“ ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil” (Yoh. 3 : 30)
EDISI JAN 2016
Saudara saudari seiman yang terkasih, Sekali lagi redaksi ingin mengucapkan, SELAMAT HARI NATAL DAN TAHUN BARU 2016. Pesta Natal dan Tahun baru telah berlalu, kegiatan rutin masih malas menggeliat setelah menikmati libur panjang diakhir tahun. Kenangan pesta Natal dan akhir tahun masih terbayang jelas. Sekolah dan universitas masih lengang dan banyak pelajar dan mahasiswa dari luar Australia yang masih ‘pulang kampung’.Kehidupan normal biasanya memang baru dimulai di akhir bulan Januari. Semuanya ini akan dapat dirasakan pada kesibukan di kantor-kantor, sekolah-sekolah maupun angkutan umum. Banyak orang menyongsong Natal dan Tahun baru, seiring dengan makan dan minum di tempat-tempat yang eksklusif, ataupun di lantai dansa mengikuti hentakan lagu lagu yang gemuruh ataupun meniup terompet. Belum kalau kita melihat di layar teve yang merekam pesta kembang api diseluruh dunia, di kota-kota besar. Pertunjukan spektakuler ini tentu saja menghibur dan dinikmati oleh banyak orang. Menarik, walaupun hanya berdurasi beberapa menit saja. Dilain pihak, ada juga orang-orang yang memperlakukan penggantian tahun sebagai ‘time out’ untuk keluar dari kehidupan dan aktivitas-nya yang rutin, keras, padat, yang telah menyita hidupnya selama satu tahun. Orang orang ini ingin meneropong hidupnya secara lebih teliti dan jernih, tidak dipoles dalam situasi yang artifisial dengan gemuruh dan hiruk pikuk pesta ujung tahun; ber-refleksi dalam suasana tenang. Jangan sampai kita kehilangan makna Natal, sering kita lihat orang yang mengucapkan selamat Natal yang diganti menjadi Happy Holiday saja. Tanpa ada artinya lagi. Sehubungan dengan ini, Ben Sugija menyumbang sebuah artikel, G P S, yang mungkin relevan tentang makna Natal. Sdr Tony Suryadi, mengirimkan sebuah artikel mengenai In-kulturasi misa imlek yang ditulis oleh Pater Agustinus Lie CDD. Beliau adalah seorang dosen Sekolah Tinggi Filsafat & Theology di Malang. Artikel utama ini sangat menarik, karena sangat informatif dan dapat menepis keraguan atau kesalah-pahaman diantara orang-orang Katolik yang juga merayakan Imlek. Bolehkah kelompok etnis Tionghoa merayakan Imlek? Apakah perayaan ini tidak berbenturan dengan iman katolik kita? Disamping menyinggung sejarah dari tradisi Tionghoa, romo Lie ini juga menceritakan pengalaman gereja katolik di Taiwan yang telah melakukan in-kulturasi. Karenanya beliau juga mengusulkan, kalau gereja katolik di Indonesia ingin melakukan nya, maka mungkin gereja katolik Indonesia dapat melakukan hal yang sama seperti di Taiwan. In-kulturasi didalam misa dapat di-manfaatkan untuk lebih mendekatkan umat kepada Kristus dan bukan sekedar perayaan lahiriah belaka. Kontributor Warta KKI yang setia, sdr Frans Suryana, juga menyumbang sebuah artikel, Persimpangan. Singkat tapi menarik. Sebagai penutup, marilah kita songsong kedatangan tahun 2016 ini dengan penuh optimisme, semangat baru. Semoga Tuhan selalu tetap membimbing dan menyertai KKI. Redaksi juga melampirkan beberapa foto kenangan misa Natal yang lalu. Selamat membaca.
