TINJAUAN YURIDIS PENGGUNAAN ALAT BUKTI SURAT (DOCUMENTARY EVIDENCE) OLEH PENUNTUT UMUM DALAM PROSES PEMBUKTIAN PERKARA PEMALSUAN IJAZAH DI PERSIDANGAN DAN KEKUATAN PEMBUKTIANNYA (STUDI KASUS DI KEJAKSAAN NEGERI MADIUN)
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh Andre Dicky Prayudha NIM.E0005087
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum ( Skripsi )
TINJAUAN YURIDIS PENGGUNAAN ALAT BUKTI SURAT (DOCUMENTARY EVIDENCE) OLEH PENUNTUT UMUM DALAM PROSES PEMBUKTIAN PERKARA PEMALSUAN IJAZAH DI PERSIDANGAN DAN KEKUATAN PEMBUKTIANNYA (STUDI KASUS DI KEJAKSAAN NEGERI MADIUN)
Oleh Andre Dicky Prayudha NIM.E0005087
Disetujui untuk dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta,
April 2010
Dosen Pembimbing
Bambang Santoso, S.H., M.Hum. NIP. 19620209 198903 1 001
ii
PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum ( Skripsi ) TINJAUAN YURIDIS PENGGUNAAN ALAT BUKTI SURAT (DOCUMENTARY EVIDENCE) OLEH PENUNTUT UMUM DALAM PROSES PEMBUKTIAN PERKARA PEMALSUAN IJAZAH DI PERSIDANGAN DAN KEKUATAN PEMBUKTIANNYA (STUDI KASUS DI KEJAKSAAN NEGERI MADIUN) Oleh Andre Dicky Prayudha NIM.E0005087
Telah diterima dan disahkan oleh Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada : Hari
:
Tanggal
: DEWAN PENGUJI
1. Edy Herdyanto, S.H., M.H. NIP.19570629 198503 1 002 Ketua
( ................................. )
2. Kristiyadi, S.H., M.Hum. NIP.19581225 198601 1 001 Sekretaris
( ..................................)
3. Bambang Santoso, S.H., M.Hum. NIP.19620209 198903 1 001 Anggota Mengetahui
( ................................. )
Dekan,
Mohammad Jamin, S.H., M.Hum. NIP.19610930 198601 1 001
iii
PERNYATAAN Nama
: Andre Dicky Prayudha
NIM
: E0005087
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul : “Tinjauan Yuridis Penggunaan Alat Bukti Surat (Documentary Evidence) Oleh Penuntut Umum Dalam Proses Pembuktian Perkara Pemalsuan Ijazah Di Persidangan Dan Kekuatan Pembuktiannya (Studi Kasus Di Kejaksaan Negeri Madiun)” adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta,
April 2010
yang membuat pernyataan
Andre Dicky Prayudha NIM.E0005087
iv
ABSTRAK
Andre Dicky Prayudha, E0005087. 2010. “TINJAUAN YURIDIS PENGGUNAAN ALAT BUKTI SURAT (DOCUMENTARY EVIDENCE) OLEH PENUNTUT UMUM DALAM PROSES PEMBUKTIAN PERKARA PEMALSUAN IJAZAH DI PERSIDANGAN DAN KEKUATAN PEMBUKTIANNYA (STUDI KASUS DI KEJAKSAAN NEGERI MADIUN)”. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Penelitian ini bertujuan Untuk mengetahui penggunaan alat bukti surat (documentary evidence) oleh Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Madiun dalam proses pembuktian perkara pemalsuan ijazah di persidangan dan kekuatan pembuktian alat bukti surat (documentary evidence) dalam proses pembuktian perkara pemalsuan ijazah di persidangan. Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang bersifat kualitatif. Data sekunder bersumber dari dokumen, buku-buku, literatur, majalah, internet, peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan studi kepustakaan. Penulis menggunakan teknik analisis data dengan logika deduktif. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang telah dilakukan maka disimpulkan bahwa Penggunaan alat bukti surat (documentary evidence) dalam pembuktian perkara pemalsuan ijazah mengacu pada Pasal 184 ayat (1) huruf c KUHAP, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 187 KUHAP. Di dalam proses pemeriksaan tindak pidana pemalsuan ijazah di persidangan Pengadilan Negeri Madiun dengan terdakwa WISNU SUWARTO DEWO Bin SOMO SADI penyidik menggunakan alat bukti surat untuk mengungkap fakta dalam persidangan. Kekuatan alat bukti surat dalam pembuktian perkara pemalsuan ijazah berdasarkan pasal 187 KUHAP, penjelasan pasal 187 KUHAP yang menyatakan bahwa surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 (1) huruf c KUHAP dalam pembuktian perkara pemalsuan ijazah di persidangan Pengadilan Negeri Madiun adalah sah dan dapat dipertangungjawabkan. Melihat letak urutannya yaitu ketiga setelah keterangan saksi dan keterangan ahli maka alat bukti surat (documentary evidence) sebagai salah satu alat bukti yang penting. Hal tersebut merupakan suatu kemajuan dalam pembaruan hukum karena disadari pada massa perkembangan ilmu dan teknologi, alat bukti surat memegang peranan dalam penyelesaian kasus pidana.
Kata kunci : Pemalsuan ijazah, Pembuktian , Documentary Evidence
v
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, Dzat Yang Maha Kuasa, Maha Pengasih dan Penyayang, atas segala limpahan rizki dan karuniaNya kepada penulis serta tidak lupa shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi
Besar Muhammad SAW, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) yang berjudul” “TINJAUAN YURIDIS PENGGUNAAN ALAT BUKTI SURAT (DOCUMENTARY EVIDENCE) OLEH PENUNTUT UMUM DALAM PROSES PEMBUKTIAN PERKARA PEMALSUAN
IJAZAH
DI
PERSIDANGAN
DAN
KEKUATAN
PEMBUKTIANNYA (STUDI KASUS DI KEJAKSAAN NEGERI MADIUN). Penulisan hukum ini membahas mengenai berbagai macam penggunaan alat bukti surat (documentary evidence) oleh Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Madiun dalam proses pembuktian perkara pemalsuan ijazah di persidangan dan kekuatan pembuktian alat bukti surat (documentary evidence) dalam proses pembuktian perkara pemalsuan ijazah di persidangan.
Dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu baik materiil maupun imateriil sehingga penulisan hukum ini dapat terselesaikan, terima kasih penulis ucapkan kepada: 1. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan ijin dan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan hukum ini. 2. Bapak Edy Herdyanto, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta 3. Bapak Bambang Santoso, S.H., M.Hum., selaku Pembimbing Skripsi yang telah sabar memberikan bimbingan, dukungan, nasihat, motivasi demi kemajuan Penulis, dan juga cerita-cerita serta pengalaman yang dapat memberikan semangat bagi Penulis.
vi
4. Bapak Pius Triwahyudi S.H., M.Si., selaku pembimbing akademik penulis yang telah memberikan bimbingan selama penulis menempuh masa perkuliahan. 5. PPH Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang berkenan memberikan kesempatan bagi penulis untuk melakukan penelitian serta menyelesaikan penulisan hukum ini. 6. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen serta jajaran staf Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan ilmu, membimbing penulis dan membantu kelancaran sehingga dapat menjadi bekal bagi penulis dalam penulisan hukum ini dan semoga dapat penulis amalkan dalam kehidupan masa depan penulis. 7. Papa dan Mama tercinta, Nono Rachmasono dan Dahlia, S.H., M.H. yang selalu membimbing dan tidak henti-hentinya mendoakan penulis serta memberikan segala perhatian baik moral maupun material. 8. Terima kasih atas partner terindah Dian Savitri, S.H. atas eksistensinya untuk memberikan dorongan dan motivasinya yang tak lekang oleh batas ruang dan waktu. 9. Novis Purwaningrum, Ermellia Octaviani, Denok, Fitriana Yunita Puri, M.Faiq, Bayu Novyandri, Dewi Hartika, atas kehangatan dan keceriannya yang selalu menemani selama ini. 10. Teman-teman di Fakultas Hukum UNS, Dira, Dije, Dipus, Dipi, Ana, Bintang, Iwan, Aid, Puput, Menul, Kuclux, Reza, Dyah, Endah, Rima, Isti, Kiki, Indri, Thukul, Paito, Rasyid, Prima, Indra, Edy, Maya, Tantri, Putu, Trex, Okky, Siwenk, Anggun, Brama, Aini, Desita, Intan, Fenty, Andika, Septin dan semua angkatan 2005 yang tidak dapat disebut satu persatu, terima kasih telah menambah pengalaman dan cerita dalam hidup dan selalu menjadi kenangan. 11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuannya bagi penulis dalam menyusun penulisan hukum ini baik secara moril maupun materiil.
vii
Dengan kerendahan hati penulis menerima kritik dan saran yang membangun sehingga dapat memperbaiki semua kekurangan yang ada dalam penulisan hukum ini. Semoga penulisan hukum ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.
Surakarta, April 2010 Penulis
Andre Dicky Prayudha NIM.E0005087
viii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL …….........……………………….........................…………
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ……………….…………............ ii HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ……………………….…..….….…….. iii HALAMAN PERNYATAAN ............................................................................... iv ABSTRAK ………...……………………………………………….……..…….... v KATA PENGANTAR………………………….…………………………..…….. vi DAFTAR ISI .....………………………………………………………….….…… ix DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xi
BAB I
PENDAHULUAN ...………………………….…………...….……… 1 A. Latar Belakang masalah……………….………………....………... 1 B. Perumusan Masalah………………………………….....…………. 6 C. Tujuan Penelitian…………………………………….....…………. 6 D. Manfaat Penelitian ...………………………………….....………... 7 E. Metode Penelitian ………………...………………….....………… 8 F. Sistematika Penelitian …...……………………………....………. 10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA ………...………………………………...… 12 A. Kerangka Teori ...…………………………………………...…… 12 1. Tinjauan Tentang Pembuktian........................................…….. 12 a. Pengertian Pembuktian ...................................................... 12 b. Asas-Asas Pembuktian ...................................................... 15 c. Teori atau Sistem Pembuktian............................................ 16 d.
