HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECUKUPAN GIZI, AKTIVITAS FISIK DAN POLA KONSUMSI PANGAN BEBAS GLUTEN DAN KASEIN DENGAN STATUS GIZI ANAK PENYANDANG AUTIS DI KOTA BOGOR
ELVI HAYATTI
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
c
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hubungan antara Tingkat Kecukupan Gizi, Aktivitas Fisik dan Pola Konsumsi Pangan Bebas Gluten dan Kasein dengan Status Gizi Anak Penyandang Autis di Kota Bogor benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2015
Elvi Hayatti NIM I14110132
vi
ABSTRAK ELVI HAYATTI. Hubungan antara Tingkat Kecukupan Gizi, Aktivitas Fisik dan Pola Konsumsi Pangan Bebas Gluten dan Kasein dengan Status Gizi Anak Penyandang Autis Di Kota Bogor. Dibimbing oleh SRI ANNA MARLIYATI. Penelitian ini bertujuan untuk memelajari hubungan antara tingkat kecukupan gizi, aktivitas fisik, dan pola konsumsi pangan bebas gluten dan kasein dengan status gizi anak penyandang autis di Kota Bogor. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional dengan jumlah subjek 34 orang. Subjek adalah ibu anak autis yang bersedia untuk menjadi responden penelitian. Tempat dan subjek penelitian dipilih secara purposive. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari–Maret 2015. Berdasarkan uji korelasi pearson terdapat hubungan signifikan antara tingkat kecukupan energi (r=0.462, p=0.006) dengan status gizi. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat kecukupan protein dengan status gizi (r=0.294, p=0.091). Berdasarkan uji korelasi spearman terdapat hubungan signifikan antara antara rata-rata konsumsi gluten (r=0.606, p=0.000), rata-rata konsumsi kasein dengan status gizi (r=0.531, p=0.001). Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat kecukupan vitamin A (r=0.021, p=0.906), tingkat kecukupan vitamin B6 (r=0.028, p=0.874), tingkat kecukupan vitamin C (r=0.056, p=0.754), aktivitas fisik di Sekolah (r=0.166, p=0.349), dan aktivitas fisik di waktu luang dengan status gizi (r=0.011, p=0.951). Kata Kunci : Aktivitas fisik, autis, gluten dan kasein, tingkat kecukupan gizi
ABSTRACT ELVI HAYATTI. Correlation Between Nutrition Adequacy Level, Physical Activity And Gluten Free Casein Free Dietary Pattern With Nutritional Status Of Autism In Bogor City. Supervised by SRI ANNA MARLIYATI. This research was aimed to study correlation between nutrition adequacy level, physical activity and gluten free casein free dietary pattern with nutritional status of autism in Bogor City. The study design was cross sectional with 34 subjects. The subjects were mother of autism who were willing to be respondent. Place and subjects were selected purposively. The research was conducted on February-March 2015. Pearson correlation test showed significant correlation between the adequacy of energy (r=0.462, p=0.006) with nutritional status. There was no significant relation between the adequacy of protein with nutritional status (r=0.294, p=0.091). Spearman correlation test showed significant correlation between the average of gluten (r=0.606, p=0.000), the average of casein with nutritional status (r=0.531, p=0.001). There was no significant relation between the adequacy of vitamin A (r=0.021, p=0.906), the adequacy of vitamin B6 (r=0.028, p=0.874), the adequacy of vitamin C (r=0.056, p=0.754), physical activity at School (r=0.166, p=0.349),and physical activity at free time with nutritional status (r=0.011, p=0.951). Key words : Autism, gluten and casein, nutrition adequacy level, physical activity
viii
HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECUKUPAN GIZI, AKTIVITAS FISIK DAN POLA KONSUMSI PANGAN BEBAS GLUTEN DAN KASEIN DENGAN STATUS GIZI ANAK PENYANDANG AUTIS DI KOTA BOGOR
ELVI HAYATTI
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi Dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
vi
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2015 adalah pola konsumsi dan status gizi anak autis dengan judul Hubungan antara Tingkat Kecukupan Gizi, Aktivitas Fisik dan Pola Konsumsi Pangan Bebas Gluten dan Kasein dengan Status Gizi Anak Penyandang Autis di Kota Bogor. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Keluarga tercinta dan tersayang: Ayahanda (Bapak Damsir), ibunda (Ibu Sawatimar), Andriansyah (kakak), Meddy Stiadhi (kakak), Felia Dina Riyes (kakak), serta seluruh keluarga besar atas segala doa, dukungan moril, dan perhatian serta kasih sayang yang diberikan. 2. Dr.Ir. Sri Anna Marliyati, MS selaku dosen pembimbing skripsi dan Prof.Dr.Ir.Ali Khomsan, MS selaku dosen penguji dan pembimbing akademik atas waktu, bimbingan, dan motivasi, serta saran dalam membantu proses penyelesaian penyusunan karya ilmiah ini. 3. Kepala sekolah SLB Tunas kasih 2, Dharma Wanita-C, Mentari Kita, AlIrsyad, Sekolah Dasar Negeri Inklusi Perwira dan Sekolah Dasar Negeri Semeru 6 serta staff pengajar dan tata usaha yang telah membantu dan mendampingi selama proses pengambilan data, serta siswa-siswi penyandang autis dan orang tua siswa-siswi yang bersedia menjadi responden dalam penelitian ini. 4. Teman-teman tercinta : Laeli Nur Fitriani, Soraya Qatrunnada, Nur’Afifah Komalasari, Penghuni Wisma Pingky (Rica Monica, Ai Anis, Deya Silviani, Nur Khoiriyah, Nadia N, Mbak nono) yang selalu bersama 3 tahun ini dan selalu memberikan semangat dan doanya yang luar biasa, dan Defri Frisandi yang selalu memberikan dukungan dan perhatian setiap waktunya. 5. Teman-teman Enumerator : Kiki Yunita Sari, Yasmin Nafisah, Rahmadini, Asmi Faradina, Ziyaadah Aqliyah yang banyak sekali membantu dalam proses pengambilan data. 6. Teman-teman Gizi Masyarakat 48, teman-teman KKP Desa Sukajaya Bogor 2014, Ahli gizi dan pekerja di Rumah Sakit Pasar Rebo PKL 2014 serta teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas segala perhatian, dukungan, semangat, dan motivasi yang selalu diberikan kepada penulis. Tidak lupa penulis mohon maaf atas segala kekurangan dalam penyusunan karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2015 Elvi Hayatti
v
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
3
Tujuan Penelitian
3
Hipotesis
4
Manfaat Penelitian
4
KERANGKA PEMIKIRAN
5
METODE PENELITIAN
7
Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian
7
Jumlah dan Cara Pengambilan Subjek
7
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
8
Pengolahan dan Analisis Data
9
Definisi Operasional HASIL DAN PEMBAHASAN
11 12
Keadaan Umum Lokasi Penelitian
12
Karakteristik Subjek
13
Karakteristik Keluarga
14
Status Gizi
16
Pola Konsumsi Pangam
18
Tingkat Kecukupan Gizi
20
Aktivitas Fisik
23
Frekuensi Konsumsi Gluten dan Kasein
24
Hubungan Antar Variabel
26
SIMPULAN DAN SARAN
30
DAFTAR PUSTAKA
31
LAMPIRAN
37
RIWAYAT HIDUP
51
vi
DAFTAR TABEL 1. Variabel, jenis, dan cara pengambilan data 2. Kategori Status gizi berdasarkan IMT/U 3. Sebaran subjek berdasarkan asal sekolah 4. Sebaran jenis kelamin subjek berdasarkan usia 5. Sebaran umur orangtua subjek 6. Sebaran keluarga subjek berdasarkan tingkat pendidikan 7. Sebaran orangtua subjek berdasarkan pekerjaan 8. Sebaran subjek berdasarkan pendapatan orangtua 9. Sebaran subjek berdasarkan status gizi 10. Sebaran subjek berdasarkan status gizi, jenis kelamin dan usia 11. Frekuensi konsumsi pangan sumber karbohidrat (kali/minggu) 12. Frekuensi konsumsi pangan sumber protein hewani (kali/minggu) 13. Frekuensi konsumsi pangan sumber protein nabati (kali/minggu) 14. Frekuensi konsumsi pangan sumber buah dan sayur 15. Tingkat kecukupan gizi subjek 16. Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan gizi 17. Sebaran subjek berdasarkan aktivitas fisik di sekolah dan waktu luang 18. Sebaran subjek berdasarkan konsumsi pangan sumber gluten dan kasein 19. Frekuensi konsumsi pangan sumber gluten 20. Frekuensi konsumsi pangan sumber kasein
8 10 12 13 14 15 16 16 17 17 18 19 19 20 20 22 24 24 25 26
DAFTAR GAMBAR 1. Kerangka pemikiran penelitian hubungan antara tingkat kecukupan gizi, aktivitas fisik, dan pola konsumsi pangan bebas gluten dan kasein dengan status gizi anak penyandang autis di Kota Bogor
DAFTAR LAMPIRAN 1. Dokumentasi kegiatan 2. Kuesioner penelitian
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Anak merupakan individu yang berada pada rentang pertumbuhan dan perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja. Tahap pertumbuhan dan perkembangan anak pun bervariasi, ada yang cepat dan ada yang lambat. Proses perkembangan anak meliputi fisik, kognitif, konsep diri, pola koping, dan perilaku sosial (Hidayat 2004). Pada beberapa kondisi terdapat beberapa anak yang mengalami masalah perkembangan, salah satu gangguan yang menjadi sorotan saat ini adalah autis. Setiap orangtua yang mempunyai anak yang telah didiagnosis autis oleh dokter akan memberikan diet kepada anak tersebut berdasarkan kebutuhannya, karena anak autis ada yang mengalami alergi terhadap makanan yang dikonsumsi setiap hari sehingga diperlukan diet khusus kepada anak tersebut. Semakin Bertambah atau berkembangnya ilmu pengetahuan maka semakin banyak pula penelitian di bidang kesehatan khususnya mengenai diet dan pemberian diet (Sintowati 2007). Center For Disease Control and Prevention (CDC) di Amerika Serikat pada bulan Maret 2013 melaporkan, bahwa prevalensi autis meningkat menjadi 1:50 dalam kurun waktu setahun terakhir. Hal tersebut bukan hanya terjadi di negara-negara maju seperti Inggris, Australia, Jerman dan Amerika namun juga terjadi di negara berkembang seperti Indonesia. Prevalensi autis di dunia saat ini mencapai 15-20 kasus per 10 000 anak atau berkisar 0.l5-0.20%. Jika angka kelahiran di Indonesia 6 juta per tahun maka jumlah penyandang autis di Indonesia bertambah 0.15% atau 6.900 anak per tahunnya (Mashabi dan Tajudin 2009). Penelitian terkait yang telah dilakukan tahun 2004 di Bogor diperoleh hasil bahwa sebanyak 68.24% anak autis menunjukkan adanya perbaikan perilaku pada tingkat hiperaktivitas setelah dilakukan terapi diet (Latifah 2004). Diet yang biasa diberikan untuk penderita autis diantaranya diet Gluten Free Casein Free (GFCF), diet anti yeast/ fermentasi dan intoleransi makanan berupa zat pengawet, zat pewarna makanan dan zat penambah rasa makanan. Perbaikan atau penurunan perilaku autis dapat dilihat dalam waktu 1- 3 minggu untuk diet Gluten Free Casein Free (GFCF) 1-2 minggu untuk diet anti yeast/ fermentasi. Penelitian tahun 2012 di Bandung melaporkan bahwa sebanyak 85% orangtua yang tidak patuh dalam menerapkan diet Gluten Free Casein Free (GFCF) berdampak pada terjadinya gangguan perilaku anak mereka seperti tantrum (mengamuk) dibandingkan pada anak autis yang orangtuanya patuh dalam menjalankan diet (Sofia 2012). Pola makan pada anak terutama anak autis harus mengandung sejumlah zat gizi, terutama karbohidrat, protein dan kalsium yang tinggi guna memenuhi kebutuhan fisiologis selama masa pertumbuhan dan perkembangan. Ada beberapa jenis makanan yang menyebabkan reaksi alergi pada anak autis seperti gula, susu sapi, gandum, cokelat, telur, kacang ataupun ikan. Selain itu konsumsi gluten dan kasein perlu dihindari karena penderita autis umumnya tidak tahan terhadap gluten dan kasein. Gluten adalah protein yang bersifat khas yang terdapat pada tepung terigu dan dalam jumlah kecil dalam tepung serealia lainnya, gluten terdiri
2
atas dua komponen protein yaitu gliadin dan glutenin. Kasein adalah protein kompleks pada susu yang mempunyai sifat khas yaitu dapat menggumpal dan membentuk massa yang kompak (Rosemary 2009). Ramadayanti dan Margawati (2013) melakukan penelitian yang melibatkan 15 anak dengan usia yang berkisar antara 6–14 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak autis sebagian besar laki-laki yaitu 80%. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengidentifikasi perilaku pemilihan makanan pada anak autis dengan pertimbangan bahwa pemilihan jenis makanan yang benar secara tidak langsung akan mempengaruhi status gizi anak. Permasalahan makan pada anak autis diantaranya yaitu menolak makan, picky eaters (memilih-milih makanan), kesulitan menerima makanan baru, luapan kekesalan atau kemarahan (tantrum), dan gerakan mengunyah sangat pelan. Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi status gizi pada anak, di antaranya adalah asupan zat gizi dan aktivitas fisik (Brown 2005). Basu et al. (2007) menyatakan adanya perbedaan status gizi anak dengan autisme status gizi normal. Penelitian yang dilakukan oleh Ingtyas (2005) dan Mathur et al. (2007) menunjukkan bahwa anak dengan autisme mengalami defisit asupan gizi yaitu diantaranya energi, protein, zat besi (Fe), vitamin A, vitamin B, dan vitamin C. Penelitian Foley (2008) dan Llyod (2012) menunjukkan bahwa aktivitas anak dengan autis lebih rendah dibandingkan dengan anak normal karena penurunan fungsi motorik, terutama anak usia sekolah. Asupan gizi yang tidak terpenuhi oleh anak autis dapat berpengaruh terhadap status gizi anak tersebut. Menurut Washnieski (2009), ada beberapa rintangan atau hambatan dalam upaya menerapkan diet GFCF diantaranya adanya perlawanan dari anak, pembatasan diet yang membuat anak sulit untuk makan, masalah lingkungan sekolah, orangtua tidak tahu cara menyiapkan makanan yang bebas kasein dan gluten, dan cara menemukan sumber yang dapat membantu untuk mengimplementasikan diet. Hal-hal tersebut dapat menjadi salah satu faktor yang tidak mendukung orangtua dalam menerapkan diet GFCF kepada anak mereka. Orangtua merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap penerapan diet GFCF pada anak autisme, karena pola makan pada anak autisme tidak terlepas dari peran seorang ibu dalam menyediakan makanan yang baik serta bergizi dan sesuai dengan kebutuhannya. Hasil dari penelitian Koka (2011) menunjukkan bahwa pengetahuan, sikap dan tindakan ibu dalam pemberian makan pada anak autis berada dalam kategori cukup yaitu 68.8% untuk pengetahuan, 59.4% untuk sikap, dan 43.8% untuk tindakan. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara tingkat kecukupan gizi, aktivitas fisik dan pola konsumsi pangan bebas gluten dan kasein dengan status gizi anak penyandang autis di Kota Bogor.
3
Perumusan Masalah
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Bagaimana tingkat kecukupan gizi (energi, protein, vitamin A, vitamin B6, dan vitamin C) anak autis? Bagaimana aktivitas fisik yaitu saat aktivitas fisik di sekolah dan aktivitas fisik saat waktu luang anak autis? Bagaimana pola konsumsi yaitu frekuensi makan, jenis sumber gluten dan kasein yang dikonsumsi anak autis? Apakah terdapat hubungan antara tingkat kecukupan gizi dengan status gizi anak autis? Apakah terdapat hubungan antara tingkat kecukupan gizi dengan aktivitas fisik anak autis? Apakah terdapat hubungan antara aktivitas fisik dengan status gizi? Apakah terdapat hubungan pola konsumsi pangan bebas gluten dan kasein dengan aktivitas fisik anak autis? Apakah terdapat hubungan pola konsumsi pangan bebas gluten dan kasein dengan status gizi anak autis?
