Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2013
PERSEPSI DAN PENERAPAN KOMPONEN PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU PADI SAWAH DI KABUPATEN SRAGEN OPINION AND IMPLEMENTATION OF RICE INTEGRATED CROP MANAGEMENT COMPONENTS IN SRAGEN Anggi Sahru Romdon dan Joko Pramono Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah Bukit Tegalepek Sidomulyo – Ungaran 50501 Email :
[email protected]
ABSTRAK Kabupaten Sragen merupakan salah satu penyangga dan sentra produksi padi (beras) di Provinsi Jawa Tengah. Luas panen rata-rata padi per tahun dalam kurun waktu lima tahun terakhir (2006 – 2010) 88.952 ha dengan rerata produktivitas 5,6 t/ha. Produktivitas tersebut masih terbilang rendah jika dibandingkan dengan potensi yang bisa dicapai yaitu 6,0 – 7,0 t/ha, sehingga dibutuhkan suatu inovasi teknologi untuk meningkatkan produksi tersebut. Pada tahun 2012 BPTP Jawa Tengah melakukan pendampingan melalui uji beberapa varietas unggul baru (VUB) dengan pendekatan PTT. Pendampingan tersebut merupakan wujud dari dukungan Badan Litbang Pertanian dalam rangka mencapai target surplus beras 10 juta ton pada tahun 2014. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui persepsi petani terhadap sifat inovasi komponen PTT dan tingkat penerapannya. Penelitian dilakukan di 8 kecamatan dengan metode survai melalui wawancara menggunakan daftar pertanyaan terhadap sejumlah sampel yang ditetapkan secara sengaja (purposive sampling) sebanyak 80 responden. Analisis data persepsi menggunakan penskalaan dengan metode Likert’s Summated Ratings (LSR) dan uji proporsi dimana > 60% responden diharapkan mendapatkan nilai positif sedangkan penerapan teknologi menggunakan analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukan bahwa persepsi petani terhadap sifat inovasi teknologi berada pada kategori tinggi (85,71 %) hal ini diperkuat juga dengan hasil uji proporsi dimana nilai Zhitung > Z tabel pada tingkat kepercayaan 0,05 dan 0,01 (Z hit = 3,1338 > Z tabel0,05 = 1,6654 dan Z tabel0,01 = 2,3771) sedangkan penerapan teknologi komponen PTT yang belum sesuai harapan adalah jajar legowo (4,27 %). Sehingga pemasyarakatan komponen tersebut masih harus dilakukan. Kata kunci : persepsi, penerapan, PTT, padi sawah ABSTRACT Sragen is one of rice production centers in Central Java. Total harvested rice field per year in the last five years (2006 - 2010) is 88,952 ha with an average productivity is 5.6 t/ha. Productivity is still low when compared to the potential that can be achieved, 6.0 to 7.0 t / ha, so an innovative technology is needed to increase the production. In 2012 AIAT Central Java is assisting farmers in testing some new high varieties (VUB) with PTT approach. This is a realization of Badan Litbang Pertanian support in order to achieve the surplus target of 10 million tons of rice in 2014. The 142
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2013
purpose of this research is to determine the opinion of farmers on the PTT component innovation and implementation level. The research was done in 8 districts with a survey method through interviews using a questionnaire of some purposive sample to 80 respondents. Analysis of farmer opinion data is using Likert’s Summated Ratings (LSR) and the test proportion in which >60% of respondents are expected to get a positive value while the implementation of technology is using descriptive analysis. The results showed that farmers' opinios of the innovative technology at the high category (85.71%) this is confirmed also by the results of proportion test in which the value of Zcount > Ztable