1
MISA KKI Minggu, 7 Feb 2016 St Martin de Porres 25 Bellin Street Laverton VIC Pukul: 11.15 Minggu, 14 Feb 2016 St. Joseph Church 95 Stokes Street Port Melbourne VIC Pukul: 13.00 Minggu, 21 Feb 2016 St Francis’ Church 326 Lonsdale St Melbourne VIC Pukul: 14:30 Minggu, 28 Feb 2016 St. Paschal 98-100 Albion Rd Box Hill VIC Pukul: 11.00 MISA MUDIKA Sabtu pertama Monastry Hall St. Francis Church 326 Lonsdale Street Melbourne VIC Pukul: 12.00 PDKKI Setiap Sabtu St. Augustine’s City Church 631 Bourke Street Melbourne VIC Pukul: 18.00
MENUJU INKULTURASI MISA IMLEK Oleh : Pater Agustinus Lie, CDD
1. PENGANTAR Sebelum Konsili Vatikan II, istilah inkulturasi belum dikenal dalam lingkup Gereja. Meskipun demikian, sejak awal kekristenan inkulturasi sudah dijalankan oleh Gereja. Kotbah Santo Paulus kepada orang Yunani di Aeropagus di Atena (Kis 17:22-33) merupakan salah satu usaha inkulturasi. Meskipun akhirnya dia ditertawakan dan ditolak karena mulai masuk ke dalam inti iman: kebangkitan orang mati. Namun usaha inkulturasi tidak berhenti di sini. Dari lingkungan Yahudi, Gereja lambat laun bergeser masuk ke dalam lingkungan Greco-Romawi dan memakai kebudayaan ini seiring dengan ekspansi Kerajaan Romawi. Melalui usaha St. Sirilus dan Metodius, Gereja abad IX berkenalan dan masuk ke dalam budaya Slavia dengan meninggalkan gaya Greco-Romano. Sayangnya, sesudah itu gerakan Gereja yang dinamis seakan-akan menjadi agak kaku, teristimewa setelah Konsili Trente (1545-1563), karena pelbagai latar belakang, terutama yang mengancam kesatuan Gereja. Penemuan daerah baru melalui penjelajahan di Amerika dan Asia membuka kesempatan baru bagi Gereja untuk mewartakan Injil kepada bangsa-bangsa di Amerika dan Asia. Secara khusus, pewartaan Injil di Asia mengalami pergulatan besar, karena para misionaris (yang berasal dari Eropa dengan kebudayaannya) harus berhadapan dengan bangsa yang sudah memiliki budaya, tradisi dan agamanya sendiri. Benturan kebudayaan pun terjadi, baik di India (kontroversi ritus Siro-Malabar) pada abad XVIII, maupun di China (kontroversi ritus China) dari abad XVII-XVIII. Dalam ketegangan seperti ini, misi Gereja seakan-akan terhenti. Secara khusus di China, kontroversi ini malahan membuat Gereja ditolak kehadirannya oleh Kaisar Kangxi. Perbedaan persepsi tentang kebudayaan membuat Paus Klemens XI mengambil keputusan yang membuat Kaisar Kangxi sangat tersinggung yang akhirnya menolak kehadiran Gereja. Kesalahpahaman terhadap tradisi maupun nilai-nilai kebudayaan China itu bukan saja terjadi pada jaman dahulu. Sampai sekarang pun kesalahpahaman itu tetap ada, bahkan dalam lingkup Gereja. Kerap kali kita mendengar kata-kata: Saya sudah menerima Kristus, semua tradisi Tionghua tidak perlu lagi, atau sudah dibuang.? Barangkali orang yang mengatakannya mau menunjukkan bahwa bagi dia tidak lagi mengikuti tradisi, atau barangkali juga mau mengatakan bahwa orang tersebut sudah tidak tahu lagi adat istiadat nenek moyangnya. 