PENGATURAN PERSEKONGKOLAN TENDER DALAM UNDANGUNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN PENDEKATAN RULE OF REASON (Suatu Tinjauan Kelemahan Penegakan Hukum Oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha)
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh Erika Rovita Maharani NIM. E0006016
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi) PENGATURAN PERSEKONGKOLAN TENDER DALAM UNDANGUNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN PENDEKATAN RULE OF REASON (Suatu Tinjauan Kelemahan Penegakan Hukum Oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha) Oleh Erika Rovita Maharani NIM. E0006016
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, 5 April 2010 Dosen Pembimbing
Hernawan Hadi, S.H., M.Hum. NIP. 19600520 198601 1 001
PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi) PENGATURAN PERSEKONGKOLAN TENDER DALAM UNDANGUNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN PENDEKATAN RULE OF REASON (Suatu Tinjauan Kelemahan Penegakan Hukum Oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha) Oleh Erika Rovita Maharani NIM. E0006016 Telah diterima dan dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada : Hari
: Rabu
Tanggal
: 28 April 2010
DEWAN PENGUJI 1. Endang Mintorowati, S.H. ,M.H. :................................................................ Ketua 2. Diana Tantri C, S.H., M.Hum.
:.................................................................
Sekretaris 3.Hernawan Hadi, S.H., M.Hum.
:................................................................
Anggota Mengetahui Dekan,
Mohammad Jamin, S.H., M.Hum. NIP. 19610930 198601 1 001
ABSTRAK
Erika Rovita Maharani, E0006016. 2010. PENGATURAN PERSEKONGKOLAN TENDER DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN PENDEKATAN RULE OF REASON (Suatu Tinjauan Kelemahan Penegakan Hukum Oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah metode pendekatan rule of reason yang diterapkan dalam menangani persekongkolan tender sudah tepat baik peraturan maupun praktek karena peran Komisi Pengawas Persaingan Usaha sangat penting dalam penegakan persaingan usaha. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif bersifat preskriptif, menemukan hukum in concreto dalam hal pengaturan dalam undang-undang yang seharusnya lebih memudahkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha menangani perkara dan pihak-pihak yang terlibat dalam persekongkolan tender. Jenis data yang digunakan yaitu data sekunder. Sumber data sekunder yang digunakan mencakup bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan yaitu studi kepustakaan dan cyber media. Kemudian bahan hukum tersebut disesuaikan satu sama lain untuk memperoleh alur yang tepat dalam mengkaji pengaturan dan penegakan hukum terhadap persekongkolan tender yang selama ini sudah berlangsung. Analisis bahan hukum yang dilaksanakan dengan menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum yaitu pengaturan mengenai persekongkolan tender secara umum pada kasus individual konkret yang dihadapi oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha untuk dijadikan peristiwa hukum. Untuk menjawab permasalahan atas pengatura hukum yang ada, maka digunakan silogisme deduksi. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan, bahwa alasan yang mendasari dominasinya perkara persekongkolan tender adalah adanya celah dalam pengaturan undang-undang dengan pendekatan rule of reason dalam menegakkan persekongkolan tender secara praktek. Hal ini memberikan kesulitan kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha untuk melakukan penyelidikan dari taraf laporan atau monitoring sampai Sidang Majelis Komisi yang mana seharusnya tidak diperlukan ketika persekongkolan tender sudah mempunyai indikasi negatif. Indikasi negatif tersebut sudah ada pada hambatan memasuki persaingan (barrier to entry) ke pasar. Jadi, ketidakadilan pada dasarnya sudah terjadi pada kesempatan yang dibatasi terhadap pelaku usaha yang dirugikan serta adanya celah untuk melakukan korupsi karena hakekatnya persaingan fair banyak memberi manfaat terutama kesejahteraan rakyat. Kata kunci : Persekongkolan Tender, Rule of Reason.
ABSTRACT
Erika Rovita Maharani, E0006016. 2010. THE REGULATION OF TENDER CONSPIRACY IN THE ACT NO. 5 OF 1999 CONCERNING PROHIBITION OF MONOPOLISTIC PRACTICES AND UNFAIR BUSINESS COMPETITIONABOUT THE RULE OF REASON APPROACH (A Review On The Weakness Of Law Enforcement By The Commission for the Supervision of Business Competition). Law Faculty of Sebelas Maret University. This research aims to find out the rule of reason approach method applied in handling the tender conspiracy has been appropriate, either the regulation or practice, because the role of The Commission for the Supervision of Business Competition is very important in the business competition enforcement. This study belongs to a normative law research that is prescriptive in nature finding the law in concreto in the term of regulation in the act facilitates the The Commission for the Supervision of Business Competition in coping with the case and parties involved in tender conspiracy. The type of data employed was secondary data. The data secondary source employed included primary and secondary law materials. Technique of collecting law material employed was literary study and cyber media. Then, those law materials are adjusted each other for obtaining the proper flow in studying law regulation and enforcement over the tender conspiracy proceeding so far. An analysis on law material implemented by drawing conclusion from the general thing, namely, the regulation of tender conspiracy in the individual concrete case encountered by The Commission for the Supervision of Business Competition for becoming the law event. In order to answer the problem of law regulation existing, the deduction syllogism was used. Considering the result of research and discussion, it can be concluded, that the premise of tender conspiracy case dominance is the niche in the law and regulation using rule of reason approach by enforcing the tender conspiracy practically. It makes The Commission for the Supervision of Business Competition difficult in undertaking the investigation from the reporting or monitoring stage to Commission Chamber Trial that is not necessary when the tender conspiracy has had negative indication. The negative indication has resided in the barrier to entry the market. So, injustice has basically occurred in the opportunity limited to the disadvantageous businessmen as well as the presence of niche to undertake the corruption because the fair competition essentially gives considerable benefits, particularly to the people’s well-fare. Keywords: Tender conspiracy, rule of reason.
PERNYATAAN
Nama
: Erika Rovita Maharani
NIM
: E0006016
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum(skripsi) berjudul : PENGATURAN PERSEKONGKOLAN TENDER DALAM UNDANGUNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN PENDEKATAN
RULE
OF
REASON
(Suatu
Tinjauan
Kelemahan
Penegakan Hukum Oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha) adalah betulbetul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, 5 April 2010 Yang membuat pernyataan,
Erika Rovita Maharani NIM. E0006016
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat ALLAH SWT yang telah melimpahkan rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) dalam rangka memenuhi persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana. Penulisan hukum ini membahas mengenai pengaturan persekongkolan tender yang terdapat dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 beserta penerapan terhadap penegakannya oleh KPPU. Pada kesempatan ini dengan rendah hati penulis bermaksud menyampaikan ucapan terimakasih kepada segenap pihak yang telah memberi bantuan, dukungan serta pertolongan baik berupa materiil maupu imateriil selama penyusunan penulisan hukum ini terutama kepada : 1.
ALLAH SWT yang senantiasa menjaga dan melindungi penulis dalam setiap langkah dan mencari ridho-Nya.
2.
Nabi Muhammad SAW junjungan dan suri tauladan yang baik untuk penulis dalam menjalani kehidupan.
3.
Ibunda, ayahanda serta ketiga adik tersayang yang menjadi sumber inspirasi, kebanggaan dan pengabdian diri penulis.
4.
Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
5.
Bapak Prof. Dr. Jamal Wiwoho, S.H., M.Hum. selaku Pembimbing Akademik penulis.
6.
Ibu Ambar Budi Sulistyowati, S.H.,M.Hum. selaku Ketua Bagian Hukum Perdata.
7.
Bapak Hernawan Hadi, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing Penulisan Hukum (Skripsi).
8.
Sahabat tercintaku di Fakultas Hukum UNS Dian Rachma Fitria, Erlina Septiyaningrum, Hanifah Endah Setyowati dan Pratami Wahyudya Ningsih. Terimakasih untuk persahabatan dan persaudaraan yang indah dan penuh motivasi.
9.
Kelompok Studi dan Penelitian (KSP) Principium rumah kedua penulis di bangku perkuliahan. Terimakasih untuk ilmu, pengalaman, kekeluargaan dan semangatnya. We are Principiumer’s (Be Smart Of Course) berikut pembimbingnya Bapak Muhammad Rustamadji, S.H., M.H. yang membimbing penulis sejak semester awal perkuliahan.
10.
Segenap keluarga besar trah eyang Harto Wiyono, Karso Wijoyo, Suryodi Kromo atas doa dan nasehat-nasehatnya.
11.
Teman-teman seperjuangan angkatan 2006 yang begitu menjaga solidaritas spesial Arshinta Puspitasari, Harris Fadillah Wildan, Andria Luhur Prakoso, Megawati Attiyatunajah.
12.
Kakak-kakak tersayang di KSP Principium Mas Arif, Mas Aji, Mbak Recca, Mbak Aci, Mbak Fitri, Mas Andi Rahman, dan terkhusus Mbak Lia atas data-data dari KPPU serta adik-adik tersayang, Yuni, Yovi, Ariyani, Gatot, Lili, Citra, Benny, Trisna, Helena, Ardhani, Iffa, dan teman-teman lainya, jaga KSP kita.
13.
Teman-teman dunia maya khususnya teman SD, SMP, SMA dan kuliah atas semangat perjuangannya.
14.
Seluruh civitas akademika Fakultas Hukum UNS, mari wujudkan profesional dan bermoral.
15.
Pihak-pihak yang memberi bantuan baik langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini masih jauh dari kesempurnaan,
untuk itu penulis berharap saran dan kritik dari para pembaca. Akhirnya penulis berharap penulisan ini mampu memberikan suatu manfaat bagi kita semua.
Surakarta, 5 April 2010
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................ i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING......................................................ii HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI...............................................................iii HALAMAN PERNYATAAN............................................................................... iv ABSTRAK.............................................................................................................. v KATA PENGANTAR...........................................................................................vii DAFTAR ISI...........................................................................................................ix DAFTAR TABEL...................................................................................................xi DAFTAR BAGAN................................................................................................xii DAFTAR GRAFIK...............................................................................................xiii BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah..........................................................................1 B. Rumusan Masalah...................................................................................9 C. Tujuan Penelitian.....................................................................................9 D. Manfaat Penelitian.................................................................................10 E. Metode Penelitian..................................................................................10 F. Sistematika Penulisan Hukum...............................................................14 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori......................................................................................16 1. Tinjauan Umum tentang Persekongkolan Tender........................16 2. Tinjauan Umum tentang Pendekatan Hukum Persaingan Usaha.23 3. Tinjauan Umum tentang Penegakan Hukum...............................26 4. Tinjauan Umum tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha....33 B. Kerangka Pemikiran..............................................................................37
BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pengaturan Persekongkolan Tender dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dengan Pendekatan Rule of Reason..................................39 B. Kelemahan Penegakan Hukum oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam Persekongkolan Tender dengan Pendekatan Rule of Reason...................................................................................................50 BAB IV. PENUTUP A. Simpulan................................................................................................87 B. Saran......................................................................................................88 DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Kategori Tindakan yang Dilarang Undang-Undang..................................4 Tabel 2. Perbandingan Putusan KPPU.....................................................................6 Tabel 3. Perkara yang ditangani.............................................................................75 Tabel 4. Putusan yang dijatuhkan..........................................................................76
DAFTAR BAGAN
Bagan 1. Persekongkolan Horizontal.....................................................................21 Bagan 2. Persekongkolan Vertikal.........................................................................22 Bagan 3. Persekongkolan Horizontal dan Vertikal................................................23 Bagan 4. Pendekatan Per se Illegal........................................................................26 Bagan 5. Pendekatan Rule of Reason.....................................................................26 Bagan 6. Kerangka Pemikiran................................................................................37 Bagan 7. Tata Cara Penanganan Perkara...............................................................56
DAFTAR GRAFIK
Grafik 1. Laporan Perkara Masuk..........................................................................74 Grafik 2. Variasi Dugaan Pelanggaran...................................................................77
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disingkat UndangUndang No. 5 Tahun 1999) perlu disambut secara positif karena sebelumnya praktek monopoli oleh perusahaan-perusahaan besar seakan-akan berlangsung tanpa aturan. Di masa pemerintahan Orde Baru Soeharto misalnya, di masa itu sangat banyak terjadi monopoli, oligopoli dan perbuatan lain yang menjurus kepada persaingan curang. Misalnya monopoli tepung terigu, monopoli cengkeh, monopoli jeruk di Kalimantan, monopoli pengedaran film dan masih banyak lagi. Bahkan dapat dikatakan bahwa keberhasilan beberapa konglomerat besar di Indonesia juga bermula dari tindakan monopoli dan persaingan curang lainnya yang dibiarkan saja bahkan didorong oleh pemerintah kala itu. Karena itu tidak mengherankan jika cukup banyak para praktisi maupun teoretisi hukum dan ekonomi kala itu yang menyerukan agar segera dibuat sebuah Undang-Undang Anti Monopoli. Seruan-seruan tersebut terasa tidak bergeming sampai dengan lengsernya rezim mantan Presiden Soeharto, di mana baru di masa reformasi tersebut diundangkan sebuah Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 (Munir Fuady, 2002: 41). Undang-Undang ini menumbuhkan harapan atas persamaan hak berusaha dan persaingan yang fair. Usaha untuk menegakkan hukum di bidang anti monopoli ini merupakan conditio sine qua non menuju perkembangan usaha atau bisnis yang semakin pesat. Sutan
Remy Sjahdeini
mengemukakan
beberapa
alasan
yang
menyebabkan Undang-undang Persaingan Usaha untuk lahir pada masa Orde Baru, yaitu antara lain : Pertama, adalah karena pemerintah menganut konsep bahwa perusahaan-perusahaan besar perlu ditumbuhkan untuk berfungsi menjadi lokomotif pembangunan apabila perusahaan-perusahaan tersebut diberikan perlakuan khusus. Perlakuan khusus itu ada dalam bentuk proteksi
yang dapat menghalangi perusahaan lain dalam bidang usaha tersebut atau dengan kata lain memberikan posisi monopoli. Kedua, adalah pemberian fasilitas monopoli perlu ditempuh karena perusahaan itu telah bersedia menjadi pioner di sektor yang bersangkutan. Tanpa fasilitas monopoli dan proteksi, sulit bagi pemerintah untuk mendapatkan kesediaan insvestor menanamkan modal disektor tersebut. Ketiga, adalah untuk menjaga berlangsungnya praktek KKN demi kepentingan kroni-kroni mantan presiden Soeharto dan pejabatpejabat yang berkuasa pada waktu itu ( Ditha Wiradiputra, 2004: 8-9). Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat serta merta membuat orang yang bergerak di bidang hukum dan bisnis merasa sedikit lega, karena yang dinanti-nanti selama beberapa dasawarsa akhirnya terwujud juga. Hal ini tentunya tidak terlepas dari semangat reformasi yang sedang melanda Indonesia saat undang-undang tersebut dibuat dan diundangkan. Akan tetapi kegembiraan atas undangundang tersebut patut ditahan dulu sebab pembuatan undang-undang adalah suatu hal. Sedangkan pelaksanaan dari undang-undang tersebut (law enforcement) merupakan hal lain lagi yang membutuhkan perjuangan tidak mudah. Hukum persaingan dalam hukum ekonomi lebih mencerminkan ideologi atau filsafat suatu perekonomian. Hukum ini merupakan filsafat perekonomian yang sekarang diterima secara meluas di seluruh dunia yang merupakan pendukung utama sistem perencanaan perekonomian pusat. Filsafat berbunyi : “banyak orang yang memberi argumentasi bahwa persaingan yang hidup menurunkan harga barang dan meningkatkan pengalokasian sumber daya secara efisien. Persaingan juga membatasi kekuasaan bisnis dalam suatu pasar yang bersaing, orang tidak dapat mengambil keuntungan dari orang dengan siapa mengadakan transaksi. Bila seorang penjual menetapkan harga yang terlalu tinggi untuk perangkat barangnya, pembeli dapat membeli barang tersebut dari orang lain. Banyak orang menganggap alternatif ini memberikan hasil yang lebih adil daripada keputusan yang dibuat pemerintah tentang apa dan berapa banyak yang harus diproduksi. Secara beralasan persaingan juga membantu bisnis kecil dan membuka
peluang bagi setiap orang dan untuk mendistribusikan uang ke seluruh lapisan masyarakat dan bukan hanya pada segelintir orang kuat saja” Oleh karena itu, hukum persaingan mempunyai relevansi yang kuat dengan hukum ekonomi dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat juga (John W. Head, 1997: 9). Kelahiran Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan yang sama kepada setiap pelaku usaha dalam berusaha, dengan cara mencegah timbulnya praktekpraktek monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat lainnya dengan harapan dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif, dimana setiap pelaku usaha dapat bersaing secara wajar dan sehat. Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat membuat tiga kategori tindakan-tindakan yang dilarang, yaitu perjanjian yang dilarang (Bab III), kegiatan yang dilarang (Bab IV) dan posisi dominan (Bab V). Di dalam kategori perjanjian yang dilarang ditentukan ada sepuluh tindakan yang tidak boleh dilakukan oleh pelaku usaha, sedangkan untuk kategori kegiatan yang dilarang dan posisi dominan masing-masing ditentukan ada empat atau tiga tindakan yang tidak diperbolehkan. Dua kategori yang pertama (perjanjian yang dilarang dan kegiatan yang dilarang) tampak lebih ditekankan pada pengaturan perilaku (behavior) yang mengarah pada akibat yang
tidak
dikehendaki,
sedangkan
kategori
posisi
dominan
lebih
dititikberatkan pada larangan penggunaan struktur tertentu (posisi dominan) untuk bersaing secara tidak fair (Arie Siswanto, 2002: 81). Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang jelas maksudnya untuk melarang praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, dapat digambarkan secara umum seperti berikut:
Kategori No.
Tindakan yang
Jenis-jenis
Pendekatan
dilarang 1.
Perjanjian yang
Pasal 4 : Oligopoli
Rule of Reason
dilarang
Pasal 5-Pasal 8 : Penetapan
(Bab III)
Harga
Per se Illegal
Pasal 9 : Pembagian
Rule of Reason
Wilayah Pasal 10 : Pemboikotan
Per se Illegal
Pasal 11 : Kartel
Rule of Reason
Pasal 12 : Trust
Rule of Reason
Pasal 13 : Oligopsoni
Rule of Reason
Pasal 14 : Integrasi Vertikal
Rule of Reason
Pasal 15 : Perjanjian Tertutup
Per se Illegal
Pasal 16 : Perjanjian dengan
2.
3.
Luar Negeri
Rule of Reason
Kegiatan yang
Pasal 17 : Monopoli
Rule of Reason
dilarang
Pasal 18 : Monopsoni
Rule of Reason
(Bab IV)
Pasal 19 – Pasal 21 : Penguasaan Pasar
Rule of Reason
Pasal 22 – Pasal 24 :
Rule of Reason &
Persekongkolan
Per se Illegal
Posisi Dominan
Pasal 25 : Umum
Per se Illegal
(Bab V)
Pasal 26 : Jabatan Rangkap
Rule of Reason
Pasal 27 : Pemilikan Saham
Per se Illegal
Pasal 28 : Penggabungan, peleburan, pengambilalihan
Rule of Reason
Tabel 1. Kategori Tindakan yang dilarang UU No. 5 Tahun 1999
Salah satu bagian kegiatan yang dilarang adalah ketentuan yang mengatur mengenai
persekongkolan.
Persekongkolan
itu
sendiri
mencakup
persekongkolan untuk mengatur atau menentukan pemenang tender atau tindakan bidrigging, mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaing yang dapat diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan, menghambat produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan tujuan agar barang dan atau jasa itu berkurang kualitas maupun kuantitasnya serta terganggunya ketepatan waktu yang dipersyaratkan. Dan salah satu substansi dari kegiatan persekongkolan itu adalah persekongkolan tender yang diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dan merupakan ketentuan yang lebih khusus sifatnya dalam rangka menciptakan iklim usaha yang kondusif guna mendukung dan menumbuh kembangkan kegiatan penyediaan barang dan atau jasa yang berkualitas serta harga yang bersaing di tanah air. Persekongkolan tender menjadi salah satu substansi yang menarik untuk diteliti karena sebagian besar kasus yang ditangani oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah praktek persekongkolan tender. Pengadaan barang dan jasa pemerintah merupakan bagian yang paling banyak dijangkiti oleh korupsi, kolusi, dan nepotisme. Penyakit ini sangat merugikan keuangan negara, sekaligus dapat berakibat menurunnya kualitas pelayanan publik dan berkurangnya jumlah pelayanan yang seharusnya diberikan pemerintah kepada masyarakat. Tidak heran kalau begawan ekonomi, Sumitro Djojohadikusumo, mengidentifikasi adanya kebocoran 30%-50% pada dana pengadaan barang dan jasa pemerintah. Indikasi kebocoran dapat dilihat dari banyaknya proyek pemerintah yang tidak tepat waktu, tidak tepat sasaran, tidak tepat kualitas, dan tidak efisien. Akibatnya banyak alat yang dibeli tidak bisa dipakai, ambruknya bangunan gedung dan pendeknya umur konstruksi jalan raya karena banyak proyek pemerintah yang masa pakainya hanya mencapai 30-40% dari seharusnya akibat tidak sesuai atau lebih rendah dari ketentuan yang telah ditetapkan dalam spesifikasi teknis.
Berdasarkan jumlah perkara yang ditangani oleh KPPU sejak tahun 2000 hingga saat ini, sebagian besar masih didominasi oleh kasus tender yakni sebesar 70%.
