Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2013
ANALISIS TEKNIS DAN EKONOMI BUDIDAYA SAPI JAWA BREBES (JABRES) SEBAGAI TERNAK LOKAL UNGGULAN Dian Maharso Yuwono dan Subiharta Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Tengah
[email protected]
ABSTRAK Sapi Jawa Brebes (Jabres) merupakan komoditas lokal unggulan lokal di Kabupaten Brebes, telah dibudidayakan secara turun menurun dan ditetapkan Kementerian Pertanian sebagai salah satu rumpun sapi lokal, dan kekayaan sumberdaya genetik ternak lokal Indonesia. Sumberdaya genetik Sapi Jabres diharapkan untuk dilestarikan dan dioptimalkan pemanfaatannya agar memberikan kontribusi bagi penyediaan daging sapi dan peningkatan pendapatan peternaknya. Suatu penelitian untuk mengetahui potensi teknis dan ekonomi pada budidaya sapi Jabres telah dilakukan pada tahun 2005 dan 2012. Penelitian dilakukan dengan metode survai di salah satu sentra pengembangannya, yakni di Desa Cikeusal Kidul, Kecamatan Ketanggungan, Kabupaten Brebes, adapun respondennya adalah 30 orang peternak Sapi Jabres. Hasil penelitian menunjukkan bahwa warna bulu sapi Jabres bervariasi, dimana yang dominan berwarna coklat mulus. Budidaya Sapi Jabres di daerah pengembangannya dilakukan secara kombinasi antara angonan dan dikandangkan, skala usaha berkisar 1 – 7 ekor, adapun tingkat kepemilikan sebagian besar 3 ekor ke atas/peternak. Meskipun saat ini telah berkembang penggunaan traktor, namun 40% petani masih menggunakan Sapi Jabres untuk mengolah lahan pertanian, terutama pada lahan miring yang tidak memungkinkan menggunakan traktor. Peternak masih memandang pemeliharaan Sapi Jabres sebagai tabungan hidup, masih belum berorientasi ekonomi. Sapi Jabres mempunyai keunggulan dalam reproduksi, karena tiap tahun mampu menghasilkan anak, sehingga layak secara ekonomi apabila dipelihara secara intensif dengan R/C ratio sebesar 2,14. Kelestarian Sapi Jabres terancam dengan mulai dikenalnya sapi peranakan Simental yang produktifitasnya lebih tinggi, serta semakin berkurangnya areal angonan sebagai akibat dari pertanian yang semakin intensif. Kata kunci : analisis, teknis, ekonomi, budidaya, Sapi Jabres, ternak lokal unggulan PENDAHULUAN Permintaan daging sapi terus meningkat seiring dengan meningkatnya kesejahteraan, tingkat pendidikan, perubahan pola konsumsi, dan jumlah penduduk. Data empiris tahun 2011 menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi daging penduduk Indonesia sebanyak 2,75 kg/kapita/tahun, dan diperkirakan akan terus meningkat (Badan Pusat Statistik, 2012). Peningkatan permintaan daging sapi tersebut tidak diimbangi dengan peningkatan produksi yang memadai menyebabkan pemenuhan akan kebutuhan selalu negatif (Murtidjo, 1992). Hadi et.al. (1999) memprediksi apabila tidak ada perubahan teknologi secara signifikan dalam proses produksi daging sapi dalam negeri serta tidak adanya peningkatan populasi sapi yang berarti maka senjang antara 25
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2013
produksi daging sapi dalam negeri dengan jumlah permintaan akan semakin melebar. Selama ini kebutuhan daging sapi di Indonesia dipenuhi dari tiga sumber yaitu: sapi lokal, sapi impor, dan daging impor (Hadi dan Ilham, 2000). Kontribusi sapi lokal Suswono untuk mensuplai kebutuhan daging hanya 60 %, sisanya dipenuhi dari impor (2009). Indonesia mempunyai sumberdaya genetik (SDG) ternak sapi lokal yang belum dimanfaatkan secara optimal. Sumber daya genetik adalah material tumbuhan, binatang, atau jasad renik yang mengandung unit-unit yang berfungsi sebagai pembawa sifat keturunan, baik yang bernilai aktual maupun potensial untuk menciptakan galur, rumpun, atau spesies baru (Anonim, 2009). Agar SDG dapat memberikan kontribusi bagi penyediaan daging sapi dan peningkatan pendapatan peternaknya maka perlu upaya pelestarian dan pemanfaatan secara optimal. Pelestarian SDG dimaksudkan sebagai serangkaian kegiatan untuk mempertahankan keberadaan dan keanekaragaman SDG dalam kondisi dan