PEMERINTAH HARUS MAKIN PEKA TERHADAP FENOMENA KEPENDUDUKAN PENDUDUK Indonesia tahun 2000 yang semula diperkirakan 275 juta jiwa, ternyata hanya 206 juta jiwa saja. Kondisi ini tidak lepas dari peran Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang telah menurunkan tingkat fertilitas atau tingkat kelahiran yang biasanya sekitar enam anak menjadi kurang dari tiga anak. Kenyataan menunjukkan, penurunan tingkat fertilitas diikuti dengan penurunan drastis tingkat kematian bayi dan anak-anak. Dengan jumlah anak yang jauh lebih sedikit dan lebih sehat, para orangtua lebih memperhatikan dan lebih mampu menyekolahkan anak-anaknya. Paling tidak ini terlihat dari keberhasilan program wajib belajar sembilan tahun, dimana anak-anak usia sekolah dasar hampir seluruhnya bersekolah. Bahkan, murid kelas I dan kelas II SD berkurang, sehingga banyak sekolah dasar yang membentuk afiliasi dengan SLTP untuk menampung tamatan SD. Ini berarti KB telah membuat anak-anak kita lebih pandai. Namun demikian, penanganan persoalan penduduk di Indonesia belum selesai. Saat ini proporsi penduduk mengarah ke penduduk urban dengan kecepatan tinggi. Penyebabnya bukan hanya karena migrasi penduduk pedesaan ke kota, tetapi juga karena desa-desa bertambah maju. Penduduk yang "desa"nya berubah jadi "kota" – siap atau tidak –otomatis berubah jadi penduduk kota atau urban. Dinamika di atas bukan monopoli bangsa Indonesia saja, tetapi menjadi fenomena luar biasa akhir abad ke-20 di banyak negara berkembang. Sayangnya, kejadian ini – dengan segala implikasi sosial, budaya, dan politik yang cukup rumit – kurang mendapat perhatian. Untung saja perubahan itu seiring dengan turunnya angka fertilitas dan angka pertumbuhan penduduk secara menyeluruh. Kalau saja angka pertumbuhan penduduk tidak menurun drastis, maka dalam waktu singkat bisa terjadi peledakan penduduk yang lebih dahsyat dibandingkan era 1950-an dan 1970-an. Namun, biarpun tingkat pertumbuhan penduduk Indonesia telah menurun, tahun ini penduduk Indonesia telah lebih dari 211 juta jiwa. Kalau pertumbuhan penduduk Indonesia tetap menurun, memang Indonesia bakal mencapai pertumbuhan penduduk seimbang, yaitu jumlah penduduk yang lahir sama dengan jumlah penduduk yang mati. Tetapi, kalau keadaan berbalik, maka tidak mustahil laju pertambahan penduduk akan menanjak lagi dengan kecepatan tinggi. Ada beberapa alasan kenapa kita harus mewaspadai pertumbuhan penduduk yang drastis ini. Transisi Demografi Ada dua pola transisi demografi dengan segala implikasinya. Transisi demografi model pertama terjadi dengan lamban di negara-negara Eropa. Transisi demografi model pertama itu mulai sekitar tahun 1700 sampai 1950-an. Dalam proses tersebut, tingkat kematian turun perlahan karena kemajuan industrialisasi. Adanya transisi menyebabkan nilai-nilai kultural berubah perlahan.
Dalam masa transisi yang relatif lama, masyarakat mempunyai waktu cukup untuk menyesuaikan diri, berubah dari masyarakat tradisionil pedesaan menjadi masyarakat industrial perkotaan yang makin modern. Tingkat kesehatan dan tingkat pendidikan penduduk bertambah baik dan lebih siap melakukan atau menerima perubahan dengan rasional. Kehidupan sosial politik penduduk juga berubah dengan mengembangkan kemampuan ekspresi politik yang makin terbuka dan vokal menuju masyarakat yang makin liberal demokratik. Biarpun agak terlambat, negara-negara berkembang mengikuti juga proses transisi demografi tersebut. Namun, di negara berkembang penurunan angka kematian lebih banyak dipengaruhi oleh temuan pengobatan modern dan munculnya lembaga-lembaga internasional dengan advokasi dan langkah-langkah nyata secara global. Tanpa harus menunggu 150 tahun, tingkat kelahiran menurun menyusul penurunan tingkat kematian dalam kurun waktu kurang dari 50 tahun. Fenomena Baru Namun, penurunan fertilitas dan tingkat pertumbuhan penduduk ini disertai fenomena baru di negara berkembang yang mungkin berdampak lebih dahsyat. Transisi demografi model kedua ini adalah makin tingginya proporsi jumlah penduduk urban,ledakan remaja, angkatan kerja, dan penduduk lanjut usia dalam waktu pendek. Oleh karena terjadi dalam tempo sangat singkat, implikasi perubahan fenomena ini pasti belum disadari para pengambil keputusan. Fenomena itu muncul dalam suasana kemiskinan dan tingkat kebodohan yang masih sangat tinggi. Tidak kurang dari 1,3 milyar jiwa hidup dalam kondisi sangat miskin di negara-negara berkembang. Karena keterbatasan anggaran, fenomena akhirnya ditanggapi dengan membandingkan mana yang lebih dulu harus diselenggarakan. Kesimpulan semacam itu salah. Tidak ada yang didahulukan dengan mengorbankan salah satunya. Tidak ada upaya pendidikan yang harus mengorbankan upaya di bidang kesehatan. Tidak ada upaya kesehatan yang mengorbankan bidang keluarga berencana. Semua menempati posisi sentral untuk meningkatkan sumber daya yang bermutu. Dalam pola transisi demografi itu, jelas sekali terjadi perubahan struktur piramida. Pola yang muncul di Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya yang berhasil dengan gerakan KB-nya itu, berupa pengecilan jumlah dan proporsi penduduk berusia anak-anak, diikuti dengan membengkaknya remaja dan usia lanjut. Perubahan struktur itu menarik karena penduduk remaja yang sedang tumbuh sesungguhnya merupakan hasil pendewasaan dari orangtua yang belum tersentuh program KB pada zamannya. Ini berarti, anak-anak yang sekarang dewasa dan menjadi orangtua muda adalah pasangan yang rawan menimbulkan bom bayi baru. Karena itu, pikiran-pikiran bahwa BKKBN sebaiknya dibubarkan adalah gagasan yang sangat berbahaya. Penduduk remaja yang mendominasi harus diikuti dan didampingi dengan program KB yang lebih lincah. Anak-anak muda baby boomers sekarang adalah anak-anak modern yang maju dan mandiri. Mereka harus didampingi dengan program KB oleh BKKBN atau lembaga semacam itu sampai ke tingkat daerah. Komitmen untuk BKKBN tingkat kabupaten dan kota harus sangat tinggi agar diperoleh sumber daya yang
berkualitas karena dilahirkan oleh orangtua dengan jarak kelahiran yang wajar.
Penurunan fertilitas dan pertumbuhan yang mulai rendah harus dipelihara dengan baik, karena kalau tidak akan lebih sulit menggarap penurunan fertilitas di masa datang. Untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan semacam itu, justru diperlukan komitmen yang lebih tinggi dari otoritas tingkat, pusat, bukan dengan isu anggaran BKKBN dialihkan untuk anggaran pendidikan. Angkatan muda Pembengkakan proporsi penduduk usia 25-45 tahun, atau ‘penduduk usia muda’ yang telah mendapat pendidikan dasar, membuat mereka tidak tertarik untuk bertani seperti orangtuanya di desa. Mereka cenderung pindah ke kota mencari pekerjaan yang bersifat "urban", di pabrik atau industri jasa yang tidak banyak tergantung musim. Penduduk terdidik yang tetap di desa mulai pula mempergunakan waktunya untuk membangun industri dan perdagangan di desanya. Karena fasilitas transportasi yang makin baik, usaha itu makin bisa dihubungkan dengan rekan-rekannya dari kota sehingga menumbuhkan kepadatan dan ciri baru di desa-desa penyangga kota. Akibatnya, pertumbuhan urban di negara berkembang, termasuk Indonesia, mempunyai dua sumber yang sama kuat, yakni perpindahan penduduk ke kota dan berubahnya desa-desa agraris menjadi daerah urban baru. Semua berlangsung lebih cepat di-bandingkan negara maju di masa lalu. Dengan keadaan seperti itu, maka BKKBN, Departemen Kesehatan, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Tenaga Kerja dan pemerintah daerah harus makin peka terhadap fenomena kependudukan. Karena itu, untuk meningkatkan sumber daya manusia yang bermutu, lembaga-lembaga tersebut di atas justru harus ditingkatkan peranan dan anggarannya, bukan malah dibubarkan! PROF.DR. HARYONO SUYONO Pengamat masalah sosial kemasyarakatan KOMPAS SENIN, SEPTEMBER 2002
