PERBANDINGAN PERANAN DEWAN KEHORMATAN DENGAN MAJELIS PENGAWAS NOTARIS DALAM MELAKUKAN PENGAWASAN SETELAH KELUARNYA UNDANG-UNDANG NOMOR . 30 TAHUN 2004
TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Magister kenotariatan
OLEH : T. MUZAKKAR 067011095/MKN
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam Melakukan Pengawasan Setelah Dikeluarkannya Undang-Undang Nomor . 30 Tahun 2004
TESIS
Untuk memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Magister Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh T. Muzakkar 067011095/M.Kn
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 20O8
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
Judul Tesis
: PERBANDINGAN PERANAN DEWAN KEHORMATAN DENGAN MAJELIS PENGAWAS NOTARIS DALAM MELAKUKAN PENGAWASAN SETELAH DIKELUARKANNYA UNDANG-UNDANG NOMOR . 30 TAHUN 2004 : T . Muzakkar : 067011095 : Kenotariatan
Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Sanwani Nasution, SH) Ketua
(Chairani Bustami, SH, SpN, Mkn) Anggota
Ketua Program Studi
(Prof. Dr. Muhammad Yamin,SH,MS,CN)
(Notaris/PPAT Syahril Sofyan,SH, M.Kn) Anggota
Direktris
(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B,MSc)
Tanggal Lulus : 02 September 2008
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
Telah diuji pada Tanggal 02 September 2008
PANITIA PENGUJI TESIS Ketua Anggota
: Prof. Sanwani Nasution, SH : 1. Chairani Bustami, SH, SpN, M.Kn 2. Notaris/PPAT Syahril Sofyan, SH, M.Kn 3. Dr. T. Keizeirina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum 4. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
KATA PENGANTAR Teriring Salam dan doa saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang dengan rahmad dan karunianya sehingga saya dapat menyelesaikan tesis saya yang berjudul : “Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam Melakukan Pengawasan Setelah Dikeluarkannya Undang-Undang Nomor . 30 Tahun 2004’’ Dan tak lupa kita panjatkan doa kehadirat junjungan kita nabi besar Muhammad SAW yang telah membawa kita dari tempat yang gelap ketempat yang terang benderang . Adapun penulisan Tesis ini merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana Program Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara . Dalam penulisan ini penulis telah banyak mendapat masukan dari berbagai pihak , baik dosen , rekan mahasiswa , dan para praktisi , untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih khususnya kepada Bapak Prof. Sanwani Nasution, SH , selaku ketua pembimbing , Ibu Chairani Bustami, SH, SpN, Mkn dan Bapak Notaris/PPAT Syahril Sofyan, SH, M.Kn , selaku anggota pembimbing , juga Bapak Prof. Dr . Runtung Sitepu , SH, M.Hum dan Ibu Dr. T.keizerina Devi Azwar , SH,CN,M.Hum selaku para anggota penguji . Atas kesediaan beliau dalam membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini . Selanjutnya tak lupa saya ucapkan terima kasih kepada :
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
1. Bapak Prof. Dr. Chairuddin P. Lubis, DTM & H, Sp A (K) , selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas Kesempatan dan fasilitas yang diberikan bagi kami untuk menyelesaikan pendidikan Magister Kenotariatan di Universitas Sumatera Utara. 2. Ibu Prof. Dr. T. Chairun Nisa ,B, MSc, Selaku Direktris Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 3. Bapak Prof.Dr Muhammad Yamin Lubis, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 4. Seluruh Dosen dan Pegawai Program Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmunya dan bantuan kepada penulis . 5. Seluruh responden yang telah memberikan bantuan dan saran untuk penyempurnaan tesis ini . 6. Seluruh rekan mahasiswa Magister Kenotariatan stambuk 2006 terutama , Rita Silvia , SH, Marianne Magda Ketaren SH,M.Kn, Mardiah SH, Siti Nurmawani , SH, M.Kn dan Suyati , SH yang telah memberikan motivasi dan semangat kepada penulis untuk penyempurnaan tesis ini . Terima kasih saya ucapkan khusus kepada : 1. Kedua orang tua yang sangat saya cintai dan hormati yang telah melahirkan kedunia dan telah membesarkan saya Almarhum H.T. Jafar Kari dan Almarhumah Hj. Rosmawati yang dengan tulus mencintai dan menyayangi penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan ini .
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
2. Juga terima kasih saya ucapkan kepada kakak dan abang ipar saya Cut Julina , SH dan Mayor Kes Dr. Faisal juga kepada keponakan saya Nayla dan Dafa yang telah menghibur saya juga yang tak lupa saya ucapkan kepada adik saya T. Rizkhi Maulana semoga dapat menjadi contoh bagi pendidikannya. 3. Juga tak lupa saya ucapkan kepada orang yang saya sayangi dan cintai Rikha Anggraini Dewi , SH yang telah memberikan semangat dan dorongan sehingga dapat menyelesaikan penulisan ini dan penulis harapkan dapat menjadi Istri yang baik yang Mendampingi dalam suka dan duka . 4. Buat saudara-saudara saya yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu tak lupa penulis mengucapkan terima kasih atas kritikan dan masukan kepada saya dalam menyelesaikan tesis ini . Semoga penulisan ini semoga dapat berguna bagi khalayak umum dan khususnya dalam bidang kenotariatan dan ilmu hukum . Dalam Penulisan ini penulis sadar masih terdapat kelemahan dan kesalahan disana-sini dan penulis harapkan saran dan kritikan yang membangun sehingga dapat perbaikan demi kesempurnaan tesis ini dan semoga Allah SWT masih memberikan hidayah kepada kita semua , Amin Ya Rabbal Allamin.
Medan ,
September 2008 Penulis
T. Muzakar
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
Daftar Riwayat Hidup 1. Nama
: T. Muzakkar
2. Tempat / Tanggal Lahir
: Medan , 29 Desember 1981
3. Jenis Kelamin
: Laki-Laki
4. Pekerjaan
: Wiraswasta
5. NIM
: 067011095
6. Alamat
: Jalan Cut Nyak Dhien Nomor 51 Binjai
7. Riwayat Pendidikan 1. Taman Kanak-Kanak (TK) Ahmad Yani Binjai
1987-1988
2. Sekolah Dasar (SD) Ahmad Yani Binjai
1988-1994
3. Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 3 Binjai
1994-1997
4. Sekolah Menengah Umum (SMU) Negeri 1 Binjai
1997-2000
5. Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara (S1) Hukum Pidana, Medan
2000-2006
6. Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, (S2) Program Magister Kenotariatan , Medan
2006-2008
8. Riwayat Organisasi 1. Anggota Gerakan Pramuka Kwarcab Binjai tahun 1994-sekarang 2. Purna Paskibraka Indonesia (PPI) Kota Binjai 1997-sekarang 3. Ketua Ikatan Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Tanah Rencong (IPTR) Kota Binjai 1997-Sekarang 4. Anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Universitas Islam Sumatera Utara 2000-2006 5. Gubernur Pemerintahan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) 2003-2004 6. Koordinator Wilayah I NAD-SUMUT Ikatan Senat Mahasiswa Hukum seIndonesia (ISMAHI) 2003-2006
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
7. Wakil Ketua Lembaga Bantuan dan Pengembangan Hukum Kosgoro 1957 Kota Binjai 2006-sekarang 8. Staf Advokasi Barisan Muda Kosgoro 1957 Kota Binjai 2006-sekarang 9. Sekretaris
Umum
Ikatan
Mahasiswa
Magister
Kenotariatan
Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara 2007-2008 9. Riwayat Keluarga Nama Bapak
: H.T.Jafar Kari (Alm)
Nama Ibu
: Hj. Rosmawati (Almh)
Nama Saudara
: 1. Cut Julina, SH 2. T. Rizkhi Maulana
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
DAFTAR ISI
Halaman ABSTRAK .........................................................................................................
i
ABSTRACT.......................................................................................................
iii
KATA PENGANTAR.......................................................................................
iv
RIWAYAT HIDUP ..........................................................................................
vi
DAFTAR ISI......................................................................................................
viii
DAFTAR TABEL..............................................................................................
x
BAB I :
PENDAHULUAN ………………………………………………...
1
A. Latar Belakang ………………………………………………….
1
B. Perumusan Masalah……………………………………………..
7
C. Tujuan Penelitian ………………………………………………..
8
D. Manfaat Penelitian ………………………………………………
8
E. Keaslian Penelitian ………………………………………………
10
F. Kerangka Teori dan Konsepsional ………………………………
10
G. Metode Penelitian ………………………………………………
49
BAB II:
PENGAWASAN BAGI NOTARIS DALAM PELAKSANAAN TUGASNYA SEBELUM BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 .............................................................
53
A. Sejarah Pengawasan Notaris Pra Undang-undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 .................................................................
53
B. Sejarah Pengawasan Notaris Pasca Undang-undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 ....................................................
56
BAB III: MANFAAT PENGAWASAN BAGI NOTARIS DALAM MENJALANKAN TUGASNYA ................................................... BAB IV: PERANAN DEWAN KEHORMATAN DENGAN MAJELIS PENGAWAS NOTARIS DALAM MELAKUKAN PENGAWASAN SETELAH DIKELUARKANNYA
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
65
UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 ........................
69
A. Dewan Kehormatan Notaris ........................................................
69
B. Majelis Pengawas Notaris ............................................................
91
BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN...........................................................
129
A. Kesimpulan ....................................................................................
129
B. Saran ..............................................................................................
130
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………….......
131
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dalam era globalisasi 1 sekarang ini, lembaga notariat memegang peranan yang penting dalam kehidupan masyarakat, hal ini dapat dilihat dan dirasakan oleh masyarakat pada saat masyarakat ingin mengadakan suatu perbuatan hukum misalnya, sewa menyewa, jual beli, hutang piutang dan sebagainya. Setiap masyarakat
membutuhkan seseorang (figur) yang keterangan-
keterangannya dapat diandalkan, dapat dipercaya, yang tanda tangannya serta segelnya (capnya) memberikan jaminan dan bukti kuat seorang ahli yang tidak memihak dan penasehat hukum yang tidak ada cacatnya (onkreukbaar atau unimpeachble) 2 Dengan berkembangnya kehidupan perekonomian dan sosial budaya masyarakat, maka kebutuhan Notaris makin dirasakan perlu dalam kehidupan masyarakat, oleh karena itu kedudukan Notaris dianggap sesuai sebagai suatu fungsionaris dalam 1
Pengertian Globalisasi secara lengkap dan akurat tidak mudah untuk diartikan, banyak para ahli yang sudah mencoba melakukan/membuat suatu pengertian akan tetapi tidak selalu memuaskan. Menurut Ida Susanti Aspek Hukum Dari Perdagangan Bebas, Menelaah Kesiapan Hukum Indonesia Dalam Melaksanakan Perdagangan Bebas, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 2003, hal 2. Globalisasi berasal dari kata “globe” yang bermakna “dunia” dan “sasi” yang menggambarkan proses perkembangan sesuatu kearah terjadinya sesuatu yang bersifat global atau mengarah ke arah terciptanya atau terjadinya sesuatu yang bersifat mendunia, proses atau perkembangan atas sesuatu objek atau fenomena kehidupan yang semula bersifat lokal atau regional dengan kata itu digambarkan sudah mencapai sesuatu yang sifatnya global. Menurut W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Penerbit Balai Pustaka, berada dalam situasi perubahan dari segala aspek kehidupan seperti ekonomi, sosial budaya, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, hukum dan sebagainya. 2 Tan Thong Kie, Buku I Studi Notariat dan Serba Serbi Praktek Notaris, Ichtiar BaruVan Hoeve, Jakarta, 2000, hal 162.
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
masyarakat, pejabat tempat seseorang dapat memperoleh nasehat yang boleh diandalkan, pejabat yang dapat membuat suatu dokumen menjadi kuat sehingga dapat dijadikan sebagai suatu alat bukti dalam proses hukum. Lembaga notariat di Indonesia berasal dari negeri Belanda dan dikenal sejak Belanda menjajah Indonesia. Pada mulanya lembaga notariat ini terutama diperuntukkan bagi bangsa Belanda dan golongan Eropa lainnya serta golongan Bumi Putera yang karena undang-undang maupun karena sesuatu ketentuan dinyatakan tunduk kepada hukum yang berlaku untuk golongan Eropa dalam bidang hukum perdata atau menundukkan diri pada Burgelijk Wetboek (B.W) atau umumnya disebut Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 3 Fungsi dan peranan Notaris dalam gerak pembangunan nasional yang semakin kompleks dewasa ini semakin luas dan berkembang, hal ini disebabkan karena kepastian hukum dari pelayanan dan produk-produk hukum yang dihasilkan oleh Notaris semakin dirasakan oleh masyarakat, oleh karena itu pemerintah dan masyarakat khususnya sangat mempunyai harapan kepada Notaris agar jasa yang diberikan oleh Notaris benar-benar memiliki citra nilai yang tinggi serta bobot yang benar-benar dapat diandalkan dalam peningkatan perkembangan hukum nasional. Hukum berfungsi sebagai sarana pembaharuan masyarakat dan pengayom masyarakat sehingga hukum perlu dibangun secara terencana agar hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat dapat berjalan secara serasi, seimbang, selaras dan
3
R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia, Suatu Penjelasan, Cetakan Kedua Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993, hal. 1
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
pada gilirannya kehidupan hukum mencerminkan keadilan, kemanfaatan sosial dan kepastian hukum. 4 Dengan adanya tuntutan fungsi dan peranan Notaris maka diperlukan Notaris yang berkualitas baik kualitas ilmu, amal, iman, maupun taqwa serta menjunjung tinggi keluhuran martabat Notaris dalam memberikan pelayanan jasa hukum bagi masyarakat. Untuk itu Notaris harus mampu memberikan pelayanan yang baik atau profesional karena jasa Notaris dirasakan sangat penting bagi masyarakat. Apabila seorang Notaris tidak mampu untuk memberikan pelayanan yang baik atau tidak professional, maka akan terdapat banyak pihak yang dirugikan sebagai akibat hukum dari kesalahaan atau kelalaian yang telah diperbuat oleh Notaris. Selain itu Notaris juga harus mampu untuk memberikan informasi yang jelas bagi masyarakat, agar Notaris dapat menghindarkan klaim atas informasi yang menyesatkan (misrepresentation) dari awal berkontrak yang merupakan kewajiban dan tanggung jawab Notaris supaya jangan terjadi mislei’ding. Notaris bertanggung jawab memastikan info yang didapat satu pihak bukan merupakan sesuatu deskripsi yang misrepresentation supaya jangan terjadi kontrak dalam perjanjian yang mislei’ding (menyesatkan). Seiring dengan pentingnya Notaris dalam kehidupan masyarakat khususnya dalam pembuatan akta otentik yang digunakan sebagai alat bukti, maka Notaris mempunyai kedudukan sebagai pejabat umum yang satu-satunya berwenang
4
Liliana Tedjosaputro. Etika Profesi Notaris Dalam Penegakan Hukum Pidana, Biagraf Pubslishing, Yogyakarta, 1994, hal 4
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
membuat akta otentik dan sekaligus Notaris merupakan perpanjangan tangan pemerintah. Pasar 1 butir 1 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (untuk selanjutnya disebut Undang-undang Jabatan Notaris), menyebutkan bahwa :Notaris adalah pejabat umum satu-satunya yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini. 5 Notaris dikatakan pejabat Umum, dalam hal ini dapat dihubungkan dalam Pasal 1868 K.U.H Perdata yang menyatakan bahwa Suatu akta otentik adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan dalam undang-undang dibuat oleh atau dihadapakan Pejabat Umum yang berwenang untuk itu. Pasal ini tidak menjelaskan siapa yang dimaksud dengan Pejabat Umum itu, oleh karena itu di dalam Pasal 1 UUJN diatur lebih lanjut tentang hal ini, bahwa yang dimaksud dengan Pejabat Umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik adalah Notaris, sepanjang tidak ditugaskan atau dikecualikan kepada Pejabat atau orang lain. Pejabat umum lainnya yang juga dapat membuat suatu akta otentik adalah Hakim, Pegawai Catatan Sipil dan sebagainya.
6
yaitu undang-undang Jabatan Notaris yang berlaku
sejak tanggal 6 Oktober 2004 telah dijadikan dasar acuan oleh Notaris dalam
5
Bandingkan dengan Peraturan Jabatan Notaris (untuk selanjutnya disebut PJN) menyebutkan bahwa Notaris adalah Pejabat Umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain (Dikutip dari G.H.S Lumbantobing dalam bukunya Peraruran Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, 1992, hal 31) 6 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983, hal 26
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
pelaksanaan tugas dan jabatannya sehingga Notaris terkait dengan hak dan kewajibannya atau tugas yang diembannya. Peraturan yang berlaku bagi Notaris yaitu Undang-undang Jabatan Notaris memberikan jaminan kepada masyarakat bahwasannya seorang Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya benar-benar untuk kepentingan masyarakat dan sebagai pejabat umum yang harus bertanggung jawab terhadap pembuatan akta yang dibuat oleh para pihak di hadapan Notaris. Pelaksanaan tugas dan jabatan Notaris harus selalu dilandasi pada suatu integritas dan kejujuran yang tinggi dari pihak Notaris sendiri karena hasil pekerjaanya yang berupa akta-akta maupun pemeliharaan protokol-protokol sangat penting dalam penerapan hukum pembuktian, yatiu sebagai alat bukti otentik yang dapat menyangkut kepentingan bagi pencari keadilan baik untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan suatu usaha, maka pelaksanaan tugas dan jabatan Notaris harus didukung oleh suatu itikad moral yang dapat dipertanggungjawabkan. Sebagai konsekwensi yang logis maka seiring dengan adanya tanggung jawab Notaris pada masyarakat, haruslah dijamin adanya pengawasan dan pembinaan yang terus menerus agar tugas Notaris selalu sesuai dengan kaidah hukum yang mendasari kewenanganya dan dapat terhindar dari penyalahgunaan kewenangan atau kepercayaan yang diberikan. Oleh karenanya yang menjadi tugas pokok pengawasan adalah agar segala hak dan kewenangan maupun kewajiban yang diberikan kepada Notaris dalam menjalankan tugasnya sebagaimana yang diberikan oleh peraturan dasar yang
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
bersangkutan, senantiasa dilakukan diatas jalur yang telah ditentukan bukan saja jalur hukum tetapi juga atas dasar moral dan etika profesi demi terjaminya perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat. Dengan demikian, perlu adanya mekanisme pengawasan yang terus menerus terhadap Notaris di dalam menjalankan tugas dan jabatannya, baik yang bersifat preventif dan kuratif terhadap pelaksanaan tugas Notaris. Mekanisme tersebut dijalankan atas dasar Undang-undang Jabatan Notaris dan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M.02.PR.08.10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja, dan tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas. 7 Oleh karena itu disepakatilah untuk membuat suatu undang-undang yang baru yang mana undang-undang tersebut akan meningkatkan kualitas dan kuantitas dari Notaris itu sendiri terutama dalam hal pengaturan pengawasan terhadap Notaris, dan hal itu kemudian terwujud dengan terbentuknya suatu Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang disahkan oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 6 Oktober 2004. Dengan terbentuknya Undang-undang Jabatan Notaris, maka yang menjadi pengawas untuk mengawasi segala tugas dan jabatan Notaris diatur dalam Pasal 67
7
Bandingkan dengan Pasal 1 butir 8 Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M-01 H. T 03-01 Tahun 2003 tentang Kenotariatan (untuk selanjutnya disebut Kep Men Keh & HAM Nomoe M-01 H.T. Tahun 2003) yang tata caranya diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1984 tentang Tata Cara Pengawasan Terhadap Notaris, menyebutkan bahwa Pengawasan adalah kegiatan administratif yang bersifat preventif dan represif oleh Menteri yang bertujuan untuk menjaga agar para Notaris dalam menjalankan jabatannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
yang mana pengawasan dilakukan oleh Menteri dan dalam melaksanakan pengawasan tersebut menteri membentuk Majelis Pengawas yang terdiri dari 9 (sembilan) orang, yaitu : 1. Pemerintah sebanyak 3 (tiga) orang 2. Organisasi Notaris sebanyak 3 (tiga) orang 3. Ahli/akademis sebanyak 3 (tiga) orang Majelis Pengawas sebagaimana yang dimaksud di atas terdiri dari Majelis Pengawas Daerah, Majelis Pengawas Wilayah dan Majelis Pengawas Pusat, yang hal ini masing-masing mempunyai tugas dan wewenang yang berbeda. Dengan adanya suatu pembentukan lembaga pengawasan yang baru dalam bidang kenotarisan maka dalam hal ini penulis merasa tertarik untuk melakukan suatu penelitian tentang pengawasan Notaris dalam melaksanakan tugas dan jabatannya sehari-hari dan melakukan perbandingan terhadap pengawasan yang terdahulu dengan pengawasan yang sekarang telah dibentuk. Oleh karenanya Penulis akan menuangkannya dalam bentuk sebuah tesis yang berjudul “PERBANDINGAN PERANAN DEWAN KEHORMATAN DENGAN MAJELIS PENGAWAS NOTARIS DALAM MELAKUKAN PENGAWASAN SETELAH DIKELUARKANNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004”.
B. Perumusan Masalah
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka yang menjadi pokok permasalahan adalah : 1. Bagaimanakah pengawas melakukan Pengawasan bagi Notaris dalam pelaksanaan tugasnya sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris? 2. Apakah manfaat pengawasan bagi Notaris dalam pelaksanaan tugasnya? 3. Bagaimanakah perbandingan peranan Dewan kehormatan dengan Majelis Pengawas Notaris dalam melakukan pengawasan setelah dikeluarkannya UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 ?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui tentang bagaimana pengawas melakukan Pengawasan bagi Notaris dalam pelaksanaan tugasnya sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. 2. Untuk mengetahui manfaat pengawasan bagi Notaris dalam pelaksanaan tugasnya 3. Untuk mengetahui tentang perbandingan peranan Dewan kehormatan dengan Majelis Pengawas Notaris dalam melakukan pengawasan setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 .
D. Manfaat Penelitian
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun praktis. a. Secara teoritis Hasil penelitian ini diharapkan akan memberi sumbang saran dalam khasanah ilmu pengetahuan hukum kenotariatan khususnya pengawasan terhadap Notaris dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik. b. Secara Praktis Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi : 1. Pemerintah Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan bagi Pemerintah
yang dalam hal ini Majelis Pengawas Notaris untuk
mengawasi Notaris dalam menjalankan jabatan dan tugasnya sehingga sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku 2. Notaris Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan yang bermanfaat bagi Notaris untuk mengkoreksi diri atas berbagai kekurangan yang dilakukan selama ini sehingga dalam pembuatan akta Notaris pada masa-masa mendatang lebih berhati-hati, cermat dan teliti serta jujur dan bertanggung jawab. 3. Mahasiswa Kenotariatan
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan yang bermanfaat bagi mahasiswa kenotariatan yang nantinya akan memangku jabatan sebagai seorang Notaris agar di dalam menjalankan tugas dan jabatannya lebih bertanggung jawab dan jujur serta memegang teguh pada peraturan yang berlaku.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan informasi yang ada dan penelusuran kepustakaan khususnya Universitas Sumatera Utara. Penelitian dengan judul : PERBANDINGAN PERANAN NOTARIS
DEWAN DALAM
KEHORMATAN
DENGAN
MELAKUKAN
MAJELIS
PENGAWAS
PENGAWASAN
SETELAH
DIKELUARKANNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004”, belum pernah ditemukan judul atau penelitian tentang judul penelitian diatas sebelumnya. Dengan demikian bahwa penelitian ini adalah asli, untuk itu penulis dapat mempertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Teori merupakan keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan , yang dikemukakan untuk menjelaskan tentang adanya sesuatu , maka teori hukum dapat ditentukan dengan lebih jauh sebagai suatu keseluruhan pernyataan-pernyataan yang saling berkaitan dan berkenaan dengan hukum . Dengan itu harus cukup menguraikan tentang apa yang diartikan dengan unsur teori dan harus mengarahkan diri kepada
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
unsur hukum . Teori juga merupakan sebuah desain langkah-langkah penelitian yang berhubungan dengan kepustakaan , isu kebijakan maupun nara sumber penting lainnya . Sebuah teori harus diuji dengan menghadapkannya kepada fakta-fakta yang kemudian harus dapat menunjukan kebenarannya . Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk menstrukturisasikan penemuanpenemuan selama penelitian , membuat beberapa pemikiran , ramalan atau prediksi atas dasar penemuan dan menyajikannya dalam bentuk penjelasan-penjelasan dan pertanyaan-pertanyaan . Hal ini berarti teori merupakan suatu penjelasan yang bersifat rasional serta harus berkesesuaian dengan objek yang dipermasalahkan dan harus didukung dengan adanya fakta yang bersifat empiris agar dapat diuji kebenarannya . Adapun teori yang digunakan dalam penulisan ini adalah mazhab sociological jurisprudence yang dipelopori oleh Roscoe Pound di Amerika , tetapi sayang bahwa dalam hubungan ini dipergunakan istilah sosiologis , sebenarnya akan lebih tepat dan mengenai bila dipergunakan istilah methode functioneel. Haruslah kita bedakan ilmu pengetahuan hukum sosiologis dari Pound dengan apa yang disebut sekarang orang sosiologi hukum . Keruwetan yang selayaknya yang disebabkan karena kesamaan istilah-istilah ini merupakan alasan yang lebih kuat untuk memilih nama mazhab fungsional sebagai penamaan yang paling tepat untuk hasil pekerjaan Pound . Dasar fundamental mazhab ini ialah bahwa kita tak dapat memahami sesuatu hal bila tidak tidak kita ketahui apa kerjanya . Barangkali usaha untuk mempelajari lebih
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
dalam methode judicial inilah yang menyebabkan banyak penulis berusaha untuk memperluas batas-batas ilmu pengetahuan hukum . Umumnya pada waktu ini diinsyafi bahwa proses judicial tidak dapat memberi jawaban terhadap masalahmasalah yang konkrit dengan tepat sekali seperti halnya dengan mesin hitung. Bagi Pound hukum bukan hanya merupakan kumpulan norma-norma abstrak atau suatu tertib hukum tetapi juga merupakan suatu proses untuk mengadakan keseimbangan antara kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan , dan menjamin pemuasan kebutuhan-kebutuhan maksimal dengan pengorbanan minimal . Berulang-ulang Pound menggunakan analogi social engineering. Hasil pekerjaan Pound benar-benar seimbang ternyata dari toleransi dan skeptisme tajam yang terdapat di dalamnya . Terhadap mereka yang menyukai pertentangan-pertentangan itu tidak ada manfaatnya , karena dalam ilmu pengetahuan hukum terdapat banyak sekali bagian-bagiannya . A. Gambaran Umum Tentang Notaris 1. Pengertian Notaris Lembaga Notariat di Indonesia telah berumur ± 145 tahun sejak berdiri pada tahun 1860, sehingga lembaga Notariat bukan lembaga yang baru dalam kalangan masyarakat. Sejarah dari lembaga notariat yang dikenal sekarang ini dimulai pada abad ke-11 atau ke-12 di daerah pusat perdagangan yang sangat berkuasa pada zaman Italia Utara. Daerah inilah yang merupakan tempat asal dari notariat yang dinamakan Latijnse notariat dan yang tanda-tandanya tercermin dalam diri notaris yang diangkat
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
oleh penguasa umum untuk kepentingan masyarakat umum dan menerima uang jasanya (honorarium) dari masyarakat umum pula. 8 Perkataan Notaris berasal dari perkataan Notarius, ialah nama yang pada zaman romawi, diberikan kepada orang-orang yang menjalankan pekerjaan menulis. Nama Notaris lambat laun mempunyai arti berbeda dengan semula, sehingga kira-kira pada abad ke-dua sesudah Masehi yang disebut dengan nama itu ialah mereka yang mengadakan dengan tulisan cepat. 9 Menurut sejarahnya, Notaris adalah seorang pejabat Negara/Pejabat umum yang dapat diangkat oleh Negara untuk melakukan tugas-tugas Negara dalam pelayanan hukum kepada masyarakat demi tercapaianya kepastian hukum sebagai pejabat pembuat akta otentik dalam hal keperdataan. Pengertian Notaris dapat dilihat dalam suatu peraturan perundang-undangan tersendiri, yakni dalam Pasal 1 Undang-undang Jabatan Notaris, yang menyatakan bahwa :“ Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang ini”.10 Berdasarkan pengertian diatas, Notaris sebagai pejabat umum adalah pejabat yang oleh undang-undang diberi wewenang untuk membuat suatu akta otentik, namun dalam hal ini pejabat yang dimaksud bukanlah pegawai negeri.