Alat Bukti Sah Menurut KUHAP..................................... 20
2. Tinjauan Tentang Kejaksaan................…….....….... .............. 23 a. Pengertian Kejaksaan......................................................... 23 b. Tugas dan Wewenang Kejaksaan ...................................... 23 c. Pengertian Jaksa dan Penuntut Umum................................ 23 d. Tugas dan Wewenang Penuntut Umum............................. 24
ix
3. Tinjauan Tentang Pemalsuan.................................................... 24 a. Pengertian Pemalsuan ....................................................... 24 b. Pengertian Pemalsuan ijazah .............................................. 26 B. Kerangka Pemikiran …………………………………..……......... 28 BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……............................ 30 A. Penggunaan Alat Bukti Surat dalam Pembuktian Perkara Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah ..........................................…………...... 35 1. Kasus Posisi................................................................................ 35 2. Identitas Terdakwa...................................................................... 37 3. Dakwaan..................................................................................... 37 4. Alat Bukti yang Digunakan Penuntut Umum............................ 42 5. Pembahasan............................................................................... 46 B. Kekuatan Alat Bukti Surat dalam Pembuktian ............................... 51 1. Pertimbangan Hakim................................................................ 51 2. Amar putusan .......................................................................... 54 3. Pembahasan ............................................................................. 55
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN.................................................................. 61 A. Simpulan …........……………….................................................... 61 B. Saran .......……………………………………………..………..... 61
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 62 LAMPIRAN-LAMPIRAN ......................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar I
Kerangka Pemikiran .......................................................................... 28
xi
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka. Penegakan Hukum harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku juga berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hukum tersebut harus ditegakkan demi terciptanya tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana yang dirumuskan pada pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alenia ke-empat yaitu membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang tentunya tidak terlepas dari pengaruh perkembangan dunia. Perkembangan yang terjadi sudah mulai merambah banyak aspek kehidupan. Agar
tujuan dan cita-cita Bangsa
Indonesia tersebut dapat tercapai, maka negara melaksanakan pembangunan dalam segala bidang demi kesejahteraan rakyat, dan rakyat Indonesia itu sendiri harus merasa aman dari berbagai macam ancaman dan bahaya baik yang datang dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Usaha pembangunan ini juga harus didukung dengan tersedianya sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas untuk mengolah dan memanfaatkan sumber daya alam (SDA) yang tersedia dengan baik dan bijaksana. Selain itu, negara melalui alat-alat perlengkapan negara harus mampu membuat kebijakan-kebijakan yang mendukung usaha pembangunan tersebut dengan tetap berpihak pada kepentingan umum. Dengan demikian, diharapkan usaha pembangunan tersebut dapat dilaksanakan dengan adil dan merata di seluruh wilayah
2
Indonesia. Meskipun demikian, dalam kenyataannya pemerintah masih mengalami banyak kendala. Perkembangan jaman membawa pengaruh besar pada perkembangan masyarakat, perilaku, maupun pergeseran budaya dalam masyarakat. Terlebih lagi dalam masa reformasi kondisi ekonomi bangsa ini yang semakin terpuruk. Tidak hanya mengalami krisis ekonomi saja namun juga berdampak pada krisis moral. Karena desakan ekonomi, banyak orang yang mengambil jalan pintas dengan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang. Masalah ini menyebabkan semakin tingginya angka kriminalitas terutama di daerah urban terjadi kepadatan penduduk, jumlah pengangguran yang semakin bertambah, didukung dengan angka kemiskinan yang tinggi mengakibatkan seseorang tega untuk berbuat jahat. Kejahatan menurut hukum adalah perbuatan yang melanggar atau bertentangan dengan apa yang ditentukan dalam kaidah hukum. Kejahatan dapat terjadi di setiap tempat, waktu, dan negara. Melihat kejahatan yang menimbulkan kerugian dalam masyarakat, maka peranan hukum dalam menegakkan keadilan sangat diperlukan. Bagaimanapun bentuk kejahatan yang ada dalam masyarakat harus dilakukan usaha untuk mencegah dan mengurangi timbulnya kejahatan yang baru serta ditetapkan cara-cara penanggulangannya. Dari berbagai macam kajahatan yang terjadi dalam masyarakat salah satunya adalah kejahatan pemalsuan, bahkan dewasa ini banyak sekali terjadi tindak
pidana
perkembangannya
pemalsuan yang
dengan
menunjuk
berbagai pada
macam
semakin
bentuk
tingginya
dan
tingkat
intelektualitas dari kejahatan pemalsuan yang semakin kompleks. Kejahatan mengenai pemalsuan atau disingkat kejahatan pemalsuan adalah kejahatan yang mana di dalamnya mengandung sistem ketidakbenaran atau palsu sesuatu (obyek), yang sesuatunya itu tampak dari luar seolah-olah benar adanya, padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya. Dalam
3
ketentuan hukum pidana kita, dikenal beberapa bentuk kejahatan pemalsuan, antara lain sumpah palsu, pemalsuan uang, pemalsuan merek dan materai, dan pemalsuan surat. Dalam perkembangannya, dari berbagai macam tindak pidana pemalsuan tersebut, tindak pidana pemalsuan surat mengalami perkembangan yang begitu kompleks, karena jika kita melihat obyek yang dipalsukan yaitu berupa surat, maka tentu saja hal ini mempunyai dimensi yang sangat luas. Surat sebagai akta otentik tidak pernah lepas dan selalu berhubungan dengan aktivitas masyarakat sehari-hari. Tentang tindak pidana pemalsuan surat ini, Wirjono Prodjodikoro mengatakan, tindak pidana ini oleh Pasal 263 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dinamakan (kualifikasi) “pemalsuan surat (Valsheid in Geschriften)”. Dengan kualifikasi pada macam surat: Ke-1: surat yang dapat menerbitkan suatu hak, suatu perikatan atau pembebasan hutang, Ke-2: surat yang ditujukan untuk membuktikan suatu kejadian. Dari berbagai macam tindak pidana pemalsuan surat, salah satunya adalah tindak pidana pemalsuan ijazah atau gelar kesarjanaan. Dewasa ini terjadi peningkatan tindak pidana pemalsuan ijazah atau gelar kesarjanaan, yang cukup menyita perhatian masyarakat. Peningkatan kejahatan ini tidak lepas dari faktor sosial budaya dalam masyarakat kita, yaitu adanya orientasi masyarakat yang lebih menghargai atau memandang seseorang dari sisi gelar yang disandangnya dari pada kerjanya. Ijazah atau gelar dianggap sebagai “tiket” untuk meningkatkan status sosial, jabatan dan lain-lain. Hal inilah yang turut menghidup suburkan praktik jual beli ijazah atau gelar aspal (asli tapi palsu). Praktek pemalsuan ijazah atau gelar kesarjanaan
merupakan
suatu
bentuk
penyerangan
terhadap
suatu
kepercayaan masyarakat terhadap suatu surat atau akta otentik, terlebih lagi hal itu merupakan suatu bentuk tindakan penyerangan martabat atau penghinaan terhadap dunia pendidikan. Kegiatan pendidikan yang seharusnya menjadi investasi sumber daya manusia menuju suatu kualitas yang diharapkan dengan standar kompetensi dan kualifikasi tertentu yang harus
4
dikuasai bagi kelangsungan hidup manusia dan khususnya suatu bangsa (http://one.indoskripsi.com.). Mereka yang menggunakan ijazah palsu, selain dikategorikan sebagai pelaku tindak kriminal, juga dapat dikategorikan sebagai berperilaku menyimpang. Mereka memiliki kelainan perilaku dan kepribadian seperti tidak percaya diri, tidak ada rasa malu, tidak jujur, menipu, merugikan orang lain, penyalah gunaan wewenang, korupsi, melakukan kebohongan publik, dan kebohongan terhadap diri sendiri. Penampilan seperti itu hanya ditunjukkan oleh mereka yang mendapat gangguan kepribadian (disorganized personality) yang tanpa malu menggunakan kepalsuan mereka di tengahtengah kehidupan msyarakat. Untuk saat ini peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana pemalsuan ijazah memang belum spesifik atau khusus, seperti peraturan perundangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. Padahal sebenarnya hal tersebut adalah sarana represif yang sangat penting yang tidak dapat dipisahkan. Peraturan mengenai pemalsuan ijazah saat ini memang belum dikodifikasikan secara khusus dalam sistim peradilan kita. Akan tetapi peraturan mengenai tindak pidana pemalsuan sudah dimuat dalam Buku II Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP). Meskipun tidak secara spesifik disebutkan sebagai pemalsuan ijazah, pemalsuan ijazah dapat digolongkan atau dimaksudkan kedalamnya. Dengan ketentuan tersebut hukum acara pidana dalam Buku II Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dapat melakukan pemeriksaan terhadap tindak pidana pemalsuan ijazah. Namun mengenai pemeriksaan di muka pengadilan terdapat beberapa hal yang diatur tersendiri. Hal ini tentunya juga berkaitan dengan masalah pembuktian dan alat bukti dalam tindak pidana pemalsuan ijazah. Perihal pembuktian adalah bagian yang sangat penting dalam proses pemeriksaan perkara pidana. Karena tujuan dari pemeriksaan perkara pidana adalah untuk menemukan kebenaran materiil atau kebenaran yang sesungguhnya. Dan pembuktian adalah salah satu cara
5
untuk mencapai itu. Dimana hakim menemukan dan menetapkan terwujudnya kebenaran yang sesungguhnya itu. Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Dengan pembuktian inilah ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, maka terdakwa dibebaskan dari hukuman. Sebaliknya apabila kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP, maka terdakwa harus dinyatakan bersalah dan Majelis Hakim akan menjatuhkan hukuman pidana sesuai dengan pasal yang diancamkan. Tindak pidana pemalsuan ijazah, dalam pelaksanaan pembuktiannya dilakukan sesuai dengan Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Proses pembuktian di persidangan tidaklah selalu berjalan lancar, tidak jarang dijumpai hambatan-hambatan dalam proses pembuktian. Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik untuk melakukan pengkajian secara mendalam terhadap permasalahan yang berkaitan dengan pembuktian tindak pidana pemalsuan ijazah di persidangan oleh Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Madiun terutama tentang penggunaan alat bukti surat (documentary evidence), termasuk mengenai kekuatan pembuktian alat bukti surat. Sehubungan dengan hal tersebut, Penulis mengkaji proses pembuktian pada perkara yang ditangani oleh Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Madiun. Untuk itu Penulis melakukan penelitian dalam bentuk Penulisan Hukum atau Skripsi yang berjudul : “TINJAUAN YURIDIS PENGGUNAAN ALAT BUKTI SURAT (DOCUMENTARY EVIDENCE) OLEH PENUNTUT UMUM DALAM PROSES PEMBUKTIAN PERKARA PEMALSUAN IJAZAH DI PERSIDANGAN DAN KEKUATAN PEMBUKTIANNYA (STUDI KASUS DI KEJAKSAAN NEGERI MADIUN)”.
6
B. Perumusan Masalah Perumusan masalah merupakan hal yang sangat penting dalam suatu penelitian. Hal ini bertujuan untuk mempermudah penulis dalam membatasi masalah yang akan diteliti sehingga tujuan dan hasil dari penelitian dapat sesuai dengan yang diharapkan. Berdasarkan pada latar belakang di atas, maka penulis mencoba merumuskan permasalahan sebagai berikut : 1.
Bagaimanakah penggunaan alat bukti surat (documentary evidence) oleh Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Madiun dalam proses pembuktian perkara pemalsuan ijazah di persidangan?
2.
Bagaimanakah kekuatan pembuktian alat bukti surat (documentary evidence) dalam proses pembuktian perkara pemalsuan ijazah di persidangan?
C. Tujuan Penelitian Dalam suatu kegiatan penelitian pasti terdapat suatu tujuan yang jelas. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberi arah dalam melangkah sesuai dengan maksud penelitian. Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut: 1.
Tujuan Obyektif a.
Untuk mengetahui penggunaan alat bukti surat (documentary evidence) oleh Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Madiun dalam proses pembuktian perkara pemalsuan ijazah di persidangan.
b.
Untuk
mengetahui
(documentary
kekuatan
evidence)
dalam
pembuktian proses
alat
bukti
pembuktian
surat perkara
pemalsuan ijazah di persidangan. 2.
Tujuan Subjektif a.
Untuk memperoleh data dan informasi sebagai bahan utama dalam menyusun penulisan hukum untuk memenuhi persyaratan yang
7
diwajibkan dalam meraih gelar kesarjanaan di bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. b.
Untuk menambah, memperluas, mengembangkan pengetahuan dan pengalaman penulis serta pemahaman aspek hukum di dalam teori dan praktek lapangan hukum, khususnya dalam bidang hukum acara pidana yang sangat berarti bagi penulis.
c.
Untuk memberi gambaran dan sumbangan pemikiran bagi ilmu hukum.
D. Manfaat Penelitian Dalam penulisan hukum tentunya sangat diharapkan adanya manfaat dan kegunaan yang dapat diambil dalam penelitian tersebut. Adapun manfaat yang didapat dari penulisan hukum ini adalah : 1.
Manfaat Teoritis a.
Merupakan salah satu sarana bagi penulis untuk mengumpulkan data sebagai bahan penyusunan skripsi guna melengkapi persyaratan untuk mencapai gelar kesarjanaan di bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
b.
Untuk sedikit memberi sumbang pengetahuan dan pikiran dalam mengembangkan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya.
c.
Untuk mendalami teori–teori yang telah penulis peroleh selama menjalani kuliah strata satu di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta serta memberikan landasan untuk penelitian lebih lanjut.
2.
Manfaat Praktis a.
Dengan penulisan hukum ini diharapkan dapat meningkatkan dan mengembangkan kemampuan penulis dalam bidang hukum sebagai bekal untuk masuk ke dalam instansi atau instansi penegak hukum
8
maupun untuk praktisi hukum yang senantiasa memperjuangkan hukum di negeri ini agar dapat ditegakkan. b.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dan memberi masukan serta tambahan pengetahuan bagi pihak–pihak yang terkait dengan masalah yang diteliti.
E. Metode Penelitian Metodologi pada hakekatnya memberikan pedoman tentang cara-cara seorang ilmuwan mempelajari, menganalisa dan memahami lingkunganlingkungan yang dihadapinya (Soerjono Soekanto, 2006:6). Maka dalam penulisan skripsi ini bisa disebut sebagai suatu penelitian ilmiah dan dapat dipercaya kebenarannya dengan menggunakan metode yang tepat. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut: 1.
Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat kualitatif yang lebih mementingkan pemahaman data yang ada daripada kuantitas atau banyaknya data (Lexy J. Moleong, 1993:3). Dalam penelitian hukum normatif, peneliti cukup dengan mengumpulkan datadata sekunder dan mengkonstruksikan dalam suatu rangkaian hasil penelitian. Sifat penelitian yang akan dilakukan yaitu deskriptif analitis. Disebut deskriptif karena dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara menyeluruh dan sistematis mengenai masalah yang diteliti, yaitu mengenai penggunaan alat bukti surat dalam pembuktian tindak pidana pemalsuan surat.
2.
Metode dan Pendekatan Penelitian Metode penelitian dalam penulisan hukum ini adalah dengan menggunakan metode penelitian kualitatif sesuai dengan sifat data yang ada. Sedangkan pendekatan yang dipakai adalah pendekatan kasus (case study).
9
3.
Jenis Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu sejumlah data atau fakta atau keterangan yang digunakan oleh seseorang yang secara tidak langsung dan diperoleh melalui bahan-bahan kepustakaan,
terdiri
dari
literature,
dokumen-dokumen,
peraturan
perundang-undangan yang berlaku, laporan, desertasi, teori-teori dan sumber tertulis lainnya yang berkaitan dan relevan dengan masalah yang diteliti. 4.
Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian hukum normatif adalah sumber data sekunder. Yang dimaksud sumber data sekunder adalah bahan-hahan kepustakaan yang dapat berupa dokumen putusan pengadilan, buku-buku, laporan, arsip dan literatur yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: a.
Bahan Hukum Primer, yaitu semua bahan atau materi hukum yang mempunyai kedudukan mengikat secara yuridis, seperti peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini meliputi : 1) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia; 2) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana; 3) Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP);
b.
Bahan Hukum Sekunder, yaitu semua bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, meliputi: 1) Buku-buku ilmiah di bidang hukum yang berkaitan dengan topik penelitian; 2) Literatur dan hasil penelitian.
10
c.
Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberi petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Ini biasanya diperoleh dari media internet, kamus ensiklopedi dan lain sebagainya (Lexy J. Moleong, 1993:3).
5.
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan jenis dan sumber datanya. Sumber data yang disebut bahan penelitian ini diperoleh lewat penelitian ini diperoleh lewat penelitian kepustakaan akan diinventarisasi dan dianalisis. Dalam studi kepustakaan ini penulis mendapat data yang bersifat teoritis yaitu dengan jalan membaca dan mempelajari buku-buku, literatur, dokumen, majalah, internet, peraturan perundang-undangan, hasil penelitian serta bahan lain yang erat hubungannya dengan masalah yang diteliti.
6.
