perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
SINK KRONISAS SI ANTAR RA UNDAN NG-UNDAN NG NOMO OR 32 TAH HUN 2009 TENTANG T PE ERLINDU UNGAN DA AN PENGE ELOLAAN LINGKUN NGAN HID DUP TERH HADAP U UNDANG-U UNDANG NOMOR N 24 4 TAHUN 2007 TEN NTANG P PENANGG GULANGA AN BENCA ANA SEBAG GAI RUMU USAN OPTIMA ALISASI KE EBIJAKAN N PENANG GGULANG GAN BENCAN NA PERUB BAHAN IKL LIM D INDON DI NESIA
P Penulisan Hukum H (Skripsi)
Disussun dan Diaajukan unttuk Meleng gkapi Sebaggian Persyaaratan guna Memperoleh Derajatt Sarjana S1 dalam Ilm mu Hukum m pada U Sebelas Maaret Surak karta Fakultass Hukum Universitas
Oleh : Setia Marlyna Mayangsar M ri NIM. E 00 007208
FA AKULTAS HUKUM UNIVE ERSITAS SEBELAS S MARET M SU URAKART TA 2012 commit to2 user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
SINKRONISASI ANTARA UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2007 TENTANG PENANGGULANGAN BENCANA SEBAGAI RUMUSAN OPTIMALISASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN BENCANA PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA
Oleh : Setia Marlyna Mayangsari NIM. E 0007208
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, 12 Januari 2012 Dosen Pembimbing
Dr. I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani, S.H., M.M. NIP. 19721008 200501 2 001
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN
Nama : Setia Marlyna Mayangsari NIM : E 0007208 Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul: “SINKRONISASI ANTARA UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009
TENTANG
PERLINDUNGAN
DAN
PENGELOLAAN
LINGKUNGAN HIDUP TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2007 TENTANG PENANGGULANGAN BENCANA SEBAGAI RUMUSAN
OPTIMALISASI
KEBIJAKAN
PENANGGULANGAN
BENCANA PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA” adalah benar-benar karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, 12 Januari 2012 yang membuat pernyataan
Setia Marlyna Mayangsari NIM. E 0007208
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK Setia Marlyna Mayangsari, E 0007208. 2012. SINKRONISASI ANTARA UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2007 TENTANG PENANGGULANGAN BENCANA SEBAGAI RUMUSAN OPTIMALISASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN BENCANA PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sinkronisasi horizontal antara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terhadap Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana berkaitan dengan arah kebijakan penanggulangan bencana perubahan iklim di Indonesia dan mengetahui model ideal yang dapat dikembangkan pemerintah terkait optimalisasi kebijakan penanggulangan bencana perubahan iklim di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian hukum doktrinal yang bersifat preskriptif, sebuah paradigma positivisme hukum menemukan arah kebijakan penanggulangan bencana perubahan iklim di Indonesia melalui sinkronisasi horizontal antara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terhadap Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Sumber penelitian hukum yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah teknik studi pustaka atau literature research. Bahan hukum yang diperoleh kemudian dipelajari, diklasifikasikan, dan dianalisis lebih lanjut sesuai dengan tujuan dan permasalahan penelitian menggunakan metode silogisme deduktif. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan, Kesatu, hasil sinkronisasi horizontal antara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terhadap UndangUndang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana adalah sinkron. Artinya, konsideran dan pasal-pasal yang menjadi pertimbangan dalam upaya penanggulangan bencana perubahan iklim di Indonesia yang dimuat di kedua undang-undang tersebut saling terkait dan memiliki banyak sisi yang sama ditinjau dari dasar pertimbangan sosiologis, tahapan pelaksanaan, maupun pendelegasian tugas dan wewenang di dalamnya. Kedua, model ideal kebijakan penanggulangan bencana perubahan iklim secara garis besar melibatkan Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KNLH) dalam tugas dan wewenangnya terkait climate change mainstreaming, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) terkait pelaksanaan tahapan-tahapan penanggulangan bencana, dan Badan Perencana Pembangunan Nasional (BAPPENAS) terkait penyusunan rencana pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan sehingga Pemerintah Indonesia dapat mewujudkan penanggulangan bencana perubahan iklim yang optimal dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kata kunci: sinkronisasi, undang-undang, penanggulangan bencana perubahan commit to user iklim.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT Setia Marlyna Mayangsari, E 0007208. 2012. SYNCHRONIZATION BETWEEN THE ENVIRONMENTAL PROTECTION AND MANAGEMENT ACT (ACT NUMBER 32 OF 2009) CONCERNING THE DISASTER MANAGEMENT ACT (ACT NUMBER 24 OF 2007) AS A FORMULATION TO OPTIMIZING CLIMATE CHANGE DISASTER MANAGEMENT POLICY IN INDONESIA. Faculty of Law, Sebelas Maret University of Surakarta. This research has a purpose to determine the horizontal synchronization between The Environmental Protection and Management Act (Act Number 32 of 2009) concerning The Disaster Management Act (Act Number 24 of 2007) related to disaster management policy direction of climate change in Indonesia and formulate the ideal mode that could be developed by government to optimization of climate change disaster management policy in Indonesia. This research is a doctrinaire legal research that is prescriptive, a finding of legal positivism paradigm of disaster management policy direction of climate change in Indonesia through the horizontal synchronization between The Environmental Protection and Management Act (Act Number 32 of 2009) Concerning The Disaster Management Act (Act Number 24 of 2007). Legal research sources used in this reseach is the primary legal materials and secondary legal materials. Collection techniques used in this research is a literature research. Legal materials obtained and studied, classified, and analyzed further in accordance with the objectives and research problems using deductive syllogism. Based on the results of research and discussion of the resulting conclusion, First, the results of the horizontal synchronization between The Environmental Protection and Management Act (Act Number 32 of 2009) Concerning The Disaster Management Act (Act Number 24 of 2007) is synchronous. The preamble and the articles under consideration in the response to catastrophic climate change in Indonesia that was published in both of the act are interrelated and have a lot of the same side in terms of basic sociological considerations, stages of implementation, and delegation of the government duties and authority. Second, the ideal model of catastrophic climate change mitigation policies outlined involve the Ministry of Environment of Indonesia (KNLH) in the duties and responsibilities related to climate change mainstreaming, National Disaster Management Agency (BNPB) related to the implementation stages of disaster management, and the National Development Planning Agency (BAPPENAS) preparation of sustainable development plans related to environmentally paradigm policy. So the Government of Indonesia could be succeed to optimization climate change disaster management policy in Indonesia and establishing social justice for all Indonesian people. Keywords: synchronization, act, climate change disasters management. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran” (Q.S. Al-‘Ashr, 103: 1-3) “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah suatu kaum kecuali mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (Q.S. Ar-Ra’d, 13: 11) “Selesaikanlah apa yang telah kamu mulai, jangan pernah berhenti sebelum selesai karena kamu tidak akan pernah tahu apa yang Allah S.W.T siapkan di akhir perjalananmu” (Ibunda Penulis) “All is well, sopo temen bakal tinemu” (Pak Aji) “Setiap kesulitan pasti akan menjadi kemudahan, asalkan setiap orang berniat dengan sungguh-sungguh, berusaha dengan keras, dan menguatkannya dengan doa kepada Allah S.W.T” (Penulis) “Sakit dalam perjuangan itu hanya sementara. Bisa jadi Anda rasakan dalam semenit, sejam, sehari, atau setahun. Namun jika menyerah, rasa sakit itu akan terasa selamanya” (Lance Armstrong, Mantan Atlet Balap Sepeda AS) “Alasan kenapa seseorang tak pernah meraih cita-citanya adalah karena dia tak mendefinisikannya, tak mempelajarinya, dan tak pernah serius berkeyakinan bahwa cita-citanya itu dapat dicapai” (Dr Denis Waitley, pakar motivasi dan penulis buku-buku self-help) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan kepada : • Allah S.W.T, Tuhan Semesta Alam Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang selalu menuntun hamba dalam setiap keputusan yang hamba ambil; • Ayah dan Ibu, lautan kasih sayang yang selalu memberikan dukungan setiap saat, yang selalu berdoa tiada henti untuk kebahagiaan putra-putrinya, yang selalu mengajarkan untuk berbuat baik dan selalu jujur di setiap langkah kehidupan; • Indonesia Tanah Airku, tempat mendedikasikan seluruh ilmu pengetahuanku demi kemajuan bangsaku, jalan pengabdianku untuk meraih surga-Mu; • Almamaterku, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang serta diiringi rasa syukur penulis panjatkan, penulisan hukum (skripsi) dengan judul “SINKRONISASI ANTARA UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP TERHADAP UNDANGUNDANG
NOMOR
PENANGGULANGAN
24
TAHUN
BENCANA
2007
TENTANG
SEBAGAI
RUMUSAN
OPTIMALISASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN BENCANA PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA” dapat penulis selesaikan. Penulisan hukum ini membahas mengenai optimalisasi kebijakan pemerintah dalam penanggulangan bencana perubahan iklim yang terjadi di indonesia melalui sinkronisasi horizontal antara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terhadap Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Penulis menyadari, masih banyak kekurangan dalam penulisan hukum ini, sehingga saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan untuk memperkaya penulisan hukum ini. Dalam menyelesaikan penulisan hukum ini penulis mendapat bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada: 1. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberi izin dan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan hukum ini. 2. Bapak Pius Triwahyudi, S.H., M.Si., selaku Ketua Bagian Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta 3. Ibu Th. Kusunaryatun, S.H., M.H., selaku Pembimbing Akademik penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telahcommit memberikan to userbimbingan kepada penulis.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4. Ibu Dr. I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani, S.H., M.M., selaku Pembimbing Skripsi yang telah sabar memberikan bimbingan, dukungan, nasihat, dan motivasi demi kemajuan Penulis. 5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum khususnya kepada penulis sehingga dapat dijadikan dasar dalam penulisan skripsi ini dan semoga dapat penulis amalkan. 6. Pengelola Penulisan Hukum (PPH) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang berkenan memberikan kesempatan bagi penulis untuk melakukan penelitian serta menyelesaikan penulisan hukum ini. 7. Seluruh Staf Tata Usaha dan Karyawan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang ada di bagian transit, perpustakaan, kemahasiswaan, pendidikan, dan bagian-bagian yang lain, terima kasih atas bantuannya. 8. Ayah dan ibuku tercinta, terima kasih atas doa dan perhatian yang selalu dicurahkan kepadaku. Semoga ayah dan ibu selalu dilimpahkan kebahagiaan, kesehatan, dan umur panjang. Senyum bahagia ayah dan ibu adalah semangatku untuk terus berkarya. 9. Adik-adikku tersayang, Bagus Marudin Rahmat Dwicahyo, Ratmayanti Putri Arum Dhalu, Siti Ramadhani Marlina, terima kasih buat sms, telepon, dan gelak tawa kalian yang selalu mewarnai hari-hari kakak. 10. Keluarga besar Mbah Marto Diatmo, Mbah Ronokarto, dan Mbah Gatot, terima kasih telah mengajarkanku tentang makna sebuah keluarga besar yang selalu hidup gotong-royong dan guyup rukun. 11. Mbah Kung sekeluarga yang menjadi orang tuaku saat di Solo. 12. Semua sahabat dari SD, SMP, dan SMA di Madiun, terima kasih kawan, telah membuat hidupku berwarna-warni, Uli Mahanani, Septian Maharani, Wilya Puspita Damayanti, Nindya Venezia Sitanggang, Dinar Ulfi, Anugerah Fajar, Ardian Kenti, Imas Wulaningtyas, Nur Handayani, Wahyu Ila Imani, Suti Rahayu, Rizqi Rachma Putri, Ihsan Bagus Arafat, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Risa Wahyu Eka Sakti, Wah Estuning Maryati, Retno Sulistya Putri, Dovi Apriya Sulivan, Afriane Syara, dan Kemal Hariyo. 13. Sahabat-sahabatku dari Madiun yang bersama-sama berangkat ke Universitas Sebelas Maret, Septian Maharani, Retno Sulistya Putri, Wah Estuning Maryati, Cherissa Jeihan, dan Dinar Ratri. 14. Perempuan-perempuan hebat sahabat-sahabatku angkatan 2007 di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, Rahma Veni Husna, Anjar Lea Mukti Sabrina, Fitri Rahmawati, Ervina Dwijayanti, Ririn Gagarin, Nur Sulistyaningsih, Giska Talisha, Ayu Nindya, Tri Suryani, Turnia Kusuma W, Sita Adelia, Nabela Artha, Desi Dwi Lestari, Shenny Kristina, dan Ridzke Faradilla. 15. Cowok-cowok keren sahabat-sahabatku angkatan 2007 di Fakultas Hukum Universitas
Sebelas
Maret
Surakarta,
Gatot
Abriansyah,
Surya
Widhiatmaka, Nugroho Dedi Pratomo, Yovi Wahyu Jatmiko, Fitrian Tani Akbar, Muhson Andika Jaya, Sandi Sipyani, Dana Piereza, Syailendra Wisnu, Aris Setyawarman, dan Ferry Saputra. 16. Keluarga besar Kelompok Studi dan Penelitian (KSP) “principium” Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, terima kasih yang sebesar-besarnya kepada organisasi yang telah mendidikku, memberikan pengalaman-pengalaman terkesan selama kuliah di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, dan tentunya menemukan saudarasaudara terbaik di Kelompok Studi dan Penelitian (KSP) “principium”. 17. Pembina Kelompok Studi dan Penelitian (KSP) “principium” Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, Bapak Muhammad Rustamaji, S.H., M.H., terima kasih telah membimbing kami dengan penuh “kegilaan”. Bismillah, and you said to me “all is well”. 18. Mba Andina Elok Puri Maharani, terima kasih telah memberi semangat dan masukan saat menulis skripsi ini. Miss Good Planner who never stop to reach her dreams, “I learn much from you sist”. 19. Kakak-kakak Kelompok Studi dan Penelitian (KSP) “principium” Fakultas commit user Hukum Universitas Sebelas MarettoSurakarta, terima kasih atas bimbingan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dan motivasinya, Mas Arif Maulana, Mba Recca Ayu Hapsari, Mas Nurrahman Aji Utomo, Mba Fitri Kurniati, Mba Triana Setyawati, Mas Haris Fadilah Wildan, Mas Tejo Wahono, Mba Dian Rachma, Mba Erika dan Mba Tami, dan Mas Andi Rahman. 20. Adik-adik Kelompok Studi dan Penelitian (KSP) “principium” Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, terima kasih atas semangatnya, Sap Pratiwi Wulandari, Trisna Delniasari, Helena Irma, Maya Hapsari, Dyah N.A, Iffa dan Ardhani, dan Nur Salmi. 21. Kawan-kawan yang pernah satu tim, terima kasih telah bersedia berbagi ilmu denganku, Mba Erlina Septiyaningrum, Turnia Kusuma W, Muhson Andika Jaya, Mba Triana Setyawati, Syailendra Wisnu, Mba Andy Indri Pratiwi, Rahma Veni Husna “my best partner ever”, Anjar Lea Mukti Sabrina, Mba Nana Rosita Sari, Mba Dewi, Asri Dwi Utami, Fera Pramudita, Dany Esaningrat, Miqdad Pugara, Faradina Naviah, Bambang Prayitno, dan Ratna Widhianing Putri. 22. Mentor AAI yang mengajarkanku nilai-nilai Islam dan memberikan motivasi spiritual kepadaku, Mba Dayu, Mba Athina, Mba Putri, Mba Irma, Mba Nunik, Mba Farin, Mba Wiwik, dan Mba Adhe. 23. Teman-teman bermain dan teman-teman kost, terima kasih telah menemani setiap hari berbagi segalanya, Mba Emi Kartika Sari, Dik Ara, Rika, Ratna, Dik Nuning, Dik Opik, Mba Elip, Mba Melan, Mba Riska, Mba Arista, Dik Ani, Melati, Ika Mawar, Dik Ida, Dik Fera, Mba Septi, Dik Ike, Dik Ayu, Mba Erik, Dik Yuni, Dik Lilis, Dik Geti, Dik Pipit, Mba Efi, Mba Uci, Mba Febri, dan Kayun. 24. Semua pihak yang belum disebutkan namanya satu persatu yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini. Surakarta, 12 Januari 2012
commit to user
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING..……………………….
ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI.................................................
iii
HALAMAN PERNYATAAN…………………………………………..
iv
ABSTRAK………………………………………………………………
v
HALAMAN MOTTO...............................................................................
vii
HALAMAN PERSEMBAHAN...............................................................
viii
KATA PENGANTAR………………………………………..................
ix
DAFTAR ISI…………………………………………………………….
xiii
DAFTAR TABEL….……………………………………………………
xv
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………
xvi
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………….
xvii
BAB I. PENDAHULUAN………………………………………………
1
A. Latar Belakang………..……………………………………..
1
B. Rumusan masalah…………………………………………...
7
C. Tujuan Penelitian……………………………………………
7
D. Manfaat Penelitian…………………………………………..
8
E. Metode Penelitian…………………………………………...
9
F. Sistematika Penulisan Hukum………………………………
12
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA………………………………………..
14
A. Kerangka Teori………..…………………………………….
14
1. Tinjauan tentang Hukum………………………………...
14
2. Tinjauan tentang Kebijakan Publik……………………...
15
3. Tinjauan tentang Hubungan Hukum dan Kebijakan Publik…………………………………………………….
18
4. Tinjauan Positivisme sebagai Landasan Sinkronisasi Hukum…………………………………………………... commit to user
18
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
5. Tinjauan tentang Etika Lingkungan Global……………..
20
6. Tinjauan tentang Lingkungan Hidup…………………….
21
7. Tinjauan tentang Pembangunan Berkelanjutan………...
22
8. Tinjauan tentang perubahan iklim di Indonesia…………
23
9. Tinjauan tentang Penanggulangan Bencana……………..
29
10.Tinjauan tentang Kebijakan Perubahan Iklim Pemerintah Filipina…………………………………………………...
34
B. Kerangka Pemikiran………..………………………………..
37
BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……………….
39
A. Sinkronisasi Horizontal antara Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009
tentang
Perlindungan
dan
Pengelolaan
Lingkungan Hidup terhadap Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Berkaitan dengan
Arah
Kebijakan
Penanggulangan
Bencana
Perubahan Iklim di Indonesia……………………………….
39
B. Model Ideal yang Dapat Diterapkan Pemerintah untuk Mewujudkan
Optimalisasi
Kebijakan
Penanggulangan
Bencana Perubahan Iklim di Indonesia……………………...
83
BAB IV. PENUTUP……………………………………………………. A. Simpulan…………………………………………………….
114
B. Saran…………………………………………………………
117
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………... LAMPIRAN……………………………………………………………..
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL
Tabel 1: Perubahan Sistem Penanggulangan Bencana di Indonesia Pra dan Pasca Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana……………………………………...
33
Tabel 2: Sinkronisasi antara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terhadap Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana……………………………………...
43
Tabel 3: Komparasi 9 Poin Arah Kebijakan Pemerintah Terkait Penanggulangan Bencana Perubahan Iklim di Indonesia dan Republic Act No. 9729, An Act Mainstreaming Climate Change Into Government Policy Formulations, Establishing The Framework Strategy And Program On Climate Change, Creating For This Purpose The Climate Change Commission, And For Other Purposes……………………………………….
commit to user
89
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1: Efek Rumah Kaca…………………………………………..
24
Gambar 2: Perubahan-Perubahan dalam Temperatur Rata-Rata Per Tahun, 1901-1998 dan Curah Hujan Tahunan, 1901-1998 di Wilayah Indonesia…………………………………….....
25
Gambar 3: Skema Kerangka Pemikiran…………………………………
37
Gambar 4: Model Ideal Kebijakan Penanggulangan Bencana Perubahan Iklim di Indonesia…………………………………………..
commit to user
100
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran: Philippine Policy Responses On Climate Change, binding in Republic Act No. 9729, An Act Mainstreaming Climate Change Into Government Policy Formulations, Establishing The Framework Strategy And Program On Climate Change, Creating
For
This
Purpose
The
Climate
Change
Commission, And For Other Purposes.....................................
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Titik temu antara Hukum Administrasi Negara dengan UndangUndang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terletak pada kaidah hukum yang memungkinkan keduanya bertindak
menjadikan
lingkungan berguna bagi umat manusia pada umumnya maupun bangsa Indonesia khususnya. Pengelolaan lingkungan hidup yang berkesinambungan, terpelihara, dan bersih merupakan kebutuhan setiap warga negara serta diusahakan terwujudnya oleh administrasi negara dalam pengelolaan lingkungan hidup mutlak diperlukan (I Gede Pantja Astawa dalam S.F. Marbun, 2001: 295). Berpijak pada pemikiran inilah, dirumuskannya kaidahkaidah hukum yang terpadu memegang peranan penting sehingga administrasi
negara
dapat
bertindak
dengan
tepat
dalam
upaya
menanggulangi kerusakan-kerusakan yang terjadi akibat aktivitas manusia yang tidak berwawasan lingkungan. Aktivitas manusia yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dan peningkatan laju perekonomian seperti
kegiatan industri, transportasi,
penggunaan sumber energi fosil, dan penebangan hutan dan alih guna lahan (land use change and forestry) menyumbangkan dampak buruk bagi lingkungan hidup. Kontinyuitas pola produksi yang tidak berwawasan lingkungan menyebabkan akumulasi Gas Rumah Kaca (GRK) yang berlebihan di atmosfer
sehingga memicu perubahan iklim global yang
bersifat merusak. Sebagai negara kepulauan yang diapit oleh Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Peristiwa kenaikan suhu permukaan Samudera Pasifik akan membawa gelombang panas (warm pool) menuju Samudera Hindia sehingga terjadi fenomena El Nino yang mengakibatkan kemarau panjang dan kekeringan, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sebagaimana yang sering terjadi di wilayah Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat dan sebelah timur Pulau Jawa dan berimplikasi terhadap ketersediaan air dan ketahanan pangan. Di sisi lain, apabila terjadi penurunan suhu permukaan Samudera Pasifik maka akan menyebabkan fenomena La Nina yang membawa angin kencang dan awan hujan ke arah selatan, sehingga terjadi curah hujan ekstrim yang akan menimbulkan bencana banjir dan tanah longsor (Kementerian Negara Lingkungan Hidup Indonesia, 2009: 21). Menanggapi dampak perubahan iklim yang menyebabkan terjadinya bencana berkepanjangan, Pemerintah Indonesia terkesan lambat. Barometer lambatnya langkah yang dilakukan pemerintah setidaknya dapat diukur dari jumlah korban jiwa maupun kerugian materiil dan non-materiil yang timbul dari sebuah bencana. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merilis jumlah bencana alam yang terjadi di Indonesia sepanjang tahun 2011 mencapai angka 1.598. Bencana hidrometeorologi seperti banjir, banjir bandang, kekeringan, tanah longsor, puting beliung dan gelombang pasang merupakan jenis bencana yang dominan di Indonesia. Data bencana tahun 2002-2011 menunjukkan bahwa sekitar 89% dari total bencana di Indonesia didominasi
oleh
bencana
hidrometeorologi.
Saat
ini,
bencana
hidrometeorologi terjadi rata-rata hampir 70 persen dari total bencana di Indonesia. Perubahan iklim global, degradasi lingkungan, kemiskinan, dan bertambahnya jumlah penduduk makin memperbesar ancaman risiko bencana. Bencana tersebut telah menimbulkan korban jiwa dan kerugian yang besar. Jumlah korban jiwa dan hilang mencapai 834 orang. Untuk masyarakat yang mengungsi berjumlah 325.361 orang. Rumah rusak berat 15.166 unit, rusak sedang 3.302 unit dan rusak ringan 41.795 unit (Fahmi Firdaus, http://news.okezone.com/read/2011/12/30/337/549497/bnpb-1-598-bencanaalam-terjadi-ditahun-2011). Kurang optimalnya upaya pemerintah juga terlihat dari semakin meluasnya bencana kekeringan yang melanda beberapa daerah di Indonesia, to user yang dinilai menjadi ancamancommit nyata bagi ketahanan pangan nasional.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Data Kementerian Pertanian menunjukkan kekeringan sudah mencapai 95.851 hektare per Agustus 2011. Dari jumlah itu, yang mengalami gagal panen atau puso sebesar 3.713 hektare. Luasan kekeringan tersebut meningkat Januari-Juli 2011 yang sebesar 73.703 hektare dan puso 2.089 hektare. Jawa Barat menjadi provinsi terluas kedua yang kekeringan yakni seluas 25.949 hektare dan puso 37 hektare. Urutan pertema Sulawesi Selatan dengan kekeringan 27.889 hektare dan puso 1.490 hektare. Berikutnya, Nangroe Aceh Darussalam (10.403 ha dan puso 143 ha), Jawa Timur (3.842 ha dan puso 623 ha), Jawa Tengah (3.648 ha dan puso 39 ha). Dalam lima tahun terakhir, lahan yang terkena kekeringan mencapai 228.095 ha dengan puso 50.068 ha (Redaktur, http://www.dkinsufa.info/in/headlines/534-perubahan-iklim-ancam-ketahananpangan). Wacana mengenai perubahan iklim merupakan bagian dari isu lingkungan hidup yang menjadi isu global sejak periode 1980-an. Mengkaji rentetan kejadian bencana tersebut, nampak jelas bahwa saat ini penanganan masalah perubahan iklim dalam konteks perumusan kebijakan membutuhkan management risiko bencana yang efektif, dan pada saat bersamaan juga mampu mengembangkan sistem pembangunan yang tahan terhadap dampak perubahan iklim jangka panjang. Upaya tersebut selayaknya dilakukan melalui pendekatan lintas sektoral baik pada tingkat nasional, regional, maupun lokal. Diperlukan serangkaian kebijakan pemerintah yang terpadu dalam penanggulangan bencana perubahan iklim di Indonesia. Pengaturan tentang penanggulangan bencana perubahan iklim di Indonesia sebenarnya telah diatur dalam Konsideran huruf e Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yakni “bahwa pemanasan global yang semakin meningkat mengakibatkan perubahan iklim sehingga memperparah penurunan kualitas lingkungan hidup karena itu perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup”.
Selain
dalam
konsideran,
ketentuan
tentang
penanggulangan bencana perubahan iklim juga tertuang dalam 6 pasal dari keseluruhan 127 pasal yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 commit to user tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Indonesia telah
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
jauh mengesahkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention On Climate Change (UNFCCC) yakni, Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim. Selanjutnya, Indonesia mengesahkan UndangUndang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Protokol Kyoto 1997. Setelah disahkannya kedua undang-undang tersebut, Pemerintah Indonesia juga aktif mengikuti berbagai forum di bawah United Nations Framework Convention On Climate Change (UNFCCC) seperti Conference of Parties (COP) dan Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi ke-13 PBB tentang Pemanasan Global Conference of Parties 13 (COP 13) di Bali pada tahun 2007 silam. Hasil pertemuan Conference of Parties 13 (COP 13) melahirkan Bali Roadmap yang berisi konsekuensi kesiapan dalam mengawal terbentuknya kesepakatan Conference of Parties 14 (COP 14) di Poznań, Polandia pada tahun 2008 dan Conference of Parties 15 (COP 15) di Kopenhagen, Denmark pada tahun 2009. Perumusan kebijakan pemerintah (non-regelgeving) di tingkat nasional, dimulai pada tahun 2007 saat Kementerian Negara Lingkungan Hidup Indonesia menerbitkan Rencana Aksi Nasional-Perubahan Iklim (RAN-PI) yang berisi strategi pembangunan nasional dalam rangka antisipasi perubahan iklim serta rencana aksi nasional mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Menindaklanjuti Rencana Aksi Nasional-Perubahan Iklim (RAN-PI), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) juga menerbitkan dokumen National Development Planing: Indonesia Responses to Climate Change (IRCC) tahun 2008. Dokumen ini dibuat untuk mempertajam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 20042009, juga sebagai masukan bagi penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional
(RPJMN)
Tahun
2010-2014
dalam
konteks
pengintegrasian perubahan iklim. Melanjutkan kebijakan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) pada tahun-tahun sebelumnya, pada tahun 2010 kembali diluncurkan Indonesia Climate Change Sectoral commit to usersembilan sektor, yakni kehutanan, Roadmap (ICCSR) yang memuat strategi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
energi, industri, transportasi, limbah, pertanian, kelautan dan perikanan, sumber daya air, dan kesehatan dalam menghadapi tantangan perubahan iklim hingga tahun 2030 ke depan. Sedemikian beragam kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia terkait penanggulangan bencana perubahan iklim, namun dapat ditarik benang merah bahwa sampai saat ini belum ada satu kesatuan kebijakan pemerintah yang secara lengkap mengatur penanggulangan bencana perubahan iklim. Pemerintah Indonesia belum berani mengangkat permasalahan penanggulangan bencana perubahan iklim sebagai sebuah undang-undang seperti halnya Filipina yang mengesahkan Republic Act No. 9729, An Act Mainstreaming Climate Change Into Government Policy Formulations, Establishing The Framework Strategy And Program On Climate Change, Creating For This Purpose The Climate Change Commission, And For Other Purposes. Hal inilah yang disinyalir menjadi salah satu faktor kurang masifnya tindakan Pemerintah Indonesia dalam penanggulangan bencana perubahan iklim. Apabila dikaji lebih mendalam, ada sebuah bagian yang hilang dalam kumpulan puzzle penanggulangan bencana perubahan iklim di Indonesia sehingga pada taraf implementasinya kebijakan yang dibuat pemerintah dinilai belum optimal mengatasi bencana perubahan iklim yang terjadi di Indonesia. Selama ini pemerintah melupakan unsur kata “bencana” pada rangkaian kata “penanggulangan bencana perubahan iklim”. Unsur kata “bencana” merujuk pada terintegrasinya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana ke dalam kebijakan penanggulangan bencana perubahan iklim di Indonesia. Undang-Undang ini mengembangkan prinsip gotong-royong antara pemerintah dan masyarakat yang erat dalam kerangka penanggulangan bencana. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan
Bencana
nantinya
akan
menjadi
panduan
pelaksanaan penanggulangan bencana terkait perubahan iklim dan menjadi sebuah satu kesatuan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang di dalamnya terdapat pasal-pasal mengenai perubahan iklim. Saling keterkaitan antara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UndangUndang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana urgent untuk dikaji, karena ketentuan mengenai pengurangan risiko bencana yang terdapat
dalam
Undang-Undang
Nomor
24
Tahun
2007
tentang
Penanggulangan Bencana sangat diperlukan sebagai wujud dari optimalisasi upaya mitigasi dan adaptasi bencana perubahan iklim yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Sinkronisasi diantara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terhadap Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana diperlukan untuk mengetahui arah kebijakan pemerintah terkait penanggulangan bencana perubahan iklim di Indonesia. Selanjutnya, apabila arah kebijakan pemerintah terkait penanggulangan bencana perubahan iklim telah diketahui maka akan mudah bagi Pemerintah Indonesia dalam menyusun model kebijakan yang terpadu terkait penanggulangan bencana perubahan iklim. Sehingga pada akhirnya kebijakan tersebut akan optimal dalam taraf implementasinya dan berujung pada terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan dan tercapainya kesejahteraan masyarakat dalam sebuah negara. Berdasarkan dari pemaparan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai optimalisasi kebijakan pemerintah dalam penanggulangan bencana perubahan iklim yang terjadi di Indonesia. Penulis akan meneliti dan menuangkan hasil penelitiannya dalam penulisan hukum yang berjudul “SINKRONISASI ANTARA UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP TERHADAP UNDANGUNDANG
NOMOR
PENANGGULANGAN
24
TAHUN
BENCANA commit to user
2007
TENTANG
SEBAGAI
RUMUSAN
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
OPTIMALISASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN BENCANA PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA”. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana sinkronisasi horizontal antara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terhadap Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana berkaitan dengan arah kebijakan penanggulangan bencana perubahan iklim di Indonesia? 2. Bagaimana model ideal yang dapat diterapkan pemerintah untuk mewujudkan optimalisasi kebijakan penanggulangan bencana perubahan iklim di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Obyektif Tujuan obyektif penulisan hukum ini adalah: a. Mengkaji dan menganalisis sinkronisasi horizontal antara UndangUndang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terhadap Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana berkaitan dengan arah kebijakan penanggulangan bencana perubahan iklim di Indonesia. b. Merumuskan model ideal yang dapat dikembangkan pemerintah terkait optimalisasi kebijakan penanggulangan bencana perubahan iklim di Indonesia. 2. Tujuan Subyektif Tujuan subyektif penulisan hukum ini adalah: a. Menambah wawasan dan pengetahuan penulis di bidang ilmu hukum. Penulisan hukum ini dalam lingkup Hukum Administrasi Negara, khususnya
Hukum
Lingkungan
terkait
optimalisasi
penanggulangan bencana perubahan iklim di Indonesia. commit to user
kebijakan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. Menerapkan teori-teori hukum yang telah penulis peroleh agar kajian ini memberikan manfaat bagi masyarakat. c. Melengkapi persyaratan akademis untuk memperoleh gelar S1 dalam bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat yang bernilai positif karena berdasarkan alasan tersebutlah penulis melakukan penelitian ini. Adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan hukum ini adalah: 1. Manfaat Teoritis a.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya, dan terkhusus dalam Hukum Administrasi Negara dalam kaitannya dengan optimalisasi kebijakan penanggulangan bencana perubahan iklim di Indonesia.
b.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur dalam dunia kepustakaan tentang optimalisasi kebijakan penanggulangan bencana perubahan iklim di Indonesia.
