perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id i
TANG GGUNG JA AWAB PER RSEKUTUA AN KOMA ANDITER SE ELAKU P PENYEDIA A JASA KON NSTRUKSII DALAM P PERJANJIA AN PE EMBORON NGAN PEK KERJAAN (TELAAH ( S STUDI SUR RAT P PERJANJIA AN PEMBO ORONGAN N (KONTRA AK) ANTAR RA CV BINA A ADI PER RSADA DEN NGAN DIN NAS CIPTA KARY YA KEBER RSIHAN DA AN TATA R RUANG KABUP PATEN BAN NYUMAS)
Penu ulisan Huku um (Skripsi) Disusun n dan Diaju ukan untuk Melengkapi M i Sebagian Persyaratan P n guna Memperoleh M Derajat Sarrjana S1 daalam Ilmu H Hukum pada a H Univversitas Sebeelas Maret Surakarta S Fakultas Hukum Oleh DESI DWI LEST TARI NIM M. E00070114
FAKU ULTAS HUK KUM UN NIVERSITA AS SEBELA AS MARET T SU URAKARTA A 2011
commit to user i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id ii
commit to user ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id iii
commit to user iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id iv
PERNYATAAN Nama
: DESI DWI LESTARI
NIM
: E0007014
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul : TANGGUNG JAWAB
PERSEKUTUAN
KOMANDITER SELAKU
PENYEDIA
KONSTRUKSI
DALAM
JASA
PERJANJIAN
PEMBORONGAN PEKERJAAN (TELAAH STUDI SURAT PERJANJIAN PEMBORONGAN (KONTRAK) ANTARA CV BINA ADI PERSADA DENGAN DINAS CIPTA KARYA KEBERSIHAN DAN TATA RUANG KABUPATEN BANYUMAS) adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, 6 Juli 2011 yang membuat pernyataan
DESI DWI LESTARI NIM. E0007014
commit to user iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id v
ABSTRAK Desi Dwi Lestari, E0007014. 2011. TANGGUNG JAWAB PERSEKUTUAN KOMANDITER SELAKU PENYEDIA JASA KONSTRUKSI DALAM PERJANJIAN PEMBORONGAN PEKERJAAN (TELAAH STUDI SURAT PERJANJIAN PEMBORONGAN (KONTRAK) ANTARA CV BINA ADI PERSADA DENGAN DINAS CIPTA KARYA KEBERSIHAN DAN TATA RUANG KABUPATEN BANYUMAS). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah tanggung jawab Persekutuan Komanditer selaku penyedia jasa konstruksi dalam perjanjian pemborongan pekerjaan dan penyelesaian hukumnya apabila terjadi kerugian pengguna jasa konstruksi selaku konsumen. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh dari informasi hasil telaah dokumen penelitian yang telah ada sebelumnya dan bahan kepustakaan. Sumber data sekunder yang digunakan mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen. Teknik analisis data yang digunakan adalah dengan metode deduktif. Berdasarkan hasil penelitian maupun pembahasan dan analisis data yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan, kesatu bahwa Persekutuan Komanditer sebagai penyedia jasa dalam perjanjian pemborongan pekerjaan telah bertanggung jawab atas semua pekerjaan konstruksi, yaitu mulai dari pemenuhan hak dan kewajiban dalam menuntut prestasi, apabila terjadi kerugian karena wanprestasi, yaitu dengan pembayaran ganti rugi berupa sanksi dan denda atau ketika terjadi overmacht, yaitu dengan menanggung risiko penyedia jasa harus melakukan perpanjangan jangka waktu pelaksanaan dan jika terjadi kegagalan bangunan sesuai dengan isi surat perjanjian pemborongan, syarat umum kontrak, dan syarat khusus kontrak serta tanggung jawab sebagai Persekutuan Komanditer yang mempunyai 2 (dua) sekutu, yaitu sekutu aktif atau sekutu komplementer dan sekutu pasif atau sekutu komanditer yang masing-masing mempunyai tanggung jawab, yaitu sekutu komplementer tanggung jawabnya tidak terbatas artinya bertanggung jawab sampai harta kekayaannya ikut menjadi jaminan apabila persekutuan mengalami kerugian dan para sekutu komanditer hanya bertanggung jawab sampai sebesar pemasukkannya dalam perseroan. Semua berdasarkan ketentuan KUHD, KUH Perdata, UUPK, UUJK, dan Peraturan Pemerintah No.29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi. Kedua, Penyelesaian hukum apabila terjadi sengketa atau perselisihan yang menimbulkan kerugian bagi pengguna jasa konstruksi sebagai konsumen, maka penyelesaian dilakukan melalui pengadilan (litigasi) dan di luar pengadilan (non litigasi), yaitu musyawarah untuk mufakat, mediasi, konsiliasi, atau arbitrase yang dilaksanakan berdasarkan peraturan yang berlaku. Kata Kunci : Tanggung jawab, Penyedia Jasa Konstruksi, Perjanjian Pemborongan Pekerjaan
commit to user v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id vi
ABSTRACT Desi Dwi Lestari. E 0007014. 2011. RESPONSIBILITY COMMANDITAIRE VENNOOTSCHAP (CV) AS THE CONSTRUCTION SERVICES PROVIDER IN THE CHARTERING AGREEMENT WORK (STUDY ANALYSIS CHARTERING AGREEMENT LETTER (CONTRACT) BETWEEN CV BINA ADI PERSADA WITH DEPARTMENT OF CLEANLINESS AND SPATIAL DISTRICT BANYUMAS). Faculty of Law Sebelas Maret University Surakarta. This research aims to determine how the commanditaire vennootschap responsibility as the construction services provider in the chartering agreement work and the settlement in the event of its legal tender job losses of users of services construction as consumer. This research is a normative legal research that is descriptive. The type of data used was secondary data that is the one obtained from the information the result of document review research that has been there before and literature. The secondary data source used includes primary, secondary and tertiary law materials. Technique of collecting data used legal materials is the study of document. Analytical techniques data used were legal material by the method of deductive. Based on the result of research and discussion and analysis of data that has been done then we can conclude, the first that responsibility commanditaire vennoschap (CV) as a construction services provider in the chartering agreement work has been responsible for all of this construction work, ranging from the fulfillment of rights and task in the demanding performance this achievement, in case of losses due to reasons in default, by paying compensation in the form of penalties and fines or if in the event occur overmacht, namely by the service provider must bear the risk of extension of time to do the implementation and in case of failure of the building in accordance with the contents of the letter chartering agreement, general conditions of contract and special conditions of contract and Commanditaire Vennootschap (CV) responsibility as having 2 (two) partner, namely the active partner or complementary partner and passive partner or silent partner that each partnership has a responsibility, that is an complementary partner responsibilities are not limited meaning liable to wealth come to be guaranteed if the company loss and its silent partner until the partnership is only liable for his capital in the company. All under the provisions of Commercial code, Civil Code, UUPK, UUJK, and Government Regulation No.29 Year 2000 on the Implementation of Construction Services. Second, the legal settlement in case of disputes or disagreements that cause harm to users of construction services as a consumer, then the settlement is done through the courts (litigation) and out of court (non litigation), namely deliberation and consensus, mediation, conciliation, or arbitration conducted by regulations. Keywords : Responsibility, Construction Services Provider, Chartering Agreement Work.
commit to user vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id vii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN Menetapkan (hukum itu) hanyalah hak ALLAH. Dia menerangkan kebenaran dan dia pemberi keputusan yang terbaik. (Q.S. Al-An’am : 57) Barang siapa berjalan umtuk menuntut ilmu maka ALLAH akan memudahkan baginya jalan ke surga. (H.R. Muslim) Kesempatan emas yang kau cari adalah dirimu sendiri. Bukan lingkunganmu, bukan keberuntungan atau peluang, atau menolong seseorang, tapi dalam dirimu sendiri. (Orison Swett Marden)
Karya kecil ini aku persembahkan untuk: ALLAH SWT, Robb semesta alam. Bapak dan Ibuku tersayang. Terima kasih atas semua doa, usaha, dan kasih sayang yang selalu diberikan kepadaku. Pakdhe dan Budeku tersayang. Sebagai orang tua keduaku, terima kasih atas kasih sayang dan doanya. Kakakku Yosep dan adikku Deni dan Nanda. Kalian saudara terindah dalam hidupku. Wahid. Terima
kasih
atas
dukungannya kepadaku Almamater.
commit to user vii
perhatian
dan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id viii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan karunia-Nya, Sholawat serta salam semoga tercurah selalu kepada Rasulullah SAW, keluarga, para sahabat, dan seluruh pengikutnya terkasih, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) yang berjudul; “TANGGUNG JAWAB PERSEKUTUAN KOMANDITER SELAKU PENYEDIA JASA KONSTRUKSI DALAM PERJANJIAN PEMBORONGAN PEKERJAAN (TELAAH STUDI SURAT PERJANJIAN PEMBORONGAN (KONTRAK) ANTARA CV BINA ADI PERSADA DENGAN DINAS CIPTA KARYA KEBERSIHAN DAN TATA RUANG KABUPATEN BANYUMAS)”. Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam rangka mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulisan hukum ini berisi tentang hasil penelitian yang dilakukan oleh Penulis yang membahas mengenai bagaimanakah tanggung jawab Persekutuan Komanditer selaku penyedia jasa konstruksi dalam perjanjian pemborongan pekerjaan dan bagaimanakah penyelesaian hukumnya apabila terjadi kerugian pengguna jasa konstruksi selaku konsumen. Dalam menyelesaikan Penulisan Hukum (Skripsi), Penulis telah mendapatkan dukungan, arahan, bimbingan, bantuan dan saran yang tak dapat dikata sedikit dari berbagai pihak yang telah memberi sumbangsih terhadap penulisan hukum ini baik secara meteriil maupun secara non materiil. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
commit to user viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id ix
2. Ibu Anjar Sri Ciptorukmi Nugraheni., S.H., M.Hum., selaku Pembimbing skripsi penulis yang telah menyediakan waktu serta pikirannya untuk memberikan ilmu, bimbingan, pengarahan dan masukan yang membangun demi penyempurnaan penulisan hukum (skripsi) ini bagi penulis. 3. Ibu Djuwityastuti, S.H., M.H., selaku Pembimbing Akademik penulis selama menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 4. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen, karyawan, jajaran staf, seluruh civitas akademika maupun semua pihak yang ikut andil dalam menyelenggarakan berjalannya pendidikan di Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan ilmu, membimbing Penulis, dan membantu kelancaran sehingga dapat menjadi bekal bagi Penulis dalam penulisan hukum ini dan semoga dapat penulis amalkan dalam kehidupan masa depan penulis. 5. Keluarga besar penulis, Bapak, Ibu, Pakdhe, Bude, Kakak dan Adik-adikku tersayang yang telah memberikan segalanya dalam kehidupan penulis. 6. Wahid Rosyidi yang telah memberikan doa, perhatian, dan dukungannya kepada penulis. 7. Mas Santo yang telah membantu penulis dengan memberikan data-data bagi penulisan hukum ini. 8. Sahabat seperjuanganku FH ’07 (Bella, Heru, Dyah, Rini, Ambar, Vina) yang telah memberikan kecerian dan semangat kepada penulis selama perkuliahan. 9. Teman-teman FH seluruh angkatan 2007 tanpa kecuali yang telah menjadi teman penulis di segala suasana selama menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 10. Sahabat dalam kelompok lingkaran kecil (Aya, Fitri, Nia, Anita, Ririn, Lilin, Rofi) atas ukhuwah yang kita jalin bersama. 11. Kelurga besar FOSMI FH UNS atas ukhuwah dan ilmu yang diberikan kepada penulis.
12. Teman-teman Kost Daffa Jl. Surya 3 (Pipit, Etik, Ita, Lia, Ambar, Rina, Nita, dan semua tanpa terkecuali), sahabat sekaligus keluarga yang selalu meramaikan serta membuat nyaman selama tiga tahun ini, rasa persaudaraan ini akan terus terukir dalam hati kita.
commit to user ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id x
13. Seluruh Guru-guru TK Dharma Wanita, SDN 1 Sampung, SMPN 1 Ponorogo, dan SMA N 2 Ponorogo, yang telah mendidik dan memberikan ilmunya hingga penulis bisa memperoleh gelar Sarjana Hukum ini. 14. Seluruh teman-teman, TK dan SD (Tika, Didin, Ila, Bentar, Sofyan, Fredy, Musri, Dwi, Endang), SMP (Hanik), dan SMA (Dian, Dewi, Yuli, Gatot), yang telah menjadi bagian pengalaman hidup penulis. 15. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam menyelesaikan penulisan hukum ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan hukum (skripsi) ini masih banyak kekurangan mengingat kemampuan penulis yang terbatas. Oleh karena itu dengan kerendahan hati dan rasa ikhlas penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan saran demi perbaikan penulisan yang akan datang. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dan semoga penulisan hukum (skripsi) ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Surakarta, 6 Juli 20011 Penulis,
Desi Dwi Lestari
commit to user x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..............................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI .............................................
iii
HALAMAN PERNYATAAN ...............................................................
iv
ABSTRAK ...............................................................................................
v
ABSTRACT ............................................................................................
vi
MOTTO DAN PERSEMBAHAN .........................................................
vii
KATA PENGANTAR ............................................................................
viii
DAFTAR ISI ...........................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR ..............................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................
xiv
BAB I
1
PENDAHULUAN .................................................................
A. Latar Belakang Masalah .................................................... 1 B. Pembatasan Masalah .........................................................
7
C. Perumusan Masalah ........................................................... 7 D. Tujuan Penelitian ............................................................... 8 E. Manfaat Penelitian ............................................................. 9 F. Metode Penelitian .............................................................. 10 1. Jenis Penelitian ............................................................
10
2. Sifat Penelitian ............................................................
11
3. Pendekatan Penelitian .................................................
12
4. Jenis dan Sumber Data Penelitian ...............................
12
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ..........................
14
commit to user xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id xii
BAB II
6. Teknik Analisis Bahan Hukum ..................................
15
G. Sistematika Penulisan Hukum ..........................................
16
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................
19
A. Kerangka Teori .................................................................
19
1. Tinjauan tentang Perjanjian ........................................
19
a. Pengertian Perjanjian ............................................
19
b. Asas Perjanjian .....................................................
22
c. Prestasi dan Wanprestasi ......................................
25
d. Overmacht atau force majeure (Keadaan Memaksa) 29 e. Pengertian Perjanjian Pemborongan Pekerjaan ....
31
f. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Jasa Konstruksi .....................................................
35
2. Tinjauan Umum tentang Persekutuan Komanditer ....
39
a. Pengertian Badan Hukum ....................................
39
b. Pengertian Persekutuan Komanditer ....................
41
c. Prosedur Pendirian Persekutuan Komanditer .......
43
3. TinjauanUmum tentang Tanggung Jawab ..................
45
a. Pengertian Tanggung Jawab .................................
45
b. Tanggung Jawab Penyedia Jasa (Pelaku Usaha) ..
46
c. Tanggung Jawab Hukum Persekutuan
BAB III
Komanditer ..........................................................
48
Tanggung Jawab Keperdataan .............................
49
4. Tinjauan tentang Penyelesaian Sengketa ...................
50
B. Kerangka Pemikiran .........................................................
60
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .................
63
A. Tanggung Jawab Persekutuan Komanditer Selaku Penyedia Jasa Konstruksi dalam Perjanjian Pemborongan Pekerjaan ...........................................................................
63
B. Penyelesaian Hukumnya Apabila Terjadi Kerugian Pengguna Jasa Konstruksi Selaku Konsumen ...................................
commit to user xii
85
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id xiii
BAB IV
PENUTUP .............................................................................
93
A. Simpulan ............................................................................ 93 B. Saran .................................................................................. 94 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
commit to user xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerangka Pemikiran ……………………………………….
commit to user xiv
60
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id xv
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1
Surat Perjanjian Pemborongan (Kontrak)
Lampiran 2
Syarat Khusus Kontrak
Lampiran 3
Syarat Umum Kontrak
Lampiran 4
Surat Penunjukan Penyedia Jasa
Lampiran 5
Surat Kesanggupan
Lampiran 6
Akta Persekutuan Komanditer
commit to user xv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 1
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH Pembangunan nasional merupakan wujud pengamalan Pancasila dan merupakan rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional yang temaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 amandemen ke-4 (empat) alenia ke-4 (empat), yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Pembangunan nasional dilaksanakan secara berencana, menyeluruh, terpadu, terarah, bertahap dan berlanjut untuk memacu peningkatan kemampuan nasional dalam rangka mewujudkan kehidupan yang sejajar dan sederajat dengan bangsa lain yang telah maju. Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 amandemen ke-4 (empat) dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tentram, tertib dan dinamis dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat tertib
dan
damai.
Pembangunan
nasional
dilaksanakan
dalam
rangka
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dalam pelaksanaannya antara lain tidak lepas dari jasa konstruksi. Penyelenggaraan pekerjaan konstruksi umumnya dibuat suatu perjanjian. Perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Dua pihak itu sepakat untuk menentukan peraturan atau kaedah atau hak dan kewajiban, yang mengikat mereka untuk ditaati dan dijalankan. Kesepakatan itu adalah untuk menimbulkan akibat hukum, menimbulkan hak dan kewajiban dan kalau kesepakatan itu
commit to user 1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 2
dilanggar maka ada akibat hukumnya, si pelanngar dapat dikenakan akibat hukum atau sanksi (Sudikno Mertokusuma, 1999: 97-98). Selain menimbulkan akibat hukum, hak dan kewajiban juga mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi. Di dalam suatu perjanjian yang menjadi objeknya adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi adalah sesuatu yang wajib dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan. Tanpa prestasi, hubungan hukum yang dilakukan berdasar tindakan hukum sama sekali tidak mempunyai arti apa-apa bagi hukum perjanjian (M.Yahya Harahap, 1986: 7). Dalam suatu perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak yang bersangkutan ketika ada prestasi yang tidak dipenuhi atau dilakukan, maka timbul adanya wanprestasi atau overmacht. Wanprestasi yang dimaksud adalah tidak dilaksanakannya prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh perjanjian terhadap pihak-pihak tertentu seperti dalam perjanjian yang bersangkutan. Tindakan wanprestasi membawa konsekuensi terhadap timbulnya pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi (Munir Fuady, 1999: 87-88). Dalam hal, jika terjadi keadaan memaksa atau overmacht, maka bagi pihak yang tidak memenuhi prestasi tidak dapat dituntut adanya ganti rugi. Berdasarkan hal tersebut, maka masingmasing
pihak dalam perjanjian yang bersangkutan akan dituntut tanggung
jawabnya. Perjanjian yang penulis bahas dalam penulisan hukum ini adalah perjanjian pemborongan pekerjaan pada jasa konstruksi. Perjanjian pemborongan pekerjaan dilaksanakan antara pihak penyedia jasa konstruksi dengan konsumen sebagai
pengguna
jasa
konstruksi
termasuk
di
dalamnya
mengenai
pertanggungjawaban penyedia jasa konstruksi apabila terjadi kegagalan bangunan maupun kesalahan dalam melakukan pekerjaan konstruksi. Perjanjian antara pihak penyedia jasa konstruksi dengan pengguna jasa konstruksi tersebut akan menimbulkan suatu perikatan, sehingga pihak penyedia jasa konstruksi tersebut mengikatkan diri untuk melakukan pekerjaan konstruksi milik pengguna jasanya dan di pihak Pengguna jasa yaitu konsumen mengikatkan diri untuk membayar sejumlah uang atau ongkos sesuai dengan perjanjian yang disepakati. Perjanjian
commit to user 2
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 3
tersebut diharapkan dapat menjamin kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dengan penyedia jasa dalam hak dan kewajibannya, sehingga pada suatu saat para pihak akan dituntut tanggung jawabnya, jika ada pelanggaran isi perjanjian yang disepakati. Para pihak dalam perjanjian pemborongan pekerjaan pada jasa konstruksi ini dapat dilaksanakan oleh orang perseorangan atau badan yang kegiatan usahanya menyediakan layanan jasa konstruksi. Pengertian orang perseorangan disini adalah warga negara, baik Indonesia maupun asing. Badan disini adalah badan usaha yang berbentuk badan hukum dan badan usaha bukan badan hukum, baik Indonesia maupun asing. Badan usaha dapat berbentuk badan hukum, antara lain Perseroan Terbatas (PT) dan Koperasi dan badan usaha bukan badan hukum antara lain Firma dan Persekutuan Komanditer atau Commanditaire Vennootschap (CV). Penyedia jasa adalah orang perseorangan atau badan yang kegiatan uasahnya menyediakan layanan jasa konstruksi, pengguna jasa atau konsumen adalah orang perseorangan atau badan sebagai pemberi tugas atau pemilik pekerjaan atau proyek yang memerlukan layanan jasa konstruksi. Penyedia jasa konstruksi dalam kegiatannya tidak lepas dari konsumen atau pengguna jasa. Hubungan antara penyedia jasa dan pengguna jasa konstruksi yang sangat penting salah satunya adalah tanggung jawab pihak penyedia jasa konstruksi kepada masyarakat selaku pengguna jasa konstruksi atau konsumen. Dewasa ini, jasa konstruksi merupakan bidang yang banyak diminati oleh anggota masyarakat di berbagai tingkatan sebagaimana terlihat makin besarnya jumlah perusahaan di Indonesia yang bergerak di bidang jasa konstruksi. Perusahaan tersebut umumnya bergerak sebagai penyedia jasa konstruksi. Dengan adanya jasa konstruksi diharapkan dapat berpartisipasi serta berperan aktif dalam upaya menuju perbaikan dan peningkatan taraf hidup bangsa. Jasa konstruksi mempunyai peranan penting dan strategis dalam pembangunan nasional mengingat jasa konstruksi menghasilkan produk berupa bangunan atau bentuk fisik lainnya, baik berupa prasarana maupun sarana yang berfungsi mendukung pertumbuhan dan perkembangan berbagai bidang.
commit to user 3
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 4
Usaha jasa konstruksi sangat kompleks, sehingga dalam menjalankan suatu proyek penyedia jasa harus memenuhi ketentuan standarisasi nasional baik dalam hal proses, sistem, maupun personelnya agar tidak menimbulkan kerugian pada konsumennya. Kerugian konsumen selaku pengguna jasa konstruksi yang disebabkan karena kesalahan penyedia jasa konstruksi di antaranya adalah kegagalan bangunan, misalnya: 1. Ambruknya atap 3 bangunan kelas SMKN 1 Malingping Banten pada tanggal 12 Desember 2008 sekitar pukul 09.00 WIB diduga karena konstruksinya yang terbuat dari rangka baja ringan tidak kuat menahan beban. Kejadian tersebut mengakibatkan 25 orang siswa luka, dua diantaranya masih dirawat di rumah sakit karena patah tulang beakang (http://www.detiknews. com/read/2008/12/12/153138/1052789/10/atap-smkn-1-malingping-bantentiba-tiba-ambruk-25-siswa-luka, diakses pada pukul 15.31 WIB tanggal 30 Desember 2010). Dengan melihat kasus tersebut, tentunya sudah terlihat adanya kegagalan bangunan yang menyebabkan ambruknya bangunan sekolah sehingga menyebabkan beberapa siswa mengalami luka. Seharusnya, dengan mengetahui penyebab keruntuhan struktur merupakan langkah awal yang efektif untuk mencegah kejadian tersebut berulang dan dapat dilakukan persiapan yang lebih baik bagi bangunan lain yang sedang direncanakan agar tidak mengalami kejadian yang serupa. Dalam hal tanggung jawab atas kerusakan atau kegagalan suatu proyek sesuai dengan Undang-Undang Jasa Konstruksi adalah perencana, pelaksana dan pengawas jasa konstruksi. Pelaksana di sini dapat dilakukan penyedia jasa konstruksi, yaitu badan hukum atau bukan badan hukum seperti misalnya persekutuan komanditer. Selain dituntut adanya tanggung jawab juga penyelesaian hukumnya apabila terjadi kegagalan bangunan. 2. JAKARTA--MI: Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional (LPJKN) menilai Jalan RE Martadinata amblas diduga karena kegagalan bangunan. "Sesuai UU Jasa Konstruksi No 18 tahun 1999, tentang Jasa Konstruksi, maka amblasnya jalan RE Martadinata, Tanjung Priok, dikarenakan kegagalan bangunan. Proyek itu juga telah diserahterimakan dan masa pertangungjawabannya belum sampai 10 tahun," kata Ketua Majelis Pertimbangan, Manahara Siahaan kepada pers, di Jakarta, Kamis (23/9)(http://www.mediaindonesia.com/read/2010/09/09/170407/37/5/ JalanMartadinata-Amblas-Akibat-Kegagalan-Bangunan, diakses pada pukul 15.00 WIB tanggal 26 Februari 2011).