Putusan
Tahun
Tender
Non Tender
2000
1
1
2001
3
1
2002
1
3
2003
1
6
2004
3
4
2005
10
8
2006
8
4
2007
22
4
2008
34
6
2009
0
0
TOTAL
83
38
Tabel 2. Perbandingan Putusan KPPU Temuan yang diperoleh KPPU bahwa persekongkolan dalam tender sudah terjadi semenjak perencanaan pengadaan yaitu tahap awal dalam kegiatan pengadaan
barang
dan
jasa
pemerintah.
Perencanaan
pengadaan
mencantumkan secara rinci mengenai target, lingkup kerja, SDM, waktu, mutu, biaya dan manfaat yang akan menjadi acuan utama dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pemerintah dalam bentuk paket pekerjaan yang dibiayai
dari
dana
APBN/APBD
maupun
Bantuan
Luar
Negeri.
Persekongkolan bisa terjadi antara pelaku usaha dengan sesama pelaku usaha (penyedia barang dan jasa pesaing) yaitu dengan menciptakan persaingan semu diantara peserta tender. Ini lebih dikenal dengan tender arisan dimana
pemenangnya sudah ditentukan terlebih dahulu. Persekongkolan juga dapat terjadi antara satu atau beberapa pelaku usaha dengan panitia tender atau panitia lelang misalnya rencana pengadaan yang diarahkan untuk pelaku usaha tertentu dengan menentukan persyaratan kualifikasi dan spesifikasi teknis yang mengarah pada suatu merek sehingga menghambat pelaku usaha lain untuk ikut tender. Akibatnya kompetisi untuk memperoleh penawaran harga yang paling menguntungkan tidak terjadi. Pemaketan pengadaan yang seharusnya dilaksanakan dengan mempertimbangkan aspek efisiensi dan efektifitas, namun pada prakteknya banyak yang direkayasa untuk kepentingan KKN. Panitia pengadaan bekerja secara tertutup dan tidak memberikan perlakuan yang sama diantara para peserta tender. Tender dilakukan hanya untuk memenuhi persyaratan formal sesuai dengan ketentuan pengadaan barang dan jasa. Hal ini terjadi karena calon pemenang biasanya sudah ditunjuk terlebih dahulu pada saat tender berlangsung yaitu karena adanya unsur suap kepada panitia atau pejabat yang mempunyai pengaruh. Disamping itu penentuan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) atau owner’s estimate (OE) biasanya sudah direkayasa untuk mempunyai margin tertentu yang bisa disisihkan untuk dibagi-bagi (rente ekonomi atau laba abnormal). Bermacam-macam cara digunakan untuk membatasi informasi tender, diantaranya memasang iklan palsu di Koran. Padahal hal inilah yang merangsang terjadinya mark-up dan korupsi ((Nuzul Qur’aini Madya, 2009: 8-9). Pemerintah dalam pengadaan barang dan jasa haruslah terbuka, transparan dan tidak diskriminatif, karena menyembunyikan proyek melanggar Keppres Nomor 80 Tahun 2003 yang mensyaratkan adanya pengumuman kepada masyarakat luas baik di awal pengadaan maupun hasil akhirnya. Penegakan hukum yang dilakukan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terhadap praktek persekongkolan tender adalah dengan menggunakan pendekatan rule of reason. Secara eksplisit dalam UndangUndang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat tidak menyebutkan prinsip rule of reason dan per se illegal.
Penafsiran yang dilakukan oleh KPPU untuk menentukan suatu perjanjian atau kegiatan yang dilarang termasuk dalam kategori rule of reason dan per se illegal didasarkan pada analisis redaksional atau kalimat yang terdapat dalam setiap pasal dari undang-undang. Hal tersebut nampak ketika membandingkan diantara pasal-pasal tertentu yang termasuk dalam kategori rule of reason maupun per se illegal. Bahwa penafsiran yang dilakukan KPPU dalam hal menentukan suatu perbuatan (perjanjian atau kegiatan) yang dilarang didasarkan pada: a.
Perjanjian atau kegiatan yang dilarang ditentukan sebagai rule of reason apabila karakterisitik bunyi pasal mempunyai tujuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
b.
Sedangkan dalam perjanjian atau kegiatan yang dilarang yang termasuk kategori per se illegal ditentukan sebagai perbuatan (perjanjian dan kegiatan) yang dilarang dan tujuan dari perbuatan tersebut tanpa memperhatikan akibat yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut. Dengan demikian maka terhadap perbuatan tersebut dapat dinyatakan melanggar hukum (prinsip per se illegal).
Mengkaji dari sisi pengertiannya rule of reason yang mempunyai karakteristik “mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat” dalam praktek terhadap persekongkolan tender akan sangat menyulitkan KPPU sendiri. Pembuktian yang sulit terdapat pada risiko persekongkolan tender terhadap kerugian. Oleh karena itu, penulis mengangkat
prinsip
persekongkolan
pendekatan
tender
PERSEKONGKOLAN
dalam
rule
of
penulisan
TENDER
reason berjudul
DALAM
dalam
menangani
“PENGATURAN
UNDANG-UNDANG
NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN PENDEKATAN RULE OF REASON (Suatu Tinjauan Kelemahan Penegakan Hukum Oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha)”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, penulis merumuskan permasalahan yang akan dibahas adalah 1.
Apakah pengaturan persekongkolan tender dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dengan pendekatan rule of reason sudah tepat?
2.
Apakah kelemahan penegakan hukum yang dilakukan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terhadap persekongkolan tender dengan pendekatan rule of reason?
C. Tujuan Penelitian Dalam suatu penelitian pada dasarnya memiliki suatu tujuan tertentu yang hendak dicapai. Tujuan penelitian juga harus jelas sehingga dapat memberikan arah dalam pelaksanaan penelitian tersebut. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Tujuan Obyektif a.
Untuk mengetahui pengaturan persekongkolan tender dalam UndangUndang No. 5 Tahun 1999 dengan pendekatan rule of reason sudah tepat atau belum.
b.
Untuk mengetahui kelemahan penegakan hukum yang dilakukan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terhadap persekongkolan tender dengan pendekatan rule of reason.
2. Tujuan Subyektif a. Memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar kesarjanaan dalam program studi ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
b. Untuk memperluas wawasan, pengetahuan dan kemampuan penulis dalam mengkaji masalah di bidang hukum perdata khususnya hukum bisnis dan persaingan usaha.
D. Manfaat Penelitian Penulis berharap bahwa kegiatan penelitian dalam penulisan hukum ini akan bermanfaat bagi penulis maupun orang lain. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan hukum ini antara lain: 1. Manfaat Teoritis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya dan hukum persaingan usaha pada khususnya. b. Menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang berwenang dalam penegakan persaingan usaha dan sebagai referensi keilmiahan. 2. Manfaat Praktis a. Untuk memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti. b. Untuk mengembangkan penalaran dan membentuk pola pikir dinamis sekaligus mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.
E. Metode Penelitian Penelitian hukum dimulai dengan melakukan penelusuran terhadap bahanbahan hukum sebagai dasar untuk membuat suatu keputusan hukum (legal decision making) terhadap kasus-kasus hukum yang konkret. Pada sisi lainnya, penelitian hukum juga merupakan kegiatan ilmiah untuk memberikan refleksi dan penilaian terhadap keputusan-keputusan hukum yang telah dibuat terhadap kasus-kasus hukum yang pernah terjadi atau akan terjadi (Johnny Ibrahim, 2006: 299). Metode penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Metode penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Logika keilmuan yang ajeg, dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri (Johnny Ibrahim, 2006: 57). Sebagai konsekuensi pemilihan topik permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian yang objeknya adalah permasalahan hukum, maka tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif, yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif (Johnny Ibrahim, 2006: 295). 2. Sifat Penelitian Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan (Peter Mahmud Marzuki, 2009: 22). Dari hasil telaah dapat dibuat opini atau pendapat hukum. Opini atau pendapat hukum yang dikemukakan oleh ahli hukum merupakan suatu preskipsi. Begitu juga tuntutan jaksa, petitum atau eksepsi dalam pokok perkara di litigasi berisi preskripsi. Untuk dapat memberikan preskripsi itulah guna praktik penelitian hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2009: 37). Berdasarkan definisi tersebut karakter preskriptif akan dikaji pada penegakan hukum terhadap persekongkolan tender melalui pendekatan rule of reason yang diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. 3. Pendekatan Penelitian Pendekatan
penelitian
yang
digunakan
adalah
pendekatan
perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Suatu penelitian hukum normatif tentu harus menggunakan pendekatan perundang-undangan karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi
fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian (Johnny Ibrahim, 2006: 302). Dalam penelitian ini, pendekatan perundang-undangan dilakukan terhadap Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Konsep dalam pengertian yang relevan adalah unsur-unsur abstrak yang mewakili kelas-kelas fenomena dalam bidang studi yang kadangkala menunjuk pada hal-hal universal yang diabstrasikan dari hal-hal yang partikular dan fungsi dari konsep itu sendiri ialah memunculkan objek-objek yang menarik perhatian dari sudut pandangan praktis dan sudut pengetahuan dalam pikiran dan atribut-atibut tertentu (Johnny Ibrahim, 2006: 306). Konsep-konsep yang digunakan adalah konsep tentang penegakan hukum terkhusus dalam persaingan usaha. 4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum Dalam penelitian hukum tidak mengenal adanya data, yang ada dalam penelitian hukum adalah bahan hukum. Bahan hukum terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer yakni bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundang-undangan berdasarkan hierarkinya. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas buku-buku teks (textbooks) yang ditulis oleh para ahli hukum yang berpengaruh (de herseende leer), jurnaljurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan hasil-hasil simposium mutakhir yang berkaitan dengan topik penelitian. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum, encyclopedia, dan lain-lain (Johnny Ibrahim, 2006: 295-296). Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun
2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, dan Peraturan KPPU Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah jurnal, buku, artikel internet dan artikel media massa. 5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini adalah menggunakan teknik studi pustaka. Pengumpulan bahan hukum primer, dan bahan hukum sekunder diinventarisasi dan diklasiikasi dengan menyesuaikan masalah yang dibahas. Bahan hukum yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dipaparkan, disistematisasi, kemudian dianalisis untuk menginterpretasikan hukum yang berlaku (Johnny Ibrahim, 2006: 296). 6. Teknik Analisis Bahan Hukum Teknik analisis yang digunakan adalah metode penalaran hukum. Metode penalaran hukum adalah kegiatan penalaran ilmiah terhadap bahan-bahan hukum yang dianalisis dapat menggunakan penalaran deduksi, induksi dan abduksi. Metode ini menitikberatkan pada logika, logika mengajarkan segala sesuatu yang diperlukan untuk menghindarkan kesalahan dalam rangka mencapai kebenaran, namun ia belum mengajarkan kebenaran materi pemikiran. Penalaran deduktif digunakan untuk menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi kasus yang individual, penalaran ini bertolak dari aturan hukum yang berlaku umum pada kasus individual konkret yang dihadapi. Penalaran induktif dengan merumuskan fakta, mencari hubungan sebab akibat, serta mengembangkan penalaran berdasarkan kasus-kasus terdahulu yang telah diputus kemudian membandingkan kasus faktual yang dihadapi yang menghasilkan temuan dan kesimpulan. Sedangkan penalaran abduktif adalah penalarn hukum yang mengandung unsur induksi dan deduksi
secara bersamaan (Johnny Ibrahim, 2006: 249-251). Dalam penelitian ini, analisis bahan hukum yang digunakan adalah penalaran deduktif.
F. Sistematika Penulisan Hukum Penulisan hukum ini terdiri dari empat bab, yaitu pendahuluan, tinjauan pustaka, pembahasan dan penutup, serta daftar pustaka dan lampiran. Adapun susunannya adalah sebagai berikut: BAB I. PENDAHULUAN Pada bab ini penulis mengemukakan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum. BAB II. TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini penulis memaparkan landasan teori dari para pakar maupun doktrin hukum berdasarkan literatur yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Landasan teoritik tersebut meliputi tinjauan umum mengenai persekongkolan tender, pendekatan hukum persaingan usaha, penegakan hukum, dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada bab ini penulis menguraikan mengenai pembahasan dan hasil yang diperoleh dari proses meneliti. Berdasarkan rumusan masalah yang diteliti, terdapat dua pokok permasalahan yang dibahas dalam bab ini yaitu apakah pengaturan persekongkolan tender dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dengan pendekatan rule of reason sudah tepat dan apakah kelemahan penegakan hukum yang dilakukan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terhadap persekongkolan tender dengan pendekatan rule of reason.
BAB IV. PENUTUP Pada bab ini penulis menguraikan mengenai simpulan yang dapat diperoleh dari kesimpulan hasil pembahasan dan proses meneliti, serta saran-saran yang dapat penulis kemukakan pada para pihak yang terkait dengan bahasan penulisan hukum. DAFTAR PUSTAKA
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum tentang Persekongkolaan Tender Persekongkolan Tender diatur pada Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,“ pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat”. a. Pengertian Persekongkolan Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 memberikan definisi persekongkolan atau konspirasi adalah bentuk kerja sama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol. Persekongkolan selalu melibatkan dua pihak atau lebih untuk melakukan kerjasama. Pembentuk Undang-undang memberikan tujuan persekongkolan secara limitatif untuk menguasai pasar bagi kepentingan pihak-pihak yang bersekongkol. Penguasaan pasar merupakan perbuatan yang diantisipasi dalam persekongkolan termasuk dalam
tender.
Kiranya
sulit
untuk
menentukan
bahwa
dalam
persekongkolan (tender) mengarah pada penguasaan pasar apabila mengacu pada pengertian pasar pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yaitu lembaga ekonomi dimana para pembeli dan penjual baik secara langsung maupun tidak langsung dapat melakukan transaksi perdagangan barang/jasa. Menurut Black’ Law Dictionary (1968:382) mendefinisikan persekongkolan (conspiracy), a combination or confederacy between two or persons formed for the purpose of committing, by their joint efforts, some unlawful or criminal act, or some act which is innocent in itself, but
becomes unlawful when done concerted action of the conspirators, or for the purpose of using criminal or unlawful means to the commission of an act not in it self unlawful. Definisi diatas menegaskan bahwa persekongkolan harus dilakukan oleh dua pihak atau lebih yang bertujuan untuk melakukan tindakan/kegiatan bersama (joint efforts) suatu perilaku kriminal atau melawan hukum. Terdapat dua unsur persekongkolan yaitu pertama, adanya dua pihak atau lebih secara bersama-sama (in concert) melakukan perbuatan tertentu dan kedua, perbuatan yang disekongkolkan merupakan perbuatan yang melawan atau melanggar hukum (Yakub Adi Krisanto, 2002: 105). Yang perlu digaris bawahi adalah pertama, bahwa terjadi persekongkolan apabila ada tindakan bersama yang melawan hukum. Kedua, suatu tindakan apabila dilakukan oleh satu pihak maka bukan merupakan perbuatan melawan hukum (unlawful) tetapi ketika dilakukan bersama (concerted action) merupakan perbuatan melawan hukum. Berkaitan dengan definisi persekongkolan muncul permasalahan yaitu apabila terjadi kerjasama antara dua pelaku usaha, tetapi yang melakukan perbuatan hanya salah satu pihak dari pihak yang bekerjasama. Padahal dengan melakukan sendirian suatu perbuatan pihak tersebut dapat menguasai pasar atau mempengaruhi proses tender. Apakah situasi demikian dapat dikatakan telah terjadi persekongkolan?. Situasi tersebut sangat mungkin terjadi dalam pelaksanaan tender karena kerjasama yang dibangun dilakukan tidak pada saat proses tender berlangsung. Sehingga pada saat tender, salah satu pihak mengikuti proses tender dan dapat menguasai pasar karena kekuatan modal atau pengaruh pada pasar tertentu. Salah satu indikator terjadi persekongkolan yaitu apakah terdapat tujuan untuk menguasai pasar ketika melakukan kerjasama. b. Pengertian Tender Penjelasan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mengatur
bahwa “ tender adalah tawaran mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan untuk mengadakan barang-barang atau untuk menyediakan jasa”. Dalam hal ini tidak disebut jumlah yang mengajukan penawaran (oleh beberapa atau oleh satu pelaku usaha dalam hal penunjukan atau pemilihan langsung). Pengertian tender dalam tersebut mencakup tawaran mengajukan harga untuk: a) memborong atau melaksanakan suatu pekerjaan. b) mengadakan barang dan atau jasa. c) membeli suatu barang dan atau jasa. d) menjual suatu barang dan atau jasa. Berdasarkan definisi tersebut, maka cakupan dari penerapan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah tender atau tawaran mengajukan harga yang dapat dilakukan melalui: a) tender terbuka, b) tender terbatas, c) pelelangan umum, d) pelelangan terbatas (KPPU, 2006: 7).
Pengertian tender termasuk dalam ruang lingkup tender antara lain pertama, tawaran mengajukan harga (terendah) untuk memborong suatu pekerjaan.
Kedua,
tawaran
mengajukan
harga
(terendah)
untuk
mengadakan barang-barang. Ketiga, tawaran mengajukan harga (terendah) untuk menyediakan jasa. Terdapat tiga terminologi berbeda untuk menjelaskan pengertian tender yaitu pemborongan, pengadaan, dan penyediaan. Tiga terminologi tersebut menjadi pengertian dasar dari tender, artinya dalam tender suatu pekerjaan meliputi pemborongan, pengadaan, dan penyediaan. Suatu pekerjaan/proyek ditenderkan maka pelaku usaha yang menang dalam proses tender akan memborong, mengadakan atau menyediakan barang/jasa yang dikehendaki oleh pemilik
pekerjaan kecuali ditentukan lain dalam perjanjian antara pemenang tender dengan pemilik pekerjaan (Yakub Adi Krisanto, 2005: 40-50). Para pihak dalam tender terdiri dari pemilik pekerjaan/proyek yang melakukan tender dan pelaku usaha yang ingin melaksanakan proyek yang ditenderkan (peserta tender). Tender yang bertujuan untuk memperoleh pemenang tender dalam suatu iklim tender yang kompetitif harus terdiri dari dua atau lebih pelaku usaha peserta tender. Dua atau lebih pelaku usaha akan berkompetisi dalam mengajukan harga dari suatu proyek yang ditawarkan, sehingga apabila peserta tender hanya satu maka pilihan pemilik pekerjaan menjadi lebih terbatas. Keterbatasan pilihan sangat tidak menguntungkan bagi pemilik pekerjaan karena ide dasar dari pelaksanaan tender adalah mendapatkan harga terendah dengan kualitas terbaik. Sehingga dengan keberadaan lebih dari dua peserta tender akan terjadi persaingan dalam pengajuan harga untuk memborong, mengadakan atau menyediakan barang/jasa.
c. Pengertian Persekongkolan Tender Persekongkolan tender adalah perbuatan pelaku usaha yang melakukan kerjasama dengan pelaku usaha lain untuk menguasai pasar dengan cara mengatur dan/atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat. Sacker dan Lohse mengatakan bahwa konspirasi (persekongkolan) tender adalah hambatan persaingan
yang
dilakukan
apabila
hasil
pengumuman
tender
menguntungkan salah satu peserta tender.
United
Nations
Conference
on
Trade
and
Development
(UNCTAD) menyatakan bahwa persekongkolan tender terjadi dalam berbagai bentuk, yaitu perjanjian yang menentukan siapa yang mengajukan penawaran termurah, perjanjian mengenai cover bid (penawaran secara sukarela terlalu mahal), perjanjian tidak akan bersaing satu sama lain dalam mengajukan penawaran, perjanjian standar umum
untuk menentukan harga atau kondisi tender, perjanjian ‘memeras’ peserta tender luar, perjanjian yang sebelumnya mengatur pemenang tender atas dasar rotasi, atau alokasi geografis, atau alokasi pelanggan (Krisanto, 2006: 107). United States Departement of Justice menentukan bahwa persekongkolan tender (bid rigging) adalah the way that conspiring competitors effectively raise prices where purchasers – often federal, state, or local goverments – acquired goods or services by soliciting competing bids. Persekongkolan tender terjadi ketika para pesaing bersekongkol untuk menaikkan harga agar salah satu pesaing yang disepakati dapat memenangkan tender. Ari Siswanto bahkan secara tegas menyatakan bahwa persekongkolan tender mengartikan persekongkolan yang dilakukan oleh peserta tender untuk mengatur dan menentukan siapa yang
menjadi
pemenang
tender.
