30
TINGKAT KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA, KONDISI LINGKUNGAN, MORBIDITAS, DAN HUBUNGANNYA DENGAN STATUS GIZI ANAK BALITA PADA RUMAHTANGGA DI DAERAH RAWAN PANGAN BANJARNEGARA, JAWA TENGAH
ESTA TSANIA SOBLIA
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
31
ABSTRACT ESTA TSANIA SOBLIA. Correlation of Household Food Security, Environment, Morbidity with Nutritional Status of Under-five Children in Food Insecurity Area, Banjarnegara, Cental Java. Under direction of HADI RIYADI.
The most basic need for a human being for its survival is food. In developing country like Indonesia, poverty and food insecurity are still become central issues. Poverty and food security have a relationship with nutritional problem indirectly. Under-five children is one of vulnerable group of nutritional problem. Banjarnegara include food insecurity area in Indonesia. Household level food insecurity is generally caused by lack of livelihood opportunities and high food prices. At the individual level, aspects like morbidity, access to basic services like health, water and sanitation, education etc. can influence the levels of food insecurity. The aim of this study is to understand the correlation of household food security, environment, morbidity with food consumption and nutritional status of under-five children, especially in food insecurity area. A descriptive analytic study with cross sectional approach was conducted on 2 areas (Pejawaran and Punggelan) of Banjarnegara. Sample was chosen with simple random sampling which consists of 300 household with children 2-5 years old. Data collected include: sosio-economics household characteristic, sanitation and environment condition, under-five children morbidity, level consumption and nutiritonal status. Descriptive analytic was carried to all variables followed by bivariate test using Pearson and Spearman correlation. Measurement of household food security in this study used household overall energy intake. In correlated analyses, household food security, sosio-economics characteristic (parents’ education level, income, food and non-food expenditure), sanitation and environment condition was significantly positive correlated with under-five children energy and protein consumption. Under-five children morbidity was significantly negative correlated with energy and protein consumption. Under-five children nutritional status (stunted and underweight) was significantly positive correlated with household food security, sosio-economics characteristic (parents’ education level, income, food expenditure), sanitation and environment condition. Keywords: household food security, environment, under-five children nutritional status
32
RINGKASAN ESTA TSANIA SOBLIA. Tingkat Ketahanan Pangan Rumahtangga, Kondisi Lingkungan, Morbiditas, dan Hubungannya dengan Status Gizi Anak Balita pada Rumahtangga di Daerah Rawan Pangan Banjarnegara, Jawa Tengah. Dibimbing oleh HADI RIYADI. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara tingkat ketahanan pangan rumah tangga, kondisi lingkungan, morbiditas dengan status gizi balita. Tujuan khusus adalah: (1) Mempelajari tingkat ketahanan pangan rumah tangga, (2) Mempelajari karakteristik sosial ekonomi rumah tangga (3) Mempelajari kondisi sanitasi dan kesehatan lingkungan fisik rumah tangga, (4) Mengetahui tingkat kesakitan (morbidity) balita, (5) Menganalisis hubungan antara tingkat ketahanan pangan rumahtangga, kondisi lingkungan, morbiditas dengan konsumsi pangan dan status gizi balita. Desain penelitian ini adalah cross sectional study. Penelitian ini merupakan bagian dari studi Kajian Ketahanan Pangan dan Alokasi Sumberdaya Keluarga serta Keterkaitannya dengan Status Gizi dan Perkembangan Anak. Penelitian dilakukan di Kabupaten Banjarnegara, Propinsi Jawa Tengah, Banjarnegara masih termasuk dalam wilayah yang rumah tangganya dikategorikan beresiko tinggi defisit konsumsi energi dan protein. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai Maret 2009. Sampel balita berasal dari dua kecamatan yang dipilih secara purposive, yaitu Pejawaran dan Punggelan yang merupakan wilayah berisiko rawan pangan. Total ukuran sampel pada studi ini adalah 300 rumah tangga (6 desa). Data primer terdiri dari karakteristik keluarga (besar keluarga, pendidikan orang tua, pendapatan keluarga dan alokasi pengeluaran), kondisi sanitasi dan lingkungan fisik, konsumsi pangan anak balita, status kesehatan dan gizi anak balita, melalui wawancara menggunakan kuesioner dan pengamatan. Data sekunder berupa keadaan umum wilayah Banjarnegara dan kecamatan. Data diolah dengan menggunakan program SPSS versi 13.0 dengan jenis analisis statistik yaitu tabulasi silang, uji t, dan korelasi Pearson serta Rank Spearman. Tingkat ketahanan pangan rumahtangga persentase terbesar ada pada rumahtangga sangat rawan pangan (37,3%), rawan pangan 31,7 persen, kemudian rumahtangga tergolong tahan pangan (31%). Pada Kecamatan Pejawaran separuh rumahtangganya (50%) tergolong sangat rawan pangan, 26,7 persen rawan pangan dan 23,3 persen tahan pangan. Pada Kecamatan Punggelan 24,7 persen rumahtangganya tergolong sangat rawan pangan dan 38,7 persen tergolong tahan pangan. Hasil uji statistik menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05) antara tingkat ketahanan pangan pada dua kecamatan tersebut. Sebagian besar tergolong dalam keluarga kecil (59,3%) keluarga sedang sebanyak 36,7 persen dan sisanya (4%) tergolong dalam keluarga besar. Pada Kecamatan Pejawaran rata-rata jumlah anggota rumahtangganya 4,6 orang dan Punggelan 4,5 orang. Hasil uji statistik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p>0,05) antara rata-rata jumlah anggota keluarga di dua kecamatan tersebut. Tingkat pendidikan ayah dan ibu di wilayah penelitian masih tergolong rendah. Persentase terbesar pendidikan ayah (69,4% Pejawaran dan 51,4% Punggelan) dan ibu (75,3% Pejawaran dan Punggelan 48,7%) pada dua kecamatan tersebut adalah tamatan SD. Hasil uji statistik menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antara lama pendidikan ayah dan ibu di dua Kecamatan tersebut (p<0,05).
33
Berdasarkan garis kemiskinan Kabupaten Banjarnegara 61 persen rumahtangga tergolong tidak miskin, dengan rata-rata pendapatan/kapita/bulan sebesar Rp 231.851. Kecamatan Pejawaran didominasi oleh rumahtangga dengan kategori miskin (59,3%) sedangkan pada Kecamatan Punggelan didominasi oleh rumahtangga dengan kategori tidak miskin (81,3%). Namun jika berdasarkan garis kemiskinan dunia 97,6 persen rumahtangganya tergolong miskin. Hasil uji statistik menunjukkan adanya perbedaan nyata antara rata-rata pendapatan pada dua kecamatan tersebut. Pada dua kecamatan di wilayah penelitian persentase pengeluaran pangan dan non panganya berada pada kisaran 30-70% dari pengeluaran total. Kondisi sanitasi dan lingkungan fisik tergolong kurang baik dengan 51,7 persen rumahtangganya memiliki sanitasi dan lingkungan fisik yang kurang. Kecamatan Pejawaran didominasi oleh rumahtangga dengan kategori kondisi sanitasi dan lingkungan fisik kurang sedangkan Punggelan dalam kategori cukup. Hasil uji statistik juga menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara kondisi sanitasi dan lingkungan fisik pada dua kecamatan tersebut (p<0,05). Sebagian besar anak balita (81,3%) pernah sakit dalam rentang waktu tiga bulan terakhir dengan rata-rata frekuensi sakit 3 kali. Rata-rata lama sakit sekitar 13 hari. Rata-rata lama sakit anak balita pada Pejawaran 12,6 hari dan Punggelan 12,8 hari. Hasi uji statistik antara lama sakit anak balita pada kedua kecamatan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p>0,05). Jenis penyakit yang sering diderita anak balita adalah panas/demam (67,2%), kemudian pilek/influenza (39,8%), serta batuk pilek (38,9%). Rata-rata asupan energi balita adalah 975 kkal dengan tingkat kecukupan energi 94 persen dan rata-rata asupan protein balita adalah 24,5 gram dengan tingkat kecukupan 97 persen. Pada dua kecamatan rata-rata tingkat kecukupan energi dan protein tergolong cukup. Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antara rata-rata tingkat kecukupan energi dan protein pada kedua kecamatan tersebut (p>0,05). Berdasarkan BB/U 68 persen anak balitanya berstatus gizi baik. Terdapat 31,6% anak balita yang memiliki z-score dibawah -2. Berdasarkan kriteria WHO maka masalah kesehatan masyarakat di wilayah penelitian termasuk pada kategori sangat tinggi (≥ 30%). Berdasarkan TB/U 54,3 persen anak balita tergolong stunted. Menurut kriteria WHO maka masalah kesehatan masyarakat di wilayah penelitian termasuk pada kategori sangat tinggi (≥40%). Persentase balita stunted di Pejawaran (66%) lebih tinggi dari Punggelan (42,7%). Hasil uji statistik berdasarkan BB/U dan TB/U terdapat perbedaan yang nyata pada dua kecamatan tersebut. Berdasarkan BB/TB 86,3 persen status gizi anak balitanya tergolong normal, namun masih ditemukan 11 persen anak balita yang memiliki z-score BB/TB dibawah -2. Menurut kriteria WHO masalah kesehatan masyarakat diwilayah penelitian masuk pada kategori serius. Hasil uji statistik tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara rata-rata nilai z-score BB/TB pada dua kecamatan tersebut (p>0,05). Tingkat ketahanan pangan rumahtangga memiliki korelasi yang positif dan signifikan dengan tingkat kosumsi energi dan protein balita. Begitu juga dengan karakteristik sosial ekonomi keluarga (pendidikan ayah, pendidikan ibu, pendapatan ,pengeluaran pangan dan non pangan), sanitasi dan lingkungan fisik, sedang morbiditas berkorelasi negatif dan signifikan dengan tingkat konsumsi energi dan protein balita. Variabel yang berkorelasi positif dan signifikan dengan status gizi balita adalah ketahanan pangan, karakteristik sosial ekonomi keluarga seperti pendidikan ayah, pendidikan ibu, pendapatan, pengeluaran pangan. Sanitasi dan lingkungan fisik juga berkorelasi positif dan signifikan dengan status gizi balita.
34
TINGKAT KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA, KONDISI LINGKUNGAN, MORBIDITAS, DAN HUBUNGANNYA DENGAN STATUS GIZI ANAK BALITA PADA RUMAHTANGGA DI DAERAH RAWAN PANGAN BANJARNEGARA, JAWA TENGAH
ESTA TSANIA SOBLIA
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
35
Judul
Nama NRP
: Tingkat Ketahanan Pangan Rumahtangga, Kondisi Lingkungan, Morbiditas, dan Hubungannya dengan Status Gizi Anak Balita pada Rumahtangga di Daerah Rawan Pangan Banjarnegara, Jawa Tengah : Esta Tsania Soblia : I14050746
Disetujui: Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS NIP. 19610615 198603 1 004
Diketahui, Ketua Departemen Gizi Masyarakat
Dr. Ir. Evy Damayanthi, MS NIP. 19621204 198903 2 002
Tanggal Lulus :
36
RIWAYAT HIDUP Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, puteri pasangan Bapak H. M. Sobaruddin S.H dan Hj. Laeliyah BA. Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 2 Maret 1988. Pendidikan SD ditempuh di SD Negeri Buaran Bong Bekasi pada tahun 1993 sampai 1999. Setelah itu melanjutkan sekolah di SLTP Negeri 7 Bekasi sampai tahun 2002 dan melanjutkan lagi ke SMU Negeri 2 Bekasi. Pada tahun 2005, penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Setelah melalui Tingkat Persiapan Bersama penulis berhasil masuk Program Studi Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia. Selama menjadi mahasiswa penulis tercatat sebagai Bendahara Divisi Organoleptik HIMAGITA periode 2006/2007, Public Relation Internal HIMAGIZI periode 2007/2008, anggota Forum Syiar Islam Fakultas Ekologi Manusia (FORSIA) periode 2007/2008, Sekertaris Badan Konsultasi Gizi periode 2007/2009. Pada tahun 2007, penulis pernah mengikuti kegiatan Program Kreatifitas Mahasiswa (PKM) bidang kewirausahaan dengan judul “Pemanfaatan Khasiat Kunyit dan Asam dalam Produk Permen Jelly”. Pada tahun 2008 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi (KKP) di desa Nanggung, Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor, Jawa Barat dan tahun 2009 melaksanakan Internship Dietetik Di RS Islam Pondok Kopi Jakarta.
37
PRAKATA Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas nikmat, izin dan bantuan-Nya lah penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Adapun penulisan skripsi yang berjudul “Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga, Kondisi Lingkungan, Morbiditas, dan Hubungannya dengan Status Gizi Anak Balita pada Rumah Tangga di Daerah Rawan Pangan Banjarnegara, Jawa Tengah” dilakukan sebagai salah satu syarat guna mencapai gelar sarjana gizi pada Program Studi Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini , penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu dan pikirannya, memberikan arahan, masukan, kritikan, dan dorongan untuk menyelesaikan skripsi ini, dan juga selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama menjalani kuliah. 2. Dr. Ir. Drajat Martianto, MSi selaku ketua dalam Studi Kajian “Ketahanan Pangan dan Alokasi Sumberdaya Keluarga serta Keterkaitannya dengan Status Gizi dan Perkembangan Anak di Kabupaten Banjarnegara, Propinsi Jawa Tengah” yang telah mengikutsertakan dan turut membimbing serta memberi masukan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 3. Dr. Ir. Dadang Sukandar, MSc selaku dosen pemandu dan dosen penguji skripsi atas saran yang diberikan. 4. Staf pengajar dan TU serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah turut membantu kelancaran penyelesaian skripsi ini. 5. Abi, Mama, Kakakku Fiducia, Adikku Hamim dan semua keponakanku (Fathi, Farhat, Firdha) tercinta atas do’a, nasehat, bantuan, dorongan, tempat sandaran dan semangat yang selalu diberikan pada penulis. 6. Asisten peneitian kajian ini (Kak Aqsa, Mba Yuli, Teh Meidina, Mba Ira, Kak Aris) yang turut membantu dan membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 7. Sahabat-sahabat seperjuangan penelitian (Nuy, Dede, Rama, Ima, Chandri, Endah, dan Dinda) terima kasih atas kerjasama dan kenangan yang diberikan untuk sama-sama menyelesaikan tugas akhir.
38
8. Sahabat-sahabatku (Dessy, Eni, Rifa, Nca) terima kasih atas bantuan, do’a, masukan, dan nasehat selama ini. Sahabat-sahabat KKP (Iwan, Mpit, Ari, Indah) Sahabat-sahabat Internship (Agni, Ardi, Dessy, Laras, Hani, Sofy, Jesa, Ida, Rie) dan semua sahabat-sahabatku di GM 42 yang aku sayangi terima kasih atas kenangan-kenangan indah dan seru yang diberikan. 9. Adik-adik Angkatan 43 dan 44 yang turut memberikan dorongan, masukan, dan semangat. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Penulis juga berharap penelitian ini dapat memberikan manfaat dan ilmu bagi semua. Wasalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Bogor, September 2009
Esta Tsania Soblia
39
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .....................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR .................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................
xii
PENDAHULUAN .....................................................................................
1
Latar Belakang......................................................................... Tujuan ..................................................................................... Hipotesis .................................................................................. Kegunaan Penelitian ................................................................
1 3 3 3
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................
5
Ketahanan Pangan dan Faktor yang Berpengaruh .................. Kondisi Lingkungan dan Morbiditas ......................................... Konsumsi Pangan.................................................................... Konsumsi Pangan, Kondisi Lingkungan, dan Status Gizi .........
5 6 17 18
KERANGKA PEMIKIRAN ......................................................................
22
METODE PENELITIAN ..........................................................................
24
Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian .................................... Teknik Pengambilan Sampel .................................................. Jenis dan cara Pengumpulan Data ......................................... Pengolahan dan Analisis Data ................................................. Definisi Operasional ................................................................
24 24 25 25 29
HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................
30
Gambaran Umum Wilayah Penelitian ..................................... Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga ........................... Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga ................................... Sanitasi dan Kesehatan Lingkungan Fisik ............................... Morbiditas ............................................................................... Konsumsi Pangan Balita ......................................................... Status Gizi Balita .................................................................... Keterkaitan Antar Variabel ......................................................
30 32 33 38 41 42 43 48
KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................
55
Kesimpulan ............................................................................. Saran ......................................................................................
55 56
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
57
LAMPIRAN .............................................................................................
60
40
DAFTAR TABEL Halaman 1
Pengertian indikator status gizi ......................................................
21
2
Kisaran Prevalensi menurut BB/U dan TB/U anak balita ................
21
3
Tingkatan masalah gizi dalam emergency situation menurut prevalensi wasting dan rata-rata z-score anak balita .....................
21
4
Variabel dan indikator penelitian ....................................................
25
5
Kategori status gizi pada berbagai ukuran antropometri .................
28
6
Sebaran rumahtangga menurut tingkat ketahanan pangan ............
33
7
Sebaran rumahtangga menurut besar keluarga .............................
34
8
Sebaran rumahtangga menurut pendidikan ayah ..........................
34
9
Sebaran rumahtangga menurut pendidikan ibu .............................
35
10
Sebaran rumahtangga menurut pendapatan ..................................
36
11
Sebaran rumahtangga menurut garis kemiskinan dunia .................
37
12
Alokasi pengeluaran pangan .........................................................
38
13
Alokasi pengeluaran non pangan ...................................................
38
14
Sebaran rumahtangga menurut kondisi sanitasi dan lingkungan fisik
40
15
Sebaran anak balita menurut lama sakit .........................................
41
16
Jenis penyakit yang pernah diderita anak balita (3 bulan terakhir) ..
42
17
Rata-rata asupan dan tingkat kecukupan zat gizi balita .................
42
18
Sebaran anak balita menurut tingkat kecukupan energi ..................
43
19
Sebaran anak balita menurut tingkat kecukupan protein .................
43
20
Sebaran status gizi anak balita berdasarkan BB/U .........................
45
21
Sebaran status gizi anak balita berdasarkan TB/U ........................
47
22
Sebaran status gizi anak balita berdasarkan BB/TB .......................
48
23
Korelasi anatara tingkat konsumsi balita dan status gizi balita dengan ketahanan pangan, kondisi lingkungan dan morbiditas ...................
24
49
Karakteristik kondisi lingkungan, morbiditas dan tingkat konsumsi Rumahtangga dan balita menurut status gizi TB/U pada Kecamatan Pejawaran dan Punggelan .............................................................
25
52
Karakteristik kondisi lingkungan, mobiditas dan tingkat konsumsi rumahtangga dan balita menurut status gizi TB/U di wilayah penelitian .......................................................................................
53
41
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Skema mata rantai penularan penyakit dari tinja ...........................
14
2
Bagan penyebab gizi kurang .........................................................
20
3
Hubungan ketahanan pangan rumahtangga, kondisi lingkungan, Morbidity, konsumsi pangan dan status gizi sasaran ......................
23
4
Sebaran rumahtangga menurut tingkat ketahanan pangan.............
32
5
Sebaran rumahtangga menurut pendapatan ..................................
36
6
Sebaran rumahtangga meurut pengeluaran pangan dan non pangan
38
7
Sebaran status gizi anak balita berdasarkan BB/U .........................
44
8
Kurva sebaran anak balita menurut z-score BB/U ..........................
45
9
Sebaran status gizi anak balita berdasarkan TB/U .........................
46
10
Kurva sebaran anak balita menurut z-score TB/U...........................
46
11
Sebaran status gizi anak balita berdasarkan BB/TB .......................
47
12
Kurva sebaran anak balita menirut z-score BB/TB ..........................
48
42
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Tingkat ketahanan pangan di Provinsi Jawa Tengah ......................
2
Sebaran rumahtangga berdasarkan karakteristik sanitasi dan
61
Lingkungan fisik pada Kecamatan Pejawaran dan Punggelan ........
62
3
Hasil Uji t variable penelitian ...........................................................
63
4
Hasil korelasi pearson variable penelitian .......................................
65
5
Hasil korelasi spearman variable penelitian ....................................
66
6
Karakteristik kondisi lingkungan, mobiditas dan tingkat konsumsi rumahtangga dan balita menurut status gizi TB/U di wilayah penelitian ........................................................................................
7
66
Karakteristik kondisi lingkungan, mobiditas dan tingkat konsumsi rumahtangga dan balita menurut status gizi BB/U di wilayah penelitian ........................................................................................
8
66
Karakteristik kondisi lingkungan, mobiditas dan tingkat konsumsi rumahtangga dan balita menurut status gizi BB/TB di wilayah penelitian ........................................................................................