8
G.H.S Lumban Tobing Op. Cit. hal 3-4 R. Sugondo Notodiserojo, Op. Cit. hal 13 10 Sedangkan pengertian Notaris menurut pasal 1 PJN, menyebutkan : Notaris adalah pejabat umum yang satu satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan suatu peraturan umumnya tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain 9
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
Menurut Hoge Raad (arrest tanggal 30 Januari 1911, W.p.n.r1949; tanggal 25 Oktober 1915, N.J. 1915, 1205; 6 Desember 1920; N.J, 1921, 121) menyatakan bahwa pegawai negeri adalah mereka yang diangkat oleh penguasa yang berhak untuk kepentingan atau kegunaan dari setiap orang atau mereka yang bekerja pada badan publik, misalnya Negara, Propinsi atau Kotapraja yang mewakili badan itu di dalam menjalankan tugasnya dan menjalankan kekuasaan yang ada pada badan itu. 11
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa secara administratif, Notaris memang memiliki hubungan dengan negara dalam hal ini, yaitu pemerintahan misalnya yang berkaitan dengan pengangkatan dan pemberhentian Notaris.12 Untuk menjalankan jabatannya Notaris harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 3 Undang-undang Jabatan Notaris, yakni : a. Warga Negara Indonesia b. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa c. Berumur paling sedikit 27 tahun d. Sehat jasmani dan rohani e. Berijazah sarjana hukum dan jenjang strata dua kenotariatan f. Telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawa Notaris dalam waktu 12 bulan berguru-turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan dan
11
Sumber : Majalah Renvoi, Nomor 4.16 II Tanggal 3 September 2004, hal 37 Berdasarkan ketentuan pasal; 2 JPN, jabatan Notaris dijalankan oleh : 1. Orang yang khusus diangkat untuk itu 2. Pegawai negeri, pada jabatan siapa itu dirangkapkan menurut hukum 12
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
g. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, Advokat, atau tiak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris. 13 Bentuk atau corak Notaris dapat dibagi menjadi 2 (dua) kelompok utama yaitu: 1. Notariat functionnel, dalam mana wewenang-wewenang pemerintah didelegasikan (gedelegeerd) dan demikian diduga mempunyai kebenaran isinya, mempunyai kekuatan bukti formal dan mempunyai daya/kekuatan eksekusi. Di Negara-negara yang menganut macam/bentuk notariat seperti ini terdapat pemisahan yang keras antara ”wettlelijke ” dan ”niet wettelijke”werkzaamheden” yaitu pekerjaan-pekerjaan yang berdasarkan undang-undang/hukum dan yang tidak/bukan dalam notariat 2. Notariat profesionel, dala kelompok ini walaupun pemerintah mengatur tentang organisasinya, tetapi akta-akta Notaris itu tidak mempunyai akibat-akibat khusus tentang kebenarannya, kekuatan bukti, demikian pula kekuatan eksekutorialnya. 14
Ciri khas yang tegas untuk menentukan apakah Notaris di Indonesia merupakan Notaris fungsional atau Notaris professional adalah : a. Bahwa akta yang dibuat dihadapan/oleh Notaris fungsional mempunyai kekuatan sebagai alat bukti formal dan mempunyai daya eksekusi. Akta Notaris seperti ini harus dilihat apa adanya, sehingga jika ada pihak yang berkeberatan dengan akta tersebut maka pihak yang berkeberatan, berkewajiban untuk membuktikannya. b. Bahwa Notaris fungsional menerima tugasya dari Negara dalam bentuk delegasi dari Negara. Hal ini merupakan salah satu rasio Notaris di Indonesia memakai lambang Negara, yaitu Burung Garuda. Oleh karena menerima tugas dari Negara maka yang diberikan kepada mereka yang diangkat sebagai Notaris dalam bentuk sebagai jabatan dari Negara.
13
Sedangkan menurut Pasal 13 PJN, syarat-syarat untuk diangkat menjadi Notaris, yaitu Berkewenegaraan Indonesia telah mencapai umur 25 tahun Membuktikan kelakuan baik, sedapat mungkin selama 4 tahun terakhir, yang dinyatakan dengan suatu keterangan yagn diberikan oleh Kepala Pemerintah Setempat, dimana ia selama waktu itu mempunyai tempat tinggal yang tetap. 4. telah memiliki ijazah bagian III Ujian Negara atau lulusan pendidikan notariat pada suatu universitas negeri. 14 Komar Andasasmita, Notaris I, Sumur Bandung, 1981, hal 12
1. 2. 3.
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
c. Bahwa Notaris di Indonesia diatur oleh Peraturan Jabatan Notaris (Reglement op het Notarisambt) Stb 1860 Nomor 3. Dalam teks asli disebutkan bahwa “ambt” adalah “jabatan”. 15
Dalam Undang-undang Jabatan Notaris, Notaris Indonesia dikelompokkan sebagai suatu profesi, sehingga Notaris wajib bertindak profesional (professional dalam tindakan) dalam menjalankan jabatannya sesuai dengan Undang-undang Jabatan Notaris yaitu memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat. Menurut Wawan Setiawan
16
, unsur dan ciri yang harus dipenuhi oleh seorang
Notaris profesional dan ideal, antara lain dan terutama adalah : 1. Tidak pernah melakukan pelanggaran hukum, termasuk dan terutama ketentuanketentuan yang berlaku bagi seorang Notaris, teristimewa ketentuan sebagaimana termaksud dalam Peraturan Jabatan Notaris. 17 2. Di dalam menjalankan tugas dan jabatannya dan profesinya senantiasa mentaati kode etik yang ditentukan/ditetapkan oleh organisasi/perkumpulan kelompok profesinya, demikian pula etika profesi pada umumnya termasuk ketentuan etika profesi/jabatan yang telah diatur dalam peraturan perundangan. 3. Loyal terhadap organisasi/perkumpulan dari kelompok profesinya dan senatiasa turut aktif di dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh organisasi profesinya 4. Memenuhi semua persyaratan untuk menjalankan tugas/profesinya.
15
Sumber : Majalah Renvoi, Nomor 2,14,II, Tanggal 3 Juli 2004, hal 20 Sumber : Media Notariat, Edisi Mei-Juni 2004, hal 23 17 Sekarang tentu termasuk ke dalam Undang-undang Jabatan Notaris 16
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
2. Tugas dan Wewenang Notaris Notaris dalam menjalankan jabatannya sebagai pejabat umum yang diangkat oleh negara mempunyai tugas yang berat, yaitu memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat guna tercapainya kepastian hukum. Dalam PJN dan K.U.H Perdata umumnya diatur ketentuan-ketentuan tentang pelaksanaan jabatan Notaris. Pelayanan jabatan Notaris maksudnya adalah untuk membebaskan anggota masyarakat dari penipuan dan kepada orangorang tertentu memberikan kepastian terhadap hilangnya hak-hak mereka, sehingga untuk kepentingan tersebut diperlukan tindakan-tindakan preventif yang khusus, antara lain juga mempertahankan kedudukan akta-akta otentik khususnya akta-akta Notaris. 18
Menurut Pasal 15 ayat 1 Undang-undang Jabatan Notaris, Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undangundang. 19
18
Muhammad Adam, Asal Usul Dan Sejarah Notaris, Sinar Baru, Bandung, 1985, hal 45
19
Bandingkan dengan pasal 1 PJN Notaris mempunyai tugas untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
Notaris selain untuk membuat akta-akta otentik juga ditugaskan untuk melakukan pendaftaran dan mensyahkan (waarmerken dan legaliseren)
20
surat-surat/akta-akta
yang dibuat dibawah tangan serta memberikan nasehat hukum dan penjelasan mengenai undang-undang terutama isi dari akta yang dibuat di hadapan Notaris. Tugas utama Notaris adalah membuat dokumen-dokumen hukum yang dikenal dengan akta otentik, dan menurut Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (untuk selanjutnya disebut KUHAP), akta otentik sebagai produk Notaris dikategorikan sebagai alat bukti surat. Pada dasarnya akta yang dibuat oleh maupun di hadapan Notaris adalah atas dasar permintaan Undang-undang dan demi kepentingan pihak-pihak yang membutuhkan jasa Notaris. Berdasarkan atas dua kepentingan di atas, dapat dikatakan bahwa Notaris sebagai pejabat umum dalam menjalankan tugasnya mengemban amanat yang berasal dari 2 (dua) sumber yaitu : 1. Anggota masyarakat yang menjadi klien Notaris 2. Perintah dari peraturan perundang-undangan kepada Notaris agar perbuatan hukum tertentu dituangkan dan dinyatakan dengan suatu akta otentik.
20
Waarmerking terdapat dalam Ordonansi tanggal 17 Januari 1916, Stb 1916 No. 46 juncto 43, yakni Waarmerking Van Onderhandse Akten Enz yang diatur dalam ordonansi tersebut adalah kalimat legalisasi dicantumkan dan cap ibu jari dalam akta dibawah tangan, sedangkan rumusan oleh Para Notaris dan pejabat lainnya yang ditunjuk oleh Pasal 1 yang dicantumkan pada kaki akta : pada kata legalisasi Notaris mempunyai tanggung jawab terhadap akta tersebut yakni menjamin tanda tangan yang dibubuhkan di akta tersebut yang dilakukan di hadapan Notaris yang bersangkutan sedangkan pada akta waarmeking Notaris tidak dilakukan di hadapan Notaris yang bersangkutan tersebut karena hanya sebatas bahwa akta tersebut telah didaftarkan di kantor Notaris dimana akta tersebut didaftarkan.
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
Berdasarkan hal tersebut dapatlah diketahui bahwa Notaris diangkat oleh pemeritnah bukan hanya sekedar untuk kepentingan diri sendiri akan tetapi bertugas untuk kepentingan masyarakat dan negara. Selain itu, Notaris juga mempunyai wewenang yang meliputi 4 hal, 21 yaitu : a. Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang dibuat itu b. Notaris harus berwenang sepanjang orang-orang untuk kepentingan siapa akta itu dibuat c. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, di mana akta itu dibuat d. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu. Sedangkan pada pasal 15 ayat (2) menyebutkan kewenangan Notaris yang lain, yakni : a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus b. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus c. Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan. d. Melakukan pengesahan kecocokan fotocopi dengan surat aslinya e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan, atau g. Membuat akta risalah lelang. 3. Daerah Jabatan Notaris 21
G.H.S Lumban Tobing, Op. Cit, hal 49
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
Daerah jabatan Notaris adalah daerah kerja Notaris dalam melaksanakan tugas jabatannya. Notaris hanya bisa menjalankan tugas dan jabatannya di daerah hukum yang telah ditentukan kepadanya dan hanya di daerah itulah Notaris berwenang untuk memberikan pelayanan hukum pada masyarakat khususnya dalam pembuatan akta otentik. Setiap Notaris harus ditentukan daerah jabatannya, hal ini bertujuan supaya Notaris terjamin dalam melaksanakan pelayanan jabatannya di lingkungan yang telah ditetapkan dan juga agar para masyarakat yang membutuhkan pelayanan Notaris dapat lebih mudah untuk menjumpai Notaris yang mereka inginkan baik pada waktu siang maupun pada waktu malam hari, dan disamping itu untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak sehat di kalangan para Notaris. Berdasarkan Pasal 18,19 dan 20 Undang-undang Jabatan Notaris, ruang lingkup kerja Notaris, yaitu : 1. Notaris mempunyai tempat kedudukan di daerah kabupaten atau kota 2. Notaris mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah propinsi dari tempat kedudukannya Pasal 19, berbunyi sebagai berikut : 1. Notaris wajib mempunyai hanya satu kantor, yaitu di tempat kedudukannya. 2. Notaris tidak berwenang secara teratur menjalankan jabatan di luar tempat kedudukannya. Pasal 20, berbunyi sebagai berikut :
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
1. Notaris dapat menjalankan jabatannya dalam bentuk perserikatan perdata dengan tetap memperhatikan kemandirian dan ketidak berpihakan dalam menjalankan jabatannya. 2. Bentuk perserikatan perdata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh para Notaris berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Mengenai tempat daerah kerja Notaris dapat dilihat dalam surat pegangkatannya yang diberikan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Dalam penentuan daerah jabatan Notaris bertujuan agar Notaris terjamin dalam melaksanakan pelayanan jabatannya di lingkungan yang telah ditetapkan dan juga untuk kepentingan masyarakat umum, agar Notaris mudah ditemui oleh orang-orang yang membutuhkan bantuannya dan disamping itu untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak sehat di kalangan para Notaris. Dalam pasal 17 butir a Undang-undang Jabatan Notaris, Notaris dilarang menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya. 22 Apabila Notaris membuat akta diluar daerah jabatannya, maka akta tersebut hanya berlaku sebagai akta dibawah tangan, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1869 KUHPerdata, yaitu ”Suatu akta yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai termaksud di atas, atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, namun demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan jika ia ditandatangani oleh kedua belah pihak.”
22
Bandingkan Pasal 9 PJN, menyebutkan bahwa Notaris dilarang untuk menjalankan jabatannya di luar daerah jabatannya.
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
4. Akta Notaris a. Pengertian Akta Akta adalah tulisan yang ditanda tangani oleh para pihak yang berkepentingan yang bertujuan menjadi alat bukti. 23 Ditinjau dari cara pembuatannya akta dibedakan atas 2 (dua) bahagian yakni Akta Otentik dan Akta dibawah Tangan. Akta otentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang diisyaratkan dan dibuat oleh pejabat-pejabat (ambtenaren) yang berwenang yang menurut atau berdasar pada undang-undang dibebani untuk menyatakan apa yang telah disaksikan (waarneming) atau dilakukannya, sedangkan akta dibawah tangan adalah semua akta yang bukan akta otentik 24
Pasal 1874 ayat 1 KUHPerdata, menyatakan bahwa akta di bawah tangan, yaitu sebagai tulisan-tulisan di bawah tangan dianggap akta-akta yang ditanda tangani di bawah tangan, surat-surat, register-register, surat-surat urusan rumah tangga dan tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum, sedangkan pengertian akta otentik diuraikan dalam Pasal 1868 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa akta otentik adalah akta yang dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang diperbuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat dimana akta itu diperbuat. Dari perumusan Pasal tersebut dapat diketahui bahwa ada 2 (dua) jenis akta otentik, yaitu :
23
M.U Sembiring, Tehnik Pembuatan Akta, Program Pendidikan Spesialis Notariat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 1997, hal 3 24 Trimoelja D. Beberapa Permasalahan Tentang Akta Notaris/PPAT, yang disampaikan pada acara Temu Ilmiah dan Pembinaan serta Pembekalan Anggota Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT), Garden Palace Hotel, Surabaya tanggal 14 Juni 2003.
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
1. Akta yang diperbuat oleh (door een) Notaris Akta jenis ini biasanya diberi nama akta relaas atau akta pejabat atau akta proses perbal, atau akta berita acara, yang termasuk jenis akta ini antara lain akta berita acara rapat pemegang saham perseroan terbatas, akta berita acara rapat direksi perseroan terbatas, akta pendaftaran atau inventaris harga peninggalan, akte berita acara penarikan undian. Akta ini merupakan keterangan atau kesaksian dari Notaris tentang apa yang dilihatnya, ata apa yang disaksikannya terhadap perbuatan yang dilakukan oleh orang lain. 2. Akta yang diperbuat dihadapan (ten overstaan van een) Notaris akta ini dinamakan akta pihak-pihak (partij-akte). Isi akta ini ialah catatan Notaris yang bersifat otentik mengenai keterangan keterangan dari pada penghadap yang bertindak sebagai pihak-pihak dalam akta bersangkutan. Golongan akta ini termasuk akta jual beli, sewa menyewa, perjanjian pinjam pakai, akta persetujuan kredit dan sebagainya. 25
Dalam pembuatan akta, PJN telah menentukan bahwa akta harus dibuat antara lain dihadapan atau oleh pejabat umum, dihadiri oleh saksi-saksi, disertai pembacaan oleh Notaris dan sesudahnya langsung ditandatangani. 26 Selain itu di dalam akta perlu juga diperhatikan 2 unsur, yaitu : unsur umum dan unsur khusus. Unsur umum dari akta adalah unsur yang harus termuat dalam semua dan setiap akta pada umumnya. Setiap akta otentik misalnya harus mencantumkan nama dan tempat kedudukan dari pejabat dihadapan siapa akta itu diperbuat. Apabila hal itu tidak dicantumkan maka akta itu kehilangan sifat otentiknya. Sedangkan unsur khusus adalah unsur yang secara khusus harus terkandung dalam akta tertentu, akan tetapi keberadaanya itu bukan meruapakn keharusan dalam akta lainnya. 27 Ditinjau dari cara penyimpananya, maka otentik dapat dibedakan atas 2 jenis 28 yaitu :
25
M.U Sembiring, Op. Cit, hal 6-7 Tan Thong Kie Op.Cit hal 155 27 M.U Sembiring, Op. Cit hal 1-2 28 Ibid, hal 9 26
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
1. Akta yang aslinya atau orisinalnya disimpan oleh Notaris dinamakan akta minut, 2. akta yang aslinya atau orisinalnya diserahkan kepada penghadap yang meminta akta diperbuat, dinamakan akta yang dikeluarkan original. Berdasarkan Pasal 1 butir 7 Undang-undang Jabatan Notaris, akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Akta Notaris yang dibuat oleh Notaris memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang membuatnya, karena undang-undang dan peraturan Jabatan Notaris yang memberikan kewenangan kepada Notaris untuk membuat suatu akta otentik yang fungsinya sebagai alat bukti di pengadilan apabila dikemudian hari terjadi sengketa di antara para pihak yang membuat akta tersebut. Menurut pendapat umum yang dianut, pada setiap akta otentik, dengan demikian juga pada akta notaris, dibedakan 3 kekuatan pembuktian, yakni : 1. Kekuatan pembuktian lahiriah (uitwendige bewijracht); Dengan kekuatan pembuktian lahirian ini dimaksudkan kemampuan dari akta itu sendiri untuk membuktikan dirinya sebagai akta otentik. Kemampuan ini menurut Pasal 1875 KUHPerdata tidak dapat diberikan kepada akta yang dibuat di bawah tangan, akta yang dibuat dibawah tangan baru berlaku sah, yakni sebagai yang benar-benar berasal dari orang terhadap siapa akta itu dipergunakan, apabila yang menanda tanganinya mengakui kebenaran dari tanda tangannya itu atau dianggap sebagai telah diakui oleh yang bersangkutan. Sepanjang mengenai kekuatan ini, yang merupakan pembuktian lengkap dengan tidak mengurangi pembuktian sebaliknya maka akta partij dan akta pejabat dalam hal ini adalah sama. 2. Kekuatan pembuktian formal (formele bewijskracht) Dengan kekuatan pembuktian formal ini oleh akta otentik dibuktikan, bahwa pejabat yang bersangkutan telah menyatakan dalam tulisan itu, sebagaimana yang tercantum dalam akta itu dan selain dari itu kebenaran dari apa yang diuraikan oleh pejabat dalam akta itu sebagai yang dilakukan dan disaksikannya di dalam
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
menjalankan jabatannya itu. Dalam arti formal, sepanjang mengenai akta pejabat (ambtelijke akte), akta itu membuktikan kebenaran dari apa yang disaksikan, yakni yang dilihat, didengar dan juga dilakukan sendiri oleh notaris sebagai pejabat umum di dalam menjalankan jabatannya. 3. Kekuatan pembuktian material (materiele bewijskracht) Sepanjang yang menyangkut kekuatan pembuktian material dari suatu akta otentik, terdapat perbedaan antara keterangan dari notaris yang dicantumkan di dalamnya. Tidak hanya kenyataan, bahwa adanya dinyatakan sesuatu yang dibuktikan oleh akta itu, akan tetapi juga isi dari akta itu dianggap dibuktikan sebagai yang benar terhadap setiap orang, yang menyuruh adakan/buatkan akta itu sebagai tanda bukti terhadap dirinya atau yang dinamakan prevue preconcstitue, akta itu mempunyai kekuatan pembuktian material. Kekuatan pembuktian inilah yang dimaksud dalam pasal-pasal 1870, 1871 dan 1875 KUHPerdata, antara pihak yang bersangkutan dan para ahli waris serta penerima hak mereka akta itu memberikan pembuktian yang lengkap tentang kebenaran dari apa yang tercantum dalam akta itu, dengan pengeculian dari apa yang tercantum dalam akta itu, dengan pengecualian dari apa yang dicantumkan di dalamnya sebagai hanya suatu pemberitahuan belaka (blote mededeling) dan yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan yang menjadi pokok dalam akta itu. 29 b. Bentuk-Bentuk Akta Menurut Undang-undang Jabatan Notaris, 30 bentuk-bentuk akta terdapat dalam beberapa pasal, yakni :
29
G.H.S Lumban Tobing, Op. Cit. hal 55-59 Dalam PJN adapula pasal-pasal yang terkait dalam penentuan bentuk-bentuk dari akta Notaris yakni : a. Pasal 26 PJN, menyatakan bahwa akta Notaris harus ditulis dengan dapat dibaca, dalam hubungan satu sama lain yang tidak terputus, tanpa kependekan-kependekan, ruangan-ruangan kosong atau sela-sela kosong, terkecuali untuk beberapa macam akta terdapat contoh-contoh yang dicetak berdasarkan ketentuan dari pihak yang berwajib, ruangan-ruangan kosong dalam badan akta yang terpaksa ditulisi, harus digaris dengan jelas dengan tinta sebelum akta ditutup, agar tidak dapat dipergunakan lagi, semua angka-angka yang menentukan jumlah atau besarnya benda yang disebutkan dalam akta, demikian juga tanggal-tanggal harus dinyatakan dalam huruf-huruf tulisan, akan tetapi dapat diulagi atau didahului dengan angka-angka. b. Pasal 27, menyatakan bahwa akta dapat dibuat dalam bahasa yang dikehendaki oleh para pihak, asal saja dimengerti oleh Notaris. c. Pasal 32, menyatakan bahwa semua perubahan dan tambahan harus ditulis di sisi akta, akan tetapi hal itu hanya sah, apabila itu tersendiri-tersendiri ditanda tangnai atau disahkan oleh para penghdap yang menanda tangani akta itu, oleh Notaris dan para saksi. Jika suatu peruhahan atau tambahan terlalu panjang untuk ditulis di sisi akta, hal tersebut ditulis pada akhir kata, akan tetapi sebelum penutup akta, asal saja ditunjuk halaman dan baris dimana itu termasuk, dengan ancaman batal setiap perubahan atau tambahan yang dilakukan dengan cara lain atau tanpa penunjukan. 30
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
a. Akta Notaris dituliskan dengan jelas dalam hubungan satu sama lain yang tidak terputus-putus dan tidak menggunakan singkatan. b. Ruang dan sela kosong dalam akta digaris dengan jelas sebelum akta ditanda tangani, kecuali untuk akta yang dicetak dalam bentuk formulir berdasarkan peraturan perundang-undangan. c. Semua bilangan untuk menentukan banyaknya atau jumlahnya sesuatu yang disebut dalam akta, penyebutan tanggal, bulan dan tahun dinyatakan dengan huruf dan harus didahului dengan angka. 2. Pasal 43, berbunyi sebagai berikut : a. Akta dibuat dalam bahasa Indonesia b. Dalam hal penghadap tidak mengerti bahasa yang digunakan dalam akta Notaris wajib menerjemahkan atau menjelaskan isi akta itu Notaris wajib menerjemahkan oleh penghadap c. Apabila Notaris tidak dapat menterjemahkan atau menjelaskannya, akta tersebut diterjemahkan atau dijelaskan oleh seorang penerjemah resmi. d. Akta dapat dibuat dalam bahasa lain yang dipahami oleh Notaris dan saksi apabila pihak yang berkepentingan menghendaki sepanjang undang-undang tidak menentukan lain.
d.
Pasal 33, menyatkaan, bahwa tidak dibenarkan dalam suatu akta atau perubahan dan tambahan yang tertulis di sisia tau pada sebelum penutup akta menulis tindih, menyisipkan atau menambah kata-kata atau huruf-huruf atau dengan cara lain mencoret atau menghapus dan menggantinya dengan yang lain, dengan ancaman batal kata-kata atau huruf-huruf yang ditulis sebagai gantinya dan yang disisipkan atau ditambahkan.
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
e. Dalam hal akta dibuat sebagaimana yang dimaksud pada ayat d, Notaris wajib menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. 3. Pasal 44, berbunyi sebagai berikut : a. Segera setelah akta dibacakan, akta tersebut ditanda tangani oleh setiap penghadap, saksi dan Notaris, kecuali apabila ada penghadap yang tidak dapat membubuhkan tanda tangan dengan menyebutkan alasannya. b. Alasan sebagaimana dimaksud pada ayat a dinyatakan secara tegas dalam akta. c. Akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat c ditandatangani oleh penghadap, saksi, Notaris dan penerjemah resmi. d. Pembacaan,
penerjemahan
atau
penjelasan
dan
penanda
tanganan
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat a dan ayat c dan pasal 43 ayat b, ayat c dan ayat e dinyatakan secara tegas pada akhir akta.
c. Bagian-Bagian Akta Akta Notaris mempunyai bagian-bagian atau kerangka akta yang terdiri dari : 1. Judul akta 2. Keterangan-keterangan dari Notaris mengenai para penghadap atau atas permintaan siapa dibuat berita acara atau lazim dinamakan “komparisi” 3. Keterangan-keterangan pendahuluan dari para penghadap (jika ada) atau lazim dinamakan “premisse”
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
4. Isi akta itu sendiri, berupa syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan. 5. Penutup dari akta yang biasanya didahului oleh perkataan-perkataan : Maka akta ini dan seterusnya atau “Akta ini dibuat” dan seterusnya 31 Ditinjau dari segi anatomi akta,
32
akta Notaris dibagi dalam tiga bagian
yakni: a. Kepala akta b. Badan akta c. Kaki akta Ad.a. Kepala akta ialah bagian pembukaan atau bagian depan dari satu akta yang memuat hal-hal yang perlu bagi memenuhi syarat-syarat formal dari satu akta akan tetapi belum menyentuh isi akta. Kepala akta terdiri dari lima bagian yakni : 1. Judul akta 2. Nomor akta 3. Tanggal akta 4. Komparisi akta 5. Premisse akta Ad.b. Badan akta ialah bahagian dari akta yang memuat hal-hal yang merupakan isi akta berupa pernyatan atau perjanjian yang diperbuat oleh para pihak yang meminta itu diperbuat. Dengan perkataan lain badan akta adalah identik dengan isi akta.
