HUBUNGAN KOMODIFIKASI BUDAYA UPACARA BERSIH DESA SINGO ULUNG DENGAN KONDISI EKONOMI SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT (Studi Kasus: Padepokan Seni Gema Buana, di Desa Prajekan Kidul, Kecamatan Prajekan, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur)
DIAN NITA HIKMAHWATI
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hubungan Komodifikasi Budaya Upacara Bersih Desa Singo Ulung dengan Kondisi Ekonomi Sosial Budaya Masyarakat (Studi Kasus: Padepokan Seni Gema Buana, di Desa Prajekan Kidul, Kecamatan Prajekan, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur) adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2015
Dian Nita Hikmahwati NIM I34110159
ABSTRAK DIAN NITA HIKMAHWATI. Hubungan Komodifikasi Budaya Upacara Bersih Desa Singo Ulung dengan Kondisi Ekoonomi, Sosial, Budaya Masyarakat. (Studi Kasus: Padepokan Seni Gema Buana di Desa Prajekan Kidul, Kecamatean Prajekan, Kabupaten Bondowoso). Dibimbing oleh SARWITITI SARWOPRASODJO Agenda penting pariwisata dari pemerintah daerah Bondowoso adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan melestarikan budaya. Salah satu strategi pengembangan pariwisata pemerintah daerah adalah dengan menggunakan konsep komodifikasi budaya. Komodifikasi budaya menjadikan budaya sebagai produk komoditas pada industri pariwisata budaya yang memiliki nilai jual. Ronteg Singo Ulung merupakan salah satu budaya produk komodifikasi seni pertunjukan. Berasal dari upacara ritual bersih desa Singo Ulung di Kabupaten Bondowoso. Perubahan unsur budaya ini terlihat dari bentuk upacara tradisional yang sakral berubah menjadi seni pertunjukan hiburan masyarakat yang bersifat profan. Fenomena ini tentu mempengaruhi nilai-nilai yang berada dimasyarakat terutama orientasi nilai hidup sebagai cerminan konsisi sosial budaya. Komodifikasi budaya juga dapat mempengaruhi tingkat pendapatan masyarakatnya yang mencerminkan kondisi ekonomi. Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) mendeskripsikan proses komodifikasi budaya upacara ritual bersih desa Singo Ulung menjadi seni pertunjukan Ronteg Singo Ulung, (2) menganalisa hubungan tingkat komodifikasi budaya upacara bersih desa Singo Ulung dengan tingkat orientasi nilai budaya masyarakat, dan (3) menganalisa hubungan tingkat komodifikasi budaya upacara bersih desa Singo Ulung dengan tingkat pendapatan masyarakat. Penelitian ini akan dilakukan dengan metode kuantitatif dan kualitatif melalui sensus pada 30 anggota komunitas Padepokan Seni Gema Buana. Pengolahan data menggunakan uji statistik rank Spearman untuk melihat hubungan variabel. Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa tingkat komodifikasi budaya tergolong tinggi. Hasil uji statistik menunjukkan tingkat komodifikasi budaya berhubungan dengan tingkat pendapatan. Selain itu hasil pengujian statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat komodifikasi budaya dengan tingkat orientasi nilai budaya. Kata kunci: komodifikasi budaya, dampak dari komodifikasi budaya. ABSTRACT DIAN NITA HIKMAHWATI. Relations of Cultural Commodification of Upacara Bersih Desa Singo Ulung by the Economic Social Cultural Condition (Case Study: Padepokan Seni Gema Buana in Prajekan Kidul, District Prajekan regency, East Java). Supervised by SARWITITI SARWOPRASODJO Increasing society welfare and conserving culture are two important tourism agendas of the local governments. Cultural comodification concept is one of the
tourism development strategies, where it creates culture as valuable commodity product in tourism industry. Ronteg Singo Ulung is one of performing art cultures considered as commodification product, where it used to be performed as part of the “ritual bersih desa” ceremony Singo Ulung in Bondowoso regency. Transformation in the cultural element can be seen from sacred type of traditional ceremony to profane type of performing art of community entertainment. This phenomenon would obviously affect values in community, especially the value orientation of life as the reflection of socio-cultural condition. Moreover, cultural commodification is also able to affect community's income that reflects the economic condition. This study aims (1) to describe the changing process of “ritual bersih desa” ceremony Singo Ulung cultural commodification into performing art of Ronteg Singo Ulung, (2) to analyze the correlation between the level of cultural commodification of “ritual bersih desa” ceremony Singo Ulung and the level of value orientation of community’s culture, and (3) to analyze the correlation between the level of cultural commodification of “ritual bersih desa” ceremony Singo Ulung and the level of community's income .The research was performed by using quantitative and qualitative approach. All 30 members of Padepokan Seni Gema Buana were observed by using cencus method. Data processing was conducted by applying the rank Spearman test in order to see the correlation of variables. The results showed that the level of cultural commodification is considerably high. More over, the statistical test showed that the level of cultural commodification is correlated with the level of income. At last, it was also found that there is a correlation between the level cultural commodification and the level of cultural value orientation. Keywords: Cultural commodification, impact of cultural commodification
HUBUNGAN KOMODIFIKASI BUDAYA UPACARA BERSIH DESA SINGO ULUNG DENGAN KONDISI EKONOMI SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT (Studi Kasus: Padepokan Seni Gema Buana, di Desa Prajekan Kidul, Kecamatan Prajekan Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur)
DIAN NITA HIKMAHWATI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Judul Skripsi : Hubungan Komodifikasi Budaya Upacara Bersih Desa Singo Ulung dengan Kondisi Ekonomi Sosial Budaya Masyarakat (Studi Kasus: Padepokan Gema Buana, di Desa Prajekan Kidul, Kecamatan Prajekan Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur) Nama : Dian Nita Hikmahwati NIM : I34110159
Disetujui oleh
Dr Sarwititi Sarwoprasodjo, MS Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Siti Amanah, MSc Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Bismillah dan Alhamdulillahirobbilalamin, puji dan syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan Komodifikasi Budaya Upacara Bersih Desa Singo Ulung dengan Kondisi Ekonomi Sosial Budaya Masyarakat (Studi Kasus: Padepokan Gema Buana, di Desa Prajekan Kidul, Kecamatan Prajekan Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur)” ini dengan baik. Skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat kelulusan di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Ucapan hormat dan terimakasih disampaikan kepada Ibu Dr. Ir. Sarwititi Sarwoprasodjo, MS selaku dosen pembimbing yang telah sabar membimbing dan banyak memberikan saran dan motivasi selama proses penulisan hingga penyelesaian skripsi ini, serta terimakasih kepada Bapak Dr. Amiruddun Saleh, MS dan Bapak Martua Sihaloho, SP selaku dosen penguji sidang. Terima kasih juga kepada seluruh dosen SKPM IPB, juga kepada Bapak Sugeng S.Sn, M.Si beserta seluruh anggota Padepokan Seni Gema Buana serta pemangku adat Desa Belimbing Bapak Sutikno yang banyak membantu penelitian di lapang. Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada mama tercinta Siti Tavipah, S.Sos, ayah tersemangat Syahroni, S.E, adik terhebat Bagus Suryo Nugroho dan Dr. Duwi Yunitasari, M.E sekeluarga yang selalu menjadi sumber motivasi semangat penulis. Kepada sahabat yang selalu ada Nurul Fauziah, S.KPm, Ninin Choirun Nisa, S.Pt, gang Rindu Tanpa Jeda (Eneng, Ikrom, Huda, Erma, dan Dian), kakak kost Midori (Ka Majek, Ka Ella, Ka Awit, Ka Devi, Ka Eka, Hesti, Risma dan Laras) dan Pelangi, keluarga CSS MoRA IPB, keluarga Ikalum Bogor serta gang bimbingan S1 (Aya, Febri, Fikra, Habib dan Lingga), dan SKPM 48 terimakasih telah menularkan semangat dalam menyelesaikan tugas akhir ini. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.
Bogor, Agustus 2015 Dian Nita Hikmahwati
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
xi
DAFTAR TABEL
xiii
DAFTAR GAMBAR
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
xiv
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Masalah Penelitian
2
Tujuan Penelitian
3
Manfaat Penelitian
4
PENDEKATAN TEORETIS
5
Tinjauan Pustaka
5
Kerangka Pemikiran
11
Hipotesis Penelitian
12
Definisi Operasional
12
PENDEKATAN LAPANGAN
17
Metode Penelitian
17
Lokasi dan Waktu
17
Teknik Pemilihan Anggota dan Informan
17
Teknik Pengumpulan Data
18
Teknik Pengolahan Dan Analisis Data
19
KOMODIFIKASI BUDAYA
21
Gambaran Umum upacara bersih desa Singo Ulung
21
Gambaran Umum Seni Pertunjukan Ronteg Singo Ulung
24
Gambaran Umum Padepokan Seni Gema Buana
26
Karakteristik Anggota Padepokan Seni Gema Buana
30
HUBUNGAN TINGKAT TINGKAT PENDAPATAN
KOMODIFIKASI
BUDAYA
DENGAN 37
Tingkat Komodasi Budaya
37
Tingkat Pendapatan
46
Hubungan Tingkat Komodifikasi Budaya Dengan Tingkat Pendapatan
48
HUBUNGAN TINGKAT KOMODIFIKASI TINGKAT ORIENTASI NILAI BUDAYA
BUDAYA
DENGAN 51
Tingkat Orientasi Nilai Budaya
51
Hubungan Tingkat Komodifikasi Budaya Dengan Tingkat Orientasi Nilai Budaya
59
SIMPULAN DAN SARAN
63
Simpulan
63
Saran
63
DAFTAR PUSTAKA
65
LAMPIRAN
69
RIWAYAT HIDUP
83
DAFTAR TABEL 1 Perbandingan konsep pariwisata budaya berdasarkan literatur tahun 2007-2011 2 Perbandingan strategi pengembangan pariwisata budaya di beberapa daerah di Indonesia tahun 2007 – 2013 3 Perbandingan konsep komodifikasi berdasarkan literatur tahun 2007 sampai 2014 4 Kerangka Kluchkon mengenai lima masalah dasar besar hidup yang menentukan orientasi nilai budaya manusia 5 Uji statistik reliabilitas 6 Perbedaan upacara dan hasil komodifikasi 7 Jumlah dan persentase anggota Padepokan Seni Gema Buana berdasarkan kelompok usia 8 Jumlah dan persentase anggota Padepokan Seni Gema Buana berdasarkan jenis kelamin 9 Jumlah dan persentase anggota Padepokan Seni Gema Buana berdasarkan jenis pekerjaan pokok 10 Jumlah dan persentase anggota Padepokan Seni Gema Buana berdasarkan lama masa bergabung 11 Jumlah dan persentase anggota berdasarkan sebaran asal desa dan kecamatanya anggota 12 Jumlah dan persentase anggota berdasarkan jumlah kemampuan berperan 13 Jumlah dan persentase keterlibatan anggota berdasarkan frekuensi keterlibatan menentukan peran dan jumlah pemain 14 Jumlah dan persentase keterlibatan anggota berdasarkan frekuensi keterlibatan kegiatan menata ulang materi upacara 15 Jumlah dan persentase keterlibatan anggota berdasarkan frekuensi keterlibatan kegiatan menata ulang waktu dan tempat 16 Jumlah dan persentase keterlibatan anggota berdasarkan frekuensi keterlibatan kegiatan mengembangkan koreografi gerak tari dan aransemen musik 17 Jumlah dan persentase berdasarkan tingkat keterlibatan proses produksi komodifikasi budaya 18 Jumlah dan persentase anggota berdasarkan frekuensi keterlibatan kegiatan promosi pada wisatawan 19 Jumlah dan persentase anggota berdasarkan frekuensi kegiatan penggunaan media promosi 20 Jumlah dan persentase anggota berdasarkan frekuensi kegiatan menjalin hubungan kerjasama 21 Jumlah dan persentase anggota berdasarkan keterlibatan proses distribusi dalam komodifikasi budaya 22 Jumlah dan persentase berdasarkan tingkat keterlibatan proses komodifikasi budaya 23 Jumlah dan persentase anggota berdasarkan tingkat pendapatan dari Padepokan Seni Gema Buana setiap bulan
6 7 8 10 18 26 30 31 32 32 33 34 38 38 39 40
41 43 44 45 45 46 46
24 Jumlah dan persentase anggota Padepokan Seni Gema Buana berdasarkan alokasi pendapatan 25 Uji korelasi rank Spearman komodifikasi budaya dengan pendapatan 26 Jumlah dan persentase anggota menurut tingkat komodifikasi budaya dan tingkat pendapatan 27 Jumlah dan persentase anggota Padepokan Seni Gema Buana berdasarkan tingkat orientasi nilai hidup dalam komodifikasi budaya 28 Jumlah dan persentase anggota menurut tingkat komodifikasi budaya dan tingkat orientasi nilai budaya anggota Padepokan Seni Gema Buana
47 49 49 59 60
DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pemikiran rancangan penelitian 2 Seni pertunjukan Ronteg Singo Ulung 3 Atraksi peran Singo Ulung dalam seni pertunjukan Ronteg Singo Ulung 4 Struktur organisasi Padepokan Seni Gema Buana 5 Persentase anggota berdasarkan hakikat hidup 6 Persentase anggota berdasarkan hakikat kerja 7 Persentase anggota berdasarkan hakikat waktu 8 Persentase anggota berdasarkan hakikat lingkungan alam 9 Persentase anggota berdasarkan hakikat lingkungan sosial
12 25 25 28 52 53 55 56 58
DAFTAR LAMPIRAN 1 Peta Kecamatan Prajekan, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur 2 Jadwal pelaksanaan penelitian. 3 Kuesioner 4 Panduan pertanyaan untuk narasumber 5 Daftar nama dan alamat anggota Padepokan Seni Gema Buana 6 Hasil uji korelasi rank Spearman 7 Dokumentasi
69 70 71 76 78 79 80
PENDAHULUAN Latar Belakang Sektor pariwisata sebagai suatu industri, telah membuktikan kemampuannya menjadi alternatif kegiatan ekonomi. Pariwisata juga dapat diandalkan sebagai salah satu upaya peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Bila ada upaya pengembangan, pariwisata memiliki tiga fungsi yaitu 1) menggalakkan ekonomi; 2) memelihara kepribadian bangsa dan kelestarian fungsi dan mutu lingkungan; 3) memupuk rasa cinta tanah air dan bangsa (Joyosuharto 1995 dalam Soebagyo 2012). Pariwisata memiliki peranan sangat besar dalam perekonomian dunia khususnya di Indonesia jumlah kunjungan wisatawan manca negara pada tahun 2014 mencapai 8,52 juta kunjungan atau naik 7,29 persen dibanding tahun 2013 (BPS 2015). Dengan demikian, terdapat peluang yang lebih besar bagi Indonesia untuk menarik lebih banyak wisatawan manca negara dari sektor pariwisata. Satu dari empat kelompok pariwisata, pariwisata budaya termasuk sektor yang potensial karena wisatawan umumnya mencari sesuatu yang unik dan otentik dari kebudayaan (Richard 2005). Setiap adanya masyarakat memiliki budaya yang khas dan berbeda dengan masyarakat lainnya. Modal budaya tersebut dapat menjadi aset dan potensi untuk dikembangkan industri pariwisata budaya. Potensi ekonomi bisnis ini juga dinyatakan oleh UNESCO bahwa budaya sebagai sebuah sektor dari aktivitas ekonomi. Pada tahun 2002, UNESCO dan UN-WTO dalam resolusi bersama menyatakan bahwa kegiatan pariwisata merupakan alat utama pelestarian kebudayaan (Nirwandar 2012). Pertarungan global dunia pariwisata menuntut kondisi ideal perkembangan pariwisata yang baik dan menghasilkan produk yang dapat diunggulkan. Menurut Marpaung (2002), kondisi ideal perkembangan pariwisata dapat dicapai dengan kemauan politik pemerintah yang memberikan landasan hukum, serta kesadaran masyarakat untuk dapat berinteraksi serta melibatkan diri sebagai bagian dari proses dan menghasilkan produk unggulan dalam seluruh kegiatan industri pariwisata. Kemauan politik Pemerintah Indonesia tercermin dalam UU RI No. 10 tahun 2009 tentang kepariwisataan. Pada pasal 12 point 1 (a) dinyatakan bahwa penetapan kawasan strategis pariwisata dilakukan dengan memperhatikan aspek sumber daya pariwisata alam dan budaya yang potensial menjadi daya tarik. Selanjutnya upaya dilakukan produsen industri pariwisata budaya untuk menghasilkan produk unggulan salah satunya adalah pengemasan budaya menjadi daya tarik wisatawan yakni melalui komodifikasi budaya. Komodifikasi merupakan suatu proses pengubahan kebudayaan menjadi komoditas produk barang dagangan. Konsumen pariwisata budaya digiring ke arah seni dan tontonan yang mudah untuk dicerna dan yang menimbulkan daya pesona yang diproduksi melalui corak produksi kapitalisme (Widyastuti 2008). Ronteg Singo Ulung adalah produk komoditas industri pariwisata budaya hasil dari komodifikasi budaya komunitas Padepokan Seni Gema Buana Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur (Baghaskoro 2014). Seni pertunjukan Ronteg Singo Ulung mengalami komodifikasi budaya dari kesenian tradisional untuk
2 upacara ritual bersih desa menjadi seni pertunjukan profan 1 . Produk ini telah menjadi daya tarik untuk wisatawan lokal maupun mancanegara. Pada proses perkembangan seni pertunjukan Ronteg Singo Ulung menjadi produk unggulan industri pariwisata budaya mendapat sambutan positif dari berbagai kalangan. Dukungan politik pemerintah daerah Kabupaten Bondowoso berupa legitimasi seni pertunjukan Ronteg Singo Ulung sebagai ikon identitas seni budaya Kabupaten Bondowoso. Dukungan lainnya yakni kawasan produksi komodifikasi budaya yang digarap Padepokan Seni Gema Buana diperuntukkan oleh pemerintah daerah sebagai kawasan pariwisata budaya. Kecamatan Prajekan, Desa Prajekan Kidul telah dipatenkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Bondowoso Nomer 12 Tahun 2011 Pasal 34 ayat 2 tentang rencana tata ruang wilayah. Peruntukan kawasan pariwisata budaya tersebut sebagai strategi pengembangan pariwisata daerah yang akhirnya bertujuan meningkatkan pendapatan masyarakat juga sebagai upaya pelestarian nilai budaya. Masalah Penelitian Berbagai dampak dirasakan masyarakat yang budayanya mengalami komodifikasi budaya. Selanjutnya Sidarta (2002), Widyastuti (2008), Ruastiti (2011) dan Dhana et al. (2014) menjelaskan dampak dari komodifikasi budaya yakni perubahan kesempatan kerja dan berusaha, peningkatan pendapatan, pola pembagian kerja. Hilyana (2001), Sulistiantini (2007), Taryati (2007), Ruastiti (2011), dan Ardiwijaya et al. (2013) dalam penelitiannya menyatakan dampak pariwisata dan komodifikasi budaya yakni perkembangan pariwisata budaya pada perubahan nilai, orientasi nilai budaya, pelestarian budaya. Terdapat juga dampak pudarnya identitas budaya dari penelitian Ruastiti (2011), Dhana et al. (2014) dan Basri (2014). Berdasarkan kajian tersebut dapat disimpulkan secara terintegrasi bahwa dampak adanya komodifikasi budaya dapat dipilah berdasarkan dampak sosial budaya, dan dampak ekonomi. Dampak sosial budaya yang paling mendasar adalah perubahan nilai-nilai dan orientasi nilai budaya masyarakat serta dampak sosial ekonomi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan kesejahteraan ekonomi merupakan manfaat positif yang didapatkan masyarakat sedangkan perubahan arah orientasi nilai budaya umumnya memiliki dampak negatif. Dampak perubahan orientasi nilai budaya memiliki implikasi terancam hilangnya identitas komunitas. Kontradiksi tersebut menjadi masalah utama latar belakang pada penelitian ini. Untuk itu penelitian ini mengkaji seberapa kuat hubungan tindakan komodifikasi budaya yang dilakukan anggota padepokan dengan orientasi nilai budaya serta tingkat pendapatan. Oleh karena itu pertanyaan yang lebih spesifik dari penelitian ini adalah: Pertama, komodifikasi menurut Fairclough (1995) adalah suatu proses produksi komoditas yang tidak terlepas dari lingkup ekonomi, akan tetapi dapat mengacu pada pengorganisasian dan konseptualisasi pada produksi, distribusi dan konsumsi komoditas. Masyarakat berperan sebagai produsen dan mendistribusikan upacara bersih desa Singo Ulung yang sakral menjadi seni pertunjukan Ronteg Singo Ulung yang syarat akan nilai estetika, bersifat profan 1
Biasa, keduniawian, tidak lagi kramat atau suci.
3 dan memiliki nilai jual, sehingga perlu mengetahui bagaimana proses komodifikasi budaya upacara ritual yakni upacara bersih desa Singo Ulung menjadi seni pertunjukan Ronteg Singo Ulung? Kedua, dalam konteks pengembangan masyarakat salah satu tujuannya adalah mensejahterahkan masyarakat. Salah satu indikator kesejahteraan masyarakat yakni peningkatan pendapatan. Masyarakat yang turut berpartisipasi dalam industri pariwisata budaya dan proses komodifikasi budaya semestinya memperoleh dampak positif keuntungan ekonomi, seperti halnya pendapatan. Sesuai dengan penelitian Sidarta (2002), Widyastuti (2008), Ruastiti (2011) dan Dhana et al. (2014) menyatakan terdapat keuntungan ekonomi dalam komodifikasi budaya pada pariwisata budaya. Kemudian pertanyaan penelitian yang terakhir tentang bagaimana hubungan tingkat komodifikasi budaya dengan tingkat pendapatan masyarakat? Ketiga, dilain sisi pengembangan masyarakat juga memiliki kepedulisan identitas komunitas. Berdasarkan hasil penelitian Hilyana (2001), Sulistiantini (2007), Taryati (2007) Ruastiti (2011), Ardiwijaya et al. (2013) menjelaskan dampak dari komodifikasi budaya pada perubahan nilai, orientasi nilai budaya, upaya pelestarian budaya. Orientasi nilai budaya menjadi alat analisis dampak sosial budaya yang terjadi di masyarakat. Menurut Kluckhohn dalam koentjara ningrat (2002) orientasi nilai budaya masyarakat. Dampak positif bila arah orientasi nilai budaya masyarakat sesuai dengan tujuan pemerintah menetapkan kawasan pariwisata budaya sebagai strategi pelestariaan budaya lokal. Masyarakat tetap memegang nilai-nilai tradisi kesakralan. Dampak negatif bila orientasi nilai budaya dalam mengembangkan upacara semakin profan demi keuntungan ekonomi yang menyebabkan pudarnya nilai-nilai budaya upacara bersih desa Singo Ulung dan berimplikasi pada terancam pudarnya identitas komunitas. Maka analisis mengenai bagaimana hubungan tingkat komodifikasi budaya dengan tingkat orientasi nilai budaya masyarakat?
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah penelitian di atas, secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa hubungan komodifikasi budaya dengan kondisi sosial budaya dan ekonomi masyarakat. Adapun tujuan penelitian dirumuskan lebih spesifik sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan proses komodifikasi budaya upacara menjadi seni pertunjukan. 2. Menganalisis hubungan tingkat komodifikasi budaya dengan tingkat pendapatan masyarakat. 3. Menganalisis hubungan tingkat komodifikasi budaya dengan tingkat orientasi nilai budaya masyarakat.
4 Manfaat Penelitian
1.
2.
3.
Hasil penelitian ini dapat memberikan kegunaan bagi berbagai pihak, yaitu: Bagi kalangan akademisi, penelitian ini dapat memberikan tambahan pengetahuan khazanah ilmiah tentang komodifikasi budaya khususnya upaya pengembangan pariwisata budaya melalui komodifikasi budaya. Pada dunia pengembangan masyarakat fenomena komodifikasi budaya berbasis masyarakat juga memiliki hubungan dengan upaya peningkatan pendapatan masyarakat dan orientasi nilai budayanya. Bagi pembuat kebijakan (pemerintah), penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar mengenai kondisi ekonomi sosial budaya dari kebijakan pengembangan industri pariwisata budaya yang dilakukan pemerintah. Juga sebagai bahan evaluasi kebijakan dan strategi selanjutnya untuk mendukung menjembatani keterlibatan berbagai pihak dalam upaya pengembangan masyarakat pada sektor pariwisata budaya yang berbasis masyarakat. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan serta kesadaran kritis bahwa adanya ruang untuk pengembangan masyarakat dalam sektor pariwisata budaya. Juga sebagai pengetahuan mengenai dampak ekonomi sosial budaya dari komodifikasi budaya.
