Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2013
PEMASARAN SAGU (Metroxilon sp.) SAGO (Metroxilon Sp.) MARKETING Sitti Aida Adha Taridala1), Saediman1), Ika Merdekawati2) Staf Pengajar pada Jurusan Agribisnis, Faperta Universitas Haluoleo, Jl. HEA Mokodompit, Kendari, Sulawesi Tenggara Staf Pengajar pada Sekolah Tinggi Pertanian Wuna, Jl. Jend.Gatot Subroto Km 7, Raha, Sulawesi Tenggara.
ABSTRAK Aci sagu merupakan salah satu bahan pangan penting masyarakat di Sulawesi Tenggara, disamping juga sebagai bahan baku agroindustri berbahan baku sagu. Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) mengetahui saluran pemasaran sagu, dan (2) menganalis efisiensi pemasaran sagu. Tujuan pertama penelitian dianalisis secara deskriptif. Tujuan kedua dijawab dengan menggunakan analisis persentase bagian harga yang diterima petani-pengolah sagu dan analisis marjin. Hasil penelitian menunjukkan terdapat tiga saluran pemasaran sagu yang ditemui di lapangan, yaitu (1) Petani-Pengolah Sagu(PS)Pedagang Pengumpul Desa (PPD) konsumen akhir, (2) Petani-Pengolah Sagu(PS) Pedagang Pengumpul Kecamatan (PPK) pabrik sohun konsumen akhir, dan (3) Petani-Pengolah Sagu (PS) Pedagang antar Pulau (PAP) konsumen akhir. Hasil analisis menunjukkan bahwa dari tiga saluran pemasaran tersebut, saluran pemasaran kedua adalah yang paling efisien. Kata Kunci : sagu, pemasaran, saluran efisien ABSTRACT Sago starch is one of staple foods that provide important source of carbohydrate for the communities in Southeast Sulawesi, in addition to becoming an important raw material for sago based agroindustry. This research has the following two objectives: (1) find out sago marketing channel, and (2) analyze marketing channels and their efficiency. In line with the research objectives, the study employed qualitativedescriptive analysis to examine marketing channel present state. To analyze sago marketing efficiency, the analysis used were the percentage of farmer-processor’s share as well as marketing margin. Analysis of sago starch marketing reveals there are three marketing channels in Konawe Selatan district, namely (1) sago farmer-processors (PS) village collector (PPD) final consumer, (2) sago farmer-processors (PS) subdistrict collector (PPK) sohun factory final consumer, and (3) sago farmerprocessors (PS) inter-insular trade (PAP) final consumer. From these three marketing channels, channel 2 is the most efficient channel compared to others. Keywords: sago, marketing, efficient channel PENDAHULUAN Latar Belakang Agribisnis suatu produk merupakan merupakan suatu sistem yang terdiri atas beberapa subsistem, yang seharusnya bekerja secara harmonis dan terintegrasi, agar 202
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2013
pengembangan produk tersebut dapat berjalan dengan maksimal. Keseluruhan kegiatan dalam agribisnis tersebut meliputi aktivitas yang dilakukan oleh para pelaku, mulai dari penyediaan sarana produksi, budidaya, panen dan penanganan pascapanen, pengolahan, distribusi dan pemasaran, hingga dukungan dari lembaga-lembaga lain seperti lembaga keuangan, perguruan tinggi, penyuluh, pemerintah, dan lembaga penelitian. Agroindustri merupakan bagian dari sistem agribisnis, yang dapat berupa aktivitas penyediaan dan distribusi sarana produksi pertanian, maupun industri-industri yang menggunakan produk pertanian sebagai bahan baku. Khusus untuk agroindustri yang menggunakan produk pertanian sebagai bahan baku dalam proses produksinya, akan sangat sulit berkembang bila pasokan bahan baku tidak kontinyu, dan atau kuantitas dan