KOMUNIKASI ANTARA MASYARAKAT MUSLIM DENGAN MASYARAKAT NON-MUSLIM DALAM KONTEKS TOLERANSI BERAGAMA PADA BULAN RAMADHAN DI KELURAHAN PARAPAT, SUMATERA UTARA SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Disusun Oleh: Ratih Pratiwi NIM: 1112051000016
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H/ 2016 M
ABSTRAK Nama : Ratih Pratiwi NIM : 1112051000016 Judul : Komunikasi Antara Masyarakat Muslim dengan Masyarakat Batak non-Muslim dalam konteks Toleransi Beragama pada bulan Ramadhan di Kelurahan Parapat, Sumatera Utara Manusia tidak akan lepas dari komunikasi antar pribadi dan antar kelompok dengan berbagai latar belakang budaya dan agama. Jika komunikasi di antara mereka berlangsung tidak efektif maka akan terjadi konflik di antara kelompok masyarakat itu. Agar tidak terjadi konflik di antara mereka maka diperlukan sikap toleransi beragama. Di kelurahan Parapat masyarakat Muslim adalah kelompok minoritas dan masyarakat non-Muslim adalah kelompok mayoritas. Pada bulan Ramadhan belum pernah terjadi konflik di antara mereka walaupun terdapat banyak perbedaan di antara mereka. Berdasarkan konteks diatas, maka tujuan tulisan ini adalah menjawab pertanyaan. Adapun pertanyaannya adalah, Bagaimana pola komunikasi yang terjadi antara masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim di kelurahan Parapat dalam konteks toleransi beragama di bulan Ramadhan? Bagaimana toleransi beragama di antara kedua kelompok? Apa saja faktor pendukung dan penghambat terjadinya komunikasi antara masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim di kelurahan Parapat dalam konteks toleransi beragama di bulan Ramadhan? Sikap Empatik adalah salah satu elemen penting dalam komunikasi. Komunikasi empatik akan efektif bila memiliki pengertian dan perhatian antara komunikator dan komunikan. Empati memberikan kekuatan untuk mengubah kondisi-kondisi negatif ketika seseorang berusaha meningkatkan interaksi dengan orang lain. Empati memungkinkan untuk memahami secara emosional dan intelektual mengenai sesuatu yang dialami orang lain. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan deskriptif. Teknik pengumpulan datanya dengan teknik wawancara, observasi dan dokumentasi. Sedangkan teknik analisis datanya menggunakan teknik etnografi. Pola komunikasi yang terjadi di antara masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim di kelurahan Parapat adalah pola komunikasi pribadi dan pola komunikasi kelompok. Toleransi beragama yang ditunjukkan masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim sangat baik karena mereka saling menghargai satu sama lain dan tidak mengganggu ibadah masing-masing agama. Karena toleransi beragama yang baik sehingga tidak pernah terjadi konflik di antara kedua kelompok masyarakat itu di bulan Ramadhan bahkan mereka saling menjaga keamanan satu sama lain. Adapun faktor pendukung komunikasi diantara masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim adalah rasa kebersamaan, rasa saling menghargai satu sama lain, sikap gotong royong, imitasi, rasa simpati dan sikap kekeluargaan. Adapun faktor penghambat terjadinya komunikasi di antara masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim adalah adanya sikap stereotipe dan prasangka sosial. Kata Kunci: Komunikasi, Toleransi Beragama, Empati, Ramadhan, Konflik.
i
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim Syukur Alhamdulilah, segala puja-puji bagi Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya serta nikmat kesehatan yang diberikan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul “KOMUNIKASI
ANTARA
MASYARAKAT
NON-MUSLIM
MASYARAKAT DALAM
MUSLIM
KONTEKS
DENGAN TOLERANSI
BERAGAMA DI KELURAHAN PARAPAT, SUMATERA UTARA”. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada Baginda Nabi Besar Muhammad SAW serta keluarganya, sahabat dan para pengikutnya hingga akhir zaman. Penelitian ini bukan semata-mata hasil karya penulis sendiri, tetapi juga merupakan hasil serta bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Penulis juga merasa bahwa dalam skripsi ini terdapat banyak kekurangan, terutama disebabkan karena keterbatasan penulis sebagai manusia, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Selanjutnya tidak lupa penulis haturkan terima kasih kepada semua pihak atas segala bimbingan dan bantuannya, semoga amal baik tersebut mendapatkan balasan dari Allah SWT. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Kedua orang tua penulis yang penulis sayangi dan hormati, terima kasih telah merawat dan mengajarkan hal-hal yang positif kepada penulis serta motivasi baik berupa moril dan material dan juga atas doa yang dipanjatkan untuk penulis. Kedua adikku M. Haro Baskoro dan Mira Praptiningsih yang selalu menjadi penyemangat dan pengingat skripsi ini,
ii
dan juga buat semua keluarga penulis yang selalu menyemangati dan mendoakan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 2. Dr. H. Arief Subhan, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Dr. Suparto, M.Ed, Ph.D selaku wakil Dekan I Bidang Akademik, Dr. Hj. Roudhonah, M.Ag selaku wakil Dekan II Bidang Administrasi Umum, serta Dr. Suhaimi, M.Si selaku Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan. 3. Drs. Masran, MA dan Fita Fathurokhmah, M.Si selaku Ketua dan Sekretaris jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam. 4. Prof. Dr. M. Yunan Yusuf selaku Dosen Pembimbing Akademik. 5. Ade Masturi
selaku Dosen Pembimbing Skripsi
yang bersedia
membimbing dan telah banyak memberi masukan serta saran selama penulisan skripsi saya. 6. Bapak Parningotan Girsang selaku lurah kelurahan Parapat beserta staff kelurahan Parapat yang telah membantu penulis dalam memberikan datadata penelitian skripsi ini. 7. Ustadz Suadji selaku pemuka agama di kelurahan Parapat, Pdt Anggiat Hutahuruk sebagai Pendeta di gereja HKBP Parapat, Bapak Sumari selaku ketua kenaziran mesjid Raya Taqwa Parapat, Bapak H. Maimun selaku ketua MUI kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Bapak Jan Warisman Damanik selaku pimpinan Gereja GKPS Parapat dan Bapak Ramsion Barutu selaku pengurus gereja Katolik Parapat yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan informasi kepada penulis.
iii
8. Kepada masyarakat kelurahan Parapat yang secara langsung dan tidak langsung sudah menjadi objek penulisan skripsi ini. Kepada mereka yang sudah memberi informasi mengenai permasalahan dalam skripsi ini. 9. Segenap Bapak/ Ibu Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, terima kasih telah mengajari dan memberikan ilmu kepada penulis, dan saya ucapkan mohon maaf apabila dalam proses perkuliahan, ada sikap atau sifat penulis yang kurang berkenan di hati Bapak/ Ibu, penulis sangat harapkan doa dari Bapak/ Ibu, semoga ilmu yang telah Bapak/ Ibu berikan menuai banyak keberkahan. 10. Seluruh kayawan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi serta pengelola perpustakaan Fakultas dan perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, terima kasih atas layanannya, semoga pelayanan kepada mahasiswa menjadi lebih baik lagi kedepannya. 11. Teman-teman KKN Mahatma, Zaky, Dea, Afni, Imam, Bahri, Roni, Tian, Alif, Julham yang selalu memberi semangat dan mendoakan penulis dalam penulisan skripsi ini. 12. Teman-teman kelas KPI A, sahabat penyemangat dalam menyelesaikan penelitian ini Aisyah, Rohima, Mia, Nisa, Faizah, Ajeng, Dani, Kiki, Ricca, Akbar, Mamat, Tiwi, Nunu, Wiwi, Diana, Ami, dan lain-lain terima kasih atas segalanya. 13. Semua pihak yang telah terlibat secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, namun tidak mengurangi rasa hormat saya. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan dan keikhlasan yang diberikan kepada penulis.
iv
Dengan segala kekurangan dan keterbatasan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, semoga segala apa yang telah penulis lakukan dan hasilkan dapat membuahkan manfaat serta memberikan nilai kebaikan terkhususnya bagi para penulis maupun pembaca sekalian. Dan semoga dapat menjadi suatu amalan kebaikan dalam bidang dakwah di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, 19 September 2016
Ratih Pratiwi
v
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari mungkin sadar atau tidak telah melakukan komunikasi dengan orang yang berbeda ras, etnik, kelompok dan budaya dengannya, karena berkomunikasi adalah salah satu hal yang selalu di lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Manusia tidak bisa lepas dari yang namanya komunikasi. Bahkan dengan orang yang berbeda budaya dan agama dengannya sekalipun. Dalam kehidupan sehari-hari, tidak peduli dimana berada, selalu berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang-orang tertentu yang berasal dari kelompok ras, etnik atau budaya lain. Berinteraksi atau berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda kebudayaan, merupakan pengalaman baru yang selalu dihadapi.1 Manusia adalah makhluk sosial yang akan selalu berinteraksi dengan lingkungannya. Karena manusia saling membutuhkan satu sama lainnya guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Manusia tidak akan lepas dari komunikasi antar pribadi dan antar kelompok dengan berbagai latar belakang budaya yang ada. Begitu pula dengan orang yang memiliki latar belakang agama yang berbeda. Dalam kehidupan di masyarakat pasti sering ditemui orang yang bertetangga adalah orang yang berbeda agama dan mereka melakukan interaksi sosial dengan cara berkomunikasi. 1
Alo Liliweri, Dasar-dasar Komunikasi Antarbudaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007),h. 5.
1
2
Hubungan individu atau kelompok dari lingkungan kebudayaan yang berbeda akan mempengaruhi pola komunikasi, karena perbedaan budaya yang memiliki sistem-sistem nilai yang berbeda dan karenanya ikut menentukan tujuan hidup yang berbeda.2 Jika komunikasi yang berlangsung tidak efektif maka yang terjadi adalah timbul pertikaian atau konflik antara dua budaya yang berbeda. Komunikasi yang tidak efektif ini kerap kali terjadi jika tidak ada kesamaan persepsi tentang pesan yang disampaikan. Dalam komunikasi antar budaya dan agama hambatan yang sering muncul adalah dikarenakan perbedaan bahasa, norma dan adat kebiasaan yang dijadikan pedoman dalam melakukan interaksi dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu peran komunikasi dalam mengurangi terjadinya perbedaan makna sangat penting. Agar dapat menciptakan hubungan yang harmonis di dalam masyarakat dan bisa terwujud kesadaran bahwa masyarakat yang berbeda budaya ini tetaplah masih dalam wilayah kesatuan Negara Indonesia, serta dapat menghormati dan menghargai perbedaan tersebut. Ketika berkomunikasi dengan orang lain, dihadapkan dengan bahasa-bahasa, aturan-aturan dan nilai-nilai yang berbeda. Sulit bagi seseorang untuk memahami komunikasi mereka bila sangat etnosentrik. Menurut Summer dalam Mulyana etnosentrik adalah “memandang segala sesuatu dalam kelompok sendiri sebagai pusat segala sesuatu itu dan hal-hal lainnya diukur dan dinilai berdasarkan rujukan kelompoknya.” Pandangan-pandangan etnosentrik itu antara lain berbentuk
2
Dedy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi antar Budaya, (Bandung: PT Remaja Rosadakarya,2005), h. vi.
3
stereotipe yaitu suatu generalisasi atas sekelompok orang, objek atau peristiwa secara luas dianut suatu budaya. Ini tidak berarti bahwa stereotipe salah. Ada setitik kebenaran dalam stereotipe dalam arti bahwa stereotipe cukup akurat sebagai informasi terbatas untuk menilai sekelompok orang yang hampir tidak di kenal. Namun bila di terapkannya kepada individu tertentu, kebanyakan stereotipe tidak tepat dan banyak keliru. Situasi-situasi yang memalukan bisa muncul bila bergantung pada streotipe ketimbang persepsi langsung.3 Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks, abstrak dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial masyarakat.4 Agama adalah merupakan bagian dari budaya. Hal yang menarik dari agama adalah bahwa hal-hal yang sakral telah mengikat orang bersama-sama dalam memelihara cara pandang budaya mereka selama ribuan tahun. Kaitan antara agama dan budaya adalah sangat jelas. Guruge dalam Larry Samover juga menyatakan hal yang sama ketika ia mengamati bahwa “agama dan peradaban saling bergandengan tangan dalam evolusi manusia sampai pada tahap yang tidak dapat disimpulkan seseorang dimana setara dan berdampingan.”5 Menurut Emile Durkheim agama adalah suatu sistem yang terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci. Di dunia ini umat manusia tidak hanya menganut satu agama tetapi banyak agama.
3
Dedy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi antar Budaya, h. viii. Dedy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi antar Budaya, h. 24. 5 Larry, A. Samovar, dkk., Komunikasi Lintas Budaya. Penerjemah Indri Margaretha Sidabalok (Jakarta: Salemba Humanika, 2010), h. 123-126. 4
4
Ada delapan agama terbesar di dunia menurut kitab suci mereka yaitu Kristen dengan populasi penduduk terbesar saat ini dengan 2,1 milliar pemeluknya di seluruh dunia terkonsentrasi di Eropa, Amerika, Australia dan Afrika Tengah dan Selatan. Yang kedua ada agama Islam dengan jumlah pemeluk sekitar 1,7 milliar dengan konsentrasi di Timur Tengah, Asia Tengah, Afrika Utara dan Asia Tenggara. Yang Ketiga ada agama Hindu dengan jumlah pemeluk sekitar 800 juta yang terbanyak di India, Asia Selatan dan Asia Tenggara. Yang keempat ada agama Budha dengan jumlah pemeluk 600 juta jiwa dengan konsentrasi di China, Tibet, Thailand dan Asia Selatan. Yang kelima ada agama Konghucu dengan jumlah pemeluk 100-150 juta jiwa dan berkembang pesat di China. Yang keenam ada Sikhism berkembang pesat di Pakistan dan India di sekitar wilayah Punjab, memiliki pengikut sebanyak 25 juta jiwa. Yang ketujuh agama Yahudi dengan terbesar di Israel, Amerika Utara dan Eropa dengan jumlah pengikut 15 juta jiwa. Yang terakhir ada Zoroaster yang berkembang 2500 tahun yang lalu di Persia, sekarang di Iran dan India dengan jumlah pengikut sebanyak 4 juta jiwa.6 Begitu pula di Indonesia menganut berbagai agama. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) dalam hasil sensus penduduk tahun 2010, pemeluk agama Islam pada tahun 2010 tercatat sebanyak 207,2 juta jiwa (87,18%), pemeluk agama Kristen Protestan sebanyak 16,5 juta jiwa (6,96%), pemeluk agama Kristen Katolik sebanyak 6,9 juta jiwa (2,9%), pemeluk agama Hindu sebanyak 4.012.116 juta jiwa (1,69%) dan pemeluk agama Budha sebanyak 1.703.254 juta jiwa
6
R Lord, 8 Agama Terbesar di Dunia, diakses pada tanggal 10 Juni 2016 pada pukul 08.00 dari https://sites.google.co./site/lordcomputert/unida/agama/8-agama-terbesar-di-dunia
5
(0,72%). Sementara itu, agama Khong Hu Cu sebagai agama termuda yang diakui oleh pemerintah Indonesia dianut sekitar 117,1 ribu jiwa (0,05%).7 Mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam tetapi di beberapa wilayah di Indonesia Islam menjadi agama yang minoritas seperti di Papua, Sulawesi Utara, NTT dan lainnya. Termasuk juga di provinsi Sumatera Utara yaitu di kecamatan Girsang Sipanganbolon agama Islam menjadi agama yang minoritas, sedangkan agama terbanyak adalah agama Protestan. Hal ini terlihat dari laporan kependudukan kecamatan Girsang Sipanganbolon, bahwa 993 orang beragama Islam, 9.187 orang beragama Protestan, 1.939 orang beragama Katolik dan 47 orang beragama Budha. Sementara itu di kelurahan Parapat terdapat 395 orang beragama Islam, 3.686 orang beragama Protestan, 810 orang beragama Katolik dan 34 orang beragama Budha.8 Tetapi kedua kelompok masyarakat yang berbeda ini sudah lama hidup berdampingan sehingga sudah terjalin komunikasi antara masyarakat Muslim dan masyarakat non-Muslim. Bahkan antara masyarakat Muslim dan non-Muslim di kelurahan Parapat belum pernah terjadi konflik yang menyebabkan kedua kelompok masyarakat ini saling bermusuhan.9 Hal ini tentunya dipengaruhi oleh banyak faktor seperti kepercayaan, perdagangan, aktivitas sehari-hari dan toleransi beragama. Toleransi
beragama
adalah
suatu
sikap
menghargai
dengan
sabar
menghormati keyakinan atau kepercayaan seseorang atau kelompok lain. Toleransi 7
Badan Pusat Statistik (BPS), Hasil Sensus Penduduk 2010: Kewarganegaraan, Suku, Bangsa, Agama dan Bahasa Sehari-Hari Penduduk Indonesia (Jakarta: BPS, 2010), h. 10. 8 Data Monografi Kecamatan Girsang Sipanganbolon Mei 2016. 9 Hasil Wawancara dengan Ustad Suadji sebagai Ustadz di kelurahan Parapat pada tanggal 13 Juni 2016
6
hendaknya dapat dimaknai sebagai suatu sikap untuk dapat hidup bersama dan berdampingan bersama dengan masyarakat penganut agama lainnya, dengan memiliki kebebasan untuk menjalankan prinsip-prinsip keagamaan masing-masing tanpa adanya paksaan atau tekanan.Apabila toleransi ini tidak dilakukan maka yang terjadi adalah timbulnya konflik di antara umat beragama. Seperti yang telah beberapa kali terjadi di Indonesia, beberapa contoh terjadinya konflik antar agama, seperti kasus Tolikara pada Juli 2015 lalu10 dan juga peristiwa Poso dari tahun 1998-2002.11 Tujuan toleransi beragama tentu untuk menghindari
perpecahan
antarumat
menciptakan perdamaian dan
beragama.
Al-qur’an
telah
jelas
memerintahkan hal tersebut dalam surah Asy-Syura ayat 13:
10
(Kasus ini adalah terjadinya pembakaran mesjid Baitul Muttaqin hari Jumat 17 Juli 2015 ketika warga Muslim sedang melaksanakan Shalat Ied pada pukul 07.00 WIT. Kasus ini bermula dari surat edaran tentang pelarangan bagi umat Islam melaksanakan Shalat Idul Fitri dikarenakan Sinode Gereja Injil Indonesia juga mengadakan pertemuan nasional yang mengahadirkan 2000 orang perwakilan daerah. Peristiwa ini menyebabkan satu orang meninggal dan puluhan lainnya terluka. Sumber: Joko Panji Sasongko, Kapolri Beberkan Kronologi Insiden Tolikara, CNN Indonesia 23-07-2015) 11 (Rangkaian peristiwa kerusuhan dan konflik di Poso mencapai puncaknya pada tahun 2000 dan 2002, tetapi sudah dimulai sejak akhir Desember 1998, di sekitar hari Natal dan bulan suci Ramadhan, lalu berkepanjangan secara bergelombang hingga tahun 2003. Konflik ini berawal dari masalah sepele, perkelahian antar pemuda yang kebetulan berbeda agama gara-gara minuman keras yang bercampur dengan persaingan dalam kampanye politik lokal lalu berkembang menjadi pertikaian antar agama antara lain dalam bentuk pemukiman dan rumah ibadah. Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, (Jakarta: Gunung Mulia, 2006), h. 538.
7
Artinya: Dia telah mensyari`atkan kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orangorang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama) Nya orang yang kembali (kepada-Nya). Selain larangan menghina kepercayaan orang lain, Islam juga menjelaskan hubungan yang harus dibangun seorang Muslim dengan masyarakat yang lain. Masyarakat Muslim bertanggung jawab untuk mengadopsi akhlak Nabi dan menjadi toleran serta adil kepada masyarakat lain. Termasuk percaya terhadap seluruh kitab suci ciptaanNya serta menghormati kepercayaan orang lain. Orang ini bisa jadi apa saja. Orang Budha, orang Yahudi, orang Kristen bahkan orang Atheis. Sikap-sikap jujur dan asil seperti itu akan menimbulkan dampak positif di hati mereka, tidak peduli apa atau siapa saja yang mereka percayai. Bahkan jika mereka tidak memiliki kepercayaan sekalipun. Hal ini akan membuat mereka merasa lebih dekat dengan Islam.12 Di kelurahan Parapat terdapat sekolah STT (Sekolah Tinggi Teologi) Trinity yang merupakan sekolah milik non-Muslim, setiap pagi dari hari senin sampai minggu dari pukul 06.00-07.00 WIB mereka memperdengarkan kajian mereka menggunakan pengeras suara sehingga suaranya kedengaran sampai ke rumahrumah warga kelurahan Parapat. Bahkan ketika bulan Ramadhan mereka tetap memperdengarkan kajian mereka tersebut. Sedangkan masyarakat Muslim memperdengarkan adzan memakai pengeras suara hanya shalat Subuh, Maghrib dan Isya saja sedangkan Zuhur dan Ashar tidak memperdengarkan Adzan 12
Harun Yahya, Keadilan dan Toleransi dalam Alqur’an, (Jakarta: Iqra Insan Press, 2004), h.44.
8
memakai pengeras suara. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar tidak terjadi konflik diantara masyarakat yang berbeda agama ini dikarenakan masyarakat Muslim adalah minoritas di kelurahan Parapat. Secara umum, kehidupan beragama antara masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim di kelurahan Parapat pada bulan Ramadhan terjalin dengan harmonis. Mereka saling menghargai satu sama lain, karena buat mereka kata “agamaku adalah buatku dan agamamu buatmu” itu dijalankan oleh mereka. Mereka tidak mengganggu agama orang lain yang berbeda dengan agamanya terutama pada bulan Ramadhan masyarakat non-Muslim menghargai dan menghormati ibadah yang dilakukan oleh masyarakat Muslim. Bahkan mereka saling menjaga satu sama lain agar tidak terjadi konflik diantara mereka. Adanya hubungan komunikasi yang terjalin antara masyarakat Muslim minoritas dan masyarakat Batak non-Muslim mendorong penulis untuk melihat secara jelas bagaimana gambaran secara jelas mengenai pola komunikasi, prasangka dan sterotipe yang muncul dan faktor pendukung dan penghambat serta melihat berbagai bentuk kegiatan yang menunjang terbentuknya hubungan tersebut. Untuk itu penulis mengambil judul skripsi ini dengan judul “Komunikasi Antara Masyarakat Muslim dengan Masyarakat Batak non-Muslim dalam konteks Toleransi Beragama pada bulan Ramadhan di Kelurahan Parapat, Sumatera Utara.”.
9
B. Pembatasan Masalah Agar penulisan skripsi/penelitian ini lebih terarah, penulis merasa perlu membuat pembatasan masalah .Adapun pembatasan masalah dalam penulisan skripsi/penelitian ini adalah pertama terkait masalah tempat penelitian yaitu penulis membatasi wilayah yang menjadi objek penelitian yaitu kelurahan Parapat kecamatan Girsang Sipanganbolon kabupaten Simalungun. Kedua terkait dengan fokus penelitiannya, penulis akan memfokuskan penelitian/skripsi ini pada toleransi beragama pada saat bulan Ramadhan oleh masyarakat Muslim di kelurahan Parapat. Ini dikarenakan karena di bulan Ramadhan itu biasanya syiar agama terdengar dengan jelas dan lebih menonjol dibandingkan bulan-bulan lainnya. Penelitian/skripsi ini melihat bagaimana toleransi beragama yang ditunjukkan masyarakat Muslim dan masyarakat non-Muslim di kelurahan Parapat pada bulan Ramadhan. C. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah pada penelitian ini adalah: 1. Bagaimana pola komunikasi yang terjadi antara masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim di kelurahan Parapat dalam konteks toleransi beragama di bulan Ramadhan? 2. Bagaimana toleransi beragama yang ditunjukkan kedua kelompok tersebut? 3. Apa saja faktor pendukung dan penghambat terjadinya komunikasi antara masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim di kelurahan Parapat dalam konteks toleransi beragama di bulan Ramadhan.
10
D. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui pola komunikasi yang terjadi antara masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim di kelurahan Parapat dalam konteks toleransi beragama di bulan Ramadhan. 2. Untuk mengetahui toleransi beragama yang ditunjukkan oleh kedua kelompok tersebut di kelurahan Parapat dalam konteks toleransi beragama pada bulan Ramadhan. 3. Untuk mengetahui faktor pendukung dan penghambat dalam komunikasi yang terjadi dalam masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim di kelurahan Parapat dalam konteks toleransi beragama di bulan Ramadhan. E. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan untuk penelitian selanjutnya, khususnya dalam kajian komunikasi antar agama dan budaya dan juga dalam konteks toleransi beragama. 2. Manfaat Praktis Memberikan masukan kepada masyarakat untuk mencegah terjadinya konflik, akibat kesalahpahaman cara pandang dalam memahami atau menafsirkan sebuah pesan yang digunakan oleh komunikator yang berbeda agama dan budaya.
11
F. Tinjauan Pustaka Penulis telah melakukan tinjauan pustaka sebelum menentukan judul penelitian ini. Tinjauan pustaka yang penulis lakukan adalah di perpustakaan yang terdapat di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi dan juga perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah Jakarta. Penulis juga mencari-cari judul yang berkaitan dengan penelitian yang akan penulis lakukan ini di Internet. Berdasarkan hasil observasi yang penulis lakukan, terdapat beberapa judul skripsi yang memiliki kesamaan, yaitu: Skripsi karya Muhammad Yusup Supandi pada tahun 2010 yang berjudul“ Komunikasi Antar Budaya (Studi pada Pola Komunikasi Etnis Arab dengan Masyarakat Pribumi di Kelurahan Empang Bogor).13 Subjek pada penelitian ini adalah etnis Arab dan masyarakat Pribumi yang maksudnya adalah masyarakat Sunda di kelurahan Empang Bogor. Objek pada penelitian ini adalah pola komunikasi antarbudaya. Subjek pada penelitian ini dan penelitian yang akan penulis lakukan berbeda sedangkan objek penelitiannya sedikit berbeda, pada skripsi ini objek pada penelitian yaitu mengenai pola komunikasi. Sedangkan objek penelitian yang penulis lakukan adalah pola komunikasi terkait dengan toleransi beragama pada bulan Ramadhan. Hasil dari penelitian ini adalah hubungan antara etnis Arab dengan masyarakat pribumi di Kelurahan Empang Kota Bogor berlangsung secara alamiah serta terjalin dengan baik. Faktor utama yang mempengaruhi terbentuknya pola 13
Muhammad Yusup Supandi, Komunikasi Antar Budaya (Studi pada Pola Komunikasi Etnis Arab dengan Masyarakat Pribumi di Kelurahan Empang Bogor), (Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negri Jakarta, 2010).