5
PENDEKATAN TEORETIS Tinjauan Pustaka Seni Budaya Budaya merupaka suatu sistem yang bekerja dalam kehidupan masyarakat. Budaya terkonstruksi melalui pemikiran dan diwariskan. Kebudayaan yaitu sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia melalui cipta, rasa, dan karsanya, sehingga dalam kehidupan sehari-hari kesemuanya dapat ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat (Koentjaraningrat 2002). Menurut Soekanto (1982) kata kebudayaan berasal dari (bahasa Sansekerta) buddayah yang merupakan bentuk jamak kata “buddhi” yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal. Seorang antropolog yakni Kluckhohn (Soekanto 1982) menjelakan bahwa budaya memiliki tujuh unsur kebudayaan, mencakup: (a) bahasa, (b) sistem pengetahuan, (c) organisasi sosial, (d) sistem peralatan hidup dan teknologi, (e) sistem mata pencaharian hidup, (f) sistem religi, dan (g) kesenian. Budaya juga sebagai modal dasar mempunyai pengertian dan fungsi normatif dan operasional. Kesenian adalah salah satu unsur universal kebudayaan kesenian tradisional adalah suatu bentuk seni yang berasal dari masyarakat lingkungan serta telah dirasakan sebagai miliknya sendiri. Kesenian tradisional pada umumnya diterima sebagai warisan yang dilimpahkan dari generasi tua ke generasi muda. Salah satu bentuk kesenian tradisional yang patut dipertahankan, dikembangkan, dan dilestarikan adalah tari-tarian. Menurut Sulistiantini (2007) seni budaya merupakan suatu keahlian mengekspresikan ide-ide dan pemikiran estetika, termasuk mewujudkan kemampuan serta imajinasi pandangan akan benda, suasana, atau karya yang mampu menimbulkan rasa indah sehingga menciptakan peradaban yang lebih maju. Kebutuhan akan seni budaya merupakan kebutuhan manusia yang lebih tinggi di antara urutan kebutuhan lainnya. Seni budaya berkaitan langsung dengan kesejahteraan, keindahan, kebijaksanaan, ketentraman, dan pada puncaknya merupakan proses evolusi manusia untuk makin dekat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, seni budaya akan berkembang apabila masyarakat makmur dan sejahtera. Menurut Karmadi (2007), seni budaya ialah produk atau hasil budaya fisik dari tradisitradisi yang berbeda dan prestasi-prestasi spiritual dalam bentuk nilai dari masa lalu yang menjadi elemen pokok dalam jatidiri suatu kelompok atau bangsa yang meliputi: tradisi, cerita rakyat dan legenda, bahasa ibu, sejarah lisan, kreativitas (tari, lagu, drama pertunjukan), kemampuan beradaptasi, dan keunikan masyarakat setempat. Sama halnya juga dengan kesenian dan kebudayaan yang ada pada masyarakat Jawa seperti musik, tari-tarian, cerita rakyat, legenda, dan bahasa. Contohnya asal seni pertunjukan Ronteg Singo Ulung mencakup kesenian budaya masyarakat yang mencakup musik, tari, cerita rakyat, legenda, dan bahasa.
6 Pariwisata Budaya Pariwisata dalam Undang-Undang Kepariwisataan Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 dijelaskan pada Bab I, Pasal 1, Butir 3: “Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah.” Pariwisata terbagi atas empat kelompok yaikni pariwisata budaya, pariwisata bahari, pariwisata alam dan pariwisata kapal pesiar. Menurut European Centre for Traditional and Regional Cultural dalam Karmadi (2007) menyebutkan delapan tipe situs atau atraksi yang dapat digolongkan sebagai daya tarik pariwisata budaya, yakni: 1. Situs-situs arkeologi dan museum; (2) Arsitektur; (3) Seni, pahatan, kerajinan, gedung kesenian, berbagai festival dan perlombaan; (4) Musik dan tari-tarian; (5) Drama; (6) Bahasa studi literatur, perjalanan, berbagai kejadian; (7) Perayaan keagamaan, ziarah, dan (8) Budaya. Melalui konsep pariwisata budaya kedua aspek budaya dan pariwisata (orientasi ekonomi) dapat berlakunya simbiosis mutualisme. Berikut pada Tabel 1 merupakan perbandingan dari konsep pariwisata budaya. Tabel 1 Perbandingan konsep pariwisata budaya berdasarkan literatur tahun 2007-2011 No 1
2
3 4
Penulis Ruastiti (2011)
Pariwisata Budaya Pariwisata budaya bertumpu pada potensi budaya, dapat saling mengisi dan menikmati keuntungan dari budaya serta ekonomi. Widyastuti Wisata budaya menawarkan kesempatan untuk menikmati tradisi-tradisi di masa lampau, dimaksudkan agar perjalanan (2008) yang dilakukan atas dasar keinginan untuk memperluas pandangan hidup seseorang dengan jalan mengadakan kunjungan atau peninjauan ke tempat lain, mempelajari keadaan rakyat, kebiasaan serta adat-istiadat mereka, cara hidup mereka, budaya, dan seni mereka. Fainstein Pariwisata budaya khusus pada wisatawan dengan preferensi (2007) berwisata untuk mencari perbedaan budaya. Pariwisata budaya adalah usaha bisnis yang menawarkan alam Taryati budaya, keunikan, kenyamanan, dan berbagai pelayanan (2007) kepada wisatawan. Pariwisata berbasis warisan budaya adalah satu dari segmen pariwisata yang berkembang paling pesat sebagai dampak dari adanya kecenderungan meningkatnya spesialisasi antar turis.
Hasil perbandingan konsep pariwisata di atas dapat disimpulkan bahwa pariwisata budaya merupakan kegiatan perjalanan yang dilakukan atas dasar keinginan untuk memperluas pandangan hidup seseorang dengan jalan
7 mengadakan kunjungan atau peninjauan ke tempat lain atau ke luar negeri, mempelajari keadaan rakyat, kebiasaan, dan adat-istiadat mereka, cara hidup mereka, budaya, dan seni mereka. Pariwisata budaya sebagai komoditas industri pariwisata sangat berkaitan dengan upaya menjaga kelestarian, menumbuhkan kesadaran, dan kebanggaan masyarakat terhadap budaya yang dimiliki, pengembangan budaya untuk industri pariwisata yang pada gilirannya meningkatkan masyarakat lokal. Pengelola pariwisata yang umumnya dilakukan pemerintah memiliki strategi-strategi pengembangan pariwisata budaya agar dapat menjadikan budaya sebagai daya tarik pariwisata. Berikut merupakan rangkuman beberapa perbandingan strategi pengembangan pariwisata budaya yang telah dilakukan di beberapa wilayah berdasarkan literatur. Tabel 2 No 1
2
3 4
5
6
Perbandingan strategi pengembangan pariwisata budaya di beberapa daerah di Indonesia tahun 2007 - 2013
Pengarang Strategi Pengembangan Pariwisata Budaya Ruastiti Gubernur kepala Daerah Tingkat I Bali mengeluarkan (2011) keputusan No. 528 tahun 1990 tentang kawasan pariwisata Ubud yang merupakan kawasan wisata ke-5 dari dua puluh satu kawasan pariwisata Bali. Stategi menggunakan potensi puri yakni bangunan beserta aktivitas budaya di puri sebagai komoditas pariwisata. Widyastuti Kabupaten Karanganyar mengelolaan obyek wisata Candi (2008) Ceto dan menjadikan upacara religi dimodifikasi menjadi atraksi wisata. Juga kerjasama antara industri pariwisata dan Pemda Gianyar Bali. Fainstein Kota dikonvensi dengan membangun infrastruktur yang (2007) menarik minat pengunjung. Ardiwijaya Strategi Kota Medan yakni mengkomodifikasi kota dengan et al. menjadikan kawasan Kota Lama medan menjadi kawasan (2013) bersejarah atau cagar budaya. Dilain pihak komodifikasi kota juga dengan menjadikan kawasan pusat pertumbuahan kota. Taryati Mensinergikan peranan pemerintah, swasta, dan masyarakat (2007) lokal pada pengembangan budaya lokal melalui komodifikasi seni tradisional. Dhana et Branding pariwisata berbasis warisan budaya melalui al. (2014) komodifikasi aktivitas budaya masyarkat, seni, dan kerajinan sebagai konsumsi wisatawan.
Komodifikasi Budaya Komodifikasi merupakan konsep dan proses menjadikan suatu barang atau jasa menjadi layak untuk diperjual belikan. Menurut Fairclough (1995) komodifikasi dapat dipahami sebagai suatu proses produksi komoditas yang tidak terlepas dari lingkup ekonomi, akan tetapi dapat mengacu pada pengorganisasian dan konseptualisasi pada produksi, distribusi, dan konsumsi komoditas. Berkenaan dengan pariwisata budaya, komodifikasi budaya lebih tepat mengarah
8 pada mengubah aktivitas dan unsur budaya lainnya menjadi obyek produk komoditas yang dapat dinikmati wisatawan dengan tujuan ke arah orientasi ekonomi keuntungan. Para pengembang industri bentuk kebudayaan dipromosikan sebuah komoditi, seperti: benda seni, tarian, musik, bangunan, dan upacara-upacara keagamaan (Minawati 2013). Di bawah ini adalah gambaran perbandingan dari konsep komodifikasi budaya berdasarkan literatur. Tabel 3 Perbandingan konsep komodifikasi berdasarkan literatur tahun 2007 sampai 2014 No
Penulis
1
Ruastiti (2011)
2
Widyastuti (2008)
3
Fainstein (2007)
4
Susilantini (2007)
Konsep Komodifikasi Komodifikasi adalah konsep yang tidak hanya menyangkut masalah produksi komoditas dalam pengertian perekonomian yang sempit saja, namun juga menyangkut tentang bagaimana barang-barang tersebut didistribusikan dan dikonsumsi. Komodifikasi adalah proses pengubahan menjadi barang dagangan, massa digiring ke arah seni dan tontonan yang mudah untuk dicerna dan yang menimbulkan daya pesona yang diproduksi melalui corak produksi kapitalisme. Komodifikasi merupan segala bentuk aktifitas manusia khususnya budaya urban yang dijadikan target penjualan ekonomi baru. Komodifikasi merupakan bentuk komersialisasi seni pertunjukan dengan memodifikasi kaidah budaya sesuai tuntutan zaman agar memudahkan penonton mencerna pesan-pesan yang ditampilakan.
Bentuk Komodifikasi Komodifikasi obyek wisata
Pelaku Masyarakat dan pemerintah
Komodifikasi upacara religi
pemerintah
Komodifikasi budaya kota
perencana tata kota
Komodifikasi seni kebudayaan
pelaku seni dan swasta
Berdasarkan perbandingan konsep komodikasi pada Tabel 3 dapat disimpulkan bahwa komodifikasi budaya merupakan suatu proses menjadikan unsur-unsur budaya menjadi produk komoditas yang diperjualbelikan dengan motif ekonomi melalui proses produksi ulang, distribusi, dan konsumsi sehingga memudahkan konsumen memahami maksud penampilan. Komodifikasi umumnya menggunakan sebagian besar kekuasaan pemerintah dan pihak swasta. Bekerja sama dengan pihak swasta yang memiliki modal maka pengembangan pariwisata melalui komodifikasi budaya akan lebih efektif dalam orientasi ekonomi keuntungan. Komodifikasi budaya juga dapat dijadikan strategi untuk pelestarian budaya, umumnya pemerintah yang menggunakan konsep komodifikasi dan disenergikan dengan kepentingan pariwisata daerah. Hal ini dapat meningkatkan
9 keuntungan ekonomi dengan adanya kedatangan wisatawan sehingga turut menyumbang pendapatan asli daerah melalui sektor pariwisata. Ronteg Singo Ulung Seni pertunjukan Ronteg Singo Ulung adalah kesenian budaya masyarakat yang terdiri musik, tari, cerita rakyat, legenda dan bahasa. Kesenian ini berasal dari Desa Blimbing terletak di wilayah Kecamatan Klabang, Kabupaten Bondowoso, Provinsi Jawa Timur. Masyarakat Desa Blimbing adalah masyarakat campuran Jawa dan Madura (Mandalungan) yang berlatar belakang budaya agraris. Baghaskoro (2014) menjelaskan bahwa hampir setiap penyelenggaraan acara adat, masyarakat Blimbing selalu menghadirkan seni pertunjukan tradisional. Demikian pula dalam salah satu aktivitas ritual yaitu ritual selamatan desa, secara tradisi menghadirkan seni pertunjukan Singo Ulung yang diadakan setiap setahun sekali pada tanggal 13 sampai 15 bulan Sya’ban (tanggal yang diyakini sebagai tanggal berdirinya Desa Blimbing). Keberadaan pertunjukan Singo Ulung dalam ritual selamatan desa adalah penting karena merupakan sarana utama dan tidak dapat digantikan oleh kesenian yang lain. Pertunjukan Singo Ulung disakralkan oleh masyarakat Desa Blimbing, karena diyakini sebagai perwujudan dari tokoh Singo Ulung yaitu roh leluhur yang dimitoskan. Maka pertunjukan Singo Ulung dalam ritual selamatan desa di Desa Blimbing memiliki kedudukan yang sangat penting (Astuti 2009). Singo Ulung merupakan pertunjukan yang unik dan memiliki daya tarik. Perkembangannya sebagai seni profan, pemerintah daerah Bondowoso mengusahakan melegitimasi seni pertunjukan tersebut sebagai identitas daerah Bondowoso. Dampak Komodifikasi Budaya Komodifikasi budaya pada sektor industri pariwisata memberikan dampak positif maupun negatif. Dampak positif ekonomi dari komodifikasi budaya berdasarkan penelitian Dhana et al. (2014) menyatakan dihargainya hasil karya komunitas, berkembangnya ekonomi kreatif kemudian penghasilan masyarakat meningkat. Pada penelitian Ruastiti (2011) komodifikasi budaya berdampak positif pada aspek ekonomi terbukti yakni peningkatan pendapatan asli daerah (PAD), terbukanya lapangan kerja, peningkatan pendapatan masyarakat dan berkembangnya industri pariwisata. Komodifikasi budaya umumnya berkembang menjadi sektor pariwisata. Peluang berinvestasi juga diidentifikasi oleh Alhasanat dan Hyasat (2011) akibat adanya komodifikasi budaya pada sektor pariwisata. Widyastuti (2008) menyebutkan bahwa komodifikasi budaya berupa komodifikasi upacara religi mampu merubah mata pencaharian masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dampak ekonomi dari sektor pariwisata secara umum ke arah positif yaitu perubahan pendapatan, variasi mata pencaharian, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Penelitian ini berfokus pada dampak ekonomi dari anggota komunitas Padepokan Gema Buana khususnya tingkat pendapatannya yang diperoleh dari gaji dalam bertindak komodifikasi budaya. Dampak sosial yang terjadi di masyarakat diartikan oleh Mathieson dan Wall (1982: 17) dalam Pitana (2004) adalah dampak yang tidak berbeda dengan dampak aspek budaya masyarakat, sehingga sebagian besar ahli menggabungkan
10 dampak budaya, dan sosial ke dalam satu judul, yaitu dampak sosial budaya. Berdasarkan sosial budaya beberapa literatur, dampak yang paling dominan adalah perubahan nilai-nilai. Fenomena tersebut sesuai dengan salah satu dari ketiga unsur sosial budaya menurut Soekanto (1982) yakni nilai (value) merupakan aspek orientasi nilai budaya. Koentjaraningrat (2002) menyatakan orientasi nilai budaya merupakan cara berbagai kebudayaan di dunia mengkonsepsikan masalah-masalah universal secara berbeda-beda. Orientasi nilai budya adalah suatu konsepsi yang umum dan terorganisasi tentang alam, tentang tempat manusia dalam alam, tentang hubungan manusia dan manusia. Orientasi nilai, sebagai sebuah konsepsi mempengaruhi peilaku manusia dalam berhubungan dengan alam dan dengan manusia lain. Berikut penyajian orientasi nilai budaya dalam Tabel 4. Tabel 4 Kerangka Kluchkon mengenai lima masalah dasar besar hidup yang menentukan orientasi nilai budaya manusia Masalah dasar dalam hidup Hakikat hidup
Orientasi Nilai Budaya Hidup itu buruk
Hakikat karya
Orientasi nafkah
Hidup itu baik
Orientasi kedudukan Hakikat waktu Orientasi masa lalu Orientasi masa kini Hakikat lingkungan Tunduk kepada Selaras dengan alam alam alam Hakikat lingkungan Ketergantungan Ketergantungan sosial kepada sesama kepada tokoh
Hidup itu buruk tetapi berusaha menjadi baik Orientasi menambah karya Orientasi masa depan Menguasai alam Individualisme dalam arti mandiri
Sumber: Koentjaraningrat (2002)
Penelitian ini menghubungkan konsep komodifikasi budaya dengan orientasi nilai budaya maka interpretasi matriks di atas yakni bila orientasi nilai budayanya semakin ke kiri maka bernilai pelestarian budaya tradisional, artinya individu masih terikat dengan budaya asli, memiliki nilai-nilai yang mempertahankan pelestarian tradisi sehingga menghambat bertindak dalam komodifikasi budaya secara leluasa. Sedangkan bila orientasi nilai budaya yang dimiliki individu semakin ke kanan maka semakin bernilai profan. Artinya melalui tindakan komodifikasi budaya individu memiliki orientasi nilai budaya yang mendorong pada pengembangan seni pertunjukan ke arah profan, mempertimbangkan nilai estetika dan nilai jual. Sakral dan profan merupakan konsep yang dituangkan oleh Emile Durkheim dalam sosiologi agama. Profanisasi hal sakral dapat diartikan sebagai masuknya nilai-nilai budaya popular dalam kegiatan kerohanian spiritual yang sakral, dimana popularisme tersebut menawarkan pendangkalan makna (Liem 2012). Pada konteks penelitian ini, komodifikasi budaya merupakan tindakan profanisasi hal yang sakral. Implikasi dari tindakan komodifikasi budaya yakni makna nilainilai sakral dengan sengaja direduksi untuk memudahkan konsumen menerima
11 dengan cepat. Fenomena profanisasi dari yang sakral merupakan fenomena yang terjadi dalam komunikasi pemasaran.
Kerangka Pemikiran Komodifikasi sebagai suatu proses produksi komoditas yang tidak terlepas dari lingkup ekonomi, akan tetapi dapat mengacu pada pengorganisasian dan konseptualisasi pada produksi, distribusi, dan konsumsi komoditas (Fairclough 1995). Komodifikasi budaya terdiri dari tiga proses produksi, distribusi dan konsumsi. 2 Komodifikasi budaya yang menjadikan budaya sebagai produk komoditas industri pariwisata budaya tidak terlepas dari dampak sosial, budaya, dan ekonomi. Pada aspek ekonomi masyarakat menurut Sidarta (2002) dapat dilihat dari aspek tingkat pendapatan. Merujuk pada penelitian Dhana et al. (2014) menjelaskan bahwa upaya komodifikasi budaya memiliki hubungan dengan tingkat pendapatan seniman. Semakin tinggi keterlibatan komodifikasi budaya individu maka semakin tinggi pula tingkat pendapatan yang diperoleh. Keterlibatan masyarakat dalam proses komodifikasi budaya menjadikan suatu hal yang sakral menjadi seni pertunjukan yang profan. Upaya profanisasi ini menjadikan hal yang awalnya sakrah butuh proses memahami dalam waktu yang lama ditata ulang dan dikembangkan nilai estetika menggunakan nilai-nilai budaya populer sehingga menjadi seni pertunjukan yang mudah dipahami dan diminati penonton. Tingginya minat khalayak untuk memesan pementasan hasil komodifikasi budaya dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Penelitian ini menganalisa hubungan tingkat komodifikasi budaya dengan tingkat pendapatan pelaku komodifikasi budaya di komunitas Padepokan Seni Gema Buana. Selanjutnya berdasarkan penelitian Hilyana (2011), Sulistiantini (2007), Taryati (2007), Ruastiti (2011), dan Ardiwijaya et al. (2013) menjelaskan salah satu dampak sosial budaya dari komodifikasi budaya pada perubahan nilai. Perubahan nilai merupakan hal yang mendasar dari perubahan sosial budaya. Orientasi nilai budaya menjadi alat analisis dampak sosial budaya yang terjadi di masyarakat. Orientasi nilai budaya yang dimiliki individu menurut Koentjaraningrat (2002) dapat dilihat dari lima masalah hidup yakni hakikat hidup, hakikat kerja, hakikat waktu, hakikat lingkungan alam, dan hakikat lingkungan sosial. Berdasarkan penelitian Yuraega (2014), terdapat hubungan antara kegiatan masyarakat bekerja dengan orientasi nilai budayanya. Pada konteks industri pariwisata budaya, tindakan keterlibatan individu dalam komodifikasi budaya dianggap sebagai kegiatan bekerja atau berkarya oleh masyarakat yang berstatus seniman kesenian tradisional. Seniman memiliki orientasi menjadikan upacara menjadi seni pertunjukan yang nilai-nilai profan dan mengembangkan nilai estetika. Hubungan yang terjalin antara keterlibatan individu komodifikasi budaya dan orientasi nilai budaya adalah hubungan positif. Artinya semakin tinggi tingkat keterlibatan individu dalam komodifikasi budaya maka semakin tinggi pula 2
Pada penelitian ini proses komodifikasi budaya yang dilakukan oleh masyarakat anggota Padepokan Seni Gema Buana adalah proses produksi dan proses distribusi sedangkan pada proses konsumsi dilakukan oleh konsumen masyarakat di luar anggota padepokan.
12 tingkat orientasi nilai budaya yang dimiliki ke arah profanisasi hal sakral. Sebaliknya semakin rendah tingkat keterlibatan komodifikasi budaya maka semakin rendah pula tingkat orientasi nilai budaya, artinya individu tetap memegang nilai tradisional kesakralan dan pelestarian budaya. Hubungan kedua variabel tersebut dapat mencerminkan kondisi sosial budaya yang terjadi di masyarakat. Berikut merupakan kerangka penelitian yang diringkas dalam Gambar 1. Tingkat Komodifikasi Budaya (Fairclough 1995) Yuraega (2004)
Dhana et al. (2014) Kondisi Ekonomi
Kondisi Sosial Budaya
Tingkat Pendapatan (Sidarta 2002)
Tingkat Orientasi Nilai Budaya (Koentjaraningrat 2002) Hakikat hidup Hakikat waktu Hakikat karya Hakikat lingkungan alam Hakikat lingkungan sosial
Gambar 1 Kerangka pemikiran rancangan penelitian
Hipotesis Penelitian
1. 2.
Hipotesis penelitian ini disajikan sebagai berikut: Terdapat hubungan antara komodifikasi budaya dan pendapatan masyarakat. Terdapat hubungan antara komodifikasi budaya dan orientasi nilai budaya masyarakat.
Definisi Operasional Penelitian ini terdiri atas beberapa variabel yang terbagi menjadi beberapa indikator. Masing-masing variabel dan indikator diberi batasan terlebih dahulu sehingga dapat ditemukan skala pengukurannya. Definisi operasional dari variabel komodifikasi budaya, variabel orientasi nilai budaya dan pendapatan yang digunakan dalam penelitian ini dipaparkan sebagai berikut. 1. Tingkat komodifikasi budaya merupakan total skor proses produksi Upacara Bersih Desa Belimbing yang syarat akan kesakkralan menjadi seni pertunjukan Ronteg Singo Ulung yang lebih profan dan kemudian dilanjutkan proses
13 distribusi sehingga dapat dikonsumsi masyarakat sebagai komoditas seni pertunjukan yang memiliki nilai jual melalui industri pariwisata budaya. Kemudian untuk mendapatkan data tingkat komodifikasi budaya semua skor proses diakumulasi dan dikelompokkan ke dalam dua kelompok yaitu: i) Rendah jika ̅ ii) Tinggi jika ̅ Komodifikasi budaya yang dilakukan anggota Padepokan Seni Gema Buana terdiri dari dua proses yaitu: a) Proses produksi adalah total skor dari kegiatan yang dilakukan anggota Padepokan Seni Gema Buana untuk menata ulang Upacara Bersih Desa Belimbing yang syarat akan kesakkralan menjadi bentuk produk komoditi pariwisata budaya seni pertunjukan Ronteg Singo Ulung yang lebih profan. Pengukuran variabel tingkat keterlibatan proses produksi diukur melalui pertanyaan kegiatan-kegiatan produksi komodifikasi budaya dari empat indikator. Empat indikator proses produksi yakni: i) Menentukan peran dan jumlah pemain, ii) Menata ulang materi upacara ritual, iii) Menata ulang alokasi waktu dan lokasi pementasan, iv) Mempersiapkan variasi koreografi gerak tari dan aransemen musik karawitan. Proses produksi terdiri dari 16 pernyataan. Setiap pernyataan memiliki bobot 1 sampai 4 yakni tidak pernah: skor 1; jarang: skor 2; sering: skor 3; selalu: dan skor 4. Kemudian skor akumulatif dari proses produksi dikategorkan ke dalam dua kelompok yaitu: 1. Rendah jika ̅ 2. Tinggi jika ̅ b) Proses distribusi adalah total skor dari kegiatan menghubungkan produsen dan konsumen pariwisata budaya yang dilakukan anggota Padepokan Seni Gema Buana. Pengukuran variabel tingkat keterlibatan proses distribusi di ukur melalui pertanyaan kegiatan-kegiatan distribusi komodifikasi budaya dari tiga indikator. Tiga indikator proses produksi yakni: i) Mempromosikan kegiatan pertunjukan pada khalayak, ii) Menggunakan media promosi, iii) Menjalin kerjasama dengan berbagai pihak, Proses distribusi terdiri dari sembilan pernyataan. Setiap pernyataan memiliki bobot 1 sampai 4 yakni tidak pernah: skor 1; jarang: skor 2; sering: skor 3; dan selalu: skor 4. Kemudian skor akumulatif dari proses produksi dikategorkan ke dalam dua kelompok yaitu: 1. Rendah jika ̅ 2. Tinggi jika ̅ 2. Tingkat orientasi nilai budaya merupakan total skor dari konsepsi anggota Padepokan Seni Gema Buana mengenai cara pandangnya terhadap kehidupan, pekerjaan dan karya, waktu, hubungan manusia dengan lingkungannya, dan hubungan dengan sesamanya dalam konteks kegiatan komodifikasi budaya. Orientasi nilai budaya yang dimiliki anggota Padepokan Seni Gema Buana terdiri dari lima jenis yaitu:
14 a) Hakikat hidup adalah total skor dari cara pandangan anggota dalam komodifikasi budaya upacara bersih desa Singo Ulung. Hakikat hidup dilihat dari tiga cara pandang: 1. Hidup adalah buruk jika cara pandang anggota terhadap manfaat komodifikasi budayanya secara fatalisme (pasrah terhadap nasib yang ditentukan Tuhan) (skor 1) 2. Hidup adalah baik jika cara pandang anggota terhadap manfaat komodifikasi budayanya sebagai hiburan (skor 2) 3. Hidup adalah buruk namun harus berusaha jika cara pandang anggota terhadap manfaat komodifikasi budayanya sebagai sarana berusaha ekonomi kreatif atau upaya pelestarian budaya (skor 3) b) Hakikat karya adalah total skor dari orientasi berkarya atau bekerja yang dimiliki anggota dalam hal tujuan dan motivasi bergabung di komunitas komodifikasi budaya. Hakikat karya atau kerja dilihat dari: 1. Orientasi nafkah jika tujuan dan motivasi bergabung di komunitas komodifikasi budaya untuk mendapatkan uang (skor 1) 2. Orientasi berprestasi atau kedudukan jika tujuan dan motivasi bergabung di komunitas komodifikasi budaya untuk mengejar prestasi dan kedudukan yang baik di masyarakat (skor 2) 3. Orientasi menambah karya jika tujuan dan motivasi bergabung di komunitas komodifikasi budaya untuk dedikasi keilmuan di bidang kesenian tradisional (skor 3) c) Hakikat waktu adalah total skor dari orientasi waktu yang dimiliki anggota terutama dalam hal pengalokasian pendapatan dalam konteks waktu untuk komodifikasi budaya. Hakikat waktu dilihat dari: 1. Orientasi masa lalu jika alokasi pendapatan yang dimiliki digunakan untuk membayar hutang (skor 1) 2. Orientasi masa sekarang jika alokasi pendapatan yang dimiliki digunakan untuk kebutuhan saat ini (skor 2) 3. Orientasi masa depan jika alokasi pendapatan yang dimiliki digunakan untuk ditabung atau investasi (skor 3) d) Hakikat lingkungan alam adalah total skor dari orientasi anggota mengenai tindakannya terhadap lingkungan alam sekitar padepokan. Hakikat lingkungan alam dilihat dari: 1. Pasrah pada alam jika tindakan komodifikasi budaya menyesuaikan dengan lingkungan alam padepokan (skor 1) 2. Memanfaatkan alam jika lingkungan alam sekitar padepokan dimemanfaatkan untuk keperluan komodifikasi budaya (skor 2) 3. Menguasai alam jika lingkungan alam sekitar padepokan digunakan seluruhnya untuk komodifikasi budaya (skor 3) e) Hakikat lingkungan sosial adalah skor total dari orientasi anggota mengenai hubungan antara anggota padepokan saat berinteraksi dengan anggota lain saat proses komodifikasi budaya. Hakikat lingkungan sosial dilihat dari: 1. Bergantung pada sesama teman (skor 1) 2. Bergantung pada tokoh masyarakat (skor 2) 3. Orientasi mandiri (skor 3) Mengukur tingkat orientasi nilai budaya terdiri dari 15 pernyataan. Setiap jawaban pernyataan memiliki nilai bobot 1 sampai 3 yakni jawaban a memiliki
15 skor 1; jawaban b memiliki skor 2; dan jawaban c memiliki skor 3. Kemudian untuk menghasilkan tingkat orientasi nilai budaya seluruh skor diakumulasi dari lima bentuk hakikat di atas dan dikategorkan ke dalam dua kelompok yaitu: i) Rendah jika total skor antara 1 ̅ ̅ ii) Tinggi jika skor 3.