Tujuan Penelitian Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan antara tingkat kecukupan gizi, aktivitas fisik dan pola konsumsi pangan bebas gluten dan kasein dengan status gizi anak penyandang autis di Kota Bogor. Tujuan Khusus Berdasarkan tujuan umum di atas, terdapat beberapa tujuan khusus yaitu untuk : 1. Mengidentifikasi tingkat kecukupan gizi (energi, protein, vitamin A, vitamin B6, dan vitamin C) pada anak autis di Kota Bogor 2. Mengidentifikasi aktivitas fisik pada anak autis di Kota Bogor 3. Mengidentifikasi pola konsumsi pangan bebas gluten dan kasein pada anak autis di Kota Bogor 4. Menganalisis hubungan antara tingkat kecukupan gizi (energi, protein, vitamin A, vitamin B6, dan vitamin C) dengan status gizi anak autis di Kota Bogor 5. Menganalisis hubungan antara aktivitas fisik dengan status gizi pada anak anak autis di Kota Bogor 6. Menganalisis hubungan antara pola konsumsi pangan bebas gluten dan kasein dengan status gizi anak autis di Kota Bogor
4
Hipotesis 1. Terdapat hubungan antara tingkat kecukupan gizi (energi, protein, vitamin A, vitamin B6, dan vitamin C dengan status gizi pada anak autis di Kota Bogor. 2. Terdapat hubungan antara aktivitas fisik dengan status gizi (IMT/U) pada anak autis di Kota Bogor. 3. Terdapat hubungan antara pola konsumsi pangan bebas gluten dan kasein dengan status gizi (IMT/U) pada anak autis di Kota Bogor.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai hubungan antara tingkat kecukupan gizi, aktivitas fisik dan pola konsumsi pangan bebas gluten dan kasein dengan status gizi anak penyandang autis. Informasi ini dapat menjadi sumber pengetahuan bagi orang tua yang memiliki anak autis sehingga orang tua dapat menerapkan pengaturan pola makan yang seimbang baik dari asupan gizi maupun aktivitas fisik sehari-hari untuk mendukung perubahan perilaku yang lebih baik. Kemudian hasil penelitian ini dapat digunakan oleh peneliti lain untuk mengembangkan metode penelitian mengenai autis.
5
KERANGKA PEMIKIRAN
Menurut Journal Developmental and Physical Disabilities (2011), autis adalah gangguan perkembangan sistem syaraf dengan ciri-ciri gangguan interaksi sosial, gangguan komunikasi, tingkah laku repetitive dan stereotyped, ketertarikan dan aktivitas (APA 2000). Autis adalah gangguan perkembangan yang mencakup bidang komunikasi, interaksi, dan perilaku yang luas dan berat. Kunci kesembuhan anak autis ada dua, yaitu intervensi terapi perilaku dengan metode ABA (Applied Behaviour Analysis) dan intervensi biomedis. Intervensi biomedis salah satunya dapat dilakukan dengan pengaturan pola konsumsi pangan. Hal ini terkait dengan salah satu penyebab autis yaitu gangguan metabolisme. Selain melakukan pengaturan konsumsi pangan, diperlukan berbagai terapi untuk memperbaiki perkembangan anak autis. Lingkungan keluarga perlu bekerja sama mendukung diet anak, misalnya dengan cara menyediakan diet GFCF sepanjang hari. Pola konsumsi suatu keluarga sangat dipengaruhi oleh karakteristik keluarga, yaitu pendapatan orang tua, pendidikan orang tua, serta besar keluarga. Pola konsumsi dari seorang anak akan mempengaruhi status gizi. Selain itu, status gizi juga dipengaruhi oleh aktivitas fisik dan status kesehatan anak. Pola konsumsi ditentukan dari karakteristik keluarga terutama dari pendapatan orang tua. Peran ibu di dalam keluarga selain mengasuh anak juga memegang peranan penting dalam pendampingan proses perkembangan anak termasuk dalam hal pemilihan makanan yang tepat sesuai dengan kebutuhan anak. Pemilihan makanan yang sesuai harus diberikan secara tepat untuk mencegah terjadinya kekurangan gizi pada anak autis. Konsumsi gluten dan kasein masih terbilang kurang dilihat dari jumlah konsumsi gluten dan kasein di Indonesia, namun jika ada pengaruh dari luar rumah dapat mengubah hal tersebut. Sangat penting bagi seseorang yang menerapkan diet pangan bebas gluten dan kasein untuk membaca label makanan mengingat banyaknya makanan kemasan menggunakan bahan makanan tersebut. Banyak penelitian menunjukkan bahwa pemberian pangan bebas gluten dan kasein pada autisme akan memberikan respon terhadap perubahan perilaku.
6
Karakteristik keluarga -
Umur Pendidikan Orangtua Pekerjaan Orangtua Pendapatan Orangtua
Karakteristik Subjek - Umur - Jenis Kelamin
Akses terhadap Informasi Pola konsumsi pangan bebas gluten dan kasein - Jenis - Frekuensi
Pengetahuan Ibu
Tingkat kecukupan
Aktivitas Fisik
Status Gizi Anak Autis
Status kesehatan
Keterangan : : Diteliti : Tidak diteliti : Hubungan dianalisis : Hubungan tidak dianalisis Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian hubungan antara tingkat kecukupan gizi, aktivitas fisik dan pola konsumsi pangan bebas gluten dan kasein dengan status gizi anak penyandang autis di Kota Bogor
7
METODE
Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Desain penelitian ini menggunakan jenis pendekatan kuantitatif dengan desain Cross Sectional karena peneliti ingin melihat hubungan variabel independen dengan variabel dependen. Variabel independen meliputi tingkat kecukupan gizi(energi, protein, vitamin A, vitamin B6, vitamin C), aktivitas fisik, serta pola konsumsi pangan bebas gluten dan kasein dan variabel depeden yaitu status gizi (IMT/U). Penelitian dilakukan di 5 lokasi yaitu 4 SLB di Bogor yaitu SLB-C Dharma Wanita, SLB Mentari Kita, SLB–C Tunas Kasih 2, SLB-Al Irsyad Al-Islamiyyah, dan 1 sekolah inklusi yaitu SDN Perwira. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive dengan pertimbangan (1) kemudahan akses dan perizinan, (2) Ibu bersedia untuk berpartisipasi, (3) belum dilakukan penelitian di tempat tersebut. Pengambilan data penelitian berlangsung pada bulan Februari-Maret 2015.
Jumlah dan Cara Pengambilan Subjek Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah anak autis yang merupakan siswa Sekolah Luar Biasa (SLB) dan sekolah inklusi yang terdapat di lokasi penelitian yaitu SLB-C Dharma Wanita, SLB Mentari Kita, SLB –C Tunas Kasih 2, SLB-Al Irsyad Al-Islamiyyah, dan SDN Inklusi Perwira. Subjek harus memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi dalam penelitian ini yaitu (1) anak mengalami autis, (2) Ibu bersedia untuk diwawancarai, (3) bersedia berpartisipasi di dalam penelitian. Kriteria eksklusi dalam penelitian ini yaitu siswa yang tidak bersedia melakukan pengukuran dan orang tua yang tidak kooperatif. Penentuan jumlah contoh minimal yang diambil berdasarkan perhitungan rumus cross sectional (estimasi proporsi) yaitu: 𝑍1−𝛼 /2 2 𝑝𝑞 n= 𝑑2 Keterangan : n = jumlah sampel 𝑍1−𝛼/22 = tingkat kepercayaan 95% (1.96) p = prevalensi anak autis gizi lebih 10% (Mujiyanti 2011) q = 1-p d = toleransi estimasi 10% Berdasarkan perhitungan maka besar sampel minimal pada penelitian ini adalah 34 orang, untuk mengantisipasi adanya subjek yang drop-out maka jumlah subjek tersebut ditambah 10% menjadi 37 orang.
8
Jenis dan Cara Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer status gizi diperoleh dari hasil pengukuran antropometri yaitu berat badan dan tinggi badan anak autis. Pengukuran antropometri dilakukan dengan menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0.1 kg dan nilai maksimum 120 kg dan untuk pengukuran tinggi badan menggunakan microtoise dengan ketelitian 0.1 cm dan nilai maksimum 200 cm. Data primer juga diperoleh dari pengisian kuesioner oleh ibu subjek yang menjadi sampel dalam penelitian. Kuesioner di modifikasi dari Rahmawati (2013), Addyca (2012) dan Syafitri (2008) yang terdapat pada Lampiran 3. Penyebaran kuesioner dilakukan dengan cara wawancara kuesioner langsung yang dilakukan dengan orang tua anak autis yang meliputi (1) karakteristik subjek (usia dan jenis kelamin) (2) karakteristik keluarga meliputi (usia, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan), (3) data tingkat kecukupan gizi meliputi (energi, protein, vitmain A, vitamin B6, dan vitamin C) yang didapat menggunakan metode food record 2x24 jam, pengisian kuesioner dilakukan sendiri oleh ibu subjek selama 2 hari berturut-turut agar data lebih akurat dalam menulis nama masakan, cara persiapan dan pemasakan bahan makanan untuk anak autis yang diberikan secara khusus, (3) kuesioner Food Frequency Quetionaire (FFQ) meliputi frekuensi makan dan nama bahan makanan (4) kuesioner pola konsumsi pangan bebas gluten dan kasein meliputi (frekuensi makan, jenis konsumsi pangan sumber gluten dan kasein), (5) kuesioner aktivitas fisik diperoleh dengan menggunakan PAQ-C untuk usia 8-14 tahun yang telah dimodifikasi yang dibagi menjadi 2 bagian yaitu aktivitas fisik saat di Sekolah dan aktivitas fisik saat waktu luang. Data sekunder yang diperoleh meliputi gambaran umum terkait lokasi penelitian serta daftar anak autis yang didapatkan dari 4 SLB (Sekolah Luar Biasa) dan 1 sekolah inklusi di Kota Bogor. Jenis data dan cara pengumpulan secara rinci dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Variabel, jenis dan cara pengumpulan data No 1.
2.
3.
Variabel Karakteristik Subjek
Data -
Karakteristik Keluarga Tingkat Kecukupan Gizi -
Usia Jenis kelamin Usia Pendidikan Pekerjaan Pendapatan Besar keluarga Energi Protein Vitamin A Vitamin B6 Vitamin C
Cara Pengumpulan Kuesioner
Kuesioner
Food Record (2 x 24 jam)
9
Tabel 1 Variabel, jenis dan cara pengumpulan data (lanjutan) No 4.
Variabel Pola Konsumsi Makan
5.
Aktivitas Fisik
-
6.
Pola konsumsi pangan sumber gluten dan kasein
-
7.
Status gizi
-
Data Frekuensi makan Bahan Makanan Aktivitas fisik di Sekolah Aktivitas fisik waku luang Pangan sumber gluten dan kasein Frekuensi Jenis Makanan yang disukai
Cara Pengumpulan Kuesioner
Berat badan Tinggi badan Z-score (IMT/U)
Alat ukur timbangan digital dan microtoise
Kuesioner
Kuesioner
Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh disajikan ke dalam bentuk tabel untuk dilakukan analisis deskriptif dan inferensia. Data diolah dengan menggunakan Microsoft Excel 2007 dan Statistical Package for Service Solutions (SPSS) 16 for Windows. Uji Shapiro-Wilk dilakukan untuk mengetahui normalitas data yaitu data karakteristik subjek (usia dan jenis kelamin), karakteristik keluarga (usia, pendapatan, pekerjaan dan pendapatan). Uji korelasi pearson digunakan untuk mengetahui hubungan status gizi dengan kecukupan energi dan kecukupan protein. Uji korelasi spearman dilakukan untuk mengetahui hubungan antara status gizi, kecukupan vitamin A, vitamin B6, vitamin C, rata-rata konsumsi gluten dan kasein, dan aktivitas fisik di Sekolah dan waktu luang. Karakteristik keluarga meliputi data tentang ayah dan ibu subjek meliputi usia yang dibagi menjadi 3 kategori, menurut Hurlock (1999) yaitu dewasa muda (18-41 tahun), dewasa tengah (41-60 tahun), dan dewasa lanjut (>60 tahun), pendidikan terakhir terdiri atas SD, SMP, SMA, Perguruan Tinggi. Pekerjaan terdiri atas beberapa kategori yaitu pedagang/wiraswasta, PNS/TNI/POLRI, karyawan swasta, ibu rumah tangga atau yang lainnya. Besar keluarga menurut Hurlock (1999) terdiri atas 3 kriteria yaitu kecil (anggota keluarga ≤ 4 orang), sedang (5-7 orang), dan besar (≥ 8 orang). Besar pendapatan keluarga terdiri atas total keseluruhan pendapatan ayah dan ibu subjek setiap bulannya dalam satuan rupiah. Data tingkat kecukupan gizi didapatkan dengan membandingkan jumlah asupan gizi dengan angka kecukupan gizi (AKG) berdasarkan WNPG 2012. Metode yang digunakan adalah food records 2x24 jam, dilakukan oleh ibu subjek dengan mencatat makanan yang dikonsumsi dalam URT atau gram meliputi nama masakan, cara persiapan, dan pemasakan bahan makanan pada periode 2 hari berturut-turut. Jumlah makanan yang dikonsumsi dituliskan dengan menggunakan satuan URT (Ukuran Rumah Tangga). Selanjutnya dilakukan konversi URT ke-
10
dalam gram sesuai dengan yang disajikan. Tingkat kecukupan energi dan protein dikategorikan dengan menggunakan cut of point Depkes (1996) yang dibedakan menjadi defisit tingkat berat (<70% AKE), defisit tingkat sedang (70-79% AKE), defisit tingkat ringan (80-89% AKE), normal (90-119% AKE), dan lebih (≥120% AKE). Sementara tingkat kecukupan untuk vitamin dikategorikan menjadi dua yaitu kurang (<77% angka kecukupan) dan cukup (≥77% angka kecukupan) (Gibson 2005). Aktivitas Fisik didapatkan dengan menggunakan kuesioner aktivitas fisik PAQ-C (Physical Activity Quetinaire) untuk usia 8-14 tahun yang telah dimodifikasi. Data aktivitas terbagi menjadi 2 bagian yaitu (1) aktivitas fisik di Sekolah dan (2) aktivitas fisik saat waktu luang. Pengisian kuesioner mengenai aktivitas fisik yang dilakukan dengan wawancara secara langsung kepada orangtua subjek. Perhitungan nilai kuesioner dilakukan dengan cara mengkonversi jawaban kuesioner subjek ke dalam angka sesuai skor yang telah ditentukan (A=1, B=2, C=3, D=4, E=5). Pertanyaan terdiri atas 9 soal yang tiap soalnya memiliki nilai. Nilai total aktivitas fisik dilakukan dengan menjumlahkan seluruh skor. Pola konsumsi sampel terdiri atas frekuensi makan, jenis pangan sumber gluten dan kasein yang dikonsumsi diukur dengan menggunakan metode Food Frequencies Questionnaries (FFQ) kemudian ditambah dengan keterangan jenis makanan yang disukai, alergi dan konsumsi suplemen. Cara yang dilakukan dalam metode ini adalah ibu subjek diminta untuk memberikan tanda pada daftar makanan yang tersedia di dalam kuesioner tersebut mengenai frekuensi konsumsi pangan gluten dan kasein. Kemudian direkapitulasi frekuensi konsumsi makanan sumber gluten dan kasein pada waktu tertentu. Status gizi dilihat dari hasil pengukuran IMT menurut umur dengan menggunakan software WHO Antro Plus. Data yang diperoleh berdasarkan usia, jenis kelamin, berat badan (BB), dan tinggi badan (TB). Kategori status gizi berdasarkan IMT/U dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 kategori status gizi berdasarkan IMT/U Indeks IMT berdasarkan umur (IMT/U)
Z-score ≥ -3SD -3SD < Z < -2SD -2SD < Z < + 1SD + 1SD < Z < + 2SD ≥ +2SD
Status gizi Sangat kurus Kurus Normal Gemuk Obes
Kemudian melakukan analisis data dengan cara penggolongan status gizi dibagi menjadi 3 kelompok yaitu gizi kurang, gizi normal, dan gizi lebih dengan Z-score <-2SD diberi kode 1, Z-score <+1SD diberi kode 2 dan Z-score >+1SD diberi kode 3. Analisis statistik yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Karakterisitik subjek meliputi umur dan jenis kelamin dan karakteristik keluarga subjek meliputi usia, pekerjaan, pendidikan, pekerjaan, pendapatan orangtua dengan menggunakan anilisis deskriptif. 2. Status gizi contoh menggunakan analisis deskriptif. 3. Pola konsumsi pangan menggunakan analisis deskriptif.
