1 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tinjauan hukum islam terhadap kekerasan dalam rumah tangga dalam kaitannya dengan undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (uu pkdrt)
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh : Arfan Affandi NIM : E.0003090
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2008 commit to user PERSETUJUAN PEMBIMBING
2 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Penulisan Hukum (Skripsi)
Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Kaitannya Dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT)
Disusun Oleh : ARFAN AFFANDI NIM : E. 0003090
Disetujui untuk Dipertahankan
Dosen Pembimbing
Co. Pembimbing
Mg. Sri Wiyarti, S.H., M.Hum
Mohammad Adnan, S.H., M.Hum
NIP. 130 786 654
NIP. 131411014
commit to user PENGESAHAN PENGUJI
3 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Penulisan Hukum (Skripsi) Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Kaitannya Dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) Disusun Oleh : ARFAN AFFANDI NIM : E. 0003090
Telah diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada : Hari
: Sabtu
Tanggal
: 26 Januari 2008
TIM PENGUJI 1. Agus Riyanto, S.H., M.Hum Ketua
: .............................................
2. Mohammad Adnan, S.H., M.Hum : ............................................. Sekretaris 3. Mg. Sri Wiyarti, S.H., M.Hum Anggota
: .............................................
Mengetahui Dekan,
Moh. Jamin, S.H., M.Hum NIP. 131 570 154 commit to user ABSTRAK
4 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Arfan
Affandi,
2008.
TINJAUAN
HUKUM
ISLAM
TERHADAP
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM KAITANNYA DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN
KEKERASAN
DALAM
RUMAH
TANGGA
(UU
PKDRT). Fakultas Hukum UNS.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengertian dan cara penyelesaian kekerasan dalam rumah tangga serta perlindungan hukum bagi perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga menurut hukum Islam dalam kaitannya dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Penelitian hukum ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif dan termasuk ke dalam jenis penelitian hukum normatif atau doktrinal. Lokasi penelitian di perpustakaan Fakultas Hukum dan perpustakaan pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta. Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis data sekunder dan sumber data sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu studi dokumen, berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku, jurnal, makalah, artikel, dan lain lain. Analisis data yang digunakan adalah analisis isi (Content of Analysis). Berdasarkan penelitian ini diperoleh bahwa Islam tidak mengenal istilah atau definisi kekerasan dalam rumah tangga secara khusus. Kekerasan dalam rumah tangga menurut Islam termasuk ke dalam kategori kejahatan (kriminalitas) secara umum. Kekerasan dalam rumah tangga menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Cara penyelesaian kekerasan dalam rumah tangga menurut hukum Islam yaitu melalui pemberian sanksi / hukuman dimana hukuman tersebut diterapkan sesuai dengan jenis kejahatan yang dilakukan oleh pelaku. Cara penyelesaian kekerasan dalam rumah tangga menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga terdiri dari empat bagian yaitu Kewajiban Pemerintah dan Masyarakat; Hak-Hak Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga; Pemulihan Korban; dan Penyelesaian Kekerasan Dalam Rumah Tangga Melalui Penerapan Sanksi Hukum. Perlindungan hukum bagi perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga menurut hukum Islam yaitu Perjanjian suami atas istri ketika akad nikah (Sighat Ta’liq Talaq) dan Hak perempuan atas suami untuk meminta cerai (Khulu’). Perlindungan hukum bagi perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan to user Sementara; Penetapan Perintah Dalam Rumah Tangga adalah commit Perlindungan
5 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Perlindungan Oleh Pengadilan; Penyediaan Ruang Pelayanan Khusus (RPK) di kantor kepolisian; Penyediaan rumah aman atau tempat tinggal alternatif; Pemberian konsultasi hukum oleh advokat mengenai informasi hak-hak korban dan proses peradilan; Pendampingan advokat terhadap korban pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan. Implikasi teoritis penelitian ini adalah adanya pembentukan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sehingga diharapkan nantinya akan membuat kinerja Pemerintah Indonesia semakin optimal dan efektif dalam mengatasi tindak pidana kekerasan di dalam rumah tangga. Implikasi praktis penelitian ini adalah adanya penghargaan dan penghormatan terhadap kaum perempuan sehingga mereka tidak menjadi korban tindak pidana kekerasan di dalam rumah tangga. Implikasi teoritis dan praktis ini harus dilaksanakan secara berkesinambungan agar cita-cita Pemerintah Indonesia menghapus tindak pidana kekerasan di dalam rumah tangga dapat segera terwujud.
KATA PENGANTAR
Penulis memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa setia melimpahkan kasih sayang, rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan hukum yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Kaitannya Dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT)” ini dengan baik.
Penulisan hukum ini merupakan syarat yang harus ditempuh untuk melengkapi gelar kesarjanaan di bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penulis memiliki keyakinan bahwa penulisan hukum yang penulis lakukan ini merupakan hasil kerjasama dan bantuan beberapa pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
6 digilib.uns.ac.id
telah berperan serta dalam membantu penulisan hukum ini, baik materiil maupun non materiil, terutama kepada: 1. Bapak Moh. Yamin, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin diadakannya penyusunan penulisan hukum ini. 2. Bapak Dr. Adi Sulistyono, S.H., M.H., selaku mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin diadakannya penyusunan penulisan hukum ini. 3. Ibu Mg. Sri Wiyarti, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan bimbingan kepada penulis dalam menyusun penulisan hukum ini. 4. Bapak Mohammad Adnan, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan bimbingan kepada penulis dalam menyusun penulisan hukum ini. 5. Bapak Agus Riyanto, S.H., M.Hum., selaku ketua tim penguji penulisan hukum yang telah memberikan waktunya untuk menguji skripsi penulis. 6. Kedua orang tua penulis yang senantiasa memberikan segala yang terbaik bagi penulis. Aku sangat menyayangi kalian. You’re everything in my life. 7. Kakak dan adik yang aku sayangi. Sejujurnya, aku menerima apa adanya keadaan kalian. I Love You Bro and Sist. My heart would always open to you. 8. Sahabat terbaikku dimanapun kalian berada. Pintu hati ini selalu terbuka untuk kalian. Suka duka kita jalani bersama. 9. Kawan-kawanku di asrama. Berantem dan baikan lagi. Hehehe ! 10. Musuh-musuhku dan teman-temanku di komunitas Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), karena kalianlah aku semangat walaupun akhirnya aku kecewa dengan kalian. Don’t Be Extrimist !!
Penulis merasa bahwa penulisan hukum ini belum sempurna, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan saran dari para pembaca. Semoga penulisan hukum ini memiliki manfaat yang sebesar-besarnya bagi para pembaca. commit to user
7 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Surakarta, Januari 2008 Penulis
Arfan Affandi E. 0003090
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.......................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI .......................................................
iii
ABSTRAK ......................................................................................................
iv
KATA PENGANTAR ....................................................................................
vi
DAFTAR ISI................................................................................................... viii BAB I
BAB II
PENDAHULUAN ........................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................
1
B. Perumusan Masalah ..............................................................
2
C. Tujuan Penelitian...................................................................
3
D. Manfaat Penelitian.................................................................
4
E.
Metode Penelitian..................................................................
5
TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................
11
A. Kerangka Teori ....................................................................... commit to user 1. Tinjauan Umum Terhadap (Hukum) Islam.......................
11 11
8 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a. Islam Memandang Perempuan....................................
11
b. Islam Memandang Perilaku Kekerasan di dalam Rumah Tangga ............................................................
17
2. Tinjauan Umum Terhadap Kekerasan di dalam Rumah
BAB III
Tangga ...............................................................................
19
a. Definisi Kekerasan ......................................................
19
b. Kekerasan Dalam Rumah Tangga...............................
20
B. Kerangka Pemikiran................................................................
34
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................
36
A. Hasil Penelitian .......................................................................
36
1. Kekerasan Dalam Rumah Tangga menurut Hukum Islam dalam
Kaitannya
dengan
Undang-Undang
Nomor
23Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga...................................................................
36
2. Cara Penyelesaian Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut Hukum Islam dalam Kaitannya dengan Undang -Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ..................................... 3. Perlindungan
Hukum
Bagi
Perempuan
39
Korban
Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut Hukum Islam dalam Kaitannya dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga...................................................................
51
B. Pembahasan.............................................................................
59
1. Kekerasan Dalam Rumah Tangga menurut Hukum Islam dalam Kaitannya dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga................................................................... 2. Cara Penyelesaian Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut Hukum Islam dalam Kaitannya dengan commit to user
59
9 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ............... 3. Perlindungan
Hukum
Bagi
Perempuan
61
Korban
Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut Hukum Islam dalam Kaitannya dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
BAB IV
Rumah Tangga...................................................................
66
SIMPULAN DAN SARAN ..........................................................
69
A. Simpulan .................................................................................
69
B. Saran........................................................................................
71
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perempuan merupakan makhluk Allah swt yang secara biologis dan anatomi serta psikologis memiliki perbedaan mendasar dengan laki-laki. Allah menjadikan adanya perbedaan tersebut pada diri perempuan memiliki makna tidak lain agar menjadi pelengkap bagi laki-laki (dan begitu juga sebaliknya laki-laki menjadi pelengkap bagi wanita) dalam menjalani kehidupan sebuah rumah tangga.
Perbedaan-perbedaan yang melekat pada diri perempuan tersebut, pada kenyataannya seringkali dijadikan sebagai obyek untuk melemahkan dan mengesampingkan kaum perempuan itu sendiri. Beberapa sifat yang menjadi ciri khas kaum perempuan, seperti mudah menangis dan peka, maka commit sifat to user
10 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
perempuan dengan adanya sifat-sifat tersebut, akan sangat mudah untuk di cap sebagai makhluk lemah oleh kaum pria, dan memang pada kenyataan dalam kehidupan sehari-hari perempuan cenderung lebih lemah daripada laki-laki. Hal tersebut yang menyebabkan perempuan memiliki potensi yang besar untuk menjadi korban kejahatan, khususnya tindak pidana kekerasan di dalam rumah tangga.
Sebenarnya kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga dapat saja terjadi kepada pihak lain selain kaum perempuan, hanya saja berdasarkan fakta yang terjadi di dalam kehidupan kita sehari-hari membuktikan bahwa sebagian besar kaum perempuan cenderung sangat rentan menjadi korban kekerasan di dalam lingkup keluarganya sendiri. Hal tersebut memaksa kaum perempuan untuk mencari suatu perlindungan, terutama perlindungan hukum.
Keberadaan sebuah undang-undang yang baru diterbitkan oleh pemerintah Indonesia kira-kira tiga tahun lalu, yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dipandang memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia, terutama kaum perempuan Indonesia, terhadap perlindungan hukum seperti yang tersebut diatas. Undangundang ini merupakan salah satu sarana untuk mengakomodir hak-hak dan kepentingan kaum perempuan serta memuat ketentuan perlindungan hukum terhadap perempuan sebagai korban yang paling rentan menjadi obyek kekerasan dalam rumah tangga.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian hukum normatif mengenai kekerasan di dalam rumah tangga dan membandingkannya menurut tinjauan hukum Islam. Penulis melakukan penelitian hukum normatif dengan memilih judul: “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Kaitannya commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
11 digilib.uns.ac.id
Dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT)”. B. Perumusan Masalah Perumusan masalah dalam suatu penelitian, khususnya penelitian hukum, memiliki peran yang penting bagi penulis untuk memberi kemudahan di dalam membatasi ruang lingkup permasalahan yang akan diteliti, sehingga diharapkan dapat mencapai tujuan dan sasaran yang jelas serta memperoleh jawaban sesuai dengan yang diharapkan. Berdasarkan uraian pada latar belakang yang tersebut diatas, maka penulis merumuskan masalah-masalah yang akan diteliti sebagai berikut: 1. Apakah yang dimaksud dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menurut Hukum Islam dalam kaitannya dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ? 2. Bagaimanakah cara penyelesaian Kekerasan Dalam Rumah Tangga menurut Hukum Islam dalam kaitannya dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ? 3. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga menurut Hukum Islam dalam kaitannya dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ? C. Tujuan Penelitian Suatu penelitian harus mempunyai tujuan yang jelas dan pasti. Hal ini dikarenakan tujuan penelitian akan dijadikan sebagai pedoman dalam mengadakan penelitian. Adapun tujuan penelitian yang hendak dicapai oleh penulis dalam penulisan hukum ini adalah: 1. Tujuan Obyektif a. Mengetahui makna dan definisi yang jelas mengenai perilaku kekerasan di dalam rumah tangga ditinjau dari hukum Islam dalam kaitannya dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
12 digilib.uns.ac.id
b. Mengetahui dengan jelas mengenai metode penyelesaian perilaku kekerasan di dalam rumah tangga menurut hukum Islam dalam kaitannya dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. c. Mengetahui bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada perempuan sebagai korban perilaku kekerasan di dalam rumah tangga menurut hukum Islam dalam kaitannya dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. d. Mengetahui dan memahami dengan sejelas-jelasnya mengenai batasanbatasan atas sesuatu perbuatan untuk dapat dikategorikan sebagai kekerasan di dalam rumah tangga. 2. Tujuan Subyektif a. Melengkapi syarat akademis dalam rangka memperoleh gelar kesarjanaan di bidang Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta. b. Menambah dan memperluas pengetahuan dan pemahaman tentang aspek-aspek hukum sebagai suatu teori dan prakteknya, terutama di bidang Hukum. c. Penelitian hukum ini semoga dapat bermanfaat bagi masyarakat luas sehingga mereka mengerti dan memahami tentang adanya perilaku kekerasan di dalam rumah tangga beserta undang-undangnya sebagai perlindungan dan dasar hukum terhadap perilaku kekerasan di dalam rumah tangga itu sendiri. d. Tidak menutup kemungkinan, secara khusus, bagi pihak-pihak tertentu untuk dapat memetik manfaat langsung dari adanya penelitian hukum ini. D. Manfaat Penelitian Suatu penelitian dapat dikatakan memiliki kualitas apabila penelitian tersebut menggunakan metodologi penelitian yang baik dan memiliki manfaat commit to user
13 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang dapat diambil dari adanya penelitian yang dilakukan tersebut. Sedangkan manfaat dari adanya penelitian hukum ini adalah: 1. Manfaat Teoritis a. Memberikan sumbangan pemikiran yang dapat bermanfaat bagi pengetahuan dan wawasan berpikir mengenai ilmu hukum pada umumnya dan tindak pidana kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga pada khususnya. b. Merupakan sarana untuk memperkuat landasan teori dan menambah referensi (literatur) dalam bidang hukum dan masyarakat. c. Merupakan bahan pengembangan dan pengkajian lebih lanjut atas bidang hukum dan masyarakat. 2. Manfaat Praktis a. Merupakan sarana sosialisasi bagi masyarakat atas informasi dan pengetahuan mengenai perilaku kekerasan di dalam rumah tangga. b. Salah satu sumber informasi dan referensi bagi pihak yang berkepentingan dalam penelitian dengan masalah yang sama di masa yang akan datang. c. Memberikan pengetahuan dan wawasan bagi penulis mengenai perilaku kekerasan di dalam rumah tangga. E. Metode Penelitian Istilah ”metode” memiliki arti sebagai ”jalan ke”, namun demikian, menurut
kebiasaan,
kata
”metode”
dirumuskan
dengan
beberapa
kemungkinan, yaitu: Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian; Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan; Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur. (Soerjono Soekanto, 1986: 5).