12
hubungan komunikasi etnis Arab dengan masyarakat Pribumi adalah adanya peran agama yang sama dan banyak kegiatan keagamaan yang sering dilakukan. Skripsi karya Muchammad Arief Sigit Muttaqien pada tahun 2009 yang berjudul “ Komunikasi Antar Budaya (Study Pada Pola Komunikasi Masyarakat Muhammadiyah dan NU di Desa Pringapus, Semarang, Jawa Tengah). 14 Subjek pada penelitian ini adalah masyarakat Muhammadiyah dan NU di desa Pringapus, Semarang, Jawa Tengah. Objek pada penelitian ini adalah pola dari komunikasi antara masyarakat Muhammadiyah dan masyarakat NU. Dalam penelitian ini memakai teori komunikasi organisasi. Dalam penelitian ini meneliti tentang dua organisasi besar Islam yang terdapat di desa Pringapus sedangkan pada penelitian yang penulis lakukan adalah dua kelompok masyarakat yang berbeda agama yaitu masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim. Pola komunikasi yang lebih di tonjolkan dalam penelitian ini adalah komunikasi organisasi dalam kontes komunikasi antarbudaya sedangkan pada penelitian yang akan penulis lakukan pola komunikasi yang akan diteliti adalah semua pola komunikasi yang terdapat dalam masyarakat kelurahan Parapat terkait dengan toleransi beragama pada bulan Ramadhan. Hasil
dari
penelitian
ini
adalah
komunikasi
antarbudaya
masyarakat
Muhammadiyah dengan masyarakat NU adalah pola komunikasi kelompok kecil dalam hal keagamaan. Tidak semua kegiatan keagamaan dapat menjadikan komunikasi yang terjadi antara masyarakat Muhammadiyah dengan masyarakat 14
Arief Sigit Muttaqien, Komunikasi Antar Budaya (Study Pada Pola Komunikasi Masyarakat Muhammadiyah dan NU di Desa Pringapus, Semarang, Jawa Tengah), (Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negri Jakarta, 2009).
13
NU berjalan efektif, hal ini disebabkan adanya perbedaan dalam pengalaman ibadah mereka dalam kehidupan sehari-hari. Skripsi karya Siti Aisyah pada tahun 2013 yang berjudul “Pola Komunikasi antar Umat Beragama (Studi Komunikasi Antarbudaya Tionghoa dengan Muslim Pribumi di RW 04 Kelurahan Mekarsari Tangerang).”
15
Subjek pada penelitian
ini adalah warga Tionghoa dan masyarakat Muslim pribumi yang tinggal di lingkungan RW 04 Kelurahan Mekarsari, kecamatan Neglasari kota Tangerang. Sedangkan objek penelitiannya adalah pola komunikasi yang terjadi pada etnis Tionghoa dan masyarakat Muslim pribumi dalam kajian komunikasi antarbudaya. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang penulis lakukan adalah kedua subjek pada penelitian ini berbeda dan juga objek pada penelitiannya sedikit berbeda karena pada penelitian ini fokusnya adalah hanya membahas pola komunikasi dalam komunikasi antarbudaya khususnya asimilasi, akulturasi dan enkulturasi sedangkan objek penelitian pada penelitian yang penulis lakukan adalah bukan hanya pola komunikasi saja yang dibahas tetapi juga toleransi beragama antara masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim di kelurahan Parapat. Hasil dari penelitian ini adalah pola komunikasi antara etnis Tionghoa dengan Muslim pribumi umumnya terdiri dari pola komunikasi antarpribadi dan kelompok. Dalam kedua pola komunikasi tersebut tidak terlepas dari proses akulturasi, asimilasi dan enkulturasi. 15
Siti Aisyah, Pola Komunikasi Antar Umat Beragama(Studi Komunikasi Antarbudaya Tionghoa dengan Muslim Pribumi di RW 04 Kelurahan Mekarsari Tangerang), (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negri Jakarta, 2013)
14
Skripsi karya Nurul Ain Kabarokan pada tahun 2014 yang berjudul “ Komunikasi Intra dan Antarbudaya masyarakat Muslim Kei di Kota Tual”.16 Subjek pada penelitian ini adalah masyarakat Muslim Kei dengan masyarakat nonMuslim Kei dan masyarakat non-Muslim Kei di kota Tual. Sedangkan objek penelitiannya adalah pola komunikasi yang terjadi pada masyarakat Muslim Kei dengan masyarakat non-Muslim Kei dalam kajian komunikasi intra dan antarbudaya. Penelitian ini dan penelitian yang penulis lakukan mempunyai perbedaan yaitu di subjek penelitiannya dan juga objek penelitiannya sedikit berbeda pada penelitian ini fokusnya adalah dalam kajian komunikasi intra dan antar budaya sedangkan pada penelitian yang penulis lakukan adalah dalam konteks toleransi beragama pada bulan Ramadhan tetapi memiliki persamaan yaitu membahas tentang komunikasi antarbudaya. Hasil dari penelitian ini adalah dalam kebudayaan masyarakat Kei, ditemukan bahwa terdapat nilai-nilai yang berharga untuk kehidupan bersama dan sesuai dengan ajaran-ajaran agama Islam. Nilai tersebut terungkap dalam hukum adat terttingginya yaitu hukum Larvul Ngabal. Keselarasan antara nila-nilai budaya dan agama membuat masyarakat Muslim Kei di kota Tual dapat memadukan nilai-nilai budaya dan agama dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan sesama masyarakat di sekelilingnya. Skripsi karya Ricca Junia Ilprima pada tahun 2016 yang berjudul “Analisis Wacana Pesan Toleransi Antarumat Beragama dalam Novel Ayat-Ayat Cinta 2
16
Nurul Ain Kabarokan, Komunikasi Intra dan AntarBudaya Masyarakat Muslim Kei di Kota Tual, (Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negri Jakarta, 2014).
15
Karya Habiburrahman El Zhirazy”.17 Subjek dalam penelitian ini adalah Novel Ayat-ayat Cinta 2 karya Habiburrahman El Shirazy, sedangkan objek penelitiannya adalah kontruksi sosial wacana dari segi dimensi teks sosial, kognisi sosial dan konteks sosial. Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang penulis lakukan, penelitian ini dilakukan pada analisis teks dalam novel yang di dalamnya terkandung toleransi beragama sedangkan penulis melakukan penelitian pada kelompok masyarakat tetapi ada persamaan dari keduanya yaitu membahas masalah toleransi antarumat beragama. Hasil dari penelitian ini adalah pesan toleransi beragama dalam bentuk ajakan berbaik sangka dan tetap menciptakan perdamaian dengan orang-orang Islamophobia dan pesan toleransi beragama bahwa semua agama itu sama atau meniadakan agama agar tercipta perdamaian adalah salah manusia tanpa agama. Pesan toleransi beragama dalam novel ini dipengaruhi oleh fenomena sosial di masyarakat. G. Metode Penelitian 1. Metode Penelitian Untuk mencapai tujuan penelitian diatas, maka peneliti menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif yaitu penelitian yang menggambarkan secara mendalam situasi atau peristiwa dan pada penelitian ini tidak mencari atau
17
Ricca Junia Ilprima, Analisis Wacana Pesan Toleransi Antarumat Beragama dalam Novel Ayatayat Cinta 2 Karya Habiburrhman El shirazy, (Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negri Jakarta, 2016).
16
menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi tetapi membuat penyataan penelitian.18 Berangkat dari permasalahan yang telah dirumuskan, penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan deskriptif. Metode deskriptif merupakan dugaan terhadap suatu variabel mandiri. 2. Subjek dan Objek Penelitian Yang menjadi subjek penelitian ini adalah Masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim yang tinggal di Kelurahan Parapat, Kecamatan Girsang Sipanganbolon, kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Alasan saya mengambil subjek penelitian ini adalah dikarenakan masyarakat Muslim adalah minoritas dan masyarakat non-Muslim adalah mayoritas dengan perbandingan penduduk yang cukup jauh. Tetapi mereka hidup berdampingan dan saling menjaga bahkan belum pernah terjadi konflik yang melibatkan kedua kelompok tersebut. Sedangkan objek penelitiannya adalah pola komunikasi masyarakat Muslim dan masyarakat non-Muslim di kelurahan Parapat. 3. Waktu dan Tempat Penelitian Sebelum melakukan penelitian, penulis telah terlebih dahulu mengadakan preliminary research atau pratinjau penelitian. Peninjauan sebelum penelitian dilakukan pada Desember 2015 sampai pada Maret
18
Jalaludin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosadakarya. 1984), h. 53.
17
2016, sepanjang itu penulis mencari tahu dan menelaah tentang gejalagejala serta fenomena yang terjadi pada masyarakat setempat dan membaca serta memperdalam kajian ilmu yang berhubungan dengan komunikasi antar budaya dan agama untuk memperkuat teori yang digunakan pada penelitian. Sedangkan proses penelitian dan penggarapannya dilakukan pada April 2016 sampai Agustus 2016. Adapun tempat yang dijadikan objek penelitian ini adalah kelurahan Parapat, kecamatan Girsang Sipanganbolon, kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. a. Teknik Pengumpulan Data Untuk mendukung kelancaran penelitian dalam pengumpulan data, maka diperlukan teknik yang tepat. Adapun teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1) Teknik Wawancara Teknik wawancara adalah teknik pengumpulan data yang bertujuan mendapatkan informasi dengan cara bertanya langsung kepada narasumber. Wawancara merupakan suatu poses interaksi dan komunikasi. Dalam wawancara ini hasil ditentukan oleh beberapa faktor yang berinteraksi dan yang mempengaruhi arus informasi. Faktor-faktor tersebut adalah pewawancara, responden, narasumber,
18
objek-objek penelitian yang tertuang dalam pertanyaan dan situasi saat wawancara dilakukan.19 Kegunaan wawancara adalah untuk mendapatkan data di tangan pertama dan pengumpul teknik pengumpulan data lainnya dan untuk menguji hasil dari teknik pengumpulan data lainnya.20 Pada teknik wawancara ini, pertanyaan diajukan kepada informan, yang telah disiapkan secara lengkap dan cermat akan tetapi cara penyampaian pertanyaan tersebut dilangsungkan secara bebas. Dengan demikian sekalipun pewawancara telah terikat oleh pedoman wawancara tetapi pelaksanaannya dapat berlangsung dalam suasana tidak terlalu formal, harmonis dan tidak kaku.21 Teknik wawancara ini untuk mengungkapkan data mengenai pola komunikasi pribadi dan kelompok yang terjadi antara masyarakat Muslim dan masyarakat non-Muslim di kelurahan Parapat dalam konteks toleransi beragama di bulan Ramadhan. Adapun orang-orang yang akan penulis wawancarai disini adalah Ustadz, Ketua Kenaziran Mesjid Raya Taqwa Parapat dan ketua MUI kecamatan Girsang Sipanganbolon untuk mewakili masyarakat Islam, pendeta gereja
19
Masri Singarimbun dan Sofian Effendy, Metode penelitian Survey, (Yogyakarta:Lp3S,1987), h. 192. 20 Husaini Usman dan Purnomo Setiad Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta:Bumi Aksara, 1996). H. 58-59. 21 Dudung Abdul Rahman, Pengantar Metode Penelitian, (Yogyakarta:Kurnia Kalam Semesta,2003), h. 63.
19
HKBP, Pimpinan Jemaat GKPS Parapat dan Pengurus gereja Katolik Parapat yang mewakili masyarakat non-Muslim. 2) Teknik Observasi Teknik observasi adalah salah satu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat dengan sistematis fenomena-fenomena yang diselidiki.22 Teknik observasi ini digunakan untuk menambah atau menguatkan hasil-hasil yang diperoleh dari hasil wawancara. Dalam teknik observasi ini penulis melakukan pengamatan bagaimana pola komunikasi yang dilakukan oleh masyarakat Muslim dan masyarakat non-Muslim di kelurahan Parapat terkait toleransi beragama di bulan Ramadhan. 3) Teknik Dokumentasi Berkaitan dengan data dokumentasi peneliti menggunakan data kependudukan sipil dari kelurahan Parapat.Data demografi dan monografi juga termasuk di dalamnya.Data ini diperoleh dari arsip kependudukan
di
kecamatan
Girsang
Sipanganbolon.
Teknik
dokumentasi ini juga digunakan untuk mendapatkan informasi dan data-data sekunder yang berhubungan dengan fokus penelitian. b. Teknik Analisis Data Adapun teknik analisis data yang digunakan adalah teknik etnografi. Etnografi dalam komunikasi adalah metode analisis yang berfokus pada usaha
22
Koentjoroningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta:Gramedia, 1991), h. 13.
20
peneliti dalam mengobservasi dan meneliti tentang satu komunitas atau suatu budaya agar bentuk komunikasi yang digunakan komunitas atau budaya tersebut dapat diterima secara rasional. Littejohn menjelaskan bahwa etnografi fokus pada beberapa faktor, yaitu:23 1. Pola komunikasi yang digunakan dalam sebuah kelompok. 2. Mengartikan semua kegiatan dalam kelompok.kapan dan dimana anggota kelompok menggunakan kegiatan ini. 3. Bagaimana praktik komunikasi yang digunakan 4. Keberagaman kode yang digunakan oleh sebuah kelompok. Teknik etnografi utama adalah wawancara yang panjang dan berkalikali dengan beberapa informan kunci. Fokus peneliti dalam melakukan penelitian etnografi berkaitan dengan perubahan total dan kebudayaan. Tujuan dari etnografi adalah untuk mendapatkan gambaran masa lalu masyarakat tersebut. Namun, etnografi berkembang dan dibedakan menjadi dua bagian, yaitu etnografi awal dan etnografi modern. Jika etnografi awal lebih mementingkan hal yang berhubungan dengan sejarah kebudayaan suatu masyarakat, maka etnografi modern lebih fokus pada kehidupan masa kini yang sedang dijalani oleh masyarakat.24 Etnografi merupakan pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan. Tujuan utamanya adalah untuk memahami suatu pandangan hidup dari sudut
23
Stephen Littlejohn dan Karen Foss, Teori Komunikasi, Penerjemah Muhammad Yusuf Hamdan, (Jakarta: Salemba Humanika, 2009), h.460. 24 James P. Sparadley, Metode Etnografi, Penerjemah Misbah Zulfa Elizabeth, (Yogyakarta:Tiara Wacana, 1997), h.4.
21
pandang masyarakat pribumi. Oleh karena itu, penelitian etnografi tidak hanya mempelajari masyarakat, namun juga belajar dari masyarakat. Seorang peneliti etnografi melakukan proses memahami apa yang dilihat dan di dengar lalu menyimpulkannya. Proses ini memerlukan pemikiran atas kenyataan atau kejadian yang disaksikan oleh peneliti dan hal yang diduga. 25 Spradley mengungkap tentang langkah-langkah melakukan wawancara etnografis dengan metode etnografi, yaitu: 1. Menetapkan seorang informan. 2. Melakukan wawancara etnografis. Wawancara etnografis merupakan jenis peristiwa percakapan yang khusus. Tiga unsur yang penting dalam wawancara etnografis adalah tujuan yang eksplisit, penjelasan dan pertanyaannya yang bersifat etnografis. 3. Membuat catatan etnografis. Sebuah catatan etnografis meliputi catatan lapangan, alat perekam gambar, artefak dan benda lain yang mendokumentasikan suasana budaya yang dipelajari. 4. Mengajukan pertanyaan deskriptif. Etnografer perlu untuk mengetahui paling tidak satu setting yang di dalamnya informan perlu melakukan aktivitas rutinnya. 5. Melakukan analisis wawancara etnografis. Analisis ini merupakan penyelidikan berbagai bagian sebagaimana dikonseptualisasikan oleh informan.
25
James P. Spradley, Metode Etnografi, h.4.
22
6. Membuat analisis domain. Analisis ini dilakukan untuk mencari domain awal
yang memfokuskan pada domain-domain yang
merupakan nama-nama benda. 7. Mengajukan pertanyaan struktural yang merupakan tahap lanjut setelah mengidentifikasi domain. 8. Membuat analisis taksonomik. 9. Mengajukan pertanyaan kontras dimana makna sebuah simbol diyakini dapat ditemukan dengan menentukan bagaimana sebuah simbol berbeda dari simbol-simbol lainnya. 10. Membuat analisis komponen. Analisis komponen merupakan suatu pencarian sistematik berbagai atribut yang berhubungan dengan simbol-simbol budaya. 11. Menentukan tema-tema bdaya. Langkah terakhirnya yakni menulis sebuah etnografi.26 Dalam penelitian ini jenis penelitian yang dipakai adalah perpaduan antara etnografi awal dan etnografi modern. Etnografi awal diperlukan untuk mengetahui bagaimana sejarah komunikasi yang terjadi antara masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim di kelurahan Parapat. Lalu etnografi modern untuk mengedepankan bagaimana kehidupan masyarakat Muslim dengan masyarakat nonMuslim di kelurahan Parapat pada saat sekarang.
26
James P. Spradley, Metode Etnografi, h. 17.
23
H. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan terdiri dari beberapa bab, yaitu: BAB I PENDAHULUAN Terdiri dari latar belakang, batasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian, tinjauan pustaka, sumber data dan sistematika penulisan. BAB II TINJAUAN TEORITIS Terdiri dari komunikasi antarbudaya, pola komunikasi, agama sebagai elemen budaya, pengertian prasangka dan stereotype, toleransi beragama dan komunikasi empatik. BAB III GAMBARAN UMUM Terdiri dari gambaran umum masyarakat kelurahan Parapat yang dilihat dari beberapa keadaan yaitu: demografi, penduduk dan monografi yang meliputi letak daerah, kegiatan ekonomi, pendidikan, mata pencaharian dan keagamaan. BAB IV ANALISIS DATA Terdiri dari memaparkan hasil dari variabel yaitu pola komunikasi masyarakat muslimminoritas dengan masyarakat non-Muslim di kelurahan Parapat. Melihat bagaimana toleransi beragama yang ditunjukkan masyarakat Muslim dan Masyarakat non-Muslim di kelurahan Parapat dan faktor pendukung dan penghambat terjadinya komunikasi antara masyarakat Muslim dan Masyarakat non-Muslim di kelurahan Parapat dalam konteks toleransi beragama di bulan Ramadhan.
24
BAB V PENUTUP Terdiri dari kesimpulan yang merupakan jawaban dari permasalahan yang dibahas dan saran atas permasalahan yang dibahas.
BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Komunikasi Antarbudaya 1. Pengertian Komunikasi Antarbudaya Kata atau istilah “komunikasi” merupakan terjemahan dari bahasa Inggris Communication yang dikembangkan di Amerika Serikat dan komunikasi pun berasal dari unsur persuratkabaran, yakni journalism. Adapun definisi komunikasi dapat dilihat dari dua sudut, yaitu: dari sudut bahasa(etimologi) dan dari sudut istilah(terminologi). Komunikasi menurut bahasa atau etimologi diartikan dengan “Perhubungan”, sedangkan yang terdapat dalam buku komunikasi berasal dari perkataan latin, yaitu communication berasal dari kata latin Communicatio yang juga bersumber dari kata Communis yang berarti sama. Sama disini maksudnya sama makna.1 Persepsi mengenai satu kata diantara orang yang berbicara haruslah sama, bila tidak sama berarti tidak sama makna. Contoh adalah kata “atos”, dalam bahasa Sunda “atos” berarti sudah tetapi dalam bahasa Jawa kata “atos” berarti keras. Hal ini menandakan itu tidak termasuk komunikasi karena tidak sama makna. Adapun pengertian komunikasi menurut istilah (termonologi) banyak
dikemukakan
oleh
sarjana-sarjana
yang
menekuni
ilmu
komunikasi, antara lain: Menurut Carl I.Hovland, mengatakan bahwa komunikasi adalah “The process by which individuals (the communicator)
1
Roudhonah, Ilmu Komunikasi, (Jakarta:Lembaga Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press, 2007), h. 18.
25
26
transmits stimuli(usually verbal symbols) to modify the behavior of other individuals(communicant)” yang berarti “proses dimana seseorang (komunikator) menyampaikan perangsang-perangsang (biasanya lambanglambang dalam bentuk kata-kata) untuk merubah tingkah laku orang-orang lain (komunikan). Laswell, 1960, mengatakan bahwa “komunikasi pada dasarnya merupakan suatu proses yang menjelaskan “siapa”, “mengatakan apa”, “dengan saluran apa”, “kepada siapa”, dan “dengan akibat atau hasil apa?” (who? Says what? In which channel? To whom? With what effect?)”. Everett M. Rogers, mengemukakan bahwa komunikasi adalah “proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber kepada suatu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka.”2 Penulis menyimpulkan komunikasi adalah serangkaian proses dimana pesan/ide
disampaikan
mendapatkan
umpan
komunikator balik
yang
kepada diberikan
komunikan komunikan
untuk kepada
komunikator. Komunikasi dapat diartikan sebagai proses peralihan dan pertukaran informasi oleh manusia melalui adaptasi dari dan ke dalam sebuah sistem kehidupan manusia dan lingkungannya. Proses peralihan dan pertukaran informasi itu dilakukan melalui simbol-simbol bahasa verbal dan non verbal yang dipahami bersama.3 a. Sifat Komunikasi Di tinjau dari sifatnya, komunikasi diklasifikasikan sebagai berikut: komunikasi verbal (verbal communication) yaitu komunikasi 2
Roudhonah, M.Ag, Ilmu Komunikasi, h. 20-21. Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya,(Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2011), h. 5. 3
27
dengan ciri bahwa pesan yang dikirimkan berupa pesan verbal atau dalam bentuk ungkapan kalimat, baik secara lisan maupun tulisan. Komunikasi nonverbal (nonverbal communication) yaitu komunikasi dengan ciri pesan yang disampaikan berupa komunikasi kial (gestural/body communication), komunikasi gambar (pictorial communication) dan lain-lain. Komunikasi tatap muka (face-to-face communication) yaitu dalam hal ini pihak-pihak yang berkomunikasi saling bertemu dalam suatu tempat tertentu. Dan komunikasi bermedia (mediated communication) yaitu komunikasi yang menggunakan media seperti telepon, surat, radio dan sebagainya.4 b. Tujuan Komunikasi Adapun tujuan dalam komunikasi adalah untuk mengubah sikap (to change the attitude), mengubah opini/pendapat/pandangan (to change the opinion), mengubah prilaku (to change behavior) dan mengubah masyarakat (to change the society).5 c. Teknik Komunikasi Istilah teknik berasal dari bahasa Yunani “technikos” yang berarti keterampilan atau keperigelan.6 Berdasarkan
keterampilan
berkomunikasi
yang
dilakukan
komunikator, teknik komunikasi diklasifikasikan menjadi komunikasi informatif (informative communication) yaitu teknik komunikasi dengan menyampaikan pesan berulang-ulang untuk memberikan informasi kepada komunikan, proses komunikasi ini satu arah dari pihak komunikator kepada komunikan dalam penyebaran informasi. Komunikasi persuasif 4
Suranto Aw, Komunikasi Sosial Budaya,(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), h.14. Onong U. Effendy, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, h. 55. 6 Onong U. Effendy, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, h. 55. 5
28
(persuasive communication) yaitu komunikasi yang dilakukan dengan cara halus dan membujuk komunikan. Komunikasi pervasif (perpasive communication) yaitu komunikasi yang perlahan atau merembes tapi berpengaruh.
Komunikasi
koersif
(coersive
communication)
yaitu
komunikasi yang menggunakan paksaan atau kekerasan yang hasilnya menampakkan hal yang negatif. Komunikasi instruktif (instructive communication) yaitu komunikasi yang bersifat memerintah atau mengarahkan. Dan hubungan manusiawi (human relations) yaitu teknik komunikasi yang memperhatikan nilai-nilai etis untuk menciptakan suasana atau iklim komunikasi yang manusia.7 Sedangkan pengertian
Budaya adalah suatu konsep
yang
membangkitkan minat. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objekobjek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok. Budaya menampakkan diri dalam pola-pola bahasa dan model bagi tindakantindakan penyesuaian diri dan gaya komunikasi yang memungkinkan orang-orang tinggal dalam suatu masyarakat di suatu lingkungan geografis tertentu pada suatu tingkat perkembangan teknis tertentu dan pada suatu saat tertentu. Budaya juga berkenaan dengan sifat-sifat dari objek materi yang memainkan peranan penting dalam kehidupan sehari-hari.8
7
Suranto Aw, Komunikasi Sosial Budaya, h.14. Dedy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi Antar Budaya, (Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2005), h. 18. 8
29
Kata kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta “buddhayah” yang merupakan kata jamak “buddhi” yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal.9 Pengertian paling tua atas kebudayaan diajukan oleh Edward Burnett Tylor dalam karyanya berjudul Primitive Culture, bahwa kebudayaan adalah kompleks dari keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, adat istiadat dan setiap kemampuan lain dan kebiasaan yang dimiliki oleh manusia sebagai anggota suatu masyarakat. Atau seperti kata Hebding dan Glick (1992) bahwa kebudayaan dapat dilihat secara material maupun non material. Kebudayaan material tampil dalam objek material yang dihasilkan, kemudian digunakan oleh manusia. Sebaliknya budaya non material adalah unsur-unsur yang dimaksudkan dalam konsep norma-norma, nilai-nilai, kepercayaan/keyakinan serta bahasa.10 Kebudayaan
dapat
diartikan
sebagai
keseluruhan
simbol,
pemaknaan, penggambaran (image), struktur, aturan, kebiasaan, nilai, pemrosesan informasi dan pengalihan pola-pola konvensi pikiran, perkataan atau perbuatan/tindakan yang dibagikan diantara para anggota suatu sistem sosial dan kelompok sosial dalam suatu masyarakat. 11 Penulis menyimpulkan kebudayaan adalah kebiasaan, adat istiadat, nilai yang dimiliki oleh manusia sebagai suatu anggota dalam masyarakat yang dihasilkan dari kesepakatan bersama di masyarakat.
