Edisi JAN-FEB 2013 KPPOD Membangun Indonesia dari Daerah www.kppod.org
Perda: Mana yang harus diatur dan mana yang tidak perlu diatur?
BRIEF
S
arana legislasi yang penting dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah peraturan daerah (Perda). Perda adalah aturan daerah dalam arti materiil yang bersifat mengikat (legally binding) warga dan penduduk daerah. Perda merupakan instrumen kebijakan bagi Pemda dalam mengatur kegiatan masyarakat, termasuk aktivitas usaha. Oleh karenanya, substansi perda seharusnya dapat mengakomodir kebutuhan masyarakat daerah. Namun di era otonomi daerah dengan kewenangan yang begitu luas, sering kita jumpai kegamangan pemda dalam membuat aturan. Tampak bahwa pemerintah daerah kadang terlihat tidak tahu mana yang perlu diatur dan mana yang tidak perlu diatur. Penting bagi Pemda untuk tahu, kapan hadir untuk membuat regulasi atau tidak. Ketika permasalahan di dalam masyarakat terjadi, disinilah peran pemerintah dijalankan sebagai regulator. Pemecahan permasalahan bisa melalui kebijakan berupa perda atau tindakan lainnya. lainnya. Untuk membentuk atau menciptakan suatu kebijakan yang dibutuhkan dalam pemecahan suatu masalah tentu diperlukan metode agar kebijakan tersebut tepat sasaran dan efektif dalam mengatasi masalah yang terjadi. Melalui memperbandingkan manfaat dan biaya dari sebuah peraturan atau kebijakan yang akan diterapkan maupun sudah diterapkan akan diketahui apakah sesuatu perlu diatur melalui perda atau tidak. Konsultasi publik yang melibatkan para stakeholder juga sangat diperlukan untuk mengetahui kebutuhan masyarakat. Dari perspektif good regulatory governance perumusan kebijakan haruslah terus-menerus dikomunikasikan kepada para pemangku kepentingan terkait, termasuk pelaksana yang menjalankan kebijakan di lapangan. Konsultasi ini dilakukan dari tahap awal perumusan kebijakan sampai dengan implementasi dan monitoring pelaksanaan kebijakan. Melalui proses dan pentahapan yang semestinya, maka daerah dapat mengambil manfaat dari keberadaan perda, yakni untuk mengatur pola hubungan, dan peran para pihak yang terlibat dalam aktivitas ekonomi di daerah, tanpa kemudian menimbulkan efek yang kontraproduktif terhadap tujuan pengaturan tersebut. Mendorong masuknya investasi ke daerah adalah salah satu tujuan dari aturan daerah. Tolok ukur suatu Perda menghambat atau mendorong investasi terletak pada; diperhatikan atau tidaknya prinsip-prinsip dasar ekonomi dalam materi Perda yang akan dan telah di atur, dilibatkan atau tidaknya pihak pebisnis beserta stakeholdersnya mulai dari proses perencanaan rancangan perda sampai pengundangan sebuah Perda, juga dilanggar atau tidaknya prinsipprinsip dasar ekonomi di atas pada tataran pelaksanaan yang disertai dengan ketegasan sanksi. Prinsip sistem evaluasi dan pengawasan yang baik tentu akan menjadi faktor penentu bagi munculnya iklim investasi yang diharapkan. Semua program pengembangan daerah di berbagai bidang dituangkan dalam sebuah kebijakan daerah menentukan daya tarik daerah tersebut dimata para investor. Melalui kebijakan daerahnya dapat mendorong penciptaan iklim usaha yang sehat. Keberhasilan pembangunan daerah sangat bergantung pada komitmen utuh Pemerintah Daerah dalam membuat program kebijakan yang terintegrasi baik dari sisi kualitas kebijakan (program), maupun kualitas pelaksana program itu sendiri sehinga tercipta sinergi yang baik antar keduanya untuk dapat mendorong terlaksananya program pembangunan daerah secara merata dan berkelanjutan.
EDITORIAL Tata Kelola Vs Salah Urus
BRIEF
dAFTAR ISI Artikel .............................................. 3 Review Regulasi............................... 9 Dari Daerah.................................... 11 Opini.................................................14 Laporan Diskusi Publik...................17 Agenda KPPOD...............................20 Seputar Otonomi.............................21 Sekilas KPPOD................................22
Susunan Redaksi Pemimpin Redaksi: Robert Endi Jaweng Redaktur Pelaksana: Ig. Sigit Murwito
Jalan yang dirasa paling pas tiada lain adalah menggerakan ekonomi. Ekonomi tumbuh selain digerek konsumsi masyarakat dan belanja pemerintah yang kian meningkat, faktor utama adalah mesin investasi yang bergerak dalam kekuatan penuh. Untuk itu, di era desentralisasi yang berintikan perubahan model pembangunan ini, swasta harus didorong untuk berperan dominan dalam struktur kesempatan yang makin terbuka, sementara pemerintah bertugas menjamin iklim berusaha yang kondusif agar semua pihak makin produktif. Dalam segala hal penciptaan iklim berusaha kondusif tadi, kami meyakini bahwa tata kelola ekonomi adalah inti pekerjaan kita. Sebagaimana ujar guru manajemen Peter Drucker, kami pun percaya bahwa sejatinya tidak ada negara yang terbelakang, kecuali yang tak terkelola! Dengan mutu tata kelola dalam artian luas, termasuk faktor kepemimpinan visioner dan efektif, banyak negara/ daerah yang langka sumber daya alam justru makmur ekonominya. Indonesia hari ini, di era desentralisasi/otonomi, sedang membuktikan “teori “ tersebut. Daerah yang giat berbenah tata kelola, apalagi jika dari “sono”nya memang sudah dianugerahi kecukupuan resorsis atau strategis secara geo-ekonomi (endowment factors), menunjukan rekor yang baik pula dalam hal efisiensi birokrasi dan kemajuan ekonomi. Sebaliknya, salah urus, bahkan jika itu terjadi di daerah kaya tambang atau hutan, semakin memerosotkan citra daerah bersangkutan sebagai kantong kemiskinan dan rentan jadi pasar gelap kekuasaan (korupsi, dll).
Staff Redaksi: Sri Mulyati Boedi Rheza Elizabeth Karlinda Illinia Ayudhia Riyadi
Keyakinan tersebut sekaligus menjadi penanda masalah kita. Hasil survei KPPOD (2007, 2001) menunjukan: alih-alih menghadirkan tata kelola bermutu, kita justru tak kunjung sukses membuka sumbatan dan menghindari salah urus. Dalam hal infrastruktur, sebagai prioritas sekaligus bobot masalah terbesar, buruknya mutu kelola jalan atau listrik merupakan hambatan utama investasi dan pengembangan usaha di daerah.
Distribusi: Regina Retno Budiastuti Kurniawaty Septiani Agus Salim
Serupa pula prihal maslaah perijinan usaha, misalnya. Meski banyak daerah saat ini telah melembagakan reformasi perijinan lewat pendirian PTSP, namun ukuran keberhasilan utama sebuah PTSPtidaklah pada keberadaannya, sekedar ada atau latah, tapi pada bukti kinerja (lebih mudah, jelas, cepat) dan dorongan bagi peningkatan jumlah kepemilikan ijin (formalisasi usaha).
Tata Letak: Rizqiah D Winantyo
Alamat Redaksi: Permata Kuningan Building 10th Fl. Jl. Kuningan Mulia Kav. 9C Guntur Setiabudi Jakarta Selatan 12980 Phone : +62 21 8378 0642/53 Fax : +62 21 8378 0643 www.kppod.org http://perda.kppod.org http://pustaka.kppod.org
2
Semua orang mahfum, penciptaan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan menjadi tantangan serius dalam agenda pembangunan kita hari ini. Banyak kajian, rencana tindak hingga program dilakukan, tapi dampak pengaruhnya masih jauh panggang dari api. Pangsa penduduk miskin masih berjumlah setengah dari total penduduk negeri ini, dan itu jelas berbahaya.
Kami meyakini, mutu tata kelola adalah pantulan raut wajah (kinerja) Pemda itu sendiri. Titik masuk perbaikan mesti dimulai dari gambaran diri yang ada. Secara substantif, bobot masalah di atas menunjukan di mana letak skala prioritas kebijakan. Infrastruktur adalah yang paling pokok. Prioritas kebijakan membawa konsekuensi pada pilihan alokasi anggaran dan program kerja prioritas pula. Dengan instrumen kebijakan dan instrumen fiskal yang dimilikinya, pemda mesti mencari skema pembiayaan yang memungkinkan tersedianya dana yang cukup: entah melalui sistem pembayaran multi-years dalam APBD, kerja sama dengan swasta (PPP), atau bahkan privatisasi. Edisi KPPOD Brief kali ini mengetengahkan arti penting tata kelola yang bermutu dalam ikhtiar perbaikan iklim usaha di daerah. Selain itu, masih dalam kerangka besar tata kelola, kami juga menghadirkan ulasan seputar Perda dan masalah terkait lainnya yang dipandang penting sebagai daya ungkit perbaikan iklim usaha hari ini dan ke depan. Selamat membaca.
Artikel
Perda Sebagai Pintu Masuk Perbaikan Tata Kelola Ekonomi
Daerah Dalam Upaya Penciptaan Iklim Investasi Yang Kondusif Oleh: Ig. Sigit Murwito Peneliti KPPOD
K
emiskinan masih menjadi permasalahan yang belum terselesaikan di Indonesia. Berdasarkan angka resmi yang dikeluarkan oleh BPS (2012), tidak kurang dari 12% penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan yang diukur dari konsumsi per hari sebesar US$ 1. Angka ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan data Bank Dunia ((2012) yang menyatakan bahwa 50% penduduk Indonesia termasuk kategori miskin karena pengeluaran tidak lebih dari US$ 2 per hari. Memang dalam lima tahun terakhir, terlihat bahwa tingkat kemiskinan penduduk Indonesia memperlihatkan trend menurun. Namun demikian jika dilihat dari angka absulut masih cukup besar, yakni mencapai lebih dari 30 juta penduduk Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan.
Adalah tanggung jawab pemerintah, mulai pusat hingga daerah, untuk mengentaskan penduduk dari belenggu kemiskinan. Angkaangka di atas mencerminkan bagaimana peran pemerintah selama ini dalam mensejahterakan warganya. Hakekat Keberadaan dan keberhasilan Pemerintahan adalah menurunkan tingkat kemiskinan dan menciptakan lapangan pekerjaan bagi warganya. Yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana cara untuk mengatasi kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja bagi lebih dari 7,6 juta pengangguran terbuka dan 14,8 juta pengangguran setengah terbutka di Indonesia (BPS, 2012).