67
1
PENDAHULUAN Latar Belakang WHO (1999) menyatakan bahwa gizi adalah pilar utama dari kesehatan dan kesejahteraan sepanjang siklus kehidupan. Sejak janin dalam kandungan, bayi, balita, anak, remaja, dewasa, dan usia lanjut, makanan yang memenuhi syarat gizi merupakan kebutuhan utama untuk pertahanan hidup, pertumbuhan fisik, perkembangan mental, prestasi kerja, kesehatan dan kesejahteraan (Supariasa et al. 2001). Terbentuknya sumber daya manusia yang berkualitas, yaitu sumber daya manusia yang sehat, cerdas, dan produktif ditentukan oleh berbagai faktor. Salah satu faktor yang sangat esensial adalah terpenuhinya kebutuhan pangan yang bergizi (Syarief 2004). Masalah gizi dibagi menjadi dua kelompok yaitu masalah gizi kurang (under nutrition) dan masalah gizi lebih (Supariasa et al. 2001). Seseorang mempunyai status gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat-zat gizi esensial. Status gizi lebih terjadi bila tubuh memperoleh zat-zat gizi dalam jumlah berlebihan, sehingga menimbulkan efek toksin atau membahayakan. Masalah gizi disebabkan oleh faktor primer atau sekunder. Faktor primer adalah bila susunan makanan seseorang salah dalam kuantitas dan atau kualitas yang disebabkan oleh berkurangnya penyediaan pangan, kurang baiknya distribusi pangan, kemiskinan, ketidaktahuan, kebiasaan makan yang salah, dan sebagainya. Faktor sekunder meliputi semua faktor yang menyebabkan zat-zat gizi tidak sampai di sel-sel tubuh setelah makanan dikonsumsi.
Misalnya,
faktor-faktor
yang
menyebabkan
terganggunya
pencernaan, faktor-faktor yang mengganggu absorbsi zat-zat gizi, faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme dan utilisasi zat-zat gizi seperti adanya penyakit, dan faktor-faktor yang mempengaruhi ekskresi sehingga menyebabkan banyak kehilangan zat gizi (Almatsier 2001). Masalah gizi di Indonesia dan di Negara berkembang pada umumnya masih didominasi oleh masalah Kurang Energi Protein (KEP), masalah Anemia Besi, masalah Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY), masalah Kurang Vitamin A (KVA) dan masalah obesitas terutama di kota-kota besar (Supariasa et al. 2001). Pada keluarga yang berlatar belakang sosial ekonomi yang rendah atau miskin, umumnya menghadapi masalah kekurangan gizi (gizi kurang). Gizi kurang adalah semua hal yang berkaitan dengan ketidakcukupan makanan (diet), termasuk penyerapan dan pencernaan makanan yang tidak
2
sempurna sehingga mengakibatkan timbulnya peyakit yang muncul sebagai gejala klinis serta makanan yang tidak mencukupi secara kualitas atau kuantitas (Khumadi 1989). Kekurangan gizi dapat berakibat negatif terhadap kesejahteraan perorangan, keluarga, dan masyarakat sehingga dapat merugikan pembangunan nasional suatu bangsa. Dampak kekurangan gizi secara umum dikelompokkan kedalam 11 kategori, yaitu dampak terhadap: kematian anak, penyakit anak, kematian ibu, kesuburan wanita atau fertilitas, fungsi mata, kecerdasan, prestasi sekolah, anggaran pendidikan dan kesehatan pemerintah, jumlah dan nilai ekonomi air susu ibu, produktivitas kerja, dan masalah ekonomi bangsa (Soekirman 2000). Jelliffe (1989) menyatakan bahwa masalah gizi merupakan masalah ekologi sebagai hasil yang saling mempengaruhi (multiple overlapping) dan interaksi beberapa faktor fisik, biologi, dan lingkungan budaya. Jadi jumlah makanan dan zat-zat gizi yang tersedia tergantung pada keadaan lingkungan seperti iklim, tanah, irigasi, penyimpanan, transportasi, dan tingkat ekonomi penduduk. Faktor ekologi yang berhubungan dengan penyebab masalah gizi dibagi dalam enam kelompok, yaitu keadaan infeksi, konsumsi makanan, pengaruh budaya, sosial ekonomi, produksi pangan, serta kesehatan dan pendidikan. Konsumsi pangan sangat erat kaitannya dengan aspek gizi dan kesehatan. Konsumsi makanan yang selalu kurang dari kecukupan dalam jangka waktu tertentu dapat mengakibatkan kurang gizi walaupun tidak menderita penyakit. Akan tetapi, konsumsi makanan yang cukup apabila terdapat penyakit, dapat pula berakibat kurang gizi (Riyadi 2006). Soekirman (2000) menyatakan bahwa kemiskinan dan ketahanan pangan merupakan penyebab tidak langsung terjadinya status gizi kurang atau buruk. Balita merupakan salah satu kelompok yang termasuk sebagai golongan penduduk yang rawan terhadap kekurangan gizi. Kekurangan gizi (KEP) ini adalah suatu bentuk masalah gizi yang disebabkan oleh berbagai faktor terutama faktor makanan yang tidak memenuhi kebutuhan anak akan energi protein serta karena infeksi, yang berdampak pada penurunan status gizi anak. Sementara itu gizi yang baik pada masa bayi dan anak-anak sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan tubuhnya (Roedjito 1989). Pada bayi dan anak balita, kekurangan
gizi
dapat
mengakibatkan
terganggunya
pertumbuhan
dan
perkembangan fisik, mental dan spiritual. Bahkan pada bayi, gangguan tersebut
3
dapat bersifat permanen dan sangat sulit untuk diperbaiki. Kekurangan gizi pada bayi dan balita, dengan demikian, akan mengakibatkan rendahnya kualitas sumber daya manusia (Syarief 2004). Seperti yang telah dijabarkan diatas, dapat disimpulkan bahwa masalah gizi merupakan masalah yang multikompleks, yang banyak dipengaruhi dan mempengaruhi berbagai faktor. Banjarnegara merupakan salah satu propinsi di Jawa Tengah yang memiliki riwayat kurang pangan pada tahun 1930-1940 dan 1961-1962. Pada tahun 2004/2005 dan 2006 Banjarnegara masih termasuk dalam wilayah yang situasi pangan dan gizinya dikategorikan beresiko tinggi. Situasi pangan dan gizi yang beresiko tinggi ini tentunya akan mempengaruhi status gizi balitanya. Oleh karena itu, menarik untuk dipelajari faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan status gizi balita terutama di wilayah rawan pangan seperti Banjarnegara. Tujuan Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara tingkat ketahanan pangan rumahtangga, kondisi lingkungan, morbiditas dengan status gizi anak balita Tujuan Khusus 1. Mempelajari tingkat ketahanan pangan rumahtangga. 2. Mempelajari karakteristik sosial ekonomi rumahtangga. 3. Mempelajari kondisi sanitasi dan kesehatan lingkungan fisik rumahtangga. 4. Mengetahui tingkat kesakitan (morbidity) anak balita. 5. Menganalisis hubungan antara tingkat ketahanan pangan rumahtangga, kondisi lingkungan, morbiditas dengan konsumsi pangan dan status gizi anak balita. Hipotesis 1. Tingkat ketahanan pangan rumahtangga berhubungan dengan status gizi anak balita. 2. Kondisi sanitasi dan lingkungan fisik serta morbiditas berhubungan dengan status gizi anak balita. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang beberapa faktor yang berhubungan terhadap status gizi anak terutama di daerah rawan pangan kepada masyarakat dan pemerintah, khususnya di daerah Banjarnegara
4
atau daerah yang tergolong rawan pangan lainnya sehingga prevalensi masalah gizi dapat diturunkan dan dicegah melalui pembuatan kebijakan oleh pemerintah setempat atau kesadaran masyarakat untuk menjaga munculnya faktor-faktor pemicu yang beresiko meningkatkan prevalensi masalah gizi terutama pada anak, yang merupakan aset keluarga dan negara.
5
TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan dan Faktor yang Berpengaruh Menurut Peraturan Pemerintah No 68 tahun 2002 tentang ketahanan pangan, ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah, maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau (Deptan 2002). Sedangkan menurut FAO tahun 1996 ketahanan pangan adalah keadaan apabila semua rumahtangga mempunyai akses terhadap pangan baik secara fisik maupun secara ekonomi sehingga semua anggota rumahtangga memperoleh pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya; serta keadaan dimana semua rumahtangga tidak beresiko untuk kehilangan kesempatan memperoleh pangan tersebut (Soekirman 2000). Ketahanan pangan merupakan salah satu isu utama upaya peningkatan status gizi masyarakat yang paling erat kaitannya dengan pembangunan pertanian. Situasi produksi pangan dalam negeri serta ekspor dan impor pangan akan menentukan ketersediaan pangan yang selanjutnya akan mempengaruhi kondisi ketahanan pangan di tingkat wilayah. Sementara ketahanan pangan pada tingkat rumahtangga, akan ditentukan pula oleh daya daya beli masyarakat terhadap pangan (Syarief 2004). Ketahanan pangan pada dasarnya bicara soal ketersediaan pangan (food avaibilitas), stabilitas harga pangan (food price stability), dan keterjangkauan pangan (food accessibility). Ketersediaan pangan yang cukup berarti rata-rata jumlah dan mutu gizi pangan yang tersedia di masyarakat dan pasar mencukupi kebutuhan untuk konsumsi semua rumahtangga (Soekirman 2000). Menurut
Khomsan
(2002)
bahwa
situasi
ketidaktahanan
pangan
rumahtangga dapat ditandai oleh adanya perubahan-perubahan kehidupan sosial, seperti semakin banyak anggota masyarakat yang menggadaikan barang, bertambahnya anggota rumahtangga pergi ke luar daerah untuk mencari pekerjaan, dan lain-lain. Konsumsi pangan yang mencukupi merupakan syarat mutlak terwujudnya ketahanan pangan rumahtangga. Ketidaktahanan pangan dapat digambarkan dari perubahan konsumsi pangan yang mengarah pada penurunan kuantitas dan kualitas termasuk perubahan frekuensi konsumsi makanan pokok. Berdasarkan
hasil
dari
International
Scientific
Symposyum
on
Measurement and Assessment of Food Devriation and Undernutrition, yang
6
diadakan pada bulan Juni 2002 di Roma, ada lima metode yang lazim digunakan untuk mengukur kerawanan pangan dan kelaparan, salah satunya adalah pengukuran kerawanan pangan melalui survey pendapatan atau pengeluaran rumahtangga. Metode survey pendapatan atau pengeluaran rumahtangga dapat digunakan untuk mengestimasi jumlah penderita kelaparan. Melalui survey ini kita dapat menghitung rata-rata konsumsi energi, karena dalam survey pengeluaran responden ditanya mengenai pengeluaran untuk pangan dalam waktu tertentu seperti seminggu yang lalu. Oleh karena itu, kita dapat menghitung proporsi rumahtangga yang konsumsi energinya dibawah level minimum (Tanziha 2005). Kondisi Lingkungan dan Morbiditas Faktor Sosioekonomi Riset
menunjukkan
bahwa
tingkat
sosioekonomi
keluarga
anak
mempunyai dampak signifikan pada pertumbuhan dan perkembangan. Pada semua usia anak dari keluarga kelas atas dan menengah mempunyai tinggi badan lebih dari anak dari keluarga dengan strata sosioekonomi rendah. Penyebab perbedaan ini kurang jelas, meskipun kesehatan dan gizi yang kurang baik pada tingkat sosioekonomi rendah mungkin merupakan faktor signifikan. Sumber makanan bergizi (khususnya protein) sulit didapat, dan faktor lain (misalnya, ukuran keluarga besar dan ketidakteraturan dalam makan, tidur, dan latihan fisik) dapat memainkan peran. Keluarga dari kelompok sosioekonomi rendah mungkin kurang memiliki pengetahuan atau sumber daya yang diperlukan untuk memberikan lingkungan yang aman, menstimulasi, dan kaya gizi yang membentu perkembangan optimal (Wong et al 2008). Sosial ekonomi merupakan salah satu indikator untuk menilai gizi masyarakat. Subindikatornya adalah pendapatan, dimana pendapatan ini dapat mempengaruhi tingkat gizi, keadaan perumahan, status sosial, pendidikan, pengeluaran untuk makan dan sebagainya (Roedjito 1989) Faktor Ekonomi Faktor ekonomi merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap masalah gizi. Kemiskinan sebagai penyebab gizi kurang menduduki posisi pertama pada kondisi yang umum. Hal ini harus mendapat perhatian serius karena keadaan ekonomi ini relatif mudah diukur dan berpengaruh besar pada konsumsi pangan. Golongan miskin menggunakan bagian terbesar pendapatan
7
untuk memenuhi kebutuhan makanan, dimana untuk keluarga-keluarga di negara berkembang sekitar dua per tiganya. Kebijaksanaan nasional dalam hal harga komoditi pangan dapat merangsang peningkatan produksi pangan. Kenaikan produksi pangan dapat pula tidak memberikan hasil pada peningkatan status gizi penduduk karena masih belum seimbang dengan laju pertambahan jumlah penduduk. Keadaan tersebut mengakibatkan porsi pangan per kapita tetap saja berada di bawah kebutuhan yang seharusnya dipenuhi, sehingga masalah kekurangan pangan dan gizi selalu dihadapi, terlebih di kalangan keluarga yang berpendapatan rendah atau keluarga miskin (Suhardjo 2002). Distribusi
pangan
banyak
ditentukan
oleh
kelompok-kelompok
masyarakat menurut taraf ekonominya. Golongan masyarakat ekonomi kuat memiliki kebiasaan makan yang cenderung beras, dengan konsumsi rata-rata melebihi angka kecukupannya. Sebaliknya,golongan masyarakat ekonomi paling lemah, yang justru pada umumnya produsen pangan, mereka mempunyai kebiasaan makan yang memberikan nilai gizi dibawah kecukupan jumlah maupun mutunya (Khumaidi 1989). Pendapatan Meningkatnya pendapatan pada perorangan menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan dalam susunan makanan. Bukti menunjukkan bahwa kebiasaan makan cenderung berubah bersama dengan naiknya pendapatan, maka masa pertumbuhan pendapatan merupakan saat yang baik untuk mempromosikan diversifikasi pangan (Suhardjo 1989). Menurut Martianto dan Ariani (2004) tingkat pendapatan seseorang akan berpengaruh terhadap jenis dan jumlah bahan pangan yang dikonsumsinya. Sesuai dengan Hukum Bennet, semakin tinggi pendapatan maka kualitas bahan pangan yang dikonsumsi pun semakin baik yang tercermin dari perubahan pembelian bahan pangan yang harganya murah menjadi bahan pangan yang harganya lebih mahal dengan kualitas yang lebih baik. Sebaliknya, rendahnya pendapatan yang dimiliki oleh seseorang akan mengakibatkan terjadinya perubahan kebiasaan makan yang tercermin dari pengurangan frekuensi makan dari tiga kali menjadi dua kali dalam sehari. Selain itu, masyarakat berpendapatan rendah juga akan mengkonsumsi pangan dalam jumlah dan jenis yang beragam untuk memenuhi kebutuhan gizi yang seimbang seperti mengkonsumsi tahu dan tempe sebagai pengganti daging.
8
Menurut Hanani (2009) tingginya kemiskinan maka akses terhadap pekerjaan dan pengelolaan sumberdaya menjadi rendah dan itu akan menyebabkan rendahnya pendapatan masyarakat. Rendahnya pendapatan menyebabkan daya beli masyarakat menjadi rendah. Rendahnya daya beli menyebabkan pemenuhan kebutuhan dasar yaitu kebutuhan akan pangan yang memenuhi pola pangan harapan sebagai syarat asupan gizi yang cukup juga berpeluang besar tidak dapat dipenuhi. Alokasi Pengeluaran Pangan, Non-pangan Dalam
International
Scientific
Symposium
on
Measurement
and
Assessment of Food Deprivation and Under-Nutrition , FAO-Rome tanggal 26-28 Juni 2002, pengukuran konsumsi dengan estimasi pengeluaran rumahtangga untuk makanan (Household Income and Expenditure Survey) merupakan salah satu metodologi untuk pengukuran food security (Hanani 2009). Persen pengeluaran untuk makanan menunjukkan rumahtangga yang rawan (vulnerable) jika persentase pengeluaran untuk makanan dari total pendapatan sebesar 70% atau lebih. Namun, pada keluarga berpendapatan tinggi, proporsi pengeluaran pangan tidak lebih dari 30% pendapatan, dan keluarga menengah persen pengeluaran untuk pangan sekitar 30-70% (den Hatog, van Staverev dan Broower 1995 dan Behrman 1995 dalam Tanziha 2005). Besar Keluarga Hubungan antara laju kelahiran yang tinggi dan kurang gizi, sangat nyata pada masing-masing keluarga. Terutama keluarga yang sangat miskin, pemenuhan kebutuhan makanan akan lebih mudah jika yang harus diberi makan jumlahnya sedikit. Pangan yang tersedia untuk suatu keluarga besar mungkin hanya cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut. Keadaan yang demikian jelas tidak cukup untuk mencegah timbulnya gangguan gizi pada keluarga besar. Anak-anak yang sedang tumbuh dari suatu keluarga miskin, adalah yang paling rawan terhadap gizi kurang diantara semua anggota keluarga; anak yang paling kecil biasanya yang paling terpengaruh oleh kekurangan pangan. Situasi semacam ini sering terjadi sebab seandainya besar keluarga bertambah, maka pangan untuk setiap anak berkurang dan banyak orang tua tidak menyadari bahwa anak-anak yang sedang tumbuh memerlukan pangan relatif lebih tinggi daripada golongan yang lebih tua. Tahun-tahun awal masa kanak-kanak yaitu
9
pada umur satu hingga enam tahun berada dalam situasi yang rawan (Suhardjo 1989). Pendidikan orang tua Pengetahuan
dan
pendidikan
formal
serta
keikutsertaan
dalam
pendidikan non-formal dari orang tua dan anak-anak sangat penting dalam menentukan status kesehatan, fertilitas dan status gizi keluarga (Sukarni 1989). Keadaan gizi seorang anak banyak ditentukan oleh perilaku pengasuhnya, apakah ayah, ibu, kakek, atau nenek. Kekurangan gizi bisa pula muncul akibat ketidaktahuan. Berbagai penelitian menunjukkan peningkatan pendidikan ibu di suatu negara merupakan komponen penting dalam menurunkan prevalensi kurang gizi di negara tersebut. Perbaikan pendidikan ini dapat dilakukan melalui pendidikan formal atau informal. Pendidikan formal dapat dilakukan dengan cara meningkatkan taraf pendidikan formal masyarakat, terutama para wanitanya yang akan banyak berperan dalam mengasuh anak. Di samping itu, dapat dilakukan dengan menyelipkan pendidikan gizi melalui jalur pendidikan formal (Riyadi 2006). Serupa dengan pernyataan diatas FAO (1989) menyatakan tingkat pendidikan, status kesehatan, dan lingkungan hidup dapat berpengaruh terhadap apa dan berapa banyak penduduk mengkonsumsi pangan serta terhadap status gizinya. Kurang makan dan kurang gizi karena berbagai faktor seperti rendahnya persediaan pangan, pendidikan, serta kondisi kesehatan dapat menimbulkan dampak yang serius dan berakhir lama pada kesehatan tubuh individu dan keluarga. Sanitasi dan Kesehatan Lingkungan Mengingat dampak dari perilaku terhadap derajat kesehatan cukup besar, secara teoritis mempunyai andil 30-35%, maka diperlukan berbagai upaya untuk mengubah perilaku yang tidak sehat (Depkes 2003). Menurut Widyati dan Yuliarsih (2002), sanitasi adalah suatu usaha pencegahan penyakit yang menitikberatkan kegiatan pada usaha kesehatan lingkungan
hidup
manusia.
Kesehatan
lingkungan
adalah
usaha-usaha
pengendalian/pengawasan keadaan lingkungan yang dapat mempengaruhi kesehatan atau yang dapat menimbulkan hal-hal yang merugikan perkembangan fisik, keseluruhan, dan daya tahan hidup manusia.
