ANALISIS TERHADAP PENGANGKATAN JABATAN STRUKTURAL BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 43 TAHUN 1999 TENTANG POKOK-POKOK KEPEGAWAIAN (STUDI PADA KANTOR WILAYAH DEPARTEMEN HUKUM DAN HAM SUMATERA UTARA)
TESIS
Oleh
TETTY ERNAWATI SIAHAAN 077005142/HK
S
C
N
PA
A
S
K O L A
H
E
A S A R JA
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
ANALISIS TERHADAP PENGANGKATAN JABATAN STRUKTURAL BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 43 TAHUN 1999 TENTANG POKOK-POKOK KEPEGAWAIAN (STUDI PADA KANTOR WILAYAH DEPARTEMEN HUKUM DAN HAM SUMATERA UTARA)
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh TETTY ERNAWATI SIAHAAN 077005142/HK
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
Judul Tesis
Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi
: ANALISIS TERHADAP PENGANGKATAN JABATAN STRUKTURAL BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 43 TAHUN 1999 TENTANG POKOK-POKOK KEPEGAWAIAN (STUDI PADA KANTOR WILAYAH DEPARTEMEN HUKUM DAN HAM SUMATERA UTARA) : Tetty Ernawati Siahaan : 077005142 : Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Muhammad Abduh, SH) Ketua
(Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS) Anggota
Ketua Program Studi
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH)
(Dr. Sunarmi, SH, M.Hum) Anggota
Direktur
(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)
Tanggal lulus : 31 Agustus 2009 Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
Telah diuji pada Tanggal 31 Agustus 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua
: Prof. Muhammad Abduh, SH
Anggota
: 1. Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS 2. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum 3. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum 4. Dr. Agusmidah, SH, M.Hum
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
ABSTRAK Pembinaan yang dilakukan terhadap Pegawai Negeri Sipil yang antara lain pembinaan karier dan prestasi kerja belum berjalan secara baik, disebabkan oleh lemahnya tolak ukur yang dijadikan dasar untuk mengetahui apakah seseorang telah berprestasi atau tidak berprestasi. Salah satu tolak ukur yang digunakan selama ini yaitu Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3) dan Daftar Urut Kepangkatan (DUK) yang cenderung bersifat subjektif. Demikian pula halnya penempatan seseorang sering tidak sesuai jenjang karier yang dimilikinya, sehingga cenderung penempatan Pegawai Negeri Sipil tersebut berdasarkan kemauan subjektif pula. Metode penelitian dilakukan dengan metode penelitian hukum normatif. Data pokok dalam penelitian adalah data sekunder. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Analisis data terhadap data sekunder dilakukan dengan analisis kualitatif. Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam suatu jabatan dilaksanakan berdasarkan prinsip profesionalisme sesuai dengan kompetensi, prestasi kerja, dan jenjang pangkat yang ditetapkan untuk jabatan itu serta syarat obyektif lainnya tanpa membedakan jenis kelamin, suku, agama, ras dan golongan. Tujuan pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam jabatan struktural adalah untuk mewujudkan aparatur negara yang berdaya guna dan berhasil guna serta sanggup dan mampu melaksanakan tugas-tugas dengan sebaik-baiknya. Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara diketahui bahwa banyak Pegawai Negeri Sipil di Kanwil Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara yang pangkatnya sudah tidak bisa naik lagi. Hal ini diakibatkan tidak seimbangnya jumlah jabatan dengan Pegawai Negeri Sipil yang hendak memperebutkan jabatan tersebut, apalagi mekanisme Baperjakat tidak sepenuhnya dilaksanakan serta untuk Kantor Wilayah sendiri eselon yang paling rendah adalah eselon IV a. Kemudian proses seleksi pengangkatan jabatan struktural melalui Keputusan Baperjakat di daerah yang diusulkan oleh Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia kepada Kantor Pusat Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia tidak transparan dan sarat akan terjadinya praktek KKN. Disarankan agar proses Baperjakat dalam pengangkatan jabatan struktural di jajaran Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara diaktifkan kembali dimana nantinya hasil Baperjakat tersebut menjadi usulan calon pejabat struktural dari Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara dan keputusan akhirnya ada pada Kantor Pusat Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia. Kemudian untuk menghasilkan pejabat yang memiliki kompetensi dibidangnya disarankan kedepannya memakai mekanisme fit and proper test dan menggunakan penerapan standar kompetensi. Kata Kunci : Pengangkatan, Jabatan Struktural, Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
ABSTRACT
The development provided for the Civil Servants (PNS) such as cascer development and work achievement is not yet successful because the basic measurement used to know whether or not and individual is with or without are the subjective List of job Implementation Evalution (DP3) and List of rank career background the employee has that the PNS,s placement is also based on the subjective matter. The data for this normative legal study were the secobdary data obtained through library research and field observation. The data obtained were qualitatively analyzed. The promotion of a PNS for a certain position is implemented based on the principle of professionalisme that meets the competency, work achievement, and rank which have been decided for that position and the other objective requirements disregarding sex, ethnicity, religion, race, and group. The purpose of promoting a PNS to have a structural position is to materialize effective and efficient civil servants who are able to their duties well. It is revealed that many civil servants in the Regional Office os Sumatera Utara Departement of Law and human Rights with rank that cannot be promoted any more caused by the disparity of between the number of position available and the number of PNS who want to have that position and more over the mechanisme of Baperjakat is not fully implemented and in the Regional Office Itself the lowest echelon is echelon Iva. Also, the process of selection of those who want to be promoted by the Regional Office of Departement of Law and Human Rights to the main Office of Departement of Law and Rights is not transparant and fuli of corruption, colusion and nepotisme. It is suggest that the process done by Baperjakat in the promotion of structural position in the working area of the Regional Office of Sumatera Utara Departement of Law and Human Rights be reactived that the recommendation given by Baperjakat can be used in proposing a candidate for a structural position in the final decision is in the hands of the Main Office of Departement of Law and Human Rights and the Rights of the Republic of Indonesia. To have an official who is competent in his field in the future, it is suggested that the fit and proper test currently used should be applied based on the standard competency. Key words : Promotion, Structural Position, Regional Office of Sumatera Utara Departement of Law and human Rights.
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha, Kuasa karena berkat kasih karunia-Nyalah penulisan tesis ini dapat diselesaikan dengan tepat waktu. Tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk meraih gelar Magister Humaniora pada Program Studi Ilmu Hukum di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Dalam tesis ini, penulis menyajikan judul : "Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara)". Penulis menyadari sepenuhnya bahwa, tesis ini masih jauh dari sempurna, karena kemampuan penulis yang sangat terbatas. Untuk itu dengan segenap kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatmya membangun dari semua pihak untuk penyempurnaannya dikemudian hari. Pada kesempatan ini, dengan segala, hormat penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1.
Bapak Prof Chairuddin P. Lubis, DTM&H. SpA (K), selaku Rektor Universitas Sumatera, Utara.
2.
Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa, B, MSc selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
3.
Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH selaku Ketua Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
4. Bapak Prof. Muhammad Abduh, SH selaku Ketua Komisi Pembimbing yang selalu memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis. 5. Ibu Dr. Sunarmi, SH, M.Hum selaku anggota Komisi Pembimbing yang dengan penuh kesabaran memberikan bimbingan dan arahan-arahan yang sangat membantu dalam penyelesaian penulisan tesis ini. 6. Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan saran, bimbingan, perhatian dan dukungan yang tiada henti-hentinya demi selesainya penulisan tesis ini tepat pada waktunya. 7.
Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum selaku Anggota Komisi Penguji.
8.
Ibu Dr. Agusmidah, SH, M.Hum, selaku Anggota. Komisi Penguji.
9.
Para Dosen Penulis pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan ilmunya dan membuka cakrawala berpikir penulis yang akan bermanfaat dikemudian hari.
10. Bapak Drs. Mashudi, Bc.IP, MAP selaku Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Provinsi Sumatera Utara atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana di Universitas Sumatera Utara atas biaya Kanwil serta Bapak M. Sukardi Sianturi, SH, MH selaku Kepala Rumah Tahanan Negara Klas II B Labuhan Deli.
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
11. Orangtuaku tercinta, Ayahanda T.F. Siahaan dan Ibunda N. Br. Siregar yang telah membesarkan, mendidik dan memberikan doa yang tiada putus-putusnya demi kebaikan dan keberhasilan anaknya serta mertuaku Amang Drs. B. Hutasoit dan Inang T. Br. Simanjuntak atas doanya. 12. Teristimewa untuk "Suamiku Drs. Ben C. Hutasoit" terima kasih atas cinta, kasih sayang, perhatian dan dukungannya selama ini... Banyak waktu yang seharusnya kuhabiskan denganmu namun terpakai untuk menyelesaikan kuliah... Maafkan aku yah.... Terimakasih juga untuk anak-anakku Hans Giovanni Hutasoit dan Vanio Larissa Hutasoit. 13. Rekan-rekan seperjuangan pada Kelas Paralel Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Angkatan Tahun 2007, atas dukungan dan kebersamaannya. Cepat ada yang dikejar dan lambat ada yang dinanti.... 14. Seluruh staf dan pegawai di Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara atas segala bantuan-bantuan, pelayanan dan kemudahan yang telah diberikan, kiranya Tuhan jualah yang membalas semua kebaikannya.
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
Akhirnya penulis berharap bahwa tesis ini dapat berguna sebagai sumbang dan saran pemikiran mengenai "Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara)". Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayahNya kepada kita semua. Amin.
Medan, Agustus 2009 Penulis,
Tetty Ernawati Siahaan
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
RIWAYAT HIDUP
NAMA
: TETTY ERNAWATI SIAHAAN
TEMPAT/TGL LAHIR : MEDAN, 27 SEPTEMBER 1973 JENIS KELAMIN
: PEREMPUAN
AGAMA
: KRISTEN
PEKERJAAN
: PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS) PADA RUTAN KLAS II B LABUHAN DELI
PENDIDIKAN
: 1. SD NEGERI, LULUS TAHUN 1986. 2. SMP SWASTA PARULIAN, LULUS TAHUN 1989. 3. SMA NEGERI 3, LULUS TAHUN 1992
. 4. FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DHARMAWANGSA, LULUS TAHUN 1999 5. PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA, MEDAN, LULUS TAHUN 2009.
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
DAFTAR ISI
Halaman ABSTRAK ........................................................................................................... ABSTRACT .......................................................................................................... KATA PENGANTAR ......................................................................................... RIWAYAT HIDUP ............................................................................................. DAFTAR ISI ........................................................................................................ DAFTAR TABEL ............................................................................................... DAFTAR BAGAN ............................................................................................... DAFTAR SINGKATAN .....................................................................................
i ii iii vii viii x xi xii
BAB I
PENDAHULUAN ............................................................................. A. Latar Belakang ............................................................................... B. Rumusan Masalah ......................................................................... C. Tujuan Penelitian ........................................................................... D. Manfaat Penelitian ......................................................................... E. Keaslian Penelitian ........................................................................ F. Kerangka Teori dan Konsepsi ....................................................... 1. Kerangka Teori ........................................................................ 2. Konsepsi .................................................................................. G. Metode Penelitian .......................................................................... 1. Spesifikasi Penelitian ............................................................... 2. Sumber Data Penelitian ............................................................ 3. Teknik Pengumpulan Data ....................................................... 4. Analisis Data ............................................................................
1 1 12 12 13 13 14 14 28 31 31 32 33 34
BAB II
SISTEM PEMBINAAN PEGAWAI NEGERI SIPIL.................... A. Pegawai Negeri Sipil ..................................................................... 1. Pengertian Pegawai Negeri Sipil ............................................. 2. Jenis Pegawai Negeri Sipil ...................................................... 3. Kedudukan Pegawai Negeri Sipil ............................................ 4. Kewajiban Pegawai Negeri Sipil ............................................. 5. Hak Pegawai Negeri Sipil ....................................................... B. Sistem Pembinaan Pegawai Negeri Sipil ...................................... 1. Konsep Pembinaan .................................................................. 2. Prinsip Dasar dan Jenis Pembinaan Pegawai .......................... 3. Sikap dan Perilaku Pegawai Negeri Sipil ................................. 4. Hubungan Pembinaan dengan Perilaku Pegawai ..................... C. Evaluasi Kinerja Pegawai Negeri Sipil .......................................... 1. Analisis Kinerja Pegawai Negeri Sipil .................................... 2. Penegakan Disiplin Pegawai Negeri Sipil ................................
35 35 35 39 43 45 48 51 51 55 78 82 84 84 88
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
BAB III
PROSES PENGANGKATAN JABATAN STRUKTURAL BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 43 TAHUN 1999 TENTANG POKOK-POKOK KEPEGAWAIAN DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN LAINNYA TENTANG KEPEGAWAIAN ......................................................... A. Pengangkatan dalam Pangkat dan Jabatan .................................... 1. Pengangkatan dalam Pangkat .................................................. 2. Pengangkatan dalam Jabatan ................................................... 3. Mutasi / Rotasi Pegawai Negeri Sipil ...................................... 4. Kenaikan Jabatan (Promosi) .................................................... B. Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia .................................................... C. Pembinaan dan Pengangkatan Jabatan Struktural Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM ...................................... 1. Sistem Pembinaan Karir Pegawai Negeri Sipil Di Indonesia Dalam Hubungannya Dengan Pengangkatan Jabatan Struktural ................................................................................. 2. Proses Pengangkatan Jabatan Struktural Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara ......................................................................
95 95 95 97 119 124 125 132
132
139
BAB IV
HAMBATAN-HAMBATAN YANG TERJADI DALAM PROSES PENGANGKATAN JABATAN STRUKTURAL SERTA UPAYA-UPAYA YANG DILAKUKAN .......................... 146 A. Hambatan ...................................................................................... 146 B. Upaya ............................................................................................. 148
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 154 A. Kesimpulan .................................................................................... 154 B. Saran ............................................................................................. 156
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 157
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
DAFTAR TABEL No
Judul
Halaman
1.
Hak Pegawai Negeri Sipil Menurut Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 ................................................ 50
2.
Golongan/Ruang Yang Ditetapkan Untuk Pengangkatan Sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil ...................................................... 96
3
Eselon dan Jenjang Pangkat Jabatan Struktural Pegawai Negeri Sipil .............................................................................. 107
4
Jabatan Struktural dan Eselonisasi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM .............................................................. 129
5
Golongan/Ruang Kepangkatan Pegawai Negeri Sipil Kanwil Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara .................................... 131
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
DAFTAR BAGAN No 1
Judul
Halaman
Susunan Organisasi Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM ................................................................................... 130
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
DAFTAR SINGKATAN
BAPERJAKAT :
Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan
BAPERJANAS
:
Badan Pertimbangan Jabatan Nasional
BUMN
:
Badan Usaha Milik Negara
CPNS
:
Calon Pegawai Negeri Sipil
DEPKUMHAM :
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia
DP3
:
Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan
DUK
:
Daftar Urut Kepangkatan
HAM
:
Hak Asasi Manusia
KANWIL
:
Kantor Wilayah
KUHP
:
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
KORPRI
:
Korps Pegawai Republik Indonesia
PNS
:
Pegawai Negeri Sipil
UUD 1945
:
Undang-Undang Dasar 1945
UU
:
Undang-Undang
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kebijakan merupakan suatu upaya yang digunakan pemerintah untuk mencapai tujuan negara Indonesia yang termaktub dalam alinea keempat Pembukaan UUD
1945,
perwujudannya
berupa
pembangunan
nasional
dalam
rangka
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiil maupun spiritual. Pembangunan (dalam arti luas) merupakan suatu proses perubahan di segala bidang kehidupan yang dilakukan secara sengaja berdasarkan suatu rencana tertentu. Peningkatan mutu sumber daya manusia yang strategis terhadap peningkatan keterampilan, motivasi, pengembangan dan manajemen sumber daya manusia merupakan syarat utama dalam era globalisasi agar mampu bersaing dan mandiri. Sejalan dengan itu, visi dalam konteks pembangunan sumber daya manusia pemerintah dimasa yang akan datang adalah mempersiapkan Pegawai Negeri Sipil yang profesional, mampu bersaing, dan mengantisipasi perkembangan dunia yang pesat di berbagai aspek kehidupan sehingga mampu meningkatkan mutu pelayanan serta kinerja yang tinggi.1
Tim Peneliti Badan Kepegawaian Negara, Persepsi PNS Daerah Tentang Pengangkatan Dalam Jabatan Struktural, (Jakarta: Puslitbang BKN, 2003), hlm. 10. 1
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
Hal tersebut sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, bahwa kelancaran penyelenggaraan tugas pemerintah dan pembangunan nasional sangat tergantung pada kesempurnaan Aparatur Negara khususnya Pegawai Negeri Sipil. Karena itu, dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional yakni mewujudkan masyarakat madani yang taat hukum, berperadaban modern, demokratis, makmur, adil, dan bermoral tinggi diperlukan Pegawai Negeri Sipil yang merupakan unsur aparatur negara yang bertugas sebagai abdi masyarakat yang harus menyelenggarakan pelayanan secara adil dan merata kepada masyarakat dengan dilandasi kesetiaan, dan ketaatan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sejalan dengan adanya kebijakan tersebut, maka pembinaan Pegawai Negeri Sipil diarahkan untuk dapat mewujudkan Pegawai Negeri Sipil yang profesional, memiliki wawasan luas, memiliki kemampuan, dan kapabilitas dengan kualitas tinggi yang setara dan seimbang baik di pusat maupun di daerah. Upaya pengembangan Pegawai Negeri Sipil pusat dan daerah sebagaimana tersebut diatas dapat diwujudkan dengan melaksanakan pembinaan berdasarkan norma, standar dan prosedur operasional yang berlaku secara nasional. Salah satu faktor terpenting dalam perencanaan sumber daya aparatur adalah pelaksanaan pengangkatan dan penempatan dalam jabatan, baik jabatan struktural maupun fungsional. Kesalahan dalam tahap pengangkatan jabatan pimpinan akan menimbulkan hambatan terhadap penyelenggaraan organisasi tersebut, misalnya: tidak tercapainya sasaran organisasi, tidak adanya suasana kerja yang harmonis, Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
hubungan kerja yang selalu tegang antara pemimpin dengan bawahan, cara kerja yang tidak efisien dan efektif, dan berbagai penyimpangan prosedur kerja. Oleh karena itu dalam rangka pengelolaan suatu organisasi tahap pengangkatan dalam jabatan merupakan satu diantara langkah-langkah kritis di dalam keseluruhan proses pengelolaan sumber daya manusia. Sebenarnya, pengembangan sumber daya manusia ditujukan untuk mewujudkan manusia pembangunan yang berbudi luhur, tangguh, cerdas dan terampil, mandiri dan memiliki rasa kesetiakawanan, bekerja keras, produktif, kreatif dan inovatif, berdisiplin dan berorientasi ke masa depan untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik. 2 Namun demikian, pengembangan Pegawai Negeri Sipil melalui pendidikan dan pelatihan yang meliputi Diklat Prajabatan, Diklat Administrasi Umum (ADUM), dan Diklat Staf Pimpinan Administrasi Tingkat Pertama (SPAMA) yang merupakan salah satu persyaratan untuk diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil maupun untuk menduduki jabatan struktural, masih terlihat berbagai kelemahan. Kelemahan yang dimaksud meliputi rekruitmen calon peserta diklat, kurikulum, widyaswara, sarana dan prasarana penunjang, dan profesionalisme pengelola diklat. Berdasarkan ini, tentu sangat sulit diharapkan munculnya keluaran yang berkualitas untuk mendukung pelaksanaan tugas pokok dan fungsi organisasi.
P Tjiptoherijanto dan S.Z. Abidin, Reformasi Administrasi dan Pembangunan Nasional. (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1993), hlm. 41. 2
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
Tentang permasalahan ini yaitu berupa pembinaan Pegawai Negeri Sipil ditegaskan perlunya diarahkan untuk dapat menjamin sasaran-sasaran, yaitu3 : 1. Agar satuan organisasi Lembaga Pemerintah mempunyai jumlah dan mutu pegawai yang rasional berdasarkan jenis, sifat dan beban kerja yang dibebankan kepadanya. 2. Pembinaan yang terintegrasi terhadap seluruh Pegawai Negeri Sipil, artinya bahwa terhadap semua Pegawai Negeri Sipil berlaku ketentuan yang sama. 3. Pembinaan Pegawai Negeri Sipil atas dasar sistem karier dan sistem prestasi kerja. 4. Pengembangan sistem penggajian yang mengarah kepada penghargaan terhadap prestasi dan besarnya tanggung jawab. 5. Pelaksanaan tindakan korektif yang tegas terhadap pegawai yang nyatanyata melakukan pelanggaran terhadap normanorma kepegawaian. 6. Penyempurnaan sistem administrasi kepegawaian dan sistem pengawasannya. 7. Pembinaan kesetiaan dan ketaatan penuh Pegawai Negeri Sipil terhadap Pancasila, UUD 1945, Negara dan pemerintah.
Dalam kaitan pengembangan Pegawai Negeri Sipil, dapat dikemukakan bahwa penyelenggaraan diklat selama ini cenderung hanya bersifat formalistis. Kecenderungan demikian itu tidak menghasilkan output yang berkualitas melainkan kuantitas penyelenggaraannya belaka. Kenyataan ini tentu tidak sejalan dengan hakikat pengembangan sebagai suatu usaha untuk meningkatkan kemampuan teknis, teoritis, konseptual dan moral pegawai sesuai dengan kebutuhan pekerjaan/jabatan melalui pendidikan dan latihan. 4
A.W. Wijaya, Administrasi Kepegawaian Suatu Pengantar, (Jakarta: CV. Rajawali, 1986), hlm. 26. 4 SP. M. Hasibuan, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Jakarta: CV. Haji Mas Agung, 1994), hlm. 76. 3
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
Kemudian pembinaan yang dilakukan terhadap Pegawai Negeri Sipil yang antara lain pembinaan karier dan prestasi kerja belum berjalan secara baik, disebabkan oleh lemahnya tolak ukur yang dijadikan dasar untuk mengetahui apakah seseorang telah berprestasi atau tidak berprestasi. Salah satu tolak ukur yang digunakan selama ini yaitu Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3) dan Daftar Urut Kepangkatan (DUK) yang cenderung bersifat subjektif. Demikian pula halnya penempatan seseorang sering tidak sesuai jenjang karier yang dimilikinya, sehingga cenderung penempatan Pegawai Negeri Sipil tersebut berdasarkan kemauan subjektif pula. Dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, telah menjelaskan tentang Aparatur Negara yang baik dalam penjelasan umumnya sebagai berikut5 : 1. Kelancaran penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan nasional sangat tergantung pada kesempurnaan aparatur negara khususnya pegawai negeri. Karena itu, dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional yakni mewujudkan masyarakat madani yang taat hukum, berperadaban modern, demokratis, makmur, adil dan bermoral tinggi, diperlukan pegawai negeri sipil yang berunsur aparatur negara yang bertugas sebagai abdi masyarakat yang harus menyelenggarakan pelayanan secara adil dan merata kepada masyarakat dengan dilandasi kesetiaan, dan ketaatan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. 2. Di samping itu dalam pelaksanaan desentralisasi kewenangan pemerintahan kepada daerah, Pegawai Negeri berkewajiban untuk tetap menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dan harus melaksanakan tugasnya secara profesional dan bertanggung jawab dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan serta bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Zainut Tauhid Saadi, Keputusan Kepala BKN dan Kepala LAN Tahun 2001, Tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 96, 97, 98, 99, 100 dan 101, (Jakarta: Panca Usaha , 2002), hlm. 771. 5
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
Dalam rangka pengisian jabatan pimpinan/jabatan struktural, seorang pemimpin harus dapat mengembangkan potensi optimal bawahannya, serta secara tepat dan benar menilai kesiapan dan kemampuan bawahan, sehingga proses pengangkatan dan penempatan dalam jabatan struktural betul-betul menganut merit system, yaitu: berdasarkan kecakapan, kemampuan atau keahlian tertentu sesuai dengan tingkatan jabatannya. Seiring dengan hal tersebut, pola karir bagi aparatur pemerintah haruslah jelas, sehingga setiap pegawainya dapat mengerti benar perjalanan karirnya dan syarat-syarat rasional yang harus diraihnya bila ingin meningkatkan diri ke jabatan yang lebih tinggi. Syarat-syarat rasional ini menjelaskan secara rinci target yang harus dicapai oleh setiap pegawai sehingga apabila terjadi kenaikan pangkat atau jabatan yang lebih tinggi tidak ada lagi rasa iri, dengki dan curiga kepada pegawai lain. Ada tiga hal penting yang dapat menjadi pertimbangan dalam pengangkatan calon pejabat struktural, yaitu; kemampuan, kemauan, dan etika moral, yaitu 6 : 1. Kemampuan adalah pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan yang dimiliki oleh seorang individu untuk melakukan kegiatan atau tugas-tugas tertentu sesuai dengan program untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama. 2. Kemauan berhubungan dengan keyakinan, komitmen, dan motivasi untuk menyelesaikan tugas atau program yang telah ditentukan. 3. Etika moral adalah berhubungan dengan nilai-nilai luhur yang berkaitan dengan kejujuran, ketaatan, kedisiplinan, tanggung jawab, dan menjunjung tinggi norma-norma yang berlaku.
6
Tim Peneliti Badan Pengangkatan….,Op.Cit., hlm. 12.
Kepegawaian
Negara,
Persepsi
PNS
Daerah
Tentang
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
Ketiga hal tersebut harus dapat diterapkan dan dilaksanakan secara terpadu, karena tanpa menunjukkan kemampuan berarti orang tidak punya kemauan. Tanpa kemauan berarti orang tidak akan menghasilkan apapun, kemudian kemampuan dan kemauan harus ditunjang dengan etika moral yang tinggi, sehingga output pekerjaan tidak berdampak negatif. Kemudian tujuan pembinaan sumber daya aparatur adalah untuk membentuk sosok Pegawai Negeri Sipil yang bersih, berwibawa, dan dapat memberikan pelayanan prima terhadap masyarakat. Maka dalam pembinaan tersebut harus diperlakukan sama terhadap seluruh Pegawai Negeri Sipil, dan pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam suatu jabatan dilaksanakan berdasarkan prinsip profesionalisme sesuai dengan kompetensi, prestasi kerja, dan jenjang pangkat yang ditetapkan untuk jabatan itu serta syarat obyektif lainnya tanpa membedakan jenis kelamin, suku, agama, ras, atau golongan. Pengangkatan dalam jabatan struktural merupakan bagian dari manajemen karier Pegawai Negeri Sipil sebagai kebijakan pemerintah yang bersifat menyeluruh. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 43 tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, bahwa pembinaan Pegawai Negeri Sipil diarahkan untuk mewujudkan (1) unsur aparatur negara yang profesional, jujur, adil, bermoral tinggi, berwawasan global dan nasionalis, (2) netral dari pengaruh partai politik atau golongan tertentu, (3) tidak diskriminatif baik dalam rekrutmen, penempatan, maupun
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, (4) mampu berperan sebagai unsur perekat negara kesatuan Republik Indonesia. 7 Unsur-unsur
tersebut
kelihatannya
sangat
sederhana
dan
mudah
diungkapkan namun sangat kompleks dan sulit untuk mewujudkannya. Berbagai faktor perlu diperbaiki dan ditingkatkan untuk mendorong terciptanya tujuan tersebut misalnya mentalitas dan intergritas manusianya, birokrasi, faktor kepemimpinannya, mekanisme dan sistem kerja dan lain sebagainya. Fakta menunjukkan bahwa dalam proses pengangkatan dan penempatan dalam jabatan struktural terjadi berbagai penyimpangan, serta kurang memperhatikan faktor-faktor obyektif yang telah ditentukan. Ini berarti Pegawai Negeri Sipil tidak memperoleh jaminan hukum dalam proses promosi dan pengembangan karier. Bahkan kini ada persepsi yang berkembang bahwa dalam promosi jabatan/pengembangan seseorang harus memiliki empat syarat, yakni 4D (duit, dekat, dukung, dan dawuh). Persepsi itu tentu tidak sehat, kendatipun realitas sosial menyatakan begitu. 8 Hal tersebut sesuai dengan pendapat Affandi, 9 tidak tertampungnya pejabat struktural pada instansi vertikal untuk menduduki jabatan struktural, terutama secara kuantitatif jumlah jabatan yang tersedia sangat terbatas sebagai akibat penataan organisasi pemerintahan serta tumbuhnya paradigma lama yaitu pengangkatan dan 7
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, LNRI Tahun 1999 Nomor 169, TLNRI Nomor 3890. 8 Tim Peneliti Badan Kepegawaian Negara, Persepsi PNS Daerah........., Op.Cit., hlm. 11. 9 M. Joko Affandi, Dampak Penataan Organisasi Pemerintahan Daerah, (Jakarta: Puslitbang BKN, 2002), hlm. 3-4. Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
penempatan dalam jabatan struktural berdasarkan suku, agama, kekeluargaan, dan indikasi adanya kolusi, nepotisme akan semakin memperburuk dan memperlemah citra Pegawai Negeri Sipil. Kalau kondisi seperti tersebut dibiarkan berlanjut dan tidak dibenahi secara cepat dan tepat, maka akan menimbulkan dampak yang negatif bagi pembinaan dan pengembangan karier Pegawai Negeri Sipil, misalnya terjadi persaingan yang kurang sehat antara Pegawai Negeri Sipil. Hal ini sangat bertentangan dengan prinsip pembinaan dan manajemen Pegawai Negeri Sipil yang seragam secara nasional. Kondisi seperti ini sangat bertentangan dengan karakter atau prinsip yang harus dianut dan dikembangkan dalam praktek penyelenggaraan kepemerintahan yang baik, yaitu meliputi 10 : 1. Partisipasi (Participation) : Setiap orang atau warga masyarakat, baik lakilaki maupun perempuan memiliki hak suara yang sama dalam proses pengambilan keputusan, baik secara langsung, maupun melalui lembaga perwakilan, sesuai dengan kepentingan dan aspirasinya masing-masing. 2. Aturan Hukum (Rule of law) : Kerangka aturan hukum dan perundangundangan harus berkeadilan, ditegakkan dan dipatuhi secara utuh, terutama aturan hukum tentang hak asasi manusia. 3. Transparansi (Transparency) : Transparansi harus dibangun dalam rangka kebebasan aliran informasi. 4. Daya Tanggap (Reesponsivenessi) : Setiap institusi dan prosesnya harus diadakan pada upaya untuk melayani berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders) 5. Berorientasi Konsensus (Consensus Orientation) : Pemerintah yang baik akan bertindak sebagai penengah bagai berbagai kepentingan yang berbeda untuk mencapai Konsensus atau kesempatan yang baik bagi kepentingan masingmasing pihak, dan jika dimungkinkan juga dapat diperlakukan terhadap berbagai kebijakan dan prosedur yang akan ditetapkan pemerintah. Sedarmayanti, Good Governance, (Kepemerintahan Yang Baik) Buku II, (Bandung: Mandar Maju, 1997), hlm. 5. 10
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
6. Berkeadilan (Equity) : Pemerintah yang baik akan memberi kesempatan yang baik terhadap laki-laki maupun perempuan dalam upaya mereka untuk meningkatkan dan memelihara kualitas hidupnya. 7. Efektifitas dan Efesiensi (Effektiveness and Efficiency) : Setiap proses kegiatan dan kelembagaan diarahkan untuk menghasilkan sesuatu yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan melalui pemanfaatan yang sebaikbaiknya berbagai sumber-sumber yang tesedia. 8. Akuntabilitas (Accountability) : Para pengambil keputusan dalam Organisasi sektor publik, swasta dan masyarakat madani memliki pertanggung jawaban (Akuntabilitas) kepada publik (masyarakat umum), sebagaimana halnya kepada para pemilik (Stake holders). 9. Visi strategis (Strategic vision) : Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jangka panjang tentang penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, bersamaan dengan dirasakanya kebutuhan untuk pembangunan tersebut.
Salah
satu
dimensi
penting
dari
pengorganisasian
adalah
proses
departemenisasi, yaitu proses pembagian kerja dan kombinasi tugas yang logis mengarah pada penyusunan bagian organisasi yang makin lama makin mengecil sampai ke level seksi dan seterusnya. 11 Sebuah organisasi formal terdiri dari struktur organisasi fungsional (functional organization) dan struktur organisasi divisional (divitional organization). Jenis organisasi divisional ditujukan bagi organisasi organisasi yang menurut pekerjaannya bersifat heterogen (berbeda) antara satu fungsi dengan fungsi lainnya. Di samping itu dalam organisasi divisional yang menjadi powerful manager ada di lini tengah dan lebih bersifat desentralisasi. 12 Dari hal di atas diketahui bahwa Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia merupakan jenis organisasi yang bersifat divisional, sehingga fungsi dan
Harold J Leavit, Pengelolaan, Perubahan dan Pengembangan Organisasi, (Jakarta: Lembaga Management Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1993), hlm. 5. 12 Ibid. 11
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
kewenangan Kepala Divisi khususnya Kepala Divisi Teknis harus lebih besar, termasuk rentang kendali ke Unit Pelaksana Teknis (UPT) di bawahnya. Artinya kewenangan Kepala Divisi tidak dapat dipersamakan dengan koordinator. Sebagai bagian dari Pemerintahan, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, khususnya Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara sebagai salah satu instansi vertikal di daerah tidak terlepas dari semua peraturan dan perundang-undangan, tetapi pada kenyataannya, banyak peraturan yang menjadi landasan untuk mendayagunakan Aparatur Negara dan pelaksanaanya masih belum diterapkan dan ditegakkan. Apalagi dalam pengangkatan jabatan struktural yang masih mengenyampingkan prestasi kerja sebagai salah satu indikator penting dalam pengangkatan jabatan struktural tersebut. Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara sebagai induk dari Unit Pelaksana Teknis untuk melakukan pembinaan, pengendalian dan pengawasan teknis serta pengawasan administrasi mempunyai 32 (tiga puluh dua) jabatan struktural. 13 Berdasarkan latar belakang diatas dan dalam rangka memberikan sumbangan pemikiran mengenai perbaikan atau penyempurnaan terhadap sumber daya aparatur pemerintah khususnya Pegawai Negeri Sipil, maka dipandang perlu untuk melakukan penelitian ”Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian” (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM). 13
Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M-01PR.07.10 Tahun 2005 tertanggal 01 Maret 2005 Tentang Organisasi dan Tata Laksana Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
B. Rumusan Masalah Untuk menemukan identifikasi masalah dalam penelitian, maka perlu dipertanyakan apakah yang menjadi masalah dalam penelitian yang akan dikaji lebih lanjut untuk menemukan suatu pemecahan masalah yang telah di identifikasi tersebut. Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah sistem pembinaan terhadap Pegawai Negeri Sipil? 2. Bagaimanakah proses pengangkatan jabatan struktural berdasarkan UndangUndang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian dan peraturan perundang-undangan lainya tentang kepegawaian ? 3. Apakah hambatan-hambatan yang terjadi dalam proses pengangkatan jabatan struktural menurut Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian serta upaya-upaya yang dilakukan ?
