KEWENANGAN PEMBERIAN PERSETUJUAN DAN PERIZINAN PENANAMAN MODAL MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL (STUDI DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM)
TESIS
Oleh
NASRIANTI 067005018/HK
SEKOLAH PASCASARJANA PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
KEWENANGAN PEMBERIAN PERSETUJUAN DAN PERIZINAN PENANAMAN MODAL MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD))
TESIS Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora Dalam Program Studi Ilmu Hukum Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
NASRIANTI 067005018/HK
SEKOLAH PASCASARJANA PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
Telah diuji Pada Tanggal 18 Juli 2008
PANITIA PENGUJI TESIS
KETUA : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH ANGGOTA : 1. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH 2. Dr. Sunarmi, SH. M.Hum 3. Prof Dr. Runtung, SH, M.Hum 4. Dr. Mahmul, SH. M.Hum
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
HALAMAN PENGESAHAN Judul Tesis
Nama Nomor Pokok Program Studi
: KEWENANGAN PEMBERIAN PERSETUJUAN DAN PERIZINAN PENANAMAN MODAL MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL (STUDI DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM) : Nasrianti : 067005018 : Ilmu Hukum
Menyetujui Ketua Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Bismar Nasution, SH,. M.H. Ketua
Prof. Dr. Suhaidi, S.H,. M.H Anggota
Dr. Sunarmi, S.H,. M. Hum. Anggota
Ketua Program Studi Ilmu Hukum
Prof. Dr. Bismar Nasution, SH,. M.H .
Direktur
Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B. MSC.
NASKAH PUBLIKASI
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
KEWENANGAN PEMBERIAN PERSETUJUAN DAN PERIZINAN PENANAMAN MODAL MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)) TESIS
Oleh:
NASRIANTI 067005018/HK
SEKOLAH PASCASARJANA PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
NASKAH PUBLIKASI
Judul Tesis
Nama Nomor Pokok Program Studi
: KEWENANGAN PEMBERIAN PERSETUJUAN DAN PERIZINAN PENANAMAN MODAL MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL (STUDI DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM) : Nasrianti : 067005018 : Ilmu Hukum
Menyetujui Ketua Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Bismar Nasution, SH,. M.H. Ketua
Prof. Dr. Suhaidi, S.H,. M.H Anggota
Dr. Sunarmi, S.H,. M. Hum. Anggota
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
ABSTRAK Pelimpahan kewenangan pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal telah didesentralisasikan dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, dan Undang-Undang No 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. Salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan investasi dengan mengeluarkan Keputusan Presiden No. 29 Tahun 2004 Tentang penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Dalam negeri Melalui Sistem Pelayanan satu Atap, dengan Keputusan Presiden ini pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal menjadi sentralistik. Dengan hadirnya Undang-Undang No 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, maka semua urusan penyelenggaraan penanaman modal kembali didesentralisasikan kepada pemerintah daerah dimana penangananya dilayani melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 24 Tahun 2006 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Penelitian dilakukan untuk mengetahui pelimpahan wewenang pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), karena yang diteliti adalah berbagai aturan hukum yang berkaitan dengan kewenangan pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal. Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan mempelajari ketentuan peraturan perundang-undangan dan dokumen yang terkait dengan penanaman modal, dan didukung dengan hasil wawancara yang dilakukan terhadap pejabat Kantor Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) Provinsi NAD dan investor. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa (1). Kewenangan penyelenggaraan penanaman modal diatur dalam Pasal 30 Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, Wewenang pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal dengan sistem desentralisasi adalah suatu upaya pemerintah untuk mendekatkan pelayanan penanaman modal kepada masyarakat, dimana kewenangan untuk memberikan persetujuan dan perizinan untuk pelaksanaan penanaman modal, baik penanaman modal dalam negeri maupun penanaman modal asing berada ditangan pemerintah daerah. Dalam kaitannya dengan pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal dengan sistem sentralisasi bahwa penyelenggaraan penanaman modal yang ditangani oleh pemerintah pusat tanpa melibatkan pemerintah daerah. Sentralisasi penanaman modal menunjukkan bahwa semua hal, baik promosi penanaman modal, penentuan kebijakan penanaman modal, persetujuan dan perizinan penanaman modal, hingga perubahan penanaman modal harus dilakukan oleh pemerintah pusat. (2). Pelimpahan wewenang pemberian
i
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
persetujuan dan perizinan penanaman modal menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang penanaman modal semua urusan penanaman modal penanganannya dilayani melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka (10) UUPM bahwa kegiatan penyelenggaraan suatu perizinan dan non perizinan yang mendapat pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan atau non perizinan yang proses pengelohannya dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap diterbitkannya dokumen yang dilakukan disatu tempat. (3). Pelaksanaan kewenangan pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) selama ini masih bersifat sentralistik, dimana masih berpedoman pada ketentuan yaitu Keputusan Presiden No. 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap. Hal ini mengakibatkan pelaksanaan penanaman modal di Provinsi NAD mengalami penurunan, yang disebabkan karena tidak ada jaminan kepastian hukum.
Kata Kunci : Kewenangan Pemberian Persetujuan dan Perizinan Penanaman Modal
i
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
KATA PENGANTAR
Pertama-tama penulis memanjatkan Puji Syukur kehadirat Allah SWT atas segala Karunia-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan untuk memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar Magister Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Adapun tesis ini berjudul “ Kewenangan Pemberian persetujuan dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)”. Dalam penyelesaian tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan baik bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Untuk itu perkenankanlah penulis menyampaikan terimaksih kepada semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian studi ini: 1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A (k) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara. 2. Ibu Prof. Dr. Chairun Nisa B., M.Sc. selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution S.H., M.H. selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.
i
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
4. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution S.H., M.H, Prof. Dr. Suhaidi, SH, M.H. Dr. Sunarmi, SH., M. Hum. Selaku pembimbing yang telah membimbing penulis dalam penyusunan tesis ini. Bapak ...........................selaku penguji 5. Orang tua tercinta, almarhum ayahanda Razali Arsyad, semoga mendapat Syurga Jannatunna’im dan mendapat tempat yang mulia disisi ALLAH SWT, ibunda Azizah yang telah mencurahkan kasih sayang, do’a dan memberikan dukungan moril serta materil yang tiada terhingga. 6. Kakak dan abang serta adik-adikku tercinta, Maharni, Nurizal, Dewi, Zaki, Syifa yang selalu memberikanj do’a, dukungan dan semangat yang tiada terhingga. 7. Suami tercinta Muhibuddin, SH, dan anak tersayang Jimly Assiddiqie, yang telah rela berkorban, memberikan motivasi, pengertian dan bantuan cinta kasih sehingga penulis dapat berkonsentrasi menyelesaikan pendidikan. 8. Civitas Akademika Universitas Malikussaleh Lhokseumawe yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi S2 ke Universitas Sumatera Utara. 9. Civitas Akademika Universitas Sumatera Utara di Medan yang telah banyak membantu dalam proses belajar mengajar di kampus. 10. Rekan-rekan Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang selalu kompak dan penuh kecerian menjalani hari-hari perkuliahan. Penulis mengucapkan terimakasih atas bimbingan dan bantuan dari semua pihak. Medan, Juli 2008,
i
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
Penulis
NASRIANTI
i
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
ABSTRACT Delegation of authority in providing an acceptance and allowance of capital investment have been decentralized to the Laws No. 22 of 1999 regarding Regional Government which is then substituted by the Laws No. 12 of 2008 regarding the Amendment of the Laws No. 32 of 2004 regarding the Regional Government, the Laws No. 11 of 2006 regarding the Government or Aceh, however, provision of acceptance and allowance have been recentralized to the Central Government after established the Presidential Decree No. 29 of 2004 regarding the Implementation of Capital Investment For Foreign and Domestic Capital Investments in a One-Stop Service System. Given the Laws No. 25 of 2007 regarding the Capital Investment, all the affairs related to the implementation of capital investment are redecentralized to the Regional Government in which the implementation is served through an integrated one-stop service based on the Rule of Home Affairs Ministry No. 24 of 2006 regarding the Guideline of Implementation of an Integrated One-Stop Service. The present study was carried out to know the delegetion of authority, provision of acceptance and allowance of capital investment according to the Laws No. 25 of 2007 regarding the Capital Investment. It was carried out in Nanggroe Aceh Darussalam Province (NAD). It was a juridical normative study using a statute approach due to the study included various statutory regulations related to authority in providing an acceptance and allowance of capital investment. The main data included secondary one by studying the statutory regulations and documents related to capital investment and supported by the interview made with the authority of Provincial Capital Investment Coordinating Board of Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) and investor. Based on the results of the study, it can be conclude that (1). Authority in Implementation of capital investment is regulated in the Article 30 of the Laws No. 25 of 2007 regarding the Capital Investment. Authority in provision of acceptance and allowance of capital investment in a decentralization system is an effort of the government to approach the capital investment either domestically or internationally is in regional investmment. Referring to the provision of acceptance and allowance of capital investment in a centralization system, the implementation of capital investment is managed by the central government without involving regional government. Centralization in capital investment indicates that any things, either promotion in capital investment, determination of capital investment, accaptance and allowance of capital investment until the change in capital investment should be done by the central government. (2). Delegation of authority in provision of accaptance and allowance of capital investment according to the Laws No. 25 of 2007 regarding the Capital Investment should be served through, an Integrated One-Stop Service as stipulated in the Article 1 verse (10) of the Laws of Capital Investment that the implementation of an allowance and non-allowance that get a delegation of authority of an institution that has an authority of allowance or non- allowance in which the management process starts since application to issuance of document carried out in
iii
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
one place. (3). The implementation of authority in provision of ecceptance and allowance of capital investment in Nanggroe Aceh Darussalam Province (NAD) is still centralistic in which it still refers to Presidential Decree No. 29 of 2004 regarding the Implementation of Capital Investment For Foreign and Domestic Capital Investments in a One-Stop Service System. It caused that the implementation of capital investment in NAD Province reduced due to the lack of legal assurance.
Keywords: Authority in Provision of Acceptance and Allowance of Capital Investment.
iv
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
KATA PENGANTAR
Pertama-tama penulis memanjatkan Puji Syukur kehadirat Allah SWT atas segala Karunia-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan untuk memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar Magister Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Adapun tesis ini berjudul “ Kewenangan Pemberian Persetujuan dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)”. Dalam penyelesaian tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan baik bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Untuk itu perkenankanlah penulis menyampaikan terimaksih kepada semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian studi ini: 1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A (k) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara. 2. Ibu Prof. Dr. Chairun Nisa B., M.Sc. selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution S.H., M.H. selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus pembimbing penulis. 4. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, M.H. Dr. Sunarmi, S.H., M. Hum. Selaku pembimbing yang telah membimbing penulis dalam penyusunan tesis ini. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H, M.Hum, dan Dr. Mahmul Siregar, S.H,. M.Hum selaku penguji
vii Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
5. Orang tua tercinta, almarhum ayahanda Razali Arsyad, semoga mendapat Syurga Jannatunna’im dan mendapat tempat yang mulia disisi ALLAH SWT dan ibunda Azizah yang telah mencurahkan kasih sayang, do’a dan memberikan dukungan moril serta materil yang tiada terhingga. 6. Kakak dan abang serta adik-adikku tercinta, Maharni, S. Ag, Nurizal, ST, drh. Dewi Foyani, Zaki Mubarrak, Syifa Zakiya yang selalu memberikan do’a, dukungan dan semangat yang tiada terhingga. 7. Suami tercinta Muhibuddin, SH, dan anak tersayang Muhammad Jimly Asshiddiqie, yang telah rela berkorban, memberikan motivasi, pengertian dan bantuan cinta kasih sehingga penulis dapat berkonsentrasi menyelesaikan pendidikan. 8. Civitas Akademika Universitas Malikussaleh Lhokseumawe yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi S2 ke Universitas Sumatera Utara. 9. Civitas Akademika Universitas Sumatera Utara di Medan yang telah banyak membantu dalam proses belajar mengajar di kampus. 10. Rekan-rekan Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang selalu kompak dan penuh kecerian menjalani hari-hari perkuliahan. Penulis mengucapkan terimakasih atas bimbingan dan bantuan dari semua pihak.
Medan, Juli 2008, Penulis
NASRIANTI
vii Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
vii Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK..........................................................................................................
i
ABSTRACT.................................................................................................. ......
iii
KATA PENGANTAR.................................................................................. ......
v
RIWAYAT HIDUP............................................................................................
viii
DAFTAR ISI.......................................................................................................
ix
DAFTAR TABEL...............................................................................................
xii
DAFTAR SINGKATAN....................................................................................
xiii
BAB I :
PENDAHULUAN............................................................................
1
A. Latar Belakang………………………………..............................
1
B. Permasalahan………………………………................................
12
C. Tujuan Penelitian…………………………………......................
13
D. Manfaat Penelitian………………………………........................
13
E. Keaslian Penelitian……………………………...........................
14
F. Kerangka Teori dan Konsepsi.....……………….........................
15
1. Kerangka Teori………………………………………...........
15
2. Landasan Konsepsional…………………...…………...........
22
G. Metode Penelitian……………………………….........................
27
BAB II: WEWENANG PEMBERIAN PERSETUJUAN DAN PERIZINAN PENANAMAN MODAL DENGAN SISTEM DESENTRALISASI DAN SISTEM SENTRALISASI ..............................................................................
32
A. Pengertian
Wewenang
Pemberian
Persetujuan
dan
Perizinan Penanaman Modal Dengan Sistem Desentralisasi Dan Sistem Sentralisasi..................................................................
xi
32
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
B. Sejarah Dan Perkembangan Desentralisasi Dan Sentralisasi Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal............
37
C. Penyelenggaraan Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Dengan Sistem Desentralisasi Dan Sistem Sentralisasi.................
BAB III: PELIMPAHAN WEWENANG PEMBERIAN PERSETUJUAN DAN PERIZINAN PENANAMAN MODAL MENURUT UNDANG – UNDANG NO. 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL...................................................................
64
86
A. Pengertian Wewenang Pemberian Persetujuan dan Perizinan Penanaman
Modal
Menurut
Undang - Undang No. 25
Tahun 2007....................................................................................
86
B. Sentralisasi Pemberian Persetujuan dan Perizinan Penanaman Modal Berdasarkan Keputusan Presiden No. 29 Tahun 2004 Tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka Penanaman Modal Asing Dan Penanaman Modal Dalam Negeri Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap.............................. C. Hubungan
Desentralisasi
Pemberian
Persetujuan
98
Dan
Perizinan Penanaman Modal Dengan Otonomi Daerah............. 108 BAB IV: PELAKSANAAN KEWENANGAN PEMBERIAN PERSETUJUAN DAN PERIZINAN PENANAMAN MODAL DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM (NAD) ................................................................................................ A. Kewenangan
113
Penyelenggaraan Pemberian Persetujuan Dan
Perizinan Penanaman Modal Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).....................................................................
113
B. Kendala – Kendala Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Dalam Meningkatkan Penanaman Modal........................
xi
128
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
C. Upaya Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Dalam Meningkatkan Penanaman Modal.....................................
132
KESIMPULAN DAN SARAN.........................................................
139
A. Kesimpulan....................................................................................
139
B. Saran...............................................................................................
140
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................
142
BAB V:
xi
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
DAFTAR TABEL Nomor
1.
2.
Judul
Halaman
Perkembangan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).........................
18
Perkembangan Penanaman Modal Asing (PMA) Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).........................................
19
xi
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan Krisis moneter yang melanda Indonesia pada pertengahan 1997 telah mengakibatkan runtuhnya perekonomian nasional Indonesia. Akibat runtuhnya perekonomian Indonesia telah mengakibatkan hancurnya sejumlah kegiatan perindustrian dan perdagangan, meningkatnya jumlah pengangguran, yang semuanya bermuara pada rendahnya pertumbuhan ekonomi nasional. Untuk mengembalikan kondisi pertumbuhan perekonomian nasional seperti sebelum krisis moneter, maka akumulasi modal sangatlah penting peranannya. 1 Menghadapi kondisi tersebut pemerintah melakukan terobosan-terobosan untuk mengembalikan perekonomian nasional seperti sebelum krisis moneter terjadi. Berbagai kebijakan ditempuh oleh pemerintah untuk memulihkan perekonomian nasional, salah satu terobosan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mendorong perekonomian nasional adalah dengan melibatkan pihak swasta dalam bentuk investasi swasta. 2 Karena secara ekonomi penanaman modal merupakan langkah awal kegiatan produksi, sehingga investasi pada hakekatnya langkah awal kegiatan pembangunan ekonomi. 3 1
Yushfi Munif Nasution, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan, Tesis Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Tahun 2007, hal. 1. 2. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Menata Ke Depan perekonomian Nasional, ( Jakarta : Bappenas 1999 ) hal. 67. 3. Dumairy, Perekonomian Indonesia, ( Jakarta : Erlangga,1997) hal. 132.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
2
Pembangunan ekonomi yang melibatkan pihak swasta, baik yang berasal dari penanaman modal asing maupun modal dalam negeri mempunyai peranan penting dalam kegiatan perekonomian. Karena bagaimanapun juga pertumbuhan ekonomi terkait erat dengan tingkat penanaman modal, maka untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi diperlukan pula tingkat penanaman modal yang tinggi 4 . Investasi asing merupakan investasi yang dilaksanakan oleh pemilik-pemilik modal asing di dalam negeri untuk mendapatkan keuntungan dari usaha itu. Keuntungan dari adanya modal asing bagi Indonesia adalah sumber daya alam Indonesia, meningkatnya lapangan kerja dan terjadinya nilai tambah (value added), meningkatnya penerimaan sumber negara dari pajak, serta adanya alih teknologi. Bagi pemilik modal asing, keuntungan mereka berupa aliran deviden dari hasil usaha itu negara dimana modal ditanamkan ke negara dari mana modal itu berasal 5 . Manfaat penanaman modal asing adalah sebagai sumber modal, sumber pengetahuan, alih teknologi, sumber pembaruan proses dan produk, sumber kesempatan kerja. Sedangkan kerugian adanya penanaman modal asing adalah adanya persaingan perusahaan dalam negeri, persaingan merebut kredit dalam negeri, penanaman modal asing membawa keluar keuntungan hasil investasi yang lebih besar dari pada jumlah uang yang dibawanya sebagai modal, penanaman modal asing tidak menciptakan banyak kesempatan kerja, pengeksploitasian sumber daya alam oleh
4
Aloysius Uwiyono, “Implikasi Undang-Undang ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 Terhadap Iklim Investasi”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume. 22 No. 5 Tahun 2003, hal. 9. 5 Suparmono Irawan, Ekonomi Pembangunan ed.5, ( Yogyakarta : BPFE, 1996 ) hal. 87.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
3
penanaman modal asing, beberapa praktek kerja penanaman modal asing yang bertentangan dengan kepentingan nasional negara tuan rumah. 6 Di negara berkembang peranan penanaman modal asing sering menjadi objek yang kontroversial, di satu sisi, penanaman modal asing dibutuhkan karena kegiatan ekonomi dan pembangunan memerlukan modal, teknologi, pengetahuan (know how), keahlian dan jasa yang banyak. Di sisi lain untuk mengundang penanaman modal asing perlu diciptakan iklim bisnis yang menunjang, pembangunan sarana dan prasarana, pembenahan biokrasi, bahkan perlu juga memberikan insentif dan subsidi. Namun ada kekuatiran jangan-jangan penanaman modal asing akan menciptakan dominasi ekonomi oleh Perusahaan Multi Nasional (Multi National Corporation) 7 . Investasi asing tentu saja mengandung berbagai risiko dalam implementasinya baik pengaruhnya terhadap sumber-sumber ekonomi negara, maupun terhadap pangsa pasar domestik karena pada umumnya investasi juga dimaksud untuk mencari pasar di dalam negeri. Sebenarnya penanaman modal dalam negeri juga tidak kalah perannya dalam pengembangan perekonomian nasional suatu bangsa. Bahkan perannya dalam pertumbuhan ekonomi jauh lebih baik, karena sangat jarang terjadi pemindahan modal (Capital) dari dalam negeri ke luar negeri apabila dibandingkan dengan penanaman modal asing yang berbentuk perusahaan multinasional, hanya saja penanaman modal dalam negeri sangat sulit dikembangkan, karena adanya sejumlah
6 7
Nirwono, Ilmu Ekonomi Untuk Kontek Indonesia, ( Jakarta : LP3ES,1991) hal. 706 Suparmono Irawan, Op.cit, hal. 88.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
4
keterbatasan. Peranan pemerintah untuk mendorong penanaman modal dalam negeri dengan memberikan sejumlah kemudahan dan insentif yang lebih baik sangat diperlukan untuk mendorong pertumbuhan investasi, misalnya, dengan melimpahkan kewenangan pemberian persetujuan dan perizinan investasi ke daerah. Namun upaya pemerintah untuk meningkatkan penanaman modal swasta sepertinya belum menunjukkan perkembangan yang berarti. Hal ini dapat dilihat dari berkurangnya minat pihak swasta, baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri untuk melakukan penanaman modal di tanah air. Bahkan jumlah penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri mengalami penurunan dari waktu kewaktu, penurunan ini tidak terlepas dari berbagai faktor yang secara ekonomi tidak menguntungkan bagi para pelaku usaha untuk melakukan penanaman modal. Salah satu penyebab penurunan penanaman modal adalah tidak adanya kepastian hukum, regulasi yang berbelit-belit dengan kecendrungan menciptakan biokrasi yang makin panjang, padahal kebijaksanaan penanaman modal asing yang dikembangkan adalah meningkatkan penanaman modal secara cepat, tepat dan akurat dengan melimpahkan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengelola kebijakan di bidang penananam modal, sebagai bentuk komitmen dari pemerintah pusat untuk memberikan jaminan hukum kepada mereka yang ingin berinvestasi di daerah. 8
8
“Wewenang Investasi Limpahkan ke Aceh”, Waspada, Tanggal 18 September, 2007, hal.
17.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
5
Di berlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, dan Peraturan Pemerintah Nomor 25
tahun 2000 tentang Kewenangan
pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, ada sejumlah kewenangan yang telah diserahkan kepada daerah. Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah bahwa kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain. Sejak diberlakukannya otonomi daerah kewenangan pemerintah pusat berkaitan dengan penanaman modal berdasarkan ketentuan Pasal 3 angka (5) Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 adalah melakukan kerjasama dalam bidang penanaman modal dengan kabupaten dan kota. Meskipun Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah dicabut dan digantikan dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya telah dirubah dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, namun menurut ketentuan ini masalah penanaman modal tetap berada dalam Kewenangan pemerintah daerah yaitu “kewenangan pemerintah propinsi adalah memberi pelayanan administrasi penanaman modal
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
6
termasuk lintas kabupaten/kota” 9 , dan
di dalam Pasal 14 angka (1) huruf n
dinyatakan juga kewenangan pemerintah kabupaten/kota adalah ”memberikan pelayanan administrasi penanaman modal” 10 . Berkaitan dengan menurunnya jumlah penanaman modal tersebut presiden mengeluarkan Keputusan Presiden No. 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap. Kebijakan pelayanan satu atap (one roof servis) di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) merupakan pelayanan dan perizinan penanaman modal 11 . Dengan dikeluarkannya keputusan presiden ini menunjukkan bahwa otonomi daerah yang telah diberikan kepada daerah, maka pelaksanaannya menjadi tidak efektif dengan kata lain otonomi daerah menjadi salah satu penghambat penanaman modal di Indonesia atau dengan otonomi daerah seakan-akan dapat menyebabkan rusak dan berantakan sistem penanaman modal di Indonesia. Diaturnya pembagian kewenangan antar pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota seperti tersebut di atas, mengakibatkan tidak perlu lagi ada persoalan apakah otonomi akan diberikan di tingkat provinsi ataupun di tingkat kabupaten, karena baik provinsi maupun kabupaten/kota merupakan daerah otonom, mulai
9
Pasal 13 angka (1) huruf n. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Selanjutnya Dirubah Dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. 10 Pasal 14 angka (1) huruf n. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Selanjutnya Dirubah Dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. 11 “Keppres Investasi Satu Atap Disiapkan” Bisnis Indonesia, 26 Januari 2004, hal 10.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
7
dari pusat sampai ke daerah dapat mengalami penataan ulang untuk memenuhi tuntutan aspirasi reformasi, dan mendekatkan jarak pelayanan yang makin efesien dan trasparan kepada masyarakat. 12 Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) berpeluang maju dan berkembang dengan membuka seluas-luasnya peluang investasi untuk pembangunan di Aceh. Karena Aceh memiliki sumber daya alam yang besar, yang belum dikelola optimal oleh pemerintah dan swasta. Walaupun ada yang mengelola kekayaan alam, hanya demi mencari keuntungan bagi perusahaannya, bukan mensejahterakan rakyat Aceh. Untuk mencapai perekonomian Aceh baru yang modern dan kompetitif bukan hanya mimpi, tapi harus kerja keras dengan sinergi dan serius berusaha untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif, maka akan terbuka lebar jalan menuju kesejahteraan masyarakat Aceh yang lebih baik di masa mendatang. Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Aceh dalam kebijaksanaannya telah menetapkan strategi pembangunan yang akan dilaksanakan, antara lain adalah mengurangi penduduk miskin, meningkatkan peran Pemda dalam IndonesiaMalaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT), mempersiapkan Sumber Daya Manusia dan meningkatkan penyertaan modal swasta dalam bidang usaha yang strategis dan menyangkut kepentingan masyarakat. Untuk mendukung program tersebut, Pemerintah Daerah Istimewa Aceh mengupayakan melalui peningkatan dana
12
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, ( Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006) hal. 293.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
8
investasi baik yang bersumber dari dalam maupun dari luar negeri. Investasi ini dapat berupa investasi jangka panjang maupun investasi jangka pendek. Usaha pemerintah untuk mendorong para investor, tidak hanya menyediakan informasi yang telah terindikasi, tetapi juga memerlukan suatu informasi yang lebih konpherensif yang mendukung perkembangan potensi daerah seperti tersedianya sarana dan prasarana jalan, telepon, listrik, air minum, pasar, lahan, sistem transportasi, tenaga kerja, upah buruh, lembaga keuangan, kondisi sosial budaya, sistem perizinan, dan sebagainya. Calon investor dapat melakukan kalkulasi sejauh mana keuntungan komperatif dan kompetitif yang akan diperoleh seandainya menanam modal pada jenis bisnis tertentu. Potensi investasi ini menggambarkan secara umum keadaan potensi yang ada dan peluang investasi di Propinsi Daerah Istimewa Aceh, baik yang diusahakan oleh pemerintah maupun yang diusahakan oleh swasta dan masyarakat, baik berupa Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman Modal Asing (PMA). Untuk tercapainya iklim investasi yang dinamis sangat ditentukan beberapa faktor, seperti keamanan, stabilitas politik, infrastruktur memadai, dan yang sangat penting adalah regulasi dan insentif yang dapat diberikan pemerintah untuk mendukung investasi dan yang sangat penting adalah tersedianya sarana dan fasilitas yang dapat diberikan oleh Pemerintah maupun kemudahan administrasi (perizinan). Salah satu bagian dari proses penyelenggaraan penanaman modal, yaitu persetujuan dan perizinan penyelenggaraan penanaman modal dalam rangka penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri kembali di
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
9
sentralisasikan kepada pemerintah pusat. Sejak tanggal 12 april 2004 persetujuan dan perizinan penanaman modal disentralisasikan kepada pemerintah pusat dengan di tetapkan keputusan presiden No. 29 Tahun 2004 tersebut. Padahal sebelumnya persetujuan dan perizinan penanaman modal telah dilimpahkan kepada daerah-daerah dengan diberlakukan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah junto Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom. Bahkan untuk penanaman modal dalam negeri berdasarkan Keputusan Presiden No. 117 Tahun 1999 tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Presiden No. 97 Tahun 1993 Tentang Tata Cara Penanaman Modal, telah diserahkan kepada daerah, dimana untuk melaksanakan pelimpahan wewenang tersebut, Gubernur Kepala Daerah Propinsi dapat menugaskan Kepala Badan Koordinasi Penanaman modal Daerah (BKPMD). Dalam Pasal 30 angka (2) Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang selanjutnya disebut dengan UUPM, dinyatakan “Pemerintah daerah menyelenggarakan urusan penanaman modal yang menjadi kewenangannya, kecuali
urusan
penyelenggaraan
penanaman
modal
yang
menjadi
urusan
pemerintah”. 13 Di samping itu penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya lintas kabupaten/kota menjadi urusan pemerintah provinsi, 14 dan
13 14
Pasal 30 angka (2) UUPM Pasal 30 angka (5) UUPM
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
10
penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya berada dalam satu kabupaten/kota menjadi urusan pemerintah kabupaten/kota.15 Di satu sisi UUPM menyebutkan, pelayanan penanaman modal dilakukan dengan satu sistem pelayanan terpadu, tetapi disisi lain ada hal-hal tertentu yang diserahkan kepada instansi terkait dan atau pemerintah daerah. Sebagai tindak lanjut dari pembagian kewenangan tersebut pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah No 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintah Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah kabupaten/kota. Dalam Pasal 7 angka (1 dan 2) disebutkan urusan pemerintah yang wajib diselenggarakan oleh pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota berkaitan dengan pelayanan dasar, meliputi penanaman modal. Adanya kewenangan pemerintah daerah untuk mengatur dan mengelola penanaman modal di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dapat ditemukan pengaturannya di dalam Pasal 165 angka (2) Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh yang selanjutnya disebut UUPA, bahwa “ Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya, dapat menarik wisatawan asing dan memberikan izin yang terkait dengan investasi dalam bentuk penanaman modal dalam negeri, penanaman modal asing, ekspor dan impor dengan memperhatikan prosedur yang berlaku nasional”. 16 Dari isi pasal di atas dapat disimpulkan bahwa meskipun kewenangan pemberian izin penanaman modal berlaku
15 16
Pasal 30 angka (6) UUPM Pasal 165 angka (2) UUPA
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
11
secara sentralisasi, akan tetapi juga diberikan kewenangan desentralisasi kepada pemerintah daerah, baik di provinsi, kabupaten/kota untuk mengatur penanaman modal di daerahnya masing-masing menurut ketentuan yang berlaku. Namun dengan Keputusan Presiden No. 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap, pemerintah kembali memiliki kewenangan untuk memberikan persetujuan dan perizinan penanaman modal, sehingga menimbulkan perdebatan apakah kewenangan tersebut ada pada pemerintah pusat atau sebaliknya dilimpahkan kepada daerah. Maka perlu adanya kejelasan tentang kewenangan pemberian pesetujuan dan perizinan penanaman modal demi menciptakan hukum yang lebih adil, bermanfaat dan memberikan kepastian hukum. Persoalan lain yang dihadapi adalah, walaupun telah terdapat instrumen hukum, akan tetapi instrumen hukum tersebut memiliki kerancuan terutama sumber legitimasi wewenang antara pemerintah dengan pemerintah daerah di bidang yang berkaitan dengan penanaman modal. Selain itu pemikiran pemerintah daerah terhadap otonomi daerah masih lebih banyak dilihat dari aspek adanya wewenang pemerintah daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya, tanpa membedakan antara wewenang mengatur dan mengurus. Padahal antara kedua konsep diatas memiliki pengertian yang berbeda. Mengatur berarti menciptakan norma hukum yang berlaku umum dan bersifat abstrak, sementara mengurus berarti menciptakan norma hukum yang berlaku
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
12
individual dan bersifat konkret, dengan kata lain dari wewenang mengatur melahirkan produk hukum yang bersifat mengatur dan wewenang mengurus melahirkan produk hukum yang bersifat keputusan/ketetapan. 17 Senada dengan hal itu Bangir Manan menyatakan persoalan hubungan wewenang antara pemerintah dengan pemerintah daerah pada negara dengan susunan organisasi desentralistik timbul karena perlaksanaan wewenang pemerintahan tidak hanya dilakukan oleh satu pusat pemerintahan, selain pemerintah terdapat satuan pemerintahan daerah yang melaksanakan urusan otonominya. 18 Penetapan peraturan daerah oleh pemerintahan daerah dalam rangka mengatur daerah, terutama peraturan daerah yang berkaitan dengan penanaman modal melahirkan masalah hukum apabila dilihat dari aspek wewenang, asas hukum dan kepentingan mansyarakat dan negara. Berdasarkan fenomena ini dalam kenyataannya melahirkan keengganan investor untuk berinvestasi.