Kesehatan lingkungan
mencakup aspek yang sangat luas yang meliputi hampir seluruh aspek
10
kehidupan manusia. Pentingnya lingkungan yang sehat akan mempengaruhi sikap dan perilaku manusia. Kegiatan sanitasi lingkungan dalam pengendalian vector merupakan salah satu upaya kesehatan yang diselenggarakan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat. Upaya pengendalian vector tersebut dilaksanakan secara terintegrasi dengan berbagai upaya pokok dalam pelaksanaan penyehatan dan pengamanan substansi lingkungan (Depkes 2001). Keadaan rumah Keadaan perumahan adalah salah satu faktor yang menentukan keadaan hygiene dan sanitasi lingkungan. Seperti dikemukakan WHO bahwa perumahan yang tidak cukup dan terlalu sempit mengakibatkan pula tingginya kejadian penyakit dalam masyarakat (Entjang 1981). Menurut Notoatmodjo (2003), rumah adalah salah satu persyaratan pokok bagi kehidupan manusia. Syarat-syarat rumah yang sehat adalah: Bahan bangunan Lantai Ubin atau semen adalah baik namun tidak cocok untuk kondisi ekonomi pedesaan, lantai kayu sering terdapat pada rumah-rumah orang yang mampu di pedesaan dan ini pun mahal. Oleh karena itu, untuk lantai rumah pedesaan cukuplah tanah biasa yang dipadatkan. Syarat yang penting disini adalah tidak berdebu pada musim kemarau dan tidak basah pada musim hujan. Untuk memperoleh lantai tanah yang padat (tidak berdebu) dapat ditempuh dengan menyiram air kemudian dipadatkan dengan benda-benda yang berat dan dilakukan berkali-kali. Lantai yang basah dan berdebu merupakan sarang penyakit. Namun, dalam Depkes (2003) terdapat skor yang lebih tinggi untuk kategori jenis lantai semen, ubin, keramik, dibandingkan dengan tanah dalam indikator rumah sehat. Menurut Sukarni (1999) jenis lantai, atap, dinding dan jendela mempengaruhi pula perlindungan para penghuninya terhadap dingin, panas, dan hujan. Lantai dari tanah mempengaruhi penyebaran penyakit parasit. Dinding Dinding rumah di daerah tropis khususnya di pedesaan, lebih baik dinding atau papan. Sebab meskipun jendela tidak cukup maka lubang-lubang pada dinding atau papan tersebut dapat merupakan ventilasi dan dapat menambah penerangan alamiah.
11
Ventilasi Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti keseimbangan O2 yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya O2 di dalam rumah yang berarti kadar CO2 yang bersifat racun bagi penghuninya menjadi meningkat. Disamping itu tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban udara di dalam ruangan naik karena terjadi proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban akan merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri patogen (bakteri-bakteri penyebab penyakit). Fungsi kedua daripada ventilasi adalah membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri terutama bakteri patogen karena disitu selalu terjadi aliran udara yang terus-menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir. Fungsi lainnya adalah untuk menjaga agar ruangan rumah selalu tetap didalam kelembaban yang optimum. Ada 2 macam ventilasi, yakni : ventilasi alamiah dan buatan. Cahaya Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan tidak terlalu banyak. Kurangnya cahaya yang masuk ke dalam ruangan rumah, terutama cahaya matahari disamping kurang nyaman, juga merupakan media atau tempat yang baik untuk hidup dan berkembangnya bibit-bibit penyakit. Sebaliknya terlalu banyak cahaya didalam rumah akan menyebabkan silau dan akhirnya dapat merusak mata. Cahaya dapat dibedakan menjadi 2, yakni : Cahaya alamiah, yakni matahari. Cahaya ini sangat penting karena dapat membunuh bakteri-bakteri patogen didalam rumah, misalnya baksil TBC. Oleh karena itu, rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup. Seyogyanya jalan masuk cahaya (jendela) luasnya sekurang-kurangnya 15-20 % dari luas lantai yang terdapat dalam ruangan rumah. Perlu diperhatikan didalam membuat jendela diusahakan agar sinar matahari dapat langsung masuk ke dalam ruangan, tidak terhalang oleh bangunan lain. Fungsi jendela disini disamping sebagai ventilasi juga sebagai jalan masuk cahaya. Lokasi penempatan jendela pun harus diperhatikan dan diusahakan agar sinar matahari lama menyinari lantai (bukan menyinari dinding). Maka sebaiknya jendela itu harus di tengah-tengah tinggi dinding (tembok).
12
Cahaya buatan Yaitu menggunakan sumber cahaya yang bukan alamiah, seperti lampu minyak tanah, listrik, api dan sebagainya. Luas Bangunan Rumah Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni didalamnya, artinya luas lantai bangunan tersebut harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya. Luas bangunan yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan perjubelan (overcrowded). Hal ini tidak sehat, sebab disamping menyebabkan kurangnya konsumsi O2 juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain. Menurut Depkes (2003) batasan kepadatan hunian yang baik adalah lebih dari sama dengan 8 m2 /orang. Kandang ternak Ternak merupakan bagian hidup para petani maka kadang-kadang ternak tersebut ditaruh didalam rumah. Hal ini tidak sehat karena ternak kadang-kadang merupakan sumber penyakit pula. Maka sebaiknya, demi kesehatan, ternak harus terpisah dari rumah tinggal atau dibuatkan kandang tersendiri. Sampah Menurut Widyati dan Yuliarsih (2002), sampah adalah segala sesuatu yang tidak terpakai lagi dan harus dibuang. Sampah ini bisa berasal dari rumahtangga, rumah sakit, hotel, restoran, industri dan lain-lain. Telah terbukti adanya hubungan antara sampah dengan penyakit-penyakit yang ditulari oleh tikus, lalat, nyamuk, dan lain-lain. Agar sampah tidak membahayakan kesehatan manusia, perlu pengaturan pembuangannya. Hal-hal yang dapat diakibatkan oleh sampah antara lain sebagai berikut: 1. Menimbulkan penyakit 2. Tidak sedap dipandang mata 3. Menyebabkan polusi udara (bau yang tidak enak) 4. Pembuangan dan pengolahan sampah Menurut Entjang (1981) dan Sukarni (1989,1999) sampah dibagi dalam: Garbage adalah sisa-sisa pengolahan ataupun makanan yang mudah membusuk Rubbish adalah bahan-bahan sisa pengolahan yang tidak membusuk. Rubbish ini ada yang mudah terbakar misalnya kayu,kertas. Ada yang tidak terbakar misalnya kaleng, kawat dan sebagainya.
13
Tempat sampah harus: Terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan dan tidak mudah rusak Harus tertutup rapat Ditempatkan di luar rumah Pembuangan dapat dilakukan dengan cara: Individual incineration Sampah dikumpulkan di lubang sampah kemudian di bakar di pekarangan masing-masing. Pembakaran sampah ini harus dilakukan dengan baik sebab bila tidak asapnya mengotori udara dan bila tidak terbakar sempurna sisanya berceceran kemana-mana. Sanitary land fill Sampah dibuang ditempat yang rendah, kemudian diurug supaya tidak dikorek oleh anjing misalnya. Cara ini memenuhi syarat kesehatan. Land fill Sampah dibuang di tempat rendah. Pembuangan sampah ini hanya baik untuk sampah-sampah jenis rubbish, sedangkan bila jenis garbage atau tercampur dengan garbage, tempat pembuangan sampah ini akan menjadi perkembangbiakan serangga, dan tikus, juga menimbulkan bau-bauan yang tidak sedap. Composting (dibuat pupuk) Dari sampah yang terbuang masih dapat dibuat pupuk sebagai penyubur tanah pertanian. Pembuangan Tinja Menurut Widyati dan Yuliarsih (2002), pembuangan tinja yang layak merupakan kebutuhan masyarakat yang paling mendesak. Pembuangan tinja yang tidak pada tempatnya dapat menimbulkan gangguan kesehatan pada masyarakat. Penyakit yang penularannya melalui tinja merupakan penyebab kematian dan penyebab penyakit yang tinggi di Indonesia. Sebagian besar penyakit tersebut dapat dikendalikan/dikurangi dengan sanitasi yang baik melalui pembuangan tinja yang memenuhi syarat kesehatan. Bakteri coliform berasal dari tinja. Oleh karena itu, kehadiran bakteri ini di dalam berbagai tempat, mulai dari air minum, bahan makanan ataupun bahanbahan lain untuk keperluan manusia, tidak diharapkan dan bahkan sangat dihindari. Karena adanya hubungan antara tinja dan bakteri Coliform, jadilah kemudian bakteri ini sebagai indicator alami kehadiran materi fecal. Artinya, jika
14
pada suatu substrat atau benda tersebut sudah dikenal atau dicemari oleh materi fecal (Suriawiria 1996). Air Tinja
Tangan
sumber infeksi
Makanan
Penderitaan
sayur/buah
baru
Lalat Tanah Gambar 1 Skema mata rantai penularan penyakit dari tinja
Melalui gambar tersebut perlu dilakukan tindakan pencegahan sedini mungkin agar transmisi/pemindahan penyakit tidak terjadi dan dapat dihindarkan. Dengan mengisolasi tinja sedini mungkin maka penyebab penyakit tidak dapat mencapai penjamu/penderita baru (Widyati & Yuliarsih 2002). Syarat pembuangan kotoran menurut Ehlera dan Steel dalam Entjang (1981): Tidak mengotori tanah permukaan Tidak mengotori air permukaan Tidak mengotori air tanah Kotoran tidak boleh terbuka sehingga dapat dipergunakan oleh lalat untuk bertelur atau berkembang biak Kakus harus terlindung atau tertutup Pembuatannya mudah dan murah Bangunan kakus yang memenuhi syarat kesehatan terdiri dari: Rumah kakus Lantai kakus,sebaiknya semen Slab (tempat kaki atau pijakan) Closet tempat feses masuk Pit-sumur tempat feses masuk (cubluk) Bidang resapan Akses Terhadap Air Bersih Air bersih merupakan salah satu kebutuhan asasi manusia untuk kelangsungan hidupnya dan merupakan faktor yang sangat penting dalam menunjang kesehatan dan pengembangan perekonomiannya. Sumber-sumber air, ekosistem yang mendukung dan upaya pelestarian terbebani oleh adanya pencemaran, pemanfaatan lahan yang berubah-ubah, perubahan iklim dan
15
faktor-faktor lain yang memberatkan. Dalam memenuhi kebutuhan air bersih sehari-hari diperlukan sarana air bersih yang sesuai dengan keadaan, kebutuhan dan peruntukannya (Depkes 2001). Air bersih merupakan salah satu kebutuhan pokok makhluk hidup seharihari. Air yang digunakan untuk kebutuhan manusia sebagai air minum atau keperluan rumahtangga lainnya harus memenuhi syarat kesehatan, antara lain bebas dari kuman penyakit dan tidak mengandung bahan beracun. Air minum yang memenuhi derajat kesehatan sangat penting dalam mempertinggi derajat kesehatan masyarakat (Direktorat Penyehatan Air 1990). Khusus untuk mengelompokkan tingkat keamanan sumber air untuk masak dan minum digunakan metode seperti yang dipakai oleh Soemowerdojo dkk (1976), Entjang (1981) dan Sumengen (1987) dalam Atmojo et al. (1992) yang meliputi kategori sumber air tidak aman (air sungai, air kolam): sumber air kurang aman (mata air, sumur terbuka tanpa dinding tembok ke bawah) dan sumber air aman (sumur pompa, sumur tertutup/terlindung, air PAM) sesuai dengan peluang terjadinya kontaminasi oleh sumber pencemaran, baik biologi, fisik, dan kimiawi. Menurut Hanani (2009) tingginya akses air bersih tentunya menunjukkan tingkat kualitas hidup yang lebih baik dan lebih sehat, hal ini tentunya akan berimplikasi pada makin tingginya harapan hidup rata-rata penduduk. Akses air bersih memegang peranan yang sangat penting untuk pencapaian ketahanan pangan. Air yang tidak bersih akan meningkatkan resiko terjadinya sakit dan kemampuan dalam menyerap makanan dan pada akhirnya akan mempengaruhi status gizi seseorang. Morbiditas Salah satu data yang dipergunakan untuk menilai keadaan kesehatan gizi masyarakat secara tidak langsung adalah dengan morbiditas (Angka Sakit). Angka ini menunjukkan jumlah orang sakit pada suatu saat tertentu, untuk tiap 1000 penduduk. Terutama angka morbiditas untuk kelompok umur bayi dan kelompok umur balita merupakan indikator kesehatan gizi yang cukup sensitif. Jika disuatu daerah atau dalam suatu masyarakat tidak ada peristiwa epidemi suatu jenis penyakit tertentu, tetapi terdapat angka morbiditas tinggi, terutama di antara bayi dan balita, maka harus curiga bahwa kondisi ini disebabkan oleh kesehatan gizi yang rendah.
16
Kesehatan gizi yang rendah menyebabkan kondisi daya tahan umum tubuh menurun, sehingga berbagai penyakit dapat timbul dengan mudah. Seorang anak sehat tidak akan mudah terserang berbagai jenis penyakit, termasuk penyakit infeksi, karena akan mempunyai daya tahan tubuh yang cukup kuat. Daya tahan tubuh akan meningkat pada keadaan kesehatan gizi yang baik dan akan menurun bila kondisi kesehatan gizinya menurun (Sediaoetama 1989). Menurut Suryanah (1996) telah lama diketahui adanya interaksi sinergistis antara malnutrisi dan infeksi. Infeksi berat dapat memperburuk keadaan gizi melalui gangguan masukan makanan dan meningginya kehilangan zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi walaupun ringan berpengaruh negatif terhadap daya tahan tubuh terhadap infeksi. Kedua-duanya bekerja sinergistik, maka malnutrisi bersama-sama dengan infeksi memberi dampak negatif yang lebih besar dibandingkan dengan dampak oleh faktor infeksi dan malnutrisi secara sendiri-sendiri. Dampak infeksi terhadap pertumbuhan seperti menurunnya berat badan telah lama diketahui. Keadaan demikian disebabkan oleh hilangnya nafsu makan penderita penyakit infeksi hingga masukan (intake) zat gizi dan energi kurang daripada kebutuhannya. Lagipula pada infeksi kebutuhan tersebut justru meningkat oleh katabolisme yang berlebihan dan suhu badan yang meningkat. Serupa dengan penyataan tersebut menurut Suhardjo (2002) antara status gizi kurang dan infeksi terdapat interaksi bolak balik. Infeksi dapat menimbulkan gizi kurang melalui berbagai mekanisme dan yang paling penting ialah efek langsung dari infeksi sistemik pada katabolisme jaringan. Walaupun hanya terjadi infeksi ringan sudah akan menimbulkan kehilangan nitrogen. Infeksi yang akut mengakibatkan kurangnya nafsu makan dan toleransi terhadap makanan. Di berbagai tempat di dunia, makanan dapat tercemar oleh berbagai bibit penyakit yang menimbulkan gangguan dalam penyerapan zat gizi oleh tubuh. Orang yang mengalami gizi kurang daya tahan tubuh terhadap penyakit menjadi rendah, sehingga mudah terkena serangan penyakit infeksi. Demikian pula sebaliknya, orang yang kena penyakit infeksi dapat mengalami kurang gizi (Suhardjo 1989). Menurut Hidayat (2008) angka kesakitan bayi menjadi indikator kedua dalam memnentukan derajat kesehatan anak, karena nilai kesakitan merupakan cerminan dari lemahnya daya tahah tubuh bayi dan anak balita. Angka kesakitan
17
tersebut juga dapat dipengaruhi oleh status gizi, jaminan pelayanan kesehatan anak, perlindungan kesehatan anak, faktor sosial ekonomi, dan pendidikan anak. Konsumsi Pangan Semua manusia di negara manapun di dunia ini memerlukan pangan untuk dikonsumsi. Tubuh manusia harus memperoleh cukup pangan untuk memenuhi kebutuhan gizinya termasuk energi, protein, lemak, karbohidrat, vitamin, mineral dan air guna mempertahankan kelangsungan hidupnya (Suhardjo 1989). Setiap
orang
dalam
siklus
hidupnya
selalu
membutuhkan
dan
mengkonsumsi berbagai bahan makanan. Nilai yang sangat penting dari bahan makanan atau zat makanan bagi pertumbuhan dan perkembangan fisik serta perolehan energi guna melakukan kegiatan sehari-hari. Termasuk dalam memelihara proses tubuh dalam pertumbuhan dan perkembangan yaitu penggantian sel-sel yang rusak dan sebagai zat pelindung tubuh (dengan cara menjaga keseimbangan cairan tubuh). Proses tubuh dalam pertumbuhan dan perkembangan yang terpelihara dengan baik akan menunjukkan baiknya kesehatan yang dimiliki seseorang. Seseorang yang sehat tentunya memiliki daya pikir dan daya kegiatan fisik sehari-hari yang cukup tinggi (Kartasapoetra & Marsetyo 2003). Konsumsi pangan seseorang atau sekelompok orang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Menurut Harper et al. ada empat faktor utama yang mempengaruhi konsumsi pangan sehari-hari, yaitu: produksi pangan untuk keperluan rumahtangga, pengeluaran uang untuk pangan rumahtangga, pengetahuan gizi, tersedianya pangan (Suhardjo 1989). Menurut Wong et al (2008), gizi mungkin merupakan satu-satunya pengaruh paling penting pada pertumbuhan. Faktor diet mengatur pertumbuhan pada semua tahap perkembangan, dan efeknya ditunjukkan pada cara yang beragam dan rumit. Selama periode pertumbuhan prenatal yang cepat, gizi buruk dapat mempengaruhi perkembangan dari waktu implantasi ovum sampai kelahiran. Selama masa bayi dan kanak-kanan, kebutuhan terhadap kalori relatif besar, seperti yang dibuktikan oleh peningkatan tinggi dan berat badan. Pada waktu ini kebutuhan protein dan kalori lebih tinggi dibandingkan pada hampir setiap periode perkembangan pascanatal. Ketika laju pertumbuhan melambat disertai dengan penurunan metabolisme, akibatnya terjadi penurunan kebutuhan kalori dan protein. Pengukuran konsumsi makanan sangat penting untuk
18
mengetahui kenyataan apa yang dimakan oleh masyarakat dan hal ini dapat berguna untuk mengukur status gizi dan menemukan faktor diet yang menyebabkan malnutrisi (Supariasa et al 2001). Keadaan kesehatan gizi tergantung dari tingkat konsumsi. Tingkat konsumsi ditentukan oleh kualitas serta kuantitas hidangan. Kualitas hidangan menunjukkan adanya semua zat gizi yang diperlukan tubuh di dalam susunan hidangan dan perbandingannya yang satu terhadap yang lain. Kuantitas menunjukkan kuantum masing-masing zat gizi terhadap kebutuhan tubuh. Kalau susunan hidangan memenuhi kebutuhan tubuh, baik dari sudut kaulitas maupun kuantitasnya, maka tubuh akan mendapat kondisi kesehatan gizi yang sebaikbaiknya. Konsumsi yang menghasilkan kesehatan gizi yang sebaik-baiknya, disebut konsumsi adekwat. Kalau konsumsi baik kualitasnya dan dalam jumlah melebihi kebutuhan tubuh, dinamakan konsumsi berlebih; maka akan terjadi suatu keadaan gizi lebih. Sebaliknya konsumsi yang kurang baik kualitasnya maupun kuantitasnya akan memberikan kondisi kesehatan gizi kurang atau kondisi defisiensi (Sediaoetama 1996). Ketahanan Pangan, Kondisi Lingkungan, dan Status Gizi Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin. Status gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat-zat gizi esensial. Status gizi lebih terjadi bila tubuh memperoleh zat-zat gizi dalam jumlah berlebihan, sehingga menimbulkan efek toksin atau membahayakan (Almatsier 2001). Status gizi menjadi indikator kategori ketiga dalam menentukan derajat kesehatan anak. Status gizi yang baik dapat membantu proses pertumbuhan dan perkembangan anak untuk mencapai kematangan yang optimal. Gizi yang cukup juga dapat memperbaiki ketahanan tubuh sehingga diharapkan tubuh akan bebas dari segala penyakit. Status gizi dapat membantu untuk mendeteksi lebih dini risiko terjadinya masalah kesehatan. Pemantauan status gizi dapat digunakan sebagai bentuk antisipasi dalam merencanakan perbaikan status kesehatan anak (Hidayat 2008). Menurut Khomsan (2002) Gizi yang cukup merupakan masukan yang penting untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Telah terbukti
19
bahwa kurang gizi menyebabkan seseorang lebih rentan terhadap penyakit, kurang motivasi, bereaksi lamban dan apatis, sehingga prestasi belajar pun turun. Seorang anak yang menderita kurang gizi tidak dapat bereaksi maksimal terhadap lingkungan. Anak tersebut akan terisolir dan kehilangan kesempatan berkembang pada masa kritis pertumbuhannya. Oleh karena itu, agar sumber daya manusia dapat bekerja produktif, maka sejak kanak-kanak seorang harus baik gizi makanannya. Konsep terjadinya keadaan gizi mempunyai dimensi yang sangat kompleks. Daly et al dalam Supariasa et al (2001) membuat model faktor-faktor yang mempengaruhi keadaan gizi yaitu konsumsi makanan dan tingkat kesehatan. Konsumsi makanan dipengaruhi oleh pendapatan, makanan, dan tersedianya bahan makanan. Banyak sebab masalah gizi timbul, baik langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap keadaan gizi individu, keluarga maupun masyarakat. Masalah kurang gizi adalah kompleks, merupakan kombinasi dari beberapa faktor yang menjadi penyebabnya. Penyebab utama dari kelaparan adalah kekurangan sumberdaya keluarga untuk membeli makanan atau kecukupan produksi pangan keluarga. Ketidakcukupan pangan berhubungan dengan faktor sosial, kepercayaan, proses pembagian dalam keluarga dan distribusinya, sanitasi, kelesuan dan efek lain dari kemiskinan. Ketajaman fluktusi pangan dan harga tinggi merupakan masalah yang menimbulkan kelaparan dan kurang gizi. Data perumahan penduduk merupakan salah satu indikator untuk menilai gizi masyarakat, karena rumah dapat digunakan sebagai indikator sosial ekonomi seseorang dan rumah juga dapat digunakan untuk mengetahui keadaan keluarga itu. Subindikator yang dipakai antara lain sanitasi rumah, perlengkapan rumahtangga, fasilitas air bersih, sumber penerangan dan lain-lain. Keadaan lingkungan menentukan masalah gizi yang ada (Roedjito 1989). Sesuai dengan kerangka pikir UNICEF dalam Soekirman (2000) dan telah digunakan luas secara internasional mengenai berbagai faktor penyebab kurang gizi anak. Penyebab langsung yaitu makanan anak dan penyakit infeksi yang mungkin diderita anak.penyebab tidak langsung yaitu ketahanan pangan
di
keluarga, pola pengasuhan anak, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Ketiga faktor ini saling berhubungan. Ketiga faktor tidak langsung tersebut saling berkaitan dan bersumber pada akar masalah yaitu pendidikan dan ekonomi keluarga serta keterampilan memanfaatkan sumber daya keluarga
20
dan masyarakat. Akhirnya semuanya dapat berpangkal pada masalah pokok yang lebih besar dimasyarakat dan bangsa secara keseluruhan, seperti masalah ekonomi, politik dan sosial. Dampak
KURANG GIZI
Penyebab langsung
Makan Tidak Seimbang
Penyebab Tidak langsung
Tidak Cukup Persediaan Pangan
Penyakit Infeksi
Pola Asuh Anak Tidak Memadai
Sanitasi dan Air Bersih/Pelayanan Kesehatan Dasar Tidak Memadai
Kurang Pendidikan, Pengetahuan dan Keterampilan
Pokok Masalah di Masyarakat
Kurang pemberdayaan wanita dan keluarga, kurang pemanfaatan sumberdaya masyarakat
Pengangguran, inflasi, kurang pangan dan kemiskinan
Akar Masalah (nasional)
Krisis Ekonomi, Politik, dan Sosial
Gambar 2 Bagan penyebab gizi kurang Menurut Soekirman (2000) untuk mengetahui secara tepat status gizi anak atau kelompok anak tertentu maka indikator BB/U, TB/U, dan BB/TB harus digunakan. Dengan mengukur BB,TB, dan U anak atau kelompok anak, dapat dihitung tiga jenis indikator atas dasar kombinasi ketiga ukuran tersebut. Dengan mengetahui keadaan dari masing-masing ke-3 indikator di atas dapat disimpulkan secara tepat keadaan gizi anak atau kelompok anak. Ketiga indikator tersebut diatas lebih banyak digunakan pada survey khusus, pada kegiatan penelitian, atau untuk penapisan (screening) anak yang kurang gizi. Interpretasi keadaan gizi anak dengan ketiga indikator ini menjadi lebih tajam, seperti contoh pada tabel berikut.