Metode penelitian adalah suatu cara untuk memperoleh data yang lengkap dan dapat terjamin kebenarannya sehingga hasil penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan tujuan penelitian tersebut dapat commit to user tercapai. Suatu penelitian ilmiah dapat dipercaya kebenarannya apabila
14 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
disusun dengan metodologi yang tepat dan jelas. ”Metodologi merupakan logika dari penelitian ilmiah; Studi terhadap prosedur dan teknik penelitian; Suatu sistem dari prosedur dan teknik penelitian”. (Soerjono Soekanto, 1986: 5-6).
Metodologi dalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, memiliki peranan, sebagai berikut (Soerjono Soekanto, 1986: 7): 1. Menambah
kemampuan
para
ilmuwan
untuk
mengadakan
atau
melaksanakan penelitian secara lebih baik atau lebih lengkap. 2. Memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk meneliti hal-hal yang belum diketahui. 3. Memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk peneliti melakukan penelitian inter-disipliner. 4. Memberikan pedoman untuk mengorganisasikan serta mengintegrasikan pengetahuan mengenai masyarakat. Metode penelitian sangat diperlukan dalam suatu penelitian ilmiah karena mutu dan nilai validitas suatu metode penelitian sangat ditentukan dari ketepatan pemilihan metode penelitian tersebut. Penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut: 1. Jenis dan Sifat Penelitian a. Jenis Penelitian Berkaitan dengan penelitian hukum yang penulis lakukan ini, maka penulis mempergunakan jenis penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan dimana penelitian hukum normatif atau kepustakaan adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti dan mempelajari bahan pustaka (meneliti dan mempelajari data sekunder). Data yang diperoleh dari bahan pustaka atau data sekunder tersebut disusun secara sistematis dan dikaji kemudian diambil suatu kesimpulan berkaitan dengan masalah yang diteliti. commit to user
15 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Penelitian hukum normatif atau kepustakaan tersebut mencakup lima hal, yaitu (Soerjono Soekanto, 1986: 51): 1) Penelitian terhadap asas-asas hukum 2) Penelitian terhadap sistematika hukum 3) Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum 4) Penelitian sejarah hukum 5) Penelitian perbandingan hukum
Berdasarkan kategorisasi penelitian hukum normatif tersebut diatas, maka penulis menitikberatkan pada penelitian terhadap perbandingan hukum, yaitu perbandingan (tinjauan) hukum Islam terhadap kekerasan di dalam rumah tangga dalam kaitannya dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. b. Sifat Penelitian Berdasarkan sifatnya, penelitian hukum yang penulis lakukan ini, termasuk ke dalam penelitian deskriptif, yaitu suatu penelitian yang dimaksudkan untuk memberi data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau gejala-gejala lainnya. (Soerjono Soekanto, 1989: 102). 2. Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian yang penulis lakukan dalam penelitian hukum ini adalah pendekatan kualitatif. 3. Jenis dan Sumber Data Suatu
penelitian
memerlukan
adanya
pengumpulan
data.
Pengumpulan data itu bertujuan untuk memperoleh bahan-bahan yang bernilai tinggi serta berguna untuk bahan penulisan. Jenis dan sumber data yang digunakan, yaitu: a. Jenis Data Berkaitan dengan penelitian yang penulis lakukan merupakan penelitian normatif atau kepustakaan, maka peneliti menggunakan jenis data sekunder dalam penelitian hukum ini. Data sekunder merupakan data kepustakaan dimana data ini dapat diperoleh dari commit to atau user literatur-literatur, info dan surat dokumen-dokumen, buku-buku
16 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kabar yang berasal dari internet serta jenis data sekunder lainnya yang berhubungan dengan masalah penelitian hukum ini. b. Sumber Data Penulis menggunakan sumber data sekunder dalam penelitian hukum ini dimana sumber data sekunder ini menurut Soerjono Soekanto, meliputi tiga bahan hukum, yaitu: 1) Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang memiliki kekuatan mengikat. Adapun bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah Al-Qur’an dan Al-Hadist. 2) Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum sebagai pendukung untuk memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer. Adapun bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah Himpunan Perundang-Undangan Republik Indonesia Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, serta Kompilasi Hukum Islam. Bahan hukum sekunder lain yang diperlukan untuk mendukung penjelasan bahan hukum primer yaitu buku-buku, jurnal, literatur, majalah, artikel internet, laporan atau makalah ilmiah, dan sebagainya yang berkaitan dengan perilaku kekerasan di dalam rumah tangga. 3) Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier merupakan bahan hukum yang dapat memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum tersier yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah sejumlah data yang berkaitan dengan tindak pidana kekerasan di dalam rumah tangga. 4. Teknik Pengumpulan Data commit to user
17 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Penulis menggunakan teknik pengumpulan data berupa studi kepustakaan dimana studi kepustakaan ini meliputi upaya pengumpulan data dengan cara membaca dan meminjam buku-buku perpustakaan, mempelajari artikel dan laporan ilmiah, dan sebagainya yang mempunyai kaitan erat dengan pokok permasalahan penelitian.
Data-data yang diperoleh dari bahan pustaka yang tersebut diatas kemudian dipelajari, diklasifikasikan, disajikan dan dianalisis lebih lanjut sesuai dengan permasalahan penelitian. 5. Teknik Analisis Data Analisa data merupakan tahap yang penting dalam suatu penelitian. Hal ini dikarenakan analisa data sangat menentukan kualitas hasil penelitian. Pada tahap analisa ini, data diolah dan digunakan serta dimanfaatkan sedemikian rupa sampai berhasil menyampaikan kebenaran yang dapat dipakai untuk menjawab berbagai macam persoalan dalam penelitian yang dilaksanakan. Pada suatu penelitian hukum normatif, pengolahan data pada hakikatnya merupakan kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi. (Soerjono Soekanto, 1986: 251-252).
Penelitian hukum normatif yang penulis lakukan menggunakan cara atau metode analisis isi atau disebut juga content of analysis. ”Analisis isi adalah suatu teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru
(repicable) dan sahih data dengan memperhatikan
konteksnya”. (Klaus Krippendorff, 1993: 15).
Metode analisis isi yang digunakan dalam penelitian hukum normatif commit to user Nomor 23 Tahun 2004 mengenai ini, dilakukan terhadap Undang-Undang
18 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yang sesuai dengan permasalahan penelitian.
Instrumen analisis yang digunakan di dalam penelitian hukum normatif ini berupa interpretasi data yaitu menafsirkan isi bahan yang membahas tentang kekerasan di dalam rumah tangga. Adapun beberapa kegiatan di dalam penelitian hukum normatif ini, sebagai berikut: a. Memilih suatu bidang tertentu sebagai obyek penelitian, dalam penelitian ini peneliti memilih bidang Hukum dan Masyarakat (Humas), yaitu Tinjauan Hukum Hukum Islam Terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam Kaitannya dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). b. Mengumpulkan data (informasi) tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga melalui undang-undang, buku-buku, dan sumber-sumber lainnya. c. Menganalisis Kekerasan Dalam Rumah Tangga dengan cara membandingkannya berdasarkan Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).
commit to user
19 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Terhadap (Hukum) Islam a. Islam Memandang Perempuan 1) Kedudukan Mulia Seorang Perempuan di dalam Islam Perempuan, merupakan salah satu topik yang tidak lepas dari perhatian Islam. Islam, apabila ditinjau menurut ajarannya (kitab sucinya), sebenarnya sangat menghargai dan menghormati kedudukan seorang perempuan di dunia ini. Hal ini ditandai dengan banyaknya ayat di dalam Al-Qur’an yang membahas mengenai perempuan dan juga terdapat banyaknya hadits Rasulullah yang mengatur tentang perempuan. commit to user
20 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Beberapa surat di dalam Al-Qur’an yang membahas tentang perempuan (pembagian harta warisan untuk istri dan anak perempuan, larangan menyiksa istri, dan lain-lain) yaitu Surat Maryam, An Nisaa’ (Wanita), Al Mujaadilah (Wanita yang Mengajukan Gugatan) dan Surat Al mumtahanah (Perempuan yang diuji). Dengan adanya surat-surat tersebut, mengindikasikan bahwa Al-Qur’an dan Islam benar-benar memperhatikan dan mengakui eksistensi perempuan beserta peran dan fungsinya dalam kehidupan, baik di dalam keluarga maupun di tengah-tengah masyarakat.
Al-Qur’an mengancam dengan siksa yang berat bagi setiap orang yang menuduh seorang perempuan yang baik dan terpelihara, berkaitan dengan kehormatan dan harga dirinya. Ancaman tersebut tercantum di dalam ayat Al-Qur’an, yaitu: “Dan orang-orang yang menuduh wanita baik-baik (dengan tuduhan zina) sedangkan mereka tidak mendatangkan empat saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) dengan delapan puluh kali deraan...”. (QS. An-Nuur: 4).
Ayat diatas menjelaskan bahwa untuk dapat menuduh seorang perempuan harus mendatangkan empat orang saksi. Hal ini membuktikan bahwa kehormatan dan harga diri seorang wanita di dalam Islam adalah tinggi dan mulia sehingga tidaklah mudah bagi siapa saja untuk dapat menjatuhkan kehormatan dan harga diri wanita dengan sangat mudahnya.
Allah swt berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita baik-baik yang lengah (dari perbuatan keji) lagi commit tobahwa user mereka telah berzina), mereka beriman (dengan tuduhan
21 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mendapat laknat di dunia dan akhirat serta bagi mereka siksa yang besar”. (QS. An-Nuur: 23).
Pengakuan Islam terhadap keberadaan perempuan beserta kemuliaan yang disandangnya, diperkuat lagi dengan adanya sunnah Rasulullah (hadits) yang di dalamnya mengandung ajaranajaran yang mengatur mengenai perempuan.
Rasulullah sendiri memberikan kemuliaan pada wanita dan mengistimewakan keberadaan seorang ibu tiga kali lebih istimewa dibandingkan dengan seorang bapak.
Hadits di bawah ini merupakan bukti bahwa Rasulullah sangat menghargai seorang wanita di dalam keluarga, yaitu: Abu Hurairah meriwayatkan bahwa ada seorang lelaki menemui Ralulullah kemudian bertanya, ”Wahai Rasulullah, siapakah yang paling berhak kuperlakukan dengan baik?”. Beliau menjawab, ”Ibumu”. Dia bertanya lagi, ”Kemudian siapa?”. Beliau menjawab, ”Ibumu”. Dia bertanya lagi, ”Kemudian siapa?”. Beliau menjawab, ”Ibumu”. Dia bertanya lagi, ”Kemudian siapa?”. Beliau menjawab, ”Bapakmu”. (HR. Abu Hurairah).
Jawaban Rasulullah diatas dengan menyebut kata ”Ibumu” sampai dengan tiga kali, hal ini membuktikan bahwa seorang ibu lebih berhak untuk diperlakukan dengan baik terlebih dahulu sebelum akhirnya bapak juga berhak untuk diperlakukan secara baik. Seorang ibu memiliki keutamaan yang tinggi sehingga setiap tutur katanya yang baik, harus didengar dan diutamakan. Ridhanya merupakan bagian dari ridha Allah.
Demikianlah Rasulullah telah memuliakan kedudukan seorang commit to user ibu di mata anaknya dan tidak luput pula Islam juga memuliakan
22 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kedudukan istri (hak dan kewajibannya) di hadapan sang suami dengan mewajibkan kepada suami untuk mempergauli istri mereka dengan sebaik-baiknya, sebagaimana firman Allah swt: ”..Dan perlakukanlah istrimu dengan cara yang makruf..”. (QS. AnNisaa’: 19).
Islam menjadikan mas kawin di dalam suatu pernikahan sebagai hak bagi wanita dan kewajiban bagi laki-laki untuk membayar mas
kawin tersebut, merupakan salah satu bentuk
perlakuan mulia Islam terhadap wanita. Dengan adanya kewajiban memberikan mas kawin ini, wanita tidak akan diperlakukan sewenang-wenang oleh laki-laki, ketika akan memasuki kehidupan rumah tangga. Allah swt juga menjadikan seorang wanita sebagai pemimpin bagi anak-anaknya di rumah suaminya. Rasulullah swt bersabda: ”Istri adalah pemimpin di rumah suaminya, dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya.”
Rasulullah memberikan kedudukan yang tinggi bagi wanita dengan menghormati dan menghargai mereka dalam menunaikan hak dan kewajibannya baik di dalam keluarga maupun di dalam kehidupan bermasyarakat. Semuanya telah tersusun rapi dan sempurna di dalam Sunnah Rasulullah yang mulia. 2) Penghormatan dan Penghargaan Islam terhadap Perempuan melalui Penggunaan Hijab (Jilbab atau Kerudung) Kewajiban penggunaan hijab (jilbab atau kerudung) yang di khususkan kepada kaum Hawa di dalam ajaran Islam merupakan salah satu bentuk kesungguhan Islam dalam menghormati dan menghargai perempuan. commit to user
23 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pengertian hijab dalam hal ini ialah sesuatu yang dapat menutupi tubuh wanita dari pandangan laki-laki yang bukan mahramnya (sesuatu yang menghalangi wanita dari pandangan laki-laki yang bukan mahramnya).