31 32
G.H.S Lumban Tobing, Op. Cit, hal 215 M.U Sembiring, Op. Cit , hal 23
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
Ad.c. Kaki akta adalah bahagian paling akhir kata yang dalam praktek notariat memuat : 1. Tempat dimana akta tersebut diperbuat 2. Nama-nama pekerjaan dan tempat tinggal para saksi instrumentair 33 3. Nama-nama, pekerjaan dan tempat tinggal para saksi attesteren (saksi yang memperkenalkan) jikalau dalam kasus bersangkutan para penghadap memang diperkenalkan oleh saksi attasteren 34 4. Disebutkan pula bahwa akta tersebut telah dibacakan kepada para penghadap dan saksi . 5. Seandainya salah seorang atau semua penghadap tidak memahami dengan baik bahasa yang dipergunakan dalam akta tersebut dan karena itu harus diterjemahkan kepada yang bersangkutan oleh Notaris itu sendiri atau oleh orang lain maka dilakukannya penterjemahan serta nama yang menterjemahkan itu harus pula dinyatakan dalam akta tersebut. 6. Harus pula disebutkan dalam kaki akta bahwa “Segera setelah akta dibacakan maka seketika itu juga akta ditandatangani oleh para penghadap saksi-saksi dan Notaris. Dalam Pasal 38 Undang-undang Jabatan Notaris, menyebutkan bahwa setiap akta Notaris terdiri atas :
33
Saksi instrumentair adalah orang yang memberikan kesksian tentang apa yang ia saksikan yakni yang dialaminya, didengarnya dan dilihatnya baik berupa tindakan atau perbuatan maupun berupa keadaan atau kejadian. 34 Saksi attesteren adalah saksi yang memperkenalkan penghadap kepada Notaris
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
a. Awal akta atau kepala akta memuat : 1. Judul akta 2. Nomor akta 3. Jam, hari, tanggal, bulan dan tahun 4. Nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris b. Badan akta memuat : 1. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili 2. Keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap 3. Isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak yang berkepentingan 4. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal. c. Akhir atau penutup akta memuat : 1. Uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat 1 huruf 1 atau Pasal 16 ayat 7 2. Uraian
tentang
penandatanganan
dan
tempat
penandatanganan
atau
penerjemahaan akta apabila ada 3. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
4. Uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa penambahan, pencoretan atau penggantian. 5. Sumpah Jabatan Notaris Sudah menjadi suatu azas hukum publik (publiekrechtelijk beginsel) bahwa seorang pejabat umum harus terlebih dahulu mengangkat sumpah agar ia dapat menjalankan jabatannya dengan sah. 35 Demikian juga halnya dengan Notaris bahwa sebelum melaksanakan tugas dan jabatannya berdasarkan Pasal 4 Undang-undang Jabatan Notaris, Notaris wajib mengucapkan sumpah/janji menurut agamanya di hadapan Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Sumpah/janji tersebut berbunyi sebagai berikut : ”Saya bersumpah/berjanji : -
Bahwa saya akan patuh dan setia kepada Negara Republik Indonesia, Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, UndangUndang tentang Jabatan Notaris serta peraturan perundang-undangan lainnya.
-
Bahwa saya akan menjalankan jabatan saya dengan amanah, jujur, seksama, mandiri dan tidak berpihak.
-
Bahwa saya akan menjaga sikap, tingkah laku saya, dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kode etik profesi, kehormatan, martabat dan tanggung jawab saya sebagai Notaris.
35
G.H.S. Lumban Tobing, Op. Cit, hal 137
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
-
Bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya.
-
Bahwa saya dapat diangkat dalam jabatan ini, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan nama atau dalih apapun, tidak pernah dan tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada siapa pun. 36
Sumpah jabatan Notaris ini dapat dibagi dalam dua bagian, yakni yang dinamakan ”belovende eed, dan zuiveringseed. Dalam bagian yang disebut pertama Notaris bersumpah akan patuh setia kepada Negara Republik Indonesia dan Undang-undang Dasarnya serta menghormati semua pembesar-pembesar hakim pengadilan dan pembesar-pembesar lainnya. Bagian sumpah ini juga dinamakan ”politieke eed”. Di dalam bagian kedua Notaris berjanji akan menjalankan tugasnya dengan jujur, seksama dan tidak berpihak serta akan mentaati dengan seteliti-telitinya semua peraturan-peraturan jabatan Notaris yang sedang berlaku atau yang akan diadakan dan merahasiakan serapat-rapatnya isi akta-akta selaras dengan ketentuan-ketentuan peraturan-peraturan itu, bagian sumpah ini dinamakan ”beroepseed” (sumpah jabatan). 37 Setelah pengucapan sumpah jabatan. Notaris maka Notaris yang telah diambil sumpahnya di hadapan instansi yang terkait maka Notaris tersebut telah berwenang
36
Sedangkan menurut Pasal 17 PJN, bahwa Notaris terlebih dahulu harus disumpah dan pengucapannya harus dihadapan Kepala Pemerintahan dari daerah atau kabupaten, dimana terletak tempat kedudukan mereka, sumpah (janji dan keterangan) dari Notaris yang berbunyi sebagai berikut : “Saya bersumpah (berjanji) : - Bahwa saya akan patuh setia kepada Negara Repulik Indonesia dan Undang-Undang Dasarnya. - Bahwa saya akan menghormati semua pembesar-pembesar hakim Pengadilan dan pembesarpembesar lainnya. - Bahwa saya akan menjalankan jabatan saya dengan jujur, saksama dan tidak berpihak - Bahwa saya akan menepati dengan seteliti-telitinya semua peraturan-peraturan bagi jabatan Notaris yang sedang berlaku atau yang akan diadakan - Bahwa saya akan merahasiakan serapat-rapatnya isi akta-akta selaras dengan ketentuanketentuan peraturan-peraturan tadi - Bahwa saya untuk mendapatkan pengangaktan saya langsung atau tidak langsung dengan nama atau kilah apapun juga, tidak pernah telah memberikan atau menjanjikan sesuatupun, tidak akan memberikan atau menjanjikannya kepada siapan juga. 37 G.H.S Lumban tobing, Op; Cit hal 114
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
untuk melaksanakan tugas dan jabatannya terutama untuk membuat akta Notaris. Terhadap ketentuan di atas berlaku pula bagi Notaris pengganti. Apabila Notaris yang telah melaksanakan tugas dan jabatannya sebelum mengucapkan sumpah jabatan, berdasarkan Pasal 18 PJN maka kepadanya akan dikenakan denda Rp. 100,- sampai Rp. 300,- dengan tidak mengurangi kewajiban mereka untuk membayar biaya, ganti kerugian dan bunga. 38 Setelah pengucapan sumpah jabatan dilakukan oleh Notaris, maka Pemerintah 39 akan membuat suatu Berita Acara Penyumpahan Notaris yang ditandatangani oleh Notaris itu sendiri dan yang mengangkat sumpah serta oleh dua orang saksi. Pengucapan sumpah/janji jabatan Notaris sebagaimana dimaksud diatas dilakukan dalam waktu paling lama 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal keputusan pengangkatan sebagai Notaris.
6. Kode Etik Notaris Etika berasal dari kata ”ethos” sebuah kata dari Yunani, yang diartikan identik dengan moral atau moralitas.
40
Istilah ini dijadikan sebagai pedoman atau ukuran
bagi tindakan manusia dengan penilaian baik atau buruk dan benar atau salah. Etika melibatkan analisis kritis mengenai tindakan manusia untuk menentukan suatu nilai benar dan salah dari segi kebenaran dan keadilan. Oleh karena itu istilah 38
Dalam Undang-undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 tidak ada mengatur tentang sanksi apabila Notaris yang telah melaksanakan tugas dan jabatannya sebelum mengucapkan sumpah jabatan. 39 Pemerintah dalam hal ini adalah Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM 40 H. Budi Untung, Visi Global Notaris, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2001, hal 65
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
etika sering juga diartikan dengan tata krama, sopan santun, pedoman moral, dan norma susila. Etika merupakan cabang filsafat yang membahas tentang nilai dan norma moral yang mengatur perilaku manusia baik sebagai individu maupun sebagai kelompok dan institusi di dalam masyarakat. Oleh karena itu etika merupakan ilmu yang memberikan pedoman norma tentang bagaimana hidup manusia diatur secara harmonis, agar tercapai keselarasan dan keserasian dalam kehidupan baik antar sesama manusia maupun antar manusia dengan lingkungannya, juga mengatur tata hubungan antara institusi di dalam masyarakat dengan institusi lain dalam sistem masyarakat dan environment (lingkungannya) 41
Jadi dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan dipergunakannya etika dalam pergaulan antar masyarakat pada hakikatnya agar tercipta suatu hubungan yang harmonis, serasi dan saling menguntungkan. Oleh karena itu, Notaris sebagai salah satu element manusia harus memperhatikan etika dalam setiap pekerjaan yang dilakukannya, sehingga Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya dengan penuh tanggung jawab dengan menghayati keluhuran martabat jabatannya dan dengan keterampilannya melayani kepentingan masyarakat yang meminta jasanya dengan selalu mengindahkan ketentuan undangundang, etika, ketertiban umum dan berbahasa Indonesia yang baik oleh Notaris juga memerlukan suatu Kode Etik Notaris. Berdasarkan Pasal 1 butir 2 Kode Etik Notaris 2005, hasil Kongres Luar Biasa Ikatan Notaris Indonesia, Bandung, 27 Januari 2005, pengertian Kode Etik Notaris dan untuk selanjutnya disebut Kode Etik adalah seluruh kaidah moral yang ditentukan oleh Perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia berdasar keputusan Kongres 41
Ibid, hal 66
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
Perkumpulan dan/atau yang ditentukan oleh dan diatur dalam peraturan perundangundangan yang mengatur tentang hal itu dan yang berlaku bagi serta wajib ditaati oleh setiap dan semua anggota Perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia dan semua orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris, termasuk didalamnya para Pejabat Sementara Notaris Pengganti, dan Notaris Pengganti Khusus. 42 Hardjo Gunawan 43 berpendapat bahwa ada beberapa alasan diperlukannya kode etik profesi, yaitu : 1. Kode etik profesi dipakai sebagai sarana kontrol sosial 2. Kode etik profesi mencegah pengawasan ataupun campur tangan dari luar terhadap intern perilaku anggota-anggota kelompok profesi tersebut, karena nilainilai etika; 3. Kode etik profesi penting untuk pengembangan patokan kehendak yang tinggi dari para anggota kelompok profesi tersebut yakni meningkatkan tingkat profesioanlismenya guna peningkatan mutu pelayanan yang baik dan bermutu kepada masyarakat umum yang membutuhkan jasa pelayanan mereka. Berdasarkan Pasal 3 Kode Etik dalam Kongres Luar Biasa I.N.I Tahun 2005, menyebutkan : bahwa dalam melaksanakan tugas jabatan Notaris berkewajiban untuk: 1. Memiliki moral, akhlak serta kepribadian yang baik 42
Sebagai perbandingan lihat hasil rapat Pleno Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, tanggal 29-30 Agustus 1998, di Surabaya, Kode Etik Notaris adalah suatu sikap seorang Notaris yang merupakan suatu kepribadian yang mencakup sikap dan moral terhadap organisasi profesi, terhadap sesama rekan dan terhadap pelaksanaan tugas jabatan 43 Sumber : Majalah Renvoi, Nomor 3.15.11, tanggal 3 Agustus 2004, hal 33
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
2. Menghormati dan menjungjung tinggi harkat dan martabat Jabatan Notaris 3. Menjaga dan membela kehormatan Perkumpulan 4. Bertindak jujur, mandiri, tidak berpihak, penuh rasa tanggung jawab, berdasarkan peraturan perundang-undangan dan isi sumpah jabatan Notaris 5. Meningkatkan ilmu pengetahuan yang telah dimilik tidak terbatas pada ilmu pengetahuan hukum dan kenotariatan 6. Mengutamakan pengabdian kepada masyarakat dan Negara 7. Memberikan jasa pembuatan akta dan jasa kenotariatan lainnya untuk masyarakat yang tidak mampu tanpa memungut honorarium 8. Menetapkan satu kantor di tempat kedudukan dan kantor tersebut merupakan satu-satunya kantor bagi Notaris yang bersangkutan dalam melaksanakan tugas jabatan sehari-hari. 9. Memasang 1 (satu) buah papan nama di depan/di lingkungan kantornya dengan pilihan ukuran yaitu 100 cm x 40 cm, 150 cm x 60 cm atau 200 cm x 80 cm, yang memuat : a. Nama lengkap dan gelar yang sah b. Tanggal dan nomor Surat Keputusan pengangkatan yang terakhir sebagai Notaris c. Tempat kedudukan d. Alamat kantor dan nomor telepon/fax;dasar papan nama berwarna putih dengan huruf berwarna hitam dan tulisan di atas papan nama harus jelas
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
dan mudah dibaca. Kecuali di lingkungan kantor tersebut tidak dimungkinkan untuk pemasangan papan nama dimaksud. 10. Hadir, mengikuti dan berpartisiapsi aktif dalam setiap kegiatan yang diselenggarakan oleh Perkumpulan, menghormati, mematuhi, melaksanakan setiap dan seluruh keputusan Perkumpulan. 11. Membayar uang iuran perkumpulan secara tertib 12. Membayar uang duka untuk membantu ahli waris teman sejawat yang meninggal dunia 13. Melaksankaan dan mematuhi semua ketentuan tentang honorarium ditetapkan Perkumpulan 14. Menjalankan jabatan Notaris terutama dalam pembuatan, pembacaan dan penadantanganan akta dilakukan di kantornya, kecuali karena alasan-alasan yang sah 15. Menciptakan suasana kekeluargaan dan kebersamaan dalam melaksanakan tugas jabatan dan kegiatan sehari-hari serta saling memperlakukan rekan sejawat secara baik, saling menghormati,
saling menghargai, saling
membantu, serta selalu berusaha menjalin komunikasi dan tali silaturahmi. 16. Memperlakukan setiap klien yang datang dengan baik, tidak membedakan status ekonomi dan/atau status sosialnya. 17. Melakukan perbuatan-perbuatan yang secara umum disebut sebagai kewajiban untuk ditaati dan dilaksanakan antara lain namun tidak terbatas pada ketentuan yang tercantum dalam :
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
a. UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris b. Penjelasan Pasal 19 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris c. Isi sumpah jabatan Notaris d. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Ikatan Notaris Indonesia. 44
44
Bandingkan dengan Pasal 3 Kode Etik (Kongres I.NI ke -17 Tahun 1999), baik dalam rangka melaksanakan tugas jabatan (bagi Notaris, Wakil Notaris Sementara serta Notaris Pengganti) ataupun dalam kehidupan sehari-hari, setiap anggota Ikatan Notaris Indonesia diwajibkan untuk : a. Berkepribadian baik dan menjunjung tinggi martabat dan kehormatan Notaris. b. Senantiasa menjunjung tinggi dasar Negara dan hukum yang berlaku serta bertindak sesuai dengan makna sumpah jabatan, kode etik dan berbahasa Indonesia secara baik dan benar. c. Mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat dan Negara d. Memiliki perilaku profesional dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan nasional, khususnya di bidang hukum e. Bekerja dengan penuh rasa tanggung jawab, mandiri, jujur dan tidak berpihak f. Memberi pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada masyarakat yang memerlukan jasanya g. Memberikan penyuluhan hukum kepada masyarakat yang memerlukan jasanya dengan maksud agar masyarakat menyadari dan menghayati hak dan kewajibannya sebagai warga Negara dan anggota masyarakat. h. Memberikan jasanya kepada anggota masyarakat yang tidak atau kurang mampu secara Cuma-Cuma i. Bersikap saling menghormati, menghargai serta mempercayai dalam suasana kekeluargaan dan sesama rekan sejawat. j. Menjaga dan membela kehormatan serta nama baik korps Notaris atas dasar rasa solidaritas dan sikap tolong menolong secara konstruktif k. Bersikap ramah terhadap setiap pejabat dan mereka yang ada hubungannya dengan pelaksanaan tugas dan jabatannya l. Menetapkan sutu kantor, dan kantor tersebut merupakan satu-satunya kantor bagi Notaris yang bersangkutan dalam melaksankaan tugas dan jabatan sehari-hari Melakukan perbuatan-perbuatan lain yang secara umum disebut sebaai kewajiban untuk ditatati dan dilaksanakna, antara lain namun tidak terbatas pada ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam : 1. Peraturan jabatan Notaris 2. Isi sumpah Jabatan 3. Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga ataupun keputusan-keputusan lain yang telah ditetpakan oleh Perkumpulan Notaris Indonesia, misalnya : membayar iuran, membayar uang duka manakala ada seorang Notaris atau mantan Notaris meninggal dunia, mentaati ketentuan tentang tarif serta kesepakatan yang dibuat oleh dan mengikat setiap anggota perkumpulan.
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
Dengan adanya Kode Etik dalam kalangan Notaris, pengawasan atas pelaksanaan Kode Etik itu perlu dilakukan dengan cara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 Kode Etik dalam kongres Luar Biasa INI Tahun 2005, yaitu : a. Pada tingkat pertama oleh Pengurus Daerah Ikatan Notaris Indonesia dan Dewan Kehormatan Daerah b. Pada tingkat banding oleh Pengurus Wilayah Ikatan Notaris Indonesia dan Dewan Kehormatan Wilayah c. Pada tingkat terakhir oleh Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia dan Dewan Kehormatan Pusat. 45 Berdasarkan Pasal 9 Kode Etik dalam Kongres Luar Biasa I.N.I Tahun 2005, dalam rangka penegakan Kode Etik dilakukan pemeriksaan dan penjatuhan sanksi dalam hal : 1. Apabila ada anggota yang diduga melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik, baik dugaan tersebut berasal dari pengetahuan Dewan Kehormatan Daerah sendiri maupun karena laporan dari Pengurus Daerah ataupun pihak lain kepada Dewan Kehormatan Daerah, maka selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja Dewan Kehormatan Daerah wajib segera mengambil tindakan dengan mengadakan sidang Dewan Kehormatan Daerah untuk membicarakan dugaan terhadap pelanggaran tersebut. 45
Bandingkan dengan pasal 7 Kode Etik Kongres I.N.I Ke-17 Tahun 1999, pengawasan dilakukan dengan cara , yaitu : a. Pada tingkat pertama oleh Pengurus Daerah Ikatan Notaris dan Majelis Kehormatan Daerah b. Pada tingkat terakhir oleh Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia dan Majelis Kehormatan Pusat.
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
2. Apabila menurut hasil sidang Dewan Kehormatan Daerah sebagaimana yang tercantum dalam ayat (1), ternyata ada dugaan kuat terhadap pelanggaran Kode Etik, maka dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal sidang tersebut, Dewan Kehormatan Daerah berkewajiban memanggil anggota yang diduga melanggar tersebut dengan surat tercatat atau dengan ekspedisi, untuk didengar keterangannya dan diberi kesempatan untuk membela diri. 3. Dewan Kehormatan Daerah baru akan menentukan putusannya mengenai terbukti atau tidaknya pelanggaran kode Etik serta penjatuhan saksi terhadap pelanggarannya (apabila terbukti), setelah mendengar keterangan dari pembelaan diri dari anggota yang bersangkutan dalam sidang Dewan Kehormatan Daerah yang diadakan untuk keperluan itu, dengan perkecualian sebagaimana yang diatur dalam ayat (6) dan ayat (7) pasal ini 4. Penentuan putusan tersebut dalam ayat (3) di atas dapat dilakukan oleh Dewan Kehormatan Daerah, baik dalam sidang itu maupun dalam sidang lainnya sepanjang penentuan keputusan melanggar atau tidak melanggar tersebut, dilakukan selambat-lambatnya 15 (limabelas) hari kerja, setelah tanggal sidang Dewan Kehormatan Daerah di mana Notaris tersebut telah didengar keterangan dan/atau pembelaanya 5. Bila dalam putusan sidang Dewan Kehormatan Daerah dinyatakan terbukti ada pelanggaran terhadap Kode Etik maka sidang sekaligus menentukan sanksi terhadap pelanggarnya
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
6. Dalam hal anggota yang dipanggil tidak datang atau tidak memberi kabar apapun dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah dipanggil, maka Dewan Kehormatan Daerah akan mengulangi panggilannya sebanyak 2 (dua) kali lagi dengan jarak waktu 7 (tujuh) hari keja untuk setiap panggilan. 7. Dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, setelah panggilan ke tiga ternyata masih juga tidak datang atau tidak memberi kabar dengan alasan apapun, maka Dewan Kehormatan Daerah akan tetap bersidang untuk membicarakan pelanggaran yang diduga dilakukan oleh anggota yang dipanggil itu dan menentukan putusannya, selanjutnya secara mutatis mutandis berlaku ketentuan dalam ayat 5, 6, dan 9 . 8. Terhadap sanksi pemberhentian sementara (Schorsing) atau pemecatan (onzeting) dari keanggotaan Perkumpulan diputuskan, Dewan Kehormatan Daerah wajib berkonsultasi terlebih dahulu dengan Pengurus Daerahnya. 9. Putusan sidang Dewan Kehormatan Daerah wajib dikirim oleh Dewan Kehormatan Daerah kepada anggota yang melanggar dengan surat tercatat atau dengan ekspedisi dan tembusannya kepada Pengurus Cabang, Pengurus Daerah, Pengurus Pusat dan Dewan Kehormatan Pusat, semuanya itu dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, setelah dijatuhkan putusan oleh sidang Dewan Kehormatan Daerah. 10. Apabila pada tingkat kepengurusan Daerah belum dibentuk Dewan Kehormatan Daerah, maka Dewan Kehormatan Wilayah berkewajiban dan mempunyai wewenang untuk menjalankan kewajiban serta kewenangan
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
Dewan Kehormatan Daerah dalam rangka penegakan Kode Etik atau melimpahkan tugas kewajiban dan kewenangan. Dewan kehormatan Daerah kepada kewenangan Dewan Kehormatan Daerah terdekat dari tempat kedudukan atau tempat tinggal anggota yang melanggar Kode Etik tersebut. Hal tersebut berlaku pula apabila Dewan Kehormatan Daerah tidak sanggup menyelesaikan atau memutuskan permasalahan yang dihadapinya. Terhadap hal tersebut di atas, berdasarkan Pasal 6 Kode Etik dalam Kongres Luar Biasa I.N.I Tahun 2005 maka sanksi yang dapat dikenakan terhadap anggota yang melakukan pelanggaran Kode Etik dapat berupa : a. Teguran b. Peringatan c. Schorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan perkumpulan d. Onzelling (pemecatan) dari keanggotaan perkumpulan atau e. Pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan perkumpulan. Penjatuhan sanksi-sanksi sebagaimana terurai di atas terhadap anggota yang melakukan pelanggaran Kode Etik disesuaikan dengan kwantitas dan kwalitas pelanggaran yang dilakukan anggota tersebut. B. Tinjauan Umum Tentang Pengawasan. 1. Pengertian Pengawasan Dalam setiap organisasi terutama dalam organisasi pemerintahan fungsi pengawasan adalah sangat penting, karena pengawasan adalah suatu usaha untuk menjamin adanya kearsipan antara penyelenggara tugas pemerintahan oleh daerah-
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
daerah dan oleh pemerintah dan untuk menjamin kelancaran penyelenggaraan pemerintahan secara berdaya guna dan berhasil guna 46 Pengawasan adalah salah satu fungsi dasar manajemen yang dalam bahasa Inggris disebut “controlling”. Dalam bahasa Indonesia, fungsi controlling itu mempunyai 2 (dua) padanan, yaitu pengawasan dan pengendalian. Pengawasan dalam hal ini adalah pengawasan dalam arti sempit, yaitu Segala usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya tentang pelaksanaan tugas atau pekerjaan, apakah sesuai dengan yang semestinya atau tidak, sedangkan pengendalian pengertiannya lebih forceful daripada pengawasan, yaitu sebagai segala usaha atau kegiatan untuk menjamin dan mengarahkan agar pelaksanaan tugas atau pekerjaan berjalan sesuai dengan yang semestinya. 47
Pengertian dasar dari pengawasan adalah segala usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya tentang pelaksanaan tugas atau kegiatan, apakah sesuai dengan yang semestinya atau tidak. 48 Pengawasan adalah proses pengamatan daripada pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar supaya semua pekerjaan yang sedang dilaksanakan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya. 49 Pasal 2 ayat (1) Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 1993 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan, menyatakan bahwa pengawasan terdiri dari : a. Pengawasan yang dilakukan oleh pimpinan/atasan langsung, baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah. 46
Viktor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Hukum Administrasi Pemerintahan Di Daerah, Sinar Grafika, 1993, hal 233 47 Sujamto, Aspek-aspek Pengawasan Di Indonesia, Sinar Grafika, 1987, hal 53 48 Ibid, hal 63 49 Sujamto, Beberapa Pengertian di Bidang Pengawasan, Ghalia Indonesia, 1983, hal 12
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
b. Pengawasan yang dilakukan secara fungsional oleh aparat pengawasan. 2. Manfaat Pengawasan Dari beberapa pengertian tentang pengawasan yang telah disebut di atas maka jelaslah bahwa manfaat pengawasan secara umum adalah untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya tentang obyek yang diawasi, apakah sesuai dengan yang semestinya atau tidak. Jika dikaitkan dengan masalah penyimpangan, manfaat pengawasan adalah untuk mengetahui terjadi atau tidak terjadinya penyimpangan, dan bila terjadi perlu diketahui sebab-sebab terjadinya penyimpangan tersebut. 50 Selain itu, pengawasan berfungsi pula sebagai bahan baku untuk melakukan perbaikan-perbaikan di waktu yang akan datang, setelah pekerjaan suatu kegiatan dilakukan pengawasan oleh pengawas. 3. Norma dan Etika Pengawasan a. Norma Pengawasan Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata norma dijelaskan sebagai “ukuran (untuk menentukan sesuatu), urgeren 51 kata “norma” berasal dari Bahasa Belanda, norm yang oleh wojowasito diberi arti sebagai norma aturan, ukuran nilai.
