i
POLA ASUH MAKAN DAN KESEHATAN PADA RUMAH TANGGA YANG TAHAN DAN TIDAK TAHAN PANGAN SERTA KAITANNYA DENGAN STATUS GIZI ANAK BALITA DI KABUPATEN BANJARNEGARA, PROVINSI JAWA TENGAH
RIZMA ARIEFIANI
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
ii
ABSTRACT RIZMA ARIEFIANI. Feeding and Home Health Practices in Food-secure and Food-insecure Households and It’s Impacts to Underfive Nutrition in Banjarnegara, Central Java Province. Under direction of HADI RIYADI. This study aimed to analyze the impacts of parenting practices (feeding and home health practices) on underfive children’s nutritional status in different level of household food security. The study design was a cross-sectional study. The locations were purposively selected at the rural food insecure area in Banjarnegara (Kecamatan Pejawaran and Kecamatan Punggelan). Total samples of the study were 300 children and their families. Data on parenting practices were collected through personal interviews used questionnaire and nutritional status was calculated by using WHO-NCHS z-score. The study showed that 37.3 percent of households were categorized as very food-insecure, while 31.7 percent and 31.0 percent categorized as food-insecure and foodsecure, respectively. The average scores of feeding and home health practices among samples were categorized as low (49.0%) and middle (73.1%) respectively, and children of group very food-insecure had the lowest score of parenting practices. There was a significantly difference among the groups in the scores of sample’s feeding practices. The study showed that about 86 percent of children were categorized as normal (BB/TB indicator), but there were 11.6 percent categorized as wasting, while 32.0 percent and 54.3 percent categorized as underweight and stunting, respectively. Statistical analyses showed significant difference in term of nutritional status. There was a significant correlation between child’s nutritional status (BB/U and TB/U) and home health practices, and between child’s nutritional status (BB/U, TB/U and BB/TB) and household food security. The study showed that child’s nutritional status (TB/U) was influenced by feeding practices, home health practices, household food security and father’s occupation. Keywords: underfive children, parenting practices, nutritional status, household food security
iii
RINGKASAN RIZMA ARIEFIANI. Pola Asuh Makan dan Kesehatan pada Rumah Tangga yang Tahan dan Tidak Tahan Pangan serta Kaitannya dengan Status Gizi Anak Balita di Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah. Dibimbing oleh HADI RIYADI. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mempelajari pola asuh makan dan kesehatan serta kaitannya dengan status gizi anak balita pada berbagai tingkat ketahanan pangan rumah tangga di Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah. Tujuan khusus penelitian ini adalah: (1) mengidentifikasi karakteristik keluarga anak balita dan tingkat ketahanan pangan rumah tangga; (2) mengidentifikasi pola asuh makan dan kesehatan anak balita, (3) mengidentifikasi konsumsi energi dan protein anak balita, (3) mengidentifikasi status kesehatan anak balita, (4) mengidentifikasi status gizi anak balita, (5) menganalisis hubungan antara pola asuh, konsumsi pangan dan status kesehatan dengan status gizi anak balita, (6) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi anak balita. Desain penelitian ini adalah cross sectional. Penelitian ini merupakan bagian dari studi Kajian Ketahanan Pangan dan Alokasi Sumberdaya Keluarga serta Keterkaitannya dengan Status Gizi dan Perkembangan Anak di Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah. Responden adalah ibu yang memiliki anak berumur 24-60 bulan, sedangkan contoh adalah anak dari responden yang pada saat pengambilan data berumur 24-60 bulan. Contoh berasal dari dua kecamatan yang dipilih secara purposive, yaitu Kecamatan Pejawaran dan Kecamatan Punggelan. Pada setiap kecamatan, dipilih tiga desa yang sesuai dengan kondisi umum kecamatan. Setiap desa diambil 50 contoh dengan metode simple random sampling. Total contoh pada penelitian ini adalah 300 contoh (6 desa). Data primer terdiri dari karakteristik anak balita, karakteristik keluarga, tingkat ketahanan pangan rumah tangga, pola asuh makan dan kesehatan, status kesehatan anak balita, antropometri anak balita dan konsumsi pangan anak balita dengan recall 2x24 jam. Data primer dikumpulkan melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner, sedangkan data sekunder diperoleh dari kantor kecamatan lokasi penelitian. Data diolah dengan program Microsoft Excel 2007 dan SPSS 13.0 for Windows. Analisis statistik yang dilakukan, yaitu uji ANOVA, uji Spearman dan uji Regresi Logistik dengan metode Backward Wald. Sebagian besar (59.3%) keluarga anak balita merupakan keluarga kecil (≤4 orang). Orangtua anak balita masih dalam usia produktif, yaitu rata-rata 34.7 tahun untuk ayah dan 30.0 tahun untuk ibu. Rata-rata lama pendidikan ayah dan ibu adalah 6.4 tahun dan 6.8 tahun atau setara dengan lulusan SD. Sebagian besar ayah (52.9%) bekerja sebagai petani/peternak/berkebun, sedangkan ibu (45.7%) tidak bekerja (ibu rumah tangga). Berdasarkan kategori BPS (Rp 146 531/kap/hari), keluarga anak balita yang miskin sebanyak 39.0 persen. Jumlah keluarga miskin di Kecamatan Pejawaran lebih banyak daripada Kecamatan Punggelan. Akses ibu terhadap informasi dan pelayanan gizi dan kesehatan pada umumnya baik dengan rata-rata skor sebesar 81.2 persen, sedangkan pengetahuan gizi ibu tergolong kurang dengan rata-rata skor sebesar 44.1 persen. Sebagian besar (37.3%) rumah tangga tergolong sangat tidak tahan pangan (TKE <70%) berdasarkan cut off point jumlah kalori rumah tangga. Jumlah rumah tangga sangat tidak tahan pangan di Kecamatan Pejawaran lebih banyak daripada Kecamatan Punggelan.
iv
Pola asuh makan anak balita pada umumnya tergolong kurang dengan rata-rata skor sebesar 49.0 persen, sedangkan pola asuh kesehatan anak balita tergolong sedang dengan rata-rata skor sebesar 73.1 persen. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa rata-rata skor pola asuh makan dan kesehatan anak balita pada rumah tangga sangat tidak tahan pangan (44.9% dan 72.1%) paling rendah dibandingkan rumah tangga tidak tahan pangan (50.8% dan 73.0%) dan rumah tangga tahan pangan (51.9% dan 74.4%). Hal ini berarti pola asuh makan dan kesehatan anak balita pada rumah tangga tahan pangan lebih baik daripada rumah tangga tidak tahan pangan. Uji ANOVA menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara pola asuh makan balita (p<0.05), namun tidak ada perbedaan yang nyata pola asuh kesehatan (p>0.05) pada ketiga kelompok rumah tangga. Konsumsi energi dan protein anak balita meningkat seiring dengan meningkatkan tingkat ketahanan pangan rumah tangga. Rata-rata konsumsi energi dan protein anak balita pada rumah tangga sangat tidak tahan pangan (874 kkal dan 22.4 g) paling rendah dibandingkan rumah tangga tidak tahan pangan (973 kkal dan 25.8 g) dan rumah tangga tahan pangan (1098 kkal dan 25.8 g). Berdasarkan tingkat kecukupan energi dan protein, ditemukan lebih dari 30.0 persen anak balita pada rumah tangga sangat tidak tahan pangan dan tidak tahan pangan yang mengalami defisit energi dan protein tingkat berat (<70%). Hal ini diduga berkaitan dengan pola asuh makan yang kurang baik, sehingga anak balita cenderung lebih banyak mengkonsumsi makanan jajanan yang rendah zat gizi daripada makanan di rumah. Uji ANOVA menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara konsumsi energi (p<0.01) dan protein (p<0.01) anak balita pada ketiga kelompok rumah tangga. Pada umumnya (81.3%) anak balita pernah mengalami sakit dengan frekuensi sakit sebanyak ≥3 kali (49.2%) dan selama >14 hari sakit (38.1%) dalam tiga bulan terakhir. Jenis penyakit yang paling banyak diderita adalah panas/demam (67.2%). Uji ANOVA menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antara frekuensi sakit (p>0.05) dan lama sakit (p>0.05) anak balita pada ketiga kelompok rumah tangga. Prevalensi anak balita underweight dan stunting sebesar 32.0 persen dan 54.3 persen, sehingga masalah kesehatan masyarakat di daerah penelitian tergolong sangat tinggi. Prevalensi anak balita wasting sebesar 11.6 persen, sehingga masalah kesehatan masyarakat di daerah penelitian tergolong tinggi. Jika dilihat berdasarkan kelompok rumah tangga, prevalensi anak balita underweight dan stunting pada rumah tangga sangat tidak tahan pangan (47.3% dan 67.0%) paling tinggi dibandingkan rumah tangga tidak tahan pangan (42.1% dan 56.8%) dan rumah tangga tahan pangan (3.3% dan 36.6%). Uji ANOVA menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara status gizi anak balita indeks BB/U, TB/U dan BB/TB (p<0.01) pada ketiga kelompok rumah tangga. Hasil uji Spearman menunjukkan bahwa status gizi (BB/U dan TB/U) berhubungan nyata dengan pola asuh kesehatan (p<0.05 dan p<0.01), namun status gizi (BB/U, TB/U dan BB/TB) tidak berhubungan nyata dengan pola asuh makan (p>0.05), tingkat kecukupan energi dan protein (p>0.05), serta frekuensi sakit dan lama sakit (p>0.05). Hasil uji Regresi Logistik menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi malnutrisi global (BB/U) adalah pendidikan ibu, pekerjaan ayah, pengetahuan gizi ibu, ketahanan pangan rumah tangga dan tingkat kecukupan protein anak balita; faktor-faktor yang mempengaruhi malnutrisi kronik (TB/U) adalah pekerjaan ayah, ketahanan pangan rumah tangga, pola asuh makan dan pola asuh kesehatan; faktor-faktor yang mempengaruhi malnutrisi akut (BB/TB) adalah usia ibu, pekerjaan ayah, status sosial ekonomi keluarga, ketahanan pangan rumah tangga dan tingkat kecukupan energi anak balita.
v
POLA ASUH MAKAN DAN KESEHATAN PADA RUMAH TANGGA YANG TAHAN DAN TIDAK TAHAN PANGAN SERTA KAITANNYA DENGAN STATUS GIZI ANAK BALITA DI KABUPATEN BANJARNEGARA, PROVINSI JAWA TENGAH
RIZMA ARIEFIANI
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
vi
Judul Skripsi : Pola Asuh Makan dan Kesehatan pada Rumah Tangga yang Tahan dan Tidak Tahan Pangan serta Kaitannya dengan Status Gizi Anak Balita di Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah Nama : Rizma Ariefiani NIM : I14051225
Disetujui : Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS. NIP. 19610615 198603 1 004
Diketahui : Ketua Departemen Gizi Masyarakat
Dr. Ir. Evy Damayanthi, MS. NIP. 19621204 198903 2 002
Tanggal Lulus:
vii
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya, sehingga skripsi yang berjudul “Pola Asuh Makan dan Kesehatan pada Rumah Tangga yang Tahan dan Tidak Tahan Pangan serta Kaitannya dengan Status Gizi Anak Balita di Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah” dapat
diselesaikan
dengan
baik.
Pada
kesempatan
ini,
penulis
ingin
mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS selaku Dosen Pembimbing, yang telah meluangkan waktu dan pikirannya, memberikan arahan, kritik dan saran, serta dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi. 2. Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS selaku Dosen Penguji dan Dr. Ir. Dadang Sukandar, MSc selaku Dosen Pemandu Seminar, yang telah memberikan saran dan masukan demi kesempurnaan skripsi. 3. Dr. Ir. Drajat Martianto, MS, yang telah mengizinkan penulis untuk ikut serta dalam penelitian dan membimbing penulis selama penulisan skripsi. 4. Dr. Rimbawan selaku Dosen Pembimbing Akademik, yang telah membantu penulis dalam perkuliahan awal semester. 5. Orangtua tercinta, Arief Lutfi dan Indriani, atas kasih sayang, doa serta dukungan yang tak henti-hentinya diberikan kepada penulis. 6. Sahabat-sahabat penulis (Nyit, Yani “Ji” dan Bang Iwan), atas bantuan, doa, semangat dan kenangan yang diberikan selama masa perkuliahan. 7. Asisten penelitian (Teh Medina, Mba Yuli, Kak Aqsa, dan Kak Aris), atas bantuannya; teman-teman penelitian (Esta, Dede, Rama, Nuy, Chandry, Endah, dan Dinda), atas dukungan dan kerjasamanya; teman-teman GMSK (40 dan 41), GM (42, 43 dan 44), kelas A23 TPB (2005) dan asrama A3 kamar 368 (2005), atas dukungan, semangat dan keceriaan yang diberikan; serta seluruh pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu. Semoga skrispsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.
Bogor, Agustus 2009
Rizma Ariefiani
viii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 1987 sebagai anak tunggal dari pasangan Arief Lutfi dan Indriani. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 1999 di SD Negeri Manggarai 01 Pagi Jakarta. Kemudian penulis melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah pertama di SLTP Negeri 115 Jakarta hingga tamat pada tahun 2002. Pada tahun yang sama, penulis diterima di SMU Negeri 68 Jakarta dan tamat pada tahun 2005. Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2005. Setelah satu tahun menjalani masa Tingkat Persiapan Bersama (TPB), penulis diterima sebagai mahasiswa Mayor Ilmu Gizi dengan Minor Teknologi Pangan, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia. Semasa kuliah, penulis aktif mengikuti organisasi kemahasiswaan, yaitu sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Peduli Pangan Indonesia (HMPPI), staf Divisi Infokom Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu Gizi Pertanian (HIMAGITA) periode 2006/2007 dan sekretaris Divisi Infokom Himpunan Mahasiswa Ilmu Gizi (HIMAGIZI) periode 2007/2008. Penulis juga aktif mengikuti berbagai kepanitiaan, diantaranya MPD OTAG (2007), MPF HERO (2007), IFOODEX (2007), E’SPENT (2008) dan FUNNY FAIR (2008). Penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Kelurahan Duren Mekar dan Duren Seribu, Kecamatan Sawangan, Kota Depok pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2008 dan Internship Dietetika (ID) di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Cibinong, Kabupaten Bogor pada bulan Februari sampai dengan Maret 2009. Selain itu, penulis juga menjadi asisten mata kuliah Ekologi Pangan dan Gizi pada semester ganjil tahun ajaran 2009/2010.
ix
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ................................................................................................ xi DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................xiv PENDAHULUAN ................................................................................................. 1 Latar Belakang ............................................................................................... 1 Tujuan ............................................................................................................ 3 Kegunaan ...................................................................................................... 3 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................ 4 Ketahanan Pangan Rumah Tangga ............................................................... 4 Karakteristik Keluarga .................................................................................... 5 Besar Keluarga .......................................................................................... 5 Umur Orangtua .......................................................................................... 5 Pendidikan Orangtua.................................................................................. 6 Pekerjaan Orangtua ................................................................................... 6 Status Sosial Ekonomi Keluarga ................................................................ 6 Pengetahuan Gizi dan Akses Ibu terhadap Informasi Gizi dan Kesehatan . 7 Pola Pengasuhan Anak Balita ........................................................................ 8 Pola Asuh Makan....................................................................................... 8 Pola Asuh Kesehatan .............................................................................. 10 Konsumsi Pangan Anak Balita ..................................................................... 12 Status Kesehatan Anak Balita ...................................................................... 13 Status Gizi Anak Balita................................................................................. 14 KERANGKA PEMIKIRAN ................................................................................. 17 METODE ........................................................................................................... 19 Desain, Tempat dan Waktu Penelitian ......................................................... 19 Jumlah dan Cara Pemilihan Contoh ............................................................. 19 Jenis dan Cara Pengumpulan Data .............................................................. 20 Pengolahan dan Analisis Data ..................................................................... 21 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................. 28 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ............................................................. 28 Kabupaten Banjarnegara ......................................................................... 28 Kecamatan Pejawaran ............................................................................. 29 Kecamatan Punggelan ............................................................................ 30 Karakteristik Anak Balita .............................................................................. 31 Karakteristik Keluarga .................................................................................. 31 Besar keluarga ........................................................................................ 32 Umur Orangtua ........................................................................................ 32 Pendidikan Orangtua ............................................................................... 33 Pekerjaan Orangtua................................................................................. 34 Status Sosial Ekonomi Keluarga .............................................................. 35 Akses Ibu terhadap Informasi dan Pelayanan Gizi dan Kesehatan .......... 36 Pengetahuan Gizi Ibu .............................................................................. 37 Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga ................................................ 38 Pola Pengasuhan Anak Balita ...................................................................... 39 Pola Asuh Makan..................................................................................... 39
x
Pola Asuh Kesehatan .............................................................................. 42 Konsumsi Pangan Anak Balita ..................................................................... 44 Status Kesehatan Anak Balita ...................................................................... 46 Status Gizi Anak Balita................................................................................. 48 Indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U) .............................................. 49 Indeks Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) ............................................. 50 Indeks Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB) ................................ 51 Hubungan Antara Pola Asuh, Konsumsi Pangan dan Status Kesehatan dengan Status Gizi Anak Balita .................................................................... 53 Hubungan Pola Asuh Makan dan Kesehatan dengan Status Gizi ............ 53 Hubungan Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Gizi .... 54 Hubungan Frekuensi Sakit dan Lama Sakit dengan Status Gizi .............. 55 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Anak Balita ......................... 56 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. 60 Kesimpulan .................................................................................................. 60 Saran ........................................................................................................... 62 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 63 LAMPIRAN ........................................................................................................ 67
xi
DAFTAR TABEL Nomor Tabel
Halaman
1
Angka kecukupan energi (AKE) dan protein (AKP) anak .............................. 13
2
Klasifikasi masalah gizi berdasarkan prevalensi underweight, stunting ........ 16
3
Jenis dan cara pengumpulan data primer .................................................... 20
4
Kategori status gizi berdasarkan baku WHO-NCHS ..................................... 24
5
Sebaran status gizi anak balita di Kecamatan Pejawaran, Kecamatan Punggelan dan Kabupaten Banjarnegara..................................................... 29
6
Luas wilayah, jumlah dan kepadatan penduduk Desa Pejawaran, Desa Sidengok dan Desa Giritirta ......................................................................... 29
7
Luas wilayah, jumlah dan kepadatan penduduk Desa Punggelan, Desa Karangsari dan Desa Kecepit....................................................................... 30
8
Jumlah keluarga di Desa Punggelan, Desa Karangsari dan Desa Kecepit menurut tingkat kesejahteraannya ............................................................... 31
9
Sebaran anak balita berdasarkan umur dan jenis kelamin ........................... 31
10 Sebaran jumlah anggota keluarga anak balita ............................................. 32 11 Sebaran umur ayah dan ibu pada keluarga anak balita ............................... 33 12 Sebaran tingkat pendidikan ayah dan ibu pada keluarga anak balita ........... 33 13 Sebaran pekerjaan ayah dan ibu pada keluarga anak balita ........................ 34 14 Sebaran alokasi pengeluaran pada keluarga anak balita ............................. 35 15 Sebaran keluarga anak balita berdasarkan kategori kemiskinan BPS .......... 36 16 Sebaran ibu berdasarkan akses terhadap informasi dan pelayanan gizi dan kesehatan pada keluarga anak balita .................................................... 37 17 Sebaran ibu berdasarkan tingkat pengetahuan gizi pada keluarga anak balita ............................................................................................................ 38 18 Sebaran tingkat ketahanan pangan rumah tangga ....................................... 39 19 Sebaran anak balita berdasarkan keragaan riwayat menyusui dan penyapihan .................................................................................................. 40 20 Sebaran anak balita berdasarkan keragaan praktek pemberian makan ....... 41 21 Sebaran anak balita berdasarkan pola asuh makan pada berbagai tingkat ketahanan pangan rumah tangga................................................................. 41 22 Sebaran anak balita berdasarkan keragaan pola asuh kesehatan preventif ....................................................................................................... 42 23 Sebaran anak balita berdasarkan pola asuh kesehatan pada berbagai tingkat ketahanan pangan rumah tangga ..................................................... 44
xii
24 Sebaran anak balita berdasarkan konsumsi energi dan protein pada berbagai tingkat ketahanan pangan rumah tangga ...................................... 45 25 Sebaran anak balita berdasarkan tingkat kecukupan energi dan protein pada berbagai tingkat ketahanan pangan rumah tangga .............................. 46 26 Sebaran anak balita berdasarkan status sakit dalam tiga bulan terakhir pada berbagai tingkat ketahanan pangan rumah tangga .............................. 46 27 Sebaran anak balita berdasarkan jenis penyakit dalam tiga bulan terakhir pada berbagai tingkat ketahanan pangan rumah tangga .............................. 47 28 Sebaran anak balita berdasarkan frekuensi sakit dalam tiga bulan terakhir pada berbagai tingkat ketahanan pangan rumah tangga .............................. 48 29 Sebaran anak balita berdasarkan lama sakit dalam tiga bulan terakhir pada berbagai tingkat ketahanan pangan rumah tangga .............................. 48 30 Sebaran anak balita berdasarkan status gizi (BB/U) pada berbagai tingkat ketahanan pangan rumah tangga................................................................. 49 31 Sebaran anak balita berdasarkan status gizi (TB/U) pada berbagai tingkat ketahanan pangan rumah tangga................................................................. 50 32 Sebaran anak balita berdasarkan status gizi (BB/TB) pada berbagai tingkat ketahanan pangan rumah tangga ..................................................... 52 33 Sebaran anak balita berdasarkan pola asuh dan status gizi ......................... 54 34 Sebaran anak balita berdasarkan kecukupan zat gizi dan status gizi ........... 55 35 Sebaran anak balita berdasarkan status kesehatan dan status gizi ............. 55 36 Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian malnutrisi ...................... 56
xiii
DAFTAR GAMBAR Nomor Gambar 1
Halaman
Hubungan pola asuh makan dan kesehatan dengan status gizi anak balita ........................................................................................................... 18
2
Cara pemilihan contoh ................................................................................ 20
3
Sebaran anak balita berdasarkan z-skor indeks BB/U................................. 50
4
Sebaran anak balita berdasarkan z-skor indeks TB/U ................................. 51
5
Sebaran anak balita berdasarkan z-skor indeks BB/TB............................... 52
xiv
DAFTAR LAMPIRAN Nomor Lampiran
Halaman
1
Tingkat ketahanan pangan di berbagai wilayah di Provinsi Jawa Tengah .....68
2
Sebaran rumah tangga berdasarkan keragaan akses ibu terhadap informasi dan pelayanan gizi dan kesehatan pada berbagai tingkat ketahanan pangan rumah tangga..................................................................69 68
3
Sebaran rumah tangga berdasarkan keragaan pengetahuan gizi ibu pada berbagai tingkat ketahanan pangan rumah tangga .......................................70
4
Sebaran rumah tangga berdasarkan keragaan pola asuh makan pada berbagai tingkat ketahanan pangan rumah tangga .......................................71
5
Sebaran rumah tangga contoh berdasarkan keragaan pola asuh kesehatan pada berbagai tingkat ketahanan pangan rumah tangga ...............................72 71
6
Hasil uji ANOVA variabel penelitian ..............................................................74 73
7
Hasil uji Spearman variabel penelitian ..........................................................75 74
8
Hasil uji Regresi Logistik variabel penelitian ..................................................76
PENDAHULUAN Latar Belakang Krisis ekonomi yang dialami Indonesia pada akhir tahun 1990-an hingga sekarang telah membawa dampak negatif terhadap kemiskinan, ketahanan pangan dan status gizi masyarakat (Tabor, Soekirman & Martianto 2000). BPS mencatat angka kemiskinan pada tahun 2008 mencapai 34.96 juta orang atau 15.42 persen jumlah penduduk Indonesia. Kemiskinan tidak hanya menurunkan daya beli masyarakat termasuk daya beli makanan, pelayanan kesehatan dan pendidikan, tetapi juga ketersediaan bahan makanan dan barang kebutuhan pokok lainnya. Semakin miskin suatu keluarga, semakin rendah kemampuan pembelian pangannya (UNICEF 2001 dalam Martianto et al. 2008). Pada saat tingkat pendapatan mendekati suatu titik dimana rumah tangga tidak mampu membeli kebutuhan pangan, maka ketahanan pangan dan status gizi kelompok rawan akan terganggu. Salah satu akibat langsung dari penurunan daya beli masyarakat akan pangan adalah meningkatnya prevalensi kurang gizi, terutama pada anak balita. Data Departemen Kesehatan tahun 2007 memperlihatkan 4 juta anak balita Indonesia mengalami kurang gizi dan 700 ribu diantaranya mengalami gizi buruk. Jika ditinjau dari tinggi badan, diketahui sebanyak 25.8 persen anak balita Indonesia memiliki tubuh pendek. Ukuran tubuh yang pendek ini merupakan tanda kurang gizi yang berkepanjangan (Khomsan 2008). Keberhasilan tumbuh kembang pada masa kanak-kanak menentukan kualitas sumberdaya manusia yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap keberhasilan pembangunan nasional. Faktor utama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak, diantaranya faktor gizi, kesehatan dan praktek pengasuhan (caring) yang terkait satu sama lain (Briawan & Herawati 2005). Hasil studi Akmal (2004) menunjukkan bahwa anak yang diasuh dengan baik memiliki tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang baik. Anak balita merupakan kelompok penduduk yang paling rentan terhadap gangguan kesehatan dan gizi. Sukarni (1994) menyebutkan beberapa alasan yang memperkuat pernyataan tersebut, antara lain status imunisasi, diet dan psikologi anak belum matang atau masih dalam taraf perkembangan yang pesat dan kelangsungan hidup anak balita sangat tergantung pada penduduk dewasa, terutama keluarga. Keluarga merupakan unit sosial pertama yang bertanggung
2
jawab terhadap proses perkembangan individu. Sebagai orang terdekat, ibu sangat berperan dalam pengasuhan anak. Pemberian makan (feeding) dan perawatan (caring) ibu dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak, baik secara positif maupun negatif (Fitriana, Hartoyo & Nasoetion 2007). Menurut Satoto (1990), faktor yang cukup dominan terhadap meluasnya keadaan gizi kurang adalah perilaku masyarakat yang kurang baik dalam memilih dan memberikan makanan kepada anggota keluarganya, terutama anak balita. Selain itu, perawatan kesehatan anak balita juga perlu mendapat perhatian yang sungguh-sungguh karena anak belum mampu merawat diri sendiri, kondisi fisik masih lemah dan sangat peka terhadap serangan penyakit. Anak yang tidak terawat, baik fisik maupun makanannya, beresiko tinggi menderita gizi kurang. Banjarnegara merupakan salah satu kabupaten termiskin di Provinsi Jawa Tengah. Jumlah penduduk miskin di Kabupaten Banjarnegara meningkat 7.62 persen dalam kurun waktu lima tahun. Penduduk miskin di Kabupaten Banjarnegara tahun 2001 tercatat 89 912 kepala keluarga (KK) yang setara dengan 31.05 persen jumlah penduduk dan meningkat menjadi 95 357 KK atau 38.67 persen pada tahun 2005. Kemiskinan mengakibatkan puluhan ribu penduduk di 89 desa di Kabupaten Banjarnegara mengalami rawan pangan dan ribuan lainnya mengalami krisis pangan (Kompas Cyber Media 2006). Peta Kerawanan Pangan tahun 2007 menunjukkan bahwa Kabupaten Banjarnegara termasuk dalam kategori wilayah resiko tinggi rawan pangan. Kerawanan pangan memberi konsekuensi terhadap penurunan status gizi dan kesehatan masyarakat. Indikator utama memburuknya keadaan gizi dan kesehatan adalah meningkatnya kasus gizi buruk di masyarakat (Sandjaja 2000). Dinas Kesehatan Kabupaten Banjarnegara (2008) melaporkan bahwa jumlah kasus gizi buruk (BB/TB) pada anak balita di Kabupaten Banjarnegara meningkat dari 15 kasus pada bulan Januari menjadi 54 kasus pada bulan Desember tahun 2008. Peningkatan jumlah anak balita gizi buruk sangat mengkhawatirkan karena dapat menyebabkan hilangnya satu generasi (lost generation). Mempertimbangkan situasi yang disebutkan di atas, merupakan hal yang menarik untuk mengetahui bagaimana ketidaktahanan pangan rumah tangga akan memberikan pengaruh terhadap pola asuh dan status gizi anak balita, khususnya yang berusia 24-60 bulan, di Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah.