kualitasnya tidak sesuai yang dipersyaratkan. Kondisi di atas sesuai dengan pandangan Soekartawi (2000) bahwa agroindustri di Indonesia mengalami permasalahan dalam lemahnya keterkaitan antarsubsistem di dalam agribisnis, yaitu distribusi dan penyediaan faktor produksi, proses produksi pertanian, pengolahan dan pemasaran. Pengembangan agroindustri di wilayah pedesaan tidak berjalan dengan baik disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu kurangnya ketersediaan bahan baku, keterbatasan pasar, proses produksi yang masih belum optimum, dan lemahnya keterkaitan industri hulu, on farm, dan industri hilir. Pada saat ini, permasalahan tersebut di atas terjadi juga pada agroindustri berbahan baku sagu (Metroxilon, sp.). Sagu merupakan suatu komoditas yang dihasilkan petani-pengolah sagu di desa-desa, sedangkan konsumennya, selain ada di daerah pedesaan, juga di daerah perkotaan. Seperti kita ketahui bersama bahwa konsumen di daerah perkotaan, baik itu sebagai konsumen antara maupun konsumen akhir suatu produk, antara lain menginginkan produk yang memiliki kualitas baik dan konsisten. Terkait dengan sagu, produk terpenting dari palma sagu adalah aci (tepung) sagu yang jumlahnya sangat besar dan digunakan untuk berbagai tujuan (Abbas dan Ehara, 2012). Di daerah Salem (Tamil Nadu, India) industry sagu saat ini merupakan tulang punggung perekonomian pedesaan (Gurusamy, et al., 2011). Di daerah Sulawesi Tenggara, ketersediaan produksi aci sagu menjadi semakin penting, karena aci sagu ini memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai bahan pangan pokok sebagian masyarakat (disamping beras), juga sebagai bahan baku untuk agroindustri sagu. Aci sagu sebagai pangan sumber karbohidrat di Sulawesi Tenggara semakin diminati belakangan ini. Salah satu indikatornya adalah semakin banyaknya jumlah restoran yang menyediakan jenis makanan ini, dimana pada Tahun 2012 mencapai 20 rumah makan2. Konsumen semakin menyadari bahwa mengkonsumsi sagu (sebagai pangan pokok) merupakan pola makan yang sehat. Karena ketika mengkonsumsi
2
Survei awal penulis (2012)
203
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2013
‘sinonggi’3 pasti dilengkapi dengan lauk pauk, serta sayuran yang merupakan sumber vitamin dan mineral, disamping pangan penyedap lainnya. Disamping itu, sagu diekstraksi dari pohon sagu yang merupakan tanaman organik (tanpa pemberian pupuk dan pestisida). Menurut Mann (2003), image positif tentang makanan organik adalah salah satu komponen penting yang mempengaruhi preferensi konsumen tentang suatu produk. Terkait penggunaan pestisida, Wilson dan Otsuki (2004) menyatakan bahwa akan terdapat resiko terhadap kesehatan manusia yang mengkonsumsi produk tersebut. Kegiatan menghasilkan aci (starch) sagu yang dilakukan di daerah pedesaan perlu terus dilakukan, sebagai upaya memenuhi kebutuhan pangan pokok masyarakat dan untuk bahan baku berbagai produk agroindustri yang umumnya berada di daerah perkotaan. Aktivitas produksi, yang merupakan salah satu rantai dalam agribisnis sagu, harus dilakukan secara efisien, agar para petani pengolah sagu memperoleh keuntungan dari kegiatan produksi yang dilakukannya. Seharusnya, usahatani sagu merupakan sebuah usahatani yang memiliki keberlanjutan secara ekonomi dan lingkungan, karena kurangnya penggunaan input dari luar usahatani. Howard et al. (2003) menjelaskan bahwa penggunaan pupuk yang memerlukan biaya tinggi secara ekonomi tidak sustainable, contohnya Program Sasakawa-Global 2000. Program ini diterapkan oleh pemerintah di Ethiopia dan Mozambik, yang merupakan