Perbaikan Iklim Investasi sebagai Kata Kunci Pengentasan Kemiskinan Kemiskinan bisa diatasi dengan memberikan pekerjaan yang layak dan pendidikan yang berkualitas. Lapangan kerja hanya dapat tercipta bilamana ada investasi, baik investasi pemerintah maupun dari swata asing maupun dalam negeri. Investasi swata diyakini merupakan pengerak utama bagi pembangunan ekonomi suatu daerah, dengan memperkuat pertumbuhan ekonomi dengan mendatangkan lebih banyak input ke dalam proses produksi, yang pada gilirannya akan mengangkat taraf hidup masyarakat dengan
berbagai muItipIier effects lainnya. Semakin banyak investasi yang masuk, semakin banyak sektor perekonomian bergerak, semakin banyak pula masyarakat mendapat pekerjaan sehingga mengurangi tingkat pengangguran yang tinggi dan segala masalah sosial yang diakibatkannya. Persoalannya adalah, bawah kemampuan fiscal pemerintah untuk melakukan investasi sangat terbatas. Berdasarkan World Development Report tahun 2005, perusahan-perusahaan swasta menyediakan lebih dari 90% lapangan pekerjaan, menciptakan kesempatankesempatan bagi masyarakat untuk menggunakan keahliannya dan memperbaiki keadaannya. Dari data satistik tahun 2003-2004 diketahui bahwa investasi swasta merupakan penyumbang terbesar dalam pembentukan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan penciptaan lapangan kerja. Peran Investasi Swasta Lebih dari 95% dari PDRB, sementara peran investasi pemerintah daerah secara rata-rata hanya sebesar 4.93% dari PDRB dan hanya 2.21% dari total pengeluaran daerah. Selanjutnya bila dilihat dari kebutuhan dana untuk investasi di Indonesia ternyata rata-rata 87% sumber dana investasi Indonesia berasal dari swasta. Hal ini menunjukkan investasi swasta sangat dibutuhkan dalam upaya pengentasan kemiskinan dan mengurangi penggangguran.
3
Artikel
Kebutuhan Investasi dan Sumber Dana di Indonesia (dalam Trilyun Rupiah)
Catatan: • Investasi pemerintah adalah Belanja Barang Modal Pemerintah Pusat + Provinsi + Kabupaten/Kota •Peningkatan PDB menggambarkan jumlah uang maksimum yang bisa dikeluarkan oleh pemerintah dengan menjaga DEBT/GDB tetap konstan
Kontribusi perusahaan kepada masyarakat terutama ditentukan oleh iklim investasi – yakni faktor-faktor yang terkait dengan suatu lokasi tertentu yang menentukan kesempatan-kesempatan serta insentif bagi perusahaan untuk melakukan investasi secara produktif dan berkembang. Sumbangan penting investasi di atas hanya akan terwujud jika didukung oleh tersedianya iklim berusaha yang kondusif, melalui kontribusi sektor swasta terhadap perekonomian daerah. Adalah iklim investasi yang kondusif sebagai prasarat masuknya investasi. Artinya adalah bahwa pengentasan kemiskinan, dengan menciptakan lapangan kerja, dapat terjadi dengan penciptaan iklim investasi yang kondusif. Yang menjadi persoalan berikutnya adalah, bahwa tingkat persaingan antar negara dan antar daerah di tingkat global dalam menarik investasi yang semakin tajam, sementara perkembangan iklim investasi Indonesia kurang baik. Otonomi Daerah dilaksanakan pada saat daya saing nasional dan daerah-daerah berada pada kondisi yang tidak baik. Berdasarkan Survei Doing Business 2013 yang dilakukan oleh IFC – World Bank, kemudahan berusaha di Indonesia (sebagai ukurang iklim investasi) berada pada posisi 128 dari 183 negara yang disurvei. Angka ini menujukkan bahwa masih ada problem serius dalam iklim usaha di Indonesia.
4
Peringkat Kemudahan Berusaha di Indonesia (dibandingkan 183 Negara)
Sumber: Doing Business, IFC - World Bank, 2013
Artikel Mengukur iklim usaha daerah Menurut Williamson dan Oudri (1981) serta Mont (1990), salah satu ukuran yang dapat digunakan untuk menilai kondusifitas iklim usaha suatu daerah adalah Biaya Transaksi (BT). Dimana pengertian BT mencakup: (1) biaya untuk memulai/mengembangkan sebuah sistem; (2) biaya yang terukur dalam nilai pertukaran; (3) biaya perlindungan hukum, dan (4) biaya penyelenggaraan perjanjian. Sementara Ergectson (1990), mengelompokkan komponen penyusun biaya transaksi dalam dua kelompok, yakni (1) biaya transaksi yang terjadi sebelum pertukaran (ex ante transaction cost) dan biaya-biaya setelah terjadi pertukaran (ex post transaction cost). Dalam praktik bisnis sehari-hari fenomena ex ante direfleksikan oleh kondisi akses pengusaha terhadap peluang berusaha, yang mencakup lima hal, yaitu : (i) keamanan; (ii) infrastruktur fisik; (iii) perijinan, prosedur dan proses perijinannya; (iv) informasi; dan (v) kredit. Jika kondisi yang ada menunjukkan bahwa akses pengusaha terhadap lima hal tersebut relatif rendah, maka dapat dikatakan bahwa biaya transaksi untuk memulai usaha relatif tinggi, dan sekaligus menunjukkan tingginya hambatan untuk masuk ke pasar. Atau dengan kata lain sulit untuk menarik investor. Dalam penciptaan iklim investasi yang kondusif tidak cukup hanya berhasil menarik investor, namun yang lebih penting adalah mampu mempertahankan investasi yang ada sehingga mereka merasa betah dan feel like a home tanpa mengorbankan pekerja. Hal ini berarti bahwa ada kenyamanan bagi investor sehingga investasi yang masuk bisa bertahan. Hal ini tergantung pada iktikad baik pemerintah untuk memberikan atmosfir dan iklim berusaha yang baik dan nyaman bagi penanam modal. Selain itu penting juga untuk memberikan perlindungan bagi masyarakat/pekerja yang ikut terlibat di dalamnya. Hal ini bisa dilakukan oleh pemerintah malalu suatu tata kelola yang baik terhadap segenap aspek yang berpengaruh terhadap perekonomian daerahnya.
terlihat bahwa tata kelola ekonomi merupakan salah satu aspek penting bagi iklim investasi daerah yang baik, yang dapat mendorong pertumbuhan sektor swasta untuk menciptakan lapangan kerja dan mengurangi kemiskinan, sebagaimana hakekat dari keberadaan suatu pemerintah. Namun yang perlu diingat bahwa kebijakan desentralisasi yang diterapkan di Indonesia berpengaruh dalam tata kelola ekonomi di daerah (local economic governance). Kebijakan desentralisasi merupakan konteks lingkungan yang berpengaruh kuat bagi penciptaan iklim usaha. Hal ini terjadi karena dengan desentralisasi peran dan kewenangan pemerintah daerah dalam pelayanan publik dan mengatur hubungan antara pemerintah, swasta, dan masyarakat menjadi cukup dominan. Pola hubungan antara swasta, pemerintah, dan masyarakat sangat berpengaruh terhadap iklim usaha di daerah. Dengan kata lain, pemerintah daerah memiliki peran dan tanggung jawab yang besar dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif melalui tata kelola ekonomi daerahnya.
Kelembagaan adalah Titik Tekan dalam Tata Kelola Ekonomi Daerah Dari pengertian dan konsep tata kelola ekonomi daerah, terlihat bahwa kelembagaan dan kebijakan pemerintah daerah dalam menyediakan ruang yang kondusif untuk aktivitas usaha adalah aspek penting dalam tata kelola ekonomi daerah. Hal yang sama juga terlihat pada pilihan indikatorindikator yang digunakan untuk menilai tata kelola ekonomi daerah oleh KPPOD. Dalam studi tersebut indikator yang digunakan adalah kebijakan dan kegiatan pemda yang terkait dengan iklim usaha, bukan merupakan faktor anugerah (endowment) seperti ketersediaan sumberdaya alam, lokasi, ketersediaan tenaga kerja. Selain itu, dalam kerangka desentralisasi pemerintahan, maka indikator yang digunakan juga sedapat mungkin berada dalam wewenang pemda,
Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) untuk Penciptaan Iklim Investasi Secara konseptual tata kelola berkaitan dengan strategi, proses, metode, dan mekanisme dalam mengelola negara, memenuhi permintaan dan kepentingan masyarakat. Dalam hal ini tata kelola juga melibatkan interaksi institusi publik maupun swasta dengan masyarakat (Weiss: 2005). Lebih lanjut Dixit menjelaskan bahwa tata kelola perekonomian terdiri dari proses yang mendukung aktifitas ekonomi dan transaksi ekonomi dengan melindungi hak-hak kepemilikan, melaksanakan kontrak, dan bersama-sama bekerja untuk menghasilkan infrastruktur fisik dan keorganisasian yang tepat (Dixit : 2001). Dari kedua konsep tersebut
Terdapat sembilan indikator yang digunakan oleh KPPOD dalam rangka menilai kualitas tata kelola ekonomi daerah, dimana kesembilan indikator tersebut mewakili sembilan persoalan
5
Artikel
utama dalam melakukan investasi di suatu daerah. Dari kesembilan indictor tersebut lebih ditekankan pada aspek kelembagaan. Melalui lembaga dapat mendukung terjadinya transaksi (exchange) ekonomi secara efisien, lancar, terjamin, teratur dan stabil. Jadi tepat rasanya ketika KPPOD menekankan aspek kelembagaan dalam memilih indikator-indikator TKED karena melalui kelembagaan paling tidak dapat meningkatkan rutinitas dan keteraturan. Aturan yang terlembaga, dapat digunakan untuk memberikan insentif maupun disinsentif kepada individu, dan pelaku ekonomi lainnya. Kelembagaan juga dapat membentuk atau mempengaruhi pola interaksi setiap pelaku ekonomi. Yang semuanya tertata dalam suatu tata kelola ekonomi yang sehat yang terlegitimasi dalam suatu aturan legal yang di tingkat daerah berupa peraturan daerah.
