampak bahwa yang bertugas untuk mengikuti dan memimpin hubungan luar negeri dan ikut serta dalam perjanjian dengan negara lain adalah Perdana Menteri (PM). Hal tersebut diaplikasikan pada saat PM Wen Jiabao menghadiri konferensi perubahan iklim di Copenhagen pada tahun 2009 (Xianzhi 2009).
36
3.
Kondisi Ekonomi
a.
Konsep Sistem Ekonomi Cina pada Masa Mao Hingga Saat Ini (tahun 1954-2009) Menurut Reynolds (1984, 73) Sekitar tahun 1950an, Cina merupakan
negara agraris yang sangat luas dan hasil pertaniannya mampu mencapai 35 persen dari gross national product (GNP) dan sekitar 70 persen rakyatnya masih bekerja di ladang. Selanjutnya, Lieberthal (1984, 56) menjelaskan bahwa pada masa pemerintahan Mao Zedong (periode 1954-1959), sekitar 80 persen rakyatnya tinggal di daerah pedesaan dan sebagian besar dari mereka bekerja sebagai petani. Pada saat itu, Cina hanya bergantung dari hasil pertanian, sehingga menjadikan negara ini menjadi salah satu negara miskin di dunia. Menurut Naisbitt (2010, 37) pada masa Mao Zedong terdapat sistem yang disebut da-guo-fan yang berarti di dalam satu kuali besar. Sistem tersebut dipandang sebagai jaminan bahwa kebutuhan rakyat akan terpenuhi dengan asumsi bahwa setiap orang akan mendapat jumlah makanan yang sama tanpa memandang nilai kerjanya dalam penciptaannya. Namun, sistem tersebut hampir tidak memberikan hasil apa pun kepada semua orang. Dalam penelitiannya Irham (2009, 1) menyebutkan bahwa pada tahun 1958, Mao Zedong mencetuskan kampanye lompatan jauh ke depan (the great leap forward) yaitu program industrialisasi yang radikal namun mengalami kegagalan. Wibowo (dikutip dalam Irham 2009, 1) menjelaskan bahwa kegagalan program ini karena sikap Mao Zedong yang konservatif dan alergi terhadap keterbukaan sehingga mengakibatkan Mao Zedong mengundurkan diri sebagai Presiden Cina pada tahun 1959.
37
Reynolds (1984, 71) menjelaskan bahwa sebagai negara agraris, total ekspor yang berasal dari produk hasil pertanian Cina pada awal tahun 1950 sekitar 50 persen, sementara pada tahun 1969 sekitar 37 persen, dan pada tahun 1979 menurun drastis hingga sekitar 23 persen. Namun, pada awal tahun 1980, Cina menjadi negara importir produk pertanian sehingga total nilai impornya melebihi 1 Milliar USD. Hal ini terjadi karena pada tahun 1979 terjadi transformasi perekonomian yang besar di Cina. Kemudian, menurut Irham (2009, 1) pasca meninggalnya Mao Zedong pada tahun 1976 terjadi transisi politik di Cina dengan munculnya Deng Xiaoping sebagai pemimpin baru. Deng Xiaoping mempunyai visi baru mengenai komunisme negaranya serta menghasilkan kemajuan perekonomian yang signifikan. Visi baru tersebut diwujudkan dengan menjunjung tinggi ideologi komunisme dengan tetap memegang teguh kekuasaan partai namun tetap memulai proses liberalisasi dan modernisasi di Cina. Elizabeth J. Perry (dikutip dalam Naisbitt 2010, 22) menjelaskan bahwa Cina mengambil bagian-bagian kapitalisme sebagai alat yang bermanfaat untuk mencapai sasaran ekonomi, tetapi tidak melepas pijakan politiknya. Pada sistem pembangunan perekonomiannya, Cina mempunyai sistem ekonomi khusus yang hanya dimiliki oleh Cina. Sistem ekonomi ini muncul pada tahun 1978 masa pemerintahan Deng Xiaoping yang memiliki slogan gaige kaifang yang berarti reformasi dan membuka diri (Wibowo 2007, 2). Menurut Heggelund (2007, 158) Deng Xiaoping melaksanakan inisiatif kebijakan ekonomi yang menjadi prioritas politik Cina dan dianggap telah berhasil mengurangi kemiskinan serta dapat memperbaiki tingkat hidup masyarakatnya. Heggelund menambahkan (2007, 158) bahwa bentuk kebijakan ekonomi Deng 38
Xiaoping dilakukan dalam empat bidang modernisasi, yaitu; pertanian, industri, pertahanan nasional, dan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hasil dari kebijakan ini, dapat terlihat dari pesatnya pertumbuhan ekonomi Cina. Menurut Irham (2009, 2) pada tahun 1978, Cina mulai menggunakan sistem ekonomi pasar sosialis yang menggantikan sistem ekonomi terencana pusat yang digagas pada masa Mao Zedong. Sistem ekonomi Cina berorientasi terhadap pasar namun tetap berada dalam bingkai sistem politik yang digariskan oleh Partai Komunis Cina sehingga sistem ini sering juga disebut dengan Sistem Sosialis dengan karakteristik Cina. Kebijakan ekonomi pasar sosialis ini telah mendorong masyarakat pedesaan untuk melakukan urbanisasi ke perkotaan guna mencari pekerjaan yang lebih baik. Arus urbanisasi inilah, yang menurut PM Wen Jiabao (Jiabao 2011), merupakan permasalahan utama di Cina sebagai efek samping dari industrialisasi nasional yang di mulai tahun 1978 sehingga Cina menjadi salah satu negara dengan tingkat urbanisasi terbesar di dunia. Meskipun telah melakukan urbanisasi, menurut PM Wen Jiabao, hanya sebagian masyarakat dan wilayah di negaranya yang sudah kaya. Data yang memperlihatkan bahwa sebagian masyarakat Cina masih miskin adalah data pada tahun 2007, yakni sebanyak 21,5 juta penduduk desa masih hidup di bawah garis kemiskinan dengan rasio nilai pendapatan hanya 90 USD per tahun (CIA 2011). Selanjutnya, data CIA juga menyebutkan bahwa 35,5 juta penduduk desa yang hidupnya sedikit lebih baik namun masih tergolong dalam masyarakat miskin dengan pendapatan hanya 125 USD pertahun. Hal ini membuktikan bahwa pertumbuhan perekonomian Cina belum merata sehingga negara ini harus terus meningkatkan perekonomian negaranya agar semua rakyatnya sejahtera. 39
Pada tahun 2008, sekitar 38,1 persen penduduk Cina bekerja di sektor pertanian (CIA 2011). Menurut data CIA sekitar 34,1 persen penduduk Cina bekerja di sektor jasa, dan terakhir sekitar 27,8 persen bekerja di sektor industri. Dengan besarnya jumlah penduduk Cina, maka timbul persaingan kompetitif untuk mendapatkan pekerjaan. Hal ini tampak pada jumlah pengangguran di tahun 2009 yakni sebesar sebesar 4,3 persen dari sekitar 1,3 milliar jumlah penduduknya (CIA 2011). Sejak tahun 1978 hingga 2005, perdagangan internasional Cina meningkat 69 kali lipat dengan tingkat pertumbuhan per tahun sebesar 17 persen (Irham 2009, 3). Pada tahun 2005, Cina menjadi negara pengekspor terbesar ketiga di dunia. Rasio angka impor dibandingkan ekspor dalam gross domestic product (GDP) adalah 63 persen pada tahun 2005. Hal ini, menjadikan Cina masuk dalam jajaran negara-negara yang terintegrasi ke dalam perekonomian dunia. Sementara itu, perolehan devisa melonjak ke angka 1 triliun USD pada akhir tahun 2006. Tabel berikut akan menjelaskan peningkatan jumlah GDP Cina dari tahun 2008 hingga 2010. Tabel 3.1 GDP Cina tahun 2008, 2009 dan 2010 No.
Periode
Jumlah GDP Cina
1.
Tahun 2008 Tahun 2009 Tahun 2010
8,204 Trilyun USD
Jumlah GDP per kapita 6.400 USD
9,144 Trilyun USD
6.900 USD
Industri 46,8%
10,09 Trilyun USD
7.600 USD
Jasa 43,6%
2. 3.
Asal GDP tahun 2010
Pertanian 9,6%
(Sumber: CIA 2011)
Dari tabel 3.1 di atas dapat terlihat bahwa GDP Cina periode 2010 paling besar berasal dari sektor industri. Pada tahun 2008 dan 2009 juga tentunya asal GDP Cina tidak jauh berbeda dibandingkan tahun 2010. Untuk itu, dengan
40
tingginya tingkat perkembangan industri di Cina tentunya berdampak pada kerusakan lingkungan baik di dalam negeri maupun global. Peningkatan sektor industri Cina dikarenakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi negaranya guna pemerataan kesejahteraan bagi rakyatnya. Menurut Wibowo (2007, 31) Peningkatan pertumbuhan ekonomi Cina saat ini sering dikaitkan dengan berbagai macam kebijakan pemerintah dibidang penanaman modal asing. Selanjutnya, Irham (2009, 3) menjelaskan bahwa selama tahun 1986 hingga 2009, modal asing yang masuk ke Cina sebesar 620 milyar USD. Investor asing mendapat berbagai macam kemudahan yang secara khusus diberikan ke wilayah-wilayah yang disebut zona ekonomi khusus dan zona pembangunan ekonomi dan teknologi. Terdapat empat zona ekonomi khusus yaitu Shenzen, Zhuhai, Shantou, dan Xiamen. Sementara, zona pengembangan ekonomi dan teknologi ada di kota-kota pesisir timur Cina. Selanjutnya, menurut Wibowo (2007, 54) meskipun Cina sudah mengizinkan investor asing untuk masuk, namun pemerintah Cina tetap melakukan proteksi dalam beberapa sektor industri kunci. Sektor industri kunci yang dimonopoli negara, diantaranya adalah sektor perbankan, listrik, telekomunikasi, pos, kereta api, penerbangan, dan persenjataan. Selain itu, perusahaan swasta juga tidak diizinkan masuk ke dalam produksi tembakau, baja, kimia berbahaya, minyak dan gas, emas dan perak, serta pembuatan seragam untuk angkatan bersenjata, dan sebagainya. Menurut data CIA (2011) peningkatan industri Cina relatif cepat dan tinggi sehingga menjadikan negara ini menjadi nomor dua setelah Amerika Serikat dalam memproduksi jasa. Namun, peningkatan industri Cina tetap menjadikan pendapatan perkapita negaranya di bawah rata-rata negara dunia disebabkan belum 41
meratanya kesejahteraan rakyatnya karena jumlahnya yang sangat besar. Selain itu, pemerintah Cina juga mengalami beberapa tantangan ekonomi. Tantangan pertama adalah pemerintah Cina harus mempertahankan pertumbuhan lapangan kerja yang memadai bagi warganya yang menjadi imigran karena sekitar 200 juta pekerja dari pedesaan pindah ke kota untuk mencari pekerjaan. Kedua, pemerintah Cina harus mengurangi korupsi dan kejahatan ekonomi di negaranya. Kemudian, tantangan terakhir adalah pemerintah Cina arus mentransformasi perekonomian yang cepat karena peningkatan industri mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan. Kegiatan industri yang dilakukan oleh Cina ini menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Sejak dimulainya kebijakan ekonomi baru Cina tahun 1978, terjadi beberapa masalah lingkungan dan yang terburuk terjadi pada tahun 1982 hingga 1989 (Lieberthal 1995, 282). Masalah lingkungan ini mengakibatkan Cina kehilangan sepertiga hutannya dan lahan pertanian yang produktif berkurang sebanyak 0,5 persen per tahun. Dalam pelaksanaan Kongres Nasional Partai ketujuh belas pada musim gugur tahun 2007, secara resmi ditegaskan bahwa terjadi pergeseran yang pada awalnya fokus pada pertumbuhan ekonomi, menuju peningkatan kualitas hidup dan pemulihan lingkungan hidup (Naisbitt 2010, 79). Naisbitt juga menyebutkan (2010, 80) pada tahun 2007 menurut Presiden Hu Jintao, model pembangunan ekonomi global yang menjadikan Cina sebagai bintang dalam peningkatan perindustrian yang menyebabkan emisi GRK dinyatakan sudah usang. Model pembngunan ekonomi global baru sedang disusun yaitu model pertumbuhan pembangunan yang ilmiah sehingga sejak tahun 2007 pembangunan ekonomi di Cina harus memasukkan standar kelestarian lingkungan, energi, dan penggunaan sumber daya alam. 42
Model pembangunan yang ilmiah menurut Presiden Hu Jintao, Cina sedang berubah menjadi negara industrialis, berbasis informasi, metropolis, berorientasi pasar, dan internasional (dalam Naisbitt 2010, 80). Dengan kata lain, Cina akan memasuki bidang-bidang yang sekarang berada di negara Barat. Akan ada banyak industri dibidang bio energi, teknologi pengendalian polusi, serta pengelolaan limbah yang disesuaikan dengan praktik-praktik inovatif dalam pertanian tradisional dan manufaktur. 4.