High-Eksternal-InputTechnologies (HEIT). Agroindustri pengguna aci sagu sebagai bahan baku diharapkan akan berkembang, karena akan tercipta nilai tambah produk sagu, yang pada akhirnya akan berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat. Berkembangnya agroindustri juga akan berdampak pada pengurangan jumlah pengangguran, karena semakin luasnya kesempatan kerja. Keseluruhan aktivitas yang terjadi sepanjang rantai agribisnis sagu, sejak dari hulu hingga hilir, perlu bersinergi. Supaya produk yang dinginkan oleh para konsumen dapat tersedia pada waktunya, sesuai dengan kualitas dan kuantitas yang diperlukan. Kegiatan pemasaran merupakan hal yang sangat penting karena di dalamnya mencakup berbagai kegiatan yang menyebabkan barang bergerak ke pasar atau ke daerah konsumen. Pada sub sistem pemasaran, para pelaku umumnya belum memperhatikan secara benar tentang pentingnya pelaksanaan fungsi-fungsi pemasaran dalam kaitannya dengan pencapaian efisiensi pemasaran (Saediman et al., 2006; Taridala, 2006). Adanya permintaan sagu yang semakin meningkat untuk memenuhi kebutuhan konsumen akhir dan agroindustri, menyebabkan perlunya kajian tentang sistem pemasaran sagu, mengenai pencapaian efisiensi setiap saluran pemasaran yang terjadi. Tujuan
3
Pangan pokok sumber karbohidrat yang terbuat dari aci sagu yang disiram air panas hingga terbentuk sejenis suspensi berwarna putih susu sampai agak bening.
204
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2013
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengkaji saluran pemasaran sagu, dan (2) menganalisis efisiensi setiap saluran pemasaran sagu. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November-Desember Tahun 2012 di Kecamatan Konda (terdapat 6 desa contoh) dan Ranomeeto Barat (terdapat 3 desa contoh) di Kabupaten Konawe Selatan (Konsel). Kecamatan Konda dan Ranomeeto Barat termasuk sentra utama produksi sagu di Kabupaten Konsel. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer, yang diperoleh melalui wawancara mendalam dengan petani-pengolah sagu, lembaga pemasaran yang terlibat, serta konsumen akhir berdasarkan kuisioner yang telah disiapkan. Penentuan petani contoh yang telah diwawancarai dalam penelitian ini dilakukan dengan metode sensus, yaitu dengan mengambil keseluruhan anggota populasi petani pemilik mesin pengolah sagu yang ada pada keseluruhan desa contoh, dengan demikian jumlah responden berjumlah 27 orang (pemilik mesin sebagai ”ketua kelompok”) untuk Kecamatan Ranomeeto Barat. Sedangkan untuk Kecamatan Konda, terpilih 15 orang ”ketua kelompok”. Pemilihan sampel pedagang dilakukan secara purposive. Metode pemilihan sampel pedagang dengan menggunakan snowball sampling. Data yang diperoleh kemudian ditabulasi sesuai keperluan dengan menggunakan software MS Excel. Untuk menjawab tujuan pertama penelitian ini, yaitu tentang saluran pemasaran digunakan analisis deskriptif-kualitatif. Untuk mengetahui tingkat efisiensi pemasaran digunakan 2 (dua) cara, yaitu dengan mengukur besarnya bagian harga yang diterima petani pengolah sagu dan marjin pemasaran. 1) Marjin pemasaran Rumus yang digunakan untuk menghitung marjin dari suatu saluran pemasaran adalah (Dahl dan Hammond, 1987) : Mpi = Pji – Pbi dimana : Mpi : Marjin pemasaran di tingkat lembaga pemasaran ke-i (Rp./kg) Pji : Harga jual lembaga pemasaran ke-i (Rp./kg) Pbi : Harga beli lembaga pemasaran ke-i (Rp./kg) i : 1, 2, 3,……….,n Kriteria : Saluran pemasaran dengan nilai marjin yang paling kecil adalah saluran pemasaran yang lebih efisien dibandingkan saluran pemasaran lain.