Senada
dengan
pengertian
persekongkolan tender diatas, Naoaki Okatani menyatakan bahwa persekongkolan tender terjadi apabila para penawar akan menentukan perusahaan mana yang harus mendapat order dengan harga kontrak yang ditawarkan. Persekongkolan tender terjadi sebelum diumumkan pemenang tender dan bersarnya harga kontrak, masing-masing peserta tender melakukan penawaran dengan harga yang telah direncanakan sebelumnya (http://yakubadikrisanto.wordpress.com/category/persekongkolantender/pa ge/2/). Dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat diatur mengenai larangan persekongkolan tender diartikan persekongkolan pelaku usaha dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Dalam Pasal 22 ini pihak lain bisa saja pemerintah, swasta ataupun pelaku usaha lain dalam tender yang sama. Pelaku usaha di sini juga dilarang melakukan persekongkolan dengan pelaku usaha lain untuk mengatur harga penawaran di luar prosedur pelaksanaan pengadaan
sehingga mengurangi/menghambat/memperkecil dan/atau meniadakan persaingan yang sehat sehingga merugikan pihak lain.
d. Jenis-Jenis Persekongkolan Tender Persekongkolan dalam tender dapat dibedakan pada tiga jenis, yaitu persekongkolan horizontal, persekongkolan vertikal dan gabungan persekongkolan vertikal dan horizontal. Berikut penjelasan atas ketiga jenis persekongkolan tersebut. 1) Persekongkolan Horizontal Merupakan persekongkolan yang terjadi antara pelaku usaha atau penyedia barang dan jasa dengan sesama pelaku usaha atau penyedia barang dan jasa pesaingnya. Persekongkolan ini dapat dikategorikan sebagai persekongkolan dengan menciptakan persaingan semu di antara peserta tender. Berikut bagan persekongkolan tersebut. Panitia pengadaan / panitia lelang barang/ pengguna barang atau jasa / pimpinan proyek
Pelaku usaha/ Penyedia barang atau jasa
Pelaku usaha/ Penyedia barang atau jasa
Pelaku usaha/ Penyedia barang atau jasa
Persekongkolan Bagan 1. Persekongkolan Horizotal
2) Persekongkolan Vertikal Merupakan persekongkolan yang terjadi antara salah satu atau beberapa pelaku usaha atau penyedia barang dan jasa dengan panitia
tender atau panitia lelang atau pengguna barang dan jasa atau pemilik atau pemberi pekerjaan. Persekongkolan ini dapat terjadi dalam bentuk dimana panitia tender atau panitia lelang atau pengguna barang dan jasa atau pemilik atau pemberi pekerjaan bekerjasama dengan salah satu atau beberapa peserta tender. Berikut bagan persekongkolan tender tersebut.
Panitia pengadaan / panitia lelang barang/ pengguna barang atau jasa / pimpinan proyek
Pelaku usaha/ Penyedia barang atau jasa
Pelaku usaha/ Penyedia barang atau jasa
Pelaku usaha/ Penyedia barang atau jasa
Persekongkolan
Bagan 2. Persekongkolan Vertikal
3) Persekongkolan Horizontal dan Vertikal Merupakan persekongkolan antara panitia tender atau panitia lelang atau pengguna barang dan jasa atau pemilik atau pemberi pekerjaan dengan pelaku usaha atau penyedia barang dan jasa. Persekongkolan ini dapat melibatkan dua atau tiga pihak yang terkait dalam proses tender. Salah satu bentuk persekongkolan ini adalah tender fiktif, dimana baik panitia tender, pemberi pekerjaan, maupun sesama para pelaku usaha melakukan suatu proses tender hanya secara administratif
dan tertutup. Berikut bagan kedua persekongkolan tersebut (KPPU, 2008: 10-12).
Panitia pengadaan / panitia lelang barang/ pengguna barang atau jasa / pimpinan proyek
Pelaku usaha/ Penyedia barang atau jasa
Pelaku usaha/ Penyedia barang atau jasa
Pelaku usaha/ Penyedia barang atau jasa
Persekongkolan
Bagan 3. Persekongkolan Horizontal dan Vertikal
2. Tinjauan Umum tentang Pendekatan Hukum Persaingan Usaha Dalam hukum persaingan usaha secara yuridis dikenal dua macam dasar pendekatan yang dapat digunakan untuk menganalisis, apakah suatu perbuatan baik berupa perjanjian maupun kegiatan telah melanggar undangundang atau tidak yaitu dengan pendekatan rule of reason dan per se illegal. Pendekatan rule of reason adalah suatu pendekatan yang digunakan oleh lembaga otoritas persaingan usaha untuk membuat evaluasi mengenai akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu, guna menentukan apakah suatu perjanjian atau kegiatan tersebut bersifat menghambat atau mendukung persaingan. Sebaliknya, pendekatan per se illegal adalah menyatakan setiap perjanjian atau kegiatan usaha tertentu sebagai ilegal, tanpa pembuktian lebih
lanjut atas dampak yang ditimbulkan dari perjanjian atau kegiatan usaha tersebut (Andi Fahmi Lubis, 2009: 55). a. Pendekatan Per se illegal Menurut Kissane and Benefore, bahwa suatu perbuatan dalam pengaturan persaingan usaha dikatakan sebagai ilegal secara per se (per se illegal), apabila “pengadilan telah memutuskan secara jelas adanya anti persaingan, dimana tidak diperlukan lagi analisa terhadap fakta-fakta tertentu dari masalah yang ada guna memutuskan, bahwa tindakan tersebut telah melanggar hukum”. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa ada kategori terhadap perbuatan yang oleh pengadilan dianggap secara konkret bersifat anti persaingan ataupun menjurus pada praktek monopoli, sehingga analisis terhadap kenyataan yang ada di sekitar perbuatan tersebut tidak diperlukan lagi atau tidak begitu penting untuk menentukan bahwa perbuatan tersebut telah melanggar hukum. Sedangkan Yahya Harahap lebih cenderung mengatakan bahwa per se illegal-pun artinya sejak semula tidak sah, oleh karenanya perbuatan tersebut merupakan suatu perbuatan yang melanggar hukum dan tanpa perlu adanya pembuktian (L.Budi Kagramanto, 2007: 223). Jadi, per se illegal ditujukan pada suatu perbuatan atau tindakan yang secara inhern bersfat dilarang atau ilegal, dapat diartikan juga suatu tindakan dinyatakan melanggar hukum dan dilarang secara mutlak, serta tidak diperlukan pembuktian apakah tindakan tersebut memiliki dampak negatif terhadap persaingan usaha. Yang termasuk kategori per se illegal meliputi: perjanjian penetapan harga, perjanjian pemboikotan, perjanjian pembagian wilayah, persekongkolan untuk menghambat perdagangan, penyalahgunaan posisi dominan, pemilikan saham mayoritas.
b. Pendekatan Rule of reason Rule of reason adalah suatu doktrin yang dibangun berdasarkan penafsiran atas ketentuan Sherman Antitrust Act oeh Mahkamah Agung Amerika Serikat yang diterapkan dalam kasus Standard Oil Co. Of New Jersey vs. United State pada tahun 1911. Pendekatan rule of reason, yaitu penerapan hukum dengan mempertimbangkan alasan-alasan dilakukannya suatu tindakan atau suatu perbuatan oleh pelaku usaha. Untuk menerapkan prinsip ini tidak hanya diperlukan pengetahuan ilmu hukum tetapi penguasaan terhadap ilmu ekonomi. Melalui pendekatan rule of reason ini apabila suatu perbuatan dituduh melanggar hukum persaingan, maka pencari fakta harus mempertimbangkan dan menentukan apakah perbuatan tersebut menghambat persaingan dengan menunjukkan akibatnya terhadap proses persaingan dan apakah perbuatan itu tidak adil atau mempunyai pertimbangan lainnya. Pertimbangan atau argumentasi yang perlu dipertimbangkan antara lain adalah aspek ekonomi, keadilan, efisiensi, perlindungan
terhadap
golongan
ekonomi
tertentu
dan
fairness
(Hermansyah, 2008: 79). Pendekatan per se illegal mirip dengan konsep ‘delik formal’ di dalam hukum pidana yang dianggap terjadi sekedar apabila unsur-unsur tindak pidana yang dicantumkan dalam undang-undang telah terpenuhi tanpa melihat akibat tindakan yang dilakukan. Sedangkan pendekatan rule of reason diterapkan terhadap tindakan-tindakan yang tidak dapat secara mudah ilegalitasnya tanpa menganalisis akibat tindakan itu terhaap kondisi persaingan. Jadi, jika di dalam pendekatan per se illegal tidak perlu terlalu jauh melihat akibat yang ditimbulkan suatu tindakan terhadap persaingan karena tindakan semacam itu dianggap selalu dianggap membawa akibat negatif sedangkan di dalam pendekatan rule of reason pengadilan disyaratkan untuk mempertimbangkan faktor-faktor seperti latar belakang dilakukannya tindakan, alasan bisnis dilakukannya tindakan serta posisi si pelaku tindakan dalam industri tertentu. Setelah mempertimbangkan
faktor-faktor tersebut barulah dapat ditentukan apakah suatu tindakan bersifat ilegal atau tidak (Arie Siswanto, 2002: 66). Berikut ilustrasinya:
Pendekatan Per se illegal TINDAKAN
TERBUKTI
ILEGAL
Bagan 4. Pendekatan Per Se Illegal
Pendekatan Rule of reason TINDAKAN
TERBUKTI
FAKTOR2 LAIN2
UNREASO NABLE
REASONABL E
ILEGAL
LEGAL
Bagan 5. Pendekatan Rule of Reason 3. Tinjauan Umum Tentang Penegakan Hukum a. Pengertian Penegakan Hukum Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalulintas atau hubungan–hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari sudut subyeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subyek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum itu melibatkan semua subyek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang
menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subyeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa. Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut obyeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pada nilai-nilai keadilan yang terkandung didalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan perkataan “Law enforcement” ke dalam bahasa Indonesia dalam menggunakan perkataan “Penegakan Hukum” dalam arti luas dapat pula digunakan istilah “Penegakan Peraturan” dalam arti sempit. Pembedaan antara formalitas aturan hukum yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa inggris sendiri dengan dikembangkannya istilah “the rule of law” atau dalam istilah “ the rule of law and not of a man” versus istilah “ the rule by law” yang berarti “the rule of man by law”. Dalam istilah “ the rule of law” terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu, digunakan istilah “ the rule of just law”. Dalam istilah “the rule of law and not of man”, dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah “the rule by law” yang dimaksudkan sebagai
pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka (http://www.solusihukum.com/artikel/artikel49.php)
b. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan atau keefektifan hukum : hukum atau undang-undangnya, penegak hukum baik pembentuk hukum maupun penerap hukum, sarana / fasilitas pendukung, masyarakat (adressat hukum), budaya (legal culture). Sedangkan syarat-syarat agar hukum efektif , meliputi : undang-undang dirancang dengan baik, kaidahnya jelas, mudah dipahami, dan penuh kepastian; Undang-undang sebaiknya bersifat melarang dan bukan mengharuskan/membolehkan); sanksi haruslah tepat dan sesuai tujuan / sifat undang-undang itu; beratnya sanksi tidak boleh berlebihan (sebanding) dengan macam pelanggarannya; mengatur terhadap perbuatan yang mudah dilihat (lahiriah); mengandung larangan
yang
berkesesuaian
dengan
moral;
pelaksana
hukum
menjalankan tugasnya dengan baik; menyebarluaskan UU, penafsiran seragam, dan konsisten (Soerjono Soekanto, 1983: 5). Fokus dari Soerjono Soekanto mengenai hukum atau undangundangnya, penegak hukum baik pembentuk hukum maupun penerap hukum, sarana / fasilitas pendukung, masyarakat (adressat hukum), budaya (legal culture) yang terjadi pada persaingan usaha khususnya persekongkolan tender. Realitas penegakan hukum dalam masyarakat kita yang sedang mengalami proses modernisasi juga dipengaruhi faktor-faktor majemuk baik dalam sistem hukum maupun di luar sistem. Kondisi penegakan hukum yang masih buruk dalam masyarakat kita dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu: 1)
faktor hukum atau perundang-undangan itu sendiri yang meliputi: konsistensi asas-asas atau prinsip-prinsipnya, proses perumusan yang memperhatikn
kecenderungan
hukum-hukum
kebiasaan
yang
berlaku di masyarakat dan aspirasi masyarakat, dan tingkat kemampuan hukum itu sendiri dalam operasionalnya. 2)
faktor sumber daya aparatur penegak hukumnya yang merupakan faktor kunci dalam penegakan hukum.
3)
faktor sarana dan prasarana fisik yang memadai, khususnya alat-alat teknologi modern dalam rangka sosialisasi hukum dan mengimbangi kecenderungan-kecenderungan penyimpangan sosial masyarakat.
4)
faktor masyarakat yang berkaitan dengan persepsi masyarakat tentang hukum, tentang ketertiban dan tentang fungsi penegak hukum.
5)
faktor politik atau penguasa negara, khususnya deskripsi tentang campur tangan pemerintah dan kelompok-kelompok kepentingan di dalam usaha-usaha penegakan hukum (Bambang Sutiyoso, 2004: 6165).
c. Tujuan Penegakan Hukum Hal yang senada dalam penegakan hukum dikemukakan juga oleh Sudikno
Mertokusumo,
hukum
berfungsi
sebagai
perlindungan
kepentingan manusia dan membutuhkan pelaksanaan hukum yang dapat berlangsung secara normal dan damai sekalipun tidak dapat dipungkiri akan terjadi juga pelanggaran di dalamnya. Hukum yang dilanggar harus ditegakkan melalui penegakan hukum itu sendiri. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu : kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan keadilan (Gerechtigkeit). Kepastian hukum merupakan perlindungan hukum terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam kondisi tertentu. Masyarakat mengharapkan kepastian hukum karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum juga penting karena jangan sampai hukum yang ditegakkan
menimbulkan keresahan di dalam masyarakat. Unsur ketiga adalah keadilan, masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau penegakan hukum keadilan diperhatikan. Dalam pelaksanaan atau penegakan hukum harus adil. Hukum tidak identik dengan keadilan. Hukum ini bersifat umum, mengikat setiap orang dan menyamaratakan. Keadilan
sendiri
bersifat
subyektif,
individualistis
dan
tidak
menyamaratakan. Keadilan bagi si A belum tentu adil untuk si B. Kalau dalam menegakkan hukum hanya diperhatikan kepastian hukum saja, maka unsur-unsur lainnya akan dikorbankan. Dalam menegakkan hukum harus ada kompromi antara ketiga unsur tersebut. Ketiga unsur itu harus mendapat perhatian secara proporsional seimbang walaupun dalam prakteknya tidak selalu mudah mengusahakan kompromi secara proporsional
seimbang
antara
ketiga
unsur
tersebut
(Sudikno
Mertokusumo, 1999: 145-147). Merujuk pendapat Gustav Radbrurh, terdapat aspek tujuan hukum yang sering dikaitkan dengan penegakan hukum yang harus memenuhi tiga hal pokok yang sangat prinsipil yang hendak dicapai, yaitu : keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Keadilan dapat diartikan sebagai memberikan hak yang setara dengan kapasitas seseorang atau pemberlakuan kepada tiap orang secara proporsional, tetapi juga bisa berarti memberi sama banyak kepada setiap orang apa yang menjadi jatahnya berdasarkan prinsip keseimbangan. Kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten dan konsekuen, yang pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif. Mengutip pendapat Lawrence M. Wriedman, seorang Guru Besar di Stanford University, berpendapat bahwa untuk mewujudkan kepastian hukum paling tidak haruslah didukung oleh unsur-unsur sebagai berikut, yakni : (1) substansi hukum, (2) aparatur hukum, dan (3) budaya hukum. Unsur pertama “substansi hukum” berbicara tentang isi daripada ketentuan-ketentuan tertulis dari hukum itu sendiri. Unsur kedua adalah
“aparatur hukum” adalah perangkat, berupa system tata kerja dan pelaksana daripada apa yang diatur dalam substansi hukum tadi. Sedangkan unsur yang terakhir adalah “budaya hukum” yang menjadi pelengkap untuk mendorong terwujudnya “kepastian hukum” adalah bagaimana budaya hukum masyarakat atas ketentuan hukum dan aparatur hukumnya. Unsur budaya hukum ini juga tidak kalah pentingnya dari kedua unsur diatas, karena tegaknya peraturan-peraturan hukum akan sangat bergantung kepada “budaya hukum” masyarakatnya. Dan budaya hukum masyarakat tergantung kepada budaya hukum anggota-anggotanya yang dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, lingkungan, budaya, posisi
atau
kedudukan,
bahkan
kepentingan-kepentingan
(http://www.scribd.com/doc/2953532/Penegakkan-Hukum). Substansi hukum, aparatur hukum serta budaya hukum seperti telah dikemukakan di atas, idealnya harus di-sinergikan guna mendorong terwujudnya “kepastian hukum“ di negara hukum manapun di dunia ini. Satu sama lain harus memiliki sifat saling ketergantungan (dependency), salah satu unsur saja tidak terpenuhi, maka “kepastian hukum“ sulit untuk terwujud. Sedangkan dari sisi kemanfaatannya, hukum seyogyanya membawa kegunaan dalam tata sinergis antara keadilan dan kepastiannya. Sehingga dalam praktek, hukum membawa akibat (manfaat) terciptanya rasa terlindung dan keteraturan dalam hidup bersama dalam masyarakat. Aparatur penegak hukum menunjuk kepada pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparatnya (orangnya). Dalam arti sempit, aparatur penegak hukum yang itu dimulai dari saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa hakim dan petugas-petugas sipir pemasyarakatan. Dalam realitanya, tugas atau perannya langsung terkait dengan kegiatan pelaporan atau pengaduan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya pemasyarakatan kembali (resosialisasi) terpidana. Dalam proses bekerjanya, aparatur penegak hukum itu, dipengaruhi oleh 3 elemen penting yang sangat
berpengaruh yaitu: (i) institusi penegak hukum beserta perangkat sarana dan prasarana pendukung serta mekanisme kerja kelembagaannya; (ii) budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk faktor kesejahteraan aparatnya, dan (iii) perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materilnya maupun hukum acaranya. Upaya penegakan hukum secara sistematik haruslah memperhatikan ketiga aspek itu secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan itu sendiri
secara
internal
dapat
diwujudkan
secara
nyata
(http://www.solusihukum.com/artikel/artikel49.php). Pemikiran filosofis tujuan penegakan hukum terutama keadilan yang berkaitan dengan filsafat hukum berkaitan erat dengan pemikiran John Rawls mengungkapkan tiga faktor utama yaitu : a. perimbangan tentang keadilan (Gerechtigkeit) b.
kepastian hukum (Rechtessisherkeit)
c. kemanfaatan hukum (Zweckmassigkeit) (Soetandyo, 2002: 18). Keadilan berkaitan erat dengan pendistribusian hak dan kewajiban, hak yang bersifat mendasar sebagai anugerah Ilahi sesuai dengan hak asasinya yaitu hak yang dimiliki seseorang sejak lahir dan tidak dapat diganggu gugat. Keadilan merupakan salah satu tujuan sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum. Keadilan adalah kehendak yang ajeg, tetap untuk memberikan
kepasa
siapapun
sesuai
dengan
pertumbuhan
dan
perkembangan masyarakat dan tuntutan jaman (R.Arry Mth. Soekowathy, 2003: 291). Dengan uraian diatas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud dengan penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam artian formil yang sempit maupun dalam arti materil yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subyek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan
kewenangan oleh Undang-undang untuk menjamin berfungsinya normanorma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dari pengertian yang luas itu, pembahasan penegakan hukum dapat ditentukan sendiri batas-batasnya. Dalam penulisan ini pembahasan mengenai penegakan hukum yang digunakan adalah penegakan dalam arti sempit yaitu penegakan peraturan, dalam hal ini Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Dan penegakan hukum formal yang menekankan pada sanksi untuk mencapai tujuan berupa keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. 4. Tinjauan Umum tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Pasal 1 angka 18 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mengatur bahwa Komisi Pengawas Persaingan Usaha (yang selanjutnya disebut KPPU) adalah komisi yang dibentuk untuk mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya agar tidak melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Komisi ini dibentuk sebagai wujud nyata penegakan hukum terhadap upaya praktek monopoli maupun persaingan usaha tidak sehat yang dilakukan oleh pelaku usaha. Pasal yang mengatur mengenai Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah Pasal 30 sampai 37 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999. Pembentukan Komisi serta susunan organisasi, tugas, dan fungsinya ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Menurut Pasal 30 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, status Komisi Pengawas Persaingan Usaha, meliputi: (1) Untuk mengawasi pelaksanaan Undang-undang ini dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang selanjutnya disebut Komisi. (2) Komisi adalah suatu lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah serta pihak lain. (3) Komisi bertanggung jawab kepada Presiden. Menurut Pasal 31 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, keanggotaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, meliputi: (1) Komisi terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota, seorang Wakil Ketua merangkap anggota, dan sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang anggota.
