Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2013
IDENTIFIKASI BEBERAPA KEARIFAN LOKAL DALAM MENUNJANG KEBERHASILAN USAHATANI PADI DI JAWA TENGAH Wahyudi Hariyanto, dan Seno Basuki Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah Bukit Tegalepek, Sidomulyo Ungaran 50501, Telp. (024) 6924965; Fax. (024) 924966; e-mail:
[email protected]
ABSTRAK Sejak awal abad ke 20 hingga sekarang, sebagaimana terekam dalam literatur dan ensiklopedia, umumnya hubungan antara kebudayaan dan perilaku manusia dengan pembudidayaan tanaman padi dapat dipahami melalui cara bercocok tanam. Pada beberapa daerah di Jawa Tengah perilaku petani dalam usahatani padi berdasarkan warisan leluhur yang diberikan secara turun temurun membekas hingga sekarang sebagai kearifan lokal setempat. Permasalahan muncul saat pemerintah menggenjot peningkatan produksi padi untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang terus tumbuh dengan cepat dan alih fungsi lahan pertanian yang tak terkendali. Namun terkadang muncul benturan dengan kebiasaan petani dalam membudidayakan padi dengan komponen teknologi yang diintroduksikan pemerintah. Tulisan ini akan mereview kebiasaan petani dalam berusaha tani, khususnya padi di beberapa Kabupaten di Jawa Tengah, yang dilakukannya secara turun temurun dan sudah menjadi kearifan lokal (local wisdom) setempat. Metode penelitian yang dipakai adalah menggunakan survey, dengan teknik interview mendalam kepada tokoh masyarakat (key person). Sampel dipilih secara purposif, dengan pertimbangan bahwa tidak semua daerah memiliki kearifan lokal yang sangat spesifik. Penelitian dilaksanakan tahun 2011 dengan mengeksplorasi pengalaman peneliti dalam melakukan kegiatan di beberapa daerah. Data dan informasi yang terkumpul dianalisis dengan cara deskriptif eksploratif dan disajikan secara kaulitatif. Hasil penelitian menginformasikan bahwa terdapat beberapa perilaku petani dalam bercocok tanam padi, seperti (1) penentuan tanggal tanam saat tabur (Tegal); (2) penggunaan batang kates untuk hama keong emas (Banyumas); (3) penggunaan bangkai kepiting untuk memikat walang sangit (Sragen); (4) menggunakan telur OPT di lahan untuk diamati (Pati); (5) menghindari tanam bulan pebruari (Grobogan), dan lainnya. Kearifan lokal di beberapa daerah tersebut ternyata mampu mendukung kelestarian lingkungan, melanggengkan budaya, dan mendukung peningkatan produksi padi. Disarankan untuk mendayagunakan lokal wisdom tersebut sebagai upaya dalam melestarikan budaya dan mengamankan lingkungan. Kata kunci: identifikasi, kearifan lokal, usahatani, padi PENDAHULUAN Sejak awal abad ke 20 hingga sekarang, sebagaimana terekam dalam literatur dan ensiklopedia, umumnya hubungan antara kebudayaan dan perilaku manusia dengan pembudidayaan tanaman padi dapat dipahami melalui cara bercocok tanam (Siregar, 1987). Pengetahuan petani tentang cara bercocok tanam sebenarnya telah dimiliki secara turun temurun dari nenek moyangnya yang biasa dikenal dengan kearifan lokal 153
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2013