3
Tujuan Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pola asuh makan dan kesehatan serta kaitannya dengan status gizi anak balita pada berbagai tingkat ketahanan pangan rumah tangga di Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah. Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus dari penelitian ini antara lain: 1. Mengidentifikasi karakteristik keluarga anak balita dan tingkat ketahanan pangan rumah tangga. 2. Mengidentifikasi pola asuh makan dan kesehatan anak balita pada rumah tangga sangat tidak tahan pangan, tidak tahan pangan dan tahan pangan. 3. Mengidentifikasi konsumsi energi dan protein anak balita pada rumah tangga sangat tidak tahan pangan, tidak tahan pangan dan tahan pangan. 4. Mengidentifikasi status kesehatan anak balita pada rumah tangga sangat tidak tahan pangan, tidak tahan pangan dan tahan pangan. 5. Mengidentifikasi status gizi anak balita pada rumah tangga sangat tidak tahan pangan, tidak tahan pangan dan tahan pangan. 6. Menganalisis hubungan antara pola asuh, konsumsi pangan dan status kesehatan dengan status gizi anak balita. 7. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi anak balita. Kegunaan Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan informasi tambahan dalam hal pola pengasuhan dan status gizi anak balita, serta berguna bagi pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya keluarga dan praktek pengasuhan yang tepat bagi anak di wilayah penelitian ini. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan perbandingan untuk penelitian-penelitian keluarga lebih lanjut dan memperkaya literatur tentang keluarga, terutama yang berkaitan dengan pola pengasuhan dan status gizi anak balita.
4
TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan Rumah Tangga Menurut Undang-Undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan, ketahanan pangan adalah suatu keadaan dimana setiap rumah tangga mempunyai akses terhadap makanan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutu gizinya. Engle, Menon dan Haddad (1997) mengemukakan bahwa pada tingkat rumah tangga, ketahanan pangan ditentukan oleh kemampuan rumah tangga untuk mengelola dan mengalokasikan pendapatan untuk makanan bagi seluruh anggotanya, budaya serta kebiasaan makannya. Ketahanan pangan rumah tangga juga terkait dengan ketersediaan pangan (baik dari produksi sendiri maupun dari pasar atau sumber lain), harga pangan dan daya beli keluarga, serta pengetahuan tentang gizi dan kesehatan (Soekirman 2000). Ketahanan pangan rumah tangga sangat penting untuk dipantau secara terus menerus karena masih banyak rumah tangga yang mengalami masalah kekurangan pangan. Suryana (2004) menemukan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia mengalami defisit energi dan protein dibawah standar kecukupan yang direkomendasikan (2000 kkal dan 52 g protein per kapita per hari). Kelompok defisit energi ini pada tahun 2003 mencapai 127.9 juta jiwa dan 81.5 juta jiwa diantaranya juga disertai dengan defisit protein. Ketidaktahanan pangan rumah tangga dapat berdampak buruk pada status gizi anak balita. Ketidaktahanan pangan di tingkat rumah tangga umumnya disebabkan oleh kurangnya kesempatan memperoleh pendapatan yang mencukupi serta tingginya harga pangan. Jumlah orang miskin mencerminkan kelompok yang tidak memperoleh pendapatan dalam jumlah cukup. Semakin besar jumlah orang miskin, semakin rendah akses terhadap pangan dan semakin tinggi derajat kerawanan pangan di daerah tersebut (Deptan RI 2002). Pengklasifikasian ketahanan pangan rumah tangga kedalam tahan pangan (food secure) dan tidak tahan pangan (food insecure) dapat dilakukan dengan berbagai macam cara. Pengukuran yang paling umum digunakan adalah pengukuran dengan indikator out put, yaitu konsumsi pangan (intake energi) atau status gizi individu, khususnya wanita hamil dan balita (Masithah 2002). Rumah tangga disebut tidak tahan pangan, jika intake energi atau status gizi lebih rendah dari cut off point (kebutuhan minimum). Tujuh puluh persen dari kebutuhan energi biasanya digunakan sebagai cut off point untuk konsumsi pangan (Zeitlin & Brown 1990).
5
Karakteristik Keluarga Keluarga adalah satuan terkecil dari masyarakat yang sekurangkurangnya terdiri dari orangtua dan anak. Orangtua, khususnya ibu, sebagai pengasuh dan pendidik anak dalam keluarga dapat mempengaruhi pertumbuhan fisik dan perkembangan anak (Suhardjo 1989). Setiap keluarga memiliki kebiasaan yang berbeda-beda dalam hal pengasuhan anak. Kebiasaan ini dipengaruhi oleh karakteristik yang khas bagi keluarga tersebut, meliputi besar keluarga, umur orangtua, pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua, status sosial ekonomi keluarga, serta pengetahuan gizi dan akses ibu terhadap informasi gizi dan kesehatan. Besar Keluarga Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Menurut Cahyaningsih (1999) dalam Akmal (2004), besar keluarga akan mempengaruhi pembentukan tingkah laku anak. Semakin besar suatu keluarga maka semakin sedikit perhatian yang diperoleh anak dari orangtua. Jika jarak anak pertama dengan yang kedua kurang dari satu tahun maka perhatian ibu terhadap pengasuhan kepada anak yang pertama akan berkurang setelah kedatangan anak berikutnya, padahal anak tersebut masih memerlukan perawatan khusus (Sukarni 1994). Besar keluarga mempengaruhi pendapatan per kapita dan pengeluaran pangan rumah tangga. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pendapatan per kapita dan pengeluaran pangan menurun seiring dengan peningkatan besar keluarga. Menurut Suhardjo (2003), terdapat pengaruh antara laju kelahiran dan keadaan gizi keluarga pada masyarakat miskin. Keluarga akan lebih mudah memenuhi kebutuhan makanannya jika jumlah anggota keluarga yang harus diberi makan lebih sedikit. Anak yang paling kecil biasanya paling terpengaruh oleh kekurangan pangan. Umur Orangtua Orangtua, terutama ibu, cenderung kurang memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam mengasuh anak, sehingga umumnya mereka mengasuh dan merawat anak didasarkan pada pengalaman orangtua terdahulu. Selain itu, faktor usia muda juga cenderung menjadikan seorang ibu akan lebih memperhatikan kepentingannya sendiri daripada kepentingan anaknya, sehingga kuantitas dan kualitas pengasuhan kurang terpenuhi. Sebaliknya, ibu yang lebih berumur cenderung menerima perannya dengan sepenuh hati (Hurlock 1998).
6
Pendidikan Orangtua Tingkat pendidikan orangtua merupakan aspek yang mempengaruhi keefektifan komunikasi dalam keluarga. Pendidikan orangtua secara tidak langsung akan mempengaruhi komunikasinya dengan anak, diantaranya berkaitan dengan pola asuh. Orangtua yang berpendidikan rendah mungkin hanya sedikit pengetahuannya tentang kesehatan dan perkembangan anak, sehingga pengasuhan anak hanya sekedar mengikuti orangtuanya yang terdahulu atau para tetangga. Latar belakang pendidikan ibu berpengaruh terhadap perilaku ibu dalam mengelola rumah tangga, termasuk dalam hal konsumsi pangan keluarga seharihari. Tingkat pendidikan ibu juga menentukan aksesnya kepada pengasuhan yang tepat dan akses ke sarana kesehatan (Engle, Menon & Haddad 1997). Hasil penelitian Madanijah (2003) menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak. Ibu dengan pendidikan yang tinggi cenderung memiliki pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak yang baik. Pekerjaan Orangtua Pekerjaan memiliki hubungan yang erat dengan pendidikan dan pendapatan serta berperan penting dalam kehidupan sosial ekonomi dan memiliki keterkaitan dengan faktor lain, seperti kesehatan. Ibu dengan pendapatan rendah biasanya memiliki rasa percaya diri yang kurang dan memiliki akses terbatas untuk berpartisipasi pada pelayanan kesehatan dan gizi, seperti Posyandu, Bina Keluarga Balita dan Puskesmas, sehingga beresiko tinggi memiliki anak yang kurang gizi (Sukarni 1994). Pada masyarakat tradisional, biasanya ibu tidak bekerja di luar rumah, melainkan hanya sebagai ibu rumah tangga. Menurut Satoto (1990), ibu rumah tangga yang tidak bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah secara otomatis memiliki waktu yang lebih banyak untuk mengasuh dan merawat anak. Ibu yang bekerja di luar rumah akan menaikkan nilai sosialnya, namun pada saat yang sama ibu yang bekerja mengakibatkan menurunnya kesehatan anak-anak. Status Sosial Ekonomi Keluarga Perbedaan tingkat ekonomi keluarga menyebabkan adanya perbedaan nilai dan norma yang berlaku dalam keluarga. Keadaan ekonomi keluarga dapat mempengaruhi pola pengasuhan orangtua terhadap anaknya. Semakin otoriter pengasuhan anak, semakin besar kemungkinan anak untuk tidak patuh (Hurlock
7
1998). Pada umumnya sifat pola asuh yang lebih otoritarian dijumpai pada keluarga dengan kondisi ekonomi rendah dan pada anak-anak yang tinggal di pedesaan (Briawan & Herawati 2005). Status sosial ekonomi keluarga dapat dilihat dari besarnya pendapatan atau pengeluaran keluarga, baik pangan maupun nonpangan selama satu tahun terakhir. Pendapatan keluarga adalah besarnya rata-rata penghasilan yang diperoleh dari seluruh anggota keluarga. Pendapatan keluarga tergantung pada jenis pekerjaan kepala keluarga dan anggota keluarga lainnya. Jika pendapatan masih rendah maka kebutuhan pangan cenderung lebih dominan daripada kebutuhan
nonpangan.
Sebaliknya,
jika
pendapatan
meningkat
maka
pengeluaran untuk nonpangan akan semakin besar, mengingat kebutuhan pokok makanan sudah terpenuhi (Husaini et al. 2000). Hal ini sesuai dengan Hukum Engel bahwa semakin tinggi pendapatan maka persentase pendapatan yang dikeluarkan untuk pangan semakin kecil. Tingkat pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan terhadap kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Dengan demikian, terdapat hubungan yang erat antara pendapatan dan keadaan status gizi. Rendahnya pendapatan menyebabkan daya beli terhadap makanan menjadi rendah dan konsumsi pangan keluarga akan berkurang. Kondisi ini akhirnya akan mempengaruhi kesehatan dan status gizi keluarga (Riyadi et al. 1990). Pengetahuan Gizi dan Akses Ibu terhadap Informasi Gizi dan Kesehatan Pengetahuan gizi merupakan penyebab berbagai masalah gizi yang terjadi di Indonesia. Penelitian Sandjaja (2000) tentang penyimpangan positif (positive deviance) status gizi anak balita dan faktor-faktor yang berpengaruh memperoleh hasil bahwa pengetahuan gizi ibu tentang sumber vitamin dan mineral berperan nyata terhadap resiko terjadinya gizi kurang pada balita di Kabupaten Sukabumi dan Gunung Kidul. Tingkat pendidikan akan mempengaruhi konsumsi melalui cara pemilihan bahan pangan. Orang yang berpendidikan lebih tinggi cenderung memilih makanan yang lebih baik dalam jumlah dan mutu daripada orang yang berpendidikan lebih rendah. Namun, tingkat pendidikan umum ibu yang lebih tinggi tanpa disertai dengan pengetahuan di bidang gizi ternyata tidak berpengaruh terhadap pemilihan makanan untuk keluarga (Riyadi et al. 1990). Selanjutnya,
Sediaoetama
(2006)
menyatakan
bahwa
semakin
tinggi
pengetahuan gizi ibu akan semakin baik pula susunan menu keluarga. Hal ini
8
dapat
meningkatkan
kesejahteraan
anggota
keluarga,
sehingga
dapat
mengurangi atau mencegah gangguan gizi pada keluarga. Kurangnya merupakan
kesempatan
hambatan
bagi
untuk
ibu
belajar
untuk
dan
mengembangkan
meningkatkan
pengetahuan
diri dan
keterampilan dalam mengasuh anak (Satoto 1990). Selain pengetahuan gizi, akses ibu terhadap informasi dapat menjadi indikator kemampuan ibu untuk merawat anaknya lebih baik. Berbagai informasi gizi dan kesehatan dapat diperoleh dengan melihat atau mendengar sendiri, melalui alat-alat komunikasi seperti membaca surat kabar/majalah, mendengarkan siaran radio, menyaksikan siaran televisi atau melalui penyuluhan (Engle, Menon & Haddad 1997). Pola Pengasuhan Anak Balita Pola pengasuhan anak berupa sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal kedekatannya kebersihan,
dan
dengan
memberikan
anak,
kasih
memberikan
sayang.
Hal
makan,
tersebut
merawat, seluruhnya
berhubungan dengan keadaan ibu dalam hal kesehatan, status gizi, pendidikan umum, pengetahuan tentang pengasuhan anak yang baik, sifat pekerjaan seharihari, dan sebagainya (Soekirman 2000). Kejadian gizi kurang pada anak sangat ditentukan oleh praktek pengasuhan dalam keluarga. Penelitian yang dilakukan oleh Zeitlin et al. (1991) menunjukkan bahwa keluarga berpendapatan rendah dapat memiliki anak sehat dan bergizi baik bila ibu memberikan pengasuhan yang memadai dan tepat. Penelitian juga membuktikan bahwa kualitas pengasuhan yang diberikan ibu mempunyai peranan penting bagi tumbuh kembang anak (Engle, Menon & Haddad 1997). Pola Asuh Makan Tumbuh kembang anak dipengaruhi oleh kualitas makanan dan gizi yang dikonsumsi. Sementara itu, kualitas makanan dan gizi sangat tergantung pada pola asuh makan anak yang diterapkan oleh keluarga. Karyadi (1985) mendefinisikan pola asuh makan sebagai praktek-praktek pengasuhan yang diterapkan oleh ibu kepada anak balita yang berkaitan dengan cara dan situasi makan. Anak balita merupakan konsumen pasif yang sangat bergantung pada orangtuanya, terutama ibu, dalam menerima apa yang dikonsumsi. Sebagai gate keeper, yaitu orang yang menentukan bahan makanan yang dibeli dan bagaimana bahan makanan tersebut disiapkan, ibu sangat berperan dalam
9
menentukan keadaan gizi anak (Karyadi 1985). Perilaku konsumsi yang salah menyebabkan rendahnya konsumsi pangan dan mempengaruhi status gizi anak. Menurut Gable dan Lutz (2000), terdapat tiga bentuk gaya pengasuhan makan yang diterapkan orangtua kepada anaknya, yaitu otoriter, permisif dan demokratis. Gaya pengasuhan otoriter berarti orangtua menentukan makanan yang dikonsumsi oleh anak, sehingga membatasi pilihan dan preferensi pangan anak. Gaya pengasuhan makan permisif berarti anak dapat menentukan sendiri makanan yang dikonsumsi, baik jenis maupun jumlah makanan. Gaya pengasuhan makan demokratis berarti anak dan orangtua secara bersama-sama menentukan makanan yang dikonsumsi oleh anak dimana orangtua mengawasi makanan yang disajikan dan anak menentukan sendiri jumlah makanan yang dikonsumsi. Riwayat Menyusui dan Penyapihan Kebutuhan bayi akan zat-zat gizi adalah yang paling tinggi, bila dinyatakan dalam satuan berat badan, karena bayi sedang ada dalam periode pertumbuhan yang sangat pesat (Sediaoetama 2006). Makanan pertama dan utama bagi bayi adalah ASI (Air Susu Ibu). ASI merupakan makanan yang paling ideal bagi bayi karena mengandung semua zat gizi yang dibutuhkan bayi. Selain itu, tidak ada susu buatan manusia yang dapat memberikan perlindungan kekebalan tubuh bayi seperti kolostrum (Krisnatuti & Yenrina 2000). Titiek dan Budiarso (1998) dalam Purwandani (2005) menerangkan bahwa pola pemberian ASI yang dianjurkan, yaitu pemberian ASI segera setengah jam setelah bayi lahir, kemudian pemberian ASI saja sampai bayi berumur 4-6 bulan (ASI eksklusif). Pemberian ASI dilanjutkan dengan frekuensi sesuai dengan kehendak bayi hingga berumur sekitar dua tahun (Suhardjo 1989). Pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) pada anak juga harus benar. Menurut Krisnatuti dan Yenrina (2000), pemberian makanan pada bayi terlalu dini akan menimbulkan gangguan kesehatan, seperti sakit perut, diare, sembelit, infeksi, kurang darah, alergi, dan sulit tidur pada malam hari. Sebaliknya,
pemberian
makanan
yang
terlambat
akan
menghambat
pertumbuhan bayi. Bayi berumur 4-6 bulan telah siap menerima makanan setengah padat, yang disebut dengan masa penyapihan. Penyapihan berarti suatu proses dimana bayi secara perlahan-lahan dibiasakan dengan makanan orang dewasa. Malnutrisi sering terjadi pada masa ini karena banyak keluarga yang tidak
10
mengerti kebutuhan khusus bayi dan cara membuat MP-ASI yang bergizi. MPASI sebaiknya mengandung energi dan protein tinggi, vitamin dan mineral dalam jumlah yang cukup, dapat diterima dengan baik, harganya relatif murah, serta dapat diproduksi dari bahan pangan lokal (Muchtadi 2002). Praktek Pemberian Makan Sejak dilahirkan dan dilanjutkan hingga beberapa tahun, makanan anakanak tergantung pada orang lain, terutama keluarga. Kondisi lingkungan keluarga akan menentukan kesukaan atau ketidaksukaan seseorang terhadap jenis makanan tertentu. Menurut Anwar (1989), makanan yang dikonsumsi anakanak harus berupa sumber yang baik dan sekurang-kurangnya mengandung lima macam zat gizi utama dalam jumlah yang cukup. Penyelenggaraan makan untuk anak, yaitu dalam hal keindahan dan variasi hidangan, juga perlu diperhatikan agar tampak menarik bagi anak. Selain itu, orangtua seharusnya memberikan pujian ketika anak berhasil menghabiskan makanannya. Anak-anak usia prasekolah sering mengalami fase sulit makan. Penyediaan makanan dalam jumlah yang cukup dan beraneka ragam jenisnya belum menjamin akan dikonsumsi oleh anak. Penurunan nafsu makan anak disebabkan oleh penurunan tingkat pertumbuhan dan sebagian anak sudah mengembangkan jenis makanan yang disukai dan tidak disukai. Jika masalah makan ini berkepanjangan maka dapat mengganggu tumbuh kembang anak, karena jumlah dan jenis zat gizi yang masuk ke dalam tubuhnya berkurang (Khomsan 2004). Konsumsi pangan anak dapat dipengaruhi oleh orang dewasa dalam keluarga. Menurut Engle, Menon dan Haddad (1997), praktek pengasuhan makan terdiri dari pemberian makan yang sesuai umur dan kemampuan anak, kepekaan ibu atau pengasuh mengetahui waktu makan anak dan menumbuhkan nafsu makan anak, serta menciptakan situasi makan yang baik, seperti memberi rasa nyaman saat makan. Hasil penelitian Ogunba (2006) menyebutkan bahwa perilaku ibu yang benar selama memberi makan akan meningkatkan konsumsi pangan anak dan pada akhirnya akan meningkatkan status gizi anak. Pola Asuh Kesehatan Pola asuh kesehatan adalah cara dan kebiasaan orangtua atau keluarga melayani kebutuhan kesehatan anak balita. Engle, Menon dan Haddad (1997) mengemukakan bahwa salah satu pola asuh yang berhubungan dengan kesehatan dan status gizi anak balita adalah pola asuh kesehatan. Pola asuh ini
11
meliputi perawatan kesehatan yang sifatnya preventif, seperti pemberian imunisasi maupun perawatan ibu ketika anak sakit. Bayi
dan
anak
merupakan
individu
pasif,
sehingga
perawatan
kesehatannya merupakan tanggung jawab individu dewasa di sekitarnya, terutama orangtuanya. Menurut Satoto (1990), pola asuh kesehatan yang diterapkan pada anak balita perlu dilakukan secara sungguh-sungguh karena anak belum mampu merawat diri sendiri, kondisi fisik masih lemah dan sangat peka terhadap serangan penyakit. Perawatan kesehatan anak balita akan mempengaruhi status kesehatannya. Anak balita yang tidak terawat dengan baik akan mudah terserang penyakit . Perawatan Kesehatan Preventif Anak-anak membutuhkan pelayanan kesehatan yang menyeluruh secara terus-menerus. Tujuan utama pelayanan kesehatan adalah tercapainya kenaikan pertumbuhan yang memadai, bukan hanya sekedar mencegah kurang gizi (Sukarni 1994). Joshi (1994) dalam Engle, Menon dan Haddad (1997) mengemukakan bahwa ibu yang mempunyai pendidikan yang lebih tinggi akan menggunakan fasilitas kesehatan yang tersedia dibandingkan dengan ibu yang tingkat pendidikannya lebih rendah. Kenaikan berat badan setiap bulan adalah indikator kesehatan anak yang paling peka. Kartu Menuju Sehat untuk Balita (KMS-Balita) adalah alat yang memungkinkan dilakukannya pengamatan yang terarah dan sederhana terhadap kesehatan dan pertumbuhan anak. KMS harus disimpan oleh ibu di rumah dan selalu dibawa setiap kali mengunjungi posyandu atau fasilitas pelayanan kesehatan, termasuk bidan dan dokter (Sukarni 1994). Pemberian imunisasi secara lengkap kepada anak dapat mempengaruhi status gizinya secara positif karena tubuh akan memiliki daya tahan terhadap penyakit-penyakit berbahaya, yang seringkali dapat mengakibatkan cacat atau kematian. Setiap tahun terdapat 1.7 juta anak meninggal karena penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin yang sudah tersedia. Vaksin membantu tubuh untuk menghasilkan antibodi yang berfungsi melindungi terhadap penyakit. Anak yang telah berumur satu tahun seyogyanya telah mendapatkan imunisasi lengkap, yaitu BCG, Polio tiga kali, DPT tiga kali, dan campak (Anonim 2009). Praktek Higiene Anak Balita Range et al. (1997) dalam Yulia (2008) menyatakan bahwa pola asuh kesehatan tidak terlepas dari praktek hidup bersih yang diterapkan oleh ibu.
12
Kebersihan adalah faktor yang besar pengaruhnya terhadap kesehatan. Menurut Depkes RI (1997), anak harus dapat belajar menjaga kesehatannya sendiri sejak dini, antara lain memotong kuku setiap minggu dan menjaga kebersihannya, menggosok gigi dua kali sehari, mandi dengan sabun dua kali sehari, mencuci rambut (keramas), mencuci tangan dengan sabun sebelum makan dan sesudah buang air besar, menggunakan alas kaki saat berada di luar rumah, dan sebagainya. Pola asuh kesehatan anak dipengaruhi oleh tingkat pendidikan ibu. Hasil penelitian di Ghana yang dilakukan oleh Klemesu dan Margaret (2000) mengungkapkan bahwa pendidikan yang dimiliki ibu sangat berhubungan dengan pola asuh kesehatan. Ibu yang memiliki pendidikan lebih tinggi memiliki skor praktek hidup bersih yang lebih tinggi dibandingkan dengan ibu yang berpendidikan lebih rendah. Konsumsi Pangan Anak Balita Pangan adalah kebutuhan pokok manusia, yang menurut Maslow menduduki
peringkat
pertama
dari
kebutuhan
lainnya.