Teknik Analisis Data Dalam penelitian ini, permasalahan hukum akan dianalisis dengan dengan logika deduktif. Dalam hal ini, sumber penelitian yang diperoleh dalam penelitian ini dengan melakukan inventarisasi sekaligus mengkaji dari penelitian studi kepustakaan, aturan perundang-undangan beserta dokumen-dokumen yang dapat membantu menafsirkan norma terkait, kemudian sumber penelitian tersebut diolah dan dianalisis untuk menjawab permasalahan yang diteliti. Tahap terakhir adalah menarik kesimpulan dari sumber penelitian yang diolah, sehingga pada akhirnya dapat diketahui penggunaan alat bukti surat dalam pembuktian tindak pidana pemalsuan surat
F. Sistematika Penulisan Hukum Agar skripsi ini dapat tersusun secara teratur dan berurutan sesuai apa yang hendak dituju dan dimaksud dengan judul skripsi, maka dalam sub bab ini penulis akan membuat sistematika sebagai berikut :
11
BAB I : PENDAHULUAN Dalam bab ini penulis menguraikan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian dan sistematika skripsi. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini penulis akan menguraikan mengenai tinjauan tentang pembuktian, tinjauan tentang kejaksaan serta tinjauan tentang pemalsuan. BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini berisi uraian hasil penelitian yang disertai dengan pembahasan mengenai penggunaan alat bukti surat (documentary evidence) oleh Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Madiun dalam proses pembuktian perkara pemalsuan ijazah di persidangan dan kekuatan pembuktian alat bukti surat (documentary evidence) oleh Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Madiun dalam proses pembuktian perkara pemalsuan ijazah di persidangan. BAB IV : PENUTUP Bab ini berisi simpulan dan saran berdasarkan analisa dari data yang diperoleh selama penelitian sebagai jawaban terhadap pembahasan bagi para pihak yang terkait agar dapat menjadi bahan pemikiran dan pertimbangan untuk menuju perbaikan sehingga bermanfaat bagi semua pihak.
12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1.
Tinjauan Tentang Pembuktian a.
Pengertian Pembuktian KUHAP tidak memberikan pengertian mengenai pembuktian sehingga pengertian mengenai pembuktian diberikan oleh para ahli. Pembuktian adalah bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah yang salah melakukannya, sehingga harus mempertanggungjawabkannya
(Darwan
Prints,
1998:133).
Pembuktian tidak lain berarti memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim untuk memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang perkara yang diajukan. Pembuktian adalah keseluruhan aturan hukum atau peraturan perundang-undangan mengenai kegiatan untuk rekontruksi suatu kenyataan yang benar dari setiap kejadian masa lalu yang relevan dengan persangkaan terhadap orang yang diduga melakukan perbuatan pidana dan pengesahan setiap sarana bukti menurut ketentuan hukum yang berlaku untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana (Bambang Poernomo, 1986:36). Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan Undang-Undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan oleh undang-undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan 2000:273).
kesalahan yang didakwakan (M. Yahya Harahap,
13
Berdasarkan
pengertian
yang
diuraikan
di
atas,
dapat
disimpulkan bahwa ruang lingkup pembuktian meliputi tiga hal, yaitu : 1) Ketentuan atau aturan hukum
yang berisi penggarisan dan
pedoman cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan terdakwa, di kenal juga dengan sistem atau teori pembuktian; 2) Ketentuan yang mengatur mengenai alat bukti yang dibenarkan dan diakui undang-undang serta yang boleh digunakan hakim membuktikan kesalahan; 3) Ketentuan yang mengatur cara menggunakan
dan menilai
kekuatan pembuktian masing-masing alat bukti. Demikian ketiga hal inilah yang merupakan obyek dan inti pembahasan hukum pembuktian. Hukum pembuktian memegang peranan penting dalam proses hukum acara pidana dan oleh sebab itu mutlak harus dikuasai oleh semua pejabat pada semua tingkat pemeriksaan, khususnya penuntut umum yang berwenang menuntut dan
dibebani
kewajiban
membuktikan
kesalahan
terdakwa.
Kegagalan penuntut umum dalam tugas penuntutan banyak tergantung pada ketidakmampuan menguasai teknik pembuktian. Penuntut umum terikat pada pasal ketentuan dan penilai alat bukti yang ditentukan Undang-Undang. Penuntut umum, hakim, terdakwa maupun penasehat hukumnya tidak boleh sekehendak hati dengan kemauannya sendiri dalam menggunakan dan menilai alat bukti di luar apa yang telah digariskan Undang-Undang. Dalam hal ini penuntut umum bertindak sebagai aparat yang di beri wewenang untuk mengajukan segala daya upaya membuktikan segala kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.
14
Sebaliknya terdakwa atau penasehat hukumnya mempunyai hak untuk melemahkan dan melumpuhkan pembuktian yang diajukan penuntut umum, sesuai dengan cara yang dibenarkan UndangUndang, bisa berupa sangkalan atau bantahan yang beralasan dengan saksi yang meringankan atau saksi a de charge maupun dengan alibi. Hakim sendiri harus benar-benar sadar dan cermat menilai dan mempertimbangkan kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti yang ada. Pembuktian juga bisa berarti penegasan bahwa ketentuan tindak pidana lain yang harus dijatuhkan kepada terdakwa. Maksudnya surat dakwaan penuntut umum bersifat alternatif, dan dari hasil kenyataan
pembuktian
yang
diperoleh
dalam
persidangan
pengadilan, kesalahan yang terbukti adalah dakwaan pengganti. Berarti apa yang didakwakan dalam dakwaan primair tidak sesuai dengan kenyataan pembuktian. Dalam hal ini, arti dan fungsi pembuktian merupakan penegasan tentang tindak pidana yang dilakukan terdakwa sekaligus membebaskan dirinya dari dakwaan yang tidak terbukti dan menghukumnya berdasarkan dakwaan tindak pidana yang telah terbukti sesuai dengan dakwaan pengganti. Dalam pembuktian tidaklah mungkin dapat tercapai kebenaran mutlak (absolut). Semua pengetahuan kita hanya bersifat relatif, yang didasarkan pada pengalaman, penglihatan dan pemikiran yang tidak selalu pasti benar. Jika diharuskan adanya syarat kebenaran mutlak untuk dapat menghukum seseorang, maka tidak boleh sebagian besar dari pelaku tindak pidana mengharapkan pasti dapat bebas dari penjatuhan pidana. Satu-satunya yang dapat disyaratkan dan yang sekarang dilakukan adalah adanya suatu kemungkinan besar bahwa terdakwa telah bersalah melakukan perbuatanperbuatan
yang
dituduhkan,
sedangkan
ketidak-kesalahannya
15
walaupun salalu ada kemungkinannya, merupakan suatu hal yang tidak dapat diterima sama sekali (Djoko Prakoso, 1988:37). b.
Asas–asas Pembuktian Di dalam pembuktian pidana ada beberapa prinsip yang harus diketahui, yaitu : 1) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan. Prinsip ini terdapat pada Pasal 184 ayat (2) KUHAP yang berbunyi : “ hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan”.
Notoire feiten adalah suatu kesimpulan umum
yang didasarkan pengalaman umum bahwa suatu keadaan atau peristiwa akan senantiasa menimbulkan kejadian atau akibat yang selalu demikian. Hanya dengan notoire feiten tanpa dikuatkan dengan alat bukti lain yang sah menurut UndangUndang,. Hakim tidak boleh yakin akan kesalahan terdakwa. 2) Menjadi saksi adalah kewajiban Diatur dalam Pasal 1 butir 26 KUHAP menyatakan: ”saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”. Dengan demikian syarat seseorang wajib menjadi saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. 3) Satu saksi bukan saksi Prinsip ini terkait dengan Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang berbunyi : ”keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”. Prinsip ini disebut dengan istilah unus
16
testis nullus testis yang artinya satu saksi bukan saksi. Menurut undang-undang menjadi saksi adalah wajib dan berdasarkan pengalaman praktek, keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling banyak atau dominan dalam mengadili perkara pidana di pengadilan. Hampir tidak ada perkara pidana dalam acara pemeriksaan biasa yang pembuktiannya tidak dikuatkan dengan alat bukti keterangan saksi yang diberikan oleh satu orang saksi tanpa dikuatkan atau di dukung saksi lain atau alat bukti lain yang sah, maka kesaksian yang berdiri sendiri yang demikian tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa dan untuk itu hakim harus membebaskan terdakwa dari tuntutan penuntut umum. 4) Pengakuan terdakwa tidak menghapuskan kewajban penuntut umum membuktikan kesalahan terdakwa. Prinsip ini merupakan penegasan dari lawan “pembuktian terbalik“ atau lebih tepatnya ”pembalikan beban pembuktian” yang tidak dikenal hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia. Pasal 184 ayat (4) KUHAP menyatakan keterangan terdakwa saja tidak cukup membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti lain. c.
Teori atau Sistem Pembuktian Dalam hukum acara pidana dikenal adanya empat teori pembuktian yaitu : 1) Sistem pembuktian berdasar undang-undang secara positif (positif wettelijke bewijsteorie). Sistem ini berkembang abad di pertengahan, dan saat ini sudah mulai ditinggalkan. Pembuktian menurut undang-undang secara positif artinya jika dalam pertimbangan keputusan hakim
17
telah menganggap terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alatalat bukti yang disebutkan dalam undang-undang tanpa diperlukan keyakinan hakim dapat menjatuhkan putusan (Bambang Poernomo, 1986:40). Dikatakan secara positif karena hanya didasarkan kepada undang-undang, artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat bukti yang disebut oleh undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. 2) Sistem pembuktian berdasar keyakinan hakim semata-mata atau sistem keyakian belaka (conviction intime). Dalam sistem ini sama sekali tidak membutuhkan suatu peraturan tentang pembuktian dan menyerahkan segala sesuatu kepada kebijaksanaan hakim. Menurut sistem ini hakim tidak terikat kepada alat-alat bukti tertentu, hakim harus memutus tentang kesalahan terdakwa berdasarkan keyakinannya hakim belaka, yang dapat diambil dari dan disimpulkan oleh hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan, atau bisa juga dari hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan oleh hakim langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa. 3) Sistem pembuktian berdasar keyakinan hakim dengan alasan yang logis (la convictio raisonee). Hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasar keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan kesimpulan yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Hakim bebas untuk menentukan macam dan banyaknya alat-alat bukti yang dipandang cukup untuk menetapkan kesalahan terdakwa, satusatunya peraturan yang mengikat kepadanya ialah bahwa dalam keputusannya hakim harus menyebutkan pula alasan-alasannya.
18
4) Sistem pembuktian berdasar undang-undang secara negatif (negatief wattelijke) Dalam sistem ini hakim dapat memutuskan seseorang bersalah yang berdasarkan pada aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif oleh undang-undang sehingga hakim memperoleh keyakinan akan hal itu (Andi Hamzah, 1996:247253). Perkataan negatif dipakai untuk menunjukkan bahwa adanya bukti-bukti yang disebutkan dalam undang-undang yang dengan cara mempergunakannya yang disebut juga dalam undang-undang itu, belum berarti hakim harus menjatuhkan hukuman. Hal tersebut masih tergantung dengan keyakinan hakim atas kebenarannya. Cara menilai atau menggunakan alat bukti telah diatur dalam undang-undang. Hakim harus mempunyai keyakinan atas adanya “kebenaran” alat-alat bukti atau atas kejadian. Untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut undang-undang secara negatif terdapat 2 (dua) komponen, yaitu: a) Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alatalat bukti yang sah menurut undang-undang. b) Keyakinan hakim juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang (M. Yahya Harahap, 2000:279). Unsur di atas tidak ada yang paling dominan, jika salah satu dari kedua unsur itu tidak ada, tidak cukup mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa. Sistem pembuktian negatif ini dapat kita lihat dalam Pasal 183 KUHAP yang berbunyi : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan
19
bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Dalam penjelasan Pasal 183 KUHAP, ditegaskan bahwa seseorang untuk dapat dinyatakan bersalah dan dapat dijatuhkan pidana kepadanya, apabila : a) Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya “dua alat bukti” ; b) Dan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah tersebut, hakim akan “memperoleh keyakinan” bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukan suatu tindak pidana. Jika dilihat melalui konstruksi hukumnya, maka keyakinan hakim
hanyalah
sebagai
pelengkap.
Tidak
dibenarkan
menjatuhkan hukuman kepada terdakwa yang kesalahannya tidak terbukti secara sah berdasarkan ketentuan perundangan yang berlaku, kemudian keterbuktiannya itu digabung dan didukung dengan keyakinan hakim. Dalam praktik keyakinan hakim itu bisa saja dikesampingkan apabila keyakinan hakim tersebut tidak dilandasi oleh suatu pembuktian yang cukup. Keyakinan hakim tersebut dianggap tidak mempunyai nilai apabila tidak dibarengi oleh pembuktian yang cukup. Sistem pembuktian di Indonesia hanya mengakui alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yang dapat digunakan untuk pembuktian. Dalam pembuktian ini penuntut umum membuat surat dakwaan dan oleh karena itu, ia bertanggung jawab untuk menyusun alat bukti dan pembuktian tentang kebenaran surat dakwaan atau tentang kesalahan terdakwa, bukan sebaliknya terdakwa yang harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah.
20
Hakim dalam menjatuhkan putusan akan menilai semua alat bukti yang sah untuk menyusun keyakinan hakim dengan mengemukakan unsur-unsur kejahatan yang didakwakan itu terbukti dengan sah atau tidak, serta menetapkan pidana apa yang harus dijatuhkan kepadanya setimpal dengan perbuatannya (Martiman Prodjohamijaya, 1983:19). d.