Kerangka Regulasi (Perda) adalah Roh dari TKED Melihat sekilas bobot pengaruh perda terhadap tata kelola ekonomi daerah tampaknya tidak cukup signifikan ( 3,6%) pengaruhnya, namun sesungguhnya, perannya sangat penting, dan dapat dikatakan sebagai roh atau jiwa dari TKED secara keseluruhan. Perda menjadi penting karena Perda berfungsi sebagai dasar hukum dalam aturan main dan berperilaku para pihak (pemerintah, swasta, masyarakat), melalui aturan, insentif dan disinsentif, secara terlembaga. Dengan demikian Perda merupakan pintu masuk bagi perbaikan aspek-aspek lain dalam TKED, sehingga dampak perbaikan perda secara langsung atau pun tak langsung mempengaruhi kualitas aspek lain seperti, penganggaran, perizinan, biaya transaksi, interaksi pemda dengan pelaku usaha atau pun pengadaan dan pengelolaan infrastruktur. Perda merupakan sarana legislasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Perda disini adalah aturan daerah dalam arti materiil (perda in materieele zin) yang bersifat mengikat (legally
6
binding) warga dan penduduk daerah otonom.1 Perda merupakan instrumen kebijakan bagi Pemda dalam mengatur kegiatan masyarakat, termasuk aktivitas usaha. Oleh karenanya, substansi perda seharusnya dapat mengakomodir kebutuhan masyarakat daerah dalam artian dengan adanya perda tersebut tidak menghambat investasi.2 Tolok ukur atau indikator suatu Perda itu menghambat atau mendorong masuknya investasi ke daerah-daerah terletak pada; diperhatikan atau tidaknya prinsip-prinsip dasar ekonomi dalam materi Perda yang akan dan telah di atur, dilibatkan atau tidaknya pihak pebisnis/ investor beserta stakeholdersnya mulai dari proses perencanaan RanPerda sampai pengundangan sebuah Perda, juga dilanggar atau tidaknya prinsip-prinsip dasar ekonomi di atas pada tataran pelaksanaan yang disertai dengan ketegasan sanksi. Prinsip sistem evaluasi dan pengawasan yang baik tentu akan menjadi faktor penentu bagi munculnya iklim investasi yang diharapkan. Dalam praktinya, tidak sedikit Perda yang justru menghambat proses penciptaan iklim investasi yang kondusif. Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah adalah semangat daerah untuk meningkatkan PAD, melalui perda-perda pungutan (pajak, retribusi daerah). Tidak jarang dijumpai bahwa justru kebijakan peningkatan PAD ini kontraproduktif terhadap upaya menarik investasi. Perda yang distortif menimbulkan biaya transaksi yang memberatkan pelaku usaha (disinsentif). Implikasinya adalah Biaya Transaksi yang tinggi, misalnya dalam biaya distribusi barang antar wilayah. Hal ini bisa terjadi karena banyaknya pungutan yang tidak proporsional dan semestinya, maupun terbengkalainya pengelolaan infrastruktur penunjang kegiatan usaha. Pada giliriannya Perda tersebut dapat meningkatkan biaya logistik. Survei Bank Dunia, menunjukkan bahwa biaya logistik di Indonesia mencapai 30% dari GDP (Termasuk Tertinggi di Dunia).
Artikel
Sumber: Bank Dunia 2007
Perbaikan Tata Kelola Ekonomi Daerah melalui Perbaikan Perda Perda sebagai kerangka kebijakan pengelolaan infrastruktur daerah. Temuan studi TKED 2011, memperlihatkan bahwa infrastuktur menjadi kendala paling besar, dan ternyata kualitas infrastruktur dipandang buruk oleh sebagian pelaku usaha. Perlu kiranya kita membari perhatian lebih pada upaya perbaikan infrastruktur ini. Perbaikan dapat dimulai dari kerangka regulasi yang mengatur mengenai pengelolaan infrastruktur di tingkat daerah, yakni dengan menyusun suatu Perda yang menjadi payung hukum dalam pengelolaan infrastruktur di daerah. Perda mengenai infrastruktur penting karena beberapa alasan. Pertama, melalui perda, dapat memberi insentif untuk meningkatkan kinerja pengelolaan dan kualitas infrastruktur di daerah. Aturan-aturan dalam perda dibuat agar mengupayakan efisiensi dan peningkatan layanan serta menetapkan standar kinerja, serta membangun satu sistem - yang terpisah dari pengaruh politik untuk melindungi konsumen dari penyalahgunaan hak oleh pemegang monopoli. Melalui perda infrastruktur dapat memuat suatu jaminan adanya kompetisi dalam penyediaan layanan infrastruktur. Sarana pengaturan tarif menurut satu formula yang disepakati atau satu kebijakan. Selain itu juga memungkinkan pengembalian biaya sehingga layanan akan sinambung dan diteruskan pada pemakai baru. Hal ini berarti akan mengurangi risiko dengan mengurangi biaya modal. Dan yang juga penting adalah bisa disediakan mekanisme untuk penyelesaian sengketa. Perda digunakan untuk mengatur pola hubungan, dan peran para pihak yang terlibat dalam aktivitas ekonomi. Melalui perda dapat mengatur dan menjamin partisipasi warga dalam perumusan kebijakan, seperti institusionalisasi forum komunikasi, transparansi, dan kebebasan informasi,
(Contoh: Kab. Probolinggo). Selain itu juga dapat dijadikan jaminan atas komitmen pemerintah dalam penyediaan pelayanan publik , seperti palayanan perizinan, dukungan bagi aktivitas usaha, dll, yang tercermin dalam Perda-perda yang menjadi dasar pendirian Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) untuk perizinan usaha, serta alokasi anggaran untuk pengembangan usaha swasta oleh Pemda. Tidak kalah pentingnya juga melalui perda dapat dirumuskan suatu mekanisme pengaduan terhadap kualitas pelayanan publik dan konflik antar pihak. Perda sebagai insentif investasi. Melalui pelembanggan yang berupa kerangka regulasi akan tercipta insentif dan disinsentif kepada individu, pelaku ekonomi. Hal yang sama dapat dilakukan oleh Pemda dalam rangka menarik investasi ke daerahnya. Melalui perda dapat diatur mengenai pemberian insentif dan kemudahan dalam berinvestasi. Insentif melalui perda dapat berbentuk, pengurangan, keringanan, atau pembebasan pajak dan/atau retribusi daerah; pemberian dana stimulan, belanja pemerintah, subsidi bunga; pemberian bantuan modal; pemberian penghargaan kepada masyarakat atau swasta. Selain insentif investasi, melalui perda juga bisa diberikan kemudahan. Kemudahan dalam berinvestasi dapat berupa penyediaan data dan informasi peluang penanaman modal; sarana dan prasarana; fasilitasi penyediaan lahan atau lokasi; bantuan teknis; percepatan tatalaksana pemberian perizinan dan non perizinan; serta penyediaan tenaga kerja.
Debirokrasi Perizinan dan Insentif Investasi sebagai Upaya Perbaikan Iklim Investasi Pengalaman Kota Yogyakarta. Birokrasi perizinan yang efisien ditunjang dengan insentif investasi menjadi daya tarik bagi investor. Hal ini dibuktikan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta. Dalam rangka peningkatan investasi ke daerahnya Pemko Yogyakarta melakukan pembenahan dibidang pelayan perizinan investasi, dengan mengeluarkan Perda No. 17/2005 tentang Pembentukan, Organisasi dan Tata Kerja Dinas
7
Artikel Perizinan. Perda tersebut menjadi titik tolak bagi reorganisasi perizinan di lingkungan Pemerintahan Kota Yogyakarta. Sebab dengan adanya penataan organisasi tersebut menandakan bahwa pengurusan perizinan satu pintu di bawah dinas tersendiri menjadi lebih efisien dan efektif. Paling tidak, pelayanan perizinan yang lebih baik merupakan bagian dari upaya pemerintah dalam memberikan pelayanan yang lebih baik bagi masyarakat, termasuk dunia usaha. Debirokratisasi tersebut diikuti dengan deregulasi yang memberikan insentif bagi investor dengan mengeluarkan Perwali Kota Yogyakarta No.3 Tahun 2009 tentang Insentif Investasi. Pada intinya Perwali ini memberikan pembebasan pajak dan retribusi bagi investor yang akan berinvestasi khususnya sektor pariwisata (hotel, restoran, pengangkutan) di Kota Yogyakarta. Kebijakan debirokratisasi dan deregulasi di Kota Yogyakarta terbukti mampu menarik mendorong pertumbuhan investasi secara signifikan. Hal ini terlihat dengan peningkatan kegiatan usaha baru di Kota Yogyakarta yang menyerap banyak tenaga kerja. Grafik di bawah memperlihatkan bahwa meskipun nilai investasi pada tahun 2010 - 2011 lebih rendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, namun dari sisi penyerapan tenaga kerja terus mengalami peningkatan. Penyerapan tenaga kerja dalam lima tahun terakhir rata-rata sekitar 10.000 tenaga kerja tercipta akibat adanya kegiatan usaha baru.
Secara makro perbaikan pelayanan perizinan yang menjadi satu paket dengan insentif investasi berupa pengurangan dan penangguhan pajak dan retribusi daerah telah berdampak pada pertumbuhan perekonomian daerah. Tumbuhnya kegiatan usaha baru yang pada gilirannya juga berkontribusi terhadap perbaikan ekonomi makro secara keseluruhan. Sektorsektor yang distimulus dengan insentif investasi yakni sektor pariwisata (hotel, restoran, transportasi) mampu tumbuh signifikan dan mendorong mendorong pertumbuhan ekonomi Yogyakarta rata-rata 5% pertahun selama 5 tahun terakhir.
Kontribusi Sektor Pariwisata terhadap PAD Kota Yogyakarta
Kontribusi Sektor Pariwisata terhadap PAD Kota Yogyakarta Selain berkontribusi terhadap perekonomian makro, ternyata perbaikan iklim usaha di Yogyakarta juga mampu peningkatan PAD melalui pajak dari kegiatan usaha yang distimulus. Kontribusi terhadap keuangan daerah (melalui PAD) di sektor pariwisata, terlihat selama lima tahun terakhir yang terus tumbuh. Dalam jangka pendek memang pembebasan pajak dan retribusi sedikit memperlambat laju pertumbuhan PAD (tahun 20092010), namun pada tahun-tahun berikutnya bisa melaju lebih pesat dan tumbuh sangat signifikan.
Penutup Pelembagaan aspek-aspek tata kelola ekonomi daerah dengan kerangka regulasi yang baik adalah suatu keniscayaan yang harus dilakukan untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif. Hal yang mendesak dilakukan dalam perbaikan tata kelola ekonomi daerah adalah meningkatkan komitmen Pemda dan Pemerintah Pusat untuk penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur. Upaya pembenahan infrastruktur harus dilakukan dengan kerangka regulasi yang komprehensif. Perbaikan infrastruktur, pada gilirannya akan menekan biaya akomodasi dan biaya transaksi lainnya yang menyertai. Biaya transaksi juga bersumber dari peraturan daerah dengan kualitas yang tidak baik, sehingga mendistorsi aktivitas ekonomi. Hal ini disebabkan tingginya biaya transaksi yang terjadi akibat peraturan daerah yang distortif. Perlu upaya serius untuk mengurangi biaya informal dan mengurangi beban retribusi usaha kecil, melalui peningkatan kualitas perda. Dengan kerangka regulasi yang komprehensif dan memadai dapat menjadi insentif investasi, guna meningkatkan investasi, menciptakan lapangan kerja, dan mengatasi kemiskinan. ***
1. Asmirawati Nova. Prinsip-prinsip Dasar Perancangan Peraturan Daerah. http://www.kumham-jogja.info 2. Isrok. ‘Korelasi antara perda bermasalah dengan tingkat investasi ke daerah’. Jurnal hukum No. 4 Vol. 16. 2009.
8
Review Regulasi
Review Regulasi: Perda Belitung Timur Nomor 4 Tahun 2012 tentang Retribusi Perizinan Tertentu Oleh: Elizabeth Karlinda Peneliti KPPOD
B
elitung Timur dengan luas wilayah 2.506,91 km2 selalu berupaya untuk meningkatkan investasi di daerahnya melalui kemudahan dalam mengurus perizinan berusaha. Salah satu upayanya adalah dengan menerbitkan Perda Belitung Timur Nomor 4 Tahun 2012 tentang retribusi perizinan tertentu. Retribusi merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan Pemerintah Daerah (Pemda) dan pembangunan daerah dan perda ini merupakan tindak lanjut dari Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Dalam perda ini, diatur lima jenis retribusi perizinan tertentu yang dipungut , yakni retribusi Izin Mendirikan Bangunan (IMB), retribusi tempat penjualan minuman beralkohol, retribusi izin gangguan, retribusi izin trayek dan retribusi izin usaha perikanan. Pembahasan ini akan berfokus pada retribusi IMB mengingat IMB merupakan salah satu perizinan dasar dimana setiap investor yang menanamkan modal akan mengurus izin ini.