Setiap
individu
membutuhkan pangan untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Kebutuhan pangan perlu diupayakan ketersediaannya dalam jumlah yang cukup, layak, aman dikonsumsi, dan mudah diperoleh dengan harga yang terjangkau (Khomsan 2002). Menurut Hardinsyah et al. (2002), konsumsi pangan adalah informasi tentang jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi oleh seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu. Mengkonsumsi pangan tidak hanya penting untuk kesehatan, tetapi juga untuk kecerdasan dan kemampuan fisik tubuh. Kebutuhan pangan harus dipenuhi dalam jumlah yang cukup karena kekurangan atau kelebihan pangan akan berdampak negatif terhadap kesehatan. Konsumsi pangan seseorang atau kelompok orang dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya produksi pangan untuk keperluan rumah tangga, pengeluaran uang untuk keperluan rumah tangga, pengetahuan gizi, dan ketersediaan pangan. Anak-anak yang berasal dari keluarga miskin sangat rawan terhadap gizi kurang. Anak-anak tersebut cenderung mengkonsumsi energi dan protein lebih rendah daripada anak-anak yang berasal dari keluarga kaya (Khomsan 2003). Anak balita pada usia 1-3 tahun bersifat konsumen pasif dan usia 3-5 tahun bersifat konsumen aktif. Konsumen pasif artinya makanan yang
13
dikonsumsi anak tergantung pada apa yang disediakan oleh ibu, sedangkan konsumen aktif artinya anak dapat memilih makanan yang disukainya (Supriatin 2004). Tahap awal dari kekurangan zat gizi dapat diidentifikasi dengan penilaian konsumsi pangan. Konsumsi pangan yang kurang akan berdampak terhadap kurangnya zat gizi dalam tubuh. Secara umum terdapat dua kriteria untuk menentukan kecukupan konsumsi pangan, yaitu konsumsi kalori dan protein. Kebutuhan kalori biasanya dipenuhi dari konsumsi pangan pokok, sedangkan kebutuhan protein dipenuhi dari sejumlah substansi hewan, seperti ikan, daging, telur, dan susu (Hardinsyah & Martianto 1992). Angka Kecukupan Gizi (AKG) dapat digunakan untuk menilai tingkat kecukupan zat gizi individu. Basis dari AKG adalah kebutuhan (Estimated Average Requirement). Untuk mengetahui kecukupan gizi anak balita digunakan AKG tahun 2004, yang disajikan pada Tabel 1. Kecukupan gizi tersebut dianjurkan dipenuhi dari konsumsi pangan anak balita setiap harinya. Tabel 1 Angka kecukupan energi (AKE) dan protein (AKP) anak Golongan Berat Badan Tinggi Badan Usia (kg) (cm) 0 - 6 bulan 6.0 60 7 - 11 bulan 8.5 71 1 - 3 tahun 12.0 90 4 - 6 tahun 18.0 110 7 - 9 tahun 25.0 120 Sumber: Hardinsyah dan Tambunan (2004)
AKE (Kal/ Kap/ Hari) 550 650 1000 1550 1800
AKP (g/ Kap/ Hari) 10 16 25 39 45
Metode recall merupakan cara yang paling sering digunakan untuk menilai konsumsi pangan individu. Responden diminta untuk mengingat semua makanan yang telah dimakan beserta jenis pangan penyusunnya 24 jam yang lalu. Jumlah makanan yang dicatat biasanya dalam bentuk masak yang dinyatakan dalam ukuran rumah tangga (URT), kemudian dikonversikan dalam satuan berat. Kelebihan metode ini adalah murah serta hemat waktu dan kekurangannya
adalah
data
yang
dihasilkan
kurang
akurat
karena
mengandalkan daya ingat seseorang serta tergantung dari keahlian pencacatan enumerator (Kusharto & Sa’diyyah 2007). Status Kesehatan Anak Balita Menurut King dan Burgess (1995) dalam Masithah (2002), gizi kurang pada anak balita akan berpengaruh pada kurangnya energi serta daya tahan dan imunitas terhadap infeksi. Rendahnya daya tahan dan imunitas terhadap infeksi
14
pada anak yang kurang gizi menyebabkan anak lebih mudah sakit. Pelletier et al. (1995) menyimpulkan bahwa lebih dari setengah kematian bayi disebabkan oleh kurang gizi yang berkaitan dengan penyakit infeksi (Yoon et al. 1997). Anak balita biasanya memperoleh berbagai infeksi, khususnya ketika usia 6 bulan hingga 3 tahun, diantaranya batuk dan pilek, malaria dan campak. Infeksi menyebabkan kurang gizi karena mengurangi konsumsi pangan sementara kebutuhan zat gizi tubuh meningkat. Anak balita kurang gizi membutuhkan waktu lebih lama untuk sembuh dari penyakitnya daripada anak yang bergizi normal (King & Burgess 1995 dalam Masithah 2002). Anak balita yang kurang gizi jauh lebih mudah terkena diare daripada anak yang lebih besar atau orang dewasa. Hal ini disebabkan anak balita harus menciptakan kekebalan terhadap bermacam-macam organisme pada saat mereka juga sedang membutuhkan banyak bahan makanan untuk pertumbuhan (Sukarni 1994). Anak-anak yang mengalami kurang gizi akan menderita diare selama 3 hari, batuk selama 4 hari dan demam selama 3 hari setiap bulan, sehingga dalam sebulan anak akan sakit selama 10 hari. Kurang gizi pada anak balita berhubungan dengan peningkatan 10-45 persen kejadian diare dan 30-35 persen lamanya diare (McGuire & Austin 1987 dalam Masithah 2002). Status Gizi Anak Balita Masa balita merupakan proses pertumbuhan yang pesat dimana anak memerlukan perhatian dan kasih sayang dari orangtua dan lingkungannya. Disamping itu, anak balita membutuhkan zat gizi yang seimbang agar proses pertumbuhan tidak terhambat, karena balita merupakan kelompok umur yang paling sering menderita akibat kekurangan gizi (Santoso & Lies 2004). Status gizi merupakan salah satu faktor yang menentukan sumberdaya manusia dan kualitas hidup. Riyadi (2001) mendefinisikan status gizi sebagai keadaan kesehatan tubuh seseorang atau kelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbtion) dan penggunaan (utilization) zat gizi. Pada dasarnya, status gizi merupakan refleksi dari makanan yang dikonsumsi dan dimonitor dari pertumbuhan fisik anak. Anak balita merupakan salah satu kelompok penduduk yang rawan terhadap kekurangan gizi makro, terutama Kurang Energi Protein (KEP). Keadaan gizi kurang tingkat berat pada masa bayi dan balita ditandai dengan dua macam sindrom yang jelas, yaitu Kwashiorkor karena kurang konsumsi protein dan Marasmus karena kurang konsumsi energi dan protein. Kwarsiorkor
15
banyak dijumpai pada bayi dan anak balita pada keluarga berpenghasilan rendah dan umumnya kurang sekali pendidikannya, sedangkan Marasmus banyak terjadi pada bayi dibawah usia satu tahun karena tidak mendapatkan ASI atau penggantinya (Suhardjo 2003). Santoso dan Lies (2004) mengungkapkan bahwa keadaan gizi kurang pada anak-anak mempunyai dampak pada kelambatan pertumbuhan dan perkembangannya yang sulit disembuhkan. Oleh karena itu, kemampuan untuk belajar dan bekerja serta bersikap pada anak yang kurang gizi akan lebih terbatas daripada anak yang normal. Komponen penilaian status gizi, meliputi konsumsi pangan, pemeriksaan biokimia, pemeriksaan klinis dan riwayat kesehatan, pemeriksaan antropometri, serta data psikososial. Selanjutnya, Jahari (1995) dalam Briawan dan Herawati (2005) menjelaskan bahwa antropometri erat kaitannya dengan status gizi seseorang, terutama pada masa pertumbuhan. Selain itu, antropometri paling sesuai
digunakan
di
negara
berkembang,
seperti
Indonesia,
daripada
pengukuran secara klinis dan biokimia yang mahal dan sulit dilakukan. Antropometri secara umum berarti ukuran tubuh manusia. Jika ditinjau dari sudut pandang gizi, antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri digunakan untuk melihat ketidakseimbangan energi dan protein. Ketidakseimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh, seperti lemak, otot, dan jumlah air dalam tubuh (Supariasa, Bakri & Fajar 2002). Indeks antropometri yang umum digunakan untuk menilai status gizi, antara lain berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U) dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran massa tubuh (tulang, otot dan lemak) dan merupakan indikator yang sangat labil. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau berkurangnya jumlah makanan yang dikonsumsi (Supariasa, Bakri & Fajar 2002). Dengan demikian, indeks BB/U menggambarkan status gizi masa kini. Indeks ini dapat digunakan untuk mendeteksi underweight dan overweight (Riyadi 2001). Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur (Supariasa, Bakri & Fajar 2002). Defisit TB/U
16
menunjukkan ketidakcukupan gizi dan kesehatan secara kumulatif dalam jangka panjang. Stunting merefleksikan proses kegagalan untuk mencapai pertumbuhan linear sebagai akibat dari keadaan gizi dan/atau kesehatan yang subnormal. Dengan demikian, indeks TB/U menggambarkan status gizi masa lalu (Riyadi 2001). Berat badan memiliki hubungan yang linier dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan berat badan dengan kecepatan tertentu. Indeks BB/TB merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi saat ini dan biasanya digunakan bila data umur sulit diperoleh (Supariasa, Bakri & Fajar 2002). Istilah wasting secara luas digunakan untuk menjelaskan proses yang mengarah pada terjadinya kehilangan berat badan sebagai konsekuensi dari kelaparan akut dan/atau penyakit berat (Riyadi 2001). Standar
pengukuran
antropometri
untuk
menentukan
status
gizi
bermacam-macam, diantaranya Standar Tanner, Standar Boston atau Harvard, dan Standar National Center for Health Statistics (NCHS). World Health Organization (WHO) merekomendasikan menggunakan standar NCHS karena pengumpulan data NCHS lebih menggambarkan populasi yang sebenarnya (Husaini 1988 dalam Masithah 2002). Terdapat dua cara penilaian dengan standar WHO-NCHS, yaitu persen terhadap median dan z-skor. Keuntungan menggunakan z-skor adalah hasil hitung telah dilakukan menurut simpangan baku, sehingga lebih akurat dan dapat dibandingkan untuk setiap kelompok umur dan indeks antropometri. WHO (1995) membuat indeks beratnya masalah gizi pada keadaan darurat didasarkan pada prevalensi underweight, wasting dan stunting yang ditemukan pada suatu wilayah survei. Tabel 2 Klasifikasi masalah gizi berdasarkan prevalensi underweight, stunting Klasifikasi Berat Prevalensi Underweight (%) Masalah Gizi Rendah <10 Sedang 10-19 Tinggi 20-29 Sangat tinggi ≥30 Sumber : WHO (1995) dalam Riyadi (2001)
Prevalensi Stunting (%) <20 20-29 30-39 ≥40
Prevalensi Wasting (%) <5 5-9 10-14 ≥15
17
KERANGKA PEMIKIRAN Masa balita merupakan periode emas, karena pada masa ini terjadi pertumbuhan dan perkembangan otak yang optimal, terlebih lagi pada periode dua tahun pertama kehidupan seorang anak. Unsur gizi dan kesehatan memegang peranan penting dalam proses pertumbuhan dan perkembangan anak balita. Status gizi anak balita secara langsung dipengaruhi oleh konsumsi pangan. Pola asuh makan yang diterapkan oleh ibu akan mempengaruhi konsumsi pangan anak balita. Anak balita merupakan konsumen pasif yang sangat bergantung pada orang dewasa dalam menerima apa yang dikonsumsi. Ogunba (2006) mengemukakan bahwa perilaku ibu yang benar selama memberi makan akan meningkatkan konsumsi pangan anak dan pada akhirnya akan meningkatkan status gizi anak balita. Status gizi anak balita juga dipengaruhi oleh status kesehatan. Pola asuh kesehatan ibu kepada anak balita perlu dilakukan secara sungguh-sungguh karena anak belum mampu merawat diri sendiri. Perawatan kesehatan anak balita akan mempengaruhi status kesehatannya. Anak yang tidak terawat, baik fisik maupun makanannya, beresiko tinggi menderita gizi kurang (Satoto 1990). Pola pengasuhan yang diberikan ibu kepada anak balita dipengaruhi oleh karakteristik keluarga. Tingkat pendidikan ibu akan berpengaruh terhadap pola pengasuhan.
Ibu
dengan
pendidikan
yang
tinggi
cenderung
memiliki
pengetahuan gizi dan kesehatan serta pengasuhan anak yang baik (Madanijah 2003). Akses terhadap informasi dan pelayanan gizi dan kesehatan juga mempengaruhi pola asuh ibu. Joshi (1994) dalam Engle, Menon dan Haddad (1997) mengemukakan bahwa ibu yang mempunyai pendidikan yang lebih tinggi akan menggunakan fasilitas yang tersedia dibandingkan dengan ibu yang tingkat pendidikannya lebih rendah. Ketahanan pangan rumah tangga merupakan faktor tidak langsung yang mempengaruhi status gizi anak balita. Ketahanan pangan rumah tangga sangat dipengaruhi
oleh
kemiskinan.
Rumah
tangga
miskin
tidak
mempunyai
sumberdaya yang cukup untuk memenuhi konsumsi pangan anggota keluarga. Menurut Khomsan (2003), anak-anak yang berasal dari keluarga miskin cenderung mengkonsumsi energi dan protein lebih rendah daripada anak-anak yang berasal dari keluarga kaya.
18
Status Gizi Anak Balita BB/U, TB/U, BB/TB
1. 2.
Konsumsi Pangan Anak Balita Tingkat Kecukupan Energi Tingkat Kecukupan Protein
Pola Asuh Makan Riwayat ASI dan Penyapihan Praktek Pemberian Makan
1. 2. 1. 2.
Status Kesehatan Anak Balita 1. Status Sakit 2. Jenis Penyakit 3. Frekuensi Sakit 4. Lama sakit
Pola Asuh Kesehatan Pola Asuh Kesehatan Preventif Praktek Higiene Anak Balita
Pengetahuan Gizi Ibu 1. 2. 3. 4. 5.
Karakteristik Keluarga Umur Orangtua Besar Keluarga Pendidikan Orangtua Pekerjaan Orangtua Status Sosial Ekonomi Keluarga
Akses terhadap Informasi dan Pelayanan Gizi dan Kesehatan
Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga
Gambar 1 Hubungan pola asuh makan dan kesehatan dengan status gizi anak balita
19
METODE Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah survei analitik dengan pendekatan cross sectional, yaitu penelitian untuk mengetahui kaitan antara pola asuh makan dan kesehatan dengan status gizi anak balita. Pengamatan terhadap variabel independen dan dependen dilakukan sekaligus pada suatu saat (point time approach) dan secara langsung. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian Martianto et al. (2008) yang berjudul “Kajian Ketahanan Pangan dan Alokasi Sumberdaya Keluarga serta Keterkaitannya dengan Status Gizi dan Perkembangan Anak di Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah”. Pemilihan Kabupaten Banjarnegara sebagai lokasi penelitian dilakukan secara purposive. Kabupaten Banjarnegara hingga tahun 2006 masih memiliki wilayah dengan rumah tangga beresiko defisit konsumsi energi dan protein (Deptan 2007). Tingkat ketahanan pangan di berbagai wilayah di Provinsi Jawa Tengah disajikan pada Lampiran 1. Dua kecamatan di Kabupaten Banjarnegara dipilih secara purposive berdasarkan tingkat ketahanan pangan, yaitu Kecamatan Pejawaran dan Kecamatan Punggelan dengan resiko kerawanan pangan yang tinggi. Tiga desa di setiap kecamatan dipilih berdasarkan kriteria yang sama. Pengambilan data dilakukan selama dua bulan, mulai dari bulan Februari sampai dengan Maret 2009. Jumlah dan Cara Pemilihan Contoh Kabupaten Banjarnegara merupakan wilayah rawan pangan yang terdiri dari 20 kecamatan. Kecamatan Pejawaran dan Kecamatan Punggelan dipilih secara purposive sebagai lokasi penelitian dengan pertimbangan memiliki resiko kerawanan pangan yang tinggi, karakteristik antar desa cenderung homogen, dan kemudahan akses. Selanjutnya, secara purposive dipilih tiga desa dari setiap kecamatan berdasarkan kriteria yang sama. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh keluarga yang memiliki anak umur 24-60 bulan (anak balita) dan tinggal di desa penelitian. Responden adalah ibu yang memiliki anak balita yang tinggal di desa penelitian dan bersedia diwawancarai, sedangkan contoh adalah anak dari responden yang pada saat pengambilan data berumur 24-60 bulan. Survei pendahuluan dilakukan untuk melakukan sampling, yang akan mengelompokkan keluarga yang memiliki anak
20
balita. Setiap desa diambil 50 contoh dengan metode acak sederhana (simple random sampling). Jumlah ini dapat diterima karena telah melebihi jumlah minimum sampel yang dapat dianalisis secara statistik (≥30 contoh). Selain itu, tingkat keragaman antar rumah tangga di setiap desa rendah, sehingga jumlah contoh yang diambil dianggap dapat mewakili persentase populasi anak balita di wilayah tersebut. Total contoh pada penelitian ini adalah 300 contoh (6 desa).
Kabupaten Banjarnegara (20 Kecamatan) Purposif Kecamatan Pejawaran
Kecamatan Punggelan
Purposif Pejawaran
Giritirta
Sidengok
Karangsari
Punggelan
Kecepit
Acak Sederhana
300 Contoh
Gambar 2 Cara pemilihan contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer terdiri dari karakteristik anak balita, karakteristik keluarga, tingkat ketahanan pangan rumah tangga, pola asuh makan dan kesehatan anak balita, status kesehatan anak balita, antropometri anak balita dan konsumsi pangan anak balita dengan metode recall 2x24 jam. Data sekunder meliputi keadaan umum geografis, karakteristik demografi dan sosial ekonomi masyarakat yang diperoleh dari kantor kecamatan masing-masing lokasi penelitian. Tabel 3 merangkum semua variabel dan data primer yang diteliti. Tabel 3 Jenis dan cara pengumpulan data primer No 1
2
Variabel Karakteristik anak balita Karakteristik keluarga
Data Umur Jenis kelamin Besar keluarga Umur orangtua Pendidikan orangtua Pekerjaan orangtua Status sosial ekonomi keluarga
Cara Pengumpulan Data Wawancara menggunakan kuesioner Wawancara menggunakan kuesioner
21
No
Variabel Karakteristik ibu
3 4 5 6
Tingkat ketahanan pangan rumah tangga Pola asuh makan anak balita Pola asuh kesehatan anak balita Konsumsi pangan anak balita
7
Status kesehatan anak balita
8
Status gizi anak balita
Data Akses ibu terhadap informasi dan pelayanan gizi dan kesehatan Pengetahuan gizi ibu Tingkat defisit kecukupan energi rumah tangga
Cara Pengumpulan Data Wawancara menggunakan kuesioner Wawancara menggunakan kuesioner
Riwayat menyusui dan penyapihan Praktek pemberian makan
Wawancara menggunakan kuesioner
Pola asuh kesehatan preventif Praktek higiene anak
Wawancara menggunakan kuesioner
Tingkat kecukupan energi Tingkat kecukupan protein Status sakit Jenis penyakit Frekuensi sakit Lama sakit Indeks BB/U Indeks TB/U Indeks BB/TB
Recall 2 x 24 jam Wawancara menggunakan kuesioner
Antropometri
Pengolahan dan Analisis Data Data yang terkumpul diproses dengan program Microsoft Excel 2007 untuk editing, coding, entry dan cleaning data. Selanjutnya, data dianalisis secara deskriptif menggunakan program SPSS 13.0 for Windows. Karakteristik anak balita. Data karakteristik anak balita meliputi umur dan jenis kelamin anak balita. Data jenis kelamin anak balita terdiri dari dua kategori, yaitu laki-laki dan perempuan. Umur anak balita diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu 24-35 bulan, 36-47 bulan dan 48-60 bulan. Besar keluarga. Data besar keluarga diperoleh berdasarkan jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam rumah tangga yang sama. Data tersebut diklasifikasikan menjadi tiga menurut Hurlock (1998), yaitu keluarga kecil (≤4 orang), keluarga sedang (5-7 orang) dan keluarga besar (≥8 orang). Umur orangtua. Data umur orangtua diklasifikasikan berdasarkan kelompok usia menurut Turner JS dan Helms DB (1991) dalam Gabriel (2008), yaitu remaja (13-19 tahun), dewasa muda (20-30 tahun), dewasa madya (31-50 tahun), dan dewasa lanjut (51-75) tahun. Pendidikan orangtua. Data pendidikan orangtua meliputi pendidikan formal yang pernah ditempuh dan dikelompokkan menjadi enam kategori, yaitu tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SD/sederajat, tamat SLTP/sederajat, tamat SLTA/sederajat, dan Perguruan Tinggi/Akademi. Pekerjaan orang tua. Data jenis pekerjaan orang tua dikategorikan menjadi tidak bekerja, petani, buruh tani, buruh bangunan/industri, pedagang,
22
supir, guru, tukang ojek, wirausaha, dan lainnya (penjaga toko, karyawan sekolah, perangkat desa, security, karyawan swasta, PNS, dan pembantu rumahtangga). Status sosial ekonomi keluarga. Status sosial ekonomi keluarga ditinjau dari total pengeluaran per kapita dengan pendekatan pengeluaran pangan dan nonpangan dalam sebulan. Status sosial ekonomi keluarga diklasifikasikan menjadi dua kategori menurut BPS (2007) berdasarkan batas garis kemiskinan Kabupaten Banjarnegara sebesar Rp 146 531/kap/bulan, yaitu rumah tangga miskin (≤Rp 146 531) dan rumah tangga tidak miskin (>Rp 146 531). Akses ibu terhadap informasi dan pelayanan gizi dan kesehatan. Akses ibu terhadap informasi dan pelayanan gizi dan kesehatan terdiri dari 9 pertanyaan yang masing-masing akan diberi skor. Total skor yang diperoleh diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu kurang (<60%), sedang (60-80%) dan baik (>80%) berdasarkan nilai maksimum (12). Pengetahuan gizi ibu. Pengetahuan gizi terdiri dari 10 pertanyaan dengan pemberian skor 1 untuk jawaban yang benar dan skor 0 untuk jawaban yang salah. Kriteria penilaian pengetahuan gizi menurut Khomsan (2000), yaitu kurang (<60%), sedang (60-80%) dan baik (>80%). Tingkat ketahanan pangan rumah tangga. Pengukuran tingkat ketahanan pangan rumah tangga berdasarkan pada Tingkat Kecukupan Energi (TKE) rata-rata rumah tangga yang diperoleh dari konsumsi pangan rumah tangga dengan metode Food Frequencies Questionaire (FFQ) selama satu minggu. Untuk menilai TKE rata-rata rumah tangga diperlukan Angka Kecukupan Energi (AKE) rata-rata rumah tangga (Hardinsyah & Martianto 1992). AKE dihitung dengan rumus sebagai berikut: AKERK = ΣAKEI n Keterangan: AKERK= Angka kecukupan energi rata-rata rumah tangga (kkal/kap/hari) AKEI = Angka kecukupan energi individu n
= Jumlah anggota rumah tangga TKE dihitung dengan membandingkan konsumsi dengan kecukupan yang
dianjurkan dengan menggunakan rumus sebagai berikut: TKE = rata-rata konsumsi energi aktual rumah tangga x 100% rata- rata AKE rumah tangga
23
Pengklasifikasian tingkat ketahanan pangan secara kuantitatif ditentukan dengan cut off point jumlah kalori (energi) rumah tangga menurut Zeitlin dan Brown (1990), yaitu tahan pangan jika TKE >90 persen, tidak tahan pangan jika TKE 70-90 persen dan sangat tidak tahan pangan jika TKE <70 persen. Pola asuh makan anak balita. Pola asuh makan terdiri dari 6 pertanyaan tentang riwayat menyusui dan penyapihan dan 8 pertanyaan tentang praktek pemberian makan kepada anak balita yang masing-masing akan diberi skor. Total skor yang diperoleh diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu kurang (<60%), sedang (60-80%) dan baik (>80%) berdasarkan nilai maksimum (14). Pola asuh kesehatan anak balita. Pola asuh kesehatan terdiri dari 6 pertanyaan tentang pola asuh kesehatan preventif dan 10 pertanyaan tentang praktek higiene anak balita yang masing-masing akan diberi skor. Total skor yang diperoleh diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu kurang (<60%), sedang (60-80%) dan baik (>80%) berdasarkan nilai maksimum (26). Konsumsi pangan anak balita. Data konsumsi pangan diperoleh dengan menggunakan metode recall 2x24 jam, yang meliputi jumlah dan jenis pangan. Pangan yang dikonsumsi dikonversikan beratnya dalam satuan gram, kemudian dihitung kandungan energi dan proteinnya menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM). Konversi dihitung dengan rumus sebagai berikut: Kgij = {(Bj/ 100) x Gij x (BDDj/ 100)} Keterangan: Kgij
= Kandungan zat gizi-I dalam bahan makanan-j
Bj
= Berat makanan-j yang dikonsumsi (g)
Gij
= Kandungan zat gizi dalam 100 g BDD bahan makanan-j
BDDj = Bagian bahan makanan-j yang dapat dimakan Gambaran tentang tingkat konsumsi gizi anak balita diperoleh dengan menggunakan Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan (AKG) tahun 2004. Angka kecukupan gizi contoh dihitung dengan rumus sebagai berikut: AKGI = (Ba/ Bs) x AKG Keterangan: AKGI = Angka kecukupan zat gizi contoh Ba
= Berat badan aktual sehat (kg)
Bs
= Berat badan standar (kg)
AKG
= Angka kecukupan energi atau protein yang dianjurkan
24
Tingkat
kecukupan
energi
dan
protein
diperoleh
dengan
cara
membandingkan jumlah konsumsi zat gizi tersebut dengan kecukupannya. Menurut Supariasa, Bakri dan Fajar (2002), tingkat kecukupan gizi contoh dihitung dengan rumus sebagai berikut: TKGI = (KI/ AKGI) x 100% Keterangan: TKG
= Tingkat kecukupan energi atau protein contoh
Ki
= Konsumsi energi atau protein contoh
AKGi = Angka kecukupan energi atau protein contoh Selanjutnya, tingkat kecukupan energi dan protein diklasifikasikan menjadi tiga kategori menurut Martianto et al. (2008), yaitu defisit tingkat berat (<70%), defisit tingkat sedang (70-90%) dan cukup (>90%). Status kesehatan anak balita. Data status kesehatan anak balita diperoleh dengan menanyakan pernah dan tidaknya sakit, jenis penyakit yang diderita, frekuensi sakit (1 kali, 2 kali, dan ≥3 kali), serta lama sakit (1-3 hari, 4-7 hari, 8-14 hari, dan >14 hari) dalam tiga bulan terakhir (BPS 2000). Status gizi anak balita. Pengolahan data status gizi dilakukan dengan Software WHO ANTRO 2005. Status gizi anak balita diklasifikasikan berdasarkan standar baku WHO-NCHS yang disajikan pada tabel 4. Tabel 4 Kategori status gizi berdasarkan baku WHO-NCHS No
Indeks
Nilai Z-skor Status Gizi >+2SD Gizi lebih -2SD s/d +2SD Gizi baik 1 BB/U Gizi kurang (underwight) -3SD s/d -2SD <-3SD Gizi buruk ≥-2SD Normal 2 TB/U Pendek (stunting) <-2SD >+2SD Gemuk -2SD s/d +2SD Normal 3 BB/TB Kurus (wasting) -3SD s/d -2SD <-3SD Sangat kurus Sumber: Standar baku WHO-NCHS dalam Riyadi (2004)
Penilaian status gizi dilakukan dengan cara perhitungan z-skor dengan rumus sebagai berikut: z-skor = nilai invidual subjek – nilai median baku rujukan nilai simpang baku rujukan
25
Berdasarkan sistem skoring, distribusi frekuensi dan persentase ditentukan untuk menjelaskan karakteristik contoh. Demikian juga, tabulasi silang dilakukan untuk menentukan hubungan antar variabel yang dianalisis. Data dianalisis menggunakan analisis statistik menurut tujuannya, yaitu sebagai berikut: 1. Analysis of Variance (ANOVA) digunakan untuk membandingkan pola asuh makan dan kesehatan anak balita, konsumsi energi dan protein anak balita, status kesehatan anak balita, dan status gizi anak balita menurut tingkat ketahanan pangan rumah tangga. 2. Korelasi Rank Spearman digunakan untuk menganalisis hubungan antara pola asuh, konsumsi pangan dan status kesehatan dengan status gizi anak balita. 3. Analisis regresi dengan menggunakan model Multiple Logistic Regression dengan metode Backward Wald dilakukan untuk menentukan faktorfaktor yang berpengaruh terhadap status gizi anak balita. Model yang digunakan adalah sebagai berikut: π (x) =
еβ0 + β1x1 + β2x2 + β3x3 + β4x4 + β5x5 – βnxn 1 + еβ0 + β1x1 + β2x2 + β3x3 + β4x4 + β5x5 – βnxn
Keterangan: π (x) : status gizi anak balita (0 = gizi normal, 1 = gizi kurang) е : eksponensial β0 : konstanta β1 - βn : koefisien regresi x1 : jenis kelamin anak balita (0 = laki-laki, 1 = perempuan) x2 : umur anak balita (0 = 48-60 bulan, 1 = 36-47 bulan dan 0 = 48-60 bulan, 1 = 2435 bulan) x3 : besar keluarga (0 = ≤4 orang, 1 = >4 orang) x4 : umur ibu (0 = 31-75 tahun, 1 = 13-30 tahun) x5 : umur ayah (0 = 31-75 tahun, 1 = 13-30 tahun) x6 : pendidikan ibu (0 = tamat SLTP ke atas, 1 = tamat SD ke bawah) x7 : pendidikan ayah (0 = tamat SLTP ke atas, 1 = tamat SD ke bawah) x8 : pekerjaan ayah (0 = lainnya, 1 = petani, buruh tani, buruh bangunan/industri) x9 : pekerjaan ibu (0 = tidak bekerja, 1 = bekerja) x10 : status sosial ekonomi rumah tangga (0 = >Rp 146 531, 1 = ≤Rp 146 531) x11 : akses ibu terhadap informasi dan pelayanan gizi dan kesehatan (0 = >80%, 1 = 60-80% dan 0 = >80%, 1 = <60%) x12 : pengetahuan gizi ibu (0 = >80%, 1 = 60-80% dan 0 = >80%, 1 = <60%) x13 : tingkat ketahanan pangan rumah tangga (0 = >90%, 1 = 70-90% dan 0 = >90%, 1 = <70%) x14 : pola asuh makan (0 = >80%, 1 = 60-80% dan 0 = >80%, 1 = <60%) x15 : pola asuh kesehatan (0 = >80%, 1 = 60-80% dan 0 = >80%, 1 = <60%) x16 : tingkat kecukupan energi anak balita (0 = >90%, 1 = 70-90% dan 0 = >90%, 1 = <70%) x17 : tingkat kecukupan protein anak balita (0 = >90%, 1 = 70-90% dan 0 = >90%, 1 = <70%) x18 : status sakit anak balita (0 = tidak sakit, 1 = sakit) x19 : frekuensi sakit anak balita (0 = <3 kali, 1 = ≥3 kali) x20 : lama sakit anak balita (0 = ≤7 hari, 1 = >7 hari)
26
Definisi Operasional Anak balita adalah anak laki-laki atau perempuan yang berusia antara 24-60 bulan yang menjadi contoh dalam penelitian. Rumah tangga tahan pangan adalah rumah tangga dengan TKE per kapita per hari lebih dari 90 persen. Rumah tangga tidak tahan pangan adalah rumah tangga dengan TKE per kapita per hari antara 70 sampai dengan 90 persen (tidak tahan pangan) dan kurang dari 70 persen (sangat tidak tahan pangan). Besar keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah dan satu dapur serta bergantung pada sumber penghidupan yang sama. Umur orangtua adalah umur orangtua (ayah dan ibu) contoh saat dilakukan pengambilan data penelitian. Pendidikan orangtua adalah jenjang pendidikan formal yang dicapai oleh orangtua (ayah dan ibu) contoh. Pekerjaan orangtua adalah pekerjaan yang dilakukan orangtua (ayah dan ibu) contoh sebagai sumber pendapatan utama bagi keluarga. Status sosial ekonomi rumah tangga adalah tingkat ekonomi rumah tangga yang dilihat dari besarnya total pengeluaran keluarga dengan pendekatan pengeluaran pangan dan nonpangan dalam satu bulan dibagi jumlah anggota keluarga (per kapita). Akses ibu terhadap informasi dan pelayanan gizi dan kesehatan adalah keterlibatan ibu terhadap sumber informasi dan pelayanan gizi dan kesehatan yang terdapat di daerah penelitian. Pengetahuan gizi ibu adalah gambaran pemahaman gizi ibu yang diukur dengan menghitung persentase skor jawaban benar dari total pertanyaan yang diajukan. Pola asuh makan anak balita adalah cara dan kebiasaan ibu dalam memenuhi kebutuhan makan anak balita, meliputi riwayat menyusui dan penyapihan serta praktek pemberian makan. ASI eksklusif adalah pemberian ASI saja kepada bayi hingga usia 4-6 bulan. Pola asuh kesehatan anak balita adalah perilaku ibu dalam mencari upaya kesehatan bagi anak, meliputi pola asuh kesehatan preventif (kepemilikan KMS, imunisasi, penimbangan di Posyandu, dan perawatan ketika anak sakit) dan penerapan kebersihan (higiene) diri.