Alat Bukti Sah Menurut KUHAP Alat-alat bukti yang sah, yang dapat digunakan dalam sidang pengadilan adalah alat-alat bukti yang ditentukan dalam Pasal 184 ayat ( 1 ) KUHAP, meliputi : 1) Keterangan Saksi Keterangan saksi menurut Pasal 1 butir 27 KUHAP adalah “salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu”. Macam saksi menurut Darwan Prinst dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu: a) Saksi A Charge (Memberatkan Terdakwa), adalah saksi dalam perkara pidaana yang dipilih dan diajukan oleh penuntut
umum,
dikarenakan
kesaksiannya
yang
memberatkan terdakwa. b) Saksi A De Charge (Menguntungkan Terdakwa), adalah saksi yang dipilih atau diajukan oleh penuntut umum atau terdakwa atau penasihat hukum, yang sifatnya meringankan terdakwa. 2) Keterangan Ahli Keterangan ahli menurut Pasal 1 butir 28 KUHAP, adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat
21
terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Sedangkan pengertian keterangan ahli yang termuat dalam Pasal 186 KUHAP, adalah apa yang seorang ahli nyatakan dalam sidang pengadilan. Keterangan ahli ini dapat juga diberikan pada waktu pemeriksaan
oleh
penyidik
atau
penuntut
umum
yang
dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, maka pada waktu pemeriksaan di sidang, saksi ahli diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim (Djoko Prakoso, 1988:78). 3) Surat Pengertian alat bukti surat diatur dalam Pasal 187 KUHAP, surat sebagaimana dimaksud Pasal 184 ayat (1) huruf c dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah : (1) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang kejadian itu; (2) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundangundangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan; (3) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi kepadanya; (4) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
22
4) Petunjuk Di dalam KUHAP, alat bukti petunjuk ini dapat kita lihat di dalam Pasal 188 yang berbunyi sebagai berikut : (1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena penyesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya ; (2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari : (a) Keterangan saksi ; (b) Surat ; (c) Keterangan terdakwa. (3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya. 5) Keterangan Terdakwa Mengenai keterangan terdakwa ini dalam KUHAP di atur dalam Pasal 189 yang berbunyi sebagai berikut : (1) Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang dilakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. (2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. (3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. (4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain. Dalam mencari alat bukti keterangan terdakwa harus benar-benar tuntas, artinya tidak cukup umpamanya hanya atas
23
perbuatan yang didakwakan saja, melainkan juga dengan segala keterangan mengenai perbuatan yang dilakukannya dan cara-cara melakukannya (Laden Marpaung, 1992:42). 2.
Tinjauan Tentang Kejaksaan a.
Pengertian Kejaksaan Menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Imdonesia, ”Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang.” Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan.
b.
Tugas dan Wewenang Kejaksaan Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut : 1) Melakukan penuntutan; 2) Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; 3) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; 4) Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang; 5) Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
c.
Pengertian Jaksa dan Penuntut Umum Menurut Pasal 1 butir (6) KUHAP, ”Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undangundang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim”.
24
d.
Tugas dan Wewenang Penuntut Umum Di dalam Pasal 14 KUHAP disebutkan bahwa tugas dan wewenang Penuntut Umum adalah : 1) Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan ; 2) Mengadakan prapenuntutan ; 3) Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan mengubah status penahanan ; 4) Membuat surat dakwaan ; 5) Melimpahkan berkas ke pengadilan ; 6) Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang waktu sidang dengan surat panggilan kepada saksi dan terdakwa ; 7) Melakukan penuntutan ; 8) Menutup perkara demi kepentingan hukum ; 9) Melaksanakan penetapan hakim ; 10) Tindakan lain menurut hukum.
3.
Tinjauan Tentang Pemalsuan 1) Pengertian Pemalsuan Pemalsuan adalah proses pembuatan, beradaptasi, meniru atau benda, statistik, atau dokumen-dokumen dengan maksud untuk menipu. Kejahatan yang serupa dengan penipuan adalah kejahatan memperdaya yang lain, termasuk melalui penggunaan benda yang diperoleh melalui pemalsuan. Menyalin, studio pengganda, dan mereproduksi tidak dianggap sebagai pemalsuan, meski pun mungkin mereka nanti dapat menjadi pemalsuan selama mengetahui dan berkeinginan untuk tidak dipublikasikan. Dalam hal penempaan uang atau mata uang itu lebih sering disebut pemalsuan. Barang konsumen tetapi juga meniru ketika mereka tidak diproduksi atau yang dihasilkan oleh manufaktur atau produsen diberikan pada label atau merek dagang tersebut ditandai oleh simbol. Ketika objeknya adalah catatan atau dokumen ini sering disebut sebagai dokumen palsu (http://id.wikipedia.org/wiki/Pemalsuan).
25
Kejahatan pemalsuan adalah kejahatan yang di dalamnya mengandung sistem ketidakbenaran atau palsu atas suatu hal (obyek) yang sesuatunya itu tampak dari luar seolah-olah benar adanya, padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya. Suatu pergaulan hidup di dalam masyarakat yang teratur dan maju tidak dapat berlangsung tanpa adanya jaminan akan kebenaran beberapa bukti surat dan atas alat tukarnya, kiranya perbuatan pemalsuan dapat merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup dari masyarakat tersebut. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 263 menyatakan bahwa : (1) “Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.” (2) “Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.” Sementara dalam Pasal 264 KUHP diatur bahwa : (1) Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun, jika dilakukan terhadap: (a) Akta-akta otentik; (b) Surat hutang atau sertifikat hutang dari sesuatu negara atau bagiannya ataupun dari suatu lembaga umum; (c) Surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari suatu perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai: (d) Talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan dalam 2 dan 3, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu; (e) Surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan.
26
(2) Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak sejati atau yang dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemalsuan surat itu dapat menimbulkan kerugian. Mengenai perbuatan pemalsuan ternyata merupakan suatu jenis pelanggaran terhadap 2 (dua) norma dasar: (a) Kebenaran (kepercayaan) yang pelanggarnya dapat tergolong dalam kelompok kejahatan penipuan; (b) Ketertiban masyarakat, yang pelanggarnya tergolong dalam kelompok kejahatan terhadap negara atau ketertiban masyarakat. 2) Pengertian Pemalsuan Ijazah Pada hakikatnya ijazah itu berupa dokumen sebagai bukti fisik atas pencapaian kualifikasi tingkat pendidikan yang telah dicapai seseorang setelah mengikuti suatu program tertentu berdasarkan ketentuan yang berlaku. Sementara gelar akademik merupakan simbol kualifikasi yang diberikan kepada seseorang yang dinilai telah memeliki kualifikasi akademik dalam bidang tertentu sesuia dengan ketentuan yang telah ditentukan. Ketentuan yang dimaksud adalah status kelembagaan, lamanya program, isi program atau kurikulum, proses pembelajaran, proses penilaian, persyaratan administratif, penguasaan akademis dan lain sebagiannya. Seseorang yang berhak menerima ijazah dan gelar adalah mereka yang telah mengikuti seluruh program secara utuh dan dinyatakan berhasil melalui sistem penilaian atau ujian dan dinyatakan lulus berdasarkan standart dan peraturan yang berlaku. Ijazah dan gelar akademik sebagai bukti kualifikasi pencapaian pendidikan diberikan pada akhir pendidikan. Dapat dikatakan bahwa ijazah adalah produk dari suatu proses dan hasil capai program pendidikan dan gelar akademik adalah proses dan hasil capai program pendidikan yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi
27
atau dinas pendidikan yang terakreditasi. Apabila ada orang yang memiliki ijazah dan atau gelar diluar ketentuan tersebut, misalnya tidak mengikuti proses program pendidikan, tidak mengikuti ujian atau penyimpangan lainnya di luar ketentuan yang berlaku. Mungkin ijazahnya palsu atau tidak sah, atau kelainan lain sehingga hal itu merupakan pelanggaran terhadap ketentuan hukum yang berlaku. Siapapun yang terlibat dalam proses pemalsuan ini apakah lembaga yang mengeluarkan, oknum yang memberikan, oknum yang memfasilitasi, dan oknum pengguna ijazah serta gelar palsu adalah perbuatan kriminal dan dapat dikenakan tindakan pidana sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
28
B. Kerangka Pemikiran Tindak pidana (Pemalsuan)
Penegak Hukum
KEJAKSAAN
Penuntutan
Pembuktian
Alat bukti (Pasal 184 KUHAP)
Ket. Saksi
Ket. Ahli
SURAT
Petunjuk
Ket. Terdakwa
Kekuatan pembuktian
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Keterangan : Salah satu bentuk dari berbagai macam tindak pidana yang sedang marak di masyarakat salah satunya adalah pemalsuan. Pemalsuan yang dalam hal ini adalah pemalsuan ijazah tidak terlepas dari tanggung jawab para penegak hukum. Instansi kejaksaan dalam hal ini jaksa sebagai salah
29
satu penegak hukum memegang peran yang sangat penting dalam penanganan terhadap tindak pidana pemalsuan ijazah khususnya dalam hal penuntutan. Proses penuntutan dalam persidangan tentunya perlu didukung dengan proses pembuktian yang menurut Pasal 184 KUHAP telah dijelaskan mengenai macam-macam alat bukti. Salah satu alat bukti adalah alat bukti surat (documentary evidence). Dalam penulisan hukum ini hal yang akan dikaji adalah mengenai kekuatan pembuktian dari alat bukti surat (documentary evidence) tersebut.
30
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Penggunaan Alat Bukti Surat dalam Pembuktian Perkara Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah Dalam kaitan dengan pemalsuan ijazah oleh sebagian calon legislatif tersebut, panitia pengawas pemilihan umum (panwaslu) telah meminta kepada pihak kepolisian segera menyelesaikan laporan pemalsuan pemalsuan ijazah sebagai tindakan pelanggaran pidana. Mekanisme pelaporan tersebut secara terperinci telah diatur dalam Pasal 127 Undang – Undang Pemilihan umum yang berbunyi sebagai berikut : a) Ayat
pertama,
pengawas
pemilihan
umum
menerima
laporan
pelanggaran pemilihan umum pada setiap tahapan penyelenggaraan pemilihan umum. b) Kedua, laporan pelanggaran pemilihan umum dapat diajukan oleh: (1) Warga negara yang mempunyai hak pilih; (2) Pemantau pemilihan umum dan atau; (3) Peserta pemilihan umum. c) Ketiga, laporan disampaikan secara lisan atau tertulis yang berisi: (1) Nama dan alamat pelapor; (2) Waktu dan tempat kejadian perkara; (3) Nama dan alamat pelanggar; (4) Nama dan alamat saksi – saksi; (5) Uraian kejadian. d) Keempat, laporan sebagaimana dimaksud pada ayat ketiga disampaikan kepada pengawas pemilihan umum sesuai dengan wilayah kerjanya
31
selambat – lambatnya 7 (tujuh) hari sejak terjadinya pelanggaran pemilihan umum. Selanjutnya Pasal 128 ayat 5 dan Pasal 130 Undang – Undang pemilihan umum
memerintahkan
panitia
pengawas
pemilihan
umum
untuk
menyampaikan laporan yang mengandung unsur pidana kepada penyidik dalam hal ini kepada kepolisian. Di tangan kepolisian, perkara tersebut selanjutnya diproses dengan menggunakan mekanisme beracara seperti yang diatur dalam Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana kecuali ditentukan lain dalam Undang – Undang pemilihan umum. Pemalsuan ijazah yang dilakukan sementara oleh calon legislatif dalam hukum positif kita, termasuk perbuatan yang melanggar Pasal 263 ayat 1 dan 2 Kitab Undang–Undang Hukum Pidana yaitu tentang pemalsuan surat yang isinya: a) Barang siapa membuat membuat secara tidak benar atau memalsu surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari sesuatu hal, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah – olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam, jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat dengan pidana penjara paling lama enam tahun. b) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat yang isinya tidak benar atau dipalsu, seolah – olah benar dan tidak dipalsu, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian. Maka mereka yang melakukan perbuatan terlarang tersebut diganjar dengan hukuman pidana paling lama enam tahun. Sementara itu, Undang – Undang pemilihan umum mengatur sanksi pidana perbuatan tersebut dalam Pasal 137 ayat 3 dan 4 yang hukumnya jauh lebih ringan dibandingkan yang diatur dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana. Dalam Undang – Undang Pemilihan Umum, hukum berkisar antara tiga
32
bulan sampai dengan 18 bulan saja, atau denda enam ratus ribu rupiah saja sampai dengan enam juta rupiah. Mengenai berat ringannya hukuman, sepenuhnya akan ditentukan oleh hakim yang mengadili perkara tersebut. Isi dari Pasal 137 ayat 3 dan 4 adalah : (3) Setiap orang yang dengan sengaja memalsukan surat yang menurut suatu aturan dalam Undang-Undang ini diperlukan untuk menjalankan suatu perbuatan dalam Pemilu, dengan maksud untuk digunakan sendiri atau orang lain sebagai seolah-olah surat sah atau tidak dipalsukan, diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 18 (delapan belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah). (4) Setiap orang yang dengan sengaja dan mengetahui bahwa suatu surat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah tidak sah atau dipalsukan, menggunakannya, atau menyuruh orang lain menggunakannya sebagai surat sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 18 (delapan belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah). Perlu digaris bawahi bahwa perbuatan pidana pemalsuan ijazah bukanlah termasuk dalam delik aduan (klachtdelict) yang mensyaratkan harus ada pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan, sebagaimana dalam kasus penghinaan (belediging) Pasal 310 jo Pasal 319 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana. Dalam kasus penghinaan, mereka yang merasa dihina atau dicemarkan nama baiknya harus aktif mengadukan kepada pihak kepolisian atas perilaku dari orang yang menghina ataupun mencemarkan nama baiknya. Mereka pun dapat pula mencabut pengaduan tersebut jika, misalnya terjadi perdamaian diantara yang berperkara. Dalam kasus pemalsuan ijazah yang dilakukan oleh sebagian calon legislatif, pihak kepolisian harus melakukan penyidikan dengan atau tanpa laporan masyarakat apalagi masyarakat melalui media massa telah mengungkapkan indikasi ke arah itu. Sepatutnya pihak kepolisian melakukan penyelidikan dan penyidikan untuk mendapatkan bukti
33
permulaan yang cukup bagi pemanggilan tersangka. Kasus pemalsuan ijazah sama halnya dengan kasus pembunuhan, pencurian, dan lain lain. Peranan polisi sangatlah besar. Karena perbuatan tersebut termasuk dalam kepentingan publik. Dalam konteks sistem peradilan di Indonesia, Pasal 133 ayat 1 Undang – Undang Pemilihan Umum mengatur bahwa pemeriksaan perkara ini dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum. Dengan demikian, kewajiban pihak kepolisian bekerja secara aktif untuk membawa pelaku pemalsuan ijazah terutama para calon anggota legislatif ke muka pengadilan. Akibatnya, jika pihak kepolisian mendiamkan saja pelanggaran pidana tersebut karena menganggap bahwa hal ini adalah urusan panitia pengawas pemilihan umum, pihak kepolisian tersebut dapat dijerat dengan Pasal 164 dan Pasal 165 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana. Yaitu delik pembiaran (ommisie delicten) yaitu pelanggaran terhadap sesuatu yang seharusnya (gebod) dicegah untuk tidak terjadi, tetapi dibiarkan terjadi dengan sengaja atau atas dasar kelalaian sebagaimana tertera dalam Pasal 164 dan Pasal 165 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana. Alasannya, sebagai penegak hukum yang berwenang mencegah dan menyidik pemalsuan ijazah tersebut akan dianggap melalaikan tugasnya sebagai penegak hukum. Tidak ada alasan pembenar atau alasan apapun untuk mengatakan bahwa pihak kepolisian tidak mengetahui karena tiadanya laporan. Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab XX Pasal 67 sampai dengan Pasal 71 mengatur tentang ketentuan pidana yang berkaitan dengan pelanggaran pendidikan termasuk pemalsuan ijazah dan gelar palsu, pemalsuan ijazah diancam dengan hukuman pidana yang cukup berat yang berupa kurungan penjara selama lima tahun kurungan atau denda sebesar maksimal Rp 500 juta, bagi
pelanggar
seperti
pemakai
ijazah
mengeluarkan, dan oknum yang terlibat.