21
Tabel 1 Pengertian indikator status gizi Indikator BB/U
Indikator TB/U
Indikator BB/TB
Rendah
Rendah
Normal
Normal
Rendah
Lebih
Rendah
Rendah
Rendah
Normal
Normal
Normal
Rendah
Normal
Rendah
Normal
Normal
Rendah
Kesimpulan Keadaan gizi anak saat ini baik, tetapi anak tersebut mengalami masalah gizi kronis. BB anak proporsional dengan TB-nya Anak mengalami masalah gizi kronis dan pada saat ini anak menderita kegemukan (overweight) karena BB lebih dari proporsional terhadap TB-nya Anak mengalami kurang gizi berat dan kronis artinya pada saat ini keadaan gizi anak tidak baik dan riwayat masa lalunya juga tidak baik Keadaan gizi anak baik pada saat ini dan pada masa lalu Agak mengalami kurang gizi yang berat (kurus) Keadaan gizi anak secara umum baik tetapi badannya kurang proporsional terhadap TB-nya karena tubuh anak jangkung
WHO menggunakan kisaran prevalensi dari indikator BB/U, TB/U dan BB/TB tersebut untuk mengkategorikan tingkat keadaan status gizi anak dibawah lima tahun (balita) untuk mengetahui masalah kesehatan masyarakat. Kisaran prevalensi tersebut ditunjukan pada tabel dibawah ini. Tabel 2 Kisaran prevalensi menurut BB/U dan TB/U anak balita Kategori Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi
Prevalensi (% anak dengan z-score <-2) TB/U (stunting) BB/U (underweight) < 20 < 10 20 - 29 10 – 19 30 - 39 20 – 29 ≥ 40 ≥ 30
Tabel 3 Tingkatan masalah gizi dalam emergency situation menurut prevalensi wasting dan rata-rata z-score anak balita Kategori Dapat Diterima Buruk Serius Kritis
Prevalensi wasting (% anak dengan z-score <-2) <5 5–9 10 – 14 ≥ 15
Rata-rata z-score BB/TB > -0,40 -0,40 s/d -0,69 -0,70 s/d -0,99 ≤ -1,00
22
KERANGKA PEMIKIRAN Status gizi yang baik, terutama pada anak merupakan salah satu aset penting untuk pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas. Sumber daya manusia yang berkualitas merupakan modal untuk menghadapi persaingan bebas di era globalisasi. Pemenuhan zat gizi yang baik dan cukup akan mendukung pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja, dan kesehatan pada tingkat yang optimal. Masalah gizi yang muncul sering berkaitan dengan masalah kekurangan pangan, salah satunya timbul akibat masalah ketahanan pangan ditingkat rumahtangga, yaitu kemampuan rumahtangga memperoleh makanan untuk semua
anggotanya.
Ketahanan
pangan
di
tingkat
rumahtangga
selain
dipengaruhi oleh penyediaan (produksi) pangan dan distribusi pangan, juga berhubungan erat dengan kondisi ekonomi keluarga untuk memenuhi konsumsi pangannya, yang akan berdampak pada status gizi tiap anggota keluarga, salah satunya adalah anak. Menurut kerangka pikir UNICEF (1998) faktor penyebab langsung timbulnya masalah gizi adalah asupan pangan dan adanya penyakit. Pencapaian konsumsi pangan anak dipengaruhi oleh karakterisitik sosial ekonomi keluarga yang dilihat dari besar keluarga, penghasilan yang diperoleh keluarga, dan alokasi pengeluarannya, sebesar apa prioritasnya untuk pangan. Suatu penyakit muncul akibat tidak seimbangnya berbagai faktor, salah satunya adalah faktor lingkungan (environment). Kondisi lingkungan yang tidak bersih dapat memicu timbulnya berbagai penyakit yang turut mempengaruhi asupan pangan seseorang, karena umumnya orang yang sakit kebutuhan akan zat gizinya lebih tinggi sedangkan selera makannya rendah yang akhirnya akan berdampak pada status gizinya.
23
Kondisi lingkungan
Karakteristik sosial
Sanitasi dan kesehatan
Akses
ekonomi keluarga
lingkungan fisik
pelayanan
Keadaan rumah Pembuangan sampah Pembuangan tinja/kepemilikan MCK Akses air bersih
kesehatan
Besar keluarga Pendidikan orang tua Pendapatan keluarga Alokasi pengeluaran pangan, non-pangan
Tingkat Ketahanan Pangan Pengetahuan
RT
gizi ibu Konsumsi pangan anak balita
Tingkat kesakitan (morbidity) Status Gizi Anak Balita
Keterangan : = Variabel yang diteliti = Variabel yang tidak diteliti = Hubungan yang diteliti = Hubungan yang tidak diteliti
Gambar 3 Hubungan ketahanan pangan rumahtangga, kondisi lingkungan, morbidity, konsumsi pangan dan status gizi Balita
24
METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu penelitian Penelitian ini menggunakan desain
cross sectional study untuk
mengetahui hubungan antara tingkat ketahanan pangan rumahtangga, kondisi lingkungan, morbiditas dengan status gizi anak balita pada rumahtangga yang tinggal di daerah rawan pangan dan merupakan bagian dari studi Kajian Ketahanan Pangan dan Alokasi Sumberdaya Keluarga serta Keterkaitannya dengan Status Gizi dan Perkembangan Anak di Kabupaten Banjarnegara, Propinsi Jawa Tengah, kerjasama Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor dengan Neys-van Hooghstraten Foundation (NHF) Belanda. Penelitian dilakukan di Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah yang telah dipilih secara
purposive
sampling.
Pemilihan
tempat
ini
karena
Kabupaten
Banjarnegara pernah mengalami sejarah kurang pangan. Sampai tahun 2006, Banjarnegara
masih
termasuk
dalam
wilayah
yang
rumahtangganya
dikategorikan beresiko tinggi defisit konsumsi energi dan protein (Deptan 2008). Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai Maret 2009. Teknik Pengambilan Sampel Sampel pada penelitian ini adalah balita usia 2 sampai 5 tahun pada keluarga dengan ayah, ibu dan anak tinggal dalam rumahtangga yang sama. Survei
pendahuluan
dilakukan
untuk
melakukan
sampling,
yang
akan
mengelompokkan keluarga yang memiliki balita. Sampel di setiap desa berjumlah 50 rumahtangga yang terdiri dari keluarga yang memiliki balita. Pemilihan sampel dengan metode acak sederhana (simple random sampling) dilakukan untuk memilih sampel dari kerangka sampling. Total
ukuran sampel pada studi ini
adalah 300 rumahtangga (6 desa). Kabupaten Banjarnegara terdiri atas 20 kecamatan, dari kecamatan tersebut dipilih dua kecamatan yang termasuk dalam wilayah berisiko rawan pangan yaitu Kecamatan Pejawaran dan Kecamatan Punggelan. Setiap kecamatan, diambil tiga desa yang sesuai dengan kondisi umum kecamatan. Sampel di setiap desa berjumlah 50 rumahtangga. Jumlah ini diambil karena sesuai dengan jumlah data yang dapat dianalisis secara statistik, yaitu ≥30 sampel. Selain itu setiap desa memiliki tingkat keragaman yang rendah sehingga persentase sampel yang diambil dari populasi balita di tiap desa sudah bisa mewakili kondisi balita secara umum di desa tersebut.
25
Jenis dan Cara Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini dapat digolongkan menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer akan dikumpulkan melalui wawancara menggunakan kuesioner dan pengamatan personal terhadap responden sedangkan data sekunder akan dikumpulkan dari aparat/kantor pemerintah kabupaten dan desa berupa keadaan umum wilayah Banjarnegara.. Data primer terdiri dari karakteristik keluarga (besar keluarga, pendidikan orang tua, pendapatan keluarga dan pengeluaran pangan dan non pangan keluarga), kondisi sanitasi dan lingkungan fisik, konsumsi pangan anak balita, status kesehatan dan gizi anak balita. Tabel 4 merangkum semua variabel dan indikator yang diteliti. Tabel 4 Variabel dan indikator penelitian No
1.
Variabel Karakteristik Keluarga
Indikator -
2
Sanitasi dan kesehatan lingkungan
-
Besar keluarga Pendidikan orang tua Pendapatan keluarga Pengeluaran pangan dan non pangan Keadaan Rumah: Kepadatan hunian, jenis lantai, dinding, pencahayaan, ventilasi, keberadaan kandang ternak Pembuangan sampah Kepemilikan MCK Akses air bersih Konsumsi Makanan Anak Balita Energi dan protein yang dikonsumsi oleh sasaran yang ditampilkan dalam persen tingkat kecukupan (% to RDA)
Cara Pengumpulan Data Wawancara menggunakan kuesioner
Wawancara dan pengamatan
3.
Penggunaan Pangan
4.
Kesehatan
Angka Kesakitan 3 bulan terakhir
Wawancara menggunakan kuesioner
5.
Tingkat ketahanan pangan
Kecukupan konsumsi energi rumahtangga
Frekuensi pangan rumahtangga
6.
Status Gizi
Status gizi menggunakan antropometri (BB,TB)
Pengkuran BB dengan timbangan dan TB dengan micro-toise
Recall 2 x 24 jam
Pengolahan dan Analisis Data Data yang telah dikumpulkan akan diolah secara manual maupun komputer yang sebelumnya akan melalui tahap editing, coding, entry dan cleaning. Data yang telah dikumpulkan kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan dianalisis secara deskriptif dan statistika menggunakan program Microsoft Excel 2007 dan SPSS for Windows versi 13.0.
26
Analisis
secara
deskriptif
meliputi
tingkat
ketahanan
pangan
rumahtangga, kondisi lingkungan, morbiditas, konsumsi dan status gizi balita di tabulasi silang dengan kecamatan didaerah penelitian. Analisis statistik korelasi Pearson digunakan untuk mengetahui hubungan antara variable yang dianalisis, yaitu karakteristik kelurga (jumlah anggota keluarga, pendapatan, pengeluaran pangan dan non-pangan), sanitasi dan kesehatan keluarga, morbidity anak balita, dengan tingkat konsumsi pangan anak balita dan status gizi anak balita. Sedangkan Analisis statistik korelasi Rank Spearman digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel karakteristik keluarga (pendidikan ayah dan ibu) dengan tingkat konsumsi pangan anak balita dan status gizi anak balita. Analisis perbandingan juga digunakan untuk membandingkan rata-rata antara dua kelompok sampel data dengan menggunakan independent-sample T test. Besar keluarga. Data yang diperoleh mengenai jumlah anggota keluarga, kemudian dikelompokkan menjadi keluarga kecil (≤ 4 orang), keluarga sedang (5-7 orang), dan keluarga besar (≥8 orang) (Hurlock 1998 diacu oleh Gabriel 2008). Pendidikan orang tua. Data tingkat pendidikan orang tua dikelompokkan menjadi enam kelompok, yaitu tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SD/sederajat, tamat SLTP/sederajat, tamat SLTA/sederajat, dan perguruan tinggi. Pendapatan keluarga. Data pendapatan keluarga yang diperoleh dari pendekatan total pengeluaran kemudian akan dikelompokkan menjadi kelompok miskin dan tidak miskin, berdasarkan BPS 2007 garis kemiskinan untuk Kabupaten Banjarnegara yaitu sebesar Rp 146.531 /kapita/bulan. Sedangkan garis kemiskinan yang ditetapkan oleh Bank Dunia $ 1 atau $ 2 per kapita per hari memungkinkan bagi setiap negara untuk membandingkan posisinya dengan negara-negara lain (Khomsan 2009). Berdasarkan nilai beli USD per tanggal 30 Maret 2009 (Bank Indonesia) adalah Rp 11.472. Aloksi pengeluaran rumahtangga. Data pengeluaran keluarga dibagi menjadi pengeluaran pangan dan non pangan yang dihitung dalam rupiah/kapita/bulan. Sanitasi dan kesehatan lingkungan fisik. Data di nilai dengan skor atas pertanyaan. Skor 0 diberikan untuk kondisi kurang, 1 untuk kondisi sedang, dan 2 untuk kondisi baik. Berdasarkan indeks total skor yang diperoleh, sanitasi dan kesehatan lingkungan fisik selanjutnya diubah dalam bentuk persen sehingga
27
skor maksimalnya menjadi 100 lalu digolongkan dalam tiga kategori, yaitu baik (>80%), cukup (60-80%), dan kurang (<60%) (Martianto et al 2008). Morbiditas. Data dikelompokkan berdasarkan lama sakit menjadi tidak pernah, 1-3 hari, 4-7 hari, dan > 7 hari, serta dikelompokkan berdasarkan jenis penyakit yang pernah diderita. Konsumsi pangan anak balita.
Data meliputi jenis dan jumlah pangan.
Kemudian dikonversikan kedalam kandungan gizi, yaitu energi dan protein. Rumus yang digunakan untuk mengetahui kandungan zat gizi makanan yang dikonsumsi adalah (Hardinsyah & Briawan 1994) : Kgij = (Bj/100) x Gij x (BDDj/100) Keterangan : KGij
= Penjumlahan zat gizi i dari setiap bahan makanan/pangan yang dikonsumsi
Bj
= Berat bahan makanan j (gram)
Gij
= Kandungan zat gizi i dari bahan makanan j
BDDj = persen bahan makanan j yang dapat dimakan Kemudian dihitung tingkat kecukupan zat gizinya dengan rumus: Tingkat kecukupan zat gizi =
Konsumsi Zat Gizi Aktual
x 100%
Angka Kecukupan Gizi (AKG)
Untuk menentukan AKG individu dapat dilakukan dengan melakukan koreksi terhadap berat badan, dengan rumus: AKG Koreksi =
Berat Badan Aktual Sehat (kg)
x AKG
Berat Badan Dalam daftar AKG Tingkat konsumsi energi dan protein dikelompokkan menjadi tiga, yaitu : defisit berat (<70%), defisit sedang (70-90%), dan cukup (90%) (Martianto et al 2008). Tingkat ketahanan pangan. Data dikelompokkan berdasarkan tingkat defisit energi dari konsumsi pangan rumahtangga. Menurut Riyadi (2006), untuk menghitung kecukupan energi rumahtangga dapat digunakan dengan cara pendugaan kecukupan individu, tetapi sebelumnya didata dahulu jumlah anggota rumahtangganya beserta umur, jenis kelamin, dan berat badan masing-masing anggota rumahtangga. Dari data tersebut,kemudian dilihat kecukupan masingmasing individu dengan menggunakan Angka Kecukupan Energi yang dianjurkan untuk orang Indonesia AKEI = BB x AKE/kgBB
28
Keterangan: AKEI
= Angka kecukupan energi individu
BB
= Berat badan Individu (kg)
AKE/kgBB
= Angka kecukupan energi per kilogram berat badan
Kemudian, jumlahkan kecukupan masing-masing anggota rumahtangga. Angka penjumlahan yang didapatkan merupakan angka kecukupan energi rumahtangga tersebut. Angka kecukupan energi dapat dihitung dengan rumus (Hardinsyah & Martianto 1992): AKERK = AKEI / n Keterangan: AKERK
= Angka kecukupan energi rata-rata rumahtangga (Kal/kap/hr)
AKEI
= Angka kecukupan energi individu
n
= Jumlah anggota rumahtangga Tingkat kecukupan energi dihitung dengan membandingkan konsumsi
dan kecukupan yang dianjurkan dengan menggunakan rumus: TKE =
rata-rata konsumsi energi aktual rumahtangga
X 100%
rata-rata angka kecukupan energi rumahtangga Kemudian data dikelompokkan menjadi defisit sangat rawan pangan (<70%), rawan pangan (70%-90%) dan tahan pangan (> 90%) (Zeitlin & Broown 1990 dalam Purlika 2004). Status gizi anak balita. Penilaian status gizi sasaran diperoleh dengan pendekatan antropometri berdasarkan standar deviasi unit disebut juga Z-skor yang kemudian dibandingkan dengan baku WHO-NCHS. Tabel 5 Kategori status gizi pada berbagai ukuran antropometri BB/U
TB/U
BB/TB
Gizi lebih (>2,0 SD) Gizi baik (-2,0 SD s/d +2,0 SD) Gizi kurang (<-2,0 SD) Gizi buruk (<-3,0 SD)
Normal (Normal ≥-2,0 SD) Pendek/ stunted (<-2,0 SD)
Gemuk (>2,0 SD) Normal (-2,0 SD s/d +2,0 SD) Kurus/ wasted (<-2,0 SD s/d -3,0 SD) Sangat kurus (<-3,0 SD)
(Sumber : baku WHO-NCHS diacu oleh Riyadi 2004)
29
Definisi Operasional Anak Balita adalah anak usia 2 sampai 5 tahun laki-laki atau perempuan dengan ayah, ibu dan anak tinggal dalam rumahtangga yang sama. Besar Keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang tinggal dibawah satu atap atau dalam satu bangunan yang mempunyai dapur dan anggaran rumahtangga yang sama. Kesehatan adalah tingkat kesakitan (morbidity) anak balita berdasarkan jenis penyakit yang penah diderita, lama dan frekuensinya selama 3 bulan terakhir. Pendapatan Keluarga adalah jumlah pendapatan yang diperoleh dari seluruh anggota keluarga, dibagi jumlah seluruh anggota keluarga dalam satuan Rp/kapita/bulan. Pendidikan Orang tua adalah jenjang pendidikan formal yang diselesaikan oleh orang tua dengan memperhitungkan lamanya tahun pendidikan yang pernah diikuti. Pengeluaran Pangan dan Non-pangan adalah biaya yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan non pangan semua anggota keluarga selama sebulan dibagi dengan banyaknya anggota keluarga (selama satu tahun terakhir). Penggunaan Pangan adalah konsumsi pangan dalam jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi anak balita yang diukur dengan metode recall selama 2 x 24 jam. Sanitasi dan Kesehatan Lingkungan Fisik adalah kondisi lingkungan fisik sekitar rumah yang melipti keadaan perumahan, pembuangan tinja, pembuangan sampah, dan akses terhadap air bersih. Status Gizi adalah keadaan tubuh anak balita yang diukur dengan cara atropometri dengan menggunakan indeks BB/U, TB/U, dan BB/TB yang dibandingkan dengan baku WHO-NCHS. Tingkat Ketahanan Pangan Rumahtangga adalah diukur bedasarkan tingkat kecukupan konsumsi energi rumahtangga yang digolongkan dalam defisit tingkat rendah, defisit tingkat sedang, dan defisit tingkat berat.