2. Manfaat Praktis a.
Sebagai wahana mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis, sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.
b.
Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada semua pihak yang membutuhkan pengetahuan terkait permasalahan yang diteliti dan dapat dipakai sebagai sarana yang efektif dalam mempelajari dan memahami ilmu hukum pada khususnya Hukum Administrasi Negara.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
E. Metode Penelitian Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sisitematika, dan pemikiran yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu melalui sebuah analisis. Metode penelitian yang digunakan penulis dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian hukum dalam penulisan hukum ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal yakni, penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka. Kumpulan dari bahan pustaka yang telah diinventaris kemudian disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti. Hal ini sesuai dengan pandangan Soerjono Soekanto bahwa penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka disebut sebagai penelitian hukum normatif atau penelitian yang menganalisis hukum yang tertulis. Penelitian hukum normatif mencakup (Soerjono Soekanto, 2001: 13-14): a. Penelitian terhadap asas-asas hukum b. Penelitian terhadap sistematik hukum c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal d. Perbandingan hukum e. Sejarah hukum Penulis menggunakan teori dari Soerjono Soekanto bahwa penulisan hukum normatif mencakup taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal terhadap hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku. Taraf sinkronisasi yang dimaksud adalah sinkronisasi horizontal antara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terhadap Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan commit to userBencana berkaitan dengan arah
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kebijakan penanggulangan bencana perubahan iklim di Indonesia untuk merumuskan optimalisasi kebijakan pemerintah terkait penanggulangan bencana perubahan iklim di Indonesia. 2. Sifat Penelitian Menurut pandangan Peter Mahmud Marzuki, berdasarkan sifatnya penulisan hukum ini termasuk jenis penelitian preskriptif yang mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. Penulisan hukum ini juga bersifat terapan, yakni menggunakan ilmu hukum dalam menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 22). Penulis mengkaji norma-norma hukum yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, kemudian norma-norma hukum tersebut dianalisis untuk menemukan taraf sinkronisasi horizontal diantara keduanya dan diakhiri dengan memberikan rumusan-rumusan
kebijakan
pemerintah
yang
terpadu
terkait
penanggulangan bencana perubahan iklim di Indonesia. 3. Pendekatan Penelitian Penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute aprroach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan perbandingan (comparative approach). Peter Mahmud Marzuki dalam bukunya “Penelitian Hukum” menjelaskan bahwa pendekatan undangundang dilakukan dengan memahami hierarki, dan asas-asas dalam peraturan
perundang-undangan
kemudian
menganalisisnya
guna
menemukan pemecahan masalah yang dihadapi dalam penulisan hukum ini (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 96). Adapun pendekatan konseptual yang penulis gunakan adalah untuk membangun suatu konsep yang dijadikan acuan dalam penulisan hukum ini manakala peneliti tidak beranjak dari aturan hukum yang ada, pendekatan konseptual dapat commit to user dilakukan dengan jalan memahami substansi hukum dari masalah yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dikaji dengan benar (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 137). Sedangkan pendekatan
perbandingan
hukum
merupakan
kegiatan
untuk
membandingkan hukum suatu negara dengan hukum negara lain. Perbandingan hukum juga dapat dilakukan tanpa melihat sistem hukum maupun tingkat perkembangan ekonomi, melainkan hanya melihat substansinya yang merupakan kebutuhan secara universal (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 133). 4. Sumber Penelitian Hukum Sumber penelitian hukum merupakan tempat dimana bahan hukum diperoleh. Sumber penelitian hukum yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim sedangkan bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 141). Adapun bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dalam penulisan hukum ini adalah: a. Bahan hukum primer: 1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. 2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. b. Bahan hukum sekunder adalah jurnal, buku, dan publikasi-publikasi terkait kebijakan pemerintah dalam penaggulangan bencana perubahan iklim. 5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah teknik studi pustaka atau literature research, yakni mendokumentasikan bahan hukum berupa peraturan perundangcommitpublikasi to user lain yang dibutuhkan kemudian undangan, jurnal, buku, maupun
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dikategorisasi menurut pengelompokan yang tepat dan dianalisis untuk menemukan solusi atas permasalahan hukum yang diteliti. 6. Teknik Analisis Bahan Hukum Penulis menggunakan metode silogisme deduktif, yakni cara berpikir yang berpangkal pada prinsip-prinsip dasar, kemudian peneliti menghadirkan obyek yang akan diteliti untuk menarik kesimpulan menuju penjabaran-penjabaran yang bersifat khusus. Cara pengolahan bahan hukum dengan menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi (Johny Ibrahim, 2006: 393). Adapun premis mayor penulisan hukum ini adalah sinkronisasi horizontal antara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terhadap UndangUndang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana berkaitan dengan penanggulangan bencana perubahan iklim di Indonesia. Sedangkan, premis minornya adalah optimalisasi kebijakan pemerintah dalam penanggulangan bencana perubahan iklim di Indonesia. Sehingga nantinya akan ditarik kesimpulan berupa arah kebijakan pemerintah terkait penanggulangan bencana perubahan iklim dan penulis dapat merumuskan model ideal yang dapat diterapkan pemerintah untuk mewujudkan optimalisasi kebijakan penanggulangan bencana perubahan iklim di Indonesia.
F. Sistematika Penulisan Hukum Penulisan hukum ini terdiri dari empat bab, yang tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian agar memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika penulisan hukum yang dimaksud adalah sebagai berikut: BAB I
: PENDAHULUAN Berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, commit to user dan metode penelitian. Metode
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
penelitian terdiri atas jenis penelitian, sifat penelitian, pendekatan penelitian, sumber penelitian hukum, teknik pengumpulan bahan hukum, dan teknik analisis bahan hukum. BAB II
: TINJAUAN PUSTAKA Berisi kerangka teori dan kerangka pemikiran. Kerangka teori terdiri dari teori-teori yang relevan dengan penelitian hukum ini yakni: tinjauan tentang hukum, tinjauan tentang kebijakan publik, tinjauan tentang hubungan hukum dengan kebijakan publik, tinjauan tentang positivisme sebagai landasan sinkronisasi hukum, tinjauan tentang etika lingkungan global, tinjauan tentang lingkungan hidup, tinjauan tentang pembangunan berlanjutan, tinjauan
tentang
perubahan
iklim,
tinjauan
tentang
penanggulangan bencana, dan tinjauan tentang kebijakan perubahan iklim Pemerintah Filipina. BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Berisi hasil penelitian dan pembahasan guna menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang sinkronisasi antara UndangUndang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terhadap Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana berkaitan dengan arah kebijakan penanggulangan bencana perubahan iklim di Indonesia, berdasarkan hasil sinkronisasi diantara keduanya selanjutnya penulis merumuskan model ideal yang dapat diterapkan pemerintah untuk mewujudkan optimalisasi kebijakan penanggulangan bencana perubahan iklim di Indonesia. BAB IV : PENUTUP Berisi simpulan-simpulan yang merujuk dari hasil penelitian dan pembahasan serta saran-saran yang diajukan penulis terkait simpulan tersebut. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II KAJIAN TEORI
A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Hukum Hukum adalah karya manusia yang berupa norma-norma berisikan petunjuk-petunjuk tingkah laku. Pencerminan dari kehendak manusia tentang bagaimana seharusnya masyarakat itu dibina dan kemana harus diarahkan. Pengertian tersebut
mengandung tiga tuntutan masyarakat
terhadap hukum yang oleh Guztav Radbrucht disebut sebagai nilai dasar hukum yakni: keadilan, kegunaan, dan kepastian hukum (Satjipto Raharjo, 2000: 20). Satjipto Raharjo membagi garis besar pengertian hukum dalam tiga pengertian dasar: Pertama, hukum dipandang sebagai kumpulan ide atau nilai abstrak. Kedua, hukum dilihat sebagai suatu sistem peraturanperaturan yang abstrak, maka pusat perhatiannya terfokus pada hukum sebagai sebuah lembaga yang benar-benar otonom sebagai subyek tersendiri terlepas dari kaitannya dengan hal-hal diluar peraturan tersebut. Ketiga, hukum dipahami sebagai sarana atau alat untuk mengatur masyarakat. Pengertian ini mengaitkan hukum untuk mencapai tujuantujuan serta memenuhi kebutuhan-kebutuhan kongkret masyarakat (Esmi Warassih, 2005: 23). Merujuk pada definisi hukum yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum adalah alat atau sarana untuk mengatur dan menjaga ketertiban guna mencapai suatu tatanan masyarakat yang berkeadilan dalam menyelenggarakan kesejahteraan sosial dalam suatu negara. Hukum terwujud dalam peraturan-peraturan yang bersifat memaksa dan memberikan sanksi bagi yang melanggarnya baik itu masyarakat maupun pemerintah. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Tinjauan tentang Kebijakan Publik Thomas R. Dye memberikan pengertian kebijaksanaan publik adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Lebih jauh Dye mengatakan bahwa jika pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu maka harus ada tujuannya dan kebijakan publik itu harus meliputi semua tindakan pemerintah, jadi bukan semata-mata merupakan keinginan pemerintah atau pejabat pemerintah saja (Bambang Sunggono, 1994: 21). Sementara itu, James E. Anderson menyatakan empat konsep kebijakan publik yang mempunyai beberapa implikasi yakni: Pertama, kebijakan publik berorientasi pada maksud dan tujuan dan bukan perilaku secara serampangan. Kedua, kebijakan publik merupakan arah atau pola tindakan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah dan bukan merupakan keputusan yang tersendiri. Suatu kebijakan mencakup tidak hanya keputusan untuk menetapkan undang-undang mengenai suatu hal, tetapi juga keputusan-keputusan beserta dengan pelaksanaannya. Ketiga, kebijakan publik adalah apa yang sebenarnya dilakukan pemerintah dan bukan apa yang diinginkan oleh pemerintah. Keempat, kebijakan publik mungkin bersifat positif dan negatif. Secara positif, kebijakan mungkin mencakup bentuk tindakan pemerintah yang jelas untuk mempengaruhi suatu masalah tertentu. Secara negatif, kebijakan mungkin mencakup suatu keputusan oleh pejabat-pejabat pemerintah, tetapi tidak untuk mengambil tindakan dan tidak untuk melakukan sesuatu mengenai suatu persoalan yang memerlukan keterlibatan pemerintah (Budi Winarno, 2002: 37). Mengkaji sudut pandang ini, kebijakan publik ditekankan pada pilihan-pilihan apapun yang oleh pemerintah dilakukan atau tidak dilakukan. Menurut M. Irfan Islamy, berdasarkan pengelompokan analisis dengan pendekatan prosesnya, model kebijakan yang disebutnya sebagai kebijaksanaan negara dapat dikelompokkan sebagai berikut (M. Irfan Islamy, 2003: 37): a. Model Institusional
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Model institusional merupakan model tradisional dalam proses pembuatan kebijakan negara. Fokus atau pusat perhatian model ini terletak pada struktur organisasi pemerintahan. Hal ini disebabkan adanya kegiatan seperti lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif pada pemerintah pusat, regional, dan lokal. b. Model Elit-Massa Model ini memandang administrator negara bukan sebagai “abdi rakyat”, tetapi sebagai kelompok kecil yang telah mapan. Kelompok ini bertugas membuat dan melaksanakan kebijaksanaan, digambarkan mampu bertindak atau berbuat di suatu lingkungan yang ditandai dengan sikap massa yang apatis, kerancuan informasi, sehingga massa menjadi pasif. Padahal semestinya kebijkasanaan itu menggambarkan kepentingan atau tuntutan rakyat tetapi model ini sebaliknya, dan rakyat hanya bersifat apatis dan buta terhadap informasi tentang kebijaksanaan negara. c. Model Kelompok Model kelompok ini menganut paham teori kelompok dari David B. Truman dalam bukunya “The Govermental Process” (1951) yang menyatakan bahwa interaksi diantara kelompok-kelompok merupakan kenyataan politik, individu-individu yang memiliki kepentingan yang sama mengikat baik secara formal maupun informal ke dalam kelompok kepentingan yang dapat mengajukan dan melaksanakan kepentingan-kepentingannya kepada pemerintah. Menurut teori ini kebijaksanaan negara itu merupakan perimbangan yang dicapai sebagai hasil perjuangan. d. Model Rational-Comprehensive Teori model rasional komprehensif dipelopori oleh Herbert A. Simon. Menurut konsep manusia administrasi pembuat keputusan tidak pernah memperoleh informasi lengkap dan oleh karenanya tidak pernah mencapai pilihan-pilihan yang mempunyai nilai paling tinggi. Artinya commit to userdalam merumuskan dan mengatasi bahwa kepastian daya pikir manusia
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
masalah-masalah yang kompleks sangat terbatas dibandingkan dengan permasalahan yang dihadapi. Model rasional itu sama dengan kebijakan yang sangat relavan, dimana rasio antara nilai yang dicapai dengan nilai yang dikorbankan adalah positif dan lebih dibandingkan dengan alternatif-laternatif yang lain. e. Model Disjointed Incrementalism Model ini juga disebut model inkremental didasarkan atas teori seorang sarjana ekonomi Charles E. Lendblom yang menjelaskan tentang proses pembuatan keputusan di dalam bukunya yang berjudul “The Science of Muddling Trough”. Model inkremental memandang kebijaksanaan negara sebagai kelanjutan kegiatan-kegiatan pemerintah di masa lalu dengan hanya mengubah sedikit atau memodifikasi sedikit. Model kebijaksanaan ini biasanya pembuat keputusan selalu diliputi dengan keterbatasan waktu, kecakapan, biaya, maka tidak dimungkinkan untuk menganalisis
semua
nilai-nilai,
dan
tujuam-tujuan
masyarakat,
keseluruhan alternatif kebijaksanaan beserta risikonya menilai rasio, biaya, keuntungan sacara detail menyadari akan keterbatasan yang ada pada pembuat keputusan, maka model ini memodifikasi sedikit demi sedikit atas kebijaksanaan yang ada sebelumnya dengan menambah, mengurangi, mengganti sedikit program kebijaksanaan negara tersebut atas dasar pembuatan keputusan yang baru. Model ini merupakan kritik dan perbaikan dari model rasional komprehensif. f. Model Mixed-Scanning Teori model mixed-scanning dicetuskan seorang ahli sosiologi yang bernama Amiton Etzioni. Model ini merupakan pembuatan keputusan hibrida (gabungan unsur-unsur kebaikan yang ada pada model rasional komprehensif dan inkremental). Kelebihan pada model mixed-scanning adalah setiap elemen atau unsur ada pada masing-masing jenis keputusan di atas
cenderung saling menciptakan keseimbangan
(counter balance) terhadap masing-masing kekurangannya. Sedangkan to user kelemahan model ini commit menurut Hartle, sedikit sekali memberikan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
petunjuk untuk menentukan apakah sebenarnya yang dapat membentuk atau menjadikan masalah yang fundamental atau masalah yang inkremental. Karena teori ini memperkenalkan penerapan yang berbeda dalam berbagai situasi yang berbeda sehingga dalam keadaan yang sebagaimana hal itu dapat dilakukan dan seberapa jauh pendekatan inkremental atau rasional harus diterapkan. 3. Tinjauan tentang Hubungan Hukum dengan Kebijakan Publik Setelah sekilas membahas pemahaman tentang hukum dan kebijakan publik, dapat ditarik relevansi antara keduanya. Hukum dan kebijakan publik merupakan variabel yang memiliki keterikatan yang sangat erat, sehingga telaah tentang kebijakan pemerintah semakin dibutuhkan untuk memahami peranan hukum saat ini. Kebutuhan tersebut semakin dirasakan seiring semakin meluasnya peranan pemerintah memasuki kehidupan manusia, dan semakin kompleksnya persoalanpersoalan ekonomi, sosial, budaya maupun politik. Disamping itu peraturan hukum juga berperan untuk membantu pemerintah dalam menemukan alternatif kebijakan yang baik dan bermanfaat bagi masyarakat (Esmi Warassih, 2005: 130). Hal mendasar dalam melihat hubungan antara hukum dengan kebijakan publik adalah pemahaman bahwa pada dasarnya kebijakan publik harus dilegalisasi dalam bentuk hukum. Antara hukum dan kebijakan publik pada tataran praktek tidak dapat dipisahkan-pisahkan karena keduanya saling melengkapi. Logikanya sebuah produk hukum tanpa proses kebijakan publik akan kehilangan muatan substansinya. Sebaliknya sebuah proses kebijakan publik tanpa ada legalisasi hukum tentu saja kan sangat lemah dimensi operasionalnya. Pertautan antara hukum dan kebijakan publik idealnya bermuara pada kinerja antara keduanya berjalan dengan baik. 4. Tinjauan tentang Positivisme Sebagai Landasan Sinkronisasi Hukum Aliran positivisme atau analytical positivism atau rechtsdogmatiek commitdalam to user merupakan aliran yang dominan abad ke-19, hal ini disebabkan oleh
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dunia profesi yang membutuhkan dukungan dari pikiran positivistisanalitis yang membantu untuk mengolah bahan hukum guna mengambil putusan. Di sisi lain, kehadiran bahan hukum yang begitu masif telah mengundang
keinginan
menggolong-golongkan,
intelektual
untuk
mensistematisir,
mempelajarinya, mencari
perbedaan
seperti dan
persamaan, menemukan asas di belakangnya, dan sebagainya. Dalam konteks tersebut, suatu teoritisasi mengenai adanya suatu tatanan hukum yang kukuh dan rasional merupakan obsesi dari aliran positivisme tersebut. Hukum harus dapat dilihat sebagai suatu bangunan rasional, dan dari titik ini berbagai teori dan pemikiran dikembangkan (Khudzaifah Dimyati, 2004: 62). Berkait dengan hukum sebagai bangunan rasional ini, Kelsen (1961) mengatakan bahwa hukum adalah suatu tata perbuatan manusia. “Tata” adalah suatu sistem aturan-aturan dan hukum dipahami sebagai seperangkat peraturan yang mengandung semacam kesatuan melalui sistem hukum. Selain Kelsen, terdapat nama-nama besar para pakar dalam teoritisasi positivis, antara lain H.L.A. Hart, Lon Fuller, maupun Dworkin. Kelsen misalnya, terkenal dengan reine rechtslehre dan stufenbautheorie yang berusaha untuk membuat suatu kerangka bangunan hukum yang dapat dipakai dimanapun. Sebuah teori yang dikembangkan bahwa setiap tata kaidah hukum merupakan suatu susunan dari kaidah-kaidah stufenbau. Pada puncak stufenbau tersebut terdapat grundnorm atau kaidah dasar atau kaidah fundamental, yang merupakan hasil pemikiran secara yuridis. Adapun teori Fuller menekankan pada isi hukum positif, oleh karena harus dipenuhi delapan persyaratan moral tertentu antara lain (Khudzaifah Dimyati, 2004: 63): a. Aturan-aturan sebagai pedoman dalam pembuatan keputusan. b. Aturan-aturan yang menjadi pedoman bagi otoritas tidak boleh dirahasiakan melainkan harus diumumkan. c. Aturan-aturan harus dibuat untuk menjadi pedoman bagi kegiatancommit to user kegiatan di kemudian hari, artinya hukum tidak boleh berlaku surut.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
d. Hukum harus dibuat sedemikian rupa sehingga dimengerti oleh rakyat. e. Aturan-aturan tidak boleh bertentangan satu sama lain. f. Aturan-aturan tidak boleh mensyaratkan perilaku yang di luar kemampuan pihak-pihak yang terkena, artinya hukum tidak boleh memerintahkan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan. g. Dalam hukum harus ada ketegasan. h. Harus ada konsistensi antara aturan-aturan sebagaimana yang diumumkan dengan pelaksanaan kenyataannya. 5. Tinjauan tentang Etika Lingkungan Global Tidak ada yang koheren atau absurd tentang kesetiaan kepada biosfer planet, atau sederhananya kepada “rumah kita”, Planet Bumi. Kepedulian kepada lingkungan lokal mengamanatkan kepedulian kepada lingkungan
global
karena
manusia
hidup
bergantung
padanya.
Bagaimanapun juga, tidak ada orang yang dapat memisahkan iklimnya sendiri dari sistem cuaca global dan perubahan iklim global, seperti yang diungkapkan Robin Cook, Sekretaris Luar Negeri Inggris, tidak ada seorangpun yang dapat memisahkan komunitas mereka dari umat manusia lainnya (Robin Attfield, 2010: 55). Kepemilikan Planet Bumi yang diwariskan dari generasi yang lalu kepada generasi masa kini secara turun-temurun menjadikan manusia sebagai
wali
planet
yang
bertugas
menjaga
dan
melestarikan
keberlangsungannya, dan seperti itulah skema tersebut akan berulang sampai generasi yang akan datang. Tradisi ini akan terus berjalan hingga kiamat datang dan meluluh lantakkan Bumi beserta seluruh isinya, kepengurusan (stewardship) untuk menjaga dan melestarikan Bumi diajarkan dalam tiga agama teistik yakni: Yahudi, Kristen, dan Islam. Islam menjabarkan bahwa dunia adalah milik Tuhan, dan umat manusia adalah hamba-Nya, khalifah atau wakil di Bumi, yang bertanggung
jawab
kepada
Tuhan
untuk
penggunaan
dan
pemeliharaannya. Tanggung jawab yang terkait berlaku kepada semua commit to user orang yang beriman dan semua kegiatan mereka, termasuk segala
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
penggunaan sumber daya alam. Menurut hukum Islam, unsur-unsur alamiah adalah milik umum untuk semua mahluk hidup dan bukan hanya untuk manusia (Khalid dan O’Brien, 1992: 6). 6. Tinjauan tentang Lingkungan Hidup Munadjat
Danusaputro,
Guru
Besar
Hukum
Lingkungan
Universitas Padjadjaran mengartikan lingkungan hidup sebagai semua benda dan kondisi, termasuk di dalamnya manusia dan tingkah perbuatannya, yang terdapat dalam ruang tempat manusia berada dan mempengaruhi hidup serta kesejahteraan manusia dan jasad hidup lainnya (N.H.T. Siahaan, 2004: 4). Berdasarkan Bab I Pasal 1 butir 1 dari UndangUndang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, memberikan defnisi tentang lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Pengertian lingkungan hidup dapat dirangkum dalam suatu rangkaian unsur-unsur sebagai berikut (N.H.T. Siahaan, 2004: 5): a. Semua benda, berupa manusia, hewan, tumbuhan, organisme, tanah air, udara, rumah, sampah, mobil, angin, dan lain-lain. Keseluruhan yang disebutkan ini digolongkan sebagai materi. Sedangkan satuansatuannya disebutkan sebagai komponen; b. Daya, disebut juga dengan energi; c. Keadaan, disebut juga kondisi atau situasi; d. Perilaku atau tabiat; e. Ruang, yakni wadah berbagai komponen berada; f. Proses interaksi, disebut juga saling mempengaruhi, atau biasa pula disebut dengan jaringan kehidupan. Selanjutnya dalam Bab I Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup commit user mendefinisikan perlindungan dantopengelolaan lingkungan hidup adalah
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran
dan/atau
kerusakan lingkungan hidup yang meliputi pencemaran, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Lingkungan hidup dapat dilindungi dalam bentuk yang lebih kongkret melalui (Jimly Asshiddiqie, 2009: 27): a. Proses peradilan terhadap pelanggar hukum yang dilakukan oleh pencemar, yakni melalui peradilan biasa; b. Mekanisme kontrol peradilan konstitusional atas kebijakan yang tertuang dalam undang-undang dan peraturan di bawahnya; c. Mekanisme kontrol peradilan atas tindakan-tindakan konkret dari penyelenggara negara yang mencemarkan dan merusak keseimbangan ekosistem. 7. Tinjauan tentang Pembangunan Berkelanjutan Penggunaan istilah pembangunan berkelanjutan diperkenalkan pertama kali pada masa 1970-an dan menjadi istilah utama pada saat dan setelah
terbentuknya
World
Commission
on
Environment
and
Development (WCED) pada 1987 atau lebih dikenal dengan Brundtland Commission. Komisi tersebut mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan. Dalam World Summit Report 2005, pembangunan berkelanjutan haruslah didirikan di atas tiga pilar pokok, yakni ekonomi, sosial, dan lingkungan. Ketiganya dibentuk untuk saling menopang antara satu dengan lainnya. Dengan demikian dapatlah dirumuskan bahwa pembangunan berkelanjutan tidak saja memfokuskan diri pada aspek-aspek pembangunan ekonomi dan sosial semata, namun juga harus berlandaskan pada perlindungan terhadap lingkungan. Pengembangan konsep pembangunan berkelanjutan juga masuk dalam hal terpenuhinya kebutuhan dasar (basic needs) dan tersalurkannya kesempatan untuk memberikan aspirasi kehidupan yang commitdan to user lebih baik (Dinah M. Payne Cecily A. Rainborn “Sustainable
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Development: The Ethics Support the Economics” dalam Pan Mohamad Faiz,
http://panmohamadfaiz.files.wordpress.com/2008/01/perubahan-
iklim-dan-perlindungan-terhadap-lingkungan-suatu-tinjauanberpersepektif-hukum-konstitusi-oleh-pan-mohamad-faiz1.pdf). Dengan demikian, antara pembangunan berkelanjutan dengan hak asasi manusia dapat dikatakan juga memiliki hubungan yang begitu erat. Oleh karenanya, hak-hak asasi manusia yang secara tegas tercantum dalam Pasal 28 hingga Pasal 28J UUD 1945 juga menjadi persyaratan penting untuk dipenuhi apabila pembangunan berkelanjutan ingin dikatakan berjalan sesuai dengan amanat konstitusi. Kemudian, salah satu hasil yang disepakati
untuk
menunjang
pembangunan
berkelanjutan
yakni
dilakukannya suatu pendekatan yang terpadu, memperhatikan berbagai aspek bahaya (multihazard) dan inklusi untuk menangani kerentanan, penilaian resiko, dan penanggulangan bencana, termasuk pencegahan, mitigasi, kesiapan, tanggapan dan pemulihan yang merupakan unsur penting bagi dunia yang lebih aman di abad ke-21 (Pan Mohamad Faiz, http://panmohamadfaiz.files.wordpress.com/2008/01/perubahan-iklimdan-perlindungan-terhadap-lingkungan-suatu-tinjauan-berpersepektifhukum-konstitusi-oleh-pan-mohamad-faiz1.pdf). 8. Tinjauan tentang Perubahan Iklim di Indonesia Perubahan iklim mengacu pada perubahan-perubahan iklim bumi yang persisten dan dalam skala besar. Perubahan-perubahan ini dapat disebabkan oleh proses alam ataupun disebabkan juga oleh aktivitasaktivitas manusia. Fenomena telah terjadinya perubahan iklim (climate change) sepertinya tidak dapat lagi dipertentangkan (Daniel Murdiyarso, 2003: 11). Berbagai penelitian ilmiah menggambarkan bahwa karbon dioksida (CO2) di lapisan atmosfir yang merupakan konsekuensi hasil sisa pembakaran dari batu bara, kayu hutan, minyak bumi, dan gas, telah meningkat hampir mendekati angka 20% sejak dimulainya revolusi industri. Kawasan perindustrian yang dibangun hampir di seluruh daratan commit to user benua di dunia telah menghasilkan limbah “Gas Rumah Kaca” (GRK),
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
seperti karbon dioksida (CO2), methana (CH4), dan nitrous oksida (N2O), yang dapat menyebabkan terjadinya “efek selimut”. Efek inilah yang kemudian mangakibatkan naiknya suhu di permukaan bumi. Sebagai bahan perbandingan, konsentrasi GRK pada masa pra-industri di abad ke19 baru sebesar 290 ppmv (CO2), 700 ppbv (CH4), dan 275 ppbv (N2O). Sedangkan pada saat ini, peningkatannya menjadi sebesar 360 ppmv (CO2), 1.745 ppbv (CH4), dan 311 ppbv (N2O). Dengan demikian, menurut para ahli, GRK untuk CO2 pada tahun 2050 diperkirakan akan mencapai kisaran 550 ppmv (Daniel Murdiyarso, 2003: xii).