Sumber : perumahan99.com
IMB merupakan izin untuk mendirikan bangunan baru, mengubah dan/atau merenovasi bangunan di lokasi tertentu yang dikeluarkan Pemda kepada individu perseorangan atau badan usaha. Pemberian izin dalam mendirikan bangunan ini dapat memberikan kontribusi kepada pembangunan Kabupaten Belitung Timur dalam bentuk retribusi. Ringkasan Isi Perda Dengan nama retribusi Izin Mendirikan Bangunan, perda ini memungut retribusi atas pelayanan pemberian izin untuk mendirikan suatu bangunan, dimana objek retribusi adalah pemberian izin untuk mendirikan suatu bangunan. Pungutan retribusi ini dikecualikan untuk bangunan milik pemerintah atau Pemda (pasal 4). Dalam pasal 5 ayat (1), subjek dalam retribusi ini adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh izin untuk mendirikan suatu bangunan. Prinsip dan sasaran dalam penetapan truktur dan besarnya tarif didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan. Sementara cara mengukur tingkat penggunaan jasa berdasarkan jenis pelayanan dan jenis bangunan seperti yang tertulis pada pasal 6. Struktur dan besaran tarif retribusi IMB ditetapkan berdasarkan kegiatan, fungsi, klasifikasi dan waktu penggunaan bangunan gedung yang dirumuskan sebagai berikut:
1.Retribusi pembangunan bangunan gedung baru: L x It x 1,00 x HSbg 2.Retribusi rehabilitasi/renovasi bangunan gedung baru: L x It x Tk x HSbg 3.Retribusi bangunan bukan gedung: V x I x 1,00 x HSbbg 4. Retribusi rehabilitasi bangunan bukan gedung: V x I x Tk x HSbbg Keterangan: L= Luas lantai bangunan gedung V= Volume/besaran (dalam satuan M2, M1, unit) I= Indeks It= Indeks terintergrasi (hasil perkalian dari indeksindeks parameter) bagunan gedung, atau bagian bangunan gedung dibawah permukaan tanah (basement), diatas/dibawah permukaan air, prasarana, dan sarana umum diberi pengali tambahan 1,30 Tk= Tingkat kerusakan 0,45 untuk tingkat kerusakan sedang 0,65 untuk tingkat kerusakan berat HSbg= Harga satuan retribusi bangunan gedung HSbbg= Harga satuan retribusi bangunan
bukan gedung 1,00= Indeks pembangunan baru.
9
Review Regulasi Belum tercantumnya aturan khusus terkait IMB sebagai konsideran perda Dilihat dari aspek yuridis, perda ini merupakan implikasi diterapkannya peraturan terbaru tentang pajak dan retribusi daerah dalam UU No.28 Tahun 2009. Dalam peraturan tersebut, tahun 2012 merupakan batas akhir bagi daerah untuk merevisi semua Perda terkait pajak dan retribusi daerah. Perda ini telah menyesuaikan acuan yuridisnya dengan peraturan terbaru. Namun, aturan sektoral khusus untuk IMB belum dicantumkan dalam perda ini, seperti Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung dan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002. Selain itu, dalam hal kelengkapan muatan materi perda, ketentuan masa berlaku retribusi tidak dicantumkan, padahal ketentuan masa berlaku retribusi penting untuk dicantumkan karena hal ini dapat memberikan kepastian waktu bagi pelaku usaha atau orang pribadi dalam mengurus kembali IMB tersebut. Dalam UU No.28 Tahun 2009 pasal 156 ayat (4) juga menyebutkan bahwa Perda retribusi dapat mengatur ketentuan mengenai masa retribusi. Belum ada kejelasan standar waktu, biaya dan prosedur dalam perda Dari aspek substansi, konsistensi tujuan dengan isi, subjek dan objek retribusi yang diatur dalam perda ini sudah jelas. Yang menjadi permasalahan belum ada kejelasan standar waktu, biaya dan prosedur dalam pemungutan retribusi. Dalam perda sebaiknya perlu ada standar waktu, biaya dan prosedur pemungutan, meskipun dalam pasal 31 ayat (4) telah dijelaskan bahwa tatacara pembayaran retribusi ditetapkan melalui Peraturan Bupati. Hal tersebut dapat memberikan kejelasan dan kepastian bagi para pengurus izin sehingga mencegah dampak ekonomi negatif yang ditimbulkan dari tidak jelasnya waktu, biaya dan prosedur pengurusan izin.
Formula perhitungan retribusi baru lebih rumit, namun retribusi yang dibayarkan lebih murah Formula perhitungan retribusi berdasarkan ketentuan yang baru ini lebih rumit daripada sebelumnya. Formula perhitungan berdasarkan Perda No.31 Tahun 2006 tentang Retribusi IMB hanya berdasarkan empat klasifikasi, yakni luas bangunan, tingkat bangunan, guna bangunan dan jenis konstruksi. Sementara formula baru, perhitungan retribusi IMB berdasarkan pada luas bangunan, kegiatan, fungsi waktu penggunaan bangunan gedung dan beberapa klasifikasi lainnya. Kegiatan bangunan gedung dibagi menjadi pembangunan baru atau renovasi (sedang atau berat). Fungsi gedung dalam lampiran perda ini dikelompokan menjadi fungsi hunian, keagamaan, usaha, sosial dan budaya, khusus, ganda atau campuran. Waktu penggunaan dikelompokkan menjadi sementara (jangka pendek
10
dan menengah) dan tetap (permanen). Sementara klasifikasi lainnya adalah tingkat kompleksitas, permanensi, risiko kebakaran, zona gempa, kepadatan, ketinggian dan kepemilikan bangunan. Jika diasumsikan seorang individu ingin mendirikan bangunan rumah hunian dengan luas 40 m2, maka perhitungan retribusinya menurut Perda No. 4 Tahun 2012 adalah sebagai berikut: Retribusi bangunan gedung baru = Luas bangunan x Indekst x 1,00 x Harga satuan retribusi = 40 x (1 x 0,5 x 1 x 1 x 1 x 1 x 1 x 0,7 x 0,7) x 1,00 x 10.000 = Rp 98.000 ,Namun, jika dihitung berdasarkan perda retribusi IMB yang sebelumnya, yakni Perda Belitung Timur Nomor 31 Tahun 2006 tentang Retribusi IMB, maka tarif retribusinya adalah sebagai berikut: Retribusi bangunan gedung baru = Koefisien luas bangunan x Tingkat bangunan x Guna Bangunan x jenis konstruksi x Rp 250.000 = 0,5 x 1 x 1 x 1,5 x Rp 250.000 = Rp 187.500 ,Walaupun formulasi perhitungan retribusi (Perda No.4 Tahun 2012) lebih rumit dari formulasi sebelumnya (Perda No.31 Tahun 2006), namun dengan simulasi perhitungan biaya di atas, Pemkab telah melakukan perbaikan dalam hal pengurangan biaya perizinan IMB di Belitung Timur. Terlepas dari hasil perhitungan tersebut, yang menarik adalah adanya klasifikasi resiko gempa yang dimasukkan kedalam formala perhitungan, padahal Kepulauan Bangka Belitung bukanlah daerah rawan gempa karena jauh dari lempeng benua. Namun Pemda memasukkan zona gempa sebagai bagian dari formula perhitungan. Tentunya hal ini terasa kurang tepat, dan perlu untuk ditinjau kembali. Rekomendasi Berdasarkan permasalahan yang telah dijelaskan di atas, perda ini direkomendasikan untuk direvisi dalam beberapa hal yaitu acuan yuridis, masa retribusi dan standar waktu, biaya serta prosedur. Sebaiknya perlu ditambahkan peraturan sektoral sebagai acuan yuridis dalam perda ini, khususnya yang terkait dengan IMB yakni Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung dan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002. Masa retribusi IMB juga perlu dimasukkan dalam isi perda mengingat hal ini dapat memberikan kepastian bagi orang pribadi atau pelaku usaha waktu untuk mengurus kembali IMB tersebut. Terakhir, walaupun tatacara kepengurusan izin ini diatur dalam peraturan bupati, namun perlu ada standar waktu, biaya dan prosesur kepengurusan izin dalam perda.
***
Dari Daerah
Kakao Sikka: Menunggu Komitmen Pemda untuk Bangkit dari Keterpurukan Oleh: Sri Mulyati Peneliti KPPOD
K
akao merupakan salah satu komoditas unggulan penting Indonesia yang menempatkan Indonesia pada posisi No.3 dunia setelah Pantai Gading dan Ghana (FAO, 2008). Sebagai komoditas unggulan, kakao berperan penting dalam meningkatkan devisa Negara, sumber pendapatan petani, penciptaan lapangan kerja petani, mendorong agribisnis dan agroindustri serta pengembangan wilayah.
sumber: bisnisukm.com
Sentra kakao Indonesia tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia termasuk Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), sebuah propinsi di wilayah Indonesia bagian timur yang dikenal sebagai daerah yang kering. Namun, beberapa wilayah NTT ternyata dapat ditumbuhi tanaman kakao yang biasanya berada di daerah pegunungan tinggi dengan iklim basah. Salah satu diantaranya yang terbesar sebagai sentra kakao adalah Kabupaten Sikka Kakao sebagai sandaran hidup petani dan penopang perekonomian daerah Sikka, merupakan salah satu kabupaten di NTT, yang terletak di Pulau Flores. Kakao (Theobroma cacao) yang artinya Santapan Dewata, telah dikenal masyarakat Sikka sejak tahun 1960-an, yang diperkenalkan oleh seorang Pastor dari Gereja Katolik. Awal dekade 1970 pusat produksi kakao praktis hanya di Kec. Kewapante dan Kec. Bola. Saat ini kakao sudah menjadi tanaman perkebunan utama hampir di semua kecamatan, kecuali Kec. Alok, Alok Barat, dan Magepanda. Kakao merupakan komoditi penyumbang pendapatan utama bagi petani. Sebanyak 17 kecamatan dari 21 kecamatan menghasilkan kakao. Produksi kakao di Sikka sampai dengan tahun 2003, mencapai 14.333,2 ton dengan nilai nominal Rp.372.663.200.000,-
Namun mulai tahun 2004 produksi kakao terus menurun hingga 54% atau 7.739,93 ton atau setara kehilangan PDRB Rp.201,2 Milyar per tahun. Kehilangan PDRB sebesar itu mengakibatkan penurunan aktivitas multiplier effect roda perekonomian di Sikka. Penurunan konsumsi barang dan jasa, produksi menurun, serapan tenga kerja dan bahan baku menurun, distribusi pendapatan masyarakat dan akhirnya masyrakat terpuruk. Maklumah, karena komoditas unggulan di Kab. Sikka masih bertumpu pada hasil perkebunan yang sebagian besarnya adalah kakao. Sebagian besar perkebunan kakao dimiliki oleh petani dengan luas kepemilikan kebun ratarata 0.25 ha, dengan jumlah produksi per tahun ratarata 98 kg/petani (392 kg secara keseluruhan lahan).