52
Jadi
norma pengawasan adalah patokan, kaidah atau ukuran yang ditetapkan oleh pihak
50
Sujamto, Op. Cit, hal 64 W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1976, hal 52 S. Wojowasito, Kamus Umum Belanda-Indonesia, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1978, hal 51
428
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
yang berwenang yang harus diikuti dalam rangka melaksanakan fungsi pengawasan agar dicapai mutu pengawasan yang dikehendaki. 53 Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 116 Tahun 1981 tentang Pedoman Pengawasan Umum di Lingkungan Departemen Dalam Negeri, Norma Umum Pengawasan adalah : 1. Pengawasan tidak mencari-cari kesalahan, yaitu tidak mengutamakan mencari siapa yang salah tetapi apabila ditemukan kesalahan, penyimpangan dan hambatan suaya dilaporkan sebab-sebab dan bagaimana terjadinya, serta menemukan cara bagaimana memperbaikinya. 2. Pengawasan merupakan proses yang berlanjut, yaitu dilaksanakan terus-menerus, sehingga dapat memperoleh hasil pengawasan yang berkesinambungan. 3. Pengawasan harus menjamin adanya kemungkinan pengambilan koreksi yang cepat dan tepat terhadap penyimpangan dan cepat dan tepat terhadap penyimpangan
dan
penyelewengan
yang
ditemukan,
untuk
mencegah
berlanjutnya kesalahan dan/atau penyimpangan. 4. Pengawasan bersifat mendidik dan dinamis, yaitu dapat menimbulkan kegairahan untuk memperbaiki, mengurangi atau meniadakan penyimpangan disamping menjadi pendorong dan perangsang untuk menertibkan dan menyempurnakan kondisi obyek pengawasan. b. Etika Pengawasan
53
Sujamto, Norma dan Etika Pengawasan, Sinar Grafika, Jakarta, 1989, hal 18
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
Kata “etika “ atau “etik” diperoleh dari bahasa asing. Dalam bahasa Belanda dikenal kata “ethiek atau ethica” yang artinya dijelaskan sebagai “falsafah tenang moral, ilmu moral, etika”. 54 Secara etimologis, kata ethics dalam bahasa Inggris berasal dari kata latin ethicus dan kata Yunani ethikos, yang berarti moral. Jadi pada dasarnya, etika adalah suatu cabang filsafat yang obyek penyelidikannya adalah moral atau tingkah laku manusia. Kedudukan etika dalam filsafat, secara singkat dijelaskan oleh Poedjawijatna sebagai berikut : “Etika merupakan bagian dari filsafat. Sebagai ilmu etika mencari kebenaran dan sebagai filsafat ia mencari keterangan (benar) yang sedalam-dalamnnya. Sebagai tugas tertentu bagi Etika, ia mencari ukuran baik-buruk bagi tingkah laku manusia. Ada yang menyebut Etika itu filsafat kesusilaan, ini sama, karena Etika hendak mencari ukuran, mana yang susila itu, artinya, tindakan manusia manakah yang baik.” 55 4. Pengawasan Terhadap Notaris
54
Untuk melengkapi gambaran tentang arti kata ethics dalam bahasa Inggris ada baiknya diambil dari The Harper Dictionary of Modern Thought yang menyatakan : The branch of PHILOSOPHY that investigate morality and particular, the varities of thinking by whom human conduct is guided and may be appraised. Its spesial concern is with the MEANING and justification of utterencas about the rightness or wrongnes of actions, the virtue or vice of the motives which prompt them, the praiseworthness or blame worthiness of the agents who perform them, and the goodness or badness of the consequneces to which they give rise Terjemahannya : Suatu Cabang FILSAFAT yang menyelidiki moralis dan khususnya, keragamaan pemikiran dengan mana perilaku manusia dituntun dan dinilai. Perhatian utamanya adalah tentang MAKNA dan pertimbangan akan pertanyaan-pertanyaan tentang benar atau salahnya tindaka-tindakan, kemuliaan atau kenistaan motif-motif yang mendasari tindakantindakan tersebut, kepatutan dan ketidakpatutan para pelaku tindakan tersebut, serta kebaikan atau keburukan akibat-akibat yang timbul dari tindakan-tindakan tersebut. (Dikutip dari Sujamto dalam bukunya berjudul “ Norma dan Etika Pengawasan”) 55 Poedjawijatna, Etika Filsafat Tingkath Laku, Bina Aksara, Jakarta, 1984, hal 6
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
Menurut Pasal 1 butir 5 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M.02.PR.08.10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota. Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas, pengertian pengawasan adalah kegiatan yang bersifat preventif dan kuratif termasuk kegiatan pembinaan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas terhadap Notaris. 56 Dari rumusan di atas yang menjadi tujuan pokok pengawasan adalah agar segala hak dan kewenangan maupun kewajiban yang diberikan kepada Notaris dalam menjalankan tugasnya sebagaimana yang diberikan oleh peraturan dasar yang bersangkutan, senantiasa dilakukan di atas jalur yang telah ditentukan, bukan saja jalur hukum tetapi juga atas dasar moral dan etika profesi demi terjaminya perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat. Sisi lain dari pengawasan terhadap Notaris, adalah aspek perlindungan hukum bagi Notaris didalam menjalankan tugas dan jabatannya selaku Pejabat umum. Pengawasan terhadap Notaris sangat diperlukan, agar dalam melaksanakan tugas dan jabatannya Notaris wajib menjungjung tinggi martabat jabatannya. Ini berarti
56
Bandingkan dengan ayat (1) Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : KMK/006/SKB/VIII/1987 Nomor : M-04-PR.08.05 Tahun 1987 tentang tata cara Pengawasan, Penindakan dan Pembelaan Diri Notaris, menyebutkan bahwa : pengawasan adalah kegiatan administratif yang bersifat prefentif dan represif oleh Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman yang bertujuan untuk menjaga agar para Notaris dalam menjalakankn profesinya tidak mengabaikan keluhuran martabat atau tugas jabatannya, tidak melakukan pelanggaran terhadap peraturan yang berlaku, tidak melanggar sumpah jabatan dan tidak melanggar norma kode etik profesinya. Selanjutnya berdasarkan Kep.Men Keh & HAM Nomor : M-01H.T. 03.01 Tahun 2003 Pasal 1 ayat 8, pengawasan adalah kegiatan administratif yang besifat preventif dan represif oleh Menteri yang bertujuan untuk menjaga agar para Notaris dalam menjalankan jabatannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
Notaris harus selalu menjaga segala tindak tanduknya, segala sikapnya dan segala perbuatannya agar tidak merendahkan martabatnya dan kewibawaanya sebagai Notaris. Salah satu dasar hukum yang mengatur tentang pengawasan terhadap Notaris dalam menjalanakan tugas dan jabatnnya adalah Pasal 1 butir 6 Undang-undang Jabatan Notaris, yang berbunyi : Majelis Pengawas
57
adalah suatu badan yang
mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhdap Notaris. 58 Berdasarkan Pasal tersebut diatas, maka yang melakukan tugas pengawasan terhadap Notaris selalu berlakunya Undang-undang Jabatan Notaris adalah tugas dari Majelis Pengawas sedangkan sebelumnya pengawasn dilakukan Pengadilan yang dilakukan bersama-sama oleh Mahkamah Agung dan Departemen Kehakiman, dan Kejaksaan sedangkan aparat pelaksanaan pengawasan tersebut adalah Pengadilan Negeri yaitu Hakim 2 . Konsepsi
57
Lihat Pasal 67 Undang-undang Jabatan Notaris, yang menyatkaan bahwa : Pengawasan atas Notaris dilakukan oleh Menteri Dalam melaksankaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri membentuk Majelis Pengawas 3. Majelis Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berjumlah 9 orang terdiri dari : Pemerintah (3) orang Organisasi Notaris (3) orang dan Ahli/Akademis sebanyak (3) orang. 4. Dalam hal suatu daerah tidak terdapat unsur instansi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat 3 huruf a, keanggotaan dalam Majelis Pengawas diisi dari unsur lain yang ditunjuk oleh Menteri. 5. Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi perilaku Notaris dan pelaksanaan jabtan Notaris. 6. Ketentuan mengenai pengawasan seabgaimana dimaksud pada ayat (5) berlaku bagi Notaris Pengganti, Notaris pengganti Khusus, dan Pejabat Sementara Notaris. 58 Bandingkan dengan Pasal 50 PJN yang berbunyi : Jika Notaris mengabaikan martabat kedudukannya atau jabatannya atau melakukan tindakan yang melanggar ketentuan-ketentuan dari perundang-undangan umum atau melakukan kesalahan-kesalahan lainnya, baik didalam maupun diluar menjalankan jabatannya, maka hal itu oleh Kejaksaan yang didalam wilayahnya Notaris itu bertempat kedudukan, diberitahukannya kepada Pengadilan Negeri”. 1. 2.
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
Agar
tidak
terjadi
perbedaan
pengertian
tentang
konsep-konsep
yang
dipergunakan dalam penelitian ini , maka perlu diuraikan pengertian-pengertian konsep-konsep yang dipakai , yaitu sebagai berikut : Menteri adalah menteri yang bidang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang kenotariatan . Majelis pengawas adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap notaris . Dewan Kehormatan adalah suatu badan yang dibentuk melakukan atas pelaksanaan kode etik notaris yang semata-mata untuk kepentingan notaris sendiri . G. Metode Penelitian 1. Jenis , Sifat dan pendekatan Penelitian Sifat penelitian dikategorikan penelitian deskriptif dengan analisis yang bersifat kualitatif. Penelitian bersifat deskriptif analisis adalah untuk menggambarkan, menelaah dan menjelaskan serta menganalisa perundang-undangan yang berlaku berdasarkan teori hukum yang bersifat umum 59 yang diaplikasikan pada pengawas Notaris yaitu Pengadilan Negeri Medan, yang mana setelah dikeluarkannya Undangundang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004, Pengawas Notaris bukan lagi Pengadilan Negeri akan tetapi Majelis pengawas yang dibentuk oleh Menteri, berikut dengan pengalaman/praktek penegakan hukum berkaitan dengan pengawasan atas pelaksanaan tugas Notaris. Kemudian setiap data yang diperoleh baik primer maupun sekunder langsung diolah dan dianalisa dengan tujuan untuk memperjelas maksud 59
Bambang Sunggono, Metedologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
dari penelitian ini. Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis empiris karena dilakukan penelitian lapangan akan berlakunya hukum positif mengenai pengawasan Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya yang dilakukan oleh Majelis Pengawas dan persepsi para notaris. 2. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di Kota Medan, yakni Majelis Pengawas Daerah mengingat Kota Medan merupakan kota yang cukup pesat perkembangannya terutama terhadap kebutuhan akan jasa Notaris bagi masyarakat Medan dan pengawasan terhadap Notaris setelah keluarnya undang-undang jabatan notaris dilakukan oleh majelis pengawas . 3. Sumber Data Penelitian Sumber data penelitian adalah anggota majelis pengawas, dan Notaris Kota Medan. Yang khusus melakukan pengawasan terhadap Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya selama ini sedangkan terhadap Notaris dipilih 30 (tigapuluh) orang, dengan alasan bahwa pada umumnya untk tahap awal ataupun untuk peneliti pemula, sampel diambil sekitar 10% (sepuluh persen) dari total individu populasi yang diteliti, 60 yang sejauh ini peneliti ketahui bahwa jumlah Notaris yang ada di Kota Medan ± 300 orang. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling. Akan tetapi setelah peneliti melakukan penelitian di lapangan hanya 21 orang Notaris
60
Sugiarto Dergibson Siagian, Lasmono Tri Sunaryanto, Deny S Oetomo, 2003, Teknik Sampling, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal 10
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
yang berhasil di jumpai, hal ini disebabkan karena kesibukan dari para Notaris yang tidak bisa membantu peneliti tidak untuk memberikan data demi terlaksananya tesis ini mengingat jadwal penelitian sudah melewati jangka waktu hanya 21 orang Notaris yang dapat memberikan keterangan kepada peneliti. Dengan demikian responden penelitian ini terdiri dari 21 orang Notaris dan 1 orang majelis pengawas sebagai narasumber. Masing-masing sampel yang berhubungan dengan populasi tersebut di atas diambil dan dijadikan sampel (non probability). Menurut teori non probability penentuan sampel dapat diperooleh berdasarkan pertimbangan subyektif dari peneliti. 61 Terhadap Notaris dalam hal ini peneliti menentukan sendiri sampel mana yang dianggap dapat mewakili populasi. 4. Cara Pengumpulan Data Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penulisan tesis ini, maka penulis menggunakan 2 (dua) metode, yakni : 1. Penelitian Kepustakaan (Library Research) Penelitian kepustakan in dilakukan dengan mempelajari dan menganalisa seara sistematis buku-buku, majalah , peraturan-peraturan lainnya yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam tesis ini dan selanjutnya menganalisa masalah-masalah yang dihadapi untuk menghimpun data sekunder.
61
Joko P. Subagio, Metode penelitian Dalam Teori dan Praktek, Rineke Cipta, Jakarta, 1996, hal
27
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
2. Penelitian Lapangan (Field Research) Penelitian lapangan dilakukan untuk mendapatkan data primer sehubungan dengan permasalahan penelitian dengan mewawancarai sejumlah orang yang terkait. 5. Alat Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan sebagai berikut : a. Studi dokumen, yaitu mempelaari serta menganalisa bahan pustaka (data sekunder) b. Wawancara c. Kuisioner Melalui wawancara dan kuesioner diperoleh data primer tentang pengalaman atau pandangan dari para responden. 6. Analisa Data Semua data yang diperoleh dikelompokkan sesuai dengan penelitian dan diteliti serta dievaluasi keabsahannya. Setelah itu diseleksi dan diolah lalu dianalisa sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku untuk melihat kecenderungan yang ada. Analisa data termasuk penarikan kesimpulan dilakukan secara induktif dan deduktif, sehingga diharapkan akan memberikan solusi dan jawaban atas permasalahan dalam penelitian ini.
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
BAB II Pengawasan bagi Notaris dalam pelaksanaan tugasnya sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
Notaris sebagai pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum, dalam menjalankan tugas dan jabatannya tersebut berada di bawah pengawasan. Pengawasan terhadap Notaris dilakukan oleh Pengadilan Negeri, yang di dalam daerah hukumnya terletak tempat kedudukannya, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 50 PJN. Pengadilan Negeri dalam mengawasi Notaris berada di bawah naungan Mahkamah Agung dan Departemen Kehakiman. 1
Sejarah Pengawasan Notaris Pra Undang-undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 Notaris sebagai pejabat umum menjalankan suatu fungsi sosial yang sangat
penting, yang meliputi kehidupan masyarakat pada umumnya, yang mana masyarakat meminta nasehat-nasehat dari Notaris mengenai isi dari akta-akta yang dibuat oleh Notaris. Notaris juga memberikan nasehat-nasehat dan petunjuk-petunjuk sebagaimana dimaksud dari para pihak yang bersangkutan, dengan mengindahkan peraturanperaturan dalam perundang-undangan yang berlaku sehingga dapat diwujudkan dengan sebaik-baiknya dan sedapat mungkin menghindarkan terjadinya perselisihanperselisihan.
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
Dalam menjalankan tugas dari jabatannya Notaris mempunyai tugas untuk membuat akta otentik bagi masyarakat yang membutuhkan, akta otentik yang dibuat oleh Notaris adalah merupakan suatu pembuktian yang sempurna yang melahirkan suatu kepastian hukum apabila sewaktu-waktu terjadi perselisihan diantara para pihak yang membuat atau membutuhkan akta tersebut. Sebagaimana layaknya seorang manusia yang tidak luput dari kesalahan dan keihlafan, maka Notaris juga adalah manusia sehingga Notaris juga bisa saja berbuat kesalahan dalam menjalankan tugas dan jabatannya sebagai seorang pejabat umum. Oleh karena tugasnya dan jabatannya sebagai pejabat umum yang berwenang, untuk membuat akta otentik, dan demi kepentingan masyarakat banyak maka untuk menghindari penyalahgunaan atau penyimpangan tugas dan jabatannya maka bagi Notaris dibentuk suatu Pengawas yang bertugas untuk mengawasi segala pekerjaan yang dilakukan oleh Notaris terutama dalam pembuatan akta agar tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Pasal 32 dari UU No.13 Thn 1965, LN. 1965 No. 70 (UU tentang Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung), Ketua Pengadilan Negeri mengawasi pekerjaan Notaris di dalam daerah hukumnya, sedang menurut Pasal 54 dari undang-undang tersebut, pengawasan tertinggi atas Notaris dilakukan oleh Mahkamah Agung (dahulu berdasarkan Pasal 3 dari ordonantie buitegerechtelijcke verrichtingen – LN. 1946 No.135- Pengadilan Tinggi melakukan pengawasan terhadap para Notaris, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 140 dari
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
Reglement Op de Rechtelijke Organisatie, Pasal 96 dari Reglement buitengewesten dan Pasal 50 PJN 62 Pada awalnya pengawasan Notaris berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan kehakiman juncto undang-undang nomor: 35 tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, bahwa Departemen Kehakiman mempunyai otoritas terhadap organisasi, administrasi dan finansial pengadilan, termasuk didalamnya pengawasan terhadap Notaris. Dalam
Bab II Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri
Kehakiman Republik Indonesia Tahun 1985 dimana disebutkan tentang ruang lingkup pengawasan Notaris, yaitu : Pasal 2 ayat (1) berbunyi : “ Pelaksanaan pengawasan sehari-hari atas para Notaris dan akta-aktanya dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri setempat dan selanjutnya secara hirarkhis dilakukan oleh Ketua Pengadilan Tinggi, Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman”. Ayat (2) berbunyi : “Pengawasan tersebut ayat (1) dilakukan sejajar dengan pengawasan menurut jalur justisial yang telah diatur dalam peraturan Jabatan Notaris dan peraturan perundangundangan lainnya sepanjang mengenai penyelenggaraan tugas-tugas Notaris. Ayat (3) berbunyi :
62
G.H.S Lumban Tobing, Op. Cit, hal 300
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
“Pengawasan tersebut ayat (1) bersifat membimbing dan membina yang diantaranya mewujudkan dengan diadakannya pertemuan-pertemuan berkala oleh Ketua Pengadilan Negeri dengan para Notaris atau organisasi profesi Notaris di daerahnya” Ayat (4) berbunyi : “Para Ketua Pengadilan dari lain lingkungan peradilan membantu dalam pengawasan tersebut ayat (1) dengan menyampaikan hal-hal yang perlu kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerahnya hukumnya meliputi tempat kedudukan Notaris yang bersangkutan untuk ditangani. 1. Sejarah Pengawasan Notaris Pasca Undang-undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 Setelah Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undangndang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, tersebut kemudian dicabut dan digantikan dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang pada intinya bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, kemudian organisasi, administrasi dan finansial dalam lingkungan peradilan berada dibawah kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Agung Dan Organisasi, administrasi finasial Mahkamah Konstitusi berada di bawah kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Konstitusi. Maka berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman, Departemen Kehakiman sudah tidak mempunyai otoritas lagi terhadap organisasi, administrasi dan finansial pengadilan.
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman yang baru tersebut, secara substansi Departemen Kehakiman q.q Menteri Kehakiman sudah tidak lagi mempunyai otoritas untuk melakukan pengawasan terhadap Notaris. Tapi pengawasan Notaris tersebut menjadi otoritas penuh badan peradilan, hal ini sesuai dengan Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Sedangkan Menteri Kehakiman dapat melakukan tindakan terhadap Notaris berdasarkan laporan Ketua Pengadilan Negeri dan setelah mendengar pendapat dari organisasi Notaris. Ketentuan sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 54 tersebut di atas telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi berdasarkan Pasal 91 ayat (4) Undangundang Jabatan Notaris. Berdasarkan Undang-undang Jabatan Notaris tersebut pengawasan Notaris memasuki babak baru, dimana Pengawasan tidak hanya dari Notaris saja akan tetapi juga dari unsur pemerintah (Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia) dan akademis bidang hukum. 63 A. Tata Cara Pelaksanaan Pengawasan Terhadap Notaris Sebelum berlakunya Undang-undang Jabatan Notaris, dalam menjalankan tugas dan jabatannya Notaris diawasi oleh Pengadilan Negeri dibawah naungan Mahkamah Agung dan Departemen Kehakiman, Pengawasan yang dilakukan meliputi empat kedudukan, sarana kantor, protokol, penyimpanan budel minut akta, jumlah akta, pengiriman dubbel repertorium, dan menindak lanjuti kebenaran laporan masyarakat. 63
Sumber : Majalah Renvoi Nomor 10.22 II tanggal 3 Maret 2005, hal 36
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
Mekanisme pengawasan yang dilakukan terhadap pelaksanaan tugas dan jabatan Notaris adalah bersifat preventif maupun represif. Pengawasan yang dilakukan secara preventif adalah pengawasan yang dilakukan sebelum pelaksanaan, yang berarti pengawasan terhadap segala sesuatu yang masih bersifat rencana sedangkan pengawasan yang dilakukan secara represif adalah pengawasan yang dilakukan setelah pekerjaan atau kegiatan dilaksanakan. Namun dengan berlakunya, undang-undang Jabatan Notaris yang baru, maka pengawasan Notaris dilakukan oleh Menteri yang kemudian membentuk majelis pengawas yang terdiri atas unsur : a. Pemerintah sebanyak 3 (tiga) orang b. Organisasi Notaris sebanyak 3 (tiga) orang c. Ahli/akademis sebanyak 3 (tiga) orang Majelis Pengawas sebagaimana dimaksud diatas terdiri dari Majelis Pengawas Daerah, Majelis Pengawas Wilayah dan Majelis Pengawas Pusat Pengawasan yang dialukan setelah keluarnya undang-undang baru. Berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M.02.PR.08.10 Tahun 2004 tentang Tata cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja, dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris, adalah kegiatan yang bersifat preventif dan kuratif termasuk kegiatan pembinaan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas terhadap Notaris.
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
Hal ini sejalan dengan pendapat para responden mengenai sifat pengawasan Notaris yang dilakukan pengawas selama ini, sebagaimana tampak dalam tabel berikut : Tabel 1. Sifat Pengawasan yang dilakukan Pengawas. n = 21 No
Pendapat Responden
F
%
1
Preventif
7
33,3
2
Represif
0
0
3
Preventif dan Represif
10
47,7
4
Pendapat lain
4
19
Jumlah
21
100
Berdasarkan tabel 1 di atas, tampak jelas bahwa pengawas telah melaksanakan kewajiban untuk mengawasi Notaris baik bersifat preventif maupun represif, yang dalam hal ini selaras dengan ketentuan Kep.Men.Keh & HAM Nomor M01.H.T.03.01 Tahun 2003. Dengan pengawasan yang bersifat preventif dan represif yang dilakukan oleh Pengawas selama ini, berdasarkan hasil penelitian kegiatan yang dilakukan oleh pengawas hanyalah melakukan tindakan pengamatan saja terhadap pelaksanaan tugas dan jabatan Notaris. Pengamatan yang dilakukan oleh Pengawas bagi Notaris adalah terhadap :
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
a. Pelaksanaan pekerjaan atau kegiatan b. Hasil pekerjaan Notaris c. Dokumen-dokumen dan keterangan lain yang bersangkutan dengan pekerjaan Notaris. Pengawasan yang dilakukan pengawas terhadap Notaris selama ini, berdasarkan hasil penelitian, lebih di titik beratkan pada perilaku Notaris dalam melaksanakan tugasnya, akta-akta yang dibuat Notaris, dan pencegahan penyimpangan akan tugas Notaris. Dalam melaksanakan pengawasan, pengawas melakukan pengawasan terhadap Notaris adalah secara terjadwal dan sebagaimana selama ini pengawas selalu datang ke tempat obyek yang diawasi yaitu Kantor Notaris dan pengawasan dilakukan 1 (satu) kali dalam setahun. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, Pengawas telah melaksankaan tugasnya untuk mengawasi Notaris, sebagaimana yang akan diuraikan dalam tabel 2 di bawah ini : Tabel 2. Pelaksanaan tugas Pengawas dalam menjalankan tugasnya untuk mengawasi Notaris. n:21 No
Pendapat Responden
F
%
1
Sudah
13
61,9
2
Belum
0
0
3
Sudah tapi belum sesuai dengan 7
33,3
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
peraturan yang ada 4
Tidak ada komentar
1
4,8
Total
21
100
Dalam menjalankan tugasnya untuk mengawasi Notaris, hal-hal yang diawasi oleh Pengawas adalah Protokol dari Notaris, 64 yang terdiri dari : a. Bundel Akta b. Repertorium c. Klapper d. Pendirian PT, CV, Firma e. Hibah/Wasiat f. Legalisasi dan waarmerking, sebagaimana yang diuraian dalam Pasal 61 PJN. Selain hal tersebut diatas, Pengawas juga melakukan pengawasan terhadap Sarana Kantor seperti : jumlah pegawai Notaris, Komputer, Mesin tik dan sebagainya. Dalam prakteknya tata cara pelaksanaan pengawasan Notaris yang dilakukan oleh pengawas adalah :
64
Berdasarkan pasal-pasal yang terdapt dalam Peraturan Jabatan Notaris maka yang termasuk ke dalam protokol notaris yang diharuskan pembuatannya, adalah : 1. Bundel-bundel minuta sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 36 PJN 2. Daftar Pusat Wasiat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 36 a PJN 3. Daftar-daftar yang disebut dalam Pasal 99 dari peraturan tentang berlakunya dan peralihan kepada perundang-undangan baru dan dalam pasal-pasal 143 c dan 218 c Kitab undangUndang Hukum Dagang sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 45 PJN. 4. Klapper menurut abjad yang harus dikerjakan dari bulan ke bulan, berisikan nama dari semua orang yang bertindak sebagai yang berkepentingan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 46 PJN. Bandingkan dengan pasal 1 butir 13 Undang-undang Jabatan Notaris disebutkan bahwa protokol notaris adalah kumpulan dokumen yang merupakan arsip Negara yang harus disimpan dan dipelihara oleh Notaris.
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
1. Dalam tiap-tiap Pengadilan Negeri dibentuk satu atau beberapa tim pengawas yang terdiri dari Hakim Pengawas dan Panitera pengganti, yang masing-masing tim bertanggung jawab kepada Ketua Pengadilan Negeri. 2. Sebelum mendatangi kantor Notaris, terlebih dahulu dari pihak tim pengawas memberitahukan kepada Notaris mengenai kedatangan mereka untuk melakukan pemeriksaan terhadap pekejaan Notaris. 3. Setelah mendatangi dan memeriksa segala pekerjan Notaris, misalnya Protokol Notaris, maka oleh tim pengawas akan membuat suatu berita acara pemeriksaan yang akan ditanda tangani oleh tim pengawas dan Notaris. Pengawasan yang dilakukan oleh pengawas terhadap Notaris adalah pada saat Pasca penandantanganan akta yang artinya yaitu pada saat sesudah akta itu ditanda tangani oleh para pihak, saksi-saksi dan Notaris, sedangkan pada saat pembuatan akta oleh Notaris adalah menjadi kewenangan Notaris sendiri. Hal ini dapat dilihat pada tabel 3. di bawah ini : Tabel 3. Pengawasan dilakukan Pengawas pada saat N = 21 No
Pendapat Responden
F
%
1
Pada penandatangan akta
0
0
2
Saat Penanda tanganan akta
0
0
3
Pasca Penandatanganan akta
21
100
Jumlah
21
100
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
Dalam hal ditemukannya kesalahan atau pelanggaran dari Notaris pada saat pemeriksaan dilakukan, maka Pengaws hanya melakukan peneguran secara terangterangan, membetulkan kesalahan Notaris sesuai dengan ketentuan yang berlaku, atau dengan kata lain pengawas melakukan pembimbingan kepada Notaris yang bersangkutan. Akan tetapi apabila Notaris setelah ditegur/diperingatkan berulang kali oleh pengawas tetap tidak mau memperbaikinya, maka Ketua Pengadilan Negeri dapat menjatuhkan sanksi berupa pemecatan selama 3 sampai 6 bulan dan jika dipandang perlu Ketua Pengadilan Negeri dapat mengusulkan kepada Menteri Kehakiman yang tembusannya kepada Mahkamah Agung dan Pengadilan Tinggi agar Notaris yang bersangkutan dipecat dari jabatannya. 65 Menurut Surat Edaran Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman Nomor : JHA.5/13/18 tanggal 17 Februari 1981, bila ternyata Notaris melakukan suatu pelanggaran, maka Ketua Pengadilan Negeri sesuai kewenangannya dapat mengambil tindakan : a. Peneguran b. Pemberhentian sementara 3 sampai 6 bulan c. Mengusulkan kepada Menteri Kehakiman untuk diberhentikan.