(2) Anggota Komisi diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. (3) Masa jabatan anggota Komisi adalah 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. (4) Apabila karena berakhirnya masa jabatan akan terjadi kekosongan dalam keanggotaan Komisi, maka masa jabatan anggota dapat diperpanjang sampai pengangkatan anggota baru. Menurut Pasal 32 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, persyaratan anggota Komisi antara lain: a. warga negara Republik Indonesia, berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun dan setinggi-tingginya 60 (enam puluh) tahun pada saat pengangkatan; b. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; c. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; d. jujur, adil, dan berkelakuan baik; e. bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia; f. berpengalaman dalam bidang usaha atau mempunyai pengetahuan dan keahlian di bidang hukum dan atau ekonomi; g. tidak pernah dipidana; h. tidak pernah dinyatakan pailit oleh pengadilan; dan i. tidak terafiliasi dengan suatu badan usaha. Sebagai lembaga independen maka persyaratan anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha tersebut cukup fair terlebih syarat terakhir dimana tidak terafiliasi dengan badan usaha tersebut memang dibutuhkan dalam pengawasan. Yang dimaksud tidak terafiliasi dengan suatu badan usaha adalah bahwa sejak yang bersangkutan menjadi anggota Komisi tidak menjadi : anggota dewan komisaris atau pengawas, atau direksi suatu perusahaan; anggota pengurus atau badan pemeriksa suatu koperasi; pihak yang memberikan layanan jasa kepada suatu perusahaan seperti konsultan, akuntan publik, dan penilai; dan pemilik saham mayoritas suatu perusahaan. Pemberhentian keanggotaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha berakhir ketika meninggal dunia; mengundurkan diri atas permintaan sendiri; bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia; sakit jasmani atau rohani terus menerus; berakhirnya masa jabatan keanggotaan Komisi; atau diberhentikan. Persyaratan berakhirnya keanggotaan karena diberhentikan belum diatur secara detail untuk alasan seperti apa, misalnya melakukan
tindak pidana atau perbuatan melawan hukum lainnya. Sedangkan dalam kinerjanya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha dibantu oleh sekretariat ntuk kelancaran pelaksanaan tugas dan Komisi dapat membentuk kelompok kerja. Kelompok kerja adalah tim profesional yang ditunjuk oleh Komisi untuk membantu pelaksanaan tugas tertentu dalam waktu tertentu. Tugas Komisi menurut Pasal 35 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, meliputi: a. melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16; b. melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 24; c. melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 28; d. mengambil tindakan sesuai dengan wewenang Komisi sebagaimana diatur dalam Pasal 36; e. memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; f. menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan Undangundang ini; g. memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat. Sedangkan Wewenang Komisi Pengawas Persaingan Usaha menurut Pasal 36 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, meliputi: a. menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; b. melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; c. melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh Komisi sebagai hasil penelitiannya; d. menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada atau tidak adanya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
e. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini; f. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini; g. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e dan huruf f, yang tidak bersedia memenuhi panggilan Komisi; h. meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya dengan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini; i. mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan; j. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku usaha lain atau masyarakat; k. memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; l. menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini. Seperti Komisi independen pada umumnya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha juga memerlukan pembiayaan dalam melaksanakan fungsi, tugas ataupun wewenangnya. Menurut Pasal 37 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 diatur bahwa “Biaya untuk pelaksanaan tugas Komisi dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan atau sumber-sumber lain yang diperbolehkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Pada dasarnya Negara bertanggung jawab terhadap operasional pelaksanaan tugas Komisi dengan memberikan dukungan dana melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Namun, mengingat ruang lingkup dan cakupan tugas Komisi yang demikian luas dan sangat beragam, maka Komisi dapat memperoleh dana dari sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang sifatnya tidak mengikat serta tidak akan mempengaruhi kemandirian Komisi.
B. Kerangka Pemikiran
Pengaturan Persekongkolan Tender dalam UU No. 5 Tahun 1999 dengan Rule of Reason
Penanganan KPPU sulit : - Pendekatan Hukum - Pendekatan Ekonomi - Pembuktian Kerugian APBN (korupsi) - Dominasi Perkara Tender
Dengan pendekatan Per se Illegal : - Indikasi larangan dengan adanya barrier to entry - Pembuktian terhadap perjanjian yang sifatnya kolusif atau sekongkol
Persaingan Sehat yang Menyejahterakan Rakyat
Bagan 6. Kerangka Pemikiran
Keterangan : Persekongkolan tender yang diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menggunakan pendekatan rule of reason. Perkara persekongkolan tender mendominasi perkara di KPPU karena banyaknya celah atau peluang untuk melakukan
persekongkolan
tersebut.
Prakteknya,
KPPU
menggunakan
pendekatan rule of reason seperti ketentuan normatifya. Tetapi pendekatan rule of reason yang digunakan menjadi kesulitan tersendiri bagi KPPU karena harus melakukan prosedur penyidikan melalui pendekatan hukum, pendekatan ekonomi, pembuktian terhadap unsur korupsi yang mengakibatkan pada kerugian APBN. Prosedur yang ditempuh sangat rumit dengan pendekatan rule of reason sekalipun secara logika kegiatan persekongkolan tender yang jelas-jelas menghambat terwujudnya persaingan yang sehat karena adanya barrier to entry atau hambatan masuk pasar dalam persaingan, padahal prinsipnya persaingan membuka kesempatan yang sama dalam tender antar pelaku usaha. Akan tetapi, apabila sejak awal sudah ada indikasi kecurangan dalam tender akan membatasi persaingan karena pemenang tender sudah ditentukan, alangkah baiknya apabila persekongkolan tender diklasifikasikan pada per se illegal karena secara langsung sudah terdapat unsur ilegal, sehingga pembuktian ditujukan pada perjanjian atau unsur bersekongkol saja dan apabila terbukti adanya perjanjian tersebut dapat langsung diperkarakan seperti ketentuan per se Illegal lainnya. Hal ini juga akan memberi dampak pada jumlahnya perkara persekongkolan tender yang ada di KPPU karena celah persekongkolan otomatis akan ditekan dengan ketentuan per se illegal persekongkolan tender dan memudahkan pembuktian yang digunakan untuk mewujudkan persaingan yang sehat yang otomatis menyejahterakan rakyat.
BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pengaturan Persekongkolan Tender dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dengan Pendekatan Rule of Reason
Beberapa ahli yang concern terhadap hukum persaingan usaha Indonesia yang mengatakan bahwa dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 terdapat prinsip rule of reason dan per se illegal. Namun pendapat tersebut tidak mempunyai landasan normatif dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 karena memang Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tidak secara eksplisit menyinggung prinsip rule of reason dan per se illegal. Berbagai literatur tentang hukum persaingan usaha sering disinggung mengenai rule of reason dan per se illegal tersebut. Dalam literatur tersebut rule of reason dan per se illegal dibahas serba sedikit untuk memberikan pemahaman dan perbandingan hukum persaingan usaha (competition law) yang berlaku di Amerika. Dikemukakan dalam literatur tersebut bahwa kedua prinsip tersebut merupakan pendekatan untuk melakukan penilaian terhadap perbuatanperbuatan yang dilarang oleh Sherman Act, Clayton Act, Federal Trade Commission Act Antitrust Law. Hal ini juga dimplikasikan pada pelaksanaan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yang merupakan peraturan untuk mengatur
bisnis
yang
berasal
dar
Amerika
Serikat
(http://yakubadikrisanto.wordpress.com/2008/06/03/prinsip-rule-of-reason-dan-perse-illegal/).
Baik pendekatan per se illegal maupun rule of reason telah lama diterapkan untuk menilai apakah suatu tindakan tertentu dari pelaku usaha melanggar Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Pendekatan rule of reason adalah pendekatan yang digunakan oleh lembaga otoritas persaingan usaha untuk membuat evaluasi mengenai akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu guna menentukan apakah perjanjian atau kegiatan tersebut bersifat menghambat atau mendukung persaingan. Sebaliknya pendekatan per se
illegal menyatakan setiap perjanjian atau kegiatan usaha tertentu ilegal tanpa pembuktian lebih lanjut atas dampak yang ditimbulkan oleh perjanjian atau kegiatan usaha tersebut. Kedua metode pendekatan yang memiliki perbedaan ekstrim tersebut juga digunakan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, hal ini dapat dilihat dari ketentuan pasal-pasalnya yakni pencantuman katakata “yang dapat mengakibatkan” dan/atau “patut diduga”. Kata-kata tersebut menyiratkan perlunya penelitian secara lebih mendalam, apakah suatu tindakan dapat menimbulkan praktek monopoli yang bersifat menghambat persaingan. Sedangkan penerapan pendekatan per se illegal biasanya digunakan dalam pasal-pasal yang menyatakan istilah “dilarang”, tanpa anak kalimat “yang dapat mengakibatkan” (A.M. Tri Anggraini, 2005: 5-6). Dalam hal kebijakan persaingan usaha, istilah persekongkolan hampir di semua kegiatan masyarakat senantiasa berkonotasi buruk atau negatif karena pada hakekatnya persekongkolan bertentangan dengan rasa keadilan. Prinsip fair atau keadilan adalah apabila orang atau perusahaan tidak mempunyai kesempatan yang sama seperti halnya penawar lain dalam penawaran untuk mendapatkan obyek barang atau jasa tertentu yang ditawarkan oleh penyelenggara atau panitia tender. Ketentuan Pasal 22 dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 lebih mencakup konspirasi atau persekongkolan tender daripada sekedar membatasi persaingan usaha atau apakah kegiatan persekongkolan tender ibaratnya akan mampu membatasi adanya persaingan usaha. Apabila hasil pengumuman tender menguntungkan para peserta yang mengambil bagian dalam tender tersebut, maka secara tersirat dalam konteks kebijakan persaingan usaha setidak-tidaknya mengandung pembatasan terhadap persaingan harga. Pendekatan rule of reason dalam persaingan usaha merupakan kebalikan dan lebih luas cakupannya jika dibandingkan pendekatan per se illegal. Pendekatan rule of reason ini cenderung pada prinsip efisiensi dan pada sisi lain dapat melakukan interpretasi terhadap Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tersebut. Sepeti yang dilakukan oleh Mahkamah Agung Amerika
Serikat yang menetapkan rule of reason sebagai standar bagi pengadilan untuk mempertimbangkan faktor-faktor kompetitif serta menetapkan layak tidaknya suatu hambatan dan hambatan tersebut bersifat mencampuri, mempengaruhi atau bahkan mengganggu proses persaingan atau tidak. Keputusan pengadilan telah berkembang menjadi dikotomi antara pendekatan per se illegal dan rule of reason, artinya bahwa pengadilan membagi praktek bisnis ke dalam 2 (dua) bagian yaitu meletakkan perjanjian yang masuk dalam kategori per se illegal dan perjanjian tertentu ke dalam wilayah rule of reason. Salah satu contohnya adalah pernyataan Hakim White mengenai penggunaan rule of reason dalam perkara Standar Oil mengandung tiga pengujian, yaitu : 1.
adanya konsep per se illegal;
2.
adanya maksud para pihak; dan
3.
akibat dari suatu perjanjian. Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam pendekatan rule of reason
ini lebih menekankan undang-undang yang mengatur tentang kebebasan ekonomi secara komprehensif yang ditujukan kepada persaingan usaha serta tidak mengikat. Pengaturan tersebut juga menjamin kesetaraan dalam kesempatan berusaha serta melindungi masyarakat pebisnis untuk bersaing dalam lingkup perdagangan dengan tidak memandang besar kecilnya perusahaan tersebut. Masing-masing pola penekatan tersebut mengandung keunggulan dan kelemahan yang mungkin dapat menjadi bahan pemikiran untuk menerapkan salah satu pendekatan terhadap tindakan pelaku usaha yag diduga melanggar undang-undang. Keunggulan rule of reason adalah menggunakan analisis ekonomi untuk mencapai efisiensi guna mengetahui dengan pasti apakah suatu tindakan pelaku usaha memiliki implikasi pada persaingan atau dengan kata lain tindakan dianggap menghambat persaingan atau mendorong persaingan ditentukan oleh “...economic values, that is, with the maximization of consumer want satisfaction through the most efficient allocaton and use resources...”. Sebaliknya jika menerapkan per se illegal,
maka tindakan pelaku usaha tertentu selalu dianggap melanggar UndangUndang. Sedangkan kelemahannya adalah bahwa rule of reason yang digunakan para hakim dan juri mensyaratkan pengetahuan tentang teori ekonomi dan sejumlah data ekonomi yang kompleks dimana mereka belum tentu memiliki kemampuan yang cukup untuk memahaminya guna dapat menghasilkan keputusan yang rasional (Andi Fahmi Lubis.dkk, 2009: 66). Berbeda
dengan
Undang-Undang
No.
5
Tahun
1999
yang
mengkategorikan persekongkolan tender dalam kegiatan yang dilarang. United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) memasukkan persekongkolan tender khususnya tender kolusif dalam kategori perjanjian atau perilaku yang saling sepakat (restrictive agreement or arrangements). Pemahaman dari United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) tidak jauh berbeda dengan yang diberikan oleh Yurisprudensi Amerika, dimana perjanjian yang dilandasi dengan suatu kesepakatan baik tertulis maupun tidak tertulis (lisan), formal maupun tidak formal semuanya dilarang. Termasuk pula segala perjanjian tanpa memperhatikan, apakah perjanjian tersebut dibuat dengan maksud yuridis memiliki kekuatan mengikat atau tidak mengikat, semuanya terkena larangan. Terlebih lagi pada perjanjian informal secara lisan akan menimbulkan masalah pada pembuktian karena harus dibuktikan bahwa telah terdapat hubungan komunikasi secara bersama-sama dalam mengambil suatu keputusan usaha antar perusahaan sehingga berakibat adanya kegiatan yang saling menyesuaikan atau perilaku yang sejajar. United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) menyatakan bahwa tender kolusif dapat terjadi dalam bentuk : 1.
persetujuan untuk mengajukan penawaran yang sama;
2.
persetujuan untuk menentukan pihak yang melakukan penawaran termurah;
3.
persetujuan mengenai penawaran yang tertutup;
4.
persetujuan untuk tidak akan bersaing satu sama lain dalam mengajukan penawaran;
5.
persetujuan untuk menentukan harga atau persyaratan tender lainnya;
6.
persetujuan antara peserta tender yang mengeliminasi peserta tender yang berasal dari luar, dan
7.
persetujuan yang menunjuk pemenang tender atas dasar rotasi atau alokasi pasar geografis ataupun berdasarkan pada pelanggan.
Lain halnya dengan batasan persekongkolan tender (bid rigging) yang diberikan oleh OECD (Organization for Economic Co-operation and Development), yaitu suatu bentuk khusus dari penetapan harga secara kolusif yang dilakukan oleh beberapa pelaku usaha untuk mengkoordinasikan atau menselaraskan penawaran di antara mereka atas proyek atau kontrak. Di samping itu ada bentuk persekongkolan tender yang sering terjadi, bentuk pertama adalah peserta tender sepakat untuk mengajukan beberapa penawaran harga sehingga dapat mengurangi dan bahkan meniadakan tingkat persaingan harga, sedangkan bentuk kedua adalah kesepakatan diri peserta tender untuk menentukan peserta yang mengajukan penawaran terbaik serta kemudian melakukan rotasi agar semua peserta mendapatkan giliran untuk menjadi pemenang dalam suatu proyek tertentu. Tindakan berpartisipasi ikut serta secara aktif dalam persekongkolan tender merupakan suatu tindakan anti persaingan usaha sehat serta melanggar hakikat dan tujuan tender yang sesungguhnya, yaitu mengedepankan keinginan untuk mendapatkan barang dan atau jasa dengan harga serta kondisi yang paling menguntungkan, sehingga akibat kegiatan persekongkolan tender tersebut ada pihak lain yang dirugikan. Suatu perilaku yang ditetapkan oleh pengadilan sebagai per se illegal akan dihukum tanpa proses penyelidikan rumit. Jenis perilaku yang ditetapkan secara per se illegal hanya akan dilaksanakan setelah pengadilan memiliki pengalaman yang memadai terhadap perilaku tersebut yakni bahwa
perilaku tersebut hampir selalu bersifat anti persaingan dan hampir selalu tidak pernah membawa manfaat sosial. Pendekatan per se illegal ditinjau dari sudut proses administratif adalah mudah. Hal ini disebabkan karena per se illegal membolehkan pengadilan untuk menolak melakukan penyelidikan secara rinci yang biasanya memerlukan waktu lama dan biaya mahal guna mencari fakta di pasar yang bersangkutan. Oleh karena itu, pada prinsipnya terdapat dua syarat melakukan pendekatan per se illegal, yakni pertama harus ditujukan lebih kepada perilaku bisnis daripada situasi pasar karena keputusan melawan hukum dijatuhkan tanpa disertai pemeriksaan lebih lanjut, misalnya mengenai akibat dan hal-hal yang melingkupinya. Metode pendekatan ini dianggap fair, jika perbuatan ilegal tersebut merupakan tindakan sengaja oleh perusahaan yang seharusnya dapat dihindari. Kedua, adanya identifikasi secara cepat atau mudah mengenai jenis praktek atau batasan perilaku yang terlarang. Dengan perkataan lain, penilaian atas tindakan dari pelaku usaha baik di pasar maupun dalam proses pengadilan harus dapat ditentukan dengan mudah. Meskipun demikian diakui bahwa terdapat perilaku yang terletak dalam batas-batas yang tidak jelas antara pelaku terlarang dan pelaku yang sah. Pembenaran substansif dalam per se illegal harus didasarkan pada fakta atau asumsi bahwa perilaku tersebut dilarang karena dapat mengakibatkan kerugian bagi pesaing lainnya dan atau konsumen. Hal tersebut dapat dijadikan pengadilan sebagai alasan pembenar dalam mengambil keputusan. Oleh karena itu, terdapat dua hal penting yang harus diperhatikan oleh pengadilan, pertama adanya dampak merugikan yang signifikan dari perilaku tersebut. Kedua, kerugian tersebut harus tergantung pada kegiatan yang dilarang (Andi Fahmi Lubis.dkk, 2009: 60-61). Selain konsep yang sudah ada, rule of reason juga menjadi hak inisiatif dari hakim dengan melihat keunggulan dan kebijaksanaan, efisiensi dan keuntungan publik. If one stands back and looks at the structure of competition regimes in common law jurisdictions two broad types emerge. The first and oldest is the United States model where the competition statute
is viewed simply as an initial authority for judges to paint with a broad brush as they build up the law case by case with little need to refer back to the archaically worded statute. The other model is that operating in Australia and New Zealand where the words of the statute have primacy and concepts of reasonableness, efficiency and public benefit enter into the analysis only to the extent that the words of the statute permit. In the United States, the rule of reason first found its way into the antitrust lexicon in the dissenting judgment of White J in United States v Trans-Missouri Freight Association. That case, of course, involved the interpretation of a liability creating provision in the antitrust statute itself. Nevertheless the two analytical technique were very similar. Nowadays this cornerstone provision in United States antitrust legislation is routinely read as though it commences with the words ‘every unreasonable contract’ to avoid the conclusion that all restrictive agreements are illegal without question or qualification. Terjemahannya adalah sebagai berikut : jika satu pendirian kembali dan terlihat dalam struktur persaingan rezim yurisdiksi hukum timbul dua tipe besar. Yang pertama dan tertua adalah model Amerika Serikat dimana Undang-Undang persaingan terlihat sederhana sebagai wewenang awal hakim bekerja lebih dari kasus hukum yang terjadi dengan kasus dari kasus yang sedikit kembali kepada penafsiran undang-undang terdahulu. Model lain adalah yang dijalankan di Australia dan Selandia Baru dimana penafsiran undang-undang mempunyai keunggulan dan konsep yang bijaksana, efisien, manfaat publik termasuk di dalamnya untuk menafsirkan lebih luas daripada undang-undang saja. Di Amerika Serikat, rule of reason pertama ditemukan dalam kosakata keputusan pengadilan Hakim J. White antara Perhubungan Amerika Serikat melawan Asosiasi Pengangkutan Missouri. Dalam kasus tentunya dilibatkan penasiran dan pertanggungjawaban membuat ketentuan sendiri dalam Undang-Undang Antitrust. Meskipun demikian, teknik analisis yang sangat sama. Pada waktu sekarang, ketentuan dasar di perundang-undangan Antitrust Amerika Serikat yang rutin dibaca lebih dulu memulai dengan kata “setiap perjanjian yang tidak masuk akal” untuk menghindari semua perjanjian ilegal yang
meragukan dan dibatasi.
Ketidakteraturan yang akan memberi dampak
sendiri menjadi salah satu kesimpulan untuk menjadikan sesuatu hal masuk dalam kualifikasi ilegal (Ian Agles and Louise Longdin, 2009: 310). Persekongkolan tender dianggap sebagai jenis pelanggaran yang serius karena tindakan tersebut cenderung lebih banyak merugikan negara terutama kerugian terhadap anggaran negara. Di banyak negara, persekongkolan tender mempunyai konotasi negatif dan cenderung kolusif sifatnya diperlakukan secara per se illegal. Bahkan di beberapa negara yang belum memiliki undang-undang antimonopoli dan persaingan usaha mengatur secara khusus mengenai tender dan memperlakukan tender kolusif lebih tertata daripada perjanjian horizontal lainnya karena adanya unsur kecurangan serta mengakibatkan kerugian pemerintah dan anggaran negara. Persekongkolan tender di Indonesia diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang menetapkan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan pasal ini akan diperiksa dengan pendekatan rule of reason. Hal ini terlihat dalam kalimat “pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya
persaingan usaha tidak sehat”. Kata “dapat mengakibatkan terjadinya” tersebut mengandung suatu pengertian bahwa tender kolusif termasuk sebagai bentuk pelanggaran yang masih boleh asal tidak mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat (L. Budi Kagramanto, 2007: 266). Rancangan undang-undang yang diajukan DPR sudah mengandung aturan tentang larangan praktek monopoli dan perilaku usaha. Namun, "yang perlu dibenahi dulu adalah struktur pasarnya, sehingga pelaku ekonomi dipaksa berperilaku baik. Kalau langsung diatur soal perilakunya, mengatur moral itu kan sulit," kata Marzuki Achmad, salah satu anggota DPR. Hasilnya, beberapa kali terjadi deadlock (kebuntuan) dalam pembahasan yang berkutat pada perilaku pasar dan moral pelaku usaha yang sebenarnya tidak begitu diperlukan karena adanya peraturanlah yang akan mengatur perilaku.