potensi yang memungkinkannya untuk dimanfaatkan secara berkelanjutan, sedangkan pemanfaatan SDG dalam rangka untuk penelitian dan pengembangan (litbang) (Komisi Nasional Sumberdaya Genetik, 2009). Salah satu SDG sapi lokal yang ada di Jawa Tengah adalah Sapi Jawa Brebes (Jabres). Sapi Jabres merupakan salah satu SDG yang berkembang dengan baik di daerah dataran tinggi Kabupaten Brebes bagian Selatan, diduga merupakan hasil persilangan antara Sapi Madura atau Sapi Bali dengan sapi lokal atau Ongole (Wikipedia, 2011). Sebaran Sapi Jabres wilayah pengembangannya seperti tercantum pada Tabel 1. Keunggulan sapi Jabres mendorong pemerintah menetapkan sebagai salah satu rumpun sapi lokal, dan kekayaan sumber daya genetik ternak lokal Indonesia, melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 2842/Kpts/LB.430/8/2012 tanggal 13 Agustus 2012 (Dinas Peternakan Kabupaten Brebes, 2012). Rumpun ternak adalah adalah segolongan ternak dari suatu spesies yang mempunyai karakteristik luar serta sifat keturunan yang sama (Direktorat Perbibitan Ternak-Dirjen Peternakan, 2012) . Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji karakteristik peternak, sumberdaya biofisik, karakteristik ternak, aspek budidaya, dan input-output usaha perbibitan Sapi Jabres. Informasi ini diharapkan dapat memperkaya informasi tentang Sapi Jabres dalam upaya memelestarikan dan memanfaatkan SDG sapi lokal Indonesia, khususnya Sapi Jabres. Tabel 1. Sebaran populasi Sapi Jabres di Kabupaten Brebes Tahun 2011
26
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2013
METODE PENELITIAN Suatu penelitian telah dilakukan pada tahun 2005 dan tahun 2012, Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui potensi teknis dan ekonomi pada budidaya Sapi Jabres. Penelitian dilakukan dengan metode survai di salah satu sentra pengembangan Sapi Jabres, yakni di Desa Cikeusal Kidul, Kecamatan Ketanggungan, Kabupaten Brebes. Ruang lingkup penelitian meliputi karakteristik responden, karakteristik sumberdaya biofisik, karakteristik ternak, aspek budidaya, dan input-output usaha perbibitan Sapi Jabres. Data diperoleh dari dua jenis sumber data, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui wawancara terhadap peternak Sapi Jabres sebanyak 30 orang, dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuisioner) yang telah disiapkan terlebih dahulu. Sumber primer lainnya berasal dari hasil wawancara dengan informan kunci yang relevan, meliputi penyuluh pertanian dari Kecamatan Ketanggungan, pengurus kelompok ternak Sapi Jabres, dan petugas dari Kantor Peternakan Kabupaten Brebes. Data sekunder didapat dari statistik Desa Cikeusal Kidul, Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah. Data teknis dan ekonomi dianalisis secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif dari hasil observasi dan wawancara, dengan menganalisis keseluruhan variabel yang telah diidentifikasi. Data yang menyangkut variabel harga dikonversikan dengan harga tahun 2012. Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai bahan rekomendasi sekaligus menjadi bahan acuan bagi pengambil keputusan atau kebijakan dalam upaya pengembangan peternakan Sapi Jabres di Kabupaten Brebes. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Peternak Tabel 2 menunjukkan identitas peternak Sapi Jabres di Desa Cikeusal Kidul. Sebagian besar responden berada pada usia produktif, yakni maksimal 50 tahun, sebesar 63,34%. Apabila mengacu pada Wiriatmadja (1978), responden didominasi oleh pengetrap dini hingga pengetrap akhir, yakni berumur 30-50 tahun. Meskipun dalam kenyataannya tidak selalu berlaku demikian, namun setidaknya faktor umur perlu diperhatian sebagai bahan pertimbangan dalam mengintroduksikan suatu inovasi kepada petani. Tabel 2. Identitas peternak Sapi Jabres di Desa Cikeusal Kidul, Kecamatan Ketanggungan, Kabupaten Brebes No. Uraian Persentase (%) 1. Komposisi responden menurut kelompok umur 6,67 <30 tahun 26,67 30 – 40 tahun 30,00 41 – 50 tahun 36,67 >50 tahun 2.