27
Tingkat kecukupan energi (TKE) anak balita adalah total konsumsi energi aktual dibandingkan dengan angka kecukupan energi (AKE) sehari anak balita dan dinyatakan dalam persen dengan metode recall 2 x 24 jam. Tingkat kecukupan protein (TKP) anak balita adalah total konsumsi protein aktual dibandingkan dengan angka kecukupan protein (AKP) sehari anak balita dan dinyatakan dalam persen dengan metode recall 2 x 24 jam. Status kesehatan anak balita adalah kondisi kesehatan (riwayat sakit) anak balita dalam tiga bulan terakhir yang meliputi status sakit, jenis penyakit, frekuensi sakit (berapa kali sakit) dan lama sakit (dalam hari). Status gizi anak balita adalah kondisi fisik anak balita yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan dan penggunaan zat gizi makanan yang diukur dengan dengan cara z-skor menggunakan indeks antropometri BB/U, TB/U dan BB/TB.
28
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Banjarnegara Kabupaten Banjarnegara merupakan satu dari 29 kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Tengah. Secara astronomi, Kabupaten Banjarnegara terletak diantara 7º12’-7º31’ Lintang Selatan dan 109º29’-109º45’50” Bujur Timur dengan luas wilayah sebesar 106 970.997 ha (3.29% dari luas wilayah Provinsi Jawa Tengah). Secara geografis, Kabupaten Banjarnegara berbatasan dengan Kabupaten Pekalongan di sebelah Utara, sebelah Timur berbatasan dengan wilayah Kabupaten Wonosobo, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Kebumen, serta sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Purbalingga dan Kabupaten Banyumas. Ditinjau dari ketinggiannya, Kabupaten Banjarnegara sebagian besar berada pada ketinggian 100-500 meter diatas permukaan laut (m dpl) sebesar 37.04 persen, kemudian antara 500-1000 m dpl sebesar 28.74 persen, lebih besar dari 1000 m dpl sebesar 24.4 persen dan sebagian kecil terletak kurang dari 100 m dpl sebesar 9.82 persen. Berdasarkan bentuk tata alam dan penyebaran geografisnya, dapat digolongkan menjadi daerah pegunungan relief bergelombang dan curam di bagian utara, wilayah dengan relief datar di bagian tengah dan wilayah dengan relief curam di bagian selatan. Kabupaten Banjarnegara beriklim tropis dengan bulan basah umumnya lebih banyak daripada bulan kering. Jumlah penduduk Kabupaten Banjarnegara pada tahun 2007 sebanyak 910 513 orang, dengan kepadatan penduduk 851 orang/km 2. Berdasarkan jenis kelamin, penduduk Kabupaten Banjarnegara terdiri dari laki-laki sebanyak 454 986 orang dan perempuan sebanyak 455 527 orang. Jumlah KK di Kabupaten Banjarnegara pada tahun 2007 sebanyak 253 729 KK, dan 98 096 KK diantaranya merupakan keluarga prasejahtera. Kabupaten Banjarnegara terdiri atas 20 kecamatan, meliputi 266 desa dan 12 kelurahan. Penelitian difokuskan pada dua kecamatan, yaitu Kecamatan Pejawaran dan Kecamatan Punggelan. Sebaran status gizi anak balita di Kecamatan Pejawaran, Kecamatan Punggelan dan Kabupaten Banjarnegara dapat dilihat pada Tabel 5. Jumlah anak balita gizi buruk dan gizi kurang di Kecamatan Pejawaran (1.64% dan 11.01%) lebih tinggi daripada di Kecamatan Punggelan (0.65% dan 6.06%).
29
Tabel 5 Sebaran status gizi anak balita di Kecamatan Pejawaran, Kecamatan Punggelan dan Kabupaten Banjarnegara Wilayah Gizi Buruk (%) Gizi Kurang (%) Pejawaran 1.64 11.01 Punggelan 0.65 6.06 Banjarnegara 0.56 8.6 Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Banjarnegara (2008)
Gizi Baik (%) 85.96 91.27 89.68
Gizi Lebih (%) 1.39 2.02 1.16
Kecamatan Pejawaran Kecamatan Pejawaran berada pada ketinggian 1320 m dpl. Batas wilayah Kecamatan Pejawaran sebelah Utara adalah Kecamatan Batur, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Pagentan, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Wonosobo, dan sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Wanayasa. Luas wilayah Kecamatan Pejawaran sekitar 55.25 km 2. Jumlah penduduk Kecamatan Pejawaran pada tahun 2007 sebanyak 41 829 orang yang tersebar di 17 desa. Jumlah KK di Kecamatan Pejawaran sebesar 11 366 KK, dan 5 229 KK diantaranya merupakan keluarga prasejahtera. Luas wilayah, jumlah dan kepadatan penduduk Desa Pejawaran, Desa Sidengok dan Desa Giritirta dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Luas wilayah, jumlah dan kepadatan penduduk Desa Pejawaran, Desa Sidengok dan Desa Giritirta Desa Luas (km2) Jumlah Penduduk (Orang) Pejawaran 5.03 4 252 Sidengok 3.67 2 883 Giritirta 2.48 2 672 Total 55.25 41 829 Sumber: Kecamatan Pejawaran dalam Angka Tahun 2007 (diolah)
Kepadatan (Orang/km2) 845.32 785.56 1077.41 757.08
Sektor pendidikan di Kecamatan Pejawaran masih rendah. Kecamatan Pejawaran belum memiliki bangunan SLTA/sederajat. Penduduk yang buta aksara di Kecamatan Pejawaran masih cukup tinggi, yaitu sebanyak 1 806 orang dengan usia antara 15-44 tahun. Pendidikan akhir yang dicapai sebagian besar penduduk Kecamatan Pejawaran adalah tamat SD/sederajat (80.98%), sisanya tamat SLTP/sederajat (12.29%), SLTA/sederajat (5.29%) dan Perguruan Tinggi/Akademi (1.43%). Mata
pencaharian
utama
sebagian
besar
penduduk
Kecamatan
Pejawaran adalah petani (65.94%) dan buruh tani (29.5%). Mata pencaharian lainnya, antara lain pedagang, buruh bangunan, dan sebagainya. Demikian pula di Desa Pejawaran, Desa Sidengok dan Desa Giritirta, mata pencaharian sebagian besar penduduk adalah petani dan buruh tani.
30
Kecamatan Punggelan Kecamatan Punggelan terletak diantara 7º-12º Lintang Utara dan 7º-31º Lintang Selatan, dan diantara 2º-33º Bujur Barat dan 3º-81º Bujur Timur. Kecamatan
Punggelan
sebelah
Utara
berbatasan
dengan
Kecamatan
Pandanarum dan Kecamatan Kalibening, sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Wanadadi dan Kecamatan Rakit, sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Banjarmangu, dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Purbalingga. Luas wilayah Kecamatan Punggelan sekitar 102.84 km2. Jumlah penduduk Kecamatan Punggelan pada tahun 2007 sebanyak 70 877 orang dengan kepadatan penduduk sebesar 689 orang/km 2 yang tersebar di 17 desa. Luas wilayah, jumlah dan kepadatan penduduk Desa Punggelan, Desa Karangsari dan Desa Kecepit dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Luas wilayah, jumlah dan kepadatan penduduk Desa Punggelan, Desa Karangsari dan Desa Kecepit Desa Luas (km2) Jumlah Penduduk (Orang) Punggelan 8.98 6 000 Karangsari 5.62 3 867 Kecepit 4.88 5 246 Total 102.84 70 877 Sumber: Kecamatan Punggelan dalam Angka Tahun 2007 (diolah)
Kepadatan (Orang/km2) 668.15 688.08 1075.00 689.20
Tingkat pendidikan penduduk Kecamatan Punggelan tergolong masih sangat rendah. Hal ini terlihat pada angka tingkat pendidikan yang didominasi oleh tamatan SD dan SLTP yang mencapai 55.85 persen, sedangkan tamatan SLTA dan tamatan Perguruan Tinggi/Akademi masing-masing hanya sebesar 7.7 persen dan 1.37 persen. Hal yang sama juga ditunjukkan pada ketiga desa lokasi penelitian, yaitu didominasi oleh tamatan SD. Angka tingkat pendidikan yang paling tinggi diantara ketiga desa lokasi penelitian adalah di Desa Punggelan. Mata pencaharian sebagian besar penduduk Kecamatan Punggelan adalah bekerja di sektor pertanian yang mencapai 43.8 persen, sektor jasa 5.5 persen, sektor perdagangan 3.96 persen, sektor transportasi 0.97 persen, sektor industri 2.19 persen, dan yang bekerja di sektor lainnya mencapai 41.08 persen. Persentase terbesar penduduk Desa
Punggelan dan
Desa Karangsari
bermatapencaharian sebagai petani, sedangkan persentase terbesar penduduk Desa Kecepit bermatapencaharian sebagai buruh tani. Tingkat kesejahteraan penduduk di Kecamatan Punggelan tergolong rendah. Hal ini terlihat pada jumlah keluarga prasejahtera yang mencapai 11 426
31
KK dari 21 779 KK. Jumlah keluarga di Desa Punggelan, Desa Karangsari dan Desa Kecepit menurut tingkat kesejahteraannya dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8
Jumlah keluarga di Desa Punggelan, Desa Karangsari dan Desa Kecepit menurut tingkat kesejahteraannya Tahapan Keluarga Sejahtera
Desa
Prasejahtera
KS 2, KS 3 dan KS 3+ 377 392 456
Sejahtera 1
Punggelan 1 057 518 Karangsari 657 294 Kecepit 759 422 Sumber: Kecamatan Punggelan dalam Angka Tahun 2007
Karakteristik Anak Balita Karakteristik anak balita dalam penelitian ini meliputi umur dan jenis kelamin. Berdasarkan Tabel 9, diketahui bahwa persentase tertinggi (55.0%) jenis kelamin anak balita adalah perempuan. Hal ini sesuai dengan data penduduk Kabupaten Banjarnegara dimana proporsi penduduk yang berjenis kelamin perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Umur anak balita pada penelitian ini berkisar antara 24-60 bulan dengan rata-rata 41.1 bulan. Jika dilihat berdasarkan kecamatan, umur anak pada kedua kecamatan berkisar antara 24-35 bulan. Jumlah anak yang berumur 24-35 bulan di Kecamatan Pejawaran adalah 38.0 persen dan di Kecamatan Punggelan adalah 35.3 persen. Rata-rata umur anak di Kecamatan Pejawaran dan Punggelan adalah 40.1 bulan dan 42.1 bulan (Tabel 9). Tabel 9 Sebaran anak balita berdasarkan umur dan jenis kelamin Karakteristik Anak Balita Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total Umur (Bulan) 24-35 36-47 48-60 Total Rata-rata ± SD
Kecamatan Pejawaran Punggelan n % n % 71 79 150
47.3 52.7 100.0
57 38.0 56 37.3 37 24.7 150 100.0 40.1 ± 9.8
64 86 150
42.7 57.3 100.0
53 35.3 43 28.7 54 36.0 150 100.0 42.1 ± 10.6
Total n
%
135 165 300
45.0 55.0 100.0
110 36.7 99 33.0 91 30.3 300 100.0 41.1 ± 10.2
Karakteristik Keluarga Jumlah contoh dalam penelitian ini adalah 300 keluarga. Berdasarkan data yang diperoleh terdapat 5 keluarga dengan status perkawinan cerai, sehingga jumlah keluarga yang lengkap sebanyak 295 keluarga.
32
Besar keluarga Jumlah anggota keluarga menggambarkan besar kecilnya keluarga. Sebanyak 59.3 persen keluarga di daerah penelitian memiliki jumlah anggota keluarga ≤4 orang, sisanya 5-7 orang (36.7%) dan ≥8 orang (4.0%), dengan ratarata 4.6 orang. Berdasarkan kriteria Hurlock (1998), maka sebagian besar keluarga di daerah penelitian termasuk kategori keluarga kecil. Rata-rata jumlah anggota keluarga di Kecamatan Pejawaran dan Kecamatan Punggelan adalah 4.6 orang dan 4.5 orang (Tabel 10). Pada masyarakat miskin, besar keluarga dapat mempengaruhi keadaan gizi keluarga. Keluarga akan lebih mudah memenuhi kebutuhan makanannya jika jumlah anggota keluarga yang harus diberi makan lebih sedikit (Suhardjo 2003). Tabel 10 Sebaran jumlah anggota keluarga anak balita Jumlah Anggota Keluarga (Orang) Keluarga kecil (≤4) Keluarga sedang (5-7) Keluarga besar (≥8) Total Rata-rata ± SD
Kecamatan Pejawaran Punggelan n % n % 87 58.0 91 60.7 56 37.3 54 36.0 7 4.7 5 3.3 150 100.0 150 100.0 4.6 ± 1.4 4.5 ± 1.4
Total n % 178 59.3 110 36.7 12 4.0 300 100.0 4.6 ± 1.4
Umur Orangtua Seluruh ayah berumur diatas 20 tahun. Persentase tertinggi (63.7%) umur ayah berada pada selang 31-50 tahun, dengan rata-rata 34.7 tahun. Keadaan yang sama juga terlihat pada kedua kecamatan, yaitu sebanyak 61.2 persen ayah di Kecamatan Pejawaran dan sebanyak 66.2 persen ayah di Kecamatan Punggelan berumur 31-50 tahun. Rata-rata umur ayah di Kecamatan Pejawaran dan Kecamatan Punggelan adalah sekitar 35 tahun (Tabel 11). Berbeda dengan umur ayah, rata-rata umur ibu adalah 30.0 tahun, dengan persentase tertinggi (55.3%) umur ibu berada pada selang 20-30 tahun. Jika dilihat berdasarkan kecamatan, persentase tertinggi umur ibu di Kecamatan Pejawaran (54.0%) dan di Kecamatan Punggelan (56.7%) berada pada selang 20-30 tahun (Tabel 11). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar umur orangtua berada pada kisaran usia yang masih produktif, yaitu antara 30-40 tahun. Pada usia produktif, orangtua akan mempunyai kecenderungan untuk lebih giat bekerja dan mempunyai perhatian yang cukup bagi keluarganya. Hal ini dapat mempengaruhi dukungan ayah terhadap ibu dalam menerapkan pola asuh makan dan kesehatan anak balita.