Pendapatan merupakan jumlah upah yang terima dari pekerjaan komodifikasi budaya di Padepokoan Seni Gema Buana khususnya jumlah uang yang diterima sebagai imbalan setelah keterlibatan kegiatan pementasan. Pengukuran dan pengkelompokan tingkat pendapatan adalah: 1. Pendapatan rendah jika x < ̅ 2. Pendapatan tinggi jika x ≥ ̅
16
17
PENDEKATAN LAPANGAN Metode Penelitian Penelitian mengenai hubungan komodifikasi budaya dengan kondisi ekonomi, sosial, dan budaya anggota komunitas Padepokan Seni Gema Buana melalui pendekatan kuantitatif yang didukung dengan data kualitatif untuk memperkuat interpretasi. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan metode sensus menggunakan instrumen kuesioner kepada seluruh populasi penelitian. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk mencari informasi hubungan komodifikasi budaya dengan orientasi nilai budaya dan jumlah pendapatan anggota Padepokan Seni Gema Buana. Pendekatan kualitatif digunakan sebagai interpretai pendukung yaitu dengan wawancara mendalam. Untuk itu, pendekatan lapang dilakukan dengan penggalian informasi dari informan dengan wawancara mendalam. Hasil uraian wawancara dijelaskan secara deskripsi, namun tetap berfokus pada hubungan antar variabel untuk menguji hipotesa penelitian. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di komunitas Padepokan Seni Gema Buana Ronteg Singo Ulung, Desa Prajekan Kidul, Kecamatan Prajekan, Kabupaten Bondowoso, Provinsi Jawa Timur. Proses penelitian dimulai dari pembuatan proposal penelitian pada bulan Februari 2015, sedangkan penelitian di lapangan dilakukan selama empat minggu, yaitu pada bulan Februari hingga Maret 2015. Pemilihan lokasi dilatarbelakangi oleh relevansi kondisi lapang dengan masalah penelitian yang diangkat. Kondisi lapang yakni keberadaan budaya masyarakat yang khas berupa upacara ritual tradisional yang sangat sakral dan dipegang teguh pada suatu komunitas masyarakat Desa Blimbing, Kecamatan Klabang, Kabupaten Bondowoso. Saat ini masyarakat dengan berbagai tujuannya melakukan komodifikasi budaya pada upacara tersebut dan menjadi sebuah seni pertunjukan yang lebih profan dapat dikonsumsi tidak hanya pada komunitasnya saja juga oleh publik dan tentu memiliki nilai jual. Masalah penelitiannya yaitu untuk memahami dan menganalisa hubungan tindakan komodifikasi budaya terhadap kondisi ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat khususnya pada orientasi nilai budaya dan tingkat pendapatan anggota komunitas tersebut. Adapun kegiatan penelitian yang dilakukan dapat dilihat pada Lampiran 2. Teknik Pemilihan Anggota dan Informan Penelitian ini menggunakan sumber data dari responden dan informan. Unit analisis penelitian adalah individu yang menjadi anggota dalam komunitas Padepokan Seni Gema Buana. Alasan pemilihan unit analisis karena analisa mengenai komodifikasi budaya upacara bersih desa Singo Ulung hanya dilakukan oleh anggota di komunitas Padepokan Seni Gema Buana. Responden
18 diwawancarai sesuai dengan kuesioner yang telah dibuat dan jawabanya dianggap dapat mewakili kondisi dirinya sebagai salah satu anggota dari komunitas. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anggota tetap Padepokan Seni Gema Buana, Bondowoso. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari pengurus padepokan, jumlah anggota tetap adalah 30 orang. Jumlah tersebut seluruhnya menjadi responden dalam penelitian ini. Pemilihan informan dilakukan secara sengaja (purposive). Informan kunci yang dipilih terdapat 3 orang yaitu ketua Padepokan Seni Gema Buana, ketua unit Padepokan Seni Gema Buana, dan ketua adat upacara bersih desa Singo Ulung. Teknik Pengumpulan Data Penelitian mengenai hubungan komodifikasi budaya dengan kondisi ekonomi sosial budaya masyarakat dilakukan dengan pendekatan penelitian kuantitatif dengan metode sensus dan didukung oleh kualitatif. Pendekatan lapang pun dilakukan dengan penggalian informasi dari anggota dengan kuesioner dan wawancara. Unit analisa dalam penelitian ini adalah individu dalam satuan wilayah komunitas. Secara umum penelitian ini lebih bertujuan untuk menjelaskan (explanatory) mengenai kondisi di lapang. Pada penelitian explanatory, peneliti menjelaskan hubungan kausal antara variabel-variabel melalui pengujian hipotesa (Singarimbun dan Effendi 1983). Selain pendekatan penelitian kuantitatif yang telah dijelaskan, penelitian mengenai kondisi perubahan ekonomi, sosial dan budaya yang didukung pula oleh pendekatan kualitatif. Dalam hal ini penelitian dilakukan dengan teknik penelitian wawancara terstruktur, observasi, dan analisa data sekunder yang menjadi sumber referensi berkaitan dengan topik. Penelitian kualitatif tersebut diharapkan mampu melengkapi analisis data lapang yang berkaitan dengan potensi budaya daerah, proses komodifikasi budaya upacara ritual bersih desa Singo Ulung, orientasi nilai budaya masyarakat dan tingkat pendapatan. Data yang digunakan pada penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer yaitu data yang didapatkan melalui observasi, kuesioner (Lampiran 3), dan wawancara kepada anggota dan informan di lokasi penelitian dengan menggunakan panduan pertanyaan (Lampiran 4). Data sekunder juga diperoleh dari Padepokan Seni Gema Buana yakni profil organisasi dan hasil penelitian sebelumnya yang dijadikan unit analisa. Data sekunder yang diambil dari lembaga-lembaga tersebut adalah data yang berkaitan dengan tujuan penelitian, seperti profil desa, sejarah Singo Ulung secara tertulis dan data-data terkait lainnya. Kuesioner telah diuji untuk mengetahui reliabilitas dari kuesioner tersebut. Maka diperoleh alpha sebagai berikut: Tabel 5 Uji statistik reliabilitas Cronbach's Alpha ,867
N of Items 41
19 Aturan dalam penentuan nilai alpha yakni 1) nilai alpha ≥ 0,90 maka reliabititas sempurna; 2) nilai alpha 0,70 – 0,89 maka realibilitas tinggi; 3) nilai alpha 0,50 – 0,69 maka reliabilitas moderat; dan 4) nilai alpha < 0,50 maka reliabilitas rendah. Berdasarkan tabel di atas uji reliabilitas pada angka 0,867 maka dapat disimpulkan bahwa kuesioner penelitian memiliki realibilitas tinggi. Teknik Pengolahan dan Analisis Data Unit analisis penelitian ini adalah individu. Proses pengolahan data meliputi proses pembuatan kode, pemberian skor, dan kemudian dientri ke dalam Microsoft Excel 2010. Analisis data menggunakan SPSS Statistic 22.0 untuk tabel frekuensi, tabulasi silang dan uji korelasi. Uji korelasi menggunakan rank Spearman untuk mengetahui hubungan antara variabel komodifikasi budaya dengan variabel orientasi nilai budaya, serta hubungan antara variabel komodifikasi budaya dengan variabel tingkat pendapatan. Hasil analisis kemudian diinterpretasikan untuk menjelaskan hubungan yang terjadi. Analisis data kualitatif dari wawancara mendalam dan observasi dilakukan melalui tiga tahap yaitu reduksi data, penyajian data, dan verifikasi. Pada reduksi data dilakukan pemilihan, penyederhanaan, abstraksi, dan transformasi data hasil wawancara mendalam, observasi, dan studi dokumen terkait. Pada tahap ini bertujuan untuk mempertajam, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu. Penyajian analisis data kualitatif berupa interpretasi dan kutipan langsung yang menguatkan analisis data kuantitatif dan analisis hasil uji korelasi. Tahap verifikasi sebagai tahap akhir yang menganalisis hasil yang telah diolah pada tahap reduksi sehingga memungkinkan adanya penarikan kesimpulan.
20
21
KOMODIFIKASI BUDAYA Gambaran Umum upacara bersih desa Singo Ulung Upacara bersih desa Singo Ulung merupakan upacara religi selamatan atau syukuran desa. Upacara ini dikemas menjadi kesenian rakyat tradisional, dalam penyajian pertunjukan yang mengisahkan kepahlawanan para pendiri desa. Upacara yang dilaksanakan di Desa Blimbing, Kecamatan Klabang, Kabupaten Bondowoso diprakarsai oleh pendirinya yakni Jujuk Sengah (Paman Singa) atau lebih dikenal dengan nama Juk Seng. Pada tahun 549 M sejak saat itu setiap tahun selama tiga hari yakni tanggal 13, 14, dan 15 Bulan Syakban tepatnya 15 hari sebelum puasa Ramadhan diperingati hari jadi Desa Blimbing sekaligus sebagai upacara bersih desa Singo Ulung oleh masyarakat. Masyarakat Desa Blimbing memiliki kepercayaan bahwa Upacara Bersih Desa merupakan ritual memiliki nilai magis dan sakral. Terdapat ketentuan yang tidak dapat diubah dan harus ditaati. Kepercayaan ini dipegang teguh oleh masyarakat yang diwariskan secara turun-temurun. Kondisi ini juga tercermin dari masih berlakunya penokohan dari masyarakat atas kepemimpinan adat atau yang disebut Komangkoh (pemangku adat). Kualifikasi utama menjadi seorang pemangku adat adalah keturunan anak cucu dari Jujuk Sengah. Selain itu seorang pemangku adat harus memiliki ilmu magis yang didapatkan dari ilmu yang diturunkan nenek moyangnya dan usaha tirakat. Saat ini pemangku adat dipegang oleh Bapak Sutikno sebagai keturunan ke tujuh dari Mbah Singo Ulung, Berdasarkan penuturan dari Bapak Sutikno, pemangku adat yang berwenang saat ini, beliau menyatakan bahwa tirakat yang dijalankan sebelum ia menjadi pemangku adat yakni berupa puasa selama 13 tahun dan tidak diperkenankan makan nasi hingga saat ini, sehingga pemangku adat berwenang untuk mengatur semua jalannya upacara. Masyarakat yang melangsungkan upacara adalah masyarakat yang berdomisili di Desa Blimbing namun kehadiran dan partisipasi rangkaian acaranya juga datang dari masyarakat sekitar Kabupaten Bondowoso dan sekitarnya seperti Kabupaten Situbondo, Jember, dan Banyuwangi. Partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan acara sebagai agenda rutin tiap tahun untuk memperingati hari lahir Desa Blimbing dan ungkapan rasa syukur serta usaha tolak bala. Masyarakat yang berdomisili di Desa Blimbing mayoritas beragama Islam. Berasal dari suku Madura dan Jawa dengan bahasa sehari-hari bahasa Madura. Rangkaian Upacara Bersih Desa Upacara Bersih Desa memiliki tata urutan tertentu yang telah menjadi ketentuan masyarakat. Pada saat hari pertama upacara tanggal 13 Syakban disebut dengan Selametan Sangger. Pemangku adat merupakan keturunan dari Juk Singo Ulung yang diberi kepercayaan oleh masyarakat untuk memasak seluruh sesaji. Masyarakat membantu menyiapkan peralatan dan bahan-bahan memasak. Saat memasak pemangku adat dilarang berbicara dan tidak ada orang yang boleh masuk di lokasi memasak. Berikut merupakan beberapa perlengkapan sesaji atau yang dikenal dengnan Uborampe yang perlu disiapkan pada tanggal 13 Syakban
22 adalah Nasi Lamak, Nasi Rosul, Bitdeng Ghuluk, Lembhur, Jhidhul, Nanginang, Tetel, Tape Ketan, Lop kolop pettung macem, Ghendih, Juko’ sanga’ macem bigih. Kemudian sesaji yang telah siap, pembukaan awal dibuka oleh tabuhan gendhinggendhing klenengan yang menjadi tanda kepada masyarakat bahwa upacara akan segera dimulai sehingga masyarakat dapat berkumpul di halaman Kantor Desa Blimbing. Ritual awal dimulai dengan doa bersama yang dipimpin oleh pawang yang sekarang merangkap menjadi pemangku adat. Seluruh sajian yang telah siap dibawa diiringi atraksi Nangger (arak-arakan bersama warga keliling desa menuju dilaksanakan tempat pemakaman Mbah Singo). Selain sebagai arak-arakan, atraksi Nangger juga berfungsi untuk ritual dan hiburan masyarakatnya. Arakarakan diikuti oleh petugas ulu-ulu banyu, tokoh masyarakat, pembawa uborampe atau sesaji, kelompok pengrawit, kelompok pemeran (Singo Ulung, Topeng Kona, Tandhak Binik, dan Ojung), kerabat desa, panitia pelaksana upacara dan masyarakat. Sesampainya arak-arakan di Nangger, diawali dengan pengambilan air ulbu’ atau air dari sumber mata air. Lalu sesaji diletakkan ke sumber mata air dilanjutkan pembacaan doa oleh pemangku adat. Kemudian pementasan dari Singo Ulung, Topeng Kona, Tandhak Binik dan Ojung menjadi rangkaian akhir dari upacara pada tanggal 13 Syakban. Pada hari berikutnya, tanggal 14 Syakban, dilaksanakan Selamatan Tanean dilaksanakan di halaman Kantor Desa. Pemangku adat membacakan Doa Qubul. Sesaji yang diperlukan yakni Nasi Tumpeng, Nasi Katul, Nasi Bekol, Tegeteh, Bitdheng Ghuluk dan Jenang Panca Warna. Sesaji ini dimakan bersama masyarakat. Dilanjutkan pada tanggal 15 Syakban, Selametan di Nangger seluruh sesaji yang dimasak pada tanggal 13 dan 14 Syakban disediakan kembali untuk disajikan pada masyarakat. Nilai-nilai Sosial yang terkandung dalam Upacara Bersih Desa Tujuan masyarakat melaksanakan upacara bersih desa Singo Ulung yakni sebagai tolak bala dan minta hujan. Tolak bala menjadi tujuan utama masyarakat karena mereka memiliki kepercayaan bila upacara tidak dilaksanakan atau pun pelaksanaanya tidak sesuai dengan ketentuannya maka akan terjadi huru-hara, kondisi masyarakat tidak tentram, musibah seperti kebakaran dan sebagainya. Upacara bersih desa Singo Ulung adalah juga sebagai ungkapan rasa syukur dan permohonan khususnya pada tenean (bidang pertanian). Masyarakat bersyukur hasil bumi pertaniannya baik dan meminta agar musim selanjutnya hasilnya meningkat dan sejahtera gemah ripah loh jinawi. Melalui penyelenggaraan upacara peran Singo Ulung atau Juk Seng sebagai sarana mengenang jasa pahlawan yakni pendiri dan kepala desa pertama yang telah membangun dan memimpin desa dengan adil dan bijaksana. Hal ini dapat menjadi pengingat masyarakat dan pemerintah desa untuk mencontoh teladannya. Tujuan dilaksanakannya upacara lainnya adalah sebagai ajang masyarakat menjalin silaturahmi dan membangkitkan semangat gotong-royong khususnya saat mempersiapkan rangkaian upacara. Makna yang terkandung dari Upacara Bersih Desa Upacara Bersih Desa sebagai sarana untuk mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa. Bentuk sajiannya mengangkat kisah pahlawan pendiri Desa
23 Blimbing yang diperankan oleh empat karakter yaitu Singo Ulung, Topeng Kona, Tandhak Binik dan Ojung. Hal ini menjadi simbol kemenangan atas Singo Ulung diperankan oleh dua orang yang mengenakan kostum singa berwarna putih. Singo Ulung sebagai lambang dari jelmaan tokoh Juk Seng. Secara sengaja masyarakat mengagungkan karakter Singo Ulung dengan tujuan untuk mengingat Juk Seng yang merupakan orang suci dan jujur. Topeng Konah menggambarkan Jasiman. Thandak Binik menggambarkan seorang tokoh bernama Jurati yang merupakan istri dari Juk Seng. Meskipun karakter thandak Bhinik adalah seorang perempuan namun pemerannya harus seorang laki-laki. Ojung menggambarkan murid Jasiman. Berikut merupakan persyaratan sesaji yang digunakan dalam upacara bersih desa Singo Ulung beserta makna dan sarana simbolisnya: 1. Nasi Lemak adalah beras putih yang dimasak menggunakan rempah-rempah sehingga memiliki rasa yang lebih gurih. Umumnya disebut nasi kuning. Simbol dari pengikat kasih sayang agar anak cucu dan semua keturunan warga Desa Blimbing tetap mendapat keselamatan. 2. Nasi Rosul yaitu Nasi putih yang diletakkan di piring dan dibentuk munjung (menggunung ke atas). Simbol dari mengagungkan, supaya orang lain menghormati masyarakat Desa Blimbing atau semua cita-cita yang baik seluruh warga dapat terkabul. 3. Bitdheng Ghuluk yakni minuman dari biji kopi yang tidak digiling. Maknanya minuman yang disukai pendiri desa, Juk Seng. Memiliki rasa yang enak, dapat menghilangkan rasa lelah. 4. Lembhur merupakan daging buah kelapa muda, maknanya dapat mengantarkan sumber mata air. 5. Jhindhul memiliki makna dapat menghilangkan dosa. 6. Nanginang atau bisa juga disebut Rangginang yakni krupuk yang berbentuk bulat. Terbuat dari nasi yang diberi rempah-rempah. Memiliki makna pengayoman agar warga desa selalu dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa. Bentuk bundar simbol jalannya manusia selalu berputar. 7. Tetel atau Jadah ketan maknanya mengikat kasih sayang, kesetiaan, keuletan dalam berpikir. 8. Tape Ketan maknanya pemahaman berpikir. 9. Lop kolop pettung macem atau tujuh macam warna atau jenis masakan sayuran yakni: ra’kara’, kacang panjang, langkir, lamtoro, timun, terong, dan labu. Maknanya adalah perjalanan manusia selama tujuh hari atau dihitung menurut hari dalam satu minggu. 10. Ghendih adalah tempat air yang diambil dari mata air sonder artinya sumber mata air. 11. Juko’ sanga’ macem bigih atau masakan yang terdiri dari sembilan jenis yaitu: Panggang ayam, kokot (telapak kaki sapi), bibir sapi, kopeng (telinga sapi), jile (lidah sapi), ateh (hati sapi), perrok (usus sapi), bhere (paru-paru sapi), dan tenggorok (tenggorokan sapi). Seluruhnya memiliki makna menggendalikan sembilan jenis hawa nafsu. 12. Nasi Tumpeng maknanya kejayaan dan ketinggian derajat. 13. Nasi Katul maknanya kelembutan pikiran. 14. Nasi Bekol yakni nasi bungkus sebanyak 30 bungkus sebagai simbol jumlah murid Ki Jasiman semasa dulu.
24 15. Tegeteh adalah makanan yang dimasak dari campuran palawija. Maknanya kerukunan, persatuan dan kesatuan masyarakat. 16. Bitdheng ghuluk yakni air kopi dari biji kopi yang belum dihaluskan. Maknanya menyatu dalam pikiran. 17. Jenang Panca Warna adalah jenang dengan lima jenis warna yakni jenang hitam, merah, putih, kuning dan hijau. Pasaran lima hari menurut kalender jawa yakni wage, kliwon, legi, pahing, dan pon. Melambangkan berbagai sifat manusia seperti sifat amarah atau nafsu, keberanian, kesabaran atau suci, kejujuran atau kesatria serta memiliki derajat pangkat. Pantangan yang Harus Ditaati Masyarakat Desa Blimbing percaya apa bila melanggar pantangan akan mendapatkan musibah dan mala petaka. Pertama mengenai persiapan penyajian sesaji, masyarakat mengumpulkan seluruh hasil panennya berupa hasil bumi, tanaman palawija serta seluruh kebutuhan alat dan bahan membuat sesaji. membantu menyiapkan peralatan dan bahan-bahan memasak. Pantangan ini bertujuan untuk menggalang solidaritas dan semangat gotong royong masyarakat Desa Blimbing dalam mempersiapkan upacara bersih desa, serta sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat karena telah diberikan tanah yang subur oleh Tuhan Yang Maha Esa. Kedua, saat proses memasak sesaji, pemangku adat merupakan keturunan dari Juk Singo bertugas memasak seluruh sesaji. Pemangku adat dilarang berbicara dan tidak ada orang yang boleh masuk di lokasi memasak Larangan ini sudah berlaku sejak kali pertama dilaksanakannya upacara dan dimaksudkan supaya pemangku adat lebih fokus berdoa kepada Yang Maha Kuasa saat mempersiapkan sesaji agar sesuai dengan persyaratan. Ketiga, saat pelaksanaan Ojung yang merupakan kompetisi bertarung rakyat secara tradisional. Pada kompetisi ini terdiri dari dua orang yang merupakan lawan bermain. Aturan mainnya adalah kedua orang saling mencambuk dengan alat cambuk rotan. Di akhir kompetisi dua orang yang telah mengalahkan lawanlawan mainnya akan diadu. Pantangannya adalah minimal salah satu dari pemain harus ada yang terkena cambuk dan meneteskan darah di tempat yang dianggap sakral yakni di persimpangan pertigaan jalan desa. Menurut kepercayaan masyarakat ritual ini adalah ritual untuk mendatangkan hujan. Gambaran Umum Seni Pertunjukan Ronteg Singo Ulung Seni pertunjukan Ronteg Singo Ulung merupakan hasil komodifikasi budaya yang diangkat dari sebuah upacara adat bersih desa Singo Ulung di Desa Blimbing, Kecamatan Klabang, Kabupaten Bondowoso.
25
Gambar 2 Seni pertunjukan Ronteg Singo Ulung Gambar 2 menunjukkan salah satu pementasan seni pertunjukan Ronteg Singo Ulung. Pemeran terdiri dari seorang Ketua Adat, seorang Topeng Kona, para pemain Ojung, para penari Tandhak Binik, tiga Singo Ulung dan para pemain pengiring musik karawitan. Gambaran pelaksanaan persiapan komodifikasi budaya dan pementasan seni pertunjukan Ronteg Singo Ulung telah dilampirkan pada Lampiran 7.