2. PERAYAAN MUSIM Dalam masyarakat Tionghua, ada perayaan yang dapat digolongkan sebagai pesta rakyat dan perayaan keagamaan. Pesta rakyat biasanya dihubungkan dengan perayaan musim. Kedua perayaan ini kerap kali bersinggungan, atau sering diadakan dalam satu rangkaian kesatuan, sehingga kerap kali sulit dibedakan antara perayaan agama atau pesta musim / rakyat 1. Beberapa perayaan yang dapat digolongkan sebagai pesta rakyat adalah: Chunjie (Tahun Baru Imlek), Yuanxiao Jie (Cap Go Me), Qingming Jie (Mendoakan Arwah), Duanwu Jie (Bacang), Zhongqiu Jie (Pesta Musim Panas), Tongzhi Jie (Pesta Ronde). Di dalam pesta-pesta ini, selain pesta musim, juga disertai dengan pesta atau peringatan peristiwa penting dalam sejarah. Sementara itu, peringatan-peringatan yang lebih bersifat keagamaan, dan sangat sedikit, seperti Zhongyuan yang biasanya dirayakan pada pertengahan bulan tujuh Imlek untuk memberi makan arwah-arwah kelaparan. Melihat sifatnya, perayaan Tahun Baru Imlek lebih merupakan pesta rakyat untuk menyambut musim semi baru. Tahun baru Imlek adalah hari raya tradisional orang Tionghua yang paling utama. Perayaan ini berlangsung selama lima belas hari, mulai dari hari pertama bulan Imlek sampai dengan Festival Lampion yuánxiâojié. Sepanjang dua pekan ini rumahrumah dihiasi dengan pelbagai pernak pernik, dan orang-orang saling mengucapkan ?selamat? satu sama lain, karena mereka dengan selamat telah melewati satu tahun yang baru lampau, saat untuk meninggalkan yang lama dan menyambut yang baru. Dua ungkapan yang senantiasa muncul untuk menyebutkan masa ini adalah guònián yang menyatakan bahwa tahun yang lama telah berlalu dan bàinián untuk menyambut tahun yang baru.
2
3. SIMBOL DAN RAHMAT ALLAH DALAM MISA IMLEK Tentunya perayaan suatu masyarakat muncul dari penghayatan akan nilai-nilai tertentu. Nilai-nilai perayaan itu kemudian disakralkan dengan upacara keagamaan, agar masyarakat yang merayakannya tidak hanya jatuh pada pesta pora kegembiraan, tetapi mempersiapkan manusia yang merayakannya dalam lingkup yang lebih rohani. Di sinilah rakyat atau masyarakat diikat dalam kesatuan suci yang membentuk mereka menjadi umat kudus2. Hal yang sama terjadi dengan perayaan tahun baru Imlek. Apalagi perayaan ini adalah perayaan tahun baru menurut penanggalan Imlek, maka mereka yang merayakannya merasa perlu memasuki tahun yang baru dalam keadaan penuh berkat. a. Suatu Ketegangan Baru Boleh tidaknya merayakan Imlek kerap kali menjadi dilema bagi umat Kristiani Tionghua. Mereka dihadapkan pada pilihan antara tetap merayakan Tahun Baru Imlek ataukah meninggalkannya karena sudah menerima Kristus. Kedua hal ini sebenarnya tidak perlu dipertentangkan. Orang tidak perlu dipaksa untuk memihak yang satu dan menolak yang lain. Yang lebih utama adalah apakah tradisi itu bisa semakin memantapkan imannya pada Kristus. Di sini Gereja dapat menjadi jembatan penghubung yang ampuh melalui pemahaman yang tepat akan tradisi ini. Pertanyaan dari sebagian umat ?mana lebih utama, iman atau adat?? akan membawa kita kepada persepsi yang salah, dan ?memaksa? kita harus berpihak: iman atau adat3. Padahal tidak semua perayaan dalam tradisi itu jelek dan bertentangan dengan iman. Bagaimana mungkin pewartaan Injil akan berjalan dengan baik bila belum apa-apa justru sudah menghakimi suatu tradisi tanpa mempelajari dan mengerti tradisi tersebut. Yang perlu diperhatikan adalah apakah dengan mengadakan Misa Imlek itu umat semakin dekat pada Kristus sendiri, ataukah sebaliknya. Perayaan Tahun Baru Imlek dalam kehidupan menggereja