at the 0.05 level and 0.01 (Zcount = 3, 1338 > table 0, 05 = 1.6654 and Ztable 0, 01 = 2.3771) while the implementation of PTT component technology has not met the expectations yet is Jajar Legowo method (4.27%). So it is still necessary to do more socialization of mentioned component. Keywords: opinion, implementation, PTT, rice PENDAHULUAN Kabupaten Sragen merupakan salah satu penyangga dan sentra produksi padi (beras) di Provinsi Jawa Tengah. Luas panen rata-rata padi per tahun dalam kurun waktu lima tahun terakhir (2006 – 2010) 88.952 ha dengan rerata produktivitas 5,6 t/ha. Produktivitas tersebut masih terbilang rendah jika dibandingkan dengan potensi yang bisa dicapai yaitu 6,0 – 7,0 t/ha (Deskripsi varietas padi, 2011), sehingga dibutuhkan suatu inovasi teknologi agar produksi yang dihasilkan bisa optimal. Peran teknologi ternyata cukup memberikan driving force bagi usaha-usaha pertanian misal dalam peningkatan dan penjaminan mutu, baik mutu produk (baik mutu gizi maupun fisik), kemasan, sampai penampilan produk, pemilihan dan penggunaan teknologi secara tepat juga akan berpeluang dalam menekan biaya produksi, meningkatkan hasil dan meningkatkan daya saing produk sehingga pendapatan petani dapat meningkat. Salah satu cara pemasyarakatan inovasi teknologi pada budidaya padi ialah dengan sekolah lapang pengelolaan tanaman terpadu (SLPTT). SLPTT mulai di perkenalkan secara luas tahun 2008 dan Kabupaten Sragen merupakan salah satu pelaksana kegiatan tersebut. Pada tahun 2012 pendampingan SLPTT oleh BPTP Jawa Tengah di Kabupaten Sragen berada pada 8 kecamatan berupa uji varietas unggul baru dengan rakitan inovasi teknologi spesifik, penyebaran media informasi, dan menjadi narasumber pelatihan. Pendampingan tersebut merupakan wujud dari dukungan Badan Litbang Pertanian dalam rangka mencapai target surplus beras 10 juta ton pada tahun 2014. Anjuran teknologi produksi padi yang dilaksanakan dalam program PTT adalah: 1) Penggunaan varietas padi unggul atau berdaya hasil tinggi dan atau bernilai ekonomi tinggi; 2) Penggunaan benih bermutu dan berlabel; 3) Peningkatan populasi tanaman melalui jajar legowo (2:1 atau 4:1) 4) Penggunaan pupuk berimbang spesifik lokasi; 5) Pengendalian hama dan penyakit dengan pendekatan PHT; 6) Penggunaan kompos bahan organik dan atau pupuk kandang sebagai pupuk dan pembenah tanah (soil amandement); 7) Penanaman bibit umur muda (<21 hari setelah semai) 8) Jumlah bibit antara 1-3 per lubang; 9) Pengaturan pengairan dengan metode pengairan berselang, dan 143
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2013
10) Pengendalian gulma dengan alat gasrok serta 11) Penggunaan alat perontok gabah mekanis atau mesin perontok. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui persepsi petani terhadap sifat inovasi PTT dan mengetahui sejauh mana penerapan komponen PTT telah dilakukan petani. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan bulan September 2012, pengumpulan data primer dilakukan dengan metode survei melalui wawancara menggunakan daftar pertanyaan terhadap sejumlah sampel yang ditetapkan secara sengaja (purposive sampling). Jumlah responden yang diambil sebanyak 80 responden yang merupakan perwakilan dari 8 Kecamatan pelaksana SL-PTT di Kabupaten Sragen yaitu Kecamatan Sambungmacan, Kedawung, Sragen, Sidoharjo, Masaran, Sambirejo, Plupuh, dan Tanon. Penelitian persepsi yang dimaksud adalah persepsi terhadap sifat inovasi berupa keuntungan penerapan PTT, evesiensi biaya, kemudahan untuk dilakukan, kesesuaian dengan lingkungan fisik, sosial dan budaya. Daftar pertanyaan untuk persepsi