B. Permasalahan Dari latar belakang masalah yang diuraikan di atas, ada beberapa permasalahan yang akan diteliti yaitu: 1. Bagaimana wewenang pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal dengan sistem desentralisasi dan sistem sentralisasi?
17
Murtir Jeddawi, Memacu Investas Di Era Otonomi Daerah, ( Yogyakarta : UII Press, 2006)
hal 16-17 18
Bangir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, ( Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1994) hal. 16
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
13
2. Bagaimana pelimpahan wewenang pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal? 3. Bagaimana pelaksanaan kewenangan pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penilitian ini adalah: 1. Untuk menjelaskan wewenang pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal dengan sistem desentralisasi dan sentralisasi. 2. Untuk menjelaskan pelimpahan wewenang pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. 3. Untuk menjelaskan pelaksanaan kewenangan pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).
D. Manfaat Penelitian Kegunaan dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk : 1. Kegunaan Teoritis Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi peningkatan dan pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum, khususnya
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
14
hukum penanaman modal, terutama berkaitan dengan kewenangan pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal di Indonesia. 2. Kegunaan Praktis Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat, khususnya pihak yang sering terlibat dalam kegiatan penanaman modal baik biokrasi pemerintah, investor, maupun pihak-pihak lain yang berhubungan dengan kegiatan penanaman modal.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan, Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa penelitian tentang “ Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No.25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal ( Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ) ” belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama. Jadi peneilitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, obyektif dan terbuka, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas masukan serta saran-saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan perumusan masalah.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
15
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka teori Istilah penanaman modal atau investasi berasal dari bahasa Latin, yaitu Investire (memakai), sedangkan dalam bahasa Inggris disebut dengan Investment. Para ahli memiliki pandangan yang berbeda mengenai konsep teoritis tentang penanaman modal. Menurut Fitzgeral sebagaimana dikutip oleh Salim HS mengartikan investasi atau penanaman modal adalah “Aktivitas yang berkaitan dengan usaha penarikan sumber-sumber (dana) yang dipakai untuk mengadakan barang modal pada saat sekarang, dan dengan barang modal akan dihasilkan aliran produk baru di masa yang akan datang. 19 ” Dalam definisi ini investasi atau penanaman modal dikontruksikan sebagai sebuah kegiatan untuk: 1. Penarikan sumber dana yang digunakan untuk pembelian barang modal, dan 2. Barang modal ini akan dihasilkan produk baru. Definisi lain tentang investasi dikemukakan oleh Kamaruddin Ahmad, “investasi adalah menempatkan uang atau dana dengan harapan untuk memperoleh tambahan atau keuntungan tertentu atas uang atau dana tersebut”. 20 Dalam pengertian ini investasi difokuskan pada penempatan uang atau dana. Tujuannya adalah untuk memperoleh keuntungan, ini erat kaitannya dengan penanaman modal di pasar modal.
19
Salim HS dan Budi Sutrisno, Hukum Investasi Di Indonesia, ( Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2008 ) hal. 31. 20 Kamaruddin Ahmad, Dasar-Dasar Manajemen Investasi ( Jakarta : Rineka Cipta, 21996 ) hal. 3.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
16
Dalam Ensiklopedia Indonesia investasi atau penanaman modal diartikan yaitu “Penanaman uang atau modal dalam proses produksi (dengan pembelian gedung-gedung, permesinan, bahan cadangan, penyelenggaraan uang kas serta perkembangannya). Dengan demikian cadangan modal barang diperbesar sejauh tidak ada modal barang yang harus diganti”. 21 Hakikat investasi dalam definisi ini adalah penanaman modal untuk proses produksi. Ini berarti bahwa investasi ditanamkan hanya untuk proses produksi semata-mata, padahal dalam kegiatan investasi tidak hanya ditujukan untuk proses produksi saja tetapi juga kegiatan untuk membangun berbagai sarana dan prasarana yang menunjang investasi. Dalam Pasal 1 angka 1 UUPM menyebutkan pengertian penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan penanaman modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia. 22 Dapat disimpulkan berdasarkan pandangan para ahli dan definisi rumusan UUPM di atas investasi adalah penanaman modal yang dilakukan oleh investor, baik investor asing maupun domestik dalam berbagai bidang usaha yang terbuka untuk investasi dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan. Pada dasarnya negara-negara yang sedang berkembang sangat membutuhkan investasi atau penanaman modal, khususnya investasi asing. Tujuan investasi ini 21
Ensiklopedia Indonesia, (Jakarta : Ichtiar Baru - Van Hoeven dan Elsevier Publishing Project, 1970) hal. 32. 22 Pasal 1 angka 1 UUPM.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
17
adalah mempercepat laju pembangunan di negara tersebut. Pada umunya, yang memiliki modal atau investasi adalah negara-negara yang sudah maju. Pertanyaannya adalah mengapa negara-negara yang sudah maju menanamkan modalnya di negaranegara yang sedang berkembang. Ada dua teori yang menanalisis faktor tersebut yaitu: 1. The Product Cycle Theory (teori siklus produk) The product cycle theory atau teori siklus produk ini di kembangkan Reymond Vernon (1966). Teori ini paling cocok diterapkan pada investasi asing secara langsung (forieng direc investment) dalam bidang manufacturing, yang merupakan usaha ekspansi awal perusahaan-perusahaan Amerika atau disebut juga investasi horizontally integrated, yakni pendirian pabrik-pabrik untuk membuat barang-barang yang sama atau serupa di mana-mana. The product cycle theory menyatakan bahwa setiap teknologi atau produk berevolusi melalui tiga fase yaitu: Pertama, fase permulaan, fase ini cendrung bertempat di negara-negar maju atau negara-negara industri maju seperti, Amerika serikat, Jepang, di mana perusahaanperusahaan
di
negara
tersebut
mempunyai
keunggulan
komparatif
dalam
mengembangkan produk-produk baru dan proses-proses industri karena adanya permintaan pasar dalam negeri yang besar dan banyaknya persediaan sumber produksi untuk aktifitas-aktifitas inovatif. Selama fase ini perusahaan-perusahan negara maju menikmati suatu posisi monopoli, terutama karena teknologinya. Karena permintaan dari luar negeri akan produk-produk mereka meningkat, perusahaan-
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
18
perusahaan pertama kali mengekspor produknya ke pasar luar negeri. Namun tidak lama kemudian terjadi penyebaran teknologi ke para pesaing luar negeri yang potensial, adanya rintangan dagang yang meningkat memaksa diadakannya usaha produksi barang-barang yang sama di luar negeri. Kedua, fase kedua, proses manufacturing terus berkembang dan tempat produksi cendrung berkembang di negara-negara maju lainnya. Ketiga, fase ketiga, dalam fase ini adanya standarisasi
proses menufacturing
memungkinkan peralihan lokasi-lokasi produksi ke negara-negara yang sedang berkembang, terutama negara-negara industri baru yang mempunyai keunggulan komparatif berupa tingkat upah yang rendah. 23 Singkatnya The product cycle theory membantu menjelaskan sebab-sebab adanya ciri-ciri penting ekonomi dunia kontemporer, yakni perusahaan multinasional dan persaingan oligopoli, perkembangan dan penyebaran teknologi industri merupakan unsur penentu utama terjadinya perdagangan dan penempatan lokasilokasi aktivitas ekonomi secara global melalui investasi dan timbulnya strategi perusahaan yang mengintegrasikan perdagangan dan produksi di luar negeri. 2. The Industrial Organization Theory of Vertical Intergration ( Teori Organisasi Industri Integrasi Vertikal). Teori
ini
paling
cocok
diterapkan
pada
new
multinationalisme
(multinasionalisme baru) dan pada investasi yang terintegrasi secara vertikal, yakni
23
Salim HS dan Budi Sutrisno, Op. cit., hal. 157- 160.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
19
produksi barang-barang di beberapa pabrik yang menjadi input bagi pabrik-pabrik lain dari satu perusahaan. Pendekatan teori ini berawal dari pemahaman biaya-biaya untuk melakukan bisnis di luar negeri (dengan Investasi) harus mencakup biaya-biaya lain yang harus dipikul oleh perusahaan lebih banyak dari pada biaya-biaya yang diperuntukkan hanya sekedar mengekspor barang-barang dari pabrik dalam negeri. Oleh karena itu perusahaan itu harus memiliki keunggulan kompensasi atau keunggulan spesifik bagi perusahaan, seperti keahlian teknis manajerial. Dapat disimpulkan menurut The Industrial Organization Theory of Vertical Intergration atau Teori Organisasi Industri Integrasi Vertikal bahwa investasi dilakukan dengan cara integrasi secara vertikal, yakni dengan menempatkan beberapa tahapan produksi di beberapa lokasi berbeda-beda di seluruh dunia. 24 Di era globalisasi perdagangan ini para investor makin leluasa dalam berinvestasi, untuk itu penerima modal harus menyiapkan berbagai sarana dalam menarik investor. Sejalan dengan arus liberalisasi perdagangan dan investasi yang merupakan konskuensi dari kemajuan luar biasa dalam teknologi, maka investasi di harapkan akan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Adam Smith (1723-1790), guru besar dalam bidang filosofis moral dari Glasgow University pada Tahun 1750, sekaligus sebagi ahli teori hukum, Bapak ekonomi modern dengan karyanya yang cukup terkenal, An Inquiry to the Nature and Causes of The Wealth Nation, mengemukakan bahwa untuk mencapai pertumbuhan 24
Erman Rajagukguk dkk, Hukum Investasi, ( Jakarta : UI Press, 1995 ) hal. 5-6.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
20
ekonomi suatu negara diperlukan dua kondisi yakni desentralisasi kekuasaan dan ekonomi pasar, sehingga akan mampu mendorong rasa percaya diri suatu negara, kemauan menabung, menanamkan modal dan melakukan inovasi. Lebih jauh dikatakan bahwa kebebasan untuk mencapai kepentingan pribadi tidak boleh dikekang oleh negara, selama mekanisme pasar berlangsung maka tindakan individu yang didorong oleh kepentingan sendiri akan berjalan bersamaan dengan kebutuhan orang banyak 25 . Menurur Burg’s sebagaimana dikutip oleh Bismar Nasution supaya suatu sistem ekonomi berfungsi maka ada beberapa unsur kualitas hukum yang harus dipenuhi yaitu: 1. Stabilitas (stability) dimana hukum berpotensi untuk menjaga keseimbangan dan mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. 2. Meramalkan (predictability) berfungsi untuk meramalkan akibat dari suatu langkah-langkah yang diambil khususnya penting bagi negara yang sebagian besar rakyatnya untuk pertama kalinya memasuki hubungan-hubungan ekonomi melampaui lingkungan sosial dan tradisional.
25
Mahmul Siregar, Perdagangan Internasional Dan Penanaman Modal: Studi Kesiapan Indonesia Dalam Perjajian Investasi Multilateral, ( Medan : Universitas Sumatera Utara, 2005 ) hal.18.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
21
3. Keadilan (firness) seperti perlakuan yang sama dan standar pola tingkah laku pemerintah yang diperlakukan untuk menjaga mekanisme pasar dan mencegah biokrasi yang berlebihan. 26 Pemerintah Indonesia telah melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi salah satunya membenahi peraturan-peraturan penanaman modal yang berkaitan langsung dengan kegiatan penanaman modal. Upaya-upaya ini dilakukan melalui serangkaian deregulasi baik di sektor perdagangan maupun di sektor penanaman modal. Jika ditelusuri deregulasi-deregulasi tersebut, maka kebijakan yang ditempuh dalam rangka deregulasi meliputi pemberian kemudahan bagi para investor, salah satunya upaya dari pemerintah dengan hadirnya UndangUndang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang selanjutnya disebut dengan UUPM, UUPM menjadi payung hukum dari penanaman modal atau investasi di Indonesia. Tujuan dari undang-undang ini adalah meningkatkan daya saing Indonesia di pasar global yang merosot sejak terjadi krisis moneter. Dengan diundangkannya UUPM pada Tahun 2007 secara normatif tentu akan menarik bagi calon investor untuk menanamkan modalnya. Disebut demikian, karena dalam undang-undang ini tidak dibedakan lagi perlakuan antara penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri. Hal ini sejalan dengan adanya perjanjian
26
Bismar Nasution, Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan pembangunan Ekonomi, Pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Ilmu Hukum Ekonomi Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan Tanggal 17 April 2004, hal 11-12.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
22
multilateral Agreement on Trade Related Investment Measures (TRIMs), melarang adanya diskriminasi terhadap investor asing dan lokal. 27 Pemerintah menyebutkan sasaran utama UUPM adalah menciptakan iklim investasi yang kondusif. Salah satu caranya adalah adanya jaminan kepastian hukum bagi investor, adanya kejelasan dari pemerintah pusat untuk melimpahkan wewenang penyelenggaraan penanaman modal kepada pemerintah daerah, khususnya wewenang pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal bisa dilimpahkan kepada daerah. Dengan kata lain wewenang di daerah dilakukan menurut wewenang yang ada. Maka harus ada koordinasi antar pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam hal investasi agar pengusaha atau investor tidak dirugikan.
2. Landasan Konsepsional Untuk mengarahkan penelitian ini ada beberapa landasan konsepsional yang dipergunakan, diantaranya adalah: a. Kewenangan Kewenangan adalah kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu yaitu tindakan-tindakan yang dimaksud untuk menimbulkan akibat hukum, yang mencakup timbul dan lenyapnya akibat hukum tertentu. Hak berisi kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau menuntut pihak lain untuk
27
Sentosa Sembiring, Hukum Investasi, ( Bandung : Nuasa Aulia, 2007 ) hal. 105.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
23
melakukan tindakan tertentu, sedangkan kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu. 28 Menurut Bagir Manan, wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat dan tidak berbuat. Dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban (rechten en plichten). Dalam kaitan dengan otonomi daerah, hak mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri dan mengelola sendiri, sedangkan kewajiban secara horizontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya. Secara vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam satu tertib ikatan pemerintahan negara secara keseluruhan. 29
b. Persetujuan dan Perizinan Penanaman Modal Izin merupakan perbuatan hukum administrasi negara bersegi satu yang mengaplikasikan peraturan hukum dalam hal konkreto berdasarkan persyaratan dan prosedur sebagaimana ditetapkan oleh ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dengan kata lain izin berfungsi sebagai pengendali kegiatan agar kegiatan usaha tersebut tidak melanggar kepentingan yang dilindungi oleh hukum. 30 Menurut Aminuddin Ilmar pengertian izin adalah kewenangan pemerintah untuk mengatur sesuatu hal yang berhubungan dengan peran atau tugasnya. Izin 28
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2006) hal.
102. 29
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, ( Jakarta : UII Press Indonesia, 2002 ) hal. 73. Alvi Syahrin, Pengaturan Hukum Dan Kebijakan Pembangunan Perumahan Dan Permukiman Berkelanjutan ( Medan : Pustaka Bangsa Press, 2003 ) hal. 167 30
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
24
adalah salah satu instrumen yang paling banyak digunakan dalam hukum administrasi.
Pemerintah
menggunakan
izin
sebagai
sarana
yuridis
untuk
mengemudikan tingkah laku para warganya. 31 Pengertian persetujuan penanaman modal yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pengertian persetujuan yang terdapat dalam Keputusan Presiden No. 29 Tahun 2004. Dimana dirumuskan persetujuan penanaman modal adalah persetujuan yang diberikan dalam rangka pelaksanaan penanaman modal yang berlaku pula sebagai persetujuan prinsip fasilitas fiskal dan persetujuan prinsip/izin usaha sementara sampai dengan memperoleh izin usaha tetap. 32 Pengertian perizinan pelaksanaan persetujuan penanaman modal yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pengertian perizinan sebagaimana yang terdapat dalam Keputusan Presiden No. 29 Tahun 2004. Rumusan perizinan penanaman modal adalah “perizinan pelaksanaan persetujuan penanaman modal adalah izin-izin yang diperlukan untuk pelaksanaan lebih lanjut atas surat persetujuan penanaman modal”. 33 Dari berbagai rumusan tentang yang dimaksud dengan izin, maka dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya izin merupakan kewenangan pemerintah, sehingga dalam hal pemberian izin peranan pemerintah menjadi sangat menentukan. 31
Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal Di Indonesia, ( Jakarta : Prenada Media Group, 2007 ) hal. 131-132. 32 Pasal 1 angka 3 Keputusan Presiden No. 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap 33 Pasal 1 angka 4 Keputusan Presiden No. 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
25
c. Penanaman modal Pengertian penanaman modal yang dipergunakan dalam penelitian ini berdasarkan Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. rumusannya adalah “Penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia”. 34 Pengertian penanaman modal dalam negeri yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pengertian penanaman modal dalam negeri berdasarkan UUPM. Adapun yang dimaksud dengan penanaman modal dalam negeri adalah “ kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal dalam negeri dengan menggunakan modal dalam negeri”. 35 Pengertian penanaman modal asing yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pengertian penanaman modal asing yang terdapat dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang penanaman modal, bahwa pengertian penanaman modal asing adalah “kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri”. 36
34
Pasal 1 angka (1) UUPM Pasal 1 angka (2) UUPM 36 Pasal 1 angka (3) UUPM 35
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
26
d. Sistem Desentralisasi Sistem Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur atau mengurus pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 37 Dalam sistem desentralisasi wilayah negara dibagi menjadi daerah-daerah otonom yang diberi wewenang tertentu untuk mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-perundangan yang berlaku. Sebagian urusan pusat diserahkan kepada daerah otonom untuk menjadi urusannya sendiri. Bentuk negara semacam ini nampaknya lebih cocok dengan perkembangan politik global sekarang yang mengakomodasi gagasan demokratisasi, karena desentralisasi memungkinkan partisipasi berbagai elemen masyarakat di tiap daerah di dalam urusan-urusan kenegaraan.
e. Sistem sentralisasi Sistem sentralisasi adalah memusatkan seluruh wewenang kepada pemerintah pusat atau yang berada di posisi puncak pada suatu struktur organisasi. Dengan kata lain dalam sentralisasi segala urusan dilakukan langsung oleh pemerintah pusat yang
37
Pasal 1 angka (7) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Selanjutnya Dirubah Dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah .
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
27
disebarkan ke seluruh wilayah negara, sentralisasi banyak digunakan pada pemerintahan lama di Indonesia sebelum adanya otonomi daerah. 38
G. Metode Penelitian Untuk menjawab permasalahan yang timbul dari latar belakang permasalahan, maka penentuan metode penelitian sangatlah penting untuk menjawab permasalahan tersebut. Pentingnya metode penelitian tidak hanya diperlukan di saat permulaan penelitian
tetapi juga dipergunakan di akhir penelitian. 39 Maka oleh karena itu
metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process). 40 Penelitian hukum normatif didasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teori dan analisis normatif kualitatif. Adapun data yang digunakan dalam menyusun penulisan ini diperoleh dari penelitian kepustakaan (Library research), sebagai suatu teknis pengumpulan data dengan memanfaatkan berbagai literatur berupa peraturan perundang-undangan,
38
Riset Aceh Institute,“Pemetaan Kewenangan Pemerintahan Aceh Berdasarkan UU No. 11 Tahun 2006”, http:// www.acehinstitute.org/Riset_UU_No_112006”, diakses Tanggal 14 Februari 2008. 39 Myra A. Harris, Legal Reseacrh, ed.10, ( New York : Prentice Hall, 1997 ) hal. 2 40 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, ( Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2006 ) hal. 118
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
28
buku-buku, karya-karya ilmiah, bahan kuliah, putusan pengadilan, wawancara serta sumber data sekunder lain yang dibahas oleh penulis. Digunakan pendekatan yuridis normatif karena masalah yang diteliti berkisar mengenai keterkaitan peraturan yang satu dengan yang lain. Jadi dapat disimpulkan bahwa metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang merupakan suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Logika keilmuan dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri 41 .
1. Tipe atau Jenis Penelitian Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah atau norma-norma dalam hukum positif. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Tujuan penelitian deskriptif adalah menggambarkan secara tepat, sifat individu, suatu gejala, keadaan atau kelompok tertentu 42 . Deskriptif analitis berarti bahwa penelitian ini menggambarkan dan menganalisis suatu peraturan hukum dalam konteks teori-teori dan norma-norma hukum di bidang penanaman modal terutama terkait dengan
41
Jhonny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, ( Malang : Bayumedia Publishing, 2006) hal. 57 42 Kontjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, ( Jakarta : PT. Gramedia, 1997 ) hal. 42
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
29
pelimpahan kewenangan pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal menurut UU No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal.
2. Pendekatan Masalah Pendekatan yang digunakan adalah perundang-undangan (Statute approach). Penelitian ini menggunakan pendekatan tersebut karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang berkaitan dengan masalah kewenangan pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal, baik terhadap penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri kemudian dihubungkan dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait. Analisis hukum yang dihasilkan oleh suatu penelitian hukum normatif yang menggunakan pendekatan perundang-undangan, akan menghasilkan suatu penelitian yang akurat.
3. Sumber Data Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder, yang meliputi: a. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan tentang penanaman modal, antara lain Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, UndangUndang No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan, antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota,
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
30
Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenagan Propinsi Sebagai Daerah Otonom, Keputusan Presiden No. 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap, serta berbagai keputusan preseiden yang terkait dengan penelitian ini. b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil penelitian, tesis, disertasi, putusan pengadilan, artikelartikel hukum di majalah, surat kabar, serta bahan dokumen-dokumen lainnya yang berkaitan dengan penanaman modal. c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap data primer dan data sekunder seperti, seperti kamus hukum, kamus bahasa Belanda dan Indonesia, kamus bahasa Inggris dan Indonesia, ensiklopedia, dan lain-lain.
4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan melalui: 1. Studi kepustakaan (Library research). Sehubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini, maka pengumpulan data dilakukan akan dilakukan melalui studi kepustakaan, dikumpulkan melalui studi literatur, dokumen dan dengan mempelajari ketentuan peraturan perundangundangan, buku-buku hukum, artikel, literatur yang berhubungan dengan kewenangan pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
31
2. Wawancara (Interview). Di samping studi kepustakaan, data pendukung juga diperoleh dengan melakukan wawancara dengan pejabat Kantor Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan investor atau penanam modal di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
5. Analisa Data Seluruh data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan selanjutnya akan ditelaah dan dianalisis. Analisis untuk data kualitatif dilakukan dengan cara memilih pasalpasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur tetang
kewenangan
pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal, kemudian membuat sistematika dari pasal-pasal tersebut sehingga akan menghasilkaan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian yang sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data, selanjutnya semua data diseleksi dan diolah kemudian dianalisis seraca deskriptif sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan diharapkan juga dapat memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
32
BAB II WEWENANG PEMBERIAN PERSETUJUAN DAN PERIZINAN PENANAMAN MODAL DENGAN SISTEM DESENTRALISASI DAN SISTEM SENTRALISASI
A. Pengertian Wewenang Pemberian Persetujuan dan Perizinan Penanaman Modal Dengan Sistem Desentralisasi Dan Sistem Sentralisasi Istilah “desentralisasi dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah “decentralization”
dan
dalam
bahasa
Belanda
disebut
dengan
istilah
“decentralisatie”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian desentralisasi adalah “ tata pemerintah yang lebih banyak memberikan kekuasaan kepada pemerintah daerah atau penyerahan sebagian wewenang pimpinan kepada bawahan”. 43 Sementara itu rumusan pengertian desentralisasi dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia “Desentralisasi adalah cara pemerintahan yang lebih banyak memberikan kekuasaan kepada pemerintah daerah.” 44 Secara yuridis pengertian desentralisasi terdapat dalam peraturan perundangundangan, yaitu Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, pada Pasal 1 huruf a yang menyebutkan “Desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah atau Daerah tingkat atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya”. 45 43
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet.3, ( Jakarta, Balai : Pustaka, 1970 ) hal. 201. 44 WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, cet.5, (Jakarta : Balai Pustaka, 1976 ) hal 247. 45 Pasal 1 huruf a Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
33
Pengertian desentralisasi juga terdapat dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, rumusannya adalah “Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia”. 46 Pengertian desentralisasi juga bisa ditemukan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya dirubah dengan Undang-Undang No 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang rumusannya yaitu “ Penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalan sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.” 47 Menurut Bagir Manan bahwa desentralisasi akan didapati apabila wewenang mengatur dan mengurus penyelenggaraan pemerintahan tidak semata-mata dilakukan oleh pemerintah pusat, melainkan oleh satuan-satuan pemerintahan tingkat yang lebih rendah (zelfstanding), bersifat otonom (teritorial ataupun fungsional). 48
46
Pasal 1 huruf e Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Selanjutnya Dirubah Dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. 48 Bagir Manan, Menyonsong Fajar Otonomi Daerah, cet.I, ( Yogyakarta : Pusat Studi Hukum UII, 2001 ) hal. 174. 47
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
34
Bagir Manan juga menegaskan dilihat dari pelaksanaan fungsi pemerintahan, desentralisasi atau otonomi menunjukkan: 1. Satuan-satuan desentralisasi (otonom) lebih fleksibel dalam memenuhi berbagai perubahan yang terjadi dengan cepat. 2. Satuan-satuan desentralisasi (otonom) dapat melaksanakan tugas lebih efektif dan lebih efisien. 3. Satuan-satuan desentralisasi (otonom) lebih inovatif. 4. Satuan-satuan desentralisasi mendorong tumbuhnya sikap moral yang lebih tinggi, komitmen yang lebih tinggi, dan lebih produktif. 49 Menurut The Liang Gie bahwa konsepsi desentralisasi dalam konteks Negara Republik Indonesia meliputi pokok-pokok pikiran sebagai berikut: a. Pengertian Desentralisasi. Desentralisasi sebagai suatu sistem ketatanegaraan adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada satuan-satuan organisasi pemerintah untuk menyelenggarakan segenap kepentingan setempat dari sekelompok penduduk yang mendiami suatu wilayah. b. Dasar Desentralisasi. Desentralisasi perlu diselenggarakan oleh Negara Republik Indonesia karena bentuk negara kesatuan yang dianutnya mencakup pelbagai faktor geografis, ekonomis, sosiologis, politis, psikologis, historis dan kulturis yang berbeda-beda dari wilayah ke wilayah. c. Maksud Desentralisasi. desentralisasi terutama dimaksudkan untuk memupuk kesadaran bernegara dan berpemerintahan sendiri di kalangan rakyat Indonesia serta membangun negara seluruhnya, khususnya pembangunan ekonomi. d. Tujuan Desentralisasi. Pemerintah daerah sebagai perwujudan desentralisasi bertujuan mengusahakan tercapainya tujuan Negara Republik Indonesia yaitu suatu masyarakat sosialis yang penuh dengan kebahagiaan materiil dan sprituil. 50 Pada bagian lain The Liang Gie menyebutkan bahwa ada sejumlah alasan dianutnya desentralisasi, yaitu:
49
Ibid. hal 174-175. The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintah Daerah di Negara Republik Indonesia, Jilid III, (Djakarta : PT.Gunung Agung, 1968) hal 56. 50
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
35
Pertama,
dilihat
dari
sudut
politik
sebagai
permainan
kekuasaan,
desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekuasaan pada satu pihak saja yang pada akhirnya akan menimbulkan tirani. Kedua, masih dalam bidang politik ada pendapat yang memandang perlunya desentralisasi dari segi demokrasi, penyelenggaraan desentralisasi dianggap sebagai tindakan pendemokrasian untuk menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan dalam melatih diri dalam mempergunakan hak-hak demokrasi. Ketiga, dari sudut organisatoris pemerintahan, alasan mengadakan pemerintah daerah adalah semata-mata untuk mencapai suatu pemerintah yang efesien. Hal-hal yang tepat diurus oleh pemerintah pusat diurus oleh pemerintah pusat dan hal-hal yang tepat diurus oleh pemerintah daerah diurus oleh pemerintah daerah. Keempat, dari sudut kultural, adanya kekhususan-kekhususan pada suatu daerah seperti corak geografis, keadaan penduduk, kegiatan ekonomi, watak, budaya, atau latar belakang sejarah mengharuskan dilaksanakan desentralisasi. Kelima, sudut pandang yang relatif baru yang melihat penyelenggaraan desentralisasi dari kepentingan pembangunan ekonomi, dan pemerintah daerah dapat berperan banyak dalam pembangunan ekonomi. 51 Berkaitan dengan desentralisasi pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal, maka yang dimaksud dengan desentralisasi pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal adalah kewenangan untuk memberikan persetujuan dan perizinan untuk pelaksanaan penanaman modal, baik penanaman modal asing 51
Ibid, hal 35-41.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
36
atau penanaman modal dalam negeri berada ditangan pemerintah daerah. Desentralisasi pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal di daerah merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mendekatkan pelayanan penanaman modal kepada masyarakat. Di samping itu dikenal pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal dengan sistem sentralisasi. Istilah sentralisasi dalam bahasa Inggris dipergunakan dengan istilah “sentralization” dalam bahasa Belanda dipergunakan istilah “centralizatie”. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian sentralisasi dirumuskan sebagai berikut “sentralisasi adalah penyatuan segala sesuatu ke suatu tempat (daerah) yang dianggap sebagai pusat, penyentralan, pemusatan.” 52 Sementara itu dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia pengertian sentralisasi adalah“Sentralisasi: Pemusatan (kekuasaan, pemerintahan dan sebagainya).” 53 Dalam kaitannya dengan sentralisasi penanaman modal, maka sentralisasi berarti penyelenggaraan penanaman modal yang ditangani oleh pemerintah pusat tanpa melibatkan pemerintah daerah. Sentralisasi penanaman modal menunjukkan bahwa semua hal, baik promosi penanaman modal, penentuan kebijakan penanaman modal, persetujuan dan perizinan penanaman modal, hingga perubahan penanaman modal harus dilakukan oleh pemerintah pusat. Demikian halnya dengan sentralisasi pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal, maka yang dimaksud dengan sentralisasi pemberian persetujuan
52 53
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Op.cit, hal 201. WJS. Poerwadarminta. Op,cit, hal 919.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
37
dan perizinan penanaman modal adalah kewenangan untuk memberikan persetujuan dan perizinan penanaman modal berada di tangan pemerintah pusat. Di sini daerah tidak mempunyai peran dalam hal penentuan kebijakan di bidang penanaman modal, semuanya merupakan kebijakan dari pemerintah pusat.