tidak perlu sampai menimbulkan ketegangan baru. Secara sekilas Tahun Baru Imlek memiliki kemiripan dengan praktek paskah Yahudi, meskipun konteks dan teologinya sangat berbeda. Namun hal itulah yang menggelitik untuk dilihat secara bersamaan, ditambah lagi Buku Misa yang mendapat imprimatur dari Komisi Liturgi Konferensi Uskup Taiwan4 memakai kutipan perjamuan Paskah bangsa Yahudi sebagai bacaan pertamanya. Di sana ditemukan unsur-unsur yang sama, misalnya ada yang lewat / berlalu, ada makan bersama dalam keluarga, warna merah (darah) di depan rumah, dan lain-lain. Barangkali di sinilah letak inkulturasi Gereja di Taiwan untuk membawa orang lebih mengimani Kristus. Kebanyakan proses atau upaya inkuluturasi di Indonesia berhenti hanya pada hal-hal lahiriah, dengan penggunaan simbol-simbol tradisional, namun tidak menyentuh esensi dan masuk ke dalam nilai-nilainya sendiri. Lebih menyedihkan lagi kalau inkulturasi dijalankan hanya bertujuan demi inkulturasi itu sendiri. Maka bila Gereja Indonesia hendak merayakan Imlek, beberapa aspek ini hendaklah menjadi pertimbangan, agar jangan sampai para petugas pastoral jatuh pada semacam eforia perayaan Imlek yang datar dan sekadar di permukaan saja. i. Lewat / Berlalu Ungkapan yang biasa diucapkan dalam merayakan Imlek adalah guònián yang artinya adalah nián lewat. Nián dalam bahasa Mandarin adalah tahun. Karena itu pada hari pertama Imlek, orang-orang mengatakan bahwa nián telah lewat, tahun yang lama sudah berlalu. Inilah ungkapan kegembiraan bahwa manusia sudah melewati satu tahun perjalanan hidupnya, baik dalam ?kegembiraan, kesusahan, keberhasilan maupun kegagalan?5, dan saatnyalah memulai hidup yang baru dengan semangat yang baru. Yang sudah berlalu dapat menjadi pelajaran yang berharga untuk menapak ke masa depan yang lebih baik. Kita bisa melihat sedikit gambaran pada perayaan Paskah dalam tradisi Yahudi. Pada malam sebelum Paskah mereka semua bersiap-siap menantikan Allah melewati tanah mesir (bdk. Kel 12:12) untuk membebaskan mereka dari perbudakan, dan membebaskan mereka menuju ke Tanah Terjanji, ke masa depan yang lebih baik. Meskipun keduanya berbeda, tidak disangkal bahwa ada konteks melewati yang memberi harapan kepada manusia. Sambil menunggu dan berjaga-jaga orang diajak untuk mengarahkan diri kepada sesuatu di masa depan.
3
ii. Makan Pada malam hari sebelum Imlek, seluruh keluarga akan berkumpul di rumah orangtua untuk makan bersama. Kiranya pada waktu makan di sana terciptalah suasana yang hangat dan saling berbagi. Dengan menikmati makanan yang sama dari meja yang sama pula, dengan berbagi, seperti perjamuan paskah Yahudi, di mana bila satu keluarga tidak dapat menghabiskan seekor domba, dia dapat mengajak tetangganya (bdk. Kel 12:4), semua perbedaan antar anggota keluarga menjadi lebur. Mereka yang mungkin pernah tidak saling menyapa dan bermusuhan kini membina kembali hubungan keluarga yang indah ini di depan orangtua. Alangkah indahnya kalau makanan jasmani yang dinikmati di malam sebelum Tahun Baru Imlek diarahkan pada makanan yang tidak dapat binasa dalam Ekaristi pada keesokan harinya. Pada saat di mana saudara-saudara yang belum percaya kepada Kristus, namun pagi-pagi sudah bersembahyang di klenteng-klenteng memohonkan berkat, Gereja