Komposisi
responden
menurut
tingkat 27
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura No.
3.
4.
Uraian
Juni, 2013
Persentase (%)
pendidikan formal SD SMP SMA Komposisi responden menurut pekerjaan utama On farm dan off farm Non farm Komposisi responden menurut tanggungan keluarga <= 2 orang 3 orang 4 orang >=5 orang Sumber : data primer, 2005
76,67 13,33 10,00 86,67 13,33
13,33 33,33 13,33 40,00
Pendidikan formal sebagian besar responden adalah SD, selebihnya pendidikannya SMP. Kualitas sumberdaya manusia petani contoh dapat dikatakan masih rendah, karena sebagian besar (76,67%) memiliki tingkat pendidikan SD atau kurang. Kondisi ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil Sensus Pertanian tahun 2003 (BPS, 2004) yang mendapatkan bahwa untuk petani di Pulau Jawa yang berpendidikan SD ke bawah sejumlah 54,31%, sedangkan data tahun 2013 menunjukkan tingkat pendidikan petani di Indonesia 67,66% berpendidikan maksimal SD (Anonim, 2013). Salah satu penyebab rendahnya tingkat pendidikan petani responden adalah karena tenaga kerja daerah pedesaan yang berpendidikan relatif tinggi lebih terdorong untuk melakukan migrasi, dengan harapan peluang mereka untuk mendapatkan pekerjaan dengan upah lebih tinggi di perkotaan lebih besar. Sebagian besar (86,67%) peternak memiliki mata pencaharian utama di sektor pertanian, baik on farm mapun off farm, namun demikian tidak terdapat peternak yang mengandalkan budidaya Sapi Jabres sebagai matapencaharian utama. Adapun jumlah tanggungan keluarga peternak berkisar 2-7 orang, paling besar persentasenya memiliki tanggungan keluarga 5 orang ke atas. Tabel 3. Tingkat penguasaan lahan pertanian dan Sapi Jabres di Desa Cikeusal Kidul, Kecamatan Ketanggungan, Kabupaten Brebes
28
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2013
Tabel 3 menggambarkan tingkat penguasaan lahan dan ternak Sapi Jabres potong di Desa Cikeusal Kidul. Sebagian besar peternak (63,33%) tingkat penguasaan lahan pertanian, baik lahan sawah irigasi maupun lahan kering, seluas 0,5 ha/peternak ke atas, sedangkan yang menguasai lahan di bawah 0,5 ha persentasenya 20%. Kondisi ini lebih tinggi dibanding luas rata-rata kepemilikan lahan sawah di Jawa dan Bali yang hanya 0,34 ha/petani (Jamal, 2011). Penguasaan Sapi Jabres berkisar 1-8 ekor/peternak, sebagian besar peternak memiliki 3 ekor ke atas. Ditinjau dari kepemilikannya, sebagian besar milik sendiri (83,33%), hanya sebagian kecil yang merupakan ternak gaduhan. Kemampuan maksimal peternak mengelola sapi apabila menerapkan sistem kandang hanya 3 ekor, sedangkan pada penerapan sistem angonan mampu mengelola 5-7 ekor. Keterbatasan tenaga kerja merupakan alasan utama untuk tidak meningkatkan skala. Skala usaha peternak di Desa Cikeusal Kidul lebih tinggi dibandingkan yang disampaikan Hadi dan Ilham (2002) dimana rata-rata skala usaha pembibitan perbibitan sapi potong berkisar 13 ekor/peternak. Tujuan memelihara sapi terutama sebagai sebagai tabungan hidup. Penjualan sapi merupakan tumpuan apabila peternak membutuhkan uang dalam jumlah relatif banyak, seperti renovasi rumah dan biaya sekolah anak. Karakteristik Sumberdaya Biofisik Lahan basah di Desa Cikeusal Kidul didominasi sawah tadah hujan dengan pola tanam palawija – padi – bero. Apabila