Katakanlah kepada wanita yang beriman, ”Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak darinya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka (mertua), atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita... (QS. An-Nuur: 31).
Hijab
dapat
memiliki
bentuk
yang
bermacam-macam
tergantung kepada pengertiannya. Pada pokoknya hijab berupa segala sesuatu yang menghalangi pandangan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya, seperti dinding, pintu, pakaian. Berkenaan dengan kehormatan dan harga diri perempuan, maka hijab memiliki bentuk berupa pakaian muslimah, yaitu jilbab atau kerudung (kudung).
Islam mewajibkan kepada seluruh kaum hawa (muslimah atau kaum perempuan) untuk mengenakan jilbabnya menutupi seluruh tubuh mereka, kecuali bagian tubuh yang biasa nampak secara wajar, seperti wajah dan telapak tangan.
Allah swt berfirman: ”Hai nabi katakanlah kepada istrito user dan istri orang-orang mukmin, istrimu, anak-anakcommit perempuanmu
24 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
”hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”.” (QS. Al-Ahzab: 59).
Kewajiban mengenakan hijab bagi perempuan muslim memiliki tujuan supaya mereka terhindar dari fitnah dan terjaga kehormatan dan harga dirinya sehingga mereka tidak menjadi korban tindak kekerasan baik di lingkungan rumah tangga maupun di lingkungan publik (seperti pelecehan seksual dan penganiayaan). 3) Kedudukan Setara antara Perempuan dengan Laki-Laki di dalam Islam Islam
selain
menyanjung
seorang
perempuan
dengan
penghormatan dan penghargaan yang tinggi dan mulia, Islam juga memiliki pandangan lain mengenai seorang perempuan, bahwa perempuan memiliki kedudukan yang setara (sejajar) dengan lakilaki sesuai dengan tujuan awal penciptaan kedua makhluk tersebut, yaitu hanya untuk beribadah kepada Allah swt.
Laki-laki dan perempuan memiliki posisi yang sejajar dalam hal beribadah kepada Allah swt, maksudnya adalah laki-laki dan perempuan memiliki kewajiban untuk saling mendukung dan menghormati serta menghargai satu sama lain di dalam kehidupannya untuk mencapai satu tujuan yang mulia, yaitu beribadah hanya kepada Allah swt.
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujuraat: 13). commit to user
25 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Ayat diatas menjelaskan bahwa tujuan Allah telah menurunkan manusia dari jenis laki-laki dan perempuan ke dunia ini dan menjadikan mereka ke dalam bangsa dan suku yang berbeda-beda, adalah agar manusia itu sendiri saling mengenal dan memahami, saling menghormati dan menghargai. Tidak untuk saling menyakiti dan merusak satu sama lain.
Ayat diatas juga menjelaskan bahwa Allah tidak melihat perbedaan antara laki-laki dengan perempuan dalam hal ketakwaan dan keseriusan mereka dalam beribadah kepada Allah swt, tetapi Allah hanya melihat perbedaan berkenaan dengan kekuatan keimanan mereka. Laki-laki dan perempuan yang paling bertakwa kepada-Nya akan menduduki posisi yang paling mulia diantara manusia dalam pandangan Allah swt.
Prinsip kesetaraan diantara laki-laki dan perempuan ini, apabila dikaitkan dengan hal kekerasan di dalam rumah tangga, maka tidak ada alasan apapun yang dapat membenarkan terjadinya perilaku kekerasan di dalam sebuah keluarga. Seorang suami tidak dibenarkan melakukan kekerasan kepada istrinya dan sebaliknya. Larangan kekerasan ini seyogyanya juga berlaku terhadap pihak lain, seperti anak-anak, mertua dan pembantu rumah tangga.
Hal ini dikarenakan menurut ajaran Islam tidak ada superioritas kedudukan antara laki-laki dan perempuan, kalaupun superioritas tersebut ada, maka hal itu hanyalah menyangkut hak dan kewajiban yang sudah seharusnya melekat pada masingmasing pihak (laki-laki dan perempuan), bukan berkenaan dengan sifat kodratinya (sifat asasinya). commit to user di dalam Rumah Tangga b. Islam Memandang Perilaku Kekerasan
perpustakaan.uns.ac.id
26 digilib.uns.ac.id
Islam sebenarnya sangat melarang terjadinya berbagai bentuk tindak kejahatan, termasuk kekerasan (di dalam rumah tangga).
Islam memiliki metode tersendiri dalam hal kaitannya dengan penolakan atau ketidaksetujuan Islam terhadap kekerasan yaitu larangan Islam secara tegas perihal tindak kekerasan tersebut dan perintah (ajakan) Islam untuk berbuat sebaliknya, yaitu perintah untuk berbuat kebajikan. Allah swt berfirman: ”Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, (Islam) menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar.” (QS. Ali Imran: 104). Berdasarkan ayat Al-Qur’an tersebut di atas, Islam memerintahkan kepada umatnya untuk selalu berbuat kebajikan dan mencegah terjadinya kemungkaran (kejahatan) yang mungkin saja terjadi di dalam kehidupan sehari-hari, bahkan di dalam lingkup kecil sebuah keluarga.
Larangan Islam untuk berbuat munkar, secara tegas termuat di dalam hadits Rasulullah saw, yaitu: ”Iman adalah menahan diri untuk tidak berbuat munkar, maka jangan biarkan seseorang melakukannya.” (HR. Abu Dawud).
Rasulullah saw bersabda: ”Seseorang berkata: Wahai Rasulullah, ajarkan kepadaku sesuatu? Maka beliau menjawab: Janganlah engkau berbuat jahat pada seseorang...” (HR. Tirmidzi).
Islam melarang adanya tindak kekerasan yang terjadi di dalam sebuah keluarga (rumah tangga), hal ini dapat dibuktikan dari indikasi mengenai konsep atau pemahaman Islam itu sendiri dalam hal commit to user pernikahan dan pola hubungan suami-istri dalam pernikahan tersebut
27 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dimana
berdasarkan
konsep
tersebut,
Islam
berusaha
untuk
meminimalisir (memperkecil) resiko terjadinya kekerasan khususnya antara suami dan istri.
Pernikahan menurut pandangan risalah Islam merupakan suatu ritual yang suci yang dibangun berdasarkan rasa cinta dan kasih sayang sebagai pondasinya. Oleh karena pernikahan tersebut dilandasi dengan cinta dan kasih sayang, maka hal tersebut akan berdampak kepada pola hubungan antara anggota keluarga dalam suatu pernikahan, khususnya antara suami dan istri dimana pola hubungan ini di dalam Islam dikenal dengan istilah mu’asyarah bil ma’ruf yaitu pola hubungan yang berlandaskan kepada persahabatan, kekeluargaan dan pola pergaulan yang sehat dan tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Pola hubungan mu’asyarah bil ma’ruf ini, dalam sebuah keluarga memegang peranan penting dalam hal proses pembangunan dan pendidikan mental dan spiritual serta fisik terhadap individu, masyarakat, bangsa, negara dan agama. Dengan adanya pola hubungan mu’asyarah bil ma’ruf ini membuktikan bahwa kekerasan yang terjadi di dalam suatu rumah tangga (keluarga) jelas tidak mendapat tempat sedikitpun bagi keberadaannya. Berdasarkan eksistensi dasar-dasar pernikahan beserta konsepnya yang telah ditetapkan oleh Islam menyatakan bahwa pernikahan merupakan sesuatu yang sakral sehingga tidak sepantasnya keberadaan sebuah rumah tangga dikotori oleh tindak kekerasan di dalamnya, mengingat makna dan dasar filosofi yang sakral dari pernikahan itu sendiri. 2. Tinjauan Umum Terhadap Kekerasan di dalam Rumah Tangga a. Definisi Kekerasan Berkaitan dengan kekerasan dalam rumah tangga, maka terlebih dahulu perlu dipahamicommit istilah kekerasan to user itu sendiri. Kekerasan menurut
28 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kamus
umum
Bahasa
Indonesia,
memiliki
definisi
(WJS.
Purwodarminto dalam Zeni Lutfiyah, 2006: 4): 1) Sifat (hal tersebut) keras; kegiatan; kekuatan 2) Paksaan; kekejangan
Michael Levi menyatakan bahwa tindak kekerasan atau violence, pada dasarnya merupakan konsep yang makna dan isinya sangat bergantung kepada masyarakat sendiri. Hal tersebut dikuatkan dengan pengertian dari Jertome Skolnick, yang mengatakan bahwa kekerasan adalah ”....an ambiguous term whose meaning is established through political process”. (Achi Sudiarti dalam Zeni Lutfiyah, 2006: 4-5). Pengertian kekerasan menurut Mansoer Fakih, kekerasan atau violence adalah serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. (Mansoer Fakih dalam Zeni Lutfiyah, 2006: 5). b. Kekerasan Dalam Rumah Tangga Kekerasan dalam rumah tangga merupakan suatu tindak kejahatan yang terjadi di dalam lingkungan domestik yaitu pada sebuah keluarga. Tindakan kekerasan dalam rumah tangga dapat dilakukan oleh siapa saja, akan tetapi pada umumnya kekerasan tersebut dilakukan oleh suami dimana si pelaku ini cenderung biasanya menjadikan sang istri dan
anak-anak
sebagai
sasaran
atau
obyek
kekerasan
yang
dilakukannya itu.
Hal tersebut diatas, selaras dengan kenyataan yang banyak terjadi di lapangan secara umum dimana fakta menunjukkan bahwa mayoritas pihak yang paling dirugikan dalam kasus-kasus kekerasan yang ada, terlebih lagi kasus kekerasan di dalam rumah tangga, berasal dari kaum perempuan dan anak-anak, hal ini dikarenakan mereka commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
29 digilib.uns.ac.id
berdasarkan fakta merupakan kaum yang cenderung rentan menjadi sasaran tindak kekerasan dalam rumah tangga.
Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya data bahwa sekitar 24 juta perempuan dari 217 juta penduduk Indonesia terutama di pedesaan mengakui pernah mengalami kekerasan dan jumlah kekerasan yang terbesar adalah kekerasan dalam rumah tangga. Komnas perempuan pada tahun 2001 melakukan survei pada 14 daerah di Indonesia (Aceh, Palembang, Jambi, Bengkulu, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Maluku, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, NTT) menunjukkan bahwa kaum perempuan paling banyak mengalami kekerasan dan penganiayaan oleh orang-orang terdekatnya serta tindak perkosaan di lingkungan komunitasnya sendiri. (Laporan NGO, h.61). Kemudian sekitar 60% kekerasan terhadap anak dilakukan oleh orangtua mereka. (http://www.hizbuttahrir.or.id).
Berdasarkan data tersebut diatas, dapat diketahui bahwa rumah sesuai dengan fungsinya sebagai tempat tinggal, ternyata tidak dapat memberikan rasa aman pada anggota keluarga yang tinggal di dalam rumah tersebut. Setiap orang dapat merasa terancam oleh orang-orang dekat yang memiliki hubungan darah atau pernikahan dengannya, terutama ketika mereka berada pada satu rumah. Seharusnya rumah dan orang-orang yang ada di dalamnya merupakan tempat dan pihak teraman yang seharusnya bisa mereka andalkan.
Pada Rifka Annisa Women Crisis Center, Yogyakarta, diperoleh data yaitu pada tahun 2001 dilaporkan 234 kasus kekerasan terjadi terhadap istri. (http://www.kompas.com). commit to user
30 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Data tersebut diatas belum termasuk kasus-kasus kekerasan lain yang tidak ataupun belum dilaporkan kepada lembaga swadaya masyarakat Rifka Annisa Women Crisis Center.
Catatan awal tahun 2004 yang dilansir oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan
Terhadap
Perempuan
(Komnas
Perempuan),
memperlihatkan pada 2003 telah terjadi 5.934 kasus kekerasan terhadap perempuan. Sebanyak 2.703 di antaranya adalah kasus KDRT, dengan korban terbanyak adalah istri, yaitu 2.025 kasus (75 persen). Tindakan kekerasan terhadap perempuan terus meningkat secara konsisten dari tahun ke tahun. Selama 2004, kekerasan terhadap perempuan meningkat hampir 100%, yaitu menjadi 14.020 kasus. Ketua Komnas Perempuan Kamala Chandrakirana mengungkapkan hal itu pada laporan tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) sepanjang 2004. (http://www.pikiran-rakyat.com).
Data yang terbaru, diketahui berdasarkan data lembaga swadaya masyarakat Mitra Perempuan bahwa sepanjang tahun 2006 lalu Mitra Perempuan telah mendampingi 323 perempuan dan anak yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Jumlah itu lebih kecil dari tahun lalu yang angkanya 443. "Tapi, jumlah pendampingan tidak menunjukkan jumlah kasus kekerasan menurun," kata Ketua Mitra Perempuan, Rita Serena Kolibonso, di Jakarta, Kamis (28/12). (http://www.tempointeraktif.com).
Menurut Rita, jumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga jauh melebihi angka pendampingan Mitra Perempuan. Dari kasus-kasus kekerasan itu Mitra Perempuan menemukan bahwa kebanyakan dari pelaku kekerasan adalah suami, mantan suami, orang tua atau mertua. to user 9 dari 10 perempuan mengalami Mitra Perempuan jugacommit menemukan,
perpustakaan.uns.ac.id
31 digilib.uns.ac.id
lebih dari satu jenis kekerasan. Yang paling banyak adalah kekerasan fisik. Sisanya kekerasan psikis, seksual, penelantaran dalam rumah tangga, dan penelantaran ekonomi. (http://www.tempointeraktif.com).
Berdasarkan data-data tersebut diatas, maka dapat dismpulkan bahwa memang terminologi dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga itu sendiri cenderung memiliki pemahaman yang mendasarkan bahwa kaum perempuan dipandang sebagai kategori korban yang utama dari pada korban-korban dari pihak yang lain. Hal ini disebabkan, kaum perempuanlah yang paling banyak menderita perihal kuantitas kekerasan yang dialaminya dalam lingkungan domestik (keluarga).
Perempuan sebagai korban, yang merupakan topik utama dari masalah kekerasan dalam rumah tangga, juga mendapat perhatian besar dari pihak pemerintah Indonesia dimana kaum perempuan Indonesia memperoleh perlindungan secara yuridis menyangkut hakhaknya ketika mereka mendapat perlakuan kekerasan di lingkungan domestik. Perlindungan yuridis tersebut dibuktikan pemerintah dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang disahkan dan diundangkan di Jakarta pada 22 September 2004 lalu.