dibuat dalam bentuk pernyataan positif (jawaban yang diharapkan), pernyataan netral dan pernyataan negatif (jawaban yang tidak diharapkan). Untuk jawaban yang diharapkan diberi skor 3, jawaban netral diberi skor 2 dan jawaban yang tidak diharapkan diberi skor 1 (Azwar, 2002). Analisis data persepsi menggunakan penskalaan dengan metode Likert’s Summated Ratings (LSR). Penilaian tingkat persepsi menggunakan rumus interval kelas dengan perhitungan jarak skor maksimal dengan skor minimal dibagi tiga (tiga kelas) yaitu tinggi (2,34 – 3,00), sedang (1,67 – 2,33) dan rendah (1,00 – 1,66). Pada penelitian ini diharapkan tingkat persepsi responden terhadap sifat inovasi berada pada kategori tinggi/positif (lebih dari 60 % responden mempunyai persepsi tinggi/positif) (Dajan,1986). Data penerapan/implementasi komponen PTT dianalisis deskriptif yang disajikan dalam bentuk tabel dan persentase. Nawawi (1995), menyatakan bahwa metode deskriptif adalah prosedur pemecahan masalah yang diselidiki, dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan objek penelitian pada saat sekarang, berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden Keberhasilan penerapan inovasi teknologi salah satunya dipengaruhi oleh karakteristik petani. Secara umum kisaran umur petani berkisar antara 27 – 59 tahun, umur tersebut termasuk dalam usia produktif. Umur petani akan mempengaruhi fisiknya untuk bekerja dan berfikir. Menurut Soeharjo dan Patong (1973), dalam Yuliarmi (2006 : 38) umumnya petani yang berumur muda dan sehat mempunyai kemampuan fisik yang lebih kuat daripada petani tua. Petani muda lebih cepat menerima inovasi baru (kosmopolit = terbuka) serta lebih berani menanggung resiko dibandingkan petani tua. Sedangkan Hanafi (1987 : 91) menyebutkan kondisi umur tersebut bila dikaitkan 144
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2013
dengan proses kecepatan waktu adopsi inovasi teknologi termasuk dalam kelompok umur pengetrap dini dan pengetrap awal (earley adopter - early majority). Tingkat pendidikan responden bervariasi mulai pendidikan SD, SLTP, SLTA dan Diploma/Sarjana. Tingkat pendidikan SLTA ternyata lebih banyak yaitu 39 orang (48,75 %), disusul tingkat pendidikan SLTP 17 orang (21,25 %), tingkat pendidikan SD 14 orang (17,50 %) dan tingkat pendidikan Diploma/Sarjana 10 0rang (12,50 %). Kondisi pendidikan akan berpengaruh terhadap penerimaan suatu inovasi teknologi. Petani yang mempunyai tingkat pendidikan lebih tinggi akan lebih banyak menggunakan teknologi baru dibandingkan dengan yang mempunyai pendidikan rendah, dimana semakin tinggi tingkat pendidikan semakin respon dalam menggunakan input-input baru. Menurut Soeharjo dan Patong (1973) dalam Yuliarmi (2006 : 39), pendidikan pada umumnya akan mempengaruhi cara berfikir petani. Pendidikan yang lebih tinggi dan umur yang muda menyebabkan petani lebih dinamis. Persepsi Terhadap Sifat Inovasi Secara umum persepsi terhadap sifat inovasi berupa keuntungan penerapan PTT, evesiensi biaya dalam penerapan PTT, kemudahan PTT untuk dilakukan, kesesuaian PTT dengan lingkungan fisik, sosial dan budaya serta kemudahan dilihat keunggulan PTT berada pada kategori tinggi (85,71 %). Hasil uji Z juga menunjukan nilai positif dimana nilai Z hitung lebih besar jika dibanding dengan Z tabel pada tingkat kepercayaan 0,05 dan 0,01. Hal ini menunjukan bahwa sebagian besar (> 60 %) responden mempunyai persepsi tinggi/positif terhadap sifat inovasi dalam PTT. Jika dilihat dari unsur pembentuk persepsi ternyata tidak semua responden memperoleh nilai yang diharapkan yaitu 3 (3 = tinggi) dengan demikian walaupun persepsi responden tinggi tetapi unsur-unsur pembentuk persepsi tersebut masih perlu ditingkatkan. Tabel 1. Keragaan persepsi responden terhadap sifat inovasi teknologi dalam PTT