(local wisdom) dan terus mengalami perkembangan pengetahuannya seiring dengan berjalannya waktu. Kearifan lokal yang merupakan warisan nenek moyang tersebut tercermin dalam tata nilai kehidupan yang menyatu kedalam bentuk religi, budaya, dan adat istiadat. Petani di Jawa Tengah khususnya memiliki pengetahuan lokal dalam mengelola lahan pertaniannya yang disebut Pranoto mongso (PM). Pada dasarnya PM merupakan cara orang jawa membaca hukum atau tanda-tanda alam, berguna dalam penentuan masa tanam, pengendalian hama terpadu, masa panen, dan pengurangan resiko serta pencegahan biaya produksi tinggi. Pengetahuan yang diwariskan oleh nenek moyangnya tersebut menjadi pengetahuan lokal yang hingga sekarang masih dilakukan secara turun temurun. Namun demikian muncul permasalahan pada saat pemerintah menggenjot peningkatan produksi padi untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang terus melaju secara cepat dan alih fungsi lahan pertanian yang tak terkendali. Beberapa komponen inovasi teknologi yang diintroduksikan kepada petani diharapkan dapat mendongkrak produksi padi, tetapi terkadang terjadi benturan dengan kebiasaan petani dalam membudidayakan padi yang sudah dilakukanya secara turun temurun dan telah terbukti efektif dalam mengatasi permasalahanya dalam bercocok tanam padi. Pengetahuan lokal tersebut juga bersifat dinamis karena dapat dipengaruhi oleh teknologi hasil penelitian para ilmuan dan berbagai informasi baik melalui media massa maupun interaksi antar sesama petani. Seringkali pengetahuan lokal tersebut dapat memberikan ide yang potensial dalam memanfaatkan dan mengelola sumber daya yang ada secara lestari (Sunaryo dan Joshi, 2003) sehingga penggalian pengetahuan lokal yang terkadang masih di praktekkan dalam berusahatani perlu dilakukan untuk menambah khasanah dalam pemanfaatan, pengelolaan dan pengembangan sumber daya alam. Informasi tentang pengetahuan lokal petani yang terjadi di beberapa daerah di Jawa Tengah dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan komponenkomponen inovasi usahatani yang akan diintroduksikan. Inovasi introduksi seharusnya tidak melawan pola kebiasaan petani dalam mengelola usahataninya. Model kebiasaan petani dalam usahatani padi yang dibangun dan dikembangkannya dapat menjadi bahan masukan untuk melengkapi dan memperkaya model pengetahuan ilmiah (scientific models). Dengan demikian, pengetahuan lokal yang sudah diterapkan dan terbukti efektif dapat diambil manfaatnya sebagai model pengetahuan yang dapat diterapkan oleh kelompok petani lain yang belum mencoba menerapkannya. Tulisan ini mencoba mereview beberapa pengetahuan lokal petani yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka dalam menerapkan kegiatan bercocok tanam padi, seperti penentuan tanggal tanam, pengendalian OPT, dan kegiatan lain yang terkait dengan penyelamatan lingkungan. Kegiatan tersebut diyakini efektif dalam mengatasi permasalahan usahataninya, sehingga pengetahuan tersebut merupakan kearifan lokal
154
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2013
yang masih dilakukan oleh petani walaupun kian hari tergerus oleh perkembangan teknologi yang ikut mempengaruhi pengetahuan mereka. METODE Metode penelitian yang dipakai adalah menggunakan survey, dengan teknik interview mendalam kepada tokoh masyarakat (key person). Sampel dipilih secara purposif, dengan pertimbangan bahwa tidak semua daerah memiliki kearifan lokal yang sangat spesifik. Penelitian dilaksanakan tahun 2011 dengan mengeksplorasi pengalaman peneliti dalam melakukan kegiatan di beberapa daerah. Data dan informasi yang terkumpul dianalisis dengan cara deskriptif eksploratif dan disajikan secara kaulitatif. HASIL DAN PEMBAHASAN Pranoto Mongso sebagai Penentu Tanggal Tanam Tradisi maupun aturan, dan adat istiadat orang Jawa Tengah dalam bercocok tanam padi merupakan kearifan lokal yang masih dipakai hingga sekarang walaupun mengalami pelemahan seiring