Mei masih terdapat hujan, petani menerapkan pola tanam palawija - padi – palawija/cabe/bawang merah. Palawija yang diusahakan utamanya adalah jagung, baik jagung lokal maupun hibrida, beberapa petani mengusahakan kacang hijau. Berdasarkan sistem pemeliharaannya, budidaya Sapi Jabres dilakukan dengan kombinasi antara angonan dan dikandangkan. Angonan dilakukan di hutan setempat (hutan Cicadas), tanah kosong, maupun pada lahan sawah yang sedang menganggur (belum ditanami). Pada saat musim hujan, dimana areal sawah digunakan, petani banyak yang mengkandangkan, karena minimnya areal angon. Pemeliharaan Sapi Jabres secara dikandangkan juga dilakukan oleh sebagian petani yang mempunyai kebun rumput unggul (rumput Gajah). 29
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2013
Kandang umumnya terpisah dari rumah, yakni berada pekarangan, pinggir lapangan, maupun bantaran Sungai Babakan. Beberapa peternak, sekitar 3-5 KK, menempatkan ternaknya pada kandang kelompok. Peternak menyampaikan beberapa manfaat dari penggunaan kandang kelompok, yakni bisa saling tukar pengalaman/informasi mengenai budidaya ternak, dapat diatasinya pencemaran udara (bau) pada pengelolaan sapi potong, meningkatnya estetika lingkungan pemukiman dikarenakan kandang sapi tidak menyatu lagi dengan rumah penduduk, nyamuk menjadi berkurang, sehingga berdampak positif terhadap kesehatan petani. Meskipun saat ini telah berkembang penggunaan traktor, namun 40% petani masih menggunakan Sapi Jabres untuk mengolah lahan pertanian, terutama pada lahan miring yang tidak memungkinkan menggunakan traktor. Sebagai ilustrasi, untuk mengolah lahan 1 ha dibutuhkan tenaga sapi 28 hari. Pola pemberian hijauan pakan pada Sapi Jabres sebagaimana tercantum pada Tabel 4. Pada saat musim hujan, hijauan pakan mengandalkan rumput unggul maupun rumput lapang. Sebagian petani (20%) telah mempunyai kebun rumput unggul (rumput Gajah). Manfaat petani yang mengusahakan rumput unggul adalah waktu yang dicurahkan untuk mencari rumput lebih pendek sekitar 4-6 kali. Limbah tanaman pangan diberikan sesuai dengan pola tanam yang ada. Jerami jagung diberikan pada Januari, sedangkan jerami padi pada April. Meskipun demikian, pemberian limbah tanaman hanya sebagai tambahan rumput, karena kurang disukai ternak. Tabel 4. Pola pemberian hijauan pakan pada Sapi Jabres di Desa Cikeusal Kidul, Kecamatan Ketanggungan, Kabupaten Brebes Jenis Hijauan Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Rumput unggul Rumput lapang Jerami padi Jerami jagung Pada saat musim kering (Agustus - Nopember) peternak mengalami mengalami kesulitan mendapatkan hijauan, karena rumput di areal hutan dan rumput unggul tidak tumbuh. Untuk memenuhi kebutuhan, secara berombongan (8-10 orang), peternak mencari rumput sampai sejauh 20-25 km. Pakan tersebut untuk memenuhi kebutuhan selama 3 hari. Sulitnya mendapatkan hijauan pakan pada musim kering dipicu oleh usahatani yang semakin intensif, diantaranya ditandai dengan peningkatan indek tanam, yang pada gilirannya areal angonan sekain terbatas. Kotoran sapi belum dimanfatkan secara optimal, peternak umumnya menggunakan kotoran sapi sebagai pupuk tanaman pangan hanya pada musim kemarau, itupun sebatas pada lahan pertanian yang lokasinya relatif dekat dengan tempat tinggal. Penggunaan kotoran sapi sebagai pupuk tanaman tanpa melalui proses pengomposan terlebih dahulu. Kotoran sapi belum dipandang mempunyai nilai ekonomi