Sumber : olahan data primer 2012 Nilai rerata komponen pembentuk persepsi (Tabel 2) menunjukkan bahwa persepsi responden tentang sifat inovasi berupa keuntungan penerapan PTT, dan keunggulan PTT mudah dilihat mendapatkan nilai tertinggi secara berurutan adalah 3,00 dan 2,97. Sedangkan komponen persepsi yang lain yaitu efisiensi biaya dalam penerapan PTT, kemudahan PTT untuk diterapkan, dan kesesuaian PTT dengan
145
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2013
lingkungan fisik, sosial dan budaya secara berurutan memperoleh nilai 2,71, 2,69, 2,73 dan 2,58. Tabel 2. Rerata nilai persepsi responden terhadap sifat inovasi teknologi dalam PTT
: Skor antara 1,00 – 1,66 : kategori rendah Skor antara 1,67 – 2,33 : kategori sedang Skor antara 2,34 – 3,00 : kategori tinggi Responden menilai bahwa dengan penerapan teknologi yang terdapat dalam PTT akan memberikan keuntungan yang tinggi dibanding dengan kebiasaan petani hal ini terkait juga dengan penilaian responden terhadap penggunaan biaya dalam penerapan PTT dimana 79,22 % responden menyatakan bahwa dengan penerapan PTT jumlah biaya produksi yang dikeluarkan lebih sedikit dibanding dengan kebiasaan responden pada umumnya, penghematan biaya produksi tersebut berupa pembelian sarana produksi (benih, pupuk dan pestisida), serta tenaga kerja. Penilaian responden terhadap sifat inovasi dalam PTT yang terendah adalah kesesuaian PTT dengan lingkungan fisik, sosial dan budaya. Hal ini terkait dengan tenaga kerja dan kebiasaan responden yang selalu menebaskan hasil panennya. Tenaga kerja yang melakukan usahatani padi sulit di peroleh dan umurnya tua – tua, sehingga dalam menerapkan teknologi misalnya jajar legowo dan tanam 1 – 3 bibit/pertancap sulit diterima. Tenaga kerja menganggap cara tanam tersebut rumit dilakukan dan tidak praktis padahal upah yang mereka dapatkan dalam bentuk borongan akibatnya luasan tanam lebih sedikit dan berdampak terhadap hasil yang mereka peroleh. Keterangan
Penerapan Komponen Pengelolaan Tanaman Terpadu 1) Varietas unggul baru Varietas unggul merupakan salah satu komponen teknologi yang penting untuk meningkatkan produksi dan pendapatan usaha tani padi. Berbagai varietas unggul telah tersedia dan dapat dipilih sesuai dengan kondisi wilayah, preferensi responden, dan keinginan pasar. Luasan penerapan VUB di 8 Kecamatan Kabupaten Sragen adalah 9.826, 62 ha atau 11,04 % dari luas panen Kabupaten (88.952 ha), varietas – varietas unggul yang di tanam adalah jenis Inpari, Mekongga, Situbagendit dan Pepe. Jumlah petani pengguna VUB cukup bervariasi 146
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2013
disesuaikan dengan musim tanam, untuk musim penghujan (MT I) petani lebih banyak menanam Inpari 13 (34,37%), Situbagendit (26,56 %), Inpari 1(9,37 %), dan Inpari 10 (7,90%). Musim kemarau I (MT II) varietas yang banyak ditanam Mekongga (28,10 %), Inpari 1 (18,42 %) dan Situbagendit (10,50%) sedangkan MT III varietas yang ditanam Inpari 1 (54,53%), Situbagendit dan Situbagendit masing – masing 9,09%. Varietas unggul yang ditanam tersebut merupakan varietas yang memiliki karakteristik sesuai dengan lingkungan, dan merupakan varietas yang disukai. Berdasarkan pengalaman mereka varietas-varietas tersebut produksinya selalu lebih tinggi dibanding varietas yang sebelumnya mereka tanam seperti IR64. Selain itu varietas unggul baru juga lebih tahan terhadap serangan hama penyakit seperti hawar daun bakteri, blas, wereng coklat dan hama lainnya. 