PENDUDUK DAN DEMOKRASI Dalam suasana reformasi yang marak dewasa ini, beberapa waktu lalu selama dua hari berturut-turut diadakan pertemuan oleh para ahli kependudukan Indonesia di Jakarta. Pertemuan itu antara lain dimaksudkan untuk mencari bentuk yang paling tepat bagaimana menempatkan penduduk sebagai titik sentral pembangunan. Pertemuan juga berusaha untuk mendorong perhatian dan komitmen politik yang makin tinggi agar penduduk tidak saja menjadi obyek pembangunan, tetapi disiapkan dengan sunguhsungguh untuk mampu menjadi pelaku yang berwatak, berkepribadian luhur serta profesional dalam bidangnya masing-masing. Melihat itu semua kita masih teringat bahwa pada tanggal 11 Juli lalu, kita juga memperingati Hari Kependudukan Dunia 2001. Di Indonesia peringatan itu ditandai oleh suasana dan harapan yang berbunga-bunga karena Presiden RI, Gus Dur, seperti juga Presiden RI sebelumnya, Pak Harto, memberikan perhatian yang tinggi terhadap masalah kependudukan itu. Kita tidak tahu kenapa pertemuan minggu lalu tidak cukup mendapat perhatian dari para pejabat tinggi. Mungkin saja karena para penyelenggara menempatkan pertemuan penting itu sebagai kegiatan tehnis, atau karena waktu yang tidak tepat, sehingga kalangan petinggi pemerintah tidak cukup waktu untuk ikut menanggapi masalah kependudukan di Indonesia dewasa ini. Padahal masalah yang kita hadapi berada pada titik perubahan sosial yang sangat penting dan bisa sangat menentukan masa depan bangsa ini. Penduduk Indonesia, seperti juga penduduk negara-negara berkembang lainnya, mengalami perubahan sosial yang sangat dahsyat. Jumlah dan perkembangan penduduk urban meningkat dengan drastis. Pertambahan penduduk urban itu bukan hanya karena adanya migrasi penduduk perdesaan ke kota, tetapi juga karena desa-desa bertambah maju dan penduduk desa tersebut, siap atau tidak siap, karena “desanya” berubah menjadi “kota”, dengan otomatis dan menyeluruh berubah menjadi “penduduk kota” atau “penduduk urban”, lengkap dengan tuntutan dan ciri-ciri urbanisme yang sangat kuat. Phenomena ini di Indonesia lebih “diperparah” lagi oleh makin maraknya sikap ingin cepat maju karena kesempatan dan dorongan otonomi daerah yang sedang marak. Dinamika perubahan penduduk desa menjadi penduduk kota yang terjadi dengan kecepatan tinggi itu, bukan hanya monopoli bangsa Indonesia saja. Phenomena itu adalah suatu kejadian luar biasa pada akhir abad ke-20 dan terjadi di banyak negara berkembang. Kejadian ini, dengan segala implikasi sosial, budaya dan politik yang cukup rumit, kurang mendapat perhatian para ahli, politisi dan penyelenggara negara. Untung saja perubahan itu terjadi seiring dengan makin melemahnya angka fertilitas dan angka pertumbuhan penduduk secara global. Pikiran-pikiran hak azasi manusia (human rights) dan upaya pengembangan kualitas manusia (human development) yang pada tahun-tahun 1980-an dan 1990-an dipelajari oleh anak-anak di bangku sekolah, dan di ruang-ruang kuliah, sekarang dituntut oleh generasi muda yang pernah mempelajarinya itu dalam kehidupan nyata. Mereka melihat dengan mata telanjang bahwa “demokrasi” dan “penghargaan
terhadap manusia” yang mereka kagumi dari kuliah para gurubesar, atau mereka baca dari tulisan ahli-ahli berbagai bangsa di dunia, tidak mereka lihat dalam kehidupan sehari-hari di tanah airnya. Bahkan, mereka lihat para pemimpinnya saling hujat, saling menyalahkan dan tidak mau mengambil tanggung jawab serta menjauhkan diri dari upaya memihak kepada keluarga miskin. Ada sebagian yang kemudian ikut larut, dan menyalahkan generasi atau pemerintah sebelumnya. Padahal pemberdayaan penduduk itu tidak ringan dan bukan menjadi tugas suatu instansi atau suatu departemen tertentu. Pemberdayaan penduduk dan upaya menempatkannya secara terhormat sebagai titik pusat pembangunan merupakan suatu upaya jangka panjang yang memerlukan strategi yang utuh, bertahap dan konsisten. Pengembangan penduduk itu memerlukan keikut sertaan semua pihak, secara dinamis dan tidak dapat diwakilkan. Usaha advokasi untuk menggerakkan keadaan itu sungguh sulit dilakukan. Transisi Demografi Cepat Ada dua pola transisi demografi yang terjadi dengan segala implikasinya. Transisi demografi model yang pertama terjadi dengan lamban di negara-negara Eropa seperti Inggris dan Wales. Transisi demografi model pertama tersebut berlangsung mulai sekitar tahun 1700 sampai sekitar tahun 1950-an, atau sekitar 250 tahun. Dalam proses transisi tersebut, tingkat kematian turun dengan pelahan karena kemajuan industrialisasi yang terjadi. Adanya transisi itu menyebabkan nilai-nilai kultural tentang berbagai phenomena berubah secara pelahan. Dalam masyarakat agraris anak merupakan potensi yang segera dapat ikut dalam proses produksi. Dengan perubahan itu masyarakat berubah menjadi masyarakat modern dengan industrialisasi. Nilai anak juga mengalami perubahan. Anak tidak bisa secara langsung ikut serta dalam proses produksi. Anak harus dikirim ke sekolah dengan waktu dan ongkos yang tidak kecil sampai anak-anak itu bisa ikut dalam proses produksi serta menghasilkan. Pemeliharaan anak menjadi lebih mahal dan dengan adanya nilai anak yang makin mahal pemeliharaannya itu maka angka kelahiran akhirnya mengikuti proses dan menurun dengan pelahan-lahan. Dalam masa transisi yang relatip lama itu masyarakat mempunyai waktu yang panjang untuk melakukan penyesuaian dengan pelahan, berubah dari masyarakat tradisionil perdesaan menjadi masyarakat industrial perkotaan yang modern. Tingkat kesehatan dan tingkat pendidikan penduduk bertambah baik dan lebih siap melakukan atau menerima berbagai perubahan dengan rasional. Kehidupan sosial politik penduduk juga mulai mengalami perubahan dengan kemampuan mengembangkan ekspresi politik yang makin terbuka dan vokal menuju masyarakat yang makin liberal demokratik. Dengan adanya penyesuaian itu maka proses transisi demografi yang lamban bisa diikuti oleh proses penyesuaian kehidupan kemasyarakatan yang seimbang. Di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, penurunan angka kematian lebih banyak dipengaruhi oleh diketemukannya pengobatan modern dan munculnya lembaga-lembaga internasional dengan advokasi dan langkah-langkah nyata secara
global. Namun demikian, untuk penyesuaiannya, tingkat kelahiran juga segera menurun, tidak harus menunggu 250 tahun. Tingkat kelahiran itu segera menyusul penurunan tingkat kematian dalam kurun waktu kurang dari 50 tahun. Dengan menyusulnya penurunan tingkat kelahiran, maka proses transisi demografi terjadi dengan cepat. Tingkat pertumbuhan penduduk juga menurun dengan drastis. Disamping kegembiraan karena penurunan fertilitas dan tingkat pertumbuhan penduduk, ada phenomena baru yang mungkin lebih dahsyat mulai muncul di negaranegara berkembang. Phenomena itu adalah makin tingginya proporsi jumlah penduduk urban, ledakan anak remaja, angkatan kerja dan penduduk lanjut usia yang meningkat jumlahnya dalam waktu yang sangat pendek. Karena terjadi dalam tempo yang sangat singkat, implikasi perubahan phenomena ini belum disadari secara mendalam oleh para pengambil keputusan dan politisi di negara-negara berkembang. Phenomena itu muncul dalam suasana kemiskinan yang masih tinggi. Tidak kurang dari 1,3 milyar jiwa hidup dalam kondisi sangat miskin di negara-negara berkembang. Disamping itu ada sekitar 25 juta jiwa terpaksa mengungsi karena kerusakan lingkungan atau konflik di wilayahnya. Perubahan struktur penduduk menjadi makin urban dan muda itu menarik dari segi politik karena munculnya tenaga-tenaga terdidik yang merasa makin tidak cocok dengan lingkungan sekitarnya. Perubahan ini menuju alam demokratis dan memerlukan pencermatan yang tidak kalah serunya dengan upaya kita menghadapi persoalan fertilitas dan pertumbuhan yang tinggi di masa lalu. Oleh karena itu untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan diperlukan terobosan berupa advokasi yang lebih gegap gempita tentang masalah kependudukan yang mempunyai persoalan lain dibanding dengan upaya penyelesaian masalah kependudukan yang lebih bersifat tehnis demografis dimasa lalu. Phenomena kependudukan sekarang adalah phenomena perkotaan, phenomena generasi muda yang “lapar” atas harga dirinya sebagai manusia terhormat, “lapar” atas pilihan demokratis untuk mengembangkan jati diri dan potensinya yang tinggi, “lapar” akan kemerdekaan untuk menyuarakan aspirasi dan gagasan-gagasannya yang cemerlang, lapar dan jengkel atas ketidak adilan yang setiap hari kelihatan jelas dimatanya, dan berbagai lapar lain yang makin digali makin merekah mengerikan. Karena itu tiba waktunya para politisi memperhatikan transisi demografi, perubahan struktur penduduk yang ditandai ledakan penduduk urban, angkatan muda dan munculnya tuntutan demokratis dan keterbukaan yang tidak saja harus mengikuti arus perubahan kuantitatif penduduknya, tetapi harus siap menanggapi phenomena itu dengan perubahan sikap, tingkah laku, tata nilai sosial budaya yang mendukung persamaan hak-hak azasi wanita dan pria yang menyejukkan serta kesempatan yang makin terbuka. Perubahan itu harus disikapi dengan suasana kondusif untuk menyelamatkan umat manusia dengan menjamin hak-hak azasinya secara utuh agar bisa mencapai keseimbangan baru yang lebih serasi, selaras, dan seimbang. (Prof. Dr. Haryono Suyono, Pengamat Masalah Sosial Kemasyarakatan). Penduduk-30102001