Penegasan bahwa kaum perempuan mendapat perhatian utama dari pemerintah ini dapat dilihat dari definisi Kekerasan Dalam Rumah Tangga itu sendiri yang terdapat dalam Bab I Ketentuan Umum Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga No. 23 Tahun 2004.
Berdasarkan undang-undang tersebut, maka dapat diperoleh commit to user definisi bahwa Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap
32 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan
perbuatan,
pemaksaan,
atau
perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Berdasarkan undang-undang tersebut diatas, maka dapat diketahui bahwa kaum perempuan memperoleh perlindungan hukum dari Pemerintah Indonesia dimana perlindungan hukum tersebut mencakup perlindungan terhadap kekerasan fisik, seksual, dan kekerasan psikis serta perlindungan dari tindakan penelantaran rumah tangga (atau dapat disebut juga kekerasan ekonomi). Kaum perempuan walaupun mendapat porsi yang cenderung diutamakan di dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, bukan berarti pihak lain yang memiliki kemungkinan dijadikan sebagai korban kekerasan (seperti: anak-anak), tidak mendapat perlindungan hukum.
Pihak lain yang juga memiliki peluang menjadi korban tindak kekerasan dalam rumah tangga, juga diakui dan dilindungi serta diatur di dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Menurut pengertian yang terdapat dalam Bab 1 Ketentuan Umum Pasal 1 Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga No. 23 Tahun 2004, terminologi dari korban itu sendiri, tidak hanya dari pihak kaum wanita saja, akan tetapi ”korban adalah setiap orang yang mengalami kekerasan dan/ atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga”. Jadi, setiap orang (terutama yang berada atau tinggal dan menetap dalam lingkungan suatu rumah tangga) dapat saja mendapat perlakuan Kekerasan Dalam Rumah Tangga itu sendiri.
commit to user
33 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Setiap orang yang berada dan tinggal menetap di dalam sebuah keluarga, berpotensi untuk disakiti atau dilukai oleh anggota keluarga yang lain sedangkan orang-orang yang tergolong ke dalam lingkup sebuah keluarga itu sendiri terdiri dari bermacam-macam klasifikasi.
Pasal 2 Ayat 1, Bab I Tentang Ketentuan Umum, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga mengatur mengenai pihak-pihak yang digolongkan ke dalam lingkup rumah tangga, yaitu (Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2005: 13-14):
1) Lingkup rumah tangga dalam undang-undang ini, meliputi: a) Suami, istri, dan anak b) Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud dalam huruf a (suami, istri dan anak) karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga (mertua, menantu, ipar dan besan); dan/atau c) Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut (Pekerja Rumah Tangga).
Pengertian ”anak” diatas memiliki definisi yaitu selain sebagai ”anak kandung”, juga dapat mengacu kepada definisi sebagai ”anak angkat” dan ”anak tiri” yang berhubungan dengan keberadaannya di dalam sebuah keluarga (rumah tangga). Hal tersebut seperti apa yang terdapat pada Penjelasan Pasal 2, Ayat (1), Huruf a, Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yang berbunyi: ”Yang dimaksud dengan anak dalam ketentuan ini adalah termasuk anak angkat dan anak tiri”.
commit to user
34 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Khusus untuk Pekerja Rumah Tangga, seperti yang telah tersebut pada Pasal 2 Ayat 1 Huruf c diatas, mereka menjadi bagian anggota keluarga dalam suatu rumah tangga, hanya selama mereka bekerja dalam jangka waktu tertentu di dalam rumah tangga yang bersangkutan.
Orang-orang dengan ketiga kategori diatas memiliki kemungkinan besar untuk menjadi objek perlakuan dan ancaman kekerasan dalam suatu keluarga (rumah tangga).
Sama seperti halnya dengan ”korban”, setiap orang tidak terkecuali orang-orang terdekat kita, dapat saja melakukan tindakan kekerasan yang disebabkan oleh hal-hal tertentu. Biasanya, fakta yang terjadi di kehidupan masyarakat, menunjukkan bahwa pelaku tindakan kekerasan tersebut berasal dari pihak laki-laki (sebagai contoh: suami). Hal tersebut dirasakan wajar saja terjadi karena secara kodrati memang laki-laki memiliki kesempatan dan potensi yang lebih besar untuk menyakiti pasangannya ataupun orang-orang terdekatnya. Namun hal ini tidak menutup kemungkinan adanya kekerasan yang dilakukan oleh pihak selain kaum laki-laki, kaum wanita dan anak-anak juga bisa saja melakukan hal yang sama.
Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga No. 23 Tahun 2004, telah memberikan suatu penegakkan hukum yang jelas bagi penerapan sanksi terhadap pelaku / tersangka tindak pidana kekerasan di dalam rumah tangga. Sanksi yang dikenakan terhadap pelaku kekerasan di dalam rumah tangga dapat berupa sanksi pidana yaitu pidana penjara dan pidana tambahan, dan sanksi perdata yaitu denda. commit to user
35 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Perilaku kekerasan di dalam rumah tangga sebenarnya memiliki berbagai macam bentuk, sebagai berikut: 1) Kekerasan Fisik Kekerasan fisik yang dimaksud adalah setiap perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. 2) Kekerasan Psikis Kekerasan psikis adalah setiap perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan / atau penderitaan psikis berat pada seseorang. 3) Kekerasan Seksual Kekerasan seksual ini memiliki dua macam bentuk, yaitu: a) Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut Bahwa seseorang memaksakan kehendaknya dalam hal hubungan seksual terhadap orang lain yang berada pada satu atap (rumah tangga / keluarga) agar orang lain tersebut mau berhubungan intim dengannya.
Ciri utama kekerasan seksual ini yaitu terdapat adanya unsur keterpaksaan (tidak rela) pada diri si korban ketika terjadi pemaksaan hubungan seksual tersebut. b) Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan / atau tujuan tertentu Pelaku memaksakan hubungan seksual tersebut lebih kepada menyuruh atau memerintahkan seseorang secara paksa untuk melakukan hubungan intim atau seksual dengan orang lain dengan latar belakang tertentu, misalnya untuk mengambil keuntungan secara finansial atau ekonomi dari adanya tindakan commit to user pemaksaan tersebut.
36 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4) Penelantaran Rumah Tangga Penelantaran rumah tangga di sini mengandung dua definisi, yaitu: a) Bahwa setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian, seharusnya ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. b) Bahwa penelantaran rumah tangga sebagaimana dimaksud diatas, juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan / atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
Kekerasan dalam rumah tangga seringkali juga disebut sebagai ‘domestic violence’ atau dapat disebut juga ‘kekerasan domestik’, dan ‘family violence’, disebut juga dengan ‘kekerasan dalam keluarga / rumah tangga’.
Satu lagi istilah yang memiliki hubungan dengan masalah kekerasan dalam rumah tangga, yaitu “gender-based violence”, disebut juga dengan “kekerasan yang berbasis jender” dimana kekerasan berbasis jender ini berusaha menjelaskan bahwa kekerasan yang terjadi dewasa ini cenderung lebih dikarenakan adanya unsur diskriminasi jender antara laki-laki dan perempuan. Kekerasan berbasis jender ini secara langsung maupun tidak, berimbas kepada maraknya tindak kekerasan dalam rumah tangga, karena di dalam sebuah rumah tangga menuntut kepada pembagian dan pelaksanaan hak dan kewajiban antara pria dan wanita sesuai dengan fungsi dan perannya. Sering kali seseorang karena tidak menyadari commit to user akan hak dan kewajibannya,
perpustakaan.uns.ac.id
37 digilib.uns.ac.id
mendorong mereka untuk melakukan perilaku kekerasan terhadap orang lain, terlebih lagi kepada pasangannya, berdasarkan sentimen jender tertentu. Sebagai contoh karena adanya anggapan bahwa seorang istri adalah pihak jender yang lemah dibanding suami, maka secara sadar maupun tidak, akan timbul stigma / cap dari pihak suami itu sendiri bahwa akan dengan sangat mudahnya untuk melakukan kekerasan terhadap istrinya itu sesuai dengan kehendaknya.
Kekerasan dalam rumah tangga jika dibuat perumpamaan seperti fenomena gunung es dimana dari jumlah kasus yang diketahui dan dilaporkan terjadi di Indonesia, hal itu sebenarnya hanya sebagian kecil saja apabila dibandingkan dengan kasus serupa yang sebenarnya lebih banyak lagi terjadi di tengah-tengah masyarakat kita. Mereka (masyarakat kita) lebih memilih ‘bungkam’ tidak mengadukan peristiwa kekerasan yang dialami ataupun dilihatnya kepada pihak aparat penegak hukum (kepolisian) maupun kepada lembaga swadaya masyarakat tertentu (misalnya: komnas anti kekerasan terhadap perempuan dan komnas HAM).
Masyarakat cenderung enggan melaporkan kekerasan yang dialami ataupun disaksikannya di dalam kehidupan rumah tangganya, lebih dikarenakan adanya hal-hal yang melatarbelakangi keengganan tersebut, yaitu: 1) Adanya pemahaman dalam masyarakat kita bahwa segala hal yang menyangkut rumah tangga adalah urusan pribadi masing-masing. Apapun yang terjadi di dalam rumah tangga tidak boleh di intervensi oleh orang lain, demikian juga halnya dengan tindak kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga, seperti pemukulan terhadap istri, pertengkaran, merupakan urusan intern keluarga sehingga tidak sepantasnya diketahui oleh orang lain ataupun commit to user
38 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dilaporkan pada pihak yang berwenang. (Bagian ini memiliki maksud bahwa orang lain tidak berhak ikut campur mengenai segala hal yang berkaitan dengan urusan rumah tangga seseorang, tidak hanya menyangkut masalah kekerasan saja). 2) Adanya stereotipe atau stigma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, bahwa perilaku kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga, seperti penganiayaan dan perkosaan, merupakan suatu aib bagi keluarga sehingga apabila hal itu diketahui oleh orang lain maka akan menimbulkan perasaaan malu terhadap anggota keluarga yang bersangkutan. Oleh karena itu, aib keluarga tidak seharusnya orang lain mengetahuinya. (Bagian ini lebih mengacu kepada pengertian bahwa aib tersebut takut diketahui orang lain). 3) Adanya rasa takut akan mendapat sanksi dari masyarakat apabila perilaku kekerasan yang dilakukannya, diketahui oleh orang lain. Hal ini dipandang dari segi pelakunya. 4) Adanya kekhawatiran pada diri korban, apabila pelaku tindak kekerasan yang dilakukan terhadapnya, memperoleh sanksi hukum oleh pihak yang berwenang (atas perilaku kekerasan tersebut) maka si korban tidak dapat berbuat apa-apa lagi untuk hidupnya, karena orang tempat dia (korban) menggantungkan hidupnya telah ditahan oleh pihak yang berwenang. Biasanya untuk kategori ini, korbannya
adalah
si
istri
yang
secara
ekonomi
sangat
mengandalkannya kepada suami, yang tiada lain adalah pelaku kekerasan terhadapnya (istri). 5) Adanya penjelasan feministik, merupakan pandangan yang menganggap bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah produk struktur sosial dan sosialisasi dalam masyarakat yang mengatakan dan menomorsatukan kepentingan dari perspektif laki-laki. Pandangan ini menjelaskan, kekerasan terhadap perempuan merupakan suatu hal yang cukup umum dan terjadi sebagai commitmasyarakat to user konsekuensi struktur yang mementingkan dan
39 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
didominasi oleh laki-laki. (Achi Sudiarti dalam Zeni Lutfiyah, 2006: 13).
Kelima hal diatas merupakan pandangan dari segi masyarakatnya. Sedangkan apabila dilihat dari segi aparat penegak hukumnya dan pihak yang berwenang, maka akan dapat diketahui dengan jelas mengapa kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga tersebut sulit untuk diangkat ke permukaan, hal ini disebabkan yaitu: 1) Aparat
penegak
hukum
kita
yang
cenderung
enggan
menindaklanjuti laporan perkara-perkara yang mereka terima perihal kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga, baik itu bentuknya
berupa
pengaduan
apalagi
berupa
pemrosesan
perkaranya ke pengadilan. Mereka yaitu aparat kepolisian masih memiliki persepsi yang salah bahwa kekerasan yang terjadi merupakan masalah pribadi sehingga mereka tidak mau terlibat di dalamnya. Hal ini senada dengan ucapan kriminolog Universitas Indonesia, Purnianti, yang dikutip dari www.tempointeraktif.com, yaitu: ”Polisi masih sering menganggap kekerasan itu sebagai masalah pribadi, dan mereka enggan ikut campur", katanya. 2) Minimnya peran serta lembaga-lembaga yang berwenang dalam hal memberikan informasi dan penyuluhan serta sosialisasi menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan tindak kekerasan dalam rumah tangga (khususnya lembaga-lembaga
pemerintah dan
lembaga swadaya masyarakat seperti komisi nasional anti kekerasan terhadap perempuan dan LBH APIK serta SPEK HAM) kepada masyarakat. Hal ini menyebabkan masyarakat mengalami krisis pengetahuan akan kebutuhan informasi yang nantinya diharapkan akan membentengi mereka dari tindak kekerasan yang acap kali terjadi pada masyarakat secara umum. Sehingga karena minimnya kebutuhan akan informasi dan pengetahuan mengenai commit to user kekerasan dalam rumah tangga tersebut, membuat mereka menjadi
perpustakaan.uns.ac.id
40 digilib.uns.ac.id
tidak tahu hendak kemana mengadukan tindak kekerasan yang dialaminya ataupun yang dilihatnya.
Masyarakat kita seringkali salah menafsirkan perihal pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Mereka menganggap bahwa kekerasan yang terjadi di dalam keluarga hanyalah sebatas kekerasan dalam hubungan antar suami – istri. Hal tersebut sebenarnya adalah salah. Kekerasan Dalam Rumah Tangga memiliki paradigma sendiri dalam mengungkapkan ruang lingkup definisinya dimana definsi tersebut menjangkau tidak hanya sebatas hubungan suami- istri akan tetapi juga menyangkut hubungan keluarga dalam konsep Extended – Family yaitu konsep keluarga dalam pengertiannya yang luas, bukan Nucleus - Family (keluarga inti). Konsep seperti ini (Extended – Family) juga diterapkan dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dengan tetap mengutamakan perlindungan terhadap perempuan sebagai korban kekerasan di dalam rumah tangga.
Ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga di dalam masyarakat, diantaranya sebagai berikut: 1) Adanya stereotipe / stigma yang beredar di masyarakat kita, yang menyatakan bahwa perempuan merupakan makhluk yang lemah dan makhluk nomor dua setelah laki-laki. Stigma tersebut secara sadar maupun tidak, mendorong seseorang, terutama suami, untuk secara sewenang-wenang melakukan tindakan kekerasan terhadap istrinya. 2) Adanya fakta bahwa lelaki dan perempuan tidak diposisikan secara adil dan bijaksana dalam masyarakat. Posisi yang dirasakan tidak adil dan bijaksana ini menyangkut hak dan kewajiban antara pria dan wanita yang seharusnya telah menjadi bagian dari masing – commit to user
41 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
masing pihak. Keadaan ini mengakibatkan timbulnya tindak pidana kekerasan di dalam rumah tangga. 3) Pengaruh kebudayaan di dalam masyarakat kita yang tidak mengajarkan perempuan agar menjadi mandiri dan mendorong perempuan atau istri supaya bergantung pada suami, khususnya secara ekonomi. 4) Penafsiran yang salah terhadap ajaran tertentu dalam agama (Islam), terutama pemahaman keliru yang menganggap bahwa lakilaki boleh menguasai perempuan. Biasanya, penafsiran salah tersebut berkaitan dengan ayat-ayat yang mengatur tentang bab nusyuz (pembangkangan) istri kepada suami. Allah swt berfirman, yaitu:
Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu maka janganlah kamu mencari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS. AnNisaa: 34).
Ayat tersebut diatas, cenderung seringkali disalahtafsirkan oleh kebanyakan masyarakat awam dalam menjalankan ajaran agamanya (Islam) sehingga mengakibatkan adanya pembenaran tindakan suami dalam melakukan pemukulan terhadap istrinya. Hal tersebut secara langsung dan tidak langsung menimbulkan terjadinya fenomena kekerasan dalam rumah tangga. 5) Adanya faktor yang dihubungkan dengan kondisi internal pelaku kekerasan (karakteristik pribadi) sehingga menyebabkan kekerasan itu terjadi. Misalnya kekerasan dilakukan oleh orang yang terganggu mentalnya, tertekan, memiliki banyak masalah, yang kemudian keadaan tersebut direspon dengan cara melakukan kekerasan terhadapcommit orang-orang to userterdekatnya.
42 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
6) Adanya faktor yang dihubungkan dengan alasan – alasan tertentu yang dilekatkan pada karakteristik pribadi korban kekerasan. Misalnya tingkah laku korban yang penuntut, tidak pernah mau mengalah dan lain-lain, sehingga ’memancing’ pelaku melakukan kekerasan. 7) Minimnya komunikasi antar anggota keluarga di dalam suatu rumah tangga. Komunikasi sangatlah penting dalam kehidupan rumah tangga karena melalui komunikasi, akan terjalin hubungan batin / emosional antar anggota keluarga sehingga diharapkan akan mengurangi konflik yang terjadi. Setiap masalah sekecil apa pun bila tidak dikomunikasikan secara intens maka akan menumpuk dan berdampak pada munculnya kekerasan (di dalam rumah tangga). 8) Ketidakmampuan individu di dalam rumah tangga dalam mengendalikan emosi (manajemen emosi) sehingga ketika terjadi masalah dalam keluarga, individu tersebut mudah terpicu emosinya tanpa memikirkan jalan keluar penyelesaian yang baik.
Kekerasan dalam suatu rumah tangga, dengan alasan apapun, adalah perbuatan yang melanggar norma hukum dan norma agama (Islam), pelakunya mendapat ancaman sanksi hukum baik pidana (pidana penjara dan pidana tambahan) maupun perdata (denda). B. Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran merupakan sarana untuk mempermudah pemahaman dalam penelitian hukum yang penulis susun ini dimana penulis menyajikannya dalam bentuk bagan, sebagai berikut:
commit to user
43 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Hukum Islam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga (KDRT)
Kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga (KDRT)
Kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga dimana secara khusus perempuan sebagai anggota keluarga menjadi korban kekerasan tersebut
Kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga dimana secara khusus perempuan sebagai anggota keluarga menjadi korban kekerasan tersebut
1. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga menurut hukum Islam
1. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT)
2. Cara penyelesaian kekerasan di dalam rumah tangga menurut hukum Islam
2. Cara penyelesaian kekerasan di dalam rumah tangga menurut UndangUndang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT)
3. Perlindungan hukum bagi perempuan korban kekerasan di dalam rumah tangga menurut hukum Islam
3. Perlindungan hukum bagi perempuan korban kekerasan di dalam rumah tangga menurut UndangUndang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT)
commit to user
44 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian 1. Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut Hukum Islam Dalam Kaitannya Dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga a. Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut Hukum Islam Pada dasarnya Islam tidak mengenal adanya istilah kekerasan dalam rumah tangga melainkan hal tersebut telah diatur secara umum oleh Islam. Kekerasan dalam rumah tangga menurut perspektif Islam merupakan bagian dari tindak kejahatan.
Kejahatan atau kriminalitas (jarimah) menurut Islam merupakan perbuatan-perbuatan tercela (qabih) yang telah ditetapkan oleh hukum syara. Suatu perbuatan termasuk ke dalam kejahatan apabila syariat Islam telah menetapkan bahwa perbuatan tersebut tercela dan bertentangan dengan syariat Islam itu sendiri.
Kekerasan di dalam rumah tangga sebagai bentuk kejahatan, menurut Islam bukanlah perkara yang berkaitan dengan konsep jender (jenis kelamin). Hal ini dikarenakan, menurut Islam, kekerasan (khususnya kekerasan di dalam rumah tangga) dapat menimpa setiap orang, tanpa memandang jenis kelamin tertentu (laki-laki atau perempuan). Begitupun juga halnya dengan pelaku kekerasan yang dapat dilakukan setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan.
Islam memandang bahwa kekerasan atau kejahatan itu sendiri disebabkan oleh dua faktor, yaitu (http://baitijannati.wordpress.com): commit to user
45 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1) Faktor Individu Hal-hal yang termasuk pemicu kekerasan atau kejahatan yaitu tidak adanya ketakwaan pada masing-masing individu, kurangnya kesadaran
masing-masing
individu
terhadap
akibat
buruk
kekerasan dalam rumah tangga, lemahnya pemahaman dan pengetahuan individu mengenai konsep pernikahan dan hubungan suami-istri dalam rumah tangga. 2) Faktor Sistemik / Struktural Kekerasan yang terjadi saat ini merupakan penyakit sosial di masyarakat dimana kekerasan tersebut sudah menyebar hampir di seluruh lini kehidupan, baik di lingkungan domestik (keluarga / rumah tangga) maupun di lingkungan publik. Hal tersebut dapat dilihat dalam kehidupan kita sehari-hari, misalnya suami memukul istrinya, seorang anak menyakiti ibunya, kakek menganiaya cucunya, dan lain-lain.
Kekerasan atau kejahatan yang disebabkan oleh faktor struktural
(sistem),
meliputi
sebagai
berikut
(http://baitijannati.wordpress.com): a) Bidang Ekonomi Keadaan ekonomi
yang cenderung dirasakan sulit,
merugikan dan menyengsarakan masyarakat, seringkali dapat menjadi
pemicu
seseorang
untuk
melakukan
tindakan
kekerasan dalam rumah tangga atau juga menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. b) Bidang Hukum Ketiadaan sanksi hukum yang tegas dan membuat jera pelaku telah
melanggengkan terjadinya kekerasan
atau
kejahatan di masyarakat, misalnya, pelaku penganiayaan atau pembunuhan yang dihukum ringan, perkosaan dan pelacuran commit to user yang dibiarkan merajalela, dan lain-lain.
46 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c) Bidang Pendidikan Menggejalanya kebodohan telah memicu ketidakpahaman sebagian masyarakat mengenai dampak-dampak kekerasan dan bagaimana seharusnya mereka berperilaku sopan dan santun.
Kebodohan yang terjadi pada masyarakat tersebut sebagai akibat kurangnya sosialisasi dan penyuluhan serta wujud nyata pemerintah terhadap pentingnya pendidikan bagi pembangunan mental dan moral serta pola pikir masyarakat ke arah yang lebih baik. d) Bidang Sosial Budaya Berlakunya budaya permisif dan gaya hidup bebas di tengah-tengah masyarakat, memperbesar kemungkinan untuk terjadinya kekerasan. Berlakunya budaya permisif dan gaya hidup bebas berarti lemahnya atau tidak adanya pengawasan di antara masyarakat untuk saling menjaga dan meningkatkan keamanan dan ketertiban serta kenyamanan hidup bersama. b. Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Kekerasan Dalam Rumah Tangga menurut Pasal 1, Bab I Tentang Ketentuan Umum, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yaitu:
Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. (Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2005: 13). commit to user
47 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Cara Penyelesaian Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut Hukum Islam Dalam Kaitannya Dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga a. Cara Penyelesaian Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut Hukum Islam Berkaitan dengan fenomena perilaku kekerasan di dalam sebuah keluarga (rumah tangga), Islam telah memberikan rambu-rambu yang jelas bahwa kekerasan, bagaimanapun bentuknya dan apapun alasannya, pada dasarnya tidak dibenarkan oleh Islam. Kekerasan tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk menyelesaikan masalah (konflik) di dalam rumah tangga. Kalaupun kekerasan pada akhirnya terpaksa dilakukan, maka hal tersebut hanya sebagai satu-satunya jalan penyelesaian yang terakhir untuk mengatasi masalah di dalam rumah tangga, setelah sebelumnya telah dilakukan beberapa pendekatan persuasif (non kekerasan).
Kekerasan (kekerasan dalam rumah tangga) di dalam Islam termasuk ke dalam kategori kejahatan / kriminalitas dimana hukum Islam memiliki aturan (ketentuan) sendiri dalam menyelesaikan perkara-perkara yang digolongkan ke dalam kejahatan tersebut. Ketentuan tersebut berupa hukuman (sanksi) yang diterapkan kepada pelaku kejahatan tergantung kepada jenis kejahatan (jarimah) yang dilakukan.
Berdasarkan hukum Islam terdapat beberapa bentuk kejahatan yang terjadi, terutama terhadap wanita. Bentuk-bentuk kejahatan tersebut dan cara penyelesaiannya menurut hukum Islam, yaitu: 1) Tuduhan
berzina
terhadap
wanita
baik-baik
tanpa
bisa
menunjukkan bukti kuat yang bisa diterima oleh syariat Islam (Qadzaf)
commit to user
48 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sanksi hukum untuk kategori kejahatan diatas, sesuai dengan syariat Islam yaitu hukuman cambuk sebanyak 80 kali cambukan. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt: "Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat saksi maka deralah 80 kali". (QS. An-Nuur: 4-5). (http://www.hizbut-tahrir.or.id). 2) Perbuatan-perbuatan cabul Contoh perbuatan cabul, misalnya berusaha melakukan zina dengan perempuan (namun belum sampai melakukannya), maka hukuman yang sesuai untuk dikenakan terhadap pelakunya yaitu sanksi
penjara
3
tahun,
ditambah
jilid
dan
pengusiran.
(http://www.hizbut-tahrir.or.id). 3) Penyerangan terhadap anggota tubuh Bentuk kekerasan ini dapat juga terjadi pada setiap orang, tidak hanya wanita saja yang menjadi korbannya. Hukuman yang sesuai dengan hukum Islam untuk kejahatan kategori ini, yaitu: a) Korban terbunuh Hukumannya yaitu membayar 1 diyat (tebusan) 100 ekor unta. (http://www.hizbut-tahrir.or.id). b) Organ tubuh korban disakiti Setiap anggota tubuh korban yang telah disakiti oleh pelaku mendapat diyat / tebusan, yaitu: untuk 1 biji mata ½ diyat (50 ekor unta); Setiap jari kaki dan tangan, 10 ekor unta; Luka sampai selaput batok kepala, 1/3 diyat; Luka dalam, 1/3 diyat; Luka sampai ke tulang dan mematahkannya, diyat 15 ekor unta; Setiap gigi, 5 ekor unta; Luka sampai ke tulang hingga kelihatan, diyat 5 ekor unta. (http://www.hizbuttahrir.or.id). 4) Membunuh Kejahatan kategori ini tidak hanya terjadi pada wanita saja, commit to user tetapi pria juga dapat menjadi korban dari pembunuhan. Hukuman
49 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang sesuai dengan syariat Islam untuk kategori pembunuhan, yaitu qishas. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt: "Diwajibkan atas kamu qishos berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh". (QS. Al baqarah: 179). (http://www.hizbut-tahrir.or.id). 5) Penghinaan Penghinaan merupakan salah satu bentuk lain dari kekerasan psikis terhadap seseorang. Penghinaan terhadap orang lain dapat membuat orang yang mendapat hinaan tersebut tersiksa secara mental atau psikologis. Penghinaan dapat terjadi pada setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan. Penghinaan jika tidak dapat dibuktikan kebenarannya, maka hukuman yang sesuai dengan hukum
Islam
adalah
pidana
penjara
empat
tahun.
(http://baitijannati.wordpress.com).
Khusus pada hubungan suami istri dalam lingkup kehidupan rumah tangga, apabila terjadi perilaku kekerasan terhadap pihak istri, maka istri tersebut dapat menjadikan masalah kekerasan yang terjadi pada dirinya sebagai alasan untuk mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama. b. Cara Penyelesaian Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga 1) Kewajiban Pemerintah dan Masyarakat Pemerintah, baik pusat maupun daerah, memiliki kewajiban untuk mengatasi kasus kekerasan dalam rumah tangga dengan segala potensi yang dimiliki oleh aparat pemerintah itu sendiri. Pemerintah dapat melakukan upaya pencegahan (preventif) dan penyelenggaraan pelayanan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, untuk mengatasi kasus kekerasan dalam rumah tangga tersebut, seperti halnya dengan ketentuan pada Pasal 11, commit to user Bab V Tentang Kewajiban Pemerintah dan Masyarakat, Undang-
50 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga: ”Pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga”. (Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2005: 17).