Dalam nilai marjin pemasaran terdapat 2 (dua) komponen utama, yaitu biaya dan keuntungan pemasaran. Biaya pemasaran menyangkut keseluruhan korbanan yang dikeluarkan lembaga pemasaran untuk menambah kegunaan dari komoditas sagu. 205
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2013
Sedangkan keuntungan pemasaran adalah selisih antara marjin total dengan biaya total yang dikeluarkan lembaga tersebut: Ki = Mpi – Bpi dimana : Bpi : Biaya pemasaran yang dikeluarkan lembaga pemasaran ke-i (Rp./kg) Ki : Keuntungan yang diperoleh lembaga pemasaran ke-i (Rp./kg) i : 1, 2, 3,……….,n
(2) Persentase bagian harga yang diterima petani-pengolah sagu Untuk menentukan besarnya bagian harga yang diterima oleh petani pengolah sagu digunakan rumus berikut ini :
Fs = dimana : Fs : Persentase bagian harga yang diterima petani pengolah sagu dari harga yang dibayar konsumen akhir (%) Hj : Harga jual di tingkat petani pengolah sagu (Rp./kg) Hb : Harga beli di tingkat konsumen akhir (Rp./kg) Kriteria : Saluran pemasaran dengan nilai farmer share yang lebih besar adalah yang lebih efisien HASIL DAN PEMBAHASAN Pola pemasaran menunjukkan arus barang mulai dari petani-pengolah sagu hingga konsumen akhir. Lembaga pemasaran yang terlibat sepanjang saluran pemasaran sagu di Konsel adalah pedagang pengumpul desa (PPD), pedagang pengumpul kecamatan (PPK), dan pedagang besar (PB)/pedagang antar Pulau (PAP). Aktivitas yang dilakukan setiap pelaku dalam pemasaran sagu disajikan berikut ini : 1. Petani-pengolah Sagu (PS) PS merupakan pelaku yang memungkinkan tersedianya aci sagu yang akan digunakan untuk berbagai keperluan. PS melakukan proses produksi aci sagu, mulai dari pembersihan lokasi sekitar tempat mengolah sagu, menyiapkan tempat “memeras” parutan empulur sagu dan tempat penampungan sagu setelah diperas, menebang pohon-pohon sagu, serta membersihkan, memotong-motong dan membelah-belah batang sagu, lalu memarut empulur sagu, mengangkut dan memasukkan ke tempat memeras empulur parut, dan menginjak-injak sambil menyiram empulur (lumanda, Bahasa Tolaki) yang kemudian dialirkan ke tempat penampungan/pengendapan. Setelah aci sagu mengendap, lalu dimasukkan ke
206
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2013
karung nilon yang memuat sekitar 20-25 kg sagu basah per karung. Produk ini siap di pasarkan. 2. Pedagang Pengumpul Desa (PPD) PPD membeli sagu basah dari petani-pengolah sagu yang ada di daerahnya lalu dijual kepada konsumen rumahtangga di sekitar tempat tinggalnya. Sebelum dijual kepada konsumen rumahtangga, tidak ada perlakuan lebih lanjut yang dilakukan terhadap sagu yang mereka beli dari PS. 3. Pedagang Pengumpul Kecamatan (PPK) Seperti juga PPD, PPK yang melakukan penjualan sagu di pasar-pasar tradisional, seperti Pasar Ranomeeto, Pasar Baruga, dan Pasar Ambaipua, tanpa melakukan perlakuan lebih lanjut terhadap sagu yang diperjual-belikan. Pihak yang membeli sagu dari PPK adalah konsumen rumahtangga yang menggunakan aci sagu sebagai bahan pangan pokok sumber karbohidrat. Disamping menjual di pasar-pasar tradisional, PPK juga merupakan pemasok aci sagu untuk pabrik sohun yang ada di Kecamatan Konda. 