PEMBANGUNAN BERWAWASAN KEPENDUDUKAN Dalam memperingati Hari Kependudukan Dunia Indonesia menggelar suatu pertemuan para ahli di Jakarta. Salah satu yang menonjol dari pertemuan itu adalah bahwa berkat keberhasilan pembangunan ditegaskan kembali perubahan piramida penduduk Indonesia mengikuti piramida penduduk usia tua, mulai mendekati model piramida penduduk negara-negara maju. Perubahan fenomena itu diikuti permintaan Presiden kepada para ahli agar secara cermat bisa menyajikan perkiraan pertumbuhan penduduk yang paling dekat dengan kenyataan. Presiden mengingatkan bahwa perkiraan yang tidak tepat akan berbahaya untuk bangsa ini karena mempengaruhi arahan dan dinamika pembangunan yang sedang dikembangkan. Perkiraan yang tidak tepat juga akan merugikan penduduk yang seharusnya menikmati hasil-hasil pembangunan tersebut. Menarik juga kita simak penyajian dari Prof. Dr. Aris Ananta yang sekali lagi mengajak semua fihak memberikan komitmen yang tinggi terhadap kebijaksanaan pembangunan berwawasan kependudukan. Pembangunan berwawasan kependudukan adalah suatu pembangunan yang memihak penduduk, biarpun kualitasnya relatip belum baik, yaitu antara lain keberanian menjadikan penduduk sebagai konsumen yang potensial. Dengan keberanian itu kita bisa mengembangkan dan mempunyai pasar domestik yang luar biasa besarnya. Pasar itu akan dengan mudah menyerap produkproduk yang bermutu dengan harga yang murah dan terjangkau kemampuan penduduk Indonesia yang melimpah. Gagasan pembangunan berwawasan kependudukan harus bisa mengarahkan semua pihak menjadikan penduduk sebagai pelaku pembangunan, produsen dan sekaligus pasar yang potensial. Tidak dapat dibayangkan kalau pasar kita yang potensial itu justru dimanfaatkan oleh negara-negara lain yang melihat potensi itu dengan lebih tajam. Potensi pasar dengan jumlah penduduk yang besar itu tidak saja untuk barang produk murah dengan pasaran luas, tapi juga untuk produk-produk barang mewah yang menguntungkan dan mempunyai nilai tambah tinggi. Beliau mengajak semua peserta untuk menghitung bahwa andaikan hanya duapuluh persen saja penduduk kita dapat dianggap berada dalam kelas ekonomi menengah keatas, maka jumlahnya sudah melebihi angka 4 juta orang. Jumlah itu lebih besar dibandingkan seluruh penduduk Singapore. Ini berarti bahwa Indonesia bisa juga menjadi pasar barang-barang yang relatip mewah dengan harga yang tinggi atau nilai tambah yang sangat menguntungkan. Pertemuan yang diisi dengan round table discussion itu juga menyajikan pembicara perempuan yang kebetulan menjadi satu-satunya diantara sembilan pembicara yang ada. Biarpun karena keterbatasan waktu beliau tidak sempat mengungkapkan kepentingan penduduk perempuan dengan panjang lebar, tetapi karena protes salah seorang peserta lain, semua pihak diingatkan bahwa ketidak adilan gender
masih juga menjadi kendala dari maraknya pembahasan tentang peranan penduduk perempuan dalam pembangunan yang bekelanjutan. “Kealpaan” terhadap pembahasan yang mendalam tentang perempuan secara tidak sengaja juga dilakukan oleh Deputi BKKBN yang membawakan sambutan atau uraian Menteri PP dan Kepala BKKBN yang berhalangan hadir. Tetapi begitu diingatkan maka makalah yang memang sudah disiapkan sebenarnya penuh dengan uraian tentang bagaimana Ibu Menteri memberi perhatian yang sangat tinggi terhadap peningkatan peranan kaum perempuan untuk menyemarakkan pembangunan yang berwawasan kependudukan itu. Satu-satunya pembicara dari luar negeri adalah wakil dari GTZ yang menyoroti secara khusus pentingnya statistik dan data kependudukan pada umumnya. Pembicaraan ini biasanya tidak menarik, tetapi munculnya topik itu dalam diskusi telah mengingatkan para ahli untuk secara sadar menggarap masalah data kependudukan dengan sungguhsungguh. Bagi mereka yang paham betapa sulitnya mencapai konsensus untuk menyajikan angka perkiraan tunggal, khususnya untuk memenuhi permintaan Presiden yang menghendaki agar disajikan angka perkiraan tunggal, para ahli harus bekerja keras menyepakati angka tunggal itu. Perkiraan angka tunggal sesungguhnya mudah dipenuhi, kalau program pembangunan sudah pasti atau didukung suasana penuh kepastian. Kalau dukungan pembangunan tidak menentu, atau tidak pasti, karena setiap perkiraan harus disertai atau mengandung asumsi program-program intervensi yang pasti agar bisa mempengaruhi phenomena kependudukan, maka perkiraan untuk menghasilkan suatu angka tunggal, juga sulit disajikan. Apapun variasi yang muncul dalam pembicaraan pada Hari Kependudukan Dunia itu, atau hasil pertemuan “round table disc ussion” itu, kita bersyukur bahwa akhirnya semua pihak diingatkan kembali untuk menempatkan penduduk sebagai titik pusat pembangunan. Kita gembira karena semua pihak diharapkan memperhatikan penduduk, dan bekerja keras, untuk membantu upaya pemberdayaan penduduk, tidak saja sebagai pelaku, subyek, atau obyek pembangunan, tetapi akhirnya harus ikut menikmati hasil-hasil pembangunan secara adil sesuai dengan sumbangannya yang profesional. Mudah-mudahan langkah awal dari Badan Kependudukan Nasional – Baknas – dalam memperingati Hari Kependudukan Dunia itu dapat ditindak lanjuti dengan meminta perhatian semua pihak akan berubahnya phenomena kependudukan yang akan sangat mempengaruhi arahan berbagai prioritas pembangunan yang berwawasan kependudukan. Semoga. (Prof. Dr. Haryono Suyono, Pengamat Masalah Sosial Kemasyarakatan)
MENGHADAPI MELEDAKNYA GENERASI MUDA MASYARAKAT HARUS WASPADA Hasil akhir Sensus Penduduk tahun 2000 menyatakan bahwa jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2000 adalah 206,3 juta jiwa. Pengumuman itu sekaligus juga menjelaskan bahwa penduduk kita makin mendekati penduduk negara maju karena angka jumlah penduduk di daerah perkotaan telah naik menjadi sekitar 45 persen dan angka pertumbuhan penduduk rata-rata selama sepuluh tahun terakhir adalah sekitar 14,9 persen. Lebih lanjut daripada itu kalau angka pertumbuhan penduduk pada tahun 19801990 rata-rata masih mendekati angka 2 persen, maka dengan sendirinya angka rata-rata dibawah 1,5 persen itu mengisyaratkan adanya pertumbuhan penduduk di tahun 2000 sudah kurang dari itu, yaitu sekitar 1,2 sampai paling tinggi 1,3 persen. Ini hanya bisa terjadi kalau angka fertilitas di tahun 2000 sudah sangat rendah, yaitu TFR atau angka fertilitas total tidak lebih dari 2,4 – 2,5 anak. Bahkan mungkin sekali angka fertilitas total untuk propinsi yang KB-nya sangat berhasil seperti DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, DKI Jakarta, mungkin juga Jawa Tengah dan beberapa propinsi lain sudah sama atau lebih rendah dari angka 2,2 anak atau yang biasa disebut dibawah replacement level. Diduga pula bahwa angka mortalitas masih relatif tinggi karena dari beberapa penelitian masih terlihat adanya Angka Kematian Ibu Hamil dan Melahirkan (AKI) masih relatif tinggi. Namun dengan usaha yang gigih dalam duapuluh tahun terakhir ini dapat pula diduga bahwa angka kematian AKI itu akan segera menurun, terutama di daerah-daerah yang kondisi KB-nya relatif maju dan kesadaran masyarakat akan bahaya hamil terlalu muda, terlalu sering atau sudah tua masih hamil juga menjadi lebih tinggi. Awas Ledakan Penduduk yang Baru. Kalau Angka Kematian Ibu Hamil dan Melahirkan (AKI) itu menurun hampir dapat dipastikan bahwa angka kematian secara menyeluruh akan menurun dengan lebih drastis. Kalau penurunan ini diikuti lebih lanjut dengan penurunan angka kematian bayi, yang selama duapuluh tahun terakhir ini telah turun lebih dari 60 persen, dan juga angka kematian anak, maka tidak mustahil angka pertumbuhan penduduk akan mengalami goncangan. Goncangan itu bisa berarti naik drastis bisa juga menurun dengan lebih deras lagi, yaitu kalau kemantapan ber-KB dapat lebih ditingkatkan. Dalam rangka Hari Anak dan Remaja Nasional 23 Juli 2002 ini perlu kita ingatkan bahwa penurunan angka pertumbuhan penduduk itu hanya bisa dijamin kalau sebanyak-banyak generasi muda mengikuti Gerakan Reproduksi Sejahtera dengan baik. Kalau mereka lengah, ada kemungkinan bahwa angka pertumbuhan penduduk itu akan naik dengan drastis dan mengakibatkan terjadinya baby boom yang jauh lebih dahsyat dibandingkan dengan baby boom di masa yang lalu.