11
4. Pola konsumsi gluten dan kasein menggunakan analisis deskriptif. 5. Tingkat kecukupan gizi meliputi energi, protein, vitamin A, vitamin B6, dan vitamin C menggunakan analisis deskriptif. 6. Aktivitas fisik subjek menggunakan analisis deskriptif. 7. Hubungan antara tingkat kecukupan energi dan protein dengan status gizi diuji dengan menggunakan analisis korelasi Pearson. 8. Hubungan antara tingkat kecukupan vitamin A, vitamin B6, vitamin C dengan status gizi menggunakan analisis korelasi Spearman. 9. Hubungan antara konsumsi gluten dan kasein dengan status gizi yang diuji menggunakan analisis korelasi Spearman. 10. Hubungan antara aktivitas fisik (aktivitas sekolah dan aktivitas waktu luang) dengan status gizi yang diuji menggunakan analisis korelasi Spearman.
Definisi Operasional Autis adalah gangguan perkembangan pada anak yang ditandai adanya gangguan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi sosial disertai dengan kurangnya intelektual dan perilaku dalam rentang dan keparahan yang luas. Subjek adalah anak yang mengalami autisme yang terdapat di lokasi penelitian dan termasuk dalam kriteria inklusi. Karakteristik Subjek adalah keadaan subjek yang meliputi usia, jenis kelamin, berat badan, dan tinggi badan. Karakteristik Keluarga adalah kondisi keluarga subjek yang meliputi usia, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, dan besar keluarga. Usia Orang Tua adalah usia ayah dan ibu subjek saat penelitian berlangsung dan dinyatakan dalam tahun. Pendidikan Orang Tua adalah jenjang pendidikan formal tertinggi yang ditempuh oleh ayah dan ibu subjek. Pekerjaan Orang Tua adalah jenis pekerjaan ayah dan ibu subjek untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Besar Keluarga adalah keseluruhan anggota keluarga yang terdiri atas suami, istri dan anak. Tingkat Kecukupan Gizi adalah perbandingan antara jumlah zat gizi yang diasup dengan angka kecukupan Aktivitas Fisik adalah indeks kegiatan fisik responden yang dilakukan selama satu minggu dan diukur dengan menggunakan kuesioner modifikasi PAQ-C. Pola Konsumsi adalah frekuensi makan, jenis pangan sumber gluten dan kasein serta jenis makanan yang disukai. Status Gizi adalah keadaan gizi subjek yang diukur dengan menggunakan indeks antropometri IMT/U baku standar WHO 2010 dan keputusan Menkes 2010. Gluten adalah protein yang secara alami terdapat dalam bahan pangan ataupun hasil olahan tepung-tepungan, oat, dan barley. Kasein adalah protein yang terdapat dalam susu dan olahannya, seperti keju dan yoghurt.
12
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di lima tempat yaitu 1) SLB-C Tunas Kasih 2 Jl. Lingkar Utara No.16 Yasmin Kelurahan Semplak, Kecamatan Bogor Barat, 2) SLB Mentari Kita Jl.Janaka III No. 25 Bumi Indraprasta II Kelurahan Tegalgundil Kecamatan Bogor Utara, 3) SLB-C Dharma Wanita Jl. Malabar Ujung No. 2 Kelurahan Tegallega, Kecamatan Bogor Tengah, 4) SLB Al-Irsyad Al-Islamiyyah Jl. Jalan Sedane Blk 23 A Kelurahan Empang, Kecamatan Bogor Selatan, 5) SDN Perwira Jl. Perwira No. 4 Kelurahan Pabaton, Kecamatan Bogor Tengah. Sebaran subjek berdasarkan asal sekolah disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Sebaran subjek berdasarkan asal sekolah Asal sekolah SLB Tunas Kasih 2 SLB Mentari Kita SLB-C Dharma Wanita SLB Al-Irsyad Al-Islamiyyah SDN Perwira Total
n 5 5 5 4 15 34
% 14.7 14.7 14.7 11.7 44.1 100.0
Jumlah anak autis di Sekolah Luar Biasa (SLB) sangat sedikit dikarenakan anak autis memerlukan penanganan dan pengajaran yang khusus secara individu agar dapat mengurangi risiko gangguan perilaku. Di SLB Tunas Kasih 2 jumlah anak autis sebanyak 5 anak (14.7%), SLB Mentari Kita 5 anak (14.7%), SLB Dharma Wanita-C 5 anak (14.7%), SLB Al-irsyad Al-Islammiyah sebanyak 4 anak (11.7%), dan SDN Inklusi Perwira jumlah anak autis sebanyak 15 anak (44.1%). Total jumlah secara keseluruhan anak autis khusus di Sekolah Luar Biasa dan SDN Inklusi adalah 34 anak. SLB (Sekolah Luar Biasa) di dua lokasi penelitian yaitu SLB Tunas Kasih 2 dan Dharma Wanita-C memiliki 3 jenjang pendidikan yaitu Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) serta terbagi menjadi tiga tingkat ketunaan yaitu tuna netra (Tipe A), tuna rungu (Tipe B), dan tuna grahita (C dan C1). Sementara, SLB Mentari Kita dan SLB Al-Irsyad AlIslammiyah hanya pada jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD) dan terdiri atas beberapa jenis Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) diantaranya anak autis. Fasilitas yang dimiliki oleh sekolah meliputi fasilitas fisik, lahan, dan non fisik. Fasilitas fisik yang dimiliki meliputi ruang kelas, ruang guru, ruang TU dan Kepala Sekolah, UKS, kantin, musholla, gudang, dan toilet. Fasilitas lahan yang ada terdiri atas halaman, lapangan olah raga, kebun, dan tempat parkir. Fasilitas non fisik/ekstrakurikuler yang ada di sekolah meliputi menari, bermusik, dan berenang. Sekolah Luar Biasa di Tunas Kasih 2, Mentari Kita, Dharma Wanita, dan Al-Irsyad Al-Islammiyah mengadakan program ditujukan untuk murid agar dapat belajar di sekolah dasar tetapi masih perlu bimbingan khusus, dalam penanganan
13
anak autis di SLB terdapat 1-2 orang guru yang membimbing proses belajarmengajar di dalam kelas. SLB Mentari Kita membuka kelas individu, yaitu kelas behaviour theraphy, speech theraphy, sensory integration, dan brain gym yang bertujuan untuk melatih siswa secara khusus dengan 1 orang pengajar. SDN Perwira merupakan satu dari sedikit sekolah inklusi yang berada di Kota Bogor dengan jumlah anak berkebutuhan khusus yang mencapai 70% dari seluruh jumlah siswanya, dengan total jumlah anak autis sebanyak 15 anak. SDN Perwira memiliki tujuan agar peserta berkebutuhan khusus usia wajib belajar dapat memperoleh layanan pendidikan sama seperti peserta didik pada umumnya tanpa melihat kekhususan dan menghasilkan lulusan yang memiliki kecakapan, keterampilan, dan pengetahuan sesuai dengan kemampuan atau potensi peserta didik. Karakteristik Subjek Usia dan Jenis Kelamin Usia yang menjadi faktor inklusi pada penelitian ini dibatasi menjadi 4 kelompok berdasarkan AKG 2013, yaitu 7-9 tahun, 10-12 tahun, 13-15 tahun, dan 16-18 tahun, sehingga terdapat perbedaan jumlah zat gizi yang dibutuhkan pada setiap kategori umur. Berdasarkan Tabel 4 sebagian besar subjek berusia 7-9 tahun yang berjumlah 13 anak (38.2%) yang semua berjenis kelamin laki-laki, usia 10-12 tahun berjumlah 11 anak (32.4%) yang terdiri atas 9 anak laki-laki dan 2 anak perempuan, usia 13-15 tahun berjumlah 8 anak (23.5%) yang terdiri atas 7 anak laki-laki dan 1 anak perempuan, dan usia 16-18 tahun berjumlah 2 anak yang berjenis kelamin laki-laki. Berdasarkan sebaran subjek, usia terendah adalah 7 tahun dan usia tertinggi adalah 18 tahun. Jumlah subjek pada penelitian ini telah dianggap mewakili populasi karena telah memenuhi jumlah minimal sampel pada penelitian ini. Sebaran jenis kelamin subjek berdasarkan usia disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Sebaran jenis kelamin subjek berdasarkan usia Kelompok Usia (tahun) Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki Total
7-9 n(%) 0(0.0) 13(38.2) 13(38.2)
10-12 n(%) 2(5.9) 9(26.5) 11(32.4)
13-15 n(%) 1(2.9) 7(20.6) 8(23.5)
16-18 n(%) 0(0.0 2(5.9) 2(5.9)
Total n(%) 8.8 91.2 34(100)
Total keseluruhan subjek berjenis kelamin laki-laki sebanyak 91.2%, dan perempuan 8.8%. Hal ini sejalan dengan berbagai penelitian yang dilakukan mengenai anak autis. Menurut Woods et al. (2013) umumnya autis 2-4 kali lebih sering terjadi pada anak laki-laki dibandingkan perempuan. Hal tersebut diduga dikarenakan adanya gen atau beberapa gen pada kromosom X yang terlibat dengan anak autis. Laki-laki hanya mempunyai satu kromosom X, sehingga tidak memiliki cadangan ketika satu kromosom X yang lain mengalami keabnormalan. Sejumlah penelitian menyimpulkan bahwa gen pada kromosom X bukanlah penyebab utama anak autis, namun suatu gen pada kromosom X yang
14
mempengaruhi interaksi sosial dapat mempunyai andil pada perilaku yang berkaitan dengan anak autis (Wargasetia 2003).
Karakteristik Keluarga Usia Orang Tua Usia orang dewasa menurut Hurlock (1999) dikategorikan menjadi dewasa awal (18-40 tahun), dewasa madya (41-60 tahun), dan dewasa lanjut (>60 tahun). Usia orangtua akan mempengaruhi kualitas pengasuhan terhadap anaknya. Umur biasanya mempengaruhi kesiapan seseorang untuk menjalani proses-proses dalam kehidupannya. Tahapan kehidupan salah satunya dijalani dengan berkeluarga. Usia orangtua dapat mempengaruhi kesiapan menjalankan peranannya, terutama dalam memenuhi kebutuhan anak untuk menunjang tumbuh kembang yang optimal (Anfamedhiarifda 2006). Usia yang semakin bertambah pada dewasa awal akan lebih mampu memecahkan masalah yang dihadapi dengan cukup baik tanpa emosional, sedangkan umur orangtua pada dewasa madya merupakan suatu masa transisi dari masa dewasa ke masa lanjut usia. Rentang usia orangtua subjek berada pada masa dewasa dini (18-40 tahun) dan dewasa madya (41-60 tahun). Bertambahnya usia orangtua diharapkan perhatian dan pengasuhan terhadap anak terutama anak autis yang membutuhkan penanganan khusus juga semakin baik. Usia ayah subjek sebagian besar (76.5%) berada pada kategori dewasa madya yaitu pada kisaran usia 41-60 tahun. Umur ibu subjek berada pada kelompok dewasa awal (50%) dengan kisaran umur 18-40 tahun dan dewasa madya (50%) dengan kisaran umur 41-60 tahun. Rata-rata usia ayah subjek adalah 47.1 tahun dan rata-rata usia ibu subjek adalah 40.7 tahun. Sebaran umur orangtua subjek disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Sebaran umur orangtua subjek Kategori Usia Dewasa Awal (18-40 tahun) Dewasa Madya (41-60 tahun) Dewasa Lanjut ( >60 tahun) Total
Ayah n 8 26 0 34
% 23.5 76.5 0.0 100
Ibu n 17 17 0 34
% 50.0 50.0 0.0 100
Pendidikan Orang Tua Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi nilai-nilai yang dianut, cara berpikir, cara pandang bahkan persepsi terhadap suatu masalah (Sumarwan 2003). Semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin mudah seseorang dalam menerima informasi (Hidayat 2004 dalam Fitriadini 2010). Menurut Yudesti (2012) dan Ernawati (2006) semakin tinggi tingkat pendidikan orangtua semakin baik pertumbuhan anak. Setidaknya ada lima upaya yang merupakan hal positif dari pendidikan ibu dan ayah yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak, yaitu pendidikan akan meningkatkan sumberdaya keluarga, pendapatan keluarga, alokasi waktu untuk pemeliharaan kesehatan anak, produktivitas dan efektivitas
15
pemeliharaan kesehatan, dan referensi kehidupan keluarga. Menurut BPS (2006), tingkat pendidikan dapat diukur dari pendidikan terakhir yang ditamatkan. Tingkatan pendidikan orang tua subjek beragam pada 7 kategori tingkatan pendidikan yaitu tidak tamat SD/sederajat, SMP/sederajat, SMA/sederajat, Diploma, sarjana, S2/S3. Sebaran keluarga subjek berdasarkan tingkat pendidikan orangtua disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Sebaran keluarga subjek berdasarkan tingkat pendidikan orangtua Tingkat pendidikan Tidak tamat SD SD/sederajat SMP/sederajat SMA/sederajat Diploma Sarjana S2/S3 Total
Ayah n 0 0 1 9 1 20 3 34
Ibu % 0.0 0.0 2.9 26.5 2.9 58.8 8.8 100.0
n 0 2 2 12 1 16 1 34
% 0.0 5.9 5.9 35.3 2.9 47.1 2.9 100.0
Presentase tingkat pendidikan orangtua subjek yang tidak tamat SD tidak ada. Tingkat pendidikan SD/sederajat untuk ibu subjek sebanyak 5.9%. SMP/sederajat untuk ayah subjek sebanyak 2.9% dan ibu subjek 5.9%. Tingkat pendidikan SMA/sederajat ayah subjek 26.5% dan ibu subjek 35.3%. Kemudian untuk tingkat pendidikan Diploma, ayah subjek sebanyak 2.9% dan ibu subjek sebanyak 2.9%. Sebagian besar orangtua subjek berada pada tingkat pendidikan sarjana sebanyak 58.8% untuk ayah subjek, dan 47.1% untuk ibu subjek. Sedangkan S2/S3 orangtua subjek sebanyak 8.8% untuk ayah subjek, dan 2.9% untuk ibu subjek. Sehingga kesimpulannya tingkat pendidikan sebagian besar pada orangtua subjek adalah sarjana dari 34 total subjek. Pekerjaan Orangtua Pekerjaan menggambarkan pendapatan keluarga, sedangkan pendapatan menggambarkan tingkat sosial ekonomi. Faktor pendapatan memiliki peranan besar dalam persoalan gizi dan kebiasaan makan keluarga terutama tergantung kemampuan keluarga untuk membeli pangan yang dibutuhkan keluarga tersebut (Azwar 2000). Data pekerjaan dikategorikan ke dalam tujuh kelompok, yaitu Tidak bekerja, Pedagang/Wiraswasta, PNS, Pelaut, Petani, Ibu rumah tangga, dan Dokter. Berdasarkan Tabel 7, sebagian besar ayah subjek bermata pencaharian pedagang/wiraswasta 64.7% dan PNS 17.6%, sedangkan sebagian kecil ayah subjek bekerja sebagai dokter sebanyak 5.9% dan tidak bekerja 2.9%. Sementara sebagian besar ibu subjek sebagai ibu rumah tangga sebanyak 64.7%. Pekerjaan sebagai ibu rumah tangga dapat membantu perkembangan anak autis sehingga anak yang selalu berada di bawah pengawasan ibu diharapkan akan mendapatkan kualitas pengasuhan yang terbaik. Hal ini sesuai dengan penelitian Martiani (2012), mengasuh anak autis secara umum berdampak terhadap karir orangtua. Ibu yang memiliki anak autis cenderung memilih untuk tidak bekerja dan fokus untuk mengurus anak. Sebagian kecil lainnya 20.6% ibu subjek bekerja
16