Gambar 3 Atraksi peran Singo Ulung dalam seni pertunjukan Ronteg Singo Ulung Gambar 3 menunjukkan salah satu atraksi peran Singo Ulung dalam seni pertunjukan Ronteg Singo Ulung. Karakter peran Singo Ulung menggambarkan seorang tokoh masyarakat yang sakti dalam ilmu ghaib bernama Juk Seng. Beliau sebagai sosok pemimpin yang bijaksana dan berwibawa maka mendapat kepercayaan dari rakyatnya untuk memegang pucuk kepemimpinan dan kekuasaan sebagai Demang. Saat menjalankan tugasnya sebagai demang, Juk Seng dibantu oleh kerabatnya yang bernama Jasiman dan murid-murid dari perguruan Jasiman. Masyarakat mengenang Juk Seng sebagai seorang yang sakti
26 mandraguna dan memiliki ilmu magis yang luan biasa. Juk Seng mampu bersahabat dengan hewan, salah satunya dengan Singa. Dalam setiap pertempuran, Juk Seng selalu meminta bantuan Singa dan selalu memperoleh kemenangan. Komodifikasi budaya upacara bersih desa Singo Ulung mengalami perkembangan pada pemeran, materi upacara, gerak tari, instrunmen musik karawitan namun alur cerita dibuat sesuai dengan aslinya. Jumlah pemain dan penari dalam Ronteg Singo Ulung dapat ditambah atau dikurangi menyesuaikan koreografi dan kebutuhan setiap pementasan. Setiap pementasannya tidak semua peranan tersebut seluruhnya ditampilkan. Seperti contohnya pada pementasan olahraga hanya ditampilkan Ojung dan Singo saja. Penggunaan alat musik pun bisa disesuaikan dengan koreografi dalam setiap pementasan. Berikut adalah perbedaan antara upacara bersih desa Singo ulung dan Ronteg Singo Ulung sebagai hasil komodifikasi budaya (Tabel 6) Tabel 6 Perbedaan upacara dan hasil komodifikasi No Perbedaan 1 Waktu pelaksanaan 2 Tempat pelaksanaan 3 Sajian 4 Suasana 5 Gerak 6 Gerak tari 7 Koreografi 8 9
Kostum dan make up Musik
10 Durasi 11 Sesaji
Upacara Ditampilan tahun sekali 15 Sya’ban Hanya dilaksanakan di Desa Blimbing. kolektif. Magis dan religius. Warisan nenek moyang Sederhana dan terbatas. Sederhana dan tidak ada pola lantai. Tidak banyak pertimbangan. Bebas. Tanpa ketentuan waktu yang terbatas Lengkap sesuai persyaratan
Hasil komodifikasi Dapat dipentaskan sewaktuwaktu untuk pertunjukan. Dimana saja dalam konteks panggung. Tertata dan berurutan. Petunjukan dan konser Sesuai acuan dan latihan. Kreativitas untuk atraksi Pola lantai sesuai arena pertunjukan. Selalu dikembangkan agar bervariasi dan menarik. Kreativitas untuk mendukung suasana. Ditentukan pementasan. Disederhanakan sebagai simbol upacara
Gambaran Umum Padepokan Seni Gema Buana Tahun 1992 dibentuk sebuah kelompok paguyuban kesenian namun belum memiliki nama. Paguyuban tersebut beranggotakan guru kesenian dan olahraga di Kecamatan Prajekan. Pendirian kelompok ini bermula dari kegelisahan pendiri mengenai identitas daerah Kabupaten Bondowoso yang belum dikenal masyarakat, sehingga pendiri terpanggil jiwanya untuk menggagas berdirinya padepokan dengan tujuan membentuk image daerah melalui estetika kesenian tradisional daerah. Kendala utama pendirian paguyuban adalah dirasa sulit untuk mengajak dan menarik simpati untuk berkesenian yang menjadi bagian dari kebutuhan hidup.
27 Sulit pula menuntun seniman tradisional dalam berkesenian dengan managemen organisasi budaya profesional. Awal kiprah berkesenian, pementasan masih sebatas di lingkungan kecamatan dan kabupaten Bondowoso. Seiring berjalannya waktu kelompok pun semakin menguat dan tumbuh besar. Hingga sering mendapat kepercayaan untuk mengikuti Pekan Budaya tingkat Kabupaten sebagai wakil dari kecamatan pada tahun 1996 mendapat juara I di tingkat Kabupaten dengan menyajikan sebuah karya seni yang berbentuk sendra tari. Selanjutnya pada tahun 1996 kepercayaan dari Kabupaten Bondowoso untuk mengikuti Pekan Budaya Tingkat Provinsi Jawa Timur sebagai Duta Seni dari Kabupaten Bondowoso. Pada tahun itu pula seluruh personel pendukung melakukan musyawarah untuk memberi nama kelompok dan membentuk kepengurusan. Pada tanggal 16 Juni 1996 terbentuk sebuah Sanggar Seni yang diberi nama Gema Buana. Sejak terbentuknya Sanggar Seni Gema Buana semakin menampakkan eksistensinya. Tahun 2002 menampilkan hasil karya terbaru dari komodifikasi budaya upacara bersih desa Singo Ulung yakni Ronteg Singo Ulung dan meraih gelar Juara I tingkat nasional. Setelah berulang kali meraih jelar juara nasional, pengurus bermusyawarah untuk meningkatkan status sanggar seni menjadi padepokan seni. Maka pada tanggal 1 Januari 2004, lahirlah sebuah Padepokan Seni Gema Buana dengan akta notaris nomor 1 tertanggal 2 Agustus 2004. Padepokan Seni Gema Buana juga menangani beberapa jenis kesenian, yakni: 1. Bidang seni tari, 2. Bidang seni pertunjukan Ronteg Siongo Ulung, 3. Bidang Pendalangan, 4. Pojian dan lainnya. Berbagai prestasi karya seni pertunjukan level kabupaten, provinsi, nasional yang diangkat dari budaya tradisi Bondowoso dan sehingga kini menjadi ikon identitas seni budaya Kabupaten Bondowoso. Lokasi Padepokan Padepokan Seni Gema Buana secara administrasi terletak di wilayah Desa Prajekan Kidul, Kecamatan Prajekan, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur 68285. Padepokan Seni Gema Buana menempati area tanah seluas kurang lebih 5.000 meter persegi, di antara lahan persawahan padi milik masyarakat dan lahan hutan jati milik Perhutani, jauh terpencil dari hiruk pikuk pemukiman penduduk. Lahan padepokan tersebut telah dibangun sebuah paseban dan banguan induk yang masih dalam tahap penggarapan pembangunan. Jarak tempuh dari Kabupaten Bondowoso ke lokasi Padepokan Seni Gema Buana berjarak 25 kilometer, dapat ditempuh menggunakan kendaraan roda empat, angkutan umum atau bus kota jurusan Situbondo – Jember kemudian dilanjutkan dengan jalan desa sejauh kurang lebih 500 meter. Sedangkan dari kecamatan Prajekan ke lokasi padepokan berjarak 1.5 kilometer. Masyarakat sekitar padepokan mayoritas merupakan masyarakat campuran suku Madura dan Jawa. Bahasa Madura merupakan bahasa yang digunakan sehari-hari untuk berkomunikasi dan bersosialisasi. Profil Organisasi Padepokan Seni Gema Buana tidak memiliki penokohan khusus sebab padepokan menerapkan budaya organisasi saling asah, asih dan asuh sehingga struktur keanggotaan berupa kepengurusan dan senioritas. Bentuk keanggotaan
28 Padepokan Seni Gema Buana terdiri dari anggota tetap, anggota magang dan anggota insidental. Pertama anggota tetap, anggota tetap terdiri dari tiga puluh orang yang telah terseleksi dan rutin mengikuti segala bentuk kegiatan di padepokan. Kedua, anggota magang yang merupakan murid-murid sekolah yang ditugaskan magang oleh sekolahnya untuk mempelajari beragam kesenian tradisional yang dikembangkan di Padepokan Seni Gema Buana. Jumlah anggota magang tidak dapat dipastikan karena anggota keluar-masuk sesuai waktu yang dibutuhkan untuk magang. Anggota insidental adalah orang-orang di luar anggota tetap yang memiliki potensi dan kemampuan berlaku seni. Orang-orang tersebut secara insidental akan diminta jasanya bila padepokan akan menampilkan pertunjukan yang membutuhkan pemain lebih banyak dari anggota tetap. Syarat dan ketentuan yang diberlakukan pada orang yang ingin bergabung menjadi anggota tetap adalah: 1. Memiliki minat, kesungguhan, komitmen, kemampuan, dan berbagai keterampilan. 2. Sistem rekruitmen anggota bertanggung jawab pada anggota. 3. Memenuhi syarat administrasi berupa kartu identitas dan syarat tertulis berupa perjanjian. Sistem rekruitmen anggota adalah anggota bertanggung jawab pada anggota yakni bila terdapat anggota baru yang ingin bergabung harus memiliki senior minimal seorang yang mau bertanggung jawab pada anggota baru tersebut. Hal ini bertujuan untuk meminimalisasi tingginya angka-keluar masuk anggota di padepokan karena rendahnya komitmen serta meminimalisasi adanya kecurangan seperti mata-mata dari tempat lain atau pun aksi plagiat. Keberadaan padepokan harapannya dapat menjadi wadah seni tradisional dan miniatur seni budaya Kabupaten Bondowoso serta menjadi tempat pembinaan pengembangan masyarakat terutama etika (tata krama, prilaku, dan mentalitas) dan estetika (olah tubuh dan gerak tari). Berdasarkan struktur organisasinya, Padepokan Seni Gema Buana memiliki beberapa pembagian tugas yakni terdiri dari ketua padepokan, sekertaris, bendahara dan keua unit dan sembilan penanggung jawab unit yakni unit program, unit rumah tanggga, unit musik dan karawitan, unit seni pertunjukan, unit tari anak dan remaja, unit sebat lebur, unit budaya dan bahasa, unit seni rupa dan unit humas. Berikut merupakan bentuk struktur organisasi Padepokan Seni Gema Buana: Ketua Sekertaris
Bendahara Ketua Unit
Unit Seni Pertunjukan
Unit Tari Anak dan Remaja
Unit Humas
Unit Sebat Lebur
Unit Program
Unit Budaya dan Bahasa
Unit Musik dan Karawitan
Unit Seni Rupa
Unit Rumah Tangga
Gambar 4 Struktur organisasi Padepokan Seni Gema Buana
29 Ketua Padepokan Seni Gema Buana serta pemilik lahan secara sengaja mendedikasikan lahan serta bangunan padepokan untuk kebutuhan Padepokan Seni Gema Buana. Hal ini bertujuan sebagai wadah pengembangan dan pelestarian seni budaya. Sesuai denggan visi dan misi padepokan yaitu visi yang pertama menggali, melestarikan dan mengembangkan seni budaya daerah. Visi kedua membentuk image daerah melalui estetika. Bentuk realisasi visi ditetapkan misi sebagai berikut: (1) Memotivasi seniman daerah yang terampil menjadi profesional, (2) Sebagai wadah atau ajang kreativitas, dan (3) Tempat informasi seni dan budaya yang ada di Bondowoso. Sebagai pelaku seni yang memerankan Ronteg Singo Ulung menjadi identitas Kabupaten Bondowoso berbagai bentuk kerjasama dilakukan Padepokan Seni Gema Buana dengan berbagai lembaga yakni: 1. Kerjasama dengan pemerintah pusat dalam mengembangkan kualitas dan kapasitas Padepokan Seni Gema Buana dalam berbagai hal seperti pengembangan sarana prasarana latihan, pengembangan karya, pementasan dan lain sebagainya. Menjadi pengisi dan pendukung tetap kegiatan-kegiatan yang 2. diselenggarakan Pemerintah kabupaten Bondowoso. 3. Mengadakan pelatihan-pelatihan seni budaya tradisi Bondowoso bagi masyarakat umum dan pelajar. 4. Membuka kerjasama dengan lembaga-lembaga lain: yayasan, perusahaan maupun birokasi non pemerintah. Tidak hanya komodifikasi budaya upacara bersih desa Singo Ulung terdapat berbagai jenis kesenian yang juga dikembangkan di Padepokan Seni Gema Buana. Padepokan juga berupaya menggali potensi seni dan budaya daerah di Bondowoso untuk diproses komodifikasi budaya. Berikut merupakan berbagai jenis seni pertunjukan yang melalui proses komodifikasi budaya yakni Ronteg Singo Ulung, Pojian, Topeng Dalang, Karawitan, Ojung, Remo Sutinah, Wayang Kulit berbahasa Madura. Padepokan juga menyiapkan inventaris alat-alat kesenian, kostum pemain sebagai sarana totalitas proses komodifikasi budaya. Beberapa inventaris yang dimiliki Padepokan Seni Gema Buana yaitu satu set alat musik gamelan (Pelok dan Selendro), Kebong Telo’ (alat musik pertunjukan Ronteg Singo Ulung), kostum Singo Ulung sejumlah 20 stel, kostum Topeng Kerte serta Pengrawit, pakaian seragam tim olahraga sebanyak 40 stel, pakaian latihan tari Tayet sebanyak 40 stel, dan sepatu tim dan pemain Singo sebanyak 40 pasang. Prestasi dan Penghargaan Padepokan Seni Gema Buana sebagai salah satu wadah pengembangan dan pelestarian seni budaya di Kabupaten Bondowoso selalu mendedikasikan dan berkarya. Berdasarkan data profil Padepokan Seni Gema Buana, prestasi yang diraih sejak tahun 2001 sampai 2014 telah meraih lebih dari 130 prestasi. Berikut adalah beberapa prestasi yang diperoleh Padepokan Seni Gema Buana (): 1. Pertunjukan Ronteg Singo Ulung menerima beberapa prestasi festival maupun undangan eksibisi: a. Festival Seni Pertunjukan Daerah Juara I di Malang tahun 2001 b. Juara I Festival Kerajinan dan Budaya Tradisional di Istora Senayan, Jakarta pada tahun 2003.
30 c. d.
2. 3. 4.
Juara I Festifal Olahraga Tradisional di Nusa Dua, Bali tahun 2003. Juara I Festival Seni Pertunjukan Indonesia di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Tahun 2002. e. Juara I Festival Seni Pertunjukan Daerah di Malang, 2001. f. Eksibisi di Taman Budaya Malang tahun 2004. g. Eksibisi pementasan kemilau Nusantara di Bandung 2004. h. Eksibisi upacara hari Olahraga Nasional di Grahadi, Surabaya 2005. i. Eksibisi Pawai Budaya Nusantara di Istana Negara, Jakarta 2006. j. Gelar Seni Budaya Fiesta di Nusa Dua, Bali 2007 k. Pementasan peringatan hari jadi Kabupaten Bondowoso 2009 l. Pentas seni pertunjukan Festival Muharram di Bondowoso 2010. m. Pementasan pembukaan JEC di Jogjakarta 2011 n. Pementasan dalam pembukaan Majapahit Travel Fair, Surabaya. 2012 o. Pembukaan Ijen Festival di Bondowoso 2012 Pawai budaya hari jadi Jawa Timur 2013. p. q. Gelar Budaya dan Pameran Pariwisata Bondowoso pada tahun 2014. Karawitan meraih nominasi Terbaik dari 10 besar non ranking Konser Karawitan di Malang, Jawa Timur 2003. Pojian meraih nominasi terbaik dari 10 besar Fesival Seni Pertunjukan di Surabaya, 2004. Topeng Dalang meraih nominasi terbaik dari 15 besar Fesival Seni Pertunjukan di Surabaya, 2005. Karakteristik Anggota Padepokan Seni Gema Buana
Karakteristik anggota Padepokan Seni Gema Buana terdiri dari usia, jenis kelamin, pekerjaan pokok, lama masa bergabung di padepokan, sebaran asal daerah, dan kemampuan berperan. Data karakteristik anggota membantu menjelaskan dalam analisa hubungan tingkat komodifikasi budaya dengan tingkat orientasi nilai budaya juga pada analisa hubungan tingkat komodifikasi budaya dengan tingkat pendapatan. Usia Anggota Usia anggota adalah selisih antara tahun anggota lahir sampai tahun pada saaat dilaksanakan penelitian. Usia anggota bervariasi dari 13 tahun sampai 60 tahun dan usia rata-rata pada 31.5 tahun. Anggota terbagi menjadi tiga kelompok. Tabel 7 Jumlah dan persentase anggota Padepokan Seni Gema Buana berdasarkan kelompok usia Usia Remaja (13-18 tahun) Dewasa (19-50 tahun) Tua (51-60 tahun) Jumlah
Jumlah Anggota n 11 13 6 30
% 37 43 20 100
31 Tabel 7 menunjukkan kelompok usia tua terdapat 20 persen atau sejumlah enam orang yakni para pendiri yang telah berkiprah dan mendedikasikan dirinya untuk seni tradisional di Padepokan Seni Gema Buana. Pada kelompok usia dewasa menempati persentase tertinggi yakni 43 persen. Kondisi ini terjadi karena pada kelompok usia dewasa memilih bergabung di Padepokan karena minat dan hobi terhadap kesenian sehingga lebih stabil dan juga pada kelompok usia ini tingkat keluar-masuk organisasi rendah, sedangkan kelompok usia remaja 37 persen tertinggi ke dua namun tingkat keluar masuk organisasi tinggi atau mudah berubah. Hal ini disebabkan kelompok usia remaja adalah anak usia sekolah yakni antara usia 13 – 18 tahun sehingga masih dipengaruhi pencarian jati diri maupun kontrol dari orang tua. “... Anak-anak di sini memang banyak tapi namanya juga anak-anak susah dipegang, masih mencari jati diri apalagi kalau mereka lulus SMA mau melanjutkan kuliah ya otomatis ke luar dari Padepokan ngak bisa ikut kegiatan rutin lagi. Ada juga anaknya mau ikut tapi setelah menikah, hamil, punya anak ndak boleh ikut sama suaminya.” (S, Ketua Padepokan Seni Gema Buana) Jenis Kelamin Anggota Jumlah anggota tetap Padepokan Seni Gema Buana tercatat sejumlah 30 orang yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Tabel 8 menunjukkan jumlah dan persentase anggota berdasarkan jenis kelamin. Tabel 8 Jumlah dan persentase anggota Padepokan Seni Gema Buana berdasarkan jenis kelamin Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan Jumlah
Jumlah Anggota n 24 6 30
% 80 20 100
Sebagian besar anggota padepokan merupakan laki-laki yakni terdapat 80 persen. Hal ini disebabkan secara umum seni pertunjukan yang digarap oleh Padepokan Seni Gema Buana berkarakter laki-laki dan sedikit menggunakan peran karakter perempuan. Misalkan dalam pementasan Ronteg Singo Ulung, apabila mengikuti aturan upacara bersih desa Singo Ulung seluruh pemaninya adalah laki-laki meskipun terdapat karakter perempuan yakni karakter Thandak Bhinik. Namun seiring perkembanngan dan upaya komodifikasi budaya, di Padepokan Seni Gema Buana karakter perempuan pada Thandak Binik berganti yang awalnya seorang laki-laki menjadi diperankan oleh sekelompok perempuan, sehingga kebutuhan anggota perempuan untuk karakter perempuan memang lebih sedikit dibutuhkan dari pada karakter laki-laki dalam pementasan.
32 Pekerjaan Pokok Anggota Terdapat 37% anggota masih dalam masa pendidikan, pada jenjang sekolah menengah pertama terdapat tiga anggota, untuk jenjang sekolah menengah atas terdapat enam anggota dan dua anggota pada jenjang pendidikan tinggi. Kemudian sembilan belas dari tiga puluh anggota telah bekerja. Mereka memiliki mata pencaharian pokok yang heterogen. Tabel 9
Jumlah dan persentase anggota Padepokan Seni Gema Buana berdasarkan jenis pekerjaan pokok
Pekerjaan Pokok PNS Penjahit Petani Buruh Salon Tukang Bangunan Pelajar Jumlah
Jumlah Anggota n
% 27 3 7 20 3 3 37 100
8 1 2 6 1 1 11 30
Tabel 9 menunjukkan pegawai negeri sipil (PNS) merupakan bidang pekerjaan yang terbanyak jumlahnya yakni 27% dari keseluruhan. Anggotaanggota tersebut merupakan sekumpulan guru PNS di bidang kesenian yang mendirikan Padepokan Seni Gema Buana. Lama Masa Bergabung Pembagian lama masa bergabung terdiri dari tiga yakni kelompok yang telah bergabung selama lebih dari tujuh belas tahun masuk kelompok anggota lama, kelompok yang telah bergabung selama 3.6 sampai 17 tahun termasuk kelompok anggota pertengahan dan kelompok dengan lama masa bergabung kurang dari 3.5 tahun termasuk kelompok anggota baru. Berikut selisih antara tahun awal masuk anggota sampai tahun pada saaat dilaksanakan penelitian. Tabel 10 Jumlah dan persentase anggota Padepokan Seni Gema Buana berdasarkan lama masa bergabung Lama Bergabung (tahun) Baru (< 3.5) Pertengahan (3.6-17) Lama (> 17) Jumlah
Jumlah Anggota n 11 13 6 30
% 37 43 20 100
Anggota padepokan sebagian besar merupakan anggota yang telah bergabung selama 3.6 sampai 17 tahun. Umumnya mereka yang bermata
33 pencaharian selain PNS (43%). Kelompok anggota baru sejumlah 37% merupakan kelompok pelajar SMP, SMA, dan pendidikan tinggi yang tertarik di dunia seni dan telah bergabung selama kurang dari 3.5 tahun. Kelompok anggota lama sejumlah 20 persen merupakan para pendiri Padepokan Seni Gema Buana. Pengelompokkan anggota berdasarkan lama masa bergabung istilah yang digunakan dalam Padepokan Seni Gema Buana adalah generasi. “...Di Padepokan ini ada empat generasi. Generasi pertama adalah para pendiri, generasi kedua adalah seniman tradisional disekitar Kecamatan Klabang dan Prajekan yang berminat bergabung lalu generasi ke tiga dan ke empat umumnya pelajar sehingga orangnya banyak yang keluar masuk.” (N, Unit Program dari Padepokan Seni Gema Buana) Sebaran Asal Anggota Padepokan Seni Gema Buana berlokasi di Desa Prajekan Kidul, Kecamatan Prajekan, Kabupaten Bondowoso namun anggotanya tersebar lintas kecamatan di Kabupaten Bondowoso (Tabel 11). Tabel 11 Jumlah dan persentase anggota berdasarkan sebaran asal desa dan kecamatanya anggota Sebaran Asal Desa dan Kecamatan Kecamatan Bondowoso Desa Kembang Kecamatan Klabang Desa Belimbing Desa Lor Sawah Desa Sumbesuko Desa Wonokerto Sub Jumlah Kecamatan Prajekan Desa Prajekan Desa Prajekan Kidul Desa Sranten Desa Walidono Sub Jumlah Kecamatan Tapen Desa Kali Tapen Kecamatan Telogosati Desa Kembang Jumlah
Jumlah Anggota n
%
1
3
3 1 3 1 8
10 3 10 3 27
5 8 2 4 19
17 27 7 13 63
1
3
1 30
3 100
Anggota padepokan sejumlah 27 persen berasal dari Desa Prajekan Kidul dan 63 persen dari Kecamatan Prajekan. Jumlah terbanyak tersebut disebabkan jarak rumah anggota yang paling berdekatan dengan lokasi Padepokan. Kemudian
34 sebaran anggota terbanyak ke dua berada di Kecamatan Klabang sejulah 27 persen. Kondisi ini disebabkan Kecamatan Klabang merupakan lokasi asal adanya upacara bersih desa Singo Ulung tepatnya di Desa Blimbing, sehingga masyarakat Kecamatan Klabang banyak yang mengetahui mengenai prosesi upacara khususnya dari pemangku adat. Para pendiri padepokan pun sebelum menata ulang dan mengembangkan upacara bersih desa Singo Ulung menjadi seni pertunjukan Ronteg Singo Ulung secara sengaja memohon izin pada pemangku adat dan seniman tradisional dari Kecamatan Klabang sebagai bentuk rasa hormat. Dari sana pula anggota yang berasal dari Kecamatan Klabang berminat bergabung di Padepokan Seni Gema Buana untuk mengembangkan dan menata ulang budaya menjadi bentuk pertunjukan yang memiliki nilai estetika. “... Saya ngajak orang-orang sini (pelaku upacara bersih desa Singo Ulung) buat ikut maen di Padepokan kayak Pak Sahwito yang ahli buat topeng, Pak Tatok yang jadi Thandak Bhinik sama yang mudamuda biar main Singo.” (S, Pemangku adat di Desa Blimbing dan anggota di Padepokan Seni Gema Buana) Kemampuan Berperan Anggota Padepokan Seni Gema Buana menuntut semua anggota harus memiliki kemampuan segala bentuk karakter dan alat musik khususnya dalam pementasan Ronteg Singo Ulung. “...Kekebbinah harus bisa amain sembereng” (S, Ketua Padepokan Seni Gema Buana) “...Semuanya (seluruh anggota) harus bisa memainkan peran apa saja” (S, Ketua Padepokan Seni Gema Buana) Khususnya Ronteg Singo Ulung terdapat 12 peranan yang diperlukan pementasan yakni (1) Ketua Adat, (2) Topeng Kona, (3) Ojung, (4) Tandhak Bini, (5) Singo, (6) Kenong Telok, (7) Denang, (8) Saron, (9) Peking, (10) Gong, (11) Kerecek dan (12) MC (Master of Ceremony). Semua anggota akan diajarkan seluruh bentuk karakter serta alat musiknya. Tuntutan ini bertujuan agar saat terdapat pementasan bila terdapat anggota yang lain berhalangan hadir tidak kesulitan mencari pengganti dan memudahkan anggota lainnya menggantikan peran secara cepat dan baik (Tabel 12). Tabel 12 Jumlah dan persentase anggota berdasarkan jumlah kemampuan berperan Kemampuan Berperan Sedikit (1) Sedang (2-5) Banyak (>5) Jumlah
Jumlah Anggota n 5 8 17 30
% 17 27 57 100
35 Anggota telah banyak memiliki kemampuan berperan dalam pementasan Ronteg Singo Ulung sejumlah 57 persen memiliki lebih dari lima kemampuan berperan. Kemampuan tersebut sebagian besar dimiliki para pemain alat musik karawitan yakni Kenong Telok, Denang, Saron, Peking, Gong, Kerecek dan MC (Master of Ceremony). Bagi 27 persen lainnya atau delapan orang dalam kelompok yang memiliki kemampuan berperan sedang yakni 2 sampai 5 kemampuan berperan. Umumnya kelompok yang memiliki kemampuan berperan sedang adalah penaari dan pemain yang berperan sebagai Singo Ulung, Ojung, Jasiman dan Topeng Kona. Sedangkan pemain dengan kemampuan berperan sedikit berjumlah 17 persen. Mereka adalah para penari Thandak Bhinik yang beranggotakan perempuan sehingga mereka jarang mempelajari peran karakter laki-laki dan alat musik karawitan.