dengan perkembangan ikmu dan teknologi. Namun demikian kebiasaan petani dalam bercocok tanam padi seperti penentuan waktu tanam merupakan kearifan lokal yang hingga sekarang masih tetap digunakan. Sistem penanggalan tradisional yang dapat memperkirakan kesesuaian musim untuk berbagai kegiatan pertanian, seperti menentukan tanggal tanam, pengendalian hama dan penyakit, serta hal lainnya yang terkait dengan budidaya padi merupakan contoh kearifan lokal. Perlu diketahui bahwa selama ribuan tahun silam masyarakat Jawa telah menghafalkan pola musim, iklim dan fenomena alam lainnya yang dijadikan penanda dalam mengelola lahan pertaniannya, seperti yang ditulis oleh Wiriadiwangsa, 2005; dan Simanjuntak, at all; (2010) bahwa penggunaan pengetahuan pranoto mongso merupakan pengurangan resiko dan pencegahan biaya produksi tinggi. Seperti perubahan iklim yang terjadi akhir-akhir ini, sebenarnya sudah terjadi sejak berabad-abad lalu, hanya saja dialami oleh generasi manusia yang berbeda-beda (Kompas, 24/3/2011). Sehingga petani mempunyai cara tersendiri yang telah diwariskan oleh nenek moyangnya untuk beradaptasi dengan alam dan lingkungannya yang dimaknai sebagai kearifan lokal. Seperti yang terjadi di Kabupaten Pati bahwa untuk mengantisipasi dan mengendalikan serangan OPT (Organisme Pengganggu Tanaman), petani mencari telor OPT di lahan, kemudian dipotong batangnya (diselamatkan) untuk dibawa ke rumah, selanjutnya telor tersebut diamati kapan menetasnya sebagai patokan dalam mengendalikan hama penyakit. Contoh lain adalah menggunakan kalender tradisional Jawa yang populer disebut dengan pranoto mongso. Pranoto mongso atau aturan waktu musim yang digunakan oleh para petani dengan mendasarkan pada naluri yang diwariskan dari leluhur dan dipakai sebagai patokan untuk mengolah lahan pertanian. Pranoto mongso mendasarkan pada kejadiankejadian alam sebagai penandanya, seperti musim penghujan, kemarau, musim berbunga, letak binatang di jagad raya, dan pengaruh bulan purnama terhadap pasang 155
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2013
surutnya air laut. Masyarakat dapat mengetahui perpindahan mangsa dengan berpedoman pada rasi bintang dan indikator masing-masing mangsa. Menurut Wisnubroto, (1995) pranoto mongso terdiri atas 12 mangsa dengan umur berkisar dari 23-24 hari yang merupakan variasi umur paling besar di antara kalender-kalender yang ada. Kesejajaran kalender pranoto mongso dengan kalender masehi dan urut-urutannya dapat dilihat dalam tabel 1 (Wiriadiwangsa, 2005). Tabel 1. Kesejajaran Kalender Pranoto mongso dengan Kalender Masehi dan Urut Urutan Pranoto mongso
Sumber: Fidiyani, at all (2008), dan Suhartini, (2009)
156
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2013
Pilihan tanggal 22 Juni sebagai hari pertama dalam kalender pranoto mongso menurut Wisnubroto, (2000) mempunyai alasan, bahwa tanggal ini merupakan hari pertama bergesernya kedudukan matahari dari garis balik utara ke garis balik selatan. Perpindahan kedudukan matahari berhubungan dengan keadaan unsur-unsur meteorologist suatu wilayah yang akan berpengaruh pada fenologi tanaman dan hewan yang merupakan dasar utama indikator mangsa dalam pranoto mongso. Sebagaimana ditulis oleh Wiriadiwangsa, (2005); dan Simanjuntak, at all; 2010: dalam Fidiyani, at all (2008) Indikator perpindahan mangsa didasarkan pada penampakan rasi bintang sebagai penunjuk. Indikator ini dapat dimanfaatkan untuk memperkirakan permulaan musim hujan dan permulaan musim