Bahkan para pembahas khawatir kalau-kalau tenggat penyelesaian rancangan undang-undang itu pada Jumat pekan depan, 18 Desember 1998 sesuai jadwal yang ditetapkan Dana Moneter Internasional (IMF) bisa tak tercapai. Akhirnya, melalui berbagai jenis lobi, pemerintah berhasil juga meluluhkan sikap DPR. Adapun polemik seputar konsep, yakni pendekatan struktur pasar ataukah perilaku usaha, sampai pekan lalu belum tuntas. Sementara ini, pembatasan pangsa pasar disepakati untuk tetap dicantumkan, tapi besar persentasenya masih belum ditetapkan. Arti angka itu pun diubah, dari vonis monopoli menjadi sekadar indikator dugaan monopoli. Dengan angka itu kelak Komisi Pengawas Persaingan, yang akan dibentuk oleh pemerintah dan DPR, bakal meneliti: apakah sang pengusaha telah melanggar praktek persaingan sehat atau tidak. Masih ada lagi persoalan yang belum seratus persen disetujui DPR, yakni pengecualian terhadap larangan praktek monopoli dan persaingan sehat, khususnya untuk pengusaha kecil, koperasi, dan bisnis yang berasal dari monopoli negara. Bagi DPR, hanya pengusaha kecil dan koperasi yang sesuai dengan ketentuan undang-undang yang bisa dikecualikan. Dan, tentang bisnis rnonopoli ncgara, DPR juga meminta agar kriteria cabang-cabang produksi penting yang dikuasai negara dan dianggap menguasai hajat hidup orang banyak harus diatur secara tegas dan selektif. Sebab, "Mungkin suatu saat ada bisnis yang tak perlu lagi dikelola oleh badan usaha milik negara, sehingga harus dilepaskan," tutur Marzuki Achmad (http://tempointeraktif.com/pembahasan-uu-antimonopoli-di-dpr).
Polemik
seputar konsep yang tidak dibahas secara khusus daan cenderung diabaikan menjadikan fokus pendekatan hukum yang dilakukan KPPU kurang kuat dalam penegakannya. Perlu diflashback kembali pembahasan Rancangan Undang-Undang sudah mengkaji implikasi hukum atas kata-kata “yang dapat mengakibatkan” maupun “patut diduga” tersebut. Hal ini mengingat pembahasan di DPR saat itu masih diwarnai dengan retorika melawan pengusaha besar yang menguasai sektor-sektor ekonomi tertentu dari hulu ke hilir dianggap telah
merusak perekonomian bangsa dan merugikan rakyat banyak (A.M. Tri Anggraini, 2005: 6). Oleh karena itu, pencantuman kata-kata tersebut besar kemungkinannya tidak mempertimbangkan implikasi dalam penerapannya, sehingga terdapat beberapa ketentuan dalam undang-undang yang tidak selaras dengan praktek penerapan kedua pendekatan dalam perkara-perkara yang terjadi khususnya persekongkolan tender. Penafsiran dari pembuat hukum (legislator) tidak mengedepankan aspek penegakannya kelak karena semata-mata hanya pengaturan secara normatif. Hal ini yang menjadi kelemahan ketika penegak hukum harus menjalankan prosedur sesuai aturannya. Ketentuan dalam Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yang menggunakan pendekatan rule of reason justru akan mempersulit KPPU di Indonesia jika akan melakukan proses penyelidikan dan pembuktian, apakah tindakan tersebut akan mendorong atau bahkan meniadakan sama sekali persaingan sehat yang sudah ada. Disamping itu karakteristik dari persekongkolan tender kolusif sama sekali tidak ada kaitannya dengan struktur pasar (market structure) dan tidak terdapat unsur pro pada persaingan sehat, justru merusak persaingan. Tender kolusif juga lebih mengutamakan perilaku berupa perjanjian untuk bersekongkol dengan pelaku usaha lainnya yang pada umumnya dilakukan secara diam-diam. Hal ini jelas memberikan peluang agar persekongkolan tender dilakukan karena tidak ada pengaturan yang sifatnya lebih spesifik. Salah satu negara yang mengatur persekongkolan tender secara ketat adalah Amerika Serikat yang sudah sejak lama tertuang dalam ketentuan The Sherman Act 1890 yang merupakan peraturan perundang-undangan di bidang persaingan
usaha
mengakomodir
yang pertama
keinginan
atau
di hak
Amerika Serikat untuk
bersaing
dala
rangka
secara
sehat.
Persekongkolan tender pertama kali diatur dalam Pasal 1 Sherman Act 1890 ditentukan, bahwa setiap, perjanjian, gabungan dalam bentuk perusahaan atau yang lainnya atau konspirasi dengan maksud untuk membatasi perdagangan
atau bisnis antara negara-negara federal ataupun dengan negara-negara asing merupakan suatu perbuatan melawan hukum (ilegal) (L. Budi Kagramanto, 2007: 174). Dan pada prakteknya, berdasarkan analisis yang dibuat oleh Hakim Federal di Amerika Serikat, terdapat segi-segi positif atas penerapan pendekatan per se illegal, yaitu: 1.
segi positif dari penerapan per se illegal adalah adanya larangan yang tegas untuk memberikan kepastian hukum pada pelaku usaha, apakah suatu perbatan yag dilakukan oleh si pelaku usaha tersebut merupakan perbuatan yang sah atau tidak sah;
2.
jika ada satu acuan yang pasti bagi mereka dalam berbuat, mereka pada akhirnya dapat merencanakan atau melakukan usaha tanpa dibebani rasa khawatir dan akan melakukan kegiatan usaha dengan nyaman dan aman;
3.
disamping itu segi positif dari penerapan per se illegal ini adalah jauhjauh hari si pelaku usaha sudah berupaya untuk mencegah perbuatan yang berpotensi merusak persaingan usaha;
4.
pendek kata, penerapan per se illegal ini sejak awal akan memberitahukan kepada si pelaku usaha perbuatan apa saja yang dilarang, serta menjauhkan para pelaku usaha untuk tidak mencoba melakukannya (L. Budi Kagramanto, 2007: 233-234). Penerapan
per se illegal juga memiliki kekuatan mengikat (self-
enforcing) yang lebih luas daripada larangan-larangan yang bergantung pada evaluasi mengenai pengaruh kondisi pasar yang kompleks. Dengan menggunakan metode pendekatan per se illegal, maka proses pada tingkatan tertentu
dalam
penegakan
hukum
persaingan
usaha
dapat
diperpendek/dipersingkat, mudah serta sederhana karena hanya membutuhkan identifikasi perilaku yang tidak sah dan pembuktian atas perbuatan ilegal secara sederhana. Begitu juga terhadap persekongkolan tender apabila digunakan metode pendekatan per se illegal, maka rumusan pasal mengenai kegiatan tender yang dilarang untuk dilakukan, dimana perbuatan tersebut
sudah dapat terbukti dilakukan dan dapat di proses secara hukum tanpa harus menunjukan akibat-akibat atau kerugian yang secara nyata terhadap persaingan. Konsep per se illegal merupakan konsep yang memudahkan penegakan terhadap persekongkolan tender dibandingkan dengan konsep rule of reason untuk menyatakan bahwa suatu perbuatan yang dituduhkan melanggar
hukum
persaingan
dimana
penegak
hukum
harus
mempertimbangkan keadaan di sekitar kasus untuk menentukan apakah perbuatan itu membatasi persaingan secara tidak patut, dan untuk itu disyaratkan bahwa penegak hukum harus dapat menunjukan akibat-akibat anti persaingan, atau kerugian yang secara nyata terhadap persaingan yang mana rule of reason lebih memfokuskan kepada melihat akibat yang dimunculkan dari suatu perbuatan barulah pasal yang menggunakan rumusan secara rule of reason ini dapat diterapkan. Pengaturan persekongkolan tender dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tidak tepat apabila menggunakan pendekatan rule of reason karena sejak adanya persekongkolan yang akan menghambat persaingan fair sudah ada indikasi kegiatan ilegal. Jadi, klasifikasi seharusnya untuk persekongkolan tender adalah per se illegal dengan konsep yang memudahkan penegakan tehadap persekongkolan tender tanpa harus memfokuskan pada akibat yang dimunculkan seperti konsep rule of reason.
B. Kelemahan Penegakan Hukum oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam Persekongkolan Tender dengan Pendekatan Rule of Reason Konsekuensi dari ketentuan Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tersebut bagi penegak hukum persaingan usaha adalah melaksanakan pendekatan rule of reason. Proses penyelidikan dan pembuktian terhadap persekongkolan tender berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 terlalu rumit, karena KPPU harus menggunakan metode rule of reason. Penggunaan metode tersebut memaksa KPPU harus membuktikan adanya dampak atas persekongkolan tender,
padahal setiap persekongkolan hampir selalu berdampak menghambat dan atau merugikan pelaku usaha yang tidak terlibat. Pembuktian menggunakan pendekatan hukum dan pendekatan ekonomi. Berikut pembuktian yang dilakukan oleh KPPU dengan 2 (dua) cara : 1. Pendekatan Hukum Pendekatan hukum di sini adalah pendekatan rule of reason yang terdiri dari prosedur KPPU berdasarkan Peraturan KPPU Nomor 1 Tahun 2006 tentang tata cara penanganan perkara, yang meliputi : a. Laporan atau Monitoring KPPU Tim pemeriksa pendahuluan dalam KPPU mempunyai tugas mendapatkan pengakuan
Terlapor
berkaitan dengan
dugaan
pelanggaran
yang
dituduhkan dan/atau mendapatkan bukti awal yang cukup mengenai dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Terlapor. Setelah adanya penetapan perlu tidaknya dilakukan pemeriksaan lanjutan terhadap kasus, Tim Pemeriksa Lanjutan bertugas menemukan bukti ada tidaknya pelanggaran dan menyerahkan hasil pemeriksaan pada Komisi. Setelah itu Majelis Komisi bertugas menilai, menyimpulkan dan memutuskan terjadi atau
tidaknya
pelanggaran,
menjatuhkan
sanksi
berupa tindakan
administratif kepada Terlapor yang terbukti melanggar dan membacakan putusannya dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum. Sedangkan monitoring terhadap Pelaku Usaha yang diduga atau patut diduga melakukan pelanggaran berdasarkan data dan informasi yang berkembang di masyarakat.
Monitoring dilakukan untuk menemukan
kejelasan tentang ada atau tidaknya dugaan pelanggaran melalui keterangan dan/atau data terkait dengan kegiatan pelaku usaha, instansi pemerintah dan penelitian terhadap surat, dokumen atau alat bukti lainnya. Hasil disajikan dalam bentuk Resume Monitoring yang memuat identitas pelaku usaha dan perjanjian dan/atau kegiatan yang diduga melanggar dan mengakibatkan terjadinya persaingan yang tidak sehat. Monitoring
dilakukan dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari dan dapat diperpanjang 60 (enam puluh) hari. Jadi, dapat dibayangkan praktek terhadap monitoring dapat berlangsung dalam waktu lama untuk membuktikan adanya persekongkolan tender, sedangkan kelemahan pada laporan bahwa tidak semua pihak dengan mudah melapor, kemungkinan hanya pihak-pihak yang dirugikan dalam persekongkolan tender tersebut. b. Penelitian dan Klarifikasi Laporan Penelitian dan klarifikasi dilakukan untuk menemukan kejelasan dan kelengkapan tentang dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Sekretariat Komisi terhadap Laporan dan/atau meminta klarifikasi kepada pihak Pelapor dan/atau pihak lain. Terhadap Laporan yang dinilai jelas dan lengkap dilakukan Pemberkasan untuk dilakukan Gelar Laporan. Penelitian dan klarifikasi laporan dilakukan selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari dan dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari. c. Pemberkasan Sekretariat Komisi melakukan pemberkasan terhadap resume laporan dan resume monitoring dan dilakukan untuk menilai layak atau tidaknya dilakukan Gelar Laporan. Hasil pemberkasan dituangkan dalam bentuk Berkas Laporan Dugaan Pelanggaran. Terhadap berkas laporan yang ditemukan belum layak untuk dilakukan Gelar Laporan maka Sekretariat Komisi melakukan perbaikan sehingga jelas dan lengkap, sedangkan apabila berkas laporan tetap tidak jelas dan lengkap maka Sekretariat Komisi
merekomendasikan
kepada
Komisi
untuk
menghentikan
penanganan laporan dimaksud dan mencatatnya dalam Buku Daftar Penghentian Laporan yang selanjutnya diberitahukan kepada pelapor. Jangka waktu pemberkasan dilakukan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari. d. Gelar Laporan Sekretariat Komisi memaparkan Laporan Dugaan Pelanggaran dalam suatu Gelar Laporan yang dilakukan dalam suatu Rapat Gelar Laporan yang dihadiri oleh Pimpinan Komisi dan sejumlah anggota Komisi yang
memenuhi kuorum. Komisi akan menilai layak atau tidaknya dilakukan Pemeriksaan Pendahuluan terhadap Laporan Dugaan Pelanggaran dan Pemeriksaan
Pendahuluan
dilakukan
melalui
penetepan
yang
ditandatangani Ketua Komisi yang mana penetapan tersebut disampaikan kepada Pelapor dan Terlapor (termasuk pemeriksaan pendahuluan). Sedangkan apabila Lpaoran Dugaan Pelanggaran tidak layak untuk dilakukan Pemeriksaan Pendahuluan, maka Komisi menetapkan untuk tidak dilakukan Pemeriksaan Pendahuluan. Gelar Laporan dilakukan selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari sejak selesainya pemberkasan. e. Pemeriksaan Pendahuluan Pemeriksaan pendahuluan dilakukan oleh Tim Pemeriksa Pendahuluan yang terdiri dari sekurang-kurangnya 3 Pemeriksaan Pendahuluan dilakukan
(tiga) anggota Komisi.
untuk mendapatkan pengakuan
Terlapor bekaitan dengan dugaan pelanggaran yang dituduhkan dan/atau mendapatkan bukti awal yang cukup. Tim Pemeriksa Pendahuluan memanggil Terlapor untuk dimintakan keterangan dan kesediaannya untuk mengakhiri perjanjian dan/atau kegiatan yang diduga melanggar, sedangkan untuk bukti awal yang cukup dapat dilakukan panggilan dan pemeriksaan terhadap pihak-pihak yang dianggap mengetahui terjadinya pelanggaran dan alat bukti berupa surat, dokumen dan lainnya. Setelah tim pemeriksa pendahuluan menyimpulkan pengakuan terlapor dan/atau bukti awal yang cukup, maka kesimpulan disusun dalam bentuk Laporan Hasil Pemeriksaan Pendahuluan yang berisi dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh terlapor, pengakuannya dan rekomendasi perlu tidaknya pemeriksaan lanjutan. Selanjutnya ditentukan dalam Rapat Komisi terkait status Terlapor. Apabila Terlapor tidak bersedia mengakhiri perjanjian dan/atau kegiatannya, Tim Pemeriksa Pendahuluan memberikan kesempatan untuk mengajukan pembelaan diri dalam pemeriksaan lanjutan dengan memberikan keterangan baik lisan maupun tertulis, menyampaikan bukti pendukung dan/atau mengajukan saksi dan ahli. Pemeriksaan pendahuluan dilakukan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak ditetapkan.
Komisi dapat menetapkan tidak perlu dilakukan Pemeriksaan Lnjutan meskipun terdapat dugaan pelanggaran apabila terlapor menyatakan bersedia melakukan perubahan perilaku. Perubahan perilaku dapat dilakukan dengan membatalkan perjanjian dan/atau menghentikan kegiatan yang diduga melakukan pelanggaran dan/atau membayar kerugian akibat dari pelanggaran yang dilakukan. Perubahan perilaku dilakukan paling lama 60 (enam puluh) hari dan Komisi melakukan monitoring terhadap perubahan perilaku. f. Pemeriksaan Lanjutan Pemeriksaan lanjutan dilakukan oleh Tim Pemeriksa Lanjutan yang terdiri dari sekurang-kurangnya 3 (tiga) anggota Komisi. Pemeriksa Lanjutan dilakukan untuk menemukan ada tidaknya bukti pelanggaran. Untuk menemukan ada tidaknya bukti pelanggaran dilakukan serangkaian kegiatan antara lain : memeriksa dan meminta keterangan Terlapor; memeriksa dan meminta keterangan dari Saksi, Ahli dan Instansi Pemerintah; meminta, mendapatkan dan menilai surat, dokumen atau alat bukti lain; dan melakukan penyelidikan terhadap kegiatan Terlapor atau pihak lain terkait dengan dugaan pelanggaran. Penyelidikan dilakukan di lokasi dimana keterangan dan/atau bukti terkait dugaan pelanggaran dapat ditemukan. Sebelum pemeriksaan lanjutan berakhir, Tim Pemeriksa Lanjutan menyimpulkan ada tidaknya bukti telah terjadi pelanggaran. Pemeriksaan Lanjutan dilakukan dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari dan dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak ditetapkannya penetapan pemeriksaan lanjutan. g. Sidang Majelis Komisi Majelis Komisi dibentuk sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga) orang Anggota Komisi yang dipimpin oleh seorang Ketua Majelis dan 2 (dua) orang Anggota Majelis untuk memutuskan telah terjadi atau tidak terjadi. Sidang Majelis Komisi dilakukan untuk menilai, menyimpulkan dan memutuskan perkara berdasarkan bukti yang cukup tentang telah terjadi atau tidak terjadinya pelanggaran. Pada Sidang pertama Majelis Komisi
memberikan kesempatan kepada Terlapor untuk menyampaikan pendapat atau pembelaannya terkait dengan dugaan pelanggaran yang dituduhkan. Pendapat atau pembelaan Terlapor dapat disampaikan secara tertulis atau lisan dan dapat menyampaikan bukti tambahan dalam sidang Majelis. Majelis Komisi memutuskan telah terjadi atau tidak terjadi pelanggaran berdasarkan penilaian Hasil Pemeriksaan Lanjutan dan seluruh surat dan/atau dokumen atau alat bukti lain yang disertakan di dalamnya termasuk pendapat atau pembelaan Terlapor. Keputusan Majelis Komisi disusun dalam bentuk Putusan Komisi dan apabila telah terbukti terjadi pelanggaran, Majelis Komisi dalam putusannya menyatakan Terlapor telah melanggar ketentuan undang-undang dan menjatuhkan sanksi administratif sesuai dengan ketentuan undang-undang. Putusan Komisi dibacakan dalam suatu Sidang Majelis Komisi yang terbuka untuk umum dengan memberitahukan kepada Terlapor tentang waktu dan tempatnya. Putusan Komisi dibacakan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak berakhirnya jangka waktu pemeriksaan lanjutan. Dari prosedur yang dilakukan untuk mengetahui perjanjian atau kegiatan yang dilarang dalam persaingan usaha apalagi dari proses laporan atau monitoring sampai Sidang Majelis membutuhkan waktu maksimal 494 hari efektif. Apabila hari kerja KPPU dalam 1 (satu) bulan maksimal 20 (dua puluh) hari, maka perhitungan terhadap prosedur yang ada adalah 24 (dua puluh empat) bulan 14 (empat belas) hari. Hampir 2 (dua) tahun lebih KPPU berkutat untuk memperjuangkan penegakan terhadap persekongkolan tender. Hal
ini
menimbulkan
ketimpangan
terhadap
kecenderungan
kasus
persekongkolan tender padahal kasus persekongkolan tender mendominasi perkara di KPPU. Jangka waktu tersebut belum termasuk upaya hukum setelah adanya Putusan Komisi. Berikut ini skema tata cara penanganan perkara oleh KPPU secara umum yang diterapkan juga dalam perkara persekongkolan tender.
Mahkamah Agung
Putusan PN
Pengadilan Negeri
Putusan KPPU
Berhenti
Sidang Majelis Tidak Perilaku Beruba h
Pemeriksaan Lanjutan Tidak
Monitoring Perubahan Perilaku
Menerim a
Terbukt i Pemeriksaan Pendahuluan Gelar Laporan Pemberkasan Klarifikasi
Monitoring
Laporan
Bagan 7. Tata Cara Penanganan Perkara
Selain pada pembuktian secara prosedural, KPPU harus dapat melihat indikasi-indikasi terjadinya persekongkolan tender yang meliputi : 1. Indikasi persekongkolan pada saat perencanaan, meliputi : a. pemilihan metode pengadaan yang menghindari pelaksanaan tender secara terbuka. b. pencantuman spesifikasi teknik, jumlah, mutu dan/atau Waktu penyerahan barang yang akan ditawarkan atau dijual atau dilelang yang hanya dapat disuplai oleh satu pelaku usaha tertentu. c. tender dibuat dalam paket yang hanya satu atau dua peserta tertentu yang dapat mengikuti/melaksanakannya. d. ada keterkaitan antara sumber pendanaan dan asal barang/jasa. e. nilai uang jaminan lelang ditetapkan jauh lebih tinggi daripada nilai dasar tender. f. penetapan tempat dan waktu lelang yang sulit dicapai dan diikuti. 2. Indikasi persekongkolan pada saat pembentukan Panitia, antara lain meliputi : a. Panitia yang dipilih tidak memiliki kualifikasi yang dibutuhkan sehingga mudah dipengaruhi. b. panitia terafiliasi dengan pelaku usaha tertentu. c. Susunan dan kinerja Panitia tidak diumumkan atau cenderung ditutup-tutupi. 3. Indikasi persekongkolan pada saat prakualifikasi perusahaan atau pra tender, antara lain meliputi : a. persyaratan untuk mengikuti prakualifikasi membatasi dan/atau mengarah kepada pelaku usaha tertentu. b. adanya kesepakatan dengan pelaku usaha tertentu mengenai spesifikasi, merek, jumlah, tempat dan/atau waktu penyerahan barang dan jasa yang akan ditender atau dielangkan. c. adanya kesepakatan mengenai cara, tempat dan/atau waktu pengumuman tender. d. Adanya pelaku usaha yang diluluskan dalam prakualifikasi walaupun tidak atau kurang memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. e. Panitia memberikan perlakuan khusus/istimewa kepada pelaku usaha tertentu. f. adanya persyaratan tambahan yang dibuat setelah prakualifikasi dan tidak diberitahukan kepada semua peserta. g. adanya pemegang saham yang sama di antara peserta atau Panitia atau pemberi pekerjaan maupun pihak lain yang terkait langsung dengan tender (benturan/kepentingan). 4. Indikasi persekongkolan pada saat pembuatan persyaratan untuk mengikuti tender maupun pada saat penyusunan dokumen tender antara lain meliputi adanya persyaratan tender/lelang yang mengarah kepada
5.