33
Tabel 11 Sebaran umur ayah dan ibu pada keluarga anak balita Kecamatan Umur (Tahun) Ayah Remaja (13-19) Dewasa muda (20-30) Dewasa madya (31-50) Dewasa lanjut (51-75) Total Rata-rata ± SD Ibu Remaja (13-19) Dewasa muda (20-30) Dewasa madya (31-50) Dewasa lanjut (51-75) Total Rata-rata ± SD
Total
Pejawaran n %
Punggelan n %
0 0.0 54 36.7 90 61.2 3 2.0 147 100.0 34.7 ± 7.2
0 0.0 47 31.8 98 66.2 3 2.0 148 100.0 34.8 ± 7.4
0 0.0 101 34.2 188 63.7 6 2.0 295 100.0 34.7 ± 7.3
3 2.0 81 54.0 66 44.0 0 0.0 150 100.0 29.9 ± 6.6
2 1.3 85 56.7 61 40.7 2 1.3 150 100.0 30.0 ± 7.0
5 1.7 166 55.3 127 42.3 2 0.7 300 100.0 30.0 ± 6.8
n
%
Pendidikan Orangtua Tingkat pendidikan orangtua anak balita tergolong masih rendah. Hal ini terlihat pada persentase tertinggi pendidikan ayah (60.3%) dan ibu (62.0%) adalah tamat SD/sederajat, dengan rata-rata lama pendidikan ayah dan ibu adalah 6.4 tahun dan 6.8 tahun. Pada Tabel 12 masih dijumpai 4.7 persen ayah yang tidak sekolah dan hanya 2.7 persen ayah yang berpendidikan Perguruan Tinggi/Akademi. Rata-rata lama pendidikan ayah di Kecamatan Pejawaran (5.6 tahun) lebih rendah daripada Kecamatan Punggelan (7.1 tahun). Tabel 12 Sebaran tingkat pendidikan ayah dan ibu pada keluarga anak balita Jenjang Pendidikan (Tahun) Ayah Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD/sederajat Tamat SLTP/sederajat Tamat SLTA/sederajat PT/Akademi Total Rata-rata ± SD Ibu Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD/sederajat Tamat SLTP/sederajat Tamat SLTA/sederajat PT/Akademi Total Rata-rata ± SD
Kecamatan
Total
Pejawaran n %
Punggelan n %
9 6.1 23 15.6 102 69.4 8 5.4 3 2.0 2 1.4 147 100.0 5.6 ± 2.4
5 3.4 19 12.8 76 51.4 26 17.6 16 10.8 6 4.1 148 100.0 7.1 ± 3.2
14 4.7 42 14.2 178 60.3 34 11.5 19 6.4 8 2.7 295 100.0 6.4 ± 2.9
6 4.0 12 8.0 113 75.3 18 12.0 1 0.7 0 0.0 150 100.0 6.0 ± 1.8
1 0.7 16 10.7 73 48.7 38 25.3 16 10.7 6 4.0 150 100.0 7.6 ± 2.8
7 2.3 28 9.3 186 62.0 56 18.7 17 5.7 6 2.0 300 100.0 6.8 ± 2.5
n
%
34
Seperti halnya pendidikan ayah, masih terdapat 2.3 persen ibu yang tidak sekolah dan hanya 2.0 persen ibu yang berpendidikan PT/Akademi. Rata-rata lama pendidikan ibu di Kecamatan Pejawaran (6.0 tahun) lebih rendah daripada Kecamatan Punggelan (7.6 tahun) (Tabel 12). Berdasarkan data tersebut, maka lama pendidikan ibu relatif lebih tinggi daripada pendidikan ayah. Menurut Sukarni (1994), pendidikan orangtua akan menentukan status kesehatan, fertilitas dan status gizi keluarga, seperti halnya pelayanan kesehatan dan keluarga berencana. Dengan demikian, pengetahuan, sikap dan tindakan dalam menangani masalah gizi akan lebih terbatas pada keluarga dengan tingkat pendidikan yang rendah daripada pendidikan yang tinggi. Pekerjaan Orangtua Tabel 13 menunjukkan bahwa seluruh ayah telah memiliki pekerjaan tetap. Persentase tertinggi pekerjaan ayah adalah petani/peternak/berkebun (52.9%), sedangkan sebagian besar (45.7%) ibu tidak bekerja atau berstatus sebagai ibu rumah tangga. Hal ini sesuai dengan penjelasan sebelumnya bahwa persentase tertinggi tingkat pendidikan orangtua adalah tamat SD/sederajat dan secara tidak langsung akan mempengaruhi jenis pekerjaan yang dimilikinya. Tabel 13 Sebaran pekerjaan ayah dan ibu pada keluarga anak balita Kecamatan Jenis Pekerjaan
Pejawaran n %
Punggelan n %
Total
n % Ayah Petani/ternak/kebun 118 80.3 38 25.7 156 52.9 Buruh tani 16 10.9 36 24.3 52 17.6 Buruh bangunan/industri 2 1.4 13 8.8 15 5.1 Pedagang 5 3.2 19 12.8 24 8.1 Supir 2 1.4 7 4.7 9 3.1 Guru 3 2.0 5 3.4 8 2.7 Tukang ojek 0 0.0 7 4.7 7 2.4 Wirausaha 1 0.7 10 6.8 11 3.7 Lainnya* 0 0.0 13 8.8 13 4.4 Total 147 100.0 148 100.0 295 100.0 Ibu Tidak bekerja 34 22.7 103 68.7 137 45.7 Petani/peternak/kebun 89 59.3 9 6.0 98 32.7 Buruh tani 21 14.0 5 3.3 26 8.7 Buruh bangunan/industri 3 2.0 12 8.0 15 5.0 Pedagang 2 1.3 7 4.7 9 3.0 Guru 1 0.7 5 3.3 6 2.0 Wirausaha 0 0.0 4 2.7 4 1.3 Lainnya* 0 0.0 5 3.3 5 1.6 Total 150 100.0 150 100.0 300 100.0 Keterangan: *lainnya = penjaga toko, karyawan sekolah, perangkat desa, karyawan swasta, PNS, pembantu rumah tangga
35
Ibu rumah tangga yang tidak bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah secara otomatis memiliki waktu yang lebih banyak untuk mengasuh dan merawat anak. Waktu yang digunakan untuk mengasuh anak merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi status gizi anak (Satoto 1990). Status Sosial Ekonomi Keluarga Keadaan ekonomi keluarga akan menentukan pengeluaran yang dialokasikan bagi pengasuhan dan perawatan anak-anak. Kemiskinan di tingkat keluarga akan menurunkan kuantitas dan kualitas konsumsi makanan dan aksesibilitas pelayanan kesehatan. Status sosial ekonomi keluarga ditinjau dari total pengeluaran per kapita dengan pendekatan pengeluaran pangan dan nonpangan per kapita dalam satu bulan. Total pengeluaran per kapita per bulan minimum sebesar Rp 29 363.0 dan maksimum sebesar Rp 1 876 462.0 dengan rata-rata sebesar Rp 231 851.5. Rata-rata pengeluaran pangan per kapita per bulan sebesar Rp 114 756.3 dan nonpangan sebesar Rp 117 095.2. Berdasarkan total pengeluaran diketahui bahwa persentase pengeluaran pangan (49.5%) dan nonpangan (50.5%) hampir seimbang (Tabel 14). Tabel 14 menunjukkan rata-rata pengeluaran pangan per kapita per bulan di Kecamatan Pejawaran (Rp 81 752.3) lebih rendah daripada Kecamatan Punggelan (Rp 147 760.3). Seperti halnya pengeluaran pangan, rata-rata pengeluaran nonpangan per kapita per bulan di Kecamatan Pejawaran (Rp 103 262.9) lebih rendah daripada Kecamatan Punggelan (Rp 130 927.7). Tabel 14 Sebaran alokasi pengeluaran pada keluarga anak balita Jenis Rata-Rata (Rp/kapita/bulan) Pengeluaran pangan Pengeluaran nonpangan Total pengeluaran
Kecamatan Pejawaran Punggelan 81 752.3 147 760.3 103 262.9 130 927.7 185 015.2 278 687.9
Rata-Rata
%
114 756.3 117 095.2 231 851.5
49.5 50.5 100.0
Jika dibandingkan dengan garis kemiskinan Kabupaten Banjarnegara, yakni sebesar Rp 146 531, maka diperoleh persentase keluarga miskin sebesar 39.0 persen (Tabel 15). Persentase ini jauh lebih tinggi daripada kondisi pedesaan di Jawa Tengah pada umumnya dengan persentase penduduk miskin sebesar 21.96 persen (BPS 2008). Jumlah keluarga miskin di Kecamatan Pejawaran (59.3%) lebih tinggi daripada Kecamatan Punggelan (18.7%). Dengan demikian, dapat diketahui bahwa penduduk di Kecamatan Punggelan lebih sejahtera daripada Kecamatan Pejawaran.
36
Tabel 15 Sebaran keluarga anak balita berdasarkan kategori kemiskinan BPS Status Sosial Ekonomi Keluarga Miskin (≤146 531) Tidak miskin (>146 531) Total Rata-rata ± SD
Kecamatan Pejawaran Punggelan n % n % 89 59.3 28 18.7 61 40.7 122 81.3 150 100.0 150 100.0 185 015.2 278 687.9 ± 170 956.9 ± 204 287.3
Total n % 117 39.0 183 61.0 150 100.0 231 851.5 ± 193 809.4
Akses Ibu terhadap Informasi dan Pelayanan Gizi dan Kesehatan Akses terhadap informasi gizi dan kesehatan dilihat dari keterlibatan ibu terhadap sumber informasi dan sarana pelayanan gizi dan kesehatan, terutama Posyandu, Puskesmas dan media massa. Akses ibu terhadap informasi dan pelayanan gizi dan kesehatan ditentukan oleh pendidikan ibu serta motivasi ibu untuk mendapatkan layanan gizi dan kesehatan. Pada umumnya terdapat hubungan antara pendidikan dan pengetahuan ibu dengan akses ibu terhadap informasi dan pelayanan gizi dan kesehatan (Engle, Menon & Haddad 1997). Keragaan akses ibu terhadap informasi dan pelayanan gizi dan kesehatan pada berbagai tingkat ketahanan pangan rumah tangga dapat dilihat pada Lampiran 2. Akses ibu terhadap Posyandu di daerah penelitian sudah sangat baik. Jika dilihat berdasarkan informasi gizi dan kesehatan, lebih dari 75.0 persen ibu menyatakan pernah mendapat informasi gizi dan kesehatan. Dari sejumlah ibu yang terpapar oleh informasi, diketahui bahwa Posyandu/bidan merupakan sumber informasi utama. Namun, kegiatan Posyandu di daerah penelitian hanya menekankan pada aspek imunisasi dan penimbangan anak. Jarang dilakukan penyuluhan tentang gizi dan kesehatan keluarga, terutama bagi anak balita. Sebanyak 44.0 persen ibu menyatakan tidak pernah mendapat penyuluhan gizi dan kesehatan di Posyandu. Kader merupakan ujung tombak keberhasilan program Posyandu. Rendahnya akses ibu terhadap media massa, baik cetak maupun elektronik, di daerah penelitian menyebabkan ibu cenderung mengandalkan informasi gizi dan kesehatan yang diberikan oleh kader Posyandu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kader sering mengajak dan mengingatkan ibu datang ke Posyandu (83.3%). Fasilitas kesehatan lain, seperti Puskesmas dan Polindes juga dapat diakses dengan mudah. Hampir seluruh (98.3%) ibu pernah mengunjungi dan menggunakan jasa fasilitas kesehatan tersebut. Seperti halnya Posyandu, kegiatan Puskesmas dan Polindes dominan pada aspek pelayanan kesehatan,
37
terutama pengobatan. Sebanyak 93.3 persen ibu menyatakan biaya pengobatan di Puskesmas terjangkau, yakni berkisar antara Rp 5 000-Rp 10 000. Jarak kelahiran yang berdekatan akan berakibat buruk terhadap perkembangan psikologis anak yang apabila terus berlanjut akan mempengaruhi status gizi anak. Program Keluarga Berencana (KB) adalah salah satu upaya untuk menekan laju pertumbuhan penduduk dan dapat digunakan sebagai sarana untuk mensejahterakan anak-anak dan keluarga. Hampir seluruh (95.0%) ibu menyatakan pernah menjadi akseptor KB. Program KB paling banyak diakses melalui bidan desa (47.7%), diikuti oleh Puskesmas (37.2%), Posyandu (9.1%), dokter (5.3%), rumah sakit (2.1%), dan mantri (2.1%). Tabel 16 Sebaran ibu berdasarkan akses terhadap informasi dan pelayanan gizi dan kesehatan pada keluarga anak balita Akses Ibu Kurang (<60%) Sedang (60-80%) Baik (>80%) Total Rata-rata ± SD
Kecamatan Pejawaran Punggelan n % n % 12 8.0 18 12.0 50 33.3 34 22.7 88 58.7 98 65.3 150 100.0 150 100.0 80.8 ± 13.8 81.6 ± 14.2
Total n % 30 10.0 84 28.0 186 62.0 150 100.0 81.2 ± 14.0
Akses ibu terhadap informasi dan pelayanan gizi dan kesehatan pada umumnya termasuk dalam kategori baik (62.0%), sisanya termasuk dalam kategori sedang (28.0%) dan kurang (10.0%), dengan rata-rata skor sebesar 81.2 persen. Rata-rata skor akses ibu di Kecamatan Pejawaran (80.8%) sedikit lebih rendah daripada Kecamatan Punggelan (81.6%) (Tabel 16). Pengetahuan Gizi Ibu Pengetahuan gizi ibu dalam penelitian ini menggambarkan tingkat pemahaman terhadap zat gizi, bahan makanan yang mengandung zat gizi, ciri anak balita dengan status gizi baik, serta makna garis dalam KMS-balita. Berdasarkan Lampiran 3, terlihat bahwa lebih dari 60.0 persen ibu mengetahui pengertian makanan yang bergizi dan ciri anak balita dengan status gizi baik. Namun, pemahaman ibu tentang bahan makanan yang bergizi dan makna garis dalam KMS masih kurang. Selain itu, kurang dari separuh (48.3%) ibu mengenal golongan yang rawan gizi. Pengetahuan gizi ibu berpengaruh terhadap konsumsi pangan anak balita. Sebagai gate keeper, ibu sangat menentukan pangan yang dikonsumsi oleh anggota keluarga. Hasil penelitian menunjukkan hanya sekitar separuh ibu
38
yang mengetahui bahan makanan sumber protein hewani (41.0%), zat besi dan vitamin A (42.7%), vitamin C (57.3%), dan iodium (51.7%). Bahkan, ibu yang mengetahui bahan makanan sumber protein nabati hanya 17.3 persen. Kurangnya pengetahuan ibu tentang bahan makanan yang bergizi dapat mengakibatkan rendahnya konsumsi pangan dan mempengaruhi status gizi anak balita. Seiring dengan hal ini, maka pada Tabel 17 tampak bahwa sebagian besar (58.0%) ibu memiliki tingkat pengetahuan gizi kategori kurang, dengan rata-rata skor sebesar 44.1 persen. Rata-rata skor pengetahuan gizi ibu di Kecamatan Pejawaran (30.3%) lebih rendah daripada Kecamatan Punggelan (57.9%). Tabel 17 Sebaran ibu berdasarkan tingkat pengetahuan gizi pada keluarga anak balita Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu Kurang (<60%) Sedang (60-80%) Baik (>80%) Total Rata-rata ± SD
Kecamatan Pejawaran Punggelan n % n % 120 80.0 54 36.0 25 16.7 70 46.7 5 3.3 26 17.3 150 100.0 150 100.0 30.3 ± 26.3 57.9 ± 29.2
Total n % 174 58.0 95 31.7 31 10.3 150 100.0 44.1 ± 31.0
Rendahnya tingkat pengetahuan gizi ibu seiring dengan rendahnya tingkat pendidikan dan akses terhadap informasi dan pelayanan gizi dan kesehatan. Hasil uji Spearman menunjukkan adanya hubungan yang nyata antara pengetahuan gizi ibu dengan tingkat pendidikan ibu (p<0.01) dan akses ibu terhadap informasi dan pelayanan gizi dan kesehatan (p<0.01) (Lampiran 7). Kondisi ini bermakna bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan dan akses ibu, semakin tinggi pula tingkat pengetahuan gizi ibu tersebut. Menurut Sukarni (1994),
tingkat
pendidikan
seseorang
erat
kaitannya
dengan
tingkat
pengetahuan. Pendidikan akan mempengaruhi tingkat pemahaman seseorang yang akan berdampak terhadap status kesehatan dan status gizi keluarga. Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga Ketahanan pangan rumah tangga merupakan salah satu faktor yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap status gizi anak balita (Soekirman 2000). Tingkat ketahanan pangan rumah tangga pada penelitian ini diukur secara kuantitatif dengan menggunakan cut off point jumlah kalori (energi) rumah tangga menurut Zeitlin dan Brown (1990).
39
Tabel 18 Sebaran tingkat ketahanan pangan rumah tangga Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga Sangat tidak tahan pangan (<70%) Tidak tahan pangan (70-90%) Tahan pangan (>90%) Total Rata-rata ± SD
Kecamatan Pejawaran Punggelan n % n % 75 50.0 37 24.7 40 26.7 55 36.7 35 23.3 58 38.7 150 100.0 150 100.0 75.4 ± 30.0 92.2 ± 33.1
Total n % 112 37.3 95 31.7 93 31.0 150 100.0 83.8 ± 32.6
Tabel 18 menunjukkan bahwa persentase tertinggi (37.3%) rumah tangga termasuk dalam kategori sangat tidak tahan pangan. Jika dilihat berdasarkan kecamatan, jumlah rumah tangga sangat tidak tahan pangan di Kecamatan Pejawaran (50.0%) dua kali lebih banyak daripada Kecamatan Punggelan (24.7%). Hal ini berarti penduduk di Kecamatan Pejawaran memiliki kemampuan yang lebih rendah dalam memenuhi kebutuhan energi keluarga daripada Kecamatan Punggelan. Faktor penyebab tingginya resiko ketidaktahanan pangan penduduk di Kecamatan Pejawaran, antara lain akses terhadap pangan yang terbatas karena kondisi alam pegunungan serta rendahnya daya beli terhadap pangan, khususnya pangan sumber lemak dan protein hewani. Pola Pengasuhan Anak Balita Kejadian gizi kurang pada anak sangat ditentukan oleh praktek pengasuhan dalam keluarga. Menurut Soekirman (2000) pola asuh adalah dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh dan berkembang dengan sebaikbaiknya secara fisik, mental, dan sosial. Pola asuh yang dibahas dalam penelitian ini meliputi pola asuh makan dan pola asuh kesehatan. Pola Asuh Makan Pola asuh makan dalam penelitian ini meliputi riwayat menyusui dan penyapihan serta praktek pemberian makan kepada anak balita. Keragaan pola asuh makan ibu pada berbagai tingkat ketahanan pangan rumah tangga dapat dilihat pada Lampiran 4. ASI merupakan makanan yang paling ideal bagi bayi. Tabel 19 menunjukkan bahwa sebanyak 75.7 persen ibu tidak memberikan ASI eksklusif kepada anaknya. Hal ini disebabkan oleh adanya tradisi untuk memberikan madu atau gula merah kepada bayi sesaat setelah bayi lahir. WHO (2001) menjelaskan bahwa ASI eksklusif berarti hanya memberikan ASI kepada bayi, tidak ditambah makanan atau minuman lain, bahkan air putih sekalipun. Selain itu, lebih dari separuh (59.0%) ibu sudah memberikan makanan saat bayi berumur dua bulan.
40
Jenis makanan yang diberikan, antara lain pisang, bubur saring dan bubur tepung. Menurut ibu, bayi akan menjadi lebih tenang dan kuat jika diberikan makanan sejak dini. Pada Tabel 19 terlihat bahwa 21.0 persen ibu tidak memberikan kolostrum kepada anaknya. Menurut ibu kolostrum kotor dan tidak sehat, padahal kolostrum dapat memberikan perlindungan kekebalan tubuh bayi (Krisnatuti & Yenrina 2000). Hampir seluruh (98.3%) ibu memberikan ASI sesuai dengan permintaan anak dan lebih dari separuh (57.0%) ibu memberikan ASI sampai anak berusia dua tahun. Tabel 19
Sebaran anak balita berdasarkan keragaan riwayat menyusui dan penyapihan
Riwayat Menyusui dan Penyapihan Anak Balita Pemberian ASI eksklusif (ASI saja hingga 6 bulan) Pemberian kolostrum Bayi diberikan makanan/minuman saat lahir Anak diberikan makanan saat berumur 2 bulan ASI diberikan sesuai dengan permintaan anak ASI diberikan sampai anak berumur 2 tahun
Ya n 73 237 204 177 295 171
% 24.3 79.0 68.0 59.0 98.3 57.0
Tidak n % 227 75.7 63 21.0 96 32.0 123 41.0 5 1.7 129 43.0
Tabel 20 menyajikan praktek pemberian makan kepada anak balita. Sekitar 65.0 persen ibu tidak memberikan makanan yang beragam dan 86.0 persen tidak memberikan makanan yang lengkap kepada anak balita. Makanan lengkap terdiri dari nasi/sumber karbohidrat lain, lauk pauk, sayur dan buah. Konsumsi makanan yang tidak beragam bagi anak dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan anggota tubuh. Sebagian besar (73.0%) ibu belum memperhatikan faktor gizi sebagai pertimbangan dalam memberikan makanan kepada anak balita. Kondisi ekonomi keluarga yang rendah menyebabkan ibu memberikan makanan kepada anak balita sesuai dengan kondisi keuangan yang ada. Hal ini berdampak pada kebiasaan lebih dari separuh (54.3%) ibu yang tidak menyediakan makanan kudapan untuk anak setiap harinya (Tabel 20). Berdasarkan Tabel 20 terlihat bahwa sebagian besar (86.3%) ibu mencuci tangan sebelum mempersiapkan makanan untuk anak balita. Menurut Krisnatuti dan Yenrina (2000), faktor kebersihan harus selalu dijaga pada setiap tahapan penyediaan makanan anak, mulai dari tahap persiapan, pengolahan, penyajian, termasuk kebersihan peralatan makan yang akan digunakan.
41
Tabel 20 Sebaran anak balita berdasarkan keragaan praktek pemberian makan Praktek Pemberian Makan Anak Balita Anak biasa mengkonsumsi makanan yang beragam Makanan sehari-hari untuk anak lengkap (4 sehat) Ibu memperkenalkan makanan kepada anak karena kebutuhan gizi Ibu biasa menyediakan makanan kudapan untuk anak Ibu biasa mencuci tangan sebelum mempersiapkan makanan untuk anak Ibu membiasakan anak makan sendiri Anak selalu menghabiskan makanannya Jadwal makan anak tetap
n 105 42
Ya % 35.0 14.0
Tidak n % 195 65.0 258 86.0
81
27.0
219
73.0
137
45.7
163
54.3
259
86.3
41
13.7
215 125 95
71.7 41.7 31.7
85 175 205
28.3 58.3 68.3
Tabel 20 menunjukkan bahwa sebagian besar (71.7%) ibu telah membiasakan anak balita untuk makan sendiri. Namun, lebih dari separuh (58.3%)
ibu
menyatakan
anaknya
jarang
menghabiskan
makanannya.
Banyaknya anak yang tidak menghabiskan makanannya sebagian besar karena alasan tidak nafsu makan dan sudah merasa kenyang saat waktu makan. Jika masalah makan ini berkepanjangan, maka dapat mengganggu tumbuh kembang anak karena jumlah dan jenis zat gizi yang masuk ke dalam tubuhnya berkurang (Khomsan 2004). Oleh karena itu, sekitar 70.0 persen ibu tidak menjadwalkan waktu makan yang tetap bagi anaknya. Tabel 21 Sebaran anak balita berdasarkan pola asuh makan pada berbagai tingkat ketahanan pangan rumah tangga Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga Sangat Tidak Tidak Tahan Tahan Pangan Tahan Pangan Pangan n % n % n % Kurang (<60%) 91 81.3 70 73.7 68 73.1 Sedang (60-80%) 17 15.2 19 20.0 18 19.4 Baik (>80%) 4 3.6 6 6.3 7 7.5 Total 112 100.0 95 100.0 93 100.0 Rata-rata ± SD 44.9 ± 17.0 50.8 ± 18.9 51.9 ± 18.2 P-value 0.012* Keterangan: Sig* (p<0.05); Sig** (p<0.01) Pola Asuh Makan Anak Balita
Total n % 229 76.3 54 18.0 17 5.7 300 100.0 49.0 ± 18.2
Seiring dengan hal ini, maka pada Tabel 21 tampak bahwa sebagian besar (76.3%) pola asuh makan anak balita termasuk kategori kurang, sisanya termasuk kategori sedang (18.0%) dan baik (5.7%). Rata-rata skor pola asuh makan anak balita sebesar 49.0 persen. Jika dilihat berdasarkan kelompok rumah tangga, rata-rata skor pola asuh makan anak balita pada rumah tangga sangat tidak tahan pangan (44.9%) paling rendah dibandingkan rumah tangga tidak tahan pangan (50.8%) dan rumah tangga tahan pangan (51.9%), dan ketiganya termasuk dalam kategori kurang. Hasil uji ANOVA menunjukkan
42
perbedaan yang nyata antara pola asuh makan anak balita pada ketiga kelompok rumah tangga (p<0.05). Pola Asuh Kesehatan Pola asuh kesehatan dalam penelitian ini meliputi pola asuh kesehatan yang sifatnya preventif, seperti pemberian imunisasi dan penanganan ketika anak sakit, serta praktek kebersihan (higiene) yang diterapkan ibu kepada anak. Keragaan pola asuh kesehatan pada berbagai tingkat ketahanan pangan rumah tangga dapat dilihat pada Lampiran 5. Tabel 22
Sebaran anak balita berdasarkan keragaan pola asuh kesehatan preventif
Pola Asuh Kesehatan Preventif Anak Balita Penimbangan anak balita di posyandu - Aktif - Tidak aktif Penimbangan 3 bulan terakhir - 3 kali - <3 kali Status kepemilikan KMS - Ada - tidak ada Kelengkapan imunisasi - Lengkap - Tidak lengkap Yang dilakukan jika anak balita mencret - diberi obat penurun panas/dikompres/ dibawa ke pelayanan kesehatan - tidak melakukan apa-apa Yang dilakukan jika anak balita panas tinggi - diberi obat penurun panas/dikompres/ dibawa ke pelayanan kesehatan - tidak melakukan apa-apa
n
%
242 58
80.7 19.3
178 122
59.3 40.7
221 79
73.7 26.3
294 6
98.0 2.0
297
99.0
3
1.0
298
99.3
2
0.7
Tabel 22 menunjukkan bahwa sebagian besar (80.7%) anak balita masih dibawa ke posyandu dan lebih dari separuh (59.3%) anak balita selalu dibawa ke posyandu selama tiga bulan terakhir. Pada umumnya ibu pertama kali membawa anak balita ke posyandu pada saat anak berumur 1 bulan. Selain itu, sebanyak 73.7 persen ibu memiliki KMS dan hampir seluruh (82.8%) ibu menyimpan KMS di posyandu/kader. Alasan ibu antara lain karena takut hilang dan agar tidak tertinggal di rumah saat penimbangan. Imunisasi sangat penting sebagai penunjang kesehatan bayi dan anakanak. Anak yang telah berumur satu tahun seyogyanya telah mendapatkan imunisasi lengkap BCG, Polio tiga kali, DPT tiga kali, dan campak (Anonim 2009). Para ibu telah mengetahui manfaat imunisasi bagi anak balita. Hal ini terlihat dari tingginya persentase ibu yang telah memberikan imunisasi kepada
43
anak balitanya, yakni sebesar 98.0 persen, sedangkan sisanya (2.0%) belum memberikan imunisasi secara lengkap (Tabel 22). Anak balita merupakan kelompok penduduk yang paling rentan terhadap gangguan kesehatan dan gizi. Satoto (1990) menyatakan bahwa perawatan kesehatan anak balita juga perlu mendapat perhatian yang sungguh-sungguh karena anak belum mampu merawat diri sendiri, kondisi fisik masih lemah dan sangat peka terhadap serangan penyakit. Namun, masih terdapat ibu yang membiarkan saja jika anak balita mengalami mencret (1.0%) dan panas tinggi (0.7%) (Tabel 22). Mandi merupakan kegiatan rutin yang dilakukan setiap orang agar tubuh menjadi bersih. Anak balita pada umumnya belum mampu merawat kebersihan diri sendiri, sehingga masih diperlukan bimbingan dari orangtua. Berdasarkan Lampiran 5, diketahui bahwa sebanyak 97.3 persen anak balita selalu menggunakan sabun saat mandi. Sebanyak 98.0 persen anak balita keramas ≥3 kali per minggu, dan sisanya (2.0%) keramas 2 kali per minggu. Keramas atau mencuci rambut penting dilakukan agar rambut tetap bersih dan sehat. Keramas sebaiknya dilakukan minimal tiga hari sekali dengan menggunakan sampo. Kebiasaan menggosok gigi adalah kegiatan yang paling sulit diterapkan kepada anak balita. Sebanyak 45.3 persen anak balita menggosok gigi ≥2 kali per hari dan sebanyak 72.3 persen anak balita selalu menggunakan pasta gigi saat menggosok gigi. Lebih dari separuh (59.0%) anak balita memiliki dan selalu menggunakan sikat gigi milik sendiri saat menggosok gigi (Lampiran 5). Praktek higiene lain yang dilihat dalam penelitian ini, antara lain kebiasaan mencuci tangan sebelum makan, menggunting kuku, memakai alas kaki saat bermain di luar rumah, dan mencuci kaki sebelum tidur. Lampiran 5 menunjukkan bahwa persentase anak balita yang telah dibiasakan selalu mencuci tangan sebelum makan mencapai 57.3 persen, sedangkan sisanya kadang-kadang (38.0%) dan tidak pernah mencuci tangan (2.3%). Namun, ibu belum membiasakan anak mencuci tangan dengan sabun. Hal ini terlihat dari persentase anak yang tidak pernah mencuci tangan dengan sabun mencapai 40.3 persen. Usaha preventif lain yang dilakukan untuk mencegah kuman masuk dalam tubuh anak balita adalah dengan membiasakan anak menggunting kuku minimal satu kali per minggu. Sebagian besar (74.3%) anak balita menggunting kuku ≥4 kali per bulan, sedangkan sisanya 2-3 kali per bulan (19.7%) dan 1 kali per bulan (6.0%).