C. Tujuan Penelitian Bertitik tolak dari identifikasi masalah tersebut diatas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui sistem pembinaan Pegawai Negeri Sipil. 2. Untuk mengetahui proses pengangkatan jabatan struktural berdasarkan UndangUndang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian dan peraturan perundang-undangan lainnya tentang kepegawaian.
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
3. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang terjadi dalam proses pengangkatan jabatan struktural menurut Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian serta upaya-upaya yang dilakukan.
D. Manfaat Penelitian Ada 2 (dua) manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian, yaitu tujuan yang teoritis dan bersifat praktis. a. Bersifat Teoritis Sebagai bahan masukan dan kajian ilmiah dibidang hukum, khususnya hukum kepegawaian yang menyangkut pengangkatan jabatan struktural berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. b. Bersifat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan dan diterapkan untuk menyamakan persepsi dalam rangka menegakkan pengangkatan jabatan struktural berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian pada Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan informasi dan penelusuran yang dilakukan oleh peneliti terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian terdahulu mengenai Analisis Terhadap Pengangkatan Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, penelitian tesis ini dapat dikatakan asli, jauh dari unsur plagiat yang bertentangan dengan asas-asas keilmuan sehingga penelitian dapat dipertanggungjwabkan kebenarannya secara ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Kerangka teori merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, si penulis mengenai sesuatu kasus ataupun permasalahan (problem), yang bagi si pembaca menjadi bahan perbandingan, pasangan teoritis, yang mungkin ia setujui ataupun tidak disetujuinya dan ini merupakan masukan eksternal bagi pembaca. 14 Menurut Kaelan M.S, landasan teori pada suatu penelitian adalah merupakan dasar-dasar operasional penelitian. Landasan teori dalam suatu penelitian adalah bersifat strategis artinya memberikan realisasi pelaksanaan penelitian. 15 Oleh sebab itu kerangka teoritis bagi suatu penelitian mempunyai kegunaan sebagai berikut 16 :
Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm. 80. M.S. Kaelan, Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat (Paradigma bagi Pengembangan Penelitian Interdisipliner bidang Filsafat, Budaya, Sosial, Semiotika, Sastra, Hukum dan Seni), (Yogyakarta: Paradigma, 2005), hlm. 239. 16 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 121. 14 15
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
1. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya; 2. Teori sangat berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta memperkembangkan definisi-definisi; 3. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar dari pada hal-hal yang diteliti; 4. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang. Sejalan dengan hal tersebut, maka terdapat beberapa teori yang dipergunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian tesis ini. Secara konseptual, teori yang dapat dijadikan acuan dalam membahas pengangkatan jabatan struktural berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Kepegawaian adalah dengan menggunakan pendekatan Teori Kekuasaan Birokrasi dari Max Webber sebagai grand theory yang didukung oleh konsep-konsep organisasi, pembinaan karir, motivasi dan pemberdayaan Pegawai Negeri Sipil sebagai applied theory-nya untuk memperkuat teori utama. Administrasi negara dalam menyelenggarakan tugasnya tidak boleh mengorbankan kepentingan rakyat sebagai pemilik kedaulatan, bahkan sebaliknya harus mengabdikan diri untuk kepentingan seluruh warganya. Melaksanakan tugas mengurus yang berorientasi pada negara kesejahteraan, pemerintah banyak menguasai dan mengatur masyarakat dengan menetapkan peraturan-peraturan, mengambil keputusan-keputusan, menciptakan serangkaian kebijaksanaan serta Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
menjalankan tindakan-tindakan yang bersifat menegakkan hukum dan kekuasaan negara, di samping melayani kepentingan umum warga masyarakat. Hukum Administrasi Negara adalah sebagian dari hukum yang mengatur tindakan penyelenggara negara (administrasi negara) berdasarkan kewenangan yang dimilikinya dalam hubungannya dengan rakyat atau warganya. Dengan kata lain dapat diartikan sebagai keseluruhan kaidah hukum yang mengatur hubungan pemerintah sebagai administrasi negara dengan rakyat dalam rangka pelaksanaan servis publik (bertuurzorg) sesuai dengan kewenangan yang ditetapkan oleh UndangUndang Dasar. Di dalam masyarakat, prototipe dari kedaulatan dipandang dalam wujudnya sebagai badan pembuat undang-undang yang merupakan salah satu sumber-sumber primer dari konsepsi-konsepsi yang berkaitan dengan tujuan hukum atau standarstandar untuk mengevaluasi “efisiensi” suatu struktur peran tertentu atau suatu pengantisipasian terhadap struktur peran. Dengan kata lain, masukan primer badan pembuat undang-undang ke dalam sistem hukum adalah suatu deskripsi tentang kondisi-kondisi umum yang ideal yang untuknyalah sumber-sumber daya sosial dikerahkan melalui penggunaan kekuasaan. Keluaran yang paling erat kaitannya dengan sistem hukum adalah pengaplikasian dari pernyataan-pernyataan kebijakan publik terhadap konflik tertentu yang ada. 17
Achmad Ali, Sosiologi Hukum; Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, (Jakarta: Iblam, 2004), hlm. 116. 17
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
Stillman II berpendapat bahwa sebenarnya birokrasi adalah suatu unsur umum dan formal dari suatu organisasi manusia, khususnya organisasi pemerintah. Lebih jauh lahgi Stillman II menguraikan tentang tipe ideal dari kekuasaan dengan mengambil pendapat “Bapak Birokrasi” dari Jerman, yaitu Max Webber. 18 Max Webber membagi tiga tipe ideal tentang kekuasaan yang menerangkan mengapa manusia mematuhi penguasa, yaitu 19 : 1. Tipe kekuasaan traditional yang terdapat pada masyarakat primitif yang percaya karena tradisi itu suci. Artinya, bahwa keluarga penguasa selalu berkuasa, sehingga masyarakat selalu patuh dan menilainya apa adanya dan bahwa penguasa itu selalu benar. Waktu kejadian, dan tradisilah yang memberikan kesempatan kepada penguasa tersebut legitimasi kekuasaan dari masyarakat yang diperintah. 2. Tipe kekuasaan charismatic yang didasarkan pada kualitas pribadi dan faktor-faktor yang menarik dari pemimpin. Figur karismatik dipilh karena mereka luar biasa, manusia yang super, dan karena kualifikasi lainnya. Pemimpin-pemimpin militer, kepala-kepala suku, pemimpin-pemimpin partai yang populer, dan nabi-nabi adalah contoh pribadi yang semangat kepahlawanan dan keajaibannya menarik pengikutnya. 3. Tipe legal-rational yang merupakan dasar bagi peradaban modern. Tipe kekuasaan ini didasarkan pada suatu kepercayaan legitimasi yang berasal dari peraturan dan hak-hak normatif bagi mereka yang diangkat sebagai penguasa di bawah peraturan tertentu untuk memerintah. Kepatuhan masyarakat diperoleh karena ketetapan hukum, seperangkat peraturan yang impersonal (berlaku bagi semua orang, tidak membeda-bedakan), bukan karena kepatuhannya terhadap penguasa. Kekuasaan legal-rational memberikan kekuasaan kepada organisasi bukan kepada pribadi yang menjabat jabatan tertentu di organisasi tersebut, dengan demikian setiap orang dapat memerintah sepanjang yang bersangkutan masih menjabat “sebagaimana diatur oleh peraturan tersebut”.
Richard J Stillman II, Public Administration: Concepts and Cases), (Boston: Highton Mifflin Company, 1988), hlm. 38. 19 Ibid. 18
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
Tipe kekuasaan yang ketiga inilah yang membentuk dasar konsepsi Webber tentang birokrasi. Menurut Webber, birokrasi adalah suatu cara wajar yang membuat kekuasaan legal-rational terlihat dalam bentuk kelembagaan, yang memegang peran sentral dalam menyuruh dan mengontrol masyarakat modern. Menurut Webber tipe ini lebih baik dari tipe-tipe lainnya dalam hal ketetapan, stabilitas, dan ketegasan untuk berdisiplin dan dalam hal memperoleh kepercayaan dari masyarakat. Dengan demikian memungkinkan suatu perolehan hasil dalam tingkat yang tinggi bagi pimpinan organisasi dan bagi mereka yang jabatannya berhubungan dengan pimpinan tersebut. Hal ini pada akhirnya merupakan yang terbaik dalam pelaksanaan efesiensi dan secara formal mampu menerapkan semua jenis tugas administratif. Tugas administratif tersebutlah yang sebenarnya merupakan penyubur yang baik bagi birokrasi administrasi, karena dengan cara itu birokrasi tumbuh dan berkembang untuk kepentingan masyarakat yang memerlukan banyak hal dalam hidupnya, misalnya untuk membangun jalan, mendidik murid, memungut pajak, berperang dengan musuh, merencanakan pembangunan dan menegakkan keadilan. Dari pembahasan tentang tipe-tipe ideal birokrasi tersebut, kemudian dilanjutkan dengan tiga kelengkapan terpenting dalam konsepsi birokrasi, yaitu : pembagian tugas, jenjang hierarki, dan peraturan-peraturan yang impersonal yang merupakan kunci untuk memfungsikan birokrasi 20 : 1. Pembagian tugas (spesialisasi pegawai), yang berarti bahwa seluruh pekerjaan yang ada dalam birokrasi secara nasional dibagi kedalam unitunit kerja tertentu yang akan dikerjakan oleh seseorang atau sekelompok 20
Ibid., hlm. 39.
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
orang yang kompeten untuk melaksanakan tugas itu. Tidak seperti penguasa-penguasa tradisional, dimana pegawai tidak “memiliki” kantor dalam birokrasinya, tetapi hanya mengerjakan pekerjaan tertentu yang diberikan oleh penguasa. 2. Aturan hierarki dari birokrasi memisahkan atasan dari bawahan, sesuai dengan dasar hierarki, balas jasa dibagi sesuai dengan pekerjaan, kewenangan diketahui, hak-hak pribadi diberikan dan promosi dihadiahkan. 3. Peraturan-peraturan yang impersonal membentuk kehidupan dunia birokrasi. Para birokrat, menurut Webber, tidaklah bebas untuk bertindak semaunya karena pilihan mereka telah ditentukan untuk melaksanakan pola-pola yang telah diatur. Sebagai kebalikan dari kekuasaan tradisional atau karismatik, aturan birokrasi diadakan untuk bawahan oleh atasan secara sistematis, sehingga membatasi kesempatan bagi arbitrasi dan favoritisme terhadap pribadi tertentu.
Dalam teori Webber, satu-satunya cara bagi masyarakat modern untuk mengoperasikan hal itu secara efektif adalah dengan mengorganisasikan spesialisspesialis birokrasi yang fungsional dan terlatih. Dari buku Max Webber “Essays in Sociology”, yang diterjemahkan oleh H.H Gerth dan C. Wright Mills, 21 dijelaskan bahwa ciri birokrasi dalam perkantoran modern mempunyai fungsi sebagai berikut : 1. Terdapat prinsip wilayah jurisdiksi yang tetap dan resmi, yang diatur dalam peraturan, yaitu melalui undang-undang atau keputusan administratif. 2. Di dalam prinsip-prinsip hierarki organisasi dan tingkatan-tingkatan kewenangan terdapat sistem perintah yang jelas dari atasan pada bawahan, yang berarti unit kerja yang lebih rendah diawasi oleh yang lebih tinggi. 3. Manajemen organisasi modern didasarkan atas dokumen tertulis. 4. Manajemen perkantoran, paling tidak seluruh manajemen perkantoran yang terspesialisasikan dan manajemen sejenis yang modern biasanya terlatih dan dipersiapkan. 5. Jika organisasi telah dikembangkan sepenuhnya, aktivitas official menginginkan kapasitas kerja penuh dari pejabatnya. 6. Manajemen organisasi mengikuti aturan yang berlaku umum, stabil, dan dapat dipelajari. 21
Ibid., hlm. 41.
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
Kajian pertama yang dilakukan dalam menganalisis pengangkatan jabatan struktural berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 sebagai pelaksana dari tugas negara dalam kapsitasnya sebagai Pegawai Negeri Sipil adalah dengan menggambarkan karakteristik manusia yang ditinjau dari faktor-faktor yang mempengaruhinya. Hal ini ditujukan untuk mengetahui sosok Pegawai Negeri Sipil yang didasarkan pada kebutuhan dan kepentingan manusia didalamnya. Manusia disebut sebagai sumber daya karena memiliki kecerdasan, melalui kecerdasan yang semakin meningkat mengakibatkan manusia dikatakan sebagai homo sapiens, homo politikus dan homo ekonomikus dan dalam kajian yang lebih mendalam dapat dikatakan pula bahwa manusia adalah zoon politicon. Berdasarkan perkembangannya dalam dunia modern, dalam prosesnya, setiap individu akan berinteraksi dalam masyarakat yang semakin meluas dan perkembangannya berikutnya adalah dimulainya konsep organisasi yang melingkupi bidang pemerintahan, sehingga manusia dapat dikatakan sebagai homo administratikus dan organization man. 22 Berdasarkan konteksnya sebagai homo administratikus, salah satu bentuknya adalah pegawai dalam suatu organisasi. Pegawai dalam prosesnya memiliki perilaku awal yang dibentuk oleh lingkungan maupun pendidikannya. Perilaku dasar tersebut dapat berbeda dengan perilaku yang diinginkan oleh organisasi, di mana pegawai harus tunduk pada aturan-aturan yang berlaku di dalam organisasi sehingga dapat diarahkan pada tujuannya. 22
Sondang P. Siagian, Filsafat Administrasi, (Jakarta: Gunung Agung, 1996), hlm. 9-10.
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
Langkah-langkah yang ditempuh dalam suatu organisasi bertujuan untuk mempertautkan antara kepentingan pegawai dan organisasi. Kepentingan pegawai pada umumnya terbatas pada kepentingan memperoleh gaji guna memenuhi kebutuhannya dan hal ini pun masih dipengaruhi oleh kepentingan lainnya berupa : keserasian arahan kerja dari pimpinan organisasi, kesempatan mengembangkan diri sampai dengan adanya jaminan di hari tua (pensiun). Pada Pegawai Negeri Sipil diberikan jaminan kesejahteraan yang memadai dalam arti memperhatikan pengembangan kariernya; gaji yang berkelayakan; sarana perumahan, transportasi, dan sebagainya. Pada umumnya perbedaan kepentingan dalam lingkungan Pegawai Negeri Sipil lebih berorientasi pada kebutuhan manusia yang dijelaskan pada teori kebutuhan manusia.23 Manusia mempunyai berbagai kebutuhan yang merupakan pemacu bagi dirinya untuk memenuhi kebutuhannya, seperti bekerja untuk memperoleh uang bagi pemenuhan kebutuhan. Pada masyarakat yang hidupnya masih terbelakang, kebutuhan dipenuhi dari alam sekitarnya, sedangkan pada masyarakat yang maju telah terdapat diferensiasi tugas, pemenuhan dilakukan dengan membuat barang atau jasa. Maslow dalam teorinya tentang hierarki kebutuhan berpendapat bahwa ada lima tingkat kebutuhan manusia yang tersusun secara hierarki, kebutuhan tersebut meliputi24 : a) Kebutuhan fisiologis, seperti sandang, pangan, dan papan; b) Keamanan, seperti kepastian kedudukan, jaminan pekerjaan dan lain-lain; c) Perasaan dicintai dan diterima oleh lingkungannya; Burhanudin A. Tayibnapis, Administrasi Kepegawaian; Suatu Tinjauan Analitik, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 1995), hlm. 342-243. 24 Ibid., hlm. 345-346 23
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
d) Perasaan dihargai, seperti status sosial, promosi, dan lain-lain; e) Kejayaan diri yang tercermin dalam kepercayaan diri untuk mewujudkan citacita demi kepentingan pribadi.
Teori hierarki kebutuhan ini mengatakan bahwa efek yang timbul dalam suatu organisasi pemerintahan dikembangkan reward and punishment systems. Pada pegawai yang berprestasi diberikan penghargaan, sebaliknya pada pegawai yang indisipliner dikenakan sanksi. 25 Kemudian Herzberg dalam teori tentang motivasi berpendapat bahwa setiap manusia memerlukan dua kebutuhan dasar, yaitu 26 : a) Kebutuhan menghindari dari rasa sakit dan kebutuhan mempertahankan kelangsungan hidup; b) Kebutuhan untuk tumbuh, berkembang, dan belajar. Herzberg mengadakan analisis yang menghasilkan dua buah hubungan sinergis, yang pertama adalah mengenai tingkat kepuasan pegawai dari tingkat tidak puas hingga hilangnya ketidakpuasan yang disebabkan oleh pengaruh lingkungan. Type ini disebut hygienic factor yang terdiri atas gaji, hubungan antara pegawai, kebijaksanaan dalam bidang administrasi, prosedur, dan lain-lain. Hubungan sinergis berikutnya adalah tipe motivator yang dimulai dari tingkat ketidakpuasan kerja hingga tingkat adanya kepuasan kerja, misalnya faktor pengetahuan, keberhasilan untuk mencapai tujuan, kesempatan untuk tumbuh
25 26
Ibid. Sri Hartini, dkk, Hukum Kepegawaian di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm.
169. Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
berkembang serta dapatnya kemajuan diri. Keseluruhan faktor berkaitan dengan erat dengan pekerjaan dan tidak ada kaitannya dengan lingkungan fisik, administrasi dan faktor sosial. Teori Herzberg dapat dianalogikan dengan teori Maslow. Hygienic factor dari Herzberg merupakan kebutuhan fisiologis manusia, sedangkan tipe motivator merupakan tingkat kebutuhan sekunder seperti kebutuhan pengakuan diri (self actualization). Teori Maslow merupakan proses kebutuhan manusia secara hierarki, sebaliknya Herzberg terfokus pada hygienic factor. Secara umum, tinjauan dari segi sosial ekonomis mengenai pegawai merupakan suatu kesatuan yang kompleks. Pegawai atau tenaga kerja disebut sebagai human resources adalah manusia dalam usia kerja (working ages) yang mampu menyelenggarakan pekerjaan fisik ataupun mental. Hubungan manusia hendaknya dilihat dari segi objek dan tujuan, yaitu manusia insani yang menjadi tujuan daripada segala usaha, usaha mana yang dilakukan pula oleh manusia sebagai subjek atau pelaksananya. Manusia merupakan faktor atau sumber produksi yang berkewajiban memberikan hasil karyanya. Berdasarkan pembahasan fungsi pegawai dalam konteks kepegawaian, hal ini berkenaan dengan Personnel Administration. Personnel diartikan sebagai golongan masyarakat yang penghidupannya dilakukan dengan bekerja dalam kesatuan
organisatorisnya
yang
salah
satunya
merupakan
kesatuan
kerja
pemerintahan. Administration yang dimaksudkan hal ini adalah tata pelaksanaan dengan keterangan bahwa didalamnya termaktub organization, management dan Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
realisasinya. Administration dalam konteks ini berbeda dengan arti Administratie. Berdasarkan kajiannya, tata administrasi kepegawaian dalam hubungannya dengan Personnel Administration berarti 27 : a) Tata yang menunjukkan organization dan management; b) Administrasi yang memberikan pengertian di samping pengertian administratie dalam bahasa Belanda juga dalam rangka pembinaan organization dan management, sehingga meliputi pengertian usaha, hukum dan prosedur; c) Pegawai yang mencakup pengertian Pegawai Negeri Sipil (pemerintah);
Pemahaman mengenai kepegawaian tersebut didasari bahwa administrasi dari suatu negara adalah hasil produk dari pengaruh-pengaruh politik dan sosial sepanjang sejarah negara yang bersangkutan, oleh karena itu suatu sistem administrasi tidak akan cukup dipahami dengan baik tanpa adanya pengetahuan administrasi dalam bentuk lampau. Perkembangan saat ini adalah negara akan mengembangkan administrasinya dengan sistem yang sama satu sama lain. 28 Kemudian pemberdayaan mengandung makna adanya perubahan pada diri seseorang dari ketidakmampuan menjadi mampu, dari ketidak memiliki kewenangan menjadi memiliki kewenangan, dari ketidakmampuan untuk bertanggung jawab menjadi memiliki tanggung jawab terhadap sesuatu yang dikerjakan. Pemberdayaan aparatur berarti memberikan kesempatan kepada seorang Pegawai Negeri Sipil untuk melakukan suatu aktivitas dengan kewenangan dan tanggung jawab yang dimilikinya.
27 28
Ibid., hlm. 170. Ibid., hlm. 171.
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
Ada beberapa pendapat tentang pengertian pemberdayaan. Empowerment berasal dari kata power yang artinya control, authority, dominion. Awalan emp artinya to put on to atau to cover with jelasnya more power. Jadi empowering artinya is passing on authority and responsibility yaitu lebih berdaya dari sebelumnya dalam arti wewenang dan tanggung jawabnya termasuk kemampuan individual yang dimilikinya. 29 Pemberdayaan adalah upaya memberikan otonomi, wewenang dan kepercayaan kepada setiap individu dalam suatu organisasi, serta mendorong mereka untuk kreatif agar dapat
merampungkan tugasnya sebaik mungkin. 30 Untuk
mewujudkan pemberdayaan yang dimaksud, maka diperlukan perubahan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kepegawaian yang meliputi pengadaan, pengembangan, pembinaan, penggajian, dan pengawasan. Pengadaan sumber daya manusia dimaksudkan untuk mengisi lowongan pekerjaan yang tersedia, sedangkan rekruitmen biasanya ditujukan untuk penarikan sumber daya manusia baru dari luar perusahaan atau organisasi. 31 Selanjutnya pengadaan diartikan sebagai suatu proses kegiatan untuk mengisi formasi yang lowong, mulai dari perencanaan (tentunya rencana pengadaan), pengumuman,
29
pelamaran,
penyaringan,
sampai
dengan
pengangkatan
dan
Soerjono, Pemberdayaan Sumber Daya, (Jakarta: Lembaga Administrasi Negara, 1999),
hlm. 4. Handoko dan Tjipotono, Kepemimpinan Transformasional dan Pemberdayaan, (Yogyakarta: Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Edisi XI Bulan November Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada 1996), hlm. 32. 31 Saydam, Manajemen Sumber Daya Manusia (Human Resources Management), (Jakarta: Djambatan, 1996), hlm. 82. 30
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
penempatan. 32 Pengadaan Pegawai Negeri Sipil yang selama ini dilakukan melalui seleksi cenderung tidak objektif dan bersifat formalitas terhadap ketentuan peraturan kepegawaian, ternyata dari banyaknya tuntutan dan gugatan para pencari kerja yang melihat bahwa pengadaan Pegawai Negeri Sipil selama ini dilakukan cenderung bermuatan politik, korupsi, kolusi dan nepotisme, dan hasilnya sudah dapat diketahui sebelum pengumuman hasil penyaringan ditetapkan. Akibat dari praktek pengadaan yang dilakukan selama ini tidak bersifat transparan dan objektif, maka komposisi Pegawai Negeri Sipil yang ada tidak sejalan dengan harapan pemberdayaan. Salah satu hal yang penting pula dalam kaitannya dengan pemberdayaan aparatur pemerintah, adalah perolehan gaji yang layak untuk memenuhi kehidupan Pegawai Negeri Sipil tersebut dan keluarganya. Gaji Pegawai Negeri Sipil erat kaitannya dengan usaha untuk meningkatkan kemampuan seorang Pegawai Negeri Sipil, dalam upaya pencapai tujuan organisasi. Akan
halnya
dengan
pengawasan
dalam
hubungannya
dengan
pemberdayaan diungkapkan oleh Sujamto, 33 bahwa pengawasan adalah untuk menentukan apa yang telah dicapai, mengadakan evaluasi atasnya, dan mengambil tindakan-tindakan korektif, bila diperlukan, untuk menjamin agar hasilnya sesuai dengan rencana. Apa yang terlihat dalam masyarakat ialah bahwa, aparatur yang ditugaskan untuk melakukan pengawasan masih sulit bertindak secara efektif, yang
Zainun, B, Manajemen Sumber Daya Manusia Indonesia. (Jakarta: Gunung Agung, 1996), hlm. 31. 33 Sujamto, Beberapa Pengertian di Bidang Pengawasan, (Jakarta: Ghalia, 1986), hlm. 17. 32
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
tentu saja dapat menimbulkan penyalahgunaan wewenang, yang menyebabkan semakin suburnya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme dalam pemerintahan. Berdasarkan kerangka teori di atas, telah diketahui bahwa dalam rangka mencapai cita-cita Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 melalui pembangunan nasional dibutuhkan suatu pendekatan strategi besar dalam Administrasi Negara, yakni pendekatan yang mencerminkan lompatan peningkatan kualitas dan kekenyalan aparatur negara secara terus menerus. Pendekatan yang merupakan bagian saling mengisi akan perlunya lompatan secara realistis dan rasional untuk mengejar ketertinggalan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan keharusan adanya organisasi pemerintah yang solid dan berkinerja tinggi. Oleh karena itu, pembangunan nasional Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang kompetitif agar dapat menggerakkan dan memacu pembangunan dalam aspek kehidupan bernegara. Aspek ini merupakan kekuatan utama untuk dapat mewujudkan tujuan kemasyarakatan, yaitu kesejahteraan dan keadilan dalam masyarakat. Sebagai penegasan reformasi birokrasi, dalam pendayagunaan aparatur negara, implementasi kebijakannya dan programnya harus terus-menerus selalu menunjang good governance sebagaimana sering disampaikan para pakar, kemudian juga menjadi rekomendasi MPR (TAP MPR II, VI, 2002) yang intinya34 : 1. Melakukan penataan kelembagaaan negara dan sumber daya manusia aparatur; 2. Melakukan pemberantasan segala bentuk pungutan liar, korupsi, kolusi dan nenpotisme, serta pemberantasan penyeludupan secara tegas dan tuntas;
Feisal Tamin, Reformasi Birokrasi (Analisis Pendayagunaan Aparatur Negara), (Yogyakarta: Blantika, 2004), hlm. 26. 34
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
3. Terciptanya penyelenggara dan pengelola dunia usaha yang baik dan bersih dari tingkat pusat sampai ke tingkat daerah; 4. Membangun kultur birokrasi yang transparan, akuntabel, bersih, dan bertanggung jawab serta menjadi pelayan masyarakat dan abdi negara; 5. Membenahi birokrasi pemerintahan baik yang langsung ataupun tidak langsung terkait dengan pelaksanaan program pemulihan ekonomi dalam rangka peningkatan pengawasan birokrasi. Dalam rangka menjamin terselenggaranya tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan secara berdaya guna dan berhasil guna dan dalam rangka usaha mewujudkan masyarakat adil dan makmur baik material dan spiritual, diperlukan adanya Pegawai Negeri sebagai unsur aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat yang penuh kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, bersih, berwibawa, berdaya guna, bermutu tinggi dan sadar akan tugas serta tanggung jawabnya. Dalam hubungan ini Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 telah meletakkan landasan yang kukuh untuk mewujudkan Pegawai Negeri seperti dimaksud di atas dengan cara mengatur kedudukan, kewajiban, hak dan pembinaan pegawai negeri sebagai salah satu kebijaksanaan dan langkah usaha penyempurnaan aparatur negara di bidang kepegawaian. 35
2. Konsepsi Dalam penelitian hukum kerangka konsepsional diperoleh dari peraturan perundang-undangan atau melalui usaha untuk membentuk pengertian-pengertian
Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia, (Yogyakarta: Toko Gunung Agung, 1997), hlm. 160. 35
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
hukum. Apabila kerangka konsepsional tersebut diambil dari peraturan perundangundangan tertentu maka biasanya kerangka konsepsional tersebut sekaligus merumuskan definisi-definisi tertentu, yang dapat dijadikan pedoman operasional di dalam proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan konstruksi data. 36 Kerangka konsepsional dalam merumuskan atau membentuk pengertianpengertian hukum, kegunaannya tidak hanya terbatas pada penyusunan kerangka konsepsional saja, akan tetapi bahkan pada usaha merumuskan definisi-definisi operasional di luar peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, konsep merupakan unsur pokok dari suatu penelitian. 37 Agar terdapat persamaan persepsi dalam membaca rencana penelitian ini, maka dipandang perlu untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan konsep-konsep dibawah ini : 1. Pegawai Negeri Sipil adalah setiap warga negara Republik Indonnesia yang telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 38 2. Jabatan Negeri adalah jabatan dalam bidang eksekutif yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan, termasuk didalamnya jabatan dalam
Solly Lubis, Filsafat Ilmu… Op.Cit., hlm. 80. Koentjaraningrat, Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), hlm. 24. 38 Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, LNRI Tahun 1999 Nomor 169, TLNRI Nomor 3890. 36 37
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
kesekretariatan lembaga tertinggi atau tinggi negara dan kepaniteraan pengadilan. 39 3. Jabatan Karir adalah jabatan struktural dan fungsional yang hanya diduduki Pegawai Negeri Sipil setelah memenuhi yang ditentukan. 40 4. Jabatan
Struktural
adalah
suatu
kedudukan
yang
menunjukkan
tugas,
tanggungjawab, wewenang, dan hak seorang Pegawai Negeri Sipil dalam rangka memimpin suatu satuan organisasi negara. 41 5. Eselon adalah tingkat jabatan struktural. 42 6. Pejabat yang berwenang adalah pejabat yang berwenang mengangkat, memindahkan dan/atau memberhentikan Pegawai Negeri Sipil dalam dan dari Jabatan Struktural sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 43 7. Pola karir adalah pola pembinaan Pegawai Negeri Sipil yang menggambarkan alur pengembangan karir yang menunjukkan keterangan dan keserasian antara jabatan, pangkat, pendidikan dan pelatihan jabatan, kompetensi serta masa jabatan 39
Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, LNRI Tahun 1999 Nomor 169, TLNRI Nomor 3890. 40 Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, LNRI Tahun 1999 Nomor 169, TLNRI Nomor 3890. 41 Pasal 1 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2002 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah nomor 100 Tahun 2000 Tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural, LNRI Tahun 2002 Nomor 33, TLNRI Nomor 4194. 42 Pasal 1 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2002 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah nomor 100 Tahun 2000 Tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural, LNRI Tahun 2002 Nomor 33, TLNRI Nomor 4194. 43 Pasal 1 ayat (8) Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2002 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah nomor 100 Tahun 2000 Tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural, LNRI Tahun 2002 Nomor 33, TLNRI Nomor 4194. Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
seseorang Pegawai Negeri Sipil sejak pengangkatan pertama dalam jabatan tertentu sampai dengan pensiun. 44
G. Metode Penelitian Untuk keberhasilan suatu penelitian yang baik dalam memberikan gambaran dan jawaban terhadap permasalahan yang diangkat, tujuan serta manfaat penelitian sangat ditentukan oleh metode yang digunakan dalam penelitian. Dapat dikutip pendapat Soeryono Soekanto mengenai penelitian hukum, sebagai berikut : Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian yang ditimbulkan di dalam gejala yang bersangkutan. 45
1. Spesifikasi Penelitian Sifat
penelitian
ini
adalah
deskriptif-analitis,
deskriptif
maksudnya
menggambarkan atau menelaah permasalahan hukum hal-hal yang berkaitan dengan pengangkatan jabatan struktural. Sedangkan analitis maksudnya data hasil penelitian diolah lebih dahulu, lalu dianalisis dan kemudian baru diuraikan secara cermat tentang pengangkatan jabatan struktural. Seperti dikemukakan oleh Soeryono Soekanto, “Penelitian deskriptif analitis adalah penelitian yang bertujuan untuk membuat gambaran
44
Pasal 1 ayat (9) Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2002 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah nomor 100 Tahun 2000 Tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural, LNRI Tahun 2002 Nomor 33, TLNRI Nomor 4194. 45 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian......, Op.Cit., hlm. 43. Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
atau lukisan secara sistematik, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan fenomena yang diselidiki”.46 Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan hukum normatif. Mengambil istilah Ronald Dworkin, penelitian semacam ini juga disebut dengan istilah penelitian doktrinal47 (doctrinal research), yaitu penelitian yang menganalisis hukum, baik yang tertulis di dalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law as it decided by the judge through judicial process).48 Dalam penelitian ini bahan kepustakaan dan studi dokumen dijadikan sebagai bahan utama sementara data lapangan yang diperoleh melalui wawancara dengan Kepala Divisi Administrasi, Kepala Bagian Umum serta Kepala Sub Bagian Kepegawaian pada Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara yang akan dijadikan sebagai data pendukung atau pelengkap.