Kakao di Sikka memiliki kualitas unggul tapi tak terkelola dengan baik. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh PT. Mars sebagai salah satu pedagang besar, menilai bahwa kualitas kakao di Sikka lebih baik (kadar lemak 54) dibandingkan Sulawesi (kadar lemak 48). Namun umur kakao yang sudah tua ditambah sistem pengelolaannya yang masih
11
Dari Daerah tradisional (bergantung pada alam), dan kurangnya perhatian Pemda baik dalam hal pembudidayaan tanaman kakao maupun pengolahan pasca panen menyebabkan produksi kakao di Kab. Sikka menurun dan masih di bawah rata-rata nasional (sekitar 1500-200kg per ha). Dengan makin menurunnya produktivitas kakao, pendapatan petani berkurang sehingga minat masyarakat terhadap tanaman kakao mulai berkurang. Sedangkan dari sisi pelaku usaha, penurunan kualitas dan jumlah komoditas menjadi salah satu alasan mereka untuk menarik usahanya dan beralih ke daerah lain yang menurutnya lebih memenuhi standar kebutuhan pengusaha.
Penyumbang PDRB tertinggi tapi tidak didukung regulasi. Tiga penyebab utama penurunan produksi kakao di Sikka adalah karena umur kakao sudah tua, sebagian besar sudah lebih dari 30 – 45 tahun. Kedua, karna ledakan organisme pengganggu tanaman (OPT), karena pola tanam yang masih tradisional. Ketiga, tidak ada program yang pemerintah daerah yang khusus untuk pengelolaan usaha kakao di daerah. Ketiaadaan kerangka kebijakan pengembangan kakao yang terintegrasi dari hulu ke hilir menyebabkan kakao di Kab. Sikka tidak berkembang secara optimal. Kurangnya pengetahuan petani akan budi daya, pengolahan pasca panen, daya tawar petani yang masih rendah, dan kurangnya pengetahuan petani akan akses pasar menjadi salah satu gambaran dari kondisi lemahnya peran Pemda terkait. Hal tersebut juga menunjukkan pentingnya dukungan Pemda melalui instrumen kebijakan/ regulasi daerah dalam mengembangkan sektor unggulan di daerahnya sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut.
Masih mengandalkan program bantuan dari Pusat, Provinsi, serta Program Kerja LSM Sebagai daerah otonom, Kab. Sikka sesungguhnya memiliki kewenangan besar untuk mengembangkan daerahnya berdasarkan kekhususan dan potensi yang dimiliki masingmasing daerah. Oleh karenanya Pemda yang sejatinya lebih mengetahui kondisi daerahnya diharapkan memiliki program pembangunan yang jelas, kreatif dan inovatif. Namun dalam kenyataannya, Pemda Sikka hanya bertumpu/bergantung pada program/
12
kebijakan pusat, tanpa memiliki program kebijakan secara berkelanjutan dan fokus pada komoditi unggulan daerah dengan tidak meninggalkan sektor lainnya. Mayoritas program pengembangan kakao di Sikka diinisiasi, oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). terdapat 6 LSM di Sikka yang memiliki fokus perhatian pada pendampingan dan pemberdayaan petani kakao. Problemnya wilayah kerja LSM masih terbatas, dan terbatas pada rencana program. Pengembangan programprogram di bidang ekonomi belum berorientasi pada upaya untuk keluar dari garis kemiskinan. Ketiadaan programpengembangan sektor kakao, oleh Pemda Kab. Sikka sendiri selain program yang dicanangkan oleh pusat (program gernas kakao) sehinggga beberapa program yang dijalankan tidak tepat sasaran dan tidak menghasilkan output yang maksimal. Dalam merespon program dari pusat, Pemda seyogyanya tidak hanya berperan hanya sebagai pelaksana namun juga dapat mensinergikan program asli daerah tersebut dan membangun kemitraan dengan dunia usaha sehingga program pembangunan tersebut dapat dilaksanakan secara berkelanjutan dan dirasakan manfaatnya secara lebih merata. Kurang koordinasi antar SKPD terkait dalam pelaksanaan program pemberdayaan kakao. Dalam menyambut program-program pemberdayaan kakao yang berasal dari provinsi, maupun dari pusat, terlihat kurangnya koordinasi antar SKPD. Hal ini memperlihatkan tingginya Ego Sektoral yang terjadi dalam pemerintahan di Kab. Sikka. Tidak ada koordinasi antar SKPD, sehingga setiap SKPD bisa saja menjalankan program/kegiatan yang bukan menjadi fungsinya. Perbedaan persepsi mengenai Tupoksi antar SKPD seperti Disbuntan dengan BKP2 terkait dengan kewenangan terhadap Petugas Penyuluh Lapangan (PPL), adalah salah satu contoh kegagalan mereka dalam berkoordinasi, yang turut mempengaruhi pengembangan usaha kakao di daerah. Akibat lainnya adalah kurang tepatnya sasaran program dan kurang optimal. Hal ini terlihat program pemberdayaan petani tidak berjalan secara maksimal. Dalam kasus yang lebih luas, kurangnya koordinasi antar SKPD terkait akan menimbulkan ketidakpastian dalam pelaksanaan kebijakan tersebut sehingga prosesnya menjadi berbelit belit, tidak jelas, yang akhirnya berujung pada penambahan
Dari Daerah biaya dan waktu yang harus dikeluarkan oleh pelaku usaha. Rendahnya komintmen pemda dalam upaya pengembangan kakao di Sikka juga terlihat dari tidak ada anggaran pemerintah daerah untuk pengembangan kakao. Anggaran yang ada selalu bersumber dari pemerintah pusat (melalui Gernas Kakao), dan provinsi (program Anggur Mas).
Modal sosial sebagai kekuatan untuk bertahan bagi petani kakao di Sikka Tampaknya, selama ini Petani Kakao di Sikka masih dibarkan berjalan sendiri. Mengelola kebun dan menghadapi masalah produktivitas mereka, hanya dengan bantuan LSM dan semangat gotong rayong meraka. Untungnya diantara mereka masih ada nilai budaya kebersamaan “Sakoseng” yakni saling bergotong royong bergantian dalam mengelola kebun. Biasanya mereka lakukan ketika membuka kebun atau mulai bercocok tanam. Disamping itu ada pula “Ula babag” yang merupakan tradisi untuk musyarawah untuk mufakat. Namun sayang menurut beberapa pemuka masyarkat budaya tersebut saat ini sudah mulai berkurang. Gereja sebagai institusi moral, mencoba untuk membangkitkan semangat “sakoseng” dan “ula babag” dalam rangka mengangkat petani dari masalah yang mereka hadapi. Hal lain yang membuat para petani masih bertahan hingga saat ini adalalah ikatan dengan tanah masih ada. Sebagian besar penduduk masih mau bertani, meski usia mereka sudah semakin tua. Di kalangan generasi muda, semakin sedikit yang berprofesi sebagai petani. Mereka mulai meninggalkan sektor pertanian dan beralih ke sektor kegiatan ekonomi lainnya di kota.
Koperasi sebagai institusi ekonomi masa depan Fenomena yang menarik adalah tumbuhnya koperasi sebagai institusi ekonomi yang menolong petani kakao di Sikka. Hal ini mungkin juga disebabkan adanya pergesrean konsep pengembangan ekonomi dari ekonomi kapitalis ke ekonomi kerakyatan yang ditandai oleh adanya usaha perkoperasian, credit union, usaha bersama simpan-pinjam, arisan. Kelompok tani, dan lain yang lahir dari suatu kesadaran baru tetang pentingnya usaha swadaya dari bawah.
Namun yang menjadi persoalan adalah, bahwa di tingkat petani tidak memiliki rencana hidup sepanjang tahun. Ini memperlihatkan kemerosotan modal sosial secara kolektif. Di Sikka hinga saat ini belum ada Koperasi Produksi, yang ada hanya simpan pinjam saja. Hal ini terjadi karena trauma petani dengan KUD di masa lampau. Koperasi tidak dipercaya karena jalur pemasarannya tidak jelas dan tidak transparan. Sementara petani belum terorganisir sehingga tidak bisa mengintervensi harga. Kesadaran petani/anggota kelompok untuk melakukan pemasaran/penjualan bersama masih kurang. Kelompok Tani (poktan) dan Gapoktan terbentuk untuk kepentingan proyek instansi tertentu pemerintah (kehutanan, pertanian, perkebunan, dll.) hanya untuk penyaluran dana sesaat, bukan untuk usaha pemberdayaan ekonomi berkelanjutan. Sementara pemerintah belum hadir dengan kerangka regulasi. Belum ada regulasi dan program pemerintah terkait pemasaran dan kelembagaan ekonomi petani.
Menunggu peran Pemda untuk menolong petani kakao Sikka Pemda melalui instrumen kebijakan daerahnya juga didorong untuk menciptakan struktur kelembagaan (birokrasi) yang kuat. Sebagai aktor penting yang akan mengimplementasikan program-program yang telah dibuat, penguatan struktur kelembagaan penting diupayakan guna mendorong pelaksanaan kebijakan yang baik, terstruktur, tepat sasaran dan dapat berjalan secara berkelanjutan. Koordinasi yang baik antar SKPD terkait akan dapat mengarahkan pencapaian program yang tepat sasaran secara efektif dan efisien. Keberhasilan pembangunan daerah sangat bergantung pada komitmen utuh Pemerintah Daerah dalam membuat program kebijakan yang terintegrasi baik dari sisi kualitas kebijakan (program), maupun kualitas pelaksana program itu sendiri sehinga tercipta sinergi yang baik antar keduanya untuk dapat mendorong terlaksananya program pembangunan daerah secara merata dan berkelanjutan. Sinergi yang baik antar keduanya akan dapat mendorong terbentuknya iklim usaha kondusif yang menjamin adanya kemudahan berusaha, kepastian hukum serta memberikan perlindungan hukum bagi dunia usaha dalam berinvestasi di daerah terkait. ***
13
Opini
Menyusun dan Menilai Perda Ramah Investasi Oleh: Boedi Rheza Peneliti KPPOD
K
etika permasalahan dalam masyarakat terjadi, disinilah peran pemerintah dijalankan sebagai regulator. Pemecahan permasalahan bisa melalui kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah. Untuk membentuk atau menciptakan suatu kebijakan yang dibutuhkan dalam pemecahan suatu masalah di masyarakat tentunya diperlukan metode-metode agar kebijakan tersebut tepat sasaran dan efektif dalam mengatasi masalah yang terjadi.