B. Sejarah dan Perkembangan Desentralisasi Dan Sentralisasi Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Penanaman modal di Indonesia dimulai dengan diundangkannya UndangUndang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Nageri. Perkembangan kedua undang-undang tersebut menyusul tampilnya rezim orde baru sebagai pemegang tampuk kekuasaan pemerintahan. Kedua peraturan perundang-undangan tersebut kemudian dilengkapi dan disempurnakan pada Tahun 1970, dimana Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 disempurnakan dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 1970 dan Undang-Undang No. 6 Tahun 1968 disempurnakan dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 1970. 54 Dalam Sejarah ketatanegaraan Indonesia sistem pemerintah sentralisasi mengalami perjalanan panjang, namun sistem sentralisasi perubahan pada saat reformasi Tahun 1998. Sebelumnya pemerintah yang sangat sentralistik bertahan dan dipraktekkan di Indonesia dalam jangka waktu yang sangat lama. Sehingga dengan reformasi terbentuklah pemerintahan dengan sistem desentralisasi di Indonesia.
54
Dumairy, Op.cit, hal. 132.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
38
Perubahan sistem pemerintah dari sentralisasi menuju desentralisasi ikut berpengaruh terhadap mekanisme penanaman modal di Indonesia. Demikian halnya dengan persetujuan dan perizinan penanaman modal baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri mengalami perubahan dari sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi. Desentralisasi persetujuan dan perizinan penanaman modal berdasarkan regulasi, dalam rangka penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri mengalami perubahan dan perkembangan sebagai berikut:
1. Keputusan Presiden No. 21 Tahun 1973 Desentralisasi persetujuan dan perizinan penanaman modal mulai dikenal dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 21 Tahun 1973 tentang Tata Cara Penanaman Modal. Desentralisasi persetujuan dan perizinan penanaman modal ini hanya diperuntukkan untuk penanaman modal dalam negeri, sedangkan untuk persetujuan dan perizinan penanaman modal asing masih bersifat sentralisasi. Adapun prinsip-prinsip desentralisasi persetujuan dan perizinan penanaman modal dalam negeri berdasarkan Keputusan Presiden tersebut adalah: Ketentuan pokok tentang Tata Cara Permohonan Penanaman Modal Dalam Negeri diatur sebagai berikut: a. Calon penanam modal yang akan mengadakan usaha dalam rangka penanaman modal dalam negeri menyatakan minatnya dengan menghubungi BKPM daerah untuk memperoleh keterangan mengenai kemungkinan penanaman modal di bidang usaha tertentu.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
39
b. Setelah calon penanaman modal mendapatkan keterangan-keterangan tentang terbukanya bidang usaha, maka calon penanam modal menghubungi Notaris untuk menyelesaikan Akte Notaris guna pendirian Badan Hukum, kecuali bagi penanam modal yang telah mempunyai bidang usaha berbentuk Badan Hukum. c. Setelah memperoleh Akte Notaris pembentukan Badan Hukum, calon penanam modal mengajukan permohonan kepada BKPM Daerah untuk memperoleh: 1. Izin Usaha Sementara 2. Izin Penggunaan Tanah Sementara 3. Izin bangunan Sementara 4. Izin Undang-undang Gangguan Sementara Dengan mengisi formulir sesuai dengan bentuk dan tata cara yang akan diatur lebih lanjut oleh Ketua BKPM Pusat. d. Penyelenggaraan untuk memperoleh izin-izin tersebut diatas ad. c Pasal ini, dikordinir oleh BKPM Daerah. e. Tembusan Izin-izin Sementara tersebut ad.c Pasal ini yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah dan oleh Perwakilan Departemen yang bersangkutan di Pusat. f. Dalam hal calon penanam modal akan melakukan usahannya tanpa memerlukan fasilitas/keringan fiskal dalam rangka penanaman modal dalam negeri, maka calon tersebut mengajukan permohonan kepada BKPM Daerah untuk memperoleh izin usaha tetap. g. Permohonan penanam modal ad. f Pasal ini, diteruskan oleh BKPM Daerah kepada BKPM Pusat, dengan melampirkan salinan izin-izin yang telah dikeluarkan tersebut ad.e Pasal ini berserta Akte Notaris pembentukan Badan Hukum. h. BKPM Pusat meneliti apakah permohonan tersebut segera diberitahukan kepada calon penanam modal yang bersangkutan. i. Apabila permohonan untuk memperoleh izin tetap tersebut dikabulkan, maka BKPM mengkoordinir penyelesaian izin-izin meliputi: 1. Izin tetap Departemen yang bersangkutan 2. Pengesahan Badan Hukum/ PT oleh Departemen Kehakiman Izin-izin tersebut disampaikan oleh BKPM kepada calon penanam modal yang bersangkutan, sedangkan tembusan disampaikan kepada BKPM Daerah dan Instansi-instansi pemerintah lainnya yang dipandang perlu. j. Penyelesaian izin penggunaan tanah sementara, izin bangunan sementara dan izin Undang-undang gangguan sementara menjadi izin-izin yang bersifat tetap dikoordinir oleh BKPM Daerah dengan instansi pemerintah Daerah yang bersangkutan. k. Bagi penanam modal dalam negeri yang telah mempunyai bidang usaha tertentu dan ingin memanfaatkan fasitas/keringanan fiskal dalam rangka Undang-undang Penanaman Modal Dalam Negeri, yang bersangkutan menyatakan minatnya juga dengan menghubungi BKPM Daerah. l. Calon penanam modal maupun penanam modal yang berminat untuk memperoleh fasilitas-fasilitas/keringanan-keringanan fiskal dalam rangka
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
40
m.
n.
o.
p. q.
r.
Undang-undang Penanaman Modal dalam Negeri maka yang bersangkutan mengajukan permohonan kepada BKPM Daerah dengan mengisi formulir, sesuai dengan bentuk dan tata cara yang akan diatur lebih lanjut oleh Ketua BKPM Pusat dengan melampirkan: 1. Akte Notaris pembentukan Badan Hukum/Akte pengesahan Badan Hukum. 2. Izin usaha sementara/izin usaha tetap 3. izin penggunaan tanah sementara/Izin penggunaan tanah tetap 4. Izin bangunan sementara/Izin bangunan tetap. 5. Izin Undang-undang gangguan sementara/ Izin Undang-undang gangguan tetap BKPM Daerah setelah meneliti kelengkapan permohonan tersebut ad.1 Pasal ini, kemudian meneruskannya kepada BKPM Pusat dengan disertai pertimbanganpertimbangan seperlunya. BKPM Pusat meneliti apakah permohonan fasilitas/keringanan fiskal tersebut wajar untuk dikabulkan, sesuai dengan ketentuan dan kebijaksanaan yang berlaku di bidang penanaman modal dalam negeri. Apabila permohonan untuk meperoleh fasilitas/keringan fiskal tersebut dikabulkan, maka BKPM mengkoordinir penyelesaian izi-izin yang meliputi: 1. Izin usaha tetap dari Departemen yang bersangkutan; 2. Pengesahan P.T oleh Departemen Kehakiman; 3. Fasilitas/keringanan pajak dari Departemen Keuangan; 4. Fasilitas/keringan bea masuk dari Departemen Keuangan; Tembusan keputusan-keputusan/izin-izin tersebut disampaikan kepada BKPM Daerah dan Instansi Pemerintah lainnya yang dipandang perlu Keputusan-keputusan/izin-izin tersebut ad.o Pasal ini disampaikan oleh BKPM Pusat kepada yang bersangkutan. Dalam hal calon penanam modal yang bersangkutan masih memiliki izin penggunaan tanah sementara, maka penyelesaian izin-izin tersebut menjadi izin tetap, dikoordinir oleh BKPM Daerah dengan instansi-instansi Pemerintah Daerah yang bersangkutan . Besarnya biaya-biaya yang diperlukan untuk memperoleh keputusankeputusan/izin-izin dalam rangka penanaman modal dalam negeri yang diatur dalam Keputusan Presiden ini, dibebankan kepada penanam modal yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 55 Ketentuan tersebut di atas telah menunjukkan ada sejumlah kewenangan dari
pemerintah daerah berkaitannya dengan perizinan Penanaman Modal dalam Negeri (PMDN). Adapun hal-hal yang menunjukkan peranan pemerintah daerah dalam hal
55
Pasal 1 Keputusan Presiden No. 21 Tahun 1973 Tentang Tata Cara Penanaman Modal.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
41
tersebut diatas: Pertama, setiap investor dalam negeri yang akan melakukan penanaman modal terlebih dahulu menghubungi BKPM Daerah untuk memperoleh informasi dan peluang penanaman modal yang tersedia di daerah setempat.Kedua, Izin usaha sementara, Izin Penggunaan Tanah Sementara, Izin Bangunan Sementara, dan Izin Usaha Undang-Undang Sementara diajukan dan dikoordinir permohonan tersebut oleh BKPM Daerah, meskipun format dan tata caranya ditetapkan oleh BKPM Pusat, Ketiga, bahwa untuk penanam modal akan melakukan usahanya tanpa memerlukan fasilitas fiskal dalam rangka penanaman modal dalam negeri, maka calon tersebut mengajukan permohonan kepada BKPM Daerah untuk memperoleh izin usaha tetap. Ketiga hal tersebut di atas, telah menunjukan bahwa persetujuan dan perizinan penanaman modal dalam negeri berdasarkan keputusan presiden tersebut telah menunjukkan adanya desentralisasi persetujuan dan perizinan penanaman modal dalam negeri. Itulah deskripsi singkat mengenai konsep desentralisasi persetujuan dan perizinan penanaman modal, dalam rangka penanaman modal
dalam negeri
sebagaimana terdapat dalam Keputusan Presiden No. 21 Tahun 1973 tentang Tata Cara Penanaman Modal. Dalam perkembangannya tepat tanggal 3 Oktober 1977 Keputusan Presiden No. 21 Tahun 1973 dicabut dengan Keputusan Presiden No. 54 Tahun 1977 tentang Ketentuan Tatacara Penanaman Modal
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
42
2. Keputusan Presiden No. 115 Tahun 1998 Setelah konsep sentralisasi mendominasi semua bidang pemerintahan, sebagaimana tuntutan reformasi maka hampir semua bidang yang selama ini sentralisasi berubah menjadi desentralisasi, termasuk juga bidang penanaman modal. Desentralisasi penanaman modal pada tahap ini hanyalah ditujukan kepada penanaman modal dalam negeri. Pada tahun tersebut dikeluarkan Keputusan Presiden No. 115 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden No. 97 Tahun 1993 tentang Tata Cara Penanaman Modal. Dalam Keputusan Presiden No. 115 Tahun 1998 tersebut, hanyalah penanaman modal dalam negeri saja mengalami perubahan dari sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi. Sedangkan untuk persetujuan dan perizinan penanam modal asing masih sentralisitik, dimana permohonan ditujukan kepada Presiden dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). 56 Di sini peran daerah, dalam hal ini Badan Koordinasi
Penanaman
Modal
Daerah
(BKPMD)
hanya
untuk
memperoleh/mendapatkan informasi mengenai peluang untuk melakukan penanaman modal. Prinsip desentralisasi persetujuan dan perizinan penanam modal untuk penanaman modal dalam negeri berdasarkan Keputusan Presiden No. 115 Tahun 1998 adalah sebagai berikut: 1. Kewenangan pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka (2), angka (3), angka (5) huruf a, 56
Pasal 2 angka (3) huruf b. Keputusan Presiden No. 115 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden No. 97 Tahun 1993 Tentang Tata Cara Penanaman Modal.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
43
ayat (8), dan ayat (9) untuk permohonan penanaman modal dalam rangka dilimpahkan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I. 2. Untuk melaksanakan lebih lanjut pelimpahan kewenangan sebagaimana yang dimaksud ayat (1), Gubernur Kepala Daerah Tingkat I menugaskan Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah . 3. Tata cara penanaman modal dalam rangka Penanaman Modal Dalam Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri Negara Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal. 57 Kemudian berdasarkan Keputusan Presiden No. 115 Tahun1998 bahwa desentralisasi pemberian persetujuan dan perizinan pelaksanaan penanaman modal dalam negeri dilakukan sebagai berikut: 1. Pemberian perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (5) huruf b, huruf c, dan huruf e serta Pasal 2 ayat (7) huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, dilaksanakan melalui pelayanan satu atap sesuai dengan kewenangan masingmasing di bawah koordinasi Bupati/ Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II, dan khusus untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta di bawah koordinasi Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta. 2. Petunjuk pelaksanaan koordinasi pelayanan satu atap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut oleh Menteri Dalam Negeri setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional dan Menteri Negara Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal. 58 Dari ketentuan yang terdapat dalam keputusan di atas telah menunjukkan desentralisasi pemberian persetujuan dan perizinan untuk penanaman modal dalam negeri. Ada beberapa hal yang menunjukkan desentralisasi pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal dengan regulasi tersebut. Diantaranya adalah Pertama, kewenangan pemberian persetujuan dan perizinan pelaksanan penanaman modal dalam negeri yang memenuhi kriteria tertentu, dapat dilimpahkan kepada
57
Pasal 1A Keputusan Presiden No. 115 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden No. 97 Tahun 1993 Tentang Tata Cara Penanaman Modal. 58 Pasal 2A Keputusan Presiden No. 115 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden No. 97 Tahun 1993 Tentang Tata Cara Penanaman Modal.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
44
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I. Kedua, berperannya kembali Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) untuk melaksanakan kewenangan pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal dalam negeri.
Ketiga, diberikan
kewenangan kepada daerah di bawah koordinasi Bupati/walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II,
dan khusus untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta dengan
pelayanan satu atap (one roof service). Ketiga hal tersebut di atas, menunjukkan bahwa Keputusan Presiden No. 115 Tahun 1998 telah meletakkan fondasi awal desentralisasi pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal di era reformasi. Sedangkan untuk penanaman modal asing belum menunjukkan desentralisasi secara jelas, namun nuansanya sudah menunjukkan ke arah desentralisasi. Inilah gambaran singkat perjalanan untuk menerobosi sentralisasi pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal ke arah desentralisasi.
3. Keputusan Presiden No. 117 Tahun 1999 Bachruddin Jusuf Habibie pada Tanggal 30 September 1999 mengeluarkan Keputusan Presiden No. 117 Tahun 1999 Tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Presiden No. 97 Tahun 1993 Tentang Tata Cara Penanaman Modal. Keputusan Presiden tersebut membuka peluang untuk dilakukannya desentralisasi persetujuan dan perizinan penanaman modal.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
45
Konsep desentralisasi pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal asing yang terdapat dalam Keputusan Presiden No 117 Tahun 1999 adalah sebagai berikut: (1) Kewenangan pemberian persetujuan penanaman modal dalam rangka penanaman modal asing sebagai mana diatur dalam Undang-undang No.1 Tahun 1967 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 1970, dilimpahkan Menteri Negara Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal kepada Menteri Luar Negeri dan Gubernur Kepala Daerah Propinsi. (2) Khusus kepada Gubernur Kepala Daerah Propinsi diberikan pelimpahan wewenang pemberian perizinan pelaksanaan penanaman modal, sebelum dibentuk instansi yang menangani penanaman modal di Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. (3) Untuk melaksanakan pelimpahan wewenang lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Menteri Luar Negeri Menugaskan Kepala Perwakilan Republik Indonesia, sedangkan untuk pelaksanaan ayat (1) dan (2), Gubernur Kepala Daerah Propinsi menugaskan Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah. (4) Calon penanaman modal yang akan mengadakan usaha dalam rangka Penanaman Modal Asing mempelajari lebih dahulu Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Bagi Penanaman Modal Asing dan apabila diperlukan penjelasan lebih lanjut dapat menghubungi Badan Koordinasi Penanaman Modal, Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah atau Perwakilan Republik Indonesia. (5) Setelah mengadakan penelitian yang cukup mengenai bidang usaha yang terbuka dan ketentuan-ketentuan lain yang bersangkutan, calon penanam modal mengajukan permohonan Kepada Menteri Negara Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal atau Gubernur Kepala Daerah Propinsi, dalam hal ini Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah, atau Kepala Perwakilan Republik Indonesia dengan menggunakan tata cara permohonan yang ditetapkan oleh Menteri Negara Investasi/ Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal. (6) Apabila permohonan mendapat persetujuan, Menteri Negara Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, atau Gubernur Kepala Daerah dalam hal ini Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah, atau Ketua perwakilan Republik Indonesia menerbitkan Surat Persetujuan Penanaman Modal tersebut kepada calon penanam modal, yang berlaku juga sebagai persetujuan prinsip. (7) Menteri Negara Investasi/ Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal atau Gubernur Kepala Daerah, dalam hal ini Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah, atau Ketua perwakilan Republik Indonesia menyampaikan rekaman Surat Persetujuan Penanaman Modal Asing kepada Instansi Pemerintah terkait. (8) Apabila penanaman modal telah memperoleh Surat Persetujuan Penanaman Modal Asing dan setelah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan, maka;
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
46
a. Menteri Negara Investasi/ Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal atau Gubernur Kepala Daerah, dalam hal ini Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah, mengeluarkan: 1. Angka Pengenal Importir Terbatas 2. Keputusan Pemberian Fasilitas/Keringanan Bea Masuk dan pungutan impor lainnya. 3. Persetujuan atas Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing Pendatang (RPTKA) yang diperlukan sebagai dasar bagi Ketua badan Koordinasi Penanaman modal Daerah untuk menerbitkan izin kerja bagi Tenaga Kerja Asing pendatang yang diperlukan. 4. Izin Usaha Tetap atas nama Menteri yang membidangi usaha tersebut sesuai pelimpahan wewenang. b. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya mengeluarkan izin Lokasi sesuai dengan Rencana Tata Ruang c. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya mengeluarkan Hak Guna Bangunan dan Hak Guna Usaha sesuai dengan ketentuan yang berlaku. d. Kepala Dinas Pekerjaan Umum Dati II atau Satuan Kerja Teknis atas nama Bupati/Walikotamadya yang bersangkutan, atau Kepala Dinas Pengawasan Pembangunan Kota (P2K) bagi DKI Jakarta atas nama Gubernur DKI Jakarta mengeluarkan izin Mendirikan Bangunan (IMB). e. Sekretaris Wilayah/Daerah Tingkat II atas nama Bupati/Walikota yang bersangkutan atau Kepala Biro Ketertiban untuk DKI Jakarta atas nama Gubernur DKI Jakarta mengeluarkan izin UUG/HO. (9) Kewajiban untuk memiliki izin UUG/HO tidak berlaku bagi perusahaan Industri yang jenis industrinya wajib memiliki ANDAL atau yang berlokasi di dalam kawasan Industri/Kawasan Berikat. (10) Setelah memperoleh Surat Persetujuan Penanaman Modal dari Menteri Negara Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal atau Gubernur Kepala Daerah, dalam hal ini Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah, atau Ketua perwakilan Republik Indonesia, penanaman modal dalam waktu yang ditetapkan menyampaikan daftar Induk barang-barang modal serta bahan baku dan bahan penolong yang akan di impor kepada Menteri Negara Investasi/ Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal atau Gubernur Kepala Daerah, dalam hal ini Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah. (11) Berdasarkan penilaian terhadap daftar Induk sebagaimana dimaksud dalam ayat (10), Menteri Negara Investasi/ Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal atau Gubernur Kepala Daerah, dalam hal ini Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah, mengeluarkan Fasilitas/Keringanan Bea Masuk dan Pungutan Impor lainnya. (12) Permohonan untuk perubahan atas rencana penanaman modal yang telah memperoleh persetujuan, termasuk perubahan untuk perluasan proyek, disampaikan oleh penanam modal kepada Menteri Negara Investasi/ Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal atau Gubernur Kepala Daerah, dalam hal ini
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
47
Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah, untuk mendapatkan persetujuan dengan mempergunakan tata cara yang telah ditetapkan oleh Menteri Negara Investasi/ Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal. (13) Penanaman Modal yang telah memperoleh persetujuan penanaman modal Asing wajib mengajukan permohonan perizinan pelaksanaan kepada Menteri Negara Investasi/ Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal atau Gubernur Kepala Daerah, dalam hal ini Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah. 59 Dalam ketentuan tersebut di atas ada beberapa hal yang menunjukkan bahwa persetujuan dan peizinan penanaman modal asing telah didesentralisasikan kepada daerah. Hal-hal yang menunjukkan perubahan dari sentralisasi menuju desentralisasi, di antaranya adalah sebagai berikut: Pertama, Kewenangan pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal asing telah dilimpahkan oleh Menteri Negara Investasi/ Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal kepada Gubernur Kepala Daerah Provinsi. Kedua, Gubernur Kepala Daerah Provinsi diberikan kewenangan pemberian perizinan pelaksanaan penanaman modal dengan menugaskan Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah sebelum dibentuk instansi yang menangani penanaman modal di daerah kabupaten dan daerah kota. Ketiga, calon penanam modal dapat mengajukan permohonan penanaman modal kepada Gubernur Kepala Daerah Provinsi, yang dalam hal ini ditujukan kepada Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah. Keempat, apabila permohonan mendapat persetujuan Gubernur Kepala Daerah, dalam hal ini Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah, dapat menerbitkan Surat Persetujuan Penanaman Modal tersebut calon penanam modal, yang berlaku juga sebagai Persetujuan Prinsip. Kelima, Gubernur Kepala
59
Pasal 2 Keputusan Presiden No. 117 Tahun 1999 Tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Presiden No. 97 Tahun 1993 Tentang Tata Cara Penanaman Modal.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
48
Daerah Provinsi, dalam hal ini Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah menyampaikan rekaman Surat Persetujuan Penanaman Modal Asing kepada instansi pemerintah terkait. Keenam, perubahan atas rencana penanaman modal yang telah memperolah persetujuan, termasuk perubahan untuk perluasan proyek, disampaikan oleh penanaman modal kepada Gubernur Kepala Daerah Provinsi, dalam hal ini Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah, untuk mendapatkan persetujuan. Ketujuh, Penanaman modal yang telah memperoleh persetujuan penanaman modal asing wajib mengajukan permohonan perizinan pelaksanaan kepada Gubernur Kepala Daerah, dalam hal ini Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah. Keputusan Presiden No. 117 Tahun 1999 telah menunjukkan desentralisasi pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal asing, dimana Gubernur yang dalam hal ini diwakili oleh
Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah
(BKPMD) telah memperoleh kewenangan untuk menetapkan persetujuan dan perizinan penanaman modal asing. Di samping itu Keputusan Presiden No. 117 Tahun 1999 juga menunjukkan desentralisasi persetujuan dan perizinan penanaman modal dalam negeri. Adapun konsep desentralisasi persetujuan dan perizinan penanaman modal dalam negeri yang terdapat dalam Keputusan Presiden tersebut adalah sebagai berikut: (1) Kewenangan pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2), ayat (3), ayat (5) huruf a, ayat (8) dan ayat (9) untuk permohonan penanaman modal dalam rangka Penanaman Modal Dalam Negeri, dapat dilimpahkan kepada Gubernur Kepala Daerah Provinsi.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
49
(2) Untuk melaksanakan lebih lanjut pelimpahan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Gubernur Kepala Daerah Provinsi menugaskan Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah. (3) Tata cara penanaman modal dalam rangka Penanaman Modal Dalam Negari sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri Negara Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal. 60 Dari ketentuan tersebut di atas, ada beberapa hal yang menunjukkan desentralisasi pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal dalam negeri adalah Pertama, kewenangan pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal dalam negeri dapat dilimpahkan kepada Gubernur Kepala daerah Provinsi. Kedua, penugasan kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) untuk melaksanakan kewenangan yang telah dilimpahkan kepada Gubernur. Kedua hal di tersebut merupakan bagian penting yang menunjukkan bahwa regulasi tersebut telah mengarahkan kepada desentralisasi persetujuan dan perizinan penanaman modal dalam negeri. Sebagai tindak lanjut Keputusan Presiden No. 117 Tahun 1999, maka dikeluarkan Keputusan Menteri Negara Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No. 37/SK/1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian persetujuan dan Fasilitas Serta Perizinan Pelaksanaan Penanaman Modal Kepada Gubernur kepala Daerah Propinsi. Konsepsi desentralisasi pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal Keputusan Menteri Negara Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No. 37/1999 adalah:
60
Pasal 1A Keputusan Presiden No. 117 Tahun 1999 Tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Presiden No. 97 Tahun 1993 Tentang Tata Cara Penanaman Modal.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
50