palsu,
lembaga
yang
34
Disamping hukuman badan dan atau denda, juga pencabutan ijazah yang sudah dimiliki oleh calon legislatif yang terbukti telah melakukan pemalsuan ijazah. Misalnya yang bersangkutan telah memalsukan ijazah SMA-nya. Kemudian dengan ijazah SMA tersebut dia melanjutkan pendidikannya ke jenjang perguruan tinggi hingga mencapai gelar sarjana. Apakah ijazah sarjananya tersebut dapat dicabut dan siapa yang berhak mencabutnya. Dasar dari pencabutan tersebut adalah mengingat bahwa “fondasi“ dari keberadaannya sebagai mahasiswa di perguruan tinggi bersangkutan didasarkan pada ijazah palsu. Artinya sebagai rentetan kejadian dapat dikatakan bahwa perbuatan tersebut merupakan bentuk tindak pidana yang berkelanjutan. Namun disisi lain dapat dimungkinkan
yang
bersangkutan
(pelaku)
meminta
pembatalan
pencabutan ijazah palsu dengan dalih bahwa pihak perguruan tinggi telah dengan sah secara formal (konsensual). Secara formal administratif barang kali dalih konsensual antara pihak perguruan tinggi dan pelaku pembuatan ijazah palsu dapat diterima karena sudah selayaknya pihak Universitas meneliti keabsahan ijazah calon mahasiswanya sebelum diterima sebagai calon mahasiswa. Beberapa hal yang terdapat dalam pemalsuan ijazah antara lain adalah : a) Menguntungkan diri dengan melanggar hukum. Mengapa saya memasukkan unsur ini ke dalam tindak pidana pemalsuan ijazah adalah karena seseorang melakukan suatu pemalsuan ijazah pastilah mempunyai maksud untuk memperoleh suatu keuntungan atau setidaknya suatu imbalan terhadap suatu hal. Disini penulis menekankan pada keuntungan yang akan di dapatkan sebagai seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat, yang mana akan memperoleh banyak harta dan, status dan jabatan yang tinggi serta pengakuan dari seluruh masyarakat.
35
b) Perbuatan – perbuatan tipu muslihat dan kebohongan. Dikatakan bahwa rangkaian kebohongan berupa kata – kata yang tidak benar, sedangkan tipu muslihat adalah membohongi tanpa kata – kata, tetapi dengan menunjukkan atau memperlihatkan sesuatu. Dapat juga dikatakan bahwa tipu muslihat dapat berupa suatu perbuatan. Sedangkan rangkaian kebohongan memerlukan sedikitnya dua pernyataan yang bohong. 1.
Kasus Posisi Untuk mengetahui proses pembuktian dalam tindak pidana pemalsuan ijazah di Pengadilan Negeri madiun, penulis akan menjelaskan mengenai putusan terhadap WISNU SUWARTO DEWO Bin SOMO SADI yang telah didakwa
melakukan tindak pidana
pemalsuan ijazah. Putusan terhadap WISNU SUWARTO DEWO Bin SOMO SADI ini telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Terdakwa diajukan ke pengadilan dengan dugaan telah melakukan tindak pidana pemalsuan ijazah, sebagai berikut : “Dengan melawan hukum telah melakukan perbuatan – perbuatan yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar atau menggunakan surat palsu seolah – olah sebagai surat yang sah tentang suatu hal yang diperlukan lagi sebagai persyaratan untuk menjadi peserta pemilihan umum”. Adapun duduk perkaranya adalah sebagai berikut : a.
Bahwa Terdakwa pada PEMILU tahun 1999 mendaftar ke KPU Kota Madiun sebagai Calon Anggota Legislatif dengan melampirkan surat – surat yang diperlukan dalam PEMILU. Salah satunya adalah surat keterangan sekolah atau ijazah, dan dalam proses pencalonan Anggota Legislatif pada PEMILU 1999 Terdakwa melampirkan Ijazah SLTA berdasarkan Daftar Riwayat Hidup yang ditanda tangani Terdakwa pada saat pencalonan PEMILU 1999.
36
b. Kemudian dalam proses pencalonan Anggota Legislatif untuk PEMILU 2004 sebagai syarat untuk menjadi Anggota Legislatif adalah memiliki ijazah minimal tingkat SLTA, sehingga Terdakwa melampirkan fotocopy Surat Keterangan Yang Berpenghargaan Sama (SKYBS) dengan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas (SMA) tahun 1993 dengan Nomor seri 04 OB og P 0014768 tanggal 30 Juni 1993 untuk melengkapi persyaratan tersebut. c.
Ternyata berdasarkan hasil pemeriksaan atau pengecekan dari Dinas Pendidikan dan kebudayaan Propinsi Jawa Timur dengan Nomor Surat 423 . 5 . 37 / 108 . 08 / 2004 tanggal 5 Februari 2004 terhadap Surat Keterangan Yang Berpenghargaan Sama (SKYBS) dengan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas (SMA) tahun 1993 dengan Nomor Seri 04 OB og P 0014768 tanggal 30 Juni 1993, milik Terdakwa tersebut adalah sebagai berikut : 1) Bahwa Panitia Ujian Persamaan SLTP / SMU Kanwil DEPDIKBUD
Propinsi
Jawa
Timur
tidak
pernah
mengeluarkan Surat Keterangan Yang Berpenghargaan Sama (SKYBS) dengan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas (SMA) tahun 1993 dengan Nomor Seri 04 OB og P 0014768 tanggal 30 Juni 1993, atas nama WISNU SUWARTO. 2) Atas dasar hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Surat Keterangan Yang Berpenghargaan Sama (SKYBS) dengan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas (SMA) yang dimiliki oleh Saudara WISNU SUWARTO telah diperoleh dengan prosedur yang tidak benar. Demikian juga Terdakwa tidak dapat menyebutkan nama sekolah tempat penyelenggaraan Ujian Persamaan (Upers) dengan jelas.
37
2.
Identitas Terdakwa Nama lengkap
: WISNU SUWARTO DEWO Bin SOMO SADI
Tempat lahir
: Madiun.
Umur / tanggal lahir
: 51 Tahun / 7 September 1953
Jenis kelamin
: Laki – laki.
Kebangsaan
: Indonesia.
Tempat tinggal
: Jl. Sikatan No.4 Kel. Nambangan Lor, Kec. Mangunharjo Kota Madiun.
Agama
: Islam.
Pekerjaan
: Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kota Madiun Wiraswasta.
Pendidikan
3.
: Sekolah lanjutan.
Dakwaan Proses pembuktian dimulai dengan surat dakwaan yang diajukan oleh jaksa Penuntut Umum yaitu : PRIMAIR : Bahwa ia Terdakwa WISNU SUWARTO DEWO Bin SOMO SADI selaku Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kota Madiun dan sekaligus sebagai Ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia. Pada hari dan tanggal yang sudah tidak dapat diingat lagi dengan pasti, yang masih termasuk bulan Desember 2003 atau setidak – tidaknya pada hari, tanggal dan waktu lain yang masih termasuk dalam tahun 2003 bertempat di di kantor KPU Kota Madiun yaitu Jalan Mobilisasi Pelajar Kota Madiun, atau setidak – tidaknya berada pada suatu tempat yang masih termasuk dalam daerah Hukum pengadilan Negari kodya Madiun, dengan sengaja memalsukan Surat yang menurut suatu aturan dalam Undang - Undang diperlukan untuk menjalankan suatu perbuatan dalam PEMILU dengan maksud untuk digunakan sendiri atau oleh orang lain sebagai seolah –
38
olah surat sah atau tidak dipalsukan, perbuatan Terdakwa dilakukan dengan cara sebagai berikut : 1) Bahwa Terdakwa pada PEMILU tahun 1999 mendaftar ke KPU kota Madiun sebagai Calon Anggota Legislatif dengan melampirkan surat – surat yang diperlukan dalam PEMILU. Salah satunya adalah surat keterangan sekolah atau ijazah, dan dalam proses pencalonan Anggota Legislatif pada PEMILU 1999 Terdakwa melampirkan Ijazah SLTA berdasarkan Daftar Riwayat Hidup yang ditanda tangani Terdakwa pada saat pencalonan PEMILU 1999. 2) Kemudian dalam proses pencalonan Anggota Legislatif untuk PEMILU 2004 sebagai syarat untuk menjadi Anggota Legislatif adalah memiliki ijazah minimal tingkat SLTA, sehingga Terdakwa melampirkan fotocopy Surat Keterangan Yang Berpenghargaan Sama (SKYBS) dengan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas (SMA) tahun 1993 dengan Nomor seri 04 OB og P 0014768 tanggal 30 Juni 1993 untuk melengkapi persyaratan tersebut. 3) Ternyata berdasarkan hasil pemeriksaan atau pengecekan dari Dinas Pendidikan dan kebudayaan Propinsi Jawa Timur dengan Nomor Surat 423 . 5 . 37 / 108 . 08 / 2004 tanggal 5 Februari 2004 terhadap Surat Keterangan Yang Berpenghargaan Sama (SKYBS) dengan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas (SMA) tahun 1993 dengan Nomor Seri 04 OB og P 0014768 tanggal 30 Juni 1993, milik Terdakwa tersebut adalah sebagai berikut : a) Bahwa Panitia Ujian Persamaan SLTP atau SMU Kanwil DEPDIKBUD
Propinsi
Jawa
Timur
tidak
pernah
mengeluarkan Surat Keterangan Yang Berpenghargaan Sama (SKYBS) dengan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas (SMA) tahun 1993 dengan
39
Nomor Seri 04 OB og P 0014768 tanggal 30 Juni 1993, atas nama WISNU SUWARTO. b) Atas dasar hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Surat Keterangan Yang Berpenghargaan Sama (SKYBS) dengan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas (SMA) yang dimiliki oleh Saudara WISNU SUWARTO telah diperoleh dengan prosedur yang tidak benar. Demikian juga Terdakwa tidak dapat menyebutkan nama sekolah tempat penyelenggaraan Ujian Persamaan (Upers) dengan jelas. Perbuatan Terdakwa tersebut melanggar Pidana sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 137 ayat 3 UURI No 12 Tahun 2003. SUBSIDAIR Bahwa ia Terdakwa WISNU SUWARTO DEWO Bin SOMO SADI pada waktu dan tempat sebagaimana tersebut dalam Dakwaan Primair dengan sengaja dan mengetahui bahwa suatu surat sebagaimana dimaksud
pada
ayat
(3)
adalah
tidak
sah
atau
dipalsukan,
menggunakannya, atau menyuruh orang lain menggunakannya sebagai surat sah perbuatan pidana mana dilakukan Terdakwa anrata lain sebagai berikut : 1) Bahwa ia Terdakwa pada bulan Desember 2003 mendaftar ke KPU kota Madiun sebagai Calon Anggota Legislatif untuk PEMILU 2004, dengan melampirkan surat – surat yang diperlukan dalam PEMILU salah satunya adalah surat keterangan sekolah atau Ijazah, dan Terdakwa dalam proses pencalonan Anggota Legislatif untuk PEMILU 2004 melampirkan fotocopy Surat Keterangan Yang Berpenghargaan Sama (SKYBS) dengan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas (SMA) tahun 1993
40
dengan Nomor Seri 04 OB og P 0014768 tanggal 30 Juni 1993, untuk melengkapi persyaratan tersebut. 2) Bahwa
Terdakwa
menggunakan
Surat
Keterangan
Yang
Berpenghargaan Sama (SKYBS) dengan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas (SMA) miliknya tersebut yang digunakan untuk mendaftarkan CalonAnggota Legislatif PDI Perjuangan DPRD Kota Madiun periode 2004 – 2009 di KPU kota Madiun tersebut diperoleh denagn cara Terdakwa menyuruh orang lain untuk membuat Ijazah tersebut dengan prosedur yang tidak sah. 3) Selanjutnya berdasarkan hasil pemeriksaan atau pengecekan dari Dinas Dinas Pendidikan dan kebudayaan Propinsi Jawa Timur dengan Nomor Surat 423 . 5 . 37 / 108 . 08 / 2004 tanggal 5 Februari 2004 terhadap Surat Keterangan Yang Berpenghargaan Sama (SKYBS) dengan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas (SMA) tahun 1993 dengan Nomor Seri 04 OB og P 0014768 tanggal 30 Juni 1993, milik Terdakwa tersebut adalah sebagai berikut : a) Bahwa panitia ujian persamaan SLTP / SMU Kanwil DEPDIKBUD Propinsi Jawa timur tidak pernah mengeluarkan Surat Keterangan Yang Berpenghargaan Sama (SKYBS) dengan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas (SMA) tahun 1993 dengan Nomor Seri 04 OB og P 0014768 tanggal 30 Juni 1993, atas nama WISNU SUWARTO b) Atas dasar hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Surat Keterangan Yang Berpenghargaan Sama (SKYBS) dengan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas (SMA) yang dimiliki oleh saudara WISNU SUWARTO telah diperoleh dengan prosedur yang tidak benar.