Ada beberapa alasan kenapa angka pertumbuhan penduduk bisa meledak kembali. Pertama, jumlah generasi muda sekarang ini relatif tinggi, yaitu sekitar 20 persen dari jumlah penduduk yang ada di Indonesia yang jumlahnya adalah 206,3 juta jiwa tersebut. Jumlah ini tidak saja besar tetapi mempunyai tingkat kesuburan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jaman baby boom di tahun 1970 – 1980 yang lalu. Tingkat kesehatan dan kemampuannya untuk “menghasilkan anak” juga jauh lebih tinggi karena umumnya mereka dilahirkan pada jaman yang jauh lebih kondusif dibandingkan dengan jaman kelahiran orang tuanya dulu. Kedua, anak-anak muda sekarang masih menikah relatif pada usia yang muda. Anak-anak usia SLTP dan SMU sekarang ini masih banyak yang tidak sekolah, sehingga karena desakan ekonomi, terutama untuk anak perempuan, terpaksa dinikahkan oleh orang tuanya. Jumlah anak-anak usia Hanya sekitar 60 persen anak-anak usia SLTP sekarang ini sekolah dan hanya sekitar 30-40 persen anak-anak usia SMU sekarang ini yang sedang sekolah dan hanya kurang dari 12 persen anak-anak usia dewasa sedang berada di bangku kuliah di perguruan tinggi. Apabila anak-anak ini tidak sekolah, maka bagi keluarga kurang mampu, keluarga yang hidupnya pas-pasan, akan merasa aman kalau anak-anak tersebut segera menikah, artinya menikah pada usia muda menjadi salah satu resep yang paling ampuh dan mudah untuk “mengentaskan anak -anak dari penderitaan kemiskinan”. Ketiga, anak-anak muda yang semestinya menggeluti modernisasi dengan mengenal lebih banyak masalah reproduksi sejahtera belum banyak bersentuhan dengan materi reproduksi sejahtera sehingga perkawinan dibawah usia 20 tahun atau perkawinan dari wanita-wanita pada usia sekitar 20 tahun masih sangat tinggi. Padahal diketahui bahwa anak-anak umumnya dilahirkan pada tahun pertama masa perkawinan. Dengan demikian umumnya pasangan muda Indonesia melahirkan pada usia ibu sekitar 20- 25 tahun dan karena itu sebuah keluarga masih dengan mudah melahirkan tiga sampai empat kali selama masa reproduksinya. Dengan jumlah generasi muda yang relatif besar maka jumlah kelahiran sampai empat orang bayi itu akan menimbulkan kegoncangan demografis yang sangat berbahaya dan mempengaruhi ledakan baby boom yang dahsyat. Keempat, tingkat kematian anak dan tingkat kematian bayi makin kecil. Dengan demikian jumlah anak-anak yang dilahirkan dan tetap hidup pada usia lima tahun atau lebih oleh pasangan muda akan tinggi dan anak tetap hidup sehat sehingga jumlah anakanak yang ditambahkan setiap tahunnya bukan lagi sekitar 3 juta bayi atau 4 juta bayi, tetapi mungkin saja bisa mencapai 5 sampai 6 juta bayi setiap tahunnya. Anak-anak ini akan tetap sehat dan hidup sejahtera bersama kedua orang tuanya karena keadaan kesehatan dan gizi yang bertambah baik. Jumlah bayi yang ditambahkan setiap tahun menjadi sekitar 1,5 sampai dua kali lipat dibandingkan dengan jumlah bayi yang dilahirkan dan tetap hidup dibandingkan dengan masa antara tahun 1990-2000. Kelima, ledakan ini akan menjadi resiko karena generasi muda tidak saja tidak mengenal dengan baik reproduksi keluarga tetapi mereka sedang tergoda oleh kehidupan
modern yang sangat permisif ditambah dengan akibat gangguan globalisasi lain seperti merebaknya hidup bebas tanpa perkawinan biarpun ada ancaman penyakit HIV/AIDS, atau penyakit lainnya akibat pergaulan bebas itu. Kondisi negatip itu akan menghasilkan anak dengan perhitungan yang sangat tidak rasional. Kewaspadaan Generasi Muda Generasi muda memang tidak bisa berpangku tangan. Ledakan penduduk dimasa lalu banyak “tertolong” dengan tingkat kematian bayi dan tingkat kematian anak yang sangat tinggi, demikian pula masih adanya kematian ibu yang juga relatif sangat tinggi. Ledakan penduduk baru, kalau terjadi, tidak akan bisa ditolong dengan tingkat kematian bayi yang tinggi, dan tidak pula ditolong dengan tingkat kematian anak yang tinggi. Justru akan dipersulit dengan makin panjangnya usia harapan hidup dengan naiknya presentase dari penduduk yang berusia diatas enampuluh tahun. Hampir bersamaan waktunya dengan kemungkinan ledakan bayi dari generasi muda yang baru itu, di Indonesia juga akan terjadi ledakan para orang tua. Kalau di masa lalu “penduduk yang berusia diatas 60 tahun” bisa dianggap sebagai “barang langka”, maka dapat dibayangkan bahwa di masa lima sampai sepuluh tahun yang akan datang ini mereka yang berusia enampuluh tahun sudah merupakan pemandangan biasa dan penduduk dengan usia enampuluh tahun itu bisa dengan mudah ditemui di hampir seluruh pojok pedesaan. Jumlah mereka akan merangkak dengan meyakinkan dari angka 5 persen menjadi 10 persen dan bahkan di beberapa propinsi akan naik menjadi 11 – 15 persen dari seluruh penduduk yang ada. Orang tua menjadi pemandangan biasa. Ledakan bayi sebagai penyulut baby boom akan dibarengi dengan sulutan “grand father and grand mother boom” alias ada boom yang bersumbu ganda. Padahal ledakan dari generasi muda yang semula berusia dibawah limabelas tahun juga belum seluruhnya berhenti. Praktis penduduk Indonesia akan mendapatkan serangan bom dari segala sektor umur. Piramida yang Meruncing Sebaliknya, apabila generasi muda, yang dalam beberapa hari ini akan memperingati Hari Remajanya pada tanggal 23 Juli 2002 sadar akan makna peranannya yang bermata ganda, mengatur dan memahami reproduksi sejahtera dan mengandalkan diri pada usaha untuk mengasah dan mengembangkan dirinya menjadi sumber daya yang handal, maka generasi muda tahun 2002 akan menjadi pelaku sejarah yang luar biasa peranannya. Generasi muda ini akan bisa memahami reproduksi sejahtera dan menjadi pelaku fertilitas yang teratur sehingga jumlah generasi anak-anak dibawah usia 15 tahun akan tetap kecil dan akhirnya menghasilkan piramida yang meruncing. Anak-anak usia dibawah 15 tahun akan mengecil sebaliknya anak-anak remaja usia 15 – 24 tahun mungkin saja akan tetap dominan. Kalau mereka bisa mengikuti pendidikan dan pelatihan yang tersedia secara luas dengan pendekatan Broad Based Education (BBE) yang marak, maka mereka dapat memanfaatkan kekuatan sumber daya alam yang tersedia secara melimpah di sekitarnya. Kalau itu yang terjadi maka
kualitas generasi muda akan bertambah baik dan mudah-mudahan menghasilkan kemakmuran dan kesejahteraan yang berlipat ganda. Untuk mencegah anak-anak muda yang sekarang tidak ada di sekolah, baik sebagai anak jalanan, anak di jalan atau anak yang hidupnya sehari-hari di jalan karena tekanan ekonomi atau karena memang orang tuanya begitu miskin dan sejak lama sudah menggantungkan hidupnya di jalan-jalan, maka pemerintah dan masyarakat luas harus dengan berani mengarahkan pembangunan pada anak-anak muda tersebut. Arahan kepada anak-anak muda itu dapat ditujukan kepada orang tua yang anaknya belum sekolah, tidak sekolah atau terkena tekanan tertentu sehingga tidak sempat mengenal sekolah. Orang tua itu harus dientaskan agar orang tuanya memberi ijin kepada pemerintah atau lembaga sosial kemasyarakatan lain untuk ikut menangani anak-anak jalanan atau anak-anak di jalan itu. Tanpa ikut sertanya orang tua dan komitmen anak-anak sendiri maka penyelesaian anak-anak yang tidak atau belum sekolah itu mustahil dilaksanakan. Disamping itu harus pula dikembangkan sekolah yang mendasarkan diri bukan lagi pada sekolahnya atau kemampuan daya tampungnya saja, tetapi lebih menilai keberhasilannya atas dasar kepadatan yang ada di kampung atau di lingkungan di mana sekolah itu berada. Kalau anak-anak di suatu wilayah belum seluruhnya tertampung di sekolah, maka sekolah itu dinilai belum berhasil. Tetapi kalau anak-anak di seluruh kampung itu sudah semuanya sekolah, maka sekolah itu dianggap berhasil mengentaskan anak-anak yang ada di sekolah yang bersangkutan. Sekolah dengan pendekatan semacam ini harus pula memihak anak-anak dari keluarga kurang mampu yang dengan berbagai alasan menganggap anaknya tidak perlu bersekolah lagi. Dengan sekolah yang memihak semacam itu tentunya kurikulumnya juga harus disesuaikan dengan kebutuhan yang ada di lapangan. Kalau kurikulum itu tidak disesuaikan anak-anak dan orang tua yang kurang mampu akan enggan bersekolah atau tidak ada minat di masukkan ke sekolah semacam ini. Mereka akan menilai bahwa sekolah semacam ini tidak memberikan pemberdayaan yang diperlukan atau tidak membawa manfaat bagi kehidupan yang penuh dengan tantangan dan godaan. Masyarakat harus waspada. Kalau terjadi ledakan baru keadaannya akan jauh lebih dahsyat dan sukar untuk direhabilitasi. Hanya dengan ketekunan tertentu ledakan dapat dicegah, itupun dengan partisipasi yang sangat kuat dengan berbagai komponen pembangunan secara ikhlas, berkesinambungan, holistik dan tidak terkotak-kotak. Semoga dengan cara demikian hari Anak-anak dan Remaja 23 Juli mendapat makna yang sesungguhnya untuk mencegah ledakan bayi dan orang tua yang baru serta meningkatkan mutu dari sumber daya manusia yang ada. (Prof. Dr. Haryono Suyono, Pengamat Masalah Sosial Kemasyarakatan-Ledakan-Gemu-2072002).
HADIAH HUT KEMERDEKAAN : NOMOR INDUK KEPENDUDUKAN Penghargaan terhadap hak azasi yang sangat berharga adalah diakuinya seorang manusia sebagai manusia sejak dia dilahirkan. Di negara-negara maju penghargaan itu diwujudkan antara lain dengan memberikan kepada yang bersangkutan nomor induk yang dicatat dalam registrasi penduduk pada kantor-kantor semacam catatan sipil di setiap negara. Nomor induk itu menjadi milik pribadi dan berlaku seumur hidup. Hal seperti itu, biarpun nampaknya sederhana, belum ada atau belum merata di Indonesia. Akan sangat dikenang apabila dalam rangka Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI yang ke 56, Presiden RI Ibu Megawati Soekarno Putri berkenan memberikan pengakuan itu sebagai hadiah ulang tahun kemerdekaan. Dimasa lalu upaya untuk memberikan pengakuan seperti ini selalu menghadapi kendala yang sangat besar, karena belum ada sistem yang dapat diterima semua pihak, atau karena tidak ada anggaran yang dapat mendukung upaya yang sangat penting itu. Sebenarnya telah ada UU yang memberi payung pengantar untuk mengembangkan usaha tersebut secara konstitusional. UU nomor 10 tahun 1992 mendefinisikan bahwa setiap penduduk Indonesia mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam upaya perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga sejahtera. Hak dan kewajiban setiap penduduk itu meliputi semua matra penduduk yang terdiri dari matra diri pribadi, anggota keluarga, anggota masyarakat, warga negara, dan himpunan kuantitas. Hak penduduk itu untuk masing-masing matra diuraikan secara terperinci dalam UU tersebut yang meliputi hak penduduk sebagai diri pribadi yang meliputi hak untuk membentuk keluarga, hak mengembangkan kualitas diri dan kualitas hidupnya, serta hak untuk bertempat tinggal dan pindah ke lingkungan yang serasi, selaras, dan seimbang dengan diri dan kemampuannya. Sebagai anggota masyarakat, hak penduduk meliputi hak mengembangkan kekayaan budaya, pemanfaatan wilayah warisan adat, serta hak untuk melestarikan atau mengembangkan perilaku kehidupan budayanya. Sebagai warga negara, hak penduduk yang dijamin dalam UU meliputi pengakuan atas harkat dan martabat yang sama, hak memperoleh dan mempertahankan ruang hidupnya. Sebagai himpunan kuantitas penduduk dijamin haknya untuk diperhitungkan dalam kebijaksanaan perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga sejahtera dalam pembangunan nasional. Lebih lanjut UU itu juga menjamin bahwa hak penduduk itu meliputi berbagai aspek tentang pengembangan kualitas diri sampai kepada hal-hal yang menyangkut pengembangan kekayaan budaya yang sangat luas. Disamping itu disebutkan juga bahwa setiap penduduk sebagai anggota keluarga mempunyai hak untuk membangun keluarga sejahtera dengan mempunyai anak dengan jumlah yang ideal, atau mengangkat anak, atau memberikan pendidikan kehidupan berkeluarga kepada anak-anak serta hak lain guna mewujudkan keluarga sejahtera.
