PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA KEHUTANAN DALAM UPAYA PENANGGULANGAN MONEY LAUNDERING : STUDI MENGENAI KASUS ADELIN LIS (DIREKSI PT KEANG NAM DEVELOPMENT INDONESIA)
TESIS
Oleh
ROBERTS KENNEDY 077005056/HK
S
C
N
PA
A
S
K O L A
H
E
A S A R JA
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA KEHUTANAN DALAM UPAYA PENANGGULANGAN MONEY LAUNDERING : STUDI MENGENAI KASUS ADELIN LIS (DIREKSI PT KEANG NAM DEVELOPMENT INDONESIA)
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh ROBERTS KENNEDY 077005056/HK
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
Judul Tesis
: PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA KEHUTANAN DALAM UPAYA PENANGGULANGAN MONEY LAUNDERING : STUDI MENGENAI KASUS ADELIN LIS (DIREKSI PT KEANG NAM DEVELOPMENT INDONESIA)
Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi
: Roberts Kennedy : 077005056 : Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) Ketua
(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) Anggota
Ketua Program Studi
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH)
(Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM) Anggota
Direktur
(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)
Tanggal lulus : 27 Juni 2009
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
Telah diuji pada Tanggal 27 Juni 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua
: Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH
Anggota
: 1. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS 2. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM 3. Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum 4. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
ABSTRAK
Dimasukkannya tindak pidana bidang kehutanan sebagai predikat crimes dalam pranata hukum sebagaimana dimaksud di dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UUTPPU) tentunya memberikan dasar hukum bagi aparat penegak hukum untuk melakukan tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap berbagai transaksi yang mencurigakan dari lembaga-lembaga keuangan seperti bank, pasar modal dan asuransi untuk mencari aliran dana yang pada akhirnya akan menuju kepada aktor intelektual pemegang dana kegiatan illegal logging. Dalam praktek penegakan hukum pada Kasus Adelin Lis (Direksi PT. KNDI) terdapat fakta hukum bahwa putusan Pengadilan Negeri Medan dan Mahkamah Agung tidak menganut konsepsi pemahaman bahwa dalam melakukan penjeratan terhadap pelaku dengan menggunakan pendekatan asas diduga atau patut diduga telah melakukan tindakan menyembunyikan harta kekayaan hasil kejahatan melalui kegiatan money laundering . Berdasarkan hal dimaksud maka permasalahan yang dibahas meliputi pengaturan hukum terhadap penegakan hukum tindak pidana kehutanan dan money laundering di Indonesia, pertanggungjawaban pelaku tindak pidana kehutanan di dalam kasus Adelin Lis (Direksi PT Keang Nam Development Indonesia) dan penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana kehutanan dalam upaya menanggulangi money laundering . Jenis penelitian adalah penelitian hukum normatif dan bersifat deskriptif analisis artinya penelitian hanya menggambarkan tentang situasi atau keadaan yang terjadi terhadap permasalahan yang telah dikemukakan. Sumber data dalam penelitian ini adalah data skunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) yang terdiri dari bahan hukum primer, skunder dan tertier. Analisis untuk data kualitatif dilakukan dengan cara pemilihan pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang tindak pidana kehutanan sebagai predicate crime on money laundering pada tindak pidana pencucian uang. UUTPPU sebenarnya telah memberikan landasan berpijak yang cukup kuat bagi aparat penegak hukum khususnya hakim yang menyidangkan kasus menyangkut penjeratan pelaku kejahatan kehutanan sebagai kejahatan asal melalui tindak pidana pencucian uang (money Laundering) sebagai upaya penanggulangan melalui pendekatan represif (penal). Melalui pendekatan penal ini diharapkan penegakan hukum tindak pidana kehutanan tidak saja secara fisik pelaku dapat dideteksi melainkan juga terhadap harta kekayaan yang didapat dari kejahatan asal (core crime) khususnya praktek illegal logging sehingga pelaku pencucian uang yang dilakukan oleh para aktor yang biasanya mempunyai status sosial yang tinggi (white collar crime ) untuk dapat dimintai pertanggung jawaban pidana, karena di dalam tindak pidana pencucian uang (money laundering) yang menjadi prioritas utama adalah pengembalian atau pengejaran uang atau harta kekayaan yang diperoleh dari hasil kejahatan Landasan dari prioritas tindak pidana pencucian uang yakni mengejaran dan pengembalian harta kekayaan hasil kejahatan dengan berbagai alasan sebagai Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
berikut: Pertama, jika pengejaran ditujukan kepada pelakunya akan lebih sulit dan juga sangat beresiko. Kedua, jika diperbandingkan antara mengejar pelakunya dengan uang atau harta benda dari hasil kejahatan akan lebih mudah mengejar hasil dari kejahatan. Ketiga bahwa uang atau harta dari hasil kejahatan adalah juga merupakan darah yang menghidupi atau energi dari tindak pidana itu sendiri (live blood of the crime). Melalui penerapan UU rezim anti money laundering memberi peluang penegakan hukum terhadap aktor intelektual yang melakukan tindakan pembalakan liar terutama pemegang IUPHHK dan HPH dengan menekankan penyelidikan pada aliran uang yang dihasilkan dan juga memberikan sebuah landasan berpijak untuk aparat penegak hukum dalam menjerat aktor-aktor intelektual yang mendanai kegiatan illegal logging. Dengan demikian penyelidikan dan penyidikan terhadap aliran hasil kejahatan pembalakan hutan akan lebih mudah dilakukan, oleh karena muara aliran uang sudah tentu akan berakhir pada aktor intelektual penebangan hutan. Untuk itu sangat diharapkan dalam meminta pertanggungjawaban pelaku illegal logging melalui penegakan hukum dalam upaya penanggulangan money laundering maka kerangka hukum yang diterapkan adalah UUTPU yakni tersangka bermaksud menyembunyikan, mengaburkan harta kekayaan hasil kejahatan. Apabila kerangka ini yang digunakan dalam penanggulangan tidak pidana pencucian uang tentunya aparat penegak hukum dapat melakukan tindakan penyitaan terhadap aset pelaku berdasarkan 3 (tiga) modus opzet pelaku yakni placement, layering dan integration. Kata Kunci: Tindak Pidana Kehutanan, Penanggulangan Money Laundering
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
ABSTRACT
The inclusion of criminal act in the field of forestry as predicate crimes in legal institution as meant in Law No.25/2003 on Money Laundering gives a legal base for the law upholders to inquiry and investigate various transactions that arouse suspicion done by the finance institutions such as bank, stock market and insurance to look for the fund flow that eventually will lead to the intelectual actor who finances the illegal logging activity. In the practice of law enforcement in the case of Adelin Lis (Director of PT. KNDI), there was a legal fact that the decision made by Medan Court of First Instance and the Supreme Court did not follow the conception of understanding that in entrapping the doer through the approach based on the principle that the doer is assumed or can be assumed to have concealed the property obtained through the criminal activity of money laundring. Based on the condition above, the purpose of this analytical, descritive, normative legal study is to discuss the legal regulation used in enforcing the laws related to the crimial acts of forestry and money laundring in Indonesia, the responsibility of the doer of criminal act of forestry in the case of Adelin Lis (Director of PT. Keang Nam Development Indonesia), and the enforcement of criminal law on the doer of criminal act of forestry in an attempt to prevent the incident of money laundering. Since this study only describes the existing situation and condition related to the problems brought out, the data for this study were focused on the secondary data in the forms of primary, secondary and tertiary legal materials obtained through library research. The qualitative data were analyzed through picking up the articles containing legal norms regulating the crimial acts of forestry as predicate crime on money laundering in the criminal act of money laundering. Law No.25/2003 actually has given an adequately strong base for the law upholders especially the judges who bring the cases dealing with entrapping the doer of criminal act of forestry as predicate crime on money laundering to trial as an attempt of prevention through repressive (penal) approach. It is expected that through this penal approach, enforcing the law on criminal act of forestry can not only physically detect the doer but also the property obtained through the core crime especially the illegal logging that the criminal responsibility of the doer of money laundering who usally a person with high social status (white collar crime) can be asked because the main priority in the criminal act of money laundering is to return and to hunt the money or property obtained from the criminal act which is based on the following reasons: first, if hunting the doer will be more difficult and very risky; second, if hunting the money and property obtained from the criminal act is easier compared to hunting the doer; and third, that the money or property obtained from the criminal act is the live blood of the crime. Through the application of the law, the anti money laundering regime gives an opportunity to enforce the law to the intellectual actors especially those holding timber consessions (including IUPPHK Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
and HPH) who practice the illegal logging by emphasizing the investigation on the flow of the money obtained and to provide a legal base for the law upholders in entrapping the intellectual actors who finance the activity of illegal logging. Therefore, the investigation on the flow of the income obtained from illegal logging will be easily done because all of the income will finally go to the intellectual actors who finance the illegal logging. Hence, the responsibility of the doer of illegal logging through law enforcement is needed in the attempt to prevent the incident of money laundering so the legal framework applied in Law No.25/2003 on Money Laundering is that the suspect intends to hide or obscure the property obtained from the criminal act. If this framework is used in preventing the incident of criminal act of money laundering, the law upholders can surely confiscate the assets belong to the doer of money laundering based on 3 (three) modus opzet of the doer such as placement, layering, and integration.
Key words: Criminal Act of Forestry, Money Laundering Prevention
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim Assalamu’alaikum, Wr.Wb Alhamdulillah, Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas kesehatan yang diberikan sehingga dapat menyelesaikan tesis ini. Shalawat dan salam penulis sampaikan kepada Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabatsahabatnya. Adapun topik penelitian menyangkut tentang” PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA KEHUTANAN DALAM UPAYA PENANGGULANGAN MONEY LAUNDERING: STUDI MENGENAI KASUS ADELIN LIS (DIREKSI PT KEANG NAM DEVELOPMENT INDONESIA)”. Penyelesaian tesis ini tidak akan rampung tanpa bantuan, saran maupun petunjuk yang diberikan kepada penulis oleh pembimbing maupun penguji baik pada saat pengajuan judul sampai penyusunan tesis ini. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp. A (K), selaku Rektor atas kesempatan menjadi mahasiswa pada Program Studi Hukum Ekonomi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 2. Ibu, Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa., B. M.Sc, Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara atas kesempatan yang telah diberikan untuk menyelesaikan pendidikan Program Studi Hukum Ekonomi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, Pembimbing Utama sekaligus Ketua Program Studi Ilmu Hukum yang telah memberikan bimbingan sampai akhirnya penulis dapat menyelesaikan perkuliahan pada Program Studi Hukum Ekonomi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 4. Ibu Dr. Sunarmi, SH. M. Hum, selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum juga sebagai penguji yang telah banyak memberikan masukan dan arahan kepada penulis. 5. Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS dan Bapak Syafruddin S Hasibuan, SH, MH, selaku Anggota Komisi Pembimbing, atas bimbingan dan dorongan dalam melaksanakan penelitian dan penyelesaian tesis. 6. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH., M. Hum, selaku penguji, terima kasih atas masukan dan pendapatnya. 7. Seluruh Guru Besar serta Dosen pada Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih yang sedalamdalamnya khususnya kepada Bapak Kapolda Sumatera Utara dan seluruh pejabat Kepolisian Daerah Sumatera Utara serta seluruh keluarga besar Polresta Binjai yang telah memberikan kesempatan, dukungan dan motivasi untuk mengikuti studi di Program Studi Hukum Ekonomi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Ucapan terima kasih dan do’a penulis untuk orang tua dan mertua tercinta, semoga Allah SWT membalas semua kebaikan-kebaikannya. Do’a-do’a beliau selalu mengiringi penulis sampai sekarang, yang mampu menghadapi cobaan hidup Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
dan menjadi berkah yang membangkitkan semangat dari segala rintangan. Khusus untuk isteri dan anak-anak tercinta yang telah banyak berkorban dan bersabar dengan selalu memberikan semangat kepada penulis untuk tetap giat belajar dan menyelesaikan studi ini. Kepada seluruh saudara, sahabat dan kerabat yang telah mendukung dan mendo’akan, penulis ucapkan terima banyak terima kasih atas segala bantuan dan perhatiannya. Penulis juga berharap bahwa tesis ini dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi semua pihak yang berkepentingan, namun penulis menyadari bahwa tulisan ini masih banyak kekurangan, untuk itu penulis memohon saran dan masukan kepada kalangan-kalangan peneliti selanjutnya agar penelitian ini menjadi sempurna dan bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya tentang penegakan hukum tindak pidana kehutanan dan penanggulangan money laundering. Semoga Allah SWT memberikan berkah, karunia dan kekuatan lahir batin kepada kita semua. Wassalamu’alaikum, Wr. Wb. Hormat penulis.
Roberts Kennedy
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
RIWAYAT HIDUP
Nama
:
Roberts Kennedy
Tempat/Tanggal Lahir
:
Palembang, 10 Juni 1968
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Agama
:
Islam
Pekerjaan
:
Kapolres Binjai
Pendidikan
:
SD Negeri Palembang Tamat Tahun 1981 SMP Negeri 2 Palembang Tamat Tahun 1984 SMA Negeri Palembang Tamat Tahun 1987 Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian Akpol Tahun 1990 Strata Satu (S1) Universitas Medan Area Fakultas Hukum Tamat Tahun Strata Dua (S2) Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Tamat Tahun 2009
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK ............................................................................................................ i ABSTRACT ............................................................................................................. iii KATA PENGANTAR .......................................................................................... v RIWAYAT HIDUP ............................................................................................... viii DAFTAR ISI .......................................................................................................... ix BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1 A. LatarBelakang ......................................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ................................................................................... 21 C. Tujuan Penelitian ..................................................................................... 21 D. Manfaat Penelitian .................................................................................. 22 E. Keaslian Penelitian .................................................................................. 23 F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional ......................................... 24 1. Kerangka Teori ................................................................................. 24 2. Landasan Konsepsional .................................................................... 38 G. Metode Penelitian .................................................................................... 41 1. Jenis dan Sifat Penelitian ..................................................................... 41 2. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data ...................................... 43 3. Alat Pengumpulan Data ....................................................................... 45 4. Analisis Data......................................................................................... 45
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KEHUTANAN DAN MONEY LAUNDERING DI INDONESIA ..................................................................................... 46 A. Pengaturan Tindak Pidana Kehutanan ................................................... 46 B. Pengaturan Tindak Pidana Money Laundering di Indonesia ................. 63 C. Karakteristik Pelaku Kejahatan Pembalakan Liar Yang Mengalihkan Harta Kekayaan Hasil Kejahatan Dengan Praktek Pencucian uang ...... 74 BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU TINDAK PIDANA KEHUTANAN DI DALAM KASUS ADELIN LIS (DIREKSI PT KEANG NAM DEVELOPMENT INDONESIA) ..... 82 A. Penegakan Hukum Oleh Pengadilan Negeri Medan dan Mahkamah Agung Dalam Kasus Adelin Lis (Direksi PT. KNDI) Dalam Rangka Meminta Pertanggungjawaban Pelaku .................................................... 82 B. Kelemahan Dalam Penerapan Rezim Money Laudering Dalam Kasus Adelin Lis (Direksi PT. KNDI) Karena Harus Didasarkan Pada Pembuktian Predicate Crime Terlebih Dahulu ............................. 94 BAB IV PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KEHUTANAN DALAM UPAYA MENANGGULANGI MONEY LAUNDERING ................................106 A. Pendekatan Melalui Pengejaran Harta Kekayaan Yang Diperoleh Dari Praktek Tindak Pidana Kehutanan ................................................. 106 B. Peran Lembaga Keuangan Dalam Mencegah Kerusakan Hutan Sebagai Upaya Penanggulangan Secara Preventif .................................. 114 BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN.............................................................. 122
A. Kesimpulan ............................................................................................. 122 B. Saran ....................................................................................................... 124 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 128
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
BAB I PENDAHULUAN C. Latar Belakang Masalah tindak pidana lingkungan hidup khususnya perusakan di bidang kehutanan yang dilakukan oleh korporasi merupakan masalah yang cukup rumit untuk ditanggulangi terutama menyangkut pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukan oleh perusahaan pemegang HPH dalam memanfaatkan pengelolaan hutan dan berakibat pada kerugian negara melalui pelanggaran-pelanggaran kewajiban perusahaan pemegang HPH/IUPHHK, misalnya kerusakan hutan dapat terjadi disebabkan penyalahgunaan tata batas pengelolaan kawasan oleh perusahaan pemegang izin, perencanaan struktur dan pola pemanfaatan ruang yang meliputi tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara dan reboisasi atas pemanfaatan hutan. Peningkatan kejahatan di bidang kehutanan berakibat pada kerusakan dan hilangnya ekosistem hutan serta kelestarian fungsi lingkungan hidup. 1 Untuk itu, diperlukan pengelolaan hutan secara berkelanjutan dengan memperhatikan fungsi dan
1
Lihat, Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan, dalam pelestarian hutan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1. Pelestarian fungsi lingkungan hidup, yaitu rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Daya dukung yang dimaksud adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk lain, sedangkan yang dimaksud daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya. 2. Baku mutu lingkungan hidup, yaitu ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemaran yang tenggang keberadaannya turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya. 3. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, yaitu ukuran batas perubahan sifat fisik dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat ditenggang. Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
kelestarian hutan karena hutan yang merupakan amanah, hubungan manusia dengan hutan tidak bisa dilepaskan terutama untuk generasi mendatang. Pengelola, pemelihara, pemanfaatan harus dilakukan dengan memperhatikan kelestarian hutan itu sendiri. Dalam pengelolaan hutan pemerintah telah memberikan kepercayaan kepada pengusaha/pemegang HPH (Hak Pengusahaan Hutan) melalui IUPHHK (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu) untuk pengelolaan berdasarkan izin tentang pengelolaan hutan dengan tetap memelihara, mengelola dan memanfaatkan sektor kehutanan sebagai salah satu bidang usaha yang berpotensi sangat besar untuk menghasilkan devisa negara dengan tetap memperhatikan pelestarian hutan. 2 Pengusaha hutan/pemegang HPH merupakan korporasi yang berbadan hukum baik dikelola swasta maupun pemerintah. 3 Izin untuk memelihara, mengelola dan memanfaatkan hutan inilah secara yuridis merupakan landasan yang melahirkan tanggungjawab pengusaha hutan/pemegang HPH disertai dengan kewajiban untuk meningkatkan devisa negara melalui kewajiban-kewajiban atas biaya pemanfaatan 2
Nurdajana IGM, et.al, Korupsi & Illegal Logging dalam Sistem Desentralisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal. 105-106 bahwa Praktik-praktik illegal logging merupakan permasalahan yang berdampak multidimensi yang berhubungan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya dan ekologi (lingkungan). Data terbaru dari Departemen Kehutanan bahwa laju kerusakan di Indonesia telah mencapai 3,8 juta hektar per tahun dan negara telah kehilangan Rp. 83 miliar per tahun akibat illegal logging. Kerugian yang dialami negara tersebut merupakan angka kerugian minimum, oleh karena kerugian yang disebutkan di atas belum termasuk punahnya spesies langka, terganggunya habiat satwa, bencana banjir dan erosi yang ditimbulkan serta biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk merehabilitasi hutan dan sebagainya. Kerugian secara ekologis berupa hilangnya jenis/spesies keanekaragaman hayati tidak dapat dihitung secara finansial. Menurut data Greenomics kerugian ekologis akibat illegal logging, khususnya untuk menangkal banjir saja, setidaknya pemerintah harus mengeluarkan dana yang mencapai Rp. 15 triliun per tahun. Angka itu tentu saja akan lebih besar lagi jika memperhitungkan tambahan anggaran masing-masing daerah. Biaya tersebut dilakukan untuk menanggulangi banjir yang tiap tahun karena kerusakan hutan yang semakin meningkat tiap tahunnya, sementara dana dan pemerintah pusat hanya berupa stimulasi. 3 Sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
sumber daya hutan berupa dana reboisasi hutan maupun pengelolaan sumber daya alam. Berbagai kasus yang terjadi bahwa pengrusakan hutan tidak saja merambah areal HPH, areal hutan yang tidak dibebani HPH, areal HPH yang telah habis masa berlakunya, perambahan areal HPH yang tidak sesuai dengan Tebang Pilih Indonesia (TPI) dan penebangan dilakukan di luar Rencana Kerja Tahunan (RKT), 4 ataupun areal HPH yang pengelolaannya diserahkan kepada BUMN, namun juga merambah kawasan hutan konversi serta hutan lindung. 5 Penyalahgunaan kewajiban-kewajiban perusahaan pemegang HPH di dalam memanfaatkan sumber daya hutan apabila tidak ditanggulangi dapat menimbulkan kerusakan hutan lebih parah dan kerugian negara di sektor kehutanan. Hal ini didasarkan pada perilaku perusahaan pemegang HPH yang melanggar kewajiban pemanfaatan hutan akan mendapatkan harta kekayaan dari pelanggaran kewajiban tersebut yang selanjutnya memanfaatkan lembaga perbankan dan jasa keuangan lainnya sebagai tempat pencucian uang sehingga harta kekayaan hasil penyimpangan kewajiban pemanfaatan hutan disembunyikan dan disamarkan sehingga sebagai harta kekayaan yang legal. Harta kekayaan yang disembunyikan dan disamarkan melalui lembaga perbankan dan jasa keuangan lainnya selanjutnya digunakan oleh pelaku untuk mendanai kegiatan pengrusakan hutan lainya dan mendanai bidang usaha yang 4
Lihat, Pasal 127 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. 5 Lihat, Pasal 78 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang perubahan Atas UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa Menyangkut penerapan sanksi bagi sedangkan perambahan areal hutan yang tidak dibebani HPH dan areal HPH yang telah habis masa berlakunya merupakan perbuatan pembalakan liar (illegal logging). Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
bersifat legal misalnya perusahaan industri, perhotelan dan lain-lain. Bank dan penyedia jasa keuangan lainnya adalah kekuatan utama dalam memfasilitasi penggunaan sumberdaya hutan. Lembaga- lembaga ini adalah pemain penting dalam sektor kehutanan maupun dalam perekonomian secara lebih luas. Bank dan lembaga jasa keuangan membantu mendanai perdagangan dan investasi pada sektor yang bergantung kepada sumberdaya hutan. Bank juga memainkan peranan penting dalam perdagangan produk yang diproduksi oleh industri berbasis hutan. Peranan bank antara lain menyediakan kredit untuk perdagangan, letter of credit untuk menjamin pembayaran perdagangan, fasilitas diskon
untuk piutang dagang dan instrumen
keuangan jangka pendek lainnya. Tanpa pendanaan bank, industri berbasis hutan tidak dapat memasuki pasar saham dan pasar obligasi yang memungkinkan mereka mendapat akses untuk memperoleh pembiayaan jangka panjang. Kebijakan bank yang berhati-hati dalam
membiayai proyek dan industri
berbasis hutan seharusnya akan menghasilkan bank yang kuat dan baik, industri berbasis kehutanan yang efisien dan hutan yang berkelanjutan. Sebuah bank yang prudent tidak akan mendanai proyek berbasis hutan yang terlibat dalam kejahatan seperti pembalakan liar. Harta kekayaan yang cukup besar yang didapat dari kejahatan-kejahatan kehutanan, biasanya para pelaku baik perseorangan maupun korporasi tidak langsung digunakan oleh pelaku karena adanya rasa takut maupun terindikasi sebagai kegiatan pencucian uang. 6 Untuk itu biasanya para pelaku selalu
6
Lihat, Bismar Nasution, BooksTerrance&Library, 2005), hal. 1.
Rezim
Anti
Money
Laundering,
(Bandung:
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
berupaya untuk menyembuyikan asal usul harta kekayaan tersebut dengan berbagai cara yang antara lain berupaya untuk memasukannya kedalam sistem keuangan (banking
system)
cara-cara
yang
ditempuh
berupa
menyembuyikan
atau
menyamarkan asal-usul harta kekayaan tersebut dengan maksud untuk menghindari upaya pelacakan oleh aparat penegak hukum yang biasanya diistilakan dengan pencucian uang atau yang popular dengan sebutan money laundering. Transaksi money laundering yang memanfaatkan bank dan jasa keuangan lainnya untuk mendanai eksploitasi sumber daya hutan dilakukan dengan fase-fase: Pertama, fase “placement” atau “penempatan”, yakni memasukkan sejumlah uang tunai dalam jumlah besar dibagi dalam sejumlah pecahan yang lebih kecil dan ditempatkan dalam beberapa rekening; Kedua, fase “layering” atau “pelapisan”, yakni penghilangan jejak transaksi dan nama pemilik uang hasil kejahatan dengan cara memindahkan dana dari satu institusi atau orang ke institusi atau orang lain; Ketiga, fase “integration” atau “integrasi”, yakni memasukkan kembali dana tersebut ke dalam bisnis yang legitime dimana uang hasil yang telah dicuci muncul kembali sebagai asset atau investasi yang tampak legal. 7 Proyek dan industri berbasis kehutanan merupakan industri yang tinggi resikonya dalam penggunaan dan pendanaan terhadap harta kekayaan, salah satu resiko yang dihadapi adalah resiko keuangan berupa resiko kredit, resiko hukum dan resiko reputasi. Resiko-resiko ini dapat mengakibatkan bank mengalami kerugian
7
Sunu W. Purwoko, Money Laundering, Praktek Dan Pemberantasannya, Karyawan PT Bank Ekspor Indonesia (Persero), BEI NEWS Edisi 7 Tahun II, Oktober-Desember 2001 Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
keuangan yang disebabkan kekurang hati-hatian terhadap pendanaan kehutanan tanpa pengedepankan prinsip mengenal nasabah (know your customer). Industri berbasis hutan yang terlibat dalam pelanggaran peraturan kehutanan dan lingkungan lebih mungkin untuk melanggar atau menghindari hukum perbankan daripada mereka yang mentaati peraturan. Industri-industri berbasis kehutanan yang memanfaatkan bank untuk mendanai kegiatan eksploitasi hutan bukanlah nasabah bank yang dapat diandalkan, hal ini disebabkan pada saat tiba waktunya untuk membayar kewajiban keuangan kepada bank tidak dapat terpenuhi. Bank yang terlibat dalam pembiayaan proyek-proyek industri berbasis hutan yang beresiko tinggi berhadapan dengan resiko hukum akibat peraturan perbankan dan anti pencucian uang (money laundering). Peraturan perbankan mengharuskan bank untuk mengenal nasabahnya, 8 mengelola resiko dan menghindari diri untuk
8
Bambang Setiono dan Yunus Husein, Pendekatan Anti Pencucian Uang, http://www.yahoo.com, diakses tanggal 13 Juni 2008 bahwa berdasarkan rezim ini, bank dan penyedia jasa keuangan lainnya diwajibkan untuk mengenal nasabah mereka (termasuk nasabah dibidang kehutanan) dan tidak memberikan fasilitas apapun kepada mereka yang tidak dapat menunjukkan identitas mereka yang sebenarnya dan sumber yang sah dari pendapatan usaha mereka. Membasmi kejahatan yang berkaitan dengan kehutanan telah menjadi isu yang berkembang di tingkat internasional sejak sekitar tahun 2000 Beberapa Negara penghasil kayu di Asia, Afrika and Amerika Latin terlibat dalam program multilateral atau bilateral dengan Negara-negara pengkonsumsi kayu untuk melawan kejahatan kehutanan. Pada 13 September 2001, pemerintah Kamboja, Cina, Indonesia, Republik Rakyat Demokratik Laos (Lao PDR), Papua Nugini, Filipina dan Thailand menandatangani Deklarasi Tingkat Menteri di Bali untuk Penegakan dan Pengaturan hukum Kehutanan (FLEG). Deklarasi ini menyerukan agar segera diambil tindakan untuk memperkuat usaha-usaha nasional serta mempererat kerjasama bilateral, regional dan multilateral dalam rangka mengatasi pelanggaran hukum kehutanan dan kejahatan kehutanan (terutama pembalakan liar), perdagangan ilegal terkait dan korupsi, serta dampak negatif pelanggaran-pelanggaran tersebut bagi penegakan hukum. Inisiatif Bali ini kemudian diikuti oleh inisiatif-inisiatif internasional lainnya sebagai berikut: a. Inisiatif Presiden AS mengenai Pembalakan Liar (Februari 2002) b. Letter of Intent Norwegia-Indonesia (Agustus 2002) c. Nota Kesepahaman (MOU) Cina–Indonesia (Desember 2002) d. Rencana Aksi Uni Eropa (EU) untuk Pengaturan Penegakan hukum Kehutanan dan Perdagangan (Mei 2003) Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
membiayai
proyek-proyek keuangan yang berbahaya bagi lingkungan yang
berkelanjutan (sustainable dovelopment). Ketidakmampuan untuk mentaati peraturan ini dapat menyebabkan ijin bank
dicabut dan memperoleh sanksi administratif
lainnya, bahkan mungkin menghadapi tuntutan hukum pidana. Hukum anti pencucian uang (money laundering) Indonesia adalah sebuah landmark yang memberikan dasar untuk meminta pertanggung jawaban bank dan penyedia jasa keuangan lainnya terhadap transaksi yang melibatkan kejahatan kehutanan dan lingkungan hidup. Pada bulan Oktober 2003, Pemerintah Indonesia telah membuat perangkat hukum pencucian uang yakni Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002. Di antara perubahan
yang terdapat pada undang-undang baru ini
kejahatan kehutanan
adalah pengkategorian
dan lingkungan sebagai bentuk kejahatan asal (predicate
offense) yang baru. Konsekuensinya, bank yang terlibat dalam pendanaan proyek berbasis hutan yang terlibat dalam kegiatan
ilegal tidak saja dapat kehilangan
reputasinya sebagai bank yang bertanggung jawab tetapi juga dapat kehilangan bisnisnya. Hal ini seharusnya membuat bank mengurangi pendanaan untuk proyek
e. MOU Jepang–Indonesia (Juni 2003) f. Deklarasi Menteri Afrika mengenai Penegakan dan Pengaturan hukum Kehutanan- Africa FLEG (Oktober 2003) g. Letter of Intent Cina-Inggris (Mei 2004) h. Lokakarya Tipologi Kelompok Asia Pasifi k (APG) untuk pencucian uang 2004 di Brunei: Indonesia akan mengembangkan tipologi pembalakan liar. program-program internasional di atas dapat Setiap Negara yang terlibat dalam menggunakan rezim anti pencucian uang anggota lainnya untuk membantu membasmi kejahatan kehutanan. Penggunaan rezim anti pencucian uang untuk membasmi kejahatan kehutanan dan mendorong terwujudnya pengelolaan hutan yang berkelanjutan harus didukung oleh Kelompok Kerja Aksi Keuangan untuk Pencucian Uang (FATF). Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
berbasis hutan yang beresiko tinggi merupakan hal yang penting bagi kebijakan anti pencucian uang. Meskipun demikian, hal yang mendasar dari rezim pencucian uang adalah menghukum para penyokong dana (cukong) dibalik pembalakan liar atau aktor intelektual di belakangnya. Aktor-aktor intelektual
tersebut dapat
memperlemah seluruh program pemerintah untuk menciptakan bank-bank yang sehat dan industri yang berkelanjutan dengan membayar pinjaman menggunakan keuntungan dari pembalakan liar. Pemulihan ekonomi Indonesia seharusnya tidak saja dilakukan dengan merevitalisasi bank-bank yang sakit dan bangkrut, tetapi juga menuntut bank-bank tersebut bertanggung jawab dalam mendorong terwujudnya industri berbasis hutan yang berkelanjutan. Bank-bank yang sehat serta industri yang efisien tidak dapat dicapai tanpa hutan yang berkelanjutan. Hutan dan industri berbasis sumberdaya alam tetap merupakan komponen utama dalam perekonomian Indonesia. Pengaturan yang buruk dalam pengelolaan sumberdaya alam ini dapat memberikan kesempatan kepada aktor-aktor intelektual untuk mengeksploitasi sumberdaya alam dengan cara yang tidak berkelanjutan dan ilegal.