30
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Wilayah Penelitian Kabupaten Banjarnegara Banjarnegara adalah salah satu Kabupaten yang terletak di Propinsi Jawa Tengah. Wilayah Kabupaten Banjarnegara terletak pada jalur pegunungan di bagian tengah Jawa Tengah sebelah Barat yang membujur dari arah Barat ke Timur. Terletak di antara 7º12’ - 7º31’ Lintang Selatan dan 109º29’ - 109º45’50” Bujur Timur. Sebelah utara Kabupaten Banjarnegara berbatasan dengan wilayah Kabupaten Pekalongan, sebelah timur berbatasan dengan wilayah Kabupaten Wonosobo, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Kebumen, serta sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Purbalingga dan Kabupaten Banyumas. Luas wilayah Kabupaten Banjarnegara tercatat 106.970,997 Ha atau sekitar 3,29 persen dari luas Propinsi Jawa Tengah (3,25 juta Ha). Ditinjau dari ketinggiannya Kabupaten Banjarnegara sebagian besar berada pada ketinggian 100-500 m diatas permukaan laut sebesar 37,04 persen, kemudian antara 5001.000 m diatas permukaan laut sebesar 28,74 persen, lebih besar dari 1000 m diatas permukaan laut sebesar 24,4 persen dan sebagian kecil terletak kurang dari 100 m diatas permukaan sebesar 9,82 persen. Berdasarkan bentuk tata alam dan penyebaran geografisnya dapat digolongkan menjadi daerah pegunungan relief bergelombang dan curam di bagian utara, wilayah dengan relief datar di bagian tengah, dan wilayah dengan relief curam di bagian selatan. Kabupaten Banjarnegara beriklim tropis, musim hujan dan musim kemarau silih berganti sepanjang tahun. Bulan basah umumnya lebih banyak dari bulan kering. Curah hujan tertinggi terjadi di Kecamatan Banjarnegara sebanyak 4.269 mm per tahun. Sedangkan curah hujan terendah terjadi di Kecamatan Pejawaran sebesar 2.282 mm per tahun Jumlah penduduk Kabupaten Banjarnegara sampai akhir tahun 2007 adalah sebanyak 910.513 jiwa, terdiri dari 454.986 laki-laki dan 455.527 perempuan. Kepadatan penduduk akhir tahun 2007 sebesar 851 jiwa per km2. Pertumbuhan penduduk dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2007 secara umum mengalami penurunan.
Kabupaten Banjarnegara terdiri atas
20
kecamatan. Lokasi penelitian difokuskan pada dua kecamatan, yaitu Kecamatan Punggelan dan Kecamatan Pejawaran (BPS 2007).
31
Kecamatan Punggelan Kecamatan Punggelan merupakan kecamatan dengan luas wilayah sekitar 10.284,01 Ha yang terdiri dari 17 desa. Kecamatan Punggelan merupakan wilayah yang topografinya bergelombang dan berbukit dan sebagian besar merupakan tanah kering, sehingga cocok untuk tanaman perkebunan dan kayu-kayuan. Penduduk Kecamatan Punggelan pada akhir 2007 sebanyak 70.877 jiwa, dengan jumlah rumahtangga 18.057 dan rata-rata anggota rumahtangga 3,9 orang serta kepadatan penduduk sebesar 689 jiwa per km2. Mata pencaharian sebagian besar penduduk Kecamatan Punggelan adalah bekerja di sektor pertanian yang mencapai 43,8 persen, sektor jasa 5,50 persen, sektor perdagangan 3,96 persen, sektor transportasi dan industri masing-masing 0,97 persen dan 2,19 persen sedangkan yang berkerja di sektor lainnya mencapai 41,08 persen. Pada sektor pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia sebagai penentu keberhasilan sektor-sektor lainnya, Kecamatan Punggelan digolongkan masih sangat rendah. Hal ini terlihat pada angka tingkat pendidikan yang masih didominasi oleh tamatan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) yang mencapai 55,85 persen. Sedangkan tamatan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) dan tamatan Akademi maupun Perguruan Tinggi (AK/PT) masing-masing hanya sebesar 7,7 persen dan 1,37 persen. Kemudian untuk yang masih sekolah atau belum tamat SD, tidak tamat SD dan yang tidak pernah sekolah atau tidak mengenyam pendidikan sama sekali masing-masing sebesar 17,31 persen, 13,45 persen, dan 5,07 persen. Kecamatan Pejawaran Kecamatan Pejawaran merupakan kecamatan dengan luas wilayah sekitar 5.224,97 Ha yang terdiri dari 17 desa. Penduduk kecamatan pejawaran berjumlah 41.829 dengan jumlah rumahtangga 11.929, rata-rata anggota rumahtangga 3,5 orang. Jumlah penduduk laki-laki sebanyak 21.056 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 20.773 jiwa. Rata-rata tingkat pendidikan penduduknya didominasi oleh tamatan Sekolah Dasar (SD) yang mencapai 46 persen. Dominasi mata pencaharian penduduknya adalah petani dan buruh tani dengan persentase 66,7 persen dan 29,7 persen (BPS 2007).
32
Tingkat Ketahanan Pangan Rumahtangga Menurut Peraturan Pemerintah No 68 tahun 2002 tentang ketahanan pangan, ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah, maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau (Deptan 2002). Konsumsi pangan yang mencukupi merupakan syarat mutlak terwujudnya ketahanan pangan
rumahtangga.
Ketidaktahanan
pangan
dapat
digambarkan
dari
perubahan konsumsi pangan yang mengarah pada penurunan kuantitas dan kualitas termasuk perubahan frekuensi konsumsi makanan pokok . Ketahanan pangan menekankan adanya jaminan pada kesejahteraan keluarga, salah satunya adalah pangan sebagai alat mencapai kesejahteraan. Stabilitas pangan berarti menjaga agar tingkat konsumsi pangan rata-rata rumahtangga tidak menurun di bawah kebutuhan yang seharusnya. Ketahanan pangan keluarga terkait dengan ketersediaan pangan yang merupakan salah satu faktor atau penyebab tidak langsung yang berpengaruh pada status gizi anak (Soekirman 2000). Tingkat ketahanan pangan rumahtangga ini dikelompokkan berdasarkan kemampuan rumahtangga dalam mencukupi kebutuhan energinya. Sebaran rumahtangga berdasarkan tingkat ketahanan pangan pada daerah penelitian dapat terlihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 4 Sebaran rumahtangga menurut tingkat ketahanan pangan Ketahanan pangan di tingkat rumahtangga sangat tergantung dari cukup tidaknya pangan dikonsumsi oleh setiap anggota rumahtangga untuk mencapai gizi baik dan hidup sehat. Berdasarkan Gambar 4 dapat dilihat bahwa tingkat ketahanan pangan rumahtangga di wilayah penelitian menyebar hampir merata dengan persentase paling besar berada pada kategori sangat rawan pangan (37,3%), sedangkan persentase terkecil rumahtangga tergolong tahan pangan (31%). Hal tersebut menggambarkan bahwa rata-rata rumahtangga di wilayah
33
penelitian belum mampu memenuhi kebutuhan energinya dengan baik, karena sebagian besar rumahtangganya ada dalam kategori rawan pangan (69%). Jika dilihat dari rata-rata nilai kecukupan energinya mencapai 84 persen dapat dikatakan bahwa tingkat konsumsi energinya defisit sedang.
Tabel 6 Sebaran rumahtangga menurut tingkat ketahanan pangan Tingkat Ketahanan Pangan RT Tahan pangan (>90%) Rawan pangan (70%-90%) Sangat rawan pangan (<70%) Total Rata-rata
std
Kecamatan Pejawaran Punggelan n % n % 35 23,3 58 38,7 40 26,7 55 36,7 75 50 37 24,7 150 100 150 100 75,4 ± 30
92,2 ± 33,1
Total n 112 95 93 300
% 37,3 31,7 31 100
83,4 ± 32,6
Kecamatan Pejawaran dan Punggelan merupakan wilayah yang tergolong beresiko rawan pangan di Banjarnegara. Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa pada Kecamatan Pejawaran sebagian besar rumahtangganya tergolong rawan pangan (76,7%) dengan separuh rumahtangganya tergolong sangat rawan pangan dan hanya 23,3 persen yang berada pada kategori tahan pangan. Pada Kecamatan Punggelan lebih dari separuh rumahtangganya berada pada rawan pangan (61,4%) dengan 24,7 persen rumahtangganya tergolong sangat rawan pangan dan 38,7 persen tergolong tahan pangan. Dapat dikatakan pada kedua kecamatan tersebut sebagian besar rumahtangganya ada pada kategori rawan pangan, namun keadaan di Kecamatan Punggelan lebih baik daripada Pejawaran. Hasil uji statistik menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05) antara tingkat ketahanan pangan pada dua kecamatan tersebut. Tingkat ketahanan pangan di kecamatan Punggelan lebih tinggi dibandingkan dengan Kecamatan Pejawaran, yang dilihat dari rata-rata tingkat kecukupan energinya. Pada Kecamatan Punggelan tingkat kecukupan energinya sudah dapat dikatakan cukup (92%) sedangkan Pejawaran dikatakan defisit sedang (75%). Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga Jumlah contoh dalam penelitian ini adalah 300 keluarga. Berdasarkan data yang diperoleh terdapat 5 keluarga dengan status perkawinan cerai, sehingga jumlah keluarga yang lengkap sebanyak 295 keluarga. Besar Keluarga Besar keluarga di wilayah penelitian sebagian besar tergolong dalam keluarga kecil (59,3%) yang memiliki jumlah anggota rumahtangga kurang dari 5 orang, sedangkan rumahtangga yang memiliki jumlah anggota keluarga 5-7 orang atau tergolong dalam keluarga sedang sebanyak 36,7 persen dan sisanya
34
(4%) tergolong dalam keluarga besar. Sebaran rumahtangga berdasarkan besaran keluarga menurut kategori kecamatan dan tingkat ketahanan pangan rumahtangganya dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Sebaran rumahtangga menurut besar keluarga Kecamatan Pejawaran Punggelan n % n % 87 58 91 60,7 56 37,3 54 36 7 4,7 5 3,3 150 100 150 100 4,6 ± 1,4 4,5 ± 1,4
Besar Keluarga Kecil Sedang Besar Total Rata-rata
std
Total n % 178 59,3 110 36,7 12 4 300 100 4,6 ± 1,4
Pada Tabel 7 terlihat bahwa di kedua kecamatan pada umumnya memiliki jumlah anggota keluarga berjumlah 4-5 orang (Pejawaran 4,6 orang dan Punggelan 4,5 orang). Menurut Suhardjo (1989) hubungan antara laju kelahiran yang tinggi dan kurang gizi, sangat nyata pada masing-masing keluarga, terutama keluarga yang sangat miskin. Anak-anak adalah golongan yang paling rawan terhadap kekurangan gizi, dan yang mempengaruhi adalah kecukupan akan pangannya. Makin besar jumlah keluarga maka makin besar pangan yang harus dipenuhi. Hasil uji statistik tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata (p>0,05)
antara rata-rata jumlah anggota keluarga di dua kecamatan tersebut. Hal tersebut berarti tidak terdapat perbedaan jumlah anggota keluarga yang signifikan antara Kecamatan Pejawaran dengan Punggelan. Pendidikan Orang tua Pengetahuan
dan
pendidikan
orang
tua
sangat
penting
dalam
menentukan status gizi keluarga, karena pendidikan seseorang dapat membantu sampainya informasi tentang kesehatan juga gizi, sehingga kurangnya pendidikan merupakan penyebab tidak langsung timbulnya masalah gizi pada anak. Sebaran rumahtangga menurut pendidikan ayah dan ibu dapat dilihat pada Tabel 8 dan 9. Tabel 8 Sebaran rumahtangga menurut pendidikan ayah Pendidikan Ayah Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD/sederajat Tamat SLTP/sederajat Tamat SLTA/sederajat Perguruan Tinggi Total
Pejawaran n % 9 6,1 23 15,6 102 69,4 8 5,4 3 2 2 1,4 147 100
Punggelan n % 5 3,4 19 12,8 76 51,4 26 17,6 16 10,8 6 4,1 148 100
Total n 14 42 178 34 19 8 295
% 4,7 14,2 60,3 11,5 6,4 2,7 100
35
Tingkat pendidikan ayah tersebar dari tidak sekolah sampai dengan perguruan tinggi. Tingkat pendidikan ayah di wilayah penelitian masih tergolong rendah. Hal ini terlihat pada persentase terbesar pendidikan ayah pada dua kecamatan tersebut adalah tamatan SD (69,4% Pejawaran dan 51,4% Punggelan). Selain itu masih terdapat 6,1 persen ayah di Pejawaran dan 3,4 persen di Punggelan yang tidak sekolah dan hanya 1,4 persen ayah di Kecamatan Pejawaran serta 4,1 persen di Punggelan yang sampai pada perguruan tinggi. Hasil uji statistik menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan antara lama pendidikan ayah di dua Kecamatan tersebut (p<0,05). Kecamatan Punggelan memiliki lama pendidikan ayah yang lebih tinggi dibandingkan dengan Kecamatan Pejawaran. Rata-rata lama pendidikan ayah di Kecamatan Pejawaran adalah 5,6 tahun sedangkan di Kecamatan Punggelan adalah 7,1 tahun. Tabel 9 Sebaran rumahtangga menurut pendidikan ibu Pendidikan Ibu Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD/sederajat Tamat SLTP/sederajat Tamat SLTA/sederajat Perguruan Tinggi Total
Pejawaran n % 6 4 12 8 113 75,3 18 12 1 0,7 0 0 150 100
Punggelan n % 1 0,7 16 10,7 73 48,7 38 25,3 16 10,7 6 4 150 100
Total n 7 28 186 56 17 6 300
% 2,3 9,3 62 18,7 5,7 2 100
Sama halnya dengan pendidikan ayah, tingkat pendidikan ibu di wilayah penelitian pun masih tergolong rendah karena didominasi oleh tamatan SD (62%) baik di Kecamatan Pejawaran (75,3%) maupun Punggelan (48,7%). Masih ditemukan juga ibu yang tidak sekolah di Pejawaran (4%) dan Punggelan (0,7%) dan yang bersekolah sampai perguruan tinggi hanya di temukan di Kecamatan Punggelan (4%). Hasil uji statistik menunjukkan terdapat perbedaan nyata antara lama sekolah ibu di dua kecamatan tersebut (p<0,05). Kecamatan Punggelan memiliki lama sekolah ibu yang lebih tinggi dibandingkan Pejawaran. Rata-rata lama sekolah ibu di pejawaran adalah 6 tahun sedangkan di Punggelan adalah 7,6 tahun. Pendapatan Kemiskinan erat kaitannya dengan ketahanan pangan. Kemiskinan juga merupakan salah satu akar masalah yang berkaitan dengan timbulnya masalah gizi. Menurut Martianto dan Ariani (2004) Tingkat pendapatan seseorang akan berpengaruh terhadap jenis dan jumlah bahan pangan yang dikonsumsinya.
36
Sesuai dengan Hukum Bennet, semakin tinggi pendapatan maka kualitas bahan pangan yang dikonsumsi pun semakin baik yang tercermin dari perubahan pembelian bahan pangan yang harganya murah menjadi bahan pangan yang harganya lebih mahal dengan kualitas yang lebih baik. Sebaliknya, rendahnya pendapatan yang dimiliki oleh seseorang akan mengakibatkan terjadinya perubahan kebiasaan makan yang tercermin dari pengurangan frekuensi makan dari tiga kali menjadi dua kali dalam sehari. Garis kemiskinan di Kabupaten Banjarnegara menurut badan pusat statistik (2007) adalah Rp 146.531/kapitan/bulan. Pada wilayah penelitian sebagian besar rumahtangganya tergolong dalam kategori tidak miskin (61%) dengan rata-rata pendapatan/kapita/bulan sebesar Rp 231.851. Sebaran rumahtangga menurut pendapatan/kapita/bulan yang diperoleh dari pendekatan pengeluaran total rumahtangga pada wilayah penelitian dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Sebaran rumahtangga menurut pendapatan Terdapat perbedaan sebaran rumahtangga berdasarkan pendapatan di pada dua kecamatan tersebut.
Kecamatan Pejawaran didominasi oleh
rumahtangga dengan kategori miskin (59,3%) sedangkan pada Kecamatan Punggelan didominasi oleh rumahtangga dengan kategori tidak miskin (81,3%). Hasil uji statistik menunjukkan adanya perbedaan nyata antara rata-rata pendapatan pada dua kecamatan tersebut. Kecamatan Punggelan memiliki ratarata pendapatan lebih tinggi (Rp 278.688) dibandingkan dengan Kecamatan Pejawaran (Rp 185.015). Tabel 10 Sebaran rumahtangga menurut pendapatan Pendapatan/ Kapita /Bulan Miskin (
std
Kecamatan Pejawaran Punggelan n % n %
Total n
%
89
59,3
28
18,7
117
39
61
40,7
122
81,3
183
61
150
100
150
100
300
100
185.051 ± 170.957
278.689 ± 204.287
231.851 ± 193.809
37
Bank Dunia mendefinisikan kemiskinan absolut sebagai hidup dengan pendapatan dibawah USD $1/hari dan kemiskinan menengah untuk pendapatan dibawah $2/hari (Anonim 2009). Maka jika pendapatan pada wilayah penelitian digolongkan berdasarkan garis kemiskinan dunia, sebarannya dapat terlihat pada Tabel 11. Tabel 11 Sebaran rumahtangga menurut garis kemiskinan dunia Pendapatan/ Kapita /Hari < USD $1 USD $1 -$2 >USD $2 Total Rata-rata
std
Kecamatan
Total
Pejawaran n % 135 90 12 8 3 2 150 100
Punggelan n % 115 76,7 31 20,7 4 2,7 150 100
n 250 43 7 300
6.167 ± 5.699
9.290 ± 6.810
7.728 ± 6.460
% 83,3 14,3 2,3 100
Pada Tabel 11 maka dapat terlihat bahwa jika pendapatan di wilayah penelitian digolongkan menurut garis kemiskinan dunia maka 83,3 persen rumah tangganya tergolong dalam kemiskinan absolut. Persentase terbesar dari dua kecamatan juga berada pada golongan kemiskinan absolut. Dengan rata-rata pendapatan perkapita perhari Rp 7.728 jika dibandingkan dengan nilai USD $1 per tanggal 30 Maret 2009 adalah Rp 11.472. Maka wilayah penelitian tergolong wilayah miskin. Pengeluaran Pangan dan Non-pangan Pengeluaran total rumahtangga terdiri dari pengeluran pangan dan nonpangan. Persen pengeluaran untuk makanan menunjukkan rumahtangga yang rawan (vulnerable) jika persentase pengeluaran untuk makanan dari total pendapatan
sebesar
70
persen
atau
lebih.