65
Surat Edaran mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1984, tanggal 17 Maret 1984 tentang Tata Cara Pengawasan Terhadap Notaris
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
Namun apabila pengawas melihat kesalahan dalam akta-akta yang dibuat oleh Notaris, maka menurut Hakim Pengawas terhdap Notaris akan dikenakan Pasal 38 jo 43 KUHAP, yaitu : Penyitaan akta Notaris dengan surat izin Ketua Pengadilan Negeri, kecuali aktaakta yang dianggap sebagai arsip/rahasia Negara. (Pasal 170 KUHAP berbunyi : mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat meminta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka. Hakim menentukan sah tau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut”) Namun jika Hakim telah mengijinkan akan tetapi Notaris menolak untuk menyerahkan hal-hal yang perlu dirahasiakan yang bersangkutan sebagai Notaris maka ada kemungkinan Notaris dapat dikenakan Pasal 161 KUHAP. 66
66
Dalam hal saksi atau ahli tanpa alasan yang sah menolak untuk bersumpah atau berjanji sebagaimana dimaksud dalam pasal 160 ayat (3) dan ayat (4), maka pemeriksaan terhadapnya tetap dilakukan, sedang ia dengan surat penetapan Hakim Ketua Sidang dapat dikenakan sandera di tempat Rumah Tahanan Negara paling lama empat belas hari.
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
BAB III MANFAAT PENGAWASAN BAGI NOTARIS DALAM MENJALANKAN TUGASNYA
Peraturan-peraturan
tentang
pengawasan
dan
pemeriksaan
protokol
ini
sesungguhnya sangat penting untuk menjaga ketertiban dalam pekerjaan notaris . Sayang sekali bahwa hingga sekarang ini jarang sekali dilakukan pemeriksaan terhadap protokol notaris , sehingga dalam praktek timbul hal-hal yang sangat mengecewakan dan sangat merugikan masyarakat . Antara lain telah terjadi keteledoran dalam menjalankan pekerjaan notaris yang tentunya tidak akan terjadi secara berlarut-larut apabila ada pengawasan dari yang berwajib berdasarkan ketentuan-ketentuan dalan Undang-Undang Jabatan Notaris . Beberapa hal yang nyata-nyata terjadi dalam praktek dapat dijadikan sebuah contoh kecerobohan dalam menjalankan jabatan notaris . Seorang notaris yang meninggal dunia ternyata meninggalkan ratusan akte-akte yang tidak memenuhi syarat , antara lain tidak ditandatangani oleh notaris dan tidak diberi materai yang cukup , sehingga notaris yang ditunjuk oleh Departemen Kehakiman untuk menyimpan protokol dari notaris yang meninggal itu , tidak dapat mengeluarkan salinan-salinan dari minut yang disimpannya . Ada lagi notaris yangdipindahkan kekota lain atas permintaan sendiri , ternyata meninggalkan ribuan minut-minut akte yang tidak ditandatangani dan tidak diberi
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
meterai . Ini bukan lagi kelalaian , melainkan merupakan suatu kecerobohan yang tidak patut dilakukan oleh seorang notaris . Pengawasan yang dilakukan pengawas selama ini bagi Notaris mempunyai manfaat yang besar, yaitu : 1. Notaris mampu untuk meningkatkan kemampuan profesioanlismenya dalam menjalankan tugas dan jabatannya. 2. Notaris sedapat mungkin, memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan baginya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada. 3. Notaris mampu berperan untuk terciptanya suatu kepastian hukum melalui akta otentik yang dibuatnya demi kepentingan masyarakat. 4. Notaris menyadari bahwa tugas yang di bebankan kepadanya adalah untuk kepentingan para pihak . Berdasarkan hasil penelitian, pengawasan yang dilakukan oleh Pengawas selama ini terhadap Notaris dalam melaksanakan tugas dan jabatannya mempunyai dampak yang positif bagi pelaksanaan tugas Notaris. Hal ini sejalan dengan pendapat para responden mengenai manfaat yang dirasakan oleh responden, sebagaimana tampak dalam tabel berikut ini : Tabel 4. Manfaat Pengawasan bagi Notaris n= 21 No Pendapat Responden
F
%
1
18
85,7
Positif
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
2
Negatif
3
14,3
Jumlah
21
100
Alasan responden menyatakan bahwa pengawasan yang dilaksanakan oleh pengawas selama ini telah membawa dampak positif67 adalah bahwa pengawas telah melaksanakan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan Notaris sendiri sudah lebih hati-hati dalam melaksanakan tugasnya terutama dalam pembuatan akta/isi akta. Selain itu dampak positif lainnya adalah Notaris sudah melaksanakan tugasnya dengan baik dan lebih bersifat profesional. Namun sistem pengawasan yang dilakukan oleh Pengawas selama ini, berdasarkan hasil penelitian belum mencapai sasaran yang diharapkan, hal ini dapat dilihat dalam tabel berikut : Tabel. 5 Sistem Pengawasan belum mencapai sasaran yang diharapkan n= 21 No Pendapat Responden
F
%
1
Sudah
7
33,3
2
Belum
13
61,9
3
Tidak ada komentar
1
4,8
Jumlah
21
100
67
Sebagaimana dilihat dalam tabel 4 bahwa ternyata berdasarkan penelitian 14,3% menyatakan bahwa terhadap pengawasan memiliki dampak negatif, hal ini disebabkan karena pengawas yang selam ini mengawasi Notaris tidak benar-benar mengawasi Notaris atau hanya untuk memenuhi formalitas saja dalam mengawasi Notaris.
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
Belum dicapainya sasaran yang diharapkan selama ini oleh responden mengemukakan alasan-alasannya sebagai berikut : a. Karena banyaknya akta-akta yang dibuat oleh Notaris tidak sesuai atau belum sesuai dengan pengertian akta Notaris itu sebenarnya yaitu otentik b. Pengawas selama ini belum profesional dalam memeriksa akta yang dibuat oleh Notaris. c. Karena pengawas tidak memberikan informasi atau pengetahuan yang baru bagi Notaris khususnya dalam pelaksanaan tugas dan jabatan Notaris.
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
BAB IV PERANAN DEWAN KEHORMATAN DENGAN MAJELIS PENGAWAS NOTARIS DALAM MELAKUKAN PENGAWASAN SETELAH DIKELUARKANNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004
A. Dewan Kehormatan Notaris 1. Dewan Kehormatan Daerah Pada tingkat pertama Pengurus Daerah perkumpulan mempunyai Dewan Kehormatan Daerah pada setiap kepengurusan Pengurus Daerah Ikatan Notaris Indonesia. Dewan Kehormatan Daerah terdiri dari 3(tiga) orang anggota diantaranya, seorang Ketua, seorang Wakil Ketua, dan seorang Sekretaris. Yang dapat diangkat menjadi anggota Dewan Kehormatan Daerah adalah anggota biasa yang telah menjabat sebagai Notaris sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan anggota luar biasa (mantan Notaris), yang senantiasa mentaati peraturan perkumpulan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, berdedikasi tinggi, berjasa dan loyal serta mempunyai rasa kepedulian yang tinggi kepada perkumpulan, kecuali untuk daerahdaerah tertentu, konferensi daerah dapat menentukan lain, terutama mengenai komposisi Notaris dan mantan Notaris. Masa jabatan Dewan Kehormatan Daerah adalah sama dengan masa jabatan anggota Pengurus Daerah. Para anggota Dewan Kehormatan Daerah yang masa jabatannya telah berakhir dapat dipilih kembali. Seorang anggota Dewan Kehormatan
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
Daerah tidak boleh merangkap sebagai anggota Pengurus Pusat, Dewan Kehormatan Pusat, Pengurus Wilayah, Dewan Kehormatan Wilayah, dan Pengurus Daerah, jika selama masa jabatan karena sesuatu hal terjadi jumlah anggota Dewan Kehormatan Daerah kurang dari jumlah yang ditetapkan maka Dewan Kehormatan Daerah yang ada tetap sah walaupun jumlah anggotanya berkurang. Dewan Kehormatan Daerah merupakan badan yang bersifat otonom di dalam mengambil keputusan yang mempunyai tugas dan kewajiban untuk memberikan bimbingan dan melakukan pengawasan dalam pelaksanaan serta pentaatan kode etik oleh para anggota perkumpulan di daerah masing-masing. Dalam rangka menjalankan tugas dan kewajibannya Dewan Kehormatan Daerah berwenang untuk: 1. Memberikan dan menyampaikan usul dan saran yang ada hubungannya dengan kode etik dan pembinaan rasa kebersamaan profesi (corpsgeest) kepada Pengurus Daerah. 2. Memberikan peringatan, baik secara tertulis
maupun dengan lisan secara
langsung kepada para anggota di daerah masing-masing yang melakukan pelanggaran atau melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan kode etik atau bertentangan dengan rasa kebersamaan profesi; 3. Memberitahukan
tentang
pelanggaran tersebut kepada Pengurus Daerah,
Pengurus Wilayah, Dewan Kehormatan Wilayah, Pengurus Pusat dan Dewan Kehormatan Pusat; 4. Mengusulkan
kepada pengurus Pusat melalui Dewan Kehormatan Wilayah
dan Dewan Kehormatan Pusat untuk pemberhentian sementara (schorsing)
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
anggota perkumpulan yang melakukan pelanggaran terhadap kode etik. Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya Dewan Kehormatan Daerah dapat mengadakan pertemuan dengan Pengurus Daerah, Pengurus Wilayah, Dewan Kehormatan Wilayah, Pengurus Pusat atau Dewan Kehormatan Pusat. Dewan Kehormatan Daerah dapat mencari fakta pelanggaran atas prakarsa sendiri atau setelah menerima pengaduan secara tertulis dari seorang anggota perkumpulan atau orang lain dengan bukti-bukti yang meyakinkan bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap kode etik, setelah menemukan fakta-fakta pelanggaran kode etik atau setelah menerima pengaduan, wajib memanggil
anggota yang
bersangkutan untuk memastikan apakah betul telah terjadi pelanggaran dan memberikan kesempatan kepadanya untuk memberikan penjelasan dan pembelaan. Dari pertemuan tersebut dibuat risalah yang ditandatangani oleh anggota yang bersangkutan dan ketua serta seorang anggota Dewan Kehormatan Daerah. Dewan Kehormatan Daerah diwajibkan untuk memberikan keputusan dalam waktu tiga puluh hari setelah pengaduan diajukan. Terhadap keputusan Dewan Kehormatan Daerah dapat
diadakan banding ke Dewan Kehormatan Wilayah.
Dewan Kehormatan Daerah wajib memberitahukan tentang keputusannya itu kepada Pengurus Daerah, Pengurus Wilayah, Dewan Kehormatan Wilayah, Pengurus Pusat dan Dewan Kehormatan Pusat. Dalam menangani atau menyelesaikan suatu kasus, anggota Dewan Kehormatan Daerah harus:
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
a. Tetap menghormati dan
menjunjung tinggi
martabat anggota yang
bersangkutan; b. Selalu menjaga suasana kekeluargaan; c. Merahasiakan segala apa yang ditemukannya. Jika keputusan Dewan Kehormatan Daerah ditolak oleh Dewan Kehormatan Wilayah, baik sebagian maupun seluruhnya maka Dewan Kehormatan Daerah diwajibkan untuk melaksanakan keputusan Dewan Kehormatan Wilayah dan memberitahukannya kepada anggota yang bersangkutan dan kepada Pengurus Daerah, Pengurus Wilayah, Dewan Kehormatan Wilayah, Pengurus Pusat dan Dewan Kehormatan Pusat. 2. Dewan Kehormatan Wilayah Pada tingkat banding perkumpulan mempunyai Dewan Kehormatan Wilayah pada setiap kepengurusan Pengurus Wilayah Ikatan Notaris Indonesia. Dewan Kehormatan Wilayah terdiri dari 5 (lima) anggota diantaranya seorang ketua, seorang wakil ketua, dan seorang sekretaris. Yang dapat diangkat menjadi anggota Dewan Kehormatan Wilayah adalah anggota biasa yang telah menjabat sebagai Notaris sekurang-kurangnya tujuh tahun dan anggota luar biasa (mantan Notaris), yang senantiasa mentaati peraturan perkumpulan dan peraturan perundangundangan yang berlaku, berdedikasi tinggi, berjasa dan loyal serta mempunyai rasa kepedulian yang tinggi kepada perkumpulan, kecuali untuk wilayah-wilayah tertentu, konferensi wilayah dapat menentukan lain, terutama mengenai komposisi Notaris dan mantan Notaris.
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
Masa jabatan Dewan Kehormatan Wilayah adalah sama dengan masa jabatan anggota Pengurus Wilayah. Para anggota Dewan Kehormatan Wilayah yang masa jabatannya telah berakhir dapat dipilih kembali. Seorang anggota Dewan Kehormatan Wilayah tidak boleh merangkap sebagai anggota Pengurus Pusat, Dewan Kehormatan Pusat, Pengurus Wilayah, Pengurus Daerah, Dewan Kehormatan Daerah, jika selama masa jabatan karena sesuatu hal terjadi jumlah anggota Dewan Kehormatan Wilayah kurang dari jumlah yang ditetapkan maka Dewan Kehormatan Wilayah yang ada tetap sah walaupun jumlah anggotanya berkurang. Dewan kehormatan Wilayah merupakan badan yang bersifat otonom di dalam mengambil keputusan. Dewan
kehormatan
Wilayah
mempunyai tugas
dan
kewajiban untuk memberikan bimbingan dan melakukan pengawasan dalam pelaksanaan serta pentaatan kode etik oleh para anggota perkumpulan di wilayah masing-masing. Dalam rangka menjalankan tugas dan kewajibannya Dewan Kehormatan Wilayah berwenang untuk: a) Memberikan dan menyampaikan usul dan saran yang ada hubungannya dengan kode etik dan pembinaan rasa kebersamaan profesi (corpsgeest) kepada Pengurus Wilayah; b) Memberikan peringatan, baik secara tertulis maupun dengan lisan secara langsung kepada para anggota di wilayah masing-masing yang melakukan pelanggaran atau melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan kode etik atau bertentangan dengan rasa kebersamaan profesi;
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
c) Memberitahukan
tentang
pelanggaran
tersebut kepada Pengurus Wilayah,
Pengurus Pusat dan Dewan Kehormatan Pusat; d) Mengusulkan kepada Pengurus Pusat melalui Dewan Kehormatan Pusat untuk pemberhentian sementara (schorsing) dari anggota perkumpulan yang melakukan pelanggaran terhadap kode etik. Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya Dewan Kehormatan Wilayah dapat mengadakan pertemuan dengan Pengurus Wilayah, Pengurus Pusat, Dewan Kehormatan Pusat, Pengurus Daerah atau Dewan Kehormatan Daerah. Dewan Kehormatan Wilayah dapat mencari fakta pelanggaran atas prakarsa sendiri atau setelah menerima pengaduan secara tertulis dari seorang anggota perkumpulan atau orang lain dengan bukti-bukti yang meyakinkan bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap kode etik, setelah menemukan fakta-fakta pelanggaran kode etik atau setelah menerima pengaduan, wajib memanggil anggota yang bersangkutan untuk memastikan apakah betul telah terjadi pelanggaran dan memberikan kesempatan kepadanya untuk memberikan penjelasan dan pembelaan. Dari pertemuan tersebut dibuat risalah yang ditandatangani oleh anggota yang bersangkutan dan ketua serta seorang anggota Dewan Kehormatan Wilayah. Dewan Kehormatan Wilayah diwajibkan untuk memberikan keputusan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah pengaduan diajukan. Terhadap keputusan Dewan Kehormatan Wilayah dapat diadakan banding ke Dewan Kehormatan Pusat.
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
Dewan Kehormatan Wilayah wajib memberitahukan tentang keputusannya itu kepada Dewan Kehormatan Pusat, Pengurus Pusat, Pengurus Wilayah, Pengurus Daerah dan Dewan Kehormatan Daerah. Dalam menangani atau menyelesaikan suatu kasus, anggota Dewan Kehormatan Wilayah harus: a. Tetap menghormati dan menjunjung tinggi martabat anggota yang bersangkutan; b. Selalu menjaga suasana kekeluargaan; c. Merahasiakan segala apa yang ditemukannya. Jika keputusan Dewan Kehormatan Wilayah ditolak oleh Dewan Kehormatan Pusat, baik sebagian maupun seluruhnya maka Dewan Kehormatan Wilayah diwajibkan untuk melaksanakan keputusan Dewan Kehormatan Pusat dan memberitahukannya kepada anggota yang bersangkutan dan kepada Dewan Kehormatan Pusat, Pengurus Pusat, Pengurus Wilayah, Pengurus Daerah dan Dewan Kehormatan Daerah. Dewan Kehormatan Wilayah, Dewan Kehormatan Pusat, Dewan Kehormatan Daerah, Pengurus Pusat, Pengurus Wilayah, dan Pengurus Daerah mengadakan pertemuan berkala, sedikitnya enam bulan sekali atau setiap kali dipandang perlu oleh Pengurus Pusat atau Dewan Kehormatan Pusat atau atas permintaan 2 (dua) Pengurus Wilayah berikut Dewan Kehormatan Wilayah atau atas permintaan 5 (lima) Pengurus Daerah berikut Dewan Kehormatan Daerah.
3. Dewan Kehormatan Pusat
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
Pada tingkat terakhir kepengurusan perkumpulan mempunyai Dewan Kehormatan Pusat pada tingkat Pusat Ikatan Notaris Indonesia. Dewan Kehormatan Pusat terdiri dari 5 (lima) orang anggota, dengan susunan kepengurusan sebagai berikut; Ketua, Wakil ketua, Sekretaris. Yang dapat diangkat menjadi anggota Dewan Kehormatan Pusat adalah anggota biasa yang telah menjabat sebagai Notaris sekurang-kurangnya sepuluh tahun dan anggota luar biasa (mantan Notaris), yang senantiasa mentaati peraturan perkumpulan dan peraturan perundangundangan yang berlaku, berdedikasi tinggi, berjasa dan loyal serta mempunyai rasa kepedulian yang tinggi kepada perkumpulan yang dipilih oleh kongres. Dewan Kehormatan Pusat bertanggung jawab pada kongres atas pelaksanaan tugas dan kewajibannya, dengan masa jabatan yang sama dengan masa jabatan Pengurus Pusat. Para anggota Dewan Kehormatan Pusat yang masa jabatannya telah berakhir dapat dipilih kembali. Seorang anggota Dewan Kehormatan Pusat tidak boleh merangkap sebagai anggota Pengurus Pusat, Pengurus Wilayah, Dewan Kehormatan Wilayah, Pengurus Daerah dan Dewan Kehormatan Daerah, jika selama masa jabatan Dewan Kehormatan Pusat karena suatu hal terjadi jumlah anggota Dewan Kehormatan Pusat kurang dari jumlah yang ditetapkan, maka Dewan Kehormatan Pusat yang ada tetap sah walaupun jumlah anggotanya berkurang. Dewan Kehormatan Pusat merupakan badan yang bersifat otonom di dalam mengambil keputusan-keputusan.
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
Dewan Kehormatan Pusat mempunyai tugas dan kewajiban untuk memberikan bimbingan dan melakukan pengawasan dalam pelaksanaan serta pentaatan kode etik oleh para anggota perkumpulan. Dalam rangka menjalankan tugas dan kewajibannya Dewan Kehormatan Pusat berwenang untuk: a) Memberikan dan menyampaikan usul serta saran yang ada hubungan dengan kode etik dan pembinaan rasa kebersamaan profesi (corpsgeest) kepada Pengurus Pusat; b) Memberikan peringatan, baik secara tertulis maupun dengan lisan secara langsung kepada para anggota yang melakukan pelanggaran atau melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan kode etik atau bertentangan dengan rasa kebersamaan profesi; c) Memberitahukan tentang pelanggaran tersebut kepada Pengurus Pusat, Pengurus Wilayah, Dewan Kehormatan Wilayah, Pengurus Daerah dan Dewan Kehormatan Daerah; d) Mengusulkan
kepada
pengurus
Pusat untuk melakukan pemberhentian
sementara (schorsing) dari anggota perkumpulan yang melakukan pelanggaran terhadap kode etik; e) Menolak atau menerima pengaduan atas pelanggaran kode etik. Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, Dewan Kehormatan Pusat dapat mengadakan pertemuan dengan Pengurus Pusat, Pengurus Wilayah, Dewan Kehormatan Wilayah, Pengurus Daerah dan Dewan Kehormatan Daerah.
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
Dewan kehormatan Pusat dapat mencari fakta pelanggaran atas prakarsa sendiri atau atas pengaduan secara tertulis dari anggota perkumpulan atau orang lain dengan bukti yang meyakinkan bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap kode etik, setelah menemukan fakta-fakta pelanggaran atau setelah menerima pengaduan, Dewan Kehormatan wajib memanggil anggota yang bersangkutan untuk memastikan apakah betul terjadi pelanggaran dan Dewan Kehormatan Pusat diwajibkan untuk memberitahukan tentang adanya pelanggaran tersebut kepada Pengurus Wilayah, Dewan Kehormatan Wilayah, Pengurus Daerah dan Dewan Kehormatan Daerah secara tertulis. Dari pertemuan tersebut dibuat risalah yang ditandatangani oleh anggota yang bersangkutan dan Ketua serta seorang anggota Dewan Kehormatan Wilayah. Dewan Kehormatan Pusat wajib memberikan keputusan dalam tingkat banding atas keputusan Dewan Kehormatan Wilayah yang diajukan banding kepadanya oleh anggota yang bersangkutan dalam waktu tiga puluh hari terhitung sejak diterimanya berkas permohonan banding. Keputusan Dewan Kehormatan Pusat dalam tingkat banding tidak dapat diganggu gugat. Dalam menangani atau menyelesaikan suatu kasus, anggota Dewan Kehormatan Pusat harus; a. Tetap menghormati dan menjunjung tinggi martabat anggota yang bersangkutan; b. Selalu menjaga suasana kekeluargaan; c. Merahasiakan segala apa yang ditemukannya. Dewan Kehormatan Pusat, Dewan Kehormatan Wilayah, Dewan Kehormatan Daerah, Pengurus Pusat, Pengurus Wilayah, dan Pengurus Daerah mengadakan
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
pertemuan berkala, sedikitnya enam bulan sekali atau setiap kali dipandang perlu oleh Pengurus Pusat atau Dewan Kehormatan Pusat atau atas permintaan dua Pengurus Wilayah berikut Dewan Kehormatan Wilayah atau atas permintaan lima Pengurus Daerah berikut Dewan Kehormatan Daerah. Dalam menjaga kehormatan dan keluhuran martabat Notaris, kongres Ikatan Notaris Indonesia menetapkan kode etik Notaris yang merupakan kaidah moral yang wajib ditaati oleh setiap anggota perkumpulan. Bagi Notaris yang melakukan pelanggaran kode etik, Dewan Kehormatan berkoordinasi dengan Majelis Pengawas berwenang melakukan pemeriksaan atas pelanggaran tersebut dan dapat menjatuhkan sanksi kepada pelanggarnya, sanksi yang dikenakan terhadap anggota Ikatan Notaris Indonesia yang melakukan pelanggaran kode etik dapat berupa : a. Teguran; b. Peringatan; c. Schorzing (pemecatan sementara) dari keanggotaan Perkumpulan; d. Onzetting (pemecatan) dari keanggotaan Perkumpulan; e. Pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan Perkumpulan. Pemeriksaan dan penjatuhan sanksi pada tingkat pertama Apabila ada anggota yang diduga melakukan pelanggaran terhadap kode etik, baik dugaan tersebut berasal dari pengetahuan Dewan Kehormatan Daerah sendiri maupun karena laporan dari Pengurus Daerah ataupun pihak lain kepada Dewan Kehormatan Daerah, maka selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
Dewan Kehormatan Daerah wajib segera mengambil tindakan dengan mengadakan sidang Dewan Kehormatan Daerah untuk membicarakan dugaan terhadap pelanggaran tersebut. Apabila menurut hasil sidang Dewan Kehormatan Daerah ternyata ada dugaan kuat terhadap pelanggaran kode etik, maka dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal sidang tersebut, Dewan Kehormatan Daerah berkewajiban memanggil anggota yang diduga melanggar tersebut dengan surat tercatat atau dengan ekspedisi, untuk didengar keterangannya dan diberi kesempatan untuk membela diri. Dewan
kehormatan
daerah
baru akan menentukan putusannya mengenai
terbukti ada tidaknya pelanggaran kode etik serta penjatuhan sanksi terhadap pelanggarnya (apabila terbukti), setelah mendengar keterangan dan pembelaan diri dari anggota yang bersangkutan dalam sidang Dewan Kehormatan Daerah. Penentuan dapat dilakukan oleh Dewan Kehormatan Daerah, baik dalam sidang itu maupun dalam sidang lainnya, sepanjang penentuan keputusan melanggar atau tidak melanggar tersebut, dilakukan selambat-lambatnya dalam waktu limabelas hari kerja, setelah tanggal sidang Dewan Kehormatan Daerah dimana Notaris tersebut telah didengar keterangan dan/atau pembelaannya. Bila dalam putusan sidang Dewan Kehormatan Daerah dinyatakan terbukti ada pelanggaran terhadap kode etik, maka sidang sekaligus menentukan sanksi terhadap pelanggarnya. Dalam hal anggota yang dipanggil tidak datang atau tidak memberi kabar apapun dalam waktu tujuh hari kerja setelah dipanggil, maka Dewan Kehormatan Daerah akan mengulangi panggilannya sebanyak dua kali dengan jarak waktu tujuh hari kerja, untuk setiap panggilan. Dalam
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
waktu tujuh hari kerja, setelah panggilan ke tiga ternyata masih juga tidak datang atau tidak memberi kabar dengan alasan apapun, maka Dewan Kehormatan Daerah akan tetap bersidang untuk membicarakan pelanggaran yang diduga dilakukan oleh anggota yang dipanggil itu dan menentukan putusannya. Terhadap sanksi pemberhentian sementara (schorsing) atau pemecatan (onzetting) dari keanggotaan perkumpulan diputuskan, Dewan Kehormatan Daerah wajib berkonsultasi terlebih dahulu dengan Pengurus Daerahnya. Putusan sidang Dewan Kehormatan Daerah wajib dikirim oleh Dewan Kehormatan Daerah kepada anggota yang melanggar dengan surat tercatat atau dengan ekspedisi dan tembusannya kepada Pengurus Daerah, Pengurus Pusat dan Dewan Kehormatan Pusat, semuanya itu dalam waktu tujuh hari kerja, setelah dijatuhkan putusan oleh sidang Dewan Kehormatan Daerah. Apabila pada tingkat kepengurusan daerah belum dibentuk Dewan Kehormatan Daerah, maka Dewan Kehormatan Wilayah berkewajiban dan mempunyai wewenang untuk menjalankan kewajiban serta kewenangan Dewan Kehormatan Daerah dalam rangka penegakan kode etik atau melimpahkan tugas kewajiban dan kewenangan Dewan Kehormatan Daerah kepada kewenangan Dewan Kehormatan Daerah terdekat dari tempat kedudukan atau tempat tinggal anggota yang melanggar kode etik tersebut. Hal tersebut berlaku pula apabila Dewan Kehormatan Daerah tidak sanggup menyelesaikan atau memutuskan permasalahan yang dihadapinya. Pemeriksaan dan penjatuhan sanksi pada tingkat banding
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
Putusan yang berisi penjatuhan sanksi pemecatan sementara (schorsing) atau pemecatan (onzetting) dari keanggotaan perkumpulan dapat diajukan/dimohonkan banding kepada Dewan Kehormatan Wilayah. Permohonan
untuk naik
banding
wajib dilakukan oleh
anggota yang
bersangkutan dalam waktu tiga puluh hari kerja, setelah tanggal penerimaan surat putusan penjatuhan sanksi dari Dewan Kehormatan Daerah. Permohonan
naik
banding dikirim dengan surat tercatat atau dikirim langsung oleh anggota yang bersangkutan kepada Dewan Kehormatan Wilayah dan tembusannya kepada Dewan Kehormatan Pusat, Pengurus Pusat, Pengurus Wilayah, dan Pengurus Daerah. Dewan Kehormatan Daerah dalam waktu tujuh
hari setelah menerima surat
tembusan permohonan banding wajib mengirim semua salinan /foto copy berkas pemeriksaan kepada Dewan Kehormatan Pusat. Setelah menerima permohonan banding, Dewan Kehormatan Wilayah wajib memanggil anggota yang naik banding, selambat-lambatnya dalam waktu tujuh hari kerja, setelah menerima permohonan tersebut. Anggota yang mengajukan banding dipanggil untuk didengar keterangannya dan diberi kesempatan untuk membela diri dalam sidang Dewan Kehormatan Wilayah. Dewan Kehormatan Wilayah wajib memberi putusan dalam tingkat banding melalui sidangnya, dalam waktu tiga puluh hari kerja, setelah anggota yang bersangkutan dipanggil, didengar keterangannya dan diberi kesempatan untuk membela diri.