commit to user 4
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 5
Dengan melihat kasus tersebut, tentunya sudah terlihat adanya kegagalan bangunan yang menyebabkan Jalan RE Martadinata, Tanjung Priok rusak. Berdasarkan pengamatan di lapangan jalan tersebut berada di pinggir muara atau pantai dan berada di pertemuan kali dan muara (dekat jembatan). Oleh karena itu, ketika jalan tersebut dibuat, maka trase jalan tersebut masih jauh dari bibir muara atau pantai. Tetapi, akibat adanya abrasi yang sudah berjalan lama, maka muara atau pantai tersebut sudah mencapai pinggir jalan. Namun, hal ini tidak sepenuhnya disadari oleh pihak pengelola proyek dan perbaikannya tidak dilakukan secara optimal. Ketika merancang jalan tersebut, diperkirakan tidak melakukan tes jalan yang akan diperbaiki secara lengkap atau hanya melakukan tes di beberapa tempat yang hasilnya tidak mencerminkan sampai dimana kerusakan jalan itu sebenarnya. Dalam hal ini, jelas bahwa yang bertanggung jawab adalah pelaksana perbaikan jalan yang biasanya dilakukan oleh badan hukum atau bukan badan hukum misalnya, persekutuan komanditer selaku penyedia jasa konstruksi. Selanjutnya, tentu ada penyelesaian hukumnya bagi pengguna jasa konstruksi sesuai dengan perjanjian pemborongan yang telah disepakati bersama. 3. Kegagalan Konstruksi: Roboh, Bangunan Futsal Di Pekalongan. Peristiwa kegagalan konstruksi terjadi lagi. Kali ini musibah itu berupa robohnya bangunan dengan konstruksi baja yang masih dalam tahap pelaksanaan konstruksi di Desa Tanjung, Kecamatan Tirto, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Bangunan berukuran sekitar 30 x 40 meter yang sedianya akan difungsikan sebagai lapangan futsal tersebut roboh pada hari Kamis (30/04) pukul 14.30 WIB dan mengakibatkan 2 orang tewas dan 13 lainnya luka-luka. Seluruh korban adalah para pekerja konstruksi yang sedang mengerjakan pembangunan lapangan futsal. Ketika itu, ada sekitar 20 pekerja yang sedang menyelesaikan pembangunan saat konstruksi baja tiba-tiba roboh. Sebagian konstruksi baja, bahkan sampai melintangi jalan dan menyebabkan jalan raya Tanjung di Kecamatan Tirto, Pekalongan, ditutup sementara oleh polisi (http://www.lpjk.org/modules/ article.php?ID_News=262, diakses pada pukul 15.05 WIB tanggal 26 Februari 2011). Dengan melihat kasus tersebut, tentunya sudah terlihat adanya kegagalan bangunan yang menyebabkan korban jiwa dan luka-luka. Selain itu, tentunya kerugian juga dialami oleh pemilik bangunan futsal. Hasil pengamatan sementara, ditemukan bahwa bangunan tersebut didirikan tanpa menggunakan bestek, tanpa menyertakan arsitek dan ahli bangunan. Jadi
commit to user 5
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 6
hanya digambar, kemudian dicarikan pemborong. Selanjutnya, siapakah yang harus bertanggung jawab jika terjadi kegagalan bangunan seperti pada kasus tersebut,
sementara
pemborong
hanya
melaksanakan
pembangunan
berdasarkan permintaan pemilik dan juga para pekerja konstruksi ada yang mengalami luka-luka. Selanjutnya, maka tanggung jawab tentu ada dari pihak penyedia jasa konstruksi, yaitu sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati dan juga besarnya ganti rugi bagi pihak pengguna jasa. Berdasarkan kasus-kasus tersebut, tentunya sudah terlihat adanya kegagalan bangunan yang menyebabkan ambruknya bangunan. Dalam hal kegagalan bangunan menjadi tanggung jawab pengguna jasa dan penyedia jasa. Di antara keduanya tentu ada salah satu pihak yang harus bertanggung jawab baik penyedia jasa ataupun pengguna jasa. Tanggung jawab tersebut tentu sudah tercantum dalam perjanjian pemborongan pekerjaan antara penyedia jasa dengan pengguna jasa. Penyedia jasa dapat berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum seperti
misalnya persekutuan komanditer. Di dalam perjanjian
pemborongan pekerjaan tersebut tentu sudah dimuat adanya penyelesaian hukum jika terjadi kerugian terhadap pengguna jasa konstruksi dari penyedia jasa. Berdasarkan latar belakang yang penulis uraikan, maka penulis tertarik dalam penulisan hukum (skripsi) ini untuk melakukan penelitian dengan mengambil judul: “TANGGUNG JAWAB PERSEKUTUAN KOMANDITER SELAKU PENYEDIA
JASA
PEMBORONGAN
KONSTRUKSI
PEKERJAAN
DALAM
(TELAAH
STUDI
PERJANJIAN SURAT
PERJANJIAN PEMBORONGAN (KONTRAK) ANTARA CV BINA ADI PERSADA DENGAN DINAS CIPTA KARYA KEBERSIHAN DAN TATA RUANG KABUPATEN BANYUMAS)”.
commit to user 6
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 7
B. PEMBATASAN MASALAH Mengingat terbatasnya waktu, pikiran, biaya, tenaga dan kemampuan yang ada pada diri penulis, maka dalam penulisan hukum (skripsi) ini agar terarah dan tidak menyimpang dari pokok permasalahan yang akan diteliti, maka perlu adanya pembatasan (J.Supranto, 2003: 8). Pengertian dari pemborongan pekerjaan diatur dalam Pasal 1601 b KUH Perdata yang berbunyi: “Pemborongan pekerjaan adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu, si pemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain, pihak yang memborongkan, dengan menerima suatu harga yang ditentukan”. Pembagian perjanjian pemborongan menurut ketentuan Pasal 1604 KUH Perdata yang berbunyi: “Dalam hal pemborongan pekerjaan dapat ditetapkan dalam perjanjian bahwa si pemborong hanya akan melakukan pekerjaan saja atau bahwa ia juga akan memberikan bahannya. Dalam hal pemborong diwajibkan memberikan bahannya untuk pekerjaan tersebut, maka selain memberikan bahan juga melakukan pekerjaan. Adapun pembatasan masalah dalam penulisan hukum (skripsi) ini, yaitu pada pembahasan mengenai analisis terhadap tanggung jawab Persekutuan Komanditer dalam perjanjian pemborongan pekerjaan sesuai dengan isi surat perjanjian pemborongan (kontrak) No.: 050/ 1673/ IX/ 2010 tentang Kegiatan Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pendidikan antara Pejabat Pembuat Komitmen Kegiatan Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pendidikan Pekerjaan Rehabilitasi SDN 1 Bogangin Kecamatan Sumpiuh pada Dinas Cipta Karya Kebersihan dan Tata Ruang Kabupaten Banyumas Tahun Anggaran 2010 dengan CV Bina Adi Persada, di dalam perjanjian pemborongan pekerjaan tersebut si pemborong diwajibkan memberikan bahannya dan pekerjaannya. C. PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan penulis diatas, maka penulis merumuskan masalah untuk mempermudah terhadap permasalahan yang
commit to user 7
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 8
akan dibahas serta untuk lebih mengarahkan pembahasan. Adapun permasalahan yang akan dikaji adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah tanggung jawab Persekutuan Komanditer selaku penyedia jasa konstruksi dalam perjanjian pemborongan pekerjaan ? 2. Bagaimanakah penyelesaian hukumnya apabila terjadi kerugian pengguna jasa konstruksi selaku konsumen ?
D. TUJUAN PENELITIAN Dalam suatu kegiatan penelitian selalu mempunyai tujuan tertentu, dari penelitian diharapkan dapat disajikan data yang akurat dan memiliki validitas untuk menjawab permasalahan, sehingga dapat memberi manfaat bagi pihakpihak yang terkait dengan penelitian ini. Berpijak dari hal tersebut, maka penulis mengkategorikan tujuan penelitian ke dalam kelompok tujuan obyektif dan tujuan subyektif sebagai berikut : 1. Tujuan Obyektif a. Mengetahui bentuk tanggung jawab persekutuan komanditer selaku penyedia jasa konstruksi terkait sebagai penyedia jasa konstruksi dalam perjanjian pemborongan. b. Mengetahui bentuk penyelesaian hukumnya apabila terjadi kerugian pengguna jasa konstruksi selaku konsumen. 2. Tujuan Subyektif a. Memperoleh data dan informasi yang lengkap sebagai bahan utama penyusunan penulisan hukum (skripsi) agar dapat memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar sarjana hukum di fakultas hukum Universitas Sebelas Maret. b. Memperluas wawasan, pengetahuan, dan pengalaman serta pemahaman aspek hukum di dalam teori dan praktek dalam lapangan hukum khususnya hukum perdata. c. Menambah pemahaman penulis mengenai tanggung jawab persekutuan komanditer
selaku
penyedia
jasa
commit to user 8
konstruksi
dalam
perjanjian
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 9
pemborongan pekerjaan dan upaya hukum apabila terjadi kerugian pengguna jasa konstruksi selaku konsumen.
E. MANFAAT PENELITIAN Suatu penelitian akan mempunyai nilai apabila penelitian tersebut memberi manfaat bagi semua pihak. Penulis berharap kegiatan penelitian dalam penulisan hukum ini akan memberikan manfaat teoritis maupun praktis baik bagi penulis dan masyarakat pada umumnya. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian hukum ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis a. Penelitian hukum ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pemgembangan ilmu hukum pada umumnya dan Hukum Perdata pada khususnya. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur dalam kepustakaan hukum mengenai aspek hukum tanggung jawab persekutuan komanditer selaku penyedia jasa konstruksi dalam perjanjian pemborongan pekerjaan serta penyelesaian hukumnya apabila terjadi kerugian selaku pengguna jasa konstruksi selaku konsumen. c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan dan refensi bagi penelitian yang sama (sejenis) pada tahap selanjutnya. 2. Manfaat Praktis a. Memberikan gambaran kepada masyarakat selaku konsumen mengenai bentuk tanggung jawab persekutuan komanditer selaku penyedia jasa konstruksi terhadap konsumen sebagai pengguna jasa konstruksi. b. Memberikan informasi kepada pembaca dan masyarakat pada umumnya tentang upaya hukum apabila terjadi kerugian pengguna jasa konstruksi selaku konsumen. c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjawab permasalahan yang telah diteliti.
commit to user 9
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 10
F. METODE PENELITIAN Penelitian adalah sebuah kegiatan ilmiah yang bermaksud melakukan konstruksi dan analisis yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan konsisten (Soerjono Soekanto, 2007: 3). Istilah metodologi berasal dari kata metode yang berarti “ jalan ke” namun menurut kebiasaan metode dirumuskan dengan kemungkinan sebagai berikut (Soerjono Soekanto, 2007: 5) : 1. Suatu tipe pemikiran yang digunakan dalam penelitian dan penilaian; 2. Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan; 3. Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur
Metode penelitian dapat diartikan sebagai cara untuk memecahkan masalah dengan jalan menemukan, mengumpulkan, menyusun data guna mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan yang hasilnya dituangkan dalam penulisan hukum (skripsi). Adapun metode penelitian dalam penulisan hukum ini meliputi:
1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan hukum tersebut disusun secara sistematis, dikaji kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti (Soerjono Soekanto, 2007: 10). Penelitian hukum normatif atau kepustakaan ini meliputi (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2011: 14) : a. Penelitian terhadap asas-asas hukum; b. Penelitian terhadap sistematik hukum; c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal; d. Perbandingan hukum;
commit to user 10
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 11
e. Sejarah hukum Dalam penelitian yang dilakukan ini, penulis menitikberatkan pada penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal. Taraf sinkronisasi vertikal ditelaah dengan mengkaji sampai sejauh mana hukum positif tertulis yang ada serasi dapat ditinjau secara vertikal, yakni apakah perundangan-undangan yang berlaku bagi suatu bidang kehidupan tertentu tidak saling bertentangan, apabila dilihat dari sudut hirarki perundang-undangan tersebut (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2011: 17). Penulis mengkaji mengenai sinkronisasi ketentuan tanggung jawab persekutuan komanditer selaku penyedia jasa konstruksi dalam perjanjian pemborongan pekerjaan dan penyelesaian hukumnya apabila terjadi kerugian pengguna jasa konstruksi selaku konsumen berdasarkan ketentuan
2. Sifat Penelitian Menurut bidangnya, penelitian ini termasuk penelitian yang bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif menurut Soerjono Soekanto adalah suatu penelitian yang dimaksud untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, gejala-gejala lainnya. Maksudnya adalah terutama mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu memperkuat teori-teori lama, atau di dalam kerangka penyusun teori baru (Soerjono Soekanto, 2007: 10). Berdasarkan hal tersebut, maka dalam penelitian hukum ini penulis ingin memberikan gambaran yang lengkap mengenai tanggung jawab yang dilakukan Persekutuan Komanditer selaku penyedia jasa konstruksi dalam perjanjian pemborongan pekerjaan dan penyelesaian hukumnya apabila terjadi kerugian selaku konsumen sesuai dengan isi surat perjanjian pemborongan pada CV Bina Adi Persada.
commit to user 11
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 12
3. Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian yang digunakan oleh penulis adalah pendekatan penelitian terhadap sistematik hukum. Pendekatan terhadap sistematik hukum adalah pendekatan yang dilakukan pada perundangundangan tertentu ataupun hukum tercatat. Tujuan pokoknya adalah untuk mengadakan identifikasi terhadap pengertian-pengertian pokok atau dasar hukum, yakni masyarakat hukum, subyek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum, dan obyek hukum (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2011: 70). Pendekatan undang-undang dalam penulisan hukum ini adalah menelaah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (UUJK), Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, PERMA No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang dikaitkan dengan tanggung jawab persekutuan komanditer selaku penyedia jasa konstruksi dalam perjanjian pemborongan pekerjaan dan penyelesaian hukumnya apabila terjadi kerugian pengguna jasa konstruksi selaku konsumen dengan.
4. Jenis dan Sumber Data Jenis data dalam penulisan hukum ada 2 (dua), yaitu data primer dan data sekunder. a. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari lapangan, yaitu dari objek penelitian yang berupa keterangan-keterangan hasil interview atau wawancara dengan pihak terkait dengan objek penelitian sebagai penunjang data primer. b. Data sekunder adalah data atau informasi hasil telaah dokumen penelitian yang telah ada sebelumnya, bahan kepustakaan seperti buku-buku,
commit to user 12
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 13
literatur, koran, jurnal, maupun arsip-arsip yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder. Dalam penelitian doktrinal, data sekunder digunakan sebagai data utama. Adapun sumber data sekunder dalam penelitian hukum doktrinal terdiri dari (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2011: 33) : a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang terdiri dari peraturan Perundang-undangan, meliputi: 1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). 2) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). 3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). 4) Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (UUJK). 5) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Arbitrase dan APS). 6) Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi. 7) PERMA No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. 8) Surat Perjanjian Pemborongan No.050/1673/IX/2010 atas CV Bina Adi Persada dengan Pejabat Pembuat Komitmen Kegiatan Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pendidikan Pekerjaan Rehabilitasi SDN 1 Bogangin Kecamatan Sumpiuh pada Dinas Cipta Karya Kebersihan dan Tata Ruang Kabupaten Banyumas Tahun Anggaran 2010. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder adalah buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar atas putusan pengadilan yang berkaitan dengan topik yang dibahas, artikel dari internet yang
commit to user 13
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 14
berkaitan dengan penelitian ini. Bahan hukum sekunder yang digunakan penulis dalam penulisan hukum ini, yaitu bahan kepustakaan, seperti yang tertulis dalam daftar pustaka dalam penulisan hukum ini. c. Bahan hukum Tersier Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain. Bahan hukum tersier yang digunakan penulis dalam penelitian hukum ini, yaitu: 1) Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Usaha Perseorangan dan Badan Usaha Bukan Badan Hukum. 2) Kamus Hukum 3) Kamus Bahasa Indonesia 4) Black Law Dictionary
5. Teknik Pengumpulan Data Untuk memperkuat nilai validitas data, maka dalam setiap penelitian harus memiliki data-data yang lengkap. Kelengkapan data adalah syarat yang harus dimiliki dalam penelitian. Teknik pengumpulan data diperlukan agar data yang diperoleh merupakan data akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah studi kepustakaan. Teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara membaca, mempelajari dan mengkaji buku-buku, literatur-literatur, artikel, karya ilmiah, makalah yang relevan dengan kajian penelitian serta peraturan perundang-undangan, yaitu KUH Perdata, KUHD, UUPK,UUJK, dan Peraturan Pemerintah No.29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi dengan permasalahan yang ada dalam perjanjian pemborongan konstruksi mengenai jasa konstruksi.
commit to user 14
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 15
6. Teknik Analisis Data Analisis data adalah tahap yang sangat penting dan menentukan dalam setiap penelitian. Di tahap ini penulis melakukan pemilahan data-data yang telah diperoleh. Penganalisisan data pada hakekatnya merupakan kegiatan untuk mengadakan sistematisasi bahan-bahan hukum tertulis untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi (Soerjono Soekanto, 2007: 251-252). Analisis data yang dipergunakan oleh penulis adalah analisis data deduktif. Pengolahan bahan hukum dengan cara deduktif adalah menjelaskan sesuatu dari hal-hal yang sifatnya umum, selanjutnya menarik kesimpulan dari hal itu yang sifatnya lebih khusus. Adapun pernyataan yang sifatnya umum dalam penlitian hukum ini adalah aturan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan dan pernyataan yang sifatnya khusus adalah tanggung jawab yang dilakukan oleh pelaku usaha atau penyedia jasa konstruksi dan penyelesaian hukumnya apabila terjadi kerugian sebagai pengguna jasa konstruksi. Selanjutnya, dari kedua hal tersebut dapat diatrik kesimpulan mengenai tanggung jawab Persekutuan Komanditer selaku penyedia jasa konstruksi apabila terjadi dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan pekerjaan dan penyelesaian hukumnya apabila terjadi kerugian pengguna jasa konstruksi selaku konsumen sudah berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku. Dengan demikian penulis berharap dapat memberikan penjelasan yang utuh dan menyeluruh bagi fenomena yang diteliti, yaitu seputar permasalahan tanggung jawab Persekutuan Komanditer selaku penyedia jasa konstruksi dalam perjanjian pemborongan pekerjaan dan penyelesaian hukumnya apabila terjadi kerugian pengguna jasa konstruksi selaku konsumen.
commit to user 15
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 16
G. SISTEMATIKA PENULISAN HUKUM
Sistematika penulisan hukum (skripsi) disajikan untuk memberikan gambaran yang menyeluruh mengenai sistematika penulisan hukum sabagai karya ilmiah yang disesuaikan dengan kaidah baku penulisan suatu karya ilmiah. Adapun penulisan hukum (skripsi) ini terdiri dari 4 (empat) bab, dalam tiap-tiap bab terbagi atas sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika dalam penulisan hukum ini sebagai berikut:
BAB I
: PENDAHULUAN Pada bab Pendahuluan ini penulis memberikan gambaran awal tentang penelitian meliputi latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum.
BAB II
: TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini penulis menguraikan tentang kerangka teori dan kerangka pemikiran yang berhubungan dengan penelitian ini dan memberikan penjelasan secara teoritik yang bersumber dari bahan hukum yang penulis gunakan mengenai persoalan yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang penulis teliti. Kerangka teori dan kerangka pemikiran tersebut meliputi: 1. Kerangka Teori a.
Tinjauan tentang Perjanjian membahas mengenai Pengertian Perjanjian; Asas Perjanjian; Prestasi dan Wanprestasi; Overmacht atau force majeure (Keadaan Memaksa);
Pengertian
Perjanjian
Pemborongan
Pekerjaan; Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Jasa Konstruksi.
commit to user 16
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 17
b. Tinjauan
umum
membahas
tentang
mengenai
Persekutuan
Pengertian
Komanditer
Badan
Hukum;
Pengertian Persekutuan Komanditer; Prosedur Pendirian Persekutuan Komanditer. c.
Tinjauan umum tentang Tanggung Jawab membahsa mengenai Pengertian Tanggung Jawab; Tanggung Jawab Penyedia Jasa (Pelaku Usaha); Tanggung Jawab Hukum Persekutuan Komanditer; Tanggung Jawab Keperdataan
d. Tinjauan tentang Penyelesaian Sengketa. 2. Kerangka Pemikiran Memaparkan
mengenai
ide
dilakukannya
penelitian,
permasalahan, serta hasil penulisan yang dituangkan dalam bentuk bagan.
BAB III
: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada bab hasil penelitian dan pembahasan adalah titik temu dari suatu kesengajaan antara permasalahan penelitian dengan kaidah yang berlaku atau realitas hukum dilapangan. Oleh karena itu penyajiannya harus sedapat mungkin singkat, padat dan fokus pada permasalahan yang diangkat dalam penelitian dan pembahasan dari persoalan yang diangkat penulis, maka bab ini dibagi menjadi: a. Halaman yang memberikan penjelasan mengenai hasil temuan data yang diperoleh dan pembahasan terkait dengan persolan pertama mengenai tanggung jawab Persekutuan Komanditer selaku penyedia jasa pelaksana konstruksi dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan pekerjaan. b. Halaman yang memberikan penjelasan mengenai hasil temuan data yang diperoleh dan pembahasan terkait dengan persolan kedua mengenai upaya hukumnya apabila terjadi kerugian pengguna jasa konstruksi selaku konsumen.
commit to user 17
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 18
BAB IV
: PENUTUP Pada bab ini penulis menyimpulkan hasil penelitian dan pembahasan, serta memberikan saran-saran sebagai sarana evaluasi terutama terhadap temuan-temuan selama penelitian yang menurut penulis memerlukan perbaikan.
