Juni, 2013
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
PENGOLAHAN LIMBAH GARAM (BITTERN) MENJADI STRUVITE DENGAN PENGONTROLAN pH Iswahyudi, Laila Khamsatul Muharrami, dan Supriyanto Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Pertanian,Universitas Trunojoyo Madura Jl. Raya Telang, Kamal, Bangkalan, Jawa Timur Telp : (031) 3013234, Fax. (031) 3011506
ABSTRAK Limbah garam di Pulau Madura kurang optimal pemanfaatannya, padahal limbah garam berpotensi dijadikan pupuk berpelepas lambat sejenis struvite yang bernilai ekonomis. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui rendemen dan kandungan unsur dalam pembuatan pupuk berpelepas lambat sejenis struvite dengan melakukan pengontrolan pH. Metode yang digunakan dalam pembuatan struvite yaitu menggunakan metode titrasi asam basa, pemisahan rendemen dengan larutan sisa dan pengeringan rendemen. Analisis rendemen dan kandungan unsur struvite dilakukan menggunakan XRD (X-Ray Diffraction) untuk uji kualitatif dan XRF (X-Ray Flourencence) untuk uji kuantitatif. Pengolahan limbah garam untuk pembuatan pupuk berpelepas lambat sejenis struvite dengan itrasi NH3 dengan H3PO4 dan penambahan KOH untuk memperoleh pH tertentu. Hasil analisis rendemen dan kandungan unsur struvite menunjukkan kenaikan dengan adanya pengontrolan pH. Analisis menggunakan XRD diperoleh pupuk berpelepas lambat kategori sejenis struvite, dan analisis menggunakan XRF diperoleh kenaikan rendemen dan kandungan unsur struvite yang tinggi pada pH 9.5. Kata kunci: Limbah garam Madura, pH, Pupuk Berpelepas Lambat, Struvite. PENDAHULUAN Madura (popular disebut Pulau Garam) adalah salah satu pulau yang memiliki sumber daya alam (garam) melimpah, dibuktikan dengan produktifitas garam sebanyak 689 ton/tahun sehingga berpotensi untuk memenuhi sekitar 50 % kebutuhan garam nasional (Anonymus, 2012). Produksi garam rakyat Madura pada umumnya mempunyai kadar NaCl sekitar 80-90%, dan sisanya merupakan kandungan bahan pengotor, seperti kotoran (tanah liat), Magnesium (Mg), Kalsium (Ca), Kalium (K), dan Sulfat (SO4 ) serta impuritis lainnya. Berdasarkan Standar Nasional Indonesia, kualitas garam untuk konsumsi dan industri mempunyai kadar NaCl diatas 95%, sehingga produksi garam rakyat masih membutuhkan proses lanjutan (Anonymus, 2012). Proses produksi garam rakyat melalui berbagai tahapan, diantaranya : penyediaan lahan (tambak), pengaliran air laut ke lahan, proses penguapan air laut, proses kristalisasi garam, pemisahan garam dari airnya sehingga diperoleh garam rakyat. Air sisa dari proses produksi garam rakyat berwarna kuning muda kemudian dibuang (tidak dimanfaatkan), disebut dengan istilah "Air Tua" atau "Bittern". Air tua (bittern) 708
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2013
merupakan air limbah dari proses produksi garam rakyat, jumlahnya cukup besar sehingga dibutuhkan pengelolaan lebih lanjut. Kondisi ini membuka peluang untuk menghasilkan produk yang bernilai ekonomi agar dapat meningkatkan pendapatan petani garam. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk memanfaatkan air limbah ini seperti untuk minuman ber-ion (minuman mengandung ion-ion), produksi pupuk anorganik cair, dan juga dimanfaatkan untuk menghasilkan pupuk yang berkualitas tinggi (Sumada, 2007). Bittern juga bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi pengering yang digunakan dalam rumah kaca (Davies and Knowles, 2006), untuk perlakuan alkalizied industrial (Ayoub et all., 1991), maupun penambahan bittern untuk penghapusan nitrogen dan fosfat dari limbah (Lee et all., 2002). Limbah garam juga dapat dijadikan sebagai struvite (magnesium ammonium phosphate). Struvite adalah kristal mineral anorganik yang dapat digunakan sebagai pupuk berpelepas lambat (slow release fertilized) untuk tanaman padi dan menggunakan bittern sebagai sumber ion magnesium untuk campuran dalam pembuatan pupuk (Diwani et all., 2006). Salah satu alternatif pengolahan kandungan amonium nitrogen (NH4+-N) adalah dengan presipitasi struvite (MgNH4PO4.6H2O) yang bisa diterapkan pada beberapa jenis air limbah yang mengandung amonium nitrogen tinggi dimana struvite yang dihasilkan dapat dimanfaatkan sebagai material penyubur (fertilizer) (Warmadewanti, 2010). Tujuan utama penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pemanfaatan limbah garam sebagai pupuk berpelepas lambat sejenis struvite dan pengontrolan pH untuk memperoleh kandungan unsur dan rendemen struvite yang bagus. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan limbah garam (bittern) sebagai bahan yang akan diteliti, larutan primer H3PO4 dan NH3, serta KOH sebagai pengontrol pH. Perbandingan larutan primer 1:1:1 dan pengontrolan pH 9, 9.5 dan 10. Peralatan yang digunakan meliputi Buret, Stirer, Hotplate, Beker glass 1000 ml, Beker glass 500 ml, Labu takar 500 ml, Termometer, Cabinet drying, XRD (merk Philips tipe E’xpert Pro), dan XRF (merk Philips).