6.
7.
8.
pelaku usaha tertentu terkait dengan sertiikasi barang, mutu, kapasitas dan waktu penyerahan yang harus dipenuhi. Indikasi persekongkolan pada saat pengumuman tender, antara lain meliputi : a. Jangka waktu pengumuman tender yang sangat terbatas. b. Informasi dalam pengumuman tender dengan sengaja dibuat tidak lengkap dan tidak memadai. Sementara informasi yang lebih lengkap diberikan hanya kepada pelaku usaha tertentu. c. Pengumuman tender dilakukan melalui media dengan jangkauan yang sangat terbatas, misalnya pada surat kabar yang tidak dikenal ataupun pada papa pengumuman yang jarang dilihat publik atau pada surat kabar dengan jumlah eksemplar yang tidak menjangkau sebagian besar target yang diinginkan. d. Pengumuman tender dimuat pada surat kabar dengan ukuran iklan yang sangat kecil atau pada bagian/lay-out surat kabar yang seringkali dilewatkan oleh pembaca yang menjadi target tender. Indikasi persekongkolan pada saat pengembalian dokumen tender antara lain meliputi : a. Dokumen tender yang diberikan tidak sama bagi seluruh calon peserta tender. b. Waktu pengambilan dokumen tender yang diberikan sangat terbatas. c. Alamat atau tempat pengambilan dokumen tender sulit ditemukan oleh calon peserta tender. d. Panitia memindahkan tempat pengambilan dokumen tender secara tiba-tiba menjelang penutupan waktu pengambilan dan perubahan tersebut tidak diumumkan secara terbuka. Indikasi persekongkolan pada saat penentuan Harga Perkiraan Sendiri atau harga dasar tender, antara lain meliputi : a. Adanya dua atau lebih harga perkiraan sendiri atau harga dasar atas satu produk atau jasa yang ditender. b. Harga perkiraan sendiri atau harga dasar ditentukan berdasarkan pertimbangan yang tidak jelas dan tidak wajar. Indikasi persekongkolan pada saat penjelasan tender atau open house, antara lain meliputi : a. informasi atas barang/jasa yang ditender tidak jelas dan cenderung ditutupi. b. penjelasan tender dapat diterima oleh pelaku usaha yang terbatas sementara sebagian besar calon peserta lainnya tidak dapat menyetujuinya. c. Panitia bekerja secara tertutup dan tidak memberi layanan atau informasi yang seharusnya diberikan secara terbuka. d. Salah satu calon peserta tender melakukan pertemuan tertutup dengan Panitia.
9. Indikasi persekongkolan pada saat penyerahan dan pembukaan dokumen atau kotak penawaran tender, antara lain meliputi : a. adanya dokumen penawaran yang diterima setelah batas waktu. b. adanya dokumen yang dimasukkan dalam satu amplop bersamasama dengan penawaran peserta tender yang lain. c. adanya penawaran yang diterima oleh Panitia dari pelaku usaha yang tidak mengikuti atau tidak lulus dalam proses kualifikasi atau proses administrasi. d. terdapat penyesuaian harga penawaran pada saat-saat akhir sebelum memasukkan penawaran. e. adanya pemindahan lokasi/tempat penyerahan dokumen penawaran secara tiba-tiba tanpa pengumuman. 10. Indikasi persekongkolan pada saat evaluasi dan penetapan pemenang tender, antara lain meliputi : a. jumlah peserta tender yang lebih sedikit dari jumlah peserta tender dalam tender sebelumnya. b. harga yang dimenangkan jauh lebih tinggi atau lebih rendah dari harga tender sebelumnya oleh perusahaan atau pelaku usaha yang sama. c. para peserta tender memasukkan harga penawaran yang hampir sama. d. peserta tender yang sama, dalam tender yang berbeda mengajukan harga yang berbeda untuk barang yang sama tanpa alasan yang logis untuk menjelaskan perbedaan tersebut. e. Panitia cenderung untuk memberi keistimewaan pada peserta tender tertentu. f. adanya beberapa dokumen penawaran tender yang mirip. g. adanya dokumen penawaran yang ditukar atau dimodifikasi oleh Panitia. h. Proses evaluasi dilakukan di tempat yang terpencil atau tersembunyi. i. perilaku dan penawaran para peserta tender dalam memasukkan penawaran mengikuti pola yang sama dengan beberapa tender sebelumnya. 11. Indikasi persekongkolan pada saat pengumuman calon pemenang, antara lain meliputi : a. Pengumuman diumumkan secara terbatas sehingga pengumuman tersebut tidak diketahui secara optimal oleh pelaku usaha yang memenuhi persyaratan, misalnya diumumkan pada media massa yang tidak jelas atau diumumkan melalui faksimili dengan nama pengirim yang jelas. b. Tanggal pengumuman tender ditunda dengan alasan yang tidak jelas. c. Peserta tender memenangkan tender cenderung berdasarkan giliran yang tetap.
d. Ada peserta tender yang memenangkan tender secara teru-menerus di wilayah tertentu. e. Ada selisih harga yang besar antara harga yang diajukan pemenang tender dengan harga penawaran peserta lainnya dengan alasan yang tidak wajar atau tidak dapat dijelaskan. 12. Indikasi persekongkolan pada saat pengajuan sanggahan, antara lain meliputi : a. Panitia tidak menanggapi sanggahan peserta tender. b. Panitia cenderung menutup-nutupi proses dan hasil evaluasi. 13. Indikasi persekongkolan pada saat penunjukan pemenang tender dan penandatanganan kontrak, antara lain meliputi : a. Surat penunjukan pemenang tender telah dikeluarkan sebelum proses sanggahan diselesaikan. b. Penerbitan surat penunjukan pemenang tender mengalami penundaan tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. c. Surat penunjukan pemenang tender tidak lengkap. d. Konsep kontrak dibuat dengan menghilangkan hal-hal penting yang seharusnya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kontrak. e. Penandatanganan kontrak dilakukan secara tertutup. f. Penandatanganan kontrak mengalami penundaan tanpa alasan yang tidak dapat dijelaskan. 14. Indikasi persekongkolan pada saat pelaksanaan dan evaluasi pelaksanaan, antara lain meliputi : a. Pemenang tender mensub-kontrakkan pekerjaan kepada perusahaan lain atau peserta tender yang kalah dalam tender tersebut. b. Volume atau nilai proyek yang diserahkan tidak sesuai dengan ketentuan awal tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. c. Hasil pengerjaan tidak sesuai atau lebih rendah dibandingkan dengan ketentuan yang diatur dalam spesifikasi teknis tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan (KPPU, 2008: 12-16). Dari penjabaran di atas perlu diperhatikan bahwa hal-hal tersebut merupakan indikasi persekongkolan yang terbatas pada muara adanya persekongkolan tender yang menciptakan persaingan usaha tidak sehat. Sedangkan bentuk atau perilaku persekongkolan maupun ada tidaknya persekongkolan tersebut harus dibuktikan melalui pemeriksaan oleh Tim Pemeriksa atau Majelis KPPU. Hal ini dapat berakibat pada penelitan, pengkajian bahkan persidangan membutuhkan waktu yang cukup lama.
Selain dari indikasi-indikasi terjadinya persekongkolan tender, terdapat juga modus-modus beroperasinya persekongkolan tender yang dapat dianalisis meliputi : 1. Tekanan terhadap penawaran (Bid Suppression) artinya bahwa satu atau lebih penawar setuju untuk tidak mengikuti pelelangan atau menarik penawaran yang telah diajukan sebelumnya dan memberi kesempatan agar penawar lain dapat memenangkan pelelangan tersebut. Berdasarkan metode ini persekongkolan dapat dilakukan oleh 1 (satu) atau lebih pelaku usaha dan di dalamnya terjadi pemaksaan yang dilakukan di antara para peserta tender agar yang lain bersedia menahan diri bahkan dipaksa untuk menarik diri dari persaingan penawaran harga. 2. Penawaran yang Saling Melengkapi (Complementary Bidding) yaitu kesepakatan di antara para penawar dimana dua atau lebih penawar setuju terhadap siapa yang akan memenangkan penawaran dengan mengatakan harga yang direncanakan sehingga penawar lain akan melakukan penawaran dengan harga yang lebih tinggidi tingkat harga yang ditentukan. Tindakan tersebut menciptakan seolah-olah terdapat persaingan yang sesungguhnya di antara mereka. 3. Perputaran Penawaran atau Arisan Tender (Bid Rotation) adalah pola penawaran tender dimana satu dari penawar setuju untuk kembali sebagai penawar yang paling rendah. Dalam hal ini penawar tender (selain pemenang yang sudah ditentukan sebelumnya) secara bersama-sama akan menawar setinggi-tingginya, sebelum sampai pada gilirannya untuk memenangkan tender. Seringkali perputaran ini menetapkan adanya jaminan bahwa mereka akan mendapat giliran untuk memenangkan tender. 4. Pembagian Pasar (Market Division) adalah pola penawaran tender yang terdiri dari beberapa cara untuk memenangkan tender melalui pembagian pasar. Melalui metode ini, para penawar dapat merancang wilayah
geografis maupun pelanggan tertentu sehingga jika terdapat kontrak di wilayah tertent, seluruh penawar sudah mengetahui penawar mana yang akan memenangkan tender (http://www.oecd.org/competition). Modus-modus tersebut menjadi cara-cara memuluskan pelaku usaha yang bersekongkol dalam penawaran tender. Selain harus pandai mendeteksi indikasi maupun modus-modusnya, rule of reason diterapkan juga melalui pendekatan ekonomi. 2. Pendekatan Ekonomi Pendekatan ekonomi dilakukan dengan menggunakan keahlian ekonomi dan melihat peluang-peluang seperti : a. Relevant Market yang erat kaitannya dengan pengukuran pasar dan ini merupakan salah satu tugas penting dalam menganalisis adanya tingkat persaingan pasar yang bersangkutan. b. Market power (kekuatan pasar) yang sangat berkaitan dengan pangsa karena pelaku usaha dalam kekuatan pasar yang ditentukan berdasarkan pada pangsa pasar yang dikuasainya. Pangsa pasar di sini mencerminkan kekuatan pasar dari sisi pelaku usaha dan kekuatan pasar tersebut digunakan
untuk
mengatur
harga
supra
kompetitif
atau
untuk
meenghambat adanya persaingan. c. Barrier to entry (hambatan masuk pasar yang bersangkutan) bagi pelaku usaha merupakan persoalan serius dalam rangka melakukan kegiatan usahanya lancar. Salah satu cara yang ditempuh oleh pelaku usaha adalah mengurangi hambatan untuk masuk ke pasar yang bersangkutan dan ini merupakan metode yang baik atau dapat pula dikatakan sebagai hal bermanfaat bagi persaingan usaha. d. Strategi harga, dalam pendekatan perilaku, harga merupakan salah satu tolok ukur untuk mengamati apakah terdapat dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 atau tidak. Diperlukan suatu pengetahuan yang memadai mengenai bagimana proses terjadinya
pembentukan harga pasar, pertimbangan serta strategi yang sekiranya dapat digunakan oleh pelaku usaha untuk menentukan harga dan tingkat harga yang ada pada pasar tertentu. Menurut ilmu ekonomi, pasar yang paling ideal adalah pasar yang bersaing sempurna (perfect competition market), pasar dikatakan mempunyai sifat persaingan sempurna apabila memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1.
barang yang diperjualbelikan homogen;
2.
jumlah penjual dan pembeli sangat banyak;
3.
tidak ada hambatan bagi setiap penjual untuk masuk atau keluar pasar;
4.
penjual dan pembeli mengetahui seluruh informasi pasar secara sempurna.
Hukum harus mampu berpartisipasi agar idealisme pasar dapat tercapai dan tidak merugikan para pelaku usaha. Pada dasarnya, persaingan dalam suatu perekonomian modern adalah sesuatu yang penting dan wajar sehingga pelaku usaha wajar sehingga pelaku usaha wajar juga apabila menginginkan keuntungan. Yang mana sasaran utamanya adalah keseimbangan kepentingan yang wajar dan jujur antara kelompok pelaku usaha dengan kepentingan publik serta pelaksanaan etika bisnis dengan penuh kesadaran (Sri Redjeki Hartono, 2007: 140-142). Dalam hukum ekonomi, hukum persaingan usaha lebih mencerminkan ideologi atau filsafat suatu perekonomian . Hukum ini merupakan filsafat perekonomian yang sekarang diterima secara meluas di seluruh dunia yang merupakan pendukung utama sistem perencanaan perekonomian pusat. Penerapan rule of reason dalam persekongkolan tender dari norma yang diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yang mana perangkat peraturan yang diturunkan atau dihasilkan dalam asas-asas hukum ekonomi merupakan perangkat hukum yang ideal secara filosofis, yuridis dan sosiologis karena memberikan keadilan, kepastian dan pengaturan yang berlaku baik bagi produsen maupun konsumen sebagai unsur pelaku ekonomi. Hukum ekonomi yang bersumber dari asas-asas hukum publik dan asas-asas hukum perdata
sekaligus dapat mengakomodasi kebutuhan hukum yang ada. Perangkat hukum yang diutamakan adalah perangkat peraturan antara lain tentang legalitas berusaha dan legalitas kegiatan berusaha termasuk perizinan dan pengawasan. Asas-asas utama hukum ekonomi, yaitu : asas campur tangan negara terhadap kegiatan ekonomi pada umumnya, asas pengawasan publik yang bertanggung jawab, asas keterbukaan dan bertanggung jawab, dan asas keseimbangan kepentingan (Sri Redjeki Hartono, 2007: 124-125). Asas-asas tersebut diwujudkan dalam rangka pencapaian dari tujuan adanya peraturan persaingan usaha dalam lingkup pengawasan. Pada dasarnya persekongkolan tender menurut Pasal 22 UndangUndang No. 5 Tahun 1999 itu dilarang. Ada dua alasan mengapa persekongkolan tender itu dilarang yaitu
pertama, secara langsung dapat
menimbulkan persaingan usaha tidak sehat serta bertentangan dengan tujuan dilaksanakannya tender itu sendiri yaitu untuk memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada para pelaku usaha. Kedua, secara tidak langsung dapat menimbulkan kerugian keuangan negara melalui tender pemerintah yang sering dilakukan penggelembungan anggaran (mark up). Persekongkolan tender membawa dampak buruk yakni antara lain konsumen atau pemberi kerja akan membayar harga lebih mahal daripada harga sesungguhnya, barang atau jasa yang diperoleh dari segi mutu, jumlah, waktu serta nilai seringkali lebih rendah dari yang akan diperoleh apabila tender dilakukan secara benar, jujur dan transparan. Terjadi hambatan pasar bagi peserta tender potensial yang tidak memperoleh kesempatan untuk mengikuti serta memenangkan tender dan nilai proyek menjadi lebih tinggi akibat praktek mark up yang dilakukan oleh pihak-pihak bersekongkol. Tender pada proyek pemerintah (melalui APBN) apabila dilakukan dengan cara bersekongkol akan menimbulkan ekonomi biaya tinggi (high cost economic).
3. Pembuktian Terhadap Korupsi Selain dari prosedur, kesulitan lain adalah membuktikan adanya dampak atas persekongkolan tender, dalam hal ini persekongkolan tender adalah dampak terhadap kerugian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kerugian APBN tidak semudah itu dapat terlihat karena anggarananggaran yang ditetapkan untuk masing-masing instansi sudah dari awal anggaran. Hal yang berkaitan erat dengan kerugian APBN adalah korupsi. Pemerintah Indonesia saat ini berusaha mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih sebagai upaya mewujudkan sistem pemerintahan yang bebas KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Salah satu contoh dalam keinginan tersebut adalah melalui Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (selanjutnya disingkat Keppres No. 80 Tahun 2003). Pembentukan Keppres ini bertujuan agar pengadaan barang/jasa instansi Pemerintah dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien dengan prinsip persaingan sehat, transparan, terbuka dan perlakuan yang adil dan layak bagi semua pihak terkait sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan baik dari segi fisik, keuangan maupun manfaatnya bagi kelancaran tugas pemerintah dan pelayanan masyarakat. Apabila pengadaan barang/jasa atau tender dilakukan dengan adanya konspirasi, maka tujuan Keppres No. 80 Tahun 2003 ini tidak tercapai dan otomatis akan menghambat penyelenggaraan negara yang bersih tadi. Pasal 10 Keppres
No. 80 Tahun 2003 mengatur bahwa panitia
pengadaan barang wajib dibentuk untuk semua pengadaan dengan nilai di atas Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), artinya bahwa semua pengadaan proyek di atas nilai tersebut harus dilakukan melalui penawaran umum. Ketentuan ini menyebabkan banyak proyek-proyek yang harus dilakukan dengan cara penawaran tender secara terbuka sehingga semakin besar pula kemungkinan
terjadinya
persekongkolan
penawaran
tender.
Negara
merupakan sebuah organisasi birokrasi besar yang selalu membutuhkan barang dan jasa untuk keperluan pengelolaan pemerintahan dan pemberian jasa pelayanan kepada publik. Sistem pengadaan barang dan jasa yang terkait
dengan sektor publik perlu disempurnakan dengan tetap memperhatikan norma-norma serta prosedur yang ada yakni sesuai Keppres No. 80 Tahun 2003 sebagai salah satu pencegahan korupsi birokrasi dari penawaran tender. Adapun latar belakang Keppres No. 80 Tahun 2003 dikaji dari hal-hal sebagai berikut : 1. Proses pengadaan barang dan jasa pemerintah harus bersifat efisien; 2. Lemahya daya saing nasional; 3. Pendekatan yang protektif; 4. Mekanisme pengadaan barang dan atau jasa; 5. Kerangka kerja yang efisien, efektif dan konsisten; dan 6. Proses seleksi berdasarkan pada spesifikasi dan kualifikasi. Keppres No. 80 Tahun 2003 juga mengatur tentang persyaratan kepemilikan sertifikat keahlian yang merupakan sebagai tanda bukti pengakuan atas kompetensi serta kemampuan profesi bidang pengadaan barang dan atau jasa pemerintah. Sertifikat tersebut harus dimiliki seseorang untuk diangkat sebagai pengguna barang/jasa atau sebagai panitia/pejabat pengadaan barang/jasa. Selain itu terdapat pula sistematika yang disesuaikan dengan proses pengadaan barang dan jasa pada umumnya yang meliputi tahap persiapan pengadaan barang/jasa dan proses pelaksanaan pengadaan dengan penyedia barang/jasa. Pada tahap persiapan yang perlu diperhatikan adalah meliputi
perencanaan
pengadaan,
pembentukan
panitia
pengadaan,
penyusunan harga perkiraan sendiri/harga dasar tender, penyusunan jadwal pelaksanaan serta penyusunan dokumen pengadaan barang/jasa oleh pemerintah yang dapat dilakukan dengan pengadaan yang yang dilakukan oleh penyedia barang dan jasa serta pengadaan yang dilakukan secara swakelola. Secara teoritis dan universal kesejahteraan konsumen dan efisiensi merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan karena baik kesejahteraan konsumen maupun efisiensi akan bertambah baik dengan semakin tingginya persaingan
dibandingkan
persaingannya
rendah
jika tidak bahkan
terjadi
tidak
ada
persaingan sama
atau
sekali.
tingkat Dengan
memperbandingkan harga serta output persekongkolan dengan harga serta
output patokan dari suatu model pasar persaingan sehat, maka akan dapat dipahami bagaimana tingkat persaingan akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan konsumen dan efisiensi yang dilakukan oleh produsen. Menurut
Soemitro
Djojohadikusumo,
perilaku
serta
kegiatan
persekongkolan dalam tender pengadaan barang dan jasa milik pemerintah ini dapat merugikan serta menimbulkan kebocoran negara hingga mencapai 3050% dari nilai anggaran belanja barang dan jasa. Sedangkan menurut laporan Bank Dunia (Country Procurement Assestment Report) bahwa kebocoran dalam tender pengadaan barang dan jasa pemerintah di Indonesia berkisar antara 10-50% jasa dari nilai anggaran untuk belanja barang serta belanja modal. Tender pengadaan barang dan jasa di sekitar pemerintahan merupakan besaran yang sangat signifikan bagi Indonesia. Jika Indonesia dapat mengendalikan kegiatan tender barang dan jasa di sektor pemerintahan dengan baik dan benar, maka penghematan maupun penghilangan kebocoran akan terjadi dengan signifikan pula. Pada gilirannya hal itu akan mendorong terjadinya realokasi terhadap sumber daya Negara ke arah yang lebih produktif dan bernilai guna. Kenyataan menunjukkan bahwa perkara persekongkolan tender yang ditangani oleh KPPU ini lebih banyak dilakukan karena adanya intervensi pejabat birokrasi terhadap panitia tender yang tidak lain adalah bawahannya. Ini merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya persekongkolan tender di Indonesia. Oleh karena persekongkolan tender berkaitan erat dengan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), maka para pelaku usaha sering merasa lebih leuasa bertindak tanpa khawatir terjerat oleh Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, Keppres No. 80 Tahun 2003 dan peraturan terkait lainnya karena hampir tidak ditemukan adanya dokumen secara tertulis yang menyatakan keterlibatan mereka. Hal ini merupakan kelebihan tersendiri dari praktek persekongkolan tender.