2. Sumber Data Penelitian Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder, yang meliputi 49 : a. Bahan hukum primer, yaitu Peraturan Perundang-undangan di bidang Kepegawaian,
yakni
Undang-Undang
Nomor
43
Tahun
1999
tentang
Soerjono Soekanto, Metodologi Research, (Yogyakarta : Andi Offset, 1998), hlm. 3. Penelitian sejenis ini disebut juga penelitian hukum doktrinal yaitu penelitian hukum yang mempergunakan data sekunder. Ronny Hanitijo, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), hlm. 10. 48 Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Makalah, disampaikan pada Dialog Interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, tanggal 18 Februari 2003, hlm. 1. 49 Penelitian Normatif data sekunder sebagai sumber/bahan informasi dapat merupakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hlm. 14. 46 47
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
Kepegawaian dan Peraturan Perundang-undangan lain yang berkaitan dengan pengangkatan jabatan struktural Pegawai Negeri Sipil. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan pakar hukum serta bahan dokumen-dokumen lainnya yang berkaitan dengan pengangkatan jabatan struktural Pegawai Negeri Sipil. c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelesan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah/jurnal atau surat kabar sepanjang memuat informasi yang relevan dengan materi penelitian ini.50
3. Teknik Pengumpulan Data Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian ini, maka penulis menggunakan 2 (dua) metode pengumpulan data, yakni: a. Penelitian Kepustakaan (library research). Sehubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini maka pengumpulan data akan dilakukan melalui Penelitian Kepustakaan, dikumpulkan melalui penelitian literatur, yakni dengan mempelajari ketentuan Perundang-undangan tentang Pegawai Negeri Sipil dan Peraturan Perundang-undangan lain yang relevan dengan materi penelitian.
Soeryono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1985), hlm. 23. 50
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
b. Penelitian lapangan (field research) Penelitian lapangan yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah untuk mengumpulkan data pendukung mengenai pengangkatan jabatan struktural Pegawai Negeri Sipil. Dalam hal ini peneliti akan melakukan wawancara langsung dengan Kepala Divisi Administrasi, Kepala Bagian Umum serta Kepala Sub Bagian Kepegawaian pada Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara, yang akan dijadikan sebagai data pendukung atau pelengkap.
4.
Analisis Data Setelah data terkumpul dan dirasa telah cukup lengkap, maka tahap
selanjutnya adalah mengolah dan menganalisis data. Teknik analisis data yang dipakai adalah teknik analisis kualitatif, dimana setelah semua data terkumpul, maka dilakukan pengolahan, penganalisisan dan pengkonstruksian data secara menyeluruh. Setelah data diolah langkah selanjutnya dilakukan interpretasi data untuk menarik kesimpulan dari kenyataan yang ditemui di lapangan. Uraian dan kesimpulan dalam menginterpretasikan data hasil penelitian akan dihubungkan dengan teori-teori, pendapat-pendapat dan aturan-aturan formal yang telah dikemukakan pada bagian sebelumnya.
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
BAB II SISTEM PEMBINAAN PEGAWAI NEGERI SIPIL
A. Pegawai Negeri Sipil 1.
Pengertian Pegawai Negeri Sipil Sebelum membahas lebih jauh mengenai pengangkatan jabatan struktural
berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Kepegawaian, diperlukan pemahaman terlebih dahulu mengenai subjek dari hukum kepegawaian, yaitu Pegawai Negeri Sipil. Kedudukan dan peranan dari Pegawai Negeri Sipil dalam setiap organisasi pemerintahan sangatlah menentukan, sebab Pegawai Negeri Sipil merupakan tulang punggung pemerintahan dalam melaksanakan pembangunan nasional. Peranan dari Pegawai Negeri Sipil seperti diistilahkan dalam dunia kemiliteran yang berbunyi not the gun, the man behind the gun, yaitu bukan senjata yang penting melainkan manusia yang menggunakan senjata itu. Senjata yang modern tidak mempunyai arti apa-apa apabila manusia yang dipercaya menggunakan senjata itu tidak melaksanakan kewajibannya dengan benar. 51 Kranenburg memberikan pengertian dari Pegawai Negeri, yaitu pejabat yang ditunjuk, jadi pengertian tersebut tidak termasuk terhadap mereka yang memangku jabatan mewakili seperti anggota parlemen, presiden dan sebagainya. Logemann dengan menggunakan kriteria yang bersifat materiil mencermati hubungan antara
51
Muchsan, Hukum Kepegawaian, (Jakarta: Bina Aksara, 1982), hlm. 12.
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
negara dengan pegawai negeri dengan memberikan pengertian pegawai negeri sebagai tiap pejabat yang mempunyai hubungan dinas dengan negara. 52 Pegawai Negeri Sipil, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Pegawai” berarti “orang yang bekerja pada pemerintah (perusahaan dan sebagainya)” sedangkan “Negeri” berarti negara atau pemerintah, jadi Pegawai Negeri Sipil adalah orang yang bekerja pada pemerintah atau negara.53 Pengertian Pegawai Negeri menurut Mahfud M.D dalam buku Hukum Kepegawaian, terbagi dalam dua bagian yaitu pengertian stipulatif dan pengertian ekstensif (perluasan pengertian). 1. Pengertian Stipulatif Pengertian yang bersifat stipulatif (penetapan tentang makna yang diberikan oleh Undang-Undang) tentang Pegawai Negeri terdapat dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 43 tahun 1999. Pengertian yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 berkaitan dengan hubungan pegawai negeri dengan hukum (administrasi), sedangkan dalam Pasal 3 ayat (1) berkaitan dengan hubungan pegawai negeri dengan pemerintah, atau mengenal kedudukan pegawai negeri. Pengertian stipulatif tersebut selengkapnya berbunyi sebagai berikut : Pasal 1 angka 1 menyebutkan Pegawai Negeri adalah setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ibid., hlm. 13. W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), hlm. 478 ; 514. 52 53
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
Pasal 3 ayat (1) menyebutkan Pegawai Negeri berkedudukan sebagai aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan dan pembangunan. Pengertian di atas berlaku dalam pelaksanaan semua peraturan-peraturan kepegawaian dan pada umumnya dalam pelaksanaan semua peraturan perundangundangan, kecuali diberikan definisi lain. 54 2. Pengertian Ekstensif Selain dari pengertian stipulatif ada beberapa golongan yang sebenarnya bukan pegawai negeri menurut Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999, tetapi dalam hal tertentu dianggap sebagi dan diperlakukan sama dengan pegawai negeri, artinya di samping pengertian stipulatif ada pengertian yang hanya berlaku pada hal-hal tertentu. Pengertian tersebut terdapat pada : a. Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 415-437 KUHP mengenai kejahatan jabatan. Menurut pasal-pasal tersebut orang yang melakukan kejahatan jabatan adalah yang melakukan kejahatan yang berkenaan dengan tugasnya sebagai orang yang diserahi suatu jabatan publik, baik tetap maupun sementara. Jadi, orang yang diserahi suatu jabatan publik itu belum tentu pegawai negeri menurut pengertian stipulatif apabila melakukan kejahatan dalam kualitasnya sebagai pemegang jabatan publik, ia dianggap dan diperlakukan sama dengan pegawai negeri, khusus untuk kejahatan yang dilakukannya. Sastra Djatmika dan Marsono, Hukum Kepegawaian di Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1995), hlm. 95. 54
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
b. Ketentuan Pasal 92 KUHP yang berkaitan dengan status anggota dewan rakyat, anggota dewan daerah dan kepala desa. Menurut Pasal 92 KUHP, di mana diterangkan bahwa yang termasuk dalam arti pegawai negeri adalah orang-orang yang dipilih dalam pemilihan berdasarkan peraturan-peraturan umum dan juga mereka yang bukan dipilih, tetapi diangkat menjadi anggota dewan rakyat dan dewan daerah serta kepala-kepala desa dan sebagainya. Pengertian pegawai negeri menurut KUHP sangatlah luas, tetapi pengertian tersebut hanya berlaku dalam hal ada orang-orang yang melakukan kejahatan atau pelanggaran jabatan dan Tindak Pidana lain yang disebut dalam KUHP, jadi pengertian ini tidak termasuk dalam hukum kepegawaian. 55 c. Ketentuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. d. Ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1974 tentang Pembatasan kegaiatan pegawai negeri dalam usaha swasta. Pengertian stipulatif dan ekstensif merupakan penjabaran atas maksud dari keberadaan Pegawai Negeri Sipil dalam hukum Kepegawaian. Pengertian tersebut terbagi dalam bentuk dan format yang berbeda, namun pada akhirnya dapat menjelaskan maksud pemerintah dalam memposisikan penyelenggara negara dalam sistem hukum yang ada, karena pada dasarnya jabatan negeri akan selalu berkaitan dengan penyelenggara negara yaitu Pegawai Negeri Sipil.
55
Ibid., hlm. 10.
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
Berdasarkan pengertian stipulatif di atas terdapat unsur-unsur dari pegawai negeri, yaitu sebagai berikut 56 : 1. Warga negara Indonesia yang telah memenuhi syarat-syarat menurut peraturan perundang-undangan. 2. Diangkat oleh pejabat yang berwenang. 3. Diserahi tugas dalam jabatan negeri. 4. Digaji menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari beberapa pengertian Pegawai Negeri Sipil di atas berdasarkan hasil analisis dari penulis diketahui bahwa tidak ada rumusan yang pasti tentang pengertian Pegawai Negeri Sipil, namun dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kepegawaian terdapat penjelasan mengenai Pegawai Negeri Sipil, diantaranya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1952 Lembaran Negara Nomor 13 Tahun 1952, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1961, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974, dan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999.
2.
Jenis Pegawai Negeri Sipil Mengenai jenis pegawai negeri didasarkan pada Pasal 2 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 43 Tahun 1999 pegawai negeri dibagi menjadi : 1. Pegawai Negeri Sipil, 2. Anggota Tentara Nasional Indonesia, dan 3. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
56
Sri Hartini, dkk, Hukum Kepegawaian.........., Op.Cit., hlm. 35.
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tidak menyebutkan apa yang dimaksud dengan pengertian masing-masing bagiannya, namun di sini dapat diambil suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan Pegawai Negeri Sipil adalah pegawai negeri bukan anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Berdasarkan penjabaran di atas, Pegawai Negeri Sipil merupakan bagian dari pegawai negeri yang merupakan aparatur negara. Menurut Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Pasal 2 ayat (2) Pegawai Negeri Sipil dibagi menjadi : 1. Pegawai Negeri Sipil Pusat Yang dimaksud dengan Pegawai Negeri Sipil Pusat adalah Pegawai Negeri Sipil yang gajinya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan bekerja pada Departemen, Lembaga Pemerintah Nondepartemen, Kesekretariatan Lembaga Negara, Instansi Vertikal di Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota, Kepaniteraan Pengadilan, atau dipekerjakan untuk menyelenggarakan tugas negara lainnya. 2. Pegawai Negeri Sipil Daerah Yang dimaksud dengan Pegawai Negeri Sipil Daerah adalah Pegawai Negeri Sipil Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota yang gajinya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan bekerja pada Pemerintah Daerah, atau dipekerjakan di luar instansi induknya. Pegawai Negeri Sipil Pusat dan Pegawai Negeri Sipil Daerah yang diperbantukan di luar instansi induk, gajinya dibebankan pada instansi yang Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
menerima perbantuan. 57 Di samping pegawai negeri sebagaimana yang disebutkan pada Pasal 2 ayat (1), pejabat yang berwenang dapat mengangkat pegawai tidak tetap. Yang dimaksud dengan pegawai tidak tetap adalah pegawai yang diangkat untuk jangka waktu tertentu guna melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan yang bersifat teknis profesional dan administrasi sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan organisasi. Pegawai tidak tetap tidak berkedudukan sebagai Pegawai Negeri. 58 Penamaan pegawai tidak tetap mempunyai arti sebagai pegawai di luar Pegawai Negeri Sipil dan pegawai lainnya (tenaga kerja). Penamaan pegawai tidak tetap merupakan salah satu bentuk antisipasi pemerintah terhadap banyaknya kebutuhan pegawai namun dibatasi oleh dana APBD/APBN dalam penggajiannya. 59 Pada dasarnya, kebijakan pengangkatan pegawai tidak tetap diserahkan pada kebutuhan dari masing-masing instansi, namun sejak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil, tanggal 11 November 2005, semua pejabat pembina kepegawaian dan pejabat lain di lingkungan instansi, dilarang mengangkat tenaga honorer atau yang sejenis, kecuali ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 dilaksanakan sampai dengan tahun anggaran 2009, namun sampai dengan tahun 2007, dalam hal proses 57
Penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, LNRI Tahun 1999 Nomor 169, TLNRI Nomor 3890. 58 Penjelasan Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, LNRI Tahun 1999 Nomor 169, TLNRI Nomor 3890. 59 Sri Hartini dan Setiajeng Kadarsih, Diktat Hukum Kepegawaian, (Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, 2004), hlm. 26. Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
pengangkatannya terdapat berbagai permasalahan yang ternyata tidak sesuai dengan keinginan dari Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005. Pasal 3 ayat (1) berbunyi : Pengangkatan tenaga honorer menjadi Pegawai Negeri Sipil diprioritaskan bagi yang melaksanakan tugas sebagai 60 : 2. Tenaga guru; 3. Tenaga kesehatan pada unit pelayanan kesehatan; 4. Tenaga penyuluh di bidang pertanian, perikanan, peternakan; dan 5. Tenaga teknis lainnya yang sangat dibutuhkan pemerintah. Dalam implementasinya, pemerintah hanya melihat pada syarat-syarat formil, yaitu masa kerja dan usia tanpa mempertimbangkan skala prioritas yang diharapkan oleh pembuat peraturan. Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil ternyata didominasi oleh tenaga administratif yang notabene di luar dari skala prioritas yang termaktub dalam Pasal 3 ayat (1). 61 Pegawai Negeri Sipil pada Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia adalah merupakan Pegawai Negeri Sipil Pusat hal ini karena Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia adalah salah satu instansi vertikal yang keberadaannya di daerah, dan berada di bawah naungan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Oleh karena itu penggajian
60
Yang dimaksud dengan tenaga teknis lainnya menurut penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 adalah tenaga teknis yang bersifat operasional dalam rangka pelaksanaan tugas pokok instansi dan bukan tenaga teknis administrasi. 61 Hasil wawancara dengan Bapak Amir (Kepala Divisi Administrasi pada Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara), pada tanggal 17 Juli 2009. Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
Pegawai Negeri Sipil pada Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dibebankan kepada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
3.
Kedudukan Pegawai Negeri Sipil Kedudukan Pegawai Negeri Sipil didasarkan pada Undang-Undang Nomor
43 Tahun 1999 Pasal 3 ayat (1), yaitu Pegawai Negeri sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan pembangunan. Rumusan kedudukan pegawai negeri didasarkan pada pokok-pokok pikiran bahwa pemerintah tidak hanya menjalankan fungsi umum pemerintahan, tetapi juga harus mampu melaksanakan fungsi pembangunan atau dengan kata lain pemerintah bukan hanya menyelenggarakan tertib pemerintahan, tetapi juga harus mampu menggerakkan dan memperlancar pembangunan untuk kepentingan rakyat banyak. 62 Pegawai negeri mempunyai peranan amat penting sebab pegawai negeri merupakan unsur aparatur negara untuk menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan dalam rangka mencapai tujuan negara. Kelancaran pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan nasional terutama sekali tergantung pada kesempurnaan aparatur negara yang pada pokoknya tergantung juga dari kesempurnaan pegawai negeri (sebagian dari aparatur negara).
C.S.T. Kansil, Pokok-Pokok Hukum Kepegawaian Republik Indonesia, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 1979), hlm. 38. 62
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
Dalam konteks hukum publik, Pegawai Negeri Sipil bertugas membantu Presiden sebagai Kepala Pemerintahan dalam menyelenggarakan pemerintahan, tugas melaksanakan peraturan perundang-undangan, dalam arti kata wajib mengusahakan agar setiap peraturan perundang-undangan ditaati oleh masyarakat. Di dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan pada umumnya kepada pegawai negeri diberikan tugas kedinasan untuk dilaksanakan sebaik-baiknya. Sebagai abdi negara seorang pegawai negeri juga wajib setia dan taat kepada Pancasila sebagai falsafah dan ideologi negara, kepada Undang-Undang Dasar 1945, kepada negara, dan kepada pemerintah. 63 Pegawai Negeri Sipil sebagai unsur aparatur negara, abdi negara, dan abdi masyarakat dituntut untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, karenanya ia harus mempunyai kesetiaan, ketaatan penuh terhadap Pancasila, UUD 1945, Negara dan Pemerintah sehingga dapat memusatkan segala perhatian dan pikiran serta mengerahkan segala daya upaya dan tenaganya untuk menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan secara berdaya guna dan berhasil guna. Demikian halnya dengan Pegawai Negeri Sipil di Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagai unsur aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat dituntut untuk dapat melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya serta memiliki ketaatan dan kesetiaan terhadap Pancasila, UUD 1945, Negara dan Pemerintah. 63
Ibid., hlm. 18
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
4.
Kewajiban Pegawai Negeri Sipil Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 ditetapkan bahwa
kewajiban Pegawai Negeri sebagai berikut : a. Wajib setia, dan taat kepada Pancasila, UUD 1945, Negara dan Pemerintah, serta wajib menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 4). b. Wajib menaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepadanya dengan penuh pengabdian, kesadaran dan tanggung jawab (Pasal 5). c. Wajib menyimpan rahasia jabatan dan hanya dapat mengemukakan rahasia jabatan kepada dan atas perintah pejabat yang berwajib atas kuasa undang-undang (Pasal 6). Kewajiban Pegawai Negeri Sipil adalah segala sesuatu yang wajib dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Menurut Sastra Djatmika, kewajiban Pegawai Negeri dibagi dalam tiga golongan, yaitu 64 : a. Kewajiban-kewajiban yang ada hubungan dengan suatu jabatan; b. Kewajiban-kewajiban yang tidak langsung berhubungan dengan suatu tugas dalam jabatan, melainkan dengan kedudukannya sebagai pegawai negeri pada umumnya; c. Kewajiban-kewajiban lain. Untuk menjunjung tinggi kedudukan Pegawai Negeri Sipil, diperlukan elemen-elemen penunjang kewajiban meliputi kesetiaan, ketaatan, pengabdian, kesadaran, tanggung jawab, jujur, tertib, bersemangat dengan memegang rahasia negara dan melaksanakan tugas kedinasan. a. Kesetiaan berarti tekad dan sikap batin serta kesanggupan untuk mewujudkan dan mengamalkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Pada umumnya kesetiaan timbul dari pengetahuan 64
Sastra Djatmika dan Marsono, Hukum Kepegawaian ............Op.Cit., hlm. 103.
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
dan pemahaman dan keyakinan yang mendalam terhadap apa yang disetiai, oleh karena itu setiap Pegawai Negeri Sipil wajib mempelajari, memahami, menghayati dan mengamalkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pancasila yang disetiai adalah sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 pada dasarnya dirumuskan secara singkat, oleh karena itu setiap Pegawai Negeri Sipil berkewajiban untuk menjabarkan dan melaksanakan secara taat asas, kreatif, dan konstruktif terhadap nilai-nilai yang terkandung, baik dalam tugas maupun dalam sikap, perilaku dan perbuatannya sehari-hari. Pelanggaran terhadap disiplin, pelanggaran hukum dalam dinas maupun di luar dinas secara langsung maupun tidak langsung merupakan pelanggaran terhadap nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. b. Ketaatan berarti kesanggupan seseorang untuk menaati segala peraturan perundang-undangan dan peraturan (kedinasan) yang berlaku serta kesanggupan untuk tidak melanggar larangan yang ditentukan. c. Pengabdian (terhadap Negara dan masyarakat) merupakan kedudukan dan peranan Pegawai Negeri Sipil Republik Indonesia dalam hubungan formal baik dengan Negara secara keseluruhan maupun dengan masyarakat secara khusus. d. Kesadaran berarti merasa, tahu dan ingat (pada keadaan yang sebenarnya) atau keadaan ingat (tahu) akan dirinya. e. Jujur berarti lurus hati; tidak curang (lurus adalah tegak benar), terus terang (benar adanya). Kejujuran adalah ketulusan hati seseorang dalam melaksanakan Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
tugas dan kemampuan untuk tidak menyalahgunakan wewenang yang diberikan kepadanya atau keadaan wajib menanggung segala sesuatunya apabila terdapat sesuatu hal, boleh dituntut dan dipersalahkan. f. Menjunjung tinggi berarti memuliakan atau menghargai dan menaati martabat bangsa. Menjunjung tinggi kehormatan bangsa dan negara mengandung arti bahwa norma-norma yang hidup dalam Bangsa dan Negara Indonesia harus dihormati. Setiap Pegawai Negeri Sipil harus menghindari tindakan dan tingkah laku yang dapat menurunkan atau mencemarkan kehormatan Bangsa dan Negara. g. Cermat berarti (dengan saksama); (dengan) teliti; dengan sepenuh minat (perhatian). h. Tertib berarti menaati peraturan dengan baik, aturan yang bertalian dengan baik. i. Semangat berarti jiwa kehidupan yang mendorong seseorang untuk bekerja keras dengan tekad yang bulat untuk melaksanakan tugas dalam rangka pencapaian tujuan. Bersemangat berarti ada semangatnya, mengandung semangat. Biasanya semangat timbul karena keyakinan atas kebenaran dan kegunaan tujuan yang akan dicapai. j. Rahasia berarti sesuatu yang tersembunyi (hanya diketahui oleh seorang atau beberapa orang saja; ataupun sengaja disembunyikan supaya orang lain tidak mengetahuinya). Rahasia dapat berupa rencana, kegiatan atau tindakan yang akan, sedang atau telah dilaksanakan yang dapat menimbulkan kerugian atau bahaya, apabila diberitahukan kepada atau diketahui oleh orang yang tidak berhak.
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
k. Tugas Kedinasan berarti sesuatu yang wajib dikerjakan atau yang ditentukan untuk dilakukan terhadap bagian pekerjaan umum yang mengurus sesuatu pekerjaan tertentu. Dari uraian kewajiban-kewajiban Pegawai Negeri Sipil di atas dan berdasarkan hasil analisis penulis diketahui bahwa kewajiban Pegawai Negeri Sipil yang bertugas pada Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia telah dilaksanakan dengan baik apalagi Pegawai Negeri Sipil pada Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia adalah unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan dan pembangunan. Terhadap Pegawai Negeri Sipil yang melanggar kewajibankewajibannya akan dilakukan penindakan berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku yaitu berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
5.
Hak Pegawai Negeri Sipil Dasar dari adanya hak adalah manusia mempunyai berbagai kebutuhan yang
merupakan pemacu bagi dirinya untuk memenuhi kebutuhannya, seperti bekerja untuk memperoleh uang bagi pemenuhan kebutuhan. Manusia dalam kajian ekonomi disebut sebagai sumber daya karena memiliki kecerdasan. Melalui kecerdasan yang semakin meningkat mengakibatkan manusia dikatakan sebagai homo sapiens, homo politikus dan homo ekonomikus dan dalam kajian yang lebih mendalam dapat
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
dikatakan pula bahwa manusia adalah zoon politicon. Berdasarkan perkembangan dunia modern, dalam prosesnya setiap individu akan berinteraksi dalam masyarakat yang semakin meluas dan perkembangan berikutnya adalah dimulainya konsep organisasi yang melingkupi bidang pemerintahan, sehingga manusia dapat dikatakan sebagai homo administratikus dan organization man. 65 Langkah-langkah yang ditempuh dalam suatu organisasi adalah bertujuan untuk mempertautkan antara kepentingan pegawai dan organisasi. Kepentingan pegawai pada umumnya terbatas pada kepentingan memperoleh gaji guna memenuhi kebutuhannya dan hal ini pun masih dipengaruhi oleh kepentingan lainnya berupa keserasian arahan kerja dari pimpinan organisasi, kesempatan mengembangkan diri sampai dengan adanya jaminan di hari tua (pensiun). Berdasarkan hal tersebut, Pemerintah memberikan hak kepada Pegawai Negeri Sipil yang termaktub dalam Pasal 7-10 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang PokokPokok Kepegawaian 1999, seperti yang tecantum pada tabel di bawah ini :
65
Sondang P. Siagian, Filsafat............, Op.Cit., hlm. 9-10.
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
Tabel. 1 Hak Pegawai Negeri Sipil Menurut Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Hak Memperoleh Gaji Pasal 7 (1) Setiap Pegawai Negeri berhak memperoleh gaji yang adil dan layak sesuai dengan beban pekerjaan dan tanggung jawabnya. (2) Gaji yang diterima oleh Pegawai Negeri harus mampu memacu produktivitas dan menjamin kesejahteraannya. (3) Gaji Pegawai Negeri yang adil dan layak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Hak Atas Cuti Pasal 8 Setiap Pegawai Negeri berhak atas cuti. Hak Atas Perawatan, Pasal 9 Tunjangan dan Uang Duka (1) Setiap Pegawai Negeri yang ditimpa sesuatu kecelakaan dalam dan karena menjalankan tugas kewajibannya berhak memperoleh perawatan. (2) Setiap Pegawai Negeri yang menderita cacat jasmani atau cacat rohani dalam dan karena menjalankan tugas kewajibannya yang mengakibatkannya tidak dapat bekerja lagi dalam jabatan apapun juga, berhak memperoleh tunjangan. (3) Setiap Pegawai Negeri yang tewas, keluarganya berhak memperoleh uang duka. Hak Atas Pensiun Pasal 10 Setiap Pegawai Negeri yang telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan berhak atas pensiun. Sumber : Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Berdasarkan tabel tersebut, dapat diketahui bahwa analisis mengenai aspek kebutuhan pegawai dihubungkan dengan teori-teori yang ada dapat menjelaskan mengenai hubungan antara hak dengan kewajiban dari pegawai. Hubungan ini meliputi kecenderungan pegawai untuk melaksanakan pekerjaannya berdasarkan kebutuhannya secara umum. Faktor motivasi yang timbul untuk memberikan prestasi,
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
dipengaruhi oleh hukum tertulis yang membatasi setiap aktivitas dan timbulnya output berupa kontraprestasi yang sepadan terhadap pekerjaan yang dikerjakannya. Dalam hal ini, peraturan kepegawaian merefleksikan pembatasan terhadap aktivitas, baik secara moril maupun dari sudut pandang hukum dan peraturan ini menempatkan substansi yang ideal dalam bentuk kewajiban yang menjadi penjabaran dari maksud dan tujuan dalam organisasi guna pencapaian misinya. Dalam skala yang lebih luas merupakan refleksi dari tujuan negara menuju kesejahteraan masyarakat di dalam konteksnya melalui administrasi kepegawaian. Setiap Pegawai Negeri Sipil yang bertugas pada Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia telah dipenuhi haknya oleh Pemerintah dengan memberikan Hak Memperoleh Gaji, Hak Atas Cuti, Hak Atas Perawatan dan Uang Duka serta Hak Atas Pensiun. Oleh karena itu, Pegawai Negeri Sipil yang bertugas pada Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dituntut untuk melaksanakan kewajibannya dengan sebaik-baiknya.
B. Sistem Pembinaan Pegawai Negeri Sipil 1.
Konsep Pembinaan Pembinaan merupakan suatu tindakan, proses, hasil, atau pernyataan
menjadi lebih baik. 66 Pembinaan menunjukkan adanya kemajuan, peningkatan, perubahan, evolusi atas berbagai kemungkinan, berkembang, atau peningkatan atas
Miftah Thoha, Manajemen Kepegawaian Sipil di Indonesia, (Jakarta: Kencana Press, 1999), hlm. 7. 66
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
sesuatu. 67 Pengertian di atas mengandung dua hal, yaitu pertama, bahwa pembinaan itu sendiri bisa berupa tindakan, proses, atau pernyataan dari suatu tujuan; dan kedua, pembinaan bisa menunjukkan kepada perbaikan atas sesuatu. Pengertian lain dikemukakan oleh Rahardjo dkk, bahwa pembinaan dalam manajemen sumber daya manusia adalah upaya untuk menaikkan potensi dan kompetensi melalui pendidikan formal maupun informal. Pembinaan menurut pengertian di atas, bertujuan untuk menggali potensi dan kompetensi pegawai. Potensi dan kompetensi pegawai perlu terus dibina agar dapat meningkatkan kualitas kerja. 68 Kemudian pembinaan adalah proses mengarahkan yang dilakukan oleh seorang manajer untuk melatih dan memberikan orientasi kepada seorang karyawan tentang realitas di tempat kerja dan membantunya mengatasi hambatan dalam mencapai prestasi optimal. 69 Erat kaitannya dengan kata membina, membimbing (counseling), yaitu proses pemberian dukungan oleh manajer untuk membantu seorang karyawan mengatasi masalah pribadi di tempat kerja atau masalah yang muncul akibat perubahan organisasi yang berdampak pada prestasi kerja. 70 Sedangkan pembinaan pegawai dapat diartikan sebagai suatu kebijaksanaan agar perusahaan (organisasi) memiliki pegawai yang andal dan siap menghadapi
Ibid. Rahardjo, Tri Budi, W., dkk., Manajemen Untuk Pekerja Sosial, Jakarta, Pusat Informasi dan Penerbitan, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Ilmu Kedokteran Universitas Indonesia, 2000, hlm. 21. 69 Minor, Marianne, Coaching and Counseling, (terjemahan), (Jakarta: PPM, 2003), hlm. 3. 70 Ibid. 67 68
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
tantangan. 71 Kegiatan yang dilakukan antara lain pembentukan sikap mental yang loyal, peningkatan keterampilan dan kecakapan melaksanakan tugas organisasi. Oleh karena itu, rencana pembinaan harus berkait dengan sistem penghargaan agar pegawai bersemangat untuk mengabdi dan setia kepada organisasi. Suatu pembinaan diarahkan agar : (1) pegawai dapat melaksanakan tugastugas secara berdaya guna dan berhasil guna; (2) mutu keterampilan pegawai meningkat sehingga dapat menjamin semakin berpartisipasi dalam pelaksanaan tugastugas; (3) diperolehnya para pegawai yang setia dan taat kepada kepentingan perusahaan (organisasi), negara dan pemerintah; dan (4) terciptanya iklim kerja yang harmonis, serasi dan mampu menghasilkan produk yang bermutu dan optimal. 72 Pembinaan diberikan batasan yang sempit, yaitu upaya untuk meningkatkan kecakapan dan keterampilan karyawan melalui pendidikan dan pelatihan.73 Sedangkan istilah pembinaan dalam administrasi kepegawaian diberikan pengertian yang luas, meliputi berbagai unsur kegiatan seperti pengembangan karier, perpindahan, pendidikan dan latihan, sampai dengan kesejahteraan di luar gaji. Dalam konteks pembahasan administrasi kepegawaian, pembinaan pegawai diartikan sebagai proses pembentukan sosok pegawai yang diinginkan organisasi. Kegiatannya meliputi pembentukan sikap dan mental yang loyal dan setia pada pemerintah dan negara yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta
71
Saydam Gouzali, Kamus Istilah Kepegawaian, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997),
72
Ibid. Burhannudin A. Tayibnapis, Administrasi Kepegawaian...........Op.Cit., hlm. 136.
hlm. 205. 73
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
peningkatan keterampilan dan kecapakan melaksanakan tugas organisasi. Diakui bahwa langkah tersulit dalam pembinaan adalah mengubah sikap mental dan meningkatkan kemampuan mereka yang berkedudukan sebagai pegawai negeri.74 Sebagai landasan normatif kepegawaian, Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian tidak secara tegas membedakan pengertian manajemen dan pembinaan Pegawai Negeri Sipil. Manajemen Pegawai Negeri Sipil adalah keseluruhan upaya untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas dan derajat profesionalisme penyelenggaraan tugas, fungsi, dan kewajiban kepegawaian, yang meliputi perencanaan, pengadaan, pengembangan kualitas, penempatan, promosi, penggajian, kesejahteraan, dan pemberhentian (Pasal 1 ayat 8). Manajemen Pegawai Negeri Sipil diarahkan untuk menjamin penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan secara berdayaguna dan berhasil guna (Pasal 12 ayat 1). Kendatipun dalam undang-undang tersebut tidak secara tegas dijelaskan pengertian pembinan Pegawai Negeri Sipil, namun secara tersirat dapat ditafsirkan bahwa pembinaan Pegawai Negeri Sipil merupakan bagian dari manajemen kepegawaian. Dalam perspektif yang lebih luas, dapat dikatakan bahwa pembinaan pada dasarnya merupakan bagian dari manajemen sumber daya manusia, yang intinya adalah bagaimana memberikan treatment terhadap sumber daya manusia yang ada agar sesuai dan diarahkan untuk pencapaian tujuan organisasi.
74
Ibid., hlm. 405.
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
2.