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
commit to user 18
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 19
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. KERANGKA TEORI
1. Tinjauan tentang Perjanjian a. Pengertian Perjanjian Pengertian perjanjian diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang berbunyi: “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih” Definisi perjanjian dalam Pasal 1313 adalah tidak jelas karena setiap perbuatan dapat disebut perjanjian baik perbuatan hukum maupun bukan perbuatan hukum, tidak tampak asas konsensualisme, dan bersifat dualisme. Maka untuk memperjelasnya harus dicari dalam doktrin lama yang menyebutkan bahwa perjanjian adalah perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum (Salim H.S., 2005: 25). Selain itu, Abdulkadir Muhammad menyebutkan kelemahan-kelemahan dari pengertian Pasal 1313 KUH Perdata tersebut, yaitu: 1) Hanya menyangkut sepihak saja. Hal ini dapat diketahui dari rumusan kata kerja “mengikatkan diri”, sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya rumusan itu ialah “saling mengikatkan diri”, jadi ada konsensus antara dua pihak. 2) Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus. Dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan penyelenggaraan kepentingan (zaakwaarneming), tindakan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang tidak mengandung suatu konsensus. Seharusnya dipakai istilah “persetujuan”. 3) Pengertian perjanjian terlalu luas. Pengertian perjanjian mencakup juga perjanjian kawin yang diatur dalam bidang hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur mengenai harta kekayaan. Perjanjian yang diatur dalam buku III KUH Perdata
commit to user 19
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 20
sebenarnya hanya meliputi perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan bersifat kepribadian (personal). 4) Tanpa menyebut tujuan. Dalam rumusan pasal itu tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa. Berdasarkan
alasan-alasan tersebut,
maka
perjanjian
dapat
dirumuskan sebagai berikut: “Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan”. Dalam definisi ini jelas terdapat konsensus antara pihak-pihak, untuk melaksanakan sesuatu hal, mengenai harta kekayaan, yang dapat dinilai dengan uang (Abdulkadir Muhammad, 2000: 224-225). R. Subekti mengatakan bahwa “Perjanjian adalah suatu peristiwa dalam hal seseorang berjanji kepada seseorang yang lain atau dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal” (R. Subekti, 1994: 1). Dari berbagai pengertian mengenai perjanjian, satu hal yang kurang, yaitu para pihak dalam perjanjian hanya orang perseorangan semata-mata. Tetapi dalam praktiknya, bukan hanya orang perseorangan yang membuat perjanjian, termasuk juga badan hukum yang merupakan subjek hukum. Dengan demikian dari definisi perjanjian yang ada, maka perlu dilengkapi dan disempurnakan. Menurut Salim H.S. perjanjian atau kontrak merupakan hubungan hukum antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum yang lain dalam bidang harta kekayaan, yaitu subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakati (Salim H.S., 2005: 27). Ketentuan mengenai syarat sahnya perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Pasal 1320 KUH Perdata untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat: 1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
commit to user
20
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 21
3) Suatu hal tertentu; 4) Suatu sebab yang halal. Syarat yang pertama sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan atau konsensus para pihak. Kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata, yaitu persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya yang sesuai itu adalah pernyataannya, karena kehendak itu tidak dapat dilihat/ diketahui orang lain. Pada dasarnya cara yang paling banyak dilakukan oleh para pihak adalah dengan bahasa yang sempurna secara lisan dan secara tertulis. Tujuan pembuatan perjanjian secara tertulis adalah agar memberikan kepastian hukum bagi para pihak dan sebagai alat bukti yang sempurna ketika timbul sengketa di kemudian hari. Dalam syarat yang kedua, kecakapan untuk membuat suatu perjanjian adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian haruslah orangorang yang cakap menurut hukum,yaitu orang tersebut sudah dewasa atau sudah kawin. Menurut Pasal 1329 KUH Perdata pada dasarnya setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian kecuali orang-orang yang menurut ketentuan Pasal 1330 KUH Perdata dianggap tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian, yaitu; 1) Orang-orang yang belum dewasa Menurut ketentuan Pasal 330 KUH Perdata yang berbunyi: “Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin”. 2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan Mereka yang ditaru dibawah pengampuan adalah orang-orang yang sudah dewasa tetapi tidak dapat mengurus kepentingannya sendiri dengan baik, yaitu: Orang yang sakit ingatan (gila); Orang yang pemboros; Orang yang tidak mampu mengurus kepentingannya sendiri dengan baik, misalnya orang yang sering mengganggu keamanan atau kelakuannya buruk sekali.
commit to user 21
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 22
3) Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang. Dengan adanya Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, khususnya mengacu pada Pasal 31 ayat (1) dan (2) jo. SEMA No.3 Tahun 1963, maka ketentuan mengenai ketidakcakapan seorang wanita sudah tidak berlaku lagi. Dalam ketentuan ini dijelaskan bahwa suami istri mempunyai kedudukan yang seimbang dan berhak melakukan suatu perbuatan hukum. Syarat yang ketiga adalah adanya suatu hal tertentu adalah adanya objek perjanjian, yaitu prestasi (pokok perjanjian). Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak kreditur. Dalam syarat yang keempat, yaitu adanya suatu sebab yang halal, di dalam Pasal 1320 KUH Perdata tidak dijelaskan pengertian orzaak (kausa yang halal) tetapi di dalam Pasal 1337 KUH Perdata hanya disebutkan kausa yang terlarang, yang menyebutkan : “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”. Syarat yang pertama dan kedua disebut syarat subjektif, karena menyangkut pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat objektif, karena menyangkut objek perjanjian. Apabila syarat pertama dan kedua tidak terpenuhi maka perjanjian itu dapat dibatalkan. Artinya, bahwa salah satu pihak dapat mengajukan kepada Pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang disepakati. Tetapi apabila para pihak tidak keberatan syarat pertama dan kedua tidak dipenuhi, maka perjanjian itu tetap sah untuk dilaksanakan para pihak. Namun, jika syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum. Artinya, bahwa dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada.
commit to user 22
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 23
b. Asas perjanjian Asas-asas hukum dalam suatu perjanjian adalah (Salim H.S., 2005: 9-13): 1) Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, mengadakan perjanjian dengan siapa pun, menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratan, dan menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan. 2) Asas Konsensualisme Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Dalam pasal itu ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian, yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak. Asas konsensualisme merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak. 3) Asas Pacta Sunt Servanda Asas pacta sunt servanda atau juga disebut dengan asas kepastian hukum. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi: “Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang”.
commit to user 23
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 24
4) Asas Itikad Baik (Goede Trouw) Asas itikad baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, yang berbunyi:”Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Yang dimaksud dengan itikad baik yaitu dilaksanakan sesuai dengan kepatutan, keadilan, dan kesusilaan. Itikad baik mempunyai dua pengertian, yaitu itikad baik dalam arti subjektif (orang memperhatikan tingkah laku yang nyata dari subjek) dan itikad baik dalam arti objektif, penilaiannya terletak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif. 5) Asas Kepribadian (Personalitas) Asas ini merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini diatur dalam Pasal 1315 dan 1340 KUH Perdata. Pasal 1315 KUH Perdata berbunyi: “Pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri”. Inti ketentuan ini bahwa seseorang yang mengadakan perjanjian hanya untuk kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340 KUH Perdata berbunyi: “Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya”. Ini berarti bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun, ketentuan itu ada pengecualiannya, sebagaimana yang ada dalam Pasal 1317 KUH Perdata, yang berbunyi: “Lagi pun diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji, yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada seorang lain, memuat suatu janji yang seperti itu”. Pasal ini menjelaskan bahwa seseorang dapat mengadakan suatu perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga, dengan suatu syarat yang ditentukan.
commit to user 24
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 25
c. Prestasi dan Wanprestasi Berdasarkan Pasal 1234 KUH Perdata yang dimaksud dengan prestasi adalah “Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”. Prestasi merupakan objek perjanjian. Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak kreditur. Dalam hal perikatan memberikan sesuatu adalah kreditur menyerahkan kekuasaan nyata atas suatu benda kepada debitur, misalnya dalam hutang-piutang maka kreditur harus menyerahkan uang kepada debitur sebagai pihak yang berhutang. Dalam perikatan yang objeknya untuk berbuat sesuatu, debitur wajib melakukan perbuatan tertentu yang telah ditetapkan dalam perikatan, misalnya membangun gedung, membongkar gedung, dan mengosongkan rumah. Tetapi dalam melakukan perbuatannya itu harus mematuhi semua ketentuan dalam perikatan dan debitur bertanggung jawab atas perbuatan yang tidak sesuai dengan ketentuan perikatan. Selanjutnya, perikatan yang objeknya tidak berbuat sesuatu, yaitu debitur tidak melakukan perbuatan yang telah ditetapkan dalam perikatan, misalnya tidak melakukan persaingan yang telah diperjanjikan, apabila debitur berbuat berlawanan dengan perikatan ini maka ia bertanggung jawab karena melanggar perikatan (Abdulkadir Muhammad, 2000: 20). Wanprestasi berarti lalai, ingkar tidak memenuhi kewajiban dalam suatu perikatan. Untuk kelalaian ini, maka pihak yang lalai harus memberikan penggantian rugi, biaya dan bunga (J.C.T. Simorangkir, 2002: 186). Sedangkan wanprestasi menurut Subekti adalah suatu kejadian ketika tidak dilaksanakannya suatu kewajiban yang telah ditentukan dalam perjanjian oleh salah satu pihak, karena kesalahan pihak tersebut (R.Subekti, 1994: 45). Dengan demikian dapat disimpulkan, wanprestasi adalah suatu keadaan dalam hal seorang debitur (berutang) tidak memenuhi atau melaksanakan prestasi sebagaimana telah ditetapkan dalam suatu perjanjian.
commit to user 25
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 26
Seorang debitur baru dikatakan wanprestasi apabila ia telah diberikan somasi oleh kreditur atau Juru Sita. Somasi itu minimal telah dilakukan sebanyak tiga kali oleh kreditur atau Juru sita. Apabila somasi itu tidak diindahkannya, maka kreditur berhak membawa persoalan itu ke pengadilan. Selanjutnya, pengadilanlah yang akan memutuskan, apakah debitur
wanprestasi
atau
tidak.
Seseorang
dianggap
melakukan
wanprestasi apabila (R.Subekti, 1994: 45): a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya; b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan; c. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat; atau d. Melakukan
sesuatu
yang
menurut
perjanjian
tidak
boleh
dilakukannya. Masalah wanprestasi merupakan hal yang paling penting dari semua kesalahan dalam hubungan perdata. Dikatakan ada kelalaian apabila timbulnya kerugian bagi seseorang atau barang milik orang lain disebabkan karena kurang hati-hatinya melakukan suatu perbuatan, atau mengurus sesuatu sebagaimana dikehendaki oleh hukum (Abdulkadir Muhammad, 1986:212). Pada umumnya, suatu wanprestasi baru terjadi jika debitur dinyatakan telah lalai untuk memenuhi prestasinya, atau dengan kata lain, wanprestasi ada kalau debitur tidak dapat membuktikan bahwa ia telah melakukan wanprestasi itu di luar kesalahannya atau karena keadaan memaksa. Apabila dalam pelaksanaan pemenuhan prestasi tidak ditentukan tenggang waktunya, maka seorang kreditur dipandang perlu untuk memperingatkan/menegur debitur agar ia memenuhi kewajibannya. Teguran ini disebut dengan sommatie (Somasi) (http://rohmadijawi. wordpress.com/hukum-kontrak/, diakses pada pukul 15.38 WIB tanggal 30 Desember 2010).
commit to user 26
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 27
Akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah hukuman atau sanksi hukum, yaitu sebagai berikut (Abdulkadir Muhammad, 2000: 204-205): 1) Debitur diwajibkan membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh kreditur. 2) Dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, beban risiko beralih kepada debitur sejak terjadi wanprestasi. 3) Debitur diwajibkan memenuhi perikatan jika masih dapat dilakukan atau melakukan pembatalan yang disertai pembayaran ganti kerugian dan bunga. 4) Jika perikatan lahir dari perjanjian timbal balik, kreditur dapat membebaskan diri dari kewajibannya memberikan kontra prestasi dengan
menggunakan
Pasal
1266
KUH
Perdata,
yang
menyebutkan bahwa: “Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal yang demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada Hakim Permintaan ini juga dilakukan meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan didalam perjanjian. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, hakim adalah leluasa untuk menurut keadaan atas permintaan si tergugat, memberikan suatu jangka waktu untuk masih juga memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana namun itu tidak boleh lebih dari satu bulan”. 5) Debitur wajib membayar biaya perkara jika diperkarakan di muka Pengadilan Negeri dan debitur dinyatakan bersalah. Sebagai sanksi atau hukuman bagi debitur yang melakukan wanprestasi adalah dibebani ganti rugi. Ganti rugi karena wanprestasi adalah suatu bentuk ganti rugi yang dibebankan kepada debitur yang tidak memenuhi isi perjanjian yang telah dibuat antara kreditur dengan debitur. Ganti rugi karena wanprestasi ini diatur dalam Buku III KUH Perdata,
commit to user 27
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 28
yang dimulai dari Pasal 1243 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1252 KUH Perdata. Pasal 1243 KUH Perdata menyatakan: “Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perjanjian, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya”. Dengan demikian pada dasarnya, ganti rugi itu adalah ganti rugi yang timbul karena debitur melakukan wanprestasi. Menurut ketentuan Pasal 1246 KUH Perdata, ganti rugi itu terdiri atas 3 unsur, yaitu : 1) Biaya, yaitu segala pengeluaran atau ongkos-ongkos yang nyatanyata telah dikeluarkan. 2) Rugi, yaitu kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian debitur. 3) Bunga, yaitu keuntungan yang seharusnya diperoleh atau diharapkan oleh kreditur apabila debitur tidak lalai. Sedangkan bunyi dari Pasal 1246 KUH Perdata sendiri adalah: “Biaya, rugi dan bunga yang oleh si piutang boleh dituntut akan penggantiannya, terdirilah pada umumnya atas rugi yang telah dideritanya dan untung yang sedianya harus dapat dinikmatinya, dengan tak mengurangi pengecualian-pengecualian serta perubahan-perubahan yang akan disebut di bawah ini”. Maksud dari bunyi di bawah ini pada pasal tersebut adalah terdapat dalam Pasal 1247 sampai dengan Pasal 1252 KUH Perdata. Menurut Pasal 1249 KUH Perdata ditentukan bahwa penggantian kerugian yang disebabkan wanprestasi hanya ditentukan dalam bentuk uang, adapun bunyi dari Pasal 1249 KUH Perdata tersebut adalah: “Jika dalam suatu perikatan ditentukannya, bahwa si yang lalai memenuhinya, sebagai gantirugi harus membayar suatu jumlah uang tertentu, maka kepada pihak yang lain tak boleh diberikan suatu jumlah yang lebih maupun yang kurang daripada jumlah itu”. Namun dalam perkembangannya menurut para ahli dan yurisprudensi bahwa kerugian dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu ganti rugi
commit to user 28
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 29
materiil dan ganti rugi inmateriil. Kerugian materiil adalah suatu kerugian yang diderita kreditur dalam bentuk uang/kekayaan/benda. Pada kerugian inmateriil adalah suatu kerugian yang diderita oleh kreditur yang tidak bernilai uang, seperti rasa sakit, mukanya pucat, dan lain-lain (Salim H.S., 2005: 101).
d. Overmacht atau force majeure (Keadaan Memaksa) Overmacht atau force majeure atau yang sering diterjemahkan sebagai keadaan memaksa merupakan keadaan dalam hal seorang debitur terhalang untuk melaksanakan prestasinya kerena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya kontrak, keadaan atau peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur, sementara si debitur tersebut tidak dalam keadaan beritikad tidak baik. Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUH Perdata hanya mengatur masalah force majeure dalam hubungannya dengan penggantian biaya, rugi dan bunga saja, akan tetapi perumusan pasal-pasal ini dapat digunakan sebagai pedoman dalam mengartikan force majeure pada umumnya (Munir Fuady, 1999: 113). Sedangkan menurut J. Michael Medina, “force majeure is a generic defense that depends upon contract language for success. Artinya “force majeure adalah sebuah istilah umum yang terdapat dalam bahasa kontrak pada umumnya” (J. Michael Medina, 1990: 298). Lebih lengkapnya, Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUH Perdata menentukan sebagai berikut: Pasal 1244 KUH Perdata “Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya”.
commit to user 29
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 30
Pasal 1245 KUH Perdata “Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja si berutang beralangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbutan yang terlarang”. Ketentuan dari pasal-pasal tersebut memberikan kelonggaran kepada debitur untuk tidak melakukan penggantian biaya, kerugian, dan bunga kepada kreditur, oleh karena suatu keadaan yang berada di luar kekuasaannya. Ada 3 (tiga) hal yang menyebabkan debitur tidak melakukan penggantian biaya kerugian dan bunga, yaitu: 1) Adanya suatu hal yang tak terduga sebelumnya, atau 2) Terjadinya secara kebetulan, dan atau 3) Keadaan memaksa. Berkaitan dengan keadaan memaksa (overmacht), persolan yang harus diperhatikan adalah mengenai risiko yang timbul daripadanya. Dalam teori hukum dikenal suatu ajaran yang disebut dengan resicoleer (ajaran tentang risiko), yaitu dalam hal seseorang berkewajiban untuk memikul kerugian, jika ada sesuatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang menjadi objek perjanjian. Ajaran ini timbul apabila terdapat keadaan memaksa (overmacht). Ajaran ini dapat diterapkan pada perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik. Perjanjian sepihak adalah suatu perjanjian yang salah satu pihak aktif melakukan prestasi dan pihak lainnya pasif. Dalam perjanjian sepihak ini risiko atas musnahnya barang menjadi tanggung jawab penerima barang. Perjanjian timbal balik adalah suatu perjanjian yang kedua belah pihak diwajibkan untuk melakukan prestasi, sesuai dengan kesepakatan yang dibuat antara keduanya, yang termasuk perjanjian timbal balik, yaitu jual beli, sewa menyewa, tukar menukar, dan lain-lain. Berdasarkan Pasal 1460 KUH Perdata dalam perjanjian jual beli risiko atas musnahnya barang menjadi tanggung jawab pembeli walaupun suatu benda yang menjadi objek perjanjian belum diserahkan dan dibayar lunas. Akan tetapi
commit to user 30
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 31
ketentuan Pasal 1460 KUH Perdata telah dicabut berdasarkan SEMA No.3 Tahun 1963 yang menyatakan bahwa ketentuan dalam Pasal 1460 KUH Perdata tidak dapat diterapkan secara tegas karena dalam penerapannya harus memperhatikan, yaitu bergantung pada letak dan tempat beradanya barang tersebut dan bergantung pada orang yang melakukan kesalahan atas musnahnya barang tersebut. Berdasarkan alasan-alasan tersebut, maka selama belum diserahkan risiko dalam perjanjian jual beli seharusnya dipikul oleh penjual yang masih sebagai pemilik barang sampai pada saat barang itu secara yuridis diserahkan kepada pembeli. Selanjutnya, dalam perjanjian tukar menukar berdasarkan Pasal 1545 KUH Perdata risiko atas musnahnya barang diluar kesalahan pemilik perjanjian ditanggung oleh masing-masing pemilik barang dalam tukar menukar. Peraturan tentang risiko dalam perjanjian tukar menukar ini sudah tepat dan adil untuk perjanjian yang bertimbal balik karena dalam perjanjian yang bertibal balik seseorang menjanjikan prestasi demi untuk mendapatkan kontra prestasi. Oleh karena itu, peraturan tentang risiko dalam perjanjian tukar menukar ini sebaiknya digunakan sebagai pedoman untuk semua jenis perjanjian yang bertimbal balik lainnya yang timbul dalam praktek. Dalam perjanjian sewa menyewa yang berdasarkan Pasal 1553 KUH Perdata, risiko mengenai barang yang disewakan ditanggung sepenuhnya oleh pemilik barang, yaitu pihak yang menyewakan. Peraturan risiko dalam Pasal 1553 KUH Perdata ini sudah tepat karena pada asasnya setiap pemilik barang wajib menanggung segala risiko atas barang miliknya. (R. Subekti, 1995: 28-44).
e. Pengertian Perjanjian Pemborongan Pekerjaan Beberapa literatur menyebutkan perjanjian pemborongan pekerjaan sebagai kontrak pemborongan. Dalam buku Kontrak Pemborongan Mega Proyek dipergunakan secara bersama-sama atau bergantian masing-masing istilah konstruksi dan pemborongan. Sungguhpun barangkali jika dikajikaji ada perbedaan di antara kedua istilah tersebut, tetapi dalam teori dan
commit to user 31
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 32
praktek hukum dianggap sama terutama jika dikaitkan dengan istilah hukum/ kontrak konstruksi atau hukum/ kontrak pemborongan karena itu, dalam buku ini juga kedua istilah tersebut digunakan untuk arti yang sama. Walaupun begitu, sebenarnya istilah pemborongan mempunyai cakupan yang lebih luas dengan istilah konstruksi. Sebab dengan istilah pemborongan dapat saja berarti bahwa yang diborong tersebut bukan hanya konstruksinya (pembangunan), melainkan dapat juga berupa pengadaan barang saja (procurement) (Munir Fuady, 2002:12-13). Pengertian kontrak kerja konstruksi terdapat dalam Pasal 1 angka 5 UUJK sebagai berikut: “Kontrak kerja konstruksi adalah keseluruhan dokumen yang mengatur hubungan hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi”. Di dalam Blacklaws Dictionary, construction contract, is: Type of contract in which plans and specification for construction are made a part of the contract it self and commonly it secured by performance and payment bonds to protect both subcontractor and party for whom building is being constructed (Black Law Dictionary 1979: 283). Artinya, kontrak konstruksi adalah suatu tipe perjanjian atau kontrak yang merencanakan dan khusus untuk konstruksi yang dibuat menjadi bagian dari perjanjian itu sendiri. Kontrak konstruksi itu pada umumnya melindungi kedua subkontraktor dan para pihak sebagai pemilik bangunan sebagai dasar dari perjanjian tersebut. Berdasarkan ketentuan dalam Buku III bab VIIA tentang perjanjian-perjanjian untuk melakukan pekerjaan Pasal 1601 KUH Perdata yang menyebutkan: Selain perjanjian-perjanjian untuk melakukan sementara jasa-jasa, yang diatur oleh ketentuan-ketentuan yang khusus untuk itu dan oleh syarat-syarat yang diperjanjikan, dan jika itu tidak ada, oleh kebiasaan, maka adalah dua macam perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk melakukan pekerjaan bagi pihak yang lainnya dengan menerima upah; perjanjian perburuhan dan pemborongan pekerjaan.