Faktor-faktor lain yang menjadi penyebab terjadinya persekongkolan tender yang sarat dengan KKN, antara lain meliputi : 1. Penegakan hukum yang inkonsisten Penegakan hukum hanya digunakan sebagai make up politik yang sifatnya sementara, banyak sekali peraturan yang berkaitan dengan tender pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah selalu berubah dan bahkan setiap
tahunnya
peraturannya
berubah
sesuai
dengan
pergantian
pemerintahan. Dan masih terdapat pelanggaran peraturan yang ada tersebut baik oleh panitia tender maupun para pelaku usaha. 2. Penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang Persekongkolan tender banyak terjadi karena adanya penyalahgunaan kekuasaan maupun wewenang sehingga para pelakunya berasumsi bahwa takut dianggap bodoh ataupun ceroboh bila tidak menggunakan kesempatan yang ada untuk bersekongkol dalam tender pengadaan barang dan jasa. Para pelaku usaha berbondong-bondong bahkan berusaha berebut untuk berusaha mendapatkan pekerjaan proyek melalui seleksi yang tidak benar baik tidak transparan, penuh diskriminasi dan setelah itu dengan kekuasaannya ataupun kewenangan yang dimilikinya dapat mempengaruhi proses serta pelaksanaan tender. Peluang ini dapat dilihat dari adanya jenis persekongkolan baik vertikal, horisontal maupun vertikal horisontal yang bersifat kolusif serta mengarah pada tindakan korupsi. 3. Terbatasnya lingkungan anti korupsi Terbatasnya lingkungan yang menerapkan prinsip antikorupsi dan nepotisme menjadi salah satu penyebab terjadinya persekongkolan tender. Hal ini disebabkan adanya sistem dan pedoman yang dimiliki berkaitan dengan penerapan prinsip antikorupsi yang sangat terbatas dan hanya sebatas formalitas. 4. Rendahnya pendapatan Penyebab terjadinya persekongkolan tender lainnya bermotif korupsi adalah rendahnya pendapatan bulanan yang diterima penyelenggara negara. Seharusnya dengan pendapatan yang mencukupi mampu
mendorong penyelenggara negara untuk meraih prestasi serta mampu memberikan pelayanan terbaik bagi kepentingan masyarakat. 5. Kemiskinan serta keserakahan Dengan memanfaatkan situasi serta kesempatan yang ada bagi pelaku yang
berkecukupan
leluasa melakukan
tindakan
korupsi
dengan
menghalalkan segala cara guna mendapatkan keuntungan yang optimal yang pada akhirnya mengakibatkan kerugian negara/pemerintah. Lahan yang paling mudah dalam melakukan korupsi adalah melalui media persekongkolan tender pengadaan barang dan jasa pemerintah. 6. Budaya serta karakter bangsa Persekongkolan tender yang erat kaitannya dengan korupsi, timbul karena korupsi itu sendiri merupakan budaya permisif yang mana serba membolehkan serta tidak mau tahu keadaan buruk akibat korupsi yang seringkali mehinggapi para penyelenggara maupun peserta tender. Dalam kegiatan persekongkolan tender korupsi serta nepotisme merupakan suatu hal yang biasa atau lumrah tanpa peduli pada kepentingan orang lain, pelaku usaha lain karena yang terpenting bagi pelaku-pelaku yang terlibat adalah kepentingannya terlindungi. 7. Keuntungan korupsi lebih besar Seseorang yang akan melakukan tindak korupsi dalam persekongkolan tender sudah menghitung dengan cermat keuntungan yang diperoleh secara optimal. Perhitungan tersebut sudah termasuk risiko apabila tertangkap dan menyuap petugas. Kegiatan persekongkolan tender sebenarnya hanya merupakan media bagi pelakunya untuk mendapatkan keuntungan secara melawan hukum (L. Budi Kagramanto, 2007: 128137).
Korupsi telah menjadi musuh besar negara ini dan upaya pemberantasan korupsi tidak akan berhasil jika ditangani hanya oleh aparat penegak hukum. Salah satunya dengan penegakan hukum persaingan usaha yang hendaknya diarahkan juga sebagai upaya pemberantasan korupsi, setidaknya sebagai upaya pencegahan korupsi. Hal ini sangat dimungkinkan karena potensi terjadinya korupsi dengan skala yang lebih besar dapat terkait dengan pelaku usaha yang memiliki sejumlah dana dari keuntungan yang menjadi potensi besar untuk diberikan sebagai illegal fees atau suap atau bentuk lain kepada pejabat pengambil kebijakan. Salah satu ciri pemerintahan yang tinggi tingkat korupsinya adalah kuatnya hubungan antara penguasa atu birokrat terkait dengan pelaku usaha berdasarkan patronase. Pelaku usaha yang memiliki akses terhadap kekuasaan biasanya diberi hak eksklusif dan kemudahan lainnya dengan imbalan proporsional kepada pejabat yang terkait. Pelaku usaha tersebut kemudian bisa dengan leluasamelakukan eksploitasi terhadap konsumen melalui penetapan harga produk yang eksesifuntuk memperoleh keuntungan yang sangat besar (supernomal profit). Dan dari keuntungan supernormal inilah pelaku usaha mampu menyisihkan sejumlah dana yang cukup besar sebagai dana potensial melakukan praktek korupsi guna mempertahankan statusquo atau bahkan ekspansi usaha. Demikian halnya oknum pejabat tersebut akan semakin kuat dan kaya dari hasil pemberian pelaku usaha terkait. Kebijakan dan regulasi digunakan sebagai alat untuk memperkaya diri dan mempertahankan kekuasaannya. Demikian seterusnya dengan prinsip win-win hingga menjadi lingkaran setan (vicious circle) yang tidak mudah diputus (Benny Pasaribu, 2009: 23-24). Corruption is generally defined as the “misuse of a position of trust for dishonest gain.” In an auction context, corruption refers to the lack of integrity of the auctioneer. It occurs whenever the auctioneer twists the auction rules in favor of some bidder(s) in exchange for bribes. Corruption may be a simple bilateral affair between one bidder and the auctioneer, but it may also involve collusion among several bidders who jointly strike a deal
with the auctioneer. Corruption cannot occur in an auction if the seller is also the auctioneer. Corruption is only an issue if the auctioneer is the agent of the seller. Such delegation occurs if the seller lacks the expertise to run the auction himself, or if the seller is a complex organization. It does not matter whether the auctioneer-agent is a specialized auction house, an employee, or a government official. What matters alone is the fact that the auctioneer acts independently on behalf of the seller. Corruption can also not work in an open-bid auction simply because it lacks secrecy. However, open auctions are typically hybrids between open and sealed bid auctions since sealed bids are usually permitted and are indeed widely used. A corrupt auctioneer can then use “magic numbers” (empty envelopes) to rig bids even if some bidders participate in the open auction (Yvan Lengwiler dan Elmar Wolfstetter, 2009: 1-2). Terjemahannya adalah sebagai berikut : Korupsi biasanya menegaskan sebagai
penyalahgunaan posisi dari kepercayaan untuk memperoleh
keuntungan dari ketidakjujuran. Dalam konteks pelelangan, korupsi mengarah pada kurangnya integritas pelelang. Ini terjadi sewaktu-waktu pelelang menyeleweng dari peraturan pelelangan yang murah hati dari beberapa penawar yang bertukar suap. Korupsi mungkin peristiwa bilateral sederhana antara satu penawar dengan pelelang. Tetapi ini mungkin juga keterlibatan sekongkolan di antara beberapa orang penawar yang bersama-sama melakukan transaksi dengan pelelang. Korupsi tidak dapat terjadi di pelelangan jika penjual juga pelelangnya. Korupsi hanya isu jika pelelang adalah agen dari penjual. Seperti perwakilan jika penjual kurang ahli untuk mengambil pelelangan sendiri atau jika penjual suatu organisasi kompleks.. Korupsi tidak dapat terjadi tanpa adanya keterlibatan dengan pihak dari juru lelang atau pihak pengadaan yang biasanya terspesialisasi dari pihak dalam, karyawan maupun birokrat. Permasalahannya, pada faktanya terjadi kebebasan dalam kepentingan juru lelang atau panitia pengadaan. Korupsi tidak dapat bekerja dalam penawaran terbuka karena tidak bersifat rahasia. Bagaimanapun
penawaran terbuka secara khas terjadi terbuka dan ditutup tawaran pada umumnya diijinkan dan sungguh-sungguh luas digunakan. Panitia yang korupsi dapat menggunakan angka yang menakjubkan (amplop kosong) dari hasil persekongkolannya untuk melengkapi beberapa partisipasi penawar dalam tender terbuka”. Efek korupsi ini jelas merugikan keuangan negara apalagi terkait tender-tender
yang diselenggarakan pemerintah
yang
melibatkan birokrat dan sistem yang ada. Apalagi sebagian besar penawaran tender dengan nilai tinggi berasal dari pemerintah dalam hal pengadaan barang dan jasa karena kepentingannya untuk negara. Persekongkolan tender dalam praktek persaingan usaha tidak sehat mempunyai cara atau mekanisme tersendiri agar persekongkolan tersebut dapat berlangsung dan mempunyai hasil memuaskan bagi para pihak. Tender yang berpotensi menciptakan persaingan usaha tidak sehat atau menghambat persaingan usaha adalah : 1. Tender yang bersifat tertutup atau tidak transparan dan tidak diumumkan secara luas, sehingga mengakibatkan para pelaku usaha yang berminat dan memenuhi kualifikasi tidak dapat mengikutinya; 2. Tender bersifat diskriminatif dan tidak dapat diikuti oleh semua pelaku usaha dengan kompetensi yang sama; 3. Tender dengan persyaratan dan spesifikasi teknis atau merek yang mengarah kepada pelaku usaha tertentu sehingga menghambat pelaku usaha lain untuk ikut. Persekongkolan tender yang mana sudah menimbulkan sisi kolusif dalam pengertiannya karena cenderung memperluas kesempatan yang ilegal baik dari pelaku usaha maupun birokrat pemerintah sebagai penyelenggara tender apalagi melibatkan anggaran negara dan penerapan pendekatan rule of reason dengan melihat akibat yang terjadi sehinggacenderung sulit merupakan kelemahan penegakan terhadap persekongkolan tender baik dari segi norma maupun praktek sehingga perkara ini masih mendominasi perkara di KPPU.
Oleh karena itu, perlu ditindaklanjuti penerapan rule of reason dalam praktek penegakan khususnya persekongkolan tender.
4. Dominasi Perkara Persekongkolan Tender di KPPU Implementasi kebijakan persaingan usaha (competition policy) yang efektif dibentuk dari sinergi positif terhadap kewenangan persaingan usaha di suatu negara. Efektivitas implementasi itu diyakini mampu meningkatkan keberhasilan suatu lembaga persaingan usaha itu sendiri. Negara yang memiliki hukum persaingan usaha berada dalam kondisi aktual yang berbeda dalam sistem penegakan hukum persaingan dan kewenangan lembaga persaingan usahanya. Di Indonesia, esensi keberadaan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 pasti memerlukan pengawasan dalam rangka implementasinya yaitu dengan berdirinya KPPU. KPPU adalah sebuah lembaga yang bersifat independen, di mana dalam menangani , memutuskan atau melakukan penyelidikan suatu perkara tidak dapat dipengaruhi oleh pihak mana pun baik pemerintah maupun pihak lain yang memiliki conflict of interest, walaupun dalam pelaksanaan wewenang dan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden. KPPU juga adalah lembaga quasi judicial yang mempunyai wewenang eksekutorial terkait kasus-kasus persaingan usaha (Hermansyah, 2008: 73). Berkaitan dengan KPPU, Syamsul Maarif mengatakan bahwa lembaga ini memiliki yurisdiksi yang luas dan memiliki 4 (empat) tugas utama, yaitu : 1. fungsi hukum, yaitu sebagai satu-satunya institusi yang mengawasi implementasi Undang-Undang No. 5 Tahun 1999; 2. fungsi administratif, disebabkan KPPU bertanggung jawab mengadopsi dan mengimplementasi peraturan-peraturan pendukung; 3. fungsi penengah, karena KPPU menerima keluhan-keluhan dari pelaku usaha, melakukan investigasi independen, melakukan tanya jawab dengan semua pihak yang terlibat, dan mengambil keputusan; dan
4. fungsi polisi, disebabkan KPPU bertanggung jawab terhadap pelaksanaan keputusan yang diambilnya (Hermansyah, 2008: 74). Dalam rangka penegakan hukum, KPPU yang dibentuk berdasarkan UndangUndang No. 5 Tahun 1999 mempunyai tugas dan kewenangan melakukan pencegahan dan penindakan atas pelanggaran hukum persaingan serta memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dan instansi negara terkait. Meskipun menghadapi berbagai kendala, KPPU telah melakukan upaya untuk menegakkan hukum persaingan di Indonesia bahkan lembaga PBB yakni UNCTAD telah memberikan sebuah award sebagai penghargaan kepada KPPU atas kinerja dan efektifitasnya yang relatif baik. Berbagai keberhasilan tersebut dapat ditunjukkan sebagai berikut (Benny Pasaribu, 2009: 29-32) : Pertama, kesadaran stakeholder terhadap pentingnya persaingan usaha yang sehat dapat mengalami peningkatan yang ditandai antara lain dengan peningkatan jumlah laporan masyarakat. Grafik 1. Laporan Perkara Masuk Jumlah
Dari grafik di atas, terlihat bahwa laporan meningkat dari tahun ke tahun. Perkembangan juga menunjukkan bahwa sebaran pelaporan juga semakin meningkat, hal ini terjadi sering dengan adanya peningkatan daya jangkau KPPU melalui kehadiran kantor perwakilan di 5 (lima) daerah ditambah dengan upaya advokasi dan sosialisasi ke berbagai daerah. Kedua, penanganan perkara juga terus meningkat intensitasnya. Selain bersumber dari laporan, perkara di KPPU juga berasal dari hak inisiatif KPPU, yang dilakukan melalui kegiatan kajian industri, penelitian dan monitoring pelaku usaha. Sejak tahun 2000 sampai 2009, KPPU telah melaksanakan sebanyak 110 (seratus sepuluh) kegiatan dengan perkembangan sebagaimana terlihat dalam tabel di bawah ini (KPPU, 2009: 14-15). Pada periode Januari-Juni 2009, KPPU menangani 14 perkara, yang terdiri dari 11 perkara mengenai tender dan 3 perkara non-tender. Total perkara yang ditangani oleh KPPU sejak tahun 2000 hingga Juni 2009 adalah 186 perkara.
Tahun
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Tot
2
5
8
9
9
22
18
31
68
14
186
Jumlah Perkara
Tabel 3. Perkara yang Ditangani
Sampai dengan tengah tahun 2009, KPPU telah menjatuhkan sebanyak 128 putusan, dengan rincian sebagai berikut:
Tahun
Jumlah Putusan
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
2
7
5
7
10
16
14
50
17
Tot
128
Tabel 4. Putusan yang Dijatuhkan
Dari tabel laporan tengah tahun KPPU 2009 tersebut terdapat perkara yang mengalami keterlambatan pada putusannya karena jangka waktu yang dibutuhkan KPPU dalam melaksanakan prosedurnya. Hal ini otomatis akan menjadi kendala tersendiri bagi KPPU dalam tugasnya menegakkan hukum persaingan di Indonesia. Efek rule of reason yang seharusnya dapat diantisipasi sejak awal sangat berimbas pada praktek yang terjadi terutam perkara persekongkolan tender yang mendominasi pelanggaran dalam bidang persaingan usaha.
Grafik 2. Variasi Dugaan Pelanggaran Dominasi perkara persekongkolan tender tersebut seharusnya mendapatkan perhatian khusus untuk penegakan hukum ke depannya karena persekongkolan tender banyak memberikan dampak negatif yang antara lain :
1.
Persekongkolan tender menciptakan hambatan (barrier to entry) Persoalan mengenai hambatan masuk ke pasar bersangkutan bagi pelaku usaha merupakan persoalan serius yang dihadapi dalam rangka melaksanakan kegiatan usaha secara lancar. Mengurangi hambatan masuk ke pasar yang bersangkutan merupakan cara yang baik dan bermanfaat bagi persaingan usaha. Dengan berusaha untuk mempertahankan pelaku usaha pesaing yang beragamnya serta karakternya serta berusaha untuk mencegah terjadinya hambatan masuk ke pasar yang bersangkutan, maka setidak-tidaknya penegakan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 menuju pada arah yang benar. Terjaminnya persaingan yang sehat dan wajar akan membantu perkembangan perusahaan-perusahaan terutama yang baru berkiprah di dunia usaha dalam rangka memenangkan tender karena para peserta tender mempunyai
kesempatan yang sama. Barrier to entry dapat terjadi dapat terjadi pada kegiatan pengadaan barang dan atau jasa tertenu karena pada dasarnya setiap peserta tender mempunyai kepentingan yang sama yaitu berkeinginan untuk menjadi pemenang tender. Dan peluang yang terjadi adalah peserta tender tak segan-segan dalam melakukan penyimpangan untuk mencapai tujuannya. 2.
Persekongkolan tender menimbulkan inefisiensi anggaran pemerintah Secara teoritis dan universal kesejahteraan konsumen dan efisiensi merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan karena baik kesejahteraan konsumen maupun efisiensi akan bertambah baik dengan semakin tingginya persaingan. Pada dasarnya persaingan usaha secara sehat memberikan berbagai keuntungan kepada konsumen, yaitu harga lebih murah, produksi yang lebih banyak, pelayanan yang lebih prima/baik serta pilihan produk yang inovatif, beragam dan banyakjika dibandingkan dengan kondisi dimana persaingan usaha dibatasi. Jika dikaitkan efisiensi erat kaitannya dengan penggunaan sumber daya berupa manusia, mesin serta bahan baku atau bahan mentah lainnya yang dipergunakan untuk memproduksi output secara maksimal dan input tidak digunakan secara sia-sia sehingga produk barang dan atau jasa yang dihasilkan mempunyai nilai tertinggi dan bermanfaat bagi konsumen. Relevansi pertimbangan efisiensi bagi kebijakan persaingan usaha adalah bahwa penggunaan/pemanfaatan sumber daya yang tidak efisien akan mengakibatkan harga/biaya tinggi, output rendah, berkurangnya atau tidak adanya inovasi serta pemborosan sumber daya. Efisiensi itu sendiri terbagi menjadi 2 (dua) sifat yaitu efisiensi yang bersifat statik dapat digambarkan sebagai efisiensi dalam memproduksi barang dan atau jasa dengan bahan serta proses yang tersedia atau ada sekarang, sedangkan efisiensi yang bersifat dinamis atau teknis berkembang yang digambarkan sebagai efisiensidi masa depan yang dimulai dari proses atau inovasi produk. Yang utama adalah kaitannya dengan pendapatan dan pengeluaran keuangan negara diatur secara rinci dan sistematis dalam APBN maupun APBD melalui mekanisme APBN dan APBD tersebut semua kegiatan pemerintah dibiayai termasuk kegiatan pengadaan barang dan atau jasa oleh pemerintah. Oleh
karena itu, pemerintah perlu membuat manajemen serta pengaturan yang baik agar pengeluaran negara tidak melebihi jumlah yang sudah dianggarkan dalam APBN dan APBD. Sudah menjadi kebiasaan dalam sistem serta mekanisme anggaran yang berimbang bahwa pemerintah harus melakukan efisiensi terhadap pengeluaran-pengeluaran negara agar tidak terjadi defisit keuangan. 3.