44
Anak balita seringkali malas memakai alas kaki saat bermain di luar rumah, padahal kuman dapat dengan mudah masuk ke dalam tubuh melalui poripori kulit telapak kaki. Sebanyak 1.7 persen anak balita tidak pernah menggunakan alas kaki saat bermain di luar rumah dan sebagian besar (71.7%) anak balita tidak pernah dibiasakan untuk mencuci kaki sebelum tidur. Kebiasaan ini harus diperbaiki agar anak terhindar dari berbagai penyakit, seperti cacingan (Lampiran 5). Tabel 23 Sebaran anak balita berdasarkan pola asuh kesehatan pada berbagai tingkat ketahanan pangan rumah tangga Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga Sangat Tidak Tidak Tahan Tahan Pangan Tahan Pangan Pangan n % n % n % Kurang (<60%) 26 23.2 22 23.2 14 15.1 Sedang (60-80%) 49 43.8 34 35.8 39 41.9 Baik (>80%) 37 33.0 39 41.1 40 43.0 Total 112 100.0 95 100.0 93 100.0 Rata-rata ± SD 72.1 ± 14.7 73.0 ± 13.4 74.4 ± 13.3 P-value 0.498 Keterangan: Sig* (p<0.05); Sig** (p<0.01) Pola Asuh Kesehatan Anak Balita
Total n % 62 20.7 122 40.7 116 38.7 300 100.0 73.1 ± 13.9
Seiring dengan hal ini, maka pada Tabel 23 tampak bahwa persentase tertinggi (40.7%) pola asuh kesehatan anak balita termasuk kategori sedang, sisanya termasuk kategori baik (38.7%) dan kurang (20.7%). Rata-rata skor pola asuh kesehatan anak balita sebesar 73.1 persen. Jika dilihat berdasarkan kelompok rumah tangga, rata-rata skor pola asuh kesehatan anak balita pada rumah tangga sangat tidak tahan pangan (72.1%) paling rendah dibandingkan rumah tangga tidak tahan pangan (73.0%) dan rumah tangga tahan pangan (74.4%), dan ketiganya termasuk dalam kategori sedang. Hasil uji ANOVA menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara pola asuh kesehatan anak balita pada ketiga kelompok rumah tangga (p>0.05). Konsumsi Pangan Anak Balita Konsumsi pangan anak balita dalam penelitian ini meliputi tingkat kecukupan energi dan tingkat kecukupan protein. Konsumsi pangan diukur dengan metode recall 2x24 jam. Recall pangan mencakup jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi anak balita, baik makanan pokok maupun makanan selingan atau makanan jajanan. Selanjutnya, konsumsi pangan tersebut dikonversi kedalam energi dan protein dengan menggunakan DKBM dan dihitung nilai rata-rata tingkat kecukupan zat gizi anak.
45
Tabel 24 Sebaran anak balita berdasarkan konsumsi energi dan protein pada berbagai tingkat ketahanan pangan rumah tangga Konsumsi Pangan Anak Balita Konsumsi Energi Rata-rata konsumsi aktual (kkal) Rata-rata tingkat kecukupan (%) Konsumsi Protein Rata-rata konsumsi aktual (g) Rata-rata tingkat kecukupan (%)
Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga Sangat Tidak Tidak Tahan Tahan Pangan Tahan Pangan Pangan 874 87.8
973 95.7
1098 98.2
22.4 89.8
25.8 102.2
28.5 101.4
Konsumsi dan tingkat kecukupan energi dan protein anak balita disajikan pada Tabel 24. Rata-rata konsumsi energi dan protein anak balita masingmasing sebesar 975 kkal dan 25.4 g. Menurut Hardinsyah dan Tambunan (2004), konsumsi energi yang dianjurkan untuk anak balita berkisar antara 1000 kkal sampai 1550 kkal, sedangkan konsumsi protein yang dianjurkan untuk anak balita berkisar antara 25 g sampai 39 g. Dengan demikian, rata-rata konsumsi energi anak balita masih tergolong kurang. Hal ini diduga berkaitan dengan pola asuh makan yang kurang baik, sehingga anak balita lebih sering mengkonsumsi makanan jajanan yang rendah kandungan zat gizinya daripada makanan di rumah. Tabel 24 menunjukkan bahwa konsumsi energi dan protein anak balita semakin meningkat seiring dengan meningkatnya tingkat ketahanan pangan rumah tangga. Rata-rata konsumsi energi anak balita pada rumah tangga sangat tidak tahan pangan paling rendah (874 kkal) dibandingkan rumah tangga tidak tahan pangan (973 kkal) dan rumah tangga tahan pangan (1098 kkal) dengan rata-rata tingkat kecukupan energi secara berturut-turut sebesar 87.8 persen, 95.7 persen dan 98.2 persen. Rata-rata konsumsi protein anak balita pada rumah tangga sangat tidak tahan pangan juga paling rendah (22.4 g) dibandingkan rumah tangga tidak tahan pangan (25.8 g) dan rumah tangga tahan pangan (28.5 g) dengan rata-rata tingkat kecukupan energi secara berturut-berturut sebesar 89.8 persen, 102.2 persen dan 101.4 persen. Untuk mengestimasi persentase anak balita yang mengalami masalah defisit konsumsi zat gizi (undernourishment), maka diasumsikan bahwa apabila seorang anak hanya memenuhi kurang dari 70.0 persen angka kecukupannya dikatakan tergolong kurang (defisit tingkat berat) (Martianto et al. 2008). Persentase anak yang mengalami kekurangan konsumsi energi dan protein disajikan pada Tabel 25.
46
Tabel 25 Sebaran anak balita berdasarkan tingkat kecukupan energi dan protein pada berbagai tingkat ketahanan pangan rumah tangga Tingkat Kecukupan Zat Gizi Anak Balita
Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga Sangat Tidak Tidak Tahan Tahan Pangan Tahan Pangan Pangan n % n % n %
Tingkat Kecukupan Energi Defisit berat (<70%) 41 36.6 Defisit sedang (70-90%) 26 23.2 Cukup (>90%) 45 40.2 Total 112 100.0 Rata-rata (kkal) ± SD 874 ± 357.7 P-value Tingkat Kecukupan Protein Defisit berat (<70%) 38 33.9 Defisit sedang (70-90%) 28 25.0 Cukup (>90%) 46 41.1 Total 112 100.0 Rata-rata (g) ± SD 22.4 ± 10.5 P-value Keterangan: Sig* (p<0.05); Sig** (p<0.01)
Total n
%
30 31.6 27 29.0 19 20.0 21 22.6 46 48.4 45 48.4 95 100.0 93 100.0 973 ± 411.3 1098 ± 502.3 0.001**
98 32.7 66 22.0 136 45.3 300 100.0 975 ± 432.3
34 35.8 25 26.9 13 13.7 20 21.5 48 50.5 48 51.6 95 100.0 93 100.0 25.8 ± 13.2 28.5 ± 14.8 0.003**
97 32.3 61 20.3 142 47.3 300 100.0 25.4 ± 13.0
Berdasarkan tingkat kecukupan energi dan protein, hampir separuh (45.3% dan 47.3%) anak balita berada pada kategori cukup. Jika dilihat berdasarkan kelompok rumah tangga, ditemukan lebih dari 30.0 persen anak balita pada rumah tangga sangat tidak tahan pangan dan tidak tahan pangan yang mengalami defisit energi dan protein tingkat berat. Ketidaktahanan pangan rumah tangga dapat berdampak buruk pada status gizi anak balita (Suryana 2004). Hasil uji ANOVA menunjukkan perbedaan yang nyata antara konsumsi energi (p<0.01) dan protein (p<0.01) pada ketiga kelompok rumah tangga. Status Kesehatan Anak Balita Status kesehatan anak balita merupakan aspek dari kualitas fisik anak balita yang dapat mempengaruhi status gizi. Pada umumnya anak balita (81.3%) pernah mengalami sakit dalam tiga bulan terakhir. Jumlah anak yang pernah sakit pada rumah tangga sangat tidak tahan pangan (83.9%) lebih banyak daripada jumlah anak yang sakit pada rumah tangga tidak tahan pangan (81.1%) dan rumah tangga tahan pangan (78.5%). (Tabel 26). Tabel 26 Sebaran anak balita berdasarkan status sakit dalam tiga bulan terakhir pada berbagai tingkat ketahanan pangan rumah tangga Status Sakit Anak Balita Tidak Sakit Sakit Total
Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga Sangat Tidak Tidak Tahan Tahan Pangan Tahan Pangan Pangan n % n % n % 18 16.1 18 18.9 20 21.5 94 83.9 77 81.1 73 78.5 112 100.0 95 100.0 93 100.0
Total n 56 244 300
% 18.7 81.3 100.0
47
Jenis penyakit yang paling banyak diderita dalam tiga bulan terakhir adalah panas/demam (67.2%), pilek/influenza (39.8%), dan batuk pilek (38.9%). Keadaan tersebut juga terjadi pada ketiga kelompok rumah tangga. Bahkan, lebih dari separuh jumlah anak pada rumah tangga sangat tidak tahan pangan (74.5%), rumah tangga tidak tahan pangan (64.9%) dan rumah tangga tahan pangan (60.3%) pernah menderita panas/demam (Tabel 27). Tabel 27
Sebaran anak balita berdasarkan jenis penyakit dalam tiga bulan terakhir pada berbagai tingkat ketahanan pangan rumah tangga
Jenis Penyakit Panas/demam Pilek/influenza Batuk biasa (ISPA) Batuk, pilek Panas, pilek, batuk Panas, pilek Sakit mata Cacar air Diare (>3 kali) Mencret biasa Muntaber Sakit kulit (bisul/gatal) Sakit congek Sakit gigi Sakit perut Keterangan: * = 244 orang
Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga Sangat Tidak Tidak Tahan Tahan Pangan Tahan Pangan Pangan n % n % n % 70 74.5 50 64.9 44 60.3 43 45.7 32 41.6 22 30.1 8 8.5 10 13.0 6 8.2 37 39.4 27 35.1 31 42.5 1 1.1 2 2.6 1 1.4 0 0.0 0 0.0 2 2.7 3 3.2 1 1.3 0 0.0 1 1.1 1 1.3 0 0.0 2 2.1 1 1.3 0 0.0 4 4.3 3 3.9 5 6.8 2 2.1 0 0.0 1 1.4 6 6.4 12 15.6 10 13.7 1 1.1 0 0.0 0 0.0 5 5.3 2 2.6 2 2.7 0 0.0 0 0.0 3 4.1
Total n* 164 97 24 95 4 2 4 2 3 12 3 28 1 9 3
% 67.2 39.8 9.8 38.9 1.6 0.8 1.6 0.8 1.2 4.9 1.2 11.5 0.4 3.7 1.2
Menurut King dan Burgess (1995) dalam Masithah (2002), anak balita biasanya memperoleh berbagai infeksi, khususnya ketika usia 6 bulan hingga 3 tahun, diantaranya batuk dan pilek, malaria dan campak. Infeksi menyebabkan kurang gizi karena mengurangi konsumsi pangan sementara kebutuhan zat gizi tubuh meningkat. Pelletier et al. (1995) menyimpulkan bahwa lebih dari setengah kematian bayi disebabkan oleh kurang gizi yang berkaitan dengan penyakit infeksi (Yoon et al. 1997). Tabel 28 menunjukkan bahwa pada umumnya (49.2%) frekuensi sakit anak balita dalam tiga bulan terakhir adalah ≥3 kali, dengan rata-rata sakit sebanyak 2.7 kali. Anak balita pada rumah tangga sangat tidak tahan pangan (3.1 kali) paling sering mengalami sakit dibandingkan anak balita pada rumah tangga tidak tahan pangan (2.6 kali) dan rumah tangga tahan pangan (2.3 kali). Hasil uji ANOVA menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara frekuensi sakit anak balita pada ketiga kelompok rumah tangga (p>0.05).
48
Tabel 28
Sebaran anak balita berdasarkan frekuensi sakit dalam tiga bulan terakhir pada berbagai tingkat ketahanan pangan rumah tangga
Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga Sangat Tidak Tidak Tahan Tahan Pangan Tahan Pangan Pangan n % n % n % 1 kali 27 28.7 24 31.2 27 37.0 2 kali 20 21.3 12 15.6 14 19.2 ≥3 kali 47 50.0 41 53.2 32 43.8 Total 94 100.0 77 100.0 73 100.0 Rata-rata ± SD 3.1 ± 3.1 2.6 ± 2.5 2.3 ± 2.4 P-value 0.094 Keterangan: Sig* (p<0.05); Sig** (p<0.01) Frekuensi Sakit Anak Balita
Total n % 78 32.0 46 18.8 120 49.2 244 100.0 2.7 ± 2.7
Dari sejumlah anak yang sakit, diketahui bahwa persentase tertinggi (38.1%) anak mengalami sakit selama >14 hari dalam tiga bulan terakhir. Ratarata anak mengalami sakit selama 12.7 hari. Paling banyak anak balita pada rumah tangga sangat tidak tahan pangan (38.3%), rumah tangga tidak tahan pangan (44.2%) dan rumah tangga tahan pangan (31.5%) mengalami sakit selama >14 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata lama sakit anak balita pada rumah tangga sangat tidak tahan pangan (15.1 hari) lebih lama daripada anak balita pada rumah tangga tidak tahan pangan (12.0 hari) dan rumah tangga tahan pangan (10.4 hari). Hasil uji ANOVA menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara lama sakit anak balita pada ketiga kelompok rumah tangga (p>0.05) (Tabel 29). Tabel 29 Sebaran anak balita berdasarkan lama sakit dalam tiga bulan terakhir pada berbagai tingkat ketahanan pangan rumah tangga Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga Sangat Tidak Tidak Tahan Tahan Pangan Tahan Pangan Pangan n % n % n % 1-3 hari 13 13.8 12 15.6 14 19.2 4-7 hari 28 29.8 16 20.8 22 30.1 8-14 hari 17 18.1 15 19.5 14 19.2 >14 hari 36 38.3 34 44.2 23 31.5 Total 94 100.0 77 100.0 73 100.0 Rata-rata ± SD 15.1 ± 20.1 12.0 ± 133 10.4 ± 11.9 P-value 0.095 Keterangan: Sig* (p<0.05); Sig** (p<0.01) Lama Sakit Anak Balita
Total n % 39 16.0 66 27.0 46 18.9 93 38.1 244 100.0 12.7 ± 15.9
Status Gizi Anak Balita Riyadi (2001) mendefinisikan status gizi sebagai keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbtion), dan penggunaan (utilization) zat gizi. Status gizi anak balita didasarkan pada pengukuran berat badan dan tinggi badan, sehingga status gizi dianalisis menggunakan indeks berat badan menurut umur (BB/U),
49
indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) dan indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan Software WHO ANTRO 2005 dan standar nilai z-skor yang direkomendasikan oleh WHO. Indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U) Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran massa tubuh (tulang, otot dan lemak) dan merupakan indikator yang sangat labil. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau berkurangnya jumlah makanan yang dikonsumsi (Supariasa, Bakri & Fajar 2002). Indeks indeks BB/U menggambarkan keadaan status gizi masa kini. Prevalensi anak balita gizi kurang atau underweight (z-skor <-2SD) di daerah penelitian adalah 32.0 persen (Tabel 30). Prevalensi underweight ini jauh lebih tinggi daripada prevalensi underweight di Jawa Tengah hasil Riskesdas 2007, yaitu 16.0 persen (Depkes 2008). Menurut WHO (1995), masalah kesehatan masyarakat tergolong sangat tinggi apabila prevalensi gizi kurang lebih dari 30.0 persen, maka masalah kesehatan masyarakat di daerah penelitian tergolong sangat tinggi. Prevalensi anak balita gizi buruk (z-skor <-3SD) di daerah penelitian adalah 10.3 persen, sedangkan prevalensi anak balita gizi lebih (z-skor >+2SD) di daerah penelitian adalah 0.3 persen. Prevalensi anak balita underweight pada rumah tangga sangat tidak tahan pangan paling tinggi (47.3%) dibandingkan rumah tangga tidak tahan pangan (42.1%) dan rumah tangga tahan pangan (3.3%). Tabel 30 Sebaran anak balita berdasarkan status gizi (BB/U) pada berbagai tingkat ketahanan pangan rumah tangga Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga Sangat Tidak Tidak Tahan Tahan Tahan Pangan Pangan Pangan n % n % n % Gizi buruk (<-3SD) 17 15.2 13 13.7 1 1.1 Gizi kurang (-3SD s/d -2SD) 36 32.1 27 28.4 2 2.2 Gizi baik (-2SD s/d +2SD) 59 52.7 54 56.8 90 96.8 Gizi lebih (>+2SD) 0 0.0 1 1.1 0 0.0 Total 112 100.0 95 100.0 93 100.0 Rata-rata ± SD -1.9 ± 1.0 -1.6 ± 1.2 -1.0 ± 0.8 P-value 0.000** Keterangan: Sig* (p<0.05); Sig** (p<0.01) Status Gizi (BB/U) Anak Balita
Total n % 31 10.3 65 21.7 204 67.7 1 0.3 300 100.0 -1.5 ± 1.1
Nilai z-skor anak balita pada rumah tangga sangat tidak tahan pangan (-1.9) lebih buruk daripada anak balita pada rumah tangga tidak tahan pangan (-1.6) dan rumah tangga tahan pangan (-1.0). Pada Gambar 3 terlihat median z-
50
skor indeks BB/U anak balita di daerah penelitian jauh bergeser ke kiri dibandingkan standar WHO 2005. Median z-skor indeks BB/U anak balita di daerah penelitian mendekati -1.5SD atau mendekati underweight. Hasil uji ANOVA menunjukkan perbedaan yang nyata antara status gizi anak balita indeks BB/U pada ketiga kelompok rumah tangga (p<0.01) (Tabel 30).
Gambar 3 Sebaran anak balita berdasarkan z-skor indeks BB/U Indeks Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) Tinggi badan merupakan hasil pertumbuhan secara kumulatif sejak lahir. Supariasa, Bakri dan Fajar (2002) mengemukakan bahwa tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Indeks TB/U menggambarkan status gizi masa lalu. Tabel 31 Sebaran anak balita berdasarkan status gizi (TB/U) pada berbagai tingkat ketahanan pangan rumah tangga Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga Sangat Tidak Tidak Tahan Tahan Pangan Tahan Pangan Pangan n % n % n % Pendek (<-2SD) 75 67.0 54 56.8 34 36.6 Normal (≥-2SD) 37 33.0 41 43.2 59 63.4 Total 112 100.0 95 100.0 93 100.0 Rata-rata ± SD -2.4 ± 1.1 -2.1 ± 1.4 -1.6 ± 1.0 P-value 0.000** Keterangan: Sig* (p<0.05); Sig** (p<0.01) Status Gizi (TB/U) Anak Balita
Total n % 163 54.3 137 45.7 300 100.0 -2.1 ± 1.2
Prevalensi anak balita bertubuh pendek atau stunting (z-skor <-2SD) di daerah penelitian adalah 54.3 persen. Prevalensi stunting ini jauh lebih tinggi daripada prevalensi stunting di Jawa Tengah hasil Riskesdas 2007, yaitu 36.5 persen (Depkes 2008). Berdasarkan kriteria WHO (1995), masalah kesehatan
51
masyarakat tergolong sangat tinggi apabila prevalensi stunting lebih dari 40.0 persen, maka masalah kesehatan di daerah penelitian ini tergolong sangat tinggi. Prevalensi anak balita stunting pada rumah tangga sangat tidak tahan pangan (67.0%) paling tinggi dibandingkan rumah tangga tidak tahan pangan (56.8%) dan rumah tangga tahan pangan (36.6%) (Tabel 31).
Gambar 4 Sebaran anak balita berdasarkan z-skor indeks TB/U Nilai z-skor anak balita pada rumah tangga sangat tidak tahan pangan (-2.4) lebih buruk daripada anak balita pada rumah tangga tidak tahan pangan (-2.1) dan rumah tangga tahan pangan (-1.6). Pada Gambar 4 terlihat median zskor indeks TB/U anak balita di daerah penelitian jauh bergeser ke kiri dibandingkan standar WHO 2005. Median z-skor indeks TB/U anak balita di daerah penelitian mendekati -2SD atau stunting. Hasil uji ANOVA menunjukkan perbedaan yang nyata antara status gizi anak balita indeks TB/U pada ketiga kelompok rumah tangga (p<0.01) (Tabel 31). Indeks Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB) Berat badan memiliki hubungan yang linier dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan berat badan dengan kecepatan tertentu. Indeks BB/TB merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi saat ini dan biasanya digunakan bila data umur sulit diperoleh (Supariasa, Bakri & Fajar 2002). Prevalensi anak balita kurus atau wasting (z-skor <-2SD) di daerah penelitian adalah 11.6 persen. Prevalensi wasting di daerah penelitian ini tidak berbeda dengan prevalensi wasting hasil Riskesdas 2007 di Jawa Tengah, yaitu 11.8 persen (Depkes 2008). Berdasarkan kriteria WHO (1995), masalah kesehatan masyarakat tergolong tinggi apabila prevalensi wasting berada
52
diantara 10-14.9 persen, maka masalah kesehatan masyarakat di daerah penelitian ini tergolong tinggi. Prevalensi anak balita sangat kurus (z-skor <-3SD) dan anak balita gemuk (z-skor >+2SD) di daerah penelitian cukup rendah, yaitu 2.3 persen dan 2.7 persen. Prevalensi anak balita wasting pada rumah tangga tidak tahan pangan paling tinggi (14.8%) dibandingkan rumah tangga sangat tidak tahan pangan (14.3%) dan rumah tangga tahan pangan (5.4%) (Tabel 32). Tabel 32 Sebaran anak balita berdasarkan status gizi (BB/TB) pada berbagai tingkat ketahanan pangan rumah tangga Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga Sangat Tidak Tidak Tahan Tahan Pangan Tahan Pangan Pangan n % n % n % Sangat kurus (<-3SD) 4 3.6 3 3.2 0 0.0 Kurus (-3SD s/d -2SD) 12 10.7 11 11.6 5 5.4 Normal (-2SD s/d +2SD) 94 83.9 77 81.1 86 92.5 Gemuk (>+2SD) 2 1.8 4 4.2 2 2.2 Total 112 100.0 95 100.0 93 100.0 Rata-rata ± SD -0.7 ± 1.3 -0.6 ± 1.5 -0.1 ± 1.1 P-value 0.003** Keterangan: Sig* (p<0.05); Sig** (p<0.01) Status Gizi (BB/TB) Anak Balita
Total n % 7 2.3 28 9.3 257 85.7 8 2.7 300 100.0 -0.5 ± 1.3
Nilai z-skor anak balita pada rumah tangga sangat tidak tahan pangan (-0.7) lebih buruk daripada anak balita pada rumah tangga tidak tahan pangan (-0.6) dan rumah tangga tahan pangan (-0.1). Pada Gambar 5 terlihat median zskor indeks BB/TB anak balita di daerah penelitian agak bergeser ke kiri dibandingkan standar WHO 2005. Median z-skor indeks BB/TB anak balita di daerah penelitian mendekati -0.5SD atau wasting. Hasil uji ANOVA menunjukkan perbedaan yang nyata antara status gizi anak balita indeks BB/TB pada ketiga kelompok rumah tangga (p<0.01) (Tabel 32).