4. Pedagang Besar (PB)/Pedagang Antar Pulau (PAP) PAP membeli sagu dari petani-petani pengolah atau para pengumpul di daerahnya dan di daerah lain (Konawe Utara dan Sulawesi Tengah). Umumnya sagu yang dibeli dalam keadaan basah, dengan kadar air mencapai 60 %. Selanjutnya PAP melakukan proses pengolahan, yaitu pencucian kembali dan pengemasan ulang, serta penimbangan. PAP melakukan penjualan sagu ke Surabaya dan Tulung Agung sebagai bahan baku pada industri. Aktifitas fisik yang dilakukan oleh pemasok dalam hal ini PB/PAP meliputi aktivitas pengangkutan, pencucian dan penimbangan sagu basah. Pengangkutan sagu dilakukan dengan menggunakan mobil. Aktivitas pencucian dan penimbangan dilakukan oleh PAP untuk menjaga dan mempertahankan kualitas dari sagu yang akan dijual. Sedang aktifitas penyimpanan biasanya tidak memerlukan waktu lama. 5. Pabrik Sohun Satu-satunya agroindustri pengguna aci sagu yang ada di Kabupaten Konsel adalah pabrik sohun yang ada di Desa Morome Kecamatan Konda. Hasil produksi sohun ini diberi merk ‘ Soun 88’. Proses produksi pembuatan sohun diawali dengan proses pembuatan suspensi, yaitu mencampurkan aci sagu basah yang telah dibersihkan dengan air sampai membentuk kekentalan tertentu (mirip larutan pada pembuatan ‘sinonggi’, tetapi lebih encer). Setelah itu larutan tersebut dimasak di dalam kuali besar sampai menjadi ‘sinonggi’ bening, yang selanjutnya dituangkan ke saringan pencetak soun.Di bawah saringan tersebut terdapat wahana penampung yang berisi air.Setelah ditiriskan, sohun yang masih basah tersebut kemudian dijemur sampai kering. Proses pengeringan yang dilakukan pengusaha sohun ini masih mengandalkan sinar matahari sebagai sumber panas utama.
207
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2013
6. Konsumen Terdapat tiga jenis konsumen dalam rantai pasokan sagu di Konsel. Pertama, rumahtangga di sekitar lokasi pengolahan sagu, serta konsumen rumahtangga di pasar-pasar tradisional, yang menggunakan aci sagu sebagai bahan pangan pokok sehari-hari. Pemasok aci sagu tersebut tersebut adalah PPD dan PPK.Kedua, konsumen industri di Surabaya dan Tulung Agung, yang dipasok oleh PB/PAP.PPK juga memasok aci sagu bagi agroindustri sohun yang ada di Kecamatan Konda. Ketiga adalah konsumen lembaga berupa toko (atau kios). Sohun yang dihasilkan oleh pengusaha agroindustri yang terletak di Desa Morome Kecamatan Konda ini di pasarkan pada toko-toko yang ada di sekitar Kota Kendari dan Konawe Selatan. Pola Saluran Pemasaran Penelusuran arus komoditas yang dimulai dari petani pengolah di lokasi penelitian hingga pasar tradisional dan pedagang antar pulau, dalam hal ini berperan sebagai konsumen akhir, menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan proses pamasaran sagu t erdapat beberapa po la pemasaran. Masing-masing pola melibatkan bekerjanya lembaga pemasaran yang melakukan fungsi-fungsi pemasaran untuk menambah kegunaan bentuk, waktu dan tempat dari sagu yang diperjual belikan. Pada Gambar 1 ditunjukkan beberapa pola pemasaran sagu menurut saluran pemasaran yang dilalui.