41
Perbuatan Terdakwa tersebut melanggar Pidana sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 137 ayat 4 UURI No 12 tahun 2003. LEBIH SUBSIDAIR Bahwa ia Terdakwa WISNU SUWARTO Bin SOMO SADI pada waktu dan tempat sebagaimana tersebut dalam Dakwaan Primair, dengan sengaja memberi keterangan yang tidak benar atau menggunakan surat palsu seolah – olah sebagai surat yang sah tentang suatu hal yang diperlukan bagi persyaratan peserta PEMILU, perbuatan pidana mana dilakukan Terdakwa antara lain sebagai berikut: 1) Bahwa Terdakwa pada bulan Desember 2003 mendaftar ke KPU Kota Madiun sebagai Calon Anggota Legislatif untuk PEMILU 2004, dengan melampirkan surat – surat yang diperlukan dalam PEMILU salah satunya adalah surat keterangan Sekolah atau ijazah dan Terdakwa dalam proses pencalonan Anggota Legislatif untuk PEMILU 2004 melampirkan fotocopy Surat Keterangan Yang Berpenghargaan Sama (SKYBS) dengan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas (SMA) tahun 1993 dengan Nomor Seri 04 OB og P 0014768 tanggal 30 Juni 1993, untuk melengkapi persyaratan tersebut. 2) Ternyata berdasarkan pemeriksaan atau pengecekan dari Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan Propinsi Jawa timur dengan Nomor Surat 423 . 5 . 37 / 108 . 08 / 2004 tanggal 5 Februari 2004 terhadap Surat Keterangan Yang Berpenghargaan Sama (SKYBS) dengan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas (SMA) tahun 1993 dengan Nomor Seri 04 OB og P 0014768 tanggal 30 Juni 1993, milik Terdakwa tersebut adalah sebagai berikut : “Bahwa panitia ujian persamaan SLTP / SMU Kanwil DEPDIKBUD Propinsi Jawa Timur tidak pernah mengeluarkan
42
Surat Keterangan Yang Berpenghargaan Sama (SKYBS) dengan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas (SMA) tahun 1993 dengan Nomor Seri 04 OB og P 0014768 tanggal 30 Juni 1993, atas nama WISNU SUWARTO.” Atas dasar hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Surat Keterangan Yang Berpenghargaan Sama (SKYBS) dengan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas (SMA) yang dimiliki oleh Saudara WISNU SUWARTO telah diperoleh dengan prosedur yang tidak benar. 4.
Alat Bukti yang Digunakan Penuntut Umum Untuk menguatkan dakwaannya Penuntut Umum
mengajukan
surat–surat bukti berupa : a.
Satu (1) bendel laporan Panwaslu Kota Madiun No 274 / 110 / Panwaslu / II / 2004 yang diterima Penyidik Polresta Madiun, tanggal 10 Februari 2004;
b.
Satu (1) lembar surat dari Panwaslu kota Madiun tentang permintaan pengecekan STTB / Ijazah SMA tahun 1993 atas nama WISNU SUWARTO ke dinas P dan K Propinsi Jawa timur;
c.
Satu (1) lembar surat Dinas P dan K Propins Jawa Timur tentang hasil penelitian STTB Ijazah SMA tahun 1993 atas nama WISNU SUWARTO yang ditujukan kepada Panwaslu Kota Madiun;
d.
Satu (1) lembar Asli SKYBS dengan STTB Sekolah Menengah Umum Tingkat atas (SMA) tahun 1993 atas nama WISNU SUWARTO;
e.
Foto Copy Surat Keterangan Yang Berpenghargaan Sama (SKYBS) dengan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas (SMA) atas nama Resti Handayani Tahun 1993 yang telah dilegalisir (diajukan sebagai alat bukti pembanding).
43
Selain surat–surat bukti yang tersebut di atas Penuntut Umum juga mengajukan saksi–saksi yaitu : a.
Saksi I : SUPARNO. Dibawah sumpah menurut tata cara agama dan kepercayaannya, di depan persidangan saksi menerangkan pada pokoknya sebagai berikut : 1) Bahwa pada hari dan tanggal yang sudah lupa, tetapi di atas tanggal 20 Januari 2004. sewaktu saksi diberitahu oleh teman saksi sesama Anggota Dewan yang bernama Hidang Jadi yang mengatakan bahwa ada surat kaleng berikut lampirannya berupa fotocopy ijazah ujian persamaan SMA tahun 1993 atas nama WISNU SUWARTO, fotocopy Daftar Riwayat Hidup, Fotocopy Kliping koran dan formulir pendaftaran UNMER. 2) Saksi tidak tahu siapa yang membuat surat kaleng. 3) Saksi belum pernah melihat sendiri secara fisik asli dari surat ijazahnya Terdakwa tetapi melihat dari fotocopy ijazah tersebut diduga palsu. 4) Selanjutnya saksi bermusyawarah dengan 5 (lima) orang teman saksi lainnya yaitu Sonny S. P, Kentot Prawiyanto. S, H. Supranowo. Hidang Jadi dan Djoko Santoso, yang akhirnya disepakati bahwa dugaan adnya ijazah palsu tersebut akan dilaporkan ke Panwaslu Kota Madiun. 5) Pada PEMILU 1999 Terdakwa menjadi Caleg dengan ijazah SMP dan semua sesuai dengan biodata yang ada Terdakwa tidak lulus SLTA (sampai kelas III). 6) Pada Pemilu 2004 Terdakwa kembali menjadi Caleg dengan melampirkan ijazah UPERS tahun 1993 yang bermasalah tersebut.
44
7) Dalam DPRD Kota Madiun, saksi dengan Terdakwa berada dalam satu fraksi yaitu PDI Perjuangan dimana Terdakwa sebagai ketua Fraksi dan sekretarisnya Sonny Sunarso P. 8) Saksi
membenarkan
fotocopy
surat
keterangan
yang
berpenghargaan sama dengan STTB SMA yang diajukan di persidangan adalah sama dengan yang saksi lihat dalam lampiran surat kaleng. Namun kemudian dalam persidangan keterangan – keterangan saksi tersebut di atas di tolak oleh Terdakwa. b.
Saksi II : KENTOT PRAWIYANTO, S. H Di
bawah
sumpah
menurut
tata
cara
agamanya
dan
kepercayaannya. Di depan pengadilan menerangkan pada pokoknya sebagai berikut : 1) Bahwa saksi pernah diperiksa oleh penyidik dan telah memberikan keterangan sebenar – benarnya; 2) Bahwa pada awalnya ketika saksi masuk kerja sebagai Anggota Dewan. Saksi diberitahu oleh seorang teman sesama Anggota Dewan yang bernama Hidang Jadi yang membawa surat kaleng lengkapdengan lampiran beberapa fotocopy dokumen antara lain ijazah palsu atas nama WISNU SUWARTO; 3) Hari dan tanggalnya saksi sudah lupa tapi seingat saksi tanggal 20 januari 2004 bertempat di kantor DPRD Kota Madiun Jl, perintis kemerdekaan No 32 Madiun; 4) Dari surat kaleng tersebut saksi menangkap kejanggalan terhadap ijazah Upers milik Terdakwa, yaitu nama orang tua Terdakwa tidak lengkap, dalam daftar riwayat hidup pencalegan tahun 1999 tercantum Terdakwa lulus SLTP, SMA kelas III (tidak lulus) sementara dalam pencalegan 2004 Terdakwa melampirkan ijazah Upers tahun 1993;
45
5) Pada PEMILU tahun 1999 persyaratan ijazah minimal SLTP sedangkan pada PEMILU 2004 minimal SLTA atau sederajat; 6) Menyikapi surat kaleng tersebut, kemudian saksi membahasnya dengan 5 (lima) orang teman saksi yaitu Hidang Jadi, Sonny Sunarso, Suparno, Supranowo dan Djoko Santoso dan akhirnya sepakat untuk melaporkan hal tersebut ke Panwaslu Kota Madiun; 7) Saksi menjadi yakin kalau ijazah Terdakwa adalah palsu setelah melihat bahwa nama orang tua tidak sama dan nama Terdakwa hanya tertulis WISNU SUWARTO saja, bukan WISNU SUWARTO DEWO; 8) Saksi melaporkan hal tersebut kepada panwaslu karena berkeinginan agar PDI Perjuangan lebih baik; 9) Saksi
membenarkan
fotocopy
Surat
Keterangan
Yang
Berpenghargaan Sama (SKYBS) dengan STTB SMA yang diajukan di persidangan adalah sama dengan yang saksi lihat dalam lampiran surat kaleng. Dalam persidangan keterangan – keterangan saksi tersebut di atas di tolak oleh Terdakwa. c.
Saksi III : DJOKO SANTOSO Dibawah sumpah menurut tata cara agama dan kepercayaannya, di depan persidangan saksi menerangkan pada pokoknya sebagai berikut : 1) Bahwa pada hari dan tanggal yang sudah lupa, di atas tanggal 20 Januari 2004 sekitar pukul 11.00 WIB, sewaktu saksi masuk kerja sebagai anggota dewan. Oleh teman saksi sesama anggota DPRD Kota Madiun yang bernama Hidang Jadi bahwa ada surat kaleng yang isinya antara lain menyebutkan bahwa ijazah SMA yang digunakan tersangka menjadi caleg 2004 adalah palsu;
46
2) Selanjutnya Dalam surat kaleng tersebut juga dilampiri oleh fotocopy daftar riwayat hidup dan bukti pendaftaran UNMER 3) Saksi membahas masalah tersebut bersama – sama dengan 5 (lima) orang teman sesama anggota dewan yaitu : Hidang Jadi, Kentot Prawiyanto, S. H, Supranowo, Sonny Sunarso, dan Suparno yang pada akhirnya sepakat untuk melaporkan hal tersebut pada panwaslu; 4) Saksi
membenarkan
fotocopy
Surat
Keterangan
Yang
Berpenghargaan Sama (SKYBS) dengan STTB SMA yang diajukan di persidangan adalah sama dengan yang saksi lihat dalam lampiran surat kaleng. Dalam persidangan keterangan – keterangan saksi tersebut di atas di tolak oleh Terdakwa. Dalam kesempatan yang diberikan, Penasihat Hukum maupun Terdakwa tidak mengajukan saksi yang meringankan (a de charge) tetapi mengajukan surat surat bukti berupa fotocopy Surat Keterangan Yang Berpenghargaan Sama dengan Surat Tanda Tamat Belajar Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas (SMA) Nomor seri 04 OB og P 0014768 Tanggal 30 juni 1993 atas nama WISNU SUWARTO yang telah dilegalisir sesuai dengan aslinya oleh departemen
pendidikan
dan
kebudayaan
kantor
Kotamadya
Surabaya. 5.