9
Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hal 150 Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal.107. 11 Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, h. 4. 10
30
Kebudayaan dihasilkan oleh suatu perasaan komitmen yang dibangun oleh keseluruhan sistem sosial karena keintiman hubungan timbal
balik,
kesejawatan
dan
kesetiakawanan,
keramahtamahan,
kekeluargaan dari kelompok kecil, kelompok etnik, organisasi dan bahkan oleh seluruh masyarakat.12 Tujuh unsur kebudayaan yang culture universals, yaitu:13 Pertama, peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, transport dan sebagainya). Kedua, mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian, peternakan, sistem poduksi, sistem distribusi dan sebagainya). Ketiga, sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem politik, sistem hukum, sistem perkawinan). Keempat, bahasa (lisan maupun tulisan). Kelima, kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak dan sebagainya). Keenam, sistem pengetahuan. Ketujuh, religi (sistem kepercayaan). Kebudayaan sebagai konsep sistem sekaligus menerangkan bahwa “keseluruhan” seluruh arti dan makna simbol dapat dibedakan namun arti dan makna simbol-simbol itu tidak dapat dipisahkan. Manusia dapat membedakan arti dan makna simbol melalui kebudayaan. Simbol-simbol itu mewakili struktur aturan budaya, konvensi pikiran dan pandangan namun konsep-konsep itu sendiri tidak bisa dipisahkan berhubung fungsi setiap konsep itu saling berhubungan.14
12
Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, h. 4. Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 154. 14 Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 4-5. 13
31
Apa yang disebut dengan “keseluruhan” tersebut menerangkan bahwa kebudayaan merupakan sistem untuk mengorganisasikan simbol hasil ciptaan bersama. Simbol-simbol itu kelak digunakan bersama-sama untuk memenuhi kebutuhan anggota kelompok yang diwujudkan dalam proses komunikasi antara anggota kelompok tersebut. Pada akhirnya “isi kebudayaan” itu diadaptasi ke dalam proses suatu proses yang disebut “adaptasi budaya” yang terjadi tatkala para individu atau kelompok menggunakan peta persepsi yang mereka miliki lalu membangun suatu gambaran atau struktur kognisi tentang dunia lingkungan mereka.15 Budaya dan komunikasi tidak dapat dipisahkan oleh karena budaya tidak hanya menentukan siapa berbicara dengan siapa, tentang apa dan bagaimana orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan dan kondisi-kondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan. Sebenarnya seluruh perbendaharaan perilaku kita sangat bergantung pada budaya tempat kita dibesarkan. Konsekwensinya, budaya merupakan landasan komunikasi. Bila budaya beraneka ragam maka beraneka ragam pula praktik-praktik komunikasi.16 Selanjutnya, Komunikasi antarbudaya terjadi jika sumber dan penerimanya berasal dari budaya yang berbeda meliputi agama, ras, etnik, suku, golongan dan sebagainya. Ini menjadi ciri yang memadai untuk mengidentifikasi
15
suatu
bentuk
interaksi
komunikatif
yang
unik.
Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, h. 5. Dedy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi Antar Budaya, (Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2005), h. 19. 16
32
Komunikasi
antarbudaya
merupakan
prilaku
yang
unik,
yang
memperhitungkan peranan dan fungsi budaya dalam proses komunikasi. 17 Definisi paling sederhana dari komunikasi antarbudaya adalah komunikasi pribadi yang dilakukan oleh mereka yang berbeda latar belakang kebudayaan. Dengan pemahaman yang sama, maka komunikasi antarbudaya dapat diartikan melalui pernyataan sebagai berikut:18 a. Komunikasi antarbudaya merupakan pertukaran pesan-pesan yang disampaikan secara lisan, tulisan, bahkan secara imajiner antara dua orang yang berbeda latar belakang budaya. b. Komunikasi antarbudaya merupakan pembagian pesan yang berbentuk informasi atau hiburan yang disampaikan lisan atau tertulis atau metode lainnya yang dilakukan oleh dua orang yang berbeda latar belakang budaya. c. Komunikasi antarbudaya adalah pengalihan informasi dari seseorang yang berkebudayaan tertentu kepada seorang yang berkebudayaan lain. d. Komunikasi antarbudaya adalah pertukaran makna yang berbentuk simbol yang dilakukan dua orang yang berbeda latar belakang budaya. e. Komunikasi antarbudaya adalah proses pengalihan pesan yang dilakukan seorang melalui saluran tertentu kepada orang lain yang keduanya berasal dari latar belakang budaya yang berbeda dan menghasilkan efek tertentu.
17
Dedy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi Antar Budaya, h. 20. Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 9-10. 18
33
f. Komunikasi antarbudaya adalah setiap poses pembagian informasi, gagasan atau perasaan di antara mereka yang berbeda latar belakang budayanya. Proses pembagian informasi itu dilakukan secara lisan, tertulis, juga melalui bahasa tubuh, gaya atau tampilan pribadi atau bantuan hal lain di sekitarnya yang memperjelas pesan. g. Penulis menyimpulkan komunikasi antarbudaya adalah pertukaran pesan, ide ataupun makna diantara dua orang atau lebih yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda untuk menghasilkan efek tertentu. Ada beberapa pendapat para ahli mengenai pengertian dari komunikasi antarbudaya ini, diantaranya:19 a. Samovar dan Porter mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya terjadi diantara produser pesan dan penerima pesan yang latar belakang kebudayaannya berbeda. b. William B. Hart II, komunikasi antarbudaya tidak dapat dielakkan dari pengertian kebudayaan (budaya). Komunikasi dan kebudayaan tidak sekedar dua kata tetapi dua konsep yang tidak dapat dipisahkan, “harus dicatat bahwa komunikasi antarbudaya dapat diartikan sebagai studi yang menekankan pada efek kebudayaan terhadap komunikasi.” c. Charley H. Dood mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili pribadi, antarpribadi dan kelompok dengan tekanan pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi prilaku komunikasi para peserta.
19
Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya, h. 10-12.
34
d. Guo-Ming Chen dan William J. Strarosta mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah proses negosiasi atau pertukaran sistem simbolik yang membimbing prilaku manusia dan membatasi mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok. Selanjutnya komunikasi antarbudaya itu dilakukan: 1) Dengan negosiasi untuk melibatkan manusia di dalam pertemuan
antarbudaya
(penyampaian
tema
yang melalui
membahas simbol)
satu yang
tema sedang
dipertentangkan. Simbol tidak sendirinya mempunyai makna tetapi dia dapat berarti ke dalam suatu konteks dan maknamakna itu dinegosiasikan atau diperjuangkan. 2) Melalui pertukaran sistem simbol yang tergantung dari persetujuan antarsubjek yang terlibat dalam komunikasi, sebuah keputusan dibuat untuk berpartisipasi dalam proses pemberian makna yang sama. 3) Sebagai pembimbing perilaku budaya yang tidak terprogram namun bermanfaat karena mempunyai pengaruh terhadap perilaku kita. 4) Menunjukkan fungsi sebuah kelompok sehingga kita dapat membedakan
diri
dari
kelompok
lain
dan
mengidentifikasikannya dengan pelbagai cara. Pengertian-pengertian
komunikasi
antarbudaya
tersebut
membenarkan sebuah hipotesis proses komunikasi antarbudaya, bahwa semakin besar derajat perbedaan antarbudaya maka semakin besar pula
35
kita kehilangan peluang untuk merumukan suatu tingkat kepastian sebuah komunikasi yang efektif. Jadi harus ada jaminan terhadap akurasi interpretasi pesan-pesan verbal maupun non verbal. Hal ini disebabkan karena ketika kita berkomunikasi dengan seseorang dari kebudayaan berbeda, maka kita memiliki pula perbedaan dalam sejumlah hal. Dengan demikian manakala suatu masyarakat berada pada kondisi kebudayaan yang beragam maka komunikasi antarpribadi dapat menyentuh nuansanuansa komunikasi antarbudaya. Disini, kebudayaan yang menjadi latar belakang kehidupan, akan mempengaruhi perilaku komunikasi manusia. Oleh karena itu di saat kita berkomunikasi antarpribadi dengan seseorang dalam masyarakat yang makin majemuk, maka dia merupakan orang yang pertama dipengaruhi oleh kebudayaan kita.20 2. Agama sebagai Elemen Budaya Fitur lain dari semua budaya adalah agama. Menurut Parkes, Laungani dan Young sebagaimana dikutip Larry dkk, semua budaya “memiliki agama yang dominan dan terorganisasi dimana aktivitas dan kepercayaan mencolok (upacara, ritual, hal-hal tabu dan perayaan) dapat berarti dan berkuasa. Pengaruh agama dapat dilihat dari semua jalinan budaya karena hal ini berfungsi dasar. Ferraro menuliskan bahwa fungsi ini meliputi kontrol sosial, penyelesaian konflik, penguatan kelompok solidaritas, penjelasan dari sesuatu yang sukar dijelaskan dan dukungan emosional. Fungsi-fungsi ini, baik secara sadar maupun tidak berdampak pada semua hal mulai dari paktik bisnis (etika kerja orang Puritan) sampai
20
Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya, h. 19.
36
kepada politik (hubungan antara Islam dan pemerintahan) hingga tingkah laku individu (kode etik). Karena agama itu berpengaruh kuat dan pervasive.21 Agama sebagai cara pandang telah ditemukan dalam setiap budaya selama ribuan tahun. Seperti yang dinyatakan oleh Haviland dan rekannya, “cara pandang erat kaitannya dengan kepercayaan dan praktik agama.” Dengan kata lain, “semua masyarakat memiliki kepercayaan dan praktik (umumnya
disebut
sebagai)
agama.”
Kebutuhan
manusia
untuk
menghidupi isu penting begitu universal, sehingga tidak diketahui “kelompok manusia di manapun di muka bumi ini yang selama lebih dari 10.000 tahun berlalu, tanpa manifestasi spiritual atau agama. ”Sama seperti elemen struktur dalam, sejarah panjang dari agama berhubungan langsung dengan budaya. Coogan mengulangi poin yang sama pentingnya dalam tulisannya, “manusia percaya akan adanya sesuatu yang lebih besar dari manusia sebagai penentu dan pencipta budaya.” 22 Kata agama (religion) berasal dari bahasa Latin religare yang berarti “untuk mengikat”. Hal ini dengan jelas menandakan bahwa agama mengikat manusia dengan hal-hal yang sakral. Hal yang menarik dari agama adalah bahwa hal tersebut telah mengikat orang bersama-sama dalam dan memelihara cara pandang budaya mereka selama ribuan tahun. Baik melalui institusi seperti gereja Katolik, pemimpin spiritual dan sosial seperti Budha dan Confucius maupun melalui ajaran Alkitab, Weda, 21
Larry A. Samovar, Richard E. Porter dan Edwin R. McDaniel, Komunikasi Lintas Budaya, (Jakarta:Salemba Humanika, 2010), h. 29-30. 22 Larry A. Samovar, Richard E. Porter dan Edwin R. McDaniel, Komunikasi Lintas Budaya, h. 121.
37
Quran, Torah dan I Ching, manusia selalu merasakan suatu kebutuhan untuk melihat ke luar diri mereka sendiri akan nilai-nilai yang mereka gunakan dalam mengatur hidup mereka. Kelihatannya untuk ribuan tahun milliaran orang telah setuju, sadar atau tidak sadar dengan pribahasa Latin yang mengatakan, “manusia tanpa agamasama halnya seperti kuda tanpa tali kekang.” Agama merupakan aspek sentral dan fundamental dalam kebudayaan dan kebudayaan dalam arti keseluruhan, isi konkrit yang terkandung di dalamnya bisa saja harmonis atau konflik dengan situasi yang ada dalam masyarakat atau dengan proses transformasinya ke depan. Anggapan agama sebagai salah satu unsur inti dalam kebudayaan akan membantu kita meringkas arti penting agama bagi manusia. Seperti kebudayaan, agama pun dapat digambarkan sebagai suatu “rancangan dramatis” yang berfungsi untuk mendapatkan kembali sense of flux atau gerak yang sinambung dengan cara menanamkan pesan dan proses serentak dengan penampilan, tujuan, maksud dan bentuk historis. Agama, seperti halnya kebudayaan merupakan transformasi simbolis pengalaman. Rancangan yang diberikan agama terhadap kehidupan dianggap oleh orang yang beragama sebagai suatu penyelamatan, natural atau supernatural dalam makna pengalaman yang lebih dalam, sedangkan bagi orang-orang skeptis, agama dilihat sebagai seperangkat persetujuan yang menghambat terjadinya peristiwa-peristiwa dan menganggap jagad raya sebagai tidak ada artinya bagi manusia. Telah dinyatakan bahwa kebudayaan dalam artitotal adalah keunggulan penemuan manusia, walaupun sangat kabur
38
sifatnya. Jika bukan karena campur tangan kepentingan manusia, maka berubahnya alam dan bergesernya waktu akan terlihat tanpa arti dan tanpa arah.23 Seperti halnya kebudayaan, agama juga merupakan “suatu pertahanan” dalam arti sebagai seperangkat kebudayaan dan sikap yang akan melindungi kita melawan kesangsian, kebimbangan dan agresi yang menjengkelkan. Agama merupakan salah satu bentuk perlindungan budaya melalui mana secara sadar atau tidak ketakutan dan agresi yang timbul diantara individu dan masyarakat dapat diredakan. Yang ketiga, seperti halnya kebudayaan, agama juga merupakan “suatu pengarahan” yang tersusun dari unsur-unsur normatif yang membentuk jawaban kita pada berbagai tingkat pemikiran, perasaan dan perbuatan. Ia membuat kita “menerima, merasakan, memikirkan serta melaksanakan dengan cara-cara yang diinginkan.” Yang terakhir seperti halnya kebudayaan, agama juga mencakup “simbol ekonomi”.Ia menyangkut pengalokasian nilai-nilai simbolis dalam bobot yang berbeda-beda.24 Agama yang terlihat sebagai pusat kebudayaan dan penyaji aspek kebudayaan yang tertinggi dan suci, menunjukkan mode kesadaran manusia yang menyangkut bentuk-bentuk simbolik sendiri. Sama halnya kompleks idea dan semua perspektif duniawi seperti semua sistem simbol yang dianut oleh manusia dengan berbagai cara dijalankan dengan beberapa bentuk pola berpikir dan dengan kompleksitas hubungan manusia dengan masyarakat, termasuk lembaga-lembaga. Namun demikian, sifat 23
Thomas F. O’Dea, Sosiologi Agama Suatu Pengenalan Awal, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995), h. 215. 24 Thomas F. O’Dea, Sosiologi Agama Suatu Pengenalan Awal, h. 216-217.
39
agama yang luhur dan suci ini memunculkan suatu unsur yang lain pada agama.25 Dalam konteks kekinian, ada tiga bagian tipologi sikap beragama dalam perspektif teologis. Pertama, Ekslusivisme yaitu memandang bahwa agamanya sajalah yang benar dan agama yang lain salah dan sesat. Kedua, Inklusifisme yaitu memandang bahwa “kesalamatan” bukan monopoli agamanya. Penganut agama lain yang secara implisit berbuat benar menurut agamanya, akan mendapatkan keselamatan juga. Ketiga, Pluralisme yaitu memandang bahwa semua agama benar dan sama. Oleh karena itu, orang yang bersifat pluralis berpandangan bahwa tidak seharusnya umat beragama bersifat ekslusif dengan serangkaian klaim kebenaran dan keselamatan yang khusus menjadi atribut bagi mereka. 26 Pada
zaman
modern
beragam
wacana
muncul
untuk
mengklasifikasikan atau mengidentifikasikan suatu kelompok penganut agama terhadap agama lain. Ninian Smart membaginya dalam lima kategori, yaitu:27 1. Ekslusifisme absolute merupakan pandangan umum dari mayoritas pemeluk agama yang menyatakan bahwa kebenaran mutlak untuk agama yang dipeluknya. Sedangkan agama lainnya dianggap tidak benar. Posisi ini apabila diacukan pegangan secara saklek akan melahirkan kesulitan berupa setiap orang dapat mengklaim kebenaran
25
Thomas F. O’Dea, Sosiologi Agama Suatu Pengenalan Awal, h. 217. M. Irfan Riyadi M.Ag dan Basuki M.Ag, Membangun Inklusifisme Faham Keagamaan, (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2009) h.2 27 M. Irfan Riyadi M.Ag dan Basuki M.Ag, Membangun Inklusifisme Faham Keagamaan, h.4-5 26
40
sehingga karena paling benar, maka yang lain salah dan karena salah maka harus dimusnahkan. 2. Relativisme absolute yang berpandangan bahwa sebagai sistem kepercayaan agama tidak dapat diperbandingkan satu sama lain, karena orang ingin melakukan terlebih dahulu harus menjadi orang dalam, sehingga
mengerti
kebenaran
agama
masing-masing
agama.
Konsekwensi dari pandangan ini setiap agama tidak pernah mempunyai akses terhadap kebenaran agama lain. 3. Inklusifisme hegemonistik merupakan pandangan yang lebih terbuka yang menganggap agama lain terdapat kebenaran namun menyatakan prioritas terhadap agamanya sendiri. 4. Pluralisme realistik yaitu pandangan yang mengatakan bahwa semua agama merupakan jalan yang berbeda-beda namun mengarah ke tempat yang sama yaitu kebenaran. 5. Pluralisme regulative, merupakan paham bahwa berbagai agama memiliki
nilai-nilai
dan
kepercayaan
masing-masing,
mereka
mengalami evolusi histois dan perkembangan kearah suatu kebenaran bersama, hanya saja kebenaran tersebut belum lagi terdefinisikan. Pandangan ini tampak jelas dalam beberapa dialog antar umat beragama yang tidak menentukan hasil akhir dari dialog tersebut. 3. Pola Komunikasi Pola komunikasi merupakan terdiri dari dua kata.Karena keduanya mempunyai keterkaitan makna sehingga mendukung dengan makna
41
lainnya. Maka lebih jelasnya dua kata tersebut akan diuraikan tentang penjelasannya masing-masing. Kata “pola” dalam Kamus besar Bahasa Indonesia artinya bentuk atau sistem, cara atau bentuk (stuktur) yang tetap, yang mana pola dapat dikatakan contoh atau cetakan.28 Dari penjelasan diatas dapat dikatakan bahwa pola komunikasi yang sesuai dengan arti pola di atas lebih tepat untuk mengambil kesimpulan bahwa bentuk-bentuk komunikasi terdapat empat macam, yaitu: 1. Komunikasi intrapribadi (intrapersonal communication), adalah komunikasi yang berlangsung dalam diri seseorang. Orang itu berperan baik sebagai komunikator maupun sebagai komunikan. Dia berbicara kepada diri sendiri, dia berdialog dengan diri sendiri, dia bertanya kepada dirinya dan dijawab oleh dirinya sendiri.29 2. Komunikasi antarpribadi (interpersonal communication), adalah menurut Joseph A. Devito yaitu proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan antara dua orang atau diantara sekelompok kecil orangorang, dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik seketika. 30 3. Komunikasi kelompok (group communication), adalah komunikasi yang berlangsung antara seorang komunikator dengan sekelompok orang yang jumlahnya lebih dari dua orang. Sekelompok orang yang menjadi komunikan itu bisa sedikit, bisa banyak. Apabila jumlah orang 28
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,1996), h. 778. 29 Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), h. 57. 30 Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi, h. 59-60.
42
yang dalam kelompok itu sedikit berarti kelompok itu kecil dan disebut komunikasi kelompok kecil (small group communication). Jika jumlahnya banyak yang berarti kelompoknya besar dinamakan komunikasi kelompok besar (large group communication).31 4. Komunikasi massa (mass communication), adalah komunikasi melalui media modern, yang meliputi surat kabar yang mempunyai sirkulasi yang luas, siaran radio dan televisi yang ditujukan kepada umum dan film yang dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop.32 Komunikasi massa adalah penyampaian pesan komunikasi melalui/menggunakan media massa modern, yang meliputi surat kabar, siaran radio dan televisi yang ditujukan kepada umum. Termasuk juga film yang dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop.33
B. Budaya dan Individu: Identitas Budaya Identitas merupakan konsep yang abstrak, kompleks dan dinamis. Oleh karena itu, identitas itu tidak mudah untuk diartikan sehingga ada banyak gambaran yang disediakan oleh ahli komunikasi.
Fong
berpendapat “budaya dan identitas budaya dalam pembelajaran hubungan antarbudaya menjadi payung untuk menggolongkan identitas ras dan etnik.” Ia menjelaskan identitas budaya sebagai “identifikasi komunikasi dari sistem perilaku simbolis verbal dan nonverbal yang memiliki arti dan yang dibagikan di antara anggota kelompok yang memiliki ras saling
31
Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi, h. 75. Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi, h. 79. 33 Roudhonah, Ilmu Komunikasi, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press, 2007), h. 137. 32
43
memiliki dan yang membagi tradisi, warisan, bahasa dan norma-norma yang sama. Identitas budaya merupakan konstuksi sosial.”34 Banyak peneliti telah membuat kategori untuk mengelompokkan berbagai jenis identitas. Turner menawarkan tiga kategori untuk mengklasifikasikan identitas. Pertama, identitas manusia yaitu pandangan yang menghubungkan anda dengan seluruh manusia dan memisahkan anda dari bentuk kehidupan yang lain. Kedua, identitas sosial yaitu perwakilan dari kelompok dimana anda tergabung, seperti ras, etinisitas, pekerjaan, umur, kampung halaman dan lain-lain. Ketiga, identitas pribadi yaitu timbul dari hal-hal yang membedakan anda dari yang lainnya dan menandakan anda sebagai pribadi yang spesial dan unik.35 Hall menawarkan kategori identitas yang sama. Ia berkata “ masing-masing kita memiliki tiga level identitas yang tergantung dari konteksnya, mungkin atau tidak mungkin menonjol dalam hubungan kita dengan yang lain. Pertama, identitas pribadi merupakan hal-hal yang membuat anda unik dan berbeda dengan orang lain. Kedua, identitas hubungan yaitu hasil dari hubungan anda dengan orang lain seperti suami/isteri ataupun guru/murid. Ketiga, identitas komunal merupakan biasanya
dihubungkan
dengan
komunitas
berskala
besar
seperti
kewarganegaraan, etnis, gender atau agama dan aliran politik.36
34
Larry A. Samovar, Richard E. Porter dan Edwin R. McDaniel, Komunikasi Lintas Budaya Edisi 7, (Jakarta: Salemba Humanika, 2010), h. 184. 35 Larry A. Samovar, Richard E. Porter dan Edwin R. McDaniel, Komunikasi Lintas Budaya Edisi 7, h. 185-186. 36 Larry A. Samovar, Richard E. Porter dan Edwin R. McDaniel, Komunikasi Lintas Budaya Edisi 7, h. 185-186.
44
Persamaan dan perbedaan juga berperan dalam hubungan sosial. Psikolog yang mengadakan penelitian tentang daya tarik interpersonal menghasilkan sebuah prinsip penting yaitu semakin mirip seseorang dengan yang lainnya, semakin suka mereka satu sama lainnya. Namun dalam pengertian komunikasi antarbudaya melibatkan orang-orang dari budaya berbeda dan hal ini membuat perbedaan itu sebagai kondisi yang normatif.J adi, reaksi dan kemampuan kita untuk mengatasi perbedaanperbedaan tersebut adalah kunci sukses suatu interaksi antarbudaya. Kecenderungan kita terhadap sesuatu yang kita mengerti dan kita kenal dapat mempengaruhi persepsi pada sterotipe, prasangka, rasisme dan etnosentrisme.37 1. Stereotipe Stereotipe merupakan bentuk kompleks dari pengelompokan yang secara mental mengatur pengalaman anda dan mengarahkan sikap anda dalam menghadapi orang-orang tertentu. Menurut psikolog Abbate, Boca dan Bocchiaro, stereotipe merupakan susunan kognitif yang mengandung pengetahuan, kepercayaan dan harapan si penerima mengenai kelompok sosial manusia. Alasan mengapa stereotipe itu begitu mudah menyebar adalah
karena
manusia
memiliki
kebutuhan
psikologis
untuk
mengelompokkan dan mengkalsifikasikan suatu hal. Dunia dimana kita tinggal ini terlalu luas, terlalu kompleks dan terlalu dinamis untuk diketahui secara detail. Masalahnya bukan pada pengelompokan atau
37
Larry A. Samovar, Richard E. Porter dan Edwin R. McDaniel, Komunikasi Lintas Budaya Edisi 7, h. 202-203.
45
pengotakan tersebut, namun pada overgeneralisasi dan penilaian negatif ( tindakan atau prasangka) terhadap anggota kelompok tersebut.38 Ketika kita berkomunikasi dengan orang dari suku, agama atau ras lain, kita dihadapkan dengan sistem nilai dan aturan yang berbeda. Sulit memahami komunikasi mereka bila kita sangat etnosentrik. Melekat dalam etnosentrisme adalah stereotip, yaitu generalisasi (biasanya bersifat negatif) atas sekelompok orang dengan mengabaikan perbedaan-perbedaan individual.
39
Menurut penulis stereotip adalah peniliaian terhadap
seseorang bedasarkan kelompok dimana seseorang itu berada, bisa bersifat negatif dan positif. Seseorang dinilai berdasarkan penilaian kelompok tersebut walaupun seseorang itu tidak sama tindakannya. Stereotipe dapat berupa positif dan negatif. Stereotipe yang merujuk sekelompok orang sebagai orang malas, kasar, jahat atau bodoh jelas-jelas stereotipe negatif. Tentu saja, ada stereotipe yang positif, seperti asumsi pelajar dari Asia yang pekerja keras, berkelakuan baik dan pandai. Stereotipe cenderung untuk menyamarkan ciri-ciri sekelompok orang.40 Adler mengingatkan akan efek membahayakan dari stereotipe terhadap komunikasi antarbudaya dalam tulisannya, yaitu “stereotipe menjadi masalah ketika kita menempatkan orang di tempat yang salah, ketika kita menggambarkan norma kelompok dengan tidak benar, ketika kita mengevaluasi suatu kelompok dibandingkan menjelaskannya, ketika
38
Larry A. Samovar, Richard E. Porter dan Edwin R. McDaniel, Komunikasi Lintas Budaya Edisi 7, h. 203. 39 Ahmad Sihabudin, Komunikasi Antarbudaya Satu Perspektif Multidimensi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), h. 120-121. 40 Larry A. Samovar, Richard E. Porter dan Edwin R. McDaniel, Komunikasi Lintas Budaya Edisi 7, h. 203.