kemarau. Meski indikator ini diakui sangat sulit, indikator dan rasi bintang dapat dilihat dalam tabel 2. Tabel 2. Tafsir Indikator Masing-Masing Mangsa dan Bintang Penunjuk Mangsa Indikator Tafsir Bintang penunjuk 1 Sotya murca saka Dedaunan gugur Sapi gumarang embanan 2 Bantala rengka Permukaan tanah retak Tagih 3 Suta manut ing bapa Tanaman yang menjalar (ubi) Lumbung tumbuh dan mengi-kut penegaknya (lanjaran) 4 Waspa kemembeng Sumber air banyak yang Jaran dawuk jroning kalbu kering 5 Pancuran emas suMulai musi hujan Banyak angrem mawur ing jagad 6 Rasa mulyo kesuciPohon buah-buahan ber-buah Gorong mayit an 7 Wisa kentar ing ma- Munculnya banyak pe-nyakit Bima sakti ruta 8 Anjrah jroning kaPeriode kawin beberapa Wulanjar ngirim yun macam hewan 9 Wedaring wacana Gareng (tonggreret) berWuluh mulya bunyi 10 Gedhing minep jroBeberapa macam ternak Waluku ning kalbu bunting 11 Sotya sinarawedi Telur burung menetas dan Lumbung induknya menyuapi anak-nya (ngloloh) 12 Tirta sah saking sas- Orang sukar berkeringat Tagih ana Sumber: Fidiyani, at all (2008) Gejala alam dijadikan penanda bagi petani dalam memperkirakan kapan musim hujan mulai dan berhenti serta kapan kemarau panjang akan terjadi. Hal ini dapat diketahui dengan indikator pranoto mongso. Sebagai contoh berbunyinya tongeret (Tibicen Sp) merupakan penanda musim kemarau sudah dekat (Simanjuntak, at all; 2010). Kenyataan di lapangan bahwa kalender pranoto mongso ini masih menjadi 157
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2013
pilihan petani sebagai suatu karifan lokal jawa dalam mempersiapkan diri untuk mulai bercocok tanam, walaupun adanya fenomena global yang mempengaruhi pergeseran musim hujan yang akan mempengaruhi masa tanam petani. Terkait dengan kearifan lokal, terkadang petani telah mempunyai pengetahuan lokal (local knowledge) dengan inovasi teknologi yang diperkenalkan oleh pemerintah, seperti inovasi PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) yang telah digalakkan untuk di terapkan, dengan tujuan untuk mendongkrak produksi padi. Beberapa komponen PTT, seperti tanam benih muda umur kurang dari 21 hari untuk memperpendek masa bero ternyata erat kaitannya dengan kearifan lokal yang sudah dilaksanakan oleh petani. Apa yang dinamakan sistim metok 14 hari, 12 hari dengan lahan tetap digaru untuk memperbaiki aerasi tanah telah dilaksanakan oleh petani di Jawa tengah. Keuntungan tanam pindah dengan menggunakan bibit muda umur kurang dari 21 hari adalah tanaman tidak stres akibat pencabutan bibit di persemaian, pengangkutan, dan penanaman kembali di sawah. Kearifan Lokal dalam pengendalian OPT dan Lingkungan Masyarakat pedesaan umumnya sangat mengenal lingkungannya dengan baik. Mereka hidup dalam berbagagai ekosistem alami, dan telah lama hidup berdampingan dengan alam secara harmonis, sehingga mereka sangat mengenal berbagai cara memanfaatkan sumberdaya alam secara berkelanjutan, termasuk pengetahuan dalam mengendalikan OPT tanama padi. Di Banyumas dan beberapa daerah lain di Jawa Tengah petani memanfaatkan batang pepaya untuk umpan keong mas, yang sering mengganggu pertanaman padi. Perkembangbiakan keong mas amat cepat apabila tidak dikendalikan. Dari telur hingga menetas keong mas hanya butuh waktu 7-14 hari. Satu ekor keong mas dalam satu bulan dapat menghasilkan telur 1000 butir dengan masa hidup dewasa selama 3 tahun (Pitojo, 1996) Batang pepaya (Carica papaya) yang digunakan oleh petani adalah batang yang sudah tidak produktif lagi sehingga