Prinsip Dasar dan Jenis Pembinaan Pegawai Kepegawaian negeri harus dibedakan dengan kepegawaian non negeri
(private employees) dan juga harus dibedakan dengan militer. 75 Meminjam pendapat di atas, maka pegawai negeri seharusnya bukan terdiri atas Pegawai Negeri Sipil, Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (POLRI). 76 Pegawai negeri adalah pegawai pemerintah (government employeement) sebagaimana disebut di Amerika, dan dapat pula disebut the civil service sebagaimana dikenal di Inggris. Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah pegawai pemerintah di bidang militer, yang mempunyai karakteristik tersendiri. Walaupun, keduanya memang mengabdi untuk kepentingan pemerintah dan digaji oleh pemerintah, tetapi keduanya harus dibedakan baik sifat, hak dan kewajiban. Pegawai pemerintah bukanlah aparatur negara sebagaimana dipahami selama ini, melainkan aparatur pemerintah. Oleh karena itu, implikasi kebijakan dan prinsip dasar pembinaan juga berbeda antara keduanya. Pembinaan pegawai pemerintah bisa dilakukan dengan memperhatikan tiga prinsip dasar kepegawaian, yaitu: penggunaan kepegawaian secara efektif, dijamin pengembangan karier semaksimal mungkin, dan diperoleh jaminan kesejahteraan hidup yang layak atau sesuai. 77 Pembinaan pegawai secara efektif memerlukan perencanaan kebutuhan pegawai yang matang. Formasi pegawai harus ditetapkan secara matang, terencana Miftah Thoha, Manajemen Kepegawaian Sipil……….., Op.Cit., hlm. 4. Pasal 2 ayat (1), Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Kepegawaian. 77 Miftah Thoha, Manajemen Kepegawaian Sipil……….., Op.Cit., hlm. 4-5. 75 76
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
dan sesuai dengan kebutuhan nyata di lapangan. Setiap tahun harus dilakukan evaluasi baik melalui penelitian maupun pengawasan terhadap keubutuhan dan efektivitas pelaksanaan kerja pegawai pemerintah. Jaminan pengembangan karier pegawai harus direncanakan secara baik. Yang terjadi hingga saat ini adalah seorang pegawai mengetahui masuknya dan kapan pensiunnya, tetapi tidak mengetahui secara pasti nasib pengembangannya setelah masuk menjadi pegawai pemerintah. Demikian pula dengan kesejahteraan pegawai harus betul-betul dijaga, jangan sampai gaji dan tunjangan yang diterima tidak menentu apalagi tidak pantas untuk hidup layak. Dari beberapa referensi diketahui, bahwa pembinaan pegawai bermacammacam jenis atau bentuknya. Sastrohadiwiryo dalam salah satu bukunya menguraikan dua jenis pembinaan, yaitu pembinaan moral kerja dan pembinaan disiplin kerja.78 Bentuk pembinaan yang harus dilakukan terhadap pegawai, antara lain: (1) pembinaan mental dan spiritual; (2) pembinaan loyalitas; (3) pembinaan hubungan kerja; (4) pembinaan moril dan semangat kerja; (5) pembinaan disiplin kerja; (6) pembinaan kesejahteraan; dan (7) pembinaan karier untuk menduduki jabatan-jabatan yang lebih tinggi di masa datang. 79 Implementasi character building sebagai bagian dari falsafah pembinaan dan pengembangan pribadi secara utuh menggunakan tiga landasan operasional sebagai berikut: (1) pembinaan ketabahan dan keuletan
B. Siswanto Sastrohadiwiryo, Manajemen Tenaga Kerja Indonesia, Pendekatan Admnistratif dan Operasional, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), hlm. 281. 79 Saydam Gouzali, Kamus Istilah Kepegawaian, Op.Cit., hlm. 206. 78
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
(ketahanan) secara buttom up; (2) pembinaan pemikiran, sikap dan perilaku secara utuh; dan (3) pembinaan keberhasilan kinerja secara berimbang. 80 Dalam perspektif landasan normatif kepegawaian, pembinaan difokuskan pada beberapa hal, yaitu: pembinaan prestasi kerja dan sistem karier yang dititikberatkan pada sistem prestasi kerja (Pasal 12 ayat 2), pembinaan jiwa korps, pembinaan kode etik, dan pembinaan disiplin pegawai (Pasal 30 ayat 1-2). Dengan demikian, pembinaan Pegawai Negeri Sipil dalam konteks kepegawaian di atas paling tidak meliputi tiga aspek ruang lingkup, yaitu : aspek pembinaan sikap, pembinaan mental, dan perilaku pegawai. Sebagai contoh, pembinaan jiwa korps antara lain ditujukan agar Pegawai Negeri Sipil memiliki rasa kebanggaan terhadap profesinya, pembinaan kode etik antara lain bertujuan untuk menanamkan identitas dan perilaku profesional sebagai pelayan masyarakat, sedangkan pembinaan disiplin menekankan agar Pegawai Negeri Sipil mempunyai disiplin kerja yang tinggi. Dalam memaknai salah satu sisi substansi undang-undang kepegawaian tersebut, kebijakan pokok pembinaan Pegawai Negeri Sipil meliputi: (1) lingkup pembinaan Pegawai Negeri Sipil adalah nasional; (2) pembinaan dan pengembangan Pegawai Negeri Sipil berdasarkan sistem karier dan sistem prestasi kerja, dengan titik berat sistem prestasi kerja; (3) standar kompetensi jabatan Pegawai Negeri Sipil berlaku nasional dan berorientasi global; dan (4) pembentukan perilaku dan etos kerja
Soedarsono, Soemarno, Character Building, Membentuk Watak, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2002), hlm. 165. 80
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
yang peka terhadap pelayanan dan pemberdayaan masyarakat. 81 Oleh karena itu, pembinaan Pegawai Negeri Sipil ke depan diarahkan pada Pegawai Negeri Sipil yang netral, profesional, sejahtera, dan akuntabel. Dengan kata lain, pembinaan Pegawai Negeri Sipil diarahkan untuk meningkatkan profesionalisme, bersikap dan berperilaku jujur, bersih dan disiplin, bermoral tinggi, dan netral dari pengaruh partai politik. 82 Untuk mendukung kebijakan pokok dan arah pembinaan Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud di atas, tentu harus ditopang oleh sistem kebijakan kepegawaian yang handal sesuai dengan fakta realitas otonomi daerah. Salah satu substansi sistem kepegawaian dalam rangka otonomi daerah adalah sistem “Pegawai Negeri Sipil satu atau unified civil servant”, yang berarti seluruh pegawai negeri sipil adalah Pegawai Republik Indonesia. 83 Untuk itu, lingkup pembinaan Pegawai Negeri Sipil juga harus jelas dan terarah, lingkup pembinaan Pegawai Negeri Sipil mencakup setidak-tidaknya mencakup kedudukan, profesionalisme, netralitas, jiwa karsa, kode etik, dan disiplin pegawai. 84 Oleh karena itu, tujuan akhir dari sistem pembinaan Pegawai Negeri Sipil ke depan adalah: 1) Pegawai Negeri Sipil yang mampu sebagai penyangga persatuan dan kesatuan bangsa; 2) Pegawai Negeri Sipil yang profesional
Hardijanto, Pembinaan Kepegawaian Dalam Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia, Jakarta, Makalah disampaikan pada Diklatpim Tingkat II, LAN, 2003, hlm. 2. 82 Miftah Thoha, Manajemen Kepegawaian Sipil……….., Op.Cit., hlm. 7. 83 Affandi, M. Joko, Pemahaman dan Tanggapan Terhadap Substansi Undang-Undang Nonor 43 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2000, dalam Pegawai Negeri Sipil Di Era Revolusi dan Otonomi Daerah, (Jakarta: Puslitbang BKN, 2002), hlm. 47. 84 Hardijanto, Pembinaan Kepegawaian Dalam Sistem Administrasi Negara Kesatuan….., Op.Cit. 81
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
dengan kompetensi bertaraf nasional dan berorientasi global; dan 3) Pegawai Negeri Sipil yang mampu sebagai pelayan dan pemberdaya masyarakat. Untuk kepentingan penelitian ini, pembinaan pegawai difokuskan pada tiga hal, yaitu: pembinaan disiplin kerja, pembinaan karier dan pembinaan etika profesi. Penjelasan dari ketiga hal di atas adalah sebagai berikut : a.
Pembinaan Disiplin Kerja Pembahasan disiplin (discipline) pegawai dalam hukum kepegawaian berangkat dari pandangan bahwa tidak ada manusia sempurna, luput dari kesalahan dan kekhilafan. Banyak ragam berkaitan dengan pengertian disiplin yang dikemukakan oleh para ahli. Disiplin adalah tindakan manajemen untuk menegakkan standar organisasi (dicipline is management action to enforce organization
standards). 85
Disiplin
merupakan
bentuk
pelatihan
yang
menegakkan peraturan-peraturan perusahaan. 86 Disiplin adalah kemampuan untuk menguasai diri sendiri dan melaksanakan norma-norma yang berlaku dalam kehidupan bersama. 87 Disiplin adalah prosedur yang mengoreksi atau menghukum bawahan karena melanggar peraturan atau prosedur, disiplin merupakan bentuk pengendalian diri karyawan dan pelaksanaan sebuah organisasi. 88
Davis, Keith, Newstrom, John, W., Perilaku Dalam Organisasi, (terjemahan), (Jakarta: Erlangga, 1985), hlm. 87. 86 Mathis, Robert, L., Jackson, John, H., Manajemen Sumber Daya Manusia, (terjemahan), (Jakarta, Salemba Empat, 2002), hlm. 314. 87 Saydam Gouzali, Kamus Istilah Kepegawaian, Op.Cit., hlm. 54. 88 Henry Simamora, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Yogyakarta: STIE YKPN, 1999), hlm. 746. 85
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
Ahli lain menggunakan istilah kedisiplinan, yaitu kesadaran dan kesediaan seseorang mentaati semua peraturan perusahaan atau organisasi dan normanorma sosial yang berlaku. 89 Kesadaran adalah sikap seseorang yang secara sukarela mentaati semua peraturan dan sadar akan tugas dan tanggung jawabnya. Jadi, seseorang akan mematuhi atau mengerjakan semua tugasnya dengan baik, bukan atas paksaan. Kesediaan adalah suatu sikap, tingkah laku dan perbuatan seseorang yang sesuai dengan peraturan organisasi, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. 90 Dari pendapat di atas menunjukkan beragamnya para ahli dalam memandang disiplin pegawai. Namun demikian, benang merah yang dapat disimpulkan bahwa disiplin pada dasarnya adalah ketaatan atau kepatuhan pegawai pada peraturan yang berlaku. Oleh karena itu, pegawai yang disiplin berarti pegawai yang mampu mematuhi semua peraturan yang berlaku di kantornya atau organisasinya. Dengan demikian, disiplin kerja dapat diartikan sebagai pelaksanaan manajemen untuk memperteguh pedoman-pedoman organisasi. 91 Dapat juga dikatakan bahwa disiplin kerja adalah disiplin yang berlaku bagi para karyawan atau pegawai di lingkungan kerja masing-masing. Disiplin kerja adalah suatu sikap menghormati, menghargai, patuh dan taat terhadap peraturanperaturan yang berlaku, baik yang tertulis maupun tidak tertulis serta sanggup Malayu, S.P Hasibuan, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2002), hlm. 193. 90 Ibid. 91 Anwar Prabu Mangkunegara, Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 129. 89
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
menjalankannya dan tidak mengelak untuk menerima sanksi-sanksinya apabila ia melanggar tugas dan wewenang yang diberikan kepadanya. 92 Hal yang berkaitan erat dengan disiplin kerja adalah apa yang disebut dengan disiplin dasar, yaitu disiplin yang mendasari seorang pegawai harus bekerja dan melaksanakan tugas dengan penuh kesetiaan, pengabdian, kesadaran dan tanggung jawab. Dalam praktik kerja sehari-hari, pelaksanaan disiplin dasar terlihat dari kepatuhan karyawan untuk 1) mentaati jam kerja masuk dan jam kerja pulang; 2) mematuhi pemakaian pakaian seragam lengkap dengan atribut dan tanda pengenalnya; 3) ikut serta dalam setiap upacara yang diwajibkan; 4) bersikap dan bertingkah laku sopan santun terhadap semua karyawan, atasan dan anggota masyarakat lainnya. 93 Bentuk disiplin kerja yang baik akan tergambar pada suasana: 1) tingginya rasa kepedulian karyawan terhadap pencapaian tujuan perusahaan; 2) tingginya semangat dan gairah kerja serta prakarsa para karyawan dalam melakukan pekerjaan; 3) besarnya tanggung jawab para karyawan untuk melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya; 4) berkembangnya rasa memiliki dan kesetiakawanan yang tinggi di kalangan karyawan; dan 5) meningkatnya efisiensi dan produktivitas para karyawan. Sebaliknya, melemahnya disiplin kerja para pegawai akan terlihat pada suasana kerja seperti: angka kemangkiran tingggi, masuk kantor sering terlambat. Menurunnya gairah kerja, berkembang-nya rasa
92 93
B. Siswanto Sastrohadiwiryo, Manajemen Tenaga Kerja, Op.Cit., hlm. 291. Saydam Gouzali, Kamus Istilah Kepegawaian, Op.Cit., hlm. 54.
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
tidak puas, saling curiga dan saling melempar tanggung jawab, penyelesaian pekerjaan lambat, supervisi tidak berjalan baik, sering terjadi konflik antar pegawai dan manajemen. 94 Beberapa ahli umumnya membagi tindakan untuk menegakkan disiplin dalam organisasi menjadi dua jenis, yaitu: disiplin/pendisiplinan preventif (preventive discipline) dan disiplin/pendisiplinan korektif (corrective discipline). 95 Disiplin preventif adalah tindakan disiplin yang dilakukan untuk mendorong pegawai mentaati berbagai peraturan atau ketentuan yang berlaku dan memenuhi standar yang telah ditetapkan. Atau, suatu upaya untuk menggerakkan pegawai mengikuti dan mematuhi pedoman kerja, aturan-aturan yang telah digariskan oleh organisasi. Artinya, melalui kejelasan dan penjelasan tentang pola sikap, tindakan dan perilaku yang diinginkan dari setiap anggota organisasi, diusahakan pencegahan jangan sampai para pegawai berperilaku negatif atau melanggar aturan ataupun standar yang telah ditetapkan. Tujuan pokok dari disiplin preventif ini adalah mendorong pegawai agar memiliki disiplin diri. Dengan cara ini, pegawai berusaha menegakkan disiplin diri, tanpa harus pimpinan memaksanya. Pendek kata, keberhasilan penerapan pendisiplinan preventif, terletak pada disiplin pribadi para anggota organisasi. Untuk itu, agar disiplin
Ibid. Davis, Keith, Newstrom, John, W., Perilaku Dalam Organisasi....., Op.Cit., hlm. 85. Lihat juga Sondang P. Siagian, Organisasi, Kepemimpinan dan Perilaku Administrasi, (Jakarta, Gunung Agung), 1996, hlm. 305. Lihat juga Mangkunegara, Anwar Prabu, Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan...., Op. Cit. 94 95
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
pribadi tersebut dapat semakin kokoh, paling tidak ada tiga hal yang perlu mendapat perhatian manajemen. Pertama, para anggota organisasi perlu didorong agar mempunyai rasa memiliki organisasi, karena secara logika seseorang tidak akan merusak sesuatu yang merupakan miliknya. Kedua, para karyawan perlu diberi penjelasan tentang berbagai ketentuan yang wajib ditaati dan standar yang harus dipenuhi. Penjelasan dimaksud seyogyanya di sertai oleh informasi lengkap mengenai latar belakang berbagai ketentuan yang bersifat normatif tersebut. Ketiga, para karyawan didorong menentukan sendiri cara-cara pendisiplinan diri dalam kerangka ketentuan-ketentuan yang berlaku umum bagi seluruh anggota organisasi. 96 Pimpinan bertanggung jawab untuk menciptakan iklim organisasi dalam rangka pendisiplinan preventif. Dalam upaya ini, pimpinan berupaya agar pegawai mengetahui dan memahami standar, atau semua pedoman serta peraturanperaturan yang ada dalam organisasi. Apabila pegawai tidak mengetahui standar yang diharapkan, perilaku mereka cenderung tidak menentu atau salah arah. Disiplin preventif merupakan suatu sistem yang berhubungan de-ngan kebutuhan kerja untuk semua bagian sistem yang ada dalam organisasi. Jadi, pimpinan perlu bekerja sama dengan semua bagian sistem untuk mngembangkannya. Jika sistem organisasi baik, diharapkan akan lebih mudah menegakkan disiplin kerja.
96
Sondang P. Siagian, Organisasi, Kepemimpinan dan Perilaku Administrasi...., Op.Cit.
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
Sedangkan pendisiplinan korektif adalah suatu tindakan yang dilakukan setelah terjadinya pelanggaran peraturan. Tindakan ini dimaksudkan untuk mencegah timbulnya pelanggaran lebih lanjut sehingga tindakan di masa yang akan datang sesuai dengan standar. Atau dapat juga dikatakan, suatu upaya menggerakkan pegawai dalam menyatukan suatu peraturan dan mengarahkan untuk tetap mematuhi peraturan sesuai dengan pedoman yang berlaku pada organisasi. Dengan demikian, jika ada pegawai yang nyata-nyata telah melakukan pelanggaran atas ketentuan-ketentuan yang berlaku atau gagal memenuhi standar yang telah ditetapkan, kepada pegawai yang bersangkutan dikenakan sanksi atau tindakan disipliner (disciplinary action). Pendek kata, tindakan disipliner menuntut suatu hukuman terhadap karyawan yang gagal memenuhi standarstandar yang ditentukan. 97 Tujuan tindakan disipliner adalah memperbaiki perilaku pelanggar standar, mencegah orang lain melakukan tindakan yang serupa, dan mempertahankan standar kelompok yang konsisten dan efektif. 98 Dalam praktiknya, pengenaan sanksi korektif harus memperhatikan paling tidak tiga hal, yaitu Pertama, karyawan yang dikenakan sanksi harus diberitahu pelanggaran atau kesalahan apa yang telah diperbuatnya. Kedua, kepada yang bersangkutan diberi kesempatan membela diri. Ketiga, dalam hal pengenaan sanksi terberat, yaitu pemberhentian, perlu dilakukan “wawancara keluar” (exit interview), yang menjelaskan antara lain alasan manajemen terpaksa mengambil
97 98
Henry Simamora, Manajemen Sumber Daya Manusia.........,Op.Cit. Davis, Keith, Newstrom, John, W., Perilaku Dalam Organisasi....., Op.Cit., hlm. 88.
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
tindakan sekeras itu. 99 Pelaksanaan sanksi terhadap pelanggar disiplin kerja harus dilakukan dengan memberikan peringatan, harus segera, konsisten dan impersonal. 100 Oleh karena, disiplin pada dasarnya merupakan tindakan manajemen untuk mendorong para anggota organisasi memenuhi berbagai ketentuan yang berlaku, maka setiap organisasi perlu memiliki berbagai ketentuan yang harus di-taati oleh para anggotanya agar penegakkan disiplin dapat dijalankan. Tindakan inefektif atau pelanggaran terhadap pedoman normatif yang berlaku merupakan salah satu bentuk nyata dari tindakan ketidakdisiplinan para tenaga kerja yang tentunya merugikan perusahaan. 101 Oleh karena itu, agar kelangsungan perusahaan terjaga dan produktivitas mencapai target yang diharapkan, para tenaga kerja perlu memperoleh pembinaan disiplin kerja yang langgeng dan merupakan fungsi yang harus dilaksanakan manajemen tenaga kerja maupun manajemen pada semua hierarki perusahaan. Pembinaan disiplin kerja yang terus-menerus dilakukan manajemen agar tenaga kerja termotivasi tidak melakukan tindakan disiplin bukan karena adanya sanksi, melainkan didorong oleh kedisiplinan yang timbul dari diri sendiri. Pendek kata, agar para pegawai disiplin perlu adanya pendisiplinan. Pendisiplinan
pegawai
adalah
suatu
bentuk
pelatihan
yang
berusaha
memperbaiki dan membentuk pengetahuan, sikap dan perilaku pegawai, Sondang P. Siagian, Organisasi, Kepemimpinan dan Perilaku Administrasi...., Op.Cit., hlm. 306. Anwar Prabu Mangkunegara, Manajemen Sumber Daya Manusia....., Op.Cit., hlm. 131. 101 B. Siswanto Sastrohadiwiryo, Manajemen Tenaga Kerja Indonesia…., Op.Cit., hlm. 290. 99
100
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
sehingga para pegawai secara sukarela berusaha bekerja secara kooperatif dengan para pegawai yang lain serta meningkatkan prestasi. 102 Sedangkan yang dimaksud dengan pembinaan disiplin adalah kegiatan yang harus selalu dilakukan oleh pimpinan kantor atau organisasi agar dapat berjalan teratur dan mudah mencapai tujuan yang sudah ditetapkan. Dengan demikian, disiplin kerja pegawai diharapkan terus dibina dan ditegakkan. Sasaran pembinaan disiplin adalah semua orang yang ada dalam organisasi atau perusahaan, agar mereka mematuhi semua rambu-rambu peraturan, sistem dan prosedur yang sudah ditentukan. 103 Secara umum, tujuan utama pembinaan disiplin kerja adalah demi kelangsungan perusahaan sesuai dengan motif perusahaan, baik hari ini maupun hari esok. Adapun tujuan khusus pembinaan disiplin kerja antara lain adalah 104 : 1) Agar para tenaga kerja menepati segala peraturan dan kebijakan ketenagakerjaan maupun peraturan dan kebijakan perusahaan yang berlaku, baik tertulis maupun tidak tertulis, serta melaksanakan perintah manajemen. 2) Dapat melaksanakan pekerjaan dengan sebaik-baiknya serta mampu memberikan servis yang maksimum kepada pihak tertentu yang berkepentingan dengan peru-sahaan sesuai dengan bidang pekerjaan yang diberikan kepadanya. 3) Dapat menggunakan dan memelihara sarana dan prasarana, barang dan jasa perusahaan dengan sebaik-baiknya. 4) Dapat bertindak dan berperilaku sesuai dengan norma-norma yang berlaku pada perusahaan. 5) Tenaga kerja mampu memperoleh tingkat produktivitas yang tinggi sesuai dengan harapan perusahaan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Sondang P. Siagian, Organisasi, Kepemimpinan dan Perilaku...., Op.Cit., hlm. 305. Saydam Gouzali, Kamus Istilah Kepegawaian, Op.Cit., hlm. 204. 104 B. Siswanto Sastrohadiwiryo, Manajemen Tenaga Kerja Indonesia…., Op.Cit., hlm. 296. 102 103
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
Untuk mewujudkan tujuan-tujuan di atas, pembinaan disiplin pegawai dapat dilakukan melalui beberapa hal sebagai berikut: 1) penciptaan peraturanperaturan dan tata tertib-tata tertib yang harus dilaksanakan; 2) menciptakan dan memberi sanksi bagi pelanggar disiplin; 3) melakukan pembinaan disiplin melalui pelatihan kedisiplinan yang terus menerus. 105 Di samping penciptaan sarana pendukung tegaknya disiplin seperti di atas, perlu pula diperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi pembinaan disiplin. Pembinaan disiplin juga dipengaruhi oleh faktor-faktor, seperti: besar-kecilnya kompensasi, ada tidaknya keteladanan pimpinan, ada tidaknya aturan yang dapat dijadikan pegangan, keberanian pimpinan dalam mengambil tindakan, ada tidaknya pengawasan pimpinan, ada tidaknya perhatian pada para pegawai, dan diciptakannya kebiasaan-kebiasaan yang mendukung tegaknya disiplin. Pada dasarnya banyak indikator yang mempengaruhi tingkat kedisiplinan karyawan suatu organisasi, di antaranya adalah tujuan dan kemampuan, teladan pimpinan, balas jasa, keadilan, waskat, sanksi hukuman, ketegasan dan hubungan kemanusiaan. 106 Perlu juga diperhatikan beberapa hal yang dapat menunjang kedisiplinan, yaitu: ketegasan dalam pelaksanaan kedisiplinan, kedisiplinan perlu dipartisipasikan, kedisiplinan harus menunjang tujuan dan sesuai dengan kemampuan, keteladanan pimpinan, kesejahteraan dan ancaman. 107
Saydam Gouzali, Kamus Istilah Kepegawaian, Op.Cit. Hasibuan, H. Malayu, S.P., Manajemen Sumber Daya Manusia……, Op.Cit., hlm. 194. 107 Alex, Nitisemito S., Manajemen Personalia (Manajemen Sumber Daya Manusia), (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1996), hlm. 122. 105 106
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
b.
Pembinaan Karier Pegawai Pembahasan tentang karier Pegawai Negeri Sipil bertitik tolak dari asumsi dasar bahwa seseorang yang mulai bekerja setelah penempatan dalam suatu organisasi akan terus bekerja untuk organisasi tersebut selama masa aktifnya hingga seseorang memasuki usia pensiun. Adalah hal yang logis dan wajar apabila dalam kehidupan organisasi seseorang mengajukan berbagai pertanyaan yang menyangkut karier dan prospek perkembangannya di masa depan. Beberapa pertanyaan tersebut berkisar pada: kemampuan, pengetahuan dan keterampilan apa yang dituntut organisasi agar meraih kemajuan dalam kariernya; sistem promosi apa yang berlaku dalam organisasi; jika promosi menuntut pelatihan tambahan, apakah organisasi menyelenggarakan pelatihan tersebut ataukah pegawai sendiri yang mencari kesempatan untuk itu; sampai sejauh mana faktor keberuntungan berperan dalam promosi seseorang dalam organisasi; dan mana yang lebih penting kemampuan kerja atau kesediaan beradaptasi terhadap keinginan pejabat yang berwenang memutuskan promosi seseorang. 108 Jika
seseorang
berbicara
mengenai
karier
(career)
dalam
kehidupan
organisasional bisanya diartikan sebagai keseluruhan pekerjaan yang dilakukan dan jabatan yang dipangku oleh seseorang selama dia berkarya. 109 Ada juga yang mengartikan karier sebagai urutan posisi yang terkait dengan pekerjaan yang
108 109
Sondang P. Siagian, Organisasi, Kepemimpinan dan Perilaku...., Op.Cit., hlm. 205. Ibid., hlm. 206.
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
diduduki seseorang sepanjang hidupnya. 110 Dalam istilah kepegawaian, karier sering diartikan dengan kemajuan atau perkembangan yang dicapai oleh seorang pegawai dalam menekuni pekerjaannya selama masa aktif dalam hidupnya. Karier sering juga diterjemahkan dengan mobilitas pegawai dalam suatu organisasi mulai penerimaan, pengangkatan menjadi pegawai sampai pensiun dalam suatu rangkaian jenjang kepangkatan dan dalam jabatan-jabatan yang dilaluinya. 111 Pendek kata, sebagian orang menganggap karier sebagai promosi di dalam organisasi. Merangkum dari beberapa pendapat di atas, dijelaskan bahwa kata “karier” dapat dipandang dari beberapa perspektif yang berbeda. 112 Dari satu perspektif, karier adalah urut-urutan posisi yang diduduki oleh seseorang selama masa hidupnya. Meskipun begitu, dari perspektif lainnya, karier terdiri atas perubahan-perubahan nilai, sikap dan motivasi yang terjadi karena seseorang menjadi semakin tua. Ini merupakan karier yang subjektif. Kedua perspektif tersebut, objektif dan subjektif, terfokus pada individu. Kedua perspektif tersebut menganggap bahwa orang memiliki beberapa tingkat pengendalian terhadap nasib mereka sehingga dapat memanipulasi peluang agar memaksimalkan keberhasilan dan kepuasan yang berasal dari karier mereka. 113 Perspektif tersebut lebih jauh menganggap bahwa aktivitas-aktivitas sumber daya manusia haruslah mengenali tahap karier (career Mathis, Robert, L., Jackson, John, H., Manajemen Sumber Daya Manusia, (terjemahan), (Jakarta: Salemba Empat, 2002), hlm. 62. 111 Saydam Gouzali, Kamus Istilah Kepegawaian, Op.Cit,. hlm. 34. 112 Henry Simamora, Manajemen Sumber Daya Manusia.........,Op.Cit., hlm. 504. 113 Ibid. 110
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
stage), dan membantu pegawai dengan tugas-tugas pengembangan yang mereka hadapi pada setiap tahap karier. Perencanaan karier penting, karena konsekuensi keberhasilan atau kegagalan karier terkait erat dengan konsep diri, identitas, dan kepuasan setiap individu terhadap karier dan kehidupannya. Memang sukar menemukan suatu pola universal mengenai karier semua orang karena yang terjadi sangat beragam. Ada orang yang mencapai kemajuan dalam karier berdasarkan suatu rencana karier tertentu. Tetapi tanpa direncanakan pun, ada orang yang meraih kemajuan dalam kariernya, sehingga kemajuan itu dihubung-hubungkan dengan “nasib baik”. Terlepas dari tepat tidaknya soal nasib dikaitkan dengan karier seseorang, yang jelas adalah bahwa prestasi kerja, pengalaman, pelatihan dan pengembangan, ternyata berperan penting dalam menempuh berbagai jalur karier seseorang. 114 Dengan kata lain, agar mengetahui pola karier yang terbuka, seorang pegawai perlu memahami tiga hal. Pertama, adalah sasaran karier yang ingin dicapai dalam arti tingkat kedudukan atau jabatan tertinggi apa yang mungkin dicapai apabila seseorang mampu bekerja secara produktif, loyal pada organisasi, menunjukkan
perilaku
yang
fungsional
serta
mampu
bertumbuh
dan
berkembang. Kedua, adalah perencanaan karier dalam arti keterlibatan seseorang dalam pemilihan jalur dan sasaran kariernya. Ketiga, adalah kesediaan mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam rangka pengembangan karier sambil berkarya. 114
Sondang P. Siagian, Organisasi, Kepemimpinan dan Perilaku Administrasi...., Op.Cit.
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
Selanjutnya agar dapat menentukan jalur karier, tujuan karier dan pengembangan karier, para pegawai perlu mempertimbangkan lima faktor sebagai berikut 115 : Pertama, perlakuan yang adil dalam berkarier. Perlakuan yang adil hanya bisa terwujud apabila kriteria promosi didasarkan pada pertimbangan yang objektif, rasional dan diketahui secara luas di kalangan pegawai. Kedua, kepedulian atasan langsung. Para pegawai pada umumnya mendambakan keterlibatan atasan langsung mereka dalam perencanaan karier masing-masing. Salah satu bentuk kepedulian itu adalah memberikan umpan balik pada para pegawai tentang pelaksanaan tugas masing-masing sehingga para pegawai mengetahui potensi yang perlu dikembangkan dan kelemahan yang perlu diatasi. Ketiga, informasi tentang berbagai peluang promosi. Para pegawai umumnya mengharapkan bahwa mereka memiliki akses pada informasi tentang berbagai peluang untuk dipromosikan. Keempat, minat untuk dipromosikan. Pendekatan yang tepat digunakan dalam menumbuhkan minat para pegawai untuk pengembangan karier adalah pendekatan yang fleksibel dan proaktif. Artinya, minat untuk mengembangkan karier sangat individualistik sifatnya. Seorang pegawai memperhitungkan berbagai faktor, seperti: usia, jenis kelamin, jenis dan sifat pekerjaan, pendidikan dan pelatihan yang pernah ditempuh, jumlah tanggungan dan berbagai variabel lainnya. Berbagai faktor tersebut dapat berakibat
pada
besarnya
minat
seseorang
mengembangkan
kariernya.
Sebaliknya, berbagai faktor tersebut tidak mustahil membatasi keinginan 115
Ibid., hlm. 207.
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
mencapai jenjang karier yang lebih tinggi. Kelima, tingkat kepuasan. Meskipun secara umum dapat dikatakan bahwa setiap orang ingin meraih kemajuan, termasuk dalam meniti karier, ukuran keberhasilan yang digunakan memang berbeda-beda. Perbedaan tersebut merupakan akibat tingkat kepuasan seseorang berlainan pula. Menarik untuk mencatat bahwa kepuasan dalam konteks karier tidak selalu berarti keberhasilan mencapai posisi tinggi dalam organisasi, melainkan dapat pula berarti bersedia menerima kenyataan bahwa, karena berbagai faktor pembatas yang dihadapi oleh seseorang, seorang pegawai puas apabila dapat mencapai tingkat tertentu dalam kariernya, meskipun tidak banyak anak tangga karier yang berhasil dinaikinya. Tegasnya, seseorang bisa puas karena mengetahui bahwa apa yang dicapainya sudah merupakan hasil yang maksimal dan berusaha mencapai anak tangga yang lebih tinggi akan merupakan usaha yang sia-sia karena mustahil untuk dicapai. Ada beberapa hal yang diinginkan oleh seorang pegawai berkaitan dengan kariernya, yaitu 116 : 1) Persamaan kesempatan karier Karyawan menginginkan persamaan dalam sistem kenaikan pangkat atau promosi dalam hal kesempatan untuk kemajuan kariernya. 2) Perhatian untuk pengawasan Karyawan menginginkan para supervisornya untuk memainkan peran aktif dalam pengembangan karier dan memberikan umpan balik tentang kinerja mereka secara tepat waktu. 3) Kesadaran akan kesempatan Karyawan menginginkan pengetahuan tentang kesempatan untuk kemajuan kariernya. Taufik Effendi, Membangun Tata Pemerintahan yang Baik, dalam Majalah Layanan Publik, Edisi Ketiga, Tahun I, November 2004, hlm. 86. 116
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
4) Minat kerja Karyawan memerlukan jumlah informasi yang berbeda dan juga memiliki tingkat keinginan yang berbeda dalam kemajuan kariernya. 5) Kepuasan karier Karyawan memiliki tingkat kepuasan karier yang berbeda-beda bergantung pada usia dan jenis pekerjaan. Rencana karier seorang pegawai harus ditunjang oleh tiga hal, yaitu: pendidikan karier, informasi karier dan bimbingan karier. 117 Pemahaman berbagai faktor di atas akan memungkinkan bagian kepegawaian berperan aktif dalam perencanaan karier para anggota organisasi. Dalam hal ini, salah satunya dapat dilakukan melalui suatu sistem pembinaan yang perlu dilakukan oleh pimpinan atau atasan para pegawai guna membantu menggali potensi dan pengembangan kariernya. c.