36
37
HUBUNGAN TINGKAT KOMODIFIKASI BUDAYA DENGAN TINGKAT PENDAPATAN Tingkat Komodasi Budaya Komodifikasi berdasarkan konsep Fairclough (1995) adalah suatu proses produksi komoditas yang tidak terlepas dari lingkup ekonomi, akan tetapi dapat mengacu pada pengorganisasian dan konseptualisasi pada produksi, distribusi dan konsumsi komoditas. Setalah disimpulkan menurut penelitian sebelumnya dari Ruastiti (2011), Widiastuti (2007), Susilantini (2007), dan Basri (2014) bahwa komodifikasi budaya merupakan suatu tindakan menjadikan unsur-unsur budaya menjadi produk komoditas yang diperjualbelikan dengan motif ekonomi melalui proses produksi ulang, distribusi, dan konsumsi sehingga memudahkan konsumen memahami maksud penampilan. Komodifikasi budaya pada penelitian ini didefinisikan sebagai suatu proses memproduksi, mendistribusikan, dan mengkonsumsi seni pertunjukan Ronteg Singo Ulung masyarakat sebagai komoditas seni pertunjukan yang memiliki nilai jual melaui industri pariwisata budaya. Komoditas yang dimaksudkan dalam konteks komodifikasi budaya dalam penelitian ini adalah pertunjukan Singo Ulung dalam rangkaian upacara bersih desa Singo Ulung. Pertunjukan Singo Ulung dalam upacara bersih desa Singo Ulung merupakan pertunjukan yang berlangsung diarena umum terbuka dan bebas sehingga masyarakat umum selain masyarakat Desa Belimbing dapat menyaksikannya pula. Tindakan komodifikasi budaya yang dilakukan Padepokan Seni Gema Buana berupa menjadikan prosesi upacara bersih desa Singo Ulung yang bersifat sakral kemudian ditata ulang, dikembangkan nilai-nilai estetika sehingga menjadi bersifat profan, mudah dipahami dan dinikmati khalayak sebagai hiburan kesenian tradisional. Selain itu juga hasil komodifikasi budaya yakni Ronteg Singo Ulung menjadi identitas seni dan budaya Kabupaten Bondowoso. Peran Padepokan Seni Gema Buana sebagai produsen dan distributor sedangkan proses konsumsi dilakukan oleh konsumen masyarakat di luar anggota padepokan. Semakin tinggi tingkat keterlibatan anggota dalam proses produksi dan distribusi maka semakin tinggi pula upaya anggota menjadikan seni pertunjukan untuk lebih profan. Proses konsumsi sebagai kegiatan menikmati seni pertunjukan Ronteg Singo Ulung sebagai kebutuhan rohani upacara bersih desa Singo Ulung, atau sebagai kebutuhan hiburan. Proses produksi Proses produksi merupakan suatu kegiatan menambah nilai suatu benda atau jasa dan menjadikannya tersebut lebih bermanfaaat dalam kehidupan manusia (Basri 2014). Pada penelitian ini proses produksi yakni satuan kegiatan menata ulang dan mengembangkan upacara bersih desa Singo Ulung menjadi komoditi produk pariwisata budaya yang layak untuk dijual. Produk ini dinamakan seni pertunjukan Ronteg Singo Ulung. Proses produksi memiliki 16 kegiatan yang dikelompokkan dalam empat indikator. Indikator proses produksi yakni pertama menentukan peran dan jumlah pemain. Kegiatannya yaitu mengadakan seleksi
38 pemain sebelum dilaksanakannya pementasan, menetapkan peran serta karakter pemain, mengantisipasi perubahan jumlah pemain sesuai kebutuhan serta perubahan peran berdasarkan kemampuan, dan menetapkan honor pemain (Tabel 13). Tabel 13 Jumlah dan persentase keterlibatan anggota berdasarkan frekuensi keterlibatan menentukan peran dan jumlah pemain Menentukan peran dan jumlah pemain 1 Seleksi pemain 2 Penetapan peran 3 Penetapan peran pengganti 4 Penetapan gaji Rata-rata
Keterlibatan anggota Tidak Pernah Jarang Sering Selalu % % % % 70 10 10 10 0 30 37 33
Total N % 30 100 30 100
23
20
40
17
30 100
67 40
10 18
7 23
17 19
30 100 30 100
Proses mengembangkan upacara, anggota yang tidak pernah keterlibatan pada kegiatan (1) mengadakan seleksi pemain dan (4) kegiatan menetapkan honor pemain sejumlah 70% dan 67% anggota. Alasan anggota yang tidak pernah terlibat pada kegiatan tersebut karena peran anggota senior lebih mendominasi pada dua kegiatan tersebut. Anggota lebih banyak aktif terlibat dalam frekuensi sering dan selalu pada kegiatan (2) dan (3) menjadi budaya organisasi. Budaya yang mengaharuskan semua anggota memiliki kemampuan lebih dari satu bentuk karakter dan alat musik khususnya dalam pementasan Ronteg Singo Ulung. Tercatat pada Tabel 13, bab komodifikasi budaya, subbab karakteristik anggota padepokan seni budaya, subsubbab kemampuan berperan anggota bahwa 57% memiliki kemampuan memerankan lebih dari lima karakter atau alat musik tradisional. Budaya tersebut dirasakan manfaatnya dan memudahkan anggota keterlibatan pada kegiatan (2) dan (3). Artinya anggota telah banyak yang berupaya menjadikan seni pertunjukan lebih profan. Indikator kedua menata ulang materi upacara ritual, kegiatannya berupa (1) memodifikasi pengucapan prosesi upacara, (2) memperjelas artikulasi pengucapan doa dari pemangku adat, (3) menvariasikan penggunaan bahasa, dan (4) mempersiapkan sesaji untuk selametan dan untuk pementasan. (Taber 14) Tabel 14 Jumlah dan persentase keterlibatan anggota berdasarkan frekuensi keterlibatan kegiatan menata ulang materi upacara Menata ulang materi upacara 1 2 3 4
Tidak Pernah % Pengucapan prosesi 7 Pengucapan doa 20 Variasi bahasa 23 Persiapan sesaji 43 Rata-rata 23
Keterlibatan anggota Jarang Sering Selalu % % % 13 23 57 23 30 27 20 23 33 20 7 30 19 21 37
Total N % 30 100 30 100 30 100 30 100 30 100
39 proses produksi menata ulang materi upacara ritual (indikator 2) kegiatan 4 mempersiapkan sesaji, terdapat 43% anggota memilih tidak pernah keterlibatan. Hal ini disebabkan kegiatan mempersiapkan sesaji untuk selametan dan pementasan adalah kegiatan yang dipercaya masih memiliki nilai-nilai sakral dan hanya beberapa orang yang memeniliki keahlian khusus yang dapat melaksanakannya seperti ketua adat. Sedangkan pada frekuensi sering dan selalu pada kegiatan 1, 2 dan 3 tercatat banyak anggota yang terlibat di atas rata-rata, umumnya anggota berasal dari suku Madura dan Jawa dengan bahasa sehari-hari bahasa Madura. Tiga kegiatan ini berfokus pada pengubahan penggunaan bahasa doa dan prosesi upacara. Bentuk asli upacara bersih desa Singo Ulung menggunakan Bahasa Madura pada tingkatan halus kemudian diubah dan divariasikan menjadi Bahasa Indonesia dan Madura khas Bondowoso. Perubahan ini bertujuan agar konsumen khalayak umum dapat lebih mudah memahami bahasa yang digunakan sehingga dapat menikmati seni pertunjukan Ronteg Singo Ulung. Hal ini sesuai dengan konsep komodifikasi budaya menurut Widyastuti (2008) bahwa komodifikasi adalah proses pengubahan menjadi barang dagangan, massa digiring ke arah seni, dan tontonan yang mudah untuk dicerna dan yang menimbulkan daya pesona yang diproduksi melalui corak produksi kapitalisme. Ronteg Singo Ulung sebagai hasil komodifikasi budaya telah menjadi barang dagangan produk industri pariwisata budaya yang memiliki nilai jual tertentu. Penetapan nilai jual dihasilkan dari kegiatan pada indikator ketiga. Indikator ketiga yakni menata ulang alokasi waktu dan tempat pementasan khususnya mengatur perubahan urutan susunan prosesi, mengatur perubahan durasi sesuai kemasan pementasan yang dipesan konsumen, mengatur akomodasi pemain, dan menentukan tempat atau desain panggung (Tabel 15). Tabel 15 Jumlah dan persentase keterlibatan anggota berdasarkan frekuensi keterlibatan kegiatan menata ulang waktu dan tempat Keterlibatan anggota Menata ulang waktu dan tempat 1 2 3 4
Perubahan urutan Perubahan durasi Akomodasi Desain panggung Rata-rata
Tidak Pernah % 10 7 37 13 17
Jarang
Sering
Selalu
% 40 50 33 20 36
% 27 20 10 13 18
% 23 23 20 53 30
Total N 30 30 30 30 30
% 100 100 100 100 100
Anggota lebih banyak terlibat pada kegiatan 1, 2, dan 4. Terutama anggota yang paling tinggi keterlibatannya pada kegiata 4 terdapat 53% anggota. Hal ini disebabkan setiap akan diadakan pementasan para anggota akan mengadakan musyawah mengenai perubahan urutan, perubahan durasi waktu tampilan dan desain panggung tempat pementasan sesuai dengan pesanan. Keempat kegiatan tersebut menghasilkan rencana nilai jual pementasan Ronteg Singo Ulung. Paket penjualan terbagi menjadi tiga klasifikasi bentuk kemasan pementasan. Pengemasan paket pementasan ini bertujuan memudahkan konsumen memesan
40 pementasan Ronteg Singo Ulung. Paket pementasan diklasifikasikan berdasarkan durasi, keutuhan pementasan, dan biaya. Pembagiannya disajikan terbagi atas pementasan utuh, kedua disajikan tiga per empat pementasan dan ketiga disajikan setengah pementasan. Bentuk kemasan pementasan pertama disajikan utuh. Pementasan ini memerlukan durasi waktu kurang lebih empat puluh lima menit. Tampilan ini ditetapkan seharga Rp5 000 000 untuk pementasan regional Kabupaten Bondowoso sehingga untuk keluar daerah harga menyesuaikan acara dan jarak ke lokasi. Pementasan utuh terdiri dari lima sesi yakni: (1) Prosesi upacara bersih desa Singo Ulung, (2) Topeng Kona, (3) Tandhak Bhinik, (4) Ojung, dan (5) Singo Ulung. Bentuk kemasan pementasan kedua disajikan tiga per empat tampilan, membutuhkan durasi waktu kurang tiga puluh menit. Pementasan ini ditetapkan seharga Rp3 500 000 – Rp4 000 000 untuk pementasan regional Kabupaten Bondowoso. Terdiri dari tiga sesi yaitu (1) Ojung, (2) Topeng kona, dan (3) Singo Ulung. Pilihan bentuk kemasan pementasan terakhir disajikan setengah pementasan yang membutuhkan durasi waktu kurang lima belas menit. Tampilan ini ditetapkan seharga Rp2 500 000 untuk pementasan regional Kabupaten Bondowoso. Sama dengan pilihan kemasan kedua, kemasan ketiga juga menampilkan tiga sesi namun lebih singkat yakni (1) Coke’an, (2) Ojung, dan (3) Singo Ulung. Kemudian indikator ke empat yakni mengembangkan koreografi gerak tari dan aransemen musik karawitan agar lebih menarik seperti (1) mengaransemen musik karawiatan, (2) memvariasikan koreografi gerakan tarian, (3) atraksi, dan (4) mendesain kostum serta tata rias pemain. Tabel 16 Jumlah dan persentase keterlibatan anggota berdasarkan frekuensi keterlibatan kegiatan mengembangkan koreografi gerak tari dan aransemen musik Mengembangkan koreografi gerak tari dan aransemen musik 1 2 3 4
Aransemen musik Memvariasi gerak Memvariasi atraksi Mendesain kostum Rata-rata
Tidak Pernah % 23 23 43 20 28
Keterlibatan anggota Jarang Sering Selalu % 20 23 17 20 20
% 40 47 30 30 37
% 17 7 10 30 16
Total N 30 30 30 30 30
% 100 100 100 100 100
Tabel 16 menunjukkan anggota yang keterlibatan pada kegiatan memvariasikan koreografi atraksi lebih banyak memilih tidak pernah keterlibatan yakni 43%. Keadaan ini disebabkan atraksi diperankan oleh karakter Singa dan Ojung sehingga pemain lainnya tidak ikut keterlibatan. Anggota yang sering dan selalu terlibat sejumlah 10% dan 30% yakitu anggota yang memerankan karakter Singa dan Ojung yakni 10 orang. Persyaratan utama memerankan karakter Singa dan Ojung harus memiliki kekuatan fisik yang lebih kuat dari karakter lainnya untuk dapat melakukan atraksi. Atraksi yang dimainkan peran Singo seperti melompat di lingkaran api, meloncat dari atas susunan kayu, berguling guling dan atraksi lainnya. Pengembangan atraksi peran Singo bertujuan menarik perhatian
41 penonton supaya terhibur. Pada upacara bersih desa Singo Ulung peran Singo menjadi tokoh utama dan dianggap sakral sehingga setiap gerakannya memiliki nilai kepemimpinan yang melambangkan mengayomi masyarakat dan bukan dalam bentuk atraksi yang sengaja menarik perhatian penonton. Sedangkan Ojung merupakan kompetisi pertarungan menggunakan rotan yang dimainkan sepasang orang laki-laki. Kompeti Ojung mensyaratkan pemenang harus mampu membuat lawan terluka dan meneteskan darah dari pukulan rotannya. Setelah dikembangkan menjadi seni pertunjukan peran Ojung melakukan atraksi pertarungan dengan menggunakan tarian dan mengeliminasi tindakan kekeransan yang menumpahkan darah. Selanjutnya pada kegiatan (1) mengaransemen musik karawiatan dan (2) memvariasikan koreografi gerakan tarian didominasi oleh anggota yang memiliki keterlibatan dalam frekuensi sering yakni sejumlah 40% dan 47%. Hal ini terjadi karena disetiap pementasan dituntut adanya inovasi pengembangan koreografi dan aransemen musik. “... Sukak buat gerakan baru, kalau latian sekalian mikir gerakan apa yang baru biar ndak bosan. Kalau sudah nanti bilang ke senior bagus apa ngak gerakannya.” (SAKD, penari Thandak Bhini di Padepokan Seni Gema Buana) Hasil analisa pada keempat indikator dapat diketahui tingkat keterlibatan proses produksi komodifikasi budaya anggota tergolong rendah (Tabel 17). Tabel 17 Jumlah dan persentase berdasarkan tingkat keterlibatan proses produksi komodifikasi budaya Tingkat kontibusi proses produksi Rendah Tinggi Jumlah
Keterlibatan anggota n 18 12 30
% 60 40 100
Tingkat keterlibatan anggota dalam proses produksi komodifikasi budaya tergolong rendah ini berdasarkan hasil dari indikator 1 dan 2 yang tergolong rendah, indikator 3 tergolong tinggi serta indikator 4 seimbang antara tinggi dan rendah. Terdapat 60% anggota yang keterlibatan rendah. Umumnya mereka adalah anggota yunior yang lama masa dibawah 3.5 tahun. Berdasarkan hasil lapang berikut merupakan tanggapan beberapa anggota dari tingkat rendah dalam keterlibatan proses mengembangkan dan menata ulang: “... Saya ngikut apa katanya ketua, kalau disuru buat gerakan baru ya buat” (EF, pemain singo di Padepokan Seni Gema Buana) “... Saya mengikuti perintah Ketua Padepokan, jika saya diminta membuat variasi gerakan yang baru maka saya akan membuatnya.” (EF, pemain singo di Padepokan Seni Gema Buana) Terdapat 40% anggota bertindak aktif dan sesuai dengan tuntutan dari budaya organisasi padepokan mereka selalu dilatih untuk mengembangkan
42 kreatifitasnya untuk menjadikan seni pertunjukan Ronteg Singo Ulung selalu berkembang. Anggota tersebut umumnya para senior dan pendiri dari padepokan. “... Dulu awal-awal diajari ojung sama senior. Kalau sekarang ya bisa menambahi variasinya supaya konsepnya lebih menarik dan agar sesuai sama acaranya.” (S, pemain Ojung) “... Dulu awal masuk (padepokan) saya diajarkan memainkan peran Ojung oleh senior. Kalau sekarang saya sudah bisa menambahkan variasi supaya konsep permainan Ojung lebih menarik dan supaya sesuai dengan tema acara.” (S, pemain Ojung) Menurut pernyataan beberapa anggota tersebut, tingkat keterlibatan mengembangkan dan menata ulang seni pertunjukan Ronteg Singo Ulung dipengaruhi oleh budaya yang dibangun di padepokan yakni senioritas. Hal ini terlihat dari tanggapan anggota yang umumnya hal yang berkenaan tentang ide, konsep dan tindakan komodifikasi budaya Ronteg Singo Ulung merujuk pada senior, pendiri organisasi sekaligus pemilik bangun Padepokan Seni Gema Buana. Budaya senioritas, para senior membangun budaya organisasi saling asah, asih, dan asuh. Budaya ini bertujuan agar senior memberikan ilmu dan melatih junior dengan harapan regenerasi dan juga senior maupun junior juga harus saling menghormati. Pada implementasinya budaya ini sangat dijunjung tinggi oleh anggota padepokan. Proses Distribusi Tahap kedua proses komodifikasi budaya adalah proses distribusi. Basri (2014) menyatakan proses distribusi merupakan kegiatan menyalurkan barang dan jasa sehingga sampai pada konsumen. Pada kasus penelitian ini, upacara bersih desa Singo Ulung yang tidak membutuhkan proses distribusi karena upacara merupakan kebutuhan rohani yang bersifat sakral dan tidak dijual sehingga tidak membutuhkan pihak konsumen. Berbeda dengan Ronteg Singo Ulung menjadi produk komoditas pariwisata budaya yang membutuhkan upaya pemasaran produk menghubungkan produsen dan konsumen. Selain sebagai produsen dalam komodifikasi budaya Padepokan Seni Gema Buana juga memiliki peran sebagai distributor. Berdasarkan struktur organisasinya, peran distributor dispesialisasikan pada Unit Humas (Hubungan Masyarakat). Unit Humas menghubungkan produsen dan konsumen untuk memasarkan hasil komodifikasi budaya yakni Ronteg Singo Ulung sebagai seni pertunjukan dan daya tarik pariwisata budaya pada khalayak umum. Pada prakteknya seluruh anggota diharapkan dapat menjadi distributor sehingga mampu memasarkan Ronteg Singo Ulung. Proses distribusi memiliki 9 kegiatan yang dikelompokkan dalam tiga indikator. Indikator pertama yakni mempromosikan pertunjukan Ronteg Singo Ulung secara langsung maupun tidak langsung. Kegiatannya berupa (1) mempromosikan Ronteg Singo Ulung sebagai seni pertunjukan hiburan bukan sebagai upacara ritual, (2) memberikan informasi kepada konsumen. Informasi yang diberikan yakni adanya seni pertunjukan Ronteg Singo Ulung dan seni pertunjukan lainnya serta keberadaan lokasi Padepokan Seni Gema Buana Buana. Kegiatan lainnya (3) mengingatkan kembali kepada konsumen waktu pelaksanaan
43 pementasan seni pertunjukan Ronteg Singo Ulung, (4) mengajak konsumen datang ke padepokan atau menyaksikan pementasan, (5) menjelaskan perbedaan Ronteg Singo Ulung pada konsumen, dan (6) menjelaskan sejarah dari Ronteg Singo Ulung pada konsumen (Tabel 18). Tabel 18 Jumlah dan persentase anggota berdasarkan frekuensi keterlibatan kegiatan promosi pada wisatawan
Promosi pada wisatawan
1 2 3 4 5 6
Mempromosikan hiburan Menginformasikan jenis hiburan Mengingatkan waktu pentas Mengajak berkunjung Menjelaskan kekhasan Menjelaskan sejarah Rata-rata
Keterllibatan anggota Tidak Pernah Jarang Sering Selalu % % % % 10 17 23 50 23 23 20 33 13 17 27 43 27 20 33 20 40 17 17 27 43 13 17 27 26 18 25 31
Total N % 30 100 30 100 30 100 30 100 30 100 30 100 30 100
Kegiatan 1, keterlibatan anggota mempromosikan pertunjukan Ronteg Singo Ulung sebagai hiburan secara langsung maupun tidak langsung tergolong rendah yakni sebanyak 10%. Anggota yang tidak pernah keterlibatan pada kegiatan (5) menjelaskan kekhasan dan (6) menjelaskan sejarah mencapai 40 43%. Alasan anggota yang tidak pernah berkontibusi pada kegiatan tersebut karena penjelasan mengenai perbedaan dan sejarah dari Ronteg Singo Ulung pada konsumen telah dijelaskan oleh dalang saat pementasan Ronteg Singo Ulung. Sehingga untuk menjelaskannya secara mandiri pada konsumen sebagai bentuk promosi anggota yang umumnya junior menyerahkan tugas promosi pada senior yang lebih paham. Selanjutnya pada kegiatan 1 - 4 menunjukkan anggota lebih banyak yang aktif terlibat dengan frekuensi sering dan selalu di atas rata-rata. Perbedaan ini terjadi empat kegiatan tersebut lebih mudah dilakukan karena tidak membutuhkan pemahaman yang substansial seperti pada kegiatan 5 dan 6 yang membutuhkan pemahaman mengenai isi substansi sejarah dan perbedaan Ronteg Singo Ulung. “... Biasanah mon atampilah ten alon-alon guleh berik oning nakkanak e sekola, tetanggeh mon tero nenguah guleh amain karawitan.” (ZA, pemain karawitan di Padepokan Seni Gema Buana) “... Biasanya jika akan tampil di alun-alun, Saya memberi informasi kepada teman-teman di sekolah, tetangga bila ingin melihat saya tampil bermain karawitan.” (ZA, pemain karawitan Ronteg Singo Ulung di Padepokan Seni Gema Buana) Indikator prosess distribusi kedua yakni penggunaan media promosi. Kegiatan adalah menyampaikan promosi secara langsung dari mulut ke mulut. Kegiatan selanjutnya menggunakan media promosi perantara seperti broadcasting media online seperti alamat web dan blog, media elektronik seperti radio dan televisi, serta media cetak seperti koran, poster, dan majalah. Kegiatan periklanan
44 di brosur atau leaflet yang dibagikan saat pementasan saat mengikuti berbagi eksibisi dan pameran seni budaya di regional Kabupaten Bondowoso, di Provinsi Jawa Timur maupun nasional (Tabel 19). Tabel 19 Jumlah dan persentase anggota berdasarkan frekuensi kegiatan penggunaan media promosi Keterlibatan anggota Penggunaan media promosi 1 Langsung dari mulut ke mulut 2 Media perantara Rata-rata
Tidak Pernah % 33 30 32
Jarang Sering Selalu % 13 23 18
% 37 20 28
% 17 27 22
Total N % 30 100 30 100 30 100
Berdasarkan pengamatan lapang, pada kegiatan menggunakan media perantara 27% anggota yang memiliki tingkat keterlibatan tinggi merupakan anggota senior. Media perantara yang digunakan senior yakni media promosi cetak dan elektronik sedangkan angggota junior lebih menggunakan media online. Terdapat 33% anggota memilih tidak pernah dan jarang menyampaikan promosi secara langsung dari mulut ke mulut karena mereka merasa kurang berkompeten dan mereka mengandalkan anggota yang memiliki tugas mempromosikan. “... Ndak malu saya. Itu sudah tugasnya Pak Arif. saya ndak ikut karena sudah ada yang ngurus.” (AJ, anggota Padepokan Seni Gema Buana) “... Tidak saya malu mempromosikan. Mempromosikan Ronteg Singo Ulung sudah menjadi tugas Pak Arif. Saya tidak ikut (mempromosikan Ronteg Singo Ulung) karena sudah ada yang mengurusnya.” (AJ, anggota di Padepokan Seni Gema Buana) Indikator ketiga memiliki kegiatan menjalin hubungan kerjasama. Proses komodifikasi budaya upacara bersih desa Singo Ulung yang dikemas menjadi seni pertunjukan Ronteg Singo Ulung melibatkan berbagai pihak untuk hubungan kerjasama. Pihak yang terlibat dari proses produksi ialah anggota di Padepokan Seni Gema Buana sebagai produsen atau seniman dalam komodifikasi budaya dan pihak lainnya yakni pemangku adat Desa Blimbing sebagai pihak yang memberi izin dan mengarahkan hal-hal boleh untuk dilakukan dalam komodifikasi budaya dan hal-hal yang dianggap sakral dan tidak boleh dilakukan berdasarkan kepercayaan adat dalam upacara bersih desa Singo Ulung. Selanjutnya proses distribusi melibatkan anggota di Padepokan Seni Gema Buana sebagai produsen sekaligus agen yang bertugas menghubungkan dengan konsumen, kemudian kegiatan promosi dibantu oleh Dinas Pariwisata, Seni, Budaya, dan Olahraga Kabupaten Bondowoso, perangkat Desa Prajekan Kidul, masyarakat, serta media partner dan media pormosi (media online seperti alamat web dan blog, media elektronik seperti radio dan televisi, serta media cetak seperti koran, poster, majalah). Proses konsumsi melibatkan konsumen yakni masyarakat di luar anggota Padepokan Seni Gema Buana khususnya pihak yang memesan
45 pementasan seni pertunjukan Ronteg Singo Ulung. Konsumen dapat juga bertindak sebagai promotor acara, pengamat seni, budaya serta akademisi dalam ajang ajang kompetisi. Selain itu konsumen pada acara eksibisi yakni sebagai penonton. Tabel 20 Jumlah dan persentase anggota berdasarkan frekuensi kegiatan menjalin hubungan kerjasama Kegiatan menjalin hubungan kerjasama Tidak pernah Jarang Sering Selalu Total
Jumlah (orang) 15 7 5 3 30
Persentase (%) 50 23 17 10 100
Tabel 20 menunjukakan terdapat 50 persen anggota tidak pernah keterlibatan dalam kegiatan menjalin hubungan kerjasama. Hal ini disebabkan telah ada pambagian tugas sehingga hanya 10% anggota yang selalu berperan aktif di kegiatan hubungan kerjasama khususnya unit hubungan masyarakat, ketua unit dan pendiri padepokan. Selain itu pendiri padepokan merupakan PNS yang bekerja di Dinas Pariwisata sehingga lebih memudahkan hubungan kerjasama tersebut. Sedangkan anggota lainnya yang memiliki frekuensi jarang dan sering merupakan anggota yang turut membantu hubungan kerjasama. Hasil analisa pada ketiga indikator dapat diketahui tingkat keterlibatan proses distribusi komodifikasi budaya anggota tergolong seimbang antara tinggi dan rendah (Tabel 21). Tabel 21 Jumlah dan persentase anggota berdasarkan keterlibatan proses distribusi dalam komodifikasi budaya Tingkat kontibusi proses distribusi Rendah Tinggi Jumlah
Keterlibatan anggota n 15 15 30
% 50 50 100
Tingkat keterlibatan proses distribusi komodifikasi budaya seni pertunjukan Ronteg Singo Ulung dipengaruhi oleh pertama faktor pembagian spesialisasi tugas, anggota merasa tidak perlu turut mempromosikan desa wisata karena telah ada pembagian tugas khususnya bagian pengurus unit hubungan masyarakat. Kedua faktor rasa percaya diri, anggota merasa malu untuk berkomunikasi mempromosikan langsung pada orang lain dan ketiga dipengaruhi semangat rasa memiliki.