709
Juni, 2013
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Gambar 1. Tahapan pelaksaan penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN a. Proses Pembuatan Struvite dari Bittern Proses pembuatan struvite dari bittern adalah dengan mereaksikan limbah garam dengan mentitrasi larutan asam H 3 PO4 dan larutan basa NH 3 sehingga tercampur. Kemudian dilakukan pengukuran pH pada larutan tersebut, dan dihasilkan pH 2. Larutan tersebut ikatan ionnya lemah karena tidak mengion sempurna, sehingga dilakukan pengontrolan pH dalam proses pembuatannya, pH merupakan salah satu parameter yang digunakan dalam penelitian karena aktivitas ionnya (Wang et all. 2005). pH awal pada penelitian awal adalah pH 2 (asam) maka pada penelitian lanjutan pH dikontrol dengan penambahan KOH (basa) untuk memperoleh pH yang diinginkan yaitu pH 9, 9.5, dan 10. Setelah itu rendemen disaring dan air dibuang sehingga menghasilkan rendemen basah, rendemen basah dikeringkan menggunakan cabinet drying dengan tujuan untuk menguapkan sisa air yang ada pada rendemen basah dan dihasilkan rendemen kering berupa serbuk putih, setelah itu dilakukan pengujian berupa pengujian rendemen menggunakan uji XRD (X-Ray Diffractometer) dan uji XRF (X-Ray Flourencence) dengan tujuan untuk mengidentifikasi rendemen secara kualitatif dan kuantitatif untuk mengetahui kandungan unsur dari struvite yang dihasilkan. b. Penentuan Rendemen Struvite dengan pH Bervariasi pH merupakan salah satu parameter yang digunakan dalam penelitian karena aktivitas ion dari senyawa-senyawa yang direaksikan. Peningkatan pH menyebabkan terbentuk lapisan endapan yang lebih banyak karena adanya ikatan ion yang kuat dan sempurna karena aktivitas ion NH3 dan PO4 dipengaruhi pH (Wang et all. 2005). Rendemen adalah jumlah produk yang dihasilkan yang memiliki berat dengan satuan 710
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2013
gram. Rendemen diperoleh dari struvite yang sudah dilakukan pengeringan menggunakan cabinet drying. Jumlah rendemen pada pH bervariasi dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Grafik Pengaruh pH Terhadap Rendemen Perolehan berat rendemen yang dihasilkan menunjukkan perubahan, pada penelitian pendahuluan (kontrol) hanya menghasilkan rendemen kering 30 gr, namun dengan adanya pengontrolan pH, rendemen yang dihasilkan bertambah menjadi 60– 100 gr. pH ternyata sangat berpengaruh terhadap rendemen yang dihasilkan, dengan adanya pengontrolan pH dari penelitian lanjutan diperoleh peningkatan nilai rendemen yang dihasilkan (pH 2 menghasilkan rendemen 38.4 g, pH 9 menghasilkan rendemen 66.9 g, pH 9.5 menghasilkan rendemen 111 gr) dan mengalami penurunan hasil rendeman (menjadi 81 rg) pada pH 10. Kenaikan nilai rendemen pada pH 2 hingga pH 9.5 disebabkan adanya aktivitas ion dalam larutan yang semakin meningkat sehingga ikatan ion semakin erat membentuk kristal-kristal yang menyerupai garam sehingga rendemen yang dihasilkan juga semakin banyak (Wang et all, 2005). Penurunan nilai rendemen pada pH 10 menunjukkan pada pH tersebut aktivitas ion mulai menurun. Warmadewanti dan Liu (2009) mengatakan removal efisiensi dari ammonium menurun seiring dengan peningkatan pH dari 10-12 dikarenakan adanya persaingan antara ion hydroxyl [OH-] dengan ion-ion PO4. Tahap selanjutnya, rendemen dianalisis menggunakan uji XRD (X-Ray Diffractometer) untuk memastikan secara kualitatif rendemen yang dihasilkan merupakan struvite, setelah itu dilakukan pengujian dengan uji XRF (X-Ray Flourencence) dengan tujuan untuk mengidentifikasi rendemen secara kuantitatif untuk mengetahui kandungan unsur dari struvite yang dihasilkan c. Analisis Rendemen Menggunakan Uji XRD Uji XRD (X-Ray Diffractometer) adalah alat karakterisasi untuk identifikasi struktur kristal, persentase dan tingkat kristalinitas suatu rendemen (Handayani, 2007). Hasil pengukuran XRD berupa grafik pola difraksi. Selain itu diberikan pula nilai sudut 711
Juni, 2013
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
difraksi (2 theta), nilai jarak antar kisi (d) serta intensitas relatif dari puncak-puncak difraksi dalam persen. Sehingga cocok untuk menganalisa rendemen secara kualitatif untuk membuktikan bahwa rendemen yang dihasilkan merupakan pupuk berpelepas lambat sejenis struvite. Gambar 3 dan Gambar 4 merupakan grafik hasil uji XRD.