Penciptaan iklim investasi yang kondusif, untuk menarik investor akan bersedia menanamkan modal di daerah, merupakan suatu permasalahan yang dihadapi setiap Pemda. Ada beberapa prasyarat agar iklim investasi yang kondusif dapat tercipta, salah satunya melalui kepastian hukum dan kebijakan (perda) ramah investasi. Untuk menuju kearah pembentukan peraturan yang ramah investasi tersebut, maka pemerintah di suatu daerah perlu memperhatikan bagaimana sebuah kerangka dari peraturan yang ramah investasi. Kerangka kebijakan Ramah Investasi Kebijakan ramah investasi adalah kebijakan yang baik secara langsung maupun tidak langsung menjamin iklim investasi yang kondusif di daerah. Jenis-jenis peraturan daerah yang berdampak langsung adalah perda-perda seperti perizinan, pungutan yang memang bersentuhan langsung dengan investor. Sedangkan jenis peraturan daerah yang tidak bersentuhan langsung dengan pelaku usaha namun berdampak bagi dunia usaha seperti perda perencanaan, perda APBD, perda pungutan dan perda SOTK. Dua kriteria kebijakan daerah yang ramah investasi adalah kriteria umum dan kriteria khusus. Kriteria umum merupakan kriteria-kriteria yang bersifat umum yang terdapat di dalam sebuah perda investasi antara lain: Kesesuaian dengan kebutuhan, penulisan dan substansi yang baik, keadilan, keterbukaan, memiliki insentif bagi dunia usaha, efisiensi, persaingan yang sehat, manajemen konflik yang baik dan kelembagaan yang tepat. Sementara kriteria khusus sebuah perda yang berhubungan dengan ekonomi secara umum adalah kriteria-kriteria yang hanya terdapat atau spesifik di dalam perda terkait. Salah satu contohnya adalah perda RTRW, perda tersebut harus memperhatikan beberapa aspek yaitu potensi daerah, daya dukung lingkungan, maupun tingkat eksosbud masyarakat, serta harus mengacu pada UU No. 26 Tahun 2007. harus
14
Dalam pelaksanaan perda ramah investasi memperhatikan beberapa aspek seperti
efektifitas perda. Suatu perda harus tepat sasaran dalam menyelesaikan masalah. Sealain itu juga harus memperhatikan kesesuaian pelaksanaan di lapangan, yang ditunjukkan oleh konsistensi dan pelaksanaan yang konsekuen dilapangan. Dan terakhir adalah tingkat kepatuhan masyarakat, baik pelaku usaha maupun masyarakat umum, sehingga dapat mengatur masyarakat secara keseluruhan sehingga dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan pelanggaran yang terjadi. Dampak dari penerapan perda ramah investasi adalah peningkatan investasi dan diikuti oleh peningkatan pertumbuhan. Dengan terjadinya peningkatan investasi, maka diikuti juga dengan terciptanya lapangan pekerjaan dan dapat berdampak pada turunnya angka pengangguran serta penurunan tingkat kemiskinan. Dilain sisi, perda ramah investasi, juga akan menurunkan tingkat angka permasalahan sengketa terutama dalam dunia usaha karena adanya kejelasan aturan di dalam perda ramah investasi. Regulatory Review KPPOD Dengan memperhatikan kriteria umum maupun khusus di dalam kerangka perda ramah investasi, KPPOD merumuskan suatu metode untuk menganalisis sebuah kebijakan atau peraturan. Metode ini dinamakan regulatory review dan mengandung 14 kriteria yang diklasifikasikan kedalam 3 aspek. Dengan menggunakan metode ini, setidaknya 2500 perda telah dianalisis oleh KPPOD dan dapat diketahui tingkat kebermasalahan yang terjadi. Tingkat kebermasalahan suatu perda diklasifikasikan menjadi tiga jenis yaitu: perda yang tidak memiliki tingkat kebermasalahan dan memiliki inovasi maupun insentif maka dapat dikatakan perda tersebut supportif bagi dunia usaha. Klasifikasi ke dua adalah perda yang tingkat kebermasalahannya dapat diterima dan kebermasalahannya tidak menyentuh masalah yang substantif. Sementara perda dengan kebermasalahan tinggi, dapat diklasifikasikan sebagai perda yang distortif. Perda yang distortif ini memiliki pelanggaran prinsip dan substantif, sehingga dapat direkomendasikan untuk di revisi di beberapa pasal
Opini 14 Kriteria Regulatory Review
bermasalah atau bahkan dibatalkan.
konsultasi publik yang melibatkan para stakeholder. Terdapat tujuh tahapan di dalam RIA, yaitu
Dalam Studi Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) 2011, dari keseluruhan perda-perda yang (1) fase perumusan masalah untuk merumuskan dianalisis dengan menggunakan metode regulatory masalah yang akan dipecahkan melalui suatu review, kebermasalahan terbesar masih berkisar pada kebijakan; kemutakhiran acuan yuridis, kelengkapan yuridis, kejelasan prosedur waktu dan biaya maupun potensi (2) fase identifikasi yang dilakukan untuk terjadinya dampak ekonomi negatif. Kebermasalahan mengidentifikasi sasaran atau tujuan yang akan pada kemutakhiran acuan yuridis terjadi karena dicapai oleh pemerintah melalui penerapan kebijakan; perda-perda tidak menggunakan peraturan (3) fase identifikasi alternatif penyelesaian masalah, perundang-undangan terbaru di tingkat yang lebih untuk mencapai tujuan/sasaran dan memecahkan tinggi. Kebermasalahan pada kelengkapan yuridis masalah di atas, analis kebijakan menilai dikarenakan perda-perda tidak mencantumkan pengembangan alternatif tindakan yang dapat secara lengkap muatan-muatan yang harus termuat digunakan oleh pemerintah sebelum menerapkan di dalam perda. Sedangkan ketidak jelasan prosedur, kebijakan; standar waktu dan biaya, dikarenakan perda tidak menyebutkan secara (4) fase analisis biaya-manfaat. Untuk tegas dan jelas mengenai Dalam pelaksanaan setiap opsi atau alternatif tindakan prosedur ataupun birokrasi atas suatu kebijakan dilakukan analisa sebuah layanan yang perda ramah investasi (kuantitatif atau pun kualitatif) atas dilakukan pemda, seperti harus memperhatikan keuntungan-kerugian dilihat dari sudut perizinan contohnya. Dengan pandang pemerintah, masyarakat, pelaku ketidakjelasan pada prosedur, beberapa aspek seperti usaha, dan ekonomi secara keseluruhan; efektifitas perda ataupun standar biaya dan waktu dapat memperbesar (5) fase konsultasi publik. Dari perspektif penyalah gunaan oleh aparat good regulatory governance yang menjadi misi kuat dan pada akhirnya berpotensi mendorong terjadinya dalam instrumen RIA, perumusan kebijakan haruslah ekonomi biaya tinggi yang membebani pelaku usaha terus-menerus dikomunikasikan kepada para atau masyarakat. pemangku kepentingan terkait, termasuk pelaksana yang menjalankan kebijakan di lapangan. Konsultasi Regulatory Impact Assessment (RIA) ini harus dilakukan dari mulai tahap awal perumusan kebijakan sampai dengan tahap implementasi dan Agar suatu kebijakan yang diterapkan tepat monitoring pelaksanaan kebijakan; sasaran dan efisien, harus disusun dengan suatu metode yang ketat. Salah satu metode penyusunan (6) fase penentuan opsi terbaik. Setelah menimbang sebuah peraturan adalah Regulatory Impact berbagai kemungkinan tindakan, dan setelah Assessment (RIA). RIA memperbandingkan manfaat membandingkan biaya-manfaat dari berbagai dan biaya dari sebuah peraturan atau kebijakan yang opsi tersebut, selanjutnya adalah memilih opsi akan diterapkan maupun sudah diterapkan. Selain tindakan yang terbaik untuk mencapai sasaran dan memperbandingkan manfaat dan biaya, komponen menyelesaikan masalah yang telah dirumuskan utama di dalam melakukan RIA adalah dilakukannya sebelumnya; dan
15
Opini (7) terakhir adalah fase perumusan strategi implementasi, mencakup administrasi kebijakan, sosialisasi kebijakan, dan monitoring pelaksanaan. Perumusan strategi implementasi ini harus memperhatikan beberapa faktor seperti mekanisme penerapan dari regulasi, kemungkinan ketidak patuhan atas diterapkannya regulasi. Termasuk juga biaya yang harus ditanggung oleh masing-masing stakeholder dan efektivitas dari setiap alternatif mekanisme. Pengalaman penerapan RIA di Indonesia Di Indonesia, inisiatif penerapan RIA di dalam proses pembentukan suatu peraturan daerah telah dilakukan di beberapa daerah. Kota Gorontalo misalnya, telah membentuk tim penasihat RIA yang berada di bawah BAPPEDA dan melakukan revisi serta pencabutan berbagai perda melalui RIA. Kemudian juga dua contoh daerah berikut bahkan telah melembagakan RIA baik melalui kebijakan maupun pembentukan institusi. Kota Pare-Pare telah melembagakan metode RIA di dalam RPJMD, dan juga telah mewajibkan pemakaian metode RIA dalam merumuskan suatu kebijakan, sehingga nanti ranperda yang diusulkan harus memakai metode RIA untuk perumusannya. Di Sragen, pelembagaan RIA dilakukan dengan membentuk sebuah tim RIA yang bertugas untuk merumuskan setiap ranperda maupun
mengkaji setiap kebijakan dengan menggunakan metode RIA. Selain itu, Pemda Sragen juga mencabut atau merevisi perda melalui RIA. Dampak dari diterapkannya RIA dan pembentukan tim RIA tersebut adalah tingkat pendaftaran usaha meningkat, karena prosedur perizinan menjadi lebih efisien dan pada akhirnya mendorong peningkatan penyerapan tenaga kerja.
Penutup Pada akhirnya, tujuan untuk membentuk iklim investasi yang kondusif dapat dicapai salah satunya melalui penerapan peraturan yang ramah investasi di daerah. Iklim investasi yang kondusif tentunya dapat menarik investor masuk kedalam suatu daerah dan dapat mendorong terciptanya lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Dengan terciptanya lapangan pekerjaan, dampak tidak langsung yang terjadi adalah penurunan pengangguran dan tingkat kemiskinan. Beberapa metode seperti RIA dan Regulatory Review dapat digunakan oleh Pemda dalam merumuskan kebijakan ataupun peraturan yang ramah investasi. Sehingga diharapkan, kebijakan yang diterapkan dapat tepat sasaran, efisien dan efektif di dalam pelaksanaannya. Selain itu, juga dapat meminimalisir potensi konflik karena adanya kejelasan aturan yang terkandung didalam perda ramah investasi. ***
16
Laporan Diskusi Publik
“Lokalatih Penguatan Kapasitas Pemda dalam Pembuatan Perda” Oleh: Illinia Ayudhia Riyadi Peneliti KPPOD
I
klim investasi yang kondusif merupakan salah satu faktor penarik investasi. Dengan penciptaan iklim investasi yang kondusif, investor akan merasa nyaman dalam berusaha karena terdapat kepastian hukum dan jaminan keamanan terhadap modal yang mereka kelola, khususnya di level daerah. Salah satu aspek untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif adalah melalui Tata Kelola Ekonomi Daerah.Perda merupakan salah satu aspek penting TKED. Perda menjadi instrumen kebijakan bagi Pemda dalam mengatur kegiatan masyarakat, termasuk aktivitas usaha. Perda merupakan pintu masuk bagi perbaikan aspek-aspek lain sehingga dampak perbaikan perda secara langsung atau pun tak langsung mempengaruhi kualitas aspek lain seperti perizinan, biaya transaksi, interaksi pemda dengan pelaku usaha atau pun pengadaan infrastruktur.