(1) Menteri Negara Investasi/ Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (Meninves/Kepala BKPM) melimpahkan kewenangan pemberian persetujuan dan fasilitas serta perizinan pelaksanaan penanaman modal kepada Gubernur Kepala Daerah Provinsi. (2) Penanaman modal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah penanaman modal yang dilaksanakan dalam rangka Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing sebagimana telah diubah dengan UndangUndang No. 11 Tahun 1970 dan Undang-Undang No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang No. 12 Tahun 1970. (3) Untuk melaksanakan pelimpahan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Gubernur Kepala Daerah Provinsi menugaskan Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD). (4) Persetujuan penanaman modal meliputi persetujuan atas penanaman modal baru, perluasan, dan perubahan penanaman modal. (5) Apabila penanaman modal telah memperoleh Surat Persetujuan Penanaman Modal dan setelah dipenuhi persyaratan yang ditetapkan maka Meninves/Kepala BKPM atau Gubernur Kepala Daerah Provinsi, dalam hal ini Ketua BKPMD mengeluarkan: a. Angka Pengenal Importir Terbatas b. Surat Persetujuan Fasilitas berupa: 1). Surat Persetujuan Pabea tentang pemberian fasilitas pembebasan Bea Masuk atas pengimporan mesin-mesin/peralatan serta bahan baku dan/atau penolong. 2). Surat persetujuan pemberian fasilitas perpajakan atas perolehan barang modal. c. Surat Keputusan tentang Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang (RPTK) dan perpanjangannya. d. Rekomendasi TA.01 bagi Tenaga kerja Asing(TKA) e. Izin Usaha tetap bagi penanaman modal baru dan perluasan. 61 Keputusan Menteri Negara Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No. 37/SK/1999 secara jelas telah menunjukkan desentralisasi persetujuan dan perizinan penanaman modal. Dari ketentuan di atas ada beberapa hal yang menunjukkan desentralisasi persetujuan dan perizinan penanaman modal. Pertama,
61
Pasal 1 Keputusan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No. 37/SK/1999 Tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian persetujuan dan Fasilitas Serta Perizinan Pelaksanaan Penanaman Modal Kepada Gubernur kepala Daerah Propinsi.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
51
Meninves/Kepala BKPM melimpahkan kewenangan pemberian persetujuan dan perizinan pelaksanaan penanaman modal kepada Gubernur Kepala Daerah Propinsi. Kedua, dalam hal menjalankan kewenangan pemberian persetujuan dan perizinan pelaksanaan penanaman modal Gubernur Kepala Daerah Provinsi menugaskan ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD). Ketiga, kewenangan Gubernur Kepala Daerah Provinsi/Ketua BKPMD untuk mengeluarkan Angka Pengenal Importir Terbatas, Surat Persetujuan Fasilitas berupa baik Surat persetujuan pabean tentang pemberian fasilitas pembebasan Bea Masuk atas pengimporan mesinmesin/peralatan serta bahan baku dan/atau penolong maupun Surat Persetujuan pemberian fasilitas perpajakan atas perolehan barang modal, Surat Keputusan tentang Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing (RPTKA) dan perpanjangan, rekomendasi bagi Tenaga Kerja Asing (TKA), dan Izin Usaha Tetap bagi penanaman modal baru dan perluasan. Desentralisasi pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal semakin
jelas
dalam
pasal
berikutnya
dari
Keputusan
Menteri
Negara
Investasi/Kepala BKPM tersebut, Di mana dinyatakan sebagai berikut: Dengan pelimpahan kewenangan sebagimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (3), maka penerbitan Surat persetujuan, Surat persetujuan Fasilitas dan perizinan pelaksanaan penanaman modal dapat dilakukan oleh Meninves/Kepala BKPM atau Gubernur Kepala Daerah Propinsi, dalam hal ini Ketua BKPMD sesuai dengan permohonan yang diajukan calon penanaman modal kepada Meninves/Kepala BKPM atau Ketua BKPMD. 62 62
Pasal 2 angka (1) dan (3) Keputusan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No. 37/SK/1999 Tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian persetujuan dan Fasilitas Serta Perizinan Pelaksanaan Penanaman Modal Kepada Gubernur kepala Daerah Propinsi.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
52
Dengan ketentuan tersebut semakin mengukuhkan peran Gubernur Kepala Daerah Provinsi, dalam hal pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal, baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri. Sebagai pelaksana kebijakan penanaman modal maka dikeluarkan Keputusan Menteri Negara Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No.38/SK/1999 tentang Pedoman Tata Cara Permohonan Penanaman Modal Yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing. Konsepsi desentralisasi yang terdapat dalam Keputusan Menteri Negara Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No.38/SK/1999 adalah sebagai berikut: (1). Calon penanam modal yang akan melakukan kegiatan penanaman modal dalam rangka PMDN wajib mengajukan permohonan penanaman modal kepada: a. Meninves/Kepala BKPM; atau b. Ketua BKPMD setempat (2). Calon penanam modal yang akan melakukan kegiatan penanaman modal dalam rangka PMA, wajib mengajukan permohonan penanaman modal kepada: a. Meninves/Kepala BKPM; atau b. Kepala Perwakilan RI setempat c. Ketua BKPMD setempat (3) a. Surat Persetujuan (SP) PMDN dikeluarkan oleh Meninves/Kepala BKPM atau Gubernur Kepala Daerah Provinsi, dalam hal ini Ketua BKPMD setempat b. Surat Persetujuan PMA dikeluarkan oleh Meninves/Kepala BKPM, atau menteri Luar Negeri dalam hal ini Kepala Perwakilan RI setempat atau Gubernur Kepala Daerah Propinsi dalam hal ini ketua BKPMD setempat. (4) Penanaman modal yang telah memperoleh Surat Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib mengajukan permohonan untuk memperoleh perizinan pelaksanaan penanaman modal yang diperlukan untuk melaksanakan penanaman modalnya. (5) Permohonan izin pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diajukan kepada: a. Meninves/Kepala BKPM, bagi yang memperoleh persetujuan penanaman modal dari Meninves/Kepala BKPM atau menteri Luar Negeri dalam hal ini Kepala Perwakilan RI setempat; atau
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
53
b. Ketua BKPMD setempat, bagi yang memperoleh persetujuan penanaman modal dari Ketua BKPMD setempat atau dari kepala Perwakilan RI setempat. (6) Bagi proyek-proyek yang berlokasi KAPET permohonan izin persetujuan dan izin pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) ayat (4) dan ayat(5) diajukan kepada Badan pengelola KAPET setempat. 63 Keputusan Presiden No.117 Tahun 1999 dan peraturan pelaksananya yaitu Keputusan Menteri Negara Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No.37/SK/1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Persetujuan dan Fasilitas serta Perizinan Pelaksanaan Penanaman Modal kepada Gubernur Kepala Daerah Provinsi dan Keputusan Menteri Negara Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No.38/SK/1999 tentang Pedoman Tata Cara Permohonan Penanaman Modal Yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing telah menunjukkan dan memperlihatkan secara jelas desentralisasi persetujuan dan perizinan penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri. Di samping itu dikenal juga sentralisasi persetujuan dan perizinan penanaman modal baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri. Sebelumnya timbul anggapan dalam penanaman modal asing, dimana iklim penanaman modal yang baik dan kondusif merupakan pra syarat awal bagi suatu penanaman modal yang dilakukan oleh para penanam modal atau investor. Untuk itu pemerintah harus menciptakan iklim yang aman dan kondusif bagi penanaman modal
63
Pasal 2 Keputusan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No. 38/SK/1999 Tentang Pedoman Tata Cara Permohonan Penanaman Modal Yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
54
melalui regulasi-regulasi yang mendorong untuk tumbuh dan berkembangnya penanaman modal. 64 Sentralisasi persetujuan dan perizinan penanaman modal di Indonesia berkembang sesuai dengan keberadaan lembaga penyelenggara penanaman modal. Tentunya sentralisasi persetujuan dan perizinan penanaman modal telah dimulai sejak Tahun 1967, yaitu dengan ditetapkan Keputusan Presidium Kabinet No. 17/EK/KEP/1/ 1967 Tentang Badan Pertimbangan Penanaman Modal Asing. Sentralisasi persetujuan dan perizinan penanaman modal, baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri dapat dideskripsikan berdasarkan regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Berdasarkan regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah maka diketahui ada sentralisasi dari peraturan yang dikeluarkan tersebut. Adapun regulasi yang termasuk dalam bagian sentralisasi pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal sebagai berikut:
1. Keputusan Presidium Kabinet No. 104/EK/KEP/4/1967 Konsepsi sentralisasi persetujuan dan perizinan penanaman modal asing berdasarkan Keputusan Presidium Kabinet No. 104/EK/KEP/4/1967 Tentang Prosedur Penyelesaian Permohonan Penanaman Modal Asing adalah: 1. Semua permohonan tentang penanaman modal asing pada tingkat pertama ditampung dan diolah oleh Departemen yang bersangkutan dengan bantuan Tim Teknis Penanaman Modal Asing. 2. Setelah selesai diolah dan disetujui ditingkat Depatemen tersebut maka Menteri yang bersangkutan meneruskan permohonan tersebut kepada Ketua Presidium 64
Dumairy, Op.cit, hal 132.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
55
Kabinet dan Badan Pertimbangan Penanaman Modal Asing untuk mendapat keputusan terakhir (setelah mendengar Tim Teknis Penanaman Modal Asing) 3. Apabila permohonan tersebut mendapat persetujuan dari Badan Pertimbangan Penanaman Modal Asing, maka Ketua Presidium Kabinet memberikan persetujuan resmi bersangkutan diberi wewenang untuk menandatangani surat keputusan atas nama pemerintah. 4. Adapun surat persetujuan dapat ditandatangani oleh Sekretaris Jendral atas nama Menteri yang bersangkutan. 65 Berdasarkan Keputusan Presidium Kabinet No. 104/EK/KEP/4/1967 bahwa pengajuan permohonan untuk penanaman modal asing ditujukan kepada departemen yang membidangi penanaman modal yang akan dilakukan. Dari Keputusan Presidium Kabinet tersebut, diketahui bahwa pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal harus dikeluarkan oleh Ketua Presidium Kabinet setelah mendapat persetujuan dari Badan Pertimbangan Penanaman Modal Asing.
2. Keputusan Presiden No. 63 Tahun 1969 Sentralisasi pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal kembali dikuatkan dengan Keputusan Presiden No. 63 Tahun 1969 tentang Peraturan dan Prosedur Mengenai Pengawasan Pelaksanaan Penanaman Modal. Dimana dalam Keputusan Presiden tersebut mengatur pengawasan terhadap penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri, sesuai dengan namanya, tidak hanya diperuntukkan bagi penanaman modal asing tetapi juga penanaman modal dalam negeri.
65
Penetapan Pertama Keputusan Presidium Kabinet No. 104/EK/KEP/4/1967.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
56
Beberapa hal yang menunjukkan sentralisasi pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal dalam Keputusan Presiden tersebut adalah: Pertama, berkaitan dengan kewajiban untuk melaksanakan rencana penanaman modal sesuai dengan persetujuan yang diberikan, dalam Keputusan Presiden ini menyebutkan: Para penanam modal yang telah mendapatkan persetujuan dari pemerintah untuk memperoleh fasilitas-fasilitas tertentu baik dalam rangka UndangUndang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing maupun dalam rangka Undang-Undang No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, wajib melaksanakan rencana penanaman modal sesuai dengan persetujuan yang telah diberikan. 66 Kedua, berkaitan dengan perubahan terhadap rencana juga harus mendapat persetujuan dari pemerintah pusat, bahwa “segala perubahan dan atau penambahan terhadap rencana yang telah disetujui terlebih dahulu harus dimintakan persetujuan pemerintah”. 67 Ketiga,
berkaitan
dengan
pengawasan
terhadap
pelaksanaan
proyek-
proyek/perusahaan-perusahaan yang telah memperoleh persetujuan, sebagaimana disebutkan dalam Keputusan Presiden tersebut yaitu: Pengawasan terhadap pelaksanaan proyek-proyek/perusahaan-perusahaan yang telah memperoleh persetujuan, baik berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing maupun berdasarkan UndangUndang No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, pada tingkat pertama dilakukan oleh departemen/instansi yang berwenang atau membawahi bidang usaha yang bersangkutan. 68 66
Pasal 1 angka (1) Keputusan Presiden No. 63 Tahun 1969 Tentang Peraturan dan Prosedur Mengenai Pengawasan Pelaksanaan Penanaman Modal 67 Pasal 1 angka (2) Keputusan Presiden No. 63 Tahun 1969 Tentang Peraturan dan Prosedur Mengenai Pengawasan Pelaksanaan Penanaman Modal 68 Pasal 2 angka (1) Keputusan Presiden No. 63 Tahun 1969 Tentang Peraturan dan Prosedur Mengenai Pengawasan Pelaksanaan Penanaman Modal
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
57
Keempat, berkaitan dengan kewajiban departemen yang bersangkutan dan Panitia Teknis Penanaman Modal untuk melaporkan kepada Presiden. Sebagaimana dalam Keputusan Presiden No. 63 Tahun 1969 menyatakan “Baik Departemen/instansi yang bersangkutan, maupun Panitia Teknis Penanaman Modal setiap triwulan wajib melaporkan kepada Presiden tentang pelaksanaan rencana penanaman modal oleh para penanam modal”. 69 Beberapa hal yang dikutip dari Keputusan Presiden tersebut di atas memperlihatkan adanya sentralisasi persetujuan dan perizinan penanaman modal, baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri. Keputusan Presiden No. 63 Tahun 1969 kemudian dicabut dengan Keputusan Presiden No. 21 Tahun 1973 tentang Ketentuan Pokok Tata Cara Penanaman Modal.
3. Keputusan Presiden No. 21 Tahun 1973 Sentralisasi persetujuan dan perizinan penanaman modal asing menurut Keputusan Presiden ini adalah: a. Calon penanam modal asing yang berminat untuk menanamkan modalnya dalam rangka undang-undang penanaman modal asing, apabila memerlukan keteranganketerangan yang mendalam mengenai kemungkinan-kemungkinan penanaman modal di Indonesia, dapat menghubungi Koordinator Bidang Promosi Penanaman Modal BKPM Pusat untuk meperoleh keterangan yang diperlukan. Koordinator Bidang Promosi dalam memberikan keterangan-keterangan yang terperinci yang diperlukan calon penanam modal apabila perlu didampingi oleh pejabat departemen yang bersangkutan. b. Apabila memang terbuka kemungkinan untuk menanam modal dalam bidang yang dikehendaki oleh calon penanam modal, maka calon penanam modal 69
Pasal 3 angka (1) Keputusan Presiden No. 63 Tahun 1969 Tentang Peraturan dan Prosedur Mengenai Pengawasan Pelaksanaan Penanaman Modal
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
58
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
kemudian mengajukan letter of intent kepada Koordinator Bidang Administrasi dan Pengawasan BKPM Pusat, sesuai dengan bentuk dan tata cara yang akan diatur lebih lanjut oleh Ketua BKPM. Koordinator Bidang Administrasi dan Pengawasan setelah meneliti Letter of intent tersebut, kemudian meneruskan kepada Ketua BKPM untuk mendapat keputusannya setelah diadakan koordinasi dengan koordinator-koordinator yang lain serta departemen yang bersangkutan dengan bidang penanaman modal yang dimohon. Keputusan BKPM tersebut segera diberitahukan kepada calon penanam modal yang bersangkutan, apabila BKPM menyetujui permohonan penanaman modal tersebut, maka calon penanam modal yang bersangkutan segera mengajukan usulan proyek secara lengkap kepada BKPM dengan mengisi formulir sesuai dengan bentuk dan tata cara yang akan diatur lebih lanjut oleh Ketua BKPM dengan melampirkan: 1. masterlist 2. daftar kebutuhan tenaga asing 3. rencana lokasi penanaman modal 4. keterangan lain yang diperlukan Sementara menunggu penyelesaian permohonan tersebut pada huruf d di atas, calon penanam modal menghubungi Notaris untuk membuat Akte Notaris guna pendirian Badan Hukum perusahaannya. Setelah permohonan penanaman modal tersebut dibahas dan dipertimbangkan dalam rapat koordinasi BKPM maka Ketua BKPM kemudian menyampaikan hasil pertimbangannya dalam bentuk surat rekomendasi kepada Presiden untuk mendapatkan persetujuan. Jika Presiden menyetujui permohonan penanaman modal tersebut, maka dengan dikoordinir oleh BKPM, departemen-departemen yang bersangkutan akan mengeluarkan keputusan-keputusan/izin-izin yang diperlukan. Keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh departemen yang bersangkutan disampaikan oleh Koordinator Administrasi dan Pengawas kepada calon penanaman modal yang bersangkutan. Besarnya biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh keputusankeputusan/izin-izin dalam rangka penanaman modal asing diatur dalam Keputusan Presiden ini, dibebankan kepada penanam modal yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 70 Berdasarkan Keputusan Presiden di atas dapat disimpulkan bahwa persetujuan
dan perizinan penanaman modal asing harus berdasarkan persetujuan Presiden dan
70
Keputusan Presiden No. 21 Tahun 1973 Tentang Ketentuan Pokok Tata Cara Penanaman
Modal
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
59
perizinan-perizinan lainnya dikeluarkan oleh departemen teknisnya. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa persetujuan dan perizinan penanaman modal asing berdasarkan Keputusan presiden di atas sangatlah sentralistik. Berdasarkan konsepsi di atas menyebutkan bahwa persetujuan dan perizinan penanaman modal asing harus berdasarkan persetujuan Presiden dan perizinanperizinan lainnya dikeluarkan oleh departemen teknis. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa pesetujuan dan perizinan penanaman modal asing berdasarkan Keputusan Presiden No. 21 Tahun 1973 tentang Ketentuan Pokok Tata Cara Penanaman Modal sangatlah bersifat sentralistik. Kemudian Kuputusan Presiden No. 21 Tahun 1973 dicabut dengan Keputusan Presiden No. 54 Tahun 1977 tentang Ketentuan Pokok Tata Cara Penanaman Modal.
4. Keputusan Presiden No. 54 Tahun 1977 Sentralisasi pesetujuan dan perizinan penanaman modal, baik terhadap penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri terlihat secara lebih jelas dan tegas dalam Keputusan Presiden No. 54 Tahun 1977 tentang Ketentuan Pokok Tata Cara Penanaman Modal. Sentralisasi pesetujuan dan perizinan penanaman modal dalam Keputusan Presiden tersebut dapat dideskripsikan sebagai berikut: Pertama, para investor yang akan mengadakan penanaman modal, untuk memperoleh penjelasan mengenai Daftar Skala Prioritas (DSP) untuk penanaman modal harus menghubungi BKPM Pusat, Kedua, para investor yang akan mengadakan penanaman modal harus mengajukan permohonan penanaman modal kepada Ketua BKPM Pusat. Ketiga, Ketua BKPM Pusat
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
60
yang mengeluarkan Surat Persetujuan Sementara yang merupakan Persetujuan Prinsip untuk penanaman modal asing, apabila permohonan tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan persyaratan penanaman modal asing yang berlaku. Keempat, para investor yang akan menanam modalnya, haruslah memperoleh perlindungan Ketua BKPM sebagai persyaratan untuk memperoleh Keputusan Presiden. 71 Konsepsi Keputusan Presiden di atas sangat sentralistik, hal ini terlihat bahwa setiap penanaman modal asing haruslah berdasarkan Keputusan Presiden. Namun pada saat itu ketentuan-ketentuan yang mengatur penanaman modal baik berkaitan dengan persetujuan dan perizinan
maupun ketentuan-ketentuan lainnya telah
menjadikan Indonesia sebagai lahan yang menguntungkan bagi penanaman modal asing, pemerintah juga menyediakan fasilitas yang menguntungkan, kemudahankemudahan prosedural.
5. Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1992 Konsep sentralistik pesetujuan dan perizinan penanaman modal masih tetap dianut dalam Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1992 tentang Tata Cara Penanaman Modal. Berdasarkan Keputusan Presiden di atas sentralisasi persetujuan dan perizinan penanaman modal asing yaitu: 1. Calon penanam modal mengajukan permohonan penanaman modal kepada Ketua BKPM dengan mempergunakan tata cara yang ditetapkan oleh Ketua BKPM. 2. Berdasarkan penilaian terhadap permohonan penanaman modal maka Ketua BKPM menyampaikan permohonan tersebut kepada Presiden dengan disertai pertimbangan guna memperoleh keputusan. 3. Persetujuan/penolakan dilakukan oleh Presiden mengenai suatu permohonan penanaman modal. 71
Lihat Pasal 2 Keputusan Presiden No. 54 Tahun 1977 Tentang Ketentuan Pokok Tata Cara Penanaman Modal.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
61
4. Surat Pemberitahuan Keputusan Presiden yang berlaku juga sebagai Persetujuan Prinsip atau Izin Usaha Sementara. 5. Surat Pemberitahuan Persetujuan Presiden dari Ketua BKPM, penanam modal dalam waktu yang ditetapkan menyampaikan kepada BKPM Daftar Induk barangbarang modal, serta bahan baku dan bahan penolong yang akan diimpor. 6. Permohonan untuk perubahan atas rencana penanaman modal yang telah memperoleh persetujuan Presiden, termasuk perubahan untuk perluasan proyek, disampaikan oleh penanam modal kepada Ketua BKPM untuk mendapatkan persetujuannya. 72 Di samping itu sentralisasi persetujuan dan perizinan penanaman modal dalam rangka penanaman modal dalam negeri berdasarkan Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1992 adalah: 1. Calon penanam modal yang akan mengadakan usaha dalam rangka penanaman modal dalam negeri harus mempelajari terlebih dahulu daftar bidang usaha yang tertutup bagi penanaman modal dan penjelasan lebih lanjut dapat menghubungi BKPM. 2. Setelah mengadakan penelitian yang cukup mengenai bidang usaha yang terbuka dan ketentuan-ketentuan lain yang bersangkutan, calon penanam modal mengajukan permohonan penanaman modal kepada Ketua BKPM dengan mempergunakan tata cara yang ditetapkan oleh Ketua BKPM. 3. Apabila permohonan tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan ketentuan serta persyaratan penanaman modal dalam negeri yang berlaku, Ketua BKPM mengeluarkan Surat Persetujuan penanaman modal yang berlaku juga sebagai Persetujuan Prinsip atau Izin Usaha Sementara. 4. Ketua BKPM menyampaikan tembusan Surat Persetujuan Penanaman Modal kepada Departemen yang membina bidang usaha penanaman modal yang bersangkutan. 5. Apabila penanam modal telah memperoleh Surat Persetujuan penanaman modal, setelah dipenuhi persyaratan yang ditetapkan, maka Ketua BKPM atas nama Menteri yang bersangkutan mengeluarkan Angka Pengenal Importir Terbatas, keputusan pemberian fasilitas/keringanan pajak dan bea masuk, izin kerja bagi tenaga kerja asing pendatang yang diperlukan, izin usaha tetap. 6. Setelah memperoleh Surat Persetujuan penanaman modal dari Ketua BKPM, penanam modal dalam waktu yang ditetapkan menyampaikan kepada BKPM daftar induk barang-barang modal serta bahan baku dan bahan penolong yang akan diimpor. 72
Lihat Pasal 2 Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1992 Tentang Tata Cara Penanaman
Modal.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
62
7. Berdasarkan penilaian terhadap daftar induk barang-barang modal serta bahan baku dan bahan penolong yang akan diimpor, Ketua BKPM mengeluarkan ketetapan mengenai fasilitas/keringan bea masuk dan pungutan impor lainnya. 8. Permohonan untuk perubahan atas rencana penanaman modal yang telah memperoleh persetujuan Ketua BKPM, disampaikan oleh penanam modal kepada Ketua BKPM untuk mendapatkan persetujuan dengan mempergunakan tata cara yang ditetapkan oleh Ketua BKPM. 73
6. Keputusan Presiden No. 115 Tahun 1998 Keputusan Presiden No. 115 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden No. 97 Tahun 1993 tentang Tata Cara Penanaman Modal yang hadir pada era reformasi. Berdasarkan Keputusan Presiden No. 115 Tahun 1998 ini bahwa sentralisasi hanya diperuntukkan untuk penanaman modal asing. Sedangkan penanaman modal dalam negeri telah mengalami perubahan dari sitem sentralisasi ke sistem desentralisasi. Adapun hal-hal yang menunjukkan sentralisasi pesetujuan dan perizinan penanaman modal asing adalah: 1. Calon penanam modal yang akan mengadakan usaha dalam rangka penanaman modal asing harus mempelajari terlebih dahulu daftar bidang usaha yang tertutup bagi penanaman modal asing dan penjelasan lebih lanjut dapat menghubungi BKPM. 2. Setelah mengadakan penelitian yang cukup mengenai bidang usaha yang terbuka dan ketentuan-ketentuan lain yang bersangkutan, calon penanam modal mengajukan permohonan penanaman modal kepada Meninves/Ketua BKPM dengan mempergunakan tata cara yang ditetapkan oleh Meninves/Ketua BKPM. 3. Berdasarkan penilaian terhadap permohonan penanaman modal yang telah disesuaikan dengan ketentuan perundang-undangan dengan nilai penanaman modal, Meninves/Ketua BKPM mengeluarkan Surat Persetujuan Penanaman Modal Asing yang berlaku juga sebagai Persetujuan Prinsip. 4. Persetujuan/penolakan Presiden mengenai suatu permohonan penanaman modal disampaikan kepada Meninves/Ketua BKPM.
73
Lihat Pasal 1 Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1992 Tentang Tata Cara Penanaman
Modal.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
63
5. Apabila permohonan mendapat persetujuan Presiden, Meninves/Ketua BKPM menyampaikan pemberitahuan tentang Keputusan Presiden tersebut kepada calon penanam modal, yang berlaku sebagai persetujuan prinsip. 6. Meninves/Ketua BKPM menyampaikan rekaman Surat Persetujuan Penanaman Modal Asing dan Surat Pemberitahuan Persetujuan Presiden kepada instansi pemerintah terkait. 7. Apabila penanam modal telah memperoleh Surat Persetujuan Penanaman Modal Asing dan Surat Pemberitahuan Persetujuan Presiden dan setelah dipenuhi persyaratan yang ditetapkan, maka Meninves/Ketua BKPM mengeluarkan Angka Pengenal Importir Terbatas, Keputusan Pemberian Fasilitas/Keringanan Bea masuk dan pungutan impor lainnya, Persetujuan atas Rencana Penggunaan Tenaga Asing Pendatang (RPTKA) yang diperlukan sebagai dasar bagi Ketua BKPMD untuk menerbitkan izin kerja bagi Tenaga Kerja Asing Pendatang. 8. Setelah memperoleh Surat Persetujuan Penanaman modal dari Meninves/Ketua BKPM, penanam modal dalam waktu yang ditetapkan menyampaikan kepada BKPM daftar induk barang-barang modal serta bahan baku dan bahan penolong yang akan diimpor. 9. Berdasarkan penilaian terhadap daftar induk barang-barang modal serta bahan baku dan bahan penolong yang akan diimpor, Meninves/Ketua BKPM mengeluarkan ketetapan mengenai fasilitas/keringan bea masuk dan pungutan impor lainnya. 10. Permohonan untuk perubahan atas rencana penanaman modal yang telah memperoleh persetujuan Presiden, termasuk perubahan untuk perluasan proyek disampaikan oleh penanam modal kepada Meninves/Ketua BKPM untuk mendapat persetujuannya dengan mempergunakan tata cara yang ditetapkan oleh Meninves/Ketua BKPM. 74 Kesimpulannya penyelenggaraan penanaman modal asing berdasarkan Keputusan Presiden No. 115 Tahun 1998 sangat sentralistik. Demikian jug hal-hal yang mengatur terhadap Persetujuan dan perizinan penanaman modal asing khususnya.