30
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2013
yang berarti, mengingat masyarakat setempat dapat menggunakan tanpa dipungut bayaran. Kotoran sapi apabila dimanfaatkan secara optimal melalui penerapan teknologi pengomposan akan diperoleh hasil samping yang menjanjikan, mengingat seekor sapi mampu menghasilkan kotoran padat dan cair sebanyak 23,6 kg/hari dan 9,1 kg/hari (Tauscher et al. dalam Setiawan, 2002). Kompos merupakan hasil akhir dari proses pengomposan yang dapat digunakan sebagai pupuk organik (Suhartiningsih, 1998). Proses pengomposan penting untuk dilakukan mengingat nilai rasio C/N pupuk kandang umumnya masih di atas 30, padahal pupuk kandang yang baik harus mempunyai rasio C/N kurang dari 20 (Hartatik dan Widowati, 2006). Sapi mulai dikawinkan pada umur sekitar 1,5 tahun. Perkawinan secara alam, umumnya terjadi pada saat ternak diangon, yakni antara Juli – Nopember. Dengan pola perkawinan tersebut, kelahiran banyak terdapat pada Maret – Mei. Ternak dikawinkan lagi setelah 3-4 bulan kelahiran, sedangkan umur sapih sekitar 6 bulan. Penggunaan kotoran kambing tanpa melalui proses pengomposan tentunya kurang menghasilkan efek yang optimal. Proses pengomposan penting untuk dilakukan mengingat nilai rasio C/N pukan kambing umumnya masih di atas 30, padahal pupuk kandang yang baik harus mempunyai rasio C/N kurang dari 20 (Hartatik dan Widowati, 2006). Peternak tidak mendapatkan kendala dalam pemasaran sapi. Pemasaran sepenuhnya mengandalkan blantik yang beroperasi di desa. Alasan peternak tidak menjual ke pasar hewan adalah karena tingginya biaya pengangkutan, selain itu harganya belum tentu lebih mahal dibanding menjual di desa. Karakteristik Sapi Jabres Ukuran fisik Sapi Jabres pada berbagai status ternak seperti tercantum pada Tabel 4. Bobot badan pejantan Sapi Jabres 350 kg, sedangkan panjang badan 125,8 cm, lingkar dada 171, dan tinggi gumba 121,8 cm. Ukuran tersebut tidak berbeda jauh dengan pejantan Sapi Bali, yang diduga tetuanya Sapi Jabres, yang memiliki ukuran tubuh yang meliputi bobot badan 350-400 kg, panjang badan 125-134 cm, lingkar dada 180-185 cm dan tinggi pundak 122-126 cm (Pane, 1991). Tabel 5. Ukuran fisik Sa9:13 PMpi Jabres di Desa Cikeusal Kidul, Kecamatan Ketanggungan, Kabupaten Brebes Bobot Lingkar Tinggi Panjang Panjang Panjang Status ternak badan dada gumba telinga tanduk badan (kg) (cm) (cm) (cm) (cm) (cm) Anak 46 87 15 Muda jantan 133 120 95.0 16.1 8.0 90.6 Muda betina 96 107 97.8 13.0 99.0 Dewasa jantan 350 171 121.8 20.5 11.0 125.8 Dewasa betina 246 147 109.1 19.2 14.1 114.4 Sumber : data primer, 2005 31
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2013