Aksi-aksi kriminal
berupa eksploitasi hutan yang tidak memperhatikan
kelestarian hutan secara berkelanjutan pada akhirnya akan menyebabkan bank dan industri berbasis hutan terlibat dalam
pencucian uang dengan melaporkan dan
mendanai transaksi ilegal kegiatan berbasis hutan sebagai transaksi yang sah. Tindak pidana pencucian uang sebagai kejahatan lanjutan dari kejahatan kehutanan dapat dikategorikan sebagai salah satu jenis kejahatan kerah putih (white
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
collar crime). 9 Dalam tatanan perekonomian yang berkelanjutan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh pelaku kejahatan kehutanan kehutanan dapat mempengaruhi sektor perekonomian nasional. 10 Pengaruh yang ditimbulkan oleh tindak pidana pencucian uang salah satunya dapat membahayakan efektifitas system operasi dan kebijakan ekonomi, bahaya ini dapat ditemukan pada naik turunya / fluktuasi yang cukup tajam pada nilai tukar rupiah dan juga terlihat pada suku bunga yang pada gilirannya dapat menimbulkan rasa tidak percayanya publik pada sector financial di Indonesia, hal ini dikarenakan uang yang dihasilkan dari kejahatan pencucian uang dapat saja berpindah dari negara yang perekonomiannya lebih baik kenengara lain yang mengalami keterpurukan ekonomi. 11 Bangsa Indonesia sudah berusaha melakukan pemberantasan tindak pidana.pencucian uang dengan melalui perangkat hukum
atau peraturan perundang-undangan. 12 Pembidanaan perangkat
perundang-undangan tersebut memberikan syarat mutlak bahwa tindak pidana pencucian uang sebagai kriminalitas. 9
Lihat Sutherland dalam Bismar Nasution, Rejim Anti Money Laundering di Indonesia, op.cit, hal 26 bahwa secara konseptual white collor crime adalah suatu “crime commited by a person of respectability and hig social status in the course of his occupation” 10 Lihat, Bismar Nasution, Ibid, hal 1, bahwa pencucian uang sebagai suatu kejahatan yang berdimensi Internasional merupakan hal baru di banyak negara termasuk Indonesia. Begitu besarnya dampak negatif yang ditimbulkannya terhadap perekonomian suatu negara, sehingga negara negara didunia dan organisasi internasional merasa tergugah dan terinspirasi untuk menaruh perhatian yang lebih serius terhadap pencegahan dan pemberantasan kejahatan pencucian uang. Dalam hal ini tidak lain karena kejahatan pencucian uang (money laundering ) tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi system perekonomian dan pengaruhnya tersebut merupakan dampak negatif bagi perekonomian itu sendiri. Didalam praktek money laundering di ketahui bahwa banyak dana-dana potensial yang tidak dimanfaatkan secara optimal karena pelaku money laundering sering melakukan “steril investment” misalnya dalam bentuk investasi di bidang property pada negara-negara yang mereka anggap aman walaupun dengan melakukan hal itu hasil yang diperoleh jauh lebih rendah. 11 Ibid, hal 2 12 Lihat Yenti Garnasih, Kriminalisasi terhadap Pencucian Uang di Indonesia, Makalah pada Seminar Pemahaman Pencucian Uang yang diselenggarakan Kepolisian Daerah Sumatera Utara, Medan 10 Januari 2005, hal, 1 Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
Organisasi kejahatan dapat masuk pada sektor perekonomian suatu negara melalui kegiatan Investasi dan perdagangan dan yang lebih membahayakan lagi dimana para pelaku organisasi kejahatan pecucian uang sebagai bagian dari white collar crime dapat memperlemah standart etika aparatur penegak hukum dan lembaga demokrasi. 13 Ada beberapa alasan mengapa pencucian uang / money laundering harus di berantas dan sekaligus dinyatakan sebagai tindak pidana sebagai berikut: 1. Karena pengaruh tindak pidana pencucian uang terhadap sistim keuangan dan ekonomi dapat dipastikan mempunyai dampak negatif bagi perekonomian dunia secara global misalnya dampak negatif terhadap efektivitas penggunaan sumber daya dan dana, banyak digunakan terhadap kegiatan yang tidak sah dan hal tersebut dapat menimbulkan kerugian terhadap masyarakat. Di samping itu, dana-dana banyak tersebut kurang dimanfaatkan secara optimal, misalnya yang melakukan “ Sterile Investment” dalam bentuk usaha property atau perhiasan yang sangat mahal. Hal ini dapat terjadi karena uang yang dihasilkan dari tindak pidana terutama diinvestasikan kedalam negara-negara yang dirasakan relatif aman untuk melakukan tindak pidana pencucian uang walaupun hasilnya tidak menjanjikan atau rendah. Uang hasil dari tindak pidana tersebut dapat juga beralih dari suatu negara yang perekonomiannya kurang baik. Karena pengaruh negatif pada pasar Finansial dan dampaknya tersebut pada gilirannya dapat mengurangi kepercayaan publik terhadap sistim keuangan Internasional. Pencucian uang dapat mengakibatkan ketidak stabilan pada perekonomian internasional dan tindak pidana yang terorganisir yang melakukan pencucian uang dapat juga membuat ketidak stabilan pada perekonomian nasional. Fluktuatif yang tajam pada nilai tukar dan suku bunga juga merupakan akibat negatif dari tindak pidana pencucian uang. Dengan demikian berbagai dampak negatif itu diyakini bahwa pencucian uang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dunia.
13
Munir Fuady, Bisnis Kotor Anatomi Kejahatan Kera Putih, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), hal 179, bahwa keberhasilan terhadap penanggulangan suatu white collor crime, disamping sangat tergantung pada ketersediaan instrumen-instrumen hukum berupa ketersediaan aturan main yang jelas, perlu juga suatu komitmen yang jelas dan tegas terhadap law enforcement dan tentu saja ternasuk ketersediaan personil penegak hukum yang handal dan tidak korup. Jika hal yang tersebut terakhir tidak tersedia dengan cukup dalam anti tidak cukup tersedia tenaga para penegak hukum atau bahkan para penegak hukumnya melakukan tindakan korup, hal tersebut justru menambah jumlah jumlah kasus white collar crime, mengingat korupsinya para penegak hukum itu sendiri sudah merupakan induk bentuk white collar crime. Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
2. Dengan ditetapkannya pencucian uang sebagai tindak pidana akan lebih memudahkan bagi aparat penegak hukum untuk menyita hasil dari tindak pidana yang kadang-kadang sulit untuk dilakukan upaya paksa penyitaan, misalnya alat yang susah untuk dilacak atau bahkan sudah dilakukan pemindahtanganan kepihak ketiga. Dengan cara ini pelarian uang hasil tindak pidana dapat dilakukan pencegahan sehingga dalam perkembangannya pemberantasan tindak pidana pencucian uang sudah beralih orientasinya dari hanya sekedar menindak pelakunya kearah melakukan penyitaan hasil dari tindak pidana. Di banyak negara dengan menyatakan pencucian uang sebagai tindak pidana adalah merupakan dasar bagi penegak hukum untuk dapat mempenjarakan pihak ketiga yang dianggap dapat menghambat upaya penegakan hukum. 3. Dengan dinyatakannya pencucian uang sebagai tindak pidana dan dengan adanya sistim pelaporan transaksi dalam jumlah tertentu dan transaksi yang mencurigakan, maka hal ini akan lebih memudahkan bagi aparat penegak hukum untuk dapat melakukan penyelidikan terhadap kasus tindak pidana sampai kepada tokoh-tokoh intelektual yang ada dibelakangnya. Tokoh-tokoh ini biasanya sulit untuk dilacak dan ditangkap karena pada umumnya mereka tidak kelihatan pada tingkat pelaksanaan dari suatu tindak pidana tetapi akan lebih banyak menikmati dari hasil tindak pidana tersebut. 14 Pelengkap dari undang-undang anti pencucian uang di Indonesia sebagai salah satu dari upaya pemberantasan tindak pidana pencucian uang sangat dipengaruhi oleh tuntutan dari masyarakat Internasional, serta adanya kepentingan Internasional itu sendiri yang memaksa Indonesia untuk melakukan kriminalisasi dengan bertitik tolak dari bahaya yang ditimbulkan tersebut bagi dunia Internasional, hal ini sangat terlihat dengan jelas bahwa masuknya negara Indonesia sebagai salah satu dari negara black list dan pencucian uang itu sendiri merupakan salah satu dari Katagori Serious Crime. Bahwa pada tahun 1997 indonesia telah melakukan ratifikasi terhadap united Convention norcotic and Psichotropic subsancess 1988, yang mengatakan bahwa negara-negara yang telah melakukan ratifikasi mau tidak mau suka tidak suka harus segera melakukan upaya pemberantasan pencucian uang maka sebagai konsekwensinya negara Indonesia seharusnya pada waktu itu melakukan kriminalisasi terhadap pencucian uang..
Indonesia telah melakukan kriminalisasi terhadap pencucian uang sejak awal tahun 2002 dengan diundangkannya Undang-Undang No.15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UUTPPU), dan kemudian pada Oktober 2003 14
Guy Sterren dalam Yunus Husein, Upaya Penanganan Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering), makalah disampaikan pada Seminar Nasional Mengenali tindak pidana Pencucian uang, diselenggarakan oleh USU, Medan tanggal 30 Oktober 2002, hal. 4 Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
diamandemen dengan Undang-Undang No.25 Tahun 2003. Meskipun telah berlaku selama lebih 4 tahun, nampaknya implementasi terhadap ketentuan ini masih jauh dari memuaskan. Ketika diamandemen pada tahun 2003 alasan utamanya lebih pada kelemahan perundangan yang mengakibatkan sulit untuk diterapkan dimana hal ini juga atas desakan Financial Action Task Force (FATF). 15 Desakan internasional pertama kali dikakukan pada Juni 2001 dan setelah melalui beberapa bentuk tekanan dan penilaian FATF akhirnya pada Pebruari 2006 dinyatakan keluar dari monitoring formal FATF. 16 Namun demikian ternyata hal ini bukan berarti Indonesia tidak “diawasi” karena pada tahun 2007 FATF akan kembali melakukan review secara menyeluruh terhadap pembangunan rezim anti pencucian uang di Indonesia termasuk peraturan perundangan yang mendukung penegakannya. 17 Bila dipahami bahwa 15
FATF adalah suatu badan internasional di luar PBB yang anggotanya terdiri dari Negara donor dan fungsinya sebagai Satuan Tugas dalam Pemberantasan Pencucian Uang. FATF ini sangat disegani selain karena keanggotaannya, juga badan ini terbukti mempunyai suatu komitmen yang serius untuk memberantas pencucian uang. Keberadaan FATF berwibawa karena antara FATF dan OECD (Organization for Economic Cooperation Development), menjalin hubungan yang sangat baik terutama dalam hal tukar menukar informasi berkaitan dengan masalah korupsi dan pencucian uang pada negara-negara yang akan mendapatkan bantuan dana. 16 Setelah revisi pada 2003 Indonesia kembali masuk daftar hitam, kali ini karena belum ada bukti bahwa ketentuan tersebut efektif pada tahap implementasi. Selanjutnya pada sidang FATF 23 Juni dan Oktober 2004 Indonesia masih tetap bertahan dalam black list tersebut, alasannya FATF belum mengeluarkan Indonesia dari daftar hitam karena masih menunggu paling tidak ada satu kasus yang diungkap, pada waktu itu kasus bobolnya dana BNI sebesar 1, 7 triliun yang ditengarai terdapat praktik pencucian uang. Atas dasar pengungkapan tersebut akan dinilai keseriusan Indonesia dalam pemberantasan pencucian uang sekaligus akan menunjukan apakah ketentuan anti pencucian uang efektif dalam pemberantasan pencucian uang. Namun ternyata pada sidang berikutnya Februari 2005 Indonesia berhasil keluar dari daftar hitam (NCCT), walaupun belum satu kasus pun diungkap dengan penuntutan pencucian uang. Ada dugaan keluarnya Indonesia karena sebelumnya dilakukan lobi internasional tingkat tinggi yang dilakukan pemerintah Indonesia 17 Sutanto, Peran Polri untuk Meningkatkan Efektivitas Penerapan UU TPPU, Keynote Adress Pada Pelatihan Anti Tindak Pidana Pencucian Uang, (Medan: Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, tanggal 15 September 2005), hal. 6, bahwa Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002, menambahkan beberapa ketentuan tentang tindak pidana asal (core crime) dari predicate crimes yang semula bersifat tertutup menjadi terbuka, dan lebih menekankan peranan PPATK untuk berkerja secara intensif dalam Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
semua tindak pidana ekonomi (kejahatan keuangan) akan bermuara pada perbuatan pencucian uang, maka seharusnya penerapan UUTPPU terhadap perkara kejahatan ekonomi juga banyak. Tetapi pada kenyataannya putusan pengadilan terhadap kejahatan keuangan yang dikaitkan dengan UUTPPU tidak sampai 20 putusan, padahal kejahatan ekonomi yang sampai pada pengadilan jumlahnya sangat besar (apalagi yang masih dalam tahap penyidikan jumlahnya jauh lebih banyak) sebut saja dari korupsi, kejahatan perbankan, illegal logging, penyelundupan dan lain-lain. Semua kejahatan tersebut seharusnya diajukan ke pengadilan dengan dua dakwaan sekaligus yaitu kejahatan asalnya dan muara uang hasil kejahatan sebagai tindak pidana pencucian uang. Seharusnya dipahami bahwa kriminalisasi pencucian uang suatu strategi untuk memberantas berbagai kejahatan ekonomi bukan saja melalui upaya penerapan hukum terhadap kejahatan asal tersebut tetapi juga menghadang hasil aliran hasil kejahatan dengan ketentuan anti pencucian tersebut. Lemahnya penegakan hukum melalui penepan anti pencucian uang terhadap pelaku pengrusakan hutan dapat dideskripsikan
pada
Putusan
Pengadilan
Negeri
Medan
No.
2240/Pid.B/2007/PN.Mdn Terhadap terdakwa adelin lis selaku Direksi PT. KNDI (KEANG NAM DEVELOPMENT INDONESIA) yang diduga melakukan tindak
menanggulangi Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Tindakan pemerintah Republik Indonesia untuk menanggulangi dan keluar dari daftar hitam (black list) negara-negara tempat tumbuh suburnya kegiatan pencucian uang, yang dilakukan melalui beberapa upaya-upaya sudah menampakkan hasilnya, dengan dinyatakannya bahwa Indonesia telah keluar dari daftar hitam tersebut Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
pidana korupsi, tindak pidana pengrusakan hutan dan pencucian uang sebagai berikut: 18
”Adelin Lis dituntut dengan hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp1 miliar dengan subsider enam bulan penjara. Adelin Lis didakwa melakukan tindak pidana korupsi dan illegal logging di Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara. Adelin Lis dibebaskan oleh Pengadilan Negeri (PN) Medan dari dakwaan tindak pidana korupsi dan illegal logging di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. Majelis hakim PN Medan yang diketuai Arwan Byrin memvonis bebas Adelin Lis karena dinilai tidak terbukti melakukan pembalakan liar di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. Padahal, jaksa menuntut pemilik dan Manager Keuangan PT Keang Nam Development Indonesia itu hukuman 10 tahun dan denda Rp 1 miliar dengan subsider 6 bulan penjara. Dalam putusan disebutkan terdakwa tidak terbukti melakukan korupsi yang merugikan negara, karena tidak menggunakan uang negara dalam penebangan kayu di Kabupaten Mandailing Natal. Selanjutnya dalam pertimbangan majelis hakim tidak mempertimbangkan keterangan saksi dan saksi ahli yang diajukan termasuk hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan hasil penelitian dari Lembaga Peneliti Independen (LPI) yang ditunjuk oleh Departeman Kehutanan. Adelin didakwa melanggar UU No. 31/1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Menurut jaksa, perbuatan Adelin Lis selaku Direktur Keuangan PT Keang Nam Development Indonesia dengan sengaja tidak membayar Provisi Sumber Daya Hutan dan Dana Reboisasi sejak tahun 2000-2005. Akibat perbuatannya itu negara dirugikan Rp119.8 miliar dan U$2,9 juta. Adelin Lis dituduh melakukan pembalakan liar di hutan Mandailing Natal sehingga merugikan negara Rp 227 triliun. Tidak tanggung-tanggung, jaksa membidiknya dengan Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dan Pasal 50 ayat 2 jo Pasal 78 UU Kehutanan. Namun, hakim Pengadilan Negeri Medan berkesimpulan, dakwaan jaksa tidak terbukti. Hakim hanya menganggap terdakwa tidak menaati aturan Tebang Pilih Tanaman Indonesia (TPTI). Perbuatan itu disebut bukan perbuatan pidana (delik), hanya melanggar izin atau hukum administrasi. Karena itu, majelis hakim membebaskannya dari semua tuntutan pidana, baik korupsi maupun illegal logging. Dalam perkara Adelin, jaksa membidik perbuatan illegal logging-nya dengan dua macam tuntutan primer, yaitu korupsi dan illegal logging. Dalam tuntutan korupsi, jaksa menggunakan Pasal 2 UU Tipikor, yang unsurnya terdiri atas (1) setiap 18
http://www.google.com, Vonis Adelin Lis di Pengadilan Negeri Medan, diakses tanggal 20 Maret 2009 Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
orang, (2) secara melawan hukum, (3) melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, dan (4) perbuatan itu dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Unsur nomor 1 (setiap orang), nomor 3 (perbuatan memperkaya diri sendiri), dan nomor 4 (merugikan keuangan negara) tidak perlu kita perbincangkan karena sudah cukup jelas dan tidak diperdebatkan oleh majelis hakim. Unsur nomor 2 (melawan hukum) adalah unsur yang dipersoalkan oleh hakim, yang menganggap perbuatan Adelin Lis memang melanggar Pasal 50 ayat 2 UU Kehutanan, tapi hakim mengklasifikasikan perbuatan itu sebagai pelanggaran aturan atau izin TPTI, jadi bukan perbuatan pidana. Karena bukan perbuatan pidana, majelis hakim berkesimpulan bahwa unsur melawan hukum Pasal 2 UU Tipikor tidak terpenuhi. Sehingga Adelin Lis bebas dari tuntutan ”. Putusan Pengadilan Negeri Medan dimaksud dimulai dari serangkaian temuan yang selanjutnya dilakukan penyelidikan dan penyidikan oleh Direktorat Kriminal Polda Sumatera Utara berdasarkan hasil OPS Hutan Lestari Toba 2006, 19 hal ini digambarkan sebagai berikut: ”Penyidikan berdasarkan temuan penyidik Polda Sumut yakni hasil OPS Hutan Lestari Toba 2006 yang mengacu kepada pemeriksaan Tim II atas`Dokumen Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) / Daftar hasil Hutan (DHH) ditemukan terjadinya pemufakatan jahat melalui negosiasi antara tersangka Soesilo Setiawan dengan aparat Petugas Pembuat Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (P2SKSHH) Kab. Madina An. Nirwan Rangkuti, SH., hasilnya: a. Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) kosong diterbitkan & ditandatangani oleh Nirwan Rangkuti,SH., di rumahnya di Penyabungan tanpa
19
Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara, Nuruddin Usman, http://www.hukumonline.com, diakses tanggal 20 Juni 2008 bahwa Kepolisian daerah sumatera utara saat ini sedang melacak keberadaan uang milik Adelin Lis, yang diduga disimpan di sejumlah bank, baik di dalam maupun luar negeri. Direktorat Jenderal Imigrasi Departemen Hukum dan HAM kemarin juga telah mengeluarkan status cegah dan tangkal (cekal) untuk Adelin agar ia tak bisa kabur dari Indonesia. polisi menyidik dua kasus yang diduga melibatkan Adelin sebagai tersangka, yakni pencucian uang dan perambahan hutan oleh PT Rimba Mujur Mahkota (RMM). Adelin adalah direktur utama RMM. Menurut dia, kasus pencucian uang dilimpahkan penanganannya ke Mabes Polri. Berkas kasus pencucian uang pernah diserahkan ke Kejaksaan Tinggi Sumut, tetapi dinilai belum lengkap. Polda Sumut berkonsentrasi menyidik kasus perambahan hutan. Selasa lalu polisi sempat menggeledah rumah Adelin di Jalan Hang Jebat, Medan. Namun Nurudin membantah polisi melakukan penggeledahan. Polisi hanya mencari Adelin. Eksaminasi dakwaan Polisi, lanjut Nurudin, mengajukan pencekalan terhadap Adelin dua minggu lalu. "Kami sudah sampaikan permintaan pencekalan ini ke Kejati Sumut. Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
Cek Fisik Kayu Bulat, hanya konfirmasi dengan atasannya Sdr. Drs. Tohir (Kasubdin Bina Produksi) Kab. Madina. b. Soesilo Setiawan telah memberikan uang sebesar Rp. 2.500.000,00 kepada Nirwan Rangkuti, SH melalui transfer rekening Bank No. Rek: 107-000405147 c. Soesilo Setiawan berangkat ke rumah Drs. Tohir untuk meminta tandatangan & stempel pada blangko kosong yang telah ditandatangani oleh Nirwan Rangkuti, SH ketika itu Soesilo Setiawan menyerahkan uang tunai Rp. 2.000.000,00 kepada Drs Tohir. d. Soesilo Setiawan tiba di rumah Zainal Abidin (Pejabat Balai Pengendalian Peredaran Hasil Hutan (BPP HH) Wil-IV Padang Sidempuan). Pada saat pengembangan kasus tindak pidana ini penyidik Polri menemukan bahwa Staf/Petugas Dinas Kehutanan Kabupaten Madina yang diperintahkan untuk melakukan pemeriksaan Blok Tebang dan Checking Cruising PT. KEANG NAM DEVELOPMENT INDONESIA (PT. KNDI) tidak melaksanakan sebagaimana seharusnya ketentuan yang berlaku, namun Staf/Petugas Dinas Kehutanan Kabupaten Madina menuangkan pemeriksaan Blok Tebang dan Hasil Checking Cruising kedalam Berita Acara Pemeriksaan Blok Tebang dan Checking Cruising berdasarkan Laporan Hasil Cruising (LHC) Fiktif yang dibuat oleh IUPHHK PT. KNDI, contoh RLHC yang dibuat oleh PT. Keang Nam Development Indonesia tahun 2004 untuk URKT tahun 2006, pembuatan RLHC tersebut dan penulisan datanya di Kantor PT. Keang Nam Development Indonesia di Medan, dan pengisian LHC dibuatkan di Camp Pinang. Kemudian setelah diisi tanpa melalui data dari lapangan, LHC tersebut dikirimkan ke PT. Keang Nam Developmnent Indonesia di Medan. Kemudian Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Madina mengeluarkan Pertimbangan Tehnis berdasarkan LHC Fiktif serta Berita Acara Pemeriksaan Blok Tebang dan Checking Cruising Fiktif, selanjutnya dikirimkan kepada Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Utara bersama dengan Rekapitulasi Laporan Hasil Cruising (RLHC) Fiktif yang dibuat oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Madina dan yang disyahkan oleh Bupati Mandailing Natal. Setelah Pertimbangan Tehnis RLHC tersebut diterima oleh Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Utara, selanjutnya diproses untuk Pengesahan RKT IUPHHK PT. KNDI berdasarkan jumlah Kuota Tebangan yang telah ditetapkan oleh Dirjen Bina Produksi Departemen Kehutanan Republlik Indonesia. Lemahnya penerapan ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang pencucian uang (money laundering) terhadap pelaku pengrusakan hutan yang dilakukan oleh criminal justice system khususnya hakim dapat dilihat pada Putusan Mahkamah Agung yang menjatuhkan putusan terhadap terdakwa Adelin Lis dengan Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
pidana penjara 10 (sepuluh) tahun dan membayar denda sebesar Rp. 1.000.000.000,(satu milyar rupiah) serta membebankan membayar uang uang pengganti sebesar Rp. 119.802.393.040,- (seratus sembilan belas milyar delapan ratus dua juta tiga ratus sembilan puluh tiga ribu empat puluh rupiah) dengan dakwaan bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan tindak pidana kehutanan secara bersama-sama dan berlanjut. Hal ini sebagaimana termaktub pada amar Putusan Mahkamah Agung Nomor 68 K/PID.SUS/2008 sebagai berikut: 1. Menyatakan terdakwa Adelin Lis telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut dan tindak pidana kehutanan secara bersama-sama dan berlajut. 2. Menghukum terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) tahun dan membayar denda sebesar Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) Subsidair 6 (enam) bulan kurungan. 3. Menghukum pula terdakwa membayar uang pengganti sebesar Rp. 119.802.293.040,- (seratus sembilan belas milyar delapan ratus dua juta tiga ratus sembilan puluh tiga ribu empat puluh rupiah) dan US$ 2.938.556,24 (dua juta sembilan ratus tiga puluh delapan ribu lima ratus lima puluh enam koma dua puluh empat US Dollar) dengan ketentuan apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan terdakwa tidak dapat melunasi uang pengganti tersebut maka hartanya disita dan apabila hartanya tidak cukup maka diganti dengan hukuman penjara selama 5 (lima) tahun.”
Selanjutnya, penerapan ketentuan anti pencucian uang bertujuan tidak saja menangkap pelakunya tetapi juga menelusuri hasil kejahatan dan kemudian merampasnya. Melihat masih sedikitnya kasus pencucian uang yang sampai pada putusan, atau begitu banyaknya kasus kejahatan ekonomi yang tidak dikaitkan dengan tuntutan pencucian uang, menimbulkan pertanyaan, apa yang menjadi faktor penyebabnya. Alasan mengapa pencucian uang harus diberantas antara lain dari aspek Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
kerugian yang ditimbulkan dan dampaknya pada perkembangan organized crimes. Selain itu pada United Nations Congress on The Prevention of Crime and Treatment of Offenders, Cairo 1995, jelas ditegaskan bahwa terdapat 17 kejahatan serius yang harus diwaspadai dan pencucian uang dikatagorikan sebagai yang paling berbahaya. Selain itu ditengarai adanya aliran dana sindikat kejahatan kehutanan yang mempengaruhi perkembangan perbankan dan pasar modal internasional dalam satu dekade terakhir sehingga mendorong untuk dilakukannya kebijakan internasional dalam pemberantasan pencucian uang. Kejahatan ini merupakan kejahatan keuangan yang bersifat lintas batas yang seringkali menggunakan teknologi tinggi yang mutakhir dan dampaknya sangat merugikan keuangan nasional maupun global. Bagi pelaku, praktik pencucian uang dipandang sebagai suatu aktifitas ekonomi ilegal dan sangat menguntungkan serta hanya melibatkan orang tertentu dan transaksi tertentu yang biasanya tidak meninggalkan bukti fisik serta tidak menimbulkan korban individu. Pada akhirnya ditangkap suatu makna bahwa tidak mudah untuk memberantas kejahatan pencucian uang, karena ciri dari kejahatan ini yang sulit dilacak (untraceable crime), tidak ada bukti tertulis (paperless crime), tidak kasat mata (discernible crimes) selain itu dilakukan dengan cara yang rumit (inticrate crimes), karena didukung oleh teknologi yang canggih yang pada akhirnya menjadikan kejahatan pencucian uang bersifat sophisticated crimes. 20 Kesulitan pemberantasan akan semakin meningkat manakala
20
Dalam usaha-usaha ke arah pencapaian penegakan hukum yang efektif, saat ini masih dirasakan adanya tingkat kesulitan yang cukup tinggi, yang disebabkan karena adanya beberapa faktor. Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
kejahatan pencucian uang berubah sifatnya sebagai cyber crimes (cyber laundering) dengan menggunakan offshore banking (crimes). Masalah pembuktian berdasarkan sifat pencucian sebagai cyber laundering bagi aparat penegak hukum tentunya mengalami kesulitan dalam penegakan hukumnya, khususnya bagi penyidik Polri dalam menjerat para pelaku tindak pidana pencucian uang yang selalu berpijak pada asas pembuktian yang ada di dalam Hukum Acara Pidana dibandingkan dengan beberapa negara yang telah mengakomodir
Sebagai contoh dalam sistem penyidikan yang dilakukan oleh Kepolisian, yang bersumber dari adanya laporan PPATK (Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan) atas adanya indikasi perbuatan pencucian uang, yang masih mengacu kepada beberapa perangkat azas-azas yang terdapat di dalam sistem hukum pidana materiil dan formil. Misalnya dalam rangka menjerat pelaku tidak pidana pencucian uang penyidik harus terlebih dahulu membuktikan adanya unsur kesalahan, namun penyidik juga harus berpegang pada prinsip-prinsip presumption of innocence, sampai adanya putusan pengadilan yang inkracht van gewijsde. Dengan demikian penyidik harus dapat mempertanggungjawabkan setiap tindakan dan upaya-upaya hukum yang dilakukannya, baru kemudian penyidik dapat menjerat pelaku berdasarkan laporan yang didapat dari PPATK yang menjadi dasar dugaan adanya perbuatan pencucian uang. Azas yang termuat dalam hukum pidana materiil menyebutkan bahwa pidana hanya diberikan kepada orang yang bersalah (azas “culpibiltas” yaitu tidak ada pidana tanpa kesalahan). Di samping itu pada tingkat tataran operasional, dari mulai tingkat penyidikan, penuntutan, atau bahkan sampai pada proses peradilan juga dirasakan masih sangat sulit untuk membuktikan adanya tindak pidana pencucian uang (money laundering). Hal ini disebabkan karena kecanggihan dan kerapian modus operandi pelaku, yang selalu mengaburkan asalusul uang dengan menggunakan sarana penyedia jasa keuangan seperti bank, penjualan valuta asing, dan lain-lain, dan bahkan memanfaatkan teknologi yang selalu bekembang dalam melakukan pencucian uang yang melahirkan modus baru tindak pidana pencucian uang. Lihat, Erman Rajaguguk, Anti Pencucian Uang: Perbandingan Hukum, (Jakarta: Yayasan Pengembangan Hukum Binis, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 16 Nopember 2001), hal 24-25. bahwa Indonesia sendiri telah lama mencantumkan ketentuan mengenai money loundering ini dalam rancangan kitab undang-undang hukum pidana sebagai berikut : pertama pasal 610 rancangan KUHP mengatakan barang siapa menyimpan uang di bank dan ditempatkan, menstranfernya, menitipkan, menghibahkan, memindahkan, menginvestasikan, membayar uang kertas bernilai uang, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya diperoleh dari perdagangan narkotika yang tidak sah atau tindak pidana ekonomi atau tindak pidana korupsi diancam dengan tindak pidana penjara paling lama lima belas tahun dan denda paling banyak kategori V, kedua pasal 611 rancangan KUHP yang menyatakan bahwa barang siapa menerima untuk disimpan atau sebagai titipan, menerima transfer, menerima hibah, menerima sebagai modal investasi, menerima sebagai pembayaran uang atau kertas bernilai uang yang diketahuinya atau patut diketahuinya diperolehnya dari perdagangan narkotika yang tidak sah atau tindak pidana ekonomi dan tindak pidana korupsi diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak kategoti V. menurut Erman Rajaguguk ketentuan-ketentuan dalam rancangan untuk mengatasi kejahatan money laundering. Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
perkembangan sistem pembuktian di dalam proses penegakan hukum pencucian uang, misalnya Amerika Serikat (AS) 21 sangat jauh berbeda, dimana Amerika Serikat telah berani menyatakan bahwa bukti pendukung atau petunjuk (circumtantial evidence) sudah cukup untuk membenarkan adanya unsur-unsur tindak pidana pencucian uang (money laundering). Sedangkan di Indonesia pembuktian selalu di dasarkan pada unsur subjektif atau mens rea, serta unsur obejektif atau actus reus. Di dalam mens rea, yang harus dibuktikan yaitu mengenai atau patut diduga yang berkaitan erat dengan maksud (intends), dimana kedua unsur tersebut selalu berkaitan erat untuk dapat membuktikan bahwa seorang tersangka, tertuntut atau terdakwa mengetahui bahwa uang / dana tersebut berasal dari hasil kejahatan, dan juga mengetahui tentang atau maksud melakukan transaksi keuangan tersebut. 22 Sehingga dengan demikian terlihat dengan jelas bahwa sistem pembuktian sangat memegang peranan penting, yaitu akan sulit membuktikan terjadinya TPPU tanpa terjadinya kejahatan utamanya (predicate offence) dalam proses penegakan hukum, karena memang tindak pidana pencucian uang adalah merupakan kejahatan lanjutan (follow up crime)
21
Lihat, Barry A. K. Rider dalam Erman Rajagukguk, Ibid, hal. 20, bahwa Amerika Serikat memiliki pengalaman yang jauh lebih banyak dalam menghadapi masalah money laundering daripada negara manapun juga. Oleh karena itu banyak negara meminta nasehat kepada AS. Beberapa negara bahkan mengambil alih begitu saja ketentuan-ketentuan money laundering AS, tanpa memperhatikan factor sosial, politik dan keadaan konstitusi Amerika. Hukum Amerika dan kebijaksanaan penegakannya tidak begitu saja dapat diterapkan pada masyarakat yang lain. Banyak negara mengeyampingkan hal tersebut. 22 Lihat, Yenti Garnasih, Kriminalisasi Terhadap Pencucian Uang (Money Laundering),(Jakarta: Universitas Indonesia, Fakultas Hukum Pascasarjana, 2003), hal. 1 Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
D. Rumusan Masalah Untuk menemukan indentifikasi masalah dalam tesis maka dipertanyakan apakah yang menjadi masalah dalam penelitian tesis ini 23 yang selanjutnya di lakukan pengkajian lebih lanjut guna menemukan pemecahan masalah yang teridentifikasi tersebut. Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian tesis ini adalah sebagai berikut : 2. Bagaimana pengaturan hukum terhadap penegakan hukum tindak pidana kehutanan dan money laundering di Indonesia? 3. Bagaimanakah pertanggungjawaban pelaku tindak pidana kehutanan di dalam kasus Adelin Lis (Direksi PT Keang Nam Development Indonesia)? 4. Bagaimana penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana kehutanan dalam upaya menanggulangi money laundering ?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalah tersebut di atas maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian tesis ini adalah : 1. Untuk mengetahui pengaturan hukum terhadap penegakan hukum tindak pidana kehutanan dan money laundering di Indonesia.