Gambar 5 Sebaran anak balita berdasarkan z-skor indeks BB/TB
53
Berdasarkan kerangka pikir UNICEF (1998), diketahui bahwa ketahanan pangan rumah tangga merupakan faktor tidak langsung yang mempengaruhi status gizi anak balita (Soekirman 2000). Pada saat tingkat pendapatan mendekati suatu titik dimana rumah tangga tidak mampu membeli kebutuhan pangan, maka ketahanan pangan dan status gizi kelompok rawan akan terganggu. Salah satu akibat langsung dari penurunan daya beli masyarakat akan pangan adalah meningkatnya prevalensi kurang gizi, terutama pada anak balita (Sandjaja 2000). Hasil uji Spearman menunjukkan adanya hubungan yang nyata antara status gizi (BB/U, TB/U dan BB/TB) dengan tingkat ketahanan pangan rumah tangga (p<0.01) (Lampiran 7). Hal ini bermakna bahwa semakin tahan pangan suatu rumah tangga, status gizi anak balita juga semakin baik. Hubungan Antara Pola Asuh, Konsumsi Pangan dan Status Kesehatan dengan Status Gizi Anak Balita Hubungan Pola Asuh Makan dan Kesehatan dengan Status Gizi Menurut Hetherington dan Pork (1986) dalam Briawan dan Herawati (2005), cara pengasuhan anak ditentukan oleh faktor keluarga. Sebagai orang terdekat, ibu sangat berperan dalam pengasuhan anak. Pemberian makan (feeding) dan perawatan (caring) dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak, baik secara positif maupun negatif (Fitriana, Hartoyo & Nasoetion 2007). Tabel 33 memperlihatkan bahwa rata-rata skor pola asuh makan dan kesehatan anak balita dengan status gizi normal lebih tinggi daripada anak balita dengan status gizi kurang. Hasil uji Spearman menunjukkan tidak ada hubungan yang nyata antara status gizi (BB/U, TB/U dan BB/TB) dengan pola asuh makan (p>0.05). Namun, ada hubungan yang nyata antara status gizi (BB/U dan TB/U) dengan pola asuh kesehatan (p<0.05 dan p<0.01). Kondisi ini bermakna bahwa semakin baik skor pola asuh kesehatan maka semakin baik pula status gizi anak balita. Kesadaran ibu terhadap kesehatan anak balita cukup baik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata skor pola asuh kesehatan lebih tinggi (73.1%) daripada pola asuh makan (49.0%). Akses ibu terhadap informasi dan pelayanan gizi dan kesehatan diduga mempengaruhi pola asuh kesehatan ibu. Ibu di daerah penelitian memiliki akses yang baik terhadap sarana pelayanan gizi dan kesehatan, terutama Posyandu. Namun, ibu memiliki keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan gizi anak balita. Sebagian besar (73.0%) ibu belum memperhatikan faktor gizi dalam memberikan makanan kepada anak. Kondisi
54
ekonomi keluarga dan tingkat pengetahuan gizi ibu yang rendah diduga menjadi penyebab rendahnya konsumsi pangan anak balita. Dengan demikian, pola asuh kesehatan ibu memiliki peran langsung terhadap status gizi anak balita. Tabel 33 Sebaran anak balita berdasarkan pola asuh dan status gizi Pola Asuh Anak Balita
BB/U Kurang Normal Kurang 23.7 52.7 Makan Sedang 7.3 10.7 Baik 1.0 4.7 Total 32.0 68.0 Rata-rata skor 47.8 49.5 P-value 0.707 Kurang 8.7 12.0 Kesehatan Sedang 13.3 27.3 Baik 10.0 28.7 Total 32.0 68.0 Rata-rata skor 71.0 74.1 P-value 0.036* Keterangan: Sig* (p<0.05); Sig** (p<0.01)
Status Gizi Anak Balita TB/U Kurang Normal 41.7 34.7 12.0 6.0 1.3 4.3 55.0 45.0 47.7 50.5 0.920 13.7 7.0 24.7 16.0 16.7 22.0 55.0 45.0 71.0 75.8 0.001**
BB/TB Kurang Normal 9.7 66.7 1.7 16.3 0.3 5.3 11.7 88.3 47.2 49.2 0.795 2.0 18.7 4.3 36.3 5.3 33.3 11.7 88.3 75.3 72.8 0.135
Hubungan Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Gizi Tingkat kecukupan gizi merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi status gizi anak balita. Anak balita merupakan konsumen pasif yang sangat bergantung pada orang dewasa dalam hal pemilihan makanan. Pola asuh makan yang diberikan ibu dapat mempengaruhi konsumsi pangan anak. Hasil uji Spearman menunjukkan hubungan yang nyata antara pola asuh makan dengan tingkat kecukupan energi (p<0.01) dan protein (p<0.01) (Lampiran 7). Tabel 34 memperlihatkan bahwa rata-rata konsumsi energi (kkal) dan protein (g) anak balita dengan status gizi normal lebih tinggi daripada anak balita dengan status gizi kurang. Hal ini bermakna bahwa semakin baik konsumsi makanan anak balita maka semakin baik pula status gizinya. Namun, hasil uji Spearman menunjukkan tidak ada hubungan yang nyata antara status gizi (BB/U, TB/U dan BB/TB) dengan tingkat kecukupan energi (p>0.05) dan protein (p>0.05). Status gizi ditentukan oleh konsumsi makanan dan infeksi. Walaupun konsumsi makanan baik, status gizi akan menjadi kurang bila ada infeksi. Infeksi menyebabkan kurang gizi karena mengurangi konsumsi makanan sementara kebutuhan zat gizi dalam tubuh meningkat. Data konsumsi pangan bukan merupakan gambaran status gizi secara langsung. Status gizi merupakan dampak dari faktor-faktor yang bersifat kontinu, sedangkan data konsumsi pangan diambil pada satu periode saja dengan metode recall. Menurut Kusharto dan Sa’diyyah (2007) metode recall memiliki
55
kekurangan, yaitu hanya mengandalkan daya ingat seseorang, sehingga hasil yang diperoleh belum tentu sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Tabel 34 Sebaran anak balita berdasarkan kecukupan zat gizi dan status gizi Tingkat Kecukupan Zat Gizi BB/U Anak Balita Kurang Normal Defisit berat 8.3 24.3 Energi Defisit sedang 8.0 14.0 Cukup 15.7 29.7 Total 32.0 68.0 Rata-rata (kkal) 871 1024 P-value 0.148 Defisit berat 8.0 24.3 Protein Defisit sedang 7.0 13.3 Cukup 17.0 30.3 Total 32.0 68.0 Rata-rata (g) 23.2 26.4 P-value 0.086 Keterangan: Sig* (p<0.05); Sig** (p<0.01)
Status Gizi Anak Balita TB/U Kurang Normal 17.3 15.3 12.7 9.3 25.0 20.3 55.0 45.0 916 1047 0.800 17.3 15.0 11.3 9.0 26.3 21.0 55.0 45.0 23.9 27.2 0.775
BB/TB Kurang Normal 2.0 30.7 4.3 17.7 5.3 40.0 11.7 88.3 919 982 0.169 2.7 29.7 3.3 17.0 5.7 41.7 11.7 88.3 24.1 25.6 0.335
Hubungan Frekuensi Sakit dan Lama Sakit dengan Status Gizi Status kesehatan adalah kondisi kesehatan pada waktu tertentu. Status kesehatan anak balita dilihat berdasarkan ada tidaknya penyakit dalam tubuh anak tersebut. Menurut Soekirman (2000), anak balita merupakan golongan usia yang rentan terhadap resiko terserang penyakit. Anak-anak memiliki angka kesakitan yang lebih tinggi daripada penduduk dengan usia dewasa muda. Tabel 35 Sebaran anak balita berdasarkan status kesehatan dan status gizi Status Kesehatan Anak Balita
BB/U Kurang Normal 1 kali 9.4 22.5 Frekuensi 2 kali 6.6 12.3 sakit ≥3 kali 17.2 32.0 Total 33.2 66.8 Rata-rata (kali) 3.2 2.5 P-value 0.589 1-3 hari 4.1 11.9 4-7 hari 9.4 17.6 Lama Sakit 8-14 hari 5.7 13.1 >14 hari 13.9 24.2 Total 33.2 66.8 Rata-rata (hari) 14.5 11.8 P-value 0.376 Keterangan: Sig* (p<0.05); Sig** (p<0.01)
Status Gizi Anak Balita TB/U Kurang Normal 16.8 15.2 11.9 7.0 26.6 22.5 55.3 44.7 2.8 2.6 0.927 8.6 7.4 13.5 13.5 12.3 6.6 20.9 17.2 55.3 44.7 13.2 12.0 0.664
BB/TB Kurang Normal 3.7 28.3 1.2 17.6 6.6 42.6 11.5 88.5 2.9 2.7 0.427 0.8 15.2 4.1 23.0 0.8 18.0 5.7 32.4 11.5 88.5 15.3 12.3 0.278
Hasil uji Spearman menunjukkan tidak ada hubungan yang nyata antara pola asuh kesehatan dengan status kesehatan anak balita (p>0.05) (Lampiran 7). Suhardjo (2005) mengemukakan bahwa antara status gizi dan infeksi terdapat interaksi bolak-balik. Semakin sering anak mengalami sakit maka status gizinya
56
akan semakin memburuk. Begitu juga sebaliknya, semakin buruk status gizi anak maka penyakit infeksi yang diderita akan semakin lama sembuh. Tabel 35 memperlihatkan bahwa rata-rata frekuensi sakit dan lama sakit anak balita dengan status gizi normal lebih rendah daripada anak balita dengan status gizi kurang. Hal ini bermakna bahwa semakin baik status gizi anak balita akan semakin jarang anak tersebut jatuh sakit. Hasil uji Spearman menunjukkan tidak ada hubungan yang nyata antara status gizi (BB/U, TB/U dan BB/TB) dengan frekuensi sakit (p>0.05) dan lama sakit (p>0.05). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Anak Balita Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi dilakukan terhadap tiga indeks status gizi, yaitu variabel malnutrisi global (BB/U), malnutrisi kronik (TB/U) dan malnutisi akut (BB/TB). Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian malnutrisi pada anak balita disajikan pada Tabel 36. Hasil uji Regresi Logistik menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian malnutrisi pada anak balita (z-skor <-2SD) memiliki kecenderungan yang berbeda pada masing-masing indeks status gizi. Tabel 36 Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian malnutrisi Faktor yang Berpengaruh Usia ibu Pendidikan ibu Pekerjaan ayah Status sosial ekonomi keluarga Pengetahuan gizi ibu Ketahanan pangan rumah tangga Pola asuh makan Pola asuh kesehatan Tingkat kecukupan energi balita Tingkat kecukupan protein balita Keterangan: Sig* (p<0.05); Sig** (p<0.01)
Global (BB/U) OR 2.409* 3.176* 5.466* 0.021** 2.606**
Kronik (TB/U) OR 2.285** 0.322** 2.381* 0.460* -
Akut (BB/TB) OR 2.512* 3.227* 0.326* 0.123** 3.304* -
Ibu yang berumur di bawah 30 tahun berpeluang memiliki anak balita malnutrisi (BB/TB) 2.5 kali dibandingkan ibu yang berumur di atas 30 tahun. Faktor umur ibu berhubungan dengan pengetahuan dan pengalaman dalam merawat anak. Sebagaimana yang diungkapkan Hurlock (1998) bahwa usia muda cenderung menjadikan ibu lebih memperhatikan kepentingannya sendiri daripada kepentingan anaknya. Anak yang tidak terawat, baik fisik maupun makanannya, beresiko tinggi menderita gizi kurang (Satoto 1990). Menurut Supariasa, Bakri dan Fajar (2002), pendidikan merupakan salah satu faktor yang ikut mempengaruhi tumbuh kembang anak. Tingkat pendidikan
57
yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Ibu dengan tingkat pendidikan rendah (tamat SD/sederajat) berpeluang memiliki anak balita malnutrisi (BB/U) 2.4 kali dibandingkan ibu dengan tingkat pendidikan tinggi (tamat
SLTP/sederajat
ke
atas).
Engle,
Menon
dan
Haddad
(1997)
menambahkan bahwa tingkat pendidikan dan pengetahuan gizi mempunyai hubungan positif yang kuat dengan kesehatan dan gizi anak, terutama tingkat pendidikan dan pengetahuan gizi ibu. Ibu dengan tingkat pengetahuan gizi sedang (60-80%) berpeluang 5.5 kali memiliki anak balita malnutrisi (BB/U) dibandingkan ibu dengan tingkat pengetahuan gizi baik (>80%). Pekerjaan memiliki hubungan yang erat dengan pendidikan dan pendapatan serta memiliki keterkaitan dengan faktor lain, seperti kesehatan (Sukarni 1994). Ayah yang bekerja sebagai petani dan buruh berpeluang 3.2 kali, 2.3 kali dan 3.2 kali memiliki anak balita malnutrisi (BB/U, TB/U dan BB/TB) dibandingkan ayah yang berkerja sebagai karyawan, wirausaha atau pedagang. Hal ini terkait dengan jumlah pendapatan keluarga yang diperoleh. Rendahnya pendapatan menyebabkan daya beli terhadap makanan menjadi rendah dan konsumsi pangan keluarga akan berkurang (Riyadi et al. 1990). Hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga dengan ayah yang bekerja sebagai petani, buruh tani dan bangunan/industri memiliki rata-rata total pengeluaran per kapita per hari (Rp 200 550) lebih rendah daripada keluarga dengan ayah yang bekerja sebagai karyawan, wirausaha atau pedagang (Rp 322 504). Soekirman (2000) menyatakan bahwa kemiskinan dan ketahanan pangan merupakan penyebab tidak langsung terjadinya status gizi kurang atau buruk. Semakin miskin suatu keluarga, semakin rendah kemampuan pembelian pangannya. Salah satu akibat langsung dari penurunan daya beli masyarakat akan pangan adalah meningkatnya prevalensi kurang gizi terutama pada anak balita (Sandjaja 2000). Hasil uji Regresi Logistik menunjukkan bahwa keluarga miskin (pengeluaran ≤Rp 146 531/kap/bulan) berpeluang memiliki anak balita malnutrisi (BB/TB) 3.3 kali lebih kecil dibandingkan keluarga tidak miskin (pengeluaran >Rp 146 531/kap/bulan) dan rumah tangga tidak tahan pangan (TKE 70-90%) berpeluang memiliki anak balita malnutrisi (BB/U, TB/U dan BB/TB) 47.6 kali, 3.1 kali dan 8.1 kali lebih kecil dibandingkan rumah tangga yang tahan pangan (TKE >90%).
58
Menurut Khomsan (2003), anak-anak yang berasal dari keluarga miskin sangat
rawan
terhadap
gizi
kurang.
Anak-anak
tersebut
cenderung
mengkonsumsi energi dan protein lebih rendah daripada anak-anak yang berasal dari keluarga kaya. Namun, anak balita di daerah penelitian pada umumnya menjadi prioritas pertama dalam pembagian makanan dalam keluarga, sehingga kondisi ekonomi dan tingkat ketahanan pangan rumah tangga diduga kurang berpengaruh terhadap perubahan konsumsi pangan dan status gizi anak balita. Faktor yang memiliki pengaruh terhadap status gizi (TB/U) anak balita adalah pola asuh. Hasil penelitian Sandjaja (2000) menemukan bahwa faktor pola asuh berperan nyata dalam status gizi anak. Sebagian anak dalam keluarga tertentu dengan sosial ekonomi rendah mempunyai daya adaptasi yang tinggi sehingga mampu tumbuh dan kembang (positive deviance). Anak yang diasuh dengan baik memiliki tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang baik. Ibu dengan skor pola asuh makan kurang (<60%) berpeluang 2.4 kali memiliki anak balita malnutrisi (TB/U) dibandingkan ibu dengan skor pola asuh makan baik (>80%). Hasil penelitian Ogunba (2006) menemukan bahwa perilaku ibu selama memberikan makan berhubungan positif dengan status gizi anak balita. Pola asuh makan memiliki hubungan yang nyata dengan tingkat kecukupan zat gizi anak balita (Lampiran 7). Hasil penelitian Yulia (2008) menemukan bahwa tingkat kecukupan energi dan protein anak balita akan semakin meningkat, jika pola asuh makan yang diberikan ibu semakin baik. Tingkat kecukupan zat gizi mempengaruhi status gizi (BB/U dan BB/TB), yang berarti penurunan atau peningkatan konsumsi pangan akan berdampak langsung terhadap berat badan anak balita. Anak balita yang mengalami defisit energi tingkat berat (TKE <70%) berpeluang 3.3 kali mengalami malnutrisi (BB/TB) dibandingkan anak balita dengan kecukupan energi cukup (TKE >90%). Begitu pula dengan anak balita yang mengalami defisit protein tingkat sedang (TKP 7090%) berpeluang 2.6 kali mengalami malnutrisi (BB/U) dibandingkan anak balita dengan kecukupan protein cukup (TKP >90%). Selain faktor pangan, status kesehatan anak balita juga perlu diperhatikan dengan sungguh-sungguh. Menurut Satoto (1990), anak balita yang tidak terawat dengan baik akan mudah terserang penyakit dan akan mempengaruhi status gizinya. Hasil uji Regresi Logistik menunjukkan bahwa ibu dengan skor pola asuh kesehatan sedang (60-80%) berpeluang memiliki anak
59
balita malnutrisi (TB/U) 2.1 kali lebih kecil dibandingkan ibu dengan skor pola asuh kesehatan baik (>80%). Pola asuh makan dan kesehatan diduga merupakan faktor positive deviance yang berperan nyata terhadap status gizi anak balita. Hal ini disebabkan oleh akses ibu terhadap informasi dan pelayanan gizi dan kesehatan yang cukup baik di daerah penelitian. Sebagaimana yang diungkapkan Sandjaja (2000) bahwa faktor pola asuh yang berperan terhadap status gizi anak balita antara lain paparan ibu terhadap media massa (surat kabar dan majalah).
60
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa: 1. Sebagian besar (59.3%) keluarga anak balita merupakan keluarga kecil (≤4 orang). Orangtua anak balita masih dalam usia produktif, yaitu rata-rata 34.7 tahun untuk ayah dan 30.0 tahun untuk ibu. Rata-rata lama pendidikan ayah dan ibu adalah 6.4 tahun dan 6.8 tahun atau setara dengan tamat SD. Sebagian besar ayah (52.9%) bekerja sebagai petani/peternak/berkebun, sedangkan ibu (45.7%) tidak bekerja (ibu rumah tangga). Berdasarkan kategori BPS (Rp 146 531/kap/hari), keluarga anak balita yang miskin sebanyak 39.0 persen. Jumlah keluarga miskin di Kecamatan Pejawaran lebih banyak daripada Kecamatan Punggelan. Akses ibu terhadap informasi dan pelayanan gizi dan kesehatan pada umumnya baik dengan rata-rata skor sebesar 81.2 persen, sedangkan pengetahuan gizi ibu tergolong kurang dengan rata-rata skor sebesar 44.1 persen. Sebagian besar (37.3%) rumah tangga tergolong sangat tidak tahan pangan berdasarkan cut off point jumlah kalori rumah tangga. Jumlah rumah tangga sangat tidak tahan pangan di Kecamatan Pejawaran lebih banyak daripada Kecamatan Punggelan. 2. Pola asuh makan anak balita pada umumnya tergolong kurang dengan ratarata skor sebesar 49.0 persen, sedangkan pola asuh kesehatan anak balita tergolong sedang dengan rata-rata skor sebesar 73.1 persen. Rata-rata skor pola asuh makan dan kesehatan anak balita pada rumah tangga sangat tidak tahan pangan (44.9% dan 72.1%) paling rendah dibandingkan rumah tangga tidak tahan pangan (50.8% dan 73.0%) dan rumah tangga tahan pangan (51.9% dan 74.4%). Terdapat perbedaan yang nyata antara pola asuh makan balita (p<0.05), namun tidak ada perbedaan yang nyata pola asuh kesehatan (p>0.05) pada ketiga kelompok rumah tangga. 3. Rata-rata konsumsi energi dan protein anak balita pada rumah tangga sangat tidak tahan pangan (874 kkal dan 22.4 g) paling rendah dibandingkan rumah tangga tidak tahan pangan (973 kkal dan 25.8 g) dan rumah tangga tahan pangan (1098 kkal dan 25.8 g). Berdasarkan tingkat kecukupan energi dan protein, ditemukan lebih dari 30.0 persen anak balita pada rumah tangga sangat tidak tahan pangan dan tidak tahan pangan yang mengalami defisit energi dan protein tingkat berat. Terdapat perbedaan yang nyata
61
antara konsumsi energi (p<0.01) dan protein (p<0.01) anak balita pada ketiga kelompok rumah tangga. 4. Pada umumnya (81.3%) anak balita pernah mengalami sakit dengan frekuensi sakit sebanyak ≥3 kali (49.2%) dan selama >14 hari sakit (38.1%) dalam waktu tiga bulan terakhir. Jenis penyakit yang paling banyak diderita adalah panas/demam (67.2%). Frekuensi sakit dan lama sakit anak balita pada rumah tangga sangat tidak tahan pangan (3.1 kali dan 15.1 hari) lebih paling tinggi dibandingkan rumah tangga tidak tahan pangan (2.6 kali dan 12.0 hari) dan rumah tangga tahan pangan (2.3 kali dan 10.4 hari). Tidak terdapat perbedaan yang nyata antara frekuensi sakit (p>0.05) dan lama sakit (p>0.05) anak balita pada ketiga kelompok rumah tangga. 5. Prevalensi anak balita underweight, stunting dan wasting sebesar 32.0 persen, 54.3 persen dan 11.6 persen, sehingga masalah kesehatan masyarakat di daerah penelitian tergolong sangat tinggi. Prevalensi anak balita underweight dan stunting pada rumah tangga sangat tidak tahan pangan (47.3% dan 67.0%) paling tinggi dibandingkan rumah tangga tidak tahan pangan (42.1% dan 56.8%) dan rumah tangga tahan pangan (3.3% dan 36.6%). Terdapat perbedaan yang nyata antara status gizi anak balita indeks BB/U (p<0.01), TB/U (p<0.01) dan BB/TB (p<0.01) pada ketiga kelompok rumah tangga. 6. Status gizi (BB/U dan TB/U) berhubungan nyata dengan pola asuh kesehatan (p<0.01 dan p<0.05), namun status gizi (BB/U, TB/U dan BB/TB) tidak berhubungan nyata dengan pola asuh makan, tingkat kecukupan energi dan protein serta frekuensi sakit dan lama sakit anak balita (p>0.05). 7. Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
malnutrisi
global
(BB/U)
adalah
pendidikan ibu, pekerjaan ayah, pengetahuan gizi ibu, ketahanan pangan rumah tangga dan tingkat kecukupan protein anak balita; faktor-faktor yang mempengaruhi malnutrisi kronik (TB/U) adalah pekerjaan ayah, ketahanan pangan rumah tangga, pola asuh makan dan pola asuh kesehatan; faktorfaktor yang mempengaruhi malnutrisi akut (BB/TB) adalah usia ibu, pekerjaan ayah, status sosial ekonomi keluarga, ketahanan pangan rumah tangga dan tingkat kecukupan energi anak balita.
62
Saran Berdasarkan hasil penelitian, saran yang dapat diberikan antara lain: 1. Mengingat masih sedikitnya ibu yang memiliki pengetahuan gizi dan pola asuh makan yang baik, maka diharapkan adanya intervensi berupa penyuluhan gizi kepada masyarakat, khususnya ibu, dengan mengaktifkan kembali program 5 Meja Posyandu oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Banjarnegara bekerjasama
dengan
instansi terkait lainnya.
Namun,
pengetahuan kader Posyandu dalam hal gizi dan kesehatan perlu ditingkatkan terlebih dahulu, mengingat kader Posyandu merupakan ujung tombak keberhasilan program Posyandu. 2. Perlu digalakkan kembali program ASI Eksklusif (pemberian ASI saja hingga bayi berumur 6 bulan), mengingat persentase ibu yang tidak memberikan ASI eksklusif cukup tinggi. Disamping itu, perlu diselenggarakan program PMT (Pemberian Makanan Tambahan) yang bergizi, seperti susu kedelai, melalui Posyandu dengan melibatkan peran serta masyarakat dan pihak swasta. Selain untuk membantu memenuhi kebutuhan pangan, program PMT diharapkan dapat meningkatkan pemahaman ibu tentang bahan makanan yang bergizi. 3. Perlu ditingkatkan gerakan program aksi mandiri pangan yang merupakan
program pemberdayaan masyarakat, khususnya bagi rumah tangga miskin. Pembangunan Desa Mandiri Pangan (MAPAN) diharapkan mampu menjadi alternatif
solusi dalam menangani kemiskinan, sekaligus mengatasi
kerawanan pangan melalui pendayagunaan sumberdaya kelembagaan dan kearifan lokal pedesaan.
63
DAFTAR PUSTAKA Akmal Z. Peranan pola asuh terhadap tumbuh kembang anak balita pada keluarga miskin di Kota dan Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Anonim. 2009. Seputar Imunisasi. http://wordpress.com. [12 Mei 2009]. Anwar F. 1989. Makanan Anak Sapihan (Weaning Food). Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2000. Indikator Kesejahteraan Rakyat (Welfare Statistics). Jakarta: BPS ______. 2007. Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2007 Kabupaten/Kota. Jakarta: BPS. ______. 2008. Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2008. Berita Resmi Statistik No. 37/07/Th. XI, 1 Juli 2008. Jakarta: BPS. Briawan D, Herawati T. 2005. Peran anggota rumahtangga di dalam pengasuhan pertumbuhan dan perkembangan anak balita. Laporan Akhir Penelitian Studi Kajian Wanita. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. [Depkes] Departemen Kesehatan. 1997. Bunga Rampai Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di Rumah Tangga. Jakarta: Pusat Penyuluhan masyarakat, Depkes. ______. 2008. Laporan Hasil Riskesdas 2007. Jakarta: Depkes. [Deptan] Departemen Pertanian RI. 2002. Atlas Kerawanan Pangan Indonesia. Jakarta: Deptan. ______. 2007. Peta Kerawanan Pangan. Jakarta: Deptan. [Dinkes] Dinas Kesehatan Kabupaten Banjarnegara. 2008. Laporan Kasus Gizi Buruk Tahun 2008. Jawa Tengah: Dinkes. Engle PL, Menon P, Haddad L. 1997. Care and Nutrition: Concept and Measurement. Wshington DC: International Food Policy Research Institute. Fitriana, Hartoyo, Nasoetion A. 2007. Hubungan pola asuh, status gizi dan status kesehatan anak balita korban gempa dan tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam. Media Gizi dan Keluarga 31(2): 12-19. Gabriel A. 2008. Perilaku keluarga sadar gizi (kadarzi) serta hidup bersih dan sehat ibu kaitannya dengan status gizi dan kesehatan balita di Desa Cikarawang, Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
64
Gable S, Lutz S. 2000. Household, parent and child contributions to childhood obesity. Family Relations 49: 293-300. Hardinsyah, Martianto D. 1992. Gizi Terapan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. ______, Briawan D, Retnaningsih, Herawati T, Wijaya R. 2002. Analisis Kebutuhan Konsumsi Pangan. Jakarta: Badan Bimas Ketahanan pangan, Deptan. ______, Tambunan V. 2004. Angka kecukupan energi, protein, lemak dan serat makanan. Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Jakarta, 17-19 Mei 2004. Jakarta: LIPI. Hurlock EB. 1998. Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga. Husaini YK, Widodo Y, Triwinarto A, Salimar. 2000. Perubahan Pola Konsumsi Pangan Keluarga pada Sebelum dan Sewaktu Krisis Ekonomi. Penelitian Gizi dan Makanan 23: 8-17. Karyadi L. 1985. Pengaruh pola asuh makan terhadap kesulitan makan anak bawah tiga tahun (batita) [tesis]. Bogor: Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Khomsan A. 2000. Teknik Pengukuran Pengetahuan Gizi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. ______. 2002. Pangan dan gizi dalam dimensi kesejahteraan [diktat]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. ______. 2003. Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. Jakarta: Rajagrafindo Persada. ______. 2004. Peranan Pangan dan Gizi untuk Kualitas Hidup. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. ______. 2008. Mengetahui status gizi balita anda. http://medicastore.com/artikel/247/Mengetahui_Status_Gizi_Balita_Anda. html. [9 Mei 2009]. Klemesu, Margaret A. 2000. Poor maternal schooling is the main constrain to good child care practices in Accra. The Journal of Nutrition. Amerika. Kompas Cyber Media. 2006. Penduduk miskin Banjarnegara naik 7,62 persen. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0607/31.Fokus/205308.htm. [16 April 2009]. Kusharto CM, Sa’diyyah NY. 2007. Penilaian konsumsi pangan [diktat]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Krisnatuti D, Yenrina R. 2000. Menyiapkan Makanan Pendamping ASI. Jakarta: Puspa Swara.