2) Benih bermutu dan berlabel Benih bermutu dan berlabel yang dimaksud adalah benih bersertifikat dan benih dengan vigor tinggi. Penggunaan benih bermutu dan berlabel akan menghasilkan bibit yang sehat dengan akar yang banyak, perkecambahan dan pertumbuhan yang seragam, dapat tumbuh lebih cepat dan tegar setelah di pindah dari persemaian dan tentunya akan memperoleh hasil yang tinggi (Badan Litbang Pertanian, 2007). Untuk mendapatkan benih bermutu perlu adanya perlakuan benih sebelum dilakukan penyemaian, perlakuan benih tersebut berupa perambangan dengan larutan Za atau abu, seed treatment benih dengan pestisida bagi wilayah yang endemis hama (penggerek batang), perendaman, dan pemeraman. Sedangkan benih berlabel bisa diperoleh dari balai benih padi, benih bantuan atau toko pertanian. Hasil survey penerapan komponen benih bermutu dan berlabel menunjukan bahwa sebagian besar responden (83,42 %) menggunakan benih berlabel dimana varietas tersebut mereka peroleh dari balai benih padi dan toko pertanian (88,50 %). Responden yang menggunakan benih berlabel baik dari balai benih padi maupun toko pertanian sudah mempunyai kesadaran yang tinggi akan pentingnya benih berkualitas sehingga mereka sudah tidak mempermasalahkan mahalnya harga benih berlabel. Perlakuan benih sebelum disemai ternyata sudah biasa dilakukan, sebanyak 52,64 % responden melakukan perambangan dan seed treatment benih sesuai baku teknis, 25,67 % kadang – kadang responden melakukan dan 20,10 % tidak melakukan perlakuan benih. Hal tersebut menunjukan bahwa peluang peningkatan penerapan komponen ini masih tinggi, sehingga peran penyuluh masih diperlukan. 3) Peningkatan populasi tanaman Peningkatan populasi tanam atau lebih dikenal dengan sistem tanam jajar legowo merupakan rekayasa sistem tanam dengan mengatur jarak tanam antar rumpun maupun antar barisan sehingga terjadi pemadatan rumpun padi di dalam barisan dan memperlebar jarak antar barisan. Hasil survey menunjukan bahwa penerapan model tanam jajar legowo yang sesuai rekomendasi ( 2 : 1, dan 4 : 1) masih sangat kurang, yaitu hanya 4,27 %. Responden menerapkan jajar legowo yang tidak sesuai rekomendasi berupa legowo 6 : 1 (23,23 %) selebihnya masih menerapkan sistem tanam tegel. 147
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2013
Pada prinsipnya penggunaan sistem tanam jajar legowo mempunyai keuntungan salah satunya meningkatkan populasi persatuan luas (16 – 32 %), memudahkan pemeliharaan karena ada ruang kosong dan mendapatkan manfaat dari pengaruh pinggir (border effect) yang berdampak pada peningkatan produksi (2,44 – 11,27 %). Permana (1995) dalam Kushartanti (2011 : 8) melaporkan bahwa rumpun padi yang berada di barisan pinggir hasilnya 1,5 – 2 kali lipat lebih tinggi dari produksi padi yang berada di bagian dalam. Menurut informasi sulitnya sistem tanam jajar legowo diterapkan karena ketidakmauan regu tanam menanam model jajar legowo selain membutuhkan waktu lama karena jumlah bibit yang ditanam lebih banyak, model jajar legowo juga dianggap membuat pusing padahal petani berani membayar lebih tinggi dibanding tanam biasa, harga yang ditawarkan per hektarnya berkisar Rp. 150.000,- sampai Rp. 400.000,-. Selain itu masalah lain yang muncul dalam penerapan legowo 2 : 1, dan 4 : 1 yaitu peningkatan produksi tidak dirasakan oleh responden karena sistem pemanenan hasil banyak dilakukan secara tebasan. Sampai saat ini penebas tidak mengapresiasi penggunaan legowo, akibatnya penggunaan legowo justru merugikan responden karena ada tambahan biaya penanaman. 1.