46
Tabel 22 Jumlah dan persentase berdasarkan tingkat keterlibatan proses komodifikasi budaya Tingkat kontibusi proses produksi Rendah Tinggi Jumlah
Keterlibatan anggota n % 18 60 12 40 30 100
Tabel 22 menunjukkan tingkat keterlibatan anggota dalam proses komodifikasi budaya tergolong rendah yakni sejumlah 60%. Hal ini dipengaruhi tingakat proses produksi yang juga tergolong rendah dan tingkat proses distribusi seimbang antara rendah dan tinggi. Tingkat Pendapatan Anggota yang waktunya digunakan untuk berkarya di Padepokan Seni Gema Buana dan memperoleh imbalan sebagai pendapatan individu dapat pula kegiatannya disebut pekerjaan. Jumlah pemasukan yang diterima sebagai imbalan setelah keterlibatan kegiatan pementasan di Padepokan Seni Gema Buana dianggap sebagai pendapatan. Gaji yang diberikan setiap selesai berperan terdapat beberapa kelompok peneri besar kecilnya jumlah gaji yang diberikan. Imbalan diberikan pada pemain dengan mekanisme gaji pokok dan insentif. “... Gaji pokok disamakan untuk seluruh pemain dan insentif ditambahkan berdasarkan kesibukan sebelum acara, senioritas, kemampuan dan kemahiran.” (AS, Ketua Unit di Padepokan Seni Gema Buana) Tingkat pendapatan merupakan rata-rata hasil kerja berupa uang yang diperoleh setiap anggota per bulan. Tingkat pendapatan dibagi menjadi dua tingkatan yakni rendah dan tinggi. Pendapatan rendah yaitu anggota yang memeroleh insentif dibawah raat-rata pendapatan bulanan seluruh anggota. Pendapatan tinggi yakni pendapatan di atas rata-rata pendapatan. Rata rata pendapatan anggota Padepokan Seni Gema Buana setiap bulannya adalah Rp495 000. (Tabel 23). Tabel 23 Jumlah dan persentase anggota berdasarkan tingkat pendapatan dari Padepokan Seni Gema Buana setiap bulan Tingkat Pendapatan Rendah Tinggi Jumlah
Anggota n 15 15 30
% 50 50 100
47 Tabel 23 menunjukkan perbandingan antara anggota yang memiliki pendapatan tinggi dan pendapatan rendah dalam kelompok tersebut seimbang yakni keduanya 50 persen. Kondisi ini disebabkan anggota yang termasuk dalam tingkat pendapatan rendah umumnya merupakan anggota dalam usia sekolah (tingkat sekolah menengah pertama dan tingkat menengah atas). Pengurus dengan sengaja memberi insentif dibawah rata-rata pendapatan kelompok agar para anggota yang berstatus pelajar tidak hanya berorientasi untuk mendapatkan uang semata melainkan untuk pembelajaran pelestarian budaya, etika dan estetika. Berbeda dengan anggota yang bukan status pelajar, beberapa dari mereka memang menjadikan padepokan sebagai tempatnya bekerja. Sehingga insentif yang diberikan pun menyesuaikan dengan kriteria padepokan dan keterlibatannya dalam proses komodifikasi budaya. Anggota menyatakan bahwa pendapatan yang diperoleh dari Padepokan Seni Gema Buana membantu pemasukan ekonomi keluarga namun belum dapat diandalkan untuk kebutuhan keluarga setiap bulannya. Alasan tersebut disebabkan tidak pastinya jumlah dan waktu dilaksanakannya pementasan. Jumlah pendapatan setiap individu belum tentu sama banyak setiap bulannya. Waktu mendapatkannya juga tidak pasti sebab kegiatan pementasan menyesuaikan pesanan acara eksibisi atau kompetisi sehingga pendapatan yang diperoleh pun tidak rutin dan tidak pasti pada waktu yang dapat ditentukan. “... Perak, haselah bisa bantu keluarga tapeh ye tak bisa diandalkan” (SA, anggota Padepokan Seni Gema Buana) “... Senang, hasilnya (pendapatan) dapat membantu ekonomi keluarga tapi ya tidak bisa diandalkan” (SA, anggota Padepokan Seni Gema Buana) Alokasi Pendapatan Penggunaan keuangan anggota dari pendapatan beranekaragam. Umumnya penggunaanya dialokasikan khusus untuk kebutuhan keluarga bagi yang sudah memiliki rumah tangga sendiri atau pun yang masih tinggal bersama orang tua. Kedua digunakan untuk kebutuhan pribadi, ketiga pendapat yang diperoleh kemudian ditabung dan terakhir digunakan untuk kebutuhan keluarga dan kebutuhan pribadi sendiri. Tabel 24 Jumlah dan persentase anggota Padepokan Seni Gema Buana berdasarkan alokasi pendapatan Alokasi Pendapatan Kebutuhan Keluarga Kebutuhan Pribadi Kebutuhan Keluarga dan Pribadi Ditabung Jumlah
Anggota n 12 7 5 6 30
% 40 23 17 20 100
48 Tabel 24 menunjukkan 40 persen dari anggota menggunakan uang dari pendapatan tersebut untuk kebutuhan keluarga seperti kebutuhan membeli beras dan lauk pauk untuk makan, pendidikan anak, keperluan harian keluarga. “... Sebelum tampil selalu diberi amplop, setelah pulang saya berikan ke istri untuk keperluan keluarga.” (ES, anggota dari Padepokan Gema Buana) Kemudian sejumlah 23 persen atau tujuh anggota mengalokasikan untuk kebutuhan pribadi. Mereka menyatakan kebutuhan pribadi seperti kebutuhan dari hobi yakni membeli blankon, wayang-wayangan, selendang untuk menari dan ada pula yang digunakan untuk membeli pulsa, rokok, jajan, dan sebagainya. “... Uangnya saya pakai untuk beli blankon, wayang-wayangan dan hobi saya” (L, anggota dari Padepokan Gema Buana) Anggota yang memilih untuk membagi penghasilan kebutuhan keluarga dan kebutuhan pribadinya terdapat 17 persen. “... Kalau dikasih, setengah amplopnya untuk ibu beli beras setengahnya untuk saya jajan, beli rokok, beli pulsa.” (BK, anggota dari Padepokan Gema Buana) Sebagian dari anggota sejumlah 20 pesen atau enam orang memilih untuk menabungkan hasil kerjanya. Jumlah ini didominasi oleh anggota yang berstatus pelajar. Mereka mengalokasikan gaji yang mereka peroleh untuk ditabung. Bisasanya mereka menitipkan tabungannya pada orang tua atau dikumpulkan di bendahara Padepokan Seni Gema Buana. Tujuan dari menabung bila sudah terkumpul sesuai dengan jumlah yang diinginkan akan mereka pergunakan untuk membeli suatu hal yang mereka inginkan sepertihalnya untuk membeli sepatu, handphone, keperluan sekolah. “... Dititipkan ke ibunya Reza, dikumpulkan buat beli hp baru sama sepatu baru” (ZA, anggota dari Padepokan Gema Buana) Hubungan Tingkat Komodifikasi Budaya dengan Tingkat Pendapatan Fenomena komodifikasi dan manipulasi budaya tidak dapat dihindari terutama dalam sektor pariwisata (Minawati 2013). Komodifikasi budaya sebagai suatu upaya pengembangan budaya menjadi suatu produk pariwisata budaya dengan motif mendapat keuntungan ekonomi. Pada aspek ekonomi masyarakat menurut Sidarta (2002) dapat dilihat dari pendapatan. Merujuk pada penelitian Dhana et al. (2014) menjelaskan bahwa upaya komodifikasi budaya memiliki hubungan dengan pendapatan seniman. Hal ini sesuai dengan hipotesis yang menyatakan bahwa semakin tinggi komodifikasi budaya maka semakin tinggi pula tingkat pendapatan masyrakat. Penelitian ini dilakukan uji hubungan dengan menggunakan analisis korelasi rank Spearman dan tabel tabulasi silang untuk
49 melihat sebera kuat hubungan di antara variabel tersebut. Signifikasi menunjukkan ada atau tidaknya hubungan antar variabel yang diketahui apabila nilai sig (2-tailed) kurang dari nilai alpha. Apabila nilai signifikansi (Approx. Sig.), jika Approx. Sig. lebih besar dari α (0,05) maka Ho diterima, artinya tidak terdapat hubungan antara variabel-variabel yang diuji. Kekuatan hubungan atau kekuatan signifikasi diketahui dari nilai Corelation Coefficient dengan kriteria sebagai berikut: a. +0.70 – +ke atas : hubungan positif yang sangat kuat b. +0.50 – +0.69 : hubungan positif yang mantap c. +0.30 – +0.49 : hubungan positif yang sedang d. +0.10 –+0.29 : hubungan positif yang tak berarti e. -0.00 – -0.09 : hubungan negatif yang tak berarti f. -0.01 – -0.29 : hubungan negatif yang rendah g. -0.30 – -0.49 : hubungan negatif yang sedang : hubungan negatif yang mantap h. -0.50 – -0.69 i. -0.70 – -ke bawah : hubungan negatif yang sangat kuat Tabel 25 Uji korelasi rank Spearman pendapatan
komodifikasi budaya dengan
Komodifikasi Budaya Spearman's Komodifikasi Correlation Coefficient 1.00 rho Budaya Sig. (2-tailed) . Pendapatan Correlation Coefficient .66 ** Sig. (2-tailed) .00 **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Pendapatan .66 ** .00 1.00 .
Hasil uji korelasi (Tabel 25) menggunakan rank Spearman menunjukkan nilai koefisien korelasi tingkat komodifikasi budaya dengan tingkat pendapatan sebesar 0.66. Hasil tersebut menunjukkan korelasi kuat atau hubungan positif yang mantap. Berdasarkan nilai probabilitas menunjukkan angka 0.00 (p < 0.05). Hasil uji tersebut menunjukkan bahwa hipotesis diterima yaitu terdapat korelasi atau hubungan nyata antara komodifikasi budaya dengan pendapatan anggota Padepokan Seni Gema Buana. Hal ini menunjukkan bahwa tinggi rendahnya jumlah pendapatan anggota dapat ditentukan dari besar kecilnya keterlibatan tindakan komodifikasi budaya yang dilakukan. Tabel 26 Jumlah dan persentase anggota menurut tingkat komodifikasi budaya dan tingkat pendapatan Tingkat Komodifikasi Budaya Rendah Tinggi Total
n 12 3 15
Tingkat Pendapatan Rendah Tinggi % n % 67 6 33 25 9 75 50 15 50
Total N 18 12 30
% 100 100 100
50 Hubungan positif terlihat pada Tabel 26 antara tingkat komodifikasi budaya rendah dengan tingkat pendapatan rendah yakni sebesar 67% dan tingkat komodifikasi budaya tinggi dengan tingkat pendapatan tinggi yaitu sebesar 75%. Semakin tinggi keterlibatan pada proses komodifikasi budaya maka semakin tinggi pula pendapatan yang diperoleh anggota Padepokan Seni Gema Buana. Hal ini sesuai dengan informasi lapang bahwa kriteria besarnya jumlah gaji yang diberikan bergantung kemampuan, kemahiran, keterlibatan dalam komodifikasi budaya, dan senioritas. Meskipun budaya senioritas disana dijunjung tinggi namun kriteria keterlibatan dalam komodifikasi budaya tetap menjadi acuan untuk pembagian gaji kepada anggota. Terdapat perbedaan kekuatan jumlah correlation coefficient pada hubungan proses produksi dengan tingkat pendapatan dan hubungan proses distribusi dengan tingkat pendapatan. Koefisien korelasi tingkat proses produksi dengan tingkat pendapatan sebesar 0.644 sedangkan koefisien korelasi proses distribusi dengan tingkat pendapatan sebesar 0.407. Hubungan tingkat proses produksi dengan tingat pendapatan lebih kuat dari pada dengan proses distribusi. Berdasarkan pengamatan lapang kondisi ini disebabkan pada proses produksi seni pertunjukan Ronteg Singo Ulung seluruh anggota dituntut untuk memiliki kemampuan segala bentuk karakter peran dan alat musik tradisional. Seperti yang telah dijelaskan pada Tabel 13 bahwa 57% anggota memiliki kemampuan memerankan lebih dari lima karakter atau alat musik tradisional. Sehingga tingkat kemampuan anggota padepokan memerankan berbagai peran cukup tinggi. Keterlibatan masyarakat dalam proses komodifikasi budaya menjadikan suatu hal yang sakral menjadi seni pertunjukan yang profan. Upaya profanisasi ini menjadikan hal yang awalnya sakral butuh proses memahami dalam waktu yang lama ditata ulang dan dikembangkan nilai estetika menggunakan nilai-nilai budaya populer sehingga menjadi seni pertunjukan yang mudah dipahami dan diminati penonton. Tingginya minat khalayak untuk memesan pementasan hasil komodifikasi budaya dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Penelitian ini menganalisa hubungan tingkat komodifikasi budaya dengan tingkat pendapatan pelaku komodifikasi budaya di komunitas Padepokan Seni Gema Buana.
51
HUBUNGAN TINGKAT KOMODIFIKASI BUDAYA DENGAN TINGKAT ORIENTASI NILAI BUDAYA Tingkat Orientasi Nilai Budaya Orientasi nilai budaya adalah suatu konsepsi yang umum dan terorganisasi tentang alam, tentang tempat manusia dalam alam, tentang hubungan manusia dan manusia (Koentjaraningrat 2002). Konsepsi ini didasarkan pada kepercayaan yang dianut individu. Terutama mengenai lima hal pokok yakni pada bagaimana manusia sebagai individu memiliki pertama cara pandangnya terhadap kehidupan sehingga disebut sebagai hakikat hidup, kemudian kedua cara pandangnya terhadap pekerjaan dan karya yang dilakukan disebut hakikat kerja atau hakikat karya. Ketiga mengenai cara pnadangnya terhadap waktu atau hakikat waktu, selanjutnya keempat hakikaat lingkungan alam yakni caranya memandang tentang hubungan manusia dengan lingkungan sekitarnya khususnya lingkungan alam. Terakhir yakni hakikat lingkungan sosial merupakan cara pandang individu tentang hubungan dengan sesame manusia. Kelima hakikat tersebut dapat dianalisa dalam keseharian manusia. Orientasi nilai budaya dapat dianggap baik oleh individu namun belum tentu dianggap baik oleh individu lainnya. Oreientasi nilai budaya anggota Padepokan Seni Gema Buana dapat terlihat seluruhnya dalam keseharian mereka khususnya dalam hal komodifikasi budaya. Hakikat Hidup Hakikat hidup menurut Kluckhon dalam tulisan Koentjaraningrat (2002) menyatakan bahwa nilai budaya yang berkaitan dengan hakekat hidup didasarkan atas kepercayaan adanya alam lain selain alam dunia yaitu alam kematian atau alam akherat. Masyarakat yang memiliki nilai budaya bahwa hidup di dunia merupakan suatu hal yang buruk dan menyedihkan, maka akan menghindarinya dengan cara mencari cara agar dapat hidup baik di alam lain (akhirat). Sebaliknya bagi masyarakat yang memiliki nilai budaya bahwa hidup di dunia ini baik dan menyenangkan, maka akan cenderung hidup dengan berfoya-foya, tanpa memikirkan hari depan, dan adanya kehidupan lain di alam akherat. Tapi ada pula nilai budaya yang menganggap bahwa hidup di dunia itu buruk, tetapi manusia dapat mengusahakannya agar hidup di dunia itu menjadi hal yang baik dan menyenangkan. Praktek komodifikasi budaya upacara bersih desa Singo Ulung menjadi komoditi seni pertunjukan Ronteg Singo Ulung, hakikat hidup terlihat dari cara pandang manfaatdari upacara bersih desa Singo Ulung dan komodifikasi budayanya
52
17%
16% Hidup itu buruk Hidup itu baik Hidup itu berusaha 67%
Gambar 5 Persentase anggota berdasarkan hakikat hidup Gambar 5 menunjukkan terdapat 16 persen anggota menyatakan bahwa hidup itu buruk. Cara pandang mengenai hidup itu buruk disini diartikan sebagai kondisi pasrah pada Tuhan dan berorientasi pada hal-hal yang dipercaya dijunjung tinggi nilai kesakralannya. Anggota tetap melakukan kegiatan yakni kirim doa Selametan beserta perlengkapan sesaji dan mohon izin dengan cara bermalam di makam leluhur (Juk Seng) agar mendapatkan keselamatan dari Tuhan Yang Maha Esa. Kegiatan tersebut merupakan nilai-nilai budaya keagamaan yang masih dipercaya dan di junjung tinggi oleh beberapa anggota. “... Selametan, harus. Mau berangkat selametan dulu, istilahnya nasek rosul, rokok kolobut lembur, macem-macem sama doa-doanya yang mendoai Pak Tik. Malamnya ada nyekar di makamnya Mbah Singo. Ca’en reng dinnak mon tadhek rowah tak pona.” (S, Ketua Padepokan Seni Gema Buana) “... Acara selametan harus dilaksanakan. Sebelum berangkan harus melakukan Selametan terlebih dahulu, sepertihalnya Nasi Rosul, Rokok Kolobut dan Lembur, dan macam-macam lainnya serta doadoa yang mendoakan Pak Tik (Pemangku Adat Blimbing). Malam harinya terdapat kegiatan nyekar di makam Mbah Singo (leluhur). Menurut orang daerah ini jika tidak dilaksanakan maka tidak puas.” (S, Ketua Padepokan Seni Gema Buana) Cara pandang kedua yakni hidup itu baik dipilih oleh 67 persen anggota. Mereka mengangap bahwa dalam hidup khususnya melaksanakan komodifikasi budaya segalanya yang ada di dunia telah baik. Hal ini tercermin dari jawaban manfaat dilakukan komodifikasi budaya upacara bersih desa Singo Ulung menjadi seni pertunjukan Ronteg Singo Ulung sebagai bentuk hiburan masyarakat yang memiliki budaya itu sendiri maupun masyarakat luas sebagai penikmat kesenian tradisional. Kemudian hidup itu usaha merupakan cara pandang manusi ketiga dalam hakikat hidup. Cara pandang ini menjelakan bahwa dalam kehidupan sebenarnya buruk namun melalui usaha maka hidup akan menjadi biak. Tindakan komodifikasi budaya merupakan usaha anggota Padepokan Seni Gema Buan yang
53 menganggap upacara bersih desa Singo Ulung merupakan suatu potensi yang dapat dikembangkan. Melalui tindakan komodifikasi budaya upacara yang dianggap sakral dan eksklusif dijadikan komoditas yang dapat mendatangkan keuntungan dalam hal pelestarian budaya maupun keuntungan materi atau penghasilan tambahan bagi anggota. Hakikat Karya Komodifikasi budaya sangat erat kaitannya dengan implementasi hakikat karya. Hakikat karya dapat merepresentasikan motif – motif terselubung dari individu dalam berkarya. Padepokan Seni Gema Buana memiliki anggota dari berbagai latar belakang secara umum mereka memiliki kesamaan memiliki kemampuan berkesenian di seni tradisional namun tentu motif untuk bergabung dan berkarya berbeda-beda. Tiga orientasi nilai budaya dalam hakikat hidup berdasarkan adalah pertama berkarya untuk mendapatkan uang atau mencari nafkah hidup, kedua berkarya untuk memperoleh kedudukan yang baik atau mendapatkan prestasi yang membanggakan dan ketiga berkarya sebagai bentuk dedikasi dalam dunia yang didalami. Semangat komodifikasi budaya upacara bersih desa Singo Ulung menghasilakan komoditi seni pertunjukan Ronteg Singo Ulung tidak lepas dari dari berbagai motif anggota Padepokan Seni Gema Buana untuk berkarya (Gambar 6)
33%
27%
Mendapatkan uang Kehormatan dan prestasi
40%
Dedikasi berkarya
Gambar 6 Persentase anggota berdasarkan hakikat kerja Hakikat karya berorientasi mendapatkan uang dimiliki 27 persen anggota padepokan. Mereka mengikuti segala bentuk kegiatan dan berproses komodifikasi budaya sebagai pekerjaan. Sebab setiap anggota yang ikut dalam pementasan seni pertunjukan anggota mendapatkan insentif terlebih dahulu. Insentif sengaja diberikan terlebih dahulu sebelum anggota tampil bertujuan untuk meningkatkan motivasi anggota dalam pementasan yang akan dihadapi. Besarnya jumlah insentif yang diberikan bergantung kemampuan, kemahiran, keterlibatan dalam komodifikasi budaya, dan senioritas. Pembagiannya besaran insentif telah dijelaskan dalam bab karakteristik anggota.
54 Dominasi tertinggi hakikat karya pada orientasi anggota mencari kehormatan dan prestasi sejumlah 40 persen. Prestasi yang dicari adalah prestasi dibidang kesenian. Padepokan Seni Gema Buana telah banyak mendapatkan penghargaan dari berbagai kompeti di level kabupaten, provinsi maupun nasional. Hakikat karya ingin berprestasi, umumnya dimiliki anggota yang berusia sekolah sehingga ada kebanggaan tersendiri memilikiki sederet prestasi yang dapat dibanggakan. Hakikat karya mendapatkan kehormatan atau kedudukan merupakan prestise tersendiri yang diperoleh anggota yang bergabung di Padepokan Seni Gema Buana karena padepokan ini merupakan satu-satunya wadah yang membawa nama Ronteg Singo Ulung menjadi identitas seni budaya kabupaten Bondowoso. Sehingga setiap ada kompetisi dan eksibisi di luar maupun di dalam daerah Kabupaten Bondowoso Padepokan Seni Gema Buana mendapat kehormatan untuk menampilkan identitas seni budayanya yakni seni pertunjukan Ronteg Singo Ulung. Hakikat karya ketiga merupakan orienta nilai budaya tertinggi pada hakikat karya yakni dedikasi berkarya. Terdapat 33 persen anggota mendedikasikan dan mengabdikan dirinya untuk berkarya dibidang seni pertunjukan tradisional di Padepokan Seni Gema Buana. Mereka mendapatkan manfaat yakni bakat dan potensi mereka dibidang kesenian tradisional tersalurkan dengan baik. Dedikasi pada seni tradisional dilakukan dalam bentuk mengembangkan dan menata ulang upacara menjadi lebih mudah diterima dan dipahami masyarakat sebagai seni pertunjukan yang memiliki estetika. Hakikat Waktu Terdapat tiga bentuk nilai budaya dalam hakikat waktu yaitu pertama nilai budaya yang berorientasi pada masa lampau, kedua masa sekarang dan ketiga massa yang akan datang. Pertama nilai budaya yang berorientasi pada masa lampau memandang kehidupan masa lampau lebih baik, sehingga tindakan komodifikasi budaya yang mereka berpedoman pada kehidupan masa lampau. Kedua nilai budaya yang berorientasi pada masa sekarang. Masyarakat yang bernilai budaya seperti ini umumnya lebih mementingkan kehidupan sekarang daripada masa lampau dan masa depannya. Ketiga anggota yang memiliki nilai budaya berorientasi pada masa depan. Orientasi ini berpandangan jauh ke depan, sehingga dalam menjalankan kehidupan khususnya tindakan komodifikasi budaya biasanya menggunakan perencanaan untuk masa yang akan datang.