46
kita mencampuradukkan stereotipe dengan gambaran dari seorang individu dan ketika kita gagal untuk mengubah stereotipe berdasarkan pengamatan dan pengalaman kita sebenarnya”.41 Ada empat alasan lain mengapa stereotipe itu menghambat komunikasi antar budaya, yaitu:42 1.
Stereotipe merupakan sejenis penyaring, menyediakan informasi
yang konsisten dengan informasi yang dipercayai oleh seseorang. Dengan ini, suatu hal yang tidak benar tidak memiliki kesempatan untuk diketahui. Misalnya perempuan sejak lama distereotipekan sebagai kelompok satu dimensional. Stereotipe perempuan sebagai ibu rumah tangga menghalangi perempuan untuk maju dalam dunia kerja. 2.
Bukan pengelompokan tersebut yang menyebabkan masalah
antarbudaya, namun asumsi bahwa semua informasi spesifik mengenai suatu budaya diterapkan pada semua orang dari kelompok tertentu. Suatu stereotipe menganggap semua orang dalam suatu kelompok memiliki sifat yang sama. 3.
Stereotipe menghalangi keberhasilan anda sebagai seorang
komunikator, karena stereotipe biasanya berlebihan, terlalu sederhana, dan terlalu menyamaratakan. Guirdham menegaskan poin penting ini ketika ia mengingatkan kita bahwa stereotipe mengubah komunikasi antar kelompok, karena mengarahkan orang pada dasar pesan mereka, cara untuk menyampaikannya dan penerimaan terhadap asumsi yang salah. 41
Larry A. Samovar, Richard E. Porter dan Edwin R. McDaniel, Komunikasi Lintas Budaya Edisi 7, h. 205. 42 Larry A. Samovar, Richard E. Porter dan Edwin R. McDaniel, Komunikasi Lintas Budaya Edisi 7, h. 205-206.
47
4.
Stereotipe jarang berubah, karena stereotipe biasanya berkembang
sejak awal kehidupan dan terus berulang dan diperkuat dalam suatu kelompok, stereotipe berkembang setiap waktu. Sebenarnya hubungan antara kelompok dalam dan kelompok luar kadang hanya menegaskan stereotipe. Seperti yang dituliskan oleh Meshel dan McGlynn, “sekali terbentuk, stereotipe tidak akan berubah dan hubungannya langsung kadang memperkuat asosiasi yang sudah ada mengenai kelompok target dan ciri-ciri stereotipe. 2. Prasangka Dalam pengertian luas prasangka merupakan perasaan negatif yang dalam terhadap kelompok tertentu. Macionis memberikan pengertian yang lengkap mengenai prasangka, yaitu “Prasangka merupakan generalisasi kaku dan menyakitkan mengenai sekelompok orang. Prasangka menyakitkan dalam arti bahwa orang yang memiliki sikap yang tidak fleksibel yang didasarkan atas sedikit atau tidak ada bukti sama sekali. Orang-orang dari kelas sosial, jenis kelamin, orientasi seks, usia, partai politik, rasa tahu etnik tertentu dapat menjadi target prasangka”.
43
Gerungan mengartikan prasangka sosial sebagai sikap
perasaan orang-orang terhadap golongan manusia tertentu. Golongan rasa tau golongan kebudayaan yang berlainan dengan orang yang berprasangka itu. Prasangka sosial itu terdiri atas sikap-sikap sosial yang negatif terhadap golongan lain dan mempengaruhi tingkah laku
43
Larry A. Samovar, Richard E. Porter dan Edwin R. McDaniel, Komunikasi Lintas Budaya Edisi 7, h. 207.
48
manusia tadi.44 Penulis menyimpulkan prasangka adalah penilaian dari satu kelompok atau individu yang terutama didasarkan pada keanggotaan kelompok. Efek dari prasangka adalah merusak dan menciptakan jarak yang luas. Ada empat fungsi umum dari prasangka, yaitu:45 1.
Fungsi Pertahanan Ego, suatu prasangka memungkinkan orang
untuk memiliki prasangka tanpa harus mengakui bahwa mereka memiliki suatu kepercayaan mengenai suatu kelompok luar. 2.
Fungsi Utilitarian, memungkinkan orang untuk berpikir bahwa
mereka mendapatkan penghargaan dengan mempertahankan prasangka yang mereka miliki. 3.
Fungsi Menyatakan Nilai, fungsi menyatakan nilai ketika orang-
orang percaya bahwa perilaku mereka menunjukkan nilai tertinggi dan paling bermoral dari semua budaya. Hal ini biasanya berputar pada nilainilai yang berhubungan dengan agama, pemerintah dan politik. 4.
Fungsi Pengetahuan, orang dapat mengelompokkan, mengatur dan
membentuk persepsi mereka terhadap orang lain dalam cara yang masuk akal bagi mereka bahkan jika hal itu tidak akurat bagi mereka.
C. Toleransi Beragama Istilah toleransi berasal dari bahasa Inggris yaitu “tolerance” yang berarti sikap membiarkan, mengakui dan menghormati keyakinan orang lain tanpa
44
W. A Gerungan, Psikologi Sosial, (Bandung: PT Eresco, 1996) cet-13, h. 167 Larry A. Samovar, Richard E. Porter dan Edwin R. McDaniel, Komunikasi Lintas Budaya Edisi 7, h. 207-208. 45
49
memerlukan persetujuan. Bahasa Arab menerjemahkan dengan “tasamuh” yang berarti saling mengizinkan dan saling memudahkan.46 Poerwadarminta mengartikan toleransi itu dengan sifat atau sikap menenggang, menghargai, membiarkan, membolehkan pendirian atau pendapat, pandangan, kepercayaan dan kelakuan yang lain yang bertentangan dengan pendiriannya sendiri, misalnya: agama, ideologi, ras dan sebagainya. Dalam arti suku rukun kepada siapapun, membiarkan orang berpendapat atau berpendirian lain, tidak mau mengganggu kebebasan berpikir dan berkeyakinan lain.47 Sullivan, Pierson dan Marcus, sebagaimana dikutip Saiful Mujani, toleransi didefinisikan sebagai a willingness to “put up with” those things one rejects or opposes, yakni kesedian untuk menghargai, menerima atau menghormati segala sesuatu yang ditolak atau ditentang oleh seseorang.48 Menurut penulis toleransi adalah menunjukkan sikap kesediaan seseorang untuk menerima dan menghargai sesuatu yang tidak sepandang ata sesuatu yang bertentangan dengan kepercayaannya. Dalam hubungannya dengan agama dan kepercayaan, toleransi berarti menghargai, membiarkan, membolehkan kepercayaan, agama yang berbeda itu tetap ada, walaupun berbeda dengan agama dan kepercayaan seseorang. Toleransi tidak berarti bahwa seseorang harus melepaskan kepercayaannya atau ajaran agamanya karena berbeda dengan yang lain, tetapi mengizinkan perbedaan itu tetap ada. Toleransi beragama pertama kali ditelaah oleh John
46
Said Agil Husin AlMunawar, Fikih Hubungan Antar Agama, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), h. 13. 47 W J S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN Balai Pustaka Cet 5, 1976), h.1084) 48 Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, budaya Demokrasi dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 162.
50
Locke dalam konteks hubungan antara gereja dan Negara di Inggris. Toleransi disini mengacu pada kesedian untuk tidak mencampuri keyakinan, sikap dan tindakan orang lain, meskipun mereka tidak suka. Negara tidak boleh terlibat dalam urusan agama dan juga tidak boleh ditangani oleh kelompok agama tertentu. Dalam masyarakat muslim, toleransi merujuk pada sikap dan perilaku kaum muslim terhadap kaum non muslim dan sebaliknya. Toleransi beragama adalah sikap sabar dan menahan diri untuk tidak mengganggu dan tidak melecehkan agama atau sistem keyakinan dan ibadah penganut agama-agama lain.49 Menurut penulis toleransi beragama adalah sikap saling menghargai dan tidak mengganggu umat agama lain dalam melaksanakan ibadah mereka. Toleransi dalam pergaulan hidup antara umat beragama yang didasarkan kepada setiap agama menjadi tanggung jawab pemeluk agama itu sendiri dan mempunyai bentuk ibadat (ritual) dengan sistem dan cara sendiri yang ditaklifkan (dibebankan) serta menjadi tanggung jawab orang yang pemeluknya atas dasar itu, maka toleransi dalam pergaulan hidup antar umat beragama bukanlah toleransi dalam masalah-masalah keagamaan, melainkan perwujudan sikap keberagamaan pemeluk suatu agama dalam pergaulan hidup
antara
orang
yang
tidak
seagama
dalam
masalah-masalah
kemasyarakatan atau kemashalatan umum.50
49
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, Toleransi Beragama Mahasiswa (Studi Tentang Pengaruh Kepribadian, Keterlibatan Organisasi, Hasil Belajar Pendidikan Agama dan Lingkungan Pendidikan Terhadap Toleransi Mahasiswa Berbeda Agama pada 7 Perguruan Tinggi Umum Negri, (Jakarta, Maloho Jaya Abadi Press, 2010), h. 55. 50 Said Agil Husin AlMunawar, Fikih Hubungan Antar Agama, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), h. 14.
51
Dalam mewujudkan kemashalatan umum, agama telah menggariskan dua pola dasar hubungan yang harus dilaksanakan oleh pemeluknya, yaitu hubungan secara vertikal dan hubungan secara horizontal. Yang pertama adalah hubungan antara pribadi dan Khaliknya yang direalisasikan dalam bentuk ibadat sebagaimana yang telah digariskan oleh setiap agama. Hubungan ini dilaksanakan secara individual, tetapi lebih diutamakan secara kolektif atau berjamaah (shalat dalam Islam). Pada hubungan yang pertama ini berlaku toleransi beragama yang hanya terbatas dalam lingkungan atau intern suatu agama saja. Hubungan kedua adalah hubungan antara sesama manusia dengan sesamanya. Pada hubungan ini tidak hanya terbatas pada lingkungan suatu agama saja, tetapi juga berlaku kepada orang yang tidak seagama,
yaitu
dalam
bentuk
kerja
sama
dalam
masalah-masalah
kemasyarakatan atau kemashalatan umum. Dalam hal seperti inilah berlaku toleransi dalam pergaulan antara umat beragama. Perwujudan toleransi seperti ini walaupun tidak berbentuk ibadat, namun bernilai ibadat, karena kecuali melaksanakan suruhan agamanya sendiri, juga bila pergaulan antara umat beragama telah memelihara eksistensi agama masing-masing.51 Terdapat dua macam penafsiran tentang konsep toleransi menurut Prof Dr. Nurcholish Majid. Pertama, penafsiran negatif (negative interpretation of tolerance) yang menyatakan bahwa toeransi itu hanya mensyaratkan cukup dengan membiarkan dan tidak menyakiti orang/kelompok lain. Kedua penafsiran positif (positive interpretation of tolerance) yang menyatakan bahwa toleransi itu membutuhkan lebih dari sekedar membiarkan. Toleransi 51
Said Agil Husin AlMunawar, Fikih Hubungan Antar Agama, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), h. 14.
52
membutuhkan
adanya
bantuan
dan
dukungan
terhadap
keberadaan
orang/kelompok lain. Hanya saja, interpretasi positif ini hanya boleh terjadi dalam situasi di mana objek dari toleransi itu tidak tercela secara moral dan merupakan sesuatu yang tak dapat dihapuskan, seperti dalam kasus toleransi rasial.52 Toleransi dalam pergaulan umat beragama bukanlah toleransi statis yang pasif, melainkan toleransi dinamis yang aktif. Toleransi statis adalah toleransi dingin tidak melahirkan kerja sama. Bila pergaulan umat beragama hanya dalam bentuk statis, maka kerukunan antara umat beragama hanya dalam bentuk teoritis. Kerukunan teoritis melahirkan toleransi semu. Toleransi dinamis aktif melahirkan kerjasama untuk tujuan bersama, sehingga kerukunan antara umat beragama bukan dalam bentuk teoritis tetapi sebagai refleksi dari kebersamaan umat beragama sebagai satu bangsa. 53Sebagaimana juga disampaikan oleh Yusuf al-Qardhawi bahwa toleransi sebenarnya tidaklah bersifat pasif, tetapi dinamis. Sehubungan dengan hal tersebut, alQardhawi mengkategorikan toleransi keagamaan dalam tiga tingkatan. Pertama, toleransi dalam bentuk hanya sebatas memberikan kebebasan kepada orang lain untuk memeluk agama yang diyakininya, tetapi tidak memberinya kesempatan untuk melaksanakan tugas-tugas keagamaan yang diwajibkan atas dirinya. Kedua, memberinya hak untuk memeluk agama yang diyakininya, kemudian tidak memaksanya mengerjakan sesuatu sebagai larangan dalam agamanya. Ketiga, tidak mempersempit gerak mereka dalam
52
Nurcholish Majid, Pluralitas Agama (Kerukunan dalam Keragaman), (Jakarta: Penerbit Buku Kompas), h.13. 53 Said Agil Husin AlMunawar, Fikih Hubungan Antar Agama, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), h. 16.
53
melakukan hal-hal yang menurut agamanya halal, meskipun hal tersebut diharamkan menurut agama kita.54 Perwujudan toleransi dalam pergaulan hidup umat beragama direalisasikan dengan cara, pertama setiap penganut agama mengakui eksistensi agamaagama lain dan menghormati segala hak asasi penganutnya. Kedua, dalam pergaulan bermasyarakat setiap golongan umat beragama menampakkan sikap saling mengerti, menghormati dan menghargai. Toleransi beragama adalah pengakuan adanya kebebasan setiap warga untuk memeluk agama yang menjaga keyakinannya dan kebebasan untuk menjalankan ibadatnya. Toleransi beragama meminta kejujuran, kebesaran jiwa, kebijaksanaan dan tanggung
jawab,
sehingga
menumbuhkan
perasaan
solidaritas
dan
mengeliminir egoistis golongan. Toleransi hidup beragama itu bukan suatu campur aduk, melainkan terwujudnya ketenangan, saling menghargai bahkan sebenarnya lebih dari itu, antar pemeluk agama harus dibina gotong royong di dalam membangun masyarakat kita sendiri dan demi kebahagian bersama. Sikap permusuhan, sikap prasangka harus dibuang jauh-jauh diganti dengan saling menghormati dan menghargai setiap menganut agama-agama.55 Sikap toleran merupakan sikap yang berada diantara sikap ekslusif dan inklusif. Sikap ekslusif ada pada orang-orang yang menutup diri dari seluruh atau sebagian kebenaran lain di luar yang ia percayai. Sedangkan sikap inklusif adalah sikap dimana seseorang meyakini kebenaran diri sendiri, sambil berusaha memahami dan menerima kemungkinan kebenaran yang lain
54
Yusuf al-Qardhawi, Minoritas NonMuslim di dalam Masyarakat Islam, Penerjemah Muhammad Baqir, (Bandung: Mizan, 1985), h. 95-97. 55 Said Agil Husin AlMunawar, Fikih Hubungan Antar Agama, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), h. 16-17.
54
bahkan siap untuk bekerja sama secara aktif di tengah perbedaan itu. Sikap toleran berada di tengah kedua sikap tersebut, yakni sikap membiarkan yang lain namun masih secara pasif. Pasif yang dimaksud adalah tidak ada keinginan untuk sampai memahami dan terlibat aktif dalam perbedaanperbedaan yang dijumpai.56 Toleransi mengarah pada sikap terbuka dan mau mengakui adanya berbagai macam perbedaan, baik dari sisi suku bangsa, warna kulit, bahasa, adat-istiadat, budaya, bahasa serta agama. Ini semua merupakan fitrah dan sunatullah yang sudah menjadi ketetapan Tuhan. Landasan pemikiran ini adalah firman Allah SWT dalam QS Al-Hujarat ayat 13:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” Ayat ini menjelaskan bahwa pluralitas memang dikehendaki oleh Allah SWT.
Tetapi
perbedaan
tersebutdalam
kerangka
yang
baik.Islam
mengajarkan persamaan antara sesama manusia. Perbedaan warna kulit, bahasa, budaya, jenis kelamin dan sebagainya bukan alasan manusia merasa memiliki derajat yang lebih tinggi diantara yang lainnya. Pada kenyataannya yang membedakan manusia dengan manusia lainnya dihadapan Allah adalah ketakwaannya. Oleh karena itu, adanya suatu perbedaan diantara manusia 56
Muhammad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural, Menghargai Kemajukan Menjalin Kebersamaan, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003)
55
bukan maksud Allah ingin merendahkan mereka diantara yang lainnya, melainkan Allah menciptakan mereka dengan sebaik-baiknya. Serta kenyataan perbedaan itu adalah ujian keimanan masing-masing pemeluk agama.
D. Komunikasi Empatik Kata empati berasal dari kata “einfuhlung” yang semula disunakan oleh seorang psikolog Jerman. Kata ini secara Harfiah berarti merasa terlibat (feeling into). Empati menurut Onong Uchana Effendy adalah kemampuan memproyeksikan diri kepada orang lain. Dengan kata lain, empati adalah kemampuan menghayati perasaan orang lain atau merasakan sesuatu yang dirasakan orang lain. Empati memfasilitasi komunikasi, kerjasama, sikap menghormati dan sifat kasih sayang.57 Dalam penggunaan sehari-hari, empati didefinisikan sebagai berada pada posisi orang lain, sebagai simpati yang dalam, sebagai kepekaan pada kebahagiaan bukan pada kesedihan dan sinonim langsung dari simpati. Menurut Bennet sebagaimana dikutip Dedy Mulyana empati didefinisikan sebagai partisipasi emosional dan intelektual secara imajinatif pada pengalaman orang lain. Dalam empati kita berpartisipasi bukan menempatkan dan kita berhubungan dengan pengalaman dan bukan posisi. Kita harus memasuki kepala dan hati orang lain, berpartisipasi
57
Ade Masturi, Membangun Relasi Sosial Melalui Komunikasi Empatik(Perspektif Psikologi Komunikasi), Komunikasi Jurnal Dakwah dan Komunikasi Vol. 4, Nomor 1 Januari-Juni 2010, h 16.
56
dalam pengalamannya seakan-akan kita betul-betul orang lain itu.58 Penulis menyimpulkan komunikasi empatik adalah dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain dengan bagaimana perasaan orang lain itu rasakan. Kegagalan
komunikasi
salah
satunya
karena
kurangnya
kemampuan mendengarkan dengan empati. Oleh karenanya Floyd yakin bahwa empati adalah “the key to effective listening and therefore to communication”, empati adalah kunci untuk mendengarkan secara efektif sehingga menghasilkan komunikasi yang efektif pula. Komunikasi empatik merupakan salah satu keterampilan berkomunikasi untuk mendukung pencapaian tujuan komunikasi dari sisi persuasif maupun informatif. Komunikasi empatik berarti komunikasi yang dilandasi kesadaran untuk memahami dengan perasaan, kepedulian dan perhatian terhadap komunikan. Karena itu, dalam komunikasi empaik yang perlu diperhatikan adalah cara memahami orang lain.59 Ada enam langkah yang manjadi petunjuk mengembangkan keterampilan empati, yaitu:60 1. Mengasumsikan Perbedaan, membayangkan diri sebagai asing secara potensial adalah salah satu diantara aspek yang paling sukar dalam memikirkan realitas majemuk. Tetapi, pendekatan ini diperlukan untuk menjembatani pemisahan individu yang terkandung pada asumsi 58
Dedy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi Antar Budaya, (Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2005), h. 87-88. 59 Ade Masturi, Membangun Relasi Sosial Melalui Komunikasi Empatik(Perspektif Psikologi Komunikasi), Komunikasi Jurnal Dakwah dan Komunikasi Vol. 4, Nomor 1 Januari-Juni 2010, h 18-19. 60 Dedy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi Antar Budaya, (Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2005), h. 89-92.
57
perbedaan yang dengan cara lain tidak mungkin dilakukan. Jika kita menerima bahwa kita bisa saja berbeda dan menghadapi kontruksi dan situasi berbeda maka kita akan bebas membayangkan pikiran dan perasaan kita dari perspektif yang lain. Selama kita dapat menghubungkan perspektif dari hasil bayangan kita dengan perspektif orang lain yang sebenarnya, maka barulah kita dapat melakukan empati. 2. Mengenali diri, persiapan yang diperlukan adalah mengenal diri kita secukupnya sehingga dimungkinkan peneguhan kembali identitas individual secara mudah. Jika kita menyadari nilai, asumsi dan keyakinan individual secara kultural kita sendiri yakni bagaimana kita mendefinisikan identitas kita maka kita tidak perlu takut kehilangan diri kita. Kita tidak akan kehilangan sesuatu yang dapat diciptakan kembali sekehendak kita. Titik berat pada pengetahuan diri tidak boleh jatuh menjadi pemujaan diri. 3. Menunda diri, salah satu cara memikirkan prosedur ini adalah membayangkan bahwa diri atau identitas adalah batas arbitrer yang kita tarik antara diri kita dengan dunia yang lain, termasuk orang lain. Penangguhan diri adalah perluasan batas ini secara sementara menghilangkan pemisahan antara diri dan lingkungan. Penundaan batas diri diperlancar dengan mengetahui dimana batas-batas itu (pengetahuan diri), tetapi ini hanya terjadi jika orang pertama-tama memiliki asumsi realitas ganda yang dirujukkan pada diri sendiri.
58
4. Melakukan Imajinasi Terbimbing, agar empati interpersonal yang cermat terjadi, kita harus membiarkan imajinasi kita dibimbing ke dalam pengalaman orang lain yang tertentu. Jika kita berusaha secara aktif membimbing imajinasi, yang terjadi lebih menyerupai berpikir. Jika kita berhasil membiarkan imajinasi kita disedot oleh orang lain, kita sedang berpartisipasi secara imajinatif pada pengalaman orang lain. Menurut Bennet perasaan pergeseran kesadaran ini sangat mirip dengan partisipasi imajinatif dalam permainan teater atau novel. Hal lain yang sejalan dengan imajinasi terbimbing adalah penggunaan intuisi dalam pemecahan masalah kreatif. 5. Membiarkan pengalaman empati, jika kita membiarkan imajinasi kita dibimbing ke dalam orang lain, kita sedang mengalami seakan-akan orang itu adalah diri kita sendiri. Intensitas pengalaman empati, bahkan bisa jadi lebih besar, sejajar dengan intensitas drama yang kadangkadang lebih besar dari kehidupan. Pengalaman empati seperti imajinasi harus dibiarkan mengarahkan pengalaman secara sadar, menurut definisi adalah kegiatan sadar diri dan karena itu tidak tepat untuk batas yang diperluas, yang bergerak pada langkah ini. 6. Meneguhkan kembali diri, dalam kebudayaan kita paling tidak peneguhan diri itu adalah komponen yang diperlukan untuk komunikasi empati. Tujuan empati bukanlah kehidupan terus menerus seperti alam semesta ini, sebaliknya empati interpersonal membiarkan penundaan identitas secara terkendali dan sementara untuk mencapai tujuan khusus, memahami orang lain. Jika tujuan ini tercapai, batas-
59
batas diri dapat ditegakkan kembali. Identitas diteguhkan kembali dengan pertama-tama menciptakan lagi rasa keterpisahan antara diri dengan orang lain yang merupakan keadaan normal dalam kebudayaan kita. Adapun kendala-kendala yang dihadapi dalam komunikasi empatik, yaitu: pertama, lingkungan keluarga, empati sulit tumbuh dalam keluarga
yang
orangtuanya
tidak
punya
rasa
empatik.
Kedua,
menyembunyikan kekecewaan atau kemarahan, empati lebih kentara ketika orang lain berprilaku dan bersikap sesuai dengan prefensi (orang lebih mudah berempati pada temannya yang bersikap baik kepadanya). Ketiga, membuat asumsi tentang motivasi orang lain, perasaan empatik berkurang bila prasangka (negatif) muncul dalam komunikasi, hal ini akan mendistorsi hubungan dan akan mengakibatkan rusaknya komunikasi. Keempat, terlalu berempati, sikap empati seing dirancukan dengan sikap mengalah, tidak jujur mengutarakan perasaan, tidak tegas atau tidak terus terang, empati seharusnya mempertimbangkan secara mendalam perasaan orang laindan kemudian membuat keputusan-keputusan cerdas yang berhasil merespon perasaan-perasaan itu.61 Agar komunikasi berjalan efektif, para pelaku komunikasi harus mempertahankan dan menerapkan prinsip komunikasi empatik, yaitu: pertama, prinsip keseluruhan bukan sebagian. Kedua, moral. Ketiga, berusaha mengerti baru dimengerti. Keempat, diagnosa sebelum respon.
61
Ade Masturi, Membangun Relasi Sosial Melalui Komunikasi Empatik(Perspektif Psikologi Komunikasi), Komunikasi Jurnal Dakwah dan Komunikasi Vol. 4, Nomor 1 Januari-Juni 2010, h 19-21.
60
Kelima, keyakinan. Keenam, kontak mata. Ketujuh, senyuman. Kedelapan, saling menyukai.62
62
Ade Masturi, Membangun Relasi Sosial Melalui Komunikasi Empatik(Perspektif Psikologi Komunikasi), Komunikasi Jurnal Dakwah dan Komunikasi Vol. 4, Nomor 1 Januari-Juni 2010, h 24-27.
BAB III GAMBARAN UMUM
A. Profil Kelurahan Parapat Kelurahan Parapat adalah salah satu dari tiga kelurahan dan dua nagori yang ada di kecamatan Girsang Sipanganbolon dan masuk dalam kabupaten Simalungun provinsi Sumatera Utara yang terletak pada ketinggian 910 meter dari permukaan laut. Secara umum kelurahan Parapat beriklim dingin dan sejuk dengan batas-batas sebagai berikut: Sebelah utara berbatasan dengan kecamatan Dolok Panribuan, sebelah selatan berbatasan dengan kelurahan Tigaraja/ kabupaten Tobasa, sebelah timur berbatasan dengan kelurahan Girsang dan sebelah barat berbatasan dengan Nagori Sibaganding. Kelurahan Parapat mempunyai topografi yang bervariasi yaitu datar, bergelombang dan berbukit hingga kemiringan 750.1
B. Luas Wilayah Luas wilayah kelurahan Parapat adalah 1.452 Ha yang terdiridari:2 1. PemukimanUmum
: 192 Ha
2. Perkantoran
:
3 Ha
3. Pertokoan/Perdagangan
:
3 Ha
4. Sekolah
:
6 Ha
5. Terminal
: 2,5 Ha
6. Peribadatan/Mesjid, Gereja, Vihara : 1
14 Ha
Data Monografi Kelurahan Parapat pada Tahun 2016 Data Monografi Kelurahan Parapat pada Tahun 2016
2
61
62
7. Kuburan
: 1,5 Ha
8. SawahPengairan ½ Teknis
:
6 Ha
9. Jalan
:
6 Ha
10. Ladang/Tegalan
:
58 Ha
11. Perkebunan Rakyat
:
20 Ha
12. HutanAsli
:1,116 Ha
13. TempatRekreasi
:
2 Ha
14. RekreasiOlahraga
:
2 Ha
15. Danau
:
6 Ha
16. Padang/Ilalang
:
3 Ha
17. Padang Rumput
:
2 Ha
18. Lain-lain
:
10 Ha
C. Lingkungan Di kelurahan Parapat tidak terdapat RT maupun RW, tetapi yang terdapat adalah pembagian lingkungan. Ada 7 lingkungan yang terdapat di kelurahan Parapat, yaitu terdiri dari:3 Tabel 01 Lingkungan di Wilayah Kelurahan Parapat No
Lingkungan
Wilayah
1.
