Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2013
POTENSI PENGEMBANGAN TERNAK KELINCI MENDUKUNG PENINGKATAN GIZI MASYARAKAT DI KOTA BATU THE POTENCY OF DEVELOPING FARMING RABBITS SUPPORTS INCREASING NUTRITIONS INTAKE OF PEOPLE IN BATU CITY Siti Istiana dan Abu Zaenal Zakariya Balai PengkajianTeknologiPertanianJawaTimur e-mail:
[email protected] : 08563356440
ABSTRAK Kelinci merupakan ternak pseudoruminansia yang juga mempunyai sifat prolifik, dapat beranak dua bulan sekali dengan rata-rata berjumlah 5-7 ekor. Salah satu potensi ternak kelinci yang diunggulkan saat ini adalah tingginya kandungan protein dan lebih rendah kandungan kolesterolnya jika dibandingkan daging sapi maupun ayam. Daging kelinci juga dapat diolah menjadi bermacam produk sehingga berpotensi sebagai pengganti daging ayam maupun sapi yang saat ini harganya relatif tinggi dan tidak terjangkau terutama untuk masyarakat kelas menengah ke bawah. Dengan menggunakan pakan yang sederhana atau hanya menggunakan limbah sayur atau hasil pertanian lainnya, ternak kelinci masih dapat berkembang dengan baik. Kota Batu merupakan salah satu sentra ternak kelinci dan diperkirakan memiliki 120 orang peternak dengan masing-masing peternak memiliki lebih dari 100 ekor kelinci, baik dari jenis kelinci lokal maupun jenis unggul. Jenis kelinci unggul hasil peternak kota Batu sudah tersebar diseluruh Indonesia mulaidari Kalimantan hingga Papua. Dengan adanya dukungan dari Menteri Pertanian Suswono untuk mengkomersilkan daging kelinci sebagai daging yang aman dan sehat, para peternak kelinci mempunyai peluang yang besar untuk memperbesar usahanya. Dilihat dari segi harga untukkelinci jenisunggul, seekor kelinci berusia enam bulan keatas bisadihargai dua hingga empat juta rupiah dengan keuntungan mencapai 50 persen dari harga jual.Sedangkan untuk kelinci lokal, harga jualnya dikisaran puluhan ribu hingga ratusan ribu rupiah yang bisa didapatkan hanya dalam beberapa bulan masa pemeliharaan.Namun tingkat konsumsi daging kelinci di Indonesia yang baru mencapai 0,27 kg/kapita/tahun merupakan tantangan baru dan peluang yang baik guna mewujudkan standar normal gizi protein hewani yang telah ditetapkan pemerintah Indonesia yang baru mencapai 4,82 gram/kapita/hari masih jauh dari yang diharapkan, yaitu sebanyak 6 g protein/kapita/hari. Protein yang dimaksud berasal dari susu, telur dan daging sapi, kerbau, domba, kambing, babi, kudadan unggas, sedangkan dari kelinci belum tercatat memberi kontribusi hingga saat ini. Salah satunya disebabkan adanya faktor psikologi yang menyebabkan masyarakat enggan memakan daging kelinci karena dianggap sebagai hewan kesayangan. Untuk itu diperlukan usaha promosi disertai dengan cara pengolahan daging kelinci yang siap santap tidak berbentuk karkas lagi, misalnya dibuat abon, dendeng, baso, sosis,nugget, burger ataupun jenis-jenis makanan lain yang berbahan dasar dagingkelinci Kata Kunci : kelinci, Kota Batu
229
Juni, 2013
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
ABSTRACT It has been known that rabbit is a pseudoruminant and profilic animals that can produce kids once every two months, with the average of 5 until 7 head/birth. One of the main potentials of rabbits currently is the high protein and lower cholesterol content of rabbit meat than beef or chicken. Rabbit meat can also be processed into various products, potentially as a substitute chicken or beef that are currently relatively high priced and not affordable, especially for the middle class society. By feeding with inexpensive forages or agricultural by-product, rabbit can still grow well. Batu City is the center of rabbit farming, especially in East Java, had an estimated 120 rabbit farmerswith more than 100 rabbits, the superior kind of rabbits are