Gambar 3 Kurva rendemen XRD
Gambar 4 Kurva struvite XRD Dunlevey
Gambar 3 dan Gambar 4 menunjukkan bahwa kurva rendemen XRD hasil penelitian ini memiliki kesamaan ciri-ciri dengan kurva hasil uji XRD milik Dunlevey (2008). Berdasarkan kemiripan kurva (Gambar 3 dan 4) dapat disimpulkan bahwa rendemen yang dihasilkan adalah pupuk berpelepas lambat sejenis struvite. Lee (2002) menyebutkan pada pH 7,5-10 terbentuk pupuk berpelepas lambat sejenis struvite. Setelah dilakukan pengujian dengan uji XRD, dan terbukti rendemen yang dihasilkan adalah struvite maka pengujian selanjutnya adalah uji XRF untuk mengetahui secara kuantitatif kandungan unsur yang terkandung dalam rendemen. d. Analisis Kandungan Unsur Dari Sruvite dengan Pengontrolan pH Setelah menguji rendemen dengan uji XRD dan membuktikan bahwa rendemen yang dihasilkan merupakan pupuk berpelepas lambat sejenis struvite, selanjutnya dilakukan pengujian dengan menggunakan uji XRF. Uji XRF (X-Ray Flourencence) merupakan metode analisa yang berdasarkan identifikasi untuk dianalisis kandungan unsur dalam bahan. Rendemen yang dianalisis berupa serbuk, analisis unsur dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif. Analisis kualitatif menganalisis jenis unsur yang terkandung dalam bahan dan analisis kuantitatif untuk menentukan konsentrasi unsur dalam bahan (Munasir dkk 2012).
712
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2013
Gambar 5. Grafik Pengaruh pH Terhadap Kandungan Unsur Pengontrolan pH yang berbeda menyebabkan perubahan pada hasil rendemen. Ada perbedaan pada nilai unsur–unsur yang terkandung dalam pupuk berpelepas lambat dengan kandungan unsur Mg, P, K dan Fe (Gambar 5). Unsur-unsur terbentuk kemungkinan besar dikarenakan pupuk berpelepas lambat sejenis struvite, dengan komposisi senyawa kompleks [Mg+2(NH3)PO4 -3] meskipun pada hasil analisa unsur N belum diketahui nilainya karena tak terdeteksi pada alat, akan tetapi unsur N tersebut ada dalam kandungan rendemen namun berikatan dengan unsur yang lain. Pada percobaan tanpa pengontrolan pH menunjukkan bahwa kadar Mg sangat rendah dibandingkan dengan kadar P yang sangat dominan yaitu 67 %. Hal ini disebabkan lemahnya ikatan ion yang terbentuk, sehingga larutan yang terbentuk kurang larut secara sempurna. Namun dengan adanya pengontrolan pH pada saat percobaan, kadar Mg dan P berubah (lebih tinggi dibandingkan pada percobaan awal, dan terbagi merata). Semula kadar Mg sangat rendah 0,8 % meningkat menjadi 4-6%, kadar P semula 67,3% menurun menjadi 30% dan kadar K rendah 3% meningkat menjadi 60%. Adanya peningkatan rendemen meningkatkan kandungan unsur didalamnya karena bertambahnya ion –ion yang saling mengikat satu dengan yang lain (Wang et all, 2005), sehingga kandungan Mg, P, K dan Fe juga meningkat. Kandungan Mg pada pH 2, 9, 9.5 dan 10 berturut-turut sebesar 0,8%, 4,7%, 6,7%, dan 4,2%. Mg diserap tanaman dalam bentuk Mg2+ yang merupakan bagian dari khlorofil (Marsono, 2001). Mg merupakan salah satu bagian enzim yang disebut Organic pyrophosphate dan carboxy peptisida. Kekurangan unsur ini mengakibatkan khlorosis. Mg membantu pembentukan asam amino, vitamin, lemak; berperan dalam transportasi fosfat pada tanaman. Kandungan P pada pH 2, 9, dan 9.5 berturut-turut sebesar 67,3%, 27,8%, dan 31,8 %. Kandungan P pada ketiga pH tersebut cenderung mengalami peningkatan dengan 713
Juni, 2013
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