Namun,
pada
keluarga
berpendapatan tinggi, proporsi pengeluaran pangan tidak lebih dari 30 persen pendapatan, dan keluarga menengah persen pengeluaran untuk pangan sekitar 30-70 persen (den Hatog, van Staverev dan Broower 1995 dan Behrman 1995 dalam Tanziha 2005). Sebaran rumahtangga menurut pengeluaran pangan dan non pangan di wilayah Pejawaran dan Punggelan dapat dilihat pada Gambar 6. Pengeluaran pangan nilainya berkebalikan dengan pengeluaran nonpangan yang berasal dari pengeluaran total. Pada dua kecamatan di wilayah penelitian persentase pengeluaran pangan dan non panganya berada pada kisaran 30-70% dari pengeluaran total. Rata-rata persen pengeluaran pangan di Kecamatan Punggelan lebih tinggi (59,3%) dibandingkan dengan Kecamatan Pejawaran (52,6%) namun rata-rata kedua kecamatan tersebut masih termasuk
38
dalam rumahtangga menengah. Hasil uji statistik menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antara persen pengeluaran pangan dan non pangan di dua kecamatan tersebut (p<0,05)
Gambar 6 Sebaran rumahtangga menurut pengeluaran pangan dan non pangan Tabel 12 Alokasi pengeluaran pangan Pengeluaran Pangan /kapita/Bulan < 30% 30-70% >70% Total Rata-rata
std
Kecamatan Pejawaran Punggelan n % n % 14 9,3 6 4 117 78 109 72,7 19 12,7 35 23,3 150 100 150 100 52,6 ± 16,2 59,3 ± 15
Total n % 21 7 221 73,7 58 19,3 300 100 56 ± 16
Tabel 13 Alokasi pengeluaran non pangan Pengeluaran Non Pangan /kapita/Bulan < 30% 30-70% >70% Total Rata-rata
std
Kecamatan Pejawaran Punggelan n % n % 19 12,7 35 23,3 117 78 109 72,7 14 9,3 6 4 150 100 150 100 47,4 ± 16,2 40,7 ± 15
Total n % 58 19,3 221 73,7 21 7 300 100 44 ± 16
Sanitasi dan Kesehatan Lingkungan Fisik Kondisi lingkungan fisik dan sanitasi tentunya akan mempengaruhi manusia yang tinggal disekitarnya. Kondisi lingkungan fisik yang tidak memadai dan tidak sehat juga merupakan salah satu penyebab tidak langsung timbulnya masalah gizi terutama pada anak. Karakteristik sanitasi dan kesehatan lingkungan fisik pada wilayah penelitian ini dilihat dari kondisi rumah, pembuangan sampah rumahtangga, pembuangan tinja/kepemilikan MCK dan sumber air bersih, kemudian dinilai dengan sistem skoring. Air bersih merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia. Air dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga yang paling utama adalah untuk keperluan memasak/minum. Air yang digunakan untuk kebutuhan manusia
39
sebagai air minum atau keperluan rumahtangga lainnya harus memenuhi syarat kesehatan, antara lain bebas dari kuman penyakit dan tidak mengandung bahan beracun. Air minum yang memenuhi derajat kesehatan sangat penting dalam mempertinggi derajat kesehatan masyarakat (Direktorat Penyehatan Air 1990). Sesuai dengan peluang terjadinya kontaminasi oleh sumber pencemaran, baik biologi, fisik, dan kimiawi. Menurut Soemowerdojo dkk (1976), Entjang (1981) dan Sumengen (1987)
dalam Atmojo et al. (1992) tingkat keamanan
sumber air untuk masak dan minum dikategorikan menjadi sumber air tidak aman (air sungai, air kolam): sumber air kurang aman (mata air, sumur terbuka tanpa dinding tembok ke bawah) dan sumber air aman (sumur pompa, sumur tertutup/terlindung, air PAM). Sumber air yang digunakan untuk memasak/minum di wilayah penelitian adalah sebanyak 86,3 persen rumahtangga menggunakan sumber air aman seperti sumur sendiri dan PDAM, sedangkan 10 persen menggunakan sumur umum, dan masih ada 3,7 persen rumahtangga menggunakan air sungai. Tinja merupakan salah satu vektor penularan penyakit.
Pembuangan
tinja yang tidak pada tempatnya dapat menimbulkan gangguan kesehatan pada masyarakat. Oleh karena itu keberadaan MCK sangat penting bagi kesehatan masyarakat. Di wilayah penelitian hanya 36,3 persen rumahtangga yang memiliki MCK sendiri. Sedangkan, sisanya sebesar 63,7 persen tidak punya MCK sendiri, rumahtangga
yang
tidak
mempunyai
MCK
sendiri menggunakan
MCK
tetangga/saudara yaitu sekitar 8,7 persen dan menggunakan sungai/ruang publik terbuka sebesar 55 persen dari seluruh rumahtangga. Sampah pada rumahtangga jika tidak ditangani dengan baik akan membahayakan kesehatan manusia, agar sampah tidak membahayakan kesehatan manusia, perlu pengaturan pembuangannya. Sebanyak 16,3 persen rumahtangga mengumpulkan sampahnya terlebih dahulu untuk dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA) atau dibakar dan ada pula yang menjadikannya pupuk.
Sedangkan sebanyak
42,3 persen
rumahtangga
mengumpulkan
sampahnya di kebun/lubang setelah penuh dibakar/ditimbun. Sisanya yaitu sebanyak 41,3 persen rumahtangga hanya membuang sampah ke kebun atau sekitar rumah (selokan dan sungai) tanpa penanganan apapun. Keadaan perumahan merupakan salah satu faktor yang menentukan keadaan hygiene dan sanitasi lingkungan. Pada wilayah penelitian sudah lebih dari setengah rumahtangga (51,3%) dinding rumahnya terbuat dari tembok,
40
sebanyak 22,7 persen rumahtangga dindingnya terbuat dari papan atau setengah tembok, dan masih ada sebanyak 26 persen rumahtangga yang dindingnya masih menggunakan bilik. Sedangkan lantainya, hampir seperempat rumahtangga (24,7%) yang menggunakan keramik, dan masih ada 29 persen rumahtangga yang lantainya hanya tanah, persentase paling besar (46,3%) rumahtangga menggunakan semen/tegel/papan sebagai lantai rumah. Keberadaan ventilasi dan cahaya yang memadai juga sangat penting untuk menunjang kesehatan penghuni rumah. Ventilasi rumah dalam penelitian ini dikatakan cukup apabila ventilasi ada disetiap ruangan. Lebih dari setengah rumahtangga (53%) ventilasi rumahnya sudah cukup dan sisanya 47 persen masih dikategorikan tidak cukup. Sedangkan untuk pencahayaan rumah lebih dari setengah rumahtangga yaitu 55,7 persen cahaya matahari masuk ke sebagian ruangan, sebanyak 33,3 persen cahaya matahari sudah masuk ke seluruh ruangan, dan sebanyak 11 persen dikategorikan gelap (cahaya matahari sangat sedikit masuk ke dalam rumah). Luas bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni didalamnya, artinya luas bangunan tersebut harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya. Pada wilayah penelitian hampir semua rumahtangga yaitu 93% kepadatan rumahnya dikatakan baik karena memiliki kepadatan hunian lebih dari sama dengan 8 m2/orang, sisanya yaitu 7 persen masih dikatakan tidak baik. Rata-rata kepadatan hunian di daerah penelitian adalah 17,7 m2/orang. Keberadaan kandang ternak disekitar rumah juga perlu diperhatikan, karena kandang merupakan sumber penyakit juga. Rata-rata rumahtangga diwilayah penelitian memiliki ternak atau hewan peliharaan yang digunakan sebagai aset ekonomi atau bahkan mata pencaharian. Oleh karena itu 70,7 persen rumahtangga, disekitar rumahnya terdapat kandang ternak dengan jarak kurang dari 10 meter dari rumahnya, dan 13 persen berjarak lebih dari sama dengan 10 meter. Sisanya yaitu sekitar 16,3 persen disekitar rumahnya tidak ada kandang ternak. Tabel 14 Sebaran rumahtangga menurut kondisi sanitasi dan lingkungan fisik Sanitasi dan Kesehatan Lingkungan Fisik Kurang ( <60%) Cukup (60-%80%) Baik ( > 80%) Total Rata-rata std
Kecamatan Pejawaran Punggelan n % n % 113 75,3 42 28 32 21,3 75 50 5 3,3 33 22 150 100 150 100 45,7 ± 17,1 66,6 ± 17
Total n % 155 51,7 107 35,7 38 12,7 300 100 56,1 ± 20
41
Hasil analisis terhadap karakteristik sanitasi dan lingkungan fisik rumahtangga disajikan pada Tabel 14. Wilayah penelitian memiliki kondisi sanitasi dan lingkungan fisik yang kurang baik karena sebagian besar rumahtangga di wilayah penelitian memiliki sanitasi dan lingkungan fisik yang kurang yaitu 51,7 persen dan rata-rata skor sanitasi dan lingkungan fisiknya masih dalam kategori kurang (56,1). Kecamatan Pejawaran didominasi oleh rumahtangga dengan kategori kondisi sanitasi dan lingkungan fisik kurang (75%) sedangkan Punggelan sebagian besar rumahtangganya di kategorikan dalam kondisi sanitasi dan lingkungan fisik cukup. Hal ini dapat diartikan bahwa kondisi sanitasi dan lingkungan fisik di Punggelan lebih baik dari Pejawaran. Hasil uji statistik juga menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara kondisi sanitasi dan lingkungan fisik pada dua kecamatan tersebut (p<0,05). Morbiditas Berdasarkan hasil wawancara, sebagian besar anak balita (81,3%) pernah sakit dalam rentang waktu tiga bulan terakhir dengan rata-rata frekuensi sakit 3 kali. Rata-rata lama sakit anak balita pada di wilayah penelitian adalah sekitar 13 hari. Sebaran balita menurut lama sakit dapat terlihat pada Tabel 15. Tabel 15 Sebaran anak balita menurut lama sakit Lama Sakit (hari) Tidak pernah 1-3 hari 4-7 hari >7 hari Total Rata-rata std
Kecamatan Pejawaran Punggelan n % n % 29 19,3 27 18 22 14,7 17 11,3 27 18 39 26 72 48 67 44,7 150 100 150 100 12,6 ± 15,3 12,8 ± 16,6
Total n % 56 18,7 39 13 66 22 139 46,3 300 100 12,7 ± 15,9
Rata-rata lama sakit anak balita pada dua kecamatan di wilayah penelitian tidak berbeda jauh (Pejawaran 12,6 hari dan Punggelan 12,8 hari). Hasi uji statistik antara lama sakit anak balita pada kedua kecamatan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p>0,05). Pada dua kecamatan tersebut menunjukkan bahwa persentase terbesar anak balitanya pernah menderita sakit lebih dari seminggu. Jenis penyakit yang diderita anak balita pada tiga bulan terakhir dapat terlihat pada Tabel 16. Pada tabel tersebut terlihat pula bahwa di wilayah penelitan jenis penyakit yang sering diderita anak balita adalah panas/demam (67,2%), kemudian pilek/influenza (39,8%), serta batuk pilek (38,9%). penyakit lainnya tidak terlalu sering terjadi (dibawah 10%).
Jenis
42
Tabel 16 Jenis penyakit yang pernah diderita anak balita (3 bulan terakhir) Jenis Penyakit Panas/demam Pilek/influenza Batuk Biasa (ISPA) Batuk Pilek Sakit mata Cacar Diare (>3 kali) Mencret Biasa Muntaber Sakit kulit congek Sakit gigi Panas pilek batuk Panas pilek Sakit perut
n 164 97 24 95 4 2 3 12 3 28 1 9 4 2 3
% 67,2 39,8 9,8 38,9 1,6 0,8 1,2 4,9 1,2 11,5 0,4 3,7 1,6 0,8 1,2
Adanya penyakit atau infeksi berat dapat memperburuk keadaan gizi melalui gangguan masukan makanan dan meningginya kehilangan zat-zat gizi esensial tubuh. Selain itu, dampak infeksi terhadap pertumbuhan seperti menurunnya berat badan telah lama diketahui. Keadaan demikian disebabkan oleh hilangnya nafsu makan penderita penyakit infeksi hingga masukan (intake) zat gizi dan energi kurang daripada kebutuhannya. Lagipula pada infeksi kebutuhan tersebut justru meningkat oleh katabolisme yang berlebihan dan suhu badan yang meningkat (Suryanah 1996). Konsumsi Pangan Balita Setiap
orang
dalam
siklus
hidupnya
selalu
membutuhkan
dan
mengkonsumsi berbagai bahan makanan. Nilai yang sangat penting dari bahan makanan atau zat makanan bagi pertumbuhan dan perkembangan fisik serta perolehan energi guna melakukan kegiatan sehari-hari (Kartasapoetra & Marsetyo 2003). Terutama untuk anak balita yang berada pada masa pertumbuhan dan perkembangan dimana memerlukan zat gizi yang cukup untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangannya. Rata-rata asupan dan tingkat kecukupan zat gizi balita di wilayah penelitian dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Rata-rata asupan dan tingkat kecukupan zat gizi balita Zat Gizi Energi Protein
Kecamatan Pejawaran Punggelan Asupan Tingkat Asupan Tingkat zat gizi kecukupan (%) zat gizi kecukupan (%) 916 kkal 91 1034 kkal 96 23,7 g 94,4 27,1 g 100,2
Total Asupan zat gizi 975 kkal 25,4 g
Tingkat kecukupan (%) 94 97
Rata-rata asupan energi balita di wilayah penelitian adalah 975 kkal dengan rata-rata tingkat kecukupan energi 94 persen dan rata-rata asupan protein balita adalah 24,5 gram dengan tingkat kecukupan 97 persen. Jika dilihat
43
dari rata-rata asupan energi dan protein balita dapat dikatakan bahwa tingkat kecukupan energi dan protein balita di wilayah penelitian sudah cukup baik. Rata-rata asupan zat gizi dan tingkat kecukupan baik energi maupun protein pada Kecamatan Punggelan lebih tinggi dari Pejawaran. Pada dua kecamatan penelitian juga diperoleh rata-rata tingkat kecukupan energi dan protein balita yang tergolong cukup baik (Tabel 18 dan 19) walaupun nyatanya tingkat ketahanan pangan didaerah tersebut termasuk rawan pangan, hal ini diduga karena baik di Kecamatan Pejawaran maupun Punggelan prioritas pemberian makanannya pada hampir seluruh rumahtangga (89,4%) untuk anak balitanya terlebih dahulu. Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antara rata-rata tingkat kecukupan energi dan protein pada kedua kecamatan tersebut (p>0,05). Tabel 18 Sebaran anak balita menurut tingkat kecukupan energi Tingkat Konsumsi Defisit Berat (<70%) Defisit Sedang (70-90%) Cukup (>90%) Total Rata-rata std
Kecamatan Pejawaran Punggelan n % n % 46 30,7 52 34,7 36 24 30 20 68 45,3 68 45,3 150 100 150 100 91,1 ± 34,6 95,9 ± 43,6
Total n % 98 32,7 66 22 136 45,3 300 100 93,5 ± 39,4
Tabel 19 Sebaran anak balita menurut tingkat kecukupan protein Tingkat Konsumsi Defisit Berat (<70%) Defisit Sedang (70-90%) Cukup (>90%) Total Rata-rata std
Kecamatan Pejawaran Punggelan n % n % 42 28 55 36,7 40 26,7 21 14 68 45,3 74 49,3 150 100 150 100 94,4 ± 40,8 100,2 ± 54,1
Total n % 97 32,3 61 20,3 142 47,3 300 100 97,3 ± 47,9
Persentase terbesar tingkat konsumsi energi pada dua kecamatan tesebut ada pada kategori cukup (>90%). Persentase terbesar tingkat konsumsi protein pada dua kecamatan tersebut juga ada pada kategori cukup (>90%) dengan presentase kategori cukup lebih tinggi pada kecamatan Punggelan. Jika dilihat dari rata-rata tingkat konsumsi energi dan proteinnya masih lebih tinggi Kecamatan Punggelan dibandingkan Pejawaran. Status Gizi Balita Status gizi menjadi indikator kategori ketiga dalam menentukan derajat kesehatan anak. Status gizi yang baik dapat membantu proses pertumbuhan dan perkembangan anak untuk mencapai kematangan yang optimal. Gizi yang cukup juga dapat memperbaiki ketahanan tubuh sehingga diharapkan tubuh akan
44
bebas dari segala penyakit. Status gizi dapat membantu untuk mendeteksi lebih dini risiko terjadinya masalah kesehatan (Hidayat 2008). Gizi yang seimbang selain dapat meningkatkan ketahanan tubuh, dapat meningkatkan kecerdasan dan menjadikan pertumbuhan yang normal pada anak. Status gizi anak pada dasarnya adalah keadaan kesehatan anak yang ditentukan oleh derajat kebutuhan fisik energi dan zat-zat gizi lain yang diperoleh dari pangan dan makanan yang dampak fisiknya diukur secara antropometri, dan dikategorikan berdasarkan standar baku WHO dengan indeks BB/U, TB/U dan BB/TB. Status Gizi Anak Balita Berdasarkan Berat Badan menurut Umur Menurut Riyadi (2001) berat badan menurut umur (BB/U) merefleksikan massa tubuh dalam hubungannya dengan umur kronologi. BB/U dipengaruhi oleh tinggi badan anak (TB/U) dan berat badannya (BB/TB), dan gabungannya membuat interpretasinya sulit. Tetapi, jika disuatu masyarakat tidak ada wasting, BB/U dan TB/U memberikan informasi yang sama, dimana keduanya merefleksikan pengalaman gizi dan kesehatan jangka panjang dari seseorang atau populasi. Perubahan jangka pendek, khususnya penurunan BB/U mengungkap perubahan BB/TB. BB/U rendah merefleksikan TB/U rendah, BB/TB rendah, atau kedua-duanya, maka istilah kurang gizi global (global malnutrition) telah digunakan untuk menjelaskan indikator ini, yang mencakup kurang gizi kronis dan/atau kurang gizi akut.
Gambar 7 Sebaran status gizi anak balita berdasarkan BB/U Berdasarkan BB/U (Gambar 7) ditemukan bahwa di wilayah penelitian persentase terbesar anak balitanya berstatus gizi baik (68%). Pada wilayah penelitian terdapat 31,6% anak balita yang memiliki z-score dibawah -2 (gizi kurang dan buruk). Berdasarkan kriteria WHO maka masalah kesehatan masyarakat di wilayah penelitian termasuk pada kategori sangat tinggi, akan
45
tetapi rata-rata nilai z-score anak balitanya adalah -1,5 yang masih dalam kategori status gizi baik, jika di lihat pada kurva z-score anak di daerah penelitian ini bergeser ke kiri dibanding standar WHO.
Gambar 8 Kurva sebaran anak balita menurut z-score BB/U Pada Tabel 19 dapat terlihat situasi status gizi anak balita di Kecamatan Pejawaran dan Punggelan. Pada dua kecamatan tersebut persentase tertinggi status gizi anak balitanya ada pada status gizi baik. Terdapat 35,3 persen anak balita yang memiliki z-score BB/U dibawah -2 pada Kecamatan Pejawaran, dan 28 persen pada Kecamatan Punggelan. Berdasarkan kriteria WHO maka masalah kesehatan masyarakat di Kecamatan Pejawaran lebih tinggi dari pada Kecamatan Punggelan, dimana Kecamatan Pejawaran termasuk pada kategori sangat tinggi sedangkan Kecamatan Punggelan termasuk pada kategori tinggi. Tabel 20 Sebaran status gizi anak balita berdasarkan BB/U Status Gizi Gizi lebih Gizi baik Gizi kurang Gizi buruk Total Rata-rata std
Kecamatan Pejawaran Punggelan n % n % 0 0 1 0,7 97 64,7 107 71,3 32 21,3 32 21,3 21 14 10 6,7 150 100 150 100 -1,7 ± 1,1 -1,4 ± 1,1
Total n % 1 0,3 204 68 64 21,3 31 10,3 300 100 -1,5 ± 1,1
Hasil uji statistik menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara ratarata nilai z-score anak balita (p<0,05) pada dua kecamatan tersebut. Rata-rata nilai z-score BB/U anak balita di Kecamatan Punggelan lebih tinggi dari pada Pejawaran, tetapi rata-rata
z-score BB/U anak balita pada dua kecamatan
tersebut masih dalam kategori baik. BB/U yang rendah pada anak balita yang berusia diatas 2 tahun lebih berhubungan dengan prevalensi TB/U rendah (Riyadi 2001).
46
Status Gizi Anak Balita Berdasarkan Tinggi Badan menurut Umur Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu yang pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak dalam waktu yang relatif lama. Berdasarkan
karakteristik
tersebut
diatas,
maka
indeks
ini
menggambarkan status gizi masa lalu. Beaton dan Bengoa (1973) menyatakan bahwa indeks TB/U di samping memberikan gambaran status gizi masa lampau, juga lebih erat kaitannya dengan status sosial ekonomi (Supariasa et al 2001).
Gambar 9 Sebaran status gizi anak balita berdasarkan TB/U Berdasarkan TB/U ditemukan bahwa pada wilayah penelitian lebih dari setengah anak balita tergolong pendek/stunted (54,3%). Menurut kriteria WHO maka masalah kesehatan masyarakat di wilayah penelitian termasuk pada kategori sangat tinggi, dengan rata-rata nilai z-score TB/U anak balitanya adalah -2,1 yang berarti nilainya lebih rendah dari standar WHO, sehingga kurva z-score anak balita di daerah penelitian ini bergeser ke kiri dibanding standar WHO.
Gambar 10 Kurva sebaran anak balita menurut z-score TB/U
47
Tabel 21 Sebaran status gizi anak balita berdasarkan TB/U Status Gizi Normal Pendek/stunted Total Rata-rata std
Kecamatan Pejawaran Punggelan n % n % 51 34 86 57,3 99 66 64 42,7 150 100 150 100 -1,7 ± 1,1 -2,5 ± 1,2
Total n % 137 45,7 163 54,3 300 100 -2,1 ± 1,2
. Pada Tabel 21 terlihat bahwa pada Kecamatan Pejawaran sebagian besar status gizi anak balitanya tergolong pendek/stunted, sedangkan pada Kecamatan Pejawaran sebagian besar status gizi anak balitanya adalah normal. Hasil uji statistik menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara rata-rata nilai z-score TB/U di Kecamatan Pejawaran dan Punggelan (p<0,05). Kecamatan Punggelan memiliki rata-rata z-score lebih tinggi dibandingkan dengan Kecamatan Pejawaran, rata-rata nilai z-score Pejawaran masih di bawah standar WHO, sedangkan Punggelan tergolong normal. Hal ini berarti kondisi status gizi anak balita berdasarkan TB/U di Kecamatan Punggelan lebih baik dari pada Pejawaran walaupun persentase anak balita yang tergolong pendek/stunted pada dua kecamatan tersebut lebih besar dari 40 persen, yang berarti masalah kesehatan masyarakat pada dua kecamatan tersebut tergolong sangat tinggi. Status Gizi Anak Balita Berdasarkan Berat Badan menurut Tinggi Badan Berat badan memiliki hubungan yang linear dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Indeks BB/TB merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi saat ini (sekarang). Indeks BB/TB adalah merupakan indeks yang independen terhadap umur (Supariasa et al 2001).