commit to user 32
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 33
Menurut pendapat R. Subekti, Undang-undang membagi perjanjian untuk melakukan pekerjaan dalam tiga macam, yaitu (R. Subekti, 1995: 57): a. Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu; b. Perjanjian kerja/perburuhan; dan c. Perjanjian pemborongan kerja. Pengertian dari pemborongan pekerjaan diatur dalam Pasal 1601 b KUHPerdata yang berbunyi: “Pemborongan pekerjaan adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu, si pemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain, pihak yang memborongkan, dengan menerima suatu harga yang ditentukan”. Adapun pengertian perjanjian pemborongan pekerjaan menurut R. Subekti adalah: Suatu perjanjian antara seorang (pihak yang memborongkan pekerjaan) dengan seorang lain (pihak yang memborong pekerjaan), dimana pihak pertama menghendaki sesuatu hasil pekerjaan yang disanggupi oleh pihak lawan, atas pembayaran suatu jumlah uang sebagai harga pemborongan. Bagaimana caranya pemborong mengerjakannya tidaklah penting bagi pihak pertama tersebut, karena yang dikehendaki adalah hasilnya, yang akan diserahkan kepadanya dalam keadaan baik, dalam suatu jangka waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian (R.Subekti, 1995: 57). Pembagian perjanjian pemborongan menurut ketentuan Pasal 1604 KUH Perdata yang berbunyi: “Dalam hal pemborongan pekerjaan dapat ditetapkan dalam perjanjian bahwa si pemborong hanya akan melakukan pekerjaan saja atau bahwa ia juga akan memberikan bahannya. Berdasarkan hal tersebut pemborong atau pelaku usaha mempunyai kewajiban dan/atau tanggung jawab atas pekerjaan yang diberikan oleh pihak yang memborongkan atau pengguna jasa konstruksi. Menurut R. Subekti, kewajiban dan/atau tanggung jawab pihak pemborong atas pekerjaan adalah sebagai berikut si pemborong diwajibkan memberikan bahannya, dan pekerjaannya dan apabila terjadi musnah sebelum diserahkan kepada pihak yang memborongkan, maka segala kerugian
commit to user 33
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 34
adalah atas tanggungan si pemborong, kecuali apabila pihak yang memborongkan telah lalai untuk menerima hasil pekerjaan itu. Jika si
pemborong hanya diwajibkan melakukan pekerjaan saja, dan pekerjaannya musnah, maka ia hanya bertanggung jawab untuk kesalahannya (R.Subekti, 1995: 65-66). Pemborong atau penyedia jasa dibebaskan dari tanggung jawab dalam hal si pemborong hanya diwajibkan melakukan pekerjaan saja sebagaimana diatur dalam Pasal 1607 KUH Perdata yang berbunyi: Jika di dalam hal yang tersebut dalam pasal yang lalu, musnahnya pekerjaan itu terjadi diluar sesuatu kelalaian dari pihak si pemborong, sebelum pekerjaan itu diserahkan, sedangkan pihak yang memborongkan tidak telah lalai untuk memeriksa dan menyetujui pekerjaannya, maka si pemborong tidaklah berhak atas harga yang dijanjikan, kecuali apabila musnahnya barang itu disebabkan oleh sesuatu cacat dalam bahannya. UUJK dalam Pasal 22 ayat (2) menentukan bahwa sekurangkurangnya suatu kontrak konstruksi harus mencakup uraian mengenai beberapa hal sebagai berikut: 1) Para pihak, yang memuat secara jelas identitas para pihak; 2) Rumusan pekerjaan, yang memuat mengenai uraian yang jelas dan rinci tentang lingkup kerja, nilai pekerjaan, batasan waktu pelaksanaan; 3) Masa pertanggungan dan/atau pemeliharaan, yang memuat tentang jangka waktu pertanggungan dan/atau pemeliharaan yang menjadi tanggung jawab penyedia jasa; 4) Tenaga ahli, yang memuat ketentuan tentang jumlah, klasifikasi dan kualifikasi tenaga ahli untuk melaksanakan pekerjaan konstruksi; 5) Hak dan kewajiban para pihak, yang memuat hak pengguna jasa untuk memperoleh hasil pekerjaan konstruksi serta kewajibannya untuk memenuhi ketentuan yang diperjanjikan serta hak penyedia jasa untuk memperoleh informasi dari imbalan jasa serta kewajibannya melaksanakan pekerjaan konstruksi; 6) Cara pembayaran, yang memuat ketentuan tentang kewajiban pengguna jasa dalam melakukan pembayaran hasil pekerjaan konstruksi; 7) Cidera janji, yang memuat tentang tanggung jawab dalam hal salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban sebagian diperjanjikan; 8) Penyelesaian perselisihan, yang memuat tentang cara penyelesaian akibat ketidaksepakatan;
commit to user 34
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 35
9) Pemutusan kontrak kerja konstruksi, yang memuat tentang pemutusan kontrak kerja konstruksi yang timbul akibat tidak dapat dipenuhinya kewajiban salah satu pihak; 10) Keadaan memaksa (force majeure), yang memuat ketentuan tentang kejadian yang timbul diluar kemauan dan kemampuan para pihak, yang menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak; 11) Kegagalan bangunan, yang memuat ketentuan dengan kewajiban penyedia jasa dan/atau pengguna jasa atas kegagalan bangunan; 12) Perlindungan kerja, yang memuat ketentuan tentang kewajiban para pihak dalam pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja serta jaminan sosial; 13) Aspek lingkungan, yang memuat tentang kewajiban para pihak dalam pemenuhan ketentuan tentang lingkungan.
f. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Jasa Konstruksi Hak dan kewajiban dari pihak pengguna jasa maupun pihak penyedia jasa dalam setiap kontrak kerja konstruksi, tidak dapat di sama ratakan, karena hak dan kewajiban yang ditimbulkan dari suatu kontrak kerja konstruksi ditentukan berdasarkan kesepakatan antara kedua belah pihak melalui klausula-klausula yang dicantumkan di dalam suatu kontrak kerja konstruksi. Sejak ditandatangani kontrak antara penyedia jasa dan pengguna jasa, maka timbulah hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Secara umum kewajiban utama penyedia jasa adalah melaksanakan pekerjaan, sementara kewajiban utama pengguna jasa adalah membayar uang pembayaran hasil proyek konstruksi tersebut kepada pihak penyedia jasa. Hak dari penyedia jasa konstruksi secara umum adalah mendapat uang pembayaran dari hasil pekerjaannya dari pengguna jasanya, untuk hak pengguna jasa konstruksi secara umum adalah mendapatkan konstruksi atau bangunan hasil pekerjaan penyedia jasa konstruksi. Hak dan kewajiban penyedia jasa konstruksi maupun pengguna jasa konstruksi tersebut sebagaimana telah disepakati bersama yang tertuang dalam perjanjian atau kontrak.
commit to user 35
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 36
Kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak tersebar di beberapa pasal dalam UUJK antara lain : 1) Kewajiban pihak penyedia jasa Pasal 8 UUJK menyatakan bahwa perencana konstruksi, pelaksana konstruksi, dan pengawas konstruksi yang berbentuk badan usaha harus : a) Memenuhi ketentuan tentang perizinan usaha di bidang jasa konstruksi; b) Memiliki sertifikat, klasifikasi, dan kualifikasi perusahaan jasa konstruksi. 2) Kewajiban pihak pengguna jasa Kewajiban sebagai pihak pengguna jasa mengenai kewajiban memenuhi biaya dalam pekerjaan konstruksi dengan penjaminan diatur dalam Pasal 15 ayat (2) UUJK menyatakan bahwa : “Pengguna jasa harus memiliki kemampuan membayar biaya pekerjaan konstruksi yang didukung dengan dokumen pembuktian dari lembaga perbankan dan/atau lembaga keuangan bukan bank”. Lebih lanjut dalam Pasal 15 ayat (5) UUJK menyatakan bahwa: “Pengguna jasa harus memenuhi kelengkapan yang dipersyaratkan untuk melaksanakan pekerjaan konstruksi”. Kewajiban pengguna jasa dalam pengikatan dengan penyedia jasa tercantum dalam Pasal 18 ayat (1) UUJK yang mencakup antara lain : a) Menerbitkan dokumen tentang pemilihan penyedia jasa yang memuat ketentuan-ketentuan secara lengkap, jelas dan benar serta dapat dipahami; b) Menetapkan penyedia jasa secara tertulis sebagai hasil pelaksanaan pemilihan. 3) Kewajiban bersama (pengguna jasa maupun penyedia jasa) Pengguna jasa dan penyedia jasa harus menindaklanjuti dengan penetapan tertulis setelah adanya pengikatan dalam bentuk kontrak kerja konstruksi. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 18 ayat (4) UUJK yaitu:
commit to user 36
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 37
“Untuk menjamin terpenuhinya hak dan kewajiban para pihak yang secara adil dan seimbang serta dilandasi itikad baik dalam penyelenggaran pekerjaan konstruksi maka pengguna jasa dan penyedia jasa wajib menindaklanjuti penetapan tertulis dengan suatu kontrak kerja konstruksi”. UUJK memberikan pengaturan untuk menjamin terwujudnya tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi sebagaimana tercantum dalam Pasal 23 ayat (2), dan ayat (3) : Pasal 23 ayat (2) “Penyelenggaraan pekerjaan konstruksi wajib memenuhi ketentuan tentang keteknikan, keamanan, keselamatan dan kesehatan kerja, perlindungan tenaga kerja, serta tata lingkungan setempat untuk menjamin terwujudnya tertib penyelenggaran pekerjaan konstruksi”. Dalam penjelasan Pasal 23 ayat (2) UUJK di atas, yang dimaksud ketentuan tentang keteknikan meliputi: standar konstruksi bangunan, standar mutu hasil pekerjaan, standar mutu bahan dan atau komponen bangunan, dan standar mutu peralatan. Dalam ketentuan tentang ketenagakerjaan meliputi: persyaratan standar keahlian dan keterampilan yang meliputi bidang dan tingkat keahlian serta keterampilan
yang
diperlukan
dalam
pelaksanaan
pekerjaan
konstruksi. Pasal 23 ayat (3) Para pihak dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi kewajiban yang dipersyaratkan untuk menjamin berlangsungnya tertib penyelenggaran pekerjaan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Termuat dalam penjelasan Pasal 23 ayat (1) huruf e Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi bahwa hak dan kewajiban yang timbul adalah sebagai berikut :
commit to user 37
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 38
1) Hak dan kewajiban pengguna jasa antara lain meliputi: a) Hak pengguna jasa, yaitu: (1) Mengubah sebagian isi kontrak kerja konstruksi tanpa mengubah lingkup kerja yang sudah diperjanjikan atas kesepakatan dengan penyedia jasa; (2) Menghentikan pekerjaan sementara apabila penyedia jasa bekerja tidak sesuai ketentuan kontrak kerja; (3) Menghentikan secara permanen dengan cara pemutusan kontrak kerja konstruksi apabila penyedia jasa tidak memenuhi ketentuan kontrak kerja konstruksi; (4) Menolak usulan perubahan isi sebagian kontrak konstruksi yang diusulkan penyedia jasa; (5) Menetapkan dan atau mengubah besaran serta persyaratan pertanggungan atas kesepakatan dengan penyedia jasa; (6) Mengganti tenaga penyedia jasa karena dinilai tidak mampu melaksanakan pekerjaan; (7) Menghentikan pekerjaan sementara apabila penyedia jasa tidak memenuhi kewajibannya; (8) Menolak usulan subpenyedia jasa dan atau pemasok yang diusulkan penyedia jasa. b) Kewajiban pengguna jasa, yaitu: (1) Menyerahkan sarana kerja kepada penyedia jasa untuk pelaksanaan pekerjaan sesuai kesepakatan kontrak kerja konstruksi; (2) Memberikan bukti kemampuan membayar biaya pelaksanaan pekerjaan; (3) Menerima bahan dan atau hasil pekerjaan yang telah memenuhi persyaratan teknis dan administrasi; (4) Memberikan imbalan atas prestasi lebih; (5) Membayar tepat waktu dan tepat jumlahnya sesuai tahapan proses pembayaran yang disepakati; (6) Memenuhi pembayaran kompensasi atas kelalaian atau kesalahan pengguna jasa; (7) Menjaga kerahasiaan dokumen atau proses kerja yang diminta penyedia jasa; (8) Melaksanakan pengawasan dan koreksi terhadap pelaksanaan pekerjaan. 2) Hak dan kewajiban penyedia jasa antara lain: a) Hak penyedia jasa, yaitu: (1) Mengajukan usulan perubahan atas sebagian isi kontrak kerja konstruksi; (2) Mendapatkan imbalan atas prestasi lebih yang dilakukannya; (3) Mendapatkan kompensasi atas kerugian yang timbul akibat perubahan isi kontrak kerja konstruksi yang diperintahkan pengguna jasa;
commit to user 38
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 39
(4) Menghentikan pekerjaan sementara apabila pengguna jasa tidak memenuhi kewajibannya; (5) Menghentikan pekerjaan secara permanen dengan cara pemutusan kontrak kerja konstruksi, apabila pengguna jasa tidak mampu melanjutkan pekerjaan atau tidak mampu memenuhi kewajibannya. Dalam hal ini penyedia jasa berhak mendapat kompensasi atas kerugian yang timbul akibat pemutusan kontrak kerja konstruksi; (6) Menolak usulan perubahan sebagian isi kontrak kerja konstruksi dari pengguna jasa; (7) Menunjuk subpenyedia jasa dan atau pemasok atas persetujuan pengguna jasa. b) Kewajiban penyedia jasa, yaitu : (1) Memberikan pendapat kepada pengguna jasa atas penugasannya, dokumen yang menjadi acuan pelaksanaan pekerjaan, data pendukung, kualitas sarana pekerjaan atau hal-hal lainnya yang dipersyaratkan pada kontrak kerja konstruksi; (2) Memperhitungkan resiko pelaksanaan dan hasil pekerjaan; (3) Memenuhi ketentuan pertanggungan, membayar denda dan atau ganti rugi sesuai yang dipersyaratkan pada kontrak kerja konstruksi.
2. Tinjauan Umum tentang Persekutuan Komanditer a. Pengertian Badan Hukum Badan hukum dalam bahasa Belanda disebut rechtpersoon. Badan hukum adalah himpunan dari orang yang sebagai perkumpulan, baik perkumpulan itu diadakan atau diakui oleh pejabat umum, maupun perkumpulan itu diterima sebagai diperolehkan atau telah didirikan untuk maksud yang tidak bertentangan dengan undang-undang dan kesusilaan yang baik (Salim H.S., 2005: 64). Menurut J.Satrio, Badan hukum merupakan suatu kesatuan (entity) di luar manusia alamiah, yang oleh hukum positif diakui dapat mempunyai kewenangan hukum yang tersendiri, terlepas dari orang-orang yang membentuknya (J.Satrio, 1994: 177). Dengan demikian, badan hukum dapat mempunyai hak dan kewajiban seperti yang biasa dipunyai oleh manusia alamiah, terlepas dari hak dan kewajiban pendirinya.
commit to user 39
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 40
Menurut ketentuan Pasal 1653 KUH Perdata ada tiga macam klasifikasi badan hukum berdasarkan eksistensinya, yaitu: 1) Badan hukum yang dibentuk oleh pemerintah (penguasa), seperti badan-badan pemerintahan, perusahaan-perusahaan Negara. 2) Badan hukum yang diakui oleh pemerintah (penguasa), seperti Perseroan Terbatas, Koperasi. 3) Badan hukum yang diperbolehkan atau untuk suatu tujuan yang sifatnya ideal, seperti yayasan (pendidikan), sosial, keagamaan, dan lain-lain). Menurut Abdulkadir Muhammad, badan hukum dapat dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu (Abdulkadir Muhammad, 2000: 29-31): Dilihat dari wewenang hukum yang diberikan kepada badan hukum, maka badan hukum dapat pula diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu: 1) Badan hukum publik (kenegaraan), yaitu badan hukum yang dibentuk oleh pemerintah, diberi wewenang menurut hukum publik, misalnya departemen pemerintahan, propinsi, lembaga-lembaga Negara seperti MPR, DPR, Mahkamah Agung RI. 2) Badan hukum privat (keperdataan), yaitu badan hukum yang dibentuk oleh pemerintah atau swasta, diberi wewenang menurut hukum perdata. Badan hukum keperdataan ini mempunyai bermacam ragam tujuan keperdataan. Dilihat dari segi tujuan keperdataan yang hendak dicapai oleh badan hukum itu, maka badan hukum keperdataan dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu: 1) Badan hukum yang bertujuan memperoleh laba, terdiri dari perusahaan Negara, yaitu Perusahaan Umum (Perum), Perusahaan Perseroan (Persero), Perusahaan Jawatan (Perjan); Perusahaan swasta, yaitu Perseroan Terbatas (P.T.), Persekutuan Komanditer (C.V.), dan sebagainya.
commit to user 40
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 41
2) Badan
hukum
yang
bertujuan
memenuhi
kesejahteraan
para
anggotanya, yaitu koperasi. 3) Badan hukum yang bertujuan bersifat ideal di bidang sosial, pendidikan,
ilmu
pengetahuan,
kebudayaan,
keagamaan.
Ada
pemisahan antara kekayaan badan hukum dan kekayaan pribadi pengurusnya. Termasuk dalam jenis ini adalah yayasan, organisasi keagamaan, wakaf .
b. Pengertian Persekutuan Komanditer Yang dinamakan persekutuan (bahasa Belanda: “maatschap’ atau “ vennootscap”) adalah suatu perjanjian antara dua orang atau lebih untuk berusaha bersama-sama mencari keuntungan yang akan dicapai dengan jalan
masing-masing
memasukkan
sesuatu
kekayaan
bersama.
Berdasarkan Pasal 1618 KUH Perdata mengatakan, “Persekutuan adalah suatu perjanjian dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu dalam kekayaan bersama, dengan maksud untuk membagi keuntungan yang diperoleh karenanya”. Persekutuan (maatschap) ini merupakan bentuk kerjasama yang paling sederhana untuk bersma-sama mencari keuntungan. Perjanjian persekutuan tidak mempunyai pengaruh keluar (terhadap orang-orang pihak ketiga) dan ia semata-mata mengatur bagaimana caranya kerjasama antara para sekutu dan bagaimana pembagian keuntungan yang diperoleh bersama itu. Lain halnya dengan bentuk-bentuk kerjasama lainnya yang lebih modern sepertinya: perseroan firma, perseroan terbatas (P.T.) dan lain-lain. Suatu perseroan “firma”, tiap-tiap persero (firmant) menurut undang-undang mempunyai wewenang untuk mengikatkan kawankawannya persero kepada pihak ketiga. Dalam perseroan firma ini masingmasing persero (berdasarkan ketentuan undang-undang) memberikan “volmacht” (kuasa penuh) kepada kawan-kawannya se-firma untuk bertindak
(melakukan
(R.Subekti, 1995: 75-76).
perbuatan-perbuatan
commit to user 41
hukum)
atas
namanya
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 42
Perseroan Komanditer yang biasa disingkat CV (Comanditaire Vennootschap) mempunyai 2 (dua) macam sekutu, yaitu: 1) Sekutu komplementer (complementary partner), yaitu sekutu aktif yang menjadi pengurus persekutuan. 2) Sekutu komanditer (silent partner), yaitu sekutu pasif yang tidak ikut mengurus persekutuan. Dua macam sekutu ini menyerahkan pemasukan pada persekutuan secara bersama untuk memperoleh keuntungn bersama dan kerugian jasa dipikul bersama secara berimbang dengan pemasukan masing-masing (Munir Fuady, 2002: 57). Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Usaha Perseorangan dan Badan Usaha Bukan Badan Hukum juga mengatur persekutuan komanditer, atau yang lazim dikenal dengan CV. Menurut Pasal 1 butir 5 RUU, CV adalah badan usaha bukan badan hukum yang mempunyai satu atau lebih sekutu komplementer dan sekutu komanditer. Sekutu komplementer berhak bertindak untuk dan atas nama bersama semua sekutu serta bertanggung jawab terhadap pihak ketiga secara tanggung renteng. Namun sekutu ini bertanggung jawab sampai harta kekayaan pribadi. Hal ini terjadi jika harta CV tidak cukup untuk membayar hutang saat CV bubar. Jika CV bubar maka sekutu komplementer yang berwenang melakukan likuidasi, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian atau rapat sekutu komplementer. Jika setelah dilikuidasi masih terdapat sisa harta CV, maka dibagikan kepada semua sekutu sesuai dengan pemasukan masing-masing. Sementara sekutu komanditer yang tidak boleh bertindak atas nama bersama semua sekutu dan
tidak
bertanggungjawab
terhadap
pihak
ketiga
melebihi
pemasukannya. Jadi harta kekayaan pribadinya terpisah dari harta CV. Pengertian
Persekutuan
Komanditer
atau
Commanditaire
Vennootscap (CV) adalah badan usaha yang mempunyai 1 (satu) atau beberapa orang sekutu yang hanya menyerahkan uang, barang, atau tenaga
commit to user 42
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 43
sebagai pemasukan pada persekutuan, dan tidak turut campur dalam pengurusan atau penguasaan persekutuan. Dia hanya memperoleh keuntungan dari pemasukannya itu. Tanggung jawabnya terbatas pada jumlah pemasukannya itu. Bentuk
kepemilikan
bisnis
Persekutuan
Komanditer
(Commanditaire Vennootschap/ CV) merupakan perluasan dari bentuk kepemilikan bisnis perorangan diatur berdasarkan KUHD Pasal 19. Persekutuan Komanditer adalah bentuk kepemilikan bisnis yang dibentuk oleh seorang atau lebih persero, dengan tanggung jawab penuh. Persekutuan Komanditer didirikan oleh beberapa orang (sekutu) yang menyerahkan uangnya dan mempercayakan uang itu untuk dipakai dalam persekutuan.
c. Prosedur Pendirian Persekutuan Komanditer Pendirian suatu Persekutuan Komanditer tidak diatur secara khusus dalam KUHD. Pendirian Persekutuan Komanditer sebenarnya dapat dilakukan dengan cara yang sederhana yaitu secara lisan, tetapi secara tertulis merupakan cara yang baik mengingat akibat hukum yang ditimbulkan dalam perjanjian itu sangat besar terutama bagi para pengurus persero. Dalam KUHD ada pengaturan secara khusus mengenai cara mendirikan Firma, yaitu pada Pasal 22 KUHD. Pada dasarnya Persekutuan Komanditer merupakan persero yang pengurusnya terdiri dari beberapa orang yang bertanggung jawab secara tanggung renteng seperti pada Firma sehingga ketentuan-ketentuan yang diberlakukan terhadap Firma juga diberlakukan terhadap Persekutuan Komanditer. Dengan demikian, dalam pendirian Persekutuan Komanditer (CV) diberlakukan Pasal 22 KUHD (M. Natzir Said, 1987: 236-237). Persekutuan Komanditer didirikan dengan pembuatan anggaran dasar yang dituangkan dalam akta pendirian yang dibuat di muka Notaris. Pertama kali yang harus dilakukan untuk mendirikan Persekutuan Komanditer (CV) adalah (Munir Fuady, 2002:57-58):
commit to user 43
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 44
1) Menetapkan Kerangka Anggaran Dasar Perseroan sebagai acuan untuk dibuatkan akta otentik sebagai akta pendirian oleh Notaris yang berwenang. Kerangka Anggaran Dasar Perseroan meliputi: a) Pendiri Perseroan Harus menetapkan Nama Para Pendiri Perseroan dengan ketentuan seperti dibawah ini: (1) Jumlah Pendiri minimal 2 (dua) orang dan Warga Negara Indonesia. (2) Para pendiri juga dapat diangkat sebagai salah satu pengurus baik sebagai Direktur atau Komisaris dan jika Anggota Direktur atau Komisaris lebih dari satu orang maka salah satu dapat diangkat menjadi Direktur Utama atau Komisaris Utama. b) Nama Perseroan Harus menetapkan Nama dan Tempat kedudukan perseroan melakukan kegiatan usaha: (1) Pemakaian nama Perseroan Komanditer tidak diatur secara khusus oleh Undang-undang atau Peraturan Pemerintah artinya Kesamaan atau Kemiripan nama perseroan di perbolehkan. (2) Kedudukan perseroan harus berada di wilayah Republik Indonesia dengan menyebutkan nama Kota/Kabupaten sebagai tempat Perseroan melakukan kegiatan usaha dan sebagai kantor pusat perseroan. c) Maksud & Tujuan serta Kegiatan Usaha Setiap perseroan yang didirikan dapat melakukan kegiatan usaha yang sama dengan perseroan lain atau berbeda, bersifat khusus atau umum sesuai dengan keinginan para pendiri perseroan. d) Modal Perseroan Di dalam anggaran dasar perseroan komanditer (akta pendirian) tidak disebutkan besarnya jumlah modal dasar, modal ditempatkan atau modal disetor. Penyebutan besarnya modal perseroan dapat
commit to user 44
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 45
dicantumkan dalam SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan) atau Izin Operasional lainnya. e) Pengurus Perseroan Pada tahap ini, maka harus ditetapkan siapa saja yang akan menjadi Pengurus Perseroan yaitu ; Pesero Aktif dan Pesero Pasif. 2) Setelah langkah hurur a samapi dengan e telah ditentukan maka sudah siap untuk mengajukan permohonan akta pendirian sebagai langkah awal atau berdirinya Perusahaan. 3) Setelah Akta Pendirian selesai dibuat maka yang harus dilakukan adalah melengkapi pendaftaran dan perizinan yang harus dimiliki untuk dapat melakukan kegiatan usaha seperti: Domisili Perusahaan, Nomor Pajak Wajib Pajak (NPWP), Pendaftaran ke Pengadilan Negeri setempat, Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) atau Izin Usaha Lainnya dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP). 4) Akta pendirian kemudian didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negari setempat. Akta pendirian yang sudah didaftarkan itu diumumkan dalam Tambahan Berita Negara. Syarat pengesahan dari Menteri kehakiman tidak diperlukan karena Persekutuan Komanditer bukan badan hukum.