supplied throughout Indonesia from Kalimantan to Papua. By having the support of the Minister of Agriculture Suswono to make rabbit meat as a commercial meat as a way to strengten food security, rabbit farmers have a great opportunity to expand their business.Actually the rabbit meat consumption level in Indonesia that recently only reached 0.27 kg / capita / year, is a new challenge and a good opportunity to reachstandard of animal protein nutritionalthat the goverment had establish (6 g protein / capita / day) but now is only 4.82 grams / capita / day. That protein is derived from milk, eggs and beef, buffalo, sheep, goats, pigs, horses and poultry, while the rabbit has not been shown to contribute to this moment because of psychological factors that cause people refuse to consumerabbit meat. They still perceived rabbits as a cute pet, so they didnt want to consume it. Hence, the the efforts and promotion to produce rabbit meat product that actually no longer shaped rabbits carcass is needed. Keywords : rabbits, Batu City PENDAHULUAN Sejarah perkembangan kelinci di Indonesia Dari catatan sejarah, kelinci pertama kali dibawa ketanah Jawa oleh orangorang dari Belanda pada tahun 1835.Waktu itu, kelinci sudah jaditernakhias. Di Indonesia, peternakan kelinci dibagi dua yaitu peternakan daging dan hias. Dahulu kelinci hanya dimanfaatkan dagingnya untuk dikonsumsi dan bulunya dijadikan mantel, umumnya daging kelinci sangat disukai para tentara pada jaman penjajahan. Dalam perkembangannya, keluarga bangsawan mulai melirik kelinci sebagai hewan peliharaan kandang. Masuknya kelinci ke Indonesia diduga dibawa oleh orang-orang Belanda pada masa kolonial. Kelinci dikenalkan sebagai ternak hias padatahun 1835, khususnya di PulauJawa. Introduksi kelinci lebih lanjut dilakukan oleh pemerintah pada tahun 1980-an yakni tepatnya pada tanggal 26 Juli 1980, untuk pertama kalinya kelinci dikenalkan dan dihidangkan sebagai lauk makanan. Pada saat itu disebutkan bahwa tingkat konsumsi daging masyarakat masih rendah yakni sekitar 8,1 kg/kapita/tahun. Masih meluasnya kekurangan gizi masyarakat saat itu bisa diamati terutama pada anak-anak, diperkirakan hampir 55% dari sejumlah anak-anak di bawah umur lima tahun masih menderita kekurangan gizi ( Sarwono, 1994). Namun program pemerintah yang dicanangkan oleh 230
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2013
Mantan Presiden Soeharto tersebut masih mengalami kegagalan karena program pengembangannya tidak dipersiapkan secara matang. Kelinci hanya dibagikan begitu saja kepada peternak tanpa diberikan informasi lebih lanjut tentang cara budidaya, pengolahan produk serta pemasarannyasehingga hanya bertahan 2-3 tahun saja. Pada tahun ke-4 dan ke-5 peternakan kelinci di Indonesia praktis menurun bahkan menghilang. Dalam kurun waktu singkat tersebut penelitian-penelitian mengenai budidaya kelinci baru sebatas pada aspek produktivitasnya, belum ada data-data pendukung mengenai konsumsi daging kelinci di Indonesia (Sartika, 1998). Studi mengenai daging kelinci yang dilakukan Sunarlim et al. (1985) di Jawa Barat dan Yogyakarta menunjukkan bahwa daging kelinci dan daging ayam sama-sama disukai, baik ayam ras maupun buras, baik untuk masakan sate maupun hanya digoreng. Daging kelinci berwarna putih, berserat halus seperti daging ayam dan rasanya selezat daging ayam. Departemen Pertanian Amerika Serikat pada tahun 1951 mengumumkan dalam siaran pertaniannya, bahwa rakyat Amerika menghabiskan antara 25-30 juta kg daging kelinci dalam setahun yang hanya dipenuhi oleh peternak kelinci yang memiliki 3-4 kandang dan beberapa peternak kelinci besar(Rismunandar, 1986). Dengan jumlah peternak kelinci saat ini seharusnya negara kita juga mampu meningkatkan konsumsi akan daging kelinci, tentunya