sebagai pedagang/wiraswasta, 11.8% sebagai PNS, dan 2.9% sebagai dokter. Sebaran orangtua subjek berdasarkan pekerjaan disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Sebaran orangtua subjek berdasarkan pekerjaan Pekerjaan Tidak bekerja Pedagang/wiraswasta PNS Pelaut Petani Ibu Rumah Tangga Dokter Total
Ayah n 1 22 9 0 0 0 2 34
Ibu % 2.9 64.7 26.5 0.0 0.0 0.0 5.9 100.0
n 0 7 4 0 0 22 1 34
% 0.0 20.6 11.8 0.0 0.0 64.7 2.9 100.0
Pendapatan Orang Tua Pendapatan orang tua subjek dapat dilihat pada Tabel 8. Data tersebut merupakan jumlah dari pendapatan ayah dan ibu setiap bulannya. Persentase tingkat pendapatan orang tua subjek yaitu kategori tinggi (> Rp5 000 000/bulan), dan sangat tinggi (> Rp15 000 000/bulan). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa besar pendapatan orangtua subjek berada pada rentang ekonomi menengah ke atas. Berdasarkan standar BPS Jawa Barat (2014) seluruh orang tua subjek lakilaki dan perempuan (100%) termasuk dalam kategori tidak miskin, dimana pendapatannya melebihi Rp302735/perkapita/bulan. Meningkatnya pendapatan akan meningkatkan peluang untuk membeli pangan dengan kuantitas dan kualitas yang lebih baik, sebaliknya penurunan pendapatan akan menyebabkan menurunya daya beli pangan baik secara kualitas maupun kuantitas (Sulistyoningsih 2012). Sebaran subjek berdasarkan pendapatan orangtua disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Sebaran subjek berdasarkan pendapatan orangtua Pendapatan total <2 500 000 2 500 000-5 000 000 5 010 000-7 500 000 7 510 000-10 000 000 10 010 000-15 000 000 >15 000 000 Total
n 6 7 8 3 2 8 34
% 17.6 20.6 23.5 8.8 5.9 23.5 100.0
Status Gizi Berdasarkan pengumpulan data dan analisis data diperoleh gambaran status gizi subjek dengan menggunakan indeks IMT/U menurut baku standar WHO 2005 dalam bentuk z-score. Status IMT/U dikategorikan menjadi empat, yaitu kurus (-3SD s.d <-2 SD), normal (-2 SD s.d +1 SD), gemuk (>1SD s.d +2 SD), obesitas (≥+2 SD). Menurut Kristiani (2013) status gizi anak dapat
17
dipengaruhi oleh pendidikan ibu. Ibu yang memiliki pendidikan yang baik cenderung dapat menangkap informasi lebih baik sehingga perkembangan anak menjadi baik. Sebaran subjek berdasarkan status gizi disajikan pada Tabel 9. Dokumentasi kegiatan disajikan pada Lampiran 1. Tabel 9 Sebaran subjek berdasarkan status gizi Status Gizi
Laki-laki n 5 14 7 5 31
Underweight (-3SD s.d <-2 SD Normal (-2 SD s.d +1 SD) Overweight (>1 SD s.d +2 SD) Obesity (≥2 SD) Total
% 14.7 41.2 20.6 14.7 91.2
Perempuan N 1 1 0 1 3
% 2.9 2.9 0.0 2.9 8.7
Total n 6 15 7 6 34
% 17.6 44.1 20.6 17.6 100.0
Rata-rata status gizi yang diukur dengan IMT/U adalah 0.49. Adapun nilai z-score subjek berada antara -3.00 hingga 3.72. Presentase status gizi subjek mayoritas berstatus gizi normal yaitu 14 anak laki-laki (41.2%) dan yang mengalami gizi lebih serta obes sebanyak 12 anak laki-laki (34.3%). Jenis kelamin mempengaruhi jumlah kelebihan berat badan pada anak autis. Penelitian Curtin et al. (2010) menunjukkan bahwa jumlah anak autis yang kelebihan berat badan lebih banyak pada anak laki-laki (79%) dibandingkan perempuan (21%). Hal ini sejalan dengan penelitian Li et al. (2010), overweight dan obesity lebih banyak terjadi pada anak laki-laki (19.4%) dibandingkan perempuan (13.2%). Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Evan et al. (2011) menunjukkan bahwa anak autis mengosumsi lebih banyak minuman manis serta makanan ringan jika dibanding dengan anak normal, namun konsumsi buah dan sayur lebih rendah. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara konsumsi terhadap IMT anak autis. Sebaran subjek berdasarkan status gizi, jenis kelamin, dan usia disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Sebaran subjek berdasarkan status gizi, jenis kelamin, dan usia Usia (tahun) Perempuan 7-9 10-12 13-15 16-18 Laki-laki 7-9 10-12 13-15 16-18 Total
Underweight (%)
Status gizi Normal Overweight (%) (%)
Obesity (%)
0.0 0.0 2.9 0.0
0.0 2.9 0.0 0.0
0.0 0.0 0.0 0.0
0.0 2.9 0.0 0.0
8.8 2.9 0.0 2.9 17.6
14.7 11.8 11.8 2.9 44.1
8.8 11.8 0.0 0.0 20.6
5.9 0.0 8.8 0.0 17.6
Jika dilihat dari kelompok usia, maka diperoleh hasil yaitu yang mengalami gizi lebih mayoritas kelompok usia 10-12 tahun dan 7-9 tahun sebesar
18
11.8% (4 anak laki-laki) dan 8.8% (3 anak laki-laki). Kemudian yang mengalami obesitas 8.8% (3 anak laki-laki) pada kelompok usia 13-15 tahun. Selanjutnya gizi kurang sebesar 11.8% (4 anak laki-laki) pada rentang usia 7-9 tahun dan 10-12 tahun. Penelitian yang dilakukan oleh Andyca (2013) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan status gizi pada responden. Penelitian lainnya yang terkait yaitu Li et al (2010) tentang Dietary habits and overweight/obesity in adolescent in Xi’an, China pada anak usia 11-17 tahun pada tahun 2004, memperlihatkan overweight dan obesity lebih banyak terjadi pada anak laki-laki (19.4%) dibandingkan dengan perempuan (13.2%). Pola Konsumsi Pangan Data pola konsumsi diperoleh secara kualitatif dengan menggunakan Food frequency Questionnaire yaitu menilai frekuensi suatu jenis pangan atau suatu kelompok pangan yang dikonsumsi seseorang dalam periode waktu tertentu sehingga kuesioner ini dapat memberikan informasi mengenai pola konsumsi pangan seseorang (Gibson 2005). Konsumsi jenis pangan meliputi bahan makanan sumber karbohidrat, sumber protein hewani, sumber protein nabati, kelompok sayuran, dan kelompok buah. Frekuensi rata-rata konsumsi pangan sumber karbohidrat yang paling banyak adalah nasi sebanyak 22.2 kali/minggu. Frekuensi makan sebagian besar subjek relatif sama setiap harinya yaitu tiga kali sehari. Kebiasaan makan tiga kali sehari dari setiap kelompok subjek dianggap sudah baik untuk menghindari masalah gizi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Suhardjo (2000) guna menghindari terjadinya masalah gizi, frekuensi makan sebaiknya 3 kali sehari. Data frekuensi konsumsi pangan sumber karbohidrat disajikan pada Tabel 11, sedangkan sebaran subjek berdasarkan frekuensi konsumsi pangan sumber karbohidrat, protein, vitamin A, vitamin B6, dan vitamin C disajikan pada Lampiran 2. Tabel 11 Frekuensi konsumsi pangan sumber karbohidrat Frekuensi konsumsi (kali/minggu) Sumber Karbohidrat 22.2±4.71 2.41±4.11 1.29±2.03 0.44±0.71 0.61±0.71
Nama Bahan Makanan
Nasi Kentang Bihun Ubi Jalar Singkong
Frekuensi konsumsi pangan sumber protein hewani yang paling banyak adalah telur ayam sebanyak 5.85 kali/minggu. Hal ini sejalan dengan Winarno (2008), mengonsumsi 2 butir telur setiap hari dapat membantu perkembangan IQ (Intellegence Quostient) dan 1 butir telur mengandung 7 gram protein. Frekuensi konsumsi pangan sumber protein hewani disajikan pada Tabel 12.
19
Tabel 12 Frekuensi konsumsi pangan sumber protein hewani Frekuensi konsumsi Kali/minggu Sumber Protein Hewani Telur ayam 5.85±0.36 Ikan air tawar 1.80±2.22 Ikan laut 2.22±3.60 Daging sapi 2.50±4.99 Ayam 3.70±3.61 Bakso 1.11±2.91 Sosis 0.96±1.78 Daging Kambing 0.02±0.17 Nama Bahan Makanan
Frekuensi konsumsi pangan sumber protein nabati yang paling banyak adalah tempe 5.38 kali/minggu. Alasan ibu subjek sering memberikan tempe karena rasanya yang enak, harganya yang murah, dan selalu tersedia di Pasar. Menurut Yudana (2003), menunjukkan bahwa tempe kaya akan serat, kalsium, vitamin B, zat besi. Frekuensi konsumsi pangan sumber protein nabati disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 Frekuensi konsumsi pangan sumber protein nabati Nama Bahan Makanan
Frekuensi konsumsi (kali/minggu)
Sumber Protein Nabati Tahu Tempe Kacang hijau Kacang tanah Kacang merah
2.69±4.46 5.38±6.03 0.61±1.34 0.86±1.75 0.23±0.53
Buah-buahan yang biasa dikonsumsi diantaranya pisang, mangga, jeruk, apel, rambutan, dan pepaya. Rata-rata frekuensi konsumsi buah-buahan terbanyak adalah pisang dengan frekuensi 2.54 kali/minggu. Berdasarkan penelitian dan wawancara mendalam, sebagian besar orangtua subjek memberikan pisang kepada anaknya karena mudah untuk didapatkan di pasar. Menurut Almatsier (2004), porsi buah yang dianjurkan sehari untuk orang dewasa adalah sebanyak 200-300 gram atau 2-3 potong sehari sedangkan porsi sayuran dalam bentuk tercampur yang dianjurkan sehari adalah 150-200 gram atau 1½-2 mangkok sehari. Sayuran yang biasa dikonsumsi subjek diantaranya wortel, bayam, tomat, buncis, tauge, dan sawi. Rata-rata frekuensi konsumsi sayuran terbanyak adalah wortel dengan frekuensi 5.24 kali/minggu. Hal ini dikarenakan seringnya menu sop yang dihidangkan oleh orangtua subjek. Sop yang dihidangkan tersebut biasanya terdiri dari wortel, buncis dan bakso. Frekuensi konsumsi pangan kelompok buah dan sayuran disajikan pada Tabel 14.
20
Tabel 14 Frekuensi konsumsi pangan kelompok buah dan sayuran Frekuensi konsumsi (kali/minggu) Sumber Kelompok Buah Pisang 2.54±4.96 Mangga 1.14±1.89 Jeruk 1.88±2.50 Apel 0.84±1.75 Rambutan 0.53±1.27 Pepaya 0.65±1.42 Sumber Kelompok sayuran Wortel 5.24±6.76 Bayam 2.53±3.98 Tomat 1.55±2.45 Buncis 1.80±2.94 Tauge 1.03±1.98 Sawi 1.11±1.99 Nama Bahan Makanan
Tingkat Kecukupan Zat Gizi Menurut Permenkes (2013), Angka Kecukupan Gizi (AKG) adalah suatu kecukupan rata-rata zat gizi setiap hari bagi semua orang menurut golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, aktifitas tubuh untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal. Penelitian Defeat Autism Now dalam McCandless (2003) menunjukkan bahwa anak autis mengalami defisiensi pada beberapa zat gizi. Anak autis sebagian besar mengalami defisiensi pada vitamin A, vitamin B6, dan vitamin C. Data tingkat kecukupan gizi disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Tingkat kecukupan gizi subjek Zat Gizi Energi (Kal) Protein (g) Vitamin A (µg) Vitamin B6 (mg) Vitamin C (mg)
% Tingkat Kecukupan Gizi % Terendah % Tertinggi %Rata-rata 49 121 86±14.4 69 191 110±27.8 13 794 154±190.3 62 140 90±19.7 16 207 41±42.9
Energi dibutuhkan oleh tubuh untuk beraktivitas sehari-hari. Jumlah energi yang dibutuhkan oleh tubuh berbeda-beda, tergantung dari jenis kelamin dan usia. Asupan energi yang berlebih dan ditunjang dengan aktivitas fisik yang rendah dapat menyebabkan terjadinya kelebihan gizi (Gibney et al. 2008). Berdasarkan hasil penelitian, tingkat kecukupan energi subjek yang terendah sebesar 49% dan tertinggi 121%. Rata-rata tingkat kecukupan energi subjek sebesar 86±14.4% (Tabel 15). Data tingkat kecukupan energi tersebar normal berdasarkan uji Shapiro Wilk dengan nilai signifikansi p= 0.912 atau p>0.05. Ingtyas dkk (2005) menjelaskan bahwa tingkat kecukupan energi anak autis tergolong kurang yaitu sebesar 60.7%. Hal ini juga didukung oleh Marthur et al. (2007) bahwa tingkat
21
kecukupan energi anak berkebutuhan khusus berdasarkan kelompok usia 10-18 tahun tergolong kurang dengan persentase terendah 25%. Protein adalah zat gizi yang disusun oleh asam amino. Protein memiliki fungsi selain sebagai sumber energi juga sebagai zat pembangun serta pemeliharaan sel-sel dan jaringan tubuh yang rusak (Gibson 1990, Supariasa 2002). Makanan yang mengandung protein yang tinggi biasanya juga mengandung lemak yang tinggi sehingga dapat mengakibatkan kelebihan berat badan atau kegemukan dan obesitas (Almatsier 2004). Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata tingkat kecukupan protein subjek sebesar 110±27.8% dengan tingkat kecukupan protein terendah yaitu 69% dan tertinggi 191% (Tabel 15). Sumber protein yang paling banyak dikonsumsi oleh subjek adalah telur, daging ayam, tahu dan tempe. Berdasarkan uji normalitas Shapiro Wilk, data tingkat kecukupan protein tersebar normal dengan nilai signifikansi p = 0.222 atau p>0.05. Dianah (2011) menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara asupan protein dengan kegemukan, tetapi yang mengonsumsi protein “lebih” terjadi pada subjek dengan status gizi overweight dan obesity. Hal ini juga ditemukan oleh Yussac dkk (2007) menunjukkan bahwa asupan protein pada kelompok anak yang gemuk melebihi jumlah protein yang dibutuhkan (sekitar 1012%). Vitamin A berfungsi dalam penglihatan, diferensiasi sel, kekebalan tubuh, pertumbuhan, dan perkembangan tubuh serta mencegah kanker dan penyakit jantung. Kekurangan vitamin A dapat menyebabkan kebutaan dan meningkatkan risiko terkena penyakit saluran pernapasan dan diare, keterlambatan pertumbuhan serta meningkatkan angka kematian anak jika kekurangan lebih dari 30% (Almatsier 2009). Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata tingkat kecukupan vitamin A sebesar 154±190.3%, dengan tingkat kecukupan vitamin A terendah yaitu 13% dan tertinggi 794%. Tingginya tingkat kecukupan vitamin A karena beberapa subjek mengonsumsi makanan seperti hati ayam dan wortel. Sementara itu rendahnya tingkat kecukupan vitamin A karena sebagian kecil subjek tidak menyukai sayuran dan buah-buahan. Hal ini didukung oleh Ingtyas (2005) bahwa terjadinya defisit vitamin A pada anak autis sebesar 72.1%. Berdasarkan uji normalitas Shapiro Wilk, data tingkat kecukupan vitamin A tersebar tidak normal dengan nilai signifikansi p = 0.000 atau p<0.05. Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) tahun 2013, kecukupan vitamin B6 untuk usia 7-18 tahun laki-laki dan perempuan berada pada rentang 1.0-1.3 mg. Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata tingkat kecukupan vitamin B6 sebesar 90±19.7% dengan tingkat kecukupan vitamin B6 terendah yaitu 62% dan tertinggi 140%. Berdasarkan uji normalitas Shapiro Wilk, data tingkat kecukupan vitamin B6 tersebar tidak normal dengan nilai signifikansi p = 0.044 atau p<0.05. Vitamin B6 penting untuk mempertahankan fungsi otak yang sehat, pembentukan sel darah merah, pemecahan protein, sintesa antibodi sebagai bagian dari sistem kekebalan tubuh. Dampak kekurangan vitamin B6 adalah terjadi pecah-pecah disudut bibir, kerusakan kulit, mudah mual-mual, lidah tidak kasar, mudah pening, anemi, dan terjadi sawan pada anak kecil (Linder 1992). Vitamin C memiliki banyak fungsi di dalam tubuh yaitu sebagai koenzim dan kofaktor. Vitamin C mudah diperoleh karena vitamin C banyak terdapat pada sayur dan buah, terutama yang memiliki rasa asam. Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata tingkat kecukupan vitamin C sebesar 41±42.9%, dengan tingkat