bertambahnya pH. Sebaliknya, pada pH 10 terjadi penurunan kandungan P menjadi sebesar 26,5%. Kandungan P diambil oleh tanaman dalam bentuh H 2 PO4 dan HPO4 (Marsono, 2001). Fosfor dapat mempercepat pertumbuhan akar tanaman serta membantu pembentukan protein dan mineral, mempercepat pembungaan, dan pembuahan tanaman. Kandungan K berturut-turut pada pH 2, 9, dan 9.5 berturut-turut sebesar 3%, 47,3%, dan 60,3%. Kandungan K mengalami penurunan menjadi sebesar 48,8% pada pH 10. Kandungan K diserap tanaman (terutama tanaman muda) dalam bentuk K+ (Marsono, 2001). Kalium berperan dalam pembentukan protein dan karbohidrat, meningkatkan resistensi tanaman terhadap penyakit dan meningkatkan kualitas biji / buah. Kandungan Fe pada pH 2 bernilai 0.26 %, pada pH 9 bernilai 0.11 %, pada pH 9.5 bernilai 0.34%, dan pada pH 10 bernilai 0.15%. Fe diserap oleh tanaman dalam bentuk Fe++(Marsono, 2001) dan dibutuhkan untuk pembentukan hijau daun (klorofil) sekaligus berperan dalam pembentukan karbohidrat, lemak dan protein. Penurunan nilai unsur pada pH 10 menunjukkan aktivitas ion mulai menurun pada kondisi terlalu basa, sehingga ikatan ion lemah untuk berikatan sehingga menyebabkan ion terlepas kembali menjadi larutan tidak ikut mengkristal. Hasil penelitian menunjukkan kandungan unsur tertinggi diperoleh pada pH 9,5. Nilai pH ini mendekati hasil penelitian Lee (2002) yang menyimpulkan bahwa pH optimum untuk membuat struvite adalah 9,6. KESIMPULAN 1. Proses pengolahan limbah garam yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk berpelepas lambat melalui titrasi antara H3 PO4 dan NH3 serta penambahan KOH menghasilkan unsur Mg, P, K dan Fe. 2. Rendemen dan kandungan unsur meningkat dengan adanya pengontrolan pH. 3. Pada pH 9,5 diperoleh kandungan unsur dan rendemen yang tinggi sebagai pupuk berpelepas lambat berbahan dasar limbah garam. DAFTAR PUSTAKA Anonymus. 2012. Kembalikan Kejayaan Madura Sebagai Pulau Garam. Pusat Data Statistik dan Informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan. Ayoub, G.M., F. Merhebi., A. Acra., M. El-Fadel and B. Koopman. 1991. Seawater Bittern For The Treatment Of Alkalized Industrial Effluents. Elsevier Science Ltd. All rights reserved. PII: S0043-1354(99)00162- 1 Davies, PA and P.R.Knowles. 2006. Seawater Bitterns As A Source Of Liquid Desiccant For Use Insolar-Cooled Greenhouses. Journal Of Science Direct Desalination 196 (2006) 266–279
714
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2013
Diwani, G.El., Sh. El Rafiea., N.N. El Ibiari and H.I. El-Aila. 2006. Recovery Of Ammonia Nitrogen From Industrial Wastewater Treatment As Struvite Slow Releasing Fertilizer. Elsevier Science Ltd. All rights reserved . Desalination 214 (2007) 200–214 Handayani, N.A. 2007. Analisis XRD Film Tipis AlxGa1-XN Di Atas Silikon (111) Yang Ditumbuhkan Dengan Metode DC Magnetron Sputtering. Sikripsi. Jurusan Fisika. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang. Semarang. Lee, S.I., S.Y.Weon., C.W. Lee and B. Koopman. 2002. Removal Of Nitrogen and Phosphate From Wastewater By Addition Of Bittern. Elsevier Science Ltd. All rights reserved.Chemosphere 51 (2003) 265–271. Munasir, Triwikantoro, M. Zainuri, dan Darminto. 2012. Uji XRD dan XRF Pada Bahan Meneral (Batuan dan Pasir) sebagai Sumber Material Cerdas (CaCO3 Dan SiO2) . Jurnal Penelitian Fisika dan Aplikasinya (JPFA) Vol 2 No 1, Juni 2012. Sumada, K. 2007. Produksi Pupuk Multinutrien Phosphate-Base Dari Air Limbah Industri Garam. Jurusan Teknik Kimia Universitas Pembangunan Nasional (UPN) “Veteran” Jawa Timur.
715