Kebijakan Pemerintah Cina dalam Bidang Energi dan Lingkungan Sejak tahun 1950, pemerintah Cina membuat kebijakan energi dan masuk
dalam perencanaan nasional Cina (Mursitama & Yudono 2010, 43). Kemudian, perencanaan ini berkembang pada tahun 1990-an yang menghasilkan kebijakan energy security dan kebijakan naskah putih untuk mengatasi ketersediaan energi dan masalah lingkungan. Menurut Jiang dan Hu (2008, 320-321) terdapat enam prinsip dasar bagi strategi energi Cina, yaitu: a.
Memberikan prioritas untuk konservasi Konservasi sumber daya merupakan dasar kebijakan nasional di Cina
dengan
menggabungkan
pengembangan
dan
konservasi
energi.
Prioritas
konservasi dengan mengubah bentuk pembangunan ekonomi, menyesuaikan struktur industri dan mendorong pembangunan serta pengembangan teknologi hemat energi. b.
Pasokan Domestik Cina harus mengutamakan dan mengandalkan pada pasokan energi dalam
negeri untuk memenuhi meningkatnya permintaan energi domestik dengan terus meningkatkan keamanan dan kapasitas pasokan domestik. 43
c.
Pengembangan Diversifikasi Cina akan menjamin pasokan energi dengan mempercepat pengembangan
pembangkit energi yang berasal dari minyak dan gas alam. Selain itu, Cina juga akan mengembangkan sumber energi terbarukan seperti; tenaga air, pengembangan nuklir, dan optimalisasi energi. d.
Sains dan Teknologi Cina bergantung pada ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi untuk
pengembangan energi, serta untuk mencapai pengembangan teknologi energi baru, dan menciptakan metode pengembangan energi baru. e.
Perlindungan Lingkungan Cina memiliki tujuan membangun cadangan sumber daya serta masyarakat
yang ramah lingkungan. Untuk itu, Cina aktif mengkoordinasikan antara energi dan pembangunan lingkungan, memberikan perlindungan dalam pembangunan serta mengusahakan untuk pembangunan berkelanjutan. f.
Kerjasama yang Saling Menguntungkan Cina menganut sistem kesetaraan dan saling menguntungkan. Untuk itu,
Cina membuat kerjasama energi dengan International Energy Agency (IEA) dan masyarakat internasional. Selain itu, Cina perperan aktif untuk meningkatkan mekanisme kerjasama global guna mencapai dan menjaga keamanan serta stabilitas energi internasional. Dari keenam prinsip dasar bagi strategi energi Cina di atas tampak bahwa negara tersebut peduli terhadap kerusakan lingkungan dengan memberikan prioritas untuk konservasi energi dan penghematan penggunaan energi dalam pembangunan ekonomi. Bahkan Cina melakukan kerjasama dengan masyarakat internasional untuk menjaga keamanan dan stabilitas energi internasional. Keenam 44
konten tersebut juga terdapat dalam kebijakan energy security dan Naskah Putih 2007 yang akan dibahas lebih lengkap berikut ini. a.
Kebijakan Energy Security Hingga 2007, Cina menggunakan sebesar 12 persen dari energi dunia dan
merupakan konsumen energi terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat (Winters & Yusuf (ed.) 2007, 135). Emisi karbon Cina diakibatkan oleh pertumbuhan penggunaan batubara dan minyak bumi. Selain itu, negara ini merupakan negara dengan penduduk terbesar dunia dan mengalami peningkatan ekonomi yang tinggi sehingga Cina mutlak membutuhkan sumber energi yang besar untuk kelangsungan perekonomiannya (Kusuma 2008, 6). Kebutuhan sumber energi yang besar tersebut dibutuhkan untuk menunjang industri yang terus berkembang sebagai strategi dalam hal pertahanan dan keamanan energi yang disebut dengan energy security. Menurut Garnaut, Jotzo, dan Howes (2008, 171) Cina sedang bersiap menjadi mesin utama pertumbuhan ekonomi dunia dalam dua dekade ke depan sehingga negara ini sangat tergantung pada batubara sebagai sumber energi. Menurut Jiang dan Hu (2008, 310) dengan cepatnya pertumbuhan ekonomi Cina maka pada tahun 2007 total konsumsi energi utama Cina meningkat menjadi hampir 1820 mega ton (Mtoe) dengan peningkatan rata-rata pertahun hingga 5,3 persen. Jiang dan Hu (2008, 310) juga menambahkan bahwa batubara merupakan sumber energi utama yang menyediakan 70,7 persen dari total penggunaan energi utama pada tahun 1978 dan pada tahun 2006 sebesar 71 persen. Penggunaan energi batubara yang tinggi di Cina tentunya berdampak pada kerusakan lingkungan. Untuk itu, menurut Garnaut, Jotzo, dan Howes (2008, 182) menjelaskan bahwa pemerintah Cina sedang merencanakan atau sedang 45
berlangsung suatu program pengurangan emisi di luar sektor energi seperti percepatan reboisasi dan pengembangan varietas rendah emisi metana serta China’s Eleventh Five Year Plant yang memiliki target untuk mengurangi intensitas penggunaan energi sebanyak 20 persen pada tahun 2005 hingga 2010. Bagan 3.1. Proses Penyusunan Kebijakan Energi Cina Tahun 2008
Negara Perdana Menteri Wen Jiabao
Wakil PM Li Keqiang Zhang Dejiang Wang Qishan
Dewan Negara Hui Liangyu Liu Yandong Liang Guanglie Meng Jianzhu Dai Bingguo
Sekertaris Jenderal Ma Kai
Kantor Urusan Legislatif Cao Kangtai Kantor Riset Xie Fuzhen
Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional Zhang Ping
Komisi Energi Nasional
Administrasi Energi Nasional Zhang Gubaio
Komisi Pengawasan Aset dan Administrasi Negara Li Rongrong
Perusahaan Minyak Negara CNPC Sinopec CNOOC Sumber: Mursitama dan Yudono (2010, 61)
Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional (the National Development and Reform Commission (NDRC)) yang dibentuk pada tahun 2003 oleh pemerintah Cina untuk melakukan reformasi birokrasi dalam penyusunan kebijakan energi (Mursitama & Yudono 2010, 49-60). NDRC merupakan badan yang berwenang untuk mengatur dan menyusun kebijakan energi oleh State
46
Council. Selanjutnya, NDRC memiliki beberapa biro untuk membantu kinerjanya. Pertama adalah Biro Energi yang berfungsi untuk memutuskan setuju atau tidak terhadap suatu proyek energi. Selanjutnya, Biro Harga yang memiliki kontrol terhadap harga yang dikeluarkan oleh peerusahaan-perusahaan energi seperti gas, listrik, dan lain-lain. Ketiga adalah Biro Konservasi Sumber Daya Energi dan Perlindungan Lingkungan Hidup yang memiliki tugas mencapai target dan efisiensi energi. Kemudian, terakhir adalah Biro Industri yang membuat kebijakan industri yang berkenaan dengan insentif energi. Dengan demikian, semua kebijakan energi nasional harus berpedoman pada kebijakan yang dikeluarkan oleh NDRC. Pada pelaksanaan pembangunan energi di Cina bukannya berlangsung tanpa hambatan. NDRC memiliki beberapa kelemahan, yaitu; tidak memiliki wewenang penuh dalam penyusunan kebijakan serta minimnya perangkat kerja dan sumber daya manusia (Mursitama & Yudono 2010, 60). Hambatan ini juga dikarenakan Cina tidak memiliki Kementerian Energi yang memiliki kewenangan melakukan koordinasi total terhadap berbagai kepentingan semua aktor dalam urusan energi nasional. Selanjutnya, untuk mengatasi hambatan maka pada Juli tahun 2008 dibentuklah lembaga baru yaitu Administrasi Energi Nasional (National Energy Administration (NEA)) (Mursitama & Yudono 2010, 60). NEA bertugas memberikan izin usaha energi, menetapkan harga minyak di tingkat pengecer atau ritel, dan melaksanakan kebijakan energi pemerintah pusat. Selain itu, sejak NEA didirikan, lembaga ini mengambil alih tugas Biro Energi NDRC dan pelaksanaan tugas harian Komisi Energi Nasional (National Energy Commission (NEC)).
47
Mursitama dan Yudono (2010, 44) menjelaskan bahwa untuk menunjang pemenuhan kebutuhan energi di Cina, terdapat tiga perusahaan minyak milik negara, yaitu; Cina National Offshore Oil Corporation (CNOOC), Cina Petroleum and Chemical Company (Sinopec), dan Cina National Petroleum Company (CNPC). Pemerintah Cina mengatur operasi ketiga perusahaan minyak tersebut dengan memberikan segmen pasar yang berbeda. Pada tabel 3.2 di bawah ini akan menjelaskan besarnya penggunaan energi minyak untuk kegiatan industri Cina sehingga negara ini membutuhkan impor minyak yang tinggi setiap harinya. Tabel 3.2. Produksi, Konsumsi, dan Impor Minyak Cina No.
Minyak Cina Tahun 2008
Impor Minyak Cina Tahun 2008
1.
Produksi
3,991 juta barel/hari
Impor
2.
Konsumsi
8,2 juta barel/hari
4.393 juta barel/hari
(Sumber: CIA 2011)
Dengan melihat tabel 3.2 maka tentunya hasil produksi minyak Cina tidak sesuai dengan tingkat konsumsinya. Untuk itu, menurut Kusuma (2008, 47) dalam rangka mendapatkan sumber energi demi menjaga kepentingan energy security negaranya, Cina mulai menggunakan diplomasi bantuan (aid diplomacy) ke negara-negara lain yang mempunyai banyak cadangan energi dengan cara memberikan bantuan dana atau hibah, pinjaman dana, dan kerjasama militer. Salah satu negara tujuan Cina adalah negara-negara di Afrika. Cina melakukan diplomasi bantuan terhadap negara-negara di Afrika dengan menghapuskan hutang dan pajak serta bantuan dana lunak untuk pembangunan infrastruktur (Kusuma 2008, 48). Hal ini dilakukan karena Afrika terkenal sebagai salah satu daerah penghasil minyak bumi yang potensial. Kusuma menambahkan (2008, 49) bahwa pada tahun 2004, sebesar 25 persen import minyak Cina berasal
48
dari Afrika dan hingga saat ini mencapai 28 persen. Afrika memiliki nilai yang sangat penting untuk memenuhi kepentingan Cina yang sangat membutuhkan minyak bumi sebagai sumber energi bagi pembangunan industrinya. b.