22
kecukupan vitamin C terendah yaitu 16% dan tertinggi 207%. Berdasarkan uji normalitas Shapiro Wilk, data tingkat kecukupan vitamin B6 tersebar tidak normal dengan nilai signifikansi p = 0.000 atau p<0.05. Berdasarkan hasil wawancara yang mendalam, rendahnya tingkat kecukupan vitamin C karena beberapa subjek memiliki alergi terutama pada buah-buahan yang asam dan tidak terlalu menyukai sayuran berwarna hijau. Menurut Ingtyas (2005), asupan vitamin C pada anak berkebutuhan khusus masih tergolong lebih rendah dibandingkan dengan anak normal sebesar 83.6% subjek. Tingkat kecukupan energi subjek sebagian besar berada pada kategori defisit ringan (80-89%) dan normal (90-119%). Subjek mendapat cukup asupan energi dari menu makanan yang mereka konsumsi. Berdasarkan hasil food record 2x24 jam, diketahui bahwa subjek sudah baik dalam pola konsumsi pangan dengan 3 kali makan mencakup protein hewani, nabati, sayur dan buah, sehingga kecukupan energi terpenuhi. Presentase tingkat kecukupan energi kategori defisit sedang (70-79%) dan defisit berat (<70%) sebanyak 29.4%. Hal ini dikarenakan sebagian kecil subjek tidak mengonsumsi beberapa jenis makanan yang menjadi sumber energi seperti susu dan makanan yang mengandung gluten (roti, kue, biskuit dan lain-lain) dengan menerapkan diet GFCF (Gluten Free Casein Free). Tingkat kecukupan protein subjek berada pada kategori normal (90-119%) yaitu sebanyak 44.1% dengan jumlah 15 anak. Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan energi, protein, vitamin A, vitamin B6, dan vitamin C disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan energi, protein, vitamin A, vitamin B6, dan vitamin C Zat Gizi Energi
Protein
Vitamin A Vitamin B6 Vitamin C
Kategori Defisit Berat (<70%) Defisit sedang (70-79%) Defisit ringan (80-89%) Normal (90-119%) Berlebihan (≥120%) Defisit Berat (<70%) Defisit sedang (70-79%) Defisit ringan (80-89%) Normal (90-119%) Berlebihan (≥120%) Kurang (<77%) Cukup (≥77%) Kurang (<77%) Cukup (≥77%) Kurang (<77%) Cukup (≥77%)
n 4 6 11 12 1 2 2 3 15 12 13 21 6 28 29 5
% 11.8 17.6 32.4 35.3 2.9 5.9 5.9 8.8 44.1 35.3 38.2 61.8 17.6 82.4 85.3 14.7
Tingkat kecukupan protein seseorang dipengaruhi oleh berat badan, usia (tahap pertumbuhan dan perkembangan) dan mutu protein dalam pola konsumsi
23
pangan. Asupan protein pada anak usia sekolah yang berada dalam tahap pertumbuhan dan perkembangan yang pesat membutuhkan protein lebih banyak perkilogram berat badan dibanding orang dewasa (IOM 2005). Kemudian sebagian kecil subjek berada pada tingkat kecukupan protein defisit sedang dan berat yaitu, sebanyak 5.9%. Hal tersebut karena sebagian kecil subjek tidak mengonsumsi pangan sumber gluten (protein gandum) dan kasein (protein susu). Kedua protein menyebabkan alergi jika dikonsumsi karena di dalam usus halus kedua jenis protein tersebut dipecah menjadi fraksi-fraksi molokuler yang kecil yang disebut peptida (gabungan dua asam amino atau lebih). Beberapa peptida yang dihasilkan bersifat narkotika terhadap anak autis (Winarno dan Agustina 2008). Tingkat kecukupan vitamin A pada sebagian besar subjek sudah cukup baik, sebanyak 61.8% masuk dalam kategori cukup, sedangkan 38.2% masuk dalam kategori kurang. Penelitian yang dilakukan oleh Mathur et al. (2007) menunjukkan adanya defisit vitamin A pada anak autis tetapi tidak disebutkan angka defisit vitamin A tersebut. Kekurangan Vitamin A dapat menyebabkan kebutaan dan meningkatkan risiko terkena penyakit saluran pernapasan dan diare, keterlambatan pertumbuhan serta meningkatnya angka kematian anak jika kekurangan lebih dari 30%. Berdasarkan Tabel 16, tingkat kecukupan vitamin B6 tergolong kategori cukup yaitu 82.4% dengan jumlah 28 subjek dan 17.6% tergolong kategori kurang dengan jumlah 6 subjek. Asupan vitamin B6 pada anak autis masih tergolong rendah yaitu sebesar 68.9% untuk vitamin B6 (Ingtyas 2005). Kekurangan vitamin B6 menunjukkan gejala seperti lemah, sifat lekas marah dan susah tidur (Linder 1992). Berdasarkan penelitian Asha et al. (2006) menunjukan bahwa perubahan suasana hati di pengaruhi oleh status vitamin B6 dalam tubuh. Asupan vitamin C masuk dalam kategori kurang sebanyak 85.3% subjek. Konsumsi vitamin C yang kurang dikarenakan subjek pada penelitian ini tidak mengonsumsi beraneka ragam sayuran. Sayuran yang banyak dikonsumsi adalah wortel dan bayam. Tubuh tidak dapat memproduksi vitamin C sehingga diperlukan asupan dari makanan atau suplemen. Asupan vitamin C yang cukup pada anak dapat membantu pengaturan pergerakan usus secara tepat karena kemampuannya sebagai pencahar dan dapat membantu meningkatkan penyerapan kalsium dan zat besi (McCandless 2003). Bahan makanan yang banyak mengandung vitamin C adalah daun singkong, daun katuk, daun melinjo, daun pepaya, sawi, pepaya, gandaria, dan buah-buahan yang berasa asam.
Aktivitas Fisik Aktivitas fisik diartikan sebagai gerak tubuh yang dapat mengeluarkan energi atau panas dari dalam tubuh. Aktivitas dapat membantu mempertahankan keseimbangan energi dan dapat mencegah terjadinya obesitas (Gibney et al. 2008). Menurut Sit et al. (2007) anak berkebutuhan khusus memliki risiko pola sedentary living karena terdapat kemunduran fungsi fisik dalam kegiatan seharihari. Anak berkebutuhan khusus memiliki proporsi yang sedikit untuk melakukan aktivitas fisik (14.6%) dari standar yang direkomendasikan untuk tujuan kesehatan. Data hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas fisik subjek di sekolah sebanyak 67.6% tergolong rendah dan 32.4% subjek tergolong aktivitas
24
fisik tinggi, sedangkan untuk aktivitas fisik pada waktu luang yaitu 58.8% subjek tergolong rendah dan 41.2% subjek tergolong tinggi. Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan dengan menggunakan PAQ-C modifikasi kepada orangtua subjek, rendahnya aktivitas fisik saat di sekolah karena kegiatan rutin seperti olahraga (senam, voli, dan bola kaki) di dalam kurikulum dilakukan satu kali dalam seminggu. Selanjutnya orangtua subjek mengaku bahwa kegiatan setelah pulang sekolah dan makan siang adalah bermain gadget, tiduran, duduk, mengerjakan tugas, nonton TV, makan dan tidur. Sebaran subjek berdasarkan aktivitas fisik dikelompokkan menjadi 2 kategori yaitu aktivitas fisik di sekolah dan waktu luang yang disajikan pada Tabel 17. Tabel 17 Sebaran subjek berdasarkan aktivitas fisik di sekolah dan waktu luang Aktivitas Fisik Aktifitas fisik di sekolah Aktivitas pada waktu luang
Rendah (<mean)
n(%) 23(67.6)
Tinggi (>mean) Rendah (<mean)
11(32.4) 20(58.8)
Tinggi (>mean)
14(41.2)
Mean
Min
Max
1.5±0.4
1.1
2.8
2.6±0.9
1.3
4.5
Frekuensi Konsumsi Gluten Dan Kasein Makanan merupakan salah satu hal yang harus diperhatikan bagi penyandang autis dikarenakan ada beberapa makanan yang dilarang dikonsumsi, yaitu produk susu maupun gandum. Opioid bersumber dari kasein (protein dari susu sapi atau domba) dan gluten (protein dari gandum) yang dikonsumsi anak lewat makanan sehari-hari. Pada anak yang memiliki pencernaan normal, protein dari susu sapi dan gandum dapat dicerna sempurna sehingga rantai protein pecah total. Namun, anak yang pencernaannya tidak sempurna sulit mencerna sehingga rantai protein tidak terpecah total, melainkan menjadi rantai-rantai pendek asam amino yang disebut peptida. Di dalam otak, peptida akan disergap opioid reseptor yang kemudian berfungsi dan bereaksi seperti morfin (Danuatmaja 2003). Data pada penelitian menunjukkan bahwa anak penyandang autis masih mengonsumsi makanan yang mengandung gluten dan kasein dalam bentuk roti kering dan susu kotak sebagai jenis cemilan yang bisa diperoleh dimana saja. Sebaran subjek berdasarkan konsumsi pangan sumber gluten dan kasein disajikan pada Tabel 18. Tabel 18 Sebaran subjek berdasarkan konsumsi pangan sumber gluten dan kasein Konsumsi Ya Tidak Total
n 30 4 34
Pangan sumber Gluten Kasein % n % 88.2 23 67.6 11.8 11 32.4 100.0 34 100.0
25
Menurut Widodo (2005) ada kaitan erat antara autis dengan alergi makanan. Gluten dan kasein merupakan komponen makanan yang dapat berpotensi menyebabkan alergi pada anak autis. Mayoritas subjek masih mengonsumsi makanan yang mengandung gluten maupun kasein. Implementasi orangtua saat ini, hanya bisa pada tahap mengurangi atau mengatur frekuensi pemberian makanannya saja. Beberapa hal yang melatarbelakangi sulitnya orangtua dalam menjalankan diet diantaranya keterbatasan bahan makanan sebagai alternatif pengganti, makanan yang mengandung gluten dan kasein merupakan kesukaan anak, sehingga orangtua merasa tidak tega jika tidak memberikannya. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar subjek masih mengonsumsi makanan yang mengandung gluten dan kasein. Sebanyak 88.2% subjek mengonsumsi makanan sumber gluten dan 67.6% mengonsumsi makanan sumber kasein. Gluten terdapat pada gandum, rye, oat, dan barley. Jadi, pada makanan yang perlu dihindari umumnya adalah sereal, roti, pasta, pizza, biskuit, dan cake. Bahan pengganti gluten adalah sereal beras atau jagung, pasta tepung beras dan cake tepung beras, tepung polenta, roti tepung jagung, padi-padian, dan berbagai produk bebas gluten (Perreta 2009). Frekuensi konsumsi pangan sumber gluten disajikan pada Tabel 19. Tabel 19 Frekuensi konsumsi pangan sumber gluten Jenis Roti tawar Biskuit Ayam tepung Mie instan Kue basah Kue lapis Resoles Lumpia Pisang goreng Kue kering Pastel Bakwan Tempe mendoan Tahu lapis tepung Donat Wafer Ikan lapis tepung Nugget Macaroni Pizza Pasta Spaghetti Rata-rata
Frekuensi (kali/minggu) 2.54±3.46 2.38±3.67 2.16±3.32 0.91±1.77 0.61±1.37 0.71±1.72 0.87±1.78 0.27±1.21 0.39±0.68 0.46±1.22 0.68±1.33 0.57±0.95 0.57±1.00 0.43±1.29 0.52±0.83 2.36±4.44 0.38±1.25 0.61±1.32 0.44±1.29 0.11±0.20 0.05±0.18 0.11±0.29 0.92±0.85
Frekuensi rata-rata konsumsi makanan sumber gluten subjek yaitu sebanyak 0.92 kali/minggu dengan frekuensi rata-rata jenis makanan sumber
26
gluten yang paling sering dikonsumsi yaitu roti tawar 2.54 kali/minggu) dan jenis yang paling jarang dikonsumsi adalah spagheti 0.11 kali/minggu. Bahan pangan yang perlu dihindari selain gluten adalah kasein. Bahan olahan kasein diantaranya susu (fullcream, semi-skim, dan skim), keju, yoghurt, mentega, dan susu cokelat. Alternatif penggantinya adalah susu, keju atau yoghurt dari kedelai, serta susu dan mentega dari kacang-kacangan lainnya (Perreta 2009). Frekuensi rata-rata konsumsi makanan sumber kasein sebanyak 0.89 kali/minggu dengan frekuensi rata-rata jenis makanan sumber kasein yang paling sering dikonsumsi yaitu susu sapi kemasan 2.65 kali/minggu. Pemahaman ibu tentang diet untuk anak autis yaitu diet bebas gluten bebas kasein merupakan hal mendasar yang menentukan bagaimana tindakan ibu dalam pemilihan jenis bahan makanan yang akan dikonsumsi oleh anak. Berdasarkan pada pengetahuan dan pengalaman ibu, atau informasi mengenai diet yang ibu dapatkan dari dokter, tempat terapi dan informasi dari internet. Frekuensi konsumsi pangan sumber kasein disajikan pada Tabel 20. Tabel 20 Frekuensi konsumsi pangan sumber kasein Jenis Susu sapi Susu kambing Susu sapi kemasan Susu full cream Mentega Susu fermentasi Susu bubuk skim Rata-rata
Frekuensi (kali / minggu) 0.07±0.24 0.00±0.00 2.65±5.29 0.77±1.99 2.13±3.52 0.63±1.77 0.01±0.09 0.89±1.09
Hasil secara keseluruhan terkait frekuensi konsumsi gluten dan kasein menunjukkan konsumsi pangan sumber gluten lebih tinggi jika dibandingkan dengan konsumsi pangan sumber kasein, hal ini dapat dilihat dari jumlah subjek yang masih mengonsumsi pangan sumber gluten (88.2%) dengan frekuensi ratarata konsumsi pangan sumber gluten yaitu 0.92 kali/minggu dan kasein (67.6%) dengan frekuensi rata-rata konsumsi pangan 0.89 kali/minggu. Hal tersebut diduga karena pangan sumber kasein pada produk susu dan hasil olahannya relatif lebih mudah dikenali dibandingkan dengan gluten.
Hubungan Antara Variabel Hubungan Antara Tingkat Kecukupan Energi dengan Status Gizi Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan (p<0.05) antara tingkat kecukupan energi dengan status gizi subjek (r=0.462, p=0.006). Semakin tinggi tingkat kecukupan energi maka semakin besar risiko kelebihan berat badan subjek. Hal ini sejalan dengan penelitian Andyca tahun 2012 menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat kecukupan energi dengan status gizi anak autis di Depok.