23
Lihat, Ronny Kountur, Metode penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, (Jakarta: PPM, 2003), hal 35 Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
2. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pelaku tindak pidana kehutanan di dalam kasus Adelin Lis (Direksi PT Keang Nam Development Indonesia). 3. Untuk mengetahui penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana kehutanan dalam upaya menanggulangi money laundering.
D. Manfaat Penelitian Bertitik tolak dari tujuan penelitian atau penulisan itu sendiri, penelitian ini mempunyai dua manfaat yaitu dari sisi teoritis dan praktis. Adapun kegunaan dari keduanya adalah sebagai berikut : 1. Secara teoritis Manfaat penelitian ini sangat diharapkan untuk dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam perkembangan Ilmu Hukum Ekonomi khususnya mengenai ikhwal penegakan hukum tindak pidana kehutana dalam upaya menanggulangi pencucian uang (money loundering) dan penegakan hukum terhadap pelaku pengrusakan hutan khususnya korporasi oleh sistem peradilan pidana terutama hakim di dalam memutus suatu perkara pidana kehutanan, selain itu penelitian ini juga diharapkan sedapat mungkin bisa turut memberikan masukan bagi penyempurnaan peraturan dalam penanggulangan tindak pidana pencucian uang (money laundering) dan penegakan hukum kehutanan di Indonesia.
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
2. Secara Praktis Penelitian ini dapat memberikan masukan kepada aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa dan Hakim) dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system) dalam usahanya
mengambil
atau
menerapkan
beberapa
upaya
hukum
dalam
menanggulangi tindak pidana pencucian uang melalui penegakan hukum tindak pidana kehutanan, sehingga dengan demikian diharapkan aparat penegak hukum dapat melakukan usaha antisipasi terhadap implikasi dari tindakan pencucian uang (money laundering), selanjutnya penelitian ini juga diharapkan dapat merupakan masukan bagi beberapa pihak yang turut secara langsung terkait dengan penanggulangan dari tindak pidana pencucian uang (Money Laundering) dalam mengambil beberapa rangkaian kebijakan, misal terhadap Penyedia Jasa Keuangan (PJK) baik perbankan maupun non perbankan.
E. Keaslian Penelitian Didasarkan dari pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan Universitas Sumatera Utara, dapat di ketahui bahwa penelitian tentang “Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering: Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi PT Keang Nam Development Indonesia)”, belum pernah di lakukan dalam pendekatan terhadap permasalah yang sama, walaupun ada beberapa topik penelitian tentang tindak pidana pencucian uang (money laundering) dan tindak pidana
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
kehutanan namun berbeda pendekatan permasalahan yang diangkat, sehingga dengan demikian penelitian ini dapat dikatakan mengandung kadar keaslian karena telah memenuhi atau sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu mengandung beberapa aspek kejujuran, rasional objektif dan terbuka, sehingga penelitian ini dapat di pertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah, dan terbuka terhadap beberapa masukan serta saran-saran yang bersifat membangun sehubungan dengan pendekatan terhadap permasalahan yang telah mendapat persetujuan dari para pembimbing pada tahap awal proses bimbingan.
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 3.
Kerangka Teori Pendekatan kebijakan terhadap kejahatan membawa implikasi yang sangat
luas, pada satu sisi hal itu memerlukan reorientasi terhadap tujuan penanggulangan kejahatan yang menyebabkan perlunya perombakan di segala lini potensi yang mengemban fungsi pencegahan dan penanggulangan kejahatan. Kondisi demikian sebenarnya terutama ditujukan terhadap peradilan pidana diharapkan mampu menanggulangi kejahatan menggunakan hukum pidana adalah merupakan upaya terakhir setelah upaya hukum lainnya tidak dapat menyelesaikannya. Sebaliknya apabila upaya hukum pidana ternyata gagal dalam mengendalikan kejahatan barangkali tidak dapat dibayangkan apa yang akan terjadi terhadap masyarakat. Sebagai diakuinya pendekatan kebijakan terhadap masalah kejahatan, bahkan sebagai Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
konsekuensinya mutlak pendekatan tersebut terhadap hukum pidana adalah pengadopsian pendekatan sistematik dalam penyelenggaraan peradilan pidana. Dengan demikian pada sisi penegakan hukum pidana tetap dengan memberdayakan sistem peradilan pidana. Penerapan suatu sistem penegakan hukum pidana melalui hukum rasional didalam sistem peradilan pidana, khususnya penegakan hukum terhadap pengrusakan hukum akan dapat memberikan dampak pada proses terutama dalam kebijakan pemberlakuan hukum, seperti spesifikasi Undang - Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang tindak pidana
pencucian uang (money laundering)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang tindak pidana pencucian uang (money laundering). Pemikiran tentang berbahayanya praktik pencucian uang dan strategi pemberantasannya, sebetulnya diawali dengan kegagalan internasional dalam upaya pemberantasan peredaran gelap obat bius dengan segala jenisnya. Sebenarnya di sinilah merupakan awal ispirasi yang pada akhirnya melahirkan istilah money laundering pada tahun 1986 (USA) dan kemudian dipakai secara internasional. Namun sebenarnya istilah money laundering dalam artian hukum digunakan pertama kali oleh Pengadilan Amerika berkaitan dengan putusan tentang penyitaan atas hasil kejahatan narkotika yang dilakukan oleh warga Columbia. 24 Kekhawatiran internasional terhadap narkotika dan pencucian uang melahirkan suatu kesepakatan
24
US v. S4,255,625.39,Fed.Supp.vol.551, South District of Florida (1982),314,cited by Secretary General of United Nations, dalam Guy Stessens, op.cit., hal.83 Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
yang disebut sebagai International Legal Regime to Combat Money Laundering dan bahkan ada kecenderungan bahwa pencucian uang dilakukan dengan sangat rumit. Selanjutnya pencucian uang semakin berkembang dan bukan hanya yang berasal dari kejahatan obat bius saja tetapi juga berbagai kejahatan termasuk kejahatan terorganisasi (organized crimes). 25 Dalam kaitannya bahwa pencucian uang merupakan tindak pidana dibidang ekonomi (economic crimes), yang pada intinya memberikan gambaran terdapat hubungan langsung bahwa gejala kriminalitas merupakan suatu kelanjutan dari kegiatan dan pertumbuhan ekonomi. 26 Selain itu mempertimbangkan pula adanya fenomena bahwa kejahatan pencucian uang bukan permasalahan nasional semata tetapi berdimensi regional maupun internasional (transnasional), sehingga sangat penting untuk ditempatkan pada suatu sentral pengaturan. 27 Hampir semua kejahatan ekonomi dilakukan dengan motivasi mendapatkan keuntungan, maka salah satu cara untuk membuat pelaku jera atau mengurangi tindak pidana yaitu dengan memburu hasil kejahatan agar pelaku tidak dapat menikmatinya dan akhirnya diharapkan motivasi untuk melakukan kejahatan juga sirna: “…this was ineffective and thus asset forfeiture was viewed as the key to
25
Margaret Samuel, “No cash Alternatives and Money Laundering: An American Model For Canadian Consumers Protection”, Am. Buss.L.J., vol. 30, (1992), hal. 175. 26 Guiding Principle for Crime Prevention and Criminal Justice in the Context of Development and a New Economic Order, yang diadopsi oleh Seventh Crime Congress, Milan, 1985 27 United Nations Convention Against Transnational Organized Crime, (Palermo, 2000) khususnya pada Article 3.1.(a) disebutkan bahwa pencucian uang termasuk kejahatan yang lintas batas negara (selain pencucian uang kejahatan lain yang termasuk kriteria ini adalah participation in an organized criminal group, corruption and obstruction of justice) dengan ciri-cirinya yang disebut dalam Article 3.2 Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
combating such crime. If the criminal is prevented from enjoying the fruits of his labor than these motivations for committing a crime that also disappears). 28 Berkembangnya modus dalam praktik pencucian uang serta meningkatnya jumlah uang yang diproses illegal ini tidak terlepas dari pengaruh globalisasi dalam segala aspek kehidupan. Globalisasi tidak saja memacu aktifitas ekonomi transnasional secara sah, tetapi juga memicu aktifitas ekonomi yang ilegal. Munculnya jaringan informasi, komunikasi, transportasi dan financial intermediation global, tidak saja mengijinkan para pelaku bisnis untuk mengadopsi berbagai aspek organisasi dan operasionalisasi managemen internasional, tetapi secara negatif digunakan pula oleh para pelaku kejahatan. 29 Pelaku kejahatan mengeksploitasi globalisasi ekonomi sedemikian rupa dengan memanfaatkan kemajuan sistem informasi, teknologi dan komunikasi yang digunakan lembaga keuangan untuk transfer uang dengan cepat dan mudah serta hampir tidak meninggalkan jejak sama sekali. Muncullah apa yang dinamakan megabyte money dalam bentuk simbol pada layar komputer (computer screen), yang bekerja 24 jam sehari, 7 hari seminggu, dan dapat dipindahkan lagi dari waktu ke waktu agar tidak dapat dipantau oleh petugas penegak hukum. Hal ini memunculkan terjadinya dinamika perputaran keuangan dalam dunia maya (cyber), uang tidak lagi dapat diraba tetapi hanya dapat dilihat dalam bentuk data. Keterlibatan dan penggunaan high technology dalam dunia maya
28
Andrew Haynes, Money Laundering and Changes in International Banking Regulations, J.Int’l Banking Law, (1993), hal 454 29 Guy Stessens, Money Laundering A New International Law Enforcement Model, (Cambridge University Press: 2000), hal.135. Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
oleh
para
pelaku
pencucian
uang
inilah
yang
memunculkan
fenomena
cyberlaundering yang sangat berbahaya karena sulitnya untuk dilacak. Dari latar belakang falsafah dibentuknya Regime Anti Pencucian Uang, maka dapat dikaji beberapa kendala yang muncul dalam penerapan ketentuan ini di Indonesia. Seperti telah dipahami bahwa suatu keberhasilan dalam penegakan hukum sangat tergantung pada beberapa faktor yaitu bagaimana formulasi undangundangnya, kualitas penegak hukumnya dan budaya masyarakatnya. Demikian juga yang terjadi di Indonesia, faktor-faktor tersebut ternyata juga mempengaruhi belum optimalnya UUTPPU. Dari ketiga faktor tersebut nampaknya profesionalitas para penegak hukum lebih dominant dibanding dua faktor yang lain. UUTPPU di Indonesia yang walaupun pada hakekatnya mempunyai muatan politis yang diinginkan oleh pembuat undang-undang dan Masyarakat Internasional pada tahap law making, hal ini sejalan dengan pendapat Antony Allatt yang juga mengatakan bahwa pembuatan hukum (law making) yang kilat atau tergesa-gesa (pragmatis) akan dapat mengakibatkan hukum itu sendiri menjadi tidak efektif yang pada gilirannya pada tingkat pelaksanaan hukum oleh aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim dan Pengacara) membuat apa yang di inginkan oleh hukum itu tidak dapat tercapai. 30 Tujuan umum dari sistem peradilan pidana adalah :
30
Allot, Antony, the efectiveness of law, Valparaiso Law Review, (vol. 15 Wiater, 1981) hal 233 dalam Bismar Nasution, Hukum Rasional Untuk Landasan Pembangunan Ekonomi Indonesia , Disampaikan Pada Seminar Nasional Reformasi Hukum dan Ekonomi, sub tema: Reformasi Agraria Mendukung Ekonomi Indonesia diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis USU ke-52, Medan, Sabtu 14 Agustus 2004, hal. 4 Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan 2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat merasakan bahwa keadilan telah ditegakkan dengan adanya penghukuman terhadap yang bersalah. 3. Mengusahakan adanya efek jera dimana yang bersalah atau yang pernah melakukan kejahatan tidak berhasrat mengulangi kejahatannya lagi.31
Menarik untuk dicermati bahwa berdasarkan rekomendasi dari FATF maka dibentuklah badan investigasi sebagai FIU (Financial Intelligence Unit), yang tugas dan keberadaan FIU untuk membantu kepolisian dalam penanganan tindak pidana pencucian uang adalah: 32 “The Financial Intelligence Unit or FIU is an information gathering and processing unit. It’s essential function as an intermediary. If factions as the recipient of otherwise confidential information from banks, the secretive and trusted cooperation partner of the banks to whom information can be entrusted. It recieves, review and evaluates information on very large number of transactions. Out of those only those found suspicious in some way are brought to the intention of the police. PPATK meskipun independen namun fungsinya sangat terbatas yaitu hanya sebagai fungsi administratif. Di Indonesia PPATK tugasnya mengumpulkan dan memproses informasi yang berkaitan dengan kecurigaan atau indikasi pencucian uang. PPATK berfungsi sebagai motor penggerak untuk menganalisis adanya kecurigaan pencucian uang terutama melalui deteksi dini dalam alur transaksi yang
31
Lihat, Mardjono Reksadi Putro, Hak azazi manusia dalam system peradilan pidana, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (lembaga kriminologi) Universitas Indonesia, 1997), hal 84-85 32 Speaker’s notes International workshop Indonesia Rancangan Money Laundering Law, Jakarta, 29-30 May 2000.hal.3. Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
mencurigakan. 33 Namun demikian badan ini dalam status melakukan tahap penyelidikanpun sangat awal dan sangat terbatas (lihat Pasal 1 huruf a angka dan 2) dalam membantu kepolisian. Hasil analisis atas transaksi atau kecurigaan adanya pencucian uang kemudian diserahkan kepada polisi yang ternyata oleh polisi masih dilakukan penyelidikan lagi baru ditindak lanjuti dengan penyidikan dan proses selanjutnya. Artinya bahwa hasil analisis PPATK ini bukanlah sebagai alat bukti karena masih harus ditindaklanjuti dalam penyidikan, selain itu dalam masa penyidikan tersebut PPATK tidak berwenang untuk memblokir, artinya hasil analisis ini tidak terlalu berarti. Berkenaan dengan karakteristik yang unik dari tindak pidana pencucian uang, peranan hakim sangat menentukan untuk tujuan pemberantasan kejahatan ini. Hakim harus mempunyai sifat visioner yang didasarkan pada pemahaman bahwa pembuktian kejahatan ini sangat sulit, karena harus membuktikan dua kejahatan sekaligus. Profesionalitas hakim sangat diperlukan untuk mengikuti semua sistem acara peradilan yang banyak menggunakan pendekatan pragmatis, misalnya adanya perlindungan saksi, adanya praktik acara pembalikan beban pembuktian (the shifting of the burden of proof). UUTPPU belum mengatur secara rinci tentang acara 33
Yunus Husein, PPATK Terima 901 Laporan Transaksi Mencurigakan Triwulan Pertama 2006, Harian Sinar Indonesia Baru, tanggal 22 April 2006, bahwa sejak berdirinya PPATK hingga Maret 2006 ada sekitar 4. 074 laporan transaksi keuangan mencurigakan “Suspicious Tran-saction Report (STR)”, sedangkan untuk laporan pembawaan uang tunai “Cross Border Report (CBR)” jumlahnya mencapai 669 laporan yang berasal dari laporan tiga bandara dan laporan transaksi keuangan tunai “Cast Transaction Report (CTR)” ada sekitar 1.664.293 laporan yang mencurigakan yang berasal dari laporan 156 Penyedia Jasa Keuangan (PJK). Dari perkembangan historis jelas bahwa langkah kita mengantisipasi imbauan global anti-Pencucian Uang ini sangat lambat dengan berbagai kendala dan alasan. Pemerintah harus belajar dari Filipina dalam penyusunan Undang-Undang AntiMoney Laundering. Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
persidangan khusus untuk pembalikan beban pembuktian ini, tetapi di masa depan hal ini harus dilakukan. Selain tatacara yang ditentukan, hakim juga harus sangat memahami bahwa mengingat penerapan pembalikan beban pembuktian pada dasarnya melanggar prisip non self incrimination, maka harus ditekankan bahwa penerapan ini sangat terbatas pada tahap persidangan dan hanya untuk satu unsure saja. Unsur yang dibuktikan oleh terdakwa adalah bahwa harta kekayaan bukan berasal dari kejahatan, artinya apabila unsur ini tidak bisa dibuktikan oleh terdakwa jaksa tetap harus membuktikan unsur lainnya baik itu unsur obyektif maupun subyektif, sepanjang itu merupakan inti delik (bestandelen). Selanjutnya yang tidak kalah pentingnya adalah sikap hakim apabila ide tentang bukti pendukung (circumstancial evidence) akan diterapkan. Pemikiran tentang pembuktian unsur (intended) yaitu dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul hasil kejahatan yang harus dianggap terbukti sepanjang semua unsur didepannya telah dibuktikan oleh jaksa, maka hakim seharus melakukan lompatan pemikiran untuk mengambil kesimpulan bahwa unsur intended pasti terbukti. Dalam hal ini berlaku suatu logika hukum, yaitu dimana terdakwa yang telah terbukti sengaja melakukan transfer dan kemudian dia juga terbukti mengetahui atau paling tidak patut menduga bahwa harta kekayaan yang ditransfer berasal dari kejahatan, maka seharusnya dapat disimpulkan tujuan transfer tersebut untuk hal yang tidak baik yaitu menyembunyikan atau menyamarkan asal usul hasil kekayaan. Terhadap ide ini hakim harus benar-benar mempunyai keberanian yang dilandasi keyakinannya atas logika hukum yang ditawarkan tersebut. Untuk mencapai Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
profesionalitas yang memadai serta inovatif tersebut, sangat diperlukan wawasan yang luas terutama dalam mempelajari teori pembuktian yang telah dilakukan di berbagai Negara yang telah banyak pengalaman dalam pengungkapan perkara pencucian uang di pengadilan. Penegakan hukum terhadap kasus dugaan pencucian uang sampai saat ini relative sedikit yang sampai di pengadilan. Dari sisi penegak hukum Indonesia masih banyak menghadapi kendala, misalnya antara PPATK dan Kepolisian nampaknya belum biasa bekerja secara simultan. 34 Dalam praktek di lapangan sering terjadi 34
Yenti Garnasih, Anti Pencucian Uang Di Indonesia Dan Kelemahan Dalam Implentasinya(Suatu Tinjauan Awal), www.legalitas.org, diakses tanggal 14 Juni 2008 bahwa pendanaan praktek illegal logging dapat dilihat dari masalah wire transfer system yang menyertai money laundering juga semakin mempersulit pembuktian, transfer semacam ini bisa terjadi antarbank (transffering fund by electronic messages between banks-wire transfer) adalah suatu cara untuk memindahkan dana ilegal dengan cepat dan tidak mudah untuk dilacak oleh jangkauan hukum dan sekaligus pada saat yang sama terjadilah pencucian uang dengan cara mengacaukan audit trail. Selain itu polisi juga harus menemukan fakta untuk dibuktikan jaksa yang meliputi unsur subyektif atau mens rea dan unsur obyektifnya atau actus reus. Mens rea yang harus dibuktikan yaitu knowledge (mengetahui atau patut menduga) dan intended (bermaksud). Kedua unsur tersebut berkaitan dengan unsure terdakwa mengetahui bahwa dana tersebut berasal dari hasil kejahatan dan terdakwa mengetahui tentang atau maksud untuk melakukan transaksi. Untuk memenuhi unsure yang harus dibuktikan jaksa tersebut sangat sulit, mengetahui atau cukup menduga apalagi bermaksud untuk menyembunyikan hasil kejahatan, benar-benar harus didukung berbagai faktor terutama dari perilaku dan kebiasaan pelaku. Perlu ditekankan bahwa polisi tidak selalu harus menunggu laporan atau hasil investigasi dari PPATK, bisa saja dan sangat mungkin polisi melakukan penyelidikan awal terlebih dahulu atas adanya dugaan pencucian uang. Dalam kasus seperti ini misalnya polisi telah mempunyai bukti awal tentang adanya korupsi atau aliran dana illegal logging misalnya, justru polisi berinisiatif meminta bantuan PPATK untuk rekening tertentu. Seperti yang terjadi sekarang ini, begitu banyak kasus korupsi yang terungkap seharusnya polisi mengambil inisiatif menelusuri aliran dana terlebih dahulu tidak perlu menunggu dari PPATK. Sebaiknya polisi juga mulai waspada terhadap praktek pencucian uang yang menggunakan cara-cara manual atau tradisional yaitu cara pemindahan uang dari bagasi ke bagasi. Nampaknya hal ini mulai marak di Indonesia, sebagai perbandingan di Amerika sendiri masih terjadi pencucian uang yang menggunakan cara-cara tradisional seperti hundi. Sudah seharusnya mulai dipikirkan bahwa ketika suatu perkara pencucian uang terungkap maka para pelaku kejahatan itu akan mengevaluasi teknik-teknik yang mereka lakukan dan pada akhirnya akan menjatuhkan mereka. Mereka akan selalu mengikuti pemberitaan kasus mereka di media massa, menyimak jalannya persidangan dan mendengarkan keterangan-keterangan saksi yang dihadirkan serta mempelajari transkrip-transkrip persidangan untuk mengetahui di mana kelemahan mereka sehingga terjebak dalam penangkapan polisi. Artinya polisi harus menyadari bahwa penjahat tidak bisa didikte oleh pemerintah. Apabila di Indonesia saat ini sedang gencar-gencarnya untuk mengamankan sistem Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
ketidakharmonisan dalam menjalankan masing-masing peran sehingga dapat merugikan penegakan UUTPPU itu sendiri. Misalnya belum ada kesamaan persepsi antara PPATK dan polisi tentang transaksi yang mencurigakan, kemudian antara polisi dan jaksapun nampaknya masih muncul persepsi yang berbeda sehubungan dengan telah terjadinya pencucian uang. Sebagai contoh adalah suatu perkara tersebut sudah cukup bukti namun jaksa memandang tidak cukup bukti. Dengan demikian kendala terbesar nampaknya muncul dari sudut pembuktian yang harus dilakukan oleh jaksa. Kendala lain yang pasti akan timbul antara lain belum diatur mekanisme dan kerjasama yang langsung mengatur dalam hal bagaimana apabila terjadi korupsi yang ditangani KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang juga terlibat pencucian uang. Dalam hal ini ada kekosongan hukum, karena KPK tidak berwenang menangani masalah pencucian uang, sedangkan seharusnya antara korupsi dan pencucian uang disidang secara bersamaan dengan dakwaan kumulatif. Selanjutny, setiap kali dilakukan pencegahan dan penanggulangan kejahatan melalui hukum pidana hal itu selalu dikaitkan dengan sistem peradilan pidana untuk memfungsikan hukum pidana. Fungsi hukum pidana pada hakekatnya sebagai alat pelindung
bagi
individu,
masyarakat
dan
negara.
Paul
H.