Gambar 1: Efek Rumah Kaca (IPCC, 2007)
Temperatur di Indonesia telah meningkat sekitar 0.3°C (19011998). Keragaman iklim di Indonesia juga ditandai dengan siklus fenomena global El Nino Southern Oscillation (ENSO). El Nino Southern Oscillation (ENSO) mempunyai siklus normal antara 3-7 tahun, tapi setelah dipengaruhi perubahan iklim diduga siklus ini menjadi lebih pendek antara 2-5 tahun. Hal ini akan berakibat kekeringan yang lebih sering terjadi di berbagai wilayah Indonesia, seperti di Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat dan beberapa wilayah di Timur Pulau Jawa. Kekeringan yang terjadi akan mempengaruhi pada banyak sektor kehidupan dan pembangunan, misalnya commit to user kekeringan akan mempengaruhi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
produksi pertanian, kesulitan dalam penyediaan sumber air, pengurangan debit
air
untuk
bendungan
dan
sebagainya
(Armi
Susandi,
http://armisusandi.com/articles/journal/Bencana%20Perubahan%20Iklim% 20Global%20dan%20Proyeksi%20Perubahan%20Iklim%20Indonesia.pdf) Pola-pola presipitasi telah berubah, ada suatu penurunan pada curah hujan tahunan di wilayah selatan Indonesia dan peningkatan presipitasi di wilayah bagian utara. Musim presipitasi (musim hujan dan kemarau) telah berubah, curah hujan pada musim hujan di wilayah selatan Indonesia meningkat sementara curah hujan dimasa kemarau di wilayah bagian utara telah meningkat (Hulme & Sheard, 1999: 6).
Gambar 2: Perubahan-Perubahan dalam Temperatur Rata-Rata Per Tahun, 1901-1998 (atas) dan Curah Hujan Tahunan, 1901-1998 (bawah) di Wilayah Indonesia (Hulme & Sheard, 1999)
Data IPCC 2007, menunjukkan bahwa akibat perubahan iklim level permukaan air laut meningkat rata-rata 2.5 mm per tahunnya di Indonesia, suatu negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau dan 80.000 km daerah pantai yang sangat rentan terhadap peningkatan level permukaan air laut. Kecendrungan peningkatan level permukaan laut terus berlanjut. Indonesia akan kehilangan 2000 pulau yang berada di dataran rendah termasuk batu karang dan pulau-pulau tidak berpenghuni yang merupakan batas terluar wilayah Indonesia pada tahun 2030. Disamping itu, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
peningkatan level permukaan air laut sebanyak 8-30 cm pada tahun 2030 kemungkinan dapat menimbulkan dampak yang sangat berat. Pada besaran tingkat ini, daerah-daerah pinggir pantai dataran rendah seperti Jakarta dan Surabaya akan memiliki risiko yang lebih tinggi mengalami banjir (PEACE, 2007: 50). Sebagai negara yang kegiatan ekonominya sebagian besar berbasis pada sumber daya alam, seperti pertanian, perikanan, dan kehutanan, Indonesia rentan terhadap dampak perubahan iklim. Oleh karena itu, Indonesia sangat proaktif serta asertif dalam upaya menghadapi dan mengatasi dampak perubahan iklim. Menghadapi dampak perubahan iklim yang terjadi di Indonesia, pemerintah sebagai salah satu pejabat pembuat kebijakan mempunyai kewajiban untuk mendorong terciptanya kondisi kesejahteraan integritas dan kohesivitas dalam masyarakat dengan bertindak cepat dan tepat. Hal ini dibuktikan dengan adanya kebijakan-kebijakan terkait perubahan iklim yang telah ditetapkan,antara lain sebagai berikut (Bernadinus Steni, http://reddandrightsindonesia.wordpress.com/2011/10/11/arah-kebijakanperubahan-iklim-indonesia/): a. Ratifikasi Konvensi Perubahan Iklim melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994. b. Ratifikasi Protokol Kyoto Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004. c. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. d. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. e. Arah Kebijakan Perubahan Iklim dalam Program Kerja Pemerintah 1) Pra-Ratifikasi Protokol Kyoto a) REPELITA V (1989/1990-1993/1994). b) REPELITA VI (1994/1995-1998/1999). 2) Pasca Ratifikasi Protokol Kyoto commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
a) Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 20002004 : belum ada langkah spesifik terhadap perubahan iklim. b) Rencana Pembangunan Tahunan (REPETA) Tahun 2004: Ada 3 kegiatan pokok yang akan dilakukan, yakni: (1) Menyusun strategi dan program mitigasi lingkungan hidup serta adaptasi terhadap perubahan iklim global; (2) Mengembangkan kajian perubahan iklim dan pemanasan global; (3) Merintis
penerapan
skema
Clean
Development
Mechanism (CDM) dalam rangka memberikan kontribusi terhadap pencapaian tujuan Konvensi Perubahan Iklim Global (UNFCCC). c) Rencana
Pembangunan
Jangka
Menengah
Nasional
Rencana
Pembangunan
(RPJMN) Tahun 2004-2009: (1) Tiga
hal
disebutkan
Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009. Pertama, belum dilakukannya adaptasi kebijakan. Kedua, alternatif pendanaan
lingkungan
belum
dikembangkan.
Ketiga,
belum dipahaminya serta diterapkannya isu lingkungan global ke dalam pembangunan nasional dan daerah; (2) Adaptasi lebih banyak didorong ke program kajian, belum ada rencana penyusunan agenda adaptasi nasional; (3) Keterlibatan
dalam
Mechanism (CDM),
investasi terutama
Clean
Development
karena Indonesia
sudah
meratifikasi Protokol Kyoto 2004. d) Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2005: (1) Didorong usaha untuk menarik pendanaan global yang berasal
dari
perjanjian
internasional
Montreal dan Protokol Kyoto; (2) Mitigasi perubahan commitiklim. to user
berupa Protokol
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
e) Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2006: (1) Pengkajian mekanisme adaptasi dampak perubahan iklim pada rencana strategis sektor maupun rencana pembangunan daerah dan pengkajian aturan dan mekanisme DNS dan Clean Development Mechanism (CDM); (2) Adaptasi sama dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009, belum ada yang baru. f) Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2007: (1) Penyediaan
informasi
yang
cepat
dan
tepat
untuk mengantisipasi dampak bencana alam yang berasal dari variabilitas iklim yang ada di negara kepulauan Indonesia; (2) Muncul Rencana Aksi Nasional-Perubahan Iklim (RAN-PI) sebagai kompilasi mitigasi dan adaptasi sektoral. g) Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2008: Pengembangan
metereologi
dan
geofisika
antara lain
penelitian tentang perubahan iklim dan dampak sosio-ekonomi dalam
rentang
waktu
tahun 1900-2000
serta
skenario
perubahannya pada rentang waktu tahun 2000-2010 untuk skala kabupaten juga telah dilakukan. h) Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2009: (1) Perubahan iklim dianggap penting sebagai masalah dan tantangan dalam pembangunan Indonesia terutama karena kaitannya dengan ketahanan pangan dan pengelolaan sumber daya air dan energi; (2) Solusinya berupa memperbaiki data kerentanan, mengurangi risiko bencana, meningkatkan kepedulian masyarakat, dan koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. i) Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2010: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(1) Perubahan iklim masuk ke dalam prioritas kelima kebijakan pembangunan di tahun 2010 berupa “peningkatan kualitas dan kapasitas pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam terkait pengelolaan bencana perubahan iklim” yang salah satu arahnya adalah peningkatan kapasitas adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dan bencana alam lainnya; (2) Melahirkan
pengarusutamaan
pada
kegiatan Gerakan
Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN) yang erat hubungannya dengan Reducing Emissions from Deforestation and Degradation-plus (REDD-plus) yang meliputi upaya konservasi penanaman kembali hutan. j) Rencana
Pembangunan
Jangka
Menengah
Nasional
(RPJMN) Tahun 2010-2014: (1) Mendorong
pembangunan
yang
sesuai
dengan agenda
perubahan iklim: solusinya: komitmen Pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 26% dari Business As Usual (BAU) pada tahun 2020 dengan usaha sendiri atau sebesar 41% jika ada dukungan dari dunia internasional; (2) Solusi
yang
ditawarkan:
lahan, peningkatan pengembangan
rehabilitasi
pengelolaan energi
dan
daerah
hutan
dan
aliran
sungai,
transportasi
yang
ramah lingkungan, pengendalian emisi Gas Rumah Kaca (GRK), pengendalian pencemaran kerusakan lingkungan. 9. Tinjauan tentang Penanggulangan Bencana Benua Asia merupakan wilayah yang paling rentan bencana di seluruh dunia dan menjadi tempat tinggal sepertiga penduduk dunia. Semakin meningkatnya kerentanan penduduk Asia terutama terkait dengan kondisi demografi, perubahan teknologi, dan sosial ekonomi yang sangat to user cepat, hebatnya perluasan commit urbanisasi dan pembangunan lingkungan dengan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
risiko yang tinggi merupakan bagian dari kondisi tersebut (MPBI, 2006: 3). Wilayah Indonesia memiliki karakter khusus baik dengan kondisi geografis, geologis, hidrologis, maupun demografis yang sangat potensial terjadinya bencana dan kerusuhan sosial. Bencana mengakibatkan gangguan serius terhadap
keberfungsian suatu masyarakat sehingga
menyebabkan kerugian yang meluas pada kehidupan masyarakat yang melampaui kemampuan masyarakat tersebut untuk mengatasi dengan menggunakan sumberdaya mereka sendiri. Dengan demikian bencana terindikasi dapat terjadi baik bencana alam maupun bencana non alam yang bersifat anthropogene. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana memberikan definisi bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak sosial. Dari pengertian tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bencana meliputi tiga hal yakni: a. Bencana alam, yakni bencana yang diakibatkan oleh peristiwa alam seperti gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. b. Bencana non alam, yakni bencana yang diakibatkan peristiwa non alam seperti gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. c. Bencana sosial, yakni bencana yang diakibatkan oleh peristiwa yang disebabkan oleh manusia seperti konflik sosial antar kelompok, konflik antar komunitas masyarakat, dan teror. Menyadari
hal
tersebut
maka
bangsa
ini
seharusnya
mempersiapkan diri dalam menghadapi bencana yang dapat terjadi setiap saat. Diperlukan suatu paradigma baru penanggulangan bencana yang berpijak pada kondisi alam Indonesia. Meruntut pada Undang-Undang commit to userPenanggulangan Bencana lebih Nomor 24 Tahun 2007 tentang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menekankan pada kesiapsiagaan serta mitigasi, yakni rangkaian kegiatan pencegahan sebelum terjadinya bencana (pra bencana). Paradigma baru inilah yang disebut sebagai management bencana, dimana penanggulangan bencana tidak hanya terpusat pada tanggap darurat bencana dan bersifat sektoral seperti sebelum penanggulangan bencana mempunyai payung hukum yang berlaku umum dan mengikat seluruh departemen, masyarakat, dan lembaga non pemerintah yakni Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Pasal 1 ayat (6), kegiatan pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan sebagai upaya untuk menghilangkan dan/atau mengurangi ancaman bencana. Pencegahan merupakan suatu upaya preventif dalam mengelola ancaman dan kerentanan dari risiko bencana yang tertuang dalam program-program di masyarakat di tingkat lokal maupun daerah di tingkat kabupaten untuk menghilangkan secara total ancaman dan kerentanan penyebab risiko bencana. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Pasal 1 ayat (9), mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan dalam
menghadapi
bencana.
Kegiatan
mitigasi
bertujuan
untuk
meminimalisasi dampak ancaman dalam tahapannya kegiatan mitigasi dilakukan ketika telah melakukan identifikasi ancaman dengan programprogram yang diprioritaskan untuk mengelola ancaman. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Pasal 1 ayat (7), kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya
guna.
Kesiapsiagaan ini diperlukan karena selama ini to user masalah di lapangan seperti : penanggulangan bencana commit selalu mengalami
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
lambannya pemberian bantuan, bantuan berbelit-belit dan seringkali dipotong, pemenuhan kebutuhan dasar yang tidak komperehensif, lambannya pemulihan kondisi sosial ekonomi dan kesejahteraan korban, tidak tersedianya sistem peringatan dini, tidak adanya jaminan keamanan dan hak asasi manusia bagi korban maupun lemahnya koordinasi penanggulangan bencana (YEU, 2006: 6). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Pasal 1 ayat (8), peringatan dini adalah serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh lembaga yang berwenang. Upaya peringatan dini diikuti dengan tanggap darurat bencana pada saat terjadinya bencana, berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Pasal 1 ayat (10), tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, pelindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Pasal 1 ayat (11), rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca bencana dengan sasaran utama untuk
normalisasi
atau
berjalannya
secara
wajar
semua
aspek
pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pasca bencana. Upaya ini dilanjutkan dengan rekonstruksi yang merupakan rangkaian kegiatan penanggulangan pasca terjadinya bencana, berdasarkan UndangUndang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Pasal 1 ayat (12), rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan sarana, kelembagaan pada wilayah pasca bencana, baik pada tingkat commit to user pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah pasca bencana. Kegiatan penanggulangan bencana adalah seluruh aspek kegiatan yang meliputi aspek perencanaan dan penanggulangan bencana pada sebelum terjadi, saat terjadi, dan sesudah terjadi bencana yang dirancang untuk memberikan kerangka bagi orang perorangan atau komunitas yang berisiko terkena bencana untuk menghindari risiko, mengendalikan risiko, mengurangi risiko, menanggulangi maupun memulihkan diri dari dampak bencana. Secara lebih rinci perubahan yang terjadi dalam sistem penanggulangan bencana di Indonesia setelah disahkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tertera dalam tabel berikut ini (Redaktur, http://petrasawacana.wordpress.com/2011/06/26/kajian-teoritis-tentangpenanggulangan-bencana/): Tabel 1: Perubahan Sistem Penanggulangan Bencana di Indonesia Pra dan Pasca Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana No. 1.
Perbedaan Dasar Hukum
Sebelum ada UU Bersifat sektoral
2.
Paradigma
Tanggap darurat
3.
Lembaga
Bakornas PB, Satkorlak, dan Satlak
4.
Peran Masyarakat
Terbatas
5.
Pembagian Tanggung Jawab
Sebagian besar pemerintah pusat
6.
Perencanaan Pembangunan
Belum menjadi bagian aspek perencanaan pembangunan
commit to user
UU No 24/2007 Berlaku umum dan mengikat seluruh departemen, masyarakat, dan lembaga non pemerintah a. Mitigasi b. Tanggap darurat c. Rehabilitasi d. Rekonstruksi a. BNPB b. BPBD PROVINSI c. BPBD Kab/Kota Melibatkan masyarakat secara aktif Tanggung jawab pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten a. Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana (RAN PRB) b. Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) c. Rencana Aksi Daerah
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
7.
Pendekatan Mitigasi
Kerentanan
8.
Alokasi Anggaran
9.
Pedoman Penanggulangan Bencana Forum kerjasama antar pemangku kepentingan
Tanggung pemerintah pusat Belum ada
10. 11.
Keterkaitan Tata Ruang
Dengan
Terpecah sektoral
dan
jawab
bersifat
Belum menjadi aspek
Pengurangan Risiko Bencana (RAD PRB) Analilsa risiko (menggabungkan antara kerentanan dan kapasitas) Tergantung pada tingkatan bencana a. National Platform b. Provincial Platform Mengacu pada pedoman yang dibuat oleh BNPB dan BPBD Aspek bencana harus diperhitungkan dalam penyusunan tata ruang
10. Tinjauan tentang Kebijakan Perubahan Iklim Pemerintah Filipina Republik Filipina adalah sebuah negara kepulauan (archipelagic state) yang terdiri dari 7.107 pulau dengan luas total daratan diperkirakan 300.000 km². Negara ini terletak antara 116° 40' dan 126° 34' BT, dan 4° 40' dan 21° 10' LU. Filipina diapit oleh Laut Filipina di sebelah timur dan Laut China Selatan di sebelah barat, sedangkan di sebelah selatan berbatasan dengan Laut Sulawesi dan di sebelah utara berbatasan dengan Taiwan. Pemerintah Filipina membagi wilayah Filipina menjadi tiga kelompok kepulauan utama, yakni Luzon, Visayas, dan Mindanao (Sutarto,http://www.crayonpedia.org/mw/BSE:Hubungan_Unsur_Geografi s_dan_Penduduk_Asia_Tenggara_9.1_(BAB_10)). Wilayah Asia Tenggara secara astronomis terletak antara 28° LU11° LS. Ini berarti wilayah Asia Tenggara berada di daerah beriklim tropis. Selain beriklim tropis, keadaan iklim dapat ditinjau dari keadaan fisik muka bumi dan wilayah perairan. Keadaan iklim yang ditinjau dari keadaan fisik muka bumi dan wilayah perairan disebut iklim fisis. Beberapa iklim fisis di kawasan Asia Tenggara adalah sebagai berikut: Pertama, iklim laut adalah iklim yang dipengaruhi oleh angin laut. Hal ini terjadi karena wilayah Asia Tenggara dikelilingi laut yang luas. Kedua, iklim gunung adalah iklim yang dipengaruhi oleh adanya gunung-gunung commit to user tinggi. Ketiga, iklim dataran rendah adalah iklim yang dipengaruhi oleh
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
adanya dataran rendah yang tersebar di kawasan Asia Tenggara. Filipina seperti Indonesia terletak pada “ring of fire” karena memiliki gununggunung berapi aktif yang mengikuti barisan Sirkum Pasifik dan juga terletak pada “belt of typhoon” dimana dalam sepanjang tahun Filipina dilewati oleh 20 angin taifun yang menyebabkan bencana (Irzan Tanjung, http://www.deplu.go.id/_layouts/mobile/PortalDetailNewsLike.aspx?l=id &ItemID=ac191c8c-1d2d-44b2-a34c-592a2d5345f3). Persamaan karakteristik alam inilah yang meyebabkan Indonesia dan Filipina menjadi negara rawan bencana terutama bencana-bencana yang berhubungan dengan keadaan iklim di kedua negara yang merupakan negara kepulauan (archipelagic state). Sistem pemerintahan kedua negara yang menganut sistem presidensiil menuntut peran pemerintah yang lebih besar dalam menanggulangi bencana perubahan iklim yang menjadi tantangan nyata di tengah pertumbuhan ekonomi kedua negara yang masih tergolong sebagai negara berkembang. Beragam persamaan antara kedua negara dilihat dari faktor socioculture, letak geografis, dan sistem hukum yang berlaku maupun sistem pemerintahan yang dianut oleh keduanya belum tentu menjamin persamaan diantara keduanya dalam merumuskan kebijakan terkait bencana perubahan iklim. Pemerintah Filipina mengawali aksinya dalam menanggulangi bencana perubahan iklim sejak tahun 1991. Pada tanggal 8 Mei 1991, Presiden Corazon Aquino membuat Peraturan Presiden Nomor 220
(Presidential
Order
No.220)
yang
membentuk
Komisi
Perubahan Iklim (Inter-Agency Committee on Climate Change) di bawah Departemen Lingkungan dan Sumber Daya Alam (Environmental Management Bureau of Environment and Natural Resources). Tujuan dari komisi tersebut adalah memanfaatkan dan mensinergikan berbagai kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah nasional dan masyarakat sipil dalam menanggapi krisis yang ditimbulkan oleh perubahan iklim (Center for Environmental Concerns Philippines, 2011: 33). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pada tahun 1997, Pemerintah Filipina menyusun Rencana Aksi Nasional Perubahan Iklim (National Action Plan on Climate Change) dan Filipina menjadi salah satu negara pemrakarsa di dunia yang membuat kerangka kerja nasional dalam mengatasi bencana perubahan iklim setelah disahkannya Protokol Kyoto. Langkah ini 10 tahun lebih awal dari Indonesia yang baru menyusun Rencana Aksi Nasional-Perubahan Iklim (RAN-PI) pada tahun 2007 silam (Center for Environmental Concerns Philippines, 2011: 34). Langkah masif pemerintah Filiphina juga kembali ditunjukan. Pada tahun 2000, Filipina mengadopsi rencana aksi United Nations Framework Convention On Climate Change (UNFCCC) tentang strategi adaptasi dan mitigasi pencegahan serta pengurangan Gas Rumah Kaca (GRK) antara lain, berusaha untuk mempromosikan pengembangan dan komersialisasi sumber daya energi terbarukan, mendorong pembangunan berkelanjutan pengembangan, dan pemanfaatan kembali sumber daya alam untuk menekan emisi gas berbahaya yang bertujuan untuk mengurangi ketergantungan tinggi terhadap ketersediaan pasokan energi (Center for Environmental Concerns Philippines, 2011: 36). Presiden Arroyo pada 20 Februari 2007, menciptakan Satuan Tugas Presiden tentang Perubahan Iklim (Presidential Task Force on Climate Change) sebagai pengakuan atas kebutuhan mendesak untuk menghadapi isu perubahan iklim dan langkah tegas terhadap kegiatan produksi yang menyebabkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang berlebihan. Satuan tugas ini nantinya akan memimpin upaya nasional Pemerintah Filipina dalam bentuk kebijakan perubahan iklim untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) melalui tindakan mitigasi, merancang adaptasi, meningkatkan sumber daya energi terbaharukan, menjajaki pasar berdasarkan insentif (misalnya, diperdagangkan izin emisi), dan pemersatu bagi berbagai stakeholders di Filipina (Center for Environmental Concerns Philippines, 2011: 42). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sebagai puncak dari upaya pemerintah dalam penanggulangan bencana perubahan iklim, mendekati Conference of Parties 15 (COP 15) di Kopenhagen, Denmark pada tahun 2009. Pemerintah Filipina mengesahkan Republic Act No. 9729, An Act Mainstreaming Climate Change Into Government Policy Formulations, Establishing The Framework Strategy And Program On Climate Change, Creating For This Purpose The Climate Change Commission, And For Other Purposes pada Oktober 2009. Undang-undang ini sebagai kerangka pemersatu kebijakan publik Pemerintah Filipina dalam upaya penanggulangan bencana perubahan iklim. Antara lain, ketentuan di dalamnya memuat tentang tata birokrasi dan kelembagaan pemerintah yang berkaitan dengan programprogram
penanggulangan
bencana
perubahan
iklim
(Center
Environmental Concerns Philippines, 2011: 43). B.
Kerangka Pemikiran Bencana Perubahan Iklim di Indonesia Sinkronisasi horizontal UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penaggulangan Bencana
Arah Kebijakan Pemerintah dalam Penanggulangan Bencana Perubahan Ikilm
Philippine Policy Responses on Climate Change
Model Ideal yang Dapat Diterapkan Pemerintah untuk Mewujudkan Optimalisasi Kebijakan Penanggulangan Bencana Perubahan Iklim
Optimalisasi Kebijakan Penanggulangan Bencana Perubahan Ikilm
commit to user
Gambar 3: Skema Kerangka Pemikiran
for
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Perubahan iklim merata terjadi di seluruh penjuru bumi termasuk juga di Indonesia, dalam sepuluh tahun terakhir pola curah hujan berubah-ubah tanpa dapat diprediksi sehingga menyebabkan banjir di satu tempat, tetapi kekeringan di tempat yang lain. Dampak perubahan iklim ini menyebabkan kerugian di berbagai sektor, antara lain: sektor sumber daya air, pesisir dan laut, pertanian, kehutanan, dan kesehatan. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan eksekutif telah mengesahkan dan mengundangkan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan yang di dalamnya memuat pasal-pasal terkait perubahan iklim, disisi lain terdapat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang telah muncul 2 tahun lebih awal dari UndangUndang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan. Mencermati keterkaitan antara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan dengan UndangUndang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dalam upaya penanggulangan bencana perubahan iklim di Indonesia, penulis tertarik untuk mengkajinya lebih mendalam dengan melakukan sinkronisasi horinzontal diantara keduanya untuk menentukan arah kebijakan pemerintah terkait penanggulangan bencana perubahan iklim di Indonesia. Setelah mengetahui arah kebijakan pemerintah, kemudian penulis membuat model ideal terkait optimalisasi kebijakan penanggulangan bencana perubahan iklim di Indonesia sebagai sebuah kontribusi pemikiran terhadap permasalahan bangsa yang diurai dalam penulisan hukum ini. Sebagai masukan sekaligus juga
sebagai
tolok
ukur
dari
barometer
model
ideal
kebijakan
penanggulangan bencana perubahan iklim yang akan dirumuskan, dalam hal ini penulis memilih kebijakan Pemerintah Filipina karena Filipina dinilai memiliki persamaan karakteristik dengan Indonesia dilihat dari faktor socioculture, letak geografis, dan sistem hukum yang berlaku maupun sistem pemerintahan yang dianut oleh keduanya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Sinkronisasi Horizontal antara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terhadap Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Berkaitan dengan Arah Kebijakan Penanggulangan Bencana Perubahan Iklim di Indonesia Perubahan iklim merupakan tantangan multidimensi yang paling serius, kompleks, dan dilematis. Perubahan iklim dan pemanasan global terjalin erat dengan perilaku dan gaya hidup manusia, keputusan politik, pola pembangunan, pilihan teknologi, kondisi ekonomi, dan kesepakatan internasional. Dampak perubahan iklim meluas mulai dari tingkat global hingga tingkat lokal pada wilayah terpencil dari sebuah negara. Ketika suhu bumi semakin panas, pola curah hujan berubah drastis, cuaca menjadi lebih ekstrem hingga menyebabkan bencana kekeringan, badai, banjir, dan gelombang panas (hot waves) tidak dapat dihindarkan. Disamping bencanabencana ini, perubahan iklim juga turut menyebabkan kebakaran hutan yang semakin meluas (Ismid Hadad, 2010: 3). Pada suhu bumi yang mencapai titik panas tertentu, bongkahan es di kutub dan salju di puncak gunung dapat mencair dan menimbulkan gejala pemekaran air laut yang menyebabkan permukaan air laut naik. Permukaan air laut yang naik akan berakibat pada tenggelamnya dataran rendah, pesisir pantai, dan pulau-pulau kecil padat penghuni di negara berkembang seperti di Indonesia yang notabenenya adalah sebuah negara kepulauan. Puluhan juta masyarakat miskin yang rentan terhadap bencana perubahan iklim terancam kekurangan pasokan air bersih, gagal panen akibat kekeringan yang menyebabkan merosotnya produktivitas dan hasil pertanian, kebun, dan perikanan. Rentetan bencana ini pada akhirnya akan menyebabkan bencanacommit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bencana ikutan seperti meningkatnya gangguan kesehatan, kurang gizi, bencana kelaparan, dan wabah penyakit. Menanggapi dampak perubahan iklim yang menjadi sebuah tantangan global terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia, pemerintah diharapkan segera menyusun formulasi kebijakan yang terpadu dan tidak saling tumpang tindih kewenangan dalam proses penanggulangan bencana perubahan iklim di Indonesia. Kebijakan tentang penanggulangan bencana perubahan iklim di Indonesia sebenarnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, ketentuan tentang penanggulangan bencana perubahan iklim tertuang dalam 6 pasal dari keseluruhan 127 pasal yang termuat dalam undang-undang tersebut. Ketidakefektifan pengaturan dan pelaksanaan sebuah undang-undang tidak terlepas dari rendahnya kapasitas sumber daya manusia dalam mengelola,
memfasilitasi,
mengkomunikasikan,
mengkoordinasikan
kepentingan dan membangun kerjasama antar stakeholders. Apabila dikaji lebih mendalam, ada sebuah bagian yang hilang dalam kumpulan puzzle penanggulangan bencana perubahan iklim di Indonesia sehingga pada taraf implementasinya kebijakan yang dibuat pemerintah dinilai belum optimal mengatasi bencana perubahan iklim yang terjadi di Indonesia. The missing puzzle ini merujuk pada terintegrasinya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana ke dalam kebijakan penanggulangan bencana perubahan iklim di Indonesia. Undang-Undang ini mengembangkan prinsip gotong-royong antara pemerintah dan masyarakat yang erat dalam kerangka penanggulangan bencana. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana nantinya akan menjadi panduan pelaksanaan penanggulangan bencana terkait perubahan iklim dan menjadi sebuah satu kesatuan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang di dalamnya terdapat pasal-pasal mengenai perubahan iklim. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Saling keterkaitan antara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UndangUndang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana urgent untuk dikaji, karena ketentuan mengenai pengurangan risiko bencana yang terdapat
dalam
Undang-Undang
Nomor
24
Tahun
2007
tentang
Penanggulangan Bencana sangat diperlukan sebagai wujud dari optimalisasi upaya mitigasi dan adaptasi bencana perubahan iklim yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Sinkronisasi horizontal diantara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terhadap
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana diperlukan untuk mengetahui arah kebijakan pemerintah terkait penanggulangan bencana perubahan iklim. 1. Pengaturan Penanggulangan Bencana Perubahan Iklim di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pengaturan tentang penanggulangan bencana perubahan iklim menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup secara eksplisit dan implisit dimuat dalam: a. Konsideran
Undang-Undang
Nomor
32
Tahun
2009
tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup b. Bab II Asas, Tujuan, dan Ruang Lingkup mengenai Asas dalam Pasal 2 c. Bab II Asas, Tujuan, dan Ruang Lingkup mengenai Tujuan dalam Pasal 3 d. Bab III Perencanaan Bagian Ketiga mengenai Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Pasal 9 ayat (1), Pasal 10 ayat (2), Pasal 10 ayat (3), dan Pasal 10 ayat (4) e. Bab IV Pengendalian Bagian Kedua mengenai Pencegahan Paragraf 1 Kajian Lingkungan Hidup Strategis dalam Pasal 16
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
f. Bab IV Pengendalian Bagian Kedua mengenai Pencegahan Paragraf 4 Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup dalam Pasal 21 ayat (2) dan Pasal 21 ayat (4) g. Bab VI Pemeliharaan mengenai Pemeliharaan Lingkungan Hidup dalam Pasal 57 ayat (4) h. Bab IX Tugas Wewenang Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengenai Tugas
dan
Wewenang
Pemerintah,
Pemerintah
Provinsi,
dan
Pemerintah Kabupaten/Kota dalam Pasal 63 ayat (1), Pasal 63 ayat (2), Pasal 63 ayat (3), dan Pasal 64 i. Bab XI Peran Masyarakat mengenai Peran Serta Masyarakat Terkait Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Pasal 70 ayat (1), Pasal 70 ayat (2), dan Pasal 70 ayat (3) 2. Pengaturan Penanggulangan Bencana Perubahan Iklim di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Pengaturan tentang penanggulangan bencana perubahan iklim menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana secara eksplisit dan implisit dimuat dalam: a. Konsideran
Undang-Undang
Nomor
24
Tahun
2007
tentang
Penanggulangan Bencana b. Bab II Landasan, Asas, dan Tujuan mengenai Asas dalam Pasal 3 ayat (1) c. Bab II Landasan, Asas, dan Tujuan mengenai Tujuan dalam Pasal 4 d. Bab VII Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana Bagian Kedua mengenai Tahapan Paragraf 1 Pra Bencana dalam Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36 ayat (3), Pasal 36 ayat (4), dan Pasal 39 e. Bab VII Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana Bagian Kedua mengenai Tahapan Paragraf 1 Pra Bencana dalam Pasal 37 ayat (1) dan Pasal 37 ayat (2), dan Pasal 38 commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
f. Bab VII Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana Bagian Kedua mengenai Tahapan Paragraf 2 Tanggap Darurat dalam Pasal 48 dan Pasal 49 g. Bab VII Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana Bagian Kedua mengenai Tahapan Paragraf 1 Pra Bencana dalam Pasal 44, Pasal 47 ayat (1), dan Pasal 47 ayat (2) h. Bab III Tanggung Jawab dan Wewenang mengenai Tugas dan Wewenang Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Bab IV Kelembagaan Bagian Kesatu mengenai Badan Nasional Penanggulangan Bencana dalam Pasal 10 ayat (1), dan Pasal 10 ayat (2) i. Bab VII Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana Bagian Kesatu mengenai Pendanaan dalam Pasal 60 ayat (2), Bab VII Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana Bagian Kedua mengenai Pengelolaan Bantuan Bencana dalam Pasal 69 ayat (5), dan Bab IX Pengawasan mengenai Pengawasan Tahapan Penanggulangan Bencana dalam Pasal 72 ayat (2) 3. Sinkronisasi Horizontal antara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terhadap
Undang-Undang
Penanggulangan
Bencana
Nomor Berkaitan
24
Tahun dengan
2007
tentang
Penanggulangan
Bencana Perubahan Iklim di Indonesia Tabel 2: Sinkronisasi antara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terhadap Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana No. 1.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tantang Perlindungan dan Pengelolaan tentang Penanggulangan Bencana Lingkungan Hidup Konsideran Konsideran a. bahwa lingkungan hidup yang baik dan a. bahwa Negara Kesatuan Republik sehat merupakan hak asasi setiap warga Indonesia bertanggung jawab Negara Indonesia sebagaimana melindungi segenap bangsa Indonesia diamanatkan dalam Pasal 28H Undangdan seluruh tumpah darah Indonesia Undang Dasar Negara Republik dengan tujuan untuk memberikan Indonesia Tahun 1945; perlindungan terhadap kehidupan dan commit to userpenghidupan termasuk perlindungan b. bahwa pembangunan ekonomi nasional sebagaimana diamanatkan oleh Undangatas bencana, dalam rangka
perpustakaan.uns.ac.id
2.