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
Apabila anggota yang dipanggil tidak datang dan tidak memberi kabar dengan alasan yang sah melalui surat tercatat, maka sidang Dewan Kehormatan Wilayah, tetap akan memberi putusan dalam waktu yang ditentukan. Dewan Kehormatan Wilayah wajib mengirim putusannya kepada anggota yang minta banding dengan surat tercatat atau dengan ekspedisi dan tembusannya kepada Dewan Kehormatan Daerah, Pengurus Wilayah, Pengurus Daerah dan Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia Pusat, semuanya itu dalam waktu tujuh hari kerja setelah sidang Dewan Kehormatan Wilayah menjatuhkan keputusannya atas banding tersebut. Apabila pemeriksaan dan penjatuhan
sanksi dalam tingkat pertama telah
dilakukan oleh Dewan Kehormatan Wilayah, berhubung pada tingkat kepengurusan daerah yang bersangkutan belum dibentuk Dewan Kehormatan Daerah, maka keputusan Dewan Kehormatan Wilayah tersebut merupakan keputusan tingkat banding. Pemeriksaan dan penjatuhan sanksi pada Tingkat Terakhir Putusan yang berisi penjatuhan sanksi pemecatan sementara (schorsing) atau pemecatan (onzetting) dari keanggotaan perkumpulan yang dilakukan oleh putusan yang berisi penjatuhan sanksi pemecatan sementara (schorsing) atau pemecatan (onzetting) dari keanggotaan perkumpulan putusan yang berisi penjatuhan sanksi pemecatan sementara (schorsing) atau pemecatan (onzetting) dari keanggotaan perkumpulan yang dilakukan oleh Dewan Kehormatan Wilayah dapat diajukan/ dimohonkan pemeriksaan pada tingkat terakhir kepada Dewan Kehormatan Pusat.
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
Permohonan untuk pemeriksaan tingkat terakhir wajib dilakukan oleh anggota yang bersangkutan dalam waktu tiga puluh hari kerja, setelah tanggal penerimaan surat putusan penjatuhan sanksi dari Dewan Kehormatan Wilayah. Permohonan pemeriksaan tingkat terakhir dikirim dengan surat tercatat atau melalui ekspedisi atau oleh anggota yang bersangkutan kepada Dewan Kehormatan Pusat dan tembusannya kepada Dewan Kehormatan Daerah, Pengurus Pusat, Pengurus Wilayah dan Pengurus Daerah. Dewan Kehormatan Wilayah dalam waktu tujuh hari kerja, setelah menerima surat tembusan permohonan pemeriksaan tingkat terakhir wajib mengirim semua salinan /foto copy berkas pemeriksaan kepada Dewan Kehormatan Pusat. Setelah menerima
permohonan pemeriksaan tingkat terakhir, Dewan Kehormatan Pusat
wajib memanggil anggota yang meminta pemeriksaan tersebut, selambat-lambatnya dalam waktu tiga puluh hari kerja, setelah menerima permohonan itu. Anggota yang mengajukan permohonan pemeriksaan tersebut, dipanggil, didengar keterangannya dan diberi kesempatan untuk membela diri dalam sidang Dewan Kehormatan Pusat. Dewan kehormatan Pusat wajib memberi putusan dalam pemeriksaan tingkat terakhir melalui sidangnya, dalam waktu tiga puluh hari kerja, setelah anggota yang bersangkutan dipanggil, didengar keterangannya dan diberi kesempatan untuk membela diri. Apabila anggota yang dipanggil tidak datang dan tidak
memberi kabar dengan
alasan yang sah melalui surat tercatat, maka sidang Dewan Kehormatan Pusat tetap akan memberi putusan dan Dewan Kehormatan Pusat wajib mengirim putusannya
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
kepada anggota yang minta pemeriksaan tingkat terakhir dengan surat tercatat atau dengan ekspedisi dan tembusannya kepada Dewan Kehormatan Daerah, Pengurus Wilayah, Pengurus Daerah dan Pengurus Pusat, semuanya dalam waktu tujuh hari kerja, setelah sidang Dewan Kehormatan Pusat menjatuhkan keputusan atas pemeriksaan tingkat terakhir tersebut. Putusan yang ditetapkan oleh Dewan Kehormatan Daerah, Dewan Kehormatan Wilayah maupun yang ditetapkan oleh Dewan Kehormatan Pusat dilaksanakan oleh Pengurus Daerah. Pengurus Daerah wajib mencatat dalam buku anggota perkumpulan yang ada pada Pengurus Daerah atas setiap keputusan yang telah ditetapkan oleh Dewan Kehormatan Daerah, Dewan Kehormatan Wilayah dan/atau Dewan Kehormatan Pusat mengenai kasus kode etik berikut nama anggota yang bersangkutan. selanjutnya nama Notaris tersebut, kasus dan keputusan Dewan Kehormatan Daerah, Dewan Kehormatan Wilayah dan/atau Dewan Kehormatan Pusat diumumkan dalam media notariat yang terbit setelah pencatatan dalam buku anggota perkumpulan tersebut. Penjatuhan sanksi-sanksi sebagaimana terurai di atas terhadap anggota yang melanggar kode etik disesuaikan dengan kuantitas dan kualitas pelanggaran yang dilakukan anggota tersebut. Seorang anggota Ikatan Notaris Indonesia dapat diberhentikan sementara keanggotaannya oleh Pengurus Pusat atas usul Dewan Kehormatan Pusat, Dewan Kehormatan Wilayah atau Dewan Kehormatan Daerah melalui Dewan Kehormatan Pusat, karena melakukan salah satu atau lebih perbuatan di bawah ini :
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
a. Melakukan perbuatan yang merupakan pelanggaran berat terhadap ketentuan anggaran dasar, anggaran rumah tangga, kode etik dan keputusan yang sah dari perkumpulan; b. Melakukan perbuatan yang mencemarkan, merugikan atau merendahkan nama baik perkumpulan; c. Menyalah gunakan nama perkumpulan untuk kepentingan pribadi. Apabila anggota yang diberhentikan sementara berdasarkan keputusan kongres dinyatakan bersalah, maka anggota yang bersangkutan dapat dipecat untuk seterusnya dari keanggotaan perkumpulan. Berdasarkan keputusan kongres, Pengurus Pusat membuat keputusan pemecatan bagi anggota yang bersangkutan dan keputusan tersebut dilaporkan oleh Pengurus Pusat kepada menteri yang membidangi jabatan Notaris, majelis pengawas Pusat, majelis pengawas Wilayah dan majelis pengawas daerah serta instansi lainnya yang menurut pertimbangan Pengurus Pusat perlu mendapat laporan. Namun sanksi pemecatan yang diberikan terhadap Notaris yang melakukan pelanggaran kode etik bukanlah berupa pemecatan dari jabatan Notaris melainkan pemecatan dari keanggotaan Ikatan Notaris Indonesia sehingga walaupun Notaris yang bersangkutan telah terbukti melakukan pelanggaran kode etik, Notaris tersebut masih dapat membuat akta dan menjalankan kewenangan lainnya sebagai Notaris, dengan demikian sanksi berupa pemecatan dari keanggotaan perkumpulan tentunya
tidak berdampak pada jabatan seorang Notaris yang telah melakukan
pelanggaran kode etik, misalnya seorang Notaris diduga melakukan pelanggaran kode etik berupa perbuatan yang merupakan pelanggaran berat terhadap ketentuan
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
anggaran dasar, kode etik dan keputusan yang sah dari perkumpulan, yaitu menandatangani akta yang proses pembuatan minutanya telah dipersiapkan oleh pihak lain, kemudian Notaris tersebut dijatuhi sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan Ikatan Notaris Indonesia, Notaris tersebut masih tetap dapat membuat akta dan menjalankan jabatannya sebagai Notaris, karena sanksi tersebut bukanlah berarti secara serta merta Notaris tersebut diberhentikan dari jabatannya, karena hanya menteri yang berwenang untuk memecat Notaris dari jabatannya dengan mendengarkan laporan dari Majelis Pengawas. Contoh lainnya adalah Seorang Notaris yang dijatuhi sanksi pemecatan dari perkumpulan Notaris karena melakukan pelanggaran kode etik dengan mempekerjakan dengan sengaja orang yang masih berstatus karyawan Notaris lain, ia masih saja dapat menjalankan jabatannya, sehingga sanksi tersebut terkesan kurang mempunyai daya mengikat bagi Notaris yang melakukan pelanggaran kode etik, dan semakin tidak efektif jika Notaris tersebut bukan anggota Ikatan Notaris Indonesia, kalaupun Notaris tersebut anggota Ikatan Notaris Indonesia tidak menutup kemungkinan Notaris tersebut berpindah ke perkumpulan Notaris lainnya seperti PERNORI (Persatuan Notaris Indonesia) atau HNI
(Himpunan Notaris Indonesia) walaupun berdasarkan Keputusan
Menteri
Kehakiman Republik Indonesia pada tanggal 23 Januari 1995 Nomor C21022.HT.01.06. Tahun 1995 dan telah diumumkan di dalam Berita Negara Republik Indonesia tanggal 7 April 1995 Nomor 28 Tambahan Nomor 1/P-1995, telah disebutkan bahwa Ikatan Notaris Indonesia adalah satu-satunya wadah bagi Notaris
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
untuk berhimpun, namun di alam demokrasi bukanlah suatu hal yang tidak mungkin bila terjadi perbedaan pandangan untuk berhimpun. Kode etik hendaknya disusun tidak hanya bersumber dari atas (pemerintah) tetapi lebih bersumber dari hati nurani para Notaris itu sendiri sehingga pelaksanaan kode etik lebih dijiwai oleh semangat para Notaris itu sendiri, sehingga dapat dipatuhi dan dilaksanakan dengan penuh kesadaran, misalnya saja ada satu ketentuan dalam kewajiban kode etik yang mengharuskan Notaris untuk selalu aktif mengikuti kegiatan Ikatan Notaris Indonesia dan bila tidak dapat aktif maka dianggap sebagai pelanggaran kode etik, hal ini sangat tidak aspiratif. 68 Meskipun kode etik relatif artinya tapi kalau Notaris beritikad baik, pasti tidak akan mengabstraksikan lebih dalam kode etik tersebut melainkan justru mengkongkritkan kode etik tersebut dalam kehidupannya sehingga tidak merugikan teman sejawat. 69
Sebagai pengemban amanat dan kepercayaan masyarakat, Notaris sebagai pejabat umum sudah seharusnya mendapat perlindungan hukum dalam menjalankan jabatannya. Notaris yang diduga melakukan pelanggaran kode etik harus didengar keterangannya terlebih dahulu dan diberi kesempatan untuk membela diri sebelum Dewan Kehormatan Pusat menyampaikan usul pemberhentian sementara kepada Pengurus Pusat. Dalam menangani atau menyelesaikan suatu kasus, anggota Dewan Kehormatan Pusat harus tetap menghormati dan menjunjung tinggi martabat anggota yang bersangkutan, selalu menjaga suasana kekeluargaan dan merahasiakan segala apa yang ditemukannya. Seorang Notaris yang diduga melakukan pelanggaran kode
68
Wawancara dengan Jonas M. Simarmata notaris dimedan tanggal 2 Juni 2008. 69 Alief Latief, “Main Bajak Karyawan Dan Kode Etik Notaris Dan/PPAT,” Renvoi (Juli 2004): 3.
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
etik hendaknya diberikan advokasi atau pendampingan oleh perkumpulan dengan tetap menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah. Terhadap penjatuhan sanksi pemberhentian sementara (schorshing) atau pemecatan (onzetting) dari keanggotaan perkumpulan, Dewan Kehormatan Daerah Wajib berkonsultasi terlebih dahulu dengan Pengurus Daerahnya dan
seorang
Notaris yang telah dijatuhi sanksi berupa pemecatan sementara (schorsing) atau pemecatan (onzetting) dari keanggotaan perkumpulan dapat mengajukan/memohon banding dengan surat tercatat atau dikirim langsung kepada Dewan Kehormatan Wilayah dan tembusannya kepada Dewan Kehormatan Pusat, Pengurus Pusat, Pengurus Wilayah, dan Pengurus Daerah. Setelah permohonan bandingnya diterima, selambat- lambatnya dalam waktu tujuh hari kerja Dewan Kehormatan Wilayah memanggil anggota yang naik banding, untuk didengar keterangannya dan diberi kesempatan membela diri dalam sidang Dewan Kehormatan Wilayah dan dalam waktu tiga puluh hari kerja, Dewan Kehormatan Wilayah memberi putusan dalam tingkat banding melalui sidangnya, walaupun anggota yang dipanggil tidak datang Dewan Kehormatan Wilayah, tetap akan memberi putusan dalam waktu yang ditentukan. Dalam waktu tujuh
hari kerja setelah sidang Dewan Kehormatan Wilayah
menjatuhkan keputusannya atas banding tersebut, maka anggota yang minta banding berhak menerima putusannya dan Dewan Kehormatan Wilayah wajib mengirim tembusannya kepada Dewan Kehormatan Daerah, Pengurus Wilayah, Pengurus Daerah dan Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia Pusat.
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
Putusan yang berisi penjatuhan sanksi pemecatan sementara (schorsing) atau pemecatan (onzetting) yang dilakukan oleh Dewan Kehormatan Wilayah dapat diajukan/ dimohonkan pemeriksaan pada tingkat terakhir oleh anggota yang bersangkutan dalam waktu tiga puluh hari kerja, kepada Dewan Kehormatan Pusat dan tembusannya wajib disampaikan kepada Dewan Kehormatan Daerah, Pengurus Pusat, Pengurus Wilayah dan Pengurus Daerah. Setelah menerima permohonan pemeriksaan tingkat terakhir dalam waktu tiga puluh hari kerja, setelah tanggal penerimaan surat putusan penjatuhan sanksi dari Dewan Kehormatan Wilayah, Dewan Kehormatan Pusat memanggil anggota yang meminta pemeriksaan tersebut, untuk didengar keterangannya dan diberi kesempatan untuk membela diri dalam sidang Dewan Kehormatan Pusat dan dalam waktu tiga puluh hari kerja melalui sidangnya Dewan Kehormatan Pusat memberi putusan dalam pemeriksaan tingkat terakhir, dan tembusannya kepada Dewan Kehormatan Daerah, pengurus cabang, Pengurus Daerah dan Pengurus Pusat, semuanya dalam waktu tujuh hari kerja, setelah sidang Dewan Kehormatan Pusat menjatuhkan keputusan atas pemeriksaan tingkat terakhir tersebut, walaupun anggota yang dipanggil tidak datang dan tidak memberi kabar dengan alasan yang sah melalui surat tercatat. Apabila kongres memutuskan anggota yang diberhentikan sementara itu tidak bersalah, maka anggota yang bersangkutan sejak saat keputusan tersebut kembali menjadi anggota perkumpulan dan Pengurus Pusat wajib untuk mengambil tindakan dalam rangka merehabilitasi anggota itu dalam jangka waktu 15 (limabelas) hari terhitung sejak tanggal kongres berakhir.
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
B . Majelis Pengawas Notaris 1. Majelis Pengawas Daerah Wewenang MPD diatur alam UUJN , Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nomor M.02.PR.08.10 TAHUN 2004 , dan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.39-PW.07.10. Tahun 2004. Dalam Pasal 66 UUJN diatur mengenai Wewenang MPD yang berkaitan dengan : a. Untuk kepentingan proses pengadilan , penyidik , penuntut umum , atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang : 1. Mengambil fotokopi Minuta akta dan surat-surat yang dilekatkan pada Minuta akta atau protokol notaris dalam penyimpanan Notaris 2. Memanggil notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau protokol notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris b. Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibuat berita acara penyerahan. Ketentuan Pasal 66 UUJN ini mutlak kewenangan MPD yang tidak dipunyai oleh MPW maupun MPP . Substansi Pasal 66 UUJN imperative dilakukan oleh penyidik , penuntut umum , atau hakim . Dengan batasan sepanjang berkaitan dengan tugas jabatan notaris dan sesuai dengan kewenangan notaris sebagaimana tersebut dalam pasal 15 UUJN . Ketentuan tersebut berlaku hanya dalam perkara pidana , karena dalam pasal tersebut berkaitan dengan tugas penyidik dan penuntut umum dalam ruang lingkup perkara pidana . Jika seorang notaris digugat perdata , maka izin dari
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
MPD tidak diperlukan , karena hak setiap orang untuk mengajukan gugatan jika ada hak-haknya terlanggar oleh suatu akta notaris . Dalam kaitan ini MPD harus objektif ketika melakukan pemeriksaan atau meminta peradilan , penyidik , penuntut umum , atau hakim , artinya MPD harus menempatkan akta notaris sebagai objek pemeriksaan yang berisi pernyataan atau keterangan para pihak , bukan menempatkan subjek notaris sebagai objek pemeriksaan , sehingga tata cara atau prosedur pembuatan akta harus dijadikan ukuran dalam pemeriksaan tersbut . Dengan demikian diperlukann anggota MPD , baik dari unsur notaris , pemerintah , dan akademis yang memahami akta notaris , baik dari prosedur maupun substansinya . Tanpa ada izin dari MPD penyidik ,penuntut umum dan hakim tidak dapat memanggil atau meminta notaris dalam suatu perkara pidana . Pasal 70 UUJN mengatur wewenang MPD yang berkaitan dengan : a. Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran kode etik notaris atau pelanggaran pelaksanaan jabatan notaris b. Melakukan pemeriksaan terhadap protokol notaris secara berkala 1 ( satu ) kali dalam 1 (satu) tahun atau setiap waktu yang dianggap perlu c. Memberikan izin cuti untuk waktu sampai dengan 6 ( enam ) bulan d. Menempatkan notaris pengganti dengan memperhatikan usul notaris yang bersangkutan e. Menentukan tempat penyimpan protokol notaris yang pada saat serah terima protokol notaris telah berumur 25 ( duapuluh lima ) tahun atau lebih
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
f. Menunjuk Notaris yang akan bertindak sebagai pemegang sementara protokol notaris yang diangkat sebagai pejabat Negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 ayat (4) g. Menerima laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran kode etik notaris atau pelanggaran ketentuan dalam undang-undang ini h. Membuat dan menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, hurufc, huruf d, huruf e dan g kepada majelis pengawas wilayah Kemudian pasal 71 UUJN mengatur wewenang MPD yang berkaitan dengan : 1. Mencatat pada buku daftar yang termasuk dalam protokol notaris dengan menyebutkan tanggal pemeriksaan , jumlah akta serta jumlah surat di bawah tangan yang disahkan dan yang dibuat sejak tanggal pemeriksaan terakhir 2. Membuat berita acara pemeriksaaan dan menyampaikannya kepada Majelis Pengawas Wilayah setempat , dengan tembusan kepada notaries yang bersangkutan , organisasi notaris , dan Majelis Pengawas Pusat 3. Merahasiakan isi akta dan hasil pemeriksaaan 4. Menerima salinan yang telah disahkan dari daftar akta dan daftar lain dari notaris dan merahasiakannya 5. Menerima laporan masyarakat terhadap notaris dan menyampaikan hasil pemeriksaan tersebut Kepada majelis pengawas wilayah dalam waktu 30 ( tiga puluh ) hari , dengan tembusan kepada pihak yang melaporkan , notaris yang bersangkutan , Majelis Pengawas Pusat , dan organisasi notaris 6. Menyampaikan permohonan banding terhadap keputusan penolakan cuti
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
Wewenang MPD juga diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 ,seperti dalam pasal 13 ayat (1) dan (2) , yang menegaskan bahwa kewenangan MPD yang bersifat administratif dilaksanakan oleh Ketua, Wakil Ketua , atau salah satu anggota yang diberikan wewenang berdasarkan keputusan rapat MPD , yaitu mengenai : a) Memberikan izin cuti untuk jangka waktu sampai dengan 6 (enam) bulan b) Menetapkan notaris pengganti c) Menentukan tempat penyimpanan protokol notaris yang pada saat serah terima protokol notaris telah berumur 25 (dua puluh lima) atau lebih d) Menerima laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran kode etik notaris atau pelanggaran ketentuan dalam undang-undang e) Memberikan paraf dan menanda tangani daftar akta , daftar surat di bawah tangan yang disahkan , daftar surat dibawah tangan yang dibukukan dan daftar surat lain yang diwajibkan undang-undang f) Menerima penyampaian secara tertulis salinan dari daftar akta , daftar surat dibawah tangan yang disahkan , dan daftar surat di bawah tangan yang dibukukan yang telah disahkannya , yang dibuat pada bulan sebelumnya paling lambat 15 (lima belas) hari kalender pada bulan berikutnya , yang memuat sekurangkurangnya nomor , tanggal dan judul akta Wewenang MPD yang bersifat administratif yang memerlukan keputusan rapat MPD diatur dalam pasal 14 Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 , yang berkaitan dengan :
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
a) Menunjuk notaris yang akan bertindak sebagai pemegang protokol notaris yang diangkat sebagai pejabat negara b) Menunjuk notaris yang akan bertindak sebagai pemegang protokol notaris yang meninggal dunia c) Memberikan persetujuan atas permintaan penyidik , penuntut umum atau hakim untuk proses peradilan d) Menyerahkan fotokopi minuta akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol notaris dalam penyimpanan notaris e) Memanggil notaris untu hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau protokol notaris yangberada dalam penyimpanan notaris Wewenang notaris dalam pasal 15 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 , mengatur mengenai pemeriksaan yang dilakukan terhadap notaris , yaitu : a) Majelis Pengawas Daerah sebelum melakukan pemeriksaan berkala atau pemeriksaan setiap waktu yang dianggap perlu , dengan terlebih dahulu secara tertulis kepada notaris yang bersangkutan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja , sebelum pemeriksaan dilakukan b) Surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencantumkan jam , hari , tanggal , dan nama anggota majelis pengawas daerah yang akan melakukan pemeriksaan c) Pada waktu yang ditentukan untuk melakukan pemeriksaan , notaris yang bersangkutan harus berada dikantornya dan menyiapkan protokol notaris .
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
Wewenang MPD dalam pasal 16 (enam belas) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 , mengatur mengenai pemeriksaan terhadap notaris yang dilakukan oleh sebuah tim pemeriksa yaitu : 1) Pemeriksaan secara berkala dilakukan oleh tim pemeriksa yang terdiri atas 3 (tiga) orang anggota dari masing-masing unsur yang dibentuk oleh majelis pengawas daerah yang dibantu oleh 1 (satu) orang sekretaris 2) Tim pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat 1 (satu) wajib menolak untuk memeriksa notaris yang mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau kebawah tanpa pembatasan derajat , dan garis lurus kesamping sampai dengan derajat ketiga dengan notaris 3) Dalam hal tim pemeriksa mempunyai hubungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) , ketua majelis pengawas daerah menunjuk penggantinya Hasil pemeriksaan Tim pemeriksa sebagaimana tersebut diatas wajib dibuat berita acara dan dilaporkan kepada MPW , pengurus organisasi notaris dan MPP , hal ini berdasarkan pasal 17 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 , yaitu : 1) Hasil pemeriksaan Tim Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 dituangkan dalam berita acara pemeriksaan yang ditanda tangani oleh Ketua Tim Pemeriksa dan Notaris yang diperiksa 2) Berita acara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 (satu) disampaikan pada majelis pengawas wilayah setempat dengan tembusan kepada notaris yang
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
bersangkutan , pengurus daerah ikatan notaris indonesia , dan majelis pengawas pusat Wewenang MPD juga diatur dalam keputusan menteri hukum dan hak asasi manusia nomor M.39-PW.07.10. Tahun 2004 , seperti tersebut dalam angka 1 butir 2 mengenai tugas majelis pengawas notaris , yaitu melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 70,71 UUJN, Pasal 12 ayat (2) , Pasal 14, 15, 16, dan 17 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 , dan kewenangan lainnya , yaitu : 1) Menyampaikan kepada Majelis Pengawas Wilayah tanggapan Majelis Pengawas Daerah berkenaan dengan keberatan atas putusan penolakan cuti 2) Memberitahukan kepada Majelis Pengawas Wilayah adanya dugaan unsur pidana yang ditemukan oleh majelis pemeriksa daerah atas laporan yang disampaikan kepada majelis pengawas daerah 3) Mencatat izin cuti yang diberikan dalam sertifikat cuti 4) Menandatangani dan memberi paraf buku daftar akta dan buku khusus yang dipergunakan untuk mengesahkan tanda tangan dan untuk membukukan surat di bawah tangan 5) Menerima dan menata usahakan Berita Acara Penyerahan Protokol 6) Menyampaikan kepada Majelis Pengawas Wilayah a) Laporan berkala setiap 6 (enam) bulan sekali atau pada bulan Juli dan januari b) Laporan insidentil setiap 15 (lima belas) hari setelah pemberian izin cuti 2. Majelis Pengawas Wilayah
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
Wewenang MPW di samping diatur dalam UUJN , juga diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 , dan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.39-PW.07.10.Tahun 2004. Dalam pasal 73 ayat 1 UUJN diatur mengenai wewenang MPW yang berkaitan dengan : a) Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan atas laporan masyarakat yang disampaikan melalui Majelis Pengawas Wilayah b) Memanggil Notaris terlapor untuk dilakukan dilakukan pemeriksaan atas laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a c) Memberikan izin cuti lebih dari 6 (enam) bulan sampai 1 (satu) tahun d) Memeriksa dan memutus atas keputusan Majelis Pengawas Daerah yang memberikan sanksi berupa teguran lisan dan tertulis e) Mengusulkan pemberian sanksi terhadap notaris kepada Majelis Pengawas Pusat berupa : 1. Pemberhentian sementara 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan atau 2. pemberhentian dengan tidak hormat f) Membuat berita acara atas setiap keputusan penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada huruf e dan huruf f Menurut pasal 73 ayat 2 UUJN , keputusan Majelis Pengawas Wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf e bersifat final , dan terhadap setiap keputusan penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf e dan huruf f dibuatkan berita acara .