Lingkungan I
JlnAnggarajim, JlnSisimangaraja sampai Parit Ganjang
2.
Lingkungan II
Terminal, Jln Bangun Dolok, Sosor Saba dan Jln Sisingamangaraja Atas
3
Data Monografi Kelurahan Parapat pada Tahun 2016
63
No
Lingkungan
Wilayah
3.
Lingkungan III
Kampung Bangun Dolok dan Buntu Malasang
4.
Lingkungan IV
Jln Pemuda, Jln Jonatan Sinaga, Jln Josep Sinaga, Buntu Pasir Tigarihit
5.
Lingkungan V
Jln Merdeka, Jln Gotong Royong, Pangasean, Jln Sisingamangaraja Atas dan Sosor Tolong
6.
Lingkungan VI
Jln Merdeka, Jln Josep Sinaga, Jln Pendidikan dan Jln Pembangunan
7.
Lingkungan VII
Kampung
Simangaruntak,
Jln
RSU,
Jln
Sisingamangajara Atas batas lapangan Golf
D. Jumlah Penduduk Adapun jumlah kepala keluarga yang ada di kelurahan Parapat adalah berjumlah 1.487 orang dengan rincian jumlah kepala keluarga laki-laki sebanyak 1.423 orang dan kepala keluarga perempuan berjumlah 64 orang. Adapun jumlah penduduk di kelurahan Parapat menurut laporan bulanan kependudukan kelurahan Parapat bulan Mei 2016 adalah berjumlah 6.563 orang dengan jumlah penduduk usia 0-16 tahun berjumlah 2.506 orang dan penduduk usia 17 tahun ke atas yaitu berjumlah 4.057 orang.
64
Tabel 02 Jumlah Penduduk Kelurahan Parapat Berdasarkan Kepala Keluarga KepalaKeluarga No
Kelurahan
L
P
Usia 0-16 tahun
17 tahun keatas
1.
Lingkungan I
186
11
382
759
2.
Lingkungan II
268
12
479
779
3.
Lingkungan III
51
4
79
160
4.
Lingkungan IV
277
16
553
790
5.
Lingkungan V
297
13
526
801
6.
Lingkungan VI
241
6
334
622
7.
Lingkungan VII
103
2
153
106
1.423
64
2.056
4.057
Jumlah
Adapun jumlah penduduk kelurahan Parapat berdasarkan agamanya adalah yang beragama Islam berjumlah 395 orang, beragama Katolik berjumlah 810 orang, beragama Kristen Protestan berjumlah 3.686 orang dan beragama Budha berjumlah 34 orang.
65
Tabel 03 Jumlah Penduduk Kelurahan Parapat Berdasarkan Agama JumlahPendudukMenurut Agama No
Kelurahan
Islam
Katolik
Kristen
Budha
Protestan 1.
Lingkungan I
90
101
709
31
2.
Lingkungan II
90
123
706
-
3.
Lingkungan III
9
-
174
3
4.
Lingkungan IV
75
248
665
-
5.
Lingkungan V
80
214
587
-
6.
Lingkungan VI
42
107
525
-
7.
Lingkungan VII
9
17
320
-
395
810
3.686
34
Jumlah
Adapun mata pencaharian yang ada di kelurahan Parapat adalah bertani, wiraswasta, TNI/POLRI, PNS dan lain-lain. Berikut adalah grafik mata pencaharian
yang
lingkungannya.
ada
di
kelurahan
Parapat
berdasarkan
wilayah
66
Tabel 04 Jumlah Penduduk Kelurahan Parapat Berdasarkan Mata Pencaharian
Mata Pencaharian No
Kelurahan
Bertani
Wiraswasta
TNI/P
PNS
DLL
OLRI 1.
Lingkungan I
100
392
2
20
189
2.
Lingkungan II
200
547
7
15
190
3.
Lingkungan III
100
21
-
-
15
4.
Lingkungan IV
150
397
1
16
85
5.
Lingkungan V
34
297
2
30
201
6.
Lingkungan VI
47
248
1
50
114
7.
Lingkungan VII
138
83
-
11
56
769
1.985
13
142
850
Jumlah
E. Tempat Ibadah Adapun tempat ibadah yang ada di kelurahanParapat adalah Gereja yang berjumlah 4, Mesjid berjumlah 1, Mushala berjumlah 1 dan Vihara berjumlah 1 bangunan. F. Struktur Kepemimpinan di KelurahanParapat Berikut merupakan bagan organisasi Kelurahan Parapat Perda Kabupaten Simalungun No.17 Tahun 2008: Lurah
: Parningotan Girsang
Sekretaris
: Riemsi Manik
67
Kasi Pemerintahan
: Rohana Sampetua Sinaga, SH
Kasi Kesra
: Ramasa, Spd
Kepling 1
: Alter Silalahi
Kepling 2
: Yull Bryner Pakpahan
Kepling 3
: Ramses Sidabutar
Kepling 4
: Jamian Sigiro
Kepling 5
: Huala Sinaga
Kepling 6
: Wilman Sagala
Kepling 7
: Posder Sirait
G. Iklim Curah hujan tahunan rata-rata 4.417 mm dengan 120 hari hujan dan curah hujan tertinggi adalah pada bulan September dan terendah pada bulan Juni.Temperatur rata-rata adalah 22° – 24° C.4
H. Produksi Utama Pertanian Adapun produksi utama pertanian di kelurahan Parapat adalah:5 1. Padi sawah 2. Kopi Ateng 3. Jagung 4. Tomat 5. Cabai
4
Data Monografi Kelurahan Parapat Tahun 2016 Data Monografi Kelurahan Parapat Tahun 2016
5
68
I. Pariwisata Kelurahan Parapat banyak didatangi oleh parawisatawan karena di kelurahan Parapat terdapat objek wisata yang terkenal yaitu Danau Toba yang tersebar di sekitar wilayah kelurahanParapat. Di sekitar Danau Toba memiliki fasilitas hotel, bungalow dan restaurant, yaitu: Tabel 05 Hotel/Restaurant di Kelurahan Parapat No. 1.
Hotel / Restaurant Hotel Niagara
2. Hotel Parapat 3. Siantar Hotel 4. Wisma Danau Toba AL/Wisata Bahari 5. Hotel Atsari 6. Hotel Tara Bunga Sibigo 7. Hotel Danau Toba Intl’ 8. Danau Toba Cottage 9. Parapat View Hotel 10. Hotel Toba 11. Hotel Budi Mulya 12. Hotel Darma Agung Beach 13. Hotel I and You 14. Hotel Soloh Jaya 15. Hotel Toba Hill 16. Riris Inn
69
No
Hotel/Restaurant
17. Pakan Baru Hotel 18. Hotel Sinar Baru 19. Penginapan Romeos 20. Hotel Olibert 21. Hotel Tobali 22. Penginapan Mars 23. Hotel New Cendrawasih 24. Wisma Pandu 25. Hotel Sapadia 26. Hotel Pelangi 27. Hotel Sedayu 28. Losmen Saur 29. WismaRetta 30. Penginapan Bina Guna 31. Aek Sere Hotel 32. Star Inn 33. Restaurant Singgalang 34. Restaurant Hongkong 35. Restaurant Sehat 36. Restaurant City 37. Restaurant Sinar Pagi 38. Restaurant Gundaling
70
No
Hotel/Restaurant
39. Restaurant Asia 40. Restaurant Istana
J. Fasilitas Perkantoran dan Bangunan Pemerintah Lainnya 1. Kantor Polisi Sektor (Polsek)
:
1
unit
2. Kantor Lurah
:
3
unit
3. Kantor Pangulu
:
3
unit
4. Kantor Pos dan Giro
:
1
unit
5. Kantor PT. PLN
:
1
unit
6. Kantor PT. Telkom
:
1
unit
7. Kantor BMG
:
1
unit
8. Kantor Satpol Airud
:
1
unit
9. Kantor Dikjar
:
1
unit
10. Kantor KUA
:
1
unit
11. Kantor PDAM
:
1
unit
12. Kantor LLASD
:
1
unit
13. Terminal
:
1
unit
14. Rumah Sakit Umum
:
1
unit
15. Puskesmas
:
1
unit
16. Puskesmas Pembantu (Pustu)
:
2
unit
17. Bank BRI
:
1
unit
18. Bank Sumut
:
1
unit
19. ATM Bank BNI
:
1
unit
71
20. ATM Bank Mandiri
:
1
unit
21. ATM Bank Sumut
:
2
unit
22. SMA Negeri
:
1
unit
23. SMA Swasta HKBP
:
1
unit
24. SMP Negeri
:
2
unit
25. SMP Swasta HKBP
:
1
unit
26. MTS MRT. Parapat
:
1
unit
27. SD Negeri
:
17
unit
28. TK
:
7
unit
K. Sosial Budaya, Ketentraman dan Ketertiban Masyarakat 1. Sosial Budaya a. Penduduk Kelurahan Parapat terdiri dari suku Batak Toba dan Simalungun (mayoritas) serta suku lainnya suku Jawa, Minang, Melayu, Aceh, Karo dan Nias. Bahasa yang dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari adalah bahasa Batak Toba dan bahasa Indonesia. b. Penduduk Kelurahan Parapat mempunyai Kesenian Khas Toba dan Simalungun dan kesenian yang paling diminati masyarakat adalah seni tari dan seni suara. 2. Ketentraman dan Ketertiban Masyarakat Berbicara tentang ketentraman dan ketertiban di Kelurahan Parapat pada dasarnya telah didukung oleh faktor kepatuhan / kesadaran masyarakat terhadap adat istiadat dan agama, namun tidaklah kurang artinya langkah yang ditempuh pemerintah dalam menangani bidang
72
keamanan dan ketertiban yaitu bentuk organisasi Perlindungan Masyarakat dan Pos Keamanan Lingkungan (Poskamling). Gangguan keamanan yang bersifat kriminalitas dapat dikatakan tidak ada yang menyolok baik dilingkungan masyarakat maupun terhadap wisatawan yang berkunjung ke Kota Wisata Parapat. Demikian juga pedagang kaki lima maupun pedagang asongan tidak ada saling berebutan tempat, semua ditempatkan pada tempat yang ditentukan. Dan yang paling penting adalah keamanan dan ketentraman wisatawan yang berekreasi di danau Toba sangat terjaga.Hal ini dapat terlaksana berkat kesiapan / kesadaran masyarakat serta Petugas Lalu Lintas Sungai dan Danau (LLASD) serta Tim SAR Parapat berkoordinasi dengan Polisi Parapat. Jadi secara umum keamanan dan ketertiban masyarakat di Kelurahan Parapat dapat dikatakan aman, tentram dan tertib serta terkendali. L. Suku Dalam cerita rakyat disebtkan bahwa masyarakat Batak berasal dari dua orang manusia ciptaan Mulaji Nabolon yang dinamakan Siraja Ilhatmanisia (laki-laki) dan Siboru Ilhatmanisia (perempuan). Siraja Ilhatminisia mempunyai tiga orang anak, salah seorang diberi nama Raja Miokmok. Kemudian anak Raja Miokmok bernama Engbanua yang memiliki seorang anak bernama Raja Bonangbonang. Raja Bonangbonang ino mempunyai tiga orang anak bernama Guru Tantan Debata, Si Asi dan Si Jau. Guru Tantan Debata memiliki dua orang anak bernama Guru Tatea
73
Bulan dan Raja Isumbaon. Pada generasi berikutnya Guru Tatea Bulam memiliki lima orang anak laki-laki dan tiga orang anak perempuan, dua diantaranya melakukan kawin sumbang dan mempunyai tiga orang anak bernama Siraja Lontung, Siraja Borbor dan Babiat. Ketiga orang inilah sebagai nenek moyang masyarakat Batak selain dari keturunan Raja Isumbaon.6 Keturunan Siraja Batak terbagi atas dua bagian besar, yaitu: Pertama adalah belahan Lontung yang merupakan himpunan dari Borbor dan sejumlah marga yang lebih kecil (babiat), yang berasal dari keturunan Guru Tatea Bulan. Marga yang termasuk dalam belahan Lontung adalah Pasaribu, Batubara, Parapat, Tarihoran, Matondang, Saruksuk, Sahang Maima, Sipahutar, Harahap, Tanjung, Pusuk, D. Pulungan, Lubis, Nahulu, Sahang Mataniari, Gultom, Pakpahan, Sitinjak, Siahaan, Sianturi, Rajagukguk, Ritonga, Siagian. Kemudian belahan Sumba yang ke dalamnya termasuk kelompok marga turunan Raja Isumbaon. Kelompok marga yang termasuk belahan Smba adalah Simbolon, Sitanggang, Simanik, Rumabolon, Ruma Ganjang, Sitindaon, Sidabtar, Sijabat, Sidari, Sidabalok, Turnip, Sidauruk, Sitio, Sialagan, Sinapitu, Simarmata, Saragi, Manurung, Pane, Sirait, Siahaan, Siagian, Purba, Tampubolon, Silaen, Simanjuntak, Nasutian, Dalimunte, Hutagaol, Panjaitan, Silitonga, Marpaung, Napitupulu, Simangunsong, Pangaribuan, Hutajulu, Sihaloo, Sipayng, Lumbanpea, Lumbangaol7
6
Tim Penulis Balai Arkeologi Medan, Sumatera Utara: Catatan Sejarah dan Arkeologi, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2014), h. 126. 7 Tim Penulis Balai Arkeologi Medan, Sumatera Utara: Catatan Sejarah dan Arkeologi, h. 126-127.
74
Masyarakat Batak Toba menganut sistem patrilinier dan marga disusun berdasarkan garis keturunan laki-laki. Sistem marga itu diatur berdasarkan Dalihan Na Tolu yang terdiri dari tiga unsur: saudara semarga (dongan sabutuha), pihak pemberi istri (hula-hula), dan penerima istri (boru). Sedangkan sistem pelapisan sosial masyarakat Batak Toba didasarkan atas senioritas, jabatan dan sifat keaslian.8
8
Tim Penulis Balai Arkeologi Medan, Sumatera Utara: Catatan Sejarah dan Arkeologi, h. 127.
BAB IV PEMBAHASAN
A. Pola Komunikasi Masyarakat Muslim dengan Masyarakat non-Muslim di Kelurahan Parapat Setelah penulis melakukan penelitian di kelurahan Parapat, penulis melihat komunikasi yang terjalin antara masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim terjalin dengan baik. Di kelurahan Parapat mayoritas dihuni oleh masyarakat bersuku Batak dan ada pula yang bersuku Minang dan Jawa tetapi itu minoritas. Masyarakat Muslim di kelurahan Parapat banyak yang bersuku Minang dan Jawa, ini terlihat dari banyaknya rumah makan yang bernuansa Minang dan Jawa karena memang Parapat merupakan daerah pariwisata sehingga banyak ditemukan rumah makan dengan berbagai pilihan menu. Selain itu terlihat pula dari nama-nama mereka yang tidak bermarga karena dalam suku Batak dibelakang nama orang terdapat marga yang merupakan turunan dari Ayahnya seperti Nasution, Lubis, Sinaga, Sirait dan lain-lain. Masyarakat Batak ada juga yang beragama Islam, kebanyakan dari mereka adalah berasal dari Batak Mandailing dan biasanya marga mereka adalah Lubis, Tampubolon dan Nasution dan juga Gultom. Masyarakat yang bersuku Minang dan Jawa juga ada pula yang menikah dengan masyarakat Batak asli (Muslim) di kelurahan Parapat dan ada pula masyarakat Batak (non-Muslim) yang menikahi masyarakat yang bersuku Minang dan Jawa dan mereka pindah agama dan memeluk agama
75
76
Islam dan juga ada pula masyarakat Minang dan Jawa yang menikahi masyarakat Batak (non-Muslim) dan mereka murtad dari Islam. Hal ini adalah merupakan proses asimilasi, dimana similasi itu adalah prilaku sosial yang timbul bila ada golongan-golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan berbeda-beda, saling bergaul secara intensif untuk waktu yang lama, sehingga kebudayaan-kebudayaan golongan tadi masing-masing berubah sifatnya yang khas dan juga unsurunsur masing-masing berubah wujudnya menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran.1 Biasanya golongan yang berada pada proses asimilasi adalah golongan mayoritas dan beberapa golongan minoritas. Sama seperti di kelurahan Parapat yaitu golongan mayoritasnya adalah mereka yang bersuku Batak dan golongan-golongan minoritasnya adalah mereka yang bersuku Jawa, Minang dan Aceh. Penulis menemukan interaksi yang terjalin baik di kalangan generasi tua masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim di kelurahan Parapat, terlihat dari ketika mereka bertemu di jalan saling menyapa dan mengajak untuk berkunjung ke rumahnya. Tetapi ini sedikit berbeda dengan generasi setelahnya yaitu anak muda kelurahan Parapat mereka menganggap orang yang berbeda agama dan sekolah bukanlah temannya dan tidak saling mengenal walaupun orang tua mereka saling kenal satu sama lain. Ini dikarenakan kurang berinterakasinya mereka dalam pergaulan sehari-hari, mereka hidup dalam satu lingkungan tetapi tidak dekat secara emosional. Mereka akan berbaur bila ada acara yang
1
Koentojoraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta : Aksara Baru, 1981), h. 255.
77
melibatkan mereka atau ketika ada kegiatan yang meilbatkan mereka. Lalu berbeda pula dengan generasi anak-anaknya, seperti kebanyakan anakanak di Indonesia jika mereka sudah bermain bersama maka mereka semua membaur walaupun mereka itu berbeda agama, suku dan lainnya.2 Masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim ketika sedang berinteraksi memakai bahasa Indonesia dan terkadang pula memakai bahasa daerah yaitu terutama bahasa Batak. Masyarakat Muslim yang bukan bersuku Batak pun telah pandai dalam bahasa Batak, ini dikarenakan kebiasaan mendengarkan masyarakat yang bersuku Batak dalam berinteraksi sehari-hari. Bahkan masyarakat Batak mengajarkan masyarakat Muslim untuk berbahasa daerah dan ini merupakan toleransi masyarakat non-Muslim untuk mengajak berbahasa daerah. Karena bila mereka hendak mengatakan keburukan orang Muslim dalam bahasa Batak sudah tidak bisa lagi karena masyarakat Muslim sudah mengerti dengan bahasa Batak.3 Tapi terkadang ada beberapa di antara masyarakat Muslim yang bersuku Jawa ataupun Minang memakai bahasa Jawa ataupun Minang, bila mereka bertemu dengan orang yang satu suku juga maka mereka pun menggunakan bahasa Jawa atau Minang. Masyarakat Minang dengan masyarakat Minang dan masyarakat Jawa dengan masyarakat Jawa. Tetapi ini bukanlah merupakan bahasa utama bila sedang berinteraksi di antara masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim. Adapun bentuk komunikasi yang dilakukan masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim di kelurahan Parapat dalam konteks 2
Hasil Observasi PenulisPada kurun waktu Mei-Juli 2016 Hasil wawancara dengan Ustadz Suadji sebagai Ustadz di kelurahan Parapat pada tanggal 13 Juni 2016 3
78
toleransi beragama pada bulan Ramadhan adalah komunikasi antarpribadi dan komunikasi kelompok. 1. Komunikasi antarpribadi masyarakat Muslim dengan masyarakat nonMuslim di kelurahan Parapat dalam konteks toleransi beragama pada bulan Ramadhan Kegiatan-kegiatan masyarakat Muslim di bulan Ramadhan di kelurahan Parapat cukup banyak diantaranya, melaksanakan shalat Taraweh, Tadarus, buka puasa bersama, pesantren kilat dan diadakannya acara gebyar Ramadhan.4 Adapun acara gebyar Ramadhan ini adalah dibukanya kantin-kantin menjelang buka puasa. Dalam kegiatan Ramadhan yang diadakan ini tidak hanya melibatkan masyarakat Muslim saja tetapi masyarakat non-Muslim pun ikut meramaikannya. Seperti, saat hendak melaksanakan shalat Taraweh supir-supir angkot yang notabene beragama non-Muslim langsung mengantarkan penumpang nya ke Mesjid karena mereka mengetahui karena hendak buru-buru shalat Taraweh.5 Contoh lainnya adalah dalam kegiatan gebyar Ramadhan diadakannya berjualan makanan menjelang berbuka puasa, yang membeli makanan itu tidak hanya masyarakat Muslim saja tetapi masyarakat non-Muslim pun ikut membeli makanan tersebut dan ini mendatangkan rezeki bagi masyarakat Muslim.6 Selain itu, ketika
4
Hasil Wawancara dengan Bapak Sumari sebagai Ketua Kenaziran Mesjid Raya Taqwa Parapat pada tanggal 15 Juni 2016 5 Hasil Wawancara dengan Bapak H. Maimun selaku ketua MUI kecamatan Girsang Sipanganbolon pada Tanggal 15 Juni 2016 6 Hasil wawancara dengan Ustadz Suadji sebagai Ustadz di kelurahan Parapat pada tanggal 13 Juni 2016
79
masyarakat
Muslim
mengadakan
buka
puasa
bersama
yang
diselenggarakan oleh pihak hotel yang ada di sekitar kelurahan Parapat, mereka tidak hanya mengundang masyarakat Muslim saja tetapi beberapa perwakilan dari pihak non-Muslim pun diundang untuk ikut dalam acara buka puasa bersama tersebut.7 Masyarakat nonMuslim sejauh ini belum ada yang mengadakan acara buka puasa bersama untuk masyarakat Muslim. Dalam hal supir angkot yang langsung mengantarkan penumpang ke mesjid agar tidak terlambat dalam melaksanakan shalat taraweh itu termasuk ke dalam komunikasi empatik yang langkah keempat yaitu melakukan imajinasi terbimbing. Dimana agar komunikasi empati interpersonal yang cermat terjadi, kita harus membiarkan imajinasi kita dibimbing ke dalam pengalaman orang lain yang tertentu. Disini sopir angkot melakukan imajinasi terbimbing yang dimana dia merasa seolah-oleh dia adalah orang yang hendak melaksanakan shalat Taraweh dan akan segera dilaksanakan. Karena itu dia terlebih dahulu menurunkan penumpang yang hendak ke mesjid untuk melaksanakan shalat taraweh. Dalam hal masyarakat Muslim mengundang perwakilan dari masyarakat non-Muslim untuk ikut dalam acara buka puasa bersama, ini juga dapat membangun komunikasi empatik. Karena di dalam komunikasi empatik komunikator harus mampu memahami, memiliki kepedulian dan penghargaan serta perhatian terhadap orang lain. 7
Hasil Wawancara dengan Jan Warisman sebagai Pimpinan Jemaat Gereja GKPS Parapat pada tanggal 15 Juli 2016
80
Masyarakat Muslim sebagai komunikator telah menunjukkan rasa memiliki kepedulian serta perhatian terhadap orang lain dengan ikut mengundang masyarakat non-Muslim untuk ikut acara buka puasa bersama. Masyarakat non-Muslim juga turut melakukan komunikasi empatik dengan turut hadir untuk memenuhi undangan dari masyarakat Muslim, mereka menghargai undangan dari pihak Muslim. Dalam hal ini masyarakat Muslim yang berjualan dengan pembeli masyarakat non-Muslim telah melakukan komunikasi antarpribadi. Dimana komunikasi antarpribadi itu adalah adalah menurut Joseph A. Devito seperti yang dikutip oleh Onong U. Effendy yaitu proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan antara dua orang atau diantara sekelompok kecil orang-orang, dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik seketika.8 Masyarakat Muslim mendapatkan efeknya berupa rezeki yang diberikan masyarakat non-Muslim melalui makanan yang dibelinya dan masyarakat non-Muslim mendapatkan efek berupa kepuasan telah membeli makanan siap saji tanpa harus memasak lagi. Komunikasi yang terjadi antara masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim ini juga termasuk ke dalam salah satu tipologi sikap beragama yaitu inklusif. Inklusifisme adalah memandang bahwa “keselamatan” bukan monopoli agamanya, penganut agama lain yang secara emplisit berbuat benar menurut agamanya akan mendapatkan
8
Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003) h. 59-60.