dengan dukungan dari berbagai pihak dan stake holder lainnya. Keunggulan Daging Kelinci Ternak kelinci merupakan salah satu usaha ternak kecil yang relative mudah dilaksanakan, karena usaha tersebut tidak memerlukan banyak biaya, tenaga serta tidak memerlukan tempat yang begitu luas. Oleh karena itu beternak kelinci merupakan usaha keluarga dan usaha pekarangan yang hasilnya bias meningkatkan mutu makanan, khususnya proteinyang merupakan zat penting untuk pertumbuhan terutama untuk anakanak yang masih dalam proses pertumbuhan dan regenerasi sel. Dilihat dari segi kandungan dan kualitas daging, seperti ditunjukkan pada Tabel 1., daging kelinci mempunyai kandungan protein hewani paling tinggi yakni 21%, namun kandungan lemaknya paling rendah yakni 8% jika dibandingkan daging sapi maupun ayam sehingga sangat baik untuk masyarakat yang diet rendah lemak atau yang memiliki masalah berat badan serta anak-anak yang sedang membutuhkan protein untuk masa pertumbuhan. Tabel 1. Komposisi kimia daging kelinci dibandingkan daging sapi dan ayam JenisDa ging
Energi (kkal/kg)
Protein (%)
Lemak (%)
Kadar Air (%)
Sodium (mg/g)
As. Lemak 2) Jenuh (%L)
Kelinci Sapi Ayam
160 380 200
21,0 15,5 19,5
8 35 12
70 49 67
40 65 70
37 41,3 -
Sumber : 1) LEBAS et al. (1986) 2)BINKER et al. 1978 dalam Sartika (1992) 231
Juni, 2013
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Menurut Sartika (1992), hasil produksi daging kelinci per tahun jauh lebih tinggi dari produksi daging domba dan kambing, seperti yang terlihat pada Tabel 2., bila produksi tersebut dikonversikan kepada berat induknya, total daging kelinci yang dihasilkan jauh lebih tinggi dibandingkan daging sapi, domba dan kambing yaitu masing-masing mencapai 29 kali, 0,35 kali, 0,63 kali dan 0,53 kali, sedangkan untuk kelinci hybrid yaitu kelinci persilangan hasil seleksi yang saat ini populer sebagai penghasil daging, secara teoritis dapat mencapai 36 kali berat induknya. Hasil ini menunjukkan bahwa kelinci sangat potensial untuk dikembangkan di Indonesia. Tabel 2. Produksi Daging dan Konversi Karkas Beberapa Jenis Ternak Jenis Berat Induk Ternak Dewasa (kg) Kelinci 4 (intensif) Kelinci 4 (hybrid)**) Sapi 500 (pasture) Domba 60 Kambing 45 Sumber : Schlolaut (1982) **) Sartika (1992)
Jumlah Anak per tahun (ekor) 48
Total Berat karkas/tahun (kg) 117
Konversi karkas terhadap berat induk 29
74
144
36
0.9
173
0.35
1.5 1.5
38 24
0.63 0.53
Potensi Kota Batu sebagai Sentra Peternakan Kelinci Wilayah KotaBatuterletak di datarantinggi di kaki GunungPanderman, berada di ketinggian 680-1.200 meter daripermukaanlaut yang menjadikan udara di wilayah Kota Batu menjadi sejuk dan dingin (Anonimus, 2013). Keadaan inilah yang membuat Kota Batu mempunyai potensi sebagai daerah agrowisata yang menarik sehingga telah banyak dikunjungi oleh wisatawan baik dari lokal Jawa Timur maupun dari luar Jawa Timur. Selain mempunyai iklim yang disenangi wisatawan, Kota Batu juga menyediakan beragam makanan khas yang bisa dijadikan oleh-oleh maupun dinikmati di tempat. Salah satu kuliner khas dari Kota Batu adalah sate kelinci yang saat ini dapat ditemukan mulai dari warung sederhana hingga restoran berkelas. Ternak kelinci banyak dikembangkan di Kota Batu dikarenakan memiliki iklim yang cocok untuk budidaya kelinci, dengan suhu rata-rata 15-190C didukung dengan adanya tanah yang subur sehingga banyak ditumbuhi rumput atau tanaman pakan lain yang dapat dijadikan sebagai pakan utama kelinci. Menurut Ahmadi (2012) kelinci bias hidup secara baik dengan suhu continue antara 19 - 22 derajat celcius dan dalam lingkungan yang tenang sertas umber makanan yang bergizi bagi kelinci. Selain itu Kota Batu merupakan sentra perkebunan sayur dan buah-buahan dimana limbah sayur dan buah sangat berlimpah dan baik digunakan sebagai pakan utama ternak kelinci. Saat ini tercatat kurang lebih 120 peternak kelinci di Kota Batu dengan kepemilikan ternak sebanyak lebih dari 100 ekor per orang. Jika diperkirakan satu peternak bisa menghasilkan anakan 6 ekor tiap 2 bulan sekali dapat dihitung dengan memelihara 232