27
Asupan makanan merupakan faktor yang berpengaruh langsung secara linear dalam menentukan status gizi seseorang. Berdasarkan penelitian Berkey et al. dalam Paratmanitya tahun 2012 menunjukkan bahwa peningkatan IMT dalam masa satu tahun pengamatan terjadi lebih besar pada responden yang memiliki rata-rata asupan kalori lebih tinggi. Menurut Dianah (2011) terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat kecukupan energi dengan kegemukan, kemudian sejalan dengan penelitian Yussac dkk (2007), terdapat hubungan yang bermakna antara asupan energi dengan obesitas menurut klasifikasi z score IMT/U. Hubungan Antara Tingkat Kecukupan Protein dengan Status Gizi Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05) antara tingkat kecukupan protein dengan status gizi (r=0.294, p=0.091). Hal ini sejalan dengan Dianah (2011), tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat kecukupan protein dengan kegemukan. Menurut Muchlisa (2013), asupan protein yang kurang atau lebih tidak berpengaruh pada perubahan berat badan karena kelebihan asupan protein tidak disimpan oleh tubuh seperti yang terjadi pada kelebihan energi. Hasil dua penelitian sebelumnya juga memperoleh hasil yang sama yaitu penelitian Makalew et al. (2013), tidak ada hubungan yang signifikan antara asupan protein dengan status gizi anak sekolah dasar di Kecamatan Langowan Barat. Penelitian Yulni et al. (2013), tidak terdapat hubungan antara asupan protein dengan status gizi pada anak sekolah dasar di Makasar. Berdasarkan hasil food record yang dilakukan selama 2 hari, sumber protein yang paling banyak dikonsumsi oleh subjek adalah telur, ayam, tahu dan tempe. Fungsi utama protein adalah untuk pertumbuhan. Sementra itu, fungsi protein yang lainnya adalah sebagai sumber energi ketika tubuh mengalami kekurangan energi baik dari karbohidrat maupun lemak. Protein akan dipergunakan jika glukosa atau asam lemak di dalam tubuh terbatas (Almatsier 2009). Hubungan Antara Tingkat Kecukupan Vitamin A dengan Status Anak Autis Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05) antara tingkat kecukupan vitamin A dengan status gizi (r=0.021, p=0.906). Hal ini sejalan dengan penelitian Rahmawati (2013) tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat kecukupan vitamin A dengan status gizi lebih. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Ingtyas (2005) dan Basu et al. (2007) yang menyatakan bahwa tingkat kecukupan vitamin A pada autis tergolong kurang, meskipun tidak ada data terkait presentasenya. Perbedaan hasil penelitian ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya desain penelitian dan jumlah responden. Hubungan Antara Tingkat Kecukupan Vitamin B6 dengan Status Gizi pada Anak Autis Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05) antara tingkat kecukupan vitamin B6 dengan status gizi (r=0.028, p=0.874). Hal ini sejalan dengan penelitian rahmawati (2013) tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat kecukupan vitamin B6 dengan status gizi lebih. Sebaran subjek berdasarkan asupan vitamin B6 tergolong
28
kategori cukup yakni 82.4%. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Basu et al.(2007) asupan vitamin B6 anak autis tergolong rendah, namun tidak dijelaskan adanya hubungan dengan status gizi. Makanan yang mengandung vitamin B6 yang dikonsumsi oleh subjek berdasarkan food record 2x24 jam, bahwa sebagian subjek mengonsumsi daging, hati, kacang kedelai, dan pisang, dimana bahan makanan tersebut merupakan sumber makanan yang mengandung vitamin B6. Berdasarkan penelitian Handoyo (2003) bahwa anak autis perlu diberikan terapi pemberian suplemen vitamin B6, jika dalam asupan makan sehari-hari anak kurang dari tingkat kecukupan. Hal ini bertujuan agar suplementasi dapat bekerja pada susunan saraf pusat dikarenakan pada penyandang autis terdapat kelainan pada otak mereka. Hubungan Antara Tingkat Kecukupan Vitamin C dengan Status Gizi pada Anak Autis Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05) antara tingkat kecukupan vitamin C dengan status gizi (r=0.056, p=0.754). Hasil ini didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Basu et al. (2007) menunjukkan bahwa anak autis mengonsumsi vitamin C dalam jumlah kurang secara signifikan dibanding anak normal. Rata-rata asupan vitamin C masih dibawah AKG yaitu 85.3% AKG. Asupan vitamin C pada subjek berasal dari wortel (47.1%) dengan frekuensi 1-2 kali/minggu, tempe (64.8%) dengan frekuensi 1-2 kali/minggu dan >6 kali/minggu, jeruk dan pisang 50% dengan frekuensi 1-2 kali/minggu. Sumber vitamin C yang sering dikonsumi vitamin C diperoleh dari sumber makanan nabati, sayur-sayuran, dan buah-buahan terutama yang bercita rasa asam (Almatsier 2009). Hubungan Antara Aktivitas Fisik dengan Status Gizi pada Anak Autis Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05) antara aktivitas fisik di sekolah (r=0.166, p=0.349) dan aktivitas fisik di waktu luang (r=0.011, p=0.951) dengan status gizi. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati (2013) yang juga tidak menemukan adanya hubungan yang signifikan antara aktivitas fisik dengan status gizi lebih. Aktivitas fisik yang kurang akan menyebabkan pengeluaran energi yang sedikit. Ketidakseimbangan antara aktivitas fisik, pengeluaran energi dan konsumsi pangan akan berdampak pada status gizi dan status kesehatan. Perkembangan fasilitas-fasilitas berbasis teknologi menyebabkan terbatasnya gerak dan aktivitas. Hal ini menyebabkan meningkatnya waktu menonton televisi. Waktu keseharian subjek lebih banyak dihabiskan untuk bermain sendiri seperti menonton, bermain menyusun benda dengan posisi duduk dan berbaring. Waktu yang dihabiskan dalam melakukan aktivitas berat pada anak autis lebih rendah dibandingkan dengan anak normal, oleh karena itu perlu adanya peningkatan aktivitas dengan intensitas sedang dan tinggi untuk anak autis. Sekolah Luar Biasa (SLB) sama halnya dengan sekolah normal lainnya yang memasukkan kegiatan olahraga kedalam kurikulum dengan frekuensi satu kali per minggu. Adanya kegiatan olahraga tersebut bertujuan untuk meningkatkan aktivitas fisik anak autis yang tergolong kurang. Kegiatan olahraga yang
29
dilakukan berupa permainan maupun olahraga ringan seperti bola, bulu tangkis, voli, renang dan beberapa aktivitas rutin yng dimasukkan kedalam kurikulum yaitu kesenian menari dan bernyanyi. Berdasarkan hasil wawancara, didapatkan hasil bahwa anak autis lebih banyak melakukan olahraga seperti bola, bulu tangkis, bersepeda, dan senam dengan frekuensi 1-2 kali/minggu yang biasanya dilakukan setiap hari jumat atau sabtu. Hasil pengamatan di lapangan, orangtua subjek yang diwawancarai mengaku bahwa kegiatan setelah pulang sekolah adalah duduk-duduk (menggambar, mengerjakan tugas). Selain itu, dengan frekuensi 2-3 kali/minggu anak autis dihabiskan dengan kegiatan bermain dengan peralatan main mereka. Aktivitas fisik pada akhir pekan pun tidak mengalami perbedaan dibandingkan dengan hari lainnya yang tergolong rendah (58.8%) yaitu hanya melakukan aktivitas 1-2 kali dalam seminggu. Dampak dari aktivitas fisik yang rendah adalah gaya hidup sedentari. Aktivitas yang kurang dapat berpengaruh terhadap gerak tubuh anak autis untuk berpartisipasi dalam lingkungan. Menurut Davis et al. (2007) aktivitas fisik yang rendah akibat gaya hidup sedentari dan asupan makanan yang berlebih dapat menyebabkan terjadinya gizi lebih pada anak autis. Hubungan Antara Pola Konsumsi Pangan Bebas Gluten dan Kasein dengan Status Gizi pada Anak Autis Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan (p<0.05) antara rata-rata konsumsi gluten (r=0.606, p=0.000), rata-rata konsumsi kasein (r=0.531, p=0.001) dengan status gizi. Berdasarkan hasil wawancara dari 34 subjek di penelitian ini yang tidak menerapakan diet bebas gluten yaitu 88.2% subjek dan 11.8% subjek yang tidak mengonsumsi pangan sumber gluten. Hal ini dapat diartikan semakin banyak subjek mengonsumsi pangan sumber gluten yang berbahan dasar tepung terigu, maka akan meningkatkan risiko kelebihan berat badan pada subjek. Penelitian yang dilakukan oleh Cornish (2002) di Tanzania menunjukkan beberapa alasan tetap memberikan makanan yang mengandung gluten dan kasein pada anak yaitu karena merasakan tidak ada perubahan perilaku yang signifikan, khawatir terjadi kekurangan gizi karena terbatasnya asupan, serta kesulitan dalam mencari makanan alternatif. Beberapa hal yang melatarbelakangi sulitnya orangtua dalam menjalankan diet diantaranya keterbatasan bahan makanan sebagai alternatif pengganti, makanan yang mengandung gluten dan kasein merupakan kesukaan anak, sehingga orangtua merasa tidak tega jika tidak memberikannya. Implementasi orangtua dalam menerapkan diet saat ini hanya pada tahap mengurangi atau mengatur frekuensi pemberiannya (Pratiwi 2014).
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Mayoritas subjek berjenis kelamin laki-laki yaitu 91.2% dan sisanya perempuan 8.8%. Status gizi pada subjek laki-laki yang mengalami gizi kurang
30
14.7% dan subjek perempuan 2.9%. Selanjutnya subjek laki-laki yang mengalami gizi lebih dan obes sebanyak 34.3% dan subjek perempuan 2.9%. Frekuensi ratarata konsumsi pangan sumber karbohidrat yang paling banyak adalah nasi sebanyak 22.2 kali/minggu. Sumber protein hewani yaitu telur ayam 5.85 kali/minggu. Pangan sumber protein nabati yaitu tempe dengan frekunesi 5.38 kali/minggu. Buah-buahan yaitu pisang dengan frekuensi 2.54 kali/minggu dan sayuran adalah wortel dengan frekuensi 5.24 kali/minggu. Rata-rata tingkat kecukupan energi sebesar 86±14.4% dengan rentang 49121% dan sebagian besar subjek termasuk ke dalam kategori defisit ringan 8089% dan normal 90-119%. Rata-rata tingkat kecukupan protein sebesar 110±27.8% dengan rentang 69-191% dan sebagian besar subjek berada pada kategori normal 90-119% yaitu sebanyak 44.1%, tingkat kecukupan protein defisit sedang dan berat sebanyak 5.9%. Rata-rata tingkat kecukupan vitamin A sebesar 154±190.3% dengan rentang 13-794% dan sebagian besar subjek termasuk ke dalam kategori cukup baik sebanyak 61.8% dan kategori kurang sebanyak 38.2%. Rata-rata tingkat kecukupan vitamin B6 sebesar 90±19.7% dengan rentang 62140% dan tergolong kategori cukup sebesar 82.4% kemudian kategori kurang sebesar 17.6%. Rata-rata tingkat kecukupan vitamin C sebesar 41±42.9% dengan rentang 16-207% dan tergolong kategori di bawah tingkat kecukupan sebanyak 85.3%. Aktivitas fisik subjek di sekolah sebanyak 67.6% tergolong rendah dan 32.4% subjek tergolong aktivitas fisik tinggi, sedangkan untuk aktivitas fisik pada waktu luang yaitu 58.8% subjek tergolong rendah dan 41.2% subjek tergolong tinggi. Frekuensi rata-rata konsumsi makanan sumber gluten subjek yaitu sebanyak 0.92 kali/minggu dan frekuensi rata-rata konsumsi makanan sumber kasein sebanyak 0.89 kali/minggu. Hasil uji korelasi Pearson terdapat hubungan yang signifikan antara kecukupan konsumsi energi dengan status gizi ( r=0.462, p=0.006), dan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara konsumsi protein dengan status gizi (r=0.294, p=0.091). Hasil uji korelasi Spearman terdapat hubungan yang signifikan antara rata-rata konsumsi gluten (r=0.606, p=0.000), rata-rata konsumsi kasein (r=0.531, p=0.001) dengan status gizi. Tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05) antara tingkat kecukupan vitamin A (r=0.021, p=0.906), tingkat kecukupan vitamin B6 (r=0.028, p=0.874), tingkat kecukupan vitamin C (r=0.056, p=0.754), aktivitas fisik di sekolah (r=0.166, p=0.349), dan aktivitas fisik di waktu luang (r=0.011, p=0.951) dengan status gizi. Saran Perlu diadakan penelitian selanjutnya tentang anak autis, khususnya tentang faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kelebihan berat badan pada anak autis dengan mencari variabel-variabel seperti IMT orangtua, pekerjaan, pendidikan dan faktor-faktor lain yang berhubungan dengan status gizi. Memberikan informasi terkait gizi kepada orangtua dalam bentuk pendidikan gizi, tidak hanya terbatas pada jenis makanan yang diperbolehkan dan dihindari, melainkan porsi dan jadwal makan sangat perlu diperkenalkan kepada orangtua yang memiliki anak autis, sehingga terbiasa untuk mengatur pola makan anak dan dapat mengontrol status gizi anak.
31
Sebaiknya ibu memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar, terlebih jika memiliki anak dengan kelainan autis dengan cara memperbanyak referensi mengenai autis dan diet untuk anak autis. Perlu pemanfaatan bahan pangan lokal sebagai makanan alternatif bagi anak, serta pengembangan bahan pangan pengganti yang bebas gluten dan kasein.
DAFTAR PUSTAKA Almatsier. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama. Almatsier, Sunita. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama. Andyca F. 2012. Faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi pada anak autis di tiga Rumah Autis (Bekasi, Tanjung Priuk, Depok) dan Klinik tumbuh kembang Kreibel Depok [skripsi]. Depok (ID): Universitas Indonesia. Anfamedhiarifda. 2006. Pengaruh stimulasi psikososial di kelompok bermain terhadap karakter anak usia 2-4 tahun [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [APA] American Psychiatric Association. 2000. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder 4th. Ed, Text Revision DSM-IV-TR. Washington DC (US) : Author. Anggraini AN. 2007. Asupan Energi, Serat dan Konsumsi Lemak Serta Faktor Lain Sebagai Indikator Risiko Obesitas pada Anak Usia Pra Sekolah di TK Pembangunan Jaya Bintaro Tanggerang Tahun 2007. [skripsi]. Depok (ID) : Universitas Indonesia. Arisman. 2007. Gizi dalam Daur Kehidupan. Jakarta(ID): Penerbit Buku Kedokteran EGC. Asha MR, Ramesh BN, Rao KS. 2006. Understanding Nutrition, Depression, and Mental Ilnesses. India (ID): Indian J Psychiatry. Azwar. 2000. Masalah gizi Kurang pada Balita dan Upaya Penanggulangannya. [tesis]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2010. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS 2010). Jakarta (ID): Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. [BPS] Badan pusat statistik. 2014. Jabar Dalam Angka 2013. Jawa Barat (ID) : Jabar. . 2006. Statistik Pendidikan 2006.Pusat Statistik. Jakarta (ID). Jakarta. Baliwati dkk. 2004. Pengantar Pangan dan Gizi. Jakarta (ID) : Penebar Swadaya. Bicer AH, Alsaffar AA. 2013. Body mass index, dietary intake and feeding problems of Turkies children with autism spectrum disorder (ASD).
32
Research in developmental 3987.doi:10.1016/j.rid.2013.08.024.
disabilities.