Lebih dari itu setiap penduduk berkewajiban mewujudkan dan memelihara keserasian, keselarasan, dan keseimbangan antara kuantitas, kualitas, dan mobilitasnya dengan lingkungan hidup serta memperhatikan kemampuan ekonomi, nilai-nilai sosial budaya, dan agama. Karena itu, setiap penduduk berkewajiban mengembangkan kualitas diri melalui peningkatan kesehatan, pendidikan, dan kualitas lingkungan hidup. Untuk pemantauan perkembangan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan itu maka setiap penduduk berkewajiban atas pencatatan setiap kelahiran, kematian, dan perpindahan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. Selanjutnya GBHN 1993 menggariskan bahwa "Administrasi, pencatatan dan statistik kependudukan terus disempurnakan sehingga menjadi sumber data yang dapat diandalkan untuk menunjang perencanaan pembangunan diberbagai bidang, sektor, wilayah, dan daerah, serta menunjang perkiraan dan sasaran berkala dari perkembangan kependudukan". Lebih lanjut digariskan pula bahwa upaya tersebut perlu didukung sarana dan prasarana yang memadai termasuk di daerah-daerah. Selain itu, dalam Repelita VI diprogramkan pula arah penyempurnaan sistem informasi kependudukan yang meliputi "pengembangan administrasi, pencatatan dan statistik kependudukan melalui penataan registrasi penduduk, pengumpulan data kependudukan secara teratur dan berkala, seperti data sensus penduduk dan data antar sensus, pengembangan komunikasi, informasi dan edukasi secara luas agar dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat termasuk aparat pelaksana, serta pengguna data untuk mengetahui lebih lanjut pentingnya data yang dihasilkan oleh registrasi penduduk." Dengan bekerjasama antara Badan Pusat Statistik (BPS) dan Departemen Dalam Negeri telah pula dikembangkan uji coba modul Registrasi Penduduk tahun 1995 yang melibatkan masyarakat sebagai tanaga pelaksana dan mulai nampak hasilnya yang cukup menggembirakan. Atas dasar hal-hal tersebut, maka sebagai kelanjutan pengaturan UU nomor 10 dan arahan GBHN tersebut, lebih lanjut telah ditetapkan Peraturan Pemerintah nomor 27 tahun 1994 yang menyatakan bahwa untuk mendukung pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk dan pengarahan mobilitas penduduk yang serasi, selaras, dan seimbang dengan lingkungan hidup, dikembangkan sistem informasi perkembangan kependudukan dan keluarga. Sistem informasi itu diselenggarakan oleh Kantor Menteri Negara Kependudukan secara terkoordinasi antar lintas sektor yang terkait baik tingkat pusat ataupun tingkat daerah. Sistem informasi itu diharapkan menggariskan berbagai hal sebagai berikut : 1. 2. 3. 4.
Pengumpulan dan pengolahan data; Penyebaran dan penyajian; Pengembangan jaringan sistem informasi; Pengembangan sistem administrasi, pencatatan, dan statistik kependudukan dan keluarga termasuk registrasi penduduk.
Lebih lanjut daripada itu, untuk mengembangkan sistem administrasi kependudukan secara menyeluruh, selama ini telah disusun rancangan kebijaksanaan Sistem Informasi Kependudukan dan Keluarga (SIDUGA), model komunikasi dalam rangka pengembangan jaringan sistem informasi lintas departemen dengan antara lain mempelajari berbagai sistem di negara maju maupun di beberapa negara berkembang. Dengan mempelajari sistem-sistem yang telah berkembang di negara lain, baik melalui literatur maupun dengan mengirim berbagai Tim ke Thailand, Malaysia, dan Republik Rakyat Cina (RRC), kita telah pula melakukan berbagai persiapan yang matang. Dari hasil-hasil pengembangan itu, telah mulai dikembangkan Sistem Informasi Kependudukan dan Keluarga (SIDUGA) yang antara lain telah berhasil melakukan pendataan keluarga selama tujuh - delapan tahun terakhir ini dengan baik dan hasilnya makin bisa digunakan di seluruh tanah air. Dalam pengembangan SIDUGA tersebut, momentum Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI yang ke-56 sekarang ini dapat dipergunakan untuk lebih memacu lebih cepat lagi pengembangan sistem tersebut. Pendataan Keluarga Sampai hari ini kita merasakan bahwa Pendataan Keluarga yang telah dilakukan selama delapan tahun berturut-turut itu sesungguhnya merupakan kelanjutan dari Pendataan Pasangan Usia Subur (PUS) dan Kesertaan KB yang telah membawa keberhasilan gerakan KB dengan gemilang. Pendataan PUS itu disempurnakan menjadi Pendataan Keluarga dengan arahan untuk mendapatkan data dasar tentang Kesertaan KB dan ciri-cirinya, Keadaan Keluarga Indonesia, dan Ciri-ciri Penduduk Indonesia. Dalam pengalaman panjang penuh suka dan duka itu dapat dicatat bahwa Pendataan Keluarga pertama untuk sekitar 40 juta keluarga di Indonesia tahun 1994 diselesaikan dalam waktu yang relatip singkat selama tiga bulan. Pada tahun-tahun selanjutnya pendataan itu makin sempurna. Masyarakat makin mengetahui kegunaannya dan makin membutuhkan data tersebut untuk membantu masyarakat, keluarga dan penduduk kita membangun dirinya secara mandiri. Data yang makin baik itu menjadi pedoman awal dari upaya di berbagai bidang, antara lain bidang kesehatan untuk membagikan KARTU SEHAT kepada keluarga PraSejahtera yang memungkinkan penduduk miskin atau pra-sejahtera mendapat pelayanan kesehatan di Puskesmas secara cuma-cuma. Jajaran pendidikan dengan seluruh aparat terkaitnya juga telah mempergunakan Peta Keluarga Sejahtera itu untuk memberantas buta aksara dan mengajak keluarga yang mempunyai anak dibawah usia limabelas tahun mengikuti Wajib Belajar Sembilan Tahun. Di berbagai daerah, para Gubernur dan Bupati telah banyak mempergunakan hasil pendataan itu untuk mengenal keluarga miskin di Desa Tertinggal sebagai indikator untuk membantu menyalurkan dana yang berasal dari Proyek IDT (Inpres Desa Tertinggal) atau proyek lain semacam itu. Dalam pembangunan keluarga sejahtera di Desa-desa tidak tertinggal dengan mempergunakan berbagai jenis sumber bantuan, Peta Keluarga Sejahtera itu mempermudah penyelesaian pembangunan keluarga tersebut.