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2013
sepasang kelinci yang sudah berumur 5-6 bulan dan melahirkan setiap tahun rata-rata 4 kali dengan rata-rata jumlah anak 6 ekor, makadidapatkan 24 ekor anak. Jika dari 24 ekor anak tersebut 50% betina dan dalam waktu satu tahun itu juga 6 ekor sudah bisa melahirkan 3 kali, maka dari kelahiran tersebut menghasilkan 6 x 3 x 6 = 108 ekor,jadi dalam jangka satu tahun itu dapat menghasilkan = 24+108 = 132 ekor anakan. dengan rata-rata 2 kg timbangan hidup maka timbangan badan, setelah kulit dan kepalanya dibuang, rata-rata 55% x 2 x 132 = 145,2 kg dan 75% atau ± 109 kg, berupa daging, hati, jantung dan bayah dapat dimakan (Rismunandar, 1986). Hasil tersebut dapat dicapai dengan catatan bahwa manajemen pemeliharaan kelinci terutama anakan harus baikyakni dalam hal pemberian pakan berupa pellet dengan kandungan gizi yang cukup, sanitasi kandang dan kebersihan kandang selalu terkontrol serta pemeriksaan kesehatan ternak dilakukan setiap hari. Menurut Raharjo et al (1993), mortalitas anak kelinci sampai umur sapih cukup tinggi ± 26-59%, namun dengan menggunakan metode “fostering” yakni menyusukan anak yang telah ditinggal mati induknya atau yang jumlah anaknya terlalu banyak ke induk lain dapat menekan tingkat mortalitas anak kelinci sampai umur sapi (4 minggu) yakni sekitar 10,4-15%. Tabel 3. Perkiraan Jumlah Anakan Kelinci dalam Satu Tahun Masa Pemeliharaan I Bunting I (6 anak)
II
III
IV Bunting II (6 anak)
V
VI
BULAN keVII Bunting III (6 anak) Anak I bunting (36 anak)
VIII
IX
Anak II bunting (36 anak)
X Bunting IV (6 anak)
XI
XII
Anak III bunting (36 anak)
Total Anak Keseluruhan = 132 ekor Sumber : Rismunandar (1986)
Seperti diketahui bahwa Kota Batu merupakan sentra peternakan kelinci dan sempat berjaya beberapa tahun lalu namun dikarenakan terjadi krisis moneter sehingga banyak peternak yang gulung tikar. Selain itu sistem pemeliharaannya juga masih sebagai peternakan keluarga yang bersifat sambilan, dimana sebagian besar bergerak di bidang kelinci hias dan hanya sisa kelinci yang tidak termasuk kategori hias akan dijual sebagai pedaging. Produk daging yang paling digemari saat ini adalah sate kelinci dan tersebar di beberapa daerah di sekitar Jawa Timur, terutama di Kota Batuyang saat ini mempunyai jumlah konsumendagingkelinci yang cukupbesardenganmengedepankan sate kelinci sebagai kuliner khas. Setelah ada dukungan dari pemerintah beberapa tahun ini peternakan kelinci di Kota Batu mulai berkembang lagi. Data dari Dinas Pertanian dan Kehutanan (DPK) Kota Batu bahwa saat ini terdapat sejumlah ± 500 KK peternak kelinci yang tergabung dalam beberapa kelompok ternak kelinci dan memiliki masing-masing sedikitnya 50 ekor induk kelinci. Disebutkan juga bahwa pada 2008 diperkirakan sebanyak 150 ribu ekor kelinci unggul dikirim dari peternakan kelinci di Kota Batu keberbagaiwilayah di Indonesia, sedangkan periode Januari-Juni 2009 sudah 65 ribu ekor kelinci yang dikirim ke berbagai wilayah. 233
Juni, 2013