Persekongkolan tender menimbulkan ketidakpercayaan pasar kepada Pemerintah sebagai penyelenggara tender Banyaknya perkara persekongkolan tender yang melibatkan pemerintah terutama dalam praktek pengadaan barang dan atau jasa yang melibatkan pemerintah membuat citra pemerintah di mata pelaku usahamenjadi buruk dan kondisi seperti ini akan menimbulkan keraguan para pelaku usaha untuk mengikuti tender yang diselenggarakan oleh pemerintah. Para pelaku usaha menjadi tidak berminat lagi untuk mengeluarkan tenaga, waktu serta pikirannya hanya untuk mengikuti tender pemerintah yang seringkali sudah diatur dan bahkan sudah diketahui sebelumnya siapa
yang akan
memenangkan tender tersebut. Apabila kondisi seperti ini dibiarkan terus berlanjut, maka pemerintah akan menemui kesulitan dalam pengadaan barang dan atau jasa di kemudian hari karena tidak ada lagi pelaku usaha yang bersedia bekerja sama dengan pemerintah (L Budi Kagramanto, 2007: 202209). Dari
banyaknya
perkara
dan
dampak
yang
diakibatkan
dari
persekongkolan tender, salah satu perkara yang berkaitan erat antara pemerintahan dan persekongkolan yang terjadi adalah Dugaan Persekongkolan Pengadaan Tinta Sidik Jari Pemilu Legislatif dengan Nomor Putusan : 08/KPPU-L/2004. Berikut penjelasan atas putusan tersebut. Perkara ini berawal dari laporan masyarakat perihal dugaan persekongkolan tinta sidik jari Pemilu tahun 2004. Dalam menangani perkara ini KPPU membentuk Majelis Komisi yang bertugas untuk melakukan pemeriksaan dan membuat keputusan. Pihak Terlapor dalam perkara ini adalah :
1. PT Mustika Indra Mas (Terlapor I) 2. PT Multi Mega Service (Terlapor II) 3. PT Senorotan Perkasa (Terlapor III) 4. PT Tricipta Adimandiri (Terlapor IV) 5. PT Yanaprima Hastapersada (Terlapor V) 6. Prof. Dr. Rusadi Kantaprawira, S.H. (Terlapor VI) 7. PT Fulcomas Jaya (Terlapor VII) 8. PT Wahgo International (Terlapor VIII) 9. PT Lina Permai Sakti (Terlapor IX) 10. PT Nugraha Karya Oshinda (Terlapor X)
Pada tanggal 11 Juli 2005, Majelis Komisi telah mengambil putusan terhadap perkara tersebut melalui putusan KPPU No. 08/KPPU-L/2004 dan dibacakan di muka umum sebagai berikut : 1. Menyatakan Terlapor I Konsorsium PT MUSTIKA INDRA MAS, yang dalam perkara ini kegiatannya dijalankan oleh direksi perusahaanperusahaan yang tergabung dalam konsorsium tersebut bersama-sama dengan Lo Kim Muk, John Manurung, Welly Sahat, Hilmi Rahman, dan Melina Alaydroes secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 22 Undang-Undang No. 5/1999. 2. Menyatakan Terlapor II Konsorsium PT MULTI MEGA SERVICE secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 22 Undang-Undang No. 5/1999. 3. Menyatakan Terlapor III PT SENOROTAN PERKASA, dalam perkara ini kegiatannya dijalankan oleh Makmur Boy dan Jackson Andree W. Kumaat secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 22 Undang-Undang No. 5/1999. 4. Menyatakan Terlapr IV PT TRICIPTA ADIMANDIRI secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 22 Undang-Undang No. 5/1999.
5. Menyatakan Terlapor V PT YANAPRIMA HASTAPERSADA, dalam perkara ini kegiatannya dijalankan oleh Mus’ab Mochammad, secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 22 Undang-Undang No. 5/1999. 6. Menyatakan Terlapor VI Prof. Dr. Rusadi Kantaprawira, S.H. selaku Ketua Panitia Pengadaan Tinta Sidik Jari Pemilu Legislatif Tahun 2004 secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 22 Undang-Undang No. 5/1999. 7. Menyatakan Terlapor VII Konsorsium PT FULCOMAS JAYA secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 22 Undang-Undang No. 5/1999. 8. Menyatakan
Terlapor
VIII
PT
WAHGO
INTERNATIONAL
CORPORATION secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 22 Undang-Undang No. 5/1999. 9. Menyatakan Terlapor IX Konsorsium PT LINA PERMAI SAKTI secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 22 Undang-Undang No. 5/1999. 10. Menyatakan Terlapor X PT NUGRAHA KARYA OSHINDA, dalam perkara ini kegiatannya dilakukan oleh Yulinda Juniarty, S.E. selaku Direktur Operasi secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 22 UndangUndang No. 5/1999. 11. Menghukum Terlapor I Konsorsium PT Mustika Indra Mas, Terlapor II Konsorsium PT Multi Mega Service, Terlapor III Konsorsium PT Senorotan Perkasa, Terlapor IV PT Tricipta Adimandiri, Terlapor V Konsorsium PT Yanaprima Hastapersada dan Terlapor X PT Nugraha Karya Oshinda secara bersama-sama untuk membayar denda sebesar Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar Rupiah) yang harus disetorkan ke Kas Negara sebagai setoran penerimaan negara bukan pajak Departemen Keuangan
Direktorat
Jenderal
Anggaran
Kantor
Pelayanan
Perbendaharaan Negara (KPPN) Jakarta I yang beralamat di Jl. Ir. H. Juanda No. 19 Jakarta Pusat melalui Bank Pemerintah dengan kode penerimaan 1212 selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak dibacakannya putusan ini.
12. Menghukum Terlapor VII Konsorsium PT Fulcomas Jaya untuk membayar ganti rugi sebesar Rp 719.744.600,00 (tujuh ratus sembilan belas juta tujuh ratus empat puluh empat ribu enam ratus Rupiah) yang harus disetorkan ke Kas Negara sebagai setoran penerimaan negara bukan pajak Departemen Keuangan Direktorat Jenderal Anggaran Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Jakarta I yang beralamat di Jl. Ir. H. Juanda No. 19 Jakarta Pusat melalui Bank Pemerintah dengan kode penerimaan 1212 selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak dibacakannya putusan ini. 13. Menghukum Terlapor VIII Konsorsium PT Wahgo International Corporation untuk membayar ganti rugi sebesar Rp 719.744.600,00 (tujuh ratus sembilan belas juta tujuh ratus empat puluh empat ribu enam ratus Rupiah) yang harus disetorkan ke Kas Negara sebagai setoran penerimaan negara bukan pajak Departemen Keuangan Direktorat Jenderal Anggaran Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Jakarta I yang beralamat di Jl. Ir. H. Juanda No. 19 Jakarta Pusat melalui Bank Pemerintah dengan kode penerimaan 1212 selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak dibacakannya putusan ini. 14. Menghukum Terlapor IX Konsorsium PT Lina Permai Sakti
untuk
membayar ganti rugi sebesar Rp 719.744.600,00 (tujuh ratus sembilan belas juta tujuh ratus empat puluh empat ribu enam ratus Rupiah) yang harus disetorkan ke Kas Negara sebagai setoran penerimaan negara bukan pajak Departemen Keuangan Direktorat Jenderal Anggaran Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Jakarta I yang beralamat di Jl. Ir. H. Juanda No. 19 Jakarta Pusat melalui Bank Pemerintah dengan kode penerimaan 1212 selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak dibacakannya putusan ini. 15. Menghukum Lo Kim Muk, John Manurung, Welly Sahat, Hilmi Rahman, Makmur Boy, Jackson Andree W. Kumaat, Nucke Indrawan, Mus’ab Muhammad, Melina Alaydroes, dan Yulinda Juniarty dalam bentuk larangan untuk mengikuti dan atau terlibat dalam kegiatan pengadaan
barang dan atau jasa di KPU maupun KPUD selama 2 (dua) tahun sejak dibacakannya putusan ini. 16. Menyarankan kepada atasan dan instansi penyidik untuk melakukan tindakan dan pemeriksaan lebih lanjut terhadap Prof. Dr. Rusadi Kantaprawira, S.H. dan R.M Purba sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Dari Putusan No. 08/KPPU-L/2004 analisis yang diperoleh meliputi : a. Perkara yang dilaporkan pada tahun 2004 dan putusan baru dibacakan pada Juli 2005, hal ini menjadi tanda bahwa proses pemeriksaan sampai pembuktian terhadap persekongkolan tender tersebut dalam jangka waktu yang cukup lama. b. Dalam perkara persekongkolan tender terdapat dua subjek hukum yaitu manusia (natuurlijke persoon) yang mempunyai hak dan mampu menjalankan haknya yang dijamin oleh hukum yang berlaku, dalam putusan ini adalah pihak-pihak yang terlibat dalam persekongkolan tender atas nama perorangan yaitu
Prof. Dr.
Rusadi Kantaprawira, S.H, R.M Purba, Lo Kim Muk, John Manurung, Welly Sahat, Hilmi Rahman, Makmur Boy, Jackson Andree W. Kumaat, Nucke Indrawan, Mus’ab Muhammad, Melina Alaydroes, dan Yulinda Juniarty. Sedangkan subjek hukum berupa badan hukum (rechts persoon) yang dapat bertindak seperti manusia dimana badan hukum sebagai pembawa hak dan tidak berjiwa dapat melakukan sebagai pembawa hak manusia seperti dapat melakukan persetujuan-pesetujuan, memiliki kekayaan yang sama sekali terlepas dari kekayaan anggota-anggotanya dan badan hukum bertindak dengan perantaan pengurus-pengurus, dalam putusan ini badan hukum berupa badan hukum privat yaitu PT Mustika Indra Mas, PT Multi Mega Service, PT Senorotan Perkasa, PT Tricipta Adimandiri, PT Yanaprima Hastapersada, PT Fulcomas Jaya, PT Wahgo International, PT Lina Permai Sakti, PT
Nugraha Karya Oshinda sebagai Terlapor (Elsi Kartika Sari dan Advendi Simangunsong, 2004: 7-9). c. Objek hukum persekongkolan terjadi dalam tender atau pengadaan barang milik pemerintah adalah tinta sidik jari pemilu legislatif 2004. d. Persekongkolan yang terjadi termasuk jenis persekongkolan horizontal dan vertikal dimana antara panitia pengadaan yaitu Prof. Dr. Rusadi Kantaprawira, S.H. bersekongkol dengan pelaku-pelaku usaha lainnya dan antara pelaku usaha juga mengadakan persekongkolan. e. Sebagai salah satu peraturan perundang-undangan yang dibuat untuk menciptakan social engineering bagi masyarakat dunia usaha pada umumnya dan para pelaku usaha pada khususnya, maka sanksi-sanksi harus diberlakukan sebagai “cambuk” dan untuk menjamin efektivitas dari pelaksanaan dan pemenuhan kewajiban oleh pihak-pihak yang terkait dalam persaingan usaha. Dalam putusan ini, penegakan sanksi hanya dari sisi sanksi administratif dalam putusan ini yaitu penetapan pembayaran ganti rugi kepada Terlapor
VII,
Terlapor
VIII,
Terlapor
IX
sebesar
Rp
719.744.600,00 (tujuh ratus sembilan belas juta tujuh ratus empat puluh empat ribu enam ratus Rupiah) dan dikenakan denda kepada Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V sebesar Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar Rupiah). Sedangkan pada
pihak
perorangan
yang
terlibat
dalam
kegiatan
persekongkolan tender diberikan sanksi pidana tambahan berupa larangan untuk mengikuti dan atau terlibat dalam pengadaan barang dan atau jasa di KPU maupun KPUD selama 2 tahun sejak dibacakannya putusan. Bagi pelaku usaha sanksi ini belum tentu memberikan efek jera yang berarti karena tidak adanya sanksi pidana. Sedangkan sanksi pidana dijatuhkan kepada Prof. Dr. Rusadi Kantaprawira, S.H. dan R.M Purba sebagai pihak yang
terlibat dalam pengadaan tinta yang mempunyai indikasi korupsi untuk menindaklanjuti pada tahap penyidikan di ranah pidana. Sanksi-sanksi tidak akan berarti dan hanya menjadi macan kertas saja jika tidak diiringi dengan kecepatan dan ketepatan pelaksanaan sanksi oleh aparat yang berwenang (Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, 1999: 63). Perkara dan putusan merupakan tahap yang penting dalam menegakkan hukum persaingan secara umum. Prinsip bahwa tidak ada gunanya sebagus dan sesempurna apa pun peraturan tertulis jka hal tersebut tidak bisa diwujudkan dalam praktek. Agar praktek dapat berjalan sesuai dengan yang dikehendaki oleh peraturan tertulis, maka aspek pelaksanaan hukum (law enforcement) juga harus diatur, diarahkan dan dilaksanakan secara rapi. KPPU merupakan ujung tombak dari penegakan hukum UndangUndang No. 5 Tahun 1999, maka kapabilitas, kejujuran dan keseriusan dari anggota KPPU ini sangat menentukan warna dan irama berjalannya hukum persaingan usaha dalam praktek terutama dalam praktek persekongkolan tender yang mendominasi banyak perkara (Munir Fuady, 2003: 117-118). Solusinya ketika penegakan hukum membutuhkan kekuatan yang lebih, maka harus kembali pada mekanisme yang ada melalui General Provisions, meliputi : 1. National Regulation, regarding economic competition, monopolies, and free market is a federal statute to be enforced accross the entire nation. In principle, the life and performance of all businesses regardless of their size or specific activity. 2. Objective, to protect the prosess of competiton and free exchange through the prevention and elimination of monopolies, monopolistic, practices and other restrictions to the efficient interaction of the market for goods and services. 3. Enforcement, a decentralized administrative body was created and charged specifically with the application and enforcement of this law.
4. Subjects, following the broad criteria for the application, the law states that all economic agents are bound by its provisions. 5. State Monopolies, excludes from its purview those activities whose execution are expressly reserved for the state, following from its application, categorizing them instead as activities not constituting monopolistic practices. 6. Exempted Activities, in a clear change direction from the past poltics of prices controls on certain goods and services provide the following rules on this matter (Juan Francisco Torres Landa R, 1996: 40-42). Baik peraturan yang bersifat nasional, sasaran atau tujuan untuk melindungi proses persaingan dan prakteknya demi pasar barang dan jasa, penegakan hukum terutama menggunakan badan tertentu dalam prakteknya, pihak yang terkait terutama pelaku usaha selaku agen ekonomi yang terlibat langsung dengan peraturan, inti-inti monopoli dan negara monopoli yang kegiatannya untuk melayani negara dan pembebasan kegiatan dalam hal ini adalah persaingan secara bebas menjadi tolok ukur yang penting bagi keberhasilan penegakan persaingan usaha. Dan alangkah bijaknya apabila langkah memudahkan penanganan perkara persekongkolan tender yang indikasinya negatif dapat diantisipasi dengan peraturan yang lebih real dibutuhkan dalam penegakan hukum.
BAB IV. PENUTUP A. Simpulan
1.
Pengaturan persekongkolan tender dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tepatnya pada ketentuan Pasal 22 diklasifikasikan dengan pendekatan rule of reason adalah tidak tepat apabila melihat indikasi negatif persekongkolan tender sejak awal. Pada awal pembentukannya, memang undang-undang ini tidak mengkaji penerapan dalam penegakan hukum ke depannya karena fokus pada saat itu adalah penyelesaian undang-undang yang terburu-buru. Hal ini berbeda dengan pengaturan di Amerika Serikat asal pembentukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, persekongkolan tender termasuk dalam kategori per se illegal karena cenderung kolusif dan tidak mendukung persaingan yang seharusnya dilakukan secara fair atau adil.
2.
Konsekuensi dari pengaturan persekongkolan tender secara rule of reason adalah pada prosedurnya KPPU membutuhkan pendekatan hukum dan pendekatan ekonomi dalam membuktikan keterlibatan pelaku usaha maupun panitia pengadaan. Selain itu, KPPU harus membuktikan adanya kerugian pada APBN atas persekongkolan tender yang bermuara pada korupsi tersebut. Hal ini menjadi kelemahan tersendiri karena KPPU mengalami kesulitan yang seharusnya tidak diperlukan apalagi perkara persekongkolan tender mendominasi perkara di KPPU. Dampak yang diakibatkan adalah jumlah dominasi perkara persekongkolan tender karena masih ada celah atau peluang dan pada akhirnya akan mempengaruhi pasar yang menjadi tidak sehat karena kesempatan yang dibatasi antara pelaku usaha. Para pihak yang bersekongkol jelas melihat celah tersendiri karena keuntungan mereka jauh lebih besar daripada sanksi administratif atau pengenaan denda yang dijatuhkan KPPU. Penegakan pada tataran praktis memang harus disesuaikan dari tataran teoritis.
B. Saran 1. Perubahan atau revisi terhadap ketentuan Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yang harus menggambarkan pada aspek per se illegal agar kegiatan persekongkolan tender baik yang dilakukan oleh pelaku usaha maupun birokrat pelaku ini dapat dicegah. Kepastian ini juga akan menjamin penegakan terhadap persekongkolan tender ke depannya agar KPPU tidak perlu melakukan pembuktian sampai taraf mendalam. Hanya dari alat bukti secara hukum yang sah bahwa telah terjadi persekongkolan tender, maka dapat segera ditindak secara cepat dan tegas. 2. Aparat birokrat harus menerapkan prinsip-prinsip yang ada dalam Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 dalam melaksanakan kegiatan pengadaan barang dan atau jasa untuk mengurangi kecurangan atau KKN dari pihak birokrat sendiri dan melakukan penawaran secara terbuka dan adil untuk semua pelaku usaha. 3. Pemutusan mata rantai korupsi dalam pengadaan barang dan atau jasa pemerintah dengan melibatkan KPK, Bappenas dan masyarakat yang mengetahui
adanya
pelaksanaannya.
unsur
tender
yang
tidak
terbuka
dalam
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja. 1999. Seri Hukum Bisnis : Anti Monopoli. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. A. M. Tri Anggraini. 2005. “Penerapan Pendekatan Rule Of Reason dan Per Se Illegal dalam Hukum Persaingan”. Jurnal Hukum Bisnis Volume 24. Jakarta: Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis. _______ . 2006. “Penegakan Hukum Dan Sanksi Dalam Persekongkolan Penawaran Tender”. Jurnal Legislasi Indonesia Volume 3. Jakarta: Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan HAM RI. Andi Fahmi Lubis, dkk. 2009. Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks. Jakarta: ROV Creativ Media. Anonim.
KPPU
Tangani
65
Persen
Kasus
Tender.
http://cetak.fajar.co.id/news.php?newsid=16384. [ 16 Oktober 2009 pukul 20:54:05]. Anonim. Penegakan Hukum. http://www.solusihukum.com/artikel/artikel49.php.[ 7 Desember 2009 pukul 08:41:38]. Arie Siswanto. 2002. Hukum Persaingan Usaha. Jakarta: Ghalia Indonesia. Bambang Sutiyoso. 2004. Aktualita Hukum dalam Era Reformasi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Benny Pasaribu. 2009. “Peran Persaingan Usaha Dalam Upaya Pemberantasan Korupsi”. Jurnal Persaingan Usaha Edisi 2. Jakarta: Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Competition Division. The Guidelines for Fighting Bid Rigging in Public Procurement. http://www.oecd.org/competition. [13 Maret 2010 pukul 12:20:10]. Elsi Kartika Sari dan Advendi Simagunsong. 2004. Hukum dalam Ekonomi. Jakarta: Grasindo. Hermansyah. 2008. Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Ian Eagles dan Louise Longdin. 2009. “Subjecting Competition Law Exemptions to a Rule Of Reason: New Zealand Courts Push at the Boundaries of Statutory Interpretation”. Subjecting Competition Law Exemptions to a Rule of Reason UNSW Law Journal Volume 32(1). Juan Francisco Torres Landa R. 1996. “Recent Developments In Antitrust Legislation In Mexico”. Comparative Lawyear Book of International Business Volume 18. Boston: Kluwer Law International. John W. Head. 1997. Seri Dasar-Dasar Hukum Ekonomi : Pengantar Umum Hukum Ekonomi. Jakarta: ELIPS. Johnny Ibrahim. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia Publising. Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Komisi Pengawas Persaingan Usaha. 2009. Buku Penjelasan Katalog Putusan KPPU. Jakarta: KPPU. Komisi Pengawas Persaingan Usaha. 2008. Pedoman Pasal 22 Tentang Larangan Persekongkolan Dalam Tender. Jakarta: KPPU. Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Laporan Tengah Tahun 2009 Komisi Pengawas Persaingan Usaha. http://www.kppu.go.id. [7 Des 2009 08:41:38 pukul 08:30:25 ]. L. Budi Kagramanto. 2007. Larangan Persekongkolan Tender (Perspektif Hukum Persaingan Usaha). Surabaya: Srikandi. Munir Fuady. 2003. Hukum Anti Monopoli, Menyongsong Era Persaingan Sehat. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Nuzul Qur’aini Madya. 2009. “E-procurement Cegah Persaingan Usaha Tidak Sehat”. Kompetisi Media Berkala Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Edisi 15. Jakarta: Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara di KPPU. Peter Mahmud Marzuki. 2009. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Raimond
Flora
Lamandasa.
Penegakan
Hukum.
http://www.scribd.com/doc/2953532/Penegakkan-Hukum.[ 13 Desember 2009 pukul 19:27:41]. R. Arry Mth. Soekowathy. 2003. “Fungsi dan Relevansi Filsafat Hukum Bagi Rasa Keadilan dalam Hukum Positif”. Jurnal Filsafat UGM. Jilid 35 Nomor 3. Yogyakarta: UGM. Soerjono Soekanto. 1983. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: Rajawali. Sri Redjeki Hartono. 2007. Hukum Ekonomi Indonesia. Malang: Bayumedia Publishing. Sudikno Mertokusumo. 1999. Mengenal Hukum. Yogyakarta: Liberty. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Yakub Adi Krisanto. 2006. “Persekongkolan Tender dalam Pengadaan Barang/Jasa di Kota Salatiga”. Kritis Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin. Vol. XVIII. _______ . 2006. “Analisis Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 dan Karakteristik Putusan KPPU Tentang Persekongkolan Tender”. Jurnal Hukum Bisnis. Vol II. Jakarta: Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis. _______ . Analisis Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 dan Karakteristik Putusan KPPU
Tentang
Persekongkolan
Tender.
http://yakubadikrisanto.wordpress.com/category/persekongkolantender/page/2/.[10 September 2009 pukul 15:08:55]. _______ . Prinsip Rule of Reason dan Per Se Rule dalam Hukum Persaingan Indonesia.
http://yakubadikrisanto.wordpress.com/2008/06/03/prinsip-
rule-of-reason-dan-per-se-illegal/ [15 Januari 2010 pukul 09:12:25]. Yvan Lengwiler dan Elmar Wolfstetter. 2009. “Auctions and Corruption : An Analysis of Bid Rigging by a Corrupt Auctioneer”. From legwilerwolfstetter.pdf.