pepaya yang masih produktif masih bisa dimanfaatkan lagi. Umpan berupa daun pepaya tidak lepas dari kebiasaan keong mas yang suka memakan jaringan dari tumbuhan. Pemanfaatannya dengan cara batang pepaya dibelah-belah, lalu diletakkan di sawah yang terserang hama keong mas. Jumlahnya tergantung dari besar kecilnya serangan. Batang pepaya yang besar menyebabkan keong mas yang terperangkap lebih banyak. Mengapa petani menggunakan batang pepaya sebagai pengendali alami hama keong mas? Pepaya tumbuh hampir diseluruh wilayah Indonesia, sehingga mudah didapat. Petani menggunakan batang pepaya untuk mengendalikan penyebaran hama keong mas, karena batang pepaya sangat efisien, murah, dan praktis. Selain itu keong mas yang tertangkap dapat digunakan untuk pakan itik, pakan ikan, maupun makanan untuk manusia karena keong yang mati tidak berbahaya atau beracun seperti jika memakai pestisida. Contoh kearifan lokal yang ditulis oleh Suhartini, (2009) seperti nyabuk gunung, merupakan cara bercocok tanam dengan membuat teras sawah yang dibentuk menurut 158
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2013
garis kontur. Cara ini banyak dilakukan di lereng bukit sumbing dan sindoro. Cara ini merupakan suatu bentuk konservasi lahan dalam bercocok tanam karena menurut garis kontur. Hal ini berbeda dengan yang banyak dilakukan di Dieng yang bercocok tanam dengan membuat teras yang memotong kontur sehingga mempermudah terjadinya longsor. Masih banyak contoh-contoh lain yang tidak memungkinkan untuk dituangkan dalam paper yang sangat terbatas ini tentang kearifan lokal yang dilakukan oleh petani di Jawa yang berkaitan dengan bercocok tanam padi. KESIMPULAN DAN SARAN Kearifan lokal seperti penggunaan kalender pranoto mongso masih dilakukan oleh petani yang diperoleh secara turun temurun dari nenek moyangnya. Walaupun keberadaan pranoto mongso kian tergerus oleh adanya modernisasi pertanian seperti adanya irigasi teknis, kerumitan perhitungan pranoto mongso, tidak tertariknya generasi muda untuk mempelajarinya, dan lain-lain. DAFTAR PUSTAKA Effendy, Sobri. 2001. Urgensi Prediksi Cuaca dan Iklim di Bursa Komoditas Unggulan Pertanian. Bogor: Program Pasca Sarjana/S3, Institut Pertanian Bogor: Fidiyani R, dan U Kamal, 2008 Cara Berhukum Orang Banyumas dalam Pengelolaan Lahan Pertanian. Studi Berdasarkan Perspektif Antropologi Hukum. Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang. Setijo, P. 1996. Petunjuk Pengendalian dan Pemanfaatan Keongmas. Trubus Agriwidia. Ungaran Simanjuntak, Bistok Hasiholan; Sri Yulianto J.P. dan Krsitoko Dwi H. 2010. Penyusunan Model Pranatamangsa Baru Berbasis Agrometerorologi dengan Menggunakan LVQ (Learning Vector Quantization) dan MAP Alov untuk Perencanaan Pola Tanam Efektif, Laporan Akhir Hibah Bersaing Tahun Ke 1. Salatiga: Universitas Satyawacana. Siregar, Hadrian, 1987. Budidaya Tanaman Padi di Indonesia. Jakarta. Sastra Budaya. Suhartini, 2009. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 16 Mei 2009 Sunaryo dan L. Joshi. 2003. Peranan pengetahuan ekologi lokal dalam sistem agroforestri. Bahan Ajaran 7. World Agroforestry Centre (ICRAF), Southeast Asia Regional Office, Bogor, Indonesia : 28 pp. Wiriadiwangsa, Dedik. “Pranoto mongso Masih Penting Untuk Pertanian”. Tabloid Sinar Tani, Edisi 9 – 15 Maret 2005; Wisnubroto, Sukardi. “Sumbangan Pengenalan Waktu Tradisional “Pranoto mongso” pada Pengelolaan Hama Terpadu”. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia Vol. 4 No. 1, 2000; . 159