Lebih lanjut dari pada itu, mulai banyak peserta kerjasama international yang ingin mempelajari SIDUGA tersebut, khususnya pendataan keluarga yang dilakukan di seluruh Indonesia untuk memonitor perkembangan KB maupun untuk mengembangkan pembangunan keluarga secara luas. Dari beberapa negara ASEAN, diperoleh kesan bahwa sistem serupa belum dikembangkan secara terkoordinir, namun negara-negara itu umumnya telah mulai mengembangkan Sistem Identifikasi Penduduknya semenjak mereka dilahirkan. Sistem itu serupa dengan Sistem Social Security Number di Negara-Negara maju. Atas dasar studi dan pengamatan tersebut, sebagai bagian awal dari SIDUGA bisa saja segera diperkenalkan suatu nomor induk kependudukan yang dapat diberlakukan semenjak seseorang dilahirkan dan berlaku seumur hidup. Identifikasi itu bisa disebut sebagai NOMOR INDUK KEPENDUDUKAN atau disingkat NIK. Pengembangannya yang akan memakan waktu lama tidak perlu menjadi masalah, tetapi harus dianggap bahwa dengan memulai suatu awalan mudah-mudahan kita bisa mengejar ketertinggalan yang memalukan selama ini. Atas dasar studi dan pengamatan tersebut, sebagai bagian awal dari SIDUGA, bisa saja segera diperkenalkan suatu nomor kependudukan yang dapat diberlakukan semenjak seseorang dilahirkan dan berlaku untuk seumur hidup. Identifikasi itu bisa disebut sebagai NOMOR INDUK KEPENDUDUKAN atau disingkat NIK
Nomor Induk Kependudukan atau NIK itu sekaligus dapat menjadi simbul dan pengakuan negara dan bangsa Indonesia terhadap keberadaan manusia Indonesia sejak dilahirkan. Seiring dengan pengakuan itu, berbagai Departemen, Instansi dan Lembaga Masyarakat kiranya dapat menyiapkan segala sesuatunya agar kiranya Presiden RI, Ibu Megawati Soekarno Putri, berkenan memberikan Nomor Induk Kependudukan (NIK) itu sebagai hadiah ulang tahun kemerdekaan yang ke 56, dan sekaligus menjadikan momentum HARI ULANG TAHUN KEMERDEKAAN RI KE-56 ini sebagai awal dari perbaikan sistem administrasi kependudukan secara menyeluruh dan terpadu. (Prof. Dr. Haryono Suyono, Pengamat Masalah Sosial Kemasyarakatan) – NIK-2001
MENGUBAH IMPIAN JADI KENYATAAN Presiden RI Ibu Megawati Soekarnoputri beberapa waktu lalu menghadiri acara yang selalu digelar setiap tahun, Pemberian Penghargaan kepada Balita Sejahtera Indonesia. Acara itu, biarpun sangat penting, kalah populer dengan kasus Bulogate, atau peristiwa politik lainnya. Namun, kesediaan Ibu Megawati Soekarnoputri sungguh sangat membesarkan hati karena pemilihan anak-anak balita, baik bayi yang baru lahir sampai usia satu tahun, maupun bayi usia satu tahun sampai lima tahun, yang diadakan setiap tahun itu, merupakan percontohan hidup nyata yang dapat dilaksanakan siapa saja, kalau ada komitmen, kemauan dan kemampuan. Pemilihan Balita Sejahtera Indonesia selama beberapa tahun seperti itu selalu digelar oleh Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI), bekerja sama dengan PT Indofood Sukses Makmur, Tbk. serta beberapa lembaga lainnya. Pemilihan itu selalu menggugah inspirasi dan perhatian keluarga Indonesia yang sekarang ini merupakan warga dari negara dengan jumlah penduduk sekitar 211 juta jiwa atau lebih. Kita boleh bersyukur, berkat keberhasilan dibidang KB dan kesehatan yang membesarkan hati, biarpun Indonesia merupakan salah satu negara terbesar ke empat setelah RRC, India, dan Amerika Serikat, yang melalui program terpadu yang dilaksanakan dengan gegap gempita telah berhasil menurunkan tingkat kelahiran dan tingkat kematian bayi dengan drastis, atau lebih dari 50 persen. Tingkat kelahiran kasar yang biasanya berkisar antara 44 - 45 per 1.000 penduduk telah menurun menjadi sekitar 22 - 25 per 1.000 penduduk atau kurang. Namun, dengan penduduk yang sangat besar, setiap tahun jumlah penduduk Indonesia tetap bertambah dengan kelahiran sekitar 5.000.000 bayi baru. Dalam sepuluh tahun terakhir ini, dengan UU Kesehatan nomor 23 tahun 1992, upaya untuk memberikan perhatian kepada anak-anak dan keluarga miskin mendapat perhatian yang luar biasa. Melalui berbagai program, dengan mengerahkan tenaga dan dana yang tidak sedikit, baik dari pemerintah, dukungan masyarakat, maupun bantuan luar negeri, telah dilakukan usaha yang maksimal. Hasilnya sungguh menggembirakan. Tingkat kematian bayi dan anak-anak dibawah usia lima tahun, seperti yang ditargetkan dunia, telah dapat dicapai. Tingkat kematian bayi yang diperkirakan sekitar 68 - 70 per 1000 kelahiran pada awal tahun 1990 telah dapat diturunkan menjadi sekitar 43 - 45 per 1000 pada tahun 2000. Angka kematian anak dibawah usia lima tahun, yang di tahun 1990 masih berada di sekitar 97 - 100, telah dapat diturunkan dibawah angka 60 per 1000 kelahiran. Dimasa lalu, biasanya sekitar 1.000.000 sampai 2.000.000 bayi meninggal dunia pada waktu dilahirkan, segera setelah dilahirkan atau bahkan sebelum dilahirkan. Menjelang akhir abad lalu keadaan berubah. Karena tingkat kelahiran yang terus menurun, pada waktu penduduk Indonesia masih berjumlah 100 juta, atau pada waktu penduduk berjumlah 150 juta, sampai penduduk Indonesia jumlahnya mencapai sekitar 200 juta jiwa, jumlah bayi yang dilahirkan relatip tidak banyak berbeda. Karena tingkat kematian bayi dan tingkat kematian anak juga menurun, pertambahan jumlah bayi dan anak-anak balita yang sehat, atau tidak meninggal dunia, setiap tahun jumlahnya bertambah
banyak. Namun biarpun target jumlah atau prosentase nasional dan target dunia telah tercapai, dilingkungan ASEAN, kualitas kesehatan anak-anak di Indonesia masih tetap yang terburuk. Salah-salah Indonesia dituduh tidak banyak berbuat ! Kualitas kesehatan anak-anak itu masih ditambah keadaan kualitas kesehatan ibu yang memprihatinkan. Untuk menangani masalah ini, selama dasawarsa lalu pemerintah berusaha menjangkau ibu-ibu hamil itu dengan pelayanan yang lebih baik. Pemerintah memperbaiki pelayanan kehamilan dan pasca persalinan dengan mendekatkan pelayanan ke desa-desa melalui penempatan bidan di setiap desa. Namun penempatan bidan saja nampaknya tidak cukup. Program penempatan bidan itu disusul dengan sosialisasi dan upaya menumbuhkan kepercayaan masyarakat pada bidan-bidan muda itu. Karena ketimpangan itu, selama sepuluh tahun terakhir ini penurunan tingkat kematian ibu karena mengandung dan melahirkan relatip kurang memadai. Menurut perkiraan, angka kematian itu berkisar antara 400 - 650 dan hanya dapat diturunkan pada akhir abad lalu menjadi dibawah angka 400 per 100.000 kelahiran. Karena itu, dewasa ini Departemen Kesehatan bersama berbagai lembaga pemerintah lain dan masyarakat pada umumnya dengan gigih meneruskan upaya itu. Lomba Balita Sejahtera dimulai pada waktu kualitas kesehatan dan kesertaan KB sedang dikembangkan. Upaya program Lomba itu ikut memicu dan memacu komitmen masyarakat dan para orang tua untuk meningkatkan kualitas penanganan bayi dan balita sejak dalam kandungan maupun segera setelah dilahirkan. Ibu Prof. Dr. Lily Riantono, dari YKAI, yang sangat gigih telah mendapat dukungan yang sangat tinggi dari Ibu Eva Riyanti dari PT Indofood Sukses Makmur. Upaya yang dilaksanakan kedua tokoh itu berjalan mulus dengan dukungan dari para Ibu Negara, dan terakhir, untuk tahun ini, mendapat dukungan dari Ibu Presiden, para Menteri, utamanya seluruh jajaran Departemen Kesehatan, yang mengambil peranan yang sangat menonjol. Awalnya Lomba Balita Sejahtera itu diikuti oleh sekitar 5.000-10.000 balita dari seluruh Indonesia. Dengan ikut sertanya BKKBN, para sukarelawan PKK dan berbagai organisasi wanita lainnya, peserta lomba melonjak menjadi 20.000 bayi dan balita, dan kemudian 40.000 bayi dan balita, dan seterusnya. Namun, sifat keterbatasan itu tetap ada, yaitu bahwa lomba ini diarahkan pada peningkatan kualitas dan pembinaan bayi dan balita dengan dukungan yang ketat. Untuk menjadi juara, pembinaan balita umumnya harus dilakukan secara ketat oleh orang tua masing-masing dengan dukungan tenaga profesional dokter, bidan atau tenaga paramedis lain yang dekat dengan orang tuanya. Cara pembinaan seperti itu tidak, atau belum bisa dilakukan secara massal karena keterbatasan tenaga, atau karena pengetahuan masyarakat tentang pemeliharaan bayi dan anak balita masih relatip rendah. Dengan upaya yang gegap gempita, termasuk usaha pemeliharaan kandungan, upaya memperkenalkan pola tumbuh kembang anak yang benar yang dilakukan tanpa kenal lelah oleh berbagai kalangan, serta upaya memperkenalkan tanggung jawab orang tua dan keluarga melalui gerakan Bina Keluarga Balita oleh jajaran Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan BKKBN, dan komitmen lain untuk menangani bayi dan
anak balita, upaya Lomba ini makin bertambah maju. Keberhasilan ini patut disyukuri dan barangkali Ibu Prof. Dr. Lily Riantono dan Ibu Eva Riyanti patut dipertimbangkan untuk diberikan perhargaan atas kegigihan tanpa kenal lelah tersebut. Kita sengaja mengangkat kegiatan ini kepermukaan karena beberapa alasan. Pertama, setelah sekian lama upaya ini berlangsung, nampaknya Lomba Balita Sejahtera Indonesia tetap hanya berlangsung karena kegigihan dari YKAI dan PT Indofood Sukses Makmur semata. Instansi dan jajaran lainnya ikut berpartisipasi, tetapi masih sekedar dalam bentuk mensukseskan upaya memberi contoh pembinaan balita yang dilakukan untuk suksesnya lomba itu. Kedua, karena sifatnya adalah lomba dan diikuti secara terbatas, maka dukungan komunikasinya juga terbatas sepanjang lomba berlangsung. Pemerintah dan masyarakat umum yang semestinya mengambil alih dengan menggelar dukungan komunikasi, informasi dan edukasi agar keluarga lain meniru keluarga juara dengan balitanya belum terjadi dengan baik. Ketiga, keikut sertaan lembaga-lembaga masyarakat lain secara luas dalam mendukung peningkatan kualitas bayi dan anak balita nampaknya juga masih terbatas, antara lain terlihat dari naiknya partisipasi dalam lomba yang hanya mencapai sebesar 40.000 - 50.000 setiap tahun dibandingkan dengan sekitar 20 - 25 juta bayi dan balita yang ada. Keempat, perlu segera ditulis dan disebarluaskan cara-cara pembinaan bayi dan balita secara sederhana agar pembinaan balita dapat dilakukan oleh keluarga biasa