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
Wewenang MPW menurut pasal 26 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 , berkaitan dengan pemeriksaan yang dilakukan oleh MPW yaitu : 1. Majelis Pengawas Wilayah memeriksa dan memutus hasil pemeriksaan Majelis Pengawas Daerah 2. Majelis Pengawas Wilayah mulai melakukan pemeriksaan terhadap hasil pemeriksaaan Majelis Pengawas Daerah dalamJangka Waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kalender sejak berkas diterima 3. Majelis Pengawas Wilayah berwenang memanggil pelapor dan terlapor untuk didengar keterangannya 4. Putusan diucapkan dalama jangka waktu paling lambat 30 ( tiga puluh ) hari kalender sejak berkas diterima . Dalam angka 2 butir 1 keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.39-PW.07.10. Tahun 2004 , mengenai tugas Majelis Pengawas menegaskan bahwa MPW berwenang untuk menjatuhkan sanksi yang tersebutdalam pasal 73 , 85 UUJN , dan Pasal 26 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 . Kemudian angka 2 butir 2 keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004 mengatur pula mengenai kewenangan MPW , Yaitu : 1) Mengusulkan kepada Majelis Pengawas Pusat pemberian sanksi pemberhentian dengan hormat
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
2) Memeriksa dan memutus keberatan atas putusan penolakan cuti oleh Majelis Pengawas Daerah 3) Mencatat izin cuti yang diberikan dalam sertifikat cuti 4) Melaporkan kepada instansi yang berwenang adanya dugaan unsur pidana yang diberitahukan oleh Majelis Pengawas Daerah. Atas laporan tersebut , setelah dilakukan pemeriksaan oleh Majelis Pengawas Wilayah hasilnya disampaikan kepada Majelis Pengawas Pusat 5) Menyampaikan laporan kepada Majelis Pengawas Pusat , yaitu : a) Laporan berkala setiap 6 ( enam ) bulan sekali dalam bulan agustus dan februari b) Laporan insidentil paling lambat 15 ( lima belas ) hari setelah putusan Majelis Pengawas 3. Majelis Pengawas Pusat Wewenang MPP di samping di atur dalam UUJN , juga diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 , dan keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.39-PW.07.10. Tahun 2004 . Dalam Pasal 77 UUJN diatur mengenai wewenang MPP yang berkaitan dengan : a) Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan dalam tingkat banding terhadap penjatuhan sanksi dan penolakan cuti b) Memanggil notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada huruf a
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
c) Menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara d) Mengusulkan pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat kepada Menteri Selanjutnya wewenang MPP diatur juga dalam Pasal 29 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 , yang berkaitan dengan pemeriksaan lebih lanjut yang diterima dari MPW : 1) Majelis Pengawas Pusat memeriksa permohonan banding atas putusan Majelis Pemeriksa Wilayah 2) Majelis Pengawas Pusat mulai melakukan pemeriksaan terhadap berkas permohonan banding dalam jangka waktu paling lambat 7 ( tujuh) hari kalender sejak berkas diterima 3) Majelis Pengawas Pusat berwenang memanggil memanggil pelapor dan terlapor untuk dilakukan pemeriksaan guna didengar keterangannya 4) Putusan diucapkan dalam jangka waktu paling lambat 30 ( tiga puluh ) hari kalender sejak berkas diterima 5) Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 harus memuat alasan dan pertimbangan yang cukup , yang dijadikan dasar untuk menjatuhakan putusan 6) Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat 4 ditandatangani oleh ketua , anggota dan sekretaris majelis pengawas pusat 7) Putusan Majelis Pengawas Pusat disampaikan kepada Menteri dan salinannya disampaikan kepada pelapor , telapor , majelis pengawas daerah , majelis
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
pengawas wilayah , dan pengurus pusat ikatan notaris indonesia , dalam jangka waktu 30 ( tiga puluh ) hari kalender terhitung sejak putusan diucapkan . Dalam angka 3 butir 1 Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004 , mengenai tugas majelis pengawas , bahwa MPP berwenang untuk melaksanakan ketentuan yang tersebut dalam pasal 77 huruf a, 84 UUJN dan 85 UUJN , dan kewenangan lain , yaitu : 1) Memberikan izin cuti lebih 1 ( satu ) tahun dan mencatat izin cuti dalam sertifikat cuti 2) Mengusulkan kepada Menteri pemberian sanksi pemberhentian sementara 3) Mengusulkan kepada Menteri pemberian sanksi pemberhentian dengan hormat 4) Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil putusan dalam tingkat banding terhadap penjatuhan sanksi , kecuali sanksi berupa teguran lisan dan tertulis 5) Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil putusan dalam tingkat banding terhadap penolakan cuti dan putusan tersebut bersifat final. Mengenai kewenangan Majelis Pengawas ( Daerah , Wilayah , dan Pusat ) ini , ada satu kewenangan Majelis Pengawas yang perlu untuk diluruskan sesuai aturan hukum yang berlaku , yaitu atas laporan Majelis Pemeriksa jika menemukan suatu tindak pidana dalam melakukan pemeriksaan terhadap notaris , maka majelis pengawas akan melaporkannya kepada pihak yang berwenang . Substansi pasal ini telah menempatkan Majelis Pengawas Notaris sebagai pelapor tindak pidana.
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
Menurut Pasal 1 angka 24 Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana . Berdasarkan isi pasal tersebut ,bahwa syarat untuk menjadi pelapor , yaitu : 1) Seorang ( satu orang / perseorangan ) , dan 2) Ada hak dan kewajiban berdasarkan undang-undang Majelis Pengawas merupakan suatu badan dengan parameter seperti ini dikaitkan dengan pasal 1 angka 24 KUHAP , bahwa yang dapat menjadi pelapor adalah subjek hukum berupa orang , bukan majelis atau badan . Berkaitan pula dengan keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.01.PW.07.03. Tahun 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP , dalam Pasal 5 ayat 1 huruf a angka 1 dan Pasal 7 ayat 1 disebutkan bahwa , penyidik dan penyelidik berkewajiban mempunyai wewenang menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana . Substansi pasal ini menegaskan bahwa penyelidik atau penyidik hanya menerima pengaduan atau laporan dari orang . Dengan demikian tidak tepat Majelis Pengawas bertindak sebagai pelapor tindak pidana , karena Majelis Pengawas bukan subjek Hukum berupa orang . Pasal 1 angka 24 KUHAP menentukan bahwa hak atau kewajiban melaporkan suatu tindak pidana harus berdasarkan undang-undang , maka dengan demikian Majelis Pengawas tidak mempunyai hak dan kewajiban sebagai pelapor berdasarkan undang-undang . Pelapor harus subjek hukum orang atau perorangan , bukan badan ,
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
majelis atau lembaga . Dengan demikian telah ada ketidak sinkronan secara vertikal pasal 1 angka 24 KUHAP dengan pasal 32 ayat 1 dan 2 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 , maka kemudian Pasal 32 ayat 1 dan 2 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 , tidak berlaku . Wewenang MPW seperti tersebut diatas tidak diatur dalam UUJN , tapi diatur atau disebutkan dalam peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 . Berdasarkan uraian diatas , majelis pengawas notaris berwenang dalam melakukan : 1. Pengawasan 2. Pemeriksaan , dan 3. Menjatuhkan sanksi Majelis Pengawas Notaris mempunyai wewenang untuk menjatuhkan sanksi terhadap notaris . sanksi ini disebutkan atau diatur dalam UUJN , juga disebutkan kembali dan ditambah dalam keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.39-PW.07.10. Tahun 2004 . Dengan pengaturan seperti itu ada pengaturan sanksi yang tidak disebutkan dalam UUJN tapi ternyata diatur atau disebutkan juga dalam keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004 , Yaitu : 1) Mengenai wewenang MPW untuk menjatuhkan sanksi berupa teguran lisan dan teguran secara tertulis , tapi dalam keputusan menteri angka 2 butir 1 menentukan bahwa MPW juga berwenang untuk menjatuhkan sanksi sebagaimana yang
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
tersebut dalam 85 UUJN . Adanya pembedaan pengaturan sanksi menunjukkan adanya inkonsistensi dalam pengaturan sanksi , seharusnya yang dijadikan pedoman yaitu ketentuan pasal 73 ayat 1 huruf a UUJN tersebut , artinya MPW tidak berwenang selain dari menjatuhkan dari menjatuhkan sanksi teguran lisan dan teguran secara tertulis . 2) Mengenai Wewenang MPP , yaitu mengenai penjatuhan sanksi dalam Pasal 84 UUJN . Dalam angka 3 butir 1 Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004 bahwa MPP mempunyai kewenangan untuk melaksanakan sanksi yang tersebut dalam Pasal 84 UUJN . Pasal 84 UUJN merupakan sanksi perdata , yang dalam pelaksanaannya tidak memerlukan MPP untuk melaksanakannya dan MPP bukan lembaga eksekusi sanksi perdata . Pelaksanaan sanksi tersebut tidak serta merta berlaku , tapi harus ada proses pembuktian yang dilaksanakan di pengadilan umum , dan ada putusan dari pengadilan melalui gugatan , bahwa akta notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau batal demi hukum . Keputusan Menteri yang menentukan MPP berwenang untuk melaksanakan Pasal 84 UUJN telah menyimpang dari esensi suatu sanksi perdata . Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004 seperti itu tidak perlu untuk dilaksanakan . Pada dasarnya tidak semua Majelis Pengawas mempunyai wewenang untuk menjatuhkan sanksi , yaitu :
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
1) MPD tidak mempunyai kewenangan untuk menjatuhkan sanksi apapun. Meskipun MPD mempunyai wewenang untuk menerima laporan dari masyarakat dan dari notaris lainnya dan menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran pelaksanaan jabatan notaris , tapi tidak diberi kewenangan untuk menjatuhakan sanksi apapun . Dalam hal ini , MPD hanya berwenang untuk melaporkan hasil sidang dan pemeriksaannya kepada MPW dengan tembusan kepada pihak yang melaporkan , notaris yang bersangkutan , Majelis Pengawas Pusat , dan organisasi notaris . 2) MPW dapat menjatuhkan sanksi teguran lisan atau tertulis MPW hanya dapat menjatuhkan sanksi berupa sanksi teguran lisan atau tertulis , dan sanksi seperti ini bersifat final . Disamping itu mengusulkan pemberian sanksi terhadap notaris kepada Majelis Pengawas Pusat berupa pemberhentian sementara dari jabatan notaris selama 3 (tiga) Bulan , atau pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatan notaris. Sanksi dari MPW berupa teguran lisan dan teguran tertulis yang bersifat final tidak dpat dikategorikan sebagai sanksi , tapi merupakan tahap awal dari aspek prosedur paksaan nyata untuk kemudian dijatuhi sanksi yang lain , seperti pemberhentian sementara dari jabatannya . 3) MPP dapat menjatuhkan sanksi terbatas . Pasal 77 huruf c UUJN menentukan bahwa MPP berwenang menjatuhkan sanksi pembehentian sementara . Sanksi seperti ini merupakan masa menunggu dalam jangka waktu tertentu sebelum dijatuhkan sanksi yang lain , seperti sanksi
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatan notaris atau pemberhentian dengan hormat dari jabatan notaris . Sanksi-sanksi yang lainnya MPP hanya berwenang untuk mengusulkan : a) Pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatannya kepada menteri ( Pasal 77 huruf d UUJN ) b) Pemberian sanksi berupa pemberhentian tidak hormat dari jabatannya dengan alasan tertentu ( Pasal 12 UUJN ) Dengan demikian pengaturan sanksi yang terdapat dalam Pasal 85 UUJN , sanksi berupa teguran lisan dan teguran tertulis hanya dapat dijatuhkan oleh MPW . Sanksi berupa pemberhentian sementara dari jabatan notaris hanya dapat dijatuhkan oleh MPP , dan sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatan notaris serta pemberhentian dengan hormat dari jabatan notaris hanya dapat dilakukan oleh Menteri atas usulan dari MPP . Pada dasarnya pengangkatan dan pemberhentian notaris dari jabatannya sesuai dengan aturan hukum bahwa yang mengangkat dan yang memberhentikannya harus instansi yang sama , yaitu Menteri . Namun terhadap pengawas yang khusus diangkat dari Organisasi Notaris, timbul suatu pertanyaan dalam kalangan Notaris sendiri, apabila mereka melakukan pengawasan lalu siapa yang mengawasi mereka dalam menjalankan tugas dan jabatannya? Undang-undang Jabatan Notaris dan Keputusan serta peraturan Menteri tidak ada mengatur mengenal hal tersebut di atas, namun untuk memberikan jawaban atas hal di atas ada 2 (dua) alternatif yang harus dilakukan, yaitu :
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
1. Dilakukan pengawasan berjenjang untuk Notaris yang menjadi anggota Majelis Pengawas, artinya anggota Majelis Pengawas Daerah yang berasal dari Notaris akan diawasi dan diperiksa oleh Majelis Pengawas Wilayah, dan anggota Majelis Pengawas wilayah yang berasal dari Notaris akan diawasi dan diperiksa oleh Majelis Pengawas Pusat, dan anggota Majelis pengawas pusat yang berasal dari Notaris akan diawasi dan diperiksa oleh Menteri 2. Mengundurkan diri untuk diganti oleh Notaris lain. Dengan demikian akan terjadi kekosongan anggota Majelis Pengawas, jika hal itu terjadi akan dilakukan Pergantian Antar Waktu sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 8 Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor : M. 02.PR.08.10 Tahun 2004. 70 Ketentuan seperti tersebut harus dilakukan, jangan sampai anggota Majelis Pengawas yang berasal dari Notaris memperoleh hak-hak istimewa dan luput dari pengawasan dan pemeriksaan. 71 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia nomor : M.03.HT.03.10. Tahun 2007 Tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris telah berisi atau materi Undang-undang, bahkan dapat dikategorikan bertentangan dengan undang-undang, contohnya adanya pembatasan waktu untuk MPD, jika Majelis Pengawas Daerah (MPD) tidak memberikan jawaban atas 70
Pasal 8 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor : M.02.PR.08.10 Tahun 2004 menyatakan : 1) Dalam hal terjadi kekosongan pada salah satu unsur anggota Majelis Pengawas Notaris, Kepala Wilayah, Direktur Jenderal Adminsitrasi Hukum, atau Menteri, meminta kepada masing-masing unsur sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) untuk menunjuk anggota pengganti antar waktu. 71 Sumber : Majalah Renvoi Nomor 10.22. II tanggal 3 Maret 2005, hal 37
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
permohonan Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari, maka MPD dianggap menyetujui (lihat Pasal 6 dan 12), hal ini berarti, Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim dapat melakukan upaya paksa terhadap Notaris yang bersangkutan. Kemudian dalam Peraturan Menteri Hukum tersebut ada kontruksi hukum yang salah, yaitu :
1. seakan-akan atau diduga Notaris (selalu) bersama-sama dengan para penghadap melakukan suatu tindak pidana yang berkaitan dengan Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris (Pasal 3 dan 9). 2. Notaris telah menjadi subjek terperiksa dalam perkara pidana. . Padahal menurut Pasal 38 ayat (3) huruf c, menegaskan bahwa isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari para pihak yang berkepentingan, sehingga jika isi suatu akta menurut para penghadap atau pihak lain bermasalah, maka para pihak tersebut yang harus membatalkannya dengan akta Notaris lagi atau gugatan ke pengadilan, bukan dengan cara menempatkan Notaris seperti itu. Peraturan Menteri tersebut dapat pula pula dilihat dari perspektif Undang-undang nomor 10 Tahun 2004 dalam Pasal 6 ayat (2), bahwa asas yang ada dalam peraturan perundang-undangan
yang
lain
harus
diperhatikan,
jangan
sampai
terjadi
bertentangan, dalam hal ini asas pembuktian yang dilanggar, yaitu telah menempatkan akta Notaris sebagai bukti materil atas suatu tindak pidana, artinya, terjadinya suatu tindak pidana sebagai akibat adanya akta Notaris, hal ini sama saja, dengan kontruksi hukum, bahwa akta Notaris dibuat untuk melakukan suatu tindak pidana, bahwa seharusnya akta Notaris ditempatkan sebagai bukti formal, artinya jika suatu akta dipakai untuk melakukan suatu tindak pidana, bukan karena hasil
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
kerjasama antara Notaris dengan para pihak, jika hal tersebut terjadi harus dibuktikan terlebih dahulu. Peraturan Menteri tersebut dapat dinilai juga sebagai suatu penafsiran terhadap ketentuan Pasal 66 UUJN, Peraturan Menteri tersebut disatu sisi dapat merupakan ketentuan yang secara tidak langsung dapat melindungi Notaris melalui MPD, tapi disisi yang lain dapat menjerumuskan Notaris ke hotel prodeo. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Peraturan Menteri tersebut sebagai tindak lanjut dari Pasal 66 UUJN tidak diperintahkan oleh UUJN, oleh karena itu bertentangan dengan Pasal 7 ayat (4) Undang-undang nomor 10 Tahun 2004 dan secara muatan atau materi telah melebihi muatan atau materi undang-undang yang seharusnya materi seperti itu termuat paling tidak dalam bentuk undang-undang. Kita telah mengetahui bahwa MPD terdiri dari 3 (tiga) unsur, yaitu : (1). Notaris, (2) Pemerintah/Birokrat dari Departemen Hukum dan HAM setempat, dan (3). Akademisi dari fakultas hukum. Bahwa dari ketiga unsur tersebut belum tentu mempunyai pemahaman yang sama, yaitu mengenai apa saja batasan atau tolok ukur MPD dalam memeriksa Notaris untuk melaksanakan ketentuan Pasal 66 UUJN. Bahwa batasan pemeriksaan tersebut harus berdasarkan pada 3 (tiga) aspek akta, yaitu (1). Lahiriah, (2). Formal dan (3). Materil. Bahwa aspek lahiriah yang berarti akta Notaris harus secara fisik harus dilihat apa adanya, dan aspek formal mengenai mekanisme/prosedur pembuatan akta berdasarkan UUJN, serta aspek materil yang berarti tugas Notaris hanya memformulasikan keinginan para pihak ke dalam bentuk akta Notaris selama –
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
sepanjang
sesuai
dengan
aturan
hukum yang
berlaku,
dan
tidak
dapat
diimplementasikanhya sebuah akta Notaris bukan kesalahan Notaris, selama – sepanjang tidak dapat diimplementasikannya akta Notaris bukan hasil konspirasi Notaris dengan para penghadap dengan maksud dan tujuan untuk merugikan para penghadap atau pihak lainnya. Batasan tersebut harus dijadikan tolok ukur oleh MPD, kalau anggota MPD yang berasal dari unsur Notaris sudah pasti mengetahui dan memahami ketiga aspek tersebut, tapi unsur anggota MPD Daerah yang bukan dari Notaris belum tentu memahami ketiga hal tersebut, oleh karena itu jika tidak ada pemahaman yang sama mengenai batasan pemeriksaan tersebut, maka para Notaris sangat rentan untuk selalu menuju jalan ke hotel prodeo, dan jika terjadi permasalahan dianggap turut serta atau membantu melakukan suatu tindak pidana. Agar ada pemahaman yang sama mengenai batasan pemeriksaan tersebut di atas, maka perlu diadakan Forum Majelis Pengawas Notaris Indonesia, dan inisiatif seperti ini harus dimulai dari Organisasi Jabatan Notaris (seperti INI). Meskipun dalam hal ini MPD bukan kepanjangan tangan Organisasi Jabatan Notaris dan tidak bertujuan untuk melindungi Notaris, tapi dalam hal ini sangat wajar jika para Notaris sebagai anggota dari Organisasai Jabatan Notaris mendapat perlindungan yang memadai dari organisasinya. Dengan cara memberikan pemahaman yang sama mengenai batasan pemeriksaan Notaris sebagaimana tersebut di atas. Dalam hal ini Notaris dapat melindungi dirinya sendiri ketika diloloskan oleh MPD sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 66 UUJN. Dengan sebuah pertanyaan :
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
ketika seorang Notaris diizinkan oleh MPD untuk memenuhi panggilan peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim, padahal Notaris merasa ketiga aspek dari akta Notaris sebagaimana tersebut di atas telah dipenuhinya atau tidak dilanggar, adakah upaya hukum Notaris untuk sementara waktu menunda untuk tidak memenuhi izin atau panggilan tersebut ?. Pemeriksaan atau sidang yang dilakukan oleh Majelis Pengawas, Notaris sebagai terlapor (ataupun Notaris sebagai pelapor yang melaporkan sesama Notaris) Majelis Pengawas diberi wewenang untuk mendengarkan keterangan dan menerima tanggapan serta menerima bukti-bukti dari Notaris sebagai terlapor (ataupun Notaris sebagai pelapor yang melaporkan sesama Notaris). Pasal 70 huruf a UUJN memberi wewenang kepada MPD menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggar Kode Etik Notaris atau pelanggaran pelaksanaan Jabatan Notaris. MPD juga mempunyai wewenang lain yang tidak diberikan kepada MPW dan MPP, sebagaimana tersebut dalam Pasal 66 UUJN, yaitu Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang : 1. mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris, 2. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris. Pada dasarnya pengawasan terhadap Notaris dilakukan oleh Menteri (Pasal 67 ayat (1) UUJN) dan dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Majelis Pengawas yang
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
dibentuk oleh Menteri (Pasal 67 ayat (2) UUJN). Menempatkan kedudukan Majelis Pengawas yang melaksanakan tugas pengawasan dari Menteri dapat dianggap sebagai menerima tugas dari Menteri (secara atributif) sebagai pihak yang mempunyai urusan pemerintahan. Dengan demikian perlu dikaji kedudukan Majelis Pengawas yang secara fungsional (dalam fungsinya) telah melakukan urusan pemerintahan. Mengenai kedudukan Majelis Pengawas tersebut dapatkah dikategorikan sebagai Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara ?. Apakah Keputusan Majelis Pengawas yang telah menjatuhkan Sanksi Administratif telah memenuhi ketentuan sebagai Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) ?. Majelis Pengawas dalam menjalankan kewenangannya mengeluarkan putusan yang ditujukan kepada Notaris, baik putusan menjatuhkan sanksi administratif ataupun putusan mengusulkan untuk memberikan sanksi-sanksi tetentu dari MPW kepada MPP ataupun MPP kepada Menteri. Pada dasarnya yang mempunyai wewenang melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap Notaris adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang dalam pelaksanaannya Menteri membentuk Majelis Pengawas Notaris. Menteri sebagai kepala Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia mempunyai tugas membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagian urusan pemerintah di bidang hukum dan hak asasi manusia. Dengan demikian kewenangan pengawasan terhadap Notaris ada pada pemerintah, sehingga berkaitan dengan cara pemerintah memperoleh wewenang
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
pengawasan tersebut Ada 2 (dua) cara utama untuk memperoleh wewenang pemerintah, yaitu Atribusi dan Delegasi. Mandat juga ditempatkan sebagai cara tersendiri untuk memperoleh wewenang, namun apabila dikaitkan dengan gugatan ke pengadilan tata usaha negara, Mandat tidak ditempatkan secara tersendiri karena penerima Mandat tidak bisa menjadi tergugat di pengadilan tata usaha negara. Atribusi merupakan pembentukan wewenang tertentu dan pemberiannya kepada organ tertentu atau juga dirumuskan pada atribusi terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Atribusi pembentukan atau pemberian wewenang pemerintahan didasarkan aturan hukum yang dapat dibedakan dari asalnya, yakni yang asalnya dari pemerintah di tingkat pusat bersumber dari Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Undangundang Dasar (UUD) atau undang-undang, dan yang asalnya dari pemerintah daerah bersumber dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) atau Peraturan Daerah (Perda). Atribusi wewenang dibentuk atau dibuat atau diciptakan oleh aturan hukum yang bersangkutan atau atribusi ditentukan aturan hukum yang menyebutkan di dalamnya. Delegasi merupakan pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh Badan atau Jabatan TUN yang telah memperoleh suatu wewenang pemerintahan secara atributif kepada Badan atau Jabatan TUN lainnya. Dalam rumusan lain bahwa delegasi sebagai penyerahan wewenang oleh pejabat pemerintahan (Pejabat TUN) kepada pihak lain dan wewenang tersebut menjadi tanggungjawab pihak lain tersebut.
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
Pendapat yang pertama, bahwa delegasi itu harus dari Badan atau jabatan TUN kepada badan atau Jabatan TUN lainnya, artinya baik delegator maupun delegaans harus sama-sama Badan atau Jabatan TUN. Pendapat yang kedua bahwa delegasi dapat terjadi dari Badan atau Pejabat TUN kepada pihak lain yang belum tentu Badan atau Jabatan TUN. Dengan ada kemungkinan bahwa Badan atau Jabatan TUN dapat mendelegasikan wewenangnya (delegans) kepada Badan atau Jabatan yang bukan TUN (delegataris). Suatu delegasi selalu didahului oleh adanya suatu atribusi wewenang. Badan atau Jabatan TUN yang tidak mempunyai atribusi wewenang tidak dapat mendelegasikan wewenangnya kepada pihak lainnya. Berdasarkan pengertian tersebut di atas, bahwa wewenang untuk melakukan pengawasan terhadap Notaris secara atributif ada pada Menteri sendiri, yang dibuat, diciptakan dan diperintahkan dalam undang-undang sebagaimana tersebut dalam Pasal 67 ayat (1) UUJN. Kedudukan Menteri sebagai eksekutif (pemerintah) yang menjalankan kekuasaan pemerintah dalam kualifikasi sebagai Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara. Berdasarkan Pasal 67 ayat (2) UUJN Menteri mendelegasikan wewenang pengawasan tersebut kepada suatu badan dengan nama Majelis Pengawas. Majelis Pengawas menurut Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk melaksanakan pengawasan dan pembinaan terhadap Notaris.