Gambar 11 Sebaran status gizi anak balita berdasarkan BB/TB Berdasarkan BB/TB ditemukan bahwa pada wilayah penelitian sebagian besar status gizi anak balitanya tergolong normal (86,3%) dengan z-score ratarata sebesar -0,5. Kurva z-skor sedikit bergeser ke kiri dibandingkan standar WHO (Gambar.12). Pada wilayah penelitian masih ditemukan 11 persen anak
48
balita yang memiliki z-score BB/TB dibawah -2 (kurus dan sangat kurus). Menurut kriteria WHO berdasarkan prevalensi anak balita yang memiliki z-score BB/TB dibawah -2 masalah kesehatan masyarakat diwilayah penelitian masuk pada kategori serius, sedangkan jika dilihat dari rata-rata z-score-nya maka masalah gizi diwilayah penelitian masih tergolong buruk (z-score -0,4 s/d -,069) .
Gambar 12 Kurva sebaran anak balita menurut z-score BB/TB Tabel 22 Sebaran status gizi anak balita berdasarkan BB/TB Status Gizi Gemuk Normal Kurus/wasted Sangat kurus Total Rata-rata std
Kecamatan Pejawaran Punggelan n % n % 5 3,3 3 2 130 86,7 129 86 12 8 14 9,3 3 2 4 2,7 150 100 150 100 -0,4 ± 1,3 -0,6 ± 1,3
Total n % 8 2,7 259 86,3 26 8,7 7 2,3 300 200 -0,65± 1,3
Pada Tabel 22 terlihat bahwa pada dua kecamatan tersebut persentase terbesar status gizi anak balitanya tergolong normal. Pada Kecamatan Punggelan persentase anak balita yang memiliki z-score BB/TB dibawah -2 (12%) lebih tinggi dari pada Kecamatan Pejawaran (10%) masalah kesehatan masyarakat pada kedua kecamatan tersebut sama-sama pada kategori serius. Hasil uji statistik tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara ratarata nilai z-score BB/TB pada dua kecamatan tersebut (p>0,05). Keterkaitan Antar Variabel Variabel yang Berhubungan dengan Tingkat konsumsi dan Status Gizi Balita Dalam kerangka pikir UNICEF digambarkan tahapan penyebab timbulnya masalah gizi kurang anak balita, yaitu penyebab langsung, tidak langsung, akar masalah dan pokok masalah. Penyebab langsungnya yaitu makanan dan penyakit infeksi yang mungkin diderita anak, dalam kenyataan makanan dan
49
penyakit secara bersama-sama merupakan penyebab masalah gizi kurang. Penyebab tidak langsungnya yaitu ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan anak, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Faktor tidak langsung yang lain adalah akses atau keterjangkauan anak dan keluarga terhadap air bersih dan pelayanan kesehatan yang baik seperti imunisasi, pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, penimbangan anak, pendidikan kesehatan dan gizi, serta sarana kesehatan yang baik. Faktor tidak langsung tersebut saling berkaitan dan bersumber pada akar masalah yaitu pendidikan dan ekonomi keluarga serta keterampilan memanfaatkan sumber daya keluarga dan masyarakat. Akhirnya semuanya berpangkal pada masalah pokok yang lebih besar di masyarakat dan bangsa secara keseluruhan, seperti masalah ekonomi, politik dan sosial (Soekirman 2000). Senada dengan kerangka pikir UNICEF menurut Syarief (2004) terdapat dua faktor yang terkait langsung dengan masalah gizi khususnya gizi buruk atau kurang, yaitu intake zat gizi yang bersumber dari makanan dan infeksi penyakit. Kedua faktor yang saling mempengaruhi tersebut terkait dengan berbagai faktor penyebab tidak langsung yaitu ketahanan dan keamanan pangan, perilaku gizi, kesehatan badan dan sanitasi lingkungan. Pada bayi dan anak balita, kekurangan
gizi
dapat
mengakibatkan
terganggunya
pertumbuhan
dan
perkembangan fisik, mental dan spiritual. Bahkan pada bayi, gangguan tersebut dapat bersifat permanen dan sangat sulit untuk diperbaiki. Kekurangan gizi pada bayi dan balita, dengan demikian, akan mengakibatkan rendahnya kualitas sumber daya manusia. Tabel 23 Korelasi antara tingkat konsumsi balita dan status gizi balita dengan ketahanan pangan, kondisi lingkungan dan morbiditas Variabel Independen Ketahanan Pangan
Variabel Dependen Tingkat Tingkat Status Gizi Konsumsi Konsumsi Balita Energi Balita Protein Balita (BB/U) 0,149** 0,143** 0,290** Kondisi Lingkungan
Karakteristik sosek keluarga Jumlah Anggota Keluarga 0,043 Pendidikan Ayah 0,225** Pendidikan Ibu 0,278** Pendapatan 0,266** Pengeluaran Pangan 0,288** Pengeluaran non-pangan 0,209** Sanitasi dan Lingkungan 0,173** fisik Morbiditas -0,138** Keterangan: Sig* (p<0.05); Sig** (p<0.01)
Status Gizi Balita (TB/U) 0,269**
Status Gizi Balita (BB/PB) 0,142**
0,050 0,238** 0,303** 0,314** 0,320** 0,255**
-0,053 0,033 0,122* 0,117* 0,174** 0,069
-0,440 0,174** 0,211** 0,155** 0,254** 0,082
-0,380 -0,050 -0,045 0,022 0,014 0,022
0,205**
0,138**
0,216**
0,001
-0,160**
-0,056
0,00
-0,069
50
Pada Tabel 23 disajikan hubungan tingkat konsumsi balita dan status gizi balita dengan tingkat ketahanan pangan rumahtangga, kondisi lingkungan dan morbiditas. Terlihat bahwa tingkat ketahanan pangan rumahtangga memiliki korelasi yang positif dan signifikan dengan tingkat kosumsi balita baik energi (r=0,149; p<0,01) dan protein (r=0,143; p<0,01) . Tingkat ketahanan pangan rumahtangga juga memiliki korelasi yang positif dan signifikan dengan status gizi balita baik dengan indikator BB/U (r=0,290; p<0,01), TB/U (r=0,269; p<0,01), maupun BB/TB (r=0,142; p<0,01). Hal ini berarti makin tinggi tingkat ketahanan pangan rumahtangga maka akan makin tinggi pula tingkat konsumsi energi dan protein serta status gizi pada anak balitanya. Karakteristik sosial ekonomi keluarga, selain jumlah anggota keluarga yaitu pendidikan ayah, pendidikan ibu, pendapatan, pengeluaran pangan dan non pangan memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan tingkat konsumsi energi dan protein anak balita. Hal ini dapat diartikan bahwa peningkatan atau perbaikan status sosial ekonomi keluarga dapat meningkatkan konsumsi energi dan protein anak balita di wilayah penelitian. Menurut Riyadi (2001) kemiskinan dapat menyebabkan rendahnya pendidikan orang tua, buruknya sanitasi dan suplai air, kelangkaan sumberdaya untuk
membeli
pangan,
memburukunya
ketersediaan
pangan,
dan
ketidakcukupan perawatan kesehatan. Semua keadaan tersebut berhubungan terhadap peningkatan resiko penyakit, serta ketidakcukupan konsumsi energi dan zat gizi.Dengan demikian peningkatan konsumsi energi dan protein balita dapat dilakukan dengan upaya peningkatan pendapatan keluarga dan perbaikan tingkat pendidikan keluarga (sadar akan pentingnya pendidikan). Karakteristik sosial ekonomi keluarga seperti pendidikan ayah, pendidikan ibu, pendapatan dan pengeluaran pangan memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan status gizi anak balita pada indikator BB/U dan TB/U. Pada variabel pendidikan ayah, status gizi berhubungan signifikan pada indikator TB/U jika dibandingkan dengan pendidikan ibu yang berhubungan signifikan pada indikator TB/U dan juga BB/U. Hal ini menggambarkan bahwa di wilayah penelitian tingkat pendidikan ibu lebih berperan pada status gizi balita baik untuk menggambarkan status gizi saat ini dan juga status gizi dari masa lampau. Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang
atau
masyarakat
untuk
menyerap
informasi
dan
51
mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Tingkat pendidikan, khususnya tingkat pendidikan wanita mempengaruhi derajat kesehatan. Angka melek huruf merupakan salah satu indikator penting yang juga akan membawa pengaruh positif terhadap kesehatan dan kesejahteraan masyarakat (Atmarita & Fallah 2004). Kondisi sanitasi dan lingkungan fisik
di wilayah penelitian memiliki
hubungan yang positif dan signifikan teradap konsumsi energi dan protein anak balita. Hal ini menggambarkan makin baik kondisi sanitasi dan lingkungan fisik dapat meningkatkan konsumsi energi (r=0,173; p<0,01) dan protein (r=0,205; p<0,01) anak balita. Variabel Morbiditas anak balita memiliki hubungan yang negatif dan signifikan terhadap konsumsi energi dan protein anak balita. Hubungan ini menggambarkan bahwa makin tinggi nilai morbiditas anak akan menurunkan tingkat konsumsi energi dan proteinnya. Kondisi sanitasi dan lingkungan fisik diwilayah penelitian mempunyai hubungan yang positif dan signifikan terhadap status gizi balita. Pada variabel morbiditas, status gizi berhubungan negatif namun nilai hubungan korelasinya ada pada nilai yang dapat diabaikan. Hal ini diduga karena pada wilayah penelitian kejadian morbiditas (sakit) pada balita paling dominan hanya pada penyakit panas/demam, pilek/influenza dan batuk pilek dengan rata-rata lama sakit sekitar 2-3 hari dan dengan rata-rata frekuensinya 1 kali untuk penyakit tersebut. Kondisi sanitasi dan lingkungan fisik berhubungan dengan tingkat morbiditas penghuni yang tinggal disekitarnya jika kondisi sanitasi dan lingkungan fisiknya baik maka akan menunjang kesehatan penghuninya. Di sebutkan dalam Entjang (1981) Seperti dikemukakan WHO bahwa perumahan yang tidak cukup dan terlalu sempit mengakibatkan pula tingginya kejadian penyakit dalam masyarakat. Hanani (2009) menyatakan Air yang tidak bersih akan meningkatkan resiko terjadinya sakit dan kemampuan dalam menyerap makanan dan pada akhirnya akan mempengaruhi status gizi seseorang. Karakteristik Kondisi Lingkungan, Morbiditas, Tingkat Rumahtangga dan Balita, Anak Gizi Kurang dan Gizi Normal
Konsumsi
Dalam bahasan berikut akan disajikan karakteristik kondisi lingkungan, mobiditas dan tingkat konsumsi rumahtangga dan balita yang mengalami masalah stunted/pendek karena masalah gizi kurang di wilayah penelitian ini
52
adalah masalah kronis karena kemiskinan yang dicirikan oleh masih tingginya prevalensi stunted. Karakteristik tersebut disajikan pada Tabel 24. Tabel 24 Karakteristik kondisi lingkungan, mobiditas dan tingkat konsumsi rumahtangga dan balita menurut status gizi TB/U pada Kecamatan Pejawaran dan Punggelan Variabel Pejawaran Jumlah Anggota Keluarga (orang) Lama Pendidikan Ayah (tahun) Lama Pendidikan Ibu (tahun) Pendapatan (Rp/kap) Pengeluaran Pangan (Rp/kap) Pengelurana Non-pangan (Rp/kap) Skor Sanitasi dan Lingkungan Fisik (maks 100) Lama Sakit Balita (hari) Tingkat Konsumsi Energi Rumahtangga (%) Tingkat Konsumsi Energi Balita (%) Tingkat Konsumsi Protein Balita (%) Punggelan Jumlah Anggota Keluarga (orang) Lama Pendidikan Ayah (tahun) Lama Pendidikan Ibu (tahun) Pendapatan (Rp/kap) Pengeluaran Pangan (Rp/kap) Pengelurana Non-pangan (Rp/kap) Skor Sanitasi dan Lingkungan Fisik (maks 100) Lama Sakit Balita (hari) Tingkat Konsumsi Energi Rumahtangga (%) Tingkat Konsumsi Energi Balita (%) Tingkat Konsumsi Protein Balita (%)
TB/U Stunted Normal (z-score ≥-2 SD) (z-score <-2 SD) 4,7 6 6,5 191.112 94.791 96.322 47,8 13,3 85 87 87,8
4,6 5,5 5,7 181.874 75.036 106.839 44,7 12,1 71 93 97,8
4,5 7,5 7,9 300.194 156.351 143.843 68,8 11,4 97 96 100,4
4,5 6,6 7,1 249.790 136.217 113.573 63,6 14,7 85 96 100
Pada Kecamatan Pejawaran nampak bahwa beberapa karakteristik pada keluarga yang memiliki balita dengan status gizi normal nilainya tidak terpaut jauh dibandingkan dengan balita dengan status stunted. Perbedaan sedikit lebih jelas pada variabel lama pendidikan ibu, pengeluaran pangan, serta tingkat konsumsi energi rumahtangga pada keluarga yang memiliki balita dengan status gizi normal nilainya lebih baik dari pada balita dengan status stunted. Pada keluarga dengan anak balita berstatus gizi normal lama pendidikan ibu lebih tinggi kurang lebih 1 tahun, pengeluaran pangan per kapitanya lebih tinggi 24 persen dari balita dangan status stunted. Tingkat konsumsi energi rumahtangga pada keluarga dengan anak balita berstatus gizi normal ada pada kategori cukup sedangkan dari balita dangan status stunted pada kategori defisit sedang. Pada Kecamatan Punggelan nampak bahwa pada keluarga yang memiliki balita dengan status gizi normal relatif lebih baik dibandingkan dengan balita dengan status stunted. Perbedaan yang cukup jelas terlihat pada pendapatan per kapita, pengeluaran pangan, dan tingkat konsumsi energi rumahtangga. Pada keluarga dengan anak balita berstatus gizi normal pendapatan per kapitanya
53
lebih tinggi 20 persen, pengeluaran pangan per kapitanya lebih tinggi 15 persen, pengeluaran non pangan per kapitanya lebih tinggi 27 persen dari balita dangan status stunted. Tingkat konsumsi energi rumahtangga pada keluarga dengan anak balita berstatus gizi normal dan Stunted ada pada kategori cukup namun jika dikategorikan dengan tingkat ketahanan pangan keluarga dengan anak balita berstatus gizi normal termasuk tahan pangan sedangkan dari balita dangan status stunted termasuk rawan pangan. Jika dibandingkan antara Pejawaran dengan Punggelan karakteristik semua variabel Punggelan nilainya lebih baik dari pada Pejawaran. Jadi kondisi Punggelan lebih baik dari pejawaran. Tabel 25 Karakteristik kondisi lingkungan, mobiditas dan tingkat konsumsi rumahtangga dan balita menurut status gizi TB/U di wilayah penelitian Variabel Jumlah Anggota Keluarga (orang) Lama Pendidikan Ayah (tahun) Lama Pendidikan Ibu (tahun) Pendapatan (Rp/kap) Pengeluaran Pangan (Rp/kap) Pengelurana Non-pangan (Rp/kap) Skor Sanitasi dan Lingkungan Fisik (maks 100) Lama Sakit Balita (hari) Tingkat Konsumsi Energi Rumahtangga (%) Tingkat Konsumsi Energi Balita (%) Tingkat Konsumsi Protein Balita (%)
TB/U Normal 4,55 6,93 7,36 259.587 133.434 126.152 61 12,09 93 92 96
Stunted 4,6 5,91 6,25 208.540 99.058 109.483 52 13,13 76 94 99
Secara umum karakteristik variabel pada wilayah penelitian (Tabel 25) pada keluarga yang memiliki balita dengan status gizi normal relatif lebih baik dibandingkan dengan balita dengan status stunted. Perbedaan yang cukup jelas terlihat pada pendapatan per kapita, pengeluaran pangan dan skor sanitasi dan lingkungan fisiknya. Pada keluarga dengan anak balita berstatus gizi normal pendapatan per kapitanya lebih tinggi 24 persen dan pengeluaran pangan per kapitanya lebih tinggi 35 persen dari balita dangan status stunted. Skor sanitasi dan lingkungan fisik keluarga pada balita normal berada pada kategori cukup, sedangkan pada balita stunted ada pada kaegori kurang. Tingkat konsumsi energi rumahtangga pada keluarga dengan balita nornal nilainya jauh lebih baik dari pada keluarga dengan balita stunted. Tingkat kecukupan energi rumahtangga pada keluarga dengan balita normal berada pada kategori cukup, sedangkan pada keluarga dengan balita stunted berada pada kategori defisit sedang. Tingkat kosumsi energi rumahtangga yang sekaligus menggambarkan ketahanan pangan rumahtangga ini, memberikan
54
gambaran bahwa rumahtangga makin tinggi tingkat ketahanan pangan keluarga makin baik status gizi balitanya. Pada tingkat konsumsi energi dan protein balita, nampak bahwa baik anak balita dengan status gizi normal maupun stunted tingkat konsumsi energi dan proteinnya sudah berada dalam kategori cukup. Nampak juga bahwa tingkat konsumsi energi dan protein balita stunted sedikit lebih tinggi dibandingkan balita normal. Hal ini menandakan bahwa pada saat ini anak balita diwilayah penelitian tingkat konsumsinya sudah cukup baik, keadaan prevalensi stunted yang tinggi menggambarkan status gizi masa lalunya yang mengalami kekurangan gizi. Dari gambaran tersebut mengindikasikan bahwa untuk memperbaiki status gizi masyarakat harus dilakukan beberapa upaya. Upaya tersebut seperti adanya perbaikan keadaan sosial ekonomi dan lingkungan fisik. Khususnya peningkatan pendapatan masyarakat yang dapat dilakukan dengan pemberian bantuan modal usaha bagi masyarakat, atau dengan cara tidak langsung dengan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan bagi anakanaknya karena pada wilayah penelitian tingkat pendidikannya masih tergolong sangat rendah yang nantinya akan meningkatkan life skill masyarakat, kemudian dapat meningkatkan pendapatan/taraf hidup masyarakat dan ketahanan pangan rumahtangganya dan memperbaiki kondisi lingkungannya serta dapat pula memperbaiki status gizi anak karena meningkatnya pengetahuan orang tua untuk mengurus anak dan keluarganya.
55
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Wilayah yang Banjarnegara.
dijadikan tempat
Banjarnegara
dalam
penelitian ini adalah Kabupaten
peta
kerawanan
pangan
Indonesia
merupakan wilayah yang rumahtangganya masih dikategorikan memiliki resiko tinggi defisit konsumsi energi dan protein. Lokasi yang dipilih adalah kecamatan Pejawaran dan Punggelan. Pada wilayah penelitian ini tingkat ketahanan pangannya
tersebar
hampir
merata
dengan
pembagian
37,3
persen
rumahtangga yang tergolong sangat rawan pangan, 31,7 persen rumahtangga rawan pangan dan sisanya 31 persen tergolong tahan pangan yang dikategorikan berdasarkan tingkat
defisit
energi dari konsumsi pangan
rumahtangga. Ketahanan pangan rumah tangga di Punggelan kebih baik dari Pejawaran. Pada wilayah penelitian sebagian besar rumahtangganya tergolong dalam keluarga kecil baik di Pejawaran maupun Punggelan. Pendidikan orang tua masih terolong rendah yang digambarkan dengan sebagian besar pendidikan orang tua adalah tamatan sekolah dasar (SD). Berdasarkan garis kemiskinan Banjarnegara lebih dari seperempat rumahtangga di wilayah penelitian tergolong miskin (39%). Sedangkan menurut garis kemiskinan dunia maka hampir seluruh rumahtangga (97,6%) tergolong miskin. Berdasarkan sistem skoring kondisi sanitasi dan kesehatan lingkungan fisik rumahtangga masih kurang, karena lebih dari separuh rumahtangganya memiliki kondisi sanitasi dan kesehatan lingkungan fisik yang kurang memadai. Kondisi sanitasi dan lingkungan fisik di Punggelan lebih baik dari Pejawaran. Pada wilayah penelitian sebagian besar anak balitanya (81,3%) pernah menderita sakit selama tiga bulan terakhir dengan rata-rata hari menderita sakit yaitu 13 hari dan rata-rata frekuensinya 3 kali. Jenis penyakit yang paling sering diderita yaitu panas/demam, pilek/influenza, dan batuk pilek. Prevalensi masalah status gizi anak balita di wilayah penelitian yang diukur dengan tiga indikator tergolong dalam masalah kesehatan masyarakat yang serius atau sangat tinggi. Prevalensi balita wasting masuk pada kategori serious emergency situation; 10-14%). Prevalensi balita stunted dan gizi kurang sangat tinggi menurut kriteria WHO masing-masing ≥40 persen dan ≥30 persen. Konsumsi energi dan protein anak balita di wilayah Banjarnegara berhubungan
erat
dengan
tingkat
ketahanan
pangan
rumahtangganya,
56
karakteristik sosial ekonomi keluarganya, kondisi sanitasi dan lingkungan fisiknya serta tingkat kesakitan anak balitanya. Kemudian prevalensi gizi kurang dan buruk serta stunted anak balita di Banjarnegara berkaitan erat dengan rendahnya ketahanan pangan rumahtangga, karateristik sosial ekomomi keluarga, serta kondisi sanitasi dan lingkungan fisiknya. Saran Terkait masih rendahnya tingkat ketahanan pangan rumahtangga di wilayah penelitian maka disarankan untuk melakukan upaya perbaikan keadaan ekonomi masyarakat misalnya dengan pemberian bantuan modal usaha pada masyarakat miskin serta menyadarkan orang tua akan pentingnya pendidikan disertai perbaikan sarana dan prasarana pendidikan. Karena pada wilayah penelitian
ini
ditemukan
rendahnya
pendidikan
dan
keadaan
ekonomi
masyarakatnya. Perbaikan di bidang ini diharapkan akan memperbaiki kondisi sanitasi dan lingkungan fisik masyarakat, disamping itu perlu juga dilakukan penyuluhan yang terkait dengan kondisi sanitasi dan lingkungan fisik yang sehat, dan juga batuan pembuatan MCK umum yang sehat, yang nantinya upaya-upaya ini akan membantu menigkatkan status gizi anak balitanya.