3. Tinjauan Umum tentang Tanggung Jawab a. Pengertian Tanggung Jawab Tanggung jawab menurut kamus Bahasa Indonesia adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya kalau ada sesuatu hal (M. Kasir Ibrahim, 1993: 356).
Tanggung jawab adalah suatu keharusan bagi
seseorang untuk melaksanakan dengan selayaknya segala yang telah diwajibkan kepadanya (Yan Pramudya Puspa, 1982:570). Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja
maupun
yang
tidak
disengaja
(http://emil.
staff.gunadarma.ac.id/.../files/.../bab9-manusia_dan-tanggung_jawab.pdf, diakases pada pukul 15.30 WIB tanggal 30 Desember 2010).
commit to user 45
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 46
b. Tanggung Jawab Penyedia Jasa (Pelaku Usaha) Pengertian jasa konstruksi berdasarkan Pasal 1 angka 1 UUJK sebagai berikut: “Jasa Konstruksi adalah layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi,
dan
layanan
jasa
konsultansi
pengawasan
pekerjaan
konstruksi”. Adapun pengertian pekerjaan konstruksi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 UUJK adalah keseluruhan atau sebagian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya, untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain. Para pihak dalam usaha jasa konstruksi terdiri dari pengguna jasa dan penyedia jasa, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 14 UUJK. Pengguna jasa adalah orang perseorangan atau badan sebagai pemberi tugas atau pemilik pekerjaan/proyek yang memerlukan layanan jasa konstruksi, penyedia jasa adalah orang perseorangan atau badan yang kegiatan usahanya menyediakan layanan jasa konstruksi. Tanggung jawab pelaku usaha atau penyedia barang dan/atau jasa diatur dalam Pasal 19 UUPK, yaitu: (1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. (2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. (4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
commit to user 46
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 47
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen. Berkaitan dengan penyedia jasa khususnya penyedia jasa konstruksi, tanggung jawab kepada pengguna jasanya dituangkan dalam bentuk perjanjian baik tertulis dan/atau lisan. “Menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, bentuk pertanggungjawaban lain dari penyedia jasa adalah kewajiban memenuhi jaminan dan/atau garansi atas jasa yang diperdagangkan pelaku usaha digantungkan syarat pada isi perjanjian” (Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2004: 158). Dalam Pasal 27 UUPK memberikan pembatasan mengenai tanggung jawab pelaku usaha, dimana pelaku usaha dibebaskan dari tanggung jawab apabila : 1) Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan; 2) Cacat barang timbul pada kemudian hari; 3) Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang; 4) Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen; 5) Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang di beli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan. Pihak penyedia jasa (pelaku usaha) yang menyediakan produk jasa kepada pemakai jasa (konsumen), selain mempunyai hak dan kewajiban sebagaimana mestinya juga mempunyai tanggung jawab untuk menjamin kepada konsumen yang menggunakan jasanya. Tanggung jawab penyedia jasa ini meliputi tanggung jawab yang diakibatkan karena wanprestasi atau overmacht/ force majeure. Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus pelanggaran hak konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait.
commit to user 47
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 48
Berdasarkan pendapat Shidarta bahwa UUPK mengakomodir dua prinsip tanggung jawab, yaitu (Shidarta, 2000: 65-67): 1) Tanggung jawab produk (product liability) Tanggung jawab produk sebenarnya mengacu sebagai tanggung jawab produsen, yang dalam bahasa Jerman disebut produzenten-haftung. Menurut Shidarta yang mengutip pendapat dari Agnes M. Toar mengartikan tanggung jawab produk yang di bawanya ke dalam peredaran, yang menimbulkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut. 2) Tanggung jawab profesional. Jika tanggung jawab produk berkaitan dengan produk barang, maka tanggung jawab profesional lebih berhubungan dengan jasa. Menurut Shidarta yang mengutip pendapat Komar Kantaatmadja, “tanggung jawab profesional adalah tanggung jawab hukum (legal liability) dalam hubungan dengan jasa profesional yang diberikan kepada klien. Sumber persoalan dalam tanggung jawab profesional ini dapat timbul karena mereka (para penyedia jasa profesional) tidak memenuhi perjanjian yang mereka sepakati dengan klien mereka atau akibat kelalaian penyedia jasa tersebut.
c. Tanggung Jawab Hukum Persekutuan Komanditer Dalam melangsungkan kegiatan usahanya, aktivitas bisnis CV dilakukan oleh para pesero aktifnya. Merekalah yang bertanggung jawab untuk melakukan tindakan pengurusan atau bekerja di dalam perseroan tersebut. Bahkan jika ditarik lebih jauh, para pesero komplementer ini juga dapat dimintakan tanggung jawab secara tanggung renteng atas perikatanperikatan perseroanya. Di sisi lain, para pemberi modal atau pesero komanditer, tidak bisa terlibat dalam menjalankan aktivitas perusahaan. Hal tersebut diatur secara tegas di dalam Pasal 20 KUHD yang menjelaskan bahwa pesero komanditer ini tidak boleh melakukan tindakan pengurusan atau bekerja
commit to user 48
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 49
dalam perusahaan perseroan tersebut, meskipun ada pemberian kuasa sekalipun. Implikasinya, pesero komanditer tidak perlu ikut memikul beban kerugian yang jumlahnya lebih besar dari modal yang disetorkannya ke perusahaan. Namun jika pesero komanditer terbukti ikut menjalankan perusahaan sebagaimana yang dilakukan pesero komplementer dan mengakibatkan kerugian perusahaan, maka sesuai dengan Pasal 21 KUHD, pesero komanditer ikut bertanggung jawab secara tanggung renteng terhadap semua utang dan perikatan perseroan tersebut (Abdulkadir Muhammad, 2002: 59).
d. Tanggung Jawab Keperdataan Tanggung jawab secara perdata pelaku jasa konstruksi dapat dilihat dari perikatan yang terjadi antara Pengguna Jasa dengan Penyedia Jasa. Perikatan yang berbentuk kontrak kerja konstruksi tersebut terkait dengan Pasal 1233 KUH Perdata, yaitu bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena
persetujuan,
baik
karena
undang-undang.
Menurut
Ilmu
Pengetahuan Hukum Perdata, perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara 2 (dua) orang atau lebih, yang terletak di dalam harta kekayaan, di mana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi (Bambang Poerdyatmono, 2007: 88). Dalam hukum, setiap tuntutan tanggung jawab harus mempunyai dasar, yaitu hal yang menyebabkan seseorang harus (wajib) bertanggung jawab. Dasar tanggung jawab itu menurut hukum perdata adalah kesalahan dan risiko yang ada dalam setiap peristiwa hukum. Keduanya menimbulkan akibat dan konsekuensi hukum yang jauh berbeda di dalam pemenuhan tanggung jawab berikut hal-hal yang berkaitan dengan prosedur penuntutannya. Secara teoritis tanggung jawab terkait dengan hubungan hukum yang timbul antara pihak yang menuntut tanggung jawab dengan pihak yang dituntut untuk bertanggung jawab. Oleh karena itu, berdasarkan jenis hubungan hukum atau peristiwa hukum yang ada, maka dapat dibedakan (Janus Sidabolak, 2010: 101-102) :
commit to user 49
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 50
1) Tanggung jawab atas dasar kesalahan, yang dapat lahir karena terjadinya wanprestasi, timbulnya perbuatan melawan hukum, tindakan yang kurang hati-hati. 2) Tanggung jawab atas dasar risiko, yaitu tanggung jawab yang harus dipikul sebagai risiko yang harus diambil oleh seorang pengusaha atas kegiatan usahanya
4. Tinjauan tentang Penyelesaian Sengketa Hubungan pelaku usaha dengan konsumen didasari rasa saling membutuhkan dan saling mengisi, namun kondisi tersebut tidak semulus dengan apa yang diharapkan, artinya terkadang muncul konflik/sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha. Di berbagai media cetak sering dijumpai pengaduan masyarakat melalui kolom surat pembaca. Berbagai keluhan dari rasa ketidakpuasan masyarakat terhadap produk tertentu sampai ke pelayanan jasa tertentu yang tidak memadai atau mengecewakan. Rasa ketidakpuasan ini akan berkembang menjadi konflik. Konflik juga dapat terjadi pada transaksi konsumen. Trasaksi konsumen di sini adalah proses terjadinya peralihan kepemilikan atau penikmatan barang atau jasa kepada konsumen. Peralihan hak terjadi karena adanya suatu hubungan tertentu sebagaimana diatur dalam KUH Perdata atau peraturan peundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan peralihan hak atau penikmatan barang atau jasa. Peralihan hak dapat terjadi antara lain karena adanya jual beli atau sewa menyewa barang seperti rumah, mebel, mobil, perlengkapan dapur dan sebagainya, atau penyelenggaraan jasa asuransi, konstruksi, perbankan, pariwisata dan sebagainya. Apabila konflik yang dialami oleh konsumen tersebut tidak dapat diselesaikan, maka akan berkembang menjadi sengketa (Abdul Halim Barkatullah, 2010: 73). Pihak konsumen yang bersengketa haruslah konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 UUPK, yaitu pemakai, pengguna dan atau pemanfaat barang dan/jasa yang umumnya dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan untuk memenuhi kepentingan diri, keluarga, dan/atau rumah
commit to user 50
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 51
tangga konsumen dengan tujuan non komersial. Kelompok konsumen ini disebut sebagai konsumen akhir, yaitu pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk. Selain itu dalam UUPK dikenal adanya konsumen antara, yaitu konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya atau dengan kata lain konsumen antara adalah pemakai/pengguna barang atau jasa dengan tujuan memproduksi (membuat) barang atau jasa lain, atau mendapatkan barang atau jasa itu untuk dijual kembali dengan tujuan komersial (Abdul Halim Barkatullah, 2010: 75). Menurut Shidarta sengketa konsumen adalah sengketa yang berkenaan dengan pelanggaran hak-hak konsumen. Lingkupnya mencakup semua segi hukum baik keperdataan, pidana maupun tata usaha negara. Oleh karena itu, tidak digunakan istilah ”sengketa transaksi konsumen” karena yang terakhir ini berkesan lebih sempit, yang hanya mencakup aspek hukum keperdataan (Shidarta, 2000: 135). Masalah penyelesaian sengketa dalam UUPK dalam BAB X terdiri dari 4 (empat) pasal, mulai dari Pasal 45 sampai dengan Pasal 48. Undang-undang ini menyediakan fasilitas peyelesaian sengketa melalui pengadilan dan di luar pengadilan. Bentuk penyelesaian sengketa pada dasarnya dapat digolongkan menjadi dua yaitu melalui pengadilan (litigasi) dan di luar pengadilan (non litigasi). Adapun penjelasannya, yaitu: 1) Penyelesaian Sengketa melalui pengadilan (litigasi) Penyelesaian sengketa melalui pengadilan para pihak yang bersengketa saling berhadapan satu sama lain untuk mempertahankan hakhaknya. Hasil akhir dari suatu penyelesaian sengketa melalui pengadilan adalah putusan yang menyatakan pihak yang satu menang dan pihak yang lain kalah. Pada perkembangannya, terutama dalam berbagai transaksi bisnis internasional, penyelesaian sengketa melalui pengadilan kurang begitu disukai alasannya adalah (Suyadi, 2007: 56) : a) Lamanya proses beracara dalam persidangan penyelesaian perkara perdata;
commit to user 51
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 52
b) Lamanya
penyelesaian
sengketa
dapat
juga
disebabkan
oleh
panjangnya tahapan penyelesaian sengketa, yakni proses beracara di Pengadilan Negeri, kemudian masih dapat banding ke Pengadilan Tinggi, dan kasasi ke Mahkamah Agung. Bahkan proses masih menjadi lebih panjang jika diajukan peninjauan kembali (catatan : namun dalam perkara sengketa hak merek, jika pihak tergugat maupun penggugat tidak puas terhadap putusan Pengadilan Negeri dapat langsung melakukan kasasi ke Mahkamah Agung. Hal yang sama juga berlaku bagi keputusan Pengadilan Niaga dalam perkara kepailitan); c) Lama
dan
panjangnya proses penyelesaian
sengketa
melalui
pengadilan tersebut tentunya membawa akibat yang berkaitan dengan tingginya biaya (legal court); d) Sidang pengadilan di Pengadilan Negeri dilakukan secara terbuka, padahal di sisi lain kerahasiaan adalah sesuatu yang diutamakan di dalam kegiatan bisnis; e) Seringkali hakim yang menangani atau menyelesaikan perkara dalam bisnis kurang menguasai substansi hukum sengketa yang bersangkutan dengan perkataan lain hakim dianggap kurang profesional; dan f) Adanya citra yang kurang baik terhadap dunia peradilan di Indonesia.
2) Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan (non litigasi) Pasal 47 UUPK mengatur mengenai penyelesaian sengketa di luar pengadilan, yaitu : “Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita konsumen”. Bentuk jaminan yang dimaksud dalam hal ini berupa pemyataan tertulis yang menerangkan bahwa tidak akan terulang kembali perbuatan yang telah merugikan konsumen tersebut.
commit to user 52
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 53
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat ditempuh dengan beberapa cara yaitu: a) Penyelesaian sengketa dengan cara negosiasi Penyelesaian sengketa melalui negosiasi menurut Munir Fuady, negosiasi adalah suatu proses tawar-menawar atau pembicaraan untuk mencapai suatu kesepakatan terhadap masalah tertentu yang terjadi diantara para pihak. Negosiasi dilakukan baik karena telah ada sengketa di antara para pihak, maupun hanya karena belum ada kata sepakat disebabkan belum pernah ada masalah (Munir Fuady, 2000: 42). Menurut Suyud Margono, negosiasi merupakan komunikasi 2 arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun yang berbeda. Negosiasi merupakan sarana bagi pihak-pihak yang bersengketa untuk mendiskusikan penyelesaiannya tanpa keterlibatan pihak ketiga penengah, baik yang tidak berwenang mengambil keputusan (mediasi) maupun yang berwenang (arbitase dan ligitasi) (Suyud Margono, 2000: 49). Berdasarkan literatur hukum diketahui bahwa pada umumnya negosiasi merupakan suatu lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang bersifat informal, meskipun adakalanya dilakukan secara formal. Melalui negosiasi para pihak yang bersengketa dapat melakukan suatu proses penjajakan kembali akan hak dan kewajiban para pihak melalui suatu situasi yang sama-sama menguntungkan (”win-win”), dengan melepaskan atau memberikan kelonggaran (concession) atas hak-hak tertentu berdasarkan pada asas timbal balik. Persetujuan yang telah dicapai
tersebut
kemudian
dituangkan
secara
tertulis
untuk
ditandatangani oleh para pihak dan dilaksanakan sebagaimana mestinya (Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2000: 31).
commit to user 53
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 54
b) Penyelesaian sengketa dengan cara mediasi Mediasi diatur dalam Pasal 6 ayat (3) sampai dengan ayat (5) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS. Menurut Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS disebutkan bahwa : “Atas kesepakatan para pihak sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator”. Mediasi menurut Pasal 1 angka (6) PERMA No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, mediasi adalah suatu penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Mediasi menurut Munir Fuady, adalah proses negosiasi untuk memecahkan masalah melalui pihak luar atau pihak ketiga (mediator) yang tidak memihak dan netral yang akan bekerja dengan pihak yang bersengketa tersebut secara memuaskan kedua belah pihak (Munir Fuady, 2000: 47). Pengertian Mediasi menurut Gunawan Widjaja, adalah suatu proses penyelesaian sengketa yang terdapat mediator yang hanya berfungsi sebagai penyambung lidah dari para pihak yang bersengketa tidak mungkin bertemu sendiri karena faktor yang berada di luar kemampuan mereka ataupun karena para pihak dengan sengaja tidak mau bertemu satu dengan yang lainnya, meskipun mereka dapat bertemu jika dikehendaki. Dalam penyelesaian sengketa bentuk mediasi ini hasil akhirnya tunduk sepenuhnya pada kesepakatan para pihak (Gunawan Widjaja, 2008: 10). Mediator sebagai suatu pihak yang di luar perkara, yang tidak memiliki kewenangan memaksa, mediator ini berkewajiban untuk bertemu atau mempertemukan para pihak yang bersengketa guna mencari masukan mengenai persoalan yang dipersengketakan oleh para pihak. Berdasarkan informasi yang diperoleh baru kemudian mediator dapat menentukan duduk perkara, kekurangan dan menyusun proposal penyelesaian, yang kemudian dikomunikasikan kepada para
commit to user 54
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 55
pihak atas proposal yang diajukan untuk penyelesaian masalah yang dipersengketakan, mediator kemudian menyusun kesepakatan itu secara tertulis untuk ditandatangani oleh para pihak (Gunawan Wijaja dan Ahmad Yani, 2000: 34). Menurut Suyud Margono, mediasi mengandung unsur-unsur sebagai berikut (Suyud Margono, 2000: 59): (1) Mediasi adalah sebuah proses penyelesaian sengketa berdasarkan perundingan. (2) Mediator terlibat dan diterima oleh para pihak yang bersengketa di dalam perundingan. (3) Mediator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari penyelesaian. (4) Mediator tidak mempunyai kewenangan membuat keputusan selama perundingan berlangsung. (5) Tujuan mediasi adalah untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa guna mengakhiri sengketa. c) Penyelesaian sengketa dengan cara konsiliasi Konsiliasi penyelesaian
merupakan
sengketa
di
salah
luar
satu
pengadilan
bentuk
alternatif
untuk
mencegah
dilaksanakannya proses peradilan, baik di dalam maupun di luar pengadilan, dengan pengecualian untuk hal-hal atau sengketa dimana telah diperoleh suatu putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (Suyud Margono, 2000: 57). Konsiliasi menurut sumber lain, dapat disebut sebagai perdamaian atau langkah awal perdamaian sebelum sidang pengadilan (ligitasi) dilaksanakan, dan ketentuan perdamaian yang diatur dalam KUH Perdata, juga merupakan bentuk alternatif
penyelesaian
sengketa
di
luar
pengadilan,
dengan
mengecualikan untuk hal-hal atau sengketa yang telah memperoleh
commit to user 55
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 56
suatu putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (Bambanag Poerdyatmono, 2007: 86). d) Penyelesaian sengketa dengan cara penilaian ahli Jika para pihak dalam penyelesaian sengketa atau perbedaan pendapat memperoleh jalan buntu dan belum menuangkan kesepakatan tertulisnya dalam perjanjian, sengketa tersebut dapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penilai ahli (Suyud Margono, 2000: 109). Penilaian Ahli adalah suatu upaya mempertemukan pihak yang berselisih dengan cara menilai pokok sengketa yang dilakukan oleh seorang atau beberapa orang ahli di bidang terkait dengan pokok sengketa untuk mencapai persetujuan. Penilaian ahli berupa keterangan tertulis yang merupakan hasil telaahan ilmiah berdasarkan keahlian yang dimiliki untuk membuat terang pokok sengketa yang sedang dalam proses (http://id.shvoong.com/society-and-news/ news-items/ 2021924-penanganan-masalah-melalui-alternativedispute/ #ixzz1Ms4ofBIX, diakses pada pukul 14.00 WIB tanggal 20 Mei 2011). e) Penyelesaian sengketa dengan cara arbitrase Menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS, menyatakan bahwa :“Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”. Menurut Syafrudin Yudowibowo yang mengutip pendapat dari Z.Asikin Kusuma Atmadja, bahwa “arbitration is the bussines community’s self regulation practice of dispute settlement”. Artinya “arbitrase adalah peraturan yang praktis dalam komunitas bisnis sebagai penyelesaian sengketanya” (Syafrudin Yudowibowo, 2006: 210). Rumusan Pasal 52 Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS, menyatakan bahwa para pihak dalam suatu
commit to user 56
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 57
perjanjian berhak untuk memohon pendapat yang mengikat dari lembaga arbitrase atas hubungan hukum tertentu dari suatu perjanjian. Berdasarkan ketentuan tersebut pendapat hukum yang diberikan oleh lembaga Arbitrase tersebut bersifat mengikat (binding) oleh karena pendapat yang diberikan tersebut akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian pokok (yang dimintakan pendapatnya dari lembaga arbitrase tersebut). Pendapat hukum tersebut bersifat akhir (final) bagi para pihak yang meminta pendapatnya pada lembaga arbitrase. Hal ini ditegaskan kembali dalam Pasal 53 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS, yang menyatakan bahwa terhadap pendapat yang mengikat tersebut dalam Pasal 52 tidak dapat dilakukan perlawanan dalam bentuk upaya apapun. Tidak dapat dilakukan perlawanan dalam bentuk upaya apapun artinya bahwa pendapat yang mengikat dalam arbitrase bersifat final, mempunyai kekuatan hukum tetap, dan mengikat para pihak yang bersengketa, maka putusan arbitrase tidak dapat diajukan perlawanan dalam bentuk upaya apapun, seperti banding, kasasi, atau peninjauan kembali (Suyud Margono, 2000: 39). Mengutip pendapat Charles H.Brower when drafting international agreements, by they contracts or treaties, lawyers often provide for resolution of future disputes, usually by selecting arbitration of judicial settlement. For contracts likely to produce international commercial dispute among private parties, the modern shift from litigation to arbitration has assumed legendary proportions. Unfortunately, that development has become so engrained in the public consciousness that many have ignored an important countertrend. For controversies among states involving their exercise of sovereign powers and the application of public international law, dispute settlemenet has taken the opposite course: away from arbitration towards judicial settlement”. Artinya “apabila rancangan persetujuan internasional disusun menjadi kontrak atau perjanjian para praktisi hukum sering melengkapi jalan penyelesaian sengketa dengan memilih arbitrase sebagai penyelesaian sengketanya. Dalam kontrak mungkin untuk menghasilkan penyelesaian internasional diantara para pihak yang secara modern dari pengadilan, arbitrase menjadi bagian yang
commit to user 57
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 58
digunakan. Namun, dalam perkembangannya arbitrase menjadi sangat pokok dalam masyarakat, mereka menganggap hal itu sangat penting dari suatu budaya. Kontroversi diantara negara yang mencoba menerapkannya dalam wewenang pemerintah dan penerapannya dalam hukum internasional penyelesaian sengketa yang digunakan adalah arbitarse sebagai penyelesaian sengketa di pengadilan” (Charles H.Brower, 2007-2008: 259). Menurut Salim H.S. yang mengutip pendapat Garry Goodpaster keunggulan penyelesaian sengketa melalui Arbitrase antara lain (Salim H.S., 2005: 145-146): (1) Kebebasan, kepercayaan dan keamanan Arbitrase pada umumnya dipilih oleh pengusaha, pedagang atau investor karena memberikan kebebasan dan otonomi yang sangat luas kepada mereka. (2) Keahlian Arbitrator (expertise). (3) Para pihak sering kali memilih Arbitrase karena mereka memiliki kepercayaan yang lebih besar pada keahlian Arbitrator mengenai permasalahan
yang
dipersengketakan
dibandingkan
dengan
menyerahkan kepada pengadilan. (4) Cepat dan biaya hemat, sebagai suatu proses pengambilan keputusan, Arbitrase sering kali lebih cepat, tidak terlalu formal dan lebih murah dari pada proses litigasi di Pengadilan. (5) Bersifat rahasia. Sifat rahasia Arbitrase dapat melindungi para pihak dari hal-hal yang tidak diinginkan atau yang merugikan para pihak akibat penyingkapan informasi kepada umum. (6) Kepekaan Arbitrator, walaupun para hakim dan Arbitrator menerapkan ketentuan hukum untuk membantu menyelesaikan perkara yang mereka hadapi, dalam hal-hal yang relevan, Arbitrator akan lebih memberikan perhatian terhadap keinginan, realitas dan praktek dagang para pihak. Untuk mengatasai keberlikuan proses pengadilan, UUPK memberikan jalan alternatif dengan mengadakan penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
commit to user 58
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 59
(7) Putusan arbitrase mudah dilaksanakan dibandingkan dengan putusan pengadilan. Hal ini disebabkan karena putusan arbitrase pada umumnya bersifat final dan tidak dapat diajukan banding. f) Melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) merupakan suatu lembaga khusus yang dibentuk dan diatur dalam UUPK, yang tugas utamanya adalah menyelesaikan sengketa atau perselisihan antara pelaku usaha dengan konsumen berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 11 dan diatur juga dalam Pasal 23 UUPK menyatakan: “Pelaku usaha yang menolak dan/tidak memberi tanggapan dan/ atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) dapat digugat melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen”. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dibentuk oleh Pemerintah untuk menyelesaikan sengketa konsumen diluar pengadilan. Kedudukan badan ini berada di Daerah Tingkat II di Seluruh Indonesia. Susunan pengurus BPSK dibentuk oleh Gubernur masing-masing propinsi dan diresmikan oleh Menteri Perdagangan. Anggota BPSK terdiri dari 3 (tiga) unsur, yaitu unsur pemerintah, konsumen, dan pelaku usaha. Masing-masing unsur tersebut terdiri dari minimal 3 (tiga) orang dan maksimal 5 (lima) orang. Pengangkatan dan pemberhentian anggota BPSK ditetapkan oleh Menteri teknis yang terkait (Abdul Halim Barkatullah, 2010: 90-92).