Gambar 1. Pola Saluran Pemasaran Sagu di Kabupaten Konawe Selatan Berdasarkan Gambar 1 terlihat adanya tiga pola pemasaran (PP) sagu di lokasi penelitian, yaitu: 1. Petani Pengolah PPD Konsumen Akhir (Rumahtangga) 2. Petani Pengolah PPK Pabrik Sohun (Agroindustri) 3. Petani Pengolah PAP Konsumen Akhir (Industri) Pola pemasaran yang banyak terjadi di lokasi penelitian adalah PPII, selanjutnya PPI, sedangkan PPIII jarang terjadi karena biasanya para pedagang pengumpul desa dan pengumpul kecamatan bertempat tinggal di desa-desa penelitian, sehingga para pengolah dengan mudah berinteraksi dengan pedagang tersebut. Analisis Efisiensi Pemasaran Dalam penelitian ini ditemukan tiga saluran pemasaran sagu, dimana panjang saluran pemasarannya sama, namun berbeda pada jenis lembaga pemasaran yang 208
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2013
terlibat. Perbedaan lembaga pemasaran tersebut menyebabkan perbedaan harga beli dan harga jual sagu dari petani pengolah, yang akhirnya akan berpengaruh pada tingkat efisiensi kegiatan pemasaran yang dilakukan. Marjin pemasaran merupakan selisih antara harga jual lembaga pemasaran dengan harga beli lembaga pemasaran terhadap komoditas sagu yang diperdagangkan. Dari ketiga pola pemasaran terlihat bahwa terdapat harga jual dan harga beli yang berbeda diantara ketiga pola pemasaran sagu di lokasi penelitian. Harga jual yang tertinggi terdapat pada pola pemasaran III, dimana PAP menjual sagu ke Surabaya dan Tulungagung dengan harga Rp 3.200/kg. Sedangkan harga jual terendah terdapat pada pola pemasaran I, dimana PPD menjual sagu kepada konsumen di desa-desa lokasi penelitian dengan harga Rp 1.600/kg. Demikian pula untuk harga beli sagu yang tertinggi terdapat pada pola pemasaran III dan yang terendah pada pola pemasaran I, masing-masing dengan harga beli rata-rata Rp 1.550/kg dan Rp 1.350/kg. Informasi mengenai penyebaran biaya dan marjin disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Penyebaran Biaya d a n Mar jin P emasaran S agu pada Setiap Pola Pemasaran di Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2012 No Harga Jual, Harga Po la Pema sar an ( PP) Belida n Mar jin ( Rp/kg) I II II I 1 Harga Jual - PP D 1.600 - PP K 1.700 - P AP 3.200 2 Harga Beli - PP D 1.350 - PP K 1.504, 76 - P AP 1.550 3 Mar jin P emasar an 250 195,24 1.650 Perbedaan harga jual dan harga beli sagu pada setiap pola pemasaran di lokasi penelitian, mengakibatkan perbedaan marjin pemasaran. Temuan yang menarik dalam penelitian ini saluran pemasaran sagu di lokasi penelitian memiliki panjang yang sama, namun terdapat perbedaan marjin yang cukup signifikan. Pada pola pemasaran II yang memiliki marjin terkecil, yaitu sebesar Rp 195,24/kg, berbeda jauh dengan pola pemasaran III yang mempunyai marjin pemasaran terbesar, yaitu sebesar Rp 1.650/kg. Dilihat dari besarnya marjin pemasaran pada masing-masing pola pemasaran sagu, maka saluran II lebih efisien dibandingkan pola pemasaran I dan III, karena saluran II memberikan nilai marjin yang lebih kecil, sedangkan besar marjin pada pola pemasaran I dan III. Besarnya persentase bagian harga yang diterima petani pengolah sagu dari seluruh harga yang dibayarkan konsumen akhir dapat digunakan sebagai ukuran efisiensi pemasaran sagu di Kabupaten Konawe Selatan. Semakin tinggi persentase bagian harga yang diterima petani pengolah sagu, maka semakin efisien pola pemasaran 209