Beberapa program pemerintah dalam usahanya mencegah kekerasan agar tidak terjadi di dalam lingkup rumah tangga tercantum pada Pasal 12, Bab V Tentang Kewajiban Pemerintah dan Masyarakat, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, sebagai berikut (Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2005: 17):
a) Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pemerintah: (1) Merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (2) Menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga (3) Menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga (4) Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif gender dan isu kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif gender b) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf a) dilaksanakan oleh menteri c) Menteri dapat melakukan koordinasi dengan instansi terkait dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf b).
Ketentuan seperti yang terdapat pada pasal 12 huruf a) merupakan penyelesaian kekerasan dalam rumah tangga secara preventif (bersifat untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga) sedangkan penyelesaian kekerasan dalam rumah tangga dalam bentuk pelayanan terhadap korban, seperti yang telah commit to user disebutkan pada poin ’1) Kewajiban Pemerintah dan Masyarakat’,
51 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
terdapat di dalam Pasal 13, Bab V Tentang Kewajiban Pemerintah dan Masyarakat, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, sebagai berikut (Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2005: 18):
Untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban, Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing dapat melakukan upaya: a) Penyediaan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian b) Penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan pembimbing rohani c) Pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerja sama program pelayanan yang melibatkan pihak yang mudah diakses oleh korban d) Memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga, dan teman korban.
Pemerintah
dan
Pemerintah
Daerah,
sebagai
bentuk
perwujudan nyata pelayanan terhadap korban, dapat bekerja sama dengan masyarakat atau lembaga-lembaga sosial, seperti ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 14, Bab V Tentang Kewajiban Pemerintah dan Masyarakat, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, sebagai berikut: “Untuk menyelenggarakan upaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing, dapat melakukan kerja sama dengan masyarakat atau lembaga sosial Iainnya”. (Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2005: 18). 2) Hak-Hak Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Penyelesaian Kekerasan Dalam Rumah Tangga memiliki kaitan dengan hak-hak korban. Hak-hak korban harus diperhatikan dalam usahanya untuk menyelesaikan kekerasan dalam rumah commit to user
52 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tangga dimana untuk menjamin hak-hak atas korban tersebut, maka diperlukan adanya: a)
Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara
maupun
berdasarkan
penetapan
perintah
perlindungan dari pengadilan b) Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis c) Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban d) Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan e) Pelayanan bimbingan rohani f) Relawan pendamping
Perlindungan yang diberikan kepada korban kekerasan dalam rumah tangga dapat berupa perlindungan yang bersifat sementara (perlindungan sementara) dan penetapan perintah perlindungan oleh
pengadilan
(surat
penetapan
perintah
perlindungan).
”Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga,
advokat,
lembaga
sosial,
kepolisian,
kejaksaan,
pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan”. (Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2005: 13). ”Perlindungan Sementara adalah perlindungan yang langsung diberikan oleh kepolisian dan/atau lembaga sosial atau pihak lain, sebelum dikeluarkannya penetapan perintah perlindungan dari pengadilan”. (Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2005: 13). ”Perintah perlindungan adalah penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan untuk memberikan perlindungan kepada korban”. (Tim Redaksi commit to user Nuansa Aulia, 2005: 13).
53 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Perintah perlindungan ini diperoleh dengan mengajukan surat penetapan perintah perlindungan dimana hanya pihak tertentu saja yang memiliki hak untuk mengajukan surat tersebut, seperti yang tercantum
dalam
ketentuan
Pasal
29,
Bab
VI
Tentang
Perlindungan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, sebagai berikut (Tim
Redaksi Nuansa Aulia, 2005: 22):
Permohonan untuk memperoleh surat perintah perlindungan dapat diajukan oleh: a) Korban atau keluarga korban b) Teman korban c) Kepolisian d) Relawan pendamping e) Pembimbing rohani
Berkaitan dengan hal kekerasan dalam rumah tangga, selain pihak pemerintah, masyarakat juga memiliki peran untuk wajib ikut serta dalam hal menyelesaikan kasus kekerasan dalam rumah tangga, seperti yang telah tercantum dalam Pasal 15, Bab V Tentang Kewajiban Pemerintah dan Masyarakat, Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, sebagai berikut (Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2005: 18):
Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upayaupaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk: a) Mencegah berlangsungnya tindak pidana b) Memberikan perlindungan kepada korban c) Memberikan pertolongan darurat d) Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan commit to user
54 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3) Pemulihan Korban Penyelesaian kekerasan dalam rumah tangga dengan cara ini, lebih bersifat sebagai rehabilitasi keadaan korban ke kondisi semula seperti pada awal sebelum menjadi sasaran (objek) kekerasan oleh pelaku.
Pada tahap pemulihan ini, korban memiliki hak untuk mendapatkan upaya pemulihan dari beberapa pihak, seperti ketentuan yang telah tercantum di dalam Pasal 39, Bab VII Tentang Pemulihan Korban, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, sebagai berikut (Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2005: 26):
Untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan dari: a) Tenaga kesehatan b) Pekerja Sosial c) Relawan Pendamping d) Pembimbing Rohani 4) Penyelesaian Kekerasan Dalam Rumah Tangga Melalui Penerapan Sanksi Hukum Penyelesaian Kekerasan Dalam Rumah Tangga menggunakan jalur
ini
merupakan
metode
penyelesaian
yang
bersifat
menghukum, bertujuan untuk membuat jera pelaku kekerasan itu sendiri.
Kekerasan dalam lingkup rumah tangga dapat diselesaikan dengan cara penerapan sanksi hukum, yaitu dalam bentuk: a) Pidana Penjara b) Pidana Tambahan c) Denda commit to user
55 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Hakim dapat menjatuhkan sanksi hukum terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga berdasarkan kategori kejahatan yang
dilakukan
pelaku
tersebut
sesuai
dengan
ketentuan
perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan tersebut yaitu Pasal 44 – 50, Bab VIII Tentang Ketentuan Pidana, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dimana di dalamnya tercantum sanksi hukum (pidana penjara, pidana tambahan dan denda) untuk masing-masing kategori tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga.
Pasal 44 – 49, Bab VIII Tentang Ketentuan Pidana, UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga mengatur tentang sanksi hukum berupa pidana penjara dan denda.
Pasal 44, Bab VIII Tentang Ketentuan Pidana, UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, memuat ketentuan sebagai berikut (Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2005: 27):
a) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) b) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada huruf a) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) c) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada huruf b) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah) commit to user
56 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
d) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada huruf a) dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan seharihari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Pasal 45, Bab VIII Tentang Ketentuan Pidana, UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, memuat ketentuan sebagai berikut (Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2005: 28):
a) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah) b) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada huruf a) dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan seharihari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
Pasal 46, Bab VIII Tentang Ketentuan Pidana, UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, memuat ketentuan sebagai berikut:
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah). (Tim Redaksi Nuansa Aulia, commit to 2005: user 28).
57 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pasal 47, Bab VIII Tentang Ketentuan Pidana, UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, memuat ketentuan sebagai berikut:
Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). (Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2005: 28).
Pasal 48, Bab VIII Tentang Ketentuan Pidana, UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, memuat ketentuan sebagai berikut:
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2005: 29).
commit to user
58 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pasal 49, Bab VIII Tentang Ketentuan Pidana, UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, memuat ketentuan sebagai berikut (Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2005: 29):
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang: a) Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) b) Menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (2)
Pasal 50, Bab VIII Tentang Ketentuan Pidana, UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga mengatur tentang sanksi hukum berupa pidana tambahan, sebagai berikut (Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2005: 29):
Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini, hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa: a) Pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku b) Penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu.
commit to user
59 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3. Perlindungan Hukum Bagi Perempuan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut Hukum Islam Dalam Kaitannya Dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga a. Perlindungan Hukum Bagi Perempuan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut Hukum Islam Perlindungan hukum yang dimaksud dalam bab ini merupakan perlindungan yuridis yang cenderung fokus dan memihak kepada kaum perempuan sehingga diharapkan dengan adanya perlindungan hukum tersebut, kaum perempuan yang telah menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga dapat menemukan jalan keluar penyelesaiannya yang terbaik guna mencegah kaum perempuan mengalami sesuatu yang lebih buruk terjadi pada dirinya.
Perlindungan hukum Islam terhadap perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga, yaitu: 1) Perjanjian suami atas istri setelah akad nikah (Sighat Taklik Talak) Sighat taklik talak merupakan suatu perjanjian yang tidak wajib untuk dilakukan oleh kedua pihak (suami dan istri) dalam pernikahan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan, maka taklik talak tersebut tidak dapat dicabut kembali.
Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Kompilasi Hukum Islam Bab VII Tentang Perjanjian Perkawinan, Pasal 46 Angka (3), yang berbunyi sebagai berikut: ”Perjanjian taklik talak bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali”. (Anonim, 2007: 243).
commit to user
60 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Implikasi dari tidak diwajibkannya taklik talak dalam pernikahan yaitu sighat taklik talak dengan sendirinya tidak memiliki pengaruh apapun terhadap sah tidaknya akad pernikahan kedua pihak (suami-istri). Ikrar sighat taklik talak biasanya dilakukan sesudah akad nikah dan diucapkan oleh suami. Sighat taklik talak yang diucapkan suami tersebut tercantum di dalam buku nikah sebagai bukti otentik.
Dasar hukum dibolehkannya perjanjian perkawinan taklik talak, yaitu terdapat di dalam ketentuan Kompilasi Hukum Islam Bab VII Tentang Perjanjian Perkawinan Pasal 45 ayat 1: ”Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk: 1. Taklik talak...”. (Anonim, 2007: 242).
Perjanjian taklik talak, tidak demikian halnya di dalam Kompilasi Hukum Islam, tidak diatur secara khusus di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, adapun yang ada hanyalah pengaturan mengenai perjanjian perkawinan secara umum. Pernyataan di bawah ini merupakan contoh pernyataan sighat taklik talak, yaitu:
Sesudah akad nikah, saya ...... bin ...... berjanji dengan sesungguh hati, bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suami, dan akan saya pergauli istri saya bernama ...... binti ...... dengan baik (mu’asyarah bil ma’ruf) menurut ajaran syariat agama Islam. Selanjutnya saya mengucapkan sighat ta’liq atas istri saya itu seperti berikut: Sewaktu-waktu saya: a) Meninggalkan istri saya tersebut enam bulan berturut-turut. b) Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya. c) Atau saya menyakiti badan / jasmani istri saya itu. commit to user
61 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
d) Atau saya membiarkan (tidak mempedulikan) istri saya itu enam bulan lamanya.
Kemudian istri saya tidak ridha dan mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama atau petugas yang diberi hak mengurus pengaduan itu, dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh pengadilan atau petugas tersebut, dan istri saya membayar uang sebesar Rp. ..... sebagai ’iwadl (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya.... (KH Ahmad Azhar Basyir, MA, 2004: 83).
Berkaitan dengan isinya, apabila keadaan yang telah tercantum di dalam ketentuan taklik talak benar-benar terjadi, maka talak tidak secara otomatis jatuh atas istri. Istri masih harus mengajukan hal tersebut ke Pengadilan Agama supaya talak sungguh-sungguh jatuh kepada dirinya dan agar pengaduan taklik talak istri tersebut memperoleh penetapan dari Pengadilan Agama.
Pengajuan istri atas taklik talak kepada Pengadilan Agama tersebut di atas, sesuai dengan ketentuan Kompilasi Hukum Islam Bab VII Tentang Perjanjian Perkawinan Pasal 46 Angka (2), yang berbunyi: ”Apabila keadaan yang disyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi kemudian, tidak dengan sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh-sungguh jatuh, istri harus mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama”. (Anonim, 2007: 243).
Perceraian atas dasar taklik talak merupakan salah satu alternatif penyelesaian bagi istri untuk menghindari dampak buruk dari terjadinya konflik di dalam rumah tangga yang dialaminya dimana perceraian atas dasar taklik talak ini telah tercantum di dalam Kompilasi Hukum Islam, Bab XVI Tentang Putusnya Perkawinan, Pasal 116 Huruf g, yang berbunyi: ”Perceraian dapat commit to user
62 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
terjadi karena alasan atau alasan-alasan: ... g. suami melanggar taklik talak..." (Anonim, 2007: 268-269).
Istri yang telah diperlakukan semena-mena oleh suaminya, misalnya suami menyakiti jasmani istrinya, seperti salah satu ketentuan yang telah tercantum dalam taklik talak, maka istri dapat menggunakan haknya sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga, untuk mengadukan perilaku suaminya tersebut ke Pengadilan Agama untuk kemudian menggugat cerai suaminya apabila istri memandang perlu keputusan tersebut.
Taklik talak merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum Islam terhadap istri korban kekerasan dalam rumah tangga dari perlakuan suaminya yang dapat merugikan dan membahayakan keselamatan dirinya. Taklik talak merupakan bentuk perwujudan perlindungan hukum Islam dalam menjamin hak-hak istri atas suaminya. 2) Hak istri atas suami untuk meminta cerai (Khulu’) Pernikahan, seiring perjalanannya, tidak selamanya berjalan lancar,
terkadang
di
dalam
kehidupan
pernikahan
terjadi
perselisihan dan pertengkaran antara suami istri. Perselisihan dan pertengkaran tersebut dapat berujung kepada pemutusan hubungan pernikahan diantara kedua pihak, jika pihak yang menghendaki pemutusan hubungan pernikahan ini berasal dari pihak istri, maka istri dapat memutuskan hubungan pernikahan dengan cara khulu’.
Khulu’ disebut juga dengan talak tebus. Hal ini dikarenakan istri sebagai pendamping suami di dalam kehidupan rumah tangga, memiliki hak untuk memutuskan hubungan keterikatan pernikahan to userhubungan keterikatan pernikahan dengan suaminya.commit Pemutusan
63 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tersebut dilakukan dengan cara istri meminta kepada suami untuk segera menceraikannya kemudian istri menebus sang suami dengan pembayaran sejumlah harta dan atau sejumlah uang.
Dasar hukum diperbolehkannya khulu’ berdasarkan firman Allah swt, yaitu:
...Tidak halal bagi kamu (suami) mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka (istri), kecuali apabila keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukumhukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya... (QS. Al Baqarah: 229).