Pemupukan berimbang Pemupukan berimbang dalam penelitian ini adalah penggunaan pupuk an organik sesuai kebutuhan baik jumlah, jenis dan dosis, pupuk yang disesuaikan pada Permentan no 40/2007 dan penggunaan pupuk sesuai kemampuan responden. Hasil analisis tingkat penerapan menunjukan bahwa pemupukan berimbang sesuai Permentan no 40/2007 yang paling banyak diterapkan responden (56,84 %), pemupukan sesuai kemampuan responden 27,05 % dan pemupukan sesuai analisa tanah 15,35 %. Terkait aplikasi pupuk, khusus pupuk urea (unsur N) aplikasinya disesuaikan dengan bagan warna daun (BWD) hasil analisis menunjukan bahwa aplikasi BWD sesuai baku teknis yang dilakukan responden adalah 25,28 %, kadang-kadang responden menggunakan BWD 24,74 % dan tidak menggunakan BWD 46,76 %. Penggunaan BWD memang belum banyak dilakukan selain alat yang sulit untuk diperoleh juga membutuhkan keahlian khusus dalam menggunakan BWD tersebut. Pemahaman tentang penggunaan BWD bisa dilakukan dengan melihat fisik tanaman atau paling tidak melakukan penjadwalan pemupukan. Pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) dengan pendekatan PHT Pengendalian hama penyakit dengan pendekatan PHT pada prinsipnya pengamatan dinamika populasi hama penyakit tanaman dan lingkungan yang berkaitan dengan spesies hama, memanfaatkan perpaduan semua teknik dan metode yang memungkinkan dan menekan populasi hama di bawah ambang kerusakan ekonomi. Hama penyakit selama ini menjadi perhatian khusus, petani menyatakan serangan hama penyakit dapat menurunkan hasil dan menyebabkan gagal panen. Implementasi pengamatan serangan OPT secara rutin sebagian besar sudah dilakukan responden (68,09 %), pengamatan tidak secara rutin 31,21 % dan tidak dilakukan pengamatan 6,43 %. Prinsipnya pengamatan tanaman secara rutin dapat 148
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2013
menjadi dasar dalam penentuan pengendalian, responden yang menjadikan hasil pengamatan sebagai dasar dalam penentuan pengendalian 68,09 %, yang langsung melakukan pengendalian tanpa mempertimbangkan hasil pengamatan 22,54 % dan sebagian kecil 6,43 % tidak terpola. Pemberian pupuk organik Bahan organik mempunyai peran yang penting sebagai sumber karbon dan energi bagi pertumbuhan mikroba dalam tanah. Banyaknya mikroba dalam tanah akan memperlancar mineralisasi hara menjadi unsur yang siap dimanfaatkan oleh tanaman sehingga tanah menjadi lebih subur selain itu pupuk organik juga dapat memperbaiki sifat kimia, fisika dan biologi tanah. Pemahaman tentang pentingnya penggunaan pupuk organik kepada petani harus senantiasa dilakukan agar mau mengaplikasikan pupuk organik di lahan usahataninya. Sebagian besar petani responden (91,67%) ternyata telah menggunakan pupuk organik pada lahan sawahnya. Aplikasi pupuk organik yang sesuai anjuran 60,12 %, aplikasi pupuk organik tetapi tidak sesuai anjuran atau baku teknis 31, 52 % dan yang tidak mengaplikasikan pupuk organik 8,33 %. Secara umum responden sadar akan pentingnya pupuk organik, bagi petani yang sudah mengaplikasikan pupuk tetapi belum sesuai baku teknis ternyata terkendala dengan ketersediaan pupuk organik dan harga pupuk yang tinggi sehingga mereka mengaplikasikan pupuk semampu mereka. Lain halnya responden yang tidak mengaplikasikan pupuk organik sama sekali di lahan sawahnya, hasil wawancara ternyata di dominasi oleh responden penyewa alasan mereka tidak menambahkan pupuk organik karena pengaruh pupuk organik terhadap tanaman relatif lambat sehingga responden tidak bisa merasakan dampak penambahan pupuk tersebut secara langsung akan tetapi yang merasakan adalah penyewa berikutnya atau yang punya lahan padahal biaya yang dikeluarkan untuk membeli pupuk organik cukup tinggi. Tanam bibit muda Tanam bibit muda yang dimaksud dalam kajian ini adalah umur pindah bibit dari persemian tidak lebih dari 21 hari. Manfaat dari tanam bibit muda adalah sistem perakaran lebih kuat dan anakan lebih banyak, bibit akan cepat tumbuh dan berkembang lebih baik, dan dapat mempersingkat masa stagnasi akibat