Naskah Putih Meskipun dalam penelitian Heggelund (2007, 155) menyatakan bahwa
Cina tidak akan membuat komitmen dalam waktu dekat karena energi merupakan kunci dari pembangunan ekonomi sehingga hal tersebut merupakan alasan keengganan negara ini guna membuat komitmen untuk mengurangi emisi. Namun, pada tahun 2007 Cina membuat berbagai kebijakan ekonomi dan energi yang lebih ramah terhadap lingkungan seperti kebijakan Naskah Putih yang berjudul Cina’s Energy Conditions and Policies untuk memenuhi kebutuhan energi Cina yang semakin meningkat dengan berdasarkan pada prinsip low input, low consumption, and high efficiency (Mursitama dan Yudono 2010, 54). Oleh karena itu, kebijakan Naskah Putih ini merupakan salah satu bukti bahwa Cina berusaha untuk mengurangi emisi negaranya. Selain itu, Pemerintah Cina menekankan sangat pentingnya perlindungan lingkungan dan telah menjadi dasar kebijakan nasional (Song & Woo (ed.) 2008, 319). Menurut Jiang dan Hu (2008, 319) pasca konferensi Rio de Jainero tahun 1992, Cina mengambil langkah komprehensif dibidang hukum dan ekonomi serta cara lain untuk meningkatkan perlindungan lingkungan agar tercapai kemajuan positif. Komponen utama dari kebijakan pengurangan ekonomi Cina tersebut adalah managemen yang efektif dari kerusakan lingkungan dan polusi dalam proses pengembangan dan pemanfaatan energi. Sebelum dikeluarkannya kebijakan Naskah Putih tahun 2007, pada tahun 2001, pemerintah Cina telah membuat kebijakan Naskah Putih yang berisi tujuan 49
agar pemerintah Cina mendorong peningkatan investasi, baik dalam produksi dan distribusi hasil industrinya (Mursitama dan Yudono 2010, 59). Kebijakan Naskah Putih kemudian disempurnakan pada tahun 2007 dengan fokus pada pembenahan jalur distribusi, pemasaran, serta diangkatnya isu lingkungan hidup. Secara garis besar, kebijakan Naskah Putih tahun 2007 berisi sejumlah penyempurnaan dari kebijakan Naskah Putih tahun 2001. Menurut Mursitama dan Yudono (2010, 54) menyatakan bahwa pemerintah Cina merealisasikan isi naskah putih ini dalam enam kebijakan. Kebijakan pertama adalah memprioritaskan penghematan energi dengan membuat konservasi sumber daya alam (SDA). Kebijakan kedua yaitu untuk memenuhi kebutuhan energinya, Cina bergantung pada SDA domestik. Kebijakan ketiga adalah mendorong penggunaan beragam energi seperti energi listrik, nuklir, dan gas. Kebijakan keempat adalah mendorong sains dan teknologi untuk menghasilkan berbagai inovasi di bidang energi. Kelima adalah memberikan perlindungan lingkungan agar tercapai keseimbangan ekologi di Cina. Kebijakan keenam adalah mendorong kerja mutualistis antara perusahaan luar negeri dan dalam negeri. Selanjutnya, Mursitama dan Yudono (2010, 56) menjelaskan bahwa pada Naskah Putih tersebut, pemerintah Cina juga perlu mengeluarkan kebijakan konservasi energi. Untuk mendorong kebijakan konservasi energi, pemerintah Cina menempatkan reformasi dan transformasi struktur industri energi sebagai poros kebijakan tersebut. Tujuan reformasi dan transformasi adalah menghasilkan pola pembangunan ekonomi dengan prinsip low input, low consumption, and high efficiency. Cina juga akan mendorong pengembangan dan penggunaan teknologi tinggi di bidang energi agar dapat mengurangi pelepasan emisi langsung ke udara sehingga dapat menjalankan komitmen dalam konvensi UNFCCC. 50
Untuk mengimplementasikan Naskah Putih tahun 2007, menurut Mursitama dan Yudono (2010, 54) terdapat beberapa hambatan. Hambatan pertama adalah kondisi energi sumber daya alam (SDA) negaranya yang terbilang rendah karena hanya terdapat 1/15 dari cadangan dunia. Kondisi ini menyebabkan pemerintah
Cina
mengeksplorasi
membutuhkan
dan
distribusi
investasi energi.
yang
cukup
banyak
untuk
Hambatan
kedua
adalah
adanya
ketidakseimbangan produksi, distribusi, dan konsumsi yang berakibat sulitnya pemerintah Cina untuk mengamankan jumlah suplai minyak bumi secara berkala. Walaupun terdapat beberapa hambatan untuk merealisasikan kebijakan Naskah Putih tahun 2007, namun Mursitama dan Yudono (2010, 56) menjelaskan bahwa pemerintah Cina merancang beberapa strategi untuk merealisasikan kebijakan ini. Pemerintah Cina mendorong pengembangan dan penggunaan teknologi tinggi dibidang energi dan menghapuskan industri-industri yang tingkat produktivitasnya tidak sesuai dengan target. Hal tersebut menurut Garnault, Frank dan Howes (2008, 182) diwujudkan dengan kebijakan dan program yang dibuat oleh NDRC untuk mengurangi konsumsi energi, seperti; menutup pembangkit listrik yang tidak efisien, menutup pabrik-pabrik-pabrik kecil yang sudah ketinggalan zaman, dan membuat kebijakan insentif bagi 1000 perusahaan besar. Pemerintah Cina meluncurkan beberapa proyek penghematan energi seperti penggunaan energi lain sebagai pengganti minyak bumi, pengembangan dan pembangunan energi panas bumi, dan pembangunan konstruksi yang hemat energi (Mursitama dan Yudono 2010, 56). Selain itu, pemerintah Cina telah mengajukan target nasional yang mengikat tentang penurunan konsumsi energi per unit produk
51
domestik bruto (PDB) dan emisi polutan utama13, peningkatan reboisasi hutan, serta persentase energi terbaharukan untuk tahun 2005 hingga 2010 (CRI 2009). Dengan menurunkan tingkat penggunaan energi saja, Cina akan berkontribusi dalam pengurangan emisi karbon dioksida (CO2) sebanyak 1.5 milliar ton per tahun. Setelah membahas faktor internal dalam kebijakan luar negeri Cina maka selanjutnya akan dibahas mengenai faktor eksternal dalam kebijakan luar negerinya. B.
Faktor Eksternal
1.
Cina dalam Sistem Ekonomi Internasional Cina pada saat ini merupakan negara berkembang yang sangat pesat dalam
peningkatan perekonomian negaranya. Menurut Hadi (n.d.) pada tahun 2007 perekonomian Cina tumbuh sekitar 11,7 persen. Kemudian, dalam artikel yang sama Hadi menambahkan pada Maret 2009, Bank Central Cina mengumumkan bahwa cadangan devisa negaranya mengalami peningkatan sebesar 16 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai 1,95 triliun USD. Hal ini menunjukan bahwa meskipun Cina masih masuk ke dalam kelompok negara berkembang
namun
perekembangan
ekonominya
berpengaruh
terhadap
perekonomian global. Pada tahun 2001, Cina secara resmi diterima dan tergabung menjadi anggota World Trade Organization (WTO) (Wibowo 2007, 63-65). Dengan menjadi anggota WTO, pemerintah Cina berharap akan dapat memacu ekspor negaranya. Selain itu, dengan bergabungnya Cina dalam WTO dapat memicu
13
Penjelasan emisi polutan utama terdapat dalam bab I hlm. 4-5
52
peningkatan
besar-besaran
industrialisasi
dalam
negeri
dan
volume
perdagangannya (Irham 2009, 5). Namun, menurut Wong (dikutip dalam Irham 2009, 5) keanggotaan Cina di WTO
mempunyai
dampak
pada
terintegrasinya
kegiatan
perekonomian,
perdagangan, dan industri Cina dalam pasar global yang menyebabkan terjadinya ekspansi besar-besaran dari industri manufaktur Cina ke seluruh dunia. Dengan demikian, menambahkan keanggotaan Cina di WTO turut mendorong terbukanya berbagai kegiatan industri diberbagai sektor di tingkat domestik, mulai dari industri manufaktur dan kendaraan bermotor ke retail domestik serta menciptakan kompetisi usaha yang lebih kompetitif. Untuk meningkatkan perekonomiannya, Cina bekerjasama dengan negara lain atau organisasi regional seperti Association of Southeast Asian (ASEAN). Hal ini diperkuat dengan pernyataan PM Wen Jiabao (Jiabao 2011) mengatakan bahwa Cina akan lebih memperkuat hubungan kerjasama ekonomi dengan ASEAN. Selain itu, Cina merupakan negara pertama yang mendirikan kemitraan strategis untuk mencapai kemakmuran dan perdamaian dengan ASEAN. PM Wen menambahkan, antara Cina dan ASEAN memiliki target perdagangan hingga 500 milliar USD pada tahun 2015. 2.
Masalah Isu Lingkungan Hidup Global Pada beberapa dekade terakhir ini, masalah lingkungan hidup global
menjadi salah satu isu yang menjadi fokus pembicaraan oleh seluruh negara di belahan bumi. Manusia mengeksploitasi secara besar-besaran berbagai macam sumber daya alam (SDA) tanpa memperbaharuinya sehingga mengabaikan kepentingan dan kelestarian lingkungan. Berbagai macam eksploitasi SDA dilakukan oleh manusia seperti penebangan hutan, pelepasan gas CO2 ke udara 53
yang menghasilkan efek gas rumah kaca pada lapisan ozon, dan penggunaan SDA yang tidak dapat diperbaharui secara berlebihan seperti minyak bumi dan batubara. Kemudian, pada saat ini, penggunaan bahan kimia berbahaya pada industri serta pembuangan limbah secara sembarangan berdampak pada pencemaran tanah dan air sehingga sangat berbahaya bagi kehidupan manusia. Masalah perubahan iklim global merupakan ancaman bagi kehidupan manusia secara global. Dampak perubahan iklim global juga terjadi di Cina. Menurut Zhidong (2009) kerusakan ekologi dan pencemaran lingkungan Cina semakin akut dan bersifat lintas batas (cross-border). Kerusakan ekologi yang terjadi di Cina seperti; air, tanah, dan udara mengalami pencemaran berat. Dalam skala domestik sekarang ini hampir 70 persen populasi perkotaan telah tercemar oleh polusi udara, 70 persen sumber air telah tercemar berat, serta 400 kota kekurangan air bersih dan yang lebih mengkhawatirkan lagi akan terjadinya proses desertifikasi yakni proses menjadi padang gurun. Selain itu, akibat dari peningkatan industri Cina menyebabkan terjadinya polusi lintas batas (transboundary pollution), terutama hujan asam (acid rain) dan debu kuning (yellow dust) yang telah mencapai Semenanjung Korea dan Jepang (Irham 2009, 9). Wihardi dan Manusiwa (dikutip dalam Irham 2009, 9) menjelaskan bahwa polusi hujan asam diakibatkan oleh aktifitas pembakaran batubara yang berlebihan di stasiun-stasiun pembangkit energi di Cina. Hujan asam menyebabkan penurunan produktivitas biologis dari laut dan tanah di mana sehingga pada jangka panjang dapat menyebabkan masalah kesehatan serta kerawanan pangan yang serius di kawasan Asia Timur. Jika melihat masalah lingkungan hidup global di atas, maka sudah saatnya seluruh negara di dunia mengambil tindakan nyata dalam penanggulangannya. 54
Salah satu caranya adalah dengan mengimplementasikan komitmen yang telah disepakati dalam UNFCCC pada konferensi perubahan iklim baik berupa konvensi maupun protokol. Masalah lingkungan hidup global harus segera diatasi karena akan mengancam keberlangsungan hidup umat manusia. 3.
Hukum Internasional dalam Isu Lingkungan Hidup Global Setiap tahun UNFCCC menyelenggarakan pertemuan berupa konferensi
perubahan iklim bagi 195 anggotanya untuk menghasilkan suatu komitmen bersama (UNFCCC n.d. 3). Setiap negara anggota berhak untuk menolak dan tidak meratifikasi hasil dari konferensi, misalnya seperti kebijakan untuk meratifikasi sebuah protokol. Hingga tahun 2007, dari semua negara anggota UNFCCC yang belum meratifikasi Protokol Kyoto hanya Amerika Serikat. Hal ini membuktikan bahwa belum adanya suatu hukum internasional yang dapat mengikat secara penuh suatu negara. Berbagai opini publik dunia membahas mengenai masalah lingkungan global ini terutama mengenai masalah perubahan iklim global. Pada saat konferensi perubahan iklim tahun 2009 di Copenhagen, dalam surat kabar bernama Frankfurther A. Zeitung disebutkan bahwa dinamika politik baru telah ditampilkan di konferensi Copenhagen dan kemungkinan akan memperburuk kebijakan iklim global (Andersen 2009). Andersen menambahkan hal ini ditunjukkan dengan sikap di mana setiap negara anggota UNFCCC bisa melakukan hak veto dan tidak mempunyai komitmen apapun. Kemudian, ditambah dengan adanya berbagai kepentingan masing-masing negara, seperti negara-negara industri maju yang ingin mempertahankan standar hidup mereka dan bagi negara-negara berkembang yang ingin segera mencapai kesejahteraan bagi rakyatnya dengan meningkatkan perekonomian. Selain itu, tingginya tingkat populasi global serta 55
meningkatnya kebutuhan energi maka akan mengakibatkan emisi GRK semakin besar. Dengan beberapa gambaran di atas, maka dirasa sulit untuk membuat suatu kebijakan yang terbaik untuk mengatasi masalah perubahan iklim. Selain itu, Garnault, Jotzo dan Howes (2008, 180) berpendapat bahwa pada tahun 2030 akan terlambat bagi dunia untuk mulai bertindak dalam mengatasi masalah perubahan iklim. Untuk itu, pertumbuhan ekonomi Cina dalam dua dekade kedepan akan menentukan perubahan iklim global. Kebijakan dan sikap Cina dalam negosiasi internasional pada saat konferensi perubahan iklim akan semakin berpengaruh dalam merespon perubahan iklim global. 4. Respon Negara Industri Maju (diwakili oleh Amerika Serikat) dan Negara Berkembang (diwakili oleh Cina) dalam Isu Lingkungan Global Terdapat perbedaaan pandangan antara negara industri maju dan negara berkembang dalam menilai isu lingkungan global. Setiap negara akan mempertahankan prinsipnya dan akan diaplikasikan dalam kebijakan luar negerinya mengenai isu lingkungan global yang lebih spesifik membahas tentang masalah perubahan iklim. Seperti dalam konferensi perubahan iklim tahun 2009 di Copenhagen, Obama sebagai Presiden AS mewakili negara industri maju mengatakan bahwa saat ini negara-negara berkembang yang sudah besar (seperti Cina dan India) harus mulai untuk pertama kali membuka diri dengan mengambil tanggung jawab untuk membatasi pertumbuhan emisi GRK (Andersen 2009). Selanjutnya, Presiden Obama memberikan solusi untuk mengatasi masalah perubahan iklim yaitu dengan cara semua negara penghasil emisi harus bersamasama bertanggung jawab dan membuat mekanisme pendanaan untuk membantu negara-negara yang paling rentan menghadapi dampak dari perubahan iklim.