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan; c. bahwa semangat otonomi daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia telah membawa perubahan hubungan dan kewenangan antara Pemerintah dan pemerintah daerah, termasuk di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; d. bahwa kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun telah mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya sehingga perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguh-sungguh dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan; e. bahwa pemanasan global yang semakin meningkat mengakibatkan perubahan iklim sehingga memperparah penurunan kualitas lingkungan hidup karena itu perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; f. bahwa agar lebih menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem, perlu dilakukan pembaruan terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f, perlu membentuk UndangUndang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; Bab II Asas, Tujuan, dan Ruang Lingkup mengenai Asas: Pasal 2 Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan asas: a. tanggung jawab negara; b. kelestarian dan keberlanjutan; c. keserasian dan keseimbangan; d. keterpaduan; e. manfaat; f. kehati-hatian; commit to g. keadilan;
digilib.uns.ac.id
mewujudkan kesejahteraan umum yang berlandaskan Pancasila, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis yang memungkinkan terjadinya bencana, baik yang disebabkan oleh faktor alam, faktor nonalam maupun faktor manusia yang menyebabkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis yang dalam keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan nasional; c. bahwa ketentuan peraturan perundangundangan mengenai penanggulangan bencana yang ada belum dapat dijadikan landasan hukum yang kuat dan menyeluruh serta tidak sesuai dengan perkembangan keadaan masyarakat dan kebutuhan bangsa Indonesia sehingga menghambat upaya penanggulangan bencana secara terencana, terkoordinasi, dan terpadu; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Penanggulangan Bencana;
Bab II Landasan, Asas, dan Tujuan mengenai Asas: Pasal 3 ayat (1) Penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 berasaskan: a. kemanusiaan; b. keadilan; c. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; d. keseimbangan, keselarasan, dan keserasian; user e. ketertiban dan kepastian hukum;
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
h. ekoregion; i. keanekaragaman hayati; j. pencemar membayar; k. partisipatif; l. kearifan lokal; m. tata kelola pemerintahan yang baik; dan n. otonomi daerah. 3. Bab II Asas, Tujuan, dan Ruang Lingkup mengenai Tujuan: Pasal 3 Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bertujuan: a. melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; b. menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia; c. menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem; d. menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup; e. mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup; f. menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan; g. menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia; h. mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana; i. mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan j. mengantisipasi isu lingkungan global. 4. Bab III Perencanaan Bagian Ketiga mengenai Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup: Pasal 9 ayat (1) RPPLH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c terdiri atas: a. RPPLH nasional; b. RPPLH provinsi; dan c. RPPLH kabupaten/kota.
f. kebersamaan; g. kelestarian lingkungan hidup; dan h. ilmu pengetahuan dan teknologi.
Tujuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Pasal 4 Penanggulangan bencana bertujuan untuk: a. memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana; b. menyelaraskan peraturan perundangundangan yang sudah ada; c. menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh; d. menghargai budaya lokal; e. membangun partisipasi dan kemitraan publik serta swasta; f. mendorong semangat gotong royong, kesetiakawanan, dan kedermawanan; dan g. menciptakan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Bab VII Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana Bagian Kedua mengenai Tahapan Paragraf 1 Pra Bencana: Pasal 34 Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahapan prabencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf a meliputi: a. dalam situasi tidak terjadi bencana; dan b. dalam situasi terdapat potensi terjadinya bencana.
Pasal 35 Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi tidak terjadi bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf a meliputi: a. perencanaan penanggulangan bencana; b. pengurangan risiko bencana; c. pencegahan; d. pemaduan dalam perencanaan commit to userpembangunan;
Pasal 10 ayat (2) Penyusunan RPPLH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhatikan: a. keragaman karakter dan fungsi ekologis; b. sebaran penduduk; c. sebaran potensi sumber daya alam; d. kearifan lokal; e. aspirasi masyarakat; dan f. perubahan iklim.
perpustakaan.uns.ac.id
Pasal 10 ayat (3) RPPLH diatur dengan: a. peraturan pemerintah untuk RPPLH nasional; b. peraturan daerah provinsi untuk RPPLH provinsi; dan c. peraturan daerah kabupaten/kota untuk RPPLH kabupaten/kota. Pasal 10 ayat (4) RPPLH memuat rencana tentang: a. pemanfaatan dan/atau pencadangan sumber daya alam; b. pemeliharaan dan perlindungan kualitas dan/atau fungsi lingkungan hidup; c. pengendalian, pemantauan, serta pendayagunaan dan pelestarian sumber daya alam; dan d. adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim.
5.
Bab IV Pengendalian Bagian Kedua mengenai Pencegahan Paragraf 1 Kajian Lingkungan Hidup Strategis: Pasal 16 KLHS memuat kajian antara lain: a. kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk pembangunan; b. perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup; c. kinerja layanan/jasa ekosistem; d. efisiensi pemanfaatan sumber daya alam; e. tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim; dancommit to
digilib.uns.ac.id
e. persyaratan analisis risiko bencana; f. pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang; g. pendidikan dan pelatihan; dan h. persyaratan standar teknis penanggulangan bencana. Pasal 36 ayat (3) Perencanaan penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penyusunan data tentang risiko bencana pada suatu wilayah dalam waktu tertentu berdasarkan dokumen resmi yang berisi program kegiatan penanggulangan bencana. Pasal 36 ayat (4) Perencanaan penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pengenalan dan pengkajian ancaman bencana; b. pemahaman tentang kerentanan masyarakat; c. analisis kemungkinan dampak bencana; d. pilihan tindakan pengurangan risiko bencana; e. penentuan mekanisme kesiapan dan penanggulangan dampak bencana; dan f. alokasi tugas, kewenangan, dan sumber daya yang tersedia. Pasal 39 Pemaduan penanggulangan bencana dalam perencanaan pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf d dilakukan dengan cara mencantumkan unsur-unsur rencana penanggulangan bencana ke dalam rencana pembangunan pusat dan daerah. Bab VII Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana Bagian Kedua mengenai Tahapan Paragraf 1 Pra Bencana: Pasal 37 ayat (1) Pengurangan risiko bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf b dilakukan untuk mengurangi dampak buruk yang mungkin timbul, terutama dilakukan dalam situasi sedang tidak terjadi bencana. Pasal 37 ayat (2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat user (1) meliputi:
perpustakaan.uns.ac.id
f. tingkat ketahanan dan keanekaragaman hayati.
6.
digilib.uns.ac.id
potensi
Bab IV Pengendalian Bagian Kedua mengenai Pencegahan Paragraf 4 Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup: Pasal 21 ayat (2) Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup meliputi kriteria baku kerusakan ekosistem dan kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim. Pasal 21 ayat (4) Kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim didasarkan pada paramater antara lain: a. kenaikan temperatur; b. kenaikan muka air laut; c. badai; dan/atau d. kekeringan.
a. pengenalan dan pemantauan risiko bencana; b. perencanaan partisipatif penanggulangan bencana; c. pengembangan budaya sadar bencana; d. peningkatan komitmen terhadap pelaku penanggulangan bencana; dan e. penerapan upaya fisik, nonfisik, dan pengaturan penanggulangan bencana Pasal 38 Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf c meliputi: a. identifikasi dan pengenalan secara pasti terhadap sumber bahaya atau ancaman bencana; b. kontrol terhadap penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam yang secara tiba-tiba dan/atau berangsur berpotensi menjadi sumber bahaya bencana; c. pemantauan penggunaan teknologi yang secara tiba-tiba dan/atau berangsur berpotensi menjadi sumber ancaman atau bahaya bencana; d. penataan ruang dan pengelolaan lingkungan hidup; dan e. penguatan ketahanan sosial masyarakat. Bab VII Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana Bagian Kedua mengenai Tahapan Paragraf 2 Tanggap Darurat: Pasal 48 Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf b meliputi: a. pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan sumber daya; b. penentuan status keadaan darurat bencana; c. penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana; d. pemenuhan pemenuhan kebutuhan dasar; e. perlindungan terhadap kelompok rentan; dan f. pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.
Pasal 49 Pengkajian secara cepat dan tepat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf a dilakukan untuk mengidentifikasi: commit to user a. cakupan lokasi bencana;
perpustakaan.uns.ac.id
7.
Bab VI Pemeliharaan mengenai Pemeliharaan Lingkungan Hidup: Pasal 57 ayat (4) Pelestarian fungsi atmosfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi: a. upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim; b. upaya perlindungan lapisan ozon; dan c. upaya perlindungan terhadap hujan asam.
digilib.uns.ac.id
b. jumlah korban; c. kerusakan prasarana dan sarana; d. gangguan terhadap fungsi pelayanan umum serta pemerintahan; dan e. kemampuan sumber daya alam maupun buatan. Bab VII Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana Bagian Kedua mengenai Tahapan Paragraf 1 Pra Bencana: Pasal 44 Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi terdapat potensi terjadi bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf b meliputi: a. kesiapsiagaan; b. peringatan dini; dan c. mitigasi bencana. Pasal 47 ayat (1) Mitigasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf c dilakukan untuk mengurangi risiko bencana bagi masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana.
8.
Bab IX Tugas Wewenang Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengenai Tugas dan Wewenang Pemerintah: Pasal 63 ayat (1) j. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai pengendalian dampak perubahan iklim dan perlindungan lapisan ozon;
Pasal 47 ayat (2) Kegiatan mitigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui: a. pelaksanaan penataan ruang; b. pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur, tata bangunan; dan c. penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan, dan pelatihan baik secara konvensional maupun modern. Bab III Tanggung Jawab dan Wewenang mengenai Tanggung Jawab dan Wewenang Pemerintah dan Pemerintah Daerah: Pasal 5 Pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.
Bab IX Tugas Wewenang Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengenai Tugas dan Wewenang Pemerintah Provinsi: Pasal 63 ayat (2) e. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam dan emisi gas rumah kaca pada tingkat provinsi;
Pasal 6 Tanggung jawab Pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi: b. perlindungan masyarakat dari dampak bencana;
Bab IX Tugas Wewenang Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengenai Tugas dan commit to Wewenang Pemerintah Kabupaten/Kota:
Pasal 7 ayat (1) Wewenang Pemerintah dalam user penyelenggaraan penanggulangan bencana
perpustakaan.uns.ac.id
Pasal 63 ayat (3) e. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam dan emisi gas rumah kaca pada tingkat kabupaten/kota; Pasal 64 Tugas dan wewenang Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) dilaksanakan dan/atau dikoordinasikan oleh Menteri.
digilib.uns.ac.id
meliputi: f. perumusan kebijakan mencegah penguasaan dan pengurasan sumber daya alam yang melebihi kemampuan alam untuk melakukan pemulihan; dan Pasal 8 Tanggung jawab pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi: b. perlindungan masyarakat dari dampak bencana; Pasal 9 Wewenang pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi: e. perumusan kebijakan pencegahan penguasaan dan pengurasan sumber daya alam yang melebihi kemampuan alam pada wilayahnya; dan Bab IV Kelembagaan Bagian Kesatu mengenai Badan Nasional Penanggulangan Bencana: Pasal 10 ayat (1) Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 membentuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
9.
Bab XI Peran Masyarakat: Pasal 70 ayat (1) Masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pasal 70 ayat (2) Peran masyarakat dapat berupa: a. pengawasan sosial; b. pemberian saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan; dan/atau c. penyampaian informasi dan/atau laporan. Pasal 70 ayat (3) Peran masyarakat dilakukan untuk: a. meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan pengelolaan commit to lingkungan hidup;
Pasal 10 ayat (2) Badan Nasional Penanggulangan Bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Lembaga Pemerintah Nondepartemen setingkat menteri. Bab VII Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana Bagian Kesatu mengenai Pendanaan: Pasal 60 ayat (2) Pemerintah dan pemerintah daerah mendorong partisipasi masyarakat dalam penyediaan dana yang bersumber dari masyarakat. Bab VII Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana Bagian Kedua mengenai Pengelolaan Bantuan Bencana: Pasal 69 ayat (5) Unsur masyarakat dapat berpartisipasi dalam penyediaan bantuan. Bab IX Pengawasan mengenai Pengawasan Tahapan Penanggulangan Bencana: user Pasal 72 ayat (2)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan; c. menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat; d. menumbuhkembangkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial; dan e. mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah dan masyarakat dapat meminta agar dilakukan audit.
a. Pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memuat konsideran sebagai dasar pertimbangan lahirnya sebuah undang-undang, yakni: Konsideran a. bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga Negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b.
bahwa pembangunan ekonomi nasional sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
diselenggarakan
berdasarkan
prinsip
pembangunan
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan; c.
bahwa
semangat
otonomi
daerah
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia telah membawa perubahan hubungan dan kewenangan antara Pemerintah dan pemerintah daerah, termasuk di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; d.
bahwa kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun telah mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya sehingga perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan
hidup
yang
sungguh-sungguh
dan
konsisten oleh semua pemangku kepentingan; e.
bahwa pemanasan global yang semakin meningkat mengakibatkan to user perubahan iklim commit sehingga memperparah penurunan kualitas
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
lingkungan hidup karena itu perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; f.
bahwa agar lebih menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem, perlu dilakukan pembaruan terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;
g.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f, perlu membentuk
Undang-Undang
tentang
Perlindungan
dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup; Konsideran dan Pasal dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sinkron dengan Konsideran dan Pasal dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yakni: Konsideran a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan tujuan untuk memberikan perlindungan terhadap kehidupan dan penghidupan termasuk perlindungan atas bencana, dalam rangka mewujudkan kesejahteraan umum yang berlandaskan Pancasila, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis yang memungkinkan terjadinya bencana, baik yang disebabkan oleh faktor alam, faktor nonalam maupun faktor manusia yang menyebabkan
timbulnya
korban
jiwa
manusia,
kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis yang commit to user dalam keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan nasional;
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
c. bahwa
ketentuan
peraturan
perundang-undangan
mengenai
penanggulangan bencana yang ada belum dapat dijadikan landasan hukum yang kuat dan menyeluruh serta tidak sesuai dengan perkembangan keadaan masyarakat dan kebutuhan bangsa Indonesia sehingga menghambat upaya penanggulangan bencana secara terencana, terkoordinasi, dan terpadu; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Penanggulangan Bencana; Analisisnya: 1) Konsideran Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yakni: a. bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga Negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Konsideran huruf a pada undang-undang ini secara eksplisit menjabarkan tentang perlindungan hak asasi manusia terhadap lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan karakteristik rechtstaat yang dianut oleh Indonesia seperti yang diungkapkan F.J. Stahl, yakni (Sirajudin dan Zulkarnain, 2006: 15): a). Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia b). Adanya pembagian kekuasaan c). Pemerintahan haruslah berdasarkan peraturan-peraturan hukum d). Adanya peradilan administrasi Perlindungan hak asasi manusia yang menjadi tanggung jawab negara untuk memenuhinya juga secara implisit juga telah dimuat dalam Konsideran huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yakni: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan tujuan untuk memberikan perlindungan terhadap kehidupan dan penghidupan termasuk perlindungan atas bencana, dalam rangka mewujudkan kesejahteraan umum yang berlandaskan Pancasila, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Konsideran ini menjelaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia bertanggung jawab melindungi seluruh warga negaranya untuk memberikan perlindungan terhadap kehidupan dan penghidupan termasuk perlindungan atas bencana mencakup di dalamnya perlindungan terhadap bencana perubahan iklim. Hal ini dilakukan sebagai sebuah upaya untuk memenuhi hak asasi manusia terhadap lingkungan hidup yang baik dan sehat. 2) Konsideran Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yakni: e. bahwa
pemanasan
mengakibatkan
global
perubahan
yang iklim
semakin sehingga
meningkat memperparah
penurunan kualitas lingkungan hidup karena itu perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Konsideran huruf e pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Perlindungan Lingkungan Hidup telah mengatur hal baru yakni tentang perubahan iklim yang menjadi permasalahan bersama di tingkat lokal, regional, nasional, dan internasional. Perubahan iklim menjadi ancaman terhadap sektorsektor yang mempunyai tingkat kerentanan rendah seperti, sektor pertanian, sektor kehutanan kaitannya dengan perlindungan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kualitas air tanah, dan sektor perekonomian yang terletak di pesisir pantai. Bencana hidro-meteorologi tidak dapat dihindarkan sebagai dampak dari perubahan iklim, oleh sebab itu sebagai panduan untuk menanggulangi bencana perubahan iklim Pemerintah Indonesia seyogianya menjadikan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana sebagai kerangka acuan
operasional
karena
konsideran
undang-undang
ini
mencirikan kondisi khas bentang alam Indonesia yang rawan bencana termasuk bencana alam yang disebabkan oleh dampak perubahan iklim. Konsideran huruf b Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menjabarkan: b. bahwa wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis yang memungkinkan terjadinya bencana, baik yang disebabkan oleh faktor alam, faktor nonalam maupun faktor manusia yang menyebabkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis yang dalam keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan nasional. b. Pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menerangkan tentang asas yang menjadi pedoman dalam melaksanakan setiap pasal yang termuat didalamnya, yakni: Bab II Asas, Tujuan, dan Ruang Lingkup mengenai Asas: Pasal 2, perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan asas: a. tanggung jawab negara; commit to user b. kelestarian dan keberlanjutan;
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
c. keserasian dan keseimbangan; d. keterpaduan; e. manfaat; f. kehati-hatian; g. keadilan; h. ekoregion; i. keanekaragaman hayati; j. pencemar membayar; k. partisipatif; l. kearifan lokal; m. tata kelola pemerintahan yang baik; dan n. otonomi daerah. Konsideran dan Pasal dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sinkron dengan Konsideran dan Pasal dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yakni: Bab II Landasan, Asas, dan Tujuan mengenai Asas: Pasal 3 ayat (1), penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 berasaskan: a. kemanusiaan; b. keadilan; c. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; d. keseimbangan, keselarasan, dan keserasian; e. ketertiban dan kepastian hukum; f. kebersamaan; g. kelestarian lingkungan hidup; dan h. ilmu pengetahuan dan teknologi. Analisisnya: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Asas yang dimuat dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sinkron dengan Asas yang dimuat di Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, antara lain: 1) Penyelenggaraan penanggulangan bencana yang berintegrasi pada perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilakukan berlandaskan hukum atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang menjamin hak-hak warga negara. Keduanya mengisyaratkan kepastian hukum dalam mewujudkan keadilan yang berpegang pada prinsip kelestarian dan keberlanjutan lingkungan hidup. Keadilan yang berkaitan dengan
kelestarian dan keberlanjutan
lingkungan hidup sebenarnya telah ada dalam Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Pasal 28H ayat (1) yang menegaskan bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. 2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup maupun Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, keduanya memuat asas keseimbangan dan keserasiaan. Asas keseimbangan dan keserasian dijadikan nilai penting agar penyelenggaraan perlindungan
dan
pengelolaan
lingkungan
hidup
maupun
penanggulangan bencana senantiasa dijiwai keseimbangan dan keserasian antara kepentingan sosial-ekonomi dengan kepentingan lingkungan hidup, antara kepentingan jangka pendek dan jangka panjang, antara kepentingan pembangunan pusat dan daerah, dan keseimbangan dalam pendelegasian tugas dan wewenang antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah. 3) Penanggulangan bencana dan perlindungan lingkungan hidup merupakan tanggung jawab pemerintah dan menjadi urusan commit to user bersama masyarakat. Keterkaitan asas antara keduanya juga
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tercermin dari adanya jaminan partisipasi masyarakat dalam bentuk pengaturan yang jelas, sesuai dengan persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan yang dimuat di Pasal 27 ayat (1) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menyatakan bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. c. Pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menjelaskan tentang tujuan dari dirumuskannya undang-undang, yakni: Bab II Asas, Tujuan, dan Ruang Lingkup mengenai Tujuan: Pasal 3, perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bertujuan: a. melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; b. menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia; c. menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem; d. menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup; e. mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup; f. menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan; g. menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia; h. mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana; i. mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan j. mengantisipasi isu lingkungan global. Konsideran dan Pasal dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan commit dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sinkron to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dengan Konsideran dan Pasal dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yakni: Tujuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 dimuat dalam Pasal 4, penanggulangan bencana bertujuan untuk: a. memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana; b. menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang sudah ada; c. menjamin
terselenggaranya
penanggulangan
bencana
secara
terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh; d. menghargai budaya lokal; e. membangun partisipasi dan kemitraan publik serta swasta; f. mendorong
semangat
gotong
royong,
kesetiakawanan,
dan
kedermawanan; dan g. menciptakan
perdamaian
dalam
kehidupan
bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Analisisnya: 1) Gambaran terhadap kedua tujuan
di atas menunjukkan bahwa
sesuai Pasal 4 huruf c Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menegaskan penyelenggaraan penanggulangan yang terencana, terpadu, terkordinasi, dan menyeluruh sangat diperlukan sebagai bagian penting dari jawaban permasalahan-permasalahan
terkait
bencana,
yang
dalam
pembahasan ini ditujukan pada penanggulangan bencana perubahan iklim yang menjadi isu lingkungan global sejak dideklarasikannya Protokol Kyoto pada tahun 1997 silam. Upaya ini sinkron dengan Pasal 3 huruf j Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dimana salah satu tujuan Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah mengantisipasi isu lingkungan global commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
yang
digilib.uns.ac.id
dapat
mengancam
ketahanan
dalam
kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 2) Mengkaji lebih dalam mengenai sinkronisasi antara keduanya, tujuan dari sinkronisasi ini adalah pengajuan sebuah konsep ideal yang meramu arah kebijakan diantara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Konsep ideal ini memiliki tujuan yang nantinya diharapkan dapat memberikan jawaban menyeluruh terhadap permasalahan penanggulangan bencana perubahan iklim di Indonesia sehingga terwujud kebijakan penanggulangan bencana perubahan iklim terpadu, terarah, dan masif secara terus menerus dengan prinsip management bencana dalam menunjang kelancaran jalannya pembangunan nasional yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. d. Pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memuat tentang Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang selanjutnya disingkat RPPLH adalah perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah
lingkungan
hidup,
serta
upaya
perlindungan
dan
pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu, yakni: 1) Bab III Perencanaan Bagian Ketiga mengenai Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup: Pasal 9 ayat (1), RPPLH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c terdiri atas: a. RPPLH nasional; b. RPPLH provinsi; dan c. RPPLH kabupaten/kota. 2) Pasal 10 ayat (2), penyusunan RPPLH sebagaimana dimaksud pada commit to user ayat (1) memperhatikan:
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
a. keragaman karakter dan fungsi ekologis; b. sebaran penduduk; c. sebaran potensi sumber daya alam; d. kearifan lokal; e. aspirasi masyarakat; dan f. perubahan iklim. 3) Pasal 10 ayat (3), RPPLH diatur dengan: a. peraturan pemerintah untuk RPPLH nasional; b. peraturan daerah provinsi untuk RPPLH provinsi; dan c. peraturan daerah kabupaten/kota untuk RPPLH kabupaten/kota. 4) Pasal 10 ayat (4), RPPLH memuat rencana tentang: a. pemanfaatan dan/atau pencadangan sumber daya alam; b. pemeliharaan dan perlindungan kualitas dan/atau fungsi lingkungan hidup; c. pengendalian, pemantauan, serta pendayagunaan dan pelestarian sumber daya alam; dan d. adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim. Konsideran dan Pasal dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sinkron dengan Konsideran dan Pasal dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yakni: 1) Bab VII Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana Bagian Kedua mengenai Tahapan Paragraf 1 Pra Bencana: Pasal 34, penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahapan prabencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf a meliputi: a. dalam situasi tidak terjadi bencana; dan b. dalam situasi terdapat potensi terjadinya bencana. 2) Pasal 35, penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi tidak terjadi bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf commit to user a meliputi:
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
a. perencanaan penanggulangan bencana; b. pengurangan risiko bencana; c. pencegahan; d. pemaduan dalam perencanaan pembangunan; e. persyaratan analisis risiko bencana; f. pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang; g. pendidikan dan pelatihan; dan h. persyaratan standar teknis penanggulangan bencana. 3) Pasal 36 ayat sebagaimana
(3), perencanaan penanggulangan bencana
dimaksud
pada
ayat
(1)
dilakukan
melalui
penyusunan data tentang risiko bencana pada suatu wilayah dalam waktu tertentu berdasarkan dokumen resmi yang berisi program kegiatan penanggulangan bencana. 4) Pasal 36 ayat
(4), perencanaan penanggulangan bencana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pengenalan dan pengkajian ancaman bencana; b. pemahaman tentang kerentanan masyarakat; c. analisis kemungkinan dampak bencana; d. pilihan tindakan pengurangan risiko bencana; e. penentuan mekanisme kesiapan dan penanggulangan dampak bencana; dan f. alokasi tugas, kewenangan, dan sumber daya yang tersedia. 5) Pasal 39, pemaduan penanggulangan bencana dalam perencanaan pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf d dilakukan dengan cara mencantumkan unsur-unsur rencana penanggulangan bencana ke dalam rencana pembangunan pusat dan daerah. Analisisnya: Pada Bab III Perencanaan Bagian Ketiga Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang commit to user Perlindungan dan Pengelolaan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Lingkungan Hidup, diatur mengenai penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH). Perencanaan dilakukan melalui tahapan, inventarisasi lingkungan hidup, penetapan wilayah ekoregion, penyusunan
Rencana Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (RPPLH) yang terdiri dari Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Nasional, Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Provinsi, dan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH)
Kabupaten/Kota.
Berdasarkan
penyusunan
Rencana
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) kemudian akan diperoleh suatu kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup tingkat kabupaten/kota, provinsi, dan nasional yang berpedoman pada Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Penyusunan
Rencana
Perlindungan
dan
Pengelolaan
Lingkungan Hidup (RPPLH) memberikan kewenangan yang lebih luas dan terdesentralisasi dari Pemerintah kepada Pemerintah Daerah untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Oleh karena itu, lembaga yang mempunyai beban kerja berdasarkan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup tidak cukup hanya suatu organisasi yang menetapkan
dan
melakukan
koordinasi
pelaksanaan
kebijakan.