74
Lihat Pasal 2 Keputusan Presiden No. 115 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden No. 97 Tahun 1993 Tentang Tata Cara Penanaman Modal
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
64
C. Penyelenggaraan Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal dengan Sistem Desentralisasi Dan Sistem Sentralisasi Persetujuan dan perizinan penanaman modal dengan sistem desentralisasi tentunya berada dibawah pemerintah daerah, berkaitan dengan penyelenggaraan persetujuan dan perizinan penanaman modal dengan sistem desentralisasi, maka di daerah terdapat suatu lembaga pemerintah daerah yaitu Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah yang disingkat dengan BKPMD. Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah pertama kali dibentuk pada Tahun 1973 yaitu berkenaan dengan ditetapkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 20 Tahun 1973 Tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal pada Tanggal 26 Mei 1973. Adapun status dan kedudukan Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah berdasarkan Keputusan Presiden No. 20 Tahun 1973 adalah sebagai berikut: (1). Di daerah Tingkat I dibentuk BKPM Daerah yang merupakan badan staf untuk membantu Gubernur dalam menyelenggarakan kegiatan yang berhubungan dengan penanaman modal. (2) Pembentukan BKPMD diatur dengan Keputusan Gubernur dengan memperhatikan saran-saran Ketua BKPM Pusat (3) Tugas BKPM Daerah adalah: a. Menampung keinginan dan memberikan penjelasan kepada calon penanam modal tentang kemungkinan penanaman modal di daerah. b. Menerima permohonan penanaman modal dalam negeri, meneliti persyaratan-persyaratan teknis sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku selanjutnya meneruskan permohonan tersebut kepda BKPM Pusat. c. Mengkoordinir penyelesaian izin penggunaan tanah, izin bangunan dan izin Undang-undang Gangguan di daerah yang diperlukan dalam rangka penanaman modal. d. Mengadakan pengawasan pelaksanaan penanaman modal di daerahnya dan menyampaikan laporan kepada BKPM Pusat. (4) Dalam melaksanakan tugasnya, BKPM Daerah bertanggungjawab kepada Gubernur dan menerima petunjuk-petunjuk teknis dari BKPM Pusat.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
65
(5)
Perincian organisasi serta pengurusan administrasi personil dan keuangan BKPM Daerah diatur dengan keputusan Gubernur. 75 Menurut Sumantoro bahwa dengan tugas-tugas seperti tersebut di atas maka
pembentukan BKPMD sama sekali bukan merupakan tambahan mata rantai bagi dunia usaha. Adanya BKPMD dimaksudkan justru untuk mengurangi jumlah mata rantai, mengurangi keperluan daripada dunia usaha untuk terlalu banyak berhubungan dengan instansi-instansi yang banyak sekali jumlahnya. Tujuan pembentukan BKPMD adalah justru untuk menyederhanakan prosedur-prosedur penanaman modal. 76 Keputusan Presiden No. 20 Tahun 1973 kemudian dicabut dengan Keputusan Presiden No. 53 Tahun 1977 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal. Adapun konsepsi Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah berdasarkan Keputusan Presiden tersebut adalah: (1)
(2)
(3)
Di Daerah Tingkat I dapat dibentuk Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah, selanjutnya disingkat BKPMD, yang merupakan badan staf untuk membantu Gubernur Kepala Daerah dalam menyelenggarakan kegiatan yang berhubungan dengan penanaman modal di daerah yang bersangkutan. Pembentukan BKPMD beserta perincian susunan organisasi ditetapkan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri setelah berkonsultasi dengan Ketua BKPM dan setelah memperoleh persetujuan tertulis dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang penertiban dan penyempurnaan Aparatur Negara. BKPMD mempunyai tugas pokok:
75
Pasal 10 Keputusan Presiden No. 20 Tahun 1973 Tentang Badan Koordinasi Penanaman
Modal. 76
Sumantoro, Bunga Rampai permasalahan Penanaman Modal dan Pasar Modal/Problem of Investment in Equities and in Securities, Cet.I, ( Jakarta : Binacipta, 1984 ) hal 5.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
66
(4)
a. Menyelesaikan masalah-masalah penyedian tanah/lokasi yang diperlukan, pemberian hak atas tanah (hak guna bangunan, hak pengelolaan, dan hak pakai), pemberian izin bangunan dan izin Undang-undang Gangguan; b. Melakukan evaluasi mengenai perkembangan bidang-bidang usaha penanaman modal di daerah dilihat dari segi kepentingan pengembangan daerah yang bersangkutan. BKPMD dipimpin oleh seorang Ketua yang bertanggung jawab kepada Gubernur Kepala Daerah dan menerima petunjuk-petunjuk teknis dari Ketua BKPM. 77 Kemudian pada Tanggal 29 Maret 1980 Presiden Soeharto mengeluarkan
Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1980 tentang Pembentukan Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah. Dengan keputusan presiden tersebut dibentuk Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah di setiap Provinsi di Indonesia. 78 Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah, selanjutnya disebut BKPMD, adalah badan staf yang langsung berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I. 79 Tugas BKPMD adalah untuk membantu Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dalam menentukan kebijaksanaan di bidang perencanaan penanaman modal Daerah serta penilaian atas pelaksanaannya. 80 Dengan menjalankan fungsinya sebagai berikut: Pertama, menyusun rencana-rencana penanaman modal daerah yang dalam garis besarnya berisikan tujuan, susunan prioritas, strategi dan promosi penanaman modal. Kedua, melakukan koordinasi dengan instansi-instansi di daerah dalam rangka 77
Pasal 14 Keputusan Presiden No. 53 Tahun 1977 Tentang Badan Koordinasi Penanaman
Modal 78
Pasal 1 angka (1) Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1980 Tentang Pembentukan Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah. 79 Pasal 1 angka (2) Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1980 Tentang Pembentukan Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah. 80 Pasal 2 Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1980 Tentang Pembentukan Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
67
penyelesaian perizinan yang berhubungan dengan penanaman modal. Ketiga, mengawasi persiapan dan perkembangan pelaksanaan penanaman modal di daerah untuk kepentingan penilaian baik tentang pelaksanaan maupun tentang penyesuaianpenyesuaian yang diperlukan dalam proyek. Keempat, mengadakan penilaian mengenai permasalahan dan sumber-sumber potensial daerah secara menyeluruh untuk perencanaan pelaksanaan penanaman modal daerah. Kelima, Memonitor pelaksanaan pembangunan di daerah. Keenam, melakukan kegiatan-kegiatan lain yang ditugaskan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I.81 Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah dipimpin oleh seorang Ketua yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I. 82 Salah satu bidang dalam Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah adalah bidang perizinan. 83 Namun perizinan di sini hanyalah terbatas untuk melakukan koordinasi dengan instansi-instansi di daerah dalam rangka penyelesaian perizinan yang berhubungan dengan penanaman modal. 84 Meskipun telah mendapat pengaturan tersendiri di dalan Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1980, namun Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1981 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal juga mengatur sekilas mengenai Badan Koordinasi
81
Pasal 3 Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1980 Tentang Pembentukan Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah. 82 Pasal 5 angka (1) Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1980 Tentang Pembentukan Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah. 83 Pasal 7 angka (1) huruf b Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1980 tentang Pembentukan Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah. 84 Pasal 3 huruf b Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1980 Tentang Pembentukan Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
68
Penanaman Modal Daerah. Dimana kedudukan Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah berdasarkan Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1980 adalah: 1. Kegiatan yang berhubungan dengan penanaman modal di daerah diselenggarakan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah. 2. BKPM adalah staf yang langsung berada dibawah dan bertanggungjawab kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I.85 Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1980 mengalami perubahan dengan dikeluarkan Keputusan Presiden No. 116 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1980 tentang Pembentukan Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah. Adapun perubahan-perubahan yang terjadi dengan dikeluarkan Keputusan Presiden No. 116 Tahun 1998 adalah: Pertama, perubahan tugas dari Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah sebagaimana dinyatakan bahwa: Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah mempunyai tugas membantu Gubernur Kepala daerah Tingkat I dalam menentukan kebijakan di bidang perencanaan penanaman modal dalam rangka Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Negara/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal berdasarkan kriteria tertentu, dan melakukan pengawasan atas pelaksanaannya. 86 Kedua, perubahan fungsi Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah sebagaimana disebutkan berikut ini: 85
Pasal 23 Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1980 Tentang Pembentukan Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah. 86 Pasal 2 Keputusan Presiden No. 116 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1980 tentang Pembentukan Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
69
1. menyusun rencana-rencana penanaman modal di daerah yang dalam garis besarnya berisi tujuan, susunan prioritas, strategi dan promosi penanaman modal. 2. Mengadakan penilaian mengenai permasalahan dan sumber-sumber potensi daerah secara menyeluruh untuk kepentingan perencanaan penanaman modal daerah. 3. Menilai/mengevaluasi penanaman modal dalam rangka Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) tentu sesuai dengan kebijaksanaan dan ketentuan-ketentuan penanaman modal yang berlaku. 4. Untuk Gubernur Kepala Daerah Tingkat I atas nama Menteri Negara Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, menerbitkan Surat Persetujuan penanaman modal dalam rangka Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) tertentu yang di tetapkan oleh Menteri Negara Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal berdasarkan kriteria tertentu. 5. Untuk Gubernur Kepala Daerah Tingkat I atas nama Menteri teknis yang bersangkutan untuk Menteri Negara Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, menerbitkan Surat Pemberian Fasilitas dan Perizinan Pelaksanaan Penanaman Modal dalam rangka Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) tertentu. 6. Melakukan koordinasi dengan instansi-instansi di daerah dalam rangka penyelesaian perizinan yang berhubungan dengan pelaksanaan penanaman modal. 7. Mengawasi persiapan dan perkembangan pelaksanaan penanaman modal di daerah untuk kepentingan penilaian, baik tentang laju pelaksanaan maupun tentang penyesuaian-penyesuaian yang diperlukan di dalam proyek-proyek. 8. Menyampaikan laporan secara berkala tentang pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf c, huruf d, dan huruf e di atas kepada Menteri Negara Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Menteri Dalam Negeri, dan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan. 9. Memonitor pelaksanaan pembangunan di daerah. 10. Melakukan kegiatan-kegiatan lainnya yang di tugaskan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I. 87 Kemudian Keputusan Presiden No. 28 Tahun 1980 mengalami perubahan lagi dengan dikeluarkan Keputusan Presiden No. 122 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1980 Tentang pembentukan Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah sebagaimana Telah diubah dengan Keputusan Presiden No. 116 Tahun 1998. 87
Pasal 3 Keputusan Presiden No. 116 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1980 Tentang Pembentukan Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
70
Berkaitan dengan penyelenggaraan penanaman modal dalam rangka penanaman modal asing dan penanaman modal dalan negeri ada dua hal penting yaitu: Pertama, perubahan tugas Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah, adapun perubahannya adalah: Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah mempunyai tugas: a. Membantu Gubernur Kepala Daerah Propinsi dalam menentukan kebijaksanaan di bidang perencanaan penanaman modal daerah; b. Memberikan persetujuan dan perizinan penanaman modal dalam rangka Penanaman Modal Dalam Nergeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA) sesuai dengan kewenangan yang dilimpahkan oleh Menteri Negara Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal. c. Melakukan pengawasan dan pelaksanaannya. 88 Kedua, perubahan fungsi Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah, dimana fungsinya adalah sebagai berikut: Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah menyelenggarakan fungsinya sebagai berikut: a. Menyusun rencana-rencana penanaman modal di daerah yang dalam garis besarnya berisi tujuan, susunan prioritas, strategi dan promosi penanaman modal. b. Mengadakan penilaian mengenai permasalahan dan sumber-sumber potensi daerah secara menyeluruh untuk kepentingan perencanaan penanaman modal daerah. c. Menilai/mengevaluasi permohonan penanaman modal dalam rangka Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA) sesuai dengan kebijaksanaan dan ketentuan-ketentuan penanaman modal yang berlaku. d. Untuk Gubernur Kepala Daerah Propinsi atas nama Menteri Negara Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah, menerbitkan Surat Persetujuan Penanaman Modal dalam rangka Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA). e. Untuk Gubernur Kepala Daerah Propinsi atas nama Menteri Negara Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, menerbitkan surat
88
Pasal 2 Keputusan Presiden No. 122 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1980 Tentang pembentukan Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
71
f.
g.
h.
i. j.
pemberian fasilitas dan perizinan pelaksaan penanaman modal dalam rangka Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing (PMA) Melakukan koordinasi dengan instansi-instansi di daerah dalam rangka penyelesaian perizinan yang berhubungan dengan pelaksanaan penanaman modal. Mengawasi persiapan dan perkembangan pelaksanaan penanaman modal di daerah untuk kepentingan penilaian, baik tentang laju pelaksanaan maupun tentang penyesuaianpenyesuaian yang diperlukan dalam proyek-proyek. Menyampaikan laporan secra berkala tentang pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf c, huruf d, dan huruf e di atas kepada Menteri Negara Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Menteri Dalam negeri, dan Gubernur Kepala Daerah Propinsi yang bersangkutan. Memonitor pelaksanaan pembangunan di daerah. Melakukan kegiatan-kegiatan lainnya yang di tugaskan oleh Gubernur Kepala Daerah Provinsi. 89 Dengan Keputusan Presiden No. 122 Tahun 1999 bahwa persetujuan dan
perizinan penanaman modal telah didesentralisasikan kepada Gubernur Kepala Daerah Propinsi. Desentralisasi persetujuan dan perizinan penanaman modal tidak terlepas dari dikeluar Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Bahkan undang-undang tersebut telah melimpahkan sejumlah kewenangan kepada daerah, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, peradilan, moneter dan fiskal dan lainnya. sebagaima dinyatakan dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 bahwa “ kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan
89
Pasal 3 Keputusan Presiden No. 122 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1980 Tentang pembentukan Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah sebagaimana Telah diubah dengan Keputusan Presiden No. 116 Tahun 1998.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
72
dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama dan kewenangan lain”. 90 Kewenangan lainnya ini mendapat pengaturan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai daerah otonom. Dalam Pasal 2 menyebutkan “kewenangan pemerintah pusat di bidang penanaman modal adalah pemberian dan pengendalian penanaman modal untuk usaha berteknologi strategis yang mempunyai derajat kecanggihan tinggi dan beresiko tinggi dalam penerapannya, meliputi persenjataan nuklir dan rekayasa genetika”. 91 Berdasarkan Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom menyebutkan “kewenangan pemerintah provinsi di bidang penanaman modal adalah melakukan kerjasama dalam bidang penanaman modal dengan kabupaten dan kota”. 92 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang dirubah dengan No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, menyebutkan kewenangan pemerintah pusat meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter
90
Lihat Pasal 7 angka (1) Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan
Daerah. 91
Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 Tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom. 92 Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 Tetang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
73
dan fiskal nasional, serta agama. 93 Kewenangan pemerintah daerah provinsi adalah pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas daerah kabupaten/kota 94 sedangkan kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota adalah pelayanan administrasi penanaman modal. 95 Selain penyelenggaraan persetujuan dan perizinan penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri dengan sistem desentralisasi, dikenal juga penyelenggaraan persetujuan dan perizinan penanaman modal dengan sistem sentralisasi. Di mana penyelenggaraan persetujuan dan perizinan penanaman modal dengan sistem sentralisasi terpusat pada suatu badan atau lembaga pemerintah yang berada di tangan pemerintah pusat. Secara umum penyelenggaraan persetujuan dan perizinan penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri dengan sistem sentralisasi dilakukan dan perkembangannya sebagai berikut:
1. Badan Pertimbangan Penanaman Modal Asing Badan Pertimbangan Penanaman Modal Asing merupakan badan yang dibentuk untuk mempertimbangkan kebijakan di bidang penanaman modal asing
93
Pasal 10 angka (3) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Selanjutnya Dirubah Dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. 94 Pasal 13 angka (1) huruf n Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Selanjutnya Dirubah Dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. 95 Pasal 14 ayat (1) huruf n Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Selanjutnya Dirubah Dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
74
yang dibentuk dengan Keputusan Presidium Kabinet Ampera No.17/EK/KEP/1/1967. Badan pertimbangan Modal Asing terdiri dari Ketua yang dipegang oleh Ketua Presidium Kabinet, dengan anggota-anggotanya Menteri Utama Bidang Ekonomi Keuangan, Menteri Utama Bidang Industri Keuangan, Menteri Keuangan, menteri perdagangan, Menteri Luar
Negeri, Menteri Dalam Negeri, Gubernur Bank
Sentral/Bank Negara Indonesia, Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dan Menteri Negara Perindustrian Dasar, Ringan dan Tenaga, dengan Sekretaris Presidium Kabinet Ampera. 96 Adapun tugas Badan Pertimbangan Penanaman Modal Asing adalah memberikan pertimbangan kepada pemerintah melalui Dewan Stabilitas Ekonomi Nasional mengenai penanaman modal asing dalam hal merumuskan ketentuanketentuan pelaksanaan Undang-undang Penanaman Modal Asing, menyarankan agar di izinkan atau tidaknya penawaran penanaman modal asing di Indonesia, serta menyarankan hal-hal mengenai perizinan di bidang pajak, transfer dan perubahan status dari perusahaan asing dan lainnya sebagainya. 97 Dalam melaksanakan tugasnya, Badan
Pertimbangan Penanaman Modal
Asing bertanggungjawab kepada Ketua Presidium Kabinet. Badan Pertimbangan Penanaman Modal Asing dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh Tim Teknis Penanaman Modal Asing yang bertugas membantu mempersiapkan saran-saran pada
96
Pasal 1 Keputusan Kabinet Ampera No. 17/EK/KEP/1/1967 Tentang Pembentukan Badan Pertimbangan Penanaman Modal Asing. 97 Pasal 2 Keputusan Kabinet Ampera No. 17/EK/KEP/1/1967 Tentang Pembentukan Badan Pertimbangan Penanaman Modal Asing.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
75
Badan
Pertimbangan
mengadministrasikan
Penanaman
Modal
penawaran-penawaran
Asing,
penanaman
menampung modal
asing,
dan serta
mengadakan hubungan dan koordinasi serta pengawasan administratif kepada departemen-departemen yang bersangkutan mengenai pelaksanaan penanaman modal asing. 98 Perkembangan selanjutnya, di bawah Keputusan Presidium Kabinet Ampera No. 17/EK/KEP/1967 dicabut dengan Keputusan Presiden No. 286 Tahun 1968 tentang Pembentukan Panitia Teknis Penanaman Modal. Sehingga terjadinya perubahan lembaga penyelenggaraan penanaman modal dari Badan Pertimbangan Penanaman Modal Asing menjadi Panitia Teknis Penanaman Modal.
2. Panitia Teknis Penanaman Modal Panitia
Teknis
Penanaman
Modal
merupakan
lembaga
baru
yang
menggantikan Badan Pertimbangan Penanaman Modal Asing. Panitia Teknis Penanaman Modal lahir pada Tanggal 26 September 1968, seiring dengan ditetapkan Keputusan Presiden No. 286 Tahun 1968. Kalau Badan Pertimbangan Penanaman Modal Asing diperuntukkan untuk penanaman modal asing, maka Panitia Teknis Penanaman Modal diperuntukkan untuk penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri.
98
Pasal 3 Keputusan Kabinet Ampera No. 17/EK/KEP/1/1967 Tentang Pembentukan Badan Pertimbangan Penanaman Modal Asing.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
76
Adapun tugas dari Panitia Teknis Penanaman Modal dalam meneliti dan menilai apakah permintaan penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri memenuhi syarat-syarat seperti ditentukan oleh peraturan-peraturan yang berlaku, memberikan pertimbangan dan saran kepada pemerintah melalui Ketua Dewan Stabilitas Ekonomi Nasional mengenai masalah-masalah penanaman modal pada umumnya, mengenai sesuatu permintaan izin penanaman modal khususnya, serta bersama-sama dengan departemen/instansi yang bersangkutan mengikuti secara terus menerus pelaksanaan daripada izin-izin penanaman modal yang telah diberikan oleh pemerintah. 99 Panitia Teknis Penanaman Modal itu sendiri dibubarkan pada tanggal 26 Mei 1973 seiring dengan dibentuknya Badan Koordinasi Penanaman Modal dengan ditetapkan keputusan Presiden No. 20 Tahun 1973 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal.
3. Badan Koordinasi Penanaman Modal Badan Koordinasi Penanaman Modal pertama kali di bentuk pada tanggal 26 Mei 1973, yaitu dengan ditetapkannya Keputusan Presiden No. 20 Tahun 1973 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal, berdasarkan Keputusan Presiden tersebut bahwa Badan Koordinasi Penanaman Modal adalah suatu Lembaga
99
Pasal 1 Keputusan Presiden No. 286 Tahun 1968 Tentang Panitia Teknis Penanaman
Modal.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
77
Pemerintah Non Departemen yang berkedudukan dan bertanggungjawab kepada Presiden. 100 Adapun Fungsi Badan Koordinasi Penanaman Modal berdasarkan Keputusan Presiden No. 20 Tahun 1973 adalah berfungsi membantu presiden dalam menentukan kebijaksaan di bidang penanaman modal serta pengamanan pelaksanaannya. 101 Untuk menjalankan fungsinya Badan Koordinasi Penanaman Modal mempunyai tugasnya sebagai berikut: Pertama, meneliti dan menilai permohonan penanaman modal baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri berdasarkan ketentuan-ketentuan penanaman modal yang berlaku serta kebijaksaan pembangunan pada umumnya. Kedua, mengajukan hasil penelitian dan pembahasan penanaman modal kepada Presiden untuk memperoleh persetujuan. Ketiga, mengkoordinir proses pemberian izin-izin/keputusan-keputusan yang diperlukan dalam rangka penanaman modal. Keempat, melakukan pengawasan atas pelaksanaan penanaman modal yang telah diputuskan oleh presiden dengan bekerjasama dengan departemen/instansi yang membawahi bidang usaha yang bersangkutan. Kelima, memberikan peneranganpenerangan mengenai kemungkinan serta kebijaksanaan pemerintahan di bidang penanaman modal dalam rangka meningkatkan penanaman modal sesuai dengan arah dan gerak pembangunan. Keenam, menampung masalah-masalah yang timbul dalam rangka pelaksanaan penanaman modal untuk penyelesaian lebih lanjut,
100
Pasal 1 Keputusan Presiden No. 20 Tahun 1973 Tentang Badan Koordinasi Penanaman
Modal. 101
Pasal 2 Keputusan Presiden No. 20 Tahun 1973 Tentang Badan Koordinasi Penanaman
Modal.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
78
mengambil langkah-langkah yang perlu serta mengajukan saran-saran kepada pemerintah untuk lebih memperlancar dan mengamankan pelaksanaan penanaman modal, antar lain dengan mengeluarkan Buku Pedoman Penanaman Modal. 102 Kemudian Keputusan Presiden No. 20 Tahun 1973 dicabut dengan Keputusan Presiden No. 53 Tahun 1977 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal. Berdasarkan Keputusan Presiden No. 53 Tahun 1977 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal, selanjutnya dalam Keputusan Presiden ini disingkat dengan BKPM, adalah suatu lembaga Pemerintah Non Departemen yang berkedudukan langsung dan bertanggungjawab kepada Presiden. 103 Adapun tugas Badan Koordinasi Penanaman Modal berdasarkan Keputusan Presiden No. 53 Tahun 1977 adalah Badan Koordinasi Penanaman Modal membantu Presiden dalam menetapkan kebijaksanaan di bidang penanaman
modal, proses
persetujuan penanaman modal, penilaian pelaksanaannya. 104 Sedangkan fungsi Badan Koordinasi Penanaman Modal berdasarkan keputusan presiden tersebut adalah: a. Menyusun Daftar Skala Prioritas Penanaman Modal secara berkala bersama-sama dengan departemen/lembaga pemerintah yang bersangkutan, serta menerbitkan Daftar Skala Prioritas tersebut sebagai pedoman para calon penanam modal. b. Merumuskan kebijaksanaan penanaman modal dan menyampaikan kepada presiden untuk mendapat persetujuan.
102
Pasal 3 Keputusan Presiden No. 20 Tahun 1973 tentang Badan Koordinasi Penanaman
Modal. 103
Pasal 1 Keputusan Presiden No. 53 Tahun 1977 tentang Badan Koordinasi Penanaman
104
Pasal 2 Keputusan Presiden No. 53 Tahun 1977 tentang Badan Koordinasi Penanaman
Modal. Modal.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
79
c. Meneliti/menilai permohonan penanaman modal sesuai dengan kebijaksanaan dan ketentuan-ketentuan penanaman modal yang berlaku. d. Mengajukan hasil penelitian/penilaian atas permohonan penanaman modal asing kepada presiden untuk memperoleh keputusan. e. Memberikan persetujuan atas permohonan penanaman modal dalam negeri atas nama Pemerintah Republlik Indonesia. f. Atas nama Menteri yang membina bidang usaha penanaman modal yang bersangkutan, menerbitkan izin usaha baik yang bersifat sementara maupun yang bersifat tetap, izin penguasaan bahan baku, pemberian angka pengenalan importir/ eksportir terbatas, izin pembelian dalam negeri terbatas, izin kerja bagi tenaga asing yang akan berkerja dalam rangka penanaman modal dan Keputusan pemberian fasilitas/keringanan pajak bea masuk bagi penanam modal, dan izin usaha perdagangan hasil produksi barang/jasa dari penanaman modal. g. Menyelenggarakan pengawasan atas pelaksanaan penanaman modal yang telah disetujui oleh pemerintah dengan bekerjasama dengan departemen yang membina penanaman modal. h. Menyelenggarakan pembinaan penanaman modal antara lain dengan: 1. Menghimpun secara aktif masalah-masalah yang timbul dalam rangka penanaman modal untuk menyelesaikannya lebih lanjut. 2. Mengambil langkah-langkah yang perlu untuk memperlancar dan mengamankan pelaksanaan penanaman modal. 3. Memberikan penerangan mengenai kebijaksanaan pemerintah di bidang penanaman modal. 4. Menyelenggarakan komunikasi yang lebih efektif dengan para penanaman modal khususnya dan dunia usaha pada umumnya. 5. Mengarahkan penyebaran kegiatan penanaman modal di daerah-daerah dalam rangka meningkatkan penanaman modal pada umumnya sesuai dengan kebijaksanaan pembangunan. 105 Keputusan Presiden No. 53 Tahun 1977 ini kemudian dicabut dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 33 Tahun 1981 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal. Berdasarkan Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1981 bahwa kedudukan Badan Koordinasi Penanaman Modal tidak banyak berubah. Dimana kedudukan Badan Koordinasi Penanaman Modal berdasarkan Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1981 adalah sebagai berikut Badan Koordinasi Penanaman 105
Pasal 3 Keputusan Presiden No. 53 Tahun 1977 Tentang Badan Koordinasi Penanaman
Modal.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
80
Modal, selanjutnya dalam keputusan presiden ini di singkat BKPM, adalah suatu Lembaga Pemerintah Non Departemen yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada presiden. 106 Demikian juga dengan tugas Badan Koordinasi Penanaman Modal, dimana berdasarkan Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1981 bahwa tugas Badan Koordinasi Penanaman Modal adalah BKPM mempunyai tugas membantu presiden dalam menetapkan kebijaksanaan di bidang penanaman modal, menyelesaikan persetujuan penanaman modal dan penilaian pelaksanaan serta pengembangannya. 107 Dengan Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1981 bahwa fungsi BKPM telah mengalami perubahan dan perkembangan. Adapun perubahannya berdasarkan Keputusan Presiden tersebut adalah: a. Melakukan koordinasi perencanaan penanaman modal baik sektoral maupun regional serta mengadakan sinkonisasi rencana tersebut ke dalam suatu rencana terpadu dalam rangka Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 dan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 maupun yang diatur diluar Undang-undang Penanaman modal. b. Merumuskan kebijaksanaan penanaman modal dan menyampaikan kepada Presiden untuk mendapatkan persetujuan. c. Menyusun dan menerbitkan Daftar Skala Prioritas penanaman modal secara berkala bersama-sama dengan departemen/lembaga pemerintah yang bersangkutan sebagai pedoman pembangunan sektor-sektor penanaman modal. d. Mengarahkan penyebaran kegiatan penanaman modal di daerah-daerah sesuai dengan kebijaksanaan pembangunan. e. Menyelenggarakan pengawasan pelaksanaan penanaman modal yang telah disetujui pemerintah dengan bekerjasama dengan departemen/instansi yang membina penanaman modal.
106
Pasal 1 Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1981 Tentang Badan Koordinasi Penanaman
107
Pasal 2 Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1981 Tentang Badan Koordinasi Penanaman
Modal. Modal.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
81
f. Menyelenggarakan pengolahan dan pengembangan proyek-proyek yang diprioritaskan. g. Menyelenggarakan pembinaan dan penyuluhan bagi terlaksanaan proyek-proyek penanaman modal. h. Menyelenggarakan komunikasi, promosi dan penerangan yang efektif dengan para penanam modal khususnya dan dunia usaha pada umunya. i. Meneliti/menilai permohonan penanaman modal sesuai dengn kebijaksanaan dan ketentuan-ketentuan penanaman modal yang berlaku. j. Mengajukan hasil penelitian/penilaian atas permohonan penanaman modal asing kepada Presiden untuk memperoleh keputusan. k. Memberikan persetujuan atas permohonan penanaman modal dalam negeri atas nama Pemerintah Republik Indonesia. l. Atas nama Menteri yang membina bidang usaha penanaman modal yang bersangkutan, dan dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 dan Undang-Undang No. 6 Tahun 1968 menerbitkan izin usaha baik yang bersifat sementara maupun yang bersifat tetap, izin penguasaan bahan baku, pemberian angka pengenal importir/eksportir terbatas, izin pembelian dalam negeri terbatas, Hak Guna Usaha, izin kerja bagi tenaga asing yang akan bekerja dalam rangka penanaman modal, dan keputusan pemberian fasilitas/keringanan pajak dan bea masuk bagi penanaman modal, dan izin usaha perdagangan hasil produksi/barang/jasa dari penanaman modal. m. Memberikan pelayanan yang diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan penanaman modal. 108 Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1981 mengalami perubahan dengan dikeluarkan Keputusan Presiden No. 78 Tahun 1982 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1981 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal. Dengan dikeluarkan keputusan presiden tersebut perubahannya hanyalah terhadap Pasal 3 huruf c yaitu “Menyiapkan dan menyusun Daftar Skala Prioritas Penanaman Modal secara berkala sebagai pedoman pembangunan sektor-sektor
108
Pasal 2 Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1981 Tentang Badan Koordinasi Penanaman
Modal.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
82
penanaman modal, dengan memperhatikan pandangan dan bahan-bahan yang disampaikan oleh departemen/lembaga yang bersangkutan”.109 Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1981 mengalami perubahan lagi dengan dikeluarkan Keputusan Presiden No. 113 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1981 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal. Perubahan yang terjadi adalah dengan menambahkan Pasal 21 a pada bagian tugas dan wewenang departemen yang membina bidang usaha penanaman modal dan departemen lainnya yang terdapat dalam Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1981, sehingga perubahannya sebagai berikut; (1)
(2)
(3)
(4)
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal dalam pemberian persetujuan dan fasilitas serta perizinan pelaksanaan penanaman modal dalam negeri tertentu, baik berdasarkan kewenangannya sendiri maupun atas dasar kewenangan yang dilimpahkan oleh menteri-menteri yang membidangi usaha dan menteri lainnya, dapat melimpahkan kewenangannya kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I. Dalam rangka pelimpahan kewenangan sebagaiman dimaksud dalam ayat (1) Gubernur Kepala Daerah Tingkat I menugaskan Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal. Pelimpahan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan dengan menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi serta dengan memperhatikan kesederhanaan, kemudahan dan kecepatan. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelimpahan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3) diatur oleh kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal. 110 Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1981 mengalami perubahan kembali
dengan dikeluarkan Keputusan Presiden No. 120 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1981 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal 109
Pasal 1 Keputusan Presiden No. 78 Tahun 1982 Tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1981 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal. 110 Pasal 1 Keputusan Presiden No. 113 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1981 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
83
sebagaiman telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Keputusan Presiden No. 113 Tahun 1998. Perubahan yang terjadi juga terhadap perubahan Pasal 21A Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1981, sehingga terjadi perubahan sebagi berikut: (1) Menteri Negara Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal baik berdasarkan atas kewenangannya sendiri maupun atas dasar kewenangan yang dilimpahkan oleh menteri-menteri yang membina bidang usaha dan menteri lainnya, dapat melimpahkan kewenangan pemberian fasilitas persetujuan dan fasilitas serta perizinan pelaksanaan penanaman modal dalam rangka Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA) kepada Gubernur Kepala Daerah Propinsi. (2) Pelimpahan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku sepanjang belum dibentuknya instansi yang menangani penanaman modal di daerah Kabupaten dan Daerah Kota. (3) Dalam rangka pelaksanaan pelimpahan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Gubernur Kepala Daerah Propinsi menugaskan Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah. (4) Pelimpahan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan dengan menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi serta dengan memperhatikan kesederhanaan, kemudahan dan kecepatan. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelimpahan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri Negara Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal. 111 Di samping itu perubahan terhadap Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1981 adalah dengan penambahan sebuah pasal baru. Sehingga terjadi perubahan sebagai berikut: (1)
Menteri Negara Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal baik berdasarkan atas kewenangannya sendiri maupun atas dasar kewenangan yang dilimpahkan oleh menteri-menteri yang membina bidang usaha dan menteri lainnya, dapat melimpahkan kewenangan pemberian persetujuan penanaman modal dalam rangka Penanaman Modal Asing (PMA) yang berlaku juga sebagai persetujuan prinsip kepada Menteri Luar Negeri.