56
Pandangan Presiden Obama tersebut di atas tidak diterima langsung oleh negara berkembang seperti Cina dan India. Seorang pejabat Cina mengatakan beberapa negara maju telah gagal untuk menghormati komitmen mereka dalam mengatasi masalah perubahan iklim sehingga mereka tidak memenuhi syarat untuk mengkritik negara-negara berkembang (Yang (ed.) 2009). Pada akhirnya, setiap negara mempunyai kepentingan masing-masing yang diimplementasikan dalam kebijakan luar negerinya. Sama halnya dengan Cina, mempunyai kepentingan utama yang mempengaruhi kebijakan luar negerinya pada saat konferensi perubahan iklim. Faktor internal dan eksternal yang telah dijelaskan di atas mempengaruhi latar belakang kebijakan luar negeri Cina pada saat konferensi perubahan iklim tahun 2009 di Copenhagen. Faktor internal Cina pada dasarnya adalah untuk meningkatkan perekonomian negaranya agar kesejahteraan rakyatnya merata serta diimbangi dengan membuat kebijakan untuk meminimalisasi dampak kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan industri. Hal ini diperkuat Sheehan dan Sun (2008, 397-398) yang menjelaskan bahwa pada 2008 salah satu tujuan penting pemerintah Cina adalah membuat pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan ramah lingkungan dengan mengurangi tingkat penggunaan energi, pengurangan penggunaan air, dan mengurangi polusi. Selain itu, faktor kerusakan lingkungan domestik Cina juga merupakan faktor pendukung keikutsertaan Cina dalam pembuatan komitmen pada saat konferensi perubahan iklim. Faktor eksternal pada dasarnya keikutsertaan Cina dalam UNFCCC agar semua negara sama-sama bertangung jawab atas terjadinya perubahan iklim terutama negara industri maju. Oleh karena itu, pada bab selanjutnya akan dibahas secara spesifik mengenai kebijakan luar negeri yang dilaksanakan oleh Cina dalam konferensi Copenhagen berlangsung. 57
58
BAB IV KEBIJAKAN LUAR NEGERI CINA DALAM UNFCCC PADA KONFERENSI PERUBAHAN IKLIM DI COPENHAGEN TAHUN 2009
Sebelumnya menggambarkan faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Cina, yaitu; faktor internal dan eksternal. Dalam faktor internal dijelaskan bahwa akibat dari pesatnya kegiatan industri Cina untuk meningkatkan perekonomian negaranya berdampak pada kerusakan lingkungan yang bersifat akut. Selain itu, pemerintah Cina juga menyadari bahwa kerusakan lingkungan yang terjadi di negaranya jika terus menerus diabaikan maka akan semakin memburuk di masa depan sehingga akan membutuhkan biaya yang besar untuk konservasi lingkungan. Dalam pelaksanaan konservasi lingkungan domestik negaranya, pemerintah Cina membuat kebijakan energy security dan Naskah Putih tahun 2007 yang berisi kebijakan konservasi energi dengan prinsip low input, low consumption, and high efficiency (Mursitama & Yudono 2010, 56). Selain itu, menurut Presiden Hu Jintao (dikutip dalam Naisbitt 2010, 80) sejak tahun 2007 di Cina sedang disusun model pertumbuhan pembangunan ekonomi yang ilmiah dengan memasukkan standar kelestarian lingkungan, energi, dan sumber daya alam. Dengan model pembangunan tersebut, Cina sedang berubah menjadi negara industrialis, berbasis informasi, metropolis, berorientasi pasar, dan internasional. Selain faktor internal juga terdapat faktor eksternal yang mendukung kebijakan luar negeri Cina dalam konferensi perubahan iklim tahun 2009 di Copenhagen. Dengan meningkatnya industri di Cina tidak hanya berdampak pada kerusakan lingkungan domestik negaranya namun juga berdampak pada lingkungan global. Dalam hal ini, akibat dari peningkatan industri di Cina 58
menyebabkan terjadinya polusi lintas batas terutama hujan asam dan debu kuning yang telah mencapai Semenanjung Korea dan Jepang (Irham, 2009, 9). Selain itu, pada tahun 2009 Cina merupakan negara penghasil emisi terbesar di dunia (Saragih 2010, 10). Oleh karena itu, tentunya Cina mendapat tekanan dari dunia internasional untuk menurunkan tingkat emisi negaranya. Salah satu yang menekan Cina untuk menurunkan tingkat emisinya adalah Amerika Serikat (AS). Menurut Forgaty (Reuters 2011) AS merupakan penghasil emisi terbesar kedua di dunia setelah Cina. Forgaty menjelaskan AS belum meratifikasi Protokol Kyoto karena negara-negara berkembang besar (seperti Cina) belum memiliki komitmen yang mengikat dalam mengurangi tingkat emisi. Posisi Cina sebagai penghasil emisi terbesar di dunia tersebut membuat Todd Stern Kepala Delegasi Iklim AS mengatakan bahwa harus ada sebuah perjanjian yang memiliki kekuatan hukum yang sama bagi negara-negara berkembang terutama Cina, India, dan Brazil untuk mengatasi masalah perubahan iklim (Reuters 2011). Hal ini berarti AS menekan Cina untuk segera membuat komitmen untuk menurunkan tingkat emisi negaranya. Walaupun Cina mendapat tekanan dari dunia internasional untuk menurunkan tingkat emisi negaranya namun negara ini harus tetap meningkatkan perekonomianya untuk kesejahteraan rakyatnya. Oleh karena itu, kebijakan luar negeri Cina dalam konferensi Copenhagen tahun 2009 akan lebih detail dijelaskan di bawah ini. A.
Prinsip Kebijakan Luar Negeri Cina dalam UNFCCC Kebijakan luar negeri Cina secara konsisten berdasarkan pada independensi
yang berdasarkan pada lima prinsip (Lieberthal 1995, 357).
Prinsip pertama
adalah adanya rasa kebersamaan dan saling menghormati antara satu negara 59
dengan negara lain. Selanjutnya, prinsip kedua adalah bersama-sama menentang adanya suatu agresi. Kemudian, prinsip ketiga adalah tidak adanya intervensi dari pihak manapun termasuk dalam pelaksanaan hubungan internasional. Prinsip keempat adalah adanya persamaan hak dan keuntungan bersama. Kemudian prinsip terakhir adalah adanya koeksistensi damai dalam pembangunan hubungan diplomatik, ekonomi, maupun pertukaran kebudayaan dengan negara lain. Menurut PM Wen Jiabao (Jiabao 2011), Cina mempunyai prinsip kebijakan luar negeri yang bebas merdeka dan damai. Kebijakan ini mempunyai pengertian bahwa semua negara harus merdeka (tidak ada imprealisme dari pihak manapun) dan bebas mengembangkan berbagai aspek
kepentingan negara seperti
pengembangan ekonomi, politik, dan sosial demi kesejahteraan bersama. Selanjutnya, makna damai adalah negara ini menginginkan kehidupan yang damai antar negara di dunia. Selain itu, Cina membangun kerjasama dengan negaranegara lain seperti AS, Rusia dan Uni Eropa untuk membangun dunia agar damai. Pada dasarnya, perkembangan Cina dalam berbagai aspek (contohnya: ekonomi, politik, dan sosial) tidak akan mengganggu dan mengancam negara manapun sesuai dengan prinsip kebijakan luar negerinya dan akan terus berjalan secara turun temurun. Pada pelaksanaan konferensi perubahan iklim (termasuk saat konferensi Copenhagen 2009), menurut Chingk Lee (dikutip dalam Felisia 2008, 8) Cina mempunyai sejumlah prinsip diplomasi lingkungan yang harus dipegang teguh, yaitu; prinsip kedaulatan, independensi, hak untuk membangun (right to development),
serta
prinsip
tanggung
jawab
negara-negara
maju
untuk
mengalokasikan bantuan finansial dan teknologi bagi negara-negara berkembang. Felisia (2008, 8) menjabarkan prinsip-prinsip tersebut lebih lanjut. Prinsip 60
kedaulatan mengandung pengertian bahwa semua negara di dunia adalah sama dan tidak ada pemisahan antara negara besar ataupun kecil, terutama tidak adanya dominasi dari suatu negara. Selanjutnya, independensi mempunyai pengertian bahwa semua negara harus mandiri dan tidak tergantung dengan negara lain serta memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri. Kemudian, hak untuk membangun berarti semua negara berhak untuk meningkatkan perekonomiannya guna mensejahterakan seluruh warga negaranya. Prinsip terakhir adalah Cina menganggap aktor penyebab utama terjadinya perubahan iklim adalah akibat dari kegiatan industri negara maju yang telah berlangsung lama sehingga negara-negara tersebut harus bertanggung jawab dengan memberikan bantuan finansial dan transfer teknologi ke negara-negara berkembang. Dengan adanya prinsip ini, dampak negatif dari perubahan iklim diharapkan dapat mendorong semua pihak untuk menyadari bahwa tindakan yang kongkrit dan cepat sangat dibutuhkan guna kemaslahatan hidup umat manusia pada masa mendatang. B.
Aktor-aktor dalam Pembuatan Kebijakan Luar Negeri Cina dalam UNFCCC pada Konferensi Copenhagen Tahun 2009 Pada pelaksanaan kebijakan luar negeri Cina, sesuai Pasal 89 konstitusi
negara ini, seorang perdana menteri (PM) mempunyai tugas untuk mewakili negaranya dalam membangun hubungan internasional (Lieberthal 1995, 373). Pada tahun 2009, PM Wen Jiabao, mewakili pemerintah Cina dalam UNFCCC pada konferensi perubahan iklim di Copenhagen, Denmark (Xianzhi (ed.) 2009). Selain PM Cina yang menjadi aktor dalam konferensi perubahan iklim terdapat instansi pemerintah lain yang tergabung dalam delegasi tersebut seperti Ministry of Foreign Affairs (MFA). Menurut Heggelund (2007, 173) MFA
61
memainkan peranan penting dalam proses politik internasional tentang perubahan iklim meskipun instansi ini kurang dilibatkan dalam bidang sains dan teknis. Selain itu, Heggelund menambahkan (2007, 173) dengan MFA mewakili pemerintah Cina sebagai kepala negosiasi, perubahan iklim dipandang sebagai masalah dalam kebijakan luar negeri dan karena itu dipengaruhi oleh isu lainnya di bawah lingkup kementerian. Selain MFA juga terdapat The National Development and Reform Commission (NDRC). Menurut Heggelund (2007, 171) NDRC merupakan salah satu komisi yang paling kuat di Cina dan merupakan komisi utama perencanaan ekonomi serta bertanggung jawab bagi pembangunan ekonomi. Heggelund menambahkan (2007, 172) selain menangani masalah ekonomi, NDRC juga bertanggung jawab untuk mengembangkan energy security. Ketika NDRC menjadi wakil ketua delegasi untuk negosiasi dalam perubahan iklim dan memimpin diskusi tingkat tinggi, serta bekerjasama dengan MFA maka perkembangan ekonomi dan isu-isu energi merupakan perhatian utama Cina (Heggelund 2007, 172). C.