di desa, sehingga bayi dan anak balita mereka bisa menjadi "balita juara" seperti anak balita yang mereka lihat berjalan beriring bersama Ibu Presiden, atau seperti mereka lihat mejeng di koran dan televisi. Kelima, pengaruh baik dari lomba ini pantas dibawa ke forum internasional, yaitu pada Pertemuan Dunia Khusus untuk Anak dan Balita yang akan diadakan di Markas PBB pada tanggal 8-10 Mei nanti di New York. Ibu Megawati akan sangat terhormat kalau berkenan membawa upaya yang sangat luhur ini kemimbar PBB yang sangat terhormat itu. Kalau upaya ini berhasil menarik perhatian dunia, dan mereka mengulurkan bantuannya, siapa tahu jutaan bayi dan anak-anak yang tersebar di seluruh Indonesia akan mendapat manfaat dari upaya percontohan yang telah diadakan bertahun-tahun tersebut. Sementara itu pemerintah, melalui Menteri-menteri terkait, seperti Menteri Kesehatan, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Kepala BKKBN, bersama lembaga-lembaga swasta seperti YKAI, Yayasan Indra, dan lain sebagainya, serta perusahaan-perusahaan peduli, seperti Indofood, dan lain sebagainya, dapat mengambil prakarsa mempersiapkan bahan yang dapat diberikan kepada keluarga lain yang tidak sempat mengikuti lomba Balita Sejahtera itu. Balita dan Sidang Khusus PBB Sementara itu, ada baiknya semua pihak mengetuk hati Ibu Presiden Megawati Soekarnoputri untuk menghadiri Sidang PBB di New York itu. Pertemuan di New York, yang sedianya diadakan pada tanggal 9-11 September 2001, karena peristiwa teroris 11 September, telah diundurkan sampai tanggal 8-10 Mei 2002. Ada kesempatan yang sangat baik untuk membawa hasil-hasil dan pelajaran yang diperoleh dari Lomba Balita Sejahtera yang telah diadakan bertahun-tahun itu dalam kemasan yang menarik dengan keberhasilan program kesehatan dan KB yang telah berhasil membawa perbaikan
kualitas anak-anak balita di Indonesia. Penyajian upaya itu bisa mengangkat kebanggaan nasional karena sifatnya yang menonjol dan sangat manusiawi. Kita mengetahui bahwa Sidang Khusus itu telah disiapkan secara marathon sejak Sidang Umum PBB pada tanggal 7 Desember 1999 yang menyetujui Resolusi nomor 53/93 yang memutuskan diadakannya Sidang Khusus PBB tentang Anak di tahun 2001. Anak, seperti juga di negara kita, menjadi harapan dunia pada umumnya. Oleh karena itu, kalau kita mampu mencatatkan keberhasilan kita memelihara anak-anak bangsa, biarpun mungkin baru sedikit, dalam Sidang Khusus ini, hasilnya bisa sangat signifikan karena dilihat oleh tidak kurang dari 80 Kepala Negara yang telah menyatakan kesediaannya untuk hadir di Sidang tersebut. Kita juga bisa mengajak berbagai lembaga dunia untuk merancang strategi yang memihak keluarga miskin, suatu strategi yang didasarkan pada pengalaman dan keberhasilan yang ditunjukkan oleh 40.000 sampai 50.000 balita Indonesia yang ikut dalam lomba setiap tahun, penurunan tingkat kelahiran dan tingkat kematian yang sangat signifikan, serta upaya keluarga miskin yang bekerja keras untuk anak cucunya dengan penuh kasih sayang. Kalau kita bisa membagi pengalaman, sebagai negara yang sedang berkembang, dengan jumlah penduduk miskin yang luar biasa banyaknya, dengan tingkat pendidikan yang sangat rendah, kondisi kesehatan yang sangat memprihatinkan, serta lingkungan yang tidak selalu kondusif, wilayah yang sangat luas serta kemampuan ekonomi penduduk yang tidak dapat diandalkan, adalah sulit meningkatkan kualitas anak-anak dan remaja dengan dana yang terbatas. Pengalaman selama ini mengajarkan, kita bisa mempunyai komitmen politik yang sangat tinggi, tetapi setiap langkah kecil saja harus disertai dengan pendanaan dan dukungan sumber daya manusia yang luar biasa besarnya. Sasaran-sasaran strategis yang nampaknya mudah dicapai, memerlukan perubahan sikap dan tingkah laku yang tidak mudah, serta pengembangan jaringan pelayanan yang luas dan bermutu. Dengan pengalaman kita yang kaya, kita juga harus sanggup dan berani mengembangkan strategi dan program perluasan yang memihak keluarga miskin, dimana lembaga-lembaga dunia seperti UNICEF, UNESCO, WHO, UNFPA, Bank Dunia, USAID, dan lembaga lainnya, ikut turun tangan membantu menyelematkan umat manusia di dunia ketiga yang miskin itu. Dengan kerjasama dan bantuan lembaga donor dan negara-negara maju yang peduli, upaya penurunan tingkat kelahiran, upaya penurunan tingkat kematian anak-anak balita di Indonesia, dan di dunia ketiga lainnya, dapat segera disusul dengan program-program pemberdayaan yang lebih bersifat menyeluruh, berciri global, serta dilakukan secara komprehensip dan berlanjut. Pemerintah dan rakyat Indonesia, dengan pengalamannya yang luas, lebih dari pantas dan mampu mengajak PBB dan negara-negara donor mengadopsi strategi yang memihak keluarga miskin agar setiap keluarga bisa mengubah impiannya menjadi kenyataan yang lebih sejahtera, juara balita sejahtera yang sejati. (Prof. Dr. Haryono Suyono, Pengamat Masalah Sosial Kemasyarakatan). - Anak-IndBalitas-932002.
MEMELIHARA KESEJAHTERAAN LANSIA Setiap tanggal 29 Mei kita memperingati Hari Lansia Nasional. Lansia makin menjadi fenomena menarik karena keberhasilan pembangunan di Indonesia. Kemajuan dan keberhasilan pembangunan di Indonesia memperpanjang usia, kualitas, dinamika serta kesiapan penduduk. Kemajuan meningkatkan kecepatan pertumbuhan dan jumlah penduduk lanjut usia. Kondisi ini memberi petunjuk bahwa apabila pembangunan berhasil, sumber daya manusia bisa menikmati kehidupan dalam waktu yang relatip lebih lama. Harapannya adalah bahwa kondisi kesehatan penduduk yang bersangkutan tetap prima, atau bahkan lebih baik. Kondisi itu tidak saja harus terlihat dari makin panjangnya usia harapan hidup, tetapi lebih-lebih harus tercermin dari makin baiknya tingkat kesejahteraan penduduk dan masyarakat lansia dan masyarakat luas pada umumnya. Oleh karena itu kita harus mengembangkan kebijaksaaan untuk memperhatikan dan mengembangkan pemberdayaan penduduk lanjut usia dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut : “Dengan meningkatnya jumlah penduduk usia lanjut dan makin panjangnya usia harapan hidup sebagai akibat kemajuan yang telah dicapai dalam pembangunan selama ini, maka mereka yang memiliki pengalaman, keahlian dan kearifan perlu diberi kesempatan untuk berperan dalam pembangunan. Kesejahteraan penduduk usia lanjut yang karena kondisi fisik dan/atau mentalnya tidak memungkinkan lagi untuk berperan dalam pembangunan perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah dan masyarakat”.(GBHN-1993) Ini berarti bahwa kita harus memberi perhatian, kesempatan dan mendukung pemberdayaan dari penduduk lanjut usia yang potensial yang masih bisa memberikan sumbangan dalam pembangunan. Mereka yang potensial harus didukung dengan suasana yang kondusif agar supaya kemampunannya dapat disumbangkan secara maksimal. Untuk bisa mengikuti kemajuan jaman dengan baik, merekapun diberi kesempatan untuk selalu diikut sertakan dalam upaya peningkatan kualitasnya seperti penduduk lainnya sesuai hakekat pembangunan sebagai berikut : “Kebijaksanaan kependudukan diarahkan pada peningkatan kualitas penduduk sebagai pelaku utama dan sasaran pembangunan nasional agar memiliki semangat kerja, budi pekerti luhur, penuh keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan”(GBHN-1998). Untuk tetap memberi kesempatan kepada para lansia itu, sebagai bangsa yang beradab bangsa kita harus berada dalam posisi yang mampu mengembangkan komitmen
dan pokok-pokok kebijaksanaan yang mengantar pengembangan berbagai kegiatan yang dapat diarahkan pada 3 (tiga) hal pokok sebagai berikut : Pertama,
bagaimana membina para lansia yang berada dalam lingkungan keluarga, masih tetap mampu bekerja, sehingga keluarganya dan kita semua bisa memberikan kepada mereka peluang dan kesempatan untuk ikut terus membangun keluarga dan masyarakat yang sejahtera;
Kedua,
bagaimana membina para lansia yang berada di luar lingkungan keluarga, khususnya yang masih mampu bekerja dan masih bisa memberikan sumbangan dalam pembangunan yang bersifat lokal maupun nasional;
Ketiga,
bagaimana mengembangkan upaya membantu penanganan para lansia yang sudah tidak mampu lagi bekerja dan harus menjadi tanggung jawab keluarganya, masyarakat dan atau pemerintah.
Kita mengetahui bahwa rata-rata tingkat pendidikan Kepala Keluarga Indonesia pada umumnya masih rendah. Sebagian besar kepala keluarga di Indonesia pada Pelita I hanya buta huruf. Pada awal PJP II baru meningkat menjadi rata-rata berpendidikan sekolah dasar, dan sekarang ini telah lebih tinggi lagi. Sementara itu jumlah keluarga Indonesia bertambah dengan kecepatan dan tambahan yang makin tinggi. Jumlah keluarga Indonesia yang pada awal PJP II telah mencapai hampir 40 juta keluarga. Karena perkembangan globalisasi dan pendidikan yang cepat, yang diiringi dengan kemajuan modernisasi, tingkat pertumbuhan keluarga di Indonesia masih akan terus naik dan ternyata sudah jauh lebih cepat dibanding dengan pertumbuhan penduduk Indonesia. Diramalkan bahwa diawal abad 21 ini jumlahnya akan mencapai sekitar 5055 juta keluarga dan masih akan berkembang dengan kecepatan yang relatip tetap tinggi. Kalau dilihat dalam perspektif jangka panjang, maka terlihat bahwa pada tahun 1980 jumlah penduduk lanjut usia itu baru mencapai sekitar 7,7 juta jiwa atau 5,2 persen dari seluruh jumlah penduduk, dan menurut proyeksi penduduk BPS jumlah itu diperkirakan telah meningkat menjadi 15,1 juta jiwa pada tahun 2000 atau 7,2 persen dari jumlah penduduk, atau suatu kenaikan sebesar 96 persen selama 20 tahun. Pada waktu yang sama jumlah penduduk seluruh Indonesia meningkat dari 148,0 juta jiwa menjadi 210,4 juta jiwa atau kenaikan sebesar 42 persen. Dengan demikian jumlah penduduk lanjut usia di Indonesia meningkat lebih dari dua seperempat kali lipat dibandingkan kenaikan jumlah penduduk dalam waktu yang sama. Propinsi-propinsi yang gerakan KB-nya berhasil dengan baik seperti DI Yogyakarta dan Jawa Timur, ternyata jumlah dan proporsi penduduk lanjut usia itu naik dengan kecepatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kecepatan penurunan pertumbuhan penduduk.