111
Pasal 1 angka 1 Keputusan Presiden No. 120 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1981 Tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
84
(2)
(3)
(4)
(5)
Dalam rangka pelimpahan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Menteri Luar Negeri menugaskan kepada Kepala Perwakilan Republik Indonesia. Surat Persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), diterbitkan oleh Kepala Perwakilan Republik Indonesia untuk Menteri Luar Negeri atas nama Menteri Negara Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal. Pelimpahan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan dengan menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi serta dengan memperhatikan kesederhanaan, kemudahan dan kecepatan. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelimpahan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri Negara Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal dan Menteri Luar Negeri baik secara bersamasama maupun sendiri-sendiri. 112 Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1981 mengalami perubahan dengan
dikeluarkan Keputusan Presiden No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1981 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Keputusan Presiden No. 120 Tahun 1999. Di dalam Keputusan Presiden No. 28 Tahun 2004 dinyatakan hal-hal berikut: Beberapa ketentuan dalam Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1981 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal, sebagaimana telah diubah, terakhir dengan Keputusan Presiden No. 120 Tahun 1999 diubah, sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 21A dihapus; 2. Ketentuan Pasal 21B dihapus; dan 3. Ketentuan Pasal 26B dihapus. 113
112
Pasal 1 angka 2 Keputusan Presiden No. 120 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1981 Tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal 113 Pasal 1 Keputusan Presiden No. 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1981 Tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
85
Demikianlah deskriptif tentang sentralisasi persetujuan penanaman modal dalam rangka Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing di Indonesia beserta dengan perangkat atau lembaga penyelenggaranya.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
86
BAB III PELIMPAHAN WEWENANG PEMBERIAN PERSETUJUAN DAN PERIZINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL
A. Pengertian Pelimpahan Wewenang Pemberian Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Penanaman modal mempunyai arti yang sangat penting bagi pembangunan ekonomi nasional sebagaimana tujuan yang hendak dicapai melalui Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang selanjutnya disebut dengan UUPM. Dengan diundangkannya UUPM yang baru tersebut maka semua undangundang terdahulu yang mengatur Penanaman Modal (UU tentang PMA dan PMDN sebagaimana diatur dalam UU No. 1 Tahun 1967 jo UU No. 11 Tahun 1970 dan UU No. 6 Tahun 1968 jo UU No. 12 Tahun 1970) dinyatakan tidak berlaku lagi. 114 Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 ini menjadi satu-satunya undang-undang yang mengatur tentang penanaman modal di Indonesia. Untuk melaksanakannya diperlukan pengaturan teknis melalui peraturan pemerintah dan peraturan pelaksana lainnya sesuai yang diisyaratkan oleh UUPM tersebut. Sambil menanti peraturan pelaksana yang mengatur lebih teknis, maka dalam ketentuan peralihan Pasal 37 UUPM dinyatakan: “ Semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksana dari UU No. 1 Tahun 1967 jo UU No. 11 Tahun 1970 dan UU No. 6 Tahun 1968 jo UU No. 12 Tahun 1970 dinyatakan tetap berlaku sepanjang
114
Adang Abdullah, “Tinjauan Hukum atas UUPM No. 25 Tahun 2007”, Jurnal Hukum Bisnis. Vol. 26 - No. 4 Tahun 2007, hal 5.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
87
tidak bertentangan dan belum diatur dengan peraturan pelaksana yang baru berdasarkan undang-undang ini” 115 Untuk menghindari kepentingan pribadi, golongan atau politis, sebaiknya di setiap instansi dibentuk suatu Tim Interdepartemen (interdep) yang mengkaji mana peraturan yang dianggap relevan dan mana yang tidak relevan. Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 ini sudah jelas dan rinci mengatur langkah-langkah yang harus ditempuh pemerintah melaksanakan secara konsekuen. Diharapkan tidak ada lagi penafsiran yang berbeda dari instansi yang terkait dengan kegiatan penanaman modal. Terlepas dari berbagai pendapat yang berkembang dalam masyarakat yang penting analisis yuridis terhadap undang-undang ini harus fair. Dalam Pasal 2 UUPM dikatakan bahwa ketentuan dalam undang-undang ini berlaku bagi penanaman modal di semua sektor di wilayah Republik Indonesia, sebagaimana dalam penjelasan yang dimaksud dengan penanaman modal di semua sektor di wilayah Negara Republik Indonesia adalah penanaman modal langsung, dan tidak termasuk penanaman modal tidak langsung atau portofolio. 116 Penyelenggaraan
115
Pasal 37 UUPM
116
Pasal 2 UUPM dan Penjelasannya, lihat juga Dhaniswara K. Harjono, Hukum Penanaman Modal Tinjauan Terhadap Pemberlakuan Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, ( Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2007 ), hal. 11-13, menyebutkan Investasi Langsung ( Direct Investment ) atau investasi jangka panjang ini dapat dilakukan dengan mendirikan perusahaan patungan ( Joint Venture Company) dengan mitra lokal, melakukan kerjasama operasi ( Joint Operation Scheme ) tanpa membentuk perusahaan baru, mengonversikan pinjaman menjadi penyertaan manyoritas dalam perusahaan lokal, memberikan bantuan teknis dan manajerial ( technical and management assistance) maupun dengan memberikan lisensi. Investasi tidak langsung ( Indirect investment ) atau Portofolio Investment pada umumnya merupakan penanaman modal jangka pendek yang mencakup kegiatan transaksi di pasar modal dan di pasar uang. Penanaman modal ini disebut dengan penanaman modal jangka pendek pada umumnya, jual beli saham dan atau mata uang dalam jangka waktu yang relatif singkat tergantung kepada fluktuasi nilai saham dan/atau mata uang yang hendak mereka jual belikan.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
88
penanaman modal disemua sektor diatur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 111 Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 77 Tahun 2007 Tentang daftar Bidang Usaha Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal dan Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 76 Tahun 2007 Tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal. Secara yuridis dalam Pasal 2 PP No. 76 Tahun 2007 menetapkan bahwa “ semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan”. 117 Pasal 1 angka (1) UUPM menyebutkan penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia. 118 Sementara itu, yang dimaksud dengan penanam modal menurut Pasal 1 angka (4) UUPM adalah perseorangan atau badan usaha yang melakukan penanaman modal yang dapat berupa penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing. 119
117
Pasal 2 PP No. 76 Tahun 2007 Tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal. 118 Pasal 1 angka (1) UUPM. 119 Pasal 1 angka (4) UUPM
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
89
Di lihat dari sudut pandang ekonomi yang memandang investasi sebagai salah satu faktor produksi di samping faktor produksi lainnya, investasi dapat diartikan sebagai: 1. Suatu tindakan untuk membeli saham, obligasi atau suatu penyertaan lainnya. 2. Suatu tindakan memberi barang-barang modal 3. Pemanfaatan dana yang tersedia untuk produksi dengan pendapatan di masa mendatang. 120 Karena Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal merupakan peraturan organik mengenai penanaman modal di Indonesia yang di dalamnya mengatur mengenai penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing, maka perlu diperjelas pengertian dari kedua jenis penanaman modal tersebut. Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 25 Tahun 2007, keberadaan penanaman modal dalam negeri diatur dalam UU No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal dalam Negeri. Menurut ketentuan undang-undang tersebut, penanaman modal dalam negeri adalah penggunaan modal dalam negeri (yang merupakan bagian dari kekayaan masyarakat Indonesia termasuk hak-haknya dan benda-benda baik yang dimiliki oleh negara maupun swasta nasional atau swasta asing yang berdomisili di Indonesia yang disisihkan/disediakan guna menjalankan usaha sepanjang modal tersebut tidak diatur dalam Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1967) bagi usaha-usaha yang mendorong pembangunan ekonomi pada umunya.
120
Dhaniswara K. Harjono, Op.cit, hal 11.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
90
Penanaman modal tersebut dapat dilakukan secara langsung oleh pemiliknya sendiri atau tidak langsung, yakni melalui pembelian obligasi-obligasi, surat-surat perbendaharaan negara, emisi-emisi lainnya seperti saham-saham yang dikeluarkan oleh perusahaan serta deposito dan tabungan yang berjangka sekurang-kurangnya satu tahun. Sementara itu, menurut ketentuan Pasal 1 angka (5) Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 penanaman modal dalam negeri adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal dalam negeri dengan menggunakan modal dalam negeri. 121 Seperti halnya dengan penanaman modal dalam negeri, sebelum berlakunya UUPM, keberadaan penanaman modal asing juga diatur dalam suatu ketentuan perundang-undangan tersendiri, yaitu UU No. 1 Tahun 1967 yang merupakan undang-undang organik yang mengatur mengenai penanaman modal asing. Berbeda dengan UU No. 6 Tahun 1968 yang memberikan pengertian tentang penanaman modal dalam negeri, UU No. 1 Tahun
1967 tidak merumuskan
pengertian penanaman modal asing dan hanya menentukan bentuk penanaman modal asing yang dianut. Penanaman modal asing yang dimaksud dengan UU No. 1 Tahun 1967 hanyalah meliputi penanaman modal asing secara langsung yang dilakukan menurut atau berdasarkan ketentuan undang-undang dan yang digunakan untuk menjalankan
121
Pasal 1 angka (5) UUPM
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
91
perusahaan di Indonesia. Dalam arti bahwa pemilik modal secara langsung menanggung risiko dari penanaman modal tersebut. Pasal 1 angka (30) UUPM memberikan pengertian Penanaman modal Asing bahwa penanaman modal asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanaman modal dalam negeri. 122 Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 dapat dikatakan sudah mencakup semua aspek penting (termasuk soal pelayanan, koordinasi, fasilitas hak dan kewajiban investor, ketenagakerjaan, dan sektor-sektor yang dapat dimasukin oleh investor) yang terkait erat dengan upaya peningkatan investasi dari sisi pemerintah dan kepastian berinvestasi dari sisi pengusaha/investor. Kepastian hukum dan keamanan yang menjadi masalah serius yang dihadapi oleh para investor, dan sangat berpengaruh positif terhadap penanaman modal di Indonesia, hal lain yang sangat penting adalah kegiatan penyelenggaraan persetujuan dan perizinan penanaman modal. Dalam membahas pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal ada tiga hal perlu dipahami yaitu: 1. Izin investasi tidak dapat dilihat sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, tetapi harus menjadi satu paket dengan izin-izin yang lain yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kegiatan usaha atau menentukan untung ruginya suatu usaha. 2. Selain harus sejalan dengan atau didukung oleh undang-undang lain yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kelancaran penanaman modal di dalam negeri, UUPM harus dapat memberikan solusi paling efektif terhadap 122
Pasal 1 angka (30) UUPM.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
92
permasalahan-permasalahan lainnya yang juga sangat berpengaruh terhadap kegiatan investasi, contohnya persoalan pembebasan tanah. 3. Biokrasi yang tercermikan oleh antara lain prosedur administrasi dalam mengurus investasi ( seperti perizinan, persyaratan atau peraturan lainnya) yang berbelitbelit dan langkah prosedurnya yang tidak jelas.123 Adanya wewenang pemerintah daerah untuk mengatur penyelenggaraan penanaman modal dapat dilihat dalam Pasal 30 angka (2) UUPM yang menyebutkan bahwa “pemerintah daerah menyelenggarakan urusan penanaman modal yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan penyelenggaraan penanaman modal yang menjadi urusan pemerintah”. 124 Di samping itu penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya lintas kabupaten/kota menjadi urusan Pemerintah Provinsi, 125 dan penyelenggaraan penanaman modal yang tuang lingkupnya berada dalam satu kabupaten/kota menjadi urusan pemerintah kabupaten/kota.”126 Sesuai dengan asas penyelenggaraan pemerintahan negara dan daerah, maka lembaga pemerintahan baik pusat maupun daerah memiliki wewenang masingmasing. Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah selanjtnya dirubah dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 10 angka (3) menyebutkan wewenang pemerintahan meliputi bidang
123
Tulus Tahi Hamonangan Tambunan “Kendala Perizinan Dalam Kegiatan Penanaman Modal Di Indonesia Dan Upaya Perbaikan Yang Perlu Dilakukan Pemerintah”, Jurnal Hukum Bisnis. Vol. 26 - No. 4-Tahun 2007, hal 5 124 Pasal 30 angka (2) UUPM 125 Pasal 30 126 Pasal 30 angka (6) UUPM.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
93
politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal nasional, dan agama. 127 Dalam Pasal 13 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya dirubah dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi meliputi: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. n. o. p.
Perencanaan dan pengendalian pembangunan. Perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat. Penyediaan sarana dan prasarana umum. Penangananan bidang kesehatan. Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial. Penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota. Pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota. Pengendalian lingkungan hidup. Pelayanan pertahanan termasuk lintas kabupaten/kota. Pelayanan kependudukan dan catatan sipil. Pelayanan administrasi umum pemerintahan. Pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. 128 Kewenangan urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah
untuk kabupaten/kota diatur dalam Pasal 14 antara lain: 127
Pasal 10 angka (3) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Selanjutnya Dirubah Dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. 128 Pasal 13 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Selanjutnya Dirubah Dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
94
a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. n. o. p.
Perencanaan dan pengendalian pembangunan. Perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat. Penyediaan sarana dan prasarana umum. Penangananan bidang kesehatan. Penyelenggaraan pendidikan. Penanggulangan masalah sosial. Pelayanan bidang ketenagakerjaan. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah. Pengendalian lingkungan hidup. Pelayanan pertahanan. Pelayanan kependudukan dan catatan sipil. Pelayanan administrasi umum pemerintahan. Pelayanan administrasi penanaman modal. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. 129 Dapat disimpulkan penyelenggaraan penanaman modal telah dilimpahkan
kepada pemerintah daerah dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah selanjtnya dirubah dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan masalah penanaman modal tetap menjadi kewenangan pemerintah daerah yang mana pemerintah provinsi dapat memberikan pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota, dan dilimpahkan juga kepada pemerintah kabupaten/kota untuk memberikan pelayanan administrasi penanaman modal. Sedangkan masalah ketenagakerjaan khususnya tenaga kerja dalam negeri untuk memperkerjakannya tetap tunduk pada peraturan perundangan yang berlaku
129
Pasal 14 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Selanjutnya Dirubah Dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
95
seperti disebutkan dalam Pasal 10
angka (1 dan 2) UUPM bahwa perusahaan
penanaman modal dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja harus mengutamakan tenaga kerja Warga Negara Indonesia (WNI), dan untuk jabatan dan keahlian tertentu, perusahaan penanaman modal berhak menggunakan tenaga kerja Warga Negara Asing (WNA). Dengan demikian UUPM menyatakan bahwa perusahaan penanaman modal harus mengutamakan tenaga kerja warga negara Indonesia dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja. Perusahaan tersebut berhak menggunakan tenaga ahli warga negara asing untuk jabatan dan keahlian tertentu sesuai dengan peraturan perundangundangan. Pemerintah juga memberikan fasilitas penanaman modal kepada penanaman modal yang melakukan perluasan usaha atau melakukan penanaman modal baru. Penanaman modal yang mendapatkan fasilitas tersebut harus memenuhi salah satu kriteria yang tertuang dalam Pasal 18 ayat (3) UUPM yaitu: a. Menyerap banyak tenaga kerja. b. Termasuk skala prioritas tinggi. c. Termasuk pembangunan infrastruktur. d. Melakukan alih teknologi. e. Berada di daerah terpencil, daerah tertinggal, daerah perbatasan atau daerah lain yang dianggap perlu. f. Menjaga kelestarian lingkungan hidup. g. Melakukan kegiatan penelitian, pengembangan dan inovasi. h. Bermitra dengan usaha mikro, kecil, menengah atau koperasi.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
96
i. Industri yang menggunakan barang modal atau mesin atau peralatan yang diproduksi di dalam negeri. 130 Adapun fasilitas yang diberikan kepada penanaman modal dapat berupa: a. pajak penghasilan melalui pengurangan penghasilan netto sampai tingkat tertentu terhadap jumlah penanaman modal yang dilakukan dalam waktu tertentu; b. pembebasan bea masuk atas impor barang modal, mesin, atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri; c. pembebasan atau keringanan bea masuk bahan baku atau bahan penolong untuk keperluan produksi untuk jangka waktu tertentu dan persyaratan tertentu; d. pembebasan atau penangguhan Pajak Pertambahan Nilai atas impor barang modal atau mesin atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri selama jangka waktu tertentu; e. penyusutan atau amortisasi yang dipercepat; dan f. keringanan Pajak Bumi dan Bangunan, khususnya untuk usaha tertentu, pada wilayah atau daerah atau kawasan tertentu. 131 Selain kebijakan fasilitas fiskal, Pemerintah juga memberikan kemudahan pelayanan atau perizinan kepada perusahaan penanam modal untuk memperoleh: 1. hak atas tanah,
130 131
Pasal 18 angka (3) UUPM. Pasal 18 angka (4) UUPM
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
97
2. fasilitas pelayanan keimigrasian, dan 3. fasilitas perizinan impor. 132 Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan atas fasilitas keimigrasian yang diberikan kepada penanam modal yang membutuhkan tenaga kerja asing dalam merealisasikan penanaman modal, penanaman modal yang membutuhkan tenaga kerja asing yang bersifat sementara dalam rangka perbaikan mesin, alat bantu produksi lainnya, pelayanan penjualan serta calon penanam yang akan melakukan penjajakan penanaman modal. sebagaimana dimaksud pada angka (1) huruf a dan b diberikan setelah penanam modal mendapat rekomendasi dari Badan Koordinasi Penanaman Modal. Dengan syarat perusahaan penanaman modal harus mendapat rekomendasi dari BKPM untuk mendatangkan tenaga kerja Asing sebagaimana diatur dalam Pasal 23 angka (2) bahwa kemudahan pelayanan dan/atau perizinan atas fasilitas keimigrasian yang diberikan kepada penanam modal sebagaimana dimaksud pada angka (1) huruf a dan b diberikan setelah penanam modal mendapat rekomendasi dari Badan Koordinasi Penanaman Modal. Pemerintah juga memberikan fasilitas perizinan impor berupa kemudahan pelayanan dan/atau perizinan. Perizinan tersebut diberikan untuk impor barang yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, barang yang tidak memberikan dampak negatif, barang dalam rangka relokasi pabrik dari luar negeri ke Indonesia, dan barang modal atau bahan baku untuk kebutuhan produksi sendiri. 133
132 133
Pasal 21 UUPM Pasal 24 UUPM
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
98
B. Sentralisasi Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Berdasarkan Keputusan Presiden No. 29 Tahun 2004 Tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap Persetujuan dan perizinan penanaman modal baik penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing mempunyai pengaruh dan perkembangan penanaman modal di Indonesia. Proses persetujuan dan perizinan penanaman modal yang mudah, cepat dan efisien serta tidak berbelit-belit merupakan sesuatu yang sangat didambakan oleh para investor. Sementara prosedur persetujuan dan perizinan yang berbeli-belit dan biokrasi yang panjang merupakan suatu kendala yang sangat memberatkan bagi investor. Untuk itu pemerintah berkewajiban untuk menciptakan kondisi yang dapat meningkatkan penanaman modal. Singkatnya menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi investor merupakan tugas dan tanggungjawab pemerintah. Sebagaimana diketahui, untuk melaksanakan investasi dibutuhkan sejumlah izin baik yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah pusat maupun daerah, selain membutuhkan waktu yang cukup lama juga butuhkan biaya yang tidak sedikit. Maka hal di ataslah yang mendasari pemikiran pengambilan kebijakan agar pelayanan penanaman modal dapat dilakukan dalam satu atap. Salah satu hal yang mendorong pemerintah menyiapkan Keputusan Presiden tantang pelayanan satu atap (one roof service) di Badan Koordinasi Penanaman Modal adalah sebagai upaya penyederhanaan prosedur penanaman modal dan untuk mengurangi panjangnya biokrasi pelayanan dan perizinan penanaman modal. Pelayanan satu atap (one roof service) merupakan salah satu upaya pemerintah untuk
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
99
menciptakan iklim penanaman modal yang kondusif, yang di mulai dari bidang persetujuan dan perizinan penanaman modal. Sistem pelayanan satu atap untuk persetujuan dan
perizinan penanaman
modal dalam rangka penyederhanaan prosedur pelayanan berawal dari Sidang Kabinet Tanggal 25 November 2002 yang memutuskan untuk segera melaksanakan sistem tersebut. Sehingga dibuatlah daftar usulan perizinan yang dilaksanakan di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) melalui pelayanan satu atap. Sejalan dengan itu maka dikeluarkanlah Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal dalam rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap. Keputusan Presiden ini merupakan bagian dari sentralisasi kembali penyelengaraan penanaman modal, termasuk juga berkaitan dengan masalah persetujuan dan perizinan penanaman modal. Terlepas dari pandangan bahwa salah satu pertimbangan dikeluarkan keputusan presiden tersebut adalah dalam rangka meningkatkan efektifitas dan menarik investor untuk melakukan penanaman modal dengan menyederhanakan sistem pelayanannya. 134 Dalam Pasal 2 Keputusan Presiden No 29 Tahun 2004, yang menjadi bagian dari penyelenggaraan penanaman modal itu sendiri meliputi bidang kebijakan dan perencanaan pengembangan penanaman modal, bidang promosi dan kerjasama penanaman modal, bidang pelayanan persetujuan, perizinan, dan fasilitas penanaman 134
Keputusan Presiden No. 29 Tahun 2004 Tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap, Konsideran Menimbang Huruf A.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
100
modal, bidang pengendalian pelaksanaan penanaman modal, dan bidang pengelolaan sistem informasi penanaman modal. 135 Keputusan Presiden No. 29 Tahun 2004 menentukan bahwa pelayanan persetujuan, perizinan, dan fasilitas penanaman modal dalam rangka penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri dilaksanakan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Pelaksanaan kebijaksanaan tersebut didasarkan pada pelimpahan kewenangan dari Menteri Investasi/Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen yang membina bidang usaha penanaman modal yang bersangkutan melalui sistem pelayanan satu atap. 136 Berbeda dengan konsep sentralisasi yang pernah berlaku yang sifatnya memaksa (imperatif), tetapi konsep persetujuan dan perizinan penanaman modal berdasarkan Keputusan Presiden No. 29 Tahun 2004 lebih bersifat suka rela. Prinsip suka rela dapat dilihat secara jelas, bahwa di dalam keputusan presiden tersebut dinyatakan
Gubernur/Bupati/Walikota
sesuai
dengan
kewenangannya
dapat
melimpahkan kewenangan pelayanan persetujuan, perizinan dan fasilitas penanaman modal sebagai bidang dari penyelengaraan penanaman modal kepada BKPM melalui sistem pelayanan satu atap. 137
135
Pasal 2 Keputusan Presiden No. 29 Tahun 2004 Tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap. 136 Pasal 3 Keputusan Presiden No. 29 Tahun 2004 Tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap. 137 Pasal 4 Keputusan Presiden No. 29 Tahun 2004 Tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal dalam rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
101
Penguatan kembali institusi penyelengaraan sentralistik semakin jelas terlihat dengan penekanan kembali BKPM di dalam Keputusan Presiden No. 29 Tahun 2004, dimana dinyatakan bahwa sistem pelayanan satu atap dilaksanakan oleh BKPM sesuai dengan Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1981 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagaiman beberapa kali diubah, terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2004. Sehingga banyak pihak yang meragukan efektifitas dari keputusan presiden tersebut, mulai dari pendapat yang optimis maupun yang pesimis. Mereka yang optimis dengan ektifitas sentralisasi persetujuan dan perizinan penanaman modal bahkan mempunyai anggapan pencabutan kewenangan kepala daerah dan badan penanaman modal daerah dalam menangani penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri dinilai akan menciptakan efisiensi dalam pelayanan terhadap investor. Langkah Badan Koordinasi Penanaman Modal inilah dinilai sejumlah Pemerintah Daerah bertolak belakang dengan nuansa desentralisasi dalam UndangUndang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya dirubah dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Maka pemerintah
perlu
mempertegaskan
kembali
desentralisasi
penyelenggaraan
penanaman modal melalui UUPM, yang menyebutkan bahwa penanaman modal penaganannya dilayani melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Sebagaimana diketahui untuk melaksanakan investasi diperlukan sejumlah izin baik yang
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
102
dikeluarkan oleh instansi pemerintah pusat maupun daerah, selain membutuhkan waktu yang cukup lama juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Pelayanan satu pintu ini dilakukan dengan tujuan untuk membantu penanaman modal dalam memperoleh kemudahan pelayanan perizinan, fasilitas fiskal, dan informasi mengenai penanaman modal. Dalam Pasal 1 angka (10) UUPM menyebutkan pelayanan satu pintu adalah kegiatan penyelenggaraan suatu perizinan dan non perizinan yang mendapat pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan non perizinan yang proses pengolahannya dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap diterbitkannya dokumen yang dilakukan dalam satu tempat. 138 Dalam rangka mengatasi kendala perizinan selama ini dirasakan menghambat masuknya investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia, upaya yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan mempercepat dan memangkas waktu proses perizinan serta mengimplementasikan konsep one stop service center. Konsep pelayanan perizinan terpadu satu pintu tersebut telah diatur dalam UUPM pada bab XI Pasal 25 dan 26 mengenai pengesahan dan perizinan perusahaan. Pasal 25 UUPM menyebutkan: (1). Penanam modal yang melakukan penanaman modal di Indonesia harus sesuai dengan ketentuan Pasal 5 undang-undang ini. (2). Pengesahan pendirian badan usaha penanaman modal dalam negeri yang berbentuk badan hukum atau tidak berbadan hukum dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 138
Pasal 1 angka (10) UUPM.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
103
(3)
pengesahan pendirian badan usaha penanaman modal asing yang berbentuk perseroan terbatas dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (4). Perusahaan penanaman modal yang akan melakukan kegiatan usaha wajib memperoleh izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dari instansi yang memiliki kewenangan, kecuali ditentukan lain dalam undangundang. (5). Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diperoleh melalui pelayanan terpadu satu pintu. 139 Pasal 26 UUPM menyebutkan:
(1). Pelayanan terpadu satu pintu bertujuan membantu penanam modal dalam memperoleh kemudahan pelayanan, fasilitas fiskal, dan informasi mengenai penanaman modal. (2). Pelayanan terpadu satu pintu dilakukan oleh lembaga atau instansi yang berwenang dibidang penanaman modal yang mendapat pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan non perizinan di tingkat pusat atau lembaga atau instansi yang berwenang mengeluarkan perizinan dan non perizinan di provinsi, kabupaten/kota. (3). Ketentuan mengenai tatacara dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Presiden. 140 Sebelumnya konsep pelayanan perizinan terpadu satu pintu sudah pernah dilaksanakan, yaitu berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 24 Tahun 2006 Tentang
Pedoman
Penyelenggaraan
Pelayanan
Terpadu
Satu
Pintu
yang
menyebutkan penyelenggaraan pelayanan terpadu satu pintu adalah kegiatan penyelenggaraan suatu perizinan dan non perizinan yang proses pengolahannya dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap diterbitkannya dokumen yang dilakukan dalam satu tempat, 141 dengan tujuan meningkatkan kualitas layanan publik
139
Pasal 25 UUPM Pasal 26 UUPM 141 Pasal 1 angka (11) Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 24 Tahun 2006 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu 140
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
104
dan memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat untuk memperoleh pelayanan publik agar terwujudnya pelayanan publik yang cepat, murah, mudah, transparan, pasti dan terjangkau dan meningkatnya hak-hak masyarakat terhadap pelayanan publik. Dengan adanya pendelegasian wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam penyelenggaraan urusan penanaman modal, seperti diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 24 Tahun 2006 Tentang Pedoman Penyelenggaraan
Pelayanan
Terpadu
Satu
Pintu.