Tujuan Kebijakan Luar Negeri Cina dalam UNFCCC pada saat Konferensi Copenhagen Tahun 2009 Kebijakan perubahan iklim internasional secara umum merupakan topik
yang sensitif karena terkesan menghambat perkembangan ekonomi suatu negara. Oleh karena itu, pada saat negosiasi, bagi MFA negara-negara industri maju harus bertanggung jawab atas perubahan iklim global yang terjadi dan selalu menekankan perlunya melakukan transfer teknologi dan membentuk mekanisme pendanaan internasional (Heggelund 2007, 173). Transfer teknologi merupakan pemberian teknologi maju dari negara industri maju ke negara berkembang, agar
62
dalam melakukan kegiatan industrinya dapat meminimalisasi pelepasan emisi ke udara sehingga mampu mengurangi penyebab perubahan iklim. Meskipun demikian, Cina sebagai salah satu negara yang menyumbangkan pelepasan emisi ke udara, menurut PM Wen Jiabao (Jiabao 2011), akan bersedia untuk melakukan transfer teknologi karena bagi Cina pembangunan suatu negara harus berdasarkan ilmu pengetahuan (iptek). Pada setiap konferensi perubahan iklim, tentu akan ada suatu komitmen yang harus diikuti oleh negara anggotanya untuk memotong tingkat pelepasan emisi. Namun, pemotongan emisi tersebut bagi Cina harus disesuaikan dengan kondisi perekonomian negaranya. Menlu Cina, Yang Jiechi (Xianzhi (ed.) 2009) konferensi perubahan iklim tahun 2009 di Copenhagen merupakan kesempatan penting untuk meningkatkan kerjasama internasional untuk menangani masalah perubahan iklim. Yang Jiechi (Xianzhi (ed.) 2009) menambahkan bahwa upaya bersama dari semua pihak dalam konferensi harus menghasilkan hal yang signifikan dan positif yang terdiri dari tiga aspek. Aspek pertama adalah tegas menjunjung tinggi prinsip common but differentiated responsibilities (di mana setiap negara bersama-sama menekan laju peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) di negaranya namun memiliki tanggung jawab yang berbeda-beda) yang ditetapkan oleh UNFCCC. Aspek kedua adalah konferensi ini membuat langkah maju dengan adanya pemotongan emisi yang mengikat bagi negara industri maju dan bagi negara berkembang harus melakukan tindakan sukarela melakukan mitigasi (pengurangan emisi). Aspek terakhir adalah konferensi menghasilkan konsensus penting mengenai isu-isu lingkungan dalam jangka panjang untuk target pengurangan emisi global, dengan dukungan dana dan transfer teknologi bagi negara-negara berkembang.
63
D.
Kebijakan Luar Negeri Cina dalam UNFCCC pada Konferensi Copenhagen Tahun 2009 Setiap negara dalam setiap konferensi perubahan iklim tentunya
mempunyai kebijakan luar negeri yang harus diaplikasikan. Pada pelaksanaan konferensi perubahan iklim tahun 2009 di Copenhagen, Cina merupakan salah satu negara kunci dalam konferensi karena pada tahun tersebut Cina merupakan negara penghasil emisi terbesar di dunia (Saragih 2010). Menurut Wakil Khusus Ministry of Foreign Affairs (MFA) Cina untuk konferensi perubahan iklim, Yu Qingtai, mengatakan bahwa pengaplikasian tanggungjawab masing-masing antara negara industri maju dan negara berkembang adalah kunci sukses penyelenggaraan konferensi Copenhagen (CRI 2009). Selanjutnya menurut Yu Qingtai (CRI 2009), gagalnya perundingan untuk mencapai kemajuan dari konferensi perubahan iklim disebabkan karena negaranegara industri maju tidak cukup menunjukan kejujuran, maka negara-negara tersebut diharapkan dapat mengubah janji untuk mengurangi emisi menjadi kenyataan. Oleh karena itu, kunci utama dari penyelesaian masalah perubahan iklim adalah semua negara anggota UNFCCC baik negara industri maju maupun negara berkembang harus bersama-sama memenuhi tanggungjawab dan komitmen mereka berdasarkan konvensi. Namun, dalam konferensi perubahan iklim di Copenhagen tahun 2009 terdapat kelompok negara berkembang yang vokal dalam negosiasi untuk menghadapi tekanan dari negara industri maju. Andersen (2009) menuliskan bahwa terdapat kelompok Basic Group yang merupakan kelompok negara berkembang yang perekonomiannya sedang berkembang pesat. Kelompok tersebut terdiri dari Brazil, Afrika Selatan, India, dan Cina. Kelompok ini merupakan
64
kelompok yang vokal dalam konferensi perubahan iklim ke-15 di Copenhagen, terutama saat menghadapi tekanan dari negara-negara industri maju untuk memotong tingkat emisi GRK di empat negara tersebut. Keempat negara tersebut aktif melakukan negosisasi dalam berbagai forum pada saat konferensi berlangsung. Dalam tulisannya Rapp, Schwagerl, & Traufetter (2010) menjelaskan bahwa tekanan dari negara industri maju terlihat pada saat perundingan berlangsung pada tanggal 18 Desember 2009 di Copenhagen, terjadi perdebatan antara Presiden Perancis Nicolas Sarkozy dan Perdana Menteri Cina Wen jiabao. Dalam tulisan tersebut berisi bahwa Presiden Nicolas Sarkozy mengatakan negaranegara anggota UNFCCC berjanji untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 80 persen. Kemudian, PM Wen Jiabao menyatakan bahwa, “Cina akan segera menjadi kekuatan ekonomi terbesar di dunia, dan akan berkata pada dunia bahwa komitmen berlaku untuk Anda tetapi tidak untuk kami”. Pernyataan Presiden Nicolas Sarkozy tersebut bertentangan dengan tujuan kebijakan luar negeri Cina seperti yang diungkapkan oleh Menlu Cina, Yang Jiechi. Yang Jiechi (Xianzhi (ed.) 2009) menyatakan bahwa antara negara industri maju dan negara berkembang mempunyai tanggung jawab emisi yang berbeda. Oleh karena itu, terdapat tanggung jawab dan kewajiban yang berbeda dalam menangani masalah perubahan iklim. Negara industri maju harus lebih banyak berkontribusi terhadap penanganan masalah perubahan iklim yang terjadi di dunia. Menlu Cina Yang Jiechi (Xianzhi (ed.) 2009) mengatakan bahwa konferensi perubahan iklim tahun 2009 di Copenhagen bukanlah suatu tujuan namun sebuah awal baru dan setiap negara anggota UNFCCC harus sesuai dengan prinsip Common but differential responsibilities. 65
Dalam tulisannya Rapp, Schwagerl, dan Traufetter (2010) menjelaskan bahwa pada saat konferensi perubahan iklim tahun 2009 di Copenhagen, PM Wen mengirim negosiatornya yaitu He Yafei, ke pertemuan malam para pemimpin dunia. Lebih lanjut dalam tulisan ini menjelaskan bahwa para pemimpin dunia tersebut bersama-sama meminta tuan rumah Denmark, untuk mengurangi beberapa dokumen yang menjadi kunci untuk mencapai kesepakatan akhir dari konferensi Copenhagen. Isi dari dokumen tersebut bertujuan untuk membuat kesepakatan agar semua negara anggota mengurangi emisi gas CO2 sebesar 50 persen secara global yang harus dicapai pada tahun 2050 (dibandingkan dengan level emisi tahun 1990). Pada saat itu, delegasi Cina tidak setuju dengan ketentuan tersebut. Pada saat sidang tanggal 18 Desember 2009, negosiator He Yafei menyampaikan ketidaksetujuannya tersebut pada forum (Rapp, Schwagerl, & Traufetter 2010, 2). Rapp, Schwagerl, & Traufetter (2010, 2) menuliskan bahwa He Yafei berkata pada presiden forum, “Tuan Presiden, mengingat pentingnya komitmen ini, kami tidak ingin terburu-buru dan kami perlu beberapa waktu lagi”. He Yafei memperlambat waktu dengan terus-menerus meminta interupsi kepada presiden sidang agar ia dapat berbicara dengan PM Wen Jiabao. Presiden sidang pada sidang tersebut adalah seorang Kanselir Jerman bernama Merkel. Dalam sebuah artikel Rapp, Schwagerl, dan Traufetter (2010, 2) menjelaskan bahwa Merkel bertekad agar India dan Cina bersedia membuat komitmen dalam upaya perlindungan iklim. Namun, Cina dan India tidak bersedia untuk membuat komitmen tersebut. Kemudian, kedua negara tersebut ditambah Brazil dan Afrika Selatan melakukan perundingan tertutup diantara mereka berempat dan mencapai kesepakatan untuk tidak menyetujui ketentuan tersebut. Kelompok ini disebut Basic Group. 66
Rapp, Schwagerl, dan Traufetter (2010, 2-3) dalam artikelnya menjelaskan bahwa sidang yang dipimpin oleh Merkel terjadi banyak perdebatan antar kepala negara. Lebih lanjut, akhirnya Merkel sebagai presiden sidang mengambil jalan terakhir yaitu pengurangan gas rumah kaca sebesar 50 persen yaitu dengan cara membatasi pemanasan global hingga dua derajat Celsius. He Yafei tetap tidak bisa menerima keputusan tersebut. Menanggapi ketidaksetujuan tersebut, Obama berbicara langsung kepada Cina “jika tidak ada rasa kebersamaan dalam proses ini, maka akan sulit bagi kita untuk terus maju secara signifikan”. Setelah terjadi perundingan yang alot antar kepala negara maka hasil akhir dari konferensi Copenhagen adalah Copenhagen Accord14 (UNFCCC n.d.). Pada Copenhagen Accord, Cina berkomitmen untuk mengkomunikasikan dan akan berusaha keras untuk menurunkan tingkat emisi CO2 per unit GDP hingga 40-45 persen pada tahun 2020 yang dibandingkan dengan tingkat emisi tahun 2005 (UNFCCC n.d.). Hal ini bertujuan untuk meningkatkan penggunaan energi nonfosil (non-minyak bumi) dan menjadikannya sebagai energi utama, sehingga konsumsi energi fosil (minyak bumi) hanya sekitar 15 persen pada tahun 2020. Komitmen Cina tersebut diperkuat dengan pernyataan PM Wen Jiabao. PM Wen Jiabao (Xianzhi 2009) yang menyatakan bahwa sebagai negara berkembang, Cina saat ini sedang pada tahap penting industrialisasi dan urbanisasi serta peranan utama penggunaan energi dari batubara sehingga negara ini memiliki kesulitan khusus dalam pengurangan emisi. Kemudian, Cina akan melakukan aksi mitigasi nasional dan akan mengimplementasikan mitigasi tersebut sesuai dengan prinsip dan ketentuan dalam konvensi UNFCCC.
14
Penjelasan Copenhagen Accord secara terperinci telah dipaparkan pada Bab II hlm. 27
67
PM Wen mengatakan bahwa untuk mengurangi emisi karbon dioksida dalam skala besar tentunya Cina akan membutuhkan waktu dan upaya yang luar biasa (Xianzhi (ed.) 2009). PM Wen Jiabao (Xianzhi (ed.) 2009) menambahkan bahwa target pemotongan emisi tersebut akan dimasukkan ke dalam rencana nasional Cina baik jangka menengah maupun jangka panjang bagi pembangunan ekonomi. Pelaksanaan pemotongan emisi tersebut harus harus tunduk pada pengawasan hukum dalam negeri Cina dan opini publik. Untuk melaksanakan komitmen tersebut, Cina berkomitmen untuk lebih aktif terlibat dalam dialog dan kerjasama internasional untuk bertukar informasi mengenai pengurangan emisi. Dari keterangan di atas, dapat dilihat bahwa kebijakan luar negeri Cina dalam konferensi perubahan iklim tahun 2009 di Copenhagen sesuai dengan prinsip UNFCCC yaitu Common but differential responsibilities sehingga negara industri maju merupakan aktor utama yang harus bertanggung jawab terhadap masalah perubahan iklim. Walaupun demikian, Cina tetap ikut serta dan bertanggung jawab terjadinya atas perubahan iklim tetapi tetap pada posisi dirinya sebagai negara berkembang. Sehingga, setelah konferensi Copenhagen berakhir, Cina berkomitmen untuk menurunkan tingkat emisinya antara 40-45 persen pada tahun 2020 dan akan mengupayakan maksimalisasi penggunaan sumber daya non fosil (bukan minyak bumi) (UNFCCC n.d.).
68
69
BAB V PENUTUP A.
Kesimpulan Kebijakan luar negeri Cina dalam United Nations Framework Convention
on Climate Change (UNFCCC) pada konferensi perubahan iklim ke-lima belas di Copenhagen, Denmark, mengacu pada empat prinsip diplomasi lingkungan hidup yang ditentukan oleh pemerintah Cina. Prinsip pertama adalah prinsip kedaulatan yang berarti bahwa semua negara sama sehingga tidak ada pemisahan antara negara besar dan kecil, serta tidak adanya dominasi dan intervensi dalam pelaksanaan konferensi. Prinsip kedua adalah setiap negara harus mandiri serta tidak bergantung kepada negara lain, diaplikasikan dengan cara menentukan nasib sendiri. Prinsip ketiga adalah hak untuk membangun perekonomian dan mensejahterakan rakyatnya. Kemudian, prinsip terakhir yaitu perubahan iklim yang diakibatkan oleh negara industri maju, sehingga mereka harus bertanggung jawab secara penuh dengan menjadi aktor utama sebagai donatur utama dalam upaya memperbaiki lingkungan yang rusak dan transfer teknologi ke negara-negara berkembang. Keempat prinsip diplomasi lingkungan tersebut diaplikasikan pada saat konferensi Copenhagen. Prinsip pertama yaitu kedaulatan. Pada saat konferensi, Cina tidak menginginkan adanya intervensi dari negara industri maju dengan membentuk kelompok Basic Group yang beranggotakan empat negara yaitu Brazil, Afrika Selatan, India dan Cina. Kelompok ini vokal pada saat konferensi Copenhagen berlangsung terutama saat menghadapi tekanan dari negara-negara industri maju seperti Amerika Serikat.