55
27%
28%
Orientasi masa lalu Orientasi mas sekarang Dedikasi masa datang
46%
Gambar 7 Persentase anggota berdasarkan hakikat waktu Anggota Padepokan Seni Gema Buana lebih banyak memiliki masa sekarang yakni sejumlah 46 persen. Kemudian anggota yang memilih berorientasi pada masa lalu dan masa yang akan datang jumlahnya sama yakni 28 persen. Hakikar waktu tercermin pada pilihan anggota mengenai waktu komodifikasi budaya yang dirasakan nyaman berkarya di padepokan serta alokasi pendapatan yang diperoleh dari berkarya di Padepokan Seni Gema Buana. Anggota yang berorientasi pada masa lalu memilih alokasi pendaptan yang diperoleh dari berkaarya di padepokan digunakan untuk membayar hutang di waktu sebelumnya. Mereka juga merasa dalam berkarya lebih nyaman saat sebelum adanya penetapan desa wisata karena bentuk pementasan upacara tidak banyak berubah sehingga tradisi lokal tetap terjaga dan lestari. “...Tetap pada tradisi lama untuk mempertahankan tradisi lokal (madura bondowosan) seperti musik kenong telok.” (AC, pemain karawitan) 47 persen anggota berorientasi pada masa sekarang. Hal ini di tunjukkan dengan alokasi pengggunaan penghasilan dari pekerjaan ini digunakan untuk kebutuhan keluarga mau pun kebutuhan pribadi saat ini juga. Misalkan digunakan membeli pulsa, membeli beras untuk makan dan sebagainya. Pada tindakan komodifikasi budaya kelompok yang berorientasi pada masa sekarang lebih senang dengan kondisi padepokan saat ini karena anggota padepokan semakin banyak sehingga pembagian tugas dalam mengorganisasi dan konseptualisasi komodifikasi budaya lebih terspesialisasi sehingga memudahkan dalam berkarya. Pengaruh dari diberikannya penetapan desa wisata budaya mengakibatkan Padepokan Seni Gema Buana semakin terkenal dan semakin banyak yang mengundang untuk pertunjukan. “...Sekarang lebih enak, anggotanya lebih banyak, jadi saya kerjanya lebih ringan karena sudah terorganisasi dengan baik.” (S, Unit Seni Rupa)
56 Hakikat waktu berorientasi pada masa depan dipilih oleh 28 persen anggota. Anggota yang berorientasi pada masa depan memiliki pandangan dan perencanaan untuk dirinya pribadi atau untuk masa depan Padepokan Seni Gema Buana dalam hal komodifikasi budaya. Sebagian dari mereka mengalokasikan penghasilan dari padepokan untuk ditabung untuk keperluan pribadi. Sabagian lagi digunakan untuk investasi untuk pengembangan Padepopna Seni Gema Buana sepertihalnya investasi menanam kayu jati di lahan sekitar padepokan. Mereka juga memiliki sikap yang optimis di masa yang akan datang bahwa padepokan akan semakin berkembang meskipun akan semakin tinggi tututan dalam komodifikasi budaya. “...Jika ke depannya desa wisata berkembang jadi ada income untuk organisasi.” (NHS, Unit Program) Hakikat Lingkungan Alam Hakikat lingkungan alam sama halnya dengan hubungan manusia dengan alam. Hakikat ini juga terdapat nilai budaya yang memiliki cara pandang bahwa alam merupakan suatu yang sangat dahsyat, sehingga manusia harus tunduk, dan menyerah pada lingkungan alam sekitarnya. Sebaliknya ada pula nilai budaya memiliki cara pandang bahwa alam dapat dilawan dan dikuasai sehingga cenderung mengekspoitasi lingkungan alam. Diantara kedua nilai budaya tersebut, terdapat nilai budaya yang menselaraskan diri dengan lingkungan alam, sehingga anggota cenderung melestarikan alam.
23%
Tunduk pada alam Selaras dengan alam
54% 23%
Hasrat menguasai alam
Gambar 8 Persentase anggota berdasarkan hakikat lingkungan alam Gambar 8 menunjukkan hakikat lingkungan alam pertama tunduk pada alam tercermin dari pandangan anggota tentang keberadaan tempat komodifikasi budaya yakni bangunan padepokan dan juga khususnya pementasan Ronteg Singo Ulung terdapat pengembanga desain panggung. Mereka beranggapan bahwa lingkungan sekitar padepokan dibiarkan tumbuh alami sepertihalnya terdapat kebun jati ambon, semak-semak, persawahan. Hal ini bertujuan untuk menjaga keseimbangan alam sehingga lingkungan padepokan tetap sejuk. Keberadaan bangunan padepokan yang lama juga tetap dimanfaatkan sesuai fungsinya.
57 Terdapat 23% anggota selanjutnya yang berorientasi selaras dengan alam memilih untuk menjadikan bangunan padepokan sebagai laboratorium sosial seni budaya atau pustaka seni budaya untuk masyarakat yang mau belajar. Juga tercermin dari pendapat mereka mengenai tindakan komodifikasi budaya khususnya saat mendesain panggung dan berbagai keperluan lokasi seperti kebutuhan lokasi parkir pengunjung, lokasi penonton dan sebagainya untuk acara gelar budaya di padepokan. Mereka lebih setuju untuk memilih menyewa lahan orang lain dari pada harus membabat lokasi kebun yang mereka miliki demi menjaga pelestarian lingkungan. Cara pandang hasrat untuk menguasai dan memanfaatkan alam demi kepentingan manusia dipilih oleh 54 persen anggota. Hampir setengah dari anggota berpikir bahwa dengan memanfaatkan secara maksimal lahan berupa kebun dan pesawahan di lingkungan untuk penginapan dan sarana pariwisata lainnya maka akan dapat meningkatkan minat wisatawan yang datang. Hal ini menjadi rencana kedepan pengembangan padepokan menjadi desa wisata budaya di bawah naungan pribadi organisasi Padepokan Seni Gema Buana yang lebih profesional. Pada tahun 2013 pernah digagas perencanaan pengembangan lokasi padepokan menjadi gedung kesenian lengkap dengan fasilitas yang mendukung untuk pendidikan, pelatihan dan pariwisata budaya di lahan seluas 5 000 meter persegi. Pembangunan tersebut akan didanai oleh pemerintah pusat. Perencanaan tersebut sampai pada tahap denah lokasi dan persetujuan dari pihak padepokan. Namun pengembangan tersebut ditolak oleh pihak padepokan karena dalam perjanjian dirasa kurang menguntungkan pihak padepokan. Perjanjian tersebut menyatakan kebijakan pemerintah tentang hak kepemilikan gedung yan menjadi milik negara. Pihak padepokan yang merasa dirugikan karena meski pun padepokan akan dibangun dan dikembangkan namun otonomi berada ditangan pemerintah serta statusnya tidak lagi berbasis masyarakat. Padepokan selaku perwakilan masyarakat nantinya tidak dapat mandiri dalam managemen padepokan sehingga kesempatan pembangunan tersebut tersebut ditolak. “...Setelah dirembuk, awalnya kami setuju wilayah padepokan ini seluruhnya dibangun gedung kesenian tapi pas tanda tangan perjanjian lah kok pernyataannya menjadi milik pemerintah ya ndak jadi. Kami sama saja seperti tikus mati di lumbung padi.” (S, Ketua Padeokan Seni Gema Buana) Hakikat Lingkungan Sosial Orientasi nilai budaya tentang lingkungan sosial adalah hubungan antara sesama manusia. Terdapat tiga bentuk hubungan manusia yakni pertama nilai budaya yang lebih mementingkan hubungan horizontal antara manusia dengan sesamanya dimana manusia merasa sangat tergantung kepada sesamanya, sehingga senantiasa menjaga hubungan baik dengan sesamanya. Nilai budaya seperti ini dicirikan oleh menonjolnya aktivitas anggota dalam kegiatan tolong menolong dan mengedepankan tukar pendapat dan berdiskusi bersama. Berikutnya adalah nilai budaya yang lebih mementingkan hubungan vertikal antara anggota dengan anggota padepokan lainnya. Nilai budaya seperti ini dicirikan oleh kecenderungan anggota berpedoman pada tokoh yang anggap
58 memiliki senioritas dan menjadi atasan di padepokan. Terdapat pula nilai budaya yang ketiga yakni nilai budaya bersikap tidak bergantung pada anggota lainnya. Anggota yang memiliki dengan nilai budaya seperti ini individualis, mandiri, dan senantiasa berusaha mencapai tujuannya dengan sedikit mungkin melibatkan orang lain. Hakikat lingkungan sosial anggota Padepokan Seni Gema Buana tercermin dari berbagai hubungan mereka dalam tindakan komodifikasi budaya seperti sumber motivasi saat latihan di padepokan, kemudian sumber inspirasi berkereasi dalam proses produksi dan proses distribusi komodifikasi budaya.
17% 30%
Tergantung pada sesama Tergantung pada atasan
53%
Mandiri
Gambar 9 Persentase anggota berdasarkan hakikat lingkungan sosial Gambar 9 menunjukkan sebagian besar anggota dalam menata ulang upacara bersih desa Singo Ulung memilih bergantung pada senior yakni sejumlah 53 persen. Hal ini sangat berkaitan erat dengan budaya organisasi yakni saling asah, asih dan asuh sehingga struktur keanggotaan berupa kepengurusan dan senioritas. Setiap anggota senior memiliki minimal satu orang anggota junior yang menjadi tanggung jawabnya. Tanggung jawab dibidang pengajaran etika, estetika dan mentalitas. Tak jarang setiap seorang junior menjadikan senior sebagai guru sekaligus sumber motivasi dan inspirasi dalam berkreasi pada proses komodifikasi budaya. Selanjutnya terdapat 17 persen anggota memiliki nilai budaya lingkungan sosial horisontal yakni bergantung pada sesama anggota. Mereka yang memiliki nilai budaya ini menjadikan anggota lainnya sebagai sumber motivasi berlatih dan sumber inspirasi dalam proses komodifikasi budaya. Motif tersebut didukung dari pernyataan mereka bahwa semangat berlatih atas dasar senang bertemu banyaknya teman. Ketiga yakni nilai budaya mandiri dimiliki 9 orang anggota atau sebanyak 30 persen. Jumlah ini dimiliki oleh anggota yang memiliki kemauan dan kemampuan yang telah ahli di bidang yang ditekuni. Umumnya anggota senior atau pendiri padepokan yang telah mampu mengembangkan dan bertindak dalam proses prduksi dan distribusi komodifikasi budaya secara mandiri dan individu. “... Dulu saya yang mikir semuanya, buat gerakannya, ngonsep pementasan, akomodasi pulang-pergi. Sekarang sudah lama ya saya
59 lepas, masak yo ndak bisa sedikit-sedikit, sekarang sudah bisa diajak mikir bareng. Nanti saya koreksi kalau ada kesalahan.” (S, Ketua Padepokan Seni Gema Buana) “... Dulu saya yang mengkonsep semuanya, membuat gerakannya, mengkonsep pementasan, akomodasi pulang-pergi. Sekarang sudah lama ya saya lepas, masak yo ndak bisa sedikit-sedikit, sekarang sudah bisa diajak mikir bareng. Nanti saya koreksi kalau ada kesalahan.” (S, Ketua Padepokan Seni Gema Buana) Tabel 27 Jumlah dan persentase anggota Padepokan Seni Gema Buana berdasarkan tingkat orientasi nilai hidup dalam komodifikasi budaya Tingkat Orientasi Nilai Budaya Rendah Tinggi Jumlah
Anggota n 15 15 30
% 50 50 100
Tabel 27 menunjukkan seluruh anggota termasuk dalam tingkat orientasi nilai budaya yang tinggi. Hal ini terlihat dari kelima orientasi nilai budaya yang telah dijelaskan di atas bahwa seluruh motif kegiatan mengembangkan dan menata upalang upacara mengarah pada profanisasi upacara menjadi seni pertunjukan yang lebih menarik dan mudah dipahami penonton. Hubungan Tingkat Komodifikasi Budaya Dengan Tingkat Orientasi Nilai Budaya Komodifikasi budaya memiliki hubungan erat dengan ekonomi karena produsen dengan sengaja memproduksi barang atau jasa yang dianggap kurang menarik untuk dijual ditata ulang menjadi produk yang layak dikonsumsi sebagai komoditas yang berorientasi pada pasar (Basri 2014). Tingkat komodifikasi budaya merupakan tingkat keterlibatan dan keterlibatan anggota Padepokan Seni Gema Buana dalam bertindak mengorganisasikan, mengkonsepkan serta mengembangkan upacara bersih desa Singo Ulung menjadi komoditas seni pertunjukan Ronteg Singo Ulung yang memiliki nilai jual. Pada penelitian ini analisis variabel komodifikasi budaya terdiri dari dua proses yaitu proses produksi dan proses distribusi. Sedangakan variabel selanjutnya adalah orientasi nilai budaya menggambarkan tingkat nilai-nilai kesakralan yang dipengaruhi kepercayaan pada upacara bersih desa Singo Ulung sampai nilai-nilai yang menjadikan upacara tersebut lebih ke arah profan khususnya dalam kegiatan komodifikasi budaya.
60 Tabel 28 Jumlah dan persentase anggota menurut tingkat komodifikasi budaya dan tingkat orientasi nilai budaya Tingkat Komodifikasi Budaya Rendah Tinggi Total
Tingkat Orientasi Nilai Budaya Rendah Tinggi n % n % 10 33 8 44 5 17 7 58 15 50 15 50
Total N 18 12 30
% 100 100 100
Tabel 28 menunjukkan hubungan antara variabel tingkat komofikasi budaya dengan variabel tingkat orientasi nilai budaya anggota Padepokan Seni Gema Buana. Hubungan yang terbentuk di antara kedua variabel ini merupakan hubungan yang searah atau positif, dimana semakin tinggi tingkat komodifikasi budaya maka umumnya akan semakin tinggi pula tingkat orientasi nilai budayanya. Hasil uji korelasi dengan menggunakan rank Spearman (Lampiran 6) menunjukkan nilai koefisien korelasi sebesar 0.31. Hasil tersebut menunjukkan korelasi lemah atau hubungan positif yang tak berarti. Berdasarkan nilai probabilitas menunjukkan angka 0.10 (p > 0.05). Hasil uji tersebut menunjukkan bahwa hipotesis ditolak atau tidak terdapat hubungan antara komodifikasi budaya dengan orientasi nilai budaya anggota Padepokan Seni Gema Buana. Hal ini menunjukkan bahwa besar kecilnya tindakan komodifikasi budaya yang dilakukan anggota padepokan Seni Gema Buana tidak selalu berkorelasi terhadap orientasi nilai budaya yang dipegang teguh oleh masing-masing individu secara keseluruhan. Namun bila dilihat hubungan antara komodifikasi budaya dengan ke lima hakikat dari orientasi nilai budaya akan terlihat hubungan antara komodifikasi budaya dengan hakikat karya dan hakikat lingkungan sosial. Hasil uji korelasi dengan menggunakan rank Spearman komodifikasi budaya dengan hakikat kerja menunjukkan nilai koefisien korelasi sebesar 0.44 (Lampiran 6). Hasil tersebut menunjukkan hubungan positif yang sedang. Berdasarkan nilai probabilitas menunjukkan angka 0.02 (p < 0.05). Hasil uji tersebut menunjukkan bahwa hipotesis diterima atau terdapat hubungan antara komodifikasi budaya dengan hakikat kerja dalam orientasi nilai budaya anggota Padepokan Seni Gema Buana. Hubungan positif ini disebabkan sesuainya tindakan komodifikasi budaya dengan hakikat kerja anggota selaku seniman. Tindakan komodifikasi budaya sesuai dengan motif anggota dalam hakikat karya yakni motif mencari prestasi dan dedikasi berkarya di kesenian tradisional. Kedua motif tersebut merupakan motif yang umumnya dimiliki seniman tradisional yang dalam tindakannya menata ulang dan mengembangkan upacara selalu membuat seni pertunjukan lebih profan dan memiliki nilai estetika. Selanjutnya hasil uji korelasi dengan menggunakan rank Spearman hubungan antara komodifikasi budaya dengan hakikat lingkungan sosial juga dapat dilihat pada Lampiran 6. Hasil uji menunjukkan nilai koefisien korelasi sebesar 0.43. Hasil tersebut menunjukkan hubungan positif yang sedang. Berdasarkan nilai probabilitas menunjukkan angka 0.02 (p < 0.05). Hasil uji tersebut menunjukkan bahwa hipotesis diterima atau terdapat hubungan antara komodifikasi budaya dengan hakikat lingkungan sosial dalam orientasi nilai
61 budaya anggota Padepokan Seni Gema Buana. Hubungan positif ini disebabkan sesuainya tindakan komodifikasi budaya dengan hakikat lingkungan sosial anggota yang dipengaruhi budaya organisasi. Budaya organisasi padepokan yang mengatur seniman tradisional diarahkan pada nilai-nilai profan yakni profesionalisme kerja dalam berkesenian. Hal ini menjadikan kesenian seni pertunjukan Singo Ulung bagian dari kehidupan dalam bentuk kerja bukan lagi dalam bentuk upacara ritual. Pada hakikat lingkungan sosial sebagian besar anggota berorientasi pada senior dan orientasi mandiri. Orientasi mandiri dapat diartikan sebagai bebas berekspresi dalam mengkomodifikasi budaya namun karena adanya budaya oraganisasi senioritas maka seluruh ekspresi anggota dalam komodifikasi budaya harus melalui persetujuan senior. Persetujuan senior tersebut sesuai dengan budaya organisasi yang yakni saling asah, asih dan asuh sehingga struktur keanggotaan berupa kepengurusan dan senioritas. Setiap anggota senior memiliki minimal satu orang anggota junior yang menjadi tanggung jawabnya. Tanggung jawab dibidang pengajaran etika, estetika, dan mentalitas. Tak jarang setiap seorang junior menjadikan senior sebagai guru sekaligus sumber motivasi dan inspirasi dalam berkreasi pada proses komodifikasi budaya.
62
63
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Proses komodifikasi budaya juga terjadi di upacara bersih desa Singo Ulung. Upacara menjadi modal budaya pada industri pariwisata budaya Kabupaten Bondowoso. Komodifikasi upacara bersih desa Singo Ulung dilakukan oleh kelompok seniman yang tergabung dalam komunitas Padepokan Seni Gema Buana. Anggota padepokan terlibat dalam proses produksi dan proses distribusi komodifikasi budaya. Kegiatan dari proses produksi adalah (1) menentukan peran dan jumlah dari penari dan pemusik, (2) menata ulang materi doa, dan prosesi, (3) mengembangkan intrumen musik karawitan dan koreografi gerak tari, dan (4) mengatur waktu dan lokasi pementasan sesuai pesanan dan selera konsumen. Kemudian kegiatan proses distribusi (1) Promosi pada wisatawan, (2) menggunakan media promosi, dan (3) menjalin hubungan kerja sama. Kondisi ekonomi terlihat dari peningkatan pendapatan anggota. Tingkat pendapatan yang ditentukan dari jumlah pendapaan rata-rata setiap bulan yang diterima anggota dari Padepokan Seni Gema Buana. Terdapat hubungan positif antara tingkat komodifikasi budaya dengan tingkat pendapatan. Komodifikasi budaya secara umum dapat membantu ekonomi anggota namun tidak dapat diandalkan menjadi pekerjaan pokok karena tidak ada kepastian waktu dan jumlah penghasilan yang diperoleh. Kondisi sosial budaya terlihat dari orientasi nilai budaya anggota. Tingkat komodifikasi budaya anggota berhubungan dengan tingkat orientasi nilai budayanya. Tingkat orientasi nilai budaya anggota seluruhnya tergolong tinggi. Artinya seluruh anggota berorientasi pada profanisasi upacara bersih desa Singo Ulung yang sakral untuk ditampilkan menjadi seni pertunjukan yang memiliki nilai-nilai ekstetikan, nilai-nilai profan supaya lebih mudah dipahami penonton. Pada kegiatan komodifikasi budaya nilai-nilai sakral upacara tidak sepenuhnya hilang, pada beberapa kegiatan komodifikasi budaya nilai-nilai tersebut tetap dijalankan oleh beberapa anggota. Nilai-nilai yang masih dipegang teguh yakni menghormati leluhur dalam bentuk kegiatan berdoa bersama atau disebut slametan sebelum pementasan. Upaya pelestariannya nilai-nilai sakral upacara tersebut dilakukan dengan cara mengubahnya menjadi nilai-nilai budaya islam yang lebih sederhana sederhana sehingga lebih mudah diterima anggota. Pudarnya nilai-nilai sakral upacara dapat berimplikasi pada terancam pudarnya identitas komunitas. Saran Upacara besih desa Singo Ulung memiliki nilai-nilai dianggap sakral seperti kegiatan ritual menginap di makam leluhur untuk sehari sebelum pementasan Ronteg Singo Ulung. Tujuannya berdoa kepada Tuhan TME dan minta izin kebada leluhur agar diberi kelancaran ketika pementasan. Pada kenyataanya beberapa anggota khususnya anggota yunior (usia remaja dan dewasa awal) salah
64 memahami maksud dari kegiatan tersebut dan memilih untuk tidak mengikutinya. Upaya snior padepokan mengajarkan dan mewariskan nilai-nilai sakral diganti ke bentuk kegiatan yang memiliki muatan nilai-nilai islami seperti slametan (berdoa bersama). Cara tersebut ternyata lebih mudah diterima anggota yunior. Perlu kegiatan memberikan pemahaman kepada anggota mengenai makna dari nilai dan kegiatan yang disakralkan serta pemahaman mendasar mengenai tujuan diadakannya komodifikasi budaya. Hal tersebut bertujuan supaya anggota tidak salah mengartikan mengenai nilai-nilai sakral upacara sebagai bagian dari ilmu magis yang dianggap tahayul, tidak modern bahkan dalam sisi keagamaan sebagai bid’ah.
65
DAFTAR PUSTAKA Alhasanat SA, Hyasat AS. 2011. Sociocultural impacts of tourism on the local community in Petra, Jordan. Jordan Jounal of Sosial Sciences. 4(1):144-158. [Internet]. [20 Oktober 2014]. Dapat diunduh dari: http://www.borjournals.com/a/index.php/jbmssr/article/ view/1626. Ardiwijaya R, Marjanti DK, Ernayanti. 2013. Permasalahan dan upaya pelestarian kawasan kota lama di medan. Jurnal Kebudayaan. 8(1):5-23. [Internet]. [23 September 2014]. Dapat diunduh dari: http://litbang.kemdikbud.go.id/pusat/puslitbangbud/jurnal/Vol%08%20no% 201%20tahun%202013.pdf. Astuti SR. 2009. Kesenian Singo Ulung di Bondowoso suatu kajian sejarah seni pertunjukan. Bondowoso (ID): Patrawidya. Baghaskoro. 2014. Bentuk komposisi pengiring seni pertunjukan ronteg singo ulung di padepokan seni gema buana. Jurnal Seni Musik. 3(1). [Internet]. [12 Januari 2015]. Dapat diunduh dari: http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jsm. Basri I. 2014. Komodifikasi ritual duata pada etnik bajo di kabupaten wakatobi provinsi sulawesi tenggara. [tesis]. Denpasar (ID): Universitas Udayana. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2015. Laporan bulanan data sosial ekonomi. [Internet]. [1 Februari 2015]. Edisi 56 Januari 2015. Dapat diunduh dari: http://www.bps.go.id/download_file/IP_Januari_2015.pdf. Dhana IN, Beratha NLS, Ardika IW. 2014. Pariwisata berbasis warisan budaya dan ekonomi kreatif di Desa Tenganan Pegringsingan, Bali. Jurnal Mudra. 29(1):108-116. [Internet]. [20 Oktober 2014]. Dapat diunduh dari: http://jurnal.isi-dps.ac.id/index.php/mudra/article/viewFile/ 1103/pdf. Fainstein SS. 2007. Tourism and the commodification of urban culture. [Internet]. [23 September 2014]. Dapat diunduh dari: http://www.urbanreinventors.net/2/fainstein/fainsteinurbanreinventors.pdf . Fairclough N. 1995. Discourse and social change. United Kingdom (UK): Cambridge. Hilyana S. 2011. Dampak pengembangan pariwisata terhadap karakteristik kultural dan struktural masyarakta lokal (Studi kasus di Kawasan Wisata Bahari Lombok Barat Propinsi NTB). [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Kabupaten Bondowoso. Peraturan Daerah Kabupaten Bondowoso. 2011. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bondowoso 2011-2031. Bondowoso (ID): Bupati Bondowoso. Karmadi DA. 2007 Budaya lokal sebagai warisan budaya dan upaya pelestariannya. [Internet]. [24 November 2014]. Dapat diunduh dari: http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbyogyakarta/wpcontent/uploads/site s/37/2014/11/ Budaya_Lokal. Koentjaraningrat. 2002. Kebudayaan mentalitas dan pembangunan. Jakarta (ID): PT GramediaPustakaUtama. Liem. 2012. Fenomena sosial profanisasi dan sakralisasi. [Internet]. [23 September 2014]. Dapat diunduh dari: http://jurnals1.fsrd.itb.ac.id/index.php/product/article/download/85/76.