Dibutuhkan kerjasama antara beberapa organisasi dalam satu portofolio menetapkan, melaksanakan, dan mengawasi kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang berdasarkan Pasal 10 ayat (4) huruf d, salah satunya memuat rencana adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim. Ketentuan tentang Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) sinkron dengan Bab VII Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana Bagian Kedua Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yang mengatur commit to user mengenai tahapan penanggulanagan bencana saat tidak terjadi bencana.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Berdasarkan penjelasan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, dimana juga memuat perencanaan penanggulangan bencana yang dilakukan melalui penyusunan data tentang risiko bencana pada suatu wilayah dalam waktu tertentu berdasarkan
dokumen
resmi
yang
berisi
program
kegiatan
penanggulangan bencana. Pada tahap pra bencana dalam situasi tidak terjadi bencana, dilakukan penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana (Disaster Management Plan), yang merupakan rencana umum dan menyeluruh. Secara khusus untuk upaya adaptasi dan mitigasi bencana tertentu terdapat rencana yang disebut rencana adaptasi dan mitigasi, misalnya Rencana Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim Kota Surakarta Tahun 2011. Kedua tahapan perencanaan seperti yang telah dipaparkan di atas ke depannya dapat disinergikan untuk menyusun blueprint penanggulangan bencana perubahan iklim yang melibatkan kerjasama antara
Kementerian
Pembangunan
Lingkungan
Nasional
Hidup,
(BAPPENAS)
dan
Badan Badan
Perencana Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB). Masukan berupa disusunnya blueprint tentang Penanggulangan Bencana Perubahan Iklim ini mengacu pada kebijakan progresif yang telah disahkan di Pemerintah Filipina yakni, Republic Act No. 9729, An Act Mainstreaming Climate Change Into Government Policy Formulations, Establishing The Framework Strategy And Program On Climate Change, Creating For This Purpose The Climate Change Commission, And For Other Purposes pada Oktober 2009. Undang-undang ini disusun sebagai kerangka pemersatu kebijakan Pemerintah Filipina dalam upaya penanggulangan bencana perubahan iklim. Antara lain, di dalamnya memuat tentang tata birokrasi dan kelembagaan pemerintah yang berkaitan
dengan
program-program
penanggulangan
bencana
perubahan iklim (Center for Environmental Concerns Philippines, commit to user 2011: 43).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
e. Pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan
Hidup
dijelaskan
mengenai
Kajian
Lingkungan Hidup Strategis yang menjadi pemikiran strategis untuk merumuskan kebijakan dan kualitas pembangunan yang berkelanjutan, yakni: Bab IV Pengendalian Bagian Kedua mengenai Pencegahan Paragraf 1 Kajian Lingkungan Hidup Strategis: Pasal 16, KLHS memuat kajian antara lain: a. kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk pembangunan; b. perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup; c. kinerja layanan/jasa ekosistem; d. efisiensi pemanfaatan sumber daya alam; e. tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim; dan f. tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati. Konsideran dan Pasal dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sinkron dengan Konsideran dan Pasal dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yakni: 1) Bab VII Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana Bagian Kedua mengenai Tahapan Paragraf 1 Pra Bencana: Pasal 37 ayat (1), pengurangan risiko bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf b dilakukan untuk mengurangi dampak buruk yang mungkin timbul, terutama dilakukan dalam situasi sedang tidak terjadi bencana. 2) Pasal 37 ayat (2), kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: to user a. pengenalan dan commit pemantauan risiko bencana;
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. perencanaan partisipatif penanggulangan bencana; c. pengembangan budaya sadar bencana; d. peningkatan
komitmen
terhadap
pelaku
penanggulangan
bencana; dan e. penerapan
upaya
fisik,
nonfisik,
dan
pengaturan
penanggulangan bencana 3) Pasal 38, pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf c meliputi: a. identifikasi dan pengenalan secara pasti terhadap sumber bahaya atau ancaman bencana; b. kontrol terhadap penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam yang secara tiba-tiba dan/atau berangsur berpotensi menjadi sumber bahaya bencana; c. pemantauan penggunaan teknologi yang secara tiba-tiba dan/atau berangsur berpotensi menjadi sumber ancaman atau bahaya bencana; d. penataan ruang dan pengelolaan lingkungan hidup; dan e. penguatan ketahanan sosial masyarakat. Analisisnya: Kesinkronan antara pasal-pasal dalam kedua undang-undang di atas adalah adanya kajian tentang kemampuan suatu wilayah berkaitan dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup berdasarkan sejauh mana dampak dan risiko yang diderita suatu wilayah akibat terjadinya bencana. Mekanisme ini mengharuskan pemerintah dan masyarakat mengenal pasti, mengkaji, dan memantau ancamanancaman yang mengancam masyarakat dan wilayah tertentu untuk dapat mengurangi risiko bencana. Pembangunan yang dilakukan sering kali tanpa memperdulikan aspek lingkungan, sehingga menyebabkan memburuknya kondisi lingkungan dan menimbulkan berbagai bencana. Sesuai dengan yang commit to user dijelaskan Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tentang Penanggulangan Bencana, salah satu mekanisme yang dapat dipertimbangkan untuk mengatasi bencana yang tidak dapat diprediksi adalah pengharusan untuk memuat unsur ancaman bencana dalam proses pembangunan yang dilaksanakan secara berkala seperti halnya pada ketentuan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mengharuskan setiap proses pembangunan untuk melaksanakan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang menjadi hilir dari Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dalam konteks proses pengambilan kebijakan pembangunan. Seperti yang telah dijelaskan, disini yang dimaksud menjadi hilir dari Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dalam konteks proses pengambilan
kebijakan
pembangunan
yakni,
apabila
Kajian
Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) di wilayah bersangkutan menemukan bahwa daya tampung dan daya dukung lingkungan hidup untuk sebuah kegiatan usaha masih belum terlampaui, maka terbuka peluang untuk diperbolehkan adanya kegiatan usaha baru di wilayah itu. Selanjutnya, pemrakarsa kegiatan usaha tersebut melakukan kajian studi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Dengan kata lain, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) hanya boleh dilakukan sejauh hasil Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) telah memperbolehkan adanya kegiatan usaha baru di wilayah tersebut. Berdasarkan perspektif Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) seperti yang dijelaskan, kajian dapat dilakukan untuk kepentingan
perencanaan
pembangunan,
perumusan
kebijakan
pembangunan, dan peruntukannya di lokasi tertentu sesuai prinsip pembangunan berkelanjutan dengan merujuk pada penyusunan Rencana Tata Ruang dan Wilayah yang baik sebagaimana diterangkan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang diperjelas dengan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang commit to user Rencana Tata Ruang dan Wilayah. Terintegrasinya Kajian Lingkungan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Hidup Strategis (KLHS) dalam proses penyusunan strategi dan program pelaksanaannya dapat memberikan peluang kualitas kebijakan publik yang lebih bermutu, sehingga layak dan rasional untuk dijalankan dalam masa pembangunan yang akan datang. Menyadari bahwa Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) telah menjadi undang-undang yang harus ditaati oleh seluruh bangsa Indonesia, maka Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) pun harus dapat diimplementasikan untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusianya guna memenuhi amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang ini (Atiek Koesrijanti dan Laksmi Wijayanti, 2007:17). Penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) diantaranya menyertakan kajian tentang isu lingkungan hidup global seperti tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi suatu wilayah tertentu terhadap dampak perubahan iklim. Diharapkan untuk kedepannya, penyusunan
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) terutama
dalam kajian kerentanan dan kapasitas adaptasi suatu wilayah tertentu terhadap dampak perubahan iklim juga menyertakan unsur ancaman potensi bencana agar pelaksanaan penanggulangan bencana perubahan iklim lebih optimal, sebagai sebuah upaya untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan. f. Pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memuat Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup tentang ukuran batas perubahan sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat ditenggang oleh lingkungan hidup untuk dapat tetap melestarikan fungsinya, yakni: 1) Bab IV Pengendalian Bagian Kedua mengenai Pencegahan Paragraf 4 Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pasal 21 ayat (2), kriteria baku kerusakan lingkungan hidup meliputi kriteria baku kerusakan ekosistem dan kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim. 2) Pasal 21 ayat (4), kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim didasarkan pada paramater antara lain: a. kenaikan temperatur; b. kenaikan muka air laut; c. badai; dan/atau d. kekeringan. Konsideran dan Pasal dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sinkron dengan Konsideran dan Pasal dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yakni: 1) Bab VII Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana Bagian Kedua mengenai Tahapan Paragraf 2 Tanggap Darurat: Pasal 48, penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf b meliputi: a. pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan sumber daya; b. penentuan status keadaan darurat bencana; c. penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana; d. pemenuhan pemenuhan kebutuhan dasar; e. perlindungan terhadap kelompok rentan; dan f. pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital. 2) Pasal 49, pengkajian secara cepat dan tepat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf a dilakukan untuk mengidentifikasi: a. cakupan lokasi bencana; b. jumlah korban; c. kerusakan prasarana dan sarana; commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
d. gangguan terhadap fungsi pelayanan umum serta pemerintahan; dan e. kemampuan sumber daya alam maupun buatan. Analisisnya: Pasal 21 ayat (2) dan Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengintrodusir istilah Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup, ketentuan tersebut sinkron dengan apa yang dijabarkan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Tahapan Tanggap Darurat dalam Penanggulangan Bencana. Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup digunakan untuk menentukan ada atau tidaknya kerusakan lingkungan di suatu wilayah. Sedangkan, kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim didasarkan pada paramater kenaikan temperature, kenaikan muka air laut, badai, dan/atau kekeringan. Kriteria baku kerusakan lingkungan. Menurut penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, nilai ambang batas kerusakan yang disebabkan oleh perubahan iklim didasarkan pada terjadinya kenaikan temperatur, kenaikan muka air laut, badai, dan/atau kekeringan yang kerap disebut “Empat Indikasi Ancaman Bencana Perubahan Iklim”. Implikasinya adalah apabila Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan telah dilanggar dan terjadi bencana perubahan iklim, maka pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) harus segera menetapkan status keadaan darurat bencana yang diawali dengan mengidentifikasi cakupan lokasi bencana, jumlah korban, kerusakan prasarana dan sarana, gangguan terhadap fungsi pelayanan umum serta pemerintahan, dan kemampuan sumber daya alam maupun buatan. Setelah penetapan status keadaan darurat bencana selanjutnya adalah penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana commit to usermerupakan tahap penindakan atau
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pengerahan pertolongan untuk membantu masyarakat yang tertimpa bencana. Kesinambungan upaya penanggulangan bencana yang masif diperlukan agar dampak bencana perubahan iklim tidak meluas dan menghindari bertambahnya korban jiwa akibat bencana ini. Mengkaji penanggulangan bencana dalam fase tanggap darurat bencana sangat diutamakan perlindungan bagi kelompok yang rentan. Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 4 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana, kerentanan (vulnerability) adalah keadaan atau sifat/perilaku manusia atau masyarakat yang menyebabkan ketidakmampuan menghadapi bahaya atau ancaman. Kerentanan ini dapat berupa: 1) Kerentanan fisik yakni, secara fisik bentuk kerentanan yang dimiliki masyarakat berupa daya tahan menghadapi bahaya tertentu, misalnya: kekuatan bangunan rumah bagi masyarakat yang berada di daerah rawan gempa, adanya tanggul pengaman banjir bagi masyarakat yang tinggal di bantaran sungai dan sebagainya. 2) Kerentanan ekonomi yakni, kemampuan ekonomi suatu individu atau masyarakat sangat menentukan tingkat kerentanan terhadap ancaman bahaya. Pada umumnya masyarakat atau daerah yang miskin atau kurang mampu lebih rentan terhadap bahaya, karena tidak mempunyai kemampuan finansial yang memadai untuk melakukan upaya pencegahan atau mitigasi bencana. 3) Kerentanan
sosial
yakni,
kondisi
sosial
masyarakat
juga
mempengaruhi tingkat kerentanan terhadap ancaman bahaya. Dikaji dari segi pendidikan, kekurangan pengetahuan tentang risiko bahaya dan bencana akan mempertinggi tingkat kerentanan, demikian pula tingkat kesehatan masyarakat yang rendah juga mengakibatkan rentan menghadapi bahaya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4) Kerentanan lingkungan yakni, lingkungan hidup suatu masyarakat sangat mempengaruhi kerentanan. Masyarakat yang tinggal di daerah yang kering dan sulit air akan selalu terancam bahaya kekeringan. Penduduk yang tinggal di lereng bukit atau pegunungan rentan terhadap ancaman bencana tanah longsor dan sebagainya. g.
Pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memuat Upaya Pemeliharaan antara lain berisi upaya yang dilakukan untuk menjaga pelestarian fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya penurunan atau kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh perbuatan manusia, yakni: Bab VI Pemeliharaan mengenai Pemeliharaan Lingkungan Hidup: Pasal 57 ayat (4), pelestarian fungsi atmosfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi: a. upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim; b. upaya perlindungan lapisan ozon; dan c. upaya perlindungan terhadap hujan asam. Konsideran dan Pasal dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sinkron dengan Konsideran dan Pasal dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yakni: 1) Bab VII Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana Bagian Kedua mengenai Tahapan Paragraf 1 Pra Bencana: Pasal 44, penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi terdapat potensi terjadi bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf b meliputi: a. kesiapsiagaan; b. peringatan dini; dan c. mitigasi bencana. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2) Pasal 47 ayat (1), mitigasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf c dilakukan untuk mengurangi risiko bencana bagi masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana. 3) Pasal 47 ayat (2), kegiatan mitigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui: a. pelaksanaan penataan ruang; b. pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur, tata bangunan; dan c. penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan, dan pelatihan baik secara konvensional maupun modern. Analisisnya: Upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim merupakan merupakan salah satu langkah pemeliharaan atmosfer yang dimuat dalam Pasal 57 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Berdasarkan bagian penjelasan undang-undang tersebut, mitigasi perubahan iklim adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dalam upaya menurunkan tingkat emisi gas rumah kaca sebagai bentuk upaya penanggulangan dampak perubahan iklim. Upaya mitigasi perubahan iklim meliputi antara lain, monitoring emisi gas rumah kaca, pengurangan emisi sektor energi, pengurangan emisi sektor kehutanan, pengurangan
emisi
sektor
industri,
pengurangan
emisi
sektor
transportasi, pengurangan emisi persampahan, pelaksanaan skema Clean Development Mechanism (CDM), dan pengendalian bahan perusak ozon. Sedangkan, adaptasi perubahan iklim adalah upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan iklim, termasuk keragaman iklim dan kejadian iklim ekstrim sehingga potensi kerusakan akibat perubahan iklim berkurang, peluang yang ditimbulkan oleh perubahan iklim dapat dimanfaatkan, dan konsekuensi commit to yang user timbul akibat perubahan iklim
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dapat diatasi. Adaptasi perubahan iklim meliputi adaptasi terkait sumber daya air, ketahanan pangan, pengelolaan pesisir laut terpadu, kehutanan dan keanekaragaman hayati, kesehatan manusia, dan juga adaptasi dalam resilient infrastructure. Mencermati uraian di atas, upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim dapat dilaksanakan lebih terpadu dengan merujuk pada ketentuan Pasal 44, Pasal 47 ayat (1), dan Pasal 47 ayat (2) UndangUndang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Kedua undang-undang ini sinkron, karena pasal-pasal di UndangUndang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana merupakan jawaban kongkret dari pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Upaya mitigasi dan adaptasi yang dilakukan bertujuan untuk menghindari terjadinya bencana serta mengurangi risiko yang ditimbulkan oleh bencana. Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 4 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana, kegiatan mitigasi ini digolongkan menjadi mitigasi yang bersifat non-struktural (berupa peraturan, penyuluhan, pendidikan) dan yang bersifat struktural (berupa pembangunan sarana dan prasarana). Sedangkan strategi adaptasi sangat bergantung pada karakteristik wilayah yang terkena dampak perubahan iklim, hal ini disebabkan daya adaptasi yang berbeda-beda pula berdasarkan kenampakan bentang alam, kebijakan negara, maupun kelompok sosial-ekonomi yang mendiami wilayah tersebut. Adapun usulan pelaksanaan mitigasi dan adaptasi terhadap dampak perubahn iklim dapat dilakukan melalui: a) Program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dilaksanakan dengan
memperhatikan aspek penataan commit to user
ruang
yang
baik
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
berdasarkan
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 yang
mengatur tentang prinsip-prinsip pelaksanaan penataan ruang. b) Melaksanakan kegiatan pembangunan yang berkelanjutan dengan pengintegrasian Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dalam program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. c) Upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim mencakup pula upaya peningkatan
pengetahuan,
keterampilan,
dan
kemandirian
masyarakat baik secara konvensional maupun modern. h.
Pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memuat Tugas Wewenang Pemerintah dan Pemerintah Daerah serta Kelembagaan yang menjadi dasar penentuan tugas dan wewenang antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah agar tidak terjadi tumpang tindih dalam pelaksanaannya, yakni: 1) Bab IX Tugas Wewenang Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengenai Tugas dan Wewenang Pemerintah: Pasal 63 ayat (1) j. menetapkan
dan
melaksanakan
kebijakan
mengenai
pengendalian dampak perubahan iklim dan perlindungan lapisan ozon; 2) Bab IX Tugas Wewenang Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengenai Tugas dan Wewenang Pemerintah Provinsi: Pasal 63 ayat (2) e. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam dan emisi gas rumah kaca pada tingkat provinsi; 3) Bab IX Tugas Wewenang Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengenai Tugas dan Wewenang Pemerintah Kabupaten/Kota: Pasal 63 ayat (3) e. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam dan emisi gas rumah kaca pada tingkat kabupaten/kota; commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4) Pasal 64, tugas dan wewenang Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) dilaksanakan dan/atau dikoordinasikan oleh Menteri. Konsideran dan Pasal dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sinkron dengan Konsideran dan Pasal dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yakni: 1) Bab III Tanggung Jawab dan Wewenang mengenai Tanggung Jawab dan Wewenang Pemerintah dan Pemerintah Daerah: Pasal 5, pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. 2) Pasal 6, tanggung jawab Pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi: b. perlindungan masyarakat dari dampak bencana; 3) Pasal 7 ayat (1), wewenang Pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi: f. perumusan kebijakan mencegah penguasaan dan pengurasan sumber daya alam yang melebihi kemampuan alam untuk melakukan pemulihan; dan 4) Pasal 8, tanggung jawab pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi: b. perlindungan masyarakat dari dampak bencana; 5) Pasal 9, wewenang pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi: e. perumusan kebijakan pencegahan penguasaan dan pengurasan sumber daya alam yang melebihi kemampuan alam pada wilayahnya; dan 6) Bab IV Kelembagaan Bagian Kesatu mengenai Badan Nasional Penanggulangan Bencana: Pasal 10 ayat (1), pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 toPenanggulangan user membentuk Badan commit Nasional Bencana.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
7) Pasal 10 ayat (2), Badan Nasional Penanggulangan Bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Lembaga Pemerintah Nondepartemen setingkat menteri. Analisisnya: Kelembagaan merupakan salah satu unsur penting yang menentukan keberlanjutan dan berjalannya suatu undang-undang secara berkesinambungan. Kerjasama dan hubungan baik antara lembaga terkait dan stakeholders sangat diperlukan dalam penyusunan pedoman penanggulangan
bencana
perubahan
iklim.
Penguatan
unsur
kelembagaan antara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sinkron dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana karena keduanya memuat desentralisasi tugas dan wewenang antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Hal mendasar yang melatarbelakangi pentingnya desentralisasi tugas dan wewenang dari Pemerintah kepada Pemerintah Daerah adalah menghindari kebijakan yang overlap dengan kebijakan lain, atau justru menimbulkan konflik horizontal antar sektor. Pendelegasian tugas dan wewenang antara Pemerintahan dengan Pemerintah Daerah harus jelas, terperinci (namun tidak menambah panjang jalur birokrasi karena penanggulangan bencana perubahan iklim harus dilaksanakan dengan cepat dan tepat), implementatif, dan terkoordinasi dengan baik pada semua komponen. Sinergisitas
berbagai
kebijakan
penanggulangan
bencana
perubahan iklim yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Undang Nomor commit24 to Tahun user 2007 tentang Penanggulangan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Bencana menjadi momentum penting untuk pengupayaan usaha pencegahan dan penanggulangan bencana yang lebih terencana, terarah, dan terpadu dalam kerangka otonomi daerah yang memuat sistematika khusus bukan hanya sebuah repetisi dari program-program yang telah dilaksanakan Pemerintah Pusat kemudian di copy-paste di tataran Pemerintah
Daerah.
Setiap
kebijakan
pemerintah
dalam
hal
penanggulangan bencana perubahan iklim harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum. Berdasarkan
alasan
tersebut,
perumusan
pengaturan
tentang
penanggulangan bencana perubahan iklim dalam satu atap yang jelas (akan lebih baik jika disusun dalam bentuk Undang-Undang Penanggulangan
Bencana
Perubahan
Iklim)
sangat
diperlukan
kedepannya. i. Pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terdapat ketentuan tentang Peran Masyarakat dimana setiap anggota masyarakat didorong untuk berperan aktif
dalam
proses
pengambilan
keputusan
dan
pelaksanaan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, baik secara langsung maupun tidak langsung, yakni: 1) Bab XI Peran Masyarakat: Pasal 70 ayat (1), masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. 2) Pasal 70 ayat (2), peran masyarakat dapat berupa: a. pengawasan sosial; b. pemberian saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan; dan/atau c. penyampaian informasi dan/atau laporan. 3) Pasal 70 ayat (3), peran masyarakat dilakukan untuk: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
a. meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; b. meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan; c. menumbuhkembangkan
kemampuan
dan
kepeloporan
masyarakat; d. menumbuhkembangkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial; dan e. mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup. Konsideran dan Pasal dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sinkron dengan Konsideran dan Pasal dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yakni: 1) Bab VII Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana Bagian Kesatu mengenai Pendanaan: Pasal 60 ayat (2), pemerintah dan pemerintah daerah mendorong partisipasi masyarakat dalam penyediaan dana yang bersumber dari masyarakat. 2) Bab VII Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana Bagian Kedua mengenai Pengelolaan Bantuan Bencana: Pasal 69 ayat (5), unsur masyarakat dapat berpartisipasi dalam penyediaan bantuan. 3) Bab
IX
Pengawasan
mengenai
Pengawasan
Tahapan
Penanggulangan Bencana: Pasal 72 ayat (2), berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah dan masyarakat dapat meminta agar dilakukan audit. Analisisnya: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sejalan dengan otonomi daerah, pendelegasian secara bertahap tugas dan wewenang Pemerintah kepada Pemerintah Daerah dalam penanggulangan
bencana
perubahan
iklim
dimaksudkan
untuk
meningkatkan peranan masyarakat lokal dan tetap terjaganya fungsi gotong-royong antar anggota masyarakat. Antara Bab XI mengenai Peran Masyarakat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup maupun Pasal 60 ayat (2), Pasal 69 ayat (5), dan Pasal 72 ayat (2) UndangUndang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana samasama memuat peran serta aktif masyarakat dalam akses dan pengawasan seluruh proses pelaksanaan kedua undang-undang tersebut. Paradigma penanggulanagan bencana yang lebih berkonsentrasi pada upaya pengurangan risiko bencana akan membutuhkan peran serta masyarakat yang ekstra. Peran serta masyarakat memegang peranan yang penting dalam tahapan mitigasi dan adaptasi penanggulangan bencana
perubahan
iklim.
Tahapan
adaptasi
dan
mitigasi
menitikberatkan pada keterbukaan akses masyarakat terhadap bencana, lebih tepatnya dalam tataran penanggulangan bencana perubahan iklim memfokuskan pada pengembangan pengetahuan masyarakat terhadap dampak-dampak perubahan iklim dan bagaimana cara mengatasi dampak-dampak tersebut sesuai dengan tingkat kapasitas masyarakat yang berbeda-beda. Peran serta masyarakat yang optimal diharapkan dapat meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan sebagai wujud perlindungan hak setiap warga negara dan juga hak-hak masyarakat adat sesuai yang dengan ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 sebagaimana tertuang dalam Pasal 28H ayat (1) yang menegaskan bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh commit to 18B user ayat (2) yang menyatakan bahwa pelayanan kesehatan”, dan Pasal
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Adapun
berdasarkan
Peraturan
Kepala
Badan
Nasional
Penanggulangan Bencana Nomor 4 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana, peran serta masyarakat berdasarkan potensi dari masyarakat itu sendiri dirinci sebagai berikut: 1) Masyarakat, disini sebagai pelaku awal penanggulangan bencana sekaligus korban bencana harus mampu dalam batasan tertentu menangani
bencana
sehingga
diharapkan
bencana
tidak
berkembang ke skala yang lebih besar. 2) Swasta, peran swasta belum secara optimal diberdayakan. Peran swasta cukup menonjol pada saat kejadian bencana yakni saat pemberian bantuan darurat. Partisipasi yang lebih luas dari sektor swasta ini akan sangat berguna bagi peningkatan ketahanan nasional dalam menghadapi bencana. 3) Lembaga Non-Pemerintah, lembaga-lembaga Non-Pemerintah pada dasarnya memiliki fleksibilitas dan kemampuan yang memadai
dalam
upaya
penanggulangan
bencana.