69
Prinsip kedua adalah setiap negara harus mandiri dengan mampu menentukan nasib sendiri. Prinsip ini diaplikasikan oleh Cina dengan mengubah sistem ekonomi negaranya dari negara agraris menjadi negara industri agar mampu menghadapi globalisasi. Selain itu, dengan peningkatan ekonominya maka Cina dapat menentukan nasibnya sendiri dan menjadi salah satu kunci keberhasilan setiap konferensi perubahan iklim karena negaranya mempunyai peranan penting dan disegani oleh negara-negara di dunia. Selanjutnya, prinsip ketiga diplomasi lingkungan Cina adalah hak untuk membangun
perekonomian
dan
mensejahterakan
rakyatnya.
Prinsip
ini
diaplikasikan dalam kebijakan luar negeri Cina melalui delegasinya dalam konferensi Copenhagen. Para delegasi menginginkan adanya keseimbangan antara peningkatan perekonomian dengan kesepakatan pemotongan emisi GRK yang tidak terlalu tinggi. Seperti sikap PM Wen Jiabao yang menentang pidato Presiden Perancis Nicolas Sarkozy saat menginginkan semua negara anggota UNFCCC untuk menurunkan tingkat pelepasan emisi GRK hingga 80 persen. Cina menolak karena jika pemotongan emisi GRK hingga 80 persen maka akan menghambat perekonomian negaranya. Prinsip terakhir yang harus diaplikasikan Cina adalah tanggung jawab negara industri maju yang menjadi penyebab utama terjadinya perubahan iklim dengan memberikan bantuan dana dan transfer teknologi ke negara-negara berkembang. Bantuan dana dan transfer teknologi ini diutamakan bagi negaranegara yang rentan terhadap dampak dari perubahan iklim seperti negara kepulauan kecil. Selain menuntut tanggung jawab utama negara industri maju, Cina juga turut serta dalam mengurangi dampak perubahan iklim. Pada tahun
70
2007, pemerintah Cina menyusun model perekonomian baru dengan memasukkan standar kelestarian lingkungan, energi, dan penggunaan sumber daya alam (SDA). Hasil dari keikutsertaan Cina dalam konferensi perubahan iklim ke-lima belas di Copenhagen tahun 2009 adalah negara tersebut sepakat untuk mengkomunikasikan dan berusaha keras untuk menurunkan tingkat emisi GRK hingga 40-45 persen pada tahun 2020 yang dibandingkan dengan tingkat emisi pada tahun 2005. Penurunan emisi ini diwujudkan dengan pengurangan penggunaan energi fosil dan menggantinya dengan sumber energi yang berasal dari energi angin dan nuklir. Cina bekerja keras untuk mencapai target penurunan penggunaan energi fosil negaranya menjadi 15 persen pada tahun 2020.
71
DAFTAR PUSTAKA
Buku : Bakri, Umar Suryadi (ed.). 1997. Pasca Deng Xiaopin “Cina, Quo Vadis?”. Pustaka Sinar Harapan: Jakarta. Clarke, Michael & White, Brian (ed.). 1995. Understanding Foreign Policy “The Foreign Policy Systems Approach”. Edward Elgar Publishing Limited: USA. Erwin, Muhammad. 2009. Hukum Lingkungan “Dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan Hidup”. Refika Aditama: Bandung. Garnaut, Ross, Jotzo, Frank & Howes, Stephan. 2008. China’s Rapid Emissions Growth and Global Climate Change Policy dalam Song, Ligang & Woo, Wing Thye (ed.). China’s Dilema ‘Economic Growth, The Environment and Climate Change’. The Australian National University Press: Australia Hill, Christopher. 2003. The Changing Politics Of Foreign Policy. Palgrave Macmillan: London. Holsti, K.J. 1992. Sixth Edition International Politics “A Framework for Analysis”. Prentice-Hall International, Inc: London. Jackson, Robert dan Sorenson, Georg. 2005. Pengantar Studi Hubungan Internasional. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Jemadu, Alexius. 2008. Politik Global dalam Teori & Praktik. Graha Ilmu: Yogjakarta. Jiang, Kejun & Hu, Xiulian. 2008. Energy and Environment in China dalam Song, Ligang & Woo, Wing Thye (ed.). China’s Dilema ‘Economic Growth, The Environment and Climate Change’. The Australian National University Press: Australia Kusuma, Dwijaya. 2008. China Mencari Minyak “Diplomasi China ke Seluruh Dunia 1990-1997”. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia: Depok. Lampton, David M. 2001. The Making of Chinese Foreign and Security Policy in the Era of Reform 1978-2000. Stanford University Press: California. Lieberthal, Kenneth. 1984. Domestic Policy and Foreign Policy dalam Garding, Harry (ed.). China’s Foreign Relations in the 1980s. Yale University Press: New Haven and London.
xv
Lieberthal, Kenneth. 1995. Governing China “From Revolution Through Reform”. W.W. Norton & Company, Inc: New York. Moleong, Lexy J. 1999. Metodologi Penelitian Kualitatif. Rosda Karya: Bandung Murdiyarso, Daniel. 2003. Protokol Berkembang”. Kompas: Jakarta.
Kyoto”Implikasinya
bagi
Negara
Murdiyarso, Daniel. 2005. Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi “Konvensi Perubahan Iklim”. Kompas: Jakarta. Mursitama, Tirta N. dan Yudono, Maisa. 2010. Srategi Tiga Naga “Ekonomi Politik Industri Minyak China di Indonesia”. Kepik Ungu: Depok. Naisbitt John dan Doris Naisbitt. 2010. China’s Megatrends “8 Pilar yang Membuat Dahsyat China”. Gramedia: Jakarta. Reynolds, Bruce. 1984. China in International Economy dalam Garding, Harry (ed.). China’s Foreign Relations in the 1980s. Yale University Press: New Haven and London. Sheehan, Peter & Sun, Fiona. 2008. Emission and Economic Development ‘Must China Choose?’ dalam Song, Ligang & Woo, Wing Thye (ed.). China’s Dilema ‘Economic Growth, The Environment and Climate Change’. The Australian National University Press: Australia Susskind, Lawrence. 1994. Environmental Diplomacy “Negotiating More Effective Global Agreements”. Oxford University Press: New York. Watson, Adam. 2005. Diplomacy The Dialogue Between States. Taylor & Francis e-Library: UK. Wibowo, I. 2007. Belajar Dari Cina “Bagaimana Cina Merebut Peluang Dalam Era Globalisasi”. Kompas Media Nusantara: Jakarta. Wibowo, I. 2010. Negara Centeng “Negara dan Saudagar di Era Globalisasi”. Kanisius: Yogyakarta. Winters, Alan dan Yusuf, Shalid (ed.). 2007. Dancing With Giants “China, India, and the Global Economy”. Institute of Policy Studies: Singapura. Jurnal: Isnaeni, Nurul dan Wardoyo, Broto. Isu Lingkungan Hidup Global: Tantangan Kebijakan Luar Negeri dan Negosiasi Multirateral dalam Global Jurnal Politik Internasional Dinamika Fenomena Hubungan Internasional Pasca NeoLiberal. Departemen Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Vol. 9 No. 2 Desember 2007 – Mei 2008. Heggelund, Gorild. China Climate Change Policy: Domestic and International Developments. Asian Perspective, Vol. 31, No.2, 20. Available From:
. [20 November 2010].
xvi
Skripsi & Tesis: Felisia, Sarah. 2008. Proses Pembentukan Kebijakan Luar Negeri Cina dalam Isu Perubahan Iklim Periode 1992-1997”. Skripsi Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Irham, Mohammad. 2009. Isu polusi lingkungan China dalam hubungan ChinaJepang perspektif human security (2001-2008). Tesis Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Media Massa: Saragih, Simon. 2010. Pertemuan Iklim Tianjin ‘China dan Brazil Hambat Trik Barat’. Kompas 10 Oktober, p. 10. Internet: Sommerville, Quantine. 2006, Polusi Ancam Stabilitas Cina. Available from: . [22 September 2010]. Yu, Xin. 2009, Blogger Petakan Polusi di China. Available from: . [22 September 2010]. Greenpeace, n.d., Perubahan Iklim ‘stop ketergantungan terhadap energi kotor, revolusi energi terbaharukan sekarang’. Available from: . [8 Mei 2010]. Deptan. 2010, United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) ‘Cancun, Mexico, 29 November – 10 Desember 2010’ Gambaran Umum Issue Perubahan Iklim. Available from: . [12 Desember 2010]. Eionet. 2011, Legislative Instrument Details: UNFCCC. Available from: . [4 April 2011]. UNFCCC. n.d. 1, List of Non-Annex I Parties to the Convention. Available from: . [20 April 2011]. UNFCCC. n.d. 14, List of Annex I Parties to the Convention. Available from: . [20 April 2011] UNFCCC. n.d. 5, The Secretariat. Available from: . [20 April 2011].
xvii
UNFCCC. n.d. 11, Convention Bodies. Available from: . [20 April 2011]. UNFCCC. n.d. 15, Parties and Observers. Available from: . [20 April 2011] UNFCCC. n.d. 13, The Secretariat ‘Secretariat Staff Vision’. Available from: . [20 April 2011 2011]. UNFCCC n.d. 8, Secretariat Structure. Available from: . [20 April 2011]. UNFCCC. n.d. 4, The United Nations Framework Convention on Climate Change. Available from: . [20 April 2011]. UNFCCC. n.d. 6, Full Text of the Convention ‘Article 3: Principle’. Available from: . [18 April 2011] Erantis. 2009, Copenhagen 2009 ‘Climate Conference in Copenhagen 6-18 Desember 2009’. Available from: . [11 April 2011]. UNFCCC. n.d. 2, The Rio Conventions ‘Climate change, biodiversity, and desertification’. Available from: . [18 April 2011]. UNFCCC. n.d. 10, Ad Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action under the Convention (AWG-LCA). Available from: . [20 April 2011]. UNFCCC. n.d. 12, Kyoto Protocol Bodies. Available from: . [18 April 2011].
xviii
UNFCCC. n.d. 17, The United Nations Climate Change Conference in Copenhagen, 7-19 December 2009. Available from: . [18 April 2011]. UNFCCC. n.d. 16, Kyoto Protocol. Available from: . [18 April 2011] UNFCCC. n.d. 3, Status of Ratification of the Convention. Available from: . [18 April 2011] UNFCCC. n.d. 18, Copenhagen Accord. Available from: . [20 April 2011] Ashadi, M. 2010, Copenhagen, dalam Transaksi Penanganan Iklim. Available from: . [18 April 2011]. YD. 2009, Konferensi Perubahan Iklim Hasilkan Copenhagen Accord. Available from: . [18 April 2011]. CIA. 2011, The World Factbook. Available from: . [30 April 2011]. Chinesse Government’s Official Web Portal. 2006, Constitution. Available from: . [7 Juli 2011]. Forgaty, David. 2011. Reuters. Analisys : World divided on new plan to combat global warning. Available from: . [1 November 2011]. Xianzhi, Li. 2009, Chinese Premier’s Attendance at Copenhagen Summit Sends Hope, Confidence to World. Available from: . [23 Juni 2011]. Hadi, Syamsul. n.d., Makna ganda krisis global bagi China Ada gejala menguatnya proteksionisme AS. Available from: . [15 April 2011]. Zhidong, Li. 2003, Energy and Problems behind China’s High Economy Growth. Available from: . [24 September 2010]. Andersen, Morten. 2009, Copenhagen was more than accord. Available from: . [20 April 2011]. xix
Andersen, Morten. 2009, Obama: A binding deal is our goal. Available from: . [20 April 2011]. Yang, Fang. 2009, China tells climate change “hijack” critics to honor obligations. Available from: . [23 Juni 2011]. CRI. 2009, Tiongkok Akan Dorong Konferensi Copenhagen Capai Hasil Akhir. Available from:. [10 April 2011]. Rapp, Schwagerl, & Traufetter. 2010, The Copenhagen Protocol ‘How China and India Sabotaged the UN Climate Summit’. Available from: . [20 April 2011]. Seminar: Jiabao, Wen. 2011. Strengthen Good-Neighborly Relations and Deepen Mutually Beneficial Cooperation. Balai Kartini. Jakarta.