KPPOD memandang perlu dilakukan peningkatan kapasitas Pemda dan DPRD dalam pembuatan perda: baik sisi legal-drafting maupun pemahaman substansi isu investasi. Melalui dukungan program SEADI, KPPOD akan merancang dan melaksanakan kegiatan pelatihan legislasi tersebut lewat sebuah forum lokalatih untuk peningkatan kapasitas Pemda dalam membuat perda dan kegiatan pendampingan kepada pemda kedepannya. Forum ini dihadiri oleh 30 peserta dari 15 daerah berbeda yang memiliki peringkat TKED dibawah rata-rata, khususnya perda. Diselenggarakan selama tiga hari mulai tanggal 29 hingga 31 Januari 2013. Bertempat di Hotel Cemara yang terletak kawasan Menteng, Jakarta Pusat
Forum ini mengundang sejumlah pembicara yang berasal dari berbagai kalangan, baik pemerintahan, akademisi maupun peneliti KPPOD. Acara pada hari pertama dibuka oleh kata sambutan yang disampaikan oleh Bapak Robert Endi Jaweng selaku Direktur Eksekutif KPPOD. Dalam pidato pengantarnya, beliau kembali menekankan pentingnya perda sebagai pintu masuk perbaikan iklim investasi di masing-masing daerah. Komitmen Pemda dalam mendukung penciptaan iklim investasi yang kondusif dapat dinilai dari keramahan Perda dalam pengaturan pengizinan, penetapan pungutan yang proporsional, dan lain-lain. Pada bagian akhir kata sambutan, beliau mengharapkan agar forum lokalatih ini menjadi suatu wahana belajar bersama dan bertukar pengalaman antar daerah terkait
17
Laporan Diskusi Publik penyusunan dan pelaksanaan perda. Acara forum lokalatih ini selanjutnya dibuka secara resmi oleh Bapak Soekarno selaku perwakilan dari SEADI. Dalam pidato pengantarnya, beliau menyampaikan bahwa kualitas pembangunan suatu daerah sangat dipengaruhi oleh kualitas kebijakan yang diterapkan di daerah itu sendiri. Kualitas kebijakan daerah tergantung pada kapasitas analisis kebijakan. Oleh karena itu, SEADI berkomitmen untuk membantu mengembangkan knowledge sector dalam rangka meningkatkan kapasitas analisis kebijakan daerah di Indonesia.
Forum lokalatih di hari pertama dilanjutkan dengan pemaparan yang disampaikan oleh Bapak Sigit Murwito selaku Deputi KPPOD. Presentasi berjudul “Tata Kelola Ekonomi Daerah dan Upaya Penciptaan Iklim Investasi yang Kondusif” ini menekankan perbaikan tata kelola sebagai proses untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif. Kualitas kesembilan indikator dalam TKED sangat dipengaruhi oleh kerangka regulasinya. Perda merupakan ruh yang menjiwai kesembilan indicator dalam TKED. Hal ini disebabkan karena Perda merupakan instrumen Pemda dalam mengatur kegiatan masyarakat. Rangkaian acara di hari pertama forum lokalatih kemudian dilanjutkan dengan presentasi yang disampaikan oleh Bapak Jamiat Ames Calfat dari Kementerian Keuangan RI. Dalam kesempatan tersebut, beliau memaparkan penjelasan mengenai UU No. 28 Tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi. Undang-undang ini diberlakukan sebagai pengganti dari UU No. 34 Tahun 2000. Arah baru pajak dan retribusi ditekankan pada beberapa aspek yang diatur dalam UU No. 28 ini, yakni terkait upaya penguatan peran pendapatan asli daerah (PAD) sebagai refleksi kapasitas fiskal dalam APBD
18
melalui penambahan beberapa jenis pajak yang dapat dipungut oleh Pemda, perluasan objek pajak dalam rangka optimalisasi penerimaan pajak daerah, penerapan sistem pengawasan dengan mekanisme prenventif dan penerapan sanksi.
Pembekalan Kerangka Perencanaan dan Penyusunan Perda Acara forum lokalatih pada hari kedua difokuskan pada pemberian pembekalan kerangka perencanaan dan penyusunan Perda. Sesi pertama kegiatan tersebut disampaikan oleh Ibu Frida Rustiani yang memaparkan materi tentang RIA (Regulatory Impact Analysis) . RIA merupakan salah satu metode yang digunakan dalam upaya pendekatan reformasi regulasi, di samping metode flow of regulation dan guillotine approach. Metode RIA biasa digunakan dalam pembuatan regulasi baru. Dalam sesi ini, para peserta dikelompokkan dalam beberapa grup diskusi untuk mempraktekkan penggunaan metode RIA yang terdiri dari beberapa tahap, yakni tahap perumusan masalah, identifikasi masalah, alternative tindakan, analisis biaya dan manfaat, pemilihan tindakan serta strategi implementasi. Rangkaian acara di hari kedua dilanjutkan dengan sesi kedua yakni penyampaian materi pembekalan legal drafting perda yang disampaikan oleh Bapak Aditya Wijaya dari Kementerian Dalam Negeri RI. Pada kesempatan tersebut, beliau memberikan kerangka penyusunan perda secara praktis, meliputi aspek formal dan materiil terkait subtansi isi perda. Acara kemudian dilanjutkan dengan presentasi yang disampaikan akademisi Ronald Rofiandri yang memaparkan materi tentang penguatan kapasitas dalam merancang perda. Beliau menyatakan bahwa perda sebagai penjabaran lebih lanjutdari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi merupakan sebuah produk yang tidak steril, melainkan rentan terhadap adanya intervensi dari DPRD sebagai suatu kekuatan politik. Oleh karena itu, dalam penyusunan suatu perda, perlu dikuasai sisi proses yang meliputi program dan preosedur serta substansinya. Sesi ketiga acara di hari kedua selanjutnya dilanjutkan dengan presentasi yang disampaikan oleh Bapak Boedi Reza selaku peneliti KPPOD. Dalam kesempatan tersebut, beliau memaparkan tata cara penilaian perda ramah investasi
Laporan Diskusi Publik berdasarkan 14 kriteria KPPOD yang secara garis besar dikelompokkan ke dalam tiga kriteria, yakni kriteria yuridis, substansi dan prinsip. Di akhir presentasi, para peserta dibagi dalam beberapa kelompok untuk melakukan diskusi analisis perda dengan menggunakan 14 kriteria KPPOD yang telah dipaparkan sebelumnya. Acara di sesi ketiga tersebut kemudian ditutup dengan presentasi dari masingmasing kelompok untuk menyampaikan hasil diskusinya.
Tindak Lanjut Penguatan Kapasitas Pemda Tanggal 31 Januari 2013 merupakan akhir dari rangkaian acara forum lokalatih yang terselenggara selama tiga hari ini. Acara ditutup dengan penyampaian presentasi mengenai penguatan kapasitas Pemda yang disampaikan oleh Bapak Robert Endi Jaweng selaku Direktur Eksekutif KPPOD. Dalam presentasi tersebut, beliau memaparkan rangkuman kegiatan-kegiatan lokalatih dan evaluasi forum tersebut. Selain itu, beliau menyatakan pentingnya peningkatan kapasitas Pemda dalam pembuatan perda yang meliputi kapasitas teknokrasi, teknik draft, sosial dan politik. Hal ini disebabkan karena Perda merupakan produk hasil interaksi antara DPRD dengan Pemerintah.
Di satu sisi, DPRD memiliki kepentingan dalam menjalankan fungsi legislasi, kuasa administrasi dan memiliki kepentingan dari sisi masyarakat. Di sisi lain, pemerintah memiliki kepentingan birokrasi. Dalam pidato penutupnya, beliau menyampaikan harapan agar berakhirnya forum lokalatih ini merupakan titik awal perbaikan penyusunan perda di masing-masing daerah. Pada masa mendatang, diharapkan adanya peningkatan peran Pemerintah Pusat untuk memfasilitasi kapasitas dan legislasi secara merata. Dari sisi substansi, secara nasional perlu diarusutamakan upaya reformasi regulasi untuk simplifikasi jenis dan jumlah perizinan. Pemda juga diharapkan dapat mengembangkan alat analisis RIA dan 14 kriteria KPPOD dalam keperluan analisis maupun penyusunan Perda. ***
19
Agenda KPPOD
Kegiatan KPPOD Terkini
D
engan menggunakan pendekatan multi-perspektif (ekonomi, politik, hukum dan administrasi publik), KPPOD melakukan studi, advokasi, dan asistensi teknis bagi peningkatan mutu tata kelola ekonomi dan praktik penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis di daerah. Saat ini, KPPOD bekerjasama dengan lembaga beberapa donor sedang melaksanakan beberapa kegiatan sebagai berikut 1. Penguatan Kapasitas dan Ekspose Publik KPPOD dalam Meningkatkan Advokasi Perbaikan Tata Kelola Ekonomi di Indonesia
Program ini merupkan kerjasama KPPOD dengan SEADI (Support for Economic Analysis Development in Indonesia)USAID. Kegiatan berlangsung dari bulan Juni 2012 hingga Juni 2013 ini terdiri dari beberapa kegiatan utama, yakni Penelitian Tematik dari untuk memperdalam temuan hasil penelitian TKED, penguatan kapasitas pemerintah daerah melalui pelatihan penyusunan perda, forum bisnis, serta publikasi. Studi Tematik: Empat topik studi tematik merupakan pendalaman dari studi Tata Kelola Ekonomi Daerah yang telah dilakukan KPPOD sebelumnya. Hingga saat ini, ada dua topik yang telah selesai dikerjakan oleh KPPOD. Topik pertama terkait dengan hubungan antara korupsi, belanja pemerintah daerah di sektor infrastruktur dan kualitas infrastruktur daerah. Topik kedua terkait peraturan daerah khusunya di sektor perikanan tangkap. Topik ketiga (dalam proses finalisasi) terkait dengan isu buruh. Kegiatan lokalatih untuk Peningkatan Kapasitas Pemda dalam Pembuatan Peraturan Daerah: Kegiatan ini telah dilaksanakan pada 29-31 Desember 2013 di Hotel Grand Cemara, Jakarta Pusat. Lokalatih tersebut mengangkat tema ‘Penguatan Kapasitas Pemda dan DPRD dalam Pembuatan Perda’ dalam pelatihan tersebut dihadiri oleh beberapa perwakilan Pemerintah daerah, yaitu dari Bangka, Pontianak, Majene, Sukabumi, Kolaka, Tanggerang selatan, Lampung Selatan, Padang Pariaman, Batang, Banjar dan Jambi. Kegiatan yang belum terselenggara adalah Bisnis Forum: Bisnis Forum merupakan kegiatan yang mempertemukan antara beberapa Pemda dengan Investor potensial. Pemerintah daerah diberi kesempatan untuk mempresentasikan potensi investasi daerahnya di hadapan forum bisnis. Kegiatan ini direncakanan dilaksanakan pada akhir bulan Juni 2013. 2. Penguatan Iklim Investasi bagi Peningkatan Rantai Nilai Usaha Kakao Program ini mencoba mengangkat komoditas kakao dengan alasan kakao sebagai komoditas utama ekspor Indonesia sekaligus komoditas yang menjadi program pemerintah pusat (Kementerian Pertanian) melalui Gernas Pro Kakao. Program dilaksanakan di dua daerah, Kabupaten Sikka Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Kabupaten Majene Provinsi Sulawesi Barat. Pada bulan November 2012, telah dilakukan kick off meeting dan penelitian awal (need assessment) di dua daerah tersebut. Selanjutnya, pada tanggal 5 Februari 2013 telah diadakan Focus Group Discussion (FGD) di Sikka dan tanggal 14 februari 2013 di Majene, yang dihadiri oleh perwakilan petani, Dinas kehutanan dan perkebunan, pengepul besar, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Akademisi, Perusahaan Agro food, dan Unit Pengolahan Hasil dan seluruh stakeholder terkait. 3. Survei Pembobotan Prosedur (Area, Bidang, dan Indikator) pembentuk Indeks Good Governence Provinsi di Indonesia 2013. Program ini merupakan kerjasama KPPOD dengan Kemitraan. Tujuan kegiatan ini adalah merumuskan pembobotan prosedur pembentuk Indeks Good Governence Provinsi di Indonesia. Dalam program ini KPPOD melakukan wawancara kepada pihak pemerintah pusat,, Ombudsman, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Akademisi, juga Pemerintah daerah- yang diwakilkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Jawa Barat, Bappeda Banten, Lembaga Swadaya Masyarakat, juga media massa dan pelaku usaha. 4. Penyusunan Instrumen needs assesment guna mendorong penerapan prinsip integritas dalam penyelenggaraan proses barang/jasa. Kegiatan ini ditujukan untuk merumuskan prinsip-prinsip integritas yang sesuai dengan kondisi di Indonesia dan mengembangkan model insentif apa yang dapat mendorong pelaku usaha untuk menginternalisasi prinsip-prinsi integritas tersebut dalam penyelenggaraan, pengadaan barang/jasa. Pelaksanaan needs assesment ini dilakukan melalui FGD di 5 Propinsi yaitu DIY, Jawa Barat, Jawa Timur,Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan.