Berdasarkan firman Allah swt tersebut, maka dapat diperoleh kesimpulan bahwa khulu’ atau talak tebus adalah talak yang dijatuhkan suami terhadap istri atas permintaan istri, dilakukan dengan cara pembayaran sejumlah harta kepada suami. Seorang istri yang menginginkan perceraian dengan jalan khulu’ maka ia harus mengajukan permohonan gugat cerai khulu’ kepada pihak Pengadilan Agama sehingga apabila permohonannya disetujui maka permohonan tersebut sah secara hukum.
Islam memberikan hak khulu’ kepada istri atas suami merupakan bentuk perlindungan Islam terhadap istri agar istri tidak sepenuhnya berada dalam kekuasaan dan tekanan suami ketika konflik terjadi, dan juga agar istri dapat memperjuangkan haknya untuk lepas dari konflik di dalam rumah tangga, yang mungkin dapat membahayakan keselamatan dirinya. commit to user
64 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b.
Perlindungan Hukum Bagi Perempuan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Sebenarnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga tidak memberikan perlindungan hukum secara khusus terhadap perempuan yang menjadi korban kekerasan di dalam rumah tangga melainkan ketentuan perlindungan hukum yang telah diatur dalam undang-undang tersebut menyebutkannya secara umum, maksudnya adalah undang-undang tersebut memberikan perlindungan hukum terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga dimana definisi korban di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, tidak hanya mencakup perempuan tetapi juga mencakup korban dari pihak lain seperti anak-anak dan suami.
Tidak ada pengaturan yang mendetail dan khusus mengenai perlindungan hukum terhadap perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga.
Beberapa bentuk perlindungan hukum yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, adalah: 1) Perlindungan Sementara Ketentuan yang mengatur mengenai perlindungan sementara, terdapat dalam Pasal 16 dan Pasal 17, Bab VI Tentang Perlindungan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Ketentuan mengenai perlindungan sementara yang terdapat di dalam Pasal 16, Bab VI Tentang commit to user Perlindungan, Undang-Undang
65 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yaitu (Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2005: 19):
a) Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban b) Perlindungan sementara sebagaimana dimaksud pada huruf a) diberikan paling lama 7 (tujuh) hari sejak korban diterima atau ditangani c) Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud pada huruf a), kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
Ketentuan mengenai perlindungan sementara yang terdapat di dalam Pasal 17, Bab VI Tentang Perlindungan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga,
yaitu:
”Dalam
memberikan
perlindungan
sementara, kepolisian dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani untuk mendampingi korban”. (Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2005: 19). 2) Penetapan Perintah Perlindungan Oleh Pengadilan Ketentuan mengenai penetapan perintah perlindungan oleh pengadilan terdapat dalam Pasal 28, Bab VI Tentang Perlindungan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, sebagai berikut: ”Ketua pengadilan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak diterimanya permohonan wajib mengeluarkan surat penetapan yang berisi perintah perlindungan bagi korban dan anggota keluarga lain, kecuali ada alasan yang patut.” (Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2005: 22).
commit to user
66 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Perintah
perlindungan
yang
sudah
memperoleh
surat
penetapan pengadilan ini, dapat diberikan selama paling lama satu tahun dan dapat diperpanjang, seperti pada Pasal 32, Bab VI Tentang Perlindungan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, sebagai berikut (Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2005: 23-24):
a) Perintah perlindungan dapat diberikan dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun b) Perintah perlindungan dapat diperpanjang atas penetapan pengadilan c) Permohonan perpanjangan Perintah Perlindungan diajukan 7 (tujuh) hari sebelum berakhir masa berlakunya. 3) Penyediaan Ruang Pelayanan Khusus (RPK) di kantor kepolisian Ruang
pelayanan
khusus
dapat
disediakan
di
kantor
kepolisian, sesuai dengan ketentuan yang terdapat pada Pasal 13 huruf a, Bab V Tentang Kewajiban Pemerintah dan Masyarakat, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, sebagai berikut: “Untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban, Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing dapat melakukan upaya: a. Penyediaan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian”. (Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2005: 18). 4) Penyediaan rumah aman atau tempat tinggal alternatif Ketentuan yang mengatur mengenai penyediaan rumah aman atau tempat tinggal alternatif terdapat pada Pasal 22 huruf c, Bab VI Tentang Perlindungan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yaitu: “(1) Dalam memberikan pelayanan, pekerja sosial harus: c. Mengantarkan korban ke rumah aman atau tempat tinggal alternatif”. (Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2005: 20). commit to user
67 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
5) Pemberian konsultasi hukum oleh advokat mengenai informasi hak-hak korban dan proses peradilan Ketentuan yang mengatur tentang pemberian konsultasi hukum oleh advokat mengenai informasi hak-hak korban dan proses peradilan terdapat pada Pasal 25 huruf a, Bab VI Tentang Perlindungan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, sebagai berikut: ”Dalam hal memberikan perlindungan dan pelayanan, advokat wajib: a. Memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi mengenai hak-hak korban dan proses peradilan”. (Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2005: 21). 6) Pendampingan advokat terhadap korban pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan Ketentuan yang mengatur tentang pendampingan advokat terhadap korban pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan terdapat pada Pasal 25 huruf b), Bab VI Tentang Perlindungan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yaitu (Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2005: 21-22):
Dalam hal memberikan perlindungan dan pelayanan, advokat wajib: b) Mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan dan membantu korban untuk secara Iengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya. B. Pembahasan 1. Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut Hukum Islam Dalam Kaitannya Dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga commit to user
68 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a. Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut Hukum Islam Berdasarkan pengetahuan penulis tentang Islam dan hukumhukumnya, penulis berpendapat bahwa Islam tidak mengatur secara khusus perihal tindak pidana kekerasan di dalam rumah tangga. Hal ini dapat dibuktikan bahwa Al-qur’an dan Al-hadist tidak mencantumkan secara eksplisit (tekstual) istilah kekerasan di dalam rumah tangga. Kekerasan di dalam rumah tangga hanyalah sebuah fenomena baru pada zaman sekarang dimana sebenarnya pokok permasalahan kekerasan di dalam rumah tangga tersebut telah lebih dulu ada dan terjadi pada zaman dahulu, tentunya dalam bentuk dan keadaan yang berbeda.
Penulis
sependapat
dengan
Hukum
Islam
bahwa
Islam
menggolongkan kekerasan di dalam rumah tangga kepada kategori kriminalitas (jarimah) dimana kriminalitas ini selanjutnya diatur di dalam ketentuan Hukum Pidana Islam (Jinayah). b. Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Berkaitan dengan tindak pidana kekerasan di dalam rumah tangga, penulis berpendapat bahwa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga telah cukup jelas mendefinisikan tindak pidana kekerasan di dalam rumah tangga.
Berdasarkan pengertian kekerasan di dalam rumah tangga yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, maka penulis memiliki pendapat bahwa Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga tersebut mengutamakan perempuan sebagai pihak yang wajib dilindungi dari tindak pidana kekerasan di dalam rumah tangga. Perempuan perlindungan hukum dari commitmemperoleh to user
perpustakaan.uns.ac.id
69 digilib.uns.ac.id
Pemerintah Indonesia atas perbuatan yang dapat menimbulkan penderitaan secara fisik, psikologis, seksual dan penelantaran rumah tangga. Perlindungan hukum tersebut juga mencakup ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan dan perampasan kemerdekaan yang mungkin saja terjadi pada kaum perempuan.
Berdasarkan pendapat penulis, kaum perempuan benar-benar mendapat perhatian dan perlindungan yang utama dari adanya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ini. Kaum perempuan sudah selayaknya berbangga hati, hal ini dikarenakan dengan adanya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, mereka dapat menemukan jalan penyelesaian yang baik dari permasalahan tindak pidana kekerasan di dalam rumah tangga, yang selama ini faktanya sering ditutupi oleh berbagai pihak, termasuk kaum perempuan itu sendiri. 2. Cara Penyelesaian Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut Hukum Islam Dalam Kaitannya Dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga a. Cara Penyelesaian Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut Hukum Islam Penulis berpendapat bahwa metode penyelesaian Hukum Islam atas kasus kekerasan di dalam rumah tangga merupakan suatu metode yang cukup mendetail dan tegas. Metode penyelesaian yang mendetail, hal ini dikarenakan berdasarkan hasil penelitian yang telah tercantum pada poin ’ A. Hasil Penelitian’, diketahui Islam memiliki pengaturan ketentuan hukum yang terperinci mengenai penggolongan jenis kejahatan (kekerasan) yang dilakukan dan sanksi hukum yang dibebankan terhadap pelaku kekerasan atau kejahatan. Satu contoh sifat terperinci Hukum Islam dalam mengatasi kekerasan atau commit to user kejahatan yaitu banyaknya penggolongan denda dan organ tubuh
perpustakaan.uns.ac.id
70 digilib.uns.ac.id
korban yang menjadi objek kekerasan. Setiap 1 biji mata yang disakiti terdapat denda sebesar 50 ekor unta, setiap jari kaki dan tangan yang disakiti mendapat denda sebesar 10 ekor unta, dan lain-lain seperti yang telah tercantum pada hasil penelitian. Hal tersebut membuktikan bahwa Islam mengatur ketentuan hukum masalah kekerasan atau kejahatan secara terperinci.
Ketegasan Islam dalam mengatasi masalah kekerasan atau kejahatan dapat dibuktikan dengan adanya kewajiban qishas atas kasus pembunuhan terhadap seseorang. Berdasarkan pengetahuan penulis, qishas merupakan pembalasan hukuman dengan perbuatan yang setimpal atau serupa atas kejahatan yang terjadi. Qishas dapat dicontohkan seperti hukuman pembunuhan dibalas dengan hukuman mati, hukuman pencurian dibalas dengan hukuman potong tangan. Penerapan sikap Islam yang tegas terhadap kasus kekerasan (jarimah) ini juga dapat dibuktikan dengan adanya sanksi hukum berupa hukuman cambuk (hukuman dera) terhadap pelaku tuduhan berzina atas wanita tanpa disertai bukti yang kuat atas tuduhannya tersebut. Melihat kenyataan bahwa Hukum Islam yang cenderung tegas dan memiliki sanksi yang berat (sanksi qishas dan hukuman cambuk), maka banyak opini yang berkembang di masyarakat bahwa Hukum Islam adalah biadab dan tidak berperikemanusiaan, padahal menurut pendapat penulis, apabila Pemerintah Indonesia menerapkan sistem Hukum Islam yang tegas dan memiliki sanksi berat ini, maka beberapa kasus kekerasan (baik di lingkungan publik maupun di lingkungan domestik) yang terjadi di negara kita akan dapat diatasi secara optimal dan efektif.
Beberapa uraian mengenai ketegasan dan ke-terperinci-an Hukum Islam yang telah tersebut diatas menurut pendapat penulis merupakan commit to user
71 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
penyelesaian Hukum Islam secara umum terhadap kasus kekerasan yang terjadi di dalam lingkup ruang publik. Berdasarkan pengetahuan penulis, penulis berpendapat bahwa masih ada lagi jalan penyelesaian Hukum Islam yang lebih khusus untuk mengatasi kasus kekerasan di dalam keluarga (ruang domestik), yaitu talak (bukan taklik talak) dan talak tebus (khulu’). Berdasarkan pengetahuan penulis, seorang suami apabila mendapat perlakuan nusyus (pembangkangan) oleh si istri (misalnya istri sering berlaku kasar pada suami) dimana si suami sudah tidak sanggup lagi mengatasi pembangkangan yang dilakukan istrinya tersebut, maka suami dapat menjatuhkan talak kepada istri. Bilangan talak dapat dijatuhkan oleh suami hanya sebanyak tiga kali dan hal tersebut harus dilakukan secara bertahap. Berbicara mengenai talak, maka ada satu hal lagi di dalam Islam dimana hal tersebut menurut pandangan penulis, dapat juga dikategorikan sebagai penyelesaian atas kasus kekerasan yang terjadi diantara suami dan istri di dalam rumah tangga, hal tersebut yaitu rujuk (raj’ah: kembali). Seorang suami apabila memiliki keinginan untuk kembali membina rumah tangga dengan istrinya yang sebelumnya telah diceraikannya melalui proses talak, maka si suami tersebut dapat meminta persetujuan mantan istrinya untuk melakukan upaya rujuk. Upaya rujuk tersebut tentunya diiringi dengan perbaikan keadaan yang berbeda dengan sebelumnya. Apabila
keadaan
yang
menjadi
penyebab
perceraian
adalah
pembangkangan istrinya kepada si suami, maka ketika rujuk haruslah ada kesepakatan suami dan istri untuk tidak mengulangi perbuatan sebelumnya yang telah menjadi penyebab perceraian mereka terdahulu. Kesepakatan ini menurut pendapat penulis sangatlah penting untuk merubah keadaan kehidupan pasangan suami - istri menuju arah yang lebih baik ketika berumah tangga kembali setelah mereka rujuk. Rujuk biasanya dilakukan melalui proses pengadilan agama (bagi orang yang beragama Islam). Hal ini dikarenakan agar rujuk memiliki commit to userkedua pihak (suami dan istri). kekuatan hukum yang mengikat
perpustakaan.uns.ac.id
72 digilib.uns.ac.id
Demikian halnya dengan talak, haruslah dilakukan melalui proses pengadilan agama, agar memiliki kekuatan hukum yang mengikat antara suami dan istri.
Cara penyelesaian kasus kekerasan yang terjadi di dalam lingkup domestik, selain talak dan rujuk, yaitu talak tebus (seperti yang telah disebutkan secara singkat pada paragraf sebelumnya). Seorang istri apabila memperoleh perlakuan kasar di dalam rumah tangganya, misalnya dianiaya secara fisik oleh suami, dimana si istri merasa sudah tidak sanggup lagi diperlakukan kasar oleh suaminya tersebut, maka Islam memberikan kesempatan bagi istri untuk menggugat cerai khulu’ kepada pengadilan agama, agar pengadilan agama selanjutnya menjatuhkan putusan cerai khulu’ kepada suaminya tersebut. b. Cara Penyelesaian Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Penulis berpendapat bahwa cara penyelesaian kekerasan di dalam rumah tangga menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sudah cukup lengkap apabila dilihat secara teoritis hukum yang terdapat pada UndangUndang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Penulis juga berpendapat bahwa cara penyelesaian kekerasan di dalam rumah tangga tersebut memperhatikan berbagai aspek, seperti kewajiban yang harus dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat; hakhak korban yang harus dipenuhi dan dilindungi; pemulihan kondisi korban ke keadaan semula; dan penerapan sanksi hukum terhadap pelaku tindak pidana kekerasan di dalam rumah tangga. Beberapa aspek tersebut membuktikan bahwa penyelesaian tindak pidana kekerasan di dalamcommit rumahto user tangga harus memperhatikan dan
73 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mempertimbangkan beberapa hal dimana beberapa hal tersebut memiliki peran dan fungsinya sendiri di dalam menyelesaikan kasus tindak pidana kekerasan di dalam rumah tangga.