xx
Lampiran I
The Conference of the Parties, Takes note of the Copenhagen Accord of 18 December 2009. Copenhagen Accord The Heads of State, Heads of Government, Ministers, and other heads of the following delegations present at the United Nations Climate Change Conference 2009 in Copenhagen: Albania, Algeria, Armenia, Australia, Austria, Bahamas, Bangladesh, Belarus, Belgium, Benin, Bhutan, Bosnia and Herzegovina, Botswana, Brazil, Bulgaria, Burkina Faso, Cambodia, Canada, Central African Republic, Chile, China, Colombia, Congo, Costa Rica, Côte d’Ivoire, Croatia, Cyprus, Czech Republic, Democratic Republic of the Congo, Denmark, Djibouti, Eritrea, Estonia, Ethiopia, European Union, Fiji, Finland, France, Gabon, Georgia, Germany, Ghana, Greece, Guatemala, Guinea, Guyana, Hungary, Iceland, India, Indonesia, Ireland, Israel, Italy, Japan, Jordan, Kazakhstan, Kiribati, Lao People’s Democratic Republic, Latvia, Lesotho, Liechtenstein, Lithuania, Luxembourg, Madagascar, Malawi, Maldives, Mali, Malta, Marshall Islands, Mauritania, Mexico, Monaco, Mongolia, Montenegro, Morocco, Namibia, Nepal, Netherlands, New Zealand, Norway, Palau, Panama, Papua New Guinea, Peru, Poland, Portugal, Republic of Korea, Republic of Moldova, Romania, Russian Federation, Rwanda, Samoa, San Marino, Senegal, Serbia, Sierra Leone, Singapore, Slovakia, Slovenia, South Africa, Spain, Swaziland, Sweden, Switzerland, the former Yugoslav Republic of Macedonia, Tonga, Trinidad and Tobago, Tunisia, United Arab Emirates, United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland, United Republic of Tanzania, United States of America, Uruguay and Zambia. In pursuit of the ultimate objective of the Convention as stated in its Article 2, Being guided by the principles and provisions of the Convention, Noting the results of work done by the two Ad hoc Working Groups, Endorsing decision 1/CP.15 on the Ad hoc Working Group on Long-term Cooperative Action and decision 1/CMP.5 that requests the Ad hoc Working Group on Further Commitments of Annex I Parties under the Kyoto Protocol to continue its work. Have agreed on this Copenhagen Accord which is operational immediately. 1. We underline that climate change is one of the greatest challenges of our time. We emphasise our strong political will to urgently combat climate change in accordance with the principle of common but differentiated responsibilities and
respective capabilities. To achieve the ultimate objective of the Convention to stabilize greenhouse gas concentration in the atmosphere at a level that would prevent dangerous anthropogenic interference with the climate system, we shall, recognizing the scientific view that the increase in global temperature should be below 2 degrees Celsius, on the basis of equity and in the context of sustainable development, enhance our long-term cooperative action to combat climate change. We recognize the critical impacts of climate change and the potential impacts of response measures on countries particularly vulnerable to its adverse effects and stress the need to establish a comprehensive adaptation program including international support. 2. We agree that deep cuts in global emissions are required according to science, and as documented by the IPCC Fourth Assessment Report with a view to reduce global emissions so as to hold the increase in global temperature below 2 degrees Celsius, and take action to meet this objective consistent with science and on the basis of equity. We should cooperate in achieving the peaking of global and national emissions as soon as possible, recognizing that the time frame for peaking will be longer in developing countries and bearing in mind that social and economic development and poverty eradication are the first and overriding priorities of developing countries and that a low-emission development strategy is indispensable to sustainable development. 3. Adaptation to the adverse effects of climate change and the potential impacts of response measures is a challenge faced by all countries. Enhanced action and international cooperation on adaptation is urgently required to ensure the implementation of the Convention by enabling and supporting the implementation of adaptation actions aimed at reducing vulnerability and building resilience in developing countries, especially in those that are particularly vulnerable, especially least developed countries, small island developing States and Africa. We agree that developed countries shall provide adequate, predictable and sustainable financial resources, technology and capacity-building to support the implementation of adaptation action in developing countries. 4. Annex I Parties commit to implement individually or jointly the quantified economy wide emissions targets for 2020, to be submitted in the format given in Appendix I by Annex I Parties to the secretariat by 31 January 2010 for compilation in an INF document. Annex I Parties that are Party to the Kyoto Protocol will thereby further strengthen the emissions reductions initiated by the Kyoto Protocol. Delivery of reductions and financing by developed countries will be measured, reported and verified in accordance with existing and any further guidelines adopted by the Conference of the Parties, and will ensure that accounting of such targets and finance is rigorous, robust and transparent.
xvi
5. Non-Annex I Parties to the Convention will implement mitigation actions, including those to be submitted to the secretariat by non-Annex I Parties in the format given in Appendix II by 31 January 2010, for compilation in an INF document, consistent with Article 4.1 and Article 4.7 and in the context of sustainable development. Least developed countries and small island developing States may undertake actions voluntarily and on the basis of support. Mitigation actions subsequently taken and envisaged by Non-Annex I Parties, including national inventory reports, shall be communicated through national communications consistent with Article 12.1(b) every two years on the basis of guidelines to be adopted by the Conference of the Parties. Those mitigation actions in national communications or otherwise communicated to the Secretariat will be added to the list in appendix II. Mitigation actions taken by Non-Annex I Parties will be subject to their domestic measurement, reporting and verification the result of which will be reported through their national communications every two years. Non-Annex I Parties will communicate information on the implementation of their actions through National Communications, with provisions for international consultations and analysis under clearly defined guidelines that will ensure that national sovereignty is respected. Nationally appropriate mitigation actions seeking international support will be recorded in a registry along with relevant technology, finance and capacity building support. Those actions supported will be added to the list in appendix II. These supported nationally appropriate mitigation actions will be subject to international measurement, reporting and verification in accordance with guidelines adopted by the Conference of the Parties. 6. We recognize the crucial role of reducing emission from deforestation and forest degradation and the need to enhance removals of greenhouse gas emission by forests and agree on the need to provide positive incentives to such actions through the immediate establishment of a mechanism including REDD-plus, to enable the mobilization of financial resources from developed countries. 7. We decide to pursue various approaches, including opportunities to use markets, to enhance the cost-effectiveness of, and to promote mitigation actions. Developing countries, especially those with low emitting economies should be provided incentives to continue to develop on a low emission pathway. 8. Scaled up, new and additional, predictable and adequate funding as well as improved access shall be provided to developing countries, in accordance with the relevant provisions of the Convention, to enable and support enhanced action on mitigation, including substantial finance to reduce emissions from deforestation and forest degradation (REDD-plus), adaptation, technology development and transfer and capacity-building, for enhanced implementation of the Convention. The collective commitment by developed countries is to provide new and additional resources, including forestry and
xvii
investments through international institutions, approaching USD 30 billion for the period 2010–2012 with balanced allocation between adaptation and mitigation. Funding for adaptation will be prioritized for the most vulnerable developing countries, such as the least developed countries, small island developing States and Africa. In the context of meaningful mitigation actions and transparency on implementation, developed countries commit to a goal of mobilizing jointly USD 100 billion dollars a year by 2020 to address the needs of developing countries. This funding will come from a wide variety of sources, public and private, bilateral and multilateral, including alternative sources of finance. New multilateral funding for adaptation will be delivered through effective and efficient fund arrangements, with a governance structure providing for equal representation of developed and developing countries. A significant portion of such funding should flow through the Copenhagen Green Climate Fund. 9. To this end, a High Level Panel will be established under the guidance of and accountable to the Conference of the Parties to study the contribution of the potential sources of revenue, including alternative sources of finance, towards meeting this goal. 10. We decide that the Copenhagen Green Climate Fund shall be established as an operating entity of the financial mechanism of the Convention to support projects, program, policies and other activities in developing countries related to mitigation including REDD-plus, adaptation, capacity building, technology development and transfer. 11. In order to enhance action on development and transfer of technology we decide to establish a Technology Mechanism to accelerate technology development and transfer in support of action on adaptation and mitigation that will be guided by a country-driven approach and be based on national circumstances and priorities. 12. We call for an assessment of the implementation of this Accord to be completed by 2015, including in light of the Convention’s ultimate objective. This would include consideration of strengthening the long-term goal referencing various matters presented by the science, including in relation to temperature rises of 1.5 degrees Celsius.
xviii
Lampiran II
Strengthen Good-Neighborly Relations and Deepen Mutually Beneficial Cooperation Speech by Premier Wen Jiabao at Balai Kartini Jakarta, April 30, 2011 Foreign Minister Marty Natalegawa Your Excellencies Diplomatic Envoys, Young Friends, Ladies and Gentlemen, Good morning. I attach great importance to this speech. I began to prepare it almost a year ago. I want to let you know the domestic and foreign policies of China, the most populous country in the world, particularly its policies toward ASEAN. We in China know full well that only innovation can ensure the continuous progress of a nation, only openness and inclusiveness can bring prosperity to a nation, and only commitment to the path of peaceful development can enable us to achieve the goal of building a strong, democratic, harmonious and culturally advanced modern country. I am being truthful in introducing some basic views concerning China's domestic and foreign policies. Every sentence of mine is truthful, because only truthfulness can move people. I believe I can give a good speech, which will not let you down. It gives me great pleasure to visit Indonesia, the beautiful country of thousand islands. I want to thank the Indonesian Council on World Affairs for its kindness in arranging this event. Let me first of all extend, on behalf of the Chinese people, warm greetings to the people of Indonesia, and sincere thanks to friends from all sectors who have long been committed to the friendship between our two countries. Indonesia is a big developing country full of vigor and promise. Over the past few years, under the leadership of President Susilo Bambang Yudhoyono, the Indonesian people have engaged in a tremendous endeavor to develop their country. They emerged from the natural disasters stronger and tackled the international financial crisis with effective measures. I see in Indonesia a prospering country enjoying faster economic growth, sustained social stability, and greater harmony among ethnic groups. As an important member of ASEAN and the G20, Indonesia is playing a bigger role in regional and international affairs. I wish to take this opportunity to extend warm congratulations on your remarkable achievements. Both China and Indonesia boast a long and splendid culture. The Borobudur in Yogyakarta and the Great Wall in China are both miracles of ancient Oriental civilizations. Eminent Buddhist monks in ancient China such as Faxian, Huining and Yijing lived and studied in Java and Sumatra. Six hundred years ago, the great Chinese Muslim navigator Zheng He helped build several mosques in places like Jakarta. Today, people in Semarang are still
xix
telling stories of how Zheng He, who visited the place during his voyages to the Western Seas, made friends with the local people. In modern times, people of our two nations sympathized with and supported each other during the hard struggles for national independence and forged a strong bond of friendship. As one of the first countries to establish diplomatic relations with the People's Republic of China, Indonesia helped New China break the trade embargo imposed by the West. The Chinese people will never forget those episodes. Entering the new century, our two countries have enjoyed frequent high-level exchanges, deepening political mutual trust and fast growing business cooperation. The establishment of the strategic partnership in 2005 brought our bilateral relations to a new stage. Last year, two-way trade approached 43 billion U.S. dollars, making China one of Indonesia's major trading partners and export markets. In the face of the severe international financial crisis, our two countries worked together to tide over difficulties. We signed a bilateral currency swap agreement worth 100 billion RMB yuan and played a positive role in maintaining regional financial stability. Our two sides have maintained close communication and coordination in international affairs, which has enhanced the influence of developing countries. It is worth mentioning in particular that when major natural disasters truck, peoples of our two countries shared each other's pain and stood together to counter difficulty. For instance, in the wake of the earthquake in Wenchuan, China in 2008, Indonesia sent a medical team to the affected area. An 80-year-old village chief in Aceh traveled more than 2,000 km to deliver donations from his village to the Chinese Embassy in Jakarta. Likewise, when Indonesia was hit by an earthquake and tsunami in 2004, the Chinese international rescue team hastened to the disaster area. This fully shows that China and Indonesia are good neighbors and good brothers. My visit this time is a journey of friendship and cooperation. It is also aimed at planning for the future. Yesterday, I had comprehensive and in-depth talks with President Yudhoyono. We reached important agreement and decided to further strengthen ChinaIndonesia strategic partnership. The two sides released a joint communique and signed several inter-governmental cooperation documents. President Yudhoyono and I set the new target of raising two-day trade to 80 billion U.S. dollars by 2015. Later today, the two sides will sign economic and trade agreements worth about 10 billion U.S. dollars. The Chinese side announced the decision to provide 1 billion U.S. dollars of preferential export buyer's credit and 8 billion U.S. dollars of credit line to support Indonesia in developing its infrastructure and priority industries. We decided to step up cooperation in mineral resources and clean energy and expand collaboration on maritime research and fishery. Indonesia plays an important role in affairs related to the Malacca Strait. China will enhance coordination with Indonesia and provide support in this regard. The aforementioned projects, agreed amidst the continuing impact of the international financial crisis, are bound to lend strong impetus to our endeavors to sustain the good economic momentum and deepen mutually beneficial cooperation. They will raise our strategic partnership to a new high. Being in Indonesia, I would be remiss if I did not mention the Bandung spirit. On my flight to Jakarta, I could not help but recall that during my visit to Indonesia 16 years ago,