commit to user 59
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 60
B. Kerangka Pemikiran
Pembangunan nasional di Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 KUH Perdata Pasal 1601 b tentang Perjanjian Pemborongan Pekerjaan
KUHD
Usaha jasa konstruksi UU No.18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstrusi (UUJK)
Perjanjian Pemborongan Pekerjaan
Penyedia Jasa Konstruksi/ Pelaku Usaha
UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK)
Hak dan Kewajiban sebagai penyedia jasa konstruksi/ pelaku usaha
Pengguna Jasa Konstruksi/ Konsumen
Hak dan Kewajiban sebagai pengguna jasa konstruksi/ konsumen
Prestasi tidak dipenuhi akan menimbulkan waprestasi atau overmacht
Tanggung jawab dari penyedia jasa konstruksi/ pelaku usaha dan penyelesaiannya
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Keterangan : Pembangunan nasional merupakan wujud pengamalan Pancasila dan pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 amandemen ke-4 (empat) yang diarahkan pada peningkatan harkat, martabat, dan kemampuan manusia, serta kepercayaan pada diri sendiri dalam rangka mewujudkan
commit to user 60
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 61
masyarakat sejahtera, adil, dan makmur baik materiil maupun spiritual. Pembangunan
dilaksanakan
dalam
rangka
pembangunan
manusia
Indonesia seutuhnya dalam pelaksanaannya antara lain tidak lepas dari jasa konstruksi. Jasa konstruksi mempunyai peranan penting dan strategis dalam pembangunan nasional mengingat jasa konstruksi menghasilkan produk berupa bangunan atau bentuk fisik lainnya, baik berupa prasarana maupun
sarana
yang
berfungsi
mendukung
pertumbuhan
dan
perkembangan berbagai bidang. Usaha jasa kontruksi ini diatur dalam UUJK, yaitu dalam Pasal 1 angka 1. Selanjutnya KUH Perdata memberi arti kepada kontrak pemborongan dengan istilah perjanjian “Pemborongan Kerja”, Pasal 1601b. Penyelenggaraan pekerjaan konstruksi umumnya dibuat suatu perjanjian antara pihak penyedia jasa konstruksi dengan konsumen sebagai pengguna
jasa
konstruksi
termasuk
di
dalamnya
mengenai
pertanggungjawaban penyedia jasa konstruksi apabila terjadi kegagalan bangunan maupun kesalahan dalam melakukan pekerjaan konstruksi. Perjanjian tersebut dapat berupa perjanjian pemborongan pekerjaan antara penyedia jasa konstruksi/ pelaku usaha dengan pengguna jasa konstruksi/ konsumen. Dalam UUPK mengatur mengenai pelaku usaha dan konsumen. Dalam penjelasan Pasal 1 angka 3 UUPK bahwa pelaku usaha termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importer, pedagang, distributor dan lain-lain. Pelaku usaha dapat berbentuk orang perseorangan atau badan usaha. Badan usaha terdiri dari badan usaha yang berbadan hukum dan bukan berbadan hukum, salah satu badan usaha yang bukan berbadan hukum adalah Persekutuan Komanditer (CV) yang memiliki tanggung jawab seperti yang ditentukan dalam Pasal 20 KUHD, pelaku usaha yang penulis bahas ini adalah badan usaha yang kegiatannya menyediakan layanan jasa konstruksi.
commit to user 61
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 62
Konsumen dalam penulisan hukum ini merupakan pengguna jasa dari layanan jasa konstruksi. Konsumen ini merupakan konsumen akhir, sebab dalam menngunakan jasa konsumen ini tidak untuk tujuan komersial atau sebagai pemakai atau pengguna jasa untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangga. Sebagai penyedia jasa konstruksi/ pelaku usaha yang menyediakan jasa konstruksi dituntut adanya hak dan kewajiban dengan melakukan suatu prestasi, yaitu berbuat sesuatu dengan melakukan pekerjaan di bidang jasa khususnya konstruksi serta memberikan sesuatu, yaitu bahan bangunan sesuai dengan kontrak. Begitu juga dengan konsumen sebagai pengguna jasa konstruksi/ konsumen dituntut juga adanya hak dan kewajiban untuk melakukan prestasi, yaitu membayar ongkos sesuai kesepakatan dalam perjanjian. Dari hal tersebut, jika masing-masing pelaku usaha atau penyedia jasa konstruksi tidak memenuhi hak dan kewajibannya, yaitu dengan tidak melakukan pekerjaan sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati, yang merupakan prestasi dari perjanjian maka dapat mengakibatkan wanprestasi atau overmacht. Pada hal terjadi wanprestasi, seperti penyedia jasa yang tidak melakukan sesuai dengan isi perjanjian, maka penyedia jasa konstruksi/ pelaku usaha dapat dituntut tanggung jawabnya untuk membayar ganti rugi kepada pengguna jasa/ konsumen, selanjutnya jika terjadi overmacht, yaitu keadaan di luar kehendak yang diluar para pihak, seperti gempa bumi, banjir besar, kebakaran, dan keadaan darurat/ bencana alam lainnya, maka pihak penyedia jasa konstruksi/ pelaku usaha tidak dapat dituntut tanggung jawabnya karena keadaan itu murni diluar kehendaknya. Berkaitan dengan hal tersebut, selanjutnya akan dikaji mengenai bagaimanakah tanggung jawab Persekutuan Komanditer selaku penyedia jasa konstruksi dalam perjanjian pemborongan pekerjaan serta bagaimanakah penyelesaian hukumnya apabila terjadi kerugian pengguna jasa konstruksi selaku konsumen.
commit to user 62
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
63
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Tanggung Jawab Persekutuan Komanditer Selaku Penyedia Jasa Konstruksi dalam Perjanjian Pemborongan Pekerjaan
Hubungan antara penyedia jasa konstruksi dengan pengguna jasa konstruksi sebagai konsumen umumnya dituangkan dalam perjanjian yang tertulis, yaitu perjanjian pemborongan pekerjaan atau sering disebut dengan Surat Perjanjian Pemborongan (Kontrak). Perjanjian tersebut merupakan bentuk perjanjian yang penulis bahas dalam penulisan hukum ini. Dalam perjanjian ini penyedia jasa melakukan pekerjaan dan juga memberikan bahan-bahan untuk melakukan pekerjaannya, adapun menurut Pasal 22 ayat (2) UUJK menentukan bahwa sekurang-kurangnya suatu kontrak kerja konstruksi mencakup uraian mengenai beberapa hal sebagai berikut: a. Para pihak, yang memuat secara jelas identitas para pihak; b. Rumusan pekerjaan, yang memuat mengenai uraian yang jelas dan rinci tentang lingkup kerja, nilai pekerjaan, batasan waktu pelaksanaan; c. Masa pertanggungan dan/atau pemeliharaan, yang memuat tentang jangka waktu pertanggungan dan/atau pemeliharaan yang menjadi tanggung jawab penyedia jasa; d. Tenaga ahli, yang memuat ketentuan tentang jumlah, klasifikasi dan kualifikasi tenaga ahli untuk melaksanakan pekerjaan konstruksi; e. Hak dan kewajiban para pihak, yang memuat hak pengguna jasa untuk memperoleh hasil pekerjaan konstruksi serta kewajibannya untuk memenuhi ketentuan yang diperjanjikan serta hak penyedia jasa untuk memperoleh informasi dari imbalan jasa serta kewajibannya melaksanakan pekerjaan konstruksi; f. Cara pembayaran, yang memuat ketentuan tentang kewajiban pengguna jasa dalam melakukan pembayaran hasil pekerjaan konstruksi; g. Cidera janji, yang memuat tentang tanggung jawab dalam hal salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban sebagian diperjanjikan; h. Penyelesaian perselisihan, yang memuat tentang cara penyelesaian akibat ketidaksepakatan; i. Pemutusan kontrak kerja konstruksi, yang memuat tentang pemutusan kontrak kerja konstruksi yang timbul akibat tidak dapat dipenuhinya kewajiban salah satu pihak;
commit to user 63
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 64
j. Keadaan memaksa (force majeure), yang memuat ketentuan tentang kejadian yang timbul diluar kemauan dan kemampuan para pihak, yang menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak; k. Kegagalan bangunan, yang memuat ketentuan dengan kewajiban penyedia jasa dan/atau pengguna jasa atas kegagalan bangunan; l. Perlindungan kerja, yang memuat ketentuan tentang kewajiban para pihak dalam pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja serta jaminan sosial; m. Aspek lingkungan, yang memuat tentang kewajiban para pihak dalam pemenuhan ketentuan tentang lingkungan. Berdasarkan uraian tersebut dan ketentuan Undang-Undang tersebut, maka dapat dilihat dalam suatu contoh dalam realita bentuk dari kontrak kerja konstruksi yang dalam KUH Perdata disebut Perjanjian Pemborongan Pekerjaan atau sering disebut surat perjanjian pemborongan (kontrak), yaitu dalam isi Surat Perjanjian Pemborongan (Kontrak) Nomor: 050/1673/ IX/ 2010, syarat umum kontrak dan syarat khusus kontrak seperti yang terdapat dalam lampiran yang memuat semua ketentuan undang-undang. Perjanjian adalah hal yang mengikat antara orang yang satu dan orang yang lain, hal yang mengikat itu adalah peristiwa hukum yang dapat berupa perbuatan, kejadian, dan keadaan. Peristiwa hukum tersebut menciptakan hubungan hukum. Para pihak dalam jasa konstruksi telah mengikatkan diri dalam perjanjian pemborongan pekerjaan pada jasa konstruksi. Suatu perjanjian pemborongan pekerjaan pada jasa konstruksi akan menimbulkan hubungan hukum di antara para pihak, yaitu penyedia jasa dengan pengguna jasa sebagai konsumen. Dalam hubungan hukum ini para pihak mempunyai hak dan kewajiban untuk dilaksanakan, apabila ada pihak yang tidak melaksanakan hak dan kewajiban maka dapat dikenakan sanksi. Untuk melaksanakan hak dan kewajiban dalam
suatu
perjanjian
asas
yang
digunakan
sebagai
dasar
dalam
melaksanakannya adalah asas kebebasan berkontrak yang diataur pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyebutkan: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, mengadakan perjanjian
commit to user 64
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 65
dengan siapa pun, menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratan, dan menetukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan. Asas kebebasan berkontrak merupakan satu-satunya asas dalam penyusunan kontrak kerja konstruksi atau perjanjian pemborongan. Tetapi kebebasan tersebut dibatasi oleh (3) tiga hal, yaitu tidak dilarang undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan. Tidak dilarang undang-undang artinya harus sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang, yaitu undang-undang yang berkaitan dengan perjanjian pemborongan pekerjaan yang meliputi KUH Perdata, KUHD, UUPK, UUJK, dan Peraturan Pemerintah No.29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi. Adapun hak dan kewajiban para pihak tersebut menurut undang-undang diuraikan sebagai berikut, yaitu sebagai konsumen/ pengguna jasa kontruksi mempunyai hak dan kewajiban. Adapun hak dan kewajiban konsumen menurut Pasal 4 dan 5 UUPK sebagai berikut: Pasal 4 Hak konsumen adalah: a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; d. Hak untuk didengar pendapat daan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen; g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
commit to user 65
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 66
Pasal 5 Kewajiban konsumen adalah: a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Secara umum dikenal ada 4 (empat) hak dasar konsumen, yaitu: a. hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety); b. hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed); c. hak untuk memilih (the right to choose); d. hak untuk didengar (the right to be heard). Empat
hak
dasar
ini
diakui
secara
internasional.
Dalam
perkembangannya, organisasi-organisasi konsumen yang tergabung dalam The International Organization of Consumer Union (IOCU) menambahkan lagi beberapa hak, seperti hak mendapatkan pendidikan konsumen, hak mendapatkan ganti kerugian dan hak mandapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. (Shidarta, 2000: 16). Tidak hanya konsumen saja yang mempunyai hak dan kewajiban, tetapi pelaku usaha atau penyedia barang dan/atau jasa juga mempunyai hak dan kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 6 dan 7 UUPK yang berbunyi: Pasal 6 Hak pelaku usaha adalah: a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik; c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen; d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
commit to user 66
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 67
e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Pasal 7 Kewajiban pelaku usaha adalah: a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; d. menjamin mutu barang dan/ atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan; f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/ atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/ atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai dengan perjanjian. Dalam UUJK juga menyebutkan hak dan kewajiban dari penyedia jasa dan pengguna jasa, yaitu: Hak dan kewajiban para pihak dalam jasa konstruksi diatur dalam Pasal 22 ayat (2) huruf e UUJK, yaitu: “Hak dan kewajiban para pihak, yang memuat hak pengguna jasa untuk memperoleh hasil pekerjaan konstruksi serta kewajibannya untuk memenuhi ketentuan yang diperjanjikan serta hak penyedia jasa untuk memperoleh informasi dari imbalan jasa serta kewajibannya melaksanakan pekerjaan konstruksi”. Selain itu, juga terdapat pengaturan kewajiban pihak penyedia jasa dalam Pasal 8 UUJK menyatakan bahwa perencana konstruksi, pelaksana konstruksi, dan pengawas konstruksi yang berbentuk badan usaha harus : a. Memenuhi ketentuan tentang perizinan usaha di bidang jasa konstruksi; b. Memiliki sertifikat, klasifikasi, dan kualifikasi perusahaan jasa konstruksi.
commit to user 67
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 68
Selanjutnya, kewajiban sebagai pihak pengguna jasa juga diatur dalam Pasal 15 ayat (2) UUJK yang mengatur mengenai kewajiban pengguna jasa yang harus memenuhi biaya dalam pekerjaan konstruksi dengan penjaminan. Pasal 15 ayat (2) UUJK menyatakan bahwa : “Pengguna jasa harus memiliki kemampuan membayar biaya pekerjaan konstruksi yang didukung dengan dokumen pembuktian dari lembaga perbankan dan/atau lembaga keuangan bukan bank”. Lebih lanjut dalam Pasal 15 ayat (5) UUJK menyatakan bahwa : “Pengguna jasa harus memenuhi kelengkapan yang dipersyaratkan untuk melaksanakan pekerjaan konstruksi”. Kewajiban pengguna jasa dalam pengikatan dengan penyedia jasa tercantum dalam Pasal 18 ayat (1) UUJK yang mencakup antara lain : a. Menerbitkan dokumen tentang pemilihan penyedia jasa yang memuat ketentuan-ketentuan secara lengkap, jelas dan benar serta dapat dipahami; b. Menetapkan penyedia jasa secara tertulis sebagai hasil pelaksanaan pemilihan. Termuat juga dalam penjelasan Pasal 23 ayat (1) huruf e Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi bahwa hak dan kewajiban yang timbul adalah sebagai berikut : 1) Hak dan kewajiban pengguna jasa antara lain meliputi: a) Hak pengguna jasa, yaitu: (1) Mengubah sebagian isi kontrak kerja konstruksi tanpa mengubah lingkup kerja yang sudah diperjanjikan atas kesepakatan dengan penyedia jasa; (2) Menghentikan pekerjaan sementara apabila penyedia jasa bekerja tidak sesuai ketentuan kontrak kerja; (3) Menghentikan secara permanen dengan cara pemutusan kontrak kerja konstruksi apabila penyedia jasa tidak memenuhi ketentuan kontrak kerja konstruksi; (4) Menolak usulan perubahan isi sebagian kontrak konstruksi yang diusulkan penyedia jasa; (5) Menetapkan dan atau mengubah besaran serta persyaratan pertanggungan atas kesepakatan dengan penyedia jasa; (6) Mengganti tenaga penyedia jasa karena dinilai tidak mampu melaksanakan pekerjaan; (7) Menghentikan pekerjaan sementara apabila penyedia jasa tidak memenuhi kewajibannya; (8) Menolak usulan subpenyedia jasa dan atau pemasok yang diusulkan penyedia jasa.
commit to user 68
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 69
b) Kewajiban pengguna jasa, yaitu: (1) Menyerahkan sarana kerja kepada penyedia jasa untuk pelaksanaan pekerjaan sesuai kesepakatan kontrak kerja konstruksi; (2) Memberikan bukti kemampuan membayar biaya pelaksanaan pekerjaan; (3) Menerima bahan dan atau hasil pekerjaan yang telah memenuhi persyaratan teknis dan administrasi; (4) Memberikan imbalan atas prestasi lebih; (5) Membayar tepat waktu dan tepat jumlahnya sesuai tahapan proses pembayaran yang disepakati; (6) Memenuhi pembayaran kompensasi atas kelalaian atau kesalahan pengguna jasa; (7) Menjaga kerahasiaan dokumen atau proses kerja yang diminta penyedia jasa; (8) Melaksanakan pengawasan dan koreksi terhadap pelaksanaan pekerjaan. 2) Hak dan kewajiban penyedia jasa antara lain: a) Hak penyedia jasa, yaitu: (1) Mengajukan usulan perubahan atas sebagian isi kontrak kerja konstruksi; (2) Mendapatkan imbalan atas prestasi lebih yang dilakukannya; (3) Mendapatkan kompensasi atas kerugian yang timbul akibat perubahan isi kontrak kerja konstruksi yang diperintahkan pengguna jasa; (4) Menghentikan pekerjaan sementara apabila pengguna jasa tidak memenuhi kewajibannya; (5) Menghentikan pekerjaan secara permanen dengan cara pemutusan kontrak kerja konstruksi, apabila pengguna jasa tidak mampu melanjutkan pekerjaan atau tidak mampu memenuhi kewajibannya. Dalam hal ini penyedia jasa berhak mendapat kompensasi atas kerugian yang timbul akibat pemutusan kontrak kerja konstruksi; (6) Menolak usulan perubahan sebagian isi kontrak kerja konstruksi dari pengguna jasa; (7) Menunjuk subpenyedia jasa dan atau pemasok atas persetujuan pengguna jasa. a. Kewajiban penyedia jasa, yaitu : (1) Memberikan pendapat kepada pengguna jasa atas penugasannya, dokumen yang menjadi acuan pelaksanaan pekerjaan, data pendukung, kualitas sarana pekerjaan atau hal-hal lainnya yang dipersyaratkan pada kontrak kerja konstruksi; (2) Memperhitungkan risiko pelaksanaan dan hasil pekerjaan; (3) Memenuhi ketentuan pertanggungan, membayar denda dan atau ganti rugi sesuai yang dipersyaratkan pada kontrak kerja konstruksi.
commit to user 69
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 70
Selain menimbulkan akibat hukum atau sanksi jika hak dan kewajiban tidak dipenuhi salah satu pihak, hak dan kewajiban juga mewajibkan pada para pihak untuk menunaikan prestasi. Prestasi merupakan objek perjanjian (pokok perjanjian). Adapun yang merupakan model-model prestasi adalah yang disebutkan dalam Pasal 1234 KUH Perdata, yaitu: “Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”. Prestasi adalah sesuatu yang wajib dipenuhi oleh penyedia jasa dan pengguna jasa berhak menuntut dipenuhinya prestasi dari penyedia jasa begitu sebaliknya penyedia juga dapat menuntut dipenuhi perstasinya dari pengguna jasa dan penggun jasa juga dapat menuntut prestasinya. Prestasi dalam contoh surat perjanjian pemborongan (kontrak) adalah bagi penyedia jasa adalah berbuat sesuatu dengan melaksanakan, menyelesaikan, dan memelihara pekerjaan sesuai denga jadual pekerjaan yang telah ditetapkan dalam kontrak di bidang jasa khususnya konstruksi serta memberikan sesuatu, yaitu bahan bangunan sesuai dengan isi surat perjanjian pemboromgan (kontrak). Begitu juga dengan konsumen sebagai pengguna jasa konstruksi/ konsumen dituntut juga untuk melakukan prestasi, yaitu membayar ongkos sesuai kesepakatan dalam perjanjian, sebaliknya penyedia jasa berhak menuntut pembayaran ongkos atas pekerjaannya dalam pekerjaan konstruksi sesuai kesepakatan dan pengguna jasa berhak menuntut hasil dari pekerjaan konstruksi dari penyedia jasa sesuai dengan kesepakatan dalam perjanjian. Berdasarkan uraian di atas penulis berkesimpulan bahwa ketentuan Pasal 4 dan 5 UUPK mengenai hak dan kewajiban konsumen, Pasal 6 dan 7 UUPK mengenai hak dan kewajiban pelaku usaha, Pasal 22 ayat (2) huruf e, Pasal 8, Pasal 15 ayat (2), Pasal 15 ayat (5), Pasal 18 ayat (1) UUJK tentang hak dan kewajiban penyedia jasa dan pengguna jasa konstruksi serta Pasal 23 ayat (1) huruf e Peraturan Pemerintah No.29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang juga memuat hak dan kewajiban penyedia jasa dan pengguna jasa konstruksi. Pada dasarnya ketentuan peraturan perundang-undangan di atas sama yaitu memberikan kepastian hukum bagi para pihak dalam melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing. Dalam realita di lapangan hak dan kewajiban
commit to user 70
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 71
para pihak, yaitu penyedia jasa atau pelaku usaha dan pengguna jasa atau konsumen yang tertuang dalam contoh surat perjanjian pemborongan (kontrak) serta syarat umum kontrak, seperti tercantum dalam lampiran telah sesuai dengan ketentuan undang-undang karena telah memuat kepentingan para pihak dalam jasa konstruksi. Hak dan kewajiban dalam contoh surat perjanjian pemborongan (kontrak) memberikan tanggung jawab bagi penyedia jasa dan pengguna jasa untuk memenuhinya, yaitu dengan memenuhi prestasi dalam perjanjian tersebut. Seperti yang telah diketahui bahwa penyedia jasa dan pengguna jasa masing-masing mempunyai hak dan kewajiban yang wajib dipenuhi, selanjutnya apabila hak dan kewajiban ada yang tidak dipenuhi oleh salah satu pihak baik penyedia jasa maupun pengguna jasa, maka akan menimbulkan kerugian yang disebabkan tidak terpenuhinya prestasi dalam pekerjaan konstruksi. Kerugian tersebut berdasarkan wanprestasi/ cidera janji atau keadaan memaksa/ overmatch.