66 Marpaung H. 2002. Pengetahuan Kepariwisataan. Bandung (ID): ALFABETA. Minawati R. 2013. Komodifikasi: Manipulasi budaya dalam (ajang) pariwisata. [Internet]. [23 September 2014]. Dapat diunduh dari: http://journal.isipadangpanjang.ac.id/index.php/ES/article/ view/52/52. Nirwandar S. 2012. Pembangunan pariwisata daerah di era otonomi daerah. [Internet]. [23 September 2014]. Dapat diunduh dari: http://parekraf.go.id/userfiles/file440-1257.pdf. Pitana. 2014. Pariwisata mengkomodifikasi seni. Jurnal Kajian Budaya. 8(2) [Internet]. [20 Oktober 2014]. Dapat diunduh dari: http://fpar.unud.ac.id/ind/wp-content/Analisis-Pariwisata-Vol-8-No-2.pdf. Republik Indonesia. Undang-undang Republik Indonesia nomor 10 tahun 2009 tentangkepariwisataan. http://www.parekraf.go.id/userfiles/file/4636_1364UUTentangKepariwisata annet1.pdf. Richard G. 2005. Cultural tourism in Europe. [10 Agustus 2015]. Dapat diunduh dari: http://www.tram-research.com/cultural_tourism_in_ europe. pdf. Ruastiti NM. 2011. Komodifokasi obyek wisata Puri Saren Agung Ubud. [Internet]. [29 September 2014]. Dapat diunduh dari: http://repo.isidps.ac.id/977/1/Komodifikasi_Obyek_Wisata_Puri_Saren_Agung_Ubud,_b agian_II.pdf. Sidarta IWT. 2002. Dampak perkembangan pariwisata terhadap kondisi lingkungan sosial dan ekonomi masyarakat. [Internet]. [17 Desember 2014]. [tesis]. Dapat diunduh dari: htttp://core.ac.uk/download/pdf/117112246. Singarimbun M, Effendi S. 1983. Metode Penelitian Survai. Jakarta [ID]: LP3ES. Soebagyo. 2012. Strategi pengembangan pariwisata di Indonesia. Jurnal Liquidity. 1(2):153-158. [Internet]. [20 Oktober 2014]. Dapat diunduh dari: http://www.acicis.murdoch.edu.au/hi/field_topics/lisa_ mapson.pdf. Soekanto S. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta (ID): PT Raja Grafindo Persada. Susilantini E. 2007. Eksistensi wayang wong panggung purawisata Yogyakarta. Jurnal Sejarah dan Budaya. 2(4):237-244. [Internet]. [9 November 2014]. Dapat diunduh dari: http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbyogyakarta/wpcontent/uploads/site s/ 37/2014/06/Jantra_Vol._II_ No._4_ Desember_2007.pdf. Taryati. 2007. Kontroversi pembangunan kepariwisataan. Jurnal Sejarah dan Budaya. 2(4):291-297. [Internet]. [29 September 2014]. Dapat diunduh dari: http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbyogyakarta/wpcontent/uploads/sites/37/2014/06/Jantra_Vol._II_No._4_Desember_2007.pd f. [UNESCO] United Nations Educational, Scientific and Cultural Organisation. 2011. Analytical framework. [Internet]. [2 Desember 2014]. Dapat diunduh dari: http://www.unesco.org/new/fileadmin/MULTIMEDIA/HQ/CLT/pdf/ Conv2005_CDindicators_Analytical_en.pdf. Widyastuti. 2008. Upacara religi dalam komunikasi pemasaran pariwisata (Studi kasus mengenai komodifikasi upacara religi Saraswati dalam komunikasi pemasaran pariwisata Candi Ceto Kabupaten Karanganyar). [tesis]. Surakarta (ID): Universitas Sebelas Maret.
67 Yuraega S. 2004. Orientasi nilai budaya masyarakat nelayan kecil (miskin) dan hubungan dengan tindakan terhadap kesejahteraan (Studi kasus di Bantaran Kali, Adem, Muara Angke, Jakarta Utara). [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
68
69
LAMPIRAN
Lampiran 1 Peta Kecamatan Prajekan, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur
Gambar 1 Peta JawaTimur
Gambar 2 Peta Kecamatan Prajekan
70 Lampiran 2 Jadwal pelaksanaan penelitian.
No 1 2 3 4 5 6
7 8 11 13 14
Kegiatan Penyusunan proposal skripsi Kolokium Perbaikan proposal Pengumpula n proposal Penjajagan lapang Pengambilan data lapangan Pengolahan dan analisis data Penyusunan draft skripsi Uji Petik Sidang Skripsi Perbaikan skripsi
Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
71 Lampiran 3 Kuesioner Kuisioner Penelitian Pengantar Kuisioner ini disebarkan dengan tujuan untuk mendapatkan informasi dan data penelitian yang berjudul: “Pengaruh Komodifikasi Budaya Terhadap Kondisi Ekonomi Sosial Budaya Masyarakat (Studi Kasus: Desa Wisata Di Desa Prajekan Kidul, Kecamatan Prajekan Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur)“, guna menyelesaikan tugas akhir skripsi pada pendidikan sarjana jurusan Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. Terima kasih atas partisipasinya. Peneliti – Dian Nita Hikmahwati Identitas Anggota No. Anggota: Nama : Usia : Jenis Kelamin : Alamat :
Tahun Laki-laki / Perempuan Jalan No: ................ RT: ................ RW: ................ Kelurahan/Desa: Kecamatan: Kabupaten:
No. Telp / Hp : Keanggotaan di Upacara Singo Ulung Status : Peran : Bergabung sejak : Keanggotaan di Padepokan Gema Buana Status : Anggota Tetap / Magang Peran : Bergabung sejak : I. Tingkat Komodifikasi Budaya Anda dapat memilih salah satu jawaban dari pertanyaan dibawah ini berdasarkan frekuensinya yaitu Tidak Pernah (TP), Jarang (J), Sering (Sg) dan Selalu (Sl). Anda dapat memberi tanda pada jawaban yang anda pilih. No
1
2 3
Pertanyaan X1 Produksi Indikator 1: menentukan peran dan jumlah pemain Apakah anda turut mementukan penetapan pemain melalui seleksi kemampuan untuk mengikut di pementasan yang selenggarakan Padepokan Gema Buana ? Apakah anda pernah tidak mengikuti pementasan sehingga jumlah pemain berubah sesuai kebutuhan ? Apakah anda dapat dengan mudah berganti peran dengan pemain lainya karena anda memiliki kemampuan bermain yang terampil ?
TP
J
Sg
Sl
Ket
72 No Pertanyaan TP J Sg Sl Ket 4 Apakah anda menentukan honor yang diberikan setelah pertunjukan ? Indikator 2: menata ulang materi upacara ritual 5 Apakah anda dapat dengan jelas mendengar pengucapan prosesi oleh peran ketua adat dalang ? 6 Apakah anda pernah tampil dengan adanya perubahan doa atau kalimat dalam pengucapan prosesi ? 7 Apakah bahasa yang digunakan menggunakan gabungan bahasa campuran menyesuaikan bahasa penonton (Bahasa Indonesia atau Madura atau Jawa)? 8 Apakah anda ikut membuat dan menyiapkan makanan (nasi rosul, nasi lemak dan lain-lain) untuk selamatan sebelum tampil ? Indikator ke 3: menata ulang alokasi waktu dan tempat 9 Apakah di setiap pementasan, anda mengatur perubahan urutan susunan prosesi untuk menyesuaikan pesanan acara ? 10 Apakah di pementasan, anda mengalami mengatur perubahan durasi menyesuaikan alokasi waktu acara ? 11 Apakah anda memberikan usulan dan mengatur akomodasi pemain ? 12 Apakah desain atau bentuk panggung dibuat lebih meriah sesuai pesanan acara ? Indikator ke 4: mempersiapkan variasi koreografi gerak tari dan aransemen musik 13 Apakah anda tampil dengan aransemen komposisi musik karawitan yang berubah disetiap pementasan ? 14 Apakah anda pernah menambahankan atau mengurangi variasi gerak tari agar lebih menarik? 15 Apakah anda pernah melakukan atraksi Singa dilakukan untuk mendapat perhatian penonton ? 16 Apakah kostum yang anda gunakan memiliki warna dan desain yang bermacam-macam supaya selalu tampil menarik dan bervariasi disetiapkan acara ?
17 18
19
20 21
X2 Distribusi Indikator 1: mempromosikan pertunjukan Apakah anda pernah mempromosikan Ronteg Singo Ulung pada masyarakat sebagai pertujukan hiburan ? Apakah anda pernah memberikan informasi keberadaan tempat Padepokan Gema Buana dan pertunjukan Singo Ulung atau lainnya kepada publik ? Apakah anda pernah mengingatkan kembali kepada orang lain atau publik tentang waktu acara pementasan Singo Ulung ? Apakah anda pernah mengajak orang lain atau wisatawan untuk menyaksikan Singo Ulung ? Apakah anda pernah menunjukkan perbedaan dan ciri khas Singo Ulung dengan seni pertunjukan
73 No 22
23
24
25
Pertanyaan lainnya pada penonton? Apakah anda pernah menjelaskan sejarah dari karakter-karakter di Ronteg Singo Ulung ? Indikator 2: menggunakan media promosi Apakah anda pernah menyampaikan promosi penamilan Ronteg Singo Ulung komunikasi langsung dari mulut ke mulut pada orang lain ? Apakah anda pernah mengunakan media perantara yakni media massa (iklan pariwisata di tv/radio/web/brosur/koran/poster) untuk promosi Ronteg Sing Ulung ? Indikator 3: menjalin hubungan kerjasama Apakah anda bekerjasama dengan pihak pemerintah desa, kecamatan, dan dinas pariwisata untuk mempromosikan pertunjukan ?
TP
J
Sg
Sl
Ket
II Tingkat Orientasi Nilai Budaya Anda dapat memilih salah satu dari pilihan jawaban dibawah ini Hakikat Hidup dalam komodifikasi budaya 1. Apa manfaat atau diadakannya upacara bersih desa Singo Ulung ? a. Masyarakat pasrah karena percaya Allah akan memberikan rezeki lebih, tolak bala dan kesejahteraan masyarakat setelah melaksanakan upacara. b. Memberikan hiburan bagi rakyat pada peringatan hari jadi Desa Blimbing. c. Memotivasi untuk bekerja lebih giat bekerja dan peluang usaha karena dapat menarik perhatian dan kehadiran masyarakat. d. Lain-lain.............................................................................................. 2. Apa manfaat diadakannya komodifikasi budaya seni pertunjukan Ronteg Singo Ulung ? a. Sebagai momentum untuk mengingatkan masyarakat adanya upacara ritual bersih desa dan mengingat Tuhan YME untuk lebih bersyukur. b. Sebagai pertunjukan hiburan budaya masyarakat. c. Sebagai pelestarian atau mewariskan budaya dimasa depan dan potensi seniman maupun masyarakat mendapat tambahan penghasilan. d. Lain-lain ..................................................................................... 3. Apa manfaat diadakannya persiapan sebelum komodifikasi budaya seni pertunjukan Ronteg Singo Ulung ? a) Untuk kirim doa selametan dan mohon izin dan ke makam Juk Seng agar selamat dan sukses saat pementasan. b) Untuk menghibur diri mengisi waktu luang sebelum pentas c) Untuk latihan agar hasil pementasan yang baik d) Lain-lain ............................................................................ Hakikat kerja atau karya dalam komodifikasi budaya 4. Apa tujuan anda bergabung dalam Padepokan Gema Buana ? a. Memperoleh penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup. b. Mendapatkan penghargaan atau prestasi karena memiliki bakat dan keterampilan berkarya seni di Padepokan Gema Buana. c. Mendedikasikan atau mengabdikan diri untuk berkreasi dalam dunia seni
74 pertunjukan. d. Lain-lain ........................................................................................................ 5. Singo Ulung akan lebih sering tampil di berbagai acara karena Singgo Ulung merupakan seni pertunjukan yang diapresiasi dan dihargai sebagai pertunjukan khas dan unik maka apa yang anda lakukan ? a. Saya akan rajin berlatih untuk lebih terampil dan dapat memainkan berbagai peran sehingga saya turut mendapat insentif atau honor dari berbagai acara. b. Saya akan rajin berlatih untuk lebih terampil dan dapat memainkan berbagai peran sehingga saya turut mendapat penghargaan dan prestasi di berbagai acara. c. Saya akan rajin berlatih untuk lebih terampil sehingga saya turut dapat mengasah bakat, potensi dan pengembangan kreatifitas kesenian yang saya miliki. d. Lain-lain .................................................................................................. 6. Apa manfaat yang anda rasakan setelah bergabung di padepokan Gemma Buana a. Mendapat keuntungan materi dan penghasilan tambahan b. Mendapat banyak teman dan menjadi lebih dikenal orang laing c. Bakat dan potensi dibidang kesenian tersalurkan d. Lain-lain ..... Hakikat waktu dalam komodifikasi budaya 7. Dalam berinovasi mengembangangkan kreativitas di Padepokan Gema Buana anda akan ? a. Memodifikasi pementasan yang dulu pernah ditampilkan b. Kreasi tampilan menyesuaikan dengan kreasi yang terkenal dan diminati saat ini. c. Mencari ide terbaru yang masih relevan untuk waktu kedepan d. Lain.......... 8. Berkenaan dengan kondisi umum sekitar Padepokan Gema Buana, menurut anda dalam berlatih dan berkreasi lebih nyaman saat ? a. Waktu sebelum adanya desa wisata budaya b. Waktu sekarang setelah adanya desa wisata budaya c. Waktu kedepan setelah desa wisata berkembang d. Lain-lain ....................................................................................... 9. Alokasi penggunaan penghasilan dari Padepokan gema buana a. Untuk membayar hutang b. Untuk kebutuhan keluarga saat ini c. Untuk di tabung atau di investasikan d. Lain-lain ....................................................................................... Hakikat lingkungan alam dalam komodifikasi budaya 10. Disekitar wilayah Padepokan Gema Buana merupakan cocok dengan lingkungan persawahan dan perkebunan. Menurut anda tindakan apa yang tepat dengan adanya lingkungan ? a. Dibiarkan tumbuhan tanaman liar maupu yang ditanam untuk keseimbangan lingkungan sehingga wilayah Padepokan menjadi sejuk b. Bekerja sama dengan pemilik lahan untuk menjadikan lahanya sektor pariwisata budaya pula, seperti paket wisata menanam padi dan menanam pohon jati. c. Dibangun bangunan penginapan dan bangunan yang mendukung pariwisata sehingga wilayah Padepokan lebih ramai dan banyak peminat untuk berwisata. d. Lain-lain ...........................................................................................
75 11. Menurut anda apa tindakan yang tepat pada bangunan Padepokan Gema Buana saat ini ? a. Tetap menggunakan bangunan lama agar bermanfaat b. Menjadikan bangunan sebagai laboratorium sosial seni budaya tempat belajar untuk pelajar dan masyarakat umum dan membutuhkan perawatan bagunan c. Memanfaataan bangunan secara maksimal untuk pariwisata budaya sehingga mendapatkan manfaat dari keuntungan ekonomi yang besar juga. d. Lain-lain ........................................................................................
12. Saat menyiapkan pementasan Singo Ulung di Sekitar padepokan bila lokasi penonton tidak mencukupi maka apa yang harusnya dilakukan: a. Menggunakan lokasi yang ada tanpa perlu memperlebar dari lokasi kebun b. Menyewa lokasi tanah kosong di sekitar padepokan c. Merapikan tumbuhan disekitar padepokan dijadikan lokasi parkir dan penonton d. Lain-lain ........................................................................................ Hakikat lingkungan sosial dalam komodifikasi budaya 13. Apa yang memotivasi anda untuk bersemanga pada pertunjukan di Padepokan Gema Buana ? a. Teman-teman b. Senior yang memotivasi untuk tampil lebih baik dan berkembang c. Diri sendiri memiliki bakat berkesenian dan ingin mengembangkannya d. Lain-lain ...................................................................................................... 14. Apa yang anda lakukan dalam pengembangan inovasi pementasan dalam pementasan di Padepokan Gema Buana ? a. Sering berdiskusi dengan teman untuk berlatih bersama b. Sering berdiskusi dengan senior c. Semakin rajin berlatih mandiri memaksimalkan bakat yang dimiliki d. Lain-lain ....................................................................................................... 15. Apa yang anda lakukan untuk mempromosikan pementasai seni pertunjukan di Padepokan Gema Buana ? a. Meminta pertolongan kepada teman-teman untuk ikut mempromosikan b. Meminta bantuan pada tokoh masyarakat yang berpengaruh. c. Berusaha mempromosikan sendiri d. Lain-lain ................................................................................................ III Tingkat Pendapatan 1 2 7 8 9
Apa anda memiliki pekerjaan pokok ? Jika ya, lanjut ke pertanyaan nomer 2. Apa pekerjaan pokok anda ? Berapa jumlah pendapatan yang anda terima setiap bulan dari padepokan? Digunakan apa saja pendapatan tersebut ? Manfaat untuk keluarga? Bagaimana perasaan anda dengan kondisi ekonomi anda ? (merasa puas atau semakin sejahtera)
76 Lampiran 4 Panduan pertanyaan untuk narasumber Panduan Pertanyaan untuk Narasumbe Nama Usia Jenis Kelamin Alamat Status Peran Lamabergabung Kunjunganke Tipe Kontak Kasus Tanggal Pukul Tempat 1. 2. 3.
: : : : : : : : : : : : :
Tahun Laki-laki / Perempuan Anggota Tetap / Anggota Magang
Tatap Muka / Via Telpone
[Sejarah] Bagaimana sejarah terbentuknya upacara bersih desa Singo Ulung? (prespektif kesakralan dan kerohanian) [Gambaran umum komunitas] Bagaimana gambaran umum lembaga Upacara Bersih Desa? [Gambaran umum upacara] Bagaimana gambaran umum pelaksanaan Upacara Bersih Desa?
4. [Setting] 1 Dimana lokasi (tempat) dilaksanakan 2 Kapan waktu pelaksanaanya 3 Musim apa 4 Bagaimana kondisi fisik lingkungan 5 Bagaimana kondisi psikologi atau budaya masyarakat saat berlangsungnya upacara ? [Participants] 6 Siapa tokohnya ? 7 Siapa saja yang ikut serta dalam upacara ? 8 Apa syarat ikut serta dalam upacara ? [Ends] 9 Apa tujuan masyarakat mengadakan upacara 10 Apa fungsi upacara ? 11 Apa harapan setelah dilakukan upacara ? [Act Sequence] 12 Apa yang disampaikan dalam upacara ? 13 Nilai-nilai apa saja yang disampaikan tersirat maupun teRonteg Singo Ulungrat ? [Instrumentalities] 14 Bagaimana menyampaikan pesan dan nilai-nilai tersebut ? vocal, nonvokal, simbol 15 Apa makna atau hakikat dari cara penyampaian pesan tersebut ?
77 [Norms of inter action] 16 Apa yang harus dipahami dan ditaati peserta upacara sebelum melaksanakan upacara ? 17 Apa yang harus diabaikan atau dijauhi peserta upacara sebelum melaksanakan upacara ? [Genre 18 Apakah upacara ini termasuk kelompok: puisi, mitologi / peribahasa / ceramah / promosi ? 19 Apa maksud dari kelompok tersebut ? 5. 6.
[Sejarah] Bagaimana sejarah terbentuknya Padepokan Gema Buana? [Gambaran umum komunitas] Bagaimana gambaran umum organisasi Padepokan? 7. [Bentuk komodifikasi] Apakah ada perbedaaan yang sengaja ditunjukkan dari Upacara Bersih Desa dan pertunjukan Singo Ulung ? 8. [Makna komodifikasi] Apa maksud dari pembedaan tersebut ? 9. [Tarif] Bagaimana tarif yang diberikan bila ingin Singo Ulung tampil di acara tertentu ? 10. [Tarif] Bagaimana mekanisme penentuan tarif tersebut ? 11. [Alokasi pendapatan] Untuk apa saja alokasi pendapatan yang diperoleh dari penampilan Singo Ulung ? 12. [Gambaran umum pertunjukan] Bagaimana gambaran umum pelaksanaan pertunjukan Ronteg Singo Ulung di Padepokan Gema Buana?
78 Lampiran 5 Daftar nama dan alamat anggota Padepokan Seni Gema Buana No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Nama ES AJ MAK NHS GDN AC L S NS BK S SAK YSA DAS RS ZA DD LN BNW IFS RSP SA EMN S S S T W R S
Desa Kembang Prajekan Kali Tapen Prajekan Kidul Prajekan Kidul Lor Sawah Prajekan Sumbesuko Sumbesuko Sumbesuko Wonokerto Prajekan Prajekan Kidul Prajekan Kidul Walidono Walidono Kembang Blimbing Walidono Prajekan Kidul Prajekan Sraten Prajekan Kidul Prajekan Blimbing Blimbing Prajekan Kidul Sraten Walidono Prajekan Kidul
79 Lampiran 6 Hasil uji korelasi rank Spearman Tabel Uji korelasi rank Spearman orientasi nilai budaya
Komdifikasi Budaya Proses Produksi Koefisien Korelasi Sig. (2-tailed) Proses Distribusi Koefisien Korelasi Sig. (2-tailed) Komodifikasi Budaya Koefisien Korelasi Sig. (2-tailed)
komodifikasi budaya dengan
Orientasi Nilai Budaya Hakikat Hakikat Hakikat Lingkungan Lingkugan Waktu Alam Sosial
Hakikat Hidup
Hakikat Kerja
,14 ,47
,35 ,06
,08 ,66
,14 ,48
-,10 ,58
,43 * ,02
,25 ,19
,01 ,99
,44* ,01
,21 ,28
Orienta si Nilai Budaya
,36 ,05
,26 ,17
-,03 ,86
,42 * ,02
,26 ,16
,11 ,57
,43 * ,02
,31 ,10
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
80 Lampiran 7 Dokumentasi
Bangunan Padepokan Seni Gema Buana
Anggota Padepokan Seni Gema Buana
Nagger tempat sesaji dan isinya
Acara selametan sebelum pementasan
Proses produksi komodifikasi budaya, anggota make up sebelum pementasan
Proses konsumsi komodifikasi budaya, wisatawan menonton pertunjukan
Pelatihan seni Ojung untuk pelajar
Pelatihan karawitan untuk wisatawan
81
Jenis kesenian tradisional wayang kulit
Latihan pementasan wayang kulit
Jenis kesenian tradisional pojian
Jenis kesenian tradisional mamaca
Pementasan seni ronteg Singo Ulung di panggung eksibisi
Pementasan seni ronteg Singo Ulung di halaman padepokan
Pementasan seni ronteg Singo Ulung di hari jadi Kabupaten Bondowoso
Pementasan seni ronteg Singo Ulung di halaman padepokan
82
Wawancara dengan ketua padepokan
Wawancara dengan anggota padepokan
Patung selamat datang berbentuk Singo Ulungdi Desa Blimbing
Lingkungan persawahan disekitar Padepokan Seni Gema Buana
83
RIWAYAT HIDUP Dian Nita Hikmahwati dilahirkan di Bondowoso pada tanggal 25 April 1993. Putri pertama dari pasangan Syahroni dan Siti Tavipah. Penulis menyelesaikan pendidikan formalnya dari MI AT-Taqwa Kabupaten Bondowoso, SMPN 3 Jombang dan SMA 2 Darul Ulum, Jombang, Jawa Timur. Pada tahun 2011 penulis melanjutkan pendidikan sarjana pada program studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia beserta minor Pengelolaan Wisata Alam dan Jasa Lingkungan di Institut Pertanian Bogor, Jawa Barat melalui jalur beasiswa utusan daerah. Selama penulis menimba ilmu di Institut Pertanian Bogor, pengalaman dan prestasi yang pernah diraih di antaranya sebagai penerima program beasiswa sarjana dari Kementrian Agama RI, menjadi asisten praktikum mata kuliah Komunikasi Bisnis. Kegiatan di luar akademik yang menunjang pendidikan ilmu komunikasi seperti aktif belajar dan berperan sebagai pembawa acara di berbagai acara kemahasiswaan. Berpengalaman dalam kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan masyarakat seperti mengadvokasi masyarakat untuk pendirian Posdaya Walet Asih di Desa Leuwikaret, Bogor dan perintis pendirian PAUD AlFikri di Desa Leuwikaret, Bogor. Pernah menjadi kontributor poyek riset penulisan ilmiah bibliografi beranotasi dan kodifikasi mengenai National Inquiry yang diadakan oleh Komnas HAM RI, AMAN dan Sajogyo Institute. Beberapa kegiatan kepanitiaan dan organisasi internal kampus dan eksternal kampus juga yang pernah diikuti. Penulis pernah aktif dalam organisasi internal kampus yakni Klub Ilmiah Asrama TPB IPB, Paduan Swara Mahasiswa IPB Agria Swara, pengurus Himasiera (himpunan mahasiswa peminat ilmu-ilmu komunikasi dan pengembangan masyarakat) pada divisi Broadcasting, serta kegiatan BEM KM IPB IDEA 2014. Organisasi eksternal kampus yang diikuti yakni organisasi beasiswa utusan daerah CSS MoRA IPB, organisasi mahasiswa daerah Ikapindo dan Ikalum Bogor.