Pembinaan Etika Profesi Kata etika, mempunyai dua pengertian yaitu secara luas dan secara sempit, secara luas, dilihat dari bahasa Inggris yaitu ethics. Secara etimologi berasal dari bahasa Yunani ethica, yang berarti cabang filsafat mengenai nilai-nilai dalam ikatannya dengan perilaku manusia, apakah tindakannya benar atau salah, baik atau buruk. Dengan kata lain, etika adalah filsafat moral yang menunjukkan bagaimana seseorang harus bertindak. 118 Dalam pengertian sempit, etika atau dalam bahasa Inggris ethic, secara etimologis berasal dari bahasa Latin “ethicus” atau bahasa Yunani “ethicos”, berarti himpunan asas-asas nilai atau moral. Sedangkan menurut pengertian umum, kata etika merujuk pada prinsip-prinsip perilaku yang membedakan 117 118
Ibid. Sonny A Keraf, Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya, (Jakarta: Kanisius, 2002), hlm. 3
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
antara baik, buruk, benar dan salah. Tujuan etika, atau kode etik, adalah untuk memungkinkan individu membuat berbagai pilihan di antara perilaku-perilaku alternatif. 119 Etika tidak membuat seseorang menjadi baik, menunjukkan kepadanya baik buruknya perbuatan itu. Meskipun demikian, etika turut mempengaruhi seseorang untuk berperilaku baik, dalam arti melakukan kewajiban sebagaimana mestinya dan menjauhi larangan sebagaimana seharusnya. 120 Dalam kaitan dengan pengembangan etika profesi, organisasi memegang penting dalam membuat peraturan etika organisasi, yang sering disebut kode etik (code of conduct). Kode etik merupakan aturan-aturan susila yang ditetapkan dan ditaati besama oleh seluruh anggota yang tergabung dalam suatu profesi. Sedangkan etika profesi merupakan norma-norma, nilai-nilai, kaidah-kaidah, ukuran-ukuran yang diterima dan ditaati para pegawai atau karyawan, berupa peraturan-peraturan, tatanan yang ditaati semua karyawan dari organisasi tertentu, yang telah diketahuinya untuk dilaksanakan, karena hal tersebut melekat pada status atau jabatannya. 121 Bisa juga dikatakan bahwa etika profesi adalah kebiasaan yang baik atau peraturan yang diterima dan ditaati para karyawan dan telah mengendap menjadi normatif.
Ibid., hlm. 4. Soemirat, Soleh, Ardianto, Elvinardo, Dasar-Dasar Public Relations, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), hlm. 170. 121 Rumanti, Sr. Maria, Assumpta, Dasar-Dasar Public Relations Teori dan Praktik, (Jakarta: Grasindo, 2002), hlm. 295. 119
120
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
Etika profesi sangat penting terutama dalam rangka pembinaan karyawan, untuk meningkatkan mutu serta mewujudkan pribadi yang jujur, bersih, berwibawa, karyawan yang semakin ikut memiliki organisasi, tanggung jawab dalam keterlibatannya untuk mengembangkan organisasinya, rasa ikut memiliki besar. 122 Etika profesi menjiwai karyawan dalam menjalankan tugasnya sehingga mampu menyelesaikan dengan seksama, etos kerja tinggi dan penuh tanggung jawab sehingga memperoleh hasil kerja yang memuaskan. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa seorang pegawai yang profesional dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya selalu berkaitan erat dengan kode etik profesi (code of profession) dan kode perilaku (code of conduct), yaitu sebagai standar moral, tolak ukur atau pedoman dalam melaksanakan pekerjaan dan kewajiban masing-masing sesuai dengan fungsi dan peran dalam suatu organisasi/lembaga yang diwakilinya. 123 Pemahaman etika profesi para profesional diharapkan memiliki kualifikasi kemampuan tertentu, antara lain124 :
1) Kemampuan kesadaran etis (ethical sensibility) Ethical sensibility merupakan landasan utama bagi seorang profesional untuk lebih sensitif dalam memperhatikan kepentingan profesi yang tidak ditujukan
Rumanti, Sr. Maria, Assumpta, Dasar-Dasar....., Op.Cit., hlm. 295. Herman, Profesionalisme Pegawai Negeri Sipil: Karakteristik dan Upaya Peningkatan, (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Kepegawaian Negara, 2005), hlm. 41. 124 Rosady Ruslan, Etika Humas, Konsep dan Aplikasi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 120. 122 123
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
untuk kepentingan diri sendiri (subjektif), tetapi ditujukan untuk kepentingan yang lebih luas (objektif). 2). Kemampuan berpikir secara etis (ethical reasoning) Memiliki
kemampuan,
berwawasan
dan
berpikir
secara
etis
dan
mempertimbangkan tindakan profesi atau mengambil keputusan harus berdasarkan pertimbangan rasional, objektif dan selalu dilandasi oleh integritas pribadi serta tanggung jawab yang tinggi. 3) Kemampuan berperilaku secara etis (ethical conduct) Ethical conduct artinya memiliki sikap, perilaku, etika, moral dan tata krama (etiket) yang baik (good moral and good manner) dalam bergaul atau berhubungan dengan pihak lain (social contact). Termasuk memperhatikan hak-hak orang lain dan saling menghormati pendapat atau menghargai martabat orang lain. 4) Kemampuan kepemimpinan yang etis (ethical leadership) Kemampuan atau memiliki jiwa memimpin secara etis diperlukan untuk mengayomi, membimbing dan membina pihak lain yang dipimpinnya. Termasuk menghargai pendapat dan kritikan orang lain demi tercapainya tujuan dan kepentingan bersama.
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
Ada 4 (empat) prinsip etika profesi yang harus menjadi pegangan dalam menjalani suatu profesi. Keempat prinsip tersebut adalah 125 : 1) Prinsip tanggung jawab Tanggung jawab adalah salah satu prinsip pokok bagi kaum profesional. Bahkan sedemikian pokoknya sehingga seakan tidak harus lagi dikatakan, karena dengan sendirinya orang yang profesional melekat rasa bertanggung jawab. Pertama, bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaan dan hasilnya. Artinya, orang yang profesional tidak hanya diharapkan melainkan juga dari dalam dirinya sendiri menuntut dirinya untuk bekerja sebaik mungkin dengan standar di atas rata-rata, dengan hasil maksimum, dan dengan kualitas terbaik. Dengan kata lain, orang profesional dapat mempertanggungjawabkan atas pekerjaannya berdasarkan tuntutan profesionalismenya, baik terhadap orang lain yang terkait langsung dengan profesinya, maupun terhadap dirinya sendiri. Atau, dapat juga dikatakan bahwa orang yang profesional memiliki tanggung jawab terhadap pekerjaan atau fungsinya (by function). Artinya, keputusan yang diambil dan hasil dari pekerjaan tersebut harus baik serta dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan standar profesi. Kedua, bertanggung jawab atas dampak profesinya terhadap kehidupan dan kepentingan orang lain, khususnya kepentingan orang-orang yang dilayani. Pada tingkat di mana profesinya membawa kerugian tertentu secara disengaja atau tidak disengaja, orang profesional harus bertanggung jawab atas hal tersebut. Bentuknya bisa bermacammacam, seperti mengganti kerugian, pengakuan jujur dan tulus secara moral telah melakukan kesalahan, mundur dari jabatannya, dan sebagainya. Ini sangat terkait dengan prinsip integritas pribadi. Pendek kata, orang yang profesional memiliki tanggung jawab terhadap dampak atau akibat tindakan pelaksanaan profesi (by profession) terhadap dirinya, rekan sekerja dan profesi, organisasi dan masyarakat umum lainnya, serta keputusan atau hasil pekerjaan tersebut dapat memberikan manfaat/berguna bagi diri atau pihak lainnya. Prinsipnya, sebagai profesional harus berbuat baik (beneficence) dan tidak berbuat untuk suatu kejahatan (non beneficence). 2) Prinsip keadilan Prinsip ini terutama menuntut orang profesional agar dalam menjalankan profesinya tidak merugikan hak dan kepentingan pihak tertentu, khususnya kepentingan orang-orang yang dilayani dalam rangka profesinya. Prinsip ini juga menuntut agar dalam menjalankan profesinya orang yang profesional tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap siapapun, termasuk orang yang tidak membayar jasa keprofesionalannya. Prinsip “siapa yang datang 125
Sonny A Keraf, Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya......., Op.Cit., hlm. 4-5.
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
pertama mendapat pelayanan pertama” merupakan perwujudan sangat konkrit prinsip keadilan dalam arti yang seluas-luasnya. Jadi, orang yang profesional tidak boleh membeda-bedakan pelayanan, termasuk kadar dan kualitas pelayanan yang diberikan. Jangan sampai terjadi bahwa kualitas dan intensitas pelayanan profesional dikurangi kepada orang yang miskin hanya karena orang miskin tidak mampu membayar secara memadai. 3) Prinsip otonomi Ini lebih merupakan prinsip yang dituntut oleh kalangan profesional terhadap dunia luar agar mereka diberi kebebasan sepenuhnya dalam menjalankan profesinya. Sebenarnya ini merupakan konsekuensi dari hakikat profesi itu sendiri. Prinsip ini terutama ditujukan kepada pihak pemerintah, agar menghargai otonomi suatu profesi dan karena itu tidak boleh mencampuri urusan pelaksanaan profesi tersebut. Otonomi penting, agar kaum profesional biasa secara bebas mengembangkan profesinya, dengan berbagai inovasi dan kreativitasnya yang berguna bagi perkembangan profesi dan kepentingan masyarakat luas. Hanya saja prinsip otonomi punya batas-batasnya. Pertama, prinsip otonomi dibatasi oleh tanggung jawab dan komitmen profesional (keahlian dan moral) atas kemajuan profesi tersebut serta (dampaknya pada) kepentingan masyarakat. Jadi, otonomi hanya berlaku sejauh disertai dengan tanggung jawab profesional. Kedua, otonomi juga dibatasi dalam pengertian bahwa kendati pemerintah di tempat pertama menghargai otonomi kaum profesional, pemerintah tetap menjaga, dan pada waktunya malah ikut campur tangan, agar pelaksanaan profesi tertentu tidak sampai merugikan kepentingan umum. Dengan kata lain, kaum profesional memang otonom dan bebas dalam menjalankan tugas profesinya, asalkan tidak merugikan hak dan kepentingan pihak tertentu, termasuk kepentingan masyarakat umum. Sebaliknya, jika hak dan kepentingan pihak tertentu dilanggar, otonomi profesi tidak lagi berlaku dan pemerintah wajib ikut campur tangan dengan menindak pihak yang merugikan pihak lain tersebut. 4) Prinsip integritas moral Sebenarnya prinsip ini merupakan tuntunan kaum profesional atas dirinya sendiri bahwa dalam menjalankan tugas profesinya tidak akan merusak nama baik, serta citra dan martabat profesinya. Konsekuensinya, pertama, orang profesional tidak akan mudah kalah dan menyerah pada godaan atau bujukan apapun untuk lari atau melakukan tindakan yang melanggar nilai yang dijunjung tinggi profesinya. Kedua, malah sebaliknya, malu kalau bertindak tidak sesuai dengan nilai-nilai moral, khususnya nilai yang melekat pada dan diperjuangkan profesinya. Sikap malu ini terutama diperlihatkan dengan mundur dari jabatan atau profesinya. Bahkan rela mati demi mempertahankan nilai yang dijunjungnya. Dengan kata lain, prinsip integritas moral menunjukkan bahwa orang tersebut punya pendirian yang teguh, khususnya dalam memperjuangkan nilai yang dianut profesinya. Jujur Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
dan setia serta merasa terhormat pada profesi yang disandangnya, mengakui kelemahan yang dimiliki dan tidak menyombongkan diri, serta berupaya terus untuk mengembangkan diri dalam mencapai kesempurnaan bidang keahlian dan profesinya melalui pendidikan, pelatihan dan pengalaman. Di samping itu, tidak akan melacurkan profesinya untuk tujuan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, demi tujuan materi semata atau kepentingan sepihak.
3.
Sikap dan Perilaku Pegawai Negeri Sipil Membahas perilaku individu pegawai dalam organisasi, dapat diartikan
dengan membahas perilaku manusia dalam organisasi, dan itu juga berarti perilaku organisasi. Perilaku manusia adalah sebagai suatu fungsi dari interaksi antara individu dengan lingkungannya. Sedangkan perilaku organisasi pada hakikatnya adalah hasilhasil interaksi antara individu-individu dalam organisasi. Tujuan praktisnya adalah untuk mendeterminasi bagaimanakah perilaku manusia mempengaruhi usaha pencapaian tujuan-tujuan organisasi. Oleh karena itu, untuk memahami perilaku organisasi sebaiknya diketahui terlebih dahulu individu-individu sebagai pendukung organisasi. 126 Setiap
individu
dalam
organisasi
memiliki
karakteristik,
seperti:
kemampuan, kepercayaan pribadi, pengharapan kebutuhan, dan pengalaman masa lalunya. Organisasi juga mempunyai beberapa karakteristik, seperti keteraturan yang diwujudkan dalam susunan hirarki, pekerjaan-pekerjaan, tugas-tugas, wewenang dan tanggung jawab, sistem penggajian (reward system), sistem pengendalian, dan sebagainya. Jikalau karakteristik
126
individu
berinteraksi dengan karakteristik
Miftah Thoha, Manajemen Kepegawaian Sipil......., Op.Cit., hlm. 33.
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
organisasi, maka akan terwujud perilaku individu dalam organisasi. Dengan demikian, perilaku adalah fungsi dari interaksi antara sesama individu dengan lingkungannya. Perilaku adalah kegiatan yang sudah dilakukan, atau niat yang sudah direalisasikan dalam bentuk tingkah laku yang tampak. Perilaku pada dasarnya merupakan produk dari sikap mental atau realisasi dari setiap keputusan yang telah diambil oleh sikap mental orang yang bersangkutan. 127 Adapun sikap adalah gambaran kepribadian seseorang, yang terlahir melalui gerakan fisik dan tanggapan pikiran terhadap suatu keadaan atau suatu objek. Sikap adalah evaluasi, perasaan dan kecenderungan seseorang yang relatif konsisten terhadap sesuatu objek atau gagasan.128 Sikap akan menempatkan seseorang ke dalam satu pikiran menyukai atau tidak menyukai sesuatu, bergerak mendekati atau menjauhi sesuatu tersebut. Dalam melahirkan sikap, dapat dilakukan dalam bentuk ungkapan pemikiran atau tanggapan melalui pembicaraan (lisan) atau dalam bentuk tulisan, yang wujudnya dilahirkan dalam dua kondisi, yaitu sikap dualisme. Artinya, lain yang yang terkandung dalam pikiran atau nurani, lain pula yang dilahirkan sesuai dengan yang ada dalam pikiran. Misalnya, pertama, sikap yang menyatakan setuju atau tidak setuju, dengan mengemukakan berbagai pertimbangan atau bisa juga sikap yang menunjukkan antipati tanpa alasan yang jelas. Kedua, dapat dilakukan dalam bentuk sikap fisik, seperti duduk, cara berbicara, berjalan, dan sebagainya. 129
Ibid. Umar Husein, Metode Riset Perilaku Organisasi, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 25. 127 128
129
Ibid.
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
Secara sederhana dapat dinyatakan, bahwa sikap mental (yang umumnya berwujud perilaku) adalah searah atau tidak searahnya perbuatan seseorang sesuai dengan hati nuraninya, atau apakah seseorang bersikap sesuai dengan pengetahuan dan keyakinannya. Dengan kata lain, perilaku atau pola sikap seseorang umumnya tidak terlepas dari pengetahuan dan keyakinannya, termasuk aspek keterampilan, motivasi dan rasa percaya diri. Karena tidak setiap orang yang memiliki sikap baik, menghasilkan sesuatu (perilaku) yang benar, karena bisa saja mereka kurang pengetahuan atau keterampilan, atau mungkin mereka tidak percaya diri atau tidak termotivasi untuk melakukannya. Dengan demikian bisa dikatakan, bahwa beberapa aspek, seperti pengetahuan, keterampilan, keyakinan diri dan motivasi yang ada pada seseorang dapat dipakai untuk memprediksi apakah perilakunya sesuai atau tidak dengan yang diharapkan. Dalam kaitannya dengan penjelasan di atas, paling tidak ada tiga hal yang harus diperhatikan dan dipahami oleh para pimpinan ketika akan mendeskripsikan perilaku seorang pegawai. Pertama, perilaku pegawai yang tidak sama dengan tujuan organisasi; Kedua, perilaku pegawai yang tidak terarah pada tujuan organisasi; dan ketiga, perilaku pegawai yang terarah pada tujuan organisasi. 130 Ada tiga jenis perilaku yang terdapat dalam suatu organisasi. Pertama, perilaku nyata yang ditunjukkan oleh para anggota organisasi dalam kehidupan organisasionalnya; Kedua adalah perilaku yang dituntut oleh organisasi dari para anggotanya; dan ketiga adalah
Sulistiayani, Ambar Teguh dan Rosidah, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Yogyakarta, Graha Ilmu, 2003), hlm. 191. 130
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
perilaku ideal yang pada hakikatnya tercermin dalam suasana kerjasama yang serasi dan intim. 131 Perilaku nyata, biasanya sangat dipengaruhi oleh tujuan, cita-cita serta harapan seseorang. Sebaliknya, perilaku organisasi yang dituntut oleh organisasi, pada hakikatnya diwarnai oleh kepentingan organisasi yang bersangkutan. Penciptaan perilaku yang ideal, didasarkan pada pandangan bahwa kepentingan individu dan kepentingan organisasi tidak harus berada pada jalur ‘tabrakan”, melainkan dapat diselaraskan. Dengan penyelarasan ini, motivasi individual dalam bentuk kemauan keras, naluri, keinginan untuk maju dan berkembang akan digabungkan dengan motivasi organisasional yang berwujud berbagai hal, seperti: insentif material dari organisasi, pengakuan, penghargaan, kesempatan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan serta faktor-faktor motivasional lain yang sifatnya tidak dalam bentuk kebendaan. Dari uraian di atas menunjukkan, bahwa pembinaan dapat memainkan peranan yang amat penting dalam mengarahkan perilaku seseorang atau sekelompok pegawai sehingga berubah sifatnya dari ego sentris menjadi kelompok sentris. Peranan ini dimainkan terutama dengan penekanan pada pentingnya kebersamaan dalam usaha pencapaian tujuan organisasi.
4.
Hubungan Pembinaan Dengan Perilaku Pegawai
131
Sondang P. Siagian, Organisasi, Kepemimpinan dan Perilaku Administrasi...., Op.Cit.,
hlm. 98. Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
Perilaku pegawai, pada hakikatnya adalah membahas perilaku individu organisasi. Unsur pokok perilaku organisasi ditentukan oleh tiga hal, yaitu orang, struktur
dan
lingkungan.
Kemudian
permasalahan
pokok
dalam
perilaku
keorganisasian dapat dibagi dua, yaitu pertama, adalah permasalahan pokok individu dalam organisasi, misalnya: karakteristik biografis, seperti: usia, jenis kelamin, status keluarga, dan masa kerja; kemampuan intelektual dan kesehatan fisik; kepribadian, seperti: kesadaran diri dan sikap berbudaya; belajar; persepsi dan inisiatif dalam pengambilan keputusan; nilai, sikap, dan keputusan kerja; dan motivasi. Kedua, adalah permasalahan pokok kelompok dalam organisasi, misalnya: interaksi kelompok, perilaku kelompok, sumber daya anggota kelompok, struktur kelompok, kondisi eksternal kelompok, proses kelompok, tugas kelompok, pengambilan keputusan kelompok, tim kerja, komunikasi, kepemimpinan, keleluasaan dan politik, konflik, perundingan dan perilaku antar kelompok. 132 Struktur menentukan hubungan yang resmi antar orang-orang dalam organisasi. Beberapa hal pokok mengenai struktur, menyangkut struktur organisasi; teknologi, desain kerja, dan stres; kebijakan sumber daya manusia; dan budaya organisasi. Sedangkan lingkungan, khususnya lingkungan luar akan mempengaruhi sikap orang-orang, mempengaruhi kondisi kerja, dan menimbulkan persaingan untuk memperoleh sumberdaya dan kekuasaan. Oleh karena itu, lingkungan luar harus dipertimbangkan untuk menelaah perilaku manusia dalam organisasi.
132
Umar Husein, Metode Riset Perilaku........., Op.Cit., hlm. 15.
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa ada tiga kriteria kualitatif dalam mendiagnosis perilaku pegawai, yaitu apakah perilaku tersebut memenuhi, melebihi, atau tidak memenuhi harapan. Perilaku yang tidak memenuhi harapan, sehingga bersifat defisien, dan hal ini berarti mengindikasikan adanya suatu masalah. Dengan kata lain, defisiensi adalah perilaku pegawai yang tidak sesuai dengan harapan organisasi. Jika dalam suatu organisasi terjadi defisiensi, maka diperlukan upaya pembinaan secara sistematis dan berkesinambungan oleh pimpinan organisasi agar, perilaku setiap pegawai sesuai dengan harapan organisasi. Membentuk perilaku pegawai agar selaras dengan tuntutan organisasi, harus dilakukan secara berkesinambungan dan terarah dengan melalui pembinaan perilaku secara utuh. Dalam kenyataannya, setiap individu pegawai memiliki karakteristik, keinginan, harapan dan cita-cita yang berbeda-beda antara individu satu dengan individu lainnya. Dalam hal ini, peranan pembinaan organisasi mempunyai posisi dan peranan yang sangat penting serta menentukan, dalam mengarahkan perilaku individu pegawai yang berbeda-beda tersebut, agar selaras dan mendukung tercapainya tujuan organisasi. Dengan kata lain, bila ditemukan sebuah kasus yang dapat mengganggu jalannya organisasi, pihak pimpinan organisasi mempunyai peranan yang sangat menentukan dalam upaya menciptakan suatu iklim atau suasana kerja yang kondusif dalam suatu sistem nilai, norma dan peraturan-peraturan yang mendukung semangat dan kepuasan kerja para pegawai.
C. Evaluasi Kinerja Pegawai Negeri Sipil
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
1.
Analisis Kinerja Pegawai Negeri Sipil Dalam hal ini, penulis akan memberikan gambaran berupa evaluasi kinerja
dari Pegawai Negeri Sipil. Adapun faktor-faktor yang mepengaruhi kinerja Pegawai Negeri Sipil adalah meliputi : a. Budaya kerja, khususnya bagi Pegawai Negeri Sipil merupakan faktor yang mempengaruhi kinerja. Faktor ini dapat dikategorikan sebagai permasalahan yang harus diberikan perhatian khusus dalam sistem kepegawaian Indonesia. Lemahnya budaya kerja didasarkan oleh kepentingan masing-masing individu yang mempunyai motivasi yang berbeda dalam setiap kegiatan. Hubungannya dengan kinerja, budaya kerja yang kurang kondusif dipengaruhi oleh lingkungan kerja yang dirasakan bersikap toleran (budaya permisif) terhadap pelanggaranpelanggaran disiplin Pegawai Negeri Sipil Bentuk lainnya berupa sikap yang terbangun oleh latar belakang pendidikan dan lingkungan keluarga, sehingga memberikan
pengaruh
bagi
kinerja
masing-masing
individu
dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Sistem kepegawaian Indonesia lebih menekankan pada isi peraturan yang pasti dalam tugas namun dalam aplikasinya masih terhalangi oleh mekanisme yang belum optimal karena faktor budaya kerja masing-masing individu. b. Sistem Pengawasan Sistem pengawasan melekat yang dilakukan oleh unsur pimpinan dan pengawasan fungsional yang dilakukan oleh Inspektorat (Jenderal, Provinsi, dan Kabupaten/Kota) dan Badan Kepegawaian Daerah. Daerah merupakan faktor Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
yang mempengaruhi kinerja. Hal ini dikarenakan budaya yang terbangun untuk dapat bersikap toleran terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan oleh Pegawai Negeri Sipil. Bentuk pengawasan tersebut masih bersifat permisif dan masih terdapat keragu-raguan dalam penegakan hukumnya. Belum dapat dilaksanakannya suatu sistem yang dapat memonitor pelaksanaan kerja secara komprehensif. Bentuk pengawasan itu sendiri hanya bersifat temporer dan tidak kontinu sehingga hasil yang didapatkan belum maksimal. 133 Berdasarkan analisis data Badan Kepegawaian Daerah, jenis/bentuk pelanggaran disiplin yang sering dilakukan Pegawai Negeri Sipil meliputi : a. Terlambat masuk kantor tanpa alasan yang jelas dan masuk akal; b. Pulang kantor lebih awal tanpa alasan yang jelas dan masuk akal, tanpa izin atasan; c. Selama jam kantor tidak melaksanakan pekerjaan (keluar kantor untuk tujuan di luar kedinasan/urusan pribadi); d. Mangkir/tidak masuk kerja tanpa alasan yang jelas dan masuk akal; e. Menyalahgunakan wewenang; f. Melakukan hubungan intim/perselingkuhan. Berdasarkan data tersebut, terdapat latar belakang yang kompleks (bersifat subjektif) dalam terjadinya pelanggaran disiplin Pegawai Negeri Sipil, namun hal yang paling mendasar adalah sebagai berikut. Tedi Sudrajat, Relevansi dan Efektivitas Sumpah/Janji Pengangkatan Terhadap Kinerja Pegawai Negeri Sipil di Kabupaten Banyumas, (Purwokerto: Universitas Jenderal Soedirman, 2005), hlm. 165. 133
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
a. Pengaruh lingkungan kerja yang kurang kondusif. Adanya suatu pengaruh yang signifikan antara lingkungan kerja dengan penyelenggara pemerintahan, dalam arti kecenderungan pegawai untuk membiarkan terjadinya pelanggaran karena menganggap hal tersebut merupakan perbuatan yang masih dapat ditolerir. b.
Adanya pengaruh yang signifikan antara fungsi penerapan hukum dengan perbuatan pegawai yang melanggar peraturan, karena terdapatnya pengawasan yang kurang dan dapat diasumsikan bahwa : 1. Kurang responnya aparat terhadap sanksi, karena kurangnya pengawasan dari pihak yang terkait dan membiarkan pelanggaran terjadi. 2. Terdapatnya motivasi yang kurang dari Pegawai Negeri Sipil dikarenakan sistem yang tidak mewajibkan setiap pegawai untuk bekerja mengejar keuntungan bagi instansi sehingga tidak menuntut mereka untuk saling memberikan prestasi karena hasil yang diterima setiap bulannya relatif tidak berubah. Hal ini berimbas pada kinerja yang hanya berorientasi pada hasil bukanlah proses penyelenggaraan tugasnya. Pengaruh dari kurangnya motivasi tersebut membuat pihak penyelenggara pemerintahan hanya menjalankan tugasnya dalam artian formalitas hanya untuk mengisi jadwal kehadiran kerja dan bekerja dalam artian mengejar deadline suatu tugas tanpa memperhatikan tujuan yang diharapkan dalam alinea keempat Pembukaan
Undang-Undang
Dasar
1945,
yaitu
mengupayakan
kesejahteraan masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya. Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
Berdasarkan hal di atas, dapat ditarik inti sari permasalahan, yaitu faktor yang mendorong terjadinya pelanggaran disiplin Pegawai Negeri Sipil meliputi : 1) Lemahnya pengawasan atasan langsung; 2) Kurangnya pemahaman terhadap perundang-undangan yang berlaku; 3) Kurangnya pembinaan/sosialisasi tentang perundang-undangan di bidang kepegawaian disiplin pegawai; 4) Tingkat kesadaran disiplin Pegawai Negeri Sipil.
2.
Penegakan Disiplin Pegawai Negeri Sipil Di lingkungan pegawai negeri dalam rangka menjamin tata tertib dan
kelancaran pelaksanaan tugas pekerjaan telah dibuat suatu ketentuan Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil di mana ketentuan tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 dan ketentuan pelaksanaannya ditetapkan dalam Surat Edaran Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara Nomor 23/SE/1980 Tahun 1980. 134 Menurut Pasal 1 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980, Peraturan Disiplin adalah peraturan yang mengatur kewajiban, larangan, dan sanksi, apabila kewajiban tidak ditaati atau larangan dilanggar oleh Pegawai Negeri Sipil. Dalam Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil dibahas mengenai pelanggaran 134
Miftah Thoha, Op.Cit., hlm. 76.
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
disiplin, yaitu setiap ucapan, tulisan, atau perbuatan Pegawai Negeri Sipil yang melanggar ketentuan Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil baik yang dilakukan di dalam maupun di luar jam kerja. Tulisan adalah pernyataan pikiran dan/atau perasaan secara tertulis, baik dalam bentuk tulisan maupun dalam bentuk gambar, karikatur, coretan, dan lain-lain yang serupa dengan itu. Ucapan adalah setiap kata-kata yang diucapkan di hadapan atau dapat didengar oleh orang seperti dalam rapat, ceramah, melalui telepon, televisi atau alat komunikasi lainnya. Perbuatan adalah setiap tingkah laku, sikap, atau tindakan.
a. Kewajiban yang Harus Ditaati Kewajiban yang termaktub dalam poin 1 terdapat dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil yang menetapkan kewajiban sebagai berikut : Pasal 2 : 1. Setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara dan pemerintah. 2. Mengutamakan kepentingan Negara di atas kepentingan golongan atau diri sendiri, serta menghindarkan segala sesuatu yang dapat mendesak kepentingan Negara oleh kepentingan golongan, diri sendiri, atau pihak lain. 3.
Menjunjung tinggi kehormatan dan martabat Negara, Pemerintah, dan Pegawai Negeri Sipil.
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
4.
Mengangkat
dan
menaati
sumpah/janji
Pegawai
Negeri
Sipil
dan
sumpah/janji jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 5.
Menyimpan rahasia Negara dan atau rahasia jabatan dengan sebaik-baiknya.
6.
Memperhatikan dan melaksanakan segala ketentuan pemerintah, baik yang langsung menyangkut tugas kedinasannya maupun yang berlaku secara umum.
7.
Melaksanakan tugas kedinasan dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab.
8.
Bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan Negara.
9.
Memelihara dan meningkatkan keutuhan, kekompakan, persatuan, dan kesatuan Korps Pegawai Negeri Sipil.
10. Segera melaporkan kepada atasannya, apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan atau merugikan Negara/Pemerintah, terutama di bidang keamanan, keuangan, dan material. 11. Menaati ketentuan jam kerja. 12. Menciptakan dan memelihara suasana kerja yang baik. 13. Menggunakan dan memelihara barang-baranag milik Negara dengan sebaikbaiknya. 14. Memberikan pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada masyarakat menurut bidang tugasnya masing-masing. Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
15. Bertindak dan bersikap tegas, tetapi adil dan bijaksana terhadap bawahannya. 16. Membimbing bawahannya dalam melaksanakan tugasnya. 17. Menjadi dan memberikan contoh serta teladan yang baik terhadap bawahannya. 18. Mendorong bawahannya untuk meningkatkan prestasi kerjanya. 19. Memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengembangkan kariernya. 20. Menaati ketentuan peraturan perundang-undangan tentang perpajakan. 21. Berpakaian rapi dan sopan serta bersikap dan bertingkah laku sopan santun terhadap masyarakat, sesama Pegawai Negeri Sipil, dan terhadap atasan. 22. Hormat-menghormati antara sesama warga negara yang memeluk agama/ kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang berlainan. 23. Menjadi teladan sebagai warga negara yang baik dalam masyarakat. 24. Menaati segala peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan yang berlaku. 25. Menaati perintah kedinasan dari atasan yang berwenang. 26. Memperhatikan dan menyelesaikan dengan sebaik-baiknya setiap ;aporan yang diterima mengenai pelanggaran disiplin. b. Larangan Yang Tidak Boleh Dilanggar Larangan yang termaktub dalam Poin 2 Ketentuan-Ketentuan Pokok Disiplin Pegawai Negeri Sipil terdapat dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980. Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
Pasal 3, Setiap PNS dilarang : 1. Melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan atau martabat Negara, Pemerintah atau Pegawai Negeri Sipil. 2. Menyalahgunakan wewenangnya. 3. Tanpa izin Pemerintah menjadi Pegawai atau bekerja untuk negara asing. 4. Menyalahgunakan barag-barang, uang, atau surat-surat berharga milik Negara. 5. Memiliki,
menjual,
membeli,
menggadaikan,
menyewakan,
atau
meminjamkan barang-barang, dokumen, atau surat-surat berharga milik Negara secara tidak sah. 6. Melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman sejawat, bawahan, atau orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan Negara. 7. Melakukan tindakan yang bersifat negatif dengan maksud membalas dendam terhadap bawahannya atau orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya. 8. Menerima hadiah atau sesuatu pemberian berupa apa saja dari siapa pun juga yang diketahui atau patut dapat diduga bahwa pemberian itu bersangkutan atau mungkin bersangkutan dengan jabatan atau pekerjaan Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan.