20
Seputar Otonomi
Ikhtisar Otonomi Januari-Februari 2013 Pemilu Kepala Daerah Tahun 2013 Tahun 2013 akan gaduh dengan pilkada, selain persiapan pemilu 2014. Rapat Kerja Komisi II dengan Mendagri Gamawan Fauzi, salah satunya menyepakati, pelaksanaan pilkada 43 daerah (daerah yang masa jabatan kepala daerah-wakil kepala daerah berakhir tahun 2014) diajukan pada tahun 2013. Ketua Komisi II DPR Agun Gunanjar meminta Presiden membuat peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) sebagai payung hukum percepatan pelaksanaan pilkada tersebut. Bila perppu percepatan ini disetujui, maka dipastikan tahun ini akan ada 152 pilkada. Sebanyak 103 pilkada sudah dijadwalkan waktunya yang terdiri dari 12 provinsi, 67 kabupaten, dan 24 kota. Jika pilkada diundur tahun 2015, pemerintah harus menunjuk banyak penjabat sementara kepala daerah.
Urgensi Penguatan Provinsi Presiden meminta kepala daerah, khususnya gubernur, tak ragu bertindak mengatasi segala gangguan keamanan di daerahnya. Pelaksanaan atas seruan itu pun mendapat dukungan basis legal berupa Inpres No.2 Tahun 2013, bahkan sebelumnya diatur melalui UU Penanganan Konflik Sosial yang menempatkan gubernur dalam posisi sentral. Harus diakui, sejak memulai otonomi 12 tahun lalu, efektivitas kebijakan desentralisasi terus dihantui lemahnya peran gubernur dalam mata rantai pemerintahan yang ada. Maka, ketimbang para perumus revisi UU No.32/2004 membuat blunder resentralisasi dengan menarik sebagian urusan kabupaten/ kota ke level provinsi, pendekatan penguatan provinsi mestinya difokuskan kepada penataan aspek wilayah administrasi dan kedudukan gubernur sebagai wakil pusat. Penguatan itu setidaknya menyentuh sisi desain administrasi dan politik sekaligus. Urusan provinsi bukan hanya menyangkut tugas pemerintahan umum: pembinaan, pengawasan, dan koordinasi. Sebagai kepanjangan pusat di daerah, gubernur mestinya diberikan kewenangan kebijakan yang kini dimiliki pusat dilimpahkan ke gubernur. Dengan kata lain, gubernur diberikan kewenangan otoritatif mengatur dan memutuskan; biasanya berupa surat keputusan. Tanpa otoritas “kata putus”, keberadaan provinsi hanya menjadi mata rantai tak perlu (birokratisasi) lantaran segalanya masih ditentukan di Jakarta.
Daerah Belum siap Menerapkan Perda PBB Sejak 1 Januari 2014 nanti, PBB sepenuhnya akan menjadi kewenangan Kabupaten/Kota. PBB, khususnya Perkotaan dan Pedesaan (PBB-P2), akan menjadi pajak baru di daerah: kebijakan, administrasi, status kepemilikan, pengelolaan hasil pungutan, dan segala business process terkait lainnya. Dalam proses peralihan kewenangan ini tidak disangsikan lagi adanya tata kelola kebijakan yang buruk atau manajemen darurat berulang terjadi. Daerah yang siap dari sisi kebijakan dan administrasi untuk memungut PBB hanya 1 Kota (Surabaya) pada tahun 2011 dan 17 Kabupaten/Kota tahun 2012. Pada 2013 ini diperkirakan 105 daerah akan menyusul, meski tak semua efektif sejak triwulan pertama. Sisanya, sebanyak 369 daerah sulit diperkirakan tahapannya, bahkan terdapat 175 diantaranya belum memiliki rencana kebijakan yang pasti dan 57 lagi baru pada fase inisiasi. Kalau perda saja belum dibuat, maka hampir pasti hingga deadline nanti mereka tak siap memungut lantaran penataan administrasi (pemungutan dan pengelolaan hasil) justru jauh lebih sulit lagi. Maka akan terjadi kekosongan hukum: Pusat tak lagi berwenang memungut, sementara daerah belum siap mengambil alih urusannya!. Melihat gambaran tersebut, semua pihak, terutama para perumus kebijakan di Pusat maupun Daerah perlu melihat masalahnya dan mencari solusi. Alasan yang sering mengemuka adalah kurangnya insentif keuntungan yang diperoleh dari hasil pungut atas PBB tersebut. Hal ini boleh jadi terkait fakta bahwa PBB yang dialihkan ke daerah ini memang bias perkotaan, seperti di kabupaten di Papua, NTT, Maluku atau daerah-daerah kaya sumber daya alam lainnya tidak merasakan faedahnya lantaran basis potensial mereka seperti pertambangan atau kehutanan justru tak dialihkan. Pada kelompok daerah yang sebagian besar ada di kawasan tertinggal/terbelakang dan terlempar bias perkotaan tadi, ongkos memungut dan segala biaya persiapan peralihan jauh lebih tinggi ketimbang hasil pungutannya. Mereka justru merasa untung saat pajak ini milik dan dikelola Pusat, lantaran tak perlu repot memungut tetapi daerah mendapatkan porsi terbesar lewat skema bagi hasil (DBH). Isu kebijakannya di sini adalah bagaimana Pusat merumuskan model insentif sebagai kompensasi keterlemparan karena bias di atas.
--- o0o ---
21
Sekilas KPPOD
SEKILAS KPPOD Sebagai tindak lanjut hasil Seminar Nasional "Menyelamatkan Otonomi Daerah" yang diselenggarakan KPEN (Komite Pemulihan Ekonomi Nasional), CSIS (Center for Strategic and International Studies) dan LPEM-FEUI (Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat-Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia) pada tanggal 7 Desember 2000, para penyelenggara secara intensif membahas dan menyepakati pembentukan suatu lembaga independen pemantauan pelaksanaan otonomi daerah yang di kemudian hari bernama Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD). Dalam perkembangannya, sejumlah institusi lain ikut bergabung melalui kesertaan para figur pimpinannya sebagai unsur pendiri: Sekolah Tinggi Manajemen Prasetiya Mulya, The Jakarta Post, Bisnis Indonesia, dan Suara Pembaruan. Melihat latar belakang institusi pendiri tersebut, dapat dikatakan kelahiran KPPOD merupakan hasil eksperimentasi kerjasama dunia bisnis, akademik, dan media massa sebagai tiga pilar penting dalam formasi sosial di Indonesia dewasa ini. Sebagai dasar pemikiran yang menyemangati kerja-kerja profesionalnya, KPPOD memaknai desentralisasi dan otonomi daerah sebagai kebijakan yang bertujuan mengubah struktur tata kelola pemerintahan dari sentralisme menjadi terdesentralisasi, sekaligus menggeser pola pembangunan yang didominasi negara menuju kesempatan yang lebih terbuka bagi masyarakat dan dunia usaha. Maka pada setiap kebijakan pemerintah haruslah tercermin suatu komitmen nyata untuk mendorong keterlibatan masyarakat dan dunia usaha dalam pembangunan daerah. Mengalir pada pilihan wilayah isu, KPPOD menaruh fokus sentral pemantauannya pada segala hal terkait kebijakan dan pelayanan publik di bidang ekonomi dan kebijakan desentralisasi/otonomi daerah secara umum. Dengan menggunakan pendekatan multi-perspektif (ekonomi, politik, hukum dan administrasi publik), KPPOD melakukan studi, advokasi, dan asistensi teknis bagi peningkatan mutu tata kelola ekonomi dan praktik penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis di daerah.
WILAYAH--o0o-ISU KPPOD PEMBANGUNAN EKONOMI
TATA KELOLA EKONOMI DAERAH
1.
TATA KELOLA KEUANGAN DAERAH
Reformasi Regulasi Usaha:
Mendorong deregulasi melalui upaya rasionalisasi jumlah dan atau jenis Perijinan usaha maupun pungutan (pajak/retribusi) di daerah.
2.
Reformasi Birokrasi Perijinan:
Mendorong debirokratisasi melalui upaya efisiensi business process (pengurusan) perijinan lewat kelembagaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di daerah.
3.
Desentralisasi dan Manajemen Fiskal:
Studi dan advokasi kebijakan desentralisasi fiskal yang mendukung kemandirian daerah dan perbaikan kualitas tata kelola keuangan di daerah (APBD) yang pro-prtumbuhan ekonomi dan kesejahteraan publik.
4.
Isu-isu Strategis Otda lainnya:
Pemekaran daerah, kerja sama antar-daerah, rencana pembangunan daerah, pemilihan kepala daerah, dsb.
22
23
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Regional Autonomy Watch Permata Kuningan Building 10th Fl. Jl. Kuningan Mulia Kav. 9C Guntur, Setiabudi, Jakarta Selatan 12980 Phone : +62 21 8378 0642/53, Fax : +62 21 8378 0643 www.kppod.org http://perda.kppod.org http://pustaka.kppod.org
24