Sapi Jabres yang dipelihara secara tradisional pertambahan bobot badan hariannya (PBBH) sebesar 0,23 kg/ekor/hari, apabila kualitas pakannya ditingkatkan dengan menambahkan dedak padi dan daun gamal akan menghasilkan PBBH sebesar 0,54 kg/ekor/hari (Lestari et. al., 2012). Pertambahan bobot badan tersrbut tidak berbeda jauh dengan PBBH sapi Peranakan Ongole (PO). Yuwono dan Subiharta (2012) melaporkan PBBH sapi PO pada pemeliharaan tradisional sebesar 0,25 kg. Perbaikan kualitas pakan melalui pemberian konsentrat mampu menghasilkan PBBH sapi PO sekitar 0,59 0,75 kg/ekor/hari (Yuwono dan Subiharta, 2012; Adiwinarti et.al., 2011). Berdasarkan beberapa hasil penelitian tersebut, untuk menghasilkan PBBH yang optimal pada Sapi Jabres perlu perbaikan kualitas pakan. Pakan penguat yang umum diberikan peternak di Desa Cikeusal adalah dedak, intensitas pemberiannya berkisar 1-2 kali/minggu, dengan jumlah pemberian berkisar 1-2 kg/ekor/hari. Pakan penguat terutama diberikan pada saat ketersediaan rumput dirasakan kurang mencukupi. Ciri fisik Sapi Jabres yang dikenal selama ini warna bulu merah dengan garis hitam di garis punggung; bagian pantat dan kaki bagian belakang berwarna putih (Dinas Peternakan Kabupaten Brebes, 2012). Perkawinan yang bebas pada saat diangon, menyebabkan adanya variasi dalam warna bulu. Saat ini Sapi Jabres dengan warna bulu coklat mulus 60,00%, selebihnya berwarna coklat dengan belang putih 15,00%, putih 10,00%, putih kecoklatan 10,00%, dan hitam 5,00% (Tabel 5). Tabel 5. Ciri fisik Sapi Jabres di Desa Cikeusal Kidul, Kecamatan Ketanggungan, Kabupaten Brebes
Selain ciri fisik seperti tercantum pada Tabel 5, Sapi Jabres memiliki beberapa keunggulan, yakni tahan terhadap serangan penyakit dan serangga, mampu beradaptasi di segala kondisi lingkungan, produksi karkas yang cukup tinggi, kualitas kulit yang bagus, memiliki daging yang padat, dan dapat dijadikan sebagai ternak pekerja (Anonim, 2012). Sumberdaya genetik mempunyai keunggulan tertentu karena telah lama berkembang di masyarakat memiliki keunggulan kompetitif dan mempunyai 32
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2013
potensi beradaptasi pada keterbatasan lingkungan serta mempunyai laju reproduksi relatif lebih baik (Frankham et al., 2002; Direktorat Perbibitan Ternak-Dirjen Peternakan, 2012). Peternak belakangan ini telah mengenal sapi peranakan Simental. Peternak cenderung sapi peranakan Simental karena pertumbuhannya lebih cepat. Selain itu keuntungan yang dihasilkan apabila menggemukkan lebih besar dibanding memeliara Sapi Jabres. Apabila kondisi ini tidak mendapat perhatian pemerintah, dikawatirkan Sapi Jabres akan punah. Penurunan populasi Sapi Jabres juga dipicu oleh semakin sulitnya peternak memperoleh hijauan pakan pada musim kering (Agustus-Nopember), selain itu pertanian yang semakin intensif (meningkatnya intensitas tanam) menyebabkan berkurangnya areal untuk angonan Sapi Jabres. Analisa Usaha Perbibitan Sapi Jabres Analisa usaha perbibitan Sapi Jabres sebagaimana tercantum pada Tabel 6. Analisa tersebut menggunakan asumsi-asumsi sebagai berikut : (a) biaya investasi untuk pengadaan induk dan pembuatan kandang dibiayai dari pinjangan jangka waktu 10 tahun dengan bunga 12%/tahun flat; (b) tiap tahun induk melahirkan; (c) tingkat kematian 0%; (c) tenaga kerja keluarga tidak diperhitungkan. Dengan menggunakan asumsi tersebut, perbibitan Sapi Jabres skala 2 ekor induk, mampu menghasilkan R/C rasio sebesar 2,14, yang dapat diartikan bahwa setiap biaya Rp 1,- akan menghasilkan penerimaan Rp 1,2,-. Dengan demikian, perbibitan Sapi Jabres secara ekonomi layak untuk dikembangkan. Tabel 6. Analisa usaha perbibitan Sapi Jabres (skala 2 ekor induk) No. 1.