65
Madanijah S. 2003. Model pendidikan “GI-PSI-SEHAT” bagi ibu serta dampaknya terhadap perilaku ibu, lingkungan pembelajaran, konsumsi pangan, dan status gizi anak usia dini [disertasi]. Bogor: Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Martianto D, Riyadi H, Hastuti D, Alfiasari. 2008. Kajian Ketahanan Pangan dan Alokasi Sumberdaya Keluarga serta Keterkaitannya dengan Status Gizi dan Perkembangan Anak di Kabupaten Banjarnegara, Propinsi Jawa Tengah. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Masithah T. 2002. Hubungan ketahanan pangan rumahtangga dan pola pengasuhan dengan status gizi dan batita di Desa Mulya Harja, Kecamatan Bogor Selatan, Kotamadya Bogor [tesis]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Muchtadi D. 2002. Gizi untuk Bayi: ASI, Susu Formula dan Makanan Tambahan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Ogunba BO. 2006. Maternal behavioral feeding practices and under-five nutrition: implication for child development and care. Journal of Applied Sciences Research 2(12): 1132-1136. Purwandani R. 2005. Hubungan pola asuh makan terhadap tumbuh kembang anak balita sehat dan penderita KEP di Kota Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Riyadi H, Retnaningsih, Martianto D, Kustiyah L. 1990. Pendugaan faktor-faktor yang mempengaruhi usia penyapihan di Kecamatan Bogor Timur dan Kecamatan Ciomas. Penelitian dibiayai dari Dip Suplemen. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. ______. 2001. Metode penilaian status gizi secara antropometri [diktat]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. ______. 2004. Penilaian Status Gizi. Di dalam: Baliwati FB, Khomsan A, Dwiriani CM, editor. Pengantar Pangan dan Gizi. Jakarta: Penebar Swadaya. Sandjaja. 2000. Penyimpangan Positif (Positive Deviance) Status Gizi Anak dan Faktor-Faktor Yang Berpengaruh. Bogor: Puslitbang Gizi. Santoso S, Lies A. 2004. Kesehatan dan Gizi. Jakarta: Rineka Cipta. Satoto. 1990. Pertumbuhan dan perkembangan anak umur 0-18 bulan di Kecamatan Mlonggo, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah [disertasi]. Semarang: Universitas Diponegoro. Sediaoetama AD. 2006. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi. Jakarta: PT Dian Rakyat. Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat. Jakarta: Depdiknas.
66
Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Bogor: Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor. ______. 2003. Berbagai Cara Pendidikan Gizi. Jakarta: Bumi Aksara. ______. 2005. Perencanaan Pangan dan Gizi. Jakarta: Bumi Aksara. Sukarni M. 1994. Kesehatan Keluarga dan Lingkungan. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Supariasa IDN, Bakri B, Fajar I. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: buku Kedokteran EGC. Supriatin A. 2004. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh makan dan hubungannya dengan status gizi balita [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Suryana A. 2004. Ketahanan pangan di Indonesia. Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Jakarta, 17-19 Mei 2004. Jakarta: LIPI. Tabor S, Soekirman, Martianto D. 2000. Keterkaitan antara krisis ekonomi, ketahanan pangan, dan perbaikan gizi. Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII. Jakarta, 29 Februari-2 Maret 2000. Jakarta: LIPI. [WHO] World Health Organization. 2001. Exclusive breast feeding. Geneva: WHO. Yoon P, Black RE, Moulton LH, Becker S. 1997. The effect of malnutrition on the risk of diarrheal and respiratory mortality ini children < 2 Y of age in Cebu, Phillippines. American Journal of Clinical Nutrition 65: 1070-1077. Yulia C. 2008. Pola asuh makan dan kesehatan anak balita pada keluarga wanita pemetik teh di Kebun Malabar PTPN VIII [tesis]. Bogor: Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Zeitlin M, Brown L. 1990. Household Nutrition Security: A Development Dilema. Rome: Food Agricultural Organization.
67
LAMPIRAN
68
Lampiran 1 Tingkat ketahanan pangan di berbagai wilayah di Provinsi Jawa Tengah
68
69 68
Lampiran 2
Sebaran rumah tangga berdasarkan keragaan akses ibu terhadap informasi dan pelayanan gizi dan kesehatan pada berbagai tingkat ketahanan pangan rumah tangga
Tingkat Ketahanan Pangan Rumahtangga Sangat Tidak Tidak Tahan Tahan Pertanyaan Akses Tahan Pangan Pangan Pangan n % n % n % Pernah mendengar/mendapat informasi tentang kesehatan - tidak 29 25.9 16 16.8 18 19.4 - ya 83 74.1 79 83.2 75 80.6 a Sumber informasi tentang kesehatan - keluarga/teman/tetangga 14 16.9 13 16.5 19 25.3 - sekolah 2 2.4 0 0.0 2 2.7 - PKK 4 4.8 4 5.1 6 8.0 - posyandu/bidan 66 79.5 64 81.0 62 82.7 - majalah/buku/koran/leaflet 3 3.6 6 7.6 5 6.7 - radio/TV 26 31.3 23 29.1 20 26.7 - dokter/klinik/RS/puskesmas 27 32.5 27 34.2 25 33.3 b Pernah mendengar/mendapat informasi tentang gizi - tidak 34 30.4 17 17.9 21 22.6 - ya 78 69.6 78 82.1 72 77.4 b Sumber informasi tentang gizi - keluarga/teman/tetangga 9 11.5 8 10.3 16 22.2 - sekolah 1 1.3 0 0.0 3 4.2 - PKK 4 5.1 5 6.4 6 8.3 - posyandu/bidan 65 83.3 67 86.9 60 83.3 - majalah/buku/koran/leaflet 4 5.1 4 5.2 6 8.3 - radio/TV 24 30.8 23 29.5 17 23.6 - dokter/klinik/RS/puskesmas 18 23.1 23 29.5 22 30.6 Penggunaan pelayanan imunisasi di posyandu - tidak pernah 4 3.6 4 4.2 2 2.2 - kadang-kadang 4 3.6 4 4.2 5 5.4 - selalu 104 92.9 87 91.6 86 92.5 Ibu mengetahui alasan datang ke posyandu - tidak tahu 1 0.9 0 0.0 0 0.0 - ya 111 99.1 95 100.0 93 100.0 Alasan datang ke posyanduc - untuk menimbang balita 103 92.8 87 91.6 84 90.3 - untuk imunisasi 73 65.8 62 65.3 63 67.7 - untuk mendapat info gizi dan 10 9.0 11 11.6 18 19.4 kesehatan - untuk mendapat pelayanan 8 7.2 2 2.1 3 3.2 KB - untuk mendapat pelayanan 6 5.4 2 2.1 1 1.1 kesehatan selama kehamilan - untuk mendapatkan PMT 17 15.3 21 22.1 13 14.0 Kader mengajak ibu datang ke posyandu - tidak pernah 9 8.0 5 5.3 14 15.1 - kadang-kadang 5 4.5 10 10.5 7 7.5 - sering 98 87.5 80 84.2 72 77.4 Pernah atau masih menjadi akseptor KB - tidak 6 5.4 6 6.3 3 3.2 - ya 106 94.6 89 93.7 90 96.8 Sumber KBd - posyandu 10 9.4 10 11.2 6 6.7 - puskesmas 44 41.5 24 27.0 38 42.2 - bidan desa 49 46.2 48 53.9 39 43.3 - rumah sakit 1 0.9 3 3.4 2 2.2 - mantra 2 1.9 3 3.4 1 1.1 - dokter 3 2.8 5 5.6 7 7.9 Pernah mengunjungi fasilitas pelayanan kesehatan - tidak pernah 3 2.7 1 1.1 1 1.1 - ya 109 97.3 94 98.9 92 98.9
Total n
%
63 237
21.0 79.0
46 4 14 192 14 69 79
19.4 1.7 5.9 81.0 5.9 29.1 33.3
72 228
24.0 76.0
33 4 15 192 14 64 63
14.5 1.8 6.6 84.2 6.1 28.1 27.6
10 13 277
3.3 4.3 92.3
1 299
0.3 99.7
274 198 39
91.6 66.2 13.0
13
4.3
9
3.0
51
17.1
28 22 250
9.3 7.3 83.3
15 285
5.0 95.0
26 106 136 6 6 15
9.1 37.2 47.7 2.1 2.1 5.3
5 295
1.7 98.3
70 69
Tingkat Ketahanan Pangan Rumahtangga Sangat Tidak Tidak Tahan Tahan Pertanyaan Akses Tahan Pangan Pangan Pangan n % n % n % e Jenis fasilitas pelayanan kesehatan - Puskesmas 105 93.8 83 87.4 82 88.2 - Polindes 31 27.7 37 38.9 38 41.3 Ibu pernah mendapat penyuluhan (meja 5) di posyandu - tidak pernah 54 48.2 36 37.9 42 45.2 - kadang-kadang 42 37.5 46 48.4 42 45.2 - sering 16 14.3 13 13.7 9 9.7 Biaya kesehatan di puskesmas terjangkau - tidak 12 10.7 5 5.3 3 3.2 - ya 100 89.3 90 94.7 90 96.8 a b c d e Keterangan: n = 237; n = 228; n = 299; n = 285; n = 295
Total n
%
270 106
91.5 35.9
132 130 38
44.0 43.3 12.7
20 280
6.7 93.3
Lampiran 3 Sebaran rumah tangga berdasarkan keragaan pengetahuan gizi ibu pada berbagai tingkat ketahanan pangan rumah tangga Tingkat Ketahanan Pangan Rumahtangga Sangat Tidak Tidak Tahan Tahan Pertanyaan Pengetahuan Gizi Tahan Pangan Pangan Pangan n % n % n % Pengertian makanan yang bergizi - tahu 63 56.3 65 68.4 55 59.1 - tidak tahu 49 43.8 30 31.6 38 40.9 Ciri anak balita yang gizinya baik - tahu 53 47.3 63 66.3 65 69.9 - tidak tahu 59 52.7 32 33.7 28 30.1 Contoh bahan makanan yang mengandung protein hewani - tahu 30 73.2 47 49.5 46 49.5 - tidak tahu 82 73.2 48 50.5 47 50.5 Contoh bahan makanan sumber protein nabati - tahu 13 11.6 19 20.0 20 21.5 - tidak tahu 99 88.4 76 80.0 73 78.5 Makanan yang mengandung zat besi dan vitamin A - tahu 38 33.9 42 44.2 48 51.6 - tidak tahu 74 66.1 53 55.8 45 48.4 Makanan yang mengandung Iodium - tahu 46 41.1 55 57.9 54 58.1 - tidak tahu 66 58.9 40 42.1 39 41.9 Makanan yang mengandung vitamin C - tahu 52 46.4 62 65.3 58 62.4 - tidak tahu 60 53.6 33 34.7 35 37.6 Tahu makna garis hijau di KMS anak balita - tahu 23 20.5 32 33.7 33 35.5 - tidak tahu 89 79.5 63 66.3 60 64.5 Tahu makna garis merah di KMS anak balita - tahu 27 24.1 34 35.8 35 37.6 - tidak tahu 85 75.9 61 64.2 58 62.4 Yang termasuk golongan rawan gizi - tahu 48 42.9 43 45.3 54 58.1 - tidak tahu 64 57.1 52 54.7 39 41.9
Total n
%
183 117
61.0 39.2
181 119
60.3 39.7
123 177
41.0 59.0
52 248
17.3 82.7
128 172
42.7 57.3
155 145
51.7 48.3
172 128
57.3 42.7
88 212
29.3 70.7
96 204
32.0 68.0
145 155
48.3 51.7
71 70
Lampiran 4 Sebaran rumah tangga berdasarkan keragaan pola asuh makan pada berbagai tingkat ketahanan pangan rumah tangga Pertanyaan Pola Asuh Makan
Tingkat Ketahanan Pangan Rumahtangga Sangat Tidak Tidak Tahan Tahan Tahan Pangan Pangan Pangan n % n % n %
Pemberian ASI Eksklusif - ya 21 18.8 33 34.7 19 - tidak 91 81.3 62 65.3 74 Pemberian kolostrum - ya 87 77.7 77 81.1 73 - tidak 25 22.3 18 18.9 20 Makanan/minuman saat bayi lahir - ya (madu, teh manis, air tajin) 83 74.1 59 62.1 62 - tidak 29 25.9 36 37.9 31 Makanan saat balita berumur 2 bulan - ya (pisang, bubur saring, bubur 73 65.2 53 55.8 51 tepung) - tidak 39 34.8 42 44.2 42 ASI diberikan sesuai dengan permintaan anak - ya 111 99.1 93 97.9 91 - tidak 1 0.9 2 2.1 2 ASI diberikan sampai 2 tahun - ya 58 51.8 55 57.9 58 - tidak 54 48.2 40 42.1 35 Anak biasa mengkonsumsi makanan yang beragam - ya 31 27.7 37 38.9 37 - tidak 81 72.3 58 61.1 56 Makanan sehari-hari untuk anak balita - ya (nasi/KH, lauk pauk, sayur, 12 10.7 15 15.8 15 dan buah) - tidak 100 89.3 80 84.2 78 Ibu memperkenalkan makanan pada anak karena kebutuhan gizi - ya 20 17.9 28 29.5 33 - tidak 92 82.1 67 70.5 60 Ibu biasa menyediakan makanan kudapan untuk anak - ya 39 34.8 52 54.7 46 - tidak 73 65.2 43 45.3 47 Ibu biasa mencuci tangan sebelum menyiapkan makanan untuk anak - ya 95 84.8 81 85.3 83 - tidak 17 15.2 14 14.7 10 Ibu membiasakan anak makan sendiri - ya 81 72.3 65 68.4 69 - tidak 31 27.7 30 31.6 24 Anak selalu menghabiskan makanannya - ya 47 42.0 30 31.6 48 - tidak 65 58.0 65 68.4 45 Jadwal makan anak tetap - ya 33 29.5 32 33.7 30 - tidak 79 70.5 63 66.3 63
Total n
%
20.4 79.6
73 227
24.3 75.7
78.5 21.5
237 63
79.0 21.0
66.7 33.3
204 96
68.0 32.0
54.8
177
59.0
45.2
123
41.0
97.8 2.2
295 5
98.3 1.7
62.4 37.6
171 129
57.0 43.0
39.8 60.2
105 195
35.0 65.0
16.1
42
14.0
83.9
258
86.0
35.5 64.5
81 219
27.0 73.0
49.5 50.5
137 163
45.7 54.3
89.2 10.8
259 41
86.3 13.7
74.2 25.8
215 85
71.7 28.3
51.6 48.4
125 175
41.7 58.3
32.3 67.7
95 205
31.7 68.3
72 71
Lampiran 5
Sebaran rumah tangga contoh berdasarkan keragaan pola asuh kesehatan pada berbagai tingkat ketahanan pangan rumah tangga
Tingkat Ketahanan Pangan Rumahtangga Sangat Tidak Tidak Tahan Tahan Tahan Pangan Pangan Pangan n % n % n % Balita saat ini masih dibawa ke posyandu - tidak 21 18.8 22 23.2 15 16.1 - ya 91 81.3 73 76.8 78 83.9 a Umur balita pertama kali dibawa ke posyandu - <1 bulan 33 29.7 24 25.3 19 20.4 - 1 bulan 63 56.8 61 64.2 62 66.7 - 1,5 bulan 0 0.0 1 1.1 0 0.0 - 2 bulan 10 9.0 9 9.5 10 10.8 - ≥3 bulan 5 4.5 0 0.0 2 2.2 Umur balita berhenti dibawa ke posyandub - <1 tahun 3 14.3 6 27.3 7 46.7 - 1 tahun 3 14.3 3 13.6 1 6.7 - 1,5 tahun 1 4.8 1 4.5 0 0.0 - 2 tahun 4 19.0 5 22.7 1 6.7 - 2,5 tahun 2 9.5 4 18.2 1 6.7 - ≥3 tahun 7 33.3 3 13.6 5 33.3 Kepemilikan KMS - tidak 31 27.7 20 21.1 28 30.1 - ya 81 72.3 75 78.9 65 69.9 Penyimpanan KMSc - posyandu/kader 65 80.2 68 90.7 50 76.9 - rumah 16 19.8 7 9.3 15 23.1 Imunisasi yang diberikan kepada anak balita - tidak lengkap 4 3.6 1 1.1 1 1.1 - lengkap 108 96.4 94 98.9 92 98.9 Balita dibawa ke posyandu 3 bulan terakhir - <3 kali 46 41.1 43 45.3 33 35.3 - 3 kali 66 58.9 52 54.7 60 64.5 Yang dilakukan jika balita mencret - tidak melakukan apa-apa 0 0.0 0 0.0 3 3.2 - diberi obat/dibawa ke 112 100.0 95 100.0 90 96.8 pelayanan kesehatan Yang dilakukan jika balita panas tinggi - tidak melakukan apa-apa 1 0.9 1 1.1 0 0.0 - diberi obat/dibawa ke 111 99.1 94 98.9 93 100.0 pelayanan kesehatan Mandi menggunakan sabun - tidak pernah 1 0.9 1 1.1 0 0.0 - kadang-kadang 3 2.7 2 2.1 1 1.1 - selalu 108 96.4 92 96.8 92 98.9 Cuci kaki sebelum tidur - tidak pernah 80 71.4 66 69.5 69 74.2 - kadang-kadang 19 17.0 18 18.9 14 15.1 - selalu 13 11.6 11 11.6 10 10.8 Menggosok gigi setiap hari - tidak 29 25.9 27 28.4 33 35.5 - ya, 1 kali/hari 37 33.0 21 22.1 17 18.3 - ya, ≥2 kali/hari 46 41.1 47 49.5 43 46.2 Menggunakan sikat gigi milik sendiri - tidak pernah 41 36.6 27 28.4 26 28.0 - kadang-kadang 11 9.8 8 8.4 10 10.8 - selalu 60 53.6 60 63.2 57 61.3 Frekuensi keramas/mencuci rambut - 1 kali/minggu 0 0.0 0 0.0 0 0.0 - 2 kali/minggu 3 2.7 3 3.2 0 0.0 - ≥3 kali/minggu 109 97.3 92 96.8 93 100.0
Total
Pertanyaan Pola Asuh Kesehatan
n
%
58 242
19.3 80.7
76 186 1 29 7
25.4 62.2 0.3 9.7 2.3
16 7 2 10 7 15
27.6 12.1 3.4 17.2 12.1 25.9
79 221
26.3 73.7
183 38
82.8 17.2
6 294
2.0 98.0
122 178
40.7 59.3
3 297
1.0 99.0
2 298
0.7 99.3
2 6 292
0.7 2.0 97.3
215 51 34
71.7 17.0 11.3
89 75 136
29.7 25.0 45.3
94 29 177
31.3 9.7 59.0
0 6 294
0.0 2.0 98.0
72 73
Tingkat Ketahanan Pangan Rumahtangga Sangat Tidak Tidak Tahan Tahan Tahan Pangan Pangan Pangan n % n % n % Menggosok gigi dengan pasta gigi - tidak pernah 28 25.0 21 22.1 18 19.4 - kadang-kadang 6 5.4 5 5.3 5 5.4 - selalu 78 69.6 69 72.6 70 75.3 Frekuensi menggunting kuku - 1 kali/bulan 10 8.9 4 4.2 4 4.3 - 2-3 kali/bulan 26 23.2 15 15.8 18 19.4 - ≥4 kali/bulan 76 67.9 76 80.0 71 76.3 Kebiasaan memakai alas kaki ketika bermain di luar rumah - tidak pernah 3 2.7 1 1.1 1 1.1 - kadang-kadang 37 33.0 39 41.1 38 40.9 - selalu 72 64.3 55 57.9 54 58.1 Kebiasaan mencuci tangan sebelum makan - tidak pernah 2 1.8 4 4.2 1 1.1 - kadang-kadang 45 40.2 44 46.3 32 34.4 - selalu 65 58.0 47 49.5 60 64.5 Mencuci tangan dengan sabun - tidak pernah 45 40.2 44 46.3 32 34.4 - kadang-kadang 44 39.9 35 36.8 36 38.7 - selalu 23 20.5 16 16.8 25 26.9 Keterangan: an = 299; bn = 242; cn = 221
Total
Pertanyaan Pola Asuh Kesehatan
n
%
67 16 217
22.3 5.3 72.3
18 59 223
6.0 19.7 74.3
5 114 181
1.7 38.0 60.3
7 121 172
2.3 40.3 57.3
121 115 64
40.3 38.3 21.3
74 73
Lampiran 6 Hasil uji ANOVA variabel penelitian Sum of Squares df Skor pola asuh makan anak balita Between Groups 2933,027 2 Within Groups 96174,319 297 Total 99107,347 299 Skor pola asuh kesehatan anak balita Between Groups 269,339 2 Within Groups 57184,031 297 Total 57453,370 299 Konsumsi energi anak balita Between Groups 2564764 2 Within Groups 53323635 297 Total 55888399 299 Konsumsi protein anak balita Between Groups 1919,257 2 Within Groups 48939,660 297 Total 50858,917 299 Frekuensi sakit anak balita Between Groups 35,427 2 Within Groups 2205,053 297 Total 2240,480 299 Lama sakit anak balita Between Groups 1191,408 2 Within Groups 74436,229 297 Total 75627,637 299 Status gizi (BB/U) anak balita Between Groups 42,557 2 Within Groups 319,039 297 Total 361,596 299 Status gizi (TB/U) anak balita Between Groups 35,915 2 Within Groups 397,240 297 Total 433,155 299 Status gizi (BB/TB) anak balita Between Groups 19,461 2 Within Groups 496,747 297 Total 516,208 299
Mean Square
F
Sig.
1466,514 323,819
4,529
0,012
134,670 192,539
0,699
0,498
1282382,03 179540,860
7,143
0,001
959,629 164,780
5,824
0,003
17,713 7,424
2,386
0,094
595,704 250,627
2,377
0,095
21,279 1,074
19,809
0,000
17,957 1,338
13,426
0,000
9,730 1,673
5,818
0,003
74 75
Lampiran 7 Hasil uji Spearman variabel penelitian Variabel Independen Pengetahuan gizi ibu 0,491** 0,000 0,208** 0,000
Variabel Dependen Tingkat pendidikan ibu Akses ibu
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
Variabel Dependen Pola asuh kesehatan
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
Variabel Dependen Ketahanan pangan Pola asuh makan
Pola asuh kesehatan Tingkat kecukupan energi Tingkat kecukupan protein Frekuensi sakit
Lama sakit
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
Variabel Independen Frekuensi sakit Lama sakit 0.022 -0.012 0.736 0.855
Status gizi BB/U 0,368**
Variabel Independen Status gizi TB/U Status gizi BB/TB 0,247** 0,105**
0,000 -0,022
0,000 0,006
0,007 0,015
0,707 0,121*
0,920 0,189**
0,795 -0,087
0,036 -0,084
0,001 -0,015
0,135 -0,08
0,148 -0,099
0,800 -0,017
0,169 -0,056
0,086 -0,035
0,775 -0,002
0,335 -0,051
0,589 -0,057
0,972 -0,028
0,427 -0,068
0,376
0,664
0,278
69
Lampiran 8 Hasil uji Regresi Logistik variabel penelitian Faktor yang Berpengaruh Pendidikan ibu (0 = tamat SLTP ke atas, 1 = tamat SD ke bawah) Pekerjaan ayah (0 = lainnya, 1 = petani, buruh tani, buruh bangunan/industri) Pengetahuan gizi ibu (0 = >80%, 1 = 60-80%) Ketahanan pangan (0 = >90%, 1 = 70-90%) TKP balita (0 = >90%, 1 = 70-90%) Pekerjaan ayah (0 = lainnya, 1 = petani, buruh tani, buruh bangunan/industri) Ketahanan pangan (0 = >90%, 1 = 70-90%) Pola asuh makan (0 = >80%, 1 = <60%) Pola asuh kesehatan (0 = >80%, 1 = 60-80%) Usia ibu (0 = 31-75 tahun, 1 = 13-30 tahun) Pekerjaan ayah (0 = lainnya, 1 = petani, buruh tani, buruh bangunan/industri) Status sosial ekonomi (0 = > 146 531, 1 = ≤ 146 531) Ketahanan pangan (0 = >90%, 1 = 70-90%) TKE balita (0 = >90%, 1 = <70%)
B
S.E
95% Cl For Exp (B) Lower Upper
Wald
df
Sig.
Exp (B)
Malnutrisi Global (BB/U) 0,879 0,430 4,174
1
0,041
2,409
1,036
5,598
1,115
0,462
6,267
1
0,012
3,176
1,285
7,847
1,699
0,668
6,471
1
0,011
5,466
1,477
20,23
-3,875
0,772
25,204
1
0,000
0,021
0,005
0,094
0,958
0,342
7,831
1
0,005
2,606
1,332
5,096
Malnutrisi Kronik (TB/U) 0,826 0,317 6,807
1
0,009
2,285
1,228
4,251
-1,134
0,312
13,239
1
0,000
0,322
0,175
0,593
0,868
0,357
5,893
1
0,015
2,381
1,182
4,798
-0,777
0,364
4,564
1
0,033
0,460
0,226
0,938
Malnutrisi Akut (BB/TB) 0,921 0,440 4,383
1
0,036
2,512
1,061
5,952
1,187
0,599
3,926
1
0,048
3,227
1,013
10,604
-1,120
0,467
5,735
1
0,017
0,326
0,131
0,816
-2,099
0,698
9,05
1
0,003
0,123
0,031
0,481
1,195
0,559
4,564
1
0,033
3,304
1,104
9,889
76