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2013
tersebut. Secara rinci mengenai besarnya persentase bagian harga yang diterima petani pengolah dari ketiga pola pemasaran sagu dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Persentase Bagian Harga yang Diterima Petani Pengolah Sagupada Setiap Pola Pemasaran di Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2012 No Pola Harga Pengolah Harga Konsumen Bagian Harga Pengolah Pemasaran (Rp/kg) (Rp/kg) (%) 1 I 1.350 1.600 84,375 2 II 1.504,76 1.700 88,515 3 III 1.550 3.200 48,438 Tabel 2 menunjukkan bahwa persentase bagian harga yang diterima petani pengolah sagu dari keseluruhan harga yang dibayarkan konsumen akhir berbeda pada ketiga pola pemasaran yang ada di lokasi penelitian. Pola pemasaran II relat if lebih efis ien dibandingkan po la pe masaran la innya. Oleh karena bagian harga yang dit er ima pet ani pengo lah sagu dar i harga yang dibayar konsume n lebih besar diband ingkan pada saluran la innya, yait u sebesar 88,515% . SIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan yang dilakukan dalam penelitian ini, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Terdapat tiga pola saluran pemasaran sagu di Kabupaten Konawe Selatan, yaitu: (1) Petani Pengolah PPD Konsumen Akhir (rumahtangga) (2) Petani Pengolah PPK Pabrik Soun (agroindustri) (3) Petani Pengolah PAP Konsumen Akhir (industri) 2. Saluran pemasaran II merupakan pola yang lebih efisien dibandingkan pola lainnya, baik dilihat dari besarnya marjin pemasaran maupun ditinjau dari besarnya bagian harga yang diterima petani pengolah sagu dari harga yang dibayar konsumen akhir. Saran Dilihat dari hasil analisis efisiensi saluran pemasaran, disarankan kepada pemerintah untuk lebih aktif mendorong terciptanya agroindustri di pedesaan, khususnya agroindustri sagu. Hal tersebut disamping memperbaiki efisiensi pemasaran sagu, juga akan mendorong terciptanya lapangan kerja yang pada gilirannya akan mendorong peningkatan pendapatan masyarakat.
210
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2013
DAFTAR PUSTAKA Abbas, B. and H. Ehara. 2012. Assessment genetic variation and relationship of sago palm (Metroxylon sagu Rottb.) in Indonesia based on specific expression gene (Wx genes) markers. African Journal of Plant Science, 6(12),314-320. Gurusamy, M., A. Velsamy, dan DR.N.Rajasekar. 2011. A Study on Price Fluctuation in Sago Industry at Salem City, Tamil Nadu. Zenith International Journal of Bussiness Economics and Management Research, 1 (3), 147-166. Howard, J., E. Crawford, V. Kelly, M. Demeke, and J.J. Jeje. 2003. Promoting highinput maize technologies in Africa: the Sasakawa-Global 2000 experience in Ethiopia and Mozambique. Food Policy, 28 (2003) 335–348. Mann, S. 2003. Why organic food in Germany is a merit good. Food Policy 28 (2003) 459–469. Saediman, S. A. A. Taridala dan Ono M. 2006. Sago Marketing Problem and Practices in Kendari District of Southeast Sulawesi. Majalah Ilmiah Agriplus (Terakreditasi), 16 ( 1), 1-7. Soekartawi. 2000. Agroindustri dalam Prespektif Sosial Ekonomi. PT RajaGrafindo Persada.Jakarta. Taridala, S. Aida A. 2006. Efisiensi Pemasaran Sagu (Metroxylon Sp.) di Kecamatan Ranomeeto, Kabupaten Konawe Selatan. Tidak Dipublikasi. Wilson, J.S. and T. Otsuki. 2004. ToSpray or Not to Spray: Pesticides, Banana Exports, and Food Safety. Food Policy 29 (2004) 131–146.
211