2. 3. 4. 5.
Uraian Input : Pakan penguat induk Pakan penguat anak Bunga pinjaman Penyusutan kandang Total input Output : Penjualan anak Keuntungan R/C ratio B/C ratio
Jumlah (Rp.) 2.555.000 547.500 2.280.000 500.000 5.882.500 12.600.000 6.717.500 2,14 1,14
KESIMPULAN DAN SARAN Penguasaan Sapi Jabres di Desa Cikeusal berkisar 1-8 ekor/peternak, sebagian besar peternak memiliki 3 ekor ke atas. Kemampuan maksimal peternak mengelola sapi apabila menerapkan sistem kandang hanya 3 ekor, sedangkan pada penerapan sistem angonan mampu mengelola 5-7 ekor. 33
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2013
Budidaya Sapi Jabres belum dipandang sebagai matapencaharian utama, hanya sebatas sebagai tabungan hidup. Sebagian peternak menggunakan Sapi Jabres untuk mengolah tanah, terutama pada lahan miring yang tidak memungkinkan menggunakan traktor. Budidaya Sapi Jabres dilakukan dengan kombinasi antara angonan dan dikandangkan. Angonan dilakukan di hutan setempat, tanah kosong, maupun pada lahan sawah yang sedang menganggur. Beberapa peternak menempatkan ternaknya pada kandang kelompok. Pemberian hijauan pakan pada saat musim hujan mengandalkan rumput unggul maupun rumput lapang. Sebagian petani telah mempunyai kebun rumput unggul. Pada saat musim kering peternak mengalami mengalami kesulitan mendapatkan hijauan, sehingga untuk memenuhi kebutuhan secara berombongan peternak mencari rumput di luar desa. Limbah tanaman pangan diberikan sesuai dengan pola tanam yang ada. Jerami jagung diberikan pada Januari, sedangkan jerami padi pada April. Ukuran fisik Sapi Jabres tidak berbeda jauh dengan Sapi Bali. Perkawinan yang bebas pada saat diangon, menyebabkan adanya variasi dalam warna bulu. Selain warna coklat mulus terdapat variasi warna lain, yakni berwarna coklat dengan belang putih, putih, putih kecoklatan, dan hitam. Sapi Jabres mempunyai keunggulan dalam reproduksi, karena tiap tahun mampu menghasilkan anak, sehingga layak secara ekonomi apabila dipelihara secara intensif. Kelestarian Sapi Jabres terancam dengan mulai dikenalnya sapi peranakan Simental yang produktifitasnya lebih tinggi dibanding Sapi Jabres. Pertanian yang semakin intensif menyebabkan berkurangnya areal untuk angonan Sapi Jabres, hal ini menjadi salah satu faktor penyebab menurunnya populasi ternak. Apabila kondisi ini tidak mendapat perhatian dari pemangku kebijakan maka dikawatirkan Sapi Jabres akan punah. Sehubungan hal tersebut perlu inisiasi village breeding center untuk Sapi Jabres di wilayah pengembangannya. DAFTAR PUSTAKA Adiwinarti, R., Fariha, U.R., dan Lestari, C,M.S. 2001. Pertumbuhan sapi Jawa yang diberi pakan jerami padi dan konsentrat dengan level protein berbeda. JITV. Puslitbangnak. Bogor. Anonim. 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan Dan Kesehatan Hewan. Anonim.