bahwa
Bupati/Walikota
mendelegasikan kewenangan penandatanganan perizinan dan non perizinan kepada Kepala PPTSP untuk mempercepat proses pelayanan. 142 diharapkan daerah mampu menangkap peluang dan tantangan persaingan global melalui peningkatan daya saing daerah atas potensi dan keanekaragaman masing-masing. Oleh karena itu dengan kesempatan dalam penyelenggaran urusan penanaman modal tersebut, pemerintah daerah harus mampu mengembangkan potensi daerah masing-masing guna mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah yang ditandai dengan peningkatan aktifitas ekonomi penduduk dan banyaknya investasi yang masuk ke daerah. Meskipun pendelegasian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk mempercepat proses penyelenggaraan penanaman modal dan untuk meningkatkan daya saing daerah dalam investasi, maka dalam sektor tertentu masih perlu berkoordinasi dengan Badan Kordinasi Penanaman Modal. untuk melakukan
142
Pasal 6 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 24 Tahun 2006 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
105
koordinasi supaya tidak terjadi benturan antara peraturan perizinan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Namun demikian dalam UndangUndang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, BKPM hanya berfungsi dan bertugas sesuai dengan Pasal 27 dan 28 UUPM. Sementara itu Pasal 28 ayat (2) UUPM menyatakan selain tugas koordinasi pelaksanaan kebijakan penanaman modal BKPM juga melaksanakan pelayanan penanaman modal berdasarkan ketentuan perundang-undangan. Adapun rumusan Pasal 28 UUPM adalah: 1. Melakukan koordinasi pelaksanaan kebijakan yang meliputi: a. Melakukan tugas dan koordinasi pelaksanaan kebijakan di bidang penanaman modal. b. Mengkaji/mengusulkan kebijakan pelayanan penanaman modal c. Menetapkan norma, standar dan prosedur pelaksanaan kegiatan dan pelayanan penanaman modal d. Mengembangkan peluang dan potensi penanaman modal di daerah dengan memberdayakan badan usaha. e. Membuat peta penanaman modal di Indonesia. f. Mempromosikan penanaman modal. g. Mengembangkan sektor usaha penanaman modal melalui pembinaan penanaman modal, antara lain meningkatkan kemitraan, meningkatkan daya saing, mencipatakan persaingan usaha yang sehat, dan menyebarkan informasi yang seluas-luasnya dalam lingkup penyelenggaraan penanaman modal. h. Membentuk penyelesaikan berbagai hambatan dan konsultasi permasalahan yang dihadapi penanam modal dalam menjalankan kegiatan penanaman modal. i. Mengkoordinasikan penanaman modal dalam negeri yang menjalankan kegiatan penanaman modalnya di luar wilayah Indonesia. j. Mengoordinasi dan melaksanakan pelayanan terpadu satu pintu. 2. Melaksanakan pelayanan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu UUPM, berarti bahwa BKPM di samping mengikuti ketentuan perundang-undangan dalam hal perizinan sektoral juga wajib mendasarkan pada
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
106
Pasal 28 ayat 1 huruf j, yaitu menkoordinasi dan melaksanakan pelayanan satu pintu. 143 Pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota mempunyai peranan yang sangat penting dalam meningkatkan pelaksanaan penanaman modal di Indonesia. Dalam Pasal 30 UUPM, telah ditentukan kewenangan antara pemerintah, pemerintah provinsi, dan kabupaten/kota terkait dengan penyelenggaraan urusan penanaman modal yaitu: 1. Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menjamin kepastian dan keamanan berusaha bagi pelaksanaan penanaman modal. 2. Pemerintah daerah menyelenggarakan urusan penanaman modal yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan penyelenggaraan penanaman modal yang menjadi urusan pemerintah pusat. 3. Penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang penanaman modal yang merupakan urusan wajib pemerintah daerah didasarkan pada kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efesiensi pelaksanaan kegiatan penanaman modal. 4. Penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya lintas provinsi menjadi urusan pemerintah. 5. Penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya lintas kabupaten/kota menjadi urusan pemerintah provinsi. 6. Penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya berada dalam satu kabupaten/kota menjadi urusan pemerintah kabupaten/kota. 7. Dalam urusan pemerintahan di bidang penanaman modal, yang menjadi kewenangan pemerintah adalah: a. Penanaman modal terkait dengan sumber daya alam yang tidak terbarukan dengan risiko lingkungan yang tinggi. b. Penanaman modal di bidang industri yang merupakan prioritas tinggi pada skala nasional. c. Penanaman modal yang terkait pada fungsi pemersatu dan penghubung antar wilayah atau ruang lingkupnya lintas provinsi. d. Penanaman modal yang terkait pada pelaksanaan strategi pertahanan dan keamanan nasional. e. Penanaman modal asing dan penanaman modal yang menggunakan modal asing, yang berasal dari pemerintah negara lain, yang didasarkan perjanjian yang di buat oleh pemerintah dan pemerintah negara lain.
143
Pasal 28 UUPM
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
107
f. Bidang penanaman modal lain yang menjadi urusan pemerintah menurut undang-undang. 8. Dalam urusan pemerintahan di bidang penanaman modal yang menjadi kewenangan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (7), pemerintah menyelenggarakannya sendiri, melimpahkannya kepada Gubernur selaku wakil pemerintah, atau menugasi pemerintah kabupaten/kota. 9. Ketentuan mengenai pembagian urusan pemerintahan di bidang penanaman modal diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. 144 Di satu sisi dalam UUPM disebutkan, pelayanan penanaman modal dilakukan dalam satu sistem pelayanan terpadu, tetapi di sisi lain ada sektor tertentu yang tetap harus melaksanakan koordinasi dengan BKPM. Ini menunjukan bahwa pelayanan terpadu satu pintu belum bisa terlaksana sebagaimana harapan undang-undang dan peraturan lainnya. sedangkan pemerintah daerah hanya bisa memberikan dan melayani perizinan di sektor menegah kebawah. ini menunjukan dalam memberikan pelayanan perizinan penanaman modal masih tetap sentralistik, oleh sebab itu untuk memperjelaskan pembagian kewenangan tersebut pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah Antara
Pemerintah,
Pemerintah Daerah
Provinsi,
dan
Pemerintah
Daerah
Kabupaten/Kota. Dalam Pasal 7 angka (1 dan 2) disebutkan salah satu urusan pemerintah yang wajib diselenggarakan oleh pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota berkaitan dengan pelayanan dasar, meliputi penanaman modal. 145
144
Pasal 30 UUPM Pasal 7 angka (1) dan (2) Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintah Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. 145
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
108
C. Hubungan Desentralisasi Pemberian Persetujuan dan Perizinan Penanaman Modal Dengan Otonomi Berbagai perundang-undangan yang mengatur pemerintahan daerah melalui asas desentralisasi, dekonsentralisasi dan tugas pembantu, dapat dijadikan indikator besar kecilnya wewenang daerah dalam mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya. Semakin besar penerapan asas desentralisasi pada daerah, semakin luas urusan pemerintah yang diatur masing-masing daerah, sebaliknya semakin besar penerapan asas dekonsentralisasi akan semakin kecil penerapan asas desentralisasi, maka semakin kecil pula urusan pemerintahan yang diatur oleh masing-masing daerah. Dalam sejarah ketatanagaraan Repubulik indonesia pernah mengalami pasang surut pelaksanaan otonomi daerah. Pada era pemerintahan orde baru pelaksanaan otonomi daerah dikenal dengan asas otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, yang dalam praktiknya lebih banyak bersifat sentralisasi. Sebaliknya pada era reformasi telah dikeluarkan dua undang-undang yang mengatur tentang pelaksanaan otonomi daerah yaitu Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya dirubah denganUndang-Undang No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 7 UU No. 22 Tahun 1999, pengutamaan pelaksanaan otonomi daerah (desentralisasi) menyebutkan bahwa
“Kewenangan
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
109
daerah mencakup kewenangan dalam
seluruh bidang pemerintahan kecuali
kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain”. 146 Jika diteliti secara seksama maka Pasal 7 tersebut akan tampak bahwa pelaksanaan otonomi nyata dan bertanggungjawab, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, tetapi lebih luas lagi yaitu “Otonomi daerah yang luas nyata dan bertanggungjawab” adanya kata otonomi yang luas, dapat diartikan ada konsistensi, keinginan, atau political will
dari pemerintah pusat untuk
memperbesar wewenang pelaksanaan asas desentralisasi di daerah sesuai ketentuan MPR No. XV/MPR/1998 Tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional Berkeadilan serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam rangka Negara Kesatuan Republik indonesia. Berdasarkan TAP MPR No. XV/MPR/1998 tersebut, pelaksanaan otonomi daerah pada dasarnya dilakukan dengan mempertimbangkan kaidah-kaidah pelaksanaan sebagai berikut: 1. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan prinsip demokrasi dengan memperhatikan keanekaragaman daerah. 2. Penyelenggaraan otonomi daerah memberikan wewenang yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan melalui pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta pengaturan perimbangan keuangan pusat dan daerah. 3. Penyelenggaraan otonomi, pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, perimbangan keungan pusat dan daerah dalam
146
Pasal 7 Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
110
kerangka mempertahankan dan memperkokoh negara secara berkesinambungan yang diperbuat dengan pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat dan masyarakat. 147 Dari butir-butir tersebut dapat dipahami bahwa kaidah-kaidah partisipatif, transparansi dan keadilan dalam penyelengaraan pemerintah daerah selalu menjadi perhatian utama. Bahkan dengan orientasi penyelenggaraan pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi diharapkan dapat meningkatkan kemampuan dan tanggungjawab politik daerah dalam membangun proses demokratisasi di daerah. Sejalan dengan dinamika dan perkembangan politik yang demikian cepat, maka setelah lima tahun reformasi bergulir, Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dirasakan sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan ketatanegaraan dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah sehingga perlu diganti, maka lahirlah Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya dirubah dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Berdasarkan Undang-Undang Pemerintahan Daerah ini asas penyelenggaraan otonomi daerah berubah dan disesuaikan dengan perkembangan zaman menjadi asas otonomi dan tugas perbantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip negara RI sebagimana dimaksud dalam UUD. 1945. Dasar pemikirannya sebagaimana dikemukakan dalam penjelasan umum adalah: Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Di samping itu melalui otonomi 147
Ujang Bahar, “Wewenang Pemerintah Daerah Terhadap Pinjaman Yang Sumber Dananya Berasal Dari Luar Negeri”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 26 - No. 4 Tahun 2007, hal 50.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
111
luas daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem negara kesatuan Republik Indonesia. 148 Di samping itu pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan otonomi daerah perlu memperhatikan hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi, keanekaragaman daerah dan pembangunan daerah. Dalam kaitannya dengan istilah pembangunan sebagai suatu konsep yang digunakan di Indonesia, diambil alih dari frasa development yang terjemahan harfiahnya adalah perkembangan, pembangunan dan pertumbuhan. Pembangunan mencerminkan adanya dinamika perubahan yang berproses yang dihasilkan oelh suatu tindakan yang disengaja dan direncanakan. Dengan demikian, esensi pembangunan adalah perubahan dari suatu kondisi awal ke kondisi yang lebih baik, baik yang bersifat ragawi maupun yang bersifat non ragawi. Demikian halnya dengan pembangunan daerah sebagai bagian dari pembangunan nasional, di mana di dalamnya tercakup urusan otonomi daerah, di antaranaya urusan bidang penanaman modal. Sejalan dengan pembangunan ekonomi daerah, maka pembangunan daerah tidak dapat dipisahkan antara lain dengan penanaman modal. Sebab aktifitas ekonomi daerah berkaitan dengan penanaman modal dan dapat memacu pertumbuhan ekonomi daerah. Besar sumber daya alam suatu daerah, tidak akan berarti banyak, apabila
148
Ibid, hal 51.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
112
tidak terdapat cukup investasi atau penanaman modal untuk mengembangkan potensi tersebut. Dengan otonomi daerah urgensi penanaman modal makin mengemuka seiring dengan kebutuhan daerah otonom untuk mengembangkan potensi sumberdaya alam yang dimiliki, namun terbentur dengan kendala pendanaan, sehingga diperlukan pengaturan dalam penanaman modal. Peranan penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing atau sejenis, memiliki peranan yang sangat penting dalam menunjang sukses dan berlangsungnya pembangunan.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
113
BAB IV PELAKSANAAN KEWENANGAN PEMBERIAN PERSETUJUAN DAN PERIZINAN PENANAMAN MODAL DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM (NAD)
A. Kewenangan Penyelenggaraan Pemberian Persetujuan dan Perizinan Penanaman Modal di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Sesuai dengan jiwa konstitusi Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 18 angka (2) menyatakan “Pemerintah Daerah (Pemda) diberikan wewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri rumah tangganya menurut asas otonomi dan tugas pembantu”. 149 Menurut Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa. Perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia menempatkan Aceh sebagai satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa dan bersifat khusus, terkait dengan karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh, yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi. Kehidupan masyarakat Aceh yang demikian terartikulasi dalam perspektif modern dalam bernegara dan berpemerintahan yang demokratis serta bertanggungjawab. Tatanan kehidupan yang demikian merupakan perwujudan di dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Ketahanan dan daya juang yang tinggi tersebut bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syari’at Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat sehingga Aceh menjadi salah satu daerah modal
149
Pasal 18 angka (2) Amandemen ke 4 Undang-Undang Dasar 1945
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
114
bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Respon Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melahirkan salah satu solusi politik bagi penyelesaian persoalan Aceh berupa Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 yang mengatur penyelenggaraan otonomi khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam pelaksanaanya undang-undang tersebut juga belum cukup memadai dan menampung aspirasi dan kepentingan pembangunan ekonomi dan keadilan politik. Hal demikian mendorong lahirnya Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dengan prinsip seluas-luasnya. Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) memiliki jumlah penduduk 4.031.589 jiwa dengan luas 57.365.57 km² atau 5.736.557 ha atau 2,89% dari luas Indonesia yang dikelilingi oleh lautan dan memiliki 119 pulau. Letak Provinsi NAD sangat strategis yaitu pada 2°-6° Lintang Utara dan 95°-98° Bujur Timur dengan berbatasan sebelah utara dan timur dengan Selat Malaka, sebelah Selatan dengan Provinsi Sumatera Utara, dan Lautan Hindia Di sebelah Barat. Di Provinsi NAD dapat dilaksanakan beraneka ragam kegiatan ekonomi potensial di berbagai bidang seperti: pertanian, perikanan, peternakan, pertambangan, industri, akomodasi, pelabuhan udara, pelabuhan laut, budaya dan pariwisata serta pertumbuhan ekonomi
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
115
pasca stunami menyebabkan perekonomian Provinsi NAD pada tahun 2005 mengalami pertumbuhan negatif, yaitu sebesar 13,45%.150 Dalam meningkatkan arus investasi atau penanaman modal ke Indonesia, berbagai upaya terus dilakukan oleh pemerintah. Upaya tersebut antara lain, dengan pendelegasian kewenangan pengelolaan (Pemda).
investasi kepada Pemerintah Daerah
Oleh karena itu terkesan pemerintah pusat belum sepenuhnya
mendelegasikan wewenang (desentralisasi) kepada pemerintah daerah dalam urusan penanaman modal. 151 Hal ini disebabkan oleh beberapa alasan antara lain: 2. Belum tertata dengan cermat pembagian pengelolaan investasi. 3. Suatu peraturan perundang-undangan atau regulasi boleh saja lahir dengan mudah tapi ketika di implementasikan banyak kendala yang dihadapi. 4. Secara ekonomi, desentralisasi itu sendiri tentu akan mengubah pola alokasi dan distribusi sumber-sumber ekonomi, khususnya barang-barang publik. Jika pada sistem sentralistis alokasi dan distribusi barang-barang publik didominasi oleh pemerintah pusat, maka dengan adanya desentralisasi atau otonomi fungsi alokasi dan distribusi tersebut banyak beralih kepada daerah kabupaten/kota. Ini berarti nasib kesejahteraan masyarakat akan lebih banyak bergantung kepada pemerintah daerah. 5. Suatu kegiatan penanaman modal termasuk mencakup lebih dari satu provinsi.
150
Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), “Peluang Investasi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam”,, ( Banda Aceh : 2007 ), hal 2. 151 Sentosa Sembiring, Op.cit, hal. 152-153.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
116
6. Suatu kegiatan penanaman modal termasuk dalam kategori layak mendapatkan fasilitas dari pemerintah dan penanam modal meminta fasilitas dari pemerintah. 7. Suatu kegiatan penanaman modal mempunyai nilai investasi yang melebihi sejumlah angka tertentu. 8. Suatu kegiatan penanaman modal berlokasi di daerah dimana lembaga di daerah yang diberikan wewenang oleh oleh pusat untuk urusan penanaman modal belum ada. 152 Hal yang sama juga dinyatakan oleh Nurdin M.yusuf Dewantara, Kepala Bidang perizinan Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah Provinsi NAD bahwa selama ini belum adanya kejelasan atau jaminan kepastian hukum dari pemerintah pusat untuk melimpahkan kewenangan dalam pengelolaan dan penyelenggaraan penanaman modal kepada daerah, khususnya desentralisasi pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal, semula telah dilimpahkan ke daerah yaitu dengan Undang-Undang No 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahaan Daerah, Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya dirubah dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Khusus Provinsi NAD disamping berlaku Undang-Undang tersebut juga dikuatkan dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, tetapi selama ini minat para investor untuk melakukan investasi di Aceh menurun, salah satu penyebabnya tidak ada ketegasan pemerintah pusat untuk melimpahan kewenangan pemberian persetujuan 152
Dhaniswara K. Harjono, Op.cit, hal.157-158.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
117
dan perizinan penanaman modal. Pelaksanaan penanaman modal selama ini masih berpedoman pada ketentuan lama yaitu Keputusan Presiden No. 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal dalam rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap. 153 Sejak reformasi pelaksanaan penanaman modal asing maupun penanaman dalam negeri di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam mengalami pasang surut. Hal ini dapat diketahui dari laporan perkembangan penanaman modal BKPMD Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam di bawah ini: Tabel 1.
Perkembangan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Jumlah Persentase Tahun Rencana investasi Realisasi investasi Proyek (%) 1998 6 1.297.264.000.000,41.449.000.000,19.4 % 1999 4 162.482.790.000,-----12.90 % 2000 8 981.313.500.000,9.946.000.000,25.80 % 2001 1 64.400.000.000,-----3.22 % 2002 1 1.170.000.000,-----3.22 % 2003 2 95.950.711.000,74.650.711.000,6.45 % 2004 3 78.426.320.000,-----9.67 % 2005 ----------0 2006 2 281.623.552.000,137.500.000.000,6.45 % 2007 4 798.217.890.000,-----12.90 % Total
31
3.760.848.763.000,-
263.545.711.000,-
100 %
Sumber: Laporan perkembangan penanaman modal BKPMD Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Tahun 2008 Berdasarkan data di atas, tampak bahwa jumlah investasi dari tahun 1998 sampai dengan tahun 2007 sebanyak Rp 3. 760.848.763.000 triliun. Dan jumlah proyek yang dibiayainya sebanyak 31 proyek. Pada tahun 1998 hanya 153
Wawancara dengan H. Nurdin M.yusuf Dewantara, Kepala Bidang perizinan Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah Provinsi NAD, pada Tanggal 25 Februari 2008.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
118
Rp 1.297.264.000.000 triliun, sedangkan jumlah proyek yang dibiayai sebanyak 6 (enam) proyek. Sementara itu jumlah investasi yang ditanamkan pada tahun 2007 sebanyak Rp 798.217.890.000 miliar sedangkan jumlah proyek yang dibiayai sebanyak 4 proyek. Jumlah total realisasi investasi dari tahun 1998 sampai dengan tahun 2007 sebesar Rp. 263.545.711.000 miliar, maka jelas bahwa pada masa reformasi jumlah Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dari tahun 1998 sampai dengan tahun 2007 mengalami penurunan. Tabel 2. Perkembangan Penanaman Modal Asing (PMA) Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Jumlah Persentase Tahun Rencana investasi Realisasi investasi Proyek (%) 1998 4 4.819.400,4.054.756,8.9 % 1999 4 53.597.474,5.699.160,8.9 % 2000 4 1.228.656.100,535.613.541,8.9 % 2001 1 20.000,------2.22 % 2002 1 ----------2.22 % 2003 4 1.482.450.000,------8.9 % 2004 2 43.733.000,5.000,4.44 % 2005 4 3.975.561.000,3.000.000,8.9 % 2006 10 53.475.500,-----22.22 % 2007 11 36.670.997,-----24.4 % Total
45
6. 842.312.474,-
548.372.457,-
100 %
Sumber: Laporan perkembangan penanaman modal BKPMD Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Tahun 2008 Begitu juga dengan jumlah investasi Penanaman Modal Asing (PMA) dari tahun 1998 sampai dengan tahun 2007 sebanyak Rp 6. 842.312.474 miliar. Dan jumlah proyek yang dibiayainya sebanyak 45 proyek. Jumlah investasi pada tahun 1998 sebanyak Rp 4.819.400 juta, sedangkan jumlah proyek yang dibiayai sebanyak 4 (empat) proyek. Sementara itu jumlah investasi yang ditanamkan pada tahun 2007
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
119
sebanyak Rp 36.670.997 juta, sedangkan jumlah proyek yang dibiayai sebanyak 11 proyek. Jumlah total realisasi investasi dari tahun 1998 sampai tahun 2007 hanya Rp. 548.372.457 juta, maka jelas bahwa pada masa reformasi jumlah Penanaman Modal Asing (PMA) dari tahun 1998 sampai dengan tahun 2007 juga mengalami penurunan. Dalam kaitannya dengan otonomi daerah, pemerintah daerah mempunyai hak mengatur penanaman modal di lapangan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka (11) UUPM bahwa Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan”. 154 Berbicara tentang otonomi daerah, maka Pemerintah Provinsi NAD juga telah mengatur kebijakan adanya kewajiban-kewajiban yang harus ditaati oleh pemeluk agama Islam atau setiap orang yang tinggal di Aceh untuk menaati syari’at Islam yang berlaku di Provinsi NAD, hal ini telah diatur dalam Pasal 126 UUPA rumusannya adalah: 1. Setiap pemeluk agama Islam di Aceh wajib menaati dan mengamalkan syari’at Islam. 2. Setiap orang yang bertempat tinggal atau berada di Aceh wajib menghormati pelaksanaan syari’at Islam. 155
154 155
Pasal 1 angka (11) UUPM Pasal 126 UUPA
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
120
Sesuai dengan Pasal 15 angka (4) UUPM yang mengatur kewajiban penanaman modal, khususnya penanaman modal untuk menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman modal. Maka untuk terlaksananya ketentuan di atas, Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota bertanggungjawab atas penyelenggaraan pelaksanaan syari’at Islam Provinsi NAD, disamping itu pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota menjamin kebebasan, membina kerukunan, dan menghormati nilainilai agama yang dianut oleh umat beragama dan melindungi sesama umat beragama untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama yang dianut. Selanjutnya dalam Pasal 30 UUPM telah ditentukan yang menjadi kewenangan pemerintah mengenai penyelenggaraan penanaman modal adalah: a. Penanaman modal terkait dengan sumber daya alam yang tidak terbarukan dengan risiko lingkungan yang tinggi. b. Penanaman modal di bidang industri yang merupakan prioritas tinggi pada skala nasional. c. Penanaman modal yang terkait pada fungsi pemersatu dan penghubung antarwilayah atau ruang lingkupnya lintas provinsi. d. Penanaman modal yang terkait pada pelaksanaan strategi pertahanan dan keamanan nasional. e. Penanaman modal asing dan penanaman modal yang menggunakan modal asing, yang berasal dari pemerintah negara lain, yang didasarkan perjanjian yang di buat oleh pemerintah dan pemerintah negata lain. f. Bidang penanaman modal lain yang menjadi urusan pemerintah menurut undangundang. 156
156
Pasal 30 UUPM
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
121
Walaupun kewenangan tersebut menjadi kewenangan pemerintah itu sendiri, namun kewenangan itu dapat dilakukan oleh: 1. Pemerintah yang menyelenggarakan sendiri. 2. melimpahkan kepada gubernur selaku wakil pemerintah daerah. 3. menugaskan kepada pemerintah kebupaten/kota Apabila dibandingkan kewenangan yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000
dengan UUPM, dapat dikemukakan bahwa
kewenangan yang tercantum dalam UUPM lebih luas dibandingkan dengan Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000. Dalam Pasal 2 angka (3) Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000, kewenangan pemerintah dalam penyelenggaraan penanaman modal, hanya meliputi perizinan untuk: 1. persenjataan; 2. nuklir; 3. rekayasa genetika. 157 Sementara itu, dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal menyebutkan penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya lintas kabupaten/kota menjadi urusan pemerintah provinsi. Kewenangan provinsi sebagai daerah otonom dalam bidang penanaman modal adalah: 1. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota. 2. melakukan kerjasama dengan kabupten/kota.
157
Pasal 2 angka (3) Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 Tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
122
Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) berpeluang maju dan berkembang dengan membuka seluas-luasnya peluang investasi untuk pembangunan industri di Aceh. Karena Aceh memiliki sumber daya alam yang besar, yang belum dikelola optimal oleh pemerintah dan swasta. Walaupun ada yang mengelola kekayaan alam, hanya demi mencari keuntungan bagi perusahaannya, bukan mensejahterakan rakyat Aceh. Untuk mencapai perekonomian Aceh baru yang modern dan kompetitif bukan hanya mimpi, tapi harus kerja keras dengan sinergi dan serius berusaha untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif, maka akan terbuka lebar jalan menuju kesejahteraan masyarakat Aceh yang lebih baik di masa mendatang. Adanya kewenangan pemerintah daerah untuk mengatur dan mengelola penanaman modal di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dapat ditemukan pengaturannya di dalam Pasal 165 angka (1 dan 2) Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang menyebutkan: (1). Penduduk di Aceh dapat melakukan perdagangan dan investasi secara internal dan internasional sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2). Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya, dapat menarik wisatawan asing dan memberikan izin yang terkait dengan investasi dalam bentuk penanaman modal dalam negeri, penanaman modal asing, ekspor dan impor dengan memperhatikan prosedur yang berlaku nasional. 158 Menurut Zulkifli, staf Pelayanan Konsultasi Investasi Bidang Perizinan Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah Provinsi NAD mengatakan kewenangan pemberian persetujuan dan perizinan telah didesentralisasikan ke daerah yaitu dengan 158
Pasal 165 angka (1 dan 2) UUPA
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
123
Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan khususnya dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, tetapi wewenang pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal tetap ditangani oleh pemerintah pusat meskipun pengurusannya melalui BKPMD, dengan kata lain pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal atau investasi masih bersifat sentralistik berpedoman dengan Keputusan Presiden No. 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal dalam rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap, dimana kewenangan pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal ada pada pemerintah pusat yaitu diberikan melalui BKPM. 159 Hal ini di benarkan oleh Sugeng Riady, General Affair PT. Pembangunan Perumahan Cabang I Banda Aceh, bahwa untuk mendapat persetujuan dan perizinan investasi atau penanaman modal di Provinsi NAD masih diberikan oleh pemerintah pusat atau BKPM Pusat, BKPMD Provinsi NAD hanya merekomendasi investasi yang dilakukan oleh investor, meskipun Provinsi NAD memiliki peraturan perundang-undangan tentang investasi yang diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya dirubah dengan UndangUndang No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 32 Tahun
159
Wawancara dengan Zulkifli, staf Pelayanan Konsultasi Investasi Bidang Perizinan Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah Provinsi NAD, pada Tanggal 25 Februari 2008.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
124
2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, tetapi peraturan daerah tersebut belakunya tidak baku, artinya daerah hanya menyediakan lokasi dan adanya kesiapan terhadap investasi tersebut. 160 Dari isi pasal dan hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa meskipun kewenangan pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal telah di desentralisasi kewenangannya kepada pemerintah daerah, baik di provinsi, kabupaten/kota untuk mengatur penanaman modal di daerahnya masing-masing, akan tetapi pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal masih sentralistik, dalam artian bahwa kewenangan pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal diberikan oleh BKPM. Dalam Keputusan Menteri negara Investasi/Kepala BKPM No. 37/SK/1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Persetujuan dan Fasilitas Serta Perizinan Penanaman Modal kepada Gubernur Kepala Daerah Provinsi, telah ditentukan bahwa pejabat yang berwenang dalam memberikan persetujuan dan izin dalam rangka penanaman modal, baik PMDN maupun PMA adalah: 1. Gubernur Kepala Daerah Provinsi 2. Menteri Negara Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Gubernur dalam menjalankan kewenangan tersebut melimpahkan kepada Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD). Ketua BKPMD berwenang menerbitkan Surat Persetujuan PMDN dan PMA, apabila lokasi
160
Wawancara dengan Sugeng Riady, General Affair PT. Pembangunan Perumahan Cabang I Banda Aceh, Provinsi NAD, pada Tanggal 27 Februari 2008.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
125
penanaman modal itu berada pada dua provinsi atau lebih. Namun berdasarkan Pasal 3 Keputusan Presiden No. 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal dalam rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap, yang berwenang memberikan persetujuan dan perizinan dan fasilitas penanaman modal dalam rangka PMDN maupun PMA adalah Kepala BKPM, yang didasarkan pelimpahan kewenagan Menteri/Kepala Lembaga pemerintah Non Departemen yang membina bidang-bidang usaha penanaman modal yang bersangkutan melalui sistem pelayanan satu atap, sementara itu pemerintah provinsi, kabupaten/kota, hanya berwenang untuk menerbitkan izin yang berkaitan dengan investasi. Jenis-jenis persetujuan yang dikeluarkan oleh Kepala BKPM adalah: 1. Surat Persetujuan Penanaman Modal Dalam Negeri. 2. Surat Persetujuan Penanaman Modal Asing. 3. Surat Persetujuan Perluasan Penanaman Modal
rangka PMDN/PMA (SP
Perluasan). 4. Surat Persetujuan Perubahan Penanaman Modal
rangka PMDN/PMA yang
meliputi: a. Surat Persetujuan Perubahan Lokasi. b. Surat Persetujuan Perubahan Bidang Usaha, Jenis dan Kapasitas Produksi.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
126
c. Surat Persetujuan Perubahan Penggunaan Tenaga Kerja. d. Surat Persetujuan Perubahan Investasi dan Sumber Pembiayaan. e. Surat Persetujuan Perubahan Kepemilikan Saham Perusahaan PMA. f. Surat Persetujuan Perubahan Status Perusahaan PMA menjadi Perusahaan PMDN. g. Surat
Persetujuan
Perubahan
Status
Perusahaan
PMDN
atau
Non
PMDN/PMA menjadi Perusahaan PMA. h. Surat Persetujuan Perpanjangan Waktu Penyelesaian Proyek. i. Surat Persetujuan Penggabungan Perusahaan. Jenis-jenis Izin yang diterbitkan oleh BKPM meliputi: 1. Angka Pengenala Importir Terbatas. 2.