1. Tanggung Jawab Persekutuan Komanditer atau Commanditaire Vennootschap (CV) Apabila Terjadi Wanprestasi atau Cidera Janji Dalam hal kerugian berdasarkan wanprestasi, pada saat penyedia jasa tidak melakukan pekerjaan sesuai dengan ketentuan dalam dokumen kontrak maka dapat dideskripsikan bahwa penyedia jasa telah melakukan wanprestasi. Seseorang dianggap melakukan wanprestasi apabila (R.Subekti, 1994: 45): a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya; b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan; c. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat; atau d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. Ketentuan mengenai cidera janji atau wanprestasi diatur dalam Pasal 22 ayat (2) huruf g UUJK, yaitu: “Cidera janji, yang memuat tentang tanggung jawab dalam hal salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana diperjanjikan” dan Pasal 23 ayat (1) huruf g angka 1 Peraturan Pemerintah No.29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, yaitu: 1) Bentuk cidera janji:
commit to user 71
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 72
a) oleh penyedia jasa yang meliputi: (1) tidak menyelesaikan tugas; (2) tidak memenuhi mutu; (3) tidak memenuhi kuantitas; dan (4) tidak menyerahkan hasil pekerjaan; dan
b) oleh pengguna jasa yang meliputi: (1) terlambat membayar; (2) tidak membayar; dan terlambat pelaksanaan pekerjaan;
menyerahakan
sarana
Sebagai sanksi atau hukuman bagi debitur yang melakukan wanprestasi adalah dibebani ganti rugi. Ganti rugi karena wanprestasi adalah suatu bentuk ganti rugi yang dibebankan kepada debitur yang tidak memenuhi isi perjanjian yang telah dibuat antara kreditur dengan debitur. Ganti rugi karena wanprestasi ini diatur dalam Buku III KUH Perdata, yang dimulai dari Pasal 1243 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1252 KUH Perdata dan Pasal 23 ayat (1) huruf g angka 2 Peraturan Pemerintah No.29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, yaitu: “Dalam hal terjadi cidera janji yang dilakukan oleh penyedia jasa atau pengguna jasa, pihak yang dirugikan berhak untuk memperoleh kompensasi, penggantian biaya dan atau perpanjangan waktu, perbaikan atau pelaksanaan ulang hasil pekerjaan yang tidak sesuai dengan yang diperjanjikan atau pemberian ganti rugi”. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka menurut penulis sesuai dengan permasalahan yang diteliti tanggung jawab penyedia jasa apabila melakukan wanprestasi menurut ketentuan dalam Pasal 22 ayat (2) huruf g UUJK dan pasal 23 ayat (1) huruf g angka 1 Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, yaitu: Cidera janji, yang memuat tentang tanggung jawab dalam hal salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana diperjanjikan dan cidera janji oleh penyedia jasa karena tidak menyelesaikan tugas, tidak memenuhi mutu, tidak memenuhi kuantitas, serta tidak menyerahkan hasil pekerjaan dapat diartikan bahwa penyedia jasa telah melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan, untuk itu maka penyedia jasa dapat
commit to user 72
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 73
dikategorikan telah dianggap melakukan wanprestasi atas isi surat perjanjian pemborongan (kontrak) yang telah disepakati bersama. Selanjutnya mengenai sanksi bagi penyedia jasa apabila melakukan wanprestasi adalah dibebani ganti rugi, maka antara ketentuan peraturan perundang-undangan Pasal 1243 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1252 KUH Perdata dan Pasal 23 ayat (1) huruf g angka 2 Peraturan Pemerintah No.29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi dengan realita di lapangan telah sesuai, yaitu tertuang dalam isi surat perjanjian pemborongan (kontrak), apabila penyedia jasa tidak melaksanakan pekerjaan sesuai dengan ketentuan dokumen kontrak. Kesesuaian tersebut adalah sesuai dengan ketentuan dalam surat perjanjian pemborongan (kontrak) telah ditetapkan besarnya ganti rugi yang tertuang dalam sanksi dan denda yang harus dipenuhi oleh penyedia jasa kepada pengguna jasa. Ketentuan Sanksi dan Denda dalam surat perjanjian pemborongan (kontrak), yaitu: a. Sanksi 1) Apabila terjadi pelaksanaan pekerjaan tidak sesuai dengan metode dan ketentuan dalam dokumen kontrak yang antara lain meliputi bahan, peralatan, personil atau administrasi, maka Pihak Kesatu dapat: a) Melakukan teguran dan peringatan baik lisan maupun tertulis b) Menangguhkan pembayaran 2) Apabila terjadi pelaksanaan pekerjaan tidak sesuai dengan manajemen pelaksanaan yang mengakibatkan terjadinya penyimpangan mutu pekerjaan maka Pihak Kesatu dapat memerintahkan pembongkaran/penggantian, dan Pihak Kedua harus melaksanakannya atas beban Pihak Kedua. 3) Apabila Pihak Kedua tidak melaksanakan pemeliharaan selama masa pemeliharaan, maka Pihak Kesatu dapat mencairkan jaminan pemeliharaan yang digunakan untuk pemeliharaan tanpa persetujuan Pihak Kedua, dan Pihak Kedua mendapat catatan buruk dari Pihak Kesatu. b. Denda Apabila Pihak Kedua tidak dapat menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan rencana tanggal penyelesaian pekerjaan, maka Pihak Kedua diwajibkan membayar denda keterlambatan kepada Pihak Kesatu sebesar 1‰ (satu permil) dari harga kontrak untuk setiap hari keterlambatan. Pihak Kesatu dapat menghentikan pekerjaan apabila denda keterlambatan sudah melampaui jaminan pelaksanaan dan Pihak Kedua tidak dapat menuntut kerugian atas pemutusan kontrak tersebut.
commit to user 73
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 74
Besarnya denda keterlambatan yang harus dibayar penyedia jasa adalah 1‰ (satu permil) dari harga kontrak sebesar Rp. Rp.139.553.000,00 (seratus tiga puluh sembilan juta lima ratus lima puluh tiga ribu rupiah), yaitu sejumlah Rp. 139.553,00 (seratus tiga puluh sembilan ribu lima ratus lima puluh tiga rupiah). Pada Sanksi angka ke-1 (kesatu) dapat diartikan sebagai sanksi administrasi kepada penyedia jasa apabila terjadi pelaksanaan pekerjaan tidak sesuai metode dan ketentuan dalam dokemen kontrak, untuk angka ke-2 (kedua) dapat dikategorikan sebagai ganti rugi biaya atau kosten dan rugi atau schaden yang harus ditanggung oleh penyedia jasa sebagai akibat langsung dari wanprestasi, untuk angka ke-3 (ketiga) dikategorikan dalam sanksi administrasi dan untuk denda merupakan sanksi finansial yang berupa sejumlah uang seperti ketentuan dalam penjelasan Pasal 23 ayat (1) huruf f angka 4 Peraturan Pemerintah No.29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi bahwa “Denda akibat keterlambatan pembayaran adalah biaya uang” dan menurut Pasal 1249 KUH Perdata ditentukan bahwa penggantian kerugian yang disebabkan wanprestasi hanya ditentukan dalam bentuk uang, adapun bunyi dari Pasal 1249 KUH Perdata tersebut adalah: “Jika dalam suatu perikatan ditentukannya, bahwa si yang lalai memenuhinya, sebagai gantirugi harus membayar suatu jumlah uang tertentu, maka kepada pihak yang lain tak boleh diberikan suatu jumlah yang lebih maupun yang kurang daripada jumlah itu” serta dalam syarat umum kontrak bahwa “Denda adalah sanksi finasial yang dikenakan kepada penyedia jasa karena terjadi cidera janji terhadap ketentuan yang terdapat dalam kontrak”. Berdasarkan ketentuan pasalpasal tersebut, ganti rugi karena wanprestasi harus berupa uang alasannya karena untuk menghindari kesulitan penilaian dan dengan sejumlah uang dianggap lebih rasional dan praktis sifatnya daripada harus mengganti dengan jenis barang yang sama. Selain itu dapat dilakukan pemutusan kontrak sesuai ketentuan dalam surat perjanjian pemborongan (kontrak) tentang pemutusan kontrak angka 2, yang berbunyi: “Pemutusan kontrak
commit to user 74
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 75
dapat dilakukan bilamana para pihak cidera janji/atau tidak memenuhi kewajiban dan tanggungjawabnya sebagaimana diatur dalam kontrak dan juga terdapat dalam syarat umum kontrak angka 41 tentang “Penghentian dan Pemutusan Kontrak” 41.3 dalam lampiran ke-3. Hal ini dapat diartikan sebagai sanksi administrasi.
2. Tanggung Jawab Persekutuan Komanditer atau Commanditaire Vennootschap (CV) Apabila Terjadi Overmacht atau Keadaan Memaksa Selanjutnya, dalam hal terjadi kerugian berdasarkan keadaan memaksa atau overmacht, atau sering disebut force majeure. Keadaan memaksa adalah suatu keadaan dalam hal debitur tidak dapat melakukan prestasinya kepada kreditur, yang disebabkan adanya kejadian yang berada di luar kekuasaannya. Misalnya karena gempa bumi, banjir, dan lain-lain, yang menyebabkan penyedia jasa tidak mampu melakukan pekerjaan sampai selesai atau ketika akan diserahkan pekerjaan tersebut kepada pengguna jasa ternyata hancur sebelum diserahkan, maka penyedia jasa dibebaskan dari tanggung jawab sedangkan yang timbul adalah risiko yang harus dipikul oleh pengguna jasa. Dalam Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUH Perdata hanya mengatur masalah force majeure dalam hubungannya dengan pergantian biaya, rugi dan bunga saja, akan tetapi perumusan pasal-pasal ini dapat digunakan sebagai pedoman dalam mengartikan force majeure pada umumnya. Ketentuan dari pasal-pasal tersebut memberikan kelonggaran kepada kreditur untuk tidak melakukan penggantian biaya, kerugian, dan bunga kepada kreditur, oleh karena suatu keadaan yang berada di luar kekuasaannya. Pengaturan mengenai force majeure diatur juga dalam Pasal 22 ayat (2) huruf k UUJK, yaitu: “Keadaan memaksa (force majeure), yang memuat ketentuan tentang kejadian yang timbul diluar kemauan dan kemampuan para pihak, yang menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak” dan juga dalam Pasal 23 ayat (1) huruf j Peraturan Pemerintah No.29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, yaitu: “Keadaan memaksa mencakup kesepakatan mengenai:
commit to user 75
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 76
risiko khusus; macam keadaan memaksa lainnya; dan hak dan kewajiban pengguna jasa dan penyedia jasa pada keadaan memaksa”. Overmacht menimbulkan risiko bagi penyedia jasa konstruksi sesuai dengan ajaran Resicoleer, yaitu seseorang berkewajiban menanggung kerugian jika ada kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang menjadi objek perjanjian. Dalam perjanjian yang penulis bahas ini, maka risiko ditanggung oleh penyedia jasa konstruksi sebelum adanya serah terima hal ini berdasarkan pada jangka waktu pelaksanaan, yaitu “Jangka waktu pelaksanaan pekerjaan adalah 110 (seratus sepuluh) hari kalender terhitung sejak diterbitkannya surat perintah mulai kerja dan berakhir dengan serah terima pertama pekerjaan dan jangka waktu pemeliharaan adalah 180 (seratus delapan puluh) hari sejak serah terima pertama pekerjaan ketika telah selesai, maka penyedia jasa konstruksi harus menyerahkan jaminan pelaksanaan sebesar 5% (lima persen) dari harga kontrak” dan apabila sudah selesai masa pemeliharaan dan diserahkan kepada pengguna jasa konstruksi, maka risiko ditanggung oleh pengguna jasa konstruksi. Berdasarkan uraian tersebut dan ketentuan Pasal 22 ayat (2) huruf k UUJK serta Pasal 23 ayat (1) huruf j Peraturan Pemerintah No.29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi dan teori Resicoleer, maka menurut penulis dalam prakteknya ketentuan force majeure telah tertuang dalam surat perjanjian pemborongan (kontrak), yaitu dalam ketentuan tentang keadaan kahar (force majeure), penyedia jasa dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diakibatkan oleh keadaan memaksa (force majeure). Selain itu, dapat dilakukan perpanjangan jangka waktu pelaksanaan pekerjaan. Hal ini, sesuai dengan ketentuan dalam surat perjanjian pemborongan (kontrak) tentang jangka waktu kontrak menyatakan bahwa perpanjangan jangka waktu pelaksanaan dapat diberikan oleh pengguna jasa atas pertimbangan yang layak dan
wajar
sebagai
berikut:
Pekerjaan
tambah;
Perubahan
desain;
Keterlambatan yang disebabkan oleh penyedia jasa; Masalah yang timbul di luar kendali penyedia jasa; dan Keadaan kahar dan juga dalam Penghentian dan Pemutusan Kontrak, yaitu: “Penghentian kontrak dilakukan bilamana
commit to user 76
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 77
terjadi hal-hal di luar kekuasaan para pihak untuk melaksanakan kewajiban yang ditentukan dalam kontrak, yang disebabkan oleh timbulnya perang, pemberontakan, perang saudara, sepanjang kejadian-kejadian tersebut berkaitan dengan Kesatuan Republik Indonesia, kekacauan dan huru hara serta bencana alam yang dinyatakan resmi oleh pemerintah, atau keadaan yang ditetapkan dalam kontrak”. Berkaitan dengan tanggung jawab, maka ada tanggung jawab lain sebagai penyedia jasa konstruksi, yaitu tanggung jawab sebagai pelaku usaha dan tanggung jawab penyedia jasa apabila terjadi kegagalan bangunan. Kegagalan bangunan dapat disebabkan karena waprestasi atau overmacht. Tanggung jawab berdasarkan ketentuan Pasal 19 UUPK sebagai berikut: 1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. 2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. 4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan. 5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen. Menurut ketentuan UUJK tanggung jawab penyedia jasa adalah ketika terjadi kegagalan bangunan, hal itu terdapat dalam ketentuan Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 26 ayat (2) UUJK, yang berbunyi: Pasal 25 1) Pengguna jasa dan penyedia jasa wajib bertanggung jawab atas kegagalan bangunan. 2) Kegagalan bangunan yang menjadi tanggung jawab penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan terhitung sejak penyerahan akhir pekerjaan konstruksi dan paling lama 10 (sepuluh) tahun.
commit to user 77
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 78
Pasal 26 ayat (2) Jika terjadi kesalahan bangunan yang disebabkan karena kesalahan pelaksana konstruksi dan hal tersebut terbukti menimbulkan kerugian bagi pihak lain, maka pelaksana konstruksi wajib bertanggung jawab sesuai dengan bidang usaha dan dikenakan ganti rugi. Definisi dari kegagalan bangunan diatur Pasal 1 angka 6 UUJK, sedang kegagalan pekerjaan konstruksi pada Pasal 31 Peraturan Pemerintah No.29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, yaitu: Pasal 1 angka 6 UUJK: Kegagalan bangunan adalah keadaan bangunan, yang setelah diserahterimakan oleh penyedia jasa kepada pengguna jasa, menjadi tidak berfungsi baik secara keseluruhan maupun sebagian dan/atau tidak sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam kontrak kerja konstruksi atau pemanfaatannya yang menyimpang sebagai akibat kesalahan penyedia jasa dan/atau pengguna jasa. Pasal 31 Peraturan Pemerintah No.29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi: Kegagalan pekerjaan konstruski adalah keadaan hasil pekerjaan konstruki yang tidak sesuai dengan spesifikasi pekerjaan sebagaimana disepakati dalam kontrak kerja konstruksi baik sebagian maupun keseluruhan sebagai akibat kesalahan pengguna jasa atau penyedia jasa. Tanggung jawab penyedia jasa apabila terjadi kegagalan bangunan diatur dalam Pasal 40 ayat (3) Peraturan Pemerintah No.29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, yaitu: “Apabila terjadi kegagalan bangunan yang disebabkan oleh kesalahan pelaksana konstruksi, maka tanggung jawab berupa sanksi dan ganti rugi dapat dikenakan pada usaha orang perseorangan dan atau badan usaha pelaksana konstruksi penandatangan kontrak kerja konstruksi”. Jangka waktu pertanggungjawaban dalam hal kegagalan bangunan diatur dalam Pasal 35 Peraturan Pemerintah No.29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang menyatakan: 1. Jangka waktu pertanggungjawaban atas kegagalan bangunan ditentukan sesuai dengan umur konstruksi yang direncanakan dengan maksimal 10 tahun, sejak penyerahan akhir pekerjaan konstruksi. 2. Penetapan umur konstruksi yang direncanakan harus secara jelas dan tegas dinyatakan dalam dokumen perencanaan, serta disepakati dalam kontrak kerja konstruksi.
commit to user 78
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 79
3. Jangka waktu pertanggungjawaban atas kegagalan bangunan harus dinyatakan dengan tegas dalam kontrak kerja konstruksi. Penyedia jasa akan dikenakan ganti rugi apabila terjadi kegagalan bangunan seperti yang disebutkan dalam Pasal 26 UUJK yang menyebutkan bahwa: “Jika terjadi kegagalan bangunan yang disebabkan karena kesalahan pelaksana konstruksi dan hal tersebut menimbulkan kerugian pihak lain, maka pelaksana konstruksi wajib bertanggung jawab sesuai dengan bidang usaha dan dikenakan ganti rugi”, yang dimaksud dengan pelaksana konstruksi adalah penyedia jasa konstruksi. Menurut ketentuan Pasal 46 ayat (1) Peraturan Pemerintah No.29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi menyebutkan: Pelaksanaan ganti rugi dalam hal kegagalan bangunan dapat dilakukan dengan mekanisme pertanggungan pihak ketiga atau asuransi, dengan ketentuan: 1. Persyaratan dan jangka waktu serta nilai pertanggungan ditetapkan atas dasar kesepakatan; 2. Premi dibayar oleh masing-masing pihak, dan biaya premi yang menjadi tanggungan penyedia jasa menjadi bagian dari unsur biaya pekerjaan konstruksi. Berdasarkan uraian tanggung jawab dalam hal terjadi kegagalan bangunan karena wanprestasi atau overmacht. Terjadi waprestasi ketika dalam melaksanakan pekerjaan konstruksi tidak sesuai dengan bahan, gambar, dan surat perjanjian pemborongan (kontrak) sebagaimana yang terdapat dalam dokumen kontrak. Selanjutnya, terjadi overmacht ketika dalam melaksanakan pekerjaan konstruksi terjadi kegagalan bangunan yang disebabkan oleh faktor alam, seperti bencana alam. Apabila terjadi kegagalan bangunan karena wanprestasi, maka penyedia jasa Persekutuan Komanditer selaku penyedia jasa konstruksi telah memenuhi tanggung jawab untuk memberikan ganti rugi atas kerugian dan/atau kerusakan jika terjadi kegagalan bangunan dan/ atau kegagalan pekerjaan konstruksi. Lebih spesifik lagi ganti rugi tersebut dapat dilihat pada sanksi dan denda, seperti yang telah disebutkan dalam pembahasan mengenai sanksi dan denda dalam wanprestasi yang telah sesuai dengan contoh surat perjanjian pemborongan (kontrak), di bagian tersebut dapat di deskripsikan bahwa penyedia
commit to user 79
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 80
jasa telah berupaya bertanggung jawab untuk ganti rugi berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, selain itu dalam bagian kegagalan bangunan dalam contoh surat perjanjian pemborongan (kontrak) bentuk ganti rugi dilakukan melalui mekanisme pertanggungjawaban (asuransi) serta ketika terjadi overmacht, maka penyedia jasa dibebaskan dari sanksi penggantian ganti rugi tetapi mempunyai kewajiban untuk memperbaiki bangunan dalam jangka waktu tertentu, yang dalam contoh surat perjanjian pemborongan (kontrak) telah disebutkan secara tegas jangka waktu pertanggungjawaban atas kegagalan bangunan adalah paling lama 10 (sepuluh) tahun yang ditetapakan dalam syarat-syarat khusus kontrak. Sebagai persekutuan komanditer sebagai penyedia jasa konstruksi, maka tanggung jawabnya adalah selama pelaksanaan konstruksi sampai serah terima pekerjaan kepada pengguna jasa, yang artinya serah terima terakhir setelah pekerjaan konstruksi selesai sesuai dengan surat perjanjian pemborongan (kontrak). Selanjutnya menurut penulis ketentuan sanksi dalam kegagalan bangunan telah sesuai dengan ketentuan undang-undang yaitu, dari ketentuan UUPK, UUJK dan Peraturan Pemerintah No.29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, maka menurut penulis dapat dilihat dalam contoh surat perjanjian pemborongan Pekerjaan (kontrak) dan lampiran syarat-syarat khusus kontrak, semua ketentuan telah dituangkan dalam isi surat perjanjian tersebut dan telah sesuai dengan ketentuan undang-undang. Sebagai penyedia jasa yang melaksanakan hak dan kewajibannya apabila tidak sesuai dengan perjanjian yang disepakati bersama, maka akan menimbulkan tanngung jawab untuk memenuhinya. Penyedia jasa kontruksi dalam perjanjian pemborongan pekerjaan jasa konstruksi dapat dilaksanakan oleh orang perseorangan atau badan. Badan adalah badan usaha berbadan hukum dan badan usaha bukan badan hukum. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam penulisan hukum ini penulis mengkaji Persekutuan Komanditer atau Commanditaire Vennootschap (CV). Menurut Pasal 1 butir 5 RUU tentang Usaha Perseorangan dan Badan Usaha Bukan Badan Hukum, CV adalah badan usaha bukan badan hukum yang mempunyai satu atau lebih sekutu komplementer dan sekutu
commit to user 80
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 81
komanditer. Sekutu komplementer (complementary partner), yaitu sekutu aktif yang menjadi pengurus persekutuan. Sekutu komanditer (silent partner), yaitu sekutu pasif yang tidak ikut mengurus persekutuan. Berdasarkan hal tersebut, maka menurut penulis dapat dilihat dalam praktek, yaitu dalam akta pendirian sebuah Persekutuan Komanditer atau Commanditaire Vennootschap (CV). Dalam akta tersebut disebutkan tanggung jawab masing-masing sekutu, yaitu:
1. Tanggung Jawab Sekutu Komplementer Bahwa sebagai direktur atau sebagai sekutu komplementer yang bertanggung jawab sepenuhnya dalam segala hal dan segala tindakan mengenai perseroan. Tanggung jawab direktur atau sekutu komplementer adalah: a. Sekutu
komplementer
tanggung
jawabnya
tidak
terbatas
artinya
bertanggung jawab sampai harta kekayaannya ikut menjadi jaminan apabila persekutuan mengalami kerugian. b. Direktur bertanggung jawab sepenuhnya di dalam segala hal dan segala tindakan yang mengenai Perseroan dan oleh karena itu berhak untuk mewakili Perseroan di dalam maupun di luar pengadilan baik untuk melakukan segala Tindakan Pemilikan (Daden Van Eigendom) maupun untuk melakukan segala Tindakan Pengurusan (Daden Van Beheer), maka dari itu berhak untuk mengikat Perseroan kepada orang/badan lain dan sebaliknya orang/badan lain kepada Perseroan dengan pembatasan untuk: 1) Meminjam uang atau meminjamkan uang; 2) Memperolah, melepaskan atau memberatkan harta baik bergerak maupun tidak bergerak untuk/kepunyaan perseroan; 3) Mengikat perseroan
sebagai penanggung, dan menggadaikan atau
dengan cara lain meminjamkan harta kekayaan milik perseroan; harus mendapat persetujuan tertulis dari akta yang berkenaan harus turut ditandatangani oleh Persero Komanditer. c.