2013. Pendidikan petani dan 20% anggaran pendidikan. http://edukasi.kompasiana.com/2013/05/07/pendidikan-petani-dan-20anggaran-pendidikan--558252.html
Anonim. 2013. Sapi Jawa Brebes. http://cetap.fapet.unsoed.ac.id/?page_id=228. Center of Tropical Animal Production For Sustainable Rural Development. Diakses 24 Mei 2013. 34
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2013
Badan Pusat Statistik. 2012. Statistik Indonesia 2012. BPS. BPS. Pusdatin-BPS. 2004. Survei Pendapatan Petani (SPP). Sensus Pertanian. Pendapatan Rumah Tangga Pertanian. Kerjasama Pusat Data dan Informasi Pertanian, Departemen Pertanian dengan Direktorat Statisktik Pertanian, Badan Pusat Statistik. BPS. Dinas Peternakan dan BPS Kabupaten Brebes. 2011. Kabupaten Brebes dalam Angka tahun 2011. Dinas Peternakan dan BPS Kab. Brebes. Dinas Peternakan Kabupaten Brebes. 2012. Penetapan rumpun Sapi Jabres oleh Menteri Pertanian. http://disnak-kabbrebes.blogspot.com/
35
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2013
Direktorat Perbibitan Ternak. 2012. Pedoman Pelaksanaan Pengelolaan dan Penetapan Rumpun Atau Galur Ternak Tahun 2012. Direktorat Perbibitan TernakDirektorat Jenderal Peternakan Dan Kesehatan Hewan-Kementerian Pertanian. Frankham, R., J.D. Ballou, D.A. Briscoe. (2002). Introduction to conservation genetics. Cambridge, UK: Cambridge University Press. Hadi, P.U., H.P. Saliem, dan Nyak Ilham. 1999. Pengkajian Konsumsi Daging dan Kebutuhan Impor Daging Sapi dalam Sudaryanto et. al. (eds) Analisis dan Perspektif. Hadi, P.U. dan Ilham, N. 2000. Peluang Pengembangan Usaha Pembibitan Ternak Sapi Potong di Indonesia Dalam Rangka Swasembada Daging 2005. PSE, Bogor. Hadi, P.U. dan Ilham, N. 2002. Problem dan prospek usaha pengembangan perbibitan sapi potong di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian 21 (4) 2002. Hartatik, W. dan L.R., Widowati. 2006. Pupuk Kandang. Hal 59-82. Dalam R.D.M. Simanungkalit, D.A. Suriadikarta, R. Saraswati, D. Setyorini, dan W. Hartatik (Eds). Pupuk Kandang, Pupuk Organik, dan Pupuk Hayati (Organic Fertilizer and Biofertilizer). Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian-Badan Litbang Pertanian. Jamal, E. 2011. Revitalisasi Pertanian dan Upaya Perbaikan Penguasaan Lahan di tingkat Petani . Web Pribadi Erizal Jamal. http://erizaljamal.blogspot.com/ Kebijaksanaan Pembangunan Pertanian Pasca Krisis Ekonomi. Monograph Series No.20. PSE. Bogor. Komisi Nasional Sumberdaya Genetik. 2009. Pedoman Perjanjian Pengalihan Material (PPM) atau Material Transfer Agreement (MTA). http://indoplasma.or.id/berita/berita_2009_pedoman_MTA.html Lestari, C.M.S., 2012. Eksplorasi Potensi Produksi Sapi Jabres sebagai Sapi Potong Lokal dengan Metode In vivo dan Non- invasive pada Pemeliharaan In situ dan Ex situ. Program Studi Doktor Ilmu Peternakan, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro (Disertasi). Murtidjo, B.A. 1992. Beternak Sapi Potong. Kanisius, Yogyakarta. Pane, I. 1991. Produktivitas dan breeding sapi Bali. Prosiding Seminar Nasional Sapi Bali. 2-3 September 1991. Fakultas Peternakan Universitas Hassanudin. Ujung Pandang.
36
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2013
Setiawan, A.I. 2002. Memanfaatkan Kotoran Ternak. Cetakan ke tiga. Penebar Swadaya. Jakarta. Suhartiningsih, W. 1998. Sistem penunjang keputusan investasi usaha daur ulang sampah kota untuk produksi kompos. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Wikipedia. 2011. Sapi Jabres. http://id.wikipedia.org/wiki/Sapi_jabres. Wiriatmadja, S. 1978. Pokok-Pokok Penyuluhan Pertanian. CV Yasagua. Jakarta. Yuwono, D.M. dan Subiharta. 2011. Pengaruh kualitas pakan terhadap pertambahan bobot badan sapi potong pada kegiatan pendampingan PSDS di Kabupaten Magelang. Prosiding Semnas Kemandirian Pangan ―Pengelolaan Sumberdaya Pertanian Mendukung Kemandirian Pangan Rumah Tangga Petani‖. BBP2TP-BPTP Jatim. Malang.
37