juga mengajak putera-puterinya untuk bertemu dengan Kristus dan bersatu dengan-Nya melalui santapan roti para malaikat, yang menguatkan jiwa dan jaminan hidup abadi (bdk. Yoh 6:1-59). iii. Warna Merah Bangsa Yahudi memakai darah anak domba untuk memberi tanda di depan rumah mereka sebagai tanda agar Tuhan melewati rumah mereka dan tidak mendatangkan bencana. Demikian juga warna merah menjadi tanda untuk orang Tionghua. Bahkan dapat dikatakan bahwa warna merah menjadi warna kesukaan orang Tionghua, karena menampakkan kegembiraan. Orang menikah, pesta ulang tahun, dan semua yang bersifat pesta kegembiraan selalu didominasi dengan warna merah. Yang paling mencolok adalah pemberian amplop kecil berisi uang yang disebut hóngbâo atau angpao. Biasanya mereka yang sudah berkeluarga (orangtua) yang memberikan hóngbâo kepada mereka yang belum menikah (anak-anak) sebagai tanda berkat dan bekal kepada orang muda untuk memasuki tahun yang baru. Alangkah indahnya bagi orang Kristen agar tidak hanya memberikan uang dalam hóngbâo kepada anak-anak, melainkan mengisinya dengan ayat-ayat Kitab Suci sebagai bekal bagi mereka memasuki Tahun Baru Imlek. b. Hiasan-hiasan dalam Gereja Dalam konteks Misa Imlek, ide utama dalam Misa adalah bahwa pada hari itu umat Katolik diundang untuk bersatu lebih erat lagi dengan Kristus. Bila saudara-saudaranya yang tidak seiman pergi berdoa di klenteng untuk memohonkan berkat pada tahun yang baru dan mengenyahkan bencana, maka bagi umat Kristiani mereka datang ke gereja untuk bersatu dengan Kristus. Perhatian utama dalam Misa Imlek bukan lagi takut akan ?nasib buruk? di tahun yang baru, melainkan adalah bahwa umat dengan mantap ?melangkah bersama Kristus? memasuki tahun baru. Hiasan-hiasan dalam gereja pada hari-hari raya bermaksud memberi warna istimewa, bahwa hari itu adalah hari khusus, di mana orang semakin diajak untuk merenungkan lebih mendalam lagi misteri sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus, dan semakin meneguhkan iman kita. Secara khusus pada Misa Imlek, biasanya gereja-gereja didekorasi begitu indah untuk menciptakan suasana oriental. Namun kerap kali yang terjadi malahan dekorasi itu mengacaukan konsentrasi umat, dan mengalihkannya dari Kristus yang menjadi pusat perayaan. Maka hendaknya hiasan-hiasan khas oriental itu tidak dibuat berlebihan. Atau dengan bahasa gamblangnya ?tidak memindahkan klenteng ke dalam gereja,? supaya umat dapat dengan mudah mengarahkan perhatiannya Yesus Kristus yang hadir dalam seluruh perayaan Ekaristi. c. Pantang dan Puasa Kalau melihat kalender liturgi, Masa Prapaskah biasanya jatuh pada bulan Februari. Sementara itu Imlek bisa saja jatuh sekitar bulan Februari. Beberapa tahun terakhir ini Imlek jatuh pada hari-hari di sekitar Rabu Abu, bertepatan dengan Masa Prapaskah.Menanggapi umat yang merayakan Imlek, demi alasan pastoral dan inkulturasi, beberapa keuskupan merasa perlu memberikan dispensasi dari kewajiban pantang dan puasa di hari Rabu Abu bila Imlek jatuh pada hari Rabu Abu, dan menggesernya ke hari yang lain. Keputusan yang demikian ini amat disayangkan, karena justru lebih mengikuti trend dan salah kaprah, yang menganggap bahwa Tahun Baru Imlek baru mempunyai makna bila disertai dengan pesta dan makan-makan.