Pembahasan Terdakwa dihadapkan ke depan persidangan dengan Dakwaan Subsidairitas (bersusun lapis) yaitu : a) Primair, melanggar Pasal 137 ayat (3) Undang–Undang Republik Indonesia No 12 tahun 2003 tentang Pemilihan UmumAnggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
47
b) Subsidair, melanggar Pasal 137 ayat (4) Undang–Undang Republik Indonesia No 12 tahun 2003 tentang Pemilihan UmumAnggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. c) Lebih Subsidair, melanggar Pasal 137 ayat (7) Undang–Undang Republik Indonesia No 12 tahun 2003 tentang Pemilihan UmumAnggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Adapun unsur–unsur delik dalam Dakwaan Primair adalah : a) Setiap orang; Bahwa yang dimaksud setiap orang adalah siapapun juga sebagaimana dalam pengertian orang dalam hukum, artinya siapapun juga tanpa terkecuali asalkan itu menurut hukum dianggap sebagai orang yang merupakan subyek pendukung dari hak dan kewajiban maka sudah memenuhi unsur ini. Dalam hal ini Terdakwa yang identitasnya telah disebutkan di atas, tidak dikecualikan telah memenuhi unsur ini, b) Dengan sengaja; 1) Bahwa
yang dimaksud dengan sengaja adalah bahwa
seseorang itu melakukan suatu tindakan atau perbuatan dengan sepenuh kesadaran untuk mencapai tujuan tertentu; 2) Bahwa tindakan – tindakan yang dilakukan oleh Terdakwa, mulai dari upaya memperoleh SKYBS dengan STTB SMA, kemudian menggunakannya untuk memenuhi salah satu persyaratan sebagai bakal caleg dengan mendaftar ke KPU kota Madiun, semuanya dilakukan Terdakwa dengan sepenuh kesadaran untuk mencapai tujuan akhir yaitu menjadi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Madiun;
48
3) Bahwa dari pertimbangan – pertimbangan di atas majelis berpendapat bahwa unsur “dengan sengaja” telah memenuhi atau terpenuhi secara sempurna. c) Memalsukan surat yang diperlukan untuk menjalankan suatu perbuatan dalam PEMILU; Bahwa dari fakta – fakta yuridis yang terungkap di persidangan memang SKYBS dengan STTB SMA digunakan oleh tedakwa unutk menjalankan suatu perbuatan, dalam PEMILU yaitu dipakai untuk memenuhi persyaratan sebagai bakal caleg dalam PEMILU 2004 tetapi dari fakta – fakta yuridis tersebut, jaksa Penuntut Umum
tidak pernah membuktikan bahwa SKYBS
dengan STTB SMA sebagaimana obyek dalam perkara ini di buat sendiri oleh Terdakwa, dalam arti terdakwalah yang mencetak blanko ijazah, mengisi blanko tersebut dan seterusnya, sehingga jadilah SKYBS dengan STTB SMA buatan Terdakwa; d) Dengan maksud untuk digunakan sendiri atau orang lain sebagai seolah olah surat sah dan tidak dipalsukan. Dari pertimbangan tersebut di atas Majelis berkesimpulan bahwa
unsur
“memalsukan
surat”
yang
diperlukan
untuk
menjalankan suatu perbuatan dalam PEMILU tidak terpenuhi. Karena salah satu unsur delik dalan dakwaan primair yang tidak terpenuhi, maka terdakwa harus dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan primair, dan oleh karenanya terdakwa harus di bebaskan dari dakwaan primair tersebut. Bahwa oleh karena dakwaan
primair
tidak
terbukti,
maka
majelis
akan
mempertimbangkan dakwaan subsidair, yaitu melanggar Pasal 137 ayat (4) Undang-Undang RI No 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
49
Unsur–unsur delik dalam dakwan subsidair adalah : (a) Setiap orang; (b) Dengan sengaja; (c) Mengetahui bahwa suatu surat adalah tidak sah atau dipalsukan; (d) Menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakannya sebagai surat sah. Pembuktian terhadap unsur 1 yaitu “setiap orang“ dan unsur 2 yaitu “dengan sengaja“ adalah identik dengan unsur – unsur yang telah terpenuhi dalam dakwaan primair, oleh karenannya dalam pembuktian dakwaan subsidair ini unsur setiap orang “setiap orang” dan unsur “dengan sengaja” mangambil alih dari dakwaan primair dan dinyatakan telah terpenuhi secara sempurna. Mengenai unsur ke-3 yaitu mengetahui bahwa suatu surat adalah tidak sah atau dipalsukan, dari fakta-fakta yuridis yang terungkap di persidangan terungkap bahwa berdasarkan surat dari Kepala Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Timur kepada Panwaslu Kota Madiun tanggal 5 Februari 2004 nomor 423. 5 / 37 / 108. 08 /2004 sangat tegas disebutkan bahwa kanwil DEPDIKBUD Propinsi Jawa Timur tidak pernah mengeluarkan SKYBS dengan STTB SMA Nomor Seri : 04 OB og P 0014768 tanggal 30 Juni 1993 atas nama WISNU SUWARTO dan disimpulkan bahwa SKYBS dengan STTB SMA tersebut diperoleh dengan prosedur yang tidak benar, sehingga dari sini dapat disimpulkan bahwa SKYBS dengan STTB SMA milik Terdakwa termaksud adalah tidak sah. Walaupun dalam hal ini Terdakwa menerangkan memperoleh SKYBS dengan STTB SMA melalui prosedur yang benar, antara lain telah mendaftar sebagaimana
mestinya,
membayar
biayanya
dan
kemudian
mengikuti ujian sampai dinyatakan lulus sehingga berhak memiliki SKYBS dengan STTB SMA termaksud. Namun dalam hal ini baik
50
Terdakwa maupun Penasihat Hukumsama sekali tidak dapat mengajukan bukti apapun, baik saksi-saksi, barang bukti ataupun berupa surat-surat yang bisa mendukung pernyataan Terdakwa di depan sidang tersebut. Keterangan Terdakwa di depan persidangan tidak didukung oleh bukti-bukti yang memadai menurut hukum, maka keterangan tersebut tidak bisa dianggap sebagai fakta hukum. Dengan demikian Majelis berpendapat bahwa
SKYBS dengan
STTB SMA milik Terdakwa tidak sah, yang mana ketidak sahan tersebut sudah pasti diketahui oleh Terdakwa, karena Terdakwalah yang secara logis mengetahui, mengerti dan mengalami sendiri seluk beluk sampai ada SKYBS dengan STTB SMA tersebut. Bahkan Terdakwa menerangkan bahwa ijasah tersebut diterima di madiun dirumah Terdakwa dengan diantar kurir sehingga menimbulkan kejanggalan prosedur perolehan ijasah tersebut. Dari pertimbanganpertimbangan tersebut diatas majelis berpendapat bahwa unsur ke 3 dalam subsidair telah terpenuhi secara sempurna. Tentang unsur ke-4 yaitu menggunakannya atau menyuruh orang lain menggunakan sebagai surat sah. Dari fakta-fakta yuridis yang terungkap di persidangan diperoleh fakta bahwa telah menggunkan sendiri SKYBS dengan STTB SMA miliknya yang tidak sah tersebut untuk melengkapi salah satu syarat sebagai Caleg di Kota Madiun periode tahun 2004 – 2009. Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas Majelis berpendapat bahwa unsur ke-4 dari dakwaan subsidair telah terpenuhi secara sempurna. Semua unsur delik dari dakwaan subsidair telah terpenuhi maka terbuktilah secara sah dan meyakinkan Terdakwa bersalah melakukan tindak pidana “SENGAJA DAN MENGETAHUI BAHWA
SUATU
SURAT
TIDAK
SAH
DAN
MENGGUNAKAN SEBAGAI SURAT SAH” sebagaimana diatur dan diancam pidana oleh Pasal 137 ayat (4) Undang-Undang RI No.
51
12 Tahun 2003 tentang Pemilu Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Untuk dakwaan lebih subsidair, oleh karena dakwaan subsidair telah
terbukti
maka
dakwaan
lebih
subsidair
tidak
perlu
dipertimbangkan lagi. B. Kekuatan Alat bukti Surat dalam Pembuktian 1.
Pertimbangan Hakim Menimbang bahwa pembuktian terhadap unsur 1 yaitu “setiap orang“ dan unsur 2 yaitu “dengan sengaja“ adalah identik dengan unsur – unsur yang telah terpenuhi dalam dakwaan primair, oleh karenannya dalam pembuktian dakwaan subsidair ini unsur setiap orang “setiap orang” dan unsur “dengan sengaja” mangambil alih dari dakwaan primair dan dinyatakan telah terpenuhi secara sempurna. Menimbang, bahwa dari pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas majelis berpendapat bahwa unsur ke 3 dalam subsidair telah terpenuhi secara sempurna. Menimbang bahwa dari pertimbangan tersebut diatas Majelis berpendapat bahwa unsur ke 4 dari dakwaan subsidair telah terpenuhi secara sempurna. Menimbang bahwa oleh karena dakwaan subsidair telah terbukti maka dakwaan lebih subsidair tidak perlu dipertimbangkan lagi; Menimbang bahwa mengenai surat-surat bukti berupa : a) 1(satu) bendel laporan Panwaslu Kota Madiun, tanggal 10 Februari 2004; yang diterima penyidik Polresta Madiun tanggal 10 Februari; b)
1(satu) surat dari Panwaslu Kota Madiun tentang permintaan pengecekan STTB / ijasah SMA tahun 1993 atas nama WISNU SUWARTO ke dinas P dan K Propinsi Jawa Timur;
52
c)
1(satu) lembar surat dinas P dan K Propinsi Jawa Timur tentang hasil penelitian STTB ijasah SMA tahun 1993 atas nama WISNU SUWARTO yang ditujukan kepada Panwaslu Kota Madiun;
d)
1(satu) lembar asli SKYBS dengan STTB sekolah menengah umum tingkat atas ( SMA ) tahun 1993 atas nama WISNU SUWARTO;
e) Foto copy surat keterangan yang berpenghargaan sama dengan surat tanda tamat belajar sekolah umum tingkat atas ( SMA ) atas nama Resti Handayani tahun 1993 yang telah dilegalisir (diajukan sebagai bukti pembanding); f)
1(satu) lembar foto copy SKYBS dengan STTB SMA tahun 1993 atas nama WISNU SUWARTO yang telah dilegalisir oleh kantor Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan Kotamadya Surabaya (diajukan oleh penasihat hukum). Menimbang, bahwa dalam melakukan Terdakwa cakap tidak
ditemukan adannya alasaan pemaaf maupun alasan pembenar pada diri Terdakwa sehingga Terdakwa harus mempertanggung jawabkan dan oleh karenanya harus dijatuhi pidana. Menimbang bahwa pada prinsipnya pemidanaan terhadap seseorang bukanlah upaya atau sarana balas dendam dan bukan pula dimaksudkan untuk
menciptakan
penderitaan
bagi
seseorang
tetapi
hakekat
pemidanaan yang utama adalah efek jera dan efek preventif edukatif sehingga suatu pemidanaan jika sudah memenuhi efek jera dan efek preventif edukatif sudah dipandang cukup. Menimbang bahwa dari aspek sosiologis
tanpa bermaksud
mempolitisir perkara ini, posisi dan kedudukan Terdakwa sebagai ketua dewan pimpinan cabang salah satu partai besar kota madiun maka pikiran tenaga dan keberadaannya pasti sangat dibutuhkan oleh partai dan masyarakat pendukungnya pada saat-saat klimaks pelaksanaan Pemilu
53
seperti saat ini sehinnga jika Terdakwa harus menjalani secara fisik dalam tembok penjara justru akan kontra produktif. Menimbang,
bahwa
berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan
tersebut diatas beralasanlah kiranya bila Terdakwa dijatuhi pidana penjara percobaan dalam arti Terdakwa tidak perlu menjalani penjara yang dijatuhkan kepadanya kecuali bila kemudian hari diperintahkan oleh hakim atas dasar, sebelum habisnya waktu tertentu Terdakwa telah melakukan tindak pidana lain; Menimbang bahwa oleh karena Terdakwa dinyatakan bersalah maka kepadanya harus pula dibebani untuk membayar upaya perkara akan ditetapkan dalam Dictum putusan ini; Menimbang, bahwa sebelum menjatuhkan pidana perlu terlebih dahulu dipertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan sebagai berikut : Yang memberatkan Terdakwa tidak mengakui terus terang atas perbuatannya Yang meringkankan a) Terdakwa belum pernah dihukum b) Terdakwa belum pernah menikmati hasil dari tindak pidana yang dilakukan c) Terdakwa mempunyai tanggung jawab tulang punggung keluarga Menimbang, bahwa pidana tersebut dibawah menurut hemat majelis telah setimpal dengan kesalahan Terdakwa;
54
2.
Amar Putusan MENGADILI Menyatakan Terdakwa WISNU SUWARTO DEWO BIN SOMO SADI tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana di dakwakan dalam Dakwaan Primair; a) Membebaskan Terdakwa dari dakwaan primair tersebut; b) Menyatakan Terdakwa WISNU SUWARTO DEWO BIN SOMO SADI terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “ SENGAJA DAN MENGETAHUI BAHWA SUATU SURAT TIDAK SAH DAN MENGGUNAKANNYA SEBAGAI SURAT SAH”; c) Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan; d) Menetapkan pidna tersebut tidak perlu dijalani kecuali jika di kemudian hari dengan suatu putusan Hakim ditentukan lain atas dasar bahwa sebelum berakhirnya masa percobaan selama 6 (enam) bulan Terdakwa telah melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum; e)
Menjatuhkan pidana pula berupa pidana denda sebesar Rp.600.000 (enam ratus ribu rupiah)
f)
Menetapkan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan;
g) Menetapkan Surat-Surat bukti berupa : (1) 1(satu)
bendel
laporan
Panwaslu
Kota
Madiun
No.
274/110/Panwaslu/ii/2004 yang diterima penyidik Polresta Madiun tanggal 10 Februari 2004. (2) Satu (1) lembar surat dari Panwaslu kota Madiun tentang permintaan pengecekan STTB / Ijazah SMA tahun 1993 atas nama WISNU SUWARTO ke dinas P dan K Propinsi Jawa timur.
55
(3) Satu(1) lembar surat Dinas P dan K Propinsi Jawa Timur tentang hasil penelitian STTB Ijazah SMA tahun 1993 atas nama WISNU SUWARTO yang ditujukan kepada Panwaslu Kota Madiun. (4) Satu (1) lembar Asli SKYBS dengan STTB Sekolah Menengah Umum Tingkat atas (SMA) tahun 1993 atas nama WISNU SUWARTO. (5) Foto Copy Surat Keterangan Yang Berpenghargaan Sama (SKYBS) dengan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas (SMA) atas nama Resti Handayani Tahun 1993 yang telah dilegalisir (diajukan sebagai alat bukti pembanding). Demikian diputus dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Madiun pada hari KAMIS tanggal 1 APRIL 2004 oleh SUKADI S.H sebagai Hakim Ketua Majelis, WINARTO S.H dan DJOKO INDIARTO S. H. Masing – masing sebagai Hakim Anggota Majelis, putusan mana diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Hakim Ketua Majelis tersebut dengan didampingi oleh ketua kedua Hakim anggota tersebut. Dibantu oleh PRIJONO sebagai panitera pengganti pada Pengadilan Negeri Madiun, dengan di hadiri oleh SUYANTO. S.H dan SUTARNO, S.H sebagai jaksa Penuntut Umum INDRA PRIANGKASA, S.H dan ROSIDI, S.H. sebagai Penasihat Hukum dan dihadiri pula oleh Terdakwa. 3.