Dengan
koordinasi yang baik lembaga Non-Pemerintah ini akan dapat memberikan kontribusi dalam upaya penanggulangan bencana mulai dari tahap sebelum, pada saat dan pasca bencana. 4) Perguruan Tinggi atau Lembaga Penelitian, penanggulangan bencana dapat efektif dan efisien jika dilakukan berdasarkan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tepat. Untuk itu diperlukan kontribusi pemikiran dari para ahli dari lembagalembaga pendidikan dan penelitian. 5) Media memiliki kemampuan besar untuk membentuk opini publik. Untuk itu peran media sangat penting dalam hal membangun commit to user bencana melalui kecepatan dan ketahanan masyarakat menghadapi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ketepatan dalam memberikan informasi kebencanaan berupa peringatan dini, kejadian bencana serta upaya penanggulangannya, serta pendidikan kebencanaan kepada masyarakat. 6) Lembaga Internasional, pada dasarnya Pemerintah dapat menerima bantuan dari lembaga internasional, baik pada saat pra bencana, saat tanggap darurat maupun pasca bencana. Namun demikian harus mengikuti peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
4. Arah Kebijakan Pemerintah Terkait dengan Penanggulangan Bencana
Perubahan
Iklim
di
Indonesia
Berdasarkan
Hasil
Sinkronisasi Horizontal antara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terhadap
Undang-Undang
Nomor
24
Tahun
2007
tentang
Penanggulangan Bencana Hasil sinkronisasi horizontal antara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terhadap Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana adalah sinkron. Artinya, konsideran dan pasal-pasal yang menjadi pertimbangan dalam upaya penanggulangan bencana perubahan iklim di Indonesia yang dimuat di kedua undang-undang tersebut saling terkait dan memiliki banyak sisi yang sama ditinjau dari dasar pertimbangan sosiologis, tahapan pelaksanaan, maupun pendelegasian tugas dan wewenang di dalamnya. Berdasarkan analisis konsideran dan pasal-pasal tersebut
diperoleh
9
poin
arah
kebijakan
pemerintah
terkait
penanggulangan bencana perubahan iklim di Indonesia, yakni: a. Sebagai panduan untuk menanggulangi bencana perubahan iklim di Indonesia, pemerintah dianjurkan menjadikan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana sebagai kerangka acuan operasional dan bekerja bersama Undang-Undang Nomor 32 commit to user Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang di dalam konsideran dan pasal-pasalnya memuat ketentuan tentang perubahan iklim. b. Penanggulangan bencana perubahan iklim mengisyaratkan asas kepastian hukum dalam mewujudkan keadilan yang berpegang pada prinsip kelestarian dan keberlanjutan lingkungan hidup melalui keseimbangan dalam pendelegasian tugas dan wewenang antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah mencakup partisipasi masyarakat di dalamnya. c. Penyelenggaraan penanggulangan bencana perubahan iklim yang terencana, terpadu, terkordinasi, dan menyeluruh sangat diperlukan untuk mengantisipasi isu lingkungan global yang dapat mengancam ketahanan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. d. Penanggulangan
bencana
perubahan
iklim
memerlukan
suatu
perencanaan yang terdokumentasi memadukan antara penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) dan Perencanaan Penanggulangan Bencana yang dilakukan melalui penyusunan data tentang risiko bencana pada suatu wilayah dalam waktu tertentu berdasarkan dokumen resmi yang berisi program kegiatan penanggulangan bencana. Kedua perencanaan seperti yang telah dipaparkan di atas disinergikan untuk menyusun blueprint penanggulangan bencana perubahan iklim yang melibatkan kerjasama antara
Kementerian
Pembangunan
Lingkungan
Nasional
Hidup,
(BAPPENAS)
dan
Badan Badan
Perencana Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB). e. Pengharusan untuk memuat unsur ancaman bencana dalam proses pembangunan yang dilaksanakan secara berkala seperti halnya mengharuskan setiap proses pembangunan untuk melaksanakan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang menjadi hilir dari Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dalam konteks proses pengambilan kebijakan pembangunan. Penyusunan Kajian Lingkungan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Hidup Strategis (KLHS) dimanfaatkan mulai dari perumusan kebijakan, perencanaan, dan pelaksanaan program pembangunan berkelanjutan. f. Apabila Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan telah dilanggar dan terjadi bencana perubahan iklim, maka pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) harus segera menetapkan status keadaan darurat bencana yang diawali dengan mengidentifikasi cakupan lokasi bencana, jumlah korban, kerusakan prasarana dan sarana, gangguan terhadap fungsi pelayanan umum serta pemerintahan, dan kemampuan sumber daya alam maupun buatan. g. Upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim dapat dilaksanakan lebih terpadu. Adapun usulan pelaksanaan mitigasi dan adaptasi terhadap dampak perubahn iklim dapat dilakukan melalui: 1) Program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dilaksanakan dengan
memperhatikan
berdasarkan
aspek
penataan
ruang
yang
baik
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 yang
mengatur tentang prinsip-prinsip pelaksanaan penataan ruang. 2) Melaksanakan kegiatan pembangunan yang berkelanjutan dengan pengintegrasian Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dalam program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. 3) Upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim mencakup pula upaya peningkatan
pengetahuan,
keterampilan,
dan
kemandirian
masyarakat baik secara konvensional maupun modern. h. Kelembagaan dalam penanggulangan bencana perubahan iklim memuat desentralisasi tugas dan wewenang antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. i. Proses penanggulangan bencana perubahan iklim memuat peran serta aktif masyarakat dalam akses dan pengawasan seluruh tahapan pelaksanaan penanggulangan bencana perubahan iklim. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Model Ideal yang Dapat Diterapkan Pemerintah untuk Mewujudkan Optimalisasi Kebijakan Penanggulangan Bencana Perubahan Iklim di Indonesia Potensi bencana akan terus meningkat sebagai akibat dari pemanasan global dan terjadinya perubahan iklim yang semakin nyata mengancam Indonesia dimana mayoritas penduduknya sampai saat ini masih berada di bawah garis kemiskinan. Seperti diketahui, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sudah merilis sejumlah daerah yang masuk dalam daftar rawan banjir selama puncak musim hujan Desember 2011 hingga Februari 2012 mendatang. Selama tiga bulan mendatang, BMKG memperkirakan sebanyak 21 daerah di Indonesia berpotensi banjir. Di antaranya Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Banten,
DKI
Jakarta,
Papua
dan
Maluku
(Chairul
Akhmad,
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/11/12/06/lvs9cm-bnpbdiminta-tingkatkan-koordinasi-ke-daerah-rawan-bencana). Pemerintah terkesan lambat dalam menanggulangi bencana perubahan iklim, padahal sebagai upaya menghadapi permasalahan ini pemerintah telah membentuk Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) yang disahkan melalui Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2008. Tugas Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) adalah merumuskan kebijakan tingkat nasional terkait perubahan iklim hingga pada tataran memperkuat posisi Indonesia dalam negosiasi internasional. Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) diharapkan mampu
mengkoordinasikan
dan
mengharmonisasikan
kebijakan
seluruh sektor yang berkaitan dengan ancaman bencana perubahan iklim, namun
kenyataannya
bertanggungjawab
koordinasi
dalam
antar
lembaga
penyelenggaraan
dan
instansi
penanggulangan
yang
bencana
perubahan iklim masih lemah. Pembentukan komisi serupa sebenarnya telah dilakukan Pemerintah Indonesia sebelumnya, Pemerintah membentuk Komisi Nasional Perubahan Iklim
pada
tahun
1990 melalui Keputusan Menteri Nomor to userKomite Pemantauan dan Evaluasi 07/MENKLH/1/1990 tentangcommit Pembentukan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dampak Perubahan Iklim pada Lingkungan. Namun, pada tahun 1992 komite tersebut dibubarkan dan diganti berdasarkan Keputusan Menteri Nomor 35/MENKLH/8/1992
tentang Pembentukan
Kelompok
Kerja
Komite
Nasional Iklim dan Lingkungan yang bertujuan untuk meningkatkan kelancaran pelaksanaan tugas-tugas di bidang lingkungan hidup dan dampaknya. Bulan April 2003, Kementrian Negara Lingkungan Hidup kembali membentuk Komisi Nasional dan Tim Teknis Perubahan Iklim melalui Keputusan Menteri Nomor 53 Tahun 2003 (Ari Muhammad, http://www.wwf.or.id/berita_fakta/berita_fakta/newsclimateenergy.cfm?4244 /Menunggu-Langkah-Konkrit-Dewan-Nasional-Perubahan-Iklim-DNPI). Meninjau kembali Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2008 tentang Dewan Nasional Perubahan Iklim, tampaknya nafas dari peraturan presiden ini adalah “economy building oriented” bukan sebuah upaya untuk melestarikan lingkungan hidup dan penanggulangan bencana yang humanis untuk mewujudkan pemenuhan hak-hak warga negara yang menjadi korban langsung dari dampak perubahan iklim. Misalnya, dalam Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2008 tentang Dewan Nasional Perubahan Iklim mengatur tentang tugas Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) yang antara lain: a. merumuskan kebijakan nasional, strategi, program dan kegiatan pengendalian perubahan iklim; b. mengkoordinasikan kegiatan dalam pelaksanaan tugas pengendalian perubahan iklim yang meliputi kegiatan adaptasi, mitigasi, alih teknologi dan pendanaan; c. merumuskan kebijakan pengaturan mekanisme dan tata cara perdagangan karbon; d. melaksanakan pemantauan dan evaluasi implementasi kebijakan tentang pengendalian perubahan iklim; e. memperkuat posisi Indonesia untuk mendorong negaranegara maju untuk lebih bertanggung jawab dalam pengendalian perubahan iklim. Tidak satupun dari tugas-tugas tersebut yang mencerminkan upaya pelestarikan lingkungan hidup dan penanggulangan bencana yang humanis, namun justru lebih terlihat seolah-olah negara hanya mengejar “keuntungan ekonomi” dari bencana perubahan iklim yang terjadi di Indonesia. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Berdasarkan analisis terkait relativitas antara tugas Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) yang dijabarkan dalam Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2008 tentang Dewan Nasional Perubahan Iklim disinyalir tugas Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) diadopsi dari pasal-pasal Protokol Kyoto 1997 seiring dengan diratifikasinya Protokol Kyoto sebagaimana diundangkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004. Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim mengatur penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) akibat kegiatan manusia sehingga dapat menstabilkan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer dan tidak membahayakan sistem iklim bumi. Mekanisme penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) ini melibatkan kerjasama internasional antara negara-negara industri penghasil Gas Rumah Kaca (GRK) dengan negara-negara yang memiliki emisi Gas Rumah Kaca (GRK)
rendah seperti halnya Indonesia yang merupakan negara dengan
luasan hutan nomor 2 terluas di dunia diwajibkan untuk mengurangi laju deforestasi dan menyumbangkan produksi oksigen (O2) kepada negara-negara industri penghasil Gas Rumah Kaca (GRK) dengan jalan perdagangan karbon diantara keduanya melalui program Clean Development Mechanism (CDM). As a second example, consider the CDM, a tool intended by the framers of the Kyoto Protocol to assist developing countries in achieving sustainable development, and to help industrialized counties reduce the costs of greenhouse gas abatement. The CDM works by paying developing countries to adopt less-polluting technologies than they otherwise would. Rather than building a greenhouse gas spewing coal power plant, for instance, an Indonesian or Kenyan electric utility might choose instead to build a more carbon-friendly wind farm. The difference in potential carbon equivalent emissions between the coal plant and wind farm are calculated and converted into CDM after monitoring and certification of credits (formally called ‘‘Certified Emissions Reductions,’’ or CERs), then sold to industrialized nations seeking to purchase CERs under the Kyoto Protocol. The revenue commit to from the credits, in theory, enables theuser utility to afford the more expensive
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
wind farm, and the purchase of low-cost credits by countries bound by Kyoto allows them to offset their own emissions at a lower cost (M. Wara dalam Benjamin K. Sovacool dan Marilyn A. Brown, 2009: 324). Sepintas mekanisme ini dinilai sangat menguntungkan Indonesia karena dengan mekanisme ini, uang hasil perdagangan karbon dapat digunakan untuk pembangunan infrastuktur negara dan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Namun setelah dikaji kembali, mekanisme ini adalah kamuflase dari kepentingan negara-negara industri penghasil Gas Rumah Kaca (GRK) yang tergabung dalam ANNEX I dan negara non-ANNEX I yang
bukan
termasuk
negara-negara
industri
namun
berkewajiban
menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yakni negara-negara ANNEX II seperti India. Adapun negara-negara yang masuk dalam ANNEX I antara lain, Australia, Austria, Belarus, Belgia, Bulgaria, Kanada, Kroasia, Republik Ceko, Denmark, Estonia, Finlandia, Perancis, Jerman, Yunani, Hungaria, Islandia,
Irlandia,
Italia,
Jepang,
Latvia,
Liechtenstein,
Lithuania,
Luxembourg, Monaco, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Polandia, Portugal, Romania, Federasi Rusia, Slovakia, Slovenia, Spanyol, Swedia, Swiss, Turki, Ukraina, Inggris, Amerika Serikat, namun hingga saat ini Australia dan Amerika Serikat masih menolak untuk meratifikasi Protokol Kyoto 1997 dengan alasan akan menghambat laju perekonomian di kedua negara tersebut. Perdagangan
karbon
di
satu
sisi
melindungi
negara-negara
berkembang yang memiliki emisi Gas Rumah Kaca (GRK) rendah seperti Indonesia, namun di sisi lain mekanisme ini terkesan melegalkan negaranegara industri penghasil Gas Rumah Kaca (GRK) untuk tetap berproduksi sekalipun dalam Protokol Kyoto 1997 menjelaskan tentang penggunaan teknologi ramah lingkungan dan sumber energi terbarukan dalam proses produksi tapi nampaknya Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan BangsaBangsa tentang Perubahan Iklim lupa bahwa bahan baku produksi dari lingkaran industri negara-negara maju berasal dari penebangan hutan dan alih to user dari negara-negara berkembang. guna lahan (land use changecommit and forestry)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Bukan hanya sekedar penebangan hutan dan alih guna lahan (land use change and forestry) untuk menanami hutan dengan tanaman bahan baku produksi sesuai permintaan negara-negara industri penghasil Gas Rumah Kaca (GRK) namun yang lebih parah adalah penebangan hutan dan alih guna lahan (land use change and forestry) dalam pertambangan yang menyebabkan kerusakan lingkungan hidup maha dasyat di Indonesia. Permintaan pasar tidak akan pernah sejalan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup selama pemenuhan kebutuhan ekonomi masih menjadi mainstreaming dalam segala aspek kehidupan, hal ini sesuai dengan teori klasik ekonomi dimana kurva kepuasan dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi manusia adalah sama dengan tak terhingga. Apakah mekanisme ini dirasa masih adil bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, sementara di seluruh pelosok negeri bencana perubahan iklim terus meluas akibat permintaan bahan baku produksi dari negara-negara industri penghasil Gas Rumah Kaca (GRK) yang memicu penebangan hutan dan alih guna lahan (land use change and forestry) di hutan-hutan Indonesia. Lepas dari kompensasi yang diberikan negara maju, sudah menjadi kewajiban Indonesia untuk mengelola dan mempertahankan kelangsungan hutan hujan tropis yang menjadi penghasil oksigen (O2). Jika cadangan karbon yang dimiliki Indonesia tidak “dijual” untuk negara-negara ANNEX I sebagaimana kompensasi yang telah diatur, cadangan karbon adalah milik bangsa Indonesia dan anak cucunya. Pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) seharusnya dikurangi dengan berkonsentrasi pada pembatasan emisi industri bagi negara maju, hutan sudah sewajarnya menjadi tanggung jawab negara-negara berkembang bukan sebagai dalih industri maju untuk bebas membuang emisi asalkan memberikan kompensasi. Apabila perdagangan karbon atau emission trading dibiarkan, negara-negara maju terus menghasilkan emisi industri yang memiliki kecenderungan meningkat, maka negara berkembang hanya akan menjadi “toilet” dari emisi industri itu. Pada saatnya, cadangan karbon telah habis “dijual” maka negara berkembang tidak commit user akan memiliki karbon sendiri untuktomengembangkan industri. Keadaan ini
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mengakibatkan keterbatasan lapangan pekerjaan, kesenjangan sosial, dan masalah perekonomian yang berakar dari keterbelakangan industri. Indonesia melalui Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dalam tataran ini dinilai mampu menggulirkan peraturan presiden (presidentiële verordening) sebagai upaya menyimpan cadangan karbonnya untuk pembangunan industri dalam negeri. Indonesia dapat membangun industrinya dan menyeimbangkan pembangunan dengan wawasan lingkungan tanpa mekanisme “menjual kelestarian hutan” yang merupakan mekanisme kamuflase dari negara-negara ANNEX I untuk melegalkan roda industri di negaranya yang menyebabkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) berlebihan. Meskipun demikian, tidak berarti Indonesia bebas menghasilkan polutan karena pada dasarnya penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) masih harus dilakukan mengingat posisi geografis Indonesia sangat rentan terhadap dampak dari perubahan iklim sehingga perlu dilakukan upaya mitigasi penanggulangan bencana perubahan iklim. Dalam rangka menindaklanjuti kesepakatan Bali Action Plan pada The Conferences of Parties (COP) ke-13 United Nations Frameworks Convention on Climate Change (UNFCCC) serta memenuhi komitmen Pemerintah Indonesia dalam pertemuan G-20 di Pittsburg untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 26% dengan usaha sendiri dan mencapai 41% jika mendapat bantuan internasional pada tahun 2020. Permasalahan penanggulangan bencana perubahan iklim merupakan permasalahan yang potensial karena menyangkut perlindungan terhadap masyarakat yang rentan, pemerintah selayaknya tidak berbisnis di atas peristiwa bencana. Jangan sampai momentum bencana ini juga dimanfaatkan antar sektor kementerian untuk berlomba-lomba menyusun kajian yang berkaitan dengan penanggulangan bencana perubahan iklim namun hanya sebatas kebijakan “ikut-ikutan” yang akhirnya hanya menyebabkan over budgeting Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dan yang lebih parah adalah terjadi tumpang tindih tugas dan wewenang di dalamnya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sesuai dengan stufenbautheorie yang berusaha untuk membuat suatu kerangka bangunan hukum yang dapat dipakai dimanapun. Sebuah teori yang dikembangkan bahwa setiap tata kaidah hukum merupakan suatu susunan dari kaidah-kaidah stufenbau. Pada puncak stufenbau tersebut terdapat grundnorm atau kaidah dasar atau kaidah fundamental, yang merupakan hasil pemikiran secara yuridis (Khudzaifah Dimyati, 2004: 63). Artinya, disini kaidah hukum yang menduduki tingkat yang lebih tinggi dalam susunan stufenbau implikasinya adalah kaidah hukum itu juga semakin memiliki daya ikat yang lebih kuat dibandingkan kaidah hukum di bawahnya. Dirumuskannya sebuah blueprint berupa penyusunan Undang-Undang Penanggulangan Bencana Perubahan Iklim tentu akan sangat jauh berbeda hasilnya dengan upaya penanggulangan bencana perubahan iklim ini hanya diatur sebatas peraturan presiden dan tidak memiliki arah kebijakan yang jelas. Indonesia selayaknya belajar dari Filipina yang telah menghapus daftar tumpang tindih tugas dan kewenangan antar lembaga yang berkaitan dengan penanggulangan bencana perubahan iklim dengan mengesahkan Republic Act No. 9729, An Act Mainstreaming Climate Change Into Government Policy Formulations, Establishing The Framework Strategy And Program On Climate Change, Creating For This Purpose The Climate Change Commission, And For Other Purposes yang sebelumnya hanya diatur sebatas Presidential Task Force on Climate Change created under Administrative Order No. 171 dan Inter-Agency Committee on Climate Change created by virtue of Administrative Order No. 220. Apabila Pemerintah Indonesia kemudian menyusun Undang-Undang Penanggulangan Bencana Perubahan Iklim, undang-undang ini akan menjadi dasar pijakan dan merupakan pusat koordinasi tugas dan wewenang antar lembaga yang berkaitan dengan penanggulangan bencana perubahan iklim. Dan jika nantinya pemerintah tetap membentuk suatu komisi penanggulangan bencana perubahan iklim, komisi ini harus didesain lebih menguatkan fungsi pelestarian lingkungan hidup dan penanggulangan bencana yang masif bukan commit to user hanya berorientasi pada pemenuhan kebutuhan ekonomi negara dan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mekanisme perdagangan karbon yang berujung pada terlantarnya hak-hak masyarakat yang menjadi korban langsung dari bencana perubahan iklim. Berdasarkan alasan inilah, dibutuhkan suatu model ideal kebijakan pemerintah yang dapat dijadikan masukan dalam perumusan Undang-Undang Penanggulangan Bencana Perubahan Iklim. Model kebijakan ini memadukan konsideran dan pasal-pasal antara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan UndangUndang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana melalui sinkronisasi horizontal yang menghasilkan 9 poin arah kebijakan pemerintah terkait penanggulangan bencana perubahan iklim di Indonesia. Mengenai kriteria ideal sebuah kebijakan, penulis akan mengkaji Republic Act No. 9729, An
Act
Mainstreaming
Climate
Change
Into
Government
Policy
Formulations, Establishing The Framework Strategy And Program On Climate Change, Creating For This Purpose The Climate Change Commission, And For Other Purposes sebagai tolok ukur karena Filipina dinilai mempunyai kenampakan geografis, latar belakang politik, maupun tingkat kesejahteraan masyarakat yang mirip dengan Indonesia. Tabel 3: Komparasi 9 Poin Arah Kebijakan Pemerintah Terkait Penanggulangan Bencana Perubahan Iklim di Indonesia dan Republic Act No. 9729, An Act Mainstreaming Climate Change Into Government Policy Formulations, Establishing The Framework Strategy And Program On Climate Change, Creating For This Purpose The Climate Change Commission, And For Other Purposes No. 9 Poin Arah Kebijakan Pemerintah Republic Act No. 9729, An Act Mainstreaming Terkait Penanggulangan Bencana Climate Change Into Government Policy Perubahan Iklim di Indonesia Formulations, Establishing The Framework Strategy And Program On Climate Change, Creating For This Purpose The Climate Change Commission, And For Other Purposes 1. a. Sebagai panduan untuk SECTION 2. menanggulangi bencana perubahan Declaration of Policy.—It is the policy of the iklim di Indonesia, pemerintah State to afford full protection and the dianjurkan menjadikan Undang- advancement of the right of the people to a Undang Nomor 24 Tahun 2007 healthful ecology in accord with the rhythm and tentang Penanggulangan Bencana harmony of nature. In this light, the State has sebagai kerangka acuan operasional adopted the Philippine Agenda 21 framework dan bekerja bersama Undang- which espouses sustainable development, to Undang Nomor 32 Tahun 2009 fulfill human needs while maintaining the tentang Perlindungan dan quality of the natural environment for current Pengelolaan Lingkungan Hidup yang and future generations. user this end, the State adopts the principle Towards di dalam konsideran dan commit pasal- to pasalnya memuat ketentuan tentang of protecting the climate system for the benefit
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
of humankind, on the basis of climate justice or perubahan iklim. b. Penanggulangan bencana perubahan common but differentiated responsibilities and iklim mengisyaratkan asas kepastian the Precautionary Principle to guide decisionhukum dalam mewujudkan keadilan making in climate risk management. As a party yang berpegang pada prinsip to the United Nations Framework Convention kelestarian dan keberlanjutan on Climate Change, the State adopts the lingkungan hidup melalui ultimate objective of the Convention which is stabilization of greenhouse gas keseimbangan dalam pendelegasian the tugas dan wewenang antara concentrations in the atmosphere at a level that Pemerintah dan Pemerintah Daerah would prevent dangerous anthropogenic mencakup partisipasi masyarakat di interference with the climate system which should be achieved within a time frame dalamnya. c. Penyelenggaraan penanggulangan sufficient to allow ecosystems to adapt bencana perubahan iklim yang naturally to climate change, to ensure that food terencana, terpadu, terkordinasi, dan production is not threatened and to enable menyeluruh sangat diperlukan untuk economic development to proceed in a mengantisipasi isu lingkungan global sustainable manner. As a party to the Hyogo yang dapat mengancam ketahanan Framework for Action, the State likewise adopts dalam kehidupan bermasyarakat, the strategic goals in order to build national and local resilience to climate change-related berbangsa, dan bernegara. d. Penanggulangan bencana perubahan disasters. iklim memerlukan suatu perencanaan Recognizing the vulnerability of the Philippine yang terdokumentasi memadukan archipelago and its local communities, antara penyusunan Rencana particularly the poor, women, and children, to Perlindungan dan Pengelolaan potential dangerous consequences of climate Lingkungan Hidup (RPPLH) dan change such as rising seas, changing Perencanaan Penanggulangan landscapes, increasing frequency and/or Bencana yang dilakukan melalui severity of droughts, fires, floods and storms, penyusunan data tentang risiko climate-related illnesses and diseases, damage bencana pada suatu wilayah dalam to ecosystems, biodiversity loss that affect the waktu tertentu berdasarkan dokumen country’s environment, culture, and economy, resmi yang berisi program kegiatan the State shall cooperate with the global penanggulangan bencana. Kedua community in the resolution of climate change perencanaan seperti yang telah issues, including disaster risk reduction. It shall dipaparkan di atas disinergikan untuk be the policy of the State to enjoin the of national and local menyusun blueprint penanggulangan participation businesses, nongovernment bencana perubahan iklim yang governments, melibatkan kerjasama antara organizations, local communities and the public Kementerian Lingkungan Hidup, to prevent and reduce the adverse impacts of Badan Perencana Pembangunan climate change and, at the same time, maximize Nasional (BAPPENAS) dan Badan the benefits of climate change. It shall also be Nasional Penanggulangan Bencana the policy of the State to incorporate a gendersensitive, pro-children and pro-poor (BNPB). e. Pengharusan untuk memuat unsur perspective in all climate change and ancaman bencana dalam proses renewable energy efforts, plans and programs. pembangunan yang dilaksanakan In view thereof, the State shall strengthen, secara berkala seperti halnya integrate, consolidate and institutionalize mengharuskan setiap proses government initiatives to achieve coordination pembangunan untuk melaksanakan in the implementation of plans and programs to Analisis Mengenai Dampak address climate change in the context of Lingkungan (AMDAL) yang sustainable development. menjadi hilir dari Kajian Lingkungan Further recognizing that climate change and Hidup Strategis (KLHS) dalam disaster risk reduction are closely interrelated konteks proses pengambilan and effective disaster risk reduction will commit toenhance user climate change adaptive capacity, the kebijakan pembangunan.
perpustakaan.uns.ac.id
2.
digilib.uns.ac.id
Penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dimanfaatkan mulai dari perumusan kebijakan, perencanaan, dan pelaksanaan program pembangunan berkelanjutan. f. Apabila Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan telah dilanggar dan terjadi bencana perubahan iklim, maka pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) harus segera menetapkan status keadaan darurat bencana yang diawali dengan mengidentifikasi cakupan lokasi bencana, jumlah korban, kerusakan prasarana dan sarana, gangguan terhadap fungsi pelayanan umum serta pemerintahan, dan kemampuan sumber daya alam maupun buatan. g. Upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim dapat dilaksanakan lebih terpadu. Adapun usulan pelaksanaan mitigasi dan adaptasi terhadap dampak perubahn iklim dapat dilakukan melalui: 1) Program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dilaksanakan dengan memperhatikan aspek penataan ruang yang baik berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 yang mengatur tentang prinsip-prinsip pelaksanaan penataan ruang. 2) Melaksanakan kegiatan pembangunan yang berkelanjutan dengan pengintegrasian Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dalam program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. 3) Upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim mencakup pula upaya peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan kemandirian masyarakat baik secara konvensional maupun modern.
State shall integrate disaster risk reduction into climate change programs and initiatives. Cognizant of the need to ensure that national and sub-national government policies, plans, programs and projects are founded upon sound environmental considerations and the principle of sustainable development, it is hereby declared the policy of the State to systematically integrate the concept of climate change in various phases of policy formulation, development plans, poverty reduction strategies and other development tools and techniques by all agencies and instrumentalities of the government.
SECTION 9. Powers and Functions of the Commission.— The Commission shall have the following powers and functions: (a) Ensure the mainstreaming of climate change, in synergy with disaster risk reduction, into the national, sectoral and local development plans and programs; (b) Coordinate and synchronize climate change programs of national government agencies; (c) Formulate a Framework Strategy on Climate Change to serve as the basis for a program for climate change planning, research and development, extension, and monitoring of activities on climate change; (d) Exercise policy coordination to ensure the attainment of goals set in the framework strategy and program on climate change; (e) Recommend legislation, policies, strategies, programs on and appropriations for climate change adaptation and mitigation and other related activities; (f) Recommend key development investments in climate-sensitive sectors such as water resources, agriculture, forestry, coastal and marine resources, health, and infrastructure to ensure the achievement of national sustainable development goals; (g) Create an enabling environment for the design of relevant and appropriate riskcommit to user sharing and risk-transfer instruments;
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(h) Create an enabling environment that shall promote broader multi-stakeholder participation and integrate climate change mitigation and adaptation; (i) Formulate strategies on mitigating GHG and other anthropogenic causes of climate change; (j) Coordinate and establish a close partnership with the National Disaster Coordinating Council in order to increase efficiency and effectiveness in reducing the people’s vulnerability to climaterelated disasters; (k) In coordination with the Department of Foreign Affairs, represent the Philippines in the climate change negotiations; (l) Formulate and update guidelines for determining vulnerability to climate change impacts and adaptation assessments and facilitate the provision of technical assistance for their implementation and monitoring; (m) Coordinate with local government units (LGUs) and private entities to address vulnerability to climate change impacts of regions, provinces, cities and municipalities; (n) Facilitate capacity building for local adaptation planning, implementation and monitoring of climate change initiatives in vulnerable communities and areas; (o) Promote and provide technical and financial support to local research and development programs and projects in vulnerable communities and areas; and (p) Oversee the dissemination of information on climate change, local vulnerabilities and risks, relevant laws and protocols and adaptation and mitigation measures. SECTION 12. Components of the Framework Strategy and Program on Climate Change.—The Framework shall include, but not limited to, the following components: (a) National priorities; (b) Impact, vulnerability and adaptation assessments; (c) Policy formulation; (d) Compliance with international commitments; (e) Research and development; (f) Database development and management; (g) Academic programs, capability building commit to user and mainstreaming;
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(h) Advocacy and information dissemination; (i) Monitoring and evaluation; and (j) Gender mainstreaming.
3.
SECTION 13. National Climate Change Action Plan.—The Commission shall formulate a National Climate Change Action Plan in accordance with the Framework within one (1) year after the formulation of the latter. The National Climate Change Action Plan shall include, but not limited to, the following components: (a) Assessment of the national impact of climate change; (b) The identification of the most vulnerable communities/areas, including ecosystems to the impacts of climate change, variability and extremes; (c) The identification of differential impacts of climate change on men, women and children; (d) The assessment and management of risk and vulnerability; (e) The identification of GHG mitigation potentials; and (f) The identification of options, prioritization of appropriate adaptation measures for joint projects of national and local governments. h. Kelembagaan dalam penanggulangan SECTION 14. bencana perubahan iklim memuat Local Climate Change Action Plan.—The desentralisasi tugas dan wewenang LGUs shall be the frontline agencies in the antara Pemerintah dan Pemerintah formulation, planning and implementation of Daerah sesuai yang diamanatkan climate change action plans in their respective Undang-Undang Nomor 22 Tahun areas, consistent with the provisions of the 1999 sebagaimana telah diubah Local Government Code, the Framework, and dengan Undang-Undang Nomor 32 the National Climate Change Action Plan. Tahun 2004 tentang Pemerintahan Barangays shall be directly involved with municipal and city governments in prioritizing Daerah. i. Proses penanggulangan bencana climate change issues and in identifying and perubahan iklim memuat peran serta implementing best practices and other aktif masyarakat dalam akses dan solutions. Municipal and city governments shall pengawasan seluruh tahapan consider climate change adaptation, as one of pelaksanaan penanggulangan their regular functions. Provincial governments shall provide technical assistance, enforcement bencana perubahan iklim. and information management in support of municipal and city climate change action plans. Inter-local government unit collaboration shall be maximized in the conduct of climate-related activities. LGUs shall regularly update their respective action plans to reflect changing social, economic, and environmental conditions and commit toemerging user issues. The LGUs shall furnish the
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Commission with copies of their action plans and all subsequent amendments, modifications and revisions thereof, within one (1) month from their adoption. The LGUs shall mobilize and allocate necessary personnel, resources and logistics to effectively implement their respective action plans. The local chief executive shall appoint the person responsible for the formulation and implementation of the local action plan. It shall be the responsibility of the national government to extend technical and financial assistance to LGUs for the accomplishment of their Local Climate Change Action Plans. The LGU is hereby expressly authorized to appropriate and use the amount from its Internal Revenue Allotment necessary to implement said local plan effectively, any provision in the Local Government Code to the contrary notwithstanding.
Berdasarkan tabel komparasi antara 9 poin arah kebijakan pemerintah terkait penanggulangan bencana perubahan iklim di Indonesia dengan Republic Act No. 9729, An Act Mainstreaming Climate Change Into Government Policy Formulations, Establishing The Framework Strategy And Program On Climate Change, Creating For This Purpose The Climate Change Commission, And For Other Purposes dapat dianalisis dan disimpulkan persamaan dan perbedaan diantara keduanya, yakni: 1. Pentingnya kepastian hukum dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam penanggulangan bencana perubahan iklim, yakni: Asas dan tujuan Republic Act No. 9729, An Act Mainstreaming Climate Change Into Government Policy Formulations, Establishing The Framework Strategy And Program On Climate Change, Creating For This Purpose The Climate Change Commission, And For Other Purposes mempunyai persamaan dengan 9 poin arah kebijakan pemerintah terkait penanggulangan bencana perubahan iklim di Indonesia antara huruf a sampai huruf f. Sebagai panduan untuk menanggulangi bencana perubahan iklim di Indonesia, pemerintah dianjurkan menjadikan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana sebagai kerangka commit to user acuan operasional dan bekerja bersama Undang-Undang Nomor 32 Tahun
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang di dalam konsideran dan pasal-pasalnya memuat ketentuan tentang perubahan iklim. Penanggulangan bencana perubahan iklim yang terpadu harus ditegakkan
dengan
kepastian
hukum
agar
kepedulian
tentang
penanggulangan bencana perubahan iklim tidak hanya didasarkan pada himbauan semata tetapi pada akhirnya dan pada dasarnya harus didukung oleh penegakan hukum yang pasti. Terintegrasinya aspek kebencanaan dalam upaya penanggulangan bencana perubahan iklim, berdasarkan komparasi
dengan
ketentuan
Republic
Act
No.
9729,
An
Act
Mainstreaming Climate Change Into Government Policy Formulations, Establishing The Framework Strategy And Program On Climate Change, Creating For This Purpose The Climate Change Commission, And For Other Purposes disebutkan dalam Section 2 “…….Towards this end, the State adopts the principle of protecting the climate system for the benefit of humankind,……… the State shall cooperate with the global community in the resolution of climate change issues, including disaster risk reduction….”. Pengurangan risiko bencana dalam penanggulangan bencana perubahan
iklim
lebih
luas
lagi
dalam
konteks
pembangunan
membutuhkan management risiko bencana yang dilakukan secara efektif dan pada saat yang bersamaan juga mampu mengembangkan sistem pembangunan yang tahan terhadap dampak perubahan iklim jangka panjang. Mencermati pasal tersebut selain menjabarkan pentingnya menghadapi dampak perubahan iklim dengan pengurangan risiko bencana, memaparkan pula tentang perlindungan hak-hak asasi warga negara (the climate system for the benefit of humankind) untuk mewujudkan keadilan iklim dan kelestatarian lingkungan hidup. Hal ini sesuai dengan uraian konsideran dan pasal-pasal pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan usertentang Penanggulangan Bencana. Undang-Undang Nomor 24commit Tahunto2007
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Paradigma baru penanggulangan bencana perubahan iklim yang menitikberatkan pada upaya mitigasi dan adaptasi, yakni: Pengarusutamaan penanggulangan bencana perubahan iklim dalam 9 poin arah kebijakan pemerintah terkait penanggulangan bencana perubahan iklim di Indonesia berkonsentrasi pada mitigasi dan adaptasi yang merupakan paradigma baru penanggulangan bencana dan tertuang dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang juga termuat di Kerangka Kerja Aksi Hyogo 2005 dimana strategi-strategi pengurangan risiko bencana terintegrasi dengan adaptasi terhadap perubahan iklim. Upaya adaptasi harus disertai upaya mitigasi karena upaya adaptasi tidak akan dapat efektif apabila laju perubahan iklim melebihi kemampuan beradaptasi. Mitigasi merupakan upaya mengurangi laju emisi gas rumah kaca dari berbagai sumber (sources) dan meningkatkan laju penyerapannya oleh berbagai rosot (sink). Dengan demikian, generasi yang akan datang tidak terbebani oleh dampak perubahan iklim secara lebih berat (Kementerian Negara Lingkungan Hidup Indonesia, 2007: 2). Mengkaji yang disampaikan David King, “There is a wealth of evidence to show that global warming is happening. Under the circumstances doing nothing is not an option: action is required on two fronts, mitigation and adaptation. We need to actively reduce our dependence on fossil fuels, moving to a low-cost, carbon-free energy system, focusing on renewables and on energy-efficiency gains. However, because of the considerable inertia in the Earth’s system we will have to adapt to some global warming impacts over the next 30–40 years, whatever action we take” (David King, 2005: 781). Tampaknya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim menjadi pilihan utama dalam rangkaian upaya penanggulangan bencana perubahan iklim dan membutuhkan kesinambungan mengingat dampaknya yang dirasakan 30-40 tahun ke depan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Upaya mitigasi perubahan iklim meliputi antara lain, monitoring emisi gas rumah kaca, pengurangan emisi sektor energi, pengurangan emisi sektor kehutanan, pengurangan emisi sektor industri, pengurangan emisi sektor transportasi, pengurangan emisi persampahan, pelaksanaan skema Clean Development Mechanism (CDM), dan pengendalian bahan perusak ozon. Sedangkan, adaptasi perubahan iklim adalah upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan iklim, termasuk keragaman iklim dan kejadian iklim ekstrim sehingga potensi kerusakan akibat perubahan iklim berkurang, peluang yang ditimbulkan oleh perubahan iklim dapat dimanfaatkan, dan konsekuensi yang timbul akibat perubahan iklim dapat diatasi. Adaptasi perubahan iklim meliputi adaptasi terkait sumber daya air, ketahanan pangan, pengelolaan pesisir laut terpadu, kehutanan dan keanekaragaman hayati,
kesehatan
manusia,
dan
juga
adaptasi
dalam
resilient
infrastructure. Berdasarkan
9
poin
arah
kebijakan
pemerintah
terkait
penanggulangan bencana perubahan iklim di Indonesia huruf g yang mengkaji 3 pokok mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dilakukan dengan memperhatikan aspek penataan ruang, pembangunan berkelanjutan, dan pengembangan pengetahuan yang melibatkan kerjasama berbagai sektor senada dengan Republic Act No. 9729, An Act Mainstreaming Climate Change Into Government Policy Formulations, Establishing The Framework Strategy And Program On Climate Change, Creating For This Purpose The Climate Change Commission, And For Other Purposes dalam Section 9 huruf e yang menerangkan bahwa “Recommend legislation, policies, strategies, programs on and appropriations for climate change adaptation and mitigation and other related activities” dan huruf h yang menjabarkan lebih lanjut “Create an enabling environment that shall promote broader multi-stakeholder participation and integrate climate change mitigation and adaptation”. Koordinasi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
antar instansi mutlak diperlukan demi menjamin keberhasilan Indonesia dalam melakukan upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Perubahan iklim dan dampaknya merupakan masalah yang kompleks dan dinamis. Namun, berdasarkan hasil komparasi diantara keduanya terdapat satu perbedaan yakni, poin-poin yang tertuang dalam 9 poin arah kebijakan pemerintah terkait penanggulangan bencana perubahan iklim di Indonesia yang merupakan hasil sinkronisasi horizontal antara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terhadap Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana belum mengatur masalah pengarusutamaan gender sebagai wujud perlindungan negara terhadap perempuan. Sedangkan di Republic Act No. 9729, An Act Mainstreaming Climate Change Into Government Policy Formulations, Establishing The Framework Strategy And Program On Climate Change, Creating For This Purpose The Climate Change Commission, And For Other Purposes Section 12 huruf j diterangkan bahwa “Components of the Framework Strategy and Program on Climate Change. The Framework shall include, but not limited to, the following components: Gender mainstreaming”. Pengakuan akan pentingnya perspektif gender telah muncul dalam Kerangka Kerja Aksi Hyogo 2005 menyebutkan bahwa “a gender perspective should be integrated into all disaster risk management policies, plans and decision-making processes, including those related to risk assessment, early warning, information management, and education and
training”
(Athiqah
Nur
Alami,
http://www.politik.lipi.go.id/index.php/en/columns/175-perempuan-dandampak-perubahan-iklim). Perempuan dapat berperan sebagai agent of change yang dapat merespon perubahan lingkungan dengan lebih baik daripada laki-laki, diantaranya dengan berperan aktif dalam situasi bencana. Selain itu peran perempuan sebagai decision makers dan community leaders juga penting untuk mendorong pengintegrasian commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
perspektif
digilib.uns.ac.id
perempuan
dalam
berbagai
kebijakan
terkait
dengan
penanggulangan bencana perubahan iklim. 3. Pendelegasian tugas dan wewenang penanggulangan bencana perubahan iklim sesuai dengan prinsip otonomi daerah yang melibatkan peran serta masyarakat di dalamnya, yakni: Kelembagaan dalam penanggulangan bencana perubahan iklim menganut sistem desentralisasi tugas dan wewenang dari Pemerintah kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan nafas otonomi daerah yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Antara 9 poin arah kebijakan pemerintah terkait penanggulangan bencana perubahan iklim di Indonesia huruf h dan huruf i memiliki
persamaan
dengan
Republic
Act
No.