Robinson
bank sebagai sarana pencucian uang, sudah seharusnya polisi lebih mewaspadai proses pencucian uang yang tidak melalui bank. Menghadapi ancaman pencucian uang yang semakin canggih dan dengan cara sederhana tetapi strategis bukan sesuatu yang mudah. Di berbagai negara hal ini sangat dipahami, sehingga Amerika mengeluarkan undang-undang yang disebut Stink Operation (operasi penjebakan). Pada intinya operasi ini adalah untuk mengungkap jaringan pencucian uang dengan cara penyamaran (undercover inquiring). Jadi polisi dalam waktu tertentu menyamar sebagai pelaku pencucian uang dengan menggunakan uang negara, seperti pada pengungkapan tindak pidana narkotika. Namun untuk operasi penjebakan pencucian uang ini lebih rumit, karena tidak sekedar penyamaran saja tetapi negara harus menyiapkan sejumlah uang yang akan digunakan dalam penyamaran tersebut untuk dicuci. Nampaknya tanpa adanya undang-undang stink operation ini akan sulit terwujud. Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
mengatakan:……The criminal law has three primary function, First, it must define and anuance the conduct that is prohibited by the criminal law (rule of conduct). This second function, setting the minimum condition prohibity, mark the shift from prohibition to adjudication, Finally, where liability is to be imposed, criminal law doctrine must assess the relative seriousness of the offence. 35 Oleh karena itu perlu dipahami mengenai pengertian dan kosep pencegahan dan penanggulangan kejahatan melalui sistem peradilan pidana. “Sistem peradilan pidana” merupakan istilah yang digunakan sebagai padanan dari “Criminal justice system”. Dalam Black’s Law Dictionary, criminal justice system didefenisikan sebagai the network of courts and tribunals which deal with criminal law and its enforcement. Hagan membedakan pengertian antara “Criminal Justice Process” dan “Criminal Justice system” yang pertama adalah setiap tahap dari suatu putusan yang menghadapkan seorang tersangka ke dalam proses yang membawanya pada penentuan pidana. Sedangkan yang kedua adalah interkoneksi antar keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan. 36 Pengertian tersebut lebih banyak menekankan pada suatu pemahaman mengenai “jaringan” di dalam lembaga peradilan. Selain itu juga menekankan pada fungsi dari jaringan tersebut untuk “menegakkan hukum pidana” jadi tekanannya bukan semata-mata pada adanya penegakan hukum oleh peradilan pidana, melainkan lebih jauh lagi dalam
35
Lihat, Paul H Robinson, A Functioneel Analysis of Criminal Law, dalam Edi Setiadi, Hukum Pidana Ekonomi, (Bandung: Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung, 2004), hal. 16 36 Romli Atmasasmita, Op.cit, hal. 14 Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
melaksanakan fungsi penegakan hukum tersebut peradilan menjalankannya dengan membangun suatu jaringan. menggunakan kata “jaringan” adalah untuk memberikan makna terhadap kata sistem (system) dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system). Oleh karen aitu pemahaman terhadap kata “system” dalam hal ini harus dilihat dalam konteks baik sebagai physical system maupun abstract system. Physical system berarti seperangkat elemen yang secara terpadu bekerja untuk mencapai suatu tujuan, sedangkan physical system menandung suatu pengertian gagasan-gagsan yang merupakan susunan yang teratur antara lain satu sama lain berada dalam ketergantungan. Dengan demikian pengertian “sistem” dalam sistem pendukung peradilan pidana meliputi sistematik yang menyeliputi elemen-elemen yang tersistematik dalam peradilan pidana (sarananya). Pengertian sistem peradilan pidana yang juga menekankan adanya jaringan dikemukakan Soerjono Soekanto yang melihat efektivitas suatu kaedah hukum pada tatanan penegakan hukum sebagai suatu proses yang pada hakekatnya merupakan penerapan direksi yang menyangkut membuat keputusan yang secara ketat tidak diatur oleh kaedah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi dan pada hakekatnya direksi berada diantara hukum dan moral (etika dalam arti sempit). 37 Meskipun dengan penekanan lanjutan yang berbeda dinyatakan bahwa sistem peradikan pidana merupakan suatu jaringan peradilan yang menggunakan hukum
37
Lihat, Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2004), hal. 7 Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
piana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Pengertian sistem peradilan pidana yang menekankan pada adanya suatu jaringan peradilan juga memberikan tekanan bahwa dalam bekerja jaringan tadi terutama menggunakan hukum pidana secara keseluruhan, artinya bahwa jaringan peradilan pidana tersebut menggunakan hukum pidana substansif, hukum acara pidana dan hukum penitensier secara bersama-sama dalam tujuan jaringan tersebut. Hal ini berarti pengertian sistem peradilan pidana didasarkan pada Istilah “criminal justice system” menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem. 38 Remington dan Ohlin mengemukakan: “Criminal justice system dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme pendekatan sistem mekanisme administrasi peradilan pidana. Sebagai suatu sistem peradilan pidana merupakan suatu interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasan”. 39
Istilah sistem dari bahasa yunani “systema” yang mempunyai pengertian suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian whole compounded of several
38
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Presfektif Eksistensialisme dan Abolisianisme, (Bandung: Binacipta, 1996), hal. 14 39 Ibid, hal. 4 Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
parts. 40 Secara sederhana sistem ini merupakan sekumpulan unsur-unsur yang saling berkaitan untuk mencapai tujuan bersama, yang tersusun secara teratur dan saling berhubungan dari yang rendah sampai yang tinggi. Stanford Optner menyebutkan bahwa sistem tersusun dari sekumpulan komponen yang bergerak bersama-sama untuk mencapai tujuan keseluruhan. 41 Dalam memahami istilah “sistem” ini ada beberapa penekanan dalam mendefenisikannya sebagai berikut: 1. Penekanan pada adanya “sistem dari suatu proses”, sistem di sini merupakan proses pelaksanaan perencanaan kerja yang terdapat dalam suatu lembaga, dalam hal ini peradilan pidana. 2. Penekanan pada fungsi komponen-komponen lembaga yang berperan dalam menjalankan proses tersebut ada empat komponen yang masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda. Keempat komponen tersebut berturut-turut adalah Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Mengingat akan penekanan pertama dari defenisi ini, yaitu sistem dari suatu proses (tahap-tahap), di sini tampak penyebutan komponen-komponen yang menunjukkan adanya suatu urutan. Hal ini semakin jelas apabila dilihat fungsi dari masing-masing komponen tersebut. Kepolisian berfungsi untuk melakukan tugas penyidikan, kejaksaan bertugas untuk melakukan fungsi penuntutan, pengadilan yang diwakili oleh para hakim berfungsi dan bertugas menjatuhkan putusan hukuman dan lembaga pemasyarakatan bertugas untuk menjalankan putusan penghukuman. Urutan-urutan tersebut menunjukkan adanya rangkaian proses yang harus dilalui dari suatu sistem yang bekerja untuk suatu tujuan yang sama agar dapat menghasilkan keluaran (output) yang diharapkan. 3. Penekanan pada cara bagaimana komponen-komponen dari masing-masing lembaga tersebut menjalankan fungsinya. Meskipun masing-masing komponen dari lembaga tersebut dalam menjalankan proses ini merupakan institusi-institusi yang berdiri sendiri, dan mempunyai fungsi yang berbeda-beda, dalam memainkan peranannya masing-masing, kesemua komponen tersebut harus bekerja secara terpadu. Keterpaduan disini merupakan kerjasama diantara komponen-komponen dari lembaga tersebut dalam menjalankankan fungsinya masing-masing, sampai terlaksananya seluruh tahap dari proses tersebut. 40
Stanford Optner, System Analysis for Business Management, Prentice Hall, Inc., New York, 1968, hal. 3, dalam Tatang M. Amirin, Pokok-Pokok Teori Sistem, Cet. I. (Jakarta: Rajawali, 1986), hal. 5 41 Ibid Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
Kerjasama tadi diharapkan menjadi sesuatu kekuatan yang sinergis untuk mencapai tujuan. 4. Pengertian mengenai sistem peradilan pidana dikaitkan dengan tujuan dari proses, komponen dan cara kerja sistem tersebut. Tujuan disini merupakan tujuan keseluruhan baik tujuan dari proses, tujuan dari pelaksana fungsi-fungsi komponen maupun tujuan dari cara kerja komponen-komponen tersebut. Oleh karena itu tujuan tersebut harus dipahami dengan baik oleh setiap komponen. Peranan yang sangat besar dari semua komponen dalam menjalankan seluruh tahapan proses menyebabkan pemahaman mengenai tujuan ini begitu penting. Tanpa pemahaman yang seragam mengenai tujuan dari mulai proses hingga pelaksanaan dalam menanggulangi kejahatan dari lembaga ini akan sulit dapat dilakukan dengan baik. 4. Landasan Konsepsional Bagian landasan konsepsional ini, akan menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan konsep yang digunakan oleh peneliti dalam penulisan ini. Konsep adalah merupakan bagian yang penting dari rumusan teori. Kegunaan konsep pada dasarnya dalam penelitian adalah untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas. Pengertian konsep sendiri diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dalam hal-hal yang khusus yang lazim disebut dengan defenisi operasional. Pentingnya defenisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian penafsiran mendua dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu juga dipergunakan untuk memberikan arah pada proses penelitian ini. Dalam penelitian ini terdapat dua variabel yaitu: Tindak Pidana Kehutanan dan pencucian uang (money laundering). Dari dua variabel tersebut akan dijelaskan pengertian dari masing-masing sebagai berikut :
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
a. Tindak Pidana Kehutanan Penentuan pembalakan liar yang berdampak pada kerusakan hutan (illegal logging) sebagai tindak pidana kehutanan dan tindak pidana lingkungan hidup harus dimulai dari penempatan illegal logging sebagai kejahatan di dalam undang-undang, yang lazim dikatakan sebagai Kriminalisasi. Tindak pidana illegal logging dikriminalisasi melalui perangkat hukum yang mengatur tentang kehutanan dan pengelolaan lingkungan hidup yakni Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang ini secara tegas mensyaratkan beberapa perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana, misalnya Pasal 50 ayat 3 butir a, b, c dan diancam pidana dalam Pasal 78 ayat 2, melanggar`Pasal 78 ayat 5, 7 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pasal 41 ayat 1, Pasal 46 ayat 1 UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Beberapa pasal di dalam undang-undang tentang kehutanan dan lingkungan hidup yang dikriminalisasi dijadikan sebagai ketentuan hukum tentang perbuatan yang dilarang dan diharuskan, disertai dengan ancaman pidana bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Pelanggaran atas ketentuan hukum pidana biasa disebut sebagai tindak pidana, perbuatan pidana, delik, peristiwa pidana dan banyak istilah lainnya. Terhadap pelakunya dapat diancam sanksi sebagaimana sudah ditetapkan dalam undang-undang.
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
b. Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering) Secara sederhana pencucian uang merupakan suatu perbuatan memindahkan, menggunakan atau melakukan perbuatan lainnya atas hasil dari suatu tindak pidana yang kerap dilakukan oleh criminal organization, maupun individu yang melakukan tindakan korupsi, perjudian, perdagangan narkotika, kejahatan kehutanan, kejahatan lingkungan hidup dan tindak pidana lainnya dengan tujuan menyembunyikan, menyamarkan atau mengaburkan asal-usul uang yang berasal dari hasil tindak pidana tersebut, sehingga dapat digunakan seolah-olah sebagai uang yang sah tanpa terdeteksi bahwa aset tersebut berasal dari kegiatan yang ilegal. Adapun yang melatar belakangi para pelaku pencucian uang (money laundering) melakukan aksinya adalah dengan maksud memindahkan atau menjauhkan para pelaku itu dari kejahatan yang menghasilkan proceeds of crime, memisahkan proceeds of crime dari kejahatan yang dilakukan, menikmati hasil kejahatan tanpa adanya kecurigaan kepada pelakunya, serta melakukan reinvestasi hasil kejahatan untuk aksi kejahatan selanjutnya atau kedalam bisnis yang sah. Defenisi tentang money laundering atau tindak pidana pencucian uang banyak terdapat dalam kamus, undang-undang, maupun yang dihasilkan dari konvensikonvensi yang berkaitan dengan money laundering yaitu antara lain : Menurut Black’s Law Dictionary pengertian money laundering adalah :
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
“Money Laundering berasal dari money dan laundering. Money adalah : 1. The medium of exchange authorized or adopted by a government as part of its currency coins and currency are money, 2. Assets that can be easily converted to cash, 3. Capital that is invested or traded as a commodity, 4. Funds; Sums of money. Sedangkan pengertian Loundering adalah The Federal crime of transferring illegally obtained money through illegitimate persons or accounts so that its sriginal sourred cannot be traced.” 42
Money Laundering disini dengan kata lain adalah kejahatan yang berasal dari hasil pentransferan uang yang didapatkan secara tidak sah melalui orang atau rekening yang sah agar sumber dari uang tersebut tidak dapat dilacak.
G. Metode Penelitian 1. Jenis dan Sifat Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian kepustakaan, sehingga penelitian memfokuskan untuk menelaah dan menganalisis norma-norma hukum, asas-asas hukum yang terdapat di dalam undang-undang tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana kehutanan, maupun di dalam hukum acara pidana beserta peraturan-peraturan lainnya yang berkaitan dengan objek penelitian, 43 oleh karenanya penelitian
ini terdiri atas penelitian terhadap asas-asas hukum.
42
Garner, A. Bryan, Black’s Law Dictionary, seventh edition, (West Group: St. Paul, Minn, 1999) hal. 1021 43 Soerjono, Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: RajaGarfindo Persada, 1995), hal. 12, bahwa penelitian hukum normatif atau kepustakaan mencakup: a. Penelitian terhadap asas-asas hukum. b. Penelitian terhadap sistematika hukum. c. Penelitian terhadap taraf singkronisasi vertikal dan horizontal. d. Perbandingan hukum. e. Sejarah hukum Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
Artinya penelitian ini bertitik tolak dari aturan-aturan hukum yang mengatur tentang tindak pidana pencucian uang dengan cara mengadakan identifikasi terhadap kaidahkaidah hukum yang telah dirumuskan, misalnya melihat penentuan predicate crime on money laundering yakni illegal logging di dalam tindak pidana pencucian uang dan proses pembuktian yang diatur oleh KUHAP. Setelah itu ditarik asas-asas hukum (beginselen) yang melandasinya, asas-asas ini diartikan sebagai asas materil yang berlaku di dalam undang-undang. 44 Selanjutnnya, di dalam penelitian hukum normatif ini juga menggunakan buku-buku literatur yang telah disediakan terlebih dahulu, untuk memperoleh bahanbahan yang bersifat teoritis ilmiah sebagai perbandingan, maupun sebagai petunjuk dalam menguraikan bahasan terhadap masalah yang dihadapi, selanjutnya peneliti mengumpulkan dan mempelajari beberapa tulisan yang berhubungan dengan topik tesis ini. Penelitian seperti ini menurut Rinal Dwokin disebut dengan istilah penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku (law as it written in the book), maupun hukum yang diputuskan
44
Ibid, hal. 62, bahwa di dalam penelitian hukum normatif, maka penelitian terhadap asasasas hukum dilakukan terhadap kaidah-kaidah hukum yang merupakan patokan-patokan berperilaku atau bersikap tidak pantas. Penelitan tersebut dapat dilakukan (terutama) terhadap bahan hukum primer dan skunder, sepanjang bahan-bahan tadi mengandung kaedah-kaedah hukum. Sebab, tidak setiap pasal dalam suatu perundang-undangan misalnya, mengandung kaidah hukum, ada pasal-pasal yang hanya merupakan batasan saja sebagaimana lazimnya ditemukan pada bab-bab ketentuan umum dari perundang-undangan tersebut. Penelitian terhadap asas-asas hukum merupakan suatu penelitian filosofis. Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
oleh hakim melalui proses pengadilan (law as it is decided by the judge through judicial process). 45 Penelitian tesis ini bersifat deskriptif analisis, yaitu penelitian hanya menggambarkan tentang situasi atau keadaan yang terjadi terhadap permasalahan yang telah dikemukakan, dengan tujuan untuk membatasi kerangka studi kepada suatu analisis atau suatu klasifikasi, tanpa secara langsung bertujuan untuk menguji hipotesa-hipotesa atau teori-teori. 46 2. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data Sumber data dalam penelitian ini adalah data skunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) yang terdiri dari bahan hukum primer, skunder dan tertier. Untuk itu sesuai dengan penelitian hukum, data sekunder mencakup: 1. Bahan hukum primer, yang berkaitan dengan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana kehutanan dan pencucian uang, yaitu Undangundang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undangundang 19 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Undang-undang Nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 25 45
Ronal Dworkin sebagaimana dikutip Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Makalah disampaikan pada dioalog interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, 18 Februari 2003, hal. 1 46 Alvi Syahrin, Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Pemukiman Berkelanjutan, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003), hal 17 Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UUTPPU), Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, KUH Pidana, KUHAP, Putusan PN No. 2240/Pid.B/2007/PN.Mdn, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus Bagi Pelapor dan Sanksi Tindak Pidana Pencucian Uang, Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2003 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kewenangan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/21/PBI/2003 tentang perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor: 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (know your customer), Peraturan Bank Indonesia Nomor : 5/23/PBI/2003 tentang penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (know your customer) bagi Bank Perkreditan rakyat. 2. Bahan Hukum Sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer berupa buku, hasil-hasil penelitian, rancangan undang-undang, bahanbahan lain yang berkaitan dengan pembuktian predicate crime di dalam Tindak Pidana pencucian uang (money laundering). 3. Bahan Hukum Tertier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer, sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah, serta bahan-bahan diluar bidang hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian. 47
47
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), hal 19, sebagaimana dikutip dari Soejono Soekanto dan Sri Mamuji, Op.cit, hal. 41 Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
Teknik pengumpulan data pada penelitan tesis ini menggunakan studi dokumen, artinya data yang diperoleh melalui penelurusan kepustakaan berupa data skunder ditabulasi yang kemudian disistematisasikan dengan memilih perangkatperangkat hukum yang relevan dengan objek penelitian. Keseluruhan data ini kemudian digunakan untuk mendapatkan landasan teoritis berupa bahan hukum positif, pendapat-pendapat atau tulisan para ahli atau pihak lain berupa informasi baik dalam bentuk formal maupun melalui naskah resmi. 3. Alat Pengumpulan Data Alat yang dipergunakan dalam mengumpulkan data penelitian ini adalah m pengumpulkan bahan-bahan melalui kepustakaan, yakni berupa buku-buku, journal, dokumen-dokumen serta sumber-sumber teoritis lainnya sebagai dasar penyelesaian pokok masalah dalam tesis ini. 4. Analisis Data Data yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif, dalam arti peneliti bertitik tolak pada proses pengorganisasian dan pengurutan data ke dalam pola dengan memilih pasal-pasal yang berkaitan dengan tindak pidana kehutanan sebagai predicate crime on money laundering pada tindak pidana pencucian uang. Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian yang sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data untuk memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian dalam tesis ini.
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KEHUTANAN DAN MONEY LAUNDERING DI INDONESIA A. Pengaturan Tindak Pidana Kehutanan Hakekat upaya pelestarian hutan akibat dari kerusakan hutan menjadi tanggungjawab setiap orang, namun kerusakan hutan yang disebabkan oleh praktek illegal logging khususnya dilakukan oleh pengusaha hutan/pemegang HPH yang mengancam kelestarian hutan merupakan ketidakperdulian pelaku terhadap kelestarian hutan. Oleh karenanya atas perbuatan praktek illegal logging pelaku dapat dituntut, dipidana dan dapat mempertanggungjawabkannya. Hal ini jelas terlihat dari kriminalisasi tindak pidana pengrusakan hutan yang dilakukan oleh perusahaan yakni ketentuan Pasal 50 ayat (2) jo Pasal 78 ayat (1), ayat (14) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. 48 Adapun mengenai ketentuan pidana terhadap perusahaan pemegang HPH yang lalai dan tidak konsisten terhadap kewajiban di bidang kehutanan, misalnya kewajiban yang timbul dari penerbitan IUPHHK menerapkan sanksi berupa pidana kurungan dan denda. Disadari bahwa pengenaan sanksi memang bukan satu-satunya jalan yang terbaik namun paling tidak akan dapat membuat sadar bagi perusahaan pemegang HPH yang telah melakukan tindak pidana di bidang kehutanan.
48
Pasal 78 ayat (14) UUK delik korporasi dapat dijatuhkan kepada pengurus perusahaan, baik secara sendiri-sendiri maupun bersamasama. Hukuman kepada pelaku delik korporasi bersifat diperberat, yakni ditambah 1 / 3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan. Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
Ketentuan hukum pidana kehutanan diatur mulai dari Pasal 77 hingga Pasal 79, yang terdiri dari dua masalah, yakni Penyidikan (Pasal 77) dan Ketentuan Pidana (Pasal 78 dan 79). Pasal 78 terdiri dari 15 ayat di mana setiap ayat memiliki spesifikasi pengaturan sanksi yang berhubungan dengan Pasal 50 UUK. Ketentuan pidana dalam UU Kehutanan selain mengatur tentang perbuatan perorangan (individual crime) juga mengatur perbuatan perusahaan atau Badan Hukum (corporate crime). Pasal 78 dengan seluruh ayatnya mengacu kepada pengaturan ketentuan Pasal 50 yang terdiri dari 3 ayat, di mana ayat (3) dari pasal tersebut menetapkan larangan sebanyak 13 butir (butir a hingga m). Sistem sanksi pidana UU Kehutanan lebih spesifik dari sanksi yang terdapat dalam UUPLH. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ketentuan UUK adalah bersifat lex spesialis terhadap UUPLH yang mengatur objek-objek lingkungan secara umum (lex generalis), termasuk ekosistem kehutanan. Ketentuan tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan diatur dalam Pasal 78, yaitu sebagai berikut:
(1) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) atau Pasal 50 ayat (2), diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). (2) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a, huruf b, atau huruf c, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
(3) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). (4) Barang siapa karena kelalaiannya melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah). (5) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf e atau huruf f, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). (6) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (4) atau Pasal 50 ayat (3) huruf g, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). (7) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah). (8) Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf i, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan dan denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). (9) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf j, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). (10) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf k, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). (11) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf l, diancam dengan pidana penjara paling lama 3
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). (12) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf m, diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (13) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (9), ayat (10), dan ayat (11) adalah kejahatan, dan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dan ayat (12) adalah pelanggaran. (14) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan. (15) Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dirampas untuk Negara. Pasal 78 ini merujuk kepada ketentuan Pasal 50 UU Kehutanan, yaitu sebagai berikut:
(1) Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan. (2) Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan. (3) Setiap orang dilarang: a. mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah; b. merambah kawasan hutan;
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan: 1. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau; 2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa; 3. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai; 4. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai; 5. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang; 6. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai. d. membakar hutan; e. menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang; f. menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah; g. melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri; h. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan; i. menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang; j. membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang; k. membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang; l. membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan; dan m. mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang. Berdasarkan Pasal 78 dan Pasal 50 UU Kehutanan di atas, maka kualifikasi tindak pidana kehutanan adalah sebagai berikut:
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
2. Tindakan merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan (vide Pasal 78 Ayat (1) atas pelanggaran Pasal 50 Ayat (1) UU Kehutanan); 3. Kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan oleh setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu (vide Pasal 78 Ayat (1) atas pelanggaran Pasal 50 Ayat (2) UU Kehutanan); 4. Perbuatan mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah (vide Pasal 78 Ayat (2) atas pelanggaran Pasal 50 Ayat (3) huruf a UU Kehutanan); 5. Merambah kawasan hutan (vide Pasal 78 Ayat (2) atas pelanggaran Pasal 50 Ayat (3) huruf b UU Kehutanan); 6. Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan: 1. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau; 2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa; 3. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai; 4. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai; 5. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang; 6. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi.
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
7. Membakar hutan (vide Pasal 78 Ayat (3) dan (4) atas pelanggaran Pasal 50 Ayat (3) huruf d UU Kehutanan); 8. Menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang (vide Pasal 78 Ayat (5) atas pelanggaran Pasal 50 Ayat (3) huruf e UU Kehutanan); 9. Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah (vide Pasal 78 Ayat (5) atas pelanggaran Pasal 50 Ayat (3) huruf f UU Kehutanan); 10. Melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka pada kawasan Hutan Lindung (vide Pasal 78 Ayat (6) atas pelanggaran Pasal 38 Ayat (4) UU Kehutanan); 11. Melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri (vide Pasal 78 Ayat (6) atas pelanggaran Pasal 50 Ayat (3) huruf g UU Kehutanan); 12. Mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan (vide Pasal 78 Ayat (7) atas pelanggaran Pasal 50 Ayat (3) huruf h UU Kehutanan); Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
13. Menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang (vide Pasal 78 Ayat (8) atas pelanggaran Pasal 50 Ayat (3) huruf i UU Kehutanan); 14. Membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang (vide Pasal 78 Ayat (9) atas pelanggaran Pasal 50 Ayat (3) huruf j UU Kehutanan); 15. Membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang (vide Pasal 78 Ayat (10) atas pelanggaran Pasal 50 Ayat (3) huruf k UU Kehutanan); 16. Membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan (vide Pasal 78 Ayat (11) atas pelanggaran Pasal 50 Ayat (3) huruf l UU Kehutanan); 17. Mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang (vide Pasal 78 Ayat (12) atas pelanggaran Pasal 50 Ayat (3) huruf
m
UU
Kehutanan);
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
Berdasarkan Pasal 41 UUPLH sampai dengan Pasal 44 UUPLH telah mengklasifikasi tindak pidana lingkungan yaitu: 1. Melakukan perbuatan yang mengakibatkan: a. pencemaran, dan atau b. perusakan lingkungan hidup. 2. Melakukan perbuatan yang mengakibatkan: pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan orang mati atau luka berat. 3. Melakukan perbuatan melanggar ketentuan perundang-undangan berupa: a. melepaskan atau membuang zat, energi dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun masuk di atau/atau ke dalam tanah, ke dalam udara, atau ke dalam air pemukaan; b. impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan, menjalankan instalasi, yang dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum. 4. Melakukan perbuatan berupa: a. memberikan informasi palsu, atau b. menghilangkan informasi, atau c. menyembunyikan informasi, atau d. merusak informasi. yang diperlukan (dalam kaitannya dengan perbuatan angka 3 di atas), yang mana perbuatan ini dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain. 5. Melakukan perbuatan pada angka 3 atau angka 4 yang mengakibatkan orang mati atau luka berat. Apabila di tinjau dari perumusan tindak pidana, ketentuan Pasal 41-44 UUPLH, terdapat tindak pidana materiil yang menekankan pada akibat perbuatan dan tindak pidana formil yang menekankan pada perbuatan. Tindak pidana materiil dapat dilihat dari rumusan Pasal 41 dan Pasal 42 UUPLH, sedangkan tindak pidana formil dapat dilihat dari rumusan Pasal 43 UUPLH. Dalam tindak pidana materiil, perlu terlebih dahulu dibuktikan adanya akibat dalam hal terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan. Pencemaran lingkungan terjadi karena masuknya atau
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Selanjutnya, kerusakan lingkungan terjadi karena tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan. Ketentuan pidana sebagaimana di atur dalam UUPLH dimaksudkan untuk melindungi lingkungan hidup dengan memberikan ancaman sanksi pidana. Untuk membahas tindak pidana lingkungan tersebut perlu diperhatikan konsep dasar tindak pidana lingkungan hidup yang ditetapkan sebagai tindak pidana umum (delic genus) dan mendasari pengkajiannya pada tindak pidana khususnya (delic species). Pengertian tindak pidana lingkungan sebagaimana diatur dalam Pasal 41 ayat (1) UUPLH dihubungkan dengan Pasal 41 ayat (2), Pasal 43 dan Pasal 44 UUPLH melalui metode konstruksi hukum dapat diperoleh pengertian bahwa inti dari tindak pidana lingkungan (perbuatan yang dilarang) adalah “mencemarkan atau merusak lingkungan”. Rumusan ini dikatakan sebagai rumusan umum (genus) dan selanjutnya dijadikan dasar untuk menjelaskan perbuatan pidana lainnya yang bersifat khusus (species), baik dalam ketentuan dalam UUPLH maupun dalam ketentuan undangundang lain (ketentuan sektoral di luar UUPLH) yang mengatur perlindungan hukum pidana bagi lingkungan hidup. Kata “mencemarkan” dengan “pencemaran” dan “merusak” dengan “perusakan” adalah memiliki makna substansi yang sama, yaitu Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
tercemarnya atau rusaknya lingkungan. Tetapi keduanya berbeda dalam memerikan penekanan mengenai suatu hal, yakni dengan kalimat aktif dan dengan kalimat pasif (kata benda) dalam proses penimbulan akibat. 49 Berdasarkan Pasal 1 angka (12) UUPLH memberikan pengertian secara otentik mengenai istilah “pencemaran lingkungan hidup” adalah: “masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya”. Adapun unsur dari pengertian “pencemaran lingkungan hidup” sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka (12) UUPLH, yaitu: 1. masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat,
energi, dan atau
komponen lain ke dalam lingkungan; 2. dilakukan oleh kegiatan manusia; 3. menimbulkan penurunan “kualitas lingkungan” sampai pada tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya. Pengertian istilah “perusaklan lingkungan hidup” secara otentik dirumuskan dalam Pasal 1 angka (14) UUPLH, sebagai berikut:
49
Perhatikan Mudzakkir, Aspek Hukum Pidana Dalam Pelanggaran Lingkungan, dalam Erman Rajagukguk dan Ridwan Khairandy (ed), Hukum Lingkungan Hidup di Indonesia, 75 Tahun Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, SH.,ML. (Jakarta: Universitas Indonesia, 2001), hal. 527. Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
“tindakan menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan”. Berdasarkan Pasal 1 angka (14) UUPLH memberikan pengertian secara otentik mengenai istilah “perusakan lingkungan hidup” adalah: 1. adanya tindakan; 2. menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya; 3. mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan. Teknik perumusan dan tindak pidana pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup yang luas dan abstrak, dapat memberi ruang gerak bagi penegak hukum (hakim) untuk melakukan inovasi hukum dalam menafsirkan hukum pidana lingkungan hidup guna merespon perkembangan yang terjadi dalam masyarakat di bidang lingkungan hidup. Untuk mencapai masuk ini, diperlukannya pengetahuan hakim yang mendalam di bidang lingkungan hidup dan adanya semangat, kepedulian hakim untuk menegakkan hukum dan keadilan dalam melindungi lingkungan hidup. Selanjutnya,
diharapkan
aparat
penegak
hukum
(termasuk
hakim)
untuk
memanfaatkan ahli dalam menangani kasus yang ditanganinya. Teknik perumusan dan tindak pidana pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup yang luas dan abstrak, juga akan menyulitkan penegak hukum pidana lingkungan, sebab jika aparat penenegak hukum (termasuk hakim) tidak peka dalam merespon perkembangan yang Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
terjadi di dalam masyarakat di bidang lingkungan hidup, dapat memberi peluang bagi penegak
hukum
untuk
menyelewengkan
hukum
untuk
kepentingan
lain
(“kepentingan pribadi”). UUPLH sebagai undang-undang payung (umbrella act) dari undang-undang lain (sektoral) di bidang pelestarian lingkungan hidup, rumusan yang umum dan abstrak tersebut diharapkan dapat menjangkau perbuatan pencemaran dan atau perusakan lingkungan yang diatur atau yang akan diatur dalam undang-undang lainnya. Berdasarkan Pasal 41 UUPLH sampai dengan Pasal 44 UUPLH, tindak pidana lingkungan yaitu berupa: 1. Melakukan perbuatan yang megakibatkan : a. pencemaran, dan atau b. perusakan lingkungan hidup 50 ; 2. Melakukan perbuatan yang mengakibatkan: pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan orang mati atau luka berat 51 . 3. Melakukan perbuatan melanggar ketentuan perundang-undangan berupa: a. Melepaskan atau membuang zat, energi dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun masuk di atau atau ke dalam tanah, ke dalam udara, atau ke dalam airpermukaan;
50 51
Pasal 41 ayat (1) dan Pasal 42 ayat (1) UUPLH Pasal 41 ayat (2) dan Pasal 42 ayat (2) UUPLH
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
b. Impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan, menjalankan instalasi, yang dapat menimbulkan pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum 52 . 4. Melakukan perbuatan berupa: a. Memberikan informasi palsu, atau b. Menghilangkan informasi, atau c. Menyembunyikan informasi, atau d. Merusak informasi, yang diperlukan (dalam kaitannya dengan perbuatan angka 3di atas), yang mana perbuatan ini dapat menimbulkan pencemaran dan atau perusakan lingkungan atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain 53 . 5. Melakukan perbuatan pada angka 3 atau angka 4 yang mengakibatkan orang mati atau luka berat. 54 Jika ditinjau dari perumusan tindak pidana, ketentuan Pasal 41 - 44 UUPLH, terdapat tindak pidana materiil yang menekankan pada akibat perbuatan, dan tindak pidana formil yang menekankan pada perbuatan. Tindak pidana materiil dapat dilihat dari rumusan Pasal 41 dan Pasal 42 UUPLH, sedangkan tindak pidana formil dapat dilihat dari rumusan Pasal 43 dan Pasal 44 UUPLH. Dalam tindak pidana materiil, perlu terlebih dahulu dibuktikan adanya akibat dalam hal ini terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan. Pencemaran lingkungan terjadi karena masuknya 52
Pasal 43 ayat (1) dan Pasal 44 ayat (1) UUPLH Pasal 43 ayat (2) dan Pasal 44 ayat (1) UUPLH 54 Pasal 43 ayat (3) dan Pasal 44 ayat (2) UUPLH 53
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukkannya. 55 Selanjutnya, kerusakan lingkungan terjadi karena tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan. 56 Dalam tindak pidana formal, rumusan ketentuan pidana yang jika melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, maka telah dapat dinyatakan sebagai pelaku tindak pidana dan karenanya dapat dijatuhi hukuman. Tindak pidana formal dapat digunakan untuk memperkuat sistem tindak pidana materiil jika tindak pidana materiil tersebut tidak berhasil mencapai target bagi pelaku tindak pidana yang berskala ecological impact. Artinya tindak pidana formal dapat digunakan bagi pelaku tindak pidana lingkungan yang sulit ditemukan bukti-bukti kausalitasnya. Tindak pidana formal ini tidak diperlukan akibat (terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan) yang timbul, sehingga tidak perlu dibuktikan adanya hubungan sebab akibat (causality) dari suatu tindak pidana lingkungan. Hal yang perlu diketahui dalam tindak pidana formal, yaitu:
55 56
Pasal 1 angka 12 UUPLH Pasal 1 angka 14 UUPLH
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
1. Seseorang telah melakukan pelanggaran atas peraturan perundangundangan, atau 2. Diketahui atau patut diduganya bahwa dengan pelanggaran tersebut dapat atau berpotensi menimbulkan akibat. Ketentuan Pasal 43 ayat (3) UUPLH dan Pasal 44 ayat (2) UUPLH, jika di simak lebih lanjut mengandung makna selain termasuk delik formal juga delik materiil. Pasal 43 ayat (3) dan Pasal 44 ayat (2) UUPLH mengatur bahwa seseorang harus bertanggungjawab atas perbuatannya yang melanggar peraturan atau melakukan sesuatu (misalnya: menyembunyikan atau menghilangkan informasi), sehingga mengakibatkan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan dan (bahkan juga menyebabkan) kematian orang lain atau luka berat. Dalam kasus ini harus dibuktikan hubungan sebab akibat antara perbuatan pelanggaran tersebut dengan terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan dan (bahkan juga menyebabkan) kematian atau luka berat. Akan tetapi jika ternyata tidak terbukti bahwa terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan dan (bahkan juga menyebabkan) kematian atau luka berat tersebut bukan berasal dari sebab perbuatan yang dilakukannnya, maka pelaku dibebaskan dari tindak pidana materiil, namun ia tetap harus bertanggungjawab atas perbuatannya karena melanggar tindak pidana formal. Terkait dengan tindak pidana yang selain mengandung delik formal dan materiil tersebut, Jaksa Penuntut Umum yang menangani kasus tersebut hendaknya mendakwakan pelaku dengan dakwaan alternatif dan kumulatif. Artinya, jika Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
dakwaan berdasarkan tindak pidana materiil tidak berhasil dibuktikan, maka dakwaan berdasarkan tindak pidana formal dapat dilakukan. Tindak pidana lingkungan yang dilakukan untuk dan atau atas nama korporasi, setidak-tidaknya didalamnya terdapat, bahwa: 57 1. tindakan ilegal dari korporasi dan agen-agennya berbeda dengan perilaku kriminal kelas sosio-ekonomi bawah dalam hal prosedur administrasi. Karenanya, yang digolongkan kejahatan korporasi tidak hanya tindakan kejahatan atas hukum pidana, tetapi juga pelanggaran atas hukum perdata dan administrasi. 2. baik korporasi (sebagai "subyek hukum perorangan "legal persons") dan perwakilannya termasuk sebagai pelaku kejahatan (as illegal actors), dimana dalam praktek yudisialnya, bergantung pada antara lain kejahatan yang dilakukan, aturan dan kualitas pembuktian dan penuntutan. 3. motivasi kejahatan yang dilakukan korporasi bukan bertujuan untuk keuntungan pribadi, melainkan pada pemenuhan kebutuhan dan pencapaian keuntungan organisasional. Tidak menutup kemungkinan motif tersebut ditopang pula oleh norma operasional (internal) dan sub-kultur organisasional. Ketentuan Pasal 46 ayat (1) UUPLH mengatur bahwa jika tindak pidana dilakukan atas nama badan hukum atau perseroan, yayasan dan seterusnya, maka tuntutan, sanksi pidana, serta tindakan tata tertib dijatuhkan kepada badan hukum atau yayasan tersebut maupun kepada mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya. Dalam pelestarian hutan tidak bisa dilepaskan dengan pengelolaan lingkungan hidup yang harus dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan penataan ruang lingkungan sumber daya alam non hayati, sumber daya alam buatan, konservasi 57
http://www.kompas.com, Perusakan Hutan Yang Dilakukan Oleh Korporasi, diakses tanggal 5 Juni 2009 Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, keanekaragaman hayati, dan perubahan iklim sebagaimana yang diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Di dalam penataan ruang dilakukan dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: a. Keserasian, keselarasan, dan keseimbangan fungsi budi daya dan fungsi lindung, dimensi waktu, teknologi, sosial budaya, serta fungsi pertahanan keamanan. b. Aspek pengelolaan secara terpadu berbagai sumber daya alam, fungsi dan estetika lingkungan serta kualitas ruang.