81
keselamatan juga.9 Di Kelurahan Parapat masyarakat menjalankan agamanya menurut perintah agamanya masing-masing. Masyarakat Muslim dan masyarakat non-Muslim juga saling menghargai ibadah masing-masing agama. Mereka tidak mudah curiga pada agama lain dan mereka juga tidak saling mengganggu satu sama lain. Buat mereka ungkapan “agamamu lah untukmu dan agamaku lah untukku” dijalankan dengan baik sehingga tidak pernah terjadi konflik diantara mereka yang melibatkan perpecahan agama. 2. Komunikasi Kelompok masyarakat Muslim dengan masyarakat nonMuslim di kelurahan Parapat dalam konteks toleransi beragama pada bulan Ramadhan Pihak
kenaziran
Mesjid
selaku
panitia
Ramadhan
juga
mengkomunikasikan acara-acara di Ramadhan melalui surat edaran yang disampaikan kepada pihak kelurahan Parapat.10 Di kelurahan Parapat juga diadakannya Jumat bersih yang dilakukan tiap dua minggu sekali pada hari Jumat. Dalam kegiatan acara Jumat bersih ini masyarakat Muslim bekerja sama dengan masyarakat non-Muslim dalam membersihkan lingkungannya masing-masing karena di kelurahan Parapat ini terbagi-bagi atas lingkungan, seperti di daerah lain itu dinamakan RT atau RW. Dalam bulan Ramadhan pun tetap dilaksanakan Jumat bersih ini.Jumat bersih ini diliburkan apabila di hari itu ada acara besar seperti jika hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha
9
Thomas F O’Dea, Sosiologi Agama Suatu Pengantar Awal, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995(, h.217. 10 Hasil Wawancara dengan Bapak Sumari sebagai Ketua Kenaziran Mesjid Raya Taqwa Parapat pada tanggal 15 Juni 2016
82
jatuh pada hari Jumat dan juga jika jatuh pada Jumat agung yang dirayakan oleh masyarakat non-Muslim.11 Dalam kegiatan ini terlihat komunikasi kelompok yang terjadi antara masyarakat Muslim dan masyarakat non-Muslim di kelurahan Parapat.Dimana, komunikasi kelompok adalah adalah komunikasi yang berlangsung antara seorang komunikator dengan sekelompok orang yang jumlahnya lebih dari dua orang. Sekelompok orang yang menjadi komunikan itu bisa sedikit, bisa banyak. Apabila jumlah orang yang dalam kelompok itu sedikit berarti kelompok itu kecil dan disebut komunikasi kelompok kecil (small group communication). Jika jumlahnya banyak yang berarti kelompoknya besar dinamakan komunikasi kelompok besar (large group communication).12 Pihak Kelurahan Parapat mengundang masyarakat Muslim dan masyarakat non-Muslim untuk duduk bersama-sama membicarakan masalah kebersihan di kelurahan Parapat. Sehingga dalam forum itu ditetapkan bahwa tiap Jumat dua minggu sekali diadakannya Jumat bersih. Ini bisa dikatakan termasuk dalam komunikasi kelompok besar karena melibatkan banyak orang dalam masyarakat di kelurahan Parapat. Di kelurahan Parapat suasana sahurnya sedikit berbeda dengan suasana di daerah lain di Indonesia. Di daerah lain seperti Jakarta dan sekitarnya untuk membangunkan dan juga mengingatkan warga sekitar rumah untuk sahur biasanya dengan cara berkeliling rumah dan meneriakan sahur atau memakai pengeras suara di mesjid atau mushala 11
Hasil wawancara dengan Ustadz Suadji sebagai Ustadz di kelurahan Parapat pada tanggal 13 Juni 2016 12 Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi, h. 75.
83
terdekat. Hal ini berbeda dengan di kelurahan Parapat, hal seperti itu tidak ada. Ketika sahur maka tidak ada membangunkan warga sekitar dengan berkeliling dan juga membangunkan memakai pengeras suara dari mesjid. Hal ini dilakukan karena rumah masyarakat Muslim yang satu dan Muslim yang lainnya di kelurahan Parapat berjauhan dan juga untuk menghargai masyarakat non-Muslim yang sedang beristirahat pada jam sahur. 13 Menurut penulis, sikap yang ditunjukkan masyarakat Muslim kepada masyarakat non-Muslim dengan membangunkan sahur tanpa memakai pengeras suara termasuk dalam komunikasi empatik. Masyarakat Muslim mampu menghayati perasaan masyarakat nonMuslim atau merasakan apa yang dirasakan masyarakat non-Muslim. Karena bila membangunkan sahur memakai pengeras suara maka akan mengganggu waktu tidur dan istirahat masyarakat non-Muslim di sekitar wilayah Mesjid Raya Taqwa Parapat. Masyarakat Muslim dapat memahami apa yang dirasakan oleh masyarakat non-Muslim dan juga menghormati hak-hak masyarakat non-Muslim yang hendak istirahat dengan tenang.
B. Toleransi Beragama Masyarakat Muslim dengan Masyarakat non-Muslim di Kelurahan Parapat pada Bulan Ramadhan Agama adalah suatu ciri kehidupan sosial umat manusia yang universal, dalam arti bahwa semua masyarakat mempunyai cara-cara 13
Hasil Wawancara dengan Bapak H. Maimun selaku ketua MUI kecamatan Girsang Sipanganbolon pada Tanggal 15 Juni 2016
84
berpikir dan pola-pola prilaku yang memenuhi syarat untuk disebut “agama”. Banyak dari apa yang disebut agama termasuk dalam suprastruktur agama terdiri dari pesan-pesan bertipe simbol, citra, kepercayaan
dan
nilai-nilai
spesifik
dengan
mana
manusia
menginterpretasikan eksistensi mereka. Akan tetapi, agama juga mengandung kompenen ritual, maka sebagian agama tergolong juga dalam stuktur sosial bahkan budaya masyarakat.14 Dalam kehidupan masyarakat kita akan dihadapkan dengan berbagai lapisan masyarakat yang berbeda agama. Agar tidak terjadi konflik diantara masyarakat yang heterogen maka diperlukan adanya sikap toleransi beragama. Toleransi beragama adalah saling menghargai antara agama yang satu dengan agama yang lainnya, tidak saling menggangu dan saling menjaga bagaimana kegiatan keagamaan itu berjalan sebagaimana tertulis dalam Alqur’an “Lakum dinukum waliyadin (untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku)”.15 Sedangkan dalam ajaran Kristen toleransi
beragama
adalah
saling
menghargai
dan
menghormati
sesamanya, sesamanya disini adalah tanpa memandang ras, suku maupun agama.16 Di Kelurahan Parapat belum pernah terjadi konflik antara masyarakat
Muslim
dengan
masyarakat
non-Muslim
di
bulan
Ramadhan.Ini dikarenakan masyarakat Muslim dengan masyarakat non-
14
Alo Liliweri, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya,(Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2011), h. 267. 15 Hasil wawancara dengan Ustadz Suadji sebagai Ustadz di kelurahan Parapat pada tanggal 13 Juni 2016 16 Hasil Wawancara dengan Pdt. Anggiat Hutahuruk sebagai Pendeta Gereja HKBP Parapat pada tanggal 24 Juli 2016
85
Muslim di kelurahan Parapat memiliki rasa kebersamaan. Dengan adanya rasa kebersamaan ini maka timbul toleransi beragama yang menjadi faktor keberhasilan tidak pernah terjadinya konflik antara masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim di kelurahan Parapat. Karena di kelurahan Parapat ini sistemnya tidak memandang agama, suku, ras dan lainnya karena prinsipnya agar tetap rukun karena kelurahan Parapat merupakan kota pariwisata dengan Danau Toba sebagai simbol pariwisata. 17 Masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim sebagai kelompok masyarakat memang tidak pernah berkonflik karena perbedaan agama. Tetapi sebagai individu masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim pernah berkonflik. Konflik ini banyak disebabkan oleh ketika anak-anak mereka bertengkar lalu orang tua nya pun ikut bertengkar, hal ini biasanya merembet ke masalah perbedaan agama. Akhirnya mereka pun tidak berbaikan dalam jangka waktu tertentu walaupun anak yang menyebabkan mereka bertengkar telah kembali bermain bersama lagi. Contoh lainnya adalah ketika masyarakat non-Muslim yang memelihara anjing dan dibiarkan berkeliaran. Dalam Islam anjing adalah salah satu hewan yang haram, bahkan bila kita bersentuhan dengan anjing pun kita harus mensama’ nya. Biasanya hal ini dapat menimbulkan keributan diantara tetangga yang di lingkungan itu ada masyarakat nonMuslim yang memelihara anjing dan dibiarkan berkeliaran. Masyarakat Muslim tetap pada pendiriannya bahwa anjingnya tidak boleh memasuki kawasan rumahnya dan masyarakat non-Muslim yang memiliki anjing 17
Hasil wawancara dengan Ustadz Suadji sebagai Ustadz di kelurahan Parapat pada tanggal 13 Juni 2016
86
tersebut tetap ingin memelihara anjing itu tanpa mengkandangkan anjingnya. Hal ini dapat menyebabkan permusuhan diantara mereka. Biasanya mereka akan berbaikan bila ada musibah yang menimpa salah satu diantara mereka, maka tetangga akan berdatangan ke rumahnya dan orang yang berkonflik pun berbesar hati untuk datang ke rumahnya dan mereka akan berdamai seperti biasanya.18 Dalam kehidupan masyarakat kelurahan Parapat sebagai kelompok, baik
masyarakat
Muslim
maupun masyarakat
non-Muslim
telah
melakukan komunikasi empatik, dimana mereka tidak mengganggu urusan agama yang lain. Juga sikap saling memiliki dan rasa kebersamaan mendukung dalam
komunikasi
empatik
diantara
mereka.
Tetapi
masyarakat non-Muslim sebagai individu ada beberapa yang tidak memiliki rasa empatik yaitu orang yang membiarkan anjing nya berkeliaran di sekitar rumahnya. Mereka tidak memahami bahwa anjing dalam agama Islam merupakan salah satu hewan yang haram dan jika bersentuhan dengan anjing maka najis baginya. Hal ini juga menandakan mereka tidak menghormati dan menghargai masyarakat Muslim yang hidup di sekitar rumahnya. Dalam prinsip komunikasi empatik yang ketiga yaitu berusaha mengerti baru dimengerti, masyarakat non-Muslim tidak melakukannya. Mereka tidak mengerti dengan apa yang dirasakan oleh masyarakat Muslim yang tinggal di sekitar rumahnya sehingga masyarakat Muslim tidak berusaha mengerti dengan apa yang dilakukan masyarakat non-Muslim tersebut.
18
Hasil Observasi Penulis pada kurun waktu Mei-Agustus 2016
87
Sikap toleransi beragama sangat diperlukan agar tidak terjadi konflik di antara masyarakat yang hidup berdampingan. Semua manusia yang hidup di muka bumi ini adalah makhluk ciptaan Allah. Sebagaimana yang tertulis dalam Alqur’an surat Al-Baqarah ayat 21. Sehingga orangorang yang beragama lain itu pun manusia juga, seperti di Indonesia memiliki banyak agama makanya ada kerukunan beragama dan karena itulah muncul toleransi beragama itu antara agama yang satu dengan agama yang lainnya. Agama Islam tidak boleh mengganggu agama yang lainnya, begitu pula sebaliknya agama lain tidak boleh mengganggu agama Islam ketika beribadah. Pada zaman dahulu, ada yang bertanya kepada Rasul, siapa orang yang Rasul tidak sukai? Maka Rasul menjawab adalah orang yang tidak bersyahadat dan orang yang malas untuk berinfaq dan sedekah dan orang yang tidak mempunyai kesabaran. Rasul memang tidak menyukai orang yang tidak bersyahadat atau tidak memeluk agama Islam tetapi Rasul tidak membenci mereka, bahkan Rasul pernah menjenguk orang yang sakit padahal orang itu sangat membenci Rasullah dan sering meludah pada Rasullah.19 Tetapi menurut penulis ada ayat Al-qur’an yang lain yang menunjukkan sikap toleransi beragama yaitu QS Al-Hujarat ayat 13:
19
Hasil wawancara dengan Ustadz Suadji sebagai Ustadz di kelurahan Parapat pada tanggal 13 Juni 2016
88
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang lakilaki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” Dalam ayat ini dijelaskan bahwa Allah menciptakan manusia itu dengan banyak suku dan bangsa. Perbedaan suku, agama, bangsa dan lainnya bukan alasan manusia untuk merasa lebih tinggi dari manusia lainnya yang berbeda dengannya. Karena yang membedakan derajat seseorang itu adalah ketakwaannya kepada Allah SWT. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari seseorang itu tidak boleh merendahkan orang lain yang berbeda agama dengannya bahkan seharusnya mereka saling menghargai dan menghormati sesama makhluk ciptaan Allah SWT, maka dari itu diperlukan sikap toleransi diantara umat beragama. Pada saat bulan Ramadhan, masyarakat non-Muslim juga dilibatkan pada rangkaian acara kegiatan pada bulan Ramadhan.Salah satu contohnya adalah mengundang tokoh-tokoh agama di acara buka puasa bersama yang diselenggarakan oleh pihak Muslim. Biasanya para tokoh agama dari masyarakat non-Muslim mendapatkan undangan yang diberikan pihak Muslim kepada mereka. Mereka pun dengan senang hati menerima undangan tersebut dan datang ke acara buka puasa bersama yang diselenggarakan oleh pihak Muslim.20 Ketika Idul Fitri tiba biasanya masyarakat Muslim akan membagikan kue lebaran kepada tetangga di lingkungan tempat
20
Hasil Wawancara dengan Jan Warisman Damanik sebagai Pimpinan Jemaat Gereja GKPS Parapat pada tanggal 15 Juli 2016
89
tinggalnya. Begitu pula sebaliknya ketika Natal tiba masyarakat nonMuslim akan memberikan kue kepada masyarakat Muslim. Ini dilakukan setiap tahun dari dulu sehingga ini sudah menjadi budaya yang selalu dilakukan di kelurahan Parapat.21Masyarakat Muslim maupun masyarakat non-Muslim saling perhatian pada tetangga di sekitar rumahnya. Masyarakat Muslim perhatian pada masyarakat non-Muslim walaupun masyarakat non-Muslim tidak merayakan hari raya Idul Fitri tetapi mereka perhatian dengan memberi kue lebaran kepada tetangga di sekitar rumahnya yang beragama non-Muslim. Begitu pula sebaliknya, ketika Natal tiba masyarakat non-Muslim memberikan kue pada tetangganya yang beragama Islam walaupun mereka tidak merayakannya. Mereka saling menghargai satu sama lain dan ini merupakan salah satu sikap dalam komunikasi empatik. Pihak non-Muslim juga sering membagikan sembako kepada pihak Muslim di bulan Ramadhan. Ini sering terjadi di masa-masa kampanye jika masa kampanye nya bertepatan dengan bulan Ramadhan. Itu tandanya pihak non-Muslim menghargai pihak Muslim. Tetapi hal ini tidak hanya terjadi pada masa kampanye saja, walaupun tidak dalam masa kampanye pihak non-Muslim yang berkecukupan juga sering memberikan sembako pada pihak Muslim yang membutuhkan di bulan Ramadhan. Menurut Ustadz Suadji, pihak non-Muslim yang memberikan sembako pada pihak Muslim itu tidaklah merupakan nilai ibadah tetapi itu diterima saja sebagai
21
Hasil Wawancara dengan Ramsion Barutu sebagai Pimpinan Gereja Katolik Parapat pada tanggal 20 Juli 2016
90
pemberian orang yang peduli kepada kita sepanjang yang diberikan pihak non-Muslim kepada Muslim itu masih halal. Selain itu, pihak non-Muslim di bulan Ramadhan juga menghargai pihak Muslim yang sedang melakukan ibadah puasa. Ini dapat terlihat dari masyarakat non-Muslim ketika bertemu di jalan mereka merokok dengan sembunyi-sembunyi, walaupun biasanya di luar bulan Ramadhan mereka itu merokok dengan terbuka dan juga mengajak untuk kumpul bersama di rumah makan atau restoran.22 Pihak non-Muslim juga memiliki rasa ketakutan akan memberikan makanan buka puasa buat pihak Muslim. Mereka takut karena mereka itu tidak tahu makanan yang akan diberikan itu adalah makanan halal atau tidak bagi pihak Muslim. Sepengamatan saya di bulan Ramadhan, masyarakat Muslim malah memberikan makanan kepada masyarakat nonMuslim ketika hendak berbuka. Ini biasanya dilakukan oleh pihak Muslim dan non-Muslim yang bertetangga. Pihak Muslim memberikan makanan mereka yang dimasak berlebihan kepada pihak non-Muslim. Tetapi sepengamatan saya juga pihak non-Muslim tidak memberikan makanan yang mereka masak kepada masyarakat Muslim, kecuali makanan ringan seperi roti, kue atau gorengan yang mereka beli dari toko. Ini dikarenakan mereka takut makanan yang mereka masak itu tidak halal bagi masyarakat Muslim, jadi mereka tidak memberikannya. Jadi, mereka memberikan makanan yang mereka beli di luar saja kepada pihak Muslim.
22
Hasil Wawancara dengan Bapak H. Maimun selaku ketua MUI kecamatan Girsang Sipanganbolon pada Tanggal 15 Juni 2016
91
Selain itu ada cerita yang terjadi pada awal tahun ini, masyarakat Muslim hendak membangun tembok kuburan Islam dengan biaya hampir 160 juta. Ketika sedang bekerja membangun tembok, masyarakat nonMuslim mendatangi lokasi pembagunan dan menanyakan kegiatan apa yang sedang dikerjakan. Ketika mendengar hendak membangun tembok kuburan, mereka pun dengan sukarela menyumbang sebesar 5 juta untuk membantu pembangunan tembok kuburan. Dan yang tidak disangka setelah itu banyak juga yang menyumbang untuk pembangunan tembok kuburan itu. Mereka menyumbang itu dengan ikhlas tanpa pamrih.23 Dulunya shalat Tarawih di kelurahan Parapat hanya dilaksanakan di Mesjid Raya Taqwa Parapat. Mesjid ini merupakan satu-satunya mesjid yang ada di kelurahan Parapat sehingga mesjid ini selalu dipenuhi oleh masyarakat Muslim di kelurahan Parapat yang hendak melaksanakan shalat Tarawih. Bahkan mesjid ini telah diperbesar dengan bantuan donasi dari donatur orang Medan, menjadikan mesjid ini menjadi lebih besar dan memuat masyarakat Muslim yang hendak melaksanakan ibadah mereka. Dalam beberapa tahun belakangan ini sudah ada dua mushala yang mengadakan shalat tarawih juga. Satu nya di daerah dekat hotel dan pantai-pantai yang ada di sekitar danau toba, alasan melaksanakan shalat Tarawih disini agar para wisatawan lebih dekat untuk melaksanakan ibadah dan juga masyarakat sekitar tidak terlalu jauh untuk pergi ke mesjid. Satu lagi, shalat Tarawih dilaksanakan di mushala yang ada di hotel Niagara Parapat.Hotel ini berada sedikit di atas kelurahan Parapat 23
Hasil Wawancara dengan Bapak H. Maimun selaku ketua MUI kecamatan Girsang Sipanganbolon pada Tanggal 15 Juni 2016
92
dan hotel ini menyediakan rumah tinggal buat para karyawannya. Alasan ini jugalah yang melatarbelakangi diadakannya shalat Tarawih disini. Masyarakat non-Muslim tidak mengganggu masyarakat Muslim dalam melakukan ibadah di bulan Ramadhan, malah mereka membantu masyarakat Muslim yang beribadah. Salah satu contohnya adalah masyarakat non-Muslim membantu dalam mengatur parkiran mesjid ketika masyarakat Muslim hendak melaksanakan shalat Tarawih. Ini dilakukan oleh tukang parkir rumah makan yang ada di sekitar mesjid ataupun anak muda yang sedang nongkrong di mesjid. Mereka membantu lahan parkir mesjid dengan tidak menerima imbalan apapun dari pihak mesjid.24 Mesjid Raya Taqwa Parapat memang terletak di jalan lintas Sumatera sehingga banyak di sekitarnya rumah makan dan restoran. Sehingga ketika masyarakat Muslim hendak dan setelah melaksanakan shalat Tarawih, tukang parkir yang ada di rumah makan itu dengan sigap membantu untuk para masyarakat yang membawa motor ataupun mobil untuk bisa masuk dan keluar dari mesjid. Tukang parkir ini bukanlah masyarakat Muslim melainkan Masyarakat non-Muslim, alasan mereka membantu adalah agar jalanan di sekitar mesjid tidak menjadi macet dan masyarakat Muslim yang hendak keluar mesjid jadi tidak berebutan. Mereka juga menjaga kendaraan masyarakat Muslim yang melaksanakan shalat Tarawih agar tidak terjadi pencurian. Selama dilaksanakannya shalat Tarawih mereka memantau di sekitar parkiran mesjid orang-orang yang 24
Hasil wawancara dengan Ustadz Suadji sebagai Ustadz di kelurahan Parapat pada tanggal 13 Juni 2016 dan H. Maimun
93
mencurigakan. Selama ini belum pernah terjadi pencurian kendaraan selama melaksanakan shalat Tarawih di mesjid Raya Taqwa Parapat. Ini dapat terjadi dengan bantuan masyarakat non-Muslim yang ada di sekitar mesjid juga. Toleransi beragama yang ditunjukkan oleh masyarakat nonMuslim tidak hanya sampai disitu saja. Di kelurahan Parapat memang masyarakat Muslim menjadi kaum minoritas sehingga mereka yang di bulan-bulan selain bulan Ramadhan berjualan sarapan, di bulan Ramadhan pun mereka berjualan sarapan seperti lontong, nasi rames dan bubur. Porsi jualan mereka memang berkurang dibandingkan bulan-bulan lainnya .Masyarakat non-Muslim yang menjadi langganan mereka tetap membeli sarapan pada mereka. Tetapi mereka menghormati pihak Muslim yang sedang melaksanakan ibadah puasa. Mereka membeli sarapan dengan cara dibungkus dan dibawa pulang ke rumah. Padahal biasanya mereka makan di warung tempat mereka membeli sarapan itu.25 Ada satu contoh besar lagi tentang toleransi beragama yang ditunjukkan masyarakat non-Muslim pada masyarakat Muslim di bulan Ramadhan. Beberapa tahun lalu masyarakat Muslim mengadakan malam takbiran hari raya Idul Fitri pawai obor dengan menempuh perjalanan hampir 4KM dengan berjalan kaki. Hal ini sudah mendapatkan izin Musfika setempat, baik dari Danramil, Kapolsek maupun dari Camat. Pada saat melakukan pawai obor, tidak disangka anak-anak muda dari gereja
25
Hasil wawancara dengan Ustadz Suadji sebagai Ustadz di kelurahan Parapat pada tanggal 13 Juni 2016
94
HKBP menjaga sepanjang jalan untuk menjaga keamanan masyarakat Muslim yang melakukan pawai obor. Selain itu, beberapa tahun lalu ketika ramai diperbincangkan tentang
pembakaran
rumah
ibadah,
masyarakat
Muslim
yang
melaksanakan shalat Idul Fitri di lapangan, anak-anak muda masyarakat non-Muslim menjaga sekitar lapangan bekerja sama dengan aparat keamanan untuk menjaga keamanan dan ketertiban selama berlangsungnya shalat Idul Fitri. Begitu juga sebaliknya, ketika masyarakat non-Muslim melaksanakan Natal, masyarakat Muslim turut menjaga gereja dan tempat berlangsungnya acara Natal.26 Di kelurahan Parapat acara Natalan tidak hanya dilaksanakan pada saat malam tanggal 25 Desember dan saat tanggal 25 Desember, tetapi sebelum atau pun sesudahnya di adakan acara Natalan. Biasanya ini dilaksanakan per lingkungan yang ada di kelurahan Parapat dan itu tidaklah dilaksanakan dalam satu hari sekaligus tetapi biasanya satu lingkungan
mengadakan
di
hari
ini
dan
lingkungan
lainnya
melaksankannya di hari lainnya.Sehingga acara Natalan di kelurahan Parapat dilaksanakan secara berkesinambungan. Natal lingkungan ini tidaklah diadakan di gereja tetapi diadakan di lapangan di sekitar lingkungan tersebut. Masyarakat dari lingkungan lain dapat melihat dan menyaksikan acara Natalan lingkungan yang lain, begitu pula masyarakat luas termasuk masyarakat Muslim dapat melihat acara Natal lingkungan yang diadakan. 26
Hasil Wawancara dengan Bapak H. Maimun selaku ketua MUI kecamatan Girsang Sipanganbolon pada Tanggal 15 Juni 2016
95
Dalam
komunikasi
empatik,
masyarakat
Muslim
dengan
masyarakat non-Muslim saling memahami dan mengerti sehingga terjalin komunikasi yang efektif diantara mereka. Masyarakat Muslim maupun masyarakat non-Muslim mempunyai kemampuan komunikasi empatik yang baik sehingga belum pernah terjadi konflik diantara mereka pada bulan Ramadhan. Mereka dapat membangun komunikasi empatik karena dapat saling memahami satu sama lain, memiliki kepedulian diantara sesamanya serta perhatian pada orang lain. Masyarakat non-Muslim menunjukkan sikap komunikasi empatik dengan ikut menyumbang untuk pembangunan tembok kuburan Islam padahal mereka sebenarnya tidak ada hubungannya dengan pembangunan tersebut. Masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim saling menjaga saat hari besar mereka seperti saat takbiran, shalat Idul Fitri dan juga Natalan. Dalam pemberian zakat di bulan Ramadhan, baik itu zakat fitrah ataupun zakat mal, masyarakat non-Muslim tidaklah dilibatkan ataupun tidak diberi zakat.Karena pihak Muslim mengutamakan masyarakat Muslim yang membutuhkan nya lebih banyak.Sehingga dalam masalah pembagian zakat di bulan Ramadhan masyarakat non-Muslim tidak ikut menerimanya.27 Di kelurahan Parapat terdapat sekolah STT(Sekolah Tinggi Teologi) Trinity yang merupakan sekolah milik non-Muslim, setiap pagi dari hari senin sampai minggu dari pukul 06.00-07.00 WIB mereka memperdengarkan kajian mereka yang terdiri dari nyanyian pujian dan 27
Hasil Wawancara dengan Bapak H. Maimun selaku ketua MUI kecamatan Girsang Sipanganbolon pada Tanggal 15 Juni 2016
96
juga ceramah singkat menggunakan pengeras suara sehingga suaranya sampai terdengar ke rumah-rumah warga kelurahan Parapat. Begitu pula di saat bulan Ramadhan mereka tetap memperdengarkan kajian mereka tersebut di jam yang sama. Masyarakat Muslim secara kelompok tidak menentang dengan adanya kajian itu tetapi masyarakat Muslim sebagai individu ada yang tidak suka dengan adanya kajian tersebut tetapi mereka tidak melakukan tindakan lanjutan. Menurut Ustad Suadji masyarakat Muslim mengambil sisi positif dari adanya kajian tersebut adalah dapat membangunkan mereka untuk segera shalat Subuh dan segera beraktivitas agar tidak terlambat dalam aktivitasnya. Hal menariknya adalah masyarakat non-Muslim yang protes dengan adanya kajian tersebut .Hal tersebut dilakukan oleh pemilik dan pegawai kafe yang memang buka pada waktu malam dan beristirahat pada pagi hari. Mereka melakukan protes kepada sekolah STT Trinity tersebut karena telah mengganggu waktu istirahat mereka.Tetapi walaupun begitu mereka tidak mendengar protes tersebut dan tetap mendengarkan kajian tersebut menggunakan pengeras suara. Hal ini bisa saja menimbulkan konflik di kemudian hari jika ada yang mempropokasi kemarahan masyarakat di kelurahan Parapat. Sedangkan masyarakat Muslim di kelurahan Parapat hanya memperdengarkan adzan dengan memakai pengeras suara hanya untuk shalat Subuh, Maghrib dan Isya. Shalat Zuhur dan Ashar tidak memakai pengeras suara .Hal ini dilakukan karena di saat shalat Zuhur dan Ashar masyarakat di kelurahan Parapat sedang menjalankan aktivitas sehari-
97
harinya, sehingga agar tidak mengganggu maka shalat Zuhur dan Ashar adzannya tidak memakai pengeras suara. Keputusan ini diambil agar tidak menimbulkan konflik diantara masyarakat Muslim dan masyarakat nonMuslim dikarenakan suara adzan. Dalam kasus ini, masyarakat Muslim telah menunjukkan sikap empatik dimana mereka tidak menggunakan pengeras suara untuk adzan Zuhur dan Ashar yang dimaksudkan agar tidak mengganggu masyarakat yang
lain
dalam
menjalankan
aktivitasnya.