9729,
An
Act
Mainstreaming Climate Change Into Government Policy Formulations, Establishing The Framework Strategy And Program On Climate Change, Creating For This Purpose The Climate Change Commission, And For Other Purposes Section 14 yang juga mengatur tentang desentralisasi tugas dan wewenang antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah, yakni sebagaimana diatur “Local Climate Change Action Plan.—The LGUs shall be the frontline agencies in the formulation, planning and implementation of climate change action plans in their respective areas, consistent with the provisions of the Local Government Code, the Framework, and the National Climate Change Action Plan” dan “Municipal and city governments shall consider climate change adaptation, as one of their regular functions. Provincial governments shall provide technical assistance, enforcement and information management in support of municipal and city climate change action plans. Inter-local government unit collaboration shall be maximized in the conduct of climate-related activities”. Prinsip otonomi daerah adalah pendewasaan bagi Pemerintah commitsendiri to userdemi kemajuan daerahnya. Pihak Daerah untuk mengurus dirinya
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang paling mengetahui potensi dan ancaman yang terdapat di suatu daerah adalah masyarakatnya sendiri, termasuk pengetahuan tentang karakteristik masyarakat dan besarnya risiko bencana dalam wilayah tersebut. Merujuk pada prinsip di atas, otonomi daerah selayaknya disikapi sebagai sebuah peluang untuk melakukan sinergi dan meningkatkan keberdayaan masyarakat, berdasarkan pandangan inilah peran serta masyarakat sangat diperlukan untuk menunjang kesuksesan otonomi daerah. Peran serta masyarakat sangat diperlukan dalam menerapkan rencana tata ruang dan wilayah yang erat dengan pola pemukiman tanpa memperhatikan pengimplementasian ruang terbuka hijau. Rencana tata ruang dan wilayah yang terlaksana dengan baik dapat menyelamatkan Daerah
Aliran
Sungai
(DAS)
dari
pendangkalan
sungai
yang
mengakibatkan banjir pada saat musim hujan tiba. Peran akademisi juga tidak kalah penting dalam menyumbangkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat dalam upaya menanggulangi bencana perubahan iklim. Adapun masyarakat adat disini memegang peranan terpenting diantara ketiganya, karena masyarakat adat merupakan garda terdepan bangsa dalam memerangi aksi deforentasi, memberantas illegal logging dan pembakaran hutan yang semakin meluas seiring laju industri yang kian meningkat. Kearifan lokal masyarakat adat dengan mempertahankan budayanya mendiami hutan-hutan yang tersebar luas di seluruh pelosok Indonesia patut dilindungi sebagaimana Konstitusi melindungi mereka dalam Pasal 18B ayat (2). Jangan sampai manifestasi kepentingan antara pemerintah dan pihak swasta yang tidak bertanggung jawab menyebabkan tersisihkan masyarakat adat dalam lorong waktu pembangunan yang tidak berkelanjutan. Menggagas uraian dari hasil sinkronisasi horizontal antara UndangUndang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terhadap Undang-Undang commit to user Nomor 24 Tahun 2007 tentang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Penanggulangan Bencana serta hasil komparasi antara 9 poin arah kebijakan pemerintah terkait penanggulangan bencana perubahan iklim di Indonesia dengan Republic Act No. 9729, An Act Mainstreaming Climate Change Into Government Policy Formulations, Establishing The Framework Strategy And Program On Climate Change, Creating For This Purpose The Climate Change Commission, And For Other Purposes diperoleh rumusan model ideal yang diharapkan akan menjadi kunci optimalisasi kebijakan pemerintah dalam upaya penanggulangan bencana perubahan iklim di Indonesia. Model ideal ini merupakan skema kebijakan penanggulangan bencana perubahan iklim yang menjadi muara dari rangkaian analisis dalam bab pembahasan yang disusun oleh penulis.
Gambar 4: Model Ideal Kebijakan Penanggulangan commit to user Bencana Perubahan Iklim di Indonesia
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Negeri ini sedang melihat proses kegentingan ekologi yang tak terbendung, bencana ekologis mengancam dimana jutaan rakyat terus bertaruh atas keselamatan diri dan keluarga mereka akibat lemahnya peran negara dalam melindungi keselamatan warga negaranya sebagaimana yang diamanatkan dalam Konstitusi negara (Jimly Asshiddiqie dalam Maret Priyanta, 2010: 116). Menelaah model ideal kebijakan penanggulangan bencana perubahan iklim di atas dapat disimpulkan bahwa sejatinya tujuan pemerintahan menurut Preambule Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 ialah “…. membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia ….”. Konsep “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia” inilah yang harus ditanamkan sebagai nafas kebijakan penanggulangan bencana perubahan iklim di Indonesia. Penanggulangan bencana perubahan iklim menjadi tugas pemerintah dalam memberikan perlindungan kepada masyarakat dari bahaya (hazard) terutama kelompok-kelompok masyarakat yang rentan seperti entitas adat dan golongan grass roots. 1. Akar permasalahan penanggulangan bencana perubahan iklim yang melatarbelakangi disusunnya model ideal kebijakan penanggulangan bencana perubahan iklim di Indonesia, yakni: Isu mengenai tanggung jawab negara terhadap perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup baru mulai disadari serta dilakukan oleh negara-negara di dunia baik negara maju dan negara berkembang pasca pembangunan dunia yang menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan secara global. Salah satu permasalahan lingkungan global yang mendapat perhatian dan harus dihadapi oleh masyarakat dunia saat ini adalah global warming (pemanasan global) yang menyebabkan perubahan iklim. Pemanasan
global
merupakan
permasalahan
modern
dan
rumit.
Kemiskinan, ekonomi, pembangunan dan pertumbuhan penduduk menjadi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
penyebabnya. Bukan hal yang mudah untuk mengatasinya dan apabila tidak mempedulikannya akan membuat keadaan menjadi semakin buruk, sebagaimana pernyataan “….Global warming is a “modern” problemcomplicated, involving the entire world, tangled up with difficult issues such as poverty, economic development and population growth. Dealing with it will not be easy. Ignoring it will be worse” (United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) dalam Maret Priyanta, 2010: 115). Berdasarkan analisis yang mendalam, ternyata akar permasalahan penanggulangan bencana perubahan iklim berpangkal pada kesalahan fundamentalis-filosofis paradigma dan pola pembangunan. Sejak tahun 1980-an, bersamaan dengan munculnya berbagai keprihatinan mengenai kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup, muncul kesadaran baru yang cukup kuat pada waktu itu bahwa segala permasalahan lingkungan hidup tersebut sesungguhnya disebabkan oleh kesalahan paradigma dan kebijakan pembangunan di berbagai negara di dunia. Paradigma pembangunan yang dominan dan hanya berfokus pada pembangunan ekonomi, atau yang sering disebut sebagai paradigma pembangunan developmentalistik (A. Sony Keraf, 2010: 84). Akibat paradigma pembangunan developmentalistik terjadi kemiskinan yang semakin parah dan luas di banyak negara, khususnya di negara berkembang. Ini disertai jurang ketidakadilan yang semakin lebar antara pemilik modal yang menguras habis sumber daya alam negaranya di satu pihak dengan sebagian terbesar rakyat miskin yang terpinggirkan secara social-budaya, ekonomi, dan politik di pihak lain. Sebagian besar rakyat miskin di negara sedang berkembang semakin terpinggirkan dari akses terhadap pemanfaatan sumber daya alam. Bersamaan dengan itu, sumber daya alam di sekitar mereka terkuras habis untuk membayar utang luar negeri negaranya dengan meninggalkan kehancuran, kerusakan, dan pencemaran lingkungan hidup serta kepunahan sumber daya genetik yang commit to user berharga dan menjadi sandaran hidup masyarakat setempat.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Cara pandang dan pola pembangunan ini semakin dipacu oleh pemahaman yang sangat keliru yang melihat sumber daya alam sekedar sebagai mempunyai nilai ekonomis untuk dieksploitasi. Nilai sumber daya alam dari sisi genetik, kultural, hidrologis, klimatologis, bahkan spiritualbudaya terabaikan sama sekali. Lester R. Brown berpendapat bahwa, pasar tidak memasukkan dalam perhitungan harga produk semua biaya tidak langsung yang dikeluarkan dalam memproduksi barang. Pasar tidak memberi nilai kepada jasa lingkungan secara tepat. Bahkan pasar tidak memperhitungkan kerugian jangka panjang, termasuk kerugian yang dialami oleh generasi yang akan datang akibat krisis dan bencana lingkungan hidup global yang mereka alami. Contoh paling klasik dari pengabaian biaya lingkungan hidup ini adalah dalam penentuan harga bahan bakar. Di seluruh dunia harga bahan bakar tidak pernah memperhitungkan biaya atau kerugian akibat dampak perubahan iklim yang disebabkan oleh penggunaan bahan bakar fosil (Lester R. Brown dalam A. Sony Keraf, 2010: 88). 2. Asas dan tujuan model ideal kebijakan penanggulangan bencana perubahan iklim di Indonesia, yakni: Tradisi stewardship atau yang akrab disebut tradisi kepengurusan menerangkan bahwa bumi ini adalah milik umum untuk semua mahluk hidup dan bukan hanya untuk manusia sehingga setiap orang diajarkan rasa tanggung jawab untuk menjaga keberlanjutan bumi. Upaya melaksanakan tradisi stewardship dikembangkan agar tercipta keselarasan, keserasian dan keseimbangan yang dinamis dalam hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa maupun manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia sebagai pribadi (Koesnadi Hardjasoemantri, 2000: 575). Mengacu
pada
pengimplementasian
tradisi
stewardship,
Pemerintah Indonesia seyogianya mengutamakan perlindungan hak asasi manusia
untuk
mewujudkan keadilan iklim yang berbasis commit user pengarusutamaan perempuan dan toanak-anak seperti yang telah dilakukan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pemerintah Filipina melalui Republic Act No. 9729, An Act Mainstreaming Climate Change Into Government Policy Formulations, Establishing The Framework Strategy And Program On Climate Change, Creating For This Purpose The Climate Change Commission, And For Other Purpose. Niat pemerintah yang baik apabila tidak didukung dengan penegakan hukum yang konsisten, maka akan berubah menjadi himbauanhimbauan semu yang tidak akan terwujud. Sebagai upaya untuk mewujudkan tujuan di atas, penanggulangan bencana perubahan iklim harus
ditegakkan
dengan
kepastian
hukum.
Menyelenggarakan
penanggulangan bencana perubahan iklim merupakan salah satu bagian dari
menyelenggarakan
kepentingan
umum.
Menurut
Kuntjoro
Purbopranoto (dalam S.F. Marbun dkk, 2001: 240), tugas penyelenggaraan kepentingan umum ini dijalankan oleh alat administrasi negara yang dapat berwujud seorang petugas (fungsionaris) atau badan pemerintahan yang berdasarkan peraturan perundang-undangan, diberi wewenang untuk menyatakan kehendak pemerintah c.q. penguasa maupun kesatuan hukum yang dilengkapi dengan alat-alat, kewenangan yang memaksa baik di pusat maupun di daerah. Segala tindakan dan kewenangan alat-alat pemerintahan untuk menjalankan tugas dan tujuan negara dengan menggunakan wewenang khusus atau tertentu ini disebut dengan perbuatan pemerintahan. Mengutip teori ini, penanggulangan bencana perubahan iklim secara garis besar melibatkan Kementerian Negara Lingkungan Hidup Indonesia dalam tugas dan wewenangnya terkait climate change mainstreaming, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) terkait pelaksanaan tahapan-tahapan penanggulangan bencana, dan Badan Perencana Pembangunan Nasional (BAPPENAS)
terkait
penyusunan
rencana
pembangunan
yang
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Ketiga lembaga negara tersebut tujuan pokoknya tidak terletak di dalam upaya mempertahankan hukum melainkan terletak pada upaya mencapai tujuan negara yakni commitIndonesia to user “melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Indonesia”. Sehubungan dengan itu, maka alat administrasi negara diberikan
suatu kemerdekaan untuk bertindak. Meskipun demikian,
administrasi negara harus tetap berpegang pada asas legalitas dan tidak dapat bertindak sewenang-wenang. Sebagai pengejawantahan dari terpenuhinya asas legalitas, upaya penanggulangan bencana perubahan iklim di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sayangnya dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ini belum secara jelas dijelaskan tentang penanggulangan bencana perubahan iklim yang terpadu. Kekurangoptimalan pengaturan ini bukan karena lemahnya formulasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, namun lebih karena penanggulangan bencana bukan merupakan kewenangan dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup Indonesia melainkan kewenangan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagaimana tertuang dalam UndangUndang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Ketidakjelian pemerintah mengenai hal ini membuat pemerintah kurang optimal dalam menyelenggarakan penanggulangan bencana perubahan iklim. Padahal jika esensi dari keduanya disatukan, diharapkan dapat mewujudkan optimalisasi upaya penanggulangan bencana perubahan iklim di Indonesia. 3. Mekanisme penanggulangan bencana perubahan iklim dalam model ideal kebijakan penanggulangan bencana perubahan iklim di Indonesia, yakni: Menggagas permasalahan yang telah mengakar ini, berarti penanggulangan
bencana
perubahan
iklim
tampaknya
selain
berkonsentrasi pada upaya mitigasi dan adaptasi, seyogianya lebih tepat sasaran jika mencabut akar permasalahan dimulai dari hal yang mendasar yakni perencanaan pembangunan yang berkelanjutan sebagai solusi untuk mengubah paradigma pembangunan developmentalistik. Sesuai dengan to user2009 tentang Perlindungan dan Undang-Undang Nomor commit 32 Tahun
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pengelolaan Lingkungan Hidup, pemerintah mengintrodusir Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) berfungsi dan bertujuan untuk memastikan dan menjamin bahwa kebijakan, rencana dan/atau program pembangunan di suatu wilayah ekoregion atupun wilayah administratif telah benar-benar didasarkan dan mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan seperti yang dimuat dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sasaran akhirnya adalah untuk menjamin dan memastikan bahwa kegiatan pembangunan di wilayah tersebut tidak melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup sehingga dapat menghindari kerusakan lingkungan yang berindikasi terjadinya bencana. Implementasi konkretnya, Pemerintah dan Pemerintah Daerah harus melakukan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) baik dalam rangka penyusunan ataupun evaluasi Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW), Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), maupun dalam rangka penyusunan ataupun evaluasi Kebijakan, Rencana, dan/atau Program (KRP) yang berpotensi menimbulkan dampak dan risiko lingkungan hidup sebagaimana disebutkan dalam Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Apabila ternyata di dalam pengkajian tersebut ditemukan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW), Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), dan Kebijakan, Rencana, dan/atau Program (KRP) yang tidak didasarkan dan belum mengintegrasikan pembangunan berkelanjutan di dalamnya, maka Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) perlu merekomendasikan perbaikan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW), Rencana Pembangunan Jangka Panjang commit to user Nasional (RPJPN), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(RPJMN), dan Kebijakan, Rencana, dan/atau Program (KRP) disusun ulang untuk dilandasi dan mengintegrasikan pembangunan berkelanjutan di dalamnya sesuai Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) sesuai dengan Pasal 16 huruf e, diantaranya menyertakan kajian tentang isu lingkungan hidup global seperti tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi suatu wilayah tertentu terhadap dampak perubahan iklim. Sebagai upaya adaptasi terhadap dampak perubahan iklim berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, sangat bergantung pada karakteristik wilayah yang terkena dampak perubahan iklim, hal ini disebabkan daya adaptasi yang berbeda-beda pula berdasarkan kenampakan bentang alam, kebijakan negara, maupun kelompok sosial-ekonomi yang mendiami wilayah tersebut. Perbedaan muatan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dalam kajian kerentanan dan kapasitas adaptasi suatu wilayah tertentu terhadap perubahan iklim inilah yang melatarbelakangi perbedaan tugas dan wewenang Pemerintah Daerah dalam fungsinya sebagai pelaksana otonomi daerah yang menuntut peran serta masyarakat di dalamnya. Pihak yang paling mengetahui potensi dan ancaman yang terdapat di suatu daerah adalah masyarakatnya sendiri, termasuk pengetahuan tentang karakteristik masyarakat dan besarnya risiko bencana dalam wilayah tersebut. Semua perselisihan, konflik, dan tumpang tindih kepentingan antar stakeholders dan antara kegiatan ekonomi dan lingkungan hidup telah diselesaikan secara ilmiah melalui studi Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) di hulu proses pembangunan (A. Sony Keraf, 2010: 189). Benturan kepentingan ekonomi dan lingkungan hidup yang menjadi akar permasalahan penyebab kerusakan lingkungan hidup di Indonesia yang memicu terjadinya bencana perubahan iklim dapat diurai dengan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pengintegrasian Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dalam rencana pembangunan pemerintah. Pemerintah seyogianya tegas dalam melakukan penegakan hukum terhadap
pelanggaran-pelanggaran
yang
menyebabkan
kerusakan
lingkungan jangka panjang yang berimplikasi memicu perubahan iklim yang dampaknya sangat merugikan. Jika ternyata masih terjadi permasalahan di hilir, yakni dalam pelaksanaan kongkret di lapangan, hal ini terjadi semata-mata karena kelalaian atau pelanggaran dalam mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, termasuk kelalaian dalam memenuhi ketentuan tentang baku mutu dan baku kerusakan lingkungan hidup serta pengelolaan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (limbah B3) yang menyebabkan perubahan iklim didasarkan pada terjadinya kenaikan temperatur, kenaikan muka air laut, badai, dan/atau kekeringan yang kerap disebut “Empat Indikasi Ancaman Bencana Perubahan Iklim”. Implikasinya adalah apabila Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan telah dilanggar dan terjadi bencana perubahan iklim, maka pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) harus segera menetapkan status keadaan darurat bencana sesuai dengan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang diawali dengan mengidentifikasi cakupan lokasi bencana, jumlah korban, kerusakan prasarana dan sarana, gangguan terhadap fungsi pelayanan umum serta pemerintahan, dan kemampuan sumber daya alam maupun buatan. Setelah penetapan status keadaan darurat bencana selanjutnya adalah penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana merupakan tahap penindakan atau pengerahan pertolongan untuk membantu masyarakat yang tertimpa bencana. Kesinambungan upaya penanggulangan bencana yang masif diperlukan agar dampak bencana perubahan iklim tidak meluas dan menghindari bertambahnya korban jiwa akibat bencana ini. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
4. Urgensi
digilib.uns.ac.id
dibentuknya
Undang-Undang
Penanggulangan
Bencana
Perubahan Iklim dalam model ideal kebijakan penanggulangan bencana perubahan iklim di Indonesia, yakni: Sejak negara turut serta secara aktif dalam pergaulan hidup masyarakat, maka lapangan pekerjaan atau tugas pemerintah semakin luas. Ikut campurnya pemerintah secara aktif dalam segala segi kehidupan masyarakat, membawa suatu pembentukan peraturan undang-undang di bidang sosial (enorme uitbouw van de sociale wetgeving) dan menumbuhkembangkan Hukum Administrasi (enorme groei van het Administrative Recht) (I Gde Pantja Astawa dalam S.F. Marbun dkk, 2001: 295-296) Permasalahan penanggulangan bencana perubahan iklim seharusnya dikaji dalam satu bentuk undang-undang yang baru yang mengatur koordinasi antar lembaga dan instansi yang jelas sehingga tiap lembaga negara tidak berjalan sendiri-sendiri berdasarkan tugas, pokok, dan fungsinya masingmasing dan mengulang-ulang kajian yang sama tiap waktunya, namun diharapkan setiap lembaga negara mampu berjalan dalam satu barisan yang serempak dipimpin oleh komandan barisan menuju arah tujuan yang jelas dan memiliki konektivitas antara satu kebijakan dengan kebijakan yang lain yang bersifat publiek rechtelijk, yakni suatu hubungan hukum dimana yang diutamakan adalah kepentingan umum. Barisan penanggulangan bencana perubahan iklim yang nantinya akan disusun bukan lagi sebatas peraturan presiden yang bersifat “economy building oriented” tetapi dirumuskan dalam bentuk undangundang yang mempunyai kekuatan hukum lebih mengikat dibanding sebuah peraturan presiden dan tentunya substansi dari undang-undang juga lebih humanis. Pendekatan tersebut diharapkan agar kebijakan publik berlandaskan hukum bersifat mengharuskan (mandatory) dan selain itu juga bersifat menyeluruh sehingga mampu mengubah perilaku manusia menjadi baik dari norma-norma yang sebelum hukum tersebut berlaku, dan pada akhirnya terwujud kegiatan-kegiatan di segala bidang yang commit to user Handayani, 2009: 74) berwawasan lingkungan (I.G.A.K Rachmi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sebagai koordinator barisan penanggulangan bencana perubahan iklim, pemerintah dapat membentuk suatu Komisi Penanggulangan Bencana Perubahan Iklim, namun komisi ini harus didesain ulang dengan menguatkan
mainstreaming
pelestarian
lingkungan
hidup
dan
penanggulangan bencana yang masif. Tugas yang diemban Komisi Penanggulangan Bencana Perubahan Iklim nantinya adalah menajamkan, mengkoordinasikan
dan
sinkronisasi
program
pemerintah
terkait
penanggulangan bencana perubahan iklim. Apabila selama ini bencana perubahan iklim disikapi sebagai musibah, selayaknya saat ini dengan dirumuskannya Undang-Undang Penanggulangan Bencana Perubahan Iklim yang melibatkan koordinasi antara melibatkan Kementerian Negara Lingkungan Hidup Indonesia, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan Badan Perencana Pembangunan
Nasional
(BAPPENAS)
dapat
dijadikan
peluang
mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang komprehensif dan sinergis antar sektor dan mencakup kerjasama seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) yang mengedepankan peran serta masyarakat melalui kerangka pemerintahan yang baik (good governance) sesuai dengan prinsip kebersamaan (gotong royong) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian Pemerintah Indonesia dapat mewujudkan penanggulangan bencana perubahan iklim yang optimal, bernafaskan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan 1. Hasil sinkronisasi horizontal antara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terhadap Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana adalah sinkron. Artinya, konsideran dan pasal-pasal yang menjadi pertimbangan dalam upaya penanggulangan bencana perubahan iklim di Indonesia yang dimuat di kedua undang-undang tersebut saling terkait dan memiliki banyak sisi yang sama ditinjau dari dasar pertimbangan sosiologis, tahapan pelaksanaan, maupun pendelegasian tugas dan wewenang di dalamnya. Berdasarkan analisis konsideran dan pasal-pasal tersebut
diperoleh
9
poin
arah
kebijakan
pemerintah
terkait
penanggulangan bencana perubahan iklim di Indonesia, yakni: a. Sebagai panduan untuk menanggulangi bencana perubahan iklim di Indonesia, pemerintah dianjurkan menjadikan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana sebagai kerangka acuan operasional dan bekerja bersama Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang di dalam konsideran dan pasal-pasalnya memuat ketentuan tentang perubahan iklim. b. Penanggulangan bencana perubahan iklim mengisyaratkan asas kepastian hukum dalam mewujudkan keadilan yang berpegang pada prinsip kelestarian dan keberlanjutan lingkungan hidup melalui keseimbangan dalam pendelegasian tugas dan wewenang antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah mencakup partisipasi masyarakat di dalamnya. c. Penyelenggaraan penanggulangan bencana perubahan iklim yang terencana, terpadu, terkordinasi, dan menyeluruh sangat diperlukan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
untuk mengantisipasi isu lingkungan global yang dapat mengancam ketahanan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. d. Penanggulangan
bencana
perubahan
iklim
memerlukan
suatu
perencanaan yang terdokumentasi memadukan antara penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) dan Perencanaan Penanggulangan Bencana yang dilakukan melalui penyusunan data tentang risiko bencana pada suatu wilayah dalam waktu tertentu berdasarkan dokumen resmi yang berisi program kegiatan penanggulangan bencana. Kedua perencanaan seperti yang telah dipaparkan di atas disinergikan untuk menyusun blueprint penanggulangan bencana perubahan iklim yang melibatkan kerjasama antara
Kementerian
Pembangunan
Lingkungan
Nasional
Hidup,
(BAPPENAS)
dan
Badan Badan
Perencana Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB). e. Pengharusan untuk memuat unsur ancaman bencana dalam proses pembangunan yang dilaksanakan secara berkala seperti halnya mengharuskan setiap proses pembangunan untuk melaksanakan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang menjadi hilir dari Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dalam konteks proses pengambilan kebijakan pembangunan. Penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dimanfaatkan mulai dari perumusan kebijakan, perencanaan, dan pelaksanaan program pembangunan berkelanjutan. f. Apabila Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan telah dilanggar dan terjadi bencana perubahan iklim, maka pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) harus segera menetapkan status keadaan darurat bencana yang diawali dengan mengidentifikasi cakupan lokasi bencana, jumlah korban, kerusakan prasarana dan sarana, gangguan terhadap fungsi pelayanan umum serta pemerintahan, dan kemampuan sumber daya alam maupun buatan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
g. Upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim dapat dilaksanakan lebih terpadu. Adapun usulan pelaksanaan mitigasi dan adaptasi terhadap dampak perubahn iklim dapat dilakukan melalui: 1) Program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dilaksanakan dengan
memperhatikan
berdasarkan
aspek
penataan
ruang
yang
baik
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 yang
mengatur tentang prinsip-prinsip pelaksanaan penataan ruang. 2) Melaksanakan kegiatan pembangunan yang berkelanjutan dengan pengintegrasian Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dalam program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. 3) Upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim mencakup pula upaya peningkatan
pengetahuan,
keterampilan,
dan
kemandirian
masyarakat baik secara konvensional maupun modern. h. Kelembagaan dalam penanggulangan bencana perubahan iklim memuat desentralisasi tugas dan wewenang antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. i. Proses penanggulangan bencana perubahan iklim memuat peran serta aktif masyarakat dalam akses dan pengawasan seluruh tahapan pelaksanaan penanggulangan bencana perubahan iklim. 2. Model ideal kebijakan penanggulangan bencana perubahan iklim secara garis besar melibatkan Kementerian Negara Lingkungan Hidup Indonesia dalam tugas dan wewenangnya terkait climate change mainstreaming, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) terkait pelaksanaan tahapan-tahapan
penanggulangan
bencana,
dan
Badan
Perencana
Pembangunan Nasional (BAPPENAS) terkait penyusunan rencana pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Ketiga lembaga negara tersebut tujuan pokoknya tidak terletak di dalam upaya mempertahankan hukum melainkan terletak pada upaya mencapai tujuan user Indonesia dan seluruh tumpah negara yakni “melindungicommit segenapto bangsa
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
darah Indonesia” mencakup kerjasama seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) yang mengedepankan peran serta masyarakat melalui kerangka pemerintahan yang baik (good governance) sesuai dengan prinsip kebersamaan (gotong royong) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian Pemerintah Indonesia dapat mewujudkan penanggulangan bencana perubahan iklim yang optimal, bernafaskan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
B. Saran 1. Penanggulangan bencana perubahan iklim harus ditegakkan dengan kepastian hukum. Artinya, hasil sinkronisasi horizontal antara UndangUndang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terhadap Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang memadukan tugas pokok dan fungsi dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup Indonesia, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan Badan Perencana Pembangunan Nasional (BAPPENAS) diharapkan dapat menjadi sebuah undang-undang baru yang bernafaskan perlindungan hak asasi warga negara seyogianya mengedepankan pengarusutamaan gender sebagai wujud perlindungan negara terhadap perempuan terkait upaya pemerintah dalam menyelenggarakan penanggulangan bencana perubahan iklim yang optimal. 2. Pengawalan terhadap proses penanggulangan bencana perubahan iklim sesuai
dengan
yang
dijabarkan
dalam
model
ideal
kebijakan
penanggulangan bencana perubahan iklim merupakan tugas seluruh komponen masyarakat. Setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah sejatinya adalah kehendak rakyat, sehingga keberhasilan kebijakan penanggulangan
bencana
perubahan
iklim
juga
ditentukan
oleh
masyarakat. Berdasarkan alasan ini diharapkan keterlibatan masyarakat secara langsung dalam memantau berjalannya skema yang dirumuskan commit to user oleh pemerintah merupakan solusi ampuh menumbuhkan kemampuan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
masyarakat di tengah roda pembangunan yang semakin kencang meninggalkan nilai-nilai kemanusian. Sesuai yang dijelaskan Koesnadi Hardjosoemantri dalam bukunya “Hukum Tata Lingkungan” bahwa sesungguhnya lingkungan hidup memiliki peranan penting dalam kehidupan ini, sehingga tarik-menarik kepentingan di dalam pengelolaan lingkungan hidup tidak dapat dihindarkan, namun apabila tarik-menarik kepentingan ini sudah overdose yang terjadi adalah sebuah bencana. Untuk mencegah semua itu terjadi maka diperlukan tindakan preventive dengan mewujudkan,
menumbuhkan,
mengembangkan
dan
meningkatkan
kesadaran dan tanggung jawab para pengambil keputusan dalam pengelolaan lingkungan hidup; akan hak dan tanggung jawab masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup; dan kemitraan antara masyarakat, dunia usaha dan pemerintah dalam upaya pelestarian daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup (Koesnadi Hardjasoemantri, 2000: 560).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR PUSTAKA
Dari Buku A. Sony Keraf. 2010. Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global. Yogyakarta: Kanisius. Arnold Padilla, Cheamson Boongaling, dan Lisa Ito-Tapang. 2011. On The Road to Diseaster: Gaps in Republic Act 9729 and Philippine Climate Change Policies. Quezon City: Center for Environmental Concerns Philippines. Atiek Koesrijanti dan Laksmi Wijayanti. 2007. Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), Tanya Jawab Mengenai KLHS. Jakarta: Deputi Bidang Tata Lingkungan Kementerian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia. Bambang Sunggono. 1994. Hukum dan Kebijaksanaan Publik. Jakarta: Sinar Grafika. Budi Winarno. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media Presindo. Daniel Murdiyarso. 2003. Sepuluh Tahun Perjalanan Negoisasi Konvensi Perubahan Iklim. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Esmi Warassih. 2005. Pranata Hukum, Sebuah Telaah Sosiologis. Semarang: PT. Suryandaru Utama. Fazlun Khalid dan Joanne O’Brien. 1992. Islam and Ecology. London dan New York: Cassell. H. Le Treut , R. Somerville, U. Cubasch, Y. Ding, C. Mauritzen, A. Mokssit, T. Peterson, dan M. Prather. 2007. Historical Overview of Climate Change. In: Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge dan New York: Cambridge University Press. Jimly Asshiddiqie. 2009. Green Constitution. Jakarta: Rajawali Pers. Johny Ibrahim. 2006. Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Banyumedia Publishing. Kementerian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 2009. Buku Panduan Kajian Kerentanan dan Dampak Perubahan Iklim, Untuk Pemerintah Daerah. Jakarta: Kementerian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Koesnadi Hardjasoemantri. 2000. Hukum Tata Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Khudzaifah Dimyati. 2004. Teorisasi Hukum (Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990). Surakarta: Muhammadiyah University Press. M. Irfan Islamy. 2003. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara. Jakarta: Bumi Aksara. MPBI. 2006. Kerangka Aksi Hyogo, Pengurangan Resiko Bencana 2005-2015, Membangun Ketahanan Bangsa dan Komunitas Terhadap Bencana. Jakarta: MPBI (Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia). N.H.T. Siahaan. 2004. Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan. Jakarta: Erlangga. PEACE. 2007. Indonesia dan Perubahan Iklim: Status Terkini dan Kebijakannya. Jakarta: PEACE (PT. Pelangi Energi Abadi Citra Enviro). Peter Mahmud Marzuki. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana. Robin Attfield. 2010. Etika Lingkungan Global. Yogyakarta: Kreasi Wacana Sirajudin dan Zulkarnain. 2006. Komisi Yudisial dan Eksaminasi Publik. Bandung: Citra Aditya Bakti. Satjipto Raharjo. 2000. Ilmu Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti. Soerjono Soekanto. 2001. Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. S.F. Marbun, dkk. 2001. Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta: UII Press YEU. 2007. Piagam Rakyat Berdaya dan Siaga. Yogyakarta: YEU (Yakkum Emergency Unit). Dari Makalah Pan Mohamad Faiz. 2009. Perubahan Iklim dan Perlindungan Terhadap Lingkungan: Suatu Kajian Berperspektif Hukum Konstitusi. Paper position pada Forum Diskusi Kelompok Kerja Pakar Hukum mengenai Perubahan Iklim yang diselenggarakan oleh Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) di Hotel Grand Mahakam, Jakarta pada tanggal 27 April 2009. http://panmohamadfaiz.files.wordpress.com/2008/01/perubahan-iklimdan-perlindungan-terhadap-lingkungan-suatu-tinjauan-berpersepektifhukum-konstitusi-oleh-pan-mohamad-faiz1.pdf. Diakses pada tanggal 23 commit to user Oktober 2011.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dari Majalah atau Jurnal Benjamin K. Sovacool dan Marilyn A. Brown. 2009. “Scaling The Policy Response to Climate Change” dalam Journal of Policy and Society 27 (2009). Atlanta dan Singapore: Elsevier Ltd. David King. 2005. “Climate Change: The Science and The Policy” dalam Journal of Applied Ecology 2005. London: Office of Science and Technology. I.G.A.K Rachmi Handayani. 2009. “Penguatan Fungsi Lingkungan Hidup Melalui Penegakan Hukum Lingkungan Sesuai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup” dalam Yustisia Edisi Nomor 78 Sept-Desember 2009. Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Ismid Hadad. 2010. “Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan, Sebuah Pengantar” dalam Prisma Volume 29, Nomor 2, April 2010. Jakarta: LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerapan Ekonomi Sosial). M. Hulme dan N. Sheard. 1999. “Climate Change Scenarios for Indonesia” dalam Leaflet CRU and WWF. Norwich: Climatic Research Unit. Maret Priyanta. 2010. “Penerapan Konsep Konstitusi Hijau (Green Constitution) di Indonesia Sebagai Tanggung Jawab Negara dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup” dalam Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 4, Agustus 2010. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Dari Internet Ari Muhammad. Ari Muhammad. 2009. Menunggu Langkah Konkrit Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI). http://www.wwf.or.id/berita_fakta/berita_fakta/newsclimateenergy.cfm? 4244/Menunggu-Langkah-Konkrit-Dewan-Nasional-Perubahan-IklimDNPI. Diakses pada tanggal 30 November 2011. Armi Susandi. 2007. Bencana Perubahan Iklim Global Dan Proyeksi Perubahan Iklim Indonesia. http://armisusandi.com/articles/journal/Bencana%20Perubahan%20Iklim %20Global%20dan%20Proyeksi%20Perubahan%20Iklim%20Indonesia. pdf. Diakses pada tanggal 11 Oktober 2011. Athiqah Nur Alami. 2010. Perempuan dan Dampak Perubahan Iklim. http://www.politik.lipi.go.id/index.php/en/columns/175-perempuan-dandampak-perubahan-iklim. Diakses pada tanggal 2 Desember 2011. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Bernadinus Steni. 2011. Arah Kebijakan Perubahan Iklim Indonesia. http://reddandrightsindonesia.wordpress.com/2011/10/11/arah-kebijakanperubahan-iklim-indonesia/. Diakses pada tanggal 11 Oktober 2011. Dadang Hilman. 2010. Revitalisasi Peraturan Perundangan-Undangan Sebagai Upaya Strategis Penanganan Dampak Perubahan Iklim di Indonesia. http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/hukum-lingkungan/701-revitalisasiperaturan-perundangan-undangan-sebagai-upaya-strategis-penanganandampak-perubahan-iklim.html. Diakses pada tanggal 14 Oktober 2011. Fahmi Firdaus. 2012. BNPB: 1.598 Bencana Alam Terjadi di Tahun 2011. http://news.okezone.com/read/2011/12/30/337/549497/bnpb-1-598bencana-alam-terjadi-ditahun-2011). Diakses pada tanggal 5 Januari 2012. Irzan
Tanjung. 2008. Indonesia-Filipina. http://www.deplu.go.id/_layouts/mobile/PortalDetailNewsLike.aspx?l=id &ItemID=ac191c8c-1d2d-44b2-a34c-592a2d5345f3. Diakses pada tanggal 11 Oktober 2011.