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
9. Memasuki tempat-tempat yang dapat mencemarkan kehormatan atau martabat Pegawai Negeri Sipil, kecuali untuk kepentingan jabatan. 10. Bertindak sewenang-wenang terhadap bawahannya. 11. Melakukan suatu tindakan atau sengaja tidak melakukan suatu tindakan yang dapat berakibat menghalangi atau mempersulit salah satu pihak yang dilayaninya sehingga mengakibatkan kerugian bagi pihak yang dilayani. 12. Menghalangi berjalannya tugas kedinasan. 13. Membocorkan dan/atau memanfaatkan rahasia Negara yang diketahui karena kedudukan jabatan untuk kepantingan pribadi, golongan, atau pihak lain. 14. Bertindak selaku perantara bagi sesuatu pengusaha atau golongan untuk mendapatkan pekerjaan atau pesanan dari kantor/instansi Pemerintah. 15. Memiliki saham/modal dalam perusahaan yang kegiatan usahanya berada dalam ruang lingkup kekuasaannya. 16. Memiliki saham suatu perusahaan yang kegiatannya tidak berada dalam ruang lingkup kekuasaannya yang jumlah dan sifat pemilikan itu sedemikian rupa sehingga melalui pemilikan saham tersebut dapat langsung atau tidak langsung menetukan penyelenggaraan atau jalannya perusahaan. 17. Melakukan kegiatan usaha dagang, baik secara resmi, maupun sambilan, menjadi direksi, pimpinan atau komisaris perusahaan swasta bagi yang berpangkat Pembina golongan ruang IV/a ke atas atau yang memangku jabatan eselon I.
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
18. Melakukan pungutan tidak sah dalam bentuk apapun juga dalam melaksanakan tugasnya untuk kepentingan pribadi, golongan, atau pihak lain. c. Jenis-Jenis Hukuman Disiplin Jenis-jenis hukuman disiplin yang termaktub dalam Poin 3 KetentuanKetentuan Pokok Disiplin Pegawai Negeri Sipil terdapat dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 berupa : Pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980, tingkat hukuman disiplin terdiri atas : 1. Hukuman disiplin ringan; 2. Hukuman disiplin sedang; 3. Hukuman disiplin berat. Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980, jenis hukuman ringan terdiri atas : 1. Teguran lisan; 2. Teguran tertulis; 3. Pernyataan tidak puas secara tertulis. Pasal 6 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980, jenis hukuman sedang terdiri atas : 1. Penundaan kenaikan gaji berkala untuk paling lama 1 (satu) tahun; 2. Penurunan gaji sebesar satu kali kenaikan gaji berkala untuk paling lama 1 (satu) tahun; 3. Penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama 1 (satu) tahun. Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
Pasal 6 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980, jenis hukuman berat terdiri atas : 1. Penurunan pangkat pada tingkat yang setingkat lebih rendah untuk paling lama 1 (satu) tahun; 2. Pembebasan dari jabatan; 3. Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil; 4. Pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
BAB III PROSES PENGANGKATAN JABATAN STRUKTURAL BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 43 TAHUN 1999 TENTANG POKOK-POKOK KEPEGAWAIAN DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN LAINNYA TENTANG KEPEGAWAIAN A. Pengangkatan dalam Pangkat dan Jabatan 1.
Pengangkatan dalam Pangkat Pangkat adalah kedudukan yang menunjukkan tingkat seorang Pegawai
Negeri Sipil dalam rangkaian susunan kepegawaian dan digunakan sebagai dasar penggajian. 135 Oleh karena itu setiap Pegawai Negeri Sipil diangkat dalam pangkat tertentu. Untuk pertama kalinya Pegawai Negeri Sipil diangkat dalam pangkat sesuai dengan tingkat pendidikan masing-masing. Pangkat-pangkat dan jenis pendidikan yang mendasari pengangkatan dalam pangkat tersebut adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (4) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2002 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 98 Tahun 2000 Tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil 136 yang secara garis besar dapat dilihat pada bagan di bawah ini :
135
Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 99 Tahun 2000 Tentang Kenaikan Pangkat Pegawai Negeri Sipil, LNRI Tahun 2000 Nomor 196, TLNRI Nomor 4017. 136 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2002 Tentang Kenaikan Pangkat Pegawai Negeri Sipil, LNRI Tahun 2002 Nomor 31, TLNRI Nomor 4192. Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
Tabel. 2 Golongan/Ruang Yang Ditetapkan Untuk Pengangkatan Sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil No
Pangkat
Golongan/ Ruang
Pendidikan (Ijazah)
1
Juru Muda
I/a
Sekolah Dasar
2
Juru
I/c
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
3
Pengatur Muda
II/a
4
Pengatur Muda Tk I
II/b
Sekolah Lanjutan Tingkat Atas Atau Diploma I Diploma II
5
Pengatur
II/c
Diploma III
6
Penata Muda
III/a
Sarjana (S1)
7
Penata Muda Tk I
III/b
Magister (S2), Dokter, Apoteker
8
Penata
III/c
Doktor (S3)
Sumber : Pasal 11 ayat (4) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2002 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 98 Tahun 2000 Tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil.
Pengangkatan pertama pegawai di lingkungan kerja Pegawai Negeri Sipil tersebut adalah dalam status Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), dimana untuk dapat diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil memerlukan waktu satu sampai dua tahun. Masa menunggu Calon Pegawai Negeri Sipil menjadi Pegawai Negeri Sipil tersebut disebut sebagai masa percobaan. Sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan digaji sebesar 80 % dari gaji pokok Pegawai Negeri Sipil. Walaupun masa percobaan Calon Pegawai Negeri Sipil adalah satu sampai dengan dua tahun, namun ada kalanya Calon Pegawai Negeri Sipil diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil setelah lebih dari dua tahun masa kerjanya. Apabila demikian maka diperlukan Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
adanya persetujuan Kepala Badan Kepegawaian Negara, dimana dalam nota persetujuan Kepala Badan Kepegawaian Negara tersebut dicantumkan alasan keterlambatan pengangkatannya menjadi Pegawai Negeri Sipil.
2.
Pengangkatan dalam Jabatan Setelah seorang Calon Pegawai Negeri Sipil diangkat menjadi Pegawai
Negeri Sipil, maka terbukalah kesempatan bagi yang bersangkutan untuk diangkat dalam jabatan tertentu. Jabatan adalah kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak seorang Pegawai Negeri Sipil dalam rangka susunan suatu organisasi. Jabatan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu jabatan struktural dan jabatan fungsional. 137 a.
Jabatan Struktural Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2002 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah nomor 100 Tahun 2000 Tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural, yang dimaksud dengan jabatan struktural adalah kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggungjawab, wewenang dan hak seorang Pegawai Negeri Sipil dalam rangka memimpin suatu satuan organisasi negara. 138 Tugas adalah pekerjaan yang wajib dilaksanakan oleh Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan. Tanggung jawab adalah kesanggupan seseorang Pegawai
H. Nainggolan, Pembinaan Pegawai Negeri Sipil, (Jakarta: Ghalia, 1987), hlm. 119. Pasal 1 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2002 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah nomor 100 Tahun 2000 Tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural, LNRI Tahun 2002 Nomor 33, TLNRI Nomor 4194. 137 138
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
Negeri Sipil untuk menyelesaikan pekerjaan yang diserahkan kepadanya dengan sebaik-baiknya dan tepat pada waktunya serta berani menanggung resiko atas keputusan yang diambilnya atau tindakan yang dilakukan. Wewenang adalah keabsahan tindakan yang dimiliki oleh Pegawai Negeri Sipil yang menduduki jabatan struktural agar dapat menentukan tata cara dan tindakan yang perlu diambil dalam melaksanakan dan menyelesaikan tugas pekerjaannya. Sedangkan hak adalah keabsahan tindakan Pegawai Negeri Sipil yang menduduki jabatan struktural untuk menggunakan segala sarana dan prasarana agar dapat melaksanakan tugas pekerjaan dengan sebaik-baiknya. Jabatan struktural ini dibagi menjadi dua, yaitu jabatan struktural umum dan jabatan struktural khusus. Jabatan struktural umum adalah jabatan yang bersifat pelayanan administrasi (supporting unit) dalam suatu organisasi seperti jabatan di lingkungan Sekretariat Jenderal (Kepala Biro Umum, Kepala Biro Perlengkapan, Kepala Biro Kepegawaian dan jabatan lain yang serupa dengan itu). Sedangkan jabatan struktural khusus adalah jabatan yang bersifat teknis operasional (lini) dalam suatu organisasi seperti jabatan di lingkungan Direktorat Jenderal (Direktur, Kepala Pusat, Kepala Balai atau jabatan lain yang serupa dengan itu). Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam suatu jabatan dilaksanakan berdasarkan prinsip profesionalisme sesuai dengan kompetensi, prestasi kerja, dan jenjang pangkat yang ditetapkan untuk jabatan itu serta syarat obyektif lainnya tanpa membedakan jenis kelamin, suku, agama, ras dan Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
golongan. 139 Tujuan pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam jabatan struktural adalah untuk mewujudkan aparatur negara yang berdaya guna dan berhasil guna serta sanggup dan mampu melaksanakan tugas-tugas dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2002 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah nomor 100 Tahun 2000 Tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural ditentukan bahwa syarat-syarat bagi Pegawai Negeri Sipil untuk dapat diangkat dalam jabatan struktural tersebut adalah sebagai berikut 140 : 1. berstatus Pegawai Negeri Sipil ; 2. serendah-rendahnya menduduki pangkat 1 (satu) tingkat dibawah jenjang pangkat yang ditentukan; 3. memiliki kualifikasi dan tingkat pendidikan yang ditentukan ; 4. semua unsur penilaian prestasi kerja sekurang-kurangnya bernilai baik dalam 2 (dua) tahun terakhir; 5. memiliki kompetensi jabatan yang diperlukan ; dan 6. sehat jasmani dan rohani. Untuk lebih jelasnya mengenai pengangkatan jabatan struktural tersebut di atas akan diuraikan sebagai berikut 141 :
139
Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, LNRI Tahun 1999 Nomor 169, TLNRI Nomor 3890. 140 Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2002 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah nomor 100 Tahun 2000 Tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural, LNRI Tahun 2002 Nomor 33, TLNRI Nomor 4194. 141 Lampiran I Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 12 Tahun 2001 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 Tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural. Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
1. Syarat pengangkatan Untuk dapat diangkat dalam jabatan struktural seorang Pegawai Negeri Sipil harus memenuhi syarat sebagai berikut : a. Berstatus Pegawai Negeri Sipil Jabatan struktural hanya dapat diduduki oleh Pegawai Negeri Sipil. Calon Pegawai Negeri Sipil tidak dapat menduduki jabatan struktural karena masih dalam masa percobaan dan belum mempunyai pangkat. Bagi anggota TNI dan anggota kepolisian negara tidak dapat menduduki jabatan struktural karena tidak berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil. b. Serendah-rendahnya memiliki pangkat 1 (satu) tingkat di bawah jenjang pangkat yang ditentukan. Pegawai Negeri Sipil yang telah memiliki pangkat satu tingkat lebih rendah dari jenjang pangkat untuk jabatan struktural tertentu, dipandang telah mempunyai pengalaman dan atau kemampuan yang dibutuhkan untuk melaksanakan jabatannya. c. Memikili kualifikasi dan tingkat pendidikan yang ditentukan. Kualifikasi dan tingkat pendidikan pada dasarnya akan mendukung pelaksanaan tugas dalam jabatannya secara profesional khususnya dalam upaya penerapan kerangka teori analisis maupun metodologi pelaksanaan tugas dalam jabatannya. d. Semua unsur penilaian prestasi kerja sekurang-kurangnya bernilai baik dalam 2 (dua) tahun terakhir. Penilaian prestasi kerja (DP-3) pada dasarnya adalah penilaian dari atasan langsungnya terhadap pelaksanaan Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
pekerjaan Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan dan digunakan sebagai salah satu dasar pertimbangan untuk dapat diangkat dalam jabatan yang lebih tinggi. Dalam DP-3 memuat unsur-unsur yang dinilai yaitu kesetiaan, prestasi kerja, tanggung jawab, ketaatan, kejujuran, kerjasama, prakarsa dan kepemimpinan. Apabila setiap unsur yang dinilai sekurangkurangnya bernilai baik dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terakhir, maka pegawai yang bersangkutan telah memenuhi salah satu syarat untuk dipertimbangkan diangkat dalam jabatan struktural. e. Memiliki kompetensi jabatan yang diperlukan. Kompetensi adalah kemampuan dan karakteristik yang dimiliki oleh Pegawai Negeri Sipil berupa pengetahuan, ketrampilan dan sikap perilaku yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas jabatannya, sehingga Pegawai Negeri Sipil tersebut dapat melaksanakan tugas secara profesional, efektif dan efisien. f. Sehat jasmani dan rohani disyaratkan dalam jabatan struktural karena seseorang yang akan diangkat dalam jabatan tersebut harus mampu menjalankan tugas secara professional, efektif dan efisien. Sehat jasmani, artinya Pegawai Negeri Sipil tidak dalam keadaan sakit-sakitan sehingga mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Sehat rohani, artinya Pegawai Negeri Sipil tidak dalam keadaan terganggu mental atau jiwanya, sehingga mampu menjalankan tugasnya dengan baik.
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
2. Di samping persyaratan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 di atas, pejabat pembina kepegawaian pusat dan pejabat pembina kepegawaian daerah perlu memperhatikan faktor : a. Senioritas dalam kepangkatan. Hal ini digunakan apabila ada dua orang atau lebih Pegawai Negeri Sipil yang telah memenuhi syarat untuk diangkat dalam jabatan struktural untuk menduduki jabatan yang sama. Dalam hal demikian untuk menentukan salah seorang di atara dua orang atau lebih calon tersebut digunakan faktor senioritas dalam kepangkatan yaitu Pegawai Negeri Sipil yang mempunyai masa kerja paling lama dalam
pangkat
tersebut
diprioritaskan.
Apabila
calon
memiliki
kepangkatan lebih senior ternyata tidak dapat dipertimbangkan untuk diangkat dalam jabatan struktural maka pejabat yang berwenang wajib memberitahukan secara langsung kepada Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan baik secara lisan maupun secara tertulis. b. Dalam menentukan prioritas dari aspek usia harus mempertimbangkan faktor pengembangan dan kesempatan yang lebih luas bagi Pegawai Negeri Sipil dalam melaksanakan suatu jabatan struktural. Dengan demikian yang bersangkutan memiliki cukup waktu untuk menyusun dan melaksanakan rencana kerja serta mengevaluasi hasil kerjanya. c. Pendidikan dan Pelatihan Jabatan (Diklat Jabatan). Diklat Kepemimpinan bukan merupakan syarat pengangkatan jabatan struktural namun demikian apabila di antara calon yang memenuhi syarat terdapat seorang Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
Pegawai Negeri Sipil telah mengikuti dan lulus Diklat Kepemimpinan maka Pegawai Negeri Sipil yang telah mengikuti dan lulus Diklat Kepemimpinan yang ditentukan untuk jabatan tersebut, diprioritaskan untuk diangkat dalam jabatan struktural. d. Pengalaman. Hal ini menjadi faktor pertimbangan apabila terdapat beberapa calon pejabat struktural maka yang diprioritaskan untuk diangkat dalam jabatan struktural tersebut adalah pegawai yang memliki pengalaman lebih banyak dan memiliki korelasi jabatan dengan jabatan yang diisi. 3. Pelaksanaan pengangkatan. a. Pengangkatan dalam jabatan struktural eselon I di lingkungan instansi pusat, ditetapkan dengan Keputusan Presiden setelah mendapat pertimbangan tertulis dari Komisi Kepegawaian Negara, dengan ketentuan bahwa sebelum Komisi Kepegawaian Negara dibentuk, pertimbangan dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. b. Pengangkatan dalam jabatan struktural eselon II kebawah pada instansi pusat ditetapkan oleh pejabat pembina kepegawaian pusat setelah mendapat pertimbangan dari Baperjakat instansi pusat. c. Pengangkatan dalam jabatan struktural eselon I di propinsi (Sekretaris Daerah), ditetapkan oleh pejabat pembina kepegawaian daerah propinsi setelah
mendapat
persetujuan
pimpinan
DPRD
propinsi
yang
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
bersangkutan, dengan ketentuan bahwa calon yang diusulkan kepada pimpinan DPRD tersebut telah mendapat pertimbangan dari Baperjakat instansi propinsi. d. Pengangkatan dalam jabatan struktural eselon II kebawah di propinsi ditetapkan oleh pejabat pembina kepegawaian daerah propinsi setelah mendapat pertimbangan dari Baperjakat instansi daerah propinsi. e. Pengangkatan
dalam
jabatan
struktural
eselon
II
kebawah
di
Kabupaten/Kota, ditetapkan oleh pejabat pembina kepegawaian daerah Kabupaten/Kota setelah mendapat pertimbangan dari Baperjakat instansi daerah Kabupaten/Kota. f. Khusus
untuk
pengangkatan
Sekretaris
Daerah
Kabupaten/Kota,
ditetapkan oleh pejabat pembina kepegawaian daerah Kabupaten/Kota setelah mendapat persetujuan pimpinan DPRD Kabupaten/Kota yang bersangkutan, dengan ketentuan calon yang diajukan kepada pimpinan DPRD tersebut telah mendapat pertimbangan Baperjakat instansi daerah Kabupaten/Kota. 4. Keputusan pengangkatan dalam jabatan. a. Dalam setiap keputusan tentang pengangkatan dalam jabatan struktural, harus dicantumkan nomor dan tanggal pertimbangan Baperjakat, eselon dan besarnya tunjangan jabatan struktrual; b. Asli atau petikan keputusan tersebut disampaikan kepada Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan dengan ketentuan. Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
1) Bagi Pegawai Negeri Sipil Pusat, tembusan disampaikan kepada ; a) Kepala Badan Kepegawaian Negara; b) Dirjen Anggaran Departemen Keuangan; c) Kepala KPKN yang bersangkutan; d) Pejabat pembuat daftar gaji yang bersangkutan; e) Pejabat lain yang dipandang perlu. 2) Bagi Pegawai Negeri Sipil Daerah, tembusan disampaikan kepada : a) Kepala Kantor Regional Badan Kepegawaian Negara yang bersangkutan; b) Kepala Biro/Bagian Keuangan daerah yang bersangkutan; c) Pejabat pembuat daftar gaji yang bersangkutan; d) Pejabat lain yang dipandang perlu. 5. Pelantikan. a. Pegawai Negeri Sipil yang diangkat dalam jabatan struktural, termasuk Pegawai Negeri Sipil yang menduduki jabatan struktural yang ditingkatkan eselonnya selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak penetapan pengangkatanya wajib dilantik dan diambil sumpahnya oleh pejabat yang berwenang. b. Pegawai Negeri Sipil yang menduduki jabatan struktural yang mengalami perubahan nama jabatan dan atau perubahan fungsi dan tugas jabatan, maka Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan dilantik dan diambil sumpahnya kembali. Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
c. Tembusan berita acara sumpah jabatan, disampaikan kepada Kepala Badan
Kepegawaian
Negara/Kepala
Kantor
Regional
Badan
Kepegawaian Negara yang bersangkutan. 6. Keikutsertaan Dalam Diklatpim. a. Pegawai Negeri Sipil yang diangkat dalam jabatan struktural dan belum mengikuti dan lulus diklatpim yang ditentukan untuk eselonnya, selambat-lambatnya 12 (dua belas) bulan sejak pelantikan harus sudah mengikuti dan lulus diklatpim yang ditentukan. b. Dalam setiap tahun anggaran, pejabat pembina kepegawaian harus merencanakan jumlah Pegawai Negeri Sipil di lingkunganya untuk mengikuti diklatpim sesuai dengan kebutuhannya. c. Keikutsertaan dalam diklatpim harus diprioritaskan bagi Pegawai Negeri Sipil yang telah diangkat dalam jabatan struktural yang diduduki. d. Keikutsertaan mengikuti diklatpim bagi Pegawai Negeri Sipil yang telah diangkat dalam jabatan struktural adalah bersifat penugasan, sehingga tidak perlu melalui seleksi diklatpim. 7. Jabatan yang dinaikkan eselonnya. Pegawai Negeri Sipil yang pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2000 telah menduduki jabatan struktural yang ditingkatkan eselonnya, berlaku ketentuan sebagai berikut : a. dapat tetap menduduki jabatan tersebut. b. dapat dipindahkan dalam jabatan struktural lain yang eselonnya setingkat. Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
Dalam jabatan struktural dikenal adanya istilah eselon, yaitu tingkatan jabatan struktural 142 dan eselon disusun berdasarkan berat ringannya tugas, tanggung jawab, dan wewenang. 143 Jabatan Struktural dan Eselon tersebut ditetapkan
dengan
Keputusan
Presiden
apabila
menyangkut
jabatan
struktural eselon I, 144 dan ditetapkan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara bila menyangkut jabatan struktural eselon II ke bawah. (Pasal 3). 145 Tabel. 3 Eselon dan Jenjang Pangkat Jabatan Struktural Pegawai Negeri Sipil Jenjang Pangkat, Golongan/Ruang No
Eselon
Terendah Pangkat
Tertinggi Gol/
Pangkat
Ruang
Gol/ Ruang
1.
Ia
Pembina Utama
IV/e
Pembina Utama
IV/e
2.
Ib
Pembina Utama Madya
IV/d
Pembina Utama
IV/e
3.
II a
Pembina Utama Muda
IV/c
Pembina Utama Madya
IV/d
4.
II b
Pembina Tingkat I
IV/b
Pembina Utama Muda
IV/c
5.
III a
Pembina
IV/a
Pembina Tingkat I
IV/b
6.
III b
Penata Tingkat I
III/d
Pembina
IV/a
7.
IV a
Penata
III/c
Penata Tingkat I
III/d
8.
IV b
Penata Muda Tingkat I
III/b
Penata
III/c
142
Pasal 1 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2002 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah nomor 100 Tahun 2000 Tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural, LNRI Tahun 2002 Nomor 33, TLNRI Nomor 4194. 143 Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2002 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah nomor 100 Tahun 2000 Tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural, LNRI Tahun 2002 Nomor 33, TLNRI Nomor 4194. 144 Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2002 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah nomor 100 Tahun 2000 Tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural, LNRI Tahun 2002 Nomor 33, TLNRI Nomor 4194. 145 Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2002 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah nomor 100 Tahun 2000 Tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural, LNRI Tahun 2002 Nomor 33, TLNRI Nomor 4194.
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
9.
Va
Penata Muda
III/a
Penata Muda Tingkat I
III/b
10.
Vb
Pengatur Tingkat I
II/d
Penata Muda
III/a
Sumber :
Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2002 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah nomor 100 Tahun 2000 Tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural, LNRI Tahun 2002 Nomor 33, TLNRI Nomor 4194.
Untuk bisa bisa menggambarkan eselonisasi tersebut di atas secara jelas dapatlah diambil contoh eselonisasi di Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia sebagai berikut 146 : a. Eselon I a antara lain : Sekretaris Jenderal, Direktur Jenderal, Inspektur Jenderal, Kepala Badan. b. Eselon I b antara lain : Staf Ahli Menteri. c. Eselon II a antara lain : Kepala Biro, Inspektur, Direktur, Kepala Kantor Wilayah, dan sebagainya. d. Eselon II b antara lain : Sekretaris Direktorat Jendral, Kepala Divisi di Kantor Wilayah, Kepala Kantor Imigrasi Klas I A, Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas I A dan sebagainya. e. Eselon III a antara lain : Kepala Bagian di Kantor Wilayah, Kepala Bidang di Kantor Wilayah, Kepala Kantor Imigrasi Klas II A, Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas II A, Kepala Rumah Tahanan Negara Klas I A, Kepala Balai Pemasyarakatan Klas I A, dan lain sebagainya. f. Eselon III b antara lain : Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas II B, Kepala Kantor Imigrasi Kelas II B, Kepala Rupbasan dan sebagainya.
146
Hasil wawancara dengan Bapak Amir (Kepala Divisi Administrasi pada Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara), pada tanggal 17 Juli 2009. Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
g. Eselon IV a antara lain : Kepala Sub Bagian di Kantor Wilayah, Kepala Sub Bidang di Kantor Wilayah, Kepala Rumah Tahanan Negara Klas II A, dan sebagainya. h. Eselon IV b antara lain : Kepala Sub Bagian Lembaga Pemasyarakatan Klas I A, Kepala Cabang Rumah Tahanan Negara, dan sebagainya. i. Eselon V a misalnya : Kepala Sub Seksi di Rumah Tahanan Klas II A, dan lain sebagainya. j. Eselon V b tidak terdapat di lingkungan Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia.
Eselonisasi sebagaimana tersebut di atas mungkin sekali diadakan peninjauan, sehingga eselon III b misalnya, dapat ditingkatkan ke dalam eselon III a dan sebagainya. Misalnya, dengan Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 1985 ditetapkan bahwa Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kelas I A adalah Eselon III a, kemudian dalam Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1986 jabatan tersebut dinaikkan eselonnya menjadi Eselon II b. 147 Dengan berbagai pertimbangan pemerintah telah mengubah pangkat terendah dan tertinggi untuk menduduki jabatan-jabatan struktural yang terbagi dalam eselon rnasing-masing. Perubahan tersebut adalah apabila pada Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 1985 ditetapkan jenjang pangkat permulaan, lanjutan,
147
Himpunan Peraturan Kepegawaian, Badan Administrasi Kepegawaian Negara, 1991, Jilid V. hlm. 143-144. Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
dan tertinggi, maka dalam Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2002 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah nomor 100 Tahun 2000 Tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural hanya dikenal adanya pangkat permulaan dan pangkat tertinggi saja. Artinya apabila suatu jabatan yang dahulunya bisa diduduki oleh tiga jenjang pangkat, maka pada saat mulai berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2002 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah nomor 100 Tahun 2000 Tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural, tersebut, jabatan tersebut hanya bisa diduduki oleh dua jenjang pangkat. Contohnya, untuk jabatan struktural eselon V b pangkat terendahnya adalah Pengatur Tingkat I golongan ruang II/d, pangkat lanjutannya adalah Penata Muda golongan ruang III/a, dan pangkat tertingginya adalah Penata Muda Tingkat I golongan ruang III/b. Perkembangan terakhir dalam inovasi pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam jabatan struktural yang diluncurkan oleh pemerintah adalah dengan ditetapkannya Keputusan Presiden Nomor 47 Tahun 1994 tentang Badan Pertimbangan Jabatan Tingkat Nasional (Baperjanas) yang ditetapkan mulai berlaku pada tanggal 6 Juli 1994. 148 Badan Pertimbangan Jabatan Tingkat Nasional diketuai oleh Wakil Presiden, dengan anggota-anggota Menteri Sekretaris Negara, Sekretaris Kabinet, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, dan Kepala BAKIN, sedangkan Kepala BAKN bcrtugas memimpin sekretariat.
148
Keputusan Presiden Nomor 47 Tahun 1994 Tentang Badan Pertimbangan Jabatan Tingkat Nasional. Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
Dengan anggota yang berjumlah genap (4), maka pertimbangannya barangkali adalah agar Ketua dapat mengambil keputusan dengan posisi sebagai penentu. Hal ini penting apabila terjadi voting dua lawan dua dari keempat anggota dimaksud. Untuk mengetahui lebih lanjut posisi Badan Pertimbangan Jabatan Tingkat Nasional di dalam pembinaan karier Pegawai Negeri Sipil, maka perlu diketahui lebih dulu tugas pokoknya, yaitu memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pengangkatan dan pemindahan dalam dan dari jabatan struktural eselon I, dan pengangkatan dalam jabatan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tertentu. 149 Jabatan-jabatan tersebut adalah jabatan struktural setingkat Direktur Jenderal (Dirjen), Sekretaris Jenderal (Sekjen), Ketua Lembaga, Kepala Badan, Deputi, dan Direktur tertentu di lingkungan Badan Usaha Milik Negara. Sebagai perbandingan, sistem pengangkatan pejabat tinggi seperti tersebut di atas juga dilaksanakan oleh Civil Service Commission di negara Inggris; misalnya lembaga tersebut mengangkat pejabat-pejabat Director of Science Reference and Information Service; Head of the Conservation Group; dan Director of National Gallery. 150 Selanjutnya, dengan melihat keanggotaan Baperjanas orang mungkin bertanya, mengapa tidak ada anggota yang posisinya lebih netral, misalnya 149
Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 47 Tahun 1994 Tentang Badan Pertimbangan Jabatan Tingkat Nasional. 150 Civil Service Commision Annual Report, 1986. Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
tokoh swasta, atau tokoh dari kalangan universitas yang dikenal luas oleh masyarakat? Tujuan pengangkatan anggota tambahan tersebut adalah, agar yang bersangkutan dapat membantu para anggota dalam menetralisir perselisihan pendapat, terutama dalam mempertimbangkan kualifikasi calon. Hal ini tentunya sejalan dcngan prinsip penyelenggaraan birokrasi pemerintahan yang baik, di mana salah satu prinsip dasarnya sebagaimana dikemukakan oleh Max Weber adalah adanya impersonalitas, yaitu kepatuhan masyarakat kepada peraturan, bukan kepada person atau penguasa. Artinya, jika diterapkan pada pengangkatan pejabat adalah dengan melihat kualifikasi orangnya seperti apa adanya, bukan karena hubungan pribadi antarindividu, atau hubungan patron and client. Faktor impersonalitas tersebut juga sangat dibutuhkan, terutama apabila dihubungkan dengan budaya kita sebagaimana juga budaya pada masyarakat lain yang strukturnya piramidal yang digolongkan dalam budaya paternalistik. Dalam hal ini, pertimbangan dari atasan/pimpinan yang lebih tinggi seringkali merupakan keputusan final yang harus di ikuti oleh orang lain yang "posisinya" lebih rendah. Oleh karena itu, penulis mencoba mengusulkan peran dari akademisi atau tokoh swasta dalam keanggotaan tersebut, yang barangkali bisa membantu pengambilan keputusan Baperjanas untuk berposisi netral, sehingga dapat mengurangi
kemungkinan
pengangkatan
berdasarkan
hubungan
keluarga
(nepotism) atau karena hubungan pribadi (amicism) sebagaimana disinyalir oleh Mosher. 151 151
Frederick S. Mosher, Democracy and the Public Service 2nd Edition (New York: Oxford
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
Kemungkinan lain yang perlu diusulkan dalam keanggotaan tambahan tersebut ialah Ketua Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI). Usul ini dimajukan dengan pertimbangan bahwa peran Korps Pegawai Republik Indonesia selama ini berada di luar arena pengangkatan jabatan di lingkungan Pegawai Negeri Sipil, karena perannya memang membina Pegawai Negeri Sipil di luar kedinasan. Namun demikian, di era keterbukaan sekarang ini tampaknya peran Korps Pegawai Republik Indonesia perlu ditambahkan dengan memberi posisi yang cukup penting dan terhormat dalam pembinaan karier Pegawai Negeri Sipil di dalam kedinasan. 1.