57
DAFTAR PUSTAKA [Anonim]. 2009. Kemiskinan. http://wikiedia.com/ [14 Agustus 2009]. Almatsier S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Atmarita, Fallah TS. 2004. Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat. www.gizi.net/kep/download/makalah-wnpg8.doc [11 Juli 2009]. Atmojo SM, Suhardjo, Syarif H, Karyadi D. 1992. Pengaruh Faktor Lingkungan Biofisik dan Sosial Ekonomi terhadap Diare dan hubungannya dengan Status Gizi. Di dalam media gizi dan keluarga. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2007. Banjarnegara dalam Angka. Banjarnegara : BPS. . 2007. Punggelan dalam Angka. Banjarnegara : BPS. . 2007. Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2007 Kabupaten/Kota. Jakarta: BPS. [Depkes] Departemen Kesehatan. 2003. Perilaku hidup bersih dan sehat di Indonesia 2001-2003. Jakarta: Pusat Promosi Kesehatan dan Badan LITBANGKES Bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik. . 2001. Pedoman Pelaksanaan Sanitasi Lingkungan dalam Pengendalian Vektor. Jakarta: Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan. [Deptan] Departemen Pertanian. 2007. Peta Kerawanan Pangan Indonesia. Jakarta: Departemen Pertanian. . 2002. Peraturan Pemerintah Republik Indonesi No 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. www.deptan.go.id/pesantren/bkp/DewanKP/Product.htm [03 Mei 2009]. Direktorat Penyehatan Air. 1990. Petunjuk Pelaksanaan Pengawasan Kualitas Air Bersih Rumah – Tangga Pedesaan. Jakarta: Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. Entjang I. 1981. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Bandung: Penerbit Alumni. [FAO] Food and Agriculture Organization. 1989. Pendidikan Kependudukan dan Gizi. Suhardjo, penerjemah; Belanda: FAO. Terjemahan dari: Population Education and Nutrition. Gabriel A. 2008. Perilaku keluarga sadar gizi (kadarzi) serta hidup bersih dan sehat ibu kaitannya dengan status gizi dan kesehatan balita di Desa
58
Cikarawang, Bogor. [Skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hanani
N. 2009. Monitoring dan Evaluasi Ketahanan Pangan. lecture.brawijaya.ac.id/nuhfil/files/2009/03/7pemetaan-rawan-pangan7.pdf [27 April 2009].
Hardinsyah, Briawan D. 1994. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. , Martianto D. 1992. Gizi Terapan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Hidayat AAA. 2008. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika. Jelliffe DB. 1989. Community Nutritional Assessment. Oxford University Press. Kartasapoetra G, Marsetyo. 2003. Ilmu Gizi (Korelasi gizi, Kesehatan dan Produktivitas Kerja). Jakarta: Rineka Cipta. Khomsan A. 2002. Pangan dan Gizi dalam Dimensi Kesejahteraan. Bogor: Jurusan GMSK Fakultas Pertanian Bogor. . 2009. Garis Kemiskinan yang Baru. http://jakarta45.wordpress.com/ [14 Agustus 2009]. Khumaidi M. 1989. Gizi Masyarakat. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Martianto D, Ariani M. 2004. Analisis Perubahan Konsumsi dan Pola Konsumsi Pangan Masyarakat dalam Dekade Terakhir. Dalam Soekirman et al., editor. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII “Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi”; Jakarta 17-19 Mei 2004. Jakarta: LIPI. et al. 2008. Analisis Situasi Ketahanan Pangan dan Gizi dan Program untuk Memperkuat Ketahanan Pangan dan Memperbaiki Status Gizi Anak di Kabupaten Timor Tengah Selatan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia IPB dengan PLAN Indonesia. Notoatmodjo S. 2003. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta. Purlika . 2004. Studi food coping mechanism pada rumahtangga miskin di daerah perkotaan. [skripsi]. Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Faperta, IPB. Riyadi H. 2006. Materi Pokok Gizi dan Kesehatan Keluarga. Jakarta: Universitas Terbuka.
59
. 2004. Penialaian Status Gizi. Di dalam: Baliwati FB, Khomsan A, Dwiriani CM, editor,Pengantar Pangan dan Gizi. Jakarta: Penebar Swadaya. Riyadi H. 2001. Metode penilaian status gizi secara antropometri [diktat]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Roedjito D. 1989. Kajian Penilaian Gizi. Jakarta: Mediyatama Sarana Perkasa. Sediaoetama AD. 1996. Ilmu Gizi untuk mahasiswa dan profesi. Jakarta:Dian Rakyat. Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional. Suhardjo. 2002. Perencanaan Pangan dan Gizi. Bumi aksara: Jakarta. . 1989. Sosio Budaya Gizi. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Sukarni M. 1989. Kesehatan Keluarga dan Lingkungan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. . 1999. Kesehatan Keluarga dan Lingkungan. Yogyakarta: Kani Siur. Supariasa IDN, Bachyar B, Ibnu F. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC. Suriawiria U. 1996. Air dalam Kehidupan dan Lingkungan yang Sehat. Bandung: Penerbit Alumni. Suryanah. 1996. Keperawatan Anak untuk Siswa SPK. Penerbit buku kedokteran EGC. Jakarta. Syarief H. 2004. Masalah Gizi di Indonesia: Kondisi Gizi Masyarakat Memprihatinkan. www.gizi.net [11 Juli 2009]. Tanziha I. 2005. Analisis Peubah Konsumsi Pangan dan Sosial Ekonomi Rumahtangga untuk Menentukan Determinan dan Indikator Kelaparan [disertasi]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor Widyati R, Yuliarsih. 2002. Higiene dan Sanitasi Umum dan Perhotelan. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. [WHO] World Health Organization. 1999. Nutrition for Health and Development. Geneva: WHO. . 1995. Physical Status: The Use and Interpretation of Anthropometry. Geneva: WHO Wong et al. 2008. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Agus S, Neti J, HY Kuncara, penerjemah; Jakarta: EGC. Terjemahan dari: Wong’s Essentials of Pediatric Nursing 6th ed.
60
61
Lampiran 1 Tingkat ketahanan pangan diwilayah Provinsi Jawa Tengah
62
Lampiran 2 Sebaran rumahtangga berdasarkan karakteristik sanitasi dan lingkungan fisik pada Kecamatan Pejawaran dan Punggelan Karakteristik
Sumber air : Sumur sendiri atau PDAM Sumur umum Air sungai Kepemilikan MCK: MCK sendiri Tidak punya Penanganan Sampah: Mengumpulkan sampah terlebih dahulu untuk dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA) atau dibakar atau dijadikan pupuk. Mengumpulkan sampah di kebun/lubang setelah penuh dibakar/ditimbun Membuang sampah ke kebun atau sekitar rumah (selokan dan sungai) tanpa penanganan apapun Dinding rumah: Tembok Papan/setengah tembok Bilik Lantai rumah: keramik tanah semen/tegel/papan Ventilasi rumah : Cukup memadai Tidak cukup memadai Pencahayaan rumah: Sinar matahari masuk diseluruh ruangan Sinar matahari masuk disebagian ruangan Sinar matahari tidak masuk/gelap Kepadatan hunian: 2 8 m /orang 2 < 8 m /orang Kandang ternak: Ada dengan jarak <10 m Ada, dengan jarak 10 m Tidak ada Aktivitas MCK: MCK sendiri MCK tetangga/saudara Sungai/ruang publik terbuka
Kecamatan Pejawaran Punggelan n % n %
Total n
%
147 2 1
98 1,3 0,7
112 28 10
74,7 18,7 6,7
259 30 11
86,3 10 3,7
30 120
20 80
79 71
52,7 47,3
109 191
36,3 63,7
27
18
22
14,7
49
16,3
41
27,3
86
57,3
127
42,3
82
54,7
42
28
124
41,3
47 30 73
31,3 20 48,7
107 38 5
71,3 25,3 3,3
154 68 78
51,3 22,7 26
8 86 56
5,3 57,3 37,3
66 53 31
44 35,3 20,7
74 139 87
24,7 29 46,3
40 110
26,7 73,3
119 31
79,3 20,7
159 141
53 47
22
14,7
78
52
100
33,3
102
68
65
43,3
167
55,7
26
17,3
7
4,7
33
11
132 18
88 12
147 3
98 2
279 21
93 7
108 15 27
72 10 18
104 24 22
69,3 16 14,7
212 39 49
70,7 13 16,3
30 8 112
20 5,3 74,7
79 18 53
52,7 12 35,3
109 26 165
36,3 8,7 55
63
Lampiran 3 Hasil Uji t variabel penelitian
ketahanan pgn jumlah anggota klwrg lama sekolah ayah lama sekolah ibu pendapatan perkapita persen pangan persen nonpangan sanitasi lingkungan hari sakit TKE Balita TKP Balita bb/u tb/u bb/tb
Kecamatan pejawaran
Group Statistics N Mean 150 75,40
Std. Dev 29,962
SE. Mean 2,446
Punggelan
150
92,23
33,106
2,703
pejawaran
150
4,65
1,400
,114
Punggelan
150
4,50
1,441
,118
pejawaran
147
5,65
2,435
,201
Punggelan
148
7,10
3,211
,264
pejawaran
150
5,97
1,855
,151
Punggelan
150
7,55
2,763
,226
pejawaran
150
185015,15
170956,863
13958,569
Punggelan
150
278687,88
204287,260
16679,985
pejawaran
150
52,63
16,202
1,323
Punggelan
150
59,29
15,053
1,229
pejawaran
150
47,37
16,202
1,323
Punggelan
150
40,71
15,053
1,229
pejawaran
150
45,71
17,083
1,395
Punggelan
150
66,57
17,040
1,391
pejawaran
150
12,55
15,260
1,246
Punggelan
150
12,76
16,574
1,353
pejawaran
150
91,11
34,630
2,827
Punggelan
150
95,90
43,585
3,559
pejawaran
150
94,37
40,755
3,328
Punggelan
150
100,23
54,105
4,418
pejawaran
150
-1,6861
1,10769
,09044
Punggelan
150
-1,3658
1,07154
,08749
pejawaran
150
-2,4618
1,19984
,09797
Punggelan
150
-1,6961
1,08273
,08840
pejawaran
150
-,3669
1,33144
,10871
Punggelan
150
-,5694
1,29271
,10555
Independent Samples Test t-test for Equality of Means
ketahanan pgn jumlah anggota keluarga lama sekolah ayah
Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper
df
Sig. (2tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
298
,000
-16,827
3,646
-24,001
-9,652
295,082
,000
-16,827
3,646
-24,002
-9,652
298
,351
,153
,164
-,170
,476
297,747
,351
,153
,164
-,170
,476
293
,000
-1,455
,332
-2,108
-,802
274,016
,000
-1,455
,332
-2,108
-,802
64
df
Sig. (2tailed)
t-test for Equality of Means Mean Std. Error 95% Confidence Difference Difference Interval of the Difference Lower Upper
lama sekolah ibu
Equal variances assumed
298
,000
-1,580
,272
-2,115
-1,045
Equal variances not assumed
260,677
,000
-1,580
,272
-2,115
-1,045
pendapatan /kapita
Equal variances assumed
298
,000
-93672,727
21750,024
-136475,829
-50869,625
Equal variances not assumed
289,021
,000
-93672,727
21750,024
-136481,251
-50864,202
Equal variances assumed
298
,000
-6,667
1,806
-10,220
-3,113
Equal variances not assumed
296,401
,000
-6,667
1,806
-10,220
-3,113
persen non pangan
Equal variances assumed
298
,000
6,667
1,806
3,113
10,220
Equal variances not assumed
296,401
,000
6,667
1,806
3,113
10,220
sanitasi lingkunga n
Equal variances assumed
298
,000
-20,860
1,970
-24,737
-16,983
Equal variances not assumed
297,998
,000
-20,860
1,970
-24,737
-16,983
Equal variances assumed
298
,911
-,207
1,839
-3,827
3,413
Equal variances not assumed
295,988
,911
-,207
1,839
-3,827
3,413
Equal variances assumed
298
,293
-4,790
4,545
-13,735
4,155
Equal variances not assumed
283,515
,293
-4,790
4,545
-13,737
4,157
Equal variances assumed
298
,290
-5,859
5,531
-16,743
5,026
Equal variances not assumed
276,906
,290
-5,859
5,531
-16,746
5,029
Equal variances assumed
298
,011
-,32027
,12584
-,56791
-,07263
Equal variances not assumed
297,673
,011
-,32027
,12584
-,56791
-,07263
Equal variances assumed
298
,000
-,76573
,13196
-1,02542
-,50605
Equal variances not assumed
294,911
,000
-,76573
,13196
-1,02543
-,50603
Equal variances assumed
298
,182
,20247
,15152
-,09572
,50066
Equal variances not assumed
297,741
,182
,20247
,15152
-,09572
,50066
persen pangan
hari sakit
TKE Balita
TKP Balita
BB/U
TB/U
BB/TB
65
Lampiran 4 Hasil Korelasi Pearson variabel penelitian Variabel Independen Ketahanan pangan Jumlah anggota keluarga Pendapatan perkapita Pengeluarang pangan Pengeluaran non pangan
Correlation Coefficient Sig. (1-tailed) Correlation Coefficient Sig. (1-tailed) Correlation Coefficient Sig. (1-tailed) Correlation Coefficient Sig. (1-tailed) Correlation Coefficient Sig. (1-tailed)
Variabel Dependen Tingkat Konsumsi Tingkat Konsumsi Energi balita Protein balita 0,149** 0,143** 0,010 0,007 0,043 0,050 0,460 0,193 0,226** 0,314** 0,000 0,000 0,288** 0,320** 0,000 0,000 0,209** 0,255** 0,000 0,000
Sanitasi dan lingkungan fisik
Correlation Coefficient
0,173**
0,205**
Jumlah hari sakit
Sig. (1-tailed) Correlation Coefficient Sig. (1-tailed)
0,001 -0,138** 0,008
0,000 -0,160** 0,003
Variabel Independen Ketahanan pangan Jumlah anggota keluarga
Correlation Coefficient Sig. (1-tailed) Correlation Coefficient
Variabel Dependen Status gizi BB/U
Status gizi TB/U
Status gizi BB/TB
0,290**
0,269**
0,142**
0,000
0,000
0,007
-0,053
-0,044
-0,380
0,180
0,226
0,259
0,117*
0,155**
0,022
Sig. (1-tailed) Correlation Coefficient Sig. (1-tailed) Correlation Coefficient Sig. (1-tailed) Correlation Coefficient Sig. (1-tailed)
0,022
0,004
0,350
0,174**
0,254**
0,014
0,001
0,000
0405
0,069
0,082
0,022
0,116
0,079
0,350
Sanitasi dan lingkungan fisik
Correlation Coefficient
0,138**
0,216**
0,001
Sig. (1-tailed) Correlation Coefficient Sig. (1-tailed)
0,008
0,000
0,492
Jumlah hari sakit
-0,056
0,000
-0,069
0,169
0,497
0,117
Correlation Coefficient
-0,063
-0,044
-0,060
Sig. (1-tailed)
0,137
0,223
0,151
Correlation Coefficient
-0,065
-0,049
-0,054
Sig. (1-tailed)
0,130
0,198
0,178
Pendapatan perkapita Pengeluarang pangan Pengeluaran non pangan
Tingkat Konsumsi Energi balita Tingkat Konsumsi Protein balita
66
Lampiran 5 Hasil Korelasi Spearman variabel penelitian Variabel Independen Pendidikan Ayah Pendidikan Ibu
Correlation Coefficient Sig. (1-tailed) Correlation Coefficient Sig. (1-tailed)
Variabel Dependen
Variabel Dependen Tingkat Konsumsi Tingkat Konsumsi Energi balita Protein balita 0,225** 0,238** 0,000 0,000 0,278** 0,303** 0,000 0,000
Pendidikan Ayah
Correlation Coefficient Sig. (1-tailed)
Status gizi BB/U 0,033 0,286
Pendidikan Ibu
Correlation Coefficient Sig. (1-tailed)
0,122* 0,018
Variabel Independen Status gizi TB/U Status gizi BB/TB 0,174** -0,050 0,001 0,194 0,211** 0,000
-0,045 0,217
Lampiran 6 Karakteristik kondisi lingkungan, mobiditas dan tingkat konsumsi rumahtangga dan balita menurut status gizi TB/U di wilayah penelitian Variabel Jumlah Anggota Keluarga (orang) Lama Pendidikan Ayah (tahun) Lama Pendidikan Ibu (tahun) Pendapatan (Rp/kap) Pengeluaran Pangan (Rp/kap) Pengelurana Non-pangan (Rp/kap) Skor Sanitasi dan Lingkungan Fisik (maks 100) Lama Sakit Balita (hari) Tingkat Konsumsi Energi Rumahtangga (%) Tingkat Konsumsi Energi Balita (%) Tingkat Konsumsi Protein Balita (%) Asupan Konsumsi Energi Balita (kkal) Asupan Konsumsi Protein Balita (g)
TB/U Stunted 4,6 5,91 6,25 208.540 99.058 109.483 52 13,13 76 94 99 915 23
Normal 4,55 6,93 7,36 259.587 133.434 126.152 61 12,09 93 92 96 1046 27
Lampiran 7 Karakteristik kondisi lingkungan, mobiditas dan tingkat konsumsi rumahtangga dan balita menurut status gizi BB/U di wilayah penelitian Variabel Jumlah Anggota Keluarga (orang) Lama Pendidikan Ayah (tahun) Lama Pendidikan Ibu (tahun) Pendapatan (Rp/kap) Pengeluaran Pangan (Rp/kap) Pengelurana Non-pangan (Rp/kap) Skor Sanitasi dan Lingkungan Fisik (maks 100) Lama Sakit Balita (hari) Tingkat Konsumsi Energi Rumahtangga (%) Tingkat Konsumsi Energi Balita (%) Tingkat Konsumsi Protein Balita (%) Asupan Konsumsi Energi Balita (kkal) Asupan Konsumsi Protein Balita (g)
BB/U Gizi Baik 4,5 6,4 7 245.656 122.145 123.511 58 12 92 92 94 1022 26
Underweight 4,7 6,3 6,2 202.063 98.813 103.250 52 15 66 98 104 872 23
67
Lampiran 8 Karakteristik kondisi lingkungan, mobiditas dan tingkat konsumsi rumahtangga dan balita menurut status gizi BB/U di wilayah penelitian Variabel Jumlah Anggota Keluarga (orang) Lama Pendidikan Ayah (tahun) Lama Pendidikan Ibu (tahun) Pendapatan (Rp/kap) Pengeluaran Pangan (Rp/kap) Pengelurana Non-pangan (Rp/kap) Skor Sanitasi dan Lingkungan Fisik (maks 100) Lama Sakit Balita (hari) Tingkat Konsumsi Energi Rumahtangga (%) Tingkat Konsumsi Energi Balita (%) Tingkat Konsumsi Protein Balita (%) Asupan Konsumsi Energi Balita (kkal) Asupan Konsumsi Protein Balita (g)
BB/U Normal 4,6 6,4 6,8 233.777 114.823 118.954 56 12 86 92 96 984 24
wasting 4,5 6,3 6,5 216.274 114.216 102.058 56 15 70 102 108 903 26