Masyarakat
Muslim
menghormati dan menghargai masyarakat non-Muslim yang sedang beraktivitas di siang hari sehingga suara adzan tidak mengganggu aktivitas mereka. Mereka memahami perasaan masyarakat non-Muslim jika mendengarkan adzan di siang dan sore hari sehingga suara adzan pada shalat Zuhur dan Ashar tidak memakai pengeras suara. Sedikit berbeda dengan apa yang dilakukan oleh sekolah STT Trinity, menurut penulis mereka tidak melakukan komunikasi empatik kepada masyarakat di kelurahan Parapat baik masyarakat Muslim maupun masyarakat non-Muslim lainnya. Bahkan ketika bulan Ramadhan mereka tetap memperdengarkan kajian mereka menggunakan pengeras suara, hal ini sebenarnya merupakan sikap tidak menghargai kaum Muslim yang sedang menjalankan ibadah di bulan Ramadhan. Mereka tidak memahami bagaimana perasaan kaum Muslim dan tidak mempunyai sikap kepedulian terhadap kaum Muslim padahal kaum non-Muslim lainnya menghormati masyarakat Muslim yang sedang menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Sekolah STT Trinity tersebut tidak mempertimbangkan
98
perasaan orang lain dan tidak membuat keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak yang ada di kelurahan Parapat. Ini dapat terlihat dari protes yang datang juga dari masyarakat non-Muslim kepada mereka. Jika hal ini dibiarkan berlarut-larut maka yang ditakutkan adalah terjadinya konflik diantara masyarakat di kelurahan Parapat.
C. Faktor Pendukung dan Penghambat Komunikasi antara Masyarakat Muslim dengan Masyarakat non-Muslim di Kelurahan Parapat 1. Faktor Pendukung Komunikasi antara Masyarakat Muslim dengan Masyarakat non-Muslim di Kelurahan Parapat Ada beberapa karakteristik komunikasi antara masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim di kelurahan Parapat yang menjadi faktor pendukung dalam kehidupan sehari-hari, diantaranya: a. Rasa Kebersamaan Di kelurahan Parapat ini tidak memandang agama, suku, ras dan lainnya, semuanya memiliki rasa kebersamaan yang tinggi. Misalnya saja ada suatu kerjaan yang melibatkan banyak orang seperti Jumat bersih, masyarakat kelurahan Parapat baik beragama Islam, Protestan, Katolik ataupun Budha ikut semua untuk melaksanakan Jumat bersih di lingkungan rumah mereka. Ketika masyarakat Muslim melakukan ibadah shalat Taraweh di bulan Ramadhan pun masyarakat non-Muslim ikut membantu lahan parkir dan begitu pula saat melaksanakan shalat Idhul Fitri masyarakat
non-Muslim
turut
menjaga
di
sekitar
lokasi
99
melaksanakan Shalat Idul Fitri.Begitu pun sebaliknya ketika masyarakat non-Muslim merayakan Natal lingkungan, masyarakat Muslim ikut membantu dan menjaga di sekitar lokasi perayaan Natal. b. Rasa Saling Menghargai Satu Sama Lain Masyarakat non-Muslim menghargai masyarakat Muslim ketika
melaksanakan
ibadah.Masyarakat
non-Muslim
tidak
mengganggu masyarakat Muslim dalam melaksanakan kegiatan apapun di dalam mesjid.Padahal di sekitar mesjid Raya Taqwa Parapat itu banyak dihuni oleh masyarakat non-Muslim. Karena itulah masyarakat Muslim juga menghargai masyarakat nonMuslim yang ada di sekitar mesjid dengan tidak membangunkan sahur dengan cara pakai pengeras suara seperti yang banyak dilakukan di kota-kota besar. Juga di Kelurahan Parapat ini saling menjaga saja, seperti bila ada kegiatan di depan Gereja yang dilakukan oleh pihak Muslim, pihak non-Muslim tidak pernah melarangnya
karena
meupakan
bagian
dari
komunitas
masyarakat.28 c. Sikap Gotong Royong Masyarakat Muslim dan masyarakat non-Muslim di kelurahan Parapat selalu menunjukkan sikap gotong royong. Seperti dengan adanya Jumat bersih yang diadakan pada hari Jumat tiap dua minggu sekali, disini masyarakat Muslim dengan 28
Hasil Wawancara dengan Pdt. Anggiat Hutahuruk sebagai Pendeta Gereja HKBP Parapat pada tanggal 24 Juli 2016
100
masyarakat non-Muslim bersama-sama untuk membersihkan lingkungan mereka. Walaupun di bulan Ramadhan mereka tetap melaksanakan Jumat bersih dan membersihkan di sekitar lingkungan tempat tinggal mereka. Selain itu, bila ada masyarakat Muslim maupun masyarakat non-Muslim yang sedang terkena musibah seperti meninggal, maka masyarakat di kelurahan Parapat berbondong-bondong untuk melayat dan membantu keluarga yang di tinggalkan terutama bila keluarga yang tidak mampu. Begitu pula bila ada keluarga yang ingin menikahkan anaknya, maka masyarakat disini saling bantu membantu sampai pada acara pernikahan tersebut.29 d. Rasa Simpati Simpati adalah menempatkan diri kita secara imajinatif dalam posisi orang lain. Simpati merupakan proses seolah-olah terlarut dalam perasaan, pikiran kebahagiaan dan kesedihan orang lain. Simpati sangat penting dalam menjalin hubungan dan komunikasi sosial.30 Sikap simpati yang dilakukan masyarakat Muslim
dengan
masyarakat
non-Muslim
di
kelurahan
Parapatterlihat dari bila ada masyarakat yang meninggal maka masyarakat
di
mengungkapkan 29
kelurahan
Parapat
belasungkawa
nya
datang kepada
melayat
dan
keluarga
yang
Hasil Observasi Penulis pada tanggal 07 Agustus 2016 di saat salah satu keluarga Muslim menikahkan anaknya, dalam acara tersebt yang menjadi panitia acara bukan hanya dari masyarakat Muslim tetapi masyarakat non-Muslim juga ikut dilibatkan dalam acara tersebut bahkan dalam tradisi masyarakat Parapat bila ada keluarga yang sedang ada acara maka yang lain akan menyumbang seperti gula, kopi dan teh. 30 Deddy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi Antar Budaya, (Bandung: PT. Remaja Rosadakarya, 2005), h. 78.
101
ditinggalkan. Mereka pun menghibur keluarga yang ditinggalkan. Jika yang meninggal adalah beragama Islam, masyarakat yang beragama non-Muslim tetap datang melayat ke rumah duka begitu pun sebaliknya jika yang meninggal beragama Kristen maka masyarakat Muslim tetap melayat ke rumah duka walaupun itu terjadi pada bulan Ramadhan. Masyarakat di kelurahan Parapat memang saling menghargai dan saling menghormati.31 e. Sikap Kekeluargaan Masyarakat Muslim yang melakukan ibadah puasa di bulan Ramadhan terkadang membuat acara buka puasa bersama yang diselenggarakan oleh pihak Mesjid ataupun ada dari pihak hotelhotel di sekitar kelurahan Parapat. Dalam acara buka puasa bersama itu pemuka agama atau orang yang terpandang dari masyarakat non-Muslim turut diundang walaupun mereka tidak menjalankan ibadah puasa. Sebaliknya ketika masyarakat nonMuslim merayakan Natal, masyarakat Muslim ikut diundang untuk melihat perayaan Natal lingkungan yang diselenggarakan oleh masing-masing lingkungan di kelurahan Parapat. Ada juga beberapa masyarakat Muslim ketika menjelang buka puasa memberikan makanan kepada masyarakat non-Muslim yang tinggal berdekatan dengan dirinya. Ataupun ketika lebaran tiba 31
Hasil Observasi Penulis pada bulan Juli 2016, waktu itu ada dari masyarakat Muslim yang meninggal, yang datang melayat bukan hanya dari masyarakat Muslim saja tetapi masyarakat non-Muslim yang mengenal Almarhum juga datang melayat ke rumah duka, lalu di bulan yang sama masyarakat non-Muslim ada yang meninggal karena dalam tradisi mereka si mayit disemayamkan di rumah selama beberapa hari maka biasanya bakalan ramai dengan para pelayat di hari pertama dan juga hari terakhir sebelum dikuburkan. Yang datang melayat ada juga dari masyarakat Muslim yang mengenal keluarga yang berduka.
102
masyarakat Muslim memberikan kue lebaran kepada masyarakat non-Muslim yang menjadi tetangganya dan ketika Natal tiba masyarakat non-Muslim pun memberikan kue kepada masyarakat Muslim. 2. Faktor
Penghambat
Komunikasi
Masyarakat
Muslim
dengan
Masyarakat Non-Muslim di Kelurahan Parapat Ada beberapa karakteristik komunikasi antara masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim di kelurahan Parapat yang menjadi faktor penghambat dalam kehidupan sehari-hari, diantaranya: a. Prasangka Sosial Di kelurahan Parapat masyarakat non-Muslim menjadi penduduk mayoritas dan masyarakat Muslim menjadi penduduk minoritas .Dalam kehidupan sehari-hari terjadilah komunikasi dan interaksi diantara mereka, walaupun secara garis besar komunikasi yang terjadi diantara mereka baik-baik saja tetapi masih saja timbul prasangka diantara mereka. Contohnya, timbulnya rasa curiga dalam
masyarakat
Muslim
jika
masyarakat
non-Muslim
memberikan makanan kepada mereka. Curiga terhadap makanan tersebut apakah makanan ini halal atau haram buat dimakan, karena masyarakat non-Muslim di kelurahan Parapat memakan dan memasak sendiri binatang yang haram buat masyarakat Muslim yaitu anjing dan babi. Sehingga timbul rasa curiga pada masyarakat Muslim apakah makanan yang diberikan ini halal atau tidak karena dimasak dari kuali yang sama dengan memasak anjing dan babi
103
tadi. Hal ini dapat menimbulkan konflik batin diantara masyarakat, faktor kurangnya pengetahuan masyarakat juga menimbulkan prasangka-prasangka sosial lainnya. Di masyarakat Kristen jika ada keluarga yang meninggal maka pada hari penguburan itu diadakan seperti pesta saja. Banyak orang berdandan melayat, disediakan makanan bagi pelayat dan juga
mereka
menari
tor-tor
dan
biasanya
si
mayit
itu
disemayamkan di rumah duka sekitar 3 atau 5 atau 7 hari. Berbeda dengan ajaran Islam yang menyuruh untuk mensegerakan menguburkan si mayit. Karena perbedaan ini timbul omonganomongan diantara masyarakat karena kurangnya pengetahuan masyarakat. Padahal hal ini telah menjadi budaya di dalam Kristen dan juga ajaran di Islam.32 b. Stereotip Dari pengamatan penulis, ada stereotip yang melekat pada masyarakat Muslim dan masyarakat non-Muslim di kelurahan Parapat. Pada masyarakat non-Muslim stereotip yang melekat adalah mereka ini jorok dan kotor, alasan pertama adalah karena mereka ini di rumah memelihara anjing dan anjingnya dilepas saja di rumah bahkan keluar rumah juga. Selain itu, mereka juga memelihara babi walaupun babinya di kandangkan di dekat tempat mereka tinggal. Kotoran dari anjing maupun babi mereka itu menimbulkan bau yang tidak sedap sehingga mereka ini dikatakan
32
Hasil Observasi Penulis selama penulis tinggal di kelurahan Parapat.
104
jorok. Lalu alasan lainnya adalah karena kedekatan mereka dengan hewan peliharaan mereka itu, sehingga aktivitas mereka sehari-hari pun dilakukan bersama hewan peliharaan mereka. Setelah mereka bermain
dengan
anjing
mereka
biasanya
tidak
langsung
membersihkan diri dan juga anjingnya tidak dimandikan setiap harinya, setelah anjingnya bermain di luar rumah dan kembali ke rumah anjingnya tidak dibersihin terlebih dahulu, maka mereka ini dibilang kotor.33 Pada masyarakat Muslim juga dikenakan stereotip, dimana menurut masyarakat non-Muslim itu masyarakat Muslim itu terlalu bersih, karena mereka itu tidak mau dekat-dekat dengan anjing malah kadang ada yang takut dan menghindari anjing peliharaan mereka.
33
Hasil Observasi Penulis Pada Bulan Juni 2016
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Komunikasi
yang terjalin antara masyarakat Muslim dengan
masyarakat non-Muslim di kelurahan Parapat terjalin dengan baik walaupun terjadi perbedaan jumlah pemeluk agama yang cukup signifikan. Toleransi beragama yang di tunjukkan masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim juga sangat baik, ini terlihat tidak pernah terjadi konflik diantara mereka walaupun mereka sudah hidup berdampingan selama bertahun-tahun. Komunikasi antara masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim menggunakan bahasa Indonesia dan juga menggunakan bahasa Batak. Komunikasi yang terjadi antara masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim adalah komunikasi antarpibadi dan juga komunikasi kelompok. Komunikasi antara masyarakat Muslim dengan masyarakat nonMuslim termasuk ke dalam sikap beragama yang inklusif, dimana mereka
menjalankan
ibadah
agamanya
masing-masing
tanpa
mengganggu ibadah orang lain. 2. Toleransi beragama antara masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim di bulan Ramadhan terjalin dengan baik. Pihak dari masyarakat non-Muslim menghargai pihak masyarakat Muslim yang sedang menjalankan ibadah di bulan Ramadhan, mereka tidak mengganggu masyarakat Muslim yang menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Bahkan masyarakat non-Muslim turut membantu
105
106
kegiatan-kegiatan masyarakat Muslim di bulan Ramadhan seperti turut menjaga parkiran Mesjid dan juga turut menjaga keamanan masyarakat Muslim yang sedang shalat Idul Fitri. Masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim menunjukkan sikap empatik. Masyarakat Muslim yang merupakan minoritas di kelurahan Parapat tidak memperdengarkan adzan Zuhur dan Ashar menggunakan pengeras suara. 3. Adapun faktor pendukung komunikasi masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim dalam konteks toleransi beragama di kelurahan Parapat adalah rasa kebersamaan, rasa saling menghargai satu sama lain, sikap gotong royong, rasa simpati dan rasa kekeluargaan. Sedangkan faktor penghambat terjadinya komunikasi antara masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim di kelurahan Parapat adalah prasangkasosial dan stereotip. B. Saran 1. Hubungan antara masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim selalu dijaga tali persaudaraannya. Kerja sama yang telah dijalin agar tetap dijaga agar tidak mudah dipecah oleh pihak ketiga. 2. Kepada masyarakat non-Muslim yang memelihara Anjing dan Babi agar dapat menjaga hewan peliharaannya dan menghargai ajaran masyarakat Muslim mengenai hewan Anjing dan Babi. 3. Kepada sekolah STT Trinity agar tidak terjadi konflik di kemudian hari diantara masyarakat di kelurahan Parapat seharusnya mengajak masyarakat untuk berdisukusi mengenai kajian mereka yang tiap hari
107
menggunakan pengeras suara. Agar semuanya mengungkapkan pendapat mereka mengenai sekolah STT Trinity.
Daftar Pustaka Buku Ali, Muhammad, Teologi Pluralis-Multikultural, Menghargai Kemajukan Menjalin Kebersamaan, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003). Al Munawar, Said Agil Husin, Fikih Hubungan Antar Agama, (Jakarta: Ciputat Press, 2003). al-Qardhawi, Yusuf, Minoritas Non Muslim di dalam Masyarakat Islam, Penerjemah Muhammad Baqir, (Bandung: Mizan, 1985). Aritonang, Jan S, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, (Jakarta: Gunung Mulia, 2006). Aw, Suranto, Komunikasi Sosial Budaya, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010). Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, Toleransi Beragama Mahasiswa (Studi Tentang Pengaruh Kepribadian, Keterlibatan Organisasi, Hasil Belajar Pendidikan Agama dan Lingkungan Pendidikan Terhadap Toleransi Mahasiswa Berbeda Agama pada 7 Perguruan Tinggi Umum Negri, (Jakarta, Maloho Jaya Abadi Press, 2010). Badan Pusat Statistik (BPS), Hasil Sensus Penduduk 2010: Kewarganegaraan, Suku, Bangsa, Agama dan Bahasa Sehari-Hari Penduduk Indonesia, (Jakarta: BPS, 2010). Data Monografi Kelurahan Parapat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,1996). Effendy, Onong Uchjana, Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003). -------, Spektrum Komunikasi, (Bandung: Bandar Maju, 1992). Koentjoroningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramadia, 1991). Liliweri, Alo, Dasar-dasar Komunikas AntarBudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003).
108
109
-------, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011). Littlejohn, Stephen dan Karen Foss, Teori Komunikasi, Penerjemah Muhammad Yusuf Hamdan, (Jakarta: Salemba Humanika, 2009). Majid, Nurcholish, Pluralitas Agama (Kerukunan dalam Keragaman), (Jakarta: Penerbit Buku Kompas). Mufid, Muhammad, Etika dan Filsafat Komunikasi, (Jakarta:Kencana, 2009). Mujani, Saiful, Muslim Demokrat: Islam, budaya Demokrasi dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007). Mulyana, Dedy, Ilmu Komunikasi Sebagai Suatu Pengantar, (Bandung: PT Remaja Rosadakarya, 2003). Mulyana, Deddy dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi AntarBudaya, (Bandung: PT. Remaja Rosadakarya, 2005). Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Sosial, (Yogyakarta: Gadja Mada University Press, 1990). O’Dea, Thomas F., Sosiologi Agama Suatu Pengenalan Awal, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995). Poerwadarminta, W J S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN Balai Pustaka Cet 5, 1976). Rahman, Dudung Abdul, Pengantar Metode Penelitian, (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2003). Rakhmat, Jalaludin, Psikologi Komunikasi, (Jakarta: PT Remaja Rosadakarya, 1999). -------, Metode Penelitian Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosadakarya, 1984). Riyadi, M. Irfan dan Basuki, Membangun Inklusifisme Faham Keagamaan, (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2009). Roudhonah, Ilmu Komunikasi, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press, 2007). Samovar, Larry A, dkk. Komunikasi Lintas Budaya, Penerjemah Indri Margaretha Sidabalok, (Jakarta: Salemba Humanika, 2010). Sihabudin, Ahmad, Komunikasi AntarBudaya :Satu Perspektif Multidimensi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003).
110
Singarimbun, Masri dan Soffian Effendy, Metode Penelitian Survei, (Yogyakarta: Lp3S, 1987). Soekanto, Soerjono, Sosiologi: SuatuPengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012). Sparadley, James. P, Metode Etnografi, Penerjemah Misbah Zulfa Elizabeth, (Yogyakarta: Tiara Kencana, 1997) Tim Penulis Balai Arkeologi Medan, Sumatera Utara: Catatan Sejarah dan Arkeologi, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2014). Usman, Husaidi dan Purnomo Setiadi Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996). Yahya, Harun, Keadilan dan Toleransi dalam Alqur’an, (Jakarta: Iqra Insan Press, 2004).
Jurnal Masturi Ade, Membangun Relasi Sosial Melalui Komunikasi Empatik (Perspektif Psikologi Komunikasi), (Komunikasi Jurnal Dakwah dan Komunikasi Vol. 4, Nomor 1 Januari-Juni 2010). Sasongko, JokoPanji, Kapolri Beberkan Kronologi Insiden Tolikara, (CNN Indonesia, 23-07-2015) Skripsi Aisyah, Siti, Pola Komunikasi Antar Umat Beragama (Studi Komunikasi Antarbudaya Tionghoa dengan Muslim Pribumi di RW 04 Kelurahan Mekarsari Tangerang), (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negri Jakarta, 2013)
Kabarokan, Nurul Ain, Komunikasi Intra dan Antar Budaya Masyarakat Muslim Kei di Kota Tual, (Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan IlmuKomunikasi, Universitas Islam Negri Jakarta, 2014). Muttaqien, Arief Sigit, Komunikasi Antar Budaya (Study Pada Pola Komunikasi Masyarakat Muhammadiyah dan NU di Desa Pringapus, Semarang, Jawa Tengah), (Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negri Jakarta, 2009). Supandi, Muhammad Yusup, Komunikasi AntarBudaya (Studi pada Pola Komunikasi Etnis Arab dengan Masyarakat Pribumi di Kelurahan Empang Bogor), (Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negri Jakarta, 2010).
111
Ilprima, Ricca Junia, Analisis Wacana Pesan Toleransi Antarumat Beragama dalam Novel Ayat-ayat Cinta 2 Karya Habiburrhman El shirazy, (Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negri Jakarta, 2016).
Internet Lord, R, 8 Agama Terbesar di Dunia, diakses pada tanggal 10 Juni 2016 pada pukul 08.00 dari https://sites.google.co./site/lordcomputert/unida/agama/8agama-terbesar-di-dunia
Lampiran
Wawancara Penelitian Pewawancara
: Ratih Pratiwi
Narasumber
: Ustadz Suadji
Pelaksanaan Wawancara
: Hari
: Senin, 13 Juni 2016
Pukul
: 10.00-11.00 WIB
Tempat
: Kediaman Ustadz Suadji
Tanya : Menurut Ustadz, apakah toleransi beragama itu? Jawab : Menurut saya toleransi beragama itu saling menghargai antara agama satu dengan agama yang lainnya, tidak saling mengganggu dan saling menjaga bagaimana kegiatan keagamaan itu berjalan sebagaimana di dalam Alquran tertulis “Laqum di nukum waliyadin (Untukmulah agamaku dan untukkulah agamaku)”, kita tidak harus saling mengganggu dan bagi kita orang Islam kita tidak boleh mempengaruhi orang yang beragama lain untuk masuk ke agama kita dan kalau ada orang yang sudah masuk ke agama kita, mereka itu harus mengikuti ajaran agama Islam. Contohnya Allah itu tidak memaksakan orang itu untuk masuk ke agama Islam tetapi kalau orang itu sudah masuk ke agama Islam berarti orang harus mengikuti ajaran dan peraturan dalam agama Islam. T
: Menurut Ustadz, Perlukah kita melakukan toleransi beragama pada orang lain?
J
: Perlu kita melakukan toleransi beragama, karena semua manusia yang diciptakan oleh Allah itu manusia, sebagaimana yang tertulis dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 21:
Artinya: Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. Jadi seandainya ada orang yang beragama lain itu kan manusia juga, jadi manusia seperti apa yang tidak mengikuti perintah agama dari Allah, jadi karena dia kan punya agama sendiri seperti yang ada di Indonesia itu kan mempunyai banyak agama karena banyaknya agama itu makanya ada kerukunan beragama dan karena itu munculah toleransi beragama itu kepada agama lain, kita jangan mengganggu agama lain dan mereka juga tidak boleh mengganggu agama kita. Ketika itu ada yang bertanya pada Rasul, siapa orang yang tidak Rasul suka? Maka Rasul menjawab adalah orang yang tidak bersyahadat dan orang yang malas untuk berinfaq dan sedekah dan orang yang tidak punya kesabaran. T
: Sebagai pemuka agama, apakah Ustadz menganjurkan kepada umat untuk melakukan toleransi beragama?
J
: Ya, kita memang harus menganjurkan untuk melakukan toleransi beragama kepada umat, karena di Parapat ini kan Muslim ini minoritas
dan mayoritas non-Muslim dan masyarakat non-Muslim juga menghargai agama Islam dan begitu pula kita harus melakukan toleransi beragama pada mereka. T
: Lalu bagaimana dengan sikap Ustadz pada orang yang berpindah agama?
J
: Memang kita tidak suka pada orang sudah pindah agama dari agama kita, jangan kan kita Allah juga pasti tidak suka padanya. Allah itu pasti mengampuni dosa kita sebesar apapun kecuali orang yang durhaka pada orang tua dan orang yang mensekutukan Allah. Orang yang berpindah agama itu kan sama artinya dengan orang yang mensekutukan Allah dan itu tidak akan diampuni oleh Allah. Namun apabila dia itu dengan sadar dan tobat dengan menyadari apa yang dia lakukan itu salah dan pindah lagi ke agama Islam dan pertobatan dia itu akan diterima oleh Allah sepanjang itu belum sampai akhir hayatnya.
T
: Sepengetahuan Ustadz pernah gak terjadi konflik antara masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim di bulan Ramadhan?
J
: Sepengetahuan saya belum pernah terjadi konflik antara masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim di bulan Ramadhan. Bahkan di kelurahan Parapat ini toleransi beragama di bulan Ramadhan ini sangat kental, contohnya kita membuat safari Ramadhan mereka juga menghargai adanya safari Ramadhan tersebut, bahkan bila ada kantinkantin Ramadhan atau acara buka puasa bersama, mereka malah mensupport hal yang seperti itu. Mereka tidak mengatakan itukan makanan orang Muslim atau itu kan bukaan orang Muslim, malah
mereka itu semakin membawa rezeki bagi kita dengan mereka membeli apa yang kita dagangkan. T
: Ada tidak masyarakat non-Muslim melakukan toleransi beragama pada masyarakat Muslim di bulan Ramadhan?
J
: Ada, seperti ada pembagian sembako, ada juga masyarakat Non-Muslim membagikan sembako pada masyarakat Muslim dan ini biasanya dilakukan dimasa-masa kampanye jika masa kampanye nya terjadi pada bulan Ramadhan. Itu tandanya mereka menghargai pihak Muslim.
T
: Bagaimana pandangan Ustadz tentang masyarakat non-Muslim yang dilibatkan pada kegiatan Ramadhan?