xx
I made a special trip to the venues of the Bandung Conference to pay my respects. In 1955, Premier Zhou Enlai, on behalf of the new People's Republic, came to Indonesia in defiance of danger and difficulty, and initiated, together with leaders of other Asian and African countries, the Bandung spirit, a spirit that is still highly relevant today. The Bandung Conference left us a most valuable legacy. Seeking common ground while shelving differences and embracing peaceful coexistence are the core of the Bandung spirit and they remain the guiding principle for handling state-to-state relations today. We must hold dear and carry forward the ever-lasting Bandung spirit. Ladies and Gentlemen, Indonesia, being the largest country in ASEAN, has played a key role at many defining moments in ASEAN's development and made outstanding contribution to a stronger ASEAN through unity. As ASEAN's good partner, China highly commends Indonesia's efforts and rejoices at ASEAN's achievements. All-round East Asian cooperation came into being in the wake of the Asian financial crisis in 1997. Today, in the face of the international financial crisis, China and ASEAN will further strengthen their relations, setting yet another example of mutual assistance and cooperation between developing countries. Under the principles of consensus, responsibility sharing and non-interference, ASEAN has promoted regional political stability, economic growth, and social progress in the ASEAN way. This is in keeping with the trend of peace, development, and cooperation of our time. It is a successful approach with has had an important and positive impact internationally. The ASEAN Charter has set the goal of establishing the ASEAN Political-Security Community, Economic Community and Socio-Cultural Community by 2015. We have every confidence that ASEAN will enjoy greater cohesion, influence and competitiveness and we look forward to the day when the goal becomes a reality. China has all along supported a stronger ASEAN through unity. We highly value and have worked actively to promote our relations with ASEAN. China was the first country to establish the strategic partnership for peace and prosperity with ASEAN and the first big country outside the region to accede to the Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia. We were also the first country to launch the FTA negotiation with ASEAN, and together, we have put in place the largest FTA among developing countries. All these endeavors accord with the trend of economic globalization and regional integration. They serve the interests of all ASEAN countries and China. At the 7th China-ASEAN summit held in Bali in 2003, I stated China's commitment to a policy of securing an amicable, tranquil and prosperous neighborhood. Eight years on, people can see that China has kept its word. And China will remain committed to this policy no matter what changes may take place in the international landscape. China firmly supports ASEAN's leading role in regional cooperation. Over the years, ASEAN has developed its principles and practices of regional cooperation in keeping with the realities of East Asia. These principles and practices have proved effective and mature and should and must be followed. The existing regional cooperation mechanisms in East Asia, including 10+1, 10+3 and the East Asia Summit, should always develop with the "10" or ASEAN in the driver's seat. East Asian cooperation will enjoy sound development
xxi
only if ASEAN continues to play its leading role. China's position on this issue is steadfast. China is committed to deepening practical cooperation with ASEAN. Last year, China became ASEAN's biggest trading partner. We launched the largest FTA among developing countries. And we have set the target of 500 billion U.S. dollars in two-way trade by 2015. The Chinese government will continue to increase imports of competitive products from Southeast Asian countries and encourage Chinese companies to invest in ASEAN countries with a view to expanding our common interests. In the next 10 years, we will speed up the realization of land transport connectivity between China and ASEAN countries and provide financial support to road, rail, communication, electricity and other infrastructure development in ASEAN countries through bilateral aid and loans, the ChinaASEAN Investment Cooperation Fund, commercial loans and other means. At the same time, we will, in the light of ASEAN's needs, increase input into maritime and air connectivity and take steady steps to promote facilitation and standardization of related areas in a bid to create better conditions for the free flow of goods, capital and information, people-to-people exchanges, and economic and social development in this region. Time will tell that the decision to set up the China-ASEAN FTA is one of strategic vision and will bring greater benefits to the businesses and people of both sides. China will actively promote cultural and people-to-people exchanges with ASEAN countries. People play an essential role in enhancing state-to-state relations and interactions between people are instrumental to strong friendship. This year is the Year of China-ASEAN Friendship and Exchange. Over 40 large events have been planned for the year and are being implemented, covering culture, education, tourism, journalism, youth and other areas. Among them, the "Experience China" event has been launched in Indonesia. ASEAN will feature prominently in the Asian Culture Festival to be held in China. The two sides have drawn up the plan to increase the numbers of Chinese students in ASEAN countries and ASEAN students in China to 100,000 respectively by 2020. The spectacular natural beauty and the rich folk culture of China and Southeast Asia are our unique assets for promoting mutual understanding and friendship between our people. At the China-ASEAN Summit last year, a target was announced to have 15 million mutual visits between the two sides by 2015. We need to further tap the potential of cooperation in education and tourism, and encourage more two-way flow of students and tourists so that our traditional friendship will win greater popular support and be passed on from generation to generation. China will continue to assist the less developed countries in ASEAN with no conditions attached. Due to historical reasons, some ASEAN members have yet to get rid of poverty. China will, as always, support their development endeavor and do what it can to help them. China's support and assistance are sincere and selfless with no strings attached. As an old Chinese saying goes, "It is better to teach one how to fish than simply give him a fish." China has learned from its own development that to shake off poverty and backwardness once and for all, a country must rely on well-trained professionals and science and technology. The Chinese government will increase input in capacity-building and human resources training to help the less developed ASEAN members gain faster progress towards their development goals.
xxii
China stands ready to work with ASEAN to maintain regional security and stability. History tells us that peace is a blessing while chaos a scourge. There is no denying that there are some disputes over territorial sovereignty and maritime rights and interests in this region. We need to adhere to the principle of good-neighborliness and equal consultation, and work tirelessly for proper solutions to these issues through bilateral channels. China disapproves of any attempt to play up or create tensions and make the issues bigger and more complicated. We are firmly against the use or threat of force. Over the years, China and ASEAN members have made important contributions to maintaining the security of and unfettered access to the international shipping lanes. These contributions have been widely recognized. China will continue to honor its due responsibilities and obligations. China wants to work more closely with ASEAN to tackle such non-traditional security threats as terrorism, transnational crimes, natural disasters and communicable diseases, and foster a peaceful and harmonious social environment. China supports efforts to steadily push forward East Asian cooperation and maintain its openness. Openness and transparency are the source of vitality of regional cooperation. East Asian cooperation has always been open and non-exclusive since its very beginning. In recent years, the East Asian region, including ASEAN, has become the most dynamic and fastest-growing region, with rising status and influence on the world economic stage. To involve countries and regions outside the region in East Asian cooperation is a natural choice that conforms to the trend of economic globalization. China welcomes all the proposals that are conducive to regional stability and development, and supports the participation of the United States, Russia, the European Union and other countries and organizations in the East Asian cooperation process. It is important to note that the independence and diversity of East Asia must be respected. And in advancing East Asian cooperation, we should follow a step-by-step approach. We should start with the easier tasks before moving on to the more difficult ones. The priority now is to bring into full play the role of the existing cooperation frameworks, including 10+1, 10+3, and China, Japan and the Republic of Korea, and at the same time explore other cooperation models consistent with the characteristics of the region. Ladies and Gentlemen, Over the past 60 years since the founding of New China, particularly since reform and opening-up, China's economy has grown fast, the Chinese people's livelihood has improved significantly, and China's international standing has risen steadily. Yet China remains a developing country. There is no change of this basic feature about China. Nor is there any change in China's commitment to an independent foreign policy of peace, and to good-neighborliness and cooperation with ASEAN countries. How do we Chinese see ourselves? And how do we view our relations with the world? I want to say we are both confident and clear-headed. We are confident about the development path we have chosen and about our future. We are clear-headed because we know full well the difficulties and risks we face. True, China's economic aggregates are growing year by year, yet when divided by 1.3 billion, they only ranked around 100th in the world. Much remains to be done if China is to meet the goal of building a moderately prosperous society in all respects. We still have a long way to go before we can achieve modernization.
xxiii
Lao Tzu, the Great ancient Chinese thinker, once observed in his well-known work, the Tao Te Ching, "He who knows others is intelligent; He who knows himself is wise." I am now in my ninth year as Chinese Premier. I am heartened by the development and progress of my motherland. Yet at the same time, I often find it difficult to eat or sleep with ease as I have to think long and hard about the ways to counter the various difficulties and challenges facing China. It is true that some regions and some people in China have become rich. But there are still those who have not come out of poverty and face pressing difficulties in education, medical care and social security. We have encountered all the difficulties that many other countries came across in their industrialization and urbanization process. We have even run into challenges that others never experienced. We cannot afford to slacken our efforts in the slightest if we are to live up the people's trust and expectations. We must be receptive to the good experience of other countries. More importantly, we must make bold experiment and exploration in keeping with China's national conditions. To advance national development and meet the needs of the 1.3 billion people represent hefty responsibilities on our shoulders and call for long and arduous efforts. China has no reason whatsoever to be complacent. With a cultural heritage running several thousand years, the Chinese nation values peace and more than anything else. We keep good faith, build amicable ties, and treat others with respect. The ancient Silk Road was used to transport exquisite textiles, tea and porcelain to faraway countries. And Zheng He did not take a single inch of foreign land on his seven voyages to the Western seas. China cannot develop itself in isolation form the world. Nor can the world achieve prosperity without China. The Chinese people cherish their friendship and cooperation with other countries and peoples, and value even more deeply their hard-won independence. I believe this is a shared feeling among people in Southeast Asia and in China. China's development will not stand in the way of any country, nor will it ever pose a threat to any country. China is firmly committed to an independent foreign policy of peace and will always pursue peaceful development for generations to come. Ladies and Gentlemen, As an Indonesian proverb reads, "jauh di mata, dekat di hati (Though living far, it is close to my heart)." The Chinese people cherish beautiful impression of indonesia. They are enchanted by its unique island landscape, diverse culture, and exotic atmosphere. Half a century ago, China, Indonesia and many other newly independent Asian countries came onto the international political stage, announcing the birth of an new Asia. Today, we are witnessing the all-round rise of Asia and a great rejuvenation of the Oriental Civilization. The dream of our forefathers for a thriving Asia is coming true in our time. And China and Indonesia are important force driving in this epoch-making change. Similar historical experiences brought us together, and a shared historical mission will link us even more closely. Let us join hands to strengthen our good-neighborly relationship, deepen comprehensive cooperation, create a bright future, and usher in an Asian century. Terima Kasih. (Thank you.)
xxiv
Lampiran III Hasil Wawancara dengan Rendra Kurnia, Unit Mitigasi dan Pelestarian Fungsi Atmosfer, Kementerian Lingkungan Hidup di Jakarta, 19 April 2011.
Penulis : Apa saja yang terjadi pada saat pelaksanaan konferensi perubahan iklim ke-limabelas (COP-15) di Copenhagen tahun 2009? Rendra : Pada saat pelaksanaan konferensi perubahan iklim ke-lima belas (COP15) di Copenhagen tahun 2009 terjadi perdebatan antar negara anggota terjadi perdebatan yang cukup alot dan saat itu juga terjadi jalan buntu (dead lock). Penulis : Mengapa bisa sampai terjadi jalan buntu (dead lock)? Rendra : Jalan buntu (dead lock) terjadi karena antara The Ad Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action under the Convention (AWGLCA) yang membahas konvensi yang merupakan komitmen pertama dalam UNFCCC dengan The Ad Hoc Working Group on Futher Commitment for Annex I Parties under the Kyoto Protocol (AWG-KP) yang membahas Protokol Kyoto yang merupakan komitmen kedua pada konvensi UNFCCC, keduanya mencapai kesepakatan. Kesepakatan keduanya sangat dibutuhkan untuk membuat suatu komitmen baru bagi negara-negara anggota UNFCCC. Penulis : Setelah tidak tercapainya kesepakatan antara AWG-LCA dengan AWGKP, lalu apa yang terjadi? Rendra : Setelah itu, Amerika Serikat mengadakan pertemuan dengan beberapa perwakilan negara anggota UNFCCC untuk membentuk Copenhagen Accord. Pertemuan tersebut dinamakan green room. Namun, pertemuan tersebut hanya membahas kontribusi seluruh negara anggota UNFCCC dalam meningkatkan energi efisien sebesar 30 persen, dan bukannya mereduksi emisi.
xxv