tanam pindah (lebih mampu beradaptasi dengan lingkungan). Hasil analisis menunjukan bahwa penerapan komponen tanam bibit muda belum dilakukan oleh seluruh responden, baru 42,86 % petani yang menerapkan bibit muda (< 21 hss), 51,41 % menanam dengan umur bibit berkisar 22 - 30 hss, dan sebagian kecil (3,05 %) menanam bibit dengan umur lebih dari 30 hss. Informasi yang diperoleh terkait dengan penerapan komponen ini ternyata responden merasakan manfaat dengan tanam bibit muda salah satunya tanaman langsung terlihat hijau di sawah (cepet lilir) jika dibanding dengan bibit tua, akan tetapi menanam bibit muda juga terkendala dengan keberadaan regu tanam. Tanam 1 – 3 bibit pertancap
149
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2013
Pada komponen ini keputusan untuk bisa menanam dengan jumlah bibit 1 – 3 per tancap ternyata bukan semata – mata ditentukan pemilik lahan itu sendiri tetapi ada di pihak lain yaitu regu tanam, karena selama ini penanaman padi di borongkan terhadap regu tanam. Strategi yang bisa dilakukan adalah mengundang regu tanam saat pertemuan kelompok atau melakukan pelatihan sehingga petani dan regu tanam paham tentang pentingnya penerapan komponen ini. Manfaat penerapan komponen ini adalah lebih efesien dalam penggunaan benih dan mengurangi persaingan antar tanaman dalam satu rumpun. Hasil survei terkait penerapan komponen ini menunjukan bahwa 70,28 % telah menerapkan jumlah bibit 1 – 3 bibit/tancap, 23,43 % menanam antara 3 – 6 bibit/tancap dan 4,19 % lebih dari 6 bibit/tancap atau ombol. Informasi terkait dengan masalah penerapan komponen ini adalah regu tanam belum terbiasa dengan jumlah bibit yang sedikit selain itu bibit yang ditanam juga lebih kecil karena umurnya masih muda. Pengairan berselang Pengairan berselang pada dasarnya sudah biasa dilakukan petani akan tetapi hanya pada saat – saat tertentu seperti mau melakukan pemupukan dan menjelang panen, kebiasaan tersebut hanyalah bersifat turun temurun dilakukan responden tanpa memahami pentingnya dilakukan pengairan berselang, kebiasaan responden tersebut terjadi sebelum adanya kegiatan SLPTT. Hasil analisis menunjukan bahwa 68,09 % telah menerapkan pengairan berselang, 18,62 % selalu menggenangi lahan sawahnya, dan 9,49 % tidak melakukan pengaturan pengairan. Hasil diskusi dengan beberapa petani menunjukan bahwa komponen ini mudah untuk dilakukan karena sebelumnya mereka juga sudah melakukan pengairan berselang tetapi belum sesuai baku teknis. Namun demikian beberapa responden mengeluhkan pertumbuhan gulma pada saat kondisi tanah dikeringkan/macak-macak. Pengairan berselang atau intermitten pada dasarnya menciptakan lingkungan tumbuh perakaran padi yang lebih baik sehingga akar tanaman bisa lebih optimal dalam penyerapan unsur hara. Maksud dilakukan pengairan berselang diantaranya memberi kesempatan bagi akar untuk mendapatkan aerase yang cukup, mencegah keracunan besi pada tanaman, mengurangi tanaman rebah dan yang paling penting adalah penghematan air irigasi (40 %) sehingga areal sawah yang terairi bisa lebih luas. Penyiangan dengan alat gasrok/landak Pengendalian gulma dengan menggunakan gasrok selain membersihkan gulma juga memperbaiki aerase udara di dalam sistem perakaran padi, sehingga perkembangan perakaran akan lebih baik. Selain itu penggunaan alat gasrok juga dapat menghemat tenaga. Hasil analisis menunjukan bahwa sebagian besar responden (74,37 %) telah menerapkan penyiangan sesuai anjuran yaitu menggunakan landak dan gasrok,
150
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2013