J
: Kalau bagi kita itu kita terima saja karena itu merupakan pemberian dari orang lain tapi buat mereka itu bukan merupakan nilai ibadah. Itu kita terima saja, contohnya orang dalam melakukan jual beli saja kan melibatkan non-Muslim dan Muslim, sepanjang yang diberikan nonMuslim kepada Muslim itu masih halal.
T
: Hubungan komunikasi apa yang terjadi antara masyarakat Muslim dan non-Muslim di bulan Ramadhan ini?
J
: Gini, kalo di daerah lain itu kan memakai RT/RW tetapi kalo disinikan memakai lingkungan, nah kita itu diundang ke kelurahan untuk mengadakan acara Jumat bersih dan disitu kita campur antara masyarakat Muslim dan masyarakat non-Muslim. Dalam acara Jumat bersih ini kita sama-sama bekerja antara masyarakat Muslim dan masyarakat non-Muslim. Jumat bersih ini juga tetap diadakan di bulan Ramadhan.
T
: Pernahkah masyarakat Muslim mendapatkan perlakuan Rasis dari masyarakat non-Muslim di bulan Ramadhan?
J
: Tidak pernah kalau di keluraan Parapat ini. Suatu contoh kita mengadakan Taraweh, mereka itu tidak pernah mengganggu kita. bahkan yang mengatur parkiran adalah masyarakat non-Muslim.
T
: Bagaimana penilaian Ustadz tentang toleransi beragama yang ditunjukkan masyarakat non-Muslim kepada masyarakat Muslim?
J
: Itu merupakan suau keberhasilan dimana mereka mau bekerja sama dalam melaksanakan Jumat bersih dan mereka itu mau membantu mengatur lahan parkir di Mesjid saat melaksanakan shalat Taraweh. Contoh lainnya, kita berdagang buka kantin-kantin Ramadhan dan mereka itu yang membelinya dan mereka itu tidak makan di tempat melainkan mereka membawa pulang.
T
: Menurut Ustadz, faktor apa yang menjadi penyebab masyarakat Muslim dan non-Muslim itu tidak pernah berkonflik?
J
: Rasa kebersamaan, karena disini orang-orangnya misalkan ada kerjaan ada rasa kebersamaan maka dengan rasa kebersamaan itulah mempunyai keberhasilan. Karena kalau seandainya tidak ada rasa kebersamaan dan tidak ada toleransi maka tidak ada keberhasilan. Karena di kelurahan Parapat ini sistemnya tidak memandang agama, suku dan lainnya karena prinsip disini tetap rukun karena Parapat ini kan kota pariwisata.
T
: Apakah masyarakat non-Muslim mengganggu anda dalam melakukan ibadah di bulan Ramadhan?
J
: Tidak karena begini itulah yang saya perhatikan selama ini bahkan ketika kita melaksanakan Taraweh, itu di sekitar Mesjid itu penduduknya banyak non-Muslim, jadi dengan demikian kita membuat kegiatan apapun di dalam Mesjid mereka itu tidak ada mengambil pusing bahkan mereka itu turut membantu dalam peran serta dalam kegiatan ini. Dalam artian penduduk Muslim yang akan melakukan kegiatan di Mesjid tersebut, orang non-Muslim ini malah mengatur lahan parkir di Mesjid.
T
: Apakah perbedaan agama menghambat terjadinya komunikasi diantara masyarakat?
J
: Sebenarnya tidak karena komunikasi apapun, contohnya disini masyarakat itu loyal karena disini orang-orang yang berdagang bahan mentah itu masyarakat non-Muslim dan yang membeli masyarakat Muslim dan ketika makanan itu diolah jadi makanan matang maka yang membeli itu masyarakat non-Muslim. Di dalam bulan Ramadhan ini pun masyarakat Muslim memperoleh rezeki dari masyarakat non-Muslim. Masyarakat Muslim tetap berjualan sarapan walaupun di bulan Ramadhan dan yang membeli adalah masyarakat non-Muslim tetapi sistemnya mereka membeli dan dibawa pulang karena menghargai masyarakat Muslim yang sedang berpuasa.
T
: Apakah masyarakat disini saling menghormati dan menghargai di bulan Ramadhan?
J
: Jelas, kalau masyarakat Muslim ke Muslim mereka yang tidak berpuasa pasti mempunyai rasa segan untuk makan di luar dan demikian juga
Wawancara Penelitian Pewawancara
: Ratih Pratiwi
Narasumber
: H. Maimun
Pelaksanaan Wawancara
: Hari
: Rabu, 15 Juni 2016
Pukul
: 10.00-11.00 WIB
Tempat
: Kediaman H. Maimun
Tanya : Menurut anda, apakah toleransi beragama itu? Jawab : Menurut saya toleransi beragama itu adalah menjalankan ibadah masingmasing tanpa mengganggu satu sama lain. Muslim tidak mengganggu yang non-Muslim dan begitu pula non-Muslim tidak mengganggu yang Muslim ketika menjalankan ibadah. T
: Perlukah kita melakukan toleransi beragama?
J
: Perlu sekali menurut saya.
T
: Apakah anda melakukan toleransi beragama pada orang yang berbeda agama dengan anda?
J
: Ya saya melakukannya, contohnya disini kan masyarakat Muslim itu minoritas jadi bagaimanapun itu kita tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan dari orang lain, baik itu yang seagama maupun yang tidak seagama dengan kita. Bila mereka mengundang kita pesta, ya kita datang memenuhi undangannya. Contoh lainnya, bila ada perayaan Natal, disini kan perayaan Natal dibikinnya per lingkungan ya jadi walaupun kita
tidak ikut merayakannya tetapi setidaknya kita ikut menjaga keamanan acara tersebut. T
: Apakah anda menghargai orang yang berbeda suku dengan anda walaupun satu agama?
J
: Betul, bagi Saya tidak ada bedanya karena kan saya orang Jawa, tidak ada bedanya saya itu Jawa atau Batak ataupun Minang. Misalnya, bagi Saya itu tidak ada Saya pilih-pilih, kan saya Bilalzin aja, siapapun yang meninggal tetap saya laksanakan dari dahulu pun begitu dan tidak ada perbedaan bagi saya.
T
: Interaksi seperti apa yang terjadi antara masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim di bulan Ramadhan?
J
: Saling menjaga dan saling menghormati antara sesama umat beragama.
T
: Menurut anda, apakah masyarakat non-Muslim melakukan toleransi beragama pada masyarakat Muslim di bulan Ramadhan? Seperti apa bentuknya?
J
: Betul, contohnya di daerah sini tetap dibuka yang namanya restoran ataupun warung makan, namun meraka itu kalau biasanya bertemu merokok sesukanya di depan saya tetapi kalau di bulan Ramadhan mereka merokok sembunyi-sembunyi.
T
: Kebalikannya, apakah masyarakat Muslim juga melakukan toleransi beragama pada masyarakat non-Muslim di bulan Ramadhan? Seperti apa bentuknya?
J
: Kalau dari Muslim ke non-Muslim bagaimanapun ceritanya mereka menjalankan agamanya dan kita pun menjalankan agama kita, jadi kita
tidak pernah mengganggu acara mereka dan mereka pun tidak mengganggu acara kita dalam menjalankan ibadah kita. T
: Bahasa apa yang digunakan ketika berinteraksi dengan orang yang berbeda agama dengan anda?
J
: Memakai bahasa daerah dan juga terkadang bahasa Indonesia tergantung situasi dan kondisinya.
T
: Apakah anda dan masyarakat Muslim lainnya pernah mendapatkan perlakuan rasis dari masyarakat non-Muslim?
J
: Selama saya tinggal di daerah ini belum pernah mendapatkan rasis dari masyarakat non-Muslim.
T
: Pernahkah terjadi konflik pada saat bulan Ramadhan antara masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim di kelurahan Parapat?
J
: Tidak pernah terjadi konflik disini selama saya tinggal di kelurahan Parapat ini sudah 48 tahun.
T
: Bagaimana penilaian anda terhadap toleransi beragama yang ditunjukkan masyarakat non-Muslim pada anda?
J
: Ini termasuk salah satu contoh yang besar ya, pernah masyarakat Muslim mengadakan takbiran pada malam lebaran dengan pawai obor dengan jalan kaki sekitar hampir 4km karena keliling dan ini sudah dizinkan oleh Musfika setempat, baik dari DANRAMIL, Kapolsek maupun dari Camatnya. Lalu, anak-anak muda dari Gereja HKBP menjaga sepanjang jalan untuk menjaga masyarakat Muslim yang melakukan pawai obor. Lalu contoh lainnya, pada beberapa tahun lalu ketika ramai diperbincangkan tentang pembakaran rumah ibadah, ketika masyarakat
muslim mengadakan Shalat Ied Fitri di lapangan, anak-anak muda dari masyarakat non-Muslim menjaga sekitar lapangan tempat dilaksanakannya Shalat Ied Fitri. Nah, sebaliknya karena mereka telah berbuat baik kepada masyarakat Muslim maka ketika Natal, masyarakat Muslim menjaga Gereja. Nah, itulah toleransi beragama yang ditunjukkan masyarakat disini untuk saling menjaga, karena menurut saya orang yang memicu terjadinya konflik biasanya adalah orang luar bukan merupakan warga disini T
: Apakah pawai obor ini dilakukan setiap tahun?
J
: Tidak karena itu tergantung dengan izin PEMDA setempat.
T
: Apakah tahun ini akan dilakukan pawai obor pada malam takbiran?
J
: Tahun ini saya rasa tidak karena cuaca tidak memungkinkan diadakannya pawai obor.
T
: Seperti yang kita ketahui. Di kota-kota besar ketika sahur cara membangunkan warga untuk sahur kan ada yang memakai pengeras suara dari Mesjid, apakah disini dilakukan?
J
: Tidak, karena kan masyarakat Muslim disini minoritas sekali dan juga jarak antara rumah masyarakat Muslim yang satu dengan yang lainnya cukup berjauhan dan juga ini dilakukan untuk saling menjaga dan tidak mengganggu ketenangan orang lain.
T
: Apakah masyarakat disini mudah curiga pada apa yang dilakukan oleh masyarakat non-Muslim di bulan Ramadhan?
J
: Tidak ada rasa saling curiga diantara masyarakat disini.
T
: Apakah masyarakat non-Muslim mengganggu anda dalam melakukan ibadah di bulan Ramadhan?
J
: Tidak ada juga
T
: Apakah anda membatasi pergaulan anda dengan masyarakat nonMuslim?
J
: Yang namanya pergaulan sebatas kita bisa menjaga keimanan kita tidak saya batasi. Saya bergaul dengan semuanya, kita harus saling menjaga baik itu beda agama, suku maupun budaya lainnya.
T
: Apakah anda membatasi pergaulan anda dengan orang yang berbeda suku dengan anda?
J
: Tidak juga.
T
: Apakah perbedaan agama menghambat terjadinya komunikasi diantara masyarakat?
J
: Di kelurahan Parapat ini tidak ya karena disini lancar semuanya.
T
: Apakah masyarakat non-Muslim disini dilibatkan dalam kegiatan acara Ramadhan?
J
: Ikut, misalnya pada saat pelaksanaan Taraweh angkot-angkot yang mayoritas supirnya adalah beragama non-Muslim ketika ada penumpang langsung diantarkan ke Mesjid karena mereka mengetahui masyarakat Muslim hendak melaksanakan Taraweh. Lalu, kita disini juga saling menjaga, saya sering berkomunikasi dengan Pendeta-pendeta disini dan saling menghargai saja.
T
: Apakah masyarakat non-Muslim ikut membantu dalam kegiatan Ramadhan seperti memberi sumbangan atau semacamnya?
Wawancara Penelitian Pewawancara
: Ratih Pratiwi
Narasumber
: Sumari
Pelaksanaan Wawancara
: Hari
: Rabu, 15 Juni 2016
Pukul
: 11.00-11.30 WIB
Tempat
: Kediaman Pak Sumari
Tanya : Menurut anda, apakah toleransi beragama itu? Jawab : Toleransi beragama itu saling mengerti satu sama lain. T
: Pernahkah terjadi konflik pada saat bulan Ramadhan antara masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim di kelurahan Parapat?
J
: Kalau di kelurahan Parapat ini belum pernah terjadi konflik antara masyarakat Muslim dan non-Muslim di bulan Ramadhan karena rasa toleransi sangat besar sekali di kelurahan Parapat ini.
T
: Apa saja kegiatan yang akan dilakukan sepanjang Ramadhan ini?
J
: Kegiatan yang dilakukan di bulan Ramadhan oleh masyarakat Muslim disini cukup banyak, diantaranya puasa, melaksanakan shalat Taraweh, Tadarus dan ada acara gebyar Ramadhan, buka puasa bersama, juga diadakannya nanti pesantren kilat.
T
: Kapan diadakannya kegiatan Tadarus?
J
: Tadarus diadakannya setelah melaksanakan shalat Taraweh.
T
: Apakah kegiatan di Ramadhan ini juga melibatkan masyarakat nonMuslim? Seperti apa bentuknya?
Wawancara Penelitian Pewawancara
: Ratih Pratiwi
Narasumber
: Pdt. Anggiat Hutahuruk (Pendeta dari Gereja HKBP)
Pelaksanaan Wawancara
: Hari
: Senin, 24 Juli 2016
Pukul
: 14.00-14.30 WIB
Tempat
: Kantor Pdt. Anggiat Hutahuruk
Tanya : Menurut bapak, apakah toleransi beragama itu? Jawab : Toleransi beragama adalah saling menghargai sesama manusia. Ajaran Kristen mengajarkan untuk saling menghargai, menghormati dan menghargai sesamanya, sesamanya disini adalah sesama manusia tanpa membapakng ras, suku maupun agama. T
: Perlukah kita melakukan toleransi beragama?
J
: Sangat perlu sekali dilakukan toleransi beragama antar sesama manusia agar tidak terjadinya pertikaian.
T
: Sepengetahuan Bapak pernahkah terjadi konflik pada saat bulan Ramadhan antara masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim di kelurahan Parapat?
J
: Belum pernah terjadi konflik antara masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim di bulan puasa kalau di kelurahan Parapat ini.
T
: Interaksi seperti apa yang terjadi antara masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim di bulan Ramadhan?
J
: Kita di kelurahan Parapat ini saling menjaga saja, seperti bila kegiatan di depan Gereja kita tidak melarangnya karena ini merupakan bagian dari komunitas masyarakat.
T
: Menurut bapak, apakah masyarakat non-Muslim melakukan toleransi beragama pada masyarakat Muslim di bulan Ramadhan? Seperti apa bentuknya?
J
: Saling menghargai saja bila bertemu dengan masyarakat Muslim yang berpuasa, saya juga dulu saat melayani di gereja di Jambi Pendeta senior saya juga melakukan puasa tiap hari Kamis dari jam 06.00-18.00. Pendeta senior ini tidak masalah bila ada orang yang makan atau minum di depan beliau bahkan saya juga minum di depan beliau dia tidak pernah marah kepada saya. Hanya saya menghargai beliau yang berpuasa saja.
T
: Bahasa apa yang digunakan ketika berintraksi dengan masyarakat Muslim?
J
: Bahasa Indonesia dan juga bahasa daerah.
T
: Apakah bapak dan masyarakat non-Muslim lainnya pernah mendapatkan perlakuan rasis dari masyarakat Muslim?
J
: Kalau di kelurahan Parapat ini tidak ada rasis karena toleransi beragama yang ditunjukkan sangat bagus. Saya cerita sedikit waktu saya melayani di Aceh ada 4 Gereja yang dibakar dan saya melihatnya dengan jelas itu terjadi pada tanggal 11 Juni 2011. Begitu pula waktu saya di Banjarmasin terjadi kerusuhan tanggal 23 Mei 1997 dan gereja HKBP tempat saya melayani pun ikut dibakar. Dalam ajaran Kristen kita tidak
boleh membalas dendam terhadap orang-orang yang telah menganiaya kita. Walaupun Gereja dibakar, kita juga turut menyumbangkan sembako berupa beras kepada masyarakat lain yang rumahnya ikut terbakar karena kerusuhan tersebut. T
: Apakah bapak pernah dilibatkan dalam acara kegiatan Ramadhan di kelurahan Parapat?
J
: Selama lima tahun saya melayani disini, belum pernah saya terlibat dalam kegiatan Ramadhan di kelurahan Parapat ini.
T
: Bagaimana pbapakngan Bapak terhadap masyarakat Muslim yang melakukan ibadah di bulan Ramadhan?
J
: Menurut saya itu hak mereka yang menjalankannya dan saya tidak mengganggu mereka yang menjalankan ibadah di bulan puasa.
T
: Apakah masyarakat disini mudah curiga pada apa yang dilakukan oleh masyarakat Muslim di bulan Ramadhan?
J
: Saya rasa tidak ya
T
: Apakah masyarakat disini saling menghormati dan menghargai di bulan Ramadhan?
J
: Ya, masyarakat disini saling menghormati dan menghargai masyarakat Muslim yang menjalankan puasa di bulan Ramadhan.
T
: Menurut bapak, faktor apa yang menjadi penyebab masyarakat Muslim dan non-Muslim itu tidak pernah berkonflik?
J
: Karena sikap saling menghargai yang ditunjukkan oleh masyarakat yang ada di kelurahan Parapat. Masyarakat disini menunjukkan toleransi
beragama yang cukup baik sehingga tidak pernah terjadi konflik antara umat beragama disini. T
: Apakah bapak membatasi pergaulan bapak dengan masyarakat Muslim?
J
: Tidak saya tidak membatasi pergaulan saya dengan mereka yang beragama Islam, saya bergaul dengan siapa saja di kelurahan Parapat ini.
T
: Apakah perbedaan agama menghambat terjadinya komunikasi diantara masyarakat?
J
: Saya rasa tidak ya, karena masyarakat disini yang saya lihat berbaur saja jika ada acara nikahan maupun acara kematian.
Pewawancara
Narasumber
Ratih Pratiwi
Pdt. Anggiat Hutahuruk
NIM 1112051000016
Wawancara Penelitian Pewawancara
: Ratih Pratiwi
Narasumber
: Jan Warisman Damanik (Pimpinan Jemaat GKPS Parapat)
Pelaksanaan Wawancara
: Hari
: Jumat, 15 Juli 2016
Pukul
: 19.00-19.30 WIB
Tempat
: Kediaman Jan Warisman Damanik
T
: Menurut bapak, apakah toleransi beragama itu?
J
: Saling menghargai ibadah seseorang walaupun aliran kepercayaannya berbeda.
T
: Perlukah kita melakukan toleransi beragama?
J
: Perlu, karena situasi kita di Indonesia dengan berbagai suku, agama dan ras maka diperlukan toleransi beragama.
T
: Pernahkah terjadi konflik pada saat bulan Ramadhan antara masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim di kelurahan Parapat?
J
: Kalau pengamatan saya, di daerah sini belum pernah terjadi konflik di bulan Ramadhan.
T
: Menurut bapak, faktor apa yang menjadi penyebab masyarakat Muslim dan non-Muslim itu tidak pernah berkonflik?
J
: Karena ada rasa toleransi dan saling menghargai itu yang utama dan juga budaya kita walaupun berbeda suku tapi tali persaudaraan itu kental apalagi didaerah Batak.
T
: Bahasa apa yang digunakan ketika berintraksi dengan masyarakat Muslim?
J
: Kalau bertemu dengan orang bersuku Batak maka akan berbahasa Batak dan bila bertemu dengan orang yang berbeda suku maka akan bebahasa Indonesia.
T
: Apakah bapak dan masyarakat non-Muslim lainnya pernah mendapatkan perlakuan rasis dari masyarakat Muslim?
J
: Saya rasa tidak pernah kita mendapatkan rasis dari masyarakat Muslim.
T
: Di dalam kegiatan bulan Ramadhan, apakah masyarakat non-Muslim ikut dilibatkan dalam acara di bulan Ramadhan?
J
: Biasanya saya ikut dalam acara buka puasa bersama yang diadakan di hotel Inna Parapat.
T
: Menurut bapak, apakah masyarakat non-Muslim melakukan toleransi beragama pada masyarakat Muslim di bulan Ramadhan? Seperti apa bentuknya?
J
: Seperti malam takbiran, kita saling menjaga untuk mencegah agar tidak terjadi gangguan dan kerusuhan di kelurahan Parapat ini.
T
: Apakah masyarakat non-Muslim disini menghargai masyarakat Muslim yang melakukan ibadah puasa di bulan Ramadhan?
J
: Pasti menghargai satu sama lain.
T
: Bagaimana penilaian bapak terhadap toleransi beragama yang ditunjukkan masyarakat non-Muslim pada Muslim?
J
: Kalau menurut saya di kelurahan Parapat ini sudah cukup bagus karena tidak pernah saling berbenturan dan saling menunaikan ibadah kita masing-masing.
T
: Apakah masyarakat disini mudah curiga pada apa yang dilakukan oleh masyarakat Muslim di bulan Ramadhan?
J
: Tidak
T
: Apakah masyarakat Muslim disini mengganggu bapak dalam melakukan ibadah?
J
: Tidak, mereka tidak menganggu bapak dalam melakukan ibadah.
T
: Apakah bapak membatasi pergaulan bapak dengan masyarakat Muslim?
J
: Kalau saya tidak, saya banyak bergaul dengan masyarakat Muslim disini. Kebetulan keluarga saya juga banyak yang beragama Muslim jadi kita saling menghormati saja. Ketika Idul Fitri, saya mengunjungi keluarga yang Muslim dan berlebaran bersama mereka dan begitu pula sebaliknya ketika kita Natalan keluarga yang Muslim datang mengunjungi kita untuk ikut merayakan Natal bersama. Itulah contoh toleransi beragama yang kita lakukan disini.
T
: Apakah perbedaan agama menghambat terjadinya komunikasi diantara masyarakat?
J
: Saya rasa tidak karena kita saling menghargai saja tapi tetap ada rasa segan untuk saling menghormati satu sama lain.
T
: Bagaimana pbapakngan Bapak tentang masyarakat Muslim yang melakukan ibadah di bulan Ramadhan?
J
: Kita tetap saling menghormati satu sama lain.
Wawancara Penelitian Pewawancara
: Ratih Pratiwi
Narasumber
: Ramsion Barutu (Pengurus Gereja Katolik Parapat)
Pelaksanaan Wawancara
: Hari
: Rabu, 20 Juli 2016
Pukul
: 20.00-20.30 WIB
Tempat
: Kediaman Ramsion Barutu
T
: Menurut bapak, apakah toleransi beragama itu?
J
: Menurut saya toleransi beragama itu prakteknya seperti di kelurahan Parapat ini adalah kerja sama saling menghargai, silaturahmi yang bagus dan persaudaraan yang baik.
T
: Perlukah kita melakukan toleransi beragama?
J
: Menurut saya sangat perlu karena itulah yang kita perlukan karena Tuhan tidak pernah membedakan siapapun manusia, karena semua manusia adalah ciptaan-Nya.
T
: Apakah bapak melakukan toleransi beragama pada orang yang berbeda agama dengan bapak?
J
: Ya jelas, komunikasi yang bagus seperti saat ini suasana lebaran tetangga saya orang Muslim mereka memberikan kue lebaran kepada saya, begitu juga sebaliknya pada saat Natal saya memberikan kue kepada mereka dan itu merupakan budaya yang sudah dijalankan dari dulu. Itulah komunikasi yang nyata.
T
: Menurut sepengetahuan bapak pernahkah terjadi konflik pada saat bulan Ramadhan antara masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim di kelurahan Parapat?
J
: Kalau pengamatan saya, di daerah sini belum pernah terjadi konflik di bulan Ramadhan.
T
: Menurut bapak, faktor apa yang menjadi penyebab masyarakat Muslim dan non-Muslim itu tidak pernah berkonflik?
J
: Karena adanya saling pengertian dan saling menghargai kepercayaan siapapun orang itunya
T
: Menurut bapak komunikasi apa yang terjadi antara masyarakat Muslim dengan masyarakat non-Muslim di bulan ramadhan?
J
: Kerja sama yang bagus, contohnya saat di angkot kita tidak merokok di depan orang berpuasa.
T
: Di dalam kegiatan bulan Ramadhan, apakah masyarakat non-Muslim ikut dilibatkan dalam acara di bulan Ramadhan?
J
: Kegiatan secara konkritnya tidak ada, tetapi kita turut menjaga apabila timbul keributan antara masyarakat. Kita peka terhadap itu dan kita perhatikan semua warga kita, karena pada saat Natal masyarkat Muslim turut menjaga keamanan di Gereja.
T
: Bahasa apa yang digunakan ketika berintraksi dengan masyarakat Muslim?
J
: Kalau bertemu dengan orang bersuku Batak maka akan berbahasa Batak dan bila bertemu dengan orang yang berbeda suku maka akan berbahasa Indonesia.
T
: Apakah bapak dan masyarakat non-Muslim lainnya pernah mendapatkan perlakuan rasis dari masyarakat Muslim?
J
: Saya rasa tidak pernah kita mendapatkan rasis dari masyarakat Muslim karena disini aman-aman saja.
T
: Bagaimana penilaian bapak terhadap toleransi beragama yang ditunjukkan masyarakat non-Muslim pada Muslim?
J
: Bagus karena kita saling mendukung begitu juga sebaliknya Muslim kepada masyarakat Katolik, karenakita intinya bersaudara.
T
: Apakah masyarakat disini mudah curiga pada apa yang dilakukan oleh masyarakat Muslim di bulan Ramadhan?
J
: Tidak pernah.
T
: Apakah masyarakat non-Muslim disini menghargai masyarakat Muslim yang melakukan ibadah puasa di bulan Ramadhan?
J
: Saling menghargai.
T
: Apakah masyarakat Muslim disini menggangu bapak dan masyarakat Katolik dalam melakukan ibadah?
J
: Tidak ada menggangu.
T
: Apakah bapak membatasi pergaulan dengan masyarakat Muslim?
J
: Tidak, kita sangat terbuka sangat kekeluargaan. Kalau ada pesta kita di undang dan kalau kita yang pesta kita mengundang mereka.
Gambar 1. Saat wawancara dengan Bapak Ramsion Barutu
Gambar 2. Saat Wawancara dengan Pdt Anggiat Hutahuruk
Gambar 3. Saat wawancara dengan Bapak H. Maimun
Gambar 4. Saat Wawancara dengan Ustadz Suadji
Gambar 5. Foto dengan staf Kelurahan Parapat saat ingin meminta data kelurahan Parapat
Gambar 6. Saat Wawancara dengan Bapak Sumari
Gambar 7. Suasana Shalat Idul Fitri di kelurahan Parapat