34(2013):3978-
Brown JE. 2005. Nutrition Through the Life Cycle Second Edition. Wahington DC (US) : Thomson Wadswoth. Cornish E. 2002. Gluten and Casein Free Diets in Autism:A Study of The Effects on Food Choice and Nutrition. The British Dietetic Association. J Hum Nutr Diet (15):261-269. Carroll MD, Curtin LR, McDowell MA, Ogden CL, Tabak CJ, Flegal. 2005. Prevalence of Overweight in Children and Adolescents with Attention Deficit Hyperactivity and Autism Spectrum Disorders : a Chart Review. Wahington DC (US) : BMC Pediatric. . 2010. The Prevalence of Obesity in Children with Autism : a Secondary Data Analysis using Nationally Representative data from the National Survey of Children’s Health. Wahington DC (US) : BMC Pediatrics. Danuatmaja B. 2004. Terapi Anak Autis di Rumah. Jakarta (ID): Puspa Swara. Davis KL, Zhang, Guili, Hodson, Patricia S, Boswell BB, Decker JT. 2010. A Close Look at the Physical Fitness Levels of Elementary Age Students with Intellectual Disabilities. Sport Science Riview. 19:3-4. [Depkes] Departemen Kesehatan. 1996. Pedoman Praktis Pemantauan Gizi Orang Dewasa. Jakarta (ID): Departemen Kesehatan RI. Dianah R. 2011. Asupan energi sebagai faktor dominan terjadinya kegemukan pada BADUTA 6-23 bulan di Sumatra Utara tahun 2010 Data Riskesdas 2010 [Tesis]. Depok (ID) : Universitas Indonesia. Ernawati A. 2006. Hubungan faktor sosial ekonomi, higiene sanitasi lingkungan, tingkat konsumsi, dan infeksi dengan status gizi anak usia 2-5 tahun di Kabupaten Semarang tahun 2003 [tesis]. Semarang (ID): Program Pasca Sarjana Magister Gizi Masyarakat Universitas Diponegoro. Evans WE, Must A, Anderson SE, Curtin C, Scampins R, Maslin M, Bondini L. 2011. Dietary patterns and body mass index in children with autism and typically developing children. Research in autism spectrum disorder. 6(2012): 399-405.doi:10.1016/j.rasd.2011.06.014 Fitriadini N. 2010. Perilaku Keluarga Sadar Gizi (KADARZI) Serta Hidup Bersihdan Sehat (PHBS) Ibu Kaitannya dengan Status Gizi dan StatusKesehatan Balita Bawah garis Merah di Kabupaten Sukabumi [skripsi].Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia, Institut PertanianBogor. Foley JT. 2005. Exploring the Physical Activity Levels of Students with Mental Retardation and Students without Disabilities in Both School and After School Enviroments. [disertasi]. Washington DC (US) : Universitas Oregon State. Gibney, Michael J, Margetts, Barrie M, Kearney, John M, Arab L.2008. Public Health Nutrition. Diterjemahkan oleh Andry Hartono dengan judul Gizi Kesehatan Masyarakat. Jakarta (ID): EGC.
33
Gibson RS. 2005. Principles of Nutritional Assesment. New York (US) : Oxford University. Handoyo Y. 2003. Autisma. Jakarta (ID): Bhuana Ilmu Populer. Hidayat. 2004 . Pengantar Ilmu Keperawatan Anak I. Jakarta (ID). Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Hurlock EB. 1999. Psikologi Perkembangan. Ed ke-5. Jakarta (ID): Erlangga. Ingtyas. 2005. Konsumsi Pangan, Status gizi dan Kesehatan Anak Retardasi Mental di Kota Medan [catatan penelitian]. Media Gizi & Keluarga. 29 (1) : 21-33. Institute of Medicine (IOM). 2005. Dietary Reference Intake for Energy, Carbohydrate, Fiber, Fat, Fatty Acids, Cholesterol, Protein and Amino Acids. A Report of the Panel on Macronutrients, Subcommittees on Upper Reference Levels of Nutrients and Interpretation and Uses of Dietary Reference Intakes and the Standing Committee on the Scientific Evaluation of Dietary Reference Intakes. Washington (US): National Academies Press. Isdaryanti C. 2007. Asupan energi protein, status gizi, dan prestasi belajar anak Sekolah Dasar Aryowinangun 1 Pacitan. [skripsi]. Yogyakarta (ID): Universitas Gajah Mada,. Jasaputra, Diana K. 2003. Penatalaksanaan Holistik Autisme : Alergi Makanan pada Anak Autis . Jakarta (ID) : UI Press. Jouret B. 2007. Factor Associated With Overweight in Preschool Age Children in Southwestern France. Am J Clin Nutr. France (FR). Hlm 85: 1643-9. Koka E.M. 2011. Prilaku ibu tentang pemberian makan dan status gizi anak autism di kota Binjai tahun 2011. Binjai (ID) [diunduh 2014 Des 14]. Tersedia pada : http://repository.usu.ac.id. Kristiani D, Suriadi, Parjo. 2013. Hubungan antara karakteristik pekerjaan ibu dengan status gizi anak usia 4-6 tahun di TK Salomo Potianak [skripsi]. Pontianak (ID): Universitas Tanjungpura Pontianak. Latifah RE. 2004. Studi Konsumsi dan Status Gizi pada Anak Penyandang Gangguan Spektrum Autisme di Kota Bogor. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Li Ming. 2010. Dietary Habits and Overweight/Obesity in Adolescents in Xia’an City, China. China (CN). Asia Pac J Clin Nutr. Hlm 191: 76-82 . Lloyd. 2012. International BMI Comparison of Children and Youth with Intellectual Disbilities Participating in Special Olympics. Washington DC (US): Research in Development Disabilities. 33: 1708-1714. Linder MC. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme dengan Pemakaian Secara Klinis. Jakarta (ID) : Universitas Indonesia. Makalew YM, Sherly ESK, Nancy SHM. Hubungan antara asupan energi dan zat gizi dengan status gizi anak sekolah dasar kelas 4 dan kelas 5 SDN 1 Tounelet dan Sd Katolik St. Monica Kecamatan Langowan Barat.
34
Manado: Program Studi Gizi Masyarakat. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi, 2013. Marthur M, Basu S, Benipal R, Bhargava R, Kaur J, Luthra N, Kaur J. 2007. Dietary Habits and Nutritional Status in Mentally Retartded Children and Adolescents : A study from North Western India. Departement of Dietetics, Goverment Medical College and Hospital. India (ID) : Chandigarh. Martiani M, Elisabeth S, Mrtalena BP. 2012. Pengetahuan dan sikap orangtua hubungannya dengan pola konsumsi dan status gizi anak autis. Jurnal Gizi Klinik Indonesia. 8(3):135-143. Martianto D, Ariani M. 2004. Analisis perubahan konsumsi dan pola konsumsi pangan masyarakat dalam dekade terakhir. Dalam Soekirman et al. Editor. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII “Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi” : Jakarta 17-19 Mei 2004. Jakarta (ID) : LIPI. Mashabi NA, Tajudin NR. 2009. Hubungan antara Pengetahuan Gizi Ibu dengan Pola Makan Anak Autis. Jakarta (ID) : Makara. hlm. 13: 84-86. Maslim R. 2003. Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III. Jakarta (ID) : Unika Atma Jaya. McCandless J. 2003. Children with Starving Brain. Jakarta (ID) :Grasindo. Muchlisa, Cittrakesumasari, Rahayu I. Hubungan asupan zat gizi pada remaja putri di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Makassar tahun 2013. 2013. [skripsi]. Makassar (ID): Universitas Hasanuddin. Mujiyanti DM. Tingkat pengetahuan ibu dan pola konsumsi pada anak autis di Kota Bogor. Skripsi. Bogor: Institut Petanian Bogor, 2011. [Permenkes RI]. 2013. Peraturan Kementrian Kesehatan No 75 Tahun 2013: Jakarta (ID). Kemenkes. Persagi. 2009. Kamus Gizi Pelengkap Kesehatan Keluarga. Jakarta (ID) : Kompas Gramedia. . 2009. Tabel Komposisi Pangan Indonesia.Jakarta (ID). PT Elex Media Komputindo. Perreta L. 2009. Makanan Untuk Otak. Jakarta(ID): Erlangga. Pratiwi AR. 2014. Hubungan Skor Frekuensi Diet Bebas Gluten Bebas kasein dengan Skor Perilaku Autis. Journal of Nutrition College, 3(1): 34-42. Rahmawati T. 2013. Hubungan asupan gizi, aktivitas fisik, dan gangguan makan terhadap status gizi anak disabilitas intelektual di Jakarta [skripsi]. Jakarta (ID) : Universitas Indonesia. Ramadayanti dan Margawati. 2013. Prilaku Pemilihan Makanan dan Diet Bebas Gluten Bebas Kasein pada Anak Autis. Jakarta (ID). hlm 2: 35-43. Journal Of Nutrition College. Ratnasari R. Hubungan antara asupan energi, asupan protein dan status gizi siswa di SMA Sekar Kemuning Kota Cirebon. 2011.
35
Riyadi H. 2001. Buku ajar metode penilaian status gizi secara antropometri diktat. Bogor (ID). Fakultas Pertanian : Institut Pertanian Bogor. Rizqiya, Fauzan. 2009. Analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kegemukan anak usia prasekolah di TK Mardi Yuana Depok Tahun 2009. [skripsi]. Depok (ID) : Universitas Indonesia. Rosemary K. 2009. Autisme dan Masalah pada Sistem Pencernaan yang Penting Anda Ketahui. Jakarta (ID) : Gramedia Pustaka Umum . Sandjaja. 2009. Kamus Gizi Pelengkap Kesehatan Keluarga. Jakarta(ID) : Kompas. Sintowati R. 2007. Autisme. Jakarta (ID) : Sunda Kelapa Pustaka. Sit CP, Thomas LM, John MG, Lian, Alison M. 2007. Physical activity levels in children in special schools. Preventive medicine. Hong Kong (HK). 45, 44-431. Sofia AD. 2012. Kepatuhan Orang Tua dalam Menerapkan Terapi Diet Gluten Free Casein Free pada Anak Penyandang Autisme di Yayasan Pelita Hafizh dan SLBN Cileunyi Bandung. [skripsi]. Bandung (ID) : Universitas Padjadjaran. Soenardi, Soetardjo, Susirah. 2009. Terapi Makanan Anak dengan Gangguan Autisme [internet] [diunduh 2015 Jan 29] tersedia pada : http://www.p3gizi.litbang.depkes.go.id/index2.php?option=comcontent&d opdf=1&id=52. Suhardjo. 2000. Perencanaan Pangan dan Gizi. Jakarta (ID): Bumi Aksara. Sulistyoningsih H. 2012. Gizi untuk Kesehatan Ibu dan Anak. Yogyakarta (ID) : Graha Ilmu. Sumarwan U. 2003. Perilaku Konsumen. Teori dan penerapannya dalam pemasaran. Jakarta (ID): Ghalia. Supriasa, I Dewa Nyoman, dkk . 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta (ID) : EGC. Wargasetia TL. 2003. Aspek genetika pada autisme Dalam Sutadi, Bawazir, Tanjung, & Adeline (Eds). Penatalaksanaan Holistik Autisme. Jakarta (ID): UI Press. Washnieski, G. 2009. Gluten-free and casein-free diets as a form of alternative treatment for autism spectrum disorders. [internet] [diunduh 2014 Des 13]. Tersedia pada : http://www2.uwstout.edu/content WHO.2007. WHO Child Growth Standar: Methods and Development. dalam http://www.who.int/growthref/who2007bmiforage/en/index.html Widodo J. 2006. Perilaku Makan Anak sekolah. Jakarta (ID) : EGC. Winarno FG, Agustinah W. Pangan dan Autism. [Internet] [diunduh 2015 Jan 29] tersedia pada : http://www.lspr.edu/csr/autismawareness/media/seminar/Autism%20dan %20Peran%20Pangan%20-%20Prof%20Winarno%2020-09-08.pdf.
36
Woods AG, Esmaeil Mahdevi, Jeanne P Ryan. 2013. Treating clients with Asperger’s syndrome and autism. Child and Adolescent Psychiatry and Mental Health. (2013): 7-32.doi: 10.1186/1753-2000-7-32 Yudana. 2003. Tempe Makanan Seumur Hidup. Semarang (ID). Semarang Metro. Yudesti I, Prayitno N. 2012. Perbedaan status gizi anak SD kelas IV dan V Di SD Unggulan (06 Pagi Makasar) dan SD Non Unggulan (09 Pagi Pinang Ranti) Kecamatan Makasar Jakarta Timur Tahun 2012. Jurnal Ilmiah Kesehatan: 5(1):1-5 Yulni, Veni H, Devintha V. 2013. Hubungan asupan zat gizi makro dengan status gizi pada anak Sekolah Dasar di Wilayah Pesisir Kota Makassar tahun 2013. Makassar (ID): Universitas Hasanuddin. Yussac M .2007. Prevalensi Obesitas pada Anak Usia 4-6 tahun dan hubungannya dengan asupan serta pola makan. Majalah kedokteran Indonesia. 57 : 47-53. Zimmermann M, Leifeld J, Schmidt MWI. 2004. Detection of Overweight and Obesity in National Sample of 6-12y-old Swiss Children: Accuracy and Validity of Reference Values for Body Mass Index from the US Centers for Disease Control and Prevention and the International Obesity Task Force. Am J Clin Nutr .79:838-43.