20,52 % penyiangan dengan tangan manusia dan sebagian kecil 1,65 % tidak dilakukan penyiangan. Alasan responden mau menerapkan alat ini karena mudah dibuat dan juga mudah di aplikasikan. Panen dan pasca panen tepat Panen dan pasca panen yang dimaksud adalah panen tepat waktu yaitu dilakukan saat 90-95 % gabah telah bernas dan menguning. Panen terlalu awal akan banyak menghasilkan gabah hampa, hijau dan butir kapur sedangkan dipanen terlalu tua mengakibatkan banyak gabah rontok dan gabah patah waktu digiling. Penerapan panen tepat waktu yang telah dilakukan responden mencapai 65,67 % dimana responden memanen padi setelah 90 – 95 % gabah berwarna kuning, dan 32,11 % responden memanen padi setelah 100 % gabah berwarna kuning. Sedangkan cara melakukan perontokan hasil panen sebagian besar (76,43 %) menggunakan mesin/power threser dan 20,73 % menggunakan pedal threser. Penilaian Petugas Terhadap Teknologi Baru Survei terkait SLPTT juga dilakukan terhadap petugas pelaksana SLPTT, survei ini untuk mengetahui Penilaian petugas terhadap adanya teknologi baru khususnya yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian. Hasil survei menunjukan bahwa penilaian petugas terhadap inovasi baru cukup bervariasi dimana 44, 87 % menyatakan segera menyampaikan teknologi baru tersebut kepada petani, mereka beranggapan teknologi ditingkat penelitian sudah siap di aplikasikan dan mereka yakin akan keunggulan teknologi tersebut. Hal ini berbeda dengan 41,02 % petugas lainnya mereka beranggapan teknologi baru yang dihasilkan di tingkat penelitian tidak serta merta dapat meningkatkan hasil sehingga perlu dikaji/uji coba terlebih dahulu untuk membuktikan teknologi tersebut sebelum di sampaikan kepada petani. Selain itu sebagian kecil petugas (5,12 %) menyatakan bisa disampaikan pada petani setelah meminta pertimbangan pada atasan mereka. Cara penyampaian inovasi teknologi baru dari hasil penelitian sampai tingkat pengguna memerlukan metode yang tepat dan efektif 58,75 % petugas menyatakan demplot/demfarm merupakan metode yang paling tepat disusul dengan sekolah lapang (18,75 %), kursus/latihan (8,75 %), temu lapang 3,75 % dan pemutaran vcd (2,5 %). SIMPULAN DAN SARAN 1. Persepsi petani terhadap sifat inovasi berada pada kategori tinggi (85,71 %). Hasil uji Z menunjukan bahwa nilai Z hitung lebih besar jika dibanding dengan Z tabel pada tingkat kepercayaan 0,05 dan 0,01, ini menunjukkan bahwa sebagian besar (> 60 %) responden mempunyai persepsi tinggi/positif terhadap sifat inovasi dalam PTT. 2. Implementasi teknologi komponen PTT seperti penggunaan benih bermutu, pemupukan, pengendalian OPT, penggunaan pupuk organik, jumlah bibit 13/tancap, pengairan berselang, penyiangan dengan alat gasrok dan panen tepat 151
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2013
waktu (penggunaan alsin saat panen) secara umum telah dilakukan oleh 52 -85 % petani sedangkan komponen peningkatan populasi tanaman (jajar legowo) masih rendah (4,27 %) sehingga pemasyarakatan komponen tersebut harus terus dilakukan. 3. Terkait dengan kelangkaan tenaga kerja usahatani baik tenaga tanam maupun tenaga panen maka pemasyarakatan alat mesin pertanian harus dimulai dan terus dilakukan. DAFTAR PUSTAKA Azwar, S. 2002. Sikap manusia, teori dan pengukurannya. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2007a. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Padi. Edisi Kedua. Jakarta Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2007b. Petunjuk Teknis Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Sawah Irigasi. Jakarta. 42 hal Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2009. Pedoman Umum PTT Padi Sawah. Jakarta : 20 hal. Balai Besar Padi, 2007. Penggunaan Benih Bermutu. Sukamandi. Dajan, A. 1986. Pengantar metode statistika jilid II. LP3ES. Jakarta. Fairhurst T.H., C. Witt, R.J. Buresh, dan A. Dobermann, 2007. Padi : Panduan Praktis Pengelolaan Hara. Kerjasama antara IRRI, IPNI dan Balitbangtan. Jakarta. 96 hal Kushartanti E., T. Suhendrata, S. C. Budistyaningrum, dan Chanifah, 2011. Padi varietas unggul dan sistem tanam jajar legowo.materi pendampingan SL-PTT. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah. 50 hal. Samijan, 2012. Rekomendasi pemupukan berimbang pada tanaman padi. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah Yuliarmi, 2006. Analisis Produksi Dan Faktor-Faktor Penentu Adopsi Teknologi Pemupukan Berimbang Pada Usahatani Padi. Tesis Pasca Sarjana pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 112 hal
152