4
Bila dilihat dari persiapan menyambut Tahun Baru Imlek, nyatalah bawa perayaan ini didahului dengan acara membersihkan rumah dan diri. Pakaian baru juga disiapkan untuk dipakai pada tahun yang baru. Semuanya ini memiliki makna simbolik, yakni bahwa pada tahun baru semuanya harus baru. Membersihkan seluruh rumah merupakan tanda lahir dari sikap membersihkan diri. Sebagai kelanjutannya mereka yang beragama Budha justru berpantang daging selama tujuh hari Imlek sebagai tanda askese dan pembersihan diri. Maka menjadi sangat aneh bila Gereja justru ?mengalahkan? Rabu Abu yang sungguh bermakna pertobatan hanya demi ?menghormati? tradisi Imlek. Bukankah kebiasaan menyambut Tahun Baru Imlek dengan ?bersih-bersih? ini menjadi semakin mendalam lagi dalam penghayatan Rabu Abu dan Masa Prapaskah? Barangkali ini tradisi yang demikian dapat menjadi guru katekese yang baik bagi penghayatan hidup rohani umat Kristiani yang merayakan Imlek dan mempersiapkan diri merayakan Paskah Kristus. 4. PENUTUP Jalan menuju inkulturasi masih panjang, apalagi menyangkut Misa Tahun Baru Imlek. Lingkungan di sekitar ikut mempengaruhi pemahaman yang tepat akan suatu tradisi. Gereja Indonesia tidak luput dari ketegangan, antara mengakomodasi kebutuhan umat Katolik yang masih merayakan Imlek dengan mereka yang sudah tidak merayakan Imlek di satu sisi, dan akan tradisi lain di bumi Nusantara. Jangan karena upaya ini Gereja dianggap sudah dimonopoli oleh kelompok tertentu. Apa pun yang dirayakan dalam Misa, hendaknya selalu diingat bahwa Misa adalah perayaan syukur, suatu eucharistia, yang berfokus dan berpuncak pada Yesus Kristus. Pada-Nya-lah seluruh liturgi Gereja berpusat. Apakah namanya Misa Imlek, Misa Karismatik, atau pun Misa-misa lain yang memakai budaya tertentu, Misa tetaplah merupakan kenangan akan sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus Yesus. Dan Gereja menjamin bahwa setiap umat mendapatkan hak dan kesempatan yang sama untuk menyambut Tubuh dan Darah Kristus, jaminan keselamatan manusia.
G P S (Global Positioning System) Oleh: Ben Sugija
Dalam kotbahnya didalam misa, pastor paroki saya sering bertanya kepada umat, have you switched on your GPS? Karena seringnya dia bertanya kepada umat dan saya tetap tidak mengerti apa maksudnya, saya datang menghadap dia dan bertanya langsung. Waktu saya tanyakan maksudnya, dia bertanya balik, apa tujuan atau gunanya GPS itu. Rupanya dia pernah menerangkan sebelumnya disebuah kotbah yang kebetulan saya tidak ingat lagi. Saya jawab, bahwa tujuan dari GPS adalah sebagai petunjuk arah yang efisien untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan sebelumnya. Dia membenarkan hal itu karena tanpa GPS, kita mungkin saja kehilangan arah. Baru setelah itu, saya dapat melihat relevansi dari GPS terhadap kotbah spiritualnya. Romo paroki ini mengingatkan pentingnya sasaran atau tujuan yang telah di-tentukan (set up) dan baru GPS-nya di-nyalakan sehingga arahnya pasti akan sampai ketempat tujuan. Kita sekarang dapat melihat pentingnya “alamat atau sasaran di GPS” itu. Misalnya saja, apakah makna dan arti Natal bagi kita masing-masing? Di dalam kotbah Natal sering diulang-ulang istilah atau kata Immanuel, Tuhan beserta kita. Begitu besar perhatian Tuhan kepada manusia, sampai-sampai Tuhan bersedia turun ber-inkanasi dan hidup mendampingi kita. Biasanya dia bersabda melalui para nabi, tapi sekarang dia langsung memberi contoh arah hidup kepada kita. Dia mengkoreksi persepsi masyarakat yang cenderung mengangkat kelas orang-orang yang sukses dalam material atau kedudukan saja. Orang-orang yang miskin, sakit, tanpa kedudukan, disisihkan dari masyarakat, seolah-olah Tuhan tidak berkenan kepada mereka. Salah satu pesan natal yang sering dilupakan oleh kita adalah, Tuhan ingin juga menjadi Tuhan orang-orang yang miskin, tidak atau kurang beruntung, yang menderita; tidak orang yang sukses saja. Solideritas-Nya terhadap kelompok marjinal sangat nyata. Jesus lebih memilih dilahirkan di gua atau kandang binatang yang sangat mungkin, keadaannya pengap, gelap, kotor dan bau dibandingkan dengan hotel atau gedung mewah. Kelompok pertama yang diundang untuk menerima berita gembira ini, adalah para gembala.Pekerjaan gembala pada waktu itu sangat tidak dihargai dan merupakan profesi atau martabat yang rendah. Kok Tuhan memberikan kesempatan atau keistimewaan pertama-tama kepada lapisan terbawah dulu? Memang betul, Tuhan itu penuh surprise dan karenanya hatihatilah kalau kita membuat sebuah penilaian (judgement).