Jabatan Fungsional Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil didefinisikan bahwa jabatan fungsional adalah kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak seseorang Pegawai Negeri Sipil dalam suatu satuan organisasi yang dalam
pelaksanaan
tugasnya
didasarkan
pada
keahlian
dan/atau
keterampilan tertentu serta bersifat mandiri. 152 Pertimbangan untuk pengangkatan jabatan fungsional ini merupakan salah satu cara untuk membina karier dan peningkatan mutu profesionalisme Pegawai Negeri Sipil, dan pembinaan karier Pegawai Negeri Sipil jabatan
University Press, 1982), hlm. 219. 152 Pasal 1 ayat 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil, Lembaran Negara RI Tahun 1994 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3547. Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
fungsional ini berorientasi pada prestasi kerja, sehingga tujuan untuk mewujudkan Pegawai Negeri Sipil sebagai aparatur negara yang berdaya guna dan berhasil guna di dalam melaksanakan tugas umum pemerintahan dan pembangunan dapat tercapai. Jabatan fungsional tersebut kemudian dikelompok-kelompokkan dalam rumpun jabatan fungsional, yang berarti terdapat himpunan jabatan fungsional yang mempunyai fungsi dan tugas yang berkaitan erat satu sama lain dalam melaksanakan salah satu tugas umum pemerintahan. 153 Oleh karena itu jabatan fungsional dibagi ke dalam: jabatan fungsional keahlian dan jabatan fungsional ketrampilan. 154 Untuk pembagian jabatan fungsional tersebut perlu dibuat kriterianya, yaitu sebagai berikut 155 : a. Mempunyai metodologi, teknik analisis, teknik dan prosedur kerja yang didasarkan atas disiplin ilmu pengetahuan dan/atau pelatihan teknis tertentu dengan sertifikasi. b. Memiliki etika profesi yang ditetapkan oleh organisasi profesi. c. Dapat disusun dalam suatu jenjang jabatan berdasarkan: 1) Tingkat keahlian bagi jabatan fungsional keahlian. 2) Tingkat ketrampilan bagi jabatan fungsional ketrampilan. d. Pelaksanaan tugas bersifat mandiri. 153
Pasal 1 ayat 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil, Lembaran Negara RI Tahun 1994 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3547. 154 Pasal 2 ayat 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil, Lembaran Negara RI Tahun 1994 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3547. 155 Pasal 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil, Lembaran Negara RI Tahun 1994 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3547. Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
e. Jabatan fungsional tersebut diperlukan dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi organisasi. Pertimbangan-pertimbangan yang mendasari pembuatan kriteria jabatan fungsional keahlian tersebut di atas adalah adanya disiplin ilmu dan sertifikasi keahlian, sehingga diperlukan akreditasinya, sedangkan jabatan fungsional ketrampilan lebih mempergunakan prosedur dan teknik kerja tertentu serta sertifikasi kewenangan penanganannya. Salah satu contohnya adalah pada rumpun jabatan Pranata Komputer, di mana tugas pokoknya adalah merancang sistem dan mengembangkan sistem komputer, sehingga sistem analis dikelompokkan dalam jabatan fungsional keahlian. Di lain pihak tugas-tugas sistem analis tersebut di atas perlu dijabarkan, dioperasionalkan, dan komputernya perlu dirawat, sehingga diperlukan adanya
Programer
Komputer
yang
dikelompokkan
sebagai
jabatan
fungsional ketrampilan. Keahlian dan kewenangan kedua jabatan fungsional tersebut legalisasinya ditetapkan dalam bentuk sertifikat. 156 Pertimbangan berikutnya adalah adanya etika profesi, yaitu normanorma atau kaidah-kaidah yang ditetapkan oleh disiplin ilmu pengetahuan dan organisasi profesi yang harus dipatuhi oleh pejabat fungsional di dalam melaksanakan tugas dan tanggung-jawabnya. Oleh karena itu organisasi
156
Penjelasan Pasal 3 huruf (a) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil, Lembaran Negara RI Tahun 1994 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3547. Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
profesi dibentuk dan menjadi wadah bagi para pejabat fungsional sesuai dengan rumpun jabatan fungsional yang bersangkutan. 157
Selanjutnya dipertimbangkan pula bahwa untuk menetapkan jenjang jabatan fungsional perlu dilakukan evaluasi jabatan sesuai dengan faktorfaktor penilaian yang ditetapkan dengan mempertimbangkan karakteristik jabatan yang bersangkutan. Sehingga jenjang jabatan keahlian dan jenjang jabatan ketrampilan mempunyai jalur jenjang jabatan yang berbeda dan mempunyai jenjang pangkat yang berbeda pula. 158 Pertimbangan yang menyatakan bahwa jabatan fungsional pada prinsipnya bekerja sendiri disebabkan karena kewenangan pelaksanaan tugasnya adalah mandiri, namun karena tugas tersebut bisa merupakan gabungan antara tugas jabatan fungsional keahlian dan ketrampilan, maka dalam pelaksanaan tugas tersebut jabatan fungsional keahlian dapat dibantu oleh jabatan fungsional ketrampilan. Sebagai contohnya adalah jabatan fungsional Apoteker yang dalam meracik obat dapat dibantu oleh jabatan fungsional Asisten Apoteker. Namun demikian tanggung jawab hasil
157
Penjelasan Pasal 3 huruf (b) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil, Lembaran Negara RI Tahun 1994 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3547. 158 Penjelasan Pasal 3 huruf (c) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil, Lembaran Negara RI Tahun 1994 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3547. Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
pelaksanaan tugas dan kewenangan pelaksanaan tugas tetap melekat pada pejabat fungsional masing-masing. 159 Selain hal-hal tersebut di atas, dalam Peraturan Pemerintah tersebut yang penting untuk dicatat adalah adanya angka kredit bagi jabatan fungsional sebagai salah satu unsur penilaian prestasi kerja. Untuk menilai angka kredit jabatan fungsional dibentuk Tim Penilai, yang selain menilai angka kredit juga diberi tugas untuk menetapkan kenaikan pangkat pejabat fungsional. Selanjutnya, dengan mengacu pada Penjelasan Pasal 8 ayat (2) maka pada pokoknya pembentukan Tim Penilai ditetapkan sebagai berikut 160 : 1). Tim Penilai Pusat ditetapkan oleh pimpinan instansi pembina jabatan fungsional, dengan wewenang menilai pejabat fungsional golongan IV. 2). Tim Penilai Instansi ditetapkan oleh pimpinan instansi pengguna jabatan fungsional, dengan wewenang menilai pejabat fungsional golongan II dan golongan III Dalam pasal-pasal yang lain dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Instansi Pembina Jabatan Fungsional adalah instansi pemerintah yang bertugas membina suatu jabatan fungsional menurut peraturan yang berlaku, yaitu instansi yang menggunakan jabatan fungsional yang mempunyai 159
Penjelasan Pasal 3 huruf (d) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil, Lembaran Negara RI Tahun 1994 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3547. 160 Penjelasan Pasal 8 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil, Lembaran Negara RI Tahun 1994 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3547. Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
bidang kegiatan sesuai dengan tugas pokok instansi tersebut atau instansi yang apabila dikaitkan dengan bidang tugasnya dianggap mampu untuk ditetapkan
sebagai
pembina
jabatan
fungsional.
Contohnya
adalah:
Departemen Kesehatan sebagai Pembina Jabatan Fungsional Dokter, Departemen
Pendidikan
dan
Kebudayaan
sebagai
Pembina
Jabutan
Fungsional Guru, dan Biro Pusat Statistik sebagai Pembina Jabatan Fungsional Pranata Komputer. Selanjutnya, yang menarik untuk dipelajari pada Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994 tersebut adalah adanya tunjangan jabatan fungsional. Bila dihubungkan dengan beberapa peraturan tentang besarnya tunjangan jabatan fungsional, maka dapat diketahui bahwa beberapa tunjangan jabatan fungsional justru lebih tinggi dari pada tunjangan jabatan struktural. Untuk lebih memperoleh gambaran tentang jabatan fungsional yang telah ditetapkan tunjangan jabatannya sampai dengan saat ini, maka dapat dilihat nama-nama jabatan fungsional di bawah ini : 1.
Peneliti
2.
Widyaiswara
3.
Penyuluh Pertanian
4.
Tenaga Dokter
5.
Tenaga Perawatan
6.
Tenaga Pengajar Perguruan Tinggi
7.
Pengawas Ketenagakerjaan
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
8.
Pengamat Meteorologi dan Geofisika
9.
Penyuluh Kehutanan
10. Pustakawan 11. Juru Penerang 12. Pekerja Sosial 13. Teknisi Penerbangan 14. Penyuluh Keluarga Berencana 15. Penguji Mutu Barang 16. Jaksa 17. Pemeriksa Bea dan Cukai 18. Pengawas Keuangan dan Pembangunan 19. Penilai Pajak Bumi dan Bangunan 20. Pranata Komputer 21. Guru 22. Dokter Gigi 23. Pranata Nuklir 24. Pengawas Radiasi 25. Sandiman
3. Mutasi/Rotasi Pegawai Negeri Sipil Mutasi Pegawai Negeri Sipil adalah kegiatan pimpinan suatu instansi untuk memindahkan pegawai dari suatu jabatan tertentu ke jabatan lain yang Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
sejajar tingkatannya dengan tujuan untuk memperoleh "the right man in the right place" agar instansi tersebut dapat menjalankan fungsinya secara efektif dan efisien. Pengertian rotasi Pegawai Negeri Sipil kurang lebih juga seperti itu, kecuali bahwa dalam rotasi diartikan sebagai pola pemindahan jabatan sejajar dalam periode tertentu, baik dalam lingkungan satu tempat kerja maupun beberapa tempat kerja, atau memindahkan Pegawai Negeri Sipil dari wilayah kerja yang satu ke wilayah kerja lainnya dalam jabatan sejajar. Dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1994 dinyatakan bahwa pemindahan adalah pemindahan Pegawai Negeri Sipil yang menduduki jabatan struktural dari suatu unit kerja ke unit kerja yang lain dalam satu instansi atau antar instansi dan/atau dari suatu wilayah kerja ke wilayah kerja yang lain. 161 Sedangkan pada Pasal 7 ayal (2) dijelaskan bahwa perpindahan jabatan dilaksanakan sesuai dengan prinsip perpindahan jabatan dalam rangka pembinaan karir, peningkatan kemampuan pegawai dan kebutuhan organisasi. Namun dcmikian unluk memperlancar pelaksanaan perpindahan jabatan perlu penyelarasan antara perencanaan perpindahan dengan anggaran yang tersedia. Bertitik tolak dari pengertian tersebut di atas, maka tidaklah tepat apabila
pemindahan
pegawai
tersebut
dilakukan
dengan
tujuan
untuk
menempatkan kawan ataupun pegawai tertentu yang disenangi oleh pimpinan
161
PP 15 Tahun 1994 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural, Lembaran Negara RI Tahun 1994 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3546. Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
suatu instansi dalam jabatan tertentu, padahal kualifikasinya (sesuai dengan analisis jabatan) belum atau tidak memenuhi syarat, atau sebagaimana yang diistilahkan "spoils system." Apalagi apabila pejabat yang posisinya ditempati pegawai tersebut dipindahkan ke jabatan lain yang tidak sesuai dengan pendidikan, pengetahuan, keterampilan, dan pelatihan yang pernah diperolehnya, karena mutasi seperti ini akan dirasakan sebagai hukuman bagi pejabat yang dipindahkan ini. Perasaan seperti ini akan menyebabkan pegawai tersebut minta berhenti atau keluar, menurun motivasi kerjanya, atau menurun prestasi kerjanya. Di lain pihak, seorang pegawai yang menempati suatu jabatan terlalu lama akan timbul rasa bosan dan jenuh, sehingga apabila promosi belum dimungkinkan, maka langkah yang terbaik yang bisa dilakukan oleh pimpinan instansi tempatnya berkerja adalah dengan memutasikannya ke jabatan lain (tour of duty) yang dianggap dapat meningkatkan semangat dan prestasi kerjanya. Menurut Penjelasan Pasal 7 ayat 1 tour of duty ini dinyatakan sebagai perpindahan jabatan secara horizontal, artinya perpindahan jabatan dalam tingkat eselon yang sama. Alasan lain yang dapat dipakai untuk memutasikan pegawai adalah adanya ketidakcocokan dalam suatu tim kerja, karena walaupun prestasi kerja individualnya tinggi akan tetapi tidak cocok dengan koleganya dalam tim, maka akan
menghambat
keberhasilan
tim
tersebut.
Sehingga,
kepada
yang
bersangkutan perlu dimutasikan ke suatu jabatan yang sesuai, agar kekompakan Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
tim kerja dapat dipelihara, dan yang bersangkutanpun disediakan tempat untuk tetap berprestasi. Mutasi juga diperlukan agar pegawai memperoleh pengetahuan dan pengalaman kerja yang luas, sehingga apabila suatu ketika yang bersangkutan dipromosikan ke dalam suatu jabatan yang lebih tinggi, maka yang bersangkutan mampu melaksanakan tugasnya dengan baik. Selain alasan-alasan tersebut di atas terdapat kemungkinan kebijakan suatu instansi pemerintah untuk memutasikan pegawainya secara periodik, dari suatu wilayah kerja tertentu ke wilayah kerja lainnya, atau tour of area. Mutasi seperti ini diperlukan agar pejabat-pejabat di lingkungan instansi tersebut dapat mengambil keputusan tanpa terpengaruh oleh "kenalan-kenalannya" di wilayah kerja tertentu, karena sudah lama mengenalnya. Mutasi seharusnya dianggap sebagai suatu hal yang wajar, sebagaimana halnya terhadap hal-hal lain yang harus terjadi dalam suatu organisasi, misalnya: kenaikan pangkat, dipekerjakan pada instansi lain, ataupun pensiun; karena halhal tersebut merupakan proses yang terdapat dalam setiap organisasi untuk mencapai tujuan. Sehubungan dengan hal itu, pegawai juga harus menerima kebijakan atasan untuk mengadakan mutasi dan berpikir bahwa keadaan tersebut bukan merupakan cara pimpinan untuk "membuang" bawahan. Namun, untuk mencegah agar pimpinan juga tidak memutasikan pegawai atau bawahannya dengan
sewenang-wenang,
maka
pemerintah
memandang
perlu
untuk
membentuk Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (BPJK). Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
Badan ini bisa dikelompokkan ke dalam tiga tingkatan, yaitu tingkat nasional, tingkat instansi pusat dan tingkat instansi daerah. BPJK tingkat instansi pusat berada dalam lingkungan Departemen, Kejaksaan Agung, Lembaga Pemerintah Non-Departemen, dan Kesekretariatan Lembaga Negara, termasuk instansi vertikalnya yang ada di wilayah. Sedangkan BPJK tingkat instansi daerah berada dalam lingkup Pemerintah Daerah Tingkat I, termasuk Pemerintah Daerah Tingkat II yang bersangkutan. Baik BPJK tingkat instansi pusat maupun daerah mempunyai tugas pokok untuk memberikan pertimbangan kepada pejabat yang berwenang menetapkan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dalam dan dari jabatan struktural. Mutasi yang terpola mungkin merupakan suatu cara yang baik dari suatu instansi untuk memperoleh pegawai-pegawai atau pejabat-pejabat yang nantinya dapat mengemban jabatan barunya lebih baik. Mutasi jenis ini bisa juga dikembangkan menjadi pola karier pegawai suatu instansi, sehingga seorang pegawai dapat mengatur dirinya untuk berprestasi sebaik-baiknya. Akhirnya, mutasi juga harus memperhitungkan faktor kekuatan pegawai, artinya apabila seorang pegawai dimutasikan ke unit kerja lain, maka pada waktu yang relatif singkat harus pula diangkat penggantinya, sehingga kontinuitas pekerjaan tidak terhambat. Dalam hal adanya pengembangan organisasi, biasanya dilaksanakan mutasi dan promosi besar-besaran, untuk itu koordinasi antara unit kerja sangat diperlukan, sehingga tidak terjadi pengumpulan pegawai-pegawai yang "berbobot" pada suatu unit kerja tertentu, Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
sedangkan di unit kerja lainnya berkumpul pegawai-pegawai yang "tidak berbobot".
4.
Kenaikan Jabatan (Promosi) Secara umum promosi diartikan oleh Alex S. Nitisemito sebagai proses
kegiatan pemindahan karyawan, dari satu jabatan kepada jabatan lain yang lebih tinggi. 162 Pengertian ini ternyata juga sesuai dengan Penjelasan Pasal 7 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1994 yang menyatakan bahwa perpindahan jabatan secara vertikal, adalah perpindahan yang bersifat kenaikan jabatan atau promosi. Promosi, dengan demikian dapat dihubungkan dengan pengangkatan dalam jabatan, baik jabatan struktural maupun jabatan fungsional. Perpindahan tersebut penting untuk pembinaan karier, peningkatan kemampuan pegawai dan kebutuhan organisasi (Pasal 7 ayat 2). Namun demikian, untuk memperlancar pelaksanaan perpindahan jabatan perlu penyelarasan antara perencanaan perpindahan dengan anggaran yang tersedia (ayat 3). Idealnya supaya dapat dikatakan memenuhi syarat-syarat untuk promosi diperlukan penilaian secara periodik, lengkap, dan obyektif. Contoh yang baik tentang penilaian yang obyektif adalah melalui hasil analisis jabatan, karena melalui alat ini dapat ditetapkan besarnya prestasi kerja dan cara untuk mencapainya. Sehingga, apabila seorang pegawai dapat melampaui prestasi kerja yang telah ditentukan, maka yang bersangkutan seharusnya dipromosikan.
162
Alex S. Nitisemito, Manajemen...........Op.Cit., hlm. 134 .
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
Selanjutnya, apabila syarat untuk promosi mengharuskan pegawai untuk mengikuti diklat tertentu, misalnya diklat struktural (dulu disebut diklat penjenjangan), maka kesempatan untuk mengikutinya harus diberikan kepada yang bersangkutan tanpa mengurangi kelancaran pekerjaan unit kerjanya.
B. Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Secara sederhana organisasi dapat diartikan menjadi dua pengertian yaitu organisasi sebagai sebuah lembaga dan organisasi sebagai sebuah proses. Organisasi akan terus berkembang sesuai dengan perkembangan kebutuhan dan pencapaian tujuan yang sudah ditetapkan sejak awal. Untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan sejak awal, maka proses pengorganisasian sebuah organisasi memiliki arti penting. Proses pengorganisasian dimaksud terdiri dari 163 : a. Merinci sedetail mungkin pekerjaan dan kegiatan yang hendak dilaksanakan. b. Membagi semua beban pekerjaan kepada masing-masing orang atau kelompok orang. c. Membuat pengelompokan kegiatan atau pekerjaan. d. Membuat mekanisme kerja yang jelas untuk kebutuhan koordinasi pekerjaan masing-masing orang atau kelompok orang. e. Melakukan monitoring (pengawasan) untuk memastikan efektivitas organisasi. 163
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kajian Terhadap Mekanisme Kerja Kantor Wilayah (Departemen Kehakiman) Sehubungan Dengan Perubahan Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah (Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia), (Jakarta: Pusjianbang, 2007), hlm. 34. Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
Salah satu proses terpenting dalam pengorganisasian adalah proses departemenisasi, yaitu proses pembagian kerja dan kombinasi tugas yang logis mengarah pada penyusunan bagian organisasi yang makin lama makin mengecil sampai ke level seksi dan seterusnya. Sebuah organisasi formal terdiri dari struktur organisasi fungsional (functional organization) dan struktur organisasi divisional (divitional organization). Jenis organisasi divisional ditujukan bagi organisasi yang menurut jenis pekerjaannya bersifat heterogen (berbeda) antara satu fungsi dengan fungsi lainnya. 164 Dari hal tersebut di atas diketahui bahwa Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia merupakan jenis organisasi yang bersifat divisional. Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor : M-01.PR.07.10 Tahun 2005. Sebagai salah satu instansi vertikal di daerah, Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara mempunyai Tugas Pokok dan Fungsi sebagai berikut 165 : 1. Pengkordinasian Perencanaan, Pengendalian Program dan Pengawasan. 2. Pembinaan di Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia. 3. Penegakan Hukum di Bidang Pemasyarakatan, Keimigrasian, Administrasi Hukum Umum, dan Hak Kekayaan Intelektual. 4. Perlindungan, Pemajuan, Pemenuhan, Penegakan, dan Penghormatan Hak Asasi Manusia. Ibid., hlm. 35. Hasil wawancara dengan Bapak Rahmat Tarigan (Kepala Bagian Umum Kanwil Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara, pada tanggal 21 Juli 2009. 164 165
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
5. Pelayanan Hukum. 6. Pengembangan Budaya Hukum dan Pemberian Informasi Hukum, Penyuluhan Hukum, dan Diseminasi HAM. 7. Pelaksanaan Kebijakan dan Pembinaan Teknis di Bidang Administrasi di Lingkungan Kantor Wilayah. Pada semua Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM memiliki bagan susunan organisasi yang sama, dimana untuk setiap Kantor Wilayah memiliki 32 (tiga puluh dua) buah jabatan struktural, yaitu166 : a. Kepala Kantor Wilayah b. Kepala Divisi Administrasi 1. Kepala Bagian Umum a) Kepala Sub Bagian Tata Usaha b) Kepala Sub Bagian Keuangan dan Perlengkapan 2. Kepala Bagian Penyusunan Program dan Laporan a) Kepala Sub Bagian Penyusunan Program b) Kepala Sub Bagian Humas dan Laporan c. Kepala Divisi Pemasyarakatan 1. Kepala Bidang Keamanan dan Pembinaan a) Kepala Sub Bidang Keamanan dan Ketertiban b) Kepala Sub Bidang Bimbingan, Kemasyarakatan dan Latihan kerja
166
Hasil wawancara dengan Bapak Amir (Kepala Divisi Administrasi Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara), pada tanggal 17 Juli 2009. Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
2. Kepala Bidang Registrasi Perawatan a) Kepala Sub Bidang Registrasi dan Statistik b) Kepala Sub Bidang Perawatan dan Bina Khusus Narkotika d. Kepala Divisi Keimigrasian 1. Kepala Bidang Lalu Lintas Izin Tinggal dan Status a) Kepala Sub Bidang Lalu Lintas Keimigrasian b) Kepala Sub Bidang Izin Tinggal dan Status 2. Kepala Bidang Intelijen, Penindakan san Sistem Informasi a) Kepala Sub Bidang Intelijen dan Penindakan b) Kepala Sub Bidang Sistem Informasi Keimigrasian e. Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan HAM 1. Kepala Bidang Pelayanan Hukum a) Kepala Sub Bidang Pelayananan Hukum Umum b) Kepala Sub Bidang Penyuluhan dan Bantuan Hukum 2. Kepala Bidang Hukum a) Kepala Sub Bidang Pengembangan Hukum b) Kepala Sub Bidang Jaringan Dokumentasi Hukum 3. Kepala Bidang Hak Asasi Manusia a) Kepala Sub Bidang Perlindungan dan Pemenuhan HAM b) Kepala Sub Bidang Diseminasi HAM
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
Adapun tingkat Eselon Jabatan Struktural di atas digambarkan pada tabel di bawah ini : Tabel 4 Jabatan Struktural dan Eselonisasi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM No
Nama Jabatan
Eselon
Jumlah
1
Kepala Kantor Wilayah
II A
1
2
Kepala Divisi
II B
4
3
Kepala Bagian/Kepala Bidang
III A
9
4
Kepala Sub Bagian/ Kepala Sub Bidang
IV A
18
Sumber : Sub Bagian Kepegawaian Kanwil Departemen Hukum dan HAM Sumut
Sementara itu bagan susunan organisasi Kantor Wilayah, terlihat pada bagan di bawah ini 167 :
167
Lampiran II Peraturan Menteri Hukum
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
Bagan 1 Susunan Organisasi Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara, Pegawai Negeri Sipil yang ada berjumlah 107 (seratus tujuh) orang dimana 32 (tiga puluh dua) orang diantaranya adalah Pejabat Struktural. Tabel di bawah ini akan memperlihatkan golongan dan ruang kepangkatan Pegawai Negeri Sipil di Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara. Tabel
5
Golongan/Ruang Kepangkatan Pegawai Negeri Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara No
Golongan/Ruang
Jumlah
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
IV/d IV/c IV/b IV/a III/d III/c III/b III/a II/d II/c II/b II/a
1 3 3 6 19 11 15 16 11 5 6 11
Sipil
Kanwil
Sumber : Sub Bagian Kepegawaian Kanwil Departemen Hukum dan HAM Sumut
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Yusriadi selaku Kepala Sub Bagian Kepegawaian Kanwil Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara mengatakan bahwa banyak Pegawai Negeri Sipil di Kanwil Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara yang pangkatnya sudah tidak bisa naik pangkat lagi. Hal ini diakibatkan tidak seimbangnya jumlah jabatan dengan Pegawai Negeri Sipil yang hendak memperebutkan jabatan tersebut, apalagi mekanisme Baperjakat tidak
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
sepenuhnya dilaksanakan serta untuk Kantor Wilayah sendiri eselon yang paling rendah adalah eselon IV a. 168
C. Pembinaan dan Pengangkatan Jabatan Struktural Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM 1.
Sistem Pembinaan Karir Pegawai Negeri Sipil Di Indonesia Dalam Hubungannya Dengan Pengangkatan Jabatan Struktural Menurut Fritz Morstein-Marx terdapat empat pola dalam birokrasi
negara, yaitu: guardian, caste, patronage, dan merit. 169 Sedangkan Muriel Morse mengamati bahwa di Amerika Serikat juga terdapat empat jenis sistem kepegawaian dalam versi yang lain, yaitu: spoils, merit, welfare, dan affirmative action. Birokrasi Guardian pada prinsipnya berdasarkan pada suatu proses seleksi yang telah ditentukan sebelumnya di mana guardian (penjaga) bertugas melindungi kebaikan dan kebenaran. Negara republik sebagaimana yang dikemukakan Plato, adalah contoh pola ini. Penguasa birokrasi memelihara sistem tersebut, untuk mencerminkan masyarakat yang baik. Akan tetapi, untuk menentukan siapakah yang dilahirkan untuk memerintah tidaklah mudah. 170 Birokrasi Caste (kasta) di lain pihak, menawarkan metode pemilihan birokrasi yang lebih mudah. Manusia dilahirkan di dalam kasta masyarakat, dan 168
Hasil wawancara dengan Bapak Yusriadi (Kepala Sub Bagian Kepegawaian Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara), pada tanggal 17 Juli 2009. 169 N. Joseph Cayer, Public Personnel Administrationin the United States, 2nd.Ed. (New York, St. Martin’s Press, 1986), hlm. 48. 170 Ibid. Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
hanya mereka yang berada pada kasta tinggi saja yang dapat memerintah. Dengan demikian sistem tersebut secara normal mencerminkan struktur masyarakat. Dalam sistem manajemen kepegawaian Patronage (panutan) atau Spoils, seorang pemimpin politik atau panutan lainnya menghadiahi pengikutpengikutnya dengan jabatan-jabatan walaupun merit mungkin merupakan pertimbangan, tetapi pertimbangan utamanya adalah pegawai yang diangkat itu telah atau akan bekerja bagi kepentingan penguasa atau pimpinan pemerintah. Sistem kepegawaian merit secara umum terdapat di Amerika Serikat, paling tidak dalam teori. Dalam sistem ini, keputusan-keputusan kepegawaian berdasarkan pada standar-standar, kualifikasi-kualifikasi, dan prestasi kerja tertentu. Premis utama birokrasi yang dikemukakan oleh Weber (dikembangkan oleh Max Weber sekitar abad ke-19) membentuk sistem kepegawaian berdasarkan merit, khususnya sebagai seorang pejabat karier para pegawai digaji dalam jumlah tertentu, dilatih dan diseleksi secara spesifik, dibuatkan peraturanperaturan perundangan untuk semua aktivitas atau program, dan evaluasi prestasi kerja dilakukan sebagai bagian dari fungsi kepegawaian. 1. Sistem Karier Terdapat dua sistem pembinaan karier dalam administrasi kepegawaian, yaitu : pegawai negeri karier yang menyusuri kariernya dari tingkat bawah dan pegawai negeri yang secara politis diangkat pada jabatan tertinggi. Pegawai negeri karier biasanya mempunyai masa kerja yang relatif lama dan jabatan yang Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
didudukinya tidak dipengaruhi oleh situasi politik, sedangkan pegawai negeri yang diangkat karena faktor politik posisinya relatif tidak stabil. Pegawai negeri dari jenis terakhir ini biasanya diangkat berdasarkan kesamaan pandangan politik dari kelompok yang sedang memerintah. Jenis pegawai negeri karier dibagi ke dalam dua katagori, yaitu sistem karier tertutup dan sistem karier terbuka. 2. Spoils Versus Merit Kelemahan dari sistem spoils adalah bahwa sistem tersebut akan mengakibatkan adanya korupsi politik dan hanya sedikit menghargai prestasi kerja pegawai sedangkan kebaikan sistem spoils adalah bahwa sistem ini memberikan mekanisme untuk integrasi dan kesatuan sistem politik. Selain itu sistem ini juga membantu pembangunan dan penyatuan partai-partai politik, dan orang yang mempunyai hak pilih akan tertarik dengan iming-iming fasilitas yang akan diberikan kepada mereka. Selanjut nya, dengan berkembangnya mata rantai partai, sistem spoils tersebut membantu
sosialisasi
politik pada
berbagai
kelompok
ras
di
kota
kota besar, dan menimbulkan tuntutan berbagai layanan pemerintah kepada masyarakat karena kemenangan partai yang dipilih mereka. Sistem
tersebut
mengakibatkan
adanya
ketidakadilan
kepada
masyarakat, oleh karena itu para pembaharu menciptakan suatu sistem di mana pegawai negeri dipilih berdasarkan kompetensinya dan kemampuannya untuk melaksanakan tugas. Sistem baru ini disebut sebagai sistem "merit" dimana semua orang mempunyai kesempatan yang sama untuk berkompetisi Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
agar dapat diterima sebagai pegawai negeri, artinya bukan hanya mereka yang kebetulan pendukung pemimpin politik tertentu saja yang punya kesempatan. 171 Sistem merit ini akan membebaskan pegawai negeri dari kendali para politisi dan mesin-mesin yang dibuatnya, dan membuat birokrasi memfokuskan perhatiannya pada tugas melayani masyarakat. Salah satu konsekuensi dari sistem merit adalah melemahnya otoritas atasan, karena atasan tidak dapat secara langsung mengontrol proses seleksi dan penempatan atau rotasi jabatan. Dengan demikian pegawai akan mendapatkan kemerdekaannya dalam melaksanakan tugasnya. Kritik utama bagi sistem merit adalah bahwa proses seleksi sebenarnya menyingkirkan sebagian pelamar dan ini dipandang sebagai suatu alat yang baik untuk memperoleh calon pegawai yang terbaik. Dengan melihat perbandingan kedua sistem tersebut sementara orang mengambil kesimpulan bahwa perbandingannya adalah antara hal yang baik dan jelek. Akan tetapi persoalannya tidaklah sesederhana itu, karena setiap sistem sebenarnya diciptakan sebagai suatu produk dari kekuatan-kekuatan politik yang ada dalam masyarakat. Tidak satu sistem pun yang dapat membuat birokrasi menjadi efektif tanpa biaya dan pengorbanan. Sementara itu Frederick C. Mosher, 172 berpendapat bahwa sebenarnya kata merit itu dalam bidang kepegawaian mempunyai dua konotasi, yang
171 172
Ibid., hlm. 39. Frederick S. Mosher, Democracy and………Op.Cit., hlm. 218.
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
kedua-duanya adalah etika. Pertama, balas jasa yang diberikan kepada pegawai berdasarkan prestasi kerjanya di saat sebelumnya (misalnya dalam kompetisi ujian), atau bila bicara tentang pekerjaan yang berprestasi, maka balas jasa atau hadiahnya adalah promosi. Kedua, dasar-dasar atau kriteria pertimbangan dan penilaian, di mana dalam bidang kepegawaian merit itu dipakai oleh atasan terhadap pegawainya yang prospektif. Dalam Pasal 17 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, disebutkan bahwa pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam suatu jabatan dilaksanakan berdasarkan prinsip profesionalisme sesuai dengan kompetensi, prestasi kerja, dan jenjang pangkat yang ditetapkan untuk jabatan itu serta syarat obyektif lainnya tanpa mem-bedakan jenis kelamin, suku, agama, ras, atau golongan. Pengangkatan pegawai dalam suatu jabatan harus konsisten dengan prinsip penempatan orang yang tepat pada jabatan yang tepat. Untuk dapat melaksanakan prinsip ini dengan baik, maka ada 2 hal yang perlu diperhatikan, yaitu173 : 1. Adanya analisis tugas jabatan (job analysis) yang baik, suatu analisis yang menggambarkan tentang ruang lingkup dan sifat-sifat tugas yang dilaksanakan sesuatu unit organisasi dan syarat-syarat yang harus dimiliki oleh pejabat yang akan menduduki jabatan di dalam unit organisasi itu.
173
A.W. Widjaya, Administrasi Kepegawaian.......... Op.Cit., hlm 55.
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
2. Adanya penilaian pelaksanaan pekerjaan, kecakapan dari masing-masing pegawai yang terpelihara dengan baik dan terus-menerus. Dengan adanya penilaian pekerjaan maka dapat diketahui tentang sifat, kecakapan, disiplin, prestasi kerja dan lain-lain dari masing-masing pegawai. Dalam praktek sering terjadi, bukan hanya faktor obyektif (prestasi kerja, kecakapan, dan lain-lain) yang menjadi ukuran tetapi adakalanya faktor subjektif yang lebih dominan (penilaian sang Kepala apakah seorang pegawai dapat dipercaya atau tidak, loyal atau tidak, dan lain-lain faktor yang serupa dengan itu). Faktor ‘kepercayaan’ dan ‘loyalitas’ sering memegang peranan dalam menempatkan seorang pegawai terutama dalam kedudukan penting. Karena walaupun seseorang itu cakap dan mempunyai keahlian yang tinggi, tetapi ‘tidak dapat dipercaya’ dan ‘tidak loyal’, maka hal ini akan menimbulkan kekacauan dalam organisasi. Tetapi walaupun demikian, ‘faktor obyektif’ seperti kecakapan, keahlian dan prestasi kerja harus mendapat pertimbangan lebih dahulu, sesudah itu barulah dipertimbangkan faktor subjektifnya. Optimalisasi pemanfaatan sumber daya manusia di lingkungan instansi pemerintah dilakukan melalui pengembangan Pegawai Negeri Sipil dalam jabatan karier. Jabataan karier di instansi pemerintah terdiri atas dua jenis jabatan, yaitu jabatan struktural dan jabatan fungsional. Jabatan struktural di lingkungan instansi pemerintah adalah jabatan manajerial yang dipangku oleh seorang Pegawai Negeri Sipil yang telah memenuhi syarat kemampuan kepemimpinan dan kemampuan teknis fungsional yang memadai sesuai dengan jenjang jabatannya. Hal tersebut sesuai Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
dengan yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, bahwa pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam suatu jabatan dilaksanakan berdasarkan prinsip profesionalisme sesuai dengan kompetensi, prestasi kerja, dan jenjang pangkat yang ditetapkan untuk jabatan itu serta syarat obyektif lainnya tanpa membeda-kan jenis kelamin, suku, agama, ras, atau golongan. Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam jabatan struktural atau jabatan fungsional harus dilakukan secara obyektif dan selektif, sehingga menumbuhkan kegairahan untuk berkompetisi secara sehat, hal tersebut dapat menumbuhkan minat kepada setiap Pegawai Negeri Sipil untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilannya sehingga akan terujud Pegawai Negeri Sipil yang berkemampuan melaksanakan tugas secara profesional dan dapat memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat serta bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Untuk menjaga konsistensi jumlah, kualifikasi dan komposisi jabatan sesuai dengan kebutuhan organisasi baik secara sektoral (mikro) maupun secara nasional (makro), pemerintah merumus-kan dan menetapkan formasi jabatan. Kemudian dalam rangka perencanaan, pengembangan, dan pembinaan karir serta untuk peningkatan mutu kepemimpinan dalam jabatan struktural diperlukan suatu norma, standar, dan prosedur pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil dari dan dalam jabatan struktural.
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
Norma,
standar,
dan
prosedur
pengangkatan,
pemindahan,
dan
pemberhentian Pegawai Negeri Sipil dari dan dalam jabatan struktural telah ditetapkan dalam suatu peraturan pemerintah, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 jo Peraturan Pemerintah nomor 13 Tahun 2002 Tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural. Peraturan tersebut adalah merupakan kebijakan
pemerintah
yang
merupakan
pola
acuan
terhadap
pelaksanaan
pengangkatan dalam jabatan struktural dan pembinaan karier bagi Pegawai Negeri Sipil Pusat maupun Pegawai Negeri Sipil Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota.
2.
Proses Pengangkatan Jabatan Struktural Pada Kantor Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara
Wilayah
Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam jabatan struktural merupakan upaya yang diusahakan untuk meningkatkan profesionalisme pegawai, kesejahteraan, dan peningkatan karier pegawai negeri sipil sesuai dengan bidang dan kemampuannya, untuk mewujudkan hal tersebut maka dalam merekrut calon pejabat dapat berpedoman pada ketentuan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Untuk menerapkan sistem merit secara konsisten dalam pelaksanaan pengangkatan jabatan struktural ini harus didasarkan pada standar jabatan dan kompetensi. Pembinaan Sumberdaya Aparatur adalah guna membentuk sosok Pegawai Negeri Sipil yang bersih dan berwibawa, serta dapat memberikan pelayanan prima terhadap masyarakat. Maka dalam pembinaan tersebut harus diperlakukan
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
sama terhadap seluruh Pegawai Negeri Sipil, yaitu memperhatikan mekanisme yang ada, misalnya sistem Daftar Urut Kepangkatan. Daftar Urut Kepangkatan dalam pembinaan Pegawai Negeri disusun untuk menentukan senioritas, promosi dan penempatan pegawai. Pengangkatan dalam jabatan struktural merupakan bagian dari manajemen karier Pegawai Negeri Sipil sebagai kebijakan pemerintah yang bersifat menyeluruh. Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, bahwa pembinaan Pegawai Negeri Sipil diarahkan untuk mewujudkan (1) unsur aparatur negara yang profesional, jujur, adil, bermoral tinggi, berwawasan global dan nasionalis, (2) netral dari pengaruh partai politik atau golongan tertentu, (3) tidak diskriminatif baik dalam recruitmen, penempatan, maupun dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, (4) mampu berperan sebagai unsur perekat negara kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan peraturan pemerintah yang mengatur tentang pengangkatan dalam jabatan struktural adalah Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 jo Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2002. Peraturan ini mengatur tentang pengangkatan dalam jabatan struktural untuk seluruh Pegawai Negeri Sipil secara nasional, tidak membedakan Pegawai Negeri Sipil Pusat maupun Pegawai Negeri Sipil Daerah, sehingga kepastian karier Pegawai Negeri Sipil terjamin secara nasional, terhindar dari KKN dan perlakuan diskriminatif, sehingga dapat
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
menghasilkan pejabat yang potensial, profesional dan berkualitas sesuai dengan tuntutan masyarakat. Norma, standar dan prosedur pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil dalam dan dari jabatan struktural sebagai kebijakan pemerintah merupakan pola acuan dalam pelaksanaan pembinaan karier Pegawai Negeri Sipil yang berlaku nasional, baik Pegawai Negeri Pegawai Negeri Sipil Daerah. Berdasarkan hasil penelitian, Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara dalam proses pengangkatan jabatan strukturalnya dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku sekarang ini. Dalam proses pengangkatan jabatan struktural tersebut, Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara menetapkan 2 (dua) buah syarat, yaitu 174 : a. Persyaratan Umum yang harus dipenuhi oleh calon pejabat struktural sebagaimana tertuang dalam Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 jo Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2002 adalah: 1. Berstatus Pegawai Negeri Sipil 2. Serendah-rendahnya memiliki pangkat 1 tingkat dibawah jenjang pangkat yang ditentukan 3. Memiliki kualifikasi dan tingkat pendidikan yang ditentukan
174
Hasil wawancara dengan Bapak Rahmat Tarigan (Kepala Bagian Umum Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara), pada tanggal 21 Juli 2009. Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
4. Semua unsur penilaian prestasi kerja sekurang-kurangnya bernilai baik dalam 2 tahun terakhir 5. Memiliki kompetensi jabatan yang diperlukan 6. Sehat jasmani dan rohani. b. Persyaratan khusus yang harus dipenuhi oleh calon pejabat struktural 1. Senioritas dalam kepangkatan 2. Usia 3. Pendidikan dan pelatihan (Diklat) jabatan 4. Pengalaman Kedua syarat di atas adalah syarat yang harus dipenuhi oleh seorang Pegawai Negeri Sipil pada Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara untuk dapat diangkat menjadi pejabat struktural. Berikut ini penulis akan menguraikan pelaksanaan syarat-syarat di atas dan bagaimana pelaksanaannya di Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara. 1. Berstatus Pegawai Negeri Sipil Dalam pengangkatan jabatan struktural di Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara harus berstatus Pegawai Negeri Sipil. Anggota TNI dan Polri tidak boleh memasuki jabatan karir Pegawai Negeri Sipil, hal ini sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada.
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
2. Kepangkatan Bahwa syarat kepangkatan adalah merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh calon pejabat struktural pada Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara, namun menurut penulis untuk hal-hal tertentu (apabila mendesak) syarat itu dapat ditolerir dengan melihat kompetensi dan kapabilitas calon pejabat struktural tersebut. Tujuannya agar pegawai termotivasi untuk meningkatkan kinerja, alasan lainnya sepanjang Pegawai Negeri Sipil tersebut memiliki kemampuan/profesional dan kompetensi sesuai dengan bidangnya. 3. Pendidikan Kualifikasi dan tingkat pendidikan pada dasarnya akan mendukung pelaksanaan tugas dalam jabatan Pegawai Negeri Sipil secara profesional, khususnya dalam upaya penerapan pelaksanaan tugas dalam jabatannya. Dalam syarat pendidikan ini Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara juga menerapkan standar yang bagus, hal ini dikarenakan latar belakang pendidikan sangat menunjang dalam pelaksanaan tugas sehari-hari, disamping itu, karena tingkat pendidikan dapat meningkatkan kemampuan dan wawasan seseorang sehingga dapat mempermudah pejabat yang besangkutan dalam melaksanakan tugasnya. 4. Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP-3) Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara menjadikan DP-3 ini sebagai salah satu dasar pertimbangan untuk diangkat ke Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
dalam jabatan yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan DP-3 sebagai satu-satunya alat ukur prestasi pegawai, karena belum adanya alat ukur lain yang dapat digunakan sebagai dasar penilaian prestasi pegawai, dan alasan lainnya adalah dalam pelaksanaannya harus sesuai dengan ketentuan. 5. Sehat Jasmani dan Rohani Sehat jasmani dan rohani menjadi salah satu syarat utama dalam pengangkatan pejabat struktural di Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara, sebab seorang pejabat harus mampu menjalankan tugas secara profesional, efektif dan efisien karena itu secara fisik dibutuhkan seorang pejabat yang tidak dalam keadaan sakit-sakitan sehingga mampu menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya. 6. Senioritas Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara juga memperhatikan faktor senioritas ini karena seorang Pegawai Negeri Sipil yang senior dalam pangkat, masa kerja, pelatihan jabatan, pendidikan, dan usia harus menjadi salah satu pertimbangan pengangkatan dalam jabatan struktural. 7. Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Dalam
rangka
menciptakan
kompetensi
kepemimpinan
aparatur
dan
meningkatkan mutu, pengetahuan, keahlian, kemampuan dan keterampilan pegawai sesuai dengan kebutuhan organisasi, maka kepada Pegawai Negeri Sipil yang akan diangkat dalam jabatan struktural harus mengikuti Diklatpim sesuai jenjang jabatan strukturalnya. Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
8. Daftar Urut Kepangkatan (DUK) Daftar Urut Kepangkatan (DUK) adalah suatu daftar yang memuat nama Pegawai Negeri Sipil dari suatu satuan organisasi negara yang disusun menurut tingkatan kepangkatan, adapun ukuran yang digunakan untuk menetapkan nomor urut dalam DUK secara berturut-turut adalah: pangkat, jabatan, masa kerja, latihan jabatan, pendidikan, dan usia. DUK digunakan sebagai salah satu bahan pertimbangan obyektif dalam melaksanakan pembinaan karier Pegawai Negeri Sipil di Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara, hal ini sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1979. Dalam proses pengangkatan jabatan struktural di Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara tidak terlepas dari Kantor Pusat Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia khususnya pada Biro Kepegawaian. Hal ini terjadi karena Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara adalah instansi vertikal di daerah sehingga untuk pengangkatan jabatan struktural ini Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara hanya memberikan usulan dimana keputusan akhirnya nanti diputuskan oleh Kantor Pusat Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia khususnya pada Biro Kepegawaian berupa Surat Keputusan (SK). Lama proses ini tidak ada kepastian waktunya, hal ini tergantung dari kebijakan Kantor Pusat Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. 175
175
Hasil wawancara dengan Bapak Yusriadi (Kepala Sub Bagian Kepegawaian Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara), pada tanggal 17 Juli 2009. Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
BAB IV HAMBATAN-HAMBATAN YANG TERJADI DALAM PROSES PENGANGKATAN JABATAN STRUKTURAL SERTA UPAYA-UPAYA YANG DILAKUKAN A. Hambatan Hambatan-hambatan yang terjadi dalam proses pengangkatan jabatan struktural pada Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara adalah diantaranya tidak adanya Fit and Proper Test dalam proses seleksi pengangkatan jabatan struktural. Dengan beban kerja yang sangat berat dan pencapaian tujuan organisasi sebenarnya sangat diperlukan sekali pejabat struktural yang memang benar-benar mempunyai kemampuan untuk menduduki jabatan struktural tersebut dan memiliki etika dan moral yang baik sehingga dalam melaksanakan tugasnya jauh dari unsur KKN. 176 Kemudian proses seleksi pengangkatan jabatan struktural melalui Keputusan Baperjakat di daerah yang diusulkan oleh Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia kepada Kantor Pusat Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia tidak transparan dan sarat akan terjadinya praktek KKN. Hal ini sering kali terjadi dimana Kantor Pusat tidak merespon usulan dari Kantor Wilayah dengan mengeluarkan keputusan yang tidak sesuai dengan usulan Kantor Wilayah, banyak terjadi pengangkatan jabatan struktural yang memprioritaskan Pegawai Negeri Sipil Pusat untuk menduduki jabatan di Kantor Wilayah padahal 176
Tim Peneliti Badan Kepegawaian Negara, Persepsi PNS........., Op.Cit., hlm. 95.
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
kebutuhan di Kantor Wilayah tersebut lebih diketahui oleh Kantor Wilayah yang bersangkutan. Mungkin dalam jabatan eselon II ke atas hal tersebut tidak terlalu masalah karena menyangkut hal yang lebih strategis, namun yang terjadi sekarang jabatan struktural eselon IV dan eselon III pun di ambil alih oleh Pegawai Negeri Sipil dari Kantor Pusat. 177 Tidak adanya uji kompetensi terhadap calon-calon pejabat struktural yang diusulkan, hal ini sangat perlu untuk mendapatkan pejabat struktural yang benar-benar berbobot. Standar kompetensi dalam uji kompetensi ini juga sangat perlu dibuat yang bertujuan untuk mengetahui kemampuan calon-calon pejabat struktural tersebut. Artinya jika calon tersebut tidak mampu melewati standar kompetensi yang dimaksudkan maka calon tersebut tidak disertakan dalam usulan ke Kantor Pusat. Hal ini dilakukan untuk meminimalisasi diangkatnya calon yang tidak memenuhi standar kompetensi. 178 Kemudian pelaksanaan Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) di Kantor Wilayah jarang dilaksanakan sebelum mengeluarkan usulan calon-calon pejabat struktural ke Kantor Pusat. Sehingga terjadi kecolongan pengisian jabatan yang tidak sesuai dengan keinginan Kantor Wilayah, bahkan Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan langsung berhubungan dengan Kantor Pusat untuk mendapatkan suatu jabatan di Kantor Wilayah. Hal ini
177
Hasil wawancara dengan Bapak Rahmat Tarigan (Kepala Bagian Umum Kanwil Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara, pada tanggal 21 Juli 2009. 178 Hasil wawancara dengan Bapak Yusriadi (Kepala Sub Bagian Kepegawaian Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara), pada tanggal 17 Juli 2009. Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
menimbulkan dampak yang tidak baik bagi keharmonisan kerja di Kantor Wilayah serta membuka jalan terjadinya praktek suap dalam proses pengangkatan jabatan struktural di Kantor Wilayah. 179 Hambatan yang berikutnya adalah lemahnya sistem informasi pegawai yang berakibat sulitnya mencari data atau informasi pegawai pendukung dalam penempatan pegawai, sehingga informasi pegawai yang diperlukan kurang lengkap dalam menempatkan seorang pegawai. Sistem informasi yang digunakan sementara berdasarkan Daftar Urutan Kepangkatan (DUK) yang ada, tanpa memperhatikan prestasi pegawai dalam melaksanakan pekerjaan.
B. Upaya Dalam mengatasi hambatan-hambatan yang terjadi diperlukan upayaupaya yang dilakukan. Adapun upaya-upaya yang harus dilakukan oleh Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara agar proses pengangkatan jabatan struktural dapat terlaksana dengan baik dan jauh dari praktek KKN menurut penulis adalah : 1. Mengadakan Seleksi melalui Fit and Proper Test Seleksi melalui ″fit and proper test″ seharusnya diberlakukan kepada semua Pegawai Negeri Sipil yang akan menduduki jabatan, baik jabatan struktural maupun jabatan fungsional. Tujuannya adalah untuk mengetahui
179
Hasil wawancara dengan Bapak Yusriadi (Kepala Sub Bagian Kepegawaian Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara), pada tanggal 17 Juli 2009. Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
kelayakan mereka pada posisi jabatan yang akan didudukinya, adapun maksud dari pada ″fit and proper test″ adalah untuk mencari kandidat yang memiliki karakteristik seperti sikap, minat, motivasi, keterampilan dan watak yang tepat untuk jabatan yang harus diisi. Sehingga pengangkatan seseorang dalam suatu jabatan adalah bukan berdasarkan "selera" pimpinan atau atasan yang mengangkatnya. Seleksi melalui fit and proper test merupakan salah satu proses yang dianggap penting dan perlu dilaksanakan dalam rangka pengangkatan pejabat struktural. Alasannya adalah dengan adanya fit and proper test maka pengangkatan calon pejabat struktural akan terhindar dari KKN serta sesuai dengan kemampuan calon pejabat struktural tersebut. 180 2. Membentuk Unit Penyelenggara Seleksi Fit and Proper Test Untuk mengungkap lebih jauh tentang relevansi dilaksanakan seleksi melalui fit and proper test terhadap proses pengangkatan pejabat struktural, maka hendaknya dibentuk tim khusus/independen yang menyelenggarakan seleksi melalui fit and proper test tersebut. 181 Dari hal tersebut di atas dapat memberi gambaran bahwa dalam pelaksanaan seleksi melalui fit and proper test diharapkan kepada pejabat Pembina Kepegawaian Pusat menunjuk unit/lembaga penyelenggara seleksi yang lebih proporsional. Artinya unit/lembaga penyelenggara tersebut
180 181
Tim Peneliti Badan Kepegawaian Negara, Persepsi PNS........., Op.Cit., hlm. 97. Ibid.
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
memang benar-benar mengerti dan sesuai dengan substansinya. Dalam hal ini Biro/Bagian kepegawaian menjadi penyelenggara karena lebih mengerti kebutuhan organisasi dan sesuai dengan substansinya atau dibentuk tim khusus yang menyelenggarakan seleksi fit and proper test ini supaya bisa lebih obyektif dan transparan, supaya tidak dapat dipengaruhi oleh kepentingan kelompok tertentu. 182 3. Melakukan Uji Kompetensi Upaya yang juga harus dilakukan adalah dengan mengadakan uji kompetensi. Setiap calon pejabat yang akan diangkat dalam suatu jabatan struktural kepadanya perlu dilakukan uji kompetensi, atau dengan kata lain bahwa pengujian kompetensi terhadap calon pejabat struktural adalah merupakan proses yang sangat penting dan perlu dilaksanakan. 4. Penerapan Standar Kompetensi Untuk menerapkan sistem merit secara konsisten, dalam pelaksanaan pemanfaatan pegawai harus didasarkan pada standar jabatan dan kompetensi. Sesuai penjelasan pasal 5 huruf (e) Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam Jabatan Struktural menyebutkan, kompetensi adalah kemampuan dan karakteristik yang dimiliki oleh seorang Pegawai Negeri Sipil berupa pengetahuan, keterampilan, dan sikap perilaku yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas jabatannya.
182
Ibid.
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
Standar Kompetensi adalah standar kemampuan seseorang yang berupa pengetahuan, keterampilan, dan sikap perilaku yang diperlukan dalam pelaksanaan tugasnya, atau alat ukur yang dibutuhkan untuk suatu jabatan tertentu. 5. Baperjakat Untuk menjamin kualitas dan obyektivitas pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil dalam dan dari jabatan struktural Eselon II ke bawah, pada setiap instansi dibentuk Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat). Keberadaan Baperjakat dalam rangka proses pengangkatan pejabat struktural masih relevan, artinya untuk menjamin kualitas dan obyektivitas, maka peran Baperjakat masih diharapkan sebagai lembaga yang mengemban amanah dalam proses pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian dalam dan dari jabatan struktural. Untuk menghindari kecolongan pengisian jabatan struktural, Kantor Wilayah mulai kembali mengaktifkan Baperjakat dalam proses pengusulan pejabat struktural ke Kantor Pusat. 183 Selanjutnya dalam kaitannya dengan konsepsi kepemerintahan yang baik (good governance), maka secara konseptual pengertian kata baik (good) dalam istilah
kepemerintahan
yang
baik
(good
governance)
mengandung
dua
pemahaman : Pertama, nilai-nilai yang menjunjung tinggi keinginan/kehendak
183
Hasil wawancara dengan Bapak Yusriadi (Kepala Sub Bagian Kepegawaian Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara), pada tanggal 17 Juli 2009. Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
rakyat, dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan (nasional) kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial, Kedua, aspek fungsional dari pemerintah yang efektif dan efesien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan tersebut. 184 Kepemerintahan yang baik berorientasi pada dua hal, yaitu 185 : 1. Orientasi ideal negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional; 2. Pemerintahan yang berfungsi secara ideal, yaitu secara efektif dan efisien melakukan upaya pencapaian tujuan nasional. Peningkatan
produktivitas
kerja
sumber
daya
manusia
strategis
merupakan syarat utama dalam era globalisasi untuk mewujudkan kemampuan bersaing dan kemandirian. Sejalan dengan proses pengangkatan jabatan struktural dalam kaitan membangun sistem manajemen kinerja di masa yang akan datang diharapkan dapat mempersiapkan sumber daya manusia profesional, berkinerja tinggi, mampu bersaing sehingga dapat meningkatkan produktivitas guna mewujudkan good governance, mengantisipasi perkembangan dunia yang pesat di berbagai aspek kehidupan. Terdapat 4 (empat) unsur atau prinsip utama yang dapat memberi gambaran administrasi publik yang berciri kepemerintahan yang baik, yaitu akuntabilitas, transparan, keterbukaan dan aturan hukum. 186 Untuk mewujudkan
Sedarmayanti, Good Governance (Kepemerintahan Yang Baik) Bagian Kedua, (Bandung: Mandar Maju, 2004), hlm. 42. 185 Ibid. 186 Ibid., hlm. 252. 184
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
good governance, diperlukan manajemen penyelenggaraan pemerintah yang baik dan handal yakni manajemen yang kondusif, responsif dan adaptif. Karakteristek good governance, diharapkan dapat diwujudkan dengan cara melakukan pembangunan kualitas sumber daya manusia agar lebih berkinerja tinggi dan lebih produktif sebagai pelaku good governance. 187
187
Ibid., hlm. 253.
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dari pembahasan terhadap permasalahan yang telah dikemukakan dalam tesis ini, kesimpulan yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut : 1. Pembinaan pegawai secara efektif memerlukan perencanaan kebutuhan pegawai yang matang. Formasi pegawai harus ditetapkan secara matang, terencana dan sesuai dengan kebutuhan nyata di lapangan. Setiap tahun harus dilakukan evaluasi baik melalui penelitian maupun pengawasan terhadap keubutuhan dan efektivitas pelaksanaan kerja pegawai pemerintah. Jaminan pengembangan karier pegawai harus direncanakan secara baik. Yang terjadi hingga saat ini adalah seorang pegawai mengetahui masuknya dan kapan pensiunnya, tetapi tidak mengetahui secara pasti nasib pengembangannya setelah masuk menjadi pegawai pemerintah. Demikian pula dengan kesejahteraan pegawai harus betul-betul dijaga, jangan sampai gaji dan tunjangan yang diterima tidak menentu apalagi tidak pantas untuk hidup layak. 2. Dalam proses pengangkatan jabatan struktural pada Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia ditentukan bahwa syarat-syarat bagi Pegawai Negeri Sipil untuk dapat diangkat dalam jabatan struktural tersebut adalah sebagai berikut :
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
a. berstatus Pegawai Negeri Sipil ; b. serendah-rendahnya menduduki pangkat 1 (satu) tingkat dibawah jenjang pangkat yang ditentukan; c. memiliki kualifikasi dan tingkat pendidikan yang ditentukan ; d. semua unsur penilaian prestasi kerja sekurang-kurangnya bernilai baik dalam 2 (dua) tahun terakhir; e. memiliki kompetensi jabatan yang diperlukan ; dan f. sehat jasmani dan rohani. Syarat-syarat di atas mengacu pada ketentuan Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2002 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah nomor 100 Tahun 2000 Tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural. Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia hanya memberikan usulan nama Pegawai Negeri Sipil yang memiliki kompetensi untuk menduduki jabatan tersebut ke Kantor Pusat Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Keputusan akhir pengangkatan jabatan struktural tersebut berada pada Kantor Pusat dan usulan nama Pegawai Negeri Sipil dari Kantor Wilayah menjadi bahan pertimbangan bagi Kantor Pusat dalam pengangkatan jabatan struktural di Kantor Wilayah. 3. Hambatan yang terjadi dalam proses pengangkatan jabatan struktural ini adalah : Pertama, tidak adanya fit and proper test dalam proses pengangkatan jabatan struktural. Kedua, tidak transparannya keputusan Kantor Pusat dalam menanggapi usulan pengangkatan pejabat struktural dari Kantor Wilayah. Terlihat dari hasil Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
usulan yang tidak diperdulikan oleh Kantor Pusat dengan akhirnya mengeluarkan keputusan yang menduduki jabatan struktural tersebut adalah Pegawai Negeri Sipil yang bukan berasal dari Kantor Wilayah yang bersangkutan. Ketiga, tidak adanya uji kompetensi terhadap calon-calon pejabat struktural. Keempat, tidak efektifnya pelaksanaan Baperjakat di Kantor Wilayah serta Kelima, lemahnya sistem informasi pegawai yang berakibat sulitnya mencari data atau informasi pegawai pendukung dalam penempatan pegawai, sehingga informasi pegawai yang diperlukan kurang lengkap dalam menempatkan seorang pegawai.
B. Saran Setelah melakukan pembahasan dan analisa terhadap permasalahan yang telah dikemukakan dalam tesis ini, maka saran yang dapat diberikan penulis adalah : 1. Agar proses Baperjakat dalam pengangkatan jabatan struktural di jajaran Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara diaktifkan kembali dimana nantinya hasil Baperjakat tersebut menjadi usulan calon pejabat struktural dari Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara dan keputusan akhirnya ada pada Kantor Pusat Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia. Diharapkan juga usulan yang berasal dari Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara menjadi sebuah bahan pertimbangan penting bagi Kantor Pusat Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia dalam pengangkatan jabatan struktural di Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara.
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
2. Untuk menghasilkan pejabat struktural yang memiliki kompetensi dalam mengemban
tugas
dan
tanggungjawab
jabatannya
diharapkan
proses
pengangkatan pejabat struktural di Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia kedepannya adalah : a. Melalui seleksi Fit and Proper Test b. Merespon Fit and Proper Test dengan membentuk lembaga independen yang berwenang melakukan Fit and Proper Test. c. Melakukan uji kompetensi terhadap calon-calon pejabat struktural. d. Penerapan Standar dari kompetensi yang dilakukan. e. Mengaktifkan kembali sistem Baperjakat dengan melakukan pengawasan yang melekat terhadap pelaksanaan Baperjakat. 3. Peningkatan produktivitas kerja sumber daya manusia strategis merupakan syarat utama dalam era globalisasi untuk mewujudkan kemampuan bersaing dan kemandirian. Sejalan dengan proses pengangkatan jabatan struktural dalam kaitan membangun sistem manajemen kinerja di masa yang akan datang diharapkan dapat mempersiapkan sumber daya manusia profesional, berkinerja tinggi, mampu bersaing sehingga dapat meningkatkan produktivitas guna mewujudkan good governance, mengantisipasi perkembangan dunia yang pesat di berbagai aspek kehidupan.
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-buku Affandi, M. Joao, Dampak Penataan Organisasi Pemerintahan Daerah, Jakarta: Puslitbang BKN, 2002. Ali, Achmad Sosiologi Hukum; Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, Jakarta: Iblam, 2004. Badan Kepegawaian Negara, Tim Peneliti, Persepsi PNS Daerah Tentang Pengangkatan Dalam Jabatan Struktural, Jakarta: Puslitbang BKN, 2003. Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika, 2002. Cayer, N. Joseph, Public Personnel Administrationin the United States, 2nd.Ed. New York, St. Martin’s Press, 1986. Davis, Keith, Newstrom, John, W., Perilaku Dalam Organisasi, (terjemahan), Jakarta: Erlangga, 1985. Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan, Kajian Terhadap Mekanisme Kerja Kantor Wilayah (Departemen Kehakiman) Sehubungan Dengan Perubahan Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah (Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia), Jakarta: Pusjianbang, 2007. Djatmika, Sastra dan Marsono, Hukum Kepegawaian di Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1995. Gouzali, Saydam, Manajemen Sumber Daya Manusia (Human Resources Management), Jakarta: Djambatan, 1996. _______________, Kamus Istilah Kepegawaian, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997. Hanitijo, Ronny, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988. Hartini, Sri dkk, Hukum Kepegawaian di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2008. Hasibuan, Malayu SP., Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta: CV. Haji Mas Agung, 1994.
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
___________________, Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta: Bumi Aksara, 2002. Herman, Profesionalisme Pegawai Negeri Sipil: Karakteristik dan Upaya Peningkatan, Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Kepegawaian Negara, 2005. Kaelan, M.S., Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat (Paradigma bagi Pengembangan Penelitian Interdisipliner bidang Filsafat, Budaya, Sosial, Semiotika, Sastra, Hukum dan Seni), Yogyakarta: Paradigma, 2005. Kansil, C.S.T., Pokok-Pokok Hukum Kepegawaian Republik Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramitha, 1979. Keraf, Sonny A, Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya, Jakarta: Kanisius, 2002. Koentjaraningrat, Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997. Leavit, Harold J., Pengelolaan, Perubahan dan Pengembangan Organisasi, Jakarta: Lembaga Management Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1993. Lubis, Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung: Mandar Maju, 1994. Mangkunegara, Anwar Prabu, Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004. Marbun, S.F., Reformasi Hukum Tata Negara, Netralitas Pegawai Negeri Dalam Kehidupan Politik di Indonesia, Yogyakarta: Fakuktas Hukum Universitas Islam Indonesia, 1998. Mathis, Robert, L., Jackson, John, H., Manajemen Sumber Daya Manusia, (terjemahan), Jakarta, Salemba Empat, 2002. Minor, Marianne, Coaching and Counseling, (terjemahan), Jakarta: PPM, 2003. Mosher, Frederick S., Democracy and the Public Service 2nd Edition New York: Oxford University Press, 1982. Muchsan, Hukum Kepegawaian, Jakarta: Bina Aksara, 1982. Nainggolan, H., Pembinaan Pegawai Negeri Sipil, Jakarta: Ghalia, 1987.
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
Nitisemito. S., Alex, Manajemen Personalia (Manajemen Sumber Daya Manusia), Jakarta, Ghalia Indonesia, 1996. Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1986. Rahardjo, Tri Budi, W., dkk., Manajemen Untuk Pekerja Sosial, Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Ilmu Kedokteran Universitas Indonesia, 2000. Republik Indonesia, Lembaga Administrasi Negara, Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia, Yogyakarta: Toko Gunung Agung, 1997. Rumanti, Sr. Maria, Assumpta, Dasar-Dasar Public Relations Teori dan Praktik, Jakarta: Grasindo, 2002. Ruslan, Rosady, Etika Humas, Konsep dan Aplikasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002. Saadi, Zainut Tauhid, Keputusan Kepala BKN dan Kepala LAN Tahun 2001, Tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 96, 97, 98, 99, 100 dan 101, Jakarta: Panca Usaha , 2002. Sastrohadiwiryo, B. Siswanto, Manajemen Tenaga Kerja Indonesia, Pendekatan Admnistratif dan Operasional, Jakarta: Bumi Aksara, 2003. Sedarmayanti, Good Governance, (Kepemerintahan Yang Baik) Buku II, Bandung: Mandar Maju, 2004. Siagian, Sondang P., Filsafat Administrasi, Jakarta: Gunung Agung, 1996. ________________, Organisasi, Kepemimpinan dan Perilaku Administrasi, Jakarta, Gunung Agung, 1996. Simamora, Henry, Manajemen Sumber Daya Manusia, Yogyakarta: STIE YKPN, 1999. Soedarsono, Soemarno, Character Building, Membentuk Watak, Jakarta: Elex Media Komputindo, 2002. Soerjono, Pemberdayaan Sumber Daya, Jakarta: Lembaga Administrasi Negara, 1999. Soekanto, Soeryono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1985. Soekanto, Soerjono, Metodologi Research, Yogyakarta : Andi Offset, 1998.
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
_______________, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986. Soemirat, Soleh, Ardianto, Elvinardo, Dasar-Dasar Public Relations, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003. Stillman II, Richard J, Public Administration: Concepts and Cases), Boston: Highton Mifflin Company, 1988. Sujamto, Beberapa Pengertian di Bidang Pengawasan, Jakarta: Ghalia, 1986. Sulistiayani, Ambar Teguh dan Rosidah, Manajemen Sumber Daya Manusia, Yogyakarta, Graha Ilmu, 2003. Tamin, Feisal, Reformasi Birokrasi (Analisis Pendayagunaan Aparatur Negara), Yogyakarta: Blantika, 2004. Tayibnapis Burhannudin A., Administrasi Kepegawaian Suatu Tinjauan Analitik, Jakarta: Pradnya Paramita, 1995. Thoha, Miftah, Manajemen Kepegawaian Sipil di Indonesia, Jakarta: Kencana Press, 1999. Tjiptoherijanto P. dan S.Z. Abidin, Reformasi Administrasi dan Pembangunan Nasional. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1993. Umar, Husein, Metode Riset Perilaku Organisasi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003. Wijaya, A.W., Administrasi Kepegawaian Suatu Pengantar, Jakarta: CV. Rajawali, 1986. Zainun, B, Manajemen Sumber Daya Manusia Indonesia. Jakarta: Gunung Agung, 1996.
B. Majalah, Makalah dan Jurnal Affandi, M. Joao, “Pemahaman dan Tanggapan Terhadap Substansi Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2000”, Makalah, Puslitbang BKN, Jakarta, 2002. Effendi, Taufik, “Membangun Tata Pemerintahan yang Baik”, Majalah Layanan Publik, Edisi Ketiga, Tahun I, November 2004.
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
Nasution, Bismar, ”Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum”, Makalah, disampaikan pada Dialog Interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, tanggal 18 Februari 2003. Handoko dan Tjipotono, “Kepemimpinan Transformasional dan Pemberdayaan”, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Edisi XI Bulan November Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 1996. Hardijanto, ”Pembinaan Kepegawaian Dalam Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia”, Makalah, disampaikan pada Diklatpim Tingkat II, LAN, Jakarta, 2003. Hartini, Sri dan Setiajeng Kadarsih, “Diktat Hukum Kepegawaian”, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, 2004. Sudrajat, Tedi, ”Relevansi dan Efektivitas Sumpah/Janji Pengangkatan Terhadap Kinerja Pegawai Negeri Sipil di Kabupaten Banyumas”, Makalah, Purwokerto, Universitas Jenderal Soedirman, 2005.
C. Peraturan Perundang-undangan Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 12 Tahun 2001 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 Tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural. Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: M01PR.07.10 Tahun 2005 tertanggal 01 Maret 2005 Tentang Organisasi dan Tata Laksana Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Keputusan Presiden Nomor 47 Tahun 1994 Tentang Badan Pertimbangan Jabatan Tingkat Nasional. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2002 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah nomor 100 Tahun 2000 Tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural, LNRI Tahun 2002 Nomor 33, TLNRI Nomor 4194. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil, Lembaran Negara RI Tahun 1994 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3547.
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1994 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural, Lembaran Negara RI Tahun 1994 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3546. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang PokokPokok Kepegawaian, LNRI Tahun 1999 Nomor 169, TLNRI Nomor 3890.
Tetty Ernawati Siahaan : Analisis Terhadap Pengangkatan Jabatan Struktural Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Studi Pada Kantor Wilayah Departemen Hukum Dan HAM Sumatera Utara), 2009