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
Dengan demikian Menteri selaku delegans dan Majelis Pengawas selaku delegataris. Majelis Pengawas sebagai delegataris mempunyai wewenang untuk mengawasi Notaris sepenuhnya, tanpa perlu untuk mengembalikan wewenangnya kepada delegans. Kedudukan Menteri selaku Badan atau Jabatan TUN yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku membawa konsekuensi terhadap Majelis Pengawas, yaitu Majelis Pengawas berkedudukan pula sebagai Badan atau Jabatan TUN, karena menerima delegasi dari badan atau Jabatan yang berkedudukan sebagai Badan atau Jabatan TUN dengan demikian secara kolegial Majelis Pengawas sebagai :
1. badan atau Pejabat TUN; 2. melaksanakan urusan pemerintahan; 3. berdasarkan perundang-undangan yang berlaku, yaitu melakukan pengawasan terhadap Notaris sesuai dengan UUJN.
Dalam melakukan pengawasan, pemeriksaan dan penjatuhan sanksi Majelis Pengawas harus berdasarkan kewenangan yang telah ditentukan UUJN sebagai acuan untuk mengambil keputusan, hal ini perlu dipahami karena anggota Majelis Pengawas tidak semua berasal dari Notaris, sehingga tindakan atau keputusan dari Majelis Pengawas harus mencerminkan tindakan suatu Majelis Pengawas sebagai suatu badan, bukan tindakan anggota Majelis Pengawas yang dianggap sebagai
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
tindakan Majelis Pengawas.Dengan demikian jika Menteri Hukum dan HAM RI yang secara atribusi mempunyai kewenangan Pengawasan yang kemudian didelegasikan kepada Majelis Pengawas, maka Menteri telah memberikan kewenangan kepada Majelis Pengawas Notaris untuk melakukan suatu tindakan yang sesuai dengan wewenangnya, termasuk mengeluarkan aturan-aturan yang pentung agar Majelis Pengawas Notaris bisa jalan, tapi dengan keluarnya Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia nomor : M.03.HT.03.10. Tahun 2007 Tentang Pengambilan Mniuta Akta dan Pemanggilan Notaris, Menteri masih mengintervensi dan ingin menarik kembali delegasinya yang sudah diberikan kepada Majelis Pengawas Notaris, dengan kata lain, kepalanya dilepas, tapi ekornya dipertahankan.
Tindakan Menteri Hukum dengan Peraturan tersebut telah tidak sesuai dengan Norma atau kaidah Hukum Administrasi dalam penyelenggaraan negara yang baik dan bertentangan dengan Azas-azas Umum Pemerintahan Yang Baik (Pasal 53 ayat 2 huruf b Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undangundang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara).Jika Menteri telah mendelegasikan pengawasan Notaris kepada Majelis Pengawas Notaris, maka Majelis Pengawas Notaris mempunyai kewenangan penuh untuk melaksanakan pengawasan, termasuk membuat aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan pengawasan. Dan Menteri tidak perlu lagi membuat aturan hukum lainnya untuk dilaksanakan oleh Majelis Pengawas Notaris. Majelis Pengawas dalam kedudukan
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
sebagai Badan atau Jabatan TUN mempunyai kewenangan untuk membuat atau mengeluarkan Surat Keputusan atau Ketetapan yang berkaitan dengan hasil pengawasan, pemeriksaan atau penjatuhan sanksi yang ditujukan kepada Notaris yang bersangkutan.Dalam kedudukan seperti itu Surat Keputusan atau Ketetapan Majelis Pengawas dapat dijadikan objek gugatan oleh Notaris ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai sengketa tata usaha negara, jika Notaris merasa bahwa keputusan tidak tepat atau memberatkan Notaris yang bersangkutan atau tidak dilakukan yang transparan dan berimbang dalam pemeriksan. Peluang untuk mengajukan ke PTUN tetap terbuka setelah semua upaya administrasi, yang disediakan baik keberatan administratifmaupun banding administrasi, telah ditempuh, meskipun dalam aturan hukum yang bersangkutan telah menentukan bahwa putusan dari badan atau Jabatan TUN tersebut telah menyatakan final atau tidak dapat ditempuh upaya hukum lain karena pada dasarnya bahwa penggunaan upaya administratif dalam sengketa tata usaha negara bermula dari sikap tidak puas terhadap perbuatan tata usaha negara.
Aspek positif yang didapat dari upaya ini adalah penilaian perbuatan tata usaha negara yang dimohonkan tidak hanya dinilai dari segi penerapan hukum, tapi juga dari segi kebijaksanaan serta memungkinkan dibuatnya keputusan lain yang menggantikan keputusan tata usaha negara terdahulu.
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
Majelis Pengawas Daerah (MPD) mempunyai kewenangan khusus yang tidak dipunyai oleh MPW dan MPP, yaitu sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 66 UUJN, bahwa MPD berwenang untuk memeriksa Notaris sehubungan dengan permintaan penyidik, penuntut umum atau hakim untuk mengambil fotokopi minuta atau surat-surat lainnya yang dilekatkan pada minuta atau dalam protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris, juga pemanggilan Notaris yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau dalam protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.
Hasil akhir pemeriksaan MPD yang dituangkan dalam bentuk Surat Keputusan, berisi dapat memberikan persetujuan atau menolak permintaan penyidik, penuntut umum atau hakim.Ketika UUJN diundangkan, para Notaris berharap dapat perlindungan yang proporsional kepada para Notaris ketika dalam menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris, setidaknya atau salah satunya melalui atau berdasarkan ketentuan atau mekanisme-implementasi Pasal 66 UUJN yang dilakukan MPD, juga setidaknya ada pemeriksaan yang adil, transparan, beretika dan ilmiah ketika MPD memeriksa Notaris atas permohonan pihak lain (kepolisian, kejaksaan, pengadilan), tapi hal tersebut sangat sulit untuk dilaksanakan, karena para anggota MPD yang terdiri unsur-unsur yang berbeda, yaitu 3 (tiga) orang Notaris, 3 (tiga) orang akademis dan 3 (tiga) orang birokrat (Pasal 67 ayat (3) UUJN, yang berangkat dari latar belakang yang berbeda, sehingga tidak ada persepsi yang sama ketika memeriksa Notaris. Contohnya mengenai fokus pemeriksaan yang dilakukan oleh MPD :
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
Apakah objek pemeriksaan MPD, berkaitan dengan Notaris (orang yang melaksanakan Jabatan Notaris) atau akta Notaris ? Dalam pemeriksaan MPD tidak bisa membedakan antara Notaris sebagai objek dan akta sebagai objek. Jika MPD menempatkan Notaris sebagai objek, maka MPD berarti akan memeriksa tindakan atau perbuatan Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya, yang pada akhirnya akan menggiring Notaris pada kualifikasi turut serta atau membantu terjadinya suatu tindak pidana. Sudah tentu tindakan seperti ini tidak dapat dibenarkan, karena suatu hal yang sangat menyimpang bagi Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya untuk turut serta atau membantu melakukan atau menyarankan dalam akta untuk terjadinya suatu tindak pidana dengan para pihak/penghadap. Dalam kaitan ini tidak ada aturan hukum yang membenarkan MPD mengambil tindakan dan kesimpulan yang dapat mengkualifikasikan Notaris turut serta atau membantu melakukan suatu tindak pidana bersama-sama para pihak/penghadap. MPD bukan instansi pemutus untuk menentukan Notaris dalam kualifikasi seperti itu.
Dalam tataran aturan hukum yang benar bahwa MPD harus menempatkan akta Notaris sebagai objek, karena Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya berkaitan untuk membuat dokumen hukum, berupa akta sebagai alat bukti tertulis yang berada dalam ruang lingkup hukum perdata, sehingga menempatkan akta sebagai objek harus dinilai berdasarkan aturan hukum yang berkaitan dengan pembuatan akta, dan jika terbukti ada pelanggaran, maka akan dikenai sanksi sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 84 dan 85 UUJN.Dengan demikian bukan wewenang MPD jika dalam
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
melakukan tugasnya mencari unsur-unsur (pidana) untuk menggiring Notaris dengan kualifikasi turut serta atau membantu melakukan suatu tindakan atau perbuatan pidana.
Adakah batasan MPD dalam melakukan pemeriksaan ? Bahwa batasan MPD dalam melakukan pemeriksaan, yaitu dengan objeknya akta Notaris.
Menempatkan akta sebagai objek, maka batasan MPD dalam melakukan pemeriksaan akan berkisar pada : a) kekuatan pembuktian lahiriah akta Notaris.. Dalam memeriksa aspek lahiriah dari akta Notaris, maka MPD harus dapat membuktikan otensitas akta Notaris tersebut. MPD harus melakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek lahiriah dari akta Notaris. Jika MPD tidak mampu untuk membuktikannya, maka akta tersebut harus dilihat “apa adanya”, bukan dilihat “ada apa”. b) kekuatan pembuktian formal akta Notaris., Dalam hal ini MPD harus dapat membuktikan ketidakbenaran apa yang dilihat, disaksikan dan didengar oleh Notaris, juga harus dapat membuktikan ketidak benaran pernyataan atau keterangan para pihak yang diberikan/disampaikan di hadapan Notaris. Dengan kata lain MPD tetap harus melakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek formal dari akta Notaris. Jika MPD tidak mampu untuk membuktikannya, maka akta tersebut harus diterima oleh siapapun termasuk oleh MPD sendiri.
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
c) kekuatan pembuktian materil akta Notaris, Dalam kaitan ini MPD harus dapat membuktikan, bahwa Notaris tidak menerangkan atau menyatakan yang sebenarnya dalam akta (akta pejabat), atau para pihak yang telah benar berkata (di hadapan Notaris) menjadi tidak berkata benar. MPD harus melakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek materil dari akta Notaris. Jika MPD tidak mampu untuk membuktikannya, maka tersebut akta tersebut benar adanya. Dengan demikian aspek mana yang akan dibuktikan secara terbalik oleh MPD ketika memeriksa Notaris ?. Maka MPD dibebani pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal 138 HIR (Pasal 164 Rbg, 148 Rv), sebelum memutuskan apakah Notaris yang diperiksa tersebut telah melanggar salah satu atau ketiga aspek tersebut. Ketiga aspek tersebut di atas merupakan kesempurnaan akta Notaris sebagai alat bukti. Sehingga siapapun (hakim, jaksa, kepolisian, bahkan Notaris dan MPD sendiri) terikat untuk menerima akta Notaris “apa adanya”, dan siapapun tidak dapat menafsirkan lain atau menambahkan/meminta alat bukti lain untuk menunjang akta Notaris, sebab jika akta Notaris tidak dinilai sebagai alat bukti yang sempurna, akan menjadi tidak ada gunanya undang-undang menunjuk Notaris sebagai Pejabat Umum untuk membuat akta otentik sebagai alat bukti yang sempurna, jika ternyata siapapun saja dengan semaunya dan seenaknya atau tanpa dasar hukum yang jelas mengenyampingkan akta Notaris sebagai alat bukti yang sempurna. Oleh karena itu jika ada sesama Notaris saling menyalahkan atau menjelekkan akta yang dibuat oleh Notaris lainnya, hal ini menujukkan bahwa Notaris yang bersangkutan tidak mengerti makna akta Notaris sebagai alat bukti yang sempurna.
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
Jika anggota MPD yang berasal dari Notaris memahami dengan benar pelaksanaan tugas jabatan Notaris sesuai UUJN, maka akan mengerti untuk menempatkan fokus pemeriksaan Notaris dengan objek pada akta Notaris. Jika anggota MPD yang berasal dari Notaris memahami dengan benar lembaga kenotariatan sudah pasti akan tetap menjaga jabatan Notaris sebagai jabatan kepercayaan. Untuk mengerti dan memahami dunia Notaris, para Notaris sebelumnya harus menimba ilmu kenotariatan kurang lebih selama 2 (dua) tahun, sehingga anggota MPD yang bukan dari Notaris untuk dapat memahami dunia Notaris, juga terlebih dahulu untuk menimba ilmu dunia Notaris secara komprensip. Jika ini dapat dilakukan maka akan ada persepsi yang sama ketika memeriksa Notaris. Jika ternyata MPD memutuskan (berdasarkan Surat Keputusan yang dibuat oleh MPD) untuk meloloskan Notaris untuk diperiksa oleh pihak penyidik, kejaksaan atau di pengadilan, sebagai implementasi Pasal 66 UUJN, tidak ada kemungkinan untuk mengajukan keberatan untuk dilakukan pemeriksaan ke instansi majelis yang lebih tinggi, seperti ke Majelis Pemeriksa Wilayah (MPW) atau ke Majelis Pemeriksa Pusat (MPP), karena mekanisme seperti itu, khusus untuk pelaksanaan Pasal 66 UUJN tidak ditentukan atau tidak ada upaya hukum keberatan atau banding. Meskipun demikian jika Notaris diloloskan oleh MPD, maka Notaris yang bersangkutan dapat mengajukan upaya hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dengan objek gugatan yaitu surat MPD yang meloloskan Notaris tersebut, hal ini akan menjadi sengketa tata usaha negara. Hal tersebut dapat dilakukan karena
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
MPD berkedudukan sebagai badan atau Jabatan Tata Usaha Negara (TUN) dan telah mengeluarkan suatu keputusan sebagai Keputusan Tata Usaha Negara. Hasil akhir dari pemeriksaan yang dilakukan oleh MPD berupa Surat Keputusan (yang merupakan suatu penetapan tertulis). Jika dikaji ternyata Surat Keputusan tersebut bersifat konkrit, individual, final dan menimbulkan akibat hukum. Konkrit artinya objek yang diputuskan bukan suatu hal yang abstrak, tapi dalam hal ini objeknya yaitu akta tertentu yang diperiksa oleh MPD yang dibuat oleh Notaris yang bersangkutan. Individual artinya keputusan tidak ditujukan kepada umum atau kepada semua orang, tapi kepada nama Notaris yang bersangkutan. Final artinya sudah definitif, yang tidak memerlukan persetujuan dari pihak lain atau insitusi atasannya, sehingga hal ini dapat menimbulkan akibat hukum tertentu bagi Notaris yang bersangkutan. Ketentuan semacam ini hanya berlaku untuk Surat Keputusan MPD sebagai penerapan dari Pasal 66 UUJN. Berdasarkan uraian di atas, maka sangat tidak tepat jika MPD yang berkedudukan sebagai Badan Tata Usaha Negara kewenangannya dikebiri dengan batasan waktu seperti yang tersebut dalam Pasal 6 dan 12 Peraturan Menteri tersebut, karena seharusnya jika seorang Notaris merasa berkeberatan dan tidak memperoleh pemeriksaan yang transparan dari MPD, dan atas keputusan MPD dapat dijadikan sebagai objek sengketa tata usaha Negara di Pengadilan Tata Usaha Negara, tapi dalam Peraturan Menteri tersebut, hak Notaris telah dihilangkan, dan hal ini bertentangan dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, tentang Peradilan Tata Usaha Negara juncto Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 tahun 2004
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Dengan demikian tindakan MPD yang memutuskan meloloskan Notaris untuk diperiksa oleh pihak lain sebagai pelaksanaan Pasal 66 UUJN, jika tidak memuaskan bagi Notaris atau Notaris yang bersangkutan berkeberatan dengan alasan yang diketahui oleh Notaris sendiri, maka Notaris yang bersangkutan dapat menggugat MPD ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Surat Keputusan MPD tersebut merupakan objek gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara.Adanya gugatan tersebut, Notaris tidak perlu (dulu) untuk memenuhi keputusan MPD tersebut sampai ada keputusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap dari Pengadilan Tata Usaha Negara, Jika banding dari Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, dan jika Kasasi sampai ada putusan Mahkamah Agung. Hal tersebut dapat dilakukan sebagai upaya perlindungan hukum untuk para Notaris untuk melindungi dirinya sendiri, dan sebagai konsekuensi kedudukan MPD seperti itu. Dengan demikian bukan suatu hal yang tidak mungkin, jika MPD tidak mampu menempatkan diri dalam menjalankan tugasnya dengan baik, sesuai aturan hukum yang berlaku, maka suatu saat MPD akan banjir gugatan ke PTUN dari para Notaris yang menempatkan MPD sebagai tergugat (secara institusional), dan secara pribadi akan berpengaruh pada hubungan - kemitraan sesama Notaris, dan sudah hal ini menjadi beban tersendiri bagi anggota MPD yang berasal dari Notaris, sedangkan bagi anggota MPD yang lainnya menjadi pertaruhan keilmuan dalam sebuah sidang pengadilan. Secara internal (MPD) akan terjadi perebutan kepentingan, apakah akan
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
anggota MPD yang berasal dari Notaris akan membantu sesama rekan Notaris ? Atau akan bertindak untuk bersebrangan dengan anggota MPD yang lainnya yang bukan dari Notaris ?. Oleh karena itu, para Notaris tidak perlu khawatir, jika diloloskan oleh MPD atau MPD memberikan persetujuan agar Notaris dapat diperiksa oleh institusi lain, karena sudah ada jalan keluar sebagaimana tersebut di atas. Hal ini perlu dilakukan untuk menjaga martabat insitusi Notaris, juga para Notaris untuk dapat melindungi dirinya sendiri. Upaya hukum yang disebutkan di atas mempunyai batasan-batasan tertentu, yaitu hanya berlaku ketika Notaris menjalankan tugas jabatannya sesuai dengan wewenang Notaris dan tidak berlaku jika tindakan Notaris tidak dalam menjalankan tugas jabatannya atau tidak sesuai dengan wewenang Notaris. Dengan demikian perlu ditegaskan bahwa upaya hukum seperti tersebut di atas dapat dilakukan sepanjang Notaris menjalankan tugas jabatannya sesuai dengan wewenang Notaris, dan tidak berlaku jika Notaris melakukan suatu tindakan tidak dalam menjalankan tugas jabatannya selaku Notaris atau diluar wewenang Notaris atau Notaris secara insyaf dan sadar bekerjasama dengan para penghadap untuk membuat suatu akta yang bertentangan dengan hukum dengan maksud dan tujuan untuk merugikan orang lain secara materil dan immaterial, dan hal seperti wajib dibuktikan oleh MPN (Daerah). Bahwa hak para Notaris untuk melakukan tindakan hukum seperti tersebut di atas menjadi hilang atau dihilangkan oleh Peraturan Menteri tersebut, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 dan 12, jika Majelis Pengawas Daerah (MPD) tidak
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
memberikan jawaban atas permohonan Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari, maka MPD dianggap menyetujui, hal ini berarti, Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim dapat melakukan upaya paksa terhadap Notaris yang bersangkutan. Padahal hak para Notaris untuk memperoleh Surat Keputusan dari Majelis Pengawas Daerah yang berkedudukan sebagai badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, dan Surat Keputusan tersebut dapat dijadikan sebagai objek sengketa tata usaha Negara di Pengadilan Tata Usaha Negara, jika terbukti bahwa Notaris tidak diperiksa secara adil atau tidak ada transparansi dalam pemeriksaan oleh MPD. Dalam
Pasal
4
ayat
(2)
UUJN
mengenai
sumpah/janji
Notaris
ditegaskan……”bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya…”, dan Pasal 16 ayat (1) huruf e UUJN, bahwa Notaris berkewajiban - “merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain”. Dengan Peraturan Menteri tersebut, maka sumpah/janji jabatan Notaris menjadi tidak berlaku lagi, dan Notaris sebagai Jabatan Kepercayaan telah kehilangan makna dan rohnya, padahal Notaris dapat membuka rahasia jabatan, jika ada Undang-undang yang memerintahkanya atau ada Undang-undang yang mewajibkannya, tapi dalam hal ini Peraturan Menteri tersebut membolehkan segalanya dan tidak perlu ada yang dirahasiakan lagi, seperti tersebut dalam Pasal 2, 8,13, padahal jika Notaris melanggar Pasal 16 ayat (1) huruf e UUJN, Notaris yang bersangkutan akan dikenai Sanksi
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
Administratif sebagaimana tersebut dalam Pasal 84 UUJN, dan juga juga harus diingat jika ternyata Notaris sebagai saksi atau tersangka, tergugat ataupun dalam pemeriksaan oleh Majelis Pengawas Notaris membuka rahasia dan memberikan keterangan/pernyataan yang seharusnya wajib dirahasiakan, sedangkan undangundang tidak memerintahkannya, maka atas pengaduan pihak yang merasa dirugikan kepada pihak yang berwajib dapat diambil tindakan atas Notaris tersebut, tindakan Notaris seperti ini dapat dikenakan Pasal 322 ayat (1) dan (2) KUHP, yaitu membongkar rahasia, padahal Notaris berkewajiban untuk menyimpannya. Dalam kedudukan sebagai saksi (perkara perdata) Notaris dapat minta dibebaskan dari kewajibannya untuk memberikan kesaksian, karena jabatannya menurut undangundang diwajibkan untuk merahasiakannya (Pasal 1909 ayat (3) BW). Peraturan Menteri tersebut menjadi dilemma bagi Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya untuk senantiasa menjaga rahasia jabatan sebbagai suatu kewajiban, jika dilanggar, maka kepada Notaris yang bersangkutan akan dijatuhi sanksi.
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Pengawasan yang dilakukan terhadap notaris sebelum keluarnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 yaitu dilakukan oleh Pengadilan Negeri namun dengan keluarnya undang-undang tersebut maka fungsi pengawasan dilakukan oleh sebuah badan yang bernama Majelis Pengawas Notaris Yang terdiri dari 3 (tiga) unsur yaitu pemerintah , ahli/ akademisi dan notaris. 2. Manfaat yang diperoleh terhadap pengawasan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas Yaitu : 1. Notaris mampu untuk meningkatkan kemampuan profesioanlismenya dalam menjalankan tugas dan jabatannya. 2. Notaris sedapat mungkin, memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan baginya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada. 3. Notaris mampu berperan untuk terciptanya suatu kepastian hukum melalui akta otentik yang dibuatnya demi kepentingan masyarakat. 4. Notaris menyadari bahwa tugas yang di bebankan kepadanya adalah untuk kepentingan para pihak. 3. Perbedaan peranan pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Kehormatan Dan Majelis Pengawas Notaris yaitu dimana pengawasan yang dilakukan oleh Dewan
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
Kehormatan hanya mengenai pelanggaran kode etik dan tidak menyangkut orang lain hanya notaris itu sendiri sedangkan Majelis Pengawas Notaris memiliki ruang lingkup pengawasan dalam pelanggaran yang menyangkut Undang-Undang dan pelanggaran jabatan notaris. B. SARAN 1. Hendaknya Dewan Kehormatan diberikan kewenangan untuk dapat memberikan saran dan pendapat kepada Majelis Pengawas berupa pemecatan terhadap Notaris yang terbukti melakukan pelanggaran kode etik agar sanksi dan peran Dewan Kehormatan mempunyai pengaruh yang strategis dimata profesi Notaris. 2
Hendaknya unsur-unsur pada Majelis Pengawas terdiri dari; 1. Pengadilan Negeri yang telah berpuluh-puluh tahun berpengalaman membina dan mengawasi Notaris. 2. Para Werda Notaris bukan Notaris yang masih aktif menjabat, agar tidak terjadi benturan kepentingan antara Notaris yang diawasi dengan Notaris yang mengawasi.
3. Dengan adanya pengawasan yang dilaksanakan bagi Notaris, Notaris hendaknya bisa menjadi seorang pejabat umum yang profesional dalam jabatannya khususnya dalam pembuatan akta yang bersifat otentik. Dan melaksanakan tugas dan jabatannya benar-benar memperhatikan nilai luhur, martabat dan etika serta mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku.
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
DAFTAR PUSTAKA
Adam, Muhammad, 1985, Asal usul dan Sejarah Notaris, Sinar Baru, Bandung. Andasasmita Komar, 1981, Notaris I, Sumur Bandung. Ali, Faried, H.M, 2004, Filsafat Administrasi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. HS, Salim, Perkembangan Hukum Kontrak Innominat Di Indonesia, Buku I, Sinar Grafika. Kabul, Imam, 2005, Paradigma Pembangunan Hukum di Indonesia, Analisa Potensi dan Problem, Kurnia Alam, Yogyakarta. Kie, Tan Thong, 2000, Buku I Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta. Kohar, A, 1984, Notaris Berkomunikasi, Alumni, Bandung. Lumbang Tobing, G.H.S 1992, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta. Poedjawijatma, 1984, Etika-Filsafat Tingkah Laku, Bina Aksara, Jakarta. Poerwadarminta, W.J.S, 1976, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. Sembiring, M.U, 1997, Teknik Pembuatan Akta, Program Pendidikan Spesialis Notariat Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, Medan. Siagian, Sugiarto Dergibson, Lasmono Tri Sunaryanto dan Deny S. Oetomo, 2003, Teknik Sampling, Gramedia Pustama Utama, Jakarta. Soegondo Notodisoerjo, R, 1982, Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan, CV, Rajawali, Jakarta.
_________________, 1993, Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan, Cetakan Kedua, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
Subagio, P, Joko, Metoed Penelitian Dalam Teori dan Praktek, 1996, Rineka Cipta. Subekti, R, 1983, Hukum Pembuktian, Pradya Paramita, Jakarta. Sujamto, 1983, Beberapa Pengertian dibidang Pengawasan, Ghalia Indonesia, Jakarta. ________, 1987, Aspek-aspek Pengawasan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. ________, 1989, Norma dan Etika Pengawasan, Sinar Grafika, Jakarta. Sunggono, Bambang, 1997, Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Susanti, Ida, 2003, Aspek Hukum dari Perdagangan Bebas, Menelaah Kesiapan Hukum Indonesia Dalam Melaksanakan Perdagangan Bebas, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Tedjosaputro, Liliana, 1994. Etika Profesi Notaris Dalam Penegakan Hukum Pidana, Bigraf Publishing, Yogyakarta. Untung, Budi H, 2001, Visi Global Notaris, Penerbit Andi, Yogyakarta. Wojowasito, 1978, Kamus Umum Belanda-Indonesia, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta. Yandianto, 2000, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Penerbit M2S, Bandung.
Makalah : Soerjadi, D, Trimoelja, 2003, Beberapa Permasalahan Tentang Akta Notaris/PPAT. Perundang-undangan : Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Nomor : M-01.H.T.03.01 Th. 2003 tentang Kenotarisan. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Kode Etik Notaris (Kongres I ke 17 Tahun 1999)
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009
Kode Etik Kongres luar Biasa 1 N I Tahun 2005 Peraturan Jabatan Notaris, Ordonantie Stablaad Nomor 3 Tahun 1860. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M.02.PR.08.10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja, dan Tata Cara Pemeriksaanm Majelis Pengawas Notaris. Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1984 tentang cara Pengawasan Terhadap Notaris. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
Majalah/Jurnal : Majalah Media Notariat, Edisi Mei-Juni 2004 Majalah Renvoi Nomor 2.14.II Tanggal 3 Juli 2004 Majalah Renvoi Nomor 3.15.II Tanggal 3 Agustus 2004 Majalah Renvoi Nomor 4.16.II Tanggal 3 September 2004 Majalah Renvoi Nomor 9.21.II Tanggal 3 Pebruari 2004 Majalah Renvoi Nomor 10.22.II Tanggal 3 Maret 2004
T. Muzakkar : Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan Dengan Majelis Pengawas Notaris Dalam..., 2008 USU e-Repository © 2009