Pembahasan Perbuatan Terdakwa tersebut melanggar pidana sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 137 ayat 7 Undang-Undang RI No. 12 tahun 2003. a. Tentang berkas acara pemeriksaan oleh penyidik. Bahwa, dalam berkas acara pemeriksaan oleh penyidik, ternyata semua saksi telah disumpah, padahal saksi – saksi tersebut tidak berada dalam kondisi “ketidak mungkinan yang mutlak (absolut imposibilitas)“ melainkan hanya dalam kondisi “ketidak mungkinan nisbi“ yang
56
didasarkan pada subyektifitas yang tidak logis. Hal demikian menurut Penasihat
Hukum,
jelas
akan
membatasi,
mengurangi
bahkan
meniadakan nilai pemeriksaan peradilan dalam mencari, menemukan, dan mewujudkan “kebenaran materiil”. b. Keterangan Ahli. Bahwa surat rujukan dari Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan Propinsi Jawa Timur Nomor 423 . 5 . 37 / 108 . 08 / 2004 tanggal 5 Februari 2004 yang ditanda tangani Drs. RASIYO, M.Si yang dijadikan sebagai dasar penyusunan Dakwaan tidak dapat dikualifikasi baik sebagai Keterangan Ahli langsung dihadapan Penyidik (Pasal 120 KUHAP) maupun Keterangan ahli dalam bentuk tertulis (Pasal 133 KUHAP). Terlebih itu dalam point – point rujukan tersebut secara tegas dinyatakan bahwa SKYBS dengan STTB SMA yang dimiliki Terdakwa telah diperoleh dengan Prosedur yang Tidak benar, disitu tidak secara tegas disimpulkan bahwa SKYBS dengan STTB SMA tersebut TIDAK SAH. Menurut Penasihat Hukum, kesalahan prosedur, tidak dapat diartikan secara Mutatis Mutandis berakibat SKYBS dengan STTB SMA yang dimiliki Terdakwa tidak sah. c. Tentang barang bukti. Bahwa, barang bukti berupa Surat Keterangan Yang Berpenghargaan Sama (SKYBS) dengan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas (SMA) tahun 1993 yang diterbitkan beradasarkan keputusan Kepala Kantor Wilayah Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Propinsi Jawa Timur No. 1278 / 1 04 / M / 93 / SK Tanggal 23 Februari 1993 adalah merupakan produk Pejabat Tata Usaha Negara Yang Berbentuk Keputusan Tata Usaha Negara, maka pengujian atas keabsahannya harus melalui mekanisme Peradilan Tata Usaha Negara.
57
Majelis Hakim memberikan pertimbangan terhadap eksepsi Penasihat Hukum sebagai berikut. a.
Bahwa mengenai disumpahnya Para Saksi dalam berita acara pemeriksaan oleh penyidik bukan berarti membatasi, mengurangi ataupun meniadakan nilai pemeriksaan dalam peradilan dalam mencari, menemukan dan mewujudkan kebenaran materiil, karena dalam hal ini Majelis Hakim tetap Bisa memerintahkan Jaksa Penuntut Umum untuk menghadirkan saksi – saksi tersebut dan masih pula mengambil sumpah ulang. Kenyataannya dalam persidangan semua saksi datang dan disumpah serta bisa diperiksa secara bebas sebagaimana layaknya seorang saksi yang diperiksa di depan persidangan.
b.
Bahwa barang bukti berupa Surat Keterangan Yang Berpenghargaan Sama (SKYBS) dengan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas (SMA) adalah benar memang Produk Tata Usaha Negara. Tetapi apabila keberadaanya “ diduga “ terdapat unsur pidananya maka untuk menilai keabsahan nya bukan lagi melalui mekanisme Peradilan Tata Usaha Negara, melainkan telah menjadi ruang lingkup Peradilan Umum.
c.
Bahwa mengenai materi eksepsi selain dan selebihnya ternyata telah memasuki materi pokok perkara, sehingga tidak perlu dipertimbangkan dalam eksepsi ini. Tetapi akan dipertimbangkan dalam pokok perkara.
d.
Bahwa berdasarkan pertimbangan–pertimbangan tersebut Majelis Sampai pada kesimpulan bahwa eksepsi Penasihat Hukum tidak beralasan dan oleh karenanya dinyatakan tidak dapat diterima untuk seluruhnya.
e.
Bahwa Jaksa Penuntut Umum yang pada pokoknya menuntut supaya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Madiun memutuskan : 1) Menyatakan Terdakwa WISNU SUWARTO DEWO Bin SOMO SADI tidak bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana perbuatan yang didakwakan atas dakwaan primair dan dakwaan
58
subsider, oleh karenanya agar Terdakwa dibebaskan dari dakwaan primer dan subsider tersebut. 2) Menyatakan Terdakwa WISNU SUWARTO DEWO Bin SOMO SADI terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar atau menggunakan surat palsu seolah – olah sebagai surat yang sah tentang suatu hal yang diperlukan lagi sebagai persyaratan untuk menjadi peserta pemilu.” 3) Penuntut Umum
mohon agar Terdakwa dijatuhi pidana penjara
selama 4(empat) bulan dan pidana denda Rp. 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) subsidair 1(satu) bulan kurungan. 4) Menetapkan barang bukti sebagai berikut : (a) 1(satu) bendel laporan panitia pengawas pemilu kota Madiun No 274 / 110 / panwaslu / II / 2004 yang diterima oleh penyidik Kota Madiun. (b) 1(satu) lembar surat dari panitia pengawas pemilu Kota Madiun tentang permintaan pengecekan STTB / ijazah SMA tahun 1993 atas nama WISNU SUWARTO DEWO ke dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Timur. (c) 1(satu) lembar surat dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Timur tentang hasil penelitian STTB Ijazah SMA Tahun 1993 atas nama WISNU SUWARTO DEWO yang ditujukan kepada Panitia pengawas pemilu Kota Madiun. (d) 1(satu)
lembar
asli
SKYBS
(surat
keterangan
yang
berpenghargaan sama) dengan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas (SMA) dengan Nomor seri : 04 OB og P 0014768 tanggal 30 Juni 1993. (e) Fotocopy Surat Keterangan yang berpenghargaan sama dengan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) Sekolah Menengah Umum
59
Tingkat Atas (SMA) atas nama Resti Handayani Tahun 1993 yang dilegalisir (diajukan sebagai bukti pembanding). (5) Menetapkan surat bukti yang diajukan dalam perkara ini tetap terlampir dalam berkas perkara ; dan menetapkan pula agar Terdakwa dibebani untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.3.000,00 (tiga ribu rupiah). Bahwa atas dakwaan tersebut di atas Terdakwa menyatakan telah mengerti dan Penasihat Hukum Terdakwa mengajukan keberatan yang pada pokoknya sebagai berikut: a) Bahwa titik permulaan dari perkara ini adalah adanya surat kaleng yang dibawa oleh Hidang Jadi, saksi – saksi yang diperiksa dalam perkara ini hanya melihat fotocopy dalam surat kaleng tersebut, tetapi sudah dapat menyimpulkan bahwa Terdakwa tidak tamat SMA. b) Mengenai permohonan Penasihat Hukumuntuk dihadirkannya Hidang Jadi di depan sidang pengadilan tidak dikabulkan padahal menurut Penasihat HukumHidang Jadi adalah orang yang sangat penting dalam perkara ini, karena dari dialah awal mula munculnya atau diterimanya surat kaleng tersebut. c) Untuk memastikan SKYBS dengan STTB SMA yang diduga palsu harus ada asli sebagai pembanding atau dihadirkan saksi ahli yang berkompeten dalam menilai asli atau tidaknya suatu surat. d) Bukti pembanding yang diajukan Penuntut Umum datang dengan tiba – tiba di persidangan, hal tersebut harus dinilai sebagai bukti liar dan harus dinyatakan batal demi hukum. e) SKYBS dengan STTB SMA milik Terdakwa adalah merupakan Produk Pejabat Tata Usaha Negara yang berbentuk Keputusan Tata Usaha Negara, sehingga dengan demikian pengujian atas keabsahannya harus melalui mekanisme Peradilan Tata Usaha Negara sedangkan hingga sekarang belum ada putusan Tata Usaha Negara mengenai hal ini.
60
f)
Surat Kepala Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan Propinsi Jawa Timur No 423. 5 / 37 / 108 . 08 / 2004. tidak dapat diklasifikasikan sebagai keterangan ahli karena melanggar ketentuan Pasal133 KUHAP sedangkan sesuai dengan Pasal120 KUHAP Keterangan ahli harus diberikan di hadapan penyidik atau di depan persidangan di bawah sumpah, sehingga dengan demikian menurut Penasihat Hukum surat dari Kepala Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan Propinsi Jawa Timur tersebut hanyalah merupakan surat yang tidak memiliki pembuktian.
g) Tidak diingatnya nama sekolah dan teman sesama pengikut ujian, tidak dapat menjadi alasan untuk mengatakan Terdakwa bersalah mengenai pembuktian unsur – unsur delik menurut Penasihat Hukum tidak terbukti seluruhnya. Berdasarkan hal – hal tersebut di atas Penasihat Hukum mohon pada Majelis Hakim menjatuhkan putusan untuk membebaskan Terdakwa dari tuntutan Hukum atau setidak – tidaknya menyatakan Terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum. Penuntut Umum
dalam replik lisannya berpendirian tetap pada
tuntutannya dan Penasihat Hukum dalam duplik lisannya menyatakan tetap berpegang teguh pada pembelaannya.
61
BAB IV PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan apa yang diuraikan dalam bab hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat dirumuskan simpulan sebagai berikut : 1.
Penggunaan alat bukti surat (documentary evidence) dalam pembuktian perkara pemalsuan ijazah mengacu pada Pasal 184 ayat (1) huruf c KUHAP, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 187 KUHAP. Di dalam proses pemeriksaan tindak pidana pemalsuan ijazah di persidangan Pengadilan Negeri Madiun dengan terdakwa WISNU SUWARTO DEWO Bin SOMO SADI penyidik menggunakan alat bukti surat untuk mengungkap fakta dalam persidangan.
2.
Kekuatan alat bukti surat dalam pembuktian perkara pemalsuan ijazah berdasarkan Pasal 187 KUHAP, penjelasan Pasal 187 KUHAP yang menyatakan bahwa surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 (1) huruf c KUHAP dalam pembuktian perkara pemalsuan ijazah di persidangan Pengadilan Negeri Madiun adalah sah dan dapat dipertangungjawabkan. Melihat letak urutannya yaitu ketiga setelah keterangan saksi dan keterangan ahli maka alat bukti surat (documentary evidence) sebagai salah satu alat bukti yang penting. Hal tersebut merupakan suatu kemajuan dalam pembaruan hukum karena disadari pada massa perkembangan ilmu dan teknologi, alat bukti surat memegang peranan dalam penyelesaian kasus pidana.
B. Saran-Saran 1.
Penggunaan alat bukti surat sebagai alat bukti dalam perkara pidana sangat diperlukan karena keterbatasan ilmu serta daya ingat yang dimiliki oleh setiap orang, sehingga surat-surat sebagai salah satu bukti otentik sangatlah diperlukan. Dengan adanya surat-surat yang telah diakui secara
62
sah keasliannya diharapkan akan membantu dalam mengungkap perkara dalam persidangan. 2.
Untuk dapat mendukung penegakan hukum pembuktian,
alat
bukti
surat
harus
terutama dalam proses
benar-benar
dapat
diakui
keabsahannya dan dapat dipertanggungjawabkan, agar nantinya tidak menimbulkan permasalahan-permasalahan baru.
63
DAFTAR PUSTAKA
Andi Hamzah. 1996. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta : Sapta Arta Jaya. Bambang Poernomo. 1986. Pokok-pokok Tata Cara Peradilan Pidana. Yogyakarta : Liberty. Darwan Prinst. 1998. Hukum Acara Pidana Dalam Praktek. Jakarta : Djambatan. Djoko Prakoso. 1988. Alat Bukti Dan Kekuatan Pembuktian Dalam Proses Pidana. Yogyakarta : Liberty. Laden Marpaung. 1992. Proses Penanganan Perkara Pidana. Jakarta : Sinar Grafika. Lexi J Moleong. 1993. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rodakarya. Martiman Prodjohamijaya. 1983. Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti. Jakarta : Ghalia Indonesia. Moeljatno. 2005. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta: PT.Bumi Aksara. M. Yahya Harahap. 2000. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali). Jakarta : Sinar Grafika. R.Soesilo. 1993. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta KomentarKomentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : Universitas Indonesia (UI-Press). _______________. 2001. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press _______________. 2006. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah(DPD), Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah(DPRD).
64
Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. Yusuf
Aditya. Kebijakan (Legislatif) Hukum Pidana Dalam Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah Atau Gelar Kesarjanaan. http://one.indoskripsi.com/node/1207 diakses pada (9Februari 2010 pukul 13.35)
http://id.wikipedia.org/wiki/Pemalsuan 12.30)
`
diakses pada (17 Februari 2010 pukul