Sekali lagi, menurut pendapat penulis cara penyelesaian kasus kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga seperti yang terdapat pada ketentuan peraturan Perundang-undangan Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga merupakan cara penyelesaian secara teoritis, hal tersebut belum dibuktikan secara kenyataan di lingkungan masyarakat, apakah efektif atau tidak, apalagi keberadaan undang-undang tersebut baru berumur lima tahun sejak diterbikan oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 2003. Keberadaan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sampai sekarangpun (tahun 2008) belum diiringi dengan penerbitan peraturan pelaksana-nya. Oleh karena itu, penulis hanya berani memberikan pendapatnya secara teoritis berkaitan dengan cara penyelesaian kekerasan di dalam rumah tangga berdasarkan UndangUndang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, seperti yang telah disebutkan pada paragraf sebelumnya.
Berbicara mengenai cara penyelesaian kekerasan di dalam rumah tangga, maka penulis ingin memasukkan lagi satu hal yang dapat dijadikan sebagai upaya penyelesaian kasus kekerasan yang terjadi di dalam lingkup rumah tangga, upaya tersebut yaitu upaya perdamaian. Berdasarkan pengetahuan penulis bahwa pihak Pengadilan Negeri, untuk menunjukkan dukungannya agar pihak-pihak yang berkonflik dalam kasus perceraian yang di dalamnya mengandung unsur kekerasan di dalam rumah tangga, untuk bersedia mengakhiri kasusnya dengan
jalan
damai,
maka
pihak
Pengadilan
Negeri
selalu
mengupayakan dan mengusulkan upaya perdamaian di dalam setiap commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
74 digilib.uns.ac.id
proses persidangan kasus perceraian. Upaya perdamaian tersebut merupakan kesempatan bagi pihak-pihak yang berkonflik, terutama konflik kekerasan di dalam rumah tangga, untuk membina kembali hubungan pernikahan yang sempat retak sebelum akhirnya keputusan perceraian benar-benar dijatuhkan oleh hakim. 3. Perlindungan Hukum Bagi Perempuan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut Hukum Islam Dalam Kaitannya Dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga a. Perlindungan Hukum Bagi Perempuan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut Hukum Islam Penulis berpendapat bahwa Hukum Islam tidak mengatur secara khusus berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap perempuan korban kekerasan di dalam rumah tangga, yang ada hanyalah aturan Islam mengenai taklik talak (bukan talak) dan talak tebus (khulu’), Kaum perempuan, dengan adanya taklik talak dan khulu’, mendapat jaminan perlindungan atas hak-haknya dan jaminan kebebasan memutuskan ikatan pernikahan, terutama ketika konflik terjadi di dalam keluarga. Berdasarkan pengetahuan penulis, keberadaan taklik talak dan khulu’ tersebut, tidak diatur di dalam Hukum Islam secara kongkrit dan khusus. Keadaan semacam ini berbeda sekali dengan ketentuan yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang sangat memperhatikan perlindungan terhadap korban (termasuk korban perempuan) kekerasan di dalam rumah tangga, dengan cara melakukan beberapa upaya nyata sebagai follow up (langkah selanjutnya) dari upaya penghapusan kekerasan di dalam rumah tangga. Sejauh pengetahuan penulis, Hukum Islam tidak memiliki upaya seperti ini (follow up atau langkah selanjutnya) terhadap korban kekerasan di dalam rumah tangga, terutama korban dari pihak perempuan. Hukum to userkekerasan di dalam rumah tangga Islam hanya mengaturcommit penyelesaian
75 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dalam bentuk taklik talak dan talak tebus, tanpa ditindaklanjuti dengan beberapa upaya lain seperti yang terdapat dalam Undang-Undang Penghapusan
Kekerasan
Dalam
Rumah
Tangga,
misalnya
perlindungan sementara dan penyediaan rumah aman (rumah alternatif) bagi korban kekerasan di dalam rumah tangga.
Sepintas, pendapat penulis mengenai perlindungan hukum Islam terhadap perempuan korban kekerasan di dalam rumah tangga terlihat sama persis seperti yang terdapat pada pembahasan mengenai cara penyelesaian kekerasan di dalam rumah tangga menurut Hukum Islam. Perbedaannya terletak pada masalah talak dan taklik talak. Pada pembahasan mengenai cara penyelesaian kekerasan di dalam rumah tangga menurut Hukum Islam, penulis menyatakan pendapatnya bahwa talak merupakan salah satu cara penyelesaian dari tindak pidana kekerasan di dalam rumah tangga, jadi maksud penulis yaitu cara penyelesaian kekerasan di dalam rumah tangga menurut Hukum Islam melalui cara cerai talak atau dapat disebut juga dengan istilah talak, sedangkan pada pembahasan halaman ini, yaitu perlindungan Hukum Islam terhadap perempuan korban kekerasan di dalam rumah tangga, penulis menyatakan pendapatnya bahwa taklik talak (sesuatu perjanjian
dalam
pernikahan)
merupakan
salah
satu
bentuk
perlindungan Hukum Islam terhadap perempuan korban kekerasan di dalam rumah tangga.
Perlindungan Hukum Islam bagi perempuan korban kekerasan di dalam rumah tangga menurut pendapat penulis memiliki kelemahan, yaitu Hukum Islam hanya fokus kepada pelaku kekerasan itu sendiri, maksudnya adalah bentuk perlindungan Islam terhadap perempuan korban kekerasan di dalam rumah tangga hanya sebatas pemberian sanksi hukum kepada commit pelaku to kekerasan itu sendiri sedangkan apabila user
76 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dilihat dari segi korban kekerasan tersebut, mereka hanya dibiarkan saja setelah mengalami beberapa trauma akibat kekerasan yang dialaminya, tanpa diberikan beberapa upaya pemulihan, pelayanan dan pendampingan pada setiap proses persidangan di pengadilan, seperti yang terdapat pada Undang – Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Upaya-upaya tersebut yang seharusnya diperoleh korban (terutama korban perempuan), menurut pendapat penulis tidak dimiliki oleh Hukum Islam. Berdasarkan pengetahuan penulis, Islam tidak memiliki perangkat hukum untuk memberikan pelayanan dan pemulihan
serta
pendampingan
si
korban
untuk
membantu
mengembalikan ia lepas dari trauma kekerasan dan pulih ke kondisi semula. b. Perlindungan Hukum Bagi Perempuan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pendapat penulis berkaitan dengan perlindungan hukum bagi perempuan korban kekerasan di dalam rumah tangga menurut UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dipandang sudah lebih dari cukup (paling tidak secara yuridis teoritis) bagi kaum perempuan untuk merasa aman dari tekanan-tekanan permasalahan kekerasan yang dialaminya di dalam rumah tangganya.
Keberadaan perlindungan hukum yang diberikan tersebut minimal dapat membuat Pemerintah Indonesia dan aparatnya memiliki alasan dan dasar yuridis untuk segera melakukan tindakan perlindungan yang terbaik, khususnya kepada kaum perempuan yang telah menjadi korban tindak pidana kekerasan yang dialaminya di dalam lingkup rumah tangga. commit to user
77 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya, maka penulis memiliki kesimpulan sebagai berikut: 1. Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut Hukum Islam Dalam Kaitannya Dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Kekerasan di dalam rumah tangga menurut Hukum Islam merupakan suatu perbuatan yang tergolong kepada kejahatan atau kriminalitas (jarimah). Hukum Islam juga berpandangan bahwa kekerasan di dalam rumah tangga bukanlah sesuatu perbuatan yang berkaitan dengan konsep jender tertentu, maksudnya ialah kekerasan di dalam rumah tangga dapat dilakukan oleh setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan, dan kekerasan di dalam rumah tangga juga dapat terjadi kepada setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan.
Kekerasan di dalam rumah tangga menurut persepktif UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga merupakan setiap perbuatan yang ditujukan terhadap seseorang terutama perempuan dimana perbuatan tersebut berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum di dalam lingkup suatu rumah tangga (keluarga). commit to user
78 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Cara Penyelesaian Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut Hukum Islam Dalam Kaitannya Dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Cara penyelesaian kekerasan di dalam rumah tangga menurut Hukum Islam terbagi menjadi beberapa kategori tergantung kepada jenis kejahatan (jarimah) yang dilakukan. Beberapa jenis kejahatan tersebut terdiri dari lima jenis kejahatan, yaitu tuduhan berzina kepada wanita baik-baik tanpa bukti yang kuat (Qadzaf), perbuatan cabul, penyerangan terhadap anggota tubuh, pembunuhan, dan penghinaan. Sanksi hukum yang dikenakan terhadap pelaku masing-masing kategori kejahatan tersebut secara umum tediri dari: Sanksi Penjara; Hukuman Fisik, seperti hukuman cambuk; Pengusiran; dan Sanksi Denda (diyat).
Cara penyelesaian kekerasan di dalam rumah tangga menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga secara umum terdiri dari empat bentuk penyelesaian, yaitu: Kewajiban Pemerintah dan Masyarakat; Hak-hak Korban Kekerasan di dalam Rumah Tangga; Pemulihan Korban; dan Penerapan Sanksi Hukum. Berkaitan dengan cara penyelesaian kekerasan di dalam rumah tangga melalui penerapan sanksi
hukum
terhadap
pelaku,
Undang-Undang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga Nomor 23 Tahun 2004 menerapkan sanksi hukum berupa pidana penjara, pidana tambahan, dan denda. 3. Perlindungan Hukum Bagi Perempuan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut Hukum Islam Dalam Kaitannya Dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Perlindungan hukum bagi perempuan selaku korban kekerasan di dalam rumah tangga menurut Hukum Islam lebih cenderung kepada commit to user bentuk perlindungan bagi perempuan ketika mereka berada di dalam
perpustakaan.uns.ac.id
79 digilib.uns.ac.id
ikatan pernikahan. Islam memberikan bentuk perlindungan, yaitu: Taklik talak dan Khulu’ merupakan suatu bentuk perhatian Islam dalam melindungi kaum perempuan agar selamat dari perilaku kekerasan di dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suaminya ketika mereka berada di dalam ikatan pernikahan.
Perlindungan hukum bagi perempuan selaku korban kekerasan di dalam rumah tangga menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga secara umum terdiri dari enam bentuk perlindungan hukum, yaitu: Perlindungan Sementara; Penetapan Perintah Perlindungan oleh Pengadilan; Penyediaan Ruang Pelayanan Khusus (RPK) di Kantor Kepolisian; Penyediaan Rumah Aman atau Tempat Tinggal Alternatif; Pemberian Konsultasi Hukum oleh Advokat Mengenai Informasi Hak-hak Korban dan Proses Peradilan; dan Pendampingan Advokat terhadap Korban pada Tingkat Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan dalam Sidang Pengadilan. B. Saran Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya, maka penulis memberikan saran-saran sebagai berikut: 1. Pemerintah Indonesia hendaknya memaksimalkan fungsi dan kinerja lembaga-lembaga atau institusi pemerintah yang mendukung program penghapusan kekerasan di dalam rumah tangga, seperti PTPAS (Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak Surakarta) dengan cara memberikan bantuan dana dan bantuan non-materiil sehingga diharapkan lembaga atau institusi tersebut dapat lebih efektif dan berdaya guna dalam memberantas tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga. 2. Pemerintah Indonesia hendaknya melakukan kegiatan sosialisasi commit to user tentang keberadaan lembaga atau institusi pendukung upaya
perpustakaan.uns.ac.id
80 digilib.uns.ac.id
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga kepada masyarakat, terutama pihak korban dan kaum perempuan, sehingga mereka tahu adanya lembaga atau institusi yang dapat mengatasi masalah tindak pidana kekerasan di dalam rumah tangga. 3. Pemerintah Indonesia hendaknya melakukan kegiatan sosialisasi dan penyuluhan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga kepada masyarakat, terutama melalui media cetak dan elektronik (televisi, radio, dan layanan internet terpadu). Hal ini dikarenakan, sosialisasi mengenai ide penghapusan kekerasan dalam rumah tangga yang ada sekarang, dirasakan kurang intensif dan kurang berhasil. 4. Lembaga-lembaga swadaya masyarakat, khususnya yang bergerak dalam bidang perempuan (contoh: Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Mitra Perempuan, Rifka Annisa Women Crisis Center), hendaknya adil dan seimbang dalam memaparkan hasil penelitiannya menyangkut data dan fakta kekerasan dalam rumah tangga, misalnya data tentang korban kekerasan dalam rumah tangga haruslah memaparkan data korban dari pihak laki-laki dan perempuan, jangan memaparkan data hanya korban dari salah satu pihak. Hal ini dikarenakan keseimbangan dan keadilan dalam memaparkan data hasil penelitian, sangat berpengaruh terhadap stigma-stigma atau opini yang berkembang di masyarakat mengenai perilaku kekerasan dalam rumah tangga. 5. Pemerintah Indonesia hendaknya mengajak dan menyarankan kepada seluruh elemen masyarakat (lembaga swadaya masyarakat, penduduk sipil, dan lain-lain) untuk berperan aktif dalam memerangi dan mengatasi masalah kekerasan dalam rumah tangga, dengan cara mengerahkan segala kemampuannya demi keamanan dan ketentraman hidup bersama. 6. Pemerintah Indonesia hendaknya menerbitkan peraturan pelaksana bagi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan commit to userseperti Peraturan Pemerintah. Hal Kekerasan Dalam Rumah Tangga,
81 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ini dikarenakan sejak diterbitkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga kira-kira lima tahun lalu, belum ada peraturan pelaksana lain dibawahnya yang khusus mengatur masalah kekerasan di dalam rumah tangga secara lebih terperinci. Keberadaan sebuah peraturan pelaksana bagi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga diharapkan akan membantu upaya penghapusan kekerasan di dalam rumah tangga agar berjalan lebih efektif dan optimal.
commit to user