Direktur dengan tidak mengurangi tanggung jawanya berhak untuk mengangkat seorang atau lebih Pracuratie Hoeder atau wakil khusus
commit to user 81
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 82
untuk melakukan sesuatu tugas tertentu dan menetapkan kekuasaan pejabat tersebut dalam akta/surat pengangkatan. d. Tanggung jawab sekutu komplementer ini juga dapat dilihat dalam surat kesanggupan dan surat penunjukkan penyedia jasa seperti yang terdapat pada lampiran yang dapat dideskripsikan bahwa sebagai direktur atau sekutu komplementer bertanggung jawab atas nama CV untuk melaksanakan pekerjaan konstruksi yang diserahkan oleh Pejabat Pembuat Komitmen.
2. Tanggung Jawab Sekutu Komanditer a. Sebagai para sekutu komanditer yang hanya bertanggung jawab sampai sebesar pemasukkannya dalam perseroan. b. Persero Komanditer secara pribadi atau olehyang dikuasakannya berwenang untuk memasuki pekarangan-pekarangan, gedung-gedung, seperti kantor-kantor dan bangunan-bangunan lain yang dipergunakan atau yang dimiliki oleh Perseroan dan berwenang pula untuk melakukan pemeriksaan tentang keadaan buku-buku, uang dan hal-hal lain yang menyangkut (usaha-usaha) perseroan. c. Persero komanditer tidak diperbolehkan untuk mencampuri jalannya usaha dan perniagaan perseroan tetapi berhak melakukan pengawasan dan pemeriksaan. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 20 KUHD
yang
menjelaskan bahwa pesero komanditer ini tidak boleh melakukan tindakan pengurusan atau bekerja dalam perusahaan perseroan tersebut, meskipun ada pemberian kuasa sekalipun. Jika diketahui bahwa sekutu komanditer terbukti ikut
menjalankan
perusahaan
sebagaimana
yang
dilakukan
sekutu
komplementer dan mengakibatkan kerugian perusahaan, maka sesuai Pasal 21 KUHD sekutu komanditer ini ikut bertanggung jawab secara tanggung renteng terhadap semua utang dan perikatan perseroan tersebut.
commit to user 82
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 83
Dalam perjanjian pemborongan pekerjaan yang penulis bahas antara CV Bina Adi Persada dengan Pejabat Pembuat Komitmen yang melakukan hubungan hukum adalah sekutu komplementer atau sekutu aktif karena berdasarkan tanggung jawabnya yang juga melakukan segala tindakan pengurusan, maka sekutu komplementer ini berhak untuk mengikat perseroan kepada orang/badan lain dan sebaliknya orang/badan lain kepada perseroan. Selanjutnya, mengenai modal dan pemasukan masing-masing persero disebutkan bahwa: a. Dalam akta pendirian tersesbut modal perseroan tidak ditentukan besarnya dan sewaktu-waktu dapat ternyata dalam buku-bukunya, demikian pula pesertaan masing-masing persero dalam modal Perseroan. b. Tiap-tiap pemasukan berupa uang atau barang dalam Perseroan oleh para persero akan dilakukan atas permufakatan para persero bersama dan untuk tiap-tiap pemasukan akan diberikan suatu tanda penerimaan yang sah (kuitansi) yang ditandatangani oleh para persero. c. Yang dapat bertindak sebagai persero dan ikut serta dalam modal Perseroan ini hanya orang-orang yang berkewarganegaraan Republik Indonesia saja atau perseroan-perseroan yang berkewarganegaraan Republik Indonesia dan oleh karena itu, maka tiap persero dilarang untuk menjual atau dengan cara lain melepaskan bagiannya dalam Perseroan ini bukan kepada orang-orang atau perseroan-perseroan sebagaimana yang dimaksud di atas. Berdasarkan semua uraian di atas, maka penulis dapat mengambil kesimpulan
bahwa
perjanjian
pemborongan
pekerjaan
(kontrak)
yang
dilaksanakan antara penyedia jasa konstruksi dengan pengguna jasa konstruksi sebagai konsumen merupakan perjanjian yang sah untuk dilaksanakan karena telah memenuhi ketentuan undang-undang, yaitu KUHD, KUH Perdata, UUPK,UUJK,
dan
Peraturan
Pemerintah
No.29
Tahun
2000
tentang
Penyelenggaraan Jasa Konstruksi. Sebagai penyedia jasa yang berbentuk Persekutuan Komanditer yang bertanggung jawab atas semua pekerjaan konstruksi, maka Persekutuan Komanditer telah memenuhi tanggung jawabnya,
commit to user 83
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 84
yaitu mulai dari pemenuhan hak dan kewajiban dalam menuntut prestasi, apabila terjadi kerugian karena alasan wanprestasi atau overmacht, dan jika terjadi kegagalan bangunan sesuai dengan isi surat perjanjian pemborongan, syarat umum kontrak, syarat khusus kontrak, dan berdasarkan ketentuan dalam undangundang serta tangggung jawab sebagai Persekutuan Komanditer yang mempunyai 2 (dua) sekutu, yaitu sekutu aktif atau sekutu komplementer dan sekutu pasif atau sekutu komanditer yang masing-masing mempunyai tanggung jawab, pembagian tanggung jawab oleh persekutuan komanditer ini telah dituangkan dalam contoh akta pendirian CV, yaitu seperti yang telah disebutkan pada angka 1 dan 2 tentang tanggung jawab sekutu komplementer dan tanggung jawab sekutu komanditer di atas.
commit to user 84
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 85
B. Penyelesaian Hukumnya Apabila Terjadi Kerugian Pengguna Jasa Konstruksi Selaku Konsumen
Perselisihan dapat terjadi antar siapa saja baik orang dengan orang lain, orang dengan badan hukum, badan hukum dengan badan hukum lain, serta tidak terkecuali antara konsumen dengan pelaku usaha atau produsen. Perselisihan biasanya terjadi karena adanya kesalahan atau kelalaian oleh salah satu pihak. Perselisihan antara konsumen dengan pelaku usaha atau produsen pada umumnya dikarenakan adanya kesalahan atau kelalaian dari pelaku usaha atau penyedia barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. Oleh karena itu, diperlukan peraturan perundang-undangan yang melindungi konsumen. Di Indonesia sendiri telah berlaku UUPK yang bertujuan melindungi konsumen yang sekaligus melindungi pelaku usaha atau penyedia barang dan/atau jasa. Perselisihan antara konsumen atau pengguna barang dan/atau jasa dengan pelaku usaha dikarenakan banyak faktor diantaranya adalah tidak terpenuhinya hak dan kewajiban masing-masing pihak. Apabila terjadi perselisihan, penyelesaiannya dapat diselesaikan melalui berbagai cara sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu dapat melalui pengadilan (litigasi) dan di luar pengadilan (non litigasi). Pasal 36 UUJK menyebutkan bahwa penyelesaian perselisihan dalam jasa konstruksi antara penyedia jasa konstruksi dengan pengguna jasa konstruksi diselesaikan melalui 2 (dua) cara, yaitu penyelesaian melalui pengadilan dan di luar pengadilan. Adapun bunyi dari Pasal 36 UUJK sebagai berikut: 1. Penyelesaian sengketa jasa konstruksi dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa. 2. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap tindak pidana dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. 3. Jika dipilih upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa.
commit to user 85
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 86
Penyelesaian perselisihan antara pelaku usaha dengan konsumen sama halnya penyelesaian perselisihan atau sengketa penyelenggaraan jasa konstruksi diatur dalam Pasal 45 UUPK, yang berbunyi: 1. Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. 2. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. 3. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagimana dimaksud ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang. 4. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa. Berikut akan diuraikan prosedur penyelesaian sengketa melalui pengadilan dan di luar pengadilan. 1. Prosedur melalui pengadilan: a. Dimulai dengan pengajuan gugatan oleh Penggugat atau kuasanya kepada Pengadilan Negeri yang berwenang memeriksa perkara (Kompetensi relatif), yaitu pada umumnya ke Pengadilan Negeri di tempat tinggal Tergugat. b. Selanjutnya pada hari sidang yang telah ditentukan, apabila Penggugat tidak hadir setelah dipanggil dengan “patut”, maka gugatan penggugat “digugurkan” dan dapat mengajukan upaya hukum dengan mengajukan gugatan baru. Apabila Tergugat tidak hadir, maka dijatuhkan putusan Verstek (putusan hakim tanpa hadirnya tergugat) dan dapat mengajukan upaya hukum Verzet. Apabila Penggugat dan Tergugat tidak hadir, maka gugatan Penggugat dicoret dari daftar gugatan dan penggungat dapat mengajukan gugatan baru. c. Apabila pada hari sidang yang sudah ditentukan, Penggugat dan Tergugat hadir di dalam sidang, maka setelah hakim membuka sidang, hakim harus mengusahakan perdamaian di antara kedua belah pihak. Apabila tercapai
commit to user 86
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 87
perdamaian, maka pemeriksaan dihentikan dan perkara diputus dengan akta perdamaian. d. Jika perdamaian gagal, maka tahap selanjutnya gugatan dibacakan dan Penggugat diberi kesempatan untuk merubah atau mencabut gugatannya. e. Selanjutnya Tergugat diberi kesempatan mengajukan Jawaban Tergugat. Tahap selanjutnya Penggugat diberi kesempatan untuk menanggapi jawaban Tergugat dengan mengajukan Replik Penggugat dan Tergugat dapat menanggapi replik penggugat dengan Duplik Tergugat. f. Setelah
tahap
jawab-menjawab
antara
Penggugat
dan
Tergugat,
selanjutnya Penggugat dan Tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan alat bukti. g. Setelah tahap pembuktian dari Penggugat dan Tergugat selesai, maka ke dua pihak diberi kesempatan mengajukan Kesimpulan. h. Setelah tahap Kesimpulan, maka majelis hakim menjatuhkan Putusan Hakim. Apabila Penggugat dan Tergugat menerima putusan majelis hakim Pengadilan Negeri, maka putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) dan dapat dilaksanakan (eksekusi). i. Apabila salah satu tidak puas terhadap putusan hakim tersebut, maka disediakan adanya upaya hukum, yaitu banding, kasasi, dan peninjauan kembali. 2. Prosedur di luar pengadilan: a. Prosedur pemeriksaan sengketa melalui Arbitrase (Salim H.S., 2005: 149150), yaitu: Pemohon mengajukan permohonan arbitrase pemeriksaan sengketa secara tertulis kepada arbiter atau majelis arbitrase. Pemeriksaan secara lisan dapat dilakukan apabila disetujui para pihak. Setelah menerima permohonan langkah-langkah yang dilakukan oleh arbiter atau majelis arbitrase adalah: 1) Dalam jangka waktu yang ditentukan oleh arbiter atau majelis arbitrase, pemohon harus menyampaikan surat tuntutannya kepada arbiter atau majelis arbitrase.
commit to user 87
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 88
2) Setelah menerima surat tuntutan dari pemohon, arbiter atau ketua majelis arbitrase menyampaikan suatu salinan tuntutan tersebut dan disertai perintah bahwa termohon harus menanggapi dan memberikan jawaban secara tertulis dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya salinan tersebut oleh termohon. 3) Arbiter atau ketua majelis arbitrase memerintahkan agar para pihak atau kuasa mereka menghadap di muka sidang arbitrase yang ditetapkan paling lama 14 (empat belas) hari terhitung mulai hari dikeluarkannya perintah itu. 4) Apabila termohon setelah lewat 14 (empat belas) hari tidak menyampaikan
jawabannya,
termohon
akan
dipanggil
untuk
menghadap pada sidang arbitrase berikutnya. 5) Dalam jawabannya atau selambat-lambatnya pada sidang pertama termohon dapat mengajukan tuntutan balasan dan terhadap tuntutan balasan tersebut pemohon diberi kesempatan untuk menanggapinya. Tuntutan balasan diperiksa dan diputuskan oleh arbiter atau majelis arbitrase bersama-sama dengan sengketa. 6) Apabila pada hari yang ditentukan pemohon tanpa alasan yang sah tidak dapat menghadap, tetapi telah dipanggil secara patut, maka surat tuntutanya dinyatakan gugur dan oleh arbiter atau majelis arbitrase dianggap selesai. 7) Paling lama 10 (sepuluh) hari setelah pemanggilan kedua diterima termohon dan tanpa alasan sah tidak datang di muka persidangan, pemeriksaan akan diteruskan tanpa hadirnya termohon dan tuntutan pemohon dikabulkan. 8) Dalam hal para pihak datang menghadap pada hari yang telah ditetapkan arbiter atau majelis arbitrase terlebih dahulu mengusahakan perdamaian, apabila perdamaian tercapai dibuatkan akta perdamaian yang final dan mengikat para pihak dan memerintahkan para pihak untuk memenuhi ketentuan perdamaian tersebut.
commit to user 88
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 89
9) Pemeriksaan pokok sengketa dilanjutkan apabila perdamaian tidak tercapai. 10) Para pihak diberi kesempatan terakhir kali untuk menjelaskan secara tertulis pendirian masing-masing serta mengajukan bukti yang dianggap perlu untuk menguatkan pendiriannya dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. 11) Arbiter atau majelis arbitrase berhak meminta kepada para pihak untuk mengajukan penjelasan tambahan secara tertulis, dokumen atau bukti lainnya yang dianggap perlu dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. 12) Sebelum ada jawaban tertulis dari termohon, pemohon dapat mencabut surat permohonan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase. 13) Dalam hal sudah ada jawaban dari termohon. Perubahan atau penambahan surat tuntutan hanya diperoleh dengan persetujuan termohon dan sepanjang perubahan atau penambahan itu menyangkut hal-hal yang bersifat fakta saja dan tidak menyangkut dasar-dasar hukum yang menjadi dasar permohonan 14) Pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari sejak arbiter atau majelis arbitrase terbentuk. Jangka waktu dapat diperpanjang asal ada persetujuan dari para pihak dan diperlukan. 15) Dalam tahap pemeriksaan para pihak mengajukan alat bukti masingmasing sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu hukum acara yang berlaku di Indonesia. 16) Setelah tahap pemeriksaan sengketa telah selesai, selanjutnya pemeriksaan segera ditutup dan ditetapkan hari sidang untuk mengucapkan putusan arbitrase. Putusan diucapkan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah pemeriksaan ditutup. 17) Selanjutnya dilaksanakan putusan arbitrase dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak putusan ditetapkan, lembar asli atau salinan
commit to user 89
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 90
otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepeda panitera pengadilan negeri. Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Bersifat final artinya putusan arbitrase tidak dapat diajukan upaya hukum banding, kasasi, atau peninjauan kembali. b. Prosedur pemerikasaan sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa, yaitu negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli (Suyud Margono, 2000: 108-110), yaitu: 1) Para pihak membentuk kesepakatan mengenai cara penyelesaian sengketa
dibuat
dalam
suatu
pernyataan
mengenai
alternatif
penyelesaian sengketa yang akan digunakan. Para pihak dapat menggunakan cara negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli yang diselesaikan dalam suatu pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam kesepakatan tertulis. 2) Apabila para pihak dalam penyelesaian sengketa memperoleh jalan buntu dan belum menuangkan dalam perjanjian atas kesepakatan tertulis, maka sengketa tersebut dapat diselesaikan melalui bantuan seoarang atau lebih penasihat ahli atau mediator yang ditunjuk oleh lembaga alternatif penyelesaian sengketa. 3) Apabila para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dengan bantuan seorang atau lebih penasihat ahli atau mediator tidak berhasil mencapai kata sepakat atau mempertemukan kedua belah pihak, maka para pihak dapat menghubungi lembaga arbitrase untuk menunjuk mediator. Usaha mediasi harus sudah dimulai dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari. 4) Apabila sudah mencapai kesepakatan, maka segera dituangkan dalam kesepakatan
tertulis
dalam
bentuk
perjanjian.
Kesepakatan
penyelesaian sengketa secara tertulis bersifat final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan baik serta wajib didaftarkan di pengadilan negeri dan mempunyai kekuatan hukum tetap.
commit to user 90
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 91
c. Prosedur pemerikasaan sengketa melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) (Abdul Halim Barkatullah, 2010: 89-99), yaitu: 1) Awalnya dimulai dari laporan konsumen yang dirugikan baik dengan tertulis maupun lisan kepada sekretariat BPSK dengan mencantumkan bukti perolehan, seperti bon, faktur, kuitansi, dan dokumen lainnya. 2) Selanjutnya dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari sejak gugatan diterima BPSK wajib mengeluarkan putusan. Putusan BPSK bersifat final dan mengikat. 3) Dengan putusan dari BPSK, maka dapat segera dimintakan eksekusi ke pengadilan negeri tempat kediaman konsumen. 4) Apabila para pihak tidak mau melaksanakan putusan, maka dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri paling lambat 14 (empat belas) hari setalah menerima pemberitahuan putusan. 5) Selanjutnya pengadilan negeri wajib mengeluarkan putusan atas keberatan dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari sejak diterimanya keberatan. Terhadap putusan pengadilan negeri tersebut, apabila para pihak masih tidak dapat menerima, maka para pihak dalam waktu 14 (empat belas) hari bisa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dan Mahkamah Agung wajib mengeluarkan putusan dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak menerima kasasi.
Menurut ketentuan Pasal 49 ayat (1) Peraturan Pemerintah No.29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, yang menyebutkan: Penyelesaian sengketa dalam penyelenggaraan jasa konstruksi di luar pengadilan dapat dilakukan dengan cara: 1. melalui pihak ketiga, yaitu a. mediasi (yang ditunjuk oleh para pihak atau oleh Lenbaga Arbitrase dan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa); b. konsiliasi; atau 2. arbitrase melalui Lembaga atau Arbitrase Ad Hoc. Penyelesian sengketa di luar pengadilan dapat melalui negosiasi, mediasi, konsiliasi, penilaian ahli, dan arbitrase serta Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang merupakan lembaga khusus yang dibentuk dan
commit to user 91
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 92
diatur dalam UUPK untuk menyelesaikan sengketa atau perselisihan antara konsumen dengan pelaku usaha. Menurut penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS menyatakan: “Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, konsiliasi, atau penilaian ahli”. Berdasarkan uraian Pasal-pasal dalam UUPK, UUJK, Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS, dan Peratauran Pemerintah No.29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, maka menurut penulis apabila terjadi kerugian pengguna jasa selaku konsumen pengguna jasa konstruksi maka persekutuan komanditer selaku penyedia jasa konstruksi dapat melakukan penyelesaian sengketa melalui pengadilan (litigasi) dan di luar pengadilan (non litigasi). Dalam perkembangannya penyelesaian sengketa di luar pengadilan didahulukan ketika tidak dapat meneyelesaikan sengketa baru dilakukan melalui pengadilan. Dalam contoh surat perjanjian pemborongan (kontrak) telah di cantumkan ketentuan jika terjadi perselisihan atau sengketa, disebutkan “setiap perselisihan atau sengketa yang timbul dari atau yang berhubungan dengan kontrak, diutamakan penyelesaian melalui musyawarah untuk mufakat dan apabila
perselisihan/sengketa
masih
belum
dapat
diselesaikan
melalui
musyawarah maka kedua belah pihak sepakat untuk memilih tempat kedudukan hukum di kantor Panitera Pengadilan Negeri Purwokerto”. Dalam ketentuan tentang penyelesaian sengketa telah memenuhi ketentuan undang-undang yang menyatakan penyelesaian sengketa sebaiknya melalui pengadilan dan di luar pengadilan. Pada syarat umum kontrak
disebutkan penyelesaian perselisihan
dapat melalui: 1. Di luar pengadilan, yaitu dengan cara musyawarah, mediasi, konsiliasi atau arbitrase di Indonesia. 2. Pengadilan.
commit to user 92
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 93
BAB IV PENUTUP
A. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat ditarik suatu simpulan bahwa adalah : 1. Bahwa perjanjian pemborongan pekerjaan (kontrak) yang dilaksanakan antara penyedia jasa konstruksi dengan pengguna jasa konstruksi sebagai konsumen merupakan perjanjian yang sah untuk dilaksanakan karena telah memenuhi ketentuan undang-undang, yaitu KUH Perdata, KUHD, UUPK, UUJK, dan Peraturan Pemerintah No.29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi. Sebagai penyedia jasa, maka Persekutuan Komanditer telah bertanggung jawab atas semua pekerjaan konstruksi, yaitu mulai dari pemenuhan hak dan kewajiban dalam menuntut prestasi, apabila terjadi kerugian karena wanprestasi, yaitu dengan memberikan ganti rugi berupa sanksi dan denda atau ketika terjadi kerugian karena overmacht, yaitu dengan menanggung risiko penyedia jasa harus melakukan perpanjangan jangka waktu pelaksanaan dan jika terjadi kegagalan bangunan sesuai dengan isi surat perjanjian pemborongan, syarat umum kontrak, syarat khusus kontrak, dan berdasarkan ketentuan dalam undang-undang serta tanggung jawab sebagai Persekutuan Komanditer yang mempunyai 2 (dua) sekutu, yaitu sekutu aktif atau sekutu komplementer dan sekutu pasif atau sekutu komanditer yang masing-masing mempunyai tanggung jawab, pembagian tanggung jawab oleh persekutuan komanditer, yaitu sekutu komplementer tanggung jawabnya tidak terbatas artinya bertanggung jawab sampai harta kekayaannya ikut menjadi jaminan apabila persekutuan mengalami kerugian serta sebagai pihak yang mengadakan hubungan hukum atau sebagai pihak penandatangan dalam surat perjanjian pemborongan (kontrak) antara CV Bina Adi Persada dengan Pejabat Pembuat Komitmen dan sebagai para sekutu komanditer yang hanya bertanggung jawab sampai sebesar pemasukkannya dalam perseroan.
commit to user 93
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 94
2. Penyelesaian hukum dari persekutuan komanditer selaku penyedia jasa konstruksi apabila terjadi sengketa atau perselisihan yang menimbulkan kerugian bagi pengguna jasa konstruksi sebagai konsumen, maka penyelesaian dapat dilakukan melalui pengadilan (litigasi) dan di luar pengadilan (non litigasi). Dalam contoh surat perjanjian pemborongan (kontrak), syarat umum kontrak , dan syarat khusus kontrak telah di cantumkan ketentuan jika terjadi perselisihan atau sengketa, maka penyelesaian sengketa di luar pengadilan dilakukan dengan cara musyawarah mufakat, mediasi, konsiliasi atau arbitrase di Indonesia. Apabila penyelesaian di luar pengadilan tersebut tidak berhasil, maka diselesaikan melalui pengadilan yang dipilih sesuai dengan domisili para pihak. B. SARAN 1. Dalam melakukan tanggung jawab hendaknya persekutuan komanditer tetap konsisten menerapkan tanggung jawab sebagai penyedia jasa konstruksi maupun penyedia barang dan/atau jasa lainnya yang diperdagangkan, sehingga para pengguna jasa konstruksi akan merasa aman menggunakan jasa konstruksi dalam melakukan pembangunan berdasarkan ketentuan UUJK dan Peraturan Pemerintah No.29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi serta upaya meningkatkan harkat dan martabat konsumen dapat tercapai berdasarkan ketentuan UUPK. 2. Dalam penyelesaian sengketa atau perselisihan yang mengakibatkan kerugian pada pengguna jasa konstruksi sebagai konsumen, maka persekutuan komanditer selaku penyedia jasa konstruksi hendaknya mengedepankan penyelesaian
sengketa
secara
musyawrah
untuk
mufakat,
mediasi,
konsiliasi,atau arbitrase yang dilakukan di luar pengadilan, hal itu lebih baik karena dilakukan secara damai yang berdasarkan UUJK, UUPK, UndangUndang No.30 tentang Arbitrase dan APS dan Peraturan Pemerintah No.29 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi.
commit to user 94
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 95
commit to user 95