37
Lampiran 1 Dokumentasi Kegiatan
Kegiatan wawancara ibu subjek
Pengukuran Antropometri (TB) di sekolah Inklusi
Pengukuran Antropometri (TB) di SLB
Pengukuran Antropometri (BB)
38
Lampiran 2 Tabel 1 Sebaran subjek berdasarkan frekuensi konsumsi pangan sumber karbohidrat, protein hewani, protein nabati, sayuran dan buah Sumber Karbohidrat
Tidak Pernah n
Nasi Kentang Bihun Ubi Jalar Singkong Sumber Protein Hewani Telur Ayam Ikan air tawar Ikan laut Daging sapi Ayam Bakso Sosis Sumber Protein Nabati Tahu Tempe Kacang hijau Kacang tanah Kelompok buah dan sayur Pisang Mangga Jeruk Apel Rambutan Pepaya Wortel Bayam Tomat
≤2x Minggu n
0 6 13 18 14
% 0.0 17.6 38.2 52.9 41.2
1 9
Frekuensi 3-4x/ 5-6x/ Minggu Minggu
>6 kali/ Minggu
Total
0 19 16 15 20
% 0.0 55.9 47.1 44.1 58.8
n 0 6 2 1 0
% 0.0 17.6 5.9 2.9 0.0
n 0 0 0 0 0
% 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
n 34 3 3 0 0
% 100.0 8.8 8.8 0.0 0.0
n 34 34 34 34 34
% 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0
2.9 26.5
12 18
35.3 52.9
5 2
14.7 1 5.9 1
2.9 2.9
15 4
44.1 11.8
34 34
100.0 100.0
13 5 4 26 18
38.2 14.7 11.8 76.5 52.9
13 21 14 3 11
38.2 61.8 41.2 8.8 32.4
3 4 5 2 3
8.8 11.8 14.7 5.9 8.8
0 0 1 1 0
0.0 0.0 2.9 2.9 0.0
5 4 10 2 2
14.7 11.8 29.4 5.9 5.9
34 34 34 34 34
100.0 100.0 100.0 100.0 100.0
11 5 21
32.4 14.7 61.8
14 11 12
41.2 32.4 35.3
3 7 0
8.8 0 20.6 0 0.0 0
0.0 0.0 0.0
6 11 1
17.7 32.4 2.9
34 34 34
100.0 100.0 100.0
18
52.9
12
35.3
2
5.9 0
0.0
2
5.9
34
100.0
8 13 10 18 25 19 2 8 16
23.5 38.2 29.4 52.9 73.5 55.9 5.9 23.5 47.1
2.9 2.9 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
4 2 6 2 0 1 10 6 5
11.8 5.9 17.6 5.9 0.0 2.9 29.4 17.6 14.7
34 34 34 34 34 34 34 34 34
100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0
17 15 17 13 8 12 16 17 12
50.0 44.1 50.0 38.2 23.5 35.2 47.1 50.0 35.2
4 3 1 1 1 2 6 3 1
11.8 8.8 2.9 2.9 2.9 5.9 17.6 8.8 2.9
1 1 0 0 0 0 0 0 0
39
Tabel 2 Frekuensi konsumsi pangan sumber gluten subjek kali/minggu Jenis makanan ≤2x/ Minggu
Frekuensi 3-4x/ 5-6x/ Minggu Minggu
>6 kali/ Minggu
n 11 14 12 14 10 12 10 5 13 14 14 13 9 9 16 16 8 12 12 14 5 7
n 1 2 1 3 1 1 2 0 1 0 1 2 3 1 1 2 0 1 1 0 0 0
n 9 7 7 2 1 2 2 1 0 1 1 0 0 1 0 5 1 1 1 0 0 0
Tidak Pernah Roti tawar Biskuit Ayam tepung Mie instan Kue basah Kue lapis Risoles Lumpia Pisang goreng Kue kering Pastel Bakwan Tempe mendoan Tahu lapis tepung Donat Wafer Ikan lapis tepung Nugget Macaroni Pizza Pasta Spaghetti
n 13 11 14 15 22 19 20 28 20 19 18 19 22 23 17 11 25 20 20 20 29 27
% 38.2 32.4 41.2 44.1 64.7 55.9 58.8 82.4 58.8 55.9 52.9 55.9 64.7 67.6 50.0 32.4 72.5 58.8 58.8 58.8 85.3 79.4
% 32.4 41.2 35.2 41.2 29.4 35.2 29.4 14.7 38.2 41.2 41.2 38.2 26.5 26.5 47.1 47.1 23.5 35.2 35.2 41.2 14.7 20.6
% 2.9 5.9 2.9 8.8 2.9 2.9 5.9 0.0 2.9 0.0 2.9 5.9 8.8 2.9 2.9 5.9 0.0 2.9 2.9 0.0 0.0 0.0
n 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
% 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
Total
% 26.5 20.6 20.6 5.9 2.9 5.9 5.9 2.9 0.0 2.9 2.9 0.0 0.0 2.9 0.0 14.7 2.9 2.9 2.9 0.0 0.0 0.0
n 34 34 34 34 34 34 34 34 34 34 34 34 34 34 34 34 34 34 34 34 34 34
% 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0
Tabel 3 Frekuensi konsumsi pangan sumber kasein subjek kali/minggu Jenis makanan Tidak Pernah
Susu sapi Susu kambing Susu sapi kemasan Susu full cream Mentega Susu fermentasi Susu bubuk skim
n 30 34 20 24 21 27 33
% 88.2 100.0 58.8 70.6 61.8 79.4 97.1
≤2x/ Minggu
Frekuensi 3-4x/ 5-6x/ Minggu Minggu
>6 kali/ Minggu
n 4 0 5 7 4 3 1
n 0 0 2 0 1 2 0
n 0 0 7 3 8 2 0
% 0.0 0.0 14.7 20.6 11.8 8.8 2.9
% 0.0 0.0 5.9 0.0 2.9 5.9 0.0
n 0 0 0 0 0 0 0
% 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
% 0.0 0.0 20.6 8.8 23.5 5.9 0.0
Total n 34 34 34 34 34 34 34
% 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0
40
Lampiran 3 Kuesioner Kode Sampel
KUESIONER HUBUNGAN ANTARATINGKAT KECUKUPAN GIZI , AKTIVITAS FISIK DAN POLA KONSUMSI PANGAN BEBAS GLUTEN DAN KASEIN DENGAN STATUS GIZI ANAK PENYANDANG AUTIS DI SDLB DI BOGOR Nama Anak
: ..............................................................................................
Nama Ibu
: ..............................................................................................
Alamat Rumah
: ............................................................No............................. RT/RW.......................Kelurahan..........................................
Tempat Terapi
: ..............................................................................................
No Telp/Hp
: .........................................................................(Wajib diisi)
Tanggal Pengisian
: ..............................................................................................
sSaya setuju untuk menjadi responden pada penelitian ini
Tanda tangan responden
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2015
41
I.
KUESIONER DATA PRIBADI RESPONDEN DAN PENILAIAN ANTROPOMETRI
Prosedur Penelitian : 1. Orang tua anak datang pada tanggal dan jam yang telah ditetapkan 2. Anak menjalani pengukuran antropometri meliputi penimbangan berat badan pdan pengukuran tinggi badan 3. Tidak ada jawaban benar atau salah (INI BUKAN TES) 4. Harap menjawab semua pertanyaan dengan sejujur-jujurnya dan setepat mungkin karena hal ini sangat penting 5. Apabila telah menyelasaikan pengukuran dan wawancara, orangtua anak dapat melaporkan kepada petugas sebelum meninggalkan lokasi pengumpulkan data Petunjuk pengisian : Tuliskan jawaban atau lingkari pilihan jawaban atau lingkari pilihan jawaban untuk mengisi pertanyaan-pertanyaan dibawah ini. A. Identitas Anak A1 No Responden : / / / (diisi oleh peneliti) A2 Nama Lengkap : A3 Tempat tanggal lahir : A4 Umur : A5 Urutan kelahiran : A6 Status Gizi : 1. Berat Badan ............ Kg 2. Tinggi Badan ..........cm 3. IMT/U (CDC) .......... A7 Jenis Kelamin 1. Laki-laki 2. Perempuan A8 Kelas : 1. Empat (4) 2. Lima (5) A9 Sejak kapan anak : 1. Sejak usia…………tahun dideteksi menderita 2. Gejala awal................................. Autis ? A10 Ada/tidak terapis yang : 1. Sejak usia berapa di terapi? membantu dalam menangani anak Autisme? A11 Asal Sekolah : Data Orangtua A12 Nama Ayah : A13 Nama Ibu : A14 Umur Ayah : A15 Umur Ibu : A16 Pendidikan terakhir 1. Tidak Sekolah Ayah 2. SD 3. SMP 4. SMA 5. Perguruan tinggi A17 Pendidikan terakhir 1. Tidak Sekolah Ibu 2. SD
42
A18 Pekerjaan Ayah
A19 Pekerjaan Ibu
A20 Pendapatan Keluarga (Ayah)
A21 Pendapatan Keluarga (Ibu)
3. 4. 5. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
SMP SMA Perguruan tinggi Tidak bekerja Pedagang/wiraswasta PNS/TNI/POLRI Pelaut Petani Lainnya Tidak bekerja Pedagang/Wiraswasta PNS/TNI/POLRI Pelaut Petani Ibu Rumah Tangga Lainnya < Rp 2.5 Jt Rp 2.5 Jt – Rp 5 Jt Rp 5.01 Jt – Rp 7.5 Jt Rp 7.51 Jt – Rp 10 Jt Rp 10.1 Jt – Rp 15 Jt > Rp 15 Jt < Rp 2.5 Jt Rp 2.5 Jt – Rp 5 Jt Rp 5.01 Jt – Rp 7.5 Jt Rp 7.51 Jt – Rp 10 Jt Rp 10.1 Jt – Rp 15 Jt > Rp 15 Jt
43
II.
KUESIONER FORMULIR FOOD RECORD (2x24 Jam)
Petunjuk Pengisian Food record dilakukan selama dua hari berturut-turut, yaitu hari pertama dan hari kedua. Kolom yang diisi hanya nama makanan, URT (Ukuran Rumah Tangga), dan asal. Pengisian data konsumsi makanan dapat berupa makanan utama seperti nasi, lauk, sayur, buah dll. Makanan selingan seperti kue, biskuit, es campur, es kelapa, kolak, dll. Jenis makanan apapun yang dikonsumsi pada hari tersebut dicatat selengkap-lengkapnya, baik jenis makanan. Contoh :
Waktu
Pagi
Nama Makanan
Nasi Ikan Goreng Tahu Bacem Siang Nasi Ayam Semur Malam Nasi Sate Ayam Jus Tomat Selingan Bubur kacang hijau Keterangan : bh = buah bj = biji btg = batang btr = butir bsr = besar gls = gelas
Jenis Bahan Makanan
Jumlah Dimakan URT Gram
Asal
1 prg 1 ptg
Pemasakan Pemasakan
1 ptg sdg
Pemasakan
1 prg 1 ptg
Pemasakan Pembelian
1 prg 5 tsk 1 gls 1 prg
Pemasakan Pembelian Pembelian Pemasakan
kcl ptg sdg sdm sdt tsk
= kecil = potong = sedang = sendok makan = sendok teh = tusuk
Hari ke-1 (Hari/Tanggal .......................................) (B1) Nama Anak : ......................................................................... Waktu Nama Jenis Jumlah Asal Makanan Bahan Dimakan Makanan URT Gram Pagi
Kode
Kode
44
Waktu
Nama Makanan
Jenis Bahan Makanan
Jumlah Dimakan URT Gram
Asal
Kode
Asal
Kode
Siang
Malam
Selingan
Suplemen
Hari ke-2 (Hari/Tanggal .......................................) Waktu Nama Jenis Jumlah Makanan Bahan Dimakan Makanan URT Gram Pagi
45
Waktu
Siang
Malam
Selingan
Suplemen
Nama Makanan
Jenis Bahan Makanan
Jumlah Dimakan URT Gram
Asal
Kode
46
III.
FOOD FREQUENCY QUESIONAIRE
(C1) Nama Anak Hari/tanggal
: ......................................................................... : .........................................................................
Nama Bahan Makanan
Frekuensi konsumsi ...x/hari
1. Makanan Pokok Nasi Kentang Bihun Ubi Jalar Singkong Lain lain (Sebutkan)
2. Protein Hewani Telur ayam Telur bebek Ikan air tawar Ikan laut Daging Nugget Ayam Sosis Lain lain (Sebutkan)
3. Protein nabati Tahu Tempe Kacang hijau Kacang tanah Kacang merah Lain lain (Sebutkan)
4. Sayuran Wortel Bayam Kangkung Tomat Buncis
...x/minggu
...x/bulan
...x/tahun
47
Nama Bahan Makanan
Frekuensi konsumsi ...x/hari
Taoge Sawi Lain lain (sebutkan)
5. Buah Pisang Mangga Jeruk manis Rambutan Apel Strawberry Pear Anggur Pepaya Lain lain (Sebutkan)
6. Lemak/Minyak Minyak Kelapa sawit Minyak kelapa Santan Minyak Lain lain (sebutkan)
7. Snack Keripik Minuman bersoda Es krim Lain lain (Sebutkan)
...x/minggu
...x/bulan
...x/tahun
48
IV.
KUESIONER FREKUENSI KONSUMSI MAKANAN YANG MENGANDUNG GLUTEN DAN KASEIN
(D1) Nama Anak Hari/tanggal
: ......................................................................... : .........................................................................
No Bahan makanan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 31
Sumber Gluten Roti tawar Biskuit dari tepung terigu Ayam lapis tepung Mie instant Kue basah Kue lapis Resoles Lumpia Pisang goreng lapis tepung Kue kering dari tepung terigu Pastel Bakwan dari tepung terigu Tempe mendoan Tahu lapis tepung Donat dari tepung terigu Bolu kukus Wafer Ikan lapis tepung terigu Berbagai jenis nugget Macaroni Pizza Pasta Spaghetti Sumber kasein Susu sapi Susu kambing Susu sapi segar Susu sapi cairan Kemasan Susu full cream Mentega Susu fermentasi Susu bubuk skim
..x/hari
Frekuensi konsumsi ..x/minggu ..x/bulan ..x/tahun
Tidak Pernah
49
V.
KUESIONER AKTIVITAS FISIK ANAK SEKOLAH
(E1) Nama Anak Hari/tanggal
: ......................................................................... : .........................................................................
1. Apakah anak Ibu melakukan aktivitas dibawah ini dalam 7 hari terakhir? Berapa kali ? (Beri tanda √ pada salah satu kolom di setiap baris) Kegiatan Tidak pernah
Frekuensi per minggu 1-2 kali 3-4 kali 5-6 kali
7 kali/lebih
Olahraga jalan kaki Bersepeda Jogging atau lari Berenang Bola basket Sepak bola Futsal Menari Bulu tangkis Bola voli Senam Bola kasti
2. Dalam seminggu terakhir selama jam olahraga di Sekolah, berapa sering anak Ibu/Bapak sangat aktif ( bermain, berlari, melompat, melempar) ? a. Anak saya tidak mengikuti jam olahraga b. Pernah satu kali c. Kadang-kadang (3-4 kali) d. Cukup sering (4-6 kali) e. Selalu 3. Apa yang sering anak Ibu/Bapak lakukan saat waktu luang dalam 7 hari terakhir? a. Duduk-duduk ( mengobrol, membaca, mengerjakan tugas) b. Berdiri dan berjalan-jalan c. Berlari atau sedikit bermain-main d. Berlari-lari dan cukup bermain e. Berlari dan bermain hampir setiap waktu 4. Apa yang biasanya anak Ibu/Bapak lakukan pada waktu makan siang (selain makan) dalam 7 hari terakhir ? a. Duduk-duduk ( mengobrol, membaca, mengerjakan tugas) b. Berdiri dan berjalan-jalan c. Berlari atau sedikit bermain-main d. Berlari-lari dan cukup bermain e. Berlari dan bermain hampir setiap waktu
50
5. Berapa hari (setelah pulang sekolah) anak Ibu/Bapak melakukan olahrga, menari, atau memainkan permainan yang membuat anak Ibu/Bapak sangat aktif dalam 7 hari terakhir? a. Tidak pernah b. 1 kali c. 2-3 kali d. 4 kali e. 5 kali 6. Berapa kali anak Ibu/Bapak melakukan olahraga, menari, atau memainkan permainan yang membuat anak Ibu/Bapak sangat aktif pada sore hari dalam 7 hari terakhir ? a. Tidak pernah b. 1 kali c. 2-3 kali d. 4 kali e. 5 kali 7. Pada akhir minggu kemarin (hari sabtu dan minggu), berapa kali anak Ibu/Bapak melakukan olahraga, menari, atau memainkan permainan yang membuat anak Ibu/Bapak sangat aktif ? a. Tidak pernah b. 1 kali c. 2-3 kali d. 4 kali e. 5 kali 8. Manakah diantara pilihan di bawah ini yang paling menggambarkan anak Ibu/Bapak selama seminggu kemarin ? a. Semua atau hampir seluruh waktu luang anak dihabiskan untuk melakukan sedikit kegiatan (duduk, tiduran) b. 1-2 kali, anak saya melakukan aktivitas fisik di waktu luang seperti, bermain, berlari, menari, berenang, bersepeda, senam c. 3-4 kali, anak saya melakukan aktivitas fisik di waktu luang d. 4-6 kali, anak saya melakukan aktivitas fisik di waktu luang e. 7 kali atau lebih, anak saya melakukan aktivitaas fisik di waktu luang 9. Seberapa sering anak Ibu/Bapak melakukan aktivitas fisik seperti bermain, berlari, menari, berenang, bersepeda senam dan aktivitas fisik lainnya tiap harinya pada minggu lalu Hari Senin Selasa Rabu Kamis Jumat Sabtu Minggu
Tidak sama sekali
Sedikit
Sedang
Sering
Sering sekali
51
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kijang, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau pada tanggal 23 Agustus 1993. Penulis merupakan putri bungsu dari empat bersaudara pasangan Damsir dan Sawatimar. Pendidikan penulis diawali pada tahun 19981999 di TK.Nurul Islam, Kijang Bintan Timur dan melanjutkan masa pendidikannya di SD 011 Bintan tahun 1999-2005 kemudian SMP Negeri 02 Bintan tahun 2005-2008 serta pendidikan SMA di SMAN 01 Bintan tahun 20082011. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur BUD (Beasiswa Utusan Daerah) yang di danai oleh PT. Aneka Tambang. Setelah satu tahun mengikuti program Tingkat Persiapan Bersama (TPB), penulis melanjutkan studi di mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia (FEMA). Selama masa perkuliahan penulis aktif dan berpartisipasi dalam kegiatan kemahasiswaan dan kepanitiaan. Penulis pernah menjadi staf divisi Kewirausahaan di Himpunan Mahasiswa Ilmu Gizi (HIMAGIZI) 2011-2012, staf CLC (Creative Learning Center) tahun 2012, anggota PR (Public Relation) acara Concerto CLC tahun 2012, anggota HUMAS seminar nasional Nutrition Fair tahun 2013. Penulis menyelesaikan tugas akhir untuk meperoleh gelar Sarjana Gizi Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia (FEMA), IPB.