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Namun hingga saat ini belum tercatat data mengenai jumlah ternak kelinci secara keseluruhan, tingkat konsumsi daging kelinci serta jumlah pemotongan ternak kelinci tiap tahunnya di Kota Batu dikarenakan selama ini peternak kelinci di Kota Batu sebagian besar bergerak di bidang kelinci hias dan hanya kelinci yang sudah tidak produktif yang dipotong untuk kemudian dikonsumsi atau dijual ke rumah makan setempat untuk dijadikan sate atau makanan berbahan dasar daging kelinci lainnya (Anonimus, 2009). Kota Batuyang sudah sejak dulu dikenal dengan keasrian alamnya sangat mendukung budi daya kelinci terutama untuk jenis yang dikonsumsi dagingnya. Dengan semakin banyaknya warung makan sate kelinci yang semakin banyak bermunculan maka dapat disimpulkan bahwa kebutuhan daging kelinci juga semakin besar. Untuk itu perlu adanya stimulus tentang sosialisasi peluang usaha dan potensi keuntungan yang dihasilkan dengan beternak kelinci ini. Upaya yang dapat ditempuh guna semakin meningkatkan daya serap daging kelinci ini diantaranya adalah dengan mengkomersialisasikan daging kelinci sebagai daging yang “sehat dan aman”, dapat juga diusahakan alternatif olahan produk daging kelinci yang tidak berbentuk kelinci misalnya dalam bentuk nugget, daging burger, abon, dendeng, bakso, sosis atau lainnya sehingga bisa lebih diterima oleh masyarakat. Selain itu bisa juga diusahakan untuk dapat bekerja sama dengan franchisekomersial dalam negeri sehingga proses pemasarannya pun jelas. Upaya lainnya yang dapat ditempuh adalah dengan mengembangkan usaha peternakan kelinci yang diarahkan pada usaha yang komersial dengan tujuan yang jelas. Sebagaialternatif, usaha peternakan kelinci sebenarnya bias dikembangkan dalam bentuk industri peternakan. Sasarannya produksi kelinci dapat ditingkatkan sesuai target, mutu dan permintaan pasar yang berkembang. Dengan adanya kerjasama dengan berbagai instansi diantaranya Kementerian Pertanian, Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Sosial, Dinas Pertanian dan Peternakan setempat serta Kantor Keamanan Pangan (KKP) yang dapat menciptakan peluang usaha baru dengan disuntikkannya dana berupa kredit lunak atau tanpa jaminan maupun berupa bantuan proyek dari pemerintah, diharapkan dapat membuka cakrawala para peternak kelinci di Kota Batu untuk lebih mengutamakan bergerak di bidang kelinci potong.Salah satu usaha kreatif produktif semacam ini perlu dikembangkan sehingga mereka biasa mendapatkan tambahan sumber protein yang sangat bermanfaat. KESIMPULAN Kota Batu berpotensi sebagai sentra pengembangan ternak kelinci, selain sebagai kelinci hias juga sebagai kelinci pedaging. Bermunculannya rumah makan baik yang sederhana maupun berkelas yang menyediakan masakan berbahan dasar kelinci membuktikan bahwa permintaan akan daging kelinci semakin hari semakin meningkat. Namun masih diperlukan upaya guna mengkomersialisasikan daging kelinci di 234
Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2013
masyarakat yang dapat ditempuh salah satunya melalui kerjasama dengan franchise komersial sehingga dapat membuat olahan daging kelinci yang lebih menarik serta pemasarannya pun cukup jelas. DAFTAR PUSTAKA Ahmadi
Dirun, 2012. Beternak kelinci. http://binatangfavforit.blogspot.com/ 2012/07/beternak-kelinci.html diunduh tanggal 24 Mei 2013.
Anonimus. 2013. Kota Batu. http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Batu diunduh tanggal 24 Mei 2013 Lebas, R., P. Coudert, R. Rouviert, dan H. De Rcohambeau. 1986. The Rabbit Husbandry, Health and Production. FAO. Animal Production and Health, series no. 21, Rome. Raharjo, Y. C., F. X. Wijana dan T. Sartika. 1993. Pengaruh Jarak Kawin Setelah Beranak terhadap Performans Reproduksi Kelinci Rex. Ilmu dan Peternakan vol 6 (1) : 27-31. Rismunandar. 1986. Meningkatkan Konsumsi Protein dengan Beternak Kelinci. CV. Sinar Baru Offset. Bandung. Hal 3. Sartika, T. Antawijaya, T dan Diwiyanto, K. 1998. Peluang Ternak Kelinci sebagai Sumber Daging yang Potensial di Indonesia. Wartazoa Vol. 7 No. 2. Jakarta. Sarwono, B. 1994. Beternak Kelinci Unggul. Penebar Swadaya. Jakarta. Schlolaut, W. 1982. The Nutrition of The Rabbit. Information Animal Nutrition. Roche. Germany.
235