Izin Usaha/Usaha Tetap/Izin Perluasan.
3. Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA). 4. Rekomendasi Visa Bagi Pengguna Tenaga Kerja Asing (RVPTKA). 5. Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing. 6. Perpanjangan izin mempekerjakan tenaga kerja asing yang bekerja di lebih dari satu provinsi. 7. Fasilitas pembebasan/keringan bea masuk atas pengimporan barang modal atau bahan baku/penolong dan fasilitas fiskal lainnya. 161
161
Salim HS dan Budi Sutrisno, Hukum Investasi Di Indonesia, ( Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2007 ) hal 262-263.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
127
Adapun izin yang dikeluarkan oleh daerah meliputi: 1. Izin lokasi. 2. Izin prinsip. 3. Izin Lingkungan. 4. Izin mendirikan Bangunan. 5. Izin gangguan. 6. Izin keselamatan kerja. 162 Dalam mengimplementasikan kewenangan pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal tersebut di atas, maka BKPMD Provinsi NAD bekerjasama dengan BKPM Pusat telah mengeluarkan Surat Keputusan Kepala BKPM No. 57/SK/2004 jo SK/ 70/SK/2004 tentang Tata Cara Permohonan Penanaman Modal yang didirikan dalam rangka Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing. Maka menjadi kewajiban pemerintah dan/atau pemerintah daerah adalah menjamin kepastian hukum dan kepastian keamanan berusaha bagi pelaksanaan penanaman modal. Untuk menjamin kepastian hukum, keamanan itu, perlu diatur kewenangan pemerintah, provinsi, dan kabupaten/kota dalam penyelenggaraan penanaman modal.
162
Dhaniswara K. Harjono, Op.cit, hal 210.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
128
B. Kendala-Kendala Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Dalam Meningkatkan Penanaman Modal Dalam membahas dan mengidentifikasi kendala perizinan penanaman modal di Indonesia ada tiga hal yang harus dipahami, pertama, izin investasi tidak dapat dilihat sebagai suatu yang berdiri sendiri, tetapi harus menjadi satu paket dengan izinizin yang lain yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kegiatan usaha atau menentukan untung ruginya suatu usaha. Kedua, selain harus sejalan dengan atau didukung oleh undang-undang lainnya yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi penanaman modal di dalam negeri. Ketiga, biokrasi yang tercerminkan antara lain prosedur administrasi dalam mengurus investasi seperti perizinan, peraturan dan persyaratan dan lainnya yang berbelit-belit dan langkahlangkah prosedurnya yang tidak jelas. 163 Ada dua hambatan atau kendala yang dihadapi untuk mendatangan investor ke suatu daerah, yaitu kendala internal dan eksternal. Adapun hal yang termasuk kendala internal adalah: 1. kesulitan perusahaan mendapatan lahan atau lokasi proyek yang sesuai. 2. kesulitan memperoleh bahan baku. 3. kesulitan dana/pembiayaan. 4. kesulitan pemasaran dan. 5. adanya sengketa atau perselisihan diantara pemegang saham.
163
Tulus Tahi Hamonangan Tambunan, Op.cit, hal 37-38.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
129
Sedangkan yang termasuk kendala eskternal meliputi: 1. faktor lingkungan bisnis, baik nasional, regional dan global yang tidak mendukung serta kurang menariknya insentif atau fasilitas investasi yang diberikan pemerintah. 2. masalah hukum. 3. keamanan maupun stabilitas politik yang merupakan faktor eskternal ternyata menjadi faktor penting bagi investor untuk menanamkan modal di Indonesia. 4. adanya peraturan daerah, keputusan menteri, undang-undang yang turut mendistorsi kegiatan penanaman modal. 5. adanya Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang menimbulkan ketidak pastian dalam pemanfaatan areal hutan bagi industri pertambangan. 164 Potensi sumberdaya alam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebenarnya sangat besar, investasi yang menarik di Aceh adalah sektor migas. Ini terbukti dari banyaknya perusahaan raksasa perminyakan asal mancanegara yang berinvestasi, Sebut saja ExxonMobil Oil Indonesia (EMOI), PT. ARUN LNG, PT. Pupuk Iskandar Muda (PT. PIM), selain Pertamina sendiri. "Potensi yang paling besar di Aceh memang migas, khususnya gas alam cair. Namun semua itu akan sia-sia jika tidak digarap. Karena itu, daerah butuh pemodal untuk mengelola potensi Sumber Daya Alam (SDA) itu. Namun, untuk menarik investor agar berminat menanamkan 164
Salim HS dan Budi Harsono, Op.cit, hal 96-97.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
130
modalnya
tidak
mudah,
perlu
diciptakan
iklim investasi
yang
kondusif.
Hanya saja, para investor belum banyak tertarik berinvestasi mengingat masih banyak faktor penghambat. Menurut H. Nurdin M. Yusuf Dewantara, Kepala Bidang Perizinan BKPMD Provinsi NAD ada beberapa kendala yang dihadapi dalam mendatangkan investor ke Aceh antara lain: Pertama, tidak adanya jaminan kepastian hukum, karena pemerintah pusat belum melimpahkan kepada daerah tentang kewenangan pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal, jika kewenangan pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal didesentralisasikan ke daerah maka upaya ini bisa mempermudah posedur pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal bagi investor, sehingga tidak mengakibatkan banyak waktu yang terbuang, dan menghabiskan biaya yang mahal, disamping itu pemerintah daerah dapat mengatur regulasi atau kebijakan-kebijakan untuk meningkatkan penanaman modal di daerah. Kedua, Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh belum diterapkan secara maksimal. Ketiga, faktor keamanan atau kondisi yang kurang kondusif menjadi penghambat investasi di Aceh. Keempat, faktor sarana dan prasarana yang kurang mendukung seperti pelabuhan yang masih belum siap pakai. 165
165
Wawancara dengan H. Nurdin M.yusuf Dewantara, Kepala Bidang perizinan Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah Provinsi NAD, pada Tanggal 25 Februari 2008.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
131
Selanjutnya Fuadi Kepala Bidang Promosi BKPMD Provinsi NAD mengemukakan yang menjadi kendala atau hambatan investasi selain hal-hal diatas adalah: ”selain kondisi keamanan harus kondusif, faktor lain yang terpenting adalah kesiapan dari daerah yang di promosi untuk suatu investasi, artinya suatu daerah memiliki sumber daya yang besar dan belum di kelola, kalau tidak siap untuk menerima investasi maka akan menyebabkan turunnya investasi di Aceh”. 166 Hal senada juga dinyatakan oleh Sugeng Riady, General Affair PT. Pembangunan Perumahan Cabang I Banda Aceh, bahwa investasi di suatu daerah akan terkendala atau terhambat jika tidak adanya jaminan kepastian hukum dari pemerintah, keamanan di daerah dan kondisi yang tidak kondusif, menjadi pertimbangan para investor untuk menanamkan modalnya di suatu daerah, karena tujuannya selain investor dapat mempertimbangkan untung rugi dari investasi tersebut, juga diharapkan investasi tersebut dapat berjalan lancar, daerah dapat menikmati, dan investasi tersebut dapat membantu perekonomian daerah dimana investasi dilakukan. 167 Kesimpulannya, tidak adanya jaminan kepastian hukum, regulasi yang berbeli-belit dimana pemerintah pusat belum adanya ketegasan melimpahkan semua wewenang pengelolaan dan penyelenggaraan penanaman modal khususnya wewenang pemberian persetujuan dan perizinan kepada daerah, kurangnya sarana 166
Wawancara dengan Fuadi, Kepala Bidang Promosi Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah Provinsi NAD, pada Tanggal 25 Februari 2008. 167 Wawancara dengan Sugeng Riady, General Affair PT. Pembangunan perumahan Cabang I Banda Aceh, Provinsi NAD, pada Tanggal 27 Februari 2008.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
132
dan prasarana, serta ketidaksiapan daerah dapat menjadi kendala atau hambatan maju tidaknya investasi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Semua permasalahan dalam bidang investasi harus diselesaikan agar iklim investasi yang kondusif dapat segera tercipta antara lain, pertama
dapat
mensejajarkan posisi investor dalam berinvestasi, sehingga iklim kondusif
bagi
investasi dapat tercipta. Kedua, menciptakan kepastian peraturan di bidang investasi sehingga tercipata iklim kondusif bagi investasi di tanah air. Ketiga, menciptakan harmonisasi hukum di bidang investasi pada era pasar dan era otonomi daerah untuk mencegah relokasi perusahaan ke berbagai negara lain.
C. Upaya Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Dalam Meningkatkan Penanaman Modal Setiap
negara
selalu
berusaha
mengembangkan
dan
meningkatkan
pembangunan, kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya, usaha ini dilakukan dengan berbagai cara yang berbeda antara satu negara dengan negara lain. Salah satu usaha yang selalu dilakukan oleh negara adalah menarik sebanyak mungkin investasi asing masuk kenegaranya. Menarik investasi masuk sebanyak mungkin ke dalam suatu negara di dasarkan pada suatu mitos yang menyatakan bahwa untuk menjadi suatu negara yang makmur, pembangunan nasional harus di arahkan ke bidang industri. Untuk mengarah kesana, negar-negara tersebut sudah sejak awal dihadapkan pada permasalahan minimnya modal dan teknologi yang merupakan elemen dasar dalam menuju industrialisasi.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
133
Bila negara berkembang ingin menarik negara maju untuk berinvestasi di negara tersebut, maka ada beberapa hal yang harus dipenuhi antara lain: 1. Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat berubah dapat menjamin dan memberikan kepastian hukum karena ketiadaan kepastian hukum akan menyulitkan peranan jangka panjang usaha mereka. 2. Prosedur perizinan yang tidak berbelit-belit yang menyebabkan high cost economy. 3. Jaminan terhadap investasi mereka dan proteksi hukum mengenai hak atas kekayaan milik investor. 4. Sarana dan prasarana yang dapat menunjang terlaksananya investasi mereka dengan baik, baik antara lain meliputi komunikasi, transportasi atau pengangkutan, perbankan dan ansuransi. 168 Secara umum diketahui bahwa penanaman modal baik penanaman modal asing atau penanaman modal dalam negeri yang berlokasi di negara berkembang atau negara sedang berkembang sering merasa khawatir akan begitu banyak risiko. Hal ini disebabkan oleh keadaan politik, sosial dan ekonomi yang belum stabil dari negara tersebut. Padahal investasi membutuhkan iklim yang kondusif sifatnya seperti rasa aman, tertib, serta adanya suatu kepastian hukum dari negara penerima modal. Maka menjadi kewajiban pemerintah untuk mengatasi masalah-masalah tersebut dengan adanya aturan hukum yang pasti, sistem administrasi yang mudah, regulasi yang
168
Camelia Malik “Jaminan Kepastian Hukum Dalam Kegiatan Penanaman Modal Di Indonesia” Jurnal Hukum Bisnis Vol. 26 – No.4 Tahun 2007, hal. 16.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
134
responsif, adanya sistem kebijakan yang terarah, dan dapat memberikan jaminan kepastian hukum serta rasa keadilan bagi para investor. Di samping upaya-upaya di atas sebagai langkah dari pemerintah untuk meningkatkan iklim investasi yang lebih kondusif yang berlokasi di negara berkembang atau negara sedang berkembang, ada traktat atau perjanjian-perjanjian yang dibuat antara dua negara atau lebih dalam kaitannya dengan investasi, yaitu traktat yang telah disepakati oleh negara-negara investor dan negara-negara penerima modal dalam bidang ivestasi salah satunya yaitu The Convention Establishing ther Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA). MIGA merupakan lembaga Internasional yang dibentuk oleh Bank Dunia, MIGA ini berlaku pada tanggal 12 April 1988 yang mempunyai tujuan yaitu: a. memberikan jaminan kepada investor terhadap resiko nonekonomis, khususnya di negara-negara berkembang. b. Berperan dalam menggalakkan aliran penanaman modal untuk tujuan-tujuan produktif ke negara-negara sedang berkembang . 169 Di samping itu lingkungan bisnis yang sehat untuk berinvestasi tidak hanya diperlukan untuk menarik investor, tetapi juga agar perusahaan yang sudah ada tetap memilih lokasi di daerah tersebut, karena faktor utama yang mempengaruhi lingkungan bisnis adalah tenaga kerja dan produktifitas, perekonomian daerah, infrastruktur fisik, kondisi sosial politik dan institusi.
169
Huala Adolf, Perjanjian Penanaman Modal Dalam Hukum Perdagangan Internasional (WTO), ( Jakarta : Rajawali, 2004) hal. 36.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
135
Dalam rangka menciptakan iklim investasi yang kondusif ada tiga hal mendasar yang harus di perbaiki pejabat dan pengusaha Indonesia yaitu: Pertama, masalah Legal, dalam hal ini Indonesia harus membenahi sistem hukum dan menerapkan penegakan hukum yang ramah bagi investasi dan perdagangan. Kedua, Indonesia harus membenahi masalah-masalah perburuhan, termasuk berbagai pearturan yang menyangkut hubungan kerja yang akrab bagi investor. Ketiga, Indonesia harus membenahi masalah hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. 170 Pemerintah Daerah Provinsi NAD telah melakukan berbagai upaya untuk mendorong dan meningkatkan investasi di Provinsi NAD, pemerintah daerah tidak hanya menyediakan saranan dan prasarana yang terpenting adalah adanya jaminan kepastian hukum penanaman modal dengan adanya pendelegasian kewenangan pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal di Provinsi NAD. Dengan tidak adanya jaminan kepastian hukum mengakibatkan kurangnya minat investor untuk menanamkan modalnya ke daerah, hal ini dapat dilihat dengan adanya peraturan daerah yang tidak berjalan dan masih memakai peraturan pemerintah pusat. Biasanya sebelum calon investor akan menanamkan modalnya disuatu negara, ada beberapa hal yang menjadi perhatian negara calon investor agar mereka dapat memanimalisir risiko dalam berinvestasi, antara lain: 1. Keamanan investasi yang sering berkaitan dengan stabilitas politik suatu negara. 2. Bahaya tindakan nasionalisasi dan berkaitan dengan ganti kerugian. 170
Camelia Malik, Op.cit, hal 17-18.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
136
3. Repatriasi keuntungan dan modal dan konvertibilitas mata uang. 4. Penghindaran pajak berganda. 5. Masuk dan tinggalnya staff atau ahli yang diperlukan. 6. Penyelesaian sengketa. 7. Perlakuan yang sama terhadap investor asing dan tidak adanya pembedaan dari investor domestik. 8. Insentif untuk penanaman modal 9. Tranparencey yaitu kejelasan mengenai peraturan perundang-undangan, prosedur adaministrasi yang berlaku, serta kebijakan investasi dan 10. Kepastian hukum, termasuk enforcement putusan-putusan pengadilan. 171 Menurut H. Nurdin M.yusuf Dewantara, Kepala Bidang perizinan Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah Provinsi NAD, penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri harus di sambut baik karena penanaman modal dapat memberikan keuntungan yang besar bagi daerah yaitu; menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat daerah tersebut, sehingga dapat meningkatkan pendapat hidup. mencegah pengangguran, meningkatkan pendapatan daerah, adanya alih teknologi, serta pembangunan infrasturktur daerah menjadi lebih baik. Maka untuk mencapai semua maksud tersebut Pemerintah Provinsi NAD telah melakukan beberapa upaya untuk meningkatkan penanaman modal di Aceh antara lain; pertama, memperbaiki kondisi iklim investasi lebih kondusif. Hal ini dapat dilihat dengan adanya program pemerintah Provinsi NAD yang mencanangkan Tahun 2008 sebagai 171
Ibid. hal 17.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
137
tahun wisata dan investasi. Diharapkan dengan perdamaian yang terjadi tahun 2005, Aceh menjadi salah satu tujuan wisata dan investasi yang bertujuan untuk memulihkan ekonomi dan pembangunan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Kedua, adanya koordinasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, meskipun dalam era otonomi daerah mempunyai hak untuk mengatur penanaman modal di lapangan sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 No. 11 UUPM bahwa “Otonomi daerah adalah, hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”, upaya ini bertujuan memberikan jaminan kepastian hukum bagi investor dan dengan adanya otonomi daerah koordinasi antar departemen menjadi lebih baik. Ketiga, pemerintah pusat besungguh- sungguh membantu daerah dengan melimpahkan segera pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal kepada daerah, sehingga tidak adanya regulasi dan biokrasi yang berbelit. Keempat, adanya harmonisasi dan sinkronisasi peraturan investasi yang berlaku. 172 Hal senada juga diungkapkan oleh Fuadi, Kepala Bidang Promosi BKPMD menyatakan bahwa upaya-upaya atau langkah-langkah Pemerintah Provinsi NAD atau BKPMD Provinsi NAD dalam meningkatkan investasi di Aceh antara lain: 1. Identifikasi potensi sumber daya daerah kabupaten/kota.
172
Wawancara dengan H. Nurdin M.yusuf Dewantara, Kepala Bidang perizinan Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah Provinsi NAD, pada Tanggal 25 Februari 2008.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
138
2. Promosi dan kerjasama penanaman modal daerah baik di dalam maupun di luar negeri seperti seminar, pameran, temu usaha dan lokakarya. 3. Pembuatan bahan promosi penanaman modal daerah dalam bentuk media cetak antara lain, brosur, buku-buku, maupun media elektronik seperti, film, video, slide, CD Room situs web. 4. Disamping menyediakan sarana dan prasarana yang terpenting sekali adalah adanya pelimpahan kewenangan pemberian persetujuan dan perizinan kepada daerah. 173 Berbagai upaya dan pembenahan dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) untuk meningkatkan penanaman modal dan berusaha menciptakan iklim yang kondusif bagi investasi di Provinsi NAD. Bahkan Pemerintah NAD mencanangkan Tahun 2008 sebagai tahun wisata dan investasi yang bertujuan untuk memulikan ekonomi dan pembangunan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 174 Upaya-upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi NAD akan mampu menjamin kepastian hukum, kenyamanan dan keamanan bagi para penanaman modal, tanpa adanya jaminan kepastian hukum niscaya para investor tidak mau berinvestasi di Provinsi NAD.
173
Wawancara dengan Fuadi, Kepala Bidang Promosi Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah Provinsi NAD, pada Tanggal 25 Februari 2008. 174 “ Aceh Canangkan Tahun Wisata dan Investasi” Kompas,Tanggal 14 April 2008, hal 27.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
139
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
B. Kesimpulan 1. Wewenang pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal dengan sistem desentralisasi adalah suatu upaya pemerintah untuk mendekatkan pelayanan penanaman modal kepada masyarakat, dimana kewenangan untuk memberikan persetujuan dan perizinan untuk pelaksanaan penanaman modal, baik penanaman modal dalam negeri maupun penanaman modal asing berada ditangan pemerintah daerah. Dalam kaitannya dengan pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal dengan sistem sentralisasi bahwa penyelenggaraan penanaman modal yang ditangani oleh pemerintah pusat tanpa melibatkan pemerintah daerah. Sentralisasi penanaman modal menunjukkan bahwa semua hal, baik promosi penanaman modal, penentuan kebijakan penanaman modal, persetujuan dan perizinan penanaman modal, hingga perubahan penanaman modal harus dilakukan oleh pemerintah pusat. 2. Pelimpahan wewenang pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang penanaman modal semua urusan penanaman modal penanganannya dilayani melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), dimana kegiatan penyelenggaraan suatu perizinan dan non perizinan yang mendapat pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan atau non perizinan yang proses
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
140
pengelohannya
dimulai
dari
tahap
permohonan
sampai
dengan
tahap
diterbitkannya dokumen yang dilakukan disatu tempat. 3. Pelaksanaan kewenangan pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) selama ini masih bersifat sentralistik, dimana masih berpedoman pada ketentuan yaitu Keputusan Presiden No. 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap. Hal ini mengakibatkan pelaksanaan penanaman modal di Provinsi NAD mengalami penurunan, yang disebabkan karena tidak ada jaminan kepastian hukum, regulasi yang berbelit-belit, tidak adanya ketegasan
dari
pemerintah pusat untuk melimpahkan semua wewenang pelaksanaan penanaman modal kepada daerah.
C. Saran 1. Adanya koordinasi lebih intensif antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam hal penanaman modal atau investasi, disamping itu adanya harmonisasi dan sinkronisasi peraturan penanaman modal pusat dengan daerah sehingga langkah-langkah ini dapat meningkatkan investasi. Di samping itu, pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal dengan sistem sentralisasi sangat memberatkan investor untuk menanamkan modalnya di suatu daerah, karena tidak adanya jaminan kepastian hukum.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
141
2. Di samping itu pemerintah pusat segera dapat melimpahkan kewenangan pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal kepada Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Hal ini merupakan salah satu upaya untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif, sehingga tidak adanya regulasi yang berbelit-belit dalam pemberian persetujuan dan perizinan penanaman modal, hal ini dapat memberikan jaminan kepastian hukum, keamanan dan kenyamanan serta tidak merugikan para investor. 3. Dengan adanya pendelegasian wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penanaman modal, diharapkan Pemerintah Aceh mampu menangkap peluang dan tantangan persaingan global melalui peningkatan daya saing daerah atas potensi dan keanekaragaman daerah, Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam juga harus mampu mengembangkan potensi daerah masing-masing guna mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah yang ditandai dengan peningkatan aktivitas ekonomi penduduk dan banyaknya investasi yang masuk ke daerah, diharapkan juga dengan adanya pendelegasian wewenang tersebut, Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh harus mampu mempercepat pelayanan kepada masyarakat terutama investor yang akan menanamkan modalnya di daerah secara lebih cepat, efektif dan efisien.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
142
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
146
DAFTAR PUSTAKA A. Buku Adolf,
Huala, Perjanjian Penanaman Modal Dalam Hukum Internasional (WTO), Jakarta : Rajawali, 2004.
Perdagangan
Ahmad, Kamaruddin, Dasar-Dasar Manajemen Investasi, Jakarta : Rineka Cipta, 1996. Asikin, Zainal dan Amiruddin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2006. Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006. Dumairy, Perekonomian Indonesia, Jakarta : Erlangga, 1997. Ensiklopedia Indonesia, Jakarta : Ichtiar Baru - Van Hoeven dan Elsevier Publishing Project, 1970. Harjono.
K, Dhaniswara, Hukum Penanaman Modal Tinjauan Terhadap Pemberlakuan Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2007
Harris, Myra A., Legal Reseacrh, ed.10, New York : Prentice Hall, 1997 HR, Ridwan, Hukum Administrasi Negara, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2006 ----------------, Hukum Administrasi Negara, Jakarta : UII Press Indonesia, 2002 HS, Salim, dan Budi Sutrisno, Hukum Investasi Di Indonesia, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2008 Irawan, Suparmono, Ekonomi Pembangunan ed.5, Yogyakarta : BPFE, 1996. Ibrahim, Jhonny, Teori &Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang : Bayumedia Publishing, 2006 Ilmar, Aminuddin, Hukum Penanaman Modal Di Indonesia, Jakarta : Prenada Media Group, 2007.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
146
Jeddawi, Murtir, Memacu Investas Di Era Otonomi Daerah, Yogyakarta : UII Press, 2006. Kontjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta : PT. Gramedia, 1997. Manan Bagir, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1994. -----------------, Menyonsong Fajar Otonomi Daerah, cet.I, Yogyakarta : Pusat Studi Hukum UII, 2001. Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana, 2005 Nasution, Bismar, Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan pembangunan Ekonomi, Pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Ilmu Hukum Ekonomi Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan Tgl 17 April 2004. Nirwono, Ilmu Ekonomi Untuk Kontek Indonesia, Jakarta : LP3ES,1991. Poerwadarminta, WJS, Kamus Umum Bahasa Indonesia, cet.5, Jakarta : Balai Pustaka, 1976. Rajagukguk, Erman, dkk, Hukum Investasi, Jakarta : UI Press, 1995. Sembiring, Sentosa, Hukum Investasi, Bandung : Nuasa Aulia, 2007. Siregar Mahmul, Perdagangan Internasional Dan Penanaman Modal: Studi Kesiapan Indonesia Dalam Perjajian Investasi Multilateral, Medan : Universitas Sumatera Utara, 2005. Sumantoro,
Bunga Rampai permasalahan Penanaman Modal dan Pasar Modal/Problem of Investment in Equities and in Securities, cet.I, Jakarta : Binacipta, 1984.
Syahrin, Alvi, Pengaturan Hukum Dan Kebijakan Pembangunan Perumahan Dan Permukiman Berkelanjutan, Medan : Pustaka Bangsa Press, 2003. The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintah Daerah di Negara Republik Indonesia, Jilid III, Djakarta : PT.Gunung Agung, 1968.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
146
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet.3, Jakarta : Balai Pustaka, 1970.
B. Karya Ilmiah/Artikel/Majalah Yushfi Munif Nasution, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan, Tesis, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2007. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Menata Ke Depan perekonomian Nasional, Jakarta : Bappenas, 1999. Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Peluang Investasi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh : 2007. Bisnis Indonesia, Tanggal 26 Januari 2004, “Keppres Investasi Satu Atap Disiapkan”. Waspada, Tanggal 18 September 2007, “ Wewenang Investasi Limpahkan ke Aceh”. Kompas, Tanggal 14 April 2008 “Aceh Canangkan Tahun Wisata dan Investasi”. Jurnal Hukum Bisnis Vol. 26-No.4 Tahun 2007. Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 22-No. 5 Tahun 2003
C. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintaha Daerah.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
146
Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 Tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Proponsi sebagai Daerah otonom. Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 24 Tahun 2006 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
D. Keputusan Presiden Keputusan Presiden No. 63 Tahun 1969 Tentang Peraturan dan Prosedur Mengenai Pengawasan Pelaksanaan Penanaman Modal Keputusan Presiden No. 20 Tahun 1973 Tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal Keputusan Presiden No. 54 Tahun 1977 Tentang Ketentuan Pokok Tata Cara Penanaman Modal. Keputusan Presiden No. 21 Tahun 1973 Tentang Tata Cara Penanaman Modal. Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1992 tentang Tata Cara Penanaman Modal Keputusan Presiden No. 115 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden No. 97 Tahun 1993 Tentang Tata Cara Penanaman Modal. Keputusan Presiden No. 117 Tahun 1999. Tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Presiden No. 97 Tahun 1993 Tentang Tata Cara Penanaman Modal. Keputusan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No : 37/SK/1999 Tentang Pelimpahan KewenanganPemberian persetujuan dan Fasilitas Serta Perizinan Pelaksanaan Penanaman Modal Kepada Gubernur kepala Daerah Propinsi. Keputusan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No : 38/SK/1999 Tentang Pedoman Tata Cara Permohonan Penanaman Modal Yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
146
Keputusan Presiden No. 53 Tahun 1977 Tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal. Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1980 Tentang Pembentukan Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah Keputusan Presiden No. 116 Tahun 1998 Tentang perubahan Atas Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1980 Tentang pembentukan Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah. Keputusan Presiden No. 122 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1980 Tentang pembentukan Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah. Keputusan Kabinet Ampera No. 17/EK/KEP/1/1967 Tentang Badan Pertimbangan Penanaman Modal Asing Keputusan Presiden No. 286 Tahun 1968 Tentang Pembentukan Panitia Teknis Penanaman Modal Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1981 Tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal. Keputusan Presiden No. 78 Tahun 1982 Perubahan Atas Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1981 Tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal. Keputusan Presiden No. 113 Tahun 1998 Perubahan Atas Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1981 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal Keputusan Presiden No. 120 Tahun 1999. Tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1981 Tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal Keputusan Presiden No. 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1981 Tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal Keputusan Presiden No. 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008
146
E. Jaringan Internet Riset Aceh Institute, “Pemetaan Kewenangan Pemerintahan Aceh Berdasarkan UU No. 11 Tahun 2006”, Sumber, www.acehinstitute.org/Riset_UU_No_11006, diakses Tanggal 14 Februari 2008.
Nasrianti: Kewenangan Pemberian Persetujuan Dan Perizinan Penanaman Modal Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Studi Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 2008. USU e-Repository © 2008