5
Lalu apa yang kita lihat Natal di sekitar kita. Kelihatannya Natal telah bertransformasi, berubah bentuknya menjadi komersial dan artifisial yang penuh polesan. Natal telah menjadi ajang kemewahan yang berlebihan. Natal sekarang identik menjadi kegiatan berbelanja, pesta, makan besar, pertukaran hadiah dan liburan. Ukuran yang dipakaipun adalah berapa nilai uang yang telah dihabiskan atas nama Natal. Tidak heran dalam menyampaikan pesan natalnya, bapak sri Paus Fransiskus mengingatkan kita untuk, menemukan siapa diri kita, dengan hidup sederhana, berimbang, konsisten dan mampu membedakan mana yang perlu dan mana yang tidak. Mungkin pada saat-saat sekarang sambil berlibur, kita patut mengkaji ulang makna Natal, menghayati Tuhan yang sangat pemaaf, inklusif tidak membeda-bedakan latar belakang manusia, tidak senang menghukum dan ramah, yang telah datang ke dunia. Persepsi ini sangat konsisten dengan “kabar gembira – good news” yang merupakan pesan utama atau universal dari agama Kristen, “Kerajaan Allah telah tiba”. Baru setelah ini, kita memasang atau menyalakan GPS kita masing-masing, sehingga kita tidak akan kehilangan arah lagi, menyadari tujuan hidup kita dengan misi menyebarkan kabar gembira. Tidak perlu kita berkata-kata yang penuh retorik, tapi dengan tindakan dan contoh yang nyata, dan dengan begitu akan lebih efektif. SELAMAT NATAL DAN TAHUN BARU.
PERSIMPANGAN
Oleh : Frans Suryana Saat berjalan kaki, bersepeda atau mengemudikan kendaraan bermotor, kita sering menjumpai yang namanya persimpangan. Ada pertigaan, simpang empat atau malahan simpang lima. Di situlah kita mesti mengambil keputusan. Mau belok kiri, belok kanan atau jalan terus. Sama kiranya dengan perjalanan hidup. Seringkali kita dihadapkan dengan persimpangan. Seperti ketika Ibu Maria menerima kabar dari malaikat bahwa dia akan mengandung seorang bayi dari Roh Kudus. Ibu Maria berada di persimpangan, antara menerima kabar itu dengan tulus dan suka cita atau menolaknya mentah-mentah. Ternyata Ibu Maria mengambil pilihan yang pertama. Tiga raja dari Timur juga menghadapi persimpangan ketika mereka diminta kembali menghadap raja Herodes setelah bertemu dengan bayi Yesus. Antara kembali atau tidak, mereka memutuskan untuk tidak kembali setelah diperingatkan dalam mimpi. Saat memilih jalan yang akan kita tempuh ketika di persimpangan, adakalanya kita berpikir sendiri atau berdiskusi dengan orang lain entah pasangan hidup, anak, saudara, teman atau kolega. Beberapa dari kita mungkin menyempatkan diri untuk mohon petunjuk kepada Tuhan. Inilah sebenarnya langkah yang selayaknya kita lakukan sebagai orang beriman tatkala kita berada dalam situasi persimpangan. Seperti sang bintang terang yang menuntun tiga raja untuk sampai ke kandang domba tempat bayi Yesus bernaung, Tuhan juga akan memberikan arah jalan kepada kita. Memang jalan yang ditunjukkan Tuhan kadangkala bukanlah jalan yang kita inginkan tapi percayalah bahwa jalan itu adalah jalan yang terbukti baik untuk kita di kemudian hari. Semoga dengan semakin mendekatkan diri kepada Tuhan untuk memohon petunjuk dariNya, kita dapat menghadapi persimpangan-persimpangan dalam hidup kita dengan lebih percaya diri dan penuh keyakinan. Selamat Tahun Baru 2016.
6