Idealnya penduduk lansia tinggal bersama keluarga di rumah, mendapat perawatan yang profesional atau bagi yang masih kuat fisik dan mempunyai kegiatan penuh bisa menempati perumahan tersendiri. Sebagai selingan, bisa pula dikembangkan beberapa jenis Lembaga yang dapat memberikan fasilitas khusus, misalnya : a.
“Kampus Lansia”, dimana pelayanan dapat dilakukan oleh Lansia sendiri secara pribadi dengan apabila perlu dapat dibantu oleh anggota dari Lembaga Sosial dan Organisasi Masyarakat (LSOM) atau swasta;
b.
Akomodasi type “Hostel” dengan pelayanan 24 jam oleh swasta atau LSOM. Para lansia dapat melakukan pesanan-pesanan sesuai seleranya sendiri tanpa merasa “memerintah” atau “menyakiti” anak -anak atau cucu-cucunya;
c.
Pelayanan Tresna Werdha oleh LSOM atau swasta, sehingga lansia dapat menyerahkan diri untuk beberapa waktu sambil memberi kesempatan kepada keluarga dimana mereka tinggal untuk “beristirahat” tanpa lansia dirumahnya dan bisa melakukan kegiatan tanpa rasa rikuh karena ada lansia dalam rumah tangganya. Sebaliknya lansia dapat mendapatkan perawatan ekstra karena Panti ini diasuh secara profesional.
Contoh dalam praktek Salah satu contoh dalam praktek yaitu pengembangan tempat mirip dengan ketiga prototip fungsi-fungsi diatas sedang dikembangkan di Desa Tani Mulya, Cipageran Cimahi, dan diasuh oleh Yayasan Lansia Kristen “Dorkas”, dipimpin oleh Bapak Husein. Tempat itu dilengkapi fasilitas untuk menerima kunjungan keluarga dan beberapa sarana untuk menggelar hiburan antar penghuninya. Fasilitas lain yang tersedia atau akan disediakan yaitu klinik dan segala keperluan pengobatan lansia lainnya. Tempat seperti ini bukan saja seperti layaknya Hotel atau Penginapan, tetapi juga sekaligus bisa menjadi sarana perawatan yang kelihatan seperti di rumah sendiri saja. Apabila ada tamu, para “tamu” diberi kesempatan untuk melakukan banyak kegiatan dan mendapat pelayanan yang memadai. Acara harian untuk para penghuni dibuat begitu padat dan sibuk agar memberi kesan kepada para penghuni untuk kerasan dan bersemangat hidup panjang yang berguna, penuh kebahagiaan dan kesejahteraan. Bagi penghuni yang secara fisik dan mental masih sangat kuat diberikan kebebasan untuk melaksanakan apa saja yang menjadi kegemarannya, sekaligus sebagai cara tetap asah otak dan asah tenaga sehingga gairah untuk hidup panjang dan sejahtera tetap terpelihara. Bagi yang mulai mengendor, dengan sendirinya diberi kesempatan sesuai dengan kemampuan fisiknya. Pada waktu ini sedang disiapkan semacam Panti Werda untuk mereka yang secara fisik tidak mampu lagi untuk mengerjakan berbagai aktifitas fisik yang banyak memakan tenaga. Dengan pertumbuhan lansia yang makin besar dan cepat pasti diperlukan tempattempat semcam ini yang lebih banyak. Namun tempat ini tidak bisa menggantikan
rumah-rumah dengan keluarga yang akrab dengan seluruh anggotanya. Namun, tempattempat semacam ini bisa menjadi ajang liburan atau selingan dari lingkungan keluarga yang dapat dinikmati oleh seluruh keluarga, sekaligus sebagai ajang proses saling belajar bagaimana merawat lansia secara profesional. Pengalaman itu bisa memperbaiki pelayanan lansia di rumah dan keluarga sendiri. Semoga ada manfaatnya. (Prof. Dr. Haryono Suyono, Pengamat Masalah Sosial Kemasyarakatan)-Lansia-HLN-2552002
MENGEMBANGKAN VISI KEPENDUDUKAN BERWAWASAN KEMANUSIAAN Setelah sekian lama Kantor Menteri Kependudukan hilang dari peredaran, beberapa waktu lalu Presiden menetapkan pembentukan suatu lembaga yang diberi nama Badan Kependudukan Nasional, atau disingkat Baknas. Dengan dibentuknya Badan ini muncul kembali harapan bahwa pembangunan di Indonesia akan makin diarahkan kepada visi yang menempatkan penduduk sebagai pusat pembangunan. Dengan visi ini diharapkan bahwa penduduk tidak akan sekedar menjadi “obyek pembangunan” , tetapi makin bisa menjadi pemain yang bermutu dan mendapat kesempatan untuk berpartisipasi secara demokratis. Biarpun agak kecewa karena kepemimpinan lembaga ini hanya dipercayakan kepada seorang Kepala, dan bertanggung jawab kepada seorang Menteri, dibandingkan di masa lalu selalu dipimpin oleh seorang Menteri Negara, dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden, namun, setelah hilang dari peredaran, munculnya kembali mendapat sambutan masyarakat, baik nasional maupun internasional, yang sangat besar. Lembaga baru ini diharapkan bisa meneruskan tradisi yang dimulai oleh Bapak Prof. Dr. Emil Salim yang dengan kemampuan advokasinya yang lantang telah menggoyang rekan-rekan Menteri lainnya untuk menggolkan langkah-langkah awal pembangunan berwawasan kependudukan dan lingkungan hidup. Atau langkah-langkah konkret yang diteruskan oleh penulis, penggantinya, yang mulai mengantar pembangunan yang lebih mengarah kepada pendekatan keluarga dan kemasyarakatan yang kental. Menurut pengakuan dunia internasional, keputusan pemerintah Indonesia membentuk Lembaga, Badan, atau Kementerian Kependudukan secara resmi itu sungguh merupakan bukti komitmen yang sangat konsisten dari pemerintah dan rakyat yang menginginkan pembangunan yang menempatkan manusia sebagai pusat atau titik sentralnya. Komitmen ini, biarpun belum sempat diterjemahkan secara menyeluruh, telah mampu mengantar program-program yang menguntungkan penduduk mulai dari tingkat anak-anak dibawah usia lima tahun, kaum remaja, dan pada tahun-tahun terakhir menjelang berakhirnya abad ke-20, mampu mendeteksi mengalirnya arus penduduk lansia yang makin deras sebagai hasil ikutan keberhasilan gerakan KB yang merakyat. Untuk memberikan dukungan pengembangan dan pembinaan terhadap anakanak telah pula dapat dirumuskan Strategi Pengembangan Anak untuk Dasawarsa yang akan datang, yang kini tiba waktunya untuk diwujudkan menjadi program dan kegiatan nyata yang makin peduli terhadap anak-anak keluarga miskin. Telah mulai pula dikembangkan gagasan untuk memberikan pengakuan terhadap hak-hak anak dengan menciptakan suatu pertanda bagi anak sejak dilahirkannya dan memberikan kepada mereka Nomor Induk Kependudukan atau NIK yang berlaku seumur hidup seperti
”Social Security Number” di negara-negara maju. Sayang gagasan bagus itu belum dapat diwujudkan secara luas karena perangkat lunaknya baru saja diselesaikan. Untuk penduduk lanjut usia, yang semula dianggap cukup dibantu dengan santunan dan perawatan karena usia tuanya saja, dengan pendekatan kependudukan yang bermakna, akhirnya mendapat dukungan yang lebih luas. Dalam undang-undang yang kemudian disepakati oleh pemerintah dan DPR, para penduduk lanjut usia itu memperoleh dukungan dengan demensi baru secara legal, yaitu mendapat hak-hak dan kesempatan pembinaan dan pemberdayaan agar bisa mendapatkan kebahagiaan dan kesejahteraan yang menyejukkan. Dengan adanya lembaga dengan pimpinan setingkat Menteri pada masa itu, segala aspek pembangunan, yang dikelola dan diselenggarakan oleh Kantor Kementerian sendiri, BKKBN, atau oleh Departemen dan Instansi lain, baik yang terkait maupun yang relatip masih diragukan keterkaitannya, juga pembangunan oleh masyarakat, dapat secara politis dikembangkan dengan menempatkan manusia sebagai titik sentral pembangunan. Sebagai Menteri, pimpinan lembaga kependudukan pada waktu itu dapat ikut serta dalam sidang-sidang kabinet, menyampaikan himbauan dengan bobot yang memadai kepada para Gubernur Kepala Daerah, Bupati dan Pejabatpejabat lain yang bertanggung jawab untuk bersama-sama mengusahakan dan mengkoordinasikan upaya pembangunan yang menempatkan manusia sebagai titik sentral pembangunan. Dalam setiap kesempatan, pimpinan lembaga itu dapat ikut menyampaikan pandangan yang menguntungkan manusia atau penduduk sebagai sasaran maupun sebagai pelaksana pembangunan. Dalam hubungan internasional, Pimpinan lembaga mendapat kesempatan yang sangat luas untuk mengembangkan pendekatan global dan ikut serta memelihara persahabatan dunia melalui berbagai kegiatan pembangunan dan tukar menukar program dan kegiatan dengan berbagai negara sahabat. Program dan kegiatan itu menjadi marak pada sekitar tahun 1990-an, sehingga muncul berbagai kunjungan dan kerjasama antar negara yang mengantar Indonesia memperoleh kesempatan dan apresiasi yang nyata dari hasil-hasil kerjasama tersebut. Kita berharap semoga lembaga ini, Badan Kependudukan Nasional, atau Baknas, biarpun tidak dipimpin oleh seorang Menteri, dan bertanggung jawab kepada seorang Menteri, akan diberikan kesempatan mengembangkan visi pembangunan yang menempatkan penduduk sebagai titik pusat pembangunan. Disamping itu Badan ini bisa membantu setiap penduduk untuk mendapat kepastian hukum dan hak-hak azasinya dengan memperoleh Nomor Induk Kependudukan (NIK) sejak seseorang dilahirkan, serta berlaku seumur hidup. Sekaligus diharapkan agar Badan ini diberikan kesempatan bersama-sama Departemen, Instansi dan Masyarakat luas untuk membantu pemberdayaan setiap penduduk Indonesia agar bisa berpartisipasi secara bermutu dalam pembangunan yang berkelanjutan. (Prof. Dr. Haryono Suyono, Pengamat Sosial Kemasyarakatan)-Pengantar-2782001.