Redaktur. 2011. Kajian Teoritis Tentang Penanggulangan Bencana. http://petrasawacana.wordpress.com/2011/06/26/kajian-teoritis-tentangpenanggulangan-bencana/. Diakses pada tanggal 14 Oktober 2011. Redaktur. 2011. Perubahan Iklim Ancam Ketahanan Pangan. http://www.dkinsufa.info/in/headlines/534-perubahan-iklim-ancam-ketahanan-pangan. Diakses pada tanggal 14 Oktober 2011. Sutarto. 2009. Bab10, Hubungan Unsur Geografis Dan Penduduk Asia Tenggara. http://www.crayonpedia.org/mw/BSE:Hubungan_Unsur_Geografis_dan_ Penduduk_Asia_Tenggara_9.1_(BAB_10). Diakses pada tanggal 9 Oktober 2011.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
LAMPIRAN
Republic Act No. 9729 Republic of the Philippines Congress of the Philippines Metro Manila REPUBLIC ACT NO. 9729 AN ACT MAINSTREAMING CLIMATE CHANGE INTO GOVERNMENT POLICY FORMULATIONS, ESTABLISHING THE FRAMEWORK STRATEGY AND PROGRAM ON CLIMATE CHANGE, CREATING FOR THIS PURPOSE THE CLIMATE CHANGE COMMISSION, AND FOR OTHER PURPOSES SECTION 1. Title.—This Act shall be known as the “Climate Change Act of 2009″. SECTION 2. Declaration of Policy.—It is the policy of the State to afford full protection and the advancement of the right of the people to a healthful ecology in accord with the rhythm and harmony of nature. In this light, the State has adopted the Philippine Agenda 21 framework which espouses sustainable development, to fulfill human needs while maintaining the quality of the natural environment for current and future generations. Towards this end, the State adopts the principle of protecting the climate system for the benefit of humankind, on the basis of climate justice or common but differentiated responsibilities and the Precautionary Principle to guide decisioncommit userto the United Nations Framework making in climate risk management. As atoparty
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Convention on Climate Change, the State adopts the ultimate objective of the Convention which is the stabilization of greenhouse gas concentrations in the atmosphere at a level that would prevent dangerous anthropogenic interference with the climate system which should be achieved within a time frame sufficient to allow ecosystems to adapt naturally to climate change, to ensure that food production is not threatened and to enable economic development to proceed in a sustainable manner. As a party to the Hyogo Framework for Action, the State likewise adopts the strategic goals in order to build national and local resilience to climate change-related disasters. Recognizing the vulnerability of the Philippine archipelago and its local communities, particularly the poor, women, and children, to potential dangerous consequences of climate change such as rising seas, changing landscapes, increasing frequency and/or severity of droughts, fires, floods and storms, climate-related illnesses and diseases, damage to ecosystems, biodiversity loss that affect the country’s environment, culture, and economy, the State shall cooperate with the global community in the resolution of climate change issues, including disaster risk reduction. It shall be the policy of the State to enjoin the participation of national and local governments, businesses, nongovernment organizations, local communities and the public to prevent and reduce the adverse impacts of climate change and, at the same time, maximize the benefits of climate change. It shall also be the policy of the State to incorporate a gendersensitive, pro-children and pro-poor perspective in all climate change and renewable energy efforts, plans and programs. In view thereof, the State shall strengthen, integrate, consolidate and institutionalize government initiatives to achieve coordination in the implementation of plans and programs to address climate change in the context of sustainable development. Further recognizing that climate change and disaster risk reduction are closely interrelated and effective disaster risk reduction will enhance climate change adaptive capacity, the State shall integrate disaster risk reduction into climate change programs and initiatives. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Cognizant of the need to ensure that national and sub-national government policies, plans, programs and projects are founded upon sound environmental considerations and the principle of sustainable development, it is hereby declared the policy of the State to systematically integrate the concept of climate change in various phases of policy formulation, development plans, poverty reduction strategies and other development tools and techniques by all agencies and instrumentalities of the government. SECTION 3. Definition of Terms.—For purposes of this Act, the following shall have the corresponding meanings: (a) “Adaptation” refers to the adjustment in natural or human systems in response to actual or expected climatic stimuli or their effects, which moderates harm or exploits beneficial opportunities. (b) “Adaptive capacity” refers to the ability of ecological, social or economic systems to adjust to climate change including climate variability and extremes, to moderate or offset potential damages and to take advantage of associated opportunities with changes in climate or to cope with the consequences thereof. (c) “Anthropogenic causes” refer to causes resulting from human activities or produced by human beings. (d) “Climate Change” refers to a change in climate that can be identified by changes in the mean and/or variability of its properties and that persists for an extended period typically decades or longer, whether due to natural variability or as a result of human activity. ICacDE (e) “Climate Variability” refers to the variations in the average state and in other statistics of the climate on all temporal and spatial scales beyond that of individual weather events. (f) “Climate Risk” refers to the product of climate and related hazards working over the vulnerability of human and natural ecosystems. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(g) “Disaster” refers to a serious disruption of the functioning of a community or a society involving widespread human, material, economic or environmental losses and impacts which exceed the ability of the affected community or society to cope using its own resources. (h) “Disaster risk reduction” refers to the concept and practice of reducing disaster risks through systematic efforts to analyze and manage the causal factors of disasters, including through reduced exposure to hazards, lessened vulnerability of people and property, wise management of land and the environment, and improved preparedness for adverse events. (i) “Gender mainstreaming” refers to the strategy for making women’s as well as men’s concerns and experiences an integral dimension of the design, implementation, monitoring, and evaluation of policies and programs in all political, economic, and societal spheres so that women and men benefit equally and inequality is not perpetuated. It is the process of assessing the implications for women and men of any planned action, including legislation, policies, or programs in all areas and at all levels. (j) “Global Warming” refers to the increase in the average temperature of the Earth’s near-surface air and oceans that is associated with the increased concentration of greenhouse gases in the atmosphere. (k) “Greenhouse effect” refers to the process by which the absorption of infrared radiation by the atmosphere warms the Earth. (l) “Greenhouse gases (GHG)” refers to constituents of the atmosphere that contribute to the greenhouse effect including, but not limited to, carbon dioxide, methane, nitrous oxide, hydrofluorocarbons, perfluorocarbons and sulfur hexafluoride. (m) “Mainstreaming” refers to the integration of policies and measures that address climate change into development planning and sectoral decisionmaking. (n) “Mitigation” in the context of climate change, refers to human intervention to address anthropogenic emissions by sources and removals by sinks of all commit to user and their substitutes. GHG, including ozone-depleting substances
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(o) “Mitigation potential” shall refer to the scale of GHG reductions that could be made, relative to emission baselines, for a given level of carbon price (expressed in cost per unit of carbon dioxide equivalent emissions avoided or reduced). (p) “Sea level rise” refers to an increase in sea level which may be influenced by factors like global warming through expansion of sea water as the oceans warm and melting of ice over land and local factors such as land subsidence. (q) “Vulnerability” refers to the degree to which a system is susceptible to, or unable to cope with, adverse effects of climate change, including climate variability and extremes. Vulnerability is a function of the character, magnitude, and rate of climate change and variation to which a system is exposed, its sensitivity, and its adaptive capacity. SECTION 4. Creation of the Climate Change Commission.—There is hereby established a Climate Change Commission, hereinafter referred to as the Commission. The Commission shall be an independent and autonomous body and shall have the same status as that of a national government agency. It shall be attached to the Office of the President. The Commission shall be the sole policy-making body of the government which shall be tasked to coordinate, monitor and evaluate the programs and action plans of the government relating to climate change pursuant to the provisions of this Act. The Commission shall be organized within sixty (60) days from the effectivity of this Act. SECTION 5. Composition of the Commission.—The Commission shall be composed of the President of the Republic of the Philippines who shall serve as the Chairperson, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
and three (3) Commissioners to be appointed by the President, one of whom shall serve as the Vice Chairperson of the Commission. The Commission shall have an advisory board composed of the following: (a) Secretary of the Department of Agriculture; (b) Secretary of the Department of Energy; (c) Secretary of the Department of Environment and Natural Resources; (d) Secretary of the Department of Education; (e) Secretary of the Department of Foreign Affairs; (f) Secretary of the Department of Health; (g) Secretary of the Department of the Interior and Local Government; (h) Secretary of the Department of National Defense, in his capacity as Chair of the National Disaster Coordinating Council; (i) Secretary of the Department of Public Works and Highways; (j) Secretary of the Department of Science and Technology; (k) Secretary of the Department of Social Welfare and Development; (l) Secretary of the Department of Trade and Industry; (m) Secretary of the Department of Transportation and Communications; (n) Director-General of the National Economic and Development Authority, in his capacity as Chair of the Philippine Council for Sustainable Development; (o) Director-General of the National Security Council; (p) Chairperson of the National Commission on the Role of Filipino Women; (q) President of the League of Provinces; (r) (r) President of the League of Cities; (s) President of the League of Municipalities; (t) President of the Liga ng mga Barangay; (u) Representative from the academe; (v) Representative from the business sector; and (w) Representative from nongovernmental organizations. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
At least one (1) of the sectoral representatives shall come from the disaster risk reduction community. The representatives shall be appointed by the President from a list of nominees submitted by their respective groups. They shall serve for a term of six (6) years without reappointment unless their representation is withdrawn by the sector they represent. Appointment to any vacancy shall be only for the unexpired term of the predecessor. Only the ex officio members of the advisory board shall appoint a qualified representative who shall hold a rank of no less than an Undersecretary. SECTION 6. Meetings of the Commission.—The Commission shall meet once every three (3) months, or as often as may be deemed necessary by the Chairperson. The Chairperson may likewise call upon other government agencies for the proper implementation of this Act. SECTION 7. Qualifications, Tenure, Compensation of Commissioners.—The Commissioners must be Filipino citizens, residents of the Philippines, at least thirty (30) years of age at the time of appointment, with at least ten (10) years of experience on climate change and of proven honesty and integrity. The Commissioners shall be experts in climate change by virtue of their educational background, training and experience: Provided, That at least one (1) Commissioner shall be female: Provided, further, That in no case shall the Commissioners come from the same sector: Provided, finally, That in no case shall any of the Commissioners appoint representatives to act on their behalf. The Commissioners shall hold office for a period of six (6) years, and may be subjected to reappointment: Provided, That no person shall serve for more than two (2) consecutive terms: Provided, further, That in case of a vacancy, the new commit to user appointee shall fully meet the qualifications of a Commissioner and shall hold
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
office for the unexpired portion of the term only: Provided, finally, That in no case shall a Commissioner be designated in a temporary or acting capacity. The Vice Chairperson and the Commissioners shall have the rank and privileges of a Department Secretary and Undersecretary, respectively. They shall be entitled to corresponding compensation and other emoluments and shall be subject to the same disqualifications. SECTION 8. Climate Change Office.—There is hereby created a Climate Change Office that shall assist the Commission. It shall be headed by a Vice Chairperson of the Commission who shall act as the Executive Director of the Office. The Commission shall have the authority to determine the number of staff and create corresponding positions necessary to facilitate the proper implementation of this Act, subject to civil service laws, rules and regulations. The officers and employees of the Commission shall be appointed by the Executive Director. SECTION 9. Powers and Functions of the Commission.—The Commission shall have the following powers and functions: (q) Ensure the mainstreaming of climate change, in synergy with disaster risk reduction, into the national, sectoral and local development plans and programs; (r) Coordinate and synchronize climate change programs of national government agencies; (s) Formulate a Framework Strategy on Climate Change to serve as the basis for a program for climate change planning, research and development, extension, and monitoring of activities on climate change; (t) Exercise policy coordination to ensure the attainment of goals set in the framework strategy and program on climate change; commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(u) Recommend legislation, policies, strategies, programs on and appropriations for climate change adaptation and mitigation and other related activities; (v) Recommend key development investments in climate-sensitive sectors such as water resources, agriculture, forestry, coastal and marine resources, health, and infrastructure to ensure the achievement of national sustainable development goals; (w) Create an enabling environment for the design of relevant and appropriate risk-sharing and risk-transfer instruments; (x) Create an enabling environment that shall promote broader multistakeholder participation and integrate climate change mitigation and adaptation; (y) Formulate strategies on mitigating GHG and other anthropogenic causes of climate change; (z) Coordinate and establish a close partnership with the National Disaster Coordinating Council in order to increase efficiency and effectiveness in reducing the people’s vulnerability to climate-related disasters; (aa) In coordination with the Department of Foreign Affairs, represent the Philippines in the climate change negotiations; (bb) Formulate and update guidelines for determining vulnerability to climate change impacts and adaptation assessments and facilitate the provision of technical assistance for their implementation and monitoring; (cc) Coordinate with local government units (LGUs) and private entities to address vulnerability to climate change impacts of regions, provinces, cities and municipalities; (dd) Facilitate capacity building for local adaptation planning, implementation and monitoring of climate change initiatives in vulnerable communities and areas; (ee) Promote and provide technical and financial support to local research and development programs and projects in vulnerable communities and areas; and commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(ff) Oversee the dissemination of information on climate change, local vulnerabilities and risks, relevant laws and protocols and adaptation and mitigation measures. SECTION 10. Panel of Technical Experts.—The Commission shall constitute a national panel of technical experts consisting of practitioners in disciplines that are related to climate change, including disaster risk reduction. The Panel shall provide technical advice to the Commission in climate science, technologies, and best practices for risk assessment and enhancement of adaptive capacity of vulnerable human settlements to potential impacts of climate change. The Commission shall set the qualifications and compensation for the technical experts. It shall provide resources for the operations and activities of the Panel. SECTION 11. Framework Strategy and Program on Climate Change.—The Commission shall, within six (6) months from the effectivity of this Act, formulate a Framework Strategy on Climate Change. The Framework shall serve as the basis for a program for climate change planning, research and development, extension, and monitoring of activities to protect vulnerable communities from the adverse effects of climate change. The Framework shall be formulated based on climate change vulnerabilities, specific adaptation needs, and mitigation potential, and in accordance with the international agreements. The Framework shall be reviewed every three (3) years, or as may be deemed necessary.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
SECTION 12. Components of the Framework Strategy and Program on Climate Change.—The Framework shall include, but not limited to, the following components: (k) National priorities; (l) Impact, vulnerability and adaptation assessments; (m) Policy formulation; (n) Compliance with international commitments; (o) Research and development; (p) Database development and management; (q) Academic programs, capability building and mainstreaming; (r) Advocacy and information dissemination; (s) Monitoring and evaluation; and (t) Gender mainstreaming. SECTION 13. National Climate Change Action Plan.—The Commission shall formulate a National Climate Change Action Plan in accordance with the Framework within one (1) year after the formulation of the latter. The National Climate Change Action Plan shall include, but not limited to, the following components: (g) Assessment of the national impact of climate change; (h) The identification of the most vulnerable communities/areas, including ecosystems to the impacts of climate change, variability and extremes; (i) The identification of differential impacts of climate change on men, women and children; (j) The assessment and management of risk and vulnerability; (k) The identification of GHG mitigation potentials; and (l) The identification of options, prioritization of appropriate adaptation userlocal governments. measures for joint projects ofcommit nationaltoand
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
SECTION 14. Local Climate Change Action Plan.—The LGUs shall be the frontline agencies in the formulation, planning and implementation of climate change action plans in their respective areas, consistent with the provisions of the Local Government Code, the Framework, and the National Climate Change Action Plan. Barangays shall be directly involved with municipal and city governments in prioritizing climate change issues and in identifying and implementing best practices and other solutions. Municipal and city governments shall consider climate change adaptation, as one of their regular functions. Provincial governments shall provide technical assistance, enforcement and information management in support of municipal and city climate change action plans. Interlocal government unit collaboration shall be maximized in the conduct of climaterelated activities. LGUs shall regularly update their respective action plans to reflect changing social, economic, and environmental conditions and emerging issues. The LGUs shall furnish the Commission with copies of their action plans and all subsequent amendments, modifications and revisions thereof, within one (1) month from their adoption. The LGUs shall mobilize and allocate necessary personnel, resources and logistics to effectively implement their respective action plans. The local chief executive shall appoint the person responsible for the formulation and implementation of the local action plan. It shall be the responsibility of the national government to extend technical and financial assistance to LGUs for the accomplishment of their Local Climate Change Action Plans. The LGU is hereby expressly authorized to appropriate and use the amount from its Internal Revenue Allotment necessary to implement said local plan effectively, any provision in the Local Government Code to the contrary notwithstanding. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
SECTION 15. Role of Government Agencies.—To ensure the effective implementation of the framework strategy and program on climate change, concerned agencies shall perform the following functions: (a) The Department of Education (DepED) shall integrate climate change into the primary and secondary education curricula and/or subjects, such as, but not limited to, science, biology, sibika, history, including textbooks, primers and other educational materials, basic climate change principles and concepts; (b) The Department of the Interior and Local Government (DILG) and Local Government Academy shall facilitate the development and provision of a training program for LGUs in climate change. The training program shall include socioeconomic, geophysical, policy, and other content necessary to address the prevailing and forecasted conditions and risks of particular LGUs. It shall likewise focus on women and children, especially in the rural areas, since they are the most vulnerable; (c) The Department of Environment and Natural Resources (DENR) shall oversee the establishment and maintenance of a climate change information management system and network, including on climate change risks, activities and investments, in collaboration with other concerned national government agencies, institutions and LGUs; (d) The Department of Foreign Affairs (DFA) shall review international agreements
related
to
climate
change
and
make
the
necessary
recommendation for ratification and compliance by the government on matters pertaining thereto; (e) The Philippine Information Agency (PIA) shall disseminate information on climate change, local vulnerabilities and risk, relevant laws and protocols and adaptation and mitigation measures; and (f) Government financial institutions, shall, any provision in their respective commit to user provide preferential financial charters to the contrary notwithstanding,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
packages for climate change-related projects. In consultation with the Bangko Sentral ng Pilipinas (BSP), they shall, within thirty (30) days from the effectivity of this Act, issue and promulgate the implementing guidelines therefor. The Commission shall evaluate, recommend the approval of loans and monitor the use of said funds of LGUs. SECTION 16. Coordination with Various Sectors.—In the development and implementation of the National Climate Change Action Plan, and the local action plans, the Commission shall coordinate with the nongovernment organizations (NGOs), civic organizations, academe, people’s organizations, the private and corporate sectors and other concerned stakeholder groups. TcSaHC SECTION 17. Authority to Receive Donations and/or Grants.—The Commission is hereby authorized to accept grants, contributions, donations, endowments, bequests, or gifts in cash, or in kind from local and foreign sources in support of the development and implementation of climate change programs and plans: Provided, That in case of donations from foreign governments, acceptance thereof shall be subject to prior clearance and approval of the President of the Philippines upon recommendation of the Secretary of Foreign Affairs: Provided, further, That such donations shall not be used to fund personal services expenditures and other operating expenses of the Commission. The proceeds shall be used to finance: (a) Research, development, demonstration and promotion of technologies; (b) Conduct of assessment of vulnerabilities to climate change impacts, resource inventory, and adaptation capability building; (c) Advocacy, networking and communication activities in the conduct of commit to user information campaign; and
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(d) Conduct of such other activities reasonably necessary to carry out the objectives of this Act, as may be defined by the Commission. SECTION 18. Funding Allocation for Climate Change.—All relevant government agencies and LGUs shall allocate from their annual appropriations adequate funds for the formulation, development and implementation, including training, capacity building and direct intervention, of their respective climate change programs and plans. It shall also include public awareness campaigns on the effects of climate change and energy-saving solutions to mitigate these effects, and initiatives, through educational and training programs and micro-credit schemes, especially for women in rural areas. In subsequent budget proposals, the concerned offices and units shall appropriate funds for program/project development and implementation including continuing training and education in climate change. HISAET SECTION 19. Joint Congressional Oversight Committee.—There is hereby created a Joint Congressional Oversight Committee to monitor the implementation of this Act. The Oversight Committee shall be composed of five (5) Senators and five (5) Representatives to be appointed by the Senate President and the Speaker of the House of Representatives, respectively. The Oversight Committee shall be cochaired by a Senator and a Representative to be designated by the Senate President and the Speaker of the House of Representatives, respectively. Its funding requirement shall be charged against the appropriations of Congress. SECTION 20. Annual Report.—The Commission shall submit to the President and to both Houses of Congress, not later than March 30 of every year following the effectivity of this Act, or upon the request of the Congressional Oversight commit to userof the status of the implementation Committee, a report giving a detailed account
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
of this Act, a progress report on the implementation of the National Climate Change Action Plan and recommend legislation, where applicable and necessary. LGUs shall submit annual progress reports on the implementation of their respective local action plan to the Commission within the first quarter of the following year. SECTION 21. Appropriations.—The sum of Fifty million pesos (Php50,000,000.00) is hereby appropriated as initial operating fund in addition to the unutilized fund of the Presidential Task Force on Climate Change and the Office of the Presidential Adviser on Global Warming and Climate Change. The sum shall be sourced from the President’s contingent fund. Thereafter, the amount necessary to effectively carry out the provisions of this Act shall be included in the annual General Appropriations Act. SECTION 22. Implementing Rules and Regulations.—Within ninety (90) days after the approval of this Act, the Commission shall, upon consultation with government agencies, LGUs, private sector, NGOs and civil society, promulgate the implementing rules and regulations of this Act: Provided, That failure to issue rules and regulations shall not in any manner affect the executory nature of the provisions of this Act. SECTION 23. Transitory Provisions.—Upon the organization of the Commission, the Presidential Task Force on Climate Change created under Administrative Order No. 171 and the Inter-Agency Committee on Climate Change created by virtue of Administrative Order No. 220, shall be abolished: Provided, That their powers and functions shall be absorbed by the Commission: Provided, further, That the officers and employees thereof shall continue in a holdover capacity until such time as the new officers and employees of the Commission shall have been duly commit to user appointed pursuant to the provisions of this Act. All qualified regular or
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
permanent employees who may be transferred to the Commission shall not suffer any loss in seniority or rank or decrease in emoluments. Any employee who cannot be absorbed by the Commission shall be entitled to a separation pay under existing retirement laws. SECTION 24. Separability Clause.—If for any reason any section or provision of this Act is declared as unconstitutional or invalid, the other sections or provisions hereof shall not be affected thereby. SECTION 25. Repealing Clause.—All laws, ordinances, rules and regulations, and other issuances or parts thereof which are inconsistent with this Act are hereby repealed or modified accordingly. SECTION 26. Effectivity.—This Act shall take effect fifteen (15) days after the completion of its publication in the Official Gazette or in at least two (2) national newspapers of general circulation. Approved on October 23, 2009
commit to user