B. Pengaturan Tindak Pidana Money Laundering di Indonesia Pencucian uang sebagai suatu kejahatan mempunyai ciri khas yaitu bahwa kejahatan ini bukan merupakan kejahatan tunggal tetapi kejahatan ganda. Hal ini ditandai dengan bentuk pencucian uang sebagai kejahatan yang bersifat follow up crime atau kejahatan lanjutan, sedangkan kejahatan utamanya atau kejahatan asalnya disebut sebagai predicate offense atau core crime atau ada negara yang merumuskannya sebagai unlawful activity yaitu kejahatan asal yang menghasilkan uang yang kemudian dilakukan proses pencucian uang. Tujuan pelaku memproses pencucian uang adalah untuk menyembunyikan atau menyamarkan hasil dari predicate offence agar tidak terlacak untuk selanjutnya dapat digunakan, jadi bukan untuk tujuan menyembunyikan saja tapi merubah performance atau asal usulnya hasil kejahatan untuk tujuan selanjutnya dan menghilangkan hubungan langsung dengan Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
kejahatan asalnya. Dengan demikian jelas bahwa berbagai kejahatan keuangan (interprise crimes) hampir pasti akan dilakukan pencucian uang atau paling tidak harus sesegera mungkin dilakukan pencucian uang untuk menyembunyikan hasil kejahatan itu agar terhindar dari penuntutan petugas. Dari kekhasan jenis kejahatan ini telah melahirkan berbagai definisi tentang pencucian uang, yang ternyata tidak ada satupun yang bersifat universal serta koprehensif. Hal ini nampak dalam pernyataan: 58 “There is no universal or comprehensive definition of money laundering. Prosecutors and criminal intelligence agencies, businesspersons and companies, developed and developing countries-each has its own definition based on different priories and perspectives. In general, legal definitions for the purpose of persecution are narrower than definitions for intelligence purposes.” Dari berbagai definisi yang dibuat masing-masing negara bukan berarti berbeda sama sekali tetapi terdapat standar minimumnya berkaitan dengan kriteria kejahatan ini, dan terutama untuk kepentingan dilakukannya mutual legal assistance. Artinya bahwa masing-masing negara boleh saja tidak menyeragamkan definisi namun paling tidak terdapat standar yang harus diatur yaitu berkaitan dengan adanya unsur-unsur intent (maksud atau sengaja), a financial transaction, proceed of crime, knowledge or reason to know dan proceed of crime or unlawful activity. Dari sifatnya yang merupakan kejahatan ekonomi maka dipikirkan bahwa praktik pencucian uang sebagian besar menggunakan sarana lembaga keuangan, maka harus dilakukan upaya agar lembaga ini tidak digunakan untuk pencucian uang. 58
David A.Chaikin, “Money Laundering: An Investigatory Perspective”, Crim. L. Forum, vol. 2. No. 3, (Spring, 1991), hal. 468-469. Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
Selain itu upaya pemberantasan melalui ketentuan lembaga keuangan dipandang sebagai suatu strategi dini sebagai penangkapan pelaku dan penyitaan hasil kejahatan dalam kaitannya dengan upaya preventif. Namun demikian karena sifatnya yang merupakan kejahatan tetap harus dilakukan upaya represif, maka ditawarkan suatu pemikiran pemberantasan dengan pendekatan dua jalur yang disebut sebagai twin track against money laundering: 59 “A twin track policy has gradually evolved in the fight against money laundering, consisting of preventive approach, founded in banking law, and repressive approach founded in criminal law. To portray the distinction between the preventive and the repressive approach to money laundering as a dichotomy between criminal and financial law is, however, an over simplification.”17 Berkaitan dengan pemberantasan pencucian uang maka kedua pendekatan tersebut hanya dibedakan tetapi tidak dipisahkan, bahkan dinyatakan antara pendekatan hukum pidana dan hukum ekonomi merupakan suatu keterpaduan. Diawali dengan pendekatan preventif yang diletakan pada lembaga keuangan nampaknya upaya pemberantasan melalui bidang ini dipandang sebagai strategi dini dan yang paling signifikan. Misalnya pada tahap placement lembaga keuangan (bank) dimanfaatkan dengan cara yang sederhana sampai yang rumit menggunakan wire transfer ataupun munculnya Payable Through Accounts (PTAs). Dari rumusannya maka kejahatan pencucian uang dalam UUTPPU dapat dibedakan dalam dua kriteria yaitu Tindak Pidana Pencucian Uang (Pasal 3 dan 6) dan Tindak Pidana yang berkaitan dengan Pencucian Uang (Pasal 8 dan 9). Pasal 3:
59
Guy Stessens, op.cit. hal. 108
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
(1) Setiap orang yang dengan sengaja: a. menempatkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalam penyedia jasa keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain; b. mentransfer harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dari suatu penyedia jasa keuangan ke penyedia jasa keuangan yang lain baik atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain; c. membayarkan atau membelanjakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas namanya maupun atas nama pihak lain; d. menghibahkan atau menyumbangkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain; e. menitipkan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana baik atas namanya maupun atas nama pihak lain; f. membawa keluar negeri harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana; atau g. menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga lainnya; dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit Rp.100 juta dan paling banyak Rp. 15.milyar. Unsur obyektif (actus reus) dari Pasal 3 sangat luas dan karena merupakan inti delik maka harus dibuktikan. Unsur obyektif tersebut terdiri dari menempatkan, mentransfer,
membayarkan
atau
membelanjakan,
menghibahkan
atau
menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan atau perbuatan lain atas harta kekayaan (yang diketahui atau patut diduga berasal dari kejahatan). Sedangkan unsure subyektifnya (mens rea) yang juga merupakan inti delik adalah sengaja, mengetahui atau patut menduga bahwa harta kekayaan berasal dari hasil kejahatan, dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan harta tersebut. Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
Pasal 6 (1) Setiap orang yang menerima atau menguasai: a. penempatan; b. pentransferan; c. pembayaran; d. hibah ; e. sumbangan; f. penitipan; atau g. penukaran, harta kekayaan yang diketahui atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit Rp. 100 juta dan paling banyak Rp. 15 milyar. Unsur obyektif Pasal 6 adalah menerima atau menguasai: penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran harta kekayaan (yang diketahui atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana). Sedangkan unsure subyektif atau mens reanya adalah mengetahui atau patut menduga bahwa harta kekayaan merupakan hasil tindak pidana.
Dalam UUTPPU juga mengatur tentang tindak pidana yang berkaitan pencucian uang yaitu:
Pasal 8: Penyedia jasa keuangan yang dengan sengaja tidak menyempaikan laporan kepada PPATK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp. 250 juta dan paling banyak Rp. 1 milyar. Pasal 13 ayat (1) yang ditunjuk oleh Pasal 8 adalah sebagai berikut: Penyedia Jasa Keuangan wajib menyampaikan laporan kepada PPATK sebagaimana dimaksud dalam Bab V, untuk hal-hal sbb: a. transaksi keuangan mencurigakan; b. transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai dalam jumlah kumulatif sebesar Rp. 500.000.000,- atau lebih atau mata uang asing yang nilainya
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
setara dilakukan dalam satu kali transaksi maupun beberapa kali transaksi dalam satu hari kerja. Pasal 9: Setiap orang yang tidak melaporkan uang tunai berupa rupiah sejumlah Rp. 100 juta atau lebih atau mata uang asing yang nilainya setara yang dibawa ke dalam atau ke luar wilayah Negara R.I. dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp. 100 juta dan paling banyak Rp. 300 juta. Di Indonesia pengaturan tentang pencucian uang pada awalnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang (UUTPPU). Mendasari UUTPPU ini money laundering telah dikategorikan sebagai salah satu kejahatan baik yang dilakukan oleh perseorangan maupun korporasi. Perkembangan kejahatan yang telah dilakukan korporasi dewasa ini baik dalam batas suatu negara maupun yang dilakukan melintasi batas wilayah negara lain makin meningkat. Kejahatan tersebut antara lain berupa tindak pidana korupsi, penyuapan (bribery), perbankan, pencucian uang yang dikategorikan sebagai kejahatan white collar crime dan dilakukan oleh tokoh-tokoh intelektual yang berada dibelakangnya. Tokoh-tokoh ini biasanya sulit untuk dilacak dan ditangkap karena pada umumnya mereka tidak kelihatan pada tingkat pelaksanaan dari suatu tindak pidana tetapi akan lebih banyak menikmati dari hasil tindak pidana tersebut. 60 Adapun sifat ataupun karakter yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana pencucian uang pada umumnya dilakukan oleh pelaku yang memiliki kekuasaan baik politik maupun ekonomi untuk membuat kabur dari asal usul harta kekayaan yang
60
Yunus Husein, Upaya Penanganan Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering), makalah disampaikan pada Seminar Nasional Mengenali tindak pidana Pencucian uang, diselenggarakan oleh USU, Medan tanggal 30 Oktober 2002, hal. 4 Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
didapat dari kejahatan tersebut sehingga sulit bagi aparat penegak hukum untuk melakukan penjeratan dan penghukuman serta menerapkan norma hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan bagi pelaku kejahatan pencucian uang didalam sistem peradilan pidana (criminal justice system) yang terdiri dari polisi jaksa dan hakim. 61 Pengaturan tentang pencucian uang ini merupakan salah satu dari delapan kejahatan transnasional (narkoba, terorisme, penyeludupan senjata api, perdagangan wanita dan anak, pembajakan di laut, kejahatan ekonomi, kejahatan cyber dan pencucian uang) yang telah disepakati dunia di lingkungan asia tenggara dimasukkan dalam golongan kejahatan bisnis transnasional yang dapat melintasi batas wilayah dan yuridiksi suatu negara serta penanganannya pun mendapat perhatian. Pada akhir tahun 80 an dan 90 an, negara-negara maju telah mencemaskan terhadap berkembangnya tindak pidana pencucian uang terlebih lagi pada saat itu ketentuan tentang kerahasiaan bank sangat dilindungi dan sulit ditembus, berdasarkan pemikiran tersebut maka negara yang tergabung dalam G-7 membentuk badan yang disebut FATF (The Financial Action Task Force) yaitu badan antar pemerintah yang bertujuan mengembangkan dan meningkatkan kebijakan untuk memberantas pencucian uang. 62 Lahirnya UUTPU didasari suatu pemikiran bahwa tindak pidana pencucian uang sangat erat kaitannya dengan dana-dana yang sangat besar jumlahnya. 61
Ibid David P Steward, Internationalizing The War on Drugs; The un Convention on Againts Illicit Trafic in Narcotic Drugs and Psycotropic substances, Den. J Int : L and Pol’y, vol 18 62
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
Sementara itu, dana-dana tersebut disembunyikan dan disamarkan melalui jasa-jasa keuangan, seperti jasa perbankan, asuransi, pasar modal dan instrumen lain dalam lalu lintas keuangan. Praktek ini secara tidak langsung akan membahayakan dan mempengaruhi, bahkan merusak stabilitas perekonomian nasional yang telah ada.63 Pencucian uang adalah suatu perbuatan memindahkan, menggunakan atau melakukan perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang didapat dari hasil suatu tindak pidana, yang biasanya dilakukan oleh criminal organization, maupun individu yang melakukan tindakan korupsi, perdagangan narkotika, kejahatan kehutanan, kejahatan lingkungan hidup dan tindak pidana lainnya dengan tujuan untuk menyembunyikan, menyamarkan atau mengaburkan asal-usul uang yang berasal dari hasil tindak pidana tersebut. Sehingga harta kekayaan tersebut baik yang berupa uang maupun barang dapat digunakan seolah-olah sebagai harta kekayaan yang sah, tanpa terdeteksi bahwa harta kekayaan tersebut berasal dari kegiatan yang illegal. Adapun yang melatarbelakangi para pelaku pencucian uang melakukan tindakan-tindakan tersebut dengan maksud adalah untuk memindahkan atau menjauhkan para pelaku itu dari kejahatan yang menghasilan proceeds of crime, memisahkan proceeds of crime dari 63
Bismar Nasution, Rezim Anti Money Laundering, Loc.cit, , hal. 1, bahwa pencucian uang sebagai suatu kejahatan yang berdimensi Internasional merupakan hal baru dibanyak negara termasuk Indonesia. Sebegitu besarnya dampak negatif yang ditimbulkannya terhadap perekonomian suatu negara, sehingga negara-negara di dunia dan organisasi Internasional merasa tergugah dan termotivasi untuk menaruh perhatian yang lebih serius terhadap pencegahan dan pemberantasan kejahatan pencucian uang. Hal ini tidak lain karena kejahatan pencucian uang (money laundering) tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi sistem perekonomian, dan pengaruhnya tersebut merupakan dampak negatif bagi perekonomian itu sendiri. Di dalam praktik money laundering ini diketahui bahwa banyak dana-dana potensial yang tidak dimanfaatkan secara optimal karena pelaku money laundering sering melakukan “steril investment” misalnya dalam bentuk investasi di bidang properti pada negara-negara yang mereka anggap aman walaupun dengan melakukan hal itu hasil yang diperoleh jauh lebih rendah. Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
kejahatan yang dilakukan, menikmati hasil kejahatan tanpa adanya kecurigaan terhadap pelakunya, serta melakukan reinvestasi hasil kejahatan untuk aksi kejahatan selanjutnya atau ke dalam bisnis dan usaha yang sah. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang perubahan terhadap UndangUndang Nomor 15 Tahun 2002, menambahkan beberapa ketentuan tentang tindak pidana asal (core crime) dari predicate crimes yang semula bersifat tertutup menjadi terbuka, dan lebih menekankan peranan PPATK untuk berkerja secara intensif dalam menanggulangi Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Tindakan pemerintah Republik Indonesia untuk menanggulangi dan keluar dari daftar hitam (black list) negara-negara tempat tumbuh suburnya kegiatan pencucian uang, yang dilakukan melalui beberapa upaya-upaya sudah menampakkan hasilnya, dengan dinyatakannya bahwa Indonesia telah keluar dari daftar hitam tersebut. 64 Perubahan-perubahan di dalam UUTPPU melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 apabila dicermati, terlihat masih banyak mengandung kelemahankelemahan, antara lain terdapat di dalam Pasal 35 UUTPPU tentang pembalikan beban pembuktian (shifting of the burden of proof), sebagai dasar di dalam penerapan asas diduga melakukan tindak pidana pencucian uang, yang tidak secara tegas mengatur bagaimana kalau terdakwa tidak dapat membuktikannya. Dalam pasal tersebut hanya dikatakan bahwa untuk kepentingan pemeriksaan pengadilan terdakwa wajib membuktikan bahwa hartanya bukan merupakan hasil kejahatan. Seharusnya 64
Sutanto, Peran Polri untuk Meningkatkan Efektivitas Penerapan UU TPPU, Keynote Adress Pada Pelatihan Anti Tindak Pidana Pencucian Uang, (Medan: Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, tanggal 15 September 2005), hal. 6 Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
ada pasal lain yang menyebutkan apabila terdakwa tidak dapat membuktikan asal usul harta kekayaannya tersebut, maka harta kekayaan tersebut dapat langsung disita atau dapat dianggap terbukti berasal dari kejahatan asal (predicate crimes) Pada dasarnya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UUTPPU) telah memberikan landasan berpijak yang cukup kuat bagi penegak hukum, untuk dapat menjerat pelaku tindak pidana pencucian uang (money laundring), dengan melalui berbagai pendekatan seperti tersebut di atas. Diharapkan dengan adanya pendekatan-pendekatan tersebut, tidak saja secara fisik para pelaku dapat dideteksi, tetapi juga terhadap harta kekayaan yang didapat, diperoleh, dan berasal dari kejahatan asal ( core crime), yang digolongkan sebagai predicate crimes. Sehingga kegiatan pencucian uang yang dilakukan oleh para pelaku yang biasanya mempunyai status sosial yang tinggi (high social status ) dapat dimintai pertanggung jawabannya. Dalam tindak pidana pencucian uang (money laundering), yang menjadi prioritas utama adalah pengembalian dan pengejaran uang atau harta kekayaan yang diperoleh dari hasil kejahatan, dengan beberapa alasan yakni: 1.
Jika pengejaran ditujukan kepada pelakunya akan lebih sulit dan juga sangat beresiko;
2.
Jika diperbandingkan antara mengejar pelakunya dengan mengejar uang atau harta kekayaan dari hasil kejahatan akan lebih mudah mengejar hasil dari kejahatan;
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
3.
Uang atau harta kekayaan yang diperoleh dari hasil kejahatan adalah juga merupakan darah yang menghidupi atau energi dari tindak pidana itu sendiri (blood of the crime). Bila para penegak hukum melakukan pengejaran terhadap uang atau harta kekayaan yang diperoleh dari hasil kejahatan, serta dilakukan upaya-upaya hukum berupa penyitaan untuk menyelamatkan aset/keuangan negara, maka dapat dipastikan dengan sendirinya akan berdampak secara signifikan pada turunnya tingkat kejahatan pencucian uang itu sendiri.
Sejak pertama kali dikeluarkanya undang-undang tidak pidana pencucian uang maka pencucian uang sudah di kriminalisasi sebagai tindak pidana dengan konsekuwensi terhadap berlakunya penegakan hukum (law enforcement) terhadap para pelaku dan setiap orang yang terkait dengan kejahatan pencucian uang ini. Memang ada suatu kecenderungan bagi para pelaku kajahatan untuk tidak segera mempergunakan harta kekayaan hasil dari kekayaan yang mereka lakukan yang biasanya
berbentuk
uang,
para
pelaku
kejahatan
lebih
memilih
untuk
menyembunyikan atau mengalihkanya berkali-kali uang hasil kejahatan tersebut dengan modus yang berbeda-beda agar aparat penegak hukum tidak dapat atau mengalami kesulitan untuk mengungkap dan mencurigai pelaku kejahatan tersebut. Hal ini adalah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perbuatan pencucian uang.
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
E. Karakteristik Pelaku Kejahatan Pembalakan Liar Yang Mengalihkan Harta Kekayaan Hasil Kejahatan Dengan Praktek Pencucian uang Pelaku kejahatan pencucian uang atas harta kekayaan yang diperoleh dari hasil pembalakan liar sering menggunakan financial system untuk mengaburkan harta hasil kekayaan yang semula harta tersebut diperoleh dari hasil kejahatan. Financial system pada umumnya sering dipahami dan dihubungkan dengan bank, lembaga pemberi kredit atau perdagangan valuta asing, namun perlu diketahui bahwa selain produk
transnasional
perbankan
seperti
tabungan/deposito,
trnasfer
serta
kredit/pembiayaan pada kenyataanya produk dan jasa yang ditawarkan oleh lembaga keuangan juga menarik bagi para pencuci uang untuk menggunakannya sebagai sarana pencucian uang, 65 oleh karenanya pelaku kejahatan ini memiliki kemampuan dan net work yang canggih dalam menjalankan aksi kejahatannya yakni penyeludupan uang, melalui institusi keuangan dan melalui institusi non keuangan. Berikut ini akan diterangkan beberapa modus operandi tentang pencucian uang. 1) Tipologi Menurut Egmont Group 66 Menurut Egmont Group, kasus-kasus pencucian uang dibagi ke dalam lima tipe sesuai dengan bagaimana cara-cara para pencuci uang melakukan kegiatan pencucian uang. Kelima tipe itu adalah sebagai berikut :
65
Bismar Nasution, Rezim Anti-Money Laundering Di Indonesia, op.cit, hal. 3 Ermon Group adalah gabungan dari Financial Intelligence Unit (FIU) yaitu lembaga permanen yang khusus menangani masalah pencucian uang dari setiap negara di dunia yang bertujuan untuk mengumpulkan kasus-kasus terpilih berkenaan dengan pemberantasan pencucian uang. Kumpulan kasus tersebut diharapkan dapat memberikan manfaat kepada FIU di masing-masing negara. 66
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
a) Penyembunyian ke dalam struktur bisnis Penyembunyian ini dilakukan ke dalam kegiatan normal dari bisnis atau ke dalam perusahaan yang telah ada yang dikendalikan oleh organisasi kejahatan yang bersangkutan. Apabila tipe ini sudah ditempuh, maka pencuci uang akan mendapatkan setidaknya enam keuntungan. Hal tersebut diungkapkan oleh The Egmount Group yaitu: 67 (1) bahwa dengan cara ini, pencuci uang dapat lebih memiliki kendali terhadap perusahaan yang digunakan untuk melakukan kegiatan pencucian uang. Hal ini dapat mengurangi kemungkinan kegiatan pencucian uang itu dibocorkan oleh orang dalam dan diketahui oleh penegak hukum (2) bahwa lembaga keuangan yang digunakan untuk mentransfer dana itu akan kurang curiga apabila kemudian mengetahui adanya fluktuasi yang demikian besar di dalam rekening perusahaan tersebut dibandingkan apabila kegiatan yang serupa dilakukan melalui rekening pribadi. (3) bahwa kegiatan bisnis memiliki alasan-alasan sah bagi pelaksanaan tranfer dana kepada atau penerimaan transfer dana dai yurisdiksi lain, dan dalam berbagai mata uang, sehingga hal yang demikian itu dapat mengurangi tingkat kecurigaan dari lembaga-lembaga keuangan yang bersangkutan
67
Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, (Grafiti: Jakarta, 2004), hal. 124-125 Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
(4) bahwa beberapa bisnis bertransaksi terutama dengan uang tunai dan lembaga-lembaga keuangan akan kurang curiga apabila melihat ada pihak yang melakukan penyimpanan uang tunai yang besar (5) bahwa hubungan antara para penjahat dengan perusahaan yang bersangkutan
dapat
disembunyikan
melalui
struktur
kepemilikan
perusahaan, karena apabila rekening tersebut berbentuk “ personal bank account”, maka dokumen-dokumen identifikasi khusus dari pribadipribadi pembuka rekening tersebut akan diminta oleh lembaga-lembaga keuangan di mana rekening itu dibuka. (6) Bahwa di beberapa negara biaya untuk mendirikan perusahaan tidak mahal, yaitu hanya beberapa ratus dolar saja. Di samping itu, di seluruh dunia selalu saja tersedia agen-agen yang dapat memfasilitasi pihak-pihak yang memerlukan untuk mendirikan perusahaan dan memfasilitasi penyediaan manajemennya, termasuk apabila diperlukan oleh para penjahat yang kurang memiliki pengalaman profesional dalam masalah tersebut. b) Penyalahgunaan bisnis yang sah Dalam tipe kasus seperti ini, pencuci uang menggunakan bisnis atau perusahaan yang telah ada tanpa harus menciptakan yang baru. Perusahaan tersebut akan menggunakan dana hasil pencucian uang tanpa harus tahu asalusul dari dana tersebut sehingga dana tersebut akan terlihat seakan-akan memang berasal dari perusahaan yang bersangkutan, dan bukan berasal dari Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
pemilik yang sesungguhnya. Untuk memperlancar proses ini, pencuci uang sering menggunakan tenaga profesional seperti lawyers dan accountants. c) Penggunaan identitas palsu, dokumen palsu, dan penggunaan perantara Dalam tipe kasus seperti ini, pencuci uang menyerahkan aset miliknya kepada orang-orang yang tidak ada hubungannya dengan kejahatan. Orang-orang seperti ini disebut dengan “straw men”. Mereka akan digunakan untuk menyimpan dana di bank atau menarik dana tersebut dengan harapan apabila transaksi-transaksi tersebut menjadi perhatian para penegak hukum, maka tidak terungkapnya hubungan transaksi itu dengan organisasi kejahatan yang bersangkutan akan dapat menghilangkan jejak sumber keuangan itu. Penggunaan dokumen-dokumen identitas palsu acap kali dilakukan untuk membuka rekening bank atau untuk melaksanakan transaksi yang digunakan untuk meniadakan dapat terlihatnya hubungan antara aset tersebut dengan penjahat yang bersangkutan. Dokumen palsu digunakan untuk menunjang upaya-upaya pencucian uang yang dilakukan oleh pencuci uang. Misalnya, pembuatan faktur palsu (false invoicing), tanda terima (receipts) palsu, dan dokumen perjalanan palsu. Semua ini digunakan untuk membuktikan kebenaran mengenai dana yang disetorkan kepada lembaga-lembaga keuangan yang bersangkutan. 68
68
Ibid, hal. 126
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
d) Pengeksploitasian masalah-masalah yang menyangkut yurisdiksi internasional Pengeksploitasian pembedaan-pembedaan peraturan dan persyaratan yang berlaku antara negara yang satu dengan negara yang lain merupakan hal yang dilakukan oleh pencuci uang. Misalnya, pembedaan ketentuan rahasia bank, persyaratan identifikasi (untuk membuka rekening bank), persyaratan transportasi, ketentuan perpajakan, persyaratan pendirian perusahaan, dan pembatasan lalu lintas devisa. Globalisasi
dari
jasa-jasa
keuangan
yang
makin
meningkat
dapat
memudahkan para penjahat untuk berkali-kali memindahkan dana-dana mereka dan satu yurisdiksi ke yurisdiksi yang lain dengan biaya yang rendah. e) Penggunaan harta kekayaan tanpa nama Tipe kasus seperti ini adalah yang paling sederhana. Para penjahat menyadari bahwa makin sedikit para pencuci uang meninggalkan jejak pemeriksaan yang dapat dilacak oleh para investigator, yaitu jejak yang ditinggalkan oleh kegiatan pencucian uang yang dilakukan oleh para penjahat itu dengan asetnya. Beberapa aset memang tidak memiliki nama pemilik sehingga kepemilikannya praktis tidak mungkin dibuktikan, kecuali apabila penjahat yang bersangkutan tertangkap basah oleh penegak hukum ketika sedang berinteraksi dengan aset tersebut. 69
69
Ibid, hal. 128
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
2) Macam-macam mekanisme kerja dalam pencucian uang, yaitu melalui: a) Cash (tunai) Hasil kejahatan pencucian uang berupa uang tunai terkait dengan tahap “plecement”, namun juga bisa dalam tahap transfer dan “integration”. Yang menjadi modus operandi para pelaku pencucian uang dalam menangani uang tunai atau “cash” sebagai berikut; 70 (1) Mengkonvensi uang tunai dengan menempatkan uang hasil kejahatnnya ke dalam penyedia jasa keuangan atau dengan membelajakan uang tersebut untuk barang-barang tertentu. (2) Structuring cash deposits dilakukan dengan cara menghindari pelaporan
keuangan
dalam
rezim
anti
pencucian
uang,
menghindari kecurigaan aparat intelijen keuangan dan membantu para pencuci uang dalam membersihkan hasil kejahatannya. (3) Smurfing yaitu suatu proses dimana para kriminal melibatkan beberapa orang smurfs) untuk mendepositokan uang hasil kejahatan ke dalam sistem perbankan sehingga mengurangi kecurigaan petugas Penyedia Jasa Keuangan. (4) International smuggling of cash yaitu dengan secara fisik uang dalam jumlah besar melewati perbatasan suatu negara.
70
Soewarsono dan Reda Manthovani, Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia, (Malibu: Jakarta, 2004), hal. 13-15 Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
b) Wire tranfer Mekanisme kerja pencucian yang dilakukan ketika uang tunai sudah berada dalam sistem keuangan. Cara ini termasuk yang cepat dan terpercaya dalam mentranfer uang ke seluruh dunia. Keuntungan dengan menggunakan mekanisme ini adalah : uang dalam jumlah besar ditransfer seketika, dapat memindahkan uang hasil kejahatan melalui beberapa jurisdiksi dan dalam berbagai rekening bank secara cepat; dalam “Telegraphic Transfer” informasi atau identitas dari si pengirim dan si penerima terbatas; dan keuntungan yang terakhir adalah dapat menyembunyikan sumber dari uang hasil kejahatan dan menghindari persyaratan pelaporan internasional. 71 c) Alternative remittance systems & underground banking Dalam sitem ini, penyedia jasa keuangan beroperasi di luar sektor keuangan yang utama dimana uang atau dana ditransfer antar negara dengan cepat dan sulit dideteksi. Sitem ini digunakan oleh pencuci uang kerena : (1) sistem ini tidak mengenal prinsip “know your costumers system”, (2) tidak ada catatan transaksi; dan (3) pihak yang berwenang kesulitan dalam melacaknya. Dalam buku Yenti Garnasih yang berjudul “Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundering)”, disebutkan bahwa pencucian uang dilakukan dengan dua cara yaitu dengan cara tradisional dan cara modern. Cara tradisional biasanya dilakukan
71
Ibid
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
melalui suatu jaringan atau sindikat etnik yang sangat rahasia. 72 Dengan cara ini, para pelaku menjalankan praktek pencucian uang dengan dilandasi rasa saling percaya yang kuat dan tanpa menggunakan pembukuan, sehingga transaksi tersebut tidak meninggalkan jejak.
72
Yenti Garnasih, Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundering), (Jakarta: Universitas Indonesia, Fakultas Hukum Pascasarjana, 2003), hal. 57 Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU TINDAK PIDANA KEHUTANAN DI DALAM KASUS ADELIN LIS (DIREKSI PT KEANG NAM DEVELOPMENT INDONESIA)
A. Penegakan Hukum Oleh Pengadilan Negeri Medan dan Mahkamah Agung Dalam Kasus Adelin Lis (Direksi PT. KNDI) Dalam Rangka Meminta Pertanggungjawaban Pelaku Pertanggungjawaban pelaku kejahatan di dalam tindak pidana kehutanan sebagai kejahatan asal (core crime) melalui pendekatan rezim money laudering tentunya terlebih dahulu dilakukan pendekatan secara refresif sebagai bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy) yang merupakan tindakan pemberatasan dan sekaligus penumpasan terhadap kejahatan kehutanan dan kejahatan pencucian uang (Money Laundering) oleh pihak kepolisian sebagai penyidik yang merupakan suatu proses dari penegakan hukum pidana dalam sistem peradilan pidana. 73 Proses penyidikan Polri sebagai bahagian dari kebijakan kriminal berupa upaya penanggulangan kejahatan dan penegakan hukum sebagai bahagian dari sistem pemidanaan berupa tanggungjawab pelaku dapat dilihat dari proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Reserse Kriminal Polda Sumatera Utara terhadap pelaku yakni PT. KNDI (Adelin Lis) dalam rangka penjeratan pelaku dengan menggunakan kerangka Pasal 3 UUTPPU sebagai berikut: 74
73
Pasal 1 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa penyidikan yang dilakukan oleh pihak penyidik kepolisian adalah merupakan “serangkaian tindakan penyidikan dalam hal dan menurut tata cara yang telah diatur dalam undang-undang untuk itu perbuatan berupa mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti tersebut dapat membuat terang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya”. 74 BAP berkas perkara Adelin Lis oleh Satuan II Direktorat Reserse Kriminal Polda Sumatera Utara Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
“PT. Keang Nam Development Indonesia Cq. Saudara ADELIN LIS selaku Direktur Keuangan / Umum PT. Keang Nam Development Indonesia berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor : 805/Kpts-IV/1999, tanggal 30 September 1999, PT. Keang Nam Development Indonesia mendapatkan fasilitas dari Negara Republik Indonesia Cq. Departemen Kehutanan RI berupa Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu ( UPHHK ) seluas ± 58.590 ( lima puluh delapan ribu lima ratus sembilan puluh ) Ha yang terletak pada kelompok hutan Produksi sungai Singkuang – sungai Natal, Kec. Muara Batang Gadis, Kab. Mandailing Natal, ( dahulu sebelum tahun 2000 adalah Kec. Natal, Kab. Tapanuli Selatan), Propinsi Sumatera Utara, diberikan jangka waktu 35 (tiga puluh lima) Tahun, yang berlaku surut sejak tahun 1994 s/d tahun 2029 adalah ADELIN LIS selaku Direktur Keuangan / Umum di PT. Keang Nam Development Indonesia tidak pernah mengeluarkan dana operasional untuk kegiatan sistim Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia ( TPTI ) yang mengakibatkan penebangan pohon kayu hasil hutan dari periode tahun 2000 s/d tahun 2005 tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, antara lain lokasi penebangan berada diluar Blok Tebangan / Petak Tebangan Rencana Karya Tahunan ( RKT ) yang menimbulkan kerusakan hutan, dimana kegiatan Tebang Pilih Tanam Indonesia ( TPTI ) tersebut meliputi: 1. Penataan Areal Kerja (PAK) Et-3 (Et = Exploitasi Tebangan) adalah kegiatan yang bertujuan untuk mengatur blok kerja tahunan dan petak kerja guna perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan pengawasan kegiatan unit pengelolaan hutan. 2.
Inventarisasi Tegakan sebelum Penebangan (ITSP) (Et-2) adalah kegiatan pencatatan, pengukuran dan penandaan pohon dalam areal Blok Kerja Tahunan untuk mengetahui : a.
Data Pohon Inti
: jumlah, jenis, diameter.
b.
Data Pohon yang dilindungi
: jumlah, jenis, diameter.
c.
Data Pohon yang akan dipanen
: jumlah, jenis, diameter, tinggi bebas cabang.
d.
Data Medan Kerja
: jurang, sungai, kawasan dilindungi.
ITSP khususnya ditujukan untuk penyusunan Rencana Karya Tahunan (RKT) yang berkaitan dengan TPTI. 3.
Pembukaan Wilayah Hutan (PWH) (Et-1) adalah kegiatan penyediaan prasarana wilayah bagi kegiatan produksi kayu, pembinaan hutan, perlindungan hutan, insfeksi kerja, transportasi sarana kerja, dan komunikasi antar pusat kegiatan. Pembukaan hutan diwujudkan oleh
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
penyediaan jaringan angkutan, barak kerja, penimbunan kayu dan lainlain. 4.
Penebangan (Et) adalah kegiatan pengambilan kayu dari pohon-pohon dalam tegakan yang berdiameter sama dengan atau lebih besar dari diameter batas yang ditetapkan (50 up, yang artinya ukuran diameter 50 Cm keatas) dari blok tebangan yang telah disahkan.
5.
Perapihan (Et+1) adalah kegiatan pada areal bekas penebangan agar Tegakan Tinggal tersebut mudah diinventarisasi, diperbaiki dan di tingkatkan produktivitasnya.
6.
Inventarisasi Tegakan Tinggal (ITT) (Et+2) adalah kegiatan pencatatan dan pengukuran pohon serta permudaan alam pada areal Tegakan Tinggal untuk mengetahui antara lain komposisi jenis, penyebaran dan perapatan pohon dan permudaan serta jumlah dan tingkat kerusakan pohon inti.
7.
Pembebasan Tahap Pertama (Et+2) adalah kegiatan pemeliharaan Tegakan Tinggal yang berupa pekerjaan membebaskan tajuk dari 200 batang pohon binaan jenis Niagawi (pohon inti dan permudaan) per hektar, dari desakan dan naungan pohon / tumbuhan penyaing.
8.
Pengadaan Bibit (Et+2) adalah kegiatan yang meliputi penyiapan tempat pembibitan, pengadaan sarana dan prasarana, kegiatan lain yang berhubungan dengan pengadaan bibit.
9.
Pengayaan / Rehabilitasi (Et+2) adalah kegiatan penanaman pada areal bekas tebangan yang kurang cukup mengandung permudaan jenis Niagawi, dengan tujuan untuk memperbaiki komposisi jenis, penyebaran pohon dan nilai tegakan.
10. Pemeliharaan Tanaman Pengayaan / Rehabilitasi (Et+3, 4, 5) adalah pekerjaan perawatan tanaman dengan cara membersihkan jalur tanaman, membunuh gulma dan pohon penaung, menebas rumput sepanjang jalur penanaman dan penyulam tanaman mati. 11. Pembebasan tahap Kedua dan Ketiga (Et+4, 6) adalah pengulangan seperlunya pembebasan pertama, agar tajuk pohon binaan selalu menerima cahaya matahari langsung dari atas atau samping, dan memiliki ruang tumbuh tajuk secukupnya kesamping dan keatas. 12. Penjarangan Tegakan Tinggal (Et+10, 15, 20) adalah penyingkiran penyaing pohon binaan bilamana pohon binaan telah berupa tingkat tiang dan pohon, atau berdiameter lebih besar dari 10 Cm. Perusahaan PT. Keang Nam Development Indonesia sejak tahun 2000 s/d tahun 2005 ada melakukan pembayaran Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR), akan tetapi bukan atas kayu bulat yang Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
ditebangnya, melainkan berdasarkan LHP Fiktif. Bahwa Saudara ADELIN LIS tidak pernah melakukan tugas pokok dan fungsinya selaku Direktur Keuangan / Umum PT. Keang Nam Development Indonesia, antara lain tidak mendistribusikan dukungan anggaran untuk kegiatan sistim silvikultur TPTI dalam rangka mewujudkan hutan lestari untuk periode tahun 2000 s/d tahun 2005, karena hasil penjualan kayu bulat dari PT. Keang Nam Development Indonesia periode tahun 2004 s/d tahun 2005 terbukti ditransfer dan digunakan untuk memperkaya dirinya sendiri atau korporasi ( PT. Sinar Gunung Sawit Raya ), sehingga keperluan dana yang seharusnya dialokasikan untuk kegiatan TPTI di IUPHHK PT. Keang Nam Development Indonesia tidak terealisasi. Selanjutnya ADELIN LIS selaku Direktur Keuangan PT. Keang Nam Development Indonesia dengan sengaja membuka rekening atas nama pribadinya sendiri pada Bank Buana Cabang Jln. Palang Merah Medan pada No. Rekening : 002.001783 dan HSBC Cabang Medan pada No. Rekening : 008-031288-001 untuk memperkaya dirinya sendiri atau korporasi melalui penerimaan hasil penjualan kayu olahan PT. Mujur Timber periode tahun 2003 s/d tahun 2005 tanpa didasari kewenangan, baik melalui Rapat Umum Pemegang Saham ( RUPS ) pada kedua perusahaan maupun wewenang atas amanat anggaran dasar kedua perusahaan. Hal itu dapat dibuktikan berdasarkan keterangan Saudara ADELIN LIS dan dari pihak lain ( Bank Buana Cabang Jalan Palang Merah Medan ), yaitu: 75 1.
Berdasarkan pembacaan rekening koran nomor : 002-0001783 A.n. ADELIN LIS pada bank Buana Indonesia Cabang Palang Merah Medan menujukkan adanya aliran dana masuk dari PT. Mitra Niaga Makmur Lestari sebanyak 29 (dua puluh sembilan) kali transaksi dengan nilai Rp. 83.112.006.591 (delapan puluh tiga milliar seratus dua belas juta enam ribu lima ratus sembilan puluh satu rupiah ).
2.
Berdasarkan pembacaan rekening koran nomor : 002-0001783 A.n. ADELIN LIS pada Bank Buana Indonesia Cabang Palang Merah Medan yang didukung oleh Cek dan Giro menujukkan adanya aliran dana keluar dan masuk ke Rekening nomor : 008-031288-001 atas nama ADELIN LIS pada Bank HSBC cabang Medan sebanyak 13 (tiga belas) kali dengan nilai Rp. 10.550.000.000,- (Sepuluh Miliar Lima Ratus Lima Puluh Juta Rupiah) untuk Aliran Dana Keluar dari Rekening nomor 0020001783 pada Bank Buana Indonesia Cabang Medan Jalan Palang Merah.
Setelah Saudara ADELIN LIS ada menerima uang hasil penjualan kayu perode tahun 2003 s/d tahun 2005 pada rekening No.: 002.001783 atas nama pribadinya sendiri pada Bank Buana Cabang Jln. Palang Merah Medan, lalu 75
BAP PT. Keang Nam Development Indonesia di Direktorat Reserse Kriminal Polda Sumatera Utara. Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
dengan sengaja mentransfer kembali uangnya ke Rekening No.: 0057862071, atas nama PT. SINAR GUNUNG SAWIT RAYA dan ke Rekening No. : 105.017800002-6, atas nama PT. Mujur Timber, dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri dengan melawan hak, yaitu: 1. Ke rekening nomor : 0057862071 atas nama PT. SINAR GUNUNG SAWIT RAYA pada Bank BNI Cabang Pemuda Medan sebanyak 66 (Enam Puluh Enam) kali dengan nilai Rp. 33,045,000,000.00 (tiga puluh tiga miliar empat puluh lima juta rupiah). 2.
Ke rekening No. : 105-017-800002-6, A.n. PT. Mujur Timber pada Bank Mandiri Imam Bonjol Medan sebanyak 39 (Tiga Puluh Sembilan) kali dengan nilai Rp. 25,050,000,000.00 ( dua puluh lima miliar lima puluh juta rupiah )”.
Kerangka hukum yang digunakan oleh penyidik berupa penerapan Pasal 3 UUTPPU seharusnya dapat digunakan untuk menjerat PT. KNDI berdasarkan beberapa bukti yang diduga telah terjadinya praktek money laundering harta kekayaan hasil pembalakan liar dan adanya transaksi keuangan yang mencurigakan dengan pendekatan unsur-unsur sebagaimana dianut oleh Pasal 3 UU Pencucian Uang yang telah memenuhi standar pada umumnya dipakai dalam kriminalisasi pencucian uang, yaitu meliputi: Pertama, a financial transaction (transaksi keuangan). Kedua, proceed (hasil-hasil kejahatan). Ketiga, unlawful activity (tindakan kejahatan). Keempat, knowledge (mengetahui atau patut mengetahui), dan Kelima, intent (maksud). Sedangkan unsur objektif pada Pasal 3 UU Pencucian Uang ini adalah menempatkan, mentransfer, membayarkan atau membelanjakan, menghibahkan atau menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan atau perbuatan lainnya terhadap harta kekayaan. Selanjutnya unsur subyektif Pasa1 3 terdiri dari sengaja, mengetahui atau patut menduga bahwa harta
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
kekayaan berasal dari atau merupakan hasil tindak pidana. Maka dalam nunusan tersebut dapat dikatakan telah memenuhi syarat universal tentang pedoman unsur mens rea dalam ketentuan pencucian uang yaitu intended (sengaja dan mengetahui dan patut menduga). Sebagai unsur inti delik maka unsur subyektif tersebut harus dibuktikan. Namun dalam proses penegakan hukum di Pengadilan Negeri Medan tersangka (Adelin Lis) tidak dituduhkan dengan menerapkan Pasal 3 UUTPU melainkan telah melakukan perbuatan pelanggaran administratif. Hal ini dapat dilihat dalam amar putusan Pengadilan yang menyatakan bahwa terdakwa penebangan kayu diluar RKT yang dilakukan oleh PT KNDI merupakan pelanggaran administrasi bukan sebagai tindak pidana. Pendapat Hakim Pengadilan Negeri Medan yang menyidangkan kasus PT. KNDI ini telah dinyatakan juga oleh Menteri Kehutanan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan yang ditujukan kepada penasehat hukum PT. KNDI yakni Hotman Paris Hutapea bahwa surat Menteri Kehutanan Nomor S.613/MenhutII/2006/ 27 September 2006 disebutkan pelanggaran penebangan hutan di luar RKT (Rencana Karya Tahunan) oleh pemilik izin HPH adalah pelanggaran administrasi bukan pidana sehingga para tersangka dibebaskan oleh Pengadilan Negeri Medan dari segala tuntutan yang telah dituduhkan. Adapun kesimpulan Putusan Pengadilan Negeri Medan sebagai berikut: 76 “Hakim Pengadilan Negeri Medan berkesimpulan, dakwaan jaksa tidak terbukti. Hakim hanya menganggap terdakwa tidak menaati aturan Tebang Pilih Tanaman Indonesia (TPTI). Perbuatan itu disebut bukan perbuatan 76
Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 2240/Pid.B/2007/PN.Mdn
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
pidana (delik), hanya melanggar izin atau hukum administrasi. Karena itu, majelis hakim membebaskannya dari semua tuntutan pidana, baik korupsi maupun illegal logging. Dalam perkara Adelin, jaksa membidik perbuatan illegal logging-nya dengan dua macam tuntutan primer, yaitu korupsi dan illegal logging. Dalam tuntutan korupsi, jaksa menggunakan Pasal 2 UU Tipikor, yang unsurnya terdiri atas (1) setiap orang, (2) secara melawan hukum, (3) melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, dan (4) perbuatan itu dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Unsur nomor 1 (setiap orang), nomor 3 (perbuatan memperkaya diri sendiri), dan nomor 4 (merugikan keuangan negara) tidak perlu kita perbincangkan karena sudah cukup jelas dan tidak diperdebatkan oleh majelis hakim. Unsur nomor 2 (melawan hukum) adalah unsur yang dipersoalkan oleh hakim, yang menganggap perbuatan Adelin Lis memang melanggar Pasal 50 ayat 2 UU Kehutanan, tapi hakim mengklasifikasikan perbuatan itu sebagai pelanggaran aturan atau izin TPTI, jadi bukan perbuatan pidana”.
Perkembangan selanjutnya menyangkut penegakan hukum terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh PT.KNDI atas kegiatan penebangan pohon di luar RKT telah pula diputus oleh Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa perbuatan terdakwa telah melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dan Pasal 50 ayat 2 jo Pasal 78 UU Kehutanan. Adapun Putusan Mahkamah Agung sebagai berikut: 77 1. Menyatakan terdakwa Adelin Lis telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut dan tindak pidana kehutanan secara bersama-sama dan berlajut. 2. Menghukum terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) tahun dan membayar denda sebesar Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) Subsidair 6 (enam) bulan kurungan. 3. Menghukum pula terdakwa membayar uang pengganti sebesar Rp. 119.802.293.040,- (seratus sembilan belas milyar delapan ratus dua juta tiga ratus sembilan puluh tiga ribu empat puluh rupiah) dan US$ 2.938.556,24 77
Putusan Mahkamah Agung Nomor 68 K/PID.SUS/2008
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
(dua juta sembilan ratus tiga puluh delapan ribu lima ratus lima puluh enam koma dua puluh empat US Dollar) dengan ketentuan apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan terdakwa tidak dapat melunasi uang pengganti tersebut maka hartanya disita dan apabila hartanya tidak cukup maka diganti dengan hukuman penjara selama 5 (lima) tahun.” Tidak adanya putusan Pengadilan Negeri Medan dan Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa terdakwa Adelin Lis (Direksi PT. KNDI) diduga atau patut diduga telah melakukan tindakan menyembunyikan harta kekayaan hasil kejahatan melalui kegiatan money laundering tentunya dilandasi oleh sistem pembuktian yang dianut di Indonesia dengan dasar dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya yakni pembalakan liar yang dimulai dari penyidikan dan tuntutan tindak pidana predicate crimes, sehingga hal yang terpenting adalah “terbuktinya tindak pidana asal” bukan “sudah terdapat bukti permulaan yang cukup”. Pasal 3 UUTPPU apabila dikaitkan dengan Pasal 2 UUTPPU dapat dikontruksikan bahwa “harta kekayaan” yang “diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari kejahatan” merupakan unsur suatu hasil tindak pidana. Pada definisi perbuatan pencucian uang direduksi dengan adanya kata “yang diketahuinya atau patut diduganya”. Jadi hasil tindak pidana yang merupakan unsur suatu Money Laundering, diminimalisasi dengan menambah kata “yang diketahuinya atau patut diduganya”. Penjelasan Pasal 3 UUTPPU secara jelas dapat ditafsirkan bahwa hasil tindak pidana adalah, minimal sudah menunjukkan adanya indikasi bukti permulaan atas terjadinya tindak pidana. Dengan kata lain dari penjelasan pasal tersebut jelas tersirat bahwa Predicate Crimes sebagai core crime dari Tindak Pidana Pencucian Uang tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu, cukup dengan adanya bukti permulaan Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
yang cukup. Hal inilah yang menjadi dasar pemberantasan TPPU oleh penyidik Polri untuk melakukan penyelidikan atas indikasi pencucian uang yang diperoleh dari core crimes dengan melalui audit trail. 78 UUTPPU mensyaratkan bahwa yang terpenting ‘sudah terdapat bukti permulaan yang cukup’. Hal tersebut dapat terlihat dalam pasal-pasal : 1. Pasal 35 menyatakan bahwa : “Untuk kepentingan pemeriksaan disidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaan bukan merupakan hasil tindak pidana”. Penafsiran gramatikal dari pasal ini menyiratkan bahwa bentuk pembuktian yang diadopsi oleh Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang adalah Pembuktian Terbalik Sempurna; karena tersirat hanya terdakwa yang wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana 79 . Namun kontradiksi akan muncul apabila membaca penjelasan Pasal 35 yang menyatakan bahwa “Pasal ini berisi ketentuan bahwa terdakwa diberi kesempatan untuk membuktikan harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana. Ketentuan ini dikenal sebagai asas pembuktian terbalik”. Meskipun sepertinya terdapat kontradiksi antara Pasal 35 (wajib membuktikan) dengan penjelasan Pasal 35 (diberi kesempatan untuk membuktikan), penulis berpendapat penjelasan Pasal diperlukan apabila isi suatu Pasal tidak jelas. Ketika bunyi suatu pasal 78
Bambang Setiono dan Yunus Husein, Pendekatan Anti Pencucian Uang, http://www.yahoo.com, diakses tanggal 5 Juni 2009 79 Pembuktian terbalik yang diadopsi oleh Undang_Undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagai langkah awal kriminalisasi pencucian uang sebelum diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 pada dasarnya mengikuti terobosan yang diterapkan pada Undang-Undang No.31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
tidak jelas baru mengacu ke penjelasan dari isi pasal tersebut. Perbedaan antara isi pasal dengan penjelasan pasal dapat menjadi loop holes (celah hukum) yang dipergunakan oleh pihak-pihak yang memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi atau untuk memeras terdakwa. 2. Salah satu bunyi konsideran pada UUTPPU menyatakan: “bahwa perbuatan Pencucian Uang harus dicegah dan diberantas agar intensitas kejahatan yang menghasilkan atau melibatkan harta kekayaan yang jumlahnya besar dapat diminimalisasi sehingga stabilitas perekonomian nasional dan keamanan terjaga”. Bahkan dalam penjelasan umum paragraf ke-4 dan ke-5 dikatakan bahwa : “Perbuatan Pencucian Uang disamping sangat merugikan masyarakat, juga sangat merugikan negara karena dapat mempengaruhi atau merusak stabilitas perekonomian nasional atau keuangan negara dengan meningkatnya berbagai kejahatan. Sehubungan dengan hal tersebut, upaya untuk mencegah dan memberantas praktik Pencucian Uang telah menjadi perhatian internasional. Berbagai upaya telah ditempuh oleh masing-masing negara untuk mencegah dan memberantas praktik Pencucian Uang termasuk dengan cara melakukan kerjasama internasional, baik melalui forum secara bilateral maupun multilateral”. Ada beberapa point penting dari perumusan bunyi konsiderans ini, berkaitan dengan upaya pembuktian Predicate Crimes: a. Perbuatan Pencucian Uang harus dicegah dan diberantas, dengan alasan: 1) Agar intensitas kejahatan yang menghasilkan atau melibatkan harta kekayaan yang jumlahnya besar dapat diminimalisasi. 2) Tercipta stabilitas perekonomian nasional 3) Keamanan terjaga. Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
b. Perbuatan Pencucian Uang sangat merugikan masyarakat dan negara. c. Perbuatan Pencucian Uang meningkatkan berbagai kejahatan lainnya. d. Perbuatan Pencucian Uang telah menjadi perhatian Internasional. Dari point-point tersebut konsideran diatas, berkaitan dengan permasalahan pembuktian Predicate Crimes, maka bentuk yang lebih sesuai dengan amanat konsiderans diatas adalah sudah terdapat bukti permulaan yang cukup. Tujuan utamanya adalah selain untuk menghukum terdakwa, juga membekukan rekening terdakwa dengan harapan memutus “aliran darah” dari para pelaku kejahatan tersebut, serta untuk menyelamatkan kerugian negara yang terjadi sebagai akibat tindak pidana tersebut. Adapun alasan utama digunakannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003, karena kewenangan yang diberikan Undang-Undang Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang melengkapi dan menambah kewenangan penegak hukum dalam menerobos kerahasiaan bank dan melakukan audit trail 80 . Selanjutnya proses penegakan hukum dalam TPPU adalah terhadap “hasil harta kekayaan” 81 yang diperoleh dari tindak pidana awal untuk menjerat pelaku kejahatan pencucian uang, harus di dasarkan kepada dua unsur yakni: Pertama, adanya indikasi tindak pidana pencucian uang berdasarkan hasil pemeriksaan tindak pidana yang dikriminalisasi sebagai predicate crimes atas adanya patut diduga 80
Amin Sunaryadi, Tindak Pidana Pencucian Uang Implikasinya Bagi Profesi Akuntan, Media Akuntansi, Ed. 29/Th. IX (Oktober-November 2002), hal. 24, bahwa Sistem di Indonesia sebenarnya mengikuti sistem yang telah diterapkan di negara maju yaitu follow the money, yaitu dengan berusaha menciptakan audit trail secara nasional. Konsep follow the money diharapkan dapat menghubungkan antara proceeds of crime dengan perbuatan crime asalnya dan pada akhirnya dapat mencapai salah satu tujuannya yaitu meminimalkan perbuatan crime asalnya 81 Lihat, Penjelasan Pasal 2 UUTPPU bahwa UUTPPU dalam menentukan hasil tindak pidana menganut asas kriminalitas ganda (double criminality) Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
mengalihkan dan menyembunyikan harta kekayaan hasil kejahatan korupsi. Kedua, harta kekayaan tersebut diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari kejahatan yang telah dilakukan dan dikriminalisasi dalam UUTPPU 82 . Penentuan kejahatan pada tindak pidana awal pencucian uang (predicate crimes on money laundering) bagi proses penegakan hukum pencucian uang di Indonesia mengalami kesulitan, asas hukum Indonesia menekankan ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap untuk suatu perbuatan yang dituduhkan kepada tersangka berupa tindak pidana awal (core crime), misalnya illegal logging diduga adanya indikasi pencucian uang hasil harta kekayaan illegal logging yang disidik Polri, tidak dapat dikategorikan sebagai kejahatan. Jika hasil suatu perbuatan tidak dapat dikategorikan sebagai kejahatan maka unsur “hasil tindak pidana” yang merupakan syarat terjadinya pencucian uang tidak terpenuhi. Akibat hukum dari tidak dipenuhinya prasyarat terjadinya pencucian uang adalah tidak terbuktinya tindak pidana pencucian uang. Asumsi ini beranjak dari pembuktian prdicate crime terlebih dahulu. Agar penegakan hukum dengan menggunakan kerangka UUTPPU berdaya guna disamping adanya kesepahaman criminal justice system dalam menerapkan sanksi hukum sebagaimana diintrodusir oleh Pasal 3 UUTPPU seharusnya terlebih dahulu penyidik sebelum melakukan tugasnya dalam penyidikan terhadap pelaku
82
Lihat, Pasal 2 UUTPPU yang mengkategorikan predicate crimes menjadi 24 jenis, ditambah dengan tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan diwilayah Negara Republik Indonesia atau diluar Wilayah Negara Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia. Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
kejahatan pencucian uang (money laundering) dalam kasus Adelin Lis maka pihak penyidik Direktorat Reserse harus melakukan kerja sama dengan PPATK secara terpadu dan intensif dengan meminta informasi beserta kemampuan analisisnya atas dugaan terjadinya kegiatan pencucian uang yang dilakukan oleh PT. KNDI. Informasi tersebut dapat diperoleh dari data Base PPATK atau juga dapat shering imformasi untuk FIU (Financial Intelijent Unit) dari negara lain dengan demikian tugas pokok dari PPATK adalah turut membantu dalam penegakan hukum dalam usaha untuk mencegah dan memberantas tindak pidana Pencucian Uang (Money Laundering) dengan menyediakan informasi intelijen yang dihasilkan dari analisis terhadap laporan-laporan yang diterima oleh PPATK. Untuk dapat melakukan tugas pokok tersebut PPATK berkewajiban antara lain dalam rangka pencegahan dengan membuat pedoman bagi Penyedia Jasa Keuangan (PJK) dalam rangka untuk dapat melakukan deteksi dini terhadap perilaku Pengguna Jasa Keuangan.
B. Kelemahan Dalam Penerapan Rezim Money Laundering Dalam Kasus Adelin Lis (Direksi PT. KNDI) Karena Harus Didasarkan Pada Pembuktian Predicate Crime Terlebih Dahulu Proses penerapan rezim money laundering yang dipahamkan oleh aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana sampai saat ini untuk membuktikan “hasil harta kekayaan” 83 yang diperoleh dari tindak pidana awal untuk menjerat pelaku kejahatan pencucian uang harus di dasarkan kepada dua unsur yakni: Pertama,
83
Lihat, Penjelasan Pasal 2 UUTPPU bahwa UUTPPU dalam menentukan hasil tindak pidana menganut asas kriminalitas ganda (double criminality) Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
adanya laporan dari penyidik tindak pidana awal, atas adanya indikasi/patut diduga mengalihkan dan menyembunyikan harta kekayaan hasil kejahatan pembalakan liar. Kedua, harta kekayaan tersebut diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari kejahatan yang telah dilakukan dan dikriminalisasi dalam UUTPPU. 84 Penentuan kejahatan pada tindak pidana awal pencucian uang (predicate crimes on money laundering) bagi proses penegakan hukum pencucian uang di Indonesia mengalami kesulitan, hal ini terlihat bahwa sistem hukum pidana Indonesia menganut asas bahwa suatu perbuatan dapat dinyatakan sebagai kejahatan harus melalui mekanisme hukum yakni ditandai dengan adanya putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Artinya selama belum ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap maka suatu perbuatan yang dituduhkan kepada tersangka berupa tindak pidana awal (core crime), misalnya tindak pidana kehutanan yang disidik oleh Polri dan diduga adanya insikasi pencucian uang hasil harta kekayaan pembalakan liar tidak dapat dikategorikan sebagai kejahatan, jika hasil suatu perbuatan tidak dapat dikategorikan sebagai kejahatan maka unsur “hasil tindak pidana” yang merupakan syarat terjadinya pencucian uang tidak terpenuhi. Akibat hukum dari tidak dipenuhinya prasyarat terjadinya pencucian uang adalah tidak terbuktinya terdapat indikasi pencucian uang.
84
Lihat, Pasal 2 UUTPPU yang mengkategorikan predicate crimes menjadi 24 jenis, ditambah dengan tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan diwilayah Negara Republik Indonesia atau diluar Wilayah Negara Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia. Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
Tidak dibuktikannya predicate crime oleh sistem peradilan pidana terlebih dahulu dahulu tentunya penyidikan TPPU telah menyimpangi asas presumption of innocence (praduga tak bersalah) dan asas non self incrimination. 85 Tersangka /Terdakwa tindak pidana pencucian uang seolah-olah telah dianggap bersalah melakukan predicate crime tanpa dibuktikan terlebih dahulu kesalahannya yang ditandai dengan adanya putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap. Sehingga berdasarkan asas ini maka pelaku TPPU dapat dijerat dengan penerapan asas perbuatan berlanjut (delictum continuatum/voortgezettehandeling), 86 yang menyatakan bahwa ada perbuatan berlanjut apabila seseorang melakukan perbuatan, perbuatan tersebut merupakan kejahatan atau pelanggaran, antara perbuatanperbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut. 87 Dalam permasalahan pembuktian bagi aparat penegak hukum sebagai salah satu tindakan represif terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang (money laundering) apabila diadakan studi komperatif atau banding dengan beberapa negara misalnya Amerika Serikat terdapat perbedaan yang cukup signifikan dimana Amerika Serikat telah berani menyatakan bahwa bukti pendukung atau petunjuk (circumtantial
85
Walaupun pada penjelasan Pasal 3 ayat (1) UUTPPU secara implisit menyatakan bahwa terhadap harta kekayaan yang diduga merupakan hasil tindak pidana tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya, untuk dapat dimulainya pemeriksaan TPPU. Namun menurut penulis pada tahap pemberantasan TPPU oleh sistem peradilam pidana akan mengalami kesulitan dalam membuktikan dugaan TPPU tersebut, sehingga dikhawatirkan yang dapat dijerat dan dihukum hanya tindak pidana awalnya saja tanpa menyentuh TPPU. 86 Barda Nawawi Arief, Sari Kuliah Perandingan Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 14 87 Lihat, Pasal 64 KUH Pidana Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
evidence) sudah cukup untuk membenarkan adanya unsur-unsur tindak pidana pencucian uang (money laundering), sedangkan dinegara Indonesia pembuktian selalu didasarkan pada unsur subjektif atau mens rea dan unsur obejektifnya atau actus reus. Di dalam mens rea yang harus dibuktikan yaitu mengenai atau patut diduga (knowladge) dan berkaitan erat bermaksud (intends) dimana kedua unsur tersebut selalu berkaitan erat bahwa seorang tersangka, tertuntut atau terdakwa mengetahui bahwa uang/ dana tersebut berasal dari hasil kejahatan dan juga mengetahui tentang atau maksud melakukan transaksi tersebut. 88 sehingga dengan demikian terlihat dengan jelas bahwa sistem pembuktian sangat memegang peranan penting dan sulit membuktikan terhadap kejahatan utamanya (predicate offence) dalam penegakan hukum karena memang tindak pidana pencucian uang adalah merupakan kejahatan lanjutan (follow up crime). 89 Pembuktian yang dianut dalam konsepsi hukum pidana Indonesia meminta pertanggungjawaban perbuatan pelaku didasarkan pada unsur subjektif dan objektif tentunya sangat sulit dalam melakukan penjeratan terhadap pelaku, untuk itu kerangka hukum yang diterapkan adalah UUTPU yakni tersangka bermaksud menyembunyikan, mengaburkan harta kekayaan hasil kejahatan. Apabila kerangka ini yang digunakan dalam penanggulangan tidak pidana pencucian uang tentunya aparat penegak hukum dapat melakukan tindakan penyitaan terhadap aset pelaku berdasarkan 3 (tiga) modus opzet pelaku yakni placement, layering dan integration.
88 89
Lihat, Yenti Garnasih, op-cit, hal. 1 Ibid
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
Pendekatan
sengaja
dan
bermaksud
untuk
menyembunyikan
atau
menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana pada hakekatnya adalah untuk melakukan tindakan penyitaan terhadap harta kekayaan pelaku, oleh karenanya untuk terpenuhinya adanya unsur kesengajaan sebagaimana yang dirumuskan oleh UUTPPU maka terlebih dahulu
harus
dibuktikan
bahwa
si
tersangka
mempunyai
maksud
untuk
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, misalnya dalam fakta-fakta kasus Adelin Lis adanya maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan. Adapun fakta dimaksud sebagai berikut: 90 1. pada kasus ini si tersangka diduga kuat telah mengetahui dan patut menduga bahwa asal-usul harta kekayaan ini merupakan hasil dari tindak pidana di bidang kehutanan. 2. kayu bulat hasil penebangan PT. KNDI (Jabatan Adelin Lis selaku tersangka pada PT ini sebagai Direktur Keuangan/Umum) yang illegal dikelola oleh PT. Mujur Timber mejadi kayu plywood (Jabatan Adelin Lis selaku tersangka pada PT ini sebagai Direktur PT. Mujur Timber). 3. kayu plywood olahan PT. Mujur Timber Sibolga-Sumatera Utara ini sejak tahun 2003 dibeli oleh PT. Mitra Niaga Makmur Lestari dan PT. Niaga Prima Terang Lestari. 4. untuk menampung hasil pembayaran pembelian kayu plywood oleh PT. Mitra Niaga Makmur Lestari dan PT. Niaga Prima Terang Lestari, maka tersangka membuka dua rekening yaitu rekening pribadinya nomor: 0020001783 atas nama Adelin Lis pada Bank Buana Indonesia Cabang Medan Jalan Palang Merah dan rekening pribadi Adelin Lis nomor: 750.3002538-0 pada Bank Lippo cabang Medan. 5. tersangka Adelin Lis meminta kepada PT. Mitra Niaga Makmur Lestari dan PT. Niaga Prima Terang Lestari/Soeyanto untuk menempatkan uang hasil penjualan plywood olahan PT. Mujur Timber dari kayu bulat produksi PT. KNDI sesuai dengan intruksi pembayaran kepada rekening pada bank yang telah ditunjuk oleh 90
Independent Legal Auditors-Forensik Legal Auditors Sophia Hadyanto & Partners, Legal Opinion Kasus Adelin Lis, hal. 704 Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
PT. Mujur Timber yaitu dua nomor rekening di atas yang keduanya merupakan rekening pribadi tersangka dan bukan rekening perusahaan PT. Mujur Timber. 6. tersangka Adelin Lis memasukkan uang hasil penjualan plywood tersebut ke dalam rekening pribadi tidak atas sepengetahuan dan persetujuan para pemegang saham PT. Mujur Timber. Selanjutnya, dalam rangka melakukan tindakan penyitaan terhadap harta kekayaan pelaku tindak pidana pencucian uang berdasarkan atas adanya transaksi keuangan yang mencurigakan di dalam lembaga penyedia jasa keuangan sebagai rangkaian proses pemeriksaan, penuntutan, persidangan TPPU maka UUTPPU telah memberikan landasan yang mensyaratkan bahwa untuk kepentingan proses pembuktian dalam perkara tindak pidana pencucian uang, maka penyidik Polri, 91 penuntut umum, atau hakim berwenang untuk meminta keterangan dari Penyedia Jasa Keuangan mengenai hasil harta kekayaan yang telah dilaporkan oleh PPATK, tersangka, atau terdakwa, hal ini sebagaimana dirumuskanPasal 33 ayat (1) UUTPPU sebagai berikut: “Untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana pencucian uag maka penyidik, penuntut umum atau hakim berwenang untuk meminta keterangan dari Penyedia Jasa Keuangan mengenai harta kekayaan setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK, tersangka atau terdakwa”
91
Surat permintaan untuk memperoleh keterangan dari PJK harus ditanda tangani oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Kepala Kepolisian Daerah dalam hal permintaan diajukan oleh penyidik. Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
Dalam meminta keterangan sebagaimana dimaksudkan dalam pasal ini, terhadap penyidik 92 , penuntut umum, atau hakim tidak berlaku ketentuan undangundang yang mengatur tentang rahasia bank dan kerahasiaan transaksi keuangan lainnya. Adapun tujuan dari pembukaan rahasia bank adalah semata-mata untuk mengetahui jumlah uang yang dicurigai sebagai hasil tindak dipidana. Selama ini, ketatnya rahasia bank membuat orang lain tidak mengetahui keuangan yang kita miliki di bank. Namun, dengan adanya tindak pidana pencucian uang memberi kesempatan kepada penyidik bagi aparat penegak hukum untuk membuka rahasia bank seseorang atau korporasi. Selanjutnya aparat penegak hukum di dalam melakukan penyelidikan TPPU mempunyai kewenangan untuk memblokir harta kekayaan pelaku kejahatan, sesuai dengan Pasal 32 ayat (1), Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim berwenang memerintahkan kepada Penyedia Jasa Keuangan untuk melakukan pemblokiran terhadap harta kekayaan dari orang maupun korporasi yang telah dilaporkan oleh PPATK kepada penyidik, apabila harta kekayaan dari korporasi diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana. Setelah mendapat perintah, Penyedia jasa Keuangan wajib melaksanakan pemblokiran sesaat surat perintah pemblokiran diterima. Harta kekayaan yang diblokir harus tetap berada pada Penyedia Jasa Keuangan yang bersangkutan.
92
Permintaan untuk memberikan keterangan dari PJK oleh Polri baru dimulai setelah surat permintaan tersebut ditandatangani Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Kepala Kepolisian Daerah dalam hal permintaan diajukan oleh penyidik. Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
Adapun tujuan pemblokiran adalah untuk membatasi ruang gerak dari pemilik rekening yang dicurigai sebagai tindak pidana pencucian uang. Di samping itu, pemblokiran juga dapat membantu proses pembuktian. Tujuan pemblokiran dana pelaku kejahatan pencucian dalam proses penyidikan dimaksudkan untuk pembebanan pembuktian sebagai salah satu tindakan yang harus dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana di Indonesia yang dikenal dengan istilah (criminal justice system), sehingga pelaksanaannya tidak akan terlepas dari faktor kerja sama yang bersifat posistif dari masing-masing sub sistem tersebut yang merupakan suatu sistem yang kuat, dimana salah satu sub sistem didalam sistem peradilan pidana pencucian uang (money laundering) adalah dengan dibentuknya Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sesuai dengan UndangUndang Tindak Pidana Pencucian Uang (UUTPPU) baik Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 maupun perubahannya di dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003. Perangkat hukum ini telah memberikan tugas dan wewenang kepada PPATK untuk dapat melaporkan hasil analisis transaksi keuangan yang terindikasi patut diduga sebagai perbuatan tidak pidana pencucian uang (money laundering) kepada pihak penyidik kepolisian dan penuntut umum. 93 Menurut UUTPPU maka PPATK mempunyai wewenang untuk melakukan penyelidikan yang dapat diwujudkan dalam bentuk : mengumpulkan, menyimpan, menganalisis, mengepaluasi informasi yang
93
Lihat, Pasal 26 huruf F. UUTPPU
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
diperoleh oleh PPATK, 94 meminta laporan Penyedia Jasa Keungan (PJK). 95 Dan juga melakukan audit. 96 Proses pemeriksaan dalam rangka pembuktian TPPU pada dasarnya secara normatif UUTPPU telah memberikan perlindungan kepada tersangka atau terdakwa yang diduga atau patut diduga melakukan TPPU dengan menerapkan prinsip bahwa terdakwa dapat membuktikan atas harta kekayaan yang diperolehnya bukan hasil tindak pidana, hal ini dituangkan pada Pasal 35 UUTPPU yang menyebutkan bahwa: “Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang
pengadilan, terdakwa wajib
membuktikan bahwa Harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana”. Pasal ini mensyaratkan suatu sistem pembuktian pembuktian terbalik yang khusus diberlakukan untuk pidana pencucian uang. Menurut sistem ini, terdakwa harus membuktikan bahwa harta kekayaan yang dimilikinya bukan merupakan hasil dari kejahatan. Apabila orang dan korporasi ditetapkan sebagai terdakwa dalam tindak pidana pencucian uang, maka terdakwa tersebut harus dapat membuktikan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga dari hasil kejahatan oleh penyidik dan penuntut hukum sebenarnya bukan dari hasil kejahatan. Sistem ini menjadikan pemeriksaan perkara tindak pidana pencucian uang
94
Lihat, pasal 26 huruf a UUTPPU Lihat, pasal 27 ayat (1) huruf a UUTPPU 96 Lihat. Pasal 27 ayat (1) huruf c UUTPPU 95
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
berlaku asas praduga bersalah. Artinya, harta kekayaan yang dikuasainya adalah berasal dari kejahatan kecuali ia dapat membuktikan sebaliknya. 97 Pasal 35 UUTPPU ini memberi peluang bagi penyidik Polri untuk mengungkap dan melakukan rangkaian proses penyidikan kepada pelaku kejahatan money laundering sesuai dengan kewenangan Polri yang telah diberikan oleh undangundang, 98 bagi jaksa memberikan peluang untuk dapat secara langsung menuntut seseorang tanpa kewajiban untuk mengajukan bukti-bukti mengenai dasar dakwaannya, beban pembuktian justru diserahkan kepada pelaku yang dituntut pidana di sidang pengadilan Pasal 36 Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (UUTPPU) juga membenarkan adanya “Peradilan in-absensia” yaitu proses pemeriksaan di pengadilan tanpa dihadiri oleh terdakwa. Tujuan penggunaan sistem ini adalah dimaksudkan agar upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dalam pelaksanaan peradilannya dapat berjalan dengan lancar, maka sekali pun terdakwa dengan alasan yang sah tetapi apabila sampai 3 ( tiga ) kali dilakukan pemangilan untuk sidang tidak hadir, perkara tersebut tetap diperiksa tanpa kehadiran terdakwa. Tindak pidana pencucian uang merupakan kejahatan kelas atas yang dapat mengakibatkan kerugian negara dalam jumlah besar, sehingga proses dan harus 97
Soewarsono dan Reda Manthovani, Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia, (Jakarta: Malibu, 2004), hal. 85-87 98 Lihat, Pasal 30 UUTPPU yang menyatakan bahwa penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam undangundang ini, dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini. Selanjutnya Pasal 31 UUTPPU memberikan amanah kepada PPATK untuk menyerahkan hasil analisis kepada penyidik dalam jangka waktu 3 (tiga) hari kerja setelah ditemukannya adanya petunjuk atas dugaan telah ditemukan transaksi mencurigakan. Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
diminimalisasi segala hambatan-hambatan yang dapat memperlambat proses persidangan. Apalagi jika pelakunya pengurus sebuah perusahaan besar yang tergolong dalam tindak pidana korporasi.
Dengan kekayaan yang dimilikinya,
mereka akan menghalalkan segala cara untuk menghindari proses peradilan. Bahkan, dapat melarikan diri ke luar negeri dalam waktu yang lama. Namun, dengan adanya pasal 36 tersebut, walaupun mereka menghindari peradilan pengadilan masih tetap mempuyai kuasa untuk menjatuhkan putusan. Misalnya, dengan putusan jatuhan pidana berupa pembubaran korporasi maka korporasi dapat dibubarkan walaupun pada saat di putus pengurusnya tidak ada. Disusun atau telah disampaikan kepada PPATK. Tindak Pidana ini diatur dalam Pasal 17 A Dalam membantu proses pemeriksaan TPPU, UUTPPU membentuk satu lembaga khusus yang disebut “Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan” (PPATK). Lembaga ini merupakan Financial Intelegence Unit (FIU) yang dimiliki oleh Indonesia yang mempunyai kewenangan antara lain : meminta dan menerima laporan dari Penyedia Jasa Keuangan, meminta informasi mengenai perkembangan penyidikan atau penuntutan terhadap tindak pidana pencucian uang yang telah dilaporkan kepada pihak penyidik Polri atau penuntut umum. 99 Laporan transaksi keuangan yang mencurigkan sebagai kewajiban bank dan langkah awal penegakan hukum TPPU dalam tatanan praktek mengalami hambatan terutama terdapat beberapa mitos dalam pelaporan transaksi mencurigakan dari bankbank baik yang berasal dari internal maupun eksternal bank, walaupun secara tegas 99
Lihat, Pasal 26 dan 27 UUTPPU
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
Pasal 15 UUTPPU telah memberikan “hak imunitas” dalam pelaporan transaksi mencurigakan. Adapun mitos tersebut antara lain: a. Takut kehilangan nasabah Bank merasa khawatir kehilangan nasabah apabila menerapkan sepenuhnya prinsip KYC baik terhadap nasabah lama (existing customer) maupun nasabah baru (new customer). Hal tersebut karena tidak serentaknya bank-bank dalam menerapkan prinsip KYC pada nasabah. Kondisi ini memberikan peluang bagi nasabah untuk menolak memberikan informasi dan memindahkan dananya ke bank yang belum menerapkan prinsip KYC. b. Skala usaha bank Bagi bank yang tergolong dalam skala besar (sebagai contoh memiliki karyawan lebih dari 21. 000 dengan 800 kantor cabang dan 8 juta nasabah di seluruh Indonesia) cenderung lebih sulit menerapkan prinsip KYC sepenuhnya, seperti pendataan profil nasabah, pelatihan bagi karyawan dan pengadaan sistem informasi yang untuk itu dibutuhkan waktu yang panjang biaya yang besar dan keahlian yang memadai. c. Ketidakpercayaan perbankan terhadap penegak hukum walaupun UUTPPU telah memberikan kepastian akan jaminan keamanan bagi bank dalam pelaksanaan penyampaian laporan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 15, dan Pasal 40-Pasal 42 UUTPPU namun bank masih meragukan pelaksanaannya khususnya terhadap penegak hukum. 100
100
Zulkarnain Sitompul, Peran PPATK Mencegah Dan Memberantas Pencucian Uang, disampaikan pada acara Pelatihan Anti Pencucian Uang diselenggarakan oleh Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara pada tanggal 15 September 2005 di Medan, hal. 9 Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
BAB IV PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KEHUTANAN DALAM UPAYA MENANGGULANGI MONEY LAUNDERING
A. Pendekatan Melalui Pengejaran Harta Kekayaan Yang Diperoleh Dari Praktek Tindak Pidana Kehutanan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UUTPPU) sebenarnya telah memberikan landasan berpijak yang cukup kuat bagi aparat penegak hukum khususnya hakim yang menyidangkan kasus menyangkut penjeratan pelaku kejahatan kehutanan sebagai kejahatan asal melalui tindak pidana pencucian uang (money Laundering) sebagai upaya penanggulangan melalui pendekatan represif (penal). Melalui pendekatan penal ini diharapkan penegakan hukum tindak pidana kehutanan tidak saja secara fisik pelaku dapat dideteksi melainkan juga terhadap harta kekayaan yang didapat dari kejahatan asal (core crime) khususnya praktek illegal logging sehingga pelaku pencucian uang yang dilakukan oleh para aktor yang biasanya mempunyai status sosial yang tinggi (white collar crime ) untuk dapat dimintai pertanggung jawaban pidana, karena di dalam tindak pidana pencucian uang (money laundering) yang menjadi prioritas utama adalah pengembalian atau pengejaran uang atau harta kekayaan yang diperoleh dari hasil kejahatan Landasan dari prioritas tindak pidana pencucian uang yakni pengejaran dan pengembalian harta kekayaan hasil kejahatan dengan berbagai alasan sebagai berikut: Pertama, jika pengejaran ditujukan kepada pelakunya akan lebih sulit dan juga sangat Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
beresiko. Kedua, jika diperbandingkan antara mengejar pelakunya dengan uang atau harta benda dari hasil kejahatan akan lebih mudah mengejar hasil dari kejahatan. Ketiga bahwa uang atau harta dari hasil kejahatan adalah juga merupakan darah yang menghidupi atau energi dari tindak pidana itu sendiri (live blood of the crime). Pendekatan melalui pengejaran harta kekayaan hasil kejahatan dengan pendekatan patut diduga sebagai bentuk pertanggungjawaban mutlak bagi pelaku berdasarkan pembuktian terhadap kesalahan tentunya dapat mengeyampingkan asas praduga tidak bersalah sebagaimana dianut pada konsepsi hukum pidana menjadi asas praduga bersalah. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Sudarto bahwa asas hukum pidana yaitu ”Geen straf zonder schuld, actus non facit reum nisi mens sir rea”, bahwa ”tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”, maka pengertian tindak pidana itu terpisah dengan yang dimaksud pertanggungjawaban tindak pidana. Tindak pidana hanyalah menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan itu dengan suatu pidana, kemudian apakah orang yang melakukan perbuatan itu juga dijatuhi pidana sebagaimana telah diancamkan akan sangat tergantung pada soal apakah dalam melakukan perbuatannya itu si pelaku juga mempunyai kesalahan. 101 Melalui penerapan UU rezim anti money laundering memberi peluang penegakan hukum terhadap aktor intelektual yang melakukan tindakan pembalakan 101
Sudarto, Hukum Pidana I, Badan Penyediaan Bahan-bahan Kuliah FH UNDIP, Semarang, 1987/1988, hal.85, bahwa dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan (an objective breach of penal provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah(subjective guilt). Dengan perkataan lain orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut. Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
liar terutama pemegang IUPHHK dan HPH dengan menekankan penyelidikan pada aliran uang yang dihasilkan dan juga memberikan sebuah landasan berpijak untuk aparat penegak hukum dalam menjerat aktor-aktor intelektual yang mendanai kegiatan illegal logging. Dengan demikian penyelidikan dan penyidikan terhadap aliran hasil kejahatan pembalakan hutan akan lebih mudah dilakukan, oleh karena muara aliran uang sudah tentu akan berakhir pada aktor intelektual penebangan hutan. Selanjutnya dengan dimasukkannya tindak pidana bidang kehutanan sebagai predikat crimes dalam pranata hukum UUTPPU maka aparat penegak hukum dengan bekerjasama
dengan
PPATK
mempunyai
dasar
hukum
untuk
melakukan
penyelidikan terhadap berbagai transaksi yang mencurigakan dari lembaga-lembaga keuangan seperti bank, pasar modal dan asuransi untuk mencari aliran dana yang pada akhirnya akan menuju kepada aktor intelektual pemegang dana kegiatan illegal logging. 102 Dalam usaha kearah mencapai penegakan hukum yang efektif masih dirasakan pada saat-saat ini adanya tingkat kesulitan yang cukup tinggi yang disebabkan oleh beberapa faktor yang antara lain adalah dari sistem penyidikan yang dilakukan oleh aparat kepolisian yang bersumber dari pelaporan (PPATK) pusat pelaporan analisis transaksi keuangan atas adanya indikasi perbuatan pencucian uang
102
Bismar Nasution, Kerusakan Hutan dan Money Laundering, Makalah Dosen Fakultas Hukum USU dan Ketua Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum USU, Penegakan rule of game, seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan lain-lain berkenaan dengan lingkungan hidup atau hutan, harus menjadi pilihan yang tidak boleh tidak dilakukan, apabila hutan ingin diselamatkan. Di samping itu, terdapat pranata hukum baru yang dapat dipakai dalam perlindungan hutan, yaitu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering). Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
yang masih mengacu kepada beberapa perangkat azas-azas yang terdapat didalam sistem hukum pidana meteril dan formil. 103 misalnya dalam rangka menjerat pelaku tidak pidana pencucian uang harus terlebih dahulu penyidik dapat membuktikan adanya unsur kesalahan terlebih dahulu sehingga penyidik dapat mempertanggung jawabkan upaya hukum yang dilakukannya baru penyidik dapat menjerat terhadap pelaku yang didapat dari (PPATK) tersebut karena diduga berindikasi melakukan perbuatan pencucian uang. Azas yang termuat dalam hukum pidana materil yaitu bahwa pidana hanya diberikan kepada orang yang bersalah (azas “culpibiltas” tidak ada pidana tanpa kesalahan), disamping itu pada tingkat perwujudan oleh pihak kejaksaan atau bahkan pada tingkat proses peradilan juga dirasakan masih sangat sulit untuk membuktikan adanya tindak pidana pencucian uang (money laundering) hal ini disebabkan oleh rapinya modus operandi pelaku yang selalu mengaburkan asal-usul uang dengan menggunakan sarana bank untuk pencucian uang.
103
Lihat, Erman Rajaguguk, Anti Pencucian uang, suatu Bisnis, Perbandingan Hukum, Yayasan Pengembangan Hukum Volume 16 Nopember, hal 24 bahwa Indonesia sendiri telah lama mencantumkan ketentuan mengenai money loundering ini dalam rancangan kitab undang-undang hukum pidana sebagai berikut : pertama pasal 610 rancangan KUHP mengatakan barang siapa menyimpan uang di bank dan ditempatkan, menstranfernya, menitipkan, menghibahkan, memindahkan, menginvestasikan, membayar uang kertas bernilai uang, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya diperoleh dari perdagangan narkotika yang tidak sah atau tindak pidana ekonomi atau tindak pidana korupsi diancam dengan tindak pidana penjara paling lama lima belas tahun dan denda paling banyak kategori V, kedua pasal 611 rancangan KUHP yang menyatakan bahwa barang siapa menerima untuk disimpan atau sebagai titipan, menerima transfer, menerima hibah, menerima sebagai modal investasi, menerima sebagai pembayaran uang atau kertas bernilai uang yang diketahuinya atau patut diketahuinya diperolehnya dari perdagangan narkotika yang tidak sah atau tindak pidana ekonomi dan tindak pidana korupsi diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak kategoti V. menurut Erman Rajaguguk ketentuan-ketentuan dalam rancangan untuk mengatasi kejahatan money laundering.
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
Oleh karena itu perhatian dan tindakan yang serius dari pemerintah, aparat penegak hukum dan masyarakat baik nasional maupun internasional sangat dibutuhkan Untuk meningkatkan sustainabilitas dan terjaganya ekosistem hutan. Pemberantasan kegiatan illegal logging harus dilakukan secara menyeluruh dari tingkat perencana atau aktor intelektual sampai kepada pelaksana dilapangan. Hal inilah yang selama ini menjadi kesulitan terbesar dari pemberantasan illegal logging, aparat penegak hukum hanya berhasil menangkap para pelaksana di lapangan sedangkan para aktor intelektual sebagai pemegang dana dan perencana illegal logging seperti tidak tersentuh oleh hukum, sehingga kegiatan ini tetap berlangsung dan semakin meluas ke daerah-daerah lain di Indonesia. Selanjutnya menyangkut pembebanan pembuktian sebagai salah satu tindakan yang harus dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana di Indonesia yang dikenal dengan istilah (criminal justice system) tidak akan terlepas dari faktor kerja sama yang bersifat posistif dari masing-masing sub sistem tersebut yang seharusnya dapat merupakan suatu sistem yang kuat, dimana salah satu sub sistem didalam sistem peradilan pidana pencucian uang (money laundering) adalah dengan dibentuknya Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sesuai dengan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (UUTPPU) baik UndangUndang Nomor 15 Tahun 2002 maupun beserta perubahannya dalam UndangUndang Nomor 25 Tahun 2003. Kedua piranti lunak tersebut telah memberikan tugas dan wewenang kepada PPATK untuk
dapat melaporkan hasil analisis transaksi
keuangan yang terindikasi patut diduga sebagai perbuatan tidak pidana pencucian Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
uang (money laundring) kepada pihak penyidik kepolisian dan penuntut umum. 104 Tetapi terhadap PPATK tidak diberikan wewenang untuk dapat melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap terjadinya tidak pidana pencucian uang (Money Laundering). 105 Menurut UUTPPU maka PPATK mempunyai wewenang untuk melakukan penyelidikan yang dapat diwujudkan dalam bentuk : mengumpulkan, menyimpan, menganalisis, mengepaluasi informasi yang diperoleh oleh PPATK, 106 meminta laporan Penyedia Jasa Keungan (PJK). 107 Dan juga melakukan audit. 108 Pemahaman yang sama kepada setiap penyedia jasa keungan (PJK) atau kepada pihak lain yang turut terkait dalam penanganannya terhadap setiap penyedia jasa keungan (PJK) sangat diperlukan untuk melakukan penyesuaian dengan dan juga terhadap ketentuan yang dikeluarkan oleh lembaga pengawas dari masing-masing penyedia jasa keuangan (PJK). Dan selanjutnya dalam rangka untuk meningkatkan efektifitas pelaksanaannya, PPATK senantiasa selalu melakukan suatu kajian dan penyempurnaan terhadap pedoman yang dibuat oleh PPATK yang hasilnya akan diterbitkan secara berkala. Selain itu juga sangat dimungkinkan untuk selalu
104
Lihat, Pasal 26 huruf F. UUTPPU Lihat, Pasal 30 UUTPPU yang mensyaratkan bahwa hukum acara yang berlaku bagi penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang Pengadilan adalah kitab Undang-undang Hukum acara pidana (KUHP) Kecuali di tentukan lain dalam undang-undang ini. 106 Lihat, pasal 26 huruf a UUTPPU 107 Lihat, pasal 27 ayat (1) huruf a UUTPPU 108 Lihat. Pasal 27 ayat (1) huruf c UUTPPU 105
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
memberikan
penjelasan
terhadap
hal-hal
yang
dianggap
penting
yang
kemungkinannya dapat timbul dalam Implementasinya. 109 Didalam ketentuan Pasal 26 dan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 perihal tindak pidana pencucian uang sebagaimana telah diubah dalam UndangUndang Nomor 25 tahun 2003, juga telah memberikan kewenangan kepada PPATK antara lain berupa : mengumpulkan, menyimpan, menghimpun, menganalisis, juga mengevaluasi informasi yang didapat dari penyedia jasa keuangan (PJK), membuat pedoman mengenai tata cara pelaporan transaksi keuangan yang mencurigakan, memberikan nasehat dan bantuan kepada instansi lain yang berwenang mengenai informasi yang diperoleh sesuai dengan ketentuan undang-undang tindak pidana pencucian uang (money Laundering), melaporkan hasil analisis terhadap transaksi keuangan yang terindikasi sebagai tindak pidana pencucian uang (money laundering) kepada pihak penyidik kepolisian guna kepentingan penyidikan dan kejaksaan untuk kepentingan penuntutan dan pengawasan, membuat dan menyampaikan laporan mengenai analisis transaksi keuangan dan kegiatan lainnya secara periodik kepada Presiden, DPR dan Lembaga yang berwenang melakukan pengawasan bagi penyedia jasa keuangan (PJK). PPATK dalam melaksanakan tugasnya juga memerlukan kerja sama dan peran serta semua pihak/lapisan yang merupakan komponen dari rezim anti pencucian uang (Money Laundering) antara lain dengan pihak-pihak :
109
Lampiran keputusan kepala pusat pelaporan dan analisis transaksi keuangan nomor : 2/1/kep.PPATK/2003 Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
1. Penyedia jasa keuangan. 2. Lembaga-lembaga pengawas penyedia jasa keuangan seperti, Departemen Keuangan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal. 3. Penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Terhadap laporan dari analisis transaksi keuangan yang terdeteksi merupakan tindak pidana pencucian uang (money laundering) dari PPATK kepada pihak kepolisian sangat diperlukan untuk kepentingan proses penyidikan untuk dapat menetapkan pelaku kejahatan tersebut, pelaku kejahatan tindak pidana pencucian uang pada titik akhir dapat saja berupa orang perorangan maupun korporasi sehingga dengan demikian pelaku kejahatan pencucian uang (money laundering) dapat saja melibatkan pelaku yang lebih dari satu orang. Adapun laporan yang diterima oleh pihak kepolisian untuk ditindak lanjuti melakukan deteksi terhadap tindak pidana pencucian uang (money laundering) oleh PPATK berisikan beberapa hal antara lain : 1. Laporan transaksi keuangan mencurigakan yang disampaikan oleh penyedia jasa keuangan (PJK) (pasal 1 angka 6 dan pasal 13 UUTPPU) 2. Laporan yang disampaikan oleh penyedia jasa keuangan yang dilakukan secara tunai dalam jumlah komulatif Rp. 500,000 000 ( lima ratus juta rupiah ) atau lebih (pasal 13 UU TPPU) 3. Laporan yang disampaikan oleh direktorat Jenderal Bea Cukai mengenai pembawaan uang tunai kedalam atau keluar wilayah negara Republik
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
Indonesia sejumlah Rp. 100,000 000 ( seratus juta Juta rupiah )atau lebih (pasal 16 UU TPPU) Laporan terhadap poin 1 dan 2, terutama dimaksudkan untuk dapat mendeteksi proses placement pada perbuatan pencucian uang, sementara laporan poin 3 terutama dimaksudkan untuk dapat melakukan deteksi pada proses layering. 110 Atas laporan tersebut dan informasi lainnya, PPATK melakukan analisa dengan cara melakukan deteksi terhadap tindak pidana pencucian uang yang kemudian menyediakan laporan tersebut kepada pihak penyidik kepolisian dan pihak Kejaksaan selaku penuntut.
B. Peran Lembaga Keuangan Dalam Mencegah Kerusakan Hutan Sebagai Upaya Penanggulangan Secara Preventif
Sistem perbankan tetap dominan dalam pemberian kredit maupun pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Investasi yang dibiayai perbankan kebanyakan investasi yang sangat berpeluang merusak lingkungan hidup. Oleh karena bargaining position perbankan kuat. Diantara ancaman yang akan dihadapi perbankan adalah konsumen boikot produk investor dan adanya Gerakan Masyarakat Hijau. Penjelasan Pasal 8 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 jo Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 bahwa terdapat resiko dalam pemberian kredit maupun pembiayaan berdasarkan prinsip 110
Yunus Husein, Mencegah dan Memberantas Kejahatan Kehutanan Melalui UndangUndang Tindak Pidana Pencucian Uang, pidato Keynote Speaker yang disampaikan pada seminar Pemberantasan Kejahatan di bidang kehutanan melalui penerapan undang-undang tindak pidana pencucian uang, yang dilakukan atas kerjasama Program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dengan PPATK dan Indonesia Working Group on Forestry Finance (IWGFF), tanggal 6 Mei 2004, di Medan hal. 4 Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
syariah, penilaian seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha, bank wajib memperhatikan hasil AMDAL bagi perusahaan yang berskala besar dan atau beresiko tinggi agar proyek yang dibiayai tetap menjaga kelestarian lingkungan. Surat Edaran Bank Indonesia No. 21/9/UKU, Tanggal 25 Maret 1989 mengatur tentang redit Investasi dan Penyertaan Modal. Bank memiliki kewajiban untuk menerapkan AMDAL pada penilaian kredit yang diajukan yang meliputi Penyajian Informasi Lingkungan, Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL), Rencana Pengelolaan Lingkungan, Rencana Pemantauan Lingkungan. Untuk perbankan perlu memperhatikan pengetahuan minim aparat bank, lingkungan hidup bukan prioritas utama, klausul lingkungan hidup belum secara luas dicantumkan dalam perjanjian kredit. Untuk mengatasi ini perlu mengupgrade pengetahuan aparat bank, meliputi penguasaan aspek-aspek lingkungan hidup dan Pendidikan dan Latihan dengan sasaran kelompok, Penyusun Project Appraisal, Pegawas Project, Konsultan Bank, dan Kepala-kepala Pengawas di Bank, Petunjuk pelaksanaan project appraisal, evaluasi biaya, dsb. Diperlukan reorientasi policy bank diantaranya adalah kebijakan perkreditan yang sadar lingkungan, lingkungan hidup wajib dijadikan dasar pertimbangan pemberian kredit dan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, prudential measures. Dalam perjanjian kredit wajib mencantumkan klausul lingkungan hidup misalnya persyaratan AMDAL, debitur diikat dengan kewajiban memelihara lingkungan hidup,
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
tuntutan hukum berdasarkan perjanjian kredit dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan pemantauan terhadap operasional perusahaan debitur. Bank tidak dapat dituntut karena perbuatan yang dilakukan debiturnya yang merusak lingkungan hidup kecuali bank terbukti mengetahui perbuatan debitur mencemari lingkungan hidup. Tanggung jawab adalah secara moril. Hal yang harus dilakukan bankir adalah memahami peran strategis perbankan dalam perekonomian dan kaitannya dengan pemeliharaan lingkungan hidup, memahami seluk beluk bisnis perbankan, memegang teguh etika profesional, pembentukan sikap yang pro lingkungan. Tindak pidana di bidang kehutanan dan tindak pidana di bidang lingkungan hidup merupakan kejahatan asal (predicate offence) dari money laundering. Pembalakan liar 60%-80 % dari 60-70 juta m2 yang dikonsumsi oleh industri kayu domestik. Angka ekspor industri kehutanan sebesar USD 5 Miliar per tahun (70% berasal illegal logging). Identifikasi transaksi kehutanan mencurigakan dapat dilakukan dengan memperhatikan jumlah nominal dan frekuensi transaksi tidak konsisten dengan transaksi kehutanan yang legal, transaksi yang dilakukan tidak wajar dan tidak sesuai dengan kegiatan usaha nasabah bank (pengusaha hotel melakukan transaksi kehutanan), pola transaksi nasabah menyimpang dari pola transaksi umum nasabah kehutanan, nasabah tidak ada alasan untuk menjalin hubungan dengan pihak luar negeri, nasabah melakukan transaksi dengan pelaku illegal logging. Pasar Modal merupakan sumber pembiayaan perusahaan sektor kehutanan, keterbukaan penting dalam industri pasar modal, pelaksanaan prinsip keterbukaan mengenai perlindungan Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
lingkungan hidup. Bapepam telah mengatur ketentuan administratif, legal due diligence, dan standar pemeriksaan hukum dan pendapat hukum (himpunan konsultan hukum pasar modal), peraturan ini belum memadai dibandingkan Amerika Serikat. Selanjutnya dalam laporan transaksi keuangan yang mencurigakan, yang menjadi objek kecurigaan lebih dominan pada transaksi itu sendiri, bukan orang atau nasabah yang melakukan transaksi. Adapun
beberapa transaksi mencurigakan
dengan menggunakan Lembaga Penyedia Jasa Keuangan dapat diidentifikasi sebagai berikut: 111 1. Pola transaksi tunai yakni dengan: a. Penyetoran tunai dalam jumlah besar yang tidak lazim oleh perorangan atau perusahaan yang memiliki kegiatan usaha tertentu dan penyetoran tersebut biasanya dilakukan dengan menggunakan cek atau instrumen non-tunai lainnya; b. Peningkatan penyetoran tunai yang sangat material pada rekening perorangan atau perusahaan tanpa disertai penjelasan yang memadai, khususnya apabila setoran tunai tersebut langsung ditransfer ke tujuan yang tidak mempunyai hubungan atau keterkaitan dengan perorangan atau perusahaan tersebut; c. Penyetoran tunai dengan menggunakan beberapa slip setoran dalam jumlah kecil sehingga total penyetoran tunai tersebut mempunyai jumlah sangat besar; d. Penggunaan
rekening
perusahaan
yang
lazimnya
dilakukan
dengan
menggunakan cek atau instrumen non-tunai lainnya namun dilakukan secara tunai; e. Pembayaran atau penyetoran dalam bentuk tunai untuk penyelesaian tagihan wesel, transfer atau instrumen pasar uang lainnya;
111
Bismar Nasution, loc.cit
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
f. Penukaran uang tunai berdenominasi kecil dalam jumlah besar dengan uang tunai berdenominasi besar; g. Penukaran uang tunai ke dalam mata uang asing dalam frekuensi yang tinggi; h. Peningkatan kegiatan transaksi tunai dalam jumlah yang sangat besar untuk ukuran suatu kantor Bank; i. Penyetoran tunai yang didalamnya selalu terdapat uang palsu; j. Transfer dalam jumlah besar dari atau ke negara lain dengan instruksi untuk dilakukan pembayaran tunai; k. Penyetoran tunai dalam jumlah besar melalui rekening titipan setelah jam kerja kas untuk menghindari hubungan langsung dengan petugas Bank.
2. Transaksi mencurigakan dengan menggunakan rekening Bank : a. Pemeliharaan beberapa rekening atas nama pihak lain yang tidak sesuai dengan jenis kegiatan usaha nasabah; b. Penyetoran tunai dalam jumlah kecil ke dalam beberapa rekening yang dimiliki nasabah pada Bank sehingga total penyetoran tersebut mempunyai jumlah sangat besar; c. Penyetoran dan atau penarikan dalam jumlah besar dari rekening perorangan atau perusahaan yang tidak sesuai atau tidak terkait dengan usaha nasabah; d. Pemberian informasi yang sulit dibuktikan atau memerlukan biaya yang sangat besar bagi Bank untuk melakukan pembuktian; e. Pembayaran dari rekening nasabah yang dilakukan setelah adanya penyetoran tunai rekening dimaksud pada hari yang sama atau hari sebelumnya; f. Penarikan dalam jumlah besar dari rekening nasabah yang semula tidak aktif atau dari rekening nasabah yang menerima setoran dalam jumlah besar dari luar negeri; g. Penggunaan petugas teller yang berbeda oleh nasabah yang secara bersamaan untuk melakukan transaksi tunai dalam jumlah besar atau transaksi mata uang asing; Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
h. Pihak yang mewakili perusahaan selalu menghindar untuk berhubungan dengan petugas Bank; i. Peningkatan yang besar atas penyetoran tunai atau negotiable instruments oleh suatu perusahaan dengan menggunakan rekening klien perusahaan, khususnya apabila penyetoran tersebut langsung ditransfer di antara rekening klien lainnya; j. Penolakan oleh nasabah untuk menyediakan tambahan dokumen atau informasi penting, yang apabila diberikan kemungkinan nasabah menjadi layak untuk memperoleh fasilitas pemberian kredit atau jasa perbankan lainnya; k. Penolakan nasabah terhadap fasilitas perbankan yang lazim diberikan, seperti penolakan untuk diberikan tingkat bunga yang lebih tinggi terhadap jumlah saldo tertentu; l. Penyetoran untuk rekening yang sama oleh banyak pihak tanpa penjelasan yang memadai. 3. Transaksi mencurigakan melalui transaksi yang berkaitan dengan investasi yaitu: a. Pembelian surat berharga untuk disimpan di Bank sebagai kustodian yang seharusnya tidak layak apabila memperhatikan reputasi atau kemampuan finansial nasabah; b. Transksi pinjaman dengan jaminan dan
yang diblokir (black-to-back
deposit/loan transactios) antara Bank dengan anak perusahaan, perusahaan afiliasi, atau institusi di negara lain yang dikenal sebagai negara tempat lalulintas perdagangan narkotika; c. Permintaan nasabah untuk jasa pengelolaan investasi dengan sumber dana investasi yang tidak jelas sumbernya atau tidak konsisten dengan reputasi atau kemampuan finansial nasabah; d. Transaksi dengan pihak lawan (counterparty) yang tidak dikenal atau , jumlah dan frekuensi transaksi yang tidak lazim;
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
e. Investor yang diperkenalkan oleh bank di negara lain, perusahaan afiliasi, atau investor lain dari negara yang diketahui umum sebagai tempat produksi atau perdagangan narkotika. 4. Transaksi mencurigakan melalui aktivitas Bank di luar negeri a. Pengenalan nasabah oleh kantor cabang di luar negeri, perusahaan afiliasi atau bank lain yang berada di negara yang diketahui sebagai tempat produksi atau perdagangan narkotika; b. Penggunaan Letter of Credits (L/C) dan instrumen perdagangan internasional lain untuk memindahkan dana antar negara dimana transaksi perdagangan tersebut tidak sejalan dengan kegiatan usaha nasabah; c. Penerimaan atau pengiriman transfer oleh nasabah dalam jumlah besar ke atau dari negara yang diketahui merupakan negara yang terkait dengan produksi, proses, dan atau pemasaran obat terlarang atau kegiatan terorisme; d. Penghimpunan saldo dalam jumlah besar yang tidak sesuai dengan karakteristik perputaran usaha nasabah yang kemudian ditransfer ke negara lain; e. Transfer secara elektronis oleh nasabah tanpa disertai penjelasan yang memadai atau tidak dengan menggunakan rekening; f. Permintaan travellers cheques, wesel dalam mata uang asing, atau negotiable instrument lainnya dengan frekuensi tinggi; g. Pembayaran dengan menggunakan traveller cheques atau wesel dalam mata uang asing khususnya yang diterbitkan oleh negara lain dengan frekuensi tinggi.
5.
Transaksi mencurigakan yang melibatkan karyawan Bank dan atau agen a. Peningkatan kekayaan karyawan dan agen Bank dalam jumlah besar tanpa disertai penjelasan yang memadai; b. Hubungan transaksi melalui agen yang tidak dilengkapi dengan informasi yang memadai mengenai penerima akhir (ultimate beneficiary).
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
6.
Transaksi mencurigakan melalui transaksi pinjam meminjam a. Pelunasan pinjaman bermasalah secara tidak terduga; b. Permintaan fasilitas pinjaman dengan agunan yang asal usulnya dari aset yang diagunkan tidak jelas atau tidak sesuai dengan reputasi dan kemampuan finansial nasabah; c. Permintaan nasabah kepada Bank untuk memberikan fasilitas pembiayaan dimana porsi dana sendiri Nasabah dalam fasilitas dimaksud jelas asal usulnya, khususnya apabila terkait dengan properti.
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dari uraian-uraian bab-bab dimuka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pengaturan tentang tindak pidana kehutanan telah dirumuskan di dalam ketentuan Pasal 50 ayat (2) jo Pasal 78 ayat (1), ayat (14) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Pasal 41 sampai dengan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sedang pengaturan tentang tindak pidana pencucian uang (money laudering) yakni Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. UUTPPU dapat dibedakan dalam dua kriteria yaitu Tindak Pidana Pencucian Uang (Pasal 3 dan 6) dan Tindak Pidana yang berkaitan dengan Pencucian Uang (Pasal 8 dan 9). 2. Pertanggungjawaban pelaku kejahatan di dalam tindak pidana kehutanan sebagai kejahatan asal (predicate crime) melalui pendekatan rezim money laundering tentunya terlebih dahulu dilakukan pendekatan secara refresif sebagai bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy) yang merupakan tindakan pemberatasan dan sekaligus penumpasan terhadap kejahatan kehutanan yang menggunakan lembaga keuangan sebagai sarana untuk mengalihkan, menyembunyikan kejahatan kehutanan dengan maksud dana tersebut seolah-olah legal dan digunakan untuk mendanai kejahatan-kejahatan Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
selanjutnya atau kegiatan legal. Penentuan kejahatan pada tindak pidana awal pencucian uang (predicate crimes on money laundering) bagi proses penegakan hukum pencucian uang di Indonesia mengalami kesulitan, hal ini terlihat bahwa sistem hukum pidana Indonesia menganut asas bahwa suatu perbuatan dapat dinyatakan sebagai kejahatan harus melalui mekanisme hukum yakni ditandai dengan adanya putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Artinya selama belum ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap maka suatu perbuatan yang dituduhkan kepada tersangka berupa tindak pidana awal (core crime). Hal ini dapat dilihat pada Putusan Pengadilan Negeri Medan dan Mahkamah Agung terhadap terdakwa Adelin Lis (Direksi PT. KNDI) dengan tidak adanya putusan Pengadilan Negeri Medan dan Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa terdakwa Adelin Lis (Direksi PT. KNDI) diduga atau patut diduga telah melakukan tindakan menyembunyikan harta kekayaan hasil kejahatan melalui kegiatan money lundering yang tentunya dilandasi oleh sistem pembuktian dianut di Indonesia dengan dasar dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya yakni pembalakan liar yang dimulai dari penyidikan dan tuntutan tindak pidana predicate crimes, sehingga hal yang terpenting adalah “terbuktinya tindak pidana asal” bukan “sudah terdapat bukti permulaan yang cukup”. 3. Penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana kehutanan dalam upaya menanggulangi money laundering pada hakekat UUTPPU memberi peluang bagi aparat penegakan hukum di dalam sistem peradilan pidana Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
khususnya hakim dengan pendekatan mengejar harta kekayaan hasil kejahatan yang ditempatkan untuk menetapkan pelaku tindak pidana pencucian uang sebagai follow up crime on illegal logging. Melalui pendekatan ini tentunya memudahkan penjeratan terhadap aktor intelektual yang melakukan tindakan pembalakan liar terutama pemegang IUPHHK dan HPH dengan menekankan penyelidikan pada aliran uang yang dihasilkan dan juga memberikan sebuah landasan berpijak untuk aparat penegak hukum dalam menjerat aktor-aktor intelektual yang mendanai kegiatan illegal logging. Penyelidikan pada aliran uang yang dihasilkan tentunya memerlukan kerjasama dengan lembaga keuangan (Penyedia Jasa Keuangan) yang telah menerapkan prinsip know your customer. Dengan demikian penyelidikan dan penyidikan terhadap aliran dana hasil kejahatan pembalakan hutan akan lebih mudah dilakukan, oleh karena muara aliran uang sudah tentu akan berakhir pada aktor intelektual penebangan hutan. B. Saran 1. Diharapkan adanya keterpaduan sistem hukum dalam rangka penegakan terhadap
peraturan
perundang-undang
sehingga
dalam
penerapanya
mempunyai keterkaitan dan saling mendukung untuk terciptanya penegakan hukum yang berdaya guna dengan didukung adanya persamaan persepsi dan komitmen aparat penegak hukum di dalam sistem peradilan pidana. Hal ini dapat dilihat pada penerapan kasus Adelin Lis (Direksi PT.KNDI) menyangkut tentang pembuktian predicate crime terlebih dahulu atau patut Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
diduga sudah bisa dijadikan kerangka untuk menyidik tindak pidana pencucian uang. Apabila dicermati maka Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 terlihat masih banyak mengandung kelemahan-kelemahan, antara lain terdapat di dalam Pasal 35 UUTPPU tentang pembalikan beban pembuktian (shifting of the burden of proof), sebagai dasar di dalam penerapan asas diduga melakukan tindak pidana pencucian uang, yang tidak secara tegas mengatur bagaimana kalau terdakwa tidak dapat membuktikannya. Dalam pasal tersebut hanya dikatakan bahwa untuk kepentingan pemeriksaan pengadilan terdakwa wajib membuktikan bahwa hartanya bukan merupakan hasil kejahatan. Apabila terdakwa tidak dapat membuktikan asal usul harta kekayaannya tersebut, maka harta kekayaan tersebut dapat langsung disita atau dapat dianggap terbukti berasal dari kejahatan asal (predicate crimes). Di samping itu untuk menghindari adanya nebis in idem dalam kerangka meminta pertanggungjawaban pelaku tindak pidana pencucian uang agar aparat penegak hukum melakukan pendekatan dan mencari kasus lainnya misalnya kejahatan perbankan, kejahatan pasar modal dan kejahatankejahatan lainnya. 2. Untuk meminta pertanggungjawaban pelaku kejahatan kehutanan dalam upaya menangulangi money laudering diharapkan adanya kesepahaman yang dianut oleh criminal justice system untuk menerapkan Pasal-Pasal yang terdapat pada UUTPPU yakni penerapan Pasal 3 UUTPPU yang seharusnya dapat digunakan untuk menjerat pelaku khususnya pada kasus PT. KNDI Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
yakni berdasarkan beberapa bukti yang diduga telah terjadinya praktek money laundering harta kekayaan hasil pembalakan liar dan adanya transaksi keuangan yang mencurigakan, dengan pendekatan unsur-unsur sebagaimana dianut oleh Pasal 3 UU Pencucian Uang yang telah memenuhi standar pada umumnya dipakai dalam kriminalisasi pencucian uang, yaitu meliputi: Pertama, a financial transaction (transaksi keuangan). Kedua, proceed (hasil-hasil kejahatan). Ketiga, unlawful activity (tindakan kejahatan). Keempat, knowledge (mengetahui atau patut mengetahui), dan Kelima, intent (maksud). Sedangkan unsur objektif pada Pasal 3 UU Pencucian Uang ini adalah menempatkan, mentransfer, membayarkan atau membelanjakan, menghibahkan atau menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan atau perbuatan lainnya terhadap harta kekayaan. Selanjutnya unsur subyektif Pasa1 3 terdiri dari sengaja, mengetahui atau patut menduga bahwa harta kekayaan berasal dari atau merupakan hasil tindak pidana. Maka dalam nunusan tersebut dapat dikatakan telah memenuhi syarat universal tentang pedoman unsur mens rea dalam ketentuan pencucian uang yaitu intended (sengaja dan mengetahui dan patut menduga). Sebagai unsur inti delik maka unsur subyektif tersebut harus dibuktikan. 3. Diharapkan dalam rangka penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan kehutanan dalam upaya menanggulangi money laundering maka UU anti money laundering
sebenarnya telah memberikan peluang bagi aparat
penegakan hukum untuk melakukan penegakan hukum terhadap aktor Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
intelektual yang melakukan tindakan pembalakan liar terutama pemegang IUPHHK dan HPH dengan menekankan penyelidikan pada aliran uang yang dihasilkan dan juga memberikan sebuah landasan berpijak untuk aparat penegak hukum dalam menjerat aktor-aktor intelektual yang mendanai kegiatan illegal logging. Dengan demikian penyelidikan dan penyidikan terhadap aliran hasil kejahatan pembalakan hutan akan lebih mudah dilakukan, oleh karena muara aliran uang sudah tentu akan berakhir pada aktor intelektual penebangan hutan. Dengan dimasukkannya tindak pidana bidang kehutanan sebagai predikat crimes dalam pranata hukum yang relatif baru ini, aparat penegak hukum dengan bekerjasama dengan PPATK, sebuah lembaga yang diberi wewenang khusus untuk menangani pelaporan kasus money laundering, kini mempunyai dasar hukum untuk melakukan penyelidikan terhadap berbagai transaksi yang mencurigakan dari lembagalembaga keuangan seperti bank, pasar modal dan asuransi untuk mencari aliran dana yang pada akhirnya akan menuju kepada aktor intelektual pemegang dana kegiatan illegal logging. Di samping itu sangat diharapkan adanya peran aktif lembaga keuangan untuk melaporkan dalam hal adanya transaksi keuangan yang mencurigakan.
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
DAFTAR PUSTAKA A. Buku Amirin, Tatang M, Pokok-Pokok Teori Sistem, Jakarta: Rajawali, Cet. I, 1986 Arief, Barda Nawawi, Sari Kuliah Perandingan Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002 Atmasasmita, Romli, Sistem Peradilan Pidana, Presfektif Eksistensialisme dan Abolisianisme, Bandung: Binacipta,1996 Bryan, Garner, A, Black’s Law Dictionary, seventh edition, West Group: St. Paul, Minn, 1999 Garnasih, Yenti, Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundering), Jakarta: Universitas Indonesia Fakultas Hukum Pascasarjana, 2003 IGM, Nurdajana, et.al, Korupsi & Illegal Logging dalam Sistem Desentralisasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005 Khairandy, Ridwan (ed), Hukum Lingkungan Hidup di Indonesia, 75 Tahun Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, SH.,ML. Jakarta: Universitas Indonesia, 2001 Kountur, Ronny, Metode penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, Jakarta: PPM, 2003 Manthovani, Reda dan Soewarsono, Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia, Jakarta: Malibu, 2004 Nasution, Bismar, Rezim Anti Money Laundering, Bandung: BooksTerrance & Library, 2005 ReksadiPutro, Mardjono, Hak azazi manusia dalam system peradilan pidana, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (lembaga kriminologi) Universitas Indonesia, 1997 Sjahdeini, Sutan Remy, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, Jakarta: Grafiti, 2004 Soekanto, Soerjono, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2004
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
------------------, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: RajaGarfindo Persada, 1995 Setiadi, Edi, Hukum Pidana Ekonomi, Bandung: Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung, 2004 Stessens, Guy, Money Laundering A New International Law Enforcement Model, Cambridge University Press: 2000 Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998 Syahrin, Alvi, Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Pemukiman Berkelanjutan, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003
B. Jurnal, Makalah, Internet Chaikin, David A, “Money Laundering: An Investigatory Perspective”, Crim. L. Forum, vol. 2. No. 3, Spring, 1991 Garnasih, Yenti, Anti Pencucian Uang Di Indonesia Dan Kelemahan Dalam Implentasinya(Suatu Tinjauan Awal), www.legalitas.org, diakses tanggal 14 Juni 2008 Guiding Principle for Crime Prevention and Criminal Justice in the Context of Development and a New Economic Order, yang diadopsi oleh Seventh Crime Congress, Milan, 1985 Haynes, Andrew, Money Laundering and Changes in International Banking Regulations, J.Int’l Banking Law, 1993 Husein, Yunus, PPATK Terima 901 Laporan Transaksi Mencurigakan Triwulan Pertama 2006, Harian Sinar Indonesia Baru, tanggal 22 April 2006 -----------------, Mencegah dan Memberantas Kejahatan Kehutanan Melalui UndangUndang Tindak Pidana Pencucian Uang, pidato Keynote Speaker yang disampaikan pada seminar Pemberantasan Kejahatan di bidang kehutanan melalui penerapan undang-undang tindak pidana pencucian uang, yang dilakukan atas kerjasama Program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dengan PPATK dan Indonesia Working Group on Forestry Finance (IWGFF), tanggal 6 Mei 2004, di Medan
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
Independent Legal Auditors-Forensik Legal Auditors Sophia Hadyanto & Partners, Legal Opinion Kasus Adelin Lis Nasution, Bismar, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Makalah disampaikan pada dioalog interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, 18 Februari 2003 -----------------, Hukum Rasional Untuk Landasan Pembangunan Ekonomi Indonesia , Disampaikan Pada Seminar Nasional Reformasi Hukum dan Ekonomi, sub tema: Reformasi Agraria Mendukung Ekonomi Indonesia diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis USU ke-52, Medan, Sabtu 14 Agustus 2004, ---------------------, Kerusakan Hutan dan Money Laundering, Makalah Dosen Fakultas Hukum USU dan Ketua Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum USU United Nations Convention Against Transnational Organized Crime, Palermo, 2000 Purwoko, Sunu W, Money Laundering, Praktek Dan Pemberantasannya, Karyawan PT Bank Ekspor Indonesia (Persero), BEI NEWS Edisi 7 Tahun II, Oktober-Desember 2001 Rajaguguk, Erman, Anti Pencucian Uang: Perbandingan Hukum, Jakarta: Yayasan Pengembangan Hukum Binis, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 16 Nopember 2001 Samuel, Margaret, “No cash Alternatives and Money Laundering: An American Model For Canadian Consumers Protection”, Am. Buss.L.J., vol. 30, 1992
Setiono, Bambang dan Yunus Husein, Pendekatan Anti Pencucian Uang, http://www.yahoo.com, diakses tanggal 13 Juni 2008 Sitompul, Zulkarnain, Peran PPATK Mencegah Dan Memberantas Pencucian Uang, disampaikan pada acara Pelatihan Anti Pencucian Uang diselenggarakan oleh Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara pada tanggal 15 September 2005 di Medan Speaker’s notes International workshop Indonesia Rancangan Money Laundering Law, Jakarta, 29-30 May 2000
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
Sutanto, Peran Polri untuk Meningkatkan Efektivitas Penerapan UU TPPU, Keynote Adress Pada Pelatihan Anti Tindak Pidana Pencucian Uang, (Medan: Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, tanggal 15 September 2005 Sunaryadi, Amin, Tindak Pidana Pencucian Uang Implikasinya Bagi Profesi Akuntan, Media Akuntansi, Ed. 29/Th. IX Oktober-November 2002 Zeldin, Michael, Money Laundering : Every you wanted to know about Money Laundering but were Afraid to Asked, in Focus on Money Laundering & Asset Forfeiture, An Int’l Persp., vol 2, 1995 C. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana diubah dengan UndangUndang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-undang 19 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara KUH Pidana Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus Bagi Pelapor dan Sanksi Tindak Pidana Pencucian Uang Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2003 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2003 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kewenangan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Komite Koordinasi Nasional dan pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008
Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/21/PBI/2003 tentang perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor: 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (know your customer) Peraturan Bank Indonesia Nomor : 5/23/PBI/2003 tentang penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (know your customer) bagi Bank Perkreditan rakyat. BAP berkas perkara Adelin Lis oleh Satuan II Direktorat Reserse Kriminal Polda Sumatera Utara BAP PT. Keang Nam Development Indonesia di Direktorat Reserse Kriminal Polda Sumatera Utara. Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 2240/Pid.B/2007/PN.Mdn Putusan Mahkamah Agung Nomor 68 K/PID.SUS/2008 Keputusan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Nomor: 2/1/Kep.PPATK/2003
Roberts Kennedy : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Kehutanan Dalam Upaya Penanggulangan Money Laundering : Studi Mengenai Kasus Adelin